Istana Pulau Es Jilid 01
Kebiasaan lama (tradisi) yang dilanggar akan menimbulkan kutuk dan mala-petaka bagi si pelanggar, demikian pendapat kuno. Padahal hakekatnya, semua itu tergantung dari pada kepercayaan. Bagi yang percaya mungkin saja pelanggaran akan dihubungkan dengan sebab terjadinya suatu halangan. Sebaliknya bagi yang tidak percaya, juga tidak apa-apa dan andai kata terjadi suatu halangan, hal ini dianggap terpisah dan tidak ada hubungannya dengan pelanggaran tradisi.
Betapa pun juga, apa yang terjadi di Khitan, yang menimpa Kerajaan Khitan, oleh semua rakyatnya dianggap sebagai kutuk para dewata oleh karena dosa besar yang telah dilakukan oleh Sang Ratu mereka! Kerajaan Khitan mengalami kemerosotan hebat sekali. Kerajaan dilanda musim dingin yang hebat dan amat lama, hasil buruan amat kurang, hasil cocok tanam buruk, penyakit menular, wabah yang aneh-aneh menimpa rakyat Khitan. Semua ini diperburuk dengan bentrokan-bentrokan yang timbul di antara para bangsawan yang memperebutkan kedudukan, di antara rakyat sendiri yang keadaannya amat miskin, dan perselisihan dengan suku bangsa lain karena memperebutkan air dengan daerah subur!
Semua ini adalah kutukan dewa! Demikian anggapan kaum tua di Khitan. Terkutuk oleh dewa karena pelanggaran hebat yang dilakukan oleh Sang Ratu Yalina, yaitu ibunda Raja Talibu yang sekarang menjadi Raja Khitan. Di dalam cerita MUTIARA HITAM telah diceritakan betapa Ratu Yalina itu diam-diam menjadi isteri pendekar sakti Suling Emas, bahkan secara rahasia pula telah melahirkan dua orang bayi kembar, laki-laki dan perempuan.
Menurut kebiasaan lama bangsa itu, bayi kembar laki perempuan setelah dewasa harus dikawinkan, akan tetapi Ratu Yalina kembali melanggar, tidak menjodohkan kedua anaknya. Yang laki-laki, yaitu Raja Talibu sekarang ini, dijodohkan dengan Puteri Mimi puteri Panglima Khitan. Sedangkan anaknya yang perempuan, yaitu Kam Kwi Lan atau terkenal di dunia kang-ouw sebagai pendekar sakti Mutiara Hitam, menikah dengan Tang Hauw Lam murid Bu-tek Lo-jin. Kini suami isteri itu malah meninggalkan Khitan dan merantau entah ke mana.
Nah, semenjak Ratu Yalina bersama suaminya Si Pendekar Suling Emas, pergi pula meninggalkan Khitan atas kehendak Suling Emas untuk bertapa di puncak puncak Pegunungan Go-bi, maka mulailah tampak hari-hari buruk menimpa Kerajaan Khitan! Hal ini bukan sekali-kali karena rajanya, yaitu Raja Talibu, kurang memperhatikan kerajaannya, atau berlaku lalim terhadap rakyatnya. Sama sekali tidak!
Raja Talibu agaknya mewarisi watak ayahnya, Si Pendekar Sakti Suling Emas, hatinya tidak keras seperti watak Ibunya. Dia tenang dan sabar, mencinta rakyatnya dan memerintah dengan keadilan. Akan tetapi sepandai-pandainya seorang raja, dia hanya seorang manusia juga dan apakah kekuasaan seorang manusia yang dapat dilakukan oleh seorang Raja Talibu terhadap bencana-bencana alam berupa musim dingin panjang disusul musim kering yang menghabiskan air serta tanah yang tidak berhasil menjadi subur? Apakah yang dapat ia lakukan terhadap ketamakan dan nafsu para bangsawan yang saling bermusuhan? Dia hanya dapat menggunakan kekuasaannya untuk meredakan keadaan, untuk mengadili segala perkara dengan bijaksana, namun tidak berdaya menahan lajunya kemunduran kerajaannya!
Raja Talibu dengan isterinya, Puteri Mimi yang cantik jelita, hanya mempunyai seorang anak perempuan mungil dan cantik jelita seperti ibunya, lincah nakal dan penuh keberanian seperti watak neneknya. Anak ini diberi nama Puteri Maya dan pada waktu itu telah berusia sepuluh tahun. Karena ayah bundanya adalah keturunan pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, biar pun dia seorang puteri raja, semenjak kecil Maya suka sekali dengan ilmu silat.
Raja Talibu sebagai putera pendekar Suling Emas dan Ratu Yalina yang juga memiliki ilmu silat luar biasa, tentu saja tidak melarang puterinya belajar ilmu silat. Sebaliknya ia sendiri malah menggembleng puterinya itu dengan ilmu silat tinggi sehingga Puteri Maya menjadi seorang anak perempuan yang gagah berani dan suka pergi berburu sejak kecil, malah dia mempunyai pasukan pengawal sendiri yang menemaninya pergi berburu binatang buas. Biar pun usianya baru sepuluh tahun. Puteri Maya berani menghadapi seekor biruang seorang diri saja, merobohkan binatang itu dengan anak panah atau dengan sebatang tombak panjang!
Pada suatu pagi yang cerah, Puteri Maya sudah tampak berkeliaran di dalam hutan di sebelah barat kota raja Khitan. Seperti biasa, kalau dia sedang berburu binatang di dalam hutan, dia berpakaian pria yang ringkas sehingga memudahkannya untuk bergerak di dalam hutan-hutan liar itu, apa lagi jika bertemu binatang dan melakukan pengejaran atau pertempuran dengan binatang buas.
Dan seperti biasa pula, pada pagi hari itu juga, Maya jauh meninggalkan para pengawalnya, hal yang selalu membuat para pengawal menjadi khawatir dan diam-diam merasa jengkel. Namun tidak pernah mereka mengeluh karena sesungguhnya para pengawal, seperti hampir semua orang di Khitan, amat sayang kepada puteri yang cantik jelita ini. Kesayangan semua orang inilah yang membuat Maya memiliki watak manja dan selalu ingin dipenuhi permintaannya!
Selagi ia menyelinap di antara pohon-pohon, mengintai dan mencari binatang buruan, tiba-tiba ia dikejutkan derap kaki kuda. Hampir saja ia membentak marah karena disangkanya itu derap kaki kuda para pengawalnya. Ia marah karena suara berisik tentu saja mengganggunya, membikin takut binatang-binatang hutan yang tentu akan lari dan bersembunyi. Akan tetapi kemarahannya berubah menjadi keheranan dan ia cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat bahwa yang datang bukanlah pasukan pengawalnya, melainkan pasukan pilihan ayahnya yang mengangkut perlengkapan perang!
Setelah pasukan itu lewat dan menghilang ke jurusan barat, Maya masih berdiri di tempat persembunyiannya sambil termenung heran memikirkan hal itu. Ayahnya telah beberapa hari pergi meninggalkan istana dan menurut ibunya, ayahnya sedang menyelidiki keadaan di perbatasan barat karena ada kabar bahwa bangsa Yucen sedang bergerak di sana, ada tanda-tanda bahwa bangsa itu mempunyai niat tidak baik terhadap Kerajaan Khitan dan daerahnya. Akan tetapi, mengapa ayahnya belum kembali dan sekarang malah pasukan ayahnya mengirim perbekalan perang? Apakah akan terjadi perang dengan bangsa Yucen? Ia harus pulang dan bertanya kepada ibunya. Hilanglah nafsunya untuk berburu lagi dan dia lalu berlari kembali menjumpai para pengawalnya memerintahkan mereka untuk pulang ke kota raja.
Setelah tiba di istana, Maya bergegas lari memasuki kamar ibunya dan betapa kagetnya ketika ia menyaksikan ibunya sedang duduk termenung dengan muka muram dan mata merah bekas menangis. Juga tadi ia melihat bahwa para tentara telah bersiap-siap melakukan penjagaan di kota raja. Apakah yang terjadi?
Maya menubruk ibunya. “Ibunda...” Apakah yang terjadi? Mengapa pasukan Ayah membawa perlengkapan perang? Mengapa pasukan-pasukan menjaga kota raja? Mengapa Ibu berduka dan menangis?”
Puteri Mimi memeluk dan mencium muka anaknya, kemudian berkata perlahan, “Kutukan dewa...” Kutukan dewa menimpa kita...” Ah, aku pun ikut berdosa dan engkau... Anakku, semoga para dewa melindungimu dan tidak menimpakan kemarahannya kepadamu. Engkau tidak berdosa...”” Puteri itu tak dapat menahan keluarnya air mata.
“Eh, Ibu! Ada apakah?” Maya yang berhati keras dan tabah itu mendesak ibunya, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan karena ia ingin tahu siapa yang menyebabkan ibunya berduka. Biar dewa sekali pun akan dilawannya kalau dewa membuat ibunya berduka!
Puteri Mimi yang cantik jelita itu menghela napas. Wajahnya yang berkulit halus dan biasanya berwarna kemerahan, kini pucat dan alisnya berkerut tanda bahwa hatinya diliputi kegelisahan.
“Seharusnya Ayahmu menikah dengan Mutiara Hitam. Hal ini sudah dikehendaki para dewa semenjak mereka berdua belum lahir. Akan tetapi, ahhh... nenekmu menghendaki lain. Ayahmu dikawinkan dengan orang lain. Tentu saja dewa menjadi marah dan sekaranglah tiba kutukannya menimpa keluarga kita!” Kembali puteri ini menangis.
“Ibu, kutukan apakah itu? Apa yang terjadi?”
“Semenjak nenekmu, Ratu Yalina, meninggalkan Khitan bersama kakekmu, negara kita selalu dirundung kemalangan. Bencana alam dan perselisihan antara bangsawan mengakibatkan penderitaan, namun semua itu masih belum seberapa, masih dapat diatasi oleh kebijaksanaan ayahmu. Akan tetapi sekarang... ahh, beberapa orang bangsawan memberontak dan bersekutu dengan suku bangsa Yucen. Ada yang menyeberang kepada suku bangsa Mongol dan Mancu, ada pula yang bersekutu dengan Kerajaan Sung dan kini mereka itu mengepung kita. Ayahmu sendiri berusaha menginsyafkan mereka dan mengajak damai bangsa Yucen, namun agaknya sia-sia belaka, maka jalan satu-satunya hanyalah mempertahankan Negara Khitan.”
Muka Maya menjadi merah, kedua tangannya dikepalkan. “Mengapa berduka, Ibu? Kalau musuh datang kita lawan!”
Melihat sikap puterinya, di dalam tangisnya Puteri Mimi tersenyum dan merangkulnya. “Engkau mewarisi sifat-sifat nenek dan kakekmu... akan tetapi... musuh terlalu banyak dan terlalu kuat. Betapa pun juga, benar katamu, Anakku, kita akan melawan!”
Hati Ratu ini dibesarkan oleh sikap puterinya. Ia tidak tahu bahwa pada waktu itu, bangsa Mongol sudah menjadi bangsa yang amat kuat dan bangsa ini mulai mengembangkan sayapnya, dan bagaikan gelombang besar datang menelan segala sesuatu yang merintang di depannya!
Benar seperti yang dikatakan Puteri Mimi kepada anaknya. Raja Khitan memang sedang berusaha keras untuk menghindarkan perang. Pelbagai usaha dilakukannya, akan tetapi para bangsawan Khitan yang memberontak itu tidak mau mendengar, dan bangsa Yucen yang bergerak dari barat itu pun tidak mau diajak damai. Melihat keadaan yang amat mendesak, bahwa perang takkan dapat dihindarkan, Raja Khitan mengadakan rapat pertemuan dengan para panglima.
“Jalan sudah buntu! Kita adalah bangsa yang besar dan biar pun selama ini kita mengalami nasib malang, namun semangat kita tak pernah padam! Kalau memang mereka menghendaki perang, apa boleh buat, kita terpaksa mengadakan perlawanan. Hanya aku menyesal sekali akan kebodohan bangsa Yucen, terutama para bangsawan Khitan yang memberontak. Tidakkah mereka melihat datangnya bahaya hebat yang akan melanda kita semua? Bangsa Mongol jelas sekali memperlihatkan sikap hendak merajai seluruh daratan! Biarlah, kita akan mengadakan perlawanan!” Raja ini lalu mengutus pengawal untuk mendatangkan bala bantuan dari kota raja, membawa perlengkapan perang dan diam-diam ia pun menulis sepucuk surat kepada isterinya.
‘Bahaya besar mengancam kemusnahan kerajaan kita, Isteriku. Akan tetapi kalau memang para dewa menghendaki demikian, biarlah aku musnah bersama kerajaanku. Aku akan mempertahankan kerajaan yang diberikan oleh leluhur kepadaku itu dengan jiwa ragaku! Akan tetapi engkau Isteriku, dan puteri kita Maya, jangan ikut menjadi korban. Bawalah puteri kita itu ke Pegunungan Gobi, carilah ayah bundaku yang bertapa di sana, minta perlindungan.’
Demikian antara lain isi surat Raja ini kepada isterinya. Dan surat inilah yang membuat Puteri Mimi menangis, penuh cinta kasih dan keharuan kepada suaminya yang begitu gagah perkasa sehingga dalam menghadapi bahaya besar, tidak menyuruh dia pergi mencari pertolongan melainkan menyuruh dia dan anaknya pergi menyelamatkan diri, dan dengan sifat penuh kejantanan menghadapi bahaya seorang diri!
“Aduh, Suamiku tercinta,” demikian Puteri Mimi mengeluh, “Lupakah engkau bahwa aku pun anak dan keturunan Panglima Khitan yang setiap saat siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk membela negara? Tidak, aku pun akan menjaga kerajaan dan merupakan benteng pertahanan terakhir. Kalau kerajaan runtuh, bukan hanya engkau, aku pun harus ikut runtuh pula! Biarlah anak kita yang akan kuusahakan agar menyingkir dan menyelamatkan diri.” Diam-diam Puteri Mimi pun sudah mempunyai rencana dan menantilah dia akan perkembangan dengan hati gelisah namun tetap bersikap tenang.
Perang tak dapat dihindarkan lagi. Pasukan-pasukan penjaga di garis terdepan sudah mulai bentrok dengan pasukan-pasukan musuh. Dalam keadaan seperti itu, seorang panglima tua Khitan menghadap Raja Talibu dan berkata,
“Pihak musuh amat kuat, apa lagi hamba mendapat laporan dari para penyelidik bahwa dari utara, bala tentara yang besar dari Mongol telah bergerak datang. Keadaan amat terdesak, mengapa sejak dahulu Paduka tidak mengirim utusan ke Gobi-san mohon bantuan Ayah Bunda Paduka?”
Raja Talibu menggeleng kepalanya dengan sikap tegas. “Paman Panglima, kalau aku melakukan hal itu, aku akan menjadi manusia tak berguna selama hidupku! Aku menerima kerajaan dari ayah bundaku, apakah hanya untuk dinikmati saja? Apakah aku harus bersikap seperti seorang anak kecil yang menerima benda mainan dari orang tua, kemudian kalau benda itu menjadi rusak lalu kusuruh betulkan orang tuaku? Tidak, Paman, itu bukan sikap seorang pahlawan! Diserahi kerajaan bukan semata untuk menikmatinya dan bersenang-senang, melainkan diikuti pula dengan tanggung jawab! Orang tuaku telah mengundurkan diri bertapa, tidak mengecap kesenangan sedikit pun dari kerajaan. Kini kerajaan terancam, masa mereka yang harus susah payah pula? Biar pun ayah bundaku merupakan orang-orang sakti yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi apakah artinya dua orang saja menghadapi gelombang barisan Yucen dan Mongol yang puluhan bahkan ratusan laksa orang jumlahnya? Kita lawan sendiri, dan persoalannya hanyalah hidup atau mati, dan urusan itu bukanlah wewenang kita untuk menentukan!”
Panglima tua itu kagum mendengar pendirian rajanya dan bangkitlah semangatnya. Ketika Panglima ini menyampaikan pendapat raja itu kepada para perwira dan perajurit, mereka pun bersorak, menyatakan hendak mempertahankan negara sampai dengan napas terakhir!
Perang terjadi di perbatasan barat dengan dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang sehingga banyaklah korban yang jatuh di kedua pihak. Sementara itu, barisan Mongol sudah datang makin dekat setelah perang berlangsung selama tiga hari. Dan sepak terjang barisan Mongol yang menyerbu ke selatan itu amatlah ganas seperti segerombolan harimau kelaparan. Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja Talibu.
Betapa bodohnya mereka, bangsa Khitan dan Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan berperang sendiri satu kepada yang lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan perang, membawa gendewanya, naik ke atas kereta perang dengan pakaian perang yang membuatnya nampak gagah perkasa. Untuk dapat membawa kereta perangnya ke tengah medan pertempuran, raja ini harus merobohkan banyak musuh, bahkan kusirnya sudah beberapa kali diganti karena roboh binasa.
Dengan gendewanya, Raja Talibu mengamuk sehingga akhirnya kereta perangnya dapat tiba di tengah medan laga, di tempat yang amat tinggi. Raja Talibu lalu meloncat di atas kereta perangnya, gendewa di tangan kiri, topi perangnya sudah terlepas dalam pertandingan ketika ia menuju ke tempat itu sehingga rambutnya terurai ke pundak, nampak gagah perkasa. Kemudian terdengar suaranya mengguntur seperti auman singa di padang pasir.
“Wahai seluruh bangsa Yucen dan Khitan, dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh perang, oleh nafsu mencari kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan gelombang bangsa Mongol yang akan menghancurkan kita bersama! Apakah tidak lebih baik kita bersatu sebagai dua orang saudara untuk melawan bangsa Mongol dari pada kita seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa serombongan serigala sudah datang hendak menghancurkan kita setelah kita kehabisan tenaga saling berperang sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil keputusan, mereka sudah dekat sekali.”
Suara Raja Talibu ini amat nyaring dan seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen menjadi ragu-ragu. Memang para penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya gelombang dahsyat bangsa Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa Khitan yang sudah berada di depan hidung, tentu saja mereka tidak dapat lagi mencegah terjadinya perang dengan bangsa Khitan. Akan tetapi sekarang Raja Khitan yang gagah perkasa itu bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan isi hati mereka. Raja Yucen dan pimpinannya lalu berunding dan minta waktu sehari untuk mengambil keputusan. Sementara itu perang itu dihentikan dulu.
Namun keraguan orang-orang Yucen ini mendatangkan bencana hebat karena malam hari itu, secara tidak terduga-duga sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu dengan kekuatan besar. Perang hebat terjadi dan biar pun belum diadakan persetujuan, bangsa Khitan dan Yucen berjuang bahu-membahu untuk melawan barisan Mongol.
Perang mati-matian itu berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena jumlah barisan Mongol lebih besar dan juga anggota tentara mereka lebih kuat, biar pun pihak Mongol kehilangan banyak tentara, akhirnya barisan Khitan dan Yucen dapat terbasmi dan hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk setelah raja dan panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur setelah tubuhnya penuh luka dan tak dapat bergerak lagi. Raja ini tewas sebagai seorang gagah perkasa. Tangannya masih memegang pedang dan tubuhnya penuh luka, mandi darahnya sendiri!
Kematian tidak dapat terhindar dari setiap orang manusia, namun banyak macam kematian yang bisa dipandang oleh mata dan dipertimbangkan oleh pikiran manusia berdasarkan kebudayaan manusia. Kematian Raja Talibu merupakan sebuah di antara kematian yang terhormat, kematian seorang jantan dan tidaklah mengecewakan dia sebagai seorang Raja Khitan, terutama sebagai putera seorang pendekar besar seperti Suling Emas dan seorang ratu besar seperti Ratu Yalina. Andai kata ayah bunda ini melihat kematian puteranya, agaknya kedukaan mereka akan terhibur oleh kebanggaan!
Sebagian para perajurit Khitan yang melarikan diri berhasil kembali ke kota raja dan gegerlah kota raja ketika mendengar berita tentang kehancuran pasukan Khitan dan gugurnya raja bersama para panglima, juga tentang bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang sewaktu-waktu pasti akan tiba. Berita kematian Raja Talibu ini diterima oleh Ratu Mimi dengan muka pucat, akan tetapi dengan tenang sekali Ratu ini menahan tangisnya di depan para panglima dan menyatakan bahwa dia akan memimpin sendiri pertahanan kota raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu ini suka pergi mengungsi diterima dengan kemarahan.
“Kalau aku melarikan diri, mana aku patut menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa yang telah mengorbankan nyawanya untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan kerajaan, kalau perlu dengan tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi meninggalkan Khitan!”
Maka gemparlah kota raja. Sebagian ada yang melarikan diri sehingga akhirnya tinggal Ratu Mimi dengan pasukan-pasukan yang setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan sepasukan pengawal, yaitu pengawal Puteri Maya, dan menyuruh mereka membawa Maya melarikan diri dan mencari kakek nenek puteri itu di Pegunungan Go-bi. Puteri Maya menangis dan berkeras tidak mau meninggalkan ibunya, akhirnya ibunya yang biasanya memanjakannya itu membentak.
“Maya! Dengarlah baik-baik! Engkau adalah keturunan Suling Emas, keturunan Ratu Yalina, keturunan Raja Talibu yang gagah perkasa. Patutkah dalam saat seperti ini engkau menangis?”
“Aku tidak mau meninggalkan Ibu. Aku pun akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas kematian Ayah!”
“Bodoh! Kalau kau tinggal di sini, engkau pun akan mati.”
“Aku tidak takut mati!”
Ratu Mimi menahan tangisnya dan merangkul puterinya, menciumi sambil berkata, “Itulah soalnya, Anakku. Engkau tidak boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa di sini, siapakah kelak yang membalaskan kematian ayahmu dan ibumu? Engkau masih kecil, tenagamu belum ada artinya untuk menghadapi musuh. Engkau pergilah kepada kakek dan nenekmu, pelajari ilmu baik-baik dan kelak engkau akan mengangkat nama ayah bundamu. Pergilah, Anakku, dan doa Ibumu selalu menyertaimu!”
Ucapan ini membuat Maya tak dapat membantah lagi. Biar pun dia masih kecil, namun ia cerdik dan tabah. Dengan tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya, kemudian lari ke luar dan ikut bersama pasukan pengawal yang akan mengantarnya ke Gobi-san. Setelah puterinya pergi, barulah Ratu Mimi menangis tersedu-sedu, bukan karena takut menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan berduka karena perpisahan dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.
Tiga hari kemudian, kota raja Khitan direbut pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu Mimi berjuang dengan gigih mempertahankan kota raja bersama para panglima dan pasukan yang setia. Akan tetapi pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya Ratu Mimi pun roboh dan gugur tak beda dengan suaminya, tangannya masih memegang pedang dan surat suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena pada saat terakhir ia melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh kasih sayang!
Pasukan Mongol membasmi Khitan, merampas wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda, merampas harta benda dan membakar rumah-rumah, termasuk istana yang telah dirampas habis-habisan. Gegerlah Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu merupakan hari kiamat dan berakhirnya Kerajaan Khitan yang selama ini kokoh kuat. Benarkah ini merupakan kutukan dewa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh anak kembar Ratu Yalina yang seharusnya menurut kebiasaan dan kepercayaan lama harus menjadi suami isteri akan tetapi telah dilanggar dan mereka berdua itu menikah dengan orang lain? Entahlah, dan mungkin benar demikian bagi yang percaya.
Mala-petaka hebat yang menimpa Kerajaan Khitan itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah dibayangkan oleh Maya yang telah melarikan diri dikawal sepasukan pengawal terdiri dari lima belas orang pengawal pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima pengawal bernama Bhutan, seorang panglima muda yang tinggi besar dan berwatak bengis.
Lima belas orang pengawal ini kelihatannya melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa keluar Maya dari kota raja yang terancam bahaya, akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka terdapat perasaan tidak senang dan berduka. Betapa tidak? Keluarga mereka semua ditinggalkan di kota raja. Semua keluarga itu membutuhkan perlindungan mereka, akan tetapi mereka, lima belas orang ini tidak dapat melindungi keluarga mereka sendiri karena harus melarikan Maya. Dan mereka dapat membayangkan dengan hati perih betapa mala-petaka. tentu menimpa keluarga mereka yang tidak ada pelindungnya.
Duka dan sesal membuat mereka mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada Puteri Maya dengan sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi sebab celakanya. Kalau mereka tidak pergi mengawal puteri ini, tentu mereka akan dapat menyelamatkan keluarga masing-masing dengan membawa mereka lari mengungsi!
Malam pertama, ketika rombongan ini mengaso dan bersembunyi di dalam hutan, belum nampak perubahan, hanya mereka itu bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan tidak banyak cakap. Namun pemimpin mereka sudah merasa betapa anak buahnya tidak merasa puas. Hal ini dimengertinya baik-baik karena dia sendiri pun merasa tidak senang harus meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan dikawininya.
Demikian pula malam ke dua, hanya kelihatan para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai saling berbisik-bisik. Namun semua itu pun lewat tanpa sesuatu peristiwa sehingga ketika pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Gobi-san yang amat jauh, hati Bhutan sudah agak lega.
Akan tetapi, ketika pasukan ini mendengar berita dari orang-orang pelarian dari kota raja bahwa kota raja sudah diserbu musuh dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini sudah hancur dan jatuh, meledaklah rasa ketidak-puasan para anak buah pasukan pengawal, bahkan Bhutan sendiri mendengarkan cerita pengungsi itu dengan wajah pucat.
“Habis semua...!” Demikian antara lain pengungsi itu bercerita. “Mereka itu datang seperti badai mengamuk. Pasukan kita yang mempertahankan bersama Sang Ratu digilas habis dan tewas semua! Istana dirampok dan diduduki, rumah rakyat dibakar, semua laki-laki dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan, diperkosa seperti segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang tewas karena diperkosa orang banyak di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, di mana saja sehingga jerit mereka memenuhi angkasa.”
“Semua wanita, katamu?” Bhutan bertanya, suaranya gemetar.
“Ya, semua! Bahkan yang tua-tua juga! Yang setengah kanak-kanak juga! Semua, tidak peduli kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata. Habis semua perempuan diperkosa, habis semua pria dibunuh. Yang tinggal hanya anak-anak kecil dan orang-orang tua yang berkeliaran dan kelaparan kehilangan keluarga....”
“Ibuku... bagaimana...?” tiba-tiba Maya menjerit.
Orang yang bercerita itu menarik napas panjang dan menengadah ke langit. “Sang Ratu telah gugur, akan tetapi, demi semua dewa! Setiap orang Khitan yang masih hidup akan teringat betapa ratu itu tewas dengan senjata di tangan, dengan tubuh penuh luka, tewas sebagai seorang gagah perkasa... Hebat sekali, dan agaknya semangatlah yang memimpin semua perlawanan gigih....”
“Aihhh...! Ibu...!” Maya menjerit dan menangis sesenggukan, memanggil-manggil ibunya.
“Diammm!” Bhutan tiba-tiba menghardiknya, membuat Maya memandang dengan muka pucat karena kaget dan heran sekali, mengapa panglima itu mendadak berani membentaknya seperti itu.
Semua pasukan memandang dengan senyum mengejek, agaknya puas hati mereka melihat pemimpin mereka kini pun memperlihatkan kebencian kepada puteri yang membuat mereka terpaksa meninggalkan keluarga mereka seperti sekumpulan domba ditinggalkan untuk menjadi mangsa serigala-serigala buas.
“Mengapa engkau menangis? Ditangisi pun tiada gunanya! Ibumu telah mati! Demikian pun isteriku, ibuku, keluargaku!” Dan Panglima ini lalu menangis, biar pun tidak mengeluarkan suara, hanya mengeluarkan air mata yang menetes turun di kedua pipinya. Juga para anggota pasukan yang empat belas orang banyaknya itu semua kelihatan termangu-mangu penuh duka mengenangkan keluarga masing-masing yang tentu telah menjadi korban pula.
“Kita besok melakukan perjalanan, bukan ke Gobi-san, akan tetapi membalas dendam kita, membakari rumah-rumah dusun yang sudah menjadi jajahan orang Mongol,” demikian kata Bhutan dengan wajah bengis.
Anak buahnya bersorak gembira. Biar pun mereka berduka, akan tetapi kini ada jalan untuk melampiaskan duka dan kemarahan mereka biar pun kepada dusun-dusun! Hal itu berarti mereka akan dapat memperkosa wanita-wanita seperti isteri-isteri dan keluarga mereka diperkosa, dapat membunuh orang-orang seperti keluarga mereka dibunuh, dapat merampok seperti rumah mereka dirampok!
“Akan tetapi, aku harus kalian antarkan ke tempat pertapaan kakek dan nenekku di Gobi-san!” Maya berseru kaget dengan mata terbelalak.
Bhutan tersenyum mengejek. “Mulai sekarang tidak ada lagi yang mengharuskan aku! Engkau tidak boleh lagi memerintahku, bahkan engkau harus tunduk dan menurut segala kehendakku!” Para anak buahnya bersorak mengejek.
Maya meloncat bangun, mengepal kedua tinjunya dan memandang marah. “Akan tetapi, apa kalian hendak memberontak? Aku adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan! Engkau harus taat kepadaku!”
“Ha-ha-ha, puteri yang manis! Engkau akan kujadikan pengganti isteriku! Setahun dua tahun lagi engkau akan menjadi seorang wanita yang jelita, patut menjadi isteriku. Bukankah begitu kawan-kawan?” kata Bhutan yang terhimpit kedukaan sehingga berubah menjadi bengis dan kejam. Anak buahnya bersorak menyatakan setuju.
“Keparat, kau...!” Maya maju dan mengayun tangan hendak menampar muka panglima itu.
Akan tetapi biar pun sejak kecil dia sudah belajar ilmu silat, namun Bhutan bukan laki-laki sembarangan, melainkan seorang panglima pengawal yang tentu saja memiliki kepandaian. Dia menangkis terus menangkap lengan kecil itu, memutar dan mendorong sehingga tubuh Maya terlempar dan roboh telentang. Terdengar suara ketawa para pasukan pengawal.
“Ha-ha-ha, engkau tidak boleh galak lagi, Nona kecil!” kata mereka.
Maya meloncat bangun lagi, akan tetapi lengannya sudah disambar oleh Bhutan dan tangan panglima ini diayun. “Plak-plak-plak-plak!” kedua pipi Maya ditampari sampai menjadi merah dan terasa panas!
“Dengar kau, Maya! Ketahuilah bahwa engkau bukanlah anak Raja dan Ratu Khitan, engkau hanya diaku anak, anak angkat!”
Biar pun kedua pipinya terasa panas dan sakit-sakit, tetapi hatinya lebih panas dan sakit lagi mendengar ucapan itu. Maya terbelalak kaget dan heran. “Apa... apa... kau bilang...?”
“Duduklah dan dengar baik-baik agar kau tidak rewel lagi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati segala perintahku karena akulah satu-satunya orang yang akan dapat menyelamatkanmu. Kerajaan Khitan sudah hancur, keluarga Raja sudah tewas semua. Engkau memang bukan anak Raja Khitan, mana mungkin Raja Khitan dapat memperoleh keturunan? Dia telah terkutuk oleh para dewa, dan semenjak Ratu Yalina melakukan pelanggaran, keluarga Raja Khitan sudah terkutuk. Pantaslah kalau sekarang menjadi runtuh!”
“Mengapa begitu?” Air mata Maya mengucur lagi. “Ceritakanlah, Bhutan. Ceritakan apa yang telah teriadi? Ceritakan tentang keluargaku....”
“Bukan keluargamu, hanya keluarga jauh.”
“Kalau begitu, ceritakan siapa aku, siapa orang tuaku!” Maya makin bingung dan karena ingin sekali mendengar penuturan panglima ini, ia sudah lupa akan kemarahannya bahwa dia tadi ditampar.
Para perajurit yang juga belum mendengar riwayat raja mereka dengan jelas, hanya mendengar berita angin saja, kini juga berkumpul dan mendengarkan penuturan Bhutan yang agaknya tahu akan riwayat itu.
“Dosa pertama dilakukan oleh Ratu Yalina,” Bhutan mulai bercerita. “Ratu Yalina yang dijunjung tinggi oleh bangsa Khitan, yang pada lahirnya saja tidak pernah menikah, ternyata melakukan pelanggaran karena diam-diam melakukan hubungan cinta dengan Pendekar Suling Emas. Dari hubungan gelap yang mendatangkan kutuk para dewa atas bangsa Khitan itu, terlahirlah anak kembar, laki-laki dan perempuan.”
“Anak kembar laki-laki dan perempuan harus dijadikan suami isteri!” berkata seorang anggota pasukan pengawal yang sudah berusia empat puluh tahun lebih.
Bhutan mengangguk. “Mestinya demikian. Akan tetapi Ratu Yalina yang sudah melakukan dosa pertama itu, melanjutkan dengan dosa ke dua yang lebih berat lagi dan yang agaknya membuat para dewa memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Khitan! Anak kembar itu, yang perempuan adalah pendekar wanita Mutiara Hitam yang sekarang merantau bersama suaminya entah ke mana. Ada pun yang laki-laki adalah mendiang Raja Talibu kita yang menikah dengan Ratu Mimi. Tentu saja orang-orang berdosa itu tidak bisa memperoleh keturunan. Biar pun aku tidak tahu di mana adanya Mutiara Hitam, akan tetapi aku yakin bahwa dia pun pasti tidak bisa mempunyai keturunan!”
“Tapi aku... aku adalah anak raja dan Ratu Khitan!” Maya berteriak.
“He-he, itu adalah dugaanmu saja, anak manis!” Bhutan berkata tertawa. “Sebetulnya bukan demikian. Engkau adalah anak dari saudara misan Ratu Mimi. Ibumu adalah puteri bangsawan rendahan yang menikah dengan seorang perwira. Ibumu mati ketika melahirkan engkau dan ayahmu sudah tewas pula dalam perang. Raja Talibu yang agaknya hendak meniadakan kutuk akan dirinya, telah mengambil engkau sebagai anak! Memang jarang ada yang tahu, akan tetapi aku tahu akan itu semua, manis!”
“Tidak...! Tidak...!” Maya menangis dan menangis terus sampai pada keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Maya digandeng dan setengah diseret oleh Bhutan yang memimpin rombongannya itu melanjutkan perjalanan, bukan ke Gobi-san, melainkan ke timur!
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sengsara rasa hati Maya, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Kalau dia melarikan diri, selain sukar sekali karena ia selalu diawasi, juga ia akan dapat pergi ke manakah? Lebih sengsara lagi hatinya ketika terpaksa ia harus menyaksikan pasukan yang tadinya menjadi pengawalnya yang setia itu kini berubah menjadi segerombolan serigala buas yang tidak mengenal peri-kemanusiaan, merampok dusun-dusun yang mereka lalui, membunuh, memperkosa dan membakar rumah sambil bersorak-sorak!
Dara sekecil ini dipaksa untuk menyaksikan hal-hal yang mengerikan itu, menyaksikan wanita-wanita yang menjerit-jerit diperkosa dan kemudian dibunuh. Sampai habis air mata ditumpahkan dalam tangis Maya. Dalam waktu satu bulan saja ia telah berubah menjadi seorang dara cilik yang berhati keras seperti baja, ditempa oleh pengalaman-pengalaman yang pahit dan mengerikan.
Kalau dahulu ia berwatak jenaka dan lincah, kini ia menjadi pendiam, jarang bicara, jarang pula makan atau tidur kalau tidak terpaksa sekali sehingga mulailah tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat, wajahnya seperti topeng mati dan sikapnya dingin melebihi salju! Tanpa disadarinya terbentuklah watak yang keras dan dingin pada jiwa dara cilik ini.
Pergolakan hebat yang terjadi di utara itu bukan tidak ada ekornya sama sekali, bahkan menjadi awal pergolakan hebat yang menjalar ke selatan. Pada masa itu di selatan juga terjadi pergolakan hebat, perebutan kekuasaan yang menimbulkan perang di mana-mana.
Suku bangsa Yucen tadinya adalah suku bangsa yang ditundukkan oleh Kerajaan Khitan, yaitu ketika Ratu Yalina masih memegang tampuk kerajaan. Setelah kini keadaan Khitan menjadi lemah, bangsa Yucen membalas dendam, memberontak dan dibantu pula secara diam-diam oleh Kerajaan Sung dari selatan. Di samping itu, serbuan liar dari bangsa Mongol yang mulai berkembang, membuat Khitan hancur.
Bangsa Yucen ‘mendapat hati’ dan mendirikan wangsa baru, yaitu yang disebut Wangsa Cin. Sebentar saja Kerajaan Cin ini mendesak Kerajaan Sung dan melihat lemahnya Kerajaan Sung, menuntut agar Kerajaan Sung mengirim ‘upeti’ setiap tahun!
Keadaan yang demikian itu menyedihkan hati seorang menteri yang setia di Kerajaan Sung. Menteri ini bernama Kam Liong dan dia bukan lain adalah putera sulung dari pendekar sakti Suling Emas! Bahkan Menteri Kam Liong inilah yang sesungguhnya telah mewarisi kepandaian ayahnya, juga telah mewarisi senjata pusaka ayahnya yang berupa sebatang suling emas dan sebuah kipas. Kaisar amat percaya kepada Menteri Kam Liong bukan hanya karena menteri ini adalah putera pendekar besar Suling Emas, melainkan terutama sekali karena menteri ini memang amat pandai dan bijaksana, juga amat setia kepada negara.
Menteri Kam Liong prihatin dan berduka sekali. Pergolakan-pergolakan hebat yang terjadi amat menggelisahkan hatinya. Dia mendengar akan keadaan Khitan yang terancam hebat oleh bangsa Yucen dan Mongol. Dan celakanya, Kaisar Sung menerima uluran tangan bangsa Yucen untuk bersama-sama menyerang dan mengeroyok Kerajaan Khitan. Betapa tidak akan sedih hatinya kalau ingat bahwa Raja Khitan adalah adik tirinya sendiri? Raja Talibu di Khitan adalah putera Suling Emas pula sehingga merupakan saudara seayah dengannya, berlainan ibu. Namun apa yang dapat ia lakukan? Dia adalah seorang Menteri Kerajaan Sung, dan adik tirinya itu adalah Raja Khitan! Dia harus bersetia kepada negaranya sendiri.
Menteri yang bijaksana ini tidak mempunyai anak. Akan tetapi dia mempunyai seorang murid yang amat disayangnya. Muridnya mewarisi kepandaiannya dan berjiwa gagah perkasa pula. Muridnya itu kini pun mempunyai kedudukan tinggi di dalam kerajaan, yaitu menjadi seorang panglima muda yang diperbantukan kepadanya. Ketika terjadi pergolakan di utara, dia mengatur rencana dengan muridnya itu, kemudian mengutus muridnya mengerjakan tugas penyelidikan ke utara atas persetujuan Kaisar.
Hal yang menyedihkan hati Menteri Kam Liong yang setia bukan hanya pergolakan di utara yang ia tahu amat pentingnya bagi perdamaian di negara Sung sendiri, akan tetapi terutama sekali melihat kelemahan negara Sung sebagai akibat tidak cakapnya Kaisar mengemudikan pemerintahan. Kaisar tidak pernah lagi memperhatikan urusan pemerintahan, setiap saat hanya tenggelam dalam kesenangan. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menikmati rayuan para selir cantik muda yang tak terhitung banyaknya, mendengar mereka bernyanyi, melihat mereka menari-nari sambil minum arak wangi sampai mabok.
Biar pun Kaisar masih ada, namun sesungguhnya kekuasaan sudah beralih ke tangan selir-selir tercantik dan tersayang, dan ke tangan para pembesar thaikam (orang kebiri) yang mendampingi Kaisar dan para selir siang malam! Berkali-kali Kam Liong memperingatkan, namun Kaisar hanya teringatkan untuk waktu singkat saja, kemudian lupa lagi dan berenang dalam kesenangan seperti biasa.
Peringatan yang selalu diajukan Kam Liong itu tidak ada gunanya, bahkan mendatangkan kebencian saja di hati para pembesar lainnya yang mempergunakan kelemahan Kaisar untuk mengeduk keuntungan pribadi sebanyak mungkin. Hanya karena mereka tahu bahwa Kam Liong merupakan menteri yang dipercaya oleh Kaisar, memiliki pengaruh dan kekuasaan besar, juga memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan, maka para thaikam dan pembesar lain yang membencinya tidak berani turun tangan mengganggunya. Hal ini diketahui pula oleh Kam Liong, akan tetapi dia tidak peduli karena yang diprihatinkan selalu hanyalah keadaan negara.
Pagi hari itu Menteri Kam Liong termenung di dalam kamar kerjanya, menghadapi teh wangi akan tetapi ia sampai lupa minum sehingga tehnya menjadi dingin. Hatinya tertekan dan ia membayangkan dengan hati penuh duka betapa keluarga adiknya, Raja Khitan terancam bahaya hebat. Dia sudah memberi nasihat kepada Kaisar agar jangan memusuhi Khitan, akan tetapi Kaisar yang dipengaruhi oleh para pembesar dan para thaikam menjawab bahwa kesempatan baik tiba di mana Kerajaan Sung dapat mempergunakan tenaga bangsa Yucen untuk merampas kembali wilayah yang dahulu dikuasai bangsa Khitan!
Dia berduka sekali, mengenangkan keadaan keluarga ayahnya yang cerai-berai itu. Ayahnya sendiri tak pernah terjun ke dunia ramai, tekun bertapa bersama isterinya, bekas Ratu Khitan, Yalina. Adiknya yang menjadi Raja Khitan, Raja Talibu, kini terancam bahaya. Saudara kembar Raja itu, adiknya Si Mutiara Hitam Kam Kwi Lan, kini entah berada di mana karena adiknya yang seorang ini suka sekali merantau, apa lagi setelah menikah dengan Tang Hauw Lam, pendekar yang suka pula merantau. Mungkin suami isteri itu kini sedang merantau ke dunia barat lewat Pegunungan Himalaya! Dia sendiri sudah terikat oleh tugasnya sebagai Menteri Kerajaan Sung yang harus ia bela sampai mati.
“Aaahhhh...” ia teringat akan tehnya, menghirup teh wangi, meletakkan lagi cangkirnya dan mengeluh. “Pantaslah Ayah lebih suka memilih tempat sunyi, mengasingkan diri dari pergaulan ramai. Makin banyak kita mengikatkan diri dengan urusan dunia, makin banyak penderitaan batin kita alami. Hemmm, aku yang tidak mempunyai turunan, apakah sebaiknya mengikuti jejak Ayah? Akan tetapi kalau demikian, apa artinya hidupku? Apa artinya aku mempelajari semua kepandaian? Bukankah semua itu dipelajari untuk dapat dipergunakan dalam dunia? Biarlah, bukankah Ayah dahulu bilang bahwa penderitaan merupakan gelombang batin yang amat bernilai harganya?”
Pada saat itu, seorang pengawal datang memasuki ruangan dan memberi hormat, lalu melaporkan bahwa ada seorang tamu pria muda mohon menghadap Sang Menteri.
Atas pertanyaan Menteri, pengawal itu menjawab. “Hamba tidak mengenalnya, Taijin, akan tetapi dia mendesak untuk diperkenankan menghadap. Dia seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan gagah sikapnya, membawa pedang di punggung dan sikapnya seperti seorang pendekar.”
“Namanya?”
“Maaf, Taijin. Ketika hamba tanyakan dia hanya mengatakan bahwa Taijin akan mengenalnya kalau sudah bertemu dan dia tidak memberitahukan namanya.”
Menteri Kam Liong yang sedang kesal hatinya itu tidak bernafsu untuk menerima tamu. “Ah, tentu seorang di antara mereka yang masih muda dan ingin sekali mendapatkan kedudukan di kota raja,” pikirnya. “Hemmm, bocah itu salah alamat kalau datang kepadaku.” Kembali ia menghela napas.
Betapa banyaknya keganjilan terjadi dalam pemerintahan yang kalut dan lemah ini. Pembesar-pembesar tinggi mudah disuap sehingga dia yang mampu memberi suapan banyak tentu akan ‘ditolong’ memperoleh kedudukan tinggi! Ingin ia memerintahkan pengawalnya untuk mengusir saja pemuda itu, akan tetapi tiba-tiba kemengkalan hatinya menuntut penyaluran. Biarlah, bocah itu akan kecelik dan biarlah dia menerima bocah itu. Kalau pemuda itu berani hendak ‘menyogok’, hemmm... akan dia beri rasa! Akan dimaki-makinya, kalau perlu dibekali tamparan sebelum diusir pergi!
“Suruh dia masuk!” ia berkata pendek.
Sejenak pengawal itu memandang bingung. Masuk ke ruangan dalam? Ke kamar kerja Sang Menteri? Biasanya, apabila menerima tamu, tamu itu disuruh menanti di kamar tamu yang berada di ruangan luar!
“Cepat! Tunggu apa lagi?” Menteri Kam Liong yang sedang mengkal hatinya itu membentak.
Sang Pengawal terkejut, memberi hormat dan keluar, heran di dalam hatinya mengapa hari itu majikannya demikian galak, padahal biasanya, Menteri Kam Liong terkenal sebagai atasan dan majikan yang lemah lembut dan halus terhadap anak buahnya.
Menteri Kam Liong sudah mendengar langkah kaki ringan yang menuju ke kamar kerjanya dan berhenti di depan pintu. “Hemm, seorang yang pandai ilmu silat,” pikirnya heran. Mengapa seorang ahli silat ingin bertemu dengannya? Ingin melamar pekerjaan pengawal? Tanpa menoleh, sambil minum teh dari cangkirnya, ia berkata tenang. “Masuklah!”
Langkah kaki ringan itu memasuki kamarnya, lalu berhenti dan hening sejenak sebelum suara yang nyaring itu bertanya. “Apakah saya berhadapan dengan Menteri Kam Liong?”
“Hemm, bocah ini sama sekali tidak mempunyai suara penjilat, tidak bermuka-muka dan tidak berlebihan menghormatinya seperti biasa dilakukan orang, malah terdengar agak kurang ajar dan tidak memandang kedudukannya yang tinggi.”
Dengan cangkir teh masih di depan mulut, Menteri Kam Liong menoleh sambil berkata,
“Siapa engkau? Katakan keperluanmu!” Akan tetapi ia terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan laki-laki itu.
Seorang pemuda yang amat tampan dan bersikap gagah sekali, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar amat tajam. Jelas bukan seorang pemuda sembarangan! Juga wajah ini... serasa pernah ia mengenalnya, akan tetapi ia tidak ingat di mana dan kapan. Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah tampan itu, Menteri Kam Liong yang mulai tertarik meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lalu memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan mendesak, “Siapakah engkau?”
Pemuda tampan itu lalu menjura dan memberi hormat, suaranya terdengar gembira dan penuh perasaan. “Harap Twako sudi memberi maaf kalau siauwte mengganggu. Siauwte adalah Kam Han Ki....”
Menteri Kam Liong mencelat bangkit dari tempat duduknya dan gerakannya sungguh amat cepat, jauh bedanya dari sikapnya yang lemah lembut. “Han Ki...? Engkau putera mendiang Paman Kam Bu Sin yang lenyap bertahun-tahun itu...?”
Pemuda yang bernama Kam Han Ki itu mengangkat mukanya dan memandang Menteri yang disebutnya ‘kakak tua’ itu dengan wajah berseri lalu mengangguk. “Benar, Twako. Saya adalah Kam Han Ki, adik sepupu Twako sendiri.”
“Ah, Adikku... Apa saja yang telah terjadi denganmu selama bertahun-tahun ini? Ah, Adikku...!” Menteri itu melangkah maju dan merangkul pemuda itu yang cepat menjatuhkan diri berlutut dengan penuh perasaan terharu.
“Duduklah, Han Ki. Duduklah. Haiii! Pelayan!” Menteri itu memanggil pelayan yang datang berlarian, lalu memerintahkan untuk mengeluarkan hidangan dan minuman.
“Twako, manakah Twaso (Kakak ipar)? Ijinkan Siauwte memberi hormat kepadanya. Dan mana keponakan-keponakan saya?” Pemuda itu menghentikan pertanyaannya ketika melihat wajah kakak misannya itu menjadi muram.
Menteri Kam Liong menghela napas dan berkata, “Aku hidup sendiri Adikku. Twaso-mu telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit berat, dan kami tidak mempunyai anak.”
“Ahhh..., maaf, Twako.”
“Tidak apa, Adikku. Sekarang ceritakan pengalamanmu selama belasan tahun ini. Sedikitnya tentu ada lima belas tahun engkau hilang. Ke mana saja engkau? Berita tentang dirimu yang terakhir amat mencemaskan kami sekeluarga. Engkau diculik dan dilarikan Siang-mou Sin-ni iblis betina itu!”
Han Ki mengangguk-angguk, lalu berkata, “Benar seperti yang Twako katakan. Iblis betina Siang-mou Sin-ni membawa saya lari ke puncak Ta-liang-san di selatan.” Kemudian Han Ki menceritakan pengalamannya.
Ketika berusia sebelas tahun. Kam Han Ki mengalami hal yang amat hebat. Dia adalah putera Kam Bu Sin, adik tiri Suling Emas yang bernama Kam Bu Song. Dia anak ke tiga. Kedua orang encinya yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui telah pergi ikut bersama Kauw Bian Cinjin, paman kakek mereka untuk bertapa dan belajar ilmu di puncak Ta-liang-san.
Dalam keadaan terluka karena pukulan-pukulan beracun, Kam Han Ki yang berusia sebelas tahun itu dibawa iblis betina Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum), menuju ke Pegunungan Ta-liang-san. Wanita iblis itu lalu mengisap darah Kam Han Ki yang dianggap mempunyai darah yang bersih dan sumsum yang murni.
Akan tetapi, iblis betina ini tidak tahu bahwa Han Ki telah minum obat beracun dingin milik kakek sakti Bouw Lek Couwsu. Sehingga ketika ia menyedot darah anak itu, ia roboh terkena racun obat itu. Han Ki segera menggunakan jarum menusuk dada Si Iblis Betina sampai menembus jantungnya dan tewaslah Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi sebelum roboh tewas, iblis betina itu berhasil pula memukul Han Ki sehingga anak ini roboh pingsan dengan tulang iga patah-patah!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Kam Han Ki, muncullah kakek dewa Bu Kek Siansu yang memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu. Dia dibawa ke sebuah goa di lembah Sungai Cin-sha dan diobati. Setelah sembuh, Bu Kek Siansu menggembleng Han Ki yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi itu dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Selama dua tahun pemuda itu diajar teori-teori ilmu silat yang hebat, kemudian disuruh berlatih sampai sempurna seorang diri di goa itu dengan pesan bahwa kalau belum sempurna tidak boleh keluar goa. Juga dia diajar cara bersemedhi dan menghimpun sinkang.
“Dengan dasar teori yang selama ini kuajarkan kepadamu, engkau membutuhkan waktu belasan tahun untuk menyempurnakan latihan-latihanmu, Han Ki. Setelah sempurna, baru pergilah kau ke kota raja dan carilah twako-mu Kam Liong. Dialah pengganti orang tuamu dan selanjutnya, dia yang akan membimbingmu,” demikian pesan kakek dewa itu yang lalu pergi menghilang tak pernah muncul lagi.
Han Ki adalah seorang anak yang berhati keras dan berkemauan teguh. Biar pun kadang-kadang ia merasa tersiksa sekali harus hidup menyendiri di tempat sunyi itu, namun ia terus berlatih dengan rajin sampai sepuluh tahun lamanya! Setelah ia keluar dari goa itu, dia telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun!
Dengan sebatang pedang yang sengaja ditinggalkan Bu Kek Siansu untuknya, mulailah pemuda itu terjun ke dunia ramai dan sekaligus mengguncangkan dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang tinggi. Beberapa kali ia bertemu dengan perampok jahat, namun dengan mudah saja penjahat-penjahat itu ditaklukkannya. Namun, karena teringat akan pesan gurunya, dalam perantauannya itu akhirnya Kam Han Ki tiba di kota raja dan langsung mencari twako-nya yang sebelumnya ia selidiki di kota raja dan mendengar bahwa Kam Liong telah menjadi seorang menteri!
Mendengar cerita itu, berulang kali Kam Liong menarik napas panjang. “Aihh, Adikku, engkau sungguh beruntung sekali dapat menjadi murid Bu Kek Siansu! Apakah setelah beliau pergi meninggalkanmu tidak pernah datang lagi menjengukmu?”
“Tidak, Twako. Suhu adalah seorang manusia yang sakti dan aneh, yang muncul dan pergi pada saat-saat yang sama sekali tidak terduga manusia. Karena saya mematuhi pesannya, maka saya datang menghadap Twako untuk menghambakan diri.”
“Ahhh, Adikku yang baik. Jangan berkata demikian. Bahkan andai kata aku tahu engkau telah menjadi seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, tentu akan kucari karena pada saat ini aku sungguh membutuhkan bantuan orang yang pandai dan boleh kupercaya penuh. Adikku Han Ki, maukah engkau membantuku?”
“Tentu saja, Twako. Mulai sekarang, saya hanya menanti perintah Twako, disuruh apa saja saya akan taat. Twako saya anggap sebagai pengganti orang tua saya, demikian pula pesan Suhu Bu Kek Siansu.”
“Bagus, Han Ki! Ah, betapa lega rasa hatiku dengan kedatanganmu yang sama sekali tidak pernah kumimpikan ini. Adikku, terimalah secawan arak dariku ini untuk mengucapkan selamat datang kepadamu!” Menteri itu lalu menuangkan arak ke dalam sebuah cawan sampai penuh betul, kemudian sekali ia menggerakkan tangan. Cawan yang penuh arak itu terlempar ke atas, berputar-putar cepat sekali akan tetapi araknya tidak tumpah sedikit pun!
“Terimalah, Adikku!”
“Terima kasih, Twako!” Han Ki yang maklum bahwa kakaknya sedang mengujinya menjadi gembira. Ia mendorongkan tangan kirinya ke arah cawan yang berputaran di udara itu. Cawan menjadi miring dan isinya tumpah, akan tetapi tumpahnya langsung memasuki mulutnya sampai cawan itu menjadi kering, lalu ia menyambar cawan itu dan meletakkannya di atas meja.
“Sayang meja ini agak kotor terkena arak dan kuwah, Twako. Biarlah saya membersihkannya!” Han Ki menggebrak meja dan... semua mangkok dan cawan beterbangan ke udara!
Cepat Han Ki menyambar sebuah kain pembersih, menggosok meja dengan gerakan yang cepatnya bukan main sehingga meja menjadi bersih, kemudian ia mengangkat meja itu menerima mangkok piring dan cawan yang meluncur turun, disambutnya dengan baik sehingga semua barang itu tidak ada yang tumpah, setelah itu ia meletakkan meja kembali di depannya.
“Bagus. kau hebat, Adikku!” Menteri Kam Liong girang sekali, kemudian tiba-tiba ia memegang tangan adiknya.
Kam Han Ki merasa betapa dari telapak tangan kakaknya itu keluar getaran hebat yang makin lama makin panas. Ia tahu bahwa itulah penyaluran tenaga sinkang yang amat kuat, maka cepat ia pun mengerahkan sinkang-nya, menerima tekanan kakaknya dengan muka tidak berubah.
Menteri itu merasa betapa tiba-tiba tangan adiknya yang ia pegang dan remas itu menjadi dingin seperti salju dan betapa wajah pemuda itu sama sekali tidak berubah. Ia kagum bukan main dan barulah ia merasa yakin bahwa Bu Kek Siansu benar-benar telah berlaku murah hati kepada adiknya ini, dan yakin bahwa pemuda ini dapat membantunya meringankan beban yang pada waktu itu terasa amat berat olehnya. Akan tetapi hatinya masih belum puas mengingat betapa pentingnya tugas yang hendak ia serahkan kepada Han Ki.
“Adikku yang baik, marilah ikut bersamaku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)!” katanya setelah ia melepaskan tangannya. Han Ki bangkit dan mengikuti menteri itu pergi ke lian-bu-thia.
Para penjaga hanya dapat melihat dengan mata melongo saja betapa kini pemuda yang menjadi tamu itu ‘bertanding’ dengan hebatnya melawan Sang Menteri. Han Ki menggunakan pedangnya, sedangkan Menteri Kam Liong menggunakan sepasang senjatanya yang selama ini belum pernah terkalahkan, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas.
Diam-diam Kam Han Ki kagum bukan main. Kakaknya yang sudah setengah tua itu ternyata amat hebat. Permainan suling emas dengan ilmu silat pedang Pat-sian Kiam-sut dirangkai dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat benar-benar lihai sekali. Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang cepat dan memiliki jurus-jurus berbahaya, sungguh menakjubkan kini dimainkan dengan suling yang berubah menjadi gulungan sinar emas.
Ada pun Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) juga hebat bukan main. Selain gagangnya dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, juga kalau kipas dikebutkan, angin menyambar keras mengacaukan gerakan lawan.
Namun Han Ki tidak percuma melatih diri selama belasan tahun seorang diri di dalam goa, tidak percuma menjadi murid Bu Kek Siansu karena ilmu pedangnya juga amat tinggi. Ilmu pedangnya mempunyai dasar gerakan Hong-in-bun-hoat yaitu gerakan ilmu silat yang dilakukan seolah-olah ‘menulis’ huruf-huruf indah di udara, dan karena semua ilmu silat yang dimainkan oleh kedua kakak beradik ini berasal dari satu sumber, maka mereka dapat saling mengenal jurus lawan dan dapat mengimbanginya. Seratus jurus telah lewat dan diam-diam Menteri Kam Liong kagum dan girang sekali. Pada waktu itu jarang ada lawan yang dapat menandinginya sampai seratus jurus tanpa terdesak sedikit pun, apa lagi masih begini muda, bahkan dalam hal tenaga sinkang, adiknya ini malah lebih kuat dari padanya!
“Gu Toan, hebat tidak kepandaian Adikku ini?” Tiba-tiba Menteri Kam Liong berseru gembira sambil meloncat ke belakang menghentikan serangannya, menoleh kepada seorang laki-laki setengah tua yang berpunggung bongkok dan yang sejak tadi menonton dengan mata terbelalak dan mulut celangap, melongo dengan penuh kekaguman.
Si Bongkok yang bernama Gu Toan itu membungkuk-bungkuk sehingga tubuhnya menjadi makin bongkok, mulutnya berkata. “Hebat... hebat... hamba belum pernah menyaksikan yang sehebat itu, Taijin...”
Diam-diam Han Ki terkejut. Seorang pelayan mengapa dapat menilai pertandingan ilmu silat tinggi yang tak dapat diikuti pandangan mata sembarangan orang? Agaknya Menteri Kam Liong maklum akan keheranan hati adiknya, maka ia lalu berkata sambil menunjuk ke arah orang bongkok itu.
“Jangan pandang ringan orang ini, Han Ki. Gu Toan ini adalah pelayanku selama belasan tahun dan biar pun dia tidak langsung menjadi muridku, namun dari melihat saja dia telah dapat menguasai dasar-dasar ilmu silat yang kumainkan. Sayang dia sudah tua dan ketika kecil tidak dilatih, padahal dia memiliki bakat yang lebih besar dari pada bakatku sendiri. Pula, di dunia ini sukar dicari orang yang lebih setia dari pada Gu Toan!”
Gu Toan kelihatan malu-malu dan berkali-kali ia menjura. “Taijin terlalu memuji hamba, terlalu memuji hamba... Ah, Kongcu benar-benar memiliki ilmu pedang yang tiada keduanya di dunia ini.”
“Gu Toan, ketahuilah bahwa pemuda ini adalah adikku sendiri, adik sepupu yang mulai sekarang kuangkat menjadi pengawal pribadiku!”
“Ahh, selamat datang, Kongcu!” pelayan itu berseru girang dan melihat sinar matanya, Han Ki diam-diam membenarkan pendapat kakaknya. Memang pelayan bongkok ini memiliki sinar mata yang hebat, penuh kecerdikan juga penuh kesetiaan.
Kembali kakak beradik ini duduk berdua di kamar Sang Menteri dan mulailah Menteri Kam Liong menceritakan semua urusan yang memberatkan hatinya.
“Yang memberatkan hatiku adalah dua persoalan.” Menteri itu bercerita. “Pertama adalah kekuasaan suku bangsa Yucen yang makin besar. Aku merasa curiga dengan keadaan mereka, oleh karena itu diam-diam aku menyuruh muridku sendiri untuk menyelundup dan bekerja di sana sebagai seorang perwira.”
Han Ki tertarik sekali dan merasa kagum akan kecerdikan twako-nya dan keberanian murid twako-nya itu. “Akan tetapi telah beberapa lama ini dia tidak memberi kabar, bahkan aku khawatir sekali kalau-kalau terjadi sesuatu dengan kurir yang sering kali menghubungkan dia dan aku, mengirim berita-berita. Karena itu engkau harus mewakili aku menyelidiki ke sana, Adikku. Tidak mungkin kalau aku sendiri yang pergi ke sana, karena mereka sudah mengenalku. Aku sendiri akan berangkat ke Khitan menyelidiki keadaan kakak misanmu yang menjadi Raja Khitan.”
Menteri itu lalu memperkenalkan Raja Talibu yang juga merupakan putera Suling Emas sehingga Han Ki makin tertarik hatinya. Segera ia menyanggupi tugas yang dibebankan kepadanya. Akan tetapi, karena dia diangkat sebagai pengawal Menteri Kam Liong, tentu saja oleh Menteri Kam Liong dia harus diperkenalkan dengan para pembesar lain, juga bahkan dihadapkan kepada Kaisar.
Kaisar merasa suka bertemu dengan Han Ki, kagum melihat pemuda yang lemah-lembut, tampan dan gagah perkasa itu. Apa lagi ketika Kaisar mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah adik sepupu dari menterinya yang setia, kepercayaannya bertambah dan ia menerima Han Ki dengan gembira. Bahkan memberi ijin kepada pemuda itu untuk ‘melihat-lihat’ keadaan di sekeliling istana, mengagumi taman bunga istana yang amat indah itu.
Setelah menghaturkan terima kasih, Han Ki lalu memasuki taman, meninggalkan twako-nya yang masih bercakap-cakap dengan Kaisar mengenai keadaan pemerintahan. Pemuda ini kagum bukan main. Taman itu amat luas, pula amat indahnya sehingga dia merasa seolah-olah tersesat ke alam sorga di dalam mimpi. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan bunga-bunga yang demikian banyak macamnya, serba indah, bangunan indah dalam taman dan burung-burung yang dipelihara dalam sangkar beraneka warna.
Saking tertariknya, pemuda yang selama hidupnya baru sekali itu menyaksikan tempat yang demikian indahnya, sampai lupa diri dan tidak tahu bahwa dia telah memasuki daerah terlarang, yaitu taman puteri yang terpisah dari taman umum dengan pagar bunga mawar berduri yang tinggi. Namun bagi Han Ki tentu saja pagar itu tidak berarti apa-apa. Ketika menjenguk dan melihat betapa taman di sebelah pagar itu jauh lebih indah lagi, dengan bangunan-bangunan mungil dan kolam-kolam ikan, serta sangkar-sangkar burung berkilauan agaknya terbuat dari pada perak dan emas, ia menggenjot tubuhnya dan melompati pagar bunga mawar.
Dia sampai berdiri bengong dan menahan napas menyaksikan segala keindahan itu. Rumput-rumput yang tumbuh di tempat ini pun bukan sembarangan, melainkan rumput yang teratur dan amat indah seperti permadani dari beludru. Seperti dalam mimpi ia berjalan terus, melangkah ke arah sekumpulan bangunan yang dicat merah. Tiba-tiba telinganya mendengar suara wanita menjerit-jerit kebingungan, bahkan lalu mendengar wanita menangis. Cepat ia menyelinap di antara pohon bunga, berlompatan mendekati suara yang datangnya dari balik kelompok bangunan.
Ketika ia tiba di situ dan memandang dari tempat sembunyinya di balik pohon, ia bengong, matanya tak berkedip memandang ke depan dan napasnya seolah-olah terhenti sama sekali. Kalau tadi ia kagum dan merasa dalam mimpi menyaksikan keindahan taman, kini ia terpesona menyaksikan seorang dara jelita yang kecantikannya seolah-olah membuat denyut darahnya tiba-tiba membeku.
Seorang dara jelita berpakaian serba merah jambon sedang menangis di bawah pohon, dihibur oleh empat orang wanita muda cantik-cantik dan beberapa orang di antara wanita-wanita itu ada yang sibuk menjentikkan jari tangan sambil meruncingkan bibir merah dan mengeluarkan bunyi bercicit seperti burung.
“Kalau dia tidak mau kembali dan terbang pergi... ah bagaimana?” Dara cantik yang berpakaian indah itu terisak.
Perhiasan dari batu permata berbentuk burung hong yang menghias rambutnya mengangguk-angguk karena gerakan tangisnya. Empat orang yang menghiburnya itu pun cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan dara berpakaian jambon, mereka itu seperti empat ekor burung gereja di dekat seekor burung hong!
“Tenanglah, Siocia. Kalau kita tidak dapat menangkapnya, nanti hamba minta bantuan tukang kebun,” seorang di antara empat pelayan itu menghibur.
“Apakah tukang kebun dapat terbang? Mana bisa menangkap seekor burung? Aihhh, kalau Hongsiang (Kaisar) mengetahui, tentu tidak apa-apa, akan tetapi aku khawatir sekali terhadap kemarahan Hong-houw (Permaisuri), burung ini adalah kesayangannya.” Dara itu menangis lagi.
Han Ki merasa kasihan sekali. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini. Mengapa ia tiba-tiba merasa kasihan sekali kepada dara berpakaian jambon itu? Padahal mengenalnya pun belum dan apa urusannya pun dia belum tahu. Hanya melihat dara itu berwajah demikian gelisah dan melihatnya menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Ia memandang ke arah pohon dan tampaklah olehnya seekor burung kecil berwarna kuning yang indah sekali. Ketika melihat sangkar kosong di dekat puteri itu tahulah dia bahwa Sang Puteri itu agaknya telah membikin burung tadi terlepas dan kini merasa bingung bagaimana akan dapat menangkapnya kembali.
Terdorong oleh rasa kasihan, Han Ki menjadi nekat lalu dia melompat ke luar dan berkata, “Harap Siocia tidak khawatir, saya akan menangkap burung itu!”
Dara berpakaian jambon ini terbelalak dan menahan jeritnya, sedangkan empat orang pelayan itu pun menutup mulut saking kaget dan herannya. Han Ki yang melihat sikap mereka menjadi heran, hanya mengangkat pundak kemudian tubuhnya sudah mencelat naik ke atas pohon. Burung itu terkejut dan terbang, akan tetapi Han Ki sudah mendorongkan telapak tangannya. Angin bertiup dari telapak tangannya dan burung itu tertahan terbangnya, lalu disambarnya dengan tangan kanan dan dibawanya melompat turun.
“Nah, ini dia, Siocia, sudah dapat saya tangkap kembali.”
Dara itu girang bukan main, lupa akan keheranannya melihat munculnya seorang pemuda tampan dan seorang di antara pelayan lalu mengambil sangkar kosong dan tak lama kemudian burung itu sudah aman berada di dalam sangkar kembali. Kini barulah lima orang wanita itu memandang Han Ki dengan bengong dan tiba-tiba wajah puteri itu menjadi merah sekali, lalu ia menunduk dan membuang muka karena ia melihat sinar kagum jelas sekali terpancar keluar dari pandang mata pemuda yang tampan itu.
“Eh, orang muda, apakah kau pandai terbang?” seorang di antara empat pelayan bertanya.
“Apakah engkau tukang kebun baru?” tanya yang ke dua.
Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang menunduk dari puteri itu Han Ki menggeleng kepala. “Aku tidak pandai terbang dan bukan tukang kebun.”
Kini puteri itu memutar tubuh dan memandang ke arah wajah Han Ki penuh kemarahan dan bibir yang merah itu merekah, lalu terdengar suaranya yang bagi Han Ki seperti nyanyian bidadari.
“Kalau engkau bukan tukang kebun, bagaimana engkau bisa berada di sini?”
Han Ki tak gentar menghadapi pandang mata para penjahat yang liar dan bengis, tidak berkedip menghadapi serangan pedang dan golok. Namun kini, mata yang memancar ke luar dari sepasang mata indah itu membuat ia gugup dan jantungnya berdebar tidak karuan!
“Aku... aku... melihat-lihat taman dan melompati pagar bunga mawar!”
“Aihh! Orang muda yang kurang ajar!” Seorang di antara para pelayan membentak. “Kau bicara seenaknya saja di depan seorang puteri Kaisar!”
Han Ki terkejut sekali, akan tetapi perasaannya sebagai seorang laki-laki yang gagah membuat ia pantang untuk bertekuk lutut, maka ia hanya menunduk dan berkata lirih. “Maaf, maafkan saya, Siocia. Saya tidak tahu... ah, saya bersedia dihukum karena kesalahan ini....”
Aneh sekali. Kini puteri itu tersenyum simpul, matanya mengerling wajah tampan itu, jantungnya berdebar, kemudian ia berkata, “Kalau pengawal tahu engkau masuk ke daerah terlarang ini, engkau akan dihukum mati! Karena itu, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Eh, pelayan, berikan hadiah kepadanya yang telah menangkap kembali burung yang terlepas.”
“Tidak, Siocia. Saya tidak membutuhkan hadiah. Memang burung itu tentu saja ingin sekali bebas karena betapa pun indah sangkarnya, dia hidup terkurung. Lihat, bukankah dia nampak bersedih? Sungguh pun begitu, dia seekor burung yang bodoh sekali, mengapa ingin bebas...?”
Sepasang alis yang kecil panjang hitam seperti dilukis itu bergerak ke atas dan kembali Han Ki merasa jantungnya tertusuk oleh sinar mata itu.
“Engkau bicara aneh dan tidak karuan. Tadi kau katakan bahwa tentu saja burung itu ingin bebas, kemudian kau mencelanya sebagai burung bodoh! Apa maksudmu?” Puteri itu memandang tajam dan kembali jantungnya berdebar aneh ketika melihat lebih jelas lagi betapa wajah pemuda di depannya itu benar-benar amat tampan dan menarik hatinya.
“Dia bodoh sekali, Siocia. Kalau saya menjadi dia, saya... saya akan merasa bahagia sekali dikurung dalam sangkar dan berada di sini selamanya!” Han Ki yang masih merasa dalam mimpi itu bicara sejujurnya menurutkan suara hatinya.
Kembali sepasang mata itu terangkat dan sepasang mata indah itu melebar. “Mengapa?”
“Karena... karena setiap hari akan dapat melihat Siocia dan dapat bernyanyi untuk Siocia....”
“Aiihhh...!” Puteri jelita itu membuang muka. Wajahnya menjadi merah sekali melebihi warna bajunya, matanya seperti orang bingung, bergerak-gerak pandangnya tanpa tujuan seperti mata kelinci terjebak, akan tetapi bibir yang merah dan manis itu tersenyum-senyum malu, tersipu-sipu!
“Weh-weh, kau laki-laki kurang ajar! Kau bisa dihukum mati kalau bicara seperti ini,” kata seorang pelayan, juga tiga orang yang lain marah-marah. “Siapa sih engkau berani mati seperti ini?”
Han Ki menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah yang kemerahan itu dan memang dia bukan menjawab Si Pelayan melainkan berkata ditujukan kepada puteri itu. “Saya bernama Kam Han Ki, pengawal pribadi dan juga adik sepupu Menteri Kam Liong. Saya diperkenankan oleh Hongsiang untuk melihat-lihat taman, akan tetapi telah tersesat ke sini, harap Siocia sudi memaafkan.”
“Oohhh... Kau... kau... adik sepupu Menteri Kam?” Puteri itu berkata lirih dan kemarahan lenyap dari pandang matanya, terganti kekaguman. Juga empat orang pelayan yang tadi marah-marah, kini tersenyum-senyum memandang nona majikan mereka.
Sang Puteri dapat menangkap kerling dan senyum ini, lalu membentak, “Mau apa kalian tersenyum-senyum?”
Empat orang pelayan itu menunduk, akan tetapi tetap tersenyum dan seorang di antara mereka yang paling berani lalu berkata, “Hamba sekalian mengira bahwa dia adalah tukang kebun yang rendah, Siocia. Kiranya adik Kam-taijin, seorang pemuda bangsawan yang gagah perkasa, malah pandai terbang melebihi burung. Hemm....”
Puteri itu tersipu-sipu, akan tetapi memaksa diri menghadapi Han Ki yang masih bengong terpesona karena wajah puteri itu makin dipandang makin mempesona, lalu berkata lirih, “Kam-taihiap, sebaiknya engkau lekas pergi dari sini. Kalau ketahuan Hongsiang, selain engkau dihukum aku pun akan mendapat malu. Harap suka pergi dan... terima kasih atas bantuanmu tadi.”
Han Ki mengangguk, merasa kecewa sekali harus pergi dari depan puteri ini. Akan tetapi ia pun maklum bahwa kehadirannya di situ akan mendatangkan bencana bagi Sang Puteri, maka dia berkata, “Maaf...!” lalu membalikkan tubuhnya melangkah pergi menuju ke pagar bunga mawar dengan kedua kaki lemas.
Mengapa. hatinya seperti hilang dan semangatnya kabur ke manakah? Terasa seperti tubuhnya yang lemas saja yang pergi, akan tetapi semangat, dan hatinya tertinggal di depan kaki Sang Puteri. Sampai di pagar, dia menengok. Puteri itu ternyata memandang ke arahnya dengan bengong. Sejenak dua pasang mata bertemu, bertaut seolah-olah melekat dan sukar dilepas lagi. Kemudian puteri itu menunduk.
“Maaf, Siocia. Saya Kam Han Ki telah berlaku lancang dan berdosa terhadap Siocia. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah saya menambah dosa lagi dengan mengetahui nama Siocia. Bolehkah?”
Sunyi sejenak. Tanpa mengangkat muka puteri itu berkata lirih. “Namaku... Hong Kwi...”
“Terima kasih!” Han Ki berkata dengan girang dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari situ melompati pagar.
Demikian cepat gerakannya sehingga, empat orang itu berseru, “Dia... dia menghilang. Jangan-jangan dia... setan...!”
Puteri itu tertawa, suara tawanya seperti nyanyian burung, tanda bahwa hatinya gembira sekali. “Hushhh! Bukan menghilang! Mana ada setan di siang hari? Dia seorang Taihiap, seorang pendekar besar, tentu saja loncatannya cepat sekali. Dia adik Kam-taijin yang memiliki kepandaian luar biasa, tentu saja...!”
“Hebat... Betulkah, Siocia? Hi-hihik!” para pelayan tertawa.
“Hushh! Apa ketawa? Kusuruh cambuk kau, seribu kali!” Sang Puteri menghardik.
Akan tetapi empat orang pelayan itu masih terkekeh genit dan seorang di antara mereka yang sudah dapat mengetahui rahasia hati puteri asuhan mereka itu, berkata sambil berlutut. “Hati hamba sekalian gembira sekali, Siocia. Jangankan dicambuk seribu kali, biar selaksa kali hamba terima!”
Tentu saja mereka hanya bergurau karena kalau betul-betul dicambuk, jangankan selaksa kali atau seribu kali, baru dua puluh kali saja kulit-kulit tipis punggung dan pinggul mereka tentu akan pecah-pecah dan nyawa mereka melayang!
Demikianlah, semenjak saat itu hati Han Ki tercuri oleh Puteri Hong Kwi yang cantik jelita. Puteri ini adalah puteri Kaisar dari selir yang memang terkenal cantik jelita. Dan semenjak saat itu, Han Ki selalu mencari kesempatan untuk tersesat atau lebih tepat ‘menyesatkan diri’ ke dalam taman terlarang sehingga dalam waktu sebulan itu, beberapa kali ia ‘kebetulan’ bertemu dengan Sung Hong Kwi, puteri selir itu yang selalu ada di taman itu. Bahkan kini puteri itu amat sering datang ke taman untuk duduk termenung sambil memandang burung kuning dalam sangkar! Kini puteri ini tidak lagi menyimpan rahasia hatinya kepada empat orang pelayannya yang tentu saja merahasiakan pertemuan antara Han Ki dan Hong Kwi.
Pada saat malam terang bulan, Hong Kwi duduk melamun di taman. Empat orang pelayan duduk tak jauh dari situ, berbisik-bisik dan tidak berani mengganggu Sang Puteri yang mereka tahu sedang murung memikirkan Han Ki yang sudah beberapa hari tidak tampak.
Hong Kwi memandang ke arah burung kuning dalam sangkar. Pikirannya melayang-layang jauh. Dia tidak melihat burung di dalam sangkar itu, melainkan wajah Han Ki! Dari bibirnya berbisik-bisik “Mungkinkah...? Akukah yang seperti burung dalam sangkar? Bagaimana mampu bebas dan terbang berdua dengan burung di luar sangkar? Ah! Kam-taihiap...!”
Seolah-olah mendengar jeritan hatinya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Han Ki telah berdiri di hadapannya!
“Kam-taihiap...!” Hong Kwi terkejut sekali. Betapa beraninya pemuda ini! Malam-malam datang di tempat itu! Kalau ketahuan, mereka berdua bisa celaka!
Akan tetapi sikap Han Ki tidak gembira seperti biasa. Biar pun biasanya pertemuan antara mereka berdua hanya lebih banyak pertemuan pandang mata saja dari pada percakapan, namun Han Ki selalu bersikap gembira. Namun malam ini, di bawah sinar bulan, wajah yang tampan itu kelihatan muram.
“Siocia..., saya datang... untuk berpamit...”
Dara jelita itu terkejut, mengangkat muka memandang penuh selidiki. “Berpamit...? Kam-taihiap... mengapa? Apa yang terjadi? Engkau... hendak pergikah?”
Pemuda itu hanya mengangguk, kemudian memandang ke arah empat orang pelayan dan berkata, “Bolehkah saya bicara berdua saja denganmu, Siocia?”
“Ahhh... tapi... tapi...” Ia meragu, lalu menoleh ke arah empat orang pelayannya sambil berkata lirih. “Kalian pergilah sebentar.”
Empat orang pelayan itu saling pandang, lalu tersenyum dan bagaikan empat ekor kupu-kupu mereka berlarian menjauh dan bersembunyi di dalam bangunan kecil, agak jauh dari tempat itu.
“Tai-hiap, engkau hendak pergi ke manakah?”
“Siocia, saya mendapat tugas dari Menteri untuk melakukan penyelidikan ke negara bangsa Yucen...!”
“Aihhh... Bangsa yang biadab itu...!” Sang Puteri berseru kaget sekali.
“Karena itu, maka harus diselidiki keadaannya, Siocia. Demi kepentingan kerajaan ayahmu saya harus berangkat besok pagi-pagi. Karena inilah maka saya memberanikan diri menghadap Siocia untuk berpamit.”
“Kam-taihiap, berapa lamakah kau pergi...?”
Han Ki menggeleng kepala. “Bagaimana saya bisa tahu, Siocia? Tergantung keadaan di sana dan... hemmm, kalau saya sampai tidak kembali menghadap Siocia itu berarti bahwa saya tentu tewas di sana... Eh...! Siocia...! Siocia...!”
Han Ki cepat menubruk dan merangkul dara itu yang tiba-tiba menjadi lemas dan pingsan mendengar ucapannya itu. Dia merangkul leher dara itu penuh kasih sayang, penuh kemesraan, lalu memondongnya dan memangkunya sambil duduk di bangku tepi kolam. Ia tahu bahwa dara itu hanya pingsan karena kaget, maka perlahan-lahan ia mengurut belakang kepalanya.
Muka itu tengadah, agak pucat namun bibirnya masih merah segar. Pernapasan merasa lega sekali dan tanpa disadarinya ia menunduk mencium dahi yang putih halus itu. Sang Puteri sadar dan berteriak ketika mendapatkan dirinya dipangku dan dahinya dicium.
“Ahhh, Kam-taihiap...!” Ia merintih dan kedua lengannya merangkul leher.
“Hong Kwi... Hong Kwi...?” Han Ki juga mengeluh, sakit hatinya karena maklum akan keadaan mereka yang seolah-olah terpisah jurang kedudukan, dan kini malah akan berpisah!
Ia menjadi terharu, bercampur cinta kasih mendalam dan tanpa mereka sadari dan tanpa mereka ketahui siapa yang memulainya, muka mereka saling berdekatan dan bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman mesra, ciuman yang mereka lakukan tanpa sadar, seolah-olah ada tenaga gaib yang mendorong mereka karena selama hidup mereka belum pernah berciuman seperti itu. Tercurah seluruh kerinduan hati, seluruh keharuan, seluruh cinta kasih sehingga sambil berciuman yang seolah-olah takkan pernah terlepas lagi. Saat itu mereka terisak, naik sedu-sedan dari dada mereka ke tengorokan.
Mereka terengah-engah, terbuai oleh gelombang asmara yang hebat, baru melepaskan ciuman setelah napas tak tertahan lagi, saling rangkul seolah-olah tak hendak melepaskan lagi.
“Hong Kwi...!”
“Koko... Kam-koko...!”
Entah berapa lama mereka saling rangkul, entah berapa kali mereka saling berciuman. Tiada bosan-bosannya Han Ki mencium dahi, alis, mata, hidung, pipi, bibir dan leher wanita yang dicintanya, seolah-olah hendak menghisap semua itu dan menyimpannya ke dalam lubuk hatinya. Mereka lupa diri, lupa waktu, lupa keadaan.
“Siocia...!” Suara pelayan menyadarkan mereka. “Hamba mendengar suara peronda...!”
Puteri itu melepaskan diri dari atas pangkuan Han Ki, berdiri gemetar sambil memegang lengan Han Ki yang kuat. “Koko... bagaimana dengan kita...? Ahh, Koko, jangan tinggalkan aku, bawalah aku pergi... mari kita minggat malam ini juga...”
Han Ki menutup mulut itu dengan ciuman mesra, tidak peduli lagi bahwa perbuatannya ini kelihatan oleh pelayan yang cepat membuang muka dengan sungkan.
“Hushhh, jangan berkata demiklan, kekasihku. Jangan khawatir, aku pasti akan kembali membawa jasa dan tentang masa depan kita, harap jangan khawatir... Twako Kam Liong tentu akan membantuku dan engkau akan dilamar secara resmi. Mengingat akan kedudukan dan jasa Menteri, kiranya pinangan itu takkan ditolak oleh Hongsiang. Nah, selamat berpisah, manisku. Itu peronda datang...” Han Ki melepaskan pelukannya dan hendak meloncat pergi.
“Koko ...” Ahh, Koko...!” Puteri itu merintih.
Han Ki meloncat kemibali, memberi ciuman yang mesra sekali yang seolah-olah menghisap hati dara itu, kemudian tanpa menoleh ia sudah meloncat cepat lenyap dari situ. Untung bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang hebat sehingga munculnya peronda tidak mengakibatkan sesuatu karena peronda-peronda itu tidak melihat atau mendengar kehadiran Si Pemuda yang nekat dan berani mati karena asmara itu.
Para peronda memberi hormat kepada Puteri Sung Hong Kwi yang telah menguasai hatinya dan tanpa mengeluarkan kata-kata dara itu kembali ke kamarnya diikuti empat orang pelayannya yang diam-diam saling towel, saling cubit dan menutupi senyum dengan tangan mereka.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kam Han Ki berangkat melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh Menteri Kam Liong, yaitu menyelidiki ke kota raja bangsa Yucen untuk menyusul Khu Tek San, yaitu murid Menteri Kam Liong yang diselundupkan ke Kerajaan bangsa Yucen.
Ada pun Menteri Kam Liong sendiri tak lama kemudian juga pergi seorang diri setelah mendapat perkenan Kaisar, pergi ke Khitan untuk menyelidiki kerajaan adiknya yang ia tahu terancam perang besar dengan bangsa Yucen, bahkan barisan Sung sendiri atas pimpinan panglima-panglima perbatasan yang sudah disetujui oleh Kaisar juga membantu bangsa Yucen menyerang Khitan. Ia merasa khawatir sekali, apa lagi karena ia pun tahu bahwa bangsa Mongol sedang berkembang dan selalu mengintai daerah-daerah perbatasan!
********************
Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-02