Pendekar Super Sakti Jilid 11
Han Han yang berada dalam keadaan semedhi itu seperti mimpi. Ia melihat bayangan ibunya. Ibunya menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan pandang mata penuh kasih sayang. Tiba-tiba terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li tadi yang disusul suara Kim Cu. Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian membalikkan tubuh dan berdiri membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka.
Karena Han Han ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang memiliki sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam pandang mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng Ciu-sian-li dan anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak mau, hanya menggeleng kepala.
“Gu Lai Kwan, ambil golok alat menghukum!” bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa murid-murid yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan makin tegang ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, membawa golok yang diminta.
“Lai Kwan, aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kau pergunakan golok itu untuk memenggal leher Sie Han!”
Suara nenek ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan sebagai pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia tidak mengira bahwa dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
“Le... lehernya, subo...?” tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik. “Lehernya, kau dengar? Lehernya! Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!” Setelah berkata demikian, nenek itu mengangkat guci araknya dan minum arak menggelogok dengan mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman dan menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan sungguh-sungguh mengangkat golok itu ke atas mukanya dan kini sinar matanya mengandung kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya. Semua murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan yang mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru keras.
“Haiiittttt...!”
Golok itu berubah menjadi sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
“Ohhhhh, jangan...!” Jeritan ini keluar dari mulut Kim Cu. Gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata rahasia berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang sedang melayang menuju ke leher Han Han.
“Tranggggg...!” Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata rahasia, menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
“Crokkkkk!”
“Ibuuuuu...!”
Kaki kiri Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki yang buntung terlempar ke bawah dipan.
“Ibuuuuu...! Jangan tinggalkan anakmu, Ibu...!” Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam karena ia melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
“Ibuuuuu...!” Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok punggung dan pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari pahanya yang buntung. Han Han merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh, melainkan dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya yang paling ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal yang amat memalukan dan memarahkan hatinya. Kini yang berada di situ hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya.
Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut. Hatinya mendongkol terhadap Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu membela Han Han. Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu dan gurunya berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa suci-nya itu tentu tidak akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Kedua, kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang hanya tinggal sebelah itu? Ketiga, ia amat cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah menolongnya dan di depan gurunya berani menolong menghentikan darahnya dan berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
“Kim Cu, mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan? Mengapa engkau berani menggagalkan hukuman penggal kepala bocah itu?” tiba-tiba Nenek itu bertanya, suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat, namun malah mendatangkan pengaruh yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua butir air mata menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini telah menolong nyawanya, menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
“Duhai... Kim Cu, mengapa kau lakukan itu...?” Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu dengan mata basah.
Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari pandang mata gadis itu, yang membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
“Kim Cu! Jawablah!” Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia marah sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar.
Setelah melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan berkata, “Subo, teecu menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik subo, dan nama kehormatan Perguruan In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han Han memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya, maka terpaksa teecu turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa Thian menyetujui pendapat teecu!”
Nenek itu mengerutkan kening. “Hemmm... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau menolongnya dan mengobatinya pula?”
“Subo, betapa pun juga, Han Han adalah bekas Sute-ku, bagaimana teecu dapat membiarkan dia menderita seperti ini? Teecu... merasa kasihan...”
“Heh, bocah tak bermalu! Apa kau kira mudah saja membohongi aku? Apa kau kira mataku buta tak dapat melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini?”
Wajah, Lai Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia menundukkan mukanya.
Han Han memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk. “Toat-beng Ciu-sian-li, harap jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih belum terlambat!”
“Han Han!” Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya. “Tidak boleh begitu. Murid yang sudah dihukum, tidak akan dihukum lagi!”
“Keparat! Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah engkau akan bisa hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa? Engkau telah menjadi seorang buntung, seorang penderita cacat yang tidak berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk ke kamarmu dan sebelum kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!”
Kim Cu memandang Han Han sejenak, lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan isak tertahan. Han Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut rasanya, membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri.
Seluruh bagian tubuhnya seperti ditusuk-tusuk, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia pejamkan mata untuk menghilangkan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun, ketika ia memejamkan mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di depan matanya.
“Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es? Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna, lihat betapa lemahnya!”
Mendengar suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di tubuhnya. Akan tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia sudah marah dan mengerahkan sinkang, selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin melihat darah mengalir di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya. Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya setelah ia melihat akibat dari pada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata, lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan dan roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar pernyataan gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu, ada pun Phoa Ciok Lin memandang dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya.
Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan tenaga dan bangkit lagi dengan kedua tangan menekan lantai, lalu berdiri dan dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke pintu, terus ke luar dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu belakang memasuki taman In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah kakinya.
Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus. Jika hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala. Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang di atas dadanya.
Menjelang subuh ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya cuaca masih amat gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahannya, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena lapar. Semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li, sudah empat hari empat malam dia tidak makan. Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas.
Ia bangkit duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang itu? Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh dari pada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia menjadi seorang tapa daksa, murid buntung yang tentu tidak akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli.
Apa lagi hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat, itu pun tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya. Kantung berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya.
Biar pun kini ia menduga bahwa cihu-nya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cici-nya. Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan? Tidak ada! Bahkan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengorbankan nyawa orang. Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah, kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya? Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apa lagi kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya!
Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasehat kakek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasehatkan untuk membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri? Han Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang buntung. Tidak usah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung, maka menasehatinya agar membuntungi kakinya sendiri dari pada dibuntungi orang lain. Ia tersenyum pahit. Nasehat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baiklah, dia akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguh pun dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertama, yaitu membalas dendam.
Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung! Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata. Sampai lama ia menangis seperti ini.
Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini? Ke mana kekerasan hatinya? Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya masih merah bekas banyak menangis.
Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang menembus celah-celah daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon. Sambaran seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa akan nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya. Pandang matanya lekat pada sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu, bergantung dengan butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman damai dan bahagia. Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air yang berkilauan untuk beberapa lama saja. Kemudian apa bila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ia menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati! Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan cahayanya karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun pohon, tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar bergerak, hanya menanti datangnya maut menjemput!
“Han Han...!” Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan. Gadis yang cantik manis, rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis, pakaiannya juga kusut, wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han, kemudian perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang buntung.
“Kim Cu... engkau... datang ke sini...?” Han Han menegur penuh kekhawatiran. “Tentu Gurumu akan marah...”
Kim Cu berlutut dekat Han Han dan berkata, “Jangan banyak bicara dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan makanan dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah darah, obat untuk mengobati lukamu...”
Melihat gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka buntalan, mengeluarkan roti dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat, lalu menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti segala gerakannya dengan hati penuh keharuan.
“Han Han, makanlah dulu...” Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan.
Kim Cu terisak, menggigit bibir menahan tangis. “Han Han... kau... kau menangis...?” Ia melihat dua butir air mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
“Kim Cu...,” suara Han Han menggetar. “Mengapa...?”
Kim Cu memandang, juga air matanya berderai, “Kau hendak berkata apa...?”
“Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...?”
Dengan air mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil, seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati Han Han.
“Makanlah dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah... makanlah dulu, baru nanti kita bicara...”
Han Han mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu terasa lezat, akan tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati gadis itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata mereka bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya. Roti yang dibawa Kim Cu itu hampir habis.
“Engkau tidak makan? Marilah...”
Kim Cu menggeleng kepala perlahan. “Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan...”
Roti itu habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju. “Kim Cu, banyak terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan minuman ini...”
“Sssttttt, nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan peringan rasa nyeri, kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu.”
Han Han minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu membuka balut pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah kering pada lukanya itu diambil. Akan tetapi ia tidak mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka itu, Han Han berkata, “Kim Cu, percayalah, aku selama hidupku takkan dapat melupakan kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan terutama sekali, engkau telah mengorbankan dirimu...”
“Jangan katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena kesalahanmu yang kecil itu? Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus dibunuh secara sia-sia?”
Han Han menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, bersandar pada batang pohon, tangan kiri menekan tongkat cabang pohon.
“Aaahhhhh, harapan apa lagi yang ada padaku? Aku telah menjadi murid tapa daksa... tiada gunanya....” Kembali ada dua titik air mata meloncat ke luar ke atas pipi Han Han.
Kim Cu memandang penuh iba hati, kemudian ia mendekati Han Han, menggunakan ujung ikat pinggangnya dari sutera untuk menghapus air mata itu. “Ahhh, Han Han, kasihan sekali engkau...” Sambil berkata demikian, Kim Cu memandang dengan mata basah.
Han Han makin terharu, air matanya deras mengucur dan ia segera memeluk dan mendekap muka Kim Cu ke dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han menengadah ke angkasa, mengejap-ngejapkan mata untuk menahan membanjirnya air matanya. Sampai lama keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han dengan air matanya, kedua lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu mengusap-usap rambut yang hitam halus dan harum itu.
“Kim Cu...” Han Han berbisik dekat telinga gadis itu. “Benarkah dugaan gurumu bahwa engkau... mencintaku?”
Gadis itu tak menjawab, hanya gerakan mukanya yang mengangguk amat meyakinkan. Hati Han Han terasa perih dan dengan halus ia mendorong kedua pundak gadis itu sehingga menjauh. Gadis itu memandang kepadanya dan cinta kasihnya tersinar keluar dari pandang matanya. Han Han membuang muka, tubuhnya miring dan kini ia bersandar pada batang pohon dengan pundak kirinya, alisnya berkerut dan mukanya keruh.
“Kim Cu, ini tidak benar! Engkau tidak bisa mencintaku, tidak boleh! Aku kini telah menjadi seorang laki-laki yang buntung kakinya, murid laki-laki yang tidak berguna sama sekali. Engkau hanya akan menyesal kelak, dan akan malu berada di samping seorang pria yang menjijikkan...”
“Ohhh, Han Han, mengapa kau berkata demikian?” Kim Cu mengusap air matanya dengan punggung tangan, kemudian merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari saling cengkeram, suaranya sungguh-sungguh, menggetar dan penuh perasaan.
“Han Han, kenapa kau menjadi putus asa? Ke mana perginya kekerasan hatimu yang dahulu? Ke mana perginya kejantananmu yang menyinar semenjak kita masih kecil dahulu? Dulu engkau begitu keras hati, begitu besar semangat, begitu mengagumkan! Setelah kakimu bun... eh, hanya tinggal satu apakah engkau menjadi seorang yang tidak berguna lagi? Tidak sama sekali! Seharusnya peristiwa yang kau alami ini malah memperkuat dan memperkeras batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh manusia bahwa engkau dapat berbuat lebih baik dari pada manusia yang utuh tanpa cacat! Bangkitkan semangatmu, tunjukkan bahwa manusia cacat tidak boleh dihina! Jangan menjadi melempem, Han Han!”
Ucapan yang bersemangat dari Kim Cu ini merupakan cambuk yang mencambuki batin Han Han. Seketika matanya memancarkan api, kegairahan hidupnya timbul kembali. Dia bukanlah seperti mutiara embun yang tidak berdaya, yang akan mudah jatuh gugur hanya karena tiupan angin sedikit saja! Dia seorang manusia yang berakal budi! Biar pun cacat, kalau kemauannya masih ada, mengapa tidak mungkin menjadi orang berguna?
“Aduh, Kim Cu..., terima kasih...!” Saking gembiranya karena tiba-tiba semangatnya timbul kembali, Han Han merangkul gadis itu dan menciumnya.
Dia belum pernah berciuman didasari cinta kasih. Biasanya dia mencium Lulu secara main-main, dengan hidung pada pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan ujung hidungnya sedikit saja pada kulit pipi atau kulit dahi adiknya. Betapa senangnya Lulu menggodanya, mengatakan ujung hidungnya dingin seperti es! Akan tetapi entah bagaimana, ciumannya sekali ini, yang dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati dan kemesraan, menjadi kecupan cium mulut yang penuh gairah, ciuman yang seolah-olah melekat takkan terlepas lagi.
Mereka saling melepaskan ciuman dan rangkulan, saling memandang dengan mata terbelalak dan napas terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah sekali dan agaknya untuk menutupi rasa malu yang tiba-tiba timbul, ia berbisik tergagap, “Han Han, aku... aku mencintamu...”
Han Han memegang kedua tangan gadis itu. “Percayalah kalau kau bisa percaya kepadaku, engkau seorang gadis yang kujunjung tinggi di dalam hatiku. Engkau murid gadis yang takkan pernah kulupakan! Engkau seorang gadis yang semulia-mulianya bagiku dan... heiii, Kim Cu, celaka. Engkau harus lekas kembali! Ah, bagaimana engkau berani meninggalkan kamarmu? Bukankah... bukankah gurumu mengatakan bahwa engkau tidak boleh keluar dari kamar? Ahhh, bagaimana ini? Tentu engkau akan dibunuh guru dan suheng-mu kalau engkau pulang nanti...!” Tiba-tiba Han Han yang teringat akan keselamatan gadis ini berkata dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya dan berkata, “Aku sudah lari dari kamarku. Aku... aku tidak mau kembali. Aku akan ikut bersamamu, Han Han.”
Han Han terkejut sekali. “Tidak...! Jangan, Kim Cu, jangan! Kalau sampai ketahuan gurumu, dan kakimu... kakimu dibuntungi seperti aku...”
“Biarlah, dengan begitu keadaan kita akan sama, bukan?” Kim Cu menjawab, suaranya sungguh-sungguh.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan dua orang muda yang sudah memiliki pandangan mata awas dan pendengaran tajam itu cepat menengok. Kagetlah mereka ketika melihat Toat-beng Ciu-sian-li sudah berdiri di hadapan mereka!
“Hmmm... Kim Cu! Engkau berani menentang perintahku? Engkau sudah begitu tergila-gila kepada bocah ini?”
“Subo, aku mencinta Han Han!” kata Kim Cu dengan berani.
“Toat-beng Ciu-sian-li, jangan salahkan dia. Hukumlah aku kalau pertemuan ini kau anggap suatu pelanggaran!” kata Han Han.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang marah. Ia merasa kecewa sekali bahwa Han Han tetap berkeras tidak mau bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih kecewa lagi melihat betapa murid yang paling disayangnya, Kim Cu, mencinta pemuda itu dan berani menentang perintahnya.
“Kalian saling mencinta, ya? Hem, baik. Kalian tidak akan terpisah lagi satu sama lain. Hayo ikut bersamaku!” Nenek itu berkata dengan bengis.
Kim Cu dan Han Han saling berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada gunanya melawan gurunya, berkata kepada Han Han, “Marilah, Han Han. apa pun yang akan terjadi, aku rela asal bersamamu.” Ia memegang tangan Han Han, mengajaknya pergi mengikuti gurunya.
Han Han yang merasa terharu dan tidak berdaya melindungi gadis itu tidak berkata apa-apa dan berloncatan dengan sebuah kakinya, dibantu dengan tongkat dan dibimbing oleh Kim Cu. Mereka berdua maklum bahwa mereka berada di tangan nerek itu, mungkin menghadapi bahaya maut, akan tetapi wajah Kim Cu berseri, sedikit pun tidak takut asal ia bersama orang yang dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi bagi seorang yang sedang diamuk cinta.
Han Han tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim Cu, sungguh pun ia amat suka dan berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia akan rela mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini. Ia hanya merasa cemas, bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan keselamatan Kim Cu. Betapa pun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan kemampuanku untuk melindungi Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia berloncatan bersama Kim Cu yang menggandengnya di belakang tubuh nenek yang mengerikan itu.
********************
Kita tinggalkan dulu Han Han dan Kim Cu yang terancam bahaya maut di tangan Toat-beng Ciu-sian-li, bagaikan dua ekor domba yang dituntun ke penjagalan oleh nenek itu, dan mari kita ikuti perjalanan Lulu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu diculik oleh Ouwyang Seng dan dibawa ke kota raja. Terhadap pemuda bangsawan yang lihai ini, Lulu tidak berdaya dan setibanya di kota raja, Ouwyang Seng berkata kepadanya.
“Dengarlah, bocah binal! Aku Ouwyang Seng atau Ouwyang-kongcu, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok dan aku tidak mempunyai niat buruk kepadamu.” Ia masih belum membebaskan gadis itu dari totokan.
“Beginikah orang yang tidak berniat buruk? Kenapa kau culik aku dan menotokku sampai tidak mampu bergerak?”
Ouwyang Seng tertawa. Gadis ini berani dan penuh semangat. Kalau saja bukan gadis Mancu, kalau saja tidak diketahui keadaannya oleh Puteri Nirahai, tentu ia akan dapat menikmati wanita selincah ini.
“Kalau kau berjanji tidak akan melawan, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk ikut denganku ke kota raja dan tidak membikin ribut. Ketahuilah, aku sudah tahu bahwa engkau seorang gadis Mancu dan engkau akan kuhadapkan ke istana kaisar.”
Lulu mengangguk dan berkata. “Baiklah. Bebaskan aku.” Dia cerdik sekali dan dia akan mencari kesempatan baik untuk membebaskan diri, tentu saja dia tidak akan nekat menggunakan kekerasan karena ia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda yang tampan akan tetapi jahat ini.
Ouwyang Seng membebaskan totokannya dan Lulu mengomel, “Engkau kejam sekali. Sampai kaku-kaku tubuhku, dan kau apakan Koko-ku Han Han?”
“Dia bukan Kakakmu, engkau gadis Mancu dan puteri perwira, bukan?”
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Pendeknya aku tahu, dan eh, siapa namamu?”
“Katanya sudah tahu. Kenapa tanya nama?”
Ouwyang Seng gemas. Kalau saja bukan gadis Mancu, tentu sudah ditubruknya dan digigitnya bibir manis yang lincah itu.
“Dengarlah. Kami telah mencari-carimu dan engkau berhak untuk hidup mulia di kota raja. Sudah lama kami mencarimu dan aku membawamu ke sini dengan niat baik. Katakan siapa namamu.”
“Namaku Lulu. Sie Lulu!”
Kembali Ouwyang Seng tertawa. “Mana bisa kau memakai nama keturunan Sie? Apakah orang tuamu she Sie? Tak bisa kau mengambil she (nama keturunan) seperti orang memungut batu di pinggir jalan!”
“Kokoku she Sie, tentu saja aku pun she Sie,” bantah Lulu merengut.
“Sudahlah, baik kau she Sie. Lulu, engkau harus menghadap Ayahku dulu, kemudian baru kau akan kami bawa ke istana.”
Lulu tidak membantah dan mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang Cin Kok. Ketika pangeran ini melihat puteranya berhasil membawa Lulu, ia menjadi girang sekali. Pangeran ini sendiri lalu membawa Lulu menghadap kaisar dan menceritakan keadaan gadis itu. Ketika Lulu menghadap kaisar, dia merasa takut sekali dan menundukkan muka tidak berani memandang. Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah membuat ia merasa dirinya kecil.
Kaisar menegurnya dalam bahasa Mancu dan biar pun agak kaku, Lulu dapat menjawab dan dia menceritakan tentang orang tuanya yang dibunuh para pemberontak, betapa kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik angkat oleh Han Han. Dia tidak bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han Han, dia mengerti bahwa pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.
Kaisar merasa suka dan kasihan kepada Lulu, maka gadis itu lalu diangkat menjadi siuli dan untuk ini ia harus belajar tata susila dan peraturan-peraturan dari seorang pelatih. Sejak hari itu, Lulu tinggal di istana. Akan tetapi hati dara ini selalu berduka, sungguh pun hal itu ia sembunyikan. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, pada suatu malam ia berhasil minggat dari istana. Biar di dalam istana indah sekali pun, bagaimana mungkin ia dapat hidup senang kalau ia jauh dari kakaknya?
Lulu memang cerdik. Ia maklum bahwa larinya tentu akan menimbulkan geger dan ia tentu akan dicari dan dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia berlari terus malam itu. Pada keesokan harinya, ia melepaskan semua perhiasan emas permata yang harus ia pakai ketika dia dilatih menjadi siuli, kemudian ia menjual sebagian perhiasan itu, membeli pakaian pria dan ia berganti pakaian pria. Biar pun telah menyamar sebagai seorang pemuda remaja yang terlalu tampan, ia masih tidak mau menghentikan larinya dan ia pun melarikan diri ke jurusan selatan. Ia hendak pergi mencari kakaknya dan di dalam hatinya ia khawatir sekali. Kakaknya diserang oleh orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang lihai. Masih hidupkah kakaknya?
Pada suatu sore ia memasuki kota Tiong-bun dan melihat banyak orang berduyun-duyun menuju ke selatan kota. Ia mendekati seorang kakek dan bertanya mengapa banyak orang pergi ke jurusan itu. Si kakek menjawab bahwa mereka hendak menonton pertunjukan silat yang dibuka oleh rombongan ahli silat perantauan. Lulu tertarik sekali dan ikut menuju ke tempat itu. Di ujung selatan kota, di pinggir jalan yang sunyi, ia melihat sebuah panggung yang tingginya hanya satu setengah meter dan dari jauh sudah terdengar suara tambur dipukul dan tampak olehnya seorang gadis kecil berusia kira-kira dua belas tahun bermain silat pedang.
Ilmu silat memang merupakan seni budaya yang amat indah. Keindahannya terletak pada gerak tari yang terdapat dalam setiap gerakan kaki tangan, gerak tarian yang indah namun menyembunyikan unsur-unsur bela diri yang kokoh kuat dan daya serang yang lihai dan praktis. Gadis cilik itu tentu saja belum matang gerakan-gerakannya, lebih memberatkan kepada gerak tariannya sehingga tampak indah gemulai ketika ia bermain pedang.
Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Hoa-san-pai, indah gemulai dan memang gadis itu memiliki bakat menari yang baik. Lulu sampai melongo menonton pertunjukan itu. Dia tidak pernah mimpi bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun tidak tahu bahwa kalau ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah dari pada gadis itu sehingga dahulu kakaknya sering kali menggodanya dan mengatakan bahwa dia bukan bersilat melainkan menari.
Yang menabuh tambur adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun, wajahnya membayangkan kedukaan besar, sungguh pun kedukaan itu ditutupi dengan senyum-senyum melihat betapa banyak orang yang menonton kelihatan tertarik sekali kepada permainan silat pedang anak perempuan itu. Selain kakek itu, ada pula seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan laki-laki ini berdiri bertolak pinggang memandang gerakan anak perempuan itu dengan pandang mata penuh penilaian. Ada seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun kurang, memegang gembreng kecil yang ditabuhnya perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng ini menambah keindahan tarian pedang gadis itu.
Gadis cilik itu mengakhiri permainan pedangnya dengan gerakah indah, pedangnya berkelebat dari kanan ke kiri, berhenti di depan dada dan diacungkan ke atas, tangan kiri dirangkapkan kepada tangan kanan merupakan penghormatan, kemudian tubuhnya membungkuk ke empat penjuru dan senyum manis menghias bibirnya yang mungil.
Tepuk tangan dan sorak-sorai meledak menyambut permainan pedang gadis cilik itu yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda terima kasih. Lulu ikut pula bertepuk tangan dan bersorak memuji, karena dia benar-benar kagum sekali.
Kini kakek itu maju dengan tersenyum-senyum, tidak mempedulikan hujan uang kepingan yang dilemparkan ke atas panggung. Juga Lulu mengambil seraup uang kepingan dan melemparkannya ke atas panggung.
“Cu-wi sekalian, terima kasih banyak atas perhatian cu-wi terhadap permainan pedang yang masih buruk dari cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa kami sekeluarga mengadakan pertunjukan silat di kota ini bukan semata-mata untuk mencari dana, sungguh pun tidak sekali-kali kami kurang menghargai kebaikan hati cu-wi sekalian yang telah sudi menyumbang. Tujuan kami yang terutama adalah mencari sahabat dan kenalan dari satu golongan, yaitu para penggemar ilmu silat. Oleh karena itu, kami harap sudilah kiranya di antara cu-wi yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik ke panggung dan melebarkan pandang mata, meluaskan pengalaman, dan menambah pengertian kami dengan ilmu silat. Kini saya hendak menyuruh anak perempuan saya, kemudian mantu laki-laki saya, dan terakhir saya sendiri akan mainkan beberapa macam pukulan tangan kosong dan juga dengan senjata. Kami mohon sudilah suka menemani kami sehingga kami dapat berkenalan dengan cu-wi sekalian. Terima kasih.”
Pidato singkat kakek itu disambut dengan suara riuh dan tepuk tangan, tanda setuju. Bahkan ada yang saling towel, saling menyuruh teman untuk naik ke panggung memenuhi permintaan kakek itu. Mereka dorong-mendorong, dan yang merasa memiliki sedikit ilmu silat tidak berani naik ke panggung, mereka hendak melihat-lihat dulu bagaimana macamnya dan tingginya tingkat kepandaian mereka, yaitu keluarga tukang silat itu.
Atas isyarat kakek itu, wanita yang tadi memukul gembreng menyerahkan gembrengnya kepada suaminya, dan dia sendiri lalu mempererat ikat pinggangnya, kemudian ia maju beberapa langkah sampai di tengah panggung, mengangkat kedua tangan ke dada sebagai penghormatan ke empat penjuru, kemudian mulailah ia bersilat. Seperti juga puterinya, wanita ini bersilat tangan kosong, gerakannya halus gemulai namun kini berbeda dengan gerakan puterinya, gerakannya penuh dengan sambaran tenaga yang cukup kuat. Gerakan tangan kakinya teratur baik dan jelas bahwa dia telah menguasai ilmunya dengan mahir sekali.
Wanita itu menghabiskan gerakannya sampai lima belas jurus, kemudian berhenti dan menghadapi para penonton, berkata dengan suara manis dan sopan. “Di antara cu-wi sekalian yang sudi memberi pelajaran kepadaku, dipersilakan naik.”
Sampai lama tidak ada yang naik karena memang mereka yang mengerti ilmu silat menjadi gentar melihat dasar gerakan wanita itu. Benar bahwa naik berarti hanya menguji kepandaian, akan tetapi kalau kalah, apa lagi oleh seorang wanita, tentu akan menjatuhkan namanya. Maka kembali saling dorong dan saling membujuk teman yang mengerti ilmu silat.
Setelah wanita itu mengulangi sampai tiga empat kali ajakannya tadi, tiba-tiba melayanglah tubuh seorang laki-laki yang bermuka hitam dan gerakannya kasar. Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ketika kakinya turun ke panggung, panggung itu tergetar, tanda bahwa tubuhnya berat dan tenaganya besar. Ia menyeringai dan berkata kepada wanita yang menyambutnya dengan kedua tangan dirangkapkan ke dadanya.
“Aku bernama Louw Cang, penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah utara kota ini. Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi di kotaku aku berjuluk Hek-bin-liong (Naga Muka Hitam). Sekarang mendengar kesempatan untuk menguji kepandaian silat, dan tertarik akan ilmu silat yang lihai dari Hujin (Nyonya), saya ingin belajar kenal!” Ketika mengucapkan kata-kata ‘belajar kenal’ matanya bermain dan sikapnya ini memancing suara ketawa banyak orang.
“Terima kasih atas perhatian Louw-enghiong yang saya percaya tentu memiliki kepandaian yang lihai sekali. Silakan!” Nyonya itu sudah memasang kuda-kuda dan menghadapi calon lawannya dengan sikap tenang sekali.
“Nyonya, lihat seranganku!” Louw Cang menerjang maju dan sekali bergerak saja Lulu tahu bahwa orang kasar ini hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi tidak memiliki kepandaian yang berarti.
Agaknya hal ini dapat diketahui oleh kakek dan mantunya, maka mereka menonton dengan acuh tak acuh. Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak begitu hebat kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri. Cara ia mengelak sengaja diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa pukulan pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya terdorong ke depan sampai terhuyung.
Kalau nyonya itu menghendaki, selagi tubuh lawan terhuyung tentu dengan mudah ia akan dapat mengirim pukulan atau tendangan dari belakang. Akan tetapi mereka itu tidak akan mencari musuh, maka ia juga menanti saja. Si Muka Hitam membalikkan tubuhnya lagi, dan kembali ia menerjang dengan pukulan yang lebih keras, kini mengarah dada! Kembali nyonya itu mengelak. Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia cepat membalikkan tubuh lagi dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya bertubi-tubi dan ia mengerahkan tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali dielakkan, tubuhnya penuh keringat, napasnya megap-megap.
Nyonya itu merasa sudah cukup mengelak terus, apa lagi kini tubuh lawannya yang berkeringat itu mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia mengambil keputusan untuk menyudahi saja pertempuran itu. Apa lagi dari bunyi tambur yang dipukul ayahnya ia tahu bahwa ayahnya pun memberi tanda kepadanya untuk mengakhiri pertandingan. Maka ketika laki-laki lawannya itu kembali memukul dengan keras, ia miringkan tubuh, menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dari samping, memutarnya dengan gerakan pergelangan tangannya sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berputar. Kaki Si Wanita menendang perlahan ke arah belakang lutut sambil mendorong tangan yang menangkap pergelangan tangan. Tak dapat dicegah lagi tubuh Si Naga Muka Hitam itu terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya miring di atas panggung!
Tepuk sorak para penonton menyambut kemenangan nyonya yang lihai itu. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah meloncat bangun kembali. Dia adalah seorang kasar yang tak tahu diri. Karena ia menjadi jagoan di kotanya maka ia merasa bahwa kepandaiannya sudah amat tinggi. Kini dengan mudah dirobohkan oleh seorang wanita, hatinya menjadi penasaran, apa lagi karena robohnya tidak mengakibatkan luka atau rasa nyeri. Ia sama sekali tidak mau mengerti bahwa nyonya itu telah menjaga mukanya dan tidak merobohkannya secara hebat.
“Aku belum kalah!” bentaknya seolah-olah hendak membantah sorak-sorai para penonton yang menganggap nyonya itu sudah menang. “Jagalah seranganku!”
Ia menerjang lagi dan sorakan penonton berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan tentu akan berlangsung lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya sudah marah sekali. Dugaan mereka itu memang benar karena kini Si Muka Hitam menerjang dengan nekat, mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Seperti tadi, nyonya itu mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak dengan meloncat ke kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi, dia tidak mau mengulur waktu untuk menyudahi pertandingan dan diam-diam ia merasa gemas melihat laki-laki yang tak tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa kalau tidak diberi sedikit hajaran, Si Muka Hitam ini tentu akan nekat terus.
“Hyaaatttt...!”
Si Muka Hitam menendang dengan kaki kanan. Ketika dielakkan, ia menurunkan kaki kanan itu jauh ke depan sehingga tubuhnya mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya yang besar itu menonjok dari bawah mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu maklum akan datangnya pukulan maut, cepat tubuhnya mengelak ke kiri dan melihat kaki kanan Si Muka Hitam, ia mendapat kesempatan. Sambil mengelak kakinya menyambar, ujung sepatunya menendang dengan pengerahan lweekang ke arah lutut Si Muka Hitam.
“Krekkk!” Tak dapat dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka Hitam tercium ujung sepatu nyonya yang lihai itu.
“Ayaaa... hwaduhhh... uggghhh...!” Si Muka Hitam itu mengaduh-aduh, menyeringai dan mengangkat kaki kanannya ke atas, memegangi kaki itu dengan kedua tangan sambil berloncatan dengan kaki kiri terputar-putar. Rasa nyeri yang amat hebat membuat ia lupa diri dan merintih-rintih, rasa nyeri menusuk-nusuk dari lutut sampai ke jantung.
Karena para penonton yang menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa tidak senang kepadanya, kini menyaksikan penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak merasa kasihan, bahkan menjadi geli dan terdengar suara ketawa riuh-rendah. Akhirnya Si Muka Hitam sadar bahwa dia menjadi bahan tertawaan.
“Maafkan saya, Louw-enghiong.” Nyonya itu berkata kepadanya setelah mendapat teguran pandang dari ayahnya. Kakek itu cepat menghampiri Louw Cang dan menotok kaki yang terluka itu di betis dan paha, kemudian menyerahkan sebungkus obat kepada Si Muka Hitam sambil berkata.
“Harap Louw-enghiong memaafkan kami dan obat ini akan menyembuhkan sambungan lututmu.”
Akan tetapi Si Muka Hitam yang kini tidak lagi menderita terlalu nyeri setelah kakinya ditotok, memandang dengan mata melotot, kemudian membalikkan tubuh tanpa mau menerima obat itu, dan tanpa pamit ia melangkah ke pinggir panggung. Akan tetapi mukanya menyeringai lagi ketika ia melangkahkan kaki karena begitu digerakkan untuk berjalan, lututnya terasa sakit lagi. Ia menggigit bibir dan tidak berani meloncat turun, kemudian menuruni panggung dengan memanjat tiangnya yang tidak tinggi, setelah tiba di atas tanah ia lalu pergi dengan kaki pengkor, terpincang-pincang sehingga dari belakang tampak pantatnya berjungkat-jungkit dan tubuhnya miring-miring, amat lucu bagi para penonton yang makin tidak suka akan sikapnya.
Setelah nyonya itu mundur, kakek itu menghadapi para penonton dan menjura dengan sikap tenang. “Kami merasa amat menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para sahabat yang lihai dalam ilmu silat tentu mengerti bahwa kejadian itu bukan karena kesalahan anak saya yang didesak-desak. Kami mengharap munculnya para sahabat yang benar-benar ingin berkenalan dan mengisi kekurangan dalam pengetahuan ilmu silat. Kami persilakan!” Ia menjura dan mundur kembali, menabuh tamburnya perlahan-lahan dan lambat-lambat.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di antara para penonton sebelah kiri, dan tampak para penonton bergerak mundur dan minggir untuk memberi jalan kepada beberapa orang perwira Mancu dan para pengikutnya yang melihat pakaiannya adalah prajurit-prajurit yang berpangkat, sedikitnya kepala regu. Ada tiga orang perwira dan sepuluh orang anak buahnya mendekati panggung itu. Setelah saling bicara dalam bahasa Mancu yang dimengerti oleh Lulu, seorang di antara para perwira itu, yaitu yang hidungnya melengkung seperti hidung burung kakatua, meloncat ke atas panggung dengan gerakan ringan.
Lulu memandang penuh perhatian, hatinya merasa tidak senang mendengar percakapan mereka tadi sebelum naik ke panggung, karena mereka itu membicarakan kecantikan nyonya tadi dan mengandung niat hati tidak baik, menganggap para rombongan silat itu sebagai ‘pelanggar hukum’.
Melihat majunya seorang perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu kelihatan tenang saja, malah memberi isyarat mata kepada mantunya untuk menggantikannya menabuh tambur. Kemudian ia sendiri melangkah maju menyambut perwira hidung bengkok itu sambil menjura penuh hormat dan berkata.
“Maaf, Tai-ciangkun. Apakah ciangkun juga begitu baik hati untuk berkenalan dengan kami dan memberi petunjuk dalam ilmu silat kepada kami?”
Perwira itu mengangkat dadanya yang bidang dan dengan muka angkuh ia berkata, suaranya nyaring, “Kakek, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu bahwa kalian telah melanggar hukum?”
Para penonton mendengar suara keras ini menjadi tegang dan gelisah. Juga mantu, anak perempuan dan cucu Si Kakek itu memandang gelisah. Akan tetapi kakek itu tetap tenang saja ketika menjawab.
“Maaf, ciangkun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada peraturan yang melarang rombongan silat seperti kami membuka pertunjukan silat untuk berkenalan dengan para ahli silat dan untuk meluaskan pengalaman.”
“Hemmm, semua orang tahu bahwa telah dikeluarkan larangan bagi rakyat untuk membawa senjata tajam. Apakah engkau tidak tahu atau barangkali berpura-pura tidak tahu?”
Kembali kakek itu menjura. Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara terdengar di antara para penonton yang menjadi gelisah, bahkan sebagian dari para penonton diam-diam telah meninggalkan tempat itu, karena khawatir kalau terbawa-bawa. Apa lagi mereka yang merasa telah ‘melanggar hukum’.
Pada waktu itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan yang menghina penduduk pribumi. Pertama, pribumi dilarang membawa senjata, rambut diharuskan bertumbuh panjang dan dikuncir ke belakang seperti buntut, dan pakaian para pribumi harus ‘mencontoh’ pakaian Mancu! Tentu saja peraturan ini tidak dapat ditaati secara serentak, dan pemerintah Mancu pun cukup bijaksana dan cerdik untuk tidak terlalu menekan, melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi dipaksa ke arah pelaksanaan perintah-perintah itu. Yang terpenting adalah pelarangan membawa senjata tajam yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak dapat mengadakan pemberontakan. Maka di antara para penonton yang belum menyesuaikan pakaian dan rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu ketika Si Perwira Hidung Bengkok mempersoalkan hukum ini.
“Maaf, Tai-ciangkun,” Si Kakek menjawab dengan sikap penuh hormat sungguh pun tidak menjilat, “kami mengerti akan peraturan itu dan tidak ada niat kami untuk melanggarnya. Kami membawa senjata hanya sebagai perlengkapan dalam permainan silat yang kami pertunjukkan. Tanpa senjata, bagaimana kami dapat mempertunjukkan ilmu silat? Cucu saya itu hanya bisa menari pedang, kalau tidak membawa pedang tentu tidak akan dapat menari. Ada pun mengenai rambut dan pakaian, hal ini pun terpaksa kami sesuaikan dengan pertunjukan kami. Bagi kami, pertunjukan silat kami selain untuk menarik sahabat-sahabat untuk berkenalan, juga merupakan rombongan kesenian dan tentu saja dibutuhkan pakaian dan tata rambut yang sesuai dan ringkas. Harap ciangkun sudi memaafkan. Kalau tidak sedang mengadakan pertunjukan silat, tentu kami akan mengubah cara kami berpakaian, dan akan kami tinggalkan semua senjata di rumah.”
Perwira itu tertawa dan melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri di sudut sambil memandang penuh perhatian. “Ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun hanya mengingatkan kalian saja, kalau berniat buruk, tentu sudah tadi-tadi kusuruh tangkap kalian! Kalian mencari kenalan ahli silat? Hemmm, kebetulan sekali, aku pun pernah belajar ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai ilmu silatnya sehingga mudah saja mengalahkan Si Muka Hitam. Biarlah aku mencoba-coba kelihaiannya. Bagaimana?”
Kakek itu mengerutkan keningnya, “Ah, anak perempuan saya hanya memiliki ilmu silat pasaran saja, mana ada harganya menandingi Tai-ciangkun? Harap ciangkun jangan main-main.” Kakek itu tersenyum.
“Siapa main-main? Hayo suruh dia maju, hendak kulihat bagaimana kelihaiannya!”
Kakek itu menjadi serba salah. Dia tidak khawatir kalau-kalau anaknya akan kalah, akan tetapi bertanding menghadapi seorang perwira berbeda dengan orang biasa. Kalau lawannya orang biasa, kalah atau menang bukanlah merupakan hal aneh lagi. Akan tetapi kalau melayani perwira ini, kalau anaknya menang si perwira tentu akan merasa tersinggung kehormatannya dan akan mengandalkan kekuasaannya mencelakakan mereka. Akan tetapi kalau anaknya mengalah, tentu saja berbahaya bagi keselamatan anaknya.
“Biarlah saya yang akan maju melayani Tai-ciangkun beberapa jurus,” katanya. Kalau dia yang maju, tentu saja dia akan mengalah dan tidak mengapa menerima satu dua pukulan dari ciangkun ini, asal keluarganya tidak terganggu.
Akan tetapi perwira hidung bengkok itu malah menjadi marah. Ia bertolak pinggang dan alisnya diangkat, matanya melotot. “Heh, kalau orang lain boleh bertanding melawan perempuan itu, kenapa aku tidak? Apakah kau anggap aku tidak cukup berharga untuk bertanding melawan anakmu? Kakek, hati-hatilah engkau dengan sikapmu.”
Wanita itu melangkah maju dan berkata, “Ayah, biarkan saya melayani Tai-ciangkun ini beberapa jurus.”
Kakek itu menghela napas dan mundur, kembali kepada tamburnya, sedangkan mantunya yang memandang dengan wajah tidak berubah akan tetapi sinar matanya mengandung kekhawatiran, lalu mainkan gembreng. Wanita itu melangkah perlahan ke tengah panggung, dipandang oleh si perwira yang menelan ludah melihat langkah-langkah lemah gemulai dan pinggang ramping yang meliuk-liuk ketika wanita itu mendekat. Wanita itu benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang berkulit halus itu tanpa dihias bedak sama sekali. Bentuk tubuhnya masih ramping padat dan matang seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh kurang lebih usianya dan sudah mempunyai seorang anak.
Wanita itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara halus, “Tai-ciangkun hendak memberi pelajaran silat kepada saya? Silakan.”
Sejenak perwira itu memandang kagum, terpesona oleh kecantikan asli wanita itu, kemudian tertawa menyeringai. Orang yang ketawa atau senyumnya dibuat-buat, tidak sewajarnya dengan niat agar menarik dan wajahnya berubah tampan, akan kecelik karena senyum atau tawa yang tidak sewajarnya dan dibuat-buat itu akan membuat mukanya makin buruk dan senyumnya seperti monyet menyeringai.
“Heh-heh, Nona terlalu merendah. Akulah yang minta diberi pelajaran silat Nona yang lihai itu.” Ia sengaja menyebut nona bukan dengan niat tidak menghormat, sebaliknya malah ingin menyenangkan hati orang sebab perwira ini maklum bahwa seorang wanita akan gembira kalau disebut nona, sebaliknya seorang nona akan cemberut kalau disebut nyonya.
Akan tetapi wanita itu adalah seorang ibu yang baik, seorang isteri yang setia, maka mendengar sebutan yang ia tahu disengaja ini, ia menjawab, “Saya bukan gadis, ciangkun, melainkan seorang ibu. Di sana itu suami saya dan anak perempuan itu adalah anak saya.”
Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini dan perwira itu menyeringai makin lebar, wajahnya agak merah. “Ah, baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!”
Ia lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang main-main, akan tetapi nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini membawa angin pukulan yang amat kuat. Ia tidak berani memandang rendah dan cepat menggerakkan kakinya mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk ke kiri dan dari samping kakinya mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah tendangan kilat.
“Aihhhhh, cepat sekali!” Si perwira berseru, akan tetapi tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan yang dimiringkan untuk membabat kaki yang menendang.
Wanita itu cepat menarik kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan selagi perwira itu membabatkan tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan dan mengirim pukulan ke arah muka si perwira yang terbuka.
Perwira itu sengaja berlaku lambat dan membiarkan tangan lawan meluncur ke arah mukanya. Setelah dekat sekali sehingga kiranya tidak mungkin bagi lawan untuk menarik kembali tangannya seperti yang dilakukannya dengan tendangan tadi, tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan kanan wanita yang memukul itu telah ditangkapnya!
Terdengar seruan kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton menahan seruan mereka. Si wanita sendiri menjadi terkejut karena tidak disangkanya perwira itu memiliki kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah ditangkap dan ia tidak mampu melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah pelipis lawan dengan tangan kiri, dengan pukulan yang melengkung dari luar. Seperti tadi, perwira itu seperti tidak mengelak, dan setelah pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang terus ia bawa ke tangan kiri. Jari-jari tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram kedua pergelangan tangan nyonya itu menjadi satu!
“Ohhh... le... lepaskan tanganku...!” Nyonya itu berseru dan meronta, berusaha melepaskan tangannya yang keduanya telah terbelenggu oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Namun usahanya sia-sia dan si perwira tertawa-tawa bahkan mengulur tangan kanannya mencengkeram ke arah dada.....
Kakek itu terkejut, maklum bahwa nyawa puterinya terancam maut. Akan tetapi ternyata perwira itu tidak mencengkeram untuk membunuh, melainkan mencengkeram dengan halus dan meremas-remas dada wanita itu secara kurang ajar sekali sambil tertawa-tawa!
“Lepaskan isteriku!” Laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan tiba-tiba meloncat maju. Ia masih ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.
“Pergilah!”
Tangan kiri yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita terhuyung ke belakang, sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke arah kepala laki-laki suami wanita itu.
“Ahhhh...!” Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali tangan si perwira itu menyambar pundaknya.
“Krekkk!” Patahlah tulang pundak suami nyonya itu dan tubuhnya terpelanting roboh.
Kakek itu meninggalkan tamburnya, mengangkat bangun mantunya dan kemudian menghadapi si perwira yang bertolak pinggang, menjura dan berkata, “Kepandaian Tai-ciangkun sungguh hebat sekali dan kami merasa beruntung dan berterima kasih telah mendapat pelajaran dari Ciangkun. Kekalahan ini merupakan pengalaman dan pelajaran bagi kami dan sekarang kami mohon untuk mengundurkan diri meninggalkan kota ini.”
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Kakek Tua. Kita telah bertanding dan bukankah kau tadi mengatakan bahwa niat kalian untuk menarik persahabatan? Aku telah bertanding dengan puterimu, berarti aku telah menjadi sahabat pula, bukan? Nah, kulihat ilmu silat puterimu hebat. Malam nanti kami serombongan perwira hendak mengadakan malam gembira, maka sebagai sahabat, aku minta supaya puterimu sekarang juga ikut dengan aku untuk bantu meramaikan malam gembira itu.”
Wajah kakek itu menjadi pucat. “Maaf, Tai-ciangkun... hal itu mana bisa dilakukan...?”
“Tentu saja bisa kalau mau!” jawab Si Perwira.
“Aku tidak mau, Tai-ciangkun. Harap ingat bahwa aku adalah seorang isteri, seorang ibu...”
“Ha-ha-ha, beginikah harganya persahabatan kalian?” Perwira itu mengejek dan dua orang perwira lain yang berada di bawah tertawa.
“Kami sudah bosan dengan gadis-gadis, sekali waktu diselingi seorang ibu muda tentu menggembirakan, ha-ha-ha!”
Melihat sikap mereka, kakek itu maklum bahwa bahaya tak dapat dihindarkan lagi. Maka ia lalu berkata, nadanya tegas, “Maaf, Tai-ciangkun. Kami sekeluarga tidak dapat memenuhi permintaanmu itu.”
Perwira itu menggerakkan alisnya dan memandang kakek itu dengan mata disipitkan. “Apakah ini berarti bahwa aku harus mengalahkan engkau dulu?”
Kakek itu maklum bahwa perwira berhidung bengkok ini lihai sekali. Melihat caranya mengalahkan puterinya dan merobohkan mantunya dengan sekali pukul ia tahu bahwa dia sendiri bukan tandingan si perwira. Akan tetapi, demi menjaga kehormatan puterinya dan nama baik keluarganya, ia memandang tajam dan berkata. “Terserah penilaian Ciangkun!”
“Hemmm, engkau orang tua tidak memilih hidup enak, malah memilih kematian. Kalau begitu, bersiaplah kau untuk mampus!” Perwira itu melangkah maju dan pada saat itu berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus.
“Tunggu dulu...!”
Perwira hidung bengkok itu menahan serangannya dan melangkah mundur, kemudian berdiri dan terpesona ketika melihat seorang pemuda remaja yang amat tampan telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang. Sikapnya angkuh sekali seperti seorang jenderal, namun wajah yang tampan itu agaknya tidak bisa membayangkan kemarahan maka kelihatannya cerah dan berseri. Sepasang mata yang lebar dan bercahaya terang seperti sepasang bintang itu seolah-olah menembus dada menjenguk jantung. ‘Pemuda’ ini bukan lain adalah Lulu yang tak dapat menahan kemarahannya lagi menyaksikan lagak dan perbuatan perwira itu.
“Eh, engkau ini siapakah dan mengapa menahan aku menghajar Kakek tak tahu diri ini?” Si Perwira akhirnya berkata setelah pandang matanya puas meneliti seluruh tubuh pemuda yang berdiri angkuh di depannya itu.
“Engkau yang tak tahu diri!” Lulu membentak, mengejutkan hati semua orang termasuk kakek yang berdiri di belakangnya itu. Akan tetapi mereka semua makin terkejut dan khawatir lagi ketika pemuda tampan itu melanjutkan kata-katanya sambil menudingkan telunjuknya seperti hendak menusuk hidung yang bengkok itu, “Engkau ini perwira macam apa, heh? Mengandalkan kepandaian untuk menghina wanita dan memukul rakyat, mengandalkan kedudukan untuk menindas rakyat! Dumeh (mentang-mentang) menjadi perwira, apakah engkau lantas boleh menggunakan kekuasaanmu untuk bertindak sewenang-wenang? Apakah engkau dijadikan perwira untuk menginjak-injak rakyat? Seharusnya prajurit menjadi penjaga keamanan, akan tetapi engkau malah menjadi pengacau keamanan! Seharusnya prajurit menjadi pelindung rakyat! Akan tetapi engkau malah menjadi pengganggu rakyat! Kalau rekan-rekanmu di bawah itu tahu diri dan mengenal kewajiban, tentu engkau sudah diseret turun dari panggung ini dan menerima hukuman dari atasanmu!”
Tidak hanya para penonton dan rombongan silat itu yang tercengang keheranan, juga Si Perwira sendiri berikut teman-temannya memandang dengan melongo. Sikap pemuda ini seperti seorang jenderal memarahi anak buahnya yang menyeleweng saja! Perwira hidung bengkok menjadi curiga dan wajahnya berubah pucat. Ia menduga-duga akan tetapi tidak mengenal pemuda ini, maka ia lalu bertanya.
“Eh, pemuda yang lancang mulut. Siapakah engkau sebetulnya?”
“Aku rakyat biasa yang tidak sudi melihat adanya perwira macam engkau ini menghina rakyat yang tidak berdosa!”
Sejenak perwira itu memandang, kemudian tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, pemuda liar macam engkau ini sungguh menggemaskan! Hemmm, ingin kupukul bibirmu sampai berdarah!” Ia menoleh kepada teman-teman di bawah panggung. “Bagaimana kalau aku tangkap pemuda liar ini agar malam nanti dia menjadi badut meramaikan malam gembira kita?”
“Akur! Akur!” teriak dua orang perwira dan para anak buahnya. Perwira hidung bengkok itu kembali menghadapi Lulu dan berkata mengejek.
“Kalian orang-orang Han memang sombong! Kalau aku menghina orang-orang Han, engkau mau apa?”
Kemarahan Lulu membuat mukanya menjadi merah. Dia muak menyaksikan sikap perwira bangsanya sendiri! Ayahnya dahulu juga seorang perwira Mancu, akan tetapi ia merasa yakin bahwa ayahnya tidak jahat seperti orang ini.
“Mau apa? Mau apa kau tanya? Mau apa lagi kalau tidak menghancurkan hidungmu yang bengkok itu!” bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat, yang kiri menyodok perut yang kanan mencengkeram leher!
“Wah-wah, ganas...!” Perwira yang memandang rendah gadis itu mengejek.
Tangan kanan gadis itu datang lebih dulu ke lehernya. Cepat ia tangkis dan tangan kiri gadis yang menyodok perutnya hendak ditangkapnya seperti yang ia lakukan pada nyonya tadi. Akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan jerit mengerikan karena tangan kanan Lulu yang ditangkis itu tidak membalik, melainkan meluncur ke atas dan pada detik berikutnya, tangan gadis itu sudah menampar hidungnya yang bengkok!
“Dessss...!”
Perwira itu menjerit dan darah muncrat-muncrat dari hidungnya yang benar-benar telah hancur, bukit hidungnya lenyap dan remuk bersama tulang mudanya, dan kini hanya tinggal dua buah lubang yang penuh darah! Lulu mengayun kakinya dan tubuh perwira yang besar itu tertendang, terguling dari atas panggung, menimpa teman-temannya dalam keadaan pingsan!
“Pembunuh! Pemberontak! Tangkap!” bentak dua orang perwira lainnya.
Bersama sepuluh orang anak buah mereka, dengan marah mereka meloncat ke atas panggung dengan golok terhunus. Gegerlah tempat itu. Para penonton lari berserabutan saling tabrak, di antara mereka yang tidak keburu lari menjadi korban hantaman golok anak buah perwira yang seperti biasa dalam keadaan seperti itu memperlihatkan ‘kegagahannya’ menyerang orang-orang yang tidak mampu membalas.
Kini dua belas orang prajurit itu telah menerjang ke panggung. Melihat betapa ‘pemuda’ yang perkasa itu terancam, kakek bersama puterinya cepat maju dengan pedang di tangan membantu. Bahkan kakek itu berseru, “Siauwhiap (Pendekar Muda), pakailah pedang ini!”
“Untuk melawan penjahat-penjahat keji berkedok tentara ini, perlu apa menggunakan pedang, Lopek?” Lulu menyambut mereka dengan tendangan-tendangan kilat dan dua orang prajurit pengawal roboh kembali ke bawah panggung.
Karena maklum bahwa pemuda itu lihai, dua orang perwira segera memutar golok dan menyerang Lulu yang menggunakan kegesitan tubuh untuk berkelebat menghindarkan serangan-serangan golok mereka. Kakek dan puterinya menghadapi pengeroyokan anak buah mereka, sedangkan anak perempuan kecil, cucu kakek itu, berdiri di sudut panggung dengan muka pucat.
Biar pun dalam hal ilmu silat Lulu belum dapat dikatakan seorang ahli, namun dia memiliki sinkang yang amat kuat sehingga gerakannya cepat luar biasa dan tenaga dalamnya juga sukar dicari tandingannya. Hujan bacokan dua buah golok di tangan dua orang perwira itu selalu dapat ia elakkan dengan mudah. Dua orang perwira ini sebetulnya memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, seperti juga Si Perwira Hidung Bengkok tadi. Kalau saja Si Hidung Bengkok itu tadi tidak memandang rendah Lulu, kiranya dia tidak akan begitu mudah dan cepat dirobohkan oleh Lulu dan kehilangan hidungnya.
Kakek dan puterinya bersilat dengan ilmu pedang Hoa-san-pai, gerakan mereka cepat dan indah. Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah merobohkan dua orang pengeroyok. Lulu akhirnya berhasil pula menendang perut seorang perwira yang segera berjongkok menekan-nekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas itu. Karena kini ia hanya menghadapi seorang lawan, Lulu dapat mempermainkannya. Sambil mengelak, tangannya menampar dan sudah empat kali ia membuat perwira itu terhuyung-huyung. Ketika kelima kalinya ia mengelak sambil menyodok, jari tangan kirinya berhasil menyodok tulang iga. Terdengar tulang patah dan tubuh perwira itu terguling, mulutnya berteriak-teriak kesakitan. Lulu kini menyerbu para pengeroyok kakek dan puterinya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan ramai dan datanglah sepasukan prajurit Mancu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Kiranya seorang di antara anak buah perwira-perwira itu tadi cepat lari melapor ke markas ketika menyaksikan betapa pihaknya kewalahan menghadapi pemuda liar dan rombongan tukang silat itu. Melihat datangnya bala bantuan lawan yang besar jumlahnya, kakek itu berkata.
“Siauwhiap, harap melarikan diri saja. Tak perlu engkau mengorbankan keselamatanmu untuk kami...”
“Eh, omongan apa itu? Apa kau kira aku takut mati, Lopek?”
Kakek itu melongo. Pemuda itu lihai sekali, omongannya kasar dan wataknya ganas. Terpaksa ia tidak membujuk lagi dan kini ia menyambar tubuh cucunya, dikempit dengan lengan kiri sedangkan tangan kanan yang memegang pedang menyambut datangnya para pengeroyok yang lebih banyak itu. Mereka terkurung dan panggung yang mereka injak bergoyang-goyang, hampir tidak kuat menahan demikian banyaknya orang yang bergerak-gerak dalam pertandingan keroyokan kacau-balau itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berpakaian pengemis menyerbu para prajurit dari luar sehingga keadaan pasukan pengeroyok menjadi kacau. Para pengemis ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga ketika menyerbu, banyak pihak tentara Mancu yang roboh.
“Lekas kalian meloncat dan memegang kuda ini!” Seorang di antara para pengemis itu berseru kepada rombongan tukang silat dan Lulu.
Pada saat itu puteri kakek itu terluka oleh sebuah bacokan di pundaknya dan terhuyung-huyung. Lulu cepat menyambarnya dan membawanya meloncat ke atas punggung seekor kuda yang sudah disiapkan oleh para pengemis. Kakek itu memondong cucunya, sedangkan mantunya yang patah tulang pundaknya sudah pula membonceng kuda bersama seorang pengemis. Sambil memutar-mutar golok dan pedang, rombongan pengemis ini membuka jalan dan membalapkan kuda meninggalkan kota Tiong-bun ke arah timur dan tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Atas isyarat pimpinan rombongan pengemis itu, mereka berhenti dan si kepala rombongan yang bertubuh tinggi kurus itu berkata, “Pasukan besar tentu akan mengejar kita. Sebaiknya rombongan dibagi menjadi tiga untuk menyesatkan mereka. Aku sendiri bersama sahabat-sahabat yang perlu ditolong ini akan menemui pangcu!” Singkat saja ia bicara dan teman-temannya sudah mengerti semua.
Mereka membagi kuda. Lulu duduk di atas seekor kuda bersama anak perempuan kakek itu, kakek itu duduk bersama pengemis tinggi kurus sedangkan anaknya bersama mantunya sekuda. Para pengemis lainnya dipecah menjadi dua rombongan, yang serombongan membelok ke kiri, yang serombongan ke kanan, sedangkan pengemis tinggi kurus bersama keluarga tukang silat dan Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan.
Belum lama mereka melanjutkan perjalanan, malam telah tiba dan di dalam hutan itu gelap sekali. “Terpaksa kita harus berhenti dan bermalam di sini. Aku mengetahui sebuah goa yang tersembunyi dan aman di depan. Mari!” kata pengemis kurus itu yang sejak tadi tidak pernah membuka mulut.
Goa itu tersembunyi di balik rumpun alang-alang yang tebal dan tinggi. Mereka lalu turun dari kuda, dan pengemis itu menyembunyikan tiga ekor kuda itu agak jauh dari goa, kemudian mereka semua memasuki goa dan tanpa banyak cakap pengemis kurus itu membuat api unggun di dalam goa, mengeluarkan roti kering dan air, mengajak semua orang makan dan minum hidangan yang bersahaja itu.
Setelah makan minum sekedarnya dan melihat betapa suami isteri itu pucat menahan sakit, pengemis tinggi kurus itu bertanya, “Ji-wi terluka?”
Kakek tukang penjual silat itu menjawab, “Mantuku patah tulang pundaknya dan anakku perempuan terluka bacokan, tidak berbahaya akan tetapi tentu saja nyeri.”
“Jangan khawatir, Lopek. Aku membawa obat minum untuk tulang patah. Akan tetapi untuk menyambungnya dengan baik, harus menanti sampai kita bertemu dengan pangcu besok, dia adalah seorang ahli menyambung tulang patah.”
Pengemis kurus itu mengeluarkan bungkusan obat, sebungkus diberikan kepada nyonya itu dan sebungkus lagi kepada suaminya. Suami isteri yang berpengalaman itu menghaturkan terima kasih dan merawat sendiri luka-luka mereka. Melihat sikap pengemis yang pakaiannya compang-camping, tidak banyak bicara akan tetapi yang menolong rombongan kakek itu dengan sungguh-sungguh, diam-diam Lulu menjadi kagum sekali dan timbul rasa suka di hatinya. Akan tetapi karena dia belum mengenal pengemis itu, tidak tahu dari partai apa, juga sesungguhnya ia sama sekali belum mengenal rombongan kakek yang mengadakan pertunjukan silat, ia diam saja dan hanya mendengarkan.
“Bagaimana Lopek sampai diserbu gerombolan anjing-anjing Mancu itu?” Tiba-tiba pengemis itu bertanya tanpa memandang si kakek, dan menambah kayu api unggunnya. Lulu memandang tajam, melihat betapa wajah pengemis itu keruh dan suaranya penuh kebencian ketika menyebut ‘anjing-anjing Mancu’.
Kakek itu menghela napas panjang dan memangku kepala cucunya yang kelihatan lelah dan mengantuk itu. “Ahhh, kami dari keluarga yang amat malang. Kami sedang melakukan perjalanan menyelidik, mencari anakku perempuan ke dua yang dilarikan orang. Karena ada larangan membawa senjata tajam, kami sengaja menyamar sebagai rombongan pertunjukan silat agar leluasa membawa senjata. Siapa kira di kota Tiong-bun hampir saja kami celaka kalau tidak ditolong oleh Siauwhiap ini.”
“Lopek salah sangka. Dia ini adalah seorang Lihiap yang mengagumkan,” kata Si Pengemis dengan tenang tanpa memandang Lulu.
Tentu saja Lulu terkejut sekali dan makin kagum. Pengemis ini benar-benar memiliki mata yang awas! Kakek itu sendiri juga terkejut.
“Lihiap? Seorang dara remaja? Ahhh, hebat... ah, maafkan mataku yang sudah lamur, Lihiap.”
Tiba-tiba terdengar bisikan nyonya cantik itu kepada suaminya, “Apa kataku? Dan engkau masih cemburu melihat aku boncengan dengan dia sekuda! Apa kau kira semua laki-laki sejahat perwira Mancu itu?”
“Sssttttt...!” Suaminya menegur dan mukanya menjadi merah sekali.
Lulu menahan hatinya yang geli dan ingin tertawa. Kiranya suami itu menjadi cemburu ketika ia menolong isterinya dan berboncengan di atas kuda! Betapa lucunya!
“Lokai (Pengemis Tua), pandangan matamu awas sekali, sungguh aku kagum!” kata Lulu yang melepas penutup kepalanya. Rambutnya yang hitam panjang kini terurai dan ia biarkan saja karena ia merasa tidak perlu lagi menyamar setelah rahasianya terbuka.
“Tidak percuma aku merantau di dunia kang-ouw sampai puluhan tahun, Nona. Lopek, harap suka melanjutkan ceritamu. Siapakah yang melarikan puterimu?”
“Siapa lagi kalau bukan anjing Mancu!”
Kembali Lulu terkejut. Hatinya terpukul berkali-kali. Hari ini ia telah menyaksikan kejahatan perwira-perwira Mancu dan anak buahnya, dan kini ia lagi-lagi mendengar akan kejahatan bangsanya. Hatinya tidak enak dan ia memandang api unggun, menutup mulut membuka telinga mendengarkan penuturan kakek itu.
Kakek itu bernama Gak Mong, seorang duda yang tinggal di kota Bwee-hian dekat kota besar Cin-an bersama dua orang puterinya dan seorang mantu serta seorang cucu. Puterinya yang bungsu bernama Gak Siok Ci, seorang dara remaja berusia delapan belas tahun. Pekerjaan kakek ini adalah piauwsu yaitu pengawal barang-barang berharga yang dikirim jauh. Dalam pekerjaan ini, ia dibantu oleh kedua orang puterinya dan seorang mantunya yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang lumayan. Gak Kiong adalah seorang murid luar dari Hoa-san-pai dan karena pergaulannya yang luas ditambah ilmu pedangnya yang lihai, maka sampai bertahun-tahun ia bekerja dengan lancar dan selalu dapat mengawal barang-barang kiriman dengan selamat.
Akan tetapi, mala petaka terjadi ketika pada suatu hari ia mengawal sekereta penuh bahan pakaian menuju ke utara. Ia ditemani oleh seluruh keluarganya karena selain mengawal barang berharga yang membutuhkan pengawalan yang kuat, juga sekalian mengajak keluarganya pesiar ke utara, apa lagi pada waktu itu perang telah selesai di bagian ini dan perjalanan cukup aman.
Sekali ini perjalanannya mendapat gangguan, bukan oleh perampok melainkan oleh sepasukan tentara Mancu yang dipimpin seorang perwira bermata satu (mata kirinya buta). Kereta bahan pakaian itu dijadikan rebutan oleh anggota pasukan. Tentu saja keluarga Gak ini melakukan perlawanan, namun perwira itu ternyata merupakan perwira kelas satu yang memiliki ilmu golok yang hebat, apa lagi dibantu oleh puluhan orang anak buahnya. Maka keluarga Gak itu dikalahkan dan terluka, kecuali Gak Siok Ci dara remaja yang cantik jelita itu, yang ditawan dan dibawa pergi oleh si perwira mata satu!
Terpaksa keluarga itu pulang dengan hati penuh kedukaan. Untuk mengganti barang kawalan yang habis itu terpaksa pula Kakek Gak menjual semua rumah, tanah dan barang miliknya, kemudian mereka semua lalu meninggalkan tempat tinggal mereka dan merantau ke utara dengan maksud mencari anak perempuannya yang hilang.
“Sampai berbulan-bulan kami merantau, namun tidak dapat menemukan jejak anakku. Perwira mata satu itu lihai sekali, maka kurasa dia tentu berada di dekat kota raja. Apa pun yang terjadi, kami bertekad untuk mencari anakku dan membalas dendam kepada perwira keparat itu!” Kakek Gak mengakhiri penuturunannya sambil mengepal tinju.
“Perwira mata satu? Tinggi besar dan senjatanya golok besar?” Tiba-tiba pengemis itu menepuk pahanya dan berseru, “Jangan-jangan dia itu Twa-to-kwi (Setan Golok Besar) Liok Bu Tang...!”
“Serrrrr...!”
Sebatang anak panah menyambar dari luar goa dan Lulu yang bermata tajam cepat menggerakkan tangan menangkap anak panah itu. Pengemis kurus itu memadamkan api unggun dan berbisik, “Bersembunyi mepet dinding goa...!”
Dari luar goa terdengar suara ketawa bergelak, “Ha-ha-ha! Jembel busuk Kwat Lee, benar sekali ucapanmu. Twa-to-kwi Liok Bu Tang telah berada di sini. Engkau boleh berjuluk Bu-eng Sin-kai (Pengemis Sakti Tanpa Bayangan), akan tetapi sekali ini bukan saja bayanganmu, juga orangnya akan menjadi tawananku atau malah menjadi setan penasaran. Ha-ha-ha-ha! Pemberontak-pemberontak keji, menyerahlah. Goa ini sudah dikepung puluhan orang bala tentaraku!”
Pengemis tinggi kurus yang bernama Kwat Lee itu berbisik, “Tidak ada pilihan lain. Tinggal di sini berarti mati konyol. Kalau menyerbu ke luar, dikeroyok, akan tetapi belum tentu kita mati semua. Masing-masing mencari jalan ke luar sendiri, lebih baik seorang dua orang ada yang selamat dan bebas dari pada semua mati. Lihiap, kau mengambil jalan kiri. Gak-lopek, engkau dan puteri serta mantumu mengambil jalan kanan, kau pondong cucumu. Aku akan mengambil jalan depan!”
Kembali Lulu kagum bukan main. Pengemis ini memilih jalan yang paling berbahaya bagi diri sendiri!
Dari luar goa terdengar suara ketawa yang tadi. “Ha-ha-ha! Engkau ketakutan, jembel busuk? Aku tahu bahwa engkau berada di dalam goa bersama Keluarga Gak. Eh, Gak-piauwsu, engkau dan keluargamu hendak mencari si manis Siok Ci anakmu? Boleh, kalian boleh berjumpa dengan dia di neraka. Dan pemuda hijau yang ikut bersama kalian juga akan mampus. Ha-ha-ha!”
“Aahhhhh, adikku Siok Ci... engkau... sudah mati...” Nyonya itu menangis.
Ayahnya membentak. “Dia sudah mati lebih baik! Mengapa engkau menangis? Kita pun menghadapi kematian! Orang gagah tidak menangis menghadapi kematian di tangan musuh!”
Seketika nyonya itu menghentikan tangisnya, mengepal tinju dan berseru, “Anjing-anjing Mancu, rasakan pembalasanku!”
Lulu kagum sekali. Orang-orang Mancu itu... ah, ia malu sekali. Mendengar bahwa ia disebut ‘pemuda hijau’, cepat Lulu menutupi rambut yang digelungnya dengan kain kepalanya, kemudian ia berkata, “Bu-eng Sin-kai, biarlah aku yang mengambil jalan depan!” Ucapannya tegas dan sedikit pun tidak membayangkan kegentaran.
Pengemis itu di dalam gelap memandang ke arahnya dengan kagum. “Lihiap, engkau tidak bersenjata?”
“Aku bisa merampas senjata dari mereka.”
“Baiklah, engkau mengambil jalan depan. Aku mengambil jalan kiri bersama mantu Gak-piauwsu yang patah tulang pundaknya. Gak-piauwsu, engkau bersama puterimu dan cucumu mengambil jalan kanan.”
Tiba-tiba keadaan menjadi terang ketika pasukan yang mengepung itu menyalakan banyak sekali obor dan memegang obor di tangan kiri, diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kanan memegang senjata tajam. Di antara sinar obor, tampaklah perwira tinggi besar yang memegang golok besar pula, matanya yang tinggal sebelah bercahaya mengerikan.
Mereka yang berada di dalam goa sudah siap, Bu-eng Sin-kai sudah memegang senjatanya, yaitu sebatang tongkat bambu kuning yang kedua ujungnya dipasangi baja runcing. Gak Kiong kakek itu memegang pedangnya di tangan kanan dan cucunya dipondong di lengan kiri. Puterinya juga sudah memegang pedang. Mantunya, yang lumpuh lengan kanannya karena tulang pundaknya patah, memegang pedang dengan tangan kiri, berjongkok dekat dengan Kwat Lee, Si Pengemis Kurus yang berjuluk Bu-eng Sin-kai itu.
“Siap! Kita menyerbu keluar. Satu, dua, tiga...!”
Meloncatlah mereka ke luar. Lulu yang memiliki ginkang istimewa itu melompat paling dulu menerjang ke depan, di tengah-tengah. Sedangkan Bu-eng Sin-kai didampingi mantu Gak-piauwsu menerjang ke kiri. Kakek Gak bersama puterinya menerjang ke kanan.
“Tangkap pemberontak! Bunuh...!” Terdengar teriakan riuh-rendah dan sinar obor bergerak-gerak menyilaukan mata ketika pasukan itu mengepung dan bergerak ke depan.
Karena mendengar cerita Kakek Gak, dan mendengar pula ucapan perwira mata satu, timbul kebencian di hati Lulu terhadap perwira ini. Maka begitu ia menerjang ke luar dan disambut oleh dua orang tentara Mancu, dengan mudah ia merobohkan mereka dengan pukulan dan tendangan, berhasil merampas sebatang pedang kemudian ia meloncat ke depan perwira yang memegang golok besar itu dan terus menusuk dengan pedang rampasannya ke arah perut yang gendut itu.
“Ha-ha-ha, pemuda hijau berani bertingkah?” Perwira mata satu itu menggerakkan goloknya dengan pengerahan tenaga dan ia yakin bahwa sekali tangkis, kalau tidak mematahkan pedang lawan sedikitnya ia tentu akan mampu membuat pedang itu terlepas.
“Heh...? Ahhhhh...!”
Ia meloncat ke belakang sambil mengelebatkan goloknya saking kaget karena pedang yang tadi menusuk dan ditangkisnya itu tiba-tiba menyeleweng, mengelak tangkisannya dan terus membacok lehernya! Tahulah perwira ini bahwa ‘pemuda’ itu tidak boleh dipandang ringan.
“Hemmm, Twa-to-kwi Liok Bu Tang, mentang-mentang matamu tinggal satu engkau berani memandang sebelah mata kepadaku?” ejek Lulu yang menerjang terus dengan hebatnya. Gerakannya memang gesit sekali dan ilmu pedangnya amat indah. Di bawah sinar api obor, pedang rampasannya berubah menjadi gundukan sinar bundar seperti payung yang melayang maju ke arah Liok Bu Tang.
“Setan alas! Kau kira aku takut padamu?” Biar pun mulutnya berkata demikian dan goloknya diputar cepat untuk menangkis dan balas menyerang, namun kenyataannya perwira ini merasa lega ketika empat orang tangan kanannya, yaitu perwira-perwira rendahan yang menyaksikan pula kelihaian Lulu, maju mengeroyok gadis itu dan membantunya.
Ada pun Bu-eng Sin-kai Kwat Lee yang menerjang ke kiri bersama mantu Kakek Gak juga menghadapi pengeroyokan belasan orang tentara. Kwat Lee dengan tongkat bambunya mengamuk hebat, sebentar saja sudah berhasil merobohkan empat orang pengeroyok. Ada pun mantu Kakek Gak itu biar pun hanya dapat menggunakan tangan kiri, namun ia masih dapat mempertahankan setiap serangan yang dapat ia elakkan atau tangkis. Namun hatinya gelisah dan beberapa kali ia menoleh ke kanan di mana ia melihat isterinya dan ayah mertuanya yang menggendong puterinya juga dikeroyok banyak orang.
Lulu marah bukan main menghadapi pengeroyokan para perwira Mancu ini. Lenyap sama sekali perasaan tidak enak bahwa ia memusuhi bangsa sendiri dan kini yang terasa di hatinya hanyalah bahwa ia menentang orang-orang yang jahat, membela orang-orang yang benar. Berkat latihan-latihannya di Pulau Es, ginkang-nya jauh melebihi para pengeroyoknya dan ketika ia mendapat kesempatan, ketika tubuhnya melayang tinggi, dari atas ia menukik ke bawah, pedangnya berbentuk gulungan sinar seperti payung melindungi tubuhnya dan tangan kirinya memukul ke arah seorang pengeroyok dengan pengerahan tenaga sinkang-nya.
“Plakkkkk!” Orang itu roboh dengan kepala retak dan tewas di saat itu juga. Lulu merasa kecewa bahwa yang tewas itu ternyata bukan Si Mata Satu, karena dari atas tadi ia hanya menyerang pengeroyok terdekat.
“Keparat! Kepung, bunuh!” teriak perwira mata satu dengan marah ketika melihat seorang pembantunya tewas.
Diam-diam ia pun merasa gentar karena tidak menyangka bahwa ‘pemuda hijau’ itu ternyata demikian lihainya. Atas teriakannya ini, dua orang perwira rendahan maju menggantikan seorang yang roboh. Kini Lulu dikeroyok oleh enam orang termasuk Si Mata Satu! Ia mengertak gigi, memutar pedang dan bergerak seperti halilintar cepatnya dan kembali dua orang telah kena sabetan pedangnya sehingga yang seorang putus lengannya, yang seorang lagi pecah perutnya. Begitu roboh dua orang, pengganti mereka sudah cepat muncul dan kembali Lulu dikeroyok dengan kepungan ketat.
Pengemis kurus Kwat Lee juga mengamuk secara hebat. Empat orang korbannya kini bertambah menjadi delapan orang, kesemuanya prajurit-prajurit Mancu yang sungguh pun tidak selihai para perwira yang mengeroyok Lulu kepandaiannya, namun karena jumlahnya amat banyak, maka ia tidak dapat maju dan akhirnya terhalang oleh tumpukan mayat-mayat lawan yang dirobohkannya.
Pertandingan sudah berjalan hampir dua jam. Mantu Kakek Gak yang menengok lagi ke kanan mengeluarkan teriakan ngeri ketika ia melihat isterinya roboh oleh tusukan tombak dari belakang. Ia tidak mempedulikan lagi larangan Kwat Lee, lalu meloncat dan lari menuju ke kanan. Ia melihat isterinya roboh mandi darah dan pada saat ia hendak menubruk isterinya, Kakek Gak berteriak keras dan ketika mantunya menengok, ternyata ayah mertuanya itu roboh bersama-sama puterinya, keduanya menjadi sasaran bacokan banyak golok dan pedang!
Dengan buas laki-laki ini meloncat dan mengamuk dengan pedang di tangan kirinya. Kemarahannya, kesedihan, dan dendam yang meluap-luap membuat kekuatan gerakan pedangnya berlipat ganda dan berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok sebelum ia sendiri roboh dengan tubuh penuh luka. Habislah riwayat keluarga Gak yang gagah perkasa itu!
Kini tinggal Lulu dan Kwat Lee yang melanjutkan perlawanan. Pengemis ini mengerti bahwa keluarga Gak tak dapat ditolong lagi, maka ia cepat menggeser kedudukannya dan akhirnya berhasil mendekati Lulu. Setelah dekat ia berteriak.
“Lihiap! Kita mengadu punggung, saling melindungi!”
Lulu mengerti maksud pengemis itu dan ia pun lalu berdiri membelakangi Kwat Lee dan biar pun punggung mereka tidak sampai bersentuhan, masih terpisah kira-kira satu meter, namun dengan kedudukan mereka itu tidak ada pengeroyok yang akan dapat menyerang mereka dari belakang sehingga bagi mereka akan lebih dapat melakukan pertahanan yang kuat.
Liok Bu Tang si Mata Satu sudah menjadi marah bukan main. Terlalu banyak ia kehilangan anak buah, dan hasilnya hanya dapat membunuh keluarga Gak yang empat orang jumlahnya, empat orang itu pun yang seorang anak kecil dan seorang lagi sudah patah tulang pundaknya. Sungguh memalukan! Tidak kurang dari lima belas orang anak buahnya tewas.
Si Mata Satu dan perwira rendahan yang tinggal empat lagi, dibantu oleh dua puluh lebih anak buahnya, kini mengurung Lulu dan Kwat Lee. Lebih marah lagi hati Si Mata Satu ketika mendengar pengemis itu menyebut lihiap kepada ‘pemuda’ itu. Hanya seorang gadis remaja!
Para pengepung mengangkat senjata, mengurung dan mencari kesempatan baik, atau menunggu komando. Lulu dan Kwat Lee melintangkan senjata di depan dada, siap melawan mati-matian. Keadaan amat menegangkan. Mata kedua orang yang dikeroyok ini tidak berkedip, memandang para pengurung di bawah sinar obor yang kini dipegang oleh puluhan orang tentara yang tidak ikut mengeroyok, karena tidak kebagian tempat dan hanya berdiri di lingkungan luar dengan obor di tangan kiri dan senjata di tangan kanan.
“Serbu...!” Si Mata Satu memberi aba-aba seperti kalau biasanya ia memberi komando pasukannya menyerbu barisan musuh.
“Trang-trang-trang-cring-cring...!”
Suara bertemunya senjata nyaring memekakkan telinga dan tampak bunga api muncrat-muncrat disusul teriakan-teriakan orang dan robohnya beberapa orang pengeroyok. Kembali kedua orang yang gerakannya amat cepat tadi berdiri diam karena para pengeroyok juga diam dan agak menjauh, namun pengurungan tetap ketat. Kembali mereka seperti patung, saling pandang dan menanti kesempatan. Keadaan lebih menegangkan dari pada tadi.
“Lihiap, berapa ekor kau robohkan?”
Lulu hampir tertawa. Benar-benar luar biasa sekali pengemis ini. Dikepung seperti itu, terancam maut, masih sempat bertanya yang merupakan kelakar yang menyegarkan untuk mengusir ketegangan.
“Lima... ekor!” jawabnya, lupa bahwa yang disebut lima ekor itu adalah lima orang prajurit bangsanya.
“Aku hanya empat ekor, kalah satu ekor. Wah, engkau hebat, Lihiap.”
Melihat sikap tenang dan mendengar percakapan mereka, seperti hampir meledak saking marahnya dada Liok Bu Tang. Ia marah sekali dan menganggap anak buahnya tidak becus. Mengeroyok dua orang saja sampai sekali gebrakan roboh sembilan orang!
“Serbu dan serang terus sampai hancur tubuh mereka!” teriaknya sambil memutar golok.
Kembali terdengar suara nyaring bertemunya senjata dan sekali ini pertandingan benar-benar amat hebat. Pihak pengeroyok terlalu banyak dan biar pun sewaktu-waktu si pengemis kurus masih sempat bertanya berapa ekor yang dijatuhkan Lulu, namun jumlah korban mereka makin berkurang dan mereka menjadi lelah sekali. Berjam-jam mereka dikeroyok dan jumlah lawan tidak pernah berkurang karena begitu ada yang roboh, tentu ada pula yang menggantikannya.
Mereka berdua tidak hanya mandi keringat, juga mandi darah, sebagian besar darah lawan, sebagian kecil darah mereka sendiri yang keluar dari luka-luka bekas bacokan senjata para pengeroyok.
Paha kiri Bu-eng Sin-kai Kwat Lee telah terbacok golok Si Matu Satu, hampir mengenai tulangnya, juga dada kanannya somplak dagingnya terkena bacokan pedang. Darah membasahi seluruh dada dan kaki kiri. Akan tetapi pengemis ini tak pernah mengeluh, terus mengamuk dengan tongkat bambunya. Lulu juga terluka, pundaknya tertusuk mengeluarkan darah dan pangkal pahanya di belakang, di bawah pinggul, kena diserempet pedang sehingga kulitnya terkupas dan mengeluarkan darah pula. Seperti pengemis yang sikapnya amat gagah dan membangkitkan semangat itu, Lulu tidak mau mengeluh dan terus mengamuk.
“Jangan khawatir, Lihiap. Biar pun mati, kita sudah mempunyai banyak pengawal! Kita sudah untung besar!” demikian pengemis itu berkata gembira.
Lulu kagum bukan main. “Sin-kai, aku akan bangga mati di samping seorang gagah perkasa seperti engkau!” kata Lulu sambil menusukkan pedangnya sampai tembus di dada seorang prajurit. Akan tetapi ketika ia mencabut pedangnya, terdengar suara....
“Krekkk!” dan pedangnya patah! Ternyata pedangnya itu terselip di tulang iga lawan dan ketika ia cabut, tertekuk dan patah.
Pada saat itu, golok Liok Bu Tang menyambar ganas. Lulu terkejut mendengar desing angin golok dari samping ini. Cepat ia menjatuhkan diri ke atas tanah dan bergulingan sampai jauh, ketika meloncat bangun tangan kanannya menghantam kepala seorang lawan sampai pecah dan tangan kirinya merampas pedang orang itu. Dia telah bersenjata lagi!
“Bukan main! Gerakanmu luar biasa indah dan lihainya, Lihiap!” Bu-eng Sin-kai Kwat Lee memuji akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini ia sudah dihujani serangan dari para pengeroyok yang mengepungnya.
Biar pun napasnya sudah terengah-engah, terpaksa ia mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya. Kini keadaan kedua orang gagah ini menjadi lemah karena gerakan Lulu yang menggelundung tadi memisahkan dia dengan Kwat Lee sehingga kini para pengeroyok membuat gerakan mengurung menjadi dua rombongan. Dikurung seperti itu tentu saja lebih berbahaya dan lebih sukar melindungi tubuh, juga membutuhkan pengerahan tenaga lebih banyak untuk memutar senjata ke belakang dan untuk berloncatan.
Saking lelahnya ditambah kehilangan darah, Lulu dan Kwat Lee sudah hampir tidak kuat menggerakkan senjata mereka lagi. Mereka hanya mengandalkan kelincahan mereka yang otomatis, berloncatan ke sana ke sini untuk menghindarkan diri dari senjata lawan yang datang bagaikan hujan.
Melihat keadaan dua orang yang dikeroyok itu, Liok Bu Tang si Mata Satu yang merasa sakit hati dan penasaran, ingin menawan dua orang itu. Ia lalu menerjang dengan golok besarnya, menghantam tongkat di tangan Kwat Lee. Terdengar suara keras dan tongkat pengemis itu mencelat entah ke mana. Tangannya yang sudah kehabisan tenaga tidak mampu lagi mempertahankan hantaman golok yang amat kuat itu.
Liok Bu Tang kini menyerang Lulu. Seperti juga pengemis itu, dalam pertemuan tenaga, sungguh pun kekuatan sinkang gadis ini sebetulnya lebih hebat, akan tetapi karena tenaganya habis, pedangnya patah dan terpaksa ia membuang pedang buntung dari tangannya.
“Jangan bunuh mereka. Tangkap hidup-hidup!” Liok Bu Tang berseru girang. Dia amat marah dan membenci kedua orang itu dan kalau membunuh mereka, ia anggap terlalu enak bagi mereka. Tidak, mereka harus disiksa dulu dan gadis remaja yang cantik itu... ah, dia sendiri yang akan ‘menanganinya’.
Perintah Si Mata Satu itu menyelamatkan nyawa Lulu dan Kwat Lee. Andai kata tidak ada perintah itu, dalam keadaan bertangan kosong dikeroyok begitu banyak tentara bersenjata, dalam keadaan sudah amat lelah, tentu mereka takkan dapat bertahan lama. Kini para pengeroyok itu menyimpan senjata mereka dan menyerbu dengan tangan kosong.
Tentu saja Lulu dan Kwat Lee tidak mau menyerah begitu saja dan menyambut mereka dengan hantaman-hantaman. Kembali mereka merobohkan beberapa orang sebelum Kwat Lee terkulai roboh saking lelahnya, sedangkan Lulu sudah merasa pening kepalanya, pandang matanya berkunang akan tetapi ia masih bertahan terus.
Pada saat itu terdengar suitan keras sekali dan para pengeroyok tiba-tiba menjadi kacau-balau oleh serbuan delapan orang berpakaian pengemis. Namun delapan orang itu ternyata lihai bukan main, apa lagi seorang di antara mereka, seorang kakek jembel yang sudah tua sekali dan tubuhnya kurus kering tinggi, rambut dan jenggotnya yang sudah putih itu riap-riapan dan kakinya telanjang. Dengan senjata sebatang tongkat butut pengemis tua ini di samping tujuh orang temannya mengamuk dan setiap orang yang dekat dengannya tentu roboh.
Ketika Twa-to-kwi Liok Bu Tang melihat kakek tua ini, dia terkejut dan cepat meloncat mendekati Lulu, menggerakkan goloknya membacok. Lulu yang sudah lelah sekali mengelak ke kiri, akan tetapi sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungnya dan ia roboh menelungkup. Ketika ia menggerakkan kepala menoleh, ia melihat Si Mata Satu mengangkat golok disabetkan ke arah lehernya. Lulu tidak berdaya lagi, dan ia membelalakkan mata menanti datangnya maut yang tak terhindarkan lagi itu.
“Tranggggg...!” Golok itu terpental dan Si Mata Satu cepat melompat tinggi dan terus kabur.
Kakek tua renta yang menangkis golok dengan tongkat bututnya itu mengamuk dan menyambar tubuh Lulu yang sudah pingsan. Gadis ini begitu kaget dan juga bersyukur bahwa pada detik terakhir ia tertolong, maka tekanan batin karena kaget dan girang ini membuat tubuhnya yang sudah lelah dan lemah kehilangan banyak darah tak kuat bertahan dan ia pingsan.
Lulu tidak tahu bahwa dia dan Kwat Lee tertolong, dan akhirnya dibawa lari delapan orang pengemis lihai itu ke dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lu-liang-san. Dalam keadaan pingsan ia bermimpi bertanding dikeroyok banyak orang di samping kakaknya, dan hatinya girang bukan main karena amukan kakaknya membuat semua pengeroyok lari tunggang langgang!
********************
Kita tinggalkan dulu Lulu yang ditolong oleh para pengemis dan dibawa pergi untuk dirawat luka-lukanya dan mari kita mengikuti pengalaman Han Han bersama Kim Cu. Telah diceritakan di bagian depan betapa kedua orang muda itu diajak pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li menuruni Puncak In-kok-san. Agaknya nenek yang memiliki watak sadis ini sengaja membawa Han Han dan Kim Cu melalui lereng-lereng gunung yang terjal dan sukar.
Tentu saja Han Han yang baru saja buntung kakinya dan masih lemah, menderita kurang darah dan nyeri, sengsara sekali harus mengikuti nenek itu melalui jalan yang sukar. Ia terpincang-pincang dibantu tongkatnya dan untung di sampingnya ada Kim Cu yang selalu menggandeng dan membantunya apa bila melalui jalan yang amat sukar. Cinta kasih gadis ini yang jelas tampak dalam sikap dan pembelaannya, benar-benar amat mengharukan hati Han Han.
Ketika mereka tiba di sebelah hutan, tiba-tiba nenek itu berhenti, menenggak araknya dan menarik napas panjang. “Aaahhhhh, tidak sangka engkau mati di sini...!”
Han Han dan Kim Cu yang juga berhenti, memandang nenek itu dan mengira bahwa tentu nenek itu akan turun tangan membunuh mereka di tempat sunyi itu. Mereka hanya menanti nasib, karena maklum bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya. Akan tetapi di dalam hati dua orang muda itu terkandung tekad yang sama. Han Han mengambil keputusan untuk menggunakan sisa hidupnya ini untuk membela Kim Cu dan kalau nenek itu turun tangan hendak membunuh Kim Cu, ia akan melawannya, biar pun kakinya tinggal satu. Demikian pula Kim Cu, dia akan membela Han Han kalau hendak dibunuh gurunya dan ia akan melawan gurunya!
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Suara itu halus dan terdengar seperti amat jauh, akan tetapi kata-katanya jelas terdengar oleh mereka bertiga.
Cinta...!
Betapa besar kekuasaanmu
menyelimuti seluruh alam mayapada
menunggang angin menyelam air
terkandung dalam api tanah dan kayu
engkaulah penggerak perputaran ngo-heng
engkaulah imbangan Im-yang!
Cinta bertahta di langit
langit hanya memberi tanpa meminta
nafsu bertahta di bumi
awalnya memberi sedikit
akhirnya minta kembali seluruhnya!
Mendengar kata-kata dalam nyanyian itu, diam-diam Han Han terkejut. Kata-kata yang luar biasa, dan tidak merupakan pelajaran apa pun juga. Seorang tosukah orang itu? Ataukah seorang hwesio? Agaknya bukan. Kim Cu yang mendengar suara itu pun terheran dan memandang gurunya, jelas bahwa gadis ini pun tidak mengenal suara siapa yang bernyanyi itu.
Toat-beng Ciu-sian-li menghentikan langkahnya, memandang ke depan dengan kening berkerut. Sepasang mata nenek ini berkilat dan ia menenggak arak dari gucinya sebelum berkata dengan suara melengking tinggi.
“Bukankah Im-yang Seng-cu di depan itu? Kalau benar, lekas keluar jika ada urusan dengan aku, jangan sembunyi-sembunyi seperti tikus!”
Terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncullah seorang kakek yang wajahnya kelihatan berseri dan bersih karena tidak ada kumis jenggotnya. Pakaiannya kuning sederhana namun bersih, kakinya telanjang dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga. Han Han terkejut dan girang ketika mendengar disebutnya nama kakek ini, karena ia teringat kepada sahabat-sahabat baik yang dijumpainya di rumah Pek-eng-piauwkiok di kota Kwan-teng, yaitu Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li. Maka tanpa disadarinya ia berseru.
“Ah, jadi locianpwe inikah Guru Sin Kiat dan Soan Li?”
Mendengar seruan ini, kakek itu memandang Han Han, kelihatan tercengang dan meneliti Han Han dari atas sampai ke bawah, pandang matanya berhenti pada kaki buntung itu. Akan tetapi mulutnya tidak berkata sesuatu kepada Han Han, bahkan dia lalu menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li dan berkata.
“Sian-li, apakah selama belasan tahun ini Sian-li baik-baik saja?”
Nenek itu mendengus dan mengerutkan kening, kemudian memandang tajam dan bertanya, “Im-yang Seng-cu, mau apa engkau berkeliaran di sini?” Nadanya penuh teguran dan jelas bahwa pertemuan ini tidak menyenangkan hatinya.
Im-yang Seng-cu tertawa dan merogoh bajunya, mengeluarkan sebungkus hioswa sambil berkata, “Kebetulan saja aku bertemu dengan Sian-li di sini dalam perjalananku hendak menjenguk dan menyembahyangi kuburan sahabatku Jai-hwa-sian.”
“Jai-hwa-sian...? Dia... dia... Kongkong-ku!” Han Han berseru, terheran-heran. Benarkah kongkong-nya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah mati dan kuburannya berada di tempat ini?
Ucapan Han Han ini sungguh pun tidak ada artinya bagi Kim Cu, namun ternyata mengejutkan Toat-beng Ciu-sian-li dan Im-yang Seng-cu. Kakek itu kini memandang Toat-beng Ciu-sian-li dan suaranya tidak ramah lagi ketika bertanya.
“Sian-li, apa artinya ini? Kulihat pemuda ini baru saja menderita buntung kakinya dan kalau dia cucu Jai-hwa-sian engkau hendak apakan dia?”
“Im-yang Seng-cu, berani engkau mencampuri urusanku?” Toat-beng Ciu-sian-li membentak, suara dan pandang matanya mengancam, rantai panjang di kedua telinganya bergerak-gerak seperti hidup.
“Mana berani aku lancang mencampuri urusanmu, Sian-li? Akan tetapi urusan yang menyangkut diri cucu sahabatku Jai-hwa-sian, tidak bisa tidak harus kucampuri. Kalau aku diam saja, aku malu bertemu dengan kuburannya!”
“Im-yang Seng-cu, dengar baik-baik. Aku sama sekali tidak tahu bahwa bocah ini adalah cucunya, dan dia ini adalah muridku yang murtad, melarikan diri dari perguruan maka telah menerima hukuman. Ada pun gadis ini juga muridku yang membelanya, maka kini keduanya harus dihukum mati.”
Im-yang Seng-cu memandang Kim Cu dan Han Han bergantian. Pantas saja begitu bertemu dengan Han Han tadi ia tercengang menyaksikan persamaan pemuda itu dengan sahabatnya yang telah tewas. Kiranya bocah ini adalah cucu Jai-hwa-sian! Dan mata kakek ini yang awas dapat pula melihat kenekatan di dalam sikap dua orang muda itu, melihat pula pandang mata penuh cinta kasih. Ia tersenyum dan menjawab.
“Toat-beng Ciu-sian-li, engkau tahu bahwa aku cukup menghormatimu sebagai golongan lebih tua, akan tetapi engkau pun cukup maklum bahwa tak mungkin aku membiarkanmu mengulangi perbuatanmu dahulu terhadap cucu sahabatku Jai-hwa-sian. Eh, bocah berkaki buntung! Siapakah namamu?”
Han Han tidak mengharapkan pertolongan siapa pun juga, dia mengaku cucu Jai-hwa-sian tadi pun karena tanpa disadari dan saking kagetnya mendengar disebutnya nama itu. Kini mendengar pertanyaan itu, diam-diam ia tersenyum. Ia dapat mengenal orang dan biar pun kakek ini bertanya secara kasar, namun ia dapat menangkap maksudnya yang baik, maka dengan tenang ia menjawab, “Namaku Sie Han, locianpwe.”
Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh mengejek. “Dia she Sie dan mengaku cucu Jai-hwa-sian, hi-hi-hik! Im-yang Seng-cu, setua ini engkau mudah tertipu seorang bocah!”
Akan tetapi kakek itu tidak mempedulikan ejekan Toat-beng Ciu-sian-li, dan sambil menatap tajam wajah Han Han, ia bertanya lagi, “Siapakah nama Jai-hwa-sian yang kau sebut Kong-kongmu itu?”
“Namanya Sie Hoat.”
“Hi-hi-hi, he-heh! Kebohongan yang dipaksakan, sungguh menggelikan!” kembali nenek itu mengejek, lalu menenggak arak dari gucinya.
“Dan siapa nama Ayahmu?” Im-yang Seng-cu bertanya lagi.
Han Han mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah seorang pesakitan yang diperiksa untuk kemudian dijatuhi hukuman, dan seolah-olah ia hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri. Biar pun Jai-hwa-sian itu kakeknya seperti yang diceritakan Sie Leng kepadanya, namun ia tidak suka kepada kakeknya yang amat jahat itu. Dia tidak sudi mencoba untuk menolong nyawanya dengan menggunakan nama kakeknya.
“Dengarlah, locianpwe dan juga engkau, Toat-beng Ciu-sian-li. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku hendak menggunakan nama Jai-hwa-sian untuk menyelamatkan diri dengan mengaku sebagai cucunya! Aku hanya menceritakan keadaan yang sebenarnya yang juga belum lama kudengar dari Enci-ku. Ayahku bernama Sie Bun An yang dulu tinggal di kota Kam-chi dan menurut Enci-ku, Kakekku bernama Sie Hoat berjuluk Jai-hwa-sian. Dan biar pun dia itu Kakekku, aku tidak sudi menyelamatkan diri dengan berlindung di belakang namanya.”
Im-yang Seng-cu memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, diam-diam ia kagum sekali melihat sikap dan mendengar ucapan Han Han. Teringatlah ia akan sahabatnya itu dan ia menarik napas panjang.
“Tak salah lagi... tak salah lagi, ia mewarisi kenekatan dan keganasan Keluarga Suma... akan tetapi mewarisi kekerasan hati dan kegagahan Keluarga Kam...! Sian-li, terpaksa aku menentang kalau engkau hendak membunuh mereka!”
Toat-beng Ciu-sian-li mendengus. “Hemmm, Im-yang Seng-cu, engkau tidak tahu diri! Andai kata benar Han Han ini cucu Jai-hwa-sian dan ada alasanmu melindunginya, akan tetapi Kim Cu adalah muridku dan kalau aku hendak membunuhnya sebagai muridku sendiri, setan manakah yang berhak mencampuri?”
“Bukan setan, melainkan akulah yang akan menentangmu, Ciu-sian-li!” Tiba-tiba Han Han berkata. “Engkau tidak boleh membunuh Kim Cu. Dia tidak berdosa. Kalau mau bunuh, kau bunuhlah aku dan bebaskan Kim Cu!”
“Jika Subo hendak membunuh Han Han, terpaksa teecu akan menentang dan melawan Subo untuk membelanya!” Tiba-tiba Kim Cu juga berseru sambil menggandeng pemuda itu.
Toat-beng Ciu-sian-li kelihatan kaget, mukanya merah sekali dan matanya terbelalak. Sejenak keadaan sunyi dan tegang, kemudian terpecah oleh suara ketawa Im-yang Seng-cu.
“Ha-ha-ha-ha. Cinta, betapa besar kekuasaanmu...!” Tubuhnya bergerak dan ia sudah meloncat di dekat Han Han menghadapi nenek itu, lalu berkata, “Sian-li, apakah engkau masih berkeras dan hendak mencoba-coba melawan kami bertiga?”
Kemarahan Toat-beng Ciu-sian-li memuncak, matanya berkilat menyambar-nyambar ke arah tiga orang itu berganti-ganti. Akan tetapi dia bukanlah seorang bodoh yang hanya menuruti nafsu amarahnya. Tidak, Toat-beng Ciu-sian-li amat cerdik dan otaknya yang sudah masak itu penuh dengan perhitungan.
Ia mengenal siapa adanya Im-yang Seng-cu yang biar pun merupakan tokoh murtad dari Hoa-san-pai, namun memiliki ilmu kepandaian hebat karena tokoh ini memetik banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi dari luar yang ia gabung dengan ilmu silat Hoa-san-pai, sehingga mungkin tingkat kepandaiannya sekarang tidak berada di bawah tingkat supek-nya sendiri yaitu Thian Cu Cinjin ketua Hoa-san-pai.
Andai kata ia masih dapat mengatasi Im-yang Seng-cu dan tingkatnya masih menang sedikit, akan tetapi di situ masih ada Kim Cu yang telah mewarisi sebagian besar kepandaiannya. Belum dihitung lagi Han Han yang biar pun buntung tapi sesungguhnya memiliki kepandaian yang aneh dan luar biasa.
Masih bergidik nenek ini kalau mengingat betapa ketika ia bertanding melawan Han Han di kota raja. Pemuda itu dapat ‘memecah diri’ menjadi tiga orang, kepandaian yang hanya ia dengar dalam dongeng saja, seperti yang dimiliki Sun Go Kong, atau Kauw Cee Thian Si Raja Monyet tokoh dalam dongeng See-yu! Kalau mereka ini maju dan dirinya sampai kalah, hal ini benar-benar akan amat memalukan. Kemarahannya dapat ia tekan dengan pertimbangan yang cerdik, dan wajah yang keruh itu tiba-tiba berseri-seri, kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata.
“Im-yang Seng-cu, engkau yang penuh dengan muslihat dan akal bulus! Engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah mau membunuhmu, mengingat betapa engkau dahulu adalah seorang bocah yang menjadi sahabat dari Suma Hoat, satu-satunya anak yang dikasihi mendiang suamiku. Biarlah mengingat akan suamiku, aku memaafkanmu. Tentang bocah yang dua orang ini, hi-hi-hik, aku khawatir apakah? Han Han telah buntung, tiada gunanya dan kalau Kim Cu lebih senang hidup sengsara di sampingnya dari pada mati sebagai murid yang berbakti, terserah. Kalau aku menghendaki, kelak mereka akan dapat lari ke manakah? Engkau pun tidak mungkin melindungi mereka selamanya. Hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Toat-beng Ciu-sian-li melangkah pergi, rantai panjang di kedua telinganya mengeluarkan bunyi berkerincingan.
Setelah nenek itu pergi, Han Han tidak dapat menahan lagi keinginan tahunya dan ia bertanya, “Locianpwe, apakah artinya ucapan locianpwe tentang Keluarga Suma dan Keluarga Kam tadi? Dan apakah benar kuburan Kakekku berada di sini?”
“Engkau mau tahu? Mari ikut bersamaku.” Setelah berkata demikian, Kakek itu membalikkan tubuh melangkah pergi menuju ke selatan.
Han Han terpincang-pincang dibantu tongkatnya mengikuti kakek itu dan Kim Cu cepat menggandeng lengan pemuda itu untuk membantunya. Han Han yang merasakan sentuhan tangan Kim Cu menoleh. Mereka berpandangan sejenak dan Han Han melihat betapa sepasang mata gadis itu basah dengan air mata, air mata kebahagiaan bahwa mereka telah bebas dari pada bencana! Betapa dengan kasih sayang yang mesra mata gadis itu memandang kepadanya. Han Han sangat terharu, sejenak jari tangannya menggenggam tangan gadis itu. Akan tetapi mereka segera melanjutkan langkah agar tidak tertinggal oleh kakek yang berjalan terus tanpa pernah menengok kepada mereka.
Kakek itu keluar dari hutan, melalui pantai sebuah telaga kecil dan memasuki hutan di sebelah telaga. Hutan ini amat sunyi dan kecil, pohon-pohon di situ jarang sekali. Tak lama kemudian tibalah kakek itu di depan sebuah gundukan tanah kuburan, mengeluarkan hio (dupa), menyalakannya dan bersembahyang. Bungkusan itu hanya terisi tiga batang dupa. Kakek itu mengacungkan dupa menyala di atas tadi, mulutnya berkemak-kemik seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan bayangan orang yang dikubur di situ, kemudian menancapkan tiga batang dupa berasap itu di atas tanah, di depan batu nisan yang sederhana.
“Inilah kuburan Jai-hwa-sian,” katanya sambil melangkah mundur dan berdiri sambil termenung seolah-olah ia hendak merenungkan masa lalu ketika orang yang kini tinggal kuburannya saja itu masih hidup.
Semenjak ia mendengar cerita enci-nya betapa jahatnya orang yang menjadi kakeknya dan berjuluk Jai-hwa-sian itu sehingga enci-nya sendiri mengakui bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah orang jahat, Han Han merasa tidak suka kepada kakeknya. Kini, melihat kuburannya, ia maju menghadapi batu nisan dan karena ia melihat ukiran-ukiran huruf yang sudah hampir tak terbaca pada batu itu, ia lalu duduk di atas tanah depan kuburan. Dengan teliti ia memandang ukiran huruf-huruf itu dan membaca: MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT.
Berdebar jantung Han Han membaca nama itu. Suma Hoat? Mengapa she-nya Suma, bukan Sie? Teringat ia akan arca di In-kok-san yang harus disembah-sembah para murid In-kok-san, arca guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang bernama Suma Kiat! Dan teringat pula ia akan dongeng yang dituturkan Kim Cu bahwa sukong mereka itu mempunyai seorang putera yang bernama Suma Hoat dan yang menghilang entah ke mana!
Melihat wajah pemuda itu, Kim Cu cepat menghampiri dan ikut membaca tulisan itu. Tiba-tiba gadis itu meloncat mundur dan menoleh kepada Im-yang Seng-cu sambil berkata, “Ahhh... ini kuburan Supek yang menjadi putera Sukong Suma Kiat! Kiranya sudah meninggal dan dikubur di sini!”
“Ini bukanlah kuburan Kakekku. Kakekku she Sie, bukan she Suma!” kata Han Han, penasaran.
Im-yang Seng-cu yang berdiri dengan tongkat di tangan kiri tersenyum. Kakek ini lalu menundingkan telunjuk kanannya kepada Han Han sambil berkata, “Dan memang sesungguhnya engkau bukan she Sie, melainkan Suma. Engkau bukan Sie Han, akan tetapi Suma Han!”
Wajah Han Han menjadi pucat. Dengan limbung ia bangkit berdiri, dibantu tongkatnya dan memandang kakek itu dengan mata tajam penuh selidik. Diam-diam Im-yang Seng-cu menaruh hati iba kepada pemuda ini. “Marilah kita duduk dan dengarkan penuturanku, Suma Han.”
Han Han dapat menekan gelora batinnya dan dengan muka masih pucat ia duduk di depan kuburan itu. Kim Cu yang memegang lengan Han Han duduk di sebelahnya, sedangkan Im-yang Seng-cu duduk pula di atas batu, menghadapi mereka. Ia menarik napas panjang, mengangguk-angguk dan berkata.
“Benar, engkau adalah Suma Han. Ini adalah kuburan Kakekmu yang bernama Suma Hoat, putera tunggal Suma Kiat yang menjadi Guru Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee. Jadi Suma Kiat adalah Kakek Buyutmu, sedangkan Toat-beng Ciu-sian-li tadi, yang menjadi selir Suma Kiat, adalah Nenek Buyutmu.” Han Han mendengar kata-kata ini seperti dalam mimpi.
“Akan tetapi, locianpwe. Kalau benar aku keturunan Suma, mengapa Ayahku bernama keturunan Sie?” ia membantah, ragu-ragu.
“Hal itu tidak mengherankan dan mudah saja diduga. Suma Hoat, Jai-hwa-sian itu, semoga Tuhan mengampuni sahabatku itu, sungguh pun seorang jantan gagah perkasa, ditakuti lawan, namun memiliki kelemahan. Ia tidak dapat menahan nafsunya apa bila bertemu wanita sehingga banyaklah ia mengganggu wanita, perbuatan sesat yang dilakukannya karena kesadarannya menjadi buta oteh nafsu birahi sehingga ia dijuluki Jai-hwa-sian. Jangankan wanita biasa penduduk desa, biar pun puteri dalam istana kaisar tentu akan didatanginya kalau hatinya sudah tertarik! Mungkin sekali, dan hal ini aku tidak meragukan, Ayahmu terlahir dari seorang di antara wanita-wanita yang diganggunya. Karena Kakekmu yang ber-she Suma itu banyak dimusuhi orang, dan mungkin karena keluarga Nenekmu tidak suka menggunakan she Suma, maka Ayahmu, putera Suma Hoat, diberi she Sie. Aku yakin akan kebenaran dugaanku ini, melihat betapa wajahmu mirip sekali dengan sahabatku, terutama pandang matamu. Dia tampan, banyak wanita jatuh hati kepadanya, akan tetapi dia hanya mengejar wanita yang menarik hatinya.”
Kakek itu lalu bercerita tentang Jai-hwa-sian Suma Hoat. Menurut Im-yang Seng-cu, Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berilmu tinggi, karena seperti juga Im-yang Seng-cu sendiri, Suma Hoat merupakan seorang petualang dan perantau yang selalu memperdalam ilmu-ilmunya dan tidak segan-segan untuk mencangkok ilmu dari lain cabang.
Mereka bersahabat ketika keduanya berusaha mencari kakek sakti Koai-lojin. Keduanya berhasil bertemu kakek sakti seperti dewa itu dan diberi petunjuk sehingga mereka menjadi makin lihai. Juga mereka berdua sering kali berjuang bahu-membahu menentang kejahatan-kejahatan. Sayang sekali, Suma Hoat tidak dapat mengendalikan nafsu birahinya seperti nafsu-nafsu lain yang sudah dapat ia kendalikan, bahkan ia menjadi hamba nafsu birahi ini yang sering kali menggelapkan pikirannya, membuat ia nekat mendapatkan wanita yang disukanya, baik wanita itu gadis, janda mau pun isteri orang!
“Darah Suma yang mewariskan watak seperti itu,” kata pula Im-yang Seng-cu. “Semenjak nenek moyangnya dahulu, Keluarga Suma ini selalu dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw karena watak mereka yang tidak baik, semenjak Pangeran Suma Kong nenek moyangmu. Akan tetapi, di tubuh Kakekmu ini mengalir pula darah keluarga pendekar yang turun-temurun menggemparkan dunia, yaitu Keluarga Kam, keturunan dari Kam Si Ek, seorang Jenderal Kerajaan Hou-han yang gagah perkasa lahir batin dan yang menurunkan pendekar sakti Suling Emas. Engkau masih mempunyai darah Keluarga Kam ini pula, Han Han. Mudah-mudahan saja kalau terjadi pertempuran dalam sanubarimu antara kedua darah keturunan ini, watak Keluarga Kam yang akan menang.”
Han Han tertegun, wajahnya pucat. Cerita ini terlalu hebat baginya. Kini dia tidak merasa heran lagi mengapa kadang-kadang ada dorongan dan rangsangan liar dalam hatinya, apa lagi kalau dia mengerahkan sinkang, seolah-olah ia menjadi buas kalau belum melihat musuh menggeletak tak bernyawa di depan kakinya. Agaknya itulah dorongan watak Suma. Terkutuk!
“Kalau dia begitu jahat, kenapa locianpwe bisa menjadi sahabatnya?”
“Kelemahannya hanya menghadapi wanita, kalau tidak sedang dikuasai nafsu birahinya, dia seorang pendekar yang gagah. Karena itu, sungguh pun banyak pendekar di dunia kang-ouw yang memusuhi, tidak sedikit pula yang menjadi sahabatnya, termasuk aku sendiri.”
Han Han penasaran. “Kalau begitu banyak sahabat baiknya seperti locianpwe sendiri, mengapa tidak ada yang menasehatinya seperti locianpwe sekarang menasehati saya?”
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, tergetar jantungnya ketika ia bertemu pandang dengan pemuda itu. Pandang mata itu! Mata setan! Mata iblis! Belum pernah ia melihat mata orang seperti mata pemuda ini.
Celaka, pikirnya. Kalau sampai pemuda ini menyeleweng, tentu akan menjadi tokoh dunia yang terjahat di antara semua keturunan Suma yang pernah hidup.....
“Siapa berani menasehatinya setelah apa yang ia lakukan terhadap Kian Ti Hosiang yang di waktu itu menjadi tokoh Siauw-lim-pai?”
Han Han teringat akan hwesio tua di Siauw-lim-pai yang amat mengesankan hatinya itu dan segera bertanya, “Apakah yang telah dilakukannya terhadap hwesio Siauw-lim-pai itu?”
Im-yang Seng-cu menghela napas. “Waktu itu sungguh ia sedang gelap mata. Kian Ti Hosiang adalah seorang berilmu tinggi, tidak hanya memiliki ilmu silat yang sukar dicari bandingnya, juga memiliki ilmu batin yang amat tinggi. Hwesio itu menemui Jai-hwa-sian yang hendak mengganggu puteri seorang pembesar yang terkenal bijaksana, memberinya wejangan-wejangan. Jai-hwa-sian marah dan menantang hwesio itu. Kian Ti Hosiang mempersilakan ia menyerang asal Jai-hwa-sian berjanji untuk menghentikan perbuatannya yang sesat. Dan Jai-hwa-sian menyerangnya, tanpa ada perlawanan sama sekali dari orang berilmu itu! Kian Ti Hosiang mengorbankan dirinya untuk menyadarkan Jai-hwa-sian dan hwesio itu dipukul sampai lumpuh kedua kakinya!”
“Ahhh...! Keparat! Jahat benar dia!” Han Han memaki dan mengepal tinjunya. Kiranya hwesio tua yang mengesankan hatinya itu lumpuh kedua kakinya karena dipukul kakeknya sendiri, sengaja mengorbankan diri untuk menyadarkan kesesatan kakeknya yang jahat!
“Hemmm, dia adalah Kakekmu sendiri!” Im-yang Seng-cu memperingatkan sambil mengerutkan keningnya.
“Dia boleh seribu kali Kakekku, akan tetapi kalau dia melakukan perbuatan-perbuatan sesat seperti itu, aku tetap akan mengutuknya!” kata Han Han yang marah sekali. Kemudian ia menggerakkan tongkat di tangannya, memukul ke arah batu nisan.
“Bresssss...!” batu nisan itu hancur berkeping-keping terkena pukulan tongkat Han Han.
Im-yang Seng-cu terbelalak menyaksikan betapa pemuda itu dengan senjata hanya sebatang ranting dapat menghancurkan batu nisan, padahal ia melihat sendiri bahwa ranting itu hampir tidak menyentuh batu nisan. Jelas bahwa pemuda itu telah menghancurkan batu nisan dengan tenaga sinkang yang amat luar biasa kuatnya.
“Kenapa engkau merusak nisan Kakekmu sendiri yang kubuat dengan sengaja agar namanya tidak lenyap?” Im-yang Seng-cu bertanya dengan suara dingin. Jelas terdengar dari suaranya bahwa ia marah.
Dengan bersandar pada tongkatnya, Han Han menoleh kepadanya.
“Saya menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan locianpwe, juga terhadap kuburan Kakek saya. Akan tetapi nama seperti yang dimiliki Kakek saya perlukah dipertahankan? Hanya akan mendatangkan aib dan noda saja pada keturunannya!” Suara Han Han terdengar penuh kepahitan ketika ia mengucapkan kata-kata terakhir ‘keturunannya’ itu, ketika ia teringat betapa sesungguhnya ia adalah keturunan seorang yang begitu bejat akhlaknya!
Im-yang Seng-cu juga kelihatan marah. “Orang muda, engkau sombong! Biar pun Kakekmu tersesat dalam hal kelemahannya terhadap wanita, namun aku sebagai sahabat baiknya maklum betapa dengan susah payah ia melawan pengaruh jahat yang mengalir dalam tubuhnya sebagai darah nenek moyang Suma! Engkau pun hanya seorang manusia yang tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau engkau tak dapat memaafkan Kakekmu sendiri, bagaimana engkau akan dapat memaafkan orang lain? Hemmm, hendak kulihat engkau kelak apakah lebih baik dari pada Suma Hoat!” Setelah berkata demikian, Im-yang Seng-cu melesat pergi dan lenyap dari situ.
Han Han menghela napas panjang dan merasa menyesal bahwa guru Sin Kiat itu pun marah kepadanya.
Melihat Han Han termenung dengan wajah keruh, Kim Cu mendekatinya dan menyentuh lengannya. “Han Han, biar semua orang marah dan tidak suka kepadamu, ingatlah bahwa di sini masih ada aku yang selamanya takkan dapat membencimu...”
Hati Han Han seperti dibetot-betot. Ia memeluk gadis itu yang membenamkan mukanya di dadanya yang masih panas karena kemarahannya tadi. Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, kemudian Kim Cu dapat menguasai hatinya, melepaskan pelukan Han Han dan berkata.
“Marilah kita cepat pergi dari tempat ini.” Bisikannya mengandung perasaan takut.
“Jangan takut, Kim Cu. Kalau sampai gurumu muncul dan hendak mengganggu kita, kita lawan mati-matian.”
“Aku tidak takut, Han Han, hanya aku merasa ngeri kalau harus berpisah denganmu. Marilah kita pergi.”
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan. Biar pun keduanya tidak takut lagi menghadapi ancaman Toat-beng Ciu-sian-li, namun mereka juga bukan orang-orang nekat yang ingin mencari mati. Mereka mengambil jalan melalui hutan-hutan dan mendaki lereng yang tersembunyi agar jangan sampai bertemu dengan nenek itu.
“Han Han, kesehatanmu belum pulih kembali. Kalau kita melanjutkan perjalanan terlalu lama, tentu engkau akan jatuh sakit. Maka, kurasa lebih baik kita mencari tempat persembunyian dan tinggal dulu di tempat itu sampai kesehatanmu pulih. Bagaimana?”
Han Han mengangguk. “Terserah kepadamu, Kim Cu. Akan tetapi di mana kita mencari tempat yang baik?”
Kim Cu tersenyum. Manis sekali wajahnya setelah kini mereka terlepas dari bahaya dan ia dapat tersenyum dengan hati lapang. “Kau tahu, dahulu ketika kita mendapat waktu libur dan diperbolehkan pergi untuk beberapa hari, setelah bertemu dengan engkau yang tidak mau kembali, aku lalu pergi mendaki sebuah puncak di antara puncak-puncak pegunungan ini dan bersembunyi di sebuah goa yang amat tersembunyi. Tempat itu indah sekali, goa itu merupakan terowongan yang menjurus ke tepi jurang yang tak berdasar saking tingginya! Tak seorang pun akan datang ke tempat itu.”
“Hemmm, mau apa engkau dahulu bersembunyi di tempat itu?”
Wajah Kim Cu menjadi merah. “Mau... menangis...”
Han Han memandang wajah cantik itu dengan mata terbelalak heran. “Menangis? Menangis saja mengapa mencari tempat yang tersembunyi?”
Kim Cu mengangguk. “Ya, biar tidak ketahuan orang. Aku kecewa sekali melihat engkau pergi tidak mau kembali, dan aku menangis di sana sampai kedua mataku bengkak-bengkak!”
“Ah... Kim Cu... Kim Cu...” Han Han makin terharu menyaksikan betapa gadis ini sejak dahulu telah jatuh cinta kepadanya.
Han Han merasa heran bukan main melihat perubahan dirinya. Mengapa kini ia mudah terharu, mudah berduka? Padahal dahulu ia tidak pernah selemah ini. Dan ketika ia marah-marah tadi, menghancurkan batu nisan kakeknya tidak timbul kebuasan untuk membinasakan orang. Kemarahannya tadi masih terkendali dan ia menghancurkan batu nisan dengan sadar. Ia menunduk, memandang kakinya yang buntung. Karena kebutungan kakinya itulah maka terjadi perubahan pada dirinya? Dia tidak tahu.
Melihat pemuda itu memandang kakinya yang buntung, Kim Cu salah menduga dan berkata, “Jangan khawatir, Han Han. Jalan ke puncak yang kumaksudkan itu memang sukar. Akan tetapi di bagian yang paling sukar, aku bisa menggendongmu!”
Han Han tersenyum. “Apa kau kira aku anak kecil? Betapa pun sukarnya, dengan bantuan tongkatku ini dan dengan bantuanmu, tentu akan dapat kulalui.”
Kim Cu tiba-tiba menari kegirangan mengelilingi Han Han, membuat pemuda itu makin heran. “Eh, eh, apa-apaan engkau ini? Apa kau sudah gila?”
“Hi-hik, memang aku gila. Gila karena girang melihat perubahanmu. Engkau tidak putus asa lagi dan semangatmu telah bangkit kembali. Bagus! Bagus sekali! Bukankah hal itu amat menggirangkan hati?”
Han Han memegang kedua tangan gadis itu, tongkatnya ia kempit. “Kim Cu...” katanya penuh keharuan. “Engkau seorang gadis yang baik sekali. Dengan engkau di sampingku, aku merasa seolah-olah mendapatkan Adikku Lulu yang hilang itu kembali. Memang, aku tidak akan putus asa, Kim Cu. Aku akan membuktikan kepada dunia, kepada Im-yang Seng-cu, dan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya bahwa biar pun aku keturunan Keluarga Suma yang terkutuk, akan tetapi aku tidak jahat seperti mereka, dan aku akan membuktikan bahwa seorang buntung, seperti katamu, masih dapat melakukan hal yang berguna bagi manusia dan dunia!”
“Bagus! Dan aku yakin bahwa engkau kelak tentu akan menjadi orang yang amat berguna, jauh melebihi mereka yang kakinya utuh, dan akan dapat membersihkan nama keturunan Suma yang berlepotan noda yang diperbuat oleh nenek moyangmu.”
Han Han mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan, Kim Cu.”
Berangkatlah kedua orang muda itu mendaki puncak yang dimaksudkan Kim Cu. Menjelang malam mereka tiba di goa yang dimaksudkan, sebuah goa yang berada di puncak. Kim Cu membuat obor dari kayu kering dan mereka memasuki goa yang merupakan mulut terowongan itu. Perjalanan itu amat melelahkan, terutama sekali bagi Han Han yang kesehatannya belum pulih sama sekali.
“Sebelum gelap, aku akan keluar mencari daun-daun obat untuk lukamu. Lukamu perlu dicuci, diobati dan diganti kain pembalutnya.”
Han Han mengerutkan kening. “Eh, aku membuatmu repot sekali, Kim Cu. Daun obat dan air pencuci bisa dicari di puncak, akan tetapi kain pembalut...?”
Kim Cu memandang pakaiannya. “Pakaianku masih utuh, diambil sedikit-sedikit untuk pembalut masih lebih dari pada cukup!”
Han Han hanya menggeleng kepala dan menghela napas melihat gadis itu sambil tertawa sudah berlari ke luar goa. Dia duduk bersandar pada dinding goa, diam-diam ia merasa gelisah memikirkan Kim Cu. Gadis itu dengan jelas membuktikan cinta kasihnya yang amat mendalam kepadanya. Ia berhutang budi, dan ia suka sekali kepada Kim Cu. Akan tetapi cinta? Ah, bagaimana kalau dia tidak dapat membalas cintanya? Dia merasa gelisah kalau-kalau harus membuat gadis itu berduka kelak karena tidak mampu membalas cinta kasihnya yang demikian murni. Pula, dia seorang pemuda buntung, keturunan keluarga jahat. Dia terlalu kotor dan tidak berharga bagi seorang gadis semulia Kim Cu.
Malam itu Kim Cu datang membawa daun obat, air dan buah-buahan. Dengan tekun di bawah penerangan api unggun, gadis ini membuka balut kaki buntung Han Han, sedikit pun tidak kelihatan jijik, mencuci paha yang buntung, menaruh obat, dan membalutnya lagi menggunakan sabuk suteranya. Setelah selesai, mereka makan buah-buahan lalu mengaso dan Kim Cu tertidur di dekat api unggun.
Sampai jauh malam Han Han tidak dapat tidur. Terlalu banyak hal-hal memenuhi otaknya, dari memikirkan Lulu sampai pengalamannya di Pulau Es, memikirkan keadaan nenek moyangnya, dan akhirnya memikirkan Kim Cu. Gadis itu tertidur nyenyak sekali di dekat api unggun, tidur miring dengan muka menghadap ke arahnya. Wajah yang cantik itu tampak pucat di bawah sinar api unggun, rambutnya kusut karena tidak disisir. Bibirnya agak terbuka memperlihatkan deretan ujung gigi yang putih. Han Han mendekati api unggun, menambah kayu kering yang tadi dikumpulkan gadis itu. Sampai hampir pagi barulah Han Han dapat tidur sambil bersandar pada dinding goa, setelah tadi ia duduk bersila dengan kaki yang tinggal satu untuk memulihkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Han Han terkejut dan bangun dari tidurnya ketika lengannya diguncang-guncang Kim Cu. “Han Han...! Han Han... bangunlah...!”
Han Han memandang gadis itu yang mukanya pucat sekali. Segera kewaspadaannya timbul. “Ada apakah, Kim Cu?”
“Ada orang di luar... kulihat bayangannya berkelebat...”
“Hemmm, mengapa bingung. Biarkan saja.”
“Tidak, siapa tahu dia Subo! Bayangannya berkelebat cepat sekali. Mari kita sembunyi!” Gadis itu menarik-narik tangan Han Han.
Pemuda ini menurut, segera bangkit dan jalan terpincang-pincang dengan tongkatnya. Tangannya ditarik Kim Cu yang memasuki terowongan. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinarnya menerobos memasuki terowongan itu sehingga keadaan dalam goa tidak terlalu gelap. Tiba-tiba terdengar suara yang amat mereka kenal, datangnya dari luar goa.
“Hi-hi-hik! Kalian hendak lari ke mana? Biar ada Im-yang Seng-cu aku harus mengambil nyawamu, murid murtad!”
“Celaka... dia Subo...!” Kim Cu berbisik dan menarik tangan Han Han sambil melangkah maju lebih cepat lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di ujung terowongan. Han Han melihat bahwa mereka berada di pinggir sebuah jurang yang amat luas. Ketika menjenguk ke bawah, matanya lantas berkunang. Demikian tinggi dan curamnya jurang ini sehingga dasarnya tidak tampak, terhalang oleh embun pagi dan awan! Mereka berhenti dan membalikkan tubuh memandang ke arah terowongan, lalu dengan hati berdebar-debar menanti munculnya Toat-beng Ciu-sian-li yang tadi mereka dengar suaranya.
Melihat betapa tubuh gadis itu menggigil dan wajahnya pucat sekali, Han Han berkata halus, “Jangan takut, Kim Cu. Aku akan selalu mendampingimu.”
“Jangan... jangan mencampuri... biarlah aku menghadapi Subo,” bisik Kim Cu sambil menjauhkan diri dari pemuda itu.
Dalam terowongan itu sunyi dan secara tiba-tiba, seperti munculnya iblis sendiri tampak tubuh Toat-beng Ciu-sian-li yang tersenyum-senyum mengerikan. Melihat gurunya ini, Kim Cu maklum bahwa biar pun Han Han membantunya, mereka tidak akan menang, dan akhirnya mereka berdua tentu akan tewas. Maka ia cepat berkata.
“Subo, teecu merasa berdosa kepada subo. Kalau teecu mau dihukum, hukumlah. Mau bunuh, bunuhlah. Akan tetapi... teecu mohon, jangan Subo mengganggu Han Han, dia sudah cukup menderita... bunuhlah teecu saja...”
“Kim Cu...!” Han Han membentak.
“Heh-heh-hi-hik, muridku yang paling kusayang, yang paling banyak kuberi ilmu-ilmuku, kini hendak menentangku sendiri? Murid murtad engkau!” Toat-beng Ciu-sian-li yang masih tersenyum-senyum menyeramkan itu memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata beringas.
Kim Cu merasa ngeri hatinya, bulu tengkuknya berdiri dan maklum bahwa tangan maut telah menjangkaunya.
“Toat-beng Ciu-sian-li! Tahan dulu! Jangan coba-coba kau berani membunuh Kim Cu!” Han Han membentak marah sambil maju terpincang-pincang.
“Bocah buntung, kau tunggulah giliranmu!” Bentak Toat-beng Ciu-sian-li sambil terkekeh dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sinar berkilauan menyambar ke arah Kim Cu dan itu adalah sebuah gelang rantai anting-antingnya yang kini digunakan sebagai senjata rahasia yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah gadis itu. Kim Cu memang tidak ingin melawan, maka dia berdiri seperti arca menanti datangnya senjata rahasia yang menyambar ke arah dahinya untuk merenggut nyawanya.
“Kim Cu...!” Han Han berteriak ketika melihat betapa gadis itu sama sekali tidak berusaha menghindarkan diri dari sambaran senjata itu. Han Han lupa diri dan lupa bahaya, melepaskan tongkatnya dan langsung meloncat ke depan menubruk kaki Kim Cu dengan maksud menghindarkan gadis itu dari pada ancaman maut.
“Han Han...!”
“Kim Cu...!”
“Heh-heh-heh, hi-hi-hik!” Toat-beng Ciu-sian-li terkekeh ketika melihat tubuh kedua orang muda itu tergelincir ke bibir jurang!
Han Han memang berhasil menyelamatkan Kim Cu dari sambaran senjata rahasia, akan tetapi ia membawa Kim Cu bersama-sama terjerumus ke dalam jurang yang tak tampak dasarnya!
Perlahan-lahan Toat-beng Ciu-sian-li melangkah ke pinggir jurang, menjenguk ke bawah lalu tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya kecewa. “Sayang..., andai dia bisa membawaku ke Pulau Es....” Nenek ini lalu berjalan ke luar dari terowongan itu, sedikit pun tidak memikirkan lagi keadaan Han Han dan Kim Cu yang dianggapnya tentu akan hancur lebur tubuhnya terbanting pada dasar jurang yang sedemikian curamnya.
Biar pun Toat-beng Ciu-sian-li adalah seorang nenek yang amat lihai dan pengalaman hidupnya sudah seratus tahun, namun ia sungguh lancang kalau berani menentukan mati hidup manusia. Hidup dan matinya manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menentukan seseorang harus hidup, biar dia dihujani selaksa batang anak panah, ada saja sebabnya yang membuat ia lolos dari bahaya maut. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang harus mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, tetap saja maut akan datang menjemput tanpa dapat dihindarkan lagi.
Kim Cu sudah hampir pingsan ketika tubuhnya meluncur ke bawah. Tenaga luncuran itu sedemikian kuatnya sehingga tidak mungkin mempergunakan ginkang dan kepalanya menjadi pening, napasnya seperti terhenti. Masih dapat dilihatnya bayangan tubuh Han Han berkelebat mendahuluinya karena tubuh Han Han yang lebih berat itu lebih cepat lagi tenaga luncurannya, apa lagi Han Han terdorong oleh tenaga loncatannya ketika menolongnya tadi. Teringat akan Han Han, Kim Cu menjadi sadar kembali dan ia menjerit panjang, “Han Hannn...!”
Seakan-akan tidak akan ada akhirnya tubuhnya meluncur ke bawah dan Kim Cu yang sudah setengah pingsan itu terheran apakah dia tidak sudah mati dan kini yang melayang-layang turun itu adalah nyawanya? Terbayang dalam otaknya akan dongeng yang pernah didengarnya bahwa sorga letaknya di atas, sedangkan neraka di bawah. Kalau begitu, apakah nyawanya sedang melayang menuju ke neraka? Ia merasa ngeri, akan tetapi ia teringat akan Han Han. Kalau di neraka ia akan bertemu dan berkumpul dengan Han Han, biarlah ia menuju ke neraka!
“Byurrrrr...!” Kim Cu merasa seolah-olah tubuhnya remuk dan ia tidak ingat apa-apa lagi!
Tiga hari tiga malam kemudian, pada pagi harinya, Kim Cu membuka mata. Tubuhnya masih terasa nyeri semua, akan tetapi ia dapat menggerakkan kaki tangannya dan membuka matanya.
“Omitohud..., Nona sudah sadar...? Omitohud, syukurlah,” terdengar suara halus.
Kim Cu menoleh ke kiri dan melihat seorang nikouw yang tersenyum memandangnya. Kepalanya gundul kelimis, sikapnya halus, mukanya menyinarkan kebahagiaan batin. Nikouw ini usianya tidak akan kurang dari enam puluh tahun, namun wajahnya halus dan merah penuh kesehatan dan ada sesuatu dalam gerak-gerik nikouw ini yang membuat ia tampak seperti seorang dewi.
“Siankouw... seorang dewi penjaga hukuman di neraka?” tanya Kim Cu yang masih menduga bahwa dia kini telah berada dalam neraka, sungguh pun ia heran mengapa neraka begini bersih dan enak, dalam sebuah kamar yang bersih dan dia rebah di atas dipan yang bertilam putih bersih pula.
“Omitohud...! Memang dunia ini neraka bagi yang belum sadar, anakku, akan tetapi sorga bagi yang telah sadar. Engkau masih hidup, Nona. Thian belum menghendaki engkau mati.”
Serentak Kim Cu bangkit duduk dan tidak memperhatikan tubuhnya yang nyeri semua rasanya. “Jadi aku masih hidup? Han Han... di mana dia...? Han Han...!” Ia menjerit, memanggil nama itu.
Nikouw itu bangkit berdiri mendekatinya dan menaruhkan tangannya yang halus di pundak Kim Cu. “Tenangkan hatimu, Nona. Engkau belum sembuh benar, tidak baik banyak bergerak. Berbaringlah kembali.”
Suara itu halus sekali, namun mengandung wibawa yang tak mungkin dapat dibantah sehingga Kim Cu merebahkan tubuhnya lagi di atas dipan. “Akan tetapi... tolonglah beri tahu, Suthai. Di mana Han Han?”
“Han Han siapakah yang Nona maksudkan?”
“Han Han... temanku. Kami berdua jatuh dari atas, dan kalau aku masih hidup dia tentu hidup pula. Ah, di mana dia?”
Nikouw itu menggeleng-geleng kepalanya. “Sukar dipercaya ada orang yang jatuh dari atas tebing gunung itu masih dapat hidup seperti engkau, Nona. Engkau telah berada di sini tiga hari tiga malam, pingsan. Dan pinni (aku) tidak pernah mendengar tentang temanmu yang bernama Han Han itu...”
“Tiga hari tiga malam? Dan Han Han tidak ada? Ah, mana mungkin? Subo, tolong ceritakan, apakah yang sesungguhnya telah terjadi?”
“Nona, sebaiknya kau ceritakan dahulu kepada pinni bagaimana engkau tiba-tiba saja jatuh dari atas, seperti dari langit saja.”
Kalau dia masih hidup, lebih baik dia tidak bercerita tentang dirinya, karena kalau hati ini terdengar oleh Toat-beng Ciu-sian-li, tentu nenek itu akan mencarinya, demikian pikirnya. “Kami... aku dan temanku itu berjalan di atas tebing, dan aku tergelincir, dia berusaha menolongku tetapi kami terjerumus ke bawah. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Subo, ceritakanlah, bagaimana aku dapat berada di sini?”
Dengan sabar nikouw itu mengambil sebuah mangkok dari atas meja. “Kau minumlah obat ini dulu, Nona. Minumlah.”
Karena maklum bahwa ia ditolong oleh nikouw ini, maka tanpa membantah Kim Cu minum obat yang pahit rasanya itu sampai habis, kemudian ia rebah kembali, siap mendengarkan cerita nikouw tua yang ramah dan amat halus tutur sapanya itu.
“Menurut nalar orang yang jatuh dari tempat setinggi itu tentu mati. Akan tetapi agaknya Thian menghendaki lain. Engkau jatuh ke dalam Sungai Hek-ho yang mengalir tepat di bawah tebing itu menuju ke timur, masuk ke saluran besar. Sungai itu di bagian bawah tebing amat deras alirannya, dan banyak mengandung batu-batu karang menonjol di permukaan dan di bawah permukaan air. Akan tetapi, omitohud... engkau agaknya jatuh di bagian yang dalam sehingga tidak terluka. Dan lebih kebetulan sekali seperti telah diatur oleh tangan Thian sendiri ketika tubuhmu yang pingsan itu timbul ke permukaan air, dari jauh kelihatan oleh perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Engkau mereka tolong dan melihat engkau seorang wanita, mereka lalu membawamu ke sini. Pinni adalah ketua dari Kwan-im-bio di sini bersama tujuh orang nikouw lain, dan karena pinni sedikit-sedikit mengerti ilmu pengobatan, maka pinni cepat mengobatimu. Syukurlah, atas kemurahan Thian, engkau selamat....”
“Akan tetapi temanku itu bagaimana dia? Di mana dia?”
Nikouw itu menghela napas. “Kalau dia jatuh bersamamu dan masih hidup tentu telah ditolong pula oleh para nelayan. Akan tetapi tak seorang pun melihatnya dan seperti kukatakan tadi, tempat itu banyak mengandung batu karang. Kalau jatuhnya menimpa batu karang, atau seperti engkau pingsan lalu hanyut oleh air yang sedemikian derasnya... hemmm... agaknya tidak ada harapan lagi baginya.”
“Tidak...! Tidaaakkkk...!” Kim Cu menjerit dan bangkit duduk, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. “Tidak boleh dia mati aku masih hidup! Nikouw tua yang mulia, aku harus mencari dia!”
Dari pintu kamar yang terbuka itu muncul tujuh orang nikouw, yang lima sudah berusia lima puluhan tahun, yang dua masih muda, kurang lebih tiga puluh tahun. Sikap mereka juga halus-halus dan wajah mereka membayangkan ketenangan. Melihat Kim Cu hendak turun, para nikouw yang tadi mendengar jeritan gadis itu mendekati dipan dan hendak mencegahnya, mengira bahwa gadis ini menjadi bingung karena kecelakaan hebat itu.
Nikouw tua mengangkat tangan mencegah mereka, lalu memegang tangan Kim Cu dan berkata, “Engkau hendak mencari temanmu itu, Nona? Baiklah, boleh saja dan mari pinni menemanimu ke tepi sungai.”
Kim Cu berjalan dengan tubuh menggigil dan masih lemah sekali. Akan tetapi nikouw tua yang baik hati itu menggandengnya dan pergilah mereka berdua keluar dari kelenteng kecil itu, diikuti pandang mata tujuh orang nikouw yang menggerakkan pundak masing-masing, hati mereka penuh iba terhadap Kim Cu.
Dengan hati yang tidak karuan rasanya Kim Cu bersama nikouw tua itu menuju ke pinggir sungai. Ngeri hatinya melihat sungai yang benar-benar amat deras airnya, lebih ngeri menyaksikan batu-batu yang runcing tajam menonjol di seluruh permukaan sungai, akan tetapi ia benar-benar mengkirik (meremang bulu tengkuknya) ketika berdongak ke atas melihat tebing yang amat tinggi yang puncaknya tertutup mega. Dari tempat setinggi itu dia jatuh! Kim Cu mengeluarkan seruan tertahan dan kedua pundaknya menggigil.
“Percayakah engkau kini bahwa hanya tangan Tuhan saja yang mampu menyelamatkan engkau, Nona? Ada pun tentang nasib temanmu itu..., benar-benar pinni meragukan keselamatannya.”
“Tidak, kalau aku selamat, dia harus selamat, Suthai! Tolong panggil para nelayan.”
Nikouw itu bertepuk tangan, lalu menggapai ke arah seorang nelayan yang sedang menjemur jala di tepi sungai. Nelayan itu menengok dan cepat berlari menghampiri. Melihat Kim Cu, ia memandang dengan muka berseri. “Ah, inikah Nona yang jatuh dari langit itu, Sian-kouw? Sungguh beruntung, dia dapat tertolong dan kembali terbukti kelihaian Sian-kouw mengobati orang.” Ia membungkuk-bungkuk, sikapnya kasar dan sederhana.
Kim Cu berkata, “Lopek, aku berterima kasih sekali kepada para nelayan yang telah menolongku. Sekarang aku mohon kepada kalian untuk mencari temanku.”
“Temanmu, Nona? Temanmu yang mana?”
Kim Cu menahan mulutnya yang hendak menyebut nama Han Han ketika teringat bahwa nama itu takkan ada artinya bagi si nelayan. “Temanku, seorang pemuda yang ikut pula terjerumus dari tebing atas bersamaku.”
“Heh...?” Nelayan itu terkejut. “Masih ada lagi yang jatuh dari langit?”
“A-liuk, harap kau panggil berkumpul para nelayan ke sini.”
“Baik, Sian-kouw!”
Nelayan itu lalu berlari menuju ke dusun di mana tinggal para nelayan, tidak jauh dari Kuil Kwan-im-bio yang terletak di ujung dusun. Tak lama kemudian di situ telah berkumpul dua puluh orang lebih nelayan-nelayan yang sederhana. Seperti A-liuk, mereka semua merasa girang melihat Kim Cu selamat dan merasa kagum akan kepandaian nikouw yang mengobati Kim Cu.
“Paman sekalian, selain bersyukur dan amat berterima kasih kepada paman sekalian, saya minta tolong sukalah paman menceritakan teman saya yang pada hari dan saat itu jatuh pula dari atas.”
“Kami tidak melihat ada orang lain!” terdengar suara mereka riuh rendah bicara sendiri dan saling bertanya sendiri.
“Mungkin paman semua tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi karena aku selamat, kiranya dia pun selamat. Harap paman suka menggunakan perahu dan mencari di sekeliling pantai dan di seberang kalau-kalau ia terdampar dan mendarat di suatu tempat dalam keadaan terluka.”
“Kalian penuhi permintaannya. Kasihan temannya itu kalau memang benar dia selamat.”
“Baik, Sian-kouw,” jawab mereka serempak.
“Tunggu dulu, paman-paman yang baik!” Kim Cu berkata ketika melihat mereka hendak pergi melaksanakan permintaannya. Ia meloloskan delapan buah gelang emas, satu-satunya perhiasan yang berada di tubuhnya, dan menyerahkan gelang-gelang emas itu kepada mereka. “Aku hanya mempunyai gelang-gelang ini, harap paman sekalian membaginya sebagai hadiah dariku atas pertolongan kalian mencarikan temanku.”
Akan tetapi tidak ada seorang pun diantara mereka yang menerima pemberian ini. Seorang nelayan tua lalu berkata, “Nona, hadiah adalah pernyataan hati girang dan untuk membalas jasa. Sedangkan teman Nona belum diketemukan, bahkan kami belum mencarinya, bagaimana kami dapat menerima hadiah darimu? Kalau kami begitu loba, tentu Sian-kouw takkan mendoakan rejeki kami dan tentu ikan-ikan pada lari bersembunyi dari jala dan kail kami.” Setelah berkata demikian, semua nelayan itu bubar, meninggalkan Kim Cu yang masih memegangi gelang-gelangnya dengan melongo.
Nikouw tua itu tersenyum menyaksikan keheranan Kim Cu. “Mereka adalah nelayan-nelayan desa yang polos, jujur dan bersih, Nona. Dan jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh seperti pendapat orang kota. Orang kota menilai kepintaran berdasarkan akal, yang banyak akalnya dikatakan pintar, padahal akal itu hanya mereka gunakan untuk akal-akalan, saling mengakali dan menipu. Orang-orang yang tidak tahu akan akal-akal macam itu adalah sepintar-pintarnya orang.”
Selama seminggu lebih, setiap hari para nelayan mencari jejak atau tanda-tanda Han Han, namun mereka selalu kembali dengan tangan hampa, membuat hati Kim Cu yang menanti terus di tepi sungai menjadi makin hampa. Dua minggu kemudian, para nelayan menyatakan keyakinannya bahwa kalau pemuda itu benar terjatuh dari atas seperti halnya Kim Cu, tentu tubuh pemuda itu menimpa batu dan hancur lebur, atau tenggelam dan mungkin juga hanyut oleh air sungai yang amat deras. Mereka tidak mencari lagi.
Kim Cu tidak mau kembali ke kuil. Selama menanti para nelayan yang mencari-cari, dia selalu ditemani oleh nikouw tua atau kadang-kadang ditemani seorang di antara para nikouw secara bergilir. Makan dan minum pun hampir dipaksa oleh para nikouw, baru Kim Cu mau makan dan minum. Akan tetapi ia tidak pernah kembali ke kuil, tidur pun di tepi sungai!
Ketika para nelayan menghentikan pencariannya, Kim Cu seperti gila. Tidak lagi ia mau makan atau minum, tidak tidur, hanya berdiri atau duduk di tepi sungai. Wajahnya makin kurus dan pucat, rambutnya kusut dan matanya sipit dan bengkak karena terlalu banyak menangis sehingga air matanya kering!
Beberapa hari kemudian, para nikouw terpaksa menggotong tubuhnya yang menggeletak pingsan di tepi sungai, dibawa kembali ke kuil. Kembali nikouw tua itu yang sibuk mencekokkan obat ke mulutnya sampai ia siuman kembali dan dipaksa makan bubur atau obat.
“Mengapa engkau menyiksa hatimu sampai sedemikian rupa, Nona? Dicari lagi pun percuma, agaknya temanmu itu sudah tewas.”
“Kalau dia mati, aku pun akan mati!” kata Kim Cu dan ia menangis sesenggukan. “Suthai, biarkan aku mati...!” Ia terisak-isak.
“Engkau keliru, Nona. Andai kata temanmu itu mati, matinya adalah karena kehendak Tuhan. Kalau engkau memaksa ingin mati, matimu adalah mati paksaan dan amatlah tidak baik mati seperti itu, Nona.”
“Suthai, kalau Han Han mati, apa gunanya lagi aku hidup?”
Nikouw itu mengangguk-angguk dan mengelus-elus rambut gadis itu. “Nona, engkau tentu amat mencinta pemuda itu, bukan?”
Mendengar suara yang masih tenang akan tetapi menggetar penuh rasa iba dan haru ini, Kim Cu memandang dengan mata basah. “Benar, suthai. Aku mencintanya. Dia satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.”
“Kalau begitu, engkau harus hidup, Nona. Kalau engkau mati, engkau takkan dapat berguna untuk dia. Akan tetapi kalau engkau hidup, tidak hanya engkau akan dapat berguna bagi orang yang kau cinta, akan tetapi engkau malah akan dapat berguna bagi semua orang dan dunia.”
Kim Cu memeluk nikouw itu dan berkata, “Ah, suthai. Benarkah itu? Benarkah aku akan dapat berguna, berguna bagi Han Han biar pun dia sudah sudah mati?”
Nikouw itu mengusap air mata dari kedua pipi Kim Cu dan di dalam hatinya dia pun mengusap air matanya sendiri yang mengucur di hatinya. Matanya dikejap-kejapkan untuk menahan panasnya keharuan yang mendorong air mata, mulutnya tersenyum untuk menekan keharuan hati, dan kepalanya mengangguk-angguk untuk mengganti kegaguannya untuk sementara. Setelah keharuannya reda dan ia yakin suaranya tidak menggetar, nikouw itu berkata.
“Tentu saja, anakku yang baik. Kalau engkau menghambakan dirimu kepada kebajikan, menjadi murid Kwan Im Pouwsat, menjadi seperti pinni, engkau akan dapat berguna sekali bagi temanmu itu.”
“Menjadi... nikouw...?”
Nikouw tua itu mengangguk-angguk. “Tidak langsung sekarang, terserah kepadamu. Kau pelajarilah dahulu kebajikan-kebajikan dari Kwan Im Pouwsat, kelak engkau boleh menentukan sendiri apakah suka menjadi nikouw atau tidak. Akan tetapi, setidaknya engkau sudah akan lebih tahu akan arti hidup, dan engkau dapat berdoa setiap saat untuk temanmu itu sehingga andai kata dia sudah mati, semoga ia akan mendapatkan tempat yang layak dan damai, sebaliknya kalau masih hidup, semoga dia hidup bahagia. Bukankah dengan demikian engkau akan berguna baginya? Dan berguna pula bagi orang lain...”
Kim Cu kembali menubruk dam memeluk nikouw itu sambil menangis, kemudian ia melorot turun dan berlutut di depan nikouw itu. “Teecu, Kim Cu, mohon petunjuk dari Subo...”
Demikianlah, mulai hari itu Kim Cu menjadi murid Thian Sim Nikouw dan mempelajari pelajaran kebatinan yang berpusat pada penyembahan Kwan Im Pouwsat. Akan tetapi, nasib malang masih mengharuskan Kim Cu mengelami banyak penderitaan hidup. Enam bulan sejak ia tinggal di situ, pada musim hujan, air Sungai Hek-ho meluap dan terjadi banjir besar yang menghanyutkan dusun itu, termasuk Kwan-im-bio. Para nikouw dan Kim Cu terpaksa mengungsi setelah mereka semua memberi pertolongan kepada para korban banjir.
Dalam pekerjaan yang dipimpin Thian Sim Nikouw inilah Kim Cu merasa betapa hidupnya amat berguna bagi orang lain, yang nyata dan dapat dirasainya. Ia makin tekun belajar dan makin lama ia mendapat ketenangan batin sehingga ketika semua pindah ke utara, ke sebuah lereng bukit dan mendirikan kuil kecil sederhana di sana, Kim Cu mengambil keputusan menggunduli rambutnya dan masuk menjadi nikouw! Oleh gurunya ia diberi nama Kim-sim Nikouw (Pendeta Wanita Berhati Emas). Ia telah mendapat ketenangan dan kebahagiaan batin, dan rasa rindunya yang kadang-kadang muncul terhadap Han Han, ia tekan dengan doa-doa bagi keselamatan pemuda itu, baik di dunia mau pun di akherat.....
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR SUPER SAKTI : JILID-12