Neraka Puncak Lawu

NERAKA PUNCAK LAWU

SATU

SAAT itu memasuki permulaan musim semi. Pohon-pohon yang dulu gundul tak berdaun kini kelihatan mulai menghijau segar kembali. Dibagian barat daratan Madiun yang luas menjulanglah pegunungan gunung Lawu dengan lebih dari setengah lusin puncak-puncaknya yang tinggi. Sebegitu jauh hanya satu dua saja dari puncak pegunungan ini yang pernah diinjak kaki manusia. 
Pegunungan Lawu membujur dari barat ke timur. Diapit disebelah utara oleh daerah Gondang dan pegunungan Kendeng. Disebelah selatan terletak daerah Jatisrana, Purwantara dan pegunungan Kidul serta dataran tinggi Tawangmangu. Pegunungan Lawu bukan saja dikenal sebagai sebuah pegunungan terbesar di Madiun, namun juga merupakan pusat satu partai silat terkenal dan disegani pada masa itu yakni partai Lawu Megah. 

Sejak Resi Kumbara mengundurkan diri lima tahun yang lalu maka tampuk jabatan ketua dipegang oleh adiknya yang juga merupakan adiknya seperguruan Resi Tumbal Soka. Adapun pengunduran diri Resi Kumbara, selain usianya yang sudah amat lanjut yakni hampir mencapai 100 tahun, paderi ini sudah jemu dengan segala macam urusan partai yang menyangkut 1001 macam masalah keduniaan. 

Kalau Resi Kumbara dulu sempat dan berhasil mengangkat nama partai Lawu Megah menjadi satu partai besar yang dihormati dan disegani, maka agaknya tidak demikian dengan Resi Tumbal Soka. Sejak dia memegang jabatan ketua, banyak perubahan-perubahan yang dilakukannya di dalam partai. Keluarpun dia kurang mendapat tempat yang baik karena tindakan-tindakannya yang tidak tepat. 

Akibatnya partai Lawu Megah pernah berselisih faham dengan partai-partai silat-besar lainnya. Bahkan satu telah terjadi bentrokan yang membawa korban dengan partai Merapi Indah. Beberapa orang paderi tua pernah menemui Resi Kumbara di ruangan samadinya. Mereka melaporkan keadaan di dalam dan di luar partai dan meminta agar Resi Kumbara suka memegang jabatan ketua kembali. 

Sekurang-kurangnya untuk sementara sampai kemendungan selama ini bisa dipulihkan. Cuma sayang Resi Kumbara menolak. Orang tua ini berkata, 

"Apa yang sudah kuserahkan pada orang lain tak boleh kuminta kembali. Demikian juga dengan jabatan ketua partai. Adik-adikku, sebenarnya kalian datang ke alamat yang salah. Bukan aku yang harus kalian temui, tapi kakak kalian, Resi Tumbal Soka. Bukankah kalian bisa berembuk dengan dia? Bukankah kalian pembantu-pembantunya? Temui dia dan carilah jalan yang sebaik-baiknya. Cuma satu hal aku ingin tekankan. Aku tidak suka melihat adanya keretakan di antara kalian. Tak ada yang paling baik dari pada musyawarah dan persatuan. Nah, sekarang kalian pergilah. Aku tak ingin diganggu lebih lama." 

Kelanjutannya tak ada seorangpun diantara paderi-paderi tua itu yang menemui Resi Tumbal Soka. Mereka tahu sifat ketua mereka ini. Selain mempunyai pribadi yang tertutup, juga sulit untuk diajak berunding. Dia merasa bahwa hitam putih segala sesuatunya dalam partai adalah di tangannya. Dia bisa saja mendengarkan pendapat-pendapat para pembantunya, namun apa maunya juga yang kelak akan dijalankan. 

Akibatnya dalam tubuh para pimpinan partai terjadi kelompok-kelompok yang saling bertolak belakang. Kelompok pertama dipimpin oleh Resi Permana yang ingin melihat partai Lawu Megah kembali seperti masa sewaktu dipimpin oleh Resi Kumbara. Kukuh di dalam dan mempunyai hubungan baik diluar dalam kalangan persilatan. Kelompok kedua dipimpin oleh Resi Godra. Ketidaksenangan paderi ini terhadap ketuanya lebih banyak ditimbulkan oleh hal-hal pribadi. 

Sesudah Resi Kumbara mengundurkan diri maka dengan usianya yang sudah 90 tahun paderi Resi Godra merupakan orang yang paling tua di partai Lawu Megah. Dengan sendirinya dia merasa mempunyai hak untuk menduduki jabatan ketua. Namun dia menjadi kecewa sekali ketika jabatan itu diserahkan pada Resi Tumbal Soka, padahal paderi ini 10 tahun lebih muda dari dia. Rupanya sang ketua yang lama lebih mementingkan hubungan darah. 

Resi Tumbal Soka adik kandung Resi Kumbara dari pada tata cara yang berlaku. Ditambah dengan sikap dan salah urus dari Resi Tumbal Soka, maka semakin tidak sukalah paderi yang satu ini terhadap ketuanya itu. Kelompok ketiga ialah kelompok Resi Tumbal Soka sendiri bersama pendukung-pendukungnya. Meskipun di luaran paderi tiga kelompok tersebut masih menunjukkan sikap rukun dan saling hormat, namun diam-diam laksana api dalam sekam mereka saling bertentangan. 

Pada pagi hari itu hujan rintik-rintik turun di puncak gunung Lawu. Menyaksikan keadaan puncak ini nyatalah bahwa ada satu peristiwa besar tengah terjadi di pusat partai terkenal ini. Para pucuk pimpinan dan anak-anak murid partai semua berkumpul disebuah lapangan besar. Pada tengah-tengah lapangan ini berdiri sebuah tiang kayu setinggi tiga meter, lengkap dengan seutas tambang besar. Salah satu ujung tambang ini dibuhul demikian rupa membentuk lingkaran sedang ujungnya yang lain terikat kukuh pada palang kayu diatas tiang. 

Sebuah kursi terletak dekat tiang itu. Sekali memandang saja jelaslah bahwa benda-benda itu dipersiapkan untuk menggantung seseorang! Sejak berdirinya Partai Lawu Megah hampir 200 tahun yang silam, tak pernah hal seperti ini berlangsung. Baru waktu Resi Tumbal Soka menjabat ketualah peristiwa ini terjadi. Gerangan siapakah yang hendak digantung pada pagi hari itu? 

Ketua partai berdiri bersama pembantu-pembantunya sekitar dua puluh langkah sebelah kanan tiang gantungan. Disamping Resi Tumbal Soka tegak seorang dara berpakaian biru. Rambutnya kusut dan wajahnya yang cantik kelihatan mendung. Sebentar-sebentar dia pergunakan sehelai sapu tangan untuk menyapu air mata yang jatuh membasahi pipinya.

"Sularwasih! Hentikan tangismu! Mana ketabahan hatimu sebagai seorang murid Partai Lawu Megah?" Resi Tumbal Soka berkata pada gadis berpakaian biru. 

Gadis ini adalah murid kesayangannya. "Guru... kalau guru mengizinkan, murid lebih suka mati bunuh diri saat ini juga..." Sularwasih tiba-tiba menyahut dengan suara parau. 

"Jangan ngaco!" Ketua Partai Lawu Megah kelihatan marah. "Bukan kau yang harus mati, tapi bangsat terkutuk itu! Kau akan saksikan sendiri kematiannya di tiang gantungan sebentar lagi!" 

Resi Tumbal Soka memandang berkeliling kemudian berseru, "Bawa pemuda laknat itu ke tiang gantungan!" 

Suara teriakan sang ketua yang disertai hawa amarah den tenaga dalam amat tinggi laksana geledek menggetari seantero puncak gunung Lawu. Bila getaran teriakan itu sirna, kesunyian mencengkam menegangkan. Dari arah rumah besar kelihatan seorang pemuda berkulit coklat keluar digiring oleh dua orang anak murid partai tingkat tertinggi. 

Di sebelah depannya mendahului seorang Resi. Pemuda berkulit coklat itu, memiliki rambut gondrong sampai ke bahu. Kedua tangannya diikat di sebelah belakang dengan sehelai benang aneh yang bagaimanapun diusahakannya tak sanggup diputuskan. Tampangnya tolol, tapi sikapnya gagah bahkan dia melangkah cengar cengir. Seolah-olah tengah dalam perjalanan ke satu tempat yang bagus, bukan tengah menuju ke tiang gantungan yang telah disediakan untuk dirinya! 

Murid-murid partai berkerumun di ssbelah timur menyeruak memberi jalan. Pemuda asing den pengiringnya sampai di depan tiang gantungan. Ketegangan semakin memuncak. Kesunyian tambah tidak enak. Resi Tumbal Soka menganggukkan kepala pada paderi yang menyertai pemuda berambut gondrong itu. Dan sang paderi lantas membalikkan diri, berpaling pada si pemuda. 

"Orang asing yang mengaku bernama Wiro Sableng!" katanya dengan suara lantang hingga terdengar ke segenap penjuru. "Kami orang-orang Partai Lawu Megah masih bersedia memberikan sedikit kelonggaran padamu sebelum kau menjalani hukuman mati di tiang gantungan" 

Tawanan yang hendak dihukum mati itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede yang sejak beberapa tahun belakangan ini bertualang di daratan Tiongkok. Wiro tersenyum mendengar ucapan paderi itu. 

"Terima kasih. Kelonggaran apakah yang kalian hendak berikan padaku...?!" bertanya Wiro acuh tak acuh tanpa memandang pada paderi yang tadi berkata padanya. 

"Sebelum menjalani hukuman mati kau diperkenankan mengajukan satu permintaan atau menyampaikan pesan terakhir." 

Kembali Wiro Sableng tertawa cengar cengir. "Aku tak punya karib kerabat apa lagi sanak saudara disini. Pesan apa dan kepada siapa pula aku kusampaikan...?" 

"Kalau begitu permintaan terakhir saja," kata paderi itu. 

"Permintaan terakhir...?" Wiro kerenyitkan kening. "Kalian sudah memutuskan untuk membunuhku secara biadab, kini kenapa meributkan segala soal tetek bengek begini rupa. Gantung saja aku detik ini juga habis perkara!" 

Mendengar kata-kata Wiro itu, Resi Tumbal Soka menjadi marah wajahnya dan berkata lantang, "Kau dihukum gantung secara biadab karena kau telah melakukan kekejian yang biadab! Itu sudah pantas menjadi bagianmu! Jika kau tidak ada kata-kata atau permintaan terakhir, itu lebih baik. Kau akan lebih cepat kami singkirkan dari puncak Gunung Lawu ini!" 

"Resi Tumbal Soka, mulut dan pendapat manusia itu tidak selamanya bisa dijadikan hakim yang adil. Kudengarkan kau banyak melakukan hal-hal yang sembrono sebagai ketua partai. Itu sebabnya ada yang tidak menyukaimu di pihak orang dalam sendiri dan juga di dunia persilatan!" Habis berkata begitu Wiro tertawa mengekeh. 

Marahlah ketua Partai Lawu Megah. Dia berteriak, "Gantung dia sekarang juga!" 

Diam-diam dingin juga tengkuk Pendekar 212 dan bergetar juga dadanya. Ketika bahulan tali hendak dilingkarkan ke lehernya lewat kepala, tiba-tiba dia berteriak, "Tunggu dulu! Aku ingin mengajukan satu permintaan terakhir!" 

"Kurang ajar! Lekas katakan apa permintaanmu!" teriak Resi Tumbal Soka jengkel dan marah sekali. Dia memberi isyarat. Paderi yang hendak menjeratkan tali ke leher Wiro menurunkan tangannya kembali. 

Sepasang mata Wiro Sableng bergerak ke arah gadis berpakaian biru yang masih sibuk menyeka air matanya. Dia goyangkan kepalanya pada gadis ini seraya berkata, "Aku ingin bicara dengan gadis itu!" 

Semua orang saling pandang. Tentu saja mereka tidak menduga sang tawanan akan mengajukan permintaan demikian. Semua orang memandang pada Resi Tumbal Soka, menunggu keputusannya. Ketua partai ini sendiri kelihatan bergerak-gerak pelipisnya. Dia berusaha menekan amarahnya dan kemudian berkata, 

"Kau kami beri kesempatan untuk bicara dengan gadis itu. Tapi cepat dan singkat!" 

"Adik, kau kemarilah mendekat!." Wiro berseru. 

Sularwasih memandang melotot. Mulutnya terbuka, "Manusia terkutuk! Aku tidak sudi bicara denganmu!" 

DUA

Sepasang alis mata Wiro Sableng naik ke atas. Keningnya mengerenyit. "Jika kau tak mau bicara denganku, berarti kelak kau bakal penasaran seumur hidup," kata pendekar itu pula. 

"Kaulah yang bakal jadi setan penasaran!" teriak Sularwasih. 

"Sularwasih, kita harus memenuhi apa yang telah kita janjikan. Kau harus dengar apa yang dikatakannya," ujar Resi Tumbal Soka, lalu berpaling pada Wiro. "Katakan lekas apa yang ingin kau sampaikan padanya!" 

"Apakah dia tidak boleh maju lebih dekat ke hadapanku?" tanya Wiro. 

"Muridku, kau majulah sampai tiga langkah dari hadapannya," kata Resi Tumbal Soka. 

Karena diperintah gurunya, meskipun hati kecilnya membantah namun dia tak berani menolak. Sularwasih melangkah ke hadapan Wiro Sableng. 

"Sekarang bicaralah!" seru ketua Partai Lawu Megah tak sabaran karena dilihatnya Wiro masih cengar-cengir. 

"Adik, kau, cantik sekali jika menangis begini. Kedua pipimu jadi merah..." Kata-kata itu diucapkan oleh Wiro setengah berbisik hingga cuma nona Sularwasih saja yang dapat mendengarnya. Dan si nona justru tiba-tiba menggerakkan tangan kanannya. 

"Plakkk!" Satu tamparan mendarat pipi Wiro. Demikian kerasnya hingga bibirnya luka dan mengeluarkan darah. Selagi semua orang tercengang-cengang melihat kejadian itu, Wiro kembali membuka mulut, 

"Nona Sularwasih, aku bersumpah bahwa aku sama sekali tidak merusak kehormatanmu. Seorang lain yang melakukannya dan aku yang jadi kambing hitamnya!" Kata-kata ini diucapkan Wiro dengan suara keras hingga semua orang mendengar. 

"Muridku, kembali ke tempatmu semula!" terdengar seruan paderi Resi Tumbal Soka.

Sesaat Sularwasih masih tegak menatap tajam pada Wiro Sableng. Entah tertegun dalam kemarahannya, entah terpukau dalam ketidakpercayaannya atas pengakuan pemuda berambut gondrong itu. Kemudian sadar akan kata-kata suhunya, gadis ini melangkah mundur, kembali ke tempat semula. 

"Laksanakan hukuman sekarang juga!" terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka. 

Maka tali penggantung dilingkarkan ke leher Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua orang murid partai dengan paksa dan susah payah menaikkan pemuda itu ke atas kursi. Mereka kemudian memegangi tawanan itu agar jangan berontak. Selagi perintah untuk menyingkirkan kursi yang dipijak Wiro ditunggu, tiba-tiba dalam kesunyian yang amat menegangkan itu terdengarlah suara nyanyian yang amat santar. 

Demikian santarnya sehingga semua orang yang ada di situ termasuk Resi Tumbal Soka dan para pimpinan partai lawu megah yang berkepandaian tinggi merasa liang telinga masing bergetar!

Semakin tinggi mendaki puncak Gunung Lawu 
Semakin indah permai pemandangan 
Semakin sembrono tindakan seorang pimpinan 
Semakin jauhlah dia tersesat dalam aturan dunia persilatan 
Keadilan sejati tidak ada di muka bumi ini 
Hukum yang benar jarang ditemui 
Semua orang bisa jadi hakim 
Tapi tidak semua orang bisa menghakimi tindakan diri sendiri.

Kata-kata dalam nyanyian itu membuat paras Resi Tumbal Soka berobah. Dia berpaling ke arah timur. Baru saja dia putar kepalanya, tahu-tahu sesosok tubuh laksana bayangan kilat telah berkelebat di depan tiang gantungan. Seorang kakek-kakek kini kelihatan berdiri di situ. Mukanya demikian kurus hingga hampir menyerupai tengkorak hidup! Tubuhnya pun luar biasa kurusnya hingga kelihatan seperti jerangkong. Melihat kakek-kakek ini Wiro berseru keras. 

"Pendekar Pedang Akhirat! Kakek, aku yang hendak dihukum mati ini rupanya masih diberi kesempatan untuk menghaturkan hormat danmengucapkan selamat tinggal padamu. Apakah kau selama ini baik-baik saja?" 

Ternyata kakek yang datang ini adalah pendekar yang telah menggetarkan dunia persilatan selama puluhah tahun, yang beberapa waktu lalu pernah diselamatkan Wiro Sableng dari satu lobang sekapan yang hampir merenggutkan nyawanya. Pendekar Pedang Akhirat mendongak pada Wiro yang tegak di atas kursi. Lalu tertawa gelak-gelak. 

"Selama ini aku ada baik-baik saja, sobatku. Tampaknya kau sendiri tidak berada dalam keadaan baik-baik heh? Nasibmu sungguh malang harus mampus di tiang gantungan." 

Wiro menyeringai kecut. Si kakek kemudian celengak-celenguk seputar pedataran yang penuh oleh para pimpinan dan murid-murid Partai Lawu Megah. Kemudian pandangannya tertumbuk. Dia tertawa dan menjura lalu berkata, 

"Ah sobatku Resi Tumbal Soka. Sudah hampir empat puluh tahun sejak aku penghabisan sekali menginjakkan kaki di puncak Gunung Lawu ini dulu. Ternyata kini banyak perubahan. Ada apakah sebenarnya saat ini di sini, sobatku?" 

Sesaat Resi Tumbal Megah masih berdiam diri. Terkesiap oleh kedatangan si kakek yang tidak diduganya, yang ternyata mengenal tahanan yang hendak digantung. Kemudian dia ingat dan buru-buru balas menjura. 

"Selamat datang di Partai Tumbal Soka, sobatku Pendekar Besar Pedang Akhirat." 

"Hai, julukanku hanya Pendekar Pedang Akhirat, tak perlu ditambah dengan kata Besar!" 

Dan ini membuat wajah Resi Tumbal Soka menjadi bersemu merah. Paderi-paderi yang lain tak berani membuka mulut, bahkan bergerak dari tempat masing-masing pun tampaknya mereka takut. Semuanya tahu siapa adanya kakek bermuka tengkorak ini. Seorang tokoh silat yang sampai hari itu masih dianggap sebagai datuknya orang persilatan. Yang ilmu kepandaiannya sukar dijajagi. Bahkan Resi Kumbara yang sudah mengundurkan diri belum tentu setingkat kepandaiannya dengan kakek jerangkong ini. Apa lagi jika dibandingkan dengan Resi Tumbal Soka. 

"Eh, aku tidak melihat sobat lamaku paderi Resi Kumbara...!" tiba-tiba Pendekar Pedang Akhirat berseru lagi dan memandang celangak-celinguk kian kemari dengan sikap lucu, tapi tak satu orang pun berani tertawa, kecuali murid Eyang Sinto Gendeng yang terus-terusan saja cengar-cengir. 

"Kakakku itu sudah mengundurkan diri dari segala urusan partai. Akulah kini yang menjadi ketua Partai Lawu Megah," menyahuti Resi Tumbal Soka. 

"Oh, begitu? Astaga! Kalau begitu aku harus sekali lagi memberi penghormatan!" 

Dan kembali si kakek jerangkong itu menjura. Penghormatan yang sekali ini terasa satu hinaan halus oleh Resi Tumbal Soka. Tapi dia tak mau memberikan reaksi apa-apa, cuma wajahnya saja yang kembali kelihatan bertambah merah. 

"Betul-betul banyak perubahan di puncak Gunung Lawu ini," kata Pendekar Pedang Akhirat sambil geleng-gelengkan kepalanya. 

"Hai! Sobatku Resi Tumbal Soka, kau belum jawab pertanyaanku tadi. Ada apakah ramai-ramai di sini?" 

"Seperti kau seksikan sendiri. Pemuda asing itu akan menjalani hukuman mati. Menilik gelagat kakek gagah sebelumnya sudah kenal padanya" 

"Betul, aku memang kenal padanya. Tapi kenapakah dia hendak digantung?" ia bertanya. 

"Dia telah merusak kehormatan salah seorang murid gunung Lawu," jawab Resi Tumbal Soka seraya goyangkan kepalanya ke arah Sularwasih. 

"Aha...! Ini betul-betul urusan kapiran! Eh Wiro, betulkah kau telah memperkosa nona itu?!" Sepasang mata si kakek menyorot tajam laksana menembus batok kepala Pendekar 212. 

Wiro gelengkan kepala. "Aku bersumpah tidak melakukannya, kakek. Tapi mereka tidak percaya. Jika saja anuku ini bisa bicara pasti dia akan mengatakan tidak!" 

Pendekar Pedang Akhirat tertawa gelak-gelak. "Jika saja anumu itu bisa bisa bicara! Hik-hik-hik! Cuma sayang anumu tidak bisa bicara heh! Tapi betul kau tidak mengganggu gadis itu? Maksudku memperkosanya?" 

"Demi Tuhan tidak." 

Si kakek mengangguk. "Aku percaya pada sumpahmu," kata kakek itu. Lalu berpaling pada ketua partai. "Dia sudah bersumpah. Bagaimana ini?" 

"Siapa sudi percaya sumpahnya. Mana ada maling yang mengaku."

"Tapi dia bukan maling." 

"Penjahat keji terkutuk. Itu lebih pantas bukan?" 

Si kakek tertawa. "Setahuku pemuda sobatku ini tak pernah mencari perempuan. Justru perempuanlah yang pada mencarinya." 

"Kakek gagah, apa dalam hal ini kau hendak mengatakan bahwa muridkulah yang sengaja menyerahkan dirinya pada pemuda bajingan itu?!" kata paderi Tumbal Soka dengan nada keras. 

"Ooo, tentu saja tidak," sahut kakek muka tengkorak. "Tapi aku tak percaya kalau sobatku ini telah memperkosa muridmu yang cantik itu." 

"Itu urusanmu. Di sini kami melaksanakan urusan kami. Menjatuhkan hukuman lengkap dengan bukti-bukti dan saksi!" kata Resi Tumbal Soka pula. 

"Hemm begitu? Bolehkah aku mengetahui bukti atau mendengar saksi itu?" 

Resi Tumbal Soka mengkal sekali. Tapi dia menganggukkan kepala pada seorang pemuda bertampang keren yang tegak di samping Sularwasih. "Berikan kesaksianmu padanya!" 

"Waktu itu..." si pemuda yang merupakan seorang murid partai tingkat tertinggi, mulai memberi keterangan tapi buru-buru dipotong oleh kakek muka tengkorak. 

"Tunggu, beritahu dulu namamu!" 

"Saya bernama Tandu Wiryo," jawab si pemuda lalu mulai mengulangi keterangannya. "Waktu itu saya dan adik seperguruan ini tengah menjalankan tugas dari ketua. Suatu malam dalam perjalanan pulang kami menginap di sebuah penginapan. Di situ sebelumnya telah menginap pula pemuda itu. Selagi kami mendaftar, saya saksikan sendiri dia mengedip-ngedipkan matanya mengganggu adik. Semula adik hendak menghajarnya, tapi saya larang karena menganggap pemuda itu berotak miring. Malam hari itu saya ke luar sendirian, maksudnya untuk melihat-lihat kota. Ketika kembali pada tengah malam, saya temui adik menangis di dalam kamarnya. Ternyata peristiwa keji itu telah terjadi. Saya mengadakan penyelidikan. Di dalam kamar adik saya temukan sebuah kancing baju. Ketika dicocokkan, persis sama dengan kancing baju pemuda asing itu!" 

"Mana kancing baju itu sekarang?" tanya Pendekar Pedang Akhirat. 

Tandu Wiryo mengeluarkan sebuah kancing baju dari dalam saku pakaiannya. Si kakek mengamatinya dengan teliti. Ketika dia berpaling memperhatikan pakaian Wiro, ternyata memang kancing itu sama dengan kancing pakaian si pemuda. Dan salah satu dari kancing-kancing tersebut tanggal, tak ada lagi di tempatnya! 

TIGA

Pendekar Pedang Akhirat termenung sesaat. Kemudian dia berpaling pada Sularwasih dan bertanya, "Sewaktu hal itu terjadi apakah kamarmu terang benderang?" 

Yang menjawab adalah Tandu Wiryo, "Sesuai dengan kebiasaannya, adik seperguruanku selalu tidur dengan lampu dipadamkan."

"Bagaimana kau bisa tahu kebiasaan adik seperguruanmu itu?" tanya Pendekar Pedang Akhirat pula. 

Tak menduga ditanya demikian. Tandu Wiryo jadi terkesiap diam. Saat itu Resi Tumbal Soka membuka mulut, "Kakek gagah, aku tidak suka akan tanya jawab ini. Kau seolah-olah sebagai seorang penyelidik. Sebagai seorang pembela. Jika kau ingin menyaksikan pelaksanaan hukum gantung ini, silahkan. Jika tidak..." 

"Supaya aku angkat kaki dari sini?!" meneruskan kakek muka tengkorak sambil tersenyum. "Tidak, sebelum persoalannya jelas begitu, aku tak akan pergi dari sini!" Si kakek lalu berpaling pada Tandu Wiryo. "Orang muda, katakan padaku kota dan penginapan di mana peristiwa itu terjadi." 

Tandu Wiryo tidak segera menjawab sedang parasnya menunjukkan rasa tidak enak. Dia menoleh pada Resi Tumbal Soka dan baru berkata, "Tanpa izin ketua aku tak akan mau menjawab." 

"Beritahukan saja padanya biar dia puas," ujar sang ketua pula. 

"Penginapan Candi di Muntilan," Tandu Wiryo memberitahu. 

"Kakek gagah, apakah kau puas sekarang?" tanya Resi Tunggal Soka. 

"Puas. Tapi jadi tidak puas bila hukuman ini dilangsungkan!" 

"Apa maksudmu?" tanya sang ketua partai seraya memandang tajam pada kakek muka tengkorak." 

"Puluhan tahun aku hidup dalam dunia persilatan, tak pernah kejadian orang digantung karena urusan begini rupa. Apalagi sampai dilakukan oleh satu partai besar. Mungkin perbuatan itu terkutuk dan keji. Tapi menggantungnya lebih terkutuk dan lebih keji. Jika betul kau yakin pemuda asing ini salah, kenapa tidak dilaksanakan saja pelaksanaan hukuman lewat perkelahian antara dia dengan muridmu...?!" 

"Kau bicara seenaknya saja, kakek gagah. Kau tahu, untuk menangkap pemuda keparat itu kami membutuhkan selusin murid-murid tingkat tertinggi, enam orang paderi utama dan membutuhkan waktu setengah hari!" 

"Memang serba berabe," kata Pendekar Pedang Akhirat seraya usap-usap keningnya. "Tapi akan lebih berabe lagi jika hukuman gantung itu dilaksanakan. Nama partai Lawu Megah akan lebih cemar di dunia persilatan." 

"Persetan dengan orang luar. Kami membuat sendiri dan menjalankan sendiri aturan partai kami!" tukas Resi Tumbal Soka. 

"Sekarang bagusnya begini saja," kata si kakek pula. "Serahkan pemuda ini padaku. Jika nanti memang terbukti dia yang melakukan perbuatan keji itu, aku sendiri yang bakal menghukumnya!" 

Resi Tumbal Soka tertawa sinis. "Dalam persoalan ini kau adalah orang luar, kakek gagah. Kedatanganmu ke sini pun tidak kami undang." 

"Kalau begitu biar aku pergi tanpa undangan pula dan harus bersama pemuda sobatku ini!" 

Resi Tumbal Soka hilang sabarnya. Dengan nada keras dia berkata, "Kakek gagah, nama besarmu kami hormati. Harap kau juga menghormati kami. Kalau tidak terpaksa kami berlaku tidak pada tempatnya terhadapmu!" 

"Nah... nah! Sekarang kau rupanya menantangku di sarang sendiri dan mengandalkan jumlah banyak! Bagus... bagus! Itu lebih baik. Mari kita main-main barang sepuluh dua puluh jurus. Jika aku kalah kau boleh gantung aku bersama sama pemuda itu. Tapi sebaliknya jika kau kalah, pemuda itu harus kau serahkan padaku. Nah itu adil sekali bukan?!" 

Resi Tumbal Soka sampai bergemeletukkan gerahamnya saking marah mendengar ucapan Pendekar Pedang Akhirat itu. Jika lain orang yang berkata demikian tanpa banyak tanya lagi pasti dilabraknya. Namun dia menyadari kalau Pendekar Pedang Akhirat yang bertampang angker itu bukan tandingannya. Jangankan dia, kakaknya sendiri belum tentu mampu menghadapi tokoh persilatan nomor satu ini. Untuk tidak memperlihatkan rasa jerihnya, dengan seringai mengejek dia berkata, 

"Sayang Partai Lawu Megah sedang melaksanakan urusan besar. Di lain kesempatan jangankan baru sepuluh dua puluh jurus. Sampai seribu jurus pun aku tak keberatan melayanimu!" 

Pendekar Pedang Akhirat tertawa jumawa dan menjawab, "Kalau kau merasa ragu untuk maju sendirian, boleh saja mengajak beberapa paderi pembantumu." 

"Kalau bicara jangan keterlaluan memandang rendah diriku!" kata Resi Tumbal Soka marah sekali. Mukanya merah padam. "Kami harap kau segera meninggalkan tempat ini!" 

Kemudian tanpa mengacuhkan lagi kakek muka angker itu Resi Tumbal Soka berpaling ke arah tiang gantungan dan berteriak, "Laksanakan penggantungan!" 

Seorang paderi segera gerakkan kakinya untuk menendang kursi dimana Wiro tegak. Namun sebelum kakinya menyentuh kursi tahu-tahu tubuhnya sudah tegang kaku hingga dia tegak dalam keadaan seperti orang sedang menari. Jika semua orang merasa kaget maka Pendekar Pedang Akbirat tertawa gelak-gelak. 

Resi Tumbal Soka memaki dalam hati setengah mati. Dia yang berkepandaian demikian tinggi tidak melihat kapan si kakek menggerakkan tangan mengirimkan totokan jarak jauh yang amat lihay hingga tubuh paderi pembantunya serta-merta menjadi kaku! 

"Itu cuma sekedar peringatan saja bagi kalian semua yang ada di sini. Sekali lagi ada yang berani turun tangan terhadap sahabatku pemuda asing itu aku tak segan-segan menurunkan tangan jahat!" memperingatkan Pendekar Pedang Akhirat. 

"Kakek, kau betul-betul berani mencampuri urusan partai kami. Apa kau kira kami takut terhadap jerangkong busuk macammu?" teriak Resi Tumbal Soka yang sudah sampai pada puncak amarah dan kesabarannya. Sambil melangkah maju dia kibaskan lengan jubahnya. Serta merta buyarlah totokan pada tubuh paderi yang tadi hendak menendang kursi. 

Tetapi di saat yang sama Pendekar Pedang Akhirat sudah berkelebat. Demikian cepat gerakannya hingga di lain kejap semua orang menyaksikan Wiro Sableng tak ada lagi di atas kursi dan kini tegak di samping si kakek. Keduanya tertawa cengar-cengir. 

"Kalian semua dengar!" teriak Pendekar Pedang Akhirat dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga puncak gunung Lawu itu laksana disambar geledek. "Aku akan tinggalkan tempat ini bersama sobatku si gondrong ini. Aku tak ingin membuat kerusuhan dengan kalian orang-orang Partai Lawu Megah, apalagi sampai timbul bentrokan kekerasan. Karenanya biarkan kami pergi dengan aman!" 

"Mana bisa demikian, manusia muka setan! Kau telah mengacau di sini. Telah melontarkan hina-hinaan. Dan menculik tawanan yang hendak dihukum gantung! Tinggalkan pemuda itu atau kaupun akan kami gantung di puncak Lawu ini!" 

"Kalau begitu sama-sama kita lihat apa yang akan terjadi," sahut Pendekar Pedang Akhirat pula. 

Dia bergerak memanggul tubuh Pendekar 212 karena memaklumi pemuda itu tak bakal bisa lari cepat dengan tangan terikat ke belakang. Saat itu Resi Tumbal Soka memberi isyarat. Dua belas paderi-paderi utama dan puluhan murid partai klas wahid segera mengurung kakek itu. Melihat ini Wiro Sableng berbisik ke telinga Pendekar Pedang Akherat. 

"Lekas kau putuskan benang yang mengikat lenganku. Kau tak bakal bisa menghadapi mereka sebanyak ini meskipun ilmumu selangit." 

"Huss, kau diam sajalah. Siapa pun takut menghadapi mereka. Benang sialan yang mengikat tanganmu itu tak mungkin kulepaskan. Tak ada satu orang luar pun yang sanggup melepaskannya kecuali Resi Tumbal Soka dan kakeknya!" 

"Lalu apakah sampai kiamat aku akan terikat begini rupa?" tanya Wiro setengah mengeluh. 

"Kubilang kau diam sajalah! Serahkan persoalan padaku. Lihat, orang-orang partai Lawu mulai menyerang kita!" 

Saat itu atas perintah yang diberikan Resi Tumbal Soka melalui isyarat, beberapa paderi utama terutama dari kelompok yang mendukung sang ketua telah bergerak menyerang Pendekar Pedang Akherat dari segala penjuru. 

"Hai, kalian ini betul-betul hendak menyerangku?" teriak si kakek memberi peringatan yang terakhir. 

"Bunuh keduanya!" yang berteriak adalah Resi Tumbal Soka ketua partai Lawu Megah. 

Maka datanglah sembilan serangan paderi laksana topan prahara. Menghadapi serangan ini Pendekar Pedang Akherat tertawa mengekeh. Tiba-tiba dia lenyap dari kalangan pertempuran. Pihak yang menyerang jadi kaget. Memandang ke atas ternyata kakek itu sudah mumbul bersama Wiro ke atas. Sembilan angin pukulan dasyat mengebubu. Kembali si kakek tertawa dan balas memukul ke bawah. 

Terdengar seperti gunung meledak sewaktu sembilan pukulan patai Lawu Megah dan satu pukulan si kakek beradu di udara pada ketinggian dua tombak. Wiro merasakan tubuhnya dan si kakek terpental, sampai setengah tombak. Sebaliknya di bawah sana dilihatnya sembilan paderi Lawu berkaparan di tanah jatuh duduk. Empat diantaranya muntahkan darah segar. 

"Kalian mencari penyakit," teriak Pendekar Pedang Akherat. 

Diam-diam Wiro memuji kekuatan tenaga dalam kakek penolongnya ini. Padahal dua tahun yang silam sepertiga dari tenaga dalamnya pernah dipindahkannya ke tubuhnya yakni sewaktu Wiro selamatkan kakek ini dari liang batu. 

"Kakek sombong! Kau kira kau dan pemuda terkutuk itu bakal bisa lolos dari sini?" terdengar Resi Tumbal Soka berteriak. 

Dia tutup teriaknya ini dengan menghantamkan lengan jubahnya ke atas. Memang lengan jubah ini bukan saja merupakan senjata lihai bagi sang ketua, tetapi juga dipakai untuk melepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh yang disertai aliran tenaga dalam tinggi sekali. 

Di atas udara, sambil putar tubuhnya, si kakek balas menghantam. Kembali terdengar ledakan di pancak gunung Lawu itu. Tubuh si kakek terdorong ke samping sedang di bawah Resi Tumbal Soka kelihatan pucat wajahnya setelah tubuhnya lebih dulu bergoncang keras akibat bentrokan tenaga dalam tadi. 

Memandang ke atas, lawan dan Wiro Sableng sudah tidak kelihatan lagi. Segera ketua partai Lawu Megah ini berteriak, "Tutup semua jalan ke luar!" 

Para paderi danmurid-murid partai segera bergerak laksanakan perintah ini.

EMPAT

Dengan gerakan cepat laksana kilat dan hampir tak terlihat oleh tokoh-tokoh silat di puncak gunung Lawu itu Pendekar Pedang Akherat berkelebat mendukung Wiro Sableng. Keduanya mendekam di balik atap bangunan besar di ujung lapangan. 

"Tutup semua jalan dan geledah seluruh tempat!" terdengar kembali seruan Resi Tumbal Soka. 

"Kakek, kita tak bisa sembunyi lama-lama di sini," bisik Wiro Sableng pada si kakek bermuka tengkorak. 

"Orang-orang itu pasti akan menyelidiki ke mari. Sekali mereka melihat kita." 

"Tamatlah riwayat kita," menyambung si kakek sambil menyeringai yang membuat wajahnya tambah buruk dan angker. 

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Wiro. 

"Kau tenang sajalah, Wiro. Jangan terlalu kawatir. Rasa takut membuat akal manusia jadi pendek." 

Setelah meneliti keadaan di bawah sana, Pendekar Pedang Akherat bergerak ke samping kiri atap, terus hingga dia sampai di halaman belakang yang merupakan sebuah taman kecil. Di sini dilihatnya dua orang berjaga-jaga. Seorang murid tingkat tinggi dan seorang lagi paderi utama. Sekali lagi kakek bermuka angker itu meneliti sekelilingnya. Lalu melompat ke bawah, tepat di atas bahu paderi utama yang tegak berjaga-jaga di bawah cucuran air. 

"Buukkk...!" 

Paderi itu serta merta roboh begitu kedua bahunya diinjak sepasang kaki Pendekar Pedang Akherat. Salah satu tulang belikatnya patah. Dia hendak menjerit, tapi kaki kanan Wiro yang sedang di panggul itu, telah lebih dulu menutup mulutnya hingga dia roboh bergedebukan tanpa sempat menjerit. Suara jatuhnya paderi ini membuat murid Lawu yang berdiri kira-kira dua tombak dari sana memutar tubuh dan berseru kaget. 

Namun seruannya pun tak keluar dari mulutnya karena sekali Pendekar Pedang Akherat jentikkan jari-jari tangan kirinya maka tubuhnya menjadi kaku tegang. Keadaannya lucu sekali. Berdiri dengan satu tangan diangkat ke atas sedang mulut menganga! 

Wiro Sableng hendak tertawa gelak-gelak melihat kejadian ini. Tapi untung lekas Pendekar Pedang Akherat menotok jalan suaranya. 

"Pemuda geblek! Kau kira kita dalam keadaan senang-senangkah maka kau hendak tertawa bekakakan?!" desis kakek muka angker itu. 

Dari sebuah gang di antara dua hangunan pada samping kiri taman terdengar suara banyak orang mendatangi. Secepat kilat Pendekar Pedang Akhirat berkelebat dari tempat itu, memasuki sebuah gang lain yang mendaki. Gang ini panjang sekali dan menuju ke sebuah bangunan berbentuk bundar. Bangunan ini terpisah jauh dari bangunan-bangunan lainnya. Tanpa ragu-ragu si kakek membawa Wiro masuk ke dalam bangunan itu. 

Di bagian dalam bangunan ini merupakan satu ruangan bulat yang keseluruhan lantai, dinding dan langit-langitnya terbuat dari batu pualam. Ruangan ini diterangi oleh sebuah lampu kecil. Pada sudut yang agak kelam kelihatan duduk seorang kakek berpakaian serba putih. Kedua matanya terpejam. Tubuhnya kurus sekali. Wajahnya kelimis dan kelihatan masih segar untuk usia yang telah mencapai 100 tahun. 

Mendapatkan orang tengah bersamadi, Pendekar Pedang Akherat agak kecewa. Namun sebagai manusia yang tahu peradatan, setelah menjura dia lantas duduk menunggu di sudut lain yang gelap. Di luar didengarnya suara orang berlari kian kemari diseling oleh suara teriakan aba-aba. Hampir dua jam menunggu, kakek kurus yang bersamadi masih saja duduk tak bergerak. 

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki mendatangi tertangkap oleh telinga tajam Pendekar Pedang Akhirat. Kakek ini berangsur ke sudut ruangan yang lebih gelap. Kemudian di ambang pintu kelihatan muncul Resi Tumbal Soka. Karena habis dari tempat terang sedang sudut-sudut ruangan itu gelap, maka dia hanya dapat melihat kakek yang duduk bersamadi di belakang lampu. Resi Tumbal Soka sesaat tampak ragu-ragu dan hendak berbalik. 

Namun dengan memberanikan diri akhirnya dia membuka mulut. "Kakang Resi Kumbara, mohon maafmu. Apakah kau mendengar seseorang menyelusup ke ruangan pengasinganmu ini?" 

Setelah ditegur berulang kali, barulah paderi yang tadi bersamadi buka sepasang matanya. Ternyata dia adalah Resi Kumbara bekas ketua partai Lawu Megah, kakak Resi Tumbal Soka yang kini berada dalam ruangan pengasingan. Hari demi hari dilewatinya dengan bersamadi terus-menerus. Diganggu seperti itu tentu saja dia merasa gusar. 

"Tumbal Soka, apakah kau tidak tahu aturan hingga mengganggu orang yang sedang bersamadi di ruangan yang tak satu orang lain pun boleh mendekati apalagi sampai masuk!" Kakek kurus itu menegur. Pandangan matanya tajam sekali laksana sambaran ujung pedang yang runcing. 

"Mohon maafmu kakang. Adik dan saudara-saudara satu partai tengah menghadapi kesukaran. Seorang pemuda yang telah merusak kehormatan anak murid partai telah diculik dan dilarikan oleh tokoh silat Pendekar Pedang Akhirat. Adik telah menyuruh tutup semua jalan ke luar dan menggeledah seluruh tempat. Tapi kedua orang itu tidak kutemui. Satu-satunya tempat yang belum diperiksa adalah di sini." 

"Jadi kau mengira aku menyembunyikan orang-orang itu? Sungguh lancang mulutmu, adik!" 

"Bukan, adik tidak berprasangka demikian. Cuma siapa tahu selagi kakak bersamadi dia menyusup dan bersembunyi di sini," kata Resi Tumbal Soka pula. 

"Sudahlah, jangan ganggu aku lebih lama. Aku akan meneruskan samadi. Jika kau masih kurang puas silahkan periksa ruangan ini!" 

Tanpa mengacuhkan adiknya Resi Kumbara lantas pejamkan matanya kembali dan lagi bersamadi. Meskipun telah disuruh melakukan pemeriksaan namun Resi Tumbal Soka tak berani melaksanakannya. Dia berpikir-pikir tak mungkin kakaknya tidak mengetahui kalau ada orang yang masuk, sekalipun tengah tenggelam dalam alam samadi. Setelah merenung sejenak dia lantas tinggalkan tempat itu. 

Sesaat setelah Resi Tumbal Soka pergi, dari tempat gelap Pendekar Pedang Akhirat buka suara, "Terima kasih sobat, kau telah melindungi kami berdua. Budimu tak akan kulupakan. Apakah kau ikhlas menanam sedikit budi lagi pada kami?" 

Terdengar helaan napas panjang. Kakek yang tadi hendak bersamadi kembali buka kedua matanya. Sebetulnya dia sudah tahu kalau ada dua orang masuk ke dalam ruangan tersebut. 

"Agaknya terlalu banyak manusia yang tidak tahu peradaban di dunia ini. Masuk ke rumah orang tanpa izin sudah menyalahi aturan. Apalagi masuk ke dalam ruangan seperti ini dan mengganggu orang yang bersamadi!" 

"Harap dimaafkan sobatku Resi Kumbara. Semua terjadi karena terpaksa," sahut Pendekar Pedang Akhirat. 

"Siapa berani berbuat harus berani tanggung jawab. Pendekar Pedang Akhirat tokoh yang terkenal kawakan menyembunyikan diri di ruangan pengasingan Partai Lawu Megah setelah terlebih dulu melakukan pengacauan... Sungguh lucu!" 

"Maaf, aku sama sekali tidak mengacau. Semula aku datang kemari untuk menyambangimu. Tahu-tahu di sini terjadi satu hal yang luar biasa. Seorang kawanku hendak digantung dengan cara biadab. Apa pun kesalahannya mana mungkin aku lepas tangan." 

"Kau tak berhak mencampuri urusan partai kami." 

"Agaknya sobatku Resi Kumbara tidak tahu jelas persoalannya" 

"Aku sudah dengar semua apa yang terjadi di luar sana," kata Resi Kumbara pula. 

Sungguh luar biasa pendengaran dedengkot Partai Lawu Megah ini. Meskipun berada di ruangan pengasingan yang bertembok tebal dan jauh dari lapangan tempat penggantungan namun dalam samadinya dia sanggup mendengar segala sesuatu yang berlangsung di luar sana! 

"Syukurlah kalau kau telah mengetahui persoalannya dengan jelas." 

"Apakah kau yakin kalau pemuda kawanmu itu betul-betul tidak berdosa?" Resi Kumbara bertanya. 

"Aku tahu pribadinya. Namun memang sulit untuk menyatakan padamu kalau dia betul tidak bersalah." 

"Kalau begitu kau telah turun tangan secara sembrono!" 

"Mungkin. Namun dengan menggantung secara biadab, orang-orang Partai Lawu berarti melakukan kesembronoan yang lebih besar. Sekarang aku minta padamu agar menunjukkan jalan keluar bagi kami berdua!" 

Resi Kumbara tertawa perlahan dan elus janggutnya yang menjulai sampai ke dada. "Pendekar Pedang Akhirat. Kau telah berani mencampuri dan mengacau urusan orang. Sekarang kau menemui jalan buntu dan minta tolong padaku. Apakah tidak malu...?" 

Kata-kata Resi Kumbara itu cukup memukul kakek muka tengkorak. Namun sambil tertawa ayem dia menjawab. "Dalam dunia biasa satu sama lain saling bertolongan. Hari ini kau menolongku. Lain ketika aku akan ganti menolongmu." 

Resi Kumbara geleng-gelengkan kepalanya. "Tak mungkin kau menolongku. Usiaku sudah lanjut. Mungkin aku sudah lebih dulu menutup mata sebelum pertolonganmu datang." 

"Turut pada bicaramu, kiranya kau tidak lebih baik dari adikmu yang tampaknya telah banyak sesat dalam memimpin partai. Jika kawan satu golongan minta tolong, dan si penolong mengharapkan balas jasa, sungguh aku tidak mengerti..." 

Kini Resi Kumbaralah yang merasa terpukul. "Sebetulnya aku sudah sejak lama tidak mau mencampuri urusan di luaran. Tapi memandang persahabatan dan nama besarmu coba kau katakan pertolongan apa yang kau kehendaki. Mungkin aku bisa mempertimbangkan." 

"Setahuku di puncak Lawu ini ada jalan rahasia menembus terowongan. Tunjukkan padaku jalan itu dan aku tak bakal melupakan budi besarmu ini..." 

Resi Kumbara tertawa mendengar kata-kata Pendekar Pedang Akhirat itu. "Rupanya nyalimu meleleh menghadapi orang-orang Partai? Jika kau takut kenapa berani berlaku sembrono...?" 

"Dalam kamus hidupku tak ada kata takut, sobatku Resi Kumbara. Demi persahabatan dan memandang namamu serta pimpinan partai lainnya, aku tak mau bentrokan dalam kekerasan. Harap kau suka mempertimbangkan!" 

Bekas ketua partai Lawu Megah itu merenung sejenak, "Baiklah, akan kutunjukkan jalan rahasia itu padamu." kata Resi Kumbara pada akhirnya. 

Pendekar Pedang Akhirat menjura. "Terima kasihi sobat. Sekarang satu lagi kuminta budi besarmu!" "Eh, kau seperti lintah darat minta tanah. Diberi sejengkal minta sedepa..." 

Si Pedang Akhirat menyengir. "Pertolongan kalau tanggung-tanggung sama saja tidak tidak menolong bagiku," katanya. 

LIMA

Resi Kumbara balas tersenyum, "Katakan apa mau mu!" 

Si kakek menunjuk pada sepasang lengan Wiro Sableng yang terikat dengan sehelai benang putih halus. "Partai Lawu terkenal dengan ilmu yang aneh-aneh. Aku mengaku tolol tak mampu membuka atau memutus benang yang mengikat lengan sahabatku itu. Kau tolonglah!" 

Resi Kumbara lagi-lagi tersenyum. Memang benang sutera halus Partai Lawu itu merupakan salah satu benda aneh dalam dunia persilatan pada masa itu. Tak satu orang luar pun sanggup memutusnya. Acuh tak acuh paderi tua itu cabut selembar janggutnya yang panjang putih lalu memberi isyarat agar si kakek membawa Wiro Sableng ke dekatnya. 

Acuh tak acuh pula, seperti main-main Resi Kumbara selusupkan janggutnya pada celah sempit antara lengan dan benang yang mengikat. Ketika janggut itu kemudian ditarik maka putuslah benang aneh yang mengikat kedua tangan Wiro. Mau tak mau si kakek jadi melongo menyaksikan hal ini. Sebaliknya begitu ikatannya lepas. Wiro gerakkan tangannya untuk garuk-garuk kepala. 

"Hai, kau ucapkanlah terima kasih pada sahabatku ini!" kata si kakek sambil tepuk punggung Wiro. 

Wiro yang tahu peradatan buru menjura dan berulang kali mengucapkan terima kasih pada Resi Kumbara. 

"Sekarang dimanakah pintu terowongan rahasia itu, sobatku?" 

"Tunggu dulu," sahut Resi Kumbara. "Sebelum kalian pergi aku harus punya jaminan. Tanpa jaminan kalian tak bisa kubiarkan pergi." 

"Heh, jaminan bagaimana maksudmu Resi Kumbara?" tanya Pendekar Pedang Akhirat. 

"Bagaimana kalau nanti sahabatmu yang gondrong itu ternyata benar-benar telah merusak kehormatan murid Partai Lawu?" 

"Kalau itu yang kau tanyakan, jika terbukti dia bersalah, aku sendiri yang akan menghukumnya. Aku sendiri yang akan membawa kepalanya kemari dan kuserahkan berikut kepalaku sendiri sebagai penebus keteledoranku." 

Resi Kumbara menyeringai. "Bagaimana mungkin kau menyerahkan kepalamu padaku karena itu berarti kau sudah konyol!" tukasnya. 

"Jangan berpura-pura tolol sobatku! Aku akan bunuh diri di hadapanmu. Kau puas?" 

Resi Kumbara menggeleng. "Perjanjian jaminan ini hanya kita bertiga yang membuat dan mengetahui, tak ada saksi. Aku kawatir setelah aku mati duluan dalam usia tua, kalian tidak akan menepati janji." 

"Kami bukan manusia-manusia yang ingkar janji," Wiro bicara dengan nada kesal. 

"Aku percaya, tapi tetap aku tak dapat menerimanya. Kalian harus meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang kalian anggap berharga." 

Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan saling pandang dengan Pendekar Pedang Akhirat. 

"Apakah aku harus meninggalkan kepalaku saat ini?" tiba-tiba kakek muka tengkorak itu bertanya. 

"Tidak," sahut Resi Kumbara. "Saat ini kepalamu itu tidak ada harganya bagi ku dan partai..." 

"Lantas apa maumu?" tanya Wiro penasaran. 

"Sesuatu yang berharga dan pantas dijadikan jaminan," sahut sang paderi Partai Lawu. 

Wiro kembali garuk-garuk kepalanya yang gondrong. Tiba-tiba diambilnya Kapak Naga Geni 212. Begitu senjata ini keluar dari balik pakaiannya maka sinarnya yang menyilaukan menerangi ruangan yang redup gelap itu. Diam-diam Resi Kumbara terkesiap juga. Belum pernah dia melihat senjata mustika yang hebat begini rupa dan aneh pula bentuknya. Sebuah kapak bermata dua bertuliskan angka 212. 

"Ini kau ambillah kakek, sebagai jaminan kami berdua. Tapi ingat aku tak ingin senjata warisan guruku ini rusak atau cacat, apalagi sampai hilang. Kalau itu sampai terjadi seluruh puncak Lawu ini akan kuterabas sama rata dengan tanah!" 

Resi Kumbara tertawa dingin. "Sejak ratusan tahun lalu Partai Lawu Megah berdiri sampai hari ini tak ada yang sanggup melakukan hal itu. Apalagi manusia semacammu yang bukannya terima kasih setelah menerima budi orang justru malah pergi dengan meninggalkan ancaman." 

Tampang Pendekar 212 jadi mengelam merah tapi dari mulutnya yang menyeringai keluar suara siulan. "Senjata itu sama nilainya dengan nyawaku, Resi Kumbara. Kalau sampai hari ini belum ada orang yang sanggup menggusur Partai Lawu Megah, jangan kira di kemudian hari tak ada yang berani dan bisa melakukannya. Apalagi terhadap sebuah partai yang kini nyata telah jauh sesat dalam tindak-tanduknya. Dan kau sebagai dedengkotnya cuma bisa mengoceh, bersamadi yang sama sekali tak ada gunanya bagi partai dan ketenteraman dunia persilatan. Kau berlepas tangan dengan berkedok mengasingkan diri, bersamadi dan sudah tak mau ikut campur urusan dunia luar! Jika tidak ada pendekar tua kawanku ini pasti telah berlangsung penggantungan biadab terhadap diriku. Dan kau mengetahuinya tapi diam saja. Aku bukan bangsa manusia yang takut mati jika memang punya salah dan dosa. Aku mungkin orang tolol, tapi aku bersama kawanku ini mempunyai firasat bahwa dibalik kekalutan pimpinan di Lawu ini ada tangan-tangan kotor yang hendak menjadikan aku kambing hitam yang pantas digorok lehernya! Dengan cuma bersamadi sampai kiamat kau tak bakal dapat melempangkan kembali orang-orangmu yang telah tersesat. Dan jangan kau takabur Resi Kumbara, dalam keadaan seperti begini satu tangan jahil yang tak punya kekuatan apa-apa bukan mustahil sanggup menggusur Partai Lawu. Bagaimana kalau orang-orangmu diadu domba? Apa bukan jadi berantakan nantinya?" 

Wiro Sableng bakal nyerocos terus kalau tidak diberi isyarat kedepan mata oleh Pendekar Pedang Akhirat. Resi Kumbara sendiri saat itu merah padam wajahnya yang putih kelimis. Dia hendak membuka mulut tapi si kakek buru-buru mendahului. 

"Sudahlah, tak ada gunanya kita berdebat saat ini. Lain kali saja kita teruskan obrolan ini dalam suasana yang lebih tenang sambil makan minum tentunya. Kau sudah menerima barang jaminan yang amat berharga. Sekarang tunjukkanlah pintu terowongan rahasia itu." 

Dengan menindih rasa marahnya, Resi Kumbara lantas menekan salah satu ubin ruangan itu. Tiba-tiba lantai ruangan sebelah kiri bergeser. Pada bekas geseran ini kelihatanlah sebuah tangga batu yang menuju kebawah, memasuki mulut terowongan yang gelap. Tercekat juga kedua orang itu rnelihat terowongan yang gelap seram ini. 

"Kalian tunggu apa lagi?!" terdengar suara Resi Kumbara. 

Pendekar Pedang Akhirat Batara angkat bahu dan melangkah menuju tangga menurun. Wiro Sableng sesaat garuk-garuk kepala, memandang pada paderi yang duduk di hadapannya, angkat bahu dan akhirnya melangkah pula mengikuti kakek muka angker. Di dalam terowongan yang gelap itu tangan di depan matapun tak kelihatan. Wiro dan si kakek yang melangkah sebelah depan berjalan dengan mengandalkan perasaan dan pendengaran mereka yang tajam. 

Meskipun demikian tak jarang mereka terbentur pada dinding terowongan pada tempat dimana terowongan itu membelok. Yang menjengkelkan Wiro Sableng inilah karena sepanjang perjalanan melewati terowongan itu si kakek selalu mengajaknya bicara. 

"Omong-omong gadis anak murid Partai Lawu Megah yang bernama Sularwasih itu cantik juga heh..?" si Kakek berkata. 

"Memangnya kenapa kau berkata begitu?" bertanya Wiro Sableng. 

"Aku berpikir-pikir, apakah betul kau tidak memperkosa gadis itu. Soalnya aku yang sudah tua ini bisa blingsatan juga melihatnya." 

"Kakek tidak percaya padaku?" 

"Oh tentu. Tentu aku percaya padamu. Tapi banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan atas dirimu." 

Wiro memaki dalam hati. "Tapi aku sudah bilang, kalau saja anuku ini bisa bicara..." 

"Soal anumu itu tak usah diulangi lagi. Sampai kiamat pun tak ada anu yang bisa bicara." 

"Lalu, seandainya kakek merasa ragu, kenapa menolongku?" 

"Dengan satu syarat sobat mudaku..." 

"Syarat apa?" tanya Wiro penasaran. 

"Jika nanti terbukti kau memang bersalah, aku sendiri yang akan membawa kepalamu kepada ketua partai Lawu Megah" sahut Pendekar Pedang Akhirat. 

Dalam hatinya Pendekar 212 Wiro Sableng kembali memaki.

ENAM

Setelah kurang lebih dua jam menempuh terowongan gelap itu di sebelah depan tiba-tiba terdengar suara Pendekar Pedang Akhirat mengeluh. 

"Ada apakah...?" tanya Wiro dari belakang seraya bersiap-siap. 

Melihat sikap Resi Kumbara tadi diam-diam pendekar ini merasa curiga. Bukan mustahil terowongan itu memiliki alat rahasia yang bakal mencelakakan dirinya dan si kakek. 

"Terowongan ini buntu!" seru si kakek. 

"Hah?!" Wiro terkejut. Dia meraba ke depan. Terasa olehnya dinding batu yang keras. 

"Bekas ketua partai itu menipu kita! Sialan betul!" 

Sesaat kedua orang itu sama-sama terdiam. "Apa yang harus kita lakukan? Kembali ke tempat semula?" 

"Kakiku letih. Sebaiknya kita duduk saja dulu melepaskan lelah sambil omong-omong", jawab si kakek. 

Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan jadi menggerendeng. Bagaimana si kakek enak-enak saja bicara seperti itu dan bukannya mencari jalan keluar dari terowongan? Namun karena tak tahu mau berbuat apa, akhirnya pemuda ini duduk menjelepok di lantai terowongan, bersandar ke dinding yang lembab. Dalam gelap itu Wiro merenung kejadian yang baru saja dialaminya di puncak gunung Lawu. Kemudian dia bertanya. 

"Kakek... Tadi kau mengatakan banyak hal-hal yang memberatkan tuduhan atas diriku. Misalnya apa...?" 

"Kau ketahuan mengedipkan mata sewaktu bertemu dengan Sularwasih itu di penginapan..." 

Wiro Sableng tertawa. "Kurasa kau pernah muda sepertiku ini, kakek. Orang muda biasa suka iseng. Kau sendiri tadi mengatakan sudah tua bangka begini masih blingsatan melihat gadis cantik itu. Soal iseng dan mengedipkan mata apakah bisa dinilai sebagai memperkosa...? Justru orang yang memperkosa sering mendapat kehormatan dipungut mantu!" 

Si kakek tertawa gelak-gelak. "Baiklah kalau kau bilang begitu, sobat mudaku. Lantas kancing bajumu yang ditemui dalam kamar si Warsih itu?" 

"Akupun heran dan bertanya-tanya bagaimana kancing baju keparat itu bisa ada dan ditemui disitu. Padahal aku ingat betul kancing itu putus sewaktu aku menabrak keranjang sayur seorang perempuan yang kebetulan keluar dari penginapan. Aku tak berusaha menemukan kembali kancing baju itu. Ini agaknya menjadi kesalahan yang kini kusesalkan..." 

"Sulit bagimu untuk membuktikan hal itu, bukan? Saksi-saksi hidup dan bukti kuat berada di pihak Warsih!" 

"Kelihatannya begitu. Apalagi jika mengikuti jaIan pikiran yang berat sebelah. Namun kalau dari sudut pemandanganku yang kau anggaplah geblek, akupun menaruh kecurigaan pada seseorang..." 

"Siapa?" tanya Pendekar Pedang Akhirat. 

"Aku tak dapat mengatakannya karena belum ada bukti-bukti." 

"Kau hendak mencari kambing hitam...?" 

"Kalau kambing putih ada, buat apa cari kambing hitam?" ujar Wiro pula. 

Si kakek tertawa bergelak. "Asalkan jangan aku saja yang kau curigai..." 

"Bisa saja. Karena kenapa kau tahu-tahu muncul dipuncak gunung Lawu..." tukas Wiro. 

Si kakek memaki panjang pendek dan kini Wiro yang ganti tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba murid Eyang Sinto Gendeng ini hentikan tawanya dan menggamit bahu Pendekar Pedang Akhirat. 

"Aku mendengar sesuatu..." 

Kedua orang itu berdiam diri dan sama-sama pasang telinga. Suara tadi terdengar lagi sayup-sayup lalu hilang. 

"Suara kaki-kaki kuda." desis si kakek. 

"Juga ada suara orang berlari," menyahuti Wiro. 

Mereka menunggu. Namun suara-suara itu tidak terdengar lagi. Si kakek berdiri dari duduknya. Dia merapatkan tubuhnya. pada dinding yang menutup terowongan. Ketika telinganya ditempelkan ke dinding batu itu, rapat-rapat dia kembali dapat mendengar suara derap kaki kuda, lalu lenyap sama sekali. Setelah meraba sana sini, si kakek kerahkan seluruh tenaganya dan coba mendorong dinding batu itu. Terasa dinding ini bergerak sedikit demi sedikit. 

"Wiro! Bantu aku mendorong dinding buntu ini! Aku yakin kita sudah sampai di mulut pintu keluar terowongan!" 

Mendengar ucapan itu Wiro segera berdiri dan bantu Pendekar Pedang Akhirat mendorong dinding. Oleh tenaga dorongan yang luar biasa dari dua manusia berkepandaian tinggi ini, dinding dihadapan mereka bergeser. Tiba-tiba terdengar suara keras. binding yang didorong roboh. Cahaya terang masuk menyilaukan mata kedua orang itu. Tetumbuhan liar banyak menutupi mulut terowongan. Keduanya keluar sambil menyibakkan tanam-tanaman itu. Berdiri diluar mereka dapatkan saat itu berada di kaki sebelah timur gunung Lawu. 

"Sialan! Akhirnya kita keluar juga dari terowongan celaka itu. Aku tadi sudah berprasangka buruk terhadap Resi Kumbara kata Wiro pula sambil yaruk-garuk kepala. Keduanya mendorong dinding batu berat itu untuk menutupi terowongan rahasia. Terlindung oleh tanaman-tanaman liar, orang yang tidak tahu sulit untuk membedakan batu penutup terowongan itu dengan batu-batu besar yang berbentuk sama dan banyak terdapat di kaki gunung Lawu itu. 

"Nah sekarang bagaimana kakek? Aku masih memikul urusan berat dan hendak berangkat ke selatan. 

"Aku sendiri akan menuju ke barat. Tapi satu bulan dimuka aku akan tunggu kau disini. Kurasa saat itu aku sudah dapat mengetahui apakah kau bersalah atau tidak..." 

Wiro Sableng menyeringai, dan menjawab, "Mudah-mudahan kau datang tepat pada waktunya sebelum aku menerabas puncak Lawu ini. Selamat jalan dan terima kasih kau telah memperpanjang umurku sampai satu bulan dimuka." 

Setelah masing-masing menjura dan bergerak hendak pergi, satu keselatan lainnya ke barat, tiba-tiba terdengar seruan lantang dari samping gunung sebelah kiri. 

"Jangan harap kalian bisa pergi dari sini dengan masih membawa nyawa." 

Wiro dan si kakek muka tengkorak sama-sama kaget. Memandang ke atas mereka lihat belasan orang berlompatan turun dari lamping-lamping batu gunung ke tempat mereka. Orang-orang ini bukan lain adalah paderi-paderi Lawu. Diantaranya Tandu Wiryo, yang sebelumnya telah memberikan kesaksian sewaktu Wiro hendak di gantung. 

"Digantung tidak mau. Dicincang rupanya lebih pantas," terdengar hardikan dari sebelah kiri. 

Memandang ke jurusan ini dua pendekar yang barusan keluar dari terowongan melihat lima penunggang kuda. Empat orang paderi dan seorang gadis berpakaian biru yang bukan lain adalah Sularwarsih. Dikurung demikian Wiro Sableng jadi melongo dan garuk-garuk kepala gondrongnya sedang Pendekar Pedang Akhirat goleng-goleng kepala. Sekali memandang berkeliling dia sudah dapat menghitung jumlah pengurungnya. Seluruhnya 21 orang! 

"Kalian mau apa?!" Si kakek bertanya. 

Tandu Wiryo mendengus. "Orang datang minta nyawa masih berlagak tolol!" sentaknya. 

"Minta nyawa...? Sungguh kaulah yang tolol orang muda. Mana ada didunia ini orang yang suka menyedekahkan nyawanya!" 

Habis berkata demikian si kakek lalu tertawa gelak-gelak.."Kalian semua cari penyakit. Lebih baik kembali ke puncak Gunung Lawu. Aku sudah berjanji pada Resi Kumbara. Jika pemuda sobatku ini nanti terbukti betul-betul bersalah, aku sendiri yang akan mengantarkan kepalanya pada kalian!" 

"Kami tidak butuh kepalanya! Kami ingin nyawanya saat ini juga!" teriak Sularwarsih. 

"Beranikah kau satu lawan satu dengan dia...?" tanya Pendekar Pedang Akhirat dengan nada dan mimik mengejek. 

"Manusia laknat seperti dia tak perlu dilayani satu persatu...!" 

"Tapi sekurang-kurangnya kau pernah melayaninya satu persatu, bukan Warsih? Itu jika betul-betul dia yang merusak kehormatanmu heh...?" 

Merahlah paras Sularwasih. Dia menjerit keras dan cabut pedangnya, melompat turun dari kuda seraya berteriak. "Bunuh manusia-manusia haram jadah ini!" 

Gerakan Warsih gesit dan cepat sekali. Pedangnya bersiuran menyambar ganas ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Jika murid Eyang Sinto Gendeng ini tak lekas melompat ke belakang niscaya lehernya sudah kena dibabat putus. Baru saja Wiro imbangi diri dari lompatan mengelak disamping kiri dilihatnya empat paderi yang menemani Warsih telah turun dari kuda masing-masing sedang dari kanan, Tandu Wiryo bersama saudara-saudara seperguruan dan paderi-paderi lainnya telah menyerbu turut pula. 

"Kalian cari penyakit! Betul-betul cari penyakit!" seru Pendekar Pedang Akhirat seraya berpaling acuh tak acuh pada Wiro dan bertanya pada pendekar ini. 

"Bagaimana pendapatmu, sobatku?!" 

"Apa boleh buat!" sahut Wiro Sableng sambil angkat bahu. "Penyakit harus diobati. Kalau tidak bisa berabe!" 

TUJUH

Dari dua puluh satu orang partai Lawu Megah yang menyerbu itu yang menggempur Pendekar 212 Wiro Sableng adalah empat paderi utama, dua paderi biasa, lima murid kelas satu dan Sularwasih serta pemuda bernama Tandu Wiryo. Sisanya sebanyak delapan orang yakni empat paderi biasa dan empat murid kelas satu mengurung dan menyerang Pendekar Pedang Akhirat. 

Semua penyerang dari Lawu ini pergunakan pedang sedang dua yang jadi bulanan serangan-serangan sampai satu jurus bergebrak masih andalkan tangan kosong. Meskipun sering memperlihatkan sikap seperti orang tolol dan memiliki jalan pikiran macam orang sinting namun kadang kadang Wiro Sableng tak jarang memiliki otak yang jernih dan cerdik. 

Dia merasa heran melihat orang-orang Partai Lawu lebih banyak menyerangnya dan terdiri dari mereka yang berkepandaian tinggi. Semakin besarlah kecurigaannya bahwa betul-betul ada yang tak beres dengan orang-orang itu. Pendekar Pedang Akhirat sendiripun terheran-heran kenapa yang menyerangnya cuma paderi-paderi biasa dan murid klas satu. 

Dan cara mereka menyerang jelas hanya mengurung demikian rupa hingga dia terpisah jauh dari Wiro Sableng. Empat paderi utama dan dua paderi biasa serta empat murid partai kelas satu dipimpin oleh Sularwasih dan Tandu Wiryo melancarkan serangan laksana air bah yang betul-betul ganas hingga akan celakalah Pendekar 212 dalam waktu singkat apabila dia masih mengandalkan tangan kosong. 

Wiro sendiri merasa agak menyesal telah menyerahkan Kapak Naga Geni 212 pada Resi Kumbara hingga saat itu dia menghadapi bahaya maut tanpa senjata sama sekali. Dengan mainkan ilmu silat 'orang gila' yang dipelajarinya dari Tua Gila di pulau Andalas dulu, pendekar ini bergerak gesit kian kemari. Gerakan-gerakannya merupakan sesuatu yang aneh bagi lawan hingga untuk sementar Wiro bisa selamat dari serangan-serangan maut lawannya. 

Dalam pada itu sesekali dia mainkan pula jurus-jurus silat 'Tameng Sakti Menerpa Hujan', 'Kincir Padi Memutar', 'Kipas Sakti Terbuka' dan sebagainya yang merupakan jurus-jurus pertahanan ampuh. Disamping itu Wiro pun lepaskan pula pukulan-pukulan sakti 'Benteng Topan Melanda Samudera', 'Orang Gila Mengebut Lalat' dan sebagainya yang membuat para penyerang berseru kaget dan terpaksa mundur, tetapi kemudian menyerang lagi dengan ganas. 

"Warsih!" teriak Wiro Sableng. "Jika kau dan yang lain-lainnya ini tidak hentikan pertempuran jangan menyesal" 

"Kaulah yang menyesal bakal jadi setan kuburan!" teriak sang dara dan mendahului kawan-kawannya menyerang Wiro Sableng. Pedangnya bersiur membabat ke leher pendekar itu. Dua belas orang lainnya serentak menyerbu pula. 

Wiro memaki panjang pendek dan lepaskan pukulan. 'Segulung Ombak Menerpa Karang'. 

Terdengar suara menderu. "Lekas menyingkir!" teriak salah seorang paderi utama yang telah banyak pengalaman dan terkejut melihat hebatnya pukulan sakti ini. 

Dua orang murid partai tidak keburu menghindar. Tubuhnya mencelat dihantam angin pukulan, jatuh ke tanah muntah darah tak berkutik lagi alias mati! Empat paderi, melompat ke udara dan dari atas kebutkan lengan jubah masing-masing. Empat gelombang angin deras menggebu menangkis dan menghantam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro Sableng. Terdengar suara berdentum. 

Empat paderi kelihatan pucat wajah masing-masing dan turun ketanah dengan tubuh gemetaran. Mereka menyadari bahwa bentrokan pukulan sakti yang mengandung hawa tenaga dalam dahsyat itu telah membuat tubuh mereka di sebelah dalam menjadi tidak beres untuk beberapa ketika. Tandu Wiryo dan Warsih masih untung karena mereka keburu menghindar dengan gerakan gesit. 

Wiro sendiri yang terkena sapuan empat angin deras yang menggebu dari lengan jubah paderi-paderi utama gunung Lawu itu tampak agak terhuyung-huyung. Dadanya berdenyut-denyut seperti ditekan batu berat. Selagi dia berusaha mengimbangi diri, dari belakang tiba-tiba terdengar suara menderu dingin. Seseorang telah menyerangnya dari belakang secara licik. Hal ini diketahui betul oleh Wiro. 

Seperti kilat dia jatuhkan diri ke depan seraya tundukkan kepala. Gerakannya yang sepontan ini menyelamatkan kepalanya dari sambaran pedang maut Tandu Wiryo yang datang dari belakang. Namun demikian bahu kirinya masih sempat kena bacok. Wiro mengeluh kesakitan. Dirasakannya perih yang amat sangat lalu cairan panas meleleh deras keluar dari bacokan itu. Darah! 

"Bunuh! Habisi dia!" teriak Sularwasih yang laksana jadi kesetanan melihat darah membasahi pakaian dan tubuh Wiro. Sebaliknya rasa sakit akibat luka besar pada bahu kirinya itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng menjadi kalap. Seumur hidup barulah saat itu dia mendapat luka yang demikian parah dan akibat serangan pengecut pula. 

Marahnya bukan alang kepalang. Teriakan menggeledek keluar dari mulutnya. Dia putar tubuh menghadapi Tandu Wiryo. Tangan kanannya bergetar oleh aliran tenaga dalam yang disalurkan secara menyeluruh. Sesaat kemudian tangan itu sampai sebatas siku kelihatan berubah menjadi putih perak. 

"Awas! Dia hendak lepaskan pukulan sakti yang dasyat!" teriak salah seorang paderi gunung Lawu dengan suara gemetar bergidik. 

Dari samping Warsih kirimkan satu tusukan nekad ke tubuh Wiro Sableng dan kesempatan ini dipergunakan oleh Tandu Wiryo untuk berpindah tempat. Semula meskipun diserang dengan pedang begitu rupa Wiro sudah bertekad untuk terus lepaskan pukulan sinar matahari ke arah Tandu Wiryo. Namun karena si pemuda sudah berpindah tempat maka Sularwasihlah yang kini jadi sasarannya. 

Saat itu tusukan ujung pedang sudah dekat sekali hingga akan kasiplah jika Wiro terus kalap untuk lancarkan pukulan 'Sinar Matahari'. Menyadari hal ini maka Wiro melangkah mundur dan pergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram lengan Sularwasih. 

Si gadis terdengar menjerit kesakitan, melompat jauh sambil kibas-kibaskan tangannya yang kelihatan merah gembung melepuh akibat hawa panas tenaga dalam pukulan 'Sinar Matahari' pada tangan Wiro. Pedangnya telah berpindah tangan, kena di rampas oleh Pendekar 212. Dengan pedang ini Wiro Sableng kemudian mengamuk hebat. Dua murid partai roboh mandi darah. Empat paderi datang menyongsong sambil berteriak marah. 

"Paderi-paderi tua tidak tahu diri! Seharusnya kalian memberi petunjuk pada orang-orang muda partaimu! Sekarang malah kalian sendiri yang ikut melibatkan diri! Mampuslah!" 

Karena paderi-paderi itu masih beberapa langkah di depannya, Wiro tidak menggunakan pedang rampasannya untuk menyerang tetapi alirkan tenaga dalam ke tangan kiri. Ketika tangan itu serta merta menjadi putih perak pendekar ini menghantamkannya ke depan. Maka laksana topan prahara menderulah sinar putih menyilaukan mata dan panas luar biasa. 

Terdengar jerit kematian empat paderi utama partai Lawu Megah itu tatkala tubuh mereka kena disapu pukulan 'Sinar Matahari'. Mayat mereka terlempar sampai sepuluh tombak, jatuh bergedebukan dalam keadaan hangus mengerikan! Wiro sendiri sehabis melepaskan pukulan 'Sinar Matahari' tersebut tiba-tiba mengeluh tinggi. Kedua lututnya goyah, pemandangannya mendadak gelap berkunang-kunang. 

Akhirnya pendekar dari gunung Gede ini roboh tak sadarkan diri. Sewaktu siuman dari pingsannya Wiro Sableng rasakan kepalanya pusing dan berat sedang tubuhnya panas dingin. Bahunya mendenyut sakit. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya. Mula-mula segala sesuatunya tampak hitam dan gelap. Sesaat demi sesaat pemandangannya menjadi pulih. 

Kini diketahuinya bahwa dirinya terbaring di atas kasur jerami dalam sebuah ruangan terbuka dari satu bangunan tua. Sebuah lilin terletak disudut ruangan. Tak seorangpun dilihatnya disitu. Dia berpikir, ingat pada apa yang telah terjadi sebelumnya dan bertanya-tanya dimana gerangan Pendekar Pedang Akhirat. Tenggorokannya terasa sekat dan kering. Wiro batuk-batuk beberapa kali. 

Mendadak diluar kamar didengarnya suara orang berseru, "Hai, kau sudah siuman!" 

Wiro tersirap. Suara itu bukan suara si kakek melainkan suara perempuan. Rasa kawatir menggerayangi dirinya karena dia tak dapat memastikan apakah itu suara Sularwasih murid Partai Lawu Megah yang berniat membunuhnya itu atau bukan. Menyusul terdengar langkah-langkah kaki mendatangi. Wiro semakin tegang. 

Pada puncak ketegangannya pintu ruangan terbuka mengeluarkan suara berkereketan karena engsel-engselnya sudah karatan. Satu tangan halus tampak mendorong pintu itu. Kemudian kelihatan sosok tubuh seorang perempuan berpakaian biru. Persis warna pakaian yang sebelumnya dilihat Wiro dikenakan oleh Warsih! 

"Celaka!" keluh murid Sinto Gendeng dalam hati. "Pasti aku dibunuhnya saat ini juga...!"

DELAPAN

Wiro yang saat itu tak kuasa bergerak karena demam panas dan lemah menyerang dan membuatnya seperti lumpuh, hanya bisa pejamkan mata menunggu kematian. Tetapi maut yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Didengarnya suara orang berdiri dan berlutut disampingnya. Lalu tangan halus sejuk meraba keningnya. Kemudian suara perempuan berkata, 

"Heh... tadi kau sudah siuman, kenapa sekarang diam kembali?" 

Perlahan-lahan Wiro Sableng buka sepasang matanya. Dibawah nyala api lilin yang tidak seberapa terang pendekar ini lihat seorang gadis berpakaian biru bersimpuh disebelahnya. Semula disangkanya Sularwasih ketika dilihat wajahnya ternyata bukan. Gadis ini berwajah bujur telur, berkulit kuning. Rambutnya yang hitam digelung diatas kepala ditancapi tusuk konde dari gading bergambar burung. Gerak-geriknya sama sekali tidak kaku seolah-olah dia dan Wiro sudah akrab betul. 

"Saudari..." tegur Wiro Sableng agak tersendat, "kau ini siapakah? Aku berada di mana saat ini...?" 

"Ah... rupanya kau betul-betul telah siuman. Cuma kau masih terserang demam. Namaku Wilarani. Saat ini kau berada di sebuah Candi tua yang tak terpakai lagi dan menjadi tempat kediaman aku beserta ayahku." 

"Ayahmu?" Wiro kerenyitkan kening. Apa mungkin gadis ini puteri Pendekar Pedang Akhirat? Mustahil. 

"Siapa nama ayahmu?" tanya Wiro kemudian. 

"Panda Wisuna." 

"Kau... kau..." Wiro tak dapat teruskan kata-katanya. Tenggorokannya kesat dan kering. "Air..." desisnya. 

Wilarani ambil sebuah gelas. Isinya diminumkan pada Wiro. "Racun apa ini?!" tukas Wiro Sableng begitu dirasakannya air yang diteguknya pahit seperti empedu. Wilarani tertawa geli. 

"Ini bukan racun pendekar. Tapi obat! Agar kau lekas sembuh." 

"Kau... kau seorang tabib?" tanya Wiro. 

Sang dara baju biru gelengkan kepala. "Tapi aku memang banyak mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan..." 

"Baiklah, biar kuminum obat itu" kata Wiro pula. "Sekalipun racun aku tak menyesal mati di hadapanmu." Lalu pendekar ini teguk cairan dalam gelas sampai habis. 

"Tahu berapa lama kau pingsan, pendekar?" 

"Tak usah sebut aku pendekar. Namaku Wiro. Berapa lama aku pingsan?" 

"Dua hari dua malam..." 

Wiro kaget karena tidak menyangka sampai sedemikian lama dia jatuh pingsan. "Bagaimana aku sampai kemari? Apa hubunganmu dengan Pendekar Pedang Akhirat?" 

"Pendekar tua itu yang membawamu kesini. Tadinya untuk minta pertolongan ayah agar kau diobati. Tapi ayah sedang ke Weleri. Aku berusaha sebisaku..." 

"Terimakasih. Kau baik sekali. Aku berhutang besar padamu." kata Wiro pula. Wilarani tertawa. "Dimana Pendekar Pedang Akhirat sekarang?" 

"Dia pergi dua hari yang lalu tanpa memberi tahu kemana. Cuma dia pesankan agar aku merawatmu baik-baik. Menurut orang tua itu kau pingsan akibat kehabisan darah dan karena mempergunakan seluruh tenaga dalam untuk melepaskan pukulan sakti. Menurut apa yang aku tahu jarang orang bisa selamat dari kematian jika mengalami hal sepertimu ini." 

Wiro Sableng menghela nafas panjang. "Kapan aku akan sembuh dan bisa meninggalkan tempat ini?" 

"Tak dapat kupastikan. Mungkin seminggu atau dua minggu lagi. Luka dibahu mu parah sekali dan harus kering betul baru bisa dikatakan sehat. Disamping itu sebaiknya kau tunggu sampai ayah datang agar dapat memeriksa tubuhmu bagian dalam." 

"Mungkin aku tak dapat menunggu sekian lama," ujar Wiro pula. 

"Kenapa?" tanya Wilarani. 

"Ada urusan besar yang harus kulakukan..."

"Urusan apa, kalau aku boleh tanya." 

"Pendekar Pedang Akhirat tidak mengatakan kenapa aku sampai mendapat celaka begini rupa..." 

"Tidak," sahut Wilarani. "Justru aku ingin mendengarkan kisahnya dari kau sendiri..."

Pada dasarnya Wiro Sableng tidak suka membeberkan persoalan dirinya pada orang lain, apalagi gadis itu baru dikenalnya. Namun setelah berpikir-pikir dan ingat kalau bukan Wilarani yang menolong mungkin dia sudah mati saat itu atau paling tidak tengah meregang ajal, maka akhirnya Wiro tuturkan juga nasib celaka yang menimpa dirinya. Selesai Wiro menuturkan riwayatnya, kedua orang itu kemudian saling berdiam diri beberapa lamanya. 

"Jika kau sudah sembuh, apa yang bakal kau lakukan?" bertanya Wilarani kemudian. 

"Banyak dan berat sekali..." sahut Pendekar 212 Wiro Sableng. "Pertama aku harus membersihkan diriku dari tuduhan keji itu. Ini berarti aku harus bisa menemukan siapa sebenarnya pemerkosa nona Warsih. Kemudian aku harus membawa orang itu hidup-hidup kapuncak gunung Lawu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jika senjata warisan guruku sudah dikembalikan dan aku dapat turun dari puncak Lawu dengan aman barulah berarti selesai urusan. Yang sulit ialah orang-orang gunung Lawu pasti akan menyerbuku begitu aku muncul disana. Gila betul! Kenapa aku jadi ketiban nasib sial begini!" 

"Kurasa itu adalah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap pendekar petualang macammu. Ketidak tabahan justru itulah yang membuat seseorang celaka sebelum bahayanya sendiri datang menimpa." 

Pendekar 212 Wiro Sableng merasa kena disentil oleh kata gadis itu. Diam-diam dia jadi malu pada diri sendiri. Si gadis rupanya tahu bagaimana perasaan Wiro saat itu, maka dia buru-buru menghibur. 

"Memang begitulah keadaannya dunia. Yang kita harapkan tidak terjadi, yang amit-amit minta dijauhkan justru nyelonong menyusahkan!" 

"Berapa jauh Magelang dari sini鈦�?" Wiro bertanya. 

"Kira-kira dua hari perjalanan dengan kuda." jawab Wilarani. "Kenapa?" si gadis kemudian bertanya. 

"Besok aku akan berangkat ke sana guna memulai penyelidikan." 

"Besok? Sekarang saja kau masih diserang demam. Lukamu masih basah. Apa mau mencari mati hendak pergi besok?" 

"Kalau dipikir-pikir sebenarnya aku ini sudah mati. Yaitu kalau tidak ditolong oleh Pendekar Pedang Akhirat dan kau sendiri." 

Wilarani tersenyum kecil. "Hidup penuh hal hal yang tak terduga bahkan kadang-kadang aneh..." kata gadis itu pula lalu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil menatap wajah Pendekar 212 Wiro Sableng dia berkata, "Aku sendiri sebenarnya adalah anak murid partai Lawu Megah." 

Wiro Sableng kaget bukan olah-olah. Kata-kata gadis itu laksana petir menyambar sampai ketelinganya. Kalau saja dia tidak sakit parah saat itu niscaya dia sudah melompat saking terkejutnya. 

"Kalau begitu... kalau begitu bukan mustahil kau memang hendak membunuhku disini. Secara perlahan-lahan!" ujar Wiro pula dengan sepasang mata melotot pandangi Wilarani. 

Wilarani tertawa panjang. "Kalau aku punya niat membunuhmu, tentu sudah sejak tadi-tadi kulakukan..." 

"Lantas kenapa tidak kau lakukan?" tanya Wiro. 

"Tidakkah kau mengandung dendam padaku setelah mendengar aku membunuh empat orang paderi utama gunung Lawu, lalu murid-murid partai yang menjadi saudara seperguruan mu... ?" 

"Aku cuma menyesalkan dan menyayangkan kejadian itu. Kehendak Tuhan rupanya harus terjadi demikian. Dan pemuda-pemuda gunung Lawu dalam hal ini juga memiliki kesalahan." 

"Aku betul-betul tak mengerti kalau begini" ujar Wiro. "Tadi kau bilang anak tabib Panda Wisuna. Sekarang kau katakan murid partai gunung Lawu. Bagaimana ini?!" 

Kembali Wilarani tertawa. "Saudari, jika kau betul murid partai Lawu Megah lebih baik bunuh saja aku saat ini juga. Jangan aku dipermainkan. Maut didepan mata tapi diulur-ulur agar aku tersiksa" 

"Aku sudah bilang, kalau ingin membunuhmu dapat kulakukan tadi-tadi dan semudah membalikkan telapak tangan saja. Tapi apa perlunya?" 

"Heh!" Wiro kerenyitkan kening. "Terangkan alasanmu." 

SEMBILAN

Atas desakan Wiro Sableng yang mau tak mau merasa was-was juga setelah mengetahui kalau Wilarani adalah anak murid partai Lawu Megah, maka akhirnya gadis itu memberikan keterangan. Wilarani menjadi murid partai Lawu Megah sejak masih berusia delapan tahun. Suatu hari Resi Kumbara turun gunung. Waktu itu tengah berjangkit penyakit menular yang amat jahat. 

Siapa yang sampai kejangkitan pasti akan menemukan kernatian dalam waktu dua hari. Resi Kumbara merupakan salah seorang yang kena terserang. Pada saat-saat kritis Panda Wisuna (ayah Wilarani) menjumpai ketua partai itu, menggeletak tak sadarkan diri di tepi sebuah anak sungai. Segera dibawanya ketempat kediamannya di bekas candi tua itu dan diobati sampai sembuh. 

Sebagai balas budi Resi Kumbara kemudian mengambil Wilarani jadi muridnya, dibawa ke puncak gunung Lawu. Karena sang paderi sendiri yang memberikan pelajaran silat pada anak itu maka 10 tahun kemudian jadilah Wilarani seorang gadis berkepandaian amat tinggi. Jika dibandingkan dengan murid-murid gunung Lawu Megah kelas satu, kepandaiannya jauh lebih tinggi. 

Sularwasih dan Tandu Wiryo sendiripun jauh tertinggal. Ada yang mempercayai bahwa dalam ilmu silat nona ini kepandaiannya hampir mendekati Resi Kumbara sendiri. Cuma tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya saja yang masih agak rendah. Tetapi bila dia rajin melatih diri niscaya tidak sembarang orang mampu menghadapinya. Beberapa tahun lewat akibat pengunduran diri Resi Kumbara sebagai ketua partai maka terjadi banyak perobahan dalam tubuh partai. 

Hal ini diketahui oleh ayah Wilarani. Maka dia naik ke puncak gunung Lawu, bicara dengan puterinya itu, meminta agar dia meninggalkan partai Lawu Megah selagi belum terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Dilain pihak Wilarani sendiri sejak Resi Kumbara yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri itu mengundurkan diri, merasa dipencilkan oleh orang-orang disekitarnya.

Kalau dulu selagi Resi Kumbara menjabat ketua partai semua orang menghormati dan menyayanginya. Tetapi sejak paderi itu melepaskan jabatannya, banyak paderi-paderi dan saudara-saudara seperguruannya yang jelas-jelas memperlihatkan sikap mengejek serta membencinya. Sering dia dihadapkan pada muka-muka asam, mendengar kata-kata menyindir dan menghina hingga lambat laun gadis itu merasa tak betah lagi diam di puncak gunung Lawu. 

Dengan datangnya sang ayah memintanya pergi meninggalkan gunung Lawu maka ini adalah satu hal yang paling baik bagi Wilarani. Berdua ayahnya dia menemui Resi Kumbara untuk minta diri. Sebenarnya berat bagi paderi tua itu untuk melepas murid kesayangannya itu. Namun diam-diam dia sudah mengetahui apa yang dialami Wilarani sejak dia mengundurkan diri sebagai Ketua. 

Yang membuat Resi Kumbara kagum dan terharu ialah bahwa sampai saat Wilarani meninggalkan gunung Lawu gadis ini tak pernah satu kalipun mengadukan keadaan dirinya itu. Semua dihadapinya sendiri dengan tabah dari masih tetap tersenyum serta menghormati orang-orang di sekitarnya, padahal didalam hatinya sakit bukan kepalang. 

"Nyatanya keadaan di Partai Lawu Megah makin hari makin buruk. Untung sekali aku sudah tidak disitu lagi." 

"Tapi betapapun kau adalah anak murid Lawu Megah. Dan paderi-paderi yang kau hormati serta saudara-saudara seperguruanmu itu banyak yang kubunuh," ujar Wiro. 

Wilarani geleng-gelengkan kepala. "Sejak aku meninggalkan gunung Lawu aku tidak lagi merasa murid partai Lawu Megah, tapi murid Resi Kumbara pribadi." 

"Apakah tidak berniat untuk pergi lagi kesana?" tanya Wiro Sableng pula. 

"Jika kudengar guru kenapa-kenapa, pasti aku akan naik ke puncak Lawu dan memberi peringatan pada orang-orang yang kurang ajar itu." 

"Sejak kau keluar dari partai apa saja yang kau lakukan?" 

"Yaah... aku tinggal bersama ayah disini. Mempelajari berbagai macam ilmu pengobatan..." 

"Untung kau sempat mempelajari. Kalau tidak aku pasti tak akan tertolong." kata Wiro pula. 

Wilarani tersenyum. "Sebetulnya dalam sakit begini kau tak boleh banyak bicara. Minumlah obat ini!" 

Gadis ini kemudian ambilkan secangkir obat lalu diminumkan pada Wiro. Beberapa saat setelah minum itu Wiro merasakan matanya jadi berat sekali. Akhirnya pendekar itu jatuh pulas. Seminggu kemudian Wiro Sableng merasakan tubuhnya sudah segar. Cuma luka dibahu kirinya masih belum kering dan sesekali terasa mendenyut sakit. Suatu hari ketika Wiro tengah berkemas-kemas karena dia memang sudah memutuskan untuk pergi, datanglah Wilarani dan menegurnya. 

"Kau hendak pergi ke mana?" 

"Magelang." 

"Tapi kau masih belum sembuh. Kau harus menunggu paling cepat satu minggu lagi. Balutan pada bahumu harus dibuka untuk diperiksa." 

"Lukaku memang belum kering, Wilarani. Tapi tubuhku segar sekali. Semua berkat bantuanmu. Aku ingin tinggal lebih lama di tempat yang tenang dengan pemandangan indah di sekitarnya ini. Tetapi urusan besarku memerlukan penyeleseian dengan segera. 

"Jika kau mau menunggu sampai lukamu baik, aku bersedia membantu kau menyelesaikan urusan itu." 

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Ah, budi besarmu menolong aku dalam sakit belum dapat kubalas, jangan kau tanamkan budi baru padaku." 

"Terserahlah padamu. Cuma..." Wilarani tidak teruskan katanya. 

"Cuma apa?", Wiro bertanya. 

Wilarani tak segera menjawab seolah-olah meragu. "Cuma apa, Wilarani?" desak Wiro. 

"Aku ingin agar kau mengetahui satu hal..." 

"Apa?" 

"Dua murid gunung Lawu yang bernama Sulawarsih dan Tandu Wiryo itu bukanlah orang baik-baik..." 

"Maksudmu?" 

"Aku tak bisa menerangkan. Kau selidikilah sendiri." jawab Wilarani pula. "Kalau kau hendak pergi, aku tak bisa menahan. Selamat jalan" Lalu gadis itu putar tubuh tinggalkan tempat itu.

********************
www.zheraf.com
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Lima hari kemudian menjelang malam Pendekar 212 Wiro Sableng memasuki Magelang. Kota yang membawa riwayat sial bagi dirinya. Setelah berkeliling meneliti keadaan kota, baru dia menuju penginapan Candi. Dia tersenyum pada pelayan yang masih mengenalinya. 

"Ingin menginap disini lagi raden?" 

Wiro mengangguk. Ketika pelayan itu mengantarkannya ke kamarnya, Wiro bertanya. "Kau masih ingat pertama kali aku menginap disini sekitar empat minggu yang lalu?" 

"Ya... saya masih ingat" 

"Waktu itu ada sepasang muda mudi yang juga menginap disini... Ingat?" 

Pelayan itu berpikir sejenak. Lalu, "Ingat, saya ingat betul! Gadisnya cantik sekali bukan? Ketika pergi saya dan Gundali diberinya masing-masing dua tail perak. Muda-mudi yang baik sekali...! Entah kapan mereka akan datang kemari lagi. Jarang sekali tamu sebaik mereka." 

"Mereka menyewa berapa kamar?" bertanya Wiro. 

"Agaknya mereka bukan suami istri. Dua orang pengelana. Mereka masing-masing menyewa satu kamar yang saling berdampingan. Eh, kenapa tuan bertanya begitu?" 

"Tidak apa-apa. Tadi kau menyebut nama Gundali. Siapa orang itu?" 

"Gundali orang yang bekerja sebagai ronda dan penjaga keamanan di penginapan ini..." 

"Dia tinggal di Magelang ini?" 

"Tentu saja..." 

"Aku ingin bertemu dengan dia," kata Wiro pula. 

"Tuan tak usah susah-susah. Sebentar lagi dia akan datang di sini. Tugasnya memang khusus malam hari..." 

Wiro tepuk bahu pegawai hotel itu dan ucapkan terima kasih. Dia langsung berbaring di tempat tidur karena sekujur tubuhnya terasa letih. Tanpa disadari dia jatuh pulas. Ketika bangun, yang pertama sekali diingatnya adalah orang bernama Gundali itu. Namun sewaktu ditanyakan pada pelayan dia mendapat keterangan bahwa Gundali belum datang. 

"Tidak seperti biasanya. Seharusnya dia sudah berada di sini saat ini." kata pegawai hotel itu. 

Wiro garuk-garuk kepala. Setelah berpikir-pikir sejenak pendekar ini memutuskan lebih baik mandi dan makan dulu, baru kemudian menunggu Gundali. Jika orang ini masih belum datang juga dia akan minta bantuan pelayan itu untuk mengantarkan ke rumah Gundali. Dia harus menemui orang ini untuk minta beberapa keterangan. 

Selesai membersihkan diri Wiro Sableng pergi makan di sebuah kedai tak berapa jauh dari penginapan. Tengah dia menyantap makanannya, masuklah tiga orang tetamu yang langsung disambut oleh pemilik kedai. Setelah menyebutkan makanan yang mereka pesan, salah seorang dari tetamu itu bertanya. 

"Apakah kau sudah dengar peristiwa pembunuhan atas diri Gundali penjaga penginapan Candi." 

"Gundali dibunuh orang?!" kata pemilik kedai yang bertubuh gemuk setengah berteriak. 

Karena kerasnya ucapannya ini Wiro yang berada jauh di sudut sampai mendengar dan menjadi tersentak kaget. Dia hentikan makannya dan memandang pada orang-orang itu sambil pasang telinga. 

"Waktu itu dia tengah bersiap-siap hendak berangkat ke penginapan tempat dia bekerja. Baru saja keluar pintu rumah tiba-tiba satu bayangan melompat dari atas atap, sebilah pedang berkelebat dan putuslah kepala Gundali!" 

Pemilik kedai menggigil ngeri. "Kapan terjadinya?" tanyanya. 

"Barusan saja. Rumahnya ramai didatangi orang. Pembantu-pembantu Kadipaten sudah ada di sana mengusut perkara pembunuhan ini!" 

Sampai disitu Wiro berdiri dari kursinya, letakkan uang di atas meja dan tinggalkan kedai. Karena peristiwa terbunuhnya Gundali cukup menggemparkan dan saat itu banyak orang yang berdatangan ke sana, maka tidak sukar bagi Wiro Sableng untuk mencari rumah Penjaga penginapan yang malang itu.

SEPULUH

Ketika Wiro sampai dirumah Gundali, orang masih banyak berjubalan disana. Beberapa petugas sibuk melakukan pengusutan. Wiro menyeruak diantara orang banyak. Diruangan depan dari rumah yang kecil itu seorang wanita separuh baya duduk memangku seorang anak perempuan sambil menangis tersedu-sedu. Perempuan ini pastilah isteri Gundali yang malang, pikir Wiro. 

Segera dia mendekati perempuan ini. Karena dia seorang asing dan berpakaian aneh, ditambah rambut gondrongnya, tentu saja dia menjadi perhatian orang. Sebelumnya dia sampai ke dekat, istri Gundali, seorang petugas menahannya. 

"Orang asing, kau siapa?" petugas itu bertanya. 

"Gundali adalah sahabat lamaku" sahut Wiro. "Aku datang kesini untuk menyampaikan rasa duka citaku pada isterinya." 

Setelah meneliti Wiro sejenak akhirnya petugas itu mengizinkan Wiro menemui istri Gundali. 

"Mbakyu, kau tentu tidak mengenal aku. Tapi aku adalah sahabat suamimu. Terimalah rasa duka citaku yang sedalam-dalamnya." 

Janda itu angkat kepalanya, memandang dengan agak heran pada pemuda berambut gondrong di hadapannya lalu tutup wajahnya dan kembali menangis tersedu-sedu. 

"Dalam keadaan begini masih saja ada orang gila yang datang mengganggu" 

Wiro Sableng pencongkan mulut, garuk-garuk kepala. Meskipun jengkel penasaran dia berkata. "Mbakyu, aku bukan orang gila. Aku sahabat suamimu. Aku ingin menolongmu mencari siapa pembunuh suamimu itu dan menghukumnya. Asal saja saat ini kau bersedia membantu berikan keterangan..." 

Wiro lantas keruk saku pakaiannya dan masukan dua keping uang emas kedalam genggaman perempuan malang itu seraya berbisik. "Jika kau tak keberatan sebaiknya kita bicara di dalam saja..." 

Meskipun dalam keadaan duka cita karena kematian suami, namun dua keping uang emas itu membawa pengaruh juga bagi sang janda. Dipandanginya uang itu, lalu pada Wiro, kemudian pada jenazah suaminya yang terbaring diatas ranjang bertutupan seperai. Perlahan-lahan dia berdiri, mendukung anaknya dan masuk ke ruangan dalam. 

"Ceritakanlah bagaimana kejadiannya sampai suamimu dibunuh orang," kata Wiro begitu janda Gundali duduk di sebuah kursi diruangan dalam. 

Janda malang itu keringkan dulu air matanya baru menjawab. "Seperti biasa setiap suamiku hendak pergi ketempat pekerjaannya, aku selalu mengantarkan sampai pintu depan. Waktu itu ruangan depan agak gelap karena aku belum sempat menyalakan lampu. Suamiku mencium anak tunggalnya ini dulu, kemudian membuka pintu depan. Begitu dia melangkahkan kaki dari ambang pintu tiba-tiba ada sesosok bayangan melompat turun dari atas. Aku dan suamiku terkejut sekali. Kemudian kudengar suamiku berseru, 

"Ah raden! Kau kiranya. Aku..." Ucapan suamiku itu hanya sampai di situ karena tiba-tiba orang yang disebutnya raden itu menghunus pedang dan menebas lehernya hingga putus. Aku sendiri kemudian jatuh pingsan..." 

Sampai disini kembali janda Gundali menangis. Setelah tangisnya reda Wiro Sableng bertanya. "Apakah kau kenal orang yang membunuh suamimu itu?" 

"Saat itu didepan gelap. Aku tak dapat melihat wajah si pembunuh. Cuma dari perawakannya kuduga dia masih muda." 

"Suaranya juga tak dapat kau kenali?" 

Istri Gundali menggeleng. Wiro diam sejenak sambil tangannya tidak berkeputusan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong. "Apakah suamimu punya musuh di kota Magelang ini atau di tempat lain...?" 

"Setahuku tidak. Meskipun miskin tapi suamiku adalah orang baik-baik..." 

Wiro Sableng menghela nafas panjang. Dia berpikir apa lagi yang hendak ditanyakannya. Kemudian dia ingat. "Mungkin suamimu pernah menceritakan sesuatu sehubungan dengan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan di penginapan Candi? Coba kau ingat-ingat mbakyu." 

"Sesuatu apa?" balik bertanya janda Gundali tak mengerti. 

"Misalnya... mungkin suamimu pernah menceritakan tentang tamu-tamu di penginapan...?" 

Perempuan itu termenung sejenak, kemudian dia anggukkan kepala. "Memang kadang-kadang dia pernah bicara soal tetamu-tetamu. Tapi apa sangkut pautnya itu dengan kematian suamiku?" 

Wiro Sableng tak perdulikan pertanyaan perempuan itu. Malah berkata. "Pernah suamimu menerangkan tentang seorang tetamu lelaki muda, yang datang menginap bersama seorang gadis cantik. Dan tamu lelaki itu kemudian memberikan dua tail perak pada suamimu...?" 

Sepasang mata istri Gundali membesar dan memandang lebar-lebar pada Wiro Sableng. "Memang ada," katanya, "Dan pemuda itu memberi tambahan tiga tail lagi sewaktu meninggalkan penginapan." 

"Hemm... jarang orang yang sebaik itu." 

"Kau lebih baik dari dia. Kau barusan memberikan dua keping uang emas padaku." 

"Itu karena aku sahabat suamimu," jawab Wiro pula berdusta padahal sebetulnya dia ingin mengorek keterangan di samping memang berniat membantu perempuan yang kematian suami itu. "Apa saja yang diceritakan suamimu mengenai muda-mudi itu selain hadiah lima tail perak tersebut." 

"Aku tak bisa menceritakannya. Aku malu..." kata janda Gundali pula. 

Wiro kerenyitkan kening dan garuk-garuk kepala. "Memangnya kenapa...? Dengar, aku ingin membantumu menangkap dan menghukum pembunuh suamimu. Kurasa aku bakal dapat mengetahui siapa orangnya. Tapi tanpa keterangan yang memberikan bukti-bukti darimu sulit bagiku..." 

"Suamiku pernah menceritakan tentang seorang pemuda asing, berambut gondrong. Dia meragukan kesehatan pikiran orang itu. Agaknya kaulah orangnya, bukan?" 

Wiro Sableng jadi menggerendeng dalam hati. "Mbakyu, siapa aku, apakah orang gila atau setengah gila kuharap tak usah diperdulikan. Yang penting pembunuh suamimu itu harus dihukum. Kalau dia masih berkeliaran di luar bukan mustahil keselamatanmu dan puteri tunggalmu ini akan terancam pula." 

Kelihatan bayangan rasa takut pada wajah janda Gundali. "Baiklah," kata perempuan ini pada akhirnya. "Waktu itu sudah larut malam. Suamiku mematikan lampu-lampu tertentu dalam penginapan. Sewaktu dia sampai di ujung gang pada bagian mana muda-mudi itu menginap, dilihatnya si pemuda berdiri di depan pintu kamar si pemudi, mengetuk perlahan-lahan. Kemudian pintu kamar terbuka, tamu lelaki masuk ke dalam dan pintu dikunci kembali. Karena mengetahui kalau sepasang muda-mudi itu adalah murid-murid Partai Lawu Megah yang berkepandaian tinggi, dia tak berani berbuat apa-apa, apalagi menegur meskipun nyata-nyata masuk ke dalam kamar seorang gadis pada malam hari adalah perbuatan yang tidak senonoh. Kemudian karena ingin tahu apa yang sebenarnya diperbuat oleh murid-murid Lawu Megah itu suamiku keluar dan dari luar melakukan pengintaian lewat celah-celah papan dinding..." 

Sampai disini janda Gundali terdiam. "Bagaimana terusnya? Apa yang dilihat suamimu?" tanya Wiro tak sabaran. 

"Dua orang itu betul-betul melakukan perbuatan yang tidak senonoh! Mereka tengah berpeluk-pelukan. Kemudian pindah ke ranjang. Kemudian mereka kelihatan menanggalkan pakaian di tubuh masing-masing. Dan melakukan perbuatan mesum itu...!" 

Wiro keluarkan suara bersiul dan mulutnya. "Karena merasa jengah suamiku tidak meneruskan pengintaian. Tapi kira-kira satu jam kemudian sewaktu dia kembali mengintai, didengarnya dua orang itu bicara berbisik-bisik. Si gadis mengatakan perasaan kawatirnya karena saat itu katanya dia telah hamil jalan tiga bulan..." 

Wiro melengak kaget. "Kalau begitu mereka melakukan hubungan sudah sejak lama!" 

Janda Gundali mengangguk. "Agaknya begitu. Rupanya mereka sudah mencoba mencari obat untuk menggugurkan kandungan. Tapi sia-sia belaka. Kalau Tuhan punya kuasa minum obat apapun kandungan itu tak bakal gugur! Suamiku mendengar si pemuda berkata bahwa satu-satunya orang yang bisa menggugurkan kandungan itu adalah Resi Kumbara, bekas ketua Partai Lawu Megah. Tetapi tentu saja mereka tidak bisa melakukannya. Maka suamiku mendengar keduanya berunding. Yang pemuda rupanya dapat akal keji. Dia menyebut-nyebut pemuda gondrong ceriwis yang juga menginap di penginapan itu. Lalu tentang kancing baju milik orang itu yang tanggal dan ditemuinya dekat kaki kursi. Dari pembicaraan jelas bahwa mereka tengah mengatur rencana busuk, hendak mengambing hitamkan pemuda asing yang agaknya adalah kau sendiri. Rupanya lelaki muda itu seperti mengetahui kalau ada orang di dekat kamar karena dia kemudian membuka jendela. Untung saja suamiku cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan pura-pura buang air kecil di balik pohon. Namun agaknya pemuda itu menaruh curiga. Itulah sebabnya dia menambahkan tiga perak lagi ketika hendak pergi. Maksudnya agar suamiku tidak membuka rahasia malam itu." 

"Cukup... cukup dan terima kasih atas keteranganmu itu. Tahukah kau sekarang siapa yang membunuh suamimu malam ini? Pemuda bangsat itu. Namanya Tandu Wiryo. Dan si gadis mesum itu bernama Sularwasih" 

Si janda terpekik kecil dan memandang melotot pada Wiro. Pendekar 212 pegang bahu janda Gundali dan berkata. "Bila tiba nanti waktunya, aku akan bawa kau kepuncak Lawu!" 

Habis berkata begitu Wiro tinggalkan perempuan yang kemudian kembali menangis bersedu-sedu sambil peluki puterinya yang kini telah jadi anak yatim.

SEBELAS

Jejak pendekar Pedang Akhirat lolos dari puncak gunung Lawu bersama Wiro Sableng timbullah kecurigaan penuh diantara para paderi dan semua anak murid partai yakni jika tidak dengan bantuan Resi Kumbara, kedua orang itu pasti tidak bakal dapat melarikan diri. Pintu rahasia dari terowongan yang menembus gunung ada dalam tempat pengasingan bekas ketua partai itu. 

Nyata sudah bahwa Resi Kumbara telah membantu Wiro dansi kakek muka tengkorak. Hal ini membuat pihak-pihak yang memang tidak menyukai Resi Kumbara menjadi marah, termasuk Resi Tumbal Soka sendiri. Suasana di gunung Lawu hari-hari kelihatan tenang-tenang saja. 

Namun ketenangan ini tidak beda laksana api dalam sekam yang sewaktu-waktu pasti meledak. Dan ledakan itu nyatanya terjadi juga yakni empat minggu kemudian. Atas perintah Resi Tumbal Soka semua paderi yang memegang pucuk pimpinan dikumpulkan di gedung perundingan. Diluar gedung menjaga murid-murid partai kelas satu. 

"Saudara-saudara separtai yang aku cintai," Resi Tumbal Soka angkat bicara. "Kita semua sama tahu bagaimana keadaan sesungguhnya dalam tubuh partai kita sejak lolosnya dua orang manusia terkutuk itu. Rasanya tak perlu lagi dibentangkan panjang lebar bagaimana mereka bisa lolos atau siapa yang memberi jalan pada mereka. Saat ini aku mengumpulkan kalian semua adalah untuk membicarakan soal tanggung jawab yang harus kita tuntut pada bekas ketua kita. Resi Kumbara meskipun adalah bekas ketua yang kita hormati bahkan kakak kandungku sendiri, namun jika berbuat kesalahan bahkan penghianatan musti kita tuntut dan mintakan pertanggungan jawabnya. Untuk itu mari kita beramai-ramai mendatangi tempat persamadiannya!" 

Sebelum paderi-paderi itu berdiri, tiba-tiba salah seorang dari mereka mendahului dan tegak menghadang di pintu. Paderi ini adalah Resi Permana yakni, paderi yang memimpin mereka yang ingin melihat Partai Lawu Megah kembali pada masa jaya seperti dibawah pimpinan Resi Kumbara dulu bahkan berharap agar Resi Kumbara sudi memegang jabatan ketua kembali. 

"Saudara-saudaraku separtai," kata Resi Permana sambil rangkapkan tangannya didepan dada. "Sebelum bertindak pikirkan baik-baik lebih dulu. Mengganggu kakak yang sedang bersamadi saja sudah merupakan perbuatan tidak sopan. Apalagi hendak menuntutnya. Dan secara beramai-ramai seperti ini, seperti gerombolan yang datang menggarong saja!" 

Mendengar ucapan saudara seperguruannya itu merah padamlah wajah Resi Tumbal Soka. Dia maju ke hadapan Resi Permana dan dengan nada keras marah menegur, "Resi Permana! Kau sudah keblinger atau bagaimana sampai berkata demikian? Sudah terbukti kakak salah, kau masih hendak membela. Rupanya kau bersekongkol jadi pengkhianat?!" 

"Berkhianat suatu hal yang keji, aku tahu hal itu," sahut Resi Permana pula. "Dan berlaku kurang ajar pada leluhur tidak jauh kejinya dari berkhianat. Jangan kau berani menuduh Resi Kumbara telah berkhianat. Kesalahannya memang nyata. Tetapi aku rasa kakak tidak akan terlalu bodoh meloloskan orang-orang itu begitu saja. Aku yakin ada perjanjian tertentu yang mengikat diantara mereka!" 

"Berjanji dengan musuh-musuh partai justru adalah kesalahan yang harus dipertanggung jawabkan pula!" tukas Resi Tumbal Soka. "Jika kau tidak ingin bersatu dengan kami, menyingkirlah dari pintu itu!" 

Resi Permana dalam hati marah setengah mati terhadap Resi Tumbal Soka. Jika saja paderi itu tidak dihormatinya sebagai ketua niscaya dia tidak segan-segan untuk berdebat mulut lebih jauh. Bahkan tidak gentar melakukan kekerasan. Diam-diam dia menyesali kenapa Resi Kumbara dulu menyerahkan jabatan ketua pada paderi ini. Resi Permana menghindar dari pintu. 

Tiga orang paderi lainnya, yang sama sefaham dengan Resi Permana tegak disamping paderi ini, tak mau ikut bersama ketua Partai Lawu Megah dan paderi lainnya. Resi Tumbal Soka memandang pada mereka berempat dengan pandangan menyorot. Lalu dengan nada sinis dia berkata. 

"Bagus! Jadi inilah contohnya empat paderi yang jadi puntung-puntung pengkhianat. Kelak para pucuk pimpinan akan mengadakan rapat untuk merundingkan tindakan apa yang bakal dilakukan atas diri kalian!" 

"Ketua, aku mohon sekali lagi agar kau suka memikirkan tindakan ini sebelum melakukannya", kata Resi Permana merendah dan sabar. 

Pelipis Resi Tumbal Soka kelihatan bergerak-gerak saking marahnya. Dia menyemprot. "Sebaiknya kau pikirkan paderi-paderi dan murid murid partai yang mati dibunuh oleh kedua keparat itu di kaki gunung begitu keluar dari terowongan rahasia!" 

"Itu salah mereka sendiri. Kenapa menghadang dan mengeroyok dengan sengaja!" sahut Resi Permana. 

Jika tidak dapat menindih kemarahannya mungkin ketua Partai Lawu Megah sudah menampar Resi Permana saat itu. "Kalau toh mereka yang terbunuh itu bisa datang dan bicara, pasti mereka akan menyumpah dan mengutukmu habis-habisan!" 

Resi Tumbal Soka bantingkan kakinya ke lantai hingga ubin ruangan amblas lalu putar tubuh tinggalkan paderi Permana yang cuma tegak terdiam dan menarik nafas panjang berulang kali. 

********************
www.zheraf.net

Seperti biasanya Resi Kumbara yang sudah lanjut usia itu ketika didatangi oleh adiknya bersama delapan paderi utama tengah tenggelam dalam kekhusukan samadi. Namun begitu Resi Tumbal Soka dan paderi-paderi lainnya sampai di hadapannya, bekas ketua partai ini tiba-tiba saja buka matanya yang terpejam dan hentikan samadinya. Dia memandang pada adiknya dan semua paderi yang ada di situ dengan tersenyum. Dia tidak melihat paderi Permana dan tiga paderi lainnya, tetapi tak mau bertanya. 

"Adikku," Resi Kumbara justru yang lebih dulu buka pembicaraan. "Kau dan saudara-saudara lainnya tak usah menerangkan lagi panjang lebar maksud kedatangan kalian. Aku sudah dengar semua pembicaraanmu di ruangan perundingan..." 

Resi Tumbal Soka dan delapan paderi lainnya tidak terkejut karena mereka mengetahui kalau paderi tua itu memiliki semacam ilmu pendengaran jarak jauh yang luar biasa. Setelah memandang pada saudara-saudara seperguruannya. Resi Tumbal Soka Iantas menjawab, 

"Syukurlah kalau kakang sudah mengetahui hingga kami tidak perlu mengganggumu lama-lama." 

Resi Kumbara manggut-manggut sambil usap-usap janggutnya yang putih. "Aku mengakui bahwa memang akulah yang membantu Pendekar Pedang Akhirat dan pemuda asing bernama Wiro Sableng itu melarikan diri lewat terowongan. Tetapi dengan syarat tertentu yaitu si Pedang Akhirat itu harus mengantarkan sendiri kepala Wiro Sableng padaku jika nanti terbukti bahwa dia benar-benar bersalah. Di samping itu karena keteledorannya si kakek harus pula bunuh diri di hadapanku." 

"Kakang percaya pada janji manusia-manusia busuk macam mereka?" tukas Resi Tumbal Soka. "Aku betul-betul tak mengerti." 

"Soal busuk mereka belum ketahuan adik. Ada orang yang di luaran kelihatannya kotor jahat, tetapi hatinya putih bersih. Sebaliknya ada orang yang berpakaian bagus, baik budi bahasa, manis tutur bicaranya, berlagak pegang disiplin dan aturan, tetapi di dalamnya keji keropok." 

Resi Tumbal Soka terdiam mendengar kata-kata itu. Sejurus kemudian dia baru berkata, "Tapi bagaimanapun kakak tetap salah." 

"Betul, aku tahu hal itu..." jawab bekas ketua partai Lawu Megah itu." Sebagai jaminan atas perjanjian itu, Wiro Sableng telah menyerahkan senjata mustika warisan gurunya..." 

Dari balik jubah putihnya Resi Kumbara kemudian keluarkan Kapak Maut Naga 212. Baik Tumbal Soka maupun delapan paderi lainnya sama membeliak kaget dan kagum melihat senjata aneh yang memancarkan sinar terang berkilauan itu. 

"Ini betul-betul bukan senjata sembarangan dan agaknya tak ada duanya di jagat ini," membathin Resi Tumbal Soka. Dan dalam hatinya timbullah niat buruk untuk memiliki kapak sakti ini. Setelah memutar otak licinnya sesaat maka berkatalah dia. 

"Kakak, senjata itu terpaksa kami sita sebagai barang bukti. Bukti bahwa kau telah disuap oleh dua orang jahat itu agar mereka bisa lolos." 

Resi Kumbara tertawa jumawa mendengar kata-kata adiknya itu. Dia sendiri maklum apa yang berada dalam hati sang adik. "Aku sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Jika kau menganggap ini barang sogokan dan hendak menyitanya, aku tak keberatan. Cuma aku pesankan, jika nanti terbukti pemuda itu tidak bersalah, kau harus kembalikan kapak itu padanya." 

Habis berkata begitu Resi Kumbara serahkan Kapal Maut Naga Geni 212 pada adiknya yang segera diambil oleh Resi Tumbal Soka dan disimpannya di balik jubah. 

"Sekarang apa lagi maumu, adik?" bertanya Resi Kumbara. 

"Sesuai dengan peraturan, kakak terpaksa kami masukkan dalam penjara," kata Resi Tumbal Soka pula. 

Resi Kumbara menarik nafas panjang. "Nasibku memang sial," kata kakek ini, "Jika memang begitu menurut aturan aku tidak akan membantah. Di penjara manakah aku hendak kalian jebloskan?" 

Patut diketahui bahwa di gunung Lawu terdapat tiga macam penjara. Yang pertama penjara berdinding batu biasa. Kemudian penjara dibawah sebuah mata air yang amat dingin hingga siapa yang masuk di sana akan merasakan seolah-olah dipendam dalam salju. Penjara ini disebut Penjara Salju. Yang ketiga adalah Penjara Api. Disini hawanya panas sekali karena pada sebelah luarnya di kelilingi oleh kobaran api. 

Setelah berpikir sejenak Resi Tumbal Soka berkata, kata, "Untuk sementara kakak kami tempatkan di Penjara Biasa saja." 

"Terima kasih," jawab Resi Kumbara sambil tersenyum dan berdiri. 

Baru saja dia hendak digiring keluar ruangan samadi tiba-tiba berkelebatan empat sosok tubuh berjubah putih. Di lain kejap Resi Permana dan tiga orang paderi yang setia padanya sudah berdiri menghadang di pintu. 

"Siapa yang berani menjebloskan kakak ke penjara akan berurusan dulu denganku!" kata Resi Permana lantang. 

Melihat gelagat yang tidak baik ini Resi Tumbal Soka segera maju menghadapi sambil bertolak pinggang. "Aku ketua partai. Hitam kataku harus hitam. Putih musti putih! Kau punya hak apakah bicara seperti itu?!"

"Peduli setan dengan segala hak! Seorang ketua yang baik tidak akan melakukan perbuatan seperti ini terhadap orang yang menjadi kakak kandungnya. Apalagi yang telah mengangkatnya sebagai ketua. Resi Tumbal Soka, aku harap kau bawa saudara-saudara yang lain ini keluar dari sini. Kalau tidak niscaya terjadi pertumpahan darah disini." 

"Hemm... Kau berani berkata begitu terhadapku, paderi Permana. Sungguh besar nyalimu! Minggirlah sebelum aku betul-betul marah!" 

"Kau yang harus menyingkir dari tempat ini!" teriak Resi Permana pula. 

"Kurang ajar! Saudara-saudara, tangkap pemberontak ini!" Seru Resi Tumbal Soka pada delapan paderi. 

Segera delapan paderi yang diperintahkan bergerak mengurung Resi Permana. Tiga paderi yang datang bersama paderi Permana melihat ini segera pula bersiap-siap. 

"Bagus! Kalian berempat akan kujebloskan ke dalam Penjara Api!", teriak Resi Tumbal Soka marah. 

Sehabis berteriak begitu ketua Partai Lawu Megah ini mendahului turun tangan, lepaskan satu pukulan tangan kosong kearah Resi Permana yang saat itu sudah alirkan pula tenaga dalamnya ke lengan jubah, siap untuk menangkis dan balas menggempur. 

Sebelum pukulan tangan kosong Resi Tumbal Soka menghantam tiba-tiba paderi ini rasakan bahunya dipegang orang dari belakang demikian keras hingga dia bukan saja tak mampu menggerakkan tangan untuk memukul tetapi juga seolah-olah dipantek kaku. Berpaling ke belakang Resi Tumbal Soka lihat kakaknya tersenyum padanya. 

"Sabar adik, bukan dengan saudara sendiri ilmu kepandaian dipakai untuk menyerang!" Kemudian pada Resi Permana dia berkata, "Paderi Permana, kedudukanmu tidak memungkinkan kau dan saudara-saudara membelaku. Caranya juga salah. Kau harus hormat dan patuh pada Resi Tumbal Soka" 

Resi Permana gigit bibirnya sampai berdarah saking kesal hatinya. "Menghindarlah dari pintu itu, paderi Permana. Biar mereka menggiring aku ke penjara. Soalnya aku memang salah!" 

Untuk beberapa lamanya Resi Permana cuma berdiri tegak sambil geleng-gelengkan kepala. Kemudian dia berkata. "Kalau begitu biar aku dan tiga paderi ini ikut bersamamu dijebloskan dalam penjara!" katanya. 

"Terima kasih kalau kau memang bersedia menemaniku." ujar Resi Kumbara pula. "Berkawan adalah lebih baik dari pada sendirian. Apalagi dalam penjara!" 

Maka kelima paderi gunung Lawu itu kemudian digiring dan ramai-ramai dijebloskan dalam Penjara Biasa.

********************
www.zheraf.com
DUA BELAS

Hanya beberapa jam saja sesudah Resi Kumbara, Resi Permana dan tiga orang paderi lainnya itu dimasukkan ke dalam Penjara biasa maka di jalan kecil pada lereng gunung Lawu kelihatan sebuah kereta bertenda ditarik oleh dua ekor kuda yang tegap-tegap, melncur mendaki dengan cepat. Bertindak sebagai sais dari kereta ini adalah seorang pemuda berambut gondrong. 

Dia memegang les kuda sambil bersiul-siul nyaring entah membawakan lagu apa. Pemuda ini bukan lain adalah murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede atau Pendekar 212 Wiro Sableng. Disamping Wiro duduk seorang perempuan separuh baya berwajah pucat ketakutan karena jalannya kereta begitu kencang. Perempuan ini adalah janda Gundali. Di sebelah belakang duduk pula seorang perempuan bertubuh gemuk berambut putih. 

Seperti istri Gundali perempuan inipun ketakutan setengah mati naik kereta yang dipacu sekencang itu, apalagi jalan kecil mendaki dan kiri kanan diapit jurang. Dia duduk berpegang erat-erat, kedua matanya dipejamkan. Dia adalah tukang sayur di Magelang. Ketika melewati sebuah tikungan tajam dalam kecepatan tinggi, tiba-tiba dari lamping batu dikiri jalan yang tingginya hampir lima belas tombak, melayang dua sosok tubuh. 

Janda Gundali berteriak kaget, begitu juga tukang sayur yang membuka matanya karena mendengar jeritan itu. Dua orang yang melompat dari atas lamping batu tinggi itu, jatuh tepat diatas kereta yang tengah bergerak cepat, tanpa menimbulkan suara sama sekali! 

Wiro berbaling ke belakang. Dia keluarkan suara siulan keras ketika mengenali siapa adanya dua orang yang barusan melompat ke dalam kereta. Mereka bukan lain ialah Pendekar Pedang Akhirat dan Wilarani yang tempo hari mengobati dan merawat Wiro Sableng. 

"Senang bertemu denganmu kembali, Wilarani!" kata Wiro dan memecut kuda penarik kereta agar lebih cepat. 

"Amboi! Apakah kau juga senang bertemu denganku, Wiro? Kau hanya menegur gadis cantik ini! Mentang-mentang aku sudah tua bangka!" berkata si kakek. 

Wiro tertawa gelak-gelak. "Kalian berdua hendak membonceng kemanakah?!" tanya Wiro. 

"Jalan buruk dan sukar, panas pula. Bukankah lebih baik membonceng bersama kalian? Kita mempunyai tujuan yang sama. Puncak gunung keparat ini!" jawab si kakek. 

"Untuk menyerahkan kepalaku pada Resi Kumbara?" tanya Wiro bergurau. 

"Mungkin juga kepalaku sekalian!" sahut Pendekar Pedang Akhirat. 

Lalu keduanya sama-sama tertawa. Setelah melewati pertengahan lereng Gunung Lawu kedatangan mereka ini sudah diketahui oleh murid-murid Partai Lawu Megah yang melakukan penjagaan di tempat tinggi. Laporan segera dikirimkan pada ketua partai. Resi Tumbal Soka segera memanggil beberapa orang paderi kepercayaannya. Mereka bicara di satu ruangan tertutup selama sepuluh menit kemudian bubar. 

Sementara itu Wiro dan kawan-kawannya masih terus memacu kuda-kuda kereta dijalan buruk mendaki itu. Disatu tempat dimana sebelah kiri membentang jurang dalam sedang disebelah kanan menjulang gunung batu tinggi, tiba-tiba terdengar suara menggemuruh seolah-olah datang dari langit. 

Semua orang mendongak ke atas dan serentak menjadi kaget. Tiga buah batu raksasa menggemuruh menggelinding ke bawah. Janda Gundali dan perempuan gemuk tukang sayur menjerit ketakutan sambil pejamkan mata dan tutup kepala dengan telapak tangan." 

Celaka! Matilah kita semua!" seru Pendekar Pedang Akhirat. Wiro sendri garuk-garuk kepala kebingungan dan hentikan kereta. 

"Wiro kau hantam batu yang sebelah kanan, aku yag sebelah kiri. Batu ketiga elakkan! Dua perempuan ini dibawa keluar kereta dan kau Wilarani, jangan bertindak ayal! Cepat!" 

Mendengar kata-kata kakek muka tengkorak itu Wiro Sableng segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan lalu lepaskan pukulan 'Sinar Matahari', menghantam batu besar di sebelah kanan. Dibagian belakang kereta si kakek telah lepaskan pula pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga dalam dahsyat. 

Terdengar suara berdentum sewaktu pukulan-pukulan sakti itu menghancur-leburkan dua batu besar yang melayang turun kebawah. Sehabis memukul hancur si kakek dan Wiro Sableng melesat dari kereta sedang Wilarani merangkul janda Gundali serta Pedagang sayur, melompat ke tempat yang aman. Batu raksasa ketiga jatuh menggemuruh dan tepat menghantam kereta. Kereta dan dua ekor kuda itu tertindih lumat! Mengerikan untuk disaksikan! 

"Keparat haram jadah! Orang-orang Partai Lawu Megah itu benar-benar minta dihajar!" maki Wiro seraya bersihkan muka dan pakaiannya dari debu hancuran batu. 

"Sudah, jangan memaki saja sobatku! Mari kita lanjutkan perjalanan. Kau dukunglah nyonya gemuk itu, aku akan menggendong janda Gundali. Kalau tidak, kita akan terlalu lama sampai di puncak Gunung Lawu." 

Habis berkata begitu si kakek sambar tubuh janda Gundali, terus membawa lari. Wiro menggerendeng garuk-garuk kepala karena dia kebagian perempuan gemuk buntak itu, sementara Wilarani tertawa geli, lambaikan tangan pada Wiro dan berkelebat mengikuti si kakek. Wiro berpaling pada perempuan tukang sayur yang saat itu tegak menggigil sambil pejamkan mata. 

"Hai, gemuk! Marilah kugendong kau!" seru Wiro seraya tampar pantat perempuan itu lantas memanggulnya di bahu kanan. 

Si gemuk berteriak kaget, di lain kejap dia kembali pejamkan matanya karena ngeri dibawa lari demikian cepatnya! Setelah melewati jalan yang sulit, dua jam kemudian sampailah mereka di puncak Gunung Lawu. Tak seorangpun kelihatan sedang suasana tampak sunyi saja. Justru hal ini membuat tidak enak. Ketegangan yang tersembunyi. menggantung diseantero tempat. 

Tepat pada saat Wiro dan kawan-kawannya sampai di tengah lapangan terbuka, maka dari mana-mana muncullah puluhan murid partai dan paderi-paderi. Sekali memandang saja Wiro dan si kakek serta Wilarani sudah mengetahui kalau mereka semua telah terkurung rapat. Si kakek berbisik pada Wiro, 

"Bagaimana sekarang?" 

"Kau saja dulu yang buka pembicaraan kakek..." sahut Wiro. 

"Tapi sebelum bicara apakah aku boleh tertawa dulu?" tanya si kakek muka tengkorak masih bisa bergurau. 

"Tertawalah sepuasmu, kalau nanti sudah mati kau tak bakal bisa lagi tertawa," jawab Wiro setengah mengomel. 

Wilarani senyum-senyum geli melihat kelakuan kedua orang itu. Setelah menurunkan janda Gundali dari panggulannya, si kakek memandang berkeliling lalu mulai tertawa. Mula-mula perlahan-lahan, kemudian makin keras, makin keras dan panjang meninggi hingga orang yang disitu merasakan bagaimana tanah yang mereka pijak bergetar akibat suara tertawa dahsyat si kakek muka tengkorak. 

"Orang-orang Gunung Lawu! Penyambutan kalian ini masih kurang lengkap! Mana ketua kalian?" tiba-tiba si kakek berseru. 

Dari bangunan bertingkat di sebelah kiri lapangan, terdengar jawaban. "Aku disini pendekar tua!" 

Memandang ke jurusan itu kelihatan Resi Tumbal Soka berdiri di beranda tingkat atas. Disebelah kirinya tegak Tandu Wiryo dan Sularwasih. Disamping kanan berdiri dua orang paderi. Semua memandang dengan mata berapi-api. 

"Bagus kalian datang sendiri mengantar nyawa hingga kami tak perlu susah-susah mencari...!" 

Si kakek berpaling pada Wiro, kedipkan matanya lalu kedua orang ini tertawa cekakakan. "Kami datang mengantar nyawa katamu? Sungguh lucu sekali kedengarannya. Bagaimana kalau aku katakan bahwa kami datang untuk minta beberapa nyawa orang Partai Lawu Megah hari ini heh!!" 

Resi Tumbal Soka mendengus marah. Di sebelahnya Tandu Wiryo berkata, "Kita tak perlu berdebat panjang dengan bangsat-bangsat ini. Izinkan saya dan para paderi menghajarnya saat ini juga!" 

Suara Tandu Wiryo bergetar bukan saja karena marah tetapi juga karena takut luar biasa yakni setelah dia mengenali Isteri Gundali! 

"Kau sabarlah muridku. Serahkan semuanya padaku." jawab Resi Tumbal Soka pula. 

Di bawah terdengar Wiro Sableng buka suara. "Ketua Partai Lawu Megah, aku dan orang-orang ini datang untuk meneruskan kembali urusan yang terbengkalai tempo hari!" 

"Bagus! Kali ini kau tak akan mampus digantung, tapi lumat dicincang!" yang menjawab adalah Sularwasih. 

Wiro Sableng keluarkan siulan. "Amboi Warsih, kau ini tambah cantik saja. Tambah gemuk malah. Apakah kau sehat-sehat saja selama ini, tidak muntah-muntah?!" 

Mendengar kata-kata itu berubahlah paras Sularwarsih. Tubuhnya menggigil sedang di sebelahnya Tandu Wiryo kelihatan pucat pasi. Jelas pemuda asing itu sudah tahu rahasia mereka berdua. Sementara itu yang lain-lain, termasuk Pendekar Pedang Akhirat tampak agak heran mendengar ucapan Wiro tadi sedang Wilarani mulai menduga-duga. Tiba-tiba... 

"Srettt! Srettt...!" 

Tandu Wiryo dan Sularwasih cabut pedang mereka, berteriak keras dan sambitkan senjata itu kebawah. Laksana anak panah, pedang Tandu Wiryo melesat kearah Wiro Sableng sedang pedang Sularwasih menyambar kearah janda Gundali! 

TIGA BELAS

Pendekar Pedang Akhirat merasa kaget dan heran kenapa Sularwasih menyerang janda Gundali dengan lemparan pedangnya yang ganas. Disamping itu kakek ini juga jadi marah sekali. 

"Sungguh orang-orang partai Lawu Megah tak tahu aturan dan peradatan!" teriak kakek ini. "Ini kukembalikan pedangmu Warsih." 

Sekali dorongkan tangan kirinya ke depan maka pedang Sularwasih kelihatan tertahan di udara, kemudian melesat membalik menyerang pemiliknya sendiri. Demikian derasnya luncuran pedang hingga Sularwasih tak berani menyambut, buru-buru mengelak. Pedang itu menancap pada langit-langit bangunan tingkat dua. 

"Aku pun juga tidak butuh pedangmu manusia Tandu Wiryo. Ambillah kembali!" terdengar Wiro berseru. 

Ketika pedang menyerang ke arahnya, pendekar ini berkelit ke samping. Dari samping dia pukul gagang pedang hingga senjata itu mental tegak lurus ke atas. Begitu turun kembali Wiro pukul belakang gagangnya. Kini pedang itu laksana kilat menyambar ke arah Tandu Wiryo. Seperti juga dengan pedang Wasih, senjata ini melesat dan menancap pada langit-langit ruangan tingkat dua. 

"Kalian semua dengar," tiba-tiba si kakek berteriak keras, membuat semua orang terdiam tegang. "Sebelum aku dan sobat muda ini meneruskan pembicaraan aku harap agar Resi Kumbara hadir di sini untuk mendengarkannya." 

Resi Tumbal Soka tertawa mengejek. "Orang tua itu tak ada urusan dengan kalian. Aku ketua Partai Lawu Megah yang menentukan hitam atau putih disini." 

"Baik! Tetapi jika nanti kau mengambil keputusan secara tidak adil, ingat Tumbal Soka! Aku sudah tua dan sudah jemu hidup di dunia ini. Mati bukan apa-apa bagiku. Tapi kematianku kelak harus disertai dengan sekurang-kurangnya tiga puluh nyawa orang-orang Gunung Lawu termasuk kau!" 

Resi Tumbal Soka mendengus. "Tua bangka sombong takabur. Lekas kemukakan persoalanmu sebelum kau dan bangsat gondrong itu kami cincang lumat." 

Si kakek berpaling pada Wiro Sableng, anggukkan kepala seraya berkata, "Selesaikan urusanmu, sobat muda." 

Wiro garuk-garuk kepala beberapa kali lalu buka mulut. "Ketua Resi Tumbal Soka! Dulu kalian telah menuduhku secara membabi buta sebagai orang yang telah merusak kehormatan nona Warsih. Hari ini aku datang untuk membeberkan persoalan yang sebenarnya lengkap dengan saksi-saksi." 

"Saksi-saksi palsu!" teriak Tandu Wiryo. 

"Sssst!" Wiro palangkan jari telunjuknya diatas bibir. "Jika kau tidak diminta bicara, belajarlah sopan santun berdiam diri!" kata-kata dan sikap Wiro yang lucu tapi mengejek itu membuat Tandu Wiryo laksana terpanggang sementara Sularwasih sendiri menggigil tubuhnya. Wiro lanjutkan kata-katanya. 

"Sejak semula aku merasa ada yang tidak beres di balik semua kejadian keji itu. Aku sengaja dijadikan kambing hitam. Dan orang yang mengatur semua rencana keji itu adalah murid Partai Lawu Megah sendiri. Itu mereka... yang bernama Sularwasih dan Tandu Wiryo." 

"Bangsat! Kau berani menuduh kurang ajar," teriak Tandu Wiryo dan hendak melompat turun dari tingkat atas, tapi seorang paderi cepat mencegahnya. 

"Tandu Wiryo! kenapa kau kelihatan begitu sewot. Apa hendak menyembunyikan rasa takutmu...?" kembali Wiro menempelak dengan ejekannya. 

Mulut Tandu Wiryo kelihatan komat kamit entah menyumpah apa. Sambil cengar cengir Wiro kemudian lanjutkan kata-katanya, 

"Dua murid Partai Lawu Megah itu nyatanya sudah sejak lama melakukan hubungan gelap, entah di luaran entah di puncak Gunung Lawu ini. Pokoknya yang jelas hubungan terkutuk itu telah membuat Sularwasih hamil alias bunting alias mengandung alias berbadan dua. Kalian dengar semua?! Sularwarsih bunting akibat hubungannya dengan Tandu Wiryo. Hal ini membuat mereka takut dan berusaha menggugurkan kandungan. Tetapi telah kasip. Mereka mencari akal untuk menyelamatkan diri dan sewaktu aku bertemu dengan mereka di penginapan Candi. Magelang, ternyata akulah yang mereka jadikan bulan-bulanan kambing hitam. Sekarang Sularwarsih sudah hamil memasuki empat bulan. Jika kalian tidak percaya silahkan geledah perutnya." Kata-kata Wiro yang tandas itu membuat semua orang kaget laksana disambar petir. 

"Tidak! Tidak! Dia berdusta!" tiba-tiba Sularwarsih berteriak. Gadis ini tutup mukanya dengan telapak tangan, lalu tanpa diduga siapapun dia melompat dari tingkat dua itu ke genting bangunan di sebelahnya dan lenyap. 

Pendekar Pedang Akhirat berseru, "Resi Tumbal Soka apa kau tidak memerintah orang-orangmu untuk mengejar dan menangkap gadis bunting itu?" 

Wajah Resi Tumbal Soka membesi merah padam. "Hal itu bisa dilakukan nanti. Toh dia mau lari kemana! Yang penting pemuda gondrong ini harus mempertanggung jawabkan tuduhan kejinya itu." 

Wiro tertawa mengejek. "Ketua! Tuduhan bukan cuma tuduhan membabi buta dan palsu seperti yang pernah dilakukan orang-orang Partai Lawu Megah terhadapku. Aku datang lengkap membawa dua saksi hidup." Wiro berpaling pada janda Gundali dan berkata, "Perempuan ini sekarang menjadi janda karena suaminya telah dibunuh oleh Tandu Wiryo." 

Kembali semua orang jadi gempar. "Suaminya bekerja di Penginapan Candi di Magelang dan secara kebetulan telah mengintip perbuatan mesum Tandu Wiryo dengan Sularwasih, bahkan mendengar juga pembicaraan mereka hendak mencelakakan aku. Mbakyu, kau tuturkan sendirilah semua apa yang kau ketahui!" 

Dengan tersendat-sendat janda Gundali ceritakan apa yang pernah diterangkan suaminya padanya. Lagi-lagi gunung Lawu menjadi gempar. Disaat itu tiba-tiba Tandu Wiryo putar tubuh hendak melarikan diri tapi dari bawah Pendekar Pedang Akhirat yang sejak tadi mengawasi pemuda ini cepat jentikkan jarinya, kirimkan totokan jarak jauh yang lihay hingga detik itu juga Tandu Wiryo tak mampu berkutik lagi! 

"Bagus... bagus! Semua mulai terang kini! Yang busuk mulai kelihatan belangnya! Ayo sobatku sekarang aku ingin tahu tentang perempuan gemuk ini. Siapa dia!" seru si kakek pula. 

"Perempuan ini adalah pedagang sayur mayur yang menjadi langganan penginapan Candi di Magelang. Hari itu ketika aku masuk penginapan secara tak sengaja aku bertabrakan dengan dia yang sedang membawa keranjang. Tabrakan ini membuat salah satu kancing bajuku tanggal dan jatuh. Aku tak dapat menemukannya. Kancing baju inilah yang kemudian diambil oleh Tandu Wiryo sebagai bukti bahwa aku seolah-olah memang pernah masuk ke kamar Sularwasih! Sialan betul! Ibu gemuk, kau berikanlah kesaksianmu!" 

Perempuan gemuk tukang sayur itu lantas memberikan kesaksiannya! Pucat pasi laksana kain kafan wajah Tandu Wiryo. 

"Resi Tumbal Soka! Sekarang aku minta agar kau menggantung murid terkutuk itu! Di hadapanku! Di hadapan sobatku dan semua murid-murid partai! Jika kau dulu berani memutuskan hukuman gantung bagi sobatku maka hari ini kau harus berani menjatuhkannya pada Tandu Wiryo! Ayo!" 

Mulut ketua partai Lawu Megah tampak terpencong-pencong. Sulit baginya menjawab kata-kata kakek muka tengkorak itu. Namun akhirnya dia berkata juga. "Soal hukuman itu adalah urusan kami. Kau orang luar tidak layak mendikte!" 

"Ah, sungguh enak sekali kalau begitu Resi Tumbal Soka. Murid sudah terbukti salah masih tak mau mengambil tindakan! Aku curiga jangan-jangan kaupun ikut terlibat dalam persoalan ini!" seru si kakek. 

"Bangsat tua! Kurobek mulutmu!" 

"Silahkan, aku mau lihat!" tantang si kakek yang memang sudah jengkel dan muak melihat ketua Partai Lawu Megah itu. 

"Aku mengajukan usul!" Wiro berseru tiba-tiba. "Bagaimana kalau Tandu Wiryo langsung mempertanggungjawabkan perbuatan kejinya satu lawan satu denyanku?" 

"Aku sudah bilang kami yang membuat aturan di sini, bukan kalian yang mendikte!" teriak Resi Tumbal Soka. 

"Wah, berabe kalau begini kakek." kata Wiro pada si kakek muka tengkorak. 

"Sekarang kalian kupersilahkan angkat kaki dari sini, kecuali Wilarani. Kau ada keperluan apakah datang kemari bersama-sama mereka, Wilarani? Apa ikut bersekutu?!" kata Resi Tumbal Soka pula. 

"Saya datang untuk menyambangi guru Resi Kumbara!" jawab Wilarani. 

"Sayang sekali kakek itu tak mungkin menerimamu. Lain kali saja. Dan kau pergilah pula dari sini..." 

Wiro maju kemuka. "Aku dan kawan-kawan akan pergi dari sini. Tetapi lebih dahulu harus bertemu dengan Resi Kumbara. Tempo hari aku telah menyerahkan sebuah senjata mustika sebagai jaminan. Sekarang aku harus memintanya kembali" 

"Lupakan senjatamu itu. Kalau semua sudah selesai pasti akan dikembalikan!" 

"Kentut! Pokoknya aku harus mendapatkan senjata itu kembali! Saat ini juga dan bukan nanti!" 

"Memang senjata itu sudah saatnya harus dikembalikan," kata si kakek pula. 

"Kalian tak bisa bertemu dengan dia..." 

"Kenapa?" 

"Dia tengah menjalani hukuman dalam penjara bersama paderi Permana dan tiga paderi lainnya!" 

Wilarani kaget sekali Wiro dan Pendekar Pedang Akhirat jadi melongo. 

"Kalau begitu kami akan menemuinya di penjara!" kata Wiro kemudian. 

"Kalian jangan keliwat memaksa dan bicara seenaknya. Silahkan pergi dari sini dengan aman..." 

"Resi Tumbal Soka keparat! Kaulah rupanya yang jadi biang racun dari semua yang terjadi disini? Turunlah dan mari bertempur sampai mampusl" teriak Wiro Sableng. 

Seumur hidupnya Resi Tumbal Soka tak pernah dimaki begitu rupa, apalagi di hadapan sekian puluh pasang mata. Amarahnya mendidih. Dia berteriak memberi perintah, "Bunuh pemuda itu!"

EMPAT BELAS

Enam orang paderi dan delapan murid kelas satu bergerak maju mengurung Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid Sinto Gendeng ini betul-betul sudah sampai dibatas kesabarannya. Dia membentak. 

"Kalian ini tertalu bodoh, mau saja disuruh mampus! Atau memang sudah bosan hidup hingga ingin buru-buru mati?" 

Enam paderi keluarkan bentakan buas dan menyerang Wiro tanpa banyak bicara lagi. Disaat yang menegangkan itu Wiro Sableng berseru memanggil kakek muka tengkorak. 

"Kakek, lihatlah bagaimana aku mainkan jurus ke tiga dari ilmu pedangmu 'Setan Meratap Malaikat Menangis'! 

Si kakek yang tadi hendak melakukan sesuatu terpaksa perhatikan pemuda itu. Wiro mainkan jurus ilmu pedang itu dalam gerakan tangan kosong yang luar biasa yang dirasakan lebih hebat dari pada yang dimainkan sendiri olehnya sementara tangannya bergetar oleh kekuatan tenaga dalam. Tangan kiri tiba-tiba lepaskan pukulan 'Sinar Matahari' sedang tangan kanan menghantamkan pukutan 'Dewa Topan Menggusur Gunung'. 

Terjadilah hal yang hebat. Puncak Gunung Lawu itu laksana di landa gempa. Jeritan enam paderi dan delapan anak murid partai terdengar susul menyusul. Di seberang sana sembilan murid partai lainnya ikut tersapu oleh dua pukulan maut itu. Wiro yang sudah kalap terus mengamuk hingga keadaan tidak beda seperti di neraka! 

Ketika semua itu terjadi, diatas bangunan tingkat dua si kakek melihat Resi Tumbal Soka melepaskan totokan ditubuh Tandu Wiryo dan membisikan sesuatu pada pemuda ini. Si kakek cepat berpaling pada Wilarani dan berkata, 

"Kau tahu letak penjara di mana Resi Kumbara dijebloskan?" 

Gadis itu mengangguk. "Pergilah ke sana dan lepaskan gurumu. Dua perempuan ini kau selamatkan lebih dulu ke tempat aman!" 

Habis berkata begitu si kakek lantas melesat ke bangunan tingkat dua tepat pada saat Tandu Wiryo hendak bergerak pergi! Sekali tangan si kakek mendorong, Tandu Wiryo jatuh ke lantai, sekujur tubuhnya seperti lumpuh tak bisa lagi berkutik! Melihat hal ini Resi Tumbal Soka jadi marah. 

"Tua bangka sundal! Kau sudah saatnya dibasmi!" teriak ketua Partai Lawu Megah itu. Dalam kemarahan paderi ini sudah tak bisa lagi mengontrol kata-katanya yang keluar. 

Si kakek cuma tertawa mendengar makian itu. Juga masih tertawa sewaktu Resi Tumbal Soka kebutkan lengan jubahnya, kirimkan pukulan yang mengandung angin hebat sekali. Jangankan manusia, batu sekalipun pasti ambruk terkena kebutan lengan jubah ini! 

Sesaat lagi angin pukulan akan melabrak, kakek muka tengkorak ini dorongkan telapak tangan kanannya ke depan menyambut serangan lawan. Terjadilah hal yang hebat. Bangunan tingkat dua itu bergetar keras, langit-langit serta teralinya ambruk sewaktu terjadi bentrokan dua kekuatan tenaga dalam yang dasyat! 

Resi Tumbal Soka berseru tegang. Parasnya pucat. Tubuhnya pasti terjungkal jika tidak tertahan dinding bangunan. Memang dalam hal tenaga dalam ketua Partai Lawu Megah ini mana bisa menang dari Pendekar Pedang Akhirat yang sudah dianggap jago nomor satu dalam tenaga dalam dan pedang di dunia persilatan. 

Padahal sekitar satu tahun yang silam dia pernah memberikan sebagian dari tenaga dalamnya pada Wiro Sableng yakni waktu pemuda itu selamatkan si kakek dari liang maut. Sambil usap-usap telapak tangannya yang bergetar dan terasa panas akibat bentrokan tenaga dalam itu, si kakek tertawa mengekeh. 

"Hari ini kau betul-betul mendapat pelajaran, paderi brengsek!" 

Dengan geraham bergemeletakan Resi Tumbal Soka keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari balik jubahnya. Kaget si kakek muka tengkorak bukan kepalang. 

"Heh! Bagaimana senjata itu ada di tanganmu hah?!" serunya. 

"Tak usah banyak tanya!" hardik Resi Tumbal Soka. Sekali dia ayunkan Kapak Naga Geni 212 maka berkiblatlah sinar menyilaukan disertai suara mengaung seperti ratusan tawon mengamuk! 

Pendekar Pedang Akhirat yang sudah maklum kehebatan senjata ini cepat melompat mundur dan cabut pedang mustikanya. Pada dasarnya Resi Tumbal Soka mengetahui kehebatan ilmu pedang lawan yaitu tak satu ilmu pedang lainpun pada masa itu sanggup menandinginya. 

Namun karena sudah terlanjur kalap di samping merasa dapat mengandalkan senjata yang kini ada di tangannya maka dia keluarkan jurus-jurus silat Partai Lawu Megah yang paling hebat dan menyerbu lawannya tidak kepalang tanggung. 

Pendekar Pedang Akhirat sendiri terpaksa pula keluarkan jurus-jurus silat simpanannya. Baginya ilmu silat lawan bukan apa-apa. Tetapi senjata Wiro yang di tangan Resi Tumbal Soka itulah yang tak bisa dibuat main. Harus diakui bahwa pedang mustikanya sendiri kehebatannya masih berada dibawah kapak itu. 

Setelah berhati-hati selama delapan jurus akhirnya si kakek mulai dapat menguasai lawannya. Jurus demi jurus, serangan pedangnya yang laksana berubah jadi puluhan banyaknya itu mengurung Resi Tumbal Soka dari segala penjuru. Dalam satu gebrakan yang hebat tiba-tiba si kakek berteriak. 

"Lepaskan senjata itu, paderi brengsek! Lepaskan dan berikan padaku!" 

Tapi mana Resi Tumbal Soka sudi menurut perintah lawannya itu. Malah sambil merangsak maju dia memaki. "Tua bangka sundal! Sebentar lagi kau bakal mampus jadi setan penasaran!" 

"Paderi tolol! Diberi peringatan tidak mau dengar! Sekarang kau harus serahkan senjata itu berikut tanganmu!" Pedang mustika di tangan kakek lihay itu berkiblat dalam gerakan aneh dan tahu-tahu... 

"Crasss...!" 

Putuslah lengan kanan Resi Tumbal Soka dan mental ke udara berikut Kapak Naga Geni 212. Resi Tumbal Soka menjerit-jerit macam orang gila karena kesakitan. Dia kemudian totok urat-urat besar di bahunya hingga darah berhenti memancur dari luka pada lengan. Pada saat itu dari arah timur lapangan terdengar seruan keras mengumandang. 

"Hentikan pertempuran!" 

Begitu berwibawa suara teriakan itu hingga semua orang yang sedang bertempur berhenti memandang ke timur kelihatanlah Resi Kumbara bersama Resi Permana dan tiga paderi serta Wilarani. 

"Tobat! Puncak Gunung Lawu telah banjir darah. Satu hal yang seharusnya tak perlu terjadi!" 

Bekas ketua Partai Lawu Megah ini memandang ke bangunan bertingkat dan kembali berseru, "Resi Tumbal Soka, kau kemarilah!" 

Saat itu Resi Tumbal Soka bukan saja tengah mengalami luka parah tetapi juga sakit hati dendam kesumat yang bukan kepalang. Dan kini mendengar kakaknya memanggil timbullah rasa takutnya. 

"Maaf kakang! Aku tak bisa datang menghadapmu! Jikalau umur sama panjang tentu kita bakal bertemu lagi!" 

Lalu Resi Tumbal Soka berpaling pada Pendekar Pedang Akhirat yang tegak di depannya sambil menimang-nimang Kapak Naga Geni 212. "Suatu ketika kelak aku akan mencarimu, tua bangka sundal! Saat itu akan kau rasakan berapa hebatnya pembalasanku!" Habis berkata begitu paderi ini putar tubuh. 

"Hai, kunyuk tua! Kau hendak lari kemana?!" seru si kakek dan bergerak hendak mengejar. Tapi membatalkan gerakannya itu tatkala dibawah sana terdengar Resi Kumbara berseru, 

"Biarkan saja dia, sobat! Memang dia tak layak berada lebih lama disini." 

Si kakek angkat bahu kemudian pandangannya membentur tubuh Tandu Wiryo yang melingkar di lantai, lumpuh tak bergerak akibat totokannya. Si kakek pergunakan kakinya untuk membuka totokan di tubuh si pemuda terkutuk dan sekaligus menendangnya hingga Tandu Wiryo mencelat mental dan jatuh tepat dihadapan Wiro Sableng! Wiro jambak rambut pemuda ini lalu tampar keras-keras pipi kanannya hingga mulutnya robek. Tandu Wiryo meraung kesakitan. 

"Buset! Suaramu kok jadi buruk sekarang? Mana mulut besarmu yang suka bicara seenaknya itu!" 

"Wiro!" terdengar seruan Resi Kumbara, "Biarkan dia. Biar aku yang menjatuhkan hukuman pada manusia sesat dan keji itu! Wiryo, kemari lekas!" 

Dengan terhuyung-huyung dan sambil pegangi pipinya yang mengucurkan darah. Tandu Wiryo melangkah kehadapan Resi Kumbara. "Semua ini terjadi gara-garamu! Gara-gara nafsu kotormu! Gara-gara otakmu yang sesat, licik dan keji! Seharusnya kupenggal kepalamu detik ini juga! Tetapi ada hukuman lain yang lebih pantas bagimu biar kau rasakan selama hidupmu!" 

Resi Kumbara ulurkan tangannya ke selangkangan Tandu Wiryo. Terdengar pekik pemuda ini setinggi langit. "Pergi dari sini! Aku tidak sudi lagi melihat mukamu! Seumur hidup Gunung Lawu merupakan daerah terlarang bagimu!" 

Terkangkang-kangkang Tandu Wiryo tinggalkan tempat itu. Darah kelihatan bercucuran dari selangkangannya. Semua orang tidak menyangka demikian kejam dan mengerikannya hukuman yang dijatuhkan oleh Resi Kumbara. Seluruh anggota rahasia pemuda itu diremas hancur dan cacat selama-lamanya! 

Resi Kumbara menghela nafas panjang dan memandang pada Wiro Sableng serta Pendekar Pedang Akhirat yang melangkah mendatanginya. "Apakah kalian berdua sudah puas sekarang...?" menegur bekas ketua Partai Lawu Megah itu. 

Si kakek batuk-batuk beberapa kali. "Bukan maksud kami sampai terjadi yang begini. Tapi kau tentu maklum, keadaan memaksa. Aku yang tua dan sahabat mudaku ini mohon maaf sebesar-besarnya. Karena cerita sebenarnya tentang perkosaan itu telah diketahui oleh semua orang disini maka aku dan sahabatku mohon diri!" 

Si kakek dan Wiro menjura. Melirik ke samping Wiro lihat Wilarani. "Kau bagaimana? Akan pergi sama-sama kami?" 

"Sayang aku tak bisa ikut bersamamu, Wiro. Banyak tugas yang harus kulakukan di sini bersama guru" 

Wiro mengangguk. "Kau murid yang baik. Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu tempo hari!" Wiro lambaikan tangannya dan segera berkelebat pergi tapi si kakek memegang bahunya dan angsurkan tangan kirinya yang memegang Kapak Naga Geni 212. 

"Kau tak ingin membawa ini?" 

"Astaga, aku sampai lupa. Terima kasih kakek. Mari kita pergi." 

"Ya, kita segera pergi. Tapi bagaimana dengan dua perempuan itu?" ujar si kakek seraya menunjuk pada janda Gundali dan perempuan pedagang sayur. 

Wiro garuk-garuk kepalanya. Lalu dia mendekati janda Gundali dan langsung dukung perempuan ini seraya berkata sambil tersenyum pada si kakek.

"Sekarang giliranmu untuk menggendong si gemuk itu kek...!" 

Wiro tertawa gelak-gelak dan berkelebat pergi sedang si kakek memaki panjang pendek. Mau tak mau dia harus mendukung nyonya gemuk pedagang sayur itu. Resi Kumbara cuma bisa geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan kedua orang itu.

Setelah terjadinya peristiwa besar di puncak gunung Lawu itu dan perginya sang ketua Resi Tumbal Soka, maka Resi Kumbara mengangkat Resi Permana menjadi ketua yang baru sedang dia sendiri kembali mengundurkan diri ke ruangan semadi.

T A M A T

Episode berikutnya: 
LihatTutupKomentar