Suling Emas Naga Siluman Jilid 20
Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main.
Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.
Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan.
Seperti biasa, biar pun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam. Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka.
Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan. Pemuda ini telah memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, maka para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya.
Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu.
Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal ‘manjur’, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar ‘kaul’, yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka telah terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besaran, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!
Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tiada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, serta didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani mau pun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!
Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi. Itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah mau pun batiniah. Pikiran kemudian mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya.
Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat kemudian dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya sekedar memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi.
Dan ‘jika ‘kebetulan’ apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita kemudian membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu.
Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam.
Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya, “Apakah Ciong suhu ada di dalam?”
“Dia telah sejak tadi menantimu, Taihiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”
Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat-cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.
“Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri. “Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.”
Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya.
Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan.
Puteri ini membujuk-bujuk suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.
Para hwesio pengurus Kuil Hok-te-kong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.
“Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.”
Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah. Sambil terbongkok-bongkok nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri seolah mencari sesuatu.
Seorang hwesio segera menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“
“Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus.
“Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....”
“Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?”
“Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin.
Mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat pada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?”
Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.
“Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya.”
Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut, “Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.”
“Amithaba.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.”
“Terima kasih, terima kasih, Losuhu...,” kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu.
Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam!
Hwesio muda itu cepat menghadang. “Ehh, engkau hendak ke mana, Nek?”
“Mau keluar, ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam.
Akan tetapi kali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.
“Nek, jalan keluar bukan ke sana!”
Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, dengan terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, sedangkan mulutnya berkali-kali membisikkan nama, “Tiong Gi....!”
Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh, “Ahhh, sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua kuil!”
“Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.
“Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha memasukinya malam ini.”
Laki-laki tinggi besar itu mengangguk. “Memang kupikir juga begitu. Malam ini akan terjadi keributan di kuil.”
Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi. Dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik.
Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya. Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.
Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya. Banyak pihak hendak mengganggunya, tapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu. Akan tetapi, seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya.
Juga para pelindungnya tiada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki goa serigala!
Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu.
Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu, “Malam ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka kembali besok saja!”
Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau, “Saudara, pinceng bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang mohon ingin bertemu dengan Ciong-losuhu.”
Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran. “Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apakah malam-malam hendak menghadap Ciong-suhu?”
Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, lalu menjawab dengan suara berbisik, “Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!”
“Amithaba....!” Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada Suhu!”
Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu. “Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”
Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.
Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah sekali, sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.
“Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” tanya Ciong-hwesio dengan penuh curiga.
“Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini. Mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,” kata hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.
“Amithaba...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini kita harus bersikap hati-hati! Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai.”
Hwesio bertubuh kecil itu lalu memandang hwesio tinggi besar muka hitam, “Silakan Suheng.”
“Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka hitam ini bersilat.
Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan baik.
“Sekarang saya hendak mainkan Lo-han-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan bersilat.
Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya sudah sangat matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata kedua orang ini adalah benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak dengan kepandaiannya sendiri.
“Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami tadi bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”
Hwesio tua itu mengajak kedua orang tamunya masuk ke dalam dan memberi tahukan segala urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu nampak mengangguk-angguk dan serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.
“Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?” tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.
“Amithaba...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walau pun dia adalah seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka pula kesempatan bagi kita untuk turut menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran.”
“Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam. “Jika untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?”
“Amithaba.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!” kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhan kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”
Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk. “Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang Pangeran.”
Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, tetapi sebetulnya semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu dengan dalih untuk menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di belakang kuil. Sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di kota itu.
Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu! Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam selalu terdengar suara orang membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring, kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!
Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran. Mereka telah mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani pergi meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang dijaga ketat itu.
Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas, sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.
Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!
Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan suara yang walau tidak persis sekali, tapi mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan malah lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.
“Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada banyak penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... Hamba tak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?”
Biar pun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tak akan banyak bicara lagi dan akan langsung saja membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?
“Bagus,” kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu, “Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias agar berubah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti adalah dia, bukan Paduka. Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba. Mengertikah?”
Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaannya, malah tersenyum dan nampak gembira! Dan terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan lantang!
Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus! Kiranya hwesio bertubuh ramping yang amat pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar!
Pangeran ini merasa semakin heran pada saat wanita itu meraba-raba mukanya dan kembali ada topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling!
Wanita itu mendekatinya sambil berbisik, “Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu mendadaninya.
Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu.
“Sayang....,” kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling....”
Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong lantas mencoba menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.
“Lumayan juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tak perlu Paduka menjulingkan mata, hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”
Tidak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biar pun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!
“Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka.”
Dan wanita itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah jubah itu dia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk tubuhnya yang padat dan menggairahkan. Pangeran Kian Liong bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa ada kekurang ajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya. Dengan cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu, dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk menyamar.
Di depan cermin yang terdapat di dalam kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia lalu menghadapi Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah sudah pertukaran itu!
“Cepat, ada suara di luar....!” tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.
“Jangan mengeluarkan suara, Pangeran,” kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah mengempit tubuh Pangeran yang sudah berubah menjadi hwesio itu, dibawa melayang naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan, mendekam di balik wuwungan.
Memang terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar, melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.
“Ehh, ada suara ribut apa di luar?” terdengar suara ‘pangeran’ itu dari dalam kamar.
Semua orang terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan hendak tidur, pikir mereka.
Suara orang bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. Itulah suara Bu Seng Kin, atau Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar yang maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok ini, telah mengajak isterinya yang paling dapat diandalkan ini untuk membantunya.
“Ha-ha-ha, sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!” katanya sambil tertawa.
Memang Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok. Dahulu, saat dia merantau bersama mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Tiga orang pertama dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang sedang tidak sehat badannya terluka dan terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari Ngo-ok itu.
Dan kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hendak dilarikan Su-ok dan Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka saling bertemu, walau pun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.
“Hemm, kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan demikian kami dapat sekali tepuk....”
“He, orang she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?” Su-ok mengejek, “Ini isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga isteri barumu ini....”
“Tutup mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.
“Duk! Plakk....!“ Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.
“Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihatlah baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?” Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.
Tadinya Su-ok merasa penasaran dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah. Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian-li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.
“Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!” kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Gerakannya demikian cepat sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.
“Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kau perkosa? Ha-ha-ha!” kata Su-ok.
Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja.....
Su-ok maklum akan kelihaian nyonya ini maka dia pun segera mengelak dan balas menyerang. Ngo-ok yang merasa yakin bahwa sekali ini dia akan memperoleh korban baru yang istimewa karena nyonya ini bukan wanita sembarangan, sudah membantu temannya. Tang Cun Ciu tidak menjadi gentar dan wanita ini sudah memainkan ilmu silat yang amat diandalkannya yaitu Pat-hong Sin-kun.
Melihat betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan berkata dengan nada suara mengejek, “Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!”
“Begitukah? Boleh coba!” jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum.
Dia sudah sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir. Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali.
Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang merupakan musuh lama. Sekarang melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh pangeran mahkota, yang kepada mereka telah diperintahkan oleh seorang pembesar bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa yakin akan sanggup melakukannya, biar pun tingkat kepandaian pendekar ini sejak dahulu sudah lebih tinggi dari pada seorang di antara mereka. Hal ini sudah sering kali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga mengejar-ngejar pendekar ini.
Tentu pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan sekarang jauh lebih hebat dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu.
Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang menangis. Dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jari-jari lainnya digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.
“Srattt....! Srattt....!”
Bu-taihiap terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu. Akan tetapi, karena tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi dari pada wanita itu, dia tidak merasa gentar dan balas menyerang dengan sangat hebatnya, dengan pukulan-pukulan berat yang mengandung sinkang kuat sekali sehingga ketika berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.
Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing. Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya.
Akan tetapi kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat. Maka Bu-taihiap sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu.
Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus mereka berdua masih belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lantas mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan tubuh merendah sampai hampir berjongkok, dia mendorongkan kedua tangannya dan dari tenggorokannya keluar suara berkokok yang aneh.
Hawa dahsyat dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang, namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan, nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat.
Keadaan Bun Seng Kin sendiri tidak lebih baik dari pada wanita itu. Dia pun terdesak setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang sangat hebat itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan memberi kesempatan kepada teman-temannya melakukan siasat mereka, yaitu menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk bisa menculik Pangeran sehingga kelak akan mudah menimpakan kesalahan kepada para penyerbu ini.
“Ciu-moi, mari ke tempat yang lebih luas!” teriaknya.
Dan tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat. Tiga orang lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua, Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat, cepat keluar dari ruangan itu.
“Im-kan Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana sekali ini aku akan membasmi kalian!” teriak Bu Seng Kin.
Im-kan Ngo-ok yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas, di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya sinar bulan ditambah lampu gantung yang berada di depan kuil itu. Namun cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.
Setelah Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan kedudukan saling membelakangi, berarti mereka akan dapat saling melindungi dan menghindarkan diri dikepung lawan. Dan selain itu, juga tempat itu sudah dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa toya atau tongkat panjang.
Melihat ini, Im-kan Ngo-ok serentak tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak lawan yang maju berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi hwesio-hwesio itu.
“Heh-heh-heh, bairlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!” Su-ok terkekeh dan meloncat maju.
“Ihh, lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio gagal?” Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu.
Akan tetapi Su-ok tak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia dan teman-temannya, sungguh pun telah memiliki ilmu silat yang lumayan, namun sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan kalau dapat menahan seorang di antara mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya.
Memang ada benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biar pun kini mereka dapat saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok merupakan hal yang amat berat dan berbahaya. Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja, dan ia selalu memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali.
Cara Ngo-ok bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja sebelah kaki lawan yang bergerak aneh itu dapat menendang pergelangan tangan. Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja diselewengkan ke arahnya.
Cun Ciu yang sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu, akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam!
Selagi ia terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana. Maka, biar pun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu!
Ngo-ok terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang, sedangkan mukanya berubah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok! Dia maju lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya.
Sementara itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio mempermainkan tujuh orang hwesio itu sambil tertawa-tawa. “Heh-heh-heh, Amithaba.... bagaimana kalian berani melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-ha-ha!”
Dan memang orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka dapat membalas, sungguh pun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua pukulan toya luput, dan kalau pun ada yang mengenal tubuh Si Cebol, toya-toya itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sinkang-nya ketika menampar atau memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.
“Sute, kau ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan bantu kami!” Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, oleh karena mereka berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walau pun mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan sukar ditembus.
“Heh-heh-heh, bukankah katamu sendiri tadi bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana.... ha-ha-ha!”
“Sute, cepat bantu kami!” Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani main-main lagi, maklum bahwa kalau toako-nya sudah bicara, maka tentu serius dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.
“Baik, Toako!” katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.
“Wuuuuttt.... dessss....!”
Dan tubuh Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam yang barusan tadi telah menangkisnya. Bukan main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras!
Hwesio muka hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain, “Harap Ciong-suhu dan saudara-saudara lainnya mundur.”
Ciong-hwesio girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang, Hwesio tinggi besar muka hitam yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya.
Su-ok yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang ampuh. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.
“Dessss....!”
Akibatnya hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan pada saat dia mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka dalam! Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran. Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia pun maju dan menangkis.
“Plakkk!”
Dan Ji-ok terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih kuat dari pada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap! Pada saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mempedulikan tengkuknya ditendang. Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai tengkuk lawan, kakinya terasa terpental seperti membentur besi. Pada saat itu tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah perutnya.
Tentu saja Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Untunglah pada saat yang amat berbahaya ini Toa-ok sudah menggerakkan kakinya menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.
“Desss....!”
Tubuh Ngo-ok terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan hwesio muka hitam itu.
Toa-ok maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok. Meski gerakan-gerakannya sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya.
Akan tetapi, diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan tangan terbuka pula. Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
“Plakkk!”
Dua telapak tangan bertemu dengan sangat dahsyatnya, dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berarti setingkat pula dengan Bu-taihiap.
Sementara itu, setelah mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur.
Pada saat itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio. Bukan main hebatnya senjata ini dan amat berbahaya, maka Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan cepat sekali.`
Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget, “Sam-te....!”
Hwesio muka hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
Mendengar seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi besar yang amat lihai itu terkejut pula, “Ahh, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang Bu....“
Orang tinggi besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran-heran, apalagi pada saat mendengar betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.
“Apa yang terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?”
Oleh karena khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda, sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.
“Bagus....!” kata Ciong-hwesio, “Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang datang bersama Im-kan Ngo-ok!”
Akan tetapi, Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tak enak sekali melihat munculnya Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio, “Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada Ciong-suhu.”
Pendekar bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam, sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.
Dan dugaan Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga, menjelang pagi, sudah banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong.
Oleh karena Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah. Apalagi karena mereka tidak mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang!
Ciong-hwesio menyambut mereka semua dengan hormat dan seolah memperlihatkan keheranannya, “Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup? Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar sekali dan dia sangat pandai membaca sajak....“
Seorang di antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh peringatan, “Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran Mahkota sendiri yang menyamar!”
“Amithaba....!” Ciong-hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada dan tidak bicara lagi. Dia tentu saja hanya berpura-pura, akan tetapi sebagai seorang pendeta dia tidak mau banyak membohong, maka merasa lebih baik kalau tutup mulut saja.
“Oleh karena itu, lenyapnya Sang Pangeran di kuil ini tentu merupakan bahaya juga bagi kuil ini,” demikian pendekar itu melanjutkan, “Katakan, siapakah yang melakukan penculikan ini?”
“Bagaimana pinceng tahu? Yang pinceng ketahui hanyalah ada lima orang penjahat yang lihai sekali menyerbu kuil. Kami berusaha untuk menghalaunya karena mengira mereka itu perampok-perarnpok biasa. Dan ketika kami sedang sibuk melawannya, pemuda itu tahu-tahu lenyap dilarikan orang. Siapa lagi kalau bukan teman-teman para penjahat itu yang melakukannya?”
“Seperti apa macamnya penjahat-penjahat yang menyerbu itu?”
“Yang lima orang itu? Wah, mereka itu lihai bukan main. Kami semua bukanlah tandingannya, akan tetapi agaknya mereka tidak ingin membunuh kami. Mereka adalah lima orang yang amat menakutkan.... seperti iblis-iblis....“
Ciong-hwesio kemudian menceritakan keadaan lima orang itu, yang tentu saja sudah diketahuinya bahwa mereka adalah Im-kan Ngo-ok. Mendengar cerita kakek pendeta itu, orang-orang kang-ouw yang mendengarkan menjadi pucat wajahnya.
“Im-kan Ngo-ok....!” bisik beberapa orang di antara mereka dengan nada suara gentar.
“Celaka....! Kalau mereka yang menculik....”
Dan para pendekar itu dengan cepat kemudian meninggalkan kuil untuk melakukan pengejaran dengan hati penuh kebimbangan serta ketakutan. Ciong-suhu menahan senyumnya. Siasatnya berhasil baik sekali. Teman-temannya tentu kini telah berhasil mengamankan Pangeran itu untuk keperluan mereka, keperluan rakyat, dan keperluan perjuangan! Kaisar tentu akan dapat dibikin tidak berdaya kalau puteranya menjadi tawanan kaum patriot. Setidaknya, nasib mereka akan menjadi lebih baik, dan Kaisar harus memenuhi tuntutan mereka!
Akan tetapi ketika kakek ini dengan hati gembira memasuki kamar semedhinya, dia terkejut bukan main melihat ada sesosok bayangan orang berdiri tegak di dalam kamar itu! Bulu tengkuknya meremang. Dia adalah seorang ahli silat yang tak dapat dibilang bertingkat rendah, penglihatan dan pendengarannya masih kuat berkat latihan bertahun-tahun. Tetapi, bagaimana ada orang memasuki kamarnya tanpa dia mengetahuinya, tanpa dia dapat mendengar atau melihatnya? Setankah bayangan ini. Ibliskah?
“Amithaba....!” Dia berbisik beberapa kali, memandang dengan tajam ke arah bayangan itu.
Bayangan itu yang tadinya di sudut gelap, melangkah maju dan nampaklah seorang pria muda yang sama sekali tidak menyerupai iblis atau setan. Sebaliknya malah, pria muda itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun yang tampan dan gagah, berpakaian sederhana namun bersih dan rapi, pakaiannya tertutup jubah besar lebar. Sepasang matanya itu saja yang tidak lumrah manusia, seperti mata beberapa orang tertentu, mata Bu-taihiap misalnya, yaitu mengandung sinar mencorong dan tajam sekali. Sikap orang ini pendiam dan agak dingin, akan tetapi senyum bibir dan pandang matanya membayangkan kehalusan budi.
“Siapa.... siapakah engkau....?” Ciong-hwesio bertanya.
“Maaf, Losuhu, tidak perlu benar diketahui siapa saya, akan tetapi saya datang untuk bertanya, benarkah Im-kan Ngo-ok menyerbu kuil ini dan menculik Pangeran Mahkota dari sini?”
Pertanyaan yang langsung ini berbeda dengan pertanyaan para orang kang-ouw tadi, dan pemuda ini agaknya tidak takut untuk langsung bertanya tentang Im-kan Ngo-ok. Penglihatan Ciong-hwesio yang sudah banyak pengalaman itu segera dapat menduga bahwa orang muda ini lain dari pada yang lain, dan tentu merupakan seorang pendekar tak terkenal yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Benar, Sicu. Mereka menyerbu dan ketika kami sibuk menghadapi mereka yang kami sangka hanyalah pengacau dan perampok biasa, tahu-tahu pemuda yang baru pinceng ketahui ternyata adalah Sang Pangeran itu lenyap diculik orang. Tentu kawan-kawan Im-kan Ngo-ok yang melakukannya.”
Orang muda itu mengangguk dan memandang tajam sekali, seolah-olah sinar matanya mampu menembus dada kakek itu, membuat Ciong-hwesio merasa seram.
“Kalau Losuhu dan para hwesio kuil ini dapat menentang Im-kan Ngo-ok dan keluar dengan selamat dari pertempuran, sungguh itu hanya menandakan bahwa Losuhu dan para suhu di kuil ini memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya!”
Ciong-hwesio terkejut sekali dan merasa tersudut, maka sebagai seorang yang banyak pengalaman dan cerdik, dia cepat menggoyang tangan dan menarik napas panjang.
“Amithaba....! Orang seperti pinceng dan para teman yang lemah ini, mana mungkin dapat menandingi mereka? Untung ada Bu-taihiap dan isterinya yang membantu sehingga kami semua dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu.”
Orang muda itu mengangguk-angguk. “Ahhh, jadi Bu-taihiap dan isterinya yang tadi menghadapi mereka? Akan tetapi, Sang Pangeran tetap saja hilang?”
Ciong Hwesio menjadi waspada. Orang muda ini tidak boleh dipandang ringan, dan memiliki kecerdikan dan ketenangan yang luar biasa. Maka dia pun menjawab dengan merangkapkan tangan di depan dadanya, “Amithaba, begitulah yang terjadi, Sicu. Pinceng sendiri tidak tahu siapa yang menculiknya, hanya menduga siapa lagi kalau bukan teman-teman Im-kan Ngo-ok yang sengaja menyerbu dan memancing kami semua keluar dari kuil menghadapi mereka sehingga Sang Pangeran yang tadinya kami kira tamu biasa, dapat diculik orang dengan mudahnya.”
“Jadi tidak ada seorang pun suhu di kuil ini yang sempat melihat siapa penculiknya?”
Ciong-hwesio menggeleng kepalanya dan orang muda itu lalu menjura, “Terima kasih atas semua keterangan Losuhu.” Orang muda itu berkelebat dan lenyap seperti pandai menghilang saja.
Setelah orang muda itu menghilang, Ciong-hwesio menjadi gelisah. Dia tidak mengenal siapa adanya pendekar muda ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa orang ini lihai sekali. Celakanya, dia tidak dapat menduga di golongan mana pendekar ini berpihak. Di golongan musuh Pangeran seperti Im-kan Ngo-ok yang hendak membunuh Pangeran? Ataukah di golongan kaum patriot? Agaknya tidak mungkin kalau pemuda itu memihak kaum patriot, karena kalau demikian halnya tentu dia telah mengenalnya, dan sikapnya tidak seperti itu, seolah-olah mencurigai dan menyelidikinya. Ataukah di golongan pelindung Pangeran seperti banyak terdapat pada golongan pendekar? Mungkin sekali.
Belum lama ini pun, Siauw-lim-pai telah menganjurkan murid-muridnya untuk melindungi Pangeran yang dianggapnya bijaksana, tidak seperti ayahnya yang kini menjadi kaisar. Akan tetapi, semenjak Kaisar memusuhi Siauw-lim-pai, ada perintah baru dari pihak Siauw-lim-pai, dan siasat yang sekarang ini pun disetujui Siauw-lim-pai, yaitu hendak mempergunakan Pangeran sebagai sandera untuk mengekang kelaliman Kaisar.
Karena sangsi dan khawatir, Ciong-hwesio lalu mengumpulkan anak buahnya dan dia sendiri lalu naik kuda dan diam-diam pada pagi hari sekali itu sudah membalapkan kudanya untuk segera menyusul rombongan pembantu-pembantunya yang melarikan Sang Pangeran.
Sementara itu, ‘Sang Pangeran’ yang dilarikan oleh lima orang hwesio itu membalapkan kudanya memasuki hutan yang gelap. Setelah tiba di tempat gelap, terpaksa kuda mereka tidak dapat dibalapkan lagi dan seorang di antara para hwesio itu menangkap kendali kuda dan menuntun kuda yang ditunggangi Sang Pangeran ini supaya berjalan perlahan-lahan menyusup ke dalam hutan.
Setelah munculnya hwesio tinggi besar muka hitam yang ternyata telah dikenal oleh Tang Cun Ciu sebagai Cu Kang Bu, tokoh ke tiga dari penghuni Lembah Suling Emas, maka tentu mudah diduga oleh para pembaca siapa adanya hwesio bertubuh kecil ramping yang ternyata seorang wanita dan yang kini menggantikan kedudukan Sang Pangeran dengan penyamarannya yang persis itu. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Ang-siocia atau Yu Hwi yang pandai melakukan penyamaran seperti itu? isteri Cu Kang Bu ini, bekas murid Hek-sin Touw-ong, selain pandai ilmu silat yang tinggi, juga pandai sekali dalam ilmu mencopet atau mencuri dan di samping ini pandai sekali dalam ilmu menyamar. Tentu saja nenek tua yang berjubel di antara mereka yang bersembahyang di kuil Hok-te-kong siang hari sebelumnya adalah Yu Hwi juga, yang datang sebagai nenek untuk melakukan penyelidikan dan ia telah melihat Bu-taihiap di dalam kuil.
Yu Hwi dan suaminya, Cu Kang Bu, pergi meninggalkan Lembah Naga Siluman, yaitu nama sebutan baru dari Lembah Suling Emas setelah keluarga Cu dikalahkan oleh Kam Hong sebagai ahli waris Suling Emas, karena mereka berdua merasa khawatir akan keselamatan Cu Pek In, keponakan mereka. Tadinya mereka mengira bahwa Cu Pek In hanya akan pergi sebentar saja. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai sebulan tidak juga gadis itu pulang, Cu Kang Bu merasa tidak enak sekali terhadap twako-nya yang kini bersama Ji-konya bertapa di tempat yang terasing. Dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan dara itu, maka dia pun lalu meninggalkan lembah bersama isterinya untuk mencari Cu Pek In yang minggat itu dan membujuknya agar pulang ke lembah.
Karena jejak dara itu menuju ke timur, maka mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya mereka tiba di kota Pao-ci di mana mereka secara kebetulan mendengar percakapan para pendekar yang melindungi Pangeran bahwa Sang Pangeran yang menyamar sebagai seorang pemuda biasa itu kini menginap di dalam kuil Hok-te-kong. Cu Kang Bu merasa tertarik, demikian pula isterinya.
Sudah lama mereka berdua mendengar di dalam perjalanan itu tentang keributan di istana, tentang kematian Sam-thaihouw, tentang kelaliman Kaisar yang memusuhi Siauw-lim-pai. Juga tentang Pangeran Kian Liong yang kabarnya amat bijaksana dan mencintai rakyat. Timbul perasaan suka dan kagum dalam hati suami isteri perkasa ini. Akan tetapi ketika secara kebetulan pula mereka melihat Im-kan Ngo-ok berada di kota itu, hati mereka terkejut bukan main dan penuh kekhawatiran.
Mereka bukanlah orang-orang yang semata-mata membela Pangeran karena politik, bukan pula menentang kaum patriot. Mereka ini adalah suami isteri yang tidak ingin melibatkan diri dengan semua urusan perebutan kekuasaan itu, akan tetapi mereka berpihak kepada Pangeran hanya dengan dasar bahwa menurut yang mereka dengar, Pangeran adalah seorang pemuda yang bijaksana dan mencinta rakyat. Seorang yang baik, dan kini orang yang mereka kagumi itu agaknya terancam bahaya besar dengan adanya Im-kan Ngo-ok berkeliaran di kota yang sama.
Itulah sebabnya mengapa Yu Hwi menyamar sebagai seorang nenek tua yang ingin bertemu dengan Ciong-hwesio untuk minta diberi nama pada cucu buyutnya. Kehadiran Bu-taihiap di tempat itu membuat mereka maklum bahwa urusan ini bukan urusan kecil, tetapi urusan yang mengandung politik di mana orang-orang yang memiliki kesaktian ikut pula terlibat. Maka mereka bersikap hati-hati. Bagi mereka yang terpenting adalah menyelamatkan Sang Pangeran Mahkota, baik dari tangan orang-orang yang hendak membunuhnya, mau pun dari tangan siapa pun yang mempunyai itikad buruk terhadap Pangeran itu.
Demikianlah, dengan kepandaiannya dalam ilmu penyamaran, Yu Hwi lalu berdandan dan mendandani suaminya. Dengan topeng-topeng yang memang selalu siap di dalam buntalannya, dia dan suaminya berubah menjadi hwesio-hwesio. Dengan berani mereka menemui Ciong-hwesio, berhasil mengelabuhi semua hwesio dan diterima sebagai rekan-rekan yang boleh dipercaya. Ketika mereka berdua diuji oleh Ciong-hwesio, tentu saja mereka mampu mainkan beberapa jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang umum.
Tentu saja ‘Pangeran’ yang dikawal oleh lima orang anak buah Ciong-hwesio itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Tadinya, Cu Kang Bu bersama Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai dua orang hwesio itu, turut pula mengawal. Akan tetapi tidak lama kemudian, sesuai dengan rencana suami isteri itu, Cu Kang Bu lalu mengajak Sang Pangeran itu untuk kembali ke kuil dan menyuruh lima orang hwesio untuk melanjutkan pengawalan mereka.
“Pinceng berdua mesti menolong Ciong-suhu menghadapi orang-orang jahat,” demikian Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio tinggi besar muka hitam itu memberi alasan kepada para hwesio anak buah Ciong-hwesio itu.
Tentu saja mereka merasa setuju, mengingat bahwa yang menyerbu kuil adalah tokoh-tokoh sakti seperti Im-kan Ngo-ok itu. Dan demikianlah, Cu Kang Bu menggendong Pangeran dan dengan cepat lari kembali ke kuil tanpa dilihat oleh para hwesio yang mengawal ‘Pangeran’ itu. Cu Kang Bu kemudian menyuruh Pangeran Kian Liong yang menyamar sebagai hwesio itu menanti agak jauh dari kuil, bersembunyi di dalam bagian yang gelap, sedangkan dia sendiri dengan gerakan cepat sekali lari ke kuil dan seperti telah kita ketahui, dia berhasil membantu Bu Seng Kin dan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu memukul mundur Im-kan Ngo-ok.
Oleh karena suaminya pergi bersama Sang Pangeran sesuai dengan rencana, yaitu suaminya akan membawa pergi Pangeran Kian Liong dan mengamankannya dari pengejaran semua orang yang beritikad buruk terhadap Sang Pangeran, maka Yu Hwi yang sekarang menggantikan kedudukan Pangeran itu berada sendirian saja dengan lima orang hwesio yang mengawalnya. Ia tidak segera mau bergerak, menanti sampai lama untuk memberi kesempatan kepada suaminya agar suaminya dapat membawa Sang Pangeran ke tempat yang jauh dan aman betul.
Ia tidak tahu bahwa ada sedikit perubahan, yaitu bahwa suaminya tidak langsung membawa pergi Pangeran Kian Liong, melainkan kembali ke kuil untuk membantu menghadapi Im-kan Ngo-ok. Hal ini di luar perhitungannya, menyimpang dari siasat mereka. Yu Hwi tidak tahu bahwa melihat bekas Toaso itu harus berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang lihai, hati suaminya tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa membantu.
Kini hati wanita yang cerdik ini menjadi tenang setelah Sang Pangeran berhasil diajak pergi oleh suaminya. Kalau ia mau, tentu pada saat itu juga dengan mudah ia akan dapat meloloskan diri dari ‘pengawalan’ lima orang hwesio itu. Akan tetapi Yu Hwi tidak mau menimbulkan keributan dan membuka rahasia pada malam itu juga karena dengan demikian tentu suaminya yang membawa pergi Sang Pangeran itu belum tiba di tempat seperti yang mereka rencanakan.
Menurut rencana mereka, malam itu juga Cu Kang Bu akan membawa Sang Pangeran menuju ke kota besar Sian melalui jalan sungai dan baru pada keesokan harinya, Yu Hwi akan menyusulnya dengan jalan darat. Mereka akan saling bertemu di Sian. Dan Yu Hwi akan meninggalkan para pengawalnya, kalau mungkin tanpa mereka ketahui sehingga para pengawal itu hanya akan kehilangan ‘pangeran’ dan menduga bahwa Pangeran itu tentu diculik orang tanpa setahu mereka. Dan hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Yu Hwi selama mereka berenam masih menunggang kuda di dalam hutan itu.
Dan ternyata enam orang hwesio itu membawanya berkuda terus sampai mereka keluar dari hutan itu dan tiba di luar hutan, di sebuah lereng sunyi di tepi sungai, setelah hampir pagi! Di tempat sunyi itu telah disediakan sebuah pondok kayu sederhana dan para hwesio itu mempersilakan Sang Pangeran untuk beristirahat di dalam kamar kayu di pondok itu. Mereka sendiri lalu membuat api unggun karena hawa udara amat dinginnya, dan ada yang memasak air. Ada pula seorang di antara mereka yang bersiap siaga di luar jendela kamar itu dengan toya di tangan.
Yu Hwi merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu yang berada dalam kamar itu. Ia merasa lelah dan mengantuk sekali. Tentu saja dia merasa lelah karena dia harus menunggang kuda hampir semalam suntuk, terutama karena kedua kakinya diganjal agar ia menjadi sejangkung Pangeran.
Akan tetapi, tiba-tiba pendengarannya yang terlatih itu menangkap suara yang tidak wajar, di luar jendela kamarnya. Cepat, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, dia meloncat turun dan mengintai dari lubang celah-celah jendela. Dan matanya terbelalak melihat sosok bayangan yang gerakannya cepat sekali, berkelebat tiba di belakang hwesio penjaga yang memegang toya itu dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan menepuk pundak maka hwesio itu tanpa mengeluh menjadi lemas dan pingsan!
Bayangan itu kemudian menarik hwesio penjaga, merebahkannya dengan posisi duduk bersandar dinding pondok, toyanya bersandar dinding pula, dan nampaknya seperti penjaga itu masih berjaga namun sambil duduk karena lelah dan kantuknya! Kemudian, bayangan itu mendorong daun jendela terbuka dan meloncat masuk. Yu Hwi sudah bersiap-siap, tetapi ia menjadi bengong dan begitu besar keheranan dan kekejutannya sampai ia tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara apa pun.
Tentu saja ia mengenal bayangan ini setelah memasuki kamar pondok, oleh karena bayangan ini bukan lain adalah Kam Hong!
“Sssttt.... harap jangan bersuara, Pangeran,” bisik Kam Hong. ”Paduka berada dalam bahaya. Hwesio-hwesio itu ialah anggota kaum patriot yang menentang Kaisar. Hamba datang untuk menyelamatkan Paduka.”
Dan sebelum Yu Hwi hilang kagetnya, tiba-tiba saja Kam Hong sudah memondongnya dan membawanya meloncat keluar dari jendela itu, terus berloncatan dengan kecepatan kilat menghilang di antara pohon-pohon dalam cuaca yang masih remang-remang itu!
Tentu saja Yu Hwi menjadi terkejut, terheran, marah, malu dan entah perasaan macam apa lagi yang mengaduk hatinya ketika ia dipondong dengan tangan Kam Hong seperti itu dan dibawa lari ke dalam hutan! Kalau menurut perasaannya, ingin dia meronta, bahkan mungkin sambil memukul pria muda yang pernah menjadi calon suaminya, menjadi tunangannya yang syah!
Akan tetapi ia tidak mau membikin gaduh karena kalau terjadi demikian, tentu para hwesio akan mendengar dan rahasianya bahwa ia bukanlah Pangeran Kian Liong akan terbuka. Oleh karena itu, terpaksa ia menahan dirinya, diam saja membiarkan dirinya dipondong dan dilarikan oleh Kam Hong. Akan tetapi setelah mereka lari jauh ke dalam hutan dan sinar matahari pagi mulai menerobos masuk hutan melalui celah-celah daun pohon, tiba-tiba Yu Hwi tak dapat menahan rasa malunya lagi dan ia segera menjerit, “Lepaskan aku! Lepaskan!”
Kam Hong terkejut bukan main mendengar jeritan ini. Mengapa suara Pangeran Kian Liong berubah menjadi suara perempuan? Dia cepat melepaskan pondongannya dan memandang dengan kedua mata terbelalak. Orang ini masih Pangeran yang dibawanya lari tadi! Akan tetapi suara itu....!
“Pangeran....,” katanya bingung. “Ada apakah maka Paduka....”
“Pangeran! Pangeran! Apakah matamu sudah buta? Tak tahu malu!” Dan Yu Hwi sudah melangkah maju dan kedua tangannya menyambar untuk menampar muka Kam Hong!
Tentu saja pendekar ini terkejut dan menjadi semakin heran. Tamparan Pangeran itu bukanlah tamparan orang biasa, melainkan tamparan yang dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Maka tentu saja dia mengelak mundur, masih bingung karena kembali dia mendengar betapa suara pangeran ini mirip suara seorang wanita.
Teringatlah Kam Hong kini betapa ketika dia memondong dan melarikan Pangeran tadi, dia mencium bau harum yang lembut dan juga dia merasa betapa tubuh Pangeran itu mempunyai kehangatan dan kelembutan yang membuat dia tadi diam-diam merasa heran. Ia tadi mengira bahwa memang seorang pangeran, seorang pemuda bangsawan tertinggi dan kehidupannya serba mulia dan mewah memang sudah sepatutnya memiliki kelembutan seperti wanita, maka semua itu tidak dipedulikannya.
Sekarang barulah dia mengerti. Kiranya Pangeran Kian Liong ini seorang wanita! Dan terkejutlah dia. Pangeran itu sudah terkenal sekali dan jelas bukan wanita. Kalau begitu, ini tentu seorang wanita yang menyamar sebagai Pangeran Kian Liong! Dan sepanjang pengetahuannya, wanita yang pandai melakukan penyamaran sehebat itu di dunia ini hanya seorang saja!
“Kau.... kau siapa? Dan apa artinya ini....?” Dia memandang terbelalak sambil terus mengelak mundur.
“Apa artinya....? Artinya.... engkau buta atau memang kurang ajar, mempergunakan kesempatan....!” Yu Hwi terus mendesak dan sekarang bukan hanya ingin menampar, melainkan melakukan serangan-serangan pukulan yang dahsyat!
Kam Hong mengelak dan kadang-kadang menangkis. Sekarang dia yakin benar bahwa ‘pangeran’ ini tentu penyamaran Yu Hwi, bekas tunangannya itu! Dan dia disangka telah tahu akan penyamaran itu dan dengan dalih menolong pangeran ia dikira menggunakan kesempatan itu untuk memondong dan memeluknya!
“Ah kau salah duga.... dengarlah dulu....,” Kam Hong berkata. Akan tetapi wanita yang berwatak keras itu menyerangnya terus.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, “Hwi-moi, apa artinya ini?”
Mendengar suara ini, Yu Hwi menghentikan serangan-serangannya, menoleh, lalu lari menubruk dan merangkul suaminya sambil menangis! Sedangkan Kam Hong berdiri memandang dengan muka merah, merasa canggung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Yu Hwi, ada apakah....?” Cu Kang Bu merangkul isterinya, kemudian mengangkat muka memandang kepada Kam Hong dengan sinar mata berkilat, alisnya berkerut mengandung keraguan dan juga kecurigaan.
Melihat isterinya masih menangis sesenggukan, kembali Cu Kang Bu bertanya, “Apa artinya ini? Hwi-moi, kenapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?”
“Dia.... dia memondongku.... hu-huuh....!” Yu Hwi akhirnya berkata sambil menangis.
Mendengar ini, Cu Kang Bu terkejut bukan main. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Andai kata dia tidak mengenal Kam Hong, tentu ucapan isterinya itu akan diselidiki lebih dulu sebab-sebabnya mengapa isterinya dipondong orang. Akan tetapi dia mengenal Kam Hong sebagai bekas tunangan isterinya, maka ucapan isterinya itu tentu saja membuat mukanya seketika menjadi merah dan sinar matanya mengandung kemarahan besar. Dia melepaskan rangkulannya dan melangkah maju menghadapi Kam Hong.
“Orang she Kam....,” suaranya terdengar kaku. “Aku mengenal siapa engkau, tahu bahwa engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, bahkan kami pernah dikalahkan olehmu, akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut menghadapi kematian di tanganmu untuk membela kehormatan isteriku! Majulah, kita hanya dapat mencuci penghinaan ini dengan darah!”
Kam Hong menarik napas panjang dan mukanya yang tadinya pucat itu kini menjadi merah. Dia menggeleng kepalanya beberapa kali. Menarik napas panjang lagi, lalu memandang kepada pria tinggi besar itu dengan sinar mata penuh penyesalan.
“Maafkanlah kalau tanpa kusengaja aku telah membuatmu marah, Saudara Cu Kang Bu. Akan tetapi dengar dulu penjelasanku sebelum engkau mengambil kesimpulan dan pendapat yang mungkin keliru dan kelak hanya akan membuatmu menyesal. Kebetulan aku mendengar tentang bahaya yang mengancam Pangeran Kian Liong di kota Pao-ci dan kebetulan pula aku melihat Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan penyelidikan pagi lewat tengah malam tadi di kuil di mana Pangeran itu mondok. Aku mendengar dari para hwesio bahwa kuil diserbu Im-kan Ngo-ok dan bahwa Pangeran diculik teman-teman Im-kan Ngo-ok. Maka aku lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Akhirnya aku melihat Sang Pangeran di dalam pondok yang dijaga oleh beberapa orang hwesio. Aku lalu memasuki pondok dan aku cepat memondong dan melarikan Pangeran dari pondok itu, khawatir kalau-kalau sampai ada Im-kan Ngo-ok yang mengejar. Aku khawatir jika harus menghadapi lima orang tangguh itu, tentu aku tak dapat melindungi Pangeran dengan baik. Sungguh mati aku tidak tahu bahwa yang kupondong adalah seorang pangeran palsu. Sungguh sukar membedakan karena.... karena memang cuaca masih agak gelap dan aku sama sekali tidak menyangka....“
Wajah yang tadinya merah itu kini berseri dan Cu Kang Bu merasa lapang dadanya. Dia menoleh kepada isterinya. “Hwi-moi, benarkah itu....?”
Yu Hwi mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
“Kalau benar, mengapa engkau menangis dan marah-marah?” suaminya bertanya.
Yu Hwi mengangkat mukanya. “Habis, apakah aku harus merasa senang dan tertawa? Dia memondongku, mengertikah engkau? Aku merasa terhina!”
“Ahhh, Hwi-moi, mengapa pandanganmu begitu dangkal? Kam-taihiap melakukannya karena tak sengaja, karena tidak tahu bahwa yang dipondongnya bukan Pangeran asli! Ha-ha-ha-ha!” Cu Kang Bu tertawa karena merasa betapa lucunya peristiwa itu. Yu Hwi masih menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut.
“Aku mohon maaf, baik kepada Adik Yu Hwi mau pun kepadamu, Saudara Cu,” kata Kam Hong.
“Ahhh, kami yang harus minta maaf kepadamu, Kam-taihiap. Isteriku telah bersikap kekanak-kanakan dan tidak adil padamu, sedangkan aku....,“ pria tinggi besar itu menghela napas panjang. “Agaknya aku masih harus banyak belajar darimu, Taihiap. Aku masih belum dapat menguasai diri, mudah terseret oleh perasaan dan cemburu. Sungguh memalukan sekali.”
Mendengar percakapan dua orang gagah itu, Yu Hwi kini baru sadar bahwa memang sikapnya tadi amat keterlaluan. Ia pun dapat mengerti bahwa bekas tunangannya itu tentu saja tidak dapat mengenal penyamarannya. Dan ia pun tadi marah-marah karena dorongan emosi yang timbul karena merasa canggung dan malu.
Maka untuk membelokkan percakapan mengenai urusan itu, ia cepat-cepat bertanya kepada suaminya, “Di mana beliau? Kenapa tak kelihatan bersamamu?”
Dan memang membelokkan percakapan ini tepat sekali. Suaminya menghela napas panjang dan kelihatan kecewa dan gelisah sekali setelah teringat akan Pangeran itu.
“Sungguh aku merasa menyesal bukan main. Beliau telah lenyap....”
“Lenyap?” Penegasan ini dikeluarkan oleh dua mulut, yaitu mulut Kam Hong dan Yu Hwi.
Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Salahku....! Pada waktu aku membawa Pangeran keluar, aku melihat pertempuran antara Im-kan Ngo-ok melawan Bu Seng Kin dan Toaso-ku....”
“Ahh, Subo juga ikut....?” Yu Hwi berseru kaget dan heran.
Suaminya mengangguk. “Subo-mu kini agaknya telah bersatu dengan Bu Seng Kin....,” di dalam suaranya terkandung kepahitan, mengingatkan dia akan kematian twako-nya karena perbuatan Toaso-nya yang berjinah dengan Bu Seng Kin. ”.... melihat kelihaian Im-kan Ngo-ok, dan mengingat akan hubungan antara Toaso dengan keluarga kita, terutama mengingat bahwa betapa pun juga ia adalah gurumu, maka aku lalu menyuruh Pangeran bersembunyi dan aku lalu membantu mereka mengusir Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi setelah berhasil, dan aku kembali ke tempat di mana kutinggalkan Pangeran, beliau telah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Aku mencarinya sampai berputar-putar dan akhirnya aku hendak menyusulmu untuk kuajak mencari bersama-sama. Nah, aku jumpai kalian di sini....”
“Saudara Cu, Adik Yu Hwi, selamat berpisah, aku harus mencari Pangeran!” Setelah berkata, dengan tiba-tiba saja Kam Hong meloncat dan lenyap.
Suami isteri itu merasa kagum dan mereka pun pergi dari situ karena tidak ingin diketahui orang bahwa mereka yang telah melarikan Pangeran. Yu Hwi cepat berganti pakaian dan kini suami isteri ini tidak menyamar lagi…..
********************
Selanjutnya baca
SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-21