Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 017



“Segalanya terserah kepada tuan” kata bebahu. Lalu, “namun demikian, kalau diperlukan, maka kami puntidak hanya akan melihat apa yang telah terjadi. Kadang-kadang seorang penakut sekalipun akan berani mencucurkan darahnya bila ia terjepit pada satu keadaan yang tak mungkin dihindari lagi. Ketakutan yang satu akan mendorongnya untuk melawan ketakutan yang lain. Kecemasan kami menghadapi hari-hari esok bagi anak cucu kami akan dapat menyingkirkan ketakutan kami menghadapi tantangan apa pun juga sekarang ini, termasuk orang-orang yang merampas milik kami itu”

“Panji Sempono Murti menarik nafas dalam-dalam. Hatinya tersentuh mendengar kata-kata bebahu itu, yang membicarakan dengan sepenuh hati. Panji Sempono Murti mengerti bahwa bebahu itu mengatakan sebagaimana tersirat dalam hati rakyat. Kabuyutan yang merasa tidak berpelindungan.

Karena itu, maka Panji Sempana Murti itu punberkata, “Baiklah. Aku akan mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan dapat aku ambil”

“Tetapi keadaan sudah menjadi semakin buruk” berkata bebahu itu.

“Ya. Aku mengerti. Tetapi kau lihat, betapa malasnya para prajurit itu sekarang. Pada masa-masa yang tidak dapat dibaca dengan tegas. Lngkah-langkah yang simpang siur, membuat para prajurit sulit untuk menentukan langkah. Mungkin aku sudah mengungkapkan satu rahasia yang tidak sebaiknya diketahui oleh orang lain. Tetapi kalian telah terlibat ke dalam satu persoalan yang harus aku tanggapi dengan sungguh-sungguh dan sebaiknya kalian pun mengetahui keadaan kami yang sebenarnya” berkata Panji Sempana Murti.

Kedua orang bebahu itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang sudah menduga, bahwa ada kekaburan sikap dari para pemimpin di Kediri. Tetapi itu bukan berarti bahwa kesewenang-wenangan dapat dibiarkan terjadi.

Namun dalam pada itu, Panji Sempana Murti seakan-akan dapat melihat isi jantung kedua bebahu itu. Karena itu, mana Katanya kemudian, “Tetapi aku tidak ingkar akan tanggung jawab. Aku akan menghadapi persoalan yang terjadi sebagai satu persoalan keja. hatan. Aku tidak akan melihat dari segi kepentingan orang-orang yang mengambil kuda itu serta keinginan mereka mendapat dukungan. Tetapi aku akan melihat persoalannya dari segi perampasan hak atas milik seseorang”

Kedua bebahu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian keduanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang di antara mereka berkata, “Terima kasih tuan. Sikap tuan bagaikan sejuknya embun dalam panasnya udara yang membakar. Kami menunggu perintah tuan. Apa yang harus kami lakukan. Kami akan melakukan demi hari depan Kabuyutannya.

“Baiklah. Aku akan memberitahukan perkembangan sikapnya kepada kalian” jawab Panji Sempana Murti.

Kedua bebahu itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Tuan. Besok satu lagi anak Kabuyutan kami akan menangis karena kudanya akan diambil oleh orang-orang yang sewenang-wenang, tetapi tidak dapat kami lawan dengan kekuatan kami sendiri”

Panji Sempana Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kalian perlukan datang menemui aku malam ini karena kalia tidak ingin melihat anak kalian yang seorang ini menangis sebagaimana yang pernah terjadi”

“Ya tuan. Kami tidak ingin satu lagi anak kami menangis” jawab bebahu itu.

“Baiklah. Besok aku akan datang kepada Ki Buyut” jawab Panji Sempana Murti.

“kami akan menunggu kehadiran tuan. Tetapi kami tidak tahu, kapan kuda itu akan mereka ambil. Mungkin demikian matahari terbit, mereka sudah datang. Tetapi mungkin agak siang atau bahkan sore” berkata bebahu itu

“Baiklah. Pulanglah. Aku akan membuat perhitungan-perhitungan” jawab Panji Sempana Murti.

Kedua orang bebahu itu mengangguk-angguk. Kemudian mereka pun mohon diri untuk kembali. Seorang di antara mereka berkata, “Sikap tuan menumbuhkan pengharapan di hati kami”

“Aku akan mencoba bahwa harapan kalian tidak akan sia-sia. Besok aku akan datang, meskipun mungkin yang terjadi belum seperti yang kalian harapkan” jawab Panji Sempana Murti.

Demkianlah, maka kedua orang bebahu itu pun segera meninggalkan rumah yang dipergunakan oleh Panji Sempana Murti. Di regol yang pecah ia melihat para prajurit bersiaga sepenuhnya. Namun kedua bebahu itu sama sekali tidak menyapa mereka, sebagaimana mereka masuk mengikuti Panji Sempana Murti.

Sejenak kemudian, maka kedua ekor kuda telah berpacu di bulak-bulak panjang. Malam menjadi semakin mendekati ujungnya, sehingga langit pun telah menjadi kemerah-merahan.

Sementara itu. sepeninggal kedua orang bebahu itu, maka Panji Sempana Murti pun telah memanggil beberapa orang perwira bawahnnya. Ia tidak menunggu matahari terbit. Ia memanggil mereka untuk segera datang.

“Sekarang” perintah Panji Sempana Murti dengan wajah garang.

Prajurit yang menerima perintah itu menjadi gemetar. Sudah lama ia tidak melihat wajah Paji Sempana Murti segarang wajahnya waktu itu.

Ketika beberapa orang perwira menerima perintah itu, maka mereka pun menggeliat sambil mengumpat. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah Panji itu tidak dapat menunggu sampai esok?”

“Aku melihat sorot matanya menyala seperti bara” jawab prajurit yang menerima perintah.

“Ah, kau memang pengecut. Katakan, kami akan menghadap pada saat matahari terbit” jawab perwira itu.

“Aku tidak berani. Aku melihat sikapnya seperti sikapnya beberapa saat yang lalu” jawab pra jurit yang menerima perintah.

Perwira itu masih akan menjawab. Namun tiba-tiba mereka mendengar isyarat yang memekakkan telinga. Kentongan di regol telah di pukul dalam nada titir.

“Gila” geram perwira itu.

“Itulah sikapnya sekarang” jawab prajurit itu, “sejak dua orang bebahu dari Kabuyutan datang menghadapnya”

Perwira itu mengumpat. Namun yang mereka dengar kemudian bukan saja kentongan dalam nada titir, tetapi sejenak kemudian mereka mendengar sasangkala yang ditiup oleh seseorang di tangga pendapa.

“Panji sendirilah yang meniup” desis prajurit yang memanggil para perwira itu, “Aku melihat sendiri, ia memang membawa sangkakala”

Para perwira itu tidak dapat menunda lagi. Agaknya sikap Panji Sempana Murti memang sudah berubah. Karena itu, maka mereka pun dengan tergesa-gesa telah mempersiapkan diri. Sambil menyambar senjata masing-masing, maka mereka pun berlari-lari menuju ke halaman depan.

Para perwira itu memang melihat Panji Sempana Murti sendirilah yang membunyikan sangkakala itu. Ketika ia melihat beberapa orang perwira datang menghadap , maka ia pun berkata pendek, “Siapkan pasukan kalian masing-masing. Sekarang. Kita akan segera berangkat. Berkuda”

Ketika seorang perwira bertanya, maka segera Panji Sempana Murti memotong sebelum perwira itu mengucapkan satu kata penuh, “Kalian harus bersiap sekarang. Tidak ada pertanyaan”

Para perwira itu pun terdiam. Wajah, sikap dan kata-kata Panji Sempana Murti telah menunjukkan, bahwa ia telah menemukan kembali pribadinya yang selama ini seakan-akan telah hilang.

Karena itu, maka tidak seorang pun di antara para perwira itu yang bertanya dan apalagi membantah. Mereka pun kemudian sibuk mengumpulkan pasukan mereka masing-masing, yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak.

Sejenak kemudian, pasukan Kediri itu telah siap di bawah pimpinan langsung Panji Sempana Murti sendiri. Mereka membawa panji-panji dan tunggul kebesaran Panglima daerah perbatasan disisi Utara itu.

Panji Sempana Murti sama sekali tidak mengatakan, mereka akan pergi kemana. Tetapi semua orang di dalam pasukannya sudah mengira, bahwa mereka akan pergi ke Kabuyutan, setelah dua orang bebahu dari kabuyutan itu datang menghadap.

Para prajurit Kediri itu menjadi berdebar-debar. Mereka sadar, apa yang mungkin akan terjadi, karena mereka tahu, bahwa Pangeran Kuda Permati telah bergeser dari kedudukannya dan berada disebelah Utara Kota.

“Kemungkinan untuk berbenturan dengan kekuatan Pangeran Kuda Permati agaknya memang tidak dapat dihindarkan lagi” berkata salah seorang perwira.

“Tetapi ini adalah sikap gila Panji Sempana Murti. Jika ia berada melawan Pangeran Kuda Permati, maka ia akan ditangkap oleh Sri Baginda sebagaimana terjadi atas Pangeran Singa Narpada yang telah membawa adiknya sebagai tawanan”

“Tetapi Pangeran Lembu Sabdata itu pun masih tetap ditahan sampai saat ini” berkata perwira yang pertama.

Kawannya tidak menjawab. Mereka mengikuti saja perjalanan Panji Sempana Murti yang berkuda di paling depan. Dibelakangnya adalah dua orang Senapati pengapitnya. Kemudian seorang prajurit yang membawa tunggul kebesaran, diikuti oleh dua orang prajurit yang lain yang membawa panji-panji dan di belakangnya lagi adalah Kelebet pertanda pasukan yang dipimpin oleh Panji Sempana Murti itu. Baru kemudian para pengawal berkuda dengan senjata masing-masing di belakangnya.

Ternyata sikap Panji Sempana Murti itu telah berpengaruh pula pada sikap para pengawal Kediri di bawah pimpinannya. Mereka menyadari bahwa sebenarnyalah mereka seorang prajurit. Apalagi mereka yang malam itu bertugas di regol. Mereka bagaikan terbangun dari mimpi yang memabukkan. Demikian mereka diganti, demikian mereka telah ikut menyiapkan diri bersama seluruh pasukan.

“Aku tidak mempergunakan kesempatan beristirahat setelah bertugas malam” berkata salah seorang di antara mereka, “Aku berharap agar karena ini, aku tidak mendapat hukuman karena sikapku semalam”

Ternyata beberapa orang kawannya mempunyai sikap serupa, sehingga karena itu, maka mereka telah ikut semuanya dalam iring-iringan itu.

Ketika kemudian fajar menyingsing, maka pasukan yang dibayangi oleh cahaya kemerah-merahan itu bagaikan munculnya seekor ular raksasa dengan sisik yang membara dari dalam gelapnya malam yang pekat. Jalan yang berkelok-kelok di tengah hijaunya tanaman di sawah, ditelusurinya perlahan-lahan. Pasukan itu memang tidak berpacu terlalu cepat. Tetapi justru dengan demikian pasukan itu menjadi bagaikan teguhnya tubuh seekor ular raksasa dengan sisik baja yang membara.

Tunggul, panji-panji dan kelebet pertanda kebesaran pasukan Panji Sempana Murti membuat iring-iringan itu semakin nampak berwibawa.

Beberapa orang petani yang bangun pagi-pagi dan turun ke sawah terkejut melihat iring-iringan itu. Sudah lama mereka tidak menyaksikan pasukan Panji Sempana Murti menyusuri jalan di Kabuyutan mereka dengan tanda-tanda kebesarannya.

Namun sementara itu, dua orang yang berada di pematang benar-benar terkejut melihat iring-iringan itu. Dua orang itu bukan petani yang sedang bekerja di sawah. Tetapi dua orang itu adalah dua orang pengamat dari para pengikut Pangeran Kuda Permati.

“Gila. Apakah Panji Sempana Murti sudah gila” geram salah seorang dari mereka.

“Ya” sahut kawannya, “ia hadir dalam kebesarannya. Apakah ini satu tantangan”

Yang lain tidak segera menjawab. Keduanya memandang iring-iringan itu dengan tanpa berkedip.

“Mereka menuju ke Kabuyutan” suara itu merendah.

“Kita harus segera melaporkan kepada Ki Lurah” geram yang lain.

“Ya. Laporan ini harus segera sampai kepada Pangeran Kuda Permati” sahut kawannya.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun dengan tergesa-gesa kembali ke tempat mereka tinggal selama pasukan Pangeran Kuda Permati bergeser keperbatasan.

Dalam pada itu, pasukan Panji Sempana Murti yang tidak begitu besar itu berjalan terus. Mereka menyusuri jalan langsung menuju ke rumah Ki Buyut yang telah mengirimkan dua orang bebahunya untuk melaporkan persoalan Kabuyutannya kepada Panji Sempana Murti.

Ketika pasukan itu mendekati padukuhan induk Kabuyutan. maka padukuhan itu menjadi gempar. Beberapa orang petani yang melihat iring-iringan itu dengan tergesa-gesa telah melaporkannya kepada para bebahu yang segera menyampaikannya kepada Ki Buyut.

“Mereka benar-benar datang” desis kedua orang bebahu hampir bersamaan.

Namun yang seorang menyambung, “Tetapi menurut perhitunganku tidak akan secepat ini”

“Panji Sempana Murti tidak mau tenggelam kedalam kemalasan yang berlarut-larut. Ia agaknya merasa perlu untuk bangkit sebagai seorang Panglima di daerah perbatasan disisi Utara ini” sahut yang lain.

Demikianlah, maka sejenak kemudian-iring-iringan itu sudah memasuki padukuhan induk dan langsung menuju ke Kabuyutan.

Ki Buyut dan para bebahu memang menjadi sibuk. Tetapi Panji Sempana Murti yang memasuki halaman rumah Ki Buyut membiarkan pasukannya tetap di punggung kuda. Sementara Panji Sempana Murti dan dua orang pengawalnya sajalah yang turun dan naik kependapa.

“Silahkan tuan” Ki Buyut mempersilahkan.

“Terima kasih Ki Buyut” berkata Panji Sempana Murti, “Aku tidak akan singgah terlalu lama. Aku akan membawa pasukanku berkeliling dari Kabuyutan ini ke Kabuyutan sebelah. Besok aku akan melanjutkan ke padukuhan dan padukuhan. Aku ingin memberitahukan kepada setiap orang, bahwa kekuasaan Kediri masih tegak di daerah ini”

Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Jika demikian, maka seluruh rakyat Kabuyutan ini pun akan segera bangkit pula”

“Tunjukkanlah kepadaku, dimanakah rumah anak-anak yang menangisi kudanya yang akan diambil oleh orang-orang yang tidak berhak itu” berkata Panji Sempana Murti.

“Marilah” berkata salah seorang bebahu yang telah menghadap Panji Sempana Murti, “Aku sudah mendapat keterangan dari dua orang peronda yang telah mengantarkan anak itu pulang semalam”

“Kami akan pergi ke padukuhan itu” desis Panji Sempana Murti.

Panji Sempana Murti memang ingin bergerak dengan cepat. Karena itu, maka sejenak kemudian iring-iringan itu sudah mulai bergerak lagi menuju kesebuah padukuhan kecil tempat anak yang menjadi sedih karena kudanya yang berwarna dawuk akan diambil oleh orang-orang yang tidak berwenang.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah melaporkan penglihatan dan pendengarannya semalam, telah mendapat persetujuan dari Pugutrawe untuk pergi ke padukuhan itu. Mereka diperkenankan untuk mengamati, apa yang akan terjadi.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berada kembali di sekitar padukuhan itu ketika matahari mulai naik. Meskipun keduanya semalam suntuk seakan-akan tidak memejamkan matanya sama sekali, tetapi mereka dengan ketahanan tubuh yang sangat besar, telah melakukan tugas mereka tanpa merasa letih.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut ketika mereka melihat sebuah iring-iringan mendekati padukuhan itu. Bukan sekedar dua tiga orang atau sekelompok kecil datang untuk mengambil seekor kuda. Tetapi satu pasukan yang lengkap dengan tanda-tanda.

Tetapi, ternyata ada yang terlepas dari pengamatan Mahisa Murti. Justru pada saat itu, dua orang telah berada di kandang kuda yang berwarna Dawuk. Peristiwa semalam telah membuat orang-orang yang mengambil kuda dari padukuhan-padukuhan itu ingin bergerak cepat. Orang yang mengaku pedagang kuda itu membuat mereka bertindak lebih cepat dari yang biasa mereka lakukan. Pada saat matahari terbit, dua orang telah berada di rumah pemilik kuda berwarna dawuk itu.

Ketika dua orang itu melihat bahwa seekor kuda berwarna dawuk masih ada di kandang, maka keduanya hampir bersamaan telah menarik nafas. Seorang di antara mereka telah langsung pergi ke kandang. Sedang yang lain telah menemui pemiliknya.

“Kami datang untuk mengambil kuda itu” berkata orang yang langsung menemui pemilik kuda itu.

Pemilik kuda itu memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menyerahkan kudanya dengan hati yang pahit.

Sementara itu, anak laki-lakinya pun telah berada di kandang pula. Ia tidak dapat menahan diri untuk tidak menitikkan mata. Kuda itu harus diserahkan.

Untunglah bahwa yang datang mengambil kuda itu bukan orang yang semalam bertemu dengan anak itu dan yang kemudian bertengkar dengan Mahisa Murti. Tetapi berdasarkan atas laporan orang-orang itu, maka keduanya datang lebih pagi untuk mengambil kuda yang mungkin akan jatuh ke tangan orang lain. Dan karena mereka datang lebih pagi dari yang diperhitungkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka kedua orang itu agaknya telah lepas dari pengamatannya pada saat keduanya itu datang.

Tetapi justru karena kedua orang itu datang terlalu pagi, maka telah terjadi yang tidak mereka duga sama sekali. Juga tidak terduga oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat Ketika kedua orang itu tengah sibuk menyiapkan kuda yang akan dibawanya, maka pasukan Panji Sempana Murti telah memasuki padukuhan itu.

Pada saat yang demikian kedua orang itu sibuk menyingkirkan anak yang berusaha untuk tidak terpisah dari kudanya.Ketika kuda itu sudah siap dibawa, anak itu masih memeluknya sambil menangis.

“Ambil anakmu” bentak salah seorang dari kedua orang yang mengambil kuda itu kepada pemiliknya.

Ayah anak itu berusaha untuk menenangkan anaknya. Dibimbingnya anaknya menjauhi kuda yang siap untuk dibawa itu sambil berkata, “Dawuk akan mengalami perlakuan yang jauh lebih baik daripada jika kuda itu masih ada bersama kita”

Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak berusaha untuk menghalangi, karena ia sadar, jika ia mencoba untuk mempertahankan kudanya dengan cara apa pun juga, maka ayahnyalah yang akan mengalami kesulitan.

Namun dalam pada itu, ketika anak itu meninggalkan kudanya dan dibimbing olehi ayahnya ke tangga pendapa rumahnya, maka seisi padukuhan itu telah terkejut. Sebelum orang-orang itu menyadari apa yang terjadi, maka beberapa orang berkuda dari pasukan Panji Sempana Murti telah berada di muka regol halaman rumah yang kudanya sudah dituntun oleh dua orang yang akan mengambilnya. Namun demikian kedua orang itu meloncat ke punggung kudanya sendiri, maka mereka sudah kehilangan seluruh kesempatannya. Kedua orang itu tidak akan mungkin dapat keluar lagi dari halaman rumah itu.

“Gila” geram kedua orang itu.

Tetapi keduanya tidak lagi mampu berbuat sesuatu.

Pada saat yang demikian, laporan tentang kehadiran pasukan Panji Sempana Murti telah sampai pula kepada para pemimpin pengikut Pangeran Kuda Permati. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka dapat mencegah apa yang akan terjadi atas kedua orang yang akan mengambil kuda itu.

Panji Sempana Murti sendirilah yang kemudian turun dari kudanya dan berjalan memasuki halaman, diikuti oleh seorang prajurit yang membawa tunggul kebesarannya. Sementara itu panji-panji dan kelebet masih berada di luar regol halaman.

Dua orang yang akan mengambil kuda itu menjadi berdebar-debar. Tetapi diluar kehendak mereka sendiri, maka mereka pun telah turun pula dari kuda mereka.

“Apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya Panji Sempana Murti.

Kedua orang itu tidak akan dapat ingkar lagi. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka menjawab sebagaimana mereka lakukan. Katanya, “Aku mengambil kuda penghuni rumah ini”

“Apa hakmu?” bertanya Panji Sempana Murti.

“Siapa kau?” seorang dari kedua orang itu bertanya meskipun ia melihat pertanda kebesaran dari Kediri.

“Aku Sempana Murti. Panglima daerah perbatasan Utara ini” jawab Panji Sempana Murti.

Kedua orang itu menjadi semakin gelisah. Namun ia mencoba untuk menyembunyikannya. Jawabnya, ”Kami adalah orang-orang yang mendapat kuasa dari Pangeran Kuda Permati. Karena itu apa yang kami lakukan, adalah ata kekuatan kuasa Pangeran KudaPermati itu.”

“Kau tahu, siapa Pangeran Kuda Permati?” bertanya Panji Sempana Murti.

“Aku tahu pasti” jawab salah seorang dari kedua orang itu, “Pangeran Kuda Permati adalah seorang Pangeran yang mendapat kuasa dari Sri Baginda untuk bergerak di luar dinding istana dan tidak mengatas namakan Kediri untuk menentang Singasari”

“Gila” geram Panji Sempana Murti, “akalmu sudah terbalik. Pangeran Kuda Permati adalah seorang pemberontak yang harus ditangkap”

Wajah orang itu menjadi merah. Hampir saja ia meloncat menyerang mendengar tuduhan itu. Tetapi ia harus menahan diri. Yang ada di luar regol adalah sepasukan prajurit Kediri.

Namun dalam pada itu, orang itu menjawab, “Mungkin kau tidak tahu kedudukan Pangeran Kuda Permati yang sebenarnya. Hanya orang-orang penting sajalah yang mendapat penjelasan, siapa sebenarnya orang-orang yang harus bergerak”

“Jika benar demikian maka kau adalah seorang yang paling dungu. Bahkan dapat dituduh seorang pengkhianat, karena kau sudah mengatakan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan” sahut Panji Sempana Murti.

Wajah orang itu yang sudah menjadi merah, menjadi semakin merah. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat berdiri gemetar menahan kemarahan yang menghentak-hentak didalam dadanya.

Dalam pada itu, maka Panji Sempana Murti pun berkata, “Karena itu, dengar perintahku. Lepaskan kuda itu dan kau menjadi tawananku”

Orang itu menggertakkan giginya, sementara kawannya termangu-mangu di sampingnya. Namun ia pun tidak bertindak sesuatu.

Sementara itu, agak jauh dari halaman rumah itu, beberapa orang memang ingin mengetahui apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak berani terlalu dekat. Jika terjadi sesuatu, maka penghuni padukuhan itu tidak akan dapat berbuat apa-apa.

Namun dalam pada itu, berbaur dengan mereka adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena orang-orang itu memperhatikan halaman rumah itu dengan saksama, maka mereka tidak sempat menghiraukan siapa saja yang berdiri di antara mereka. Apalagi mereka berdiri berpencar di beberapa halaman rumah. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk dapat mengikuti peristiwa itu sebaik-baiknya.

Dengan sangat hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, berusaha mendekat, tetapi dari arah belakang rumah pemilik kuda itu. Demikian ada kesempatan, maka ke-duanya pun segera menyusup di longkangan, sementara pemilik rumah itu suami isteri dan anaknya berdiri gemetar di sisi pendapa.

Dari tempatnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian mendengar Panji Sempana Murti berkata, “Jangan membantah dan jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dari kalian berdua”

Namun jawaban salah seorang dari kedua orang itu mengejutkan, “kami adalah utusan Pangeran Kuda Permati. Hanya Pangeran Kuda Permati sajalah yang dapat membatalkan tugas ini”

Wajah Panji Sempana Murti menegang sejenak. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “He, kelinci kecil. Kau mengemban tugas dari Pangeran Kuda Permati dan hanya Pangeran itu sajalah yang dapat membatalkan tugasmu? Tetapi coba katakan kepadaku, apakah kau sudah mengenal Pangeran Kuda Permati secara pribadi”

Kedua orang itu termangu-mangu. Tetapi salah seorang menjawab, “Buat apa aku harus mengenalnya secara pribadi. Dalam susunan tata keprajuritan, maka perintah dapat disampaikan menurut jalur yang seharusnya. Jika kau adalah Panji Sempana Murti, maka hal itu sudah kau ketahui”

“Bagus. Tetapi yakinkah bahwa yang kau dengar itu sebenarnya apa yang terjadi? Kedunguanmu dapat saja menyesatkanmu” jawab Panji Sempana Murti.

“Kau jangan menghina kami” berkata kedua prajurit itu, “sebenarnyalah kau akan menerima hukuman atas penghinaan itu dari Pangeran Kuda Permati”

“Aku tidak peduli dengan Pangeran Kuda Permati” jawab Panji Sempana Murti, “Aku justru akan menangkapnya”

Prajurit yang sedang mengambil kuda itu menggeram. Namun Panji Sempana Murti telah mendahului berkata, “Cepat. Menyerahlah. Kau tidak berhak mengambil milik rakyat kecil dengan sewenang-wenang. Karena itu maka kau harus aku tangkap”

Tetapi prajurit itu justru menjawab, “Kau jangan mengganggu tugasku. Tugas yang dibebankan oleh Pangeran Kuda Permati”

“Jadi inikah pekerjaan Pangeran Kuda Permati selama ini? Pekerjaan dari seseorang yang kau katakan menerima tugas dari Sri Baginda di Kediri? Merampas kuda dan menakut-nakuti orang?” bertanya Panji Sempana Murti.

Kedua orang prajurit itu benar-benar tidak dapat menahan kemarahan yang memuncak. Karena itu, maka katanya, “Pergi dari tempat ini, atau kalian akan disingkirkan oleh kekuatan Pangeran Kuda Permati”

“Gila” geram Panji Sempana Murti. Lalu katanya, “Akulah yang berkuasa di sini atas nama Sri Baginda, karena aku mendapat perintahnya langsung untuk menjabat sebagai Panglima di daerah perbatasan ini. Dengar, kalian berdua harus menyerah”

“Tidak mau” jawab keduanya hampir berbareng, “Aku hanya tunduk kepada Pangeran Kuda Permati”

Panji Sempana Murtilah yang kemudian kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja ia menjatuhkan perintah kepada prajurit-prajuritnya, “Tangkap orang ini”

Beberapa orang prajurit yang mendengar perintah itu lelah memasuki regol. Namun dalam pada itu, kedua orang yang akan mengambil kuda itu pun telah menarik pedangnya.

Sikap itu ternyata sama sekali tidak menguntungkan keduanya. Ternyata Panji Sempana Murti tidak menunggu prajurit-prajuritnya bertindak. Demikian ia melihat kedua prajurit itu menarik senjatanya, maka Panji Sempana Murti sendirilah yang telah bertindak.

Dengan kecepatan yang tidak kasat mata, Panji Sempana Murti telah menarik pedangnya pula. Dalam waktu sekejap iaa sudah melihat kedua orang prajurit itu dalam satu perkelahian.

Sikap Panji Sempana Murti memang sangat mengejutkan. Kedua orang prajurit itu sama sekali tidak mengira bahwa Panji Sempana Murti sendiri akan menyerang mereka.

Namun sebenarnyalah bahwa Panji Sempana Murti adalah orang yang memiliki kemampuan jauh di atas kedua orang prajurit itu. Hanya dalam sekejap, maka pedang kedua mang prajurit itu sudah terlepas dari tangan mereka. Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, maka ujung pedang Panji Sempana Murti telah melukai dada mereka bersilang. Keduanya dengan luka yang serupa.


Luka itu memang tidak dalam. Hanya tergores saja pada kulit kedua prajurit itu meskipun juga berdarah.

Sementara itu, ketika prajurit-prajurit Panji Sempana Murti siap menangkap mereka, maka Panji Sempana Murti «lu berkata, “Jangan sentuh mereka. Biarlah mereka kembali dengan luka itu di dadanya. Biarlah mereka melaporkan apa yang terjadi atas mereka Aku justru akan menitipkan satu tantangan buat Pangeran Kuda Permati. Aku Panji Sempana Murti, Panglima pasukan Kediri di daerah perbatasan Utara, minta agar Pangeran Kuda Permati menyerahkan diri untuk ditangkap dan dihadapkan kepada Sri Baginda”

Tantangan itu benar-benar menyakitkan hati. Tetapi kedua orang prajurit yang terluka di dadanya itu tidak dapat berbuat apa-apa.

Sementara itu Panji Sempana Murti pun berkata kepada kedua orang prajurit itu, “Cepat. Aku persilahkan kalian pergi. Untuk sementara aku akan tetap berada di Kabuyutan ini. Aku ingin menunggu, apakah Pangeran Kuda Permati menanggapi tantanganku. Jika tidak, maka akulah yang akan pergi mencarinya. Tetapi aku merasa tidak dapat bertanya tentang Pangeran itu kepada kedua ekor tikus kecil ini. Mereka tidak akan tahu, dimana Pangeran itu tinggal. Bahkan mungkin kedua orang yang merasa membawa tugas dari Pangeran Kuda Permati ini belum pernah melihat wajah Pangeran itu”

Kedua orang prajurit itu menggeram. Tetapi mereka tidak mampu melawan kehendak Panji Sempana Murti. Karena itu, maka keduanya pun kemudian dengan wajah yang tegang dan dada yang berdarah meninggalkan halaman rumah itu.

Para prajurit Panji Sempana Murti memperlihatkan kedua orang yang meninggalkan halaman dengan penuh dendam. Dari sorot mata mereka terpencar kemarahan dan kebencian yang tiada taranya, sehingga para prajurit Panji Sempana Murti itu pun menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sadar, bahwa tindakan itu akan mengundang peristiwa yang sangat gawat di Kabuyutan itu.

Pangeran Kuda Permati akan dapat mengerahkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk menggilas kekuatan Panji Sempana Murti yang memang tidak begitu besar.

Tetapi sebagaimana Panji Sempana Murti, maka mereka adalah prajurit. Apa pun yang terjadi, maka mereka harus berbuat sebagaimana seorang prajurit.

Sepeninggal kedua orang itu, maka Panji Sempana Murti pun melangkah mendekati pemilik kuda berwarna dawuk itu. Dengan nada yang berat ia berkata, “Ki Sanak. Hari ini kau tidak jadi kehilangan seekor kuda. Tetapi persoalannya tentu tidak akan berakhir hari ini. Persoalannnya memang tidak terbatas pada seekor kuda berwarna dawuk itu. Persoalannya hanya sekedar api yang menyalakan kebakaran yang akan menjadi semakin besar”

“Aku mohon maaf” berkata pemilik kuda itu, “Aku tidak bermaksud demikian”

“Memang bukan salahmu” berkata Panji Sempana Murti, “tetapi aku memang menganggap bahwa saatnya telah tiba. Mereka sudah terlalu banyak berbuat sewenang-wenang tanpa kesulitan apa pun juga. Sementara itu, kami pun sudah terlalu lama mengalami keragu-raguan. Tetapi sekarang segalanya sudah jelas bagi kami, pasukan Kediri didaerah Utara. Apa pun yang akan terjadi atas diri kami, namun tugas kami akan kami lakukan sebaik-baiknya”

“Terima kasih tuan. Hari ini kami masih diperkenankan memelihara kuda kami” berkata pemilik rumah itu.

“Ya. Hari ini. Aku tidak dapat mengatakan, apa yang akan terjadi besok. Tetapi kami, pasukan Kediri untuk sementara memang akan berada di Kabuyutan” berkata Panji Sempana Murti.

Pemilik kuda itu mengangguk-angguk. Ia pun mengerti, kemungkinan yang lebih buruk memang dapat terjadi. Tetapi kemudian persoalannya memang sudah beralih. Persolannya akan menyangkut pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati.

Sejenak kemudian, maka Panji Sempana Murti itu pun meninggalkan padukuhan itu. Dengan pasukannya, Panji Sempana Murti telah menggugah kebanggaan rakyat padukuhan atas pasukan Kediri yang masih tetap nampak perkasa.

Dalam pada itu, sebagaimana dijanjikan, maka para bebahu Kabuyutan di perbatasan Utara itu tidak tinggal diam. Mereka pun telah melakukan usaha pula. Ketika Panji Sempana Murti telah berada di Kabuyutan, maka Ki Buyut telah memanggil semua bebahu, bukan saja bebahu Kabuyutan, tetapi semua bebahu padukuhan.

“Kita adalah rakyat Kediri” berkata Panji Sempana Murti kepada mereka. Lalu, “karena itu kita mempunyai hak dan kewajiban sebagai rakyat. Kita harus mempertahankan semua hak yang ada pada kita. Tetapi kita pun harus melakukan semua kewajiban kita. Dengan keseimbangan itu, kita berharap bahwa kita akan menemukan arti di dalam hidup kita selaku rakyat Kediri”

Para bebahu padukuhan yang berkumpul itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang dimaksud oleh Panji Sempana Murti. Dengan demikian maka mere-kapun tidak akan dapat berbuat lain apabila mereka kembali ke padukuhan masing-masing, untuk mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

“Ki Sanak” berkata Panji Sempana Murti kemudian, “kembalilah ke padukuhan kalian. Siapkan semua laki-laki yang masih mampu memegang senjata. Siapkan pertanda isyarat. Jika terjadi sesuatu, kalian dapat membunyikan kentongan. Dalam waktu singkat, pasukan berkuda yang meskipun jumlahnya tidak begitu banyak akan segera datang membantu”

Para bebahu pun rasa-rasanya menjadi mantap. Mereka sudah melihat pasukan Panji Sempana Murti dengan tanda-tanda kebesarannya. meskipun jumlahnya tidak begitu banyak, tetapi pasukan itu nampaknya memang meyakinkan.

Karena itu, maka ketika mereka kemudian kembali ke padukuhan masing-masing, maka mereka pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Setiap laki-laki di panggil untuk berkumpul. Mereka mendapat penjelasan dari para bebahu yang baru saja kembali dari Kabuyutan.

“Padukuhan ini milik kita bersama” berkata para bebahu, “Kita akan mempertahankannya. Dan mempertahankan milik kita itu merupakan kewajiban bagi kita sebagai imbangan atas hak kita itu”

Dengan demikian maka setiap laki-laki telah berusaha untuk mendapatkan jenis senjata apa pun yang akan dapat mereka pergunakan untuk mempertahanan hak mereka atas dasar kewajiban mereka. Di gardu-gardu, disetiap saat berjaga-jaga beberapa orang berganti-ganti. Hampir disetiap sudut rumah bergantung sebuah kantongan. Setiap padukuhan mempunyai tanda pukulan yang khusus, sehingt,a.jika kentongan di seluruh kabuyutan itu berbunyi, orang-orang Kabuyutan itu masih akan dapat mengenali sumber dari isyarat itu.

Dalam pada itu dirumah Pugutrawe, beberapa orang sedang duduk dalam suasana yang sungguh-sungguh. Pugutrawe yang sudah pulang dari warungnya itu telah mendengar semua yang telah terjadi di rumah orang yang memiliki kuda berwarna dawuk itu.

“Suasana akan menjadi panas” berkata Pugutrawe, “Panji Sempana Murti sudah kehilangan kesabaran. Nampaknya ia memang sudah menghubungi pimpinan pasukan Kediri, tetapi Panji Sempana Murti tidak pernah mendapat tambahan pasukan, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk bertindak dengan pasukan yang ada padanya”

“Panji Sempana Murti menyandarkan kekuatannya kepada rakyat” berkata Mahisa Murti, “menurut pendengaranku, rakyat telah dikumpulkan”

“Aku datang ke rumah bebahu padukuhan ini dan mendengarkan penjelasan itu jawab Pugutrawe, “memang ada beberapa kemungkinan dapat terjadi. Tetapi jalan yang diambil oleh Panji Sempana Murti adalah jalan yang terbaik, di padukuhan ini, kita pun harus ikut dalam kelompok-kelompok yang akan dibentuk. meskipun kita dikenal sebagai orang-orang yang menyelenggarakan sebuah warung, tetapi seperti juga para petani, peternak dan para pedagang terikat pada satu kewajiban”

“Kita semuanya akan terlibat kedalamnya?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Kita tidak akan dapat menghindar jika kita tidak ingin dicurigai” jawab Pugutrawe.

Watang Cemani dan Lembu Panegak pun mengangguk-angguk. Orang yang bertubuh raksasa itu pun harus ikut pula, meskipun sehari-hari ia dikenal sebagai salah seorang penebang kayu, pembantu pemilik warung yang bernama Pugutrawe.

Namun ikut dalam kelompok-kelompok itu ada juga untungnya. Tetapi dapat juga menimbulkan kesulitan. Jika mereka terikat pada kelompok-kelompok yang kemudian terbentuk, maka mereka tidak akan mendapatkan keleluasaan untuk melihat perkembangan keadaan secara menyeluruh.

“Kita akan mendapat akal pada saatnya” berkata Pugutrawe, “mungkin aku dapat mengatakan, bahwa seorang kemenakanku sudah terlanjur pergi ke pasar di saat-saat kita harus berkumpul, atau alasan-alasan yang lain yang akan dapat saja kita ketemukan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sebagai penghuni sebuah padukuhan, meskipun mereka bukan penghuni yang berada di tempat itu sejak dilahirkan, namun mereka mempunyai kewajiban yang sama dengan penghuni-penghuni lainnya.

Dalam pada itu, para bebahu agaknya harus bekerja cepat menanggapi sikap Panji Sempana Murti. Panglima pasukan Kediri itu telah menentukan jangka waktu bagi pembentukan satu pasukan yang terbagi.

Ada beberapa kelompok harus dibentuk. Kelompok dari mereka yang memiliki kemampuan olah kanuragan, yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu seberapa pun tingkatnya. Mereka adalah bekas prajurit, pedagang yang sering berkeliling sehingga terpaksa mempelajari ilmu kanuragan untuk mengelilingi dirinya serta anak-anak muda yang berlatih bagi kepentingan-kepentingan yang lain. Kemudian kelompok dari mereka yang meskipun tidak memiliki kemampuan, oleh kanuragan, namun memiliki keberanian yang tinggi dan tenaga yang kuat. Mereka adalah anak-anak muda, para petani dan para pekerja, sedangkan kelompok yang lain adalah mereka yang merasa dirinya wajib melakukan kewajiban, namun tidak memiliki kekuatan sebagaimana anak-anak muda. Mereka adalah laki-laki yang pada umumnya sudah menginjak separo baya, tetapi masih nampak sehat dan segar.

Dengan cepat, setiap padukuhan telah mempersiapkan kelompok-kelompok itu. Sementara Panji Sempana Murti menjanjikan untuk memberikan petunjuk-petunjuk lebih lanjut.

Dalam pada itu, Pugutrawe dan keluarganya yang cukup besar, karena mereka adalah para pembantu dalam usahanya menyelenggarakan warung makan, telah ikut pula masuk ke dalam kelompok-kelompok itu. Tetapi agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda termasuk dalam kelompok kedua. Kelompok anak-anak muda, meskipun dianggap tidak mempunyai kemampuan da1am olah kanuragan, tetapi mempunyai kekuatan yang lebih besar dari orang-orang tua.

Tetapi Dandang Panumping, Watang Cemani dan Lembu Panenggak dengan nama mereka yang lain berada dalam satu kelompok pula. Sedangkan penebang kayu yang bertubuh raksasa itu berada di dalam satu kelompok dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun dalam pada itu, yang terjadi ternyata di luar dugaan setiap orang. Kedua orang yang dilukai Panji Sempana Murti di rumah pemilik kuda dawuk itu benar-benar telah melaporkan kepada pimpinannya, apa yang telah terjadi atas dirinya. Ternyata laporan itu bergerak demikian cepat, sehingga dalam waktu yang pendek. Pangeran Kuda Perniati telah mendengarnya.

“Panji Sempana Murti telah menjadi gila” geram Pangeran Kuda Permati, “Aku harus membuat imbangan atas pameran kekuatan yang telah dilakukannya”

Sebenarnyalah Pangeran Kuda Permati telah membuat satu pangeram-eram. Adalah kebetulan sekali bahwa pangeram-eram itu terjadi di sebuah padukuhan yang dihuni oleh Pugutrawe.

Pada saat beberapa anak muda bertugas di gardu, termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, pada satu malam yang dibakar oleh udara yang panas, padukuhan itu telah dikejutkan oleh satu peristiwa yang tidak diduga-duga.

Tiba-tiba saja, tanpa diketahui asal usulnya, padukuhan itu telah penuh dengan prajurit. Bukan prajurit Panji Sempana Murti, tetapi prajurit yang lain.

Beberapa anak muda telah berloncatan turun dari gardu ketika beberapa orang melaporkannya. Tetapi mereka tidak menemukan kentongan di serambi gardu mereka. Seorang di antara mereka segera berlari kerumah terdekat. Tetapi di rumah itu pun tidak terdapat kentongan.

“Biasanya kentonganku tergantung disitu” berkata pemilik rumah itu.

Ternyata semua kentongan di padukuhan itu telah tidak ada di tempatnya.

Anak-anak muda dan laki-laki yang lebih tua, bahkan mereka yang termasuk kelompok satu tidak dapat berbuat apa-apa ketika mereka melihat sepasukan prajurit lewat dengan tanda-tanda kebesarannya. Prajurit berkuda yang cukup meyakinkan sebagaimana pasukan Panji Sempana Murti. Bahkan pasukan itu lebih banyak dari pasukan Panji Sempana Murti dengan pertanda kebesaran yang lebih meriah. Tunggul, umbul-umbul dan rontek serta beberapa macam kelebet.

Pasukan itu telah berhenti di banjar padukuhan. Dengan membunyikan sangkakala pasukan itu telah memanggil semua laki-laki yang ada di padukuhan itu.

“Panggil semua laki-laki” beberapa orang memberikan aba-aba di samping suara sangkakala, “kami ingin berbicara dengan kalian.

Beberapa kelompok laki-laki tidak dapat berbuat lain kecuali berkumpul di halaman banjar. Dalam cahaya obor, mereka melihat senjata yang berkilat-kilat memantulkan cahaya itu.

Dalam pada itu, ketika sebagian besar dari laki-laki sudah berkumpul termasuk Pugutrawe, Watang Cemani, Lembu Panenggak, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka seseorang telah naik tangga pendapa banjar. Dengan suara yang menggelegar orang itu memberikan beberapa penjelasan tentang sikap Pangeran Kuda Permati.

“Jadi orang itu bukan Pangeran itu sendiri” desis Mahisa Pukat.

Mahisa Murti mengangguk sambil berbisik, “Ya. Agaknya orang itu memang bukan Pangeran Kuda Permati.

Akhirnya orang itu berkata, “Panji Sempana Murti telah menantang kami. Dan kami malam ini ingin menunjukkan, bahwa kami tidak akan mengingkarinya. Kami telah menunjukkan kepada kalian kelebihan kami dari pasukan Panji Sempana Murti. Karena itu, terserah kepada kalian. Apakah kalian akan berpihak” kepada Panji Sempana Murti yang ingin mempertahankan perbudakan atas Kediri oleh Singasari, atau kalian akan berpihak kepada Pangeran Kuda Permati, yang akan menegakkan kuasa Kediri bahkan atas Singasari yang semula adalah sekedar sebuah Pakuwon, Tumapel”

Tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapatnya. Semuanya diam. Yang berbicara hanyalah orang yang berada di pendapa itu.

Akhirnya orang itu pun telah selesai berbicara pula. Dengan wajah yang menengadah ia berkata, “Aku memberi kesempatan kepada kalian untuk berpikir dalam beberapa hari ini. Kami tahu, bahwa Panji Sempana Murti telah menyusun kelompok-kelompok perlawanan yang akan dibantu oleh pasukan Panji yang gila itu. Tetapi itu hanya sekedar omong kosong. Apakah mungkin pasukan Panji yang gila yang hanya sedikit itu dapat disebar di padukuhan-padukuhan?, “satu kenyataan, bahwa kalian tidak berdaya malam ini”. Tidak ada satu pun tanda yang dapat kau kiriman kepada pangeran Panji Sempana Murti”

Orang-orang padukuhan itu hanya diam mematung. Sementara itu orang yang berdiri di pendapa itu telah menjadi letih dan suaranya pun tidak lantang.

Ketika mereka pergi, maka padukuhan itu menjadi, gempar. Mereka melihat pasukan itu menyusuri jalan padukuhan bagaikan seekor ular naga yang tidak dapat dicegah.

Ternyata pasukan itu meninggalkan kesan yang mencengkam setiap orang di padukuhan itu. Mereka pernah mengagumi pasukan Panji Sempana Murti. Namun kemudian telah mereka lihat pasukan yang lebih besar dari pasukan Panji Sempana Murti itu.

Bahkan di hari berikutnya mereka mengetahui, bahwa yang terjadi di padukuhan mereka, telah terjadi pula di padukuhan lain. Di padukuhan pemilik kuda berwarna dawuk itu.

“Bagaimana mungkin hal ini terjadi” desis seseorang, “ketika kami akan memukul kentongan, di seluruh padukuhan sudah tidak terdapat sebuah pun. Kemana saja hilangnya kentongan-kentongan itu”

Namun hal itu bukan merupakan suatu hal yang mengherankan bagi Dandang Panumping dan kelompok kecilnya. Mereka tahu pasti, bahwa sebelum pasukan itu memasuki padukuhan, sekelompok orang yang yang memiliki kelebihan di antara mereka telah mendahului memasuki padukuhan. Mereka adalah sekelompok prajurit dari pasukan khusus yang yang bertugas mendahului setiap gerakan. Orang-orang itulah yang telah menyingkirkan semua kentongan di seluruh padukuhan. Tentu merupakan satu kerja yang berat dan harus dilakukan dengan cepat. Namun ternyata pasukan khusus itu telah menyelesaikannya dengan baik.

Dalam pada itu dirumahnya Dandang Panumping sedang duduk berbincang dengan sekelompok keci kawan-kawannya. Dengan nada dalam. Dandang Panumping berkata, “Satu hasil yang dapat dibanggakan. Kami sama sekali tidak mengetahui gerakan mereka. Mereka dapat melakukan kewajiban mereka dengan baik dan mengejutkan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat- pun mengaguminya. Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, “Kami yang berada di gardu sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hal seperti itu telah terjadi”

“Bukan satu hal yang terlalu dapat dibanggakan” berkata Dandang Panumping, “soalnya kita sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati atau orang-orangnya, sehingga justru karena itu, kita menjadi lengah. Karena itu, kita tidak boleh tenggelam dalam kekaguman atas hasil kerja pasukan itu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa hal itu mungkin sekali terjadi ketika anak-anak muda di gardu itu bergurau dengan riuhnya. Agaknya untuk menjaga agar mereka tidak segera mengantuk, di gardu-gardu lain pun terjadi hal yang serupa.

Peristiwa itu memang telah menggemparkan seluruh Kabuyutan Panji Sempana Murti pun segera menerima laporan. Bahkan sebelum fajar Panji Sempana Murti sudah mendengarnya, bahwa di dua padukuhan telah terjadi satu pameran kekuatan dari Pangeran Kuda Permati.

Dengan cepat, Panji Sempana Murti telah memanggil beberapa orang pembantunya yang terpenting untuk membicarakan sikap Pangeran Kuda Permati.

“Sikapnya sudah jelas” berkata salah seorang perwiranya, “Pangeran Kuda Permati seakan-akan telah menjawab tantangan kita”

“Mereka berhasil menakut-nakuti rakyat yang sebenarnya sudah mulai menunjukkan sikapnya yang menguntungkan” berkata Panji Sempana Murti, “dengan pasukan khusus yang bergerak lebih dahulu dari induk pasukannya, mereka berhasil membuat rakyat Kabuyutan ini menjadi bingung”

“Menurut laporan yang kami terima, pasukan itu tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya menunjukkan bahwa mereka lebih kuat dari kita” berkata salah seorang perwiranya.

“Kita harus menjawabnya” berkata Panji Sempana Murti, “meskipun itu akan berarti perang. Kita memang menyadari bahwa kekuatan kita lebih kecil dari kekuatan langeran Kuda Permati sebagaimana dipertontonkan kepada rakyat Kabuyutan ini. Aku mencoba menghubungi pimpinan pasukan di Kota Raja. Tetapi mereka sampai saat ini masih belum dapat memberikan bantuan seorangpun. Sementara itu, kita tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menunggu”

“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya seorang perwiranya.

“Kita memanggil anak-anak muda dari kelompok satu. Kita akan menempa mereka dengan rencana peningkatan jangka pendek. Dalam beberapa hari, kita harus sudah dapat meningkatkan kemampuan mereka sementara kita benar-benar akan menghadapi.

Para perwiranya mengangguk-angguk. Mareka sadar, bahwa Panji Sempana Murti tentu tidak akan mundur, apa pun yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka rencana itu adalah satu-satunya rencana yang paling baik.

Karena itu, maka Panji Sempana Murti pun bergerak dengan cepat pula. Hari itu juga, maka semua anak muda yang berada didalam kelompok di setiap padukuhan harus berkumpul di banjar Kabuyutan. Mereka akan mendapatkan bimbingan untuk menghadapi keadaan dan mereka pun akan ditempa untuk waktu yang singkat, agar mereka memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghadapi pasukan Pangeran Kuda Permati.

Sementara itu, kepada semua laki-laki dianjurkan untuk menyiapkan kentongan di depan gardu dan di dalam rumah, sehingga kentongan itu tidak akan dapat disingkirkan oleh orang lain.

“Kita harus mempunyai keberanian untuk berpindah” berkata Panji Sempana Murti kepada para bebahu, “kecuali jika kalian memang ingin membiarkan hak kita dirampas oleh orang-orang Pangeran Kuda Permati. Hal ini sudah menjadi petunjuk bahwa sebelum mereka berkuasa, mereka sudah melakukana pemerasan yang ganas. Apalagi jika pada saatnya mereka berkuasa benar-benar”

Para bebahu itu mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat, bahwa apabila Pangeran Kuda Permati kelak berkuasa sebagai seorang pemegang limpahan kekuasaan Sri Baginda, maka ia akan dapat berbuat jauh lebih buruk dari saat itu. Dengan berbagai alasan, maka ia akan memungut pajak yang lebih banyak dan akan memberikan beban yang lebih berat.

Karena itu, sikap Panji Sempana Murti telah mereka sambut dengan penuh harapan. Sementara itu, Panji Sempana Murti dan rakyat Kabuyutan itu memang tidak dapat mengharap bantuan pasukan dari Kediri.

Dalam pada itu, pada hari itu juga, maka Panji Sempana Murti telah menugaskan kepada beberapa orang prajurit pilihan untuk menempa anak-anak muda yang telah berkumpul. Mereka adalah anak-anak muda ayang dianggap mempunyai bekal betapa pun kecilnya.

Demikianlah, setelah pada hari itu, Panji Sempana Murti secara umum memberikan petunjuk dan bimbingan langsung yang kemudian ditegaskan oleh para perwira terpilih dari pasukannya, maka Panji Sempana Murti telah mengambil kebijaksanaan bahwa latihan-latihan berikutnya akan diadakan di padukuhan masing-masing sekaligus berjaga-jaga atas segala kemungkinan. Panji Sempana Murti lah yang menugaskan beberapa orang perwira terpilih di padukuhan-padukuhan itu untuk menempa anak-anak muda dengan cara yang keras dan bersungguh-sungguh.

Seperti laporan-laporan yang lain, maka hal itu pun dengan cepat diketahui oleh Pangeran Kuda Permati. Namun agaknya Pangeran Kuda Permati tidak begitu cepat menjadi cemas melihat cara yang ditempuh oleh Panji Sempana Murti.

“Cara yang tidak akan banyak membantu” berkata Pangeran Kuda Permati, “hal itu dilakukan oleh Panji Sempana Murti untuk menutupi kelemahannya. Ia sudah terlanjur berbuat sesuatu, sehingga karena itu, maka ia harus berbuat lebih lanjut. Dan ia memang sudah melakukannya tanpa mengingat arti dari langkah-langkahnya. Sebaliknyalah yang dilakukan itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa”


“Tetapi hal itu jangan diabaikan Pangeran” minta seorang penasehatnya.

“Aku tidak akan mengabaikannya. Aku akan berbuat langsung pada saatnya” berkata Pangeran Kuda Permati, ”aku akan memasuki padukuhan demi padukuhan. Perlawanan mereka tidak akan berarti apa-apa. Kentongan di rumah-rumah mereka memang akana memberikan kemungkinan didengar oleh padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Namun itu hanya akan menambah korban saja”

“Apaboleh buat” desis penasehatnya, “jika kematian akan bertambah, maka Panji Sempana Murti lah yang bertanggung jawab. Jika ia tidak melakukan sebagaimana dilakukan sekarang, maka ketenangan daerah ini tidak akan terganggu.”

Namun dalam pada itu, ternyata di samping pasukan Panji Sempana Murti, sekelompok orang telah bergerak pula. Dengan cara sandi. Dandang Penumping telah memerintahkan semua orang yang berada di bawah pengamatan tugasnya untuk bersiaga.

“Kalian harus berada di dalam kelompok yang ditentukan di padukuhan kalian masing-masing” perintah Dandang Penumping kepada semua orang petugas sandi Singasari yang berada di Kediri, “tetapi berhati-hatilah. Kita masih akan tetap merahasiakan diri sejauh dapat kita lakukan. Jika kalian harus ikut bertempur, maka lakukanlah sebaik-baiknya di antara orang-orang yang sulit untuk dapat mengerti, bahwa kalian sebenarnya memiliki ilmu”

Demikian pula dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di kelompok dua hanya karena kemudaan mereka.

Tetapi, adalah diluar perhitungan semua orang, bahwa ada satu pihak pula yang telah melibatkan diri. Ternyata seorang pemimpin pasukan yang merasa tersinggung atas perlakuan Sri Baginda terhadap Pengeran Singa Narpada, telah mencium pula kesulitan yang dialami oleh Panji Sempana Murti. Seorang petugas sandinya dengan terperinci lelah melaporkan semua peristiwa yang terjadi didaerah perbatasan itu.

“Apakah sebenarnya maksud Sri Baginda” berkata perwira itu di dalam hatinya, “apakah Sri Baginda henar-benar telah berniat untuk memisahkan diri dari Singasari. Jika demikian maka semua persoalan harus dibicarakan sebaik-baiknya. Bukan hanya sekedar melakukan langkah-langkah yang tidak dimengerti”

Karena itu, maka perwira yang termasuk di dalam pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Singa Narpada itu telah mengambil sikap sendiri tanpa menunggu perintah dari sia-pa pun juga. Ia merasa kehilangan jalur kepemimpinan sejak Pangeran Singa Narpada kehilangan kebebasannya meskipun tanpa tuduhan yang jelas.

Sepasukan perwira itu memang tidak terlalu besar. Ia tidak berani berdiri pada pimpinan tertinggi pasukan Pangeran Singa Narpada, karena ia tidak mendapat kuasa dari Pangeran itu. Ia hanya berani berbuat niatnya sendiri atas pasukan yang dipimpinnya.

Setelah mendapat laporan terperinci dari petugas sandinya maka perwira itu telah memerintahkan dua orang petugas sandinya yang lain untuk mencari hubungan dengan Panji Sempana Murti.

Kedatangan kedua petugas sandi itu memang megejutkan. Tetapi setelah nawala perwira yang disebut Rangga Widarba itu diterima oleh Panji Sempana Murti, maka tawaran kerja sama dari Rangga Widarda itu diterima dengan senang hati oleh Panji Sempana Murti.

Sebagai sesama perwira prajurit Kediri, Panji Sempana Murti mengenal sikap dan pandangan hidup Rangga Widarba sebagaimana Rangga Widarba mengenal Panji Sempana Murti. Karena itu maka Panji Sempana Murti tidak menaruh curiga, bahwa tawaran Rangga Widarba itu akan merupakan jebakan baginya.

Setelah hubungan pertama itu dilakukan, maka kedua orang itu pun telah saling mengirimkan keterangan tentang pasukan masing-masing, tentang kedudukan masing-masing dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan menghadapi pasukan Pangeran Kuda Permati.

Namun dalam pada itu Rangga Widarba berpesan, “Kakang Panji Sempana Murti. Karena yang aku lakukan bukannya sesuatu yang dibenarkan oleh paugeran seorang prajurit, maka aku akan melakukannya dengan diam-diam. Aku akan mengirimkan pasukanku tanpa panji-panji kesatuan. Tanpa rontek dan umbul-umbul. Biarlah mereka berada di bawah panji-panji pasukan kakang Panji Sempana Murti”

Panji Sempana Murti membaca pesan itu sambil mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti, bahwa hal itu sebenarnya tidak akan dapat dilakukan. Rangga Widarba hanya dapat menyerahkan pasukannya atas perintah Pangeran Singa Narpada. Tetapi karena Pangeran Singa Narpada ada di dalam tahanan, maka perintah itu tidak akan dapat turun kepada para perwira bawahannya, Sementara itu Pangeran Singa Narpada tidak sempat menunjuk seseorang yang akan menjalankan kuasa dan kebijaksanaannya.

Namun hal itu akan sangat menguntungkan bagi Panji Sempana Murti. Ia akan mendapat sepasukan- prajurit meskipun akan datang tanpa pertanda kebesaran apa pun juga. Bahkan dengan diam-diam.

Sementara itu, rencana Panji Sempana Murti telah berjalan. Hari pertama ia mengirimkan para perwiranya ke padukuhan-padukuhan untuk menempa anak-anak muda yang berada dalam kelompok satu yang menurut penilaiannya, pernah mendapatkan tuntunan olah kanuragan betapa pun kecilnya.

Namun, di hari kedua, di sebuah padukuhan telah terjadi kegemparan. Ketika anak-anak muda itu sedang melatih diri di halaman banjar padukuhan, tiba-tiba saja di sekitar banjar itu berloncatan sepasukan prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati. Mereka langsung bertengger di atas dinding halaman banjar tanpa berbuat sesuatu. Mereka menonton latihan itu sambil tertawa-tawa.

“Bagus” teriak salah seorang prajurit yang berada di-sudut, “Latihan ini akan sangat menguntungkan bagi kalian. Tetapi jangan sekali-sekali mencoba menghadapi kami. Anak-anak muda yang berada di banjar menjadi tenang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain menghentikan latihan mereka”

“Jangan memukul kentongan” teriak salah seorang prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati itu, “karena jika kalian lakukan itu, maka akibatnya akan menyulitkan kalian”

Anak-anak muda yang berada di banjar menjadi tegang. Namun dalam pada itu, salah seorang perwira prajurit Panji Sempana Murti berdesis di antara mereka, “Biarkan mereka. Baru jika mereka berbuat sesuatu, apa boleh buat. Kita akan membunyikan isyarat dan bertempur menurut kemampuan kita sampai batas”

Karena itu, maka anak-anak muda itu pun kemudian hanya sekedar duduk-duduk saja di pendapa banjar sambil menggenggam senjata yang mereka pergunakan dalam latihan.

Sementara itu, di luar banjar, prajurit-prajurit Pangeran Kuda Permati itu pun telah menakut-nakuti rakyat agar mereka tidak membunyikan kentongan. Dengan garang salah seorang di antara prajurit itu berteriak, “Siapa yang pertama kali membunyikan kentongan, maka ia adalah orang yang pertama kali akan mati”

Karena itu, seperti di banjar, maka tidak seorang pun yang sempat membunyikan kentongan. karena prajurit-prajurit itu datang dengan tiba-tiba.

Di antara mereka yang bertengger di dinding banjar itu ada yang berteriak, “Kenapa kalian berhenti berlatih. Lakukan, kami akan melihat, apakah kalian sudah pantas untuk melawan kami”

Jantung anak-anak muda bagaikan meledak. Tetapi salah seorang perwira yang memberikan latihan kepada mereka masih saja berdesis, “Biarkah mereka”

“Mereka menghina kita” jawab anak muda itu.

“Kita tidak dapat berbuat banyak menghadapi mereka. Bukan karena kemampuan mereka sangat tinggi, tetapi jumlah mereka sangat banyak” jawab perwira itu. Lalu katanya, “Tetapi itu wajar sekali. Kita terbagi dalam pedukuhan-pedukuhan. Mereka dapat saja dengan segenap kekuatan mereka datang ke setiap pedukuhan untuk menakut-nakuti kita dalam jumlah yang besar. Tetapi jumlah itu adalah mereka seluruhnya. Sedangkan kita sekarang adalah sebagian saja dari kekuatan kita seluruhnya”

Anak-anak muda itu berusaha menahan diri. Betapapun telinga mereka menjadi sakit mendengar ejekan-ejekan prajurit-prajurit Pangeran Kuda Permati, namun para perwira selalu menahan mereka, agar tidak bertindak tergesa-gesa.

Akhirnya para prajurit Pangeran Kuda Permati itu pun menjadi puas dengan ejekan-ejekan mereka yang menyakitkan hati. Ketika terdengar aba-aba, maka mereka pun segera berloncatan turun.

“Selamat tinggal” teriak salah seorang di antara mereka, “lain kali kami akan meninjau lagi, sampai dimanakah kemajuan kalian dalam olah kanuragan”

Demikianlah, dengan kesan yang sangat menyakitkan hati, maka prajurit-prajurit itu pun telah meninggalkan anak-anak muda yang berlatih di halaman banjar.

Perisiwa itu pun dengan cepat diketahui oleh Panji Sempana Murti. Namun Panji Sempana Murti telah membenarkan sikap beberapa orang perwiranya yang mencegah benturan kekerasan pada waktu itu.

“Kita memang belum siap sepenuhnya” berkata Panji Sempana Murti, “hanya jika kita tidak mungkin lagi mengelak, kita akan bertempur”

Tetapi keadaan dengan cepat berubah. Rangga Widarba memenuhi janjinya. Dengan diam-diam, tahap demi tahap telah memasuki barak Panji Sempana Murti, sepasukan yang dikirim oleh Rangga Widarda. Pasukan yang dibekali oleh satu sikap yang kecewa, karena Panglima, Singa Narpada telah ditahan tanpa melakukan satu kesalahan pun.

Sesuai dengan sikap Pangeran Singa Narpada sendir maka pasukan Rangga Widarba adalah pasukan yang keras, yang sesuai pula dengan sikap Panji Sempana Murti setelah ia menemukan kembali pribadinya yang untuk beberapa saat telah terombang-ambing oleh keadaan yang kurang menentu.

Dengan cepat pula Panji Sempana Murti telah menanggapi kehadiran prajurit itu dan bersama-sama dengan para perwira di kedua belah pihak, Panji Sempana Murti menentukan sikap.

Namun ternyata ketajaman pengamatan petugas sandi dari Singasari di Kediri telah mencium pengiriman pasukan dengan diam-diam itu. Seorang perwira di dalam lingkungan pasukan Pangeran Singa Narpada adalah serang petugas sandi dari Singasari.

Karena itulah, maka kedatangan pasukan itu telah diketahui pula oleh Dandang Penumping.

“Kita harus membuat hubungan dengan petugas yang ada di dalam lingkungan pasukan Pangeran Singa Narpada itu” berkata Dandang Penumping kepada kawan-kawannya, termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Namun Dandang Penumping masih harus menunggu sikap Panji Sempana Murti selanjutnya.

Ternyata pada hari pertama pasukan itu berada di Kabuyutan, Panji Sempana Murti masih belum menentukan tugas apapun juga. Namun justru pada hari itu, seorang dalam pakaian orang kebanyakan telah memasuki sebuah warung di pasar yang mulai susut. Warung Pugutrawe.

Orang itu duduk diwarung Pugutrawe untuk waktu yang agak lama. Dua orang yang datang hampir bersamaan dengan orang itu telah pergi. Tetapi orang itu tetap berada di warung.

Bahkan kemudian ketika warung itu sudah sepi, orang itu masih memesan, “Wedang jae panas Ki Sanak. Gula kelapa. Tetapi jangan kau celupkan langsung ke dalam wedang jae. Biarlah gulanya kalian taruh di cawan terpisah”

“Baik Ki Sanak” jawab Pugutrawe.

“Tetapi apakah Ki Sanak menjual sadak golor pendek bertanya orang itu.

Pugutrawe mengerutkan keningnya. Dengan suara ragu ia bertanya, “Untuk siapa Ki Sanak”

“Aku sendiri. Aku adalah pemakan sirih yang kuat,” jawab orang itu.

“Sadak satu atau dua lembar?” bertanya Pugutrawe.

“Lembar pertama pada wajahnya dan lembar kedua pada punggungnya” jawab orang itu.

“Kau memiliki angka?” bertanya Pugutrawe tiba-tiba.

“Aku adalah Lingkaran Watang ke tiga” jawab orang itu.

Pugutrawe menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata sandi yang diucapkan adalah kata-kata sandi yang hanya dimengerti untuk tataran tertentu. Di daerah perbatasan itu hanya ia sendirilah yang mengerti kata sandi itu, sehingga dengan demikian maka Pugutrawe kemudian duduk di sebelahnya.

“Katakan” berkata Pugutrawe.

“Aku berada di dalam pasukan yang dikirim oleh Rangga Widarba dengan diam-diam untuk membantu Panji Sempana Murti” berkata orang itu.

“Pasukan itu sudah datang?” bertanya Pugutrawe.

“Ya. Tetapi kami belum mulai bergerak” jawab orang itu, “nampaknya menurut laporan yang kami dengar, Pangeran Kuda Permati terlalu merendahkan kekuatan pasukan Panji Sempana Murti sehingga mereka akan menjadi lengah. Sementara ini mereka hanya menakut-nakuti saja tanpa berbuat sesuatu yang berarti dalam benturan kekerasan”

“Ya. Laporan itu benar” jawab Pugutrawe.

“Kita akan selalu berhubungan” berkata orang itu, “Aku berada di barak Panji Sempana Murti. Tetapi sejak besok aku akan mendapat tugas di tempat yang lain, yang belum aku mengerti sekarang”

“Aku mempunyai beberapa orang pembantu di sini. Yang tinggal bersamaku dan yang tersebar di beberapa tempat. Mereka berada di dalam lingkungan kelompok-kelompok yang disusun oleh Panji Sempana Murti” berkata Pugutrawe.

“Ya. Tetnyata Panji Sempana Murti telah melakukan sesuatu yang sangat berarti” berkata orang itu, “juga dengan kehadiran kami, wadah yang dibentuknya akan bermanfaat”

“Kami berada di warung ini” berkata Pugutrawe, “kecuali jika pasukan Panji Sempana Murti mulai digerakkan. Aku sendiri berada dalam kelompok ketiga, kelompok laki-laki yang sudah tidak begitu banyak diperhitungkan. Tetapi beberapa kawan kita berada di kelompok dua”

Orang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akan kembali. Tetapi nampaknya pasukan akan mengalami hambatan untuk bergerak. Kami ternyata tidak akan dapat meminjam kuda penduduk setempat”

“Kau sudah mendapat keterangan tentang kuda di sini?”bertanya Pugutrawe.

“Sudah. Karena itu, Panji Sempana Murti mengambil kebijaksanaan lain dari gerak cepat pasukan berkuda jawab orang itu.

Pugutrawe mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud orang yang datang ke warungnya itu. Panji Sempana Murti memang tidak menyusun pasukan berkuda yang kuat dengan meminjam kuda dari penduduk Kabuyutan itu, karena di Kabuyutan itu kuda yang ada benar-benar sudah hampir habjs. Yang dilakukan oleh Panji Sempana Murti adalah membangunkan kekuatan di padukuhan-padukuhan, sementara pasukan berkuda yang dibawanya yang akan bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.

Dengan hadirnya sepasuan prajurit yang dikirim oleh Rangga Widarba, maka Panji Sempana Murti sempat menyusun satu rencana pertahanan yang lebih baik. Hasil dari pembicaraannya dengan para perwiranya dan para perwira dari pasukan yang datang adalah, menempatkan pasukan itu di padukuhan-padukuhan. Mereka dipecah dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan menempatkan mereka di antara anak-anak muda dan laki-laki yang sudah terbagi menjadi tiga golongan. Sebagian dari mereka berada di kelompok satu yang dianggap memiliki bekal kemampuan olah kanuragan dan mendapat tempaan dari para perwira Panji Sempana Murti, sementara yang lain berada di kelompok dua. Kelompok yang meskipun tidak memiliki kemampuan olah kanuragan, namun memiliki kekuatan dan keberanian untuk ikut berjuang langsung.

Demikianlah, setelah berada di warung itu beberapa saat, maka perwira prajurit dari pasukan Rangga Widarba itu pun minta diri. Setelah memberikan beberapa keterangan tantang cara yang dapat ditempuh untuk menghubunginya.

“Aku akan lebih banyak menghubungi kalian, karena dengan cara yang demikian agaknya lebih mudah dilakukan daripada kalian mencari aku. Tetapi setelah aku tahu, dimana aku di tempatkan, maka mungkin aku akan dapat memberikan keterangan baru” berkata orang itu.

Pugutrawe mengangguk. Katanya, “Silahkan. Pada kesempatan lain aku ingin memperkenalkan kau dengan beberapa orang pembantuku”

“Aku akan segera datang lagi” jawab orang itu.

Mereka tidak dapat meneruskan pembicaraan mereka, karena dua orang yang agaknya suami isteri telah memasuki warung itu pula. Dengan demikian, maka Pugutrawe pun segera sibuk melayani kedua orang yang baru datang itu.

Sejenak kemudian perwira pasukan Rangga Widarba yang datang menyamar sebagai orang kebanyakan itu pun telah minta diri meninggalkan warung itu.

Di jalan di depan warung orang itu berpapasan dengan dua orang anak muda yang justru pergi ke warung itu sambil menjinjing keba berisi makanan yang akan dijual di warung itu.

Keduanya saling tidak memperhatikan karena mereka belum pernah mengenal dan bahkan belum pernah melihat sebelumnya, meskipun agaknya perwira Rangga Widarba yang menjadi salah seorang petugas sandi dari Singasari itu sudah mendapat beberapa bekal dan petunjuk mengenai kedudukan Dandang Panumping yang lebih banyak dikenal sebagai Pugutrawe .

Dalam satu kesempatan maka Pugutrawe pun memberikan beberapa penjelasan kepada kedua orang anak muda itu, bahwa perang agaknya akan menjadi lebih luas, karena hadirnya sepasukan prajurit dari Kediri.

Sebenarnyalah, bahwa Panji Sempana Murti di hari berikutnya telah mulai mengetrapkan kebijaksanaannya. Ia menugaskan para prajurit yang dikirim oleh Rangga Widarba dan mengetrapkannya pada kelompok-kelompok yang sudah dibaginya sebelumnya. Sebagian dari mereka berada di kelompok satu, dan yang lain di kelompok dua.

Panji Sempana Murti bekerja dengan sangat hati-hati, karena ia sadar, bahwa petugas sandi yang dipasang oleh Pangeran Kuda Permati pun tersebar dimana-mana.

Dengan hadirnya sekelompok prajurit di setiap pedukuhan, maka padukuhan-padukuhan itu menjadi semakin kuat. Tetapi bukan saja para petugas sandi Pangeran Kuda Permati yang tidak mengetahui siapakah sebenarnya orang-orang baru itu, bahkan orang-orang padukuhan itu sendiri tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun di antara mereka yang dikenal sebagai seorang prajurit. Bagi orang-orang padukuhan itu, mereka adalah beberapa orang laki-laki dari tempat lain yang telah mendapat tugas untuk bekerja bersama dengan mereka menghadapi kekuatan Pangeran Kuda Permati, sebagaimana dikatakan oleh mereka, bahwa mereka telah dikerahkan untuk menghadapi Pangeran Kuda Permati, karena Panji Setnpana Murti tidak memiliki kekuatan cukup di daerah perbatasan ini, sementara Kediri tidak mampu lagi mengirimkan prajurit-prajuritnya yang tidak banyak jumlahnya, sesuai dengan pembatasan yang dilakukan oleh kekuasaan Singasari.

Meskipun demikian, kehadiran mereka sudah cukup memberikan dorongan bagi orang-orang Kabuyutan di daerah perbatasan itu untuk berjuang lebih keras lagi karena orang lain telah datang dan ikut mempertahankan hak mereka atas Kabuyutan itu.

Sementara itu, latihan-latihan telah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bahkan kadang-kadang terasa sangat berat. Namun hal itu akan bermanfaat bagi anak-anak muda untuk menghadapi pasukan Pangeran Kuda Permati.

Dalam pada itu, Pangeran Kuda Permati pun sedang memperbincangkan langkah-langkah yang akan diambilnya. Sama sekali tidak ada niat Pangeran Kuda Permati untuk dengan terang-terangan menduduki satu wilayah tertentu. Pangeran itu sadar, jika ia melakukannya, maka kekuasaannya atas daerah itu tidak akan berlangsung lama, karena pasukan Kediri akan dapat dengan kekuatan yang besar mengusirnya. Yang dilakukan adalah sekedar membayangi kekuasaan yang ada dan menghisap daerah itu sampai kekayaannya yang terakhir.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Di luar sadar mereka telah memperhatikan orang di sekitarnya. Namun tak seorang pun yang memperhatikan mereka. Agaknya orang-orang itu mengira bahwa kedua anak muda itu lagi berpikir tentang harga yang ditawarkan oleh pemilik lembu jantan itu atau mungkin memang seorang pedagang sapi.

“Apa yang harus kami kerjakan?” bertanya Mahisa Murti, “Pergi kelingkungan Pangeran Kuda Permati” berkata Ki Waruju.

“Maksud paman?” bertanya Mahisa Pukat.

“Ya. Memasuki daerah yang dalam keadaan sehari hari menjadi daerah tempat tinggal Pangeran Kuda Permati dan pasukannya” jawab Ki Waruju.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak. Namun dengan ragu-ragu Mahisa Pukat bertanya, “Apakah hal yang demikian mungkin kami lakukan?”

“Kita akan mencoba” berkata Ki Waruju, “Aku sendiri sudah sering melakukannya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangu-mangu. Sementara itu Ki Waruju berkata, “Selama ini aku menunggu untuk dapat bertemu dengan kalian. Aku selalu berada di pasar hewan. Setiap hari tertentu dua kali dalam sepekan, aku menunggu. Akhirnya aku tidak hanya berada di satu tempat, di kota raja saja. Aku mulai berkenalan dengan pedagang-pedagang dan blantik lembu dan kerbau. Bahkan kuda. Akhirnya aku sendiri menjadi blantik yang berpindah-pindah dari satu pasar hewan ke pasar hewan yang lain. Dengan demikian, hubungan menjadi semakin luas, sehingga akhirnya aku dapat berada disemua pasar hewan, termasuk didaerah yang dikuasai oleh Penge-ran Kuda Permati”

“Jadi Pangeran Kuda Permati memang sudah menguasai satu lingkungan tertentu?” bertanya Mahisa Pukat.

“Seperti bayangan. Nampak, tetapi sulit untuk disentuh” jawab Ki Waruju.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya mereka mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan satu lingkungan yang berada dibawah bayangan raksasa. Ada tetapi setiap saat lenyap tanpa bekas. Ia hadir dalam lingkungannya dan ada dalam ketiadaan.

“Justru disitulah kesulitan Kediri menghadapi Pangeran Kuda Permati” berkata Ki Waruju, “setiap orang dalam satu lingkungan setiap saat dapat berubah menjadi prajurit yang siap bertempur. Tetapi jika satu kekuatan yang besar datang, yang mereka jumpai adalah petani-petani yang bekerja disawah tanpa kesan sama sekali tentang kekuatan yang pernah ada didalam satu lingkungan. Demikian juga para belantik dan pedagang di daerah itu. Namun aku tahu pasti, dimanakah letak daerah bayangan itu”

“Baiklah paman” berkata Mahisa Murti, “Aku akan pergi”

“Kalian harus membuat laporan tentang rencana kalian” berkata Ki Waruju, “kalian tidak usah menyebut namaku. Mungkin justru akan mengundang persoalan”

Demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menemui Pugutrawe di warungnya. Ketika warung itu sepi, maka keduanya telah menyatakan keinginan mereka untuk melihat daerah kuasa Pangeran Kuda Permati

“Kami mendapat beberapa keterangan tentang daerah itu” berkata Mahisa Murti.

“Dari siapa?” bertanya Pugutrawe.

“Di pasar hewan. Seorang pedagang sapi menyebut-nyebut satu lingkungan yang berada di dalam bayangan kekuasaan Pangeran Kuda Permati” jawab Mahisa Murti.

”Satu daerah yang sangat berbahaya” desis Pugutrawe.

“Jika rencana kami disetujui, maka kami memerlukan uang untuk membeli satu dua ekor lembu” berkata Mahisa Murti.

Pugutrawe mengangguk-angguk. Orang itu sama sekali tidak menaruh kecurigaan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Selain pertanda yang dipakainya, keduanya memang menunjukkan kesanggupan mereka. Untuk beberapa saat, keduanya berada dalam pengawasan. Ternyata keduanya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang dapat menimbulkan kesan yang lain.

Karena itu, maka Pugutrawe kemudian berkata, “Apakah kau yakin akan rencanamu?”

“Kami yakin” berkata Mahisa Murti.

“Ingat. Nama kami dan siapa pun juga yang berada di dalam lingkungan kami, tabu kau ucapkan. Kecuali kau dengan sengaja mengkhianati perjuangan kita” berkata Pugutrawe.

“Kami akan menjunjung nilai-nilai yang ada di dalam lingkungan kita” sahut Mahisa Murti.

“Pergilah” berkata Pugutrawe yang kemudian memberikan bekal yang cukup kepada kedua anak muda itu. Sementara itu, kedua anak muda itu sendiri memang memiliki uang yang cukup pula. Mereka benar-benar akan memenuhi sebagaimana dikatakan oleh Ki Waruju.

Sejenak kemudian keduanya sudah kembali ke pasar hewan, untuk menghilangkan kecurigaan, mereka telah membeli seekor lembu jantan dari Ki Waruju dan mereka bawa kembali kerumah Pugutrawe. Baru sambil berangkat ke daerah yang akan menjadi sasaran menyelidikan mereka, mereka melaporkan tentang pembelian itu.

“Jadi kau beli lembu itu disini?” bertanya Pugutrawe, “Hanya satu. Kemudian aku akan pergi dan membeli lebih dari seekor di daerah bayangan itu” berkata Mahisa Murti yang kemudian bersama Mahisa Pukat telah minta diri.

Dalam pada itu, Ki Waruju telah menunggu mereka di tempat yang sudah ditentukan. Seekor sapi yang dijualnya telah laku, dibeli oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Karena itu, maka Pangeran Kuda Permati pun tidak terlalu banyak menaruh minat terhadap anak-anak muda yang sedang berlatih olah kanuragan Betapa pun besar kekuatan disatu padukuhan, maka kekuatan itu tidak akan dapat mencegahnya untuk melakukan sesuatu. Seandainya padukuhan itu sempat membunyikan isyarat, maka jarak waktu kedatangan pasukan Panji Sempana Murti cukup memberikan kesempatan kepada pasukan Panji Kuda Permati untuk menghindar. Tetapi jika kekuatan itu harus berbenturan, maka kekuatan Pangeran Kuda Permati tidak akan cemas menghadapinya.

Sikap itulah yang kemudian ditunjukkan oleh Pangeran Kuda Permati. Sekali-sekali sepasukan prajurit yang kuat hanya sekedar lewat saja disebuah padukuhan. Mereka selalai berusaha mencegah kesempatan membunyikan tanda bahaya. Seandainya ada juga yang sempat membunyikannya, maka pasukan Pangeran Kuda Permati yang kuat itu sudah lewat. Namun demikian ada juga satu dua rumah yang sempat terkuras harta miliknya. Bukan saja kuda. Justru orang-orang Pangeran Kuda Permati sudah mulai memasuki rumah-rumah.

Cara itu memang menyulitkan Panji Sempana Murti. Bahkan para prajurit Rangga Widarba yang tersebar di padukuhan-padukuhan pun menganggap bahwa perlawanan terhadap kekuatan yang demikian akan banyak menimbulkan korban, sementara menunggu kehadiran pasukan Panji Sempana Murti dan bantuan dari padukuhan-padukuhan yang lain.

“Pasukan Panji Sempana Murti memerlukan waktu untuk hadir. meskipun pasukan itu adalah pasukan berkuda” berkata salah seorang perwira.

Namun kekerasan hati Panji Sempana Murti telah mendesaknya untuk mengambil tindakan yang lain. Ia segera berbicara dengan para perwiranya dan para perwira dari pasukan Rangga Widarba. Dua pasukan yang sama-sama memiliki watak yang keras sebagaimana pimpinan mereka.

“Kita akan datang ke daerah pertahanannya” berkata Panji Sempana Murti, “Kita harus mencari dan mendapatkan keterangan terperinci dari lingkungan pertahanan Pangeran Kuda Permati”

Para perwira dari kedua pasukan itu sependapat, Jika tidak mereka tusuk sampai ke jantung sarangnya, maka kekuatan Pangeran Kuda Permati sulit untuk diatasi. Mereka datang dan segera pergi. Agaknya mereka telah mendapatkan kuda cukup banyak bagi sebuah pasukan yang besar.

Dengan demikian, maka tugas terberat untuk sementara akan dibebankan kepada pasukan sandi yang ada di dalam lingkungan pasukan Panji Sempana Murti.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendapat keterangan pula dari Pugutrawe bahwa pasukan Panji Sempana Murti dan pasukan Rangga Widarba akan mengambil langkah-langkah baru menyesuaikan diri dengan langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Kuda Permati.

“Kita tidak boleh ketinggalan” berkata Pugutrawe, “meskipun kita mungkin akan mendapat keterangan-keterangan, namun aku harus berhubungan dengan kawan-kawan kita dalam jaringan yang lebih luas”


Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun mereka membayangkan bahwa persoalannya akan bertambah rumit. Pangeran Kuda Permati ternyata memiliki perhitungan yang cermat menghadapi perkembangan keadaan.

Sementara Pugutrawe menunggu perkembangan lebih lanjut, maka hampir diluar dugaan, ketika Mahisa Murti dan Mahisa, Pukat dengan persetujuan Pugutrawe pergi ke sebuah pasar khusus untuk menjual binatang ternak, mereka telah bertemu dengan searang pedagang sapi yang sangat ramah terhadap mereka.

“Marilah anak muda” berkata orang itu, “Aku mempunyai seekor lemgbu jantan yang masih muda. Mungkin kalian memerlukan untuk satu peralatan atau untuk satu keperluan khusus di padukuhanmu”

Kedua anak muda termangu-mangu. Namun hampir bersamaan keduanya berdesis perlahan, “Ki Waruju?”

Orang itu tersenyum. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengikutinya mendekati seekor lembu jantan yang memang masih muda.

“Paman berada disini?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Bukankah aku sudah berpesan, bahwa aku akan berada di pasar hewan” jawab Ki Waruju.

“Tetapi aku kira paman berada di Kota Raja. Tidak di daerah perbatasan” jawab Mahisa Murti sambil mengamati lembu jantan yang masih muda itu, sementara ini kami masih ikut serta mengamati Pangeran Kuda Permati, sehingga kami masih belum memasuki Kota Raja. Mungkin dari persoalan ini kami akan dapat melacak persoalan yang terjadi pada Pangeran Singa Narpada”

Ki Waruju mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat berkata, “Tetapi agaknya disini pun persoalannya tidak terlalu sederhana”

Ki Waruju tersenyum. Katanya, “Agaknya kau memerlukan keterangan tentang lingkungan Pangeran Kuda Permati?” bertanya Ki Waruju.

“Ya” desis Mahisa Pukat. Namun ia pun kemudian menyadari keadaannya. Kembali kedua anak muda itu mengamati lembu jantan itu. Sekali-sekali mereka mengelilingi lembu itu sambil menyentuhnya.

“Mungkin aku dapat membantu” berkata Ki Waruju.

“Paman ingin bertemu dengan kawan-kawanku di sini? bertanya Mahisa Pukat.

Tetapi Ki Waruju tersenyum sambil berkata, “Jangan aku. Kalian sajalah. Aku dapat memberimu jalan”

Dengan demikian, maka mereka bertiga pun kemudian menuju ke tempat tinggal Ki Waruju. Ternyata Ki Waruju telah membeli sebidang tanah yang tidak terlalu luas dan mendirikan sebuah rumah kecil sebagai tempat tinggalnya. Namun dalam usahanya membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Ki Waruju justru benar-benar dapat memanfaatkan keadaan. Ki Waruju bukan saja berada di pasar-pasar sambil menunggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi Ki Waruju dengan demikian telah mendapatkan nafkahnya pula. Bahkan keuntungannya sebagai pedagang ternak dan juga kuda telah dapat dikumpulkannya.

“Aku semula memang tidak mengira, bahwa dengan demikian aku justru dapat menabung” berkata Ki Waruju.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Katanya Jarang sekali terdapat seseorang yang menempatkan dirinya dalam tugas sandi dapat memanfaatkan keadaan seperti Ki Waruju”

“Aku melakukan hal ini atas kehendakku sendiri, sehingga dengan demikian aku tidak mendapat dukungan beaya dari siapa pun juga. Untunglah, bahwa aku justru telah mendapat satu jalan”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah berada di rumah Ki Waruju yang letaknya memang cukup jauh dari tempat tinggal Pugutrawe Mereka tinggal dalam Kabuyutan yang berbeda, “Tinggallah di sini” berkata Ki Waruju, “dalam beberapa hari, kau akan melihat suasana. meskipun tempat ini bukan pusat pengendalian dari para pengikut Pangeran Kuda Permati, namun kita sudah berada di daerah bayangan itu”

“Apa yang paman ketahui tentang daerah ini?” bertanya Mahisa Murti.

“Setiap kali kita akan melihat prajurit Kediri yang berkeliaran. Tetapi berbeda dengan tempat kau tinggal. Di sana para prajurit di bawah kekuasaan Panji Sempana Murti. Tetapi di sini para prajurit adalah orang-orang yang setia kepada Pangeran Kuda Permati. Prajurit-prajurit itu pada saat-saat tertentu telah menyatu dengan penghuni Kabuyutan ini, sehingga sulit untuk mengetahui, yang manakah prajurit yang setia kepada Pangeran Kuda Permati, dan yang manakah yang sebenarnya adalah rakyat biasa. Karena para prajurit itu pada saat-saat tertentu adalah tidak berbeda dengan rakyat biasa” berkata Ki Waruju.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Panji Sempana Murti juga ingin menjadikan Kabuyutan di perbatasan Utara itu menjadi satu daerah yang menyatu antara rakyat kebanyakan dan para prajurit Kediri, meskipun dengan landasan maksud yang berbeda.

“Tetapi, apakah paman dapat menunjukkan pusat kekuatan Pangeran Kuda Permati?” bertanya Mahisa Pukat.

“Kita masih harus mencarinya. Secara kasar kita memang dapat menunjuk satu tempat. Tetapi mungkin kita akan dikelabui oleh dugaan kita sendiri” jawab Ki Waruju.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa didaerah itu Pangeran Kuda Permati sudah mendapat dukungan yang luas bagi perjuangannya. Karena itulah, agaknya maka Pangeran Kuda Permati berani mengambil satu langkah, menarik diri dari Kota Raya dan berada didaerah yang tidak terlalu jauh, namun dalam satu lingkungan yang menguntungkan perjuangannya.

Tetapi sikap Sri Baginda yang memang memberikan angin yang baik bagi Pangeran Kuda Permati. Bahkan Pangeran Singa Narpada telah ditangkap, justru pada saat Pangeran Singa Narpada menyerahkan Pangeran Lembu Sabdata yang dianggap-telah melawan Kediri dan berpihak kepada Pangeran Kuda Permati.

Seandainya Pangeran Singa Narpada tidak ditangkap, maka kedudukan Pangeran Kuda Permati akan berlainan. meskipun Pangeran Singa Narpada tidak akan dengan mudah menangkapnya, tetapi ia akan dapat membuat Pangeran Kuda Permati mengalami kesulitan.

Namun Pangeran Singa Narpada justru telah kehilangan kesempatan itu.

Sejak hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di rumah Ki Waruju, seorang yang dikenal sebagai belantik ternak. Bahkan kemudian bukan saja sebagai belantik, tetapi ia telah mempunyai modal untuk membeli satu dua ekor lembu sebagai barang dagangan.

Di rumah Ki Waruju memang terdapat sebuah kandang yang memuat empat ekor ternak. Dengan kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka dengan uang yang ada, Ki Waruju dapat membeli empat ekor kerbau.

“Paman” bertanya Mahisa Murti kemudian, “apakah pada suatu saat. ternak-ternak itu tidak akan dirampas oleh Pangeran Kuda Permati?”

Ki Waruju menggeleng. Katanya, “Di sini tidak terjadi perampasan. Aku tahu bahwa di Kabuyutanmu para pengikut Pangeran Kuda Permati telah mengambil semua kuda yang ada. Tetapi di sini justru tidak. Pangeran Kuda Permati di sini berusaha untuk mengambil hati rakyat yang menyelimutinya. Mereka tidak boleh dikecewakan, agar mereka tetap merupakan tirai yang selalu dapat menyelubunginya”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun demikian Ki Waruju berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa tirai itu tidak akan tertembus”

“Namun, dengan demikian apakah tidak berarti bahwa kehadiran orang-orang baru dapat dicurigai disini?” bertanya Mahisa Murti.

Ki Waruju mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Kau benar. Memang orang baru mungkin sekali akan dicurigai. Tetapi aku sudah terbiasa berhubungan dengan banyak orang. Para pedagang. Sehingga di rumahku yang kecil ini hilir mudik orang-orang yang datang untuk membicarakan jual beli ternak”

“Tetapi tidak menetap di sini” berkata Mahisa Pukat.

“Tidak banyak bedanya. Tidak akan ada orang yang menghiraukan apakah orang-orang yang kelihatan berkeliaran di rumah ini menetap atau tidak. Bahkan seandainya menetap sekalipun, maka aku akan mempertanggung jawabkannya. Apalagi jika kandang itu sudah penuh dengan ternak, maka aku akan mempunyai banyak alasan untuk memanggil katakanlah dua orang kemenakanku untuk tinggal bersamaku di sini” jawab Ki Waruju.

“Tetapi apakah sikap para tetangga di sekitar tempat ini meyakinkan?”bertanya Mahisa Murti kemudian.

“Aku yakin” jawab Ki Waruju, “Mereka sangat baik terhadap aku, meskipun aku terhitung orang baru di sini. Tetapi aku sering menolong orang-orang di sekitar rumah ini dengan pengobatan jika ada di antara mereka atau keluarga mereka yang sakit menurut batas kemampuan yang ada padaku”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka yakin bahwa penilaian Ki Waruju atas orang-orang di sekitarnya tentu cukup tajam, sehingga keduanya tidak perlu mencemaskannya.

Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempersoalkannya lagi.

Dalam pada itu, di hari-hari berikutnya, maka Ki Waruju telah membeli beberapa ekor ternak untuk memenuhi kandangnya. Namun binatang-binatang itu hanya singgah sebentar, karena kemudian telah dijualnya lagi, sebagaimana laku seorang pedagang.

Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang dengan rajin memelihara ternak-ternak dagangan Ki Waruju, dengan rajin mencari rerumputan dan kadang-kadang menggembalakannya di luar padukuhan. Jika Ki Waruju memelihara beberapa ekor kerbau, atau ternak yang lain, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sering membawa binatang-binatang itu kesungai untuk dimandikan.

Dalam kerjanya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih muda itu menjadi nampak semakin muda. Kadang-kadang mereka berada di antara para gembala yang lebih kecil dan bermain-main dengan mereka.

Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memiliki tubuh yang sedang bagi anak-anak muda yang sedang berkembang, tetapi berada di antara anak-anak remaja yang sedang menggembala Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak nampak terlalu tua.

Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih pantas juga untuk bermain ketangkasan dengan para gembala, bahkan kadang-kadang mereka ikut bermain binten.

Memang sulit bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan para gembala. Tetapi setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk kalah juga dalam permainan ketangkasan dan binten.

Sebenarnyalah bahwa tidak seorang pun di antara para gembala itu akan dapat berbuat sesuatu atas kedua anak muda itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus luluh di antara mereka, sehingga bagaimanapun juga mereka harus berusaha untuk menghapuskan jarak pada tingkat kemampuan mereka.

Demikianlah kerja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sehari-hari. Jika mereka pergi menggembala, mereka membawa keranjang kosong. Nanti, sambil membawa binatang yang mereka gembalakan, maka mereka membawa keranjang yang sudah penuh berisi rumput segar. Bahkan kadang-kadang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mencari rumput tanpa ternak yang digembalakan, karena ternak mereka sedang dibawa ke pasar, sementara mereka harus menyediakan rumput jika paman mereka pedagang ternak it u justru membawa ternak yang baru.

Namun dalam pada itu, dalam lingkungan para gembala. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sempat melihat kehidupan rakyat di sekitarnya. Memang mereka tidak nampak sebagaimana para prajurit yang kadang-kadang memang nampak hilir mudik. Tetapi pada saat-saata tertentu, mereka memang seorang prajurit.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang menggembala, bersama dengan beberapa orang anak-anak remaja dan bahkan juga anak-anak yang lebih besar, mereka telah dikejutkan oleh sekelompok orang yang membawa seorang yang terikat tangannya di punggungnya. Berlari-larian para gembala pergi ke pinggir jalan. Dari mereka yang menggiring orang yang terikat itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengar, “Ini adalah salah satu contoh dari petugas sandi yang dikirim oleh Panji Sempana Murti, budak Singasari”

Dada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Orang yang terikat dan kakinya itu agaknya sudah mengalami perlakuan yang tidak baik dari mereka yang membawanya, yang menurut pengamatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdapat dua orang prajurit dan beberapa orang petani kebanyakan.

“Mereka akan dibawa kemana?” bertanya Mahisa Murti kepada kawannya, seorang gembala yang hampir sebaya dengan dirinya.

“Ke banjar” jawab anak itu, “Mereka harus dihukum sesuai dengan kesalahan mereka”

“Marilah, kita melihat” ajak Mahisa Murti.

Kawannya menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya, bersama-sama para gembala itu menyetujui.

“Marilah” desis seseorang.

Anak-anak itu pun kemudian menanggalkan keranjang-keranjang mereka di sawah. Berlan-lari mereka mengikuti iring-iringan yang membawa orang terikat itu.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk tetap dianggap belum dewasa sepenuhnya, sehingga tidak seo-rang pun menaruh curiga kepada mereka. Apalagi mereka berada di antara para gembala, yang di antaranya ada juga yang telah remaja. Dalam pakaian, sikap dan tingkah laku yang disesuaikan dengan kawan-kawannya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang masih pantas untuk berada di antara para gembala.

“Apa yang akan mereka lakukan atas orang yang terikat itu?” bertanya Mahisa Murti.

“Ia akan dihukum” jawab kawannya, “Aku pernah melihat seorang di antara petugas sandi yang dihukum mati.”

“Petugas sandi dari mana?” bertanya Mahisa Pukat

“Mereka adalah budak-budak Singasari” jawab kawannya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa pengaruh Pangeran Kuda Permati memang sudah merasuk kedalam sanubari rakyat padukuhan itu dan sekitarnya. Sehingga bagi mereka, semua yang berbau Singasari tidak pantas mendapat tempat di antara mereka.

Beberapa saat anak-anak gembala itu mengikuti orang yang sudah terikat itu. Seperti yang dikatakan oleh anak-anak itu, maka biasanya orang-orang yang disebut pengkhianat itu akan membawa ke banjar dan diadili menurut mereka yang berkuasa di padukuhan itu. Anak-anak padukuhan itu sudah terbiasa melihat bagaimana para pengikut Pangeran Kuda Permati memperlakukan orang yang disangka petugas sandi. Benar atau tidak benar. Bahkan orang yang sama sekali tidak tahu menahu tentang hubungan antara Kediri dan Singasari, jika mereka sudah dituduh petugas sandi, maka mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk. Perlakuan yang kadang-kadang diluar batas kewajaran sikap kemanusiaan sering terjadi. Luapan perasaan masarakat yang sengaja telah dibakar oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati sering menimbulkan ungkapan yang sangat pahit bagi sikap kemanusiaan itu sendiri.

Ketika orang itu memasuki halaman banjar, maka bagaikan mengalir, anak-anak muda telah memasuki halaman itu pula. Namun mereka sama sekali tidak menghiraukan sekelompok gembala yang juga berada di halaman itu sambil membawa cambuk, bertubuh kotor oleh lumpur dan sikap yang kekanak-kanakan.

“Ikut orang itu” teriak seseorang, “pada tonggak yang sudah tersedia”

Sebenarnyalah, orang itu pun kemudian diikat di tonggak di tengah-tengah halaman. Agaknya tonggak itu memang dipasang khusus untuk mengikat orang-orang yang dituduh pengkhianat.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis kepada seorang kawannya yang ujudnya tidak terpaut banyak dari Mahisa Pukat itu sendiri, “He, apakah kita pasti bahwa orang itu memang pengkhianat”

“Kadang-kadang memang dapat keliru” jawab kawannya, “sebelum kau disini, pernah terjadi satu kekeliruan. Seorang yang dituduh pengkhianat telah dibantai disini. Tetapi ternyata ia bukan pengkhianat. Orang itu memang agak kurang waras. Keluarganya yang datang mencarinya, menyesal bukan buatan karena kekeliruan itu. Tetapi apaboleh buat. Semuanya sudah terlanjur”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin, bahwa kesalahan seperti itu pernah terjadi bukan hanya satu kali. Namun dalam keadaan seperti itu, maka kesalahan yang demikian memang sulit untuk dihindari”

Dalam pada itu, seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berkumis lebat telah mendekati orang yang terikat itu sambil membawa sepotong rotan.

“Katakan, siapakah kawan-kawanmu yang ada di daerah ini he? Jika kau menyebut seorang di antara mereka, maka kau tidak akan dipukuli. Kau akan mendapat pengampunan dan perlakuan yang lebih baik. Jika kau menyebut dua orang, maka kau akan dibebaskan dari hukuman apa pun juga. Sedangkan jika kau mau menyebut tiga orang, maka kau justru akan mendapat hadiah dan perlindungan disini”

Orang yang terikat itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan matanya bagaikan menyala memandang orang berkumis lebat itu.

“Sebut” geram orang berkumis itu, “Aku akan menghitung sampai tiga”

Orang berkumis itu benar-benar menghitung sampai tiga. Karena orang yang terikat itu tidak menjawab, maka rotannya benar-benar telah terayun dan menghantam tubuh orang itu.

Orang itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia sama sekali tidak mengaduh.

“Setan” geram orang berkumis itu, “kau tidak menangis dan merengek minta am pun he?. Jadi kau benar-benar ingin mati?”

“Persetan” geram orang yang terikat itu, “Kau kira aku cucunguk seperti kau”

“Kau kira kau apa he?”

“Pengkhianat” geram orang berkumis itu.

“Kaulah pengkhianat. Kau sudah berpihak kepada pemberontak” jawab orang itu dengan berani.

Orang berkumis itu marah sekali. Sekali lagi rotannya telah terayunkan menghantam dada orang itu. Orang itu berdesis perlahan. Tetapi wajahnya tetap menyala dan ia sama sekali tidak mengeluh.

Dengan demikian, maka orang berkumis itu menjadai semakin marah. Tiba-tiba saja rotannya telah dilemparkannya. Dengan serta merta ia telah menarik pisau belati di lambungnya.

Sambil menggeram ia berkata dengan suara bergetar oleh kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, “Iblis. Kau akan mendapat hukuman picis. Dalam tiga hari kau akan menderita. Pada hari keempat kau baru akan mati”

“Tikus busuk” orang yang terikat itu masih mengumpat, “kau kira kau dapat menakut-nakuti aku”

“Setan” kemarahan orang berkumis itu tidak dapat dikendalikannya lagi. Tiba-tiba saja ia mengangkat pisaunya.

Tetapi ketika pisau itu hampir saja terayun kearah dada orang yang terikat itu, maka terdengar suara lantang, “Jangan. Jangan kau bunuh orang itu”

Orang berkumis itu berpaling. Dilihatnya seorang perwira pengikut Pangeran Kuda Permati mendekatinya sambil berkata, “Orang ini jangan kau bunuh. Aku memerlukannya”

“Mengapa kau tidak berani membunuh aku” geram orang yang terikat itu.

“Sikapmu meyakinkan. Kau tentu benar-benar seorang petugas sandi. Berbeda dengan orang-orang yang merengek-rengek minta ampun. Mereka adalah kelinci-kelinci yang tidak berarti. Aku tidak peduli jika mereka dibunuh dengan cara apapun” berkata perwira itu.

“Kalian memang tidak mempunyai adat sama sekali. Jadi kau sudah sering membunuh orang-orang yang tidak bersalah itu, namun kemudian takut membunuh aku?” orang terikat itu berteriak.

Tetapi perwira itu tertawa. Katanya, “Dalam pergolakan seperti ini memang sering jatuh korban. Justru mereka yang tidak bersalah. Tetapi itu tidak apa-apa. Mereka benar-benar korban yang bernasib buruk. Tetapi diatas pengorbanan mereka akan kita bangun keadaan yang lebih baik”

“Alasan seorang yang biadab” geram orang yang terikat itu, “kalian telah melakukan pembunuhan diluar batas perikemanusiaan. Itu tidak apa-apa jika terjadi atasku atau kawan-kawanku. Tetapi jika terjadi atas orang-orang yang tidak tahu menahu?”

“Itulah yang namanya korban. Dan pengorbanan mereka tidak berarti sia-sia” jawab perwira itu.

“Gila. Satu sikap orang yang sudah tidak waras lagi” suara orang yang terikat itu menjadi gemetar. Namun tiba-tiba saja ia berteriak, “Sekarang, bunuh aku jika kau mempunyai keberanian untuk melakukannya”

Orang berkumis itulah yang tidak sabar. Katanya, “Aku akan membunuhnya”

“Aku ingin melihat ia hidup lebih lama lagi. Baginya kematian adalah jalan yang paling singkat untuk menghindarkan diri kepahitan pada saat-saat terakhirnya” jawab perwira itu.

“Jadi, apakah orang ini akan dibiarkan hidup?” bertanya orang berkumis itu.

“Ya. Justru karena ia benar-benar seorang petugas sandi” jawab perwira itu, “ia akan tetap terikat. Aku berbicara dengan orang itu. Sudahlah semua orang pergi”

Orang berkumis itu termangu-mangu. Namun perwira itu pun kemudian memberikan beberapa isyarat kepada beberapa orang prajurit yang kebetulan ada di sekitar tempat itu untuk mengusir semua orang yang ada di halaman.

Sejenak kemudian, maka para prajurit dan orang berkumis itu pun mulai menyingkirkan orang-orang yang semula mengikuti orang yang terikat itu. Dengan lantang perwira itu menjelaskan, “Aku akan berbicara dengan orang itu. Pergilah. Besok kalian akan mengetahui apa yang akan terjadi dengan orang ini”

Orang-orang yang berkerumun di halaman banjar itu menjadi kecewa. Mereka sudah terbiasa menyaksikan orang-orang yang disebut pengkhianat atau petugas sandi mengalami perlakuan yang kasar dan yang akhirnya dibunuh.Tetapi kali ini justru orang yang paling menjengkelkan, mendapat kesempatan untuk hidup lebih lama.

Tetapi orang-orang itu tidak dapat membantah. Para prajurit minta agar mereka meninggalkan halaman itu.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian halaman itu menjadi sepi. Yang ada di muka regol adalah beberapa orang gembala yang termangu-mangu. Namun akhirnya para gembala itu pun telah meninggalkan halaman itu pula.

Perwira itu kemudian berusaha untuk mendapatkan keterangan dari orang yang terikat itu. Tetapi ternyata bahwa usahanya sia-sia. Orang yang terikat itu sama sekali tidak mau memberikan keterangan apa pun juga, meskipun ia mengalami perlakuan yang sangat berat.

“Kau memang seorang yang berhati tabah” desis perwira itu sambil tersenyum, “kau tentu sudah mendapat latihan yang berat untuk menjadi seorang petugas sandi seperti ini. Agaknya aku memang akan mengalami kegagalan memeras keterangan dari mulutmu. Tetapi aku memang ingin membiarkan kau hidup dan terikat disitu. Besok aku akan menyerahkan kau kepada rakyat. Apa saja yang ingin mereka lakukan atasmu. Kecuali jika kau bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaanku”

Orang itu sama sekali tidak menjawab, sementara perwira itu tersenyum sambil berkata, “Bagus. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik. Tinggal aku. Apakah kau akan dapat mengimbangi sikapmu. Apakah aku dapat berbuat seperti kau. Melakukan tugasku dengan baik”

Orang yang terikat itu masih tetap berdiam diri. Dengan gigi gemertak ia memandang perwira itu dengan tajamnya.

“Baiklah” berkata perwira itu, “kau dapat memikirkan nasibmu semalam nanti”

Orang yang terikat itu mengumpat. Tetapi perwira itu sama sekali tidak menghiraukannya. Dibiarkan saja orang yang terikat itu berkata apa saja.

Baru kemudian, ketika orang itu sendiri, wajahnya yang keras telah menunduk. Tubuhnya yang penuh dengan luka dan goresan-goresan senjata dan rotan itu terasa sangat pedih. Titik-titik keringatnya membuatnya luka-lukanya bagaikan tersiram air.

Tetapi orang yang terikat itu memang seorang prajurit sandi. Itulah sebabnya, maka ia tetap pada sikapnya. Karena bagi seorang petugas sandi, mati adalah batas yang memang sudah disadari sebelumnya.

Ketika petugas sandi itu memandang ke pendapa banjar, dilihatnya beberapa orang duduk berjaga-jaga. Di regol halaman, para peronda berjalan hilir mudik.

Beberapa orang sibuk menyalakan obor di beberapa tempat ketika kemudian, malam turun. Sementara di pendapa lampu minyak pun telah menyala pula.

Petugas sandi itu masih tetap terikat di sebatang tonggak di tengah-tengah halaman. Ia tidak merasa betapa kerongkongannya menjadi kering oleh kehausan. Yang terasa adalah kemarahan dan kebencian yang menghentak-hentak didalam dadanya.

Namun petugas sandi itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Tangannya sudah terikat pada sebatang tonggak dengan kuatnya. Betapa pun ia menghentakkan ilmunya, tali pengikat itu tidak akan putus karenanya.

Wajah petugas sandi itu menjadi tegang ketika ia melihat ampat orang mendekatinya. Seorang di antara mereka membawa obor yang menyala.

Beberapa langkah dihadapannya empat orang itu terhenti. Salah seorang di antara mereka adalah perwira yang memerintahkan untuk membiarkannya hidup. Dengan demikian, maka perwira itu akan berusaha untuk memeras keterangan dari mulutnya.

“Ki sanak” berkata perwira itu, “kau sudah mendapat kesempatan untuk berpikir tentang dirimu sendiri. Apakah kau lebih senang mukti bersama kami, atau mati terkapar di halaman banjar ini”


Petugas sandi itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia sudah bertekad sebagaimana ia mendapat tempaan lahir batin untuk menjalankan tugasnya sebaik-baiknya. Dan tugasnya yang terakhir yang harus ia tunaikan setelah ia terikat pada tonggak itu adalah merahasiakan dirinya sendiri dan orang-orang yang pernah dikenalnya.

Apapun yang terjadi atas dirinya, petugas sandi itu tidak akan membuka mulutnya.

“Ki Sanak” berkata perwira yang mendekatinya itu, “seharusnya kau tidak mengeraskan hatimu pada sikap yang salah itu. Kau tahu, bahwa kita adalah bangsa yang besar yang memiliki masa lampau yang kita kagumi bersama. Karena itu, kenapa kita tidak berusaha untuk mendapatkan kembali kebesaran itu”

Petugas sandi itu masih tetap berdiam diri.

“Ki Sanak” berkata perwira itu sambil mengambil obor di tangan seorang pengawalnya, “Kenapa kau tidak mau bekerja bersama kami? Jangan keras kepala. Kau masih belum terlalu tua. Kau masih dapat menikmati hidup ini untuk waktu yang panjang dalam keadaan yang lebih baik, daripada kau harus mati terkapar di halaman banjar ini dalam keadaan yang menyedihkan. Karena besok aku tentu tidak akan dapat mencegah lagi kemarahan rakyat yang akan mencincangmu. Mereka akan minta kau dilepaskan di antara rakyat yang marah. Kau dapat membayangkan, bagaimana cara mereka membunuhmu besok. Kecuali jika kau mau bekerja bersama kami, maka kami akan melindungi kalian dari kemarahan orang-orang yang dapat menjadi buas itu”

Petugas itu tetap berdiam diri. Sementara perwira itu berjalan maju semakin dekat. Katanya, “Aku ingin melihat wajahmu yang keras dan menyala lebih besar dari obor ini.

Tiba-tiba perwira itu mengacukan obor itu kedepan wajah petugas sandi yang terikat itu. Demikian dekatnya, sehingga dengan gerak naluri, petugas sandi itu memalingkan wajahnya yang serasa telah terbakar oleh panasnya api itu.

Perwira itu tertawa. Katanya, “Api memang panas. Jika ia menyentuh wajahmu, maka wajahmu akan segera berubah ujudnya. Wajahmu akan terbakar dan mungkin matamu akan menjadi buta. Kau akan kehilangan kesempatan untuk melihat betapa hijaunya dedaunan dan betapa gemerlapnya bintang dilangit. Dalam keadaan yang demikian, besok kau akan dibunuh beramai-ramai di halaman banjar ini”

Petugas sandi itu hanya dapat, menggeretakkan giginya. Ia sama sekali tidak berdaya berbuat apa-apa atas tali yang kuat yang membelit tangannya.

“Kau masih mempunyai waktu” berkata perwira itu, “aku akan datang lagi tengah malam. Kau akan mendapat kesempatan terakhir sebelum aku mengambil keputusan tentang dirimu”

Sekali lagi perwira itu mendekatkan api obornya ke wajah orang yang terikat itu, dan sekali lagi orang yang terikat itu memalingkan wajahnya dari api yang terasa hampir menyentuh kulit wajahnya.

Namun dadanya hampir saja meledak ketika ia kemudian mendengar perwira itu tertawa berkepanjangan. Katanya disela-sela derai tertawanya, “Kau masih sayang pada wajahmu? Kenapa tidak kau biarkan saja wajahnya terbakar dan menjadi hitam. Atau barangkali perutmu?”

Yang dapat dilakukan oleh orang yang terikat itu hanyalah menggeram. Namun tangannya tetap terikat dengan eratnya.

Yang kemudian tertawa bukan saja perwira itu. Tetapi pengawalnya pun tertawa pula. Rasa-rasanya orang yang terikat itu ingin meloncat menerkam. Namun tali pengikatnya terlalu erat dan kuat, sehingga ia tidak mampu untuk melepaskan dirinya.

“Baiklah” berkata perwira itu, “masih ada waktu. Jika besok pagi-pagi kau masih tetap keras kepala seperti ini, maka kau akan kami serahkan kepada orang banyak. Entahlah, apa jadinya kau dengan tubuhmu. Tetapi agaknya itulah yang kau pilih sebagai jalan kematianmu”

Orang yang terikat itu sama sekali tidak menjawab. Ketika perwira itu kemudian meninggalkannya, terdengar giginya gemeretak menahan marah.

Sejenak kemudian halaman itu pun menjadi sepi. Perwira itu sempat singgah sebentar di gardu di regol halaman. Kepada para peronda ia berkata, “Berhati-hatilah. meskipun orang itu terikat, namun kalian harus mengawasinya baik-baik. Ia orang yang sangat berbahaya. Mungkin nilainya lebih dari sepuluh orang di antara kalian”

Pemimpin peronda itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “kami akan berbuat sebaik-baiknya. Yang menjaga halaman ini bukan hanya berkumpul di regol ini. Di setiap sudut di tempatkan dua orang penjaga berganti-ganti”

“Jangan ajari aku” jawab perwira itu, “dimana pun penjaga itu berada, bukankah kendalinya ada di gardu ini?”

Penjaga itu mengangguk kecil. Jawabnya sambil menunduk, “Ya. Demikianlah agaknya”

“Karena itu, aku berpesan kepada kalian. Hati-hatilah” berkata perwira itu, “di banjar ada beberapa orang prajurit. Jika kalian memerlukan bantuannya, kalian dapat memanggilnya. Bahkan jika perlu panggil aku”

Peronda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan melakukannya”

Perwira itu pun kemudian meninggalkan para peronda di regol. Namun agaknya ia kurang mempercayai para peronda itu. Karena itu, maka ia telah memerintahkan prajurit-prajuritnya yang ada di banjar itu untuk membantu para peronda bergantian.

“Kalian berganti-ganti tidak perlu beranjak dari gardu itu. Kau awasi orang yang terikat itu dari gardu. Biarlah yang nganglang para peronda. Karena itu, maka setiap saat harus ada seorang di antara kalian di gardu itu” perintah perwira itu.

Para prajurit pun kemudian mengatur diri untuk bergantian berada di gardu. Sehingga dengan demikian, maka pemimpin peronda itu merasa menjadi lebih tenang mengawasi seorang yang dianggap sangat penting karena orang itu adalah petugas sandi dari Kediri.

Dalam pada itu, maka para peronda pun telah mengatur tugas mereka sebaik-baiknya. Di setiap sudut diletakkan dua petugas yang mengamati keadaan. Sementara itu masih ada beberapa orang yang mengelilingi halaman banjar itu pada saat-saat tertentu.

Dalam pada itu, maka malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Perwira yang berada di banjar itu sudah membaringkan dirinya. Ia mulai menjadi tenang, setelah ia memerintahkan setiap saat, seorang prajuritnya untuk berada di gardu mengawasi orang yang terikat itu. Dengan demikian maka pengawasan sudah dilakukan sebaik-baiknya, sementara para peronda-peronda pun di setiap malam jumlahnya cukup banyak, apalagi malam itu, di saat di halaman terikat seorang yang mereka sebut sebagai pengkhianat. Jumlah peronda pun telah dilipatkan.

Demikianlah, malam pun menjadi semakin malam. Angin yang basah bertiup semilir. Udara terasa demikian segarnya, sehingga para prajurit, peronda dan orang-orang lain pun mulai disentuh oleh perasaan kantuk. Bahkan perwira yang berada didalam biliknya, yang merasa menjadi tenang karena ia sudah menugaskan bukan saja para peronda, tetapi juga prajurit-prajuritnya yang ada di banjar itu untuk berjaga-jaga, telah tertidur pula dengan nyenyaknya.

Perlahan-lahan bintang di langit pun mulai bergeser ke-barat, melampaui puncak langit dan turun perlahan-lahan. Tidak ada bulan sama sekali. Tetapi bintang nampaknya menjadi semakin cemerlang.

Angin yang segar bertiup semakin lama terasa menjadi semakin merata. Bukan hanya di halaman, di pendapa dan di kebun banjar. Tetapi di bilik-bilik. di dalam gardu dan di regol pun angin menyentuh tubuh para peronda.

Ternyata baik para peronda, mau pun para prajurit yang telah mengatur diri bergantian untuk berjaga-jaga, telah kehilangan kesadaran mereka. Mereka ternyata tidak dapat melawan perasaan kantuk yang mencengkam mereka dengan kuatnya.

Seorang demi seorang, para peronda pun telah jatuh tertidur. Mereka yang berada disudut-sudut halaman sama sekali tidak mampu bertahan lagi. Prajurit yang sedang bertugas di gardu berusaha untuk membangunkan setiap orang yang tertidur, tetapi prajurit itu sendiri pun akhirnya tertidur pula.

Sejenak kemudian, maka banjar itu pun menjadi semakin sepi. Tidak seorang pun lagi yang mampu bertahan melawan kantuknya. Semua orang telah tertidur nyenyak.

Tetapi yang terikat itu tidak tertidur. meskipun ia pun merasakan segarnya udara di malam hari, sehingga perasaan pedih pada luka-lukanya berkurang, namun perasaan sakit itu masih menderanya, sehingga betapapun perasaan kantuk itu mengganggunya, namun setiap kali ia masih saja berdesis menahan pedih.

Dalam keadaan yang demikian itulah, maka nampak beberapa sosok bayangan mendekati dinding halaman. Perlahan-lahan mereka memanjat dinding dan memperhatikan keadaan di dalam halaman itu.

Ternyata bahwa keadaan di dalam halaman dan di dalam banjar telah menjadi sepi. Orang-orang yang datang itu yakin, bahwa tidak ada seorang pun lagi yang masih terbangun di antara para petugas dan para peronda.

“Marilah” desis yang seorang, “kita segera bertindak”

Tidak ada jawaban. Namun kemudian orang-orang yang ternyata berjumlah tiga orang itu telah berloncatan masuk. Perlahan-lahan mereka mendekati tonggak di tengah-tengah halaman, tempat petugas sandi itu terikat.

Petugas sandi yang terikat itu memang tidak tidur meskipun ia merasakan pula sesuatu yang asing. Namun karena sakit ditubuhnya, maka ia tetap terjaga, sehingga dengan demikian ia pun melihat tiga orang mendekatinya.

Seorang dari ketiga orang itu pun kemudian berdiri menghadap ke pendapa, membelakangi orang yang terikat itu untuk mengawasi keadaan, sementara kedua orang yang lain mendekati orang yang terikat itu sambil berdesis, “Kau benar petugas sandi dari Kediri?”

Orang itu memandangi keduanya berganti-ganti. Namun kemudian ia pun berdesis, “ Apakah kau membawa bintang?”

“Jangan sebut kalimat sandi” desis yang seorang, “kami tidak akan mengerti, karena kami memang bukan petugas sandi. Kami melakukan hal ini hanya karena kami menganggap perjuangan menegakan pemerintahan,

“Baik” berkata petugas sandi itu, “tetapi kau yakin bahwa kau juga berhubungan dengan tugas-tugas sandi. Tetapi agaknya benar, bahwa kau bukan petugas sandi dari Kediri. Namun agaknya kalian bertiga adalah justru petugas sandi dari Singasari, sehingga kalian tidak mengerti kalimat sandi para petugas dari Kediri”

“Sudahlah” berkata salah seorang dari kedua orang yang mendekatinya itu, “Yang penting bagi kami, kau dapat terlepas dari tangan Pangeran Kuda Permati, meskipun kami belum pernah melihat, yang manakah yang disebut Pangeran Kuda Permati itu”

“Terima kasih” jawab orang itu, “Aku akan melaporkan bahwa aku sudah mendapat pertolongan dari para petugas sandi dari Singasari. Aku yakin. Kalian tentu bukan orang kebanyakan, karena kalian sempat melepaskan aji yang kuat ini. Bukankah kalian telah menyebarkan sirep sehingga sema orang tertidur?”

“Jangan sebut-sebut siapa kami, karena dengan demikian kau dapat keliru. Sekarang ijinkan kami membuka ikatanmu” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

Orang yang terikat itu tidak menyahut. Ia membiarkan saja tangannya dilepaskan dari ikatan yang kuat. Dengan sebilah pisau yang sangat tajam, salah seorang dari mereka yang menolongnya itu telah memutuskan talai ikatannya.

Demikian tali itu terputus, maka orang itu pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku mengucapkan terima kasih. Mudah-mudahan kita akan dapat bekerja bersama untuk seterusnya”

“Kita akan berpisah sampai di sini” berkata orang yang menolongnya itu.

“Tetapi darimana kau tahu, bahwa aku adalah petugas sandi dari Kediri?” bertanya orang itu.

“Sikapmu” jawab salah seorang yang menolongnya.

Orang itu mengangguk-angguk. Perasaan sakit dan pedih pada tubuhnya seakan-akan menjadi jauh susut, meskipun sekali-sekali ia masih harus berdesis.

“Sekarang, silahkan meninggalkan tempat ini sebelum mereka terbangun” berkata orang yang menolongnya.

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Aku tahu, bahwa dalam keadaan seperti ini bukannya sifat seorang kesatria jika aku membunuh mereka yang tertidur nyenyak. Tetapi, aku masih ingin memberikan satu pertanda kepada perwira yang telah mengancam aku akan menyerahkan aku kepada rakyat besok”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya orang yang menolongnya.

“Mengikatnya dalam tidur” jawab orang itu, “percayalah bahwa aku tidak akan membunuhnya”

Orang yang menolong itu tidak mencegahnya. Dengan demikian orang yang di tubuhnya terdapat luka di beberapa tempat itu telah mencari seutas tali. Dengan hati-hati ia memasuki banjar dan mencari perwira yang memimpin prajurit Pangeran Kuda Permati di banjar itu untuk kemudian mengikatnya dengan amben tempatnya berbaring. Namun orang yang telah disakiti itu agaknya benar-benar ingin membuat perwira itu berdebar-debar, karena ia pun kemudian mengambil keris yang terdapat dibawah alas kepalanya. Menariknya dari wrangkanya dan meletakan keris itu di dadanya dengan tajamnya menghadap ke arah hidung perwira itu.

Baru kemudian orang itu meninggalkan banjar sambil membawa tali yang telah diputus dengan pisau yang semula mengikat tangan orang itu.

“Untuk apa tali itu kau bawa?” bertanya orang yang menolongnya.

Orang itu tersenyum saja. Namun orang-orang yang menolongnya itu mengetahui, bahwa orang itu akan menghilangkan kesan bahwa ia telah ditolong oleh seseorang, melihat tali yang yang terputus oleh senjata.

Dengan demikian maka sejenak kemudian sejenak halaman itu telah menjadi semakin sepi. Empat orang dengan diam-diam meninggalkan halaman itu. Namun sekali-sekali orang yang tertolong itu masih juga berdesis menahan pedih di tubuhnya.

Meski pun demikian, keempat orang itu belum berarti terbebas sama sekali dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Semakin jauh dari halaman banjar, pengaruh sirep itu menjadi semakin tipis. Karena itu, maka di gardu-gardu di ujung-ujung lorong, para peronda tetap merupakan bahaya bagi keempat orang itu.

Dengan sangat berhati-hati keempat orang itu telah memilih jalan. Sebagaimana ketiga orang itu memasuki padukuhan, maka demikian pula mereka keluar. Namun agaknya petugas sandi yang terluka di seluruh tubuhnya itu mengalami sedikit kesulitan ketika mereka meloncat dinding padukuhan.

Namun akhirnya mereka pun selamat sampai di luar dinding tanpa diketahui oleh para peronda.

Tetapi mereka pun sadar, bahwa mereka masih belum bebas sepenuhnya. Mereka masih tetap berada di dalam lingkungan yang berbahaya. Karena itu, maka mereka pun kemudian dengan secepat-cepatnya berusaha menjauhi padukuhan itu.

Dalam pada itu, sambil berjalan di pematang, petugas sandi yang telah dibebaskan itu beberapa kali telah mengucapkan terima kasih. Namun beberapa kali ia berusaha untuk mengetahui orang-orang yang menolongnya, namun ketiga orang itu sama sekali tidak menyebut tentang diri mereka.

“Yang kami lakukan adalah satu kewajiban siapa pun kami” berkata salah seorang dari ketiga orang itu.

Petugas sandi yang dibebaskan kemudian tidak mendesak lagi- Agaknya ketiga orang itu benar-benar tidak ingin diketahui siapakah sebenarnya mereka.

Namun dalam pada itu, petugas sandi yang terluka di seluruh tubuhnya itu berdesis, “Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat berjalan secepat kalian. Namun bukan berarti bahwa kalian harus menunggu aku. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Selanjutnya, jika kalian ingin berjalan lebih dahulu, silahkan. Aku akan berusaha untuk mencari jalan sendiri. Bukan karena aku tidak mau bersama kalian, tetapi sebenarnyalah tubuhku sudah terlalu lemah”

Salah seorang dari ketiga orang yang menolongnya itu menjawab, “Aku mengerti keadaanmu Ki Sanak. Baiklah kita baristirahat sejenak. Agaknya kita memang sudah cukup jauh. Rasa-rasanya aku mendengar suara aliran sungai”

“Jika demikian, marilah Ki. Sanak. Kita mencoba, mengobati luka-luka di tubuhmu. Mungkin tidak sempat untuk berbuat lebih banyak dari sekedar mengurangi rasa sakit dan sedikit menambah daya tahan. Baru besok dan seterusnya kau dapat berobat lebih baik lagi”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih”

Demikianlah, keempat orang itu pun kemudian menuju ke sebatang sungai yahg tidak begitu besar. Dalam kegelapan malam mereka mencari sebuah belik di sepanjang tepi sungai itu untuk mendapatkan air jernih.

Akhirnya mereka mendapatkannya juga. Dengan air itu, maka salah seorang dari ketiga orang yang menolong itu telah mencairkan sejenis serbuk dari sebuah tabung kecil dengan daun talas yang terdapat dipinggir sungai itu.

“Mungkin terasa pedih Ki Sanak” berkata orang itu, “tetapi mudah-mudahan akan bermanfaat”

Sebenarnyalah ketika obat itu diusapkan pada luka-luka yang terdapat di seluruh tubuhnya, terasa luka-luka itu bagaikan menyengat. Pedih dan panas. Beberapa saat lamanya orang itu menggeliat menahan perasaan pedih sambil berdesis. Namun lambat laun perasaan pedih itu pun semakin susut. Apalagi ketika kemudian ia pun telah minum sejenis obat yang lain, yang juga dicairkan dengan air dari belik kecil dipinggir sungai itu.

Untuk beberapa saat mereka menunggu sambil beristirahat. Sementara malam pun merambat mendekati akhir.

“Ki Sanak” berkata petugas sandi itu, “kalian telah memberikan satu pertolongan yang utuh. Bukan saja aku telah terbebas dari kematian, tetapi kalian juga telah mengobati luka-lukaku. Agaknya tidak ada cara yang dapat aku pergunakan untuk menyatakan perasaan terima kasih”

“Sudahlah” berkata salah seorang dari ketiga orang yang menolongnya, “jika keadaanmu sudah menjadi lebih baik, marilah kita teruskan perjalanan ini. Kita harus keluar dari wilayah kuasa Pangeran Kuda Permati”

“Jaraknya sudah tidak terlalu jauh” berkata orang itu, “sebenarnyalah aku memang seorang petugas. Aku mengenal daerah ini dengan baik. Beberapa saat lagi, aku sudah akan memasuki satu padukuhan yang dapat memberikan perlindungan kepadaku meskipun padukuhan itu masih termasuk kuasa Pangeran Kuda Permati secara bayangan.

Namun demikian keempat orang itu pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Dengan hati-hati mereka naik keatas tebing sungai menuju ke padukuhan yang disebut oleh orang yang terluka itu.

Namun sementara itu, di banjar padukuhan yang telah mereka tinggalkan terjadi kegemparan yang luar biasa. Perwira yang terikat tangannya itu telah terbangun ketika kekuatan sirep menjadi semakin lenyap.

Betapa ia terkejut mengalami peristiwa yang tidak pernah diduganya, meskipun hanya dalam mimpi. Ternyata tangannya sudah terikat dan sebilah keris terletak di dadanya. Ujungnya menghadap ke hidungnya.

“Gila” geram perwira itu. Dengan susah payah ia berusaha memiringkan tubuhnya, sehingga keris itu terjatuh dari dadanya.

Baru setelah keris itu jatuh, perwira itu berteriak memanggil prajurit-prajuritnya.

Suara perwira itu memang telah membangunkan prajurit-prajuritnya yang sudah terbebas dari pengaruh sirep.

Berlari-lari mereka menuju ke bilik perwira yang memanggil mereka.

Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat perwiranya yang masih terikat, dan sebilah keris yang sudah telanjang tergolek disisinya.

“Apakah yang sudah terjadi?” bertanya seorang prajurit.

“Lepaskan dahulu ikatan keparat ini” geram perwira itu.

Para prajurit pun menjadi sibuk melepaskan ikatan itu. Dan demikian ikatan itu terlepas, maka prewira itu pun segera meloncat dari pembaringan dan beteriak, “Lihat, apa iblis itu masih terikat ditonggak.

Tidak seorang pun yang semula teringat kepada petugas sandi yang terikat. Demikian mereka mendengar perintah itu, maka mereka pun segera berlarian ke halaman, sementara perwira itu sempat memungut keris yang ternyata adalah keris sendiri.

“Setan alas” geram perwira itu sambil berlari menyusul para prajurit ke halaman.

Jantung perwira itu hampir meledak ketika ia melihat satu kenyataan, bahwa orang yang terikat di tonggak di-tengah-tengah halaman itu sudah tidak lagi. Petugas sandi itu sudah hilang.

Tidak banyak bekas-bekas yang dapat memberikan petunjuk.

Bahkan tali pengikat tangan petugas sandi itu pun tidak ada lagi di sekitar tonggak itu.

“Di mana para peronda he?” teriak perwira itu. Berlari-lari prajurit-prajurit yang kebingungan itu pergi ke gardu. Ternyata semua orang yang ada di dalam gardu itu masih tertidur nyenyak, termasuk seorang prajurit yang sedang bertugas.

Kemarahan perwira itu memuncak sehingga ia tidak membangunkan orang-orang yang tertidur itu. Tetapi ia langsung memukul kentongan yang tergantung di serambi gardu itu.

Orang-orang yang tertidur itu terkejut mendengar suara kentongan yang dipukul sekeras-kerasnya. Demikian mereka terbangun, muka mereka pun menjadi bingung.. Apa yang sebenarnya telah terjadi. Bahkan ada di antara anak-anak muda itu yang tidak tahu, di mana sebenarnya ia sedang berada.

Baru ketika pewira itu membentak-bentak mereka baru sadar.

Serentak mereka menghambur ke halaman. Dan serentak jantung mereka berdenyut keras. Tawanan vang terikat itu sudah tidak ada di tempatnya. Hilang tanpa bekas. Tanpa se-orang pun yang mengetahui.

Dalam pada itu bunyi kentongan yang tidak biasa itu menumbuhkan kebingungan di gardu-gardu yang lain. Karena itu, hampir setiap gardu telah mengirimkan beberapa orang untuk datang ke banjar, karena mereka dapat mengenal bahwa suara kentongan yangberbunyi keras-keras dengan suara yang lain itu adalah kentongan di banjar.

Akhirnya berita hilangnva tawanan yang terikat di tonggak itu telah tersebar di penjuru padukuhan. Dengan marah perwira itu telah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk mencarinya.

Sejenak kemudian, lima orang berkuda telah meninggalkan banjar. Tiga orang prajurit dan dua orang anak muda.

Sejenak kemudian, kuda-kuda itu sudah berderap. Mereka berusaha untuk menemukan orang yang tidak mereka ketahui, kearah mana orang itu lari.

Meskipun demikian para prajurit itu dapat menerka, bahwa orang itu tentu akan menuju ke arah daerah yang berada di luar pengaruh bayangan kekuasaan Pangeran Kuda Fermati. Karena itu, maka kuda mereka pun berpacu kearah itu.

Tetapi ternyata mereka tidak melihat seorang pun di jalan-jalan yang mereka lalui. Sehingga akhirnya mereka telah bersepakat untuk membagi kelampok kecil itu menjadi dua bagian. Sekelompok terdiri dari dua orang sementara kelompok yang lain terdiri dari tiga orang. Kelompok yang terdiri dari dua orang, semuanya terdiri dari prajurit-prajurit Kediri sedangkan yang tiga orang, dua di antara mereka adalah anak-anak muda padukuhan itu.

“Petugas sandi itu hanya seorang” berkata prajurit yang tertua di antara mereka, “ apalagi orang itu sudah termica parah. Ia tidak akan dapat berbuat banyak seandainya kita dapat menjumpainya.

Sejenak kemudian, maka prajurit-prajurit dan kedua anak muda itu pun telah berpacu kearah yang berbeda.

Meskipun demikian, ternyata mereka tidak menemukan orang yang mereka cari.

“Orang itu akan dengan mudah bersembunyi jika ia mendengar derap kaki kuda” berkata prajurit yang seorang kepada kawannya.

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu saja. Demikian ia mendengar derap kaki kuda, maka ia akan dapat menyuruk ke bawah gerumbul-gerumbul.

“Pencaharian ini tidak ada gunanya” berkata kawannya.

Ternyata usaha mereka memang sia-sia. Ternyata empat orang yang sedang menyingkir itu memang mendengar derap kaki kuda.

Tetapi mereka sempat menelungkup di pematang. Dan orang berkuda itu tidak sempat melihat mereka.

Dalam pada itu, sebentar kemudian langit sudah menjadi semakin cerah, sementara petugas itu pun berkata, “Sudahlah. Terima kasih. Aku sudah sampai ke padukuhan yang aku tuju.”

Ketiga orang yang telah menolong itu pun kemudian menyadari pula bahwa fajar hampir menyingsing. Karena itu, maka salah seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Kita berpisah sampai disini. Mudah-mudahan kita masing-masing mendapatkan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Agung”.

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Agaknya ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Tetapi niatnya diurungkan, karena ia menyadari bahwa pertanyaannya tidak akan mendapatkan jawaban sebagaimana dikehendakinya.

Namun yang kemudian diucapkannya adalah, “Kita akan berpisah sebagaimana kita belum pernah bertemu.

Ketiga orang yang menolongnya termenung sejenak. Tetapi yang tertua di antara mereka tersenyum. Katanya, “Kita telah pernah bersentuhan dalam tugas. Silahkan melakukan sebagaimana harus kau lakukan.

“Terima kasih. Tetapi sikap kalian memberikan satu keyakinan bahwa kalian adalah orang-orang Singasari. Tetapi seandainya aku salah, maka setidak-tidaknya kalian bukan orang yang berpihak kepada Pangeran Kuda Permati.

“Begitulah” jawab yang tertua di antara ketiga orang itu, “Kita berpisah sampai di sini, sebentar lagi hari menjadi pagi.

Demikianlah akhirnya mereka pun berpisah. Petugas sandi itu menuju ke sebuah padukuhan yang dikatakannya akan dapat memberikan perlindungan kepadanya, meskipun padukuhan itu masih tetap berada dalam bayangan kekuasaan Pangeran Kuda Permati.

Sepeninggal orang itu, maka ketiga orang yang menolongnya itu pun telah dengan tergesa-gesa pula meninggalkan tempatnya menuju ke sebuah padukuhan yang agak jauh. Karena itu, maka langkah mereka pun dipercepat ketika langit menjadi semakin cerah. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak langsung pergi ke padukuhan itu. Mereka sempat singgah di sebuah mata air, mencuci muka dan membenahi pakaiannya, kemudian langsung menuju ke sebuah pasar hewan di sebuah padukuhan yang hari itu akan ramai dikunjungi para pedagang, karena hari pasaran.

Ternyata bahwa tiga orang itu sudah terbiasa di antara para pedagang ternak. Mereka sudah mempunyai banyak kawan di antara para pedagang itu.

Untuk beberapa saat ketiga orang itu sibuk berbincang dengan para pedagang tentang beberapa jenis ternak yang terdapat di pasar itu.

“Kau tidak membawa dagangan hari ini?” bertanya salah seorang pedagang kepada orang tertua di antara ketiga orang itu.

“Aku akan mencari dagangan hari ini jika ada yang harganya agak murah. Aku sudah tidak mempunyai persediaan di rumah” jawab orang itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Kemudian ditunjukkan nya beberapa ekor kerbau yang masih muda.

Namun dalam pada itu, selagi pasar itu mulai bertambah sibuk, tiba-tiba saja terjadi kegemparan yang membuat orang-orang di dalam pasar itu kebingungan.

Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka menyadari keadaan setelah semua pintu dijaga oleh beberapa orang prajurit. Sementara beberapa orang yang lain telah memasuki pasar itu sambil berteriak, “Jangan ada yang berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakai kalian sendiri.

Semua orang seakan-akan telah membeku di tempatnya. Beberapa orang prajurit itu menyusup di antara orang-orang yang sedang di pasar itu. Mereka mengamati setiap orang dengan saksama.

“Kami mencari seseorang” geram prajurit itu.

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka yang ada di dalam pasar itu hanya dapat berdiri termangu-mangu. Sementara para prajurit itu telah mengacu-acukan senjata mereka.

“Siapa yang menyembunyikan orang yang aku cari, akan ikut dianggap bersalah, “ teriak seorang prajurit.

Namun dala pada itu, seseorang telah memberanikan diri bertanya, “Siapakah yang tuan-tuan cari?”

“Seorang pengkhianat” jawab prajurit itu, “kemarin orang itu sudah kami tangkap dan kami bawa ke banjar. Tetapi setan itu sempat melarikan diri.

Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “ Bagaimana dengan ciri-ciri orang itu? Mungkin kami dapat membantunya.”

“Orang itu sudah terluka pada tubuhnya. Luka yang cukup parah. Namun ia masih sempat melarikan diri” jawab prajurit itu. Lalu, “Karena itu, siapa yang melihat seseorang yang terluka parah, harus menyerahkannya kepada kami.

Ketiga orang yang menolong petugas sandi itu hanya saling berpandangan. Tetapi mereka tidak mengatakan sesuatu.

Tetapi prajurit-prajurit itu tidak menemukan seseorang yang disebutnya sudah terluka parah. Yang semalam telah melarikan diri dari banjar.

Karena prajurit-prajurit itu tidak menemukan yang mereka cari, maka mereka pun menjadi kasar. Mereka sudah mencari tidak hanya di pasar itu. Tetapi sudah di-beberapa tempat.

Namun mereka tidak menemukannya. Padukuhan-padukuhan telah mereka masuki pintu demi pintu. Namun orang yang mereka cari tidak mereka ketemukan.
Orang-orang di dalam pasar itu menjadi gelisah. Bahkan Prajurit-prajurit itu mulai mendorong, membentak dan bahkan memukul orang-orang yang dianggap mengganggu usaha mereka mencari tawanan yang hilang. Namun usaha mereka tetap sia-sia.

Sementara itu, di sebuah padukuhan yang lain, beberapa prajurit telah memasuki rumah demi rumah. Para prajurit itu sadar, bahwa padukuhan itu merupakan padukuhan yang sangat rawan. Karena itu, mereka dengan sungguh-sungguh telah memeriksa rumah-rumah dengan sangat teliti.

Dalam pada itu, seorang perempuan tua yang terbongkok-bongkok tengah melayani beberapa orang yang sedang menggeledah rumahnya. Rumahnya yang tidak seberapa, yang terdiri dari sebuah rumah dan sebuah kandang yang dihuni oleh beberapa ekor kambing.

“Kau sembunyikan pengkhianat itu he?” bentak seorang prajurit.

Perempuan itu termangu-mangu. Tetapi kemudian ia bertanya dengan suaranya yang terbata-bata, “Tuan-tuan mencari siapa?”

”Seorang pengkhianat, “ teriak seorang prajurit.

“O” Perempuan itu mengangguk-angguk.

“Apa?” bertanya prajurit itu. Perempuan itu menjadi bingung.

“Perempuan gila” geram seorang prajurit, “marilah. Kita cari di rumah yang lain.

Prajurit-prajurit itu meninggalkan rumah perempuan tua yang agak tuli itu. Meskipun demikian, mereka masih sempat menengok kedalam kandang yang berisi beberapa ekor kambing.

Namun demikian para prajurit itu pergi, maka perempuan tua itu tidak lagi terbongkok-bongkok. Ia berdiri di depan kandang sambil bergumam, “Mereka telah pergi”

Seonggok jerami kering pun terkuak. Seseorang menjengukkan kepala dari antara jerami kering itu. Katanya, “Tetapi mungkin mereka masih akan lewat halaman ini. Hati-hatilah.”

Perempuan itu mengangguk-angguk. Jerami itu telah menutup kembali. Dan kepala itu pun hilang didalam onggokkan jerami di atas kandang itu.

Dalam pada itu, maka perempuan tua itu telah kembali menjadi terbongkok-bongkok. Ia sadar, bahwa ia harus melakukan peranannya sebaik-baiknya. Yang akan mengamati tingkah lakunya bukan saja para prajurit yang berada di bawah pengaruh Pangeran Kuda Permati, tetapi juga orang-orang di sekitarnya, yang dengan tanpa malu-malu telah menjilat para prajurit yang berada dibawah pengaruh Pangeran Kuda Permati.

Dalam pada itu, petugas sandi yang tubuhnya sudah terluka parah itu tetap bersembunyi di dalam kandang, di atas kambing-kambing yang tidak tahu menahu apa yang telah terjadi di sekitarnya.

Menurut rencana petugas sandi itu, malam nanti ia baru akan meninggalkan tempat persembunyiannya. Sementara luka-lukanya menjadi berangsur baik. Ternyata obat yang diberikan oleh orang yang menolongnya itu benar-benar dapat memperingan penderitaannya. Lukanya tidak lagi terasa pedih. Bahkan ketahanan tubuhnya serasa sudah pulih kembali.

Hari itu, ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Ia makan di tempat itu juga. Beberapa potong pohung yang direbus. Ia pun minum di tempat itu pula dengan bumbung bambu.

Namun dengan demikian, ia telah selamat dari tangan para prajurit dan orang-orang yang menjilat kepada Pangeran Kuda Permati, karena salah pengertian tentang satu sama bagi Kediri.

Dengan demikian, maka para pengikut Pangeran Kuda Permati hari itu tidak berhasil menemukan pengkhianat yang sudah terluka parah itu. Betapa kemarahan menghentak-hentak didada perwira yang berada di banjar, yang bertanggung jawab langsung tentang tawanan itu. Bahkan pengkhianat itu masih sempat menghinanya dengan mengikat tangannya dan meletakkan keris didadanya, seolah-olah orang itu ingin mengatakan, seandainya ia ingin membunuhnya, maka ia sudah mati pada saat itu.

Perwira itu mengumpat. Namun demikian ia sempat juga bertanya kepada diri sendiri, kenapa orang itu tidak membunuhnya.

Dalam pada itu, di pasar hewan, para prajurit pun kemudian meninggalkan tempat itu juga. Tetapi ketiga orang yang menolong petugas sandi itu sadar, bahwa sepeninggal para prajurit itu tidak berarti bahwa apa yang terjadi di pasar itu tidak diketahui oleh mereka, karena tidak seorang pun mengetahui, siapa saja di antara orang-orang yang ada di pasar itu yang sebenarnya pengikut Pangeran Kuda Permati.

Dengan demikian, maka kegiatan di pasar itu telah berlangsung pula. Tidak seorang pun yang membicarakan tentang orang yang hilang itu serta kemungkinan-kemungkinannya, karena setiap orang tidak tahu tanggapan lawan bicaranya.

Yang mereka bicarakan kemudian adalah ternak yang sedang diperdagangkan itu saja sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya.

Dalam pada itu, dengan cermat dan penuh kemarahan, para prajurit itu berusaha untuk menemukan seorang yang sudah terluka parah di tubuhnya, yang menurut dugaan mereka tidak akan sempat lari terlalu jauh. Karena itu, maka mereka telah menyebarkan orang-orang untuk mencarinya. Bukan saja dipasar itu, tetapi juga di paduku-han-padukuhan dan pasar-pasar yang lain.

Namun ternyata bahwa di pasar hewan itu, para prajurit tidak menemukan seseorang, sebagaimana yang mereka sebut telah terluka parah. Yang ada adalah para pedagang dan orang-orang yang membutuhkan ternak untuk beberapa macam keperluan.

Meskipun demikian para prajurit itu tidak segera pergi. Bahkan mereka masih sempat memeriksa kedai-kedai di-sekitar pasar hewan itu.

Namun dalam pada itu, dihari berikutnya, peristiwa yang terjadi itu telah sampai ketelinga para perwira di Kediri. Mereka menyaksikan sendiri, bagaimana seorang perwira petugas sandi yang tertangkap oleh Pangeran Kuda Permati mengalami perlakuan yang sangat pahit. Bahkan seandainya petugas itu tidak sempat mendapat pertolongan dan melepaskan diri, serta kemudian benar-benar diserahkan kepada rakyat yang telah dihasut, maka nasibnya akan menjadi semakin buruk.

Dengan laporan dan kenyataan itu, para Senopati di Kediri sudah mendapatkan beberapa bukti atas tingkah laku Pangeran Kuda Permati dan para pengikutnya. Sementara itu, Sri Baginda masih tetap menyimpan Pangeran Singa Narpada yang memungkinkan untuk mengambil langkah yang lebih keras untuk menundukkan Pangeran Kuda Permati.

“Kita hadapkan perwira petugas sandi itu kepada Sri Baginda” berkata salah seorang Senapati. “Jika Sri Baginda menerima, mungkin akan ada juga pengaruhnya” jawab yang lain.

Namun, ternyata usaha mereka untuk menghadapkan petugas sandi itu tidak berhasil. Sri Baginda sedang sibuk dengan persoalannya sendiri.

“Kita akan terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu” berkata seorang Senapati, “Pangeran Kuda Permati dapat berbuat apa saja. Sementara kita menjadi sangat terkekang”

“Ya. Kita sudah kalah pada langkah-langkah permulaan” berkata Senopati yang lain, “namun menurut pendengaranku, Sri Baginda menyimpan Pangeran Singa Narpada dengan satu keinginan bahwa persoalannya tidak diselesaikan dengan darah semata-mata. Karena jika Pangeran Singa Narpada bebas bertindak, maka ia akan melakukan kekerasan yang tidak akan dapat dielakkan oleh Pangeran Kuda Permati, sehingga akan menimbulkan satu benturan kekerasan yang akan menelan sangat banyak korban.”

“Aku juga mendengar” jawab kawannya, “ tetapi dalam sikap yang adil. Sekarang, justru terjadi sebaliknya. Kita yang dibantai perlahan-lahan tanpa dapat berbuat apa-apa. Bukankah dengan demikian korban akan justru jatuh di satu pihak dan tidak adil sebagaimana dua pihak yang berhadapan.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih belum menemukan suatu cara yang baik untuk melangkah.

Namun dalam itu, para Senopati itu pun telah mendengar laporan pula sikap yang diambil oleh Panji Sempana Murti. Namun sikap itu pun terbentur oleh lingkungan yang berada di bawah bayangan kekuasaan Pangeran Kuda Permati.

Jika Panji Sempana Murti langsung mengambil langkah-langkah kekerasan, maka ia akan berhadapan dengan orang-orang yang tidak banyak mengetahui persoalannya, tetapi diperalat oleh Pangeran Kuda Permati, sehingga korban pun akan jatuh dengan sia-sia.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah menyampaikan hal itu kepada Pugutrawe, meskipun mereka segera kembali lagi menemui Ki Waruju dan tinggal bersamanya. Dengan terperinci Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat memberikan laporan tentang usaha pelepasan, petugas sandi yang ditangkap oleh para pengikut Pangeran Kuda Permati.

“Laporan yang berharga” berkata Pugutrawe, “mudah-mudahan Panji Sempana Murti mendapat laporan pula. Jika tidak, maka lewat petugas kita, aku akan menyusupkan laporan ini tidak langsung ke dalam lingkungan Panji Sempana Murti, agar ia dapat mengambil langkah-langkah.

Dalam pada itu, Petugas-petugas Panji Sempana Murti memang menangkap berita, bahwa seorang petugas sandi dari Kediri yang sudah tertangkap dan siap dikorbankan untuk memuaskan gejolak perasaan rakyat yang sudah dihasutnya telah terlepas. Tidak seorang pun dapat mengatakan, bagaimana petugas itu melepaskan diri. Namun menurut dugaan, petugas sandi itu telah menyebarkan ilmu sirep, sehingga semua orang yang mengawasinya telah tertidur nyenyak. Bahkan petugas sandi itu sempat menghina perwira yang-bertanggung jawab atas dirinya dengan mengikat tangannya dan meletakkan keris didadanya tanpa menyakitinya.

Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Pugutrawe sempat memperkuat berita itu lewat salah seorang petugas sandi Singasari yang ada di antara pasukan Panji Sempana Murti, meskipun ia tidak mengatakan, bahwa orang-orangnyalah yang telah terlibat dalam usaha melepaskan petugas sandi itu.

Dengan demikian, maka Panji Sempana Murti telah mendapat gambaran yang semakin jelas tentang daerah yang dikuasai oleh Pangeran Kuda Permati. Namun ternyata Panji Sempana Murti masih belum mendapat laporan, dimanakah Pangeran Kuda Permati sendiri tinggal.

“Jika pasukan kita menyerang daerah itu, maka kita hanya akan berhadapan dengan rakyat yang tidak tahu menahu. Kita akan memasuki daerah yang bagaikan bayang-bayang. Kita akan menjumpai para petani, pedagang dan orang-orang dalam kesibukan mereka sehari-hari.Namun yang dalam saat-saat tertentu mereka akan menyerang kita,karena sebagian dari mereka adalah prajurit Pangeran Kuda Permati yang- menyatu dengan rakyat yang sudah terpengaruh oleh mereka. Tetapi kita akan sangat sulit untuk membalas serangan itu apalagi berhadapan dalam satu garis pertempuran.

“Kita harus menemukan satu cara” berkata perwira pengikut Pangeran Singa Narpada yang bergabung dengan Panji Sempana Murti. Lalu, “Langkah-langkah yang kita ambil di sini sudah memadai. Kita membentuk pasukan di antara rakyat itu sendiri sehingga mereka akan dapat melawan dan melindungi dirinya sendiri, disamping para prajurit kita yang kita sebarkan.

Panji Sempana Murti termangu-mangu sejenak. Ia sadar sepenuhnya apa yang dihadapinya. Jika ia dengan kasar membenturkan kekuatannya bersama rakyat yang telah mendapat sedikit latihan keprajuritan melawan Pangeran Kuda Permati serta rakyat yang telah dipengaruhinya, maka korban akan jatuh tanpa hitungan, justru di antara rakyat. Sementara itu belum tentu bahwa pada suatu keadaan yang demikian ia dapat bertemu dengan Pangeran Kuda Permati yang belum diketahui dimana tempatnya.

Karena itu, untuk sementara Panji Sempana Murti tetap masih berjuang untuk menemukan satu saat yang paling tepat untuk bertindak. Namun ia tidak membiarkan kekuatan Pangeran Kuda Permati untuk tetap menghantui rakyat di daerah yang kemudian langsung mendapat perlindungannya, bahkan telah dibinanya untuk menjadi alas dan pancadan apabila benar-benar ia harus menghadapi kekuatan Pangeran Kuda Permati itu secara terbuka.

Sebenarnya setelah sekian lama Panji Sempana Murti berusaha lewat para petugas sandinya, ia masih belum mendapat gambaran yang pasti, berapa besar kekuatan Pangeran Kuda Permati. Namun lambat laun ia pun telah berhasil mengaburkan kekuatannya yang sebenarnya sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Kuda Permati. Rakyat Ka-buyutan yang mendapat perlindungannya langsung, nampaknya tanggapsebagaimana aiketahui olehPanji Sempana Murti. Mereka benar-benar telah menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Perasaan takut lambat laun menjadi semakin berkurang, karena Panji Sempana Murti setiap kali telah mengadakan semacam pameran kekuatan.

Bahwa kekuatan Panji Sempana Murti seakan-akan menjadi berlipat memang telah menarik perhatian para petugas sandi Pangeran Kuda Permati. Namun akhirnya mereka pun mulai curiga, bahwa yang hadir di Kabuyutan itu bukan saja pasukan Panji Sempana Murti. tetapi juga pasukan Pangeran Singa Narpada.

Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Permatimasih ingin mempergunakan caranya yang lama. Ia ingin menggertak salah satu padukuhan dengan satu langkah tiba-tiba. Ia telah memerintahkan sepasukan prajuritnya untuk dengan tiba-tiba memasuki sebuah padukuhan dan mengu asainya untuk beberapa saat, kemudian meninggalkannya. Maksudnya sebagaimana terdahulu, agar rakyat di daerah bayangan kekuasaannya masih tetap dalam suasana ketakutan dan tidak berani menentang perintahnya. Bahkan meskipun pasukan Panji Sempana Murti ada di Kabuyutan itu.

Demikianlah, ketika fajar menyingsing disebuah padukuhan, maka orang-orang dipadukuhan itu telah dikejutkan oleh hadirnya sepasukan prajurit di dalam padukuhannya. Orang-orang padukuhan itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Sebagaimana pernah terjadi, bahwa seolah-olah setiap kentongan telah ditunggui oleh para prajurit yang datang.

Dalam kebingungan orang-orang padukuhan itu hanya dapat berdiam diri tanpa berbuat apa-apa. Bahkan anak-anak muda yang berjaga-jaga di gardu pun tidak mampu berbuat apa-apa. Ketika mereka menyadari keadaan mereka, maka seolah-olah gardu itu sudah ditunggui oleh sekelompok prajurit yang sambil tersenyum mengejek.

Bahkan seorang prajurit yang berdiri di depan sebuah gardu melihat anak-anak muda yang kebingungan sambil berkata, “Selamat pagi anak-anak muda. Ternyata kalian memang anak-anak muda yang patuh dan memiliki kemauan yang keras untuk berbuat sesuatu bagi kampung halaman kalian”

Anak-anak muda di dalam gardu itu tidak menyahut. Mereka hanya dapat berdiam diri sambil menahan hati.

Sementara itu, beberapa orang pemimpin dari pasukan itu telah berusaha menemui para bebahu padukuhan. Dengan nada mengancam salah seorang perwira berkata, “Kalian jangan mencoba menentang kehendak kami. Kami akan tetap melakukan tugas kami. Mungkin di padukuhan ini sudah tidak terdapat lagi seekor kudapun. Tetapi mungkin di saat lain kami memerlukan binatang yang lain. Tidak sebagai tunggangan, tetapi kami memerlukannya bagi perjuangan kami yang panjang”

Tidak seorang pun yang dapat menentang. Karena itu, maka mereka hanya dapat menundukkan kepala sambil berdiam diri.

“Nah” berkata perwira itu, “kalian harus menyadari, bahwa kalian tidak akan dapat menggantungkan diri dengan kehadiran Panji Sempana Murti didaerah ini. Katakan, apa artinya kehadirannya bagi keselamatan kalian”

Tidak ada seorang pun yang dapat menjawab.

Karena itu, maka para prajurit itu kemudian telah merasa berhasil menakut-nakuti penduduk padukuhan itu. Mereka mengancam dan bahkan menantang kekuatan Panji Sempana Murti yang ada di Kabuyutan itu.

Demikianlah, setelah puas menakut-nakuti rakyat, maka seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka pun segera menarik diri untuk meninggalkan padukuhan itu kembali ke daerah bayangan kekuasaan Pangeran Kuda Permati.

Namun dalam pada itu, ada yang tidak diperhitungkan oleh Senopati yang memimpin pasukan itu. Sebenarnyalah di setiap padukuhan terdapat beberapa orang prajurit yang telah menyatu dengan rakyat. Beberapa orang di antara mereka yang terjebak di gardu-gardu memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi ternyata bahwa ada juga prajurit Panji Sempana Murti yang mampu melepaskan diri.

Dengan kecepatan yang dapat dilakukannya ia mencapai padukuhan sebelah. Dengan tergesa-gesa ia mengabarkan apa yang terjadi di padukuhan yang ditinggalkannya.

“Cepat, siapkan kekuatan yang ada disini. Tetapi jangan bunyikan isyarat. Aku mempunyai rencana tersendiri” berkata prajurit itu.

Beberapa orang prajurit yang ada di padukuhan itu termangu-mangu. Tetapi mereka tidak sempat banyak bertanya karena prajurit itu berkata, “Apakah masih ada seekor saja kuda di padukuhan ini.?

“Satu-satunya adalah milik bebahu padukuhan ini” jawab prajurit yang ada di padukuhan itu.

Prajurit yang sempat melepaskan diri dari padukuhan sebelah itu ternyata sempat pula meminjam kuda itu. Kemudian katanya kepada kawan-kawannya yang ada di padukuhan itu, “Siapkan pula padukuhan-padukuhan di sebelah menyebelah. Tetapi seperti pesanku, jangan ada suara isyarat kentongan. Aku akan ke padukuhan induk Kabuyutan ini untuk menyiapkan pasukan berkuda.

Para prajurit itu pun segera mengetahui maksud kawannya itu. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Pergilah. Kami akan bersiap secepat mungkin.

Sejenak kemudian maka seekor kuda yang merupakan satu-satunya kuda yang tinggal dipadukuhan itu pun telah berpacu ke padukuhan induk, sementara beberapa orang prajurit penghubung telah berlari-lari ke padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah. Dalam waktu singkat, maka kekuatan yang ada di padukuhan-padukuhan itu pun telah siap untuk melakukan tugas mereka.

Anak-anak muda yang telah mendapat latihan meskipun belum begitu banyak telah mampu dipersiapkan pula di antara para prajurit Panji Sempana Murti dan para prajurit Pangeran Singa Narpada.

Kehadiran prajurit itu di padukuhan induk memang mengejutkan. Ia langsung minta bertemu dengan Panji Sempana Murti dan melaporkan apa yang terjadi serta menyampaikan rencananya.

Panji Sempana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Tetapi baiklah aku berbicara dengan para prajurit Pangeran Singa Narpada.

Ternyata perwira tertinggi yang memimpin para Prajurit Pangeran Singa Narpada yang bergabung dengan Panji Sempana Murti sependapat dengan rencana itu. Karena itu, maka dengan cepat Panji Sempana Murti telah menyiapkan pasukannya. Terutama pasukan berkudanya.

“Kita akan berangkat lebih dahulu” berkata Panji Sempana Murti, “ pasukan berkuda ini akan menahan mereka, sementara itu kalian cepat menyusul sebelum kami mengalami kesulitan.”

Demikianlah, dalam waktu singkat semua rencana dan persiapan dilakukan sebaik-baiknya. Baru sesaat kemudian, Panji Sempana Murti sendiri telah memimpin pasukannya menuju ke padukuhan yang menjadi sasaran sergapan pasukan Pangeran Kuda Permati.

Kehadiran pasukan berkuda itulah yang tidak di perhitungkan lebih dahulu. Apalagi sama sekali tidak terdengar suara kentongan, sehingga menurut dugaan para pemimpin pasukan Pangeran Kuda Permati, yang terjadi itu sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya.

Dalam pada itu, pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Panji Sempana Murti sendiri, tidak langsung memasuki padukuhan yang menjadi sasaran pasukan Pangeran Kuda Permati. Tetapi mereka menuju ke bulak, di luar padukuhan mencegat pasukan Pangeran Kuda Permati yang keluar dari padukuhan itu.

Sementara seorang prajurit yang lain harus menyusup memasuki padukuhan itu kembali dan mempersiapkan kekuatan yang ada sehingga orang-orang dipadukuhan itu kemudian, tidak menjadi sandera jika pasukan Kuda Permati mundur kembali memasuki padukuhan itu. Dengan kekuatan yang ada di antaranya beberapa orang prajurit maka padukuhaan itu sendiri harus mempersiapkan perlawanan. meskipun kesempatannya hanya terlalu sedikit, tetapi Panji Sempana Murti sempat, melakukan rencananya dengan cermat. Mereka vang memperhitungkan bahwa pasukan lawan masih berada di padukuhan itu, telah berhenti beberapa puluh tonggak untuk menunggu sampai pasukan yang sedang menakut-nakuti padukuhan itu keluar. Sementara itu, para penghubung tengah merayap mendekati pasukan itu.

Demikianlah, pasukan Pangeran Kuda Permati yang merasa telah berhasil sebagaimana hari-hari sebelumnya, untuk mempertahankan anggapan, bahwa Pangeran Kuda Permati masih tetap berkuasa meskipun ada pasukan Panji Sempana Murti di Kabuyutan itu.

Tetapi pasukan itu ternyata telah dikejutkan oleh hadirnya berkuda yang dengan tiba-tiba telah menghamburkan debu di tengah-tengah bulak memotong garis perjalanan pasukan Pangeran Kuda Permati. meskipun pasukan berkuda itu tidak terlalu banyak, namun kehadirannya benar-benar telah membuat jantung setiap orang di dalam pasukan Pangeran Kuda Permati itu menjadi berdebar-debar.

Tetapi perwira yang memimpin pasukan itu pun kemudian berteriak, “Kita hancurkan mereka. Jumlah mereka tidak terlalu banyak. Sementara itu, mereka harus menebus kelancangan mereka dengan akibat yang sangat buruk bagi padukuhan yang baru saja kita tinggalkan. Kita akan menjadikan padukuhan itu karang abang, sehingga untuk lain kali, mereka tidak akan berani berbuat seperti itu lagi.

Sebenarnyalah pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Panji Sempana Murti itu tidak terlalu banyak dibanding dengan pasukan Pangeran Kuda Permati yang sengaja menakut-nakuti rakyat di Kabuyutan itu.

Namun dalam pada itu, dengan perhitungan yang cermat, maka para penghubung telah memasuki padukuhan itu. Dengan cepat mereka mengabarkan apa yang telah dilakukan oleh Panji Sempana Murti, sehingga mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi kemudian.

Pemberitahuan itu telah mengejutkan para prajurit yang ada di padukuhan itu. Begitu cepatnya kawannya bertindak, sehingga akan terjadi sesuatu yang dapat menentukan perkembangan keadaan berikutnya.

Namun para prajurit dan anak-anak muda di padukuhan yang baru saja ditinggal oleh pasukan Pangeran Kuda Permati itu ternyata berusaha untuk mengimbangi keadaan.

Meskipun mereka masih berdebar-debar karena sergapan yang tiba-tiba dari pasukan Pangeran Kuda Permati, namun ketika mereka mendapat pemberitahuan bahwa pasukan Panji Sempana Murti sudah siap memotong perjalanan pasukan Pangeran Kuda Permati itu, maka hati mereka pun segera telah berkembang.

Karena itulah, maka dalam, waktu yang singkat, tanpa isyarat dan tanda-tanda dengan kentongan, maka para prajurit yang ada di padukuhan itu bersama anak-anak mudanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, dalam waktu yang sangat sempit, para prajurit dan anak-anak muda di padukuhan itu telah berusaha untuk menyingkirkan perempuan dan anak-anak ke sisi yang lebih jauh dari arah yang mungkin akan diambil oleh pasukan Pangeran Kuda Permati untuk memasuki kembali padukuhan itu.

Namun dalam pada itu, pasukan yang lain yang lebih besar dengan tergesa-gesa telah meninggalkan padukuhan induk. Pasukan yang tidak dapat bergerak secepat pasukan berkuda. Namun karena latihan-latihan yang berat yang pernah mereka lakukan, maka mereka dapat bergerak cukup cepat untuk menyusul pasukan berkuda yang akan menghentikan perjalanan pasukan Pangeran Kuda Permati Namun perwira yang memimpin pasukan itu sadar, bahwa jika mereka terlambat, maka pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Panji Sempana Murti itu akan mengalami kesulitan.

Tetapi dalam pada itu, pasukan-pasukan kecil lainnya yang ada di padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan itu pun telah siap pula. Bahkan mereka telah berbaris di luar dinding padukuhan dan siap untuk memasuki bulak yang akan menjadi ajang pertempuran, sementara yang lain harus memasuki padukuhan untuk membantu para prajurit dan anak-anak muda padukuhan itu apabila pasukan Kuda Permati menarik diri untuk memasuki padukuhan itu kembali.

Dalam pada itu, ternyata kedua pasukan yang berada di bulak, di luar padukuhan itu sudah bertemu. Pasukan berkuda terpilih Panji Sempana Murti tidak menunggu lebih lama lagi.

Dengan garangnya mereka mulai menyerang pasukan lawan. Karena jumlah mereka yang lebih kecil, maka Panji Sempana Murti berusaha untuk bertempur di atas punggung kuda. Namun medannya agak kurang menguntungkan, meskipun dengan sedikit mengesampingkan pertimbangan tentang kerusakan yang dapat terjadi atas ladang di bulak .itu.

Jika pasukan berkuda itu terlalu memikirkan tanaman yang mungkin akan dirusakkan oleh kaki kuda mereka, maka hal itu akan sangat merugikan pertempuran dalam keseluruhannya, karena persoalannya kemudian akan menyangkut bukan saja hidup dan mati para prajurit, tetapi juga imbangan kekuatan antara pasukan Panji Sempana Murti dan Pangeran Kuda Permati.

Demikianlah, maka pertempuran pun segera terjadi dengan sengitnya. Pasukan Pangeran Kuda Permati yang tidak menduga. bahwa mereka akan dihadapkan pada sepasukan prajurit berkuda menjadi sangat marah karenanya. Apalagi ketika mereka melihat bahwa lawan mereka terlalu kecil, sehingga rasa-rasanya Panji Sempana Murti menjadi terlalu sombong untuk melakukan pemotongan perjalanan pasukannya.


“Apakah mereka tidak mendapat keterangan tentang jumlah pasukanku” berkata perwira yang menjadi Senopati pasukan Pangeran Kuda Permati itu

Namun dalam pada itu, pasukan yang lain yang lebih besar ternyata sedang mendekat dengan cepat. Bahkan ketika pertempuran itu sudah terjadi, maka pasukan-pasukan di padukuhan-padukuhan di sekitar bulak itu pun mulai bergerak.

Sementara itu kemarahan Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati itu dengan marah telah memerintahkan sekelompok pasukannya untuk kembali ke padukuhan yang baru saja ditinggalkannya, sebagaimana telah diperhitungkan, dengan perintah, padukuhan itu harus menjadi abu.

Tetapi ketika sekelompok pasukan itu mendekati padukuhan, maka mereka pun terkejut pula. Dihadapannya telah bersiap sepasukan kecil prajurit dan anak-anak muda dari padukuhan itu serta padukuhan di sebelah.

“Gila” geram pemimpin kelompok itu, “iblis manakah yang telah menggerakkan mereka begitu cepat”

Namun sebenarnyalah para prajurit Pangeran Kuda Permati itu menyadari, bahwa anak-anak. muda padukuhan itu telah mendapat latihan-latihan tentang olah kanuragan. Namun sampai saat terakhir, mereka menganggap bahwa masalah itu adalah masalah yang terlalu kecil, sehingga seakan-akan dapat mereka abaikan.

Persiapan yang tiba-tiba dan telah dilakukan setiap padukuhan itu ternyata telah menarik perhatian Pugutrawe. Dalam keadaan yang demikian, ia telah menutup warungnya dan meskipun ia termasuk orang yang tidak diharuskan, tetapi ia telah menggabungkan diri dengan sekelompok anak-anak muda untuk pergi pula ke padukuhan yang menjadi sasaran pasukan Pangeran Kuda Permati.

“Sayang, anak-anak itu tidak ada” berkata Pugutrawe di dalam hatinya, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru sedang berada di Kabuyutan lain yang menjadi alas kekuasaan bayangan Pangeran Kuda Permati bersama Ki Waruju.

Karena tidak hadirnya kedua anak muda itu, maka Pugutrawe sendiri ingin melihat apa yang terjadi.

Pugutrawe yang ikut bersama pasukan dari padukuhannya yang terdiri dari beberapa orang prajurit yang ada di padukuhan itu, kelompok yang termasuk golongan pertama, yang terdiri dari anak-anak muda yang sudah mendapat latihan-latihan dan mereka yang dengan suka rela menyediakan diri untuk ikut dalam pertempuran itu.

“Yang ragu-ragu supaya keluar dari barisan” berkata prajurit yang memimpin pasukan itu, “Kita akan benar-benar bertempur. Bukan sekedar latihan. Lawan kita adalah prajurit-prajurit Kediri yang sebenarnya.

Namun agaknya orang-orang yang sudah terlanjur masuk ke dalam barisan, termasuk Pugutrawe tidak beranjak dari tempatnya. Mereka sudah dengan mantap ikut bersama kawan-kawannya pergi ke medan.

Meski pun para prajurit masih juga memperingatkan, “Bagi yang kurang menguasai senjatanya, jangan tergesa-gesa melibatkan diri.”

Demikianlah, sekelompok orang-orang bersenjata telah keluar dari padukuhannya dan dengan tergesa-gesa pergi ke padukuhan sebagaimana diberitahukan oleh seorang penghubung.

Dalam pada itu, di padukuhan yang disebutkan, pertempuran memang telah terjadi. Sebagian dari prajurit yang kembali ke padukuhan itu untuk menghancurkannya sama sekali sehingga menjadi debu, telah bertemu dengan kekuatan yang ada di padukuhan itu, dibantu oleh kekuatan-kekuatan yang berhasil menyusup kedalamnya.

Ternyata, seperti yang dibangun oleh Pangeran Kuda Permati sendiri, prajurit-prajuritnya telah menemui keadaan yang sama. Orang-orang yang dalam keadaan sehari-hari mereka kenal sebagai petani, pedagang, peternak dan orang-orang kebanyakan lainnya, tiba-tiba telah membawa senjata menghadapi sepasukan prajurit tanpa gentar.

Dengan demikian, maka pertempuran di bulak dan di pintu gerbang padukuhan itu pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha untuk dapat segera menguasai lawannya dan mendesak mereka.

Namun pertempuran yang terjadi di bulak, ternyata memang berat sebelah. Jumlah pasukan Pangeran Kuda Permati memang jauh lebih banyak.

Namun Panji Sempana Murti yang memimpin sendiri pasukannya, berusaha untuk memanfaatkan kuda mereka sebaik-baiknya.

Dengan sigap mereka datang menyerang bagaikan gelombang, susul menyusul. Namun dengan cepat pula mereka bergeser menjauh.

Serangan-serangan beruntun dari pasukan berkuda atas satu sisi dari pasukan Pangeran Kuda Permati yang dipimpin oleh seorang Senapatinya dan kemudian menjauh, telah menimbulkan persoalan tersendiri dari pasukan itu. Tetapi karena jumlah mereka lebih banyak, maka yang dapat dilakukan oleh pasukan berkuda itu seakan-akan hanya merupakan gangguan-gangguan yang tidak menentukah, meskipun menimbulkan kemarahannya menghentak-hentak di dada Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati itu.

Namun kemudian, Senapati yang menjadi jemu itu telah menjatuhkan perintah, agar berusaha untuk menjebak pasukan berkuda itu, sehingga mereka memasuki lingkaran pertempuran lebih dalam lagi.

Tetapi pada saat yang demikian, beberapa kelompok pasukan dari beberapa padukuhan telah mulai mendekat. Mereka terdiri dari para prajurit dan anak-anak muda yang belum cukup matang dalam olah peperangan. Tetapi dengan tekad yang bulat, mereka tidak gentar menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian atas mereka.

Namun ternyata Panji Sempana Murti lah yang menjadi cemas melihat kehadiran mereka, justru karena lawan terlalu kuat dan memiliki bekal ilmu kanuragan yang cukup. Karena itu, maka ia pun kemudian memerintahkan pasukannya untuk memecah perhatian, agar pasukan-pasukan yang datang itu tidak menjadi sasaran yang terlalu lunak bagi pasukan Pangeran Kuda Permati yang garang itu.

Sementara itu, Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati itu pun melihat kedatangan beberapa kelompok orang-orang bersenjata dari padukuhan-padukuhan. Kemarahan yang tidak tertahankan, telah mendorongnya untuk meneriakkan perintah, “Hancurkan mereka. Adalah salah mereka sendiri, bahwa mereka telah menjerumuskan diri ke dalam kesulitan di medan yang garang ini”

Tetapi agaknya tidak semudah itu untuk melakukannya, justru karena perhatian Panji Sempana Murti lebih banyak tertuju kepada keselamatan mereka.

Namun, bagaimanapun juga, kehadiran kelompok-kelompok pasukan, yang kemudian semakin lama menjadi semakin banyak itu, benar-benar mulai terasa membebani pastikan Pangeran Kuda Permati, sehingga dengan demikian, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin garang.

Di padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan, sebagian kecil dari pasukan Pangeran Kuda Permati itu tidak segera berhasil menembus kekuatan perlawanan yang dipimpin oleh beberapa orang prajurit. Bukan saja para prajurit yang ada di padukuhan itu, tetapi juga yang berada di padukuhan sebelah yang telah berhasil menyusup ke dalam padukuhan itu.

Para prajurit itulah yang bertempur di paling depan, meskipun dalam ujud yang sama dengan para penghuni padukuhan itu. Namun sebagaimana terjadi di daerah bayangan kekuasaan Pangeran Kuda Permati, pasukannya pun menyadari, tentu ada di antara mereka prajurit-prajurit yang bertugas di padukuhan-padukuhan, setidak-tidaknya mereka yang memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu.

Karena itu, maka prajurit itu seakan-akan telah menghentakkan kekuatan mereka untuk memecahan pertahanan orang-orang padukuhan itu. Mereka mengemban tugas dari Senapatinya untuk menjadikan padukuhan itu karang abang. Isi padepokan itu harus menjadi abu agar hal yang serupa tidak akan terulang lagi. Panji Sempana Murti harus menyadari kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga sebuah padukuhan bersama isinya telah menjadi hancur karenanya.

Tetapi para penghuni padukuhan itu dibantu oleh beberapa orang prajurit Panji Sempana Murti dan kekuatan dari padukuhan sebelah yang jumlahnya menjadi lebih banyak dari sebagian kecil pasukan lawan itu, telah bertahan-dengan sekuat tenaga sehingga usaha lawan itu tidak segera berhasil.

Namun dalam pada itu, yang dicemaskan oleh Panji Sempana Murti telah mulai nampak gejalanya akan terjadi di daerah pertempuran di bulak. Para prajurit pengikut Pangeran Kuda Permati mulai mendesak pasukan yang datang dari padukuhan-padukuhan. meskipun jumlah mereka semakin lama semain banyak, namun di antara mereka yang mampu mempergunakan senjata dengan baik hanyalah sebagian kecil saja. Terutama para prajurit yang memang berada di antara anak-anak muda itu.

Bahkan semakin lama pasukan Pangeran Kuda Permati itu benar-benar menjadi semakin garang, sehingga dengan demikian maka pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Panji Sempana Murti itu harus bekerja keras menyelamatkan anak-anak muda yang datang dari padukuhan-padukuhan.

Namun dalam pada itu, pada saat-saat yang paling mendebarkan bagi anak-anak muda yang turun ke arena, maka sepasukan prajurit Panji Sempana Murti yang lain telah datang menyusul. Sepasukan prajurit dalam jumlah yang cukup, namun karena mereka bukan pasukan berkuda, maka kedatangan mereka berjarak beberapa saat dengan pasukan yang mendahuluinya.

Bahkan yang datang bukan saja para prajurit, tetapi juga anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan yang lebih jauh dari padukuhan induk, telah mengikuti pasukan itu di ujung belakang.

Kedatangan pasukan itu telah mendebarkan jantung pasukan lawan. Mereka memang tidak jelas, jenis pasukan apakah yang datang itu. Apakah mereka terdiri dari anak-anak muda sebagaimana yang datang terdahulu atau bukan.

Namun ketika mereka semakin dekat, maka jelas bagi para pengikut Pangeran Kuda Permati, bahwa yang datang itu adalah sepasukan prajurit.

“Gila” geram Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati itu, “Yang datang itu tentu sebagian pasukan Panji Sempana Murti, yang akan membantu pasukan berkuda yang datang lebih dahulu.

Para prajurit Pangeran Kuda Permati pun mulai berdebar-debar. Jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Tetapi kehadiran mereka tentu akan memberikan pengaruh yang besar pada keseimbangan pertempuran itu rasa-rasanya masih saja mengalir, meskipun dalam kelompok-kelompok kecil.

Dengan demikian, maka Senapati itu pun telah memberikan perintah, bahwa perhatian terbesar harus diberikan kepada prajurit dari pasukan Panji Sempana Murti. Mereka tentu memiliki kemampuan sebagaimana seorang prajurit. Karena itu, maka mereka harus diberi perlawanan dengan sungguh-sungguh agar mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati mereka di peperangan itu.

“Jangan banyak dihiraukan lagi pasukan berkuda yang datang dan pergi itu, “ perintah Senapati itu, “Mereka tidak akan banyak menentukan akhir dari pertempuran ini. Tetapi pasukan darat yang menyusul itu benar-benar harus dihadapi dan dihancurkan sebagaimana pasukan yang lain.

Dengan demikian, maka para prajurit Pangeran Kuda Permati itu telah bertempur semakin keras. Justru pada saat-saat pasukan yang datang itu semakin dekat. Untunglah bahwa di antara anak-anak muda itu terdapat juga beberapa orang prajurit di samping pasukan berkuda yang selalu berusaha untuk memecah perhatian pasukan lawan. Dengan demikian maka usaha mereka untuk menghancurkan pasukan lawan agak dapat dihambat, meskipun akibatnya terasa pula. Beberapa orang anak muda memang harus di angkat keluar dari arena, karena luka-luka yang parah, sementara yang lain terpaksa berlari-lari kecil karena senjata mereka yang terlempar dari tangan.

Namun lawan-lawan mereka yang garang sama sekali tidak berniat untuk melepaskan seorang pun di antara mereka. Dengan garangnya mereka berusaha memburu. Tetapi justru pada saat yang demikian, pasukan Panji Sempana Murti telah berlari-lari memasuki arena dalam tebaran gelar yang sederhana, namun mendekati kelengkapan gelar Garuda Nglayang.

Dengan demikian, maka pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Panji Sempana Murti yang telah berhasil menghentikan para prajurit Pangeran Kuda Permati itu pun telah menyibak, sementara pasukan yang sedang bertempur di medan itu telah mendapat perintah untuk menyusup ke belakang gelar yang telah mendekati pasukan lawan.

Melihat gelar yang meskipun sederhana tetapi memiliki unsur-unsur gelar itu, pasukan lawan menjadi gelisah. Mereka menghadapi pasukan berkuda dan kelompok-kelompok yang datang terdahulu sama sekali tanpa pembentukan gelar apapun.

Ada semacam kecemasan di dalam hati Senapati yang memimpin pasukan Pengeran Kuda Permati. Jika mereka bertempur tanpa gelar, atau bahkan dengan gelar Gelatik Neba sekalipun akan dapat terjebak oleh gelar pasukan Panji Sempana Murti betapa pun sederhananya gelar itu. Tetapi gelar itu memiliki unsur pengapit, unsur sayap dan paruh.

Nampaknya pasukan itu juga memusatkan kekuatannya pada paruh, pengapit dan ujung-ujung sayapnya yang lengkung.

Namun para pengikut Pangeran Kuda Permati itu juga terdiri sebagian besar prajurit-prajurit dan pengawal Kediri. Karena itu, maka mereka pun dengan cepat menyesuaikan diri menghadapi lawannya.

Tiba-tiba saja maka terdengar aba-aba yang diteriakkan oleh Senapati yang memimpin pasukan itu, sambung bersambung dari pemimpin kelompok ke pemimpin kelompok yang lain. Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka pasukan itu seakan-akan telah ditarik susut beberapa puluh langkah. Demikian cepatnya sehingga terjadi jarak antara kedua pasukan itu. Namun dengan sigap, para prajurit dan pengawal yang menjadi pengikut Pangeran Kuda Permati itu telah menyusun diri. Ketika mereka berderap maju, maka susunan pasukannya juga telah berujud gelar yang sederhana. Wulan Punanggal yang mempunyai watak yang sama dengan Garuda Nglayang. Namun pada Wulan Punanggal kekuatan pada induk pasukan tidak dipusatkan pada paruh gelar, tetapi merata menebar di sebelah menyebelah Senapatinya. Sementara itu ujung-ujung gelar yang runcing seakan-akan telah siap menusuk sayap-sayap gelar pasukan lawan dan mengoyaknya.

Panji Sempana Murti sempat menyaksikan perubahan ujud pada pasukan lawannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis, “Benar-benar sebuah pasukan yang trampil”

Namun pasukan Panji Sempana Murti tidak gentar melihat kenyataan yang mereka hadapi. Beberapa saat kemudian, mereka yang semula bertempur diatas punggung kuda telah meloncat turun, menyerahkan kuda-kuda mereka kepada beberapa orang dan mereka pun langsung berada di dalam gelar. Panji Sempana Murti sendirilah yang kemudian memimpin gelar itu. Sementara ia memerintahkan beberapa orang perwiranya untuk mengatur pasukan-pasukan yang berdatangan dari padukuhan-padukuhan.

“Mereka berada di lapisan kedua sayap kanan dan kiri” berkata seorang perwira.

“Awasi mereka” perintah Panji Sempana Murti, “jumlah mereka cukup banyak, tetapi kemampuan mereka masih di bawah syarat kemampuan seorang prajurit. Karena itu, seorang pun di antara mereka jangan ada yang berada dilapis pertama. Biarkan para prajurit menghadapi kekuatan Pangeran Kuda Permati”

Perintah itu benar-benar ditaati oleh para pemimpin kelompok. Anak-anak muda yang ikut dalam pasukan itu pun lelah berada di belakang para prajurit. Mereka yang sudah terlibat dalam pertempuran, telah menyusup memasuki dan berada dibelakang gelar. Sementara saat-saat pasukan lawan menyusun gelar, merupakan kesempatan bagi anak-anak muda untuk menempatkan diri, meskipun ada di antara mereka yang sudah terlanjur menjadi korban.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak mempunyai alas kekuatan para prajurit dan pengawal dari Kediri, sehingga dengan demikian, maka mereka mempunyai dasar kemampuan yang seimbang.

Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga jumlah orang di dalam pertempuran ikut menentukan. Jumlah orang di dalam pasukan Panji Sempana Murti ternyata melampaui jumlah orang yang ada di dalam pasukan lawan. Anak-anak muda yang meskipun berada dilapis kedua dan berikutnya, namun mereka kadang-kadang mendapat kesempatan pula untuk bertempur. Tidak seorang lawan seorang, tetapi mereka berusaha untuk bertempur berpasangan. Namun karena jumlah mereka cukup banyak, maka hal itu telah ikut menentukan keseimbangan kekuatan.

Senapati yang memimpin pasukan Pangeran Kuda Permati mengumpat tidak habis-habisnya. Ia merasa bahwa pasukannya telah terjebak oleh Panji Sempana Murti berani melakukan pemotongan perjalanan mereka kembali ke induk pasukan.

“Panji yang gila itu tentu akan mendapat hukuman yang setimpal dengan kegilaannya” geram Senapati itu.

Namun Panji Sempana Murti mempunyai perhitungan tersendiri. Jika ia berhasil menghancurkan kekuatan itu, maka ia sudah berhasil mengurangi kekuatan Pangeran Kuda Permati.

Justru sebagian yang cukup besar. Dengan demikian, maka pasukan yang tersisa tidak akan lagi sangat berbahaya baginya dan apalagi bagi Kediri.

Karena itu, maka Panji Sempana Murti berusaha dengan sekuat tenaganya untuk benar-benar menghancurkan pasukan itu dan menawan sisanya jika mereka menyerah. Tetapi jika tidak, maka apaboleh buat.

“Sikap itu adalah sikap yang paling baik” geram Panji Sempana Murti, seorang Senapati yang dikenal sebagai seorang Senapati yang keras, yang pada beberapa saat terakhir, hampir kehilangan kepribadiannya. Sebenarnyalah bahwa Panji Sempana Murti adalah seorang Senapati yang mempunyai kepribadian yang mirip dengan Pangeran Singa Narpada, kepribadian yang dicemaskan oleh Sri Baginda akan dapat menimbulkan korban yang tidak terbilang.

Namun tanpa ketegasan sikap seperti yang dilakukan oleh Panji Sempana Murti, maka suasana akan tetap tidak menentu untuk waktu yang lama.

Dalam pada itu, maka pertempuran yang keras pun segera terjadi. Para pengikut Pangeran Kuda Permati yang telah menyatakan diri tidak lagi mengakui kekuasaan Singasari atas Kediri, benar-benar telah menunjukkan sikapnya yang tegas.

Mereka menentang Singasari atau orang-orang yang menurut pendapat mereka adalah tangan-tangan dari kekuasaan yang tidak sewajarnya atas Kediri itu. Bagi mereka, semua orang yang menjadi alat kekuasaan Singasari harus dimusnakan.

Sementara itu, bagi Panji Sempana Murti, Pangeran Kuda Permati adalah seorang pemberontak. Orang-orang yang berpihak kepadanya adalah pemberontak-pemberontak pula. Seorang pemberontak adalah seorang pengkhianat yang harus dibinasakan apabila mereka tidak mau menyerah.

Dengan sikap dan landasan pandangan masing-masing tentang persoalan yang mereka hadapi, maka mereka benar-benar telah bertempur dengan segala kemampuan yang ada pada mereka.

Kedua gelar itu saling mendesak dan saling menekan. Setiap kali terdengar sorak yang bagaikan memecah langit. Kemenangan-kemenangan kecil ditandai dengan sorak yang gemuruh, meskipun sejenak kemudian lawan-lawan merekalah yang bersorak.

Sementara itu, ujung-ujung gelar pasukan Pangeran Kuda Permati yang tajam yang mencoba mengoyak sayap pasukan Panji Sempana Murti ternyata tidak segera berhasil, karena sayap-sayap pasukan itu diperkuat oleh beberapa orang perwira yang memiliki kemampuan yang melampaui para prajurit yang lain.

Dalam pada itu, Panji Sempana Murti yang memegang kendali gelar berada di paruh pasukan. Untuk beberapa saat ia masih memimpin pasukannya dan belum langsung bertempur di induk pasukan. Namun ketika ia melihat Senapati yang memimpin pasukan Kuda Permati itu mengamuk bagaikan harimau lapar, maka Pangeran Panji Sempana Murti pun telah menyerahkan pengamatan dan kendali gelar itu kepada seorang perwira yang telah memiliki pengalaman yang cukup.

“Setan itu tidak boleh menjadi buas di lingkungan kambing-kambing yang lemah” geram Panji Sempana Murti.

Sejenak kemudian, maka Panji Sempana Murti dengan pedangnya yang besar telah turun menghadapi Senapati yang sedang mengamuk itu.

“Kau kira kau satu-satunya laki-laki di medan ini” geram Panji Sempana Murti.

“Bagus” jawab Senapati itu, “Aku berhadapan dengan Panglima pasukan budak-budak Singasari di daerah perbatasan Utara.

“Aku merasa lebih terhormat menjadi budak daripada seorang pengkhianat” jawab Panji Sempana Murti, “betapa hinanya budak-budak, tetapi ia masih mempunyai harga diri untuk berjuang melawan pemberontakan. Nah, sekarang menyerahlah pengkhianat. Tidak ada tempat bagimu di tanah ini selama yang kau sebut budak bernama Panji Sempana Murti ini masih ada”

“Setan budak yang hina” geram Senapati itu, “kau jangan berlagak sebagai seorang pahlawan. Apa artinya sikapmu itu? Katakan kau memiliki kelebihan dari kebanyakan orang, namun kelebihanmu justru kau pergunakan untuk menindas kadangmu sendiri atas nama orang-orang Singasari”

“Nalarmu memang sudah terbalik” berkata Panji Sempana Murti, “Aku melihat satu kesatuan yang besar saat ini. Jika kita masing-masing masih berpijak kepada kepentingan diri sendiri, maka kita akan tetap terpecah belah dan kita akan menjadi bangsa yang paling ringkih di seluruh muka bumi ini. Pada saat-saat kita membuka hubungan dengan orang-orang asing yang mulai merambah tanah ini, maka kita harus kuat, lahir dan batin, agar kita tidak memberikan kesan sebagai anak sapi yang lemah, yang akhirnya akan diterkam oleh harimau-harimau yang garang dari daerah di luar rangkah”

“Omong kosong” geram Senapati itu, “alasan yang tidak masuk akal. Kau ingin mencari alasan untuk membela sikap budakmu”

“Persetan” geram Panji Sempana Murti, “apa pun yang kau katakan, aku adalah Panglima pasukan Kediri di daerah perbatasan Utara dengan kekancingan yang di beri pertanda atas kuasa Seri Baginda di Kediri. Sekarang menyerahlah, atau kau akan binasa. Aku telah mengambil sikap yang tidak ragu-ragu. Semua pengkhianat harus ditangkap atau dibinasakan”

Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan
LihatTutupKomentar