Kisah Sepasang Rajawali Jilid 12


“Subo, teecu akan membalaskan sakit hatimu terhadap Siang Lo-mo!” bisiknya sambil mengepal tinju. Dia cepat mengusir bayangan subo-nya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena dari atas dia melihat genteng-genteng rumah penduduk dusun di bawah sana.
Dia berhenti di luar dusun itu ketika melihat anak sungai yang airnya jernih sekali. Timbul keinginan hatinya untuk mandi dan minum. Atau setidaknya dia harus mencuci mukanya di air yang jernih itu, karena kalau mandi dia khawatir dilihat orang. Cepat dia menuruni anak sungai itu, akan tetapi baru saja kedua tangannya menyentuh air, tiba-tiba terdengar orang berseru penuh kekhawatiran, “Heiii...! Nona..., jangan sentuh air itu... Lekas kau keluar dari situ!”

Tentu saja Ceng Ceng merasa heran sekali. Jika orang itu melarangnya, tentu dia akan marah. Tetapi orang itu jelas bukan melarang, melainkan memperingatkannya seolah olah orang itu merasa ngeri dan takut akan sesuatu.

“Mengapa tidak boleh, Lopek?” tanyanya ketika laki-laki setengah tua itu sudah tiba dekat sambil berlarian.
“Aihh, Nona, harap cepat keluar. Air sungai itu beracun!”
“Hemm, beracun?” Ceng Ceng tertarik sekali dan memandang air itu, lalu membawa tangannya yang basah ke depan hidungnya, bahkan lalu menjilatnya. Memang beracun, pikirnya, akan tetapi hanya tipis dan lemah saja kekuatan racun itu, agaknya karena sudah tercampur air yang amat banyak itu.

“Biarlah aku ingin mencuci muka dan minum!” jawab Ceng Ceng seenaknya dan dia lalu mencuci mukanya, bahkan kemudian menyendok air dengan kedua telapak tangan dan diminumnya. Hemmm, menyegarkan rasanya.
“Nona! Jangan... ahhh, anakku pun sekarang hampir mati karena minum air ini, dan di kampung kami sudah ada enam orang yang tewas. Mengapa Nona begini nekat?”

Ceng Ceng makin tertarik dan dia lalu meloncat ke darat. Sekali loncat saja dia telah tiba di depan laki-laki tua itu yang memandang terbelalak kemudian menjatuhkan diri berlutut!

“Kiranya Nona adalah seorang pendekar wanita yang sakti...! Nona tidak takut racun dan Nona melompat seperti terbang... kalau begitu, saya mohon dengan hormat, sudilah kiranya Nona menolong kami, mengobati puteraku dan beberapa orang lain yang belum tewas akan tetapi yang menderita sakit hebat karena air sungai ini.”

Ceng Ceng mengangguk. “Baik, akan kucoba untuk menyembuhkan mereka. Mari!”

Kakek itu girang sekali dan cepat mengajak Ceng Ceng memasuki perkampungan itu, langsung menuju ke sebuah rumah yang paling besar dan paling indah di dusun itu. Kiranya orang tua itu adalah hartawan yang paling kaya di dusun itu, dan dia lalu dengan singkat menceritakan kepada isterinya yang masih menangis bahwa nona muda ini hendak mengobati putera mereka. Ibu yang cemas ini cepat mengajak Ceng Ceng memasuki sebuah kamar dan di atas pembaringan rebahlah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang membengkak mukanya dan panas badannya.

Ceng Ceng menghampiri, dan sebentar saja dia sudah tahu bahwa anak ini memang keracunan, racun yang sama dengan yang dia dapatkan di dalam anak sungai tadi. Racun yang sama sekali tidak berbahaya kalau saja orang tahu cara pengobatannya. Cepat dia menotok jalan darah di dada kiri anak itu dan menyuruh Sang Ibu mengambil abu dapur, merendam abu itu di dalam air, lalu memberikan air itu setelah abunya mengendap, untuk diminumkan anaknya.

Setelah ditotok dan minum obat sederhana ini, anak itu benar saja sembuh, bengkak pada mukanya mengempis dan napasnya tidak memburu lagi, panas tubuhnya pun menurun! Tentu saja hartawan itu menjadi girang sekali dan orang lain yang menderita keracunan yang sama lalu dibawa ke rumah gedung itu dan semua diobati oleh Ceng Ceng dan dapat diselamatkan nyawanya.

Rumah itu penuh dengan penduduk dan mereka semua berlutut menghaturkan terima kasih kepada Ceng Ceng, dipimpin oleh kepala dusun itu yang masih adik kandung sendiri dan Si Hartawan tadi.

Ceng Ceng berkata, “Harap Cu-wi sekalian bangkit dan jangan berlebihan. Aku hanya ingin tahu mengapa air sungai itu beracun, apakah biasanya tidak begitu?”

“Tentu saja tidak, Lihiap (Pendekar Wanita),” jawab Si Kepala Dusun setelah semua orang bangkit. “Sejak turun-temurun, anak sungai itu memiliki air yang jernih dan bersih dan yang menjadi air minum seluruh penduduk dusun. Akan tetapi sejak tiga hari yang lalu, tiba-tiba saja airnya mengandung racun yang jahat itu sehingga ada enam orang penduduk kami tewas, yang lain sakit dan tentu akan tewas pula kalau tidak ada Lihiap yang menolong.”

“Hemm, sungguh aneh,” kata Ceng Ceng. “Racun seperti itu adalah buatan orang dan tak mungkin dapat meracuni sungai kalau tidak sengaja dilakukan orang.”

“Kami mendengar berita bahwa di selatan sana keadaan dusun-dusun lebih parah lagi karena mengamuknya racun yang entah datang dari mana. Kami tadinya tidak percaya sampai air sungai itu menjadi beracun,” jawab Si Kepala Dusun. “Terpaksa kini kami menggunakan air dari sumber di atas bukit untuk keperluan kami.”

“Dan Cu-wi tahu mengapa sebabnya semua itu?”
“Tidak, Lihiap, kami tidak tahu.”
“Hemmm, kalau begitu tentu ada apa-apa di selatan sana. Aku akan pergi ke sana menyelidikinya.”

Mendengar ucapan ini, semua orang memandang dengan muka berubah.

“Ada apakah di selatan?” Ceng Ceng bertanya melihat sikap mereka itu.

Si Kepala Kampung memandang ke kanan kiri seperti orang ketakutan, lalu berkata lirih, “Sebaiknya kalau Lihiap jangan mengambil jalan ke selatan. Kurang lebih lima puluh li dari tempat ini terdapat tempat yang dinamakan Lembah Bunga Hitam, dan tempat itu amat berbahaya...”

“Mengapa...?”
“Penghuni Lembah Bunga Hitam adalah golongan yang amat ditakuti di sekitar daerah ini, dan sudah banyak yang menjadi korban keganasan mereka, namun tidak ada yang berani melawan karena mereka itu amat lihai...”

Ceng Ceng tersenyum. “Tak usah Cu-wi khawatir, aku mampu menjaga diriku.”

Akan tetapi kepala kampung dan hartawan itu, juga para penduduk, menahan Ceng Ceng pergi seketika. Mereka lebih dulu ingin menjamu Ceng Ceng untuk menyatakan terima kasih mereka. Bahkan melihat betapa pakaian yang dipakai dara itu sudah amat lapuk, Si Hartawan sudah cepat menyiapkan pakaian baru untuk Ceng Ceng, dan setelah dara itu dipaksa untuk makan minum bersama mereka, lalu seekor kuda yang besar dihadiahkan pula kepada dara itu.
Ceng Ceng juga tidak menolak pemberian itu, menerima dengan gembira dan berterima kasih. Dia memang amat membutuhkan pakaian bersih, dan kuda itu pun dapat berguna baginya.

Maka dengan diantar oleh para penduduk sampai di pintu dusun, dara ini berangkat melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Akan tetapi baru kurang lebih sepuluh li kudanya dilarikan ke selatan, tiba-tiba di luar sebuah hutan dia melihat penduduk dusun berbondong-bondong pergi mengungsi ke utara.

Keadaan mereka sungguh menyedihkan. Terlihat muka mereka pucat akibat ketakutan, pakaian kumal, penuh luka, ada yang menggendong anak, ada pula yang menggandeng dua anak di kanan kiri, ada yang menggendong buntalan pakaian dan memikul barang-barang yang sempat mereka bawa lari ngungsi.

Ceng Ceng meloncat turun dari kudanya dan memegang kendali kuda, memandang orang-orang itu yang agaknya tidak mempedulikannya, bahkan agaknya memandang kepadanya dengan penuh curiga dan penuh kebencian. Akhirnya dia bertanya kepada dua orang laki-laki setengah tua yang berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap, “Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua) agaknya kalian semua mengungsi dengan tergesa gesa dan ketakutan, apakah yang terjadi di selatan?”

Dua orang laki-laki itu berhenti dan memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh keheranan. “Apakah Nona hendak maksudkan bahwa Nona belum tahu akan apa yang sedang dan telah terjadi, dan saat ini Nona hendak melakukan perjalanan ke selatan?” tanya yang berjenggot pendek.
“Benar, Lopek. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Lopek sekalian melarikan diri dan pergi mengungsi?”

“Aihhh, tadinya kami mengira tentu Nona adalah salah seorang di antara mereka! Kalau ternyata bukan, harap Nona cepat membalikkan kuda dan ikut melarikan diri bersama kami sebelum terlambat.”
“Sebelum terlambat?”
“Ya, lihat. Kami adalah petani-petani, akan tetapi sekarang terpaksa melarikan diri tanpa membawa seekor pun binatang peliharaan. Kuda Nona masih sehat, maka lekas-lekas Nona bawa pergi sejauhnya ke utara kalau ingin selamat.”

Tentu saja Ceng Ceng menjadi makin tertarik. Jelas bahwa telah terjadi sesuatu yang amat hebat di selatan, yang akibatnya telah menggegerkan dusun di utara tadi di mana air sungai mendadak menjadi beracun.

“Lopek, tolong jelaskan. Apa yang sedang terjadi?”
“Geger hebat, dunia akan kiamat, Nona! Sejak tiga hari yang lalu, terjadi pertempuran hebat di Lembah Bunga Hitam antara golongan penghuni lembah dan musuh-musuh mereka. Pertandingan yang mengerikan, dan akibatnya bagi para penghuni dusun di sekitar lembah, lebih mengerikan lagi. Bayangkan saja, ternak-ternak kami mati, air pun keracunan, hawa udara beracun, semua tanaman layu dan agaknya tanah pun menjadi beracun. Dua golongan ahli-ahli racun perang menggunakan racun-racun mengerikan. Banyak di antara penduduk dusun sekitar tempat itu mati konyol, maka kami semua cepat melarikan diri mengungsi. Nah, sekarang sebaiknya Nona cepat memutar arah perjalanan Nona, atau kalau ada keperluan ke selatan, sebaiknya mengambil jalan memutari pegunungan di selatan itu agar tidak melewati Lembah Bunga Hitam.”

Ceng Ceng menjadi tertarik sekali. Dia lantas meloncat ke atas punggung kudanya dan berkata, “Terima kasih, Lopek. Saya akan meninjau keramalan itu!” Lalu dia membedal kudanya ke selatan.

“Ah, sayang kuda sebaik itu akan mati konyol!” terdengar seorang berkata.
“Nona itu lebih sayang lagi, begitu muda remaja dan cantik jelita!” kata orang kedua. 

Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa Ceng Ceng, murid yang telah mewarisi ilmu dari nenek yang menjadi datuk racun, Ban-tok Mo-li, tentu saja tertarik sekali mendengar bahwa ada dua golongan ahli-ahli racun sedang bertanding dan tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.

Makin dekat lembah itu, semakin banyak Ceng Ceng bertemu dengan para rombongan pengungsi. Setelah Lembah Bunga Hitam tinggal berjarak lima belas li lagi jauhnya, dia memberikan kudanya kepada rombongan pengungsi terakhir, karena dia maklum bahwa hawa udara yang mulai bau wangi-wangi aneh itu amat berbahaya bagi kudanya. Dia melanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Bunga Hitam dengan berlari-lari.

Dusun-dusun sudah kosong dan semakin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, semakin mengerikanlah keadaannya. Dusun-dusun telah ditinggalkan penghuninya yang masih hidup, meninggalkan banyak mayat manusia yang berserakan di mana-mana. Pohon pohon layu semua, dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan. Bangkai-bangkai berserakan di atas tanah, mulai dari bangkai binatang buas yang galak dan kuat seperti beruang hutan sampai kijang dan kelinci, mulai dari belalang dan jangkrik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut. Juga anak-anak sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya bau di sepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati, daerah yang menyeramkan di mana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang tajam meruncing.

Makin dekat ke Lembah Bunga Hitam, makin mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang hangus seperti terbakar, ada tanah yang merekah retak-retak dan masih mengeluarkan asap, ada air hitam menetes-netes dari pohon seperti darah, air yang mengandung racun ganas!

Di samping kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main karena segala macam racun yang diajarkan oleh subo-nya selama ini, sekarang dapat dia melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal dari bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ, Ceng Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.

Ketika Ceng Ceng memasuki perkampungan terakhir yang berada tepat di luar Lembah Bunga Hitam, perkampungan yang tadinya dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam tingkat terendah, dusun ini ternyata juga sudah kosong sama sekali dan di sini jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang mengerikan karena banyak berserakan mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula yang sudah tinggal rangkanya saja, padahal pertandingan baru berjalan tiga hari yang lalu.

Memang ada beberapa macam racun ganas yang kalau mengenal tubuh orang lantas menggeroti kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari satu malam saja hanya menyisakan kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah mencair dan habis. Selain mayat-mayat ini, terlihat pula binatang-binatang berbisa yang juga kebal terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang, kalajengking, ular-ular berbisa segala jenis yang berkeliaran dan makan bangkai-bangkai binatang lain. Ada pula beberapa ular jenis ular merah hitam tampak memperebutkan daging membusuk tubuh seorang manusia!

Ceng Ceng bergidik, apa lagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun rebah miring di atas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan kasihan akan tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini masih utuh, hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya terdapat banyak sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk nanti memperebutkan daging yang masih lunak dan masih utuh itu.

Tidak, pikir Ceng Ceng. Aku tak mungkin membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam itu! Harus kuselamatkan mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri mayat itu dan tiba di luar lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil itu.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang membuat bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking ngerinya karena suara ketawa itu keluar dari mulut mayat anak perempuan itu! ‘Mayat’ itu kini bangkit duduk. Wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali seperti mayat, dan sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa itu tiba-tiba kini berdesis-desis seperti suara ular. Suara mendesis ini disambut oleh suara mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang tadi berkerumun di situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan banyak ular besar kecil yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat itu, seolah memenuhi penggilan anak perempuan itu!

Tiba-tiba, desis yang keluar dari mulut anak perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng Ceng ketika dia melihat betapa semua ular itu kini membalik dan seperti marah menyerbu ke arahnya! Sebentar saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun, dipimpin oleh tujuh ekor ular sendok yang ‘berdiri’ dan dengan leher berkembang menyembur-nyembur, mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit berdiri dan menari-nari kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang anak kecil yang memperoleh permainan menarik sekali.

Mengertilah Ceng Ceng bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak dari golongan sesat yang amat lihai.

“Hemmm...!” bentaknya dan dia melangkah maju ke arah tujuh ekor ular sendok yang paling galak. Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng, mematuknya. Ceng Ceng menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan lengan bajunya supaya jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja tertarik dan semuanya lalu mematuk ke arah kedua lengan yang berkulit putih itu.

Ketika Ceng Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ular ekor cobra itu bergantungan pada lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya, mencengkeram kepala ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali mengerahkan tenaganya, kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu dia lemparkan ke bawah. Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan tetapi gigitan mereka sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara itu, bahkan dia lalu menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular, menangkapi dan membanting sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau balau, banyak yang mati, sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.

Anak perempuan yang tadi menari-nari kegirangan, sekarang menghentikan tariannya, memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju. “Kau... kau... dapat mengalahkan ular-ularku...?”

Ceng Ceng menangkap kepala seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari satu meter, menggerakkan bangkai ular itu ke arah anak perempuan tadi.

“Plak! Plak!” Biar pun anak perempuan itu berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu menyabet kedua pipinya. Anak itu menangis dan menutupi mukanya!

Dingin kembali hati Ceng Ceng yang tadinya panas. Dia menghampiri dan mengelus kepala anak luar biasa itu. “Kau siapa dan mengapa kau di sini seorang diri?” tanyanya dengan suara halus.

Anak itu mengangkat mukanya memandang. Cantik benar wajah anak ini, hanya sayang kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah tidak ada darah mengalir di bawah kulit itu.

“Engkau... engkau tidak akan membunuh aku?” tanya anak itu.

Ceng Ceng tersenyum. “Ihh, mengapa aku harus membunuhmu?”

“Enci, engkau orang aneh, tak seperti yang lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu denganmu.”
“Siapa ayahmu, dan engkau siapa?”
“Namaku Kim Hwee Li, dan ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo!”

Berkata demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga. Akan tetapi kembali dia terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang dapat mengalahkan ular ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget. Memang Ceng Ceng selama hidupnya belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) itu, tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu bahwa iblis tua itu bukan lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian hebat bukan main!

“Di manakah ayahmu? Mengapa kau ditinggalkan di sini seorang diri?”
“Ayahku baru sibuk perang dengan orang-orang Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku bosan melihat perang selama tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain main di sini. Di sini sepi tidak ada orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci, apa kau tidak takut kepada ayahku? Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar namanya saja, orang sudah lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak lari?”

“Aku tidak takut kepada siapa pun juga.”
“Bagus! Kiranya engkau ada di sini, Hwee Li. Dan kau bertemu dengan seorang bocah sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap sombongnya itu, karena sikap itu hanya akan mencelakakan.”

Ceng Ceng cepat membalikkan tubuhnya dan dia terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang manusia seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan ketika tertawa tadi, mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi panjang meruncing seperti taring singa. Kedua lengannya yang tidak tertutup karena bajunya berlengan pendek itu penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam, matanya liar dan mengandung sinar kejam dan buas seperti mata singa sedang marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa heran bukan main. Orang yang buruk seperti setan ini memiliki seorang anak perempuan yang demikian manis dan mungilnya! Sungguh tidak patut!

“Jadi engkau adalah ayah dari Hwe Li! Hemm, seorang anak kecil dibiarkan bermain main sendiri di tempat seperti neraka ini. Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik dan menjaga anak!” Ceng Ceng berkata untuk membalas ejekan kakek raksasa itu, sedikit pun tidak mengenal takut.

“Wah-wah, Nona muda. Apa anakku tidak mengatakan siapa adanya ayahnya?”
“Sudah, Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!” tiba-tiba Hwe Li berseru.

Muka kakek itu berubah merah dan kedua matanya melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng. “Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw Lo-mo?”
“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!”
“Keparat sombong! Engkau tentu orang pihak Lembah Bunga Hitam!”
“Aku tidak mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat akibat perang yang kotor dan keji, aku melihat anak kecil yang tidak terdidik baik-baik menyerangku dengan ular-ular beracun.”

“Ha-ha-ha, engkau nona muda yang cantik, mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau tidak takut kepada Pulau Neraka?”
“Aku tidak peduli dan tidak kenal Pulau Neraka!”
“Ha-ha-ha! Dan kau juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam?”
“Persetan dengan Lembah Bunga Hitam!”
“Ha-ha-ha-ha!” Ketua Pulau Neraka itu tertawa bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi dia mendengar bahwa Pulau Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan tetapi sekarang mendengar bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam yang menjadi lawannya, dia tertawa girang. “Ingin aku melihat muka Si Tua Bangka Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau mendengar bahwa Lembah Bunga Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha!”

“Ayah, Enci ini tentu saja tidak takut. Dia lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan sama sekali tidak berdaya menghadapinya!” tiba-tiba Hwe Li berkata.
“Apa...?!” Ketua Pulau Neraka menjadi terkejut dan gembira. “Ah, kiranya seorang nona muda yang lihai juga, ya? Tempat ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun dan kau masih berani datang ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular berbisa itu? Hemm, agaknya kau tidak takut racun, ya?”

Ceng Ceng tersenyum mengejek, teringat akan mendiang subo-nya yang menjadi datuk ilmu racun! “Hemm, racun adalah makananku sehari-hari!” katanya, bukan semata-mata untuk bersombong karena memang selama berada di neraka bawah tanah bersama subo-nya, boleh dibilang setiap hari dia disuruh makan racun! Itulah cara subo-nya membuat dia kebal akan racun, dan tentu saja menelan racun itu disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada jalan darah tertentu.

Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo menerimanya sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua Pulau Neraka yang terkenal sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli, maka mendengar kesombongan ini dia menjadi marah. “Bagus, kalau begitu makanlah ini!” Tangannya bergerak dan uap hitam menyambar dari tangan itu ke arah muka Ceng Ceng.

Ceng Ceng dapat mencium bau uap beracun itu, maka dia langsung tahu racun apa yang digunakan kakek itu untuk menyerangnya. Dia tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit kepalanya agar tidak terkena hawa pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan uap hitam menyelimuti mukanya.

Terdengar suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa yakin bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula. Akan tetapi, suara ketawanya berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap membuyar, gadis itu tetap saja berdiri tegak, mukanya tetap berseri, juga matanya masih bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.

“Kau dapat bertahan? Makanlah ini!”

Kakek itu kembali membentak dan kini dia membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda bulat putih itu meledak dan muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau memuakkan. Cairan ini muncrat dan ketika mengenai tanah mengeluarkan suara desis dan mengeluarkan asap seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini terbakar!

Ceng Ceng mengelak agar pakaiannya tidak terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya menyampok benda cair yang muncrat. Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang amat jahat. Segala benda, apa lagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena benda ini, akan tetapi kedua tangan nona itu yang berlepotan benda cair ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng Ceng lalu membentak, “Kau makanlah sendiri!” Kedua tangan nona itu bergerak dan benda cair yang berlepotan di tangannya memercik ke arah muka Hek-tiauw Lo-mo!

“Uhhhh...!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget sekali, tetapi dia pun dapat menghindarkan diri dari percikan cairan hijau itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia sendiri kalau harus menghadapi racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan obat penawar lebih dulu karena racun ini terlalu berbahaya. Akan tetapi gadis itu dapat menangkisnya begitu saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau itu bukan apa-apa! Dia menjadi penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki keahlian tentang racun yang melebihi dia? Tak mungkin!

“Kau hebat akan tetapi cobalah ini!” Kini Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak tangan mendorong ke depan dengan cepat sekali.

Ceng Ceng maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia yang melihat betapa cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorong kedua tangannya pula memapaki. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis itu berani memapaki pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan ganas yang disebut Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut Nyawa)! Padahal pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum pernah ada yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.

“Ha-ha-ha, sekarang engkau mampus, bocah sombong!” teriaknya. Di samping hawa beracun yang amat ganas ini, juga dia mengandalkan kekuatan sinkang-nya yang mendorong hawa beracun itu sehingga daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi kedahsyatannya.
“Plak! Plakk!”
“Aihhh...?!”

Sekarang Hek-tiauw Lo-mo benar-benar kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima pukulannya dan jelas bahwa Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga gadis itu ternyata memiliki sinkang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis pukulannya tadi.

Lebih lagi, dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak tangan gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan oleh kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun tadi! Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan hebat.

Ceng Ceng tersenyum mengejek, “Bagaimana, Hek-tiauw Lo-mo?” katanya.

“Bocah sombong, kiranya engkau setan cilik beracun pula! Akan tetapi jangan kira Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam keahlian racun. Cobalah kau bebaskan dirimu dari lingkaran racun api ini kalau mampu!” Tiba-tiba kakek itu bergerak lari memutari tempat Ceng Ceng berdiri.

Dara itu terkejut juga menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia sudah merasakan kehebatan tenaga sinkang kakek itu, kini dia menyaksikan ginkang yang amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar amat sakti. Namun dia tidak menjadi gentar. Kalau hanya diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka sambil berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih di atas tanah di sekitarnya.

“Ha-ha-ha! Hendak kulihat bagaimana kau menghadapi racun api yang mengelilingimu!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng, agaknya siap untuk menyerang apa bila dara itu melompat ke luar dari lingkaran itu.

Ceng Ceng memandang ke bawah. Dia tahu racun macam apa itu yang kini mulai membara dan perlahan-lahan api itu memakan tanah dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat lingkaran api itu menjadi makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu akan mencapai kakinya dan membakarnya!

Dari dalam neraka di bawah tanah, ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng telah membawa semua persediaan racun-racun ampuh milik subo-nya. Maka kini dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan menaburkan di sekeliling tubuhnya dengan sikap tenang.

Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan penuh perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat betapa api dari racun yang ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah ditaburi obat bubuk hitam oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat bubuk putihnya tadi adalah racun yang dapat membakar apa saja!

“Hemm, sekarang menangislah kau!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu sihir karena dia hendak menonjolkan keahliannya menggunaan racun, melainkan melemparkan bubuk hitam seperti uap ke arah muka Ceng Ceng.

Dara ini mengenal pula bubuk yang membuat orang dapat menangis itu, akan tetapi karena dia tahu bahwa dirinya sudah kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan menengah, tidak berapa kuat, dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil menerjang ke depan dan kini dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Bukan meludah biasa, karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan menyerang lawan.

Hek-tiauw Lo-mo yang hanya menyangka bahwa nona itu karena marahnya meludah untuk menghinanya, mengelak akan tetapi ketika punggung tangannya terkena percikan ludah, dia berteriak kaget,

“Aduhhh...! Ihhh, keparat, sampai ludah-ludahnya pun beracun!” teriaknya kaget, cepat dia menggosok punggung tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun, tetap saja kulitnya terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!

Hek-tiauw Lo-mo memandang dengan mata terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli racun yang benar-benar amat lihai, bahkan mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang racun!

“Hebat... hebat... siapa mengira bahwa di dunia terdapat seorang ahli racun yang masih begini muda dan hebat! Aihhh, orang pandai harus mengenal batas kemampuannya dan mengakui keunggulan seorang ahli. Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu silatmu!” Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju, kini menggunakan ilmu silatnya untuk menerjang Ceng Ceng.

Kali ini Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi serangan seorang ahli seperti Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Padahal Ceng Ceng hanya memiliki kepandaian yang belum berapa tinggi, hanya berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia menjadi murid Ban-tok Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak melatih diri dengan ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta kekebalan terhadap racun. Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi dengan enak saja, kini diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan biar pun dia berusaha menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan sedapat mungkin membalas, namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah dapat dirobohkan dalam keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!

“Ha-ha-ha-ha, kiranya ilmu silatmu tidak seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang pembantuku di Pulau Neraka!” kata kakek itu. “Namun ilmu pengetahuanmu tentang racun hebat maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para paman menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan mengatur penyerbuan ke lembah!” Setelah berkata begitu, sekali berkelebat lenyaplah tubuh kakek raksasa itu.

Ceng Ceng menjadi terkejut dan kagum sekali. Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh kakek tadi karena memang kepandaian kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat kedua orang kakek kembar sekali pun!

Anak perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang masih rebah telentang dalam keadaan kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum manis dan matanya berseri-seri penuh sikap menggoda. “Wah, kau mengecewakan aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua ularku, kau hebat dan aku kagum, akan tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar saja kau roboh seperti orang yang amat lemah.”

Sejak kakek yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak mungkin dia yang baru saja terbebas dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini harus mandah saja terjatuh ke tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal agar dapat lolos lagi dari bahaya maut. Sudah terlalu sering dia dicengkeram bahaya maut yang ganas sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan dikejar-kejar, ketika hanyut ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke dalam sumur maut, lalu jatuh ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika dia hendak dibunuh oleh Siang Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya, maka kini pun dia harus dapat membebaskan diri!

“Hwee Li, jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo?”
“Ya, aku puteri tunggalnya. Ayahku adalah Ketua Pulau Neraka. Ilmu kepandaian Ayah hebat, ya?”

Ceng Ceng mencibirkan mulutnya, “Huh, hebat apa? Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia kalah oleh aku dalam hal keahlian tentang racun!”

Anak perempuan itu mengangguk. “Ya, tapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan, kau mengecewakan hatiku, Enci.”

“Hwee Li, engkau suka akan kegagahan?”
“Tentu saja!”
“Ayahmu memang tinggi ilmu silatnya, namun dia belum lihai kepandaiannya tentang racun. Andai kata aku memiliki tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah tewas sekarang dan kalah olehku?”

Hwee Li agaknya seorang anak yang cerdas. Dia mengangguk dan berkata, “Akan tetapi ilmu silatmu amat rendah, Enci...”

“Memang harus kuakui itu. Akan tetapi keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu. Hwee Li, apakah kau kelak ingin menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa ada yang mengalahkanmu?”
“Tentu saja! Ayahku bilang, kalau aku berlatih dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu ayahku, aku tentu akan menjadi seorang paling pandai nomor satu di dunia.”

“Ayahmu bohong! Andai kata ayahmu memiliki ilmu silat nomor satu di dunia, tetap saja dia tidak dapat membikin kau menjadi ahli nomor satu kelak, karena kalau kau bertemu dengan ahli racun nomor satu di dunia, kau akan celaka. Kau baru benar-benar bisa menjadi orang paling pandai kalau selain mewarisi ilmu silat ayahmu engkau juga mewarisi ilmu tentang racun dariku!”

Anak itu mengerutkan alisnya dan mengangguk, “Omonganmu benar juga, Enci.”

“Tentu saja benar. Jika kau mau menjadi muridku kelak untuk mempelajari ilmu tentang racun, kau akan menjadi ahli racun nomor satu di dunia, tidak ada yang melawan lagi.”
“Sebabnya?”
“Karena aku adalah murid dan pewaris ilmu-ilmu dari datuk ahli racun Ban-tok Mo-li...”
“Aihhhh...! Ayahku sudah lama menyebut-nyebut nama ini, mengatakan sayang bahwa wanita ahli racun nomor satu di dunia itu lenyap.”

“Memang lenyap bagi dunia umum, akan tetapi tidak bagiku. Aku menjadi muridnya dan pewaris ilmu-ilmunya dan karena sekarang dia telah meninggal dunia, aku adalah ahli nomor satu di dunia, dan kelak engkau yang akan mewarisi kalau engkau suka menjadi muridku.”

“Tentu saja aku suka sekali!” jawab Hwee Li dengan wajah girang.
“Kalau begitu, kau kuterima sebagai murid dan kelak setelah kau tamat belajar ilmu silat dari ayahmu, aku akan mulai mengajarmu tentang ilmu racun. Tapi lebih dulu kau harus bebaskan aku agar aku dapat menerima penghormatan sebagai muridku.”

Hwee Li memang cerdik sekali. Dia memandang ragu. “Akan tetapi, bagaimana kalau kelak kau melanggar janji dan kau gunakan janji ini hanya untuk menipu aku agar kau dapat bebas?”

Ceng Ceng memaki di dalam hatinya akan kecerdikan anak ini. “Bodoh!” bentaknya. “Apakah ayahmu sebagai ahli nomor satu dalam ilmu silat juga suka membohongi orang dan melanggar janji?”

“Tentu saja tidak.”
“Nah, aku pun sebagai ahli racun nomor satu, mana sudi melanggar janji? Hayo cepat kau bebaskan aku, apakah kau bisa menotok?”
“Aku sudah belajar ilmu menotok dari Ayah, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana harus membebaskan totokan Ayah pada tubuhmu.”
“Mudah saja, asal engkau sudah dapat menggunakan jari tanganmu untuk menotok. Kau totoklah jalan darah di bawah tengkukku, dengan dua jari.”

Hwee Li mendorong tubuh Ceng Ceng menjadi miring, kemudian dia menotok tempat itu.

“Dukk!”

Ceng Ceng menyeringai kesakitan. “Kurang ke atas sedikit...,” keluhnya.

Hwee Li kembali menotok, agak ke atas. Mula-mula totokan anak mungil ini tak berhasil membebaskan Ceng Ceng, malah mendatangkan rasa nyeri. Namun setelah diulang ulang sampai lima kali, akhirnya totokan itu ada hasilnya dan kedua lengan Ceng Ceng dapat digerakkan sedikit akan tetapi jalan darahnya belum mengalir dengan sempurna. Dia lalu mengerahkan sinkang-nya mendorong dari dalam dan berhasillah dia. Setelah kedua lengannya bebas, dia mengumpulkan tenaga lalu menotok bawah punggungnya sendiri untuk membebaskan kedua kakinya.

“Aihhh...!” Dia bangkit duduk sambil mengelus-elus tempat yang ditotok Hwee Li tadi.
“Sekarang aku menjadi muridmu, Enci.”
“Ya, kau lakukanlah upacara pengangkatan guru, berlutut dan memberi hormat delapan kali!”

Hwee Li lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng yang sudah bangkit berdiri, memberi hormat sampai delapan kali sambil menyebut, “Subo...!”

Begitu selesai memberi hormat, anak itu cepat meloncat bangun dan berkata, “Subo, sekarang tiba giliranmu untuk mengucapkan janji kepadaku!”

Ceng Ceng tersenyum. Memang dia sudah merasa suka kepada anak kecil ini dan andai kata kelak mereka dapat saling jumpa kembali, agaknya dia tidak akan keberatan untuk menurunkan ilmu kepada anak yang cerdas ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata, “Aku berjanji...”

“Nama Subo siapa, harap sebutkan agar aku tidak lupa.”

Ceng Ceng tersenyum dan memandang kagum. Anak ini kelak akan menjadi seorang yang hebat, pikirnya. “Aku Lu Ceng, berjanji bahwa kelak, kalau Kim Hwee Li telah tamat mempelajari ilmu silat dari ayahnya, aku akan mengajarkan ilmu tentang racun kepadanya sebagai muridku yang baik.”

Hwee Li tertawa girang. “Subo, mari sekarang kita pergi ke tempat yang dijadikan benteng ayahku dan para anak buah Pulau Neraka. Aku tanggung tidak akan ada yang berani mengganggumu setelah mereka tahu bahwa engkau adalah guruku.”

“Tidak, Hwee Li. Aku harus pergi dulu, kelak kita akan bertemu kembali.”

Anak itu menghela napas. “Akan tetapi ingatlah Subo. Kalau aku sudah tamat belajar dari Ayah dan Subo tidak datang mencariku, aku yang akan pergi mencarimu.”

Ceng Ceng tersenyum, memegang dagu yang manis itu. “Engkau muridku yang baik, tentu kelak kita akan saling berjumpa. Percayalah. Nah, selamat tinggal, Hwee Li!” Ceng Ceng lalu cepat meloncat jauh dan berlari pergi dari situ, menuju ke selatan. Dia harus cepat pergi karena kalau sampai ayah anak itu datang kembali, belum tentu dia akan dapat menghindarkan diri dengan mudah dari kekuasaan kakek yang sakti itu.

Biar pun dia melakukan perjalanan cepat, namun Ceng Ceng selalu bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dia makin mendekati daerah berbahaya, yaitu Lembah Bunga Hitam. Jalan mulai mendaki dan tidak tampak lagi ada dusun. Keadaan amat sunyi melengang, sunyi yang menegangkan karena di dalam kesunyian ini seolah-olah maut mengintai di mana-mana, di balik batu, di atas pohon, di dalam jurang.

Dan memang maut mengintai di mana-mana berupa binatang berbisa, racun-racun yang tersebar dan tercecer di mana-mana, jebakan-jebakan yang berisi ular, paku-paku berkarat dan beracun yang dipasang orang di mana-mana di tempat yang tidak tersangka-sangka. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng dapat terhindar dari semua itu dan akhirnya tibalah dia di luar pintu gerbang sebuah dusun yang kelihatan amat sunyi melengang, di mana pohon-pohonnya banyak yang rontok dan mengering, rumah-rumah tembok kokoh kuat tanpa penghuni. 

Dia memasuki pintu gerbang itu dan jantungnya berdebar tegang. Memang sangat menyeramkan keadaan di dusun itu. Inilah agaknya Lembah Bunga Hitam, karena mulai tampak olehnya rumpun tanaman yang bunganya hitam kecil-kecil dan mengeluarkan bau yang jelas mengandung racun yang amat berbahaya! Dengan hati-hati Ceng Ceng berjalan terus dan tiba-tiba dia meloncat, menyelinap di balik semak-semak karena dia melihat ada beberapa orang di depan.

Dari tempat persembunyiannya dia mengintai dan betapa herannya melihat sebuah kerangkeng yang berisi seorang laki-laki yang kepalanya tersembul di luar kerangkeng, kaki tangannya terbelenggu dan laki-laki itu mukanya merah sekali. Kerangkeng itu bentuknya seperti kerangkeng yang biasa dipakai untuk mengangkut seorang tawanan. Ada empat orang yang menjaga di dekat kerangkeng, seorang lagi berdiri agak jauh, mungkin orang kelima ini menjaga kalau-kalau ada musuh yang muncul dari arah selatan.

Ceng Ceng merasa tertarik sekali, lalu dia menyelinap di balik pohon dan semak-semak, mendekati. Tak jauh dari tempat itu dia melihat sebuah sumur tua, dan tiba-tiba sekali, hampir tidak tampak olehnya kalau saja dia tidak sedang memperhatikan sumur itu, dia melihat bayangan berkelebat cepat sekali memasuki sumur itu! Timbul keheranan dan kecurigaannya.

Mungkin dia salah lihat, pikirnya, akan tetapi sumur itu merupakan tempat yang tepat untuk mengintai dan bersembunyi, dan tidak ada jeleknya untuk memeriksa apakah benar bayangan tadi memasuki sumur. Dia menyelinap makin dekat dan akhirnya dia meloncat ke dalam sumur tua, berpegang pada bibir sumur yang terbuat dari batu-batu besar. Mudah saja baginya untuk bersembunyi di situ, karena dari jauh tadi pun sudah tampak betapa dinding sumur besar itu terbuat dari tumpukan batu-batu yang tidak rata.

Ketika dia menjenguk ke bawah, tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri karena kembali dia melihat bayangan orang berkelebat, sekarang di dasar sumur itu dan lenyap. Benarkah ada orangnya di bawah sana yang gelap dan hitam itu? Ataukah dia sudah salah lihat? Agaknya tidak mungkin ada orang di dalam sumur ini, pikirnya dan perhatiannya segera ditujukan lagi ke luar sumur, ke arah kerangkeng di mana seorang laki-laki terbelenggu itu. Kini nampak jelas wajah laki-laki yang tertawan itu. Wajah yang gagah bukan main dan masih muda, tapi kulit muka itu merah seperti terbakar dan matanya menyorotkan sesuatu yang amat aneh.

Tiba-tiba Ceng Ceng merasa jantungnya berdebar tegang. Pemuda tampan itu seperti pernah dijumpainya! Tampan dan gagah! Tidak salah, pernah dia berjumpa dengan pemuda yang berada di dalam kerangkeng itu. Kalau tak salah..., ya, di dalam pasar kuda! Ketika dia menjual-belikan kuda, bersama Panglima Souw Kwee It, di dalam pasar itu terdapat dua orang pemuda yang menarik perhatiannya. Dua orang pemuda tampan. Tentu seorang di antara mereka itulah yang kini berada di dalam kerangkeng ini. Teringat akan sikap dua orang pemuda itu, yang memandang kagum kepadanya ketika di pasar dahulu, timbul keinginan hati Ceng Ceng untuk menolong pemuda di dalam kerangkeng ini.

Empat orang penjaga yang dekat dengan kereta itu bertubuh biasa saja, akan tetapi sinar mata mereka seram, membayangkan kekejaman hebat. Juga sikap mereka aneh, yang seorang malah tidak bersepatu, dan kadang-kadang mereka itu sama sekali tidak bergerak seperti arca. Tiga orang duduk di atas tanah, seorang berdiri dan seorang lagi berdiri jauh dari kerangkeng. Kalau aku serang mereka dan terjadi pertempuran, tentu kawan-kawan mereka akan berdatangan dan kalau banyak orang datang mengeroyok, akan gagallah usahaku menolong. Lebih baik dengan mendadak kubebaskan dia, agar dapat melarikan diri, pikir Ceng Ceng.

Ceng Ceng lalu bergerak naik dan meloncat keluar dari dalam sumur dengan hati-hati sekali, lalu dia mengeluarkan ginkang-nya berloncatan ke arah kerangkeng itu. Dia terkejut karena melihat betapa lima orang penjaga itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah mereka itu benar-benar telah berubah menjadi arca betul! Akan tetapi dia tidak mau peduli lagi, cepat menghampiri kerangkeng.

“Ehh... ohh... mau apa kau...?” Pemuda yang berada di dalam kerangkeng melihat Ceng Ceng menghampirinya.

Mendongkol juga hati Ceng Ceng mendengar pertanyaan ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dingin. “Hanya ingin membebaskan kau dari dalam kerangkeng ini, tentu saja kalau kau mau.”
“Tidak...! Tidak...! Jangan lakukan itu, lekas kau lari dari sini kalau kau sayang jiwamu!”

Ceng Ceng menjadi makin dongkol lagi. Wataknya memang keras dan suka melawan, makin dikerasi dia makin berani dan nekat.

“Manusia tak mengenal budi! Aku nekat hendak menolong kau malah menolak. Aku tetap hendak menolongmu, hendak kulihat kau mau bisa menolak atau tidak!” Dia sudah menggerakkan tangan hendak membongkar kerangkeng itu, tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras dan lima orang penjaga itu sudah datang berlari-lari lalu menyerangnya kalang kabut!

“Nona, siapa pun adanya engkau, lekas larilah!” Kembali pemuda di dalam kerangkeng berteriak keras.

Akan tetapi, andai kata tadinya Ceng Ceng berniat untuk lari, mendengar kata-kata ini saja sudah cukup baginya untuk merubah niatnya itu. Dia menghunus pedang Ban-tok-kiam, memutar pedang itu dan menangkis serangan lima orang yang menggunakan senjata golok dan pedang. Terdengar suara nyaring dan lima orang itu meloncat ke belakang, seorang di antara mereka terus roboh terkena hawa beracun dari Ban-tok-kiam.

“Pedang hebat...!” Empat orang yang lain memuji karena sebagai anggota Lembah Bunga Hitam tentu saja mereka mengenal senjata beracun yang amat berbahaya itu.
“Baik, kalau kalian sudah mengenal pedangku agar tidak mati penasaran. Majulah!” Ceng Ceng memegang sambil mengerling ke arah pemuda dalam kerangkeng dengan senyum mengejek dan menantang. Kerling dan senyumnya seperti berkata, “Aku tetap hendak melawan, kau mau apa?!”

Akan tetapi mendadak Ceng Ceng melongo karena dia melihat empat orang lawannya itu sama sekali tidak bergerak lagi, seperti tadi, seolah-olah berubah menjadi patung! Melihat ini, dia tidak membuang waktu lagi, cepat dia menghampiri kerangkeng untuk membebaskan pemuda itu.

“Jangan, Nona. Lekaslah kau pergi. Mereka itu terkena hawa beracun yang membuat mereka sebentar sadar sebentar tidak seperti itu. Lekas pergi, kalau sampai ketahuan ketua lembah, lari pun akan terlambat bagimu!”

Ceng Ceng memandang dengan cemberut. “Kau ini cerewet benar, sih! Kau tidak ingin keluar dari kerangkeng, akan tetapi aku justeru ingin membebaskanmu!”

“Jangan... jangan... aku... aku keracunan... pergilah saja, Nona!” pemuda itu kembali berkata, wajahnya makin merah dan matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
“Uh, cerewet! Tranggg...!” Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi menggunakan pedangnya membacok pinggiran kerangkeng, akan tetapi kerangkeng itu tiba-tiba miring dan pedangnya bertemu dengan bagian yang dilapis baja.

Pemuda di dalam kerangkeng itu ternyata tadi telah menggerakkan dirinya sehingga kerangkeng itu miring dan selain pinggiran baja, juga dia telah menangkis pedang itu dengan belenggu!

“Manusia tak mengenal budi! Kau bersikap hendak mempertahankan diri supaya tidak bisa bebas, ya? Dan aku pun berkeras hendak menghancurkan kerangkeng ini!” Dia mendesak lagi.
“Trang-trang-trakk...!”

Ceng Ceng kaget. Pedangnya menembus bagian kayu dari kerangkeng itu, akan tetapi selalu bertemu dengan belenggu baja. Pemuda ini ternyata berkepandaian tinggi, kalau tidak, mana mungkin dalam keadaan terbelenggu, di dalam kerangkeng pula, dapat menangkis pedangnya? Pula, pedangnya adalah pedang Ban-tok-kiam, bagaimana pemuda itu mampu menangkis begitu saja dan setiap tangkisannya membuat lengan kanannya tergetar hebat? Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahannya!

Tiba-tiba empat orang itu bergerak lagi dan berseru keras menerjang. Akan tetapi, tiba-tiba secara beruntun mereka roboh terjengkang kemudian tidak bergerak lagi, entah mengapa.

“Nona, lekas pergi... ketua lembah datang...!” Pemuda di dalam kerangkeng itu berseru.

Ceng Ceng memandang dan melihat gerombolan orang yang jumlahnya paling sedikit ada dua puluh orang berlari-lari datang. Dia tidak takut, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan menang menghadapi begitu banyak orang. Yang membuat dia mendongkol adalah bahwa kekalahannya itu membuat dia tidak akan berhasil membebaskan Si Pemuda!

Memang terjadi perubahan aneh di dalam watak Ceng Ceng setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li dan setelah kini tubuhnya mengandung racun! Perubahan yang membuat dia keras hati, keras kepala, dan aneh tidak lumrah. Dia bukan takut kalau dia kalah dan terluka atau tewas, namun khawatir kalau-kalau tidak berhasil membebaskan pemuda itu yang makin diinginkannya begitu pemuda itu menolaknya.

“Kau pergi bersamaku!” katanya dan dia lalu mendorong kerangkeng yang beroda itu secepatnya pergi dari tempat itu!
“Wah-wah-wah... mana bisa melarikan diri kalau mendorong kereta? Kau bocah bandel, keras kepala! Lepaskan kerangkeng, dan larilah!” pemuda itu meronta-ronta sehingga terasa berat sekali kerangkeng itu. Namun, makin dimarahi, makin marah pulalah hati Ceng Ceng dan dia makin nekat mendorong kereta itu keluar dari dusun itu.

Ceng Ceng mendengar pemuda itu mengomel akan tetapi tidak meronta-ronta lagi. Dia pun merasa heran mengapa dua puluh lebih orang tadi tidak juga dapat menyusulnya padahal larinya dengan cara mendorong kerangkeng itu tidak dapat dikatakan cepat? Huh, kalau begitu Ketua Lembah Bunga Hitam hanya mempunyai nama kosong belaka, pikirnya. Tetapi dia mempercepat larinya, lalu membelokkan kerangkeng, memasuki daerah di mana pegunungan itu mempunyai banyak batu-batu besar dan banyak goa-goa. Akhirnya dia mendorong kerangkeng memasuki sebuah di antara goa-goa itu.

“Hemmm, hendak kulihat siapa di antara kita yang menang. Aku yang akan membuka kerangkeng atau engkau yang hendak tetap mempertahankan diri di dalam kerangkeng seperti binatang!” kata Ceng Ceng dan mulailah dia menggunakan pedangnya untuk membacok-bacok kerangkeng.

Pemuda itu kini mukanya makin merah, matanya melotot ketakutan, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata lagi, hanya sering kali dia mendengus dan mengeluh seolah-olah menderita sakit hebat. Ceng Ceng pun tahu bahwa pemuda ini keracunan, dan justeru karena itulah dia ingin membebaskannya, agar dia dapat memeriksanya dan memberinya obat. 

Sambil mendengus dan berusaha mengelakkan kerangkengnya dari sabetan pedang, pemuda itu memandang Ceng Ceng dengan mata berapi penuh kemarahan, kadang-kadang menggerakkan belenggunya untuk menangkis. Bahkan satu kali pemuda itu dapat menggerakkan kerangkengnya secara keras sekali sehingga tubuh Ceng Ceng terdorong dan roboh telentang! Tentu saja dara itu menjadi makin marah, menyimpan pedangnya, lalu menubruk kerangkeng yang sudah patah-patah itu dan akhirnya dia berhasil merenggut dan kerangkeng itu cerai-berai. Pemuda itu terguling ke luar dan bebas dari kerangkeng, akan tetapi dengan kaki tangan terbelenggu yang disambung rantai panjang.

“Oughhhh...!” Pemuda itu mendengus keras, tubuhnya mencelat dan dengan gerakan luar biasa sekali dia telah meloncat bangun.

Ceng Ceng memandang bengong dan penuh takjub dan kagum. Pemuda itu memiliki tubuh seperti seekor singa jantan yang amat kokoh kuat dan tegap, tinggi besar dan pakaiannya yang compang-camping itu memperlihatkan sebagian kulit tubuh yang putih dengan otot-otot yang kekar. Seorang jantan sejati yang memiliki tubuh amat kuat dan mengagumkan. Belum pernah selama hidupnya Ceng Ceng melihat seorang pria seperti ini, maka dia terlongong kagum.

Dan sekarang jelas baginya bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang di antara dua orang pemuda yang pernah dijumpainya di pasar kuda. Bukan, pemuda ini jauh lebih tua dari mereka. Pemuda ini tentu sudah lewat dua puluh tahun uslanya, dan pada wajahnya nampak garis-garis tanda bahwa semasa mudanya pemuda ini mengalami banyak kesukaran hidup. Wajah yang tampan dan gagah namun tertutup oleh warna merah mengerikan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan kini memandang kepada Ceng Ceng dengan aneh.

“Oughhhh...!” Kembali dia mengeluh.

Tubuhnya gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah dalam dirinya.

Ceng Ceng yang sudah meloncat bangun dan memandang penuh perhatian itu, lalu memandang penuh selidik dan biar pun dia belum memeriksa langsung, memandang keadaan pemuda itu dia sudah dapat menduga dan berseru, “Kau keracunan, racun yang membuat darahmu menjadi panas dan... ehh... haili...!” Ceng Ceng berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menubruknya!

“Gila kau...!” Ceng Ceng membentak sambil mengelak ke kiri.

Akan tetapi begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah dapat membalik dan menubruk lagi dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng Ceng kembali mengelak, akan tetapi dia kalah cepat maka dia membarengi dengan tangkisannya pada kedua lengan tangan yang hendak menangkapnya itu.

“Dukkk... ihhhh...!”

Ceng Ceng terhuyung dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sinkang-nya ketika menangkis tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain memiliki gerakan cepat, juga memilik tenaga yang amat kuat!

“Keparat!” Dia memaki, marah sekali.

Orang yang telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun, cepat sekali kedua tangannya menyambar ke arah pelipis dan menurun ke lambung dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang mengandung racun.

“Ouhhhh...!” Kembali laki-laki itu mengeluarkan suara keluhan dalam.

Akan tetapi dengan sigapnya, biar pun kaki tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan menangkis semua pukulan serangan Ceng Ceng. Dara itu makin terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini hebat bukan main, biar pun dibelenggu kaki tangannya namun agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo! Ketika dia menerjang lagi dan kedua tangannya memukul dada dan perut, pemuda itu tidak mengelak sama sekali.

“Dukkk! Desss!”

Dada dan perut pemuda itu terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa sinkang kuat yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya seperti lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki pemuda itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh terguling!

“Keparat, kau sudah bosan hidup!” bentaknya sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam di tangan dia menyerang lagi.

Akan tetapi sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah mendahuluinya, dengan gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai belenggu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap bentuk rantainya dan berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat didahului oleh angin pukulan yang amat kuat ke arah kepala Ceng Ceng.

Tentu saja Ceng Ceng menjadi terkejut sekali melihat serangan maut yang amat dahsyat ini. Secepatnya dia mengelak ke samping, tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang memegang pedang menjadi lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai goa karena entah bagaimana caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan pemuda itu.

“Aihhhhh...!” Ceng Ceng menjerit.

Akan tetapi kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia tidak mampu melawan lagi, tubuhnya sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan gemetar saking tegangnya ketika dia merasa betapa hidung dan bibir yang amat panas itu, yang mendengus-denguskan napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya. Lehernya, pipinya, telinganya, matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi oleh pemuda itu! Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng.

Selama hidupnya, belum pernah dia dicium pria, apa lagi dicium bibirnya seperti itu, ciuman penuh nafsu yang seolah-olah membetot semangat dari tubuhnya! Dalam keadaan setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas itu mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh.

Dia memaksa diri memicingkan mata dan melihat betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan seperti orang menangis! Pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri, menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh duka, lalu sekali meloncat dia lenyap berberkelebat ke luar goa!

Ceng Ceng mengeluarkan keluhan panjang dan air matanya bergerak menuruni kedua pipinya. Hatinya lega bukan main. Nyaris dia mengalami hal yang amat mengerikan dan yang hanya dapat dia bayangkan di dalam mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal itu, dan kegelapan hatinya untuk sementara menghapus bayangan pengalaman tadi ketika dia diciumi oleh pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia masih tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya sudah tidak ada lagi.

Baru saja dia terbebas dari bahaya yang leblh mengerikan dari pada kematian, akan tetapi bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak? Bagaimana kalau orang-orang lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya?

“Uhuuuhhh...” Ceng Ceng terisak penuh rasa takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia dipeluk dan diciumi dia merasa ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar untuk membayangkan dia diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat dari pada tadi!
“Keparat kau... keparat kau...!” Dia memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu. Dia telah menolong pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik memperlakukannya seperti itu? Dan kini meninggalkannya dalam keadaan tertotok dan sama sekali tidak berdaya?
“Hekkk...!” Napas Ceng Ceng terhenti dan matanya memandang terbelalak ke luar goa.

Tampak bayangan orang di luar goa, bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat! Bayangan orang lembah? Makin dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng Ceng. Dia berusaha mengerahkan sinkang-nya untuk membebaskan diri dari totokan, namun sia-sia belaka. Dia tidak berani bersuara, bahkan napas pun ditahannya agar jangan mengeluarkan bunyi.

Akhirnya bayangan itu muncul di depan goa dan ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya awut-awutan, mukanya merah dan matanya kembali mengeluarkan sinar aneh yang berapi-api. Dengan langkah satu-satu pemuda itu menghampiri Ceng Ceng, langkah yang seolah-olah terjadi di luar kehendaknya.

“Jangan... ahhh, jangan...” Ceng Ceng merintih perlahan sambil memandang dengan muka penuh ketakutan.

Pemuda itu kelihatan bingung, lalu menjadi makin beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada Ceng Ceng karena jantungnya berdebar sangat keras penuh ketegangan. Pemuda itu menggerakkan tangannya sehingga rantai belenggu berdencingan, lalu jari-jari tangannya mengelus pipi Ceng Ceng.

Dara ini mengeluh dan memejamkan matanya lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia membuka mata lalu memaki, “Keparat laknat! Apa yang akan kau lakukan? Tidak malukah engkau? Aku tadi telah berusaha menolongmu dan kau membalasnya dengan penghinaan seperti ini? Manusia macam apa engkau? Laki-laki macam apakah engkau ini?”

Kemarahan mengusir semua rasa takut dan ngeri. Kini Ceng Ceng memandang dengan mata bersinar-sinar. Pemuda itu seperti terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba tangannya bergerak menampar kepalanya sendiri, kemudian membalikkan tubuh dan terhuyung pergi ke pintu goa. Hati Ceng Ceng menjadi lega.

Tiba-tiba wajah Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di pintu goa, pemuda itu berhenti, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh gairah birahi, mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya dan lalu... meloncat seperti seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng! Ceng Ceng menjerit akan tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari tangan pemuda itu bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa lagi.....

Apa bedanya manusia dengan binatang kalau kesadarannya lenyap? Kesadaran lenyap berarti menghilangkan pengertian, dan yang tertinggal hanyalah kekerasan berdasarkan dorongan kebutuhan jasmaniah belaka, seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah naluri kebutuhan badan.

Demikian pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tidak mungkin mampu dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biar pun dia sudah berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu dikuasai oleh nafsu birahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun yang memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan lagi oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu.

Beberapa lama kemudian, tampak pemuda itu melangkah keluar dari goa, berkali-kali menampar kepalanya sendiri, dengan wajah muram namun tidak liar lagi, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata berulang-ulang, “Terkutuk...! Terkutuk...!”

Jauh lebih lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh dan siuman. Ternyata dara itu sudah dibebaskan dari totokan. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak wajar. Ceng Ceng teringat akan semua pengalamannya sebelum dirinya pingsan. Ingatan ini amat mengejutkan hatinya, apa lagi setelah dia melihat betapa pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di pahanya, tiba-tiba dia menjerit dan roboh pingsan lagi!

Perlahan-lahan dara yang tertimpa mala petaka itu siuman, lalu merintih dan menangis dengan sedih sekali. Dia mencengkerami tanah dan batu, memukul-mukul tanah dan menangis makin sedih. Makin dikenang, makin dibayangkan, semakin sakit rasa hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa dia telah diperkosa oleh pemuda itu.

Tiba-tiba dia meloncat berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang terbuka. Kedua tangannya dikepal, lalu disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di lantai goa. “Jahanam...! Keparat busuk...! Manusia laknat...! Iblis keji, aku bersumpah akan membunuhmu! Aku pasti akan menyiksamu, akan kusayat-sayat tubuhmu, kuhancurkan kepalamu, kuremukkan semua tulang di tubuhmu!” Dia memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian sambil menangis dia membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari goa dengan pedang terhunus di tangannya.

Timbul kebenciannya yang hebat kepada pemuda itu, kepada laki-laki pada khususnya, kepada manusia pada umumnya. Tanpa dia sadari, saat itu terjadilah perubahan hebat pada dirinya. Di lubuk hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat, yang meracuni seluruh darahnya, yang mengakibatkan watak yang kejam di dalam dirinya. Peristiwa hebat yang mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah hebat perubahan yang memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang racun yang sifatnya kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li.

Dengan semangat berapi-api untuk mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda itu, Ceng Ceng kembali memasuki dusun yang menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh sudah tampak olehnya serombongan orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang itu menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis dengan pedang di tangan berlari cepat mendatangi dan langsung menyerang mereka dengan ganas!

Dengan kemarahan dan kebencian meluap di dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua orang, lalu menghadapi pengeroyokan tujuh orang anggota lembah. Pedang Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang membuat jeri para pengeroyoknya.

Seorang di antara mereka lalu bersiul-siul dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah putih yang beracun! Melihat ini, Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat mengeluarkan bubuk hijau dan menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat. Disebarnya bubuk hijau itu di sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena serbuk hijau ini sebagian jatuh dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh anggota lembah yang bersiul-siul!

Sebaliknya, Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah. Sambil menyerbu ke depan dan menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian dengan gerakan pedangnya yang diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia berhasil membuat serbuk merah yang kini berubah menjadi semacam uap merah dan langsung menyambar ke arah para pengeroyoknya!

Orang-orang lembah yang kesemuanya adalah ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap merah ini. Mereka hanya menjauhkan diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah lain agar tidak terkena serbuk merah. Namun mereka mencium bau tajam dan celaka bagi mereka yang terdekat, karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah justru pada baunya.

Begitu mencium bau keras ini, dua orang lantas menjadi pening dan terhuyung-huyung, kemudian berseru, “Celaka!” lalu meninggalkan gelanggang pertempuran.

Sementara itu, Ceng Ceng sudah kembali menerjang. Pedangnya berhasil merobohkan seorang lagi karena hawa beracun yang keluar dari pedang itu, sedangkan ludahnya merobohkan dua orang lain!

“Mampuslah kalian, keparat! Mampuslah!” Berkali-kali mulutnya berkata demikian sebab dia membayangkan para pengeroyok itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau setidaknya mereka itu dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya. Oleh karena itu, sepak terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor harimau kelaparan.

Tetapi berbondong-bondong datanglah orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan lembah itu untuk melakukan perang melawan orang-orang Pulau Neraka. Oleh karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang di antara orang-orang Pulau Neraka, mereka lalu menyerbu dan mengeroyok.

Ceng Ceng tidak peduli dan sama sekali tak gentar menghadapi pengeroyokan banyak orang ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan menyebar racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan juga menyerang dengan ludahnya. Banyak di antara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan akhirnya terdengar bentakan keras, “Mundur semua!”

Ceng Ceng kini berhadapan dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan. Kakek ini usianya tentu telah berusia enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya hanya kelihatan tengkorak terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam. Matanya hampir hitam seluruhnya karena bagian putihnya juga berwarna gelap, kemerahan mengarah warna hitam sehingga kalau dia memandang orang, amatlah mengerikan.

“Nona, siapakah kau? Apakah kau seorang Pulau Neraka?”
“Banyak cerewet! Engkau tentunya Ketua Lembah Bunga Hitam, bukan? Nah, majulah!” bentak Ceng Ceng yang sudah menerjang maju dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek itu bertangan kosong, dan seketika dia menggerakkan kedua tangannya.
“Cringgg...!” terdengar suara, dan tangan kanan Ceng Ceng tergetar.

Kiranya kakek itu sudah menggunakan kuku jari tangannya menyentil dan sentilan ini saja sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir terlepas dari pegangan! Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini hebat sekali, tenaga sinkang-nya juga jauh lebih tinggi dan kuat dari pada tenaganya sendiri. Namun tidak ada sedikit pun rasa gentar di dalam hati dara yang sudah terbakar hangus oleh rasa dendam yang amat hebat itu. Baginya mati bukanlah apa-apa lagi dan yang terasa hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala makin besar dan membakar semua perasaan ini.

Dengan kenekatan yang luar biasa dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan pedangnya. Ketua Lembah Bunga Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan tangan kosong saja, akan tetapi biar pun demikian, segera dia membuat dara itu kalang-kabut karena memang kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi.

Ceng Ceng kembali mengalami pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka, dan merasa dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali. Biar pun dia juga membantu pedangnya dengan pukulan beracun tangan kirinya, dan bahkan menggunakan rambutnya serta ludahnya yang beracun, akan tetapi tetap saja dia dipermainkan dan didesak hebat.

“Ha-ha-ha, bocah lancang, ilmu kepandaianmu lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat. Lekas kau berlutut dan menjadi muridku, dan aku akan mengampunkan kesalahanmu...”

“Mampuslah!” Ceng Ceng membentak dan menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.
“Pedang baik...!” kakek itu mengelak. “Tapi kau keras kepala!”

Pada saat pedang meluncur lewat, kakek itu menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan berputar, sama sekali tidak diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini terkena tendangan. Dia terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi sebelum kakek itu menyusul dengan serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi Ceng Ceng, mendadak terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua yang pernah dipakai oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda yang telah memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!

“Thio Sek, apakah kau sudah melupakan Istana Gurun Pasir...?”

Ceng Ceng mendapat kesempatan untuk meloncat berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara itu, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih dan berdiri bengong seperti orang melihat setan di tengah hari.

“Thio Sek, majikan kita menanti engkau datang menyerahkan kitab dan nyawa!” kembali suara aneh dan halus itu terdengar dari dalam sumur.

Ketua lembah memandang ke arah sumur, mukanya amat pucat hingga dia makin mirip dengan mayat hidup, kemudian terdengar keluhan aneh dari dalam kerongkongannya dan dia membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari secepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang melihat keadaan ketua mereka ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit dengan ketakutan.

Ceng Ceng masih berdiri dengan pedang Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya jadi lega karena baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut, ditolong oleh suara dari sumur itu. Teringatlah saat dia pernah melihat bayangan samar-samar di dasar sumur. Timbullah rasa ingin tahunya. Tentu ada seorang aneh di dalam sumur itu. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan bayangannya pun tidak ada. Tentu orang itu sudah pergi, pikirnya. Betapa lihainya orang itu.

Suara sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat membalik dan melihat tujuh orang laki-laki memasuki pintu gerbang dusun itu sambil bersorak. Orang-orang ini semua memegang senjata di tangan kanan dan seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap mereka buas dan seperti orang-orang yang gila. Apa lagi ketika mereka melihat Ceng Ceng, mereka segera menyerbu dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng seperti dibakar, karena mereka mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!

“Ha-ha, nona manis kesepian sendiri!”
“Engkau tentu sudah lama rindu kepada laki-laki!”
“Kami datang untuk menghiburmu, Nona!”
“Kalau kami bertujuh masih terlampau sedikit, teman-teman kami di belakang masih banyak!”

Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja kebenciannya terhadap pria makin meledak. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu. Tangan kirinya telah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, mereka menyambut dan mengurung sambil tertawa.

“Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha-ha!” Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara.

Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas di mata mereka sehingga air mata mengalir ke luar dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar Ban-tok-kiam!

Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak! Seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Ada pun dua orang temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka.

Ular di tangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu akan roboh.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya sehingga dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan... berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari lengan yang tergigit membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan. Selagi dua orang itu masih bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang Ban-tok-kiam menyambar. Mereka berusaha menangkis, namun terlambat, apa lagi karena hawa beracun dari pedang itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua orang ini dengan leher hampir buntung!

Orang terakhir itu masih meniup tanduk menjangan berkali-kali. Dalam ngeri dan takutnya menyaksikan kehebatan dara itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meniup suling memanggil teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari tanduk yang ditiup itu segera terhenti dan dia pun roboh di bawah tusukan pedang Ceng Ceng yang menembus perutnya!

Barulah agak puas hati Ceng Ceng setelah berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru saja dia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir setelah dia membiarkan pedang itu ‘meminum darah’ agak lama di dalam tubuh orang itu, terdengar suara hiruk-pikuk. Dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang kakek perkasa dengan langkah lebar menghampiri tempat itu. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka, diikuti oleh belasan orang anak buahnya!

“Keparat! Bocah setan, lagi-lagi kau! Kau berani membunuh tujuh orang anak buahku? Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!” Kakek itu berseru marah bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak buahnya menggeletak di sekitar tempat itu.

Baru sekarang Ceng Ceng tahu bahwa tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak buah Lembah Bunga Hitam, ternyata adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi musuh Lembah Bunga Hitam! Akan tetapi dia tidak takut. Tanpa menjawab dia sudah menerjang ke depan, disambut oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala tipis yang digulung dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin menangkap gadis itu, sebelum dibunuh dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat menyerahkan ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya.

Ceng Ceng yang menerjang ke depan hanya melihat bayangan hitam melebar seperti payung menerkamnya. Dia kaget dan memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara berdencingan dan pedangnya bertemu dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan bayangan itu terus menerkamnya, tidak terhalang oleh putaran pedangnya. Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah jala tipis yang lebar dan ke mana pun dia bergerak, dia tidak dapat membebaskan diri dari dalam jala itu!

Dia melihat kakek raksasa itu sambil tertawa memegang tali jala dari tempat yang jauhnya ada tiga empat meter. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat. Biar pun berada di dalam jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan menyerang dengan pedangnya dari balik jala. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membetot dan Ceng Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terguling roboh di dalam jala. Ia mengamuk, meronta, memutar pedangnya, tetapi sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua gerakannya terbatas dan hanya gerakan sia-sia belaka.

Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan belasan orang anak buahnya juga tertawa girang melihat gadis yang liar dan buas itu telah tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti ketika terdengar suara orang mengejek, “Aih, Lee-ko, orang-orang di sini sungguh tidak tahu malu, ya? Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, aturan mana yang dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu malu!”

Semua orang menengok dan Hek-tiauw Lo-mo amat terkejut melihat dua orang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat muncul di tempat itu tanpa diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka hal ini hanya membuktikan bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa! Akan tetapi, melihat bahwa mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat muda sekali, dia memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala di mana Ceng Ceng tertawan, dia membentak, “Eh, dari mana datangnya dua bocah lancang ini dan siapakah kalian?”

Ceng Ceng juga sudah berhenti meronta dan dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya terbelalak lebar. Kini dia mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua orang itu adalah dua orang pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar kuda! Dua orang pemuda yang tampan, yang seorang di antaranya ceriwis, pandang matanya nakal dan mulutnya selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang kedua pendiam dengan sinar mata yang tajam dan tenang.

Ceng Ceng sendiri memandang rendah. Kalian mencari mampus, pikirnya. Tentu dua orang pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau Neraka dan anak buahnya yang lihai. Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah mampus semua laki-laki di dunia ini, apa lagi dua orang pemuda tampan ini mengingatkan dia akan pemuda laknat yang dicarinya dan dibencinya. Mampuslah kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di dunia!

Ceng Ceng memandang dan kini mereka telah mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya bersikap tenang saja. Akan tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum dan bermata nakal, memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata, “Aih, kiranya Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan, kiranya Ketua Pulau Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang untuk mencegah perbuatanmu yang buruk!”

Mendengar ini Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada orang yang mengenal Ketua Pulau Neraka, apa lagi hanya dua orang pemuda remaja ini

“Kalian siapa, bocah lancang?” bentaknya.
“Kami adalah orang-orang yang akan menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah Sepasang Rajawali Putih!”

Mendengar julukan yang tak pernah didengar sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo sangat mendongkol. Tentu kedua bocah ini sengaja menggunakan julukan Rajawali Putih untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam).

“Keparat, bersiaplah untuk mampus!” bentaknya tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia sudah memberi isyarat kepada para anak buahnya.

Belasan orang itu segera maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap bertangan kosong. Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda itu lalu mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau Neraka menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini bergerak secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu ketahui bagaimana mereka dirobohkan karena cepatnya gerakan dua orang pemuda itu!

Ceng Ceng sendiri memandang kagum. Kini ia melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali jala dan maju sendiri menyerbu, setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang tadinya membelit pinggangnya yang besar. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika cambuk itu menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua orang pemuda itu. Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu dahsyat sekali. Namun dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti kilat menyambar.

Ceng Ceng meronta setelah melihat tali jala tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dari dalam jala dia menarik tali yang mengikat jala kemudian perlahan-lahan dia dapat membebaskan diri, Setelah bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu dan menyebar racun di antara para anak buah Pulau Neraka.

Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan betapa dua orang pemuda itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia menggunakan sinkang sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang lebih tua menyambut dorongan tangan itu dengan tangan kanannya.

“Dukkk!”

Hek-tiauw Lo-mo meloncat mundur, mukanya menjadi pucat. Ia mengenal ilmu sinkang Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang membuat dengan kirinya terasa dingin sekali.

“Pulau Es...!” Serunya dan kini matanya terbelalak lebar.

Dia ingat akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah ditawannya dan dua orang anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang dua ekor burung rajawali putih. “Kiranya kalian...”

Dua orang pemuda itu memang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda itu ikut datang, dia dan anak buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring lalu meloncat ke belakang, dan larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa anak buahnya.

Kian Lee dan Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu berpaling memandang Ceng Ceng yang masih berdiri dengan pedang di tangan.

“Syukur kau telah selamat, Nona,” kata Kian Bu yang lebih berani menghadapi seorang wanita dari pada kakaknya. “Dan selamat berjumpa untuk yang kedua kalinya. Kita saling bertemu untuk pertama kali di pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku adalah Suma Kian Bu dan ini adalah kakakku, Suma Kian Lee. Dan bolehkah kami mengetahui namamu?”

Tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke kiri.

“Crekkk!” dan roboh kembalilah anggota Pulau Neraka yang tadinya hendak bangkit duduk. Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena pedang Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus!

Melihat ini, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee terkejut sekali. Kian Lee mengerutkan alisnya, sedangkan Kian Bu memandang bengong. Dia kagum akan kecantikan dan kegagahan dara ini, akan tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang begini buas dan kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di pasar kuda?

Dahulu, dara ini berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan sinar matanya menari-nari, bibirnya selalu tersenyum. Namun sekarang, biar pun cantiknya masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya kecantikannya makin matang, tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin lincah, namun di balik wajah yang cantik jelita itu terbayang sifat yang dingin membeku, kebencian yang membayang dari pandang matanya, bibirnya ditarik seperti orang yang kesakitan dan menderita hebat, dan perbuatannya tadi amatlah kejam dan mengerikan. Membacok mati seorang bekas lawan yang sudah tidak berdaya seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berhati kejam dan penuh kebencian!

Segala macam kekacauan, kejahatan dan permusuhan di dunia ini bersumber kepada pikiran. Pikiran adalah si aku yang berkembang karena ingatan. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan menyusahkan ditumpuk di dalam ingatan dan menjadi pupuk bagi pikiran yang menciptakan si aku. Si aku yang ingin mengulang kembali kesenangan yang pernah dinikmatinya. Si aku yang ingin menghindari kesusahan yang pernah diderita. Maka muncullah rasa khawatir, rasa takut kalau-kalau akan mengalami lagi hal yang menyusahkan dan kalau-kalau tidak akan dapat mengalami hal yang menyenangkan.

Rasa takut ini mendorong kita untuk melakukan segala macam kekerasan di dalam kehidupan, bersumber kepada si aku yang pandai sekali mencari-cari akal sebagai alasan untuk melindungi diri sendiri, atau mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar. Kalau si aku dirugikan, lahir mau pun batin, maka aku akan menaruh benci dan dendam, dan menggunakan alasan bahwa yang merugikan aku itu adalah jahat dan perlu dibasmi! Jika si aku diuntungkan, lahir mau pun batin maka aku akan mencintanya dan membaikinya, dengan menggunakan alasan bahwa yang menguntungkan aku itu adalah baik dan perlu didekati.

Kita memuja dan menyembah-nyembah para dewa, para nabi, bahkan Tuhan, karena kita yakin bahwa mereka itu menguntungkan kita, setidaknya menguntungkan batiniah dan menimbulkan harapan, menjadi pegangan, jelasnya mendatangkan harapan keuntungan lahir batin bagi kita, maka kita memuja dan menyembahnya. Sebaliknya, kita membenci dan mengutuk setan dan iblis, karena kita yakin pula, sungguh pun keyakinan ini hanya merupakan jiplakan dari tradisi belaka, bahwa setan dan iblis atau hantu itu merugikan kita, lahir mau pun batin. Jelasnya, yang kita anggap baik, yaitu yang menguntungkan kita lahir mau pun batin, akan kita puja-puja.

Sebaliknya, yang kita anggap jahat, yaitu yang merugikan kita lahir atau batin, akan kita kutuk dan benci. Jelas, bahwa rasa suka atau benci kita bukan karena keadaan si benda di luar diri kita, melainkan karena diputuskan oleh pertimbangan kita sendiri, yaitu merugikan atau menguntungkan. Rasa suka atau benci melahirkan anggapan kita tentang baik dan jahat, yang menguntungkan kita adalah baik dan yang merugikan kita adalah jahat.

Kenyataan ini sudah berlangsung ribuan tahun di dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai alat yang ‘lumrah’ sehingga kita tidak lagi melihat kejanggalan atau kepalsuannya. Si aku ini bisa melebar dan membesar, menjadi si kami, menjadi harta benda-ku, keluarga-ku, partai-ku, suku bangsa-ku, bangsa-ku, negara-ku, Tuhan-ku, agama-ku dan selanjutnya. Dan selama si aku ini menguasai, pertentangan dan kekacauan sudah pasti timbul, karena pertentangan muncul di antara si aku dan si kamu.

Seorang manusia akan dianggap sebagai orang sejahat-jahatnya oleh pihak musuh akan tetapi manusia ini pula akan dianggap sebagai orang sebaik-baiknya oleh pihak kawan. Seseorang bisa dianggap sebagai ‘pahlawan’ oleh negaranya, akan tetapi orang ini pula akan dianggap sebagai ‘penjahat’ oleh negara lain yang bermusuhan. Jadi sebutan pahlawan atau penjahat itu bukan tergantung dari keadaan si orang itu sendiri, melainkan tergantung dari negara yang bersangkutan, dirugikan atau diuntungkankah negara itu.

Pertentangan di luar diri adalah pencerminan dari pertentangan yang terjadi di dalam diri sendiri. Di dalam diri sendiri terdapat kemarahan yang bertentangan dengan si aku yang ingin sabar, terdapat cemburu yang bertentangan dengan si aku yang ingin mencinta, terdapat keadaan apa adanya yang bertentangan dengan keadaan yang kukehendaki yang lain dari apa adanya. Keadaannya begini, aku ingin begitu. Si aku menjadi makin subur dipupuk oleh pikiran.

Si aku adalah pikiran itu sendiri. Dan pikiran adalah masa lalu, pikiran adalah kenangan atau ingatan masa lalu. Bebas dari masa lalu, bebas dari pikiran, berarti bebas dari si aku tukang mengacau kehidupan ini. Pikiran hanya baik kalau dipergunakan di dalam tugas yang tak dapat dihindarkan lagi, untuk bekerja, bicara, dan segala pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Namun sekali pikiran bercampur tangan memasuki perhubungan antara manusia, akan rusaklah keadaannya.

Ceng Ceng telah diracuni oleh pikirannya sendiri karena dia selalu teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya telah diperkosa, berarti telah dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka kenangan akan hal ini mendatangkan kebencian yang amat hebat dan kebencian ini meracuni dirinya, membuat dia membenci semua manusia, terutama kaum pria!

Tentu saja dia mengerti bahwa dia telah diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Andai kata dua orang yang menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan segan-segan untuk menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi karena dua orang penolongnya adalah pria, masih muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan pemuda yang memperkosanya, kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar dari pada rasa terima kasihnya. Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas dan membacok mati anggota Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang pemuda yang telah menyelamatkannya tadi!

“Heiii...! Eh, Nona...!” Kian Bu berteriak.

Tetapi Ceng Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini melarikan diri dengan cepat, seluruh perhatiannya sudah dipusatkan ke depan untuk mencari pemuda laknat yang telah memperkosanya!

“Heiiii...!” Kian Bu berteriak lagi.
“Sudahlah, Bu-te. Orang tidak mau melayanimu, mengapa kau memaksa?” Kian Lee berkata, kemudian dengan alis berkerut pemuda ini berkata, “Aku melihat dia itu seperti orang yang menanggung penderitaan hebat. Sungguh kasihan dia...”

“Ehhh...? Gadis sombong dan angkuh seperti itu, yang telah kita tolong dan selamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut akan tetapi sepatah kata pun tidak sudi melayani kita bicara, engkau malah menaruh kasihan kepadanya?”
“Bu-te, jangan tergesa-gesa menjatuhkan pendapat akan seseorang yang belum kita kenal keadaannya. Gadis itu patut dikasihani...”

Kian Bu menghela napas. “Kau memang aneh, Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang wajahnya seperti bulan purnama selalu berseri, yang matanya seperti bintang pagi bersinar-sinar, yang mulutnya selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi, engkau tidak pedulikan. Akan tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti... seperti...”

“Cukup, Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan kita,” Kian Lee berkata singkat lalu pergi dari situ. Kian Bu membelalakkan mata, menggoyang pundak lalu terpaksa mengikuti kakaknya.

********************
Bagaimana dua orang pemuda ini dapat berada di tempat itu sehingga secara kebetulan dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Seperti telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu berada di kota raja dan di dalam pesta yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah bertemu dengan kakak mereka, Puteri Milana.

Mereka diajak pulang oleh Puteri Milana dan setelah kakak beradik itu bercakap-cakap penuh kegembiraan dan keharuan, akhirnya beberapa hari kemudian Milana mengambil keputusan untuk mengirim dua orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao Liang di utara. Puteri ini maklum betapa pihak pemberontak telah menyusun kekuatan. Tidak ada orang lain yang lebih dapat dipercaya dari pada Kian Lee dan Kian Bu untuk membawa suratnya kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan satu-satunya orang yang terkuat dan menguasai bala tentara besar, juga amat setia kepada kepada Kaisar. 

Dia lalu menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak jenderal itu untuk bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan kekuatan pasukannya. Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan Kian Bu tiba di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan, mendengar dari para pengungsi akan mala petaka yang menimpa dusun mereka.

Sebagai dua orang putera Pendekar Super Sakti, walau pun mereka bukan ahli-ahli menggunakan racun, namun dengan dasar sinkang yang amat kuat dan bersih, kedua orang pemuda ini tentu tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik mendengar kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga Hitam, maka keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat menolong Ceng Ceng.

Setelah mereka berdua mendapat kenyataan bahwa satu di antara dua pihak yang bertanding itu adalah gerombolan penghuni Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw Lo-mo, keduanya tidak suka mencampuri lagi, apa lagi melihat betapa Ceng Ceng yang mereka tolong itu tidak mempedulikan mereka. Mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang ditolongnya itu, maka mereka kemudian meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk melanjutkan perjalanannya ke utara, ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di bentengnya.....
********************
Yang tidak mengenalnya dan tidak mengetahui keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis cantik yang pakaiannya kusut rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit jiwa. Akan tetapi yang tahu akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan merasa kasihan sekali. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah hidup itu kini tampak merah dan agak membengkak, muka yang biasanya berseri dengan kedua pipi kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar, kini menjadi pucat dan layu.

Bibir yang biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang siap melontarkan senyum manis, bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, sekarang kelihatan kering dan cemberut, kadang-kadang tergetar jika tangis melanda hatinya. Air matanya sudah mengering, sumbernya telah hampir kehabisan karena terlampau banyak dia menangis. Tiap kali dia teringat akan mala petaka yang menimpanya di dalam goa itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak sampai sukar untuk bernapas.

Tiga hari sudah dia meninggalkan Lembah Bunga Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus melakukan perjalanan ke selatan tanpa tujuan karena memang dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda laknat yang amat sangat dibencinya itu, pemuda yang telah memperkosanya. Sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yaitu mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu! Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai, karena sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan tidak tidur. Jalannya tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya.

Matahari telah naik tinggi dan panas terik menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam bayangan batu karang dan menyeka keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti merintih-rintih minta beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu!

“Nona, perlahan dulu...” Tiba-tiba terdengar suara halus ketika dia memaksa kedua kakinya melangkah maju lagi.

Suara itu sudah cukup untuk membuat darah Ceng Ceng seperti bergolak. Suara laki-laki! Dia menahan langkahnya, tangan kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang Ban-tok-kiam, bersiap-siap untuk membunuh orang! Langkah-langkah ringan dan halus menghampirinya dari belakang.

“Nona, hatiku ikut hancur menyaksikan keadaanmu...”

Ceng Ceng bergerak cepat, membalik dan tampak sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam telah dicabutnya. Ternyata yang berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh hormat, sinar matanya lembut dan dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh perasaan iba.

“Mampuslah kau, keparat!” Ceng Ceng menjerit, sementara pedang Ban-tok-kiam sudah menyambar ke arah leher kakek itu.
“Hemmmm, sabarlah, Nona!” kakek itu mengelak dengan gerakan halus, namun tepat sehingga pedang Ban-tok-kiam lewat di samping tubuhnya.

Ketika pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu dengan gerakan aneh yang sama sekali tidak dikenal Ceng Ceng, kakek ini telah memegang pergelangan tangan kanan Ceng Ceng sehingga dara ini merasakan lengan kanannya lumpuh dan untung pedangnya masih belum terlepas.

“Tenanglah, Nona. Aku tak berniat buruk. Aku hanya akan menuturkan tentang pemuda yang telah kau keluarkan dari kerangkeng itu.”
“Aihhh...!” Ceng Ceng yang kini sudah dilepas tangannya, cepat melompat mundur dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. “Kau mau bilang apa? Cepat katakan!” bentaknya.

Kakek itu menarik napas panjang. “Aku tidak menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguh pun sikap ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagimu, apa lagi bagi lain orang. Kita harus berani menghadapi kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang telah terjadi dan menimpa kita sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh dendam. Marilah kita duduk di bawah pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa adanya pemuda yang kau bebaskan dari kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Maukah Nona mendengarkan?”

Tentu saja Ceng Ceng ingin sekali mendengar. Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda itu jika tidak diketahuinya siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di tempat itu agak sejuk dan nyaman.

“Perkenalkan, Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun, dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi besar itu.”
“Kakek, aku tidak mau berkenalan dengan kau. Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu, lekas beritahukan kepadaku siapa dia dan di mana aku dapat mencarinya!”

Kakek itu mengangguk-angguk. “Baiklah, engkau tentu akan mengetahui siapa adanya pemuda itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah pelayan dari suhunya, dan agar jelas bagimu dan juga jelas mengapa dia melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau engkau mendengarkan semua penuturanku dengan sabar.” Kakek yang bernama Louw Ki Sun itu lalu bercerita.....

Di tengah gurun pasir yang amat luas di utara terdapat sebuah istana yang amat aneh letaknya dan tidak ada orang yang dapat mendatangi tempat ini karena merupakan rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di tengah gurun pasir terdapat sebuah istana yang megah? Istana ini di kalangan Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana Gurun Pasir, dan pada waktu itu tiada seorang pun bangsa Mongol yang berani mendekatinya karena istana itu dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh, dan juga amat sakti.

Penghuni Istana Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal di dunia ramai. Istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang telah ‘dipensiun’ karena dituduh berjinah dengan seorang pelayan pria. Dibangun di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air! Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun kenyataannya demikianlah!

Permaisuri yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu bersama para pelayannya sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu tinggal di situ sampai lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal hanyalah Si Dewa Bongkok, yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek yang tubuhnya besar dan pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang bernama Thio Sek dan Louw Ki Sun.

Suatu hari, Si Dewa Bongkok yang sedang berlatih di tengah gurun pasir menemukan seorang anak laki-laki yang berada dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu telah tersesat dan menderita hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir dan merupakan suatu hal ajaib kalau anak itu masih dapat bertahan setelah mukanya bengkak-bengkak, matanya melotot merah dan lidahnya terjulur ke luar, seluruh tubuhnya hitam dan kulitnya retak-retak! Si Dewa Bongkok cepat membawa anak itu ke istana dan berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat diobatinya sampai sembuh. Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu berbakat baik sekali, Si Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima murid itu lalu mengangkatnya sebagai muridnya, murid tunggal.

Seperti biasa, latihan-latihan yang diberikan oleh manusia sakti ini kepada muridnya amatlah beratnya. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah gurun pasir bagian yang paling panas dan di situ dia melatih sinkang kepada muridnya itu. Sampai tiga hari tiga malam dia melatih muridnya di tempat itu, tidak tahu bahwa terjadi geger di istananya.....

“Ketika majikanku sedang melatih muridnya itu, yang menjaga istana hanya aku dan Thio Sek,” Lauw Ki Sun lalu menyambung ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ceng Ceng. “Tiba-tiba datanglah seorang yang lihai dan yang berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka milik majikanku. Tentu saja aku melawannya. Tetapi celaka, kiranya orang yang memiliki kepandaian tinggi itu diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek. Tentu saja menghadapi mereka berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah mereka melarikan diri sambil membawa salah sebuah kitab pusaka tentang racun dalam pukulan, catatan dari majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut kalau-kalau majikanku keburu datang, dan membawa pergi kitab itu.” Kakek itu menarik napas panjang.

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang memperkosanya, maka hal-hal lain membuat dia hanya menjadi marah karena dia tidak peduli sama sekali. “Apa hubungannya dengan iblis laknat itu?” bentaknya.

“Sabarlah, Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan rekanku pelayan itu adalah...”
“Ketua Lembah Bunga Hitam. Aku sudah menduganya, tapi tentang pemuda itu...”
“Benar, Thio Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Dan sampai hari ini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan mereka...”
“Pemuda laknat itu...” Ceng Ceng memotong.

“Pemuda itu adalah Kok Cu, murid majikanku yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia terpengaruh hebat oleh penderitaan badai di lautan pasir, hanya teringat akan namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia tamat belajar, dia diperkenankan meninggalkan istana untuk mencari orang tuanya, sekalian ditugaskan untuk mencari kitab yang tercuri. Karena merasa bertanggung jawab akan kehilangan kitab itu, maka diam-diam aku pun membayanginya untuk membantu. Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini terjadi pertempuran dan ternyata yang bertempur adalah dua orang pencuri itu. Agaknya, menurut penyelidikanku, mereka telah bertengkar dan memperebutkan kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya mendapatkan masing-masing separuh dari kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan untuk merampas kitab yang separuh lagi. Biar pun Kok Cu telah memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku sendiri, namun dia kurang pengalaman sehingga dapat terjebak dan terkena racun-racun yang amat jahat. Biar pun dia telah memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai menewaskannya, akan tetapi... dia seperti mabok, dia tidak sadar dan... dan ketika terjadi peristiwa di goa itu, dia... dia sama sekali tidak mampu menguasai dirinya, Nona.”

“Keparat! Kau tahu akan semua itu dan kau diam saja!” Ceng Ceng sudah meloncat dan mencabut lagi Ban-tok-kiam.

Kakek itu pun meloncat dan cepat mengangkat tangannya, “Sabarlah, Nona. Ketika aku sampai di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam keadaan keracunan hebat. Aku berada di dasar sumur ketika engkau tiba, kemudian kau menolong dan melarikan kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah Bunga Hitam dan anak buahnya. Melihat ini, aku lalu muncul dan menyambut mereka, mencegah mereka melakukan pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira bahwa Nona tentu sudah berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa di dalam goa telah terjadi hal yang amat hebat itu...! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari dari dalam goa itu seperti orang gila saking menyesalnya...”

“Aku tidak peduli! Di mana dia sekarang? Aku akan membunuhnya, mencincang hancur tubuhnya!”
“Mana aku tahu, Nona? Dia telah melarikan diri seperti orang gila, bahkan ketika aku menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku atau tidak mau peduli, terus lari dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke kota raja karena dia lari ke selatan...!”
“Aku akan mengejarnya!” Ceng Ceng berteriak dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu dengan pedang tetap di tangan.

Louw Ki Sun menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian melangkah perlahan-lahan, kembali ke arah utara untuk melaporkan kepada majikannya karena untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, dia tidak mampu.....

********************
Kian Lee dan Kian Bu memasuki warung di dusun itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui sepanjang perjalanan mereka, benteng Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada di balik bukit yang melintang di depan, di sebelah utara dusun-dusun yang mereka tanyai tentang benteng itu. Betapa Jenderal Kao amat terkenal dan dihormati serta dipuji oleh para penduduk dusun. Begitu mendengar bahwa dua orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan Jenderal Kao, sikap mereka menjadi penuh hormat dan ramah tamah.

“Lee-ko, wajahmu kembali muram seperti matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?”
“Bu-te, harap jangan bergurau,” Kian Lee menegur adiknya.

Kian Bu menghela napas, namun pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya ini sehingga setiap perubahan pada wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena perhatiannya tak pernah lengah.

“Lee-ko, kali ini aku tidak bersendau-gurau. Telah beberapa hari aku melihat perubahan wajahmu, akan tetapi aku tak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan menambah kekeruhan pikiranmu. Tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu. Alismu selalu berkerut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan tidak lagi dapat menghadapi sendau-gurauku. Semua ini terjadi semenjak kita berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu.”

“Bu-te...!”
“Sekali lagi aku tidak bergurau kali ini, Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajahmu.”

Kian Lee menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, kemudian berkata lirih, “Memang benar, Adikku. Aku selalu memikirkan dia karena aku merasa menyesal dan kasihan sekali kepadanya.”

“Hemm, kita tidak mengenal dia, Lee-ko. Lagi pula, melihat bahwa dia hadir di tempat menyeramkan itu, melihat pula betapa dia membunuh orang tanpa berkedip mata, dia tentulah seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam, seorang wanita sesat yang berhati kejam...”

“Tidak, Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu? Masih terbayang olehku betapa wajahnya cerah dan sama sekali tidak membayangkan sinar kejam. Akan tetapi di lembah itu... ahhh, bagaikan bumi dengan langit bedanya. Inilah yang membuat aku menyesal dan kasihan, Adikku, karena aku dapat menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat hebat dengan dia!”

Hening sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya di atas meja. “Lee-ko, engkau telah jatuh cinta!”

Kian Lee merenggut lengannya dan memandang dengan mata terbelalak. “Jangan main gila kau!” bentaknya lirih.

Kian Bu menggeleng kepalanya perlahan dan tersenyum. “Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kau pikir saja sendiri. Engkau kenal pun belum dengan gadis itu, tahu namanya pun belum, akan tetapi engkau sudah menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau melamun dan kelihatan muram. Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apa lagi namanya ini kalau bukan jatuh cinta?”

“Jangan engkau main-main, Bu-te. Terus terang saja aku memang amat tertarik kepada dia, merasa kasihan sekali kepadanya, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa aku jatuh cinta karena aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta. Sudahlah, jangan kau menggodaku dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini.”

Kian Bu masih tidak mau terima dan hendak membantah, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik dan tampak di luar pintu warung itu para penduduk dusun hilir mudik dan nampak sibuk sekali. Berbondong-bondong penduduk datang memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun dan wajah mereka rata-rata gembira seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggembirakan.

Ketika pelayan warung datang menghidangkan bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya, “Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan mengapa semua orang keluar ke jalan raya?”

“Ada kabar gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru saja terdapat berita bahwa rombongan panglima akan lewat di dusun ini. Tentu saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk dusun-dusun sekitar sini, semua keluar dari rumah untuk menyambut panglima yang kami cinta dan hormati!”

Dua orang kakak beradik itu merasa heran mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada seorang panglima pasukan tentara. Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu perasaan saja terhadap pasukan tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang timbul karena takut. Akan tetapi cinta?

“Apakah panglima itu baik sekali terhadap penduduk, Twako?” Kian Lee turut bertanya karena dia pun merasa heran sekali.

“Baik? Aih, Kongcu, beliau adalah pelindung kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara ini. Kalau tidak ada beliau, entah apa jadinya dengan kami yang setiap hari selalu diganggu oleh suku bangsa liar dan bahkan oleh tentara sendiri yang bertugas di perbatasan, yaitu sebelum beliau berada di sini. Sekarang, kami hidup tenteram dan damai, semua berkat beliau yang bijaksana.”

“Mengangumkan sekali!” Kian Lee berseru.

“Pernah dulu, di waktu kami di dusun-dusun kehabisan makanan karena musim kering terlalu panjang, beliau membagi-bagikan ransum pasukan kepada rakyat sehingga biar pun pasukannya agak mengurangi makan, akan tetapi rakyat tertolong dari bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu panen yang berhasil baik, tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke benteng sehingga selalu terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang dipimpinnya. Memang, di dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan pembesar sebaik Jenderal Kao Liang itu.”

“Jenderal Kao...?” Kian Bu berseru amat kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang dibicarakan pelayan ini! Dan mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk menemui jenderal itu. “Jadi diakah yang akan disambut oleh rakyat ini?”

“Benar, kabarnya beliau hendak pergi ke kota raja dan lewat jalan ini.” Pelayan itu menghentikan kata-katanya dan berlari ke luar karena sudah terdengar suara riuh-rendah menandakan bahwa rombongan jenderal itu telah memasuki dusun!

“Ah, bagaimana ini, Lee-ko? Kita mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke kota raja!” Kian Bu berkata kepada kakaknya.

“Mari kita melihatnya, Bu-te, dan tentu saja kita harus memutar haluan pula, kembali ke kota raja karena kalau dia sudah pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu lagi. Dia tentu akan bertemu pula dengan Enci Milana,” kata Kian Lee tenang.

Keduanya lalu lari ke luar pula dari warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao yang dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang tepi jalan. Ketika kedua orang kakak beradik ini keluar dan berdiri di pinggir jalan bersama-sama para penduduk dusun yang semua memandang sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangan, ada yang memberi hormat, akan tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan penghormatan, dengan mudah mereka berdua menduga siapakah di antara rombongan itu yang bernama Jenderal Kao Liang.

Jenderal yang tinggi besar, bertubuh tegap kuat seperti seekor singa tua, duduk di atas kudanya dengan tegak. Jenderal ini diapit oleh dua orang pengawal pribadinya. Hanya dua orang pengawal pribadi itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan pengiring yang terdiri dari anak buahnya sendiri. Di belakangnya tampak seorang pembesar gendut, utusan Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal Kaisar sendiri yang berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris pasukan pengawal Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian seragam dan naik kuda yang besar-besar.

Tampak sekali perbedaan pada wajah jenderal yang dicinta rakyat itu dengan wajah para perwira pengawal Kaisar. Pembesar utusan Kaisar itu bersama enam pengawal perwira kelihatan berseri-seri wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang dilewati rombongan mereka. Dengan tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling penuh gaya kepada wanita-wanita muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat dada, mengurut kumis dan menegakkan kepala. Mereka bangga bukan main menyaksikan penyambutan itu, merasa diri mereka amat ‘penting’ dan menjadi pusat perhatian dan penyambutan rakyat.

“Lee-ko, lihat, dia begitu muram...” bisik Kian Bu.

Memang benar demikian. Berbeda dengan utusan Kaisar dan para perwira pengawal istana yang menyambut dan membawanya ke kota raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya, Jenderal Kao Liang kelihatan muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira. Wajahnya yang gagah dan angker itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia menghadapi hal yang amat tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak kelihatan gembira dan bersemangat seperti biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas di atas kudanya. Untuk sekedar menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua ditujukan kepadanya seorang, jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan kiri.

Memang Jenderal Kao sedang merasa berduka. Hatinya risau sekali. Dia sedang amat dibutuhkan di perbatasan untuk mengadakan pembersihan dari pengaruh pemberontak di dalam pasukan penjaga di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri secara langsung karena dia maklum akan bahayanya pengaruh itu.

Dia harus yakin benar bahwa tidak ada kaki tangan pemberontak Kim Bouw Sin yang menyelundup, dan dia masih pula sedang merencanakan untuk membawa pemberontak itu ke kota raja agar diadili di sana di samping membuat laporan lengkap kepada pemerintah. Namun tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan segera dan dia tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu. Bahkan utusan Kaisar itu lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu untuk menjadi komandan sementara.

Yang amat menggelisahkan hati Jenderal Kao sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri, melainkan ada dua hal, yaitu pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus ditinggalkannya di benteng, dan kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi tahanan. Dia khawatir sekali kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan Kim Bouw Sin akan bergerak dan membebaskan bekas pemberontak itu.

Dia tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri sungguh pun dia merasa curiga akan peristiwa panggilan Kaisar ini. Betapa pun juga, ada sedikit cahaya terang baginya kalau dia mengingat bahwa di kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, dua orang tokoh yang ia percaya adalah orang-orang yang setia kepada negara dan dapat diandalkan untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia sudah tahu, secara rahasia dipimpin oleh dua orang Pangeran Tua Liong.

Kian Lee dan Kian Bu hendak meninggalkan warung itu setelah membayar, akan tetapi ketika mereka berdua tiba di pintu warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga orang yang baru turun dari atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung dengan tergesa-gesa sehingga hampir menabrak dua orang kakak beradik itu. Akan tetapi, tiga orang itu dapat mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa mempedulikan Kian Lee dan Kian Bu, mereka terus memasuki warung.

Gerakan mereka yang amat gesit itu tentu saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka menengok dan memandang. Tentu saja mereka berdua terheran-heran melihat betapa tiga orang itu tidak duduk di atas bangku-bangku warung seperti lajimnya tamu yang hendak makan, melainkan terus menyelonong ke dalam melalui pintu tembusan kecil. Pelayan yang melihat mereka pun diam saja, seolah-olah hal itu tidak merupakan hal yang aneh.

Kian Lee dan Kian Bu saling berpandangan, merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak mengenal tiga orang itu, mereka tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari dalam warung. Baru beberapa langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali ada dua orang yang sikapnya mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap memasuki warung sambil menoleh ke kanan kiri. Dan ketika Kian Bu yang menaruh curiga itu memperhatikan, dua orang ini pun terus masuk ke bagian belakang warung itu seperti halnya tiga orang terdahulu!

“Ehh, Lee-ko, dua orang itu pun masuk ke dalam!” Kian Bu berbisik sambll menyentuh lengan kakaknya.

“Biarkanlah, Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang. Yang penting kita harus membayangi rombongan Jenderal Kao,” jawab Kian Lee yang biar pun tertarik nanun terpaksa menekan perasaannya karena ada tugas yang lebih penting bagi mereka, yaitu membayangi Jenderal Kao yang kelihatan berduka untuk melindungi sahabat baik dari kakak mereka itu.

Rombongan Jenderal Kao yang berkuda itu sudah lewat jauh dan hampir keluar dari dusun itu, maka dua orang kakak beradik ini tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena di situ terdapat banyak orang, mereka tidak mau memperlihatkan kepandaian mereka menggunakan ilmu berlari cepat, hanya berjalan biasa secepatnya agar tidak menarik perhatian orang.

“Awas, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berseru ketika dari jalan simpangan ada seorang penunggang kuda membalapkan kudanya.

Kuda itu besar dan baik sekali, penunggangnya seorang pemuda tampan yang sikapnya agak ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia tidak peduli bahwa kudanya membalap dan akan menabrak dua orang pemuda yang sedang berjalan di depan itu.

Tentu saja mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian Lee untuk bergerak ke samping dan menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar suara ketawa mengejek dari pemuda yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itu pun sudah berhasil menyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli.

“Jahanam kau, manusia sombong!” Kian Bu membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya untuk mengejar dan menyerang.
“Sssttt... jangan layani dia, Bu-te...!” Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah itu. “Tugas kita lebih penting dari pada urusan remeh itu.”

Kian Bu bersungut-sungut, akan tetapi dia dan kakaknya menjadi makin terheran-heran melihat betapa pemuda penunggang kuda itu dengan sigapnya meloncat turun dari atas kudanya di depan warung, kemudian bergegas memasuki warung itu.

“Aihh, ini terlalu aneh. Pasti ada hubungannya dengan rombongan Jenderal Kao...” Kian Lee berbisik. “Sebaiknya kita selidiki, akan tetapi harap kau jangan menimbulkan gara-gara, Bu-te.”

Mereka lalu menyelinap di antara banyak orang menghampiri warung itu secara diam-diam dari belakang. Sementara itu, hari pun mulai gelap. Kedua orang kakak beradik itu menanti sampai keadaan menjadi sunyi, bersembunyi tidak jauh dari warung.

“Kita terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te.”
“Bagaimana kalau rombongan jenderal itu meninggalkan kita terlampau jauh?”
“Tidak, mereka tentu akan berhenti di dusun besar selatan yang telah kita lewati pagi tadi dan akan bermalam di sana. Malam ini kita bisa mengejar dan menyusul mereka di sana.”

Setelah suasana menjadi sunyi dan cukup gelap, dua orang kakak beradik ini berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya mereka berhasil mengintai dari balik jendela di ruangan belakang warung itu. Ternyata bahwa enam orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan, duduk mengelilingi sebuah meja. Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda berkuda yang hampir menabrak mereka tadi merupakan orang penting, dan agaknya dialah yang memimpin perundingan itu. Dengan amat hati-hati dan tidak mengeluarkan suara, karena maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

Dapat dibayangkan betapa terkejut hati kedua orang kakak beradik ini ketika mendengar percakapan enam orang itu. Dari percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang ini adalah kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong dan mereka ini sedang merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Kao Liang! Juga dari percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan yang kudanya hampir menabrak mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa panggilan Kaisar terhadap Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong!

Pangeran ini membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal Kao, karena menurut Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh pasukan inti, maka menjadi amat berbahaya. Buktinya, jenderal itu sudah sering kali mengambil langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu sehingga seluruh kekuasaan atas semua pasukan boleh dibilang berada di tangannya.

Kalau orang seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk dibendung, demikian alasan Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa khawatir juga, maka lalu mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota raja. Kesempatan ini digunakan oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum akan kekuatan pasukan pengawal yang menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan keenam orang itu sebagai penculik dan pembunuh!

“Akan tetapi, Ang-taihiap!” seorang di antara mereka membantah kepada pemuda tampan itu. “Dia dikawal oleh dua losin orang pengawal Kaisar, enam orang perwira pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya memiliki kepandaian tinggi, belum lagi dua orang pengawal pribadinya...”

“Apakah engkau takut?!” tiba-tiba pemuda itu membentak.

Kian Lee bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap halus, tetapi ketika membentak, suaranya mengandung getaran yang amat kuat dan orang itu pun gemetar ketakutan.

“Tidak... tidak, Taihiap... hanya saya ingin berhati-hati agar jangan sampai gagal...”
“Hmm, kau kira kami begitu bodoh dan ceroboh? Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo dan teman-temannya yang akan muncul di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana. Tentang Jenderal Kao, serahkan saja kepadaku.”

“Jadi kita besok pagi-pagi mengejar dan membayangi dari belakang, setibanya di hutan di lereng bukit di selatan itu kita serbu...”
“Kalian bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal Kao aku sendiri yang akan menghadapinya. Mengerti?” Pemuda yang disebut Ang-taihiap (Pendekar Besar she Ang) itu berkata lagi.

Kian Lee dan Kian Bu dengan hati-hati mundur menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee sengaja mengajak adiknya pergi karena dia maklum akan watak adiknya yang keras. Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu benar saja memprotes.

“Lee-ko! Sudah jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita basmi sekarang saja?”
“Sssttt, Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan pribadi, tetapi urusan kerajaan yang terancam pemberontakan. Mereka belum melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang mereka? Buktinya belum ada, maka sebaiknya kita sekarang menyusul rombongan Jenderal Kao dan melindunginya. Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan, barulah kita menghadapi mereka.”

Kian Bu mengangguk-angguk. “Kau benar, Lee-ko. Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang Lo-mo, musuh besar kita itu. Dahulu di Pulau Es aku belum sempat menampar kepala botak mereka dan sekarang terbuka kesempatan baik!”

“Bu-te, kuharap engkau berhati-hati dan jangan memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang telah berani menyerbu Pulau Es bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang she Ang itu pun bukan orang sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan suaranya tadi.”

Kian Bu mengangguk dan kelihatan gemas. “Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Dan dia tadi hampir saja menubrukku dengan kuda. Awas dia, besok aku akan membikin perhitungan!”

Kakak beradik itu lalu meninggalkan dusun dan melakukan perjalanan cepat sekali mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat seperti yang diduga oleh Kian Lee, rombongan itu sedang bermalam di dusun besar, di tempat kepala dusun sendiri yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh penghormatan.....

Selanjutnya baca
KISAH SEPASANG RAJAWALI : JILID-13
LihatTutupKomentar