Pedang Awan Merah Jilid 01


Satu di antara puncak-puncak pegunungan Thai-san oleh para penghuni dusun-dusun di sebelah timur puncak itu disebut Puncak Awan Merah. Nama ini muncul karena keadaan puncak itu di waktu senja. Matahari selalu saja bersembunyi di balik puncak, di atas dan sekitar puncak, diliputi sinar matahari senja yang membuat awan-awan itu tampak merah.

Senja itu udara sangat cerah dan sinar kemerahan itu bagaikan emas berkilauan. Seperti biasa, puncak itu sunyi sekali karena memang puncak itu hanya indah dipandang namun tanahnya tidak subur karena mengandung kapur sehingga tidak nampak dusun di sekitar situ. Dusun-dusun kecil hanya terdapat di lereng dan di kaki pegunungan Thai-san. Hanya para pemburu binatang hutan saja yang kadang-kadang berkeliaran di tempat itu, tentu saja pada waktu siang hari.

Akan tetapi pada senja hari yang cerah dan indah itu kesunyian puncak terganggu oleh tiga orang yang mendaki puncak, sehingga burung-burung yang sudah mulai beterbangan pulang ke sarang menjadi terkejut kemudian kembali terbang pergi sambil memekik-mekik memperingatkan kawan-kawan mereka. Padahal kemunculan tiga orang itu tentu tak akan mendatangkan rasa takut bagi manusia pada umumnya, malah mendatangkan rasa aman karena mereka adalah tiga orang pendeta-pendeta.

Yang pertama adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun, berpakaian sebagai tosu dengan jubah berwarna kuning, tubuhnya tinggi kurus dan ada pedang di punggungnya. Pada wajahnya yang kurus terbayang kesabaran dan kebijaksanaan seperti yang terdapat pada kebanyakan wajah para pertapa. Wajah yang nampak kurus itu bermata sipit sekali, hidungnya pesek dan mulutnya membayangkan senyum. Tangannya memegang sebuah hudtim (kebutan pertapa).

Orang kedua juga seorang kakek berusia lima puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan pakaiannya pun jubah pendeta berwarna biru muda. Wajah si tinggi besar ini agak hitam, matanya lebar dan hidungnya besar, mulutnya yang lebar juga selalu tersenyum. Seperti rekannya, ia pun membawa pedang di punggung, akan tetapi tangannya tidak memegang hudtim melainkan sebatang tongkat bambu.

Ada pun orang ketiga adalah seorang wanita yang usianya juga sudah lima puluh lima tahun akan tetapi masih nampak segar dan bersih, tanpa keriput di wajahnya yang masih membayangkan kecantikan, gerak-geriknya pun lembut dan rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya jubah pertapa yang berwarna putih dengan garis-garis kuning. Wanita itu pun membawa pedang di punggung dan tangannya memegang sebuah kebutan pula, dengan bulu-bulu warna putih.

Kalau ada orang kang-ouw kebetulan berada di situ dan melihat mereka, dia tentu akan terkejut dan mengenal mereka karena tiga orang ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang sangat terkenal. Kakak tinggi kurus itu berjuluk Tiong Sin Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang terkenal di dunia persilatan karena mempunyai ilmu yang tinggi. Orang ke dua yang tinggi besar bermuka kehitaman juga tidak kalah terkenalnya, karena dia adalah Thian Gi Tosu, tokoh Go-bi-pai. Ada pun orang ketiga adalah seorang tokoh Kwan-im-pai yang berjuluk Lian Hwa Siankouw.

Tiga orang tokoh kang-ouw ini baru saja meninggalkan Thai-san-pai yang merayakan hari ulang tahun di mana mereka menjadi tamu dan di tempat itu mereka mendengar tentang keindahan Puncak Awan Merah, maka senja hari itu mereka bertiga berkunjung ke situ. Mereka mendengar bahwa Puncak Awan Merah amat indah untuk dikunjungi pada waktu senja dan kebetulan sekali senja itu cerah sekali.

Tiba-tiba Lian Hwa Siankouw menuding ke depan. “Lihat, bukankah itu sinar pedang?”

Dua orang rekannya memandang dan berseru kagum. “Kiam-sut yang hebat!” puji Tiong Sin Tojin.

“Mari kita lihat!” kata Thian Gi Tosu lalu mereka menggunakan ilmu berlari cepat mendaki puncak itu dari mana nampak sinar pedang bergulung-gulung.

Setelah tiba di puncak dan dapat melihat orang yang bermain pedang, ketiga orang yang berilmu tinggi itu menjadi tertegun dan kagum. Di sana, di bawah pohon besar, nampak seorang pemuda tengah bersilat pedang. Mereka terpesona sekali dengan keindahan ilmu silat pedang yang dimainkan pemuda itu.
Image result for pedang awan merah
Pemuda itu berusia dua puluh satu tahun, tubuhnya tinggi tegap dengan wajah tampan yang membayangkan kejantanan. Kulit mukanya putih, rambutnya hitam lebat, matanya mencorong tajam dan bibirnya membayangkan senyum, akan tetapi rahang dan dagunya keras membuat dia nampak jantan dan gagah. Pemuda ini bernama Sia Han Lin!

Dia bukan pemuda biasa karena dia adalah putera mendiang Sia Su Beng, pemberontak yang telah menjatuhkan kekuasaan pemberontak An Lu Shan dan puteranya. Namun Sia Su Beng akhirnya dipukul hancur oleh pasukan Kerajaan Tang yang menyusun kekuatan di Barat lantas kembali ke kota raja Tiang-an. Sia Su Beng gugur bersama isterinya yang bernama Yang Kui Bi dan putera tunggal mereka, yaitu Sia Han Lin, dapat diselamatkan dan dilarikan oleh seorang inang pengasuh.

Inilah pemuda itu, Sia Han Lin, kini telah menjadi seorang pemuda perkasa yang berilmu tinggi karena dia digembleng oleh Kong Hwi Hosiang, kemudian ilmunya disempurnakan di bawah gemblengan seorang kakek sakti yang hanya dikenalnya dengan sebutan Lo-jin (orang tua).

Dalam petualangannya sebagai seorang pendekar muda, Han Lin turut membasmi Hoat-kauw yang bersekutu dengan orang-orang Mongol yang dipimpin Sam Mo-ong. Sesudah pimpinan Hoat-kauw dapat dibasmi, Han Lin merampas pedang yang tadinya milik ketua Hoat-kauw. Dia menganggap pedang itu bagus sekali maka sayang kalau terbuang begitu saja, apa lagi kalau terjatuh ke tangan orang jahat.

Pedang itu diambilnya dengan maksud bila kelak Hoat-kauw sudah kembali ke jalan benar dan dipimpin seorang ketua baru yang baik dan bijaksana, dia tentu akan mengembalikan pedang itu yang dianggapnya menjadi hak pemimpin Hoat-kauw. Sementara ini dia yang akan menyimpan pedang itu.

Karena pedang itu ternyata cocok sekali dengannya, dia lantas menggubah ilmu pedang yang diambil dari sari semua ilmu silat yang telah dipelajarinya. Ada delapan belas jurus ilmu pedang itu dan dia beri nama sesuai dengan nama pedang itu, yaitu Ang-in Kiam-sut (Ilmu Pedang Awan Merah).

Ketika perantauannya membawa dia ke Thai-san dan dia mendengar tentang keindahan Puncak Awan Merah, tentu saja dia tertarik sekali. Nama puncak itu sama dengan nama pedangnya, oleh karena itu, pada senja hari itu dia berkunjung ke puncak dan tertarik oleh keindahan puncak yang sunyi sepi itu, dia lalu memainkan ilmu pedangnya dengan asyik sehingga dia tidak tahu akan kedatangan tiga orang yang berilmu tinggi itu.

Ilmu pedang itu memang dahsyat sekali. Sinar pedang merah bergulung-gulung, kadang lembut dan tanpa suara sedikit pun, namun kadang laksana badai mengamuk, suaranya berdesing dan berciutan. Hal ini tidak aneh karena ilmu pedang itu mengandung inti sari ilmu Khong-khi-ciang (Udara Kosong) dan ilmu Lui-tai-hong-tung (Ilmu Tongkat Hujan dan Badai).

Sesudah menyelesaikan ilmu pedangnya, bagian terakhir ilmu itu, Han Lin pun melompat menjauhi pohon kemudian membalik dan begitu tangannya bergerak, pedang itu meluncur bagaikan anak panah dan akhirnya menembus batang pohon sampai ke gagangnya! Dia tersenyum puas, menghampiri pohon lalu mencabut pedangnya.

Pada saat itulah tiga orang yang menonton sambil bersembunyi itu muncul. Han Lin kaget sekali dan tahu bahwa yang datang adalah orang-orang pandai sehingga dia tidak melihat atau mendengar ketika mereka datang tadi dan tahu-tahu telah berada dalam jarak dekat.

“Siancai..., siapa kira di sini kami bertemu dengan seorang pemuda yang amat lihai,” kata Tiong Sin Tojin memuji.

Akan tetapi Thian Gi Tosu sudah melangkah maju sambil berseru, “Heiii, bukankah yang kau pegang itu adalah Ang-in Po-kiam (Pedang Pusaka Awan Merah)?”

Han Lin terheran kemudian mengangguk. “Benar, totiang.”

“Bagus!” seru Lian Hwa Siankouw. “Kiranya di sini pencuri pedangnya. Anak muda, cepat kau kembalikan pedang itu kepada kami atau kami akan menangkapmu sebagai pencuri pedang pusaka.”

Melihat sikap tiga orang itu yang datang-datang sudah menuduhnya mencuri pedang, Han Lin tidak menjadi marah. Dia adalah seorang pemuda yang mempunyai kewaspadaan dan kesadaran tinggi sehingga nafsu amarah tidak mudah menguasai hatinya, dan wataknya menjadi lincah, jenaka, cerdik dan tahan uji.

“Sam-wi Locianpwe, tuduhan tanpa bukti dan saksi itu sama dengan fitnah, dan sam-wi tentu maklum bahwa fitnah itu sama kejinya dengan membunuh.”

Di antara tiga orang pendeta itu, Lian Hwa Siankouw yang paling galak. “Ang-in Po-kiam berada di tanganmu, itu merupakan bukti mutlak yang tidak dapat dipungkiri lagi. Engkau telah mencuri pedang itu, sekarang cepat serahkan kepada kami!”

Han Lin teringat bahwa pedang ini diambilnya dari mendiang Hoat Lan Siansu, ketua Hoat-kauw, dan sangat boleh jadi Hoat Lan Siansu mencuri pedang itu dari seseorang, maka dia pun tidak mau membantah pendeta wanita itu dan menjawab lantang.

“Saya bukan pencuri dan tidak pernah mencuri pedang. Pedang ini saya ambil dari tangan ketua Hoat-kauw.”

Mendengar ini, tiga orang itu saling pandang dan mereka nampak semakin penasaran.

“Siancai! Kiranya kami berhadapan dengan seorang tokoh Hoat-kauw? Hoat-kauw sudah bersekutu dengan orang Mongol dan telah merencanakan mengadu domba di antara para perkumpulan kang-ouw, juga membunuhi banyak tokoh. Maka tidak mengherankan kalau ternyata Hoat-kauw yang sudah mencuri pusaka yang hilang itu. Orang muda, kembalikan kepada pinto, dan mengingat engkau masih muda, maka pinto akan mengampunimu dan melepaskanmu,” kata Tiong Sin Tojin.

“Serahkan kepada pinto!” Thian Gi Tosu yang tinggi besar itu pun membentak.

Mendengar ini dan melihat sikap tiga orang tua itu, Han Lin tersenyum lalu menyarungkan pedangnya. Jelas nampak bahwa tiga orang itu seperti sedang berlomba memperebutkan pedang itu, masing-masing ingin mendahului kawan untuk menerima pedang itu darinya.

“Ehh, nanti dulu, sam-wi locianpwe. Benda yang berharga dan langka selalu sulit didapat. Pedang ini pun kuperoleh melalui perjuangan yang susah payah, dengan menggunakan ilmu. Apa bila ada yang hendak mengambilnya dari saya, maka harus pula mengandalkan ilmunya dan sanggup mengalahkan saya. Ini cukup adil, bukan? Tentu saja saya percaya bahwa orang-orang yang ingin merampasnya dari saya adalah orang-orang yang memiliki ilmu tinggi dan nama besar. Maka, bolehkah sebelumnya saya mengetahui nama besar sam-wi locianpwe? Nama saya sendiri adalah Han Lin, Sia Han Lin.”

“Pinto Tiong Sin Tojin dari Kun-lun-pai.”
“Dan pinto Thian Gi Tosu dari Go-bi-pai.”
“Pinni berjuluk Lian Hwa Siankouw, wakil ketua Kwan-im-pai.”
“Wah, seperti yang telah saya duga, sam-wi adalah tiga orang tokoh besar yang terkenal di dunia persilatan. Tentu tokoh-tokoh seperti sam-wi tidak sudi melakukan pengeroyokan terhadap seorang muda seperti saya, bukan?” kata Han Lin dengan cerdik.
“Hemmm, siapa yang mau mengeroyok? Orang muda, pinni yang akan mengambil Ang-in Po-kiam dari tanganmu. Majulah!” tantang Lian Hwa Siankouw.

Han Lin merasa gembira. Kini dia mendapat kesempatan bagus sekali untuk menguji ilmu pedangnya yang baru digubah itu dengan melawan orang-orang pandai. Kalau dia kalah, sudah tentu dia tidak akan kukuh mempertahankan pedang yang bukan menjadi haknya itu. Akan tetapi bila dia menang, maka dia akan tetap mempertahankan dan melanjutkan niatnya, yaitu menahan pedang itu sampai Hoat-kauw kembali ke jalan benar untuk kelak diserahkan kepada pimpinan Hoat-kauw yang baik.

Karena dia memang hendak menguji ilmu pedangnya, maka Han Lin lalu mencabut Ang-in Po-kiam. Nampak sinar kemerahan berkilat dan dia sudah berdiri memasang kuda-kuda, yaitu dengan tubuh tegak, tangan kiri miring di depan dada seperti memberi hormat dan pedangnya menuding lurus ke depan.

“Saya sudah siap!” katanya dengan gembira.

Melihat pemuda itu mempergunakan pedang pusakanya, Lian Hwa Siankouw tidak berani memandang rendah. Dia pun mencabut pedangnya yang tipis dan pendek dengan tangan kanannya sehingga sekarang dua tangan itu memegang pedang dan kebutan. Pedangnya mengeluarkan cahaya berkilauan seperti perak, tanda bahwa pedang itu juga merupakan pedang yang baik.

“Lihat serangan!” bentak pendeta wanita itu, kemudian pedangnya berkelebat seperti kilat menyambar.

Han Lin miringkan tubuh mengelak, akan tetapi gerakannya itu dikejar oleh sinar putih dari kebutan yang bulunya sudah berubah menjadi kaku dan menotok ke arah jalan darah di pundaknya. Maka tahulah Han Lin bahwa dia tidak boleh memandang rendah kebutan itu karena serangannya tidak kalah lihai dibandingkan pedang pendeta wanita itu. Dia segera menangkis dengan pedangnya untuk membabat bulu kebutan, akan tetapi bulu kebutan yang sudah menjadi kaku karena tenaga sinkang itu tidak dapat dibabat patah melainkan terpental oleh tangkisannya dan mengeluarkan bunyi nyaring.

Han Lin sadar bahwa dia tidak boleh setengah-setengah dalam menghadapi orang pandai, maka dia segera membalas dengan serangan ilmu pedangnya. Tiba-tiba angin berhembus kuat ke arah Lian Hwa Siankouw ketika pedang itu digerakkan secara aneh oleh Han Lin. Dalam terpaan angin itu nampak kilat menyambar, yaitu kilat dari pedang yang mencuat menyambar ke arah lawan. Seolah-olah dalam awan merah itu mendatangkan badai dan kilat!

Lian Hwa Siankouw terkejut bukan main dan dengan pengerahan tenaga sinkang-nya, dia mempertahankan diri, menangkis dengan pedang dibantu kebutannya. Namun tetap saja dia terhuyung ke belakang dan tiba-tiba suara angin lenyap, kilatan pedangnya lenyap lalu tanpa mengeluarkan suara, tahu-tahu pedang di tangan Han Lin sudah menempel pada batang lehernya!

Tentu saja ini merupakan bukti bahwa dia sudah kalah dengan mutlak karena kalau Han Lin menggerakkan pedang sedikit saja, batang leher pendeta wanita itu akan terpenggal. Dia terbelalak dengan muka berubah merah. Hanya kurang dari lima jurus saja dia sudah dikalahkan oleh pemuda itu.

“Engkau lihai sekali!” katanya sebagai tanda mengaku kalah.

Han Lin juga tidak mau berlagak dalam kemenangannya. Dia cepat meloncat ke belakang kemudian menjura kepada Lian Hwa Siankouw. “Terima kasih, locianpwe telah mengalah terhadap orang muda.”

Diam-diam pendeta wanita itu merasa senang dengan sikap itu. Apa bila pemuda itu ingin mempermalukan dia dengan kata-kata, tentu mudah sekali dan dia akan sangat terpukul. Selama hidupnya belum pernah dia dikalahkan lawan hanya dalam beberapa jurus saja, dan lawan itu seorang yang masih muda lagi!

Melihat kelihaian pemuda itu bermain pedang, Thian Gi Tosu bersikap cerdik. “Siancai...! Ilmu pedang yang hebat itu sungguh mengagumkan. Tetapi pinto segan untuk mengadu pedang karena senjata itu terlalu berbahaya, meleset sedikit saja dapat mencabut nyawa, padahal kita hanya mengadu ilmu. Maka pinto akan mempergunakan tongkat bambu ini saja.” Dia melintangkan tongkat bambunya dengan sikap siap siaga. Harapannya terkabul karena Han Lin juga menyarungkan pedangnya.

“Baik sekali, locianpwe. Kebetulan saya juga mempunyai sebatang tongkat butut dan saya pun hendak meniru locianpwe, akan menggunakan tongkat butut saya itu.” Dia mengambil tongkat butut pemberian Lo-jin, gurunya yang penuh rahasia itu.

Tongkat butut ini merupakan tongkat yang pendek, hanya sepanjang pedang dan terbuat dari bambu pula, namun agaknya bambu itu sudah membaja. Semacam bambu ular yang aslinya berwarna hijau akan tetapi saking tuanya sudah berubah kehitaman.

Dalam hati diam-diam Thian Gi Tosu terkejut dan heran sekali bahwa pemuda itu berani menghadapinya dengan tongkat sependek itu, berbeda dengan tongkatnya yang setinggi dirinya. Dia adalah seorang ahli bermain tongkat dan ilmu tongkat dari Go-bi-pai terkenal sekali di seluruh dunia. Maka dia girang sekali.

“Awas serangan tongkatku, orang muda!” dia membentak dan tongkatnya sudah bergerak cepat.

Gerakan tongkat tosu itu memang lihat sekali. Tongkat yang panjang itu berputar seperti kitiran dan membentuk gelombang yang menerkam ke arah Han Lin. Namun pemuda ini dengan sigapnya melompat ke belakang dan ketika dia mulai bersilat dengan Lui-tai-hong-tung (Ilmu Tongkat Hujan Badai), maka terkejutlah Thian Gi Tosu. Tongkat hitam butut itu mengeluarkan bunyi yang mengerikan, seolah-olah ada hujan badai menyambar-nyambar dengan kekuatan yang amat dahsyat.

Dia segera memutar tongkatnya lebih cepat lagi, akan tetapi gulungan sinar tongkat yang bertemu dengan badai itu menjadi terdorong ke belakang dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, ujung tongkat butut itu sudah menyerang dengan totokan ke arah tiga belas jalan darah di bagian depan badannya. Terpaksa dia mengelak sambil menangkis, akan tetapi tetap saja kedua lengannya tersentuh ujung tongkat butut. Sentuhan yang perlahan saja, tetapi cukup membuat kedua tangannya seperti lumpuh sesaat dan tahu-tahu tongkatnya sudah terkait tongkat butut kemudian berpindah tangan.

Han Lin sudah melompat ke belakang lantas menjulurkan tongkat itu, mengembalikannya kepada Thian Gi Tosu sambil berkata, “Terima kasih atas petunjuk locianpwe.”

Seperti halnya Lian Hwa Siankouw, Thian Gi Tosu hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Masa dia dikalahkan dalam waktu beberapa jurus saja oleh pemuda ini, yang hanya bersenjatakan tongkat pendek, melawan tongkat panjangnya? Dia hanya tahu bahwa pemuda itu cerdik sekali, dalam gebrakan pertama telah maju untuk mengatur jarak sedekat mungkin. Coba dia tidak mengatur jarak dekat, tentu tongkatnya yang lebih panjang akan memperoleh keuntungan.

Selama hidupnya dia pun baru sekali ini dikalahkan orang seperti itu. Akan tetapi karena sikap Han Lin yang cepat mengembalikan tongkat sambil membungkuk hormat kemudian mengucapkan terima kasih, dia pun menerima kembali tongkatnya sambil menarik napas panjang.

“Siancai...! Pinto mengaku kalah, orang muda. Engkau memang patut memiliki Ang-in Po-kiam itu.” Dia lalu mundur ke pinggir di dekat Lian Hwa Siankouw.

Kini tinggal Tiong Sin Tojin, tokoh Kun-lun-pai. Tadi dia memperhatikan dengan seksama ketika Han Lin menggunakan pedang, juga ketika pemuda itu bersilat dengan tongkatnya dan diam-diam dia kagum dan terheran-heran. Pengetahuannya tentang ilmu silat sudah cukup luas, tetapi secara jujur harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat gerakan ilmu pedang atau ilmu tongkat seperti itu. Dia tidak mengenal sama sekali kedua ilmu yang dimainkan Han Lin dan inilah yang membuat dia jeri. Akan tetapi sebagai seorang tokoh besar, dia tentu malu untuk mundur dan dengan cerdik dia berkata dengan senyum ramah.

“Siancai, engkau sungguh hebat, orang muda. Ilmu pedang dan ilmu tongkatmu memang luar biasa sekali. Karena sudah menyaksikan kedua ilmu itu, kini pinto ingin sekali melihat bagaimana hebatnya ilmu silat tangan kosongmu. Nah, apakah engkau mau melayaniku dengan pertandingan silat tangan kosong?”

Tiong Sin Tojin tentu akan mengandalkan ilmu silat tangan kosong dari Kun-lun-pai yang cepat, dan juga tenaga sinkang-nya yang sudah tinggi tingkatnya dapat diharapkan untuk menang atau setidaknya bertahan lebih lama dari pada kedua orang rekannya.

Han Lin meletakkan tongkat bututnya di atas buntalan pakaian yang tergeletak di bawah pohon. “Locianpwe terlalu memuji. Saya mengharapkan banyak petunjuk dari locianpwe. Silakan!”

Diam-diam Han Lin mengendurkan otot-ototnya sambil memusatkan diri pada keringanan gerakannya. Sekarang dia hendak memainkan ilmu silat tangan kosong dari Lo-jin, yaitu Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong). Dia berdiri begitu saja dengan santai.

“Bersiaplah, orang muda. Pinto akan mulai menyerangmu!” Tiong Sin Tojin berkata untuk memperingatkan pemuda itu karena dia tidak mau menyerang lawan yang belum bersiap.

Han Lin tersenyum. Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa ketiga orang pendeta ini adalah orang-orang yang berwatak pendekar, biar pun jelas bahwa mereka menginginkan pedang pusakanya.

“Locianpwe, saya sudah bersiap. Mulailah!”
“Awas pukulan!” tosu itu pun tidak segan lagi karena Han Lin sudah menyatakan siap dan dia pun mulai menyerang.

Serangannya bergelombang karena dia tidak ingin dikalahkan hanya dalam waktu singkat. Ia hendak mendesak pemuda itu agar tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang sehingga dengan begitu dia tidak akan dapat dikalahkan dengan mudah seperti kekalahan kedua orang rekannya itu. Ini sama saja dengan kenyataan bahwa bagaimana pun juga dia masih lebih tangguh dari pada mereka.

Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika serangannya yang menggelombang itu melanda Han Lin, semua serangannya kandas dan dia seolah memukul bayangan belaka. Dengan aneh sekali pemuda itu selalu dapat menghindar seolah sudah terdorong menjauh oleh hawa pukulannya, seolah dia menyerang sehelai bulu yang ringan sekali, dan ketika tangannya bertemu dengan tangan lawan, dia merasa seolah-olah tangannya memasuki udara kosong atau paling terasa seperti masuk ke dalam air sehingga tenaga sinkang-nya otomatis menjadi hilang. Itulah kehebatan ilmu Tangan Udara Kosong, tampaknya kosong akan tetapi berisi karena yang kosong itulah yang sebenarnya mengandung tenaga sakti yang amat kuat.

Kalau Han Lin berhadapan dengan orang yang sinkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sekali, tentu Tangan Udara Kosong itu akan ‘dimasuki’ lawan. Akan tetapi tingkat Tiong Sin Tojin belum sampai setinggi itu, maka dia tidak mampu memasuki dan tinggal di luar saja sama sekali tidak dapat memukul Han Lin.

Han Lin juga tidak mau mempermainkan lawan. Ketika gelombang serangan datang, dia cepat mengerahkan tenaga udara kosong sehingga lawan menjadi bingung karena semua pukulannya tenggelam, dan kebingungan yang sesaat itu cukup baginya untuk melakukan totokan pada pundak lawan yang membuat tubuh tosu itu seketika tidak bergerak seperti patung! Akan tetapi hanya sebentar saja karena Han Lin telah menepuk pundak itu sambil berkata,

“Ahh, harap totiang tidak main-main!”

Tepukan itu membebaskan Tiong Sin Tojin yang menjadi lega dan berterima kasih. Tadi dia terkejut bukan main karena selain dia telah dikalahkan dalam beberapa jurus saja, dia pun teriancam mendapat malu besar karena dibuat tidak mampu bergerak. Namun untung baginya pemuda itu segera membebaskannya kembali. Tentu saja dia cukup tahu diri dan sadar bahwa pemuda itu bukan lawannya, maka dia pun menghela napas panjang lantas berseru kagum.

“Siancai, belum pernah seumur hidup pinto menyaksikan seorang pemuda memiliki ilmu setinggi ini. Sia Han Lin, memang pantas kalau engkau yang menemukan pedang pusaka itu, akan tetapi kami hanya khawatir kalau pedang itu dipergunakan untuk kejahatan.”
“Sam-wi locianpwe, apakah sam-wi melihat kalau saya ini seorang yang suka melakukan kejahatan? Kalau boleh saya mengetahui, mengapa sam-wi locianpwe tadi menganggap bahwa saya mencuri pedang ini? Bukankah pedang ini milik Hoat Lan Siansu ketua Hoat-kauw yang telah tiada?”

Tiong Sin Tojin yang segera menjawab, “Agaknya engkau belum mengetahuinya, orang muda yang gagah. Pedang pusaka ini adalah milik Kaisar, sudah setahun ini lenyap dicuri orang dari gudang pusaka. Kaisar telah mengutus banyak jagoan istana untuk mencarinya tetapi tak berhasil. Bahkan orang-orang dunia kang-ouw berlomba untuk menemukannya kembali, tanpa hasil pula. Karena itu, ketika kami melihat engkau bersilat dengan pedang itu, kami menduga bahwa engkaulah pencuri dari gudang pusaka istana itu.”

“Hemm, kalau Kaisar mengutus orang-orang mencari pedang pusaka yang dicuri orang, itu masih dapat dimengerti. Akan tetapi kenapa para tokoh dunia persilatan juga mencari dan memperebutkannya? Bukankah merampas dari seorang pencuri sama halnya dengan mencuri pula?”

“Memang ada tokoh-tokoh kang-ouw yang ingin sekali memiliki pedang itu, karena pedang itu disohorkan sangat ampuh dan berkhasiat. Mereka yang ingin memiliki pedang pusaka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang termasuk golongan sesat. Para pendekar dan kami juga ikut mencari pedang itu, tetapi untuk dikembalikan kepada Kaisar yang menjanjikan hadiah besar kepada siapa yang dapat mengembalikan pedang pusaka itu.”

“Maaf, jadi sam-wi locianpwe juga bernafsu untuk mendapat hadiah besar dari Kaisar?”

Wajah ketiga orang itu menjadi merah. “Siancai…! Jangan menuduh sembarangan, orang muda!” kata Lian Hwa Siankouw. “Kami orang-orang yang tidak lagi mementingkan harta dunia, tak ingin mendapatkan harta benda dari Kaisar. Akan tetapi kami harus mengingat kepentingan perkumpulan kami. Kami hanya akan mengharapkan pengertian Kaisar agar perkumpulan kami diberi hak hidup yang layak di bawah pemerintah yang dipimpinnya dan supaya anak buah kami dibebaskan dari pada wajib kerja membangun Tembok Besar dan Terusan, karena hal itu kadang kala menimbulkan bentrok antara kami dengan petugas pemerintah. Kalau kami mengembalikan pedang dan menolak semua hadiah, tentu Kaisar akan mengabulkan permintaan kami itu.”

Kini mengertilah Han Lin. “Sayang sekali sam-wi locianpwe agaknya tak berjodoh dengan pedang ini. Akan tetapi, kalau sam-wi membawa perkumpulan ke jalan yang benar, selalu membantu pemerintah menghalau kekacauan, tentu pemerintah juga menghargai bantuan itu.”

“Dan engkau sendiri bagaimana, taihiap (pendekar besar)? Apa yang hendak kau lakukan dengan pokiam itu?” tanya Thian Gi Tosu tokoh Go-bi-pai.
“Pedang ini baru kurampas dari mendiang Hoat Lan Siansu. Saya merampasnya karena melihat Hoat-kauw dibawa ke jalan sesat oleh dia, dan ketika itu saya sama sekali tidak tahu bahwa pedang ini milik Kaisar yang dicuri olehnya. Ketika merampas pedang ini saya bermaksud untuk mengembalikan kepada pimpinan Hoat-kauw setelah perkumpulan itu kembali ke jalan benar dan dipimpin oleh seorang ketua yang bijaksana. Tetapi sesudah saya mengetahu bahwa pusaka ini ternyata adalah milik Kaisar, maka sudah sepatutnya kalau saya kembalikan sendiri kepada Kaisar.”
“Dan menuntut imbalan hadiah besar?” tanya Lian Hwa Siankouw.

Han Lin tersenyum. “Saya sendiri, walau pun bukan pendeta dan pertapa seperti sam-wi, tidak terlalu murka akan harta dunia. Kebutuhan hidup saya hanya kecil saja dan dengan tenaga saya, kiranya saya masih mampu untuk mencari nafkah hidup. Tidak, saya tidak menuntut harta benda dan entah apa yang akan saya minta sebagai pengganti pedang ini, bagaimana nanti sajalah.”

Sementara itu senja mulai terganti malam, maka Han Lin lalu minta diri dari tiga orang itu. “Maafkan saya, saya akan melanjutkan perjalanan saya,” katanya dan sekali meloncat pemuda itu telah lenyap dari depan tiga orang pendeta itu.

“Siancai…! Tentu dunia persilatan akan gempar dengan munculnya pendekar muda itu,” kata Tiong Sin Tojin.
“Ilmu silat yang sungguh aneh, dahsyat akan tetapi tidak mengandung unsur kesesatan,” sambung Thian Gi Tosu.
“Mudah-mudahan saja penilaian kita terhadap dirinya tidak keliru dan dia sungguh seorang pendekar muda yang tidak akan menggunakan ilmunya untuk kejahatan,” kata Lian Hwa Siankouw.

Tiga orang pendeta itu lalu menuruni puncak sebelum malam menjadi terlalu gelap…..

********************
Han Lin melihat dari puncak bahwa ada api penerangan di lereng sebelah barat, maka dia berlari ke arah api itu. Tentu di sana terdapat sebuah dusun, pikirnya. Dia membutuhkan tempat untuk melewatkan malam yang dingin di pegunungan itu.

Sambil menuruni puncak dia masih terheran-heran akan peristiwa yang dialaminya. Orang tidak boleh menentukan sesuatu dan mengukuhinya. Dalam kehidupan ini segala sesuatu dapat saja berubah-ubah tanpa disangka-sangka, berubah secara tiba-tiba.

Tadinya dia mengambil keputusan hendak mengembalikan Pedang Awan Merah kepada para pimpinan Hoat-kauw kalau mereka sudah kembali ke jalan benar karena dia mengira bahwa pimpinan Hoat-kauw yang berhak mendapatkannya kembali sebagai peninggalan Hoat Lan Siansu. Namun siapa kira ternyata pedang pusaka itu sama sekali bukan milik pimpinan Hoat-kauw, melainkan milik Kaisar yang dicuri oleh Hoat-kauw! Maka dengan sendirinya, tentu saja Kaisarlah yang berhak menerimanya kembali.

Ketika menuruni puncak itu seorang diri dalam suasana yang sunyi dan cuaca yang mulai gelap, terasa benar di dalam hatinya betapa hidupnya sangat kesepian. Namun perasaan nelangsa ini hanya sebentar saja menyentuh hatinya. Kesadaran serta kewaspadaannya tidak mengijinkan kesedihan datang menguasai hatinya. Lo-jin sudah menggemblengnya lahir batin.

“Hadapilah saat ini, sekarang ini, detik ini dan jangan memikirkan masa silam atau masa depan. Masa silam hanyalah kenangan, sudah lewat, sudah mati. Masa depan hanyalah mimpi, khayalan. Sekarang inilah hidup, saat inilah yang penting, dan untuk menghadapi saat demi saat membutuhkan kewaspadaan mendalam.” Demikian antara lain ucapan Lo-jin yang masih menempel dalam ingatannya. Begitu kewaspadaannya dia curahkan pada saat sekarang, maka segala kenangan, segala harapan dan segala khayalan lenyap. Tak ada lagi penyebab timbulnya duka.

Sesudah memperhatikan keadaan, dia melihat bahwa api penerangan itu hanya sebuah. Mungkin di bawah itu hanya ada sebuah rumah saja. Akan tetapi sebuah rumah pun telah cukup. Mudah-mudahan pemiliknya akan berbaik hati untuk menerima dia bermalam di sana.

Dia mempercepat langkahnya dan sesudah tiba di lereng itu, ternyata api penerangan itu lenyap di balik rumpun bambu yang merupakan belukar dan padat sekali. Sebuah hutan bambu, pikirnya sambil memasuki hutan itu.

Akan tetapi semakin dalam dia masuk, maka semakin bingunglah dia. Ke mana pun dia melangkah, yang dihadapi adalah rumpun bambu belaka. Bahkan ketika hendak mencari jalan keluar, dia tidak bisa menemukannya. Dia hanya berputar-putar dan kadang kembali ke tempat semula. Berpuluh macam bambu tumbuh di situ dan agaknya tumbuhnya diatur secara aneh, seperti berpintu-pintu dan berlapis-lapis.

Han Lin berhenti melangkah lalu mengamati dengan teliti. Dalam keremangan senja yang larut itu samar-samar masih nampak bayangan api penerangan di luar hutan bambu. Akan tetapi dia tidak mampu keluar dari sana, karena jalannya berliku-liku dan selalu saja dia tertumbuk pada rumpun yang menghalang. Akhirnya dia menyadari bahwa tidak mungkin hutan bambu ini tumbuh secara alami. Ini pasti buatan orang, pikirnya.

Dia segera teringat akan keterangan Kong Hwi Hosiang gurunya yang pertama, bahwa di dunia persilatan banyak terdapat orang pandai dan aneh, dan di antara mereka ada yang dapat membuat jebakan-jebakan rahasia, barisan-barisan pohon atau bambu yang dapat menyesatkan orang yang memasuki barisan yang berupa hutan itu. Maka kini dia yakin bahwa hutan bambu ini pun dibuat orang pandai dan dia sudah terperangkap di dalamnya.

Dia merasa penasaran lalu mencabut pedangnya. Akan tetapi dia segera teringat bahwa sungguh tidak baik bila merusak barisan bambu yang dibuat orang. Bukan orang itu yang bersalah, melainkan dia sendiri karena dialah yang memasuki hutan itu. Berarti dia sudah memasuki wilayah orang lain tanpa ijin. Teringat akan ini Han Lin segera menyarungkan pedangnya kembali, lalu mengerahkan khikang dan berteriak, suaranya lantang bergema memenuhi hutan.

“Sobat pemilik hutan bambu! Maafkan kalau saya memasuki hutan tanpa ijin. Saya Sia Han Lin datang ke sini bukan dengan niat buruk!”

Suaranya bergema di seluruh hutan bambu itu dan tidak lama kemudian terdengar suara yang datangnya juga terdorong kekuatan khikang.

“Kalau tidak ada niat buruk, kenapa masuk ke sini? Apa maumu?”

Han Lin tertegun. Suara wanita! Suara yang sangat merdu dan nyaring, juga mengandung kecurigaan.

“Saya hanya ingin bermalam!” jawab Han Lin.
“Di sini bukan penginapan, tidak ada tempat bermalam. Kau telah masuk dengan lancang, maka tinggalah di situ satu malam ini!” jawaban itu terdengar ketus sekali.

Han Lin menyadari. Kalau wanita itu tinggal seorang diri, tentu dia tersinggung dan marah mendengar ada seorang lelaki yang minta numpang menginap. Dia menjadi serba salah. Bermalam di hutan itu? Wah, sungguh tak enak bila membayangkan harus tidur di antara rumpun bambu. Tempat seperti itu tentu banyak ularnya. Pula, kalau bambunya bermiang (berbulu halus) tentu akan mendatangkan gatal-gatal kalau tersentuh tangan.

“Nona, harap jangan menyiksa saya!” didengar dari suaranya, dia menduga bahwa wanita itu tentu masih muda, maka dia menyebut nona.
“Siapa suruh engkau lancang masuk ke sana? Sudah, aku mau tidur, jangan ganggu lagi atau aku akan mengirim pasukan ular ke tempatmu!”

Galak benar, pikir Han Lin. “Nona, jika engkau tidak membebaskan aku dari sini, terpaksa aku mengambil jalanku sendiri. Akan kubabat habis rumpun bambu yang indah ini!”

Hening sejenak. Agaknya ucapan Han Lin telah mengejutkan pemilik hutan bambu karena tidak lama kemudian terdengar wanita itu berkata lagi, “Jangan lakukan itu atau aku akan mengadu nyawa denganmu! Kalau ingin keluar, taati petunjukku. Maju dua langkah ke kiri, lalu maju belok ke kiri lagi tiga langkah, kemudian ke kanan empat langkah dan lompati rumpun bambu yang berada di depanmu. Kalau engkau tidak mampu maka akan kubakar hutan ini agar engkau hangus terbakar sebelum engkau membabati bambunya!”

Celaka, wanita itu berbalik mengancam! Ngeri rasa hati Han Lin memikirkan kemungkinan hutan itu dibakar. Tentu dia akan menjadi manusia panggang karena kalau terkurung api, bagaimana dia akan mampu meloloskan diri?

“Baik, akan kutaati petunjukmu!”

Dia lalu melangkah ke kiri dua kali, kemudian membelok ke kiri tiga langkah dan ke kanan empat langkah. Benar saja, kini dia berhadapan dengan rumpun bambu yang nampaknya tebal dan cukup tinggi. Bagaimana kalau dia melompat namun ternyata rumpun itu sangat tebal sehingga dia tidak mampu melampauinya?

Ia mengerahkan tenaga, lalu menggunakan ginkang untuk melompat. Tubuhnya melayang ke atas seperti burung, melampaui rumpun itu yang ternyata tipis saja. Ketika dia turun, ternyata dia sudah berada di luar hutan bambu! Wah, kalau saja dia tahu begitu tipisnya rumpun itu, tentu sejak tadi dia sudah dapat meloloskan diri. Bodohnya, atau pintarnya si pembuat susunan barisan bambu?

Dia melihat sebuah pondok kecil tak jauh dari situ dari mana menyorot keluar sinar lampu. Itulah yang dilihatnya dari puncak tadi. Dia lalu menghampiri, akan tetapi dengan hati-hati sekali karena maklum bahwa pemilik rumah adalah seorang ahli pembuat perangkap dan jebakan. Dia tidak mau terperangkap jebakan seperti seorang tikus.

Sudah kepalang, pikirnya. Nona dalam pondok itu telah mempermainkannya. Setidaknya dia harus membalas dengan godaan minta menginap di situ.

“Heii, nona yang berada di dalam pondok. Aku sudah berhasil melompati rumpun bambu. Apakah sekarang nona dapat memberikan tempat dalam pondok untuk aku melewatkan malam?”

Han Lin mengira bahwa nona itu pasti akan marah dan mendongkol, dan dia akan segera pergi meninggalkan pondok sambil menertawakannya. Tetapi sungguh di luar dugaannya, suara merdu lembut itu kembali terdengar dari dalam pondok.

“Daun pintu pondokku tidak terkunci. Masuklah tapi jangan mengganggu aku yang sedang sibuk!” Sungguh sebuah undangan yang aneh. Dipersilakan masuk akan tetapi tidak boleh mengganggu. Apa maksudnya?

Han Lin adalah seorang pemuda yang tengah dalam usia haus akan pengalaman, seorang petualang muda yang tidak gentar menghadapi kesukaran bagaimana pun juga. Maka dia lalu menghampiri pintu pondok itu, tentu saja langkahnya amat hati-hati dan seluruh urat syarafnya menegang, siap menghadapi bahaya. Namun ternyata tidak ada sesuatu yang mencurigakan, tidak ada jebakan menangkapnya dan daun pintu itu dengan mudah dapat didorongnya terbuka.

Dia berhenti melangkah lantas mengedip-ngedip matanya yang menjadi silau karena dari tempat gelap tiba-tiba bertemu dengan sinar lampu yang cukup terang. Setelah matanya agak terbiasa, ia melihat seorang gadis yang berpakaian indah tengah duduk menghadapi meja di mana terdapat sebuah papan catur dengan bidak-bidaknya yang berserakan.

Gadis itu cukup cantik, terutama rambutnya sangat hitam dan panjang, dibiarkan terurai sampai ke pinggulnya. Dia sedang menghadapi papan catur, dengan bertopang dagu dan dahinya yang halus itu berkerut, seperti sedang mengerahkan pikiran.

Han Lin melangkah maju menghampiri. Mendongkol juga melihat nona rumah sama sekali tidak mempedulikannya seolah yang masuk hanya angin belaka. Tadi Han Lin tidak lupa menutup kembali daun pintu dan sekarang, setelah berada di tempat terang, baru terlihat olehnya betapa tangannya yang tadi mendorong dan menutup pintu, nampak kehitaman. Kini dia tahu bahwa ternyata jebakan itu berupa racun pada daun pintu. Kalau ada orang lain yang mendorong pintu pasti akan keracunan hebat. Akan tetapi tubuhnya kebal racun, maka dia hanya tersenyum saja dan berkata sopan,

“Nona, aku sudah masuk ke dalam.”

Tanpa menengok, wanita itu berkata, “Kalau sudah masuk, bersiaplah untuk mati.”

“Ehh, kenapa? Aku tidak mau mati.”
“Lihatlah tanganmu yang tadi mendorong pintu. Engkau sudah keracunan hebat dan tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkanmu. Dalam waktu satu jam lagi engkau akan mati.”
“Kau maksudkan warna hitam pada tanganku ini, nona? Ahh, nona main-main, ini hanya warna hitam biasa saja, mudah sekali menghilangkannya!” kata Han Lin sambil mendekat.

Mendengar ini barulah wanita itu menengok. Begitu melihat bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang tampan dan ganteng, wanita itu agaknya terkejut, heran dan juga tertegun. Tadinya dia mengira bahwa yang datang tentulah orang-orang kasar yang suka mengganggu.

“Lihat tanganmu!” katanya.

Han Lin mengangkat tangan kanannya yang menghitam, lalu memperlihatkannya kepada wanita itu. Wanita itu tersenyum mengejek.

“Nah, tanganmu hitam tanda keracunan hebat. Tergantung dari sikapmu apakah aku mau mengobatimu atau tidak.”
“Warna hitam ini mudah saja hilang. Lihatlah, nona!” dengan tangan kirinya Han Lin lantas mengusap telapak tangan kanan yang menghitam itu sambil mengerahkan tenaga. Warna hitam itu seketika hilang tak berbekas lagi.

Melihat ini, wanita itu terbelalak kemudian bangkit berdiri. “Ah, tidak... tidak mungkin itu...! Itu adalah racun ular hitam yang sudah kujadikan bubuk hitam dan engkau sudah terkena dengan hebat. Bagaimana mungkin...”

Han Lin mengangkat tangan memberi hormat. “Nona, racun itu tidak akan mempengaruhi aku, dan sekarang aku mohon kebaikan hati nona untuk menerimaku satu malam ini saja. Aku kebetulan lewat dan kemalaman di sini, lalu kulihat pondok ini, maka...”

“Hemm, engkau dapat mengatasi racunku, itu sudah membuktikan bahwa engkau pantas menjadi tamuku. Nah, masuklah ke kamar itu dan mengasolah semalam ini. Dan jangan ganggu aku!” dan wanita itu sudah duduk kembali, dengan tekun mengamati bidak-bidak di atas papan caturnya.

Han Lin menengok ke sekeliling. Pondok itu kecil saja dan hanya memiliki sebuah kamar. Ini berarti bahwa kamar itu adalah kamar si wanita! Dan diberikan kepadanya. Tentu saja dia menjadi ragu untuk memakainya.

“Dan engkau sendiri, nona? Kamar itu kamarmu, bukan? Bagaimana aku berani memakai kamar tidurmu...?”
“Cerewet! Pakai saja, semalam ini aku tidak akan tidur. Sudahlah, apakah tidak kau lihat bahwa aku sedang sibuk?” Dia menekuni lagi papan caturnya.

Han Lin tertarik. Ada sebuah kursi dekat meja dan tanpa mengeluarkan suara agar jangan mengganggu konsentrasi wanita itu, dia pun duduk sambil menonton. Dia sendiri adalah seorang pemain catur yang pandai karena dahulu Kong Hwi Hosiang yang senang sekali bermain catur pernah mengajarinya bermain. Hampir setiap ada waktu terluang hwesio itu mengajaknya bertanding main catur. Pada tahun pertama dia selalu kalah oleh suhu-nya. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya keadaan mereka seimbang sehingga Kong Hwi Hosiang senang sekali bermain catur dengannya.

Han Lin memandang papan catur dan melihat Raja putih sudah terkepung. Anak buahnya hanya tinggal sedikit, seolah-olah Raja Putih itu tinggal saatnya saja dibuat tidak berdaya kemudian kalah. Setelah mengamati beberapa lamanya, tahulah Han Lin bahwa wanita itu mencari pemecahannya agar Raja Putih tidak kalah dan dapat keluar dari kepungan. Dia mencoba beberapa langkah tetapi berulang kali dia menarik napas panjang.

Han Lin pun mengerahkan perhatiannya dan diam-diam ikut mencarikan jalan keluar untuk menolong Raja Putih. Setelah mengerahkan seluruh tenaga pikirannya dan melihat segala kemungkinan, akhirnya dia menemukan jalan itu.

“Orang bijaksana akan merelakan yang kecil untuk menolong yang besar,” katanya. “Jika dibiarkan Menteri berkorban sebagai menteri setia, menghantam Panglima musuh, tentu Raja Putih akan lolos dari kepungan dan selamat.”

Wanita itu nampak terkejut. Segera dicobanya langkah yang diusulkan Han Lin tadi dan... ia berhasil. Setelah Menterinya menyerang Panglima musuh dan mengorbankan diri, Raja Putih berhasil lolos. Langkah apa pun yang dilakukan pihak hitam, tetap saja Raja Putih berhasil lolos dan tidak dapat terkepung lagi, bahkan anak buahnya berkesempatan untuk balas menyerang!

Kini wanita itu menoleh kepada Han Lin, lalu memandang tajam penuh selidik dan penuh kekaguman. “Bukan main! Sudah tiga bulan lamanya setiap hari aku mencari jalan keluar, dan engkau mampu memecahkannya hanya dalam waktu setengah jam saja!”

“Aihh, nona. Kalau nona sudah berpengalaman dalam permainan catur ini, tentu langkah itu akan dapat nona temukan dalam waktu yang tidak terlalu lama.”
“Bagus, engkau sudah membantu aku memecahkan masalah catur ini sehingga kelak aku dapat menertawakannya!” wanita itu tertawa, suara tawanya merdu dan lembut, ada pun gerakannya manis sekali ketika dia menutupi mulutnya yang tertawa.

“Menertawakan siapa, nona?”
“Menertawakan orang yang sudah memberi masalah itu, yang menantangku agar dapat memecahkan rahasianya. Eh, sobat, siapa namamu tadi?”
“Aku bernama Sia Han Lin, dan nona...”
“Sim Ling Si, itulah namaku. Eh, Sia Han Lin, engkau boleh bermalam di rumahku ini apa bila engkau dapat membantu aku untuk memecahkan sebuah masalah lagi.”

“Hemm, masalah catur lagi?”
“Bukan, kali ini masalah hitungan. Selama tiga bulan ini siang malam waktuku kuhabiskan untuk mencari pemecahan soal catur dan hitungan ini tanpa hasil. Dan aku harus cepat dapat memecahkan keduanya, karena jika tiga bulan lagi aku masih belum berhasil, maka berarti aku terpaksa harus... menikah dengannya!”

Han Lin menjadi tertarik sekali. “Ehh, sungguh luar biasa sekali. Nona. Kalau engkau mau menceritakan kepadaku apa sebenarnya yang terjadi, siapa yang memberi soal-soal untuk dipecahkan, tentu aku akan membantumu memecahkan soal hitungan itu.”

Wanita itu menghela napas panjang, lalu mengamati wajah Han Lin yang masih muda itu. “Engkau masih begini muda sudah dapat menolak racunku dan memecahkan soal catur tadi, sungguh mengagumkan sekali. Biarlah kuceritakan masalahku dengan dia.”

Wanita itu bercerita. Dia adalah seorang wanita sebatang kara, yatim piatu karena kedua orang tuanya telah tewas di tangan musuh. Dari ayahnya ia menerima pelajaran ilmu silat dan ilmu tentang racun, sedangkan dari ibunya ia menerima pelajaran tentang pembuatan benteng barisan bambu yang dapat menyesatkan itu. Dia tinggal di lereng itu, melindungi pondoknya dengan barisan hutan bambu sehingga dia akan tinggal aman di sana tanpa dapat diganggu siapa pun karena tidak banyak orang yang akan mampu lolos dari hutan bambu itu.

Pada suatu pagi ada seorang pria terjebak ke dalam hutan bambu, namun pria itu bahkan bernyanyi-nyanyi dan membaca sajak meski pun dia tidak mampu keluar. Hati Sim Ling Si menjadi sangat tertarik. Ternyata orang itu adalah seorang sasterawan yang juga pandai ilmu silat, bernama Ouw Ji Sun, seorang duda tanpa anak yang juga hidup seorang diri.

Ling Si lalu membebaskannya dan mereka pun berkenalan, bahkan saling tertarik. Sampai pada suatu hari, Ouw Ji Sun mengajukan pinangan kepada Sim Ling Si. Dia seorang duda berusia empat puluh lima tahun yang tidak mempunyai anak dan hidup menyendiri, ada pun Ling Si adalah seorang gadis berusia tiga puluh tahun yang juga hidup menyendiri.

Di dalam hatinya, sebenarnya Ling Si tertarik dan suka kepada pria itu, akan tetapi demi harga dirinya, dia mengajukan syarat, yaitu bahwa dia hanya akan menerima pinangan itu apa bila Ouw Ji Sun dapat mengalahkannya dalam ilmu silat. Mendengar ini Ouw Ji Sun lalu memberi dua macam soal itu kepadanya untuk dipecahkan. Kalau Sim Ling Si tidak mampu memecahkannya dalam waktu setengah tahun, dia harus menerima pinangan itu. Sebaliknya bila dia mampu memecahkannya sebelum setengah tahun, Ouw Ji Sun harus melayaninya bertanding untuk menentukan apakah pinangan itu diterima atau tidak.

“Demikianlah, Han Lin. Baru kepadamu urusan ini kuceritakan. Engkau telah membantuku memecahkan soal catur dan sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Nah, kuharap engkau juga dapat membantuku memecahkan soal hitungan ini agar dia melayani aku bertanding dan aku dapat mengejeknya karena aku berhasil memecahkan soal-soal yang dia ajukan!” katanya sebagai penutup dengan nada suara gembira.

Diam-diam Han Lin membuat perhitungan. Apa bila gadis ini memang tidak suka kepada Ouw Ji Sun, tentu pinangan itu ditolaknya mentah-mentah dan habis perkara. Namun dia mengajukan syarat, bahkan dia menerima pula syarat dari Ouw Ji Sun. Ini hanya berarti bahwa gadis ini sebetulnya mau menjadi isteri Ouw Ji Sun, hanya ingin menaikkan harga diri dan martabatnya. Dia ingin menang dalam pemecahan persoalan, dan tentu menang pula dalam adu silat sehingga kalau akhirnya dia menerima pinangan, dia berada di pihak pemenang dan dapat menguasai laki-laki yang akan menjadi suaminya itu! Tak salah lagi, tentu demikian, pikir Han Lin.

Kasihan Ouw Ji Sun. Dia harus menemui laki-laki itu, melihat bagaimana keadaannya dan wataknya. Kalau dia orang baik, haruslah dibantunya agar harga dirinya sebagai pria tidak akan jatuh dalam pandangan calon isterinya.

“Baik, aku akan mencoba membantumu, enci Ling Si,” katanya tanpa ragu menyebut enci karena gadis itu jauh lebih tua darinya dan tadi lebih dulu menyatakan telah menganggap dia sebagai adiknya sendiri.

Dengan gembira Ling Si lalu mengeluarkan sehelai kertas yang telah dicorat-coret dengan angka-angka, sebagai bukti bahwa gadis itu sudah memeras otaknya untuk menghitung. Sesudah Han Lin melihat soal hitungan itu, hampir dia tertawa bergelak. Seorang kanak-kanak pun akan dapat memecahkan soal hitungan itu!

Begitu mudahnya! Akan tetapi Sim Ling Si sudah mempergunakan waktu berbulan-bulan untuk mencari pemecahannya, tetapi belum berhasil. Sungguh luar biasa sekali. Seorang gadis yang begitu cerdik, yang telah mampu membuat hutan bambu yang demikian rumit, namun tidak mampu memecahkan ilmu hitung yang begitu sederhana!

Di atas kertas terdapat tulisan yang amat indah, tentu tulisan orang yang bernama Ouw Ji Sun itu, yang menyebutkan persoalan hitungan tadi. Bunyi tulisan itu begini:

Sejumlah bebek dan kambing bercampur baur menjadi satu dalam kandang. Yang dapat dihitung hanya seluruh kepala yang jumlahnya delapan puluh delapan, dan seluruh kaki yang jumlahnya dua ratus empat puluh enam. Pertanyaannya adalah: berapakah junlah bebek dan berapa pula jumlah kambingnya?

Bagi Han Lin yang sudah pernah mempelajari ilmu hitung dan ilmu pengetahuan umum lain dari Kong Hwi Hosiang, tentu saja hitungan itu amat mudah. Akan tetapi Ling Si yang belum tahu jalannya atau caranya memecahkan, persoalan itu amatlah rumitnya dan tidak juga dapat menemukan jawabannya.

Akan tetapi Han Lin pura-pura mengerutkan alis. Setelah beberapa lama dia memandang dan membaca tulisan itu, dia lalu menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya.

“Bagaimana, Han Lin? Apakah engkau dapat mencari jawabannya?” tanya Ling Si dengan khawatir kalau-kalau pemuda itu ternyata seperti dia, juga tidak mampu menghitung.
“Aihh, Ouw Ji Sun itu tentulah orang yang pandai, atau dia hanya ngawur saja. Mengapa menghitung bebek dan kambing bercampur baur begitu. Sukar dipecahkan, membutuhkan perhatian dan aku minta waktu tiga hari untuk dapat memecahkannya, enci Ling Si. Akan tetapi percayalah, dalam waktu tiga hari aku pasti akan dapat menemukan jawabannya.”
“Ahh, bagus sekali kalau begitu. Aku sampai pening dan sakit kepala mencari jawaban untuk kedua soal itu.”
“Akan tetapi aku minta engkau memenuhi dua buah syarat.”
“Hemm, Han Lin, ternyata engkau juga ikut-ikutan dengan kami, mengajukan syarat. Apa syaratmu?”
“Pertama, selama tiga hari ini bila aku keluar dari sini untuk mencari jawaban atas rahasia hitungan ini, harap engkau tidak mengikutiku, dan kau harus memberi tahu di mana Ouw Ji Sun itu tinggal.”

“Baik, syarat pertama kupenuhi. Ouw Ji Sun tinggal di bawah lereng, di sebelah utara.”
“Dan syarat kedua, aku ingin menguji kepandaian silat enci Ling Si. Engkau sangat lihai dalam menyusun barisan bambu, tentu engkau lihai pula dalam ilmu silat. Engkau boleh menggunakan senjata yang biasa kau pakai, sedangkan aku akan menggunakan tongkat bututku ini.”
“Hemmm, Han Lin, engkau boleh jadi mahir menebak teka-teki dan memecahkan rahasia hitungan, akan tetapi jangan main-main dengan ilmu silat. Sebaiknya engkau pergunakan pedangmu, karena yang akan kau lawan ini bukan pesilat sembarangan.”

Han Lin tersenyum. “Enci, kita hanya saling menguji kepandaian, bukan hendak berkelahi. Marilah kita latihan sebentar di luar pondok.”

Han Lin keluar dari pondok yang mempunyai pekarangan lebar. Ling Si mengikutinya dan gadis itu telah membawa sepasang pedang pendek namun gemerlapan saking tajamnya.

“Han Lin, sepasang pedangku ini sangat tajam. Dalam satu atau dua jurus saja tongkat bambumu itu tentu akan patah-patah.”
“Kita lihat saja, enci. Nah, aku mulai menyerangmu!” Han Li berseru kemudian tongkatnya melakukan gerakan menusuk.

Ling Si tersenyum, lantas cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud agar sekali tangkis dia akan membabat putus tongkat bambu itu.

“Tranggg...!”

Ling Si terkejut bukan kepalang! Bukan saja tongkat itu tidak patah, bahkan dia merasa tangan kirinya kesemutan ketika pedangnya bertemu tongkat. Dia menjadi penasaran lalu membalas serangan itu dengan cepat sekali.

Memang gadis ini memiliki gerakan yang cepat dan ilmu pedangnya cukup baik dan kuat. Akan tetapi bagi Han Lin ilmu kepandaian silat wanita itu tidak ada artinya dan kalau dia memang menghendaki, dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja tentu dia akan dapat mengalahkannya. Tapi bukan maksudnya untuk mengalahkan wanita itu, melainkan untuk menemukan titik-titik kelemahan dalam ilmu silatnya.

Sesudah belasan jurus dia mengandalkan kelincahannya untuk mengimbangi permainan pedang Ling Si, akhirnya dia melihat titik-titik kelemahan dalam pertahanan Ling Si. Maka, ketika sepasang pedang itu melakukan gerakan menggunting dari udara, menyambar dari kanan kiri secara bersilang, tiba-tiba dia sengaja menangkis kedua pedang itu sehingga tongkatnya berada di tengah-tengah seperti terjepit dua mata gunting. Akan tetapi justru Ling Si yang terkejut bukan main karena sepasang pedangnya itu melekat pada tongkat dan beberapa kali diusahakannya untuk melepaskan pedang, akan tetapi sia-sia saja.

“Enci Ling Si, cukup sudah. Kiam-hoatmu sungguh hebat!” kata Han Lin sambil menarik kembali tenaga saktinya yang tadi dikerahkan untuk menyedot dan menempel sepasang pedang itu pada tongkatnya, lalu dia melangkah mundur.

Ling Si merasa betapa pedangnya terlepas dan dia pun berdiri tertegun sambil terheran-heran. Dia tidak tahu apa yang terjadi, mengapa tadi pedangnya tidak dapat ditarik lepas, dan ternyata pemuda itu yang menghentikan pertandingan dan memuji ilmu pedangnya. Walau pun tidak yakin benar, timbul dugaannya bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Ia menjadi kagum dan makin besar harapannya mendapat bantuan pemuda ini memecahkan segala persoalannya dengan Ouw Ji Sun.

“Jangan terlalu memuji, Han Lin. Ilmu silatku memang tidak seberapa, akan tetapi jangan harap Ouw Ji Sun akan dapat menang jika bertanding denganku. Bagaimana, kapan aku bisa mendapatkan jawaban pemecahan ilmu hitung itu?”
“Berilah aku waktu, enci. Selama tiga hari, aku akan menyendiri untuk mencari jawaban. Sesudah tiga hari aku akan kembali ke sini dan memberi tahu kepadamu. Nah, sekarang aku pamit dahulu, karena ternyata pondokmu hanya memiliki sebuah kamar dan sungguh tidak enak untuk mengganggumu.”

“Ahh, aku sudah menjanjikan untuk menerimamu menginap di sini. Aku tidak bisa menarik janjiku. Kau tidurlah di kamar, aku cukup di kursi ini.”
“Tidak, enci. Kau sangka aku orang yang tidak tahu malu? Engkau wanita, dan bermalam-malam engkau kurang tidur, mengasolah. Bagiku mudah saja, aku dapat tidur di bawah atau di atas pohon dengan membuat api unggun.”

“Akan tetapi engkau tidak akan dapat keluar dari hutan bambuku, juga tidak akan dapat masuk kembali. Mari kutunjukkan engkau rahasia jalan keluar masuknya.” Wanita itu lalu keluar sambil diikuti oleh Han Lin.
“Lihat, ini rumpun pertama yang harus kau lompati,” kata wanita itu dan menyuruh Han Lin mengikutinya. Mereka melompati rumpun bambu itu sehingga tiba di tengah-tengah hutan bambu.

“Dan ini rumpun kedua yang harus kau lompati.” Dia melompat lagi diikuti oleh Han Lin.
“Dan ini yang ketiga dan terakhir.” Dia melompat dan ketika Han Lin mengikutinya, benar saja mereka sudah berada di luar hutan! Begitu mudahnya. Bagi yang belum tahu, tentu akan ragu-ragu untuk melompati rumpun bambu dan kalau bukan rumpun yang mereka lompati tadi, maka mereka akan tetap berada di tengah-tengah hutan bambu.
“Terima kasih, enci. Aku berjanji tiga hari lagi aku akan datang kepadamu dan membuka rahasia pemecahan hitungan itu.”
“Aku percaya padamu, Han Lin,” kata wanita itu dan ketika pulang, ia menyusup di antara rumpun bambu kemudian lenyap seketika.

Han Lin menghela napas. Sungguh wanita yang luar biasa, pikirnya. Heran dia mengapa wanita yang nampaknya begitu pandai, namun bodoh dalam ilmu hitung dan permainan catur. Agaknya Ouw Ji Sun sudah mengetahui kelemahan wanita itu, maka menyodorkan persoalan yang membuat Ling Si pening tujuh keliling selama berbulan-bulan. Agaknya orang yang bernama Ouw Ji Sun itu amat cerdik!

Kegelapan malam berkurang dengan adanya jutaan bintang yang bersinar cemerlang di langit, indah laksana ratna mutu manikam menempel pada hamparan beludru hitam yang amat luas. Han Lin menuruni lereng menuju ke utara dan dari jauh sudah nampak sebuah dusun dengan kelap kelip lampunya.

Melihat sebuah kuil tua di tepi jalan di luar dusun, dia segera masuk ke kuil itu. Ternyata kuil itu kosong dan dia segera mengumpulkan kayu dan daun kering membuat api unggun di ruangan tengah kuil itu yang atapnya sudah berlubang besar. Tubuhnya terasa hangat, dan api unggun itu mengusir nyamuk. Dia membersihkan lantai dengan ranting berdaun, kemudian merebahkan diri mengusir lelah sampai dia tertidur…..

********************
Selanjutnya baca
PEDANG AWAN MERAH : JILID-02
LihatTutupKomentar