Suling Emas Jilid 02
Liu Lu Sian tertawa. Suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh dengan ejekan. “Kwee-koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu. Mari kita lanjutkan....”
Tiba-tiba Kwee Seng mendorong gadis itu, yang segera meloncat bermodal tenaga dorongan Kwee Seng. Pemuda itu sendiri juga sudah meloncat ke belakang dengan gerakan cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan menyambarlah lima batang senjata piauw (pisau terbang) dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak hanya berhenti di situ saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian.
Akan tetapi kini dua orang muda yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan waspada, dengan mudah mereka menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan dengan putaran pedangnya secara indah dan cepat, semua piauw jarum dan senjata rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Ada pun Kwee Seng sendiri hanya dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya saja. Ujung lengan bajunya mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata rahasia menyeleweng dan tidak mengenai dirinya.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda, dan ternyata dua ekor kuda mereka telah dilarikan orang.
”Keparat hina dina!” Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat dan dua orang yang menunggang kuda mereka terjungkal, tak bernyawa lagi!
“Ah, Moi-moi, kenapa begitu ganas?” Kwee Seng menegur penuh sesal sambil memegangi kendali kudanya yang terkejut dan akan memberontak.
“Penjahat rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri kuda, sudah sepatutnya dibunuh,” kata Lu Sian dengan suara dingin sambil menyarungkan kembali pedangnya.
Kwee Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka tidak menunjukkan orang-orang miskin, juga rapi tidak seperti maling-maling kuda biasa. Akan tetapi, bekas tusukan pedang Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah mati dan tak dapat ditanya lagi.
“Justeru karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap menyerang kita, perlu kita ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita, biar pun merupakan kuda pilihan, kiranya belum patut menggerakkan hati orang-orang kang-ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang semua ini, namun sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan. Dua mayat ini tentu akan diurus oleh teman-temannya. Melihat datangnya senjata-senjata rahasia tadi, kurasa mereka tidak kurang dari lima orang banyaknya. Kau hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang memusuhi kita takkan berhenti sampai di sini saja.”
Lu Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada ancaman musuh, lalu melompat ke atas punggung kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan kuda ke timur mengikuti sepanjang lembah sungai Wu-kiang.
Melihat Kwee Seng naik kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam saja tanpa mengeluarkan kata-kata dan sama sekali tak pernah menoleh kepadanya, Lu Sian bertanya, “Koko, apakah kau masih marah kepadaku?”
Tanpa menoleh Kwee Seng berkata lirih, “Kenapa marah? Tidak!”
Diam pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan congklang. Dari jauh tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei-siang yang terletak di tepi sungai.
“Kwee-koko....”
“Hemm, ada apakah...?”
“Kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk saja. Apa kau tidak sudi memandang mukaku lagi?”
Mau tidak mau Kwee Seng menoleh. Wajahnya seketika menjadi merah ketika ia melihat wajah gadis itu berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang bersinar tajam menembusi jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh pengertian, yang menjenguk isi hatinya sehingga Kwee Seng merasa seperti ditelanjangi, seperti telah terungkapkan semua rahasia perasaan dan hatinya.
“Sian-moi, (adik Sian), kau mau bicara apakah?” Kwee Seng mengeraskan hatinya, menekan perasaan.
“Kwee-koko, kau telah jatuh hati kepadaku, bukan? Kau mencintaiku sepenuh hatimu!”
Sejenak Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini benar-benar berwatak siluman! Pertanyaan macam ini benar-benar tak mungkin diajukan oleh gadis mana pun juga. Ia tahu bahwa pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan ia maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak mempermainkannya seperti seekor tikus. Ia merasa betapa jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee Seng adalah pemuda gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan mukanya berubah merah kembali.
“Tak perlu aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau terlalu cantik jelita, pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi sembrani yang tak dapat kulawan. Kini aku balas bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?”
Lu Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak-gerakkan kepalanya, matanya bersinar-sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. “Aku? Mencintaimu? Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku takkan begitu tergesa-gesa seperti engkau mengambil keputusan tentang cinta. Belum cukup lama aku mengenalmu. Kau terlalu lemah lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih dulu. Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku, mengapa kau menolak dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?”
“Aku memang cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang kawin... ah, terlalu banyak aku melihat kekejian-kekejian di Beng-kauw, terlalu banyak aku melihat keganjilan-keganjilan yang mengerikan. Dan kau sendiri... ah, kurasa takkan mungkin kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!”
Kembali Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee Seng makin heran. Benar-benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja berterus terang untuk membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi kiranya gadis itu malah mentertawakannya!
“Hi-hik, kau lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau belum buktikan dengan berlutut menyembah-nyembah kakiku!” Setelah berkata demikian, gadis itu berseru keras dan menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu terkejut dan membalap ke depan.
Kwee Seng terheran-heran, lebih heran dari pada terhina oleh ucapan aneh itu. Akan tetapi ia merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri percakapan yang menyakiti hatinya, maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar, memasuki kota Kwei-siang.
Hari telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei-siang. Mereka mencari sebuah rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di bagian depan. Seorang pelayan penginapan tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda dan memberi dua buah kamar yang mereka minta. Setelah ke dua orang muda ini membersihkan diri dari debu dan keringat, berganti pakaian bersih, mereka lalu mengambil tempat duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang masih belum lenyap rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang paling baik.
“Wah, kau mau mabok-mabokan lagi Koko? Benar-benar menjengkelkan! Aku malam ini ingin sekali bercakap-cakap denganmu sampai semalam suntuk!”
Sambil menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa senyum, karena kadang-kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus dan menghibur hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan yang menusuk dari gadis itu pula.
“Biar pun minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku semenjak aku berjumpa denganmu, Moi-moi, akan tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap sambil minum kan dapat juga.”
“Ihhh, siapa bilang? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih mencurahkan perhatianmu pada arak, dan... eh, Koko, lihat mereka itu....”
Tiba-tiba Lu Sian menghentikan kata-katanya ketika melihat beberapa orang laki-laki muncul seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali. Yang pertama masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya licin tidak berjenggot, pakaiannya kumal, di punggungnya terselip sebatang golok telanjang, usianya kurang lebih empat puluh tahun. Orang ini berjalan dengan gerakan kaki ringan seperti seekor kucing, dan ketika memasuki pintu, matanya mengerling ke arah tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian.
Karena Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang berhadapan dengannya lebih dulu melihat dan tertarik. Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang laki-laki lain di belakang Si Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan dengan rambut digelung ke atas, kemudian seorang pemuda tampan yang pakaiannya seperti pelajar akan tetapi di pinggangnya tergantung pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio (pendeta Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang berat. Enam orang ini terang bukanlah orang-orang sembarangan karena gerak-gerik mereka ringan dan gesit.
“Koko, kau lihat mereka…” bisik pula Lu Sian.
“Moi-moi, mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu dihiraukan,” kata Kwee Seng yang sikapnya tetap tenang seakan-akan tidak ada apa-apa.
Kemudian pemuda ini minum araknya dari cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tahu-tahu sudah mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja. Liu Lu Sian tersenyum dan kembali memperhatikan makanan yang tersedia di atas meja tanpa menghiraukan orang-orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia peringatkan, Kwee Seng juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia kagum akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala macam ancaman, lebih baik bersikap tenang sehingga dapat menentukan sikap dengan tepat.
Betapa pun juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat dengan kerling sudut matanya ke arah orang-orang itu. Ternyata mereka sekarang memperlihatkan sikap yang cukup jelas. Orang pertama sudah mencabut golok, Si Hwesio mengangkat tongkatnya sedangkan yang lain juga sudah bersiap seperti orang hendak bertempur. Jelas bahwa enam orang itu hendak mencari perkara karena pandang mata mereka semua kini terarah kepadanya! Dengan gerakan penuh ancaman enam orang itu kini makin mendekat dan akhirnya mereka mengurung meja yang dihadapi Kwee Seng dan Lu Sian.
Namun Kwee Seng tetap tenang sambil minum araknya, melirik pun tidak ke arah mereka. Lu Sian juga bersikap tenang, namun hatinya berdebar. Tidak biasanya ia bersikap seperti yang diambil Kwee Seng ini. Biasanya, begitu ada orang memusuhinya, ia segera menurunkan tangan besi. Baginya, lebih cepat merobohkan lawan, lebih baik.
Para pengurus rumah makan sudah lari ketakutan menyaksikan enam orang itu mengeluarkan senjata. Beberapa orang tamu yang tadinya sedang menikmati hidangan juga cepat-cepat membayar harga makanan dan segera pergi. Semua orang sudah melihat gelagat tidak baik, hanya Kwee Seng yang seakan-akan tidak tahu akan semua kesibukan itu dan masih enak-enak minum.
“Siluman betina! Kau harus mengganti nyawa puteraku!” tiba-tiba Si Pemegang Golok yang berwajah muram itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Sian.
Gadis ini mendongkol bukan main, akan tetapi ia tetap duduk dan tersenyum mengejek, kemudian dengan mata berseri-seri memandang kepada pemuda tampan yang membawa pedang. Pandang mata Lu Sian yang tajam, sekali lihat sudah tahu bahwa pemuda tampan itu sejak tadi memandang kepadanya penuh rasa kagum, dan hal inilah yang membuat matanya berseri dan senyumnya mengejek. Sengaja ia mengedip-ngedipkan mata kirinya lebih dulu kepada pemuda tampan itu sebelum menjawab.
“Siapakah puteramu dan siapa engkau? Mengapa pula aku harus mengganti nyawa puteramu?”
“Setan betina! Masih kau hendak berpura-pura tidak tahu sedangkan tadi dengan kejam kau membunuh pula dua orang pembantuku?”
“Aihhh... aihhh... jadi kalian ini golongan pencuri-pencuri kuda? Sungguh sayang...,” gadis ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang kepada pemuda tampan yang tiba-tiba menjadi merah mukanya karena Lu Sian seakan-akan menunjukkan kata-kata ‘sayang’ itu kepadanya.
“Siluman sombong! Puteraku dengan baik-baik memasuki sayembara karena dia begitu bodoh tergila-gila pada kecantikanmu. Andai kata di dalam pertandingan itu dia kalah, apakah salahnya? Kenapa dia masih harus dibunuh secara penasaran? Apakah tiap laki-laki yang gagal mengalahkanmu harus mati seperti anakku Lauw Kong itu?”
Teringatlah kini Lu Sian akan tiga orang pemuda yang mengeroyoknya di atas panggung. Memang seorang di antara mereka bernama Lauw Kong, yang bermuka hitam dan mengaku datang dari kota Kwi-san yang letaknya tidak jauh dari kota Kwei-siang ini.
“Ah, Si Muka Hitam itukah puteramu? Memang aku sudah mengalahkannya, akan tetapi aku tidak membunuhnya!”
“Kau... setan betina! Siluman cantik! Banyak pemuda terbunuh karena engkau tapi kau masih pura-pura, dasar... perempuan... ren....”
“Cukup, ayah. Dengan maki-makian urusan takkan beres!” pemuda tampan yang membawa pedang itu mencela dan maju ke depan menghadapi Lu Sian. Wajahnya yang tampan itu kurang menarik ketika ia bicara, dan setelah mendekat Lu Sian melihat bahwa mata pemuda itu agak kuning.
“Nona, kami tahu bahwa kau adalah nona Liu Lu Sian puteri Ketua Beng-kauw. Aku adalah Lauw Sun, dan kakakku Lauw Kong telah mencoba memenangkan sayembara beberapa pekan yang lalu. Memang dia kalah oleh nona, dan bukan nona pula yang membunuhnya. Akan tetapi ternyata ia terbunuh dengan pukulan beracun dan hal ini tentu saja sepengetahuan nona. Karena itu, ayah dan kami minta pertanggung- jawabanmu!”
Muak rasa perut Lu Sian, dan ia mendongkol sekali melihat Kwee Seng masih enak-enak minum arak saja, seolah-olah tidak perduli dirinya dimaki-maki orang. Hemm, pikirnya, apakah tanpa kau aku tidak mampu membereskan buaya-buaya ini?
Tiba-tiba kakinya menghentak lantai dan tubuhnya sudah melayang ke belakang, kedua kakinya hinggap di atas sebuah meja yang masih penuh sisa hidangan dan arak bekas para tamu tadi, yang tidak sempat dibersihkan oleh para pelayan yang sudah lari ketakutan. Dengan gerakan indah ringan Lu Sian meloncat ke belakang dan kedua kakinya sama sekali tidak menyentuh mangkok cawan, kini ia berdiri di atas kedua ujung kakinya, pedangnya sudah berada di tangan kanan melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia berkata.
“Orang She Lauw, menghadapi orang-orang kasar macam kalian ini aku tidak sudi banyak bicara. Kalau kalian hendak mengeroyokku, inilah aku Liu Lu Sian! Kalau aku tidak berhasil membikin mampus kalian berenam tanpa turun dari meja ini, jangan sebut lagi aku puteri Ketua Beng-kauw!”
Ucapan ini benar-benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan. Akan tetapi diam-diam Kwee Seng maklum bahwa ucapan itu sama sekali bukan kesombongan kosong. Ia tahu, kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk membuktikan ancamannya. Ia dapat menduga mereka bahwa mereka itu adalah jago-jago dari kota Kwi-san. Bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas atas kematian puteranya telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu, agaknya tokoh-tokoh dalam kuil di kota itu.
“Bagus! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!” seru si Pemegang Golok dan dengan gerakan cepat ia bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja di mana Lu Sian berdiri.
Gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek. Tiba-tiba sekali gadis itu menggerakkan kakinya tanpa terlihat hingga cawan arak, mangkok dan piring beterbangan ke arah enam orang dibarengi bentakan Lu Sian. “Nih, makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!”
Hebat sekali serangan Lu Sian ini. Gadis itu dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat hanya menggunakan ujung kakinya menyentil barang-barang di atas meja, dan beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke arah enam orang lawannya. Demikian cepatnya sambaran benda-benda ini sehinngga enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan daging! Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah!
Sebetulnya melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka sudah akan maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata masing-masing, mengepung meja itu dan menyerang dari semua jurusan.
Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan pedangnya kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat. Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk membuktikan ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.
Mendadak saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kaget dan senjata mereka semua runtuh ke atas lantai. Tanpa mereka ketahui sebabnya, tahu-tahu tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing. Tercium oleh mereka bau arak dan tepat pada jalan darah di siku lengan mereka basah. Dengan kaget dan heran mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk minum arak.
“Menyerang orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki-laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah membayang di depan mata? Lekas pungut senjata dan pergi, barulah perbuatan orang yang berakal sehat!”
Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar. Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata mereka!
Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-temannya, lalu ia menjura ke arah Kwee Seng. “Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuka mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?”
Kwee Seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak seorang mabok.
Angin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri
Suara suling mengusir harimau dan menentramkan hati
Nama, harta, kepandaian tiada artinya
Yang penting adalah pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!
Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian itu.
Lu Sian tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring. "Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya? Dia bersama Kwee Seng, para lo-cianpwe mengenalnya sebagai Kim-mo-eng. Hanya dia seoranglah yang mampu menandingi aku. Biar pun begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku! Apalagi orang-orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih! Bukankah itu lucu sekali?”
Enam orang itu kelihatan kaget. Tanpa bicara apa-apa lagi mereka lalu meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali, memandang takut-takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Setelah Kwee Seng menyatakan kesanggupannya membayar harga barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.
Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia menatap wajah Kwee Seng dengan sikap menggoda. Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat cara ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat terganggu.
Memang demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam jantungnya. Gadis itu di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu menandinginya, namun betapa pun juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi jodohnya! Ia merasa makin tak senang, muak dan benci menyaksikan sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh enam orang lawannya kalau saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin cinta! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya tarik gadis itu menguasai hatinya.
“Kwee-koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut tentang kipas dan suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling? Dan pandaikah kau meniup suling dan mempergunakannya sebagai senjata?”
“Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-kipas mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan suara suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat).”
Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu. “Apa? Kau betul-betul bertemu dengan Ok-hengcia (pendeta jahat) itu? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka menghentikan pertandingan. Dan kau... kau bertemu dengannya? Bertanding? Dan sulingmu hancur olehnya? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah olehnya?”
Kwee Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak. “Dia memang hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw.” Pemuda itu lalu menceritakan pengalamannya seperti berikut.
********************
Beberapa bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu, tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw. Telaga Barat ini amatlah terkenal semenjak dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan karena segar nyaman hawanya.
Air berkeriput biru sehalus beludru
tilam pembaringan berkasur bulu
Bunga teratai aneka warna
penghias indah dicumbu rayu
Ikan-ikan emas berwarna cerah
Berperahu di telaga barat
mandi sinar bulan minum arak
sesudah itu mati pun tak penasaran!
Nyanyian ini banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu mereka untuk para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin cukup merasa puas dengan berjalan-jalan di sekitar telaga, yang tergolong cukup beruang merasa puas dengan menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi bagi para pelancong kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang sudah pasti mereka itu akan menyewa perahu besar yang mempunyai bilik yang terlindung dan tertutup, memesan hidangan arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil pula pelacur-pelacur untuk melayani mereka makan minum sambil mendengarkan beberapa orang perempuan penyanyi menabuh yang-khim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan setiap malam di waktu musim tiada hujan, sehingga keadaan Telaga Barat amat meriah.
Ketika Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw, keadaan di situ sedang meriah sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu musim panas mengamuk, banyak orang-orang kaya dan pembesar-pembesar merasa tidak betah tinggal di kota dan banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau pekan lamanya ke Telaga See-ouw, di mana mereka dapat menghibur tubuh dan pikiran, dan baru ingat pulang kalau uang sudah habis dihamburkan!
Begitu melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar yang cukup rapi datang seorang diri, segera para tukang perahu merubungnya, menawarkan perahu mereka.
"Mari, Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong!”
“Saya pesankan arak Hang-ciu yang paling baik!”
“Kongcu perlu hidangan yang paling lezat? Restoran Can-lok....“
“Atau rombongan penyanyi? Anak buah Bibi Cong... cantik-cantik, muda dan bersuara emas....”
“Atau Kongcu suka... ehmm... ditemani bidadari jelita? Tinggal pilih menurut selera Kongcu...”
Demikianlah, ribut mereka menawarkan perahu sampai pelacur. Kwee Seng tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan menyuruh mereka agar jangan bicara sambung-menyambung membikin bising.
“Dengar baik-baik, jangan ribut sendiri!” katanya tertawa. “Aku hanya membutuhkan sebuah perahu kecil yang dapat dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu kecil yang bersih dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh sediakan arak dan dua cawannya, beberapa macam masakan yang panas-panas dan kemudian boleh panggil seorang pelacur yang pandai bicara, pandai main yang-khim dan meniup suling, pandai bernyanyi dan pandai bermain catur.”
“Wah, mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai perahu kecil terbuka, Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya yang bersih dan enak, tidak terganggu dari luar....”
Kembali Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah. Pemuda ini tidak pantang bersenang-senang dengan wanita, akan tetapi hanya sampai pada batas mengobrol dan bercakap-cakap gembira, bersenda-gurau dan main catur atau mendengarkan si cantik bernyanyi atau menabuh yang-khim dan meniup suling saja.
“Aku ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung, ada tidak?”
“Ada! Ada! Jangan khawatir, Kongcu. Perahu saya kecil bersih, dicat biru dan tanggung tidak bocor. Lima belas cin saja untuk semalam suntuk!”
“Dan perempuan yang kukehendaki itu ada tidak? Pandai bicara, pandai main musik, bernyanyi dan pandai main catur, tidak menolak minum arak!”
“Wah, wah... yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang-siauw-hwa (Bunga Kecil Merah) seorang... seorang bidadari yang tercantik dan termahal di sini!”
“Bagus! Kau panggil Ang-siauw-hwa untukku,” kata Kwee Seng, senang hatinya.
“Ah, tidak mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim-bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga pandai segala biar pun tidak secantik Ang-siauw-hwa....”
“Atau si Kim-lian (Teratai Emas) yang pandai meniup suling dan cantik jelita, akan tetapi tidak pandai main catur dan tidak suka minum arak....”
Hati Kwee Seng sudah kecewa. “Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa tidak mungkin memanggil dia? Berapa harganya? Aku sanggup bayar!”
Orang-orang itu menggeleng kepala. Seorang yang setengah tua berkata, suaranya perlahan seperti takut terdengar orang lain, “Kongcu, kau tidak tahu. Ang-siauw-hwa amat terkenal di sini. Setiap ada pembesar pesiar, tentu dia dipesan. Aneh memang, biar pun Ang-siauw-hwa merupakan kembangnya semua wanita disini, namun dia bukanlah pelacur sembarangan. Dia hanya mau melayani bicara dan bernyanyi, main catur atau minum arak, bahkan mengarang syair, akan tetapi belum pernah terdengar Ang-siauw-hwa mau diajak yang bukan-bukan....”
“Bagus, dialah pilihanku! Panggil dia!” Kwee Seng tertarik sekali.
Akan tetapi orang-orang itu menggeleng kepala. “Sekarang dia berada di perahu Lim-wangwe (Hartawan Lim) yang perahunya kelihatan di sana itu.” Ia menuding ke arah tengah telaga di mana tampak sebuah perahu. “Lim-wangwe sendiri yang mengadakan pesta bersama lima orang pendekar yang menjadi tamunya. Sejak pagi tadi Ang-siauw-hwa berada di sana, mungkin sampai semalam suntuk mereka berpesta. Nah, dengar, itu suara suling tiupan Ang-siauw-hwa.”
Kebetulan angin bersilir dari arah telaga dan tertangkaplah oleh telinga Kwee Seng tiupan suling yang merdu dan halus.
“Lebih baik jangan panggil dia, Kongcu. Yang lain masih banyak, boleh Kongcu pilih sendiri. Ang-siauw-hwa hanya mendatangkan ribut belaka.”
“Eh, kenapa?” Kwee Seng terheran.
Beberapa orang memberi isyarat, akan tetapi pembicara itu agaknya sudah terlanjur dan berkata, “Pagi tadi timbul keributan karena dia. Lo Houw (Macan Tua), seorang tukang pukul yang terkenal di daerah ini memaksa hendak mengajak Ang-siauw-hwa biar pun perempuan itu sudah lebih dulu dipanggil Lim-wangwe. Lo Houw tidak mau peduli dan hendak merampas Ang-siauw-hwa, bahkan mengeluarkan kata-kata memaki Lim-wangwe. Kemudian ia mendatangi Lim-wangwe dengan perahunya dan kami semua sudah merasa kuatir. Kami mengenal kekejaman dan kelihaian Lo Houw, dan kami sayang kepada Lim-wangwe yang berbudi halus dan suka menolong kami yang miskin. Akan tetapi, apa yang terjadi? Lo Houw menyerang ke sana dengan perahu, akan tetapi ia kembali ke pantai dengan basah kuyup!”
Orang itu tertawa dan yang lain juga tertawa, biar pun ketawanya sambil menoleh ke kanan kiri, kelihatan takut kalau-kalau mereka terlihat orang.
“Eh, apa yang tejadi?” Kwee Seng makin tertarik.
“Kabarnya menurut tukang perahu yang kebetulan berada di dekat sana, Lo Houw meloncat ke perahu besar dan memaki-maki. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang di antara tamu Lim-wangwe dan dalam beberapa gebrakan saja Lo Houw yang terkenal itu terlempar ke dalam air!”
“Ha-ha, dia harus berenang ke tepi!” kata seorang lain.
Kwee Seng tersenyum. Hal semacam itu tidaklah aneh baginya yang sudah biasa bertemu dengan peristiwa pertempuran yang lebih hebat lagi. “Biarlah, kalau ia sedang melayani hartawan itu, aku pun tidak jadi mengajaknya menemaniku. Beri saja sebuah perahu kecil yang baik, sediakan satu guci arak dan cawannya bersama sedikit daging panggang, tiga macam sayur dan sedikit nasi. Nih uangnya, lebihnya boleh kau miliki.” Kwee Seng mengeluarkan dua potong uang perak yang diterima dengan tubuh membongkok-bongkok oleh tukang perahu setengah tua itu yang merasa kejatuhan rejeki.
“He, tukang perahu jembel! Lekas sediakan perahu terbaik, lima guci arak wangi, lima kati daging, lima macam sayur, mi lima kati dan nona-nona manis lima orang yang cantik-cantik dan muda-muda! Eh, kembang pelacur yang kalian obrolkan tadi, siapa namanya?”
Kwee Seng membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara yang besar dan nyaring ini. Ketika melihat orangnya, ia tertegun. Bukan hanya Kwee Seng yang terperanjat, juga semua tukang perahu memandang dengan mata terbelalak tanpa seorang pun yang menjawab.
Pembicara ini adalah seorang laki-laki tinggi besar, sekepala lebih tinggi dari pada orang umum yang berukuran tinggi. Melihat pakaiannya yang sederhana dan longgar, apalagi melihat kepalanya yang gundul, orang tentu mengatakan bahwa ia seorang hwesio (pendeta Buddha). Akan tetapi yang meragukan, kalau benar ia seorang pendeta, mengapa ia memesan daging, arak, bahkan pelacur? Anehnya pula, dia itu seorang diri, mengapa memesan demikian banyaknya makanan dan minuman yang serba lima takar? Mengapa juga memesan lima orang perempuan lacur? Pertanyaan-pertanyaan inilah agaknya yang membanjiri pikiran para tukang perahu sehingga sampai lama mereka terheran-heran tak mampu menjawab.
“Heh! Jembel-jembel busuk, mengapa kalian diam saja? Apakah kalian tuli dan gagu?” Laki-laki tinggi besar gundul yang usianya tentu lima puluh tahun itu membentak.
Seorang tukang perahu yang agak tabah hatinya menjura sambil tertawa-tawa. “Maaf... eh, Lo-suhu... tapi... tapi yang Lo-suhu pesan begitu banyak....”
Hwesio itu menyeringai dan melirik ke arah Kwee Seng yang berdiri dengan tenang sambil menaksir-naksir dan mengasah otak untuk mengenal siapa gerangan hwesio aneh ini.
“Heh-heh, seorang pelajar melarat saja mampu menyewa perahu dan membayar arak, apakah kau kira aku seorang perantau lain tidak mempunyai uang?”
Ia menggulung kedua lengan bajunya yang lebar sehingga tampaklah lengannya kekar kuat penuh bulu. Ia merogoh ke balik jubahnya dan keluarlah sebuah pundi-pundi berisi penuh uang. Dibukanya tali pundi-pundi itu dan... hwesio itu memperlihatkan potongan-potongan uang emas dan perak! Para tukang perahu memandang melotot dan menelan ludah. Belum pernah selama hidup mereka tampak sekian banyaknya uang.
“Ah... maaf, maaf, Lo-suhu. Bukan sekali-kali saya meragukan Lo-suhu takkan dapat membayar. Hanya, Lo-suhu seorang diri, pesanannya begitu banyak, apalagi pakai lima orang bidadari....”
“Heh... heh, goblok! Apa salahnya? Malah kembangnya pelacur itu harus pula melayani aku, berapa pun biayanya akan kubayar.”
“Tapi, Lo-suhu, Ang-siauw-hwa telah disewa Lim-wangwe di perahu mewah yang berada di sana...” tukang perahu itu menunjuk.
Hwesio tinggi besar itu memandang dan mulutnya yang berbibir tebal mengejek. “Biarlah nanti kujemput sendiri dia. Sekarang sediakan pesananku semua. Cepat dan nih uangnya, lebihnya boleh kalian bagi-bagi!” Hwesio itu mengeluarkan belasan potong uang perak dan melemparnya kepada tukang perahu seperti orang melempar sampah saja.
Gegerlah para tukang perahu. Benar-benar hari itu mereka kejatuhan rejeki besar. Seperti berlumba mereka lari kesana-kemari untuk memenuhi pesanan hwesio aneh.
Akan tetapi Kwee Seng sudah merasa muak perutnya. Begitu pesanannya tiba, ia segera naik ke perahu kecil yang sudah terisi makanan dan minuman pesanannya, kemudian ia mendayungnya ke tengah telaga tanpa mempedulikan lagi hwesio tadi. “Hemmm... Menjemukan sekali,” pikirnya. “Kalau para pembesar negeri suka mencuri uang negara dan makan sogokan seperti anjing-anjing kelaparan, kalau para pendetanya melanggar pantangan, minum arak, makan daging dan main perempuan, akan bagaimanakah jadinya bangsa dan negara?” berpikir sampai disini hati Kwee Seng merasa kecewa sekali.
Akan tetapi pemandangan telaga itu benar-benar indah sehingga kekecewaannya terobati. Hari menjelang senja dan matahari di ujung barat tampak tenggelam ke dalam air telaga, kemerah-merahan dan indah sekali. Kwee Seng mulai makan daging dan sayur, dan minum araknya sedikit demi sedikit. Ia memang tidak begitu suka minum arak.
Makin gelap cuaca, tanda malam telah tiba. Telaga See-ouw terlihat makin indah. Bulan muncul dengan cahayanya yang gilang gemilang, langit bersih tak tampak sedikit pun awan. Permukaan air telaga bermandikan cahaya bulan, berkilauan seakan-akan terbakar menjadi emas. Angin bersilir membuat air emas itu berombak sedikit dan bunga-bunga teratai yang berkelompok di sana-sini mulailah menari-nari menggoyang-goyangkan pinggang ke kanan kiri. Perahu-perahu yang berkeliaran di permukaan telaga mulai memasang lampu yang dihias dengan beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning, menambah indahnya pemandangan di telaga itu.
Tiba-tiba telinga Kwee Seng tertarik oleh lengking suara suling yang sayup sampai, suaranya mengalun tinggi rendah sesuai dengan gerak air. Kwee Seng tertarik dan mendayung perahunya ke arah suara. Ternyata suara suling itu keluar dari sebuah perahu besar dan mewah, dan kini Kwee Seng dapat mendengar suara suling dengan jelas sekali.
Akan tetapi ia segera menjadi kecewa. Suara itu tadi indah kedengarannya karena dipermainkan oleh angin. Setelah mendengar dari dekat, ia mendapat kenyataan bahwa biar pun peniupnya menguasai lagu dan irama, namun tiupannya kurang tenaga dan amat lemah, tidak membawakan perasaan hati peniupnya. Akan tetapi di samping kekecewaannya, timbul dugaan yang mendebarkan jantungnya.
Perahu besar dan mewah inilah agaknya perahu Lim-wangwe yang sedang menyambut lima orang tamunya dan mungkin sekali suling itu ditiup oleh Ang-siauw-hwa seperti yang diceritakan oleh para tukang perahu tadi! Hemm, kalau benar wanita itu yang meniupnya, lumayan juga! Setidaknya, kalau seorang pelacur saja dapat meniup suling seperti itu, benar-benar dia seorang pelacur yang luar biasa. Ketika suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan tertawa-tawa memuji dari dalam perahu, tanda bahwa orang-orang yang berada di dalam perahu itu gembira dan kagum.
Tak lama kemudian, kembali suling itu berbunyi, kini mainkan lagu yang menjadi kegemaran Kwee Seng, yaitu ‘Bulan Mengembara Cari Kekasih’. Kalau tadi Kwee Seng hanya kecewa mendengar tiupan suling yang dianggapnya kurang baik, kini telinganya terasa sakit mendengar betapa lagu kesayangannya ‘dirusak’ orang. Karena tidak dapat menahan lagi, pemuda yang sudah terpengaruh oleh hawa arak itu mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya, dan tak lama kemudian melengkinglah suara sulingnya melayang-layang di permukaan telaga, mendesak suara suling pertama yang keluar dari perahu besar. Karena suara suling Kwee Seng luar biasa sekali kuatnya, maka suara pertama tenggelam dan tak terdengar lagi.
“Sahabat, alangkah indah bunyi sulingmu!”
Kwee Seng yang baru saja menghabiskan bait terakhir cepat memandang. Seorang wanita dengan pakaian serba indah berwarna merah muda berdiri di pinggiran perahu dan kelihatan seperti seorang dewi telaga. “Ah, kalau saja aku bersayap, aku akan terbang membebaskan diri dari sini untuk belajar meniup suling darimu sahabat....”
Kwee Seng tercengang. Inikah pelacur yang berjuluk Ang-siauw-hwa? Pantas saja terkenal menjadi kembangnya sekalian pelacur di daerah Telaga Barat ini, pikirnya sambil memandang kagum. Tentang kecantikannya, tak dapat ia menilai teliti karena keadaan yang remang-remang itu tidak cukup menerangi wajah si gadis. Akan tetapi, selain pandai meniup suling juga kata-katanya begitu halus dan teratur, dari ucapannya itu saja mudah diduga bahwa nona ini tentu pandai bersyair.
Dengan hati tertarik Kwee Seng mendayung maju perahu kecilnya untuk mendekati perahu besar dan agar ia dapat memandang lebih jelas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara memanggil dari bilik perahu besar. Nona berpakaian serba merah muda itu membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam perahu besar.
Kwee Seng sadar dari pada kebodohannya. Perempuan itu sudah disewa hartawan pemilk perahu besar, mau apa ia mendekat? Ah, mengapa ia begitu tertarik kepada seorang wanita pelacur? Kwee Seng sadar akan kebodohannya sendiri dan menggerakkan dayung untuk menjauhi perahu besar.
Akan tetapi pada saat itu ia melihat sebuah perahu meluncur cepat ke arah perahu besar dan di dalam perahu ini terdapat seorang hwesio tinggi besar bersama lima orang wanita pelacur yang sedang minum-minum dan tertawa cekikikan seperti segerombolan kuntilanak. Kwee Seng cepat mendayung perahunya menyelinap dan bersembunyi di belakang perahu besar untuk mengintai karena ia merasa curiga menyaksikan gerak-gerik hwesio tinggi besar yang aneh itu.
Dari balik perahu besar itu Kwee Seng melihat jelas betapa hwesio tinggi besar itu sekali menggerakkan kaki telah melayang naik ke atas papan dek tanpa menimbulkan guncangan sedikit pun juga. Kwee Seng kaget dan kagum. Hwesio ini benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Ketika ia memandang ke perahu hwesio tadi, ia merasa muak. Lima orang wanita pelacur yang memakai bedak tebal itu dalam keadaan setengah telanjang dan awut-awutan rambutnya, tertawa cekikikan dan bersenda gurau, agaknya sudah mabok semua! Perahunya yang tidak di kuasai oleh hwesio telah oleng ke kanan kiri tanpa diketahui lima orang pelacur mabok. Karena merasa muak, Kwee Seng tidak mempedulikan mereka dan ia kembali memandang ke arah hwesio yang berdiri kokoh seperti batu karang di atas papan dek perahu besar.
“Heh, hartawan she Lim!” Hwesio itu berseru dan suaranya yang parau keras itu menembus desir angin. “Lekas serahkan Ang-siauw-hwa kepadaku, kutukar dengan lima orang yang berada di perahuku!”
Tiba-tiba dari pintu bilik perahu besar itu meloncat seorang laki-laki tinggi kurus yang mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya terhias sebatang golok. Gerakan laki-laki ini ringan dan cepat, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan hwesio itu dengan mata berkilat. “Eh, eh, hwesio jahat dari mana berani mengganggu kesenangan kami? Apakah kau sahabat dari si jahanam Lo Houw yang kulempar ke dalam air?”
Hwesio itu memandang sejenak lalu tertawa. “Heh-heh-heh, aku tidak tahu itu Lo Houw, dan tidak kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk mengambil Ang-siauw-hwa, kutukar dengan lima pelacur itu. Wanita macam Ang-siauw-hwa yang disebut-sebut kembang pelacur di telaga ini patut mengawaniku bersenang-senang. Lekas suruh dia keluar dan berikan kepadaku sebelum perahu ini kubikin tenggelam berikut semua penumpangnya!”
“Hwesio sesat! Pergilah!” si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan kilat. Cepat sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si jangkung itu memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat.
“Hwesio ini mencari penyakit,” pikirnya. “Penghuni perahu besar itu ternyata bukan orang-orang lemah.”
Pukulan si jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung tenaga yang besar, tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul, kedua tangan si jangkung itu secara berbareng menyerang dada dan lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu masih tertawa, sama sekali tidak mengelak.
“Celaka,” pikir Kwee Seng. “Betapa pun lihainya, mana hwesio itu akan dapat menahan pukulan yang mengandung tenaga dalam itu?”
“Buk! “Buk!” dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan lambung.
“Ha-ha-ha-ha!” si hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak terpengaruh dua pukulan itu.
Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar bergulung ketika ia mencabut goloknya dan membacok dengan cepat ke arah leher si Hwesio.
“Celaka…!” kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut celaka bukan untuk si hwesio karena segera ia maklum bahwa hwesio itu benar-benar memiliki sinkang (tenaga sakti) yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung itu hanya akan berarti celaka bagi si jangkung.
Memang tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, si hwesio sudah mampu mengelak. Sebelum si jangkung sempat menyerang lagi, tubuhnya sudah tertangkap dan sekali melontarkan tangkapannya sambil tertawa, hwesio tinggi besar itu sudah melempar lawannya jauh ke luar perahu!
“Byurrrr!” air muncrat tinggi dan si jangkung megap-megap dalam usahanya menyelamatkan diri.
“Hwesio keparat, berani kau memukul Sute-ku (adik seperguruanku)?!”
Kini muncul seorang pendek gemuk dengan sebatang toya (tongkat panjang) melintang di tangan. Tanpa menanti jawaban, si gemuk ini sudah menggerakkan toyanya menghantam leher hwesio itu. Sebagai kakak seperguruan si jangkung tadi, dapat di bayangkan betapa hebat serangan si gemuk pendek ini. Batu karang yang kuat agaknya akan pecah terkena pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu dengan pangkal lengannya.
“Bukkk!”
Si hwesio masih tertawa-tawa dan kedua lengannya bergerak. Tahu-tahu si gemuk memekik keras dan tubuhnya terlempar ke luar perahu. Kembali terdengar air menjebur dan tubuh gemuk itu tenggelam timbul, agaknya lukanya lebih parah dari pada sute-nya.
“Hebat…!” Diam-diam Kwee Seng terkejut dan kagum.
Perhatiannya kini tertuju pada hwesio itu sambil mengingat siapa gerangan hwesio yang demikian lihainya itu. Terang bahwa kepandaian dua orang yang dikalahkannya secara mudah tadi cukup tinggi dan hanya seorang sakti saja yang dapat mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan. Akan tetapi kalau memang hwesio ini seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan kelakuannya begitu gila-gilaan? Sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang tokoh sakti yang terkenal. Merampas seorang pelacur! Benar-benar mengherankan sekali!
Sementara itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan tiga orang laki-laki. Usia mereka rata-rata empat puluh tahun lebih, dan ketiganya memegang pedang. Gerakan-gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah agaknya lebih cekatan dari pada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio. Begitu keluar, mereka serentak mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang mereka.
Kwee Seng melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera perhatiannya tertarik oleh kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian merah muda berlari-lari ke pinggir perahu besar itu lalu... wanita itu meloncat ke air!
“Byurrr!” air muncrat tinggi dan tubuh wanita itu lenyap!
“Celaka...!” Untuk ketiga kalinya selama beberapa menit itu Kwee Seng menyebut celaka, akan tetapi ia cepat mendayung perahunya ke arah terjunnya si pakaian merah tadi. Selagi ia hendak menyelam, tiba-tiba wanita itu muncul dan legalah hati Kwee Seng melihat bahwa wanita itu ternyata pandai berenang! Ah, benar-benar pelacur yang aneh sampai berenang pun pandai! Pelacur itu memang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa yang kini berenang cepat ke arah perahu Kwee Seng.
“Kongcu yang pandai bersuling, kau tolonglah aku yang bernasib malang...,” katanya sambil berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir perahu. Akan tetapi beberapa kali usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu itu terlampau tinggi dari permukaan air.
Kwee Seng lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam perahunya. Ia memandang kagum. Memang patut dikagumi wanita ini. Pakaiannya basah kuyup, dan karena pakaian ini terbuat dari pada sutera tipis dan halus, maka kini tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk tubuh yang padat ramping, dengan lekuk lengkung sempurna, tubuh seorang wanita muda yang sudah masak.
“Kenapa kau meloncat ke air?” Kwee Seng bertanya, menekan gelora jantungnya yang membuat darah mudanya bergerak lebih cepat dari pada biasanya.
“Ah, hwesio itu demikian hebat. Kalau aku dirampasnya bagaimana nasibku? Lim-wangwe yang sudah tua dan pendekar-pendekar itu semua bersikap sopan kepadaku, akan tetapi belum tentu hwesio itu begitu baik sikapnya. Ah, Kongcu, kau tolonglah aku... biarlah aku akan mengerjakan apa saja yang kau kehendaki untuk membalas budimu ini....” Sambil berkata demikian, Ang-siauw-hwa mendekat dan bau harum menerjang hidung Kwee Seng yang tertegun melihat wanita itu tersenyum manis dan mengerling penuh arti.
“Aku... aku bersedia menolong, tapi... tapi aku tidak menghendaki apa-apa darimu...,” jawabnya gagap sambil menggerakkan dayung.
Wanita di belakangnya menarik napas panjang. “Ahhh... sudah kuduga, kau seorang pelajar yang sopan dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang tuna susila macam Ang-siauw-hwa?” Suaranya mulai terisak. “Beginilah nasibku, Kongcu. Hanya orang-orang rendah budi saja yang suka berkenalan denganku, dengan maksud yang kotor, akan tetapi orang baik-baik selalu menjauhkan diri dariku.”
Kwee Seng menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah nasib wanita yang terperosok ke lumpur kehinaan. “Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku hendak memesanmu menemaniku minum arak, menikmati keindahan telaga sambil bersuling dan bernyanyi atau mengarang syair. Akan tetapi karena kau telah disewa hartawan itu, aku berperahu seorang diri. Hanya perlu kau ketahui bahwa aku sekali-kali bukan menolongmu karena hendak minta upah. Nih, kau pakai jubah luarku untuk menahan dingin dan angin. Kita harus pergi cepat-cepat dari sini.” Setelah melemparkan jubah luarnya untuk dipakai berselimut Ang-siauw-hwa, Kwee Seng cepat mendayung perahunya.
Akan tetapi di atas perahu besar terdengar suara berkerontangan, disusul pekik-pekik kesakitan dan berturut turut tubuh tiga orang jago silat itu pun terlempar ke dalam telaga. Bahkan orang ke tiga terlempar ke arah perahu Kwee Seng disusul bentakan hwesio itu yang parau dan nyaring.
“Eh, Ang-siauw-hwa kembang pelacur! Kau hendak lari ke mana? Tak boleh lari sebelum melayaniku sampai puas!”
Melihat menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee Seng menggerakkan dayung sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan tubuh orang itu terbanting ke dalam air, hanya tiga kaki dari kepala perahunya. Air muncrat membasahi bajunya.
“Ah, celaka kita, Kongcu...!” Ang-siauw-hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang sudah dingin itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
“Tak usah takut, kita akan minggir lebih dulu dari pada dia,” jawab Kwee Seng sambil mengerahkan tenaga mendayung sehingga perahunya meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Ang-siauw-hwa menengok dan melihat betapa hwesio yang menakutkan itu sudah meloncat ke dalam perahunya sendiri. Sekali ia menghentakkan perahu, lima orang pelacur yang mabok-mabokan di dalam perahu itu terlempar ke dalam air pula! “Menjemukan! Tinggallah kalian di air!” kata hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah ia mendayung perahunya mengejar perahu Kwee Seng.
Sementara itu, para penghuni perahu sibuk menolong lima orang jago silat dan juga lima orang pelacur yang menjerit-jerit dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar ke air.
“Kongcu, dia... dia mengejar....” Ang-siauw-hwa memeluk pinggang Kwee Seng dari belakang.
Bau harum dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya membuat Kwee Seng meramkan matanya dan menahan napas. Diam-diam hatinya mengeluh. Usianya sudah dua puluh dua dan belum pernah ia berdekatan begini dengan seorang wanita. Getaran yang menggelora di jantungnya melemahkan tenaga sakti sehingga kurang cepat ia mendayung perahu.
“He, orang muda tolol! Apakah kau bosan hidup? Berhenti dan berikan gadis itu kepadaku!” Suara hwesio itu melengking di telinganya.
Akan tetapi Kwee Seng tidak peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
“Kau ingin mampus!” Suara ini disusul oleh desir angin ke arah kepala Kwee Seng.
Maklum bahwa ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan tangannya dan dari ujung lengan bajunya menyambar angin yang memukul runtuh benda itu yang ternyata adalah sekepal kayu, agaknya gagang dayung yang diremas hancur oleh hwesio hebat itu!
Kwee Seng maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, mungkin lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi selama hidupnya. Dengan adanya Ang-siauw-hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti melemahkan kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan hwesio kosen itu, apalagi kalau diingat bahwa hwesio itu memang bermaksud merampas Ang-siauw-hwa. Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah berbahaya. Kepandaiannya di atas air hanya terbatas, sekali jatuh ke dalam air, takkan ada gunanya lagi. Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga perahunya meluncur lebih cepat lagi meninggalkan perahu hwesio yang mengejarnya.
Sesampainya di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik lengan Ang-siauw-hwa dan diajaknya melompat ke darat, lalu berkata lirih, “Nona, cepatlah, kau lari dari sini!”
“Tapi... tapi kau... bagaimana, Kongcu...?”
“Jangan pikirkan aku, lekas lari!”
Kwee Seng mendorong wanita itu dalam gelap, kemudian ia meloncat lagi ke dalam perahunya dan mendayung ke bagian lain dari tepi telaga itu untuk menyesatkan perhatian si hwesio terhadap Ang-siauw-hwa. Usaha dan akalnya ini berhasil baik, karena perahu hwesio itu terus mengikutinya. Setelah mendekat, kemudian terdengar hwesio itu berseru keras.
“Bocah setan, sekali ini aku tidak akan memberi ampun kepadamu!”
Akan tetapi karena ia sudah terbebas dari pada keselamatan Ang-siauw-hwa kini Kwee Seng tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala perahunya, berkipas-kipas diri sambil menanti dekatnya perahu si hwesio. Setelah dekat ia berkata, “Lo-suhu, seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu memupuk kebajikan agar menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu malah mengejar-ngejar seorang pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan memukul orang mengandalkan kepandaian?” Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung teguran pedas.
“Heh he he he, bocah yang masih bau susu ibu! Macam engkau ini hendak memberi kuliah kepada Ban-pi Lo-cia? Heh he he!” Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti bunyi keras seperti petir menyambar-nyambar di atas kepala Kwee Seng dan tampaklah sinar hitam melecut-lecut di udara.
Kiranya kakek itu sudah mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain-main di atas kepala Kwee Seng seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah mati mendengar disebutnya nama Ban-pi Lo-cia (Dewa Locia Berlengan Selaksa)! Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang sekali muncul di dunia kang-ouw, namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat jahat, keji dan memiliki kesaktian hebat. Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir adalah bahwa Ban-pi Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang ada berita bahwa dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat muncul secara tiba-tiba di tempat ini?
Kekagetan dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia lengah. Ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya dan tahu-tahu pinggangnya sudah telibat cambuk yang bergerak seperti ular. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakan tangan kanannya, tubuh Kwee Seng melayang seperti terbang, terbawa oleh ujung cambuk!
Kwee Seng terkejut, namun ia dapat menenangkan hati dan mencari akal. Dengan kipas di depan dada untuk melindungi diri, ia mengerahkan sinkang di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk yang melilit pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempar melayang ke arah Ban-pi Lo-cia yang berdiri di atas perahu sambil menyeringai!
Orang gendut itu ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud mempermainkannya.
Akan tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng sudah sudah melayang ke dekatnya. Tiba-tiba angin pukulan yang hebat bertiup dari kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di lehernya, dilakukan oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga hampir saja jalan darah Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok! Ketika raksasa itu mengelak ke belakang, tahu-tahu kaki Kwee Seng sudah menotol pundaknya. Dengan menggunakan pundak raksasa ini sebagai batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat sambil mengerahkan tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri dari pada libatan ujung cambuk.
Usahanya berhasil. Ban-pi Lo-cia berseru heran dan tubuh Kwee Seng sudah melayang kembali ke atas, tepat tiba di gerombolan pohon kembang di pinggir telaga yang cepat disambarnya. Dengan ayunan indah tubuh pemuda itu sudah berada di darat, berdiri dengan tenang dan dengan kipas di tangan sambil memandang ke arah lawan yang masih berada di atas perahunya!
“He he he, kau boleh juga, bocah!” Ban-pi Lo-cia berseru setengah marah setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan-ledakan keras.
Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu dan... bagaikan didorong tenaga gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga, kemudian sekali meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan Kwee Seng! Dua orang ini kini berhadapan dan saling memandang penuh perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah sekali. Akan tetapi di dalam keindahan itu tersembunyi kengerian yang di timbulkan oleh pandang mata kedua orang yang saling bertentangan ini. Pinggir telaga sudah sunyi, karena mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi besar yang mengamuk sudah melarikan diri cepat-cepat. Akan tetapi ada pula beberapa orang yang bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
“Ban-pi Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata keadaanmu cocok benar dengan namamu!” kata Kwee Seng yang kini sudah mengeluarkan suling bambu yang tadi ditiupnya. Ia memegang suling itu di tangan kanannya, sedangkan kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini ia harus di bantu sulingnya, karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu ia akan dapat mencapai kemenangan.
“Heh, kau mengenalku? Dan kau bilang cocok seakan-akan kau telah mengenalku baik-baik. Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana kau sebut cocok dengan namaku?”
“Kau terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja kejahatan mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan perbuatanmu sekarang?”
“Wah, sombong! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?”
“Aku Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan nama, hanya suling dan kipas ini yang kubawa.”
“Heh-heh, kata-kata muluk! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi bukankah kau sendiri juga memperebutkan kembang pelacur telaga ini? He-heh, orang muda, tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka secara terbuka dan terang-terangan, sebaliknya engkau suka sembunyi-sembunyi dan berkedok kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang palsu ini, maka kau bersiaplah mampus di tangan Ban-pi Lo-cia!” Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir menyambar kepala.
Hebat bukan main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya, cambuk sakti yang terkenal dengan nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar). Gerakan cambuk ini mengandung getaran penuh dari sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Jangankan terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja membuat lawan menjadi pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya! Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang benda lemas dan licin, akan tetapi senjata ini jangan dipandang ringan. Bahannya saja terbuat dari pada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat dilihat belasan tahun sekali di lautan utara, di antara gunung-gunung es. Di tangan Ban-pi Lo-cia, cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus.
Menyaksikan gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benar-benar sakti dan berbahaya, maka ia pun tidak berani main-main, segera ia menggerakkan suling dan kipasnya untuk menghadapi permainan cambuk halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk halilintar adalah ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus dilawan dengan ilmu sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan kanan menurut ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipasnya ia mainkan dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat.
Ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Delapan Dewa) dan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat yang sakti dan hebat setelah ia menerima petunjuk-petunjuk dari seorang manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan Himalaya. Setelah itu dan hingga saat ini, Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat mengalahkannya. Dan sekarang menghadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti, terpaksa ia mengeluarkan dua ilmunya yang dimainkan dengan lincah dan penuh mengandung tenaga sinkang.
Sulingnya ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi melengking tinggi, lengking yang dapat memecahkan anak telinga lawan dan tepat sekali dipergunakan untuk melawan pengaruh suara cambuk yang menggelegar. Ada pun kipasnya mengeluarkan angin amat kuat yang menyembunyikan totokan-totokan maut oleh ujung gagang kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah yang merupakan senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak menjadi senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk.
Kalau Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk lawannya, sebaliknya Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main menyaksikan gerakan lawan. Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah kepada Kwee Seng yang masih muda dan bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian hebat. Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya, sedangkan hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga terpaksa ia harus berlaku hati-hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri. Padahal ia mengenal betul bahwa suling itu memainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas itu mainkan ilmu silat Lo-hai San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan permainan orang lain.
Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat dahsyat, yang biar pun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi! Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya memepelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap wanita yang biasanya digolongkan orang lemah!
“Wuuuttt... tar-tar-tar!!” sekali serang cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut hanya selisih beberapa detik saja ke arah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar.
Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh dan mengubah kedudukan kaki untuk menghindar dari serangan pada lehernya. Sedangkan pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakkan kipasnya ke depan menotok jalan darah pada siku lawan. Jika totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.
“Aaiihhh!” Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sinkang dan ujung cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.
“Brettt!” robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset tidak mengenai sasaran.
Kwee Seng terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya yang terlibat. Maka ia menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang ke arah pusar!
Diserang secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru keras dan tubuhnya meloncat ke belakang. Ia berhasil menyelamatkan diri dari bahaya. Namun di saat bersamaan Kwee Seng mengerahkan tenaga, dengan sekali renggut ia membuat suling yang terlibat lepas dari ujung cambuk! Kwee Seng menahan rasa sakit pada telapak tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.
“Hebat! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Ban-pi Locia!” seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri. Memang raksasa gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita muda yang cantik dan berkelahi! Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda cantik seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya!
Kini Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya. Cambuknya digerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran yang telan-menelan sehingga membingungkan pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring seperti halilintar menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis. Dengan cambuknya yang panjang, raksasa ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang kembali oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut itu, Ban-pi Lo-cia lari mengelilingi Kwee Seng.
Kagetlah hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini selain sakti, juga amat licik dan curang, tidak segan-segan menggunakan akal pengecut untuk mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa kedudukannya berbahaya karena dia berada dalam lingkaran, dan dibutuhkan ketenangan sepenuhnya untuk menghadapi serangan seperti itu. Maka ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri dengan kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat tangan kanan tinggi melintang di atas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan kiri melindungi bagian bawah.
Anehnya, Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakan-akan dapat melihat jelas. Ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada di belakang tubuhnya. Serangan-serangan membanjir datang dari belakang, kanan dan kiri namun semua itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia kebut dengan kipas. Hebat bukan main pertandingan ini, namun merupakan pertandingan yang berat sebelah karena Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa mampu balas menyerang.
Mengapa Kwee Seng meramkan kedua matanya? Apakah ia memandang rendah lawannya? Bukan, sama sekali bukan! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan perhatiannya. Biar pun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan.
Dan mengapa pula pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari kesempatan balas menyerang? Ini pun merupakan siasat baginya, karena dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya akan cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari mengitarinya. Dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan diri.
Orang-orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat dari pada yang bergerak. Gentong air yang penuh tak berbunyi, yang kosong berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang bergerak dangkal.
Demikian pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya dari pada si penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat. Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis lawan.
Namun diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai dari pada lawan ini. Sulingnya sudah retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua serangan itu. Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari sepatunya.
Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk ke atas kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil ke depan. Segumpal tanah melayang cepat sekali ‘memasuki’ lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat menghantam jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.
“Ayaaaa….!” Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget.
Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat ke depan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya menghantamkan serangan-serangan maut. Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung di depan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lweekang-nya. Terdengar suara keras ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya.... keduanya terlempar ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan di atas tanah!
Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri. “Heh-heh-heh, kau hebat orang muda!”
Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya. “Dan kau jahat, Ban-pi Lo-cia!” jawabnya.
Kembali Si Raksasa gundul tertawa. “Aku pernah mendengar sayup-sayup sampai tentang seorang tokoh berjuluk Kim-mo-eng yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan. Agaknya kaukah orangnya?”
“Tidak salah, para Lo-cianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku.”
“Heh-heh-heh, masih muda sudah sombong, ya? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu? Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!” Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali.
Kwee Seng juga bangkit berdiri. “Aku selau melayani kalau kau memang hendak berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu kalau kau hendak melakukan hal-hal jahat!”
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga! Dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa ia menang setingkat dalam hal tenaga dalam.
Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya. Sulingnya sudah retak, tentu akan hancur kalau terus-menerus diadu dengan cambuk, sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apa-apa. Kwee Seng mengerahkan ginkang (meringankan tubuh) dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit dari pada lawannya yang tua dan tinggi besar.
Kini Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah mudah bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat kuat ini. Dalam benturan ke dua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Pertandingan telah berlangsung setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.
“Wah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ke dua dengan kau inilah! Heh-heh-heh! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?”
“Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita lanjutkan.” Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan ulet.
“Heh-heh-heh, sampai mati, bocah sombong!” Ban-pi Lo-cia menerjang maju.
Kini ia membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.
“Prakkk!! Uh-uh...!”
Kwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak perut itu menjadi mulas! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang mengandung tenaga sinkang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya dan mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu banyak makan lombok saja!
“Serrr.. serrr... serrr...!” belasan batang anak panah menyambar ke arah Ban-pi Lo-cia.
Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan ke luar belasan orang yang bersenjata lengkap.
“Inilah hwesio jahat itu! Serbu...! Keroyok...!”
Kiranya belasan orang ini adalah lima orang jago silat bersama teman-temannya, sedangkan di belakang mereka masih tampak puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa di tengah telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat itu sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.
Kwee Seng maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, maka ia cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang menerjang sambil melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.
“Heh, Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!”
“Sekarang pun boleh!” Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang.
Akan tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang lain.
“Kongcu...!” kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan tetapi justru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.
Dia berdiri di situ! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa! Pakaiannya masih serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah malam suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.
“Kongcu, kau kenapa...? Kau terluka...?”
Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala.
Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya. “Ah, kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu di sini dan kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini jodoh namanya?”
“Jo...doh...?” tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya.
Ang-siaw-hwa menarik lengannya. “Tentu saja jodoh. Kongcu. Marilah ikut Ang-siauw-hwa. Kau perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu....” Dengan kata-kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya pergi.
“Kenapa... kenapa kau begini baik kepadaku...?” Kwee Seng masih mencoba menolak.
Akan tetapi Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya. “Kenapa? Karena kau telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu. Karena... karena aku ingin belajar menyuling darimu....“
“Me... nyuling...?” akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas.
Pertemuan ini mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya. Seharusnya ia dapat beristirahat memulihkan tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran. Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu.
Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas pembaringan yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya. Melihat betapa di atas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya kembali.
“Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak melayani Kongcu makan,” terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan.
Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk di bawah lalu bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.
“Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur,” kata Ang-siauw-hwa sambil menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng.
Pemuda ini bangkit duduk, memandang ke sekeliling lalu berkata penuh kegugupan dan malu-malu, “Ah, agaknya aku tak sadar tertidur di sini, menyusahkan Nona saja. Biarkan aku pergi....”
Akan tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya. “Mengapa begitu, Kongcu? Tidak sudikah Kongcu menerima pembalasan budi dariku? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain memandang rendah kepadaku, seorang... pelacur?” Wanita itu masih memeluknya sambil menangis!
Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.
“Sudahlah, Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali.”
Nona itu mengangkat mukanya. Biar pun air mata masih membasahi pipinya, ia tersenyum gembira. “Marilah makan, Kongcu,” katanya merdu.
Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah makan yang dilayani amat mesra oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian dengan gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan... duduk di atas pangkuannya!
“Eh, Nona... ini... ini... bagaimana...?” Kwee Seng tergagap.
“Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa saja untuk membalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?”
Tidak karuan rasa hati Kwee Seng, kepalanya sampai terasa pening. Dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya. “Nona, duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga.”
“Ah, Kwee-kongcu mengapa bicara begitu? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya....”
Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.
“Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai... sampai....” tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur.
“Sampai menjadi pelacur?” Ang-siauw-hwa menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah sekali. Air mata menetes di sepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan. “Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, di waktu kecilku aku adalah seorang berdarah bangsawan. Ayahku seorang pangeran dari Kerajaan Tang...”
Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng. “Ahhh! Mengapa sampai begini...?”
Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan. Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan.
Akhirnya pelayan itu terjerat oleh cengkeraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama hutang mereka bertumpuk dan akhirnya, setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In ‘dijual’ kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.
“Demikianlah, Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkeraman bibi Cang. Akan tetapi baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan kulayani. Dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In entah ke mana, dan aku... aku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan hina yang dipandang rendah oleh orang-orang terhormat seperti kau....” kembali Ang-siauw-hwa menangis.
Bukan main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur. “Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang suka memungutmu sebagai anak. Ada pun tentang nona Khu Gin In, biarlah perlahan-perlahan kucarikan untukmu.”
“Ah, Kwee-kongcu... kau menumpuk budi kebaikan padaku....”
Ang-siauw-hwa menubruk Kwee Seng dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya. Kini Kwee Seng tidak menolaknya. Ia mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan dan sayang. Seorang puteri pangeran sampai begini, pikirnya. Karena ia yakin bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan yang jarang keduanya ini.
Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata dengan suara mesra dan manja, “Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap kau suka mengajarku....”
Hati Kwee Seng berdebar. Sebutan Kongcu (Tuan Muda) kini berubah menjadi Koko (Kakanda). “Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam,” jawabnya sambil tetap masih mengagumi rambut hitam halus panjang dan harum itu.
“Di sebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah kusuruh pelayan membeli untukmu.”
“Tak usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan, harus dicoba dulu.”
Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang pelacur!
Di lain pihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta kepada Kwee Seng. Selama hidupnya baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya laki-laki yang mana pun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan dari padanya. Akan tetapi Kwee Seng ini berbeda sekali. Pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama hidupnya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang masih setengah tidur di atas pembaringan. “Moi-moi, aku pergi dulu hendak mencari suling yang baik.”
Dengan mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang berkulit putih halus ke arah Kwee Seng, lalu berkata dengan suara mesra dan penuh cinta kasih, “Kwee-koko... jangan kau tinggalkan aku lagi....”
Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram, lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi. Aku takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling!”
Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali. Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan pohon-pohon di sekitarnya tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan. Bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa! Ia harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu pilihan yang tua dan kering betul.
Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa biar pun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat dari pada bambu biasa saja.
“Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah Huang-ho. Akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya.” Akhirnya si tukang pembuat suling itu berkata.
Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus, maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.
“Mana bambu itu? Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Keluarkan, biar aku melihatnya.”
Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata, “Jadilah. Harap kau buatkan suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya.”
Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi. Setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa ukuran lubang-lubangnya memang sudah tepat, Kwee Seng membayar harga suling yang lima puluh kali lebih mahal dari pada harga suling biasa. Ia membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya yang tak jauh dari telaga.
“Moi-moi, kau lihatlah suling ini!” di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya.
Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan... dapat dibayangkan betapa kagetnya Kwee Seng saat melihat dua sosok tubuh malang-melintang di belakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.
“Moi-moi…!” serunya.
Mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang daun pintu kamar dan masuk ke dalam kamar. Apa yang dilihatnya? Memang Ang-siauw-hwa berada di situ, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi. Gadis itu telentang di atas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada. Bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya, di mana tampak menancap sebuah gunting!
Kwee segera menubruknya. Akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa nyawa gadis ini tak dapat ditolongnya lagi karena gunting itu tepat menancap di ulu hati. Ia diam-diam heran, mengapa Ang-siauw-hwa tidak mati seketika dengan tusukan seperti itu?
“Moi-moi... siapa melakukan ini...?” Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu.
Ang-siauw-hwa membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah. “Kwee-koko... kau datang terlambat... tapi lebih baik begini... tak mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi... lebih baik aku akhiri hidupku....”
“Apa katamu? Kau membunuh diri? Tapi... tapi mengapa, Moi-moi...?
“Koko... pada saat kau pergi... datang hwesio iblis itu.... Ah, dua orang pelayanku dibunuhnya dan aku... aku....” Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah. “Setelah bertemu dengan engkau... setelah aku bersumpah setia hanya padamu seorang... kebiadaban hwesio itu membuat aku... tak mungkin dapat melihatmu lagi di dunia ini... aku... aku... Ah... Koko, aku cinta padamu... kau carikan saudaraku Gin In....”
“Moi-moi.....!” akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng.
Pada saat itu dari luar terdengar suara perempuan memanggil. “Ang-siauw-hwa...!” Kenapa kau dua hari tidak kembali ke kota? Aku menanti-nantimu, banyak tamu menanyakan kau...!” Lalu terdengar jerit wanita.
Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua orang pelayan yang tewas. Maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa di atas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu. Secepat kilat ia melompat ke luar kamar melalui jendela sambil membawa jubahnya yang kemarin dipinjam Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya di dekat tubuh pelacur itu....
*********www.zheraf.com*********
“Demikianlah, Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengakibatkan sulingku hancur!” Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian.
Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siauw-hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang segala-galanya. Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh di lapangan rumput, tiada pelindung dan mudah dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah terlindungi pohon besar, di samping itu sukar dipetik karena tertutup duri-durinya yang runcing.
“Kwee-koko, mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi Lo-cia, matamu berkilat marah? Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?” Memang ini termasuk sebuah di antara watak Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain, biar pun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu!
Di lain pihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.
“Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian-moi? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!”
Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada si pelacur.
“Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu?” tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang tajam.
Kwee Seng juga memandang. Melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya. “Tidak, aku hanya kasihan kepadanya,” jawab Kwee Seng, suaranya jelas menyatakan isi hatinya.
Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan mendesak lagi. “Pernahkah kau jatuh cinta? Adakah seorang wanita yang kau cinta di dunia ini?”
Muka Kwee Seng menjadi makin merah ketika bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian katanya, “Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya... hanya setelah bertemu dengan engkau, Sian-moi... ah, entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!”
Mendengar kata-kata ini, Lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata. “Kwee-koko, mari kita melanjutkan perjalanan.”
“Apa? Hampir tengah malam begini?”
Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya, dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapkannya di depan rumah penginapan.
“Mengapa tidak, Koko? Apa salahnya melakukan perjalanan malam? Setelah keributan tadi, aku tidak senang di sini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada di tempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar aku dapat enak memikirkan.”
“Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam di tempat terbuka?” Kwee Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso. “Memikirkan apa saja, sih?”
Liu Lu Sian tersenyum manis. “Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!”
Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah. Akan tetapi cepat-cepat ia pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat ke atas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi.
Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng terpaksa mengikutinya dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya. Hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara. Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya juga tidak berani bicara apa pun, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.
“He, paman tukang perahu! Mari kau seberangkan aku dan kudaku ke sana! Berapa biayanya akan kubayar!”
Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit serta memakai topi lebar itu segera meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Di bagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.
“Naiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke sini. Sungguh heran sekali pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang ke sana,” kata si tukang perahu dengan suara penuh keheranan.
Lu Sian menuntun kudanya dan mengajak kuda itu melompat ke atas dek perahu, sedangkan Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan remang-remang kini ia dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira dan cantik sekali. Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga tidak bicara apa-apa.
“Eh, Paman, kau tadi bilang apa?” ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian bertanya. “Orang-orang mengungsi dari sana? Ada terjadi apakah di seberang sana?”
Si tukang perahu memandang, keningnya berkerut. “Apakah Nona belum tahu? Daerah Shan-si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut. Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur dengan tuduhan memberontak....”
“Ah…! Dan bagaimana dengan jenderal itu? Apakah ditangkap juga? Dan di mana dia sekarang?”
Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi pecah-pecah karena diperebutkan.
Entah berapa banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling curiga-mencurigai. Seakan-akan sekelompok anjing, masing-masing mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah-belah untuk memihak demi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh!
“Mana bisa Jenderal Kam ditangkap? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya! Pula, tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?”
“Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?”
“Betul, bagaimana Nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi Nona tidak tahu apa-apa tentang keributan di daerah Shan-si?”
Kini Kwee Seng mulai memperhatikan, apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu. Bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya. Seorang pemuda gagah yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. Laki-laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik! Tidak seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
“Eh, Sian-moi. Kau menyeberang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke utara? Mau ke manakah? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya ikut denganku,” kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyeberangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak.
Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu!
“Kwee-koko, seorang suami saja tidak boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri. Sedangkan kita, tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selalu menuruti kehendakmu? Kau bukan suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara. Terserah kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji.”
Kwee Seng mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia tertawa dengan sabar. “Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, ke mana pun boleh. Akan tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak ke sana?”
Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon. “Justru karena ada perang aku ingin ke sana. Aku hendak menonton keramaian! Kwee-koko, ada tontonan bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biar pun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?” Gadis itu mengerling manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan!
“Kau... cantik sekali, Moi-moi...,” katanya perlahan, penuh kekaguman.
Lu Sian tertawa. “Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik? Ihhh, kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara...! Lu Sian tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir perahu, tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.
Digoda secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah? Mengapa ia tidak pergi saja meninggalkan gadis ini? Ke mana perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan? Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguh pun ternyata ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran?
Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan. Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi sunyi.
“Mengapa mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu? Memenuhi jalan saja!” Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon kecil berduri mengganggunya.
“Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat atau binatang buas, maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok.”
“Wah, kau benar, Koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?”
Kwee Seng mengangguk. “Derap kaki banyak kuda dari belakang! Akan tetapi belum tentu perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi.”
Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama kemudian derap kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik dari pada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah bergantung di punggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk.
Melihat kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik. Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba merah, yang ke dua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan yang ke tiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau.
Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar dikatakan mana yang paling cantik di antara mereka. Semua cantik dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir / pipi) sehingga menimbulkan kesan di hati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa. Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguh pun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel masak.
“Minggir! Minggir!” tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula.
Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis termuda melambat dan gadis ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu melempar senyum! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi.
Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu!
“Moi-moi, mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan kita?”
Lu Sian menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng, lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya. “Menjemukan! Koko, apakah kau selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?”
Merah kedua pipi Kwee Seng. “Bukan begitu, Moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?”
“Tidak salah apa-apa? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?”
Kwee Seng tertawa geli mendengar ini. “Tukang copet? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet? Dan lagi, aku Si Miskin ini apanya yang patut di copet?”
Lu Sian tersenyum juga. “Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?”
Kwee Seng membelalakkan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.
“Mari kita lanjutkan perjalanan!” akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda itu.
“Eh, kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu? Dia manis sekali, Kwee-koko! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan!” Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus membalapkan kudanya.
Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu. Pada hari ke empatnya, setelah bermalam di dalam hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan. Di persimpangan jalan mereka melihat banyak orang pengungsi pula, akan tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan, sebaliknya mereka menuju ke utara! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga Kwee Seng terheran-heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi laki-laki yang sudah tua.
“Lopek, kalian semua hendak mengungsi ke manakah?”
“Ke mana lagi kalau tidak ke benteng Naga Emas? Hanya di sanalah tempat yang aman bagi kami, karena Kam-goanswe (Jenderal Kam) berada di sana.”
“Mengapa di lain tempat tidak aman Lopek? Apakah yang mengancam keselamatan kalian?” Kwee Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga mendengarkan dengan penuh perhatian.
Mendengar pertanyaan ini kakek itu memandang heran. “Kongcu datang dari manakah sehingga tidak tahu keadaan di sini? Di mana-mana terdapat manusia-manusia serigala, bala tentara gubernur merajalela mengganggu penduduk, merampok harta dan memperkosa wanita dengan alasan membasmi pemberontak! Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya Kam-goanswe seorang yang berani melindungi kami. Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan di daerah ini, berbahaya.” Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih itu.
“Lopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?” tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil mengajukan kudanya.
Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi.
Timbul kemarahan Lu Sian, dan ia membentak, “Eh, Kakek! Apakah kau tuli dan bisu?”
Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel. “Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!”
Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju ke depan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.
“Lopek, sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab? Harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia.”
Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Ada pun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura.
“Harap Nona suka maafkan. Baru pagi tadi di sini lewat pula tiga orang gadis seperti Nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main. Bahkan lima orang kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda mereka yang besar-besar. Kalau Nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini.”
Setelah rombongan itu bergerak lagi, dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata, “Kwee-koko, kita berhenti di sini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam.”
“Eh, mengapa begitu? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa sehingga harus berhenti di sini?”
“Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi ke sana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki ke sana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi.”
“Ah, Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara, dan selama orang menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh tidak ia mempunyai cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moi-moi.”
Akan tetapi Lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak untuk mengaso dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang besar, lalu turun dari kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.
“Sudahlah, Koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan daging untuk teman roti kering kita.”
Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap. Tak lama kemudian ia tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada telinganya. Kwee Seng tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti kelinci dan membakar dagingnya. Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian merebahkan diri di atas rumput yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak, mukanya miring berbantal tangan, napasnya panjang teratur, pipinya kemerahan, bulu matanya yang merapat kelihatan panjang, membentuk bayangan pada pipi.
Berjam-jam Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah miring di depannya. Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya gadis ini. Rambutnya yang hitam itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas dari ikatan menutupi pipi dan kening. Dahi yang halus putih itu agak basah oleh peluh karena hawa memang panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu memadamkan api unggun yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu....
Selanjutnya baca
SULING EMAS : JILID-03