Suling Emas Naga Siluman Jilid 19


Menghadapi ular yang lihai itu tidak perlu bantuan orang-orang dusun yang sudah ketakutan itu, karena selain mereka itu tiada gunanya, juga bahkan di antara mereka mungkin saja akan tewas dan hal ini tidak dikehendakinya. Selain itu, ular yang sudah amat tua itu agaknya jauh lebih cerdik dari pada ular-ular biasa.
Dia khawatir kalau-kalau ular itu mencari tempat lain dan tidak akan datang ke goa kalau tidak disediakan korban, yaitu calon mangsanya yang mudah. Dan menghadapi ular itu di tempat terbuka jauh lebih menguntungkan dari pada menghadapinya di dalam goa. Atau kalau ular itu datang, sebelum memasuki goa, mereka bertiga dapat lebih dulu menyambutnya di depan goa, di tempat terbuka dengan diterangi oleh sinar bulan purnama, dan mereka bertiga akan siap untuk memegang obor di tempat itu. Mengenai belenggu kaki tangan itu, tentu saja bukan merupakan persoalan bagi mereka bertiga.

Kini para penduduk dusun itu amat menghormati mereka bertiga yang dianggap selain utusan dewa, juga merupakan penolong mereka. Baru mau menjadi pengganti korban saja sudah membuat mereka bersyukur dan berterima kasih! Maka, kini ketiga orang pendekar itu dijamu oleh para penduduk dan dilayani dengan sikap hormat sekali.

Pada dua hari berikutnya, setelah matahari condong ke barat, Suma Kian Bu, Sian In dan Ci Sian sudah siap. Semua penghuni dusun, laki-laki perempuan tua muda, sudah berkumpul di depan rumah Kepada Dusun. Dengan dibantu oleh beberapa orang dan disaksikan oleh semua penghuni, Kepala Dusun mulai mengikatkan tali-tali yang kuat pada kaki tangan tiga orang pendekar itu. Tiga orang pendekar itu sudah makan sore dan sudah mandi bersih, suatu keharusan bagi para calon korban, memakai pakaian bersih dan lalu pengikatan kaki tangan mereka dilakukan dengan penuh khidmat oleh Kepala Dusun dan para pembantunya.

“Lihatlah, agar kalian semua yakin bahwa kami adalah utusan para dewa!” kata Suma Kian Bu untuk memberikan kesan terakhir. Dia menggerakkan kedua lengannya dan….
“Kreekkk....!” Putuslah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, putus pula belenggu kedua kakinya!

Semua orang terkejut sekali dan wajah Kepala Dusun menjadi pucat. Akan tetapi Kian Bu sudah memasangkan kembali kaki tangannya untuk diikat kembali dengan tali-tali baru.

Setelah mengikatkan kaki tangan itu selesai, Kian Bu berkata, “Dengar baik-baik pesan kami. Setelah menaruh kami di mulut goa, harap kalian semua pergi dan bersembunyi di rumah masing-masing. Kalau ada suara apa pun jangan sekali-kali keluar dan biarkan kami bertiga menghadapi ular itu. Dan jangan lupa, sediakan obor, minyak dan lilin bernyala di goa.”

Kepala Dusun mengangguk-angguk dan tidak lama kemudian, tiga orang pendekar itu yang kaki tangannya terbelenggu, sudah digotong di atas tandu seperti yang setiap tahun biasa terjadi. Akan tetapi kalau biasanya yang digotong hanya seorang korban saja, kini ada tiga orang calon korban yang digotong ramai-ramai. Dan seperti biasanya, para penghuni dusun itu dengan dipimpin seorang pendeta yang menganut agama campuran antara Bhudis dan Taoism, menyanyikan lagu-lagu pujaan untuk para dewa.

Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian duduk di atas tandu dengan kaki tangan terbelenggu, akan tetapi mereka tersenyum-senyum dan merasa bagaikan menjadi pengantin saja karena mereka berpakaian baru, diberi kalungan bunga, dipikul di dalam tandu, dan diiringkan oleh banyak orang yang bernyanyi-nyanyi dipimpin oleh pendeta satu-satunya yang berada di dusun itu.

Iring-iringan mengantar calon korban untuk dewa ular ini tiap tahun biasanya dilakukan dengan iringan air mata keluarga Si Korban. Akan tetapi sekali ini, suasananya gembira dan semua wajah orang dusun itu cerah dan berseri. Hal ini bukan hanya karena di antara mereka tidak ada yang kehilangan sanak keluarga, akan tetapi juga karena ada harapan dalam hati mereka untuk dapat terbebas selamanya dari pada rasa takut terhadap Si Dewa Ular. Akan tetapi di antara harapan dan kegembiraan ini, ada pula kekhawatiran menyelinap di dalam hati mereka. Bagaimana kalau tiga utusan dewa itu gagal? Dan andai kata mereka berhasil dan dewa ular dapat dienyahkan, bukankah hal itu berarti bahwa berkah dari dewa ular untuk mereka pun akan ikut lenyap?

Kepercayaan tahyul seperti yang dimiliki oleh para penduduk dusun di dekat Puncak Naga Hijau di Pegunungan Kun-lun-san itu bukan hanya merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan menimpa sekelompok manusia yang masih terbelakang atau yang peradabannya belum tinggi.

Kalau kita mau mengamati keadaan sekeliling kita, mau mengamati kehidupan kita sendiri, bahkan di jaman modern ini sekali pun, kita masih terikat dan terbelenggu oleh berbagai kepercayaan dan ketahyulan! Kelompok ini percaya akan ini dan tidak percaya akan itu. Golongan lain percaya akan itu dan tidak percaya akan hal yang dipercaya oleh kelompok pertama ini. Bahkan kepercayaan-kepercayaan yang merupakan adat pusaka keturunan nenek moyang itu dapat menjadi bahan untuk saling bertentangan dan bermusuhan!

Kepercayaan akan hal-hal yang di luar jangkauan pikiran merupakan ketahyulan yang lama-lama lalu berubah menjadi tradisi. Dan biasanya, hal-hal seperti itu hanya untuk dipercaya saja, bukan untuk dimengerti! Dan kita pun takut untuk melanggarnya atau meninggalkannya dari batin kita. Tentu saja rasa takut ini timbul oleh suatu kepercayaan pula bahwa memegang teguh tradisi kepercayaan tahyul itu mendatangkan selamat, berkah, yang pada pokoknya adalah menyenangkan atau menguntungkan. Sebaliknya kalau kita menanggalkan atau membuangnya, maka kita akan kehilangan apa yang kita namakan selamat, berkah atau hal-hal yang menyenangkan itu. Kita takut akan dilanda kesusahan karenanya. Inilah sumber rasa takut menanggalkan atau membuangnya.

Lalu bagaimanakah timbulnya kepercayaan akan tahyul yang menjadi tradisi itu? Semua kepercayaan, jika kita mau merenungkannya dengan penuh kebebasan dan perhatian, timbul karena kebodohan, karena ketidak mengertian. Kepercayaan itu pasti timbul oleh karena kita tidak mengerti, tidak tahu, lalu kita mendengar pengertian itu dari mulut orang yang kita hormati, kita kagumi, kita anggap lebih tahu dari pada kita, atau dari kitab yang ditulis oleh orang yang kita muliakan, maka kita pun lalu percayalah! Kalau ketidak mengertian kita tentang sesuatu itu diterangkan oleh orang yang tidak kita agungkan, tidak kita hormati atau kagumi, maka kita pun kemudian tidak percaya! Jadi, percaya atau tidak percaya itu timbul dari sumber yang sama, yaitu dari kebodohan atau ketidak mengertian.

Sebagai contoh misalnya, kita belum pernah melihat sendiri, belum pernah membaca, belum pernah mendengar, pendeknya kita tidak mengerti sama sekali tentang Kutub Utara. Lalu datanglah seseorang yang menulis atau bercerita kepada kita tentang Kutub Utara, tentang keanehan-keanehannya, keajaiban-keajaibannya dan sebagainya. Nah, di sinilah asal mula timbulnya percaya atau tidak percaya.

Karena kita sendiri tak mengerti, maka kita lalu mendengarkan orang itu dan tanggapan kita tentu saja dipengaruhi oleh perasaan kita terhadap orang itu. Kalau orang itu kita agungkan, kita akan percaya, dan kalau sebaliknya kita tidak mengagungkannya, kita tidak percaya! Dan kepercayaan atau ketidak percayaan ini kita turunkan kepada murid-murid atau anak-anak keturunan, dan selanjutnya menjadi kepercayaan turun temurun.

Sebaliknya kalau orang itu, atau siapa pun juga adanya, datang lalu bercerita atau menulis tentang sesuatu yang sudah kita mengerti atau ketahui, sudah tentu tidak akan timbul percaya atau tidak percaya lagi. Yang ada hanyalah kenyataan bahwa apa yang diceritakan itu benar atau bohong. Kalau ada orang mengatakan bahwa darah manusia itu hijau warnanya atau matahari itu timbul dari barat, maka di sini tidak ada percaya atau tidak percaya, karena kita sudah tahu dan mengerti benar bahwa keterangan orang itu bohong! Sebaliknya, kalau ada orang mengatakan bahwa pohon besar itu dihuni setan atau dewa, maka keterangan ini menimbulkan percaya atau tidak percaya, karena kita tidak mengerti dan tidak mengetahui benar akan hal itu.

Maka, dapatkah kita hidup bebas dari segala macam kepercayaan dan ketahyulan ini? Beranikah kita mengakui dengan rendah hati bahwa kalau timbul pertanyaan akan sesuatu yang tidak kita mengerti, yang tidak terjangkau oleh akal budi pikiran kita, lalu kita menjawab bahwa kita TIDAK TAHU? Biasanya, kita takut atau malu untuk mengakui bahwa kita tidak tahu. Kita selalu ingin mengaku bahwa kita tahu segalanya, padahal sebagian besar dari hal-hal yang kita katakan kita tahu itu sebenarnya hanyalah pengetahuan mati yang kita dengar dari keterangan orang lain, yang tidak kita hayati sendiri.

Karena, sesungguhnya hanya orang yang tidak tahu sajalah yang dapat membuka mata, yang dapat menyelidiki, dapat menyelami, dapat mempelajari dengan otak dan hati kosong sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan seteliti-telitinya, tidak dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan mati yang hanya akan menjadi batu penghalang bagi penyelidikannya akan hal-hal yang baru. Sayang bahwa mereka yang tidak tahu itu begitu ingin untuk dianggap tahu sehingga dengan mudah mereka menerima segala pengetahuan dari orang lain melalui kepercayaan.

Setelah tiba di depan goa, semua penghuni dusun nampak ketakutan dan sejak mendekati tempat itu tadi pun sudah tidak ada lagi yang berani mengeluarkan suara. Suasana memang amat menyeramkan karena tempat itu terpencil, jauh dari dusun, jauh dari manusia dan tidak nampak bekas-bekas tangan manusia di situ dan selama dalam perjalanan mereka itu, mereka tidak melihat tapak seorang pun manusia.

Tiga buah joli atau tandu itu diturunkan dan tiga orang pendekar digotong dengan hati-hati dan dengan sikap penuh hormat, lalu satu demi satu direbahkan di mulut goa yang gelap. Kepala Dusun lalu menyalakan sebatang lilin di sudut goa, obor-obor yang belum dinyalakan ditinggalkan di sudut pula, yaitu obor yang sudah diberi minyak pembakar. Kemudian, setelah mereka semua memberi hormat ke arah tiga orang pendekar yang rebah di mulut goa, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kepala Dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pergi meninggalkan goa seperti yang telah dipesankan oleh Suma Kian Bu kemarin.

Setelah semua orang pergi, Kian Bu, Siang In dan Ci Sian lalu memutuskan semua tali yang membelenggu kaki tangan mereka.

“Akan tetapi, kita harus tetap tinggal di sini,” kata Kian Bu kepada dua orang wanita itu. “Jangan lengah dan harus tetap waspada. Biar pun aku sendiri tidak percaya bahwa ular itu adalah siluman, iblis atau dewa, akan tetapi dia tentu seekor binatang yang sudah tua, kebal, dan cerdik sekali. Maka, biarlah kita tinggal rebah agar tidak membuat dia curiga, dan siap untuk menyerbu kalau dia sudah berada di depan goa. Sebelum aku menyerangnya, harap kalian jangan bergerak dulu. Kita belum tahu sampai di mana kelihaiannya, maka kita tidak boleh sembrono.”

Karena memang sudah mendengar betapa banyaknya orang-orang lihai menjadi korban ular itu, maka Siang In dan Ci Sian mengangguk. Tadi pun dua orang wanita ini merasa agak ngeri saat melihat adanya rangka-rangka manusia di dalam goa. Tentu itu adalah rangka-rangka para korban, karena rangka-rangka itu hanya merupakan tulang-tulang tubuh manusia, semua tanpa kepala!

Menanti merupakan pekerjaan yang amat berat. Dalam menanti, sang waktu seolah-olah menjadi luar biasanya lambannya, seperti gerakan maju seekor keong. Mereka bertiga ditinggalkan di tempat itu menjelang senja dan kini mereka menanti datangnya sang malam yang dirasakan amat lambatnya. Akan tetapi akhirnya cuaca menjadi gelap, malam mulai datang menyelubungi bumi, mengusir lenyap sinar-sinar matahari. Kegelapan menyelubungi hutan dan satu-satunya sinar hanyalah lilin yang bernyala di dalam goa.

Mereka yang berada di dalam goa itu menanti dengan hati tegang. Belum ada tanda pergerakan yang luar biasa, dan yang terdengar hanyalah bunyi belalang dan binatang malam, jauh di dalam hutan. Nyamuk-nyamuk mulai berdatangan dan mengganggu mereka, tertarik oleh nyala lilin. Tapi berkat ilmu kepandaian mereka yang sudah tinggi, gangguan itu tidak menyiksa benar. Dengan kibasan tangan saja mereka telah mampu meruntuhkan nyamuk-nyamuk yang berani menyerang mereka. Gangguan itu lebih dirasakan oleh mengiangnya nyamuk di dekat telinga dari pada penyerangan sengatan mereka.

Bulan purnama mulai menyinari bumi pada saat mereka mulai merasakan datangnya ancaman yang sejak tadi dinanti-nanti itu. Ada bau amis yang aneh yang memasuki hidung mereka. Apalagi kalau ada angin bersilir, bau itu makin tercium keras sekali, membuat Ci Sian merasa muak sekali.

“Awas.... agaknya dia mulai datang....,” kata Kian Bu dengan suara berbisik.

Pendekar ini adalah putera Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan pendekar ini memiliki ilmu kesaktian hebat, telah mengalami segala macam pertempuran dan bahaya yang hebat-hebat. Akan tetapi malam itu dia merasakan ketegangan luar biasa juga. Demikian pula dengan Siang In. Terutama sekali, Ci Sian yang belum begitu banyak pengalaman hidupnya. Dara ini merasakan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan keringat dingin membasahi lehernya.

Andai kata ia berada di situ seorang diri saja, tentu ia sudah meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Tetapi adanya Pendekar Siluman Kecil dan isterinya membesarkan hatinya dan dara ini memandang keluar goa dengan penuh perhatian, siap menghadapi segala kemungkinan.

Bau amis bercampur harum aneh yang keras itu makin terasa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kresek-kresek dan tumbangnya sebatang pohon seperti dilanda sesuatu yang berat.

“Kalau aku menyerangnya, kalian cepat nyalakan obor itu dan menancapkan obor-obor itu di luar goa, di empat penjuru agar kita dapat menghadapinya dengan baik,” bisik Kian Bu kepada dua orang wanita itu yang hanya mengangguk tanda mengerti. Dua orang wanita ini seperti kehilangan suara saking tegangnya.

Kian Bu memandang keluar goa dengan penuh perhatian. Cahaya bulan cemerlang menerangi keadaan di luar goa, dan sesungguhnya, tanpa obor sekali pun cuaca sudah cukup terang. Akan tetapi Kian Bu menyuruh menyalakan obor bukan hanya agar cuaca menjadi terang, akan tetapi untuk berjaga-jaga saja, kalau-kalau ada awan yang akan menutupi bulan dan membuat tempat itu menjadi gelap. Sangatlah berbahaya kalau bertanding melawan ular ganas di tempat gelap. Jadi obor-obor yang disuruhnya untuk dinyalakan itu hanya bertugas sebagai cadangan kalau-kalau sang bulan tertutup awan.

Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yang menimbulkan ketegangan luar biasa itu! Mula-mula hanya nampak bayangan panjang menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumput tersibak. Saat tiba di depan goa, tiba-tiba ular itu mengangkat kepalanya, dan lehernya terangkat, kepalanya naik sampai satu meter di atas tanah. Nampaklah mukanya yang mengerikan itu!

Mukanya memang seperti muka ular biasa, hanya lebih besar dan yang mengerikan sekali adalah mulutnya yang mengeluarkan suara mendesis dibarengi hawa seperti uap putih mengepul. Sepasang cabang lidahnya bergerak-gerak keluar, lidah yang merah kehitaman. Sepasang mata yang besar itu mencorong seperti mengeluarkan api, dan kepalanya yang tertimpa sedikit cahaya bulan itu nampak berkilauan. inilah agaknya yang menimbulkan dongeng bahwa kepalanya mencorong padahal sebenarnya karena kulit kepalanya mengkilap seperti berminyak, tentu saja nampak berkilauan.

Betapa pun juga, Suma Kian Bu yang sudah banyak mengalami hal-hal yang luar biasa itu diam-diam terkejut dan harus mengakui di dalam hatinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat ular yang demikian besar dan panjangnya, dan juga yang kelihatan ganas dan menyeramkan. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa binatang ini bukanlah sebangsa siluman atau dewa, juga bukan seekor naga seperti yang sering terdapat dalam dongeng, yang bisa terbang dan memiliki kesaktian lain, maka dia pun tidak menjadi gentar.

Agaknya ular besar itu memang sudah biasa pindah ke dalam goa di awal musim rontok seperti yang diceritakan oleh Kepala Dusun, juga agaknya telah terbiasa memperoleh mangsa yang mudah di dalam goa itu. Maka sekarang pun binatang ini berhenti di depan goa dan mengangkat kepalanya, agaknya untuk menjenguk lebih tinggi agar dapat melihat jelas apakah sudah tersedia mangsa baginya kali ini.

Sejak tadi Kian Bu memang sudah bersiap sedia. Seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya telah menegang, terisi oleh pengerahan sinkang untuk menghadapi lawan yang tangguh dan berbahaya.

“Nyalakan obor!” tiiba-tiba Kian Bu berseru.

Dan belum juga gema suaranya itu lenyap, dia sudah meloncat keluar dari dalam mulut goa itu dan langsung saja dia menerjang ke arah kepala ular yang diangkat tinggi itu. Pendekar Siluman Kecil ini memiliki sebuah senjata yang luar biasa, yaitu sebatang tongkat sakti yang terbuat dari akar pohon yang hanya terdapat di sebuah pulau tak jauh dari Pulau Neraka. Akar kayu ini amat keras dan ulet, tidak rusak oleh baja yang tajam sekali pun, dan lebih peka untuk disaluri tenaga sinkang dari pada logam lainnya.

Biasanya, hampir tidak pernah pendekar ini menghadapi lawan dengan senjatanya ini yang lebih pantas dipergunakan untuk pegangan atau iseng saja. Hal ini adalah karena dengan dua pasang kaki dan tangan saja dia sudah lebih dari kuat menghadapi lawan. Kedua tangannya itu lebih dahsyat dari pada senjata lawan yang bagaimana pun.

“Dukkkk!”

Tongkat yang dipukulkan ke arah kepala ular itu tepat mengenai sasarannya, tetapi Kian Bu kaget sekali karena tongkatnya terpental dan seluruh lengan kanannya tergetar hebat. Ia memang sengaja hendak mengukur sampai di mana kekuatan dan kekebalan ular itu dan akibatnya dia terkejut.

Tiba-tiba, sebagai balasan serangan itu, ular itu menggerakkan kepalanya dan mulutnya terbuka. Terdengarlah bunyi mendesis nyaring dan Kian Bu harus meloncat jauh ke kiri untuk menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dahsyat yang panas dan berbau amis! Pada saat itu, Ci Sian dan Siang In sudah menyalakan obor pada nyala lilin dan meloncat keluar, tepat pada saat ular itu menyembur kepada Kian Bu. Dua orang wanita ini terkejut karena tiba-tiba ada angin keras yang menyambar dan membuat obor mereka itu bergoyang-goyang apinya dan hampir padam, juga mereka merasakan hawa panas terkandung dalam angin itu, di samping bau amis yang memuakkan.

“Taruh obor itu agak jauh!” Kian Bu berseru lagi.

Kini pendekar ini yang sudah merasakan kekuatan ular yang amat besar itu meloncat maju sambil menggerakkan tongkatnya, kini menusuk ke arah mata kanan ular. Dia terkejut dan heran karena ular itu sama sekali tidak mengelak! Tetapi kegirangannya lenyap pada saat ujung tongkatnya bertemu dengan benda yang amat keras dan licin sehingga tusukannya meleset!

Kiranya, tanpa menggerakkan kepala, ular itu mampu membuat gerakan sedikit yang cukup untuk membuat ujung tongkat itu mengenai pinggiran mata yang sama kuatnya dengan kulit kepala mau pun badannya. Kulit bersisik itu amat keras dan licin, sehingga ketika tusukan tongkatnya meleset, Kian Bu terdorong ke depan. Dan pada saat itu dia merasa adanya angin pukulan yang amat kuatnya menimpanya dari arah kiri. Cepat Kian Bu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat. Untung dia dapat bergerak cepat karena begitu dia menghindar, ekor ular yang besar dan berat itu, dengan kekuatan dahsyat yang ratusan kati beratnya, menimpanya dan karena luput, ekor itu menimpa batu yang pecah berantakan seperti dipukul palu godam yang amat berat!

Seperti juga tadi, begitu diserang ular itu membalas dengan cepatnya, maka kini Kian Bu bersikap hati-hati sekali. Dia sudah mencoba tongkatnya untuk memukul dan menusuk, dan akibatnya, bahkan serangan balasan ular itu tidak kalah hebatnya dan berbahayanya. Dan begitu serangannya luput, ular itu tidak melanjutkan serangan, tapi menanti seperti tadi, dengan kepala diangkat dan sepasang matanya yang mencorong memantulkan sinar obor-obor yang dipasang oleh Ci Sian dan Siang In di sekitar tempat itu. Dua orang wanita itu kini mendekat dan mengepung ular. Siang In sudah memegang senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang payung yang berujung runcing, sedangkan Ci Sian sudah memegang suling emasnya.

“Ci Sian, kita serang dari kanan kiri! Tujukan serangan ke arah matanya!” kata Siang In yang tadi sudah melihat betapa dua kali serangan suaminya gagal.

Wanita perkasa ini maklum bahwa kulit ular itu benar-benar sangat kebal sehingga menyerang kulitnya akan sia-sia belaka, bahkan amat berbahaya, maka dengan cerdik ia menganjurkan Ci Sian untuk melakukan serangan berbareng ke arah kedua mata binatang itu dari kanan kiri.

Ci Sian mengangguk dan dua orang wanita itu seperti berlomba cepat, menerjang dari kanan kiri. Ci Sian lalu menusukkan sulingnya ke arah mata kiri, sedangkan Siang In menusukkan ujung payungnya ke arah mata kanan.

Akan tetapi, tiba-tiba ular itu menurunkan kepalanya dan menyembunyikan kepala itu di bawah perut dan tiba-tiba saja ekornya sudah datang menimpa dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan.

“Awas....!” Suma Kian Bu berseru.

Dua orang wanita itu sudah meloncat pergi dengan cepat. Akan tetapi, angin pukulan yang amat kuat masih mendorongnya dan membuat mereka berdua terbanting dan bergulingan sampai jauh. Tentu saja mereka terkejut bukan main pada saat melompat berdiri lagi. Pada saat itu, Kian Bu sudah meloncat dengan kecepatan kilat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja dan tahu-tahu dia sudah mendekati kepala ular itu dan memukul dengan kepalan tangan kirinya.

“Dessss....!”

Pukulan itu dahsyat bukan main, mengandung tenaga Swat-im Sinkang dari Pulau Es, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya. Karena tahu bahwa ular itu sungguh kebal dan tidak dapat dilukai oleh senjata, maka Kian Bu kini mempergunakan tenaga Swat-im Sinkang, yaitu tenaga dalam yang dingin, berkat latihan di Pulau Es. Biar pun tangannya tidak akan dapat melukai kulit binatang itu, namun dia mengharapkan bahwa getaran tenaga pukulannya akan dapat melukai sebelah dalam kepala binatang itu. Dan memang agaknya harapannya ini tidak sia-sia, karena ular itu ternyata menderita berat oleh pukulannya yang mengguncangkan isi kepalanya. Ekor ular itu membelit dan menghantam sehingga Kian Bu terpaksa menangkis dengan tangan kanannya yang memegang tongkat!

“Dessss....!”

Tubuh Kian Bu terlempar dan tongkatnya terlepas dari tangannya! Pendekar ini tidak terluka, hanya terlempar saking besarnya tenaga pukulan ekor ular itu. Begitu meloncat bangun, Kian Bu sudah menerjang lagi, meloncat dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sinkang di tangan kiri, dan tenaga Hwi-yang Sinkang di tangan kanan.

Kedua pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang berlawanan ini, yaitu dingin dan panas, dilakukannya berganti-ganti. Dan serangan-serangan ini memang hebat sekali. Satu kali pukulan tangan kanan atau tangan kiri pendekar itu sudah cukup untuk merobohkan, bahkan menewaskan seorang lawan tangguh. Biar pun berkali-kali terkena pukulan, namun nampaknya ia tak merasakan nyeri, bahkan kini ia mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang menyeramkan. Teriakannya itu seperti teriakan seekor burung gagak yang nyaring, parau dan menyeramkan sekali. Agaknya ia marah bukan main terkena pukulan-pukulan yang mendatangkan rasa nyeri itu.

Melihat betapa suaminya sudah mulai menyerang dengan bertubi-tubi, Siang In segera membantunya dengan menggerakkan payungnya, menerjang dan menusukkan ujung payungnya, kembali mengarah mata ular itu. Sedangkan Ci Sian juga membarenginya dan menghantamkan suling ke belakang kepala ular itu sambil mengerahkan semua tenaga dalamnya.

Kian Bu yang sudah menyerang bertubi-tubi itu berada dekat dengan ular dan dia tahu betapa ular itu tiba-tiba menggerakkan ekornya.

“Awas! Mundur....!” Dia berteriak, akan tetapi agaknya isterinya serta Ci Sian tidak menghiraukannya karena kedua orang wanita itu memang hendak membantunya dan tentu saja tidak tega melihat dia sendiri saja melawan ular yang amat tangguh itu. Melihat dua orang wanita itu tidak menghiraukannya, Kian Bu yang maklum akan dahsyatnya sambaran ekor ular, sudah meloncat dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis sambaran ular yang tadinya menghantam ke arah dua orang wanita itu.
“Dessss....!”

Hebat sekali pertemuan antara ekor ular dan kedua lengan Kian Bu. Pendekar ini merasa seolah-olah seluruh tulangnya remuk dan tak dapat bertahan lagi, terpelanting, sedangkan dua orang wanita itu terdorong oleh hawa pukulan yang dahsyat ini, kembali bergulingan. Sedangkan tusukan suling dan ujung payung itu pun tidak melukai ular, bahkan membuatnya menjadi semakin marah. Ular itu merasakan ekornya nyeri sekali, maka kemarahannya dipusatkan kepada Kian Bu yang telah banyak mendatangkan rasa nyeri kepadanya. Sebelum Kian Bu sempat meloncat, ular itu sudah menubruk dan tahu-tahu tubuh Kian Bu telah terkena libatan ekornya!

Pendekar itu terkejut, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang, memberontak. Tenaga ini besar sekali. Belenggu baja saja kiranya akan patah-patah oleh tenaga Hwi-yang Sinkang yang panas ini. Akan tetapi, tubuh ular itu jauh lebih kuat dari pada baja, karena tubuh itu dapat melentur seperti karet, namun mengandung kekuatan libatan yang amat luar biasa.

Betapa pun juga, karena Kian Bu memberontak itu, libatannya berkurang kekuatannya dan Kian Bu berhasil menarik kedua lengannya keluar dari libatan sehingga hanya pinggangnya ke bawah saja yang terlibat. Dia merasa betapa tenaga libatan itu makin kuat saja, seperti ada tenaga dalam yang makin lama makin besar hendak meremukkan tulang-tulangnya dengan tekanan yang dahsyat. Dan kini kepala ular itu membalik dan dengan moncong terbuka lebar ular itu hendak mencaplok kepala Kian Bu!

“Dessss....!” Kian Bu memapaki kepala itu dengan pukulan tangan kanannya.
“Plakkk!” tangan kirinya juga menampar.

Ular itu terkejut dan kesakitan, kembali menggeluarkan teriakan parau yang nyaring sekali. Kian Bu merasa seolah-olah telinganya ditusuk-tusuk, maka ia pun mengerahkan khikang-nya dan melengking nyaring. Ular itu terkejut dan terdiam, akan tetapi tidak melepaskan lilitannya.

Siang In dan Ci Sian terkejut bukan main melihat Kian Bu terlilit ular dan tidak mampu melepaskan diri. Wajah Siang In menjadi pucat dan dengan nekat wanita ini lantas menyerang dengan senjata payungnya. Terjangannya hebat sekali dan ujung payung itu seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kedua mata binatang itu. Dan Ci Sian pun cepat membantunya, memukul-mukulkan sulingnya dengan pengerahan khikang-nya yang amat kuat itu ke arah moncong ular, maksudnya andai kata tidak dapat melukai ular pun ia akan mencegah ular itu menggigit Kian Bu.

“Tak-tak....!” Ujung payung itu mengenai kulit yang keras ketika ular itu menggerakkan kepalanya sehingga tusukan-tusukan itu meleset, tidak mengenai mata melainkan mengenai bagian muka yang tertutup kulit keras.
“Trakkk!” Hantaman suling di tangan Ci Sian bertemu dengan gigi dan ada sebuah gigi ular itu yang patah terkena pukulan suling.

Kembali ular itu berteriak parau dan keras dan Kian Bu merasa betapa lilitan tubuh ular itu menjadi makin kuat. Dia pun menggunakan kedua tangannya untuk memukuli tubuh ular yang melilitnya, menggunakan pukulan-pukulan tangan miring seperti membacok-bacok. Tenaganya yang luar biasa kuatnya itu pun tidak dapat membuat kulit ular itu rusak, akan tetapi setidaknya tenaga pukulannya mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa sehingga ular itu berteriak-teriak atau mengeluarkan suara parau dan serak. Lilitannya menjadi semakin kuat.

Karena maklum bahwa dia tidak mampu melepaskan diri dari belitan maut itu, dan bahwa isterinya mau pun Ci Sian bisa terancam bahaya, maka Kian Bu cepat berteriak, “Mundurlah.... jangan dekat-dekat....!”

Tetapi, sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya, tentu saja Siang In tidak mau meninggalkan suaminya yang sedang dibelit ular dan dalam keadaan terancam hebat itu. Pendekar wanita ini pun sudah menjadi panik penuh kekhawatiran, maka dengan muka pucat ia sudah menyerang lagi sambil membentak nyaring, “Lepaskan suamiku....!”

Payungnya menyambar seperti kilat, kembali menyerang ke arah mata kanan ular itu. Ular itu memang luar biasa sekali. Dia tidak mengelak, melainkan mempergunakan kepalanya untuk menangkis.

“Dessss....!”

Tubuh Siang In terlempar sampai beberapa meter jauhnya karena ditumbuk oleh kepala yang amat kuat itu. Siang In tidak terbanting hebat karena ia cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi kepalanya agak pening juga oleh benturan keras itu. Sementara itu, Ci Sian melihat dengan penuh kengerian ketika ular itu kini mengangkat tinggi kepalanya dan mulutnya terbuka lebar, siap untuk mencaplok kepala Suma Kian Bu yang masih meronta-ronta seperti seekor lalat dalam perangkap sarang laba-laba itu. Agaknya tidak akan ada apa pun yang dapat menyelamatkan nyawa pendekar sakti itu.

“Mundurlah.... biarkan aku....” kata pula Kian Bu yang terkejut menyaksikan isterinya terlempar tadi.

Akan tetapi Siang In menjadi semakin nekat. Biar pun kepalanya masih pening dan tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang terkena hantaman langsung oleh kepala ular itu, namun kekhawatirannya akan keselamatan suaminya membuat ia lupa akan diri sendiri. Ia sudah hendak menyerbu lagi ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh tangan Ci Sian Sian.

“Enci, biarkan aku mencoba ini....”

Siang In menahan gerakannya dan memandang Ci Sian yang sudah menempelkan suling emasnya di depan mulut dan terdengarlah suara suling yang aneh dan suara itu melengking tinggi mengalun dan mengandung getaran yang amat halus namun amat kuat.

Ternyata dara ini teringat akan pelajaran tiupan sulingnya, dan menurut suheng-nya, tiupan suling itu mengandung suara yang penuh dengan kekuatan khikang, dan menurut suheng-nya, suara itu selain dapat mengusir pengaruh gaib atau juga segala macam kekuatan sihir dari lawan, dapat dipergunakan untuk menyerang atau mempengaruhi lawan pula. Dan Ci Sian juga teringat akan pelajaran dari gurunya, yaitu Si Raja Ular See-thian Coa-ong tentang kelemahan ular.

Dia sendiri dapat memanggil ular-ular dengan getaran suara meninggi dalam nada tertentu, yaitu ilmu yang didapatnya dari See-thian Coa-ong. Dengan menggabungkan ilmunya meniup suling dan ilmunya menguasai ular itu, ia ingin mencoba kepandaiannya untuk mempengaruhi dan menundukkan ular raksasa ini. Tentu saja Ci Sian belum yakin akan hasilnya, sebab pelajaran menaklukkan ular dari suhu-nya, yaitu See-thian Coa-ong itu, hanya ditujukan terhadap ular-ular biasa, terutama ular beracun. Belum pernah selama hidupnya dia melihat ular seperti yang mereka lawan ini. Ular yang menyelamatkannya ketika terjatuh dari tebing dahulu, yaitu ular peliharaan See-thian Coa-ong, tidak ada setengahnya dibandingkan dengan besar ular raksasa ini!

Dengan senjata payung di tangan, siap untuk menerjang, dan sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah ular yang melilit tubuh suaminya, Siang In berdiri memandang. Pendekar wanita ini sendiri bergetar mendengar suara suling melengking tinggi ini, sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya yang seperti ikut tergetar.

“Bagus, teruskan.... teruskan....!” Tiba-tiba terdengar Kian Bu berkata girang.

Terjadilah keanehan. Mendengar suara melengking tinggi yang beralun itu, ular yang tadinya sudah membuka mulut, dengan marah sekali hendak mencaplok kepala Kian Bu, tiba-tiba menghentikan gerakan kepalanya dan mengangkat kepala tinggi-tinggi, diam tak bergerak, seolah-olah terpesona! Kemudian, mulailah kepala itu bergerak-gerak ke kanan kiri, mulutnya masih terbuka dan kadang-kadang ular itu menyemburkan uap yang panas dan berbau amis!

Giranglah hati Ci Sian ketika melihat hasil tiupan sulingnya ini. Ia pun cepat meniupkan nada-nada suara yang telah dipelajarinya dari See-thian Coa-ong untuk membuat ular itu berlutut atau mendekam di depan kakinya. Ada bermacam-macam perintah yang dapat dilakukannya terhadap ular, sesuai dengan yang diajarkan See-thian Coa-ong, melalui nada suara tertentu yang biasanya dikeluarkan dari kerongkongannya dengan pengerahan khikang. Akan tetapi, kini dengan tiupan sulingnya, tentu saja kekuatan itu lebih hebat lagi.

Namun Ci Sian terkejut dan juga bingung. Ular raksasa itu tidak mentaati perintah melalui sulingnya, tetapi nampak panik dan bingung, juga seperti ketakutan. Agaknya, suara melengking yang langsung ditujukan kepadanya oleh dara perkasa itu amat mengganggu telinganya, membuat kepalanya rasanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam! Ular itu kebingungan, ketakutan, dan membuka mulutnya lebar-lebar, mendesis-desis dan menggeliat-geliat, menggerakkan kepala seperti menari-nari, akan tetapi tarian yang tidak teratur, tarian kebingungan!

Ci Sian melanjutkan tiupannya, menduga bahwa agaknya ‘alat penerima’ ular raksasa ini sudah berbeda dengan ular-ular pada umumnya. Akan tetapi, melihat betapa tubuh ular itu menggeliat dan karenanya lilitannya juga mengendur, ia terus meniup sulingnya, bahkan menggunakan nada yang makin meninggi sampai tidak dapat ditangkap oleh anak telinga lagi! Dan ular itu semakin tersiksa!

Dalam keadaan kebingungan itu, ular raksasa ini agaknya melupakan Kian Bu sehingga lilitannya mengendur dan ketika memperoleh kesempatan baik, Kian Bu berhasil meloloskan diri, sekali meloncat sudah terbebas dari lilitan ular. Akan tetapi ketika kedua kakinya tiba di atas tanah dekat isterinya, dia terhuyung dan tentu akan terpelanting kalau tidak dipeluk isterinya. Kiranya pendekar ini tadi terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk berusaha melepaskan diri dari lilitan ular itu, dan juga untuk menjaga agar tulang-tulangnya tidak remuk terhimpit.

Setelah mengatur napas sebentar dan keadaannya pulih kembali, Suma Kian Bu lalu mengambil payung isterinya, matanya tak pernah terlepas memandang ular itu. Ketika tadi ular itu membuka mulut lebar-lebar hendak mencaplok kepalanya, dia melihat betapa bagian dalam dari mulut ular itu merupakan daging yang kemerahan, dan dia percaya bahwa tidak mungkin daging di sebelah dalam rongga mulut itu kebal. Di situlah agaknya kelemahan ular ini, pikirnya. Di bagian luar tubuhnya, ular itu kebal, terlindung sisik yang amat tebal dan kuat. Akan tetapi kalau mulutnya terbuka, maka di dalam rongga mulutnya itu merupakan bagian yang lemah dan tidak terlindung.

Mulut ular itu masih ternganga lebar dan menyembur-nyemburkan uap, kebingungan dan kegelisahan sekali. Mendadak nampak bayangan berkelebat dan Kian Bu telah mempergunakan ilmu ginkang-nya yang luar biasa, melayang ke depan dan secepat kilat. Sebelum ular itu tahu bahwa dirinya diserang, pendekar ini sudah menusukkan payungnya dari bawah, memasuki mulut itu dan ujung payung yang seperti pedang itu menusuk dan menembus rongga mulut bagian atas, memasuki otak di kepala ular dan menembus sampai keluar di antara kedua mata ular itu.

“Mundur....!” Kian Bu berteriak nyaring sambil meloncat jauh meninggalkan ular itu.

Sementara itu, Ci Sian dan Siang In juga berloncatan ke belakang. Untung bahwa mereka melakukan ini karena tiba-tiba saja ular yang telah terluka parah itu mengamuk! Bukan main dahsyatnya amukan ular ini. Kepalanya yang sekarang sudah berlubang dan mengucurkan darah yang banyak sekali itu menyambar-nyambar ke sana sini dan apa saja yang ditemukan, baik batu mau pun batang pohon, tentu digigitnya sampai hancur! Ekornya juga menyambar ke kanan kiri hingga batu-batu besar pecah-pecah terkena hantaman ekornya. Debu mengepul tinggi dan semua hiruk-pikuk itu ditambah lagi dengan teriakan-teriakannya yang menyayat hati.

Teriakan-teriakan ini terdengar sampai ke dusun dan semua orang dusun, semenjak mendengar suara ular itu memekik-mekik tadi, sudah menjatuhkan diri berlutut di rumah masing-masing dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Mereka mengira bahwa tentu tiga orang pendekar itu telah tewas semua dan sekarang Dewa Ular itu marah-marah dan akan mengamuk ke dusun itu!

Akan tetapi, biar pun luka yang diderita oleh ular raksasa itu hanyalah luka kecil saja yang diakibatkan oleh tusukan ujung payung yang seperti pedang, namun luka itu menembus kepala dan merusak otak, pusat segala-galanya. Maka amukan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan akhirnya ular itu tergolek mati di depan goa!

Tiga orang pendekar itu menanti sampai beberapa lama, sampai akhirnya mereka yakin benar bahwa binatang itu telah mati. Barulah Kian Bu mendahului mereka, meloncat ke dekat ular itu dan menggerak-gerakkan kepala ular itu dengan kakinya. Namun, kepala itu terangkat dan terkulai lemas, tanda bahwa ular itu benar-benar telah tewas. Maka dia pun memberi isyarat kepada kedua orang wanita pendekar itu yang lalu segera maju menghampiri. Ngeri juga hati mereka melihat besarnya ular ini. Bahkan Ci Sian sendiri yang memiliki ilmu menaklukkan ular dan sudah dapat disebut ahli ular atau pawang ular, bergidik melihat ular yang luar biasa ini.

Pendekar Siluman Kecil yang melihat bahwa ular itu telah benar-benar tewas, menoleh kepada Ci Sian dan berkata, “Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku.”

Siang In juga merangkul dara itu dan berkata, “Kalau tidak ada engkau, Adikku, entah apa akibatnya yang menimpa kami berdua.”

Ci Sian tersenyum, balas merangkul Siang In dan berkata kepada Kian Bu, “Suma-taihiap, harap engkau jangan bersikap sungkan. Di antara kita, mana ada istilah saling menolong atau menyelamatkan? Kita maju bertiga menghadapi ular itu, jadi tidak ada yang ditolong atau menolong.”

Kian Bu mengangguk. “Baik, engkau masih muda akan tetapi pandai membawa diri, Nona. Tunggu, aku Suma Kian Bu bukan orang yang tidak pandai membalas budi.”

Setelah berkata demikian, pendekar ini menggunakan ujung payung isterinya untuk menggurat kepala ular yang sudah terluka itu. Anehnya, setelah ular itu mati, biar pun kulit kepalanya masih keras, tetapi tak begitu sukar bagi pendekar untuk membelahnya dengan hati-hati. Kepala itu terbelah dan nampak isinya ketika dikuakkan dan dapat dibayangkan betapa girang rasa hati suami isteri yang dipenuhi harapan itu ketika di dalam kepala itu mereka menemukan sebuah benda bulat sebesar ibu jari, berwarna kehijauan, macamnya seperti sebutir mutiara yang berkilauan, akan tetapi agak lunak. Itulah agaknya dongeng tentang mustika naga itu!

Dengan hati-hati sekali Siang In menyimpan benda itu, dibungkusnya dengan sehelai sapu tangan bersih. Sedangkan Kian Bu berkata, “Nona Bu Si Cian....“
Ci Sian terkejut dan memandang dengan mata terheran-heran, akan tetapi kemudian ia dapat menduga dan menoleh kepada Siang In.

“Memang aku telah menceritakan riwayatmu kepada suamiku, Ci Sian.”
“Benar Nona. Aku sudah mendengar bahwa Nona adalah puteri dari Bu Seng Kin atau yang terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun namanya sudah terkenal lama di dunia kang-ouw. Nona, kami berdua sudah melihat bahwa Nona adalah orang yang patut menjadi sahabat baik atau bahkan keluarga kami sendiri. Oleh karena itu, kalau sekiranya Nona suka, aku ingin menurunkan semacam ilmu kepadamu yang akan menambah kepandaianmu dan memperhebat ilmu silatmu. Kami akan tinggal di sini selama beberapa bulan, dan kalau engkau mau, aku akan dapat mengajarkan ilmu itu kepadamu di sini.”

Siang In yang masih merangkulnya itu segera berkata, “Adikku, kesempatan baik sekali bagimu untuk memperdalam ilmumu! Percayalah, suamiku tidak pernah bicara main-main. Kau temanilah kami di sini mempelajari ilmu itu, karena bukankah engkau pun tidak mempunyai tujuan tertentu hendak ke mana? Kalau ilmumu sudah lebih sempurna, tentu akan lebih mudah bagimu untuk merantau dan.... mencari Suheng-mu.”

Ci Sian termenung sejenak. Ia tahu akan kelihaian pendekar ini dan sebagai seorang pendekar wanita muda, tentu saja ia pun masih haus akan ilmu-ilmu yang hebat. Dan ia pun merasa amat cocok dengan Siang In. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Kian Bu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap.”

Siang In cepat membangunkan Ci Sian dan suaminya berkata, “Ah, mengapa sekarang engkau yang bersikap sungkan, Nona? Aku hendak menurunkan ilmu yang paling diandalkan keluarga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku lalu menjadi gurumu atau melepas budi kepadamu! Aku hanya melihat bahwa engkau adalah orang yang pantas memiliki ilmu keluarga kami itu.”

Tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang ke tempat itu dan dari jauh saja sudah nampak obor-obor yang mereka bawa. Kiranya mereka itu adalah para penghuni dusun yang dipimpin oleh kepala dusun. Tadinya, orang-orang itu ketakutan setengah mati mendengar suara pekik-pekik yang dahsyat dari ular raksasa. Akan tetapi setelah suara itu berhenti, mereka lalu bermunculan dari rumah masing-masing dan dengan pimpinan Kepala Dusun, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menuju ke goa.

“Kalau Dewa Ular mau mengampuni kita, itu baik sekali,” kata Kepala Dusun itu kepada semua orang. “Akan tetapi kalau beliau marah dan hendak membasmi kita semua, dari pada mati konyol, lebih baik kita melawan sampai mati! Lebih baik mati sebagai manusia yang pandai membela diri dari pada mati sebagai tikus-tikus yang penakut!”

Ucapan penuh semangat ini, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan tiga ‘utusan dewa’ itu, membakar semangat para penghuni dusun dan akhirnya, mereka pun mengumpulkan senjata seadanya, membawa obor dan berbondong-bondong datang ke arah goa. Dari jauh mereka pun sudah melihat obor yang dipasang di sekitar goa.

Dengan jantung berdebar-debar, mereka terus melangkah maju dan akhirnya mereka semua berdiri terbelalak memandang ke depan goa, di mana berdiri tiga orang ‘utusan dewa’ itu dan di depan tiga orang itu menggeletak tubuh ular besar yang tak bergerak-gerak! Ketika mereka semua melihat ke arah kepala ular itu, tahulah mereka bahwa ular itu telah mati. Serentak mereka bersorak gembira dan mereka dipimpin oleh Kepala Dusun untuk menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah tiga orang ‘utusan dewa’ itu!

Kian Bu menghadapi mereka dan berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa, “Saudara sekalian, bangkitlah dan tidak perlu kalian terlalu memuja kami. Ketahuilah, kami sama sekali bukan utusan dewa. Kami adalah manusia-manusia biasa yang menentang kejahatan, juga yang selalu siap menolong mereka yang tertindas atau terancam. Kami datang untuk membasmi ular raksasa ini dan kami telah berhasil. Kami tidak minta balasan apa-apa, hanya kami ingin tinggal untuk beberapa bulan di tempat ini, harap Saudara sekalian tidak menaruh hati keberatan.”

Tentu saja Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu sama sekali tidak keberatan, bahkan mereka merasa girang dan bangga sekali. Berkat bantuan Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu, dibangunlah dua buah pondok kecil untuk suami isteri itu dan untuk Ci Sian dan mulai hari itu, tiga orang pendekar itu tinggal di tepi hutan, di dekat goa. Bangkai ular itu atas anjuran Kian Bu lalu dikuliti oleh para penghuni dusun, dagingnya dibagi-bagi dan dimasak. Kulit ular itu dijemur dan dijadikan semacam ‘lambang’ dusun itu, dipentang dan dipasang di dinding ruangan besar tempat tinggal Kepala Dusun, dan dengan resmi mereka menyebut dusun mereka itu sebagai dusun Naga Hijau!

Kian Bu, juga mencari daun-daun dan akar-akar obat sebagai campuran Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) itu, dimasak dan diminum oleh dia dan isterinya. Ramuan obat aneh ini setiap hari direbus dan airnya diminum oleh mereka dengan penuh harapan.

Sementara itu, mulailah Kian Bu menurunkan ilmu pusaka dari Pulau Es, yaitu ilmu gabungan dua tenaga sakti Hwi-yang Sinkang (Inti Api) Swat-im Sinkang (Inti Es). Ilmu ini adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang harus dilatih setiap hari oleh Ci Sian dengan cara bersemedhi. Kadang-kadang dara ini dilatih bersemedhi di dalam goa di mana dinyalakan api unggun besar sehingga udara di dalam goa itu pengap dan panas bukan main. Namun, berkat latihan dan petunjuk Kian Bu, Ci Sian mampu bertahan bertapa di dalam goa api ini sampai sehari penuh! Dan kadang-kadang dia diharuskan bersemedhi di puncak gunung di tengah malam yang amat dingin, bahkan duduk bersemedhi dengan merendam tubuhnya di dalam sumber air di hutan itu.

Karena memang Ci Sian berbakat baik dan juga amat, tekun, maka dengan cepat ia dapat menguasai sinkang itu, bahkan lewat beberapa pekan kemudian ia telah mulai latihan menyalurkan tenaga gabungan itu ke dalam gerak tangan, baik melalui pukulan tangan kosong atau pun melalui senjata suling emasnya.

Tiga bulan lewat dengan cepatnya. Selama itu, tiga orang pendekar ini dilayani oleh para penghuni dusun. Mereka bertiga tidak kekurangan bahan makanan, karena sedikitnya sepekan sekali Kepala Dusun dengan beberapa orang wakil penduduk tentu datang membawa bahan-bahan makanan hasil sawah ladang mereka.

Sementara itu, Ci Sian telah berhasil menguasai ilmu dari keluarga Pulau Es. Tentu saja penguasaan ilmu ini membuat ia menjadi semakin lihai, karena kini ilmu pedang yang dimainkan dengan sulingnya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Kam Hong, bertambah kehebatannya.

Tadinya, ilmu itu sudah hebat sekali. Selain memiliki gerakan yang amat aneh dan lihai, juga gerakan suling itu mengandung tenaga khikang yang sangat kuat, di samping ditambah lagi suara suling melengking yang juga dapat melumpuhkan lawan. Semua kehebatan Kim-siauw Kiam-sut itu kini ditambah lagi dengan penyaluran sinkang yang dapat diatur menurut kehendaknya, bisa dingin seperti es, bisa panas seperti api!

Pada pagi hari itu, setelah semalam suntuk berlatih semedhi dengan hasil yang baik sekali, Ci Sian pergi ke sumber air dan mencuci mukanya untuk mengusir kantuk yang mulai menyerangnya. Setelah mencuci muka dan mengeringkan mukanya, ia lalu duduk di tepi air kolam di tepi sumber di mana airnya tergenang penuh dan jernih sekali, juga air itu diam hanya bergerak sedikit sekali, seperti sebuah cermin ketika sinar matahari menyinarinya.

Ia pun lalu mengurai rambut, menyisiri rambutnya yang panjang hitam dan halus itu. Baru kemarin ia mencuci rambutnya itu dengan getah daun semacam daun lidah buaya dan rambut itu kini nampak halus mengkilap dan bersih, berbau sedap karena ketika digelungnya, ia menaruh kembang mawar hutan di rambutnya. Sambil bersisir, Ci Sian menjenguk ke dalam air, di mana ia melihat wajahnya terpantul dengan jelasnya. Seraut wajah yang segar dan cantik manis, berbentuk bulat seperti bulan purnama. Karena raut wajahnya itulah maka ia disebut Siauw Goat (Bulan Kecil) oleh kakeknya dahulu.

Teringat akan ini, terbayanglah semua pengalamannya dan teringatlah ia kembali pada Kam Hong, suheng-nya. Dara itu menarik napas panjang dan sekali lagi ia menjenguk dan memandang wajahnya. Ia menyeringai, lalu menjebirkan bibirnya kepada bayangan itu. Kemudian, melihat wajahnya yang lucu di dalam air, ia geli dan tersenyum sendiri. Dan betapa manisnya ketika ia tersenyum.

“Ci Sian, engkau lebih bahagia ketika masih menjadi Siauw Goat dahulu,” katanya lirih, seolah-olah bayangan di dalam air itu adalah orang lain yang dapat diajaknya bercakap-cakap. “Ketika itu, engkau hidup bahagia dan selalu gembira di samping kakek, dimanja dan dicinta semua orang. Tapi sekarang? Uhh, Suheng-mu yang paling kau sayang pun meninggalkanmu!” Tiba-tiba saja Ci Sian menangis!

Sampai sekarang pun dia masih belum dapat menentukan perasaan apakah yang mengganggu hatinya ini. Ia memang mencinta suheng-nya itu, akan tetapi apakah ini cinta kasih antara sumoi terhadap suheng, antara seorang dara yang haus akan kasih sayang ayah bunda sehingga suheng-nya itu dianggapnya sebagai pengganti ayah bundanya, kasih seorang murid terhadap gurunya, atau kasih sayang antara sahabat yang dikaguminya dan dipujanya, ataukah ini kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria? Ia tidak tahu!

Cinta kasih! Apakah itu sesungguhnya? Sudah sering kali pengarang mengajak para pembaca untuk merenungkan dan mempelajari kenyataan hidup yang amat mukjijat ini, dan tiada bosannya pengarang mengajak pembaca untuk merenungkannya kembali. Cinta kasih, apakah itu sesungguhnya? Betapa halusnya!

Setiap orang merasakan keadaannya, tapi sekali mencoba untuk mengukurnya dengan pikiran-pikiran, dengan kata-kata, maka kita kehabisan kata-kata untuk menyelaminya, kehabisan akal untuk dapat menguraikannya. Kita terbiasa untuk membagi-bagi cinta kasih, karena kehabisan akal itu, membagi-baginya dengan cinta kasih antara anak dan orang tua, antara sahabat, antara warga dan negaranya, antara suami dan isteri, pria dan wanita dan sebagainya.

Bahkan, saking bingungnya kita, saking dangkalnya pikiran ini untuk dipakai mengukur cinta kasih, timbullah kata-kata untung-untungan bahwa cinta kasih itu buta, cinta kasih itu sorga, cinta kasih itu sengsara, dan sebagainya! Akan tetapi, semua anggapan itu hanyalah menjadi pengetahuan mati berdasarkan pengalaman masing-masing orang. Kalau orang merasa sengsara karena cinta, maka dikutuknyalah cinta, dan kalau orang merasa bahagia, maka di pujanyalah.

Cinta kasih tidak pernah terpecah belah. Yang memecah belah adalah sang pikiran atau si aku yang selalu mengambil kesimpulan senang susah, untung rugi.

Cinta kasih tak mungkin dapat diuraikan, karena bukan merupakan sesuatu yang mati, sesuatu yang sudah pasti dan tidak berubah lagi, karena pikiranlah yang selalu berubah sesuai dengan keadaan diri pribadi. Dengan pikiran kita yang dangkal, pikiran yang bukan lain hanya merupakan barang lapuk dan mati, tumpukan hal-hal yang sudah lalu, pikiran yang tak mungkin dapat mengenal hal-hal yang baru, mana mungkin kita dapat menentukan apakah sesungguhnya cinta kasih itu? Ratusan, bahkan ribuan orang yang dinamakan kaum cerdik pandai boleh mengatakan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu, ini atau itu. Namun, sampai sekarang, cinta kasih masih saja merupakan hal yang tidak kita mengerti benar.

Cinta kasih tidak mungkin dapat disentuh melalui pikiran yang lapuk dan usang. Cinta kasih adalah sesuatu yang selalu baru, sesuatu yang terlalu agung untuk dapat diraba oleh panca indera dan pikiran. Oleh karena itu, agaknya hanya ada satu jalan untuk menyentuhnya, yaitu kita harus membebaskan diri dari pada yang lapuk-lapuk itu, kita membiarkan diri kosong dari pada segala pengetahuan tentang cinta kasih yang selalu didasari untung rugi si aku ini.

Kita membiarkan diri bersih dari pada segala yang BUKAN CINTA KASIH. Yang bukan cinta kasih itu tentu saja adalah pementingan diri sendiri, kemarahan, kebencian, permusuhan, iri hati, dan segala hal yang menimbulkan konflik antara kita dengan orang lain, bahkan antara kita dengan kita sendiri, dengan pikiran sendiri. Dalam keadaan kosong itu, kosong tanpa dibuat-buat, dalam keadaan bebas itu, dalam keadaan bersih itu, seperti kaca yang sudah bersih dari pada debu, mungkin saja sinar cinta kasih akan dapat menembus masuk! Dan kalau sinar cinta kasih sudah menembus masuk, kiranya tidak ada lagi persoalan, tidak ada lagi pemecah-belahan.....

Ci Sian merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi bingung oleh perasaan sendiri, oleh karena pikirannya sendiri. Ia hidup selama beberapa bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang semenjak tinggal di situ, antara suami isteri itu nampak kemesraan yang lebih dari pada yang sudah-sudah. Menyaksikan suami isteri yang hidup saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini, tentu saja menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian.

Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!

Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja dia mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!

Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu sekarang menjadi jengkel. Ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja. Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, “Siapa di situ?”

Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak, kedua orang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian.

Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan asli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna.

Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguh pun agak merah karena habis menangis, akan tetapi tidak mengurangi kejelitaannya. Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Sedangkan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biar pun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah. Pokoknya wuihhh…..

Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian bagaikan hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, “Siancai....! Bidadarikah? Silumankah....?”

Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja dia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurang ajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!

Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati.

Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berubah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri.

“Kalian berdua ini tikus-tikus dari mana berani menghinaku? Apakah kalian sudah bosan hidup?” demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.

Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan asli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, benar-benar terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapa pun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya.

Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih sangat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut sekaligus juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.

Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. “Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!”

Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi makin mencorong mengeluarkan sinar kilat. “Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!” bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, dua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.

“Siancai....!” Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!
“Plak! Plak!”

Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Namun mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.

“Ehhh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau sedang berhadapan!” kata tosu hidungnya bengkok.
“Tentu saja aku tahu!” teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. “Kalian adalah dua orang hidung kerbau!”

Kedua orang itu menjadi marah. “Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!” teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya. Dengan cara yang cepat dan bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring.

“Huh, kerbau busuk!” Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Desss....!”

Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sute-nya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sute-nya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tandingan nona itu.

“Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sute-nya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.

Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat dari pada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapa pun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu berhidung bengkok yang memanggul tubuh sute-nya yang pingsan itu.

Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.

Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.

Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu. Karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Sebagian besar para pimpinan Kun-lun-pai adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu.

Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih dari pada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.

Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walau pun jarang di antara mereka yang menjadi prajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.

Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggap hal itu sebagai urusan besar, maka mereka hanya mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu.

Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan saat mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.

Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sute-nya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai.

Memang para anggota Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tiada pula yang menjadi pembesar atau prajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia.

Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri. Bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka. Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan ia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu.

Biar pun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sute-nya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin.

Dan selain tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walau pun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.

Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sute-nya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok. Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika.

Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sute-nya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dan dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.

Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biar pun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, akan tetapi masih tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai?
Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar. Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marah-marah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapa pun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.

Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil.

Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali. Kalau tempat tadi amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.

Biar pun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam tak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam semedhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.

“Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.
“Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian.

Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.

“Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk dusun teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan semedhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.”

Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya.

“Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu….” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sute-nya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi.

Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sute-nya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah.

Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Namun ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan amat berwibawa itu.

“Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walau pun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya hingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar.” Kakek itu menarik napas panjang. “Ini adalah akibat keadaan, ahhh, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“

Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!”

Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup!

Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali! Dan dia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga pada waktu kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja.

Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian pada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.”

Wajah Ci Sian berubah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosu itu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!

Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggotanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?”

Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus kepada Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walau pun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.

“Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.
“Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.

Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukanlah Ketua Kun-lun-pai....”

“Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan ini pun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.

Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat semedhinya. Untuk urusan apa pun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah padanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin jika Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memang memandang rendah padanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!

“Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!”

Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....”

“Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!”
“Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak mana pun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.”

“Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya.

Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walau pun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.”

Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng.”

Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suheng-nya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik?

“Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!”
“Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga.

Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yang mengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.

Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk bersila tidak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan. Biar pun usianya sebaya dengan sute-nya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sute-nya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.

Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walau pun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung ke atas seperti model gelung rambut tosu. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang.

Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam semedhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirik pun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka, tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.

“Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.

Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian pun merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap horrnat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.”

“She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?”

Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!”

“Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi sempat mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?”

Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....”

“Ha-ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sute-nya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.
“Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.

Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.

“Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian.

Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sinkang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring.

“Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!
“Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapa pun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambil tersenyum.

Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?”

“Memang kini pusaka itu berada di tangan suheng-ku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat.
“Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?”
“Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.”
“Ahh, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya.

Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.

“Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.
“Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kau layanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!”

Mendengar ucapan suhu-nya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, mulai bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.”

“Untuk dapat menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main.

Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya. Kini mendapat kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, maka tentu saja dia merasa gembira sekali. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.

Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar!

Dalam keadaan menderita batin karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu.

Seperti yang terdapat dalam batin setiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya dari pada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa mala petaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biar pun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.

Mendengar ucapan suhu-nya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.

Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali.

Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa dia benar ahli waris Suling Emas dia harus memainkan suling itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan.

Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi.

Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menjebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru.

“Lihat serangan!”

Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup.

Han Beng merubah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu. Dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khikang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sinkang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu.

“Tringggg....!”

Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum.

Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka.

Akan tetapi, Ci Sian yang berwatak panas itu merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan seruan nyaring. Sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat.

Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya.

Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga turut memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirubah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amatlah kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya.

Han Beng cepat-cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walau pun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya akan berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat!

Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sute-nya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.”

“Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biar pun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....”

“Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sinkang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sinkang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....,“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemukjijatan....”

“Dan lihat, bukankah ilmu sinkang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng pada saat mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sinkang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.”

Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika dia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khikang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suheng-nya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar.

Maka, dia lalu mengerahkan tenaga sinkang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini melalui pedang kayu yang dipakai untuk menangkis, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena pertahanannya kacau oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling.

“Tukkk....!”

Pundaknya terkena totokan dan biar pun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar.

“Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian.

Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berubah merah dan ia pun bersungut-sungut.

“Kenapa engkau malah membantu lawan?” Ci Sian menegur sambil menyimpan kembali sulingnya.
“Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian.
“Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian.

Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu.

“Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe tentu adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?”

Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suheng-nya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu yang tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?”

“Nama saya Suma Kian Bu....“
“Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suheng-nya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu.

“Beliau adalah ayah kandung saya.”
“Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap. Mari kita duduk di dalam dan bicara. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.”

Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta maaf kepadamu,” jawabnya.

Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.”

“Ahh, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang.

Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sute-nya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng.....
Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan murid-murid lain tidak ada yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.

“Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.”
“Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, maka kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya.”

“Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalah pahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalah pahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!”
“Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena merasa malu terhadap Pendekar Siluman Kecil.

Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau barusan bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.”

“Suma-taihiap, setelah Taihiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita, Taihiap datang bersama isteri Taihiap....,“ kata pula Thian Kong Tosu.
“Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis.

“Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.”
“Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu.
“Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shan-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!”

Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa lenyap?!”

“Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayangi dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau lenyap tanpa meninggalkan jejak!”

“Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia.

“Tentu saja menjadi geger, walau pun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlomba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan sehingga keselamatan Sang Pangeran dikhawatirkan.”

“Ahhh, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es!

Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sute-nya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau pinto tidak salah, ibu kandung Taihiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal....”

Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ahhh, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?”

“Taihiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang bahkan telah mendengarnya!”

Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah dikarenakan rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat.

“Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga bisa melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya.”

Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi masih belum cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasehatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana.

“Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang selalu disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan. Kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.”

Nasehat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak tergerak untuk ikut-ikut, walau pun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan Pangeran ini kelak akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana.

“Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam.

Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapa pun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.”

Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.”

Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berubah merah.

“Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In.
“Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.”

Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?”

Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnya kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu adalah kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?”

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Taihiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?”

Kian Bu lalu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu, tetapi ayahku seorang pendekar. Betapa pun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapa pun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkin jika aku harus menentang para patriot.”

“Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“
“Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andai kata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sebenarnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.”
“Apakah itu....?” Ci Sian bertanya.

Tiba-tiba saja Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya.

“Benarkah, Enci? Ahh, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!”
“Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....”
“Ahh, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!”
“Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira.

Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah.

“Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baiklah engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kau ingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat.

Saking terharunya, Ci Sian hanya bisa mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapa pun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya kalau dibandingkan pria.

Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan dia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung.

Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Dia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan.

Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini tentunya sangat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa ‘tidak sendirian’.

Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang mendatangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas dari pada ‘sendirian’ itu.

Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani mau pun rohani, sendiri tanpa siapa pun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang merasa takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindar dari yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian dari pada keheningan itu?

Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan ‘kita’! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi.

Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian.

Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan selalu menjauhi ketidak senangan, pikiran inilah yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali!

Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup? Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas dari pada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, semakin besar rasa takut dan semakin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan menimbulkan rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu?

Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas dari pada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya!

Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan.

Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang.

Setelah menumpahkan semua rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yang kesepian.

Ia memandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tata warna yang tak bisa dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk makhluk-makhluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa.

Senja kala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah. Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan dari pada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian.

Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan.....

********************
Selanjutnya baca
SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-20
LihatTutupKomentar