Kisah Si Bangau Putih Jilid 12
Sementara itu, Tiat-liong-pang kini mulai memperkuat diri, menerima banyak anggota baru. Bahkan orang-orang suku Mongol anak buah Agakai, sedikit demi sedikit mulai menyusup masuk lewat perbatasan bergabung dengan Tiat-liong-pang. Semua anak buah itu mulai dilatih perang-perangan, dan para tokoh sesat yang menjadi pembantu Siangkoan Lohan, sibuk disebar ke selatan untuk menghimpun kekuatan dan membujuk perkumpulan-perkumpulan untuk mendukung rencana pemberontakan mereka.
Bi-kwi belum dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih pasukan-pasukan kecil yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang sekarang sudah menjadi semacam benteng. Tentu saja Bi-kwi tak berdaya selama suaminya masih berada di situ dan selalu diawasi. Dia masih dapat mencoba untuk membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya meski di situ masih terdapat banyak orang pandai, tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya. Masih baik bahwa mereka berdua mendapat sebuah kamar yang cukup luas, walau pun setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari penjaga yang mengepungnya.
Ketika Bi-kwi pada suatu malam hari memberi tahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan peristiwa kematian Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya bahwa kakak gadis itu tewas secara aneh dan kemungkinan besar sudah dibunuh oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya, Yo Jin yang berwatak gagah dan jujur itu menjadi marah.
“Huh, orang-orang macam apa yang kau bantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja! Engkau harus memberi tahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau hal itu tidak kau lakukan, sama saja halnya dengan membantu mereka melakukan pembunuhan keji terhadap kakak gadis itu!”
Bi-kwi dapat menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang Siangkoan Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera dapat melihat apa yang sama sekali tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian, yaitu bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat hal-hal yang tidak wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian, Bi-kwi lalu berbisik, “Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting mengenai kematian kakakmu.”
Li Sian baru mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberi tahu kepadanya bahwa Bi-kwi adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia harus berhati-hati terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi, saat Bi-kwi menyebut tentang kematian kakaknya, dia pun segera mengangguk dan mengikuti wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah melihat kalau ada orang lain datang menghampiri tempat itu.
“Apakah yang hendak kau bicarakan dengan aku, Enci?” tanya Li Sian.
Setelah kini mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia bisa melihat betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar matanya nampak lembut, bukan seperti mata seorang yang berwatak jahat.
“Nona Pouw, aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu semakin jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu hal yang amat penting dan menunjukkan dengan jelas kepadaku bahwa kakakmu itu sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan.”
Pouw Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus berhati-hati terhadap wanita yang amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap dirinya.
“Apa maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas dalam perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia tidak tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan itu?”
“Memang tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu itu mati bersama lawannya berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan juga melihat betapa perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu binasa sambil memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga. Aku mendekat dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun yakin setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan oleh perwira yang menjadi lawannya itu.”
“Apa buktinya? Coba terangkan yang jelas,” kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang walau pun ia belum percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.
“Pada jenazah kakakmu itu terdapat beberapa luka sabetan golok, pada paha, pangkal lengan kiri, dan pundak kanan. Akan tetapi tiga buah luka yang jelas disebabkan oleh bacokan golok itu bukan luka yang mematikan. Luka yang telah menyebabkan kematian kakakmu adalah luka tusukan pada dada yang menembus ke punggung, dan hal ini kulihat benar dari arah depan dan belakang. Jadi, kakakmu bukan tewas oleh golok di tangan perwira itu, melainkan oleh tusukan pedang dari depan, yang dilakukan dengan kuat sekali. Luka itu kecil dan hanya dapat diakibatkan tusukan pedang, bukan bacokan atau tusukan golok.”
Sepasang mata Li Sian terbelalak, kecurigaannya lenyap dan dia nampak ragu-ragu, mulai percaya karena dia pun teringat akan luka-luka di tubuh kakaknya, akan tetapi sebelum ini ia tidak memikirkan sejauh itu.
“Lalu... kalau menurut pendapatmu… bagaimana, Enci?” tanyanya, suaranya gemetar karena ia mendapat perasaan yang amat tidak enak.
“Aku pernah melihat perwira yang menjadi lawan kakakmu itu, nona Pouw. Kalau tidak keliru, dia seorang kepercayaan Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan perbatasan yang agaknya telah bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Dan melihat tanda pangkat yang dipakainyanya, dia memiliki pangkat yang lebih tinggi dari kakakmu. Dan itu dapat dibuktikan dengan adanya tiga luka bacokan golok pada tubuh kakakmu, sedangkan pada tubuh perwira itu, hanya ada satu luka tusukan pedang, dari punggung yang menembus ke dada. Jadi menurut perhitunganku, kakakmu memang berkelahi melawan perwira itu, akan tetapi kakakmu kemudian terdesak dan menderita tiga luka itu. Lalu, kalau tidak keliru dugaanku, muncul seorang lain yang membunuh perwira itu dari belakang dengan tusukan pedang. Orang itu tentu lihai sekali sehingga sekali tusuk dia mampu langsung merobohkan perwira itu. Kemudian, dengan mudah dia membunuh pula kakakmu yang sudah luka-luka itu dengan tusukan pedang dari depan.“
“Akan tetapi, pedang kakakku yang berada di situ juga berlumuran darah!”
Bi-kwi tersenyum. “Apa sukarnya mengenai itu, pembunuh itu dapat saja mengambil pedang kakakmu dan melumurinya dengan darah perwira itu yang masih bercucuran.”
“Akan tetapi... siapakah orang yang sekeji itu membunuh kakakku, dan mengapa pula dia mengatur muslihat supaya kelihatannya kakakku tewas dalam perkelahian melawan perwira itu? Apa alasannya?” Li Sian bertanya, penasaran walau pun ia melihat bahwa pendapat wanita ini memang sangat mungkin terjadi.
“Sukar untuk menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tentulah seorang pembantu Siangkoan Lohan, di antara tokoh-tokoh yang lihai itu. Dan siasat itu sengaja dilakukan orang untuk mengelabuimu, nona Pouw.”
“Apa? Untuk mengelabui aku? Mengapa?”
“Ini hanya dugaanku belaka. Engkau seorang gadis muda yang menurut pendengaranku memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, bahkan ilmu-ilmu dari Pulau Es pun kau kuasai, tentu Siangkoan Lohan ingin mengikatmu. Dan agaknya, kakakmu itu adalah seorang perwira yang setia kepada kerajaan sehingga dia mungkin saja akan membuka rahasia pemberontakan Tiat-liong-pang ini kepadamu. Nah, karena itulah, mereka harus membunuh kakakmu dan yang menerima tugas adalah rekannya yang lebih lihai, yaitu perwira yang tewas pula itu. Dan agaknya perwira itu memang dikorbankan, dibunuh agar nampaknya kakakmu tewas dalam perkelahian melawan rekannya sendiri. Tentu hal ini selain untuk mengelabuimu agar supaya engkau tak menyangka buruk terhadap Tiat-liong-pang, juga untuk menanamkan kebencian di dalam hatimu terhadap pasukan kerajaan.”
“Ahhh...!”
Sepasang mata Li Sian terbelalak, karena ia teringat akan sikap dan kata-kata kakak kandungnya sebelum mereka dipisahkan oleh kemunculan Siangkoan Liong. Kakaknya sempat berjanji akan mengunjunginya dan bicara panjang lebar seminggu kemudian, akan tetapi tahu-tahu dia tewas. “Memang kakakku pernah memperingatkan aku dalam pertemuan pertama itu, memperingatkan aku tentang Tiat-llong-pang...”
“Ah, kalau begitu sudah pasti tepat dugaanku tadi, Nona. Kakakmu itu telah mengetahui akan rahasia busuk dari Tiat-liong-pang dan hendak memperingatkanmu, maka mereka telah mendahuluinya, membunuhnya dengan siasat agar engkau tidak menduga buruk terhadap mereka.”
“Akan tetapi Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah! Sejak aku kecil dahulu, mendiang ayahku telah bersahabat erat dengan Siangkoan Lohan, dan kalau sekarang mereka hendak melakukan pemberontakan, hal itu adalah wajar, bukan? Setiap orang gagah tentu tidak rela melihat tanah airnya dijajah oleh bangsa Mancu, dan sedapat mungkin hendak membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan ini!” Li Sian membela. “Menurut, perkiraanku, kakakku itu mulai menyadari akan kebaikan gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, maka dia hendak membalik dan hendak membantu Tiat-liong-pang. Hal ini agaknya diketahui oleh pihak tentara kerajaan, maka kakakku dibunuh.”
“Itulah cerita yang sengaja mereka buat untuk mengelabuimu, nona Pouw. Akan tetapi kalau benar demikian halnya, lalu dari mana pula datangnya luka tusukan pedang yang menewaskan kakakmu? Harap jangan lengah dan bodoh, nona Pouw, dan waspadalah terhadap bujuk rayu Siangkoan Liong itu. Dia seorang pemuda yang bukan hanya lihai sekali ilmu silatnya, akan tetapi juga amat cerdik dan pandai membawa diri, sehingga gadis-gadis yang berhati polos dan jujur sepertimu ini akan mudah sekali terjatuh dan...”
“Diam! Itu bukan urusanmu!” Li Sian membentak dengan muka berubah merah, lalu ia pergi meninggalkan Bi-kwi.
Wanita ini hanya menghela napas panjang, dan ia mengambil keputusan bahwa kalau tidak dapat menggandeng Li Sian sebagai kawan untuk menentang persekutuan itu, ia akan maju sendiri. Bagaimana pun juga, dia sudah bersumpah di dalam hatinya untuk meninggalkan jalan kejahatan, bahkan akan menentang kejahatan.
Pemberontakan yang akan dilakukan Tiat-liong-pang ini sama sekali bukan menentang penjajah, melainkan pemberontakan yang jahat, persekutuan dengan para kaum sesat. Dan ia pun sudah mendengar betapa Siangkoan Liong dicalonkan menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil! Ia pun cepat-cepat menuju ke kamarnya untuk menemui suaminya dan membicarakan urusan itu.
Sementara itu, dengan muka masih merah dan jantungnya berdebar, serta dada terasa panas, Li Sian lari meninggalkan Bi-kwi dan segera pergi mencari Siangkoan Liong.
Ketika itu, Siangkoan Liong sedang bercakap-cakap dengan ayahnya, yaitu Siangkoan Lohan, di ruangan sebelah dalam. Karena hatinya terguncang dan dia menjadi sangat penasaran dan tidak sabaran Li Sian tidak peduli dan langsung saja memasuki rumah induk untuk mencari Siangkoan Liong.
Hatinya bagaikan ditusuk-tusuk. Kalau benar semua dugaan Bi-kwi itu, lalu bagaimana? Bagaimana kalu memang benar Siangkoan Liong sedang menjalankan siasat busuk itu dan bahkan pemuda itu telah berhasil membujuk rayu sehingga ia terjatuh! Seperti yang dikhawatirkan Bi-kwi tadi, ia telah jatuh! Ia telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Siangkoan Liong, karena memang ia tertarik dan katakanlah tergila-gila kepada pemuda itu, merasa bahwa ia memang mencinta pemuda itu!
Bagaimana jika benar Siangkoan Liong membunuh atau menyuruh bunuh kakaknya dan menguasai tubuhnya hanya sebagai siasat busuk belaka untuk menguasainya, bukan karena cinta kasih? Hampir Li Sian menjerit membayangkan semua kemungkinan itu! Ia akan dapat menjadi gila kalau semua itu ternyata benar demikian!
Pada saat dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah induk yang luas itu, ia mendengar suara Siangkoan Liong di sebuah ruangan samping yang daun pintunya tertutup. Cepat dia mengerahkan tenaganya agar tidak sampai ada suara pada langkah kakinya dan ia pun mendekati daun pintu itu. Dengan cukup jelas ia mendengar percakapan antara Siangkoan Liong dan suara wanita yang dikenalnya adalah suara Sin-kiam Mo-li!
"Sudahlah, Mo-li. Jangan kau ganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada nafsu untuk..." suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan terganggu.
"Kongcu, engkau sungguh tidak adil!" Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suara yang direndahkan supaya lirih sehingga terdengar mendesis. "Engkau tahu betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu dan mendambakan kasih sayangmu. Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas semua bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat rindu, Kongcu. Marilah, engkau kasihanilah aku, karena aku seperti seorang yang kehausan membutuhkan air cintamu..."
"Mo-li, jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau pun lusa kalau aku sudah tidak sibuk lagi..."
"Sibuk apa lagi? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah, bukankah aku pula yang sudah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke dalam pelukanmu? Betapa dengan susah payah aku menggunakan akal membiarkan ia minum anggur rahasiaku yang mengandung rangsangan-rangsangan kuat, dan ditambah pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh Thian Kek Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"
"Ssttt... jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah biar aku berjanji, malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"
"Hi-hi-hik-hik, begitu barulah pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti, Kongcu," kata wanita itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti oleh Siangkoan Liong.
Melihat mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam hatinya lagi. Jelaslah bahwa di antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li, nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat hubungan gelap! Maka ia pun segera meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua. Tanpa mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga memandang dengan mata terbelalak dan hati tak enak melihat betapa wajah gadis itu nampak marah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Sian-moi, kau...“ Dia maju sambil mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk Li Sian. Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua meter dari pemuda itu, matanya memandang tajam penuh selidik.
“Siangkoan Liong!” bentak gadis itu, dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati pemuda itu. “Aku menuntut penjelasan darimu!”
“Sian-moi ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa pula yang kau inginkan?” Siangkoan Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu sudah dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang.
Sementara itu Sin-kiam Mo-li memandang gadis itu dengan bibirnya tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana pun juga, gadis itu sudah ternoda, dan berarti sudah mampu ditundukkan. Dia tidak percaya bahwa gadis yang sudah terjatuh ke dalam pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau masih ingin memberontak.
“Mo-li, sebaiknya engkau keluar dahulu dan biarkan aku berbicara empat mata dengan Sian-moi.”
“Tidak perlu! Boleh saja ia ikut menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggota komplotanmu yang jahat!” kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang, jelas nampak ada kekagetan dalam pandang mata mereka.
“Sian-moi, aku tidak mengerti...“
“Katakanlah terus terang, siapakah yang sudah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?!” bentak Li Sian sambil menatap tajam.
Siangkoan Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah mendengar pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran, lalu tersenyum. “Ah, Sian-moi, apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas kau lihat sendiri betapa kakakmu itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh (keduanya tewas)...“
“Bohong! Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok! Hayo katakan saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua melakukan tipu muslihat itu untuk mengelabui aku mengenai kematian kakakku? Hayo jawab sejujurnya!”
Tentu saja, betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar pengungkapan rahasia itu dari mulut Li Sian. “Ahh, itu fitnah belaka! Dari siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?”
“Tidak peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada siasat buruk itu untuk mengelabui aku?”
Mendadak muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara lantang, “Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan Bi-kwi!”
“Ah, kalau begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!” Siangkoan Liong berseru marah. “Aku harus menegur wanita itu!”
Dia pun segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena ia ingin kepastian, siapa yang benar antara mereka.
Sementara itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya, “Telah kuceritakan kepada Pouw Li Sian itu tentang pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa tidak lama lagi badai akan segera datang menyerang.”
“Hemmm, biarkan saja, aku tidak takut,” kata Yo Jin dengan gagah. “Bagaimana pun juga, anak kita telah selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat.”
Bi-kwi merasa amat terharu melihat kegagahan suaminya. Ia kemudian maju merangkul suaminya, merasa bahwa kali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya dan ia tidak berdaya menyelamatkan suaminya.
“Engkau memang benar, dan aku merasa amat berbahagia berada di sampingmu sebab sikapmu yang gagah membangkitkan semangatku. Memang kita sudah tertipu. Mereka sama sekali bukan perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan membebaskan nusa bangsa dari penjajahan, tetapi sekelompok orang-orang jahat yang sedang bersekutu untuk memberontak, demi diri mereka sendiri. Siangkoan Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar bahwa usaha pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar supaya kelak puteranya dapat diangkat menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan Lohan merasa bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi kaisar. Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena kesadaran politik untuk membebaskan nusa dan bangsa dari belenggu penjajahan.”
Yo Jin bangkit berdiri dan mengepal tinju. “Dan engkau hendak mereka paksa menjadi kaki tangan mereka, membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tak boleh sama sekali!”
“Jangan khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi membantu mereka. Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam keselamatan kita.”
“Tidak mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik mati sebagai seorang terhormat dan bersih dari pada hidup sebagai kaki tangan orang-orang jahat!”
Bi-kwi semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata basah air mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang orang dan muncullah Siangkoan Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong dengan sikap garang sekali! Dan di belakang mereka, muncul pula Pouw Li Sian yang mukanya nampak pucat!
Bi-kwi cepat menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu kini telah tiba.
“Bi-kwi, engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!” bentak Siangkoan Liong dengan sikap, marah biar pun suaranya masih terdengar halus seperti biasa. “Hayo cepat engkau tarik kembali fitnah itu dan mengaku salah agar aku masih dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat dimaafkan atau tidak.”
Bi-kwi masih tetap tenang dan ia malah tersenyum manis. “Kenapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw itu terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau turut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanyalah untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!”
“Ihhh...!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.
Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa. “Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, di dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, cepatlah berlutut mengaku salah, dan nyawamu juga nyawa suamimu mungkin takkan kucabut.”
“Keparat kau!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan, bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”
Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.
“Wuuuttttt... klukkk!”
Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu pula Toat-beng Kiam-ong telah maju menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa mengelak cepat ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan.
Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan terus mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, tapi ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.
Siangkoan Liong yang masih marah, sekarang menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.
“Desss...!”
Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika oleh karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang bukan main lihai itu.
Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris saja membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Walau pun Si Raja Pedang ini masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bi-kwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekali. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
“Kau... kau... keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian telah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.
“Sian-moi, tenanglah, sabarlah...”
“Manusia iblis...!” Li Sian menyerang terus, dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.
“Sian-moi, ingatlah, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku... bahkan engkau... sudah menjadi isteriku...” Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya.
Akan tetapi sebaliknya dari pada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena telah terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!
“Kalian... kalian... iblis-iblis busuk...!” Li Sian menjerit dan pedangnya langsung diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.
Melihat hal ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan mempunyai kekuatan sakti yang menggiriskan. Apa lagi kini gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah.
Maka, Siangkoan Liong segera memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu hingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali. Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin, dan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai terdesak.
Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jeri dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali. Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau pun mengelak, tetapi mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh sehingga dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.
Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang sangat tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia bahkan sedang terdesak hebat karena ia tidak bersenjata, sedangkan lawannya itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apa lagi kini Sin-kiam Mo-li juga maju mengeroyoknya.
Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata yang sangat berbahaya. Namun Bi-kwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jeri menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa!
Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan dia lalu mengamuk seperti seekor naga betina. Walau pun dia tidak bersenjata lagi, akan tetapi serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawannya yang lebih kuat karena memegang senjata itu sama sekali belum juga mampu menundukkannya.
Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tak mungkin bisa dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah sekarang suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong. “Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini supaya kelak di kemudian hari tidak membikin repot!”
Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan meski pun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru, “Benar! Bunuh perempuan itu!”
Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Akan tetapi, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini.
Walau pun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan itu menggunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam).
Selain tendangan-tendangan bertubi Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru sesudah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan serta lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dan kulitnya terluka.
“Siangkoan Liong manusia busuk!” Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng.
Seperti telah kita ketahui, sesudah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, maka Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan. Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya.
Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia sudah diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasehat-nasehat. Keduanya kemudian bersahabat dan bersama-sama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang, karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu setelah cuaca mulai gelap, dan atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, keduanya pun berhasil menyelundup masuk sampai ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.
Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati. Namun, Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya, maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng.
Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya. Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka meski pun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa serta melakukan serangan secara nekat sekali!
Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi bisa mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.
Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, ia telah menyiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apa lagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.
Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, yang bakatnya tidak terlalu menonjol. Oleh karena itu, biar pun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan jika dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang saja.
Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga. Dia lantas memutar sepasang pedangnya dengan ganas.
Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang dahulu pernah membuat ia tergila-gila. Pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika dua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya.
Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak, “Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng!”
Dan wanita ini kemudian menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini. Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya. Gu Hong Beng maju bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa.
Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Walau pun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak.
Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biar pun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Akan tetapi, kenekatan dua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apa lagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walau pun dengan paksaan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!”
Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa bagai tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok. Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.
“Kakak Cu Kun Tek...!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”
Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!
Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua dari partai Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang sudah bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.
Andai pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor semacam Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama. Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong.
Dalam percakapan itulah Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang. Maka, dia pun segera berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.
Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan mereka bertiga tadi dengan Siangkoan Liong. Dua orang tua itu masih bercakap-cakap setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam, terus mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Saat bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.
Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.
“Ahhh, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya.
Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!
Cu Kun Tek ialah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjulukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apa lagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh.
Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.
“Hyaaaaattt...!”
Ia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan serta mengeluarkan suara mengaung bagaikan binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya.
Ia menarik kembali dua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya sekitar tiga kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu.
Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek. “Orang muda, apa hubunganmu dengan keluarga Cu yang tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman?!” bentaknya.
Kun Tek maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi ia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.
“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman...”
“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku, maka engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”
“Simpan saja bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!”
“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!”
Siangkoan Lohan telah menyerang dengan hun-cwenya. Nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang segera memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh.
Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan dua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya. Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya.
Untung bagi Kun Tek bahwa ia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jeri, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.
Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan mempunyai demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.
Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun oleh Tiat-liong-pang memang besar dan sangat kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, di sana berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sulit untuk menundukkan mereka, apa lagi kalau musuh-musuh yang lebih berat.
Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri terlihat jeri menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat bukan main itu. Dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.
“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini...!” katanya, seperti kepada diri sendiri.
Dia mengembangkan kipasnya, kemudian dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran. Gerakannya gesit dan ringan sekali. Mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut.
Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka. Tiba-tiba saja kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka pun sudah terkulai dan roboh dengan lemas!
Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng.
Pemuda perkasa ini terkejut sekali. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan yang berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepatnya, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li.
Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, kemudian sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.
“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek.
Melihat berkelebatnya bayangan kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan. Tapi Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang.
Dalam sedetik saja pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh.....
Ketika itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang. Maka mendadak ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong, dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot), mengarah ke tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaga dengan tujuan membalas kekalahan kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.
“Desss...!”
Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.
“Suamiku, tunggu... aku menyusulmu...,” katanya.
Dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi sudah mencengkeram ke arah kepalanya sendiri. Dia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!
Meski hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang Siangkoan Lohan terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.
“Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!” bentaknya kepada murid utamanya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.
Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama dengan para pembantunya yang berada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, sekarang sudah tiba waktunya untuk segera melakukan gerakan.
Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan untuk menghubungi para sekutunya, terutama Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas ke luar, dipanggil agar segera pulang.....
********************
Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu, disambung dengan rantai sehingga biar pun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun mereka tidak dapat bebas.
Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu, dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap Ci Hwa sama sekali tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak.
Dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri sering kali meronda untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan bagi mereka untuk lolos.
Ketika Ci Hwa sudah bisa menggerakkan tubuhnya lagi, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan. Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya ada sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar.
Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras! Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggota Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa hal yang sama diperlakukan oleh para anggota Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.
“Kasihan Beng-ko...” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan. Ahh, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekali pun, aku bersedia untuk menyelamatkannya.”
Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu bahwa ketiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu terlebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan di dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka bersebelahan.
Meski pun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar supaya gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga.
Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada lagi tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat. Kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia tertegun.
Tadi, ketika ia dan ketiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu, akan tetapi lupa lagi di mana.
Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka yang agak pucat. Pedangnya tergantung di punggung dan pandang matanya yang tajam itu membayangkan kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat.
Ciu Piauwsu! Ya, telah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia adalah seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya. Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhir-akhir ini, Ciu Piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya saat Ciu Piauwsu mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya!
Ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, lalu menyambut tantangan Ciu Piauwsu sehingga terjadi perkelahian, di mana Ciu Piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya, mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu Piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggota Tiat-liong-pang!
Mengingat hal ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu Piauwsu! Bagai mana pun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya.
Dia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati bisa Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekedar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan kedua orang tawanan lainnya, namun juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu dari Ban-goan yang kini berada di antara orang-orang Tiat-liong-pang!
Seseorang yang sudah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat berubah segala-galanya. Rasa kekhawatiran, sakit hati, putus asa, dan duka yang melanda hatinya semenjak dia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan keselamatan diri atau harga diri lagi.
Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan memandang keluar.
“Ciu Piauwsu...!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.
Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Sekarang, ketika dia melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebuah sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu!
Dia memandang tajam dan heran, lalu melangkah mendekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya, demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis ini.
Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tiada hubungan sesuatu dan amat jarang berjumpa.
Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja dia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua orang anak buah Tiat-liong-pang itu.
“Aihh, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah tidak ingat kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, dan oleh karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku...!” di dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan.
Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukanlah seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak pula. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan janji manis sekali.
“Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu...!” Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis itu. Matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.
“Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?”
Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih. Matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.
“Ahh, engkau she Kwee... dari Ban-goan Piauwkiok?”
“Benar, Ciu Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauwkiok!”
Ciu Hok Kwi mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati wajah cantik itu lebih jelas lagi. “Ahhh, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?”
Ci Hwa, gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi wanita yang amat cerdik dan pandai sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga air matanya mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan Ciu Hok Kwi itu.
“Aih, Ciu Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan padaku dan suka menolongku, mengingat bahwa kita sama-sama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang... dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan... aku akan berterima kasih sekali, aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu...“
Kembali Ciu Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada yang ditekan pada jeruji besi.
“Bagaimana aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebaskanmu, nona Kwee, karena para pemimpin sendiri yang menawanmu.”
“Tidak usah membebaskan aku, asal aku... jangan sampai terbunuh... katakan kepada mereka bahwa aku ini adalah calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar dari bahaya maut...“
Berdebar rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!
“Akan tetapi ceritakan lebih dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi Tiat-liong-pang?”
“Mana aku berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako, dan hal ini baru kepadamu saja kuceritakan,” Ci Hwa berbisik-bisik.
Ciu Hok Kwi semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi, sebutan yang lebih akrab.
“Aku meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang masih perawan...“ Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan untuk bercerita seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya.
Dan usahanya berhasil. Mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan menelanjanginya, meraba-raba tubuhnya sebab piauwsu muda itu lalu menggambarkan keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti untuk memancing reaksi dari pendengarnya.
“Lalu bagaimana...? Lanjutkan ceritamu...!” kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan mukanya yang biasanya pucat itu sekarang menjadi agak kemerahan, matanya tetap menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.
“Aku sudah putus asa, hendak menjerit namun mulutku dibungkam. Aku hanya dapat meronta-ronta sekuatku, akan tetapi sia-sia karena keempat orang itu memegangi kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka terbunuh semua dan mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku yang masih belum sempat berpakaian...”
Kembali ia berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki laki itu berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan melihat daging segar yang membangkitkan selera dan menambah rasa lapar.
“Kemudian... bagaimana...?” Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.
“Aku adalah seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang tampan, seperti... engkau ini, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami saling tertarik dan aku lalu menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan segalanya dengan suka rela. Segala yang tadinya hendak diminta secara paksa oleh kelima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang hati, apa lagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum pernah berdekatan dengan pria.”
“Lalu... lalu bagaimana...?”
Kembali Ci Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan. “Akan tetapi dia... dia mengingkari janji... aku lalu pergi, hendak membunuh diri... aku yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji...! Ketika sedang membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasehati aku kemudian dia hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan tetapi kami kalah dan tertawan...“
“Hemmm, salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut Siangkoan Kongcu?”
“Begini, Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan berhutang budi kepadamu...“ Kembali pandang mata Ci Hwa menantang.
Ciu Hok Kwi yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, sekarang tersenyum dan kembali mengelus dagunya, “Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?” Pertanyaannya ini disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.
“Ciu-toako, sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku pasti akan mau melakukan apa saja yang kau kehendaki dariku!” Jawabannya demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.
“Engkau mau kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?” tanya murid pertama Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi.
Mau tidak mau, wajah Ci Hwa menjadi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.
“Tentu saja aku mau, Ciu-toako. Apa lagi engkau nampaknya jauh lebih jujur dari pada Siangkoan Kongcu.”
“Tapi aku tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!”
Ci Hwa tersenyum semakin cerah. “Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur dari pada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak akan menuntut, Toako.”
Sepasang mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia bukan orang bodoh. Dia tak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya. Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!
“Kalau begitu, marilah ikut denganku,” katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu.
Melihat banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci pintu kamar-kamar tahanan! Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan dipandangi oleh Ciu Hok Kwi, bahkan dia pun dengan sikap malu-malu melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.
“Jaga di sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!” katanya kepada para anak buahnya yang lalu berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa, atau bahkan membunuh tahanan!
Setelah tiba di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya! Barulah dia percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi.
Orang she Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu! Ya, dia membenci Ciu Hok Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, sebab melihat piauwsu ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri kepadanya.
Akan tetapi biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk bisa hidup terus, setelah apa yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong. Ia harus mati untuk menebus aib, tetapi sebelum mati, ia harus dapat menyelamatkan Gu Hong Beng.
Pemuda itu telah menolongnya, bahkan sudah memberi penerangan batin kepadanya. Dan sekarang pemuda itu, karena hendak membelanya telah terjatuh ke tangan musuh! Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya mau pun batinnya. Ia telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula!
Setelah memperoleh bukti berulang kali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini telah dianggapnya sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan, juga adalah pembantu utama Siangkoan Lohan!
“Akan tetapi, Ciu-toako yang baik...,” Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap merayu, “bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bisa bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan...?”
Ciu Hok Kwi tertawa dan mencium gadis itu, “Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai, supaya lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur semua itu dengan kedok perusahaan Piauwkiok.”
“Tapi… bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya terbunuh di utara itu?”
“Ha-ha-ha, benar, memang benar. Itulah siasatku yang sangat cerdik. Tanpa disangka orang, aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar...”
“Ahh, jadi kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai sekali, Koko!” Ci Hwa balas mencium meski di dalam hatinya ia ingin muntah karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan orang ini. “Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu...”
“Ha-ha-ha, akulah orangnya!” kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa.
Sepasang mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar lilin itu cukup tampan, akan tetapi juga menyeramkan. “Dan orang berkedok yang membunuh Lay-wangwe...”
“Aku juga orangnya! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu...? Ah, kiranya engkaukah yang mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung saat itu hanya kutendang lututmu…!”
Ci Hwa terkejut dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa, kemudian merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji. “Wah, kiranya engkaukah orang itu? Aku sudah merasa amat kagum karena kelihaiannya! Dan engkau pernah pula menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya jika ternyata engkau selihai itu?”
Ciu Hok Kwi balas merangkul dan mencium. “Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura pura mengalah supaya tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau tentu telah mengenalnya.”
“Ya, Tan Sin Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya, maka aku ingin mencuci nama baik ayahku dengan membantunya menangkap pembunuh. Kiranya engkau orangnya dan sekarang engkau malah menjadi kekasihku, orang yang akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini.”
Kembali Ci Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat tengah malam, dia pun tidur pulas kelelahan.
Ci Hwa yang tadinya sudah pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya. Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan pernapasan laki-laki itu.
Sudah tidur nyenyak, dapat di ketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini! Akan tetapi, ia tidak berani melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu, pikirnya.
Rasanya tangannya telah gatal hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur ini. Apa lagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan lahir batin yang bagi seorang gadis tidak tertandingi oleh penderitaan yang bagaimana pun juga.
Akan tetapi, Ci Hwa dapat menekan perasaannya. Dengan hati-hati dia pun mengambil baju Ciu Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan. Jari jari tangannya gemetar pada saat ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar.
Dia lalu mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, kemudian turun perlahan-lahan dari atas pembaringan. Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas. Melihat sebatang pedang tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan.
Ci Hwa menyelinap di balik dinding yang gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian penjagaan. Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan bergiliran.
Kenyataan bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar tegang dan juga gembira. Jika hanya tiga orang, tentu saja tak berat baginya untuk membunuh mereka, apa lagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk. Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut.
Ci Hwa kemudian memungut batu kerikil yang dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh menggelinding di lantai ini cukup membuat salah seorang di antara tiga orang penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Dia mencabut goloknya dan bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak gelap, di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh.
Baru saja kakinya menginjak di sudut dinding, mendadak nampak sinar berkelebat dan penjaga itu tersentak kaget. Dua matanya terbelalak ketika sebatang pedang menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya diseret Ci Hwa ke tempat gelap.
Kembali Ci Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan mereka dan keduanya kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari. Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mata mereka sudah terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan.
Ci Hwa menanti mereka dengan hati tegang. Ia harus dapat sekaligus merobohkan dua orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, bersiap dengan pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban pertamanya. Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang itu.
Hanya terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus! Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan.
Hong Beng sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain, tidak dapat tidur. Melalui ketukan pada dinding, ia telah mengadakan hubungan dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khikang untuk dapat saling tangkap. Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan, mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk.
Dengan bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek telah berjanji masing-masing akan menghubungi Ci Hwa dan Li Sian. Cu Kun Tek bertugas menghubungi Li Sian yang berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa.
Akan tetapi, setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa sehingga dia merasa gelisah sekali. Apa lagi kalau dia teringat akan perjumpaan mereka pertama kali. Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi yang dapat menghalanginya!
Akan tetapi, satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apa lagi setelah mereka semua dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala terbentur pada dinding.
Akan tetapi kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk dinding, juga melalui jeruji besi itu dia pun ‘mengirim’ suaranya dengan kekuatan khikang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah, namun semua usahanya itu sia-sia belaka.
Tidak pernah ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tak mendengar ada suatu gerakan. Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana menjadi sunyi dan sejak itu, dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci Hwa.
Di lain pihak, Kun Tek yang mencoba untuk menghubungi Li Sian, ternyata memperoleh hasil baik. Ketukannya pada dinding dibalas oleh Li Sian, dan ketika Kun Tek mendekati pintu, ternyata gadis di kamar sebelah itu pun sudah mendekati ke pintu.
“Maaf, Nona, apakah aku mengganggu? Aku adalah Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman, dan datang ke sini untuk menentang Tiat-liong-pang yang bersekutu dengan kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Jika tidak berkeberatan, maukah Nona memperkenalkan diri kepadaku?”
Mendengar suara bisikan yang dikirim dengan khikang yang cukup kuat ini, Li Sian kagum. Tadi ia sudah melihat kemunculan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu, bahkan dia sudah mendengar pengakuan Kun Tek kepada Siangkoan Lohan. Ia pernah mendengar nama besar Lembah Naga Siluman dan ada rasa kagum terhadap pemuda itu.
“Namaku Pouw Li Sian,” dia pun berbisik dan mendorong bisikan itu dengan khikang sehingga dapat terdengar jelas oleh Kun Tek yang juga menjadi kagum. Dia tadi sudah melihat kehebatan Li Sian yang bertanding melawan Siangkoan Liong, dibantu Ci Hwa. “Aku seorang yatim piatu, mendiang guruku adalah Bu Beng Lokai. Aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan, tetapi karena mereka semua adalah penjahat-penjahat yang licik, curang dan kejam, aku menentang mereka.”
Kun Tek mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati terharu. Biar pun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun, dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan watak.
“Kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?”
“Belum, aku belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?”
“Aku belum mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu Hong Beng dan dia murid seorang anggota keluarga Pulau Es yang terkenal.”
“Ahhh...!”
Mendengar seruan Li Sian, Cu Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.
“Kenapakah, Nona?”
“Mendiang guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!”
“Ahhh...!” Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu. “Kalau begitu, tentu engkau mengenal Gu Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara dia dan engkau, Nona.”
“Aku belum pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan lihai bukan main.”
“Benar, Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apa bila kesempatan tiba. Meski pun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu.”
Mereka menghentikan percakapan, kemudian duduk bersila di tengah kamar tahanan masing-masing untuk menghimpun tenaga. Dalam hati Li Sian terasa agak lega setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu. Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat.
Diam-diam ia mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan. Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Yo Jin, suami wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walau pun pria itu tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya.
Ketika ia teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran sekali. Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang mati-matian, walau pun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekat dan agaknya sangat membenci Siangkoan Liong. Ada dendam apa antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga, dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun menjadi korban rayuan Siangkoan Liong.
Ingin rasanya ia menampar pipinya sendiri jika teringat betapa ia telah menyerahkan dirinya dengan suka rela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang telah jatuh cinta pada pemuda tampan itu, tak tahu bahwa pemuda itu selain menggunakan rayuan maut, juga menggunakan minuman yang merangsang, dan juga pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!
“Keparat! Aku harus membunuhmu!” Ia mengepal tinju, tetapi lalu mengusir gangguan pikiran ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan juga akan menggagalkan usahanya untuk menghimpun tenaga dalam.
Lewat tengah malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci, dengan hati-hati sekali.
“Adik Ci Hwa...! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu...?”
“Sssttttt...!” Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke dalam kamar itu.
Hong Beng melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan hati yang cemas dan amat girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk menyelamatkan Hong Beng.
Namun hanya sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbisik, “Cepat bebaskan teman-teman yang lainnya. Ini kunci-kunci kamar tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi masih ada kesempatan!” Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng, kemudian melompat keluar.
“Hwa-moi...!” Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan menghilang dalam kegelapan malam.
Hong Beng hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi. Akan tetapi dia segera melangkah keluar dari dalam kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu ia berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang sekali.
“Bagaimana engkau dapat keluar membebaskan kami?” bisik Kun Tek.
“Kita sudah ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Dialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan kunci-kunci ini,” jawab Hong Beng.
“Di manakah dia sekarang?” Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu.
Hong Beng juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir. “Entahlah, setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi.”
“Ah, berbahaya sekali jika begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba untuk meloloskan diri dari tempat ini!” kata Kun Tek.
Li Sian dan Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga kemudian berindap-indap keluar melalui lorong kecil itu.
Akan tetapi, pada saat itu para penjaga telah menemukan mayat ketiga orang kawan mereka. Begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah langsung mengepung dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di mana tiga orang muda itu mengamuk hanya dengan tangan kosong saja menghadapi belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam.
Sementara itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini dia memasuki kamar itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di tangannya. Oleh karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan mengeluarkan bunyi gaduh.
Suara ini menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk. Pada saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar, membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat!
Ciu Hok Kwi adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan. Ilmu kepandaiannya sudah tinggi, bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biar pun dia baru saja bangun tidur dan belum sempat mempersiapkan diri, lalu tiba-tiba diserang dengan bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia melemparkan tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa yang mengejarnya hanya bisa melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.
“Heh, apakah engkau mendadak menjadi gila?!” bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah menyerangnya lagi.
Dengan tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya, tetapi setidaknya kini tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan tenang.
“Ci Hwa, mengapa engkau melakukan semua ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan kau...”
“Tutup mulutmu yang bau busuk dan bersiaplah untuk mampus!” bentak Ci Hwa yang merasa menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini. Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh, maka kini ia dengan nekat menyerang terus.
Ciu Hok Kwi mulai marah, apa lagi pada waktu dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, lalu mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu.
Celaka, pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak buahnya.
“Perempuan jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!”
Ciu Hok Kwi menyerang dengan patahan bangku, yang disambut oleh Ci Hwa dengan serangan pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan, dan terjadilah perkelahian mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka dia mampu mengadakan perlawanan mati-matian, karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.
Sementara itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian, tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu. Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk mencari Ci Hwa.
Akan tetapi, sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu.....
Selanjutnya baca
KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-13