Suling Emas Naga Siluman Jilid 16
Kita tinggalkan dulu perjalanan kedua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.
Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan pengawal dari kedua propinsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua dengan sikap hormat menyerahkan sejumlah ‘pajak’ atau ‘hadiah’ kepada perkumpulan ini agar pekerjaan mereka terjamin lancar.
Bukan hanya mereka yang berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan ini. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi. Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggota Hek-i-mo yang dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekali pun, dan menerima ‘sumbangan’ dari toko-toko yang besar.
Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo terus merajalela tanpa ada yang berani menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang sudah berusaha menentang kekuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorang pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk menyerahkan nyawa begitu saja.
Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tak pernah merampok karena mereka ini tak pernah kekurangan ‘penghasilan’, maka tentu saja Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.
Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan.
Kulit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han. Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung ejekan yang memandang rendah siapa pun juga. Raksasa ini rambutnya sudah putih semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun, lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putih.
Dahulu, sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan she Phang yang menjadi she ibunya. Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orang-orang.
Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkannya pula semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut!
Phang Kui menjadi ‘rajanya’ orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong! Dan mulailah orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat. Dia mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggota merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam.
Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggotakan lima puluh orang yang tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong. Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, dan juga mengepalai serta menggembleng anggota-anggota Hek-i-mo.
Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersemedhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja.
Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tak pernah menikah, walau pun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-selirnya! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita, tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah ‘hadiah-hadiah’ dari kepala perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar! Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang-jarang dia menggauli mereka.
Juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tak ada yang beristeri, sungguh pun usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain!
Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, mau pun ilmu silat atau ilmu sihir. Betapa pun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan ‘sahabat-sahabat’ mereka dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan wanita-wanita gunung saja.
Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih semedhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat untuk memperkuat ilmu hitam mereka.
Tetapi tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biar pun yang manghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka, harus dia sendiri yang menentukan.
Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius memandikan permukaan bumi, dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung.
Semenjak tadi para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul di tempat itu untuk menyaksikan ‘pengadilan’ yang akan disidangkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berubah menjadi arca. Pakaian mereka yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.
Kemudian di bagian dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan). Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha.
Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang warna kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka nampak lebih menyeramkan dari pada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu.
Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggota Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan sikap bagaikan pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang.
Memang Ketua Hek-i-mo ini sangat menyeramkan. Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi mungkin cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.
Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah. Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru mereka.
Lingkaran itu cukup terang di bawah sinar bulan purnama. Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tahun. Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan pada saat Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.
“Siapakah dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.
Salah seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat lebat menutupi mulutnya, lalu berkata, “Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”
Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk. “Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian yang rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?”
“Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek yang bernama Cia Kun itu membentak.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. “Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.
“Putera dari mendiang Cia-piauwsu,” jawab muridnya yang berkumis tebal.
“Gadis itu?”
“Puterinya.”
“Keduanya belum menikah?”
“Belum.”
“Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”
“Iblis!” Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andai kata punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!”
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”
“Bunuhlah! Siapa takut mampus?” Kakek itu membentak dengan mata melotot.
Dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapa pun juga, ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian Cia-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah semua, luka-luka dan tertawan. Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini.
Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah. Seorang murid yang duduk di bagian belakang menyanggupi, lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian dia sudah datang lagi membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak.
Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biar pun malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak.
Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!
Ketiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu. Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggota Hek-i-mo yang kini sudah ikut duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak.
Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang. Mendadak tangan kirinya digerakkan ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai rambut mereka beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini. Hek-i Mo-ong telah mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa seram karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.
Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang tawanannya. “Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.
“Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis Tebal.
“Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!” jawab kakek ini, lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepala tiga buah boneka itu dan benar saja, setelah ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan, walau pun mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan hanya memandang pada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.
“Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biar pun aku bukan seorang ahli pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang sempurnaan pembuatan boneka ini dapat disempurnakan dengan pemasangan rambut asli mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatiah.”
Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka itu. Semakin lama kedua tangannya gemetar semakin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno. Dan delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip.
Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini lalu menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh. Dan ketiga orang tawanan itu, yang kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneka itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimana pun mereka bergerak, boneka-boneka itu ikut pula bergerak.
“Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan laki-laki yang tua itu.”
Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kemudian mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan mendadak dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka.
Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah.
Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah. Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kakek itu kembali mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biar pun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.
Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah. Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak bintik-bintik darah, tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh pakaiannya.
Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja.
Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka sekarang dia menusukkan jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan sekali jerit tertahan, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi.
Sejak tadi dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan jantung berdebar-debar tegang. Mereka berdua juga tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tak nampak masih membelenggu mereka. Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walau pun mereka berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.
“Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian,” berkata Hek-i Mo-ong, masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting dari pada nyawa dua orang yang tidak ada artinya itu.
Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.
“Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?” Pemuda itu berteriak marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya lumpuh kembali.
“Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakan ini!” Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang telah menewaskan kakek tawanan tadi untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu. Tusukannya tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu.
Tiba-tiba saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya pada kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali.
Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas. Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa dari pada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.
Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu. Sekarang tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh, seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung.
Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggota Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat. Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berubah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang sangat mengerikan itu. Akhirnya Hek-i Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.
“He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Jika engkau mau berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”
“Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu? Kau kira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!”
Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh. “Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga pikiran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini.”
Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai rambutnya itu. Mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menakluk.
Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis! Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka.
Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannya bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya.
la lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri Hek-i Mo-ong, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu birahi.
“Ha-ha-ha-ha!” Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin.
Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan. Melihat ini, kalau Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja dengan dingin, delapan muridnya sudah memandang dengan mata melotot dan mulut berliur, mereka mulai terserang gairah nafsu menggelora. Melihat keadaan murid-muridnya ini, Hek-i Mo-ong malah tertawa.
“Heh-heh-heh, kalau kalian mau, bawalah ia. Akan tetapi sesudahnya, ia harus mati agar kelak tidak mendatangkan mara bahaya bagi kita.”
Seperti delapan ekor serigala dilepas dari kurungan, delapan orang murid kepala itu nampak gembira sekali. Seorang di antara mereka, yang merupakan murid tertua atau pimpinan dari Hek-i Pat-mo, lalu meloncat dan menyambar tubuh telanjang gadis itu, dipanggulnya dan setelah menjura kepada Hek-i Mo-ong, dia lalu meloncat pergi diikuti oleh tujuh orang adik-adik seperguruannya. Terdengar suara ketawa mereka, biar pun bayangan mereka sudah tidak nampak lagi dan pandang mata para anggota Hek-i-mo mengikuti bayangan mereka tadi dengan pandang mata penuh iri!
Akan tetapi, ketua mereka lalu menyuruh membersihkan tempat itu dan menyingkirkan dua mayat itu. Kemudian, dengan langkah gontai seolah-olah sedang berjalan-jalan dan tidak pernah terjadi sesuatu, Hek-i Mo-ong meninggalkan tempat itu untuk kembali ke gedungnya. Dia sudah menghukum tiga orang musuh yang berani melawannya, juga telah mendemonstrasikan kepandaian ilmu hitamnya.
Pertama untuk melatih dan memberi petunjuk kepada Hek-i Pat-mo, dan kedua untuk membuat para anggotanya semakin tunduk dan takut. Dia tahu bahwa gadis itu tentu akan tewas karena tidak mungkin dapat bertahan hidup setelah dikuasai oleh delapan orang murid kepala yang telah dikuasai oleh nafsu birahi yang menggelora itu. Dan dia tersenyum. Sekali-kali perlu juga semangat delapan orang muridnya itu dibangkitkan agar gairah hidupnya makin besar dan kesetiannya kepadanya semakin menebal.
Demikianlah keadaan Hek-i-mo yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong Phang Kui. Kakek ini bukan hanya lihai sekali ilmu sihirnya yang berdasarkan ilmu hitam, tetapi kabarnya juga amat lihai ilmu silatnya. Bahkan Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu pun hampir tak pernah menemui tandingan. Entah sudah berapa puluh atau ratus kali kaum pendekar atau mereka yang memiliki ilmu silat dan mencoba menentang Hek-i-mo, harus mengalami kekalahan terhadap delapan orang murid kepala ini. Sebagian besar di antara para pendekar yang berani menentang mereka akhirnya mengalami kematian menyedihkan, dan hanya sedikit yang dapat lolos dengan menderita luka yang cukup hebat.
Pada suatu malam bulan purnama yang sunyi. Angkasa bersih sekali sehingga nampak bulan purnama sepenuhnya, besar bulat dan terang tidak dihalangi sedikit pun awan tipis sehingga bulan nampak anteng tidak pernah bergerak dengan latar belakang langit yang hitam pekat di mana nampak bintang-bintang yang sinarnya menjadi lemah dan layu oleh sinar bulan. Tidak ada angin bersilir di padang rumput itu.
Hek-i Mo-ong duduk di atas setumpukan tengkorak manusia yang telah disusun menjadi tumpukan piramida yang menuding ke atas. Hek-i Mo-ong duduk di puncak tumpukan itu, di atas tengkorak paling atas. Amat mengherankan betapa dia dapat duduk bersila di atas sebuah tengkorak saja dan tumpukan itu tidak sampai runtuh didudukinya. Untuk dapat meloncat dan duduk tak bergerak di atas tumpukan tengkorak seperti itu tentu saja membutuhkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
Di sekeliling kakek ini, di atas tumpukan tengkorak-tengkorak lain, akan tetapi tumpukan ini jauh lebih kecil dan rendah, duduklah Hek-i Pat-mo, bersila seperti suhu mereka pula, dan mereka itu duduk mengelilingi suhu mereka dalam bentuk segi delapan. Kiranya Hek-i Mo-ong Phang Kui sedang melatih diri bersama para murid-muridnya, bersemedhi untuk menerima dan mengumpulkan kekuatan yang terkandung di dalam sinar bulan purnama untuk memperkuat kekuatan sihir mereka!
Kalau mereka sedang berlatih seperti ini, tidak ada seorang pun anggota Hek-i-mo yang boleh mendekat. Mereka itu hanya diwajibkan untuk menjaga di luar pekarangan itu. Dan kalau mereka sedang berlatih seperti itu, suasananya menjadi amat menyeramkan, seolah-olah di sekitar daerah itu terasa adanya hawa yang penuh dengan kekuatan hitam yang mengerikan. Tidak ada sehelai daun pun yang bergerak, seolah-olah alam berhenti dan mati. Yang menguasai alam di tempat itu adalah kesunyian yang tidak wajar.
Akan tetapi, kalau Hek-i Pat-mo bersila dengan tekun dan tenggelam dalam keheningan semedhi yang mereka buat, sebaliknya Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Tingkat kepandaian delapan orang muridnya belum mencapai tingkat setinggi yang dimilikinya sehingga jika dia dapat merasakan datangnya getaran yang tak wajar, murid-muridnya itu tidak mengetahuinya.
Hek-i Mo-ong sudah sejak tadi sadar dari semedhinya dan dia memandang lurus ke depan, tidak bergerak-gerak oleh karena dia sedang memperhatikan sekitar tempat itu, bukan dengan matanya melainkan dengan telinga dan perasaannya yang amat peka di saat itu. Dia tahu bahwa ada dua orang datang mendekati tempat itu, dua orang yang dia tahu bukan orang sembarangan karena getarannya terasa amat kuatnya oleh kepekaannya. Dia tahu bahwa dua orang yang dapat tiba di tempat itu, menembus penjagaan para anggota Hek-i-mo tanpa diketahui sama sekali, tentulah orang-orang yang berilmu tinggi.
Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika tiba-tiba muncul dua bayangan orang yang memang telah diduganya, karena tidak seperti yang disangkanya, dua orang yang muncul itu bukanlah orang-orang tua yang sepatutnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, melainkan dua orang muda, yaitu seorang pemuda dan seorang gadis remaja! Dia terkejut dan mengerahkan kekuatannya untuk menambah peka perasaannya, akan tetapi perasaannya itu tidak membohonginya. Getaran yang amat hebat itu memang datang dari dua orang muda yang telah berada di tempat itu!
Hek-i Mo-ong masih diam saja. Dia ingin melihat apa yang hendak dilakukan oleh dua orang muda itu. Yang dia herankan adalah betapa delapan orang murid kepala yang masih bersemedhi itu sama sekali belum juga sadar. Hal ini saja sudah menjadi tanda betapa lihainya dua orang muda ini, gerakannya sedemikian ringannya, jejak kaki mereka tidak mengeluarkan sedikit pun bunyi sehingga delapan orang muridnya yang amat lihai itu pun tidak dapat mendengar atau mengetahui apa-apa. Tanpa menoleh, hanya mengikuti mereka dengan pendengarannya, Hek-i Mo-ong diam saja dan terus memperhatikan.
Dua orang itu nampak saling pandang, lalu keduanya mengangguk dan tiba-tiba saja mereka berdua melakukan gerakan meloncat tinggi, melampaui delapan orang yang duduk mengelilingi guru mereka dalam bentuk segi delapan itu dan ketika mereka berdua turun, di depan Hek-i Mo-ong, hanya dalam jarak empat meter, kaki mereka sama sekali tidak mengeluarkan suara! Dan bahkan setelah kedua orang itu berada di dalam lingkaran delapan orang Hek-i Pat-mo itu, tetap saja Hek-i Pat-mo belum juga sadar!
Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong menjadi marah kepada delapan muridnya. Dia pun mengerahkan tenaga dan dengan tenaga batinnya dia membentak murid-muridnya itu yang tersentak kaget dan sadar dari semedhi mereka. Tentu saja mereka terbelalak memandang kepada pemuda dan gadis yang telah berdiri di situ, di dalam lingkaran mereka. Sungguh hal ini sangat mengejutkan hati mereka. Sejak kapan dua orang itu memasuki lingkaran mereka tanpa mereka ketahui? Tentu guru merekalah yang sudah melakukan ini, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka itu mendengar bisikan suara guru mereka di dekat telinga masing-masing.
“Mereka adalah lawan-lawan lihai, hadapi mereka dengan kekuatan sihir untuk mencoba mereka!”
Barulah delapan orang itu terkejut bukan main. Maka mereka segera mengerahkan kekuatan batin mereka, dan sekali mereka mengerahkan tenaga, tubuh mereka sudah melayang turun dan mereka sudah berdiri mengepung dua orang muda itu dengan kedudukan segi delapan. Akan tetapi mereka tidak turun tangan menyerang, melainkan bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik membaca mantera.
Pemuda dan gadis itu memandang mereka dengan penuh kewaspadaan. Akan tetapi, alangkah kaget hati gadis remaja itu melihat betapa delapan orang yang mengepung itu, tiba-tiba saja mengeluarkan uap hitam dan tubuh mereka segera diselubungi uap hitam yang tentu saja membuat tubuh mereka hilang dan tidak nampak. Di dalam malam bulan purnama ini, peristiwa itu amat menyeramkan, seolah-olah delapan orang itu sedang menghilang atau berubah menjadi asap hitam, seperti yang terjadi pada setan-setan di dalam dongeng kuno.
Dua orang muda itu adalah Kam Hong dan Ci Sian. Seperti kita ketahui, mereka memang pergi ke barat mencari Hek-i-mo, musuh besar Ci Sian yang merasa sakit hati karena ibunya telah meninggal akibat penyerbuannya kepada Hek-i-mo dan terluka oleh gerombolan iblis itu. Di sepanjang perjalanan, dengan amat tekunnya Ci Sian melatih diri dengan ilmu yang mereka dapatkan dari catatan pada mayat Pangeran Cu Keng Ong itu.
Selain Ci Sian memang berbakat, juga Kam Hong mengajar dan membimbingnya dengan penuh kesungguhan hati, sehingga Ci Sian yang memang telah memiliki dasar dan bakat yang amat baik itu mulai dapat menguasai ilmu silat dan ilmu meniup suling berdasarkan pelajaran rahasia itu. Untuk keperluan ini, Kam Hong telah menyuruh buat sebuah suling yang bentuknya sama benar dengan suling emas di tangannya, juga suling ini terbuat dari pada emas, dibuat oleh seorang tukang pandai emas yang amat berpengalaman. Hanya bentuk suling itu lebih kecil, untuk disesuaikan dengan tenaga Ci Sian karena suling emas itu amat berat, lebih berat dari pada pedang pusaka.
Ketika malam itu mereka mendatangi sarang Hek-i-mo, kebetulan sekali mereka melihat kakek iblis itu bersama delapan orang murid kepala sedang berlatih ilmu hitam, maka dengan hati-hati sekali Kam Hong mengajak Ci Sian untuk menemui kakek itu. Dan kini, melihat Ci Sian agak gentar menghadapi ilmu hitam dari delapan orang Hek-i Pat-mo, Kam Hong segera mengerahkan khikang-nya dan tanpa mengeluarkan suara, dia telah mengirim suaranya kepada Ci Sian.
“Sumoi, jangan takut, itu hanya ilmu hitam, hadapi dengan tiupan sulingmu.”
Mendengar bisikan suara suheng-nya ini, ketabahan hati Ci Sian timbul kembali. Ia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya, dengan tenang ia menempelkan bibirnya yang merah tipis itu ke lubang suling, jari-jari kedua tangannya siap di lubang-lubang suling dan begitu ia meniup, terdengar suara lembut. Suara ini bukan seperti suara suling, melainkan bagai suara desir angin semilir yang menggerakkan daun-daun pohon dan menghidupkan suasana yang mati dan menyeramkan.
Akan tetapi, suara lembut seperti desir angin ini mengandung kekuatan yang dahsyat sekali, yang mengejutkan hati Pat-mo (Delapan Iblis) itu dan membuyarkan kekuatan sihir mereka sehingga uap hitam yang menyelubungi tubuh mereka pun perlahan-lahan lenyap seperti asap yang tertiup angin! Nampaklah kembali tubuh mereka yang masih berdiri dan bersedakap itu. Mereka merasa marah sekali, akan tetapi juga penasaran. Bagaimana seorang dara remaja hanya dengan suara sulingnya mampu memecahkan pengaruh kekuatan sihir mereka? Mereka sudah siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu, akan tetapi terdengar suara Hek-i Mo-ong yang terdengar penuh kekuatan khikang sehingga menggetarkan tempat itu.
“Pat-mo, mundur!”
Delapan orang murid kepala itu lalu membuat gerakan mundur secara otomatis, akan tetapi tetap mereka itu membentuk lingkaran segi delapan, hanya kini di luar atau di belakang guru mereka.
“Siapakah dua orang muda yang datang mengganggu kami?” Pertanyaan Hek-i Mo-ong ini terdengar manis, bahkan bersahabat.
Tetapi Kam Hong yang sudah mendengar banyak tentang raja iblis ini, telah menasehati sumoi-nya dan mereka berdua sudah berhati-hati dan waspada, mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak semua pengaruh. Kam Hong membiarkan sumoi-nya yang menghadapi musuhnya, maka dia pun diam saja mendengar pertanyaan itu, memberi kebebasan kepada Ci Sian untuk menghadapi baik dalam percakapan mau pun dalam pertempuran. Dia hanya akan membantu kalau memang sumoi-nya perlu dibantu saja. Ci Sian maklum akan hal ini, maka mendengar pertanyaan itu ia pun lalu melangkah maju.
“Apakah kami berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, ketua dari gerombolan Hek-i-mo?” Suara Ci Sian terdengar lantang dan bening, tanda bahwa sedikit pun ia tidak merasa gentar menghadapi orang-orang yang menyeramkan itu.
Hek-i Mo-ong tersenyum lebar. Dia sudah sering menyaksikan sikap para pendekar muda yang datang dengan nyali besar, penuh keberanian namun yang pada akhirnya hanya akan menemui kematian, atau jika bernasib mujur, dapat meloloskan diri dengan membawa lari luka-lukanya. Dia tidak marah oleh sikap yang berani itu, malah merasa gembira, bagaikan seekor kucing yang melihat lagak seekor tikus muda yang penuh keberanian.
“Heh-heh-heh, engkau benar, Nona. Aku adalah Hek-i Mo-ong, dan mereka delapan orang ini adalah murid-murid dan wakilku yang disebut Hek-i Pat-mo.”
“Bagus!” Ci Sian berseru girang. “Akhirnya aku dapat juga berhadapan dengan iblis-iblis jahat yang telah menumpuk dosa. Hek-i Mo-ong, malam ini tibalah saatnya engkau dan murid-muridmu menebus dosa-dosa kalian yang bertumpuk-tumpuk. Bersiaplah engkau untuk mampus!”
“Aih-heh-heh-heh-heh, sabar dulu, Nona. Kalau mata tuaku tidak menipuku, aku selama hidup belum pernah bertemu denganmu, jadi tidak ada urusan antara kita. Mengapa engkau datang dengan hati mengandung permusuhan? Siapakah engkau?”
“Hek-i Mo-ong, ingatkah engkau akan nama Sim Loan Ci?”
Kakek itu masih tersenyum lebar, dan alisnya berkerut. “Hemm, seolah-olah nama itu tidak asing bagiku.... ya, tidak asing sama sekali, tentu pernah aku mendengarnya, akan tetapi aku sudah lupa lagi di mana.... Sim Loan Ci? Siapa itu?”
“Belasan tahun yang lalu, Sim Loan Ci pernah datang ke sini, bersama suaminya yang bernama Bu Seng Kin....“
“Oohhh.... ahh, tentu saja! Bu-taihiap....! Ha-ha-ha, Bu-taihiap yang terkenal di seluruh dunia itu, hanya untuk mengaku kalah olehku! Ha-ha, Bu-taihiap yang mata keranjang dan lihai, juga isterinya yang lihai. Akan tetapi, mereka itu bukan tandinganku! Hemm, Nona, aku memang mengenal mereka, dan apa hubunganmu dengan mereka? Apa hubungannya kedatanganmu malam ini dengan mereka?”
“Engkau telah melukai mereka!”
“Ha-ha-ha, anehkah itu? Dalam setiap perkelahian, tentu akan ada yang luka atau mati. Aku sudah lupa lagi. Terlalu banyak orang yang kulukai atau kubunuh, akan tetapi yang aku ingat hanya bahwa mereka itu bukan tandinganku. Mungkin saja aku telah melukai mereka. Habis, kenapa?”
“Ibuku, Sim Loan Ci, tewas karena luka-luka itu! Sekarang aku, puterinya, datang untuk membalas dendam atas kematian Ibuku itu!”
“Ha-ha-ha, jadi engkau ini puteri mereka? Wah, pantas! Puteri Bu-taihiap, tentu saja pandai dan perkasa. Sayangnya, Bu-taihiap itu terlalu sembrono, membiarkan puterinya datang ke sini untuk mengantar nyawa saja. Kenapa tidak dia sendiri yang datang ke sini? Aku lebih senang kalau dia datang sendiri ke sini sehingga aku akan menghadapi lawan yang seimbang!”
Ci Sian merasa dipandang rendah dan dia pun membentak, “Tua bangka sombong! Kau kira akan dapat bebas dari tanganku?”
Gadis ini pun sudah memasang kuda-kuda, tangannya yang kiri miring di depan dada sedangkan sulingnya di tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, menuding ke langit. Itulah kuda-kuda yang merupakan jurus pembukaan, bernama Suling Emas Menghadap Langit.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya kepada Hek-i Pat-mo. Bagaikan iblis-lblis saja, delapan orang itu bergerak dan tahu-tahu mereka telah menggerakkan kaki mereka, bukan berloncatan, melainkan menggeser kaki ke depan membuat langkah aneh.
“Sett-sett sett....!”
“Sumoi, biar aku saja yang menghadapi Pat-mo ini, engkau bersiap saja menghadapi musuh besarmu!” tiba-tiba Kam Hong berseru.
Pemuda ini melihat bahwa biar pun tentu saja para murid ini tidak selihai gurunya, namun dia dapat menduga bahwa mereka ini terlatih untuk menjadi satu barisan. Dan satu barisan yang terdiri dari delapan orang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sebuah tin (barisan) dari delapan orang biasanya mempunyai bentuk segi pat-kwa (segi delapan) dan pat-kwa-tin (barisan segi delapan) terkenal memiliki perubahan-perubahan yang amat aneh dan hebat.
Seorang dara seperti Ci Sian yang belum banyak pengalamannya dalam hal bertanding melawan orang-orang pandai, sungguh berbahaya sekali kalau dibiarkan menghadapi pat-kwa-tin sendirian saja. Pula, pihak lawan memakai siasat untuk melelahkan lawan, yaitu mula-mula disuruh maju delapan murid itu, baru kemudian andai kata delapan murid itu kalah, Si Guru yang akan maju. Kalau saja Ci Sian dibiarkan maju menghadapi pat-kwa-tin, andai kata ia dapat menang sekali pun, tentu sudah lelah dan kurang kuat untuk berhadapan dengan musuh besarnya.
Inilah sebabnya, Kam Hong maju menggantikan sumoi-nya menghadapi Hek-i Pat-mo. Nanti kalau Mo-ong maju, biarlah Ci Sian menghadapinya satu lawan satu sehingga lebih mudah baginya untuk menjaga dan membantu apabila sumoi-nya kalah kuat.
Hek-i Mo-ong terheran mendengar seruan pemuda itu, akan tetapi juga girang. Ketika dua orang muda tadi muncul, yang dia khawatirkan adalah Si Pemuda. Dari sikapnya yang pendiam, dari sinar matanya, dia dapat menduga bahwa pemuda itulah yang harus diawasinya dan yang agaknya akan menjadi lawan tangguh. Kini, menghadapi delapan orang muridnya, malah pemuda itu yang hendak maju dan agaknya pemuda itu akan membiarkan sumoi-nya nanti melawannya. Biarlah, pikirnya lega, biar murid-muridnya lebih dulu menguji Si Pemuda yang dia khawatirkan sebagai lawan tangguh, dan andai kata murid-muridnya kalah, suatu hal yang tidak mungkin sama sekali, tentu pemuda itu sudah terlalu lelah sehingga lebih ringan baginya untuk merobohkan mereka berdua.
Juga Ci Sian merasa heran mengapa suheng-nya malah hendak melawan delapan orang murid iblis itu. Akan tetapi baginya, Kam Hong bukan hanya seorang suheng atau seorang sahabat dalam perjalanan, melainkan juga seorang guru. Oleh karena itu, semua saran Kam Hong tentu takkan dibantahnya dan mendengar ucapan suheng-nya itu, ia pun sudah melompat ke belakang, berdiri tegak dengan suling siap di tangan kanan.
Sementara itu, Kam Hong sudah meloncat ke tengah lingkaran Pat-mo, dan sengaja membiarkan diri dikurung sebelum mereka bergerak mengurung. Dengan demikian, dia dapat berdiri tegak sambil memperhatikan semua perubahan yang mereka buat ketika mereka mulai memperketat kurungan. Diam-diam dia memperhatikan dan dari langkah-langkah kaki mereka, dia maklum bahwa delapan orang ini bukanlah ahli-ahli ginkang yang sangat pandai sehingga dia tidak usah terlalu mengkhawatirkan tentang kecepatan mereka.
Akan tetapi, setiap langkah kaki, atau setiap geseran kaki, nampak demikian mantap dan kuat, maka dia dapat menduga bahwa mereka semua rata-rata memiliki kekuatan sinkang yang tidak boleh dipandang ringan. Dan dia melihat mereka itu tidak bersenjata, juga tidak menyembunyikan senjata tajam di balik jubah hitam mereka.
Akan tetapi, Kam Hong sama sekali tidak berani memandang rendah kepada pihak lawan. Orang-orang yang tidak mempergunakan senjata dalam perkelahian, itu hanya berarti bahwa orang itu telah memiliki tingkat kepandaian yang sedemikian tingginya sehingga dia tidak membutuhkan senjata untuk membantunya, dan kaki tangannya yang penuh dengan tenaga sakti itu merupakan senjata-senjata yang cukup ampuh dan mematikan.
Setelah delapan orang Hek-i Pat-mo itu bergerak-gerak memutari Kam Hong, kadang-kadang berputar ke kiri lalu tiba-tiba berbalik ke kanan, jarak waktu perubahannya menurut hitungan-hitungan tertentu, sesuai dengan ilmu barisan mereka ciptaan Hek-i Mo-ong, pemuda ini memperhatikan dengan sudut matanya dan kekuatan telinganya.
Tapi, beberapa menit kemudian, pemuda ini terkejut karena dia merasa semangatnya terbetot dan hampir saja kakinya ikut bergerak. Ada kekuatan mukjijat yang membetot dan menariknya untuk mengikuti gerakan mereka, seperti orang-orang yang melihat penari-penari yang lemah gemulai menggerak-gerakkan tubuh lalu timbul keinginan untuk ikut menari. Cepat dia yang selalu waspada itu maklum bahwa dalam gerakan-gerakan itu terkandung kekuatan ilmu hitam yang mukjijat.
Maka Kam Hong memusatkan perhatiannya dan mengerahkan tenaga, membebaskan diri dari pengaruh mukjijat itu sehingga pikirannya menjadi terang, pandang mata dan pendengarannya menjadi terang kembali, tidak ada keinginan untuk mengikuti gerakan mereka lagi. Kini dia berdiri tegak dan tenang, sama sekali tidak bergerak, menanti gerakan lawan selanjutnya.
Bagaikan delapan orang penangkap ikan yang merasa betapa jalanya yang mereka pasang itu tidak mengenai ikan, atau ikannya telah lolos kembali dari jala begitu menyentuhnya, mereka menghentikan gerakan memutar-mutar itu dan tiba-tiba saja orang yang berada di depan Kam Hong sudah menyerangnya. Benar dugaan Kam Hong. Laki-laki baju hitam di depannya itu menyerang dengan cengkeraman tangan kanan dibarengi dengan totokan tangan kiri. Cengkeraman ditujukan ke arah kedua matanya dan totokan itu menuju ke arah dada. Serangan ini hebat dan ganas, mengandung tenaga sinkang yang kuat sungguh pun baginya tidaklah terlalu cepat.
Kam Hong menghadapi serangan ini dengan tenang dan perhatiannya terhadap tujuh orang lainnya tidak berkurang walau pun dia sedang menghadapi serangan dari depan. Dan kewaspadaannya ini menolongnya. Cengkeraman serta totokan dari depan itu ternyata hanyalah gerak pancingan belaka karena begitu Kam Hong mengelak dari serangan lawan di depannya, secara otomatis lawan yang berada di belakangnya telah menerjang dan menyerang dengan dahsyat, menghantam ke arah tengkuknya dengan pukulan tangan miring yang amat kuat!
Seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat seperti yang dimiliki Kam Hong telah memiliki tubuh yang begitu hidup sehingga seolah-olah di belakang tubuh ada matanya. Tanpa menoleh, ia tahu dengan persis bagaimana serangan itu datang mengancamnya. Dengan hanya memutar tumit kakinya, dia sudah miringkan tubuh sehingga sekarang serangan dari belakang itu tidak datang dari belakang lagi, tetapi dari sebelah kanannya dan sekali Kam Hong mengangkat lengan, hantaman itu tepat dapat ditangkisnya.
“Plakkk!”
Dan tubuh orang itu terpental, seolah-olah tangannya tadi bertemu dengan baja yang amat keras dan kuat, juga yang mengandung hawa dorongan kuat dan panas sekali!
Akan tetapi kembali telah datang serangan bertubi-tubi dan susul-menyusul dari delapan orang itu. Gerakan mereka bagai mesin yang sudah distel terlebih dahulu, begitu teratur dan saling menyambung. Kam Hong sudah banyak pengalaman di dunia kang-ouw, sudah pernah pula menghadapi barisan-barisan silat seperti itu, maka dia tidak merasa gugup walau pun harus diakuinya bahwa barisan Hek-i Pat-mo ini benar-benar amat lihai dan berbahaya. Dia membenarkan tindakannya mewakili sumoi-nya tadi, karena biar pun tingkat kepandaian Ci Sian juga sudah tinggi, tapi menghadapi pengeroyokan teratur seperti itu bisa membuat dara yang belum banyak pengalaman itu menjadi gugup.
Delapan orang itu terus bergerak-gerak, saling bantu dan saling sambung melakukan penyerangan. Kam Hong juga menggerakkan tubuhnya, menangkis ke depan ke kanan kiri dan belakang, ke delapan penjuru dan kadang-kadang dia mengelak. Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan yang bergerak cepat, tertutup oleh gerakan delapan bayangan hitam yang kadang-kadang berputaran dan kadang-kadang berhenti di suatu tempat tertentu.
Dia tahu bagai mana harus menghadapi barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan), maka dia pun sejak tadi mainkan ilmu silat Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) yang pernah dipelajarinya dari Sin-siauw Sengjin, kakek pewaris ilmu-ilmu dari Pendekar Suling Emas itu. Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu warisan nenek moyangnya, dan karena ilmu silat ini juga mempunyai dasar segi delapan, maka tentu saja amat tepat untuk menghadapi barisan pat-kwa itu.
Tiba-tiba terdengar suara berkerincing dan nyaring dan ternyata delapan orang kakek itu telah menggerakkan gelang yang melingkari pergelangan tangan kanan mereka. Gelang yang berwarna hitam kemerahan. Dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan digetarkan, maka terdengarlah suara berkerincingan itu!
Sungguh aneh sekali. Tadi mereka terus bergerak menyerang, dan tentu saja lengan kanannya berikut gelang itu bergerak pula, akan tetapi tidak terdengar sesuatu. Akan tetapi kini gelang itu mengeluarkan suara yang nyaring dan aneh. Agaknya ada sesuatu pada gelang-gelang itu yang mengandung rahasia. Suara nyaring yang amat halus itu seperti suara emas diketuk dengan nada tinggi dan menusuk telinga, bahkan rasanya menyusup ke dalam jantung!
Akan tetapi Kam Hong sudah mengerahkan sinkang-nya dan dia tidak terpengaruh. Hanya kini, delapan orang itu menyerangnya dengan gerakan yang sama, dan secara berbareng. Delapan lengan tangan yang disertai gelang hitam kemerahan itu serentak menyerangnya dengan gerakan yang sama dan berbareng, tapi dari delapan penjuru!
Melihat delapan lengan yang amat kuat itu menonjok arah dadanya dari delapan penjuru dan mendatangkan angin pukulan yang kuat, dia terkejut dan maklum bahwa gabungan tenaga itu akan kuat bukan main. Dia tidak berani menghadapi dengan kekerasan atau mengadu tenaga, maka tubuhnya mencelat ke atas dan delapan tangan itu berhenti dari delapan penjuru, saling bertemu angin pukulan mereka di tengah-tengah.
Akan tetapi, melihat lawan mereka melayang ke atas, mereka itu pun cepat menyerang ke atas, juga dengan gerakan yang sama. Angin pukulan dahsyat kini menyambar ke atas! Kam Hong maklum bahwa dia akan kerepotan menghadapi gaya serangan seperti itu, maka sambil meloncat, dia sudah mencabut suling emasnya dan berjungkir-balik, kini meluncur turun, didahului gulungan sinar emas dari suling yang diputar-putarnya.
Delapan orang itu mengandalkan penggabungan tenaga mereka, berani menyambut datangnya gulungan sinar emas itu, akan tetapi mereka terkejut ketika dari gulungan sinar emas itu keluar hawa yang amat kuat, yang mendorong mereka dan membuat penggabungan tenaga mereka buyar dan mereka terhuyung ke belakang. Cepat mereka berloncatan untuk mematahkan tenaga dorongan, dan kini sudah berdiri mengepung lagi dalam kedudukan pat-kwa, memandang pada benda mengkilap di tangan pemuda itu dengan melongo.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut bukan main menyaksikan suling itu. Tadi, ketika Ci Sian meniup suling emasnya, dia sudah terheran, hanya tidak menduga atau menghubungkan suling itu dengan nama pendekar dalam dongeng, yaitu Pendekar Suling Emas. Kini, menyaksikan suling di tangan Kam Hong dan sepak terjang pemuda itu, dia terkejut dan tanpa terasa lagi olehnya, mulutnya berseru keras, “Suling Emas....!”
Kam Hong memutar tubuhnya menghadapi Mo-ong, suling emas itu melintang di depan dadanya. Dia tersenyum dan menjura, lalu berkata, “Tidaklah salah dugaanmu, Hek-i Mo-ong. Aku bernama Kam Hong, keturunan dari Pendekar Suling Emas. Aku datang mengantar sumoi-ku yang ingin membalas dendam kepadamu dan aku setuju karena engkau dan gerombolanmu merupakan iblis-iblis berwajah manusia yang kudengar telah melakukan kekejaman-kekejaman yang luar biasa.”
Marahlah Hek-i Mo-ong. “Bunuh dia!” bentaknya dan telunjuk kirinya menuding ke arah Kam Hong dan tiba-tiba saja dari telunjuk itu menyambar benda yang berkilauan ke arah tenggorokan Kam Hong!
“Tikkk....!”
Benda itu terpukul oleh suling dan lenyap ke dalam bumi. Sungguh itu merupakan senjata rahasia yang amat keji, yang amat kecil dan yang dilepaskan dari bawah kuku telunjuk yang panjang.
Mendengar perintah suhu mereka, Hek-i Pat-mo lalu saling memberi isyarat. Mereka mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitam mereka dan tahu-tahu kini tangan kiri mereka telah disambung dengan sebuah cakar setan yang berwarna hitam, dengan kuku-kuku melengkung runcing terbuat dari baja dan tak perlu diragukan lagi bahwa kuku-kuku baja itu sudah pasti mengandung racun ganas! Dan kini mereka bergerak menyerang dari delapan penjuru! Kuku cakar setan tangan kiri itu menyambar-nyambar dan tercium bau amis, sedangkan tangan kanan yang bergelang hitam kemerahan itu pun menyambar-nyambar mengeluarkan suara berkerincingan.
Menyaksikan kebuasan delapan orang itu, diam-diam Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia harus menang, pikirnya sambil melihat suheng-nya memutar suling emasnya. Kalau suheng-nya kalah, ia sendiri pun tidak tahu apakah ia akan mampu menghadapi iblis-iblis ini. Gerakan delapan orang itu sungguh dahsyat sekali, dan ia merasa menyesal mengapa suheng-nya masih saja mempergunakan ilmu-ilmu silatnya, yang lama…..
Dan memanglah, Kam Hong semenjak tadi mempergunakan ilmu-ilmunya yang lama. Pertama-tama tadi ia mainkan Pat-sian-kun, dan kini pun setelah memegang suling, ia masih melanjutkan dengan ilmu Pat-sian Kiam-hoat, menggunakan sulingnya sebagai pengganti pedang. Memang ilmu ini hebat sekali, tetapi delapan orang pengeroyoknya itu benar-benar amat tangguh. Meski Kam Hong dapat membela diri dengan sulingnya, namun dia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk balas menyerang!
Kemudian Kam Hong mencoba untuk mengganti dengan ilmu-ilmu lain yang dimilikinya. Mula-mula dia mengubah Pat-sian Kiam-hoat dengan Hong-in Bun-hoat, yaitu ilmu silat yang gerakannya dilakukan dengan membuat huruf-huruf di udara, merupakan gerakan ilmu silat yang lihai sekali. Kemudian, karena ilmu ini juga kurang berhasil dipergunakan untuk menghadapi begitu banyak pengeroyok yang rata-rata memlilki ilmu silat tinggi, dia mengubah lagi ilmunya dan berturut-turut dia mainkan Khong-sim Sin-ciang, lalu Kim-kong Sin-Im yang membuat sulingnya mengaung-ngaung, lalu mencabut keluar kipasnya serta menggabungkan dengan sulingnya dalam permainan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).
Namun, tetap saja dia terdesak dan belum mampu merobohkan para pengeroyoknya. Memang, setiap kali dia mengganti ilmu, delapan orang pengeroyoknya itu terkejut dan terdorong, akan tetapi segera mereka menerima bisikan-bisikan guru mereka melalui pengiriman suara dari jauh sehingga mereka dapat segera mengubah gerakan mereka sesuai dengan petunjuk gurunya! Dengan demikian, walau pun delapan orang Hek-i Pat-mo itu yang maju mengeroyok Kam Hong, sesungguhnya yang dilawan Kam Hong adalah otak dari Hek-i Mo-ong yang mengatur semua gerakan para muridnya itu dengan bisikan-bisikannya.
Diam-diam Kam Hong terkejut. Dia tahu bahwa ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya melalui Seng-siauw Sengjin adalah ilmu-ilmu yang amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, ternyata semua ilmu ini tidak mampu merobohkan delapan orang pengeroyoknya ini. Jelaslah bahwa mereka ini benar-benar merupakan gerombolan yang amat tangguh dan juga amat berbahaya, dan kalau tidak dibasmi, tentu akan mendatangkan banyak sekali korban.
Teringat dia akan hasil penyelidikannya di mana dikabarkan orang-orang kang-ouw bahwa entah sudah berapa ratus tokoh-tokoh kang-ouw yang gagah perkasa roboh dan tewas menghadapi Hek-i Pat-mo ini, juga dia teringat akan nasehat gurunya yang pertama, yaitu Sai-cu Kai-ong bahwa gerombolan Hek-i-mo itu amat berbahaya.
Memang tadinya Kam Hong tak hendak mengeluarkan ilmu barunya yang menjadi ilmu simpanannya. Dia telah memiliki banyak ilmu-ilmu silat tinggi dari nenek moyangnya, dan kalau tidak terpaksa sekali dia tidak akan menggunakan Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Ci Sian, bahkan yang sampai saat itu masih terus diperdalamnya karena ilmu itu merupakan ilmu yang amat luar biasa dan agaknya sampai mati pun orang tidak mungkin dapat mencapai titik kesempurnaannya.
Kini, dia tahu bahwa kalau dia bertahan terus dengan ilmu-ilmunya yang lain, sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan dan dia pun harus menghemat tenaganya. Siapa tahu, dia harus mengerahkan sepenuh tenaga nanti kalau Mo-ong sendiri yang maju dan kalau sumoi-nya tidak mampu menahan raja iblis itu.
Tiba-tiba Kam Hong mengubah gerakannya. Gerakannya itu lambat-lambat saja, akan tetapi dari suling yang dia gerakkan, terdengarlah suara melengking, mula-mula rendah dan lambat, akan tetapi sesuai dengan gerakan sinar suling, makin cepat sinar itu bergulung, makin besar sinarnya, makin tinggi melengking suara suling itu! Ini bukanlah ilmu Kim-kong Sin-im seperti yang pernah dimainkannya tadi.
Memang, Kim-kong Sin-im juga dapat membuat pedang atau suling mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung seperti suling bernyanyi, akan tetapi tidak seperti ilmu Kim-siauw Kiam-sut ini. Ilmu ini dibarengi dengan khikang yang amat kuat dan jangankan sinar suling yang bergulung-gulung itu, apalagi sulingnya sendiri, baru suaranya saja sudah mampu merobohkan lawan!
Melihat ini, lega dan giranglah hati Ci Sian. Suheng-nya mulai mengeluarkan Kim-siauw Kiam-sut dan memang hebat sekali akibatnya! Hek-i Mo-ong sendiri kellhatan terkejut dan bingung melihat betapa delapan orangnya menjadi kacau gerakannya dan terdesak hebat. Dia mencoba untuk mengirim suara, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa suaranya itu lenyap dan membuyar oleh getaran suara suling pemuda itu!
Memang hebat bukan main ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) ini. Begitu Kam Hong memainkannya dengan pengerahan tenaga sinkang sepenuhnya, didorong oleh kekuatan khikang yang telah dilatihnya dengan tekun semenjak dia menemukan ilmu itu, maka belum sampai dua puluh jurus saja, sinar suling yang keemasan itu dan suara melengking-lengking penuh getaran yang amat kuat itu telah mengurung dan mendesak delapan orang lawannya.
Akan tetapi, Kam Hong bukanlah seorang yang berhati kejam. Ketika dia menambahkan tenaga sedikit lagi, terdengar suara nyaring delapan kali dan delapan orang itu telah terpelanting ke kanan kiri, dan ketika mereka bangkit berdiri, ternyata cakar setan yang menyambung tangan kiri mereka itu telah hancur semua! Wajah mereka berubah pucat dan semakin mengerikan dalam sinar bulan purnama.
Delapan orang murid kepala dari Hek-i Mo-ong ini adalah orang-orang yang tidak biasa kalah dalam perkelahian. Bertahun-tahun mereka selalu menang menghadapi orang-orang kang-ouw yang berani menentang guru mereka, dan biar pun sudah memiliki kepandaian tinggi, mereka masih terus melanjutkan pelajaran mereka, belajar segala ilmu dari guru mereka sehingga semakin lama mereka itu menjadi semakin lihai. Maka, kini ketika menghadapi kekalahan mutlak melawan seorang pemuda, mereka merasa penasaran bukan main.
Mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, karena selama ini, kemenangan demi kemenangan telah membangun suatu keyakinan di hati mereka bahwa selain guru mereka, tidak ada lagi orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkan mereka! Mereka saling bertukar pandang, kemudian tiba-tiba mereka itu sudah duduk bersila dengan kedua kaki di atas kedua paha, kedua lengan bersilang di depan dada, dan kedua mata terpejam. Lalu terdengarlah suara mereka, keluar dengan berbareng, suara yang terdengar oleh Ci Sian dan Kam Hong sebagai suara mengaum lirih, terdengarnya seperti, “Auuuummmm....!”
Akan tetapi bukan main kagetnya hati Kam Hong ketika suara itu terus berdengung dan suara itu seperti memiliki kekuatan gaib yang menyerangnya, mula-mula memasuki kedua telinganya dan terus menyusup masuk, tak tertahankan lagi, demikian kuatnya sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya digetarkan oleh suara itu. Dia mulai menggigil dan mukanya pucat.
Namun pemuda ini memiliki dasar yang amat kuat, sehingga dia yang selalu waspada itu sudah cepat menutup sulingnya. Dia membawa suling ke mulutnya, memegangi suling dengan hanya tangan kanan saja karena dia sudah meniup dengan pengerahan hawa khikang tingkat yang tinggi sekali sehingga dia tidak perlu menggunakan jari-jari untuk membuka dan menutup lubang-lubang suling. Tangan kirinya, telapak tangan itu, dia pergunakan untuk menekan dadanya dan dari saluran hawa hangat yang keluar dari telapak tangannya sendiri, mendatangkan getaran halus yang melindungi jantungnya. Dan terdengarlah kini suara melengking tinggi dan suara lengkingan itu mulai berlagu! Biar pun suling itu tidak dimainkan lubang-lubangnya, hanya dibiarkan terbuka dan ditiup, namun tenaga tiupan yang sudah mencapai kekuatan tinggi itu dapat mengatur sendiri lagunya dan naik turun menurut kehendak Kam Hong.
Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa! Pertandingan antara suara! Akan tetapi suara yang bagaimana! Bukan sembarangan suara, melainkan suara yang mengandung kekuatan dasyat untuk menjatuhkan lawan masing-masing!
Suara yang terus berdengung dari delapan orang itu amat kuatnya, dan walau pun langsung ditujukan kepada Kam Hong, namun Ci Sian sendiri merasakan akibatnya sehingga dara ini pun mengerahkan sinkang untuk melindungi dirinya. Karena suara itu ditujukan langsung kepada Kam Hong, maka dara ini hanya terserang getaran yang lemah saja. Tidak demikian dengan Kam Hong.
Akan tetapi, suara suling Kam Hong yang lembut itu, berbeda sekali pengaruhnya dari suara auman mereka. Suara suling ini memang amat halus, bersih, dan kuat bukan main, akan tetapi tidak mempunyai daya untuk mencelakakan orang, bahkan terdengar merdu dan menenangkan hati. Namun, bagi Hek-i Pat-mo, suara itu merupakan mala petaka! Suara itu menyambut auman mereka dan kini tenaga getaran suara auman mereka itu kembali dan menyerang mereka sendiri! Mereka merasakan gelombang suara yang menggetar ini, akan tetapi karena mereka merasa penasaran sekali, mereka menjadi nekat dan mereka bahkan mengerahkan tenaga mereka sepenuhnya dengan tekad membunuh atau dibunuh! Kalau mereka lebih kuat, tentu tangkisan lawan itu akan bobol dan lawan akan tewas seketika, dan kalau sebaliknya mereka kalah kuat, mereka tidak peduli lagi!
Melihat kenekatan ini, diam-diam Kam Hong terkejut sekali. Dia maklum bahwa lawan-lawannya itu hendak mengadu nyawa dan dia sudah tidak mempunyai jalan lain untuk menghindarkan adu tenaga itu. Kalau dia menghindar, berarti dia kalah, bahkan dia terancam bahaya maut. Maka dengan prihatin sekali, terpaksa dia pun memperkuat pengerahan khikang-nya, disalurkan melalui suara suling.
Sungguh mengerikan sekali suara auman yang bertemu dan bercampur dengan suara suling melengking-lengking itu. Getarannya sampai terasa amat jauh dan kini bukan hanya Ci Sian, bahkan Hek-i Mo-ong sendiri terpaksa harus mengerahkan sinkang buat melindungi dirinya dari pengaruh getaran suara. Akan tetapi, kakek ini mengerutkan alisnya dan maklum bahwa para muridnya itu terancam bahaya maut. Dan dugaannya ternyata benar karena tidak lama kemudian, suara auman para muridnya itu menjadi semakin lemah, tergulung oleh lengkingan suara suling, bahkan kini wajah para muridnya itu nampak pucat, juga penuh keringat dan napas mereka terengah-engah.
Melihat hal ini, Hek-i Mo-ong yang maklum bahwa murid-muridnya akan celaka, tiba-tiba mengeluarkan teriakan melengking, atau lebih mirip gerengan seekor binatang buas. Tangan kirinya sudah mengeluarkan sebuah kipas merah sedangkan tangan kanannya mencabut keluar senjatanya Long-gee-pang (Tombak Gigi Srigala) dan dengan kipas merahnya itu dia mengipas ke arah Kam Hong. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda itu.
Akan tetapi, Ci Sian yang sejak tadi waspada dan sudah menduga bahwa kakek ini tidak dapat dipercaya kejujurannya, lalu meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk diputar cepat dan menyerangnya. Betapa pun juga, kipas merah itu lihai bukan main dan Kam Hong merasa betapa pihak lawan ditambah oleh tenaga yang amat hebat. Kiranya sambaran angin kipas itu menambah kuat getaran suara auman lawan.
Dia mengerahkan tenaganya dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan ketika tubuh delapan orang itu terjengkang, dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah dan mereka itu tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang. Mereka itu tewas karena tenaga mereka sendiri yang membalik dan merusak isi dada mereka, terutama jantung mereka. Akan tetapi, Kam Hong juga terkejut sekali ketika merasa betapa dadanya agak sesak dan panas, tanda bahwa dia pun menderita luka dan hal ini terjadi karena delapan orang itu tadi dibantu oleh Hek-i Mo-ong secara tiba-tiba, di luar persangkaannya sehingga dia kurang dapat menjaga diri.
Sementara itu, Ci Sian sudah menyerang kakek raja iblis itu dengan sulingnya dan karena ia tahu bahwa lawannya itu amat sakti, maka Ci Sian tidak mau membuang banyak waktu, begitu maju ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang selama ini dilatihnya dengan amat tekun dibawah bimbingan Kam Hong.
Memang tak dapat disangkal bahwa kematangan dalam ilmu ini yang dimiliki oleh Ci Sian masih jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang sudah lebih lama melatih diri. Akan tetapi Ci Sian telah menguasai dengan baik pokok-pokok dan dasar-dasarnya, dan karena Kam Hong memberi petunjuk dengan sungguh-sungguh, sedangkan dara itu pun dengan amat tekunnya berlatih, ditambah lagi dengan bakatnya yang luar biasa dalam hal ginkang sehingga ia memiliki gerakan yang amat cepat, maka ia bukan merupakan lawan yang ringan bagi ketua Hek-i-mo itu.
Hek-i Mo-ong sedang marah bukan main. Dia merasa amat terkejut dan berduka melihat delapan orang murid utamanya itu tewas dan dia merasa menyesal bukan main kenapa tadi menyuruh mereka maju. Kehilangan mereka sama saja baginya dengan kehilangan tangan kanannya, maka dengan kemarahan yang meluap-luap kini dia menghadapi Ci Sian. Dan memang kakek ini luar biasa ganas dan tangguhnya.
Tombak Long-gee-pang itu adalah semacam toya yang pada ujungnya dipasangi kaitan runcing tajam agak melengkung seperti gigi serigala, dan tentu saja ujung senjata itu mengandung racun yang amat berbahaya, telah bertahun-tahun direndam semua racun-racun yang paling jahat. Ia mainkan Long-gee-pang ini bagai orang memainkan tombak atau toya, akan tetapi dia lebih sering menggunakan sebelah tangan saja, yaitu tangan kanan untuk memainkan Long-gee-pang.
Sedangkan tangan kirinya hanya kadang-kadang saja membantu sebab tangan ini lebih sering memainkan kipas merahnya. Kipas merah ini ujungnya runcing dan dipergunakan untuk menotok jalan darah. Memang gerakan-gerakannya hebat sekali. Tombaknya itu bergulung-gulung sinarnya dan di antara gulungan sinar tombak itu nampak berkelebat sinar merah dari kipasnya. Angin dahsyat menyambar-nyambar keluar dari tiap gerakan tombaknya.
Ci Sian memutar sulingnya dan terdengar suara melengking-lengking. Sungguh pun tak sehebat permainan Kam Hong, namun ternyata dara ini telah menguasai inti dari ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut. Biar pun lawannya bergerak bukan hanya mengandalkan ilmu silat dan serangan tombak dan totokan-totokan kipas, melainkan juga dibantu oleh kekuatan ilmu hitam untuk menguasai semangat lawan, namun Ci Sian terlindung oleh suara yang keluar dari sulingnya, karena suara ini pun mengandung kekuatan khikang yang hebat.
Betapa pun juga, setelah lewat puluhan jurus, Ci Sian mulai merasakan betapa kuatnya kakek itu. Ia mulai merasa terdesak dan terhimpit, dan hanya berkat kelincahannya saja maka dia masih mampu menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut.
Selama itu, Kam Hong duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, perhatiannya tidak pernah terlepas dari Ci Sian. Bagaimana pun juga, dia harus membantu sumoi-nya. Akan tetapi dalam keadaan terluka, tentu saja amat berbahaya untuk mengerahkan tenaga membantu sumoi-nya, apalagi kalau yang dilawannya itu seorang yang demikian sakti seperti raja iblis itu. Dan dalam jurus-jurus pertama, Ci Sian masih cukup kuat untuk dapat membela dan melindungi diri sendiri. Dia tahu bahwa seorang diri saja, Ci Sian masih terlalu hijau untuk dapat menandingi raja Iblis itu. Akan tetapi, dia harus mengobati lukanya lebih dulu kalau tidak ingin nanti tertimpa mala petaka kalau dia berhadapan dengan Hek-i Mo-ong.
Setelah rasa sesak dan panas di dadanya sudah agak berkurang, dan melihat pula betapa Ci Sian sudah terdesak hebat, Kam Hong sudah siap-siap untuk membantu sumoi-nya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring.
“Hek-i Mo-ong iblis yang kejam, akulah lawanmu! Ci Sian, jangan khawatir, mari kita sama-sama basmi Iblis ini!” Dan nampaklah sinar berkilauan dibarengi dengan suara berdengung-dengung amat kuatnya, bahkan dalam suara mengaung ini pun terkandung kekuatan yang mukjijat.
“Sim Hong Bu, bagus kau datang membantuku!” Ci Sian berseru girang. karena tadi ia memang sudah merasa terdesak hebat, kini muncul pemuda yang sudah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang amat lihai itu, tentu saja ia merasa lega dan girang. Ia mengira bahwa suheng-nya telah terluka dan tidak dapat maju lagi.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong juga terkejut setengah mati ketika menangkis sinar pedang di tangan pemuda yang baru muncul itu dan merasa betapa lengannya tergetar hebat! Kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dibandingkan dengan dara remaja ini!
Ada pun Kam Hong yang melihat munculnya Sim Hong Bu, diam-diam melihat dengan penuh perhatian, mengikuti pertandingan itu dan melihat betapa gerakan-gerakan pedang pemuda itu memang hebat bukan main. Tahulah dia bahwa itulah Koai-liong pokiam, yaitu pedang pusaka yang terkenal itu, dimainkan dalam ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut yang dibanggakan oleh keluarga Cu yang telah dikalahkannya. Keluarga Cu itu berkeinginan untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut!
Dan sekarang, dari tempat dia duduk bersila, dia melihat betapa Kim-siauw Kiam-sut dimainkan dengan suling emas oleh sumoi-nya, sedangkan Koai-liong Kiam-sut dimainkan oleh Sim Hong Bu, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai kawan. Dua ilmu pedang itu kini bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai dan diam-diam dia memandang bengong dan kagum. Sungguh mengherankan sekali karena begitu dipakai untuk bekerja sama, kedua ilmu pedang itu ternyata amat hebat, dapat saling mengimbangi bahkan saling cocok, saling isi dan saling melindungi!
Teringatlah dia bahwa kalau Kim-siauw Kiam-sut diciptakan oleh Kakek Cu Keng Ong yang merupakan nenek moyang keluarga Cu, maka Koai-liong Kiam-sut itu diciptakan pula oleh keturunannya, yaitu Cu Hak pembuat pedang itu. Dan ilmu pedang itu lalu ditemukan dan disempurnakan oleh Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti. Pantas saja ada kecocokannya karena penciptanya adalah seketurunan. Sedikit banyak pencipta Koai-liong Kiam-sut tentu mewarisi pula sebagian dari Kim-siauw Kiam-sut, seperti halnya keluarga Cu di lembah itu.
Melihat hasil kerja sama antara Ci Sian dan Hong Bu, Kam Hong kagum sekali, amat kuat dan bahkan saling mengisi kekosongan atau kelemahan masing-masing. Dapat dikatakan bahwa penggabungan itu malah membuat Kim-siauw Kiam-sut menjadi sempurna, dan membuat Koai-liong Kiam-sut menjadi lengkap! Dan dia melihat pula hal lain!
Dia melihat betapa Hong Bu selalu dengan mati-matian melindungi Ci Sian, dan di antara gerakan cepat mereka, dia dapat melihat pula sinar mata Hong Bu kalau melihat atau mengerling Ci Sian. Pemuda itu mencinta Ci Sian! Dan dia melihat pula betapa dua orang muda remaja ini memang serasi, cocok sekali, sebaya dan juga sama-sama gagah perkasa. Dan dia pun melihat betapa Ci Sian bertempur dengan wajah berseri dan tersenyum, tanda bahwa hati dara itu pun girang sekali bertemu dengan Hong Bu, apalagi dapat bersama-sama pemuda itu melawan musuh tangguh.
Padahal, dia mengenal benar watak Ci Sian dan andai kata yang membantunya itu orang lain, tentu Ci Sian akan marah dan menolak bantuan itu. Kini, melihat betapa Ci Sian malah girang dibantu Hong Bu, maka kenyataan ini hanya menjadi bukti bahwa Ci Sian juga mencinta, atau setidaknya merasa suka kepada pemuda ini. Teringat pula dia betapa Ci Sian pernah memuji-muji Hong Bu di depannya. Aneh, Kam Hong merasa jantungnya seperti tertusuk!
“Bodoh kau! Manusia lemah yang hanya mementingkan diri sendiri! Lemah dan bodoh!” Kam Hong mencela diri sendiri karena dia tahu apa artinya perasaan tertusuk itu. Dia merasa cemburu!
Bodoh, dia harus tahu diri, pikirnya penasaran. Cintanya kepada Ci Sian tidak benar, tidak wajar dan tidak tepat. Usianya sudah tiga puluh tiga tahun! Dan Ci Sian baru delapan belas tahun! Dia terlalu tua untuk Ci Sian. Hong Bu itulah yang tepat menjadi jodoh Ci Sian, tentu usianya sebaya, atau kalau Hong Bu lebih tua pun selisihnya hanya satu atau dua tahun.
Dan Ci Sian telah mewarisi Kim-siauw Kiam-sut, hanya tinggal mematangkannya saja dengan jalan berlatih dan menggunakannya dalam praktek. Tidak ada lagi yang dapat diajarkannya kepada Ci Sian. Dan amat tidak baik kalau dia terus mengajak dara itu melakukan perjalanan bersama. Tidak baik bagi dara itu, dan juga bagi dirinya sendiri karena dia akan semakin terikat. Tidak, dia harus mengalah, dia harus mengundurkan diri, dia harus tahu diri.
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan teriakan nyaring dan sebagai sambutan dari teriakan itu, puluhan orang berpakaian hitam bermunculan dari semua penjuru. Tahulah Kam Hong bahwa kakek itu merasa kewalahan dan memanggil anak buahnya. Maka dia pun lalu meloncat bangun dan siap dengan sulingnya. Ketika anak buah Hek-i Mo-ong hendak mengeroyok Hong Bu dan Ci Sian, Kam Hong telah menyerbu dan menyambut mereka dengan putaran sulingnya yang berubah menjadi sinar emas bergulung-gulung. Dan biar pun anak buah Hek-i Mo-ong rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi suling di tangan Kam Hong tentu saja mereka itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Ke mana pun gulungan sinar emas itu menyambar, tentu sedikitnya ada dua orang anggota Hek-i Mo-ong yang roboh.
Dan para anggota Hek-i Mo-ong yang besar jumlahnya itu, sebagian lagi mengepung Hong Bu dan Ci Sian, akan tetapi mereka itu hanya bergerak-gerak tanpa ada yang berani ikut membantu ketua mereka karena gerakan tiga orang itu terlalu dahsyat bagi mereka. Apalagi ikut berkelahi, baru terlalu dekat saja mereka sudah mundur lagi oleh sambaran angin yang amat dahsyat. Dan ketua gerombolan itu sudah mulai lelah, dan mulai terdesak hebat. Bukan main marahnya kakek itu. Gerombolan yang dibentuknya dan telah berdiri dan terkenal di seluruh propinsi itu sebagai perkumpulan yang besar dan amat berpengaruh, yang sudah belasan tahun merajalela dan tidak ada yang berani melawan, kini mengalami ambang kehancuran.
Tiba-tiba kakek itu menggereng dan dia mengeluarkan beberapa buah benda hitam dari balik jubahnya. Begitu dia melempar dan membanting benda-benda hitam itu, terdengar ledakan-ledakan nyaring dan nampak asap hitam bergulung-gulung memenuhi tempat itu.
Melihat ini, Kam Hong cepat berteriak, “Hong Bu! Ci Sian! Mundur!”
Dua orang muda remaja itu juga terkejut dan tidak berani sembrono untuk mengejar kakek yang sudah lenyap di balik asap hitam itu. Mereka tahu apa maksud Kam Hong menyuruh mereka mundur dan mereka pun bersikap waspada. Kalau saja mereka mengejar, tentu jarak serang itu akan lebih dekat dan bahaya yang mengancam lebih besar. Kini mereka berdua memutar pedang dan suling, dan runtuhlah paku-paku dan jarum-jarum beracun yang tadi berhamburan menyerang mereka dari balik asap hitam. Dan asap itu sendiri pun mengeluarkan bau yang amat busuk, tanda bahwa asap itu mengandung racun pula.
Kam Hong, Hong Bu dan Ci Sian berloncatan jauh ke belakang menjauhi asap. Akan tetapi para anggota Hek-i-mo yang puluhan orang banyaknya itu mengurung dan menghujani mereka dengan senjata rahasia beracun. Dengan mudah mereka bertiga memutar suling dan pedang, membuat semua senjata rahasia itu runtuh dan mereka bertiga lalu dikeroyok.
Akan tetapi, karena Hek-i Mo-ong tidak nampak lagi, tentu saja anak buah Hek-i Mo-ong itu bukanlah lawan tiga orang pendekar muda yang perkasa ini. Berturut-turut robohlah mereka itu satu demi satu. Dan akhirnya, setelah lebih dari setengah jumlah anggota Hek-i-mo roboh dan setelah mereka sadar bahwa ketua mereka telah lari meninggalkan mereka, sisa anggota Hek-i-mo lalu melarikan diri, menghilang di malam gelap.
“Ehhh, di mana Suheng?” Tiba-tiba Ci Sian sadar bahwa suheng-nya tidak berada di tempat itu.
Tadi, di antara pertempuran keroyokan yang gaduh itu, Ci Sian melawan pengeroyokan di samping Hong Bu dan dia melihat Kam Hong memisahkan diri dan mengamuk di bagian lain. Akan tetapi setelah semua musuh pergi dan sebagian lagi roboh malang melintang di tempat itu, ia tidak lagi melihat Kam Hong.
Hong Bu juga melihat ke kanan kiri, bahkan lalu mereka berloncatan ke sana sini untuk mencari Kam Hong. Namun tidak nampak bayangan pendekar itu.
“Suheng....!” Ci Sian berteriak memanggil beberapa kali, namun tidak terdengar jawaban dan tidak nampak pula pendekar itu muncul. Maka mulailah la merasa khawatir.
“Mungkin dia mengejar Mo-ong,” kata Hong Bu.
Ci Sian mengangguk dan mengerutkan alisnya. “Mungkin, akan tetapi mengapa dia mengejar kalau dia sendiri yang menyuruh kita mundur tadi? Pula, mengejar seorang manusia iblis yang curang seperti Mo-ong itu amat berbahaya. Mari kita ikut mengejar dan membantunya.” Tanpa menanti jawaban Ci Sian sudah meloncat ke depan.
“Tunggu, Nona. Lihat ini....!”
Ci Sian berhenti dan membalikkan tubuhnya. la melihat Hong Bu menghampiri sebatang pohon tak jauh dari tempat itu dan di batang pohon itu nampak ada benda putih seperti kertas tertempel di bawah dahan rendah. Biar pun cuaca agak suram karena ada awan tipis lewat di bawah bulan, namun tulisan itu masih dapat dibaca.
“Ci Sian, ke sinilah dan baca surat ini. Agaknya Kam-twako yang meninggalkan surat ini!” kata Hong Bu.
Ci Sian segera berlari menghampirinya dan membaca tulisan di atas kertas putih itu.
Bu-sumoi yang baik,
Selesailah sudah tugasku mengajarkan Kim-siauw Kiam-sut kepadamu. Kini tidak ada gunanya lagi bagimu aku menemani. Biarlah kita saling berpisah di sini. Jaga dirimu baik-baik, Sumoi. Tiada pertemuan tanpa perpisahan dan aku tidak ingin perpisahan antara kita menimbulkan duka.
Suheng-mu : Kam Hong.
“Ah, Suheng....!” Ci Sian mengeluh dan ia berdiri termangu-mangu, mengambil kertas itu dan merasa kehilangan sekali. Tak terasa lagi matanya terasa panas dan berlinang air mata. Mengapa suheng-nya meninggalkannya?
Hong Bu yang melihat keadaan Ci Sian merasa kasihan kepada dara itu. “Suheng-mu pergi meninggalkanmu? Ke manakah dia pergi?”
Ci Sian tersadar mendengar suara ini, sadar bahwa ia tidak sendirian di situ. Ia menarik napas panjang. “Aku sendiri tidak tahu mengapa dia tiba-tiba saja meninggalkan aku, tanpa pamit, hanya meninggalkan sehelai surat seperti ini.... sungguh aneh sekali....”
“Kalau aku boleh bertanya.... ke manakah engkau hendak pergi, Ci Sian? Dan ke mana pula Suheng-mu itu hendak pergi?”
Ci Sian menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo buat membalas dendam atas kematian Ibuku, dan di sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu kepadaku. Tapi.... ahhh, tak kusangka dia akan pergi begitu saja....”
Ci Sian benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantah atau menahannya.
“Jadi engkau tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya.”
“Kita....?”
“Ya, aku akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku ini. Aku mau membantumu mencari Kam-twako.”
“Mari kita pergi dulu dari tempat terkutuk ini!” Ci Sian berkata sambil melompat pergi.
Hong Bu mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka berlari terus dan Ci Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa bicara. Mereka keluar dari daerah itu akan tetapi ketika mereka tiba di luar kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan telah condong ke barat dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti berlari. Di tepi jalan terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka duduk di atas bangku bambu di bawah pondok.
“Kita menanti sampai pagi di sini saja,” kata Ci Sian.
Hong Bu mengangguk. “Sebaiknya begitulah.”
Dan mereka pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong Bu dapat merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana dapat menghiburnya dan dia khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja.
Berulang kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya melayang-layang, membayangkan semua pengalamannya semenjak kecil sampai dia bertemu dengan Kam Hong dan mengalami banyak hal bersama. Kiranya pendekar itu melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua hal, yaitu pertama untuk mengajarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang dahulu mereka temukan berdua, dan membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo.
Tidak ada hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian termenung dan merasa berduka. Dia.... dia tidak mencintaku! Demikian pikiran yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam Hong mencintanya, tidak mungkin mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini. Kembali ia menarik napas panjang.
Hong Bu yang sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum bukan main karena tadi dia melihat sendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega. Dia dapat menduga bahwa Ci Sian merasa berduka ditinggalkan suheng-nya, dan merasa hidupnya kesepian, merasa sendirian saja di dunia yang luas ini.
“Bagaimana kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku menjaga di sini,” kata Hong Bu dengan lirih dan halus.
Hampir saja Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi begitu ia menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara halus tadi adalah Hong Bu, ia menggeleng kepala. “Aku tidak mengantuk. Dan lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang terjadi di sana tadi, tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat sambil duduk di sini sampai pagi. Ehh, Hong Bu, bagaimana kau dapat muncul secara tiba-tiba dan membantuku menghadapi, raja iblis itu?” Tiba-tiba Ci Sian teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan hal ini cukup untuk membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan sendiri lagi.
Hong Bu tersenyum, tetapi senyum pahit. “Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan dari pada nasibmu, Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa tujuan sama sekali! Kadang-kadang kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku merasa seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin, entah hendak dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan bingung. Apalagi kalau teringat bahwa aku telah menjadi seorang buronan dan dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan aku!”
“Ehhh? Kenapa? Apa dosamu maka engkau dikejar-kejar oleh Kaisar?”
Hong Bu menepuk pedang di pinggangnya. “Karena pedang inilah.”
“Koai-liong Po-kiam?”
“Ya, Koai-liong Po-kiam. Ci Sian, engkau pasti sudah mendengar riwayat pedang yang meributkan ini. Walau pun pedang ini buatan nenek moyang keluarga Cu, akan tetapi pernah lenyap dan tahu-tahu berada di Istana Kaisar tanpa ada yang tahu bagaimana. Kemudian Bibi guru Tang Cun Ciu mencurinya dari istana, yang sesungguhnya bagi kami bukan mencuri melainkan mengambil kembali hak milik keluarga Cu. Kemudian, karena oleh mendiang Supek Ouwyang Kwan yang dulu menjadi Yeti itu aku diangkat sebagai ahli waris ilmu Koai-liong Po-kiam dan pedangnya, maka pedang dan ilmu itu jatuh kepadaku.”
“Ya, dan engkau bersembunyi lalu berlatih di dalam goa itu,” kata Ci Sian.
“Benar, akan tetapi selagi aku beristirahat, baru-baru ini, di lembah kedatangan orang-orang sakti utusan Kaisar yang menuntut dikembalikannya pedang pusaka ini. Tentu saja Suhu Cu Han Bu dan Susiok Cu Seng Bu yang berada di lembah menentang dan terjadi pertempuran, dengan janji bahwa kalau pihak Suhu kalah, Suhu dan Susiok akan menjadi hwesio dan memberitahu di mana adanya pedang. Sebaliknya kalau utusan itu yang kalah, utusan itu tidak boleh mengganggu lagi. Nah, terjadi pertempuran dan akibatnya.... Suhu dan Susiok kini menjadi hweslo....”
“Hah....?!” Ci Sian terbelalak, kaget sekali. “Maksudmu.... kedua Locianpwe itu telah kalah?”
Hong Bu mengangguk.
“Tapi.... tapi menurut kata Suheng, Gurumu itu memiliki kesaktian yang luar biasa sekali, bahkan menurut Suheng, saat Suheng dan Gurumu pi-bu, Suheng mengalami kesulitan besar untuk memperoleh kemenangan tipis! Kalau begitu, alangkah saktinya utusan Kaisar ltu. Siapakah mereka itu?”
“Mereka adalah Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Dia bersama puteranya yang telah mengalahkan dan melukai Suhu dan Susiok.”
“Jenderal Muda Kao Cin Liong dan ayahnya? Ahhh....!” Ci Sian terkejut dan dia pun mengerti sekarang mengapa guru dan Susiok Hong Bu sampai kalah, sungguh pun hal itu juga amat mengherankan hatinya. Dia tahu bahwa Kao Cin Liong adalah seorang pemuda sakti, akan tetapi tidak pernah mengira bahwa jenderal muda itu akan mampu mengalahkan tokoh penghuni Lembah Suling Emas!
“Agaknya engkau telah mengenal mereka.”
“Tentu saja, aku mengenal baik Jenderal Muda Kao Cin Liong. Jadi, kini engkau menjadi buruan mereka?”
“Ya, karena pedang pusaka ada padaku, dan karena memenuhi perjanjian pi-bu itu Suhu memberitahukan mereka bahwa pedang ada padaku tanpa memberitahu aku berada di mana, maka tentu mereka itu akan mencariku dan kalau bertemu, tentu mereka akan menuntut agar aku menyerahkan pedang ini.”
“Dan engkau akan menyerahkan pedang itu?”
“Tidak!” jawab Hong Bu dengan tegas. “Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa aku akan mempertahankan pedang ini, karena pedang ini sesungguhnya adalah milik keluarga Cu dan aku telah menjadi ahli-warisnya. Betapa pun juga, akan kupertahankan dengan taruhan nyawa.“
Diam-diam Ci Sian memandang khawatir. “Ahh, engkau berada dalam keadaan yang amat tidak enak, Hong Bu.”
Hong Bu menarik napas panjang. “Memang, demikianlah kenyataannya. Tetapi bukan menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya yang membuat hatiku merasa amat tidak enak, melainkan menghadapi.... Suheng-mu.”
“Ehhh....?” Ci Sian lalu teringat akan semua yang terjadi ketika suheng-nya melakukan pi-bu (adu ilmu silat) melawan penghuni lembah, dan kata-kata Cu Han Bu bahwa kelak akan terbukti keunggulan Koai-liong Kiam-sut terhadap Kim-siauw Kiam-sut. “Jadi kau.... kau hendak mewakili keluarga Cu untuk menentang Suheng? Engkau hendak menebus kekalahan Gurumu?”
“Begitulah pesan Suhu kepadaku ....“
Sebelum Hong Bu melanjutkan kata-katanya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali tidak setuju dan tidak ingin berhadapan dengan Kam Hong yang amat dikaguminya itu sebagai lawan, Ci Sian sudah segera meloncat keluar dari pondok dan mencabut sulingnya!
“Bagus! Tidak perlu kau bersusah payah mencari Suheng! Mari hadapilah aku kalau engkau masih penasaran! Aku juga merupakan ahli-waris Kim-siauw Kiam-sut dan jangan harap dengan ilmu pedang tumpulmu itu akan mampu menandingi Kim-siauw Kiam-sut kami!”
“Eh-eh.... Ci Sian....!” Hong Bu meloncat keluar pula dengan maksud untuk membantah, tetapi dia sudah disambut oleh sinar keemasan yang mengeluarkan bunyi melengking ketika suling di tangan Ci Sian itu bergerak menyambar dengan serangan yang amat hebat.
Hampir saja kepala Hong Bu kena disambar suling. Oleh karena datangnya serangan demikian dahsyat dan tak terduga-duga, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan, barulah dia terlepas dari cengkeraman maut!
“Ehhh, nanti dulu, Ci Sian....!”
Akan tetapi Ci Sian sudah menyerang lagi sambil membentak, “Mau bicara apa lagi? Mari kita lihat siapa lebih unggul di antara kita!” Dan gulungan sinar kuning emas itu sudah menyembar dengan dahsyatnya.
“Tringgg....!” Bunga api berpijar pada saat pedang Koai-liong Po-kiam bertemu dengan suling emas di tangan Ci Sian.
Dara itu merasa tangannya tergetar hebat, akan tetapi ia kini bukan seorang dara yang lemah, maka dengan kecepatan kilat ia sudah menyerang lagi. Percuma saja bagi Hong Bu yang berkali-kali minta gadis itu bersabar sehingga terpaksa dia pun harus mainkan pedangnya karena serangan-serangan Ci Sian sama sekali tak boleh dipandang ringan. Gadis itu kini telah menguasai sebuah ilmu yang amat lihai, bahkan tadi pun mampu melawan seorang tokoh sakti seperti Hek-i Mo-ong.
Terjadilah perkelahian antara pedang dan suling yang amat hebat di waktu menjelang pagi itu. Suara beradunya kedua senjata itu terdengar berkali-kali dan pertandingan yang terjadi di tempat sunyi itu benar-benar amat hebat. Baik gerakan pedang mau pun suling keduanya mengeluarkan suara yang aneh. Pedang itu mengaung-ngaung seperti seekor naga yang marah, sedangkan suling itu mengeluarkan suara berlagu, sehingga nampaknya seolah-olah seekor naga yang sedang menari-nari diiringi musik yang gagah!
Ci Sian menyerang dengan sungguh-sungguh karena ia sudah marah sekali. Marah dan kecewa. Tadinya ia menganggap Hong Bu seorang pemuda yang amat menyenangkan, dan seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi ternyata tidak demikian! Hong Bu adalah seorang musuh yang hendak mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut! Maka dari itu, kemarahannya membuat gerakannya menjadi semakin hebat. Kekecewaan karena kenyataan bahwa pemuda ini adalah seorang musuh yang membuat Ci Sian menjadi nekat seperti itu, ditambah lagi dengan perasaan duka karena suheng-nya telah pergi meninggalkannya! Biarlah, pikirnya nekat, kalau aku kalah dan mati, biar suheng akan menyesal seumur hidup!
Sebaliknya, Hong Bu menjadi sibuk dan bingung bukan main. Dia telah jatuh cinta pada gadis ini, seorang gadis yang amat dikaguminya dan dicintanya. Akan tetapi gadis ini sekarang menyerangnya kalang-kabut dan nekat. Dia tadi telah berterus terang, hanya karena dia tidak ingin menyimpan rahasia terhadap Ci Sian, hanya karena dia ingin bersikap jujur. Akan tetapi sebelum dia menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan perintah gurunya, gadis itu telah menyerangnya demikian dahsyatnya hingga terpaksa dia harus membela diri.
Dan makin lama mereka bertanding, Hong Bu merasa makin tertarik. Tadi pun, ketika dia membantu Ci Sian menghadapi Hek-i Mo-ong, dia sudah melihat kenyataan yang amat mengherankan hatinya. Yaitu, bahwa ilmu pedangnya dapat bekerja sama dengan ilmu suling yang dimainkan Ci Sian. Bahkan terasa enak dan cocok, saling mengisi, saling melindungi dan bahkan saling melengkapi.
Karena itulah, ketika kini Ci Sian menyerangnya secara bertubi-tubi, timbul keinginan tahunya untuk mempelajari ilmu suling itu, apalagi ketika dia melihat bahwa pada dasarnya, dia seperti tidak asing dengan dasar gerakan dari Kim-siauw Kiam-sut. Biarlah dia melayani Ci Sian untuk beberapa lama sehingga dia dapat menyelami bagai mana sesungguhnya Kim-siauw Kiam-sut dan di mana letak ketangguhannya. Maka dia pun membela diri, bukan hanya menangkis dan mengelak, tetapi juga balas menyerang karena dia hendak melihat pula bagaimana ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu dalam pertahanan dan serangan balasan. Juga dia amat mengagumi kekuatan khikang dahsyat yang keluar dari suara suling itu ketika dimainkan sedemikian cepatnya oleh Ci Sian.
Sebetulnya, tidaklah aneh kenyataan yang dilihat oleh Hong Bu itu, seperti juga sudah dilihat oleh Kam Hong dan yang diduga dengan tepat oleh pendekar ini. Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, ciptaan Si Pencipta suling itu sendiri, yaitu Cu Keng Ong. Sedangkan Koai-liong Po-kiam adalah ilmu pedang ciptaan Cu Hak, seorang keturunan dari Cu Keng Ong yang lihai, yang telah membuat pedang Koai-liong Pok-kiam, dan ilmu pedang ini lalu disempurnakan oleh Ouwyang Kwan. Tentu saja penciptaan ilmu pedang ini menjadi amat dipengaruhi oleh Kim-siauw Kiam-sut, bahkan ilmu inilah yang menjadi sumbernya, maka pada dasarnya banyak terdapat persamaan-persamaan.
Dalam gembiranya karena dapat mempelajari ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu, Hong Bu lupa diri dan dia terus melayani Ci Sian sampai berjam-jam. Entah sudah berapa ratus jurus mereka bertanding dan Hong Bu selalu hanya menjaga diri saja, hanya kadang-kadang membalas serangan lawan kalau dia terlalu terdesak. Sampai matahari pagi menerangi bumi, kedua orang muda remaja itu masih saja bertanding!
Muka dan leher Ci Sian sudah basah oleh keringat dan dia sudah lelah sekali karena malam tadi dia sudah banyak memeras keringat ketika melawan Mo-ong. Maka dapat dibayangkan rasa gemas hati dara ini. Gemas dan marah sekali karena dia merasa dipermainkan! Kalau ia segera roboh dan tewas, ia tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi sekarang ini keadaannya sungguh menggemaskan dan melelahkan, menang tidak kalah pun tidak!
Jurus apa pun yang dikeluarkannya, pihak lawan hanya sebentar saja terdesak, akan tetapi segera Hong Bu dapat memperbaiki kedudukannya lagi dan melawan dengan tangguhnya. Ia merasa seperti menghadapi dinding baja saja terhadap pemuda ini. Semua serangannya gagal total! Dan serangan-serangan pemuda itu agaknya tidak sungguh-sungguh, seolah-olah Hong Bu memandang rendah kepadanya.
Hal ini sungguh-sungguh membuat ia mendongkol dan marah sekali. Sudah dicobanya untuk mendesak dengan sekuat tenaga, tetapi, sesungguhnya latihan-latihannya belum cukup matang dan memang dia kalah tenaga dari Hong Bu. Maka sampai tangannya yang memegang suling rasanya seperti lumpuh dan napasnya sudah memburu, belum juga ada ketentuannya dalam pertandingan itu. Saking jengkelnya, beberapa butir air mata keluar dari kedua matanya tanpa dapat dicegah lagi!
“Tring-trangggg....!”
Keduanya melangkah mundur saking kerasnya senjata mereka beradu dan Hong Bu terbelalak.
“Ci Sian....! Kau.... kau menangis....?”
“Siapa menangis? Ahhh, kau.... kau.... manusia kejam!” Dan Ci Sian sudah menyerang lagi, tidak peduli betapa air matanya bertambah deras oleh pertanyaan pemuda tadi.
“Ah, maafkan aku.... ah, bukan maksudku.... aku hanya ingin memperhatikan ilmumu yang amat hebat itu, Ci Sian.... ahhh….”
“Tranggg....!”
Dan melihat Ci Sian menangis seperti itu, air matanya menetes-netes, tiba-tiba Hong Bu merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia memasukkan pedangnya di sarung pedang, dan berdiri sambil bersedakap. Suling itu menyambar datang dan Hong Bu memejamkan mata, tidak mengelak atau menangkis!
“Wuuuuttt....!”
Suling itu lewat di atas kepalanya karena Ci San terkejut setengah mati melihat pemuda itu tidak mengelak, maka ia tadi menyelewengkan serangannya, lalu tangan kirinya memukul ke arah pundak pemuda itu.
“Desss....!”
Tubuh Hong Bu terguling roboh. Biar pun tidak terlalu keras, namun pada waktu itu Ci Sian sudah memiliki sinkang yang sangat kuat, maka pukulannya tadi cukup untuk membuat Hong Bu yang sama sekali tidak mengerahkan sinkang itu terpelanting.
“Bangun! Hayo lawanlah! Pengecut!” Ci Sian memaki.
Hong Bu yang telentang itu memandang dan tersenyum. Dia pun berkeringat pada muka dan lehernya. “Tidak, Ci Sian, maafkan aku. Sungguh mati aku tidak bermaksud membikin engkau marah dan berduka sampai menangis....”
“Aku tidak menangis, keparat! Hayo bangkit dan lawanlah aku, mari kita lanjutkan dan bertanding sampai seorang di antara kita mampus!”
Akan tetapi Hong Bu hanya bangkit duduk dan menggeleng kepalanya. “Tidak, aku.... tidak sanggup lagi melawanmu, Ci Sian....“
“Pengecut kau, keparat! Jangan mempermainkan aku, kau!” Dan Ci Sian menggerakkan sulingnya ke atas, lalu suling itu menyambar ke bawah.
Akan tetapi Hong Bu hanya memandang, sedikit pun tidak pernah berkedip, seolah-olah dia siap menghadapi kematian dengan rela. Sinar keemasan yang menyambar turun itu berhenti dan ujung suling itu sudah menyentuh kulit leher Hong Bu, dan di bawah kulit itulah terdapat jalan darah yang mematikan. Sedikit saja suling itu ditotokkan, maka nyawa Hong Bu akan melayang! Namun, pemuda itu hanya tersenyum pahit.
“Aku tidak mempermainkan engkau, Ci Sian. Aku tidak mau melawanmu....”
“Hayo bangkit engkau, keparat! Atau.... hemm, kubunuh engkau sehingga mati konyol!” ujung suling itu menempel lebih ketat.
“Terserah kepadamu, Ci Sian. Aku akan rela mati di tanganmu. Memang lebih baik mati dari pada aku harus berhadapan denganmu sebagai musuh. Aku tak bisa memusuhimu, Ci Sian, dan aku rela mati di tanganmu karena aku.... aku cinta padamu....”
“Ihhhhh....!” Ci Sian meloncat ke belakang dan melepaskan sulingnya seolah-olah suling itu kini telah berubah menjadi seekor ular! Matanya terbelalak, dan air matanya masih menetes-netes turun ke atas kedua pipinya.
“Kau.... kau....”
Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya terasa seperti diremas-remas. Ia menjadi bingung, penuh dengan perasaan marah, menyesal, juga terharu. Tidak tahu ia harus bagaimana menanggapi pengakuan cinta itu. Hong Bu cinta padanya? Apakah cinta itu? Bagaimanakah cinta itu? Ia menjadi bingung dan karena bingung itulah ia menangis!
Hong Bu kini bangkit berdiri dan memandang dengan muka yang agak pucat. “Maafkan aku, Ci Sian.... mungkin aku menyinggung perasaanmu dengan pengakuanku itu.... Aku tahu bahwa aku tidak berharga untuk seorang dara seperti engkau.... akan tetapi, aku tidak dapat pula merahasiakan ini. Semenjak kita saling bertemu.... aku telah jatuh cinta padamu. Entah, begitulah kenyataannya dan kalau tadi aku melayanimu bertanding, maksudku hanya untuk melihat begaimana sesungguhnya ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu karena aku melihat betapa ilmu kita begitu serasi dan....”
Tetapi Ci Sian sudah menyambar sulingnya. Hong Bu siap untuk menerima serangan maut, akan tetapi gadis itu meloncat pergi dan lari secepatnya sambil masih menangis.
“Ci Sian....! Aku cinta padamu....!” Hong Bu melangkah beberapa tindak ke depan, dua tangannya diulur ke depan, akan tetapi dia hanya menarik napas panjang berulang kali, lalu menundukkan mukanya yang menjadi muram ketika melihat dara itu menghilang. Dia tidak mau mengejar, karena pengejarannya tentu akan menambah marah dan dia sama sekali tidak ingin membikin marah atau susah kepada dara yang dicintanya itu.
Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Tidak akan ada habis-habisnya kalau dibicarakan, dan di dunia ini terdapat entah berapa banyak kisah-kisah tentang cinta asmara dan akibat-akibatnya. Cinta asmara memiliki kekuasaan yang tidak terbatas! Dapat menundukkan manusia yang bagaimana kuatnya pun. Dapat membuat hati yang sekeras-kerasnya menjadi selunak-lunaknya, sebaliknya bisa mendatangkan kekerasan yang amat mengerikan. Cinta asmara dapat mengakibatkan perbuatan yang selembut-lembutnya dan sebaik-baiknya, tapi dapat pula mendatangkan perbuatan yang sekejam-kejamnya.
Betapa pun hidup tanpa cinta sama dengan pohon tanpa bunga, seperti bumi tanpa matahari, hampa dan tidak ada artinya sama sekali. Akan tetapi, tidak seperti yang kebanyakan dari kita kehendaki, yang dimaksudkan dengan cinta di sini bukanlah cinta orang lain kepada kita, melainkan yang terpenting adalah cinta kita kepada orang lain!
Cinta di dalam batin kita itulah api kehidupan, itulah kebajikan, itulah kebahagiaan. Dan cinta ini baru ada apabila batin sudah bersih dari pada kebencian, iri hati, dan keinginan untuk senang sendiri. Yang penting adalah sinar kasih itu bernyala dalam hati, dan ini baru terjadi apabila hati kita kosong dan terbuka. Keinginan akan cinta kasih orang lain terhadap kita tiada lain hanyalah keinginan untuk menikmati kesenangan melalui orang yang kita harapkan cintanya itu. Lain tiada.....
********************
Selanjutnya baca
SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-17