Pendekar Super Sakti Jilid 10

Juga para pengawal yang menjaga kereta di sebelah belakang memandang peristiwa yang terjadi di depan dengan mata terbelalak. Jendela kereta terbuka, sebuah kepala yang besar dan muka yang penuh brewok, muka yang gagah perkasa, muka si panglima yang berada di dalam kereta, muncul dan bertanya kepada dua orang perwira pimpinan pengawal belakang mengapa kereta lama berhenti di situ.
“Ada gangguan pemberontak, Tai-ciangkun,” perwira-perwira itu melaporkan.
“Banyak?” Sang panglima brewok bertanya tak acuh, memandang rendah karena dia sudah biasa mengalami gangguan para pemberontak.
“Hanya seorang saja, Tai-ciangkun.”
“Kalau hanya seorang saja mengapa begitu lama?” Panglima itu membentak tak sabar.

Suara si perwira yang melapor kini agak gemetar, “Dia lihai bukan main, Tai-ciangkun... wah, seluruh pasukan pengawal depan hampir semua roboh di tangannya...”
Kagetlah panglima itu. “Rombonganmu jangan meninggalkan kereta!” katanya sambil menutupkan jendela dari dalam.

“Apa terjadi apakah?” bertanya seorang wanita cantik yang duduk di dalam kereta di depan panglima itu. Wanita berusia kurang lebih dua puluh enam tahun ini adalah isteri panglima itu, dan ia sedang memangku seorang anak perempuan yang mungil.

“Ah, hanya gangguan seorang pemberontak,” kata Panglima Giam Cu dengan suara tenang. “Jangan khawatir, isteriku. Kau tenang-tenanglah di sini, para pengawal sudah menjaga kita. Pula, jika perlu, aku sendiri akan turun tangan membunuhnya,” Panglima Giam Cu meraba gagang pedangnya.

Isterinya menggerakkan tangan menyentuh lengannya. “Jangan...! Sudah berkali-kali kuminta kepadamu agar engkau jangan membunuh orang. Kalau hal itu perlu sekali dilakukan, biarlah para pengawal yang melakukannya.”

Panglima itu tertawa, lalu membungkuk dan mencium pipi isterinya, kemudian berkata, “Tentu... tentu... apa kau kira aku suka menjadi algojo setelah memiliki isteri seorang dewi seperti engkau ini?”

Akan tetapi biar pun mulutnya berkata demikian, hati panglima ini mulai merasa tidak enak dan dia lalu menyingkapkan tirai di jendela depan kereta dan mengintai ke depan. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika melihat bahwa dua puluh orang pengawal dan dua orang perwira yang memimpin pengawal pasukan depan telah roboh semua. Kuda-kuda tunggangan mereka lari cerai-berai dan kini ia melihat seorang laki-laki muda yang rambutnya riap-riapan berpakaian putih sederhana, berwajah beringas dan bermata menyeramkan, melangkah perlahan menghampiri kereta yang terjaga oleh dua losin pengawal, dua orang perwira dan dua orang pengendara kereta!

Han Han memang sudah marah sekali. Kemarahannya memuncak ketika ia dikeroyok dua puluh orang pengawal tadi. Hujan senjata ke arah tubuhnya tidak ia pedulikan karena ia telah mengerahkan sinkang melindungi tubuh dan pada saat para pengeroyok menerjangnya, ia menggunakan kedua tangannya memukul ke kanan kiri ke depan belakang menggunakan Swat-im Sin-ciang. Setiap orang pengawal yang terkena hawa pukulan ini tentu roboh dengan darah membeku dan jantung mereka berhenti bekerja seketika. Tentu saja yang jatuh terus mati tak dapat hidup kembali!

Setelah semua pengeroyoknya roboh, Han Han memandang ke arah kereta yang terjaga oleh sepasukan pengawal lain. Pakaiannya robek di sana-sini terkena senjata tajam, dan dia melangkah maju menghampiri kereta. Para pengawal hanyalah anak buah, hanya alat, pikirnya. Yang duduk di kereta itu adalah pembesarnya dan dialah biang keladinya yang harus ditumpas, pikirnya.

Sejenak sunyi sekali ketika pemuda itu dengan langkah satu-satu dan lambat-lambat menghampiri kereta. Setelah dekat, meledaklah suara teriakan-teriakan para pengawal mengeroyok Han Han, didahului oleh dua orang perwira. Kini rombongan pengawal ini mengeroyok Han Han setelah meloncat turun dari atas kuda dan segera terdengar suara hiruk-pikuk, suara teriakan marah bercampur aduk dengan suara senjata patah dan jatuh ke atas tanah, disusul pula jerit-jerit mengerikan ketika Han Han mulai dengan amukannya.

Giam-hujin (Nyonya Giam) mendekap puterinya. Mukanya menjadi pucat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kereta. Giam-ciangkun kembali mengintai dan panglima tinggi besar brewokan ini mengeluarkan suara menggeram marah ketika menyaksikan betapa dua orang perwira pengawal itu sudah tewas pula, dan kini orang muda yang aneh itu sudah merobohkan para pengawal dengan setiap gerakan tangan seperti orang membabat rumput saja!

“Si keparat...!” Giam-ciangkun mencabut pedangnya dan hendak keluar dari kereta. Akan tetapi isterinya memegang lengannya dan menariknya kembali.

“Jangan... jangan tinggalkan aku...”

“Hemmm, isteriku. Pemberontak itu lihai, para pengawal bukan lawannya. Aku sendiri yang harus melawannya.”

“Tidak... jangan tinggalkan aku. Aku takut...” Giam-hujin menahan dan anaknya mulai menangis.

Giam-ciangkun duduk kembali, menghela napas dan memangku pedangnya. “Baiklah, aku menjaga di sini dan kalau dia berani masuk, kupenggal lehernya!”

Suara hiruk-pikuk di luar makin gaduh dan tubuh Giam-hujin menggigil. Giam-ciangkun diam-diam juga merasa gelisah sekali, apa lagi ketika ia mendengar jerit-jerit kematian para anak buahnya. Ia mengintai dan alangkah kagetnya ketika pemuda itu telah mengamuk dekat kereta dan para pengawal yang mengeroyoknya hanya tinggal enam orang lagi. Mereka itu pun mengeroyok dari jarak jauh, menggunakan senjata tombak yang panjang, seperti enam orang pemburu yang menyerang seekor harimau dengan takut-takut terpaksa dan hanya menakut-nakuti dengan ujung tombak saja!

Han Han yang melihat tidak ada lagi pengeroyok yang mendesaknya, segera meloncat ke dekat kereta. Ia menggerakkan tangan mencengkeram daun pintu dan merenggut.

“Braaaakkkkk!” daun pintu itu terlepas dan pecah-pecah.

Pada saat itulah Giam-ciangkun menerjang ke luar dengan loncatan dan tusukan pedangnya ke arah dada Han Han. Han Han yang mendengar bersuitnya angin tusukan pedang maklum bahwa orang yang menyerangnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka ia cepat menggeser kaki ke kiri, tangannya menyampok pedang itu dan kakinya menendang.

“Bukkkkk!” Tubuh Giam-ciangkun yang tinggi besar itu terlempar sampai empat meter jauhnya!

Pada saat Han Han hendak mengejar, dari atas melompat dua orang pengendara dengan golok di tangan. Han Han menyambut mereka dengan kedua tangannya, tidak mempedulikan dua batang golok yang membacok leher dan pundak. Tangannya berhasil mencengkeram baju mereka dan sekali kedua tangannya bergerak, terdengar suara keras dan pecahlah dua buah kepala yang diadukannya itu, darah muncrat bersama otak!

Han Han menghampiri panglima yang ditendangnya tadi. Giam-ciangkun bertubuh kuat dan ia sudah bangun kembali dengan pedang di tangan. Ketika Han Han melihat wajah Giam-ciangkun, terlepaslah pekik melengking dari mulutnya seperti teriakan seekor beruang marah.

Ia melangkah lagi sambil berkata, “Engkau...? Engkaukah ini...? Si keparat jahanam.... kebetulan sekali, kubeset kulitmu... kuminum darahmu...!”

Suara Han Han perlahan dan mendesis, wajahnya beringas seperti bukan wajah manusia. Dia mengenal perwira brewok yang dahulu memperkosa enci-nya!

Giam-ciangkun merasa ngeri melihat wajah Han Han yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia berteriak, “Serang...!”

Dan enam orang sisa pengawal itu dengan nekat menerjang maju, menggunakan tombak mereka yang datang seperti hujan ditusukkan ke arah tubuh Han Han.

Han Han yang menemukan musuh besarnya, sekarang sudah menjadi marah sekali. Ia menggereng, membiarkan tombak-tombak itu menusuknya. Kedua tangannya bergerak, yang kanan memukul dengan ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang, yang kiri menggunakan Swat-im Sin-ciang dan... enam orang pengawal itu roboh, yang tiga orang hangus seluruh tubuh mereka, yang tiga orang lagi kaku membeku, keenamnya tewas di saat itu juga.

“Kau... iblis brewok... tibalah saatnya aku membalas dendam. Ha-ha-ha-ha!” Baru sekali ini selama hidupnya Han Han tertawa seperti itu, suara ketawa yang tidak sewajarnya, seperti bukan suaranya sendiri, seperti ketawa di luar kehendaknya dan memang suara ketawa ini terdorong oleh nafsu dendam yang menyesak di hati.

Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi dia sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya, membacok ke arah kepala pemuda yang menyeramkan itu.

“Siuuuuuttttt...! Plak-kreekkk...!” pedang yang kena ditampar tangan Han Han itu patah menjadi dua!

Giam-ciangkun kini melempar gagang pedangnya, memandang pemuda itu dengan mata terbelalak, dan otomatis kakinya mundur-mundur ke arah kereta. Han Han masih tertawa-tawa dan melangkah maju.

“Rebahlah!” bentaknya dan tangannya melakukan gerakan mendorong.

Biar pun Giam-ciangkun sudah mengerahkan tenaganya bertahan, namun tetap saja tubuhnya terjengkang oleh hawa dorongan yang luar biasa kuatnya. Ia jatuh terlentang dan pemuda itu melangkah maju perlahan-lahan!

Tiba-tiba terdengar jerit dari dalam kereta dan Giam-hujin sudah turun dari kereta memondong puterinya yang menangis keras sejak tadi. “Jangan bunuh dia... ah, jangan bunuh suamiku... mohon taihiap sudi mengampuni nyawa suamiku...”

Han Han tertegun memandang wanita memondong anak yang berlutut di depan kakinya. Kemarahannya tak mungkin dapat dihapus oleh ratap tangis seorang wanita yang tidak dikenalnya.

“Dia jahat, aku harus membunuhnya...!” Ia menjawab, suaranya dingin.

“Ahhh... ampunkan dia... ampunkan kami... taihiap, ampunkan suamiku...,” wanita itu meratap-ratap sambil berlutut, kemudian menangis dan seolah-olah menciumi ujung kaki Han Han.

Tergeraklah hati Han Han. Ia menjadi marah kepada wanita ini yang telah menimbulkan keraguan di hatinya. Dia harus membunuh perwira brewok ini! Apa pun yang terjadi, dia harus membunuhnya! Si Brewok ini telah memperkosa enci-nya, memperkosanya di depan matanya! Dialah orang ke dua di antara tujuh orang perwira Mancu yang harus dibunuhnya. Harus! Yang pertama adalah perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh ibunya, yang ke dua perwira ini yang memperkosa enci-nya, kemudian yang lima orang lainnya, mereka yang telah menghina keluarganya, harus dia balas dan tumpas semua!

“Dia orang busuk, kau tahu itu?” Han Han tiba-tiba membungkuk, memegang kedua pundak Nyonya Giam dan menariknya berdiri agar mereka dapat bertemu pandang. “Dia manusia berhati iblis! Dia telah memperkosa...” Tiba-tiba Han Han berhenti bicara, matanya terbelalak dan lehernya seperti dicekik rasanya.

Mereka berpandangan, seorang wanita cantik dan pemuda perkasa itu, yang hampir sama bentuk mukanya, keduanya terbelalak dan Nyonya Giam seolah-olah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri, berkedip-kedip, mukanya pucat, matanya terbelalak, tangisnya terhenti seketika.

“Han Han...!”

“Leng-cici...!”

Nyonya Giam itu memang enci-nya, Sie Leng, gadis yang dahulu diperkosa kemudian dilarikan oleh perwira brewok yang bukan lain adalah Giam Cu yang kini telah menjadi panglima. Sie Leng terkulai lemas, roboh pingsan di dalam pelukan adiknya!

Han Han juga lemas seketika. Getaran-getaran yang menguasai dirinya, yang membuat ia buas dan haus darah, seketika lenyap meninggalkan tubuhnya yang terasa lemas dan lelah sekali. Ia duduk di atas sebuah akar menonjol, memangku enci-nya yang masih pingsan, memandang jauh ke depan dengan pandangan kosong. Ia tidak mendengar dan tidak melihat betapa anak perempuan kecil itu memeluki ibunya dan memanggil-manggil sambil menangis, “Ibu... Ibu... Ibu....!”

Dia tidak sadar pula bahwa kini Giam Cu merangkak dan berlutut di depannya, sambil berusaha mendiamkan puterinya.
Sampai lama Han Han termangu dan melamun. Memangku tubuh enci-nya yang pingsan membuat ia teringat akan segala hal ketika ia masih kecil. Bagaikan tampak di depan matanya segala peristiwa di waktu ia masih kecil dan hampir ia tidak percaya bahwa enci-nya yang tadinya disangka mati itu kini berpakaian mewah dan indah, disebut ibu oleh seorang anak perempuan, dan agaknya menjadi isteri dari Si Brewok yang akan dibunuhnya tadi!
Sie Leng sadar dari pingsannya dan ia merasa seperti dalam mimpi ketika mendapatkan dirinya dipangku seorang pemuda tampan berambut riap-riapan. Han Han! Pemuda ini adalah Han Han, adiknya! Ia melihat Kwi Hong, puterinya masih menangis dan suaminya berlutut di depan Han Han!

“Han Han...!” Ia berseru dan merangkul adiknya. “Han Han, engkau tidak boleh membunuh suamiku. Dia iparmu...! Han Han, engkau ampunkanlah dia...!” katanya sambil berlutut pula di samping suaminya.

“Taihiap, saya mengaku berdosa, akan tetapi demi enci-mu dan keponakanmu ini, saya mohon ampun...,” terdengar pula suara Giam Cu yang besar.

Han Han menjadi bingung, akhirnya menarik napas panjang dan berkata, suaranya dingin dan sakit hatinya masih belum dapat ia hilangkan sama sekali, “Enci Leng, apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau malah mintakan ampun kepadaku untuk orang ini?”

“Han Han adikku, dengarlah penuturanku.....”

Sie Leng lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia dibawa pergi oleh Giam Cu. Mula-mula memang ia merasa sakit hati dan benci kepada Giam Cu yang memperkosanya. Berkali-kali ia hendak membunuh diri, akan tetapi selalu digagalkan oleh Giam Cu yang menjaganya dan ternyata bahwa perwira itu jatuh cinta kepada gadis ini.

Dengan penuh kasih sayang Giam Cu membujuk, bahkan tidak lagi ia memperkosa gadis itu, diperlakukan dengan sikap halus dan dihujani kemewahan. Mula-mula Sie Leng tidak mempedulikan sikap baik perwira itu, ia terlalu benci kepadanya dan lebih baik mati dari pada menjadi isterinya. Akan tetapi Giam Cu terus membujuk, bahkan mengenyahkan semua selirnya. Kemudian, setelah Sie Leng mendapatkan dirinya dalam keadaan mengandung akibat perkosaan itu, ia menyerah!

“Dan ternyata bahwa dia amat mencintaku, Han Han. Mencinta sungguh-sungguh dan sampai sekarang pun terbukti cinta kasihnya kepadaku. Setelah dia naik pangkat terus sampai menjadi panglima, dia tetap mencintaku, tidak mempunyai isteri lain dan akhirnya aku pun mencintanya sebagai suamiku yang baik.”

Sie Leng terisak, kemudian melanjutkan ceritanya, “Kandunganku yang pertama gugur dan hal itu malah menggirangkan hati kami karena kalau anak itu terlahir, tentu hanya akan menimbulkan kenangan pahit dari peristiwa jahanam yang terjadi di rumah kita dahulu. Kemudian aku mengandung lagi dan terlahirlah keponakanmu ini, Kwi Hong. Dia anak kami yang syah, yang lahir dari cinta kasih antara kami. Han Han, setelah engkau mendengar penuturanku, maukah engkau mengampuni suamiku?”

Han Han meragu. “Akan tetapi dia dan kawan-kawannya terlampau jahat, Enci. Lupakah engkau akan keadaan keluarga kita yang terbasmi habis?”

“Han Han, terserah kalau engkau tidak bisa mengampuninya dan memaksa hendak membunuhnya. Akan tetapi engkau harus membunuh aku dan keponakanmu ini lebih dulu!” Sie Leng memondong anaknya dan menghadapi Han Han dengan sinar mata menantang.

Han Han terbelalak memandang enci-nya dan melihat bahwa ucapan dan tantangannya itu berhasil, Sie Leng lalu memegang tangan Han Han dan berkata, “Jangan menilai orang lain secara sepintas lalu, Adikku. Apakah engkau tidak tahu bahwa kita pun bukan keturunan orang baik-baik? Kakek kita seribu kali lebih ganas dan jahat dari pada suamiku. Dia ini hanya menjadi buas karena tugasnya yang diharuskan membasmi musuh. Sebaliknya Kakek kita... hemmm, orang sedunia mengutuknya!”

“Apa... apa maksudmu, Enci?”

“Ohhh, engkau tidak tahu, Han Han? Apakah dahulu Ayah atau Ibu tidak pernah bercerita tentang Kakek kita yang bernama Sie Hoat?”

Han Han menelan ludah ketika mengangguk. Teringat ia betapa Setan Botak pernah mentertawakan kakeknya. Kalau Setan Botak mengenal kakeknya, tentulah kakeknya bukan sembarang orang!

“Kakek kita itu adalah seorang Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw karena jahatnya! Pekerjaannya hanyalah mengganggu anak isteri orang, entah telah mencemarkan berapa ribu orang wanita di dunia ini! Dan lebih banyak pula yang telah dibunuhnya! Nah, kau dengar sekarang? Apa yang dialami Ibu dan aku sendiri, boleh dikatakan hukum karma sebagai pembalasan atas dosa-dosa Kong-kong kita itu. Nasibku masih baik. Biar pun aku diperkosa, akan tetapi ternyata kemudian bahwa yang memperkosaku menjadi suamiku yang mencinta dan kucinta, menjadi Ayah puteriku. Nasibku masih jauh lebih baik dari pada nasib ribuan orang wanita yang menjadi korban Kakek kita.”

Han Han mendengarkan dengan mata terbelatak. “Ah, benarkah itu, Leng-cici? Kalau begitu, Kakek kita itu memiliki kepandaian yang luar biasa?”

“Tentu saja! Dia ditakuti oleh seluruh tokoh di dunia pada jamannya.”

“Kalau begitu, mengapa Ayah kita begitu lemah...?”

“Ayah kita bukanlah anaknya yang sah, melainkan anak yang terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diperkosanya...”

“Aihhh...!” Han Han menutupi mukanya. Hukum karma? Dosa kakeknya mengakibatkan hancurnya keluarga ayahnya?

“Sudahlah, Adikku. Keturunan Ayah tinggal kita berdua, marilah engkau ikut bersamaku, Adikku. Kakak iparmu ini amat mencintaku, dia seorang yang baik. Kalau dia melakukan hal yang mengerikan terhadap keluarga Ayah, hal itu adalah tidak mengherankan karena hal-hal semacam itu selalu terjadi dalam perang. Engkau telah membunuhi semua pengawal kami, ah, mengapa, Adikku?”

Han Han mengangkat muka, memandang kepada cihu-nya (kakak iparnya) yang masih menundukkan muka. “Mengapa? Tanya saja kepada suamimu ini, Leng-cici! Para pengawal itu membunuh-bunuhi rakyat yang tidak berdosa. Tentu saja aku tidak mau mendiamkannya saja melihat penyembelihan orang-orang tak berdosa, melihat para pengawal itu seperti serigala-serigala buas berburu manusia!”

“Hemmm, kau anggap begitukah, Han Han? Lihatlah ini!” Sie Leng menyingkap bajunya dan memperlihatkan pundaknya yang terluka, luka baru.

“Mengapa pundakmu, Cici?”

“Akibat serangan mendadak dari orang-orang tak berdosa itu! Mereka pura-pura menjadi rakyat jelata, menonton kereta pembesar lewat. Tiba-tiba menyerang dengan senjata rahasia, mengenai pundakku dan hampir membunuh keponakanmu kalau saja tidak cepat ditangkis Cihu-mu. Masih banyak hal terjadi, Han Han. Hal-hal mengerikan yang dilakukan oleh rakyat tak berdosa itu. Pembunuhan-pembunuhan mengerikan terhadap orang-orang yang bekerja kepada pemerintah baru. Akan tetapi semua itu sudah wajar terjadi dalam perang.”

Han Han termenung dan terbayanglah wajah Lulu. Adik angkatnya itu pun puteri seorang Mancu yang keluarganya terbasmi oleh ‘rakyat’, oleh Lauw-pangcu dan teman-teman yang menyebut diri mereka kaum pejuang. Bahkan oleh mereka yang menganggap diri sendiri orang-orang gagah itu, Lulu disuruh berpakaian seperti jembel dan dibiarkan hidup seorang diri. Apakah dosa Lulu? Berdosakah kalau dia kebetulan oleh Thian dilahirkan sebagai anak keluarga Mancu? Salahkah sekarang kalau cici-nya mencinta pembesar Mancu yang memperkosanya? Ia menjadi bingung memikirkan hal ini, lebih bingung lagi mendengar keterangan cici-nya bahwa kakeknya, ayah dari ayahnya, adalah seorang pentolan kaum pemerkosa wanita sehingga berjuluk Dewa Pemetik Bunga!

Tiba-tiba Han Han berseru, “Awas...!”

Tubuhnya bergerak mendorong cici-nya ke samping dan empat buah senjata piauw runtuh ke bawah. Giam-ciangkun kaget sekali, cepat merangkul isteri dan anaknya, berlindung di dekat kereta, di belakang Han Han yang sudah berdiri tegak memandang ke depan.

“Pembesar Mancu keparat, bersiaplah untuk mampus!” terdengar seruan nyaring sekali sehingga Han Han diam-diam terkejut.

Yang datang adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Buktinya, dari jauh sudah dapat menyambit piauw yang ketika ia sampok tadi membayangkan tenaga besar, dan sebelum tampak orangnya sudah terdengar suaranya yang nyaring. Tak lama kemudian muncullah tiga orang muda yang gerakannya tangkas dan gesit, berloncatan dengan gerakan ringan sekali membayangkan ginkang yang tinggi tingkatnya. Mereka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda. Dua orang gadis yang amat cantik dan seorang pemuda yang tampan. Usia mereka sebaya dengan Han Han, dan dari pakaian mereka, dapat diduga bahwa mereka adalah orang muda dunia kang-ouw.

Han Han memandang mereka dengan sinar mata penuh selidik. Jantungnya berdebar dan ia mengingat-ingat karena merasa yakin bahwa dia mengenal tiga orang muda yang perkasa ini. Tiga orang itu melihat seorang pemuda berpakaian putih robek-robek dan berambut panjang riap-riapan berdiri tegak melindungi pembesar Mancu dan anak isterinya, segera meloncat ke depan Han Han, memandang dengan penuh kemarahan dan penuh selidik pula.

“Sute...!” Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang cantik dan berpakaian kuning, yang memiliki mata bening dan sikap jujur, berseru dan melangkah maju. “Benar, engkau Han Han! Engkau Han-sute...!”

Han Han tersenyum. Tentu saja! Mengapa ia hampir melupakan mereka ini, terutama sekali gadis berpakaian kuning ini? Mereka ini adalah sahabat-sahabatnya dahulu, bukan hanya sahabat, malah suci-suci-nya dan suheng-nya, karena dia bersama mereka inilah yang dipilih oleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid! Gadis manis berpakaian kuning ini siapa lagi kalau bukan Kim Cu! Dan gadis ke dua yang pendiam dan bermata tajam berwajah serius itu adalah Phoa Ciok Lin, sedangkan pemuda tampan itu adalah Gu Lai Kwan!

“Wah, kiranya kedua suci dan suheng dari In-kok-san!” Ia menatap wajah Kim Cu dan sampai agak lama mereka saling bertemu pandang.

Betapa cantiknya Kim Cu sekarang, pikir Han Han dengan pandang mata mesra. Di antara semua murid Ma-bin Lo-mo tentu saja Kim Cu merupakan murid yang paling dekat dengannya. Bahkan takkan pernah ia dapat melupakan kebaikan Kim Cu pada pertemuan terakhir mereka ketika liburan Sincia di lereng In-kok-san. Kim Cu yang semestinya menangkapnya, bahkan membebaskannya, dan menbiarkannya pergi bersama Lulu, bahkan memberi pakaian dan sepatu kepada Lulu!

“Kim Cu Suci, bagaimanakah keadaanmu selama ini? Kuharap engkau baik-baik saja, dan sampai kini aku belum pernah melupakan budi kebaikanmu.”

Tiba-tiba kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali dan terpaksa ia menundukkan mukanya. Untuk melenyapkan rasa jengah bahwa kenyataannya Han Han hanya memperhatikan dia seorang, Kim Cu segera bertanya.

“Sute, kenapa kau berada di sini? Dan siapakah yang membunuhi banyak pengawal anjing-anjing Mancu itu?” Kim Cu menudingkan telunjuknya yang kecil runcing ke arah mayat yang berserakan.

“Akulah yang membunuh mereka,” kata Han Han perlahan penuh keraguan akan benar tidaknya semua yang telah ia lakukan. Ia teringat akan wejangan kakek di Siauw-lim-si itu dan kini ia kembali telah menyebabkan kematian banyak sekali manusia, sampai puluhan banyaknya. Puluhan orang manusia yang sama sekali tidak dikenalnya dan yang ia sungguh tidak tahu untuk apa ia bunuh!

“Engkau...?!” Seruan ini terdengar dari mulut tiga orang muda perkasa itu dan mata Kim Cu yang bening terbelalak memandang wajah Han Han. Seruan yang disertai perasaan tidak percaya.

Mereka sudah sering kali bentrok dengan para pengawal dan andai kata mereka bertiga dikeroyok oleh empat puluh lebih orang pengawal itu, tentu saja mereka akan mampu membunuh mereka semua. Akan tetapi Han Han? Seorang diri pula? Betapa mungkin dapat dipercaya!

“Han-sute, kalau engkau yang telah membunuh semua pengawalnya, mengapa tidak lekas membunuh pembesar Mancu ini?” tanya Phoa Ciok Lin, mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik.

“Bahkan engkau tadi telah menyampok piauw-piauw yang kulepaskan!” kata pula Gu Lai Kwan. “Apa artinya semua ini?”

Sedangkan Kim Cu tidak bertanya sesuatu, hanya memandang penuh kekhawatiran kepada pemuda yang sejak dahulu amat disukanya dan amat dikaguminya itu. Ia sudah mengenal watak Han Han yang aneh. Dahulu saja sudah mengambil seorang gadis Mancu sebagai adik! Setelah kini dewasa, siapa tahu apa saja yang akan dilakukannya!

Han Han menarik napas panjang lalu mengangguk perlahan. “Sesungguhnya, akulah yang membunuh para pengawal itu dan aku pula yang menangkis sambaran piauw yang kau lepaskan tadi.”

“Han Han, engkau tentu melakukan tangkisan piauw karena salah paham, mengira kami menyerangmu. Dan tadi Gu-suheng juga salah sangka, dari jauh tidak mengenalmu maka mengirim serangan langsung!”

Han Han menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak demikian, Kim Cu Suci. Aku memang menangkis piauw-piauw itu untuk melindungi keluarga ini.”

“Apa...?!” Kembali seruan ini keluar dari tiga mulut dengan berbareng.

Kalau mereka melihat Han Han menjadi pelindung pembesar Mancu, hal ini tidak akan mengherankan hati mereka. Akan tetapi setelah mendengar bahwa Han Han membunuh sekian banyaknya pengawal Mancu, mayat-mayat mereka pun masih belum dingin benar, bagaimana sekarang orang aneh ini malah melindungi pembesar Mancu yang dikawal oleh para pengawal yang dibunuhnya? Sungguh membingungkan!

“Han-sute, minggirlah dan biarkan aku membunuh anjing Mancu ini bersama anak isterinya!” Gu Lai Kwan membentak tidak sabar lagi.

Akan tetapi Han Han tetap berdiri tegak menghadang. “Tidak boleh, Gu-suheng. Kalian tidak boleh membunuh mereka.”

“Han Han! Mengapa begini? Engkau sudah membunuhi pengawalnya, kini mengapa melindungi mereka ini?” Kim Cu bertanya dengan suara kecewa dan penasaran.

“Karena dia adalah Cici-ku dan anaknya adalah keponakanku!” jawab Han Han tegas.

“Kalau begitu minggirlah dan biarkan kami membunuh Si Pembesar anjing...” Phoa Ciok Lin berseru.

“Tidak boleh. Dia adalah Cihu-ku, terpaksa aku harus melindunginya demi kebahagiaan Cici dan keponakanku.”

“Han Han!” Kim Cu berkata mendahului sumoi dan suheng-nya. “Kalau engkau masih keluarga pembesar ini, mengapa kau membunuhi para pengawalnya?”

Han Han menghela napas panjang, kemudian menjawab, “Karena kulihat mereka membunuh para pengungsi.”

“Nah, itu bagus sekali!” Kim Cu berkata girang. “Engkau menyaksikan sendiri betapa jahatnya penjajah Mancu, Han Han! Mereka membunuhi rakyat jelata, mereka membasmi keluargamu, bukan? Juga keluargaku, keluarga Sumoi dan Suheng ini! Mereka itu jahat, patut dibasmi dari tanah air kita! Minggirlah dan biarkan aku membunuh pembesar ini. Biar dia Cihu-mu, akan tetapi dia ini anjing Mancu. Tentu saja kami tidak akan mengganggu Cici dan keponakanmu.”

“Benar apa yang dikatakan Kim-sumoi, Han Han. Minggirlah. Engkau pun musuh bangsa Mancu. Mereka itu sudah terlampau banyak membunuh rakyat yang tidak berdosa, telah menginjak-injak tanah air dan rakyat kita. Jangan sampai seorang pemuda seperti engkau menjadi seorang pengkhianat dan penjilat anjing Mancu.”

Mata Han Han berkilat ketika ia menentang pandang mata Gu Lai Kwan. “Aku bukan sute kalian dan hanya mengingat akan perhubungan di antara kita dahulu, terutama sekali mengingat akan budi kebaikan Nona Kim Cu, maka aku melayani kalian bicara. Bolehkah aku bertanya, sudah banyak pulakah kalian membasmi orang-orang Mancu termasuk mereka yang mau bekerja sama dengan pemerintah Mancu?”

Tiga orang ini mengira bahwa setelah membunuhi puluhan orang pengawal itu, Han Han lalu menjadi sombong. “Ha-ha, sungguh pertanyaan lucu!” jawab Gu Lai Kwan. “Tentu saja sudah banyak! Sedikitnya seratus orang telah tewas di tanganku ini!”

“Demikian pula dengan Nona Kim Cu dan Nona Phoa Ciok Lin?” Han Han melanjutkan pertanyaannya.

Dua orang gadis itu mengangguk, pandang mata Kim Cu makin bingung dan khawatir. Ia merasa tidak senang kalau harus bermusuh dengan Han Han.

Han Han tersenyum, senyum yang mengandung penuh arti. “Mungkin Cihu-ku ini sudah banyak membunuh orang. Akan tetapi aku pun sudah banyak membunuh orang dan kalian bertiga sudah mengaku telah membunuh ratusan orang! Entah siapa yang lebih jahat di antara kita pembunuh-pembunuh ini dan aku sangsi apakah ada yang baik di antara kita!”

Sejenak tiga orang muda itu bingung mendengar ucapan itu. “Akan tetapi, yang kami bunuh adalah orang-orang Mancu yang jahat sedangkan yang dibunuh orang-orang Mancu adalah rakyat yang tidak berdosa!” bantah Gu Lai Kwan penasaran.

“Gu Lai Kwan, aku hendak melihat mana ada orang yang tidak berdosa...!” Han Han menarik napas panjang, teringat akan cerita cici-nya tentang kakeknya, yang menjadi pemerkosa wanita nomor satu di dunia!

“Han Han! Tak usah banyak cakap, mau tidak engkau minggir dan membiarkan aku membunuh anjing Mancu itu?”

Han Han menggeleng kepala.

“Engkau mau menjadi pengkhianat?!” bentak Phoa Ciok Lin yang seperti suheng-nya amat membenci orang-orang Mancu dan sudah bersumpah hendak membunuh semua orang Mancu untuk membalas dendam keluarganya yang habis terbasmi orang Mancu.

“Terserah bagaimana penilaian kalian. Aku tetap tidak membiarkan kalian membunuh Cihu-ku dan keluarganya. Sebaiknya kalian pergi saja.”
“Wah, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan menjadi sombong!” bentak Gu Lai Kwan. “Minggirlah, atau terpaksa aku akan merobohkanmu lebih dulu!”
“Han Han, minggirlah. Mengapa engkau berkeras?” Kim Cu berkata, suaranya setengah memohon.

Akan tetapi Han Han memandang gadis itu dan berkata, “Menyesal sekali, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu, Nona Kim Cu.”

“Kalau begitu mampuslah!” Gu Lai Kwan menerjang maju, mengirim pukulan keras sekali ke dada Han Han.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gu Lai Kwan ini merupakan seorang di antara empat murid yang diambil Toat-beng Ciu-sian-li sebagai murid, dioper dari tangan Ma-bin Lo-mo, di samping Han Han, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin. Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah hebat, menerima pelajaran ilmu kesaktian Swat-im Sin-ciang. Akan tetapi sebagai murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja tingkat kepandaian tiga orang itu lebih hebat dari pada murid-murid Ma-bin Lo-mo.

Mereka juga telah menguasai Swat-im Sin-ciang, akan tetapi ilmu yang mereka kuasai baru setengahnya ini seperti yang hanya dapat dicapai oleh semua murid Ma-bin Lo-mo, telah diperhebat oleh pelajaran yang mereka terima dari Toat-beng Ciu-sian-li. Dari nenek ini mereka menerima ilmu-ilmu silat tinggi, juga telah menguasai ilmu pukulan yang disebut Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa) yang telah digabung dengan Swat-im Sin-ciang sehingga pukulan yang didasari tenaga sinkang dingin itu kini mengandung racun yang mematikan. Ketika menyerang Han Han, Gu Lai Kwan yang belum mengenal kelihaian Han Han, tidak mengeluarkan pukulan ini, melainkan memukul dengan sinkang yang kuat akan tetapi tidak mengandung hawa beracun.

Melihat datangnya pukulan yang amat kuat ini, Han Han dapat mengukur dari sambaran hawanya, maka dengan berani ia menerima pukulan itu dengan dadanya! Kim Cu menahan seruannya yang sudah terlanjur keluar dari mulutnya ketika melihat betapa Han Han menerima pukulan suheng-nya begitu saja dengan dada. Pukulan itu mengandung tenaga sinkang yang kuat dan isi dada dapat remuk terguncang dan dapat menyebabkan kematian. Namun ia tidak keburu mencegah lagi, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ada pun Phoa Ciok Lin yang menyaksikan sikap suci-nya ini mengerutkan kening dan diam-diam ia maklum bahwa Kim Cu menaruh hati kepada pemuda berambut panjang bersinar mata aneh itu.

“Bukkk!”

“Ayaaaaa...!” Gu Lai Kwan berseru kaget dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Tentu ia akan terbanting roboh kalau saja tidak cepat mempergunakan ginkang-nya berjungkir balik ke belakang sehingga ia dapat berdiri lagi dengan mata terbuka lebar. Pukulannya tadi keras sekali, akan tetapi Han Han telah menerima dengan dada terbuka dan sama sekali tidak bergeming, malah tenaga pukulannya membalik sehingga ia terjengkang!

“Lai Kwan, lebih baik engkau dan kedua Nona ini pergi saja dan jangan mengganggu aku,” kata Han Han. Ia sama sekali tidak ingin bentrok dengan bekas saudara-saudara seperguruannya itu.

Akan tetapi ucapannya ini menambah kemarahan Lai Kwan yang menganggap Han Han memandang rendah kepadanya. “Manusia sombong! Tidak tahu bahwa aku tadi telah berlaku lunak kepadamu. Kalau benar-benar ingin berkelahi, nah, kau terimalah pukulan ini!”

Setelah berkata demikian, Lai Kwan melompat ke depan sambil mengeluarkan pekik menyeramkan. Saat tubuhnya masih melambung di udara, kedua tangannya mendorong ke depan. Itulah pukulan gabungan Swat-im Sin-ciang dan Toat-beng Tok-ciang yang amat hebat!

Pukulan yang mendatangkan suara bercuitan itu amat hebatnya dan Han Han tentu saja mengenal pukulan lihai. Dia tidak berani menerima dengan tubuhnya seperti tadi, apa lagi kini kedua tangan yang mendorong itu menuju ke arah pusarnya. Ia masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar. Cepat ia menggerakkan tangan kirinya, diayun dari kanan ke kiri dengan gerakan menangkis, diam-diam mengerahkan inti tenaga Im-kang yang lebih kuat dari pada Swat-im Sin-ciang. Dua tenaga mukjizat bertemu dan tentu saja Lai Kwan bukan lawan Han Han dalam hal tenaga sakti.

Sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri tidak sanggup menandingi Han Han, apa lagi Lai Kwan. Pemuda murid Toat-beng Ciu-sian-li ini merasa seolah-olah tubuhnya dibawa angin puyuh, kedua lengannya yang mengirim dorongan tadi terbanting ke kanan, dan tubuhnya tak dapat ia cegah lagi ikut terbanting sehingga ia roboh terguling-guling sampai belasan kaki jauhnya!

“Aiiihhhhh...!” Yang berseru ini adalah Kim Cu dan Phoa Ciok Lin, berseru saking heran dan kagetnya. Mereka tentu saja maklum dan mengenal pukulan suheng mereka, dan tahu betapa kuatnya pukulan itu. Akan tetapi Han Han dapat menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang dan akibatnya suheng mereka terpelanting sampai belasan kaki jauhnya!

“Singgggg...!” Ciok Lin sudah mencabut pedangnya.

“Singgggg...!” Kim Cu juga mencabut pedang.

Lai Kwan sudah meloncat bangun. Ia terengah-engah dan bergidik sambil menggoyang pundaknya. Ia merasa betapa hawa dingin menyerang dadanya dan ia hanya mengira bahwa pukulannya yang mengandung Swat-im Sin-ciang tadi membalik oleh tangkisan Han Han yang memiliki sinkang amat kuat. Ia masih tidak tahu bahwa Han Han telah memiliki inti sari Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya. Melihat kedua orang sumoi-nya sudah mencabut pedang, Lai Kwan juga mencabut pedangnya dan melangkah maju.

“Ah, kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas menjadi begini sombong!” kata Lai Kwan. “Akan tetapi karena engkau seorang pengkhianat dan pembela anjing Mancu, engkau akan mati di tangan kami!”

Ucapan itu disusul oleh gerakan pedang yang amat cepat. Pedang di tangan Lai Kwan berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata. Berturut-turut tampak sinar bergulung-gulung ketika Kim Cu dan Ciok Lin menggerakkan pedang mereka. Memang tiga orang muda ini telah menerima ilmu pedang yang amat lihai dari guru mereka. Tiga sinar pedang bergulung-gulung seperti tiga ekor naga sakti mengurung tubuh Han Han. 

Pemuda ini terkejut juga melihat berkelebatnya gulungan sinar pedang yang amat cepat dan mengeluarkan suara berdesing. Ia mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebat dan mengelak ke sana ke sini. Diam-diam Kim Cu kagum bukan main. Ternyata bahwa Han Han kini telah menjadi seorang sakti, tidak saja memiliki sinkang yang lebih kuat dari pada Lai Kwan, bahkan memiliki ginkang yang istimewa sehingga serangan mereka bertiga selalu mengenai tempat kosong!

“Pergilah kalian! Aku tidak ingin membunuh kalian!” Berkali-kali Han Han berseru keras. 

Memang dia takut sekali kalau-kalau ia kesalahan tangan lagi membunuh tiga orang ini. Hal ini amat tidak ia kehendaki, terutama sekali ia takut kalau-kalau ia salah tangan melukai Kim Cu! Akan tetapi seruan-seruannya tidak dipedulikan tiga orang itu yang menjadi makin penasaran, bahkan seruan Han Han itu dianggap oleh mereka sebagai tanda memandang rendah. Mereka mempercepat gerakan pedang mereka dan kini Han Han menjadi sibuk.

Memang, kalau tiga orang itu hanya mengandalkan tenaga sinkang, kiranya mereka takkan dapat berbuat banyak terhadap Han Han yang jauh lebih kuat, juga dalam hal kecepatan gerakan, Han Han menang jauh. Akan tetapi karena mereka menggunakan pedang dan ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang amat hebat gerakannya, Han Han yang belum matang ilmu silatnya itu menjadi bingung. Biar pun ia dapat mengelak cepat, akan tetapi karena dikeroyok tiga dan tidak mengenal perubahan-perubahan gerakan tiga batang pedang yang menyambar-nyambar ganas, tidak dapat ia menghindarkan diri dari sambaran-sambaran pedang sehingga dalam belasan jurus berikutnya, pahanya tergores pedang dan pundaknya juga terluka oleh tusukan ujung pedang.

Melihat pedang mereka berhasil, Lai Kwan dan Ciok Lin lebih bernafsu lagi, hanya Kim Cu saja yang berseru. “Han Han, pergilah. Untuk apa melindungi anjing Mancu dan mengorbankan diri sendiri?”

Seruan ini berkesan di hati Han Han dan ia kembali mencatat sikap baik dari gadis itu terhadapnya. Akan tetapi mana mungkin ia membiarkan cici-nya, cihu-nya, dan keponakannya dibunuh? Dia menjadi bingung sendiri. Semenjak dahulu ia bersumpah dan mengambil keputusan di hatinya untuk membunuh perwira-perwira Mancu yang telah membasmi keluarganya, tujuh orang jumlahnya dan terutama sekali perwira muka kuning dan perwira brewok yang ternyata adalah Giam-ciangkun ini.

Akan tetapi sekarang bagaimana? Ia malah melindungi nyawa perwira yang setiap saat dahulu tak pernah ia lupakan sebagai musuh nomor satu itu, melindunginya dari ancaman bekas suheng-nya dan kedua suci-nya! Bahkan ia terpaksa harus menentang dan bertanding melawan Kim Cu, gadis yang demikian berbudi terhadapnya! Ia menjadi bingung, akan tetapi apa yang harus ia lakukan?

“Mampuslah!” Kembali pedang Lai Kwan berkelebat menusuk perutnya.

Han Han kaget dan dengan hawa pukulan tangan menangkis sehingga pedang itu meleset, tidak jadi menusuk perut akan tetapi masih melukai pahanya dengan goresan pedang. Mulailah ia marah sekali. Mereka ini tidak tahu betapa sejak tadi dia mengalah, hanya mengelak dan sama sekali tidak balas menyerang. Kebingungan hatinya, ditambah rasa nyeri dari luka-luka itu menimbulkan kemarahannya. Tiba-tiba Han Han memekik keras, tubuhnya mundur tiga langkah, kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang!

Tiga orang murid Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah memiliki ilmu Swat-im Sin-ciang, mengenal gerakan ini dan cepat mereka pun melakukan gerakan serupa untuk menjaga diri. Akan tetapi, betapa kaget hati Ciok Lin dan Lai Kwan ketika mereka merasa hawa dingin yang luar biasa menyerang mereka, membuat mereka terhuyung ke belakang dengan muka pucat, kemudian roboh terguling dengan tubuh menggigil kedinginan!

“Swat-im Sin-ciang...!” Kim Cu berseru kaget dan heran, juga khawatir melihat keadaan kedua orang saudara seperguruannya. Dia sendiri tidak dipukul oleh Han Han, maka dia tidak terluka.

Kini dengan cepat ia menerjang maju, pedangnya menusuk dada. Han Han menangkis dengan hawa pukulan Swat-im Sin-ciang, dan hawa dingin yang menyambar dari samping membuat Kim Cu menggigil dan terhuyung. Han Han melangkah maju dan menyambar pedang dari tangan Kim Cu. Gadis itu berdiri terbelalak memandang dengan mulut melongo ketika melihat Han Han yang sudah marah sekali itu melampiaskan kemarahannya pada pedang itu yang dipatah-patahkannya dengan jari tangan seperti orang mematahkan sebatang lidi saja!

“Kim Cu, engkau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi kalian. Harap engkau mengerti dan suka membawa pergi kedua orang saudaramu.”

Sejenak Kim Cu memandang wajah Han Han penuh kekecewaan, mengingatkan Han Han akan pandang mata Kim Cu beberapa tahun yang lalu ketika Kim Cu melepasnya pergi bersama Lulu. Kemudian dengan gerakan lunglai Kim Cu membalikkan tubuh, memeriksa Ciok Lin dan Lai Kwan yang sudah bersila dan menghimpun tenaga menyembuhkan luka mereka. Kim Cu membangunkan mereka, menggandeng mereka, sekali lagi memandang kepada Han Han, kemudian membawa kedua orang saudaranya pergi. Terdengar oleh Han Han isak tertahan keluar dari dada gadis itu!

Ia menghela napas. Setelah bayangan Kim Cu dan kedua saudaranya lenyap di antara pohon-pohon, ia membalikkan tubuh menghadapi Giam-ciangkun dan isterinya.

“Sungguh berbahaya...!” Giam-ciangkun berkata lirih. “Dan ilmu kepandaianmu hebat bukan main... Sie-taihiap.” Panglima yang baru saja terbebas dari maut untuk kedua kalinya, pertama di tangan Han Han dan yang kedua kalinya di tangan murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li itu, amat cerdik dan masih belum berani menyebut Han Han sebagai adik iparnya, berkata penuh kagum.

“Ah, untung ada engkau, Adikku!” kata Sie Leng sambil memeluk adiknya dan mengucurkan air mata. “Kalau tidak, tentu kami sekeluarga telah terbunuh oleh mereka. Han Han, kepandaianmu luar biasa. Mari kau ikut bersama kami ke kota raja, dengan kepandaianmu seperti itu tentu engkau akan mudah mendapatkan kedudukan tinggi.”

“Betul sekali!” Giam-ciangkun berkata. “Aku yang menanggung bahwa engkau tentu akan diangkat menjadi panglima pengawal istana!”

Han Han termenung lalu berkata, “Memang aku hendak pergi ke kota raja, untuk mencari seorang penjahat keji.”

“Siapakah dia, Han-te (Adik Han)? Aku akan dapat membantu mencarinya,” kata Giam-ciangkun penuh gairah.

“Tentu Cihu (Kakak Ipar) tahu siapa dia. Dia bernama Ouwyang Seng...”

“Ah...!” Giam-ciangkun teringat akan semua rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai di dalam rapat di rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok. Akan tetapi ia pura-pura bertanya, “Tentu saja aku mengenalnya. Dia putera Pangeran Ouwyang Cin Kok. Apakah yang telah ia lakukan terhadapmu, Adikku?”

Han Han tidak peduli akan sikap yang amat baik dan mesra dari kakak iparnya yang betapa pun juga masih tidak disukainya itu. “Aku mencarinya karena dia telah menculik Adikku!”

“Eh-eh, Han Han. Adikmu siapa? Engkau tidak mempunyai adik. Anak orang tua kita hanya aku dan engkau!” kata Sie Leng heran.

“Kumaksudkan Adik angkatku, namanya Lulu.”

“Lulu? Seperti nama seorang anak perempuan bangsa Mancu...”

“Memang, Leng-cici. Dia... seorang puteri keluarga perwira Mancu yang tewas dalam perang. Dia diculik Ouwyang Seng.”

Giam-ciangkun tersenyum. “Harap kau jangan khawatir, Adikku. Aku yang menanggung bahwa Adikmu itu tidak akan diganggu. Tidak mungkin ada orang berani mengganggu dia, apa lagi dia puteri perwira Mancu. Kurasa Ouwyang-kongcu menculiknya justru karena mendengar bahwa Adik angkatmu itu puteri Mancu, maka dia menculiknya untuk menyelamatkannya. Bisa jadi dianggap amat membahayakan keselamatan Lulu kalau berada di sampingmu. Biarlah, aku yang akan menemui Ouwyang-kongcu dan pasti Adikmu selamat di kota raja.”

Hati Han Han menjadi lega mendengar ini. Mungkin benar juga apa yang dikatakan iparnya ini. Lulu seorang puteri Mancu, mana mungkin Ouwyang Seng berani mengganggunya? Tentu ada sebab lain mengapa Ouwyang Seng menculik Lulu.

“Baiklah, aku akan ikut bersamamu ke kota raja, Leng-cici.”

Sie Leng girang bukan main dan berangkatlah mereka naik kereta yang dikemudikan oleh Giam-ciangkun sendiri sedangkan Han Han duduk di dalam kereta bersama Sie Leng yang menghujankan pertanyaan yang dijawab singkat saja oleh Han Han. Betapa pun juga, hati Han Han masih belum terbiasa oleh kenyataan bahwa enci-nya menjadi isteri musuh besarnya. Akan tetapi karena Sie Leng benar-benar merasa bahagia dapat bertemu dan berkumpul dengan adiknya, sikapnya jelas membayangkan kebahagiaan dan keharuan sehingga hati Han Han tidak tega untuk menyatakan ketidak-puasan hatinya.

“Leng-cici, aku masih heran mendengar ceritamu tentang Kakek kita tadi.” Ia berkata kemudian. “Benarkah Kakek kita yang bernama Sie Hoat itu berjuluk Jai-hwa-sian dan menjadi tokoh jahat di dunia kang-ouw?”

Sie Leng mengangguk. “Ibu pernah bercerita kepadaku dengan pesan agar hal itu jangan kuceritakan kepada siapa pun juga, tidak pula kepadamu. Apalagi tidak boleh terdengar oleh Ayah. Justru Ayah yang melarang keras cerita itu diketahui orang lain.”

“Akan tetapi aku masih merasa heran. Kalau Kakek merupakan seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang dijuluki Dewa, tentu kepandaiannya hebat. Mengapa Ayah seorang begitu lemah? Kalau Ayah sepandai Kakek, tentu tidak sampai mengalami nasib demikian menyedihkan. Cici, apakah engkau mengetahui cerita selengkapnya?”

Sie Leng menghela napas panjang. Bicara tentang keluarganya merupakan pengalaman pahit yang menyakitkan hati, karena hal itu mengingatkan dia bahwa suaminya yang tercinta merupakan seorang di antara mereka yang membasmi keluarganya. Kemudian ia berkata, “Aku pun hanya mendengar cerita dari Ibu. Akan tetapi engkau sekarang sudah dewasa, sebaiknya kalau kuceritakan kepadamu, sungguh pun cerita Ibu itu pun tidak lengkap dan tidak jelas karena urusan itu selalu dirahasiakan oleh Ayah.”

Sie Leng lalu bercerita seperti yang ia dengar dari ibunya. Puluhan tahun yang lalu, kakek mereka, yaitu ayah dari ayah mereka yang bernama Sie Hoat terkenal sebagai seorang tokoh dunia hitam yang amat ditakuti orang dan berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), yaitu seorang penjahat besar yang biasanya suka menculik wanita-wanita, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang, kemudian diperkosanya. Kalau hatinya puas dengan wanita itu, maka wanita itu tidak akan dibunuh, bahkan diberi hadiah banyak benda berharga mahal hasil curian di istana-istana pangeran atau hartawan. Akan tetapi kalau wanita itu mengecewakan hatinya, apa lagi melawan, lalu dibunuhnya secara keji, ditelanjangi dan disayat-sayat tubuhnya.

Karena banyak tokoh kang-ouw yang berusaha menentangnya tewas pula di tangan penjahat cabul yang amat lihai ini, maka namanya makin terkenal dan dia ditakuti oleh tokoh-tokoh kang-ouw. Wanita yang memuaskan hatinya pun hanya beberapa kali saja didatangi, kemudian ia tinggalkan begitu saja karena tokoh jahat ini tidak pernah mau mengikatkan diri kepada seorang wanita. Ada dikabarkan di antara para tokoh kang-ouw bahwa dia sesungguhnya mempunyai isteri dan anak, akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu betul akan hal ini.

Di antara para wanita yang memuaskan hatinya dan yang ia datangi sampai belasan kali hanya seorang gadis puteri seorang sastrawan she Kwa. Orang tua gadis yang bernasib malang ini tahu dari puterinya bahwa puterinya menjadi korban Jai-hwa-sian, akan tetapi apakah yang dapat mereka lakukan? Dengan hati perih mereka itu hanya dapat menutup rapat rahasia itu.

Akan tetapi betapa sedih hati mereka ibu ayah dan anak itu ketika terdapat kenyataan bahwa gadis itu mengandung, sebagai akibat gangguan Jai-hwa-sian selama belasan kali itu. Jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh hanyalah pindah secara diam-diam dari dusun mereka ke tempat lain dan di tempat baru ini puteri mereka diperkenalkan sebagai seorang janda muda yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan mengandung.

Demikianlah, gadis she Kwa itu kemudian melahirkan seorang putera. Kakeknya, sastrawan Kwa, yang khawatir kalau-kalau anak keturunan Jai-hwa-sian itu akan mewarisi watak ayahnya, lalu memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil anak itu dididik kesusastraan oleh kakeknya, sama sekali tidak diperbolehkan belajar ilmu silat. Ibu anak itu meninggal dunia tidak lama kemudian karena menanggung penderitaan batin yang hebat, karena sebenarnya gadis she Kwa ini sudah jatuh cinta kepada Jai-hwa-sian yang memang tampan dan pandai merayu wanita.

Setelah dewasa, kakeknya menceritakan Sie Bun An tentang riwayat ibunya, maka tahulah Sie Bun An bahwa dia adalah putera penjahat besar Sie Hoat yang berjuluk Jai-hwa-sian! Hal ini membuat pemuda yang semenjak kecil dididik kesusastraan dan mempelajari filsafat itu membenci ayahnya dan sama sekali tidak pernah bercerita kepada lain orang. Ia amat maju dalam pelajarannya sehingga mendapat sebutan siucai setelah lulus ujian kota raja. Dia lalu dikawinkan dan hidup sebagai siucai di Kam-chi.

“Demikianlah riwayat yang kudengar dari Ibu kita, Han Han. Siapa kira, biar pun Ayah kita tidak mewarisi kepandaian Kakek kita itu, sekarang engkau memiliki ilmu silat yang begitu tinggi. Kiranya engkau yang mewarisi kepandaiannya, akan tetapi kuharap engkau tidak akan mewarisi wataknya.”

Han Han menghela napas panjang. Teringat ia akan ucapan-ucapan Gak Liat Si Setan Botak yang tertawa bergelak ketika mendengar bahwa kakeknya bernama Sie Hoat dan menyebut kakeknya itu sebagai Jai-hwa-sian! Pantas saja Gak Liat mentertawakannya karena kakek itu memperkosa Bhok Khim dan ia mencoba untuk menentangnya. Memang mentertawakan kalau cucu Jai-hwa-sian mencela perbuatan Gak Liat, karena perbuatan Gak Liat memperkosa Bhok Khim itu masih belum apa-apa kalau dibandingkan dengan perbuatan Jai-hwa-sian terhadap ratusan, bahkan ribuan orang wanita!

“Hemmm, aku merasa malu untuk mengaku menjadi cucu seorang jahanam keji seperti Jai-hwa-sian, Cici.” Suara Han Han begitu dingin sehingga Sie Leng sendiri mengkirik mendengarnya. Ia teringat akan perbuatan Giam Cu kepadanya dan ia mulai merasa ragu-ragu apakah adiknya ini tidak amat membenci suaminya! Juga ia merasa ngeri kalau mengingat bahwa si pemerkosa ibu mereka adalah Giam Kok Ma, seorang panglima yang berada di kota raja pula.....
********************
Han Han kagum menyaksikan rumah enci-nya yang seperti istana, lengkap dengan perabot rumah yang serba mewah dan rumah itu sendiri amat besar, penuh dengan pelayan. Dia diperlakukan dengan sikap hormat sekali oleh cihu-nya dan karena pada dasarnya Han Han adalah seorang yang perasa dan mudah tunduk oleh sikap lunak, ia menjadi makin tidak enak hatinya. Mau membalas kebaikan cihu-nya, ia selalu teringat akan terbasminya keluarganya, mau bersikap kasar, cihu-nya amat hormat kepadanya dan ia juga merasa kasihan kepada cici-nya yang amat mencinta suaminya. Yang merupakan hiburan hatinya adalah Kwi Hong, keponakannya yang mungil dan pandai bicara. Ia sering kali bermain-main dengan keponakannya itu, akan tetapi kalau teringat kepada Lulu, hatinya menjadi murung lagi.

Seperti telah dijanjikannya, setiba di kota raja cihu-nya itu lalu mengunjungi rumah Pangeran Ouwyang Cin Kok dan dengan girang sekali ia menceritakan pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Sie Han, pemuda perkasa yang aneh dan yang menjadi bahan percakapan dalam sidang tempo hari.

“Ah, kiranya dia adalah Adik isterimu sendiri? Ha-ha-ha, bagus sekali kalau begitu!” Pangeran Ouwyang Cin Kok bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya.

“Akan tetapi wataknya amat aneh dan sukar diselami, Ong-ya, bahkan isteri hamba yang menjadi kakaknya sendiri pun menyatakan bahwa perubahan amat aneh dan amat besar terjadi pada adiknya sehingga hampir ia tidak mengenal watak adiknya. Pula, ada sebuah hal yang amat membahayakan sehingga hamba khawatir kalau-kalau dia akan mengamuk. Kepandaiannya benar-benar menakjubkan sekali. Hamba khawatir...”

“Hemmm, tentang kepandaiannya, aku sudah mendengar dari puteraku. Betapa pun pandainya, jago-jago sakti kita akan mampu menundukkannya.”

“Tentang Ouwyang-kongcu inilah yang mengkhawatirkan hati hamba. Menurut pernyataannya, Adik angkatnya yang bernama Lulu, puteri Mancu itu, diculik oleh Ouwyang-kongcu dan dia marah sekali, mengancam hendak membunuh Kongcu kalau Adiknya tidak dibebaskan dalam keadaan selamat.”

Pangeran Ouwyang Cin Kok mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang.

“Aahhh, sungguh kedua orang bocah itu mendatangkan banyak kerepotan saja! Adik isterimu itu aneh dan sudah mendatangkan banyak pusing, kini Adik angkatnya itu pun tidak kalah anehnya. Memang Lulu itu itu anak perwira yang menjadi korban penyerbuan kaum pemberontak beberapa tahun yang lalu. Anak itu disangka mati, kiranya muncul sebagai Adik angkat iparmu! Ouwyang Seng sudah berhasil menculiknya dan karena Kaisar merasa kasihan akan nasib anak itu, mengingat pula akan jasa orang tuanya, Lulu diperbolehkan tinggal di dalam istana sebagai dayang istana. Akan tetapi celaka sekali, baru beberapa hari saja bocah itu telah menghilang, minggat entah ke mana! Kini Ouwyang Seng yang bingung pergi mencarinya, karena lenyapnya Lulu tadinya dianggap mengacaukan rencana memancing Han Han ke kota raja. Siapa tahu dia telah ikut bersamamu. Kini Han Han mencari Lulu, benar-benar memusingkan!”

Giam-ciangkun juga menjadi bingung. “Wah, kalau begitu bagaimana baiknya? Han Han tentu tidak akan mempercayai keterangan itu dan hal ini bisa berbahaya.”

“Jangan khawatir. Katakan saja terus terang bahwa Lulu minggat dari istana. Kalau tidak percaya boleh suruh dia menyelidiki ke istana. Sementara itu, engkau harus dapat membujuknya dan memperkenalkannya kepada para tokoh pengawal dan pembantu. Sementara menanti kembalinya Gak-locianpwe dan keponakanku Puteri Nirahai, juga puteraku, kita harus dapat membujuknya. Kalau perlu, kita menggunakan akal untuk membuat dia tidak berdaya.”

Mereka berunding, bahkan Pangeran Ouwyang Cin Kok lalu memanggil tokoh-tokoh yang berada di kota raja, di antaranya adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong Lek dan Bhong Poa Sik, Hek-giam-ong, Pek-giam-ong dan Hiat-ciang-sian-li Ma Su Nio yang ketiganya adalah murid-murid Setan Botak Gak Liat dan beberapa orang panglima pengawal, termasuk Giam Kok Ma Ciangkun, panglima bermuka kuning yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han.

Kemudian diambil keputusan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh ini kepada Han Han di rumah Giam-ciangkun karena di situ terdapat Sie Leng yang dianggap dapat menundukkan Han Han apa bila pemuda itu bersikap menentang. Sebelum pertemuan itu dibubarkan, diam-diam Giam Cu berbisik kepada Giam Kok Ma yang menjadi pucat sekali mukanya. Panglima muka kuning ini mendengar betapa Han Han mencarinya dan tentu akan membunuhnya kalau berjumpa, mengingat bahwa Giam Kok Ma inilah yang dahulu memperkosa dan membunuh ibu Han Han. Panglima muka kuning ini lalu pulang ke rumahnya dengan muka makin kuning dan jantung berdebar-debar gelisah.

Setelah tiba di rumahnya, Giam Cu disambut oleh isterinya dan Han Han yang ingin segera mendengar bagaimana kabarnya tentang diri adiknya. Giam-ciangkun menarik napas panjang dan berkata, “Wah, Han-te. Adik angkatmu itu benar-benar membikin pusing kita semua.”

“Bagaimanakah? Di mana Lulu?”

“Tepat seperti dugaanku, karena Lulu adalah puteri perwira, Ouwyang-kongcu sama sekali tidak berani mengganggunya dan memang tidak berniat mengganggunya. Bahkan Lulu dihadapkan kepada Kaisar sendiri yang mengingat akan jasa-jasa Ayahnya lalu mengangkat Lulu menjadi dayang istana, yaitu para siuli yang menjadi pelayan dalam dan sebagai puteri-puteri yang terhormat. Akan tetapi, entah mengapa, setelah mendapat kemuliaan itu, baru beberapa hari saja tahu-tahu Lulu telah minggat dari istana. Entah ke mana perginya tak seorang pun mengetahuinya!”

Wajah Han Han yang tadinya bergembira dan lega itu kini berubah menjadi suram. Ia memandang tajam kepada Gam-ciangkun dan berkata, “Apakah Cihu menceritakan hal yang sebenarnya?”

“Han Han, Cihu-mu tidak pernah berbohong!” Sie Leng berkata menegur adiknya.

“Tidak mengherankan kalau Han-te kurang percaya. Akan tetapi aku berani bersumpah dan kalau hal itu pun masih kurang meyakinkan hatimu, boleh saja Han-te melakukan penyelidikan sendiri ke istana dan bertanya-tanya. Kurasa tidak semua petugas istana dapat melakukan kebohongan yang sama.”

Han Han duduk melamun. Ia percaya karena apa perlunya berbohong kepadanya? Pula, setelah tinggal di situ beberapa hari lamanya, ia mendapat kenyataan bahwa cihu-nya benar-benar mencinta cici-nya dan bahwa benar-benar cici-nya hidup bahagia di situ. Ia menghela napas panjang.

“Kalau begitu, aku pun tidak bisa lama tinggal di sini. Aku harus pergi mencari jejak Lulu. Tidak mungkin aku dapat membiarkan adikku itu merana seorang diri. Aku merasa yakin bahwa pasti dia minggat untuk mencariku.”

“Ah, mengapa terburu-buru, Adik Han Han! Istana sendiri telah berusaha mencarinya dan banyak penyelidik telah disebar untuk mencari Lulu, bahkan ada perintah dari Kaisar sendiri untuk memanggil gadis itu. Kurasa, sebagai seorang gadis Mancu dia tidak akan berani membangkang terhadap perintah Kaisar. Lebih baik engkau menanti di sini, pasti akan dapat ditemukan. Sementara itu, engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi apakah tidak ingin berkenalan dengan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang berada di sini? Aku telah mengundang mereka dan mereka ingin benar berkenalan denganmu. Di antara mereka terdapat seorang tokoh sakti dan aneh berjuluk Sin-tiauw-kwi yang kabarnya murid keturunan tokoh sakti Hek-giam-lo dari Khitan. Ada lagi kakak beradik yang berjuluk Tikus Kuburan, juga mereka memiliki ilmu yang luar biasa lihainya. Di samping itu, lebih baik kau tunggu tokoh yang paling hebat di antara kita semua, yaitu Puteri Nirahai yang memiliki ilmu kepandaian mukjizat biar pun dia hanya seorang gadis muda, dia memiliki ilmu keturunan dari pendekar wanita sakti Mutiara Hitam di Khitan!”

Hati Han Han tertarik juga mendengar ucapan itu, terutama sekali mendengar nama Puteri Nirahai. Bukankah itu puteri Mancu yang amat lihai, yang telah mengatur siasat mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Kalau Nirahai memiliki ilmu keturunan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, berarti gadis Mancu itu masih mempunyai hubungan perguruan dengan Siang-mo-kiam Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang sakti Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh sendiri itu karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam.

Selain ingin bertemu dengan orang-orang sakti yang disebut cihu-nya itu, juga memang kalau dipikir, ke mana ia harus mencari adiknya yang telah melarikan diri dari istana? Adiknya memang nakal, diberi kemuliaan di istana tidak betah dan malah minggat tanpa pamit. Ia tertawa di dalam hatinya. Kalau Lulu tidak menghendaki, biar kaisar sendiri tidak akan dapat menahannya! Adiknya memang nakal dan lucu, tentu sekarang sedang bingung mencari-carinya, padahal dia sudah berada di kota raja! Kaisar mempunyai kaki tangan di mana-mana, tentu lebih mudah mencari adiknya itu.....

Melihat pemuda aneh itu agaknya sudah dapat terbujuk, Giam-ciangkun menjadi girang dan mengatur rencana untuk mempertemukan Han Han dengan para tokoh lain, bahkan mulai membujuk-bujuk Han Han betapa senangnya kalau pemuda itu suka menjadi pengawal atau jagoan kerajaan.

“Engkau akan cepat mendapat kemajuan, namamu akan dikenal di seluruh negeri, akan mendapat kehormatan besar bahkan siapa tahu kelak akan mendapat kehormatan menjadi pengawal pribadi kaisar sendiri,” demikian antara lain Giam-ciangkun membujuk adik iparnya.

Han Han menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau menjadi panglima pengawal kalau pekerjaannya hanya membunuhi orang-orang, Cihu. Selain aku tidak mempunyai cita-cita menjadi pembesar, juga agaknya tidak mungkin aku menjadi pembesar Mancu karena aku masih harus membunuh enam orang perwira Mancu.”

Giam-ciangkun mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah maksudmu, Han Han?”

Han Han memandang cihu-nya dengan tajam. Kini ia mendapatkan kesempatan untuk bicara berdua dengan cihu-nya. “Cihu tentu mengerti bahwa aku telah bersumpah untuk membunuh tujuh orang perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuaku. Cihu sendiri karena sudah menjadi suami Cici-ku dan kulihat memang Cihu saling mencinta dengan Cici, maka aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi enam orang perwira lainnya, terutama sekali perwira muka kuning yang telah memperkosa dan membunuh mendiang Ibuku, tak dapat aku mengampuninya begitu saja. Sebelum aku dapat membunuh enam orang perwira itu, tidak mungkin aku menjadi petugas kaisar.”

Wajah panglima tinggi besar yang penuh jenggot terpelihara baik-baik itu berubah pucat. “Aihhhhh, Adik Han Han. Apakah engkau tidak dapat melupakan hal itu? Apakah engkau tidak dapat menerima kenyataan dan menganggap peristiwa itu sebagai peristiwa dalam perang yang lazim terjadi?”

Han Han menggeleng kepalanya. “Perang atau tidak, perbuatan manusia dapat dibedakan bagaimana yang jahat dan bagaimana pula yang baik. Kalau orang tuaku tewas dalam pertempuran, aku pun tidak begitu bodoh untuk mencari pembunuh-pembunuhnya. Akan tetapi orang tuaku tidak terbasmi selagi bertempur, melainkan dibasmi secara keji tanpa alasan. Tidak, Cihu. Tidak mungkin aku mengampuni enam orang perwira yang lain!”

Giam-ciangkuan tidak berkata apa-apa lagi, akan tetapi Han Han maklum bahwa perasaan cihu-nya tersinggung, akan tetapi dia tidak mempedulikannya. Bahkan pada malam harinya, karena ia telah menaruh curiga akan sikap cihu-nya yang ia tahu menaruh ganjelan hati terhadap dirinya, dengan mempergunakan kepandaiannya Han Han dapat menyelinap mendekati jendela kamar cici-nya dan mendengar percakapan lirih yang terjadi di dalam kamar itu. Bagi orang yang tidak memiliki sinkang tinggi sehingga daya tangkap telinganya amat tajam, tidak mungkin mendengarkan percakapan di dalam kamar yang dilakukan sambil berbisik-bisik itu.

“Sungguh celaka. Adikmu itu tentu akan menimbulkan mala petaka besar. Dia masih mendendam kepada Giam Kok Ma dan lima orang perwira lainnya yang dulu menyerbu rumahmu. Dia bersumpah untuk membunuh mereka.”

“Aih, anak itu memang keras hati sekali. Aku tidak peduli kalau mereka berenam itu dibunuh, akan tetapi kalau dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, tentu dia akan dikejar-keiar dan ditangkap. Bagaimana baiknya, suamiku?”

“Satu-satunya jalan untuk menghindarkan pembunuhan adalah memberi tahu mereka agar cepat-cepat meninggalkan kota raja dan jangan menampakkan diri sebelum Han Han pergi dari kota raja. Kurasa, kalau terlalu lama anak itu berada di sini akhirnya pasti akan timbul mala petaka. Wataknya aneh sekali.”

Cici-nya menghela napas panjang. “Betapa berat rasa hatiku harus berpisah kembali dengan saudara kandungku yang hanya satu-satunya itu. Akan tetapi agaknya ucapanmu itu benar sekali dan terserahlah apa yang hendak kau lakukan, asal Han Han terbebas dari pada bahaya.”

“Aku akan mengirim surat sekarang juga kepada Giam Kok Ma, agar dia bersama lima orang kawan lain itu melarikan diri.”

Han Han cepat menyelinap pergi, jantungnya berdebar keras. Ia agak terharu mendengar ucapan cici-nya, juga ia percaya bahwa cihu-nya tidak akan mencelakainya. Akan tetapi mendengar bahwa cihu-nya hendak mengirim surat kepada perwira yang bernama Giam Kok Ma, ia girang sekali. Kiranya enam orang musuh besarnya yang lain itu berada di kota raja pula! Tentu Giam Kok Ma itu pun seorang di antara enam orang perwira itu.

Perwira rendahan yang diutus Giam-ciangkun membawa surat itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang membayangi perjalanannya seperti setan. Ia tidak tahu sama sekali bahwa bayangan yang mengikutinya itu terus ikut memasuki halaman istana Panglima Giam Kok Ma, dan bayangan yang bukan lain adalah Han Han itu menyelinap ke dalam gelap setelah tiba di istana itu.

Bahkan ketika perwira utusan itu menyampaikan surat kepada Panglima Giam Kok Ma yang membaca surat itu dengan muka berkerut-kerut, Han Han mengintai dari lubang di atas genteng. Sinar mata Han Han berapi-api ketika mengenali panglima yang mukanya kuning itu. Itulah dia si keparat yang dahulu memperkosa ibunya!

Mukanya terasa panas dan kalau menurutkan nafsunya, ingin ia pada saat itu juga melompat ke dalam kamar dan membunuh musuh besarnya itu. Akan tetapi Han Han menahan kemarahannya. Lebih baik menanti sampai mereka semua berkumpul, pikirnya. Kalau kubunuh dia sekarang, aku masih harus mencari yang lima orang lainnya dan hal itu tidak akan mudah. Apa lagi cihu-nya sama sekali tidak suka membantunya dalam hal pembalasan dendam ini dan hal ini pun ia maklumi, bahkan cihu-nya tentu saja akan memberi kabar secara diam-diam kepada rekan-rekannya untuk melarikan diri.

Han Han memang telah mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi betapa pun juga dia hanya seorang pemuda yang kurang pengalaman. Mana mungkin ia dapat menandingi kecerdikan tokoh-tokoh istana? Dia sama sekali tidak tahu, bahkan tidak menduga sedikit pun bahwa sesungguhnya semua ini telah diatur dan direncanakan oleh para tokoh itu, di bawah pimpinan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Tidak tahu bahwa semua itu adalah pelaksanaan siasat mereka.

Karena Giam-ciangkun maklum bahwa di dalam hatinya Han Han tidak senang kepadanya dan bahwa pemuda ini merupakan ancaman baginya untuk selama hidupnya, maka ia telah mengatur rencana bersama Ouwyang Cin Kok dan para tokoh lainnya. Kalau mereka menanti kembalinya Gak Liat, Puteri Nirahai dan Ouwyang Seng, tentu akan memakan waktu lama dan siapa tahu dalam waktu itu apa yang akan dilakukan pemuda aneh itu. Apa pun yang dilakukannya, pasti menimbulkan kengerian dalam hati mereka, mengingat betapa mudahnya Han Han membunuh puluhan orang pengawal.

Kebetulan sekali dua hari sebelum Han Han mendengarkan percakapan antara cihu dan cici-nya, muncul seorang nenek yang luar biasa di waktu malam di dalam gedung istana Pangeran Ouwyang Cin Kok. Munculnya seperti iblis saja, tahu-tahu telah berada di ruangan dalam tanpa diketahui oleh para pengawal yang menjaga. Kehadirannya baru diketahui hanya setelah dia lewat di kamar yang dijadikan kamar tidur Sin-tiauw-kwi Ciam Tek saja.

“Rebahlah!” Tiba-tiba nenek itu mendengar suara kaku di belakangnya.

Nenek itu merasa betapa ada angin pukulan yang hebat luar biasa mendorongnya dari belakang. Nenek ini bukan lain adalah Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Maklum bahwa ada orang berkepandaian tinggi menyerangnya dari belakang, nenek ini memutar tubuhnya. Pemutaran tubuhnya ini didahului oleh menyambarnya anting-anting panjang berbentuk rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya. Rantai gelang itu menyambar ke depan menangkis pukulan Sin-tiauw-kwi Ciam Tek.

“Tranggggg...!”

Pukulan yang dilakukan Sin-tiauw-kwi adalah pukulan Hek-in Sin-ciang. Dari kedua telapak tangannya mengebul asap hitam, hebatnya bukan main. Ketika ujung rantai gelang bertemu dengan tangan Si Burung Hantu, sebuah gelang terlepas, akan tetapi bukan terlepas runtuh, melainkan terlepas dan meluncur ke arah tubuh Si Burung Hantu, menyambar jalan darah mematikan di tenggorokan!

Kedua orang tokoh sakti itu sama-sama terkejut, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut ketika tangkisan senjatanya yang aneh itu mengakibatkan sebuah gelang putus, maka ia membuat gelang itu meluncur menyerang lawan sambil meloncat mundur. Ada pun Sin-tiauw-kwi Ciam Tek terkejut bukan main bahwa serangannya yang amat ampuh itu selain dapat dihindarkan lawan, juga lawan yang lihai itu malah berbalik menyerang dengan senjata rahasia yang aneh itu. Cepat ia miringkan kepalanya dan mulutnya yang runcing meniup gelang itu sehingga menyeleweng dan masuk ke dalam dinding!

Mendengar suara ribut-ribut, sebentar saja ruangan itu penuh dengan para pengawal yang mengepung nenek itu. Kakak beradik Tikus Kuburan yang mengenal nenek itu berseru dengan kaget, “Ah, kiranya Toat-beng Ciu-sian-li yang datang?”

Nenek yang tadinya menyapu para pengawal yang mengurungnya dengan pandang mata mengejek, kini memandang kakak beradik itu dan berkata, “Eh-eh, agaknya kedua Tikus Kuburan juga kesasar sampai di sini. Orang-orang she Bhong, aku memenuhi undangan Setan Botak yang menyatakan bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok membutuhkan bantuan orang pandai, akan tetapi beginikah penerimaan Pangeran Ouwyang Cin Kok terhadap tamunya? Siapa kira Pangeran Ouwyang memelihara anjing galak yang mukanya seperti burung sekarat!” Ia melirik kepada Sin-tiauw-kwi yang mendengus saja mendengar ucapan menghina itu.

Pangeran Ouwyang Cin Kok yang telah bangun pula tadi bersembunyi di tempat rahasia. Ketika mendengar bahwa nenek yang mengerikan itu adalah Toat-beng Ciu-sian-li, dan melihat bahwa jagoan-jagoannya telah berada di situ, kini berani muncul dan ia segera berkata.

“Ah, harap locianpwe suka memaafkan orang-orangku. Karena kedatangan locianpwe tanpa memberi tahu dan pada tengah malam secara begini mengejutkan, maka orang-orangku tidak mengenal locianpwe. Silakan duduk.”

Toat-beng Ciu-sian-li sejenak memandang wajah pangeran itu, lalu tertawa dan minum araknya dari guci arak yang selalu diselipkan di pinggang, kemudian tertawa lagi sehingga kepalanya bergoyang-goyang dan anting-antingnya yang besar dan amat panjang itu mengeluarkan bunyi berkerincingan.

“He-he-he, Pangeran Ouwyang dapat menghargai orang pandai, itu bagus! Eh, Ouwyang Ong-ya, anjingmu ini selain galak juga lihai sekali. Siapakah dia?” Ia menudingkan telunjuknya ke arah Sin-tiauw-kwi yang sudah berdiri dengan sebelah kaki.

“Apakah locianpwe belum mengenalnya? Dia berjuluk Sin-tiauw-kwi.”

Nenek itu membelalakkan kedua matanya. “Wah-wah, kiranya inikah Si Burung Hantu? Luar biasa sekali, pantas dengan namanya, memang engkau buruk seperti burung hantu. Aku ingin sekali mencoba kepandaianmu!”

“Hemmm, nenek tua bangka. Bukankah engkau ini seorang di antara selir-selir Suma Kiat? Aku pun ingin mencoba gebukan-gebukanmu beberapa jurus! Kapan saja dan di mana saja!”

Mendengar ini, di dalam hatinya Pangeran Ouwyang Cin Kok mengomel. Celaka sekali orang-orang sakti yang wataknya aneh ini. Kalau dibiarkan tentu akan saling gebuk dan rumahnya menjadi arena perkelahian di antara pembantu-pembantunya sendiri. Bisa berabe! Cepat ia tertawa dan meloncat ke depan.

“Harap ji-wi suka menangguhkan pibu itu untuk lain kali saja. Sekarang ada urusan yang amat penting yang kuharapkan akan mendapat bantuan Ciu-sian-li. Marilah kita bicara di dalam ruangan belakang. Silakan, locianpwe.”

Demikianlah pangeran yang cerdik ini berunding dengan tokoh-tokoh itu dan hasil perundingan ini merupakan siasat yang dijalankan Giam-ciangkun terhadap Han Han. Di luar tahu pemuda itu sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li yang lihai membayangi pemuda ini, terus membayanginya ketika Han Han mengikuti utusan yang membawa surat Giam-ciangkun kepada rekannya, si panglima muka kuning, Giam Kok Ma.

Ini sudah termasuk rencana mereka. Kalau Han Han langsung turun tangan terhadap Giam Kok Ma, tentu ia akan berhadapan dengan Toat-beng Ciu-sian-li. Kalau tidak dan pemuda ini mengikuti Giam Kok Ma seperti yang mereka duga, hal ini pun sudah mereka persiapkan untuk menyambut pemuda itu!

Ketika Han Han mengintai dari atas genteng di gedung Giam Kok Ma, ia mendengar musuh besarnya itu berkata.

“Baiklah, sampaikan kepada Giam-ciangkun bahwa aku sudah mengerti akan isi suratnya dan besok pagi-pagi aku akan menghubungi rekan-rekan yang terancam.”

Mendengar ini Han Han lalu meninggalkan gedung dan bersembunyi di atas sebatang pohon sambil menjaga. Pada keesokan harinya, ia melihat Giam Kok Ma, musuh besarnya itu meninggalkan gedung menunggang kuda dikawal oleh enam orang pengawal. Ia cepat meloncat turun dan mempergunakan ginkang-nya mengikuti dari jauh. Larinya cepat sekali sehingga biar pun panglima bersama pengawal-pengawalnya itu membalapkan kuda, ia masih dapat mengikuti mereka.

Jauh di luar kota, rombongan itu memasuki sebuah hutan dan ternyata di pinggir hutan itu terdapat sebuah bangunan yang indah, agaknya sebuah rumah peristirahatan pembesar Mancu. Ia melihat Giam Kok Ma memasuki rumah itu, sedangkan para pengawal lalu menuntun kuda ke kandang kuda dan masuk di bagian belakang gedung itu.

Han Han cepat melayang naik ke atas genteng. Dari atas ia mencari-cari namun tidak melihat bayangan musuhnya. Ia mencari terus dan akhirnya karena khawatir kalau-kalau kehilangan musuhnya, ia meloncat turun masuk ke dalam melalui jendela dan tiba di sebuah ruangan yang luas. Baru saja kakinya menginjak lantai, sebuah pintu terbuka dan yang muncul adalah... Giam Cu cihu-nya.

“Eh, Adik Han Han! Mengapa engkau berada di sini?” Panglima brewok ini bertanya dengan wajah kaget dan heran.

“Cihu, ini rumah siapakah?” Han Han balas bertanya, suaranya juga heran akan tetapi kereng dan dingin.

“Ini rumahku, rumah peristirahatan!” jawab cihu-nya. “Dan sungguh kebetulan sekali kedatanganmu, Adikku. Memang aku sedang memanggil berkumpul tokoh-tokoh pengawal istana di sini untuk memperkenalkannya kepadamu. Siapa tahu, engkau malah sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?”

“Cihu, aku mengejar musuh besarku, perwira muka kuning! Ke mana dia? Harap Cihu jangan mencampuri, suruh dia keluar bersama musuh-musuhku yang lain!”

“Eh-eh, Adik Han Han. Mengapa engkau memaksa diri hendak menyebabkan kekacauan? Harap kau suka memandang mukaku dan mengingat Encimu. Jika engkau melakukan hal-hal yang mengacaukan di sini, dan membunuh panglima-panglima kerajaan, berarti engkau akan mendatangkan mala petaka kepadaku.”

“Mengapa mereka datang ke rumah Cihu di sini? Mau apa? Apa artinya ini semua?”

“Adikku, mereka adalah panglima-panglima kerajaan, tentu saja mereka pun sudah biasa mengadakan pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih baik kuperkenalkan kau dengan para pengawal.”

Pada saat itu beberapa buah pintu terbuka dan muncullah tiga orang yang amat aneh keadaannya. Han Han memandang tajam dan ia pun siap dan waspada, maklum bahwa tiga orang yang muncul ini bukanlah orang-orang sembarangan dan ia mulai curiga terhadap cihu-nya.

“Sam-wi locianpwe, inilah Adik iparku yang gagah perkasa dan yang telah mem-persiapkan tenaganya untuk membantu kerajaan. Inilah pendekar muda Sie Han.” Giam-ciangkun memperkenalkan, kemudian berkata kepada Han Han, “Adikku, locianpwe itu adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Ada pun kedua orang locianpwe ini adalah kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang Tikus Kuburan, juga memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”

Han Han memandang mereka, terutama sekali Si Burung Hantu yang amat aneh keadaannya itu. Burung Hantu memandang Han Han dengan mata disipitkan, jelas sekali memandang rendah, kemudian berkata.

“Ehemmm, Adik iparmu ini lumayan juga, Giam-ciangkun!” Mungkin karena ketika bicara mulutnya terbuka dan mengeluarkan bau yang seperti sampah, dua ekor lalat terbang menyambar ke arah mulutnya.

“Heh, segala macam lalat mengganggu saja!” kata Si Burung Hantu dan dua kali tampak sinar berkelebat-kelebat ketika manusia aneh ini menggerakkan senjatanya yang seperti sabit dan... tubuh dua ekor lalat kecil itu jatuh ke lantai, terbelah menjadi dua!

Han Han yang melihat ini diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali, maklum bahwa manusia yang seperti burung itu benar-benar amat sakti. Akan tetapi dia tidak mau peduli, lalu berkata kepada Giam-ciangkun, “Cihu, aku tidak ingin berkenalan dengan para locianpwe ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuh-musuhku. Suruh mereka keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di dalam rumah ini!”

“Heh-heh, bocah yang menjadi iparmu ini sungguh tidak memandang mata kepada kami, Ciangkun. Siapakah yang menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya di sini?” tanya Bhong Poa Sik yang kepalanya botak dan ubun-ubunnya ada ‘telur’-nya.

Giam-ciangkun menarik napas panjang. “Hemmm, inilah yang menyusahkan hatiku, Sam-wi Locianpwe. Adik iparku ini mempunyai dendam pribadi terhadap rekan kita Giam Kok Ma dan lima orang panglima lain dan berkeras hendak membunuh mereka. Bagaimana aku harus berbuat? Dia ini adalah Adik iparku sendiri, sedangkan membunuh enam orang rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku Han Han, pikirlah baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang tidak ada gunanya itu dan marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para locianpwe ini. Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan dapat menghargai seorang pandai.”

Han Han mengerutkan keningnya dan menggeleng kepala. “Tidak bisa, Cihu. Dari pada menjadi seorang anak yang puthauw (durhaka), yang tidak mau membalas kematian keluarga orang tuaku, lebih baik aku menempuh segala bahaya sampai mati!”

“Hem, bocah sombong. Engkau hendak membunuhi enam orang panglima kerajaan? Wah-wah, nanti dulu! Apa kau kira hadirnya orang macam aku di sini tiada gunanya? Lawan dulu sabitku, baru boleh kau coba-coba melanjutkan niatmu yang jahat!” Sin-tiauw-kwi mengejek dan kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu meloncat-loncat seperti burung, maju mendekati Han Han.

“Orang muda, dengan adanya kami di sini, mana mungkin engkau akan membunuh panglima kerajaan? Jangan mimpi di siang hari!” bentak Bhong Lek yang sudah maju pula bersama adiknya.

Han Han mengerutkan keningnya dan memandang kakak iparnya, lalu berkata, suaranya dingin sekali. “Hemmm, beginikah kehendakmu, Cihu?”

Bertemu pandang dengan adik iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri. Pandang mata Han Han seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi hatinya, maka sambil menggerakkan pundaknya dan mengalihkan pandang ia menjawab, “Engkaulah yang menyusahkan aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang pun di sini yang akan membiarkan engkau membunuh orang, apa lagi hendak membunuh enam orang panglima. Bahkan aku sendiri mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau aku membiarkanmu, berarti aku seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau sadar?”

Han Han memutar otaknya dan teringatlah ia akan semua kejadian semenjak malam tadi. Ia ingat akan percakapan antara cihu-nya dan cici-nya, kemudian teringat akan perbuatan Giam Kok Ma sehingga perwira itu pergi ke tempat ini. Ternyata cihu-nya sudah berada di sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua ini sudah diatur lebih dulu? Dugaan ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia mengangkat muka membusungkan dada.

“Keputusanku sudah jelas! Aku akan mencari Si Keparat Panglima Muka Kuning yang bernama Giam Kok Ma itu dan lima orang sekutunya yang dulu menghancurkan keluarga orang tuaku. Jika ada yang ingin menghalangi, dia itu pun harus kuenyahkan!”

“Heh-heh, orang muda yang sombong!” Dua orang Tikus Kuburan sudah menubruk maju untuk menangkap Han Han. Mereka memandang rendah sekali. Pemuda itu masih bocah, biar pun keadaannya aneh dan sikapnya luar biasa dingin dan beraninya, namun mempunyai kepandaian apakah?

Han Han yang sudah marah itu membalikkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya mendorong. Karena maklum akan kelihaian dua orang kakek ini, sekaligus ia telah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang pada kedua lengannya.

“Hayaaaaa...!” Dua orang itu terkejut setengah mati ketika ada hawa panas menyambar dan menyesakkan dada mereka, membuyarkan semua tenaga sinkang mereka yang mereka pergunakan untuk menahan pukulan, akhirnya mereka tidak kuat dan terpaksa melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menjauhkan diri! Mereka meloncat bangun dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

“Hmmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian!” Si Burung Hantu membentak, akan tetapi sebelum ia turun tangan, terdengar suara ketawa.

“Hi-hi-hi, burung yang jelek, jangan rampas korbanku! Serahkan bocah ini kepadaku!” Tubuh Toat-beng Ciu-sian-li melayang turun dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan Han Han.

Karena merasa pernah menjadi murid wanita ini, Han Han terkejut sekali dan otomatis ia menjura dengan hormat sambil berkata, “Subo, harap jangan mencampuri urusan pribadiku!”

“Heh-heh-hi-hik, kalian semua telah mendengarnya, kan? Dia adalah muridku dan karena dia telah melakukan dosa melanggar peraturan-peraturan perguruan, maka dia sepenuhnya menjadi hakku.”

Sin-tiauw-kwi tertawa. “Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan guru dan murid. Toat-beng Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan tidak benar, memang perlu sekali akan pengajaranmu!”

Toat-beng Ciu-sian-li menghadapi Han Han sambil menyeringai. “Bocah iblis murid durhaka. Apakah engkau tidak lekas berlutut minta ampun kepada gurumu?”

Han Han mengerutkan alisnya. Ia melihat cihu-nya sudah duduk dengan tenang di atas kursi menghadapi meja, juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil tempat duduk sedangkan Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan satu kaki, sikap mereka semua seperti orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik. Han Han menduga bahwa memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang mereka hendak mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang musuh-musuhnya yang hendak ia basmi. Ia menjadi penasaran, akan tetapi sedikit pun tidak gentar. Ia menghadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.

“Locianpwe, aku menghormatimu sebagai bekas guru, akan tetapi sekarang aku bukanlah muridmu lagi. Tentang kesalahanku dahulu telah melarikan diri darimu karena aku memang tidak suka menjadi muridmu. Sekarang, karena sedang menghadapi urusan pribadi hendak membasmi musuh-musuh keluargaku, harap kau orang tua suka mengalah dan membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah selesai aku membasmi musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita.”

“Eh, Si keparat bocah tak mengenal budi! Tak usah banyak bicara hayo lekas berlutut di depanku!”

Akan tetapi bentakan ini malah mendatangkan rasa penasaran di hati Han Han. Selama ia keluar dari Pulau Es, dia selalu dimusuhi orang, baik oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang disebut golongan putih mau pun oleh tokoh-tokoh golongan hitam. Rasa penasaran ini membuat ia marah dan nekat.

“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau mempunyai pendirian, aku pun punya! Aku akan membasmi musuh-musuhku dan siapa pun yang menghalangiku, biar engkau sekali pun, akan kulawan!”

“Wah-wah, baru sekarang aku melihat murid lebih galak dari gurunya!” kata Sin-tiauw-kwi sambil tertawa.

“Tutup mulutmu, Burung Buruk!” Ciu-sian-li membentak. “Kau kira aku tidak dapat menguasai muridku? Han Han, sekali lagi, engkau tidak mau taat?”

“Terserah kepadamu, aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi.”

Toat-beng Ciu-sian-li mengeluarkan suara teriakan melengking dan tiba-tiba rantai gelang yang dijadikan anting-anting telinganya itu menyambar dari kanan kiri, yang kiri menyambar kepala Han Han, yang kanan menyambar ke arah dada. Sambaran kedua benda itu cepat dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi berdesing dan Han Han yang tidak keburu mengelak, mengerahkan tenaganya dan menghantam ke arah dua ujung rantai gelang itu dengan kedua telapak tangannya.

“Plak-plak!”

“Bukkk!”

Tanpa disangka-sangka oleh Han Han, pukulan nenek itu sudah menyusul pada saat ia menggerakkan tangan menangkis sehingga dadanya kena didorong oleh tangan kiri nenek itu. Tubuh Han Han roboh bergulingan, dadanya ampek dan napasnya sesak. Akan tetapi ia menahan napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu terkejut bukan main karena tangkisan kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya kehilangan dua buah mata gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.

“Bocah keparat, berani engkau melawan Toat-beng Ciu-sian-li?” Nenek itu memekik dan tubuhnya sudah melayang naik dan meluncur ke arah Han Han dengan terjangan dahsyat sekali.

Kedua tangan nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan bunyinya dan tercium bau amis sebelum pukulan itu datang. Melihat ini Han Han maklum bahwa ia menghadapi lawan yang lebih lihai dari pada Gak Liat atau Ma-bin Lo-mo, maka ia cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dan menggunakan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang.

“Wusssss...! Plak-plak...!” dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya kembali Han Han terjengkang dan bergulingan.

Akan tetapi nenek itu berdiri menggigil dan mulutnya berseru berkali-kali, “Luar biasa... luar biasa...!”

Memang ia merasa heran setengah mati mendapat kenyataan betapa kekuatan Im-kang bocah itu lebih hebat dari pada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo sendiri!

“Heh-heh-heh, Dewi Pemabuk! Apakah engkau kewalahan menghadapi muridmu sendiri?” Si Burung Hantu mengejek sambil tertawa.

Nenek itu melengking tinggi karena marahnya, tubuhnya berkelebat cepat ke depan dan segera Han Han dihujani serangan dengan kedua tangan yang bergantian memukul, kedua kaki yang bergantian menendang, dan sepasang anting-anting raksasa yang menyambar-nyambar dari kiri kanan! Hebat bukan main sepak terjang nenek ini sehingga secara berturut-turut Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan dan hantaman senjata rantai gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa tubuhnya sakit-sakit semua.

Sepasang Tikus Kuburan bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan memang mereka kagum bukan main. Sudah lama mereka mendengar nama besar Toat-beng Ciu-sian-li, akan tetapi baru sekarang mereka menyaksikan kelihaian nenek itu. Tadi mereka sudah mengenal kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat betapa nenek itu mendesak dan menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han, tentu saja mereka menjadi kagum sekali. Ada pun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa adik isterinya terancam bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya ia menganggap Han Han sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.

Seperti yang pernah dilakukan oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat, nenek ini pun tidak ingin membunuh Han Han karena dia sudah mendengar dari tiga orang muridnya tentang keadaan diri Han Han yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Dia pun diam-diam menduga bahwa Han Han tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, maka ia ingin memaksa anak muda itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es, ingin menangkapnya dan membawanya pergi.

Di samping ini, juga ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada para jagoan kerajaan, maka ia sengaja mempermainkan Han Han dan mengeluarkan kepandaiannya yang memang mengagumkan sekali. Kalau ia kehendaki, tentu ia telah dapat membunuh Han Han dengan pukulan-pukulan Toat-beng-tok-ciang yang dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.

Untuk ke sekian kalinya, ketika dengan nekat Han Han menubruk, menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im Sin-ciang dengan tangan kiri yang amat mengagumkan hati nenek itu, Toat-beng Ciu-sian-li mencelat ke atas sehingga kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya menendang, mengenai dada Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di sudut ruangan itu. Han Han terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja hiasan tinggi yang menjadi tempat pot bunga. Ia meloncat bangun dan mematahkan kaki meja itu.

Seperti juga kursi yang diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat dari pada akar pohon yang bengkak-bengkok dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi sebatang tongkat dan dengan senjata sederhana ini Han Han maju lagi menghadapi Si Nenek sakti dengan kemarahan meluap-luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh, akan tetapi kemauannya yang keras membuat ia nekat dan pantang menyerah, kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya di tangan bekas gurunya ini.

“Ha-ha-ha-ha, biar engkau berubah menjadi tiga orang, tak mungkin engkau dapat menangkap Toat-beng Ciu-sian-li, bocah sombong!” Bhong Lek yang mukanya seperti tikus mengejek.

“Heh-heh, biar dia berkepala tiga dan berlengan enam, takkan mampu menang!” Bhong Poa Sik mengejek pula.

Mendengar ini, nenek itu terkekeh. “Jangankan hanya menjadi tiga, biar menjadi tiga puluh sekali pun aku masih sanggup mempermainkannya!”

Han Han makin marah, merasa dianggap rendah sekali. Ia teringat akan kemampuannya yang luar biasa, yang hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam menghadapi Setan Botak dan Si Muka Kuda tempo hari. Mendengar itu, ia pun lalu berkata dengan suara lantang, sinar matanya menyambar-nyambar seperti kilatan halilintar dan suaranya yang mengandung khikang kuat itu didasari kekuatan kemauan mukjizat yang amat berpengaruh.

“Nenek sombong! Lihat, aku sudah menjadi tiga orang! Engkau mau bisa apa?” Sambil berkata demikian ia menyerang dengan pukulan tongkat kaki meja ke depan dan terbelalaklah semua orang ketika melihat betapa Han Han benar-benar telah menjadi tiga orang! Tiga orang muda berambut riap-riapan, ketiganya memegang tongkat dan menyerang Toat-beng Ciu-sian-li dari tiga jurusan!

“Hehhh...! Mimpikah aku?” Si Burung Hantu berkata gagap dengan mata makin menjuling.

“Demi segala iblis di neraka!” Si Muka Tikus Bhok Lek berseru dengan mata terbelalak.

“Ajaib... se... se... setan...!” Adiknya juga berseru.

“Ilmu hitam apakah ini...?” Giam-ciangkun juga berseru, jantungnya seperti berhenti berdetik.

“Ayaaaaa...!” Toat-beng Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit, punggungnya terkena hantaman tongkat.

Akan tetapi tubuhnya kebal dan sungguh pun ia merasa punggungnya nyeri, namun ia tidak terluka dan kembali ia melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas dan ia menghindarkan pukulan tangan kanan kedua orang ‘Han Han’ yang berada di belakangnya sambil menggerakkan rantai gelang telinga kanannya menyerang ke arah dada Han Han yang bergerak ke depannya.

“Pranggg...!” Sambil memegang tongkat dengan tangan kiri, dengan telapak tangan kanannya Han Han menampar ujung rantai itu sehingga dua buah gelang pecah-pecah. Dalam pandang mata empat orang yang menjadi penonton, dua orang ‘Han Han’ yang lain juga memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka menerjang berbareng.

“Eh... hiiihhhhh...!”

Toat-beng Ciu-sian-li selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti itu. Ia kembali meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan. Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang rantainya dan melontarkannya ke arah tiga orang lawannya. Memang anting-anting luar biasa itu selain menjadi ‘perhiasan’ dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan sebagai senjata rahasia, yaitu dengan cara melolos gelang-gelangan rantainya.

Han Han cepat mengelak sambil menangkis dengan tongkatnya.

“Trakkk...!”

Tongkatnya patah dan remuk dan ternyata bahwa tongkat kedua orang ‘bayangannya’ juga patah dan remuk. Kini dia dan bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan tangan kosong.

Melihat ini Giam-ciangkun segera berseru, “Ilmu sihir! Dia hanya seorang, yang dua hanyalah bayangan!”

Toat-beng Ciu-sian-li bukan seorang bodoh. Dia seorang datuk golongan hitam yang sakti. Maka ia segera sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat mengubah diri menjadi tiga orang, maka ia mengerahkan kekuatan batinnya dan seketika pandangannya menjadi terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas muridnya yang telah memperoleh kemajuan luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga sinkang yang menakjubkan.

Akan tetapi rasa gentar dan bingung tadi dipergunakan baik-baik oleh Han Han. Selagi lawannya bingung, ia mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan begitu tubuh nenek itu turun, ia menubruk ke depan, memukul dengan dorongan dahsyat. Kini ia menggunakan inti tenaga Im-kang yang ia latih selama bertahun-tahun di Pulau Es menurut petunjuk kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang Pedang Iblis dan dengan pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku dan menjadi sebongkah salju sebesar kerbau!

“Ihhhhh...!”

Toat-beng Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa pukulan yang amat dingin itu. Baru terkena hawanya saja, ia merasa semua darah di tubuhnya seperti membeku, maka maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena pukulan itu, tentu ia tidak akan kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap.

Pukulan Han Han mengenai lantai di belakang tempat nenek itu tadi berdiri, membuat lantai itu bergetar dan semua perabot yang berada di belakangnya hancur semua. Kiranya nenek itu mempergunakan tenaganya yang mukjizat dan tubuhnya telah amblas ke lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat ke luar dari lantai yang mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki, ia kelihatan pucat dan dari ujung bibirnya menetes darah. Ia hanya kena serempet saja, namun cukup membuat nenek ini terluka!

“Ha-ha-ha, nenek setan arak, biar kubantu engkau!” Tiba-tiba terdengar seruan keras dan tahu-tahu Gak Liat Si Setan Botak telah berada di belakang Han Han, lalu secepat kilat ia memukul punggung Han Han dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang.

Han Han merasa betapa hawa panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan sinkang melindungi tubuhnya sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai punggungnya dan biar pun tubuhnya dilindungi sinkang yang kuat, tidak urung ia terlempar juga dan roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciu-sian-li.

“Ha-ha-ha! Aku sudah membantumu. Engkau pun harus membantu kami, membantu kerajaan, Toat-beng Ciu-sian-li!” kata pula Gak Liat.

Nenek itu memandang tubuh yang tergolek pingsan di depan kakinya, mengusap darah dari ujung bibirnya dan menarik napas panjang. “Sebetulnya aku tidak membutuhkan bantuanmu, Setan Botak. Akan tetapi aku memang sudah berjanji untuk membantu kalian asal Kaisar dapat menghargai tenaga orang. Sekarang aku ada urusan pribadi dengan bocah ini. Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!” Ia mengempit tubuh Han Han yang lemas dan hendak pergi.

“Ha-ha-ha, takkan ada gunanya kau membujuk dia untuk bicara tentang Pulau Es, Ciu-sian-li. Dia keras kepala, engkau takkan berhasil!” kata pula Gak Liat.

Toat-beng Ciu-sian-li menengok dan berkata, suaranya dingin, “Siapa hendak bicara tentang Pulau Es? Dia bekas muridku yang durhaka, harus diberi hukuman untuk memberi contoh kepada murid-murid lain!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap.

Giam-ciangkun bernapas lega, merasa seolah-olah sebuah batu berat yang selalu menekan di dalam dadanya telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti itu.

“Aaahhhhh, sungguh berbahaya...,” katanya sambil menyapu peluh yang membasahi lehernya.

Pintu terbuka dan muncullah Giam Kok Ma. Mukanya yang kuning kini berubah putih dan ia bertanya terengah-engah, “Be... betulkah apa yang kulihat tadi? Dia... iblis cilik itu... berubah menjadi tiga? Celaka... jangan-jangan hanya satu yang dibawa pergi, yang dua lagi...” Panglima muka kuning ini memandang ke seluruh ruangan dengan mata jelalatan, takut kalau-kalau ia akan menemukan dua orang Han Han lagi di tempat itu yang pasti akan membunuhnya.

Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa, lalu duduk di atas kursi dan berkata, “Ciangkun, tidak usah khawatir. Dia memang memiliki sedikit ilmu sihir. Bukan tubuhnya berubah menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi pandangan dan kemauan kita sehingga kita melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu betul-betul amat berbahaya kalau dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh. Untung dia telah tertawan oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa Ciu-sian-li. Iblis cilik itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-ha-ha!”

“Syukurlah kalau begitu,” kata Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati lega.

“Tenaga sinkang-nya tidak lumrah manusia,” kata kedua orang Saudara Bhong.

Gak Liat hanya tertawa, tidak mau bicara banyak karena dia sendiri masih ngeri kalau mengingat betapa dia dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika melawan bocah itu, dan lebih-lebih lagi, ketika hendak membunuhnya tiba-tiba muncul tokoh yang paling disegani, paling dihormati, juga paling ditakuti di dunia ini. Koai-lojin!

“Ehmmm... sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk menghajar bocah sombong itu!” tiba-tiba Sin-tiauw-kwi berkata sambil menggoyang senjata sabit di tangannya.

“Ha-ha-ha, Sin-tiauw-kwi burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu akan mampus di tangan Ciu-sian-li. Kalau kau ingin memperlihatkan kepandaianmu, boleh kau coba-coba dengan aku.”

“Boleh! Sekarang pun boleh!” kata Si Burung Hantu dan ia menggerakkan tangan kirinya ke arah seekor lalat yang selalu banyak beterbangan di sekitar tubuhnya yang mungkin karena tertarik baunya yang apek dan tengik.

Begitu ia memutar-mutar tangannya, ada angin berpusingan keras dan betapa pun lalat itu hendak terbang, ia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan hanya terbang bingung berputar-putar di depannya! Demonstrasi sinkang yang seperti main-main ini sesungguhnya hebat, memperlihatkan betapa Si Burung Hantu sudah menguasai sinkang sampai cukup tinggi sehingga mampu menggunakan tenaga yang dibikin halus seperti itu!

“Ha-ha-ha! Beraninya hanya sama lalat!” Setan Botak tertawa dan menggerakkan tangannya mendorong ke arah lalat yang beterbangan berputaran itu. Lalat itu jatuh dan... hangus!

“Huh!” Sin-tiauw-kwi mendengus. “Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi dapat menghanguskan seekor lalat, akan tetapi aku tidak takut!” katanya menantang.

Melihat ini Giam-ciangkun lalu bangkit berdiri dan menengahi mereka. Hatinya kesal menyaksikan ulah kedua orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak yang saling tidak mau mengalah. “Sudahlah, harap ji-wi locianpwe suka menghentikan main-main yang berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil perjalanan locianpwe?”

“Seperti ciangkun telah melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li sudah menyanggupi untuk membantu kita. Biar pun omongan nenek tua bangka itu belum tentu dapat dipegang, akan tetapi saya yakin, bahwa dia tidak akan sudi membantu kaum pemberontak. Tentang Ma-bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu sukar sekali diurus. Akan tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan murid-muridnya yang selalu dia tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru dalam hati mereka. Hemmm, Si Muka Kuda itu mengira bahwa tidak ada orang mengetahui rahasianya. Dia lupa bahwa tidak mudah orang menyembunyikan rahasia dari Kang-thouw-kwi, heh-heh!”

“Bagus! Rahasia apakah itu locianpwe? Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah banyak mendatangkan banyak kepusingan pada para penjaga di perbatasan. Kalau kita dapat menundukkan mereka, berarti semua tenaga anti pemberontakan dapat dikerahkan menghadapi Se-cuan saja.”

“Rahasia besar Ma-bin Lo-mo, rahasia busuk, ha-ha-ha!” Gak Liat tertawa, menyambar guci arak di atas meja, kemudian minum arak sampai terdengar bunyi menggelogok di tenggorokannya. “Setiap orang muridnya adalah putera-puteri keluarga yang terbasmi habis. Semua muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Yang membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri. Ha-ha-ha!”

Sepasang Tikus Kuburan terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya Ma-bin Lo-mo, seorang bekas menteri Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti Kerajaan Mancu. Mereka mendengar betapa di In-kok-san, di puncak Pegunungan Tai-hang-san, kakek itu melatih puluhan orang murid yang kini telah menjadi orang-orang muda berilmu yang di mana-mana memusingkan petugas kerajaan karena mereka itu selalu melakukan kekacauan. Mereka ini mendengar bahwa para murid In-kok-san memusuhi Kerajaan Mancu karena mereka adalah keturunan para keluarga yang terbasmi oleh pasukan Mancu dalam perang.

“Eh, Gak-locianpwe. Benarkah itu?”

Kang-thouw-kwi melototkan matanya kepada kedua orang saudara Bhong ini. “Mengapa tidak benar? Orang lain boleh ditipu, akan tetapi aku tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin Lo-mo. Dia memilih calon murid, laki-laki atau perempuan yang memiliki tulang dan bakat baik, kemudian ia membasmi keluarga calon murid itu, mengatakan bahwa yang membasmi adalah orang-orang Mancu. Ia membawa murid itu ke In-kok-san. Selain memberi kepandaian, juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng. Dalam usahanya membentuk barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah baru itu ia dibantu oleh Si Muka Tengkorak Swi Coan, Si Muka Bopeng Ouw Kian dan Kek Bu Hwesio. Kalau murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka, ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!”

“Akan tetapi, betapa mungkin dapat menginsafkan para muridnya, locianpwe?”

“Hal itu memang sukar, akan tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan dapat mencari akalnya. Tentang siasat, sebaiknya kita serahkan kepada Sang Puteri yang seratus kali lebih cerdik dari pada saya si tua bangka. Dan tentang gadis Mancu yang menjadi adik angkat Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah mendengar dari murid saya Ouwyang-kongcu.”

“Ouwyang-kongcu memang sudah pulang bersama Lulu, akan tetapi gadis itu hanya menimbulkan keributan saja. Dia telah diterima di istana, bahkan telah diangkat menjadi siuli, akan tetapi baru beberapa hari saja dia sudah minggat entah ke mana. Kini Ouwyang-kongcu sedang berusaha mencarinya dan belum pulang.”

“Wah, sungguh merepotkan. Dan Puteri Nirahai, apakah sudah pulang?”

“Belum,” jawab Giam-ciangkun. “Marilah kita kembali ke kota raja. Kita harus memberi laporan kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan aku sendiri masih menghadapi kesukaran. Hemmm... tak tahu aku bagaimana harus menyampaikan kepada isteriku tentang adiknya.”

Giam Kok Ma berkata, “Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik iparmu itu pergi tanpa pamit mencari Lulu. Bukankah alasan itu yang paling baik?”

Giam Cu mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya benar begitu. Memang tidak ada alasan lain.”

Kembalilah mereka beramai ke kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang bukan main dan baru pada malam hari itu ia dapat tidur, setelah beberapa malam semenjak diberi tahu Giam Cu bahwa dia dan rekan-rekannya diancam oleh Han Han, ia sama sekali tidak dapat tidur nyenyak tidak dapat makan enak.....


********************


Di dalam kempitan seorang sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi dua jalan darahnya telah ditotok, biar pun sudah sadar Han Han tidak mampu berbuat apa-apa. Melihat dirinya dikempit dan dibawa lari cepat sekali, Han Han berkata.

“Toat-beng Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi? Lebih baik kau bunuh sajalah aku, habis perkara!”

Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu berkata. “Enak saja membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau harus dihukum! Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk meringankan hukumanmu?”

Han Han tersenyum pahit. “Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es, bukan?”

“Benar, benar...!” Ciu-sian-li berkata penuh gairah. “Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman, bahkan mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya bicaramu.”

Han Han berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai di dunia ini? Gak Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh mereka masih belum puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu orang lain!

Tidak salah ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan! Kalau ia bicara tentang Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak akan dibunuh! Benarkah ini? Andai kata benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia sendiri sangsi apakah dia akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es!

Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni Pulau Es! Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat? Dia sudah menjadi anak puthauw, belum mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini mau ditambah menjadi pengkhianat lagi? Biar pun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha agar tidak menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang mempertahankan kebenaran dari pada hidup sebagai seorang manusia yang rendah budi!

“Tidak ada yang dapat kubicarakan tentang Pulau Es,” katanya tegas.

“Hemmm, bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa?”

“Sesukamulah. Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak takut mati, Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan, mereka pun hanya melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik kau bunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun tidak jemu!” Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia tidak hanya menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut dengan mata terbuka.

“Hemmm, enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi contoh bagi semua murid yang murtad!”

Han Han tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh sama sekali. Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya lari cepat sekali seperti terbang.....
********************
Para murid di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani. Walau pun mereka itu tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh orang saja, namun sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu. In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para murid itu pulang, karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi.

Setelah mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah penjajah, In-kok-san menjadi sunyi. Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di sana. Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu berada di situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya untuk memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal politik. Dia tekun melatih tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan Gu Lai Kwan.

Biar pun demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga mereka terbasmi oleh bangsa Mancu, apa lagi karena semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang muda ini tentu saja tidak mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo.

Sering kali mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar Mancu, membunuhi mereka, terutama sekali kepala-kepala kampung atau pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.

Akan tetapi betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang muridnya melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang Panglima Mancu yang hendak pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah kalah melawan Han Han! Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu saja ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada semua murid Ma-bin Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu?

Nenek itu marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es. Maka ia lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu istana dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik, maka ia dianjurkan oleh Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti telah direncanakan.

Karena memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek itu menyanggupi dan seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han Han berada di kota raja. Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han keluar kota raja, kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san.

Mula-mula memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es. Akan tetapi setelah hatinya yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.

Ketika Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang muridnya menyambutnya dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi girang sekali bahwa orang yang pernah mengalahkannya dan membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya. Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas karena gadis bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima Mancu.

Ada pun Kim Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang karena ia merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang paling baik ini akan mengalami hukuman yang mengerikan! Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di In-kok-san memandang dan saling berbisik membicarakan Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.

Nenek itu menoleh kepada para murid yang bergerombol memandang itu dan berkata, “Murid murtad sudah tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!”

Nenek itu langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar penyiksaan atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya terdapat sebuah dipan bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke atas dipan.

“Ikat kedua tangannya!” Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang yang terbuat dari serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan membelenggunya, melibat-libat kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali.

Han Han tidak berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya sekilas saja melayangkan pandang matanya kepada para murid itu dan mengenal mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu, sejenak pandang mata mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis itu memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba. Ia menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan terlalu menderita rasa nyeri.

Akan tetapi harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan jalan darahnya. Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya. Ketika ia berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak? Dia tidak akan dapat melawan Toat-beng Ciu-sian-li, apa lagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang tentu akan mengeroyoknya. Karena ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut yang sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati!

Apakah artinya mati? Apakah bedanya antara mati dan hidup? Dari mana ia datang sebelum hidup? Dalam pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir barulah ada hidup, dan sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia tidak ada. Betapa akal budi dapat menyelami keadaan sebelum lahir? Dan betapa pula dapat menyelami keadaan sesudah mati?

Betapa pun juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak mungkin ada terlahir dari tidak ada. Kalau sebelum terlahir itu dia ada tentu sesudah mati juga ada, yaitu keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang tak terselami akal manusia selagi hidup. Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya menembus pintu rahasia itu, kembali kepada KEADAAN sebelum dia terlahir. Kalau demikian, sama halnya dengan kembali ke asalnya, yaitu asal sebelum terlahir, mengapa takut mati?

Han Han tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada rasa khawatir di hatinya dan ia memejamkan matanya seperti tidur, atau lebih tepat lagi seperti dalam keadaan semedhi karena memang dia bersemedhi untuk menyambut uluran tangan maut yang sudah berada di ambang pintu.

Keadaan di dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar. Mereka adalah orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh musuh tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apa bila ada seorang murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka berdebar tegang, karena nasib seperti yang dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri mereka sendiri.

“Kim Cu, kau isi guci arakku yang kosong ini!” Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya yang kosong kepada si murid.

Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga sinkang sehingga bagi orang yang tidak memiliki sinkang kuat dan tidak terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang meninggalkan badan! Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.

Toat-beng Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari mulutnya karena agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya. Kemudian ia menurunkan guci dari mulut dan berkata, suaranya bengis menyeramkan.

“Murid-muridku, juga murid Ma-bin Lo-mo, semua murid-murid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak hal yang melanggar peraturan Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku masih memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apa bila dia suka bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah saat terakhir bagimu! Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara tentang rahasia itu kepadaku?”

Hening sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin mendengarkan jawaban Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia bicara di luar kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang gemetar.

“Han Han... kau bicaralah...!”

Gadis itu terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia sadar bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.....
Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-11
LihatTutupKomentar