Panasnya Bunga Mekar Jilid 07


Mahisa Bungalan menyahut lebih keras, “Kau gila. Berjongkoklah dan menyembah. Aku adalah utusan Pangaran Kuda Padmadata”

Kata-kata itu ternyata mengejutkan orang bertubuh raksasa itu. Namun kemudian wajahnya menjadi semakin membara. Katanya, “Jika kau benar utusan Pangeran Kuda Padmadata. maka kau benar-benar harus dihukum picis”

“Aku membawa perintah untuk membunuh siapa saja yang mencoba merintangi usahaku membebaskan perempuan itu, dan membawanya kembali kepada suaminya. Pangeran Kuda Padmadata dan kemudian mencari anaknya yang hilang. Jika aku dapat menangkap kau hidup, atau orang yang setengah lumpuh dan bisu itu, akan dapat kami peras untuk menunjukkan, dimana anak Pangeran Kuda Padmadata itu kalian sembunyikan”

Orang bertubuh raksasa itu sama sekali tak menunggu. Ia langsung meloncat menyerang dengan garangnya. Bindinya terayun deras sekali. Bukan sekedar untuk menakut-nakuti benar-benar serangan maut.

Namun Mahisa Bungalan masih sempat mengelak. Bahkan kemudian meloncat maju dangan pedang terjulur lurus mangarah ke dada lawannya.

Tetapi orang bertubuh raksasa itu pun mampu bergerak dengan tangkas. Ia mengelak ke samping, sementara dengan bindinya ia berusaha memukul pedang Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan yang belum berhasil menjajagi kekuatannya, tidak membiarkan pedangnya terlepas dari tangannya. Karena itu. muka ia pun segera menariknya, namun dengan putaran yang cepat pedang itu langsung mematuk orang bertubuh raksasa itu.

Sekali lagi lawannya harus menghindar bahkan bindinya kemudian terayun langsung munyambar kepala Mahisa Bungalan.

Tetapi Mahisa Bungalan pun dengan cepat menunduk, sehingga bindi itu terayun dekat di atas kepalanya. Desir angin yang menyentuh tubuh Mahesa Bungalan memberikan isyarat kepadanya, bahwa orang itu adalah orang yang memiliki kekuatan yang luar biasa.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun segera meningkat semakin dahsyat. Mahisa Bungalan bergerak semakin cepat, sementara lawannya memiliki kekuatan raksasa yang sulit dicari duanya.

Mahisa Bungalan telah bertempur beberapa rambahan. Ia sudah bertempur melawan dua orang di sebelah pasar. Kemudian melawan tiga orang yang telah terbunuh di hutan. Kini ia harus bertempur dengan seorang yang agaknya adalah pimpinan mereka. Namun yang seorang ini ternyata memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari kawan-kawannya.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi heran pada dirinya sendiri. Meskipun ia sudah bertempur tiga rambahan. Namun ia sama sekali tidak merasa letih. Kekuatannya masih belum susut. Bahkan semakin deras keringatnya mengalir, kekuatannya jusru seolah-olah semakin bertambah-tambah. Ayunan pedangnya menjadi semakin deras dan gerakannya semakin cepat. Pedang yang telah patah itu bagaikan berputaran mengelilingi lawannya. Sekali-sekali sentuhannya seolah-olah menyusup di setiap lubang putaran bindi lawannya.

Betapapun besar tenaga dan kemampuan orang yang bertubuh raksasa itu, namun dengan memeras segenap kemampuannya melawan kecepatan gerak Mahisa Bungalan, maka tenaganya mulai menjadi surut. Bindinya tidak lagi berputar seperti baling-baling, sementara kakinya menjadi semakin berat.

Namun demikian, bindinya masih tetap berbahaya bagi Mahisa Bungalan. Jika bindi itu berhasil menyentuh tubuhnya, maka kulitnya akan terkelupas dan tulang-tulanghya akan diremukkannya.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan masih tetap berhati-hati. Namun kecepatannya bergerak telah membingungkan lawannya. Justru semakin lama semakin cepat.

Pada saat kekuatan dan kemampuan lawannya susut, kekuatan dan kemampuan Mahisa Bungalan justru seolah-olah menjadi berlipat. Karena itulah, maka orang bertubuh raksasa itu mulai merasa terdesak.

“Menyerahlah” berkata Mahisa Bungalan, “katakan dimana anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata. Katakan siapa yang menyuruhmu melakukan pengkhianatan itu. Katakan untuk apa semuanya itu kau lakukan, dan berapa kau mendapat upah”

Pertanyaan itu benar-benar menyakitkan hati. Hampir berteriak orang itu menjawab, “Persetan. Kaulah yang harus menyerah agar aku tidak akan membunuhmu dengan perlahan-lahan”

“Jangan sebut lagi. Kata-kata itu merangsang aku untuk melakukannya. Jika kau berulang kali mengatakannya, maka aku benar-benar akan menangkapmu hidup dan menghukum picis sampai mati. Mungkin kau akan mati dalam tiga hari, tetapi mungkin lebih”

“Persetan” orang itu menggeram. Namun terasa bulu tangkuknya meremang, la sudah menyadari, bahwa ia mulai terdesak. Karena itu, jika benar-benar seperti yang dikatakan oleh orang itu, maka alangkah tersiksanya mati perlahan-lahan.

Karena itu, maka orang bertubuh raksasa yang tidak mengenal siapa sebenarnya lawannya itu pun mulai membuat perhitungan. Lebih baik baginya untuk mati bertempur daripada mati perlahan-lahan.

Perhitungan itulah yang tidak disadari Mahisa Bungalan. la tidak sengaja mendesak orang itu untuk memilih mati. Ia hanya ingin memaksa lawannya untuk menyerah.

Namun agaknya yang terjadi adalah berbeda dengan yang diharapkannya. Orang bertubuh raksasa itu benar-benar telah bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya.

Mahisa Bungalan merasakan betapa orang itu menghentak-hentak dengan sepenuh tenaganya. Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan merasa, bahwa kekuatannya sudah menjadi semakin susut.

“Jangan kau paksa dirimu” berkata Mahisa Bungalan.

“Persetan” orang itu berteriak, “jangan banyak bicara. Aku akan membunuhmu dan mencincangmu sampai lumat”

“Jangan kau bohongi dirimu sendiri. Tenagamu mulai susut. Menyerahlah. Aku hanya memerlukan keterangan-keterangan itu”

Orang bertubuh raksasa itu tidak menghiraukannya. Namun dengan demikian, untuk mengimbangi kemampuannya yang mulai susut, maka ia pun bertempur semakin liar dan buas. Perhitungannya menjadi semakin kabur Bahkan kadang-kadang orang bertubuh raksasa itu telah kehilangan pengendalian dan perhitungan nalar.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan justru menjadi semakin berhati-hati. Orang yang menjadi liar itu dapat berbuat apa saja diluar perhitungan.

Namun, Mahisa Bungalan membiarkannya menjadi semakin letih. Bahkan kemudian orang itu mulai terseret oleh ayunan bindinya yang berat itu, ia terhuyung-huyung beberapa langkah. Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Bungalan, akan dengan mudah menghunjamkan pedangnya yang patah. Namun ia tidak melakukannya, la memang ingin menangkap orang itu hidup-hidup. Kemudian menanyakan beberapa hal kepadanya tentang Pangeran kuda Padmadata.

Perlahan-lahan namun pasti orang bertubuh raksasa itu akan kehilangan kekuatannya. Sekali-sekali ia kehilangan keseimbangan. Bindinya tidak lagi dapat dikuasainya. Bahkan matanya mulai memancarkan keputus-asaan yang mencengkam jantungnya.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak menusuk dadanya dengan pedang. Dibiarkannya saja lawannya kehabisan tenaga dan jatuh terbaring di tanah dengan nafas tersengal.

Ternyata bahwa orang bertubuh raksasa itu benar-benar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika ia mengayunkan bindinya memukul kepala Mahisa Bungalan, maka justru orang itu sendiri terbanting jatuh di tanah.

Sejenak Mahisa Bungalan menunggu. Dengan susah payah orang itu berusaha berdiri. Namun ketika ia berhasil tegak, maka pedang Mahisa Bungalan telah melekat di punggungnya.

“Apakah kau benar-benar tidak ingin hidup lagi?” bertanya Mahisa Bungalan.

Betapapun beraninya orang bertubuh raksasa itu, dan betapapun kuat pertimbangannya untuk memilih mati dari pada hidup untuk mengalami siksaan, namun ketika terasa pedang lawan melekat di punggung, ternyata bahwa ia pun tidak berani bergerak dan berbuat sesuatu.

“Lepaskan senjatamu yang hanya memberati tanganmu saja” berkata Mahisa Bungalan.

Karena orang itu tidak segera melakukannya, maka Mehisa Bungalan telah menekan punggungnya sambil menggeram, “Cepat. Lakukan”

Orang itu tidak dapat melawan. Bindinya pun kemudian dilepaskannya jatuh di tanah.

Demikian bindinya terlepas, maka Mahisa Bungalan pun kemudian mendorongnya sehingga orang itu jatuh tertelungkup. Dengan suara tertahan ia berdesah.

“Duduklah” perintah Mahisa Bungalan.

Orang itu pun kemudian duduk di tanah dengan nafas terengah-engah.

“Jawablah pertanyaanku” berkata Mahisa Bungalan. Orang itu termangu-mangu sejenak.

“Apakah hubunganmu dengan Pangeran Kuda Padmadata?” bertanya Mahisa Bungalan.

Orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab.

“Jawablah. Meskipun aku tidak tergesa-gesa. Tetapi semakin cepat agaknya semakin baik”

Orang itu membetulkan letak duduknya. Namun sebenarnyalah ia justru mencoba beristirahat untuk memperbaiki pernafasannya. Niatnya untuk tidak membiarkan dirinya terperas masih tetap menyala di hatinya. Bahkan ketika nafasnya mulai teratur maka keberaniannya telah tumbuh lagi di dalam jantungnya.

“Apakah kau tidak dapat menjawab?” desak Mahisa Bungalan.

“Aku akan menjawab” berkata orang itu, “tetapi apakah aku diperkenankan mengatur pernafasan sejenak, agar aku dapat berbicara dengan lancar”

Mahesa Bungalan mengerutkan keningnya. Kemudian sambil mengangguk ia berkakta, “Aku memberimu waktu sekadarnya”

“Terima kasih” berkata orang itu sambil terengah-engah.

Dalam pada itu, ketika Mahisa Bungalan bertempur melawan raksasa itu, perempuan yang masih berada di dalam gubug itu telah mengintip apa yang telah terjadi. Tetapi karena sebagian gubug itu telah roboh, maka ia tidak berhasil keluar dari dalamnya.

Karena itu, ketika ia menganggap bahwa pertempuran itu sudah selesai, maka ia pun telah memanggil, “Ki sanak. Tolonglah aku keluar dari tempat ini”

Mahisa Bungalan berpaling. Adalah diluar sadarnya, bahwa ia pun kemudian melangkah mendekat mengangkat atap yang roboh menutup jalan keluar dari gubug itu.

Pada saat itu, maka orang bertubuh raksasa itu telah merasa dirinya menjadi segar kembali, ia merasa mendapat kesempatan untuk berbuat seminim sesuatu. Pada saat Mahisa Bungalan mengangkat atap untuk membuka jalan dengan sebelah tangannya, maka dengan serta merta orang yang bertubuh raksasa itu telah meloncat meraih bindinya dengan sigapnya ia meloncat dengan bindi terayun tepat keatas kepala Mahisa Bungalan.

Perempuan yang melihat orang meloncat, menjerit sekuat-kuatnya. Sementara Mahisa Bungalan pun telah mendengar langkah kaki di belakangnya.

Karena itu, dengan serta merta, di luar kemampuannya untuk mengendalikan dirinya, maka ia berpaling. Sekilas ia melihat bindi yang terayun ke kepalanya. Dengan cepatnya ia merendah dan bergeser ke samping.

Namun ternyata ia tidak dapat membebaskan diri seluruhnya. Ternyata bahwa bindi itu masih menyentuh pundak kirinya sehingga kulitnya terkelupas.

Pada saat itulah, maka pertimbangannya bagaikan menjadi pepat. Yang dikerjakan kemudian adalah sebelah tangannya yang masih menggenggam pedang itu pun terjulur lurus ke depan.

Yang terdengar adalah teriakan tertahan. Pedang Mahisa Bungalan yang patah ujungnya itu tiba-tiba saja telah menghunjam ke perut orang bertubuh raksasa itu.

Mahisa Bungalan terhentak sesaat. Namun ia pun kemudian menarik pedangnya dan membiarkan raksasa itu roboh di tanah. Mati.

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Kematiannya itu terlalu cepat terjadi. Sebenarnya ia tidak ingin membunuh orang itu. Jika memungkinkan, orang itu akan di bawanya kepada kakek tua yeng sedang melindungi cucunya itu. Jika ia sependapat, maka orang itu akan dihadapkannya kepada Pangeran Kuda Padmadata. Biarlah ia memberikan keterangan kepada Pangeran itu tentang isteri dan anaknya yang hilang dan memberitahukan kepadanya, siapakah yang telah berkhianat. Tetapi orang itu telah mati.

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia masih mempunyai dua orang yang hidup diantara mereka. Seorang yang dibuatnya hampir lumpuh dan bisu. Ia dapat menyembuhkannya dan kemudian memaksa orang itu untuk berbicara.

“Tetapi yang diketahuinya tentu sangat terbatas” berkata Mahisa Bungalan di dalam hati, yang paling banyak mengetahui tentu orang bertubuh raksasa yang terbunuh itu.

Namun Mahisa Bungalan tidak dapat terlalu lama merenung. Ia pun segera berusaha menolong perempuan yang terkurung itu.

Ketika perempuan itu berhasil keluar dari gubug yang sebagian telah runtuh itu, maka kecurigaannya terhadap Mahisa Bungalan pun menjadi semakin berkurang, la sudah melihat, bagaimana Mahisa Bungalan telah bertempur mempertaruhkan nyawanya melawan raksasa yang telah menyekapnya di dalam gubug itu.

“Marilah” berkata Mahisa Bungalan, “sebelum hal ini mempunyai akibat yang tidak kita kehendaki. Ikutlah uku”

“Apakah benar Ki Sanak utusan Pangeran Kuda Padmadata?” bertanya perempuan itu.

“Dengan tidak langsung memang demikian, tetapi marilah kita meninggalkan tempat ini. Mungkin ada satu dua orang yang tidak senang melihat peristiwa ini dan melaporkan kepada orang yang tidak kita kehendaki”

“Aku tidak melihat orang lain kecuali raksasa itu dengan kelompoknya” jawab perempuan itu.

“Siapa tahu di bagian hutan yang lain. Penjaga hutan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang khusus, yang meskipun tidak bersangkut paut secara langsung, tetapi ingin mendapat keuntungan dari peristiwa ini”

Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Sementara itu, maka Mahisa Bungalan pun membawa perempuan itu sambil mencari orang yang telah dibuatnya setengah lumpuh dan bisu. Bagaimanapun juga, orang itu akan dapat dipergunakannya, ia akan dapat menyembuhkannya dengan membuka simpul-simpul syarafnya yang telah membeku karena sentuhan jari-jarinya.

Namun Mahisa Bungalan terkejut ketika menemukan orang itu terbaring di atas rerumputan. Matanya terpejam, dan nafasnya sudah tidak mengalir lagi.

“Ia mati” Mahisa Bungalan berdesis, “apakah ada orang lain yang membunuhnya?”

Sejenak Mahisa Bungalan berjongkok di samping orang itu. Namun kemudian diketahuinya bahwa orang itu telah memaksa diri untuk bergerak terlalu banyak, melampaui kemampuannya. Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa orang itu telah mencoba membuka simpul-simpul syarafnya dengan cara yang salah.

“Urat darahnya benar-benar telah membeku dan menutup saluran karena kesalahannya sendiri” berkata Mahisa Bungalan, “dalam keadaan yang lemah, seharusnya ia tidak berbuat demikian”

Perempuan itu tidak tahu, apa yang telah terjadi. Karena itu ia sama sakali tidak mengatakan sesuatu.

“Masih ada satu orang lagi” berkata Mahisa Bungalan kemudian. Mungkin orang itu dapat diajak berbicara”

Dengan tergesa-gesa Mahisa Bungalan membawa perempuan itu menuju ke pasar, ia masih mempunyai harapan untuk dapat bertanya serba sedikit terhadap orang yang telah dilukainya, tetapi ia tidak dibunuhnya.

Namun sakali lagi Mahisa Bungalan harus kecewa. Orang itu pun ternyata meninggal. Darahnya terlalu banyak mengalir dari luka-lukanya, sehingga jiwanya tidak dapat tertolong lagi.

Dengan demikian, Mahisa Bungalan telah melakukan pembunuhan berturut-turut atas beberapa orang pengawal. Namun ia tidak dapat menghindarinya bahwa hal itu harus terjadi.

Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun menyerahkan mayat-mayat itu kepada orang-orang yang masih ada di pasar, untuk menyelenggarakan sebagaimana mestinya.

“Lakukanlah. Keluarga mereka tentu akan mengucapkan terima kasih” berkata Mahisa Bungalan.

“Tetapi bagaimana jika mereka justru marah kepada kami” bertanya salah seorang dari mereka.

“Katakanlah, seorang perwira dari Singasari telah membebaskan seorang isteri Pangeran dari Kediri yang berada di bawah kekuasaan beberapa orang pengawal hutan tertutup itu dengan maksud yang tidak diketahui. Yang mati terbunuh itulah orang yang telah menahan seorang perempuan, isteri seorang Pangeran meskipun perempuan itu sendiri berasal dari padesan. Katakanlah, bahwa perwira Singasari itu akan membawa perempuan itu kepada suaminya di Kediri”

Orang-orang di pasar itu termangu-mangu. Sejenak mereka memandang Mahisa Bungalan yang pernah mereka lihat sebelumnya. Pandai besi yang masih ada di pasar itu pun berkata, “Aku minta maaf tuan. Ternyata tuan adalah seorang perwira dari Singasari”

“Lakukanlah yang aku katakan. Jangan takut. Ajaklah kawan-kawanmu yang justru bersembunyi karena peristiwa ini. Semua pengawal telah terbunuh diluar kehendakku. Lima atau enam orang, dengan seorang yang bertubuh raksasa itu”

Pandai besi itu mengangguk-angguk.

“Lain kali aku akan datang. Aku akan melihat, apakah ada yang berusaha membalas dendam, justru kepada orang yang tidak bersalah. Jika ada, maka prajurit-prajuritku akan menghancurkan mereka sampai lumat”

“Ya, ya tuan. Kami akan melakukannya”

Mahisa Bungalan yang sudah melangkah meninggalkan pandai besi itu tertegun. Dilihatnya perempuan penjual semelak itu memandanginya dengan perasaan takut dan cemas. Apalagi ketika Mahisa Bungalan mendekatinya.

“Ampun tuan. Aku tidak mengetahui siapa tuan sebenarnya”

Mahisa Bungalan tersenyum. Diambilnya beberapa keping uang dan diberikannya kepada perempuan itu.

“Aku sudah berhasil menjual ujung pedang patah itu. Karena itu, aku ingin membayar semelak yang sudah aku minum”

“Tetapi ini terlalu banyak tuan” berkata perempuan itu.

Mahisa Bungalan hanya tertawa saja. Kemudian diajaknya isteri Pangeran Kuda Padmadata itu meninggalkan pasar itu dengan langkah yang semakin lama semakin cepat.

“Kita ke mana?” bertanya perempuan itu.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Untuk sejanak ia ragu-ragu. Namun kemudian ia berkata, “Aku akan pargi ke rumah seseorang kakek tua yang dengan penuh tanggung jawab melindungi cucunya yang dalam ancaman maut”

“Maksudmu ayahku?” bertanya perempuan itu.

“Ya”

“Ki Wastu?” perempuan itu berusaha meyakinkan dirinya.

“Agaknya namanya memang demikian. Tetapi aku memanggilnya kakek saja”

“Ayah. Tentu ayah. Apakah anak laki-lakiku masih hidup?”
“Ia berada di bawah perlindungan kakeknya”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, “Tuhan Yang Maha Kuasa lah yang melindungi anakku”

“Kau akan menemuinya di padukuhan yang agak jauh. Kita akan berjalan panjang”

Mahisa Bungalan yang berjalan bersama perempuan itu, harus bermalam di perjalanan. Namun di malam berikutnya Mahisa Bungalan tidak ingin berhenti lagi di perjalanan. Meskipun perlahan-lahan tetapi keduanya berjalan terus.

Betapa lelahnya perempuan itu. Sekali-sekali ia berhenti untuk beristirahat. Tetapi bayangan wajah anaknya seakan-akan telah memberikan kekuatan baru kepadanya, sehingga ia masih mau berjalan terus.

“Betapapun lambatnya” berkata perempuan itu, “aku akan meneruskan perjalanan. Anakku seolah-olah tidak sabar lagi menunggu aku”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ada perasaan iba juga terhadap perempuan itu. Namun rasa-rasanya ia pun ingin segera sampai ke padukuhannya untuk memberikan kenyataan yang akan dapat menjadi pancadan tugasnya berikutnya.

Ternyata bahwa perempuan itu pun memiliki keluhanan tubuh yang luar biasa. Dorongan perasaannya telah membuatnya menjadi seorang perempuan yang luar biasa.

Hampir tengah malam, mereka memasuki jalan panjang menuju ke padukuhan tempat tinggal kakek tua yang disebutnya bernama Ki Wastu. Pedukuhan yang panjang dan sepi.

Agaknya ada juga perasaan ngeri pada perempuan itu melihat gelap yang terbentang di hadapannya. Namun apabila ia mengingat bahwa kawannya berjalan adalah seorang laki-laki yang memiliki kemampuan seakan-akan tidak ada batasnya, yang telah berhasil membunuh sekitar enam orang pengawal hutan itu, maka ia pun menjadi tenang.

Bagi perempuan itu rasa-rasanya bulak itu menjadi sangat panjang. Perjalanan mereka menjadi sangat lambat. Namun untuk mempercepat langkahnya, ia merasa terlalu berat.

Meskipun demikian, akhirnya mereka memasuki padukuhan yang tidak begitu ramai. Mahesa Bungalan yang berjalan dengan seorang perempuan itu berusaha untuk menghindari gardu-gardu parondan. Ia membawa perempuan itu memasuki padukuhan lewat regol butulan yang sudah dikenalnya dengan baik.

Ketika mereka memasuki halaman, maka hati Mahisa Bungalan pun menjadi berdebar-debar pula seperti perempuan itu. Betapa kakinya seolah-olah tidak dapat diangkatnya lagi, namun dengan penuh harapan ia membayangkan anaknya sedang tidur nyenyak di dalam rumah itu.

Perlahan-lahan Mahisa Bungalan pun kemudian mengetuk pintu. Ia tidak perlu mengulanginya, karena ia tahu pendengaran kakek tua itu masih sangat tajam. Perlahan-lahan kakek tua itu melangkah ke pintu. Dengan suara ragu ia bertanya, “Siapa di luar?”

“Aku kek”

“Mahisa Bungalan? O, kau kembali ngger” berkata orang tua itu.

Namun demikian, ketika tangannya mulai membuka selarak, ia menjadi ragu-ragu. Apakah Mahisa Bungalan benar-benar dapat dipercaya, jika ia pergi dengan sikap pura-pura, kemudian kembali dengan membawa beberapa orang kawan, maka nasib cucunya ada dalam bahaya.

Karena itu, maka ketika ia kemudian menarik selarak pintu, selarak itu tidak dilepaskannya. Dengan kemampuannya yang luar biasa, ia akan dapat mempergunakan selarak itu untuk manghadapi segala kemungkinan.

Perlahan-lahan pintu pun berderit Ketika kemudian pintu itu didorong ke samping, maka orang tua itu terkejut Lamat-lamat dalam keremangan malam ia melihat bayangan seseorang. Ketika sekilas sinar lampu minyak jatuh ke wajah orang itu, maka tiba-tiba saja orang tua berdesis, “Kau kau?”

Perempuan itu tidak dapat menahan diri. Ia pun meloncat memeluk laki-laki tua itu sambil memanggil, “Ayah, ayah”

Orang tua itu pun kemudian menuntun perempuan itu ke ruang dalam, kepada Mahisa Bungalan ia berdesis, “Tolong ngger. Tutup pintu itu”

Mahisa Bungalan pun kemudian menutup pintu dan menyelaraknya”

“Dimana anakku ayah?” bertanya perempuan itu.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bersyukurlah” Lalu kepada Mahisa Bungalan ia berkata, “Kau berusaha membebaskannya ngger?”

“Yang Maha Kuasa lah yang melakukannya. Adalah kebetulan bahwa aku adalah alat untuk melakukan hal itu” jawab Mahisa Bungalan.

“Aku mengerti” desis orang tua itu.

“Dimana anakku?” sekali lagi perempuan itu bertanya.

“Ia sedang tidur ngger. Jangan kau kejutkan anak itu. Ia berada di dalam bilik itu”

Perempuan itu termangu-mangu, terasa matanya menjadi panas, sementara air matanya mengalir semakin deras.

Sejenak perempuan itu masih mematung. Namun ia pun kemudian melangkah ke pintu bilik. Ia mencoba menahan hati sekuat-kuatnya. Namun ketika ia melihat ke dalam bilik itu lewat pintu yang terbuka, maka ia tidak berhasil menahan perasaannya lagi.

Sambil berlari meledaklah tangisnya. Dengan serta merta ia telah memeluk anaknya yang sedang tidur nyenyak.

Anak itu terkejut. Ketika ia menyadari dirinya, ia merasa berada di dalam pelukan seseorang. Ia merasa titik-titik air yang hangat meleleh di wajahnya.
Baru kemudian ia mengerti, hahwa ia telah berada di dalam pelukan ibunya.

“Ibu” hanya kata-kata itu yang dapat meloncat dari mulutnya, karena ia pun telah menangis seperti ibunya.

Kakek tua itu pun berdiri tegak diluar pintu. Bagaimana pun juga ia merasa tenggorokannya bagaikan tersumbat

Mahisa Bungalan duduk di amben bambu. Ia tidak melihat apa yang terjadi di dalam bilik itu. Tetapi ia dapat membayangkan, betapa rindunya seorang ibu yang terpisah dengan anaknya karena keadaan yang gawat, dan bahkan telah mengancam jiwa mereka masing-masing.

Kakek tua itu pun kemudian meninggalkan anak dan cucunya di dalam biliknya. Dengan kepala tunduk ia melangkah mendekati Mahisa Bungalan dan duduk di sebelahnya.

“Tidak ada kata-kata yang dapat mencakup perasaan terima kasihku” berkata kakek tua itu.

Mahisa Bungalan menarik nafas. Katanya, “Sudah aku katakan, bahwa Yang Maha Kuasa lah yang menghendaki semuanya ini terjadi. Aku hanya sekedar alat”

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku tidak menyangka, bahwa kau berhasil membawa anak perempuanku itu kembali kepadaku dan kepada anaknya. Aku merasa hidup ini demikian cerahnya”

“Tetapi yang terjadi ini bukan akhir dari segala-galanya”

“Aku mengerti. Tetapi bagiku, yang terjadi kemudian tidak penting lagi. Seandainya besok aku mati, aku tidak akan menyesal”

“Kau mementingkan dirimu sendiri” berkata Mahisa Bungalan.

Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Aku tidak mengerti anak muda. Kenapa aku mementingkan diriku sendiri”

“Jika kau sudah menemukan kelapangan hati karena anakmu telah kembali kepadamu. Tetapi bagaimana dengan anak dan cucumu. Kau mati dengan dada lapang, karena kau tidak melihat anak dan cucumu itu akan diseret lagi oleh orang-orang yang ingin menyingkirkannya dari urutan keluarga Pangeran Kuda Padmadata”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, “Ya. Aku mementingkan diriku sendiri”

Mehisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu ia pun bertanya, “Jika demikian, apa yang akan kau lakukan”

“Menjaga anak dan cucuku”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah yang penting bagimu kek. Bukankah kau sudah berniat untuk membawa anakmu sampai kepada suaminya dengan membawa anaknya serta?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Aku akan membawa mereka kepada Pangeran Kuda Padmadata”

Mahisa Bungalan memandang tekad yang menyala di dalam hatinya.

“Kau telah menemukan niatmu kembali. Aku sudah menduga, jika anakmu telah kembali kepadamu, maka kau akan merasa bahwa semuanya telah selesai”

“Anakmas” berkata orang tua itu, “aku adalah orang tua yang sebenarnya tidak ingin terlibat dalam kesulitan-kesulitan yang menjemukan. Aku lebih senang hidup dalam ketenangan yang damai. Jika di masa yang lalu, darahku masih mendidih, karena aku menjadi iba melihat cucuku yang kehilangan ayah bundanya, maka rasa-rasanya kehadirannya telah membuat jantungku membeku. Aku mulai membayangkan kembali ketenangan hidup tanpa sentuhan sikap kasar dan apalagi kegarangan ilmu kanuragan”
Mahisa Bungalan termenung sejenak, ia melihat kebenaran pada kata-kata orang tua itu. Jika ia merasa damai dengan sikap diamnya, maka hal itu tentu lebih baik baginya”

Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata, “Kakek. Seperti yang kakek katakan, bahwa salah seorang diantara kita akan berada di dekat anak itu, karena setiap saat tentu akan datang orang yang mencarinya dengan maksud jahat. Karena itu. maka sebaiknya aku atau kau yang pergi untuk mencari hubungan dengan Pangeran Kuda Padmadata”

“Aku akan pergi ke Kediri” berkata orang tua itu. Lalu, “Aku akan menghadap Pangeran Kuda Padmadata, apa pun yang akan terjadi atasku”

Mahisa Bungalan menggeleng lemah. Katanya, “Tidak kakek. Biarlah aku saja yang pergi. Sebaiknya kakek berada di dekat anak dan cucumu”

“Akulah yang berkewajiban untuk melakukannya” berkata kakek tua itu.
“Mungkin benar. Tetapi akan tidak salah pula jika orang lain yang melakukannya jika itu dikehendakinya dengan suka rala. aku kira itu lebih baik daripada akulah yang harus tinggal di rumah ini bersama anak dan cucumu”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa dalam keadaan yang mendebarkan itu, Mahisa Bungalan masih ingat kepada unggah-ungguh. Memang tidak sepantasnya di rumah itu tinggal Mahisa Bungalan dan anaknya yang masih terhitung muda pula, sementara keduanya bukan sanak kadang.

Karena itu untuk beberapa saat ia merenung, la mencoba menimbang, yang manakah yang akan lebih baik dilakukan. Pergi ke Kediri atau tinggal bersama anak dan cucunya.

“Kau jangan mencoba mencari pilihan, “ berkata Mahisa Bungalan yang seolah-olah mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang tua itu, “aku tidak minta kau mempertimbangkan. Tetapi aku memberitahukan kepadamu, bahwa aku akan pergi ke Kediri untuk melakukan kewajiban perikemanusiaan ini”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah ngger. Tetapi biarlah kau memberi kesempatan kita membuat pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan selanjutnya. Karena itu, kau tidak usah tergesa-gesa pergi. Mungkin kita memerlukan waktu dua tiga hari untuk memecahkan beberapa masalah tentang diri anakku dan cucuku”

“Sepanjang waktu itu, maka nyala api di dalam dadamu yang sudah mulai buram itu akan padam” berkata Mahisa Bungalan.

“Tidak ngger. Meskipun aku cenderung untuk melupakan segala-galanya dengan membangunkan ketenangan hidup bagiku dan anak cucuku. Namun masalah ini memang harus diselesaikan dengan Pangeran Kuda Padmadata. Namun untuk melakukannya kita tidak akan dapat tergesa-gesa. Mungkin ada persoalan yang dapat kita perhitungkan dan pertimbangkan sebelum kau berangkat ke Kediri untuk mencari Pangeran Kuda Padmadata itu”

Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah kek. Sudah tentu kita tidak dapat melakukannya dengan tergesa-gesa”

“Syukurlah ngger. Kita akan membuat beberapa pembicaraan. Aku juga ingin mendengar keterangan dan pendapat anak perempuanku tentang suaminya itu”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sudah barang tentu pendapat anak perempuan orang tua itu tidak akan dapat diabaikan. Karena itu, maka orang tua itu pun mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat. Tetapi agaknya Mahisa Bungalan lebih senang berada di luar ruangan dalam rumah itu. Karena itu atas ijin orang tua itu, Mahisa Bungalan pun beristirahat pada sisa malam yang pendek itu di sanggarnya yang tertutup.
B
eberapa saat Mahisa Bungalan masih tenggelam dalam angan-angannya. Namun kemudian matanya pun mulai terpejam oleh kantuk yang jarang dipergunakan itu.

Ketika ia terbangun, rumah itu masih sepi. Tetapi ia sudah mendengar desir langkah kaki di belakang. Dengan demikian maka Mahisa Bungalan pun mengetahui, bahwa orang tua itu pun telah bangun dan berada di halaman belakang.

Mahisa Bungalan yang kemudian membuka pintu dan melangkah keluar melihat orang tua itu menuju ke pakiwan. Mengambil timba yang terbuat dari upih, mengetrapkan pada senggot dan sejenak kemudian terdengar senggot itu berderit.

Mahisa Bungalan pun kemudian pergi ke sudut rumah mengambil sapu lidi. Seperti biasanya, ia pun kemudian membersihkan halaman rumah itu. Pekerjaan itu dilakukannya dengan telaten sejak ia tinggal pada kakek tua itu. Bahkan kadang-kadang ia pun menimba air, mengisi pakiwan dan jambangan di dapur apabila kakek tua itu sedang melakukan pekerjaan yang lain. Namun kadang-kadang Mahisa Bungalan pun membelah kayu bakar dengan kapak atau kerja lain yang tidak pernah di sisihkannya.

Tetapi sejak hari itu. rumah kakek tua itu mempunyai seorang penghuni baru. Seorang perempuan yang kurus dan pucat. Namun ketika Mahisa Bungalan melihat wajahnya di siang hari dalam keadaan yang jauh berbeda dengan keadaan di dalam gubug di pinggir hutan itu, maka Mahisa Bungalan pun berkata kepada diri sendiri, “Perempuan itu memang cantik. Itulah agaknya Pangeran Kuda Padmadata jatuh cinta kepadanya meskipun ia hanya seorang perempuan padesan”

Namun dalam pada itu, kematian yang ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan di hutan itu, telah menumbuhkan kesulitan bagi beberapa orang penghuni padukuhan di sekitarnya. Juga orang-orang yang biasa berada di dalam pasar termasuk pandai besi itu.

Tetapi mereka tidak mengalami bencana yang parah. karena menilik sikap dan kata-kata mereka, orang-orang itu memangtidak mengetahui apakah yang telah terjadi.

Ternyata seorang penghubung telah datang ke gubug itu dan menemukan keadaan yang mendebarkan. Penghubung itu sudah tidak menemukan mayat sesorangpun. Yang didengarnya adalah keterangan beberapa orang yang ikut mengubur beberapa sosok mayat yang ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan.

Tetapi orang-orang itu tidak dapat menceriterakan dengan terang, siapakah Mahisa Bungalan itu, dan dibawa kemanakah perempuan yang disembunyikan di hutan itu.

“Kami harus mencarinya sampai ketemu” geram penghubung itu.

Laporan itu pun kemudian dibawanya kepada pemimpinnya. Seorang yang mendapat kepercayaan untuk melakukan segala cara untuk melenyapkan ibu dan anak laki-laki itu.

“Gila” ia menggeram, “apa kerja kelinci-kelinci di hutan itu?”

“Semuannya terbunuh” jawab penghubung itu.

“Berapa orang yang datang ke hutan itu?”

“Menurut penglihatan orang-orang di sekitarnya, hanya satu orang saja yang datang”

“Satu orang. Itu sudah perbuatan gila” geram orang itu, “semula aku sudah ingin membunuh perempuan itu. Tetapi pendapat bahwa perempuan itu akan dapat dijadikan umpan untuk menemukan anaknya, ternyata justru sebaliknya. Jika perempuan itu sudah mati, maka kita tidak usah menjaganya. Sekarang kita kehilangan orang itu. Jika kita tidak menemukannya, maka segala usaha dan korban ternyata sia-sia”

Orang yang mendapat kepercayaan untuk melaksanakan rencana yang besar itu pun benar-benar telah merasa dihinakan oleh seorang yang telah berhasil membunuh beberapa orang pengikutnya. Karana itu, maka dengan jantung yang membara ia berteriak, “Aku akan melihat orang itu dan mengelupas kulitnya”

Penghubung itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat mengatakan apapun juga, karena bahan yang didapatkannya di sekitar tempat kejadian itu pun hanya sedikit pula.

Dalam pada itu, Ki Wangut, orang yang mendapat kepercayaan itu, segera melakukan tindakan-tindakan yang dianggapnya penting. Ia memanggil beberapa orang pengikutnya yang lain yang rasa-rasanya memiliki kemampuan yang lebih dapat dipercaya.

“Orang-orang itu mati” berkata Ki Wangut.

“Apakah hal itu mungkin dilakukan oleh seorang. Betapa tinggi ilmunya, namun melawan lima atau enam orang sekaligus dalam tataran para penjaga itu agaknya sukar unluk dapat dipercaya.

“Orang itu tidak melakukannya sekaligus” berkata Ki Wangut, “nampaknya orang itu telah bertempur melawan sebagian demi sebagian. Sekelompok yang terpecah-pecah, itu memungkinkannya untuk menebas habis tanpa tersisa seorangpun. Ia tentu memiliki ilmu setan” geram salah seorang dari para pengikut itu.

“Dan kau mulai gentar?” bertanya Ki Wangut.

Suara tertawa meledak. Orang yang dianggapnya takut itu pun tertawa berkepanjangan.

“Diam” bentak Ki Wangut, “jangan menyelimuti kekerdilanmu dengan suara tertawamu yang memuakkan itu.

“Kau jangan menganggap aku takut Ki Wangut” jawab orang itu. Kau harus mengerti, kapan aku pernah mengenal takut?”

“Sekarang, setelah kau tahu bahwa seorang anak iblis telah berhasil membunuh enam orang sekaligus”

“Itu dugaan yang keliru. Aku tidak ingin menyelubungi perasaanku dengan kepura-puraan. tetapi aku benar-benar menganggap alangkah dungunya yang enam orang itu. Bukan alangkah tinggi ilmu yang seorang itu”

Ki Wangut mengerutkan keningnya. Lalu dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau berani menghadapinya?”

“Jika aku dapat menemukan, maka aku bersedia untuk berperang tanding”

“Kau sombong” berkata Ki Wangut, “cobalah menilai dirimu sendiri”

“Katakan kepadaku Ki Wangut, apakah kira-kira aku tidak dapat melakukan seperti yang dilakukan olah orang itu. Dua demi dua akan dapat aku bunuh pula seperti yang pernah terjadi” berkata orang itu dengan dada tengadah, “kau kenal aku dengan baik Ki Wangut. Kau kenal orang-orang mu yang mati itu dengan baik pula. Karena itu, jangan kau rendahkan aku di hadapan orang lain”

Ki Wangut mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kau jangan berlagak di hadapanku. Seandainya aku membenarkan kata-katamu, itu bukan berarti bahwa aku mengharapkan keajaiban pada dirimu. Kau tidak lebih dari orang-orang terbunuh itu. Kelebihanmu hanyalah karena kau dapat berteriak sangat keras, sehingga suaramu dapat mengganggu orang lain yang mendengarnya. Tetapi bagi orang-orang mumpuni, maka perbuatan semacam itu hanya akan ditertawakan saja”

“Kau benar tidak percaya akan kemampuanku Ki Wangut. Apakah aku harus menunjukkan untuk mempertuhankan harga diriku? Aku akan dapat mempergunakan segala jenis senjata dengan baik. Ilmu pedangku mumpuni. Ilmu tombakku tidak ada duanya di daerah ini. Sementara aku dapat mempergunakan senjata apapun juga. Kapak, linggis, bahkan cambuk dan tampar. Apakah aku harus menunjukkan bahwa dengan tanganku aku dapat menghantam batu karang?”

“Aku percaya bahwa kau dapat menghantam batu karang. Semua orang yang tangannya tidak cacat akan dapat melakukannya, tetapi apakah yang akan terjadi atas karang itu?”

“Aku dapat memecahkannya” teriak erang itu.

“Itulah yang masih harus diuji”

Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian katanya, “Aku akan pergi. Aku akan mencari perempuan itu sampai dapat”

“Kau menjadi gila. Kau tidak dapat melakukannya tanpa perhitungan yang mapan”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun sorot matanya yang menyala, seolah-olah tidak lagi dapat dikendalikan. Harga dirinya benar-benar telah tersinggung. Tetapi ia tidak berani berbuat apa-apa terhadap Ki Wangut itu sendiri, karena ia tahu, betapa tingginya ilmu orang yang bernama Ki Wangut itu.

“Kita akan menentukan langkah yang paling baik yang dapat kita lakukan” berkata Ki Wangut.

“Yang mana?” bertanya salah seorang dari pengikutnya.

“Aku mempunyai perhitungan bahwa perempuan itu telah dibawa kepada anak laki-lakinya. Karena itu, jika kita berhasil menemukannya, kita akan menemukan ke dua-duanya” ia berhenti sejenak, lalu, “sementara itu, tentu ada orang yang akan menghubungi Pangeran Kuda Padmadata karena peristiwa ini”

“Ya” desis salah seorang yang lain.

“Kita harus memperhitungkan sebaik-baiknya Kita harus membagi orang-orang yang ada pada kita. yang jumlahnya telah susut dengan enam orang” suara Ki Wangut merendah, seakan-akan ia menyesali apa yang telah terjadi dengan ke enam orang pengikutnya itu.

Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa menjalankan perintah tanpa mampu memikirnya.

“Salah seorang dari kita harus mengawasi istana Pangeran Kuda Padmadata” berkata Ki Wangut, “jika ada orang yang belum dikenal bermaksud menemui Pangeran itu, maka orang itu pantas dicurigai”

“Apakah salah seorang dari kita harus berada di depan istana itu terus menerus untuk waktu yang tidak terbatas?” bertanya salah seorang pengikutnya.

“Kau memang tidak mempunyai otak” sahut Ki Wangut, “kita dapat berhubungan dengan satu dua orang pengawal di istana itu. Kita mengenal beberapa orang di antara mereka. Kita dapat memberi mereka sekedar uang. Sementara salah seorang dari kita minta untuk berada di dalam pondoknya di halaman belakang istana itu. Salah seorang dari kita akan mengaku anak keluarganya dan tinggal di rumahnya untuk waktu yang tidak ditentukan, karena orang yang akan tinggal itu mengaku berasal dari jauh”

Pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka memang mengetahui bahwa beberapa orang di istana Pangeran Padmadata akan dapat diajaknya bekerja bersama.

“Sementara itu, beberapa orang yang lain mencari perempuan itu ke segala sudut tanah ini. Jika perempuan itu dapat diketemukan, maka tidak ada ampun lagi baginya Bunuh saja bersama anak laki-lakinya dan orang-orang yang berusaha melindunginya”

Para pengikutnya mengangguk-angguk.

“Kematiannya akan mendatangkan hadiah yang besar, karena pekerjaan ini juga merupakan taruhan yang sangat besar” desis Ki Wangut, kemudian, “jangan terlalu banyak pertimbangan seperti yang sudah. Akhirnya kita kehilangan sebagian dari hasil yang pernah kita peroleh”

“Siapakah yang akan pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata” bertanya salah seorang dari mereka.

“Aku sendiri” berkata Ki Wangut, “aku akan menunggu orang asing yang akan datang ke istana itu. Aku tidak boleh memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara. Karena itu aku harus sanggup membungkamnya. Mungkin orang itu benar-benar seorang pesuruh yang tidak memiliki kemampuan apapun selain karena ia mengetahui letak istana itu. Tetapi mungkin pula yang datang itu adalah orang yang telah membunuh enam orang sekaligus di hutan peliharaan itu”

Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja.

“Nah, kita akan berangkat ke tugas kita masing-masing. Empat orang akan mencari perempuan itu. Sementara kalian akan dapat mencari bekal bagi hidup kalian di perjalanan di sepanjang jalan pula”

Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Ki Wangut Selain mencari perempuan dan anaknya, maka mereka akan mencari makan dengan cara apapun juga.

Ki Wangut pun kemudian menunjuk empat orang yang dianggapnya memiliki kemampuan yang cukup untuk mencari perempuan dan anaknya, yang harus dibunuh di manapun mereka diketemukan. Namun demikian ia berpesan kepada pengikutnya yang lain, “Kalian kali ini dapat beristirahat. Tetapi pada suatu saat, kalian akan mendapat tugas pula. Meskipun demikian dalam setiap kesempatan kalian harus membantu kawan-kawanmu yang lain. Bahkan jika sengaja atau tidak sengaja kalian menemukan perempuan itu, maka kalian pun mempunyai kewajiban yang sama. Membunuh mereka tanpa ampun”

Keempat orang yang memang pernah melihat perempuan yang pernah disekap itu pun kemudian minta diri. Mereka akan mulai dengan tugas mereka. Tugas yang waktunya tidak dapat ditentukan. Mungkin dalam waktu pendek. Tetapi mungkin mereka memerlukan waktu yang sangat lama.

Sementara itu, maka Ki Wangut pun segera mempersiapkan dirinya pula. Ia harus segera pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata dan berada di istana itu untuk beberapa saat lamanya.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berada di rumah Ki Wastu sudah bersiap-siap untuk pergi ke Kediri. Tetapi ia masih menunggu sikap yang tegas dari anak perempuan Ki Wastu itu sendiri.

“Aku sudah melupakannya” berkata perempuan itu, “lebih baik kita tidak membuat hubungan apapun lagi dengan Pangeran Kuda Padmadata. Hal itu hanya akan menyakitkan hatiku saja”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia pun sependapat dengan anak perempuannya.

Namun dalam pada itu Mahisa Bungalan berkata, “Kek. Mungkin kakek dan anak perempuan kakek itu dapat menerima keadaan ini. Mungkin kalian tidak lagi memerlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam hidup kalian kemudian. Tetapi kalian harus ingat, bahwa ada orang-orang yang masih akan mencari kalian dengan maksud yang sangat jahat Apakah dengan demikian kalian akan dapat merasa tenang. Mungkin dalam waktu satu dua pekan, mereka belum menemukan kalian. Tetapi usaha mereka tidak akan berhenti dalam satu dua pekan. Mereka usaha terus mencari. Mungkin dalam satu dua bulan. Bahkan mungkin terbilang tahun. Mereka harus menyakinkan diri, bahwa tidak ada orang lain yang akan ikut serta memperhitungkan warisan Pangeran yang kaya itu, meskipun hal ini barang kali tidak pernah terpikir oleh kalian”

Ki Wastu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan itu benar. Mungkin dalam waktu satu dua bulan, atau katakan untuk dua tahun, Ki Wastu dan anaknya dapat melepaskan diri dari pengamatan orang-orang yang menghendaki kematiannya. Namun jika pada suatu waktu orang itu dapat menemukannya, maka persoalannya tentu akan segera membakar ketenangan yang mereka dambakan.....
“Aku kira kau benar, ngger. Orang-orang itu tentu takkan melupakannya, selama mereka masih dicemaskan oleh kemungkinan halnya seorang putera laki-laki Pangeran Kuda Padmadata yang akan berhak atas warisan yang akan ditinggalkan, maka sekelompok orang akan merasa tidak tenang” berkata Ki Wastu kemudian.

“Jadi, bagaimana menurut pertimbangan kakek?” bertanya Mahisa Bungalan.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah anakmas. Kita akan mempertimbangkan sebaik-baiknya. Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Jika angger tergesa-gesa pergi ke Kediri, mungkin di Kediri kini justru telah dipasang jebakan”

“Apa yang dapat mereka lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kemudian beberapa orang pengawal itu tentu akan membawa akibat Mungkin kawan-kawan mereka mulai berpencaran mencari anak dan cucuku. Sebagian mungkin akan pergi ke Kediri, jika ada orang yang tidak dikenal pergi menghadap Pangeran Kuda Padmadata membawa seorang anak laki-laki atau seorang perempuan yang pernah mereka sembunyikan di hutan itu. Bahkan mungkin mereka telah mendapat perintah yang lebih garang lagi dari pemimpin mereka. Bunuh setiap orang yang mencurigakan. Seperti yang kau cemaskan, dapat saja tiba-tiba muncul sekelompok orang di padukuhan ini untuk berusaha merebut cucuku”

“Karena itu, kita tidak boleh merasa bahwa persoalannya telah selesai”

“Tetapi juga tidak tergesa-gesa bertindak. Kita masih nempunyai waktu”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Ia sependapat dengan orang tua itu, bahwa segalanya harus dipertimbangkan sebaik-baiknya agar mereka tidak terjebak dalam suatu perangkap maut yang tidak dapat dihindari lagi.

Karena itu, maka meskipun Mahisa Bungalan telah bersiap-siap, namun ia tidak segera berangkat. Ia masih tetap berada di padukuhan itu untuk beberapa hari. Bahkan ternyata Mahisa Bungalan dengan cermat mengawasi orang-orang yang datang atau lewat di padukuhan itu. Tidak mustahil bahwa yang lewat itu adalah kawan-kawan orang yang telah dibunuhnya. Bukan saja untuk mencari orang yang telah membunuh mereka, tetapi juga mencari perempuan yang telah dibebaskannya beserta anak laki-lakinya.

“Semua orang yang pernah melihat aku telah mati” berkata Mahisa Bungalan, “jika ada orang yang mencari aku, mereka tentui sekedar mendapat gambaran dari orang” lain”

Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak meninggalkan kewaspadaan. Demikian pula kakek tua yang menjaga cucunya itu, sehingga dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dan kakek tua itu telah mengatur waktu agar mereka dapat bergantian berada di rumah. Jika kakek tua itu pergi ke tanah garapan yang dibukanya di padukuhan itu, maka Mahisa Bungalan berada di rumah dengan mengerjakan segala macam pekerjaan. Kadang-kadang ia membelah kayu dengan kapak. Namun kadang-kadang ia hanya menganyam perkakas mencari ikan yang dibuatnya dari bambu. Dengan telaten Mahisa Bungalan membuat icir dan bengkeng. Membuat kepis dan bahkan pernah ia mencoba membuat jala dari lawe. Namun ternyata untuk waktu yang cukup lama jalanya masih belum siap untuk dipakai di sungai yang tidak terlalu jauh.

Namun kadang-kadang kegelisahannya hampir tidak dapat dikendalikannya lagi. Ia ingin lebih cepat bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata dan menyampaikan peristiwa yang pernah terjadi atas isteri dan puteranya.

Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan benar-benar telah ingin menunda kepergiannya, ketika ia melihat dua orang berkuda lewat di padukuhan itu, kebetulan saat ia berada di sawah.

Kedua orang itu, meskipun tidak terlalu banyak menghiraukan keadaan di sekitarnya di padukuhan itu, namun ada semacam getaran di dalam jiwa Mahisa Bungalan yang memberitahukan kepadanya, bahwa sepantasnya ia mencurigai kedua orang itu.

“Mungkin keduanya adalah orang yang bernasib kurang baik, karena tiba-tiba saja aku telah mencurigainya. Tetapi tidak ada salahnya untuk berhati-hati” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.

Ternyata kedua orang yang kebetulan saja lewat di bulak yang pendek, di sebelah tanah garapan Mahisa Bungalan dan kakek tua itu, tidak menghiraukannya. Mereka sekedar lewat saja memasuki padukuhan tempat kakek tua dan Mahisa Bungalan tinggal.

“Apa yang akan mereka kerjakan di padukuhan itu” berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun karena kegelisahannya itu, maka ia pun kemudian memanggul cangkulnya dan segera kembali ke rumahnya, melalui regol, ia sudah tidak melihat kedua orang berkuda itu. Namun ia masih melihat tapak kaki kuda itu menyelusuri jalan padukuhan.

Sejenak Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Namun ia pun kemudian mencoba menelusuri tapak kaki kuda itu.

Tetapi langkahnya tertegun kelika seorang tetangga berkata kepadanya, “He, kamu akan pergi kemana?”

Mahisa Bungalan ragu-ragu sejenak. Ia masih membawa cangkul. Tetapi ia telah berjalan di jalan yang menuju ke rumah kakek tua yang telah memeliharanya, sejak ia terluka parah.

Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalan menjawab , “Lihat, ada tapak kaki kuda”

Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, “kenapa dengan lapak kaki kuda?”

“Bukankah dengan demikian ternyata ada dua orang asing memasuki padukuhan ini?”

“Kenapa dengan orang asing? Jalan ini adalah jalan yang panjang, yang kebetulan saja membelah padukuhan kita. Bukankah wajar jika ada dua atau seorang yang lewat. Berkuda alau tidak berkuda?”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. la mengerti bahwa orang itu menjadi heran terhadap sikapnya.

Namun tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berkata, “Aku masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa masih ada orang jahat yang lewat daerah ini, seperti pada saat pertama kali aku datang. Aku mengalami perlakuan yang sama sekali tidak menyenangkan”

Orang itu mengangguk-angguk. Ia pun mengerti, bahwa pada saat itu Mahisa Bungalan telah diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Untunglah bahwa ia sempat melawan dan dapat mengalahkan kedua orang itu meskipun ia terluka, sehingga ia harus dirawat oleh kakek tua itu. Agaknya Ki Wastu berhasil menyembuhkannya dan menahan perantau muda itu untuk tinggal bersamanya.

“Tetapi bukankah orang-orang berkuda itu tidak berbuat sesuatu?” tiba-tiva saja orang itu bertanya.

Mahisa Bungalan menggeleng, jawabnya, “Tidak. Tetapi entahlah nanti kalau pada kesempatan lain”

Orang itu menarik nafas. Ia mengerti bahwa karena pengalamannya, maka Mahisa Bungalan menjadi mudah mencurigai orang lain. Sehingga karena itu, maka ia pun kemudian tidak berkata lagi. Katanya, “Sudahlah, aku akan pergi ke kali”

“Silahkan” jawab Mahisa Bungalan yang termangu-mangu.

Sepeninggal orang itu, maka Mahisa Bungalan meneruskan langkahnya mengikuti tapak kaki kuda itu. Namun ternyata bahwa kedua orang penunggang kuda itu hanya melalui jalan di tengah-tengah padukuhan itu tanpa berhenti dan singgah.

Meskipun demikian, Mahisa Bungalan menyampaikan hal itu kepada Ki Wastu. Agaknya orang tua itu pun menjadi gelisah. Meskipun belum ada tanda-tanda apapun juga, namun karena kecemasan yang memang sudah ada di dalam hatinya, maka peristiwa-peristiwa yang belum pasti akan dengan mudah dapat menggetarkan jantungnya.

“Anakmas, aku sudah melarang anak dan cucuku keluar halaman. Jika mereka akan mencuci pakaian, biarlah mereka mencucinya dengan air sumur berkata orang tua itu.

“Mudah-mudahan mereka benar-benar orang lewat saja” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “namun ada semacam kecurigaan yang tidak mendasar di hatiku”

“Seseorang kadang-kadang dipengaruhi oleh perasaannya. Kadang-kadang seseorang mendapat firasat tentang sesuatu yang akan terjadi. Meskipun sekedar isyarat, namun jika kita dapat mengurainya, maka isyarat itu akan dapat memberikan petunjuk” berkata Ki Wastu. Lalu, “Tetapi kadang-kadang kita juga dipengaruhi oleh kecemasan di dalam diri kita sendiri, sehingga yang sebenarnya tidak ada apa-apa, membuat kita menjadi gelisah”

“Apa salahnya kita berhati-hati kakek” jawab Mahisa Bungalan.

“Ya. Kita memang harus berhati-hati”

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi lebih cemas lagi, ketika selang dua tiga hari, ia melihat lagi dua orang berkuda yang lewat. Mereka seolah-olah dua orang yang sedang menempuh perjalanan yang menyenangkan. Tidak tergesa-gesa dan sangat terlarik oleh keadaan di sekitarnya, jalan yang mereka lalui.

Seperti beberapa saat lampau, kelika Mahisa Bungalan sedang berada di sawah, ia melihat dua orang berkuda menuju ke padukuhannya. Seperti yang pernah terjadi, ia pun kemudian segera pulang dan mengikuti telapak kaki kuda itu. Ia tidak berhenti sampai ke regol sebelah, tetapi ia menyelusuri beberapa puluh tonggak lagi. Ternyata kedua orang penunggang kuda itu telah berbelok menuju ke padukuhan sebelah. Padukuhan yang tidak lebih besar. Tetapi padukuhan itu mempunyai sebuah pasar.

Dengan pakaian yang dipakainya turun ke sawah, Mahisa Bungalan tidak dapat pergi ke pasar. Karena itu, maka ia pun dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian yang lebih bersih. Meskipun pakaian petani seperti yang sering dipakai oleh penghuni padukuhan itu.

Ketika ia sampai ke pasar, maka Mahisa Bungalan masih melihat dua ekor kuda tertambat. Dengan hati yang berdebar-debar ia mendekati sebuah kedai. Ternyata kedua orang penunggang kuda itu berada di dalam kedai.

Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu Ia tidak biasa masuk ke dalam kedai, karena pasar itu letaknya dekat dengan padukuhannya. Orang-orang di pasar itu pun telah mengenalnya pula, sebagai salah seorang anggauta keluarga kakek tua itu, sehingga jika ia masuk ke dalam kedai itu, banyak orang yang akan menjadi heran.

Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Untuk mengisi kegelisahannya, maka ia pun kemudian berjongkok menghadapi alat-alat pertanian yang dijajakan dekat kedai itu.

Beberapa saat Mahisa Bungalan melihat-lihat alat-alat besi yang sederhana. Ia melihat-lihat sebuah kapak pembelah kayu yang besar. Namun agaknya Mahisa Bungalan tidak menyukainya. Kemudian dilihatnya sebilah parang. Tetapi parang itu pun kemudian diletakkannya sambil menggelengkan kepalanya.

“Buatan pandai besi dari Sanggurda” berkata penjual alat-alat pertanian itu, “manakah yang lebih baik dari buatan Sanggurda ini?”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Buatannya memang baik. Tetapi aku kira bahannya, yang kurang baik. Apakah benar barang-barang ini buatan Sanggurda?”

Penjualnya menjadi ragu-ragu. Namun ia pun tersenyum sambil menjawab, “Aku kira buatan Sanggurda. Entahlah jika aku keliru”

Mahisa Bungalan tertawa pula. Namun tiba-tiba saja tertawanya tertahan ketika ia mendengar salah seorang dari antara mereka yang duduk di kedai itu bertanya, “He, nenek. Padukuhan ini termasuk padukuhan yang besar. Bukankah begitu?”

“Ya. ya Ki Sanak. Tetapi sebenarnya padukuhan ini bukannya padukuhan yang cukup besar. Tetapi karena letaknya di antara beberapa padukuhan yang jaraknya hampir sama, maka padukuhan ini seolah-olah menjadi pusat hubungan antara beberapa padukuhan di sekitar padukuhan ini. Karena itulah agaknya padukuhan ini mempunyai pasar”

Orang di kedai itu terdiam. Ketika Mahisa Bungalan berpaling ke dalam, dilihatnya orang yang berbicara itu mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bukankah daerah ini semakin lama menjadi semakin ramai?”

“Agaknya memang demikian Ki Sanak” jawab nenek tua penjual di warung itu.

“Apakah banyak orang-orang baru yang tinggal di padukuhan ini nenek?” tiba-tiba orang itu bertanya.

Pertanyaan itu membual Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Sejenak ia menunggu dengan tegang.

Namun ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar penjual di kedai itu menjawab, “Tidak ada orang baru di padukuhan ini. Yang aku lihat sehari-hari adalah orang-orang yang sama. Mungkin ada satu orang yang tidak aku kenal masuk ke dalam warung ini, tetapi mereka bukan penghuni padukuhan ini. Sebenarnyalah orang-orang di padukuhan ini justru tidak banyak yang memasuki warungku. Justru orang-orang dari padukuhan yang jauh yang singgah sebentar minum minuman panas dan makanan hangat”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Padukuhan ini menyenangkan sekali. He, nenek. Apakah padukuhan sebelah menyebelah tidak banyak dikunjungi orang-orang pendatang baru yang membuka sawah dan petegalan di daerah ini?”

Terdengar nenek itu menjawab, “Aku tidak tahu Ki Sanak. Nampaknya tidak ada”

Mahisa Bungalan terkejut ketika penjual alat-alat pertanian itu bertanya, “Apakah tidak ada yang sesuai dengan kebutuhan Ki Sanak?”

“Aku baru mengingat-ingat” jawab Mahisa Bungalan. Namun dadanya menjadi berdebar-debar karena ia mendengar seorang yang juga berada di warung itu menjawab, “Di padukuhan sebelah ada orang baru”

“Di mana?” ternyata kata-kata itu telah menarik perhatian orang-orang berkuda itu.

“Padukuhan sebelah” jawab orang yang menyebut orang baru itu.

“Laki-laki atau perempuan” bertanya salah seorang penunggang kuda itu.

“Laki-laki”

“Siapa? Tua, muda?”

“Masih muda. Ia kawin dengan gadis padukuhan sebelah. Kemudian ia tinggal bersama mertuanya membantu bekerja di sawah karena mertuanya sudah sangat tua”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan yang seorang dari mereka telah menghentakkan tangannya di pahanya sendiri.

Namun tiba-tiba nenek penjual di warung itu bertanya, “Apakah Ki Sanak berkepentingan dengan orang-orang baru yang tinggal di padukuhan ini?”

“Tidak. Aku hanya sedang mencari saudaraku perempuan dan anak laki-lakinya. Ia telah menghilang dari rumah ketika diketahuinya suaminya kawin lagi. Aku tidak tahu ke mana ia pergi. Karena itu, aku sedang mencarinya. Mungkin ia tinggal bersama orang tuanya yang sudah tua”

“O” desis perempuan itu, “kasihan. Kenapa suaminya meninggalkannya?”

“Aku tidak tahu. Aku ingin bertemu dengan saudara perempuanku itu, aku akan bertanya kepadanya lebih teliti lagi, agar aku tidak dikendalikan oleh anggapan yang keliru yang dapat membawaku ke jalan yang sesat”

“Bagus. Bagus Ki Sanak. Segala sesuatunya memang harus diperhitungkan baik-baik” sahut nenek tua itu.

Sementara itu, penjual alat-alat pertanian itu mengangkat sebuah parang sambil bertanya, “Apakah parang ini juga kau anggap kurang baik Ki Sanak?”

“Sudah aku katakan” sahut Mahisa Bungalan, “bahannyalah yang agak mengecewakan”

Penjual barang-barang besi itu mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Bungalan berusaha mendengar pembicaraan di dalam warung itu.

Tetapi ternyata yang mereka bicarakan sudah lain sama sekali. Mereka tidak menyebut-nyebut lagi lentang perempuan dan anaknya laki-laki.

Mahisa Bungalan menjadi kecewa. Ia tidak mendengar percakapan terakhir antara kedua orang berkuda itu dengan nenek pemilik warung. Namun demikian, ia sudah menduga, bahwa kedua orang itu tentu ada hubungannya dengan hilangnya isteri Pangeran Kuda Padmadata dari tempat pengasingannya. Ternyata bahwa kedua orang itu bertanya tentang seorang perempuan dan anak laki-lakinya.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan masih mencoba untuk menunggu. Tetapi ia tidak mau terlibat lagi dengan pertanyaan-pertanyaan penjual alat-alat pertanian itu. Karena itulah maka ia pun kemudian berkata, “Mudah-mudahan lain kali kau membawa sesuatu yang sesuai dengan kebutuhanku” berkata Mahisa Bungalan.

“Pilihanmu terlalu sulit” desis penjual itu.

Mahisa Bungalan tersenyum. Namun ia pun kemudian bergeser dan bersandar dinding warung itu. Katanya, “Aku ingin beristirahat. Aku lelah sekali”

Penjual barang-barang besi itu tidak menggapainya. Bahkan ia bergumam di dalam hatinya, “Orang itu tentu tidak mempunyai uang”

Sementara itu, orang di dalam warung itu benar-benar sudah tidak membicarakan lagi tentang perempuan dan anak laki-lakinya. Bahkan agaknya keduanya sudah membayar harga makanan dan minuman yang mereka beli. Kemudian keduanya berdiri dan minta diri.

Namun pada saat itu, seorang lain yang juga berada di warung itu pun keluar bersama dengan keduanya. Adalah diluar dugaan Mahisa Bungalan, bahwa orang itu adalah tetangganya yang nampaknya baru saja menjual hasil kebunnya dan singgah di warung itu pula.

“He, kau” orang itu menyapa Mahisa Bungalan yang duduk bersandar dinding.

Mahisa Bungalan hanya mengangguk saja sambil tersenyum. Ia tidak ingin menjawab, agar pembicaraannya tidak berkepanjangan.

Tetapi orang itu justru berkata kepada kedua orang penunggang kuda, “Orang itu juga orang baru disini”

Kedua orang penunggang kuda itu mengerutkan keningnya. Yang seorang kemudian bertanya sambil memandang Mahisa Bungalan, “Apakah benar ia orang baru?”

“Ya. Ia tinggal di rumah kakek tua di padukuhan sebelah. Bukan padukuhan ini. Sepadukuhan dengan aku”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia tidak tertarik kepada Mahisa Bungalan yang duduk bersandar dinding.

Tetapi keterangan orang itu kemudian bagaikan menyengat jantung Mahisa Bungalan. Kelika ia berkata, “Bahkan kemudian ia telah disusul oleh saudara perempuannya yang kini tinggal bersamanya”

Kedua orang penunggang kuda itu menegang sejenak. Namun yang seorang dari mereka berkata, “Yang aku cari adalah saudara perempuanku, bukan saudara perempuan orang lain”

Kawannya nampak ragu-ragu sejenak. Namun ketika yang berbicara itu kemudian melangkah kekudanya, yang lain pun mengikutinya pula.

“Kita harus meyakinkan bahwa, apakah perempuan itu benar-benar perempuan yang kita cari”

“Kau bodoh” desis yang lain, “kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus yakin lebih dahulu sebelum kita bertindak. Sebab, jika kita sudah bertindak, ternyata orang itu bukannya yang kita cari, maka orang yang sebenarnya akan mendengar dan bersembunyi lebih jauh lagi dari kemungkinan pengamatan kita”

“Jadi maksudmu?” bertanya yang lain.

“Kita berusaha mengetahui dimana rumahnya. Itu tidak sulit. Lain kali kita datang lagi ke warung itu dan bertanya dimanakah rumah mereka. Kita akan berusaha melihat, apakah perempuan itu benar-benar yang kita cari”

“Jika benar, kita akan langsung mengambilnya atau membunuhnya bersama anaknya”

“Jika rumah itu tidak ada orang lain. Ingat, bahwa enam orang telah terbunuh oleh seorang saja yang telah membebaskan perempuan itu. Tidak mustahil bahwa yang seorang itu adalah orang yang bersandar dinding itu”

“Apakah orang itu sedang mengamati kita?”

“Aku tidak tahu. Tetapi kita harus bertindak cepat, sebelum mereka melarikan diri”

Kedua orang berkuda itu pun segera memacu kudanya kembali ke tempat mereka tinggal untuk sementara bersama kawan-kawannya yang lain. Mereka akan segera melakukan pengamatan atas seorang perempuan yang telah di sebut diluar warung itu.

“Hari ini kita harus mematangkan rencana. Besok kita akan pergi ke warung itu untuk mengetahui dimana rumah orang yang dimaksud. kita akan langsung mengirimkan orang yang belum dikenal untuk pergi ke rumah itu dengan alasan apapun juga. Jika kita sudah yakin, kita akan datang, tidak satu dua orang, tetapi bersama-sama karena yang akan kita hadapi adalah orang gila yang telah membunuh enam orang sekaligus”

Kawannya mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa jika mereka datang seorang saja, maka mungkin sekali mereka, akan mengalami nasib seperti kawan-kawannya di hutan peliharaan itu.

“Kita harus cepat bertindak” desis yang seorang, “jika kita terlambat, kita akan kehilangan mereka lagi”

Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Demikianlah keduanya telah berangan-angan bahwa mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Mereka akan dapat menangkap dan membunuh perempuan yang telah dilepaskan oleh seorang yang tidak mereka kenal. Tidak seorang pun diantara mereka yang dapat mengatakan, siapakah orangnya, karena semuanya telah terbunuh. Sedangkan keterangan yang mereka dapatkan dari orang-orang di sekitar pasar itu, hanya memberikan gambaran samar-samar.

Sejenak kemudian, salah seorang dari kedua orang berkuda itu berdesis, “Jika benar orang itu adalah orang yang kita cari, mudah-mudahan orang di warung yang bersandar dinding itu tidak menjadi curiga terhadap kita berdua dan membawa perempuan itu menyingkir”

“Malam ini kita akan mengawasi pedukuhan itu” sahut yang lain. Kita berempat. Jika kita melihat mereka meninggalkan padukuhan itu, kita akan bertindak”

“Apakah kita akan dapat menunggu mereka di jalan yang pasti akan dilaluinya?”

“Bukankah kita berempat? Kita berada di tempat yang terpisah. Jika ternyata perempuan itu pergi bersama seorang laki-laki yang tentu pembunuh dari kawan-kawan kita itu, kita melepaskan isyarat. Kita akan segera berkumpul dan membunuh mereka”

“Baiklah. Itu akan kita kerjakan sebelum kita sempat berbicara dangan nenek di warung itu besok”

Demikianlah, maka mereka pun memutuskan unluk mengawasi seisi padukuhan di sebelah, seperti yang dikatakan orang di warung itu. Jika malam itu mereka tidak melihat sesuatu, maka besok salah seorang dari mereka akan datang ke rumah itu untuk melihat apakah benar perempuan itu adalah perempuan yang mereka cari, agar mereka tidak terlibat dalam pekerjaan yang sia-sia yang justru akan dapat menyembunyikan orang yang sebenarnya.

Dalam pada itu, selagi orang-orang itu sibuk dengan rencananya Mahisa Bungalan telah berada di rumah kakek tua yang sedang menyembunyikan anak dan cucunya. Dengan hati-hati, agar tidak didengar oleh isteri Pangeran Kuda Padmadata, Mahisa Bungalan menceriterakan, apa yang dilihat dan didengarnya di pasar dipadukuhan sebelah.

“Jadi” bertanya kakek tua itu, “bagaimana pendapatmu ngger. Apakah orang-orang itu benar-benar mencari saudara perempuannya, atau sekedar sebagai selubung usahanya untuk menemukan anak dan cucuku”

“Itulah yang meragukan kek. Tetapi nampaknya mereka sama sekali tidak tertarik ketika orang yang bersamanya di warung itu mengatakan bahwa aku tinggal bersama seorang perempuan yang baru saja tinggal di rumah ini”

Kakek tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Meskipun demikian ngger, tetapi kita jangan meninggalkan kewaspadaan. Sebaiknya kita berdua untuk dua tiga hari tidak meninggalkan rumah meskipun hanya sekedar pergi ke sawah. Kita tidak tahu, apa yang bakal terjadi”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat kek. Besok kita berdua tinggal di rumah”

Keduanya berhenti berbicara ketika cucu kakek itu mendekat. Ia duduk di antara Ki Wastu dan Mahisa Bungalan.

Karena kehadiran cucunya, maka Ki Wastu teh membelokkan pembicaraan mereka kepada keadaa mereka sehari-hari.

Ketika malam turun, maka ke empat orang yang sedang mencari isteri Pangeran Kuda Padmadata yang hilang itu telah berada di tempat yang tersembunyi untuk mengawasi, apakah ada orang yang meninggalkan padukuhan. Namun ternyata sampai larut malam mereka tidak melihat seorang pun pergi.

Karena mereka yakin bahwa tidak akan ada lagi yang mereka tunggu, maka mereka pun sempat berbaring dan tertidur beberapa saat. Menjelang dini hari, mereka meninggalkan tempat persembunyian mereka untuk berkumpul kembali.

“Kita akan melakukan rencana kita” berkata salah seorang dari mereka, “kita akan dapat menyelesaikan masalah ini, karena kita bukan orang-orang dungu seperti penunggu hutan itu”

Kawannya tertawa. Katanya, “Aku kira, aku pun dapat melakukan seperti yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal itu”

“Kita yakin akan diri kita” berkata yang lain lagi, “jika kita berempat, karena kita terlalu berhati-hati. Sebenarnya kita masing-masing dapat melakukannya”

Yang lain mengangguk-angguk, sementara mereka menyiapkan diri untuk melaksanakan rencana mereka. Dua orang akan datang lagi ke warung di pasar itu untuk menanyakan rumah orang yang telah disebut-sebut itu, agar mereka dapat melakukan tugas mereka sebaik-baiknya.

Tanpa menimbulkan kecurigaan, maka dua orang itu pun bertanya sambil mengunyah makanan seakan-akan sekedar berbicara tanpa maksud apa-apa”

Tanpa curiga, nenek penjual di warung itu pun kemudian menunjukkan rumah Mahisa Bungalan meskipun hanya sekedar arahnya.

“Aku belum pernah melihatnya. Tetapi aku kenal semua orang di padukuhan itu, termasuk tetangga-tetangganya terdekat” berkata nenek itu.

Tetapi keterangan yang pendek itu sudah cukup meyakinkan, bahwa mereka akan dapat menemukan rumah yang mereka cari.

Dengan demikian, maka seorang di antara ke empat orang itu pun segera berusaha untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya.

Seorang dari antara mereka, bukan yang termasuk pernah dilihat oleh Mahisa Bungalan diwarung itu, telah berusaha menemukan rumahnya. Ia harus melihat dan meyakinkan, bahwa perempuan di rumah itu adalah perempuan yang mereka cari, karena orang itu pun pernah melihat isteri Pangeran Kuda Padmadata ketika ia disingkirkan dari rumahnya ke hutan terpencil itu.

Mula-mula ia hanya sekedar mengawasi di longkangan. Dengan hati-hati ia pun kemudian mendekat. Ketika anak itu lewat di halaman, orang yang sedang mengintainya itu melangkah memasuki regol halaman dengan sikap ketua-tuaan.

“Ngger” ia memanggil, “apakah aku dapat bertanya sedikit?”

Anak laki-laki itu termangu-mangu. Ketika ia hampir mendekat, maka kakeknya telah muncul di halaman sambil berkata, “Masuklah. Biar kakek yang datang”

Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak berani melanggar perintah kakeknya.

Tetapi pada saat itulah, seorang perempuan muncul di pintu. Hanya sekejap untuk memanggil anaknya dari pintu.

Betapa ia berhati-hati namun ternyata bahwa yang sekejap itu telah menumbuhkan persoalan yang gawat baginya. Laki-laki di regol yang melihat sekilas itu telah menjadi berdebar-debar. Nampaknya perempuan itu adalah perempuan yang sedang dicarinya.

Kekita Ki Wastu sudah mendekati regol, maka laki-laki dengan sikap ketua-tuaan itu pun bertanya sebuah nama seorang laki-laki. Apakah benar rumah itu adalah rumah orang yang dicarinya”

Ki Wastu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil menjawab, “Bukan Ki Sanak. Aku tidak mengenal orang itu”

Orang dengan sikap ketua-tuaan itu pun kemudian melangkah pergi. Tetapi kemudian ia telah menghubungi seorang kawannya yang lain untuk meyakinkan, apakah penglihatannya itu benar.

Kawannya pun kemudian mendekati rumah itu dari arah belakang. Tetapi tidak terlalu dekat. Ia menunggu beberapa saat untuk dapat melihat seorang perempuan lewat. Apakah di longkangan, di halaman samping atau di kebun belakang.

Tetapi akhirnya ia melihat juga. Perempuan yang ditunggunya itu pada suatu saat melintasi halaman belakang menuju ke pakiwan.

Dada orang itu menjadi berdebar-debar. Ia pun yakin, bahwa perempuan itu adalah perempuan yang dicarinya. Ketika kemudian perempuan itu keluar dari pakiwan dan dengan tergesa-gesa masuk lewat pintu butulan, maka ia pun yakin akan penglihatannya.

Dengan hati-hati ia pun kemudian meninggalkan tempatnya. Ia tidak sempat melihat Mahisa Bungalan yang kemudian keluar dari pintu belakang.

Ternyata Mahisa Bungalan dan Ki Wastu yang berada di dalam rumah ternyata juga tidak melihat, bahwa ada orang yang melihat-lihat rumahnya dari jarak yang tidak terlalu dekat. Bahwa orang itu telah berhasil melihat isteri Pangeran Kuda Padmadata yang mendapat pesan dari ayahnya, untuk tidak terlalu sering keluar rumah. Bahkan ayahnya berpesan, bahwa perempuan itu sama sekali tidak boleh keluar halaman.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar seorang tetangganya yang lewat bertanya, “He, anakmas, apakah kau baru saja menerima tamu?”

“Tidak paman” jawab Mahisa Bungalan.

“Tadi aku lihat seseorang berdiri termangu-mangu di sebelah halaman belakang rumahmu. Aku kira ia kemudian masuk ke halaman rumahmu lewat regol depan”

Mahisa Bungalan termenung sejenak. Sekilas ketegangan membayang di wajahnya. Namun sekejap kemudian ia sudah tersenyum sambil menjawab, “Mungkin seseorang yang sedang mencari rumah sanak kadangnya”

Sepeninggal tetangganya itu, maka Mahisa Bungalan pun menemui Ki Wastu. Ia mengatakan apa yang didengarnya dari tetangganya dan dihubungkan dengan apa yang telah diketahui oleh Ki Wastu di halaman, tentang orang yang mencari rumah seseorang.

“Apakah sebenarnya yang mereka lakukan?” bertanya Mahisa Bungalan kemudian.

“Mencurigakan” sahut Ki Wastu, “agaknya kita sudah mulai diawasi. Bahkan mungkin bukan sekedar diawasi. Tetapi dalam waktu yang singkat, kita akan menima tamu yang tidak kita kehendaki”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Wastu berkata dengan nada dalam, “Angger. Sebenarnya aku tidak berhak menahan angger disini. Apalagi dalam keadaan yang gawat seperti sekarang ini. Angger, mempunyai ayah bunda yang merindukan angger kembali dengan selamat. Bahkan mereka tentu berpengharapan, bahwa kelak mereka akan melihat anak laki-lakinya menjadi seorang yang hidup tenang. Apakah kata mereka tentang orang tua yang tidak tahu diri, yang melibatkan anaknya ke dalam suatu peristiwa yang gawat, yang dapat mengancam jiwanya?”

Mahisa Bungalan beringsut setapak. Katanya, “Sudahlah kek. Jangan merajuk seperti kanak-kanak. Kita sudah berada dalam keadaan yang tanpa kita rencanakan dan kita kehendaki. Sementara itu, aku yang meninggalkan rumah untuk merantau, tentu sudah memperhitungkan segala sesuatu akibat yang dapat terjadi atas diriku. Termasuk kemungkinan seperti yang akan kita hadapi”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Tatapan matanya yang menjadi suram, kadang-kadang nampak memancar. Tetapi kadang-kadang redup.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Ternyata orang tua itu tidak dapat menahan perasaannya. Dengan suara parau ia berkata, “Alangkah bahagianya ayah dan bundamu anakmas. Kau adalah seorang anak laki-laki yang baik, yang memberikan kebanggaan kepada orang tuanya”

“Jangan memuji kek” berkata Mahisa Bungalan, “yang harus kita perhitungkan sekarang, apakah yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan anak dan cucu kakek itu”

“Sulit untuk melakukannya ngger. Bahkan hampir tidak mungkin. Jika yang datang ke rumah ini orang-orang sakti dalam jumlah yang banyak, maka apa yang telah aku lakukan selama ini adalah sia-sia” orang tua itu menundukkan sepalanya. Katanya selanjutnya, “anakku hanyalah seorang. Cucuku baru seorang. sementara mereka akan mengalami bencana ini. Dengan demikian maka jalur namaku akan berakhir sampai di sini. Tidak ada seorang pun yang akan meneruskan aliran darah di dalam jantungku ini”

“Kenapa tiba-tiba kakek menjadi putus asa? Semula aku tidak mengira bahwa orang seperti kakek ini begitu mudahnya berputus asa” potong Mahisa Bungalan.

“Ada seribu macam gejolak perasaan di dalam hatiku. Sebenarnya aku lebih condong untuk mempersilahkan angger meninggalkan rumahku ini”

“Jangan menjadi cengeng” desis Mahisa Bungalan, “kita harus menentukan sikap. Kau boleh berputus asa dan bahkan membunuh diri. Tetapi tidak dengan anak dan cucumu yang masih sangat muda itu”

Kakek itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Mahisa Bungalan yang justru nampak bagaikan menyala.

Karena itu, maka darahnya yang serasa mulai membeku itu pun telah mengalir perlahan-lahan semakin lama menjadi semakin deras. Bahkan kemudian darah orang tua itu bagaikan mendidih di dalam jantungnya.

Katanya kemudian dengan wajah tengadah, “Kita sembunyikan mereka di dalam sanggar. Tempat itu sulit untuk diketemukan orang yang tidak mengenal rumah ini sebaik-baiknya. Pintunya tidak jelas dan letaknya pun di antara ruang-ruang yang tertutup.

Mahisa Bungalan menarik nafas. Ketika ia mula-mula berada di rumah itu, ia pun tidak segera mangenal letak sanggar itu. Karena itu maka katanya, “Bagus kek. Tetapi kakek harus berpesan, jangan menimbulkan bunyi yang dapat menarik perhatian”

Orang tua itu pun kemudian termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berdiri sambil memanggil anak dan cucunya untuk mendekat.

Dengan singkat kakek tua itu memberitahukan bahwa keadaan menjadi gawat bagi mereka. Karena itu, sebaikrlya anak dan cucunya itu menempatkan diri sebaik-baiknya untuk menghindarkan diri dari kemungkinan yang paling buruk.

“Apa yang akan terjadi kek?” bertanya cucunya. “Orang tua itu memandang cucunya sejenak. Kemudian katanya, “Tidak apa-apa. Tetapi kau jangan nakal ya. Kau dan ibu harus bersembunyi di dalam sanggar kakek yang meskipun agak gelap tetapi tempat itu adalah tempat yang paling aman bagi kalian”

Sejenak anak itu termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada ibunya, dilihataya wajah ibunya menjadi muram. Bahkan kemudian setitik air mata telah mengambang di pelupuknya.

“Seharusnya aku tidak menemui anakku” berkata perempuan itu, “tanpa aku, ia akan lebih aman. Meskipun aku harus mati, tetapi dengan demikian anakku akan terbebas dari kejaran orang-orang yang menginginkan kematiannya”

Anak laki-laki itu mengerutkan keningnya.

Namun kakeknya berkata, “Jangan menyesali keadaan. Lihat, anakmu menjadi heran, kenapa kau mengeluh. Sebaiknya kau pasrahkan saja segalanya kepada Tuhan Yang Maha Pelindung, sementara kita berusaha sebagaimana dapat kita lakukan karena Tuhan mengaruniakan akal budi dan wadag ini”

Perempuan itu mengusap matanya.

“Marilah” berkata kakek tua itu, “bukankah kau sudah menanak nasi dan membuat lauknya. Bawa sajalah. Mungkin kau akan menunggu sampai waktu yang cukup lama. Biarlah anakmu tidak menjadi lapar. Jika saatnya datang aku akan memanggilmu keluar. Ingat, sebelum aku memanggil, kau berdua harus tetap berada di dalam. Kecuali jika sudah lewat semalam”

“Apa artinya lewat semalam itu ayah?” bertanya perempuan itu.

Ayahnya termangu-mangu. Namun ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Marilah. Lihatlah tempat itu dan biasakan di dalam gelap”

Perempuan dan anak laki-lakinya itu pun kemudian mengikuti kakek tua itu masuk ke dalam sanggar yang agak gelap. Kemudian dengan hati-hati kakek itu mengaburkan pintunya yang sempit dengan menyandarkan beberapa potong kayu bakar dan sepapah belarak kering.

Ketika ia masuk ke dalam rumah, ia melihat Mahisa Bungalan berdiri di muka pintu yang dibukanya sedikit Dengan berdebar-debar, orang tua itu bertanya, “Apa yang kau lihat?”

Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Jawabnya singkat, “Belum ada yang aku lihat kek”

Kakek itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku mempunyai senjata yang sering aku pergunakan di saat mudaku. Tetapi demi anak dan cucuku, maka senjata itu akan aku pergunakan lagi sekarang jika perlu”

Mahisa Bungalan berpaling. Dipandanginya wajah kakek tua itu. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Anak dan cucumu adalah milikmu yang paling berharga kek. Karena itu, kau harus mempertahankannya dengan taruhan apa saja yang ada padamu”

“Ya. Aku mengerti” desis orang tua itu, “aku akan mengambil senjataku. Tetapi barangkali kau memerlukan senjata ngger? Senjata pendek atau senjata panjang?”

“Berapa pucuk senjatamu kakek?” bertanya Mahisa Bungalan.

Orang tua itu tersenyum. Katanya, “Yang aku banggakan hanyalah satu. Tetapi aku mempunyai jenis senjata yang lain. Meskipun bukan pusaka yang mempunyai nilai gaib”

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, “Berikan padaku senjata yang tidak kau pakai kek. Aku dapat mempergunakan senjata apa saja. Yang pendek, yang panjang, yang lentur atau yang lemas sekalipun. Senjata apapun akan lebih baik untuk menghadapi senjata lawan dari jenis apapun pula”

Kakek tua itu pun kemudian melangkah memasuki biliknya. Ketika ia keluar, ia membawa sebilah pedang dan perisai. Selain sejata itu, ia pun membawa sebatang tombak pendek”

“Pakailah tombakku. Aku akan memakai pedang dan perisaiku” berkata orang tua itu.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Pedang yang dipegang oleh orang tua itu benar-benar pedang mendebarkan. Pedang yang sudah berusia sangat tua, tetapi yang masih tetap terpelihara. Meskipun ujudnya benar-benar seperti pedang, namun buatannya mirip dengan keris. Pedang kakek tua itu berwarna kehitaman dengan pamor dan guratan-guratan yang memberikan kesan yang keagungan. Sedangkan perisai di tangan kirinya, mempunyai bentuk khusus. Perisai itu tidak terlalu besar, melengkung sampai kebatas siku.

“Senjatamu bagus kek” berkata Mahisa Bungalan kemudian.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Sejenak ia memandangi pedangnya, kemudian perisainya, yang tidak terlalu besar.

“Aku mempelajari watak senjataku ini dengan sungguh-sungguh” berkata orang tua itu, “karena itu, maka senjata ini adalah senjata yang paling baik bagiku”

Sambil menerima tombak dari tangan orang tua itu, Mahisa Bungalan berkata, “Tombak pendek ini pun tombak yang bagus sekali. Tombak yang memiliki keseimbangan panjang dan berat yang seolah-olah telah diperhitungkan semasak-masaknya”

“Mudah-mudahan kau dapat mempergunakannya” gumam kakek tua itu.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sambil meminang tombak pendek itu, ia melangkah kembali ke pintu dan memandang keluar dari celah-celah yang sempit.

Dengan suara datar Mahisa Bungalan berkata, “Aku tidak melihat sesuatu”

Orang tua itu tiba-tiba saja tertawa pendek. Katanya, “Agaknya kita sajalah yang dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan. Karena itu, maka kita seolah-olah berada dalam keadaan yang gawat, sementara tidak ada apapun juga yang bakal terjadi”

Mahisa Bungalan pun tertawa pula. Namun ia tidak beringsut dari tempatnya.

Dalam pada itu, kakek tua itu pun melangkah ke pintu belakang. Mungkin bahaya itu akan datang dari arah belakang. Menurut seorang tetangga, maka ada orang yang melihat-lihat halaman belakang rumahnya dengan termangu-mangu, yang justru disangkanya telah datang bertamu kepadanya lewat regol halaman depan.

Tetapi kakek tua itu pun tidak melihat seseorang di halaman belakang.

Meskipun demikian kedua orang yang sedang berjaga-jaga itu tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka masih tetap mengawasi keadaan, meskipun kadang-kadang mereka duduk menghilangkan ketegangan sambil minum seteguk air jahe.

“Ketegangan ini sangat melelahkan” berkata orang tua itu kemudian.

Mahisa Bungalan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun merasakan ketegangan yang semakin memuncak.

Sementara itu, empat orang yang sedang memburu isteri Pangeran Kuda Padmadata itu pun telah yakin, bahwa perempuan yang mereka cari berada di dalam rumah itu. Karena itu, maka mereka pun segera bersiap. Mereka tidak mau kehilangan lagi. Jika mereka berhasil, maka mereka akan mendapat upah yang tidak ada taranya. Mungkin mereka akan menerima upah yang dapat mereka pergunakan untuk seumur hidup mereka.

“Kita akan datang ke rumah itu” berkata salah seorang yang menjadi pemimpin dari ke empat orang itu, “kita harus bersiap menghadapi orang yang telah membunuh enam orang penjaga di hutan itu”

Salah seorang dari ke empat orang itu tertawa. Katanya, “jangan membuat perbandingan antara kita dengan mereka” Yang lain menyahut, “Ya. Kita memang tidak dapat diperbandingkan dengan tikus-tikus kelaparan itu”

“Jangan sombong” sahut pemimpinnya, “kita harus tetap berhati-hati. Bahkan mungkin selain orang itu, masih ada orang lain yang harus kita perhitungkan”

“Kau tahu tentang kami” sahut seorang yang bertubuh kekurus-kurusan, tetapi berjambang panjang. Katanya selanjutnya, “Kita adalah orang-orang yang terpilih dari antara sepuluh ribu orang”

Pemimpinnya mengangguk-angguk. Namun katanya, “Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati. Jika kalian sudah siap lahir dan batin, kita akan berangkat. Kita tidak perlu menunggu malam. Biarlah pertempuran ini menjadi tontonan”

Ke empat orang itu pun segera bersiap. Mereka menyandang senjata masing-masing. Sementara orang yang bersikap ketua-tuaan itu pun berkata, “Aku akan datang dari regol depan. Siapa yang akan memasuki halaman rumah itu dari belakang”

“Tidak ada” jawab orang yang agak pendek, “kita semua akan masuk dari depan. Memanggil orang yang telah membunuh ke enam tikus kecil itu dan menantangnya bertempur sampai mati di halaman”

“Perang tanding?”

“Jika memang aku harus berperang tanding, aku akan melakukannya” berkata orang bertubuh agak pendek itu.

“Jangan mengigau” bentak pemimpinnya, “kita harus membunuh mereka, bukan sekedar bersombong diri dengan memamerkan ilmu kita masing-masing”

“Mudah-mudahan mataku tidak rabun” berkata orang yang bersikap ketua-tuaan, “tetapi aku yakin, bahwa aku benar”

Dengan demikian, maka ke empat orang itu pun segera bersiap untuk berangkat. Mereka segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing. Mereka tidak menunggu gelap, karena mereka tidak perlu mencemaskan campur tangan orang lain. Menurut penilaian mereka, orang-orang di pedukuhan itu tidak akan sanggup membantu apapun juga.

Pada saat orang-orang itu berangkat, maka di rumah Ki Wastu, kegelisahan menjadi semakin mencengkam. Kakek tua itu dan Mahisa Bungalan berjalan mondar-mandir di dalam rumah. Sekali-kali kakek tua itu melekati pintu sanggarnya yang sudah disamarkan. Dengan suara lirih ia memanggil anak dan cucunya.

“Apakah kami sudah boleh keluar?” bertanya cucunya.

“Tunggu. Sebentar lagi kau boleh keluar. Tetapi berhati-hatilah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat membahayakan dirimu sendiri”

Anak laki-laki itu mengeluh. Tetapi ia mengerti, bahwa ia memang harus bersembunyi.

Ketika Mahisa Bungalan sekali lagi berdiri di muka pintu yang terbuka sedikit, maka ia pun terkejut Ia melihat beberapa orang berkuda berada di depan regol halaman.

“Kek” desis Mahisa Bungalan, “lihat. Ternyata mereka datang”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu lebih daripada aku harus menunggu sampai menjadi gila oleh ketegangan yang tidak ada ujung pangkalnya. Sekarang persoalannya menjadi jelas. Ternyata mereka menemukan persembunyian anak dan cucuku”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Tidak ada jalan lain. Kita memang harus mempertahankannya dengan segenap yang kita miliki”

Kakek tua itu termangu-mangu sejenak. Namun ia masih bergumam, “Aku seharusnya tidak menyeretmu ke dalam kesulitan ini anak muda”

“Kau masih juga merajuk dalam keadaan seperti ini kek?” sahut Mahisa Bungalan.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.

“Coba lihat kek, apakah ada orang lain yang lewat halaman belakang?” berkata Mahisa Bungalan kemudian.

Kakek tua itu kemudian pergi ke pintu butulan. Dengan hati-hati ia mengintip lewat lubang pintu yang tidak tertutup rapat. Tetapi ia tidak melihat sesuatu.....
“Tidak ada” berkata kakek tua itu kepada Mahisa Bungalan.

Orang-orang yang berkuda itu pun kemudian memasuki halaman. Salah seorang dari mereka pun berteriak, “He, siapakah penghuni rumah ini?”

Mahisa Bungalan berdesis, “Aku saja kek yang menemui mereka. Berhati-hatilah. Jika perlu, terserah kebijaksanaan yang manakah yang akan kau ambil”

“Akulah yang mempunyai rumah ini. Biarlah aku yang menemui mereka”

“Aku pernah melihat mereka, dan mereka pun pernah melihat aku pula. Setidak-tidaknya dua orang di antara mereka di warung itu”

Kakek tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Terserahlah. Tetapi berhati-hatilah. Jangan terlalu terikat akan harga diri. Jika perlu, panggil aku sabelum aku mengambil keputusan yang sesuai, karena sebenarnyalah otakku memang tumpul”

Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi. Ketika ia mendengar salah seorang dari keempat orang berkuda, itu memanggil sekali lagi, maka ia pun segera mendorong pintu dan melangkah keluar sambil bergumam, “Tidak ada pilihan lain. Aku belum membawa tombak ini. Tetapi setiap saat aku akan mempergunakannya”

Kakek tua itu pun menerima tombak pendek dari tangan Mahisa Bungalan. Ia sadar, setiap saat ia harus bertindak cepat dalam keadaan yang gawat.

Sejenak kemudian Mahisa Bungalan pun keluar dari pintu depan. Ketika ia turun ke halaman, dilihatnya ke empat orang itu berpencar. Sementara itu, kakek tua di dalam rumah itu pun berusaha berlindung di balik daun pintu.

“He, kau penghuni rumah ini?” bertanya salah seorang dari penunggang kuda itu.

“Ya. Aku penghuni rumah ini. Bukankah kau yang aku lihat berada di warung di padukuhan sebelah?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Kau masih mengenal aku”

“Ya. Aku masih mengenalmu” jawab Mahisa Bungalan.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sekilas ia memandang wajah kawan-kawannya yang mulai berpencar di halaman rumah itu. Kemudian kembali ia memandang Mahisa Bungalan sambil berkata, “Adalah kebetulan sekali bahwa aku telah bertemu dengan pemilik rumah ini”

“Apakah kau mempunyai sesuatu keperluan?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ya. Aku ingin berbicara dengan kau barang sejenak”

Ketika orang itu kemudian meloncat turun dari kudanya, maka kawan-kawannya pun kemudian berloncatan turun pula. Mereka pun kemudian mengikat kuda mereka di pohon-pohon perdu yang bertebaran di pinggir halaman.

Orang yang agaknya pemimpin dari kelompok kecil itu pun kemudian mendekati Mahisa Bungalan, sementara kawan-kawannya berdiri beberapa langkah daripadanya.

“Ki Sanak” berkata orang itu, “aku ingin bertanya langsung kepada persoalannya. Apakah saudara perempuanku ada disini?”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa orang-orang itu sebenarnya tidak akan dapat dibawa dalam pembicaraan apa pun juga. Mereka tentu akan memaksa memasuki rumahnya untuk melihat apakah perempuan yang dicarinya ada di rumah itu.

Meskipun demikian Mahisa Bungalan menjawab, “Bagaimana mungkin saudara perempuanmu ada di rumah ini”

“Jangan banyak bicara” desak orang itu, “bawalah perempuan itu kemari. Aku memerlukannya. Bawa pula anak laki-lakinya. Dengan demikian maka kau akan selamat”

Mahisa Bungalan tidak melihat kemungkinan apapun lagi kecuali bertempur. Karena itu, maka jawabnya mengatasi kegarangan lawannya, “Ki sanak. Sebenarnyalah bahwa aku tidak tahu dimanakah saudara perempuanmu itu bersembunyi. Jika kau memaksa untuk melihat, silahkan. Di rumah ini hanya ada seorang perempuan. Yaitu isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anaknya laki-laki. Perempuan itu aku ambil dari hutan tutupan dengan membunuh semua penjaganya. Karena itu, jika kau memerlukannya, kau pun harus berbuat serupa. Membunuh semua penjaganya”

Jantung ke empat orang yang datang kehalaman rumah itu berdentang terlalu keras. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan mendapat jawaban yang demikian langsung dan terbuka.

Dengan demikian, maka mereka pun mulai menilai anak muda yang berdiri di hadapan mereka. Anak muda itulah agaknya yang telah membunuh para penjaga di hutan tutupan itu.

Sambil menggeram pemimpin kelompok kecil itu berkata, “Jangan berbangga dengan tingkah lakumu. Kau dapat membunuh kucing-kucing itu dengan mudah. Tetapi jika kau bertemu dengan harimau-harimau yang buas, maka kau harus berpikir ulang untuk menentukan langkah sebelum kau menyesal”

“Aku tidak melihat perbedaan antara kucing hutan dan harimau yang jinak dan tidak bergigi lagi” jawab Mahisa Bungalan.

Terdengar orang itu menggeram. Darahnya mulai menjadi panas. Bahkan kawan-kawannya tidak lagi sabar untuk menunggu pembicaraan yang berkepanjangan. Namun mereka pun menjadi berdebar-debar melihat sikap Mahisa Bungalan yang yakin akan dirinya sendiri manghadapi orang-orang yang seharusnya ditakuti.

“Anak muda” berkata pemimpin kelompok itu, “sekarang baiklah kita memikirkan cara yang terbaik untuk menyelesaikan hal ini. Serahkan perempuan itu kepadaku, dan kau akan tetap hidup tanpa aku usik sama sekali”

“Perempuan itu adalah kakakku. Huh, sekarang kau tahu apa yang harus kau lakukan. Aku tidak akan mempertahankannya dan kau tentu akan memaksakan kehendakmu. Karena itu, kita akan bertempur. Kecuali jika kalian mengurungkan niat kalian”

“Persetan. Anak yang tidak tahu diri. Kau masih ter lalu muda untuk mati” geram pemimpin kelompok itu.

“Karena itu aku akan bertahan. Kalianlah yang akan mati seperti ke enam kawanmu di pinggir hutan tutupan itu, saat aku merebut kakakku dari tangan kawan-kawanmu yang kau sebut kucing-kucing hutan itu”

Orang-orang yang datang di halaman rumah itu sudah tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah meloncat menyerang Mahisa Bungalan yang berdiri termangu-mangu. Namun tidak kehilangan kewaspadaan.

Karena itu, maka serangan yang meluncur dengan kerasnya itu tidak berarti sama sekali baginya. Dengan mudah ia bergeser mengelak.

Namun dengan demikian pertempuran itu pun telah meledak. Keempat orang itu telah mengepung Mahisa Bungalan dari segala penjuru.

“Jangan menyesal” geram pemimpin kelompok itu.

Mahisa Bungalan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, sementara Ki Wastu memperhatikannya dengan hati yang berdebar-debar. Namun untuk sementara ia masih tetap berada di tempatnya. Ia masih curiga, bahwa mungkin masih ada orang lain yang datang kemudian.

Meskipun demikian, maka ia tidak lengah. Selain senjata yang akan dipergunakan, ia memegangi tombak yang akan dipergunakan oleh Mahisa Bungalan apabila diperlukan.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Mahisa Bungalan yang masih menjajagi kemampuan lawan itu pun segera mengetahui, bahwa ke empat orang itu memang memiliki ilmu yang dapat mereka banggakan.

Namun ternyata kecepatan Mahisa Bungalan sulit diimbangi oleh ke empat lawannya. Mahisa Bungalan berloncatan di antara ke empat lawannya. Menyusup di antara serangan-serangan yang datang beruntun. Bahkan dengan tangkasnya, kadang-kadang ia berhasil menipu lawannya, sehingga dua orang di antaranya mereka hampir saja saling berbenturan.

Dalam pada itu, ternyata perkelahian di halaman rumah itu telah menarik perhatian. Beberapa orang yang melihat pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Namun ternyata bahwa yang seorang telah memberitahukan kepada yang lain, sehingga sejenak kemudian, seisi padukuhan itu mengetahui, bahwa di halaman rumah Ki Wastu telah terjadi pertempuran yang sengit.

“Anak itu mempunyai banyak musuh” berkata salah seorang dari antara mereka, “ketika ia datang, ia diketemukan hampir mati oleh Ki Wastu, karena anak itu berkelahi dan membunuh lawan-lawannya”

“Mungkin bukan kesalahannya” sahut yang lain, “mungkjn ia telah disudutkan pada satu-satunya kemungkinan yang dapat ditempuh. Nampaknya ia bukan seorang anak muda yang jahat, atau seorang yang memang mempunyai kesenangan berkelahi”

Beberapa orang telah melihat pertempuran itu dari kejauhan. Mereka menjadi berdebar-debar. ketika mereka melihat pertempuran yang semakin lama menjadi semakin seru. Apalagi karena Mahisa Bungalan harus bertempur melawan empat orang yang garang.

Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih tetap dapat bertahan. Ia masih mampu menghindari setiap serangan. Ia berloncatan dari sudut ke sudut halaman, dari seberang ke seberang. Dengan demikian, maka ke empat lawannya harus memburunya susul menyusul. Mereka tidak berhasil mengepung Mahisa Bungalan dalam lingkaran, karena kecepatan geraknya.

Dalam pertempuran yang sengit itu, Mahisa Bungalan merasa betapa manfaat landasan ilmu yang diberikan oleh orang tua itu. Yang meskipun hanya sekedar alas bagaikan ompak bagi tiang, namun alas itu telah mengangkat dan meningkatkan keseluruhan ilmunya dengan segala macam kemungkinannya.

Karena itulah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian mampu bergerak lebih cepat. Mempunyai kekuatan yang bagaikan berlipat sementara pernafasannya pun menjadi semakin landung dan teratur, sesuai dengan setiap keadaan yang terjadi pada tubuhnya.

Dengan demikian, maka lawannya pun menjadi bingung karenanya. Setiap kali mereka kehilangan Mahisa Bungalan. Meskipun Mahisa Bungalan juga masih belum berhasil melumpuhkan salah seorang dari lawannya, namun lawannya pun tidak dapat berbuat terlalu banyak atasnya.

“Anak setan” geram pemimpin kelompok itu, “ternyata anak ini licik seperti demit. Ia hanya dapat berlari-lari mengelilingi halaman”

“Siapa yang licik” sahut Mahisa Bungalan, “aku hanya seorang diri. Tetapi kalian berempat”

“Aku kira anak muda yang telah berhasil membunuh enam orang pengawal itu adalah seorang anak muda yang tanggon. Tetapi ternyata dugaanku keliru” desis yang lain.

Mahisa Bungalan justru tertawa. Katanya, “Inilah aku. Apapun yang kau katakan tentang diriku, inilah kenyataannya. Dan kalian memang tidak dapat mengalahkan aku”

Pemimpin, kelompok itu tidak sabar lagi. Dengan garangnya ia berkata, “Kita akan membantainya. Kita akan membunuhnya dengan senjata dan mencincang mayatnya sampai lumat”

Sekejap kemudian, maka ke empat orang itu telah menggenggam senjata mereka masing-masing. Dengan garangnya mereka mengacu-acukan senjata mereka dan agaknya mereka benar-benar siap untuk mencincang Mahisa Bungalan.

Pada saat yang demikian, Ki Wastu melihat, bahwa keadaan menjadi gawat bagi Mahisa Bungalan. Betapapun ia mampu bergerak cepat, namun empat pucuk senjata di tangan empat orang yang benar-benar mampu menguasainya, akan merupakan bahaya yang mungkin sulit untuk dilakukan.

Karena itu, maka Ki Wastu mulai berpikir, apakah ia sudah waktunya untuk berbuat sesuatu. Apalagi ternyata selain empat orang itu, tidak ada orang lain yang memasuki halaman lewat regol yang manapun juga.

Dalam pada itu, orang-orang yang melihat pertempuran itu dari kejauhan yang jumlahnya semakin lama manjadi semakin banyak, menjadi semakin berdebar-debar. Mereka melihat empat pucuk senjata teracu ke arah Mahisa Bungalan yang berdiri termangu-mangu.

“Apakah anak muda itu masih mampu bertahan” desis salah seorang.

“Ia tidak mempunyai senjata apapun juga,” sahut yang lain.

Dalam pada itu, Ki Wastu tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Jika ia membiarkan Mahisa Bungalan bertempur tanpa senjata melawan empat orang itu, betapapun ia mampu berloncatan seperti burung sikatan, namun ia tentu akan sedikit demi sedikit tergores ujung senjata lawannya.

Karena itu, ketika ke empat orang lawan Mahisa Bungalan itu siap untuk menerkam Mahisa Bungalan dengan senjatanya, maka orang itu tiba-tiba saja telah muncul dari balik pintu sambil berkata, “Angger. Inilah senjatamu. Apakah belum waktunya kau pergunakan?”

Semua orang berpaling kepada orang tua itu. Ia membawa sebatang tombak pendek. Sementara itu, ia pun membawa pula pedang yang khusus dengan sebuah perisai kecil di tangan kirinya.

Sejenak ke empat orang lawan Mahisa Bungalan itu memperhatikan orang tua itu yang berdiri termangu-mangu itu.

Ki Wastu masih berdiri tegak. Ia pun sempat memandang ke empat orang yang berdiri membeku sambil memperhatikannya. Sasaat kemudian, orang tua itu pun melangkah maju tanpa menghiraukan orang-orang yang berdiri berpencar di halaman rumahnya. Sambil mengacukan tombak pendek itu ia berkata, “Inilah senjatamu”

Mahisa Bungalan pun maju selangkah. Sambil menerima senjatanya ia berkata, “Terima kasih kek. Ke empat orang ini ternyata adalah orang-orang yang licik. Mereka hanya berani bertempur dalam kelompok. Mereka tidak herani berperang tanding, dengan atau tidak dengan senjata”

“Persetan” pemimpin kelompok itu berteriak, “aku tidak peduli apa yang kau katakan, karena sebentar lagi kau akan mati. Kecuali jika kau bersedia menyerahkan perempuan itu bersama dengan anaknya”

“Maksudmu isteri Pangeran Kuda Padmadata itu Ki Sanak?” bertanya kakek tua itu.

“Ya. Aku memerlukannya”

“Untuk apa?”

“Akan aku bawa menghadap Pangeran Kuda Padmadata”

Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, “Jangan mengigau. Siapa yang akan menyerahkan perempuan itu kepada Pangeran Kuda Padmadata? Bukankah kalian telah menyimpannya di hutan tutupan itu? Aku tahu, bahwa perempuan dan anak laki-lakinya itu harus dibunuh. Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang akan mempersoalkan warisan yang kelak akan ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Padmadata”

“Parsetan” teriak pemimpin kelompok itu, “apa pedulimu tentang kematian parempuan dan anak laki-lakinya jika itu memang kami kehendaki. Minggirlah kakek tua, supaya kau tidak terinjak oleh kaki-kaki kami”

“Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat minggir, karena perempuan itu adalah anakku, sedangkan anak laki-laki itu adalah cucuku. Diakui atau tidak, dikenal atau tidak oleh Pangeran Kuda Padmadata, namun aku akan mempertahankannya karena mereka adalah jiwa yang akan mempertahankan garis keturunanku. Yang akan mewarisi namaku, karena aku tidak mempunyai warisan apapun juga selain nama dan darah keturunan”

Terdangar salah seorang dari ke empat orang itu tertawa. Katanya, “Kakek tua yang malang. Jika kau ingin membunuh diri, minumlah racun warangan. Atau cobalah menggantung diri di pengeret rumahmu, atau hanyutkan dirimu jika kali sedang banjir. Tetapi jangan mempergunakan tangan-tangan kami karena kami akan membunuh orang-orang yang menentang kami, karena kami tidak ingin dirintangi. Bukan sebagai alat untuk membunuh diri”

Orang tua itu termangu-mangu. Katanya, “Aku tidak akan membunuh diri. Aku akan mempertahankan anakku perempuan dan cucuku laki-laki. Jika aku mati, mereka pun akan mati. Karena itu, aku akan bertahan untuk tetap hidup”

Pemimpin kelompok itu pun menggeram. Katanya, “Aku tidak peduli apa yang kau katakan. Aku pun tidak akan memberikan siapa pun yang terlibat dalam persoalan ini untuk tetap hidup. Aku akan membunuh semuanya. Aku akan membakar rumah ini dan memasukkan tubuh kalian ke dalamnya bersama perempuan dan anak laki-laki itu. Dengan demikian, benar seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak akan diganggu lagi oleh perempuan dan anak pedesaan yang tidak berarti apa-apa itu. Darah yang mengalir di tubuhnya akan mengotori keturunan Kediri sehingga kemurnian darah bangsawan dari istana Kediri akan menjadi kabur”

Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Kau sudah menghina keturunanku Aku memang seorang dari padesan. Tetapi bukan anakkulah yang datang menyerahkan dirinya kepada Pangeran Kuda Padmadata. Tetapi Pangeran itulah yang datang ke rumah kami dan dengan memelas mohon kapadaku, agar aku mengijinkan anakku manjadi isterinya”

“Tetapi kau harus melihat dirimu sendiri. Kau harus merasa bahwa kau adalah orang padesan. Kau tidak berhak mewarisi apapun juga dari Pangeran Kuda Padmadata. Karena hanya darah para bangsawan sajalah yang akan dapat mawarisi harta benda dari istana Kediri”

“Aku dan anakku tidak mimpi untuk mendapat warisan apapun juga. Kami sudah merasa bahagia hidup dengan tata cara dan kebiasaan kami. Tetapi kami tidak mau selalu terganggu tingkah laku kalian yang gila itu”

“Persetan” geram pemimpin kelompok itu, “kau kira aku tidak tahu, bahwa pamrih itu kau dukung, kau jinjing, kau junjung di atas kepalamu. Jangan banyak bicara. Serahkan mereka untuk aku binasakan. Dengan damikian aku sudah membersihkan darah keturunan Kediri”

“He Ki Sanak” berkata orang tua itu, “apakah aku dapat bertanya serba sedikit tentang dirimu sendiri? Apakah kalian juga berdarah bangsawan murni, sehingga kalian sangat barnafsu untuk membersihkan noda-noda pada darah keturunan Kediri?”

Sejenak orang itu terbungkam. Wajahnya menjadi marah, dan mulutnya bagaikan tersumbat. Namun sejenak kemudian suaranya bagaikan meledak, “Persetan. Bunuh mereka berdua. Lemparkan mayat mereka ke dalam api yang akan berkobar membakar rumah itu. Perempuan dan anak laki-lakinya itu pun harus dilemparkan pula ke dalam api hidup-hidup”

Orang tua itu surut selangkah. Ia mengambil jarak dari Mahisa Bungalan, karena mereka tidak akan bertempur berpasangan. Orang tua itu pun sadar, bahwa ia akan melawan dua orang di antara keempat orang yang mendatangi rumahnya itu.

Sejenak ketegangan yang panas telah mambakar halaman itu. Beberapa orang yang melihat peristiwa itu dari kejauhan menjadi, semakin berdebar-debar. Apalagi karena Ki Wastu telah turun kehalaman itu pula. Ki Wastu yang mereka kenal sebagai saorang petani yang hanya mampu menggenggam cangkul dan menyabit rumput untuk memberi makan binatang peliharaannya. Kini ia memegang pedang yang khusus di tangan kanan, dan perisai di tangan kiri. Nampaknya memang aneh. Orang tua itu seolah-olah menjadi orang lain dari yeng mereka kenal sehari-hari.

Dalam pada itu, Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah bersiap untuk bertempur. Ki Wastu yang sudah melihat, bagaimana Mahisa Bungalan mengalahkan kedua orang yang memburunya di bulak di saat anak muda itu datang ke padukuhan itu, diatasi dengan ilmu yang disadap dari orang tua itu, maka anak muda itu adalah anak muda yang memiliki kemampuan yang pilih tanding. Sementara Ki Wastu sendiri adalah seorang yang mamiliki ilmu yang mengagumkan. Tetapi untuk waktu yang lama, orang tua itu telah mamiliki jalan kehidupan yang tenang sebagai seorang petani. Namun ternyata pada suatu saat, ia harus mengambil senjatanya dari simpanan, karena ia harus mampertahankan anak perempuan dan cucunya.

Ketegangan itu memuncak ketika keempat orang yang memasuki halaman itu mulai bergerak. Tanpa berjanji mereka telah membagi diri. Mereka telah melihat kecepatan bergerak Mahisa Bungalan. Namun bagi mereka, yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan itu hanyalah sekedar berlari-lari kian kemari.

Kini, dua di antara mereka harus menghadapinya, sementara dua orang yang lain telah menghadapi Ki Wastu dari dua arah.

“Bunuh kakak tua itu secepatnya,” berkata pemimpin kelompok itu, “kemudian kita berramai-ramai mencincang anak muda ini. Keduanya akan kita lemparkan ke dalam api yang segera akan menelan gubuk kakek gila ini”

Orang-orangnya pun segera mapan. Sementara Ki Wastu telah menggerakkan pedangnya. Seolah-olah ia ingin mengetahui, apakah tangannya yang tua itu masih mampu melakukannya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Wastu masih tetap seorang yang pilih tanding. Meskipun ia menjadi semakin tua, tetapi ia tidak pernah lupa memasuki sanggarnya meskipun hanya untuk sesaat setiap hari. Kadang-kadang pagi-pagi sebelum cucunya bangun. Namun kadang-kadang di malam hari, selagi cucunya tertidur nyenyak.

Kini ia berdiri berhadapan dengan dua orang yang berwajah kasar dan bengis. Namun untuk mempertahankan anak dan cucunya, Ki Wastu sama sekali tidak menjadi gentar.

Mahisa Bungalan yang kemudian menggenggam sebatang tombak pendek, telah bersiap sepenuhnya. Setiap saat ia dapat maloncat menyerang, atau menangkis jika serangan datang.

Ternyata pemimpin kelompok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ialah yang pertama-tama meloncat menyerang Mahisa Bungalan, disusul dangan seorang kawannya.

Namun Mahisa Bungalan telah siap dengan tombaknya. Ia menangkis serangan partama dan kemudian meloncat menghindari serangan yang kedua. Namun dalam pada itu, tombaknya telah berputar menyambar seorang lawannya.

Tetapi lawannya mampu bergerak cepat. Ia berhasil bergeser menghindari sarangan tombak Mahisa Bungalan yang mengarah lambung. Bahkan kamudian dengan serta marta ia memukul Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan tidak kalah cepatnya, menarik tombaknya agar landesannya tidak manjadi cacat karena sentuhan senjata pada sentuhan tegak. Dengan tangkasnya ia meloncat surut. Namun ketika seorang lawannya meloncat memburu, tiba-tiba saja ia terkejut dan dengan serta merta menggeliat sambil menjatuhkan diri ke samping. Ternyata Mahisa Bungalan meloncat surut, namun dengan mengacukan tombaknya menyongsong lawannya yang memburunya.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat sesuatu atas lawannya yang sedang berguling itu. Ketika ia berusaha untuk menyerang, tiba-tiba serangan yang lain telah meluncur ke arah tengkuk. Dengan sigap ia bergeser menghindari serangan itu. Kemudian memutar tombaknya mendatar, menyambar lawan yang seorang lagi.

Namun serangan itu pun gagal, karena lawannya sempat meloncat surut.

Sementara itu, dua orang yang lain telah bertempur melawan Ki Wastu, yang ternyata keduanya telah salah hitung. Mereka mengira, bahwa Ki Wastu akan jatuh dan terbunuh pada tusukan yang pertama.

Namun ternyata bahwa Ki Wastu memiliki kecapatan bergerak yang mengagumkan. Meskipun orang itu telah tua. dan dalam hidupnya sehari-hari ia tidak lebih dari seorang petani yang selalu bekerja di sawah, namun dengan pedang dan perisainya, ternyata orang tua itu telah berubah menjadi seorang yang sangat garang.

Ketika serangan pertama dari lawannya gagal, maka Ki Wastu telah memulai menunjukkan kemampuannya. Ia melenting tinggi dengan menyerang seorang lawannya. Senjatanya terjulur lurus kening, ia masih mampu menggeliat dan berputar di udara. Demikian ujung kakinya menyentuh tanah, maka ia pun telah melenting sekali lagi, menghindari serangan lawan yang menyambarnya. Namun ketika lawannya yang seorang mamburunya sambil menyerangnya, orang tua itu tidak sempat menghindar lagi. Karena itu, maka ia telah mempergunakan perisainya untuk menangkis serangan itu.

Namun dengan demikian, telah terjadi benturan kekuatan. Orang yang menyerangnya benar-benar tidak manduga, bahwa orang tua itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Karena itulah, maka ketika senjatanya membentur perisai orang tua itu. hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Tangannya terasa pedih dan seakan-akan pada tangan itu ia telah didorong selangkah surut.

“Gila” geram lawannya, “orang tua itu masih mempunyai kekuatan yang luar biasa”

Namun orang itu merasa, bahwa yang terjadi itu adalah karena ia kurang berhati-hati. Ia menganggap orang tua itu terlalu lemah, sehingga karena itu, maka ia telah didesak oleh ketidak hati-hatiannya sendiri.

Dengan demikian, maka kedua orang yang bertempur melawan orang tua itu menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak lagi manganggap orang tua itu sebagaimana dilihatnya pada wadagnya yang mulai berkeriput. Namun yang ternyata masih memiliki kemampuan yang luar biasa.

Karena itulah, maka pertempuran itu pun semakin lama justru menjadi semakin sengit. Dugaan kedua orang lawannya, bahwa pada dua tiga langkah orang tua itu telah kehabisan nafas, ternyata keliru sama sekali.

Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan-pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin banyak, maskipun hanya dari kajauhan. Mereka sama sekali tidak berani mendekat. Mereka bahkan kadang-kadang menjadi gemetar melihat senjata beradu.

Beberapa orang yang berhati kecil, telah meninggalkan tempatnya untuk menyingkir jauh-jauh. Mereka menjadi cemas, apabila orang-orang itu kemudian mengamuk dan menyerang orang yang tidak terlibat sama sekali dalam persoalan mereka.

Sementara itu, Mahisa Bungalan ternyata tidak lagi mengekang diri menghadapi kedua orang lawannya. Justru kemudian ia berharap untuk dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan segera. Ketika ia melihat beberapa orang di kejauhan, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Jika pertempuran itu berkepanjangan, maka semakin banyak orang yang mengetahuinya, dan persoalan itu pun akan menjadi semakin tersebar luas.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dengan tombak pendeknya bertempur semakin garang. Tombaknya berputar-putar semakin cepat. Kadang-kadang mematuk, namun kadang-kadang menyambar mendatar.

Kedua lawannya semakin lama semakin menjadi semakin terdesak. Ujung tombak Mahisa Bungalan itu seakan-akan telah bercabang. Mahisa Bungalan tidak lagi terlalu banyak memikirkan akibat putaran tombaknya atas lawannya. Karena lawannya pun telah bertempur semakin kasar dan buas.

Kedua orang yang bertempur malawan Mahisa Bungalan itu pun merasa semakin terdesak. Tetapi mereka berusaha untuk tetap bertahan. Mereka berharap agar kedua kawannya dengan cepat menyalesaikan kakek tua yang bersenjata pedang dan perisai itu.

Namun ternyata bahwa kedua orang yang bertempur melawan kakek tua itu pun tidak segera berhasil menyelesaikan tugasnya. Kakek tua itu ternyata masih memiliki kecepatan gerak dan kekuatan yang sulit untuk diimbangi oleh lawannya. Karena itu, bukannya kedua lawannya segera mengalahkannya, tetapi justru keduanya semakin lama merasa, semakin terdesak seperti kadua orang lawan Mahisa Bungalan.

Sementara di halaman terjadi pertempuran yang sengit, di dalam sanggar anak perempuan Ki Wastu beserta cucunya laki-laki menunggu dengan gelisah. Kedua-duanya mendangar sesuatu telah terjadi. Tetapi keduanya tidak tahu dengan pasti. Namun mereka dapat menduga, bahwa yang terjadi itu adalah pertempuran yang sangit di halaman.

Kedua orang itu menjadi cemas dan gametar. Mereka pernah mengalami keadaan yang serupa. Mereka pernah mangalami parlakuan yang tidak berperi-kemanusiaan setelah sebelumnya terjadi pertempuran yang sengit. Untunglah pada waktu itu anaknya dapat diselamatkan, kemudian dirinya sandiri tidak segera dibunuh karena masih akan dipergunakan sebagai umpan untuk menangkap anak laki-lakinya. Kini pertempuran itu telah berlangsung lagi. Ia sama sekali tidak tahu, akibat apa yang akan terjadi.

Sejenak perempuan itu termangu-mangu. Namun ketika melihat pedang di dinding, ia menarik nafas dalam-dalam. Tarnyata perempuan itu akan memilih mati daripada jatuh ke tangan orang-orang itu sekali lagi. Ia pernah mangalami siksaan lahir dan batin yang tidak ada taranya. Hanya karena ketabahannya sajalah, maka ia tidak menjadi korban yang lebih biadab lagi dari orang-orang yang menyembunyikannya di hutan.

Namun gambaran-gambaran yang buram menjadi samakin jelas. Sekali-sekali bayangan yang mengerikan itu bagaikan siap untuk menerkamnya.

“Satu dua pekan lagi, jika aku tidak berhasil dilepaskan dari tangan mereka, aku tentu sudah menjadi korban kebiadaban mereka” berkata perempuan itu di dalam hatinya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mambiarkan dirinya sekali lagi jatuh ke tangan mereka.

Yang dapat dilakukan oleh perempuan itu hanyalah berdoa di dalam sanggar yang tertutup itu. Sekali-sekali ia mendengar dentang senjata beradu.

Jika anak laki-lakinya dengan wajah yang pucat memandanginya, maka dipeluknya anak itu melekat dadanya. Namun ia tidak dapat berbuat sasuatu.

Seperti pesan Ki Wastu, maka kedua orang anak dan ibu itu selalu berusaha untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian. Karena itu, betapapun tekanan beresaan yang menghimpit dada, namun kedua orang itu bertahan untuk tidak menimbulkan suara apapun juga.

Di luar Mahisa Bungalan bertempur dengan tombak pendeknya. Semakin lama tombak itu berputar semakin cepat. Jika Mahisa Bungalan menyambar lawannya yang seorang, maka ia harus memperhatikan lawannya yang lain. Ternyata kedua lawannya itu mampu bekerja bersama dengan baiknya. Keduanya saling mengisi, dan seakan-akan keduanya mempunyai pusat kehendak yang bersamaan.

Namun Mahisa Bungalan mampu bergerak terlampau cepat. Betapapun lawannya mampu bekerja bersama, namun mereka tidak segera dapat menguasai anak muda itu. Bahkan setiap usaha untuk mengurungnya, selalu dapat dibelah oleh kemampuan Mahisa Bungalan yang mengagumkan.

Ketika seorang lawannya berusaha untuk berada dalam garis serangan dari arah punggung, sementara yang lain memancing perhatian Mahisa Bungalan dari depan, anak muda itu telah, menempatkan diri pada keseimbangan tubuh, sehingga ketika benar-benar terjadi seperti yang diperhitungkannya, serangan yang datang bersama dari dua arah, maka ia sempat melenting ke samping. Tetapi ternyata seorang lawannya menarik serangannya, la meloncat selangkah surut. Namun demikian kakinya menjejak tanah, maka ia pun bagaikan dilontarkan menyerang Mahisa Bungalan dengan ujung senjatanya secepat tatit menyambar di langit.

Namun Mahisa Bungalan sempat menggeliat, ia sempat memukul senjata lawannya dengan tangkai tombaknya, sehingga ujung senjata itu berubah arah dan sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan Mahisa Bungalan sempat mempersiapkan diri untuk memburunya dan menyerang lambung.

Tetapi ketika Mahisa Bungalan siap untuk meloncat, ia justru harus meloncat surut. Serangan dari lawannya yang seorang hampir saja mematuk lehernya. Untunglah ia sempat mengelak dengan memiringkan kepalanya.

Namun lawannya bergerak cukup cepat. Senjata itu pun tiba-tiba saja telah terayun mendatar, menebas leher Mahisa Bungalan.

Mahisa Bungalan tergetar melihat serangan itu. Namun ia tidak menjadi bingung, Selagi senjatanya tidak pada kemungkinan untuk menangkis, maka ia pun harus merundukkan kepalanya dalam-dalam.

Tetapi pada saat itu pula, lawannya yang lain telah menyerangnya dengan serangan mendatar setinggi lambung.

Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain daripada melemparkan dirinya beberapa langkah surut. Namun sekilas ia melihat kaki lawannya mulai bergerak. Serangan berikutnya dari lawannya yang lain telah menyusul.

Karena itu, demikian kedua kakinya berdiri tegak di atas tanah, maka dengan serta merta, Mahisa Bungalan pun berjuang dengan tombak terjulur lurus ke depan, menyongsong lawannya yang meloncat menyerang.

Lawannya terkejut melihat gerak yang demikian cepat. Dengan serta merta ia pun berusaha untuk menahan dirinya dan menghindari ujung tombak yang justru siap menyongsongnya.

Karena dorongan kekuatan sendiri, lawannya ternyata terlalu sulit untuk menghindarkah diri dari ujung tombak Mahisa Bungalan. Karena itu, maka dengan senjatanya ia berusaha memukul ujung tembak lawannya.

Mahisa Bungalan sempat menarik ujung tombaknya. Tetapi dengan satu putaran, tombak itu telah mematuk sekali lagi ke arah lambung.

Sekali lagi orang itu berusaha menghindar dan menangkis. Tetapi tubuhnya telah menjadi condong dan kehilangan keseimbangan. Karena itu, maka orang itu pun justru telah terjatuh ke samping. Meskipun ia berhasil lepas dari sasaran ujung tombak Mahisa Bungalan, namun ternyata bahwa ia telah terjatuh karena kehilangan keseimbangan.

Mahisa Bungalan tidak melepaskan kesempatan itu. Ia pun segera memburunya dan siap untuk menghunjamkan tombaknya pada saat orang itu belum sempat untuk memperbaiki kedudukannya.

Tetapi Mahisa Bungalan tidak sempat melakukannya. Serangan yang dahsyat telah datang menyusul dari samping. Lawannya yang seorang tidak membiarkan Mahisa Bungalan menghunjamkan ujung tombak pendeknya kepada lawannya.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan harus mengurungkan serangannya. Ia harus meloncat menghindar. Namun karena itu, lawannya yang terjatuh itu telah sempat berguling dan melenting berdiri siap menghadapi segala kamungkinan.

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia harus mulai lagi dari permulaan. Tetapi dengan demikian, ia sudah mengetahui dengan pasti tingkat kemampuan kedua lawannya dalam olah senjata.

Sementara itu, kedua lawan Mahisa Bungalan itu pun sekali-kali berusaha mengamati kedua kawannya yang bertempur melawan kakek tua itu. Mereka berharap agar orang tua itu akan segera dapat dibunuh. Sehingga kedua kawannya itu akan bertempur bersama mereka melawan Mahisa Bungalan.

Tetapi ternyata orang tua itu pun masih cukup kuat. Ia masih mampu berloncatan dengan cepatnya seperti orang-orang muda yang berilmu tinggi.

Bahkan kemudian kedua lawannya itu pun harus mengakui, bahwa orang tua itu memiliki kemampuan jauh di atas mereka seorang-seorang.

Dengan demikian, maka kedua orang itu harus bertempur berpasangan sebaik-baiknya. Keduanya harus dapat saling mengisi agar mereka tidak terjebak, dalam kesulitan.

Karena itulah, maka keduanya, seperti juga lawan Mahisa Bungalan, telah bertempur bagaikan dikendalikan oleh satu kehendak. Keduanya seolah-olah mengerti, apa dan dalam keadaan yang bagaimana kedudukan kawannya.

Tetapi lawannya adalah orang tua yang berpengalaman. Ki Wastu adalah perantau dan sekaligus pemburu yang baik di masa mudanya. Yang pernah melakukan pengembaraan dengan berbagai macam suasana. Ki Wastu di masa mudanya terlalu sering bertempur berhadapan dengan sesama dan melawan orang-orang jahat yang dijumpainya. Tetapi Ki Wastu juga terlalu sering bertempur melawan berbagai jenis binatang. Binatang yang tidak mempergunakan ilmu apapun juga, salah satu kekuatan dan gerak nalurinya. Namun demikian, beberapa jenis binatang memiliki kecepatan bergerak dan senjata pada dirinya yang sangat berbahaya.

Karena itulah, meskipun umurnya menjadi semakin tua, tetapi kemampuan Ki Wastu seolah-olah tidak berkurang. Bahkan semakin lama ia manjadi semakin matang. Meskipun Ki Wastu tidak dapat mengingkari keharusan alam yang berlaku bagi dirinya yang menjadi semakin tua, namun latihan yang teratur, telah membuat tubuhnya yang tua itu masih tetap memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.

Itulah sebabnya, maka melawan dua orang sekaligus, Ki Wastu masih tetap berbahaya. Loncatan-loncatan yang cepat, disusul dengan gerak pedangnya yang berputaran, membuat kedua lawannya harus berhati-hati.

Namun sejenak kemudian ternyata Ki Wastu telah sampai ke puncak ilmunya. Serangannya meningkat dengan cepat dan cermat. Seolah-olah tidak ada langkahnya yang salah, dan tidak ada gerak senjatanya yang tidak berarti. Maskipun kadang-kadang serangannya gagal sama sekali, namun dengan demikian ia sudah berhasil mendesak lawannya surut, dan memecah kerja sama yang terjalin dengan rapi.

“Orang tua ini bertenaga iblis” geram salah seorang lawannya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang luar biasa dalam umurnya yang sudah tua itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidak tahu, apa yang dapat terjadi pada mereka yang sedang bertempur itu. Namun yang mereka lihat adalah benturan senjata yang mengerikan. Enam pucuk senjata telah beradu di halaman itu. Setiap saat ujung senjata itu akan dapat menjemput maut.

Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, di atasi dengan ilmu yang dipelajarinya dari orang tua itu, sehingga ilmunya pun menjadi semakin mengagumkan, perlahan-lahan mulai mendesak lawannya. Dengan tombak pendeknya ia memaksa lawannya untuk mengerahkan kemampuan puncaknya. Tombak yang berputar seperti baling-baling, dengan ujungnya yang berputar membatasi jarak serangan lawannya. Namun yang tiba-tiba mampu mematuk lawannya seperti ujung anak panah yang meloncat dari busurnya. Menebas mendatar seperti pedang dan kemudian menerkam bagaikan kuku seekor burung Garuda.

Dengan demikian, maka lawannya harus mengakui, bahwa mereka semakin lama menjadi semakin terdesak. Mereka seolah-olah tidak banyak mendapat kesempatan lagi untuk menyerang.

Namun mereka masih mempunyai harapan. Agaknya Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga beberapa saat kemudian maka anak muda itu pun akan segara kehabisan nafas.

Selebihnya, kedua orang yang bertempur melawan Mahisa Bungalan itu pun masih mengharap, bahwa kedua kawannya akan dapat menyelesaikan orang tua itu lebih cepat lagi. Orang tua itu nampaknya akan lebih cepat menjadi lelah dan kehilangan keseimbangan, meskipun mula-mula ia memiliki kemampuan yang mengejutkan.

Tetapi ternyata bahwa kedua lawan Ki Wastu pun tidak dapat segera manguasainya. Kedua orang itu bahkan kadang-kadang menjadi bingung dan karena orang tua itu masih mampu bergerak dongan tangkasnya.

Dalam pada itu, tarnyata Mahisa Bungalan tidaklah seperti yang diharapkan oleh kedua orang lawannya. Anak muda itu tidak segera menjadi letih dan kehilangan kemampuan dan kekuatan perlawanannya. Semakin lama anak muda itu justru menjadi semakin cepat bergerak dan kekuatannya pun menjadi semakin bertambah-tambah.

Agaknya pengaruh ilmu yang dipelajarinya dari orang lua itu benar-benar mulai menjalari seluruh tubuhnya. Pernafasannya yang mulai berkejaran, justru mulai teratur. Keringatnya yang mengalir di tubuhnya, seolah-olah seperti embun yang menitik di keringnya padang yang luas Karena itu, maka kedua orang lawan Mahisa Bungalan itu menjadi bingung. Anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan dan keadaan yang kurang dapat mereka mengerti. Semakin lama ia tidak semakin lemah, bahkan justru sebaliknya.

Karena itu, maka kedua lawannya itu pun harus berjuang semakin keras, justru pada saat-saat mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Dengan demikian mereka merasa, bahwa akhirnya mereka akan ketinggalan dari anak muda itu, yang seolah-olah suma sekali tidak terpengaruh oleh pengerahan kemampuannya.

Yang diharapkan kemudian adalah kedua orang kawannya yang bertempur melawan orang tua di bagian lain halaman itu. Seharusnya mereka segara dapat mengalahkan lawannya dan kemudian bersama-sama menghancurkan anak muda yang telah membunuh enam orang di hutan tutupan itu.

“Ternyata anak ini memang anak iblis” salah seorang dari kedua lawan Mahisa Bungalan itu manggeram di hatinya, “itulah agaknya, ia dapat membunuh orang-orang yang dipercaya mengawasi perempuan itu”

Kini, orang itu sendiri telah berhadapan dengan anak muda itu. Orang yang merasa dirinya jauh lebih kuat dari enam orang yang terbunuh itu.

Namun berdua, mereka sama sekali tidak segera dapat mangalahkan Mahisa Bungalan, maskipun mula-mula mereka merasa dapat malakukannya seorang diri.

Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Ki Wastu pun tidak dapat berbuat banyak. Meskipun keduanya telah mengarahkan kekuatannya, namun mereka tidak sagera dapat mengalahkan orang tua itu. Bahkan semakin terasa, bahwa orang tua itu dapat bergerak semakin cepat.

“Gila” geram yang seorang.

Namun tiba-tiba saja telah timbul akal liciknya. Ketika ia melihat seonggok belarak kering di sudut rumah orang tua itu.

“Jika perempuan dan anak itu berada di dalam rumah itu, maka api akan dapat melemahkan perlawanannya”

Dengan demikian, maka ia pun telah memikirkan suatu cara yang paling licik. Ketika tidak mungkin lagi baginya untuk mengalahkan orang tua itu, maka ia pun berkata kepada kawannya, “Tahan orang tua itu. Aku akan berbuat sesuatu yang sangat menarik hati”

Kawannya termangu-mangu, ia tidak segera mengerti apa yang dimaksud oleh kawannya. Namun ia pun menjawab, “Lakukanlah. Aku akan membunuhnya seorang diri”

Dalam pada itu, yang seorang itu pun segara meloncat meninggalkan arena, sementara kawannya telah menghentakkan segenap kemampuannya untuk menahan orang tua itu, agar ia tetap bertempur melawannya.

Betapapun beratnya, namun dengan menghentakkan segenap kemampuannya, orang itu dapat bertahan baberapa saat. Sementara kawannya dengan tergesa-gesa telah mengambil titikan dari kantong ikat pinggangnya.

Ternyata orang tua itu segera mangerti apa yang akan dilakukan oleh orang itu. Karena itu, maka hatinya pun telah berdesir. Sekejap ia menjadi bingung, sehingga dengan demikian maka ia telah kehilangan sikap yang mantap, karena di dalam rumah itu terdapat anak dan cucunya. Jika api benar-benar berkobar, maka kedua orang itu tentu akan hangus di dalamnya.

Pada saat-saat yang demikian lawannya barusaha memanfaatkan keadaan. Meskipun ia hanya seorang diri, namun menghadapi orang tua yang mendapat goncangan perasaan itu. justru hampir saja ia barhasil menghunjamkan senjatanya kaperut orang tua itu.

Hanya karena gerak-gerak naluriah sajalah, maka orang tua itu sampat menghindar, sementara pikirannya masih tetap terikat pada seonggok belarak kering.

Dalam pada itu, maka orang yang menyalakan api titikan itu telah mempergunakannya. Ketika api mulai merambat, maka emput itu pun telah dilemparkan ke dalam belarak kering yang teronggok di sudut rumah.

“Kau licik, gila” teriak orang tua itu.

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ketika ia sudah malemparkan emput yang barasap, maka ia pun tertawa sambil berkata, “Jika anak dan cucumu bersembunyi di dalam rumah itu kakek tua, maka ia akan mati terbakar”

Orang tua itu benar-benar kehilangan akal, sementara lawannya masih saja menyerangnya dengan ujung senjata.

Dalam kebimbangan itulah, maka tiba-tiba saja terdengar Mahisa Bungalan berteriak, “Kakek. Masih ada kesempatan. Jika kau lumpuhkan lawanmu, kau akan dapat memadamkan api itu”

Kata-kata Mahisa Bungalan terputus karena lawannya berbareng telah menyerangnya dengan dahsyatnya.

Tetapi kata-kata itu seakan-akan telah membangunkan kakek tua itu dari mimpinya yang buruk. Tiba-tiba saja ia sadar, bahwa lawannya tinggal seorang, karena yang seorang masih sibuk dengan apinya.

Karena itulah, maka orang tua itu tidak dapat berpikir lebih panjang lagi. Ketika ia melihat asap yang semakin besar, sebelum api benar-benar berkorbar, maka kemarahannya tidak lagi dapat dikendalikan.

Dalam pada itu, maka orang yang menyaksikan dari kejauhan menjadi semakin berdebar-debar. Jika api benar-benar berkobar, maka rumah itu akan menjadi musnah dan jika benar di dalam rumah itu bersembunyi anak perempuan dan cucunya, maka mereka pun akan manjadi arang pula jika keduanya tidak sempat melarikan diri keluar dari rumah yang akan dimakan api itu.

Tetapi tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu. Mereka menjadi ketakutan melihat empat orang yang buas dan liar di halaman orang tua itu.

Namun dalam pada itu, ternyata orang tua itu benar-benar telah sampai ke puncak kemarahannya. Ia tidak mau membiarkan rumahnya terbakar. Lebih daripada itu, anak dan cucunya yang berada di dalam sanggarnya.

Karena itu maka ia pun telah menghentakkan kemampuan puncaknya untuk mengalahkan lawannya.....

PANASNYA BUNGA MEKAR : JILID 08

LihatTutupKomentar