Kisah Pendekar Bongkok Jilid 14
Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak.
Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sinkang-nya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya terasa seperti ditusuk. Pernah dia mencoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga langsung datang menghadangnya.
“Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman untukmu akan kami antar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!”
Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia hanya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menjaga di luar pintu kamar itu.
Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.
“Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada penjaga.
“Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?”
Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia adalah seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biar pun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.
“Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku pun tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,” katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.
“Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!” bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong.
Biar pun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sinkang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sinkang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa sangat nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi. Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, dia pun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.
“Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi aku bukan hanya mendorong, melainkan memukulmu!”
Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, dia pun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.
Obat penghilang ingatan yang sudah dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya?
Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sinkang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan!
Sambil duduk bersila, otak Sie Liong bekerja. Dia berusaha mengingat segala sesuatu. Pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama.
Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, barulah dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.
Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai Yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu.
Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang untuk bersembahyang. Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melewati pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, baru mereka tahu bahwa ternyata pusat Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.
Kim Sim Lama gembira sekali manerima dua orang tamunya, apa lagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah terlebih dahulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai Yang Suhu.
“Omitohud...” Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,” kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai Yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.
Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya. “Maaf, losuhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran dari enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”
Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama. “Hendaknya losuhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan pada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok, dan sebagai imbalannya, mereka akan membantu perjuangan kita.”
Kim Sim Lama tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang sangat baik untuk ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberi tahukan kepada ji-wi mengenai Pendekar Bongkok?”
Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala.
Pek Lan tersenyum. “Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh losuhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.”
Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main. “Ahh, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!”
“Nanti dulu, aku masih belum percaya benar bahwa dia sudah tertawan di sini. Bagai mana demikian mudahnya?” Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Dia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya.
“Omitohud... Nona terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.”
Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai Yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.
“Nah, kalian berdua lihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!”
Bong Gan dan Bi Sian memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang pria bongkok yang bukan lain adalah Sie Liong!
“Tidak mungkin...” Bi Sian berkata lirih ketika melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu hanya ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu... begitu... jinak?”
“Ha-ha-ha, tak perlu heran, nona. Dia telah kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia kini menjadi seorang yang lemah, ha-ha-ha!” Kim Sim Lama tertawa.
Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut dan benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka. Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong.
Kini, mendengar bahwa pendekar itu sudah kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga, ia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang di antara para pendeta penjaga.
“Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!” bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan melalui pintu terbuka.
Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong membuka mata. Dia amat terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya!
Gerakan orang itu demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong lalu mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.
“Jangan bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali.
Namun terlambat, golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengan lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.
“Crokkkk!”
Lengan kiri yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sinkang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang sangat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai.
Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat. Akhirnya dia pun roboh pingsan di atas pembaringan.....
Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.
“Tranggg...!”
Golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.
“Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup-hidup!” tegur Pek Lan.
Sementara itu, Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah.
Di dalam hati Bi Sian ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Namun ingatan bahwa Sie Liong sudah membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung itu, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.
Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. “Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagai mana pun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?”
“Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membenci orang itu dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, jika dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”
Kim Sim Lama menyeringai. “Untung sekali tadi pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”
Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apa lagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan.
“Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.”
Penjaga yang diutus tadi sudah datang kembali bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandangan matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.
“Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tak ingin melihat dia cepat-cepat mati.”
Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, kemudian menghampiri Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.
“Dia sudah kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Kini dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, tapi harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah itu supaya dibersihkan.”
Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, “Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai.”
Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama pun pergi meninggalkan kamar itu.
Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian agar kembali ke kamar mereka. Thai Yang Suhu juga kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian.
Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok.
“Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dahulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapa pun tak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi.”
Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena merasa dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apa lagi karena semenjak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
“Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?” Bong Gan bertanya, seolah-olah ingin membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum memandang pemuda yang semenjak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. “Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biar pun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, bila kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diri pun kita akan kalah.”
“Ahh, demikian hebatkah dia?” Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. “Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!”
“Aihh, Sian-moi, mengapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?”
Bi Sian bersungut-sungut. “Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!”
“Sian-moi, engkau tidak adil...”
“Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimana pun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?”
“Kenapa, enci Pek Lan?” Bi Sian bertanya karena ia pun tertarik sekali.
Ia mulai merasa heran kenapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, bahkan terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, namun semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
“Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup-hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lhasa, bukan di sini, sehingga nanti Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama.”
“Kenapa begitu?” Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum. “Kalian memang perlu diberi penjelasan supaya kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang sedang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi sesudah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama lalu mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama pun meninggalkan Lhasa, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga ikut membantu perjuangan Kim Sim Lama.”
“Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?” Bi Sian bertanya.
“Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami tengah mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama.”
“Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan kenapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lhasa oleh Dalai Lama?” Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
“Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Ngo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas yang mentaati Dalai Lama saja, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau, bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan barulah dia dapat tertawan sesudah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama juga tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi.”
Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya adalah seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin serta Pek Sim Siansu. Pamannya merupakan seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa mala petaka. Sedangkan dia? Dia dibantu Bong Gan hanya hendak melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu.
“Aihhh, paman,” keluhnya di dalam hatinya, “kenapa engkau tega membunuh ayahku?”
“Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lhasa itu?” tanya Bong Gan.
Kali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sute-nya dan juga tunangannya itu terdengar sangat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sute-nya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat bahwa pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tidak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini dia merasa heran mengapa dia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!
“Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan ia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, kini mengasolah dan harap pertengkaran yang tak ada gunanya itu jangan dilanjutkan.”
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya atau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya.
Akan tetapi, diam-diam Bong Gan merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapa pun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga.
Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu teguh memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, selama ini sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini.
Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring menghadap ke dinding membelakangi dia yang sedang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, Bong Gan teringat akan peristiwa yang penuh kemesraan baginya pada malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, Bong Gan sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan dia pun bangkit, kemudian menghampiri pembaringan Bi Sian.
“Sian-moi...” panggilnya lirih.
Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
“Sian-moi...” kembali dia memanggil lembut dan kali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Sian melirik. “Hemm, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!”
“Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa sangat menyesal, aku sama sekali tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu...”
“Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!”
“Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku... ahh, betapa rinduku padamu, Sian-moi... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?”
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. “Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan, sebelum kita menikah engkau tidak boleh menyentuhku!”
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. “Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas.”
“Aku tidak akan sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan serta doa restunya. Sesudah itu barulah kita melangsungkan pernikahan.”
“Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku...” Pemuda itu masih memohon.
“Sudahlah, kalau engkau masih terus merengek apa lagi berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!”
Bong Gan telah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadi kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuh pun tidak diperkenankan.
Sambil menarik napas panjang dia pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal, “Dari pada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar.” Setelah berkata demikian, dia pun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak peduli Bong Gan akan tidur di mana pun juga. Tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini lalu menimbulkan kecurigaan hatinya.
Dia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan terlebih dahulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat-cepat meloncat turun dari atas pembaringan. Dengan hati-hati sekali sehingga tidak mengeluarkan suara, lalu dia pun menghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu untuk mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Dia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Bong Gan kini.
Namun dia mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang lelaki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjinah dengan wanita lain!
Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan ia pun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia dapat menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
“Tidak!” Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. “Aku tidak sudi menjadi isterinya!”
Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walau pun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ahh, perbuatan dua orang itu tadi hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang sudah pernah ada hubungan di antara mereka.
Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika dia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan ke dalam makanan dan minuman, sehingga dia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, pada saat hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya.
Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya!
Bagaimana juga, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ahh, mudah saja, pikirnya. Peristiwa malam ini bisa dijadikan alasan kenapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walau pun mukanya masih basah air mata.
Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan ia pun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!
Kini, sesudah dia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman sekali. Dan tidak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya, akan tetapi dengan mulut tersenyum manis…..
********************
“Omitohud...! Orang muda yang malang...,” berulang kali Camundi Lama berbisik ketika dia mengobati dan merawat Sie Liong di dalam kamar tahanannya.
Camundi Lama adalah seorang pendeta yang umurnya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan gerak geriknya lembut. Dia adalah seorang tabib yang amat pandai di Tibet dan dia sama sekali tidak termasuk seorang pendeta yang ingin memberontak terhadap Dalai Lama. Sama sekali tidak. Kalau dia kini berada di sana adalah karena dia memang diculik dan dipaksa oleh Kim Sim Lama untuk bekerja di situ.
Oleh karena dia tidak dilibatkan dalam pemberontakan, dan tugasnya hanyalah menjadi tabib untuk mengobati orang sakit, maka Camundi Lama juga menerima nasibnya dan menjadi tabib dalam Kim-sim-pang. Dia mendengar tentang beberapa perbuatan keras dan jahat yang sudah dilakukan oleh orang-orang Kim-sim-pang, akan tetapi dia tidak mau ikut-ikutan dan pura-pura tidak tahu saja.
Akan tetapi, ketika dia mendengar tentang Pendekar Bongkok dan kini merawatnya, di dalam hatinya timbul perasaan kagum dan iba. Seorang pemuda yang tubuhnya cacat, bongkok, akan tetapi memiliki keberanian yang luar biasa di samping ilmu silat yang kabarnya setingkat dengan kepandaian Kim Sim Lama sendiri!
Dia merasa kasihan sekali melihat betapa pemuda bongkok itu kini sama sekali tidak berdaya. Selain darahnya keracunan sehingga dia tidak mampu mengerahkan tenaga, juga dia sudah minum racun penghilang ingatan, dan kini ditambah lagi buntung lengan kirinya!
“Kasihan, sungguh orang muda yang malang...,” untuk ke sekian kalinya pendeta Lama itu berbisik.
Sie Liong membuka matanya. Ingatannya masih belum pulih sama sekali, akan tetapi pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah mulai berkurang. Biar pun dia belum bisa mengingat semua peristiwa yang lalu, akan tetapi dia mulai dapat mengingat apa yang terjadi dalam waktu dekat. Dia memandang ke kanan kiri.
“Ling Ling... di mana Ling Ling...”
Camundi Lama membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa pandang mata pemuda itu. Pandang mata itu sudah agak jernih, pikirnya.
“Siapakah Ling Ling, orang muda?”
Kini Sie Liong memandang kakek itu. Samar-samar dia teringat bahwa kakek ini yang mengobatinya.
“Ahh, Ling Ling...? Dia... dia… aku tidak ingat lagi, akan tetapi aku selalu ingat namanya dan... ahhh, sudahlah, aku tidak ingat lagi...”
Pendeta Lama itu semakin iba. “Omitohud... engkau sungguh seorang pemuda yang bernasib malang.”
Sie Liong yang tadi memejamkan mata, membukanya kembali. Dia sudah tahu ketika siuman untuk pertama kalinya bahwa lengan kirinya buntung, dan ia juga teringat bahwa buntungnya lengan kirinya itu adalah diakibatkan dia menangkis bacokan golok seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
“Aku tidak bernasib malang, losuhu,” katanya dan dengan susah payah dia pun bangkit duduk bersila.
“Ah? Tidak? Akan tetapi baru saja engkau kehilangan lengan kirimu, orang muda,” kata Camundi Lama, terheran-heran melihat sikap pemuda itu yang tenang saja, seolah-olah kehilangan sebuah lengan kiri hanya kehilangan sesuatu yang tidak berharga, dan tidak apa-apa!
Sie Liong memandang ke arah pangkal lengan kirinya yang buntung, kemudian dia pun tersenyum. “Kalau memang sudah hilang, perlu apa disesali dan disedihkan, losuhu? Lengan itu tak akan tumbuh kembali karena disedihkan. Lengan hanya merupakan satu di antara perabot-perabot perlengkapan badan saja.”
“Omitohud...! Banyak orang mengeluarkan ucapan seperti itu, dan sudah sering pinceng (aku) mendengarnya, akan tetapi semua ucapan mereka itu hanyalah pengertian teori belaka. Akan tetapi engkau, engkau benar-benar kehilangan lengan kirimu dan engkau masih dapat bersikap setenang dan senyaman ini! Orang muda, engkau bukan hanya kehilangan lengan kirimu, akan tetapi juga kehilangan ingatanmu, dan juga kehilangan tenagamu karena darahmu telah keracunan. Engkau kini tidak berdaya sama sekali, dan setiap saat nyawamu terancam. Nah, apakah engkau sekarang tidak akan merasa sedih dan menyesal?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil tersenyum, demikian wajar dan tidak dibuat-buat. Semua penderitaan yang sudah dialaminya itu seperti mendatangkan suatu penerangan baginya, membuat dia seperti hidup baru.
“Kenapa sedih dan menyesal, losuhu? Badan ini hanya seperti bayangan saja, setiap saat pasti akan lenyap. Bahkan kalau seluruh badan ini mati pun tidak perlu disesalkan, kenapa baru kehilangan yang sedikit itu mesti dibuat berduka? Tidak, losuhu. Aku masih hidup dan akan tetap hidup, dan kalau Thian menghendaki, aku akan dapat mengatasi sagala kesulitan.”
“Omitohud... semoga Sang Buddha memberikan penerangan kepada seluruh manusia. Orang muda, ilmu apakah yang kau pergunakan, bagaimana caranya maka engkau bisa menerima segala derita sengsara ini dengan senyum di bibir?” Dia memandang penuh kagum.
“Tidak ada ilmunya, losuhu, hanya dengan cara penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, menyerahkan segala-galanya kepada Thian sehingga apa pun yang terjadi atas diriku adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Tiada penyesalan apa pun, yang ada hanya puji syukur karena semua ini sudah dikehendaki oleh Thian, dan segala kehendak Thian pun jadilah, dan tidak ada kekeliruan.”
Tiba-tiba kakek itu tersedu dan tangannya merangkul Sie Liong. Ada beberapa butir air mata membasahi mata kakek itu.
“Ah, orang muda, pinceng harus banyak belajar darimu... jangan khawatir, pinceng akan mencoba untuk menolongmu. Racun penghilang ingatan itu sudah menipis dan akan lenyap sendiri pengaruhnya. Akan tetapi yang sangat berbahaya adalah racun di dalam darah yang membuat engkau terancam bahaya luka dalam kalau mengerahkan sinkang. Namun akan kucoba untuk menyembuhkannya. Nah, kau minumlah obat ini dulu, orang muda, untuk membuat luka di lenganmu cepat mengering, juga untuk mencegah luka itu keracunan dan membengkak. Aku akan membuatkan obat penawar racun di tubuhmu.”
Dengan taat Sie Liong meminum obat itu, kemudian dia tetap duduk bersila sedangkan kakek itu mulai sibuk pula membuat ramuan obat baru untuk menghilangkan racun yang berada dalam darah Sie Liong.
Mendadak terdengar langkah kaki di luar kamar tahanan itu. Bukan langkah kaki para pendeta Lama yang bertugas jaga, melainkan langkah kaki yang mantap dan ternyata yang memasuki kamar itu adalah Kim Sim Lama bersama lima orang Tibet Ngo-houw! Thay Si Lama, orang ke dua dari Tibet Ngo-houw masih nampak agak pucat akan tetapi dia telah sembuh, disembuhkan oleh Camundi Lama pula dari luka di dalam tubuhnya ketika dia muntah darah dalam pertempuran mengeroyok Sie Liong tempo hari.
Melihat munculnya Kim Sim Lama, Camundi Lama cepat memberi hormat. Satu-satunya orang yang dihormati Camundi Lama hanyalah Kim Sim Lama, bukan saja karena Kim Sim Lama yang memaksanya untuk menjadi tabib di Kim-sim-pang, juga karena Kim Sim Lama adalah bekas wakil Dalai Lama yang memang pantas dia hormati.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Sim Lama sambil lalu.
Kim Sim Lama melangkah mendekati Sie Liong yang masih duduk bersila, seolah-olah hendak memeriksa luka di lengan kiri Sie Liong yang sudah dibalut kain putih oleh tabib itu.
“Sudah hampir kering,” jawab Camundi Lama.
Tiba-tiba tangan kanan Kim Sim Lama bergerak menotok ke arah pundak kiri Sie Liong. Pemuda itu melihat gerakan itu, akan tetapi karena lengan kirinya tidak ada, dia tidak mampu berbuat sesuatu. Begitu pundaknya terkena totokan jari tangan Kim Sim Lama, dia pun terkulai lemas di atas pembaringan.
“Ehh? Kenapa...?” Camundi Lama berseru heran dan kaget.
Melihat Sie Liong sudah terkulai dan pingsan, Kim Sim Lama segera berkata kepada Camundi Lama. “Camundi, sebagai seorang tabib, tentu engkau tak akan menimbulkan kecurigaan kalau membawa jenazah untuk dikuburkan di tanah kuburan di Lhasa. Nah, engkau kami tugaskan untuk melaksanakan penguburan di kuburan umum di Lhasa itu bersama beberapa orang yang akan memikul peti matinya. Engkau tidak perlu khawatir, Tibet Ngo-houw akan mengawalmu dan melindungimu.”
“Akan tetapi, siapakah yang meninggal dunia?” Camundi Lama bertanya heran.
Kim Sim Lama menunjuk ke arah tubuh Sie Liong yang terkulai di atas pembaringan.
“Dia itu! Kami menghendaki supaya tubuhnya mampu bertahan sampai beberapa hari lamanya, maka tidak kami bunuh dia. Dan engkau tak perlu banyak bertanya, Camundi, semua ini demi berhasilnya perjuangan kita!”
Melihat sinar yang mencorong dari mata Kim Sim Lama, Camundi Lama menundukkan mukanya dan mengangguk taat. Dia memang tidak berani membantah dan tidak berani menentang kehendak Kim Sim Lama.
Dia sama sekali tidak takut akan ancaman terhadap dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Akan tetapi, dia dibuat tak berdaya karena Kim Sim Lama mengancam akan membunuh seluruh keluarganya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya, kalau sampai dia menentang kehendak Kim Sim Lama. Inilah yang membuat Camundi Lama tak berdaya sama sekali dan selalu harus mentaati segala perintah bekas wakil Dalai Lama itu.
Empat orang pendeta Lama datang membawa sebuah peti mati yang tipis, dan atas petunjuk Kim Sim Lama, tubuh Sie Liong yang pingsan itu dimasukkan dalam peti mati itu lalu ditutup.
“Supaya tubuh itu tidak cepat rusak, harus ada lubang untuk memasukkan hawa,” kata Camundi Lama dengan sikap bersungguh-sungguh.
Kim Sim Lama memenuhi permintaan ini dan dibuat sebuah lubang sebesar ibu jari kaki di peti itu, tepat di atas bagian kepala tubuh Sie Liong. Kemudian pada hari itu juga peti mati itu dipikul oleh empat orang pendeta, diiringkan pula belasan orang pendeta yang membaca doa.
Di antara mereka itu terdapat Camundi Lama yang diharuskan memimpin penguburan. Camundi Lama memang sudah dikenal oleh semua orang sebagai seorang tabib yang pandai, maka tentu saja kalau dia yang mengawal peti mati yang akan dikubur, tidak akan ada seorang pun yang menaruh curiga.
Karena orang-orang bisa menduga bahwa yang akan dimakamkan itu tentulah seorang anggota Kim-sim-pang, maka tak seorang pun berani bertanya-tanya, bahkan mendekat pun tidak berani. Biar pun pihak pemerintah belum mengumumkan bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak karena Dalai Lama masih sungkan terhadap Kim Sim Lama, akan tetapi semua orang sudah tahu belaka bahwa Kim-sim-pang adalah suatu perkumpulan yang didirikan Kim Sim Lama dan perkumpulan ini menentang pemerintah, walau pun tidak secara terang-terangan.
Peti mati itu lalu dikubur. Para pendeta Lama yang melakukan penguburan itu tidak ada yang bicara, bekerja seperti robot saja. Hanya Camundi Lama yang diam-diam merasa berduka. Dia merasa kagum, iba dan suka sekali kepada pemuda bongkok itu, akan tetapi dia sendiri tidak mampu berbuat sesuatu.
Tadi dia hanya sempat memasukkan obatnya dengan paksa kepada Sie Liong yang masih pingsan, yaitu obat pemunah racun. Dia hanya mengatakan kepada Kim Sim Lama bahwa obat itu adalah obat untuk membuat tubuh itu tidak segera rusak kalau sudah menjadi mayat. Dan ketika penguburan berlangsung, Camundi Lama juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah, karena dia tahu bahwa secara sembunyi, lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw tentu mengamati pelaksanaan penguburan itu.
Camundi Lama memasukkan sebuah tabung dari bambu yang sudah dilubangi ruasnya ke dalam peti mati dan ujung bambu itu mencuat keluar dari tanah, tersembunyi di antara tumpukan batu yang sengaja diletakkan di atas tanah kuburan.
“Tabung ini untuk memasukkan hawa supaya mayatnya tidak lekas rusak seperti yang dikehendaki oleh Kim Sim Lama,” berkata Camundi kepada para pendeta Lama yang mengerjakan penguburan itu.
Mereka semua tidak ada yang membantah karena mereka percaya sepenuhnya kepada tabib yang selalu menyembuhkan mereka kalau mereka terserang penyakit itu. Padahal, Camundi Lama melakukan semua itu untuk memberi kesempatan kepada Sie Liong mempertahankan hidupnya dan kalau mungkin membebaskan dia dari cengkeraman maut. Akan tetapi mana mungkin?
Pemuda itu sudah kehilangan tenaganya, pikirnya dengan hati duka. Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan pemuda bongkok itu. Menyerah kepada Thian! Dan kalau sudah menyerah, lalu dikehendaki Thian bahwa Sie Liong masih dibiarkan hidup, apa anehnya?
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Sang Maha Kuasa! Dan kalau kita sudah menyerah, kalau kita sudah menyerah sepenuhnya seperti mati, tidak sedikit pun ada usaha yang timbul dari nafsu hati dan akal pikiran, maka yang bekerja adalah kekuasaan-Nya!
Teringat akan ini, bibir yang tadinya cemberut sedih itu mengembangkan senyum penuh harapan.
Para pendeta Lama itu segera meninggalkan tanah kuburan, meninggalkan gundukan tanah kuburan baru itu dalam kesunyian. Tibet Ngo-houw yang mengamati dari jauh, sampai beberapa lamanya terus melakukan pengintaian sampai Camundi Lama dan para pendeta lainnya meninggalkan tanah kuburan.
Kemudian, Tibet Ngo-houw juga pergi setelah menyuruh seorang anak buah mereka melakukan pengamatan dari jauh. Pengamatan ini harus dilakukan terus menerus dan secara bergantian. Kemudian mereka kembali untuk memberi laporan kepada Kim Sim Lama…..
********************
Sebelum peti mati itu diangkat keluar, Pek Lan berlari-lari memasuki kamar Bi Sian dan Bong Gan.
“Dia sudah mati... dia sudah mati...,” katanya dengan wajah berseri.
“Enci Pek Lan, siapa yang telah mati?” tanya Bong Gan.
Akan tetapi Bi Sian diam saja. Sikapnya amat dingin terhadap Bong Gan dan Pek Lan semenjak malam hari itu, akan tetapi dia tidak pernah menyinggung apa yang dilihatnya itu.
“Pendekar Bongkok, dia telah mati!” kata Pek Lan.
“Apa...?!” Tiba-tiba Bi Sian bangkit berdiri dan dengan mata terbelalak dan muka agak pucat ia memandang kepada Pek Lan. “Siapa yang membunuhnya?” tanyanya dengan suara agak gemetar.
Melihat ini, teringat akan sikap calon isterinya yang dingin, Bong Gan segera menegur, ”Sian-moi? Kalau dia mati pun, lantas mengapa? Mengapa engkau kelihatan pucat dan suaramu gemetar? Apakah engkau berduka karena pamanmu itu meninggal dunia?”
“Tutup mulutmu!” Bi Sian membentak marah. “Aku merasa penasaran karena dia harus tewas di tanganku! Kenapa Kim Sim Lama membunuhnya? Aku akan menanyakan hal ini kepadanya!” Bi Sian sudah berlari keluar dari dalam kamarnya.
“Sian-moi...!” Bong Gan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disambar oleh tangan Pek Lan dan sekali tarik, tubuh pemuda itu sudah berada dalam rangkulannya.
“Biarkan dia pergi menemui Kim Sim Lama. Dia akan mampu menghadapinya. Ada aku di sini, perlu apa engkau mengejar calon isteri yang amat galak itu?”
Bong Gan tertawa dan balas merangkul.
Sementara itu, Bi Sian segera mencari Kim Sim Lama. Dia mendengar bahwa pendeta itu berada di dalam ruangan semedhi di belakang. Ia tidak peduli dan melihat ruangan itu terbuka pintunya, ia pun melangkah masuk. Kiranya Kim Sim Lama sedang duduk bersila akan tetapi tidak bersemedhi, dihadapi oleh lima orang pendeta lain yang pernah diperkenalkan kepadanya sebagai Tibet Ngo-houw.
Dengan sikap gagah Bi Sian masuk, akan tetapi ia pun masih ingat bahwa ia seorang tamu di situ, maka ia pun memberi hormat kepada Kim Sim Lama dan berkata.
“Losuhu, maafkan saya mengganggumu. Akan tetapi saya mendengar dari enci Pek Lan bahwa losuhu telah membunuh Pendekar Bongkok. Benarkah itu?”
Dengan sikap tenang Kim Sim Lama memandang Bi Sian sambil tersenyum. Akan tetapi Tibet Ngo-houw menjadi marah. Melihat ini, Kim Sim Lama memberi isyarat kepada para pembantunya untuk tetap tenang.
Kim Sim Lama pun berkata kepada gadis itu, “Nona Yauw Bi Sian, silakan duduk dan mari kita bicara sebagai tuan rumah dan tamunya yang sudah saling bersahahat.”
Bi Sian menyadari kekasarannya, maka dia pun segera duduk di atas lantai karena di dalam ruangan semedhi itu tidak terdapat kursi atau pun bangku, akan tetapi lantainya bertilamkan babut tebal yang halus.
“Nona Yauw, jika memang benar pinceng telah membunuh Pendekar Bongkok, apakah hubungannya hal itu denganmu? Harap nona jelaskan,” kata Kim Sim Lama.
“Tentu saja ada hubungannya yang erat sekali, losuhu. Aku pergi meninggalkan rumah sedemikian jauhnya hanya untuk mencari Pendekar Bongkok yang sudah membunuh ayahku. Aku ingin lebih dulu mendengar dari dia mengapa dia membunuh ayahku yang masih cihu-nya (kakak iparnya) sendiri, setelah itu baru aku ingin membalas dendam kepadanya. Akan tetapi, tahu-tahu sekarang dia telah dibunuh!”
“Nona, dengarlah baik-baik. Pendekar Bongkok itu bukan hanya musuhmu, akan tetapi musuh kami juga. Bukan hanya engkau yang hendak membunuhnya, akan tetapi kami juga. Dan ketika engkau datang hendak bekerja sama dengan kami, Pendekar Bongkok itu telah menjadi tawanan kami. Kalau kami yang menawan, lalu sekarang kami yang membunuhnya, bukankah itu sudah menjadi hak kami? Kalau benar nona membencinya dan menganggapnya sebagai musuh besar, tentu nona kini berterima kasih sekali pada kami yang telah menangkap dan membunuhnya. Tentu nona akan membalas jasa kami itu dengan bantuanmu terhadap perjuangan kami. Kalau nona tidak mau membalas jasa atas kematian Pendekar Bongkok, bahkan marah kepada kami, itu hanya berarti bahwa sesungguhnya nona tidak membenci pada Pendekar Bongkok, melainkan malah hendak membelanya!”
“Tidak! Dia memang musuh besarku, dia telah membunuh ayahku. Akan tetapi aku ingin membunuh sendiri dengan tanganku...”
Pada saat itu terdengar suara di sebelah kiri, “Nona Yauw Bi Sian, engkau membenci Pendekar Bongkok, bukan?”
Bi Sian menengok ke kiri dan dia bertemu dengan lima buah wajah yang memiliki sinar mata mencorong sehingga dia merasa jantungnya bergetar hebat. Dia merasa dirinya lemah dan tidak berani menentang lagi karena lima pasang mata dari Tibet Ngo-houw itu mempunyai kekuatan melumpuhkan yang dahsyat. Dia tidak tahu bahwa sejak tadi Tibet Ngo-houw sudah mengerahkan tenaga sihir mereka, mempersatukan tenaga dan kini mulai menguasainya.
“Aku... aku membenci Pendekar Bongkok...”
Jawaban Bi Sian keluar seperti bukan kehendaknya sendiri, atau kehendaknya sendiri akan tetapi hanya untuk membuat pengakuan yang wajar, yang bertentangan dengan suara hatinya! Dia sendiri memang percaya bahwa dia membenci Sie Liong. Mengapa tidak? Sie Liong sudah membunuh ayah kandungnya! Dia memaksa diri sendiri untuk membenci Sie Liong, walau pun suara hatinya membisikkan lain.
“Kalau begitu, engkau harus berterima kasih pada Kim Sim Lama yang telah menawan dan membunuh musuh besarmu,” kata lagi suara itu, suara Thay Si Lama yang menjadi juru bicara karena di antara lima orang Harimau Tibet itu, Thay Si Lama memiliki ilmu sihir yang paling kuat.
Kemauan dalam batin Bi Sian menjadi makin lemah dan di luar kehendaknya sendiri. Ia mengangguk dan berkata, “Aku berterima kasih...”
“Nona Yauw Bi Sian,” kini terdengar Kim Sim Lama berkata, suaranya yang lembut itu seperti menyusup ke dalam kepala dan jantung Bi Sian rasanya, “Untuk menyatakan terima kasihmu, mulai saat ini engkau akan membantu Kim-sim-pang. Katakanlah!”
“Aku akan membantu Kim-sim-pang...,” kata pula Bi Sian.
“Nona, engkau juga akan mentaati segala yang diperintahkan Kim Sim Lama!” terdengar suara kecil melengking tinggi dari kanan.
Bi Sian menoleh dan melihat bahwa yang bicara itu adalah Thai Yang Suhu, pendeta Pek-lian-kauw itu. Entah bagaimana, mendengar ucapan itu, ia merasa setuju sekali dan ia pun menjawab, suaranya bersungguh-sungguh.
“Aku akan mentaati sagala yang diperintahkan Kim Sim Lama.”
Gadis itu tidak tahu bahwa ia berada dalam cengkeraman pengaruh sihir yang sangat kuat, karena pengaruh sihir itu datang dari penggabungan kekuatan sihir Kim Sim Lama, Tibet Ngo-houw, dan Thai Yang suhu.
“Nah, sekarang engkau boleh kembali ke kamarmu, nona Yauw,” kata pula Kim Sim Lama.
Bi Sian mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya sambil mulutnya berbisik-bisik seperti anak sekolah sedang menghafalkan pelajarannya. “Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bi Sian menjadi seperti boneka hidup dan ketika melihat Bong Gan dan Pek Lan dengan pakaian dan rambut kusut keluar dari kamarnya, dia bahkan sama sekali tak peduli. Dia masuk ke dalam kamar, merebahkan diri di pembaringan dan memejamkan mata untuk tidur, mulutnya masih terus mengulang kedua kalimat itu,
“Aku akan membantu Kim-sim-pang, aku akan mentaati Kim Sim Lama...”
Bong Gan dan Pek Lan dapat mendengar bisikan itu. Mereka berdua tersenyum, lalu bergandeng tangan menuju ke kamar Pek Lan untuk melanjutkan kemesraan yang tadi terganggu dengan kembalinya Bi Sian.....
********************
Camundi Lama tidak tahu betapa tepat dan benarnya, kebenaran yang mutlak dan tidak dapat dibantah pula, bahwa kekuasaan Thian dapat melakukan apa saja.
Apabila Thian menghendaki, apa pun yang menurut akal pikiran tidak mungkin, dapat terjadi dengan mudahnya. Kebenaran yang mutlak ini terjadi setiap saat di dalam alam semesta, tetapi manusia tidak memperhatikannya, tidak sadar dan waspada sehingga mengira bahwa yang terjadi adalah akibat dari pada usaha manusia.
Camundi Lama hanya melihat kebenaran yang terkandung di dalam ucapan Sie Liong, tidak melihat bahwa kebenaran itu sedang terjadi, telah terjadi dan akan selalu terjadi di sekelilingnya. Dia tidak menyadari bahwa dirinya pun telah menjadi alat yang digunakan Thian untuk menyelamatkan Sie Liong.
Pada waktu Sie Liong siuman dan membuka kedua matanya, dia tidak melihat apa-apa. Gelap pekat saja yang nampak. Dia memejamkan kedua matanya kembali, kemudian berusaha mengingat-ingat.
Tepat pada hari itu habislah sudah seluruh sisa pengaruh racun penghilang pikiran, dan ingatannya pulih kembali lagi. Kewaspadaan Sie Liong timbul kembali, terasa di seluruh tubuh. Teringatlah dia bahwa dia sedang melaksanakan tugasnya untuk menyelidik ke Kim-sim-pang, kemudian dia teringat akan perkelahian melawan Tibet Ngo-houw dan akhirnya dia roboh karena Kim Sim Lama membantu mengeroyoknya.
Hanya sampai di situ saja ingatannya, kemudian dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Tahu-tahu dia berada di sini!
Dia membuka mata lagi, akan tetapi sia-sia saja. Semuanya tetap gelap. Sudah butakah kedua matanya? Dia menggerakkan tangan, dan meraba-raba. Ternyata dia berada di dalam sebuah peti!
Dia meraba-raba kedua matanya. Tidak, dia tidak buta, hanya berada di dalam sebuah peti yang teramat gelap. Sebuah peti yang tertutup rapat!
Kembali dia mencoba untuk mengingat-ingat dan samar-samar dia teringat bahwa dia ditawan dalam sebuah kamar, dijaga pendeta-pendeta Lama. Dia teringat pula dengan hati terkejut bahwa dia pernah diserang seorang pria dengan golok, ditangkis dengan lengan kirinya dan lengan kiri itu buntung.
Cepat tangan kanannya bergerak lagi meraba lengan kirinya. Buntung! Lengan kirinya memang benar sudah buntung! Tinggal sisa pangkal lengan saja sedikit.
“Ya Thian...!” Dia berseru lirih.
Sampai beberapa lamanya dia berdiam diri, di dalam hatinya bertanya-tanya kepada Thian mengapa lengan kirinya harus buntung. Akan tetapi, kembali dia menyandarkan diri kepada kekuasaan Thian. Apa bila memang Thian menghendaki, jangankan hanya sebuah lengan kirinya, meski seluruh tubuhnya dihancurkan, biar nyawanya dicabut, dia rela, dia menyerah penuh kepasrahan! Begitu ada penyerahan yang tulus ini, dia pun merasa aman dan tenteram. Pikirannya menjadi terang dan tenang sekali.
Tanpa mengingat sedikit pun lagi mengenai lengan kiri yang buntung, dia menggunakan tangan kanan meraba-raba dan akhirnya dia menemukan lubang di atas kepalanya. Ada lubang sebesar ibu jari kaki pada peti itu dan ketika dia meraba dengan jari telunjuk, dia tahu bahwa lubang itu tersambung sebatang tabung ke atas dan agaknya itulah yang menyebabkan dia tidak mati kehabisan napas. Hawa udara segar masuk dari tabung itu!
Dia mencoba untuk menggerakkan tangan kanan dan kedua kakinya, untuk mencoba kekuatan peti itu. Akan tetapi ternyata tenaganya lemah sekali. Dan dia teringat bahwa sebelum ini, kalau dia mengerahkan tenaga, bukan saja tenaganya lemah, akan tetapi juga dadanya terasa nyeri. Agaknya penyakit itu sudah sembuh! Akan tetapi tenaganya masih tetap lemah, seolah-olah semua tenaga sinkang-nya sudah lenyap. Dan dia pun kini teringat bahwa ada orang yang mengobatinya.
Camundi Lama! Pendeta yang kurus tinggi itu, yang mengobatinya di dalam kamar tahanan. Ahhh, benar! Ketika itu tabib yang baik itu sedang mengobatinya, lalu muncul Kim Sim Lama dan Tibet Ngo-houw, dan Kim Sim Lama menotoknya!
“Hemm, mereka memasukkan aku ke dalam sebuah peti, seperti peti mati bentuknya, dan melihat gelapnya, dan mencium bau tanah ini, dengan tabung memasukkan udara segar, hemmm... agaknya peti ini berada di dalam tanah!” Dia terbelalak, namun tetap saja gelap gulita.
“Ahh, mereka telah menguburkan aku. Mereka mengubur aku hidup-hidup!”
Kembali perasaan khawatir dan takut menghantuinya, akan tetapi hampir berbarengan, kesadaran menyerahkan diri kepada Thian mengusir itu semua. Dia harus pasrah, dan percaya sepenuhnya akan kekuasaan Thian.
“Kekuasaan Thian berada di mana pun juga,” demikian pernah Pek Sim Siansu berkata, “di tempat yang paling tinggi mau pun paling rendah, di dalam benda yang paling besar sampai yang paling kecil, di atas langit mau pun di bawah bumi...”
“Di bawah bumi... ahhh, di sini pun ada kekuasaan Thian! Ya Thian, hamba menyerah, hamba pasrah, apa pun yang Thian kehendaki jadilah!” Di dalam hati Sie Liong bersorak dan pikirannya pun menjadi semakin terang.
Dia mulai menggunakan pikirannya kembali. Jelas, dia berada di dalam sebuah peti dan peti itu dikubur. Entah mengapa, petinya berlubang dan ada tabung yang memasukkan hawa udara segar. Orang tidak menghendaki dia cepat mati.
Tentu ini perbuatan Kim Sim Lama, akan tetapi untuk apa dia tidak tahu dan tak berniat menyelidiki karena hal itu akan sia-sia saja. Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk keluar dari tempat ini secepatnya. Kembali dia menggerakkan kedua kaki beserta sebelah tangannya untuk mencoba memecahkan peti.
Akan tetapi ruangan itu terlalu sempit, dan tenaganya pun terlalu kecil. Percuma saja, pikirnya. Dan pula, andai kata peti itu dapat dipecahkan, dia tetap masih di dalam tanah. Lebih celaka, kalau sampai tabung hawa itu patah dan kemasukan tanah, tentu dia tidak akan dapat bernapas lagi dan itu berarti kematian yang mengerikan.
Tidak, dia tidak boleh terburu nafsu, tidak boleh putus harapan. Kalau orang memasang tabung itu, berarti ada orang yang tidak menghendaki dia mati dan tentu mereka pun akan mengeluarkannya lagi sebelum dia mati.
Dia kemudian mengingat-ingat percakapannya dengan tabib Tibet itu. Dia terkena racun penghilang ingatan, akan tetapi agaknya racun itu telah kehilangan daya kerjanya, maka sekarang dia dapat mengingat-ingat lagi. Dan menurut tabib itu, dia juga keracunan.
Darahnya keracunan sehingga dia sudah kehilangan tenaga sinkang-nya dan setiap kali mengerahkan tenaga, tadinya dadanya terasa nyeri. Sekarang, dada itu telah tidak nyeri lagi, namun tenaganya masih belum pulih. Tentu tabib itu telah berhasil mengobatinya, namun belum sembuh sama sekali sehingga baru rasa nyerinya yang hilang. Tenaga sinkang-nya belum kembali.
Kembali dia menggerakkan tangan kanan, menekan ke arah peti.
“Krek... krekk...!” Peti itu retak oleh dorongannya.
Tenaga biasa, bukan tenaga sinkang. Akan tetapi karena memang dia memiliki tubuh yang terlatih, tenaganya cukup besar. Begitu terdengar suara berkeretekan, peti sedikit terbuka sehingga ada tanah dan pasir masuk dan menimpa mukanya! Dengan cepat dia memejamkan mata dan menggunakan tangan kanan membersihkan muka.
Celaka, pikirnya. Kalau dia berhasil memecahkan peti itu, dia akan tertekan tanah dan pasir, dan akan mati kehabisan hawa udara. Kini dia malah tidak berani bargerak sama sekali karena setiap kali bergerak agak keras, ada tanah dan pasir jatuh ke dalam peti yang sudah retak itu.
Tenang, Sie Liong, tenanglah dan pergunakan akalmu. Akal juga pemberian Thian yang harus dipergunakan pada saat yang dibutuhkan, seperti saat sekarang ini! Dia memang sudah menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Thian, tetapi di samping itu dia harus berikhtiar, berusaha menggunakan segala alat yang ada padanya, pikirannya, akalnya, tenaganya yang ada pada seluruh tubuh. Kekuasaan Thian membimbing, akan tetapi bimbingan itu pun tentu disalurkan melalui alat-alat yang ada padanya.
Dia pun mengingat-ingat. Dia sedang berada di dalam bumi! Di dalam tanah. Tiba-tiba teringatlah dia akan pelajaran yang pernah diberikan Pek Sim Siansu kepadanya, yaitu pelajaran tentang tenaga-tenaga mukjijat yang berada dalam alam semesta ini. Tenaga dahsyat yang terdapat dalam api dalam hawa, dalam logam, dalam tanah, dan dalam air!
Di dalam tanah terdapat tenaga yang maha dahsyat, demikian kata gurunya itu. Tenaga Inti Bumi! Tenaga inilah yang menghasilkan segala zat, segala makanan, segala benda di dunia ini. Yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan, yang mengeluarkan hawa panas, yang mengeluarkan apa saja.
Bumi nampak lemah dan diam. Namun segala yang nampak ini berasal dari bumi dan akan kembali ke bumi pada akhirnya! Bumi mengandung tenaga dan daya tarik yang hebat, mengandung energi yang maha dahsyat. Dalam bumi, di dalam tanah, terdapat kekuasaan Thian, yaitu energi yang maha dahsyat itu!
Dia hanya tinggal menyerah dengan pasrah, dan kalau Thian menghendaki, maka tentu dia akan kebagian sedikit tenaga dahsyat itu. Sedikit saja, akan tetapi telah cukup untuk membuat dia keluar dari dalam kurungan maut itu.
Mulailah Sie Liong mengatur pernapasan melalui lubang dalam tabung itu, mulailah dia menghimpun hawa murni dan membangkitkan tenaga saktinya. Perlahan-lahan, dengan penuh penyerahan kepada Thian Yang Maha Kasih, dia mulai merasakan adanya hawa yang hangat memasuki tubuhnya melalui napas yang dihisapnya. Hawa yang hangat ini berputar di dalam pusarnya, seolah-olah membangkitkan kembali tenaga saktinya yang nampaknya tertidur itu, dan hawa murni yang terhisap olehnya itu sekarang bercampur dengan sesuatu yang belum pernah dirasakannya.
Berbeda dengan hawa murni yang dihimpun ketika dia latihan di atas sana, di atas tanah. Kini ada sesuatu yang kadang panas kadang dingin, kadang menyesakkan dada, terbawa masuk ke dalam tubuhnya, berkumpul di dalam pusar. Dia tidak tahu bahwa tanpa disadarinya, tanpa disengaja, dia mulai menghimpun Tenaga Inti Bumi!
Itulah kekuasaan Thian yang sudah diyakininya. Agaknya Thian menghendaki demikian sehingga tanpa disengaja, nampaknya secara kebetulan saja, Sie Liong sudah berhasil menghimpun Tenaga Inti Bumi sewaktu dia dikubur hidup-hidup dalam peti!
Dan kebetulan sekali pula, sesungguhnya bukan kebetulan melainkan sudah digariskan dan diatur oleh kekuasaan Thian, pada saat itu racun dalam darahnya mulai dibersihkan oleh obat yang dimasukkan ke dalam perutnya oleh Camundi Lama. Darahnya sudah bersih kembali dan ketika tenaga sinkang-nya perlahan-lahan pulih, kebetulan saat itu dari pengaturan pernapasan, dia menghimpun Tenaga Inti Bumi yang segera bersatu dengan tenaga sinkang yang sudah ada dalam tubuhnya!
Akan tetapi Sie Liong tak merasakan semua itu. Dia hanya memusatkan perhatian pada pernapasannya, sambil menyerahkan segala sesuatunya kepada Thian, bagaikan orang yang benar-benar sudah mati…..
********************
Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan.
Kini tahulah dia bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang sudah mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabui mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!
Akan tetapi dia tidak peduli akan semua masalah itu. Dia tidak ingin mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, namun juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya ingin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puterinya, Yauw Bi Sian.
Karena tidak bermaksud mencampuri urusan pemberontakan melainkan urusan pribadi, maka Lie Bouw Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk pergi mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.
Pria perkasa berusia tiga puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu yang selain membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh damai. Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat matahari bersinar lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apa pun menjadi lebih merdu. Dunia nampak lebih indah dari pada biasanya!
Pada pagi hari yang cerah itu, mereka sampai di lereng sebuah bukit dan dari lereng itu mereka dapat melihat ke bawah. Pemandangan alam di pagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Bukit-bukit di sekitar telaga itu dipenuhi dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan sekarang bukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.
Telaga Yamzho Yumco
Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah. Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.
Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walau pun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata, “Maafkan kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil itu?”
Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek juga sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di belakang sebuah kuil milik Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, ia tadi mengajak Lan Hong untuk mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan hendak mencari jalan dari belakang kuil.
Mendengar ucapan Lie Bouw Tek ini, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin rombongan berkata, “Jalan menuju ke kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini? Di sini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorang pun boleh berkunjung di sini tanpa seijin kami.”
Lie Bouw Tek mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena sangat tertarik oleh pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan...”
“Katakanlah apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap ji-wi dan kami ajak menghadap para pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya.”
Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini Lan Hong menyentuh lengannya, kemudian ia pun melangkah maju dan berkata dengan lembut.
“Harap cu-wi suhu suka memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan...”
“Pendekar Bongkok!” seru seorang di antara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali.
“Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari,” kata Lie Bouw Tek. “Dapatkah cuwi memberi tahu di mana dia?”
Akan tetapi begitu mereka mendengar bahwa yang datang ini adalah anggota keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud akan membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang. Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka berlari menuju ke sarang untuk melapor.
Melihat sikap mereka yang mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek lalu mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.
“Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan dari Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pai, kami hanya mencari adik kami itu!”
Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat. “Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau seorang yang akan menentukan apakah ji-wi bersalah ataukah tidak. Menyerahlah dari pada kami harus menggunakan kekerasan!”
“Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apa pun, bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau menyerah!” Sambil berkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah.
Sie Lan Hong juga mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Ia pun siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.
“Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!” bentak pemimpin rombongan.
Empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang ke arah Sie Lan Hong. Berbagai macam senjata mereka lantas berkelebat menyerang dengan serentak.
“Trang-trang-tranggg...!”
Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebatan dan empat orang pendeta itu berseru kaget. Mereka berloncatan mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar Kun-lun-pai itu!
Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik itu mampu mengelak dan menangkis, bahkan dia membalas dengan hebat dan sebuah tendangan kakinya sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.
Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa, “Tahan semua senjata...!”
Para pendeta itu mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan menghentikan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi.
Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama itu walau pun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan jubahnya yang lebar.
Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga dengan siapa dia kini sedang berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini, Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.
“Kalau kami tidak salah menduga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe.”
Kim Sim Lama membungkuk sedikit. “Omitohud... orang muda yang gagah, sicu sudah mengenal pinceng (aku) tetapi kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan kami. Siapakah kalian dan ada keperluan apa maka kalian berkeliaran di sini?”
Tadi dia sudah mendengar laporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, dia pun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.
Dengan lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan diri. “Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, di samping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.”
Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu dia berkata, “Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita berbicara di dalam dan pinceng akan memberi keterangan yang selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu.”
Biar pun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Betapa pun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.
Mereka diajak memasuki ruangan belakang kuil di mana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.
“Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dahulu menjelaskan mengenai sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para pertapa, tosu dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay Yang Suhu ke sini.”
Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong lalu memandang kepada tosu itu.
Seorang kakek yang berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut amat pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan berwajah tampan. Di punggungnya tampak sepasang pedang. Thai Yang Suhu memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh pemimpin itu.
“Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai Yang Suhu, dan dia adalah salah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi.”
“Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, padahal selamanya Kun-lun-pai tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Ada pun urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,” kata Lie Bouw Tek.
“Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini tentu ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk turut pula memberi penjelasan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.”
Thay Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari tempat duduknya. “Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal kenapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. Kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, ketika dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, para pertapa Himalaya sudah bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walau pun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi, dia tidak peduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kami pun meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, sedangkan yang bertanggung jawab terhadap para tosu, pertapa mau pun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai Yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut.
“Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang di antara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh Tibet Ngo-houw yang pada saat itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itu, maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu mau membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.”
Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
“Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mohon petunjuk locianpwe, sekarang di mana adanya adik saya itu.”
“Omitohud... harap toanio bisa menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.”
“Ahhhhhh...!” Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
“Tidak mungkin...!” Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali.
Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Jika dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuh Kun-lun-pai, pendekar itu pun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.
“Omitohud... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dendam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia lalu dikeroyok dan tewas. Apa bila ji-wi (kalian) hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya.”
“Ahh... Liong-te (adik Liong)... benarkah... engkau sudah tewas...?” Lan Hong menahan tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”
“Marilah, pinto akan antarkan jika ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!” kata Thai Yang Suhu.
Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri. “Lie toako, aku ingin menengok makam adikku!”
Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburannya! Dia pun mengangguk kepada Thai Yang Suhu.
“Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita berangkat.”
Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai Yang Subu, mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu samping. Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk mencari keterangan dari Thai Yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.
“Siancai... bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya sedang dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui. Selebihnya Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.”
“Liong-te...!” Lan Hong mengeluh. Ia menggunakan ujung lengan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di taman kuburan itu. Sunyi sekali di situ karena taman kuburan itu memang terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka kecuali mereka bertiga tidak ada orang lain yang berkunjung ke situ.
Sebelum pergi meninggalkan kuil tadi, Thai Yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek serta Sie Lan Hong melakukan upacara sembahyang dengan sederhana namun khidmat, diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
“Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”
Mendengar ucapan yang merupakan penumpahan rasa penasaran yang tanpa disadari telah keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai Yang Suhu mengerutkan alisnya.
“Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Jika sicu masih belum percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jenazah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”
Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apa lagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.
“Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku... ahh, adikku Sie Liong...!” Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah gundukan tanah itu pun sedang terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorang pun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong ‘bertapa’ di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya.
Selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada nasib! Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah! Bumi yang nampak lemah dan tidak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apa pun agar kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Siansu padanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mukjijat itu. Dia sudah pasrah sepenuhnya. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya pun keracunan.
Di luar kesadarannya, Tenaga Inti Bumi telah merasuk ke dalam tubuhnya. Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup hingga rasanya menggembung, makin lama makin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Dia tidak tahu betapa pada saat itu, di atas sana, kakak kandungnya, Sie Lan Hong, sedang menangis dan memanggil-manggil namanya, minta bukti dan tanda bahwa dia telah tewas. Sejak tadi dia hanya merasa tubuhnya seperti akan meledak, maka tanpa mempedulikan apa pun yang akan terjadi, dia menggerakkan sebelah tangan dan kedua kakinya, meronta dan mendorong serta menendang.
“Blaaaaarrrrr...!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya tiga orang yang berada di depan gundukan tanah kuburan itu ketika tiba-tiba terdengar suara keras seperti ledakan dan gundukan tanah itu mendadak pecah, bagaikan ada bahan peledak yang amat kuat meledak dari dalam gundukan tanah, maka tanah dan batu kerikil berhamburan.
Sie Lan Hong menjerit. Lie Bouw Tek sudah menarik lengan wanita itu diajak bertiarap agar jangan terkena tanah dan batu kerikil yang muncrat berhamburan. Mereka masih melihat sesosok bayangan orang meloncat keluar dari dalam lubang di bawah gundukan tanah itu, meluncur ke atas dan berjungkir balik lima kali sebelum melayang turun ke atas tanah.
“Keparat...! Kau... iblis...!” Terdengar Thai Yang Suhu membentak.
Pendeta palsu ini pun terkejut bukan main ketika melihat gundukan tanah itu tiba-tiba saja meledak dan dari dalamnya meloncat seorang yang dikenalnya sebagai Pendekar Bongkok! Masih persis Pendekar Bongkok seminggu yang lalu, hanya kini pakaian dan rambutnya kusut dan kotor berlumpur, mukanya merah seperti udang direbus, matanya mencorong seperti bukan mata manusia.
Melihat ini, Thai Yang Suhu yang khawatir kalau rahasianya terbuka, segera meloncat maju dan menerjang dengan sepasang pedangnya! Dia langsung melakukan serangan maut, menusukkan pedang kanan ke arah tenggorokan sedangkan pedang kiri ke arah lambung Pendekar Bongkok!
Pada saat itu, Sie Liong masih belum mendapatkan kembali ingatannya sepenuhnya. Dia hanya bergerak tanpa perhitungan pikiran lagi, melainkan digerakkan oleh kekuatan mukjijat yang terhimpun di dalam dirinya. Ketika pedang di tangan Thai Yang Suhu itu meluncur ke arah tenggorokan dan lambungnya, dia hanya mengeluarkan bentakan yang aneh, melengking panjang dan tangannya bergerak ke arah sinar pedang yang menyambarnya.
“Bresss...!”
Tubuh Thai Yang Suhu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting dan tidak mampu bangkit kembali karena kedua pedang di tangannya yang tadi dia pergunakan untuk menyerang, entah bagaimana sudah membalik dan menancap di dada dan lehernya sendiri! Dia pun tewas seketika!
“Liong-te...!” Lan Hong meloncat menghampiri Sie Liong.
Akan tetapi, dengan sekali lompatan yang jauh sekali, Sie Liong telah melarikan diri. Dia belum ingat siapa wanita itu, dan dia tidak ingin terjadi wanita itu tewas seperti orang yang menyerangnya tadi. Dan begitu melompat, dia terkejut sendiri karena lompatannya tidak seperti biasa, amat jauhnya seperti terbang saja!
Melihat adiknya melarikan diri dengan lompatan yang luar biasa itu, Lan Hong berseru memanggil-manggil dan mengejar.
“Liong-te, tunggu...! Liong-te...!”
Akan tetapi dengan beberapa kali lompatan saja, bayangan Sie Liong telah lenyap dan Lan Hong berdiri bingung, tidak tahu ke mana adiknya tadi pergi. Lie Bouw Tek sudah berada di dekatnya dan pendekar Kun-lun-pai ini berkata.
“Sudahlah, Hong-moi. Tidak ada gunanya dikejar. Dia sudah jauh sekali, entah di mana. Dia... dia... seperti dapat terbang saja dan tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyusul dia.”
Dia masih terpukau karena kagumnya menyaksikan kehebatan Pendekar Bongkok, adik wanita yang dikasihinya itu. Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Bongkok memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi apa yang disaksikannya tadi jauh melampaui dugaannya selama ini. Terlalu dahsyat ilmu yang dimiliki Pendekar Bongkok itu, tidak lumrah manusia!
“Aihh, Lie-toako... apakah engkau tidak melihat lengan kirinya tadi? Dia... dia buntung! Aihh, adikku, apa yang telah mereka lakukan kepadamu? Aku harus mencari Kim Sim Lama, aku harus membalaskan adikku, akan kuminta pertanggungan jawabnya!” Lan Hong menangis.
“Tenanglah, Hong-moi. Yang penting, adikmu itu masih dalam keadaan selamat, bukan? Kalau kita kembali ke sana, tentu mereka tidak akan menerima kita sebaik tadi. Apa lagi Thai Yang Suhu telah tewas. Kita bahkan harus cepat-cepat pergi dari sini. Aku hendak menghadap Dalai Lama dan melaporkan segalanya. Kim Sim Lama dan pengikutnya itu jelas hendak melempar fitnah kepada Dalai Lama dan mereka berbahaya sekali. Mari, Hong-moi, mari kita pergi menghadap Dalai Lama. Kemudian baru kita mencari jejak adikmu Sie Liong dan puterimu...”
“Bi Sian...! Ah, di mana anakku Bi Sian? Apa yang telah terjadi dengannya? Melihat apa yang menimpa diri adikku, aku sungguh gelisah memikirkan anakku, toako.”
“Hong-moi, kita tetap berusaha untuk mencarinya, dan sementara itu, serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di samping berusaha mencarinya, kita hanya dapat berdoa, Hong-moi. Dan tenangkan hatimu karena bukankah menurut ceritamu, puterimu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi? Kurasa ia mampu menjaga diri sendiri.”
“Memang benar, toako. Dia lihai dalam ilmu silat. Akan tetapi, dia masih muda, kurang pengalaman, dan di dunia ini terdapat demikian banyak orang yang jahat dan keji.”
Lie Bouw Tek terus menghiburnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Melihat ini, perlahan-lahan kegelisahan Lan Hong menipis hingga akhirnya dia tenang kembali.
Mereka berdua menjenguk ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong. Lubang dalam tanah itu kosong dan pendekar Kun-lun-pai itu menemukan sebuah tabung bambu yang sudah pecah-pecah. Dia mengerutkan alisnya, menduga-duga apa gunanya benda itu, lalu membuangnya jauh-jauh.
Kemudian, dia menyeret mayat Thai Yang Suhu dan mendorongnya ke dalam lubang bekas kuburan Sie Liong, kemudian, dibantu oleh Lan Hong, dia menimbuni lubang itu dengan tanah yang tadi berhamburan. Semua ini mereka kerjakan dengan tergesa-gesa karena khawatir kalau sampai ada yang melihatnya. Setelah itu baru kemudian mereka cepat meninggalkan kuburan itu, pergi ke Istana Dalai Lama untuk menghadap pendeta kepala para Lama itu.....
********************
Gadis itu dikenal oleh semua orang yang biasa bekerja di Telaga Yam-so. Seorang gadis gila yang menjijikkan. Baru kurang lebih satu bulan ia muncul di sekitar tepi telaga itu. Seorang gadis atau wanita yang sebetulnya masih muda, akan tetapi keadaannya kotor dan seperti seorang gembel gila.
Pakaiannya butut, kotor dan dekil, berbau apek lagi. Rambutnya saling lekat dan kotor, awut-awutan bagaikan rambut siluman yang menakutkan, menutupi sebagian mukanya yang juga kotor sekali, penuh lumpur. Matanya kadang berputar-putar liar, kadang kala gelisah, kadang pula terbelalak menakutkan, dan ada kalanya merah karena tangis.
Orang melihat dia kadang menangis tersedu-sedu, kadang tertawa seorang diri, bicara seorang diri dengan kata-kata yang tidak jelas bahkan tidak karuan. Sekali lihat saja orang sudah tahu bahwa dia seorang wanita muda yang hidup terlantar, terlunta-lunta, seorang gembel menjijikkan yang gila! Makin dipandang, orang akan merasa semakin jijik karena ulahnya.
Tidak ada seorang pria pun yang dapat merasa tertarik oleh seorang perempuan seperti wanita gila itu. Mereka bahkan menjauh, bukan saja jijik karena bau apek itu, melainkan juga jijik kalau-kalau wanita gila itu akan merangkul mereka!
Dia makan apa saja yang dia temukan. Ikan-ikan kering, sisa yang ditinggalkan para nelayan. Ada kalanya ia meminta-minta dan hanya karena jijik, bukan karena iba, orang melemparkan makanan kepadanya. Tubuhnya kurus kering, sama sekali tidak menarik.
Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa baru sebulan yang lalu, wanita itu merupakan seorang gadis berusia delapan belas tahun yang hitam manis, dengan bentuk tubuhnya yang menggairahkan. Dan tak seorang pun yang tahu bahwa gadis itu memang sengaja berpura-pura gila dan menjadi gembel menjijikkan!
Dia adalah Sam Ling Ling, gadis peranakan Tibet Han yang sudah yatim piatu itu. Dia tadinya oleh Sie Liong dititipkan kepada Bibi Cili. Terpaksa Ling Ling membiarkan Sie Liong yang hendak melakukan penyelidikan itu pergi, walau pun ia merasa berat hati. Sie Liong berjanji dalam waktu bulan akan kembali menjemputnya.
Setelah lewat sebulan dan Sie Liong belum juga datang, Ling Ling minggat dari rumah Bibi Cili. Dia pergi mencari Sie Liong, satu-satunya pria, bahkan satu-satunya manusia di dunia ini yang dicintainya!
Ling Ling maklum bahwa di dunia ini banyak berkeliaran laki-laki jahat. Terutama sekali bagi seorang wanita yang lemah, apa lagi yang memiliki kemudaan dan kecantikan, bahaya itu lebih besar lagi mengancam dirinya. Oleh karena itu, ia menggunakan akal, berpura-pura gila, mengotori tubuh dan pakaiannya, bahkan melumuri mukanya dengan lumpur, kadang-kadang ia bahkan sengaja bergaya seperti orang gila yang menjijikkan dan menakutkan.
Dengan cara demikian, benar saja tidak seorang pun pria sudi mendekatinya, apa lagi mengganggunya. Ia lalu berkeliaran di sekitar pantai telaga yang besar itu, setiap hari mencari-cari dan memperhatikan setiap orang.
Akan tetapi makin hari ia semakin berduka karena tidak pernah ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu seorang pemuda yang punggungnya bongkok. Ia tidak berani untuk bertanya-tanya karena maklum bahwa Pendekar Bongkok amat dikenal orang dan kalau ia bertanya, tentu akan menimbulkan kecurigaan orang. Ia hanya mampu menangis dengan sedih, tetapi kalau ada orang melihat ia menangis, ia sengaja lalu memaksa diri untuk tertawa. Menangis, tertawa, menangis, tertawa agar ia disangka gila dan bebas dari gangguan orang.
Makin hari ia semakin kurus karena makin berduka dan hampir tidak makan kalau tidak perutnya memaksanya sekali. Ia tidak pernah putus asa karena ia menaruh keyakinan besar bahwa Sie Liong tak mungkin dapat melupakannya dan meninggalkannya begitu saja.
Ia tahu bahwa Sie Liong hanya bongkok punggungnya, tidak bongkok hatinya. Ia tahu bahwa Sie Liong adalah seorang manusia yang berbudi luhur, dan ia sudah mengambil keputusan untuk hidup di samping Sie Liong selamanya, atau lebih baik ia mati kalau harus hidup tanpa pemuda bongkok itu.
“Liong-ko... ah, Liong-koko... engkau berada di mana? Apakah engkau tidak merasakan di hatimu betapa selama ini aku mencarimu, betapa aku mengkhawatirkanmu, betapa aku merindukanmu? Liong-koko...” demikian ia meratap-ratap sambil menangis kalau tidak ada orang melihatnya.
Setiap hari ia mengharapkan. Apa bila matahari muncul, muncul pula harapan baru di hatinya bahwa pada hari itu ia tentu akan bertemu dengan Sie Liong. Kalau malam tiba, ia pun mengharap bahwa besok hari ia akan bertemu dengan pria yang dikenangkannya itu.
Ia tidak pernah putus asa. Tidak, ia adalah keturunan Tibet yang tinggal di pegunungan, di lingkungan yang sangat keras dan sukar sekali, dan keadaan lingkungan yang sukar itu menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang tidak pernah putus harapan! Hanya orang yang tidak pernah hidup dalam kekurangan, kekerasan dan kesukaran sajalah yang mudah putus asa.
Ia tidur di mana saja, jauh dari orang lain untuk menghindari gangguan. Di goa-goa, di bawah pohon di balik semak belukar. Mula-mula dia merasa takut sekali, akan tetapi lambat laun rasa takutnya menghilang, terganti perasaan pasrah. Satu-satunya pelita yang menerangi hidupnya hanyalah harapannya bertemu dengan Sie Liong.
Pada senja hari itu, ketika matahari mulai bersembunyi di balik bukit, ia menuju ke sebuah goa di tepi telaga. Goa kecil yang tertutup pohon dan ilalang, yang enak untuk melewatkan malam, tidak begitu dingin karena terlindung dari hembusan angin malam.
Tubuhnya terasa sangat nyaman. Sore tadi seorang pelancong dan keluarganya yang membawa makanan dan makan di tepi telaga, memberikan sisa makanan bekal mereka kepadanya. Nasi putih dan lauk pauknya, cukup banyak. Ia makan dengan gembiranya.
Karena perutnya kenyang, dan harapan baru muncul bahwa besok pagi ia akan melihat banyak orang lagi dan siapa tahu di antara mereka terdapat Sie Liong, karena hatinya penuh harapan dan tubuhnya terasa segar, malam itu ia pun tidur nyenyak. Bahkan ia bermimpi, bertemu dengan Sie Liong.
Kalau ada orang yang berada dekat dengan goa kecil itu, tentu dia akan mendengar betapa dalam mimpinya perempuan gila itu telah menangis terisak-isak. Tangis bahagia yang dicurahkan di atas dada pria yang dikasihinya yang hanya terjadi dalam mimpi.....
********************
Selanjutnya baca
KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-15