Bu Kek Siansu Jilid 16

“Sebagai nyonya rumah rasanya kurang sopan jika aku menyerang tamuku. Silakan dimulai, Totiang,” ujar Kiam-mo Cai-li.
“Singgg...!” Siok Tojin langsung menghunus pedangnya. Tosu ini memang lebih pandai berbicara melalui pedang dibandingkan dengan mulutnya.

Pihak lawan sudah memintanya membuka pertarungan, maka tanpa sungkan lagi tosu ini menerjang ke depan, apa-lagi perutnya masih panas akibat dia tadi diremehkan. Melihat iblis wanita yang menjadi lawannya menyandang payung di bahu kanan, langsung pedangnya menusuk lurus ke arah pundak kiri lawan yang lebih terbuka. Dalam pertarungan biasa, dia akan menusukkan pedangnya tepat ke jantung lawan, tetapi karena pertarungan ini hanya untuk menguji kepandaian, maka sengaja dia arahkan pedangnya lebih tinggi sehingga tidak mengancam jiwa lawannya.

Tidak percuma Liok Si bergelar Cai-li (Wanita Pandai). Melihat gerakan pembuka tosu ini dia lantas paham bahwa pihak lawan memang hanya ingin mengujinya, tidak punya maksud mencelakakan. Sebab itu bibirnya mengembangkan senyum manis, dan dalam hati dia pun bertekad untuk tidak menurunkan tangan berat kepada tosu itu. Begitu pedang datang menyambar, Kiam-mo Cai-li cepat menarik kaki kiri sedikit ke belakang, sedangkan kaki kanannya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan menjauh dari pedang Siok Tojin.

Namun gerakan pembuka tadi ternyata hanya pancingan belaka. Begitu tubuh lawan bergerak, segera Siok Tojin menahan pedangnya, lalu membuat gerakan memutar dan membabat lengan kiri lawan. Kiam-mo Cai-li tidak mengelak lagi, secepat kilat tangan kanannya yang memegang payung digerakkan untuk menangkis pedang yang mengancam lengannya. Melihat urat di dahi tosu itu menegang, tanda bahwa dia sedang mengerahkan tenaga penuh, Kiam-mo Cai-li turut menghimpun sinkang dan menangkis dengan sekuatnya.

“Tranggg...!” timbul percikan api akibat benturan payung dan pedang, diikuti langkah mundur keduanya.

Dalam sekali gebrakan, keduanya langsung paham kemampuan lawan masing-masing. Pedang Siok Tojin bergerak lebih dulu, namun payung Kiam-mo Cai-li yang sampai lebih awal di tempat tujuan, padahal jarak yang ditempuh pedang lebih pendek dibandingkan payung. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan majikan Rawa Bangkai itu masih lebih unggul. Selain itu, ketika terjadi benturan tadi Siok Tojin dapat melihat pedangnya sedikit terpental dan merasakan perih di telapak tangannya, sedangkan payung di tangan wanita iblis itu hanya terlihat sedikit tergetar. Mau tidak mau Siok Tojin harus mengakui bahwa sinkang-nya juga lebih asor.

“Hemmm..., baik kecepatan mau pun sinkang-nya lebih unggul, tidak heran lidahnya bisa berucap hingga menjilat langit. Melihat kenyataan ini, sebaiknya aku bertahan saja selama sepuluh jurus, hendak kulihat apa yang bisa dia lakukan terhadap diriku. Lewat sepuluh jurus, jika aku masih berdiri tegak, bukankah dia sendiri yang harus mengaku kalah?” demikian jalan pikiran si tosu dalam mengatur siasat.

Setelah mengambil keputusan demikian, Siok Tojin tidak mau bergerak sembarangan lagi. Dia hanya berdiri tegak dengan kuda-kuda sekokoh batu karang, kedua kaki dipentang dengan lutut sedikit menekuk, pedang menuding diarahkan lurus ke depan, tangan kirinya dipasang melintang di depan dada, sedangkan matanya mengawasi lawan dengan waspada.

Mula-mula Kiam-mo Cai-li tertegun melihat lawannya diam tak bergerak, namun dia segera sadar akan isi benak si tosu. Semenjak sebelum pertarungan dimulai, ketika dia menyatakan akan menundukkan lawannya di bawah sepuluh jurus, wanita cerdik ini sudah memikirkan pula kemungkinan ini. 

“Hi-hik..., baru satu jurus Totiang sudah mematung tidak berani maju. Apakah Totiang merasa takut kepada seorang wanita? Bukankah Totiang bermaksud mengujiku? Atau... justru aku yang perlu menguji kepandaian Totiang?” dengan cerdik Kiam-mo Cai-li menyindir tajam sambil tersenyum mengejek.

Walau pun seorang tosu, agaknya Siok Tojin adalah orang yang lebih mengutamakan hati dibandingkan otak. Mendengar sindiran lawan, dia lupa pada siasat yang sudah ditanam dalam pikirannya. “Siapa yang takut?!” bentaknya sambil kembali menerjang.

Kiam-mo Cai-li tahu An-goanswe tidak mungkin mengirim orang lemah untuk menguji dirinya. Bisa melewati rawa maut hingga kakinya menginjak istana kediamannya saja sudah menunjukkan bahwa tosu ini bukan lawan yang mudah dikalahkan begitu saja. Bila Siok Tojin hanya bertahan saja, dia khawatir hingga lewat sepuluh jurus dirinya belum mampu mengalahkan tosu ini. Karena itu dia memang sengaja memancing kemarahan lawan agar mau menyerang, dengan demikian akan timbul lubang-lubang yang dapat diterobos payung, kuku, atau rambutnya yang seperti cambuk.

Segera kedua orang itu saling serang dengan dahsyat. Walau pun Siok Tojin tidak bertahan sama sekali, namun pada kenyataannya dia ada di pihak yang lebih banyak bertahan. Dalam empat gerakan, dia hanya menyerang satu kali, sisa tiga gerakan lainnya berupa tangkisan atau gerakan mengelak untuk mempertahankan diri. Selain dia kalah cepat, niatnya untuk bertahan tidak terhapus hilang dari otaknya.

Tidak demikian dengan Kiam-mo Cai-li. Wanita ini harus menjatuhkan lawan sebelum jurus ke sepuluh dimainkan, karena itu dia langsung mengembangkan jurus-jurus pilihan. Payungnya berkelebat cepat, kadang tertutup lain kali terbuka, sekali menusuk dua kali membabat. Di samping itu tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi turut menyerang dengan kuku-kukunya yang beracun. 

Setelah lewat empat lima jurus kedudukan Siok Tojin sudah sangat payah. Seluruh ruang geraknya seakan-akan tertutup tanpa jalan lolos, terkepung oleh kelebatan sinar payung dan cengkeraman kuku jari Kiam-mo Cai-li. Hingga suatu saat, pada jurus kelima, tubuh tosu itu terhuyung setelah pedangnya terpaksa menangkis payung lawan yang menyabet lengan atasnya dengan tenaga penuh.

Tiba-tiba Kiam-mo Cai-li mengeluarkan suara lengking yang membuat telinga semua orang mendengung. Mendadak tangan kiri wanita iblis ini menyerang ulu hati lawan dengan gerakan mencengkeram, mengandalkan kuku jarinya yang panjang dan mengandung racun. Dalam waktu yang bersamaan, payung di tangan kanannya berkelebat secepat kilat membabat pinggang kiri si tosu.

Walau pun dalam keadaan terhuyung, Siok Tojin masih dapat melihat dua serangan sekaligus yang sama berbahaya ini. Cepat tangan kirinya bergerak menangkap pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li, sementara pedangnya diayun menangkis payung yang mengarah pada pinggangnya. Kiam-mo Cai-li mendengus, dia biarkan tangan lawan menangkap pergelangan kirinya, namun tanpa mengurangi tenaga, cakar kiri itu tetap mendorong dan mengancam ulu hati Siok Tojin. Di saat itu pula dia kerahkan sinkang pada payungnya sehingga pedang lawan menempel tanpa dapat dilepaskan.

Sekejap itu pula terjadilah adu tenaga antara kedua orang ini, majikan Rawa Bangkai berada pada kedudukan menyerang, sedangkan utusan An Lu Shan berjuang untuk mempertahankan diri. Pada saat itu, hanya sekejap saja, Siok Tojin sempat melihat senyum di bibir Kiam-mo Cai-li tanpa tahu apa maksudnya. Dia baru tersentak keget ketika kepala wanita itu tiba-tiba menghentak ke depan, diikuti oleh serangkum bayangan hitam yang panjang bagaikan ular menyambar ke arahnya.

"Ehhh... celaka...!!" Siok Tojin berseru.

Akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.

"Plak-plak...!!" seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas kepala.
"Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.

Sambil menundukkan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah."

Memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kalau tidak, tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan menewaskannya.

Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok Tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia melangkah mundur ke tempat teman-temannya.

"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai, kukunya berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. Kionghi (Selamat)! An-goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-li!"

Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum girang. “Aihh, Lo-enghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji!” katanya dengan bangga dan girang.

"Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An-goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang harus maju melayani Toanio."

The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dengan suara tenang dia berkata, "Siapa-lagi yang diutus oleh An-goanswe untuk menguji kami?"

"Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....."

"Maka tinggal engkau dan Tan-lo-enghiong itu. Nah, kau lihat Tan-lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!"

Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing kemarahanku!"

The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat pun aku masih sanggup menghadapi kalian berdua."

Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!"

Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali.

Akan tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!"

Han Bu Ong cemberut, lalu berkata, "Apa-lagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"

Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak boleh dianggap seperti bocah biasa. Dia tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?"

Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakkan tangan kirinya, "Majulah, jangan sungkan-sungkan!"

Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!"

Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu."

Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan-kiri The Kwat Lin. Pat-jiu Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang. Tongkat itu menuding lurus ke depan dari dadanya, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar. Kedua kakinya ditekuk sedikit, agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan. Kuda-kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang.

Melihat dua orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Ang-bwe-kiam dan melangkah maju sambil berkata, “Nah silakan kalian mulai!"

"Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau kami mulai, silakan Toanio mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak.

The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya.

Pat-jiu Mo-kai kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya, karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis.

"Trang...! Cringggg...!!"

Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang. Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas. Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan-kiri dan mulailah mereka menyerang dengan ganas.

Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai, maka dia selalu mendahulukan tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah mengandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran tenaga kedua orang lawannya, tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong.

Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan Pat-jiu Mo-kai berseru, “Heiii, The-toanio. Kami belum kalah, mengapa engkau mengakhiri pertandingan?"

"Siapa mengakhiri? Lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak."

"Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!"

Mendengar teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakkan senjata mereka untuk menyerang. Tongkat Pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit.

"Bukk! Bukkk!!" tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh terguling dalam keadaan lemas tertotok!

"Horeeee...!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan.

Sementara itu The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya sehingga dua orang kakek itu dapat bangkit sambil memungut senjata mereka dan memandang dengan mata terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang demikian. Mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum sekali.

Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnya. Kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya, dia menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak mengelak dan menerima pukulan. Cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan menotok mereka!

"Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The-toanio memiliki kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An-goanswe," kata Pat-jiu Mo-kai.

The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukkan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan-utusan An Lu Shan. Sambil makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja sama.

Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An-goanswe ini."

The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang berisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai sambil berkata, "Kami tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An-goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai suka menerima dan menyampaikan kepada beliau."

Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu. Mereka berlima terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa. Biar pun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu, dapat menduga bahwa harga kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!

"Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberi-tahukan kepada An-goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan hendaknya An-goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah seorang Pangeran. Sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan kami."

Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi bagi puteranya.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atas diri Liu Bwee.

Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biar pun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal jalan, Liu Bwee menjadi bingung, apa-lagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya.

Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu. Akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya.

Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar. Melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.

Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketenteraman batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasmi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu.

Badai itu hebat bukan main! Biar pun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkannya. Akan tetapi air terus datang bergelombang dari arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam.

Betapa pun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, setiap kali pula hampir menenggelamkan pohon itu. Selain dia harus berpegangan kuat-kuat mengerahkan sinkang-nya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena air menghantam seluruh tubuh dan mukanya.

"Celaka...!" pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...."

Liu Bwee melihat ke kanan-kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu di sana dia akan aman karena air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air. Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegangan erat-erat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.

"Haiii...! Yang di sana itu...! Berpeganglah kuat-kuat! Aku akan berusaha menolongmu!" suara teriakan laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi.

Liu Bwee membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu. Akan tetapi pada saat itu air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.

"Oughhh...!"

Betapa pun kuat kedua tangan Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...," bisiknya.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubuhnya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya, maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, untuk mempertahankan hidupnya.

Liu Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam. Dia membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya yang selain menariknya ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu. Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali itu dan diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.

"Pertahankanlah... sebentar lagi...," terdengar suara laki-laki tadi dari pohon.

Liu Bwee merasa betapa tubuhnya ditarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya.

"Cepat... cepatlah!" dia merintih.

Dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu. Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat menyambarnya. Tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri!

"Aneh...!" lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata ‘aneh’ itu.

Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis, maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika merasa betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya. Dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan.

"Aneh sekali...!"

Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakkan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang.

"Ahhh...!" keluh Liu Bwee, lalu mengangkat muka memandang.

Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali. Alisnya tebal, matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati. Tubuhnya tegap, pakaiannya bersih dan rapi, dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata ‘aneh’ dan tentu laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

"Engkaukah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu," Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.

Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee, lalu berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia mana pun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali...!"

"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.

Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita."

Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri. “Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau lantas merasa berdebar dan girang?” demikian dia memaki dalam hatinya.

Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya, "Bagaimana In-kong bisa tiba di tempat ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang."

"Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toanio...."

Kembali wajah Liu Bwee menjadi merah mendengar sebutan ‘nyonya besar’ ini. Laki-laki itu terlalu merendahkan diri.

"Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu."

"Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."

"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....."

"Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."

"Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...," dan mata laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?"

"Aku sedang mencari puteriku yang hilang...."

"Ah...!" laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya," dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang nampak jelas sekali sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguh pun kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh.

"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."

"Ahhh?!" kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han...? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?"

"Dia anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara, maka dia menahan kata-katanya.

Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...."

Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui semuanya. Apa-lagi karena memang penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan jalan ke luar. Selain ini, sebutan ‘paduka’ amat menyakitkan telinganya. Maka dia kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang buangan....."

"Apa...?! Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?"

Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka!

"Puteriku, Han Swat Hong menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau ini. Karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makanya aku dapat kau selamatkan...," tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak.

"Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena diremasnya dengan tangan kanan. "Kejam! Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, si penghukum itu, melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan macam ini!"

Liu Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "In-kong, engkau siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?"

"Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka."

"Ohhh...!!" kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!

"Harap Paduka jangan khawatir...."

"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi, melainkan seorang buangan seperti engkau pula. Kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu yang sekarang menjadi orang buangan."

"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan aku pun tidak suka disebut In-kong. Aku lebih tua dari-padamu, sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka karena sudah lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram.

"Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya.

Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah merubah jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku... aku lalu pergi meninggalkan ayah, anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang." Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang.

Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami. Sungguh pun suaminya masih hidup, akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya.

"Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.

Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat, badai mulai berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang dan tidak segelap tadi!"

Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan-kiri. Benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu, betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah cantik dengan air mata yang masih menempel di pipi itu kini tersenyum dan berseri-seri.

"Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya.

Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di situ. Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas.

"Liu-toanio, mari kita berangkat."

"Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya.

"Ke Pulau Es."

"Apa...? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."

"Liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkan akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung-jawab, dan aku pertaruhkan nyawaku untuk itu."

Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian? Mengapa engkau begini baik kepadaku?"

Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan. Siapa-lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?"

Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa-lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apa-lagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya. Apa-lagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi.

Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut.

Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."

Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki yang gagah perkasa dan budiman ini, harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih.

"Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu.

Akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.

Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio."

Perahu didayungnya kuat-kuat sehingga meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es. Biar pun tidak pernah mendatangi pulau itu, namun dia sudah tahu di mana letaknya karena sering-kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya.

Dua hari dua malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee.

"Mengapa begitu sunyi? Mengapa begitu bersih licin? Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apa-apa di sana," Liu Bwee berkata dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia di besarkan sejak kecil itu, akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya.

Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun terheran-heran, mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap?

Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali. "Apa... apa yang terjadi...? Dan bangunan-bangunan mereka... mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak... ahhh...."

Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang mabuk, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

"Ke mana...? Mereka semua ke mana...?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu.

Melihat wajah yang pucat dengan mata yang terbelalak liar itu, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya ke luar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata, suaranya tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh, dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai."

Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikkan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh...! Kau benar...! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan...!" Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan.

"Aku khawatir sekali, Toanio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. Kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?"

"Kau benar... ah... suamiku... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik.

Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali. Akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.

"Ohhh... mereka semua tewas? Semua tewas...? Siapa percaya... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu.

Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya!

‘Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong.’

"Ohhh...!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya.

Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali, Raja Pulau Es benar-benar hebat. Dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu!

"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati.

Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi.

"Duhai suamiku... betapa hebat kau menderita...," bisiknya di antara isak tangisnya.

Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu dinding. Namun kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang, dan tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan.

Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi, ‘Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat tinggal.’

Selesai membaca ini Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit, lalu tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan meletakkannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya amat gawat.

Dengan tergesa-gesa Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokkan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkang-nya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat.

Pada keesokan harinya Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab. Setelah tangisnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.

"Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?"

"Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah."

"Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?"

"Hemmm..., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah dia?"

"Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya.

"Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biar pun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau kosong ini."

Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Aku melihat bekas tapak kaki mereka masih jelas membekas di bagian es yang membeku di atas sana, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria. Dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai sapu-tangan hijau dan memberikannya kepada Liu Bwee.

Liu Bwee menyambar sapu-tangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap sapu-tangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah sapu-tangan pengikat rambut anakku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!"

Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas. Benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa-lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong?

"Tidak salah lagi, tentu anakku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako."

Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu."

"Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."

Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?"

Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung dan khawatir. Ke mana dia harus mencari puterinya? Padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi.

Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."

Berseri wajah Liu Bwee. Dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan rasa terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...."

"Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri? Apa-lagi engkau hendak mencari puterimu di daratan besar, mana mungkin aku berpeluk tangan? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi kutemani."

"Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah.

Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."

Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar. Biar pun bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu, maka dia tidaklah amat menderita. Bahkan dia dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.
********************
"Ha-ha-ha, kalian ini kaki tangan An Lu Shan si pemberontak laknat, apakah tidak mendengar siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? Kami adalah patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah? Sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak laknat!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh belas orang adik-adik seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa.

Sedikit pun delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biar pun mereka itu dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan bersenjata lengkap. Mereka bahkan mengejek dan menantang komandan pasukan yang tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu pergerakan An Lu Shan. Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap gagah perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan pedang di tangan, mereka siap menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan pemberontak An Lu Shan itu.

Cap-pwe Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid dari Kui Tek Tojin, ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk para anggota Bu-tong-pai yang meninggalkan Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biar pun mereka merupakan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu The Kwat Lin merebut kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Bu-tong-pai tidak dapat berkutik lagi.

Setelah The Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san. Kedatangan pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka sambut dengan penjelasan yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun sebagai akibatnya, Bu-tong-pai sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan ‘kebersihannya’ dengan jalan membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian mereka kepada pemerintah dan karena itu pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan menentang pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan.

An Lu Shan menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai membantu pemerintah. Maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan Belas Pendekar Bu-tong itu. Demikianlah pada hari itu, selagi delapan belas orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh pasukan itu dan disuruh menyerah. Akan tetapi tentu saja delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan mati-matian.

Ucapan Song Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe Eng-hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas orang pendekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.

Mereka melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan tangkas serta kuat sekali, sehingga biar pun dikeroyok oleh lawan yang jauh lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang lawan, mereka mampu mempertahankan diri dengan baik. Bahkan lewat tiga puluh jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe Eng-hiong yang mengamuk itu.

Dengan gagah perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan. Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda darah merah dan tubuh para prajurit yang terluka malang melintang menghalangi kaki mereka yang masih bertempur. Di antara lebih lima puluh orang prajurit itu, sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan mata ini menambah semangat Cap-pwe Eng-hiong. Mereka bergerak makin ganas dan cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang pun meloloskan diri.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba. Serta merta mereka itu menerima aba-aba untuk menyerbu dan membantu kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan menambah kegembiraan. Mereka mengamuk sungguh pun sekali ini mereka segera terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.

Pertempuran yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang menyerbu, di tempat itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee! Mereka berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah melakukan perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak menyenangkan, juga amat mengherankan hati mereka.

"Betapa buasnya mereka...!" Liu Bwee berkata lirih.

"Hemm, memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan besar ini, lebih buas dari-pada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh antara sesamanya, dan sekarang kita melihat perang yang begini ganas dan kejam...."

"...dan licik sekali!" Liu Bwee menyambung. "Jumlah yang amat banyak mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama sekali."

"Jika tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggota pasukan, lihat pakaian mereka yang seragam. Sedangkan delapan belas orang itu benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biar pun dikeroyok banyak dan didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar."

"Pikiranmu cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu, mari kita bantu mereka."

"Cocok, Toanio. Yang lemah harus kita bantu. Mari...!"

Ouw Sian Kok dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan saja Liu Bwee merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian Kok merobohkan enam orang yang dilempar-lemparkan seperti orang membuang rumput-rumput kering saja!

Pasukan menjadi geger. Sedangkan delapan belas orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-laki dan wanita asing yang tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar biasa lihainya!

Seorang komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok. Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan cahaya. Cepat ia miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang pengeroyok lain. Secepat kilat kemudian dia menangkap tombak itu dengan kedua tangan, lalu mengerahkan sinkang membetot dan membalikkan tombak sehingga gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya. Gagang tombak itu meluncur terus menghantam tengkuk sang komandan hingga membuatnya terjungkal!

Liu Bwee yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang yang dianggapnya cukup baik. Dengan pedang ini dia mengamuk. Setiap senjata lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang berani menyerangnya.

Amukan kedua orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan saja tidak kurang dari tiga puluh orang anggota pasukan telah roboh. Hal ini tentu saja menimbulkan kegemparan, membesarkan hati delapan belas orang pendekar, akan tetapi membuat jeri sisa anggota pasukan. Akhirnya, sisa pasukan merasa tidak kuat dan melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka!

Delapan belas orang pendekar itu berdiri berjajar. Beberapa orang di antara mereka menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya.

"Kami delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi yang mulia?" kata Song Kiat sang Twa-suheng.

Liu Bwee hanya memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan kami berdua tadi tidak ada artinya. Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama. Hanya ingin kami ketahui, siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka?"

Selanjutnya baca
BU KEK SIANSU : JILID-17
LihatTutupKomentar