Kisah Si Pedang Terbang Jilid 11
Nam-kiang-pang kini telah dikuasai sepenuhnya oleh Seng Gun setelah dia mengeram Tio Hui Po di tempat tahanan bawah tanah. Dia menyingkirkan dan membunuh banyak orang Nam-kiang-pang yang setia pada ketua Tio, dan hanya anak buah Nam-kiang-pang yang bersedia taat kepadanya saja yang masih dibiarkan hidup. Sebagian besar dari mereka ini mengaku taat dan takluk karena takut, tetapi diam-diam di dalam hati mereka menentang ketua baru yang berkhianat itu.
Para anak buah Nam-kiang-pang yang terpaksa tunduk kepada Seng Gun jumlahnya ada seratus orang. Kemudian Seng Gun mendatangkan lima puluh orang anggota Hoat-kauw sehingga para anggota Nam-kiang-pang semakin tak berdaya karena tingkat kepandaian orang-orang Hoat-kauw itu rata-rata lebih tinggi dari tingkat kepandaian mereka. Andaikan mereka akan melawan pun tidak ada gunanya karena mereka pasti akan kalah. Dan lima puluh orang Hoat-kauw itu bersikap sebagai pimpinan yang memperlakukan orang-orang Nam-kiang-pang sebagai pelayan.
Hari itu suasana di Nam-kiang-pang sunyi sekali, padahal semua anggota dikumpulkan di lapangan. Sejak kemarin Seng Gun bersama para tokoh Hoat-kauw pergi meninggalkan perkampungan itu sebab mereka akan pergi ke Bukit Harimau untuk menghadiri perayaan pesta yang diadakan oleh Hoat-kauw. Kini penjagaan dan kekuasaan di Nam-kiang-pang oleh Seng Gun diserahkan kepada lima puluh orang anak buah Hoat-kauw dan seorang tokoh Hoat-kauw bernama Kauw Lo diangkat sebagai pimpinan.
Kauw Lo adalah murid dari Ang-sin-liong Yu Kiat, berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan galaknya bukan main. Mukanya hitam karena penyakit kulit, maka dia nampak semakin menyeramkan. Akan tetapi dia memang lihai, sebagai murid utama Ang-sin-liong dia pandai mempergunakan sebatang golok besar.
Pagi itu dia mengumpulkan seratus orang anggota Nam-kiang-pang dan lima puluh orang anggota Hoat-kauw di lapangan, ada pun dia sendiri berdiri di atas panggung tinggi yang dibuat khusus untuk keperluan memberi perintah dan komando kepada para anak buah.
"Orang-orang Nam-kiang-pang, dengar baik-baik perintahku ini! Kalian semua pasti sudah tahu bahwa penjahat besar Ciu Kang Hin masih berkeliaran dan belum mampus. Selama dia masih berkeliaran maka kita tidak akan aman. Pengkhianat itu harus dicari dan dapat ditangkap, mati atau hidup. Oleh karena itu hari ini kita akan mencari dengan berpencar dalam kelompok-kelompok kecil. Kalian berpencar dalam sepuluh kelompok yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang dan ditemani oleh lima orang Hoat-kauw, lantas sepuluh kelompok dari lima belas orang itu mencari ke semua penjuru. Mengertikah?"
Seperti sekawanan burung orang-orang itu menjawab. "Kalau nanti di antara kalian ada yang melihat penjahat Ciu Kang Hin harus berseru dan memanggil kawan-kawan."
Pada saat itu pula nampak tiga sosok bayangan berloncatan naik ke atas panggung, lalu terdengar suara nyaring hingga dapat terdengar oleh semua orang yang berada di bawah panggung.
"Ciu Kang Hin berada di sini!"
Semua orang yang berada di bawah panggung terkejut. Orang yang tadi menjadi bahan pembicaraan itu kini sudah berada di situ, di atas panggung. Kekagetan membuat mereka hanya melongo saja, tidak tahu harus berbuat apa.
Juga Kauw Lo amat terkejut dan dia pun melihat dengan mata terbelalak. Tiga orang yang muncul di hadapannya itu sama sekali tidak menakutkan, apa lagi Mei Li yang cantik jelita dan Han Lin yang tersenyum-senyum. Akan tetapi Kang Hin kelihatan sangat marah dan menyeramkan, matanya seperti mengeluarkan bara api.
"Ciu-twako, serahkan muka hitam ini kepadaku!" kata Mei Li sambil tersenyum mengejek.
Kang Hin setuju. Orang muka hitam itu tidak penting. Yang penting adalah seratus orang bekas anak buahnya yang berada di bawah, yang harus disadarkan.
"Saudara-saudara anggota Nam-kiang-pang! Perkumpulan kita telah dikuasai orang-orang Hoat-kauw! Tong Seng Gun adalah seorang penyelundup, dia adalah musuh besar Nam-kiang-pang. Hayo kita serang orang-orang Hoat-kauw, jangan takut, ada aku di sini!"
Mendengar ucapan itu, orang-orang Nam-kiang-pang bangkit semangatnya. Sejak semula mereka memang tak percaya kalau Kang Hin jahat. Dan melihat sikap orang-orang Nam-kiang-pang, orang-orang Hoat-kauw menghardik.
"Apakah kalian berani melawan kami?!"
Kang Hin meloncat turun dari atas sambil berseru. "Serbuuuu…!"
Maka bergeraklah seratus orang Nam-kiang‑pang itu, menggerakkan senjatanya masing-masing menyerang anggota Hoat-kauw sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Kang Hin mengamuk dan bagaikan orang membabat rumput saja dia merobohkan orang-orang Hoat-kauw.
Kauw Lo marah sekali. Ketika dia hendak meloncat turun, dia sudah dihadang oleh Mei Li. Melihat seorang gadis cantik berani menghadangnya, Kauw Lo memandang rendah lantas membentak, "Engkau anak perempuan kecil, apakah sudah bosan hidup?!"
Mei Li sudah berusia hampir sembilan belas tahun, sudah merasa dewasa sepenuhnya. Kini dimaki anak perempuan, tentu saja menganggap makian itu sebagai penghinaan dan mukanya menjadi merah. Namun karena dia memang berwatak lincah jenaka, maka dia tidak memperlihatkan kemarahannya melainkan menjawab dengan nada suara mengejek.
"Ehh, munyuk monyet muka hitam, engkaulah yang sudah bosan hidup dan nonamu yang akan menghabisi riwayatmu yang hitam!"
Dalam keadaan biasa tentu Kauw Lo akan mencoba untuk menguasai dan mendapatkan gadis itu karena dia pun terhitung orang yang mata keranjang. Namun keadaan sekarang sangat gawat dengan munculnya Kang Hin yang sudah dia dengar kelihaiannya, maka dia ingin menghalau penghalang itu walau pun merupakan seorang gadis yang sangat cantik jelita.
"Mampuslah!" bentaknya, kemudian golok besarnya mengeluarkan sinar berkilauan ketika menyambar ke arah leher Mei Li.
Tapi mudah saja bagi Mei Li untuk menghindarkan diri dengan menundukkan kepala, dan sinar pedang di tangan kirinya sudah mencuat ke arah perut penyerangnya yang menjadi kaget setengah mati. Dengan gugup Kauw Lo melompat ke belakang, akan tetapi pedang kanan Mei Li sudah menyambar. Maka terpaksa dia menggerakkan goloknya menangkis, dan murid utama Ang-sing-liong ini segera dihujani sambaran pedang sehingga tidak bisa membalas sama sekali.
Melihat bahwa lawan Mei Li ternyata tidak berbahaya, justru anak buah Nam-kiang-pang yang harus melawan secara mati-matian terhadap serangan orang-orang Hoat-kauw yang rata-rata lebih tangguh itu, Han Lin segera melayang turun untuk membantu mereka. Dia bergerak cepat merobohkan banyak anggota Hoat-kauw untuk mencegah mereka melukai dan membunuhi anak buah Nam-kiang-pang.
Ia pun melihat betapa Kang Hin mengamuk, akan tetapi pemuda itu sama sekali tak mau membunuh orang, hanya merobohkan orang-orang Hoat-kauw saja sehingga dia merasa makin suka kepada Kang Hin yang dianggapnya berjiwa pendekar dan bukan pembunuh kejam.
Pertandingan antara Mei Li dan Kauw Lo tak berlangsung lama. Tingkat kepandaian dara perkasa itu sudah setara dengan tingkat kepandaian guru Kauw Lo, yaitu Ang-sing-liong Yu Kiat orang pertama dari Bu-tek Ngo-sin-liong, maka tentu saja Kauw Lo merasa repot berat sekali menandingi dara itu. Apa lagi karena Mei Li tak mau memberi hati sedikit pun juga dan terus menerus mendesak dengan sepasang pedang terbangnya. Belum sampai dua puluh jurus, pedang di tangan kiri Mei Li yang meluncur dengan cepat seperti kilat itu sudah menyambar leher Kouw Lo yang langsung roboh bermandikan darah dari lehernya yang seperti digorok!
Mei Li tidak mempedulikan lagi tubuh yang berkelojotan sekarat itu. Dia pun melayang ke bawah panggung lantas ikut mengamuk. Para anggota Hoat-kauw sudah kacau balau dan tercerai-berai menghadapi amukan Kang Hin dan Han Lin, sekarang ditambah lagi dengan sepasang pedang terbang yang menyambar-nyambar, maka nyali mereka menjadi kecil sehingga mereka yang belum roboh segera menggerakkan kaki untuk melarikan diri.
Hanya ada belasan orang saja yang dapat meloloskan diri, selebihnya roboh terluka atau tewas. Dan sebelum ada yang sempat mencegah mereka, para anggota Nam-kiang-pang telah menghantami mereka yang luka sehingga tewaslah semua orang Hoat-kauw itu.
"Di mana suhu?" tanya Kang Hin kepada seorang anggota tua.
"Pangcu ditahan di bawah tanah...”
Mendengar keterangan ini Kang Hin segera lari diikuti oleh Han Lin dan Mei Li. Dua orang Hoat-kauw yang bertugas jaga dan masih berada di pintu lorong bawah tanah menyambut dengan serangan golok mereka, akan tetapi sekali menggerakkan kaki tangannya Kang Hin membuat mereka terjungkal dan tidak mampu bangun kembali. Kang Hin berlari terus sampai tiba di kamar tahanan.
"Suhu…!" Dia berseru sambil mematahkan rantai pintu, lantas berlari menubruk suhu-nya yang duduk bersandarkan dinding kamar tahanan.
Tio Hui Po terlihat lemah sekali. Ketika melihat Kang Hin, dia pun menangis tersedu-sedu, menggunakan tangannya untuk menggosok kedua matanya seperti anak kecil menangis.
"Kang Hin... ahh, Kang Hin… hu-hu-huuuhh..." Dia mengguguk.
"Suhu, apakah yang terjadi? Ahh, suhu, apa yang sudah dilakukan iblis itu terhadapmu?" Kang Hin bertanya, memandang ke arah tangan kanan gurunya yang buntung. Dia lantas teringat akan Tio Ki Bhok, keponakan gurunya yang sangat disayangi oleh gurunya. "Dan di mana sute Tio Ki Bhok, suhu?"
Dengan masih menangis Tio Hui Po menengok ke kiri, di mana dahulu mayat puteranya telah disingkirkan oleh anak buah Hoat-kauw. Mendengar pertanyaan itu ia pun menangis semakin sedih.
"Kang Hin... aiihhh…, maafkan aku, maafkan gurumu yang tolol ini... ahh, semua salahku sendiri, Kang Hin. Iblis itu telah menipuku, dia telah menyiksa Ki Bhok sehingga terpaksa aku membunuhnya untuk menghentikan penderitaannya. Ya Tuhan , aku telah membunuh dia... membunuh... puteraku sendiri..."
"Suhu...!" Kang Hin terkejut dan khawatir, mengira suhu-nya sudah berubah ingatan.
"Tak perlu lagi aku menyembunyikan aib itu. Tio Ki Bhok puteraku, ibunya adalah Siang-cu Sian-li ketua Ang-Lian-Pang yang juga sudah tewas oleh Seng Gun iblis busuk itu. Ahh, aku benar-benar bodoh tertipu oleh iblis yang ternyata orang yang bersekutu dengan Hoat-kauw untuk menguasai Nam-kiang-pang. Dan aku telah mengajarkan Thian-te Sin to kepadanya, juga aku telah mencurigai engkau! Dia menyiksa Ki Bhok, menjebakku ke sini lalu membuntungi tanganku.... ahh, Kang Hin, aku layak begini, salahku sendiri..." Orang tua itu nampak sedih sekali hingga keadaannya menjadi semakin lemah.
"Suhu, tidak ada yang menyalahkan suhu. Biar teecu mengobati suhu, kemudian teecu yang akan menghajar murid murtad itu!"
"Tak ada gunanya lagi, Kang Hin. Aku memang sengaja menahan kematian hanya untuk menantimu. Sekarang aku mohon padamu, aku mohon... bangunlah kembali Nam-kiang-pang... dan bersihkan namanya…" Tio Hui Po terkulai dan cepat Kang Hin memondong gurunya keluar dari tempat itu.
Setibanya di luar, puluhan orang anak buah menyambut dengan terharu. Tio Hui Po minta diturunkan, lalu dia bangkit berdiri dengan susah payah, dipapah oleh Kang Hin dan diikuti oleh Mei Lin dan Han Lin. Dia lalu mengerahkan tenaganya, bicara dengan suara lantang.
"Semua anggota Nam-kiang-pang, dengar baik-baik! Aku Tio Hui Po, ketua dan pemimpin kalian, sekarang menyatakan bahwa aku mengangkat Ciu Kang Hin menjadi ketua Nam-kiang-pang yang baru!"
Hampir seratus orang itu menyambut dengan sorakan setuju.
"Dan kedudukan Tong Seng Gun sebagai ketua telah kubatalkan!"
"Bunuh si jahat Tong Seng Gun!" anak buah itu berteriak-teriak.
Tetapi mereka segera berhenti bersorak ketika melihat betapa tiba-tiba Tio Hui Po roboh terkulai dan dipapah oleh Kang Hin, lantas melihat betapa pemuda itu menangis sambil memangil-manggil gurunya. Ternyata Tio Hui Po telah mengerahkan tenaga terakhir untuk berbicara tadi.
Hanya sebentar saja Kang Hin menangis karena terdengar suara Mei Li, "Ciu-twako, tidak ada gunanya lagi kematian Tio-pangcu kau tangisi."
Ucapan itu berpengaruh besar sekali kepada Kang Hin, maka dia pun bangkit berdiri lalu mengusap air matanya. "Aku memang lemah dan tak sepatutnya menangis seperti orang cengeng. Akan tetapi, nona. Suhu satu-satunya manusia di dunia ini yang berbuat segala kebaikan kepadaku, menjadi pengganti orang tuaku."
Untuk menghibur hati Kang Hin, Han Lin dan Mei Li tinggal di Nam-kiang-pang sampai jenazah ketua Tio dimakamkan. Kang Hin sendiri lalu membenahi perkumpulan itu, mulai menggembleng anak-anak buahnya, meningkatkan kepandaian mereka agar Nam-kiang-pang menjadi perkumpulan yang kuat sehingga tak mudah dipengaruhi atau dikuasai oleh orang jahat.
Sudah dua minggu Mei Li tinggal di Nam-kiang-pang. Besok pagi Han Lin akan mengajak dia pergi ke Bukit Harimau untuk melihat pesta yang diadakan oleh Hoat-kauw. Selama dua minggu ini dia bergaul akrab sekali dengan Kang Hin yang kini dia yakin memang seorang pria yang hebat, sopan dan gagah perkasa. Hatinya tertarik dan dia pun merasa bimbang.
Sore itu dia duduk di taman belakang rumah induk perkumpulan itu. Dia mengenang dua orang pria, yaitu Sie Kwan Lee yang kini sudah menjadi ketua Beng-kauw menggantikan ayahnya, dan Ciu Kang Hin yang menjadi ketua Nam-kiang-pang menggantikan gurunya. Hatinya tertarik oleh dua orang pemuda itu. Keduanya sama-sama mengagumkan hatinya dan mendatangkan kesan mendalam.
Biar pun putera seorang tokoh Beng-kauw yang aneh, bahkan tidak mengenal aturan dan pandangan hidupnya berbeda dengan manusia pada umumnya, namun Kwan Lee sudah membuktikan bahwa dia adalah seorang pria berjiwa pendekar yang gagah perkasa. Kulit mukanya yang coklat itu tampan dan jantan, juga memiliki kejujuran walau pun bicaranya lembut, tidak seperti mendiang ayahnya yang kasar namun juga jujur dan terbuka sekali.
Dan Ciu Kang Hin? Pemuda tampan gagah ini pun mengagumkan hatinya. Penyabar dan pendiam, tenang seperti air telaga.
Sikap kedua pemuda itu kepadanya benar-benar mendebarkan hatinya. Nalurinya sebagai wanita membisikkan kepadanya bahwa dua pemuda yang menarik hatinya itu jelas jatuh hati kepadanya!
Tiba-tiba saja dia mengerutkan alisnya ketika sebuah wajah menyelinap di antara kedua wajah pemuda itu. Wajah Sia Han Lin, kakak misannya! Dia tersenyum, dan kedua wajah pemuda itu menghilang.
Dia merasa bahagia sekali bertemu dengan Sia Han Lin, kakak misannya itu dan dia juga kagum bukan main karena tahu bahwa kakak misannya itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi dia kakak misannya! Dia adalah keluarga sendiri. Entah kenapa, begitu teringat kepada Han Lin, gadis ini merasa gembira sekali. Kakaknya itu memang periang, jenaka dan lincah, sungguh menggembirakan.
"Nona Yang…!"
Mei Li terkejut. Karena melamun dan pikirannya melayang-layang, dia sampai tidak tahu bahwa ada orang yang menghampirinya dari belakang. la memutar tubuhnya dan ternyata Kang Hin sudah berdiri di depannya.
"Ahh, Ciu-pangcu... silakan duduk," katanya sambil tersenyum gembira.
Wajah Kang Hin menjadi kernerahan. "Nona, harap jangan sebut aku pangcu. Bukankah engkau biasa menyebut aku twako?"
"Ehh, baiklah, Ciu-twako. Kini engkau memang pangcu dari Nam-kiang-pang, maka apa salahnya aku menyebutmu pangcu? Nah, apakah engkau mencari aku?"
Kang Hin duduk di atas bangku berhadapan dengan gadis itu. Beberapa kali dia menghela napas panjang dan agaknya sulit sekali untuk mengeluarkan isi hatinya melalui kata-kata.
"Ehh, twako. Engkau hendak bicara apa? Kenapa dari tadi hanya menarik napas panjang saja?"
"Aku teringat suhu," kata Kang Hin. "Mendiang suhu menderita karena peraturan di Nam-kiang-pang yang dia buat sendiri."
"Aturan apakah itu, twako?"
"Aturan bahwa seorang ketua Nam-kiang-pang tidak boleh menikah. Peraturan itu sudah menjegalnya sendiri ketika dia jatuh cinta dan berhubungan dengan ketua Ang-lian-pang. Rahasia itulah yang kemudian telah menjatuhkannya, karena Seng Gun mengaku sebagai keponakan ketua Ang-lian-pang sehingga dia mendapatkan kepercayaan suhu. Kalau saja peraturan itu tidak ada sehingga suhu dapat menikah dengan ketua Ang-lian-pan itu, tentu nasib suhu tidak akan begini."
Mei Li menarik napas panjang, lalu memandang kepada Kang Hin, "Ciu-twako, bagaimana dengan pendapatmu sendiri tentang peraturan itu? Apakah engkau setuju?"
Pemuda itu langsung menggelengkan kepala dan menjawab, "Tentu saja aku tidak setuju sama sekali!"
"Kenapa, twako? Apakah karena engkau ingin menikah?"
Wajah Kang Hin berubah merah. Baru dia teringat bahwa dialah ketua Nam-kiang-pang dan hanya dia seoranglah yang terkena peraturan itu. "Aku seorang manusia biasa, nona. Tadinya sedikit pun juga tak terpikirkan olehku tentang perjodohan, akan tetapi setelah..." Dan dia pun berhenti bicara. Matanya tajam menatap wajah Mei Li.
"Kenapa, twako? Mengapa tidak kau lanjutkan? Akan tetapi setelah apa?" tanya Mei Li, pura-pura tidak tahu padahal dari pandang mata pemuda itu dia telah dapat menduga isi hatinya. Kini dia merasa jantungnya berdebar. Beginikah pemuda ini mengakui isi hatinya?
"Setelah..,. setelah aku bertemu denganmu, nona Yang."
Mau tidak mau Mei Li menjadi tersipu. Akan tetapi gadis yang lincah dan tabah ini terus mendesak. “Ehh? Setelah bertemu denganku pikiranmu lalu berubah, twako? Kenapa?"
"Karena... karena... demi Tuhan kalau engkau ingin tahu, nona. Karena aku cinta padamu dan mengharapkan engkau menjadi isteriku!"
Meski pun dia sudah menduga akan isi hati pemuda itu, akan tetapi Mei Li terkejut juga mendengar pernyataan yang demikian jujur,.
"Ahh! Maafkan aku, nona. Tidak sepatutnya aku mengatakan demikian karena tentu saja aku tidak pantas untuk menjadi jodohmu."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan dan jangan terlampau merendahkan diri, Ciu-twako. Aku hanya terkejut karena tak mengira engkau akan menyatakan perasaan hatimu itu. Tetapi terus terang saja, kita belum lama berkenalan, dan aku... sedikit pun aku belum berpikir tentang perjodohan. Karena itu tak mungkin aku bisa memberi tanggapan atau jawaban."
"Akan tetapi, engkau tidak menolak dan tidak marah, nona?"
Mei Li tersenyum dan Kang Hin merasa hatinya hanvut dalam senyuman yang luar biasa manisnya itu. "Aku tidak marah dan bagaimana mungkin aku menolak cinta kasih orang? Hanya aku tidak bisa menjawabnya sekarang, maka kuharap engkau tidak menyinggung-nyinggung tentang hal itu lagi, twako."
Kang Hin merasa girang sekali. Gadis itu memang belum menerima cintanya, namun dia tidak marah dan tidak menolak. Hal ini berarti memberi harapan kepadanya!
"Terima kasih, nona. Engkau tidak marah, hal itu sudah menyenangkan sekali. Sekarang perkenankan aku mengundurkan diri agar tidak mengganggumu lagi."
Dia mengangkat kedua tangannya memberi hormat, lalu pergi dari taman itu. Akan tetapi kegirangannya mendadak saja berubah menjadi kegelisahan ketika dia teringat lagi akan peraturan gurunya bahwa seorang ketua tidak boleh menikah itu. Bagaimana mungkin dia dapat melanggar peraturan dari gurunya yang amat dipatuhi dan dihormatinya?
Kang Hin masih duduk termenung di ruang depan ketika Han Lin memasuki ruangan itu. Tadi, secara tak disengaja Han Lin melihat Mei Li dan Kang Hin bercakap-cakap di taman. Hatinya tergetar melihat kedua orang muda itu bicara dengan begitu akrabnya. Dia tidak mencuri dengar, maka segera meninggalkan tempat itu dan mencatat dalam hati bahwa mungkin sekali adik misannya itu sudah saling jatuh cinta dengan Ciu Kang Hin. Seorang pemuda yang baik sekali, demikian pikirnya, tanpa mempedulikan perasaan hatinya yang merasakan suatu kegetiran aneh.
Maka ketika dia lewat di ruangan depan dan melihat Kang Hin termenung dengan wajah murung, diam-diam dia merasa khawatir. Apakah Mei Li telah menolak cintanya? Rasanya tidak, karena mereka tadi bercakap-cakap dengan akrab.
Kang Hin mengangkat muka dan segera dia bangkit berdiri ketika mengenal siapa yang datang. "Ahh, Sia-inkong (tuan penolong Sia), silakan duduk."
Mendengar sebutan inkong itu, Han Lin lantas tersenyum. "Ahh, Ciu-twako, harap jangan menyebut aku inkong. Kita sama-sama mengetahui bahwa membantu orang yang benar dan sedang terancam mala petaka adalah merupakan kewajiban kita. Engkau sendiri pun tentu akan berbuat seperti aku. Karena itu wajar saja sehingga tak perlu terlalu dilebihkan. Engkau lebih tua setahun dariku, maka sebut saja aku adik."
Mendengar kata-kata itu, wajah Kang Hin menjadi berseri. "Sia-siauwte (adik Sia), engkau benar-benar seorang budiman sejati. Baiklah, aku merasa bangga sekali dapat menyebut siauwte kepadamu. Silakan duduk."
Kini mereka duduk berhadapan dan Han Lin langsung saja bertanya, "Twako, aku melihat engkau termenung dan muram, ada urusan apakah gerangan yang mengganggu hatimu, kalau aku boleh mengetahuinya?"
"Aku teringat kepada suhu."
"Ahh, tidak baik mengingat yang sudah mati dengan kesedihan. Tidak akan memberi jalan terang kepada yang mati, twako.”
"Aku tidak teringat akan kematian suhu, melainkan akan peraturan yang ditinggalkannya."
"Peraturan apa yang kau pikirkan itu, twako? Bukankah wajar saja apa bila mendiang Tio-pangcu meninggalkan peraturan-peraturan sebagai layaknya diterapkan pada perkumpulan yang gagah perkasa?"
"Engkau tahu, siauwte. Suhu menderita kesengsaraan adalah akibat dia telah melanggar peraturan, yaitu peraturan tidak boleh menikah. Karena adanya peraturan itu maka suhu melakukan hubungan gelap dengan ketua Ang-lian-pang dan hal ini lantas dijadikan modal oleh Seng Gun untuk menyusup ke Nam-kiang-pang."
"Tetapi, twako. Peraturan itu tidak ada hubungannya dengan dirimu, kenapa disusahkan? Atau... apakah barangkali Ciu-twako juga mempunyai niat akan menikah?"
"Aku hanya seorang laki-laki biasa, siauwte, yang dapat saja jatuh cinta kepada seorang wanita dan menikah. Akan tetapi, dengan adanya peraturan itu, aku merasa dibelenggu."
Han Lin merasa isi dadanya seperti ditusuk. Kini tahulah dia bahwa Kang Hin dan Mei Li sudah saling mencinta, namun hal ini malah menyusahkan hati Kang Hin karena mereka tidak bisa menikah oleh adanya peraturan itu. Akan tetapi dia tersenyum cerah dan tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Bahkan dia merasa iba kepada Kang Hin.
"Apa susahnya, twako? Siapa yang membuat peraturan itu? Tentu ketua Nam-kiang-pang yang dahulu, bukan? Nah, kini ketuanya adalah engkau, maka engkau berhak mengubah dan membuat peraturan baru. Engkau dapat membatalkan larangan itu dan membolehkan ketua Nam kiang-pang berumah tangga dan berkeluarga."
"Tapi... tapi... apakah hal itu bukan suatu pelanggaran dan memalukan sekali?"
"Ehh, kenapa melanggar? Kalau peraturan itu mengenai sepak terjang yang menghalangi kegagahan seorang anggota Nam-kiang-pang, tentu akan buruk sekali, misalnya engkau membolehkan seorang anggota untuk melakukan kejahatan. Akan tetapi pernikahan bagi seorang ketua perkumpulan adalah wajar, apa lagi perkumpulanmu bukan perkumpulan para pendeta. Kalau engkau kumpulkan semua anggota kemudian mengambil keputusan, mengumumkan dicabutnya peraturan itu, maka tentu saja sudah sah dan tak seorang pun dari luar perkumpulan boleh mencampuri."
Wajah Kang Hin kini berseri. "Ah, begitukah, siauwte? Sungguh ucapanmu ini melegakan hatiku. Terimakasih banyak, Sia-siauwte.
Han Lin tersenyum. "Kudoakan saja engkau akan berhasil menyunting bunga idamanmu itu, twako. Aku hanya mengharapkan kartu undangannya saja."
Wajah Kang Hin berubah merah. "Aih, siauwte, biar pun aku berterima kasih atas doamu itu, namun aku belum mendapat kepastian tentang hal itu."
Jawaban ini membuat Han Lin mengerti bahwa di antara adik misannya dan pemuda ini belum terdapat pertalian cinta kasih. Dan sungguh aneh, timbul semacam kelegaan yang menyusupi hatinya. Diam-diam Han Lin terkejut sekali melihat kenyataan dalam dirinya ini. Berarti dia mencinta piauwmoi-nya itu. Mencinta Mei Li yang adik misannya sendiri?
Pada keesokan harinya Han Lin dan Mei Li berpamit dari Kang Hin, dan ketika berpamitan ini secara diam-diam Han Lin memperhatikan sikap Mei Li. Biasa-biasa saja, tidak tampak kesedihan sepasang kekasih yang akan berpisah. Namun jelas bahwa Kang Hin nampak lesu seperti kehilangan semangat sehingga dia merasa kasihan juga kepada pemuda itu. Cinta sepihak? Entahlah, akan tetapi mudah-mudahan saja begitu. Dan dia terkejut sendiri dengan harapan hatinya ini.
Karena waktu diadakannya pesta oleh Hoat-kauw tinggal satu minggu lagi, maka Han Lin dan Mei Li tidak menolak ketika Kang Hin memberikan dua ekor kuda yang baik kepada mereka. Mereka melakukan perjalanan berkuda dengan secepatnya menuju ke arah Bukit Harimau.
Sesudah Han Lin dan Mei Li pergi, Kang Hin segera mengumpulkan anak buahnya. "Kita harus pergi ke sana, ke Bukit Harimau. Kita harus membuat pembalasan dan membantu mereka yang menentang Hoat-kauw. Hoat-kauw sudah bersekutu dengan orang Mongol untuk mengacaukan keadaan. Dan aku akan melapor ke benteng pasukan pemerintah."
Demikianlah, kalau tadinya Kang Hin tidak menyatakan niatnya itu kepada Mei Li dan Han Lin adalah karena dia tidak ingin gerakan besar-besaran itu diketahui orang lain sehingga kedua orang itu mungkin akan mencegahnya. Sesudah memberi tahu anak buahnya, dia sendiri pergi ke benteng pasukan Kerajaan Tang yang berada sekitar lima puluh li jauhnya dari Nam-kiang-pang.
Nam-kiang-pang sudah dikenal baik oleh komandan pasukan di sana. Bahkan Tio-pangcu pernah berjasa dengan ikut pasukan membasmi gerombolan pemberontak sekitar sepuluh tahun yang lalu. Pasukan mengenal Nam-kiang-pang sebagai perkumpulan orang gagah. Oleh karena itu ketika terdengar berita ada keributan di Nam-kiang-pang, para komandan merasa segan untuk mencampurinya.
Kini seorang gagah yang mengaku sebagai ketua Nam-kiang-pang datang mohon untuk menghadap komandan, tentu saja dia segera diterima dengan baik dan oleh penjaga dia dikawal menuju ke ruangan tamu. Komandan pasukan itu, yaitu Bu-ciang-kun yang nama lengkapnya Bu Kim Thouw, setelah diberi laporan, segera pula menyambutnya.
Setelah memberi hormat dan dibalas oleh komandan Bu, Kang Hin lalu memperkenalkan diri sebagai ketua Nam-kiang-pang yang berkunjung untuk melaporkan urusan yang amat penting.
"Nanti dulu, Ciu-pangcu. Yang kami ketahui, Nam-kiang-pang diketuai oleh Tio-pangcu.”
"Benar sekali, ciangkun. Akan tetapi Tio-pangcu sudah meninggal dunia dan saya adalah muridnya yang diangkat untuk menggantikan kedudukannya."
"Ahhh! Kapan dan bagaimana meninggalnya? Kenapa kami tidak diberi tahu?"
"Belum lama terjadinya, ciangkun. Tetapi karena hal ini menyangkut urusan dalam, maka tidak kami umumkan keluar. Suhu tewas di tangan persekutuan jahat, dan persekutuan itu bertujuan hendak menggulingkan pemerintah. Karena itu saya sengaja datang menemui ciangkun untuk membuat laporan.”
Mendengar ada persekutuan yang ingin menjatuhkan pemerintah, tentu saja Bu-ciangkun segera merasa tertarik kemudian mendengarkan dengan penuh perhatian. Kang Hin tidak menyembunyikan sesuatu. Dimulai dengan menyelundupnya Tong Seng Gun ke dalam Nam-kiang-pang, kemudian betapa Seng Gun serta rekan-rekannya berusaha mengadu domba antara partai-partai aliran dan perkumpulan untuk melemahkan dunia persilatan, kemudian betapa Seng Gun yang ternyata adalah antek Mongol itu bekerja sama dengan Hoat-kauw.
Mendergar laporan itu, Bu-siang-kun mengerutkan alisnya. Hal itu merupakan berita yang penting dan gawat. "Sudah yakin benarkah engkau bahwa Hoat kauw bersekutu dengan orang Mongol, Ciu-pangcu?"
"Sudah ada buktinya, ciangkun. Bahkan saya telah melakukan penyelidikan di antara para anggota kami yang tadinya dipaksa untuk menjadi anak buah Tong Seng Gun, bahwa dia sebenarnya adalah murid dari Sam Mo-ong yang menjadi antek orang Mongol. Kabarnya Sam Mo-ong ini adalah kaki tangan Ku Ma Khan, kepala suku Mongol yang berpengaruh itu."
"Ahh, kalau begitu kita harus bergerak! Di mana sarang mereka, pangcu?"
"Mereka selalu berpindah-pindah. Orang-orang Mongol itu memang sangat cerdik. Tetapi beberapa hari lagi Hoat-kauw akan mengadakan pesta ulang tahun dengan mengundang para tokoh kangouw. Tentu untuk dipengaruhi atau dipaksa mendukung gerakan mereka dan saya kira tokoh-tokoh Mongol itu akan hadir pula. Saya sendiri akan membawa anak-anak buah saya untuk menyerbu ke sana. Kalau ciangkun percaya kepada saya dan suka bekerja sama, saya mohon bantuan pasukan..."
"Tentu saja, pangcu. Bahkan aku sendiri yang akan memimpin lima ratus orang pasukan!"
Tentu saja Kang Hin merasa girang dan berterima kasih sekali. Mereka berangkat hari itu juga, seratus orang anak buah Nam-kiang-pang bersama lima ratus orang pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-ciangkun…..
********************
Bukit Harimau mendapat kunjungan banyak orang sehingga suasananya amat ramai dan meriah. Puncak bukit itu memang merupakan lapangan yang luas sekali dan di sana telah dibangun pondok-pondok darurat yang mengelilingi sebuah panggung yang luas, juga di situ sudah disediakan tempat duduk yang banyak sekali.
Dalam peristiwa yang sangat penting bagi Hoat-kauw ini, karena bukan saja merupakan pesta ulang tahun tetapi juga merupakan penentuan keberhasilan usaha mereka bekerja sama dengan pihak Mongol, yaitu meharik semua golongan untuk membantu Mongol dan tunduk kepada Hoat-kauw sebagai pimpinan, maka di samping Bu-tek Ngo-sin-liong yang menjadi tokoh-tokoh Hoat-kauw juga hadir pula ketua Hoat-kauw, yaitu Hoat Lan Siansu, paman guru dari Bu-tek Ngo-sin-liong yang sudah berusia tujuh puluh tahun.
Kakek ini adalah datuk besar dunia persilatan yang tingkat kepandaiannya sejajar dengan ketua-ketua perkumpulan besar seperti ketua Beng-kauw, ketua Im-yang-kauw dan lain-lain. Tentu saja wakil dari orang Mongol, yaitu Sam Mo-ong hadir pula di sana bersama Tong Seng Gun yang sudah dianggap berjasa besar menundukkan Nam kiang-pang dan menanam permusuhan di antara para tokoh dan perkumpulan dunia persilatan, bersama orang-orang Hoat-kauw. Sedangkan Sam Mo-ong sendiri dengan pasukan khusus Mongol telah menundukkan banyak suku bangsa di utara yang dipaksa untuk membantu gerakan Mongol kalau saatnya sudah tiba.
Bukan hanya para tokoh besar yang lihai itu saja yang berada di sana, namun diam-diam mereka pun sudah mengerahkan anak buah mereka. Hoat-kauw sendiri menaruh orang sebanyak dua ratus lebih di situ, demikian pula pasukan khusus Mongol yang terdiri dari seratus orang memasang barisan pendam atau barisan yang tersembunyi, siap menjaga keselamatan para pimpinan mereka!
Meski pun pesta baru akan diadakan besok, akan tetapi hari itu sudah banyak orang yang datang. Dan di antara mereka terdapat seorang gadis cantik jelita yang tentu saja menarik perhatian banyak orang.
Dara berusia delapan belas tahun lebih itu memang cantik jelita hingga menarik perhatian. Nampak begitu lembut dan lemah gemulai. Langkahnya saja seperti seorang penari ketika dia meloncat turun dari atas sela kudanya, lalu menundukkan mukanya sambil menuntun kuda.
Apa lagi dia tidak memegang sepotong pun senjata tajam sehingga hanya tampak seperti seorang puteri hartawan atau bangsawan terpelajar yang lemah. Akan tetapi kalau orang mengetahui siapa dia, tentu orang itu akan tertegun dan kaget. Dara ini bukan lain adalah Ji Kiang Bwe, yang biar pun usianya baru delapan belas tahun tetapi telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dan tinggi dari Pek-mau Sinkouw, seorang datuk yang mengasingkan diri. Dan dia adalah ketua dari Kim-kok-pang, tetapi tidak ada orang yang mengenalnya karena baru beberapa pekan saja dia menjadi ketua menggantikan ayahnya yang terbunuh dalam pertandingannya melawan orang Hoat-kauw.....
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ji Kiang Bwe bertemu dan berkenalan dengan Souw Kian Bu yang menjadi tamunya. Kemudian Ji Kiang Bwe menerima surat undangan dari Hoat-kauw untuk.datang ke pesta ulang tahun di Bukit Harimau. Dia menolak ketika Kian Bu hendak menemaninya, dan pemuda itu lalu meninggalkan Kim-kok-pang. Hari ini Kiang Bwe tiba dari perjalanannya berkuda menuju bukit itu.
Para tokoh Hoat-kauw telah mengatur sedemikian rupa sehingga kedatangan setiap orang sudah diketahuinya dari kaki bukit mula. Maka kedatangan gadis ini pun sudah diketahui.
Semua orang merasa heran karena tidak ada yang mengenalnya. Ketika Bi-sin-liong Kwa Lian, si cantik dari Bu-tek Ngo-sin-liong mengirim surat undangan, ia hanya menyerahkan kepada seorang anggota Kim-kok-pang supaya disampaikan kepada pimpinannya, tidak tahu bahwa kini yang menjadi ketua Kim-kok-pang adalah seorang gadis muda, puteri dari ketua yang telah tewas dalam perkelahiannya melawan Ang-sin-liong Yu Kiat.
Meski pun tidak mengenalnya, akan tetapi karena dara ini cantik jelita dan kedatangannya seorang diri dan penuh rahasia, menunggang seekor kuda yang baik dan pakaiannya pun indah dan rapi seperti yang biasanya dipakai oleh seorang puteri bangsawan, maka Lam-hai Sin-liong Kwa Him, orang ke empat dari Bu-tek Ngo-Sin-liong yang mempunyai watak mata keranjang, segera mewakili Hoat-kauw menyambutnya.
Kiang Bwe melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang bermuka merah dan tubuhnya tinggi besar, di pinggangnya terdapat sepasang golok, maju menghadang dan menyambutnya dengan senyum. Laki-laki itu member! hormat. Kiang Bwe menahan kakinya lalu membalas penghormatan itu sambil memandang penuh perhatian.
"Selamat datang, nona. Kami merasa mendapat kehormatan besar atas kunjungan nona. Nona dari golongan dan partai apakah? Kami perlu mengetahui supaya dapat mengatur tempat penginapan bagi nona.”
"Tidak perlu repot-repot. Aku dapat melewatkan malam di bawah pohon. Namaku Ji Kiang Bwe dan aku adalah ketua baru Kim-kok-pang."
Kwa Him tertegun. Dia tahu bahwa Ji-pangcu, ketua Kim-kok-pang, beberapa bulan yang lalu telah tewas di tangan twa-suheng-nya, dan sumoinya, Kwa Lian, telah mengirim surat undangan kepada pimpinan Kim-kok-pang. Siapa kira ketuanya yang sekarang gadis yang begini cantik! Kim-kok-pang amat penting untuk ditundukkan, karena perkumpulan ini bisa menjadi sumber keuangan yang kuat, maka dia pun segera memberi hormat lagi.
"Ahh, kiranya nona adalah pangcu dari Kim-kok-pang. Mari silakan, nona, tempat istirahat untuk nona sudah dipersiapkan." Dia lalu menuntun kuda itu dari tangan Kiang Bwe yang menyerahkan kendali kudanya, sambil mengajak gadis itu menuju ke sebuah pondok yang kecil mungil. Kwa Him menambatkan kuda itu di depan rumah dan berkata,
"Silakan, nona, dan anggaplah pondok ini sebagai rumahmu sendiri."
"Terima kasih," jawab gadis itu sederhana, tanpa ingin tahu siapa orang yang mewakili Hoat-kauw menyambutnya itu.
Akan tetapi hal ini justru membuatnya waspada, karena sekarang orang Hoat-kauw sudah tahu bahwa dia adalah ketua Kim-kok-pang dan tentu saja mereka dapat menduga bahwa kedatangannya bukan hanya karena menghadiri undangan, melainkan ada hubungannya dengan kematian ayahnya. Dia lalu membuka daun pintu pondok yang tidak terkunci dan ternyata pondok kecil itu bersih dan.cukup menyenangkan. Dia lalu membuka sepatunya dan bersila di atas dipan kayu untuk bersemedhi.
Kiang Bwe tidak menyadari bahwa sejak dari kaki bukit tadi, ada orang yang secara diam-diam membayanginya dari jauh. Ia adalah seorang pemuda tampan bercaping lebar yang membawa pedang di punggungnya, dan dia adalah Souw Kian Bu.
Seperti telah diceritakan terdahulu, ketika Kiang Bwe menolak ditemani ke Bukit Harimau, Kian Bu lantas bertanya kepada gadis itu di mana dan kapan pesta Hoat-kauw diadakan. Berdasarkan keterangan gadis itu, dia pun dapat mencari tempat itu, bahkan mendahului Kiang Bwe sehingga dia dapat membayangi gadis itu. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau Kiang Bwe menjadi tidak senang. Akan tetapi diam-diam dia sudah mengambil keputusan untuk melindungi gadis yang ternyata telah mencuri hatinya itu.
Cinta memang sesuatu rahasia yang ajaib. Dari manakah asalnya dan apa penyebabnya? Cinta jelas tidak sama dengan sex, karena binatang agaknya tak mengenal cinta, kecuali induk kepada anaknya, tapi binatang mengenal sex. Dari manakah datangnya? Memang pertama kali orang jatuh cinta sesudah melihat lawan jenisnya. Akan tetapi ini pun belum benar, karena bukankah orang buta juga dapat jatuh cinta?
Tentu saja pengenalan pertama melalui panca inderanya, dan ini berarti bahwa cinta ada hubungannya dengan jasmani, cinta timbul dari daya tarik alami antara lawan jenis, lalu diperkuat oleh nafsu birahi. Sukar membayangkan kita dapat mencinta kekasih kita yang sekarang kalau andai kata hidungnya mendadak lenyap atau cacat lain yang membuat wajahnya menjadi mengerikan. Itu menandakan bahwa di dalam cinta terkandung nafsu yang tertarik oleh keindahan tubuh.
Sukar pula membayangkan kita bisa mencinta seseorang yang tidak dapat berhubungan badan sebagai suami isteri! Ini pun menandakan bahwa di dalam cinta terkandung nafsu birahi. Semua ini sudah wajar karena memang sudah kita bawa serta ketika lahir.
Tapi di antara banyak wanita cantik, di antara banyak pria tampan, mengapa hanya ada seorang tertentu yang kita cinta? Mengapa kita tidak mencinta semua wanita cantik atau semua lelaki tampan? Di sini menunjukkan bahwa cinta bukan sekedar urusan badaniah, tapi di dalam cinta ada pengaruh batiniah yang mungkin sekali berupa persamaan selera, persamaan watak, perilaku dan sebagainya lagi.
Maka tidaklah mengherankan jika ada pria tampan yang jatuh cinta kepada wanita yang tidak cantik, sebaliknya banyak pula wanita cantik yang jatuh hati kepada pria yang tidak tampan. Begitu banyak lika-liku cinta sehingga tiada bosannya kita membicarakannya.
Betapa pun juga, bukankah hidup ini cinta juga? Entah itu cinta kepada kekasih, kepada sahabat, kepada sanak keluarga, kepada tanaman, benda atau hewan atau lingkungan, bahkan cinta terhadap diri sendiri atau makanan! Cinta menimbulkan gairah untuk hidup, untuk melanjutkan hidup. Kalau orang tidak mempunyai perasaan cinta lagi terhadap apa pun juga, maka sama halnya orang itu sudah mati!
Selain Kang Bwe yang muncul di situ dan Kian Bu yang datang secara gelap, sembunyi-sembunyi berbaur dengan para tamu sehingga tentu saja dia disangka seorang anggota rombongan tamu, muncul pula Han Lin yang datang bersama Mei Li. Kedatangan gadis ini pun menarik perhatian banyak orang, karena biar pun ada pula tokoh-tokoh wanita dunia kangouw yang datang, namun tidak ada yang secantik Mei Li atau Kiang Bwe.
Dua orang kakak beradik misan ini pun disambut oleh seorang di antara Bu-tek Ngo-sin-liong, yaitu Tiat-sin-liong Lai Cin yang tinggi kurus dan bermuka pucat. Ketika ditanya dari mana mereka datang dan dari golongan apa, Han Lin menjawab bahwa mereka adalah kakak beradik yang baru melakukan perantauan dan tidak termasuk golongan mana pun.
"Dalam perjalanan kami mendengar tentang pesta yang diadakan oleh Hoat-kauw, maka kami tertarik kemudian datang. Kalau tidak dilarang, kami ingin menyaksikan keramaian sambil meluaskan pemandangan."
Kalau saja di situ tidak ada Mei Li, mungkin Han Lin akan diusir oleh Tiat-sin-liong Lai Cin. Tapi wajah cantik molek memang besar sekali pengaruhnya. Lai Cin hanya mengangguk lalu mempersilakan mereka menempati sebuah pondok. Mei Li hendak membantah akan tetapi Han Lin memberi isyarat dan setelah berada berdua saja di pondok itu dia berbisik.
"Kalau membantah akan menimbulkan kecurigaan, Li-moi. Biarlah kita tinggal sepondok, engkau tidur di dalam dan aku akan tinggal di luar."
"Mana bisa begitu, koko? Aku tidak mungkin dapat tidur membiarkan engkau kedinginan dan masuk angin di luar pondok. Aku akan tidur di pembaringan sedangkan engkau tidur di bawah dan tilam pembaringan boleh kau pakai. Bagaimana pun juga kita berdua adalah saudara misan, kakak dan adik, bukan?"
Han Lin tersenyum, akan tetapi sungguh aneh, dia merasa betapa hatinya tak enak sekali mendengar ucapan Mei Li itu, yang mengingatkan bahwa mereka adalah kakak beradik!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali muncul dua orang muda yang kembali menjadi pusat perhatian. Bahkan orang-orang Hoat-kauw menjadi terkejut dan heran sekali karena yang muncul itu bukan lain adalah Sie Kwan Lee dan Sie Kwan Eng, kakak beradik dari Beng-kauw! Padahal mereka tidak mengundang Beng-kauw, bahkan merencanakan untuk menghasut agar semua partai memusuhi Beng-kauw.
Sekarang dua orang muda putera ketua Beng-kauw bahkan datang sendiri. Ular mencari penggebuk namanya. Akan tetapi mereka menyambut juga dan mempersilakan dua orang muda itu menduduki deretan bangku yang disediakan untuk para ketua partai dan tokoh besar.
Han Lin dan Mei Li hanya mendapatkan bangku tempat para tamu yang tingkatnya lebih rendah. Sebaiiknya Ji Kiang Bwe mendapat tempat kehormatan karena dia adalah ketua Kim-kok-pang. Di situ duduk pula wakil-wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kong-thong pai, Gobi-pai dan lain-lain. Wakil dari aliran-aliran agama dan kepercayaan juga ikut hadir. Pesta itu sungguh sukses dan mendatangkan banyak tamu karena keadaan pada saat itu membuat para tokoh ingin sekali mendengar apa yang hendak dibicarakan di dalam pesta itu.
Seng Gun juga duduk di kursi kehormatan sebagai ketua Nam-kiang-pang. Di kursi utama duduklah empat orang laki-laki tua yang mengesankan dengan sikap mereka yang angker dan angkuh. Mereka ini bukan lain adalah Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw sendiri yang rambutnya sudah putih semua, jenggotnya panjang putih dan pada punggungnya terdapat sebatang pedang beronce kuning. Pakaiannya longgar berwarna serba kuning mirip jubah pendeta. Di samping kirinya duduk pula tiga orang yang angker. Mereka bukan lain adalah Sam Mo-ong, utusan orang Mongol yang bersekutu dengan Hoat-kauw.
Saat itu kedudukan Hoat-kauw dan sekutunya kuat sekali. Bukan saja di situ hadir ketua Hoat-kauw, lima orang Bu-tek Ngo-sin-liong, ada pula Seng Gun dan masih banyak tokoh Hoat-kauw yang lain, juga Sam Mo-ong yang tidak dikenal banyak orang tapi merupakan kekuatan inti dari persekutuan itu. Selain ini masih ada seratus orang anak buah Mongol dan dua ratus orang anggota Hoat-kauw yang siap menentang siapa saja yang memusuhi Hoat-kauw.
Jumlah tamu yang datang ada kurang lebih seratus orang. Sebelum pertemuan dibuka, nampak Bu-tek Ngo-sin-liong bicara berbisik-bisik dengan Hoat Lan Siansu dan Sam Mo-ong, juga Seng Gun ikut bicara. Agaknya mereka sedang mengatur siasat.
Hal ini tidak luput dari pandangan Han Lin dan Mei Li, juga Kiang Bwe sempat melirik dan tersenyum. Kwan Lee dan Kwan Eng juga melihatnya namun kakak beradik ini bersikap tenang dan santai saja.
Tibalah saatnya bagi Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw untuk bicara, dan dia pun bangkit berdiri. Tubuhnya masih tinggi tegap walau pun usianya sudah tujuh puluh tahun. Dengan gagah dia melangkah ke depan sampai ke tengah panggung dan setelah memberi hormat ke seluruh penjuru, dia lalu berkata dengan suara nyaring.
"Kami ketua Hoat-kauw menghaturkan terima kasih atas kedatangan saudara sekalian dan atas semua bingkisan yang diberikan kepada kami. Semoga perayaan ini akan dapat mempererat hubungan di antara kita dan mudah-mudahan di lain waktu kami akan dapat membalas semua kebaikan saudara. Karena kami sudah tua, maka untuk membicarakan urusan selanjutnya kami serahkan kepada murid keponakan kami, Ang-sin-liong Yu Kiat!"
Terdengarlah orang bertepuk tangan lantas yang lain ikut menyusul sehingga terdengarlah tepuk tangan gemuruh mengiringi ketua itu mundur dan menyambut munculnya Ang-sin-liong Yu Kiat.
Tokoh ini sudah banyak dikenal orang karena sebagai orang pertama dari Bu-tek Ngo-sin-liong, tentu saja dia amat terkenal. Dia seorang yang bertubuh tinggi tegap dan tampan, pakaiannya berwarna merah dan sikapnya sombong.
Tidaklah mengherankan kalau orang-orang Bu-tek Ngo-sin-liong bersikap sombong. Baru julukan mereka saja telah menunjukkan kesombongan mereka. Mereka memakai julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), seakan mereka ingin membual bahwa merekalah jagoan-jagoan tanpa tanding, tidak ada yang mampu melawan!
Dengan sikap tangkas Ang-sin-liong Yu Kiat yang berusia lima puluh tahun itu memberi hormat ke seluruh penjuru, lalu terdengar suaranya yang menggeledek,
"Saudara-saudara sekalian, semestinya pada pesta ulang tahun ini kami bergembira, apa lagi saudara sekalian sudah datang menghadirinya. Akan tetapi mengingat suasana dunia persilatan sekarang sedang kacau, maka sebelum melanjutkan pesta kami mohon agar saudara semua dapat mengambil keputusan atas sikap yang akan kami lakukan. Saudara sekalian pasti telah mendengar berita mengenai keganasan Beng-kauw, mengenai sepak terjang Beng-kauw yang telah membunuhi banyak orang. Juga saudara-saudara sekalian tentu sudah mendengar tentang pengkhianatan seorang muda bernama Ciu Kang Hin dari Nam-kiang-pang yang kemudian ternyata membantu orang Beng-kauw. Oleh karena itu, karena di sini kami melihat hadir pula dua tokoh Beng-kauw, maka bagaimana pendapat saudara kalau kami mengusir mereka?"
Sejenak sunyi menyambut ucapan itu, lalu terdengar suara setuju di sana-sini, akan tetapi para tokoh kang-ouw yang termasuk golongan putih seperti Siauw-lim-pai, Butong-pai dan lain-lain tidak mau memberi suara. Mereka memang tak pernah suka kepada Beng-kauw, akan tetapi mereka tidak mempunyai alasan untuk memusuhi Beng-kauw. Malah mereka lebih condong memusuhi Ciu Kang Hin yang dikabarkan sudah membunuh seorang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Butong-pai.
Sementara itu kakak beradik putera ketua Beng-kauw saling pandang. Kwan Eng lantas mengangguk dan dara jelita ini yang lebih dulu menggerakkan tubuhnya melayang ke atas panggung, diikuti oleh Kwan Lee, kakaknya. Dua orang muda itu sudah berdiri di hadapan Yu Kiat, lalu berbalik dan menghadapi para tamu.
"Kami kakak beradik memang putera puteri ketua Beng-kauw. Kami sengaja datang untuk membela diri, mempertahankan kebenaran Beng-kauw yang tidak bersalah. Hendaknya cuwi semua ketahui bahwa selama ini justru anggota-anggota kami yang dibunuhi, bahkan wanita dan kanak-kanak juga dibunuh tanpa alasan yang jelas. Kami dikabarkan sudah membunuhi banyak tokoh dunia kangouw, akan tetapi semua itu fitnah belaka. Kami tidak menyangkal bahwa mungkin ada di antara anggota kami yang membunuh dalam sebuah perkelahian, akan tetapi hal itu adalah wajar, karena kalau anggota kami yang kalah kuat, maka dialah yang tewas atau terluka. Apa anehnya terluka atau tewas dalam perkelahian di dunia persilatan?.Akan tetapi kalau anggota kami diburu seperti binatang buas, dibunuh tanpa alasan seperti orang membunuhi ayam, sungguh membuat kami sangat penasaran. Maka di sini kami hendak minta keadilan, janganlah para locianpwe mudah saja percaya terhadap ucapan orang-orang yang melakukan fitnah kepada kami!"
”Bocah-bocah lancang!” bentak Ang-sin-liong Yu Kiat marah. ”Kalian hendak menuduh Hoat-Kauw melakukan fitnah kepada kalian? Sudah jelas bahwa sejak dahulu Beng-kauw adalah perkumpulan sesat yang ditentang para pendekar, dan semua orang tahu bahwa Ciu Kang Hin dari Nam-kiang-pang berkhianat dan membela orang-orang Beng-kauw!"
"Ciu Kang Hin bukan membela Beng-kauw, melainkan dia menjadi korban pengkhianatan seorang sute-nya yang memiliki watak palsu!" bentak pula Sie Kwan Eng dengan berani dan sikap menantang.
Seng Gun segera bangkit berdiri. "Nanti dulu!" katanya lantang. "Yang dimaksud sute dari Ciu Kang Hin adalah aku, dan aku yang membela Nam-kiang-pang mati-matian sehingga diangkat menjadi ketua. Ciu Kang Hin memang seorang pengkhianat dan dia membela Beng-kauw, mungkin karena jatuh cinta kepada puteri ketua Beng-kauw ini!"
"Tong Seng Gun binatang berkaki dua" Kwan Eng memaki. "Tidak usah banyak cakap, di sini aku menantangmu untuk bertanding, membuktikan siapa di antara kita yang benar!"
Sebelum Seng Gun menjawab, Ang-sin-liong Yu Kiat yang telah mendengar bahwa puteri ketua Beng-kauw itu sudah berhasil menguasai ilmu pukulan Salju Putih, segera berkata,
"Tidak perlu banyak berbantahan. Sekarang kita dengar saja pendapat para orang gagah yang hadir di sini. Apakah di antara para locianpwe dan para enghiong (orang gagah) ada yang mendukung pendapat puteri ketua Beng-kauw itu? Ataukah semuanya menyangkal kebenarannya dan bahwa Hoat-kauw sama sekali tidak melempar fitnah?"
Tiba-tiba Ji Kiang Bwe bangkit berdiri lalu mengangkat tangan ke atas sambil berseru,
"Kami mempunyai penilaian sendiri tentang Hoat-kauw! Kami dari Kim-kok-pang menuntut kepada Hoat-kauw yang telah membunuh ayah kami, ketua lama Kim-kok-pang! Biar pun pertandingan itu satu lawan satu, akan tetapi terjadi karena Hoat-kauw hendak memaksa Kim-kok-pang menjadi sekutunya yang ditolak oleh Kim-kok-pang. Sebagai puterinya aku menghendaki agar pembunuh ayah itu maju ke depan untuk menandingi aku!"
Mendengar ini, Ang-sin-liong Yu Kiat sebagai orang yang telah membunuh Ji-pangcu dari Kim-kok-pang, menjawab lantang,
"Memang Ji-pangcu dari Kim-kok-pang sudah berselisih paham dengan kami. Dia tewas dalam pertandingan satu lawan satu. Wajar saja kalau nona hendak membalas dendam, dan nanti tentu nona akan kami hadapkan dengan orang yang telah menewaskan ayahmu dalam pertandingan. Harap nona menunggu sampai urusan dengan Beng-kauw selesai."
Sebenarnya Ang-sin-liong Yu Kiat mendatangi ketua Kim-kok-pang untuk membujuk agar Kim-kok-pang mau bersekutu dengan Hoat-kauw. Akan tetapi Ji-pangcu berkeras menolak sehingga terjadi percekcokan yang dilanjutkan dengan pertandingan yang mengakibatkan tewasnya ketua Kim-kok-pang itu.
Kiang Bwe duduk kembali, akan tetapi dia sudah mengambil keputusan untuk membantu orang Beng-kauw karena dia yakin bahwa orang-orang Hoat-kauw bukanlah orang-orang baik dan boleh dipercaya. Sebaliknya dia pun tahu bahwa meski pun Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang aneh dan sesat, namun tidak pernah menanam permusuhan dengan perkumpulan lain.
"Kami ulangi, adakah di antara para tamu yang mendukung Beng-kauw?" Ang-sin-liong Yu Kiat mengulang pertanyaannya dengan lantang, dengan keyakinan bahwa tentu tidak akan ada orang yang mau membela atau mendukung Beng-kauw, perkumpulan sesat itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring seorang wanita yang bangkit berdiri lalu mengangkat tangan ke atas, "Kami berdua mendukung kebenaran Beng-kauw karena kami yakin benar bahwa Beng-kauw telah difitnah!"
Semua orang terkejut lalu memandang pembicara itu yang bukan lain adalah Mei Li, dan Han Lin terpaksa ikut bangkit di samping adik misannya yang telah menyatakan sikapnya itu. Sesungguhnya dia tidak ingin bicara dulu, akan tetapi karena Mei Li yang sudah tidak sabar lagi itu sudah mendahului, maka terpaksa dia pun bangkit berdiri untuk mendukung pernyataan gadis itu.
Seng Gun yang mengenal Mei Li langsung berbisik kepada Hoat Lan Siansu yang segera mengangguk-angguk. Dia memperkenalkan dara itu sebagai Hui-kiam Sianli (Dewi Pedang Terbang) yang lihai sekali ilmu pedangnya. Kemudian dia pun memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut. Rasanya dia pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia lupa lagi entah di mana.
Tiba-tiba Kwi-jiauw Lo-mo, ayahnya atau sebenarnya kakeknya, orang pertama dari Sam Mo-ong, berkata, "Ahh, bukankah itu pemuda yang dari Libun, murid mendiang Kong Hwi Hosiang?"
Barulah Seng Gun teringat dan dia pun terheran-heran. Dahulu bocah itu sudah terjungkal ke dalam jurang! Kiranya belum tewas dan kini muncul dan berani membela Beng-kauw.
"Apa buktinya bahwa Beng-kauw hanya difitnah?" Ang-sin-liong Yu Kiat menantang sebab dia yakin gadis itu tidak tahu rahasia di balik semua peristiwa itu.
"Aku tahu bahwa yang melakukan fitnah adalah Hoat-kauw sendiri yang menyelundupkan orangnya, yaitu Tong Seng Gun sehingga pengkhianat itu berhasil menguasai Nam-kiang-pang. Melalui Nam-kiang-pang mereka lalu melakukan fitnah kepada Beng-kauw. Semua pembunuhan itu sesungguhnya dilakukan oleh mereka yang menyelundup ke dalam Nam-kiang-pang!"
Semua orang terbelalak tidak percaya dan Yu Kiat tertawa bergelak. "Ha ha-ha, saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Ini jelas akal busuk Beng-kauw yang memutar balikkan fakta. Jelas yang memimpin Nam-kiang-pang adalah Tio Hui Po dan muridnya, Ciu Kang Hin, yang memusuhi Beng-kauw karena Beng-kauw sudah melakukan banyak kejahatan dan pembunuhan. Bahkan kemudian Beng-kauw berhasil membujuk Ciu Kang Hin hingga murid Nam-kiang-pang itu menjadi pengkhianat. Apa bila kita dapat menangkap Ciu Kang Hin, tentu dia dapat menjadi saksi utama tentang kejahatan Beng-kauw.
"Semua itu bohong, omong kosong!" terdengar bentakan nyaring dan semua orang makin terkejut lagi melihat munculnya Ciu Kang Hin yang sudah meloncat ke atas panggung itu!
Melihat pemuda itu berani muncul, Ang-sin-liong Yu Kiat terkejut akan tetapi juga girang. "Ini dia penjahat besar itu datang, mari kita tangkap dia!" Dia telah siap untuk menyerang, akan tetapi Yang Mei Li dan Han Lin telah meloncat ke atas panggung kemudian Han Lin berseru keras dengan suara berpengaruh karena dia menggunakan kekuatan sihirnya.
"Jangan bergerak!" Seketika Ang-sin-liong merasa kaki tangannya kaku dan tidak mampu digerakkan. Biar pun hanya sesaat, peristiwa itu mengejutkan hatinya. "Biarkan Ciu Kang Hin memberi penjelasan agar didengar semua orang, baru mengambil keputusan. Apakah cuwi yang terhormat menganggap hal ini cukup adil?"
Karena urusan itu ternyata amat berliku dan sangat menarik, maka semua orang segera menyatakan setuju.
Ang-sin-liong Yu Kiat menjadi bingung dan dia pun kembali ke rombongannya, sedangkan Han Lin mengajak Mei Li kembali ke tempat duduknya. Sengaja kedua orang muda-mudi ini melayang bagaikan dua ekor burung saja dan tahu-tahu sudah berada di kursi mereka, setelah melampaui kepala banyak orang. Tentu saja demonstrasi ginkang yang tinggi ini mengagumkan semua orang. Sekarang tinggal Ciu Kang Hin seorang diri yang berdiri di atas panggung.
Seng Gun berbisik-bisik dengan Sam Mo-ong dan ketua Hoat-kauw, dan mereka secara diam-diam menyuruh para pembantu menyiapkan pasukan mereka untuk menjaga segala kemungkinan. Sedangkan Souw Kian Bu yang berada di antara para tamu, diam-diam kagum pada adik misannya, juga tunangannya, Yang Mei Li, yang begitu berani membela Beng-kauw. Akan tetapi yang dijaganya tetap saja Ji Kiang Bwe!
Kini dengan sikap gagah Ciu Kang Hin berdiri menghadapi semua orang, lantas sesudah mengangkat kedua tangan untuk memberi hormat, dia berkata, "Saya tidak tahu apakah semua ucapan saya ini akan ada gunanya, karena saya tahu bahwa para locianpwe dan saudara yang gagah perkasa telah dipengaruhi oleh Tong Seng Gun. Dia adalah seorang penyelundup dan yang berhasil menipu suhu. Dialah yang mengatur segalanya sehingga semua pembunuhan seolah-olah dilakukan orang Beng-kauw. Saya sendiri bisa dikelabui sehingga selama ini saya menentang Beng-kauw sebagai perkumpulan jahat. Tetapi saya belum pernah membunuh orang Beng-kauw yang tidak bersalah. Seng Gun yang selalu meniupkan berita seolah-olah saya pembunuh nomor satu dari Beng-kauw sehingga saya dimusuhi Beng-kauw. Akan tetapi semua itu akhirnya terungkap. Dia sendiri beserta kaki tangannya yang membunuh para tokoh kang-ouw yang tidak menurut. Dia dan sekutunya yang membunuh Ho Jin Hwesio, Kiang Cu Tojin, serta Pek Kong Sengjin. Dia bersekutu dengan Hoat-kauw, dengan orang-orang yang menjadi antek Mongol untuk menjatuhkan pemerintah kerajaan Tang.”
"Bohong! Pemutar-balikan kenyataan! Mana buktinya bahwa aku membunuh para tokoh itu? Engkaulah yang sudah membunuh mereka dan banyak saksinya. Ada puluhan orang anggota Nam-kiang-pang yang menjadi saksi."
Tiba-tiba terdengar suara orang, "Siancai semua itu tidak bohong!"
Seng Gun menjadi pucat meilhat Pek Kong Sengjin sudah berada di panggung, di dekat Ciu Kang Hin.
"Yang mencoba untuk membunuh pinto adalah Tong Seng Gun, dilakukan secara curang, memukul pinto dari belakang ketika pinto berada di tepi jurang. Untung ada orang yang menolong pinto."
Wajah Seng Gun berubah pucat, akan tetapi pada saat itu pula Bu-tek Ngo-sin-liong telah berlompatan ke atas panggung, seolah-oleh hendak menangkap Kang Hin. Melihat ini Pek Kong Sengjin lalu meninggalkan panggung dan melompat ke bangku di antara para tamu. Pada saat yang sama, Mei Li dan Han Lin sudah melompat ke atas panggung, demikian pula Ji Kiang Bwe yang berseru nyaring,
"Sekarang kelicikan dan kecurangan Hoat-kauw sudah jelas!"
Kakak beradik Beng-kauw, Kwan Lee dan Kwan Eng yang tadi sudah mengundurkan diri juga telah berlompatan ke atas panggung sehingga kini Bu-tek Ngo-sin-liong berhadapan dengan enam orang muda-mudi yang gagah perkasa!
Suasana menjadi amat gaduh dan ribut karena semua tamu tidak tahu harus berbuat apa. Di atas segala kegaduhan itu, tiba-tiba terdengar suara ketua Hoat-kauw, yaitu Hoat Lan Siansu,
"Cuwi, harap tenang. Kami akan mengatasi orang-orang Beng-kauw dan semua anteknya ini. Harap cuwi jangan ada yang membela mereka, bahkan sepantasnya cuwi membantu kami untuk menangkap dan menghukum mereka!"
Di antara para tamu memang banyak yang merasa sakit hati terhadap Beng-kauw, maka ada belasan orang yang sudah bangkit berdiri kemudian berteriak,
“Basmi Beng-kauw…!"
"Orang-orang Hoat-kauw memang berwatak pengecut, hayo suruh keluar orang yang telah membunuh ayahku!" tantang Ji Kiang Bwe.
Dara perkasa ini sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk rantai baja putih yang panjangnya satu meter, ujungnya tajam dan runcing, Sabuk itu mengeluarkan cahaya berkilauan ketika dia menggerakkannya dengan sikap menantang.
"Ha-ha-ha, akulah yang membunuh Ji-pangcu. Kalau engkau hendak menyusul ayahmu, lekas majulah!" kata Ang-sin-liong Yu Kiat sambil meloloskan golok gergajinya yang amat menyeramkan.
Pertempuran telah hampir terjadi ketika ketua Hoat-kauw kembali berseru. "Harap semua tamu duduk tenang untuk menjadi penonton saja. Siapa yang bergerak membantu Beng-kauw maka terpaksa kami anggap sebagai musuh!"
Tiba-tiba muncullah pasukan Hoat-kauw dan orang-orang Mongol yang jumlah seluruhnya tidak kurang dari tiga ratus orang, mengepung tempat itu!
Han Lin dan kawan-kawannya terkejut sekali.
"Curang sekali!" kata Ji Kiang Bwe. "Sebagai ketua Kim-kok-pang aku datang seorang diri saja tanpa anak buah seorang pun, dan kalian telah mempersiapkan pasukan besar untuk mengeroyok!"
"Ha-ha-ha," ketua Hoat-kauw itu berseru. "Sebaiknya kalau kalian orang orang muda tahu diri, segera menyerah dan mau bekerja sama dengan kami. Kalau tidak maka kalian akan dicincang hancur!"
"Omitohud…! Hoat Lan Siansu, pangcu dari Hoat-kauw, apa artinya semua ini? Mengapa bermunculan banyak orang Mongol di sini? Benarkah bahwa Hoat-kauw sudah bersekutu dengan orang Mongol?" seorang hwesio wakil Siauw-lim-pai yang hadir di situ bertanya.
"Orang luar tidak perlu mencampuri urusan kami!" jawab Hoat Lan Siansu dengan tegas. "Yang penting kami sudah mengajak Siauw-lim-pai dan semua aliran untuk bekerja sama memakmurkan rakyat jelata. Siapa saja yang menentang, terpaksa kami anggap sebagai musuh!"
Mendengar ini semua orang menjadi terkejut sekali, namun mereka merasa tidak berdaya karena telah dikepung oleh ratusan orang anak buah Hoat-kauw.
"Hayo cepat tangkap orang-orang Beng-kauw berikut semua pendukungnya itu!" Hoat Lan Siansu memerintah.
Tiba-tiba terdengar bunyi tambur dan terompet. Semua orang menjadi terkejut dan cepat memutar tubuh, lalu muncullah ratusan orang anggota Nam-kiang-pang bersama pasukan pemerintah.....
Terdengar suara bentakan seorang panglima yang menunggang kuda, yaitu Bu-ciangkun, "Semua orang Hoat-kauw dan orang Mongol agar menyerah atau akan kami basmi. Para tamu yang tidak terlibat harap mundur dan jangan ikut campur!"
Sekarang keadaan menjadi terbalik. Wajah orang-orang Hoat-kauw menjadi pucat karena pasukan yang mengepung itu bersenjata lengkap dan jumlah mereka banyak sekali! Akan tetapi Hoat Lan Siansu yang melihat betapa pihaknya terancam oleh lawan yang banyak jumlahnya, segera tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, orang muda jaman sekarang ternyata curang dan sama sekali tidak gagah, lagi pengecut. Beraninya mengerahkan pasukan pemerintah!"
Sementara itu, pada saat melihat anak buah Nam-kiang-pang ikut mengepung, Seng Gun segera menghardik mereka. "Kalian anak-anak buah Nam-kiang-pang, siapa suruh kalian mengepung tempat ini? Kembalilah!"
Akan tetapi banyak orang Nam-kiang-pang malah berseru, "Bunuh Tong Seng Gun!"
Mendengar ini Tong Seng Gun menjadi pucat, dan maklumlah dia bahwa Nam-kiang-pang telah dikuasai kembali oleh Kang Hin.
Han Lin yang merasa tidak enak mendengar ejekan Hoat Lan Siansu tadi, segera berbisik kepada Kang Hin karena dia dapat menduga bahwa tentu Kang Hin yang minta bantuan pasukan karena anak buah Nam-kiang-pang datang bersama pasukan itu.
"Ciu twako, minta kepada komandan itu untuk menunda gerakan mereka agar kita dapat melawan mereka satu lawan satu secara jantan."
Kang Hin mengangguk, kemudian berseru kepada Bu-ciangkun, "Bu-ciangkun, karena ini merupakan urusan orang-orang dunia persilatan, maka selama mereka tidak melakukan pengeroyokan, biarkan kami melawan mereka dalam pertandingan satu lawan satu."
Bu Kim Thouw, panglima itu sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup tangguh, maka mendengar ini dia dapat mengerti. Apa lagi dia pun ingin menonton pertandingan silat dari orang orang tingkat tinggi. Maka dia mengangguk lalu memberi aba-aba kepada seluruh pasukan untuk siap berjaga-jaga saja menanti perintah selanjutnya, akan tetapi agar tidak membiarkan siapa saja keluar dari kepungan.
Sesudah itu Han Lin berkata kepada Hoat Lan Siansu, "Nah, pangcu dari Hoat-kauw, kini kami telah siap. Kita boleh bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang lebih gagah di antara kita. Ingat, kalau kalian bertindak curang maka pasukan telah siap untuk menghancurkan kalian!"
Hoat Lan Siansu merasa masih mempunyai harapan. Kalau orang-orang muda ini sudah dapat dibasmi, tentu mereka tidak akan mengalami kesulitan untuk menggempur pasukan itu, walau pun jumlah mereka lebih banyak.
"Baik!" dan dia menoleh kepada murid-murid keponakannya. "Kalian atur saja siapa yang akan maju melawan musuh."
Ang-sin-liong Yu Kiat memandang rendah mereka yang muda-muda itu, karena itu dia lalu berkata kepada Bin-sin-liong Kwa Lian. "Sumoi, engkau majulah dulu."
Bi-sin-liong Kwa Lian yang berusia dua puluh delapan tahun dan cantik jelita tapi genit itu tersenyum. Dia pun tidak takut menghadapi lawan yang terdiri dari orang-orang muda itu. Sesudah semua orang yang berada di atas panggung mengundurkan diri, dia mencabut pedang beronce merah lalu memasang aksi yang menarik dan gagah.
"Nah, siapa yang hendak mengantarkan nyawa ke sini?"
Mei Li yang sejak tadi sudah gatal-gatal tangannya, tidak ingin didahului orang. Tubuhnya segera melayang ke atas panggung dan dia pun sudah berdiri di depan Kwa Lian. Begitu berhadapan dengan Mei Li, maka kecantikan Kwa Lian memudar bagaikan bulan disaingi munculnya matahari. Mei Li nampak jauh lebih jelita, lebih segar dan lebih lincah.
"Hemm, katakan dulu siapa engkau karena dulu ketika kita saling bertemu, aku mengenal engkau sebagai orang Hoat-kauw yang hendak membunuhi orang-orang Beng-kauw yang tidak bersalah," tanya Mei Li, suaranya mengandung ejekan.
Kwan Lian terkejut mengenal Mei Li. "Hemm, ternyata Hui-kiam Sian-li yang sejak dahulu sudah membantu Beng-kauw! Bagus! Ketahuilah bahwa aku adalah Bi-sin-liong Kwa Lian, orang termuda dari Bu-tek Ngo-sin-liong. Kalau dulu aku belum sempat merobohkanmu, maka sekarang bersiaplah menerima kematianmu!"
Wanita mata keranjang dan cabul itu kemudian menggerakkan pedangnya. Nampak sinar pedang berkelebat, dan Mei Li mempergunakan pedang kirinya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang.
"Tranggg...!"
Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua wanita perkasa yang cantik itu sudah saling terjang lagi. Tidak percuma Bi-sin-liong Kwa Lian menjadi orang termuda dari Bu-tek Ngo-sin-liong karena ilmu pedangnya tangguh bukan main, juga tenaganya sangat kuat dan gerakannya cepat. Namun sekali ini dia bertemu tanding, bahkan seorang lawan yang jauh lebih lincah dan lebih kuat dibandingkan dirinya.
Sepasang pedang yang beterbangan menyambar-nyambar seperti dua ekor burung hidup itu membuat dia berkeringat dan repot harus mengelak dan menangkis. Ia merasa seolah-olah dikeroyok oleh banyak orang,
Sesudah pertandingan lewat tiga puluh jurus, tahulah Bi-sin-liong bahwa julukan lawannya itu bukan kosong belaka. Dewi Pedang Terbang ini memang benar-benar mempunyai ilmu pedang terbang istimewa yang belum pernah ditemuinya selama dia malang melintang di dunia persilatan sampai dia berani menjadi orang ke lima dari mereka yang menyebut diri Lima Naga Sakti Tanpa Tanding!
"Haiiiiiittttt…!" Mei Li berseru nyaring lalu pedang kanannya menyambar dengan dahsyat, kali ini menukik dan menyambar ke arah perut lawan.
"Cringggg…!"
Pedang di tangan Kwa Lian menangkis. Akan tetapi pada saat itu ujung pedang yang satu lagi dari Mei Li sudah datang menusuk dada. Kwa Lian cepat membuang tubuh ke kanan, tetapi pedang itu masih sempat menyambar dan melukai pundaknya. Walau pun hanya merobek baju dan kulit pundak, namun cukup perih dan mengejutkan.
Naga Sakti Cantik (Bi-sin-liong) mengeluarkan rintihan lirih dan melihat sepasang pedang itu masih terbang menyambar, dia segera melempar tubuh ke atas tanah lalu bergulingan menjauh. Terpaksa Mei Li menarik tali pedangnya lantas memegang kembali sepasang pedang itu. Pada saat itu pula Kwa Lian melompat turun.
"Hyaaaattttt...!"
Kwa Lian menggerakkan tangan kirinya, lantas serangkum sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum beracun yang dilemparkan Kwa Lian untuk menyerang lawannya. Mei Li tidak menjadi gugup. Pedang kirinya berkelebat, kemudian jarum-jarum halus itu pun runtuh ke atas papan panggung.
Agaknya Kwa Lian sudah nekat. Karena jarak di antara mereka kini sudah dekat, dia pun menggerakkan kepalanya. Rambut yang disanggul itu terlepas lalu gumpalan rambut yang hitam dan panjang menyambar bagaikan ular ke depan, menyerang ke arah leher Mei Li!
Mei Li terkejut bukan kepalang. Tidak disangkanya bahwa lawannya dapat menggunakan rambut panjangnya sebagai senjata sehingga rambut itu tahu-tahu telah melibat lehernya. Untung bahwa dia tidak menjadi gugup. Pedang kanannya menyambar dan...
"Brettt…!" rambut itu putus terbabat pedang.
"Ihhh!" Kwa Lian menjerit!
Dengan kekuatan sinkang biasanya rambutnya menjadi ulet dan kuat laksana tali sutera, siapa kira kini dapat dibabat buntung oleh pedang Mei Li. Kaget dan marah membuat dia kurang waspada dan ketika pedang kiri Mei Li menyambar, dia tak sempat mengelak atau menangkis lagi. Begitu cepatnya pedang menyambar, bagaikan kilat saja.
Orang-orang tidak melihat tubuhnya tertusuk pedang, akan tetapi dia mengeluh, terkulai lalu roboh dengan dada kiri bercucuran darah yang membasahi pakaiannya. Ia mendekap dada kiri yang sempat dimasuki pedang Mei Li yang telah melompat ke belakang dengan sikap tenang, lalu terguling roboh, pedangnya terlepas dari tangannya.
Melihat kekasihnya roboh, Seng Gun marah sekali. Dia melompat ke atas panggung dan cepat berlutut memeriksa keadaan Kwa Lian. Namun terlambat, wanita cantik itu sudah tewas. Seng Gun menahan geramnya lantas memberi isyarat kepada anak buahnya. Dua orang melompat ke atas panggung lalu membawa tubuh yang masih hangat itu turun dari panggung dan sekarang Seng Gun sudah menghadapi Mei Li dengan muka merah saking marahnya.
"Hui-kiam Sian-li, engkau ternyata antek Beng-kauw yang jahat. Mari, akulah lawanmu!" tantangnya.
Seng Gun segera mencabut golok dengan tangan kanan dan suling perak dengan tangan kiri. Dia telah mahir menggunakan Thian-te To-hoat, salah satu di antara ilmu-ilmu ampuh di dunia persilatan yang dia pelajari dari Tio Hui Po, tetapi dia pun hendak memanfaatkan ilmu sulingnya yang dia pelajari dari kakeknya sendiri, yaitu Kwi-jiauw Lo-mo.
Mei Li tersenyum, tetapi sebelum dia menjawab tiba-tiba Kang Hin telah meloncat ke atas panggung. "Manusia pengecut!" Dan dia menjura kepada Mei Li sambil berkata, "Siauw-moi, harap kau istirahat, biar akulah yang akan melayani jahanam busuk ini."
Mei Li mengerti bahwa Kang Hin adalah orang yang paling mendendam atas kejahatan Seng Gun, maka biar pun dia sendiri sebetulnya ingin turun tangan membunuhnya, tetapi dia harus mengalah. Sambil tersenyum dia mengangguk. "Hati-hati twako. Ular ini banyak akalnya dan waspadalah terhadap suling peraknya itu."
Dua orang lawan yang dahulunya merupakan suheng dan sute itu kini saling berhadapan, saling pandang dengan mata mencorong penuh kebencian, akan tetapi mulut Seng Gun menyeringai penuh ejekan karena dia merasa yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan bekas suheng-nya itu. Ilmu golok sakti sudah mereka kuasai dan dalam hal ilmu golok itu dia tidak akan kalah dibandingkan Kang Hin, sedangkan dia telah memiliki ilmu-ilmu hebat dari Sam Mo-ong. Bahkan Tio Hui Po sendiri yang menjadi guru dapat dibunuhnya tanpa banyak kesukaran, apa lagi muridnya!
Kang Hin juga maklum bahwa Seng Gun amat lihai, maka dia pun bersikap hati-hati, akan tetapi bukan berarti dia takut. Sama sekali tidak, bahkan dia bertekad bulat untuk dapat membalaskan dendam sakit hatinya atas kematian suhu-nya. Kini dia telah memalangkan goloknya di depan dada lalu mulai bergerak melakukan serangan.
Seng Gun memperlebar seringainya karena tentu saja dia sudah hafal akan gerakan dari ilmu silat Thian-te To-hoat itu. Cepat dia menghindar, lantas membalas dengan serangan kilat suling peraknya.
Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Golok di tangan Kang Hin membentuk sinar yang lebar sambil mengeluarkan suara mengaung-ngaung, akan tetapi karena Seng Gun sudah mengenal baik ilmu golok itu, dengan mudahnya dia menghindar sambil membalas dengan jurus serangan yang tak dikenal Kang Hin. Oleh karena itu secara perlahan-lahan mulailah Kang Hin terdesak hebat setelah lewat tiga puluh jurus.
Namun Kang Hin menggigit bibir, mengerahkan seluruh tenaganya dan memutar goloknya sedemikian rupa sehingga tidak mudah bagi Seng Gun untuk dapat mengenai tubuhnya. Seng Gun mulai penasaran dan ketika terdapat kesempatan baik, dia memukul punggung golok itu dari pinggir sehingga tubuh Kang Hin terhuyung karena memang arah goloknya telah diketahui lawan. Dan selagi dia terhuyung, Seng Gun meniup sulingnya, menyerang dengan jarum-jarum beracun!
Pada saat itu pula tampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor burung rajawali, Sie Kwan Eng telah meloncat ke atas dan sekali tangannya bergerak, terasa ada hawa dingin menyambar lantas semua jarum itu runtuh ke atas tanah. Itulah pukulan jarak jauh dengan Ilmu Pukulan Salju Putih yang telah menyelamatkan nyawa Kang Hin biar pun masih ada sebatang jarum yang tetap melesat lantas menancap di pundak pemuda Nam-kiang-pang itu.
Meski pun hanya sebatang, akan tetapi karena jarum itu mengandung racun yang sangat ampuh, maka Kang Hin terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Sie Kwan Eng tidak cepat memapahnya. Kang Hin sudah pernah terkena racun dari jarum-jarum suling Seng Gun, dan ini adalah yang kedua kalinya dia terkena racun jarum hitam itu.
Melihat bahwa yang menyelamatkan Kang Hin ternyata adalah gadis Beng-kauw itu, Seng Gun tertawa dan berkata lantang, 'Cuwi lihat sendiri betapa Kang Hin saling bantu dengan puteri ketua Beng-kauw. Tentu ada hubungan di antara mereka!”
"Jahanam, tunggulah! Aku yang akan menghadapimu!” kata Sie Kwan Eng yang masih memapah tubuh Kang Hin. Akan tetapi tahu-tahu Si Pedang Terbang Yang Mei Li sudah berada di sampingnya.
"Kau urus Ciu-twako yang terluka, biar aku yang menghadapi anjing licik dan curang ini!"
Melihat yang maju adalah Hui-kiam Sian-li, Kwan Eng lalu mundur sambil memapah tubuh Kang Hin untuk dirawat dan diobatinya. Sebagai puteri ketua Beng-kauw yang tidak asing dengan bermacam racun, tentu saja dia memiliki obat pemunah racun yang manjur.
Kini Seng Gun berhadapan dengan Mei Li dan diam-diam pemuda ini merasa agak gentar karena dia telah mengenal kelihaian Si Pedang Terbang yang baru saja mengalahkan dan menewaskan kekasihnya, orang ke lima Bu-tek Ngo-sin-liong. Ia menggenggam goloknya erat-erat dan menyilangkan golok itu dengan suling peraknya, siap untuk melawan secara mati-matian.
Akan tetapi sebelum kedua orang ini bergerak saling serang, kembali ada sesosok tubuh melayang naik ke atas panggung, dan ternyata sekarang yang berada di situ adalah Sie Kwan Lee. Pemuda ini berkata kepada Mei Li,
"Li-moi, harap suka mundur dan biarkan aku yang menghadapi orang ini. Kami memiiliki dendam yang bertumpuk-tumpuk terhadap orang ini sebab dialah yang mendalangi semua pembunuhan atas diri ratusan orang Beng-kauw dan keluarga mereka yang tak berdosa."
Sebenarnya bukan hanya karena itu Sie Kwan Lee naik ke panggung, melainkan karena khawatir akan keselamatan dara yang dicintanya itu. Dia tadi telah melihat kelihaian Seng Gun yang nyaris saja membunuh Kang Hin, maka dia merasa khawatir ketika melihat Mei Li hendak melawan pemuda yang curang itu,. Apa lagi tadi Mei Li sudah memenangkan sebuah pertandingan sehingga tidak adil kalau gadis itu maju melawan musuh untuk yang ke dua kalinya sedangkan dia masih belum maju.
Melihat munculnya pemuda itu, tentu saja Mei Li tidak dapat membantah karena alasan Kwan Lee kuat sekali. Memang dia sendiri sesungguhnya tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Seng Gun, maka pemuda Beng-kauw ini yang lebih tepat untuk membalas dendamnya yang teramat besar. Beng-kauw difitnah oleh Seng Gun yang mengakibatkan kematian ratusan orang anggota Beng-kauw beserta keluarganya, bahkan ayahnya tewas pula.
"Baiklah, twako, akan tetapi hati-hatilah menghadapi ular berbisa ini," kata Mei Li sambil mengundurkan diri.
la kembali ke tempat kakaknya yang kini membantu Kwan Eng mengobati luka di pundak Kang Hin. Untung luka itu tidak berbahaya dan Kwan Eng membawa obat penawar racun yang amat manjur sehingga keadaan Kang Hin sudah pulih kembali dalam waktu singkat. Tergetar juga hati Kang Hin ketika merasakan jari-jari tangan lembut hangat yang sedikit gemetar dari Sie Kwan Eng menyentuh pundaknya ketika gadis itu merawat lukanya.
Sementara itu Seng Gun menjadi nekat ketika melihat pemuda Beng-kauw itu yang maju menghadapinya. Dia tahu benar betapa lihainya pemuda ini yang sudah menguasai ilmu pukulan Matahari Merah. Maka tanpa banyak cakap lagi dia langsung menyerang dengan goloknya, menggunakan jurus Thian-te To-hoat yang ampuh.
"Singgg…!"
Kwan Lee meloncat ke belakang sehingga sambaran golok itu luput dan ketika tubuhnya melayang turun, dia sudah memegang sebatang cambuk dari kulit yang amat ulet. Begitu dia menggerakkan cambuknya, terdengar suara bergeletar nyaring sekali. Perlu diketahui bahwa putera ketua Beng-kauw ini bukan saja menguasai ilmu pukulan Matahari Merah yang sangat ampuh, akan tetapi dia pun mahir memainkan delapan belas macam senjata dan yang menjadi kesukaannya adalah ilmu cambuk itu.
Seng Gun menyerang dengan ganas. Golok dan sulingnya bergantian menyerang dengan tusukan dan totokan yang sangat berbahaya bagi lawan, namun Kwan Lee selalu berhasil menghindar dengan gerakannya yang gesit. Tubuhnya yang ringan seperti beterbangan kian ke mari, sedangkan cambuknya juga tidak tinggal diam, melainkan membalas setiap ada kesempatan. Cambuk itu melecut, mencambuk dan kadang dapat menjadi kaku untuk menotok jalan darah, atau menjadi lentur untuk meiilit tubuh lawan.
Dengan seksama Han Lin mengamati jalannya pertandingan hebat ini, juga seluruh tamu menonton sambil menahan napas karena pertandingan itu jauh lebih ramai dibandingkan pertandingan yang pertama dan ke dua tadi.
Han Lin melihat bahwa Seng Gun masih menyimpan serangannya yang paling berbahaya, yaitu tiupan sulingnya yang mengeluarkan jarum beracun hitam. Kalau sampai dia sempat menggunakannya dan Kwan Lee agak lengah, maka serangan itu dapat membahayakan Kwan Lee. Suling itu perlu dilumpuhkan dulu, agar bahaya jarum tidak mengancam.
"Libat sulingnya!" Ia berkata dengan pengerahan khikang yang hanya tendengar jelas oleh Kwan Lee. Ilmu mengirim suara ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat.
Mendengar ini, Kwan Lee berpikir apa sebabnya ada yang memberi nasehat kepadanya agar melibat suling musuhnya. Kemudian dia teringat bahwa suling itu dapat dipergunakan untuk melakukan penyerangan gelap, memuntahkan jarum-jarum hitam beracun. Karena itu, ketika untuk kesekian kalinya suling itu menyambar ke arah kepalanya, dia melompat ke belakang sambil menggerakkan cambuknya ke arah suling.
"Tarrrrrr…!" Cambuk menangkis suling, akan tetapi bukan sekedar menangkis, melainkan menempel dan melibat.
Seng Gun terkejut bukan main ketika sulingnya dilibat cambuk. Dia segera menggerakkan goloknya untuk membabat putus cambuk itu. Akan tetapi pada saat itu Kwan Lee sudah menggerakkan tangan kirinya, memukul dengan ilmu pukulan ampuh Matahari Merah!
Hawa yang amat panas berhembus di sekeliling tempat itu dan golok di tangan Seng Gun terpental ke belakang, bahkan sulingnya juga dapat dirampas dan ditarik lepas dari tangan kirinya. Seng Gun terkejut setengah mati dan menjadi semakin nekat. Karena kini hanya tinggal golok yang masih berada di tangannya, dia lalu memainkan goloknya dengan ilmu golok Thian-te To-hoat yang ampuh.'
Meski pun dia sudah berhasil merampas suling perak yang sekarang dia lontarkan ke arah adiknya, namun Kwan Lee masih harus bersilat dengan hati-hati sekali. Lawannya sudah menguasai Thian-te To-hoat yang ampuh, yang pada saat itu seakan menjadi ilmu golok yang sukar dicari tandingannya. Untung baginya bahwa tadi dia memilih cambuk sebagai senjatanya. Cambuk ini dapat menghalau semua serangan golok karena lebih panjang.
Sesudah lewat lima puluh jurus dan keduanya belum dapat saling merobohkan, Kwan Lee kembali teringat pengalamannya yang tadi. Mengapa dia tidak mencoba untuk merampas golok itu? Libatan cambuknya pada golok memang memungkinkan cambuknya terpotong, akan tetapi setidaknya memberi kesempatan baginya untuk melakukan pukulan Matahari Merah.
"Singgg…! Wuuuuttttt...! Plakkk!"
Golok itu terlibat cambuk dan agaknya hal ini yang dinanti-nanti pula oleh Seng Gun. Dia pun mengerahkan tenaga pada goloknya, lantas dengan menggunakan gerakan memutar dan menarik dia berusaha membikin putus cambuk yang sedang melibat goloknya yang tajam. Cambuk itu tak dapat bertahan dan langsung putus, akan tetapi pada saat cambuk putus, Kwan Lee sudah mengerahkan tenaga Matahari Merah kemudian memukul ke arah kepala Seng Gun.
"Desss…!"
Biar pun sudah mengangkat tangan kiri untuk menangkis, tetap saja Seng Gun terdorong sampai terjengkang oleh pukulan itu. Dia berusaha merangkak bangkit, namun pukulan Matahari Merah kedua tiba dan dia pun terkulai dengan tubuh hangus! Seng Gun tewas seketika. Terdengar sorak sorai dari anak buah Nam-kiang-pang ketika melihat Seng Gun yang mereka benci itu roboh dan tewas.
Melihat cucunya tewas, Kwi Jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan) Tong Lui mengeluarkan suara teriakan panjang yang parau dan menyeramkan, lantas tubuhnya melayang ke atas panggung dan begitu tiba di atas panggung, tubuhnya yang pendek gendut seperti katak itu menggelinding seperti bola ke arah Kwan Lee sambil mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah pemuda itu. Kwan Lee terkejut dan dengan tenaga Matahari Merah dia menangkis, namun tetap saja dia terdorong ke belakang walau pun tidak sampai terluka.
Kwi-jiauw Lo-mo tidak mengejarnya, melainkan menghampiri jenazah cucunya kemudian mengangkatnya, dipondong dan dibawa meloncat turun dari atas panggung dengan wajah diliputi kedukaan.
Hoat Lan Siansu marah sekali. Kini dia sendiri yang maju melompat ke atas panggung. Dia tahu bahwa nama baik Hoat-kauw berada di ambang kehancuran, maka dia bertekad untuk mempertahankan kehormatannya.
"Aku Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw siap menyambut lawan yang hendak menjelekkan nama Hoat-kauw. Hayo, siapa yang berani melawanku?!"
Orang-orang merasa segan karena maklum bahwa kakek berusia tujuh puluh tahun ini lihai bukan main. Baru murid keponakannya saja, Bu-tek Ngo-sin-liong sudah sangat lihai, apa lagi dia sebagai paman gurunya. Akan tetapi ternyata ada yang berani menyambut dan orang itu adalah Han Lin.
Pemuda ini maklum bahwa kakek itu terlalu berbahaya bagi teman-temannya dan dia tahu pula bahwa orang-orang seperti Mei Li, Kang Hin, Kwan Lee, Kwan Eng dan banyak lagi, walau pun tahu akan kelihaian kakek itu, tentu tidak akan mundur untuk menghadapinya. Maka, sebelum salah seorang di antara mereka maju, dia yang mendahului maju.
Hoat Lan Siansu memandang Han Lin dengan mata dipincingkan. "Siapa kau? Benarkah engkau berani melawan pinto?"
"Siansu, engkau adalah seorang locianpwe, aku tentu tidak akan berani melawanmu kalau saja Hoat-kauw tidak melakukan penyelewengan dan bersekutu dengan orang Mongol."
"Hemm, bocah sombong. Siapakah namamu dan siapa pula gurumu? Lebih baik gurumu saja yang maju melawanku, bukan engkau bocah ingusan."
Han Lin tetap tersenyum cerah. Dia sudah digembleng oleh Lo-jin, tidak mungkin hatinya mudah dipengaruhi kemarahan, satu di antara nafsu perasaan yang amat merugikan, apa lagi bagi orang yang sedang menghadapi lawan tangguh. Kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan.
"Sudahlah, locianpwe, aku sudah maju untuk melayanimu, apakah locianpwe berani?"
Sepasang alis putih itu bergerak-gerak, "Bocah sombong, agaknya engkau memang telah bosan hidup!" katanya, lalu kakek itu menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Han Lin sambil membentak dengan suara berwibawa, "Orang muda, aku adalah orang yang lebih tua dan kedudukanku jauh lebih tinggi, maka kau harus menghormatiku. Hayo cepat kau berlutut! Berlutut, kataku!"
Han Lin merasa betapa lututnya gemetar dan dia pun maklum bahwa kakek itu berusaha untuk memaksanya berlutut dengan kekuatan sihir yang diperkuat oleh tenaga sinkang. Ia tersenyum, kemudian mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang tajam dan menjawab dengan nyaring.
"Hoat Lan Siansu, kita berhadapan sebagai lawan. Kalau aku berlutut, maka engkau pun harus berlutut, mari berlutut sama-sama!" Dan dia pun menjatuhkan diri berlutut.
Aneh sekali, seperti otomatis saja, kakek itu pun menekuk lututnya dan berlutut. Sungguh merupakan suatu pemandangan yang lucu dan ganjil. Dua orang yang seharusnya saling serang dalam sebuah pertandingan, kini keduanya saling berlutut seperti seorang murid menghormati gurunya!
Yang paling terkejut adalah Hoat Lan Siansu. Cepat dia bangkit berdiri, berbareng dengan Han Lin yang juga segera berdiri. Sejenak kakek itu seperti kebingungan, tidak mengerti mengapa dia juga ikut berlutut, dan akhirnya dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan dan tadi sudah dapat mengimbangi kekuatan sihirnya.
"Orang muda, siapakah namamu?"
"Saya Sia Han Lin, Locianpwe."
Mendengar disebutnya nama ini, Souw Kian Bu yang sejak tadi berdiri menonton, berseru girang, "Ah, kakak Sia Han Lin. Kiranya engkau berada di sini!" Kemudian pemuda ini pun bangkit berdiri menghampiri panggung.
Han Lin menoleh. Begitu melihat pemuda di bawah panggung itu, dia bertanya, "Saudara siapakah?"
"Lin-koko, aku Souw Kian Bu, adik misanmu!"
Han Lin girang sekali. "Ahh, Souw Kian Bu! Bu-te, kau tunggu dahulu, biar kuselesaikan urusanku dengan kakek ini, baru nanti kita bicara."
"Baik, Lin-ko, kau berhati-hatilah."
Kini Souw Kian Bu tidak bersembunyi-sembunyi lagi, lalu menghampiri Yang Mei Li yang duduk berdekatan dengan Kang Hin, Kwan Lee dan Kwan Eng. Bahkan kini Ji Kiang Bwe juga sudah duduk dekat mereka. Dengan sendirinya orang-orang muda ini berkelompok.
"Li-moi!" kata Kian Bu kepada Mei Li yang menyambutnya dengan gembira pula. Pemuda ini adalah tunangannya, tetapi dia tidak pernah menganggap sebagai tunangan melainkan sebagai kakak misannya.
"Bu-ko, engkau juga berada di sini?" dia balas menegur.
Kian Bu memandang kepada Ji Kiang Bwe yang juga memandang kepadanya. Sepasang mata bertemu pandang dan Kian Bu berkata, "Bwe-moi akhirnya kita saling berjumpa juga di sini."
"Bu-twako, tak kusangka engkau juga hadir di sini."
Akan tetapi percakapan mereka sangat terbatas karena mereka semua kini memusatkan perhatian ke arah panggung di mana Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw sudah mencabut pedang dari punggungnya. Dan begitu pedang itu dicabut, semua orang terkejut. Pedang beronce kuning itu mengeluarkan cahaya kemerahan yang mengerikan, seolah pedang itu membayangkan tumpahnya darah!
Sebenarnya Hoat Lan Siansu jarang sekali mencabut pedangnya. Dengan tangan kosong saja dia mampu mengalahkan lawan yang tangguh, akan tetapi sekali ini dia tidak berani memandang rendah kepada lawannya. Biar pun lawannya pantas menjadi cucunya, akan tetapi tadi lawannya itu telah berhasil mengimbangi kekuatan sihirnya!
Pula, pertandingan sekali ini bukan main-main melainkan nyawa taruhannya karena Hoat-kauw sudah terkepung dan ketahuan rahasianya sehingga pasukan kerajaan pasti akan membasminya. Dia harus mempertahankan nama, kehormatan serta kelangsungan Hoat-kauw dengan taruhan nyawa, maka dia siap membunuh siapa saja yang mengancam dia dan Hoat-kauw.
Melihat kakek itu mengeluarkan pedang yang berkilauan dan terlihat ampuh menggiriskan itu, Mei Li segera berseru dari bawah panggung, "Lin-ko, kau pakailah siang-kiamku!”
"Golokku boleh kau pakai, siauw-te!" teriak pula Kang Hin.
"Lin-ko, pedangku ini juga cukup baik!" teriak Souw Kian Bu tak mau kalah.
Melihat mereka semua menawarkan senjata, Han Lin tersenyum kepada Mei Li, "Li-moi, tolong ambllkan saja tongkatku itu!"
Mei Li mengerutkan alisnya. Memang Han Lin membawa tongkat butut yang ditinggalkan di bangkunya. Akan tetapi ia tahu bahwa kakaknya itu memiliki ilmu kepandaian hebat dan mungkin tongkat butut itu bertuah.
Maka ia memungut tongkat yang ternyata cukup berat itu, lalu maju mendekati panggung dan melontarkan tongkat kepada Han Lin yang menyambutnya dengan girang. Memang Mei Li tak keliru. Tentu saja itu adalah tongkat bertuah karena tongkat itu pemberian Lo-jin kepada muridnya itu.
Akan tetapi, melihat lawannya yang muda akan menghadapi pedangnya dengan sebatang tongkat butut, wajah kakek ketua Hoat-kauw menjadi merah saking marahnya. Tentu saja dia merasa dipandang rendah sekali karena pedangnya adalah pedang pusaka. Pedang yang tajam sekali pun takkan mampu bertahan terhadap keampuhan pedangnya, apa lagi hanya sebatang tongkat butut.....!
"Orang muda, jangan main-main dengan nyawamu. Pilihlah senjata yang baik dan tajam," katanya kepada Han Lin.
Akan tetapi Han Lin hanya tersenyum sambil melintangkan tongkatnya di depan dadanya. "Locianpwe, tidak ada senjata yang lebih baik dari pada ini. Ketahuilah, tongkat ini adalah tongkat yang biasanya dipergunakan untuk mengusir setan dan hantu yang mengganggu manusia, jadi cocok sekali kalau sekarang kupakai menghadapimu."
Dengan ucapan ini secara tidak langsung Han Lin sudah memaki kakek itu sebagai setan dan hantu pengganggu manusia!
"Baik, engkau yang mencari mampus sendiri, maka jangan salahkan aku orang tua yang dianggap menghina yang muda," katanya dan dia pun sudah memutar sebatang pedang yang beronce kuning itu. Nampak sinar kemerahan bergulung-gulung dan terdengar suara berdesing-desing seperti bunyi gasing ketika gulungan sinar kemerahan itu menerjang ke arah Han Lin.
Semua orang yang berpihak kepada Han Lin tentu saja memandang dengan khawatir dan hati tegang. Mereka ini hampir tak berani berkedip karena tidak ingin melewatkan semua gerakan yang menegangkan itu.
Mereka melihat Han Lin bersikap tenang sekali, tapi ketika sinar merah bergulung-gulung itu menerjang ke arahnya, dia pun menggerakkan tongkat bututnya menangkis berkali-kali. Terdengarlah suara nyaring berdenting berulang kali ketika pedang itu tertangkis dan semua orang memandang kagum karena tongkat butut itu ternyata tidak menjadi patah ketika bertemu dengan pedang yang tajam itu.
Han Lin juga tidak mau membuang waktu lagi, segera dia memainkan ilmu tongkat Lui-tai-hong-tung (Tongkat halilintar dan angin badai) sehingga semua orang terbelalak. Bila tadi yang nampak jelas hanyalah gulungan sinar pedang kemerahan yang seolah gelombang menerjang Han Lin, kini juga nampak sinar kehitaman yang lebih besar dari gulungannya, dan terdengar pula suara deru angin menyambar-nyambar yang terasa sampai di bawah panggung. Pakaian semua orang berkibar, bahkan rambut mereka pun berkibar tertiup angin dan kini barulah Hoat Lan Siansu maklum.
Ternyata pemuda itu memang hebat bukan main dan menghadapi tongkat itu, dia benar-benar tidak berdaya. Bukan saja pedangnya selalu terpental setiap kali bertemu dengan gulungan sinar tongkat, tetapi juga dia merasa limbung diterpa angin badai yang dahsyat itu. Ada semacam kekuatan mukjijat tersembunyi di dalam gulungan sinar hitam itu.
Belum lewat lima puluh jurus, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya terlempar sampai dua meter ke belakang, lantas jatuh berdebuk di atas papan panggung sedangkan pedangnya masih terus dipegangnya.
Begitu melihat ketua mereka kalah, para anggota Hoat-kauw seolah tidak dapat percaya dan mereka pun maklum bahwa harapan mereka sudah lenyap sehingga mereka menjadi nekat. Tiba-tiba saja mereka menyerbu ke panggung, bersama orang-orang Mongol yang diam-diam menerima perintah dari Sam Mo-ong untuk bergerak.
Akan tetapi melihat ini, pasukan kerajaan dan anak buah Nam-kiang-pang juga menyerbu masuk sehingga orang-orang Hoat-kauw dan Mongol itu terpaksa membalik dan terjadilah pertempuran hebat di tempat itu. Han Lin masih bertanding dengan Hoat Lan Siansu yang bangkit lagi lantas mengamuk. Bu-tek Ngo-sin-liong yang kini tinggal empat orang itu juga mengamuk dengan senjata mereka, dihadapi orang-orang muda yang gagah perkasa itu.
Lam-hai Sin-liong Kwa Him dihadapi oleh Ji Kiang Bwe, akan tetapi Souw Kian Bu yang mengkhawatirkan gadis itu segera membantunya sehingga Lam-hai Sin-liong (Naga Sakti Laut Selatan) Kwa Him, orang ke empat dari Bu-tek Ngo-sin-liong, terpaksa menghadapi pengeroyokan Kian Bu dan Kiang Bwe.
Hui-sin-liong Mo Hwa dilawan oleh Sie Kwan Eng dan orang ke tiga Bu-tek Ngo-sin-liong yang cantik, sadis dan galak ini segera repot menggerakkan siang-kiamnya dari desakan puteri Beng-kauw yang sudah menguasai ilmu Pukulan Salju Putih itu.
Tiat-sin-liong Lai Cin, orang ke dua Bu-tek Ngo-sin-liong bertanding melawan Kang Hin yang telah pulih kembali kesehatannya, dan orang pertama Ngo-sin-liong, yaitu Ang-sin-liong Yu Kiat ditandingi oleh Sie Kwan Lee.
Kalau saja Sam Mo-ong terjun dalam arena pertandingan, tentu pihak para muda itu akan kalah kuat. Akan tetapi Sam Mo-ong ini rupanya orang-orang yang amat licik dan cerdik. Mereka sudah memperhitungkan bahwa kalau mereka bertanding akhirnya mereka akan celaka menghadapi pengeroyokan begitu banyaknya lawan. Maka dengan menggunakan kesempatan selagi para pemuda yang lihai itu bertanding dengan lawan masing-masing, mereka bertiga lalu berlompatan menerjang para prajurit dan mencari jalan keluar.
Tentu saja para prajurit itu tidak dapat bertahan menghadapi amukan orang-orang seperti Hek-bin Mo-ong, Pek-bin Mo-ong dan Kwi-jiauw Lo-mo itu. Mereka jatuh bergelimpangan dan akhirnya tiga orang kakek itu dapat meloloskan diri lalu lari pergi tanpa mempedulikan nasib anak buah mereka lagi.
Alangkah banyaknya orang-orang yang merasa diri menjadi pemimpin kelompok namun memiliki watak seperti mereka bertiga ini. Di waktu mereka itu mengejar kedudukan dan membutuhkan bantuan dan dukungan anak buah, mereka mengharapkan kesetiaan dan ketaatan para bawaha. Juga mereka memperlihatkan bahwa mereka itu memperhatikan kesejahteraan anak buah mereka. Tetapi sekali mereka tersudut dan terancam bahaya, mereka pun akan melarikan diri tanpa mempedulikan lagi nasib para anak buahnya.
Berbeda dengan sikap tiga orang iblis tua itu, empat orang Bu-tek Ngo-sin-liong membela nama Hoat-kauw. Mereka adalah tokoh-tokoh Hoat-kauw. Sekarang Hoat-kauw terancam bahaya dan ketua mereka, juga paman guru mereka, kakek yang tua itu telah maju sendiri bertanding melawan Han Lin.
Mereka pun maklum bahwa pasukan pemerintah tentu takkan membiarkan mereka lolos. Oleh karena itu mereka menjadi nekat dan mereka menggerakkan senjata masing-masing untuk mengamuk.
Pertandingan antara Lam-hai Sin-liong Kwa Him melawan Ji Kiang Bwe yang dibantu oleh Souw Kian Bu berjalan berat sebelah. Kwa Him yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata siang-to (sepasang golok) itu mengamuk dengan tenaganya yang besar. Kalau dua orang pengeroyoknya maju satu demi satu, maka akan sukarlah untuk dapat mengalahkannya. Tenaga orang ini bagaikan tenaga gajah, dan goloknya yang menyambar itu mengandung kekuatan dahsyat yang akan dapat merusak atau melepaskan senjata di tangan lawan.
Akan tetapi Ji Kiang Bwe yang bersenjata sabuk rantai baja putih itu cukup cerdik, tidak mau mengadu senjatanya dengan senjata lawan, melainkan mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan membalas dengan serangan rantai baja putihnya. Demikian pula Souw Kian Bu. Pemuda ini memainkan pedangnya dengan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut dan tidak mau mengadu pedangnya dengan golok lawan.
Inilah yang membuat Kwa Him menjadi kerepotan. Dua orang pengeroyoknya tak pernah menangkis goloknya dan tiap kali mereka menyerang dia pun tidak pernah dapat memukul senjata mereka. Juga biar pun tenaganya besar tetapi dia tidak begitu lincah, gerakannya agak lamban. Maka dalam waktu tiga puluh jurus saja telah dua kali pundak dan pahanya keserempet pedang lawan hingga kulitnya robek dan mengucurkan darah yang membuat dia menjadi semakin marah seperti harimau terluka.
Keadaan Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang) Mo Hwa yang bertanding melawan Sie Kwan Eng masih mending, karena dia dapat mengimbangi permainan pedang gadis Beng-kauw itu, malah dengan siang-kiamnya dia bisa lebih banyak melakukan serangan dibandingkan lawannya yang hanya berpedang tunggal.
Akan tetapi Sie Kwan Eng mempunyai ilmu pukulan Salju Putih yang ampuhnya sangat menggiriskan. Sudah dua kali Sie Kwan Eng menggerakkan tangan kirinya memukul, dan selalu Mo Hwa terhuyung sambil menggigil biar pun pukulan itu dapat dia elakkan. Hal ini membuat dia jeri, maka sepasang pedangnya tidak begitu mengurung lagi sebab dia agak menjauhkan diri, khawatir secara tiba-tiba diserang pukulan Salju Putih yang ampuh itu.
Tiat-sin-liong (Naga Sakti besi) Lai Cin didesak hebat oleh Kang Hin. Dengan permainan goloknya dalam ilmu Thian-te Sin-to, Kang Hin mendesak Lai Cin yang bersenjata tombak cagak ronce biru. Biar pun Lai Cin mempunyai kekebalan, tubuhnya laksana besi, namun menghadapi ilmu golok Thian-te Sin-to, dia tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia pun terdesak hebat oleh ketua Nam-kiang-pang yang baru ini.
Seperti juga tiga saudaranya yang lain, orang pertama dari Ngo Sin-liong, yaitu Ang-sin-liong (Naga sakti merah) Yu Kiat yang dihadapi Sie Kwan Lee, juga terdesak hebat. Ang-sin-liong Yu Kiat bersenjata golok gergaji, tapi betapa pun hebatnya permainan goloknya, dia sangat kewalahan menghadapi pedang Kwan Lee yang diselingi pukulan tangan kiri dengan ilmu Matahari Merah. Pukulan itu yang sering kali membuat dia terhuyung-huyung dan merasa seluruh tubuhnya panas, padahal pukulan itu tidak mengenainya dan berhasil dielakkannya.
Hoat Lan Siansu akhirnya tidak kuat menahan ilmu Lui-tai-hong-tung dari tongkat butut Han Lin dan akhirnya dia roboh ketika perutnya tertotok tongkat. Han Lin memang tidak berniat membunuhnya, hanya merobohkan untuk menangkap ketua Hoat-kauw itu. Akan tetapi kakek itu tidak mau ditangkap. Dalam keadaan tertotok dan setengah lumpuh itu dia menggunakan sisa-sisa tenaganya, membenamkan pedangnya ke dalam dadanya sendiri hingga menembus jantung dan dia pun tewas seketika.
Melihat tewasnya ketua atau paman guru mereka, empat orang dari Bu-tek Ngo-sin-liong menjadi semakln gentar dan satu demi satu mereka pun roboh di tangan para pendekar muda itu.
Pertempuran berakhir sesudah terjadi selama dua jam. Hanya sedikit saja orang-orang Mongol dan anak buah Hoat-kauw yang berhasil meloloskan diri dari kematian. Sebagian besar terbantai, tewas atau terluka-parah. Di pihak pasukan pemerintah dan orang-orang Nam-kiang-pang juga terdapat korban yang berjatuhan, tapi jumlahnya tidaklah sebanyak pihak musuh.
Sesudah mengumpulkan para prajuritnya, Bu-ciangkun lalu memerintahkan mereka untuk menggali lubang dan mengubur semua orang yang menjadi korban dalam pertempuran. Setelah itu dia pun membawa pasukannya untuk pulang ke benteng dan membuat laporan kepada Kaisar…..
Kini mereka bertujuh duduk di bawah pohon, jauh dari tempat pertempuran tadi. Pedang merah milik Hoat Lan Siansu tadi disimpan oleh Han Lin.
"Pedang ini merupakan pusaka yang baik. Sayang kalau dibiarkan tergeletak di sana dan kelak terjatuh ke tangan orang jahat. Kelak, bila mana Hoat-kauw sudah kembali ke jalan benar, dipimpin oleh ketua yang baik, aku sendiri yang akan mengembalikan pedang ini kepada pangcu baru itu," demikian katanya kepada yang lain.
Ketika diperiksa dengan teliti, pedang itu diukir dengan tiga huruf yang berbunyi ‘Ang-in-kiam’ (Pedang Awan Merah). Sebuah nama yang sangat indah dan tepat karena sinar merah yang dikeluarkan pedang itu seolah-olah merahnya awan yang terbakar matahari di waktu senja.
Entah disengaja atau tidak, ketika tujuh orang itu duduk di bawah pohon bercakap-cakap, Sie Kwan Lee mendekati Yang Mei Li dan Sie Kwan Eng mendekati Ciu Kang Hin, ada pun Souw Kian Bu dengan sendirinya mendekati Ji Kiang Bwe yang dicintanya. Semua ini tak dapat lepas dari perhatian Han Lin.
Diam-diam dia merasa girang sekali melihat Souw Kian Bu begitu akrab dengan Ji Kiang Bwe karena dia dapat melihat bahwa gadis ketua Kim-kok-pang ini memang cukup pantas untuk menjadi jodoh adik misannya itu. Juga dia melihat bahwa Kang Hin sering bertukar pandang dengan Sie Kwan Eng, atau Sie Kwan Eng memandang kepada pemuda ketua Nam-kiang-pang itu dengan sinar mata berseri-seri yang mengandung perasaan kagum dan sayang.
Akan tetapi satu hal dirasakan seolah menusuk perasaannya, yaitu sikap Mei Li terhadap Sie Kwan Lee. Di antara kedua orang muda ini pun jelas terdapat hubungan batin yang mesra. Dia cepat menekan perasaannya, mengusir perasaan cemburu dan tidak senang yang menyesak di dalam dadanya.
Bodoh kau, dia menegur diri sendiri. Dara itu adalah adik misannya, bukan orang lain, jadi jangan mengharapkan yang bukan-bukan!
Tujuh orang muda itu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing dan ketika tiba giliran Han Lin, dia hanya menceritakan bahwa dia menjadi murid mendiang Kong Hwi Hosiang, kemudian memperdalam ilmu-ilmunya di dalam perantauannya. Sesuai dengan pesan Lo-jin, dia tidak berani bercerita tentang gurunya yang terakhir itu.
Ketika dengan alasan untuk membicarakan sesuatu tiga pasang orang muda itu menjauhi tempat itu, meninggalkan Han Lin seorang diri, pemuda ini duduk melamun dan menghela napas panjang. Dalam batinnya dia memanjatkan doa agar dua orang saudara misannya itu tidak akan salah memilih calon jodoh mereka masing-masing.
Souw Kian Bu yang berjalan berdua dengan Ji Kiang Bwe, berhenti di tempat sunyi lalu Kian Bu berkata, "Bwe-moi…“
Kiang Bwe berhenti dan menoleh. "Ada apakah, Bu-ko? Apa yang hendak kau bicarakan denganku maka engkau mengajak aku memisahkan diri dari yang lain?"
"Bwe-moi, terus terang saja aku hendak membicarakan urusan kita berdua. Bagaimana pendapatmu kalau pada suatu hari aku minta ayah bundaku datang ke tempat tinggalmu untuk mengajukan pinangan terhadap dirimu kepada keluargamu, wakil dari ayahmu dan juga kepada ibumu!"
Kiang Bwe tidak menjadi terkejut karena dia pun sudah menduga bahwa pemuda itu jatuh cinta kepadanya, hal yang diterimanya dengan bangga dan bahagia karena dia sendiri pun sangat tertarik kepada pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sopan itu. Akan tetapi naluri kewanitaannya memaksa dia bermerah pipi mendengar ucapan yang terus terang itu.
"Sudahkah kau pikir baik-baik niatmu itu, Bu-koko? Dan apakah ayah ibumu sudah pasti akan menyetujuinya?"
"Sudan menjadi keputusan bulat hatiku, Bwe-moi. Tentang ayah ibuku..." tiba-tiba saja dia mengerutkan alisnya dan nampak gelisah sekali, "akan kubujuk mereka agar menyetujui. Mereka harus menyetujui!"
Mendengar ucapan yang nadanya keras ini, Kiang Bwe memandang kekasihnya.
"Ada apakah, Bu-koko? Apakah engkau sangsi akan persetujuan orang tuamu?"
Kian Bu menghela napas beberapa kali, kemudian menjawab. "Bwe-moi, aku tidak akan menyembunyikan apa pun juga darimu. Aku akan berterus terang saja. Sebenarnya ayah dan ibuku sudah menentukan jodohku sejak aku masih kanak-kanak. Tentu saja aku tidak setuju, bahkan gadis yang ditunangkan dengan aku pun tidak setuju sebab sesungguhnya di antara kami masih ada hubungan keluarga dekat. Engkau tentu sudah dapat menduga siapa orangnya."
Kiang Bwe terbelalak. "Kau maksudkan... Dewi Pedang Terbang Yang Mei Li?"
"Benar."
"Ahhh... tapi dia... dia gadis yang hebat, cantik jelita dan lihai sekali!"
"Bwe-moi, ingat, kami adalah saudara misan. Ayahnya adalah kakak dari ibuku. Sejak masih kecil, kalau kami saling jumpa dan bicara, kami berdua sudah tidak setuju dengan ikatan pedjodohan itu. Dan engkau bisa melihat sendiri, adik Mei Li nampak begitu akrab dengan Sie Kwan Lee, pemuda Beng-kauw itu! Bagaimana, moi-moi, kalau orang tuaku meminangmu, engkau tidak akan menolak, bukan?"
Sambil tersenyum dan tersipu Kiang Bwe memandang kekasihnya, lalu menggelengkan kepala. "Aku hanya sangsi apakah orang tuamu akan setuju, koko."
"Terima kasih, moi-moi. Tentang orang tuaku, jangan khawatir, aku dan adik Mei Li akan berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami tidak berjodoh dan kami sudah memiliki pilihan hati masing-masing."
Pada bagian lain dari tempat itu, Yang Mei Li juga bercakap-cakap dengan Sie Kwan Lee. Pemuda yang kulit mukanya gelap wajahnya tampan ganteng dan penuh kejantanan itu berkata seperti biasanya, tegas dan jujur namun lembut,
"Li-moi, kesempatan ini akan kugunakan untuk menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Li-moi, kalau engkau berkenan menerimaku, aku cinta padamu dan aku ingin agar engkau menjadi isteriku!"
Mei Li tersenyum. Satu di antara banyak hal yang menarik hatinya dari pemuda ini adalah keterbukaan serta kejujurannya, seperti juga mendiang ayahnya. Hanya kalau mendiang Sie Wan Cu keterbukaannya itu kasar sehingga berkesan kurang ajar, sebaliknya pemuda ini jujur dengan teratur dan membatasi diri sehingga menjaga kesopanan.
"Aihh, hal itu keputusannya tergantung kepada ayah ibuku, twako."
"Tentu saja, Li-moi. Tetapi sebelum mereka memutuskan, lebih dulu aku ingin mendengar pendapatmu. Apakah engkau mau dan dapat menerima cintaku dan tidak keberatan kalau kelak aku meminangmu?"
"Aku... aku tidak keberatan dan akan merasa berbahagia sekali twako."
Bukan main gembiranya Sie Kwan Lee mendengar ini. Dengan lembut dia memegang dua tangan gadis itu, membawa tangan itu ke atas dan diciumnya dengan khidmat dan penuh perasaan. "Terima kasih, Li-moi. Ahh, engkau tidak tahu betapa besar kebahagiaan yang kurasakan saat ini!”
Mei Li terharu. Pemuda itu tetap menghargainya dan bersikap sopan. "Twako, kalau tadi aku mengatakan tergantung dari ayah ibuku, hal itu adalah sebenarnya. Ketahuilah, sejak aku masih kecil sekali, aku telah ditunangkan dengan pemuda lain."
Mei Li melihat betapa wajah itu menjadi pucat, tangannya dilepas dan pemuda itu mundur tiga langkah.
"Ahh, maafkan aku... maafkan kelancanganku."
"Jangan salah mengerti, twako. Biar pun kami sudah ditunangkan, akan tetapi kami tidak saling mencinta. Kami masih ada hubungan keluarga, dan sejak dahulu kami berdua telah mengambil keputusan untuk menolak kehendak orang tua dan membatalkan perjodohan. Engkau tentu dapat menduga siapa orangnya. Ya, dia adalah kakak Souw Kian Bu."
Wajah itu menjadi merah lagi. "Akan tetapi, kenapa kalian tidak setuju, Li-moi? Bukankah dia seorang pemuda yang hebat dan engkau seorang gadis yang hebat pula?"
"Twako, kami masih saudara misan. Sejak kecil kami sudah menganggap seperti saudara sendiri, kasih di antara kami adalah kasih sayang antara kakak dengan adik, bagaimana mungkin kita berjodoh?"
"Kalau begitu engkau engkau menerima cintaku?"
Kini barulah wajah Mei Li menjadi kemerahan dan dia mengangguk. Dia lalu menundukkan mukanya karena tersipu malu.
"Tetapi bagaimana dengan orang tuamu, Li-moi?"
"Akan kunyatakan terus terang bahwa aku tidak ingin berjodoh dengan Bu-koko, bahwa aku telah memiliki pilihan hati sendiri."
"Akukah orangnya?"
Mei Li mengangkat mukanya dan mengangguk.
Han Lin masih duduk melamun ketika dua pasang muda-mudi itu muncul. Dia tersenyum, akan tetapi pura-pura tidak tahu saja, biar pun dari wajah empat orang muda yang berseri serta sinar mata mereka yang penuh kasih itu dia tahu apa yang sudah terjadi di antara mereka. Tentu mereka telah menyatakan isi hati masing-masing.
"Lin-ko, kami datang untuk minta pertolonganmu!" kata Souw Kian Bu.
"Benar, Lin-koko. Hanya engkaulah yang akan dapat menolong kami," kata Mei Li.
Tadi gadis ini sudah mengadakan pembicaraan serius dengan Souw Kian Bu, disaksikan oleh kekasih masing-masing, dan mereka mengambil keputusan untuk minta pertolongan Han Lin.
Han Lin mengangkat alisnya kemudian tersenyum. "Aih, ada urusan apakah? Pertolongan apakah yang akan dapat kuberikan kepada kalian?"
Mei Li saling pandang dengan Kian Bu dan akhirnya Mei Li yang menjadi juru bicara. "Lin-koko, maafkan kami. Baru saja bertemu denganmu kami sudah membikin repot dan minta bantuanmu. Ketahuilah, koko, semenjak kecil aku dan koko Kian Bu telah dijodohkan oleh orang tua kita."
Meski pun dia tahu bahwa di sini timbul keruwetan karena masing-masing agaknya sudah memilih pasangan, Han Lin mengangguk-angguk tersenyum. "Wah, itu baik sekali!"
"Apanya yang baik?" kata Mei Li cemberut. "Sama sekali tidak baik, koko."
"Lho? Kenapa?" tanya Han Lin sambil menoleh, memandang kepada Kian Bu. Pemuda ini juga menggeleng kepalanya sambil menghela napas.
"Memang tidak baik, Lin-ko," katanya.
"Ehh? Kalian ini bagaimana sih? Dijodohkan orang tua, kenapa bilang tidak baik? Apakah Bu-te kurang tampan dan gagah? Apakah Li-moi kurang cantik jelita dan perkasa?"
"Bukan begitu, Lin-koko. Engkau tahu sendiri bahwa kami adalah kakak adik misan. Sejak kecil kami memang sudah tidak setuju karena kami berdua saling sayang sebagai kakak dan adik. Bagaimana mungkin kami bisa menjadi suami isteri?" kata Mei Li.
Han Lin mengangguk-angguk. "Ahh, begitukah? Nah, mengapa kalian minta pertolongan dariku? Apa yang dapat kulakukan untuk kalian dalam hal ini?"
Mei Li memandang Kian Bu. "Bu-koko, engkau saja yang menjelaskan kepada Lin-ko."
Kian Bu berkata kepada Han Lin, "Begini, Lin-ko. Kami tidak dapat menerima perjodohan itu dan terus terang saja, sekarang kami sudah menemukan pilihan hati masing-masing. Aku dan adik Ji Kiang Bwe telah bersepakat untuk membina rumah tangga, sedangkan Li-moi dan saudara Kwan Lee juga sudah saling mencinta untuk kemudian berjodoh."
Han Lin pun mengangguk-angguk. Dia tak merasa heran karena memang telah menduga demikian. "Kalau begitu, apa yang dapat kulakukan untuk kalian?"
"Begini, koko," kata Mei Li. "Nanti kami pasti akan mendapat tentangan dan kesulitan dari orang tua kami. Karena itu kami mohon agar engkau suka menjadi pembicara membela dan membantu kami di depan orang tua kami, membujuk mereka agar menyetujui pilihan hati kami masing-masing dan tidak memaksa aku dan Bu-ko saling berjodoh."
"Wah, aku kalian angkat menjadi comblang?" Han Lin bertanya sambil tertawa, lalu cepat disambungnya dengan sungguh-sungguh. "Baiklah, aku akan membantu kalian. Mudah-mudahan saja bantuanku ada gunanya."
"Terima kasih, Lin-ko."
"Terima kasih, Lin-koko."
"Akan tetapi kurasa hal ini tidak mudah. Apa lagi bagi adik Mei Li. Terus terang saja, kalau Bu-te hendak berjodoh dengan nona Ji Kiang Bwe yang menjadi ketua Kim-kok-pang, hal itu tidak akan ada masalahnya bagi orang tuanya, akan tetapi engkau, Li-moi. Maafkan aku, saudara Kwan Lee. Akan tetapi kalau orang tuamu mendengar bahwa engkau akan berjodoh dengan putera ketua Beng-kauw, aku sangsi apakah mereka mau menyetujui."
"Tidak apa-apa, Sia-taihiap. Aku menyadari keadaanku. Memang nama Beng-kauw telah menjadi demikian buruk di mata para pendekar, tetapi aku berani menghadapi kenyataan, bahkan andai kata aku ditampik sekali pun. Bagaimana pun, bila sudah dicoba, aku tidak akan menjadi penasaran."
"Jangan khawatir, Lee-ko, ayah ibu bukanlah orang yang kukuh. Aku yakin Lin-koko pasti akan mampu mencairkan hati mereka, sebab aku sendiri juga tidak mau dipaksa menikah dengan orang lain."
"Begitulah seharusnya sikap orang muda. Jangan menyerah sebelum diusahakan. Karena dalam hal ini pendapat Bu-te juga sangat diperlukan untuk memperkuat bujukan terhadap Paman Yang Cin Han, maka aku mengusulkan agar kalian berempat bersama aku pergi menghadap beliau dan bibi. Sesudah berhasil barulah pergi menghadap bibi Yang Kui Lan dan suaminya. Bagaimana pendapat kalian?"
Mei Li dan Kian Bu tentu saja menyetujui. Pada saat itu muncullah Kang Hin dan Kwan Eng. Wajah kedua orang ini menjadi kemerahan ketika lima muda-mudi itu memandang kepada mereka.
Kang Hin sudah melihat keakraban aritara Mei li dan Kwan Lee, maka dia maklum bahwa harapannya untuk berjodoh dengan Mei Li sia-sia belaka. Maka, ketika melihat Kwan Eng bersikap mesra kepadanya, dia langsung menyambutnya karena dia pun tertarik sekali kepada puteri Beng-kauw yang cantik manis itu.
Han Lin cepat mendahului yang lain. "Saudara Ciu Kang Hin, dan juga nona Kwan Eng, aku mengucapkan selamat kepada kalian!"
Dua orang itu terbelalak, dan kedua pipi mereka menjadi semakin merah. "Ehh, saudara Sia Han Lin, mengapa engkau mengucapkan selamat kepada kami berdua?"
Han Lin tidak menjawab melainkan tertawa, dan empat orang yang lain ikut pula tertawa. Melihat lima orang muda itu tertawa-tawa gembira, Kang Hin dan Kwan Eng hanya dapat saling pandang dengan tersipu. Lalu Kang Hin bicara dengan sejujurnya.
"Baiklah, terima kasih atas ucapan selamat itu. Memang aku dan nona Sie Kwan Eng telah bersepakat untuk menjadi suami isteri." Dia memandang kepada Mei Li dan gadis ini kelihatan paling gembira mendengar ucapan itu.
"Bagus dan selamat, Ciu-twako! Kalian memang merupakan jodoh yang cocok sekali!"
Kwan Lee yang memang tidak pernah menyimpan rahasia itu, kemudian berkata kepada adiknya, "Adik Eng, engkau pulanglah dulu dan beri tahukan kepada ibu bahwa aku akan pergi dulu kepada orang tua nona Yang Mei Li untuk membicarakan urusan perjodohan kami, bersama dengan saudara Sia Han Lin, saudara Souw Kian Bu dan nona Ji Kiang Bwe."
Kini Kang Hin yang menjadi girang sekali. Tadinya dia merasa agak sungkan kepada Mei Li karena belum begitu lama dia mengaku cinta kepada gadis itu dan sekarang dia telah menyatakan hendak berjodoh dengan gadis lain!
"Ahh, pilihan yang tepat sekali! Kionghi (selamat), kionghi!" katanya berulang-ulang.
Melihat mereka saling memberi selamat, Han Lin pun tertawa. "Kalian lupa untuk memberi selamat kepada pasangan ke tiga antara saudara Souw Kian Bu dan nona Ji Kiang Bwe."
Demikianlah, tiga pasang orang muda itu saling memberi selamat dalam suasana yang gembira dan bahkan tersipu. Dan selagi mereka berenam itu bergembira tertawa, secara diam-diam Han Lin merasa betapa sepinya hati ini.
Mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Ji Kiang Bwe bersama Souw Kian Bu, dan Mei Li bersama Kwan Lee, pergi bersama Han Lin. Sedangkan Ciu Kang Hin dan Sie Kwan Eng pergi berdua, menuju ke pusat Beng-kauw untuk menghadap ibu Kwan Eng, minta doa restu atas pilihan hatinya. Bagi Sie Kwan Eng tak ada halangan sesuatu karena memang sudah merupakan kebiasaan keluarganya di Beng-kauw untuk menentukan dan memilih sendiri calon jodohnya.
Atas bantuan Han Lin yang diterima oleh suami isteri Yang Cin Han dan Can Kim Hong dengan gembira, akhirnya suami isteri itu pun dapat menerima pilihan hati puteri mereka. Memang tadinya mereka merasa tidak enak sekali kepada Souw Kian Bu. Tetapi setelah melihat kenyataan bahwa Kian Bu juga mendapat pilihan hatinya sendiri, mereka pun tak dapat berkata apa-apa lagi.
Kenyataan bahwa puteri mereka memilih putera Beng-kauw menjadi calon suami sempat membuat suami isteri itu mengerutkan alis, akan tetapi kesaksian dan pembelaan Han Lin akan kebaikan calon mantu itu membuat mereka akhirnya menyetujui pula.
Sesudah orang tua Mei Li setuju, Han Lin mengantar mereka berlima menghadap Souw Hui San dan Yang Kui Lan. Juga di sini Han Lin memegang peran besar sebagai pembela dan pembujuk sehingga akhirnya suami isteri ini pun menyetujui.
Demikianlah, dua pasang kekasih itu, seperti juga halnya pasangan Ciu Kang Hin dan Sie Kwan Eng, akhirnya menikah dengan penuh kebahagiaan. Pernikahan tiga pasangan itu dihadiri oleh Sia Han Lin dan setelah selesai menghadiri undangan, Sia Han Lin lalu pergi seorang diri.
Sore itu dia tiba di puncak sebuah bukit yang sangat indah pemandangannya. Senja hari yang cerah. Matahari senja menciptakan pemandangan menakjubkan di langit barat. Han Lin berdiri termenung. Hatinya terasa sunyi, sepi, menyendiri dan seolah hidup ini kosong, sama sekali tidak ada artinya baginya. Akan tetapi, ketika tangannya meraba pinggang, tangan itu bertemu dengan pedang yang tergantung di pinggang.
Dia sadar dan mencabut pedangnya. Nampak sinar yang menyamai warna langit di barat. Han Lin memandang pedangnya, kemudian menancapkan tongkat bututnya di atas tanah. Digerakkan pedang itu dan pada lain saat dia telah bersilat pedang. Nampak sinar merah bergulung-gulung dan terdengar suara angin menderu-deru, dan daun-daun kering rontok seolah ditiup badai.
Han Lin terus bersilat memainkan pedangnya. Perlahan-lahan sinar merah di barat makin layu dan kegelapan makin menyelimuti bumi sampai Han Lin yang bermain pedang ditelan kegelapan malam…..
Kini mereka bertujuh duduk di bawah pohon, jauh dari tempat pertempuran tadi. Pedang merah milik Hoat Lan Siansu tadi disimpan oleh Han Lin.
"Pedang ini merupakan pusaka yang baik. Sayang kalau dibiarkan tergeletak di sana dan kelak terjatuh ke tangan orang jahat. Kelak, bila mana Hoat-kauw sudah kembali ke jalan benar, dipimpin oleh ketua yang baik, aku sendiri yang akan mengembalikan pedang ini kepada pangcu baru itu," demikian katanya kepada yang lain.
Ketika diperiksa dengan teliti, pedang itu diukir dengan tiga huruf yang berbunyi ‘Ang-in-kiam’ (Pedang Awan Merah). Sebuah nama yang sangat indah dan tepat karena sinar merah yang dikeluarkan pedang itu seolah-olah merahnya awan yang terbakar matahari di waktu senja.
Entah disengaja atau tidak, ketika tujuh orang itu duduk di bawah pohon bercakap-cakap, Sie Kwan Lee mendekati Yang Mei Li dan Sie Kwan Eng mendekati Ciu Kang Hin, ada pun Souw Kian Bu dengan sendirinya mendekati Ji Kiang Bwe yang dicintanya. Semua ini tak dapat lepas dari perhatian Han Lin.
Diam-diam dia merasa girang sekali melihat Souw Kian Bu begitu akrab dengan Ji Kiang Bwe karena dia dapat melihat bahwa gadis ketua Kim-kok-pang ini memang cukup pantas untuk menjadi jodoh adik misannya itu. Juga dia melihat bahwa Kang Hin sering bertukar pandang dengan Sie Kwan Eng, atau Sie Kwan Eng memandang kepada pemuda ketua Nam-kiang-pang itu dengan sinar mata berseri-seri yang mengandung perasaan kagum dan sayang.
Akan tetapi satu hal dirasakan seolah menusuk perasaannya, yaitu sikap Mei Li terhadap Sie Kwan Lee. Di antara kedua orang muda ini pun jelas terdapat hubungan batin yang mesra. Dia cepat menekan perasaannya, mengusir perasaan cemburu dan tidak senang yang menyesak di dalam dadanya.
Bodoh kau, dia menegur diri sendiri. Dara itu adalah adik misannya, bukan orang lain, jadi jangan mengharapkan yang bukan-bukan!
Tujuh orang muda itu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing dan ketika tiba giliran Han Lin, dia hanya menceritakan bahwa dia menjadi murid mendiang Kong Hwi Hosiang, kemudian memperdalam ilmu-ilmunya di dalam perantauannya. Sesuai dengan pesan Lo-jin, dia tidak berani bercerita tentang gurunya yang terakhir itu.
Ketika dengan alasan untuk membicarakan sesuatu tiga pasang orang muda itu menjauhi tempat itu, meninggalkan Han Lin seorang diri, pemuda ini duduk melamun dan menghela napas panjang. Dalam batinnya dia memanjatkan doa agar dua orang saudara misannya itu tidak akan salah memilih calon jodoh mereka masing-masing.
Souw Kian Bu yang berjalan berdua dengan Ji Kiang Bwe, berhenti di tempat sunyi lalu Kian Bu berkata, "Bwe-moi…“
Kiang Bwe berhenti dan menoleh. "Ada apakah, Bu-ko? Apa yang hendak kau bicarakan denganku maka engkau mengajak aku memisahkan diri dari yang lain?"
"Bwe-moi, terus terang saja aku hendak membicarakan urusan kita berdua. Bagaimana pendapatmu kalau pada suatu hari aku minta ayah bundaku datang ke tempat tinggalmu untuk mengajukan pinangan terhadap dirimu kepada keluargamu, wakil dari ayahmu dan juga kepada ibumu!"
Kiang Bwe tidak menjadi terkejut karena dia pun sudah menduga bahwa pemuda itu jatuh cinta kepadanya, hal yang diterimanya dengan bangga dan bahagia karena dia sendiri pun sangat tertarik kepada pemuda yang tampan, gagah perkasa dan sopan itu. Akan tetapi naluri kewanitaannya memaksa dia bermerah pipi mendengar ucapan yang terus terang itu.
"Sudahkah kau pikir baik-baik niatmu itu, Bu-koko? Dan apakah ayah ibumu sudah pasti akan menyetujuinya?"
"Sudan menjadi keputusan bulat hatiku, Bwe-moi. Tentang ayah ibuku..." tiba-tiba saja dia mengerutkan alisnya dan nampak gelisah sekali, "akan kubujuk mereka agar menyetujui. Mereka harus menyetujui!"
Mendengar ucapan yang nadanya keras ini, Kiang Bwe memandang kekasihnya.
"Ada apakah, Bu-koko? Apakah engkau sangsi akan persetujuan orang tuamu?"
Kian Bu menghela napas beberapa kali, kemudian menjawab. "Bwe-moi, aku tidak akan menyembunyikan apa pun juga darimu. Aku akan berterus terang saja. Sebenarnya ayah dan ibuku sudah menentukan jodohku sejak aku masih kanak-kanak. Tentu saja aku tidak setuju, bahkan gadis yang ditunangkan dengan aku pun tidak setuju sebab sesungguhnya di antara kami masih ada hubungan keluarga dekat. Engkau tentu sudah dapat menduga siapa orangnya."
Kiang Bwe terbelalak. "Kau maksudkan... Dewi Pedang Terbang Yang Mei Li?"
"Benar."
"Ahhh... tapi dia... dia gadis yang hebat, cantik jelita dan lihai sekali!"
"Bwe-moi, ingat, kami adalah saudara misan. Ayahnya adalah kakak dari ibuku. Sejak masih kecil, kalau kami saling jumpa dan bicara, kami berdua sudah tidak setuju dengan ikatan pedjodohan itu. Dan engkau bisa melihat sendiri, adik Mei Li nampak begitu akrab dengan Sie Kwan Lee, pemuda Beng-kauw itu! Bagaimana, moi-moi, kalau orang tuaku meminangmu, engkau tidak akan menolak, bukan?"
Sambil tersenyum dan tersipu Kiang Bwe memandang kekasihnya, lalu menggelengkan kepala. "Aku hanya sangsi apakah orang tuamu akan setuju, koko."
"Terima kasih, moi-moi. Tentang orang tuaku, jangan khawatir, aku dan adik Mei Li akan berusaha keras meyakinkan mereka bahwa kami tidak berjodoh dan kami sudah memiliki pilihan hati masing-masing."
Pada bagian lain dari tempat itu, Yang Mei Li juga bercakap-cakap dengan Sie Kwan Lee. Pemuda yang kulit mukanya gelap wajahnya tampan ganteng dan penuh kejantanan itu berkata seperti biasanya, tegas dan jujur namun lembut,
"Li-moi, kesempatan ini akan kugunakan untuk menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Li-moi, kalau engkau berkenan menerimaku, aku cinta padamu dan aku ingin agar engkau menjadi isteriku!"
Mei Li tersenyum. Satu di antara banyak hal yang menarik hatinya dari pemuda ini adalah keterbukaan serta kejujurannya, seperti juga mendiang ayahnya. Hanya kalau mendiang Sie Wan Cu keterbukaannya itu kasar sehingga berkesan kurang ajar, sebaliknya pemuda ini jujur dengan teratur dan membatasi diri sehingga menjaga kesopanan.
"Aihh, hal itu keputusannya tergantung kepada ayah ibuku, twako."
"Tentu saja, Li-moi. Tetapi sebelum mereka memutuskan, lebih dulu aku ingin mendengar pendapatmu. Apakah engkau mau dan dapat menerima cintaku dan tidak keberatan kalau kelak aku meminangmu?"
"Aku... aku tidak keberatan dan akan merasa berbahagia sekali twako."
Bukan main gembiranya Sie Kwan Lee mendengar ini. Dengan lembut dia memegang dua tangan gadis itu, membawa tangan itu ke atas dan diciumnya dengan khidmat dan penuh perasaan. "Terima kasih, Li-moi. Ahh, engkau tidak tahu betapa besar kebahagiaan yang kurasakan saat ini!”
Mei Li terharu. Pemuda itu tetap menghargainya dan bersikap sopan. "Twako, kalau tadi aku mengatakan tergantung dari ayah ibuku, hal itu adalah sebenarnya. Ketahuilah, sejak aku masih kecil sekali, aku telah ditunangkan dengan pemuda lain."
Mei Li melihat betapa wajah itu menjadi pucat, tangannya dilepas dan pemuda itu mundur tiga langkah.
"Ahh, maafkan aku... maafkan kelancanganku."
"Jangan salah mengerti, twako. Biar pun kami sudah ditunangkan, akan tetapi kami tidak saling mencinta. Kami masih ada hubungan keluarga, dan sejak dahulu kami berdua telah mengambil keputusan untuk menolak kehendak orang tua dan membatalkan perjodohan. Engkau tentu dapat menduga siapa orangnya. Ya, dia adalah kakak Souw Kian Bu."
Wajah itu menjadi merah lagi. "Akan tetapi, kenapa kalian tidak setuju, Li-moi? Bukankah dia seorang pemuda yang hebat dan engkau seorang gadis yang hebat pula?"
"Twako, kami masih saudara misan. Sejak kecil kami sudah menganggap seperti saudara sendiri, kasih di antara kami adalah kasih sayang antara kakak dengan adik, bagaimana mungkin kita berjodoh?"
"Kalau begitu engkau engkau menerima cintaku?"
Kini barulah wajah Mei Li menjadi kemerahan dan dia mengangguk. Dia lalu menundukkan mukanya karena tersipu malu.
"Tetapi bagaimana dengan orang tuamu, Li-moi?"
"Akan kunyatakan terus terang bahwa aku tidak ingin berjodoh dengan Bu-koko, bahwa aku telah memiliki pilihan hati sendiri."
"Akukah orangnya?"
Mei Li mengangkat mukanya dan mengangguk.
Han Lin masih duduk melamun ketika dua pasang muda-mudi itu muncul. Dia tersenyum, akan tetapi pura-pura tidak tahu saja, biar pun dari wajah empat orang muda yang berseri serta sinar mata mereka yang penuh kasih itu dia tahu apa yang sudah terjadi di antara mereka. Tentu mereka telah menyatakan isi hati masing-masing.
"Lin-ko, kami datang untuk minta pertolonganmu!" kata Souw Kian Bu.
"Benar, Lin-koko. Hanya engkaulah yang akan dapat menolong kami," kata Mei Li.
Tadi gadis ini sudah mengadakan pembicaraan serius dengan Souw Kian Bu, disaksikan oleh kekasih masing-masing, dan mereka mengambil keputusan untuk minta pertolongan Han Lin.
Han Lin mengangkat alisnya kemudian tersenyum. "Aih, ada urusan apakah? Pertolongan apakah yang akan dapat kuberikan kepada kalian?"
Mei Li saling pandang dengan Kian Bu dan akhirnya Mei Li yang menjadi juru bicara. "Lin-koko, maafkan kami. Baru saja bertemu denganmu kami sudah membikin repot dan minta bantuanmu. Ketahuilah, koko, semenjak kecil aku dan koko Kian Bu telah dijodohkan oleh orang tua kita."
Meski pun dia tahu bahwa di sini timbul keruwetan karena masing-masing agaknya sudah memilih pasangan, Han Lin mengangguk-angguk tersenyum. "Wah, itu baik sekali!"
"Apanya yang baik?" kata Mei Li cemberut. "Sama sekali tidak baik, koko."
"Lho? Kenapa?" tanya Han Lin sambil menoleh, memandang kepada Kian Bu. Pemuda ini juga menggeleng kepalanya sambil menghela napas.
"Memang tidak baik, Lin-ko," katanya.
"Ehh? Kalian ini bagaimana sih? Dijodohkan orang tua, kenapa bilang tidak baik? Apakah Bu-te kurang tampan dan gagah? Apakah Li-moi kurang cantik jelita dan perkasa?"
"Bukan begitu, Lin-koko. Engkau tahu sendiri bahwa kami adalah kakak adik misan. Sejak kecil kami memang sudah tidak setuju karena kami berdua saling sayang sebagai kakak dan adik. Bagaimana mungkin kami bisa menjadi suami isteri?" kata Mei Li.
Han Lin mengangguk-angguk. "Ahh, begitukah? Nah, mengapa kalian minta pertolongan dariku? Apa yang dapat kulakukan untuk kalian dalam hal ini?"
Mei Li memandang Kian Bu. "Bu-koko, engkau saja yang menjelaskan kepada Lin-ko."
Kian Bu berkata kepada Han Lin, "Begini, Lin-ko. Kami tidak dapat menerima perjodohan itu dan terus terang saja, sekarang kami sudah menemukan pilihan hati masing-masing. Aku dan adik Ji Kiang Bwe telah bersepakat untuk membina rumah tangga, sedangkan Li-moi dan saudara Kwan Lee juga sudah saling mencinta untuk kemudian berjodoh."
Han Lin pun mengangguk-angguk. Dia tak merasa heran karena memang telah menduga demikian. "Kalau begitu, apa yang dapat kulakukan untuk kalian?"
"Begini, koko," kata Mei Li. "Nanti kami pasti akan mendapat tentangan dan kesulitan dari orang tua kami. Karena itu kami mohon agar engkau suka menjadi pembicara membela dan membantu kami di depan orang tua kami, membujuk mereka agar menyetujui pilihan hati kami masing-masing dan tidak memaksa aku dan Bu-ko saling berjodoh."
"Wah, aku kalian angkat menjadi comblang?" Han Lin bertanya sambil tertawa, lalu cepat disambungnya dengan sungguh-sungguh. "Baiklah, aku akan membantu kalian. Mudah-mudahan saja bantuanku ada gunanya."
"Terima kasih, Lin-ko."
"Terima kasih, Lin-koko."
"Akan tetapi kurasa hal ini tidak mudah. Apa lagi bagi adik Mei Li. Terus terang saja, kalau Bu-te hendak berjodoh dengan nona Ji Kiang Bwe yang menjadi ketua Kim-kok-pang, hal itu tidak akan ada masalahnya bagi orang tuanya, akan tetapi engkau, Li-moi. Maafkan aku, saudara Kwan Lee. Akan tetapi kalau orang tuamu mendengar bahwa engkau akan berjodoh dengan putera ketua Beng-kauw, aku sangsi apakah mereka mau menyetujui."
"Tidak apa-apa, Sia-taihiap. Aku menyadari keadaanku. Memang nama Beng-kauw telah menjadi demikian buruk di mata para pendekar, tetapi aku berani menghadapi kenyataan, bahkan andai kata aku ditampik sekali pun. Bagaimana pun, bila sudah dicoba, aku tidak akan menjadi penasaran."
"Jangan khawatir, Lee-ko, ayah ibu bukanlah orang yang kukuh. Aku yakin Lin-koko pasti akan mampu mencairkan hati mereka, sebab aku sendiri juga tidak mau dipaksa menikah dengan orang lain."
"Begitulah seharusnya sikap orang muda. Jangan menyerah sebelum diusahakan. Karena dalam hal ini pendapat Bu-te juga sangat diperlukan untuk memperkuat bujukan terhadap Paman Yang Cin Han, maka aku mengusulkan agar kalian berempat bersama aku pergi menghadap beliau dan bibi. Sesudah berhasil barulah pergi menghadap bibi Yang Kui Lan dan suaminya. Bagaimana pendapat kalian?"
Mei Li dan Kian Bu tentu saja menyetujui. Pada saat itu muncullah Kang Hin dan Kwan Eng. Wajah kedua orang ini menjadi kemerahan ketika lima muda-mudi itu memandang kepada mereka.
Kang Hin sudah melihat keakraban aritara Mei li dan Kwan Lee, maka dia maklum bahwa harapannya untuk berjodoh dengan Mei Li sia-sia belaka. Maka, ketika melihat Kwan Eng bersikap mesra kepadanya, dia langsung menyambutnya karena dia pun tertarik sekali kepada puteri Beng-kauw yang cantik manis itu.
Han Lin cepat mendahului yang lain. "Saudara Ciu Kang Hin, dan juga nona Kwan Eng, aku mengucapkan selamat kepada kalian!"
Dua orang itu terbelalak, dan kedua pipi mereka menjadi semakin merah. "Ehh, saudara Sia Han Lin, mengapa engkau mengucapkan selamat kepada kami berdua?"
Han Lin tidak menjawab melainkan tertawa, dan empat orang yang lain ikut pula tertawa. Melihat lima orang muda itu tertawa-tawa gembira, Kang Hin dan Kwan Eng hanya dapat saling pandang dengan tersipu. Lalu Kang Hin bicara dengan sejujurnya.
"Baiklah, terima kasih atas ucapan selamat itu. Memang aku dan nona Sie Kwan Eng telah bersepakat untuk menjadi suami isteri." Dia memandang kepada Mei Li dan gadis ini kelihatan paling gembira mendengar ucapan itu.
"Bagus dan selamat, Ciu-twako! Kalian memang merupakan jodoh yang cocok sekali!"
Kwan Lee yang memang tidak pernah menyimpan rahasia itu, kemudian berkata kepada adiknya, "Adik Eng, engkau pulanglah dulu dan beri tahukan kepada ibu bahwa aku akan pergi dulu kepada orang tua nona Yang Mei Li untuk membicarakan urusan perjodohan kami, bersama dengan saudara Sia Han Lin, saudara Souw Kian Bu dan nona Ji Kiang Bwe."
Kini Kang Hin yang menjadi girang sekali. Tadinya dia merasa agak sungkan kepada Mei Li karena belum begitu lama dia mengaku cinta kepada gadis itu dan sekarang dia telah menyatakan hendak berjodoh dengan gadis lain!
"Ahh, pilihan yang tepat sekali! Kionghi (selamat), kionghi!" katanya berulang-ulang.
Melihat mereka saling memberi selamat, Han Lin pun tertawa. "Kalian lupa untuk memberi selamat kepada pasangan ke tiga antara saudara Souw Kian Bu dan nona Ji Kiang Bwe."
Demikianlah, tiga pasang orang muda itu saling memberi selamat dalam suasana yang gembira dan bahkan tersipu. Dan selagi mereka berenam itu bergembira tertawa, secara diam-diam Han Lin merasa betapa sepinya hati ini.
Mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Ji Kiang Bwe bersama Souw Kian Bu, dan Mei Li bersama Kwan Lee, pergi bersama Han Lin. Sedangkan Ciu Kang Hin dan Sie Kwan Eng pergi berdua, menuju ke pusat Beng-kauw untuk menghadap ibu Kwan Eng, minta doa restu atas pilihan hatinya. Bagi Sie Kwan Eng tak ada halangan sesuatu karena memang sudah merupakan kebiasaan keluarganya di Beng-kauw untuk menentukan dan memilih sendiri calon jodohnya.
Atas bantuan Han Lin yang diterima oleh suami isteri Yang Cin Han dan Can Kim Hong dengan gembira, akhirnya suami isteri itu pun dapat menerima pilihan hati puteri mereka. Memang tadinya mereka merasa tidak enak sekali kepada Souw Kian Bu. Tetapi setelah melihat kenyataan bahwa Kian Bu juga mendapat pilihan hatinya sendiri, mereka pun tak dapat berkata apa-apa lagi.
Kenyataan bahwa puteri mereka memilih putera Beng-kauw menjadi calon suami sempat membuat suami isteri itu mengerutkan alis, akan tetapi kesaksian dan pembelaan Han Lin akan kebaikan calon mantu itu membuat mereka akhirnya menyetujui pula.
Sesudah orang tua Mei Li setuju, Han Lin mengantar mereka berlima menghadap Souw Hui San dan Yang Kui Lan. Juga di sini Han Lin memegang peran besar sebagai pembela dan pembujuk sehingga akhirnya suami isteri ini pun menyetujui.
Demikianlah, dua pasang kekasih itu, seperti juga halnya pasangan Ciu Kang Hin dan Sie Kwan Eng, akhirnya menikah dengan penuh kebahagiaan. Pernikahan tiga pasangan itu dihadiri oleh Sia Han Lin dan setelah selesai menghadiri undangan, Sia Han Lin lalu pergi seorang diri.
Sore itu dia tiba di puncak sebuah bukit yang sangat indah pemandangannya. Senja hari yang cerah. Matahari senja menciptakan pemandangan menakjubkan di langit barat. Han Lin berdiri termenung. Hatinya terasa sunyi, sepi, menyendiri dan seolah hidup ini kosong, sama sekali tidak ada artinya baginya. Akan tetapi, ketika tangannya meraba pinggang, tangan itu bertemu dengan pedang yang tergantung di pinggang.
Dia sadar dan mencabut pedangnya. Nampak sinar yang menyamai warna langit di barat. Han Lin memandang pedangnya, kemudian menancapkan tongkat bututnya di atas tanah. Digerakkan pedang itu dan pada lain saat dia telah bersilat pedang. Nampak sinar merah bergulung-gulung dan terdengar suara angin menderu-deru, dan daun-daun kering rontok seolah ditiup badai.
Han Lin terus bersilat memainkan pedangnya. Perlahan-lahan sinar merah di barat makin layu dan kegelapan makin menyelimuti bumi sampai Han Lin yang bermain pedang ditelan kegelapan malam…..
T A M A T
>>>> PEDANG AWAN MERAH <<<<
Bagian Ke-03 SERIAL MESTIKA BURUNG HONG KEMALA