Kisah Pendekar Bongkok Jilid 01
Sie Kauwsu (Guru Silat Sie) membaca surat itu dengan kedua tangan agak gemetar dan mukanya berubah pucat. Karena senja hari telah tiba dan cuaca tidak begitu terang lagi, ia lalu menyalakan sebuah lampu meja, kemudian dibacanya sekali lagi surat itu. Sehelai kertas yang bertuliskan beberapa huruf dengan tinta merah.
Sie Kian, akhirnya aku dapat menemukan engkau! Sebelum malam ini habis, seluruh keluargamu dan segala mahluk yang hidup di dekat rumahmu, akan kubunuh semua!
Demikianlah bunyi surat itu. Tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, Sie Kauwsu atau Sie Kian tahu benar siapa penulisnya. Tadi dia menemukan surat itu di daun pintu belakang rumahnya, tertancap pada daun pintu dengan sebatang piauw (senjata rahasia) beronce merah.
Dia mengenal benar piauw itu. Lima tahun yang lalu, dia pernah terluka pada pundaknya oleh piauw seperti itu. Dia tahu benar siapa pemilik piawsu, siapa penulis surat.
Peristiwa itu terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia melakukan perjalanan ke daerah Hok-kian untuk mengunjungi seorang sahabat lamanya. Juga dia ingin melancong, sebab semenjak menjadi guru silat, dia tidak pernah sempat melancong. Kini dia mempunyai seorang murid terpandai yang dapat mewakilinya mengajar para murid lainnya sehingga dia mempunyai kesempatan untuk pergi.
Kepergiannya direncanakan selama satu bulan. Dia tidak dapat membawa anak isterinya, sebab anaknya yang ke dua baru lahir beberapa bulan yang lalu. Masih terlalu kecil untuk diajak pergi. Anaknya yang pertama, seorang anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun, juga tidak dapat diajak pergi karena harus membantu ibunya di rumah. Maka dia pun pergi seorang diri ke timur.
Dalam perjalanan inilah terjadinya peristiwa itu. Di sebuah hutan dia melihat perampokan terhadap satu keluarga bangsawan yang sedang melakukan perjalanan dengan kereta. Perampok itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Kurang lebih dua puluh lima tahun usia mereka.
Sie Kian turun tangan melindungi bangsawan itu, dan terjadilah perkelahian antara dia dan suami isteri itu. Ternyata suami isteri itu lihai juga, akan tetapi mereka masih belum mampu mengalahkan Sie Kian yang pandai bersilat pedang.
Perkelahian itu berakhir dengan kematian isteri perampok itu, serta luka-luka parah pada perampok yang dengan penuh duka memanggul jenazah isterinya. Sie Kian sendiri juga terluka di pundaknya, terkena sebatang senjata rahasia piauw yang sempat dilemparkan oleh perampok itu.
Perampok itu sempat menanyakan tentang diri lawannya, dan karena Sie Kian adalah seorang gagah yang tak pernah menyembunyikan nama serta selalu bertanggung jawab atas segala perbuatannya, maka Sie Kian terus terang memberi tahukan.
“Sie Kian, kalau engkau membunuhku, aku tidak akan begini merasa sakit hati,” demikian perampok itu sebelum pergi. “Juga apa bila engkau hanya menghalangi perbuatan kami merampok, aku pun tidak peduli. Akan tetapi engkau sudah membunuh isteriku tercinta dan aku bersumpah bahwa kelak aku akan mencarimu dan aku akan membunuh seluruh keluargamu dan semua penghuni rumahmu!”
Setelah mengeluarkan ucapan itu, perampok muda itu pergi dengan muka berduka. Sie Kian membiarkannya pergi dan mengira bahwa ucapan itu tentu hanya ancaman seorang perampok yang kecewa.
Akan tetapi, ternyata hari ini ada surat dan piauw beronce merah! Perampok itu ternyata bukan hanya meninggalkan ancaman kosong belaka dan hari ini, kurang lebih lima tahun sejak peristiwa itu, perampok itu benar-benar datang untuk melaksanakan ancamannya dan sumpahnya!
Diam-diam Sie Kian bergidik. Ancaman di dalam surat itu sungguh menyeramkan. Akan tetapi, dia tidak takut!
Selama hidupnya, Sie Kian adalah seorang laki-laki jantan. Demi membela kebenaran, dia tidak takut kehilangan nyawa! Ancaman surat itu hanya ancaman seorang penjahat, seorang perampok, dan dia akan menyambutnya, menandinginya dengan sikap seorang pendekar sejati! Tidak, dia tidak akan minta bantuan orang lain!
Setelah termenung sejenak, Sie Kian menyimpan surat dan piauw itu ke dalam kantung bajunya. Dia pun memasuki kamar di mana isterinya sedang berbaring sambil menyusui anak mereka, anak laki-laki yang baru berusia sepuluh bulan dan mereka beri nama Sie Liong.
Dengan wajah tenang saja Sie Kian duduk di kursi dalam kamar itu dan bertanya kepada isterinya, di mana adanya puteri mereka yang bernama Sie Lan Hong. Dia dan isterinya memang hanya mempunyai dua orang anak, yaitu pertama Sie Lan Hong yang sudah berusia lima belas tahun dan setelah lewat empat belas tahun lebih barulah isterinya melahirkan Sie Liong.
“Ia baru saja keluar dari sini, mungkin kini ia berada di dalam kamarnya!” jawab istrinya sambil bangkit duduk karena Sie Liong sudah tertidur pulas. “Ada apakah? Kelihatannya engkau begitu pendiam!” Isteri yang sudah amat mengenal watak suaminya itu bertanya dengan pandang mata curiga melihat sikap suaminya yang menjadi begitu pendiam, tidak seperti biasanya.
“Panggil dulu Lan Hong ke sini, juga pangil Cu An yang berada di kamarnya. Ada urusan penting sekali yang hendak kubicarakan dengan kalian bertiga!”
Isteri Sie Kian memandang suaminya dengan heran, akan tetapi tidak membantah dan ia lalu keluar dari kamarnya. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang gadis yang manis, yaitu Lan Hong, dan seorang laki-laki muda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun.
Pria ini adalah Kim Cu An, murid kepala yang kini membantu Sie Kian memimpin para murid yang belajar di perguruan silat itu. Karena Kim Cu An seorang yatim piatu yang tidak memiliki sanak keluarga, maka dia diterima tinggal di rumah gurunya itu, sebagai murid, juga sebagai pembantu gurunya. Tentu saja Cu An merasa terkejut dan sangat heran ketika oleh ibu gurunya dia dipanggil menghadap gurunya di dalam kamar gurunya itu!
Setelah isterinya, puterinya dan muridnya duduk di atas bangku dalam kamar itu, dengan sikap masih tenang Sie Kian lalu bicara. “Kalian tentu masih ingat akan ceritaku tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu pada waktu aku mengadakan perjalanan ke Hok-kian itu, bukan?”
“Peristiwa yang mana?” tanya isterinya.
“Apakah suhu maksudkan pertemuan suhu dengan suami isteri perampok itu?” tanya Cu An.
Gurunya mengangguk. “Benar. Seperti telah aku ceritakan, aku berhasil menyelamatkan keluarga bangsawan dari kota raja yang dirampok oleh perampok yang terdiri dari suami isteri itu. Dalam perkelahian itu, aku terluka oleh senjata rahasia piauw, akan tetapi aku berhasil membunuh isteri perampok itu dan melukainya. Akan tetapi, ketika itu aku tidak menceritakan pada kalian akan sumpah dan dendam perampok yang kematian isterinya itu. Ketika itu kuanggap tidak penting dan semua perampok yang dikalahkan tentu akan mengeluarkan ancaman. Akan tetapi..., hari ini ancaman perampok itu agaknya akan dilaksanakan!” Sie Kian menarik napas panjang.
“Ancaman bagaimana?” tanya isterinya, nampak khawatir.
“Ketika itu, sambil memanggul jenazah isterinya dan dalam keadaan luka, dia bersumpah bahwa pada suatu hari dia akan mencari diriku dan akan membasmi seluruh keluargaku. Tapi, ancaman yang keluar dari mulut seorang perampok seperti itu, mana ada harganya untuk diperhatikan dan dianggap serius?”
“Akan tetapi... dia bersumpah karena kematian isterinya, dan hal itu berbahaya sekali!” kata isterinya.
Sie Kian kembali menarik napas dan dia mengangguk. “Benar sekali pendapatmu itu dan sekarang inilah buktinya.” Dia mengeluarkan senjata piauw dan kertas bersurat itu. “Tadi kutemukan surat ini tertancap piauw di daun pintu belakang. Surat itu berbunyi begini…”
Sie Kian membaca surat itu, didengarkan dengan muka pucat oleh isterinya. Lan Hong dan Cu An mendengarkan dengan sikap tenang. Mereka adalah orang-orang muda yang sejak kecil sudah belajar ilmu silat, maka memiliki ketabahan besar.
“Ayah, kalau dia muncul, kita lawan dia! Penjahat itu sudah sepatutnya dibasmi!” kata Lan Hong dengan penuh semangat.
“Sumoi benar, suhu. Kita tidak perlu takut menghadapi ancaman dan gertak kosong dari seorang penjahat seperti dia...”
“Ha-ha-ha-ha-ha...!” Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa yang datangnya dari atas genteng.
Sie Kian meloncat dari kursinya. “Lan Hong, Cu An, kalian menjaga ibu dan adik kalian di sini!” berkata demikian, tubuh Sie Kian sudah berkelebat keluar dari dalam kamar itu dan dia segera keluar dan meloncat ke atas genteng.
Pada saat Sie Kian meloncat ke atas genteng, terdengar suara anjing menggonggong di belakang, akan tetapi suara gonggongannya berubah menjadi pekik kesakitan lalu sunyi.
Sie Kian melayang turun dan lari ke belakang. Dia tidak melihat berkelebatnya orang, hanya menemukan anjing peliharaannya itu telah mati dan sebuah ronce merah nampak di lehernya. Anjing itu mati dengan sebatang senjata piauw terbenam di dalam lehernya! Sie Kian mencari-cari, memandang ke kanan kiri dengan waspada. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi ayam-ayam berteriak, disusul ringkik kuda.
“Celaka...!” serunya.
Dia cepat lari ke kandang kuda dan ayam yang berada agak jauh di samping rumah. Dan seperti juga anjingnya, dia melihat belasan ekor ayam peliharaannya, dan seekor kuda, telah menggeletak mati!
Sie Kian tidak mempedulikan lagi keadaan binatang-binatang peliharaannya dan cepat dia lari masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Dan pada saat itu, terdengar jerit wanita yang datangnya dari kamar para pelayan di belakang.
Sie Kian terkejut sekali dan kembali dia melompat keluar, menuju ke kamar pelayan. Dia merasa menyesal sekali mengapa memandang rendah lawan sehingga dia lupa untuk memanggil dua orang pelayannya agar berkumpul di dalam rumah besar. Dan seperti yang dikhawatirkan, dua orang pelayan wanita itu telah tewas di dalam sebuah kamar pelayan, leher mereka hampir putus sehingga kamar itu banjir darah. Jelas bahwa leher mereka terbabat oleh pedang!
Sie Kian menjadi marah sekali. Dia meloncat masuk ke dalam rumah dan hatinya lega melihat betapa Lan Hong dan Cu An masih berjaga di depan kamar, sedangkan isterinya, dengan muka pucat, duduk di atas pembaringan memangku Sie Liong yang masih tidur nyenyak.
“Apa... apa yang terjadi...?” tanya isterinya ketika dia tiba di kamar itu.
“Jahanam itu..., dia telah mulai melaksanakan ancamannya! Semua binatang peliharaan kita dibunuhnya, juga dua orang pelayan kita dibunuhnya.”
“Aihhh...!” Isterinya menangis.
“Sudah, tenanglah dan jangan menangis. Kita harus siap siaga menghadapinya. Dia tidak main-main dan ancamannya bukan gertakan kosong. Cu An dan Lan Hong, kalian tetap berjaga di sini, menjaga keselamatan ibumu serta adikmu. Aku yang akan menghadapi jahanam busuk itu!”
“Baik, ayah,” kata Lan Hong dengan muka pucat biar pun ia masih bersikap tenang. Kini tangannya memegang sebatang pedang.
“Teecu akan menjaga subo dengan taruhan nyawa, suhu!” berkata Cu An dengan sikap gagah. Juga dia memegang sebatang pedang.
Dengan hati penuh kemarahan, Sie Kian lalu keluar dari dalam kamar. Dia berdiri sejenak di ruangan tengah dan memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar suara apa-apa. Sementara itu, malam sudah tiba dengan sunyinya.
Dia lalu keluar berindap-indap dari dalam ruangan itu, kemudian mengelilingi rumah dan memeriksa setiap sudut. Namun, tidak nampak bayangan orang.
Dengan gemas dia lalu meloncat naik ke atas genteng, berdiri di wuwungan rumahnya, lalu berteriak, “Perampok laknat, penjahat keji, jahanam keparat! Keluarlah dari tempat persembunyianmu dan marilah kita bertanding secara jantan untuk menentukan siapa yang lebih kuat!”
Namun tidak ada jawaban dan suasana sunyi saja.
Tempat tinggal keluarga Sie memang berada di sudut kota Tiong-cin, di pinggiran kota, dan memiliki pekarangan luas, agak jauh dari tetangga, agak terpencil. Memang Sie Kian memilih tempat ini di mana dia dapat membuat sebuah lapangan yang luas untuk melatih silat para muridnya.
Sebagai seorang guru silat bayaran, Sie Kian menerima siapa saja yang mau menjadi muridnya dan mampu membayar. Oleh karena itu dia memiliki banyak sekali murid, baik dari kota Tiong-cin sendiri mau pun dari dusun-dusun sekitarnya dan dari kota lain. Akan tetapi, semua muridnya tidak ada yang tinggal di situ kecuali Cu An yang merupakan murid utama dan kini bahkan menjadi guru pembantunya.
Karena usahanya mencari musuh itu sia-sia, dan tantangannya juga tidak mendapatkan jawaban, akhirnya dengan hati mendongkol Sie Kian masuk lagi ke dalam rumah. Ketika isterinya, Lan Hong, dan Cu An memandang kepadanya dengan mata bertanya, ia hanya menggelengkan kepala.
“Tidak ada bayangan si keparat itu! Dia tentu telah pergi atau bersembunyi untuk menanti kelengahanku, atau dia hendak mendatangkan ketegangan di dalam hati kita.”
Memang suasana menjadi tegang sekali. Bahkan Cu An yang biasanya tenang itu kini nampak agak pucat. Siapa orangnya yang tidak akan tegang menanti musuh yang main kucing-kucingan dan amat kejam itu? Semua binatang peliharaan telah dibunuhnya, juga dua orang pelayan wanita yang sama sekali tidak berdosa dan sekarang dia menghilang, membiarkan semua orang dicekam ketegangan dan kegelisahan.
Mereka berempat duduk di dalam kamar itu. Isteri Sie Kian merupakan orang yang paling ketakutan. Sie Kian duduk dengan tenang, akan tetapi pendengarannya terus dicurahkan keluar untuk menangkap gerakan yang tidak wajar di luar rumah.
Yang benar-benar tenang hanyalah Sie Liong, anak berusia sepuluh bulan itu! Dia masih suci, batinnya masih bersih dari pengetahuan sehingga rasa takut dan duka tidak akan pernah dapat menyentuhnya.
“Suhu...!”
Suara Cu An terdengar aneh ketika memecah kesunyian itu. Bahkan suara yang hanya merupakan satu kata panggilan itu sempat mengejutkan Lan Hong yang cepat menoleh kepadanya dengan kaget. Demikian juga nyonya Sie yang amat terperanjat. Hanya Sie Kian yang dengan tenang memandang muridnya itu.
“Ada apakah, Cu An? Takutkah engkau?”
Pemuda itu menjilat bibirnya yang kering. Akan tetapi lidahnya juga kering, bahkan mulutnya pun terasa kering sekali, dan dia menggelengkan kepalanya.
“Suhu, teecu tidak takut, hanya tegang. Kalau musuh sudah berada di depan teecu, biar teecu terancam maut pun teecu tidak takut. Akan tetapi suasana tak menentu ini sungguh menegangkan. Bagaimana kalau kita semua pindah saja ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)? Di sana lebih luas. Jika terjadi penyerangan sewaktu-waktu, kita akan lebih leluasa untuk menghadapi musuh.”
Setelah berpikir sejenak, Sie Kian mengangguk, “Engkau benar, Cu An. Kita belum tahu berapa orang jumlah musuh yang akan datang menyerbu, dan kamar ini memang terlalu sempit sehingga membahayakan keselamatan subo-mu dan adikmu yang kecil. Mari kita semua pindah saja ke ruangan latihan silat.”
Sie Kian menyuruh puterinya membawa kasur supaya di ruangan yang luas itu isterinya dapat menidurkan puteranya yang masih kecil. Dengan penuh waspada mereka semua lalu pindah ke dalam ruangan berlatih silat, sebuah ruangan yang sepuluh kali lebih luas dari pada kamar itu, dan di situ hanya ada satu pintu besar dari mana orang luar dapat masuk. Kasur yang dibawa Lan Hong diletakkan di sudut ruangan itu dan ibunya lalu duduk di situ sambil memangku Sie Liong.
Setelah pindah ke ruangan yang lebih luas ini, benar saja hati mereka bertiga yang siap menghadapi musuh menjadi lebih tenang. Ruangan itu cukup luas dan mereka bertiga hanya perlu melindungi Nyonya Sie dari depan saja karena tempat itu dikelilingi dinding sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mempersatukan tenaga menghadapi serbuan musuh.
Betapa pun juga, suasana tegang tetap saja mencekam hati mereka. Sie Kian sendiri berulang kali mengepal tinju, merasa dipermainkan oleh musuhnya. Dia tahu bahwa kali ini dia harus berjuang mati-matian mempertahankan nyawa keluarganya.
Dia berjanji bahwa sekali ini dia akan membasmi semua musuh yang datang, tidak akan memberi kesempatan seorang pun berhasil lolos agar supaya tidak terulang pembalasan dandam seperti ini. Kalau saja dulu dia membunuh perampok pria itu, tentu tidak akan timbul masalah seperti sekarang.
Tiba-tiba Sie Kian terkejut dan dia meloncat keluar dari pintu lian-bu-thia. Juga Cu An dan Lan Hong meloncat berdiri. Dengan pedang siap di tangan kanan mereka berdua sudah mengambil sikap berjaga-jaga. Sedangkan nyonya Sie memeluk puteranya dengan muka pucat, mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan.
Tidak lama kemudian terdengar suara kucing mengeong, disusul dengan suara Sie Kian menyumpah-nyumpah! Kiranya suara yang mencurigakan tadi hanyalah suara seekor kucing yang kebetulan lewat! Sungguh menggelikan sekali betapa ketegangan membuat semua orang menjadi demikian mudah kaget.
Sie Kian muncul kembali dari pintu dan dia pun menahan ketawanya, walau pun perutnya terasa geli. Demikian Pula Cu An dan Lan Hong.
Dari jauh terdengar suara ayam jantan berkokok. Biasanya, kalau ada ayam jantan yang berkokok, ayam jantan di kandang keluarga itu akan menyambutnya. Sekali ini, kokok ayam itu tidak ada yang menyambut, akan tetapi Sie Kian maklum bahwa tengah malam telah lewat.
Ayam jantan di sana itu sudah biasa berkokok di saat tengah malam, kemudian di waktu pagi sekali. Kini tengah malam telah lewat. Betapa cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru saja dia menerima surat itu, di senja hari tadi, dan tahu-tahu kini sudah lewat tengah malam.
Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh suara ketawa terbahak-bahak yang datangnya dari luar rumah! Kini Sie Kian melompat berdiri dan dia membentak marah.
“Pengecut hina yang berada di luar! Masuklah, aku berada di lian-bu-thia dan sejak tadi menanti kedatanganmu. Mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi!” tantangnya.
Suara ketawa itu berhenti, dan kini disusul suara yang mengandung ejekan, “Sie Kian! Aku memang memberi waktu agar kalian dicekam ketegangan. Sekarang aku datang untuk membunuhmu. Keluarlah, aku menunggumu di pekarangan depan rumahmu!”
“Jahanam busuk! Engkau masuklah, aku sudah menanti dengan pedang di tangan untuk membunuhmu!” bentak Sie Kian yang tidak ingin meninggalkan keluarganya.
“Ha-ha-ha-ha, Sie Kian kini menjadi seorang pengecut dan penakut! Aku menantangmu di luar, dan engkau bersembunyi di balik gaun isterimu? Ha-ha-ha! Keluarlah dan sambut aku, kalau tidak aku akan membakar rumahmu ini.”
“Suhu..., jangan keluar, mungkin ini suatu siasat memancing harimau keluar sarangnya,” bisik Cu An gelisah.
“Tidak, di sini ada engkau dan Lan Hong, hatiku tenang dengan adanya kalian berdua yang menjaga ibumu. Aku akan keluar menyambut tantangan anjing keparat itu!”
“Hayo, Sie Kian! Apakah engkau benar-benar takut?” teriakan itu datang lagi dari luar.
“Jahanam busuk, siapa takut? Tunggulah, aku akan menyambut tantanganmu!” Sie Kian segera meloncat keluar, terus menuju ke pekarangan depan rumahnya.
Orang itu sudah menanti di luar. Dua buah lampu yang tergantung di serambi depan cukup terang untuk menerangi pekarangan itu. Memang tadi dia menggantung dua buah lampu supaya tempat itu menjadi terang, tidak seperti biasanya yang hanya diterangi sebuah lampu gantung. Dari penerangan dua buah lampu itu, Sie Kian yang telah berdiri berhadapan dalam jarak empat meter dengan orang itu, dapat mengenal wajah musuh besarnya.
Wajah seorang laki-laki yang masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun usianya. Wajah seorang laki-laki yang cukup tampan, halus dan tidak ditumbuhi kumis dan jenggot lebat. Bahkan wajah itu posolek, pakaiannya pun rapi dan bagus, sepatunya mengkilap baru.
Itulah wajah perampok yang lima tahun yang lalu berkelahi dengannya, perampok yang kematian isterinya. Akan tetapi kini ada sesuatu dalam sikap orang itu yang menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang dahulu, bahwa sekarang dia telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Agaknya selama lima tahun ini dia telah menggembleng diri mati-matian, hanya untuk melakukan balas dendam ini.
Akan tetapi Sie Kian tidak merasa gentar. Kalau berhadapan dengan seorang lawan, betapa pun kuat lawan itu, dia tidak pernah gentar. Tak ada lagi ketegangan seperti tadi. Hanya ada sedikit kekhawatiran bahwa orang ini menggunakan tipu muslihat, memancing dia keluar dan ada temannya yang akan menyerang ke dalam. Akan tetapi kekhawatiran ini pun diusirnya dengan keyakinan bahwa murid kepala dan puterinya cukup kuat untuk melindungi isteri dan puteranya yang masih kecil.
“Hemmm, kiranya engkau perampok busuk yang dahulu itu? Sungguh perbuatanmu ini menunjukkan kecurangan dan membuktikan bahwa engkau hanyalah seorang pengecut. Apa bila hendak membalas dendam, kenapa tidak langsung saja menantangku? Kenapa memakai jalan membunuhi binatang-binatang dan pelayan-pelayan yang tidak berdosa?”
“Ha-ha-ha, Sie Kian, lupakah kau akan sumpahku bahwa suatu hari aku akan membasmi engkau bersama seluruh keluargamu dan seluruh isi rumahmu? Ha-ha-ha, sekaranglah saatnya! Tidak perlu banyak cakap lagi, nanti kalau sudah mati nyawamu akan bertemu dengan isteriku dan masih ada waktu bagimu untuk minta ampun kepadanya!”
“Jahanam busuk!” Sie Kian memaki dan dia pun sudah menyerang dengan pedangnya.
Serangannya dahsyat sekali karena dalam marahnya, ingin Sie Kian segera merobohkan musuh ini. Pedangnya berkelebat dari samping dan mengirim bacokan ke arah leher orang itu yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat leher itu terpenggal putus.
Akan tetapi, orang itu bergerak cepat sekali dan dengan mantap pedangnya berkelebat dari samping ke atas, menangkis bacokan pedang Sie Kian.
“Tringggg...!”
Nampaklah bunga api berpijar dan Sie Kian merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat. Dia terkejut dan meloncat ke belakang, melihat pedangnya. Ternyata pedangnya itu patah sedikit pada mata pedangnya, hal ini menunjukkan bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh!
Orang itu tertawa mengejek dan langsung kembali menyerang dengan dahsyat. Sie Kian mengelak ke samping dan membalas serangan musuh dan mereka segera terlibat dalam perkelahian mati-matian dan seru sekali. Dan sekali ini Sie Kian harus mengakui dalam hatinya bahwa lawannya sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dahulu, tak boleh dipandang rendah karena ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat, di samping tenaga sinkang kuat ditambah lagi sebatang pedang pusaka yang ampuh!
Mulailah Sie Kian merasa khawatir. Seorang lawan saja sudah begini lihai, apa lagi kalau dia datang berkawan. Ahhh, isteri dan anaknya berada di dalam! Bagaimana kalau dia kalah? Bagaimana kalau ada kawan-kawan penjahat ini? Lebih baik menyuruh mereka melarikan diri! Biarlah, dia akan mati di tangan musuh, asal keluarganya selamat!
“Singgg...!”
Pedang lawan meluncur dekat sekali dengan dadanya. Sie Kian mengelak ke kanan, akan tetapi pedang itu sudah membacok dari kiri dengan kecepatan kilat. Sie Kian menggerakkan pedang menangkis. Terpaksa menangkis karena semenjak tadi dia tidak pernah mengadu senjata secara langsung, maklum bahwa pedangnya akan kalah kuat. Kini, karena tidak mungkin mengelak lagi, terpaksa dia menangkis.
“Cringgg...!”
Pedang di tangan Sie Kian patah dan buntung pada bagian atasnya! Lawannya tertawa bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sie Kian untuk mengerahkan tenaga berteriak ke arah dalam rumah.
“Lan Hong...! Ajak ibu dan adikmu melarikan diri! Cepaaaattt...!”
Lawannya tertawa bergelak, tertawa mengejek. Pedangnya kembali menyambar dengan cepatnya, menusuk ke arah lambung Sie Kian. Guru silat ini melihat datangnya serangan yang amat berbahaya. Dia melempar tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan sehingga terbebas dari tusukan tadi. Akan tetapi lawannya mengejar dan pada saat itu muncullah Kim Cu An.
Pemuda ini mendengar teriakan gurunya, menjadi khawatir sekali. Sejak tadi, tidak ada musuh menyerbu lian-bu-thia itu, maka dia berpendapat bahwa musuh hanya seorang saja dan agaknya gurunya membutuhkan bantuan. Jika tidak begitu, tentu gurunya tidak berteriak menyuruh puterinya membawa ibu dan adiknya melarikan diri!
Kim Cu An lalu berlari keluar. Di pekarangan itu dia melihat suhu-nya bergulingan di atas tanah, sedang dikejar oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung yang gerakannya gesit bukan main.
“Suhu, teecu datang membantumu!” teriak Cu An.
Dia lalu menggerakkan pedangnya membacok orang itu dari belakang. Akan tetapi orang itu memutar pedangnya menangkis.
“Tranggg...!”
Cu An mengeluarkan seruan kaget karena pedangnya terpental dan hampir terlepas dari pegangan saking kuatnya tenaga lawan dan ketika dia melihat, pedangnya telah buntung ujungnya!
“Hati-hati, Cu An, dia memegang pedang pusaka!” teriak Sie Kian yang sudah terbebas dari desakan tadi berkat bantuan muridnya.
Kini guru dan murid menghadapi lawan tangguh itu dengan pedang mereka yang sudah buntung ujungnya!
Orang itu lalu tertawa lagi. “Ha-ha-ha kebetulan sekali. Kalian sudah berkumpul di sini sehingga tidak melelahkan aku yang harus mencari ke sana-sini! Kalian akan mampus di tanganku!”
“Nanti dulu! Perkenalkan dulu namamu sebelum kami membunuhmu!” bentak Sie Kian yang ingin tahu siapa sebenarnya musuh besarnya ini.
“Ha-ha-ha, apa artinya kalau kuperkenalkan namaku pada kalian yang sebentar lagi akan mampus?”
Tiba-tiba saja orang itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Pedangnya bergerak amat cepat, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan menimbulkan angin berpusing. Sungguh suatu ilmu pedang yang sangat hebat!
Sie Kian dan Cu An segera mengerahkan tenaga dan seluruh kepandaian mereka untuk menahan serangan itu. Namun mereka segera terdesak dan tiba-tiba tangan kiri lawan itu bergerak. Tiga batang piauw beronce merah lalu menyambar ke arah tiga bagian tubuh depan Cu An, sedangkan pedangnya membuat gerakan memutar, membacok ke arah tubuh Sie Kian, kemudian dilanjutkan tusukan-tusukan maut!
Guru dan murid ini menjadi repot sekali. Hampir saja tadi Cu An menjadi korban senjata rahasia piauw itu. Untung dia masih dapat melempar tubuhnya ke atas tanah sehingga terbebas dari renggutan maut lewat senjata piauw itu. Dan Sie Kian juga terhuyung ke belakang dalam usahanya mengelak dan menangkis gulungan sinar pedang.
Pada saat itu, lawannya kembali menggerakkan tangan kiri. Tiga sinar merah meluncur ke arah tenggorokan, dada dan lambung Sie Kian yang sedang terhuyung, dan orang itu meninggalkannya, pedangnya kini menyambar-nyambar ke arah Cu An yang baru saja meloncat bangun dari atas tanah di mana dia berguling tadi.
Cu An berusaha menangkis, akan tetapi kembali pedangnya patah dan pedang lawan meluncur terus memasuki dadanya.
“Cappp...!”
Pedang dicabut, darah menyembur dan tubuh Cu An terjengkang, tewas seketika karena jantungnya ditembusi pedang lawan.
Sie Kian yang juga repot sekali mengelak dari sambaran tiga batang piauw tadi, terkejut bukan main melihat muridnya roboh. Akan tetapi pada saat itu, lawannya sudah datang menerjangnya. Dia berusaha menangkis, namun seperti keadaan muridnya, pedang yang menangkis itu patah dan pedang lawan meluncur terus menyambar ke arah leher dengan kekuatan dahsyat.
Terdengar suara bacokan keras dan leher Sie Kian terbabat putus. Kepalanya terlepas dari tubuhnya dan menggelinding ke atas tanah. Tubuhnya terbanting keras dan darah bercucuran membasahi tanah pekarangan.
Orang itu tertawa bergelak. Dengan wajah gembira dia menyambar rambut kepala Sie Kian dengan tangan kirinya, lalu dia berloncatan memasuki rumah itu.
Sementara itu, Lan Hong yang tadi mendengar teriakan ayahnya, menjadi khawatir luar biasa. Bagaimana ia dapat melarikan diri kalau ayahnya terancam bahaya? Apa lagi, ia harus membawa lari ibunya dan adiknya, bagaimana mungkin ia dapat berlari cepat, dan andai kata ia melarikan ibunya dan adiknya, tentu akan dapat dikejar dan disusul pula oleh musuh yang lihai.
Ia merasa bimbang, apa lagi ketika melihat suheng-nya melompat keluar untuk membantu ayahnya. Lan Hong lalu berdiri melindungi ibunya yang masih tetap mendekap adiknya. Ketika melihat ibunya menggigil ketakutan, ia berkata dengan gagah, sambil mengangkat pedangnya.
“Ibu, jangan takut! Aku akan melindungi ibu dan adik Liong.”
Melihat sikap puterinya yang gagah itu, timbul pula keberanian Nyonya Sie. Orang jahat akan mengganggu anak-anaknya? Tidak, ia tidak boleh tinggal diam saja! Biar pun tidak sangat mendalam, ia pernah pula belajar ilmu silat.
Dan kini, melihat puterinya akan menghadapi orang jahat, dan melihat bayinya terancam, bangkit semangat dan keberaniannya. Apa lagi mengingat betapa suaminya juga sedang terancam bahaya maut. Ia segera menurunkan Sie Liong yang masih tidur itu ke atas kasur, lalu ia sendiri berlari ke arah rak senjata yang berada di sudut ruangan belajar silat itu, memilih senjata sebatang golok kecil yang ringan dan ia berdiri di samping puterinya.
“Kita bersama menghadapi penjahat, Hong-ji!” katanya.
Lan Hong khawatir melihat ibunya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, lebih banyak orang yang menghadang penjahat tentu lebih baik. Ia hanya mengharapkan ayahnya dan suheng-nya sudah cukup untuk mengusir penjahat yang menyerbu rumah mereka.
Tidak lama kemudian, terdengar suara ketawa dan sebuah benda melayang dari pintu ruangan itu masuk ke dalam. Benda itu jatuh ke lantai, lalu menggelinding ke depan dua orang wanita itu. Lan Hong yang saat itu sudah siap siaga, cepat memandang benda itu. Sebuah kepala yang lehernya masih berlepotan darah!
“Ayah...!” Ia menjerit.
Ibunya melengking kemudian menubruk ke depan, melemparkan goloknya dan menangis menggerung-gerung. Pada saat itu ada bayangan orang berkelebat masuk.
“Ibu mundur...!” Lan Hong berteriak, akan tetapi terlambat.
Ibunya sudah meloncat ke depan dan menubruk kepala suaminya itu, dan pada saat itu, laki-laki jangkung yang berkelebat masuk itu sudah menggerakkan pedangnya.
“Crakkkk!”
Pedang itu menyambar cepat dan kuat sekali. Leher ibu yang sedang menangisi kepala suaminya itu pun terbabat putus, kepalanya menggelinding di atas lantai dan darahnya menyembur-nyembur.
“Ibuuu...!”
Lan Hong hampir pingsan melihat ini, akan tetapi kemarahan membuat ia dapat menahan diri. Dengan kemarahan meluap, dendam sakit hati yang amat hebat, ia pun menyerang laki-laki itu dengan pedangnya. Ia menusuk dengan sekuat tenaga ke arah dada orang itu sambil mengeluarkan suara melengking nyaring saking marahnya.
Laki-laki itu mengelak. Dia mengamati gadis yang menyerangnya, dan sinar kagum lalu terpancar dari pandang matanya.
“Ahh, engkau sungguh manis sekali! Engkau puteri Sie Kian? Sungguh tidak kusangka guru silat itu mempunyai seorang puteri yang begini cantik dan manis!” Kembali dia pun mengelak ketika pedang di tangan Lan Hong menyambar ke arah lehernya.
Lan Hong tidak mempedulikan kata-kata orang itu yang memuji-muji kecantikan dirinya. Hatinya penuh dendam kebencian dan ingin ia menyayat-nyayat dan mencincang hancur tubuh musuh besar yang telah membunuh ayah ibunya itu. Ia melanjutkan serangannya, dan kemarahan membuat serangannya itu tidak teratur lagi, akan tetapi justru serangan seperti itu amat berbahaya.
Melihat kenekatan gadis yang menyerangnya sambil bercucuran air mata itu, laki-laki itu pun menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang. Pedang yang menangkis itu mengeluarkan tenaga getaran kuat sehingga ketika dua pedang itu bertemu, pedang di tangan Lan Hong patah dan juga terlepas dari pegangannya!
Gadis itu berdiri dengan muka pucat, akan tetapi matanya terbelalak memandang penuh kebencian.
Laki-laki di depannya itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya rapi, tubuhnya tinggi semampai. Seorang pria yang akan menarik hati setiap orang wanita, akan tetapi pada saat itu, Lan Hong melihatnya seperti setan jahat yang amat dibencinya.
Laki-laki itu menodongkan pedangnya ke depan dada Lan Hong, tersenyum dan kembali matanya memancarkan sinar kagum dan juga heran.
“Sungguh mati, jika usiamu tak semuda ini, tentu kau kukira isteriku! Engkau mirip benar dengan isteriku, bahkan engkau lebih cantik, lebih segar dan lebih muda! Ahhh, ayahmu sudah membunuh istriku, sudah sepatutnya kalau dia menyerahkan puterinya sebagai pengganti isteriku. Ha-ha-ha-ha, benar sekali! Nona manis, engkau akan menjadi isteriku. Aku tidak akan membunuhmu, sebaliknya malah, aku akan mengambil engkau menjadi isteriku, isteriku yang tercinta, dan aku akan membahagiakanmu, akan melindungimu... engkau akan menjadi pengganti isteriku yang telah tiada...”
“Tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada menjadi isterimu, jahanam!” teriak Lan Hong. Sekarang gadis ini menyerang dengan kepalan tangannya, menghantam ke arah muka yang amat dibencinya itu.
“Plakk!”
Tangan itu telah tertangkap pada pergelangannya oleh tangan kiri pria itu.
“Nona, pikirkan baik-baik dan jangan menurutkan nafsu amarah. Ingatlah bahwa aku terpaksa membunuh keluarga ayahmu karena ayahmu pernah membunuh isteriku yang tercinta. Sekarang, semua hutang sudah lunas dan engkau..., engkau sungguh menarik hatiku, Engkau menjadi pengganti isteriku. Mudah saja bagiku untuk memaksamu dan memperkosamu, nona. Akan tetapi aku sungguh tidak menghendaki cara itu. Aku ingin engkau dengan suka rela menyerahkan diri padaku, menjadi isteriku!”
“Tidak! Tidak sudi! Lebih baik aku mati!” Lan Hong meronta-ronta.
Pada saat itu terdengar tangis seorang anak kecil! Sie Liong agaknya terbangun dan dia menangis menjerit-jerit seperti anak yang ketakutan.
Baik Lan Hong mau pun orang itu sangat terkejut. Orang itu melepaskan Lan Hong yang tadi sudah melupakan adiknya itu, dan dengan pedang di tangan dia menghampiri kasur terhampar di mana anak itu rebah menangis.
“Aha! Kiranya keluarga Sie masih mempunyai seorang anak kecil? Laki-laki pula! Ahh, dia harus mampus...!”
Tiba-tiba saja Lan Hong menubruk adiknya.
“Tunggu...! Jangan... jangan bunuh adikku...!” jerit Lan Hong sambil mendekap adiknya, melindunginya. Mukanya pucat dan matanya terbelalak memandang laki-laki itu. “Jangan bunuh adikku... ahh, kumohon padamu, jangan bunuh adikku yang masih kecil ini...!”
“Dia putera ayahmu dan kelak hanya akan menjadi ancaman bahaya bagiku. Aku harus membunuhnya. Berikan dia padaku!” Lelaki itu menghardik, sekarang suaranya berubah, terdengar galak dan kejam, tidak seperti tadi, penuh nada manis merayu,.
Lan Hong membayangkan betapa orang itu akan membunuh adiknya. Kalau ia melawan, ia pun tentu akan mati. Baginya, mati bukanlah apa-apa, akan tetapi kalau ia mati dan adiknya mati pula, lalu siapa kelak yang akan membalas dendam yang setinggi gunung sedalam lautan ini? Satu-satunya jalan, ia harus mengorbankan diri, menyerahkan diri, demi adiknya agar dapat hidup, agar kelak akan ada yang membalaskan kehancuran dan pembasmian keluarga ayahnya ini!
“Tidak! Tunggu..! Aku... aku akan menyerahkan diri dengan suka rela... aku akan menjadi isterimu asalkan engkau... tidak membunuh adikku...! Kalau engkau tetap membunuhnya, aku akan melawanmu sampai mati dan aku tidak akan menyerahkan diri, tapi aku akan membunuh diri!”
Sejenak pria itu tertegun, memandang kepada anak laki-laki dalam pondongan gadis itu, lalu memandang gadis itu dari kepala sampai ke kaki. Sungguh aneh sekali, pikirnya. Gadis ini mirip benar dengan isterinya yang telah tiada! Dan begitu bertemu, timbul rasa suka kepada gadis ini.
Baru penolakannya saja sudah amat menyakitkan hati, kalau dia harus memperkosanya, hatinya akan lebih kecewa lagi. Kalau gadis itu menyerahkan diri secara suka rela, mau menjadi isterinya, alangkah akan bahagianya hatinya! Hidupnya akan menjadi terang lagi setelah kegelapan bertahun-tahun yang dideritanya karena kematian isterinya.
Akan tetapi anak itu! Ah, bukankah janjinya hanya tidak akan membunuhnya? Baik, dia tidak akan membunuhnya, tapi...
“Benar engkau akan menyerahkan diri kepadaku dengan suka rela?”
“Benar!”
“Dan engkau mau berjanji akan belajar mencintaku seperti aku mencintamu setelah aku menjadi suamimu yang mencintamu?”
Wajah gadis itu berubah merah. “Aku... aku akan mencoba...”
“Bagus! Kalau begitu, aku tidak akan membunuh adikmu, akan tetapi sekali saja engkau memperlihatkan sikap memusuhi aku yang menjadi suamimu, adikmu akan kubunuh!”
“Tidak, engkau harus bersumpah lebih dahulu! Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan membunuh Sie Liong, adikku ini. Bagaimana pun juga aku percaya bahwa engkau masih memiliki harga diri dan kehormatan untuk memegang teguh sumpahmu. Bersumpahlah, baru aku akan percaya padamu.” Gadis itu mempertahankan diri sambil terus mendekap adiknya yang sudah berhenti menangis.
Pria itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau cantik, engkau manis, dan engkau cerdik! Sungguh membuat aku samakin jatuh cinta saja. Engkau patut menjadi isteriku, sungguh! Siapakah namamu? Aku akan bersumpah.”
“Namaku Sie Lan Hong dan adikku ini Sie Liong.”
“Nah, sekarang dengarkan sumpahku!” kata pria itu dan dia pun berdiri dengan tegak, mengangkat pedangnya di depan dahi, mengacung ke atas dan dia pun berkata dengan suara lantang. “Aku, Yauw Sun Kok, bersumpah demi nama dan kehormatanku, dengan disaksikan oleh pedang pusakaku, Bumi dan Langit, bahwa kalau Sie Lan Hong menjadi isteriku dan membalas cinta kasihku, menyerah dengan suka rela kepadaku, maka aku tak akan membunuh Sie Liong! Biar Bumi dan Langit mengutuk aku kalau aku melanggar sumpahku!”
Setelah bersumpah, pria yang barusan mengaku bernama Yauw Sun Kok itu menyimpan pedangnya ke dalam sarung pedang dan tersenyum pada Lan Hong. “Nah, bagaimana? Puaskah engkau dengan sumpahku tadi?”
Lan Hong mengangguk dan Sun Kok nampak girang sekali.
“Manisku, Hong-moi, kekasihku, isteriku... kemenangan ini harus kita rayakan bersama. Untuk memperkuat sumpahku, saat ini juga engkau harus menjadi isteriku yang tercinta. Tidurkan adikmu itu...”
Dengan lembut Sun Kok lalu mengambil Sie Liong dari dekapan Lan Hong, merebahkan anak itu di tepi kasur. Kemudian, dengan lembut namun penuh gairah, bagaikan seekor harimau, dia menerkam Lan Hong, mendorong gadis itu rebah ke atas kasur di dekat adiknya!
Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan hati gadis itu. Dara yang sedang remaja ini terpaksa harus menyerahkan dirinya bulat-bulat, tanpa mengadakan perlawanan sedikit pun, menyerahkan dirinya untuk digauli pria yang baru saja membunuh ayahnya, ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di dalam rumah.
Bahkan ia harus melayani pria itu di kasur yang dihamparkan di atas lantai lian-bu-thia, dan dari tempat ia rebah terlentang itu ia dapat melihat dua buah kepala yang berlepotan darah di atas lantai, tak jauh dari situ. Kepala ayahnya dan Ibunya!
Kini Sie Liong mulai menangis lagi, meraung-raung. Lan Hong juga menangis, merintih kesakitan. Namun, Yauw Sun Kok yang dibakar nafsu birahinya itu tidak mempedulikan semua itu. Dia sudah merasa bangga, juga bahagia sekali karena gadis itu benar-benar menyerahkan diri bulat-bulat tanpa perlawanan sedikit pun!
Dia pun tidak peduli ketika gadis itu, di antara isak tangis dan rintihannya, berbisik-bisik, “Ayah... Ibu... ampunkanlah anakmu ini... demi keselamatan Sie Liong... ahhhh...”
Setelah merasa puas dengan penyerahan diri yang sama sekali tidak mengandung perlawanan seperti dijanjikan gadis itu, Yauw Sun Kok merasa semakin sayang kepada Lan Hong. Rasa sayang itu dibuktikannya dengan menuruti permintaan gadis itu untuk menguburkan jenazah ayah ibu gadis itu, suheng-nya, dan dua orang pelayan.
Pada malam itu juga, Sun Kok menggali lubang-lubang di belakang rumah keluarga Sie, menguburkan jenazah suami isteri Sie Kian dalam satu lubang, jenazah Kim Cu An dan dua orang pelayan di lain lubang. Kemudian, menjelang pagi, dia pun memondong tubuh Lan Hong yang juga memondong Sie Liong, lalu melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat itu.
Pada keesokan harinya, beberapa tetangga mendapatkan rumah keluarga Sie sunyi sepi. Ketika tetangga ini memeriksa, mereka tidak menemukan seorang pun penghuni rumah itu. Di pekarangan dan di ruangan berlatih silat nampak banyak darah berceceran, dan semua binatang di rumah itu mati di dalam kandangnya.
Tentu saja para petugas pemerintah melakukan pemeriksaan dan mereka menemukan dua buah lubang kuburan baru itu. Kuburan dibongkar dan gegerlah kota Tiong-cin ketika mereka menemukan mayat-mayat Sie Kian, isterinya, muridnya, dan dua orang pelayan wanita.
Jelas mereka itu tewas karena dibunuh, bahkan Sie Kian dan isterinya tewas dengan kepala terpisah dari badannya. Yang membuat semua orang bingung adalah lenyapnya Sie Lan Hong dan Sie Liong, dua orang anak keluarga Sie itu.
Teka-teki peristiwa yang terjadi di rumah keluarga Sie itu tetap merupakan rahasia yang tidak dapat terpecahkan oleh semua orang. Dan rahasia itu memang tidak mungkin dapat dipecahkan karena dua orang yang dapat menjadi kunci pembuka rahasia itu, yaitu Sie Lan Hong dan Sie Liong, telah pergi jauh sekali dari tempat itu. Ratusan bahkan ribuan li jauhnya dari kota Tiong-cin karena Yauw Sun Kok membawanya pergi ke barat, jauh sekali, di perbatasan barat propinsi Sin-kiang.....
********************
Yauw Sun Kok adalah seorang laki-laki petualang yang sudah hidup sebatang kara sejak masih kecil. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena wabah penyakit menular yang amat berbahaya di dusunnya. Dalam usia sepuluh tahun dia sudah hidup sebatang kara dan yatim piatu.
Kehidupan yang keras seorang diri ini menggemblengnya menjadi seorang pemuda yang keras. Namun, dia memang memiliki kecerdikan sehingga meski pun ketika ayah ibunya meninggal dia baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi dia sudah mempunyai kepandaian membaca dan menulis.
Ketika dia hidup seorang diri, merantau sebatang kara dan menemui banyak kekerasan dan kesulitan hidup, dia mengerti bahwa dalam kehidupan yang sulit dan serba keras itu, dia perlu menguasai ilmu silat. Maka, ke mana pun dia merantau, dia selalu berusaha untuk mempelajari ilmu silat dari siapa pun.
Akhirnya, pada usia lima belas tahun, setelah menguasai beberapa macam ilmu silat, dia bekerja pada seorang kepala perampok kenamaan di sepanjang Sungai Kuning. Karena dia amat setia dan pandai mengambil hati, dia pun menjadi murid kepala perampok itu dan kemudian mempelajari ilmu silat dan ilmu... merampok!
Sering kali dia mewakili gurunya memimpin anak buah untuk merampok atau membajak perahu-perahu di sungai dan dalam usia dua puluh tahun, dia sudah menjadi seorang perampok yang lihai dan ditakuti. Bukan saja ilmu silatnya cukup lihai, akan tetapi juga dia masih bersikap seperti orang terpelajar dengan modal sedikit ilmu sastra yang pernah dipelajari pada waktu ayahnya masih hidup.
Pakaiannya selalu rapi, dan karena wajahnya tampan, maka banyak wanita yang jatuh hati padanya. Di antara gadis yang tergila-gila kepadanya adalah puteri kepala perampok itu sendiri! Gadis puteri kepala perampok itu memang cantik manis, dan segera terjadilah hubungan akrab di antara mereka.
Akan tetapi, kepala perampok itu tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan Sun Kok yang menjadi pembantunya dan muridnya pula. Walau pun dia adalah kepala perampok, akan tetapi dia tidak ingin melihat puterinya menjadi isteri seorang perampok! Dia ingin melihat puterinya menjadi isteri dari seorang pejabat tinggi atau seorang hartawan, paling tidak seorang yang hidup terhormat dan terpandang!
Di sini terbukti bahwa tiap orang yang melakukan penyelewengan dalam hidupnya, sama sekali bukan karena dia tak tahu atau menyukai pekerjaan maksiat atau penyelewengan itu! Kalau dia mampu, tentu saja dia akan menjauhi perbuatan menyeleweng itu! Kalau seorang pencuri, ketika sudah menjadi kaya raya dan terhormat, tak mungkin dia ingin mencuri lagi!
Kepala perampok itu pun tidak ingin mempunyai mantu seorang perampok!
Akan tetapi, hubungan antara Sun Kok dan puteri perampok itu sudah amat jauh dan mendalam, bahkan puteri kepala perampok itu sudah berulang kali menyerahkan dirinya kepada Sun Kok. Sudah berulang kali mereka melakukan hubungan suami isteri dengan pencurahan kasih sayang. Karena dihalangi oleh orang tua gadis itu, jalan satu-satunya bagi mereka hanyalah minggat!
Sun Kok dan kekasihnya meninggalkan sarang kepala perampok itu. Ketika lari gadis itu membawa pula beberapa barang berharga. Mulailah mereka berdua hidup sebagai suami isteri perampok! Mereka pergi jauh meninggalkan sarang kepala perampok di tepi Sungai Kuning itu dan menjadi perampok di sepanjang perbatasan Propinsi Hok-kian di timur.
Demikianlah sedikit riwayat Yauw Sun Kok. Sampai lima tahun kemudian, saat ia berusia dua puluh lima tahun dan menjadi perampok bersama isterinya tercinta, mereka berdua ketika sedang merampok kereta keluarga bangsawan, mereka bertemu dengan Sie Kian dan dalam perkelahian tersebut, isteri Yauw Sun Kok tewas di tangan Sie Kian!
Yauw Sun Kok yang kematian isterinya menjadi berduka sekali dan dia mendendam sakit hati yang hebat terhadap Sie Kian. Kembali kini dia hidup sebatang kara karena isterinya belum pernah melahirkan seorang anak.
Dengan dendam yang bernyala, Yauw Sun Kok lalu merantau ke barat. Dia mendengar bahwa Pegunungan Himalaya merupakan gudang para pertapa yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Maka ke sanalah dia pergi, untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi agar kelak dia dapat membalas dendamnya kepada Sie Kian.
Selama lima tahun, Yauw Sun Kok menghamburkan semua hartanya yang dikumpulkan dari hasil merampok bersama isterinya, termasuk harta bawaan isterinya, hanya untuk belajar ilmu silat. Bermacam guru ditemuinya dan dia pun berhasil mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi.
Dia pun behasil mendapat sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih) karena di badan pedang itu terdapat ukiran setangkai bunga teratai putih. Pedang itu sendiri terbuat dari baja putih sehingga kalau dimainkan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata.
Setelah merasa cukup mempunyai ilmu silat yang boleh diandalkan, Yauw Sun Kok lalu pergi mencari musuh besarnya. Tidak sukar baginya untuk menemukan tempat tinggal Sie Kian atau Sie Kauwsu yang membuka perguruan silat bayaran di kota Tiong-cin itu.
Dia melakukan penyelidikan dan merasa girang melihat betapa rumah keluarga Sie itu berdiri terpencil dan para muridnya tinggal di luar perguruan. Setelah memperhitungkan masak-masak, dia lalu mengirim surat ancaman dengan mempergunakan senjata rahasia piauw-nya dan akhirnya, dia berhasil membasmi keluarga Sie, dan melarikan dua orang anak musuh besarnya.
Sungguh di luar perhitungannya bahwa dia dapat jatuh cinta kepada Lan Hong, padahal dia bukahlah seorang yang mata keranjang dan mudah tergila-gila kepada wanita cantik. Mungkin karena antara wajah Lan Hong dengan mendiang isterinya ada persamaan atau kemiripan, maka dia tertarik sekali.
Setelah berhasil menaklukan Lan Hong sehingga gadis remaja itu menyerahkan diri kepadanya, Yauw Sun Kok merasa gembira sekali. Dia maklum bahwa perbuatannya di Tiong-cin itu akan menimbulkan kegemparan, maka dia kemudian melakukan perjalanan secepatnya menuju ke barat! Dia membawa Lan Hong yang telah menjadi isterinya itu ke Sin-kiang bersama anak kecil itu.
Di sebuah kota kecil bernama Sung-jan, di perbatasan barat Propinsi Sin-kiang, Tauw Sun Kok telah memiliki sebuah rumah yang lumayan. Di sinilah tempat tinggalnya yang terakhir setelah menuntut ilmu.
Di kota ini namanya sudah mulai terkenal sebagai seorang yang sakti. Namanya dapat terkenal karena dia memiliki hubungan dengan banyak tokoh kang-ouw di daerah barat. Memang Sun Kok pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan dengan kepandaiannya mengambil hati ini, dia dapat mempelajari banyak macam ilmu silat.
Setelah tiba di rumahnya, Sun Kok lalu merayakan pesta pernikahannya dengan Sie Lan Hong! Meriah juga pesta itu karena selain mengundang orang-orang terkemuka di kota Sung-jan, juga dia mengundang tokoh-tokoh kang-ouw di daerah barat yang menjadi kenalannya.
Suatu keanehan terjadi dalam hati Sie Lan Hong. Melihat sikap bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu, sikap yang sangat baik, penuh dengan kelembutan dan cinta kasih, penuh kemesraan dan kesabaran, sedikit demi sedikit lenyaplah kebencian dalam hati dara remaja ini! Apalagi dia melihat betapa Sun Kok memang bersungguh-sungguh memperisterinya, bukan sekedar main-main dan untuk mempermainkannya saja.
Melihat betapa suaminya mengadakan pesta yang meriah untuk pengesahan pernikahan mereka, mulai timbul perasaan suka di hati gadis ini. Sun Kok yang berpengalaman itu memang pandai merayu, dan Lan Hong adalah seorang gadis yang usianya baru lima belas tahun, maka mudah saja dia terbuai dalam kemesraan serta kenikmatan kasih sayang suaminya. Perlahan-lahan, rasa benci dan dendam itu lenyap terganti perasaan cinta!
Akan tetapi ada suatu hal yang menggelisahkan hati Yauw Sun Kok. Dia pun kini sudah tidak mendendam lagi kepada keluarga Sie, dan cintanya terhadap Lan Hong yang sudah menjadi isterinya adalah cinta yang mendalam. Bahkan ia pun tidak membenci Sie Liong, adik isterinya itu. Sebaliknya, dia bahkan juga memiliki perasaan sayang kepada anak itu, di samping perasaan iba mengingat betapa anak itu sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi.
Akan tetapi, di samping perasaan sayang dan iba ini, ada semacam kegelisahan timbul di dalam hatinya setiap kali dia memangku dan menimang Sie Liong. Dalam diri anak ini dia melihat ancaman bahaya besar!
Kalau kelak Sie Liong sudah menjadi seorang dewasa, tentu dia akan mendengar akan kematian ayah ibunya di tangan kakak iparnya ini, dan tentu akan terjadi mala petaka! Besar sekali kemungkinannya, Sie Liong kelak akan mencoba untuk membalas dendam! Dari pihak isterinya, dia tidak khawatir karena dia dapat merasakan kemesraan dan kasih sayang dari isterinya kepadanya. Akan tetapi anak ini?
Setahun kemudian, ketika Sie Liong sudah pandai berjalan, pada suatu hari Sun Kok mengajaknya ke kebun belakang. Sementara itu Lan Hong sedang menyusui anaknya di dalam kamar. Sesudah menikah setahun lamanya, Lan Hong melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan diberi nama Yauw Bi Sian. Ketika itu, Bi Sian baru berusia satu bulan.
Sun Kok mengajak Sie Liong ke kebun dan memang anak ini dekat sekali dengan dia. Sun Kok sering kali menimang dan memondongnya, seolah-olah adik isterinya itu anak kandungnya sendiri. Sun Kok tidak berpura-pura, di dalam hatinya memang ada rasa sayang dan iba kepada Sie Liong.
Akan tetapi, ketika dia membawa Sie Liong bermain-main di kebun belakang, kembali dia teringat akan bahaya yang bisa mengancam dari diri anak ini. Dia tahu bahwa Sie Liong mempunyai tulang yang kuat dan darah yang bersih. Anak ini berbakat baik sekali untuk kelak menjadi seorang yang gagah perkasa. Jika kelak anak ini menjadi seorang pandai, tentu keselamatan dirinya akan terancam!
Wajah anak itu saja sudah mulai mengingatkan dia akan wajah Sie Kian yang dahulu dibunuhnya. Berbeda dari wajah isterinya yang lebih mirip ibunya. Kelak Sie Liong akan menjadi Sie Kian kedua yang mungkin akan membunuhnya untuk membalas dendam!
Mulailah dia merasa menyesal, mengapa dia membunuh dan membasmi keluarga Sie tanpa mengenal ampun. Pada saat itu dia insyaf, mendiang Sie Kian membunuh isterinya bukan karena benci atau dendam, melainkan dalam sebuah perkelahian yang wajar.
Ketika itu, sebagai seorang pendekar, Sie Kian membela bangsawan yang dirampoknya. Dalam perkelahian itu Sie Kian berhasil mengalahkan dia dan isterinya. Isterinya tewas dan dia terluka, juga Sie Kian terluka oleh senjata rahasia piauw-nya.
Bagaimana pun juga, anak ini merupakan ancaman bahaya besar. Betapa mudahnya melenyapkan ancaman baginya itu. Sekali menggerakkan tangannya, anak ini akan mati dan lenyaplah ancaman bahaya itu. Akan tetapi, dia teringat akan sumpahnya kepada isterinya. Dia telah bersumpah tidak akan membunuh anak ini, dan isterinya ternyata juga memegang teguh janjinya.
Isterinya itu kini benar-benar menjadi seorang isteri yang mencinta, mesra dan bahkan telah melahirkan seorang anak keturunannya! Bagaimana mungkin dia dapat melanggar sumpahnya? Isterinya benar. Bagaimana pun juga, dia masih memiliki harga diri dan dia tidak akan melanggar sumpahnya! Dan pula, bagaimana dia tega untuk membunuh anak ini yang sudah disayangnya pula?
“Ci-hu (kakak ipar)... ci-hu... tangkap... tangkap...!” Tiba-tiba Sie Liong berseru gembira sambil menunjuk ke arah seekor kupu-kupu kuning yang sedang beterbangan di antara kembang-kembang yang tumbuh di kebun itu.
Yauw Sun Kok memandang anak itu. Dia tersenyum. “Kau tangkaplah sendiri, Sie Liong! Engkau anak pandai, harus mampu menangkap sendiri kupu-kupu itu.”
Sie Liong dengan gembira berlari-lari mengejar kupu-kupu itu. Akan tetapi kupu-kupu itu terlampau gesit dan terbangnya terlampau tinggi bagi Sie Liong yang mengejar terus. Karena ketika berlari-lari itu dia selalu melihat ke arah kupu-kupu di atas, tiba-tiba kaki Sie Liong tersandung batu besar dan dia pun tergelincir dan terguling.
“Dukkk!”
Ketika terjatuh itu, kepalanya membentur batu dan anak itu pun pingsan! Kepalanya yang kanan dekat pelipis mengeluarkan benjolan berdarah.
Sun Kok terkejut dan cepat dia meloncat menghampiri dan memondong tubuh anak itu, lalu duduk di atas bangku dan memangkunya. Sie Liong telah pingsan. Ketika dia hendak menyadarkan anak itu dengan memijat belakang kepalanya, tiba-tiba menyelinap pikiran lain dalam benaknya. Inilah kesempatan yang amat baik!
Dia tidak akan membunuh anak ini, akan tetapi dapat membuatnya menjadi cacat dan dengan cacatnya itu, kelak dia tidak akan dapat menjadi orang kuat dan terhindarlah dia dari ancaman balas dendam anak ini! Membuat dia cacat tak berarti membunuhnya. Dia tidak melanggar sumpahnya.
Dalam keadaan pingsan begini, anak ini pun tidak merasakan apa-apa! Dan dia akan mengusahakan agar sama sekali tak ada bekas-bekas penganiayaan, sehingga peristiwa jatuhnya anak ini kelak dapat menjadi alasan mengapa dia menjadi cacat!
Tanpa ragu lagi, Sun Kok menelungkupkan tubuh Sie Liong yang pingsan itu, membuka bajunya, kemudian dengan dua jari tangan kanannya, dia menotok dan memuntir tiga kali di punggung anak itu! Benarlah seperti dugaannya, anak yang pingsan itu tidak kelihatan kesakitan, padahal tiga kali totokan jari dan puntiran itu sudah membuat tulang punggung itu retak serta jaringan syaraf dan ototnya menjadi hancur!
Setelah membereskan kembali pakaiannya, Sun Kok lalu memondong tubuh itu lagi dan membawanya pulang ke rumah. Tanda biru menghitam pada punggung itu tentu tak akan menimbulkan kecurigaan. Tak ada seorang pun akan menyangka bahwa tanda itu adalah tanda bekas totokan dan puntiran jari tangannya!
Lan Hong sangat terkejut ketika melihat suaminya memasuki kamar sambil memondong tubuh Sie Liong yang lemas seperti anak tidur.
“Ahh, ada apakah?” tanyanya sambil memandang wajah suaminya dengan khawatir.
“Dia mengejar kupu-kupu, namun tersandung dan terjatuh. Kepalanya terbanting ke atas batu dan dia pingsan,” katanya sambil merebahkan tubuh anak itu ke atas pembaringan.
Lan Hong sejenak memandang wajah suaminya. Sepasang alisnya berkerut, sedangkan pandang matanya penuh dengan kecurigaan. Melihat isterinya memandangnya seperti itu, Sun Kok manghampiri dan merangkul isterinya.
“Isteriku, apakah sampai kini engkau belum juga percaya padaku? Ingat, aku tidak akan pernah melupakan sumpahku. Aku tidak akan membunuh Sie Liong! Aku sudah sangat sayang kepadanya. Bagaimana kini engkau dapat memandang kepadaku dengan penuh kecurigaan seperti itu?”
Lan Hong membalas rangkulan suaminya.
“Ahh, maafkan aku...,” dan ia pun segera memeriksa keadaan Sie Liong.
Kelihatannya hanya kepala anak itu saja yang terluka, berdarah dan membenjol. Akan tetapi biar pun mereka berdua telah berusaha untuk membikin sadar, anak itu tetap saja pingsan. Hal ini membuat Lan Hong merasa khawatir sekali dan suaminya segera pergi mengundang seorang tabib yang terkenal pandai di kota Sung-jan itu. Tabib itu seorang peranakan Nepal dan memang dia pandai sekali dalam soal pengobatan.
Orang berkulit hitam, tinggi kurus dan bersorban putih itu datang membawa keranjang obatnya dan segera memeriksa Sie Liong. Tabib itu sudah lama mengenal Yauw Sun Kok yang di kota itu dikenal sebagai seorang ahli silat yang pandai, selain pekerjaannya sebagai seorang pedagang rempah-rempah yang cukup maju.
Mula-mula dia memeriksa keadaan kepala yang membenjol itu, ditunggui dengan penuh kekhawatiran oleh Lan Hong yang memondong puterinya sambil didampingi suaminya. Tabib itu mengangguk-angguk.
“Hanya luka di luar, tidak ada yang berbahaya dengan kepala ini. Hemmm, kenapa dia belum juga siuman? Tentu ada luka lain. Biar kuperiksa tubuhnya.”
Dia lalu membuka pakaian anak itu, dibantu oleh Sun Kok. Ia sama sekali tidak merasa khawatir. Seorang tabib yang pandai seperti orang Nepal ini pasti dengan mudah akan dapat menemukan luka di punggung itu, akan tetapi tidak mungkin akan tahu bahwa itu disebabkan oleh totokan jari tangan dan akan mengira bahwa punggung itu pun terpukul benda keras.
Dugaannya memang benar. Setelah memeriksa seluruh tubuh Sie Liong, akhirnya tabib itu menemukan tanda menghitam di tulang pungungnya.
“Ahhh, inilah yang menyebabkan dia pingsan terus! Punggungnya terluka, dan luka ini lebih hebat dari pada luka di kepalanya!”
Dia memeriksa dengan teliti, lalu mengerutkan alisnya, menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang.
“Bagaimanakah keadaannya, Sin-she (Tabib)?” tanya Lan Hong khawatir melihat muka orang Nepal itu.
“Tidak baik... sungguh tidak baik...! Luka di punggung ini hebat sekali. Agaknya tulang punggung ini retak, dan otot-ototnya juga terluka parah...”
“Aihh! Bagaimana hal itu dapat terjadi? Dan... dan... apakah dia masih bisa disembuhkan, Sin-she?” tanya pula Lan Hong sambil memandang suaminya.
Sun Kok mengangguk-angguk. “Aku hanya melihat ada batu besar di bawahnya ketika dia jatuh. Oleh karena yang nampak hanya kepalanya yang membenjol dan berdarah, kusangka hanya itu saja lukanya. Tentu tadi punggungnya terbanting pada batu yang menonjol sehingga seperti terpukul.”
Tabib itu mengangguk-angguk. “Agaknya begitulah. Akan tetapi jangan khawatir, anak ini masih kecil sehingga luka parah itu tidak akan sampai merenggut nyawanya, walau pun aku khawatir sekali...”
Melihat tabib itu nampak ragu-ragu, Lan Hong bertanya cemas, “Khawatir apa, Sin-she? Katakanlah, apa yang akan terjadi dengan adikku?”
“Dia akan dapat disembuhkan dengan obatku dan oleh kekuatan tubuhnya sendiri yang masih murni. Akan tetapi, pertumbuhan tulang punggungnya itu akan tidak normal dan aku khawatir kelak dia akan menjadi seorang yang bongkok.”
“Ahhh...!” Lan Hong menutupi mukanya dengan tangan, ngeri membayangkan adiknya menjadi seorang yang bongkok punggungnya.
Tangan suaminya menyentuh pundaknya dengan lembut. “Tidak perlu berduka. Biar pun cacat, biar bongkok asal sehat, bukankah begitu? Yang penting Sie Liong dapat sembuh dan sehat kembali.”
Sie Liong mendapat perawatan baik-baik dan tepat seperti keterangan tabib pandai itu, Sie Liong dapat sembuh, akan tetapi pertumbuhan tulang punggungnya tidak normal. Dua tahun kemudian sudah nampak betapa punggungnya bongkok dan ada punuk di punggungnya seperti punggung onta.
Yauw Sun Kok diam-diam tersenyum seorang diri. Dia merasa lega dan aman sekarang. Seorang bocah yang bongkok punggungnya, bagaimana pun juga tidak mungkin akan dapat menjadi seorang yang perlu ditakuti.
Rasa takut dapat membuat orang menjadi curang dan kejam sekali. Sun Kok melakukan kekejaman itu kepada seorang anak kecil yang sebetulnya sudah mulai disayangnya karena dia takut membayangkan betapa Sie Liong kelak akan mengetahui tentang kedua orang tuanya yang dibunuhnya, kemudian anak itu akan membalas dendam kepadanya.
Sie Lan Hong juga bukan seorang wanita yang bodoh. Walau pun suaminya memberi keterangan bahwa Sie Liong terjatuh menimpa batu pada saat mengejar kupu-kupu, dan ketika telah sadar Sie Liong pun dapat bercerita sedikit-sedikit bahwa kupu-kupunya yang nakal, bahwa dia terjatuh ketika mengejar kupu-kupu, akan tetapi diam-diam Lan Hong menaruh perasaan curiga kepada suaminya.
Dia tahu bahwa suaminya itu, bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau Sie Liong kelak akan mengetahui mengenai kematian orang tuanya, lalu anak itu akan membalas dendam kepadanya. Dia merasa curiga apakah jatuhnya adiknya itu bukan disengaja dan dibuat oleh suaminya!
Akan tetapi ia sudah terlalu mencinta suaminya, apalagi kini mereka sudah mempunyai seorang anak. Andai kata memang benar ada unsur kesengajaan dari suaminya yang menyebabkan adiknya terjatuh dan menjadi cacat, tetap saja suaminya tidak melanggar sumpahnya.
Suaminya pernah bersumpah tidak akan membunuh Sie Liong! Dan membuatnya cacat bukanlah pembunuhan. Karena itu, khawatir kalau dia menuduh tanpa bukti hanya akan merenggangkan kasih sayang antara dia dan suaminya, maka Lan Hong diam saja dan menahan itu di dalam hatinya…..
********************
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Sie Liong kini telah menjadi seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun. Enci-nya tidak mempunyai anak lain kecuali Yauw Bi Sian yang kini sudah berusia sebelas tahun pula. Dan Sie Liong tumbuh besar sebagai seorang anak laki-laki yang amat cerdas, rajin dan pendiam. Akan tetapi dia rajin sekali bekerja.
Meski punggungnya bongkok dengan punuk sebesar kepalan tangan, namun tubuhnya sehat dan dia tak pernah sakit. Juga otaknya cerdas sekali sehingga ketika seorang guru sastra didatangkan oleh Sun Kok untuk mengajar puterinya, Sie Liong yang turut pula belajar, dengan cepat sekali dapat menghafal semua huruf sehingga guru yang mengajar itu memujinya sebagai anak yang amat cerdas.
Sun Kok masih merasa aman melihat perkembangan Sie Liong yang sekarang menjadi seorang anak yang biar pun pandai membaca dan menulis, akan tetapi seorang anak bongkok yang biar pun sehat tapi bertubuh lemah. Hanya satu hal yang mengecewakan hatinya, yaitu melihat bahwa Sie Liong tidak menjadi seorang anak berpenyakitan seperti yang diharapkannya, melainkan menjadi seorang anak sehat.
Sering kali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri. Di satu pihak dia merasa kecewa melihat anak itu sehat, di lain pihak dia merasa girang karena betapa pun juga ia merasa sayang kepada anak itu!
Sie Liong memang seorang anak yang tahu diri. Ia merasa bahwa hidupnya menumpang kepada cihu (kakak ipar), maka dia pun tidak bermalas-malasan. Setiap hari, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan membantu pekerjaan rumah, walau pun cihu-nya memiliki beberapa orang pelayan.
Semenjak kecil Bi Sian sangat dekat dengannya karena dialah yang selalu mengajak keponakan itu bermain-main. Bi Sian juga merasa amat akrab dan sayang sekali kepada pamannya itu. Oleh karena usia mereka hanya berselisih dua tahun saja, maka biar pun mereka itu adalah paman dan keponakan, namun hubungan mereka amat akrab sebagai dua orang anak yang sebaya atau sepantar.
Semenjak Bi Sian berusia enam tahun, ayahnya telah mulai memberi pelajaran ilmu silat kepadanya. Melihat ini, Sie Liong merasa ingin sekali untuk ikut belajar, akan tetapi selalu cihu-nya melarangnya.
“Sie Liong, engkau harus tahu bahwa keadaan tubuhmu ini tidak memungkinkan engkau belajar ilmu silat. Ketahuilah bahwa syarat utama bagi orang yang ingin menguasai ilmu silat dengan baik adalah ketegakan tubuhnya. Tulang punggung mulai tengkuk sampai pinggang haruslah tegak dan rata, maka tidak baik kalau engkau berlatih silat. Lebih baik engkau menekuni ilmu membaca dan menulis.” Demikian Sun Kok pernah berkata.
Mendengar ini, Sie Liong menundukkan mukanya dan merasa bersedih. Akan tetapi dia tahu diri dan mulai saat itu, dia tidak pernah mengemukakan keinginannya untuk belajar ilmu silat.
Akan tetapi, Bi Sian amat sayang kepada paman kecilnya itu. Anak perempuan ini tahu belaka akan isi hati kawan bermainnya ini, maka ia pun tahu benar betapa paman kecil itu ingin sekali ikut belajar ilmu silat. Oleh karena itu, setiap kali mereka hanya berdua saja tanpa diketahui orang lain, Bi Sian lalu mengajarkan semua gerakan yang dipelajari dari ayahnya kepada Sie Liong.
Dan si bongkok ini pun menerimanya dengan sangat gembira. Memang dia ingin sekali belajar silat, maka tentu saja dia gembira menyambut uluran tangan Bi Sian yang mau mengajarnya.
Ternyata kecerdasannya membantu dirinya dengan luar biasa sekali sehingga dia mudah menghafal setiap gerakan. Bahkan karena bakatnya ini dia mampu bergerak lebih lincah dan lebih cekatan, jauh lebih baik dibandingkan Bi Sian.
Tentu saja ada hambatan yang besar baginya, yaitu tubuhnya yang bongkok. Karena itu, dalam beberapa gerakan nampak betapa gerakannya melakukan jurus itu nampak lucu sekali. Selain itu kadang-kadang Sie Liong merasa nyeri pada tengkuk dan punggungnya setelah dia berlatih silat bersama Bi Sian.
Setelah Sie Liong berusia tiga belas tahun dan Bi Sian berusia sebelas tahun, kedua orang anak ini telah mempelajari banyak macam gerakan silat. Bi Sian sudah menjadi seorang gadis cilik yang pandai bersilat. Gerakannya lincah sekali dan karena sejak kecil dia digembleng ayahnya dan mempelajari semedhi dan latihan pernapasan, maka meski pun usianya baru sebelas tahun, anak perempuan ini memiliki tenaga yang kuat.
Dua orang anak yang saling mengasihi dan saling membela ini dapat menyimpan rahasia Sie Liong mempelajari ilmu silat. Baik Sun Kok mau pun Lan Hong sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kesehatan Sie Liong yang baik dan gerakannya yang cekatan itu adalah akibat anak itu sudah belajar silat. Suami isteri itu hanya mengira bahwa itu adalah berkat rajinnya anak itu bekerja, memikul air, menyapu dan pekerjaan lain yang dilakukannya tanpa diperintah.
Akan tetapi akhirnya kemampuan Sie Liong bersilat itu terbuka dengan terjadinya suatu peristiwa. Semua orang di Sung-jan tahu belaka bahwa Yauw Sun Kok adalah seorang ahli silat yang pandai. Pernah beberapa kali Yauw Sun Kok membantu petugas-petugas keamanan kota memberantas gerombolan perampok hingga dia dikenal sebagai seorang jagoan yang disegani.
Oleh karena itu, tidak ada penduduk yang berani mengganggu keluarganya. Walau pun semua orang mengenal Sie Liong sebagai si Bongkok, namun di depan Yauw Sun Kok dan isterinya, tidak ada seorang pun yang berani mengganggu anak bongkok itu, karena mereka maklum bahwa anak bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok.
Pada suatu hari Bi Sian dan Sie Liong pergi ke pasar untuk berbelanja. Tadinya Sie Liong yang disuruh enci-nya pergi ke pasar untuk berbelanja berbagai bumbu dapur yang persediannya sudah hampir habis. Melihat Sie Liong pergi ke pasar, Bi Sian lalu berkeras hendak ikut dengannya. Ibunya memperkenankan karena anak perempuan itu dapat pula membantu Sie Liong membawa barang belanjaan yang cukup banyak.
Hari itu memang ramai sekali orang pergi berbelanja. Juga keadaan kota Sung-jan amat ramai. Maklumlah, orang-orang hendak menyambut hari raya Imlek, menyambut ‘tahun baru’ atau munculnya musim semi yang cerah dan mendatangkan berkah bagi para petani melalui sawah ladang mereka.
Seminggu lagi ‘sin-cia’ tiba. Orang-orang sibuk berbelanja membeli berbagai keperluan dapur, kemudian mulai ramai memasak karena pada hari-hari itu biasanya mereka akan mengadakan sembahyangan pada abu leluhur masing-masing.
Hati Sie Liong dan Bi Sian gembira sekali ketika mereka membawa keranjang kosong pergi ke pasar. Jalan menuju ke pasar itu pun ramai, penuh dengan orang berlalu lalang dan wajah mereka rata-rata gembira.
Banyak orang sudah mengenal Sie Liong karena bongkoknya memang mudah membuat orang mengingatnya. Dan banyak orang yang berjumpa di jalan menegur dan menyapa Sie Liong. Ada yang menyebutnya Sie-kongcu (Tuan muda Sie), ada yang menyebutnya dengan, “Hee, bocah bongkok!” begitu saja.
Akan tetapi, Sie Liong tetap tersenyum dan menjawab mereka semua dengan kata-kata ramah bahwa dia akan pergi berbelanja ke pasar. Dia maklum bahwa mereka yang menyebutnya si bongkok itu pun bukan dengan maksud menghina, melainkan dengan ramah dan hendak bergurau. Dia sudah terbiasa mendengar sebutan si bongkok. Dulu, ketika dia berusia sekitar enam tahun, mulai mengerti akan harga diri, memang sebutan itu terasa menyakitkan hati.
Apalagi kalau dia bercermin dan melihat betapa tubuhnya melengkung ke depan, dia merasa rendah diri. Akan tetapi karena sudah terbiasa, kini sebutan si bongkok tidak mempengaruhi batinnya. Dia sudah menerima kenyataan bahwa dia memang bertubuh bongkok, dan memang sepatutnya disebut si bongkok!
Akan tetapi, setiap kali ada orang menyebut Sie Liong dengan sebutan si Bongkok, Bi Sian mengerutkan alisnya dan melotot marah kepada orang yang menyebut demikian. Di dalam hatinya, Bi Sian tidak rela paman kecilnya disebut Si Bongkok, yang dianggapnya sebagai suatu ejekan atau hinaan.
Dua orang anak yang berjalan berdampingan itu memang merupakan pemandangan yang agak ganjil.
Wajah Sie Liong memang tidak buruk, biasa saja, dan pakaiannya juga pantas. Namun tubuhnya yang melengkung ke depan itu, dengan punuk pada punggungnya yang makin membesar, membuat dia nampak amat pendek dan kedua lengannya kelihatan panjang bagaikan lengan monyet. Pendeknya, Sie Liong bukanlah seorang pemuda remaja yang menarik hati, melainkan sesosok tubuh yang dapat menimbulkan rasa geli dan juga iba dalam hati orang yang memandangnya.
Sebaliknya, Yauw Bi Sian adalah seorang anak perempuan berusia sebelas tahun yang mungil. Wajahnya amat manis, terutama sepasang matanya dan mulutnya. Kulitnya putih mulus, bentuk tubuh yang masih kekanak-kanakan itu pun padat dan sehat, menjanjikan bentuk tubuh seorang wanita yang indah.
Kalau dara cilik ini diumpamakan setangkai bunga yang belum mekar, kuncup yang indah menarik, sebaliknya Sie Liong seperti seekor kupu-kupu yang jelek dan cacat. Sungguh tidak merupakan pasangan yang serasi.
Mereka sudah tiba di dekat pasar ketika tiga orang anak laki-laki yang berusia antara tiga belas sampai lima belas tahun melihat mereka. Tiga orang anak-anak itu tadinya sedang bermain-main di tepi jalan. Ketika melihat Sie Liong dan Bi Sian, mereka menghentikan permainan mereka dan memandang kepada dua orang anak yang membawa keranjang kosong itu.
Mereka bertiga tahu siapa adanya Sie Liong dan mereka tak pernah berani mengganggu, mengingat bahwa Si Bongkok itu adalah adik isteri Yauw Sun Kok yang terkenal jagoan. Akan tetapi mereka melihat Bi Sian yang dalam pandangan mereka sangat manis dan menarik.
Mulailah mereka merasa iri kepada Sie Liong. Anak semanis Bi Sian tidak cocok untuk berjalan bersama Si Bongkok. Karena iri hati, maka tiga orang anak itu sengaja hendak memperolok-olok Sie Liong.
“Nona Yauw, apakah engkau hendak berbelanja ke pasar?” bertanya seorang di antara mereka.
Karena pertanyaan itu sopan dan wajar, Bi Sian lalu mengangguk. “Benar, aku hendak berbelanja ke pasar.”
“Kalau begitu, marilah kuantar engkau, Nona. Biar nanti kami bertiga yang membawakan barang belanjaanmu sampai ke rumahmu.”
“Benar, nona Yauw. Dari pada engkau berjalan dengan si Bongkok ini, menjadi buah tertawaan orang!” kata anak ke dua.
“Nona Yauw,” kata orang ke tiga sambil tertawa. “Engkau membawa monyetmu ke pasar, apakah hendak kau jual?”
Tiga orang anak itu tertawa sambil menuding kepada Sie Liong. Sie Liong tersenyum saja, tidak marah karena dianggap mereka bertiga itu berkelakar saja. Akan tetapi Bi Sian yang menjadi marah sekali. Mukanya berubah merah dan dia melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Kalian ini tikus-tikus busuk, berani menghina orang! Apakah kalian hendak menantang berkelahi?” bentak Bi Sian dengan sikap galak.
Anak yang paling besar di antara mereka, yang bertubuh jangkung kurus dan mukanya penuh jerawat, berusia kurang lebih lima belas tahun, lalu memberi hormat kepada Bi Sian. “Aih, mana kami berani menghinamu, nona Yauw? Kami hanya main-main dengan Si Bongkok ini, karena memang kami penasaran melihat nona diantar oleh Si Bongkok. Suruh saja dia pulang dan kami bertiga akan menjadi pengawal dan pengantar nona agar di jalan tidak ada yang berani mengganggu.”
“Siapa butuh kawalan kalian? Dan jangan kalian mengejek dan menghina dia. Dia adalah pamanku, menghina dia berarti menghina aku! Nah, enyahlah kalian!”
Dua orang anak laki-laki yang lain hendak membantah, akan tetapi anak yang jangkung itu menarik tangan mereka.
“Mari kita pergi dari sini!” katanya. Agaknya dia merasa sungkan untuk berbantahan dan berkelahi dengan Bi Sian, apalagi di situ mulai berkumpul banyak orang yang menonton.
Ketika tiga orang anak itu pergi, orang-orang tersenyum dan memuji kegagahan sikap Bi Sian. Memang pantas sekali anak perempuan itu menjadi puterinya Yauw Sun Kok yang gagah perkasa, kata mereka.
Seorang di antara mereka, seorang kakek penjual kue, menghampiri Bi Sian.
“Nona Yauw, hati-hatilah, anak yang jangkung tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota. Dia memang nakal sekali dan suka main keroyokan.”
Bi Sian mengepal tinju. “Aku tidak takut!”
Sie Liong menghadapi kakek itu. “Terima kasih, lopek. Kami tidak mau mencari keributan. Merekalah yang tadi mengganggu kami yang sedang berjalan menuju ke pasar.”
Orang-orang bubaran dan dua orang anak itu melanjutkan perjalanan mereka ke pasar. Setelah berbelanja, mereka pun melakukan perjalanan pulang. Keranjang mereka sudah penuh dengan barang belanjaan.
Sie Liong sengaja memenuhi keranjangnya yang besar sehingga Bi Sian hanya perlu membawa keranjang kecil yang tak begitu berat. Barang-barang yang berat dimasukkan dalam keranjang besar oleh Sie Liong dan dia memanggul keranjang itu di pundaknya. Tangan kiri memegang keranjang itu, dan tangan kanannya masih membawa lima ekor ayam pada kaki mereka.
Jarak antara rumah keluarga Yauw dan pasar di tengah kota itu memang cukup jauh, tidak kurang dari tiga li jauhnya. Ketika dua orang anak itu tiba di jalan yang sunyi karena di kedua tepi jalan itu adalah kebun orang yang cukup luas, tiba-tiba muncul lima orang anak laki-laki di depan mereka. Agaknya mereka tadi sengaja bersembunyi dan sekarang keluar setelah Sie Liong dan Yauw Bi Sian tiba di situ.
Yang tiga orang adalah anak-anak yang ribut dengan mereka tadi, kini ditambah lagi dua orang anak laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima belas tahun, yang sikapnya seperti jagoan. Anak penuh jerawat yang menurut kakek tadi adalah putera komandan pasukan keamanan kota, tetap memimpin mereka karena dialah yang menghadang paling depan.
“Monyet bongkok, berhenti dulu!” bentak anak laki-laki jerawatan itu.
Sie Liong bersikap tenang saja dan tidak menjadi marah, akan tetapi malah Bi Sian yang menjadi marah. Ia segera melepaskan keranjangnya di atas tanah, lalu melangkah maju menghadapi anak laki-laki jangkung jerawatan itu.
“Engkau lagi? Kalian ini mau apa? Masih juga hendak menghina orang?”
“Nona, kami bermaksud baik. Kami menghormati ayahmu yang menjadi sahabat ayahku. Kami hanya tak rela melihat monyet bongkok ini menjadi pengiringmu. Monyet bongkok, berikan keranjang itu kepada kami dan engkau boleh merangkak pergi dari sini, biar kami yang mengantar nona Yauw pulang!”
Kemarahan Bi Sian memuncak. “Engkau sungguh bermulut kotor dan jahat!” katanya dan ia pun sudah maju dan menyerang dengan tamparan tangannya. Karena sejak kecil Bi Sian sudah terlatih, maka gerakan tangannya itu cepat dan kuat.
“Plakkk!” Pipi kiri anak jerawatan itu terkena tamparan.
“Aduhh...!” Dia terhuyung, menutupi pipi yang tertampar dengan tangan, rasanya panas dan nyeri. Ternyata pipi itu menjadi biru membengkak! “Nona, kenapa engkau memukul aku yang hendak membantumu?” bentaknya marah dan penasaran.
“Keparat, kalian ini memang kurang ajar dan perlu dihajar!” kata Bi Sian.
Bi Sian sudah menerjang maju lagi. Sekali kakinya terayun, seorang anak laki-laki lain yang mencoba untuk menangkap lengannya, tahu-tahu jatuh tersungkur dan memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.
“Wah, anak perempuan ini galak dan liar!” kata dua orang anak laki-laki yang lebih besar dan mereka pun menubruk ke depan.
“Plak-plakk!”
Bi Sian lalu membagi-bagi pukulan dan tendangan sehingga lima orang anak laki-laki itu jatuh bangun.
Akan tetapi mereka itu lebih besar dan mereka kini melakukan perlawanan. Seorang di antara mereka menubruk dari belakang dan berhasil menelikung kedua lengan Bi Sian ke belakang tubuhnya. Bi Sian meronta-ronta, akan tetapi anak-anak lain memegangi kaki dan tangannya sehingga ia tidak lagi mampu melepaskan diri.
“A Cong, cepat kau hajar monyet bongkok itu. Biar kami yang memegangi nona Yauw agar ia tidak dapat melindungi monyet bongkok itu!” kata orang yang menelikung kedua lengan Bi Sian.
Biar pun kini ada tiga orang anak yang memegangi tubuh Bi Sian, namun mereka tidak berani menyakiti anak perempuan itu, juga tidak berani berbuat kurang ajar. Mereka hanya memegangi Bi Sian supaya anak itu tidak dapat melepaskan diri dan tidak dapat membantu Sie Liong yang akan dihajar oleh dua orang anak yang lain, termasuk Lu Ki Cong, putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
Akan tetapi, Sie Liong sudah menurunkan keranjangnya, juga melepaskan lima ekor ayam yang kakinya diikat itu. Tadinya ia memang diam saja dan tidak bermaksud untuk berkelahi dengan anak-anak itu, membiarkan saja mereka menggoda serta mengganggu, bahkan menghinanya. Dia tahu diri. Dia memang anak cacat, bongkok dan hal itu tidak perlu dibantahnya.
Akan tetapi, melihat betapa tiga orang anak memegangi kaki tangan Bi Sian, mukanya berubah merah dan kedua matanya mengeluarkan sinar berapi. Dia boleh menahan semua hinaan yang dilontarkan kepada tubuhnya yang bongkok, akan tetapi jelas bahwa dia tidak mungkin membiarkan mereka itu mengeroyok dan memegangi Bi Sian.
“Anak-anak jahat! Lepaskan Bi Sian!” bentaknya sambil menghampiri tiga orang yang masih memegangi anak perempuan itu.
Akan tetapi Lu Ki Cong dan seorang temannya yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, nampaknya seperti jagoan muda, menghadangnya. Lu Ki Cong dan anak muka hitam itu adalah murid-murid dari guru silat bayaran terpandai di kota itu.
“Heh, monyet bongkok, kami akan melepaskan nona Yauw jika telah kenyang menghajar mukamu yang buruk!” kata Lu Ki Cong sambil melayangkan tinjunya ke arah muka Sie Liong.
Sie Liong belum pernah berkelahi seumur hidupnya. Akan tetapi selama ini dia dengan tekun mempelajari ilmu silat dari Bi Sian, dan dengan rajin sekali, lebih rajin dari Bi Sian sendiri, dia melatih ilmu-ilmu atau gerakan silat itu di dalam kamarnya, atau di tempat sunyi di mana tidak ada orang melihatnya. Karena itu, dia telah memiliki kepekaan dan gerakan otomatis.
Meski dia belum pernah berkelahi, namun dia sudah dapat mengenal gerakan-gerakan dalam latihan itu seperti gerakan untuk mengelak, menangkis, memukul, menendang dan sebagainya. Kini, melihat tangan Ki Cong melayang ke arah mukanya, secara otomatis tubuh Sie Liong bergerak ke belakang dan pukulan itu pun luput!
Ki Cong menyusulkan tendangan kakinya ke arah perut Sie Liong, akan tetapi anak ini pun dengan gerakan otomatis menggerakkan tangan kirinya menangkis ke samping.
“Dukkk!” Kaki yang menendang itu pun tertangkis.
Melihat betapa dua kali serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, Lu Ki Cong menjadi penasaran sekali. Tadinya dia mengira bahwa dengan sekali pukul saja, dia sudah akan bisa merobohkan Si Bongkok ini. Dan tangkisan tadi pun kuat sekali sehingga dia merasa kakinya nyeri.
Temannya yang lebih tua darinya dan mempunyai ilmu silat yang lebih pandai, segera menerjang ke depan dan menghujankan serangan. Lu Ki Cong juga menyerang lagi, sehingga kini Sie Liong dikeroyok dua! Dua orang itu memukul dan menendang dengan gencar dan penuh kemarahan.
Ilmu silat yang pernah dipelajari Sie Liong hanya melalui Bi Sian dan tidak pernah dia mendapatkan bimbingan guru. Maka gerakan-gerakan yang dipelajarinya itu tidak lebih hanya gerakan kembangan saja, seperti tarian. Maka, pada saat menghadapi serangan sungguh-sungguh yang dilakukan dua orang anak laki-laki yang sudah biasa berkelahi, tentu saja dia kewalahan.
Tadinya dia hanya ingin menolong Bi Sian, tidak ingin memukul orang. Akan tetapi, kini tubuhnya mulai menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan! Untung baginya bahwa berkat kerajinannya bekerja dan bangun pagi-pagi sekali melakukan segala pekerjaan berat, tubuhnya menjadi sehat dan kuat sekali. Pukulan dan tendangan yang diterimanya itu hanya mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi tidak sampai merobohkannya.
Setelah kini tubuhnya serta mukanya menjadi sasaran pukulan dan tendangan, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri, Sie Liong menjadi marah! Apa lagi dia mendengar Bi Sian berteriak-teriak.
“Jangan pukuli paman Liong! Lepaskan dia, jangan pukuli dia! Ahhh, kalian anak-anak jahat, iblis siluman. Lepaskan aku, biar aku yang melawan kalian!”
“Plakkk!”
Dia menangkis pukulan Ki Cong dan membiarkan saja pukulan si muka hitam mengenai dadanya. Akan tetapi dia lalu membalas kepada Ki Cong dengan pukulan tangan kanan ke arah leher putera komandan itu.
“Desss!”
Tenaga Sie Liong memang besar dan pukulan itu keras sekali, juga mengenai pangkal leher dengan tepat sehingga tubuh Ki Cong terputar lalu dia roboh dan mengaduh-aduh.
Si muka hitam menyerang dari samping, tangan kanannya berhasil mencengkeram muka Sie Liong. Agaknya dia bermaksud untuk mencengkeram mata Sie Liong, namun terlalu rendah sehingga yang dicengkeram adalah hidung dan mulut Sie Liong. Cengkeraman itu keras dan kalau dilanjutkan, tentu hidung dan bibir Sie Liong dapat robek terluka.
Karena kesakitan, Sie Liong membuka mulutnya dan menggigit jari telunjuk yang berada di mulutnya, menggigit dengan keras mengerahkan tenaganya.
“Krekk!”
Hampir saja jari itu putus oleh gigitan Sie Liong. Setidaknya, tentu buku jarinya sudah retak-retak. Anak bermuka hitam itu menjerit-jerit kesakitan.
Sie Liong lantas melepaskan gigitannya dan anak itu memegangi jari tangannya sambil meloncat-loncat kesakitan. Rasa nyeri menusuk jantungnya.
Lu Ki Cong yang tadi terpukul pangkal lehernya, sekarang sudah bangun lagi. Dengan kemarahan berkobar dia menggunakan kedua tangannya memukul dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong. Karena tubuhnya jangkung, maka dia dapat melakukan serangan seperti itu dan kalau mengenai ubun-ubun kepala, mungkin saja Sie Liong akan terluka parah atau setidaknya akan roboh pingsan.
Sie Liong yang merasa nyeri-nyeri seluruh tubuhnya itu, tidak mau lagi menerima pukulan begitu saja. Dia mengangkat kedua lengannya ke atas dengan jurus yang dikenalnya dari Bi Sian. Jurus itu menurut Bi Sian bernama ‘Dua Tiang Penyangga Langit’.
Kedua lengannya dengan kekuatan sepenuhnya diangkat ke atas menangkis dua tangan lawan yang menghantam ubun-ubun kepalanya.....
“Dukkk!”
Kuat sekali kedua lengan Sie Liong itu. Lu Ki Cong sampai berteriak kesakitan ketika kedua lengannya bertemu dengan dua lengan lawan yang menangkisnya.
Pada saat itu, Sie Liong melihat betapa dada lawannya ‘terbuka’ sampai ke perut. Dia cepat merendahkan tubuhnya. Kepalanya yang memang sudah terjulur ke depan karena bongkoknya itu ditundukkan dan dengan sepenuh tenaga dia pun menyeruduk ke depan! Kepalanya secara telak mengenai perut Lu Ki Cong.
“Bukkk!”
Dan tubuh Lu Ki Cong terjengkang dan terbanting, dia batuk-batuk dan muntah darah!
Sie Liong tidak melihat lagi keadaan lawan-lawannya yang telah roboh itu. Si muka hitam mengaduh-aduh memegangi telunjuk kanannya yang hampir putus tergigit, sedangkan Ki Cong tidak mampu bangkit, mengerang kesakitan dan napasnya agak terengah-engah. Sie Liong hanya memperhatikan Bi Sian.
Kini ia meloncat dan menerjang tiga orang anak yang masih memegangi kaki dan tangan Bi Sian. Disergap dengan penuh kemarahan oleh Sie Liong, tiga orang anak itu terpaksa melepaskan Bi Sian dan kini Sie Liong dan Bi Sian mengamuk.
Tiga orang anak itu sama sekali tidak mampu membalas dan mereka itu menerima hujan pukulan dan tendangan Bi Sian sehingga akhirnya mereka minta-minta ampun, bahkan dua orang di antaranya menangis, dan lima orang anak itu lalu melarikan diri, ada yang terseok-seok ada yang setengah merangkak!
Sie Liong dan Bi Sian tidak mengejar. Bi Sian memandang Sie Liong dengan mata penuh kekaguman.
“Paman Liong, engkau sungguh hebat! Engkau mampu mengalahkan mereka...,” kata Bi Sian sambil maju dan memegangi kedua tangan pamannya, memandang wajah paman cilik itu dengan penuh kekaguman. “Dan engkaulah yang telah menolongku, paman!”
Sie Liong merasa betapa hatinya girang bukan main menerima pujian ini. Serasa lenyap semua nyeri di tubuhnya oleh pandang mata dan ucapan keponakannya itu. Rasa girang ini bergelimang rasa malu dan dia pun dengan lembut menarik kedua tangannya sambil membuang muka.
“Ahhh... sudahlah, Bi Sian. Di mana barang-barang kita? Wah, wah, itu ayam-ayamnya berloncatan jauh. Mari kita kumpulkan!”
Mereka berdua lalu mengumpulkan barang belanjaan yang cerai berai, dan betapa pun mereka mencari, ayam yang lima ekor itu tinggal tiga ekor saja. Juga ada banyak barang belanjaan menjadi rusak terinjak dan kotor. Sie Liong menarik napas panjang.
“Ahh, aku tentu akan dimarahi enci Hong!”
“Tidak, biar aku yang bercerita bahwa kita diganggu anak-anak nakal kepada ibu!”
“Jangan, Bi Sian! Jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Ah, cihu tentu akan marah kepadaku...!”
“Mengapa ayah harus marah? Bukankah engkau sudah menolongku, paman? Biar nanti aku yang menceritakan dan kalau ayah dan ibu tetap marah kepadamu, aku yang akan membelamu!”
“Jangan, Bi Sian. Kuminta sekali lagi kepadamu agar jangan ceritakan bahwa aku telah berkelahi. Cihu sudah berkali-kali memperingatkan supaya aku tidak berkelahi. Dia tentu akan marah dan bersedih kalau melihat aku tidak mentaati pesannya. Ah, aku tidak ingin membikin cihu bersedih. Dia sudah begitu baik kepadaku. Kuminta, jangan kau ceritakan bahwa aku berkelahi!”
Bi Sian memandang wajah paman cilik itu. Tangannya lalu bergerak ke arah muka itu, dengan lembut ia meraba-raba muka yang bengkak-bengkak dan biru itu. “Sakit-sakitkah mukamu dan badanmu, paman Liong? Aku tadi sempat melihat betapa engkau dipukuli dan ditendangi...”
Tiba-tiba rasa nyeri itu datang lagi, akan tetapi Sie Liong menggigit bibirnya. “Tidak, tidak berapa nyeri...”
“Paman, kalau nanti aku tidak boleh menceritakan bahwa engkau telah menolongku dan berkelahi mengalahkan lima orang anak nakal yang jauh lebih kuat dan lebih tua darimu, lalu apa yang akan kita katakan kalau ayah dan ibu melihat mukamu yang bengkak-bengkak ini dan bertanya?”
Sie Liong meraba mukanya. Dia tidak dapat melihat mukanya yang lebam membiru, akan tetapi dapat merasakan nyeri di tepi kedua matanya dan di pipi kirinya, juga dia dapat merasakan betapa pipinya itu membengkak. Karena itu dia tidak dapat membayangkan bahwa dari mukanya akan mudah kelihatan bekas-bekas perkelahian.
“Ah, bagaimana baiknya...? Aku tidak ingin cihu bersedih dan enci Hong marah-marah.” Dia kelihatan bingung.
Melihat kesungguhan hati Sie Liong yang tidak ingin diketahui ayah ibunya bahwa dia telah berkelahi, Bi Sian merasa kasihan walau pun dianggapnya sikap itu berlebihan.
“Baiklah, paman. Aku tidak akan menceritakan mereka tentang perkelahianmu. Aku akan menerangkan bahwa mukamu bengkak-bengkak karena ada lima orang anak nakal yang mengganggu kita. Engkau dipukuli, lalu aku melawan mereka sehingga mereka kabur. Nah, dengan begitu engkau terhindar dari sangkaan berkelahi dan karena aku yang berkelahi, maka kehilangan ayam dan barang-barang adalah tanggung-jawabku.”
“Dan engkau akan kelihatan gagah berani. Aku senang sekali, akan tetapi kalau engkau dimarahi enci Hong tentang kehilangan itu, biarlah kukatakan bahwa barang-barang itu tadinya kubawa, dan hilang karena aku dipukuli mereka. Dan engkau tak dapat menjaga barang-barang itu karena engkau dikeroyok lima.”
Bi Sian mengangguk dan mereka lalu pulang. Benar saja seperti yang dikhawatirkan Sie Liong, mereka disambut oleh Yauw Sun Kok dan Sie Lan Hong dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
“Aihh! Apa yang telah terjadi? Berantakan dan kotor semua barang belanjaan ini! Dan ayamnya hanya tiga ekor? Ehh, apa yang telah terjadi, Sie Liong dan Bi Sian?” Sie Lan Hong berseru dengan alis berkerut.
”Sie Liong! Engkau tadi berkelahi, ya? Berani engkau berkelahi?” Yauw Sun Kok berseru marah ketika melihat wajah adik isterinya itu bengkak-bengkak.
Sie Liong hanya menundukkan mukanya, khawatir kalau-kalau kakak iparnya itu akan melihat kebohongannya kalau dia membuka suara.
Bi Sian sudah melangkah maju di depan Sie Liong dan dengan lantang juga berani ia lalu berkata, “Ayah! Ibu! Jangan marah kepada paman Liong! Dia sama sekali tidak bersalah! Akulah yang bersalah sehingga barang belanjaan berantakan dan ada yang hilang dan akulah yang berkelahi!”
Mendengar kata-kata dan melihat sikap puteri mereka itu, Yauw Sun Kok memandang dengan mata bersinar bangga dan wajah berseri. “Bi Sian, engkau berkelahi? Mengapa? Ceritakan apa yang sudah terjadi dan mengapa pula wajah Sie Liong bengkak-bengkak, dan mengapa pula barang belanjaan menjadi kotor berantakan dan ada yang hilang?”
Lan Hong yang merasa kasihan melihat adiknya yang bongkok itu kelihatan kesakitan dan mukanya bengkak-bengkak, lalu berkata, “Biarkan mereka duduk. Sie Liong, engkau minumlah dulu, engkau juga Bi Sian.”
Kedua orang anak itu minum air teh yang semenjak tadi tersedia di atas meja, kemudian mereka berempat duduk menghadapi meja. Bi Sian lalu mulai bercerita.
“Pada waktu kami pulang dari pasar, di jalan yang sepi di dekat ladang itu kami dihadang oleh lima orang anak laki-laki yang usianya kurang lebih lima belas tahun, ayah. Mereka itu anak-anak nakal. Mereka menggoda dan memaki paman Liong, mengatakan paman monyet bongkok. Paman diam saja, akan tetapi aku yang tidak kuat menahan. Aku balas memaki mereka, bahkan aku lalu memukul mereka. Tetapi mereka lalu memukuli paman Liong yang tidak melawan. Aku menjadi marah dan aku lalu berkelahi dengan mereka, sementara paman Liong masih dipukuli. Akhirnya, aku berhasil mengusir mereka, ayah. Barang belanjaan menjadi kocar-kacir, lima ekor ayam itu terlepas dan kami hanya dapat menemukan kembali tiga ekor saja. Aku yang berkelahi, ayah, akan tetapi lima orang anak itu jahat sekali seperti setan. Apa lagi yang seorang, yang jangkung dan berjerawat mukanya. Kata orang, dia itu anak komandan keamanan di kota ini, ayah.”
“Apa?! Putera Lu Ciangkun (Perwira Lu)?” Sun Kok bertanya kaget sekali. “Kalau begitu anak itu adalah Lu Ki Cong!”
“Kami tak tahu namanya, ayah, hanya ada seorang kakek di jalan yang memperingatkan aku bahwa anak itu adalah putera komandan pasukan keamanan di Sung-jan.”
“Aihh!” Yauw Sun Kok menepuk pahanya sendiri.
Tentu saja dia mengenal baik Lu Ciangkun! Perwira itu bukan hanya sahabat baiknya, bahkan di antara mereka pernah timbul percakapan tentang menjodohkan anak masing-masing satu sama lain.
Perwira itu hanya memiliki seorang anak saja, yaitu anak laki-laki bernama Lu Ki Cong. Meski pun belum diresmikan, bahkan isterinya sendiri belum diberi tahu tentang hal itu, di antara kedua orang itu seperti sudah ada ikatan. Dan sekarang, mereka berkelahi!
Lalu dia memandang kepada Sie Liong, dan bertanya kepada puterinya.
“Bi Sian, coba ceritakan sekali lagi yang jelas. Apa yang menjadi sebab perkelahian itu? Mengapa mereka itu menggoda dan mengganggu Sie Liong?”
Bi Sian bersungut-sungut, “Anak jerawatan itu mengatakan bahwa tidak pantas paman Liong mengantar aku ke pasar. Katanya dia yang hendak mengantar, dan dia mengusir paman Liong. Ketika aku marah dan memakinya, dia bersama teman-temannya malah memukuli paman Liong.”
Ah, kini mengertilah Sun Kok. Anak sahabatnya itu cemburu! Tentu saja! Agaknya anak itu telah diberi tahu oleh orang tuanya bahwa dia akan dijodohkan dengan Bi Sian, maka begitu melihat Bi Sian berjalan dengan Sie Liong, anak itu cemburu dan iri! Pantas kalau begitu, dan Sun Kok lalu tertawa bergelak. Tentu saja isterinya menjadi heran, juga Bi Sian memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Mengapa ayah tertawa?” tanyanya berani.
Sun Kok masih tertawa bergelak. Mendengar pertanyaan puterinya itu, dia berkata sambil tersenyum. “Ha-ha, dia cemburu! Lu Ki Cong itu mencemburukan engkau dan Sie Liong! Ha-ha-ha, bagaimana dia bisa cemburu? Sie Liong adalah seorang anak cacat... ehh, dia kan pamanmu sendiri! Apakah dia tidak kau beri tahu?”
Bi Sian menjadi penasaran. “Sudah kuberi tahu bahwa dia pamanku. Akan tetapi kenapa dia cemburu, ayah? Ada hak apa dia cemburu?”
Yauw Sun Kok masih tersenyum ketika menjawab. “Tentu anak itu sudah mendengar dari ayahnya akan rencana ayahnya dan aku untuk menjodohkan engkau dengan dia...”
“Ayah...!” Bi Sian berteriak, matanya terbelalak memandang ayahnya, alisnya berkerut.
Sejenak anak ini memandang ayahnya dengan muka merah dan mata merah, tetapi ia lalu lari masuk ke dalam kamarnya. Melihat ini, Sie Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya, lalu mengundurkan diri ke dapur sambil membawa barang-barang belanjaan untuk menyerahkan kepada pelayan di dapur.
“Aih, Sian-ji masih kanak-kanak, baru juga sebelas tahun usianya. Bagaimana kau bicara tentang perjodohan dengan ia yang belum mengerti apa-apa itu?” Sie Lan Hong menegur suaminya.
Suaminya hanya tersenyum. “Kalau tidak ada peristiwa perkelahian itu, tentu aku belum akan menceritakan kepadanya. Apa lagi, ikatan jodoh itu baru merupakan omong-omong antara kawan saja, belum resmi mereka meminang. Karena itu, engkau pun belum kuberi tahu. Bagaimana pun juga, Lu-ciangkun adalah sahabatku. Peristiwa perkelahian antara kedua orang anak yang ingin kami jodohkan itu sungguh membuat hatiku tidak enak. Apa lagi kalau sampai puteranya terluka oleh tangan Bi Sian yang galak. Biarlah aku pergi ke sana untuk minta maaf.” Yauw Sun Kok lalu pergi dari rumahnya, mengunjungi rumah Komandan Lu.
Sie Lan Hong lalu memasuki kamar puterinya dan disambut oleh anaknya yang matanya merah karena baru saja menangis. Melihat ibunya, Bi Sian lalu bertanya dengan wajah bersungut-sungut. “Ibu, aku tidak sudi dijodohkan dengan tikus jerawatan itu!”
“Ehhh? Tikus jerawatan yang mana?” ibunya bertanya heran karena dia memang tidak mengerti.
“Itu, anak bengal putera Lu-ciangkun! Benarkah aku akan dijodohkan dengan dia, ibu? Kalau benar, aku akan minggat saja!”
“Hushhh, itu hanya kelakar ayahmu dan sahabatnya saja. Belum ada pinangan resmi dan kalau ada pinangan, tentu ayahmu akan mengajak aku berunding, dan engkau pun akan kuberi tahu. Sudahlah, jangan marah. Karena perkelahian itu, ayahmu merasa tidak enak terhadap Lu-ciangkun yang menjadi sahabat baiknya dan sekarang dia pergi ke sana untuk minta maaf.”
“Ayah pergi ke rumahnya? Celaka...!” Akan tetapi Bi Sian segera menutup mulut dengan tangan.
Terlambat. Ibunya sudah mendengar ucapan itu dan melihat sikap puterinya, Lan Hong merasa curiga.
“Sian-ji, ada apakah? Mengapa engkau terkejut dan gelisah mendengar ayahmu pergi ke rumah Lu-ciangkun? Mengapa engkau mengatakan celaka tadi?”
Bi Sian maklum bahwa kalau ayahnya pergi ke rumah tikus jerawatan itu, tentu ayahnya akan mendengar segalanya dan ibunya akhirnya juga akan tahu. Lebih baik ia lebih dulu memberi tahukan ibunya dan menarik ibunya di pihaknya supaya nanti membela dia dan pamannya.
“Ibu, aku tadi... berbohong kepada ayah, maka aku amat kaget mendengar ayah pergi ke rumah komandan itu,” katanya mengaku.
“Bohong? Bohong bagaimana, Bi Sian?”
“Aku memang berkelahi dengan lima orang anak nakal itu, akan tetapi aku telah mereka tangkap dan tidak berdaya. Mereka lalu memukuli paman Sie, dan melihat aku ditangkap, paman Sie lalu mengamuk dan kelima orang itu dia hajar sampai luka-luka dan mereka semua melarikan diri.”
“Sie Liong? Tidak mungkin!” kata Sie Lan Hong. Bagaimana adiknya yang bongkok dan lemah itu dapat mengalahkan lima orang anak nakal yang lebih besar?
“Benar, ibu. Aku tidak berbohong.”
Bi Sian lalu menceritakan semua yang sudah terjadi. Betapa lima orang anak nakal itu menghina Sie Liong akan tetapi pamannya itu diam saja. Dialah yang marah-marah dan memukul. Akhirnya tiga orang anak memegangi kaki tangannya dan dua orang anak lain memukuli Sie Liong. Akhirnya Sie Liong mengamuk dan berhasil menolongnya. Mereka berdua lalu menghajar lima orang anak itu sehingga melarikan diri.
“Paman Liong minta kepadaku, supaya jangan bercerita kepada ayah dan ibu bahwa dia ikut berkelahi, maka aku lalu berbohong. Akan tetapi sekarang ayah pergi ke sana, tentu tikus jerawatan itu akan mengadu kepada ayah dan menceritakan bahwa paman Liong yang memukulnya.”
Sie Lan Hong masih bingung dan heran. “Tapi... tapi... Sie Liong cacat dan lemah....”
Walau pun matanya masih merah oleh tangisnya tadi, kini Bi Sian tersenyum, senyum bangga bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang tahu akan rahasia pribadi Sie Liong.
“Jangan ibu kira bahwa paman Liong seorang yang lemah! Selama ini dia mempelajari semua ilmu silat yang diajarkan ayah kepadaku, dan dia bahkan lebih lihai dari pada aku, ibu. Ketika melawan anak-anak nakal itu, dia hebat bukan main!”
Terkejutlah hati Sie Lan Hong mendengar ini. Adiknya telah mempelajari ilmu silat! Ahhh, jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Hal itulah yang sangat dibenci suaminya, dikhawatirkan suaminya. Ia tahu benar bahwa suaminya ingin melihat Sie Long sebagai seorang anak cacat yang lemah, yang tidak mungkin untuk melakukan kekerasan. Ada alasan yang amat kuat mengapa suaminya menginginkan Sie Liong menjadi anak lemah. Tentu agar anak itu kelak tidak mempunyai pikiran untuk membalas dendam!
Perih rasa hati Lan Hong. Ia sendiri sering kali termenung dan merasa berdosa kepada ayah ibunya. Ayah ibunya dibunuh oleh Yauw Sun Kok, walau pun dengan alasan untuk membalas kematian isteri pertama suaminya itu. Dan dia telah terpaksa menyerahkan diri kepada Sun Kok demi menyelamatkan adiknya.
Akan tetapi akhirnya ia jatuh cinta kepada suaminya ini, apa lagi setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia pun tak menginginkan terjadi permusuhan antara Sie Liong dan suaminya. Akan tetapi, sekarang terjadi peristiwa itu dan suaminya tentu akan marah sekali mendengar bahwa Sie Liong telah mempelajari ilmu silat.
“Sian-ji... jangan... jangan kau menceritakan hal itu kepada ayahmu. Ayahmu tidak suka mendengar Sie Liong belajar ilmu silat.”
“Tapi, kenapa ibu? Kenapa ayah tidak suka kalau paman Liong belajar ilmu silat? Paman Liong juga mengatakan begitu. Akan tetapi kenapa? Aku yang seorang anak perempuan, sejak kecil sudah dilatih silat oleh ayah. Akan tetapi paman Liong adalah seorang anak laki-laki, dan tubuhnya cacat, lemah pula, maka sudah sepatutnya kalau dia belajar ilmu silat agar sehat dan kuat. Kenapa ayah justru melarangnya?”
“Ayahmu... lebih tahu, anakku. Tubuh pamanmu itu cacat, apa lagi cacat di punggung. Berbahaya sekali jika dia mempelajari ilmu silat. Sudahlah, lebih baik kau tidak bercerita apa-apa kepada ayahmu.”
Akan tetapi hal itu tidak ada gunanya. Mereka mendengar kedatangan Yauw Sun Kok yang berteriak memanggil Sie Liong. Bergegas ibu dan anak ini keluar dengan hati yang penuh kekhawatiran. Mereka melihat Sun Kok sudah duduk di ruangan dalam dengan muka merah.
Memang Sun Kok marah sekali. Ketika ia berkunjung ke rumah sahabatnya, Lu-ciangkun, ia bukan saja mendengar bahwa yang memukuli putera sahabatnya itu adalah Sie Liong, bahkan anak laki-laki jangkung itu masih rebah di pembaringan karena dia mengalami luka di perutnya, akibat benturan kepala Sie Liong. Sahabatnya itu bahkan mengatakan bahwa Sie Liong itu ganas dan berbahaya sekali.
“Bukan hanya Ki Cong yang terluka parah, bahkan kawan-kawannya juga terluka parah oleh anak bongkok itu. Dia sungguh ganas, liar dan berbahaya sekali.”
Tentu saja Sun Kok marah bukan main kepada adik isterinya itu. Bagaimana Sie Liong dapat menjadi seorang anak yang demikian kuat dan menurut penuturan Ki Cong, pandai silat pula? Teringatlah dia akan keadaannya sendiri.
Kalau Sie Liong dibiarkan terus menerus mempelajari ilmu silat sampai menjadi seorang yang pandai, kelak keselamatan nyawanya tentu akan terancam! Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mengatasi ini hanya membunuh anak itu, padahal dia tidak mau melakukan hal itu.
Bukan hanya karena dia pernah bersumpah kepada isterinya bahwa selamanya dia tidak akan membunuh Sie Liong, akan tetapi juga dia tidak tega kalau harus membunuhnya. Bagaimana pun juga, harus dia akui bahwa Sie Liong adalah seorang anak yang sangat baik, rajin, penurut dan pendiam. Akan tetapi bagaimana tahu-tahu dia dapat mempunyai kepandaian ilmu silat?
“Sie Liong...!” Yauw Sun Kok memanggil lagi dengan suara nyaring.
Pada saat itu muncullah Sie Liong. Mukanya masih bengkak-bengkak dan tangannya masih basah karena ketika dipanggil, dia sedang membersihkan jendela-jendela rumah itu dengan lap dan air.
“Ci-hu memanggil saya?” tanyanya kepada cihu-nya. Dengan sikap tenang dia berdiri di depan cihu-nya yang duduk dan memandang kepadanya dengan mata bernyala.
“Sie Liong, dari siapa engkau mempelajari ilmu silat?” bentak Yauw Sun Kok.
Diam-diam Sie Liong terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, namun anak ini memang memiliki ketabahan yang luar biasa sehingga wajahnya yang bengkak-bengkak itu tidak memperlihatkan apa-apa. Ingin dia memandang kepada Bi Sian karena hanya Bi Sian yang tahu bahwa dia mempelajari ilmu silat.
Apakah anak perempuan itu yang memberi tahukan ayahnya? Akan tetapi jelas bukan, karena kalau Bi Sian sudah memberi tahu, tak mungkin cihu-nya bertanya dari siapa dia mempelajari ilmu silat. Lalu bagaimana baiknya? Dia tidak ingin melibatkan Bi Sian, takut kalau-kalau anak perempuan itu mendapatkan marah dari ayahnya.
Sie Liong menggeleng kepalanya dan memandang wajah cihu-nya dengan berani.
“Saya tidak belajar silat dari siapa pun, cihu.”
“Brakkk!”
Yauw Sun Kok menggebrak meja di depannya sehingga ujung meja itu retak.
“Bohong kau! Aku tahu bahwa engkaulah yang memukuli putera Lu-ciangkun dan kawan-kawannya, dan engkau mengalahkan mereka dengan ilmu silat! Hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
“Ayah, yang memukuli adalah si tikus jerawatan itu dan kawan-kawannya, mereka yang lebih dulu menghina dan memukul!” Bi Sian memprotes.
“Diam kau! Tadi kau sudah membohongi aku dan mengatakan bahwa Sie Liong tidak berkelahi! Sie Liong, hayo katakan dari siapa engkau belajar ilmu silat!”
Sie Liong sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak melibatkan keponakannya yang selalu mencoba untuk membelanya itu. “Cihu, memang saya mempelajari ilmu silat, akan tetapi tidak ada gurunya. Saya belajar sendiri.”
Yauw Sun Kok memandang dengan mata melotot. “Tidak mungkin bisa belajar silat tanpa guru! Coba kau mainkan beberapa jurus ilmu silatmu, ingin aku melihat ilmu silatmu!” katanya, setengah mengejek, setengah marah. “Hayo cepat, jangan membuat aku hilang kesabaran, Sie Liong! Engkau sudah melanggar laranganku!”
Sie Liong memandang pada enci-nya. Sang enci merasa kasihan kepada adiknya, akan tetapi dia tahu bahwa kalau permintaan suaminya itu tidak dituruti, maka dia tentu akan menjadi semakin marah. Bagaimana pun juga, kemarahan suaminya itu cukup beralasan karena larangannya sudah dilanggar oleh Sie Liong. Maka dia lalu mengangguk kepada adiknya itu.
“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kau pelajari agar cihu-mu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang secara diam-diam telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan ditertawakan sebab permainanku tentu jelek dan tidak karuan.”
Maka dia pun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti jika dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti...!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya dan berdiri di depan Sie Liong yang segera menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan... mencuri lihat dan mengintai ketika... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan di dalam hati, lalu saya menirukan gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya...”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang sangat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Dia pun mencari akal.
“Sie Liong, pada waktu aku melarang engkau belajar silat, tentu hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikanmu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali jika engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti aku pun akan menyerang engkau dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihu-nya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikit pun dia tidak menaruh hati curiga dan dia pun mentaati perintah itu. Dia lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihu-nya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar. Wanita ini masih belum tahu apa yang dikehendaki oleh suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ini ternyata benar-benar sudah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong. Ia pun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu ketika mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu sangat sayang kepadanya dan ia pun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar jika dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan bila lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihu-nya menyerang dengan jurus-jurus yang telah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihu-nya.
Tiba-tiba gerakan tangan cihu-nya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!”
Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu masih berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah!
Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas. Akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa ayah memukul paman Liong?” Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya. “Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan kepada dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau pungungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untunglah tadi dia masih ingat sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya. Kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian cepat membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu sama sekali tidak kelihatan menyesal atau marah, walau pun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia tidak pernah mengintai, tidak mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,” ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Paman Liong sama sekali tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!” Kembali Bi Sian membantah biar pun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba kau bayangkan. Jika engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal sekali bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayahnya sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimana pun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya.
Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Jika ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap supaya Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri…..
********************
Meja sembahyang itu penuh dengan bermacam masakan, juga buah-buahan. Keluarga Yauw melakukan sembahyang leluhur. Hanya setelah dia menikah dengan Sie Lan Hong saja Yauw Sun Kok mulai mengadakan sembahyangan lagi setiap tahun.
Tadinya dia sama sekali tidak pernah sembahyang, yaitu pada waktu dia masih menjadi perampok dengan isterinya yang pertama. Seolah-olah dia sudah melupakan begitu saja kedua orang tuanya yang telah tiada, juga melupakan nenek moyangnya. Akan tetapi semenjak dia menjadi suami Lan Hong, isterinya ini membujuknya sehingga setiap tahun mereka melakukan sembahyangan.
Sie Liong masih menderita akibat pukulan cihu-nya dua hari yang lalu. Dia masih sering batuk-batuk. Meski kini batuknya tidak mengeluarkan darah lagi, namun kadang-kadang masih terasa nyeri pada punggungnya yang bongkok kalau dia batuk, dan kepalanya pun terasa pusing.
Selama dua malam ini kalau sedang tidur di kamarnya, dia gelisah dan beberapa kali bahkan dia menangis tanpa suara. Dia merasa nelangsa sekali. Cihu-nya biasanya baik kepadanya, akan tetapi kini cihu-nya malah memukulnya.
Dan Bi Sian menjadi korban pula, ribut dengan ayahnya gara-gara dia. Dan dia teringat pula betapa Bi Sian akan dijodohkan dengan Lu Ki Cong putera Lu-ciangkun itu! Hal ini menambah rasa duka di dalam hatinya. Dia berduka untuk Bi Sian. Keponakannya yang manis itu, yang berhati keras akan tetapi jujur, yang berbudi baik, tetapi akan dijodohkan dengan anak yang jahat itu!
Dia pun teringat kepada enci-nya, dan merasa kasihan kepada enci-nya. Dia merasa betapa enci-nya sangat sayang kepadanya, dan enci-nya tentu menderita tekanan batin yang hebat ketika melihat dia dipukul oleh cihu-nya. Mungkin akan terjadi ketegangan antara cihu-nya dan enci-nya gara-gara dia.
Dan dia pun sering kali memergoki enci-nya itu duduk melamun dan kalau sedang duduk seorang diri, nampak betapa pada wajah yang cantik itu terbayang kedukaan yang amat mendalam. Padahal, dia tidak melihat sesuatu yang dapat mendatangkan kesedihan di hati enci-nya.
Cihu-nya amat baik dan sayang kepada enci-nya, juga Bi Sian seorang anak yang baik, kehidupan enci-nya juga sudah serba cukup dan menyenangkan. Lalu masalah apa yang menyebabkan enci-nya kadang-kadang melamun dan kelihatan seperti orang berduka?
Agaknya Yauw Sun Kok masih mendongkol akibat peristiwa dua hari yang lalu. Mukanya nampak muram. Setelah bersembahyang dan menancapkan hio di hio-louw di atas meja sembahyang, dia pun lalu meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke tokonya di mana dia berdagang rempah-rempah dibantu oleh beberapa orang pegawai.
Di ruangan sembahyang itu sekarang tinggal Sie Lan Hong, Sie Liong dan Yauw Bi Sian bertiga. Sie Lan Hong tadi sudah bersembahyang bersama suaminya.
“Bi Sian, sekarang engkau bersembahyang bersama pamanmu Liong, beri hormat pada kakek nenek dalam dan kakek nenek luar.” Yang disebut kakek nenek dalam ialah ayah ibu suaminya, dan kakek nenek luar adalah ayah ibunya sendiri.
Dua orang anak itu menyalakan beberapa hio dan mulai bersembahyang. Pada waktu Sie Liong bersembahyang, dia membayangkan ayah ibunya, dan hatinya terasa seperti diremas. Dia tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya dan ibunya!
Usianya belum ada setahun ketika ayahnya dan ibunya meninggalkan dia. Enci-nya lalu menjadi pengganti ayah ibunya. Dalam keadaan berduka karena peristiwa dua hari yang lalu, karena kepalanya masih terasa pening dan punggungnya yang bongkok juga terasa nyeri-nyeri, hatinya semakin sedih teringat akan ayah ibunya yang telah tiada. Tak terasa lagi, luluhlah hati Sie Liong yang biasanya keras dan tabah itu dan dia pun lalu menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri berlutut di depan meja sembahyang.
Bi Sian terkejut sekali melihat pamannya menangis seperti itu. Belum pernah ia melihat pamannya menangis. Pamannya yang kuat, amat tabah dan selalu tenang, kini menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Ia pun menjatuhkan diri berlutut dekat pamannya itu dan menyentuh lengannya lalu merangkulnya.
“Paman Liong, ada apa? Apakah... apakah engkau sakit...?” Bi Sian merasa menyesal sekali kepada ayahnya yang kemarin dulu pernah memukul pamannya ini, dan ia merasa kasihan sekali kepada Sie Liong.
Sie Liong menggeleng kepala, akan tetapi tangisnya semakin menjadi-jadi. Sikap lemah lembut dan baik dari gadis cilik itu menambah keharuan hatinya, dan dia tidak mampu menjawab karena lehernya tersumbat oleh tangis.
Melihat keadaan adiknya, dengan alis berkerut penuh kekhawatiran Sie Lan Hong cepat mendekati dan berlutut, lalu merangkul adiknya.
“Adik Liong, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis seperti ini? Belum pernah aku melihat engkau menangis seperti ini. Apamukah yang terasa sakit?”
Sie Liong menggeleng kepala sambil mengusap air matanya, mengeraskan hatinya untuk menghentikan tangisnya.
“Yang sakit adalah hatiku, enci. Mengapa ayah dan ibu meninggalkan aku sewaktu aku masih kecil sekali? Mengapa mereka itu meninggal dunia, enci? Sakitkah? Ataukah ada yang membunuh mereka?”
“Aku pun merasa heran, ibu, dan sering aku bertanya kepada diri sendiri. Kenapa kakek dan nenek luar meninggal dunia dalam usia muda? Melihat betapa usia paman Liong tak banyak selisihnya dengan aku, maka tentu kakek dan nenek luar itu belum tua benar ketika meninggal dunia. Apa yang menyebabkan kematian mereka, ibu?”
Ditanya oleh adik dan anaknya seperti itu, jantung Sie Lan Hong berdebar-debar penuh ketegangan! Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi sebelas atau dua belas tahun yang lalu! Betapa ayahnya dan ibunya, juga suheng-nya, dan dua orang pelayan wanita, juga semua anjing, kuda dan ayam, dibunuh orang pada malam yang menyeramkan itu! Hanya tinggal ia dan adiknya yang belum dibunuh.
Kemudian muncul si pembunuh yang sangat kejam itu! Pembunuh itu adalah Yauw Sun Kok, suaminya sendiri, ayah kandung Bi Sian! Pada saat itu, ia baru berusia lima belas tahun! Yauw Sun Kok tergila-gila kepadanya, dan ia terpaksa menyerahkan dirinya bulat-bulat karena ia tidak ingin melihat adiknya, Sie Liong dibunuh oleh musuh besar itu!
Kemudian, sesudah menjadi isteri Yauw Sun Kok, dia dapat mengusir perasaan dendam dan bencinya terhadap pria itu, bahkan menggantinya dengan perasaan cinta! Dan Yauw Sun Kok kini telah menjadi suaminya yang tercinta dan juga amat mencintainya, menjadi ayah kandung dari anaknya, Bi Sian.
Lalu bagaimana mungkin ia akan menceritakan semua itu kepada anaknya dan adiknya? Menceritakan bahwa suaminya sendiri adalah pembunuh ayah ibunya dan musuh besar keluarganya? Sudah lama dia menghapus permusuhan ini, kebencian berubah menjadi kasih sayang, permusuhan berubah menjadi ikatan suami isteri yang sudah mempunyai keturunan pula! Tidak, sampai bagaimana pun, dia tidak akan membongkar rahasia itu kepada adiknya atau kepada anaknya!
“Enci, mengapa enci tidak menjawab pertanyaan kami? Mengapa enci kelihatan sangat ragu-ragu?” Sie Liong mendesak enci-nya, dan sekarang sepasang matanya yang masih kemerahan karena tangis tadi mengamati wajah enci-nya dengan penuh selidik.
“Ahh, tidak,” Sie Lan Hong cepat menjawab, nampak agak gugup. “Aku ragu-ragu karena mengapa hal yang menyedihkan itu harus diceritakan lagi? Aku terkenang akan hari-hari yang malang itu, adikku! Baiklah, kau dengarkan ceritaku, dan engkau juga, Bi Sian. Sie Liong, ayah dan ibu kita sudah menjadi korban wabah yang sangat berbahaya. Penyakit menular itu mengamuk di dusun kita, dan ayah ibu kita terserang sehingga meninggal dunia. Untuk menghindarkan diri dari amukan wabah itu, aku membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan, melarikan diri mengungsi dari dusun kita dan akhirnya aku bertemu dengan cihu-mu dan dia menolong kita. Akhirnya aku menikah dengan cihu-mu dan kita semua pindah ke sini.”
Mendengar cerita enci-nya ini, Sie Liong menarik napas panjang. “Kasihan sekali ayah dan ibu kita, dan kasihan pula engkau yang begitu susah payah menyelamatkan diri kita berdua, enci.”
Sie Lan Hong memejamkan kedua matanya karena tiba-tiba matanya menjadi basah air mata. Betapa tepatnya ucapan Sie Liong itu walau pun adiknya mempunyai gambaran dan maksud yang lain dalam kata-katanya itu. Memang sungguh kasihan. Ayah ibunya dibunuh orang! Dan ia sendiri, ia telah mengorbankan dirinya sampai pada batas paling hebat, demi menyelamatkan diri dan juga adiknya!
“Enci, di manakah kita tinggal dahulu?”
Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut. “Mengapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat mala petaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan. Kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini.”
“Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu.”
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tidak mungkin dia membohongi adiknya lagi, dan pula, apa salahnya kalau ia memberi tahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
“Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin.”
Sie Liong mencatat nama dan letaknya dusun ini di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur. Dia gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri…..
********************
Selanjutnya baca
KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-02