Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 05


Sementara itu Lili sudah berdiri saling pandang dengan dua putera dan puteri Bhok Cun Ki. Melihat kakak beradik itu mengenakan pakaian ringkas dan mereka berkeringat karena habis latihan, juga di sana terdapat sebuah rak senjata yang lengkap dengan bermacam senjata, Lili tersenyum. Ia pun teringat akan pesan gurunya agar dia berhati-hati melawan Bhok Cun Ki karena pendekar Butong-pai itu lihai sekali. Pada waktu mudanya subo-nya sendiri kalah oleh Bhok Cun Ki, membuktikan bahwa pendekar itu memang lihai. Apa bila ayahnya lihai, tentu anak-anaknya juga memiliki kepandaian tinggi.

"Apakah kalian ini anak-anak dari Bhok Cun Ki?" tanya Lili dengan sikap sambil lalu saja, seolah-olah pertanyaan itu tidak penting baginya.
"Benar, panglima Bhok Cun Ki adalah ayah kami. Ada keperluan apa maka nona mencari ayah kami?" tanya Ci Han, sedangkan Ci Hwa memandang dengan alis berkerut.

Gadis yang berdiri di depannya memang cantik manis, senyum sinis yang dihias lesung pipinya itu sangat elok, juga cuping hidung yang agak kembang kempis itu nampak lucu, akan tetapi pandang mata itu dingin dan galak bukan kepalang. Walau pun suara gadis itu lembut berbisik, namun mengandung ejekan, dan terutama pandang mata dan senyum itu jelas memandang rendah orang lain.

"Kalau kalian ini anak-anaknya, kalian boleh mengetahui bahwa aku datang mencari Bhok Cun Ki untuk membunuhnya."

Pemuda dan gadis itu terbelalak lantas muka mereka berubah merah. Ci Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Keparat busuk yang sombong! Sebelum engkau bertemu dengan ayah, engkau akan lebih dulu kuhajar!" Sambil berteriak nyaring gadis ini langsung menerjang Lili dengan pukulan dahsyat ke arah muka gadis yang tadi mengancam hendak membunuh ayahnya itu.
"Bagus!" kata Lili sambil mengelak dan melompat ke belakang. "Dari kepandaian kalian aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian ayah kalian."

Ci Hwa tidak peduli lagi. Begitu pukulannya luput, dia telah melanjutkan dengan serangan bertubi yang ganas. Tetapi Lili beberapa kali mengelak dan ketika dia menyambut sebuah tamparan dengan lengan kirinya, dua buah lengan yang sama-sama mungil berkulit halus itu bertemu dengan kuatnya.

"Dukkk!"

Tubuh Ci Hwa terhuyung. Hal ini bukan saja mengejutkan Ci Hwa, namun juga membuat Ci Han khawatir sekali akan keselamatan adiknya, maka dia pun segera meloncat dan melindungi adiknya dengan sebuah dorongan tangan ke arah pundak Lili.

"Plakk!"

Lili menangkis dengan lengan melingkar, dan kini Ci Han yang hampir terpelanting! Tentu saja dia terkejut dan tahu bahwa gadis manis itu tidak membual atau menyombong ketika mengeluarkan ucapan mengancam ayahnya, karena memang dia lihai bukan main.

Dia dan adiknya lalu mengeroyok Lili dan terjadilah perkelahian yang seru. Namun segera ternyata bahwa Lili memang memiliki tingkat kepandaian silat yang lebih tinggi dari pada kakak beradik itu.....

Sesudah lewat tiga puluh jurus, mulailah Lili mendesak mereka dengan ilmu silatnya yang aneh. Tubuhnya demikian lentur dan berlenggang-lenggok seperti tubuh seekor ular saja. Memang ilmu silatnya adalah ilmu silat yang dasarnya meniru gerakan seekor ular. Bukan hanya tubuh yang meliuk-liuk seperti tubuh ular, juga kedua lengannya ketika menangkis dan menyerang seolah gerakan dua ekor ular yang gesit kuat dan cepat sekali.

Lili hanya dipesan subo-nya agar membunuh Bhok Cun Ki. Karena itu ketika menghadapi dua orang putera dan puteri musuh besar subo-nya itu, dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mencelakai atau membunuh mereka. Karena itu maka Lili tidak mengerahkan tenaga yang mengandung racun.

Bahkan ketika dia mendapat kesempatan, dia hanya merobohkan Ci Hwa dengan totokan dengan ujung kaki pada belakang lutut Ci Hwa, dilanjutkan dorongan kaki yang membuat Ci Hwa terjengkang. Dan ketika Ci Han memukul ke arah dadanya, dia mengelak, tangan kirinya menangkap dan lengannya seperti seekor ular sudah membelit lengan pemuda itu! Ci Han terkejut, dan kesempatan ini dipergunakan Lili untuk membantingnya ke samping sehingga pemuda itu pun terpelanting.

Ci Hwa yang merasa penasaran langsung meloncat ke arah rak senjata untuk mengambil pedangnya yang tadi dia taruh di situ ketika latihan, diikuti kakaknya. Akan tetapi ketika dia menyambar pedangnya, lengannya dipegang oleh Ci Han. Ia menengok dan kakaknya menggeleng kepala sambil memandang kepadanya.

"Jangan, moi-moi (adik), tidak perlu kita menggunakan senjata."

Melihat itu Lili tertawa, biar pun di dalam hatinya dia merasa suka kepada kakak beradik itu. Tadi kakak beradik itu melawannya berdua tanpa menimbulkan keributan, hal ini saja menunjukkan bahwa mereka memang memiliki wajah yang gagah. Kalau tidak demikian, apa sukarnya bagi mereka untuk berteriak atau memberi tanda supaya pasukan pengawal datang mengeroyoknya?

Dan sekarang si kakak melarang adiknya menggunakan senjata, ini pun merupakan bukti bahwa mereka, biar pun putera dan puteri seorang panglima, namun agaknya tidak biasa membonceng kedudukan ayah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain.

"Kakakmu itu benar, tidak perlu kita menggunakan senjata, sudah cukup bagiku menguji kepandaian kalian. Aku tidak bermaksud membunuh kalian atau siapa saja, kecuali Bhok Cun Ki!"
"Kalau engkau tidak bermaksud mengganggu keluarga ayah kami, mengapa tadi engkau mencari keluarga ayah?" Ci Han bertanya sedangkan Ci Hwa memandang dengan mata melotot marah.

"Ketika penjaga di luar mengatakan bahwa Bhok Cun Ki tidak ada, aku tidak percaya dan aku ingin bertemu dengan keluarganya, hanya untuk bertanya di mana adanya Bhok Cun Ki. Tadi pun aku tidak bermaksud untuk mengajak kalian berkelahi."
"Ayah memang tidak berada di rumah."
"Ke mana dia pergi?" Sepasang mata yang amat tajam itu seperti hendak menembus dan menjeguk isi hati Ci Han melalui matanya.

"Kami tidak tahu benar. Ayah kami sedang melaksanakan tugas, dan hal itu tidak dapat dibicarakan dengan siapa pun juga."
"Hemm, aku percaya padamu. Sinar mata dan suaramu tidak membohong. Akan tetapi, kapan dia pulang?" tanya pula Lili.
"Itu pun kami tidak tahu dengan pasti. Mungkin malam nanti, mungkin juga besok pagi. Akan tetapi, mengapa engkau hendak membunuh ayah kami? Siapakah engkau dan dari mana engkau datang?"

Lili tersenyum. "Tak perlu kujelaskan, akan tetapi kalau ayah kalian pulang, katakan saja kepadanya bahwa aku menantangnya untuk mengadu nyawa pada besok sore di puncak bukit Bambu Naga. Katakan bahwa aku membawa benda ini untuk mencabut nyawanya!" Sambil berkata demikian tangan kanannya bergerak, nampak cahaya putih berkelebat dan tahu-tahu gadis ini telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular putih.

Hanya sebentar saja kakak beradik itu melihat pedang itu, sebab dengan gerakan secepat kilat pedang itu telah kembali masuk ke dalam sarungnya dan Lili meninggalkan tempat itu dengan melompat lalu tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebat.

Kakak beradik itu saling pandang dan merasa kagum, juga khawatir sekali. Harus mereka akui gadis tadi amat lihai. Biar pun mereka yakin bahwa ayahnya juga amat lihai, namun mereka tetap khawatir karena selain gadis itu akan merupakan lawan tangguh ayahnya, juga mereka mengenal watak ayah mereka.

Biar pun dia telah menjadi seorang panglima, namun tetap saja ayah mereka itu berwatak pendekar. Sebagai seorang laki-laki jantan, apa lagi yang sudah memiliki kedudukan tinggi di dunia persilatan, bagaimana ayahnya akan suka melawan seorang gadis muda yang menantangnya?

Dengan hati merasa penasaran kakak beradik itu lalu berjalan ke luar untuk menegur para penjaga mengapa mereka membolehkan gadis tadi masuk dan di tempat itu baru mereka mengerti betapa gadis itu pun telah menghajar lima orang yang bertugas jaga di luar pada saat mereka hendak mencegah dia memasuki pekarangan!

"Kalian berenam tidak perlu bicara kepada siapa pun mengenai kunjungan gadis tadi, biar kami sendiri yang akan melapor kepada ayah. Awas, kalian akan dihukum berat jika ada di antara kalian yang membocorkan berita mengenai peristiwa tadi!" kata Ci Han kepada mereka.

Enam orang prajurit itu memberi hormat. "Baik, kongcu. Kami tidak akan bicara kepada siapa pun tanpa ijin kongcu dan siocia."

Sesudah menyuruh seorang penjaga mengambil rak senjata dari taman, kakak beradik itu lalu memasuki rumah. Kepada ibu mereka pun mereka tidak bercerita mengenai peristiwa tadi. Ibu mereka adalah seorang wanita yang lemah dan halus perasaannya. Mereka tidak ingin melihat ibu mereka menjadi gelisah bila mendengar ancaman dari gadis tadi. Mereka akan menanti sampai ayah mereka pulang…..
********************
Tidak mengherankan apa bila Lili dapat sedemikian mudahnya menemukan rumah Bhok Cun Ki. Gadis ini telah bertemu dan bersahabat dengan Pangeran Yaluta yang dikenalnya sebagai Ya Lu Ta atau Ya-kongcu. Karena pangeran yang dianggapnya seorang pemuda yang kaya raya dan ramah tamah itu bersikap baik, bahkan menghukum anak buahnya sendiri yang kurang ajar kepadanya, kemudian Ya-kongcu menjanjikan untuk mendukung See-thian Coa-ong Cu Kiat menjadi bengcu dalam pemilihan di Thai-san tahun depan, dan berjanji akan membantunya mencarikan Bhok Cun Ki, maka Lili mau menjadi sahabatnya.

Dia mau pula diajak melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Di sepanjang perjalanan sikap Ya-kongcu amat baik, ramah dan penuh hormat kepadanya. Lili yang belum banyak mengenal dunia ramai, dengan mudah saja tunduk dan menganggap Ya-kongcu sebagai seorang yang baik dan patut dijadikan sahabat.

Di Nan-king Lili tidak perlu repot-repot. Anak buah Ya-kongcu telah menyediakan sebuah kamar di hotel terbesar, dan beberapa hari kemudian dia bahkan memperoleh petunjuk di mana adanya musuh besar bekas gurunya yang kini menjadi suci-nya itu. Ternyata Bhok Cun Ki telah menjadi seorang panglima dan tinggal di sebuah gedung besar, tidak tinggal di dalam benteng. Begitu mudahnya! Oleh karena itu pada sore hari itu dia segera datang berkunjung seorang diri sebab dia menolak tawaran Ya-kongcu untuk mengirim pembantu menemaninya.

"Terima kasih, Ya-kongcu," katanya menolak halus. "Bantuan untuk menemukan tempat tinggal Bhok Cun Ki saja sudah merupakan budi besar, dan urusanku dengan Bhok Cun Ki adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Aku akan mengunjunginya seorang diri saja."

Demikianlah, pada sore itu dia datang berkunjung ke rumah keluarga Bhok, malah sempat menguji kepandaian putera dan puteri musuh besar suci-nya itu dan merasa puas. Ia telah meninggalkan pesan untuk Bhok Cun Ki. Besok sore dia tentu akan dapat menyelesaikan tugas yang diserahkan suci-nya kepadanya.

Malam hari itu Ya-kongcu bersama dua orang pengawalnya datang berkunjung ke tempat penginapan Lili sambil membawa hidangan makan malam yang dipesannya dari restoran terbesar dan termewah. Hidangan itu diantar dengan kereta oleh pegawai restoran.

Lili terkejut akan tetapi tentu saja tidak berani menolak, dan mereka berdua makan minum di dalam ruangan yang khusus disediakan untuk keperluan tamu dalam hotel yang mewah itu. Ketika mereka sedang makan minum, Lili melihat betapa dua orang laki-laki setengah tua yang datang bersama Ya-kongcu hanya berdiri di dekat pintu ruangan.
"Siapakah teman kongcu itu? Kenapa tidak di suruh makan sekalian dengan kita?" 
"Ahh, mereka adalah dua orang pengawalku. Di kota raja ini banyak terdapat orang jahat, maka lebih aman kalau pergi disertai dua orang pengawal. Mereka bertugas melindungiku, maka tidak semestinya kalau mereka ikut makan bersama kita. Sudahlah, jangan pikirkan mereka dan mari kita makan sambil aku mendengarkan ceritamu mengenai kunjunganmu kepada keluarga Bhok Cun Ki itu."

Mereka makan minum dengan gembira dan Lili lalu menceritakan dengan singkat namun jelas hasil kunjungannya kepada Bhok Cun Ki, betapa dia tidak berhasil bertemu dengan Bhok Cun Ki karena panglima itu tidak berada di rumah, akan tetapi dia sudah bertemu dengan putera dan puterinya lantas meninggalkan pesan tantangan kepada Bhok Cun Ki agar besok sore mereka mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu di luar kota raja.

Ya-kongcu mendengarkan dan kelihatan kagum sekali. "Engkau sungguh gagah perkasa dan sangat pemberani, nona Lili. Akan tetapi, kalau engkau hendak membunuh panglima Bhok Cun Ki, sesudah tiba di rumahnya dan bertemu dengan dua orang anaknya, kenapa engkau tidak membunuh mereka?"

Lili menunda makannya, lalu memandang wajah pemuda itu sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa aku harus membunuh anak-anaknya, kongcu? Urusanku ini hanya menyangkut diri pribadi Bhok Cun Ki, tidak ada hubungannya dengan keluarganya. Tidak, aku tak mau membunuh orang lain, kecuali Bhok Cun Ki seorang!"

Melihat sikap Lili, Ya-kongcu mengangguk-angguk, di dalam hati dia mencatat watak dan pendirian Lili. Gadis ini tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang lain. Walau pun datang dari lingkungan datuk sesat, murid dari datuk See-thian Coa-ong, tetapi watak gadis ini lebih mendekati watak seorang pendekar.

Dia harus berhati-hati menghadapi seorang berwatak seperti ini. Kalau Lili seorang tokoh sesat, amat mudahlah menanganinya. Cukup dengan pemberian hadiah-hadiah berharga, dia akan dapat mempergunakan tenaga seorang datuk sesat sekali pun. Akan tetapi gadis ini lain! Karena itu dia menolak ketika hendak dibantu menghadapi Bhok Cun Ki.

"Akan tetapi, nona. Aku tahu bahwa nona lihai sekali, hanya aku sudah mendengar dari para pembantuku bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang yang sangat tangguh. Dia adalah seorang murid Butong-pai yang sukar dikalahkan. Aku merasa khawatir kalau besok sore engkau melawannya...”

Lili tersenyum dan Ya-kongcu terpesona. Dia bukan seorang pemuda hijau, sama sekali tidak. Usianya telah tiga puluh lima tahun dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, juga dengan wanita. Dia pernah bergaul dengan wanita yang bagaimana pun juga. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan gadis seperti ini, dan senyumnya demikian menawan, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Bagaimana pun, belum pernah dia mempunyai kekasih seorang gadis perkasa dan aneh seperti Lili!

"Engkau mengkhawatirkan aku jika kalah melawan Bhok Cun Ki, kongcu? Aih, apa yang harus dikhawatirkan? Kalah atau menang dalam pertandingan adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Kalau tidak menang tentu kalah dan kalau tidak kalah ya pasti menang! Apa bedanya? Yang paling penting bagiku adalah memenuhi tugas ini. Kalau aku sudah dapat berhadapan dan bertanding dengan dia, cukuplah. Menang kalah terserah keadaan nanti, tetapi tentu saja aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku, dan untuk itu aku sudah membuat persiapan matang."

"Aku yakin engkau akan menang, nona. Dan untuk itu, aku turut mendoakan dengan tiga cawan anggur!" Dia mengangkat cawan anggurnya, disambut oleh Lili dan mereka minum beruntun sampai tiga kali…..
********************
Sementara itu, di rumah keluarga Bhok, panglima Bhok Cun Ki malam itu pulang bersama Sin Wan. Dalam perjalanan pulang ke gedung keluarga Bhok ini, Sin Wan bercakap-cakap dengan panglima itu dan diam-diam dia merasa kagum.

Panglima ini adalah seorang yang cerdik dan berpemandangan luas sekali, juga berwatak pendekar, rendah hati dan mengenal dunia kang-ouw secara luas. Karena itu dia merasa girang sekali bahwa Jenderal Shu Ta telah memberi tugas kepadanya agar bekerja sama dan membantu panglima ini. 

Mula-mula dia merasa ragu apakah panglima ini memiliki pandangan yang sama dengan Jenderal Shu Ta dalam hal dia seorang keturunan asing, bukan orang Han asli melainkan keturunan Uighur. Jangan-jangan panglima ini memiliki pandangan yang dangkal seperti yang dikemukakan Jenderal Yauw Ti tadi, yang menaruh curiga kepada orang yang bukan asli dan menganggap bahwa dalam hati orang-orang keturunan Uighur tidak mempunyai kesetiaan terhadap pemerintah Han!

Dia sengaja memancing, dalam perjalanan itu dia bertanya kepada Bhok-ciangkun tentang hal itu. "Ciangkun, bagaimana pendapat ciangkun tentang ucapan Jenderal Yauw Ti tadi, mengenai kenyataan bahwa aku bukanlah seorang pribumi, bukan orang Han melainkan keturunan Uighur, keturunan asing? Agaknya Jenderal Yauw Ti meragukan kesetiaanku terhadap negara."

Bhok Cun Ki lalu tersenyum. "Kesetiaan seseorang, bahkan lebih luas lagi, baik buruknya seseorang sama sekali bukan ditentukan oleh kebangsaan, keturunan atau pun keadaan lahiriahnya, taihiap. Dalam setiap kelompok, setiap keturunan, suku atau bangsa, bahkan kelompok agama sekali pun, di situ pasti terdapat orang yang baik dan orang yang tidak baik, seperti adanya orang yang sehat dan orang yang sakit. Sebab itu menilai seseorang dari keadaan lahiriahnya saja merupakan penilaian yang salah sama sekali. Khususnya mengenai keturunan, asli atau tidak asli, bagaimana mengukurnya? Aku sendiri tidak tahu nenek moyangku ini keturunan apa dan dari mana. Aku tidak tahu apakah darahku ini dari satu keturunan yang asli ataukah sudah campuran. Tapi apa bedanya? Seseorang hanya dapat dinilai dari perbuatannya, sepak terjangnya dalam hidup. Itu saja! Kalau menilai dari segi lain, bahkan dari sikapnya atau kata-katanya sekali pun, hal itu masih belum cukup meyakinkan, karena sikap serta kata-kata dapat saja dibuat-buat. Akan tetapi perbuatan dan sepak terjang yang berkelanjutan dalam hidup, merupakan kenyataan yang tidak bisa dibuat-buat."

"Kalau begitu, di dalam hati ciangkun tidak ada perasaan tidak senang dan berprasangka buruk terhadap diriku dan orang-orang bukan pribumi Han?"

Panglima itu menggelengkan kepala. "Sudah kukatakan, aku memandang seseorang dari perbuatannya pribadi, bukan dari golongan dan kebangsaannya. Tentu saja ini merupakan pandangan pribadiku. Tapi dalam pandanganku sebagai seorang panglima tentu saja jalan pikiranku lain lagi, harus disesuaikan dengan kepentingan negara. Apa bila ada kelompok yang memusuhi pemerintah, tentu saja mereka akan kuhadapi sebagai musuh, lepas dari pada permusuhan antara pribadi. Mengertikah engkau, taihiap?"

Sin Wan mengangguk dan pandang matanya mencorong penuh kekaguman. "Ciangkun adalah seorang bijaksana, aku merasa gembira sekali dapat bekerja sama denganmu."

Panglima itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sudah lama aku mengagumi Sam-sian, dan sekarang bisa bekerja sama dengan murid mereka, tentu saja hal itu merupakan suatu kebanggaan bagiku."

Akan tetapi ketika mereka tiba di rumah keluarga Bhok, mereka disambut dengan wajah berkerut penuh ketegangan oleh Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Semenjak tadi pemuda dan gadis itu menunggu pulangnya ayah mereka untuk melaporkan peristiwa yang amat menggelisahkan hati mereka itu. Akan tetapi ketika melihat ayah mereka pulang bersama seorang pemuda asing, mereka hanya dapat memandang dengan penuh perhatian dan tidak berani segera menceritakan di depan pemuda asing itu.

"Ayah, siapakah saudara ini?" Ci Han bertanya. Adiknya, Ci Hwa, juga memandang penuh perhatian kepada pemuda itu.
"Taihiap, perkenalkan, mereka ini adalah putera dan puteriku, Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Kalian ketahuilah bahwa ini adalah murid Sam-sian bernama Sin Wan, oleh Jenderal Shu Ta dia diangkat menjadi pembantuku dalam sebuah tugas penting."

Pemuda dan gadis itu lalu memandang penuh perhatian. Pemuda yang diangkat menjadi pembantu ayahnya ini sama sekali tak mengesankan, dan tidak nampak sebagai seorang prajurit apa lagi pendekar, sungguh pun ayah mereka memperkenalkannya sebagai murid Sam-sian.

Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya agak gelap, tidak seperti kulit pemuda Han biasanya, dan ketampanan wajahnya juga lain, agak asing. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok dan mata yang lebar bersinar itu terlampau hitam, hidungnya juga terlalu tinggi dan agak besar.

Namun Ci Hwa mengakui dalam hatinya bahwa pemuda ini memang memiliki kejantanan walau pun lembut, seperti seekor harimau jantan yang sudah jinak. Dan melihat Sin Wan merangkap kedua tangannya di depan dada memberi hormat, Ci Han dan Ci Hwa cepat membalas penghormatan itu.

"Mana ibu kalian? Mengapa tidak berada dengan kalian menanti pulangku di sini?" tanya Bhok-ciangkun yang merasa heran karena biasanya, isterinya tentu bersama dua orang anaknya itu menanti kepulangannya di serambi depan.
"Tidak, ayah. Ibu berada di dalam dan memang kami sengaja menanti ayah berdua saja karena kami mempunyai berita yang teramat penting," kata Ci Han.
"Hemm, berita apa yang begitu penting hingga ibumu tidak dibawa serta mendengarnya?" tanya ayah mereka sambil tersenyum.
"Ayah...," Ci Hwa berkata dan matanya melirik ke arah Sin Wan.

Mengertilah Bhok-ciangkun, dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, jangan khawatir. Kalau ada berita yang bagaimana penting pun, katakan saja. Sin Wan Taihiap adalah orang kepercayaan Sribaginda Kaisar sendiri, mewakili gurunya, maka tidak ada rahasia baginya. Katakanlah, apa yang sudah terjadi? Tidak seperti biasa, malam ini kalian kelihatan begini tegang. Ada apa?"

"Ayah, ketika latihan sore tadi kami kedatangan seorang tamu. Tadinya dia ingin bertemu denganmu, akan tetapi ketika diberi tahu bahwa ayah tidak berada di rumah, ia memaksa hendak bertemu dengan keluarga ayah. Bahkan dia memaksa masuk ke pekarangan dan lima orang penjaga yang hendak mencegahnya, dipukulnya roboh. Lalu tamu itu menemui kami berdua yang sedang berlatih silat di taman."

Bhok-ciangkun mengerutkan alisnya. "Begitu beraninya? Siapakah tamu itu?"

"Dia seorang gadis cantik, usianya sekitar dua puluh tiga tahun...”
"Lalu bagaimana? Teruskan!" Bhok-ciangkun merasa tertarik dan juga heran sekali. Ada seorang gadis cantik yang memaksa memasuki tempat tinggalnya! Benar-benar aneh dan alangkah beraninya.
"Sesudah bertemu kami, kami bertanya apa maksudnya mencari ayah dan dia menjawab bahwa sia... dia...” Ci Han tergagap.
"Dia ingin membunuhmu ayah," Ci Hwa melanjutkan.

Bhok-ciangkun membelalakkan matanya. Kalau dia mendengar ada orang-orang hendak membunuhnya, hal itu memang tidak aneh karena tentu banyak orang memusuhinya, baik sebagai seorang pendekar Butong-pai yang sudah banyak membasmi kawanan penjahat, mau pun sebagai seorang panglima yang sering kali memimpin pasukan bertempur. Akan tetapi seorang gadis muda mencarinya dan hendak membunuhnya? Luar biasa!

"Ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi. Sin Wan mari silakan duduk," kata panglima itu dengan sikap serius, dan mereka lalu duduk mengelilingi meja di serambi depan.
"Tentu saja kami marah ketika mendengar dia hendak membunuhmu, ayah. Kami minta penjelasan kenapa dia hendak melakukan hal itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku dan akhirnya kami berkelahi, maksudku... kami berdua mengeroyoknya."

"Hemm..." Bhok Cun Ki mengerutkan alisnya. Putera dan puterinya yang sejak kecil telah digembleng sehingga telah memiliki ilmu silat tinggi dan jarang menemui lawan yang bisa menandinginya, kini tidak malu bercerita bahwa mereka mengeroyok seorang gadis?

Dua orang muda itu agaknya mengerti apa yang membuat ayah mereka kelihatan tidak senang. "Ayah, tadinya hanya Hwa-moi yang menandinginya, akan tetapi begitu melihat Hwa-moi terancam, aku pun maju dan kami mengeroyoknya. Dia lihai bukan main, ayah. Biar pun kami mengeroyok dua, kami... kami sempat roboh. Hwa-moi hendak melanjutkan dengan pedang, akan tetapi aku melarangnya. Kemudian gadis itu meninggalkan pesan, menantang ayah agar besok ayah dan dia mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu Naga di luar kota."

Bhok Cun Ki mengerútkan alisnya dan meraba-raba jenggotnya yang pendek, mengingat-ingat. Rasanya tidak pernah dia bermusuhan dengan seorang gadis muda!

"Apakah dia sama sekali tidak menceritakan mengapa dia memusuhiku?"
"Tidak, ayah," kata Ci Hwa. "Dia hanya menunjukkan sebatang pedang ular kepada kami dan mengatakan bahwa dia membawa pedang ular putih itu untuk membunuh ayah."
"Sebatang pedang ular? Putih? Bukan hitam?" Tiba-tiba saja wajah panglima itu berubah. "Yakinkah engkau bahwa itu adalah pedang ular putih, bukan pedang ular hitam?"
"Pedang ular putih, ayah," kata Ci Hwa. "Ia mencabutnya dan kami berdua melihatnya."
"Dan namanya? Dia menyebutkan namanya?"
"Dia hanya bilang bahwa kami boleh menyebut namanya Lili dan..." Ci Hwa tidak sempat melanjutkan ucapannya karena mereka bertiga mendengar seruan kaget dari Sin Wan. Bhok Cun Ki memandang wajah Sin Wan penuh selidik.
"Kenapa, taihiap? Engkau mengenal gadis itu?"

Sin Wan mengangguk. "Kalau tidak salah aku pernah bertemu dengan gadis bernama Lili, dan kalau tidak salah memang pedangnya berupa pedang ular putih, ada pun pedang ular hitam adalah senjata gurunya, yaitu Bi-coa Sianli Cu Sui In.”

"Ahh... ahhh... benar dia..., Ci Han, Ci Hwa, ingat baik-baik, apakah gerakan silat gadis itu seperti gerakan seekor ular?"
"Benar sekali, ayah!" kata dua orang muda itu hampir berbareng dan mereka memandang ayah mereka dengan gelisah karena wajah ayahnya kini menjadi pucat sekali.
“Ilmu silat dari See-thian Coa-ong," kata pula Sin Wan dan Bhok-ciangkun yang sedang memandang kepadanya mengangguk-angguk, wajah yang pucat itu nampak muram.

“Ayah, kita akan menghadapi gadis itu bersama-sama jika memang dia terlalu berbahaya untuk ayah!" kata Ci Hwa penasaran.
"Tidak!" tiba-tiba suara Bhok-ciangkun menggelegar, mengejutkan kedua orang anaknya dan mengherankan hati Sin Wan. "Urusanku dengan gadis itu adalah urusan pribadi dan tidak ada seorang pun yang boleh mencampurinya, biar dia anakku sendiri sekali pun."
"Tapi, kenapa, ayah?" tanya Ci Han penasaran.
"Kami adalah anak-anakmu, ayah, karena itu kami berhak mengetahui. Kami juga berhak mencampuri dan melindungi ayah!" kata pula Ci Hwa yang lebih berani karena gadis ini lebih dimanja ayahnya.

Panglima itu menggelengkan kepala. “Sekali ini tidak. Urusan ini adalah urusanku dahulu sebelum kalian lahir, jadi kalian tidak boleh turut mencampuri. Biar aku sendiri yang akan menyelesaikannya besok," kata panglima itu, akan tetapi dia tidak nampak bersemangat bahkan kelihatan lesu dan murung.

“Maaf, ciangkun. Bukan aku bermaksud lancang mencampuri, akan tetapi aku mengenal gadis itu. Maka, kalau ciangkun suka memberi tahu persoalannya, kukira aku akan dapat membujuknya agar dia tidak melanjutkan tantangannya."

Bhok-ciangkun menarik napas panjang, memandang kepada Sin Wan, lalu kepada kedua orang anaknya, dan dia menggeleng kepala. “Tidak, engkau pun tidak boleh mencampuri, taihiap. Ketahuilah oleh kalian bertiga, aku sama sekali bukannya takut menghadapi lawan yang mana pun juga, tetapi ini... ini urusan pribadi. Taihiap, aku adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab, nah, mengertikah engkau?"

Sin Wan mengangguk-angguk. Biar pun tidak tahu urusannya, namun dia dapat menduga bahwa munculnya Lili yang ingin membunuh panglima itu, tentu masih ada hubungannya dengan masa lalunya pada waktu mana panglima itu agaknya sudah melakukan sesuatu yang membuatnya menyesal dan kini dia siap mempertanggung jawabkan! Maka dia pun diam saja.

"Nah, sekali lagi, besok sore kalian bertiga sama sekali tidak boleh menemaniku ke sana, juga tidak boleh mengikuti dan membayangiku. Mengerti? Aku akan marah sekali dan tak akan dapat memaafkan siapa saja yang membayangiku dan mencampuri urusan pribadi ini."

Dengan alis berkerut kedua orang muda itu mengangguk, dan Sin Wan segera memberi hormat. "Aku berjanji tidak akan mencampuri urusan pribadimu, ciangkun."

"Terima kasih dan maafkan aku, taihiap. Nah, urusan ini tidak boleh kalian beri tahukan ibu kalian, mengerti? Ci Han, antarkan Sin Wan taihiap ke kamar tamu dan suruh pelayan melayaninya baik-baik. Selamat malam, taihiap. Besok pagi-pagi saja kita bertemu lagi di ruang makan pagi dan kita lanjutkan perundingan kita tentang tugas kita berdua. Selamat malam. Oh ya, malam ini biar anak-anakku yang menemanimu makan malam." Panglima itu lalu meninggalkan mereka, masuk ke dalam.

Tiga orang muda itu lantas duduk kembali di serambi depan, masih merasa tegang. "Aneh sekali, kenapa ayah tidak membiarkan kita membantu? Apakah ayah sudah tidak percaya lagi kepada kita?" Ci Hwa mengomel kepada kakaknya.

"Ada orang mengancam hendak membunuh ayah, tetapi kita tidak boleh mencampurinya. Bagaimana mungkin ini? Setidaknya, kalau kita melihat pertandíngan itu, kita tidak akan segelisah kalau ditinggal di sini dan menanti-nanti ayah pulang,” kata pula Ci Han kepada adiknya.
"Sebaiknya kalau ji-wi (anda berdua) tidak gelisah. Aku yakin bahwa Bhok-ciangkun dapat melindungi dan membela diri. Dia pasti akan dapat menyelesaikan urusan itu dan dia lebih tahu apa yang harus dia lakukan."

Kakak beradik itu seperti baru teringat bahwa di situ ada orang lain. Mereka cepat-cepat memandang kepada Sin Wan.

"Ayah menyebutmu taihiap (pendekar besar), tentu engkau lihai bukan main dan memiliki banyak pengalaman. Bahkan engkau juga mengenal gadis jahat itu! Ceritakanlah kepada kami, siapa dan orang macam apa sebenarnya Lili itu? Siapa pula itu Bi-coa Sian-li Cu Sui In dan siapa pula See-thian Coa-ong?" tanya Ci Hwa sambil memandang wajah Sin Wan penuh selidik. 

Mereka duduk saling berhadapan, terhalang meja dan secara diam-diam Sin Wan harus mengakui di dalam hatinya bahwa gadis ini cantik sekali, cantik jelita dan mempunyai sifat lembut yang mengingatkan dia kepada sumoi-nya, yaitu Lim Kui Siang yang kini tinggal di Peking menjadi kepala pengawal wanita untuk keluarga Raja Muda Yung Lo. Diam-diam dia merasa heran sekali kenapa setiap kali bertemu seorang gadis cantik, otomatis wajah Kui Siang terbayang di depan matanya.....?

Melihat Sin Wan seperti melamun dan hanya memandang wajah adiknya, Ci Han segera mendesak, "Adikku betul, taihiap. Kami pun ingin sekali mengetahui siapakah mereka itu, orang-orang yang agaknya hendak memusuhi ayah. Atau taihiap tidak sudi menceritakan dan ingin kuantar sekarang juga ke kamar tamu?"

Sin Wan baru tersadar dari lamunannya dan dia pun tersenyum. “Kuharap ji-wi tidak lagi menyebutku taihiap. Sebutan itu terlampau besar dan tinggi bagiku. Bagaimana kalau kita saling sebut seperti saudara saja? Kalau ji-wi tidak merasa direndahkan tentu saja. Atau lebih suka kalau aku menyebut kongcu (tuan muda) dan siocia (nona muda) kepada ji-wi?”

“Memang kita tidak perlu berbasa-basi. Sesudah engkau menjadi pembantu kepercayaan ayah, tentu akan banyak bergaul dengan kami. Nah, engkau akan kusebut twako (kakak besar), bagaimana? Dan engkau menyebut aku siauwmoi (adik kecil).”
"Dan engkau boleh menyebut aku siauwte (adik kecil), Wan-twako (kakak Wan)!" kata Ci Han pula. "Nah, setelah kita saling menjadi sahabat akrab, bolehkah kami mendengarkan penjelasanmu?"

Sin Wan tersenyum girang. Dua orang putera panglima ini seperti ayah mereka. Demikian sederhana, tidak berlagak seperti biasanya anak-anak bangsawan.

"Baiklah, Han-te dan Hwa-moi. Aku mengenal gadis liar yang bernama Lili itu. Memang dia liar dan galak, akan tetapi dia bukan orang jahat,"

Sin Wan teringat akan pertemuannya dengan Lili, betapa dia disiksa dan diikat, dijadikan umpan bagi harimau. Dan betapa Lili kemudian menyelamatkannya, lalu betapa gadis itu mengaku cinta, akan tetapi juga mengaku benci. Gadis liar memang! Akan tetapi dia tidak mungkin dapat menganggap Lili sebagai gadis jahat.

"Hemm, dia hendak membunuh ayahku dan dia tidak jahat?" Ci Hwa mencela.
"Teruskan, twako. Siapa itu Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In dan siapa pula itu See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat)?" tanya Ci Han.
"Huh, serba ular! Sungguh mengerikan!" kata Ci Hwa bergidik. "Dan gerakan Lili itu pun seperti ular, tentu dia siluman ular!"
"Setahuku, Bi-coa Sianli Cu Sui In adalah guru dari Lili, dan Dewi Ular Cantik itu puteri dari See-thian Coa-ong, datuk yang amat lihai dan yang tinggal di Bukit Ular. Keluarga itu memang lihai sekali."
"Seorang datuk sesat, tokoh golongan hitam?" tanya Ci Han.

Sin Wan menggeleng kepalanya. "Hal itu aku tidak tahu jelas, karena datuk-datuk seperti See-thian Coa-ong itu tidak dapat digolongkan hitam atau putih. Dia hanya mementingkan diri sendiri. Baik golongan hitam mau pun putih akan ditentang kalau dianggap merugikan, tetapi sebaliknya akan dibela mati-matian tanpa mempedulikan golongan kalau dianggap sahabat."

"Ihh! Kalau begitu lebih berbahaya dari pada golongan hitam yang sesat!" kata Ci Hwa.
"Kenapa begitu, Hwa-moi?" tanya Ci Han.
"Kalau datuk sesat sudah jelas kedudukannya ditentang para pendekar. Akan tetapi kalau hitam tidak putih pun bukan, sungguh merepotkan. Dianggap kawan, tapi tiba-tiba menjadi lawan, dianggap lawan, tetapi bisa menjadi kawan. Orang yang bukan hitam bukan putih ini yang sangat berbahaya, seperti bunglon, suka plin-plan! Huh, aku tidak suka terhadap mereka! Gadis bernama Lili itu sepantasnya siluman ular!"
"Sudahlah, Hwa-moi. Mari kita antar Wan-toako ke kamarnya. Biarkan dia mengaso dan mandi. Nanti kita makan bersama di ruangan samping dekat kamarnya."

Kakak beradik itu kemudian mengantar Sin Wan ke kamar tamu yang berada di samping. Kamar itu berukuran cukup luas dan nyaman, lengkap dengan kamar mandi. Mereka lalu meninggalkan Sin Wan dan berjanji akan makan malam bersama setelah Sin Wan mandi. Setelah ditinggal seorang diri, Sin Wan segera mandi dan bertukar pakaian.

Sin Wan merasa suka dan kagum pada keluarga ini. Bhok-ciangkun begitu gagah perkasa dan bijaksana, anak-anaknya pun ramah dan sama sekali tidak angkuh. Akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir. Dia tahu bahwa Lili amat lihai dan merupakan lawan yang amat berbahaya.

Walau pun dia sudah mendengar bahwa Bhok Cun Ki juga bukan orang lemah, melainkan seorang pendekar Butong-pai, tetapi dia belum tahu hingga di mana kepandaian panglima itu. Dan orang seperti Lili itu tidak akan segan untuk membunuh lawannya!

Pada keesokan harinya, sesudah sarapan pagi bersama Sin Wan, dengan sikap tenang seperti biasa Bhok Cun Ki berunding dengan pemuda itu tentang tugas mereka.

"Beberapa bulan lagi pemilihan bengcu akan berlangsung di puncak Thai-san," panglima itu berkata. "Menurut pendapatmu, siapa-siapa sajakah kiranya yang akan menjadi calon bengcu, taihiap?"

Dalam perundingan pagi hari itu hadir pula Ci Han dan Ci Hwa yang diperkenankan ayah mereka untuk ikut mendengarkan dan siapa tahu mereka mempunyai usul-usul yang baik, dan perundingan itu pun akan dapat menambah pengalaman mereka.

"Aihh, ayah! Han-ko dan aku sendiri sudah sepakat untuk menyebut twako kepada Wan-twako, dan dia menyebut kami adik. Kenapa ayah masih menggunakan sebutan sungkan itu? Biar pun dia diam saja, namun aku tahu bahwa Wan-twako tidak suka disebut taihiap. Dia benar-benar rendah hati, ayah!" kata Ci Hwa yang lincah dan sudah biasa berbicara sejujurnya kepada ayahnya.

Panglima itu menoleh kepada Sin Wan sambil tersenyum, hanya pandang matanya yang bertanya. Sin Wan juga tersenyum dan mengangguk. "Memang benar apa yang dikatakan Hwa-moi tadi, ciangkun. Aku lebih suka kalau disebut Sin Wan saja, tanpa embel-embel taihiap."

"Ha-ha-ha, engkau semakin menarik, orang muda. Tinggal satu lagi yang ingin kuketahui, kekuatan apa yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan kerendahan hatimu. Baiklah, aku akan menyebutmu Sin Wan saja, tapi engkau pun tidak boleh menyebutku ciangkun. Aku lebih pantas menjadi pamanmu, bukan? Nah, kita hanya saling menyebut ciangkun dan taihiap ketika dalam pertemuan resmi di depan orang-orang lain. Setuju?"

Sin Wan memandang kagum. Bukan main keluarga ini! 

"Baik, paman, dan terima kasih!"
"Nah, Sin Wan. Sekarang jawab pertanyaanku tadi. Siapa saja kiranya yang akan menjadi calon bengcu?"
"Paman Bhok, seperti yang pernah kuceritakan kepada Jenderal Shu Ta, ketika diadakan pemilihan pemimpin besar para kai-pang (perkumpulan pengemis) yang diadakan di Lok-yang kurang lebih setahun yang lalu, banyak tokoh memperebutkan kedudukan pemimpin besar itu, semata-mata karena kedudukan itu akan membuat pemegangnya memperoleh kesempatan untuk menjadi calon bengcu, dan juga banyak harapan akan menang karena mendapat dukungan suara seluruh kai-pang. Selain Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki yang sejak dahulu memang menjadi pemimpin besar kai-pang, ada beberapa orang yang mewakili guru-guru atau pemimpin mereka. Ketika itu See-thian Coa-ong diwakili oleh puterinya, yaitu Bi-coa Sianli Cu Sui In dan Lili. Lalu Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin diwakili oleh muridnya yang bernama Maniyoko...”

"Bukankah Tung-hai-liong Ouwyang Cin ini adalah seorang peranakan Jepang, merupakan datuk para bajak laut di lautan timur?" Bhok-ciangkun memotong.
"Benar, paman. Kalau See-thian Coa-ong merupakan datuk di barat, maka Tung-hai-liong adalah datuk di timur. Mereka berdua sama kuat, lihai dan liciknya."
"Hemm, lalu siapa datuk dari selatan dan utara?" tanya pula panglima itu.

"Setahuku, tokoh besar selatan tidak ada yang melebihi locianpwe (orang tua gagah) Bu Lee Ki yang berjuluk Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih), dan beliau yang didukung oleh Raja Muda Yung Lo agar kelak menjadi bengcu. Apa bila dia yang menjadi bengcu, kurasa dunia kang-ouw akan aman dan tak akan ada yang berani memberontak terhadap pemerintah, paman. Ada pun datuk besar dari wilayah utara, aku belum mendengar siapa orangnya. Banyak tokoh besar kang-ouw di utara sekarang cerai berai dan meninggalkan daerah yang menjadi tempat peperangan dan amat berbahaya itu.”
"Aihh, jika sudah disebut datuk besar dunia kang-ouw, kenapa takut menghadapi bahaya perang? Siapa akan berani mengganggunya?" Ci Hwa mencela.

Ayahnya tertawa. "Ci Hwa, engkau terlalu mengangkat tinggi datuk besar dunia persilatan. Jika menghadapi lawan pribadi, boleh jadi seorang datuk besar tidak mengenal takut dan sulit dikalahkan. Akan tetapi dalam perang antara pasukan pemerintah melawan para sisa pasukan Mongol, yang berperang adalah ratusan ribu orang. Betapa pun lihainya seorang datuk besar, bagaimana dia akan dapat melindungi diri dari ratusan ribu orang? Kelihaian seseorang tak akan lebih dari seratus orang. Kalau dikeroyok ribuan orang, apa lagi bila dikeroyok prajurit yang bersenjata lengkap, meski dia pandai terbang seperti burung sekali pun, tentu akhirnya akan mati ditembus anak panah atau senjata lain."

"Kalau begitu bahaya hanya datang dari See-thian Coa-ong dan Tung-hai-liong saja, tentu berikut anak buah dan para pembantu mereka?"
"Yang saya ketahui memang dari kedua pihak itu, paman. Akan tetapi, mengingat bahwa jabatan bengcu merupakan kedudukan yang penting dan amat berharga, maka aku yakin bahwa dari utara tentu akan muncul pula seorang datuk baru."
"Menurut pendapatmu, di antara tiga orang sakti yang sudah kita ketahui itu siapa yang paling lihai dan akan dapat memenangkan kedudukan bengcu?"
"Kurasa locianpwe Bu Lee Ki! Tentu saja kalau tidak terjadi kecurangan dan kalau seluruh kai-pang setia kepada pemimpin besarnya. Kita tak akan dapat menentukan dengan pasti sikap para ketua kai-pang itu. Mereka orang-orang berwatak aneh yang mudah berubah, mudah dipengaruhi dari luar."

"Memang ke sanalah kita harus melakukan pengamatan, mengirim penyelidik-penyelidik yang pandai untuk mengawasi para kai-pang. Mereka itu dapat dimanfaatkan pihak yang kuanggap paling berbahaya!"
"See-thian Coa-ong, ayah?" tanya Ci Hwa. 
"Bukan."
"Kalau begitu, Tung-hai-liong?" tanya pula Ci Han.
"Juga bukan. Yang paling berbahaya dari semuanya adalah orang-orang Mongol! Mereka tiba-tiba mengubah siasat, tak lagi melakukan penyerangan dengan pengerahan pasukan dari utara dan barat. Hal ini mencurigakan sekali, maka sangat boleh jadi mereka sedang mempergunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam negeri melalui pemilihan bengcu. Karena itulah kita harus berhati-hati. Siapa tahu sekarang juga mereka telah menyusup ke kota-kota besar, bahkan ke kota raja."
"Kalau begitu, siluman ular Lili itu mungkin juga dipergunakan oleh orang Mongol" Ci Hwa berseru. Bagaimana pendapatmu, Wan-ko?"

Sin Wan mengerutkan alisnya yang tebal, lantas dia menggeleng kepala perlahan. "Kukira orang seperti See-thian Coa-ong, puterinya serta para muridnya merupakan orang-orang yang sulit untuk diperalat orang lain. Mereka tak akan mau tunduk kepada siapa pun dan dengan pengaruh apa pun juga."

"Kurasa Sin Wan benar, Ci Hwa. Aku pun yakin bahwa gadis itu tidak diperalat, melainkan datang atas kemauan sendiri. Sudahlah, tak perlu kita bicara tentang gadis itu. Sin Wan, selama beberapa hari ini, harap kau bersama para mata-mata yang menjadi anak buahku suka membantu melakukan penyelidikan di kota raja, di rumah-rumah penginapan, di kuil-kuil kosong, di tempat-tempat yang sekiranya patut dicurigai menjadi tempat pemondokan mata-mata Mongol. Ingat, mereka sudah hafal benar mengenai keadaan di sini, juga akan kebudayaan pribumi, apa lagi mereka licik dan cerdik sehingga akan sia-sia kalau engkau mencari-cari seseorang yang kelihatan seperti orang Mongol di antara mereka. Mungkin mereka itu malah terlihat lebih pribumi dari pada pribuminya sendiri."

"Baik, paman. Akan tetapi untuk keperluan itu sebaiknya jika aku bekerja bebas dan tidak disiarkan berita bahwa aku menjadi pembantu paman. Dengan begitu rasanya akan lebih leluasa aku melakukan penyelidikan."
"Aku mengerti, Sin Wan. Dan sekarang, supaya kita bisa lebih saling mengenal, mari kita pererat melalui ilmu silat."

Sin Wan maklum apa yang dimaksudkan, namun dalam hatinya dia tidak setuju. "Apakah itu perlu, paman?" 

"Tentu saja perlu sekali. Bukankah kita harus bekerja sama? Untuk itu kita harus saling mengetahui kemampuan masing-masing."

Sin Wan ingin membantah, tetapi tiba-tiba saja dia teringat bahwa sore nanti Bhok Cun Ki akan bertanding melawan Lili, bukan pertandingan yang main-main tapi mempertahankan nyawa dari ancaman gadis liar itu. Ah, dia dapat memberi petunjuk secara tidak langsung, tanpa menyinggung perasaan pendekar Butong ini, pikirnya.

"Baiklah, paman, kalau paman berpendapat demikian."

Ci Han dan Ci Hwa gembira sekali mendengar itu. Mereka juga ingin sekali menyaksikan kelihaian tamu yang kini sudah akrab dengan mereka, yang hanya mereka kenal sebagai murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan karena Sam-sian adalah tokoh-tokoh besar yang berhasil mengembalikan pusaka-pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana kaisar!

Sam-sian merupakan tokoh-tokoh besar persilatan yang sudah banyak jasanya dan amat dihargai oleh Kaisar sendiri. Kini di antara ketiga Sam-sian hanya tinggal satu orang saja, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) yang mendapat tugas baru dari Kaisar, tetapi karena merasa sudah tua dan dua orang rekannya sudah tidak ada, lalu mewakilkannya kepada murid ini.

Mereka segera pergi ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang berada di bagian belakang bangunan itu. Ruangan ini luas sehingga memang enak sekali untuk bermain silat, penuh dengan alat-alat untuk berolah raga dan berlatih silat.

Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah saling berhadapan. Melihat tuan rumah yang telah melepas baju luar itu menghadapinya dengan tangan kosong, Sin Wan yang berniat untuk mengukur ilmu pedang dan kalau mungkin memberi petunjuk, cepat-cepat memberi hormat sambil berkata,

"Paman Bhok, aku mendengar bahwa paman adalah seorang pendekar Butong-pai, dan Butong-pai terkenal sekali dengan ilmu pedangnya. Oleh karena itu, apa bila paman tidak berkeberatan, aku ingin sekali merasakan kelihaian ilmu pedang paman dan mengagumi keindahannya." 

Tentu saja Sin Wan bermaksud lain. Dia tahu bahwa orang seperti Lili pasti tak akan mau bertanding dengan tangan kosong saja melawan orang yang akan dibunuhnya, dan tentu menggunakan pedang ular putih. Bukankah dia sudah memperlihatkan pedang itu kepada putera puteri panglima itu dan mengancam akan membunuhnya dengan pedang itu? Lili pasti mempergunakan pedang dan Bhok-ciangkun pasti terpaksa akan melayani dengan pedangnya pula.

Mendengar ucapan Sin Wan, Ci Hwa berseru kaget, "Aihh, Wan-twako, mengapa harus dengan pedang? Bagaimana kalau kalian saling melukai?"

Mendengar ini, Bhok-ciangkun mencela puterinya. "Ci Hwa, masih belum tahukah engkau kalau orang yang ilmu pedangnya telah setinggi tingkat Sin Wan, tak mungkin pedangnya dapat melukai orang tanpa dikehendakinya? Pedang sudah merupakan bagian ujung dari tangannya, begitulah!"

Ci Han dan Ci Hwa tentu saja mengerti akan hal itu, namun karena tingkat mereka belum setinggi itu dan belum sempurna benar menguasai pedang, maka mereka memandang kagum.

"Baiklah, Sin Wan. Mari kita main-main sebentar dengan pedang." Panglima itu kemudian mencabut pedang yang tergantung pada pinggangnya. Akan tetapi Sin Wan agak meragu, lalu dengan perlahan dia mencabut pedangnya.
"Ihh! Mengapa pedangmu buruk amat, twako?" kembali Ci Hwa berseru. Gadis lincah ini begitu terbuka dan terus terang, ini membuktikan bahwa dia memang sudah akrab benar dengan Sin Wan sehingga tidak lagi merasa sungkan.

Kembali Bhok Cun Ki yang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, engkau seperti seekor anak burung yang baru belajar terbang, belum mengenal dunia luas, Ci Hwa. Lihat baik-baik. Yang dipegang Sin Wan itu adalah sebuah di antara pedang-pedang pusaka paling ampuh di dunia ini. Itulah Pedang Tumpul yang dahulu menjadi pusaka istana!"

"Wahhh...!" Ci Han dan Ci Hwa terbelalak kagum. Mereka telah mendengar akan pedang pusaka itu yang oleh kaisar dihadiahkan kepada Sam-sian bersama beberapa benda lain.

Sin Wan lalu menggerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang itu telah lenyap, menyusup kembali ke dalam sarung pedang. "Ehhh? Mengapa pedangmu kau simpan kembali, Sin Wan?"

“Paman, aku tidak ingin kalau sampai pedangmu rusak oleh pedangku, maka sebaiknya kalau kita menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk latihan saja." 

Dan tiba-tiba tubuhnya sudah meluncur ke arah rak senjata. Demikian cepat gerakannya dan tahu-tahu dia sudah kembali ke tempat tadi, di depan panglima itu sambil membawa dua batang pedang yang biasa dipakai latihan.

Melihat gerakan secepat itu, Bhok Cun Ki dan kedua orang anaknya menjadi kagum, dan panglima itu merasa gembira. Ketika mendengar bahwa Sin Wan adalah murid Sam-sian dan telah memperoleh kepercayaan seorang sakti seperti Ciu-sian untuk mewakilinya, dia sudah percaya bahwa tentu pemuda itu telah mempunyai tingkat kepandaian yang tinggi. Tetapi dia ingin membuktikan sendiri agar yakin bahwa pembantunya ini dapat dipercaya dan diandalkan.

"Bagus, usulmu itu baik sekali, Sin Wan!" katanya sambil dia menerima sebatang pedang dari pemuda itu. 

Kini mereka sudah saling berhadapan dengan pedang di tangan. Karena maklum bahwa sebagai seorang pendekar Butong tentu panglima ini lihai sekali ilmu pedangnya, Sin Wan segera memasang kuda-kuda dari ilmu pedang yang dia pelajari dari mendiang Kiam-sian (Dewa Pedang), yaitu Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Matahari). Sebaliknya, Bhok-ciangkun memasang kuda-kuda ilmu pedang Butong-pai yang terkenal indah gerakannya namun amat tangguh itu.

"Silakan, paman," kata Sin Wan yang tidak berani bergerak lebih dahulu.
"Ha-ha, engkau terlalu sungkan, Sin Wan. Nah, aku akan memulai, bersiaplah engkau!" Setelah berkata demikian, panglima itu lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedang di tangannya sudah bergerak dengan setengah lingkaran, lalu menusuk ke arah dada Sin Wan.

Dengan gerakan tenang Sin Wan mengelak, kemudian balas menyerang. Lawannya juga meloncat dan membalas. Terjadi serangan balas membalas dan keduanya mengandalkan kegesitan tubuh untuk mengelak. Makin lama semakin cepat gerakan mereka.

Pedang di tangan Sin Wan yang menjadi sinar bergulung-gulung itu sangat menyilaukan mata, sesuai dengan nama ilmunya. Namun lawannya juga tidak kalah cepat gerakannya, pedang di tangan panglima itu pun menjadi sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan.

"Tranggg...!” Bunga api berpijar ketika untuk pertama kalinya kedua pedang itu bertemu di udara.

Dua orang itu merasa betapa telapak tangan mereka tergetar. Ternyata dalam hal tenaga mereka pun berimbang. Kini kedua pedang itu saling sambar dan kadang bertemu sambil mengeluarkan bunga api. Dua gulungan sinar pedang saling belit laksana dua ekor naga berlaga di angkasa. 

Sesudah lewat tiga puluh jurus, Sin Wan teringat akan maksudnya mengajak bertanding pedang. Tiba-tiba saja dia mengubah gerakannya dan kini dia sering bermain silat pedang dengan tubuh direndahkan. Cahaya pedangnya menyambar-nyambar dari bawah, kadang kala tubuhnya bergulingan di atas lantai dan sinar pedang mencuat dari bawah.

Nampak betapa Bhok-ciangkun amat terkejut dan agak kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh itu. Setelah beberapa jurus lamanya Sin Wan mendesak, sambil menyapu kedua kaki lawan dengan pedangnya sehingga Bhok-ciangkun terpaksa berlompatan, Sin Wan berkata halus,

"Lawan ular yang paling tangguh adalah burung!"

Seketika teringatlah Bhok-ciangkun dan dia pun tahu mengapa pemuda itu kini mengubah ilmu pedangnya walau pun tadi pemuda itu tidak terdesak. Mendengar kata ‘ular’ ingatlah Bhok-ciangkun bahwa sore nanti dia harus bertanding melawan gadis yang datang dari Bukit Ular. Maka dia pun langsung mengubah ilmu pedangnya dan sekarang gerakannya menggunakan banyak loncatan sambil pedangnya menyambar-nyambar dari atas seperti seekor burung yang menandingi seekor ular!

Setelah lewat dua puluh jurus, Sin Wan mengubah lagi ilmu pedangnya dan kini kembali menggunakan Jit-kong Kiam-sut seperti tadi. Dan Bhok-ciangkun sudah cukup puas. Dia tadi sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, tapi semua serangannya dapat dipatahkan oleh Sin Wan. Dia tidak tahu apakah pemuda itu dapat mengalahkannya, namun yang jelas baginya, untuk dapat mengalahkan pemuda itu, agaknya akan merupakan hal yang sangat sukar baginya. Dan ini sudah memuaskan hatinya. Maka dia pun meloncat agak jauh ke belakang.

"Cukuplah, Sin Wan," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku baru tahu benar betapa lihainya murid dari Sam-sian!"
"Paman, ilmu pedang paman juga hebat dan indah, aku mengaku kalah," kata Sin Wan. Dengan sopan dia lalu menghampiri panglima itu, menerima pedang dan mengembalikan kedua pedang itu di rak senjata.
"Sin Wan, terima kasih atas petunjukmu tadi," kata Bhok Cun Ki.

Kedua orang anaknya tidak mengerti apa yang telah terjadi, akan tetapi Sin Wan hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Setelah mendengar keterangan Bhok Cun Ki tentang tanda-tanda rahasia untuk mengenal anak buah panglima itu yang disebar sebagai penyelidik di kota raja, Sin Wan lalu pergi ke kamarnya dan membuat persiapan. Ia akan memulai tugasnya hari itu juga, melakukan penyelidikan di kota raja dalam usahanya membantu Bhok-ciangkun untuk memberantas jaringan mata-mata Mongol.

Ketika dia hendak meninggalkan kamarnya setelah bertukar pakaian yang tadi basah oleh keringat, dia bertemu dengan Ci Han dan Ci Hwa di ruangan depan kamarnya. Agaknya kakak dan adik itu sengaja mencarinya. Sin Wan pun menyambut mereka, kemudian tiga orang muda itu duduk di ruangan itu.

“Twako, ajaklah aku melakukan penyelidikan supaya menambah luas pengetahuanku!” Ci Han membujuk.

Sin Wan tersenyum. "Bagaimana mungkin, Han-te (adik Han). Aku harus bekerja sebagai seorang penyelidik, dan dalam hal ini aku beruntung karena di kota raja tidak ada orang yang mengenalku. Ini akan memudahkan pekerjaanku, karena aku bisa bergerak dengan leluasa, melakukan pengamatan terhadap siapa saja yang hendak kuamati. Tetapi engkau adalah seorang pemuda yang sangat dikenal oleh semua orang di kota raja. Orang-orang yang kita curigai, siang-siang tentu sudah berjaga diri dan bersikap hati-hati begitu melihat engkau muncul. Maaf, aku terpaksa tidak dapat membawamu serta, Han-te."

"Aku pun tadinya ingin ikut untuk menambah pengalaman, twako. Akan tetapi mendengar alasanmu tadi, kini aku mengerti bahwa pekerjaanmu harus dilakukan secara rahasia, dan kami berdua tak mungkin menyembunyikan keadaan diri kami. Ehh, Han-koko, kalau tidak mungkin kita bekerja sama dengan kakak Sin Wan, sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja membantu ayah. Aku akan pergi seperti sedang berpesiar atau berjalan-jalan, akan tetapi mulai sekarang aku akan waspada. Siapa tahu aku akan dapat menangkap seorang mata-mata Mongol."

"Hwa-moi, engkau jangan main-main. Ini bukanlah pekerjaan ringan. Menurut ayah, kalau orang Mongol mengirim mata-mata, sudah pasti dia lihai sekali!"
"Aku tidak takut! Kita di kota raja, takut apa? Semua orang akan membantuku!"

Kakak beradik itu lalu meninggalkan Sin Wan, namun tak lama kemudian Ci Hwa muncul lagi, dan kini sendirian saja. "Wan-twako, ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu berdua saja."

"Ehh? Apakah itu, Hwa-moi? Duduklah dan ceritakanlah yang hendak kau bicarakan itu," jawab Sin Wan dan kembali mereka duduk di tempat tadi.
"Twako, aku khawatir sekali terhadap keselamatan ayah kalau dia pergi bertanding sore nanti."
"Jangan khawatir, ayahmu seorang yang berkepandaian tinggi. Siapa pun takkan mudah mengalahkannya." Sin Wan menghibur dengan sungguh-sungguh dan sejujurnya karena dia maklum bahwa betapa pun lihainya, Lili tidak akan mudah mengalahkan panglima itu.

"Akan tetapi aku tetap khawatir sekali, twako. Gadis siluman itu lihai bukan main. Melihat engkau tadi mengadu kepandaian dengan ayah, aku merasa yakin bahwa hanya engkau yang akan mampu mengalahkannya. Wan-twako, maukah engkau menolongku?"
"Menolongmu? Tentu saja aku mau, Hwa-moi," kata Sin Wan sambil menatap wajah yang manis itu.
"Kalau begitu, kau lindungilah ayahku!"

Sin Wan mengerutkan kedua alisnya, "Ayahmu telah menekankan bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan itu, Hwa-moi?”

"Aku tidak minta engkau mencampuri urusan itu, twako. Aku hanya minta supaya engkau mau melindunginya secara diam-diam. Jika sampai ayah terancam bahaya maut, engkau dapat melindunginya. Maukah engkau berjanji, twako? Aku... aku… akan berterima kasih sekali padamu," Gadis itu menyentuh tangan Sin Wan, lalu menggenggam tangan itu dan mengguncangnya, pandang matanya penuh harapan, penuh permohonan.

Sin Wan tidak tega untuk menolaknya. Dan memang di lubuk hatinya dia sedang mencari jalan bagaimana caranya agar dapat melindungi panglima itu dari ancaman maut tangan Lili, maka dia pun mengangguk, "Baiklah, akan kuusahakan, Hwa-moi."

Tangan yang kecil itu menggenggam jari-jari tangan Sin Wan, kemudian melepaskannya. "Twako, terima kasih! Terima kasih, dan aku yakin bahwa percayaanku kepadamu tidak akan sia-sia. Aku sendiri tidak akan duduk diam. Aku akan pergi keluar, dan kalau Han-koko mencari mata-mata Mongol, aku akan mencari gadis siluman itu. Kalau dia berada di kota, aku akan menyerangnya dan memanggil pasukan penjaga untuk membantuku!"

"Jangan, Hwa-moi. Itu berbahaya sekali!”
"Aku tidak takut!"
"Tapi ayahmu telah melarangmu...”
"Melarang aku mencampuri urusannya? Tentu saja aku tak akan melanggar larangannya. Akan tetapi dia tidak melarang aku membalas kekalahanku dari gadis siluman itu!" Ci Hwa lalu meninggalkan ruangan itu.

Sin Wan termangu dalam lamunan. Benar-benar berbahaya, pikirnya. Orang semacam Lili dapat melakukan apa saja. Dia harus melindungi Ci Hwa lebih dahulu sebelum melindungi ayahnya. Dan dia pun segera keluar…..

********************
Selanjutnya baca
ASMARA SI PEDANG TUMPUL : JILID-06
LihatTutupKomentar