Istana Pulau Es Jilid 02
Maya berjalan seperti kehilangan semangat bersama pasukan pengawal yang kini telah berubah menjadi perampok-perampok, menjadi serigala-serigala haus darah yang amat kejam di bawah pimpinan Bhutan. Anak perempuan yang usianya baru sepuluh atau sebelas tahun ini menderita tekanan batin yang bukan main hebatnya.
Pertama-tama tentang keadaan dirinya yang ternyata bukanlah puteri Raja dan Ratu Khitan, melainkan keponakan mereka, dan bahwa ayah bundanya telah tewas. Hal ini saja sudah membuat ia berduka bukan main, sungguh pun andai kata dia benar puteri Raja dan Ratu, mereka ini pun sekarang telah tewas. Kedua, menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan pasukan itu benar-benar mengerikan sekali. Ketiga, memikirkan keselamatannya sendiri yang terancam mala-petaka hebat.
Malam itu gerombolan yang dipimpin Bhutan mengaso di sebuah hutan dan mereka itu berpesta-pora dan mabuk-mabukan karena baru saja mereka membasmi sebuah dusun. Di antara suara ketawa-tawa mereka terdengar jerit dan rintih wanita-wanita yang mereka culik dan mereka seret ke dalam hutan itu. Ada di antara mereka yang sekaligus membawa dua orang wanita dan mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus.
Maya tidak melihat itu semua, tidak mendengar itu semua. Sudah terlalu sering ia mendengar dan melihat hal-hal mengerikan itu sehingga biar pun kini mata dan telinganya terbuka, namun yang tampak olehnya hanya api unggun di depannya. Diam-diam dia telah mempersiapkan diri. Di dalam perampokan-perampokan itu, ia menemukan sebuah pisau belati yang runcing dan tajam. Disembunyikannya pisau itu di balik bajunya, diselipkan di ikat pinggang sebelah dalam. Dan ia selalu mencari akal untuk melarikan diri.
Mereka sedang mabok-mabokan dan memperkosa wanita rampasan. Kalau saja Bhutan malam itu tidak menjaganya, tentu ia akan dapat melarikan diri di dalam hutan yang gelap itu. Mereka sedang mabok dan sedang mengganggu para wanita. Kalau dia lari, tentu takkan ada yang tahu. Jantungnya sudah berdebar karena dia tidak melihat Bhutan yang tadi rebah-rebahan tidak jauh dari situ.
Akan tetapi harapannya membuyar ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa Bhutan. Suara ketawa yang serak. “Ha-ha-ha, engkau kelihatan manis sekali di dekat api unggun. Kulit wajahmu kemerahan. Wahai, puteriku jelita! Engkau seperti bukan kanak-kanak lagi, heh-heh-heh!” Maya merasa muak dan mau muntah ketika muka Bhutan yang didekatkan itu mengeluarkan bau arak dan daging busuk!
Jantung Maya berdebar tegang. Ia tahu bahwa orang yang paling dibencinya ini sedang mabok. Dari pandang mata, sikap dan ucapannya, Maya merasa bahwa ada bahaya mengancamnya, bahaya yang selama ini amat ditakutinya. Biasanya Bhutan hanya merayu dan memujinya dengan kata-kata saja, akan tetapi sekali ini agaknya dia mempunyai niat lain.
“Pergi dan jangan ganggu aku!” Maya membentak marah.
“Ha-ha-ha, Maya yang manis! Tadinya aku hendak menunggu satu dua tahun sampai engkau lebih matang. Akan tetapi aku tidak sabar menunggu sekian lamanya dan engkau... hemm, engkau sudah cukup matang, engkau seperti setangkai kuncup kembang yang sudah merekah. Marilah, Maya manis!” Bhutan yang kini sudah berubah seperti seekor anjing kelaparan itu menangkap tangan Maya dan menarik tubuh anak perempuan itu sehingga roboh ke dalam pelukannya.
Bhutan tertawa-tawa dan memondong tubuh Maya yang meronta-ronta, membawanya ke balik gerombolan pohon kembang di mana terdapat tilam rumput hijau yang lunak. Tak jauh dari situ terdapat mayat seorang wanita yang baru saja menjadi korban kebuasan Bhutan. Manusia kejam ini telah memperkosa wanita rampasan itu, kemudian membunuhnya karena wanita itu tidak memuaskan hatinya dan dalam kehausan nafsu yang bernyala-nyala, Bhutan teringat akan Maya dan kini membawa anak perempuan yang meronta-ronta itu ke situ tanpa mempedulikan mayat yang menjadi korban kebuasannya.
Sambil tertawa-tawa dan dengan nafsu makin menyala-nyala, agaknya makin terbangkit oleh perlawanan Maya yang meronta-ronta, Bhutan melempar tubuh Maya ke atas rumput di mana dara cilik itu terbanting roboh telentang, kemudian Bhutan menubruk dan menindihnya.
Maya menggerakkan kepala ke kanan kiri untuk mengelakkan ciuman-ciuman Bhutan yang menjijikkan. Biar pun semenjak tadi Maya meronta-ronta dan menjerit-jerit seperti seorang yang tidak berdaya dan yang hanya bisa menjerit dan menangis, namun sesungguhnya diam-diam anak ini telah mempersiapkan seluruh urat tubuhnya dengan perhitungan seorang ahli silat. Ketika melihat lowongan, yaitu kedua tangan Bhutan menjambak rambutnya, agaknya untuk memaksa Maya agar tidak dapat menggerakkan kepala mengelak, kemudian mencium mulut gadis cilik itu penuh nafsu, saat itulah yang dinanti-nanti Maya.
Ia mengatupkan mulutnya kuat-kuat sehingga yang dicium Bhutan hanya sepasang bibir yang bersembunyi, dan tiba-tiba tangan kanan Maya bergerak, menikamkan pisau belati tepat ke ulu hati Bhutan dan miring ke kiri, ke arah jantung, sedangkan tangan kirinya yang kecil itu menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah mata lawan. Biar pun Maya merasa muak dan jijik, namun dengan kekuatan hatinya ia dapat menekan perasaannya itu dan dapat melakukan serangan mendadak secara tepat sekali.
Pekik yang keluar dari mulut Bhutan merupakan raungan binatang buas yang direnggut nyawanya. Tusukan jari-jari kecil pada kedua matanya dan rasa sakit pada dadanya membuat Bhutan secara otomatis membawa tangannya ke mata dan dada. Saat yang hanya beberapa detik ini cukup bagi Maya untuk meronta dan keluar dari tindihan tubuh Bhutan, kemudian meloncat pergi lalu berlari cepat memasuki tempat gelap.
Bhutan meloncat bangun, meraung lagi, berusaha mengejar namun roboh terguling, berkelojotan dan dari kerongkongannya terdengar bunyi mengorok seperti babi disembelih. Akhirnya ia tewas tak jauh dari mayat wanita yang telah dibunuhnya.
Akan tetapi perhitungan Maya meleset. Dia tidak memperhitungkan pekik yang keluar dari mulut Bhutan ketika ia melakukan penikaman. Pekik itu menarik perhatian dan mengejutkan beberapa orang anak buah gerombolan yang berada tidak jauh dari tempat itu! Mereka kaget dan meninggalkan wanita korban mereka yang sudah setengah mati, lalu meloncat ke tempat terdengarnya suara pekikan. Tentu saja mereka terkejut melihat tubuh Bhutan berkelojotan dan lenyapnya Maya. Mereka berteriak-teriak dan tak lama kemudian, empat belas orang bekas pengawal itu telah mengejar Maya!
Akhirnya Maya yang kelelahan dan kehabisan tenaga karena memang tubuhnya sekarang telah menjadi lemah akibat tidak terpelihara dengan baik, makan dan tidur tidak teratur, tertangkap oleh gerombolan itu di luar sebuah dusun menjelang pagi. Empat belas pasang tangan memperebutkannya, dan seorang di antara mereka cepat berkata,
“Heh, kawan-kawan jangan bodoh! Kalau diperebutkan begitu, dia akan mampus. Sayang sekali kalau begitu! Lebih baik dia dirawat dan kita pelihara baik-baik. Dia dijadikan milik kita bersama. Ingat, dia bukan kembang sembarang kembang, harus diperlakukan penuh kelembutan. Ha-ha-ha!”
Mendengar ini, yang lain-lain setuju dan sambil tertawa-tawa mereka menggandeng tangan Maya yang sudah babak belur itu.
“Nah, ini ada dusun, melihat bangunan-bangunannya lumayan juga. Bocah ini masih terlalu kecil, kita pelihara dulu sampai menjadi segar dewasa. Lihat, dia sudah hampir mati kelelahan. Lebih baik kita mencari bunga di dusun itu dan berpesta-pora!” terdengar suara seorang di antara mereka.
Setelah Bhutan tewas, empat belas orang itu merupakan gerombolan tanpa pimpinan yang tentu saja menjadi lebih buas seperti serigala-serigala tanpa bimbingan. Sambil bersorak-sorak, empat belas orang itu menyerbu dusun. Dua orang penjaga di pintu pagar dusun, mereka bunuh tanpa banyak cakap lagi. Mulailah lagi perbuatan jahat dan penuh kebuasan melanda dusun itu. Penduduknya yang terkejut karena tak menyangka akan diserbu pada pagi hari itu menjadi geger!
Ada sebagian penduduk yang nekad melakukan perlawanan, namun tentu saja mereka itu bukan tandingan gerombolan bekas pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Mulailah terjadi pembunuhan, disusul perampokan, pembakaran dan perkosaan. Mulailah terdengar pekik-pekik mengerikan, pekik kematian dicampur dengan jerit-jerit penuh ketakutan, jerit-jerit para wanita yang diperlakukan semaunya oleh gerombolan itu.
Sementara itu Maya tidak mendapat kesempatan untuk lari karena sewaktu para gerombolan menyerbu dusun, kaki tangannya dibelenggu kuat-kuat dan dia dipaksa menunggu mereka dalam keadaan tidak dapat bergerak, hanya sepasang matanya yang lebar menyaksikan semua kekejian yang terjadi di dusun itu.
Seperti biasa pula pada akhir penyerbuan sebuah dusun, para gerombolan ini menyeret wanita yang mereka pilih. Ada yang sibuk mengumpulkan benda-benda berharga, ada yang minum arak sampai mabok dan di antara asap rumah-rumah yang masih menyala, mereka tertawa-tawa dan berkumpul di dekat tumpukan mayat-mayat, memandang rumah terbakar. Ada yang mulai mengganggu wanita di depan mata kawan-kawannya, ada yang bernyanyi-nyanyi, menyanyikan lagu kemenangan barisan tentara Khitan.
Semua ini terjadi dengan hiruk-pikuk dan Maya terpaksa harus menonton semua yang terjadi di depan mata karena ia berada di tengah-tengah antara mereka. Belenggunya sudah dilepas dan dia menjadi muak dan pening. Di belakangnya, tiga orang gerombolan sedang mengganggu tiga orang wanita yang menjerit-jerit di antara suara ketawa mereka, di depannya juga ada dan di kanan kiri, gerombolan-gerombolan itu tertawa-tawa, minum-minum dan mengamat-amati hasil rampokan mereka dengan gembira!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda banyak sekali mendatangi dusun yang terbakar itu. Empat belas orang gerombolan bekas pengawal menjadi terkejut. Akan tetapi mereka sudah terlalu mabok, mabok oleh arak dan mabok nafsu sehingga mereka terlambat untuk mengetahui bahwa yang datang adalah pasukan musuh, pasukan bangsa Yucen yang berjumlah lima puluh orang! Tahu-tahu mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang banyak jumlahnya itu dan terjadilah perang tanding yang berat sebelah.
Biar pun gerombolan bekas pengawal ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu sudah setengah mabok dan jumlah mereka kalah banyak. Mereka melakukan perlawanan gigih dan mengamuk. Melihat kesempatan ini, Maya berusaha untuk melarikan diri. Ia meloncat, akan tetapi sebuah tamparan seorang pengawal terdekat membuat ia roboh terpelanting dan pingsan di antara tumpukan mayat!
Perang kecil yang berat sebelah itu berlangsung tidak terlalu lama. Biar pun mengorbankan beberapa orang anak buahnya, namun pasukan Yucen akhirnya berhasil membunuh empat belas orang gerombolan bekas pengawal Khitan itu. Mayat mereka malang-melintang dan bertumpuk-tumpuk di antara mayat-mayat bekas korban mereka, penduduk dusun dan wanita-wanita muda yang mereka perkosa. Sisa pasukan Yucen lalu pergi meninggalkan dusun itu yang kini berubah menjadi tempat yang mengerikan sekali.
Keadaan amat sunyi, yang terdengar hanyalah api yang masih memakan atap-atap rumah. Tampak di sana-sini muncul beberapa orang penduduk yang berani datang untuk mengambil dan mengungsikan barang-barang mereka, akan tetapi tak seorang pun berani mendekati tumpukan mayat empat belas orang gerombolan yang merubah dusun itu menjadi neraka bagi penduduknya.
Tak lama kemudian, dari arah barat tampak dua orang berjalan ke arah dusun itu. Dari jauh sudah tampak bahwa mereka adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Yang laki-laki berkulit hitam sekali dan yang wanita berkulit putih, akan tetapi tubuh wanita itu tinggi, bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan laki-laki berkulit hitam itu. Kalau dilihat dari dekat, tentu orang akan terheran-heran melihat pakaian dan wajah mereka yang berbeda jauh dari penduduk umumnya.
Laki-laki itu tinggi kurus, kulitnya hitam arang, rambutnya yang keriting ditutup sorban kuning. Tubuh atas tidak berbaju hanya dilibat kain kuning yang sudah dekil, tubuh bawah memakai celana hitam sampai di bawah lutut, kakinya tidak bersepatu. Sederhana sekali pakaian dan sikapnya, tetapi wajahnya membayangkan kewibawaan besar, dengan sepasang mata yang tajam seperti mata pedang tetapi juga menyeramkan dan liar bergerak ke sana-sini.
Si Wanita tidak kalah anehnya. Wajahnya berbentuk seperti laki-laki itu, kening lebar, mata lebar, hidung mancung sekali dan besar, dagu runcing sehingga dia memiliki kecantikan yang aneh dan khas. Telinganya memakai hiasan cincin besar, rambutnya terurai sampai ke punggung. Tubuhnya tinggi besar, nampak kuat seperti tubuh pria, namun gerak-geriknya yang lemah-lembut menandakan bahwa dia benar-benar seorang wanita. Memakai baju berlengan pendek dan celana panjang sampai ke kaki berwarna biru, akan tetapi di luar bajunya, ia memakai sutera kuning yang panjang dilibat-libatkan di tubuh.
Lengan kirinya yang berkulit putih kemerahan, bukan putih kekuningan seperti kulit wanita pribumi, memakai sebuah gelang emas yang besar dan tebal. Demikian pula kedua pergelangan kakinya dihias gelang kaki terbuat dari pada emas sehingga kadang-kadang kalau kedua kaki berganti langkah, gelang-gelang itu beradu dan menimbulkan suara berdencing nyaring. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan mereka berjalan berdampingan tanpa berkata-kata, memasuki dusun itu dan menggeleng-geleng kepala menyaksikan rumah-rumah terbakar dan mayat-mayat bertumpukan dan berserakan.
Ketika tiba di tumpukan mayat empat belas orang bekas pengawal Khitan dan wanita-wanita serta penduduk, mereka berhenti dan bicara dalam bahasa India.
“Bukankah pakaian mereka itu menunjukkan bahwa mereka adalah pasukan pengawal Khitan?” kata Si Wanita.
“Agaknya begitulah,” jawab yang laki-laki, suaranya parau dan dalam. “Manusia di mana-mana sama saja, sekali diberi kesempatan, lalu berlomba saling membunuh.”
Keduanya sudah akan melangkah pergi lagi ketika tiba-tiba terdengar rintihan yang keluar dari tumpukan mayat.
“Ha! Seorang anak perempuan!” Laki-laki itu berkata dan matanya mengeluarkan sinar aneh, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan.
Angin yang kuat menyambar ke arah tumpukan mayat dan... sebagian mayat yang bertumpuk di atas terlempar seperti daun-daun kering tertiup angin. Tampaklah kini seorang anak perempuan yang merintih tadi bangun dan berusaha melepaskan diri dari himpitan mayat-mayat. Anak ini adalah Maya yang tadi pingsan kemudian tubuhnya tertindih banyak mayat!
“Aihh! Anak siapa ini?” Wanita itu meloncat maju mendahului Si Laki-laki, gerakannya cepat sekali seperti terbang dan sekali sambar ia telah mencengkeram punggung baju Maya dengan tangan kiri dan mengangkat tubuh Maya ke atas sambil dipandangnya penuh perhatian. Lagak wanita itu seperti seorang wanita sedang memeriksa seekor kepiting yang hendak dibelinya di pasar!
“Haiii! Kesinikan anak itu! Dia milikku karena akulah yang menemukannya, aku yang pertama membongkar tumpukan mayat yang menimbunnya!” Laki-laki itu berseru sambil melangkah maju.
“Tidak!” Wanita itu memondong Maya dan meloncat menjauhi. “Aku yang lebih dulu mengambilnya. Anak ini hebat...!” ia mengelus pipi, memeriksa mata, rambut dan mulut Maya. “Anak hebat... Ah, manis, siapakah namamu?” tanyanya dalam bahasa Han.
Biar pun dia seorang puteri Khitan, namun sejak kecil Maya diajar bahasa Han di samping bahasa Khitan. Maka Maya lalu menjawab, “Namaku Maya. Kalian siapakah?” Anak ini lupa akan kesengsaraannya karena heran menyaksikan dua orang aneh yang tadi bicara dalam bahasa yang tak dimengertinya, juga yang mempunyai wajah asing, hidung panjang dan pakaian yang aneh pula.
“Maya? Bagus sekali! Nama yang bagus sekali!” Wanita itu berseru girang dan menciumi kedua pipi Maya.
Anak itu mencium bau kembang yang aneh, wangi namun memuakkan baginya, akan tetapi dia tidak melawan dan membiarkan mukanya dihujani ciuman oleh wanita itu.
“Kau cocok denganku! Hebat! Engkau tentu suka menjadi kekasihku, bukan? Maya, engkau tentu anak Khitan!” Wanita itu kini menggunakan bahasa Khitan dan Maya menjawab dalam bahasa itu juga, suaranya berubah girang. “Benar, aku adalah Puteri Maya, puteri... Raja dan Ratu Khitan!”
“Apa...?!” Laki-laki itu meloncat maju. “Puteri Khitan? Hayo, Dewi, berikan padaku anak itu. Aku yang berhak! Dia berdarah raja, dan tampaknya dia memang memiliki darah murni. Berikan!”
“Tidak!” Wanita itu memondong Maya dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mengepal tinju, mukanya merah menentang dan matanya bersinar-sinar marah kepada laki-laki berkulit hitam itu. “Mahendra! Belum puaskan engkau dengan darah beberapa orang anak yang telah kau hisap habis? Engkau penghisap darah anak yang tiada puasnya! Tidak, anak ini adalah milikku. Engkau tidak boleh mengganggu Maya! Dia punyaku dan kalau engkau memaksa aku akan membunuhmu.”
Laki-laki yang disebut Mahendra itu tertawa bergelak sehingga ngeri hati Maya melihatnya. Muka yang hitam itu kelihatan lebih hitam lagi setelah tertawa dan nampak deretan gigi yang putih mengkilap!
“Ha-ha-ha-ha! Nila Dewi, engkau mengancamku berkali-kali seolah-olah aku ini hanya seekor semut yang mudah mati diinjak! Aku memang haus akan darah anak perempuan, akan tetapi hal itu hanyalah karena aku belum menemukan anak yang darahnya cocok untuk menyempurnakan ilmuku. Kalau aku sudah mendapatkan darah seorang anak seperti Maya ini, tentu aku selanjutnya takkan butuh darah lagi. Berikanlah, sayang. Malam nanti terang bulan, kita dapat berkasih-kasihan. Kalau ada aku di sini, masa engkau butuh belaian seorang bocah seperti itu lagi? Ha-ha-ha!”
“Mahendra, aku tidak main-main. Maya ini milikku dan habis perkara!”. Nila Dewi mulai mencium-cium dan mencucup-cucup kulit leher dan pipinya. Gilakah perempuan ini? pikir Maya.
“Ha-ha-ha, kalau begitu, sebaiknya kita bertanya kepada Maya agar dia yang memilih.” Mahendra memandang Maya dan berkata dalam bahasa Khitan, “Eh, Maya anak manis, dengarlah. Kalau engkau memilih aku, terus terang saja aku akan mengambil darahmu untuk obat, akan kuisap habis dan engkau akan mati seketika tanpa merasa terlalu nyeri. Sebaiknya kalau engkau memilih Nila Dewi, dia akan menjadikan engkau kekasihnya untuk menuruti nafsu birahinya yang selalu berkobar tak pernah padam. Engkau akan dibelai, diperas dan perlahan-lahan engkau pun akan mati! Memilih aku berarti mati seketika tanpa banyak menderita, memilih dia berarti akan mati sekerat demi sekerat dan banyak menderita!”
“Phuaahhh, bohong!” Nila Dewi menjerit marah. “Memilih dia berarti mati seperti seekor ayam disembelih, sedangkan memilih aku, hemmm... akan mengalami kenikmatan dunia. Andai kata mati, mati dalam kenikmatan, bukankah itu bahagia sekali? Kau memilih aku, ya Maya? Memilih aku, anak manis?” Nila Dewi mendekatkan mukanya dan mencium bibir Maya, mengecupnya lama-lama sampai tersedak-sedak kehabisan napas baru dilepaskan.
Kini Maya menjadi takut sekali, hatinya dicengkeram rasa ngeri yang hebat. Kiranya dia terjatuh kedalam tangan dua orang asing yang entah gila entah memang berwatak seperti iblis! Kalau tahu begini, jauh lebih baik dia pingsan di bawah tumpukan mayat-mayat itu!
“Hayo pilih, pilih siapa engkau. Maya?” Laki-laki berkulit hitam itu mendesak dan melangkah maju.
Maya memandang mereka bergantian dengan mata terbelalak. Bagaimana dia bisa memilih? Keduanya sama menyeramkan dan memilih yang mana pun berarti dia akan mati! Kematian di tangan laki-laki itu sudah pasti, darahnya akan disedot habis. Dia bergidik ngeri. Akan tetapi biar pun dia tidak dapat membayangkan bagaimana akan mati di tangan wanita itu, namun ia sudah membayangkan kengerian yang membuat ia bergidik dan menggigil. Dia dijadikan kekasih! Apa artinya ini?
Kedua orang itu memang bukan manusia-manusia, lumrah. Keduanya adalah saudara seperguruan, murid-murid seorang sakti di Pegunungan Himalaya. Keduanya memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tinggi, akan tetapi mempunyai keahlian yang khusus, yaitu membuat pedang yang ampuh. Guru mereka, pertapa di Himalaya itu memang seorang ahli membuat senjata ampuh, di samping memiliki kesaktian yang tinggi. Ketika mereka, kakak beradik seperguruan ini mulai tergoda nafsu birahi di tempat sunyi itu dan melakukan pelanggaran hubungan kelamin, gurunya marah-marah dan mengusir mereka. Mahendra dan Nila Dewi melarikan diri ke tempat asal mereka, yaitu di India Utara.
Akan tetapi di tempat ini pun mereka terkenal sebagai manusia-manusia iblis yang tidak segan melakukan pembunuhan dan perbuatan-perbuatan keji, menculik anak-anak sehingga akhirnya mereka dimusuhi pemerintah dan kembali melarikan diri. Sekali ini mereka lari ke Nepal dan di negara ini mereka berdua, berkat kepandaian mereka yang tinggi, diangkat menjadi empu-empu pembuat pusaka kerajaan. Di tempat ini mereka dapat bertahan sampai puluhan tahun karena Raja Nepal selalu menyediakan segala kebutuhan mereka, anak-anak kecil untuk dihisap darahnya oleh Mahendra, anak-anak dan dara-dara jelita untuk dijadikan kekasih Nila Dewi yang mempunyai kesukaan aneh sekali, yaitu suka bermain cinta dengan wanita muda cantik!
Sampai berusia empat puluh tahun lebih, kedua orang saudara seperguruan ini masih menjadi kekasih, kadang-kadang bermain-main cinta dengan mesra, akan tetapi kadang-kadang bercekcok sebagai dua orang musuh besar, bahkan tidak jarang mereka bertanding mati-matian!
Akan tetapi selalu Mahendra yang mengalah karena diam-diam Mahendra benar-benar jatuh cinta kepada adik seperguruannya ini. Karena cintanya yang besar maka dia pun tidak mengganggu kesukaan kekasihnya yang membagi cintanya dengan anak-anak perempuan cantik.
Kehidupan di Nepal membosankan dua orang manusia iblis ini. Apa lagi ketika mendengar bahwa di timur terjadi pergolakan perang antar suku. Mereka lalu meninggalkan Nepal untuk menonton keramaian. Di mana terjadi perang, di sana akan banyak ditemukan korban-korban mereka!
“Memilih siapa, anak manis?” Nila Dewi bertanya, suaranya halus lemah-lembut dan penuh kasih sayang sehingga sejenak Maya terpengaruh, membuat dia hampir merangkul wanita itu.
Akan tetapi Maya teringat dan mulailah anak yang memiliki keberanian luar biasa dan yang sudah berhasil mendinginkan hatinya yang tegang itu memutar otaknya. Kalau memilih Mahendra, berarti terus mati dan tidak ada kesempatan menyelamatkan diri. Dia harus hidup. Masih banyak hal yang harus ia kerjakan dalam hidupnya! Kalau dia memilih Nila Dewi, berarti akan ada kesempatan baginya untuk melarikan diri.
”Aku memilih Nila Dewi!” katanya lantang.
Nila Dewi girang sekali. Sambil memondong Maya dia menari-nari berputaran. Maya merasa heran dan juga kagum karena tarian Nila Dewi sungguh indah. Tubuhnya dapat bergerak-gerak lemah-gemulai, pinggangnya meliak-liuk seperti tubuh ular dan sepasang gelang pada kakinya saling beradu menimbulkan irama seperti musik yang mengiringi tariannya!
“Anak manis! Anak baik! Kekasihku... aihh, engkau memilih aku, hi-hik!” Nila Dewi menunduk, kembali mencium mulut Maya, tangan kiri memondong, sedangkan jari-jari tangan kanannya menggerayangi Maya.
Maya terkejut sekali dan merasa betapa semua bulu di tubuhnya bangun berdiri penuh kengerian. Sungguh pun wanita ini tidak menjijikkan seperti Bhutan, akan tetapi perbedaannya hanyalah karena Nila Dewi wanita, namun belaian-belaiannya sungguh mengerikan hatinya, memuakkan dan menimbulkan jijik dan takut.
Tiba-tiba Mahendra melompat cepat dan Maya merasa betapa belaian dan ciuman Nila Dewi berhenti, tubuh wanita itu menjadi lemas kemudian roboh bersama dia!
“Mahendra, engkau pengecut curang...!” Nila Dewi mengeluh, berusaha untuk bangkit akan tetapi roboh lagi.
Mahendra tertawa-tawa, memeluk Nila Dewi dan memberi ciuman yang membuat Maya yang melihatnya membuang muka. Ketika ia memandang lagi, ternyata Nila Dewi telah duduk bersila dekat pohon, kedua lengan ditelikung ke belakang dan diikat kuat-kuat. Tahulah ia bahwa tadi selagi Nila Dewi mencium dan membelainya penuh nafsu birahi yang menghilangkan kewaspadaannya, Mahendra telah menyerangnya dan menotok wanita itu hingga roboh terkulai lemas dan tidak dapat melawan lagi!
Timbul rasa takutnya dan ia hendak lari. Akan tetapi, sekali sambar saja Mahendra sudah menangkapnya, kemudian menggunakan sebuah tali panjang mengikat kedua kaki dan tangannya, bahkan tali pengikat kaki yang panjang itu lalu dipergunakan oleh Mahendra untuk menggantung tubuh Maya di cabang pohon. Tali itu diikatkan pada cabang pohon sehingga tubuh Maya tergantung menjungkir dengan kepala di bawah dan kedua tangannya terikat ke belakang punggung!
“Mahendra!” Nila Dewi yang duduk bersila di bawah pohon itu berteriak. “Kalau engkau membunuh Maya, aku bersumpah untuk membunuhmu!”
Mahendra tertawa, mengeluarkan sebuah mangkok tanah dan sebatang pisau belati yang tajam sekali dari balik baju yang melibat tubuhnya. Laki-laki hitam itu lalu berkata, “Nila Dewi, engkau tahu bahwa aku tidak akan membunuhnya, betapa pun ingin aku menyedot habis darahnya melalui leher dengan jalan menggigit urat lehernya dan menyedot sampai tubuhnya kering. Betapa ingin aku membelah kepalanya dan makan otak serta sumsumnya untuk menambah tenaga. Akan tetapi aku ingat akan kebutuhanmu. Tidak, aku tidak akan membunuhnya, maka kukeluarkan pisau dan mangkok ini. Aku hanya akan mengambil darahnya semangkok untuk kuminum, dia tidak akan mati dan engkau masih akan dapat menikmatinya. Boleh bukan?”
“Keparat kau! Iblis kau! Awas kalau sampai dia cacat!” Nila Dewi mencaci-maki.
”Tenanglah, kekasihku. Aku akan mengerjakannya dengan hati-hati sekali agar dia tidak cacad. Aku hanya menginginkan semangkok darah dan... sedikit sumsumnya. Kalau kukerat sedikit punggungnya, kukeluarkan sumsum dari tulang punggung dan kutadah darahnya, kemudian lukanya kuobati, dia tidak akan cacad, heh-heh!”
“Jahanam sialan engkau!” Nila Dewi memaki gemas, akan tetapi hatinya lega juga karena ia tahu bahwa Mahendra tidak akan membunuh Maya.
Dapat dibayangkan betapa ngerinya hati Maya mendengar percakapan yang dilakukan dalam bahasa Khitan itu. Ia meronta-ronta seperti seekor kelinci, namun tak dapat melepaskan kedua tangannya.
“Heh-heh. merontalah kuat-kuat, Anak manis, agar darahmu lebih cepat alirannya dan lebih hangat!” Mahendra melangkah mendekati Maya dengan sikap seorang yang hendak menyembelih!
Maya sudah memejamkan kedua matanya, maklum bahwa menjerit-jerit dan meronta-ronta tiada gunanya lagi. Siapa yang akan dapat menolongnya di dalam hutan ini? Tadi ia sudah menyaksikan kehebatan kedua orang manusia iblis itu, bahkan dia tadi bengong dan diam-diam kagum sekali melihat betapa laki-laki hitam itu memondong dia dan mengempit tubuh Nila Dewi lalu berlari terbang meninggalkan dusun memasuki hutan itu. Biarlah aku mati, keluhnya dalam hati karena tidak melihat harapan lagi.
“Siluman jahat, apa yang kau lakukan?” Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu berkelebat bayangan putih dan tak jauh dari situ berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti seorang sastrawan. Gerakannya demikian ringan sehingga ia muncul seperti setan! Seruannya itu disusul menyambarnya dua buah benda, yang sebuah menyambar ke arah kening Mahendra di antara kedua mata, yang sebuah lagi menyambar tali yang menggantung tubuh Maya.
“Argghhh...!” Mahendra menggereng, marah dan cepat ia melempar tubuh ke belakang.
Tali yang menggantung Maya putus disambar benda yang ternyata hanyalah sebuah batu kerikil, dan tubuhnya jatuh ke bawah. Anak yang sudah pandai ilmu silat ini tentu saja dapat menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik dan menjatuhkan diri dengan bahu lebih dulu, kemudian bergulingan. Kedua tangan dan kakinya masih terikat dan ia meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.
Sementara itu, Mahendra menyerang pendatang itu dengan pisau di tangan kanan dan mangkok tanah di tangan kiri. Gerakan-gerakan Mahendra ketika menyerang amat aneh dan cepat, juga mendatangkan angin keras yang menandakan bahwa tenaga dalam orang ini hebat sekali. Namun berkali-kali Mahendra mengeluarkan seruan kaget karena laki-laki itu dapat menandinginya dengan baik sekali, bahkan membalas dengan serangan pukulan ujung lengan baju yang mendatangkan hawa panas, tanda sinkang yang amat kuat!
Siapa pria setengah tua yang perkasa dan sanggup menandingi iblis dari Nepal itu? Dia bukan lain adalah Menteri Kam Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Menteri Kam Liong pergi seorang diri menyelidiki keadaan di Khitan. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika mendapat berita bahwa Khitan telah hancur, dan bahwa kini Khitan telah diduduki oleh bangsa Yucen yang berhasil menghalau bangsa Mongol. Betapa adik tirinya, Raja Talibu dan isterinya telah gugur dalam perang dan bahwa puteri mereka lenyap, melarikan diri, kabarnya menuju ke Gobi-san mencari kakek dan neneknya.
Kalau saja waktunya tidak terbatas dan dia tidak terikat kewajiban pekerjaannya, tentu dia akan menyusul ke Gobi-san mengunjungi ayahnya, pendekar sakti Suling Emas. Akan tetapi Gobi-san terlalu jauh dan dia harus segera kembali ke selatan berhubung dengan gawatnya keadaan sebagai akibat pergolakan di utara ini. Maka dengan hati tertekan kedukaan, Menteri Kam Liong melakukan perjalanan pulang ke selatan.
Kebetulan sekali di dalam hutan itu ia melihat Mahendra yang hendak menyembelih seorang anak perempuan secara kejam sekali. Kam Liong tidak mengenal Maya karena memang anak Raja Khitan itu tidak pernah dilihatnya. Disangkanya bahwa anak itu tentulah anak pelarian para pengungsi yang dusunnya dilanda perang.
Diam-diam Kam Liong terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa laki-laki hitam itu lihai bukan main. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan barulah ia dapat mendesak lawannya. Pertandingan antara mereka berjalan seru dan cepat sekali. Karena Mahendra berkali-kali mundur dan berloncatan menjauh, makin lama dua orang yang bertanding ini makin menjahui tempat di mana Maya berusaha melepaskan ikatan kaki tangannya.
“Maya kekasihku, jangan pergi. Aku akan melindungimu,” Nila Dewi berkata lembut sambil berusaha pula membebaskan ikatan kedua tangannya.
Akan tetapi totokan tadi masih membuat tubuhnya lemas dan jalan darahnya tidak lancar, maka diam-diam ia memaki Mahendra dan kemudian memejamkan mata untuk memulihkan jalan darahnya. Kalau jalan darahnya sudah pulih, sekali renggut saja tali pengikat tangannya tentu akan putus. Maya agaknya mengerti pula akan hal ini, maka ia pun meronta-ronta dan berusaha mendahului nenek itu untuk melepaskan diri dan lari.
Kalau di sebelah sana tampak berkelebatnya dua bayangan orang bertanding dengan seru, di sini terjadi pula perlombaan yang tidak kalah menegangkan, yaitu Maya berlomba melawan Nila Dewi untuk lebih dulu membebaskan diri dari ikatan. Maya mengerti bahwa kalau dia kalah dalam perlombaan ini, lenyaplah satu-satunya harapan dan kesempatan untuk melarikan. Karena Mahendra yang sakti itu sedang bertanding dengan orang gagah yang menolongnya, maka tentu Nila Dewi akan membawanya lari!
Untung bagi Maya bahwa Mahendra yang tentu saja memandang rendah padanya dan memastikan bahwa anak ini tidak mungkin terlepas dari tangannya tadi tidak mengikat terlalu kuat, berbeda dengan ikatan pada kedua lengan Nila Dewi. Kini Maya dengan mata terbelalak memandang ke arah Nila Dewi yang masih menghimpun tenaga untuk memulihkan jalan darah, berusaha keras untuk melepaskan ikatan kedua kakinya. Akhirnya Maya berhasil melepaskan kakinya dari ikatan. Ia meloncat bangun dan dengan kedua tangan masih terikat di belakang ia melarikan diri.
“Robohlah...!” tiba-tiba terdengar suara Nila Dewi yang nyaring, dan bagaikan didorong tenaga mukjizat Maya terguling roboh!
Maya cepat menengok dan melihat Nila Dewi sudah melompat berdiri. Kiranya wanita ini tadi telah menggunakan sinkang untuk menendangnya dari jarak jauh, akan tetapi penggunaan sinkang ini melenyapkan tenaga yang sudah mulai terkumpul, ia menjadi lemas kembali dan roboh bersandar batang pohon. Melihat ini, Maya tidak mempedulikan tubuhnya yang babak-belur, terus meloncat bangun dan lari lagi sekuatnya dengan kedua tangan masih terikat!
“Berhenti... ahhhh, kekasihku, tega engkau meninggalkan aku...?” Nila Dewi berkata, akan tetapi tanpa menengok Maya terus lari secepatnya.
Sementara itu, pertandingan antara Kam Liong dan Mahendra masih berjalan seru. Berkali-kali pisau belati dan mangkok tanah menyambar, namun selalu Kam Liong dapat mengelak atau menangkis dengan kepretan ujung lengan bajunya. Tiba-tiba Mahendra berseru marah sekali dan menyambitkan mangkok tanah pada Kam Liong. Pendekar ini memukul kearah mangkok dengan jari tangan kiri terbuka.
“Brakkk!” mangkok itu pecah berkeping-keping.
“Mampuslah!” Mahendra berseru dan segulung sinar kuning yang lemas menyambar ke arah kepala Kam Liong.
Pendekar ini terkejut melihat betapa lawannya telah melepaskan kain yang melilit tubuh atasnya dan menggunakan kain kuning itu untuk menyerangnya dengan gerakan seperti seorang nelayan melempar jaring ikan! Cepat ia mengelak, namun kain itu digerakkan secara lihai sehingga kembali telah melayang untuk ‘menjaringnya’! Kam Liong terkejut. Kiranya lawannya ini benar-benar lihai sekali menggunakan kedua tangannya. Tampak sinar kuning emas berkelebat disusul sinar putih, dan dia telah memegang suling emas dan kipasnya.
“Suling Emas...!” Mahendra terkejut, meloncat ke belakang dan... melarikan diri seperti orang ketakutan melihat setan.
Kam Liong tidak mengejar, sejenak memandang suling di tangannya dan menarik napas panjang penuh kagum. Nama ayahnya, pendekar sakti Suling Emas, agaknya sedemikian hebatnya sehingga orang hitam aneh tadi pun mengenal senjata itu dan lari ketakutan! Ia cepat meloncat ke tempat di mana anak tadi digantung dan tidak melihat lagi bocah itu, kecuali wanita India yang masih duduk bersandar pohon dan menghimpun kekuatan dalam. Ia merasa lega. Kiranya bocah tadi cukup cerdik dan agaknya berhasil melarikan diri sewaktu penculiknya bertanding melawannya.
Dia tidak mengenal dua orang India itu, tidak mempunyai permusuhan dengan mereka. Niatnya hanya menolong anak perempuan itu. Setelah anak perempuan itu berhasil menyelamatkan diri, dia pun tidak mau mengganggu wanita India yang sedang menghimpun tenaga. Kam Liong menyimpan kedua senjatanya dan berlari pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perjalanannya pulang ke kota raja di selatan.
Di dalam perjalanan pulang ini, selain berduka atas hancurnya Kerajaan Khitan dan tewasnya adik tirinya Raja Talibu, Kam Liong prihatin menyaksikan perkembangan bangsa Yucen yang makin kuat, juga merasa gelisah memikirkan hal yang selama ini selalu menjadi duri dalam daging baginya. Perjalanannya ke utara telah menghasilkan pendengaran-pendengaran yang makin menggelisahkan hatinya, yaitu tentang desas-desus bahwa di antara para pembesar yang membujuk-bujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan, termasuk pula saudara misannya yang bernama Suma Kiat.
Suma Kiat adalah putera tunggal mendiang bibinya, yaitu Kam Sian Eng, adik tiri ayahnya Suling Emas. Namun semenjak mudanya, Suma Kiat memiliki watak yang jahat dan palsu sehingga ia seringkali bentrok, bahkan terasing dari keluarga keturunan Suling Emas yang terdiri dari para pendekar perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, mengingat bahwa Suma Kiat masih saudara misannya, Kam Liong yang berwatak budiman merasa kasihan dan berkat usahanya, akhirnya Suma Kiat dapat diterima oleh Kaisar dan menjabat pangkat panglima dalam pasukan pertahanan pemerintah.....
Memang Suma Kiat bukan seorang sembarangan, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, mewarisi ilmu-ilmu mendiang ibunya yang dahulu tergolong seorang di antara datuk-datuk persilatan yang disegani. Setelah memiliki kedudukan sebagai panglima, Suma Kiat yang memang berdarah keturunan keluarga Pangeran Suma, menjadi seorang bangsawan terhormat dan disegani pula, hidup mulia dan bahagia dalam gedungnya di kota raja.
Selama dia memangku jabatannya, ia bekerja dengan baik dan hal ini sebagian besar adalah karena Suma Kiat merasa takut dan segan terhadap kakak misannya, Menteri Kam Liong yang selain memiliki kedudukan lebih tinggi dari padanya, juga memiliki ilmu kepandaian lebih lihai pula. Kini Suma Kiat telah menjadi seorang setengah tua dan hidup sebagai seorang bangsawan dalam gedungnya yang indah. Ia telah menikah dengan seorang wanita bangsawan yang cantik dan mempunyai seorang putera. Puteranya ini bernama Suma Hoat, tampan seperti Ibunya, wataknya juga halus dan lemah-lembut seperti Ibunya.
Karena semenjak kecil oleh Ibunya ia dijejali pelajaran sastra dan filsafat, diingatkan bahwa dia adalah keluarga dari pendekar besar Suling Emas, maka sifat-sifat pendekar tertanam di jiwa anak ini. Dia digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri dan karena bakatnya, dia dapat mewarisi ilmu silat tinggi dari ayahnya. Namun ada satu sifat dari nenek moyangnya, yaitu keluarga Suma, yang agaknya menurun dan mengalir dalam darahnya, yaitu dia dikuasai nafsu birahi dan berwatak mata keranjang!
Selain puteranya sendiri, Suma Kiat juga mempunyai seorang murid lain yang sebetulnya adalah pelayan keluarganya, seorang pemuda yang sebaya dengan puteranya, bernama Siangkoan Lee. Anak ini mukanya buruk seperti muka kuda, pendiam dan rajin. Biar pun bakatnya tidak sebaik Suma Hoat dalam ilmu silat dan sastra namun berkat kerajinannya, dia pun memperoleh kemajuan pesat, terutama sekali dalam ilmu silat karena Siangkoan Lee ini diam-diam mempunyai cita-cita tinggi dan selalu mengumpulkan ilmu-ilmu silat tinggi untuk dipelajarinya. Berkat kerajinan dan keuletannya, akhirnya ia pun diberi pekerjaan di kantor menjadi seorang ‘bangsawan’ kecil, tidak lagi menjadi seorang pelayan.
Banyak hal terjadi sebagai akibat perbuatan keluarga Suma ini yang memaksa Menteri Kam Liong turun tangan dan membuatnya gelisah, dan beberapa hal di antaranya terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Suma Hoat dan Siangkoan Lee dua orang murid Suma itu, baru berusia kurang lebih dua puluh tahun.
Pada suatu hari, Suma Hoat diantar oleh Siangkoan Lee pergi berburu ke hutan. Berburu binatang merupakan sebuah di antara kesukaan pemuda bangsawan ini, di samping kesukaannya mengujungi tempat-tempat hiburan untuk mendengar wanita-wanita cantik bernyanyi dan menari, kemudian memilih yang tercantik di antara mereka untuk diajak bersenang-senang.
Dengan menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi besar, Suma Hoat kelihatan tampan dan gagah perkasa. Pakaiannya serba indah, terbuat dari pada sutera halus, rambutnya yang hitam panjang itu dihias dengan hiasan berupa seekor naga emas bertabur batu kemala, gagang pedangnya yang terbuat dari emas menghias punggungnya, wajahnya yang berkulit putih berseri-seri dengan sepasang mata lebar dan lincah pandangnya, bibirnya selalu tersenyum. Banyak wanita akan terguncang hatinya apabila melihat pemuda bangsawan yang tampan ini membalapkan kuda putihnya. Didampingi pemuda Siangkoan Lee yang buruk rupa, Suma Hoat kelihatan lebih tampan lagi.
Para wanita cantik di rumah-rumah hiburan yang semua mengenal baik Suma-kongcu (Tuan Muda Suma) ini, berkumpul di jendela loteng dan melambai-lambaikan sapu tangan sutera yang harum, melontarkan senyum memikat. Namun Suma Hoat hanya membalas senyuman mereka dan tidak berhenti karena memang sekali ini tidak ingin menghibur hati dengan wanita-wanita cantik itu, melainkan hendak pergi berburu binatang buas di hutan. Pula, ia sudah mulai bosan dengan wanita-wanita cantik yang akan menghibur pria mana pun juga asal orang itu beruang, bosan dengan cinta yang diobral mereka, cinta kasih yang dijual.
Dua orang pemuda itu membalapkan kuda mereka keluar dari kota raja dan memasuki dusun-dusun menuju ke hutan yang besar. Di sebuah dusun mereka mendengar keluh kesah rakyat tentang gangguan seekor harimau besar yang sudah banyak mencuri kambing dan kerbau penduduk, bahkan telah membunuh dua orang anak kecil. Mendengar ini bangkit semangat Suma Hoat untuk membunuh harimau itu.
“Kita harus dapat menangkapnya dan membunuhnya, kalau belum berhasil aku tidak mau pulang!” demikian Suma Hoat berkata kepada Siangkoan Lee, bekas pelayannya juga yang menjadi sutenya.
“Asal saja dia berani keluar dari tempat sembunyiannya, Kongcu,” jawab Siangkoan Lee yang masih menyebut ‘kongcu’ kepada suheng-nya itu, mengingat akan kedudukan mereka.
Demikianlah, kedua orang muda itu menjelajah hutan-hutan yang dikabarkan menjadi sarang sang harimau. Telah sepekan lamanya mereka mengintai, menunggu dan mencari, namun hasilnya sia-sia belaka, harimau besar yang dicari-carinya tidak tampak. Suma Hoat menjadi penasaran sekali. Dia sampai lupa akan niatnya semula, yaitu berburu binatang. Banyak sudah selama sepekan ini dia melihat binatang-binatang hutan, namun semua itu dibiarkannya saja lewat tanpa diusik karena kini seluruh perhatiannya dicurahkan untuk mencari harimau yang telah mengganas di dusun-dusun sekeliling daerah pegunungan itu.
Berkali-kali Siangkoan Lee membujuk kongcunya untuk pulang saja, akan tetapi dengan alis berkerut, Suma Hoat yang berkemauan keras ini malah membentaknya. “Sudah kukatakan bahwa sebelum berhasil membunuh harimau laknat itu, aku tidak mau pulang. Jangankan baru sepekan, biar selama hidupku di sini aku tetap harus mencarinya sampai dapat!”
Siangkoan Lee yang meninggalkan pekerjaan khawatir kalau-kalau dimarahi majikannya, tetapi ia tidak berani membantah lagi. Siang malam mereka mencari, bahkan kalau malam mereka pun mengintai. Jika sudah lelah sekali mereka baru tidur di bawah pohon sambil membuat api unggun. Suma Hoat benar-benar mempunyai kemauan yang keras sekali dan pantang mundur sebelum niatnya terpenuhi.
Pada pagi hari yang ke sembilan, dua orang pemuda itu memasuki hutan yang paling ujung, hutan yang tidak berapa besar akan tetapi yang belum mereka datangi, berada di lereng dekat kaki bukit. Mereka berjalan kaki menuntun kuda masing-masing sambil memandang tajam mencari-cari kalau-kalau ada gerakan binatang yang mereka cari-cari.
Tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara jerit seorang wanita di kaki bukit. Suma Hoat menoleh kepada Siangkoan koan Lee. “Adakah engkau mendengar suara di sana?”
“Siangkoan Lee mengangguk. “Seperti jerit seorang wanita.”
“Benar! Kita menunggu apa lagi? Jangan-jangan harimau itu menyerang wanita!” Cepat sekali Suma Hoat sudah melompat ke atas kudanya dan membalap, diikuti oleh Siangkoan Lee.
Setelah menuruni lereng, mereka tiba di jalan umum yang datang dari timur dan dari atas sudah tampak oleh mereka sebuah kereta terguling di pinggir jalan. Beberapa orang laki-laki yang berpakaian pelayan dan pengawal malang-melintang di sekitar tempat itu. Jauh dari kereta itu tampak serombongan orang sedang mengangkuti barang-barang dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda dan memangku seorang wanita yang meronta-ronta, dan agaknya wanita itulah yang tadi mengeluarkan jeritan.
“Bukan harimau yang menyerangnya, Kongcu,” kata Siangkoan Lee.
“Memang bukan, akan tetapi lebih jahat dari pada harimau. Mereka perampok keparat yang bosan hidup! Kau basmi anak buahnya, aku akan menolong wanita itu!”
Dua orang muda itu membedal kuda mereka dan sebentar saja mereka sudah tiba di tempat itu. Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari kuda dan membentak.
“Kalian perampok-perampok hina. Tahan dulu!”
Para anak buah perampok yang sedang tertawa-tawa mengangkuti beberapa peti berisi barang-barang berharga seperti perhiasan-perhiasan dan sutera gulungan berkayu-kayu menjadi marah ketika melihat Siangkoan Lee, seorang pemuda yang masih hijau dan kelihatannya tidak menakutkan itu. Jumlah mereka ada sembilan orang, tentu saja mereka tidak takut.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dan kelihatan kuat terbukti dari bawaannya, yaitu sebuah peti yang berat sekali, melangkah maju dan melotot kepada Siangkoan Lee, kemudian membentak, “Eh, bocah bermuka buruk! Kau mau apa?”
“Jawab dulu, apakah engkau ini telah melakukan perampokan dan membunuh para pengawal dan pelayan itu?”
“Ha-ha-ha! Benar sekali! Tidak hanya pengawal dan pelayan, juga tuan besar nyonya besar telah menjadi mayat di dalam kereta! Hanya puterinya, heh-heh, cantik dan menggairahkan, menjadi bagian tai-ong kami! Kau mau bagian? Jangan main-main! Para pengawal yang kuat itu semua mampus oleh kami. Nih, terima bagianmu!” Tiba-tiba Si Tinggi Kurus itu melontarkan peti yang berat ke arah Siangkoan Lee.
Peti yang beratnya lebih dari seratus kati itu melayang ke arah Siangkoan Lee dan para anggota gerombolan itu tertawa-tawa, yakin bahwa pemuda kerempeng itu tentu akan roboh tertimpa peti dan gepeng tubuhnya. Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti dan mereka melongo ketika melihat Siangkoan Lee menerima sambaran peti itu hanya dengan telapak tangannya dan Si Pemuda kurus itu melontar-lontarkan peti itu ke atas seperti seorang anak kecil mempermainkan sebuah bola karet. Tangan itu kemudian mendorong maju hingga peti melayang ke arah pelemparnya, Si Tinggi Kurus dengan kekuatan dahsyat.
“Ahhh...!” Perampok tinggi kurus itu terkejut, menggunakan kedua tangan untuk menerima peti, akan tetapi tak tertahan olehnya dan dialah yang roboh terjengkang, kepalanya pecah tertimpa peti yang berat!
Para perampok yang tinggal delapan orang itu menjadi marah sekali. Mereka menurunkan bawaan masing-masing, mencabut senjata lalu menerjang Siangkoan Lee seperti serombongan serigala mengamuk. Pemuda kurus ini pun membentak keras dan mencabut sebatang golok melengkung yang amat tajam, memutar golok menghadapi pengeroyokan delapan orang itu tanpa merasa gentar sedikit pun.
Ternyata olehnya bahwa para perampok itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan penjahat-penjahat kawakan yang pandai ilmu silat dan bertenaga besar. Namun Siangkoan Lee mainkan goloknya dengan hebat, dan sebagai murid yang tekun dari Suma Kiat yang berilmu tinggi, tentu saja gerakannya selain cepat juga mengandung tenaga sinkang yang kuat.
Sementara itu, Suma Hoat membalapkan kudanya melewati para anak buah perampok yang ia serahkan kepada sutenya, terus mengejar kepala perampok yang melarikan wanita itu. Karena kepala rampok itu menjalankan kudanya perlahan sambil tertawa-tawa dan tangannya menggerayangi tubuh wanita rampasannya, sambil mencium dan kelihatan makin gembira karena wanita itu meronta-ronta, sebentar saja kuda Suma Hoat telah menyusulnya.
“Berhenti kamu keparat hina!” bentak Suma Hoat dan sekali meloncat tubuhnya sudah berdiri menghadang di depan kuda yang ditunggangi kepala perampok tinggi besar itu.
Kepala perampok yang tubuhnya seperti raksasa itu membelalakkan matanya yang lebar. Kumis dan jenggotnya yang tebal bergerak-gerak, mukanya menjadi merah dan dia menjadi marah sekali.
“Heh, siapa engkau bocah yang bosan hidup?” bentaknya sambil melompat turun dan masih memondong wanita yang kini berhenti meronta dan memandang kepada Suma Hoat dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci ketakutan, namun dari sinar matanya timbul harapan yang tadinya sudah patah.
“Serrr...!” Jantung Suma Hoat seperti berhenti berdetik tertikam sinar mata itu.
Tak disangkanya dia akan melihat seorang dara yang seperti itu. Cantik jelita, manis dan berwajah seperti bidadari! Mengingat betapa tangan kasar dan kotor kepala perampok itu tadi menggerayangi tubuh Si Jelita, apa lagi mengingat betapa wajah menyeramkan penuh cambang bauk itu tadi mencium muka yang begitu halus, bibir yang begitu merah segar, kemarahannya meluap dan darahnya seperti mendidih.
“Binatang rendah!” ia memaki sambil menunjuk ke arah muka kepala perampok itu. “Engkau tidak mengenal Suma-kongcu, putera Panglima Suma Kiat? Engkau telah merampok, membunuh orang dan menculik gadis terhormat. Sekarang tibalah saatnya engkau mampus di tangan Suma Hoat!”
“Heh-heh-heh! Aku Si Tangan Besi Ciu Ok mana kenal segala macam bangsawan tukang korup? Kalau engkau sudah bosan hidup, marilah!” Perampok itu melepaskan tubuh dara itu setelah menotok punggungnya membuat dara itu lemas dan rebah miring di atas rumput. “Kau tunggulah sebentar, calon biniku, heh-heh! Lihat dan nikmati baik-baik betapa kakandamu membunuh tikus bermuka halus ini!”
Akan tetapi Suma Hoat sudah menerjangnya dengan hebat. Kepala perampok itu menangkis, mengandalkan kekuatan tangannya. Dia dijuluki Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena kedua tangannya amat kuat dan keras seperti besi, hasil latihan ilmu Tiat-ciang-kang yang latihannya menggunakan bubuk besi panas. Akan tetapi begitu ia menangkis, ia terpekik kaget karena lengannya terasa sakit dan ia terhuyung ke belakang. Kudanya kaget, meringkik dan lari.
“Kepala perampok laknat, kematianmu sudah di depan mata!” Suma Hoat yang marah sekali itu sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mautnya.
Si Kepala Perampok adalah seorang ahli silat, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia tidak dapat dibandingkan dengan Suma Hoat yang memiliki ilmu silat tinggi. Ilmu silat yang dimiliki kepala perampok ini adalah ilmu silat kasar dan dia selama ini hanya mengandalkan kedua tangannya yang kuat. Namun, bertemu dengan pemuda itu, seolah-olah kedua tangannya bertemu dengan baja yang lebih keras lagi! Setelah tiga kali menangkis dan tiga kali terhuyung dengan lengan terasa nyeri dan panas, kepala perampok itu memekik keras dan mencabut ke luar senjatanya berupa sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi bola baja berduri. Cepat ia mengayun senjatanya menerjang lawan.
“Wuuut-wuut-wuuttt...!” Angin menyambar keras ketika bola berduri itu menyambar dan rantainya terputar-putar.
Namun dengan mudah Suma Hoat mengelak dan pemuda ini enggan mencabut pedangnya setelah menyaksikan gerakan lawan yang hanya memiliki ilmu silat kasar itu. Dia menghadapi lawan yang bersenjata rantai dengan kedua tangan kosong, mengelak ke kanan kiri dengan lincahnya menanti kesempatan baik.
Dara cantik yang tertotok dan rebah miring dapat menyaksikan pertandingan itu dan dari mulutnya yang kecil terdengar jerit-jerit tertahan kalau melihat senjata yang dahsyat itu menyambar, mengancam wajah yang halus tampan Si Pemuda penolongnya. Biar pun dara itu tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia merasa heran mengapa pemuda tampan itu tidak mau mencabut pedangnya yang tergantung di punggung!
“Inkong (Tuan Penolong)..., pergunakan pedangmu...!” Akhirnya ia tak dapat menahan kekhawatiran hatinya lagi melihat betapa kepala pemuda itu nyaris dihantam bola berduri, begitu dekat bola itu menyambar lewat di atas telinga kiri Suma Hoat. Aneh sekali, dara itu sudah lupa akan bahaya yang mengancam dirinya sendiri, sebaliknya khawatir kalau-kalau pemuda itu kena pukul dan pecah kepalanya.
Mendengar suara itu, Suma Hoat tersenyum gembira. Aku harus memperlihatkan kelihaianku, pikirnya gembira seperti lazimnya seorang pemuda ingin berlagak memamerkan kepandaiannya di depan seorang dara yang menarik hatinya. Cepat ia merubah gerakannya, sekarang tubuhnya berkelebat cepat sekali sehinga Si Kepala Rampok berkali-kali berteriak kaget karena tubuh lawan seperti lenyap. Tiba-tiba Suma Hoat mendapat kesempatan baik. Ketika bola berduri menyambar ia menggunakan tangannya dari samping menangkap bola itu dan sekuat tenaga ia melontarkan bola ke arah muka penyerangnya.
“Prokkk! Adduuuuhhh...!” Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan roboh telentang dengan muka berubah menjadi onggokan daging yang remuk dan nyawanya melayang tak lama kemudian.
Dara jelita itu memejamkan mata penuh kengerian, kemudian ia menangis terisak-isak. Suma Hoat cepat berlutut dan sekali totok ia membebaskan tubuh dara itu dari pengaruh totokan Si Kepala Rampok. “Tenanglah, Nona. Bahaya telah lewat. Si Keparat laknat sudah tewas.”
Dara itu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Hoat, “Inkong telah menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi... hu-hu-huuukkkk... ayah bundaku telah terbunuh... di dalam kereta...!”
Suma Hoat terkejut dan marah sekali. “Mari kita lihat, temanku sedang membasmi kawanan perampok, perlu bantuanku!” Ia lalu menyambar pinggang dara itu, dibawa meloncat ke atas punggung kudanya yang tidak lari karena kuda itu sudah terlatih baik, kemudian membalapkan kudanya ke arah pertempuran yang masih berlangsung dekat kereta.
Ternyata bahwa Siangkoan Lee dengan mudah telah merobohkan tiga orang pengeroyok dengan goloknya dan kini yang lima orang masih mengeroyoknya mati-matian. Melihat ini Suma Hoat sambil memeluk pinggang dara itu dengan lengan kiri, mencabut pedang dengan tangan kanan, kudanya menyerbu, pedangnya berkelebat dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan empat orang perampok roboh dan tewas. Siangkoan Lee berhasil merobohkan perampok terakhir dan Suma Hoat setelah menyimpan pedangnya lalu menurunkan tubuh dara itu. Sambil terisak-isak dara itu berlari ke arah kereta yang rebah miring, membuka pintunya dan menjerit-jerit memanggil ayah bundanya.
Suma Hoat meloncat dekat kereta. Cepat ia mengeluarkan tubuh seorang setengah tua yang terluka dadanya. Orang itu masih hidup dan cepat pemuda ini mengeluarkan obat luka yang merah warnanya, mengobati luka itu dan membalutnya. Ayah dara itu masih hidup biar pun terluka parah, akan tetapi ibunya telah tewas karena tusukan pedang yang menembus jantungnya!
“Terima kasih... Kongcu... saya Ciok Khun menghaturkan terima kasih kepadamu...”
“Paman hendak pergi ke manakah?” Suma Hoat bertanya, hatinya seperti ditusuk-tusuk karena kasihan melihat dara itu menjerit-jerit memeluki mayat ibunya.
Dengan suara tersendat-sendat laki-laki itu bercerita. Dia tinggal di dusun Kwi-bun-an, tak jauh dari kota raja. Mereka, suami isteri itu, hendak mengantarkan anak dara mereka yang bernama Ciok Kim Hwa, yang hendak dljodohkan dengan putera bangsawan Thio di kota raja. Karena itulah maka mereka berkereta membawa barang-barang berharga, dikawal oleh pasukan bangsawan Thio yang menjemput mereka dan yang terbunuh semua oleh para perampok.
“Siangkoan Lee, kau cepat antarkan Paman Ciok dan barang-barang serta jenazah ini ke kota raja. Biar aku yang mengawal Ciok-siocia,” kata Suma Hoat.
Siangkoan Lee mengangguk, maklum bahwa keadaan orang yang terluka perlu perawatan dengan cepat dan bahwa kalau Si Nona ikut dalam kereta, tentu nona itu akan berduka sekali menyaksikan jenazah ibunya. Maka ia lalu mengumpulkan barang-barang yang berceceran, di masukkan barang-barang itu ke dalam kereta, kemudian ia mengikat kudanya di depan dua ekor kuda penarik kereta dan membalapkan kereta ke kota raja.
“Mari, Nona. Kau akan kukawal ke kota raja dan jangan khawatir, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku.”
Ucapan ini membuat wajah Si Dara Jelita menjadi merah, akan tetapi kedukaannya terlalu besar sehingga mengurangi rasa kegembiraan aneh yang menyelinap di rongga dadanya ketika ia duduk atas panggung kuda, di depan pemuda tampan yang telah menolongnya itu.
Selama hidupnya, baru pertama kali itu Suma Hoat mengalami hal yang aneh dalam hatinya. Jantungnya berdebar luar biasa sekali. Rasa girang yang amat besar menyelimuti hatinya, dan di balik rasa girang ini terselip rasa sakit di hatinya karena dara ini hendak dikawinkan dengan orang lain! Kekecewaan yang amat keras dan aneh. Mengapa dia menjadi begini? Tak dapat disangkal bahwa dia selalu tertarik oleh wajah cantik jelita, akan tetapi selamanya dia tidak pernah menginginkan wanita yang menjadi milik orang lain!
“Eh, Suma Hoat, kau ini mengapakah?” Berulang-ulang ia bertanya kepada dirinya sendiri. Tak terasa lagi ia menjalankan kudanya perlahan karena dia tidak ingin cepat tiba di kota raja, tidak ingin dirampas kenikmatan dan kebahagiaan hatinya duduk berdua di atas kuda bersama dara yang bernama Ciok Kim Hwa ini!
Kereta yang dibalapkan Siangkoan Lee sudah jauh sekali dan sudah tidak tampak, juga tidak terdengar derap kaki kuda dan roda kereta. Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia bertanya halus, “Nona...” Ia meragu dan tidak melanjutkan kata-katanya.
Dara itu menanti sebentar. Karena lama pemuda itu tidak melanjutkan, dia menoleh dan berkata, “Ada apakah, Inkong?”
Suma Hoat memejamkan mata karena tidak kuat menyaksikan wajah yang begitu dekat dengannya, mencium bau harum yang keluar dari rambut dan muka dara itu.
“Kenapa, Inkong?” tanya Kim Hwa yang terheran-heran melihat pemuda itu memejamkan mata.
“Jadi... Nona akan... menikah dengan pemuda keluarga Thio...?”
Wajah itu tiba-tiba menjadi merah sekali dan cepat dipalingkan tidak berani menentang pandang mata Suma Hoat. Sampai lama nona itu tidak menjawab dan Suma Hoat merasa betapa tubuh di depannya itu gemetar. Akhirnya terdengar nona itu menjawab lirih.
“Bu... bukan pemuda, melainkan seorang duda tua, adik dari Thio-taijin...!”
Suma Hoat mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya. “Seorang duda tua?”
Dara itu mengangguk dan menarik napas panjang.
“Kenapa engkau mau, Nona?”
Kim Hwa mengangkat muka memandang. “Bagaimana saya dapat menolak kehendak orang tua, Inkong? Yang melamar adalah Thio-taijin, untuk adiknya yang sudah mempunyai belasan orang anak dan yang telah mempunyai banyak selir pula. Bagaimana saya dapat menolak...?” Kalimat terakhir itu mengandung isak dan Kim Hwa menundukkan muka, kelihatan berduka sekali.
“Ah, kasihan engkau, Nona. Seorang dara semuda Nona, cantik jelita, dipaksa menikah dengan seorang bandot tua!” Suma Hoat merasa penasaran sekali dan mendengar ucapan Suma Hoat, Kim Hwa terisak-isak menangis sesenggukan.
Suma Hoat merasa makin kasihan. Dengan gerakan halus ia menyentuh pundak yang bergoyang-goyang itu dan berkata, “Jangan menangis, Nona, dan jangan berputus asa. Seperti telah kukatakan tadi, aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku. Kalau engkau tidak suka menikah dengan duda tua keluarga Thio itu, kau tolak saja dan aku yang akan melindungimu!”
Ucapan penuh semangat ini membuat Kim Hwa menjadi terharu dan berterima kasih sekali sehingga tangisnya makin mengguguk. Ketika Suma Hoat menghiburnya dengan mengelus rambut kepalanya yang hitam panjang dan halus, Kim Hwa tersedu dan merebahkan kepalanya di atas dada Suma Hoat! Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, tanpa kata-kata namun keduanya yakin apa yang terjadi dengan perasaan hati masing-masing.
Kuda yang mereka tunggangi berjalan perlahan seenaknya, agaknya tidak mau mengganggu majikannya yang sedang dilanda asmara. Jari-jari tangan Suma Hoat yang mengelus-elus rambut itu seolah-olah mengeluarkan getaran yang membuat Kim Hwa memejamkan mata dengan sepasang pipinya yang menjadi kemerahan.
Tiba-tiba kuda putih yang tadinya melangkah perlahan dan tenang, menghentikan langkahnya, hidungnya kembang-kempis, kemudian mengeluarkan suara meringkik keras dan keempat kakinya menggaruk-garuk tanah.
“Eh, Pek-ma (Kuda Putih), ada apakah?” Suma Hoat yang sedang diterbangkan ke angkasa kemesraan itu terkejut, melepaskan belaian tangannya pada rambut Kim Hwa dan cepat menyambar kendali untuk menguasai kudanya.
Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan hutan itu, gerengan seekor harimau yang berada di dalam gerombolan semak dan yang kini keluar sambil memandang ke arah kuda.
“Celaka, Inkong...!” Kim Hwa menjerit penuh kengerian dan kedua lengannya otomatis merangkul pinggang pemuda itu, tubuhnya gemetar.
“Tenanglah, Nona. Aku memang sedang mencari-cari harimau itu. Mari kita turun dan kau tunggu saja di sini sampai aku selesai membunuh pengganggu dusun-dusun ini.”
Tanpa menanti jawaban, Suma Hoat sudah memondong tubuh Kim Hwa turun dari atas punggung kuda putih yang juga berdiri menggigil ketakutan. Ia menurunkan Kim Hwa yang berdiri dengan muka pucat di dekat kuda. Mata gadis ini terbelalak memandang ke arah harimau yang besarnya luar biasa dan kepada penolongnya yang kini melangkah maju menghampiri harimau dengan senyum tenang di wajahnya yang tampan!
Suma Hoat memandang harimau yang dihampirinya itu penuh kagum. Pantas saja penduduk dusun tidak berdaya menghadapi pengganggu ini. Kiranya seekor harimau yang luar biasa besarnya, sebesar anak lembu, dengan matanya yang liar tajam dan sikapnya yang angkuh dan memandang rendah seperti sikap seorang raja besar!
“Inkong..., pedangmu... gunakan pedangmu...!” Terdengar suara Kim Hwa gemetar penuh kekhawatiran. Dara ini melihat betapa penolongnya itu sudah dekat sekali dengan hari mau akan tetapi masih saja bertangan kosong. Hanya orang gila saja yang melawan harimau sebesar itu dengan tangan kosong, pikirnya. Karena kekhawatirannya, maka ia memaksa diri memperingatkan.
Mendengar ini Suma Hoat menoleh dan tersenyum. “Kim Hwa-moi, jangan khawatir. Dia ini bagiku hanyalah seekor kucing...”
“Awas... ah, Inkong...!” Kim Hwa menjerit.
Akan tetapi tanpa diperingatkan juga, telinga Suma Hoat yang terlatih sudah mendengar gerakan harimau itu dan dengan mudah saja ia menggerakkan tubuh ke kiri mengelak dari tubrukan dahsyat itu. Akan tetapi harimau itu benar-benar berbeda dengan harimau-harimau biasa yang pernah ditangkap dan dibunuh Suma Hoat dengan tangan kosong. Begitu tubrukannya luput dan kakinya menyentuh tanah, tubuh harimau itu sudah membalik dengan cepat sekali, kedua kaki depan mencakar dari kanan kiri dan kaki belakangnya menggenjot tanah sehingga tubuhnya kembali sudah menerkam ke arah Suma Hoat!
“Inkong...!” Suara jerit Kim Hwa mengandung isak.
Suma Hoat terkejut dan kagum menyaksikan ketangkasan dan kecepatan harimau yang amat besar itu. Timbul rasa sayangnya dan ia hendak mengambil kulit binatang besar ini tanpa cacad.
Ketika tubuh yang menubruknya itu melayang ke arahnya, ia cepat menyusup ke bawah perut harimau sehingga kembali tubrukan itu luput dan sebelum harimau dapat membalik, Suma Hoat telah menangkap ekornya yang panjang, mengerahkan tenaga dan... tubuh harimau itu terangkat dan diputar-putar di atas kepalanya! Harimau meronta-ronta dan menggereng-gereng berusaha mencakar atau menggigit tangan kuat yang memegangi ekornya. Penglihatan itu mengerikan dan menegangkan sekali.
“Inkonggg...!” kembali Kim Hwa menjerit dan menutupi muka dengan kedua tangan, tidak tahan melihat perkelahian itu karena ia tidak mau melihat tubuh penolongnya dicakar atau digigit sampai pecah-pecah kulitnya dan berlumuran darahnya! Hal itu tentu akan terjadi karena penolongnya itu terlampau berani, tidak mau menggunakan pedang membunuh binatang yang demikian besar dan kuatnya!
Suma Hoat melepaskan ekor yang dipegangnya. Tubuh harimau terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas tanah. Biasanya, harimau yang terbanting seperti ini tentu akan pingsan dan menjadi lemah, maka Suma Hoat tersenyum-senyum menghampiri Kim Hwa dan berkata, “Jangan khawatir, dia...”
“Inkonggggg...!” Kim Hwa menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali karena harimau yang terbanting itu tiba-tiba sudah meloncat dan menerkam ke punggung Suma Hoat!
Saat itu perhatian Suma Hoat sedang tertuju kepada Kim Hwa, maka gerakannya mengelak agak terlambat dan kaki depan kiri harimau itu masih menampar pundaknya sehingga tubuhnya terpelanting! Harimau itu menggereng marah dan menubruk tubuh lawan yang sudah jatuh itu.
“Inkonggggg...!” Jeritan Kim Hwa sekali ini lemah sekali dan ia sudah terkulai, lemas dan roboh pingsan di atas tanah!
Suma Hoat dapat melihat keadaan dara yang membuatnya tergila-gila itu, maka timbul kemarahannya. Ketika harimau menerkamnya ia menyambut dengan sebuah tendangan yang mengenai perut harimau sehingga binatang itu terpental ke samping. Sebelum harimau itu sempat menyerangnya kembali, Suma Hoat sudah melompat ke atas punggungnya! Harimau itu marah, meloncat-loncat, bergulingan, akan tetapi Suma Hoat tetap di atas punggungnya, kemudian jari tangannya bergerak ke depan.
”Crapp!” Harimau mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan darah bercucuran dari kedua matanya yang sudah berlubang!
Suma Hoat melompat turun ketika harimau yang menjadi buta matanya itu menerjang ke depan secara ngawur. Binatang itu menjadi seperti gila saking nyeri dan bingungnya, mukanya dicakarinya sendiri, menggereng-gereng, kemudian meloncat ke depan sekuat tenaga.
“Desssss!” Kepala harimau itu menubruk batu besar, pecah seketika dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat.
Suma Hoat tidak mempedulikan lagi bangkai harimau itu dan cepat ia lari menghampiri tubuh Kim Hwa yang menggeletak pingsan di atas tanah.
“Kim Hwa...!” Ia memanggil dan mengguncang-guncang pundak dara itu, namun Kim Hwa tidak menjawab dan tubuhnya lemas.
Ketika Suma Hoat meraba dahinya, ternyata dahi itu panas! Tahulah dia bahwa kegelisahan dan ketakutan membuat dara itu pingsan dan ada bahaya dia akan terserang demam. Cepat ia pergi meninggalkan gadis yang pingsan itu untuk mencari air. Dalam keadaan seperti itu, air dingin amat penting untuk membasmi panas di kepala dan dahinya.
Ia harus pergi agak jauh juga untuk mencari air di sebuah anak sungai. Selagi ia bingung karena tidak membawa tempat air, kemudian melepas jubahnya dan mencelupkan jubah ke dalam air dingin, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik keras disusul jerit Kim Hwa!
”Hwa-moi...!” Suma Hoat berteriak, menyelipkan jubah basah dipunggungnya lalu ia melompat dan berlari cepat ke tempat gadis itu ditinggalkan. Betapa kagetnya ketika ia melihat kuda putihnya sudah lari dan Kim Hwa sudah berdiri dan terbelalak ketakutan memandang ke arah seekor harimau besar yang berdiri dekat sekali di depan dara itu!
Suma Hoat kaget dan heran, ketika mengerling ke arah bangkai harimau yang masih berada di tempat tadi, tahulah dia bahwa harimau besar ke dua ini adalah harimau betina. Kiranya ada dua ekor harimau, sepasang binatang buas yang amat besar yang telah mengganggu dusun.
Tiba-tiba gadis itu menjerit dan hendak lari, akan tetapi harimau menerkam ke depan dan dara itu roboh telentang.
“Hwa-moi...!” Dengan beberapa kali loncatan saja Suma Hoat sudah tiba di situ, disambarnya ekor harimau dan direnggutnya binatang itu terlepas dari tubuh Kim Hwa.
“Breeeettt!” Baju Kim Hwa terbawa oleh cakar harimau dan tampak sedikit darah di dada yang putih mulus itu. Suma Hoat yang merasa khawatir dan marah sekali mencabut pedang dan tampak sinar berkelebat disusul muncratnya darah dari leher harimau yang hampir putus terbabat pedang!
“Kim Hwa...!” Suma Hoat cepat berlutut di dekat Kim Hwa. Dara itu merintih dan membuka matanya. Ketika melihat bahwa yang mencuci luka kecil di dadanya dengan jubah basah adalah pemuda penolongnya, ia mengeluarkan jerit tertahan dan menangis.
“Diamlah, Moi-moi, diamlah manis... syukur bahwa engkau hanya terluka kecil saja, tergores cakar harimau laknat...!” Suma Hoat telah menaruh obat bubuk ke atas luka kecil itu. Darah telah berhenti dan kini, seperti tak disadarinya, jari tangannya mengelus kulit di seputar luka. Matanya tak pernah berkedip memandang wajah itu, dada yang terbuka itu, leher itu dan ia terpesona.
Kim Hwa tadinya memejamkan matanya, kemudian kesadarannya kembali dan mulailah dia merasa betapa dadanya tak tertutup lagi, betapa tangan yang hangat menggetar-getar itu mengelus-elus dan membelainya. Ia membuka matanya perlahan, melihat wajah yang tampan, mata yang penuh kemesraan itu memandangnya, dada yang bidang itu pun tak berbaju karena bajunya tadi dipakai mencuci lukanya. Perasaan aneh dan mesra memenuhi rongga dada Kim Hwa. Seperti disentakkan ia menangkap tangan yang mengelus dadanya, membawanya ke depan hidung dan mulut, menciumi tangan pemuda yang telah dua kali menyelamatkan nyawanya.
“Moi-moi...!” Suma Hoat tak dapat menahan getaran hatinya dan ia menjatuhkan mukanya ke atas dada itu.
“Koko...!” Kim Hwa terisak, memeluk kepala itu, lalu perlahan menarik kepala itu sehingga dekat. Dengan sinar mata yang mengeluarkan seluruh perasaan hati mereka, dengan napas terengah yang saling meniup muka mereka, kemudian dua muka yang sama eloknya itu saling mendekat, dua pasang lengan saling rangkul, saling mendekap.
“Moi-moi...!”
“Koko...!”
Mereka terisak, berciuman seperti tak sadar lagi. Akhirnya Suma Hoat tersentak kaget. Belum pernah ia merasai seperti ini. Dia sudah biasa bermain cinta dengan wanita cantik, akan tetapi mereka itu wanita-wanita yang menjual cinta! Dan dia hanya menurutkan dorongan nafsu belaka. Sekarang jauh sekali bedanya! Di samping nafsu yang bergolak dan menindih membakar seluruh urat syaraf di tubuhnya, terdapat perasaan lain. Dia tidak ingin menyusahkan Kim Hwa, dia tidak ingin mengganggu dara ini, dia menaruh kasihan dan kesayangan yang luar biasa. Dia rela mati untuk kebahagiaan dara ini! Sungguh bedanya seperti bumi dengan langit dibandingkan dengan wanita-wanita yang biasa dicintanya.
Belaian jari tangan wanita ini pada pipinya, tengkuknya, dadanya, balasan ciumannya begitu lembut dan mesra dan ia merasakan cinta kasih yang murni di balik kemesraan ini, membuat ia terharu sekali dan ketika ia mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu, kedua mata Suma Hoat menjadi basah. Juga ia melihat Kim Hwa menitikkan air mata yang berlinangan seperti butiran-butiran mutiara, namun mulut yang merah dan panas itu tersenyum, malu-malu dan mesra. Dua pasang mata berpandangan, bertanya-tanya dan saling menjawab. Namun, Suma Hoat masih tidak berani meyakinkan hatinya, maka ia berbisik lirih dekat telinga Kim Hwa.
“Moi-moi... bolehkah...? Benarkah ini...? Ahhh, betapa ingin hatiku untuk memilikimu, menjadikan engkau milikku, lahir batin, hati dan tubuhmu... akan tetapi... engkau seorang gadis terhormat... bahkan calon isteri orang lain... ahh, Moi-moi, katakanlah, betapa besar pun cintaku, betapa besar pun hasrat hatiku memilikimu sehingga kalau tidak terpenuhi aku akan mati merana, namun aku rela mati dari pada memaksamu, dari pada menyusahkanmu... Moi-moi, jawablah, bolehkah aku...?” Suara Suma Hoat mengandung isak, bercampur rintihan hatinya dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Kim Hwa tersenyum, senyum penuh pengertian yang hanya dimiliki seorang wanita yang mencinta, senyum yang hanya dimiliki seorang ibu terhadap anaknya, walau pun air matanya sendiri menetes-netes. Dara itu kemudian mengangkat kedua tangannya, mengusap dua titik air mata dari pipi Suma Hoat, kemudian kedua lengan itu merangkul leher, mulutnya berbisik lirih sekali.
“Suma-koko..., aku... aku rela menyerahkan jiwa ragaku kepadamu... biarlah aku menikmati kebahagiaan sehari ini bersama orang yang kucinta sepenuh hatiku... sebelum aku memasuki neraka bersama laki-laki pilihan orang tuaku... Koko... cintailah aku... aku menyerah, serela-relanya... demi Tuhan...!”
“Moi-moi...!” Suma Hoat memeluk dan mendekap, kemesraan hatinya meluap.
“Koko...!” Kim Hwa terengah menjerit dan merintih, rintih kebahagiaan yang selama hidupnya takkan terlupa oleh Suma Hoat.
Dengan penuh kemesraan, dengan nafsu yang terkendalikan oleh cinta murni, dengan pandang mata penuh kagum dan hormat, dengan landasan hati ingin saling membahagiakan orang yang dicintanya, dua orang muda itu berlangen asmara, berenang di lautan cinta yang memabokkan, dibuai dan dipermainkan gelombang-gelombang getaran hati dan perasaan.
Sehari semalam mereka lupa diri, yang teringat hanyalah orang yang dicintanya, yang tak pernah terpisah sekejap mata pun, saling mencurahkan perasaan kasih sayang semesra mungkin. Dalam keadaan seperti itu, bagi mereka berdua yang ada hanyalah cinta kasih di antara mereka. Kalau sudah saling mencinta, kalau dunia ini terasa kosong dan yang ada hanya mereka berdua, kalau bagi mereka tidak ada urusan lain di dunia ini kecuali peluapan asmara, apa lagikah yang dapat mereka ingat?
Sungguh patut dikasihani kedua orang muda ini. Semenjak kecil, Suma Hoat melihat betapa ayahnya mengumpulkan wanita-wanita cantik, betapa ayahnya selalu mengejar kesenangan dengan selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Sering kali bahkan dia tanpa sengaja menyaksikan ayahnya bermesra-mesraan dengan beberapa orang selir di dalam taman atau di dalam kamar. Sifat ayahnya yang gila bercinta dengan selir-selir muda ini tanpa disadari membentuk watak di dalam jiwanya, watak seorang pria yang haus akan cinta.
Sebagai putera bangsawan yang tampan dan kaya, banyaklah wanita yang menggodanya dan semenjak berusia enam belas tahun, Suma Hoat sudah mencari-cari dan mengejar-ngejar cinta. Namun apa yang didapatnya di dalam tubuh dan hati wanita-wanita cantik yang penuh gairah menyusup ke dalam pelukannya? Cinta palsu belaka! Cinta harta dan cinta nafsu. Wanita-wanita itu sudah tidak mengenal cinta murni lagi, cinta yang membuat seseorang tak ingin lagi berpisah, ingin hidup bersama selamanya, menempuh hidup berdua, suka sama dinikmati, duka sama diderita!
Kini, bertemu dengan Kim Hwa, dia menemukan cinta kasih yang murni, maka tidaklah mengherankan apabila dia terpesona dan lupa diri, lupa segala! Yang teringat hanyalah bahwa dara yang menyerahkan jiwa raga demikian ikhlas dan mesra adalah wanita yahg harus disayangnya, dihormatinya, dibelanya sampai mati!
Ada pun Kim Hwa adalah seorang dara yang selama hidupnya belum pernah mengenal cinta, belum pernah berdekatan dengan pria kecuali dengan ayahnya. Namun sebagai seorang dara terpelajar, dia maklum apa artinya dijodohkan dengan seorang duda tua yang kaya raya. Dia seolah-olah dijual seperti seekor kucing atau anjing saja, sebuah benda yang mahal. Dia maklum bahwa dia akan berkorban perasaan selama hidupnya, hal yang membuat ia berduka dan putus asa. Kalau tidak demi bakti kepada ayah bundanya, ingin dia membunuh diri saja dari pada setiap saat menderita batin, harus menurut dan tunduk dirinya dijadikan benda permainan seorang pria yang sama sekali tidak dicintanya.
Kini bertemu dengan Suma Hoat yang menolong keselamatan nyawanya, yang begitu jumpa telah merebut hatinya, telah menimbulkan cinta kasihnya, kemudian terdorong oleh keadaan yang membangkitkan dorongan dan rangsangan nafsu birahi, menggolakkan darah muda, tidaklah mengherankan apabila ia menyerahkan diri bulat-bulat, penuh kerelaan dan kemesraan yang timbul dari keputus-asaan akan dikawinkan laki-laki tua yang tak dicintanya!
Memang patut dikasihani mereka ini. Di dalam amukan badai asmara yang memiliki kekuatan tak tertandingi di seluruh alam ini, keduanya lupa sama sekali bahwa kehidupan manusia sudah tidak bebas lagi sehingga mengakibatkan cinta kasih pun tidak bebas lagi! Manusia telah menciptakan hukum-hukum sehingga kehidupan manusia seolah-olah terselimuti oleh segala macam hukum. Belenggu besar mengikat kaki tangan kehidupan manusia berbentuk kebudayaan, kesusilaan dan lain-lain. Siapa melanggarnya tentu akan terbentur dengan hukum ini dan akan menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Manusia tidak dapat bergerak bebas menurutkan perasaan hatinya, harus lebih dulu melihat ke depan, apakah pelaksanaan perasaan hatinya itu tidak akan bersilang dan melanggar hukum! Demikian pula dengan cinta! Perjalanan cinta penuh liku-liku, penuh rintangan yang berupa hukum, kesusilaan, kebudayaan, agama dan tradisi. Manusia di jaman sekarang tidak bisa hidup menurutkan cinta dan pelaksanaannya tanpa mempedulikan semua itu. Akan terbentur dan... gagal! Dalam segala hal, juga dalam cinta, manusia harus mempergunakan perhitungan, bukan memperhitungkan untung rugi, melainkan memperhitungkan baik buruknya, terutama menjenguk masa depan.
Karena itu sekali lagi, patut dikasihani Suma Hoat dan Kim Hwa yang membukakan pikiran dan hati, terjun dan berenang berdua ke dalam lautan cinta asmara yang memabukkan sehingga sehari semalam kedua manusia ini tidak pernah meninggalkan tanah bertilam rumput itu, di mana tiada puas-puasnya mereka saling mencurahkan perasaan cinta mereka. Baru keesokan harinya mereka berdua menunggang kuda putih, melanjutkan perjalanan ke kota raja. Kuda dijalankan perlahan, dibiarkan berjalan sendiri tanpa kendali.
Kim Hwa duduk dipangku oleh Suma Hoat. Mereka masih mabuk dan nanar, masih setengah terbius oleh kemesraan. Kim Hwa menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya dan Suma Hoat melingkarkan lengan kirinya di leher Si Jelita, tangan kanannya membelai-belai rambut, mengusap leher dan pipi.
“Koko...” terdengar Kim Hwa berkata lirih, suaranya mengandung kemanjaan yang amat manis terdengar oleh telinga mereka.
“Hemmm...?” Jawaban ini mengandung kemanjaan penuh dengan perasaan ingin menyayang dan disayang.
Memang cinta kasih murni menimbulkan hasrat yang tak kunjung padam, hasrat ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin memberikan seluruh hati dan tubuh di samping ingin meminta seluruhnya! Menimbulkan hasrat ingin bersatu, ingin menjadi satu badan dan hati, satu nasib, satu kehidupan, satu perasaan!
“Suma-koko, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku.”
Suma Hoat mencium mulut yang mengucapkan kata-kata mesra itu, lalu tersenyum. “Aku pun cinta padamu, Hwa-moi. Entah sudah berapa ratus kali ucapan ini keluar dari mulutmu yang manis, namun tak pernah aku merasa bosan, bahkan setiap kali kau berkata demikian, makin besarlah kebahagiaan hatiku.”
Hening sejenak, keduanya menikmati kehangatan pelukan.
“Koko, aku... aku takut...” Dalam kata-kata itu terkandung kegelisahan besar dan tubuhnya agak menggigil.
“Jangan takut, Moi-moi, ada aku di sampingmu, takut apakah?” Suma Hoat memperkuat pelukannya.
“Kalau sudah sampai di kota raja, aku... ah, tentu akan dikawinkan...”
“Tidak! Sudah kukatakan bahwa aku akan melindungimu dengan seluruh jiwa ragaku! Aku akan minta bantuan ayahku yang berpengaruh untuk meminangmu dan untuk menundukkan keluarga Thio. Jangan khawatir, engkau tentu akan menjadi isteriku, sayang, isteriku tercinta!”
Kim Hwa merangkul dan kini dialah yang mencium bibir pemuda itu. “Koko, aku telah menjadi isterimu dan akan menjadi isterimu salamanya, apa pun yang terjadi, di dunia mau pun di akhirat! Lebih baik aku mati dari pada pria lain menjamah tubuhku yang telah menjadi milikmu.”
Hati Suma Hoat menjadi gembira sekali dan ia ingin cepat-cepat sampai ke kota raja agar urusannya ini dapat segera diselesaikan, agar dia dapat segera menjadi suami isteri dengan Kim Hwa dan takkan terpisah lagi selamanya. Maka dibalapkanlah kudanya, menuju ke kota raja!
Ketika akhirnya Suma Hoat menurunkan Kim Hwa di depan gedung keluarga Thio dan disambut oleh bangsawan itu dan Ciok Khun yang sudah agak sembuh, hati mereka ini merasa tidak senang. Akan tetapi, keluarga Thio tentu saja tidak berani menegur putera Suma-ciangkun sedangkan Ciok Khun yang telah ditolong, juga tidak berani berkata apa-apa sungguh pun hati ayah ini tidak enak karena puterinya menyusul demikian terlambat. Apa saja yang terjadi selama sehari semalam itu dengan puterinya? Setelah menyerahkan Kim Hwa, Suma Hoat lalu membedalkan kudanya pulang ke rumah orang tuanya.
”Taijin, mohon Paduka sudi menolong hamba...!” Bangsawan Thio setengah menangis ketika menghadap Menteri Kam Liong, kemudian melaporkan tentang peristiwa yang menimpa keluarganya dan yang mengancam pencemaran nama keluarganya. Adiknya yang sudah duda akan menikah dengan puteri keluarga Ciok, akan tetapi ketika keluarga itu berangkat ke kota raja, di tengah jalan diganggu perampok dan ditolong oleh Suma-kongcu.
“Sekarang tiba-tiba Suma-ciangkun mengajukan pinangan kepada Ciok Khun, meminang puterinya untuk Suma-kongcu! Padahal dara itu telah menjadi calon isteri adik hamba, Taijin. Kalau sampai dibatalkan, bagaimana pendapat orang akan nama baik keluarga hamba?”
Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal adik misannya, Suma Kiat atau Suma-ciangkun yang banyak mengumpulkan selir-selir muda yang cantik dengan cara apa pun, kalau perlu dengan kekerasan. Dia pun sudah mendengar akan watak Suma Hoat, putera tunggal adik misannya itu yang terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang dan sudah biasa berkeliaran ke rumah-rumah pelacuran. Kini, menghadapi peristiwa ini tentu saja ia menjadi marah dan menganggap bahwa keluarga Suma tidak patut hendak merampas calon isteri orang lain!
“Hemmm, sungguh tidak benar perbuatan itu! Jangan khawatir, sekarang juga aku akan menulis surat kepada Suma-ciangkun agar suka menarik kembali pinangannya dan minta maaf kepada Ciok Khun!”
Bangsawan Thio tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. “Terima kasih atas bantuan Taijin, akan tetapi... uhhh...”
“Apa lagi?” Menteri Kam Liong membentak karena hatinya kesal mendengar urusan yang tidak menyenangkan hatinya itu.
“Mengenai pinangan itu, kalau Taijin mencampuri, tentu beres dan hamba bersyukur sekali. Akan tetapi, sungguh hamba sekeluarga bingung menghadapi Suma-kongcu...”
“Dia kenapa?” Menteri Kam Liong mengerutkan alisnya.
“Dia... setiap malam... mengunjungi Ciok Kim Hwa di kamarnya... hamba sekeluarga mana berani mengganggunya?”
“Apa...?!” Menteri itu menggebrak meja dan bangkit berdiri. “Bocah kurang ajar! Biar aku sendiri yang akan menghadapinya setelah surat kukirim dan pinangan ditarik kembali. Kalau dia masih berani mengganggu, aku sendiri yang akan menghajarnya. Pergilah!”
Bangsawan Thio mengundurkan diri dengan ketakutan melihat menteri itu marah-marah. Menteri Kam Liong lalu menulis surat setelah menenggak araknya untuk mengusir perasaan marah di hatinya. Berulang kali ia menarik napas, teringat akan nenek moyang keluarga Suma yang tidak patut.
Ketika menerima surat dari kakak misannya, Panglima Suma Kiat mengepal-ngepal tinju dengan hati bingung. Dia ditangisi Suma Hoat, dipaksa meminang Ciok Kim Hwa dan hal itu telah dilakukannya. Siapa kira kini Menteri Kam Liong turut campur dan tentu saja dia tidak berani membantah. Segera dikirimnya utusan kepada keluarga Ciok yang tinggal mondok di gedung keluarga bangsawan Thio, membatalkan pinangan. Berita ini diterima dengan penuh kegembiraan oleh Ciok Khun dan keluarga Thio, akan tetapi diterima dengan ratap tangis oleh Kim Hwa di dalam kamarnya yang mengunci pintu dan tidak mau makan, hanya menangis saja dalam kamar tertutup.
Ketika Suma Hoat pulang, dia disambut oleh maki-makian ayahnya yang marah-marah dan menganggap puteranya itu membikin malu saja. Mula-mula Suma Hoat menjadi heran dan bingung, akan tetapi ketika mendengar bahwa ayahnya terpaksa membatalkan pinangan terhadap Kim Hwa karena teguran Menteri Kam Liong, pemuda ini hampir pingsan dan lari ke kamarnya, menangis, dan meninju-ninju kasur. Wajahnya menjadi pucat sekali dan hatinya hancur.
“Aku akan lari bersamanya!” Ia berkata seorang diri, matanya menjadi merah dan liar. “Malam ini aku mengajak dia lari minggat! Itulah jalan satu-satunya!”
Malam itu gelap sekali. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membuat hawa menjadi dingin, cuaca gelap dan keadaan sunyi senyap. Di ruangan dalam gedung bangsawan Thio, Menteri Kam Liong dijamu penuh kehormatan oleh bangsawan Thio, adiknya calon pengantin, duda yang usianya sudah lima puluh tahun, dan ditemani pula oleh Ciok Khun. Menteri Kam Liong diundang selain untuk dijamu dan sebagai tanda terima kasih keluarga itu, juga Menteri ini memenuhi janjinya untuk mencegah Suma Hoat mengganggu Ciok Kim Hwa di kamarnya.
Para penjaga sudah disiapkan bersembunyi di sekeliling kamar Kim Hwa, bertugas mengintai kalau-kalau Suma-kongcu datang di kamar itu seperti biasa. Datang seperti setan karena pemuda ini datang melalui genteng dan bergerak cepat seperti burung saja. Mereka hanya bertugas mengintai, karena untuk menangkap tentu saja mereka tidak berani. Untuk tugas itu mereka mengharapkan bantuan Menteri Kam Liong yang selain tinggi ilmunya, juga tinggi kedudukannya dan masih pek-hu (uwa) dari pemuda bangsawan yang lihai itu.
Sesosok bayangan berkelebat dan para penjaga cepat lari memberi laporan kepada mereka yang masih makan minum di ruangan dalam. Mendengar laporan ini merah wajah Kam Liong dan bergegas mereka semua lari menuju ke kamar dara itu. Bangsawan Thio bersama adiknya di depan, disusul Ciok Khun dan paling belakang adalah Menteri Kam Liong yang bersikap tenang sungguh pun hatinya panas, malu dan marah. Betapa pun juga, Suma Hoat adalah keponakannya dan perbuatan itu berarti mencemarkan nama baiknya pula.
Bayangan itu memang Suma Hoat yang bergegas memasuki kamar kekasihnya melalui genteng. Sambil membongkar genteng ia membayangkan betapa kali ini kekasihnya tentu tidak menyambut dengan ciuman dan pelukan gembira seperti biasa, dan mungkin akan menyambutnya dengan tangisan. Akan tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk membawa lari kekasihnya, menghiburnya dan membahagiakannya.
Setelah berhubungan cinta dengan Kim Hwa, ia tidak suka menoleh ke arah wanita lain, seolah-olah ia muak terhadap wanita lain. Ia sudah menemukan cintanya! Jangan khawatir, kekasihku, kita akan hidup bahagia, ia berbisik, sambil menutupkan kembali genteng agar jangan kemasukan air hujan, kemudian membuka langit-langit dan meloncat turun dengan ringan sekali ke dalam kamar. Ia menduga bahwa Kim Hwa tentu menelungkup di ranjang sambil menangis.
Setelah kedua kakinya menginjak lantai, ia menghampiri pembaringan, membuka kelambu dan... pembaringan itu kosong! Matanya mencari-cari dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, ia membalikkan tubuh ke kanan dan... ia tersentak kaget, napasnya terhenti seketika, kedua kakinya menggigil, matanya terbelalak memandang kearah tubuh yang tergantung di sudut, tubuh yang tak bergerak-gerak, tubuh Kim Hwa yang lehernya terikat ikat pinggang dan tergantung pada tiang melintang. Sebuah bangku roboh terguling di bawah kakinya.
Suma Hoat memaksa kakinya melangkah, kakinya menggigil, wajahnya pucat, bibirnya gemetar, bergerak-gerak namun tak mengeluarkan suara, kedua lengannya diulur ke depan, siap memeluk, hatinya menjerit. “Kekasihku, marilah... kenapa kau tidak menyambut aku...?” Akan tetapi tubuh itu masih tergantung tak bergerak dan ia terhuyung ke depan, pandang matanya gelap, mengharapkan semua ini hanya mimpi, digigitnya bibirnya sendiri sampai robek berdarah, namun tetap saja tubuh kekasihnya itu tergantung, tak bergerak.
“Kim Hwa...!” Jeritnya meledak dari dasar hatinya dan pemuda itu terguling roboh, pingsan di bawah kaki mayat Kim Hwa yang masih tergantung!
Pintu kamar ditendang roboh oleh Menteri Kam Liong yang berlari-lari mendengar jerit dari kamar itu. Mereka semua masuk dan berdiri terbelalak memandang berganti-ganti ke arah mayat Kim Hwa yang tergantung lehernya dan tubuh Suma Hoat yang rebah pingsan.
“Kim Hwa anakku...!” Ciok Khun berseru akan tetapi ia ditahan oleh bangsawan Thio ketika hendak menubruk maju karena khawatir menyaksikan kehadiran Suma Hoat.
“Suma Hoat...!” Kam Liong berseru memanggil keponakannya dengan suara berat.
Suma Hoat bergerak perlahan, mengeluh lalu berdongak. “Kim Hwa...!” Ia menjerit lagi, meloncat bangun dan sekali renggut putuslah ikat pinggang yang mengikat leher dan memutuskan nyawa gadis itu. Dipondongnya tubuh itu, lalu dipangkunya, diciumnya muka itu didekap kepalanya.
”Kim Hwa...” Kekasihku... Isteriku... kau... kau... aduh, Kim Hwa... mengapa kau membunuh diri...?” Suma Hoat menangis, mengguguk di atas dada mayat kekasihnya.
Kemudian ia mengangkat muka, memandang wajah kekasihnya yang matanya terpejam seperti orang tidur. Lalu ia memondong tubuh itu, perlahan dibawanya tubuh itu ke atas ranjang, direbahkannya hati-hati, lalu diselimutinya dan ia berkata lirih, “Kekasihku, engkau tentu lelah, ya? Engkau mengantuk? Tidurlah manis, tidurlah nyenyak. Biar aku menjagamu....”
Kemudian matanya terbelalak, seolah-olah ia baru tahu bahwa kekasihnya yang disangkanya tidur itu tak bernapas lagi dan ia menggerak-gerakkan bibir tanpa ada suara yang keluar! Kemudian ia mengeluh dan merintih, seperti anak kecil kebingungan, diguncang-guncangnya pundak Kim Hwa, dan terdengar keluhannya, “Kim Hwa, engkau... engkau mati...? Ah, mana bisa... engkau... aduuhhh... engkau benar-benar mati? Kim Hwa...!” Untuk kedua kalinya tubuhnya terguling roboh pingsan sambil mendekap tubuh dara itu yang masih hangat namun yang sudah tak bernyawa lagi.
Sepasang mata Kam Liong menjadi basah. Ia mengangguk-angguk dan berkurang banyaklah kemarahannya terhadap Suma Hoat. Jadi begitukah, pikirnya. Ternyata ada jalinan cinta kasih yang demikian mendalam antara mereka. Ketika ia melirik, ia melihat wajah Ciok Khun pucat sekali dan air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya. Juga bangsawan Thio dan adiknya termangu-mangu, terharu menyaksikan kelakuan Suma Hoat. Kam Liong merasa tidak enak hatinya, dan ia melangkah mundur, tak tahu harus berbuat apa.
Suma Hoat siuman kembali, lalu menangis mengguguk, dan menciumi bibir itu, merintih-rintih dan memohon supaya kekasihnya suka bicara, suka membuka mata, diciumnya mata dan bibir itu sampai akhirnya ia yakin bahwa bibir itu tidak membalas ciumannya, mata itu tidak lagi memandang mesra melainkan terus terpejam.
“Kim Hwa, engkau mati! Engkau membunuh diri... tidak! Engkau dibunuh!” Tiba-tiba Suma Hoat membalikkan tubuh dan memandang kepada tiga orang itu dengan mata liar. Agaknya baru sekarang ia melihat kehadiran Bangsawan Thio dan adiknya, dan ayah Kim Hwa. Kemarahannya meluap.
“Kim Hwa, engkau dibunuh! Mereka inilah yang membunuhmu! Aku akan membalas kematianmu, Kim Hwa kekasihku. Aku akan membalas dendam!” Tiba-tiba ia menerjang maju, kedua tangannya bergerak memukul dengan pukulan maut yang amat kuat ke arah Bangsawan Thio adiknya.
“Bressss!” Tubuh Suma Hoat terlempar ke belakang dan roboh terguling. Pukulan kedua tangannya tertangkis oleh dengan Menteri Kam Liong yang kini melangkah maju dengan pandang mata bengis.
Suma Hoat terkejut bukan main, cepat menggulingkan tubuhnya di lantai meloncat bangun, siap menerjang lawan yang tangguh itu! Akan tetapi ketika ia melihat bahwa lawannya itu adalah Menteri Kam Liong, seketika lemas kedua kakinya. Ia memandang pek-hu-nya, air matanya bercucuran dan lututnya menjadi lemas sehingga ia jatuh berlutut, mulutnya berkata serak, “Pek-hu, harap bunuh saja saya yang celaka ini...”
Menteri Kam Liong melangkah maju, tangannya mencengkeram pundak Suma Hoat dan sekali menarik, tubuh Suma Hoat sudah berdiri lagi. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beginikah sikap seorang gagah perkasa? Lemah melebihi wanita! Cengeng dan sesat!”
Suma Hoat masih menangis, menengok ke arah pembaringan dan tangisnya makin mengguguk. “Pek-hu...” Ia terengah-engah,”...lebih baik saya mati... saya... mencinta Kim hwa... mengapa Pek-hu melarang? Mengapa semua orang melarang? Aku dan dia sudah saling mencintai, Tuhan pun tidak melarangnya! Mengapa kalian mengganggu kami...? Huhu-huuukkkk!” Suma Hoat menangis seperti anak kecil, menunduk di depan uwanya.
Kam Liong mengeraskan hatinya dan menggerakkan tangan kiri menampar.
“Plakk!” pipi kanan Suma Hoat ditamparnya sehingga pemuda itu terkejut sekali, membelalakkan mata penuh penasaran.
Lega hati Kam Liong karena memang itulah yang dikehendakinya, agar bangkit kembali semangat pemuda ini. “Dengar kau, Suma Hoat! Seorang laki-laki sejati lebih mementingkan kebenaran dari pada nyawa dan apa pun juga di dunia ini! Apa artinya cinta kalau melanggar kebenaran? Bencana yang menimpa ini adalah gara-gara kelemahan hatimu! Bukan mereka yang menyebabkan kematian nona ini, melainkan engkaulah! Engkau yang membunuhnya dengan perbuatanmu. Mengerti?”
Pemuda itu terbelalak memandang pek-hu-nya, penuh penasaran. “Akan tetapi, Pek-hu! Dia mencintaiku..., kami saling mencinta dan bersumpah untuk....”
“Diam! Tidak mungkin cinta tumbuh tanpa tanggapan kedua pihak! Tak mungkin tunas cinta dapat bersemi tanpa pupuk pihak lawan! Engkau sudah tahu bahwa dia telah menjadi tunangan orang lain, namun engkau yang lemah ini telah menanggapi cintanya! Kalau engkau tidak melayaninya, aku yakin bahwa dia tidak akan mencintamu! Perbuatanmu itu merupakan pelanggaran besar, mencemarkan nama keluarga kita! Dan yang lebih dari itu, engkaulah yang menyebabkan kematian nona ini yang sudah terlanjur mencintaimu! Dan engkau masih hendak menyalahkan orang lain yang tidak berdosa? Hemm, biarlah peristiwa ini menjadi pelajaran pahit bagimu agar tidak terlalu menurutkan nafsu, pandai mengekang nafsu dan menyalurkannya melalui kebenaran, tidak membuta dan sesat! Pergilah sebelum urusan ini tersiar luas. Pergilah!”
Bentakan terakhir ini mengandung ancaman hebat dan Suma Hoat mengeluh, kemudian dengan lemas ia meloncat ke luar melalui langit-langit dan genteng. Semua orang di dalam kamar itu masih tertegun menyaksikan peristiwa itu dan terdengarlah suara Suma Hoat di atas genteng. Suara yang mengandung isak, suara yang parau bercampur suara rintikan hujan.....
“Perempuan... Aku benci... Cinta perempuan palsu semua! Yang murni hanya Kim Hwa, akan tetapi dia pun meninggalkan aku! Aihhh, benci aku...! Benci aku...! Benci... !” Suara itu makin menjauh.
Kam Liong menghela napas panjang, hatinya penuh kekhawatiran kalau mengenangkan keadaan Suma Hoat. Diam-diam ia merasa heran mengapa seorang pemuda yang ia tahu berwatak mata keranjang dan suka mengobral cinta di antara pelacur-pelacur tinggi, sekarang dapat jatuh cinta seperti itu terhadap seorang gadis!
Melihat keluarga itu berduka dan berkabung, Menteri Kam Liong pun berpamit. Di sepanjang jalan ia menyesali nasib keluarganya.
Setibanya di rumah, Suma Hoat jatuh sakit. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau dan menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan yang disebutnya tidak setia, bercinta palsu dan lain-lain. Sampai sebulan lebih Suma Hoat jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan sekelilingnya. Ayahnya, Panglima Suma Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya tentu saja menjadi bingung dan mengundang semua tabib yang ahli untuk mengobati puteranya.
Pada suatu malam, Suma Hoat sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar. Tanpa membuka matanya ia mengenang semua peristiwa yang menimpanya, terkenang kembali kepada Kim Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, “Semua perempuan palsu cintanya, yang murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!”
Tiba-tiba terdengar suara halus di dekat pembaringan. “Tidak semua perempuan palsu cintanya, Suma Hoat. Betapa mudahnya mencinta seorang pemuda seperti engkau. Aku pun... kalau diberi kesempatan...!” Jari tangan yang halus menyentuh dahinya dengan mesra, dan sapu tangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu mengusap peluh di dadanya.
Suma Hoat membuka mata, terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik, wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa cantiknya! Cantik melebihi Kim Hwa! Muka yang halus itu kemerahan, matanya bergerak-gerak lincah penuh pengertian, mulutnya seolah-olah selalu menantang cium!
Wanita yang matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya menunjukkan seorang ahli silat! Wanita cantik jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya dengan sikap dan kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh nafsu, yang seolah-olah hendak menelanjanginya!
“Kau... siapakah...?” Suma Hoat bertanya, diam-diam kagum melihat wajah itu.
“Aku? Namaku Bu Ci Goat, aku... baru setengah bulan di sini. Aku selir ayahmu yang paling baru.”
“Oohhh...!” Tanpa disadari seruan ini mengandung kekecewaan.
“Mengapa? Tidak girangkah engkau mempunyai seorang ibu muda baru seperti aku?” Bu Ci Goat mendekatkan mukanya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau harun sekali.
Jantung Suma Hoat berdebar dan ia menegur. “Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini? Mau apa?”
Wanita itu tersenyum dan memegang tangan Suma Hoat. “Engkau sakit, dan sudah sepatutnya aku menengok dan menjaga. Aku pun seorang ahli mengobati penyakit, dan melihat penyakitmu, mudah saja obatnya!”
“Apa?”
“Ini...!” Berkata demikian, wanita itu menarik tangan Suma Hoat dan merapatkan tangan pemuda itu ke dadanya, sehingga terasalah oleh pemuda itu gumpalan daging yang hangat.
“Ahh... jangan...!” Suma Hoat menarik tangannya akan tetapi terkejut karena ternyata tangan yang memegangnya itu amat kuat! Tahulah dia bahwa biar pun belum tentu wanita ini memiliki kepandaian silat tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga yang kuat!
“Mengapa tidak? Engkau menderita pukulan batin akibat sakit asmara, dan penyakit rindu obatnya hanya satu! Dan aku... percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat. Boleh kau buktikan sendiri!” Setelah berkata demikian, wanita itu lalu merangkul leher Suma Hoat, menciumi dan membelainya.
Jari-jari tangannya yang ahli dan cekatan itu telah membukai pakaian Suma Hoat, juga pakaiannya sendiri seperti telah terbuka sendiri sehingga tampak bagian tubuhnya yang menggairahkan. Karena kesadarannya belum pulih benar, tanpa diketahuinya bagaimana mula-mulanya, Suma Hoat mendapatkan dirinya dipeluk dan ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya dengan hebat, serangan ciuman dan belaian yang benar-benar membangkitkan semangat pemuda itu!
Ketika itu Suma Hoat mulai terangsang dan lupa diri. Ia seolah-olah menemukan pegangan baru setelah dirinya hanyut dalam kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita ini benar-benar menggairahkan, berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir menandingi kemesraan Kim Hwa. Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Suma Kiat, ayahnya!
“Bocah setan! Mengganggu selir ayahmu sendiri? Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu! Engkau benar-benar mencemarkan nama baik keluarga Suma. Pergi! Hayo minggat dari sini! Engkau tidak patut menjadi puteraku!”
Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali dan ia meloncat turun dari pembaringan, membereskan pakaiannya yang ‘dilucuti’ oleh Bu Ci Goat tadi.
Bu Ci Goat dengan tersenyum-senyum juga membereskan pakaiannya kemudian menghampiri suaminya, memegang lengan Suma Kiat dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat sambil berkata, suaranya merayu, “Mengapa kau marah-marah? Aku hanya berusaha untuk mengobati sakitnya, dia menderita sakit rindu yang hebat...”
Wajah Suma Kiat yang tadinya marah dan kemerahan dengan matanya yang beringas itu menjadi lunak ketika ia menunduk dan memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru yang amat dikasihinya. Ia lalu berkata, “Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi tidak tepat. Kau tahu betapa aku amat mencintaimu, dan aku tidak suka melihat cintamu kepadaku terbagi, biar pun dengan puteraku!”
Menyaksikan semua ini, kemarahan Suma Hoat tak dapat tertahan lagi. Ia lalu berkata nyaring, “Baik! Aku pergi! Aku muak melihat semua ini! Muak hidup di neraka ini!” Pemuda itu lalu melompat ke luar dari kamarnya dan pergi. Semenjak saat itu, Suma Hoat tidak pernah kembali ke rumah ayahnya!
Dan mulai saat itu pula, di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang selalu menentang kejahatan, dengan kepandaiannya yang hebat, dengan keberaniannya yang mendirikan bulu roma para penjahat. Akan tetapi di samping sepak terjangnya yang hebat, pendekar muda ini memiliki kebiasaan yang keji sekali yaitu dia selalu mengganggu wanita!
Dia sering kali terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis remaja, siapa saja asal dia wanita cantik dan sukar didapat. Dan hebatnya, sebagian besar wanita-wanita itu tidak menolak kedatangan penjahat pemetik bunga yang tampan, gagah dan memiliki kepandaian merayu wanita secara istimewa sekali ini!
Dialah Suma Hoat yang menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa wanita hanya lebih pantas dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita hanyalah sekedar alat pemuas nafsunya! Kebenciannya terhadap wanita yang dimulai dengan kepatahan hatinya karena kematian Kim Hwa, disusul sikap Bu Ci Goat dan ayahnya, membentuk watak yang seperti iblis terhadap wanita dalam dirinya! Seorang pendekar pembela kaum tertindas menentang kejahatan, namun juga seorang pemerkosa nomor satu di dunia sehingga beberapa tahun kemudian, terkenallah nama penjahat pemetik bunga (pemerkosa) Jai-hwa-sian atau Dewa Pemerkosa!
Keadaan keluarga Suma inilah yang membuat hati Menteri Kam Liong selalu prihatin sekali. Apa lagi ketika ia melakukan peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita bahwa diam-diam Suma Kiat dan anak buahnya adalah tokoh-tokoh penting yang membujuk para panglima di utara yang membujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan!
Sering kali menteri yang bijaksana ini termenung, memikirkan percampuran darah nenek moyangnya yang sebagian memiliki darah keturunan pendekar-pendekar hebat dan disegani di dunia kang-ouw seperti pendekar sakti Suling Emas, pendekar wanita Ratu Yalina, pendekar wanita Mutiara Hitam dan yang lain-lain. Akan tetapi, juga terkenal sekali darah keturunan orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh mereka seperti keturunan keluarga Suma itu.
Dia pun tahu mengapa Suma Kiat membenci Khitan. Hal ini adalah karena dahulu di waktu mudanya, Suma Kiat jatuh cinta kepada puteri Suling Emas, atau adik tirinya, pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena cinta tidak dibalas, maka dia mempunyai perasaan benci kepada Kerajaan Khitan atau sesungguhnya kepada keturunan Suling Emas. Hanya karena keturunan Suling Emas semua memliki kepandaian yang amat tinggi, maka dia tidak berani menyatakan kebenciannya secara berterang. Karena kebenciannya kepada Raja Khitan yang juga merupakan putera Suling Emas, maka dia berusaha keras untuk menghancurkan Khitan.
********************
Sepasang orang laki-laki dan wanita berusia empat puluh tahunan berlari seperti terbang cepatnya, melalui padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh tinggi kurus, berwajah tampan gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis menggantung di kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat sehelai sapu tangan kuning. Wajah laki-laki ini selalu tersenyum-senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Ada pun yang wanita berwajah cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan kekerasan hati sehingga membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan merasa tunduk dan jeri.
Mereka berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik mereka, tak dapat disangsikan lagi bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi. Memang tepat sekali dugaan ini, karena mereka itu adalah sepasang suami isteri yang apa bila disebut namanya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak, dan membuat tokoh-tokoh dunia hitam gemetar. Laki-laki itu adalah pendekar yang dijuluki Pek-kong-to (Si Golok Sinar Putih) Tang Hauw Lam, sedangkan wanita itu adalah isterinya yang lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!
Semenjak menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak calon suami, Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti yang diduga oleh kakak tiri Mutiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami isteri yang paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh di utara dan barat.
Mereka melewati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi dunia barat dan hidup di antara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti arang, kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih seperti salju dengan manik mata berwarna biru, coklat atau hijau, rambut kepala berwarna merah darah, kuning emas atau putih kebiruan! Tentu saja perantauan suami isteri pendekar selama belasan tahun ini selain menambah pengalaman mereka, juga memperdalam ilmu kepandaian mereka.
Suami isteri yang saling mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal yang membuat mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang, yaitu bahwa selama belasan tahun menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal ini merupakan kekecewaan yang kadang-kadang membuat Mutiara Hitam, si pendekar wanita yang gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa ganas pun, kalau malam suka mencucurkan air mata!
Betapa indah pun keadaan dunia barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami isteri itu rindu juga kepada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur melalui Pegunungan Himalaya yang aneh, penuh bahaya, dan amat sukar dilalui itu. Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan dan biar pun suami isteri ini merupakan orang-orang gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu sungguh amat sukar ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh-aneh.
Banyak mereka temui binatang liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di salju Pegunungan Himalaya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia. Banyak pula burung-burung raksasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka itu sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang mengerikan.
Setelah kembali ke tanah air, suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau sampai jauh ke selatan, bahkan pada suatu hari mereka menyewa perahu dan menjelajah pulau-pulau di laut selatan! Dalam pelayaran inilah mereka melihat sebuah perahu besar yang dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka datang terlambat dan hanya berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan perempuan yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak itu.
Anak-anak itu baru berusia kurang lebih enam tahun ketika mereka menolongnya dan suami isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil mereka sebagai murid. Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan yang perempuan bernama Ok Yan Hwa. Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu diajak merantau, hanya kadang-kadang saja mereka berempat tinggal di atas puncak sebuah gunung untuk selama satu atau dua tahun, lalu tempat itu ditinggalkan lagi karena suami isteri yang berdarah perantau itu tidak pernah merasa betah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang terlalu lama.
Demikianlah, ketika mereka mendengar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa khawatir akan nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Raja Talibu di Khitan, lalu mereka berempat berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam dan suaminya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di pinggir hutan, mereka berhenti. Pek-kong-to Tang Hauw Lam menoleh ke belakang lalu berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khikang-nya.
“Ji Kun... ! Yan Hwa...! Hayo cepat kalian menyusul ke sini!”
Mutiara Hitam berkata sambil menghela napas panjang. “Dua orang muda kita itu tiada hentinya bersaing dan berlomba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa mereka tidak pernah kelihatan akur?”
Suaminya tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang pemuda! “Ha-ha-ha, mengapa disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena persaingan menimbulkan kemajuan! Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih secara terpisah pula, biar aku melatih Ji Kun dan engkau melatih Yan Hwa. Dengan demikian, persaingan di antara mereka akan makin menghebat dan mereka akan berlomba saling mengalahkan sehingga memperoleh kemajuan pesat.”
Mutiara Hitam mengerutkan keningnya. Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa kebaikan. Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam persaingan dan percekcokan di antara mereka!”
“He-heh-heh! Kita terbawa dan saling cekcok? Jangan khawatir, isteriku, sampai bagaimana pun juga, mana bisa aku menangkan engkau?”
Mutiara Hitam memandang suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga. Hidup di samping suaminya yang selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah? “Sesukamulah, akan tetapi engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kumiliki kepada Ji Kun.”
“Tentu saja... tentu... Jangan khawatir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai murid Mutiara Hitam! Ilmu keturunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti begitu saja!”
Pada saat itu tampak dua titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki dan perempuan yang berlari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami isteri pendekar ini, kedua orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan berlomba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di situ, Ji Kun menang beberapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan muka cemberut, sungguh pun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis tinggal satu-satu!
“Kita sudah memasuki daerah Khitan, perang terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh terpisah dari kami!” Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki daerah Khitan dan dapat dibayangkan betapa sedih hati Mutiara Hitam menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apa lagi ketika ia mendengar bahwa Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika mendengar bahwa Raja dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang, Mutiara Hitam tak dapat menahan kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua orang muridnya hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang maklum bahwa pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapa pun juga. Pula, merupakan pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa dia menangis.
Setelah beberapa lama membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi seorang diri dan memesan kedua orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu menghampiri isterinya, perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih sesenggukan, lalu berkata halus.
“Kwi Lan, hentikanlah tangismu. Menurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal akan menjadi gelisah kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja Talibu dan isterinya gugur sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah kau akan cerita orang-orang Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan senjata di tangan, mempertahankan kerajaan hingga titik darah terakhir! Betapa hebat dan perkasa kakak kembarmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin sekali kelak dapat mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat tempat yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau hendak mengusik dan membikin gelisah mereka dengan tangismu?”
Mendengar ucapan suaminya ini, Mutiara Hitam menghentikan tangisnya. Akan tetapi, ketika menoleh memandang wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram, pandang mata yang biasanya berseri itu kini sayu dan penuh iba kepadanya, dia terisak dan menjatuhkan diri di atas dada suaminya sambil menangis lagi.
Tang Hauw Lam memeluk tubuh isterinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk- nepuk pundaknya. “Hemm, tenanglah... tenang, isteriku. Lihat... kau membikin aku ikut menitikkan air mata! Ah, betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk Pek-kong-to berubah menjadi seorang laki-laki cengeng!”
Mutiara Hitam menghentikan tangisnya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah dalam keadaan hati menderita itu dia minta bantuan kekuatan suaminya, kemudian sambil merenung jauh ia mengepal tinju kiri dan berkata, “Aku harus membalaskan kematian mereka! Si keparat bangsa Yucen!”
“Wah-wah-wah, sabarkan hatimu, isteriku. Pergunakanlah akal budl dan pertimbangan pikiranmu, jangan dikeruhkan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam perang, tentu saja tidak dapat diketahui siapa yang menewaskan mereka. Gugur dalam perang berbeda dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara tentang sakit hati dan balas dendam. Apakah kita harus memusuhi seluruh bangsa Yucen dan berusaha membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh tidak sesuai dengan jiwa kependekaran kita! Pendirian kita adalah menentang kejahatan manusia. Di dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa? Mereka yang berperang itu hanya memenuhi tugas, seperti juga kakakmu dan isterinya. Dan sejak dahulu, engkau sudah menyatakan tidak suka mengikatkan diri dengan urusan kerajaan dan pemerintah, bukan?”
Teringatlah Mutiara Hitam dan kemarahannya mereda. “Heran sekali, mengapa Ayah dan Ibu diam saja dan tidak muncul membantu Kakak Talibu?” katanya perlahan.
“Agaknya aku dapat meraba pendirian Gak-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mertua). Beliau berdua adalah orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak mencampuri urusan dunia, apa lagi urusan kerajaan. Kalau mereka itu kini mencampuri, bukankah akan sia-sia saja mereka menyucikan diri? Pula, kerajaan telah diserahkan kepada mendiang kakakmu, Raja Talibu, maka menjadi tanggung-jawabnyalah semua urusan kerajaan, maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada waktunya mati. Yang penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib puteri kakakmu? Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu mereka mempunyai seorang puteri?”
“Benar!” Mutiara Hitam kelihatan bersemangat. “Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap bersama pasukan pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan tentu saja anak itu disuruh antar para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak Gobi-san!”
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk. “Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begitulah. Agaknya sudah pasti bahwa keponakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Gobi-san. Kalau benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.”
Akan tetapi Mutiara Hitam mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku masih khawatir. Ayah dan Ibu tidak pernah memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka bertapa. Aku sangsi apakah pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat pertapaan mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba di sana, sekalian klta menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita temui. Aku sudah rindu kepada mereka.”
“Baiklah, sebaiknya begitu. Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita.”
Suami isteri pendekar itu bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah Khitan menuju ke barat, ke arah Pegunungan Gobi-san yang mempunyai daerah luas sekali. Di sepanjang perjalanan menuju ke Gobi-san, mereka bertemu dengan daerah-daerah di mana perang terjadi. Mereka selalu menghindarkan diri dari perang antar suku itu, di mana bangsa Yucen makin lama makin berkembang menjadi kuat di samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di daerah utara dan timur.
********************
Telah lama kita meninggalkan Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman sepasang manusia iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam keadaan tertotok dan Mahendra sedang bertanding mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis cilik ini cepat melarikan diri dengan kedua tangan masih terikat menuju ke barat, memasuki sebuah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak kuat lagi dipakai lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri berguling di atas rumput, terengah-engah.
Kemudian dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran batu yang tajam dan mulailah ia menggosok-gosokkan tali pergikat kedua tangannya pada pinggiran batu yang tajam itu. Sampai panas rasanya kedua pergelangan tangannya, akan tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus dan ia bebas! Karena khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis itu mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun dan berlari lagi, terus ke barat memasuki hutan makin dalam.
Hutan itu luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya berani berhenti sebentar untuk minum jika dia melewati sebuah anak sungai, kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya asal sejauh mungkin dari kedua orang manusia iblis yang mengerikan itu.
Hampir sehari ia berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar dari hutan, tiba di daerah padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki gunung. Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang tertawa-tawa. Maya terkejut sekali dan berdiri termangu-mangu, mencari tempat sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan batu. Akan tetapi mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa olehnya angin menyambar-nyambar ketika bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang aneh!
Maya memandang terbelalak, penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih aneh dan menyeramkan dari pada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada pula beberapa orang anak-anak, akan tetapi muka mereka rata-rata buruk dan menyeramkan!
Yang pria banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang berambut pun rambutnya gimbal menjadi satu seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai seperti sekumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka rata-rata gendut biar pun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh anak cacingan!
Celana mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang lutut itu robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan telanjang begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu bergantungan seperti buah pepaya.
Rambut mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali. Tubuh bawah ditutup kain sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Ada pula yang memakai hiasan kalung terbuat dari... batu kerikil biasa! Yang kanak-kanak hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak perempuan karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu namun mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit gila!
Mereka itu mengurung Maya sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan berlari-lari memutarinya, mengeluarkan suara aneh, akan tetapi ada sebagian kata-kata bahasa Khitan yang dapat ia tangkap. “Kejar...! Tangkap...!”
Mereka tertawa-tawa dan ada yang menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis cilik ini. Maya menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pada saat itu, anak-anak kecil yang berada di luar lingkaran juga bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar suara, “Kejar dan tangkap!”
Malah ada beberapa orang kakek dan nenek aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil, tertawa-tawa gembira. “Ikut... Ikut...!”
Mereka ini juga ikut mengelilinginya dan bersorak-sorak. “Kejar! Tangkap!”
Akhirnya, dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa Khitan itu, mengertilah Maya bahwa dia diajak main ‘kucing-tikus’, yaitu dia menjadi kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka. Kalau ada yang tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan kedudukannya menjadi kucing.
Permainan anak kecil! Biar pun ia merasa heran sekali mengapa kakek-kakek dan nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu masih suka bermain seperti ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang di antara mereka, seorang wanita terdekat. Ia menubruk dengan menggunakan ginkang-nya.
“Wusss!”
Luput! Maya hampir tidak dapat percaya. Wanita itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya sehingga biar pun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil menangkapnya karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa terus berlari mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh tidak kira di antara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelincahan begitu hebat!
Ia lalu menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut karena laki-laki ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan mengelak! Maya menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi, namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang gila yang memiliki ginkang istimewa!
Karena disoraki dan ditertawai, timbul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapa pun ia mencoba menangkap, tangannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau aku tidak dapat menangkap, apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan? Timbullah akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang tua ini berwatak seperti anak kecil, dan agaknya kecerdikannya pun tidak akan lebih dari pada seorang anak-anak biasa, anak-anak yang lebih kecil dari padanya karena dia sendiri sudah tidak suka akan permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak berusia enam tujuh tahun!
“Lihat ular besar...!” Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan telunjuknya ke arah pohon di depan. Semua orang kaget dan menoleh. Pada saat itulah Maya lalu menubruk wanita yang buah dadanya panjang di dekatnya sambil tertawa, memegangi lengannya dan berkata, “Tangkap...!”
Orang-orang itu terbelalak heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga orang-orang itu memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa Khitan campuran. Kini wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi seorang di antara tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari mengitari wanita itu seperti yang lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan gerakan mereka yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya menjadi berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita itu yang tertawa-tawa.
“Tertangkap! Tertangkap!” mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Maya.
Celaka, pikir Maya. Kalau permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi kucing karena gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia lalu mencari akal. Dia berdiri di tengah lingkaran dan mengangkat tangan kanan ke atas, yang kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring. “Dengarlah kalian! Aku adalah puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!”
Akan tetapi orang-orang itu hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan lengang-lengong menggemaskan hati Maya. Seorang di antara mereka, wanita tua yang memakai kalung dari kerikil-kerikil besar diuntai, menjawab, “Raja Khitan? Kami tidak kenal. Namamu Maya?”
“Benar!” jawab Maya kesal.
Orang-orang itu sudah berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak, “Kejar! Tangkap!”
Maya merasa mendongkol sekali dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti. “Dengar. Aku mempunyai permainan yang lebih bagus dari ini.”
Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang agaknya lebih ‘cerdik’ dari pada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata, “Permainan apa?”
“Yang jenderal berada di tengah dan....”
“Apa jenderal?” semua bertanya, termasuk nenek-nenek berkalung.
“Jenderal... ya jenderal! Goblok kamu!” Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok!
Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, “Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepat-cepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?”
Ada di antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka saling bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu baunya... ledis dan apek sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!
“Nah, bersiaplah!” kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
“Berjongkok...!”
Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintahkan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling terlambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
“Wah, tidak beres!” kata Maya. “Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku baik-baik, baru berlomba mentaati perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti?” Mereka semua mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
“Awas, ya sekarang?” Maya bertolak pinggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan perintahnya atau menahannya di tengah-tengah. “Ber....”
Baru saja bilang “ber...” semua orang sudah terpelanting karena berlomba untuk berjongkok.
“...lari...!” Maya melanjutkan perintahnya.
Tentu saja orang-orang yang tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa. Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah-polah mereka itu.
Maya mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat girang dan menganggap Maya sebagai anggota keluarga mereka sendiri. Mereka bermain-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk pulang.
“Pulang? Pulang ke mana?” Maya bertanya.
Wanita tua berkalung menggandeng tangannya, “Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!”
Setelah berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua kakinya berlari, diikuti oleh semua anak buahnya.
Maya hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki goa yang amat dalam, merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali kehidupan mereka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main. Ketika tiba di depan goa, serombongan anjing serigala menyambut dengan liar dan menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri karena gerombolan binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak, melainkan serigala-serigala yang liar dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menyalak seperti anjing, gerombolan serigala itu mendekam ketakutan, kemudian seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting pohon. Gerombolan serigala itu pergi dengan patuhnya, seperti sekumpulan anjing yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka makan adalah buah-buahan dan daging dipanggang begitu saja, entah daging apa, akan tetapi rasanya enak. Minumnya air biasa. Karena perutnya amat lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah, puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan kemewahan itu kini diterima menjadi anggota keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum mengenal peradaban! Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan pikiran mereka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,
Selama beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan mereka itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali memiliki keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biar pun tenaga mereka kuat-kuat berkat cara hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat!
Dia benar-benar merasa heran sekali. Pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buah-buah yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang sebaya dengannya.
“Dari mana kalian mempelajari gerakan yang demikian ringan dan cepat?”
Mula-mula anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya mengajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Maya dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam perut gunung.
“Eh-eh, perlahan dulu... wah, bisa jatuh aku...!” Maya terengah-engah karena temannya itu berlari cepat sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung goa itu dan yang agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.
“Makan itu!” Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan Maya sambil berkata, “Aku takut! Takut!” dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya berdebar tegang. Takut apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi saja di situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup di tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini? Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi. Pohon apakah itu? Daunnya lebat hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali seperti pohon raksasa. Disuruh makan itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan?
Maya termenung dan memutar otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikiran anak yang ia tahu amat sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang ginkang mereka, kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang mereka, atau mungkin sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia mereka. Agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat berguna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya.
Kemudian anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah pohon dan menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan ginkang mereka tidak mengandung dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul dalam tubuh mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya? Tentu buahnya ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar keluarganya. Karena telah membawa Maya ke situ, tentu saja dia takut kalau mendapat hukuman.
Maya mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikitnya ada lima ratus kaki jauhnya dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tampak, jauh di bawah pohon itu. Dindingnya curam dan licin, rata, hanya ada lubang-lubang di permukaan batu yang menjadi dinding tebing, mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama halnya jatuh dari langit!
Maya bergidik ngeri. Betapa mengerikan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan? Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara mengerikan dalam tangan sepasang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu? Tidak seberapa!
Kenangan akan segala bahaya yang pernah ia alami, semua kengerian yang telah dihadapinya, hati Maya mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan ginkang sehebat yang dimiliki orang-orang itu, dia harus mendatanginya. Bahaya terpeleset yang dihadapinya akan sepadan dengan pahala yang akan diperolehnya kalau dia berhasil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan hati-hati sekali mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi sedikit turun ke bawah. Kakinya meraba-raba mencari injakan, disusul tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji lebih dulu kekuatan akar atau batu itu sebelum dipergunakan untuk menahan tubuhnya. Sekali akar putus atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam!
Akan tetapi akhirnya ia dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh keringat. Kaki tangannya menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!
Setelah mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba buah-buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling besar dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di bawah pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter sehingga tempat ini merupakan tempat yang paling aman.
Tanpa mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan itu mengatakan “makan itu”? Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar itu, apa lagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat yang luar biasa untuk meningkatkan ginkang-nya. Habislah lima butir buah itu dan Maya merasa kenyang sekali.
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas sekali, makin lama makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya. Cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya.
Setelah isi perutnya terkuras ke luar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi kini tulang-tulang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari, sambungan-sambungan tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor dengan air yang mengucur ke luar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan perutnya berbunyi terus minta diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaiannya tercuci bersih, Maya kembali memanjat pohon.
Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya dia harus makan buah pohon itu karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya amat lapar, tenaganya habis sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apa lagi kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jeri setelah menderita hebat akibat makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu lagi dengan hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya kenyang dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan. Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali lebih tinggi dari pada biasa!
Bukan main girangnya hati Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa khawatir. Betapa pun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan kembali kepada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah, mengantunginya dan kemudian mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya karena sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya!
Bahkan ia dapat setengah berlari memanjat naik, berpegang kepada lubang-lubang dan akar-akar di permukaan dinding tebing. Hal ini adalah karena beberapa sebab. Pertama memang khasiat buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah dari pada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya, kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang mengerikan di bawah.
Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di atas! Ia membalik dan tersenyum-senyum memandang pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi begitu teringat kepada orang-orang aneh yang berada di dalam perut bukit, lenyap kegembiraannya, terganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari?
Maya memasuki terowongan dan berlari cepat sekali. Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak tampak seorang pun. Tentu mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya. Karena perutnya lapar sekali, makan buah merah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perutnya lagi, maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang berada di ruangan itu, daging panggang yang masih hangat dan buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja seperti dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan goa dan bermain-main, bahkan kini rombongan serigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula bermain-main di situ, ‘dipimpin’ oleh seorang anak laki-laki yang memegang ranting pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan betapa binatang-binatang serigala yang buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang paling sukar dijinakkan kini lebih jinak dari pada anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan seorang kanak-kanak!
Akan tetapi ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan napas ketika ia memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan. Di antara mereka itu ada yang sedang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor binatang buruan, tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah... mayat manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
“Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?”
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang. “Heeiii, Maya telah kembali!”
Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini membanting kaki dan membentak.
“Kenapa kalian membunuh orang ini?” Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
“Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama!” Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor serigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing yang datang menunggang kuda ini telah membunuh seekor di antara serigala-serigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang dagingnya!
“Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya...!”
Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat ke luar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak, bahkan ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan serigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung, kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan... serigala-serigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki goa, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan serigala buas. Agaknya semua orang itu berlomba memasuki goa dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu serigala-serigala buas itu cepat menendang seekor serigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari.
Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor serigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu. Akan tetapi rombongan serigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling.
Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan serigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerombolan serigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan lari menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba dari samping bukit muncul serombongan serigala lain, dan dari belakang pun serigala-serigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di antara batu karang yang merupakan sebuah goa kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki goa yang amat kecil.
“Brett!” Ujung bajunya robek digigit seekor serigala dari belakang!
“Wekkk!” Celana di lutut kanan juga robek.
“Setan!!” Maya menjadi marah. Segera ia membalikkan tubuh, menendang serigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
“Prakk! Kainggg... kainggg...!” Serigala kedua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir remuk.
Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam goa kecil, kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup goa kecil!
Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu serigala-serigala itu dapat membuka penutup goa dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada serigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa serigala paling takut memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular yang akan menyambut mereka di dalam lubang yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi keadaan di situ sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mereka? Tiba-tiba Maya mendapat pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka untuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya.
Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing serigala, Maya lalu mengambil keputusan untuk menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apa lagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbaik dengan mereka dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramai-ramai mengambil buah sambil bersorak-sorak!
“Kraaaakkkk...!”
Seketika wajah Maya menjadi pucat. “Celaka!” serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang-orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan ‘menghabiskan’ buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah mau pun yang masih hijau, yang besar mau pun yang masih pentil.....
Karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil bersorak-sorak, akhirnya pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan serigala.
Berpikir demikian teringatlah ia akan serigala-serigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini, apa lagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ, tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan serigala yang menanti di luar goa?
Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apa lagi semenjak keluar dari kota raja Khitan ia berkali-kali menghadapi maut dan mengalami hal-hal yang amat menderita, keberaniannya makin menebal, dan tidak mudah dia berputus asa menghadapi rintangan apa pun juga. Setelah memikir-mikir, ia mendapatkan akal. Selama tinggal di situ, ia teringat bahwa serigala-serigala itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu sampai bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari ke luar, menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja nyala apinya dapat bertahan lama. Ketika ia tiba di pintu goa depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan serigala. Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah ke luar dan begitu serigala-serigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Serigala-serigala itu melengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu.
Rombongan serigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka pun berhenti mengejar. Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam. Lega hatinya dan kini ia dapat mencurahkan perhatiannya kepada kemajuan ginkang-nya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mungkin.
Tubuhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebodohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan serigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya! Dengan dada lapang Maya berlari, rambutnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda.....
********************
Selanjutnya baca
ISTANA PULAU ES : JILID-03