Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan Jilid 001
Ternyata Mahendra tidak sempat beristirahat untuk menikmati satu ketenangan pada hari tuanya. Semula Mahendra menduga, bahwa apabila Mahisa Bungalan telah menemukan hari-hari yang mapan setelah perkawinannya dengan gadis yang dipilihnya sendiri, ia akan dapat tidur nyenyak tanpa kegelisahan.
Tetapi persoalan baru ternyata telah timbul.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin meningkat. Bukan saja umurnya, tetapi juga wawasannya tentang hidup dan kehidupan. Apa yang diketahuinya sehari-hari di sekelilingnya terasa sangat sempit dan terbatas. Keinginan yang tidak tertahankan telah mendorong mereka untuk melihat dunia yang lebih luas.
“Kalian tidak memberi kesempatan aku hidup tenang.” berkata ayahnya.
“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.
“Kau sudah mulai merengek untuk melakukan perjalanan yang membuat ayah tidak dapat tidur di malam hari, dan tidak makan dengan tenang di siang hari.” berkata ayahnya.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, “Kakang Mahisa Bungalan juga pernah bahkan terlalu sering melakukan pengembaraan.”
”Karena itulah, aku ingin beristirahat dari kegelisahan semacam itu.” jawab Mahendra.
“Aku tidak pernah melihat ayah tidak dapat tidur di malam hari dan tidak dapat makan dengan tenang di siang hari. Selama kakang Mahisa Bungalan pergi, ayah juga selalu tidur nyenyak. Bahkan tidak saja di malam hari. Juga di siang hari. Demikian juga ayah dapat makan dengan sedapnya di siang hari, bahkan kadang-kadang juga di malam hari.” sahut Mahisa Pukat.
“Tentu saja tidak dalam arti sebenarnya,” jawab ayahnya, “tetapi dalam arti kiasan. Meskipun aku dapat tidur nyenyak, tetapi setiap saat aku teringat kepergian kakakmu, aku menjadi gelisah.”
“Sebaliknya ayah tidak memikirkan kami berdua,” berkata Mahisa Murti, “kami akan menempuh perjalanan yang paling aman bagi kami. Kami hanya ingin melihat-lihat. Tidak lebih dan tidak kurang.”
“Demikian juga yang dikatakan oleh kakakmu pada waktu itu. Tetapi bertualang seolah-olah tidak dapat terpisahkan lagi dari jalan hidupnya kemudian. Ia sudah menunda beberapa kali kesediaannya memasuki lingkungan keprajuritan sebagaimana sudah disangupkan.” berkata ayahnya.
Kedua adik Mahisa Bungalan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ternyata keduanya benar-benar sudah bertekad bulat. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Aku mohon ayah bersikap adil. Jika kakang Mahisa Bungalan pernah mendapat kesempatan, kami pun mohon untuk mendapat kesempatan.”
Mahendra tidak segera menjawab. Tetapi ia merasa bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan anak-anaknya itu. Bahkan seandainya ia berkeras untuk melarang, maka mungkin sekali akan dapat timbul persoalan baru yang justru akan lebih membuatnya berprihatin.
“Asal permintaan mereka itu dilambari dengan tujuan yang baik dan bermanfaat,” berkata ayahnya di dalam hatinya, “sehingga dengan demikian mereka justru memerlukan bekal yang lebih lengkap.”
Akhirnya Mahendra telah mengambil satu keputusan, bahwa ia tidak akan melarang anak-anaknya menempuh satu perjalanan, tetapi keduanya harus menurut segala petunjuknya.
“Apakah aku pernah menentang petunjuk-petunjuk yang pernah ayah berikan?” bertanya Mahisa Murti.
“Tidak,” jawab ayahnya, “aku tahu, kalian adalah anak yang baik. Meskipun demikian aku masih merasa perlu mengatakan hal itu kepadamu, karena aku melihat gejala-gejala bahwa kalian akan menentukan sikap yang sebelumnya belum pernah kalian ambil jika aku salah menanggapi permintaan kalian.”
Kedua anaknya terdiam. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Karena itu aku ingin melakukan satu perbuatan yang tepat bagi kalian pada saat seperti ini.”
Kedua anaknya masih berdiam diri.
“Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,” berkata ayahnya, “kalian memang sudah menjadi semakin dewasa. Karena itu, kalian harus sudah dapat menanggapi kata-kata ayah dengan sikap dewasa.”
Kedua anaknya itu mengangguk.
“Karena itu, maka dengarlah.” Mahendra terdiam sejenak.
Lalu, “Aku dapat melihat akibat petualangan kakakmu. Pada suatu saat, kakakmu terperosok ke dalam satu padepokan kecil. Di padepokan itu kakakmu bertemu dengan seorang gadis. Nah, kau tahu apa yang terjadi kemudian. Hidupnya seakan-akan telah dibakar oleh pertemuannya itu. Meskipun dalam beberapa hal terjadi peristiwa yang tidak langsung nampak bersangkut paut dengan pertemuannya itu. Tetapi kalau kau sempat melihat ke dalam dasar persoalannya, maka kau akan melihat semuanya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
“Untunglah, bahwa segalanya berakhir dengan baik. Kakakmu Mahisa Bungalan akhirnya menyelesaikan petualangannya dan bahkan ia telah kawin dengan Ken Padmi menurut tata cara yang sewajarnya. Dengan demikian, kita dapat bersyukur kepada Yang Maha Agung atas tuntunan Nya.” berkata Mahendra. Tetapi kemudian, “Namun demikian, aku minta kau dapat menilai apa yang telah terjadi. Aku tidak melarang anak-anakku berhubungan dengan seorang gadis, karena pada saatnya kalian akan hidup bersama dengan seorang perempuan. Tetapi dalam pengembaraan kalian nanti, hendaknya kalian dapat dapat menjaga diri. Bukankah kalian mengembara tidak untuk mendapatkan seorang jodoh?”
Kedua anak muda itu mendengar nasehat ayahnya dengan saksama. Hampir di luar sadar, mereka menilai apa yang telah dilakukan oleh kakaknya, Mahisa Bungalan.
Kedua anak muda itu kemudian telah mendengar apa yang terjadi setelah kakaknya bertemu dengan seorang gadis yang bernama Ken Padmi. Peristiwa demi peristiwa saling menyusul. Tidak jarang kakaknya dihadapkan pada bahaya yang mengancam jiwanya. Bahkan dalam perkembangan persoalannya, maka terpaksa ayahnya, kedua pamannya, Witantra dan Mahisa Agni, harus terlibat pula ke dalamnya.
Hanya karena kemurahan Yang Maha Agung sajalah maka akhirnya segalanya dapat diatasi. Ken Padmi yang sudah hampir terlepas dari hati Mahisa Bungalan itu pun akhirnya dapat bertaut kembali. Bahkan akhirnya ayahnya telah datang untuk melamar gadis itu, sehingga perkawinannya dapat berlangsung pada saat Mahisa Bungalan telah menerima wisuda sebagai seorang prajurit.
“Sebenarnyalah hanya karena kemurahan Yang Maha Agung persoalan-persoalan yang susul menyusul itu dapat diatasi.” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka mereka pun telah berjanji di dalam hati, untuk mematuhi pesan ayahnya, bahwa di dalam pengembaraan mereka, maka mereka akan berbuat lebih hati-hati dalam hubungan mereka dengan gadis-gadis di sepanjang perjalanan.
“Bagaimana pendapat kalian berdua?” anak-anak muda itu terkejut ketika mereka mendengar ayahnya bertanya.
Sekilas mereka saling berpandangan. Kemudian Mahisa Pukat menjawab dengan nada dalam, “Kami akan mematuhi pesan ayah. Kami menyadari, apa yang pernah terjadi dengan kakang Mahisa Bungalan.”
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Aku percaya kepada kalian. Dengan demikian kalian telah mengurangi satu segi kegelisahanku.” Mahendra berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku masih mempunyai syarat yang lain.”
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, “Syarat apa lagi, ayah?”
“Kalian harus melengkapi bekal perjalanan kalian,” berkata ayahnya, “aku masih ingin mengurangi beban perasaanku lagi, meskipun satu segi telah dapat aku kesampingkan.”
Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara ayahnya berkata, “Kalian masih memerlukan waktu beberapa bulan lagi, sebelum kalian meninggalkan rumah ini.”
”Beberapa bulan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Apakah artinya beberapa bulan dengan rencana pengembaraanmu? Kalian harus menyadari, bahwa dalam pengembaraan itu kadang-kadang kalian harus berusaha menyelamatkan diri sendiri dari bahaya yang tidak kalian perhitungkan sebelumnya. Meskipun sebenarnyalah bahwa pengembaraan kalian bukanlah berniat untuk mencari lawan. Justru kalian harus sejauh mungkin menghindarkan diri dari sikap dan tindak kekerasan. Kalian harus berusaha menyelesaikan semua persoalan yang timbul dengan sikap yang baik tanpa mempergunakan ilmu yang manapun juga dari olah kanuragan. Hanya dalam keadaan tertentu, di mana kalian harus melindungi hidup kalian, maka kalian terpaksa mempergunakan ilmu yang telah kalian pelajari.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Agaknya mereka memang tidak dapat menolak maksud ayahnya untuk menunda perjalanan mereka dengan beberapa bulan. Karena yang beberapa bulan itu akan dapat menentukan akibat yang jauh dalam pengembangan mereka.
“Jika kalian bersedia, maka yang beberapa bulan itu harus kalian isi dengan kerja keras. Kalian harus mencapai satu tingkatan sebagaimana dicapai oleh kakakmu sebelum melakukan pengembaraan. Ternyata kakakmu berhasil mengembangkan ilmunya, sehingga pada saat pengembaraannya berakhir, Mahisa Bungalan telah memiliki tataran ilmu yang tinggi.” berkata Mahendra kemudian.
Kedua anaknya itu mengangguk. Mereka memang tidak dapat mengelak. Bahkan mereka merasa tertarik kepada tawaran ayahnya itu. Karena dengan memperdalam ilmu, maka mereka akan mendapat bekal yang lebih banyak dalam pengembaraan mereka, meskipun sebagaimana dikatakan oleh ayahnya, bahwa olah kanuragan adalah bekal yang boleh dipergunakan hanya dalam keadaan yang memaksa.
“Jika demikian,” berkata Mahendra, “mulai besok kalian harus mempergunakan waktu kalian sebagian besar di dalam sanggar untuk menempa diri.”
Kedua anak muda itu tidak mengelak. Mereka memang sudah mengerti, bahwa mereka harus bekerja keras sebelum mereka meninggalkan rumah mereka.
Demikianlah sejak berikutnya, kedua anak muda itu telah menempa diri. Mahendra memang telah memberikan semua dasar ilmu yang ada padanya. Namun sebelum kedua anaknya meninggalkan rumah mereka, maka Mahendra ingin membuka pintu bagi kedua anaknya untuk memperkembangkan ilmunya lebih luas lagi. Bahkan dalam waktu yang sudah direncanakan, ayahnya ingin memberikan ilmu pamungkas yang merupakan puncak kekuatan ilmunya kepada kedua anaknya itu.
Bahkan dalam saat-saat yang demikian, Mahendra telah berhubungan pula dengan Witantra dan Mahisa Agni, sehingga orang-orang tua itu pun telah ikut pula menempa kedua anak muda itu agar mereka benar-benar siap menghadapi sebuah pengembaraan.
“Kalian tidak tahu apa akan terjadi di perjalanan,” berkata Mahisa Agni ketika ia sudah berada di rumah Mahendra, “karena itu, kalian harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun demikian, perjalanan kalian memang tidak untuk memamerkan kemampuan kalian.”
Ketika Mahisa Bungalan mendengar rencana kedua adiknya untuk pergi meninggalkan rumahnya, maka ia pun hanya dapat mengelus dadanya. Ia tidak dapat mencegahnya, karena ia sendiri pernah melakukannya.
Namun justru karena itu, maka Mahisa Bungalan pun telah menemui kedua adiknya untuk memberikan beberapa pesan berdasarkan atas pengalamannya selama mengembara.
“Hindarkan diri dari persoalan-persoalan yang akan dapat menyeratmu ke dalam kesulitan. Karena jika kalian terjerat ke dalam persoalan yang tidak dapat lagi kalian lepaskan, maka kalian akan sampai pada suatu keputusan untuk mempergunakan kekerasan.” berkata Mahisa Bungalan.
Kedua adiknya mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa kakaknya mempunyai pengalaman yang luas dalam pengembaraan yang pernah dilakukan. Namun yang menurut ayahnya, justru kakaknya itu telah terjerat oleh persoalan yang justru menjadi sangat gawat. Karena kakaknya itu telah menyentuh bunga yang sedang mekar di sebuah padepokan kecil.
Tetapi kedua adiknya tidak menyentuh hal itu, karena keduanya tidak ingin membuat kakaknya itu tersinggung.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan pun ternyata sependapat pula dengan ayahnya, bahwa meskipun bukan bekal yang paling baik, namun anak muda itu harus menempa diri, meningkatkan ilmu kanuragan, sehingga jika diperlukan akan dapat melindungi mereka dari kesulitan yang tidak dikehendakinya.
Demikianlah, pada hari-hari berikutnya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk meningkatkan ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri, Witantra dan dilengkapi oleh Mahisa Agni yang mempunyai sumber ilmu yang berbeda, namun yang dengan kemampuannya yang tinggi, dapat membantu Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengisi kekurangan yang terdapat pada ilmu yang telah diterimanya.
Ternyata kedua anak anak muda itu tidak kalah cerdas dari kakaknya. Ketika keduanya dengan sungguh-sungguh menempa diri, maka kemampuan mereka pun telah meningkat dengan cepat. Dasar-dasar ilmu yang telah mereka kuasai itu pun mekar dengan kelengkapan yang lebih luas justru karena hadirnya Mahisa Agni.
“Kau memiliki dasar yang baik,” berkata Mahisa Agni kepada kedua anak muda itu, “namun demikian, bukan berarti bahwa kalian telah berada di puncak kemampuan tanpa dapat di kalahkan oleh siapa pun juga. Jangan merasa bahwa ilmu yang kalian miliki adalah ilmu yang sempurna. Di atas ilmu yang bagaimanapun tinggi, tentu masih ada kekuatan yang akan dapat menghancurkannya. Kalian harus menyadarinya.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, dengan tanpa mengenal lelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melatih diri di dalam sanggar siang dan malam. Hanya dalam waktu-waktu yang pendek di siang hari dan apabila malam telah larut, keduanya beristirahat. Dengan atau tidak dengan ayah serta paman-paman mereka, mereka mempergunakan seluruh kesempatan yang ada.
Dengan demikian, maka terasa waktu perjalanan dengan cepat.
Sebulan telah dilalui. Dan kedua anak muda itu pun menjadi semakin tangkas dalam olah kanuragan.
Pada hari-hari berikutnya, mereka meningkatkan kemampuan mereka mempergunakan senjata. Segala jenis senjata. Senjata yang sebenarnya, maupun apa saja yang akan dapat mereka ketemukan di sembarang tempat. Potongan kayu turus pagar atau sulur pepohonan. Bahkan batu sekalipun.
Dengan sungguh-sungguh keduanya mengikuti segala petunjuk dan tuntutan yang diberikan kepadanya. Pada saat-saat tertentu mereka menyempurnakan ilmu pedang mereka. Namun pada saat lain mereka bermain-main dengan tombak pendek dan panjang.
Namun mereka masih harus mempertajam kemampuan bidik mereka.
Keduanya dengan tekun berlatih mempergunakan busur dan anak panah. Kemudian keduanya berlatih mempergunakan paser dan bahkan kemudian lemparan-lemparan dengan batu yang akan mereka dapatkan di sembarang tempat.
Pada kesempatan lain mereka berlatih mempergunakan senjata lentur. Mulai dari ujung rotan, sampai kepada cemeti pendek dan cambuk yang berjuntai panjang. Bahkan mereka mempelajari kemungkinan yang dapat mereka lakukan dengan mempergunakan tali dan sulur-sulur pepohonan.
Dengan tekad yang membara di dalam dada mereka, maka kedua anak muda itu dapat menyelesaikan bulan kedua dengan hasil yang dapat mereka banggakan. Namun, seperti yang dipesankan oleh ayah mereka, oleh Witantra dan Mahisa Agni, bahwa mereka jangan terlalu berbangga dengan ilmu kanuragan yang telah mereka kuasai.
Sementara itu, maka di bulan ketiga, Mahendra telah menyiapkan kedua anak-anaknya untuk menerima ilmu pamungkas yang jarang ada bandingnya. Bersama Witantra yang memiliki ilmu yang sejalan, kedua anak muda itu telah menempa lahir dan batinnya, agar mereka siap untuk menerima ilmu tertinggi dari jalur ilmu mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Agni tidak lagi banyak dapat membantu, meskipun pada saat yang lain, jika diperlukan, ia pun akan dapat memberikan tuntunan untuk mencari kemungkinan agar puncak ilmu dari jalur perguruannya pun akan dapat di terima oleh anak-anak itu. Tetapi sudah barang tentu hal itu akan diperlukan waktu untuk dapat mencapai tujuan yang sebaik-baiknya.
Namun jika puncak ilmu dari jalur perguruan Mahendra dan Witantra itu dikuasai dengan baik oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Murti meskipun masih belum dalam tataran tertinggi, karena masih akan dapat diperkembangkan lagi oleh pengalaman dan kematangan daya serap dari daya ungkapnya.
Dengan tekad yang membara di hati, maka waktu yang ditentukan oleh Mahendra itu pun akhirnya dapat diselesaikan sebagaimana seharusnya. Tiga bulan telah lewat. Dan saat-saat yang paling menegangkan dalam usaha menempa diri itu pun telah dilakukan.
Kedua anak muda itu mengurung diri di dalam sanggar tiga hari tiga malam menjelang saat-saat ayahnya dan Witantra sampai kepada satu keputusan untuk memberikan kemampuan dasar dari puncak ilmunya.
Sehari semalam setelah mereka mengurung diri tiga hari tiga malam, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyediakan dirinya untuk menyadap, selanjutnya menguasai puncak ilmu yang dimiliki oleh jalur ayahnya dan Witantra, dilambari laku pati geni.
Dalam tahap-tahap terakhir keduanya harus berjuang melawan hambatan di dalam dirinya sendiri. Mereka harus menyingkirkan perasaan ragu, cemas, dan kebimbangan. Mereka harus memusatkan segenap daya rasa dan pikir serta kewadagannya untuk sampai kepada penguasaan ilmu yang dahsyat itu.
Namun akhirnya segalanya dapat dilalui dengan selamat. Meskipun pada saat-saat terakhir, kedua anak muda itu bagaikan kehilangan segenap tulang-tulangnya. Kelelahan lahir dan batin membuat keduanya seolah-olah tidak mampu lagi menguasai diri, sehingga keduanya itu pun akhirnya menjadi pingsan.
Tetapi baik Mahendra, Witantra maupun Mahisa Agni tidak menjadi cemas karenanya. Mereka mengerti, apa yang telah terjadi atas kedua anak muda itu. Dengan titik-titik air di bibir mereka, maka sejenak kemudian mereka pun menjadi sadar kembali, meskipun kelelahan lahir dan batin itu masih mencengkam mereka.
“Beristirahatlah.” berkata Mahendra.
Tertatih-tatih keduanya berusaha untuk berjalan ke sebuah amben di dalam sanggar. Ketika keduanya berhasil mencapai amben bambu itu, maka keduanya kemudian membaringkan diri dengan lemahnya.
Mahendra tersenyum. Namun ia yakin, bahwa kedua anaknya telah memiliki kemampuan yang akan dapat melindungi diri mereka dalam pengembaraan yang akan mereka lakukan.
Setelah minum beberapa teguk, maka keduanya merasa menjadi semakin segar. Karena itu, maka ketika ayahnya memintanya, keduanya pun kemudian berusaha keluar dari sanggar dan pergi ke ruang dalam.
Ternyata keduanya dapat berjalan tanpa bantuan siapa pun juga betapapun lemahnya. Demikian mereka memasuki ruang dalam, maka mereka pun dihadapkan kepada makanan yang paling lunak.
Cairan yang mengandung gelepung beras yang lembut.
“Kalian telah berhasil.” berkata ayahnya.
“Terima kasih, ayah.” hampir berbareng keduanya menyahut.
“Kau telah menempuh jalan yang paling dekat, meskipun berat. Ada laku lain yang lebih ringan, tetapi memerlukan waktu yang lebih panjang.” berkata ayahnya pula.
“Tetapi laku yang berat ini telah dapat kalian selesaikan.” sela Witantra.
“Ya, paman,” jawab Mahisa Murti, “ternyata kami mampu melakukannya.”
“Bersukurlah kepada Yang Kuasa Agung.” berkata Mahisa Agni.
“Ya. Kami merasa sukur, bahwa kami telah dikurniai kekuatan untuk menyelesaikan laku yang berat ini.” sahut Mahisa Pukat.
“Untuk selanjutnya,” berkata Witantra, “setiap penggunaan dari ilmu puncakmu ini, harus selalu kau lambari dengan satu kesadaran, dari mana kau menerima ilmu itu. Orang-orang tua ini hanyalah merupakan lantaran saja. Dengan demikian, maka kau berdua tidak akan mempergunakan dengan semena-mena. Nilai penggunaan yang terkandung di dalamnya sejalan dengan nilai kalian berdua sebagai titah tertinggi dari Yang Maha Agung.”
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa mereka tidak hanya boleh menyadap ilmu kanuragan saja, tetapi juga serba sedikit tentang kajiwan.
Hari-hari yang pendek telah dipergunakan oleh kedua anak muda itu untuk memulihkan keadaan tubuh mereka. Sekali-sekali mereka masih juga harus mengenang, apa yang telah mereka lakukan di dalam sanggar pada laku terakhir. Mereka harus memusatkan segenap rasa dan pikir, merenungi satu lambang gerak yang akan menuntun mereka kepada satu sikap untuk menerima ilmu puncak itu. Hampir di luar kesadaran, maka tubuh mereka pun telah bergerak dalam sikap itu. Kemudian satu loncatan yang dahsyat dengan ayunan tangan pada sasaran yang telah dipersiapkan.
Adalah satu pertanda bahwa mereka berhasil, ketika sasaran itu hancur berkeping-keping tersentuh oleh tangan mereka. Meskipun mengerahkan kekuatan lahir dan batin, menguras segenap tenaga cadangan mereka pada satu saat, sehingga tubuh mereka pun menjadi lemah dan bahkan keduanya menjadi pingsan.
“Semuanya telah lampau,” berkata Mahisa Murti, “rasa-rasanya ngeri juga untuk mengulanginya.”
“Ayah, paman Witantra dan paman Mahisa Agni tentu telah membuat perhitungan yang masak. Aku yakin, bahwa akan dapat melakukannya.” berkata Mahisa Pukat.
“Aku juga. Tetapi bukan karena kemampuan di dalam diriku untuk menyadap ilmu itu, tetapi semata-mata karena aku juga yakin, bahwa ayah telah memperhitungkan sebaik-baiknya.” sahut Mahisa Murti.
Namun ternyata bahwa keduanya tidak saja berpegang kepada kesadaran betapa mereka telah memiliki ilmu yang dahsyat, tetapi mereka juga berpegang kepada setiap pesan ayahnya, pamannya Witantra dan Mahisa Agni.
“Kau telah memperoleh ilmu itu dengan laku yang berat. Tetapi laku yang lebih berat, bagaimana kau mengamalkannya atas dasar perasaan kasih kepada sesama.” berkata Mahendra kepada kedua anaknya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan pesan ayahnya dengan sungguh-sungguh. Dalam usianya yang menjelang dewasa penuh, mereka tahu makna dari pesan ayahnya itu. Sebenarnyalah bahwa ia akan menghadapi banyak tantangan dari mereka sendiri. Kesombongan, ketamakan, dengki dan iri hati akan dapat mewarnai hidupnya jika mereka tidak mampu menguasai diri, sehingga dengan demikian maka ilmu dan kemampuan yang ada di dalam diri, akan merupakan bencana bagi orang lain.
Tetapi dengan lambaran pesan ayahnya, paman-pamannya dan kakaknya, maka kedua anak muda itu akan mulai dengan satu pengembaraan bukan saja dengan wadagnya, tetapi juga untuk mematangkan jiwa mereka.
Demikianlah, setelah keadaan tubuh mereka pulih kembali setelah mesu diri di dalam sanggar pada laku terakhir, maka mereka pun telah bersiap-siap untuk menempuh satu perjalanan.
“Kau akan pergi ke tempat yang tidak kau ketahui,” berkata ayahnya, “karena itu kau berdua harus berusaha untuk mengenali lingkunganmu sebaik-baiknya. Dengan demikian maka kau akan mengenal daerah yang pernah kau ketahui, sehingga pada suatu saat dengan mudah kau akan menemukan jalan kembali.”
“Kami mohon restu dan doa.” berkata Mahisa Murti pada saat ia meninggalkan rumahnya.
“Ingatlah pesan-pesan kami.” berkata ayahnya.
“Kami akan selalu berusaha, ayah.” jawab Mahisa Pukat.
Seluruh keluarga melepaskan kedua anak muda itu dengan berat hati. Tetapi mereka tidak dapat menahan keduanya. Sebagaimana mereka melepaskan Mahisa Bungalan, maka mereka pun seakan-akan harus melepaskan kedua adiknya untuk mengenal lingkungan yang lebih luas.
Agar pengembaraan itu tidak berkesan bahwa keduanya ingin pergi berperang, maka keduanya tidak membawa senjata yang dapat segera dilihat oleh orang lain. Namun untuk kepentingan yang paling mendesak, keduanya membawa pisau belati di bawah kain panjang mereka. Mungkin mereka harus memotong sulur-sulur kayu atau akar yang diperlukan. Dalam kekeringan mereka mungkin akan memotong batang rotan untuk mendapatkan air atau jenis pepohonan merambat yang lain.
Demikianlah dengan tekad yang bulat keduanya telah meninggalkan rumah mereka. Ketika mereka keluar dari regol, sementara beberapa orang kawannya yang berpapasan bertanya, maka mereka selalu menjawab, bahwa mereka akan mengunjungi saudara mereka di Kota Raja.
Sepeninggal kedua anak-anak muda itu, rumah Mahendra memang terasa sepi. Mahisa Bungalan yang sudah kawin dan kemudian sebagaimana dijanjikannya, telah memasuki lingkungan keprajuritan telah tidak ada di rumah. Sementara itu Mahisa Pukat dan Mahisa Murti telah meninggalkan rumah itu pula. Apalagi jika kemudian Mahisa Agni dan Witantra meninggalkan rumah itu.
Tetapi ternyata Witantra dan Mahisa Agni mengerti perasaan Mahendra. Karena itu, untuk beberapa lama mereka telah menyanggupi untuk tetap tinggal di rumah itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Bungalan telah menyusuri jalan menuju ke Kota Raja. Namun mereka tidak memasuki gerbang. Mereka berbelok melalui jalan yang lebih kecil menuju ke arah yang berbeda.
Namun, tidak ada lagi orang yang mengenal mereka. Sehingga dengan demikian, maka keduanya benar-benar mulai berada di dalam pengembaraan mereka yang tidak dapat mereka batasi dalam waktu dan tempat. Mereka akan menjelajahi lembah dan lereng pegunungan sesuai dengan keinginan mereka. Dan mereka pun akan mengembara untuk waktu yang tidak terbatas.
“Rasa-rasanya memang asing di perjalanan.” berkata Mahisa Pukat.
“Ya. Meskipun kita sudah sering melakukan perjalanan bersama ayah dan kadang-kadang kakang Mahisa Bungalan, tetapi rasa-rasanya memang lain dengan perjalanan kita kali ini.” sahut Mahisa Murti.
Keduanya memperhatikan keadaan di sekelilingnya mereka dengan saksama, sebagaimana dipesankan oleh orang-orang tua yang mereka tinggalkan. Mereka memperhatikan pepohonan yang besar, bebatuan, sungai dan tanda-tanda alam yang lain. Sehingga mereka berharap bahwa jika mereka ke tempat itu lagi, mereka akan dapat mengenalinya kembali sebagai tempat yang pernah mereka lalui.
Dalam pada itu, sebagaimana pernah dilakukan oleh Mahisa Bungalan, maka mereka pun tidak menyatakan dari sebagai seorang anak saudagar besi aji dan dalam ujud yang lebih kecukupan. Tetapi mereka menyatakan diri dalam ujud yang lebih sederhana. Benar-benar sebagai dua orang perantau muda yang tidak mempunyai sandaran penghidupan yang tetap.
Namun keduanya masih juga membawa bekal uang yang akan dapat mereka pergunakan apabila diperlukan, di samping beberapa lembar pakaian yang juga sederhana seperti yang mereka pakai.
Tetapi seperti pesan ayahnya, mereka harus berhemat dengan uang yang mereka bawa. Uang itu tidak terlalu banyak, sementara mereka akan mengembara untuk waktu yang tidak ditentukan.
“Ayah mencemaskannya.” berkata Mahisa Murti.
“Tentang apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Uang yang kita bawa akan habis sebelum kita sampai ke rumah kita kembali.” jawab Mahisa Murti, “Pengembara sama sekali tidak memerlukan uang.”
“Tetapi apa salahnya jika kita bersedia jika sangat mendesak, sebagaimana dalam persoalan yang lain.” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Memang mungkin pada suatu saat mereka sangat memerlukan uang. Tetapi sudah barang tentu bekal uang tidaklah mutlak bagi mereka.
Ketika malam turun, keduanya masih belum terlalu jauh dari kota raja. Seperti pengembara yang lain, yang kemalaman di perjalanan maka mereka pun telah bermalam di banjar padukuhan yang kebetulan mereka lalui.
Ternyata malam itu selain kedua anak muda itu, masih ada seorang pengembara tua yang tidur di banjar itu pula. Mereka dipersilahkan tidur di serambi samping. Di sebuah amben yang besar dengan bentangan tikar pandan di atasnya.
Nampaknya orang tua itu benar-benar kelelahan. Demikian orang itu terbaring, maka ia pun segera tertidur dengan nyenyaknya.
”Siapa orang itu?” bertanya Mahisa Murti.
”Tentu aku tidak tahu.” jawab Mahisa Pukat.
”Nampaknya ia lelah sekali.” berkata Mahisa Murti.
”Mungkin ia lelah sekali. Tetapi mungkin ia berpura-pura lelah sekali.” sahut Mahisa Pukat hampir berbisik.
”Sst,” desis Mahisa Murti, ”jangan terlalu cepat mencurigai seseorang. Mungkin ia justru memerlukan pertolongan.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh saudara laki-lakinya itu.
Dalam pada itu, hampir tengah malam seseorang telah membangunkan orang itu. Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum tidur, maka orang itu tidak perlu membangunkannya.
”Marilah,” berkata orang itu, ”anak-anak yang sedang meronda mendapat makan malam. Jika kalian belum makan, marilah makan bersama kami.”
Orang tua yang terbangun dari tidurnya itu pun kemudian bangkit dengan cepat. Hampir tergesa-gesa ia pergi ke gardu di depan banjar itu. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah juga menuju ke gardu itu.
”Marilah.” berkata anak-anak muda yang meronda itu. Ketika pengembara itu sudah duduk di bibir gardu, maka ia pun telah menyenduk nasi ke dalam mangkuknya tanpa ragu-ragu.
Mahisa Pukat menyentuh lengan Mahisa Murti. Sementara Mahisa Murti berkata, ”Bukankah orang itu memang memerlukan pertolongan. Nampaknya ia memang lapar sekali.”
Agak berbeda dengan orang itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih juga merasa segan untuk makan terlalu banyak. Karena itu, maka mereka pun mengambil nasi sekedarnya. Apalagi keduanya memang tidak merasa terlalu lapar, karena mereka terbiasa mesu diri dan mengurangi makan dan minum.
Setelah makan, mereka bertiga pun dipersilahkan untuk kembali ke tempat mereka semula. Namun mereka tidak dapat segera berbaring karena perut mereka yang kenyang.
Tetapi agaknya orang tua itu tidak terlalu tertarik untuk berbicara. Ketika Mahisa Murti bertanya kepadanya, ke mana orang tua itu akan pergi, maka ia hanya menjawab pendek, ”Aku seorang pengembara, anak muda.”
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa dengan demikian, orang tua itu tidak mempunyai tujuan yang pasti.
Sejenak mereka bertiga duduk tanpa berbicara apapun juga. Sejenak kemudian, maka orang tua itu pun telah berbaring lagi dan tidak ada sepenginang, ia sudah tidur mendekur.
”Nampaknya tidak ada persoalan apapun di dalam hidupnya.” berkata Mahisa Murti.
”Ya. Segalanya disandang dengan pasrah.” berkata Mahisa Pukat. Namun kemudian, ”Dengan pasrah, putus asa atau seorang pemalas?”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “kita memang tidak dapat menilainya hanya dengan sekedar berpapasan di banjar ini.”
Mahisa Pukat pun tersenyum pula. Namun ia masih belum ingin berbaring. Sambil menjelujurkan kakinya, ia bersandar dinding. Namun Mahisa Murti lah yang kemudian berbaring sambil berdesis, “Aku pun telah mengantuk.”
”Tidurlah. Nanti saatnya kau harus bangun.” jawab Mahisa Pukat.
Barulah Mahisa Murti sadar, bahwa Mahisa Pukat memang menaruh kecurigaan terhadap orang tua yang tidur nyenyak itu.
Menjelang dini hari, Mahisa Pukat telah menggamit Mahisa Murti yang tidur pulas oleh sejuknya udara pagi.
Sambil mengusap matanya ia pun kemudian bangkit sambil bertanya, ”Ada apa?”
”Aku mengantuk.” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia pun masih ingin tidur. Tetapi ia ingin memberi kesempatan kepada Mahisa Murti, sehingga ia pun kemudian bersandar dinding sambil berkata, ”Tidurlah.”
Mahisa Pukatlah yang kemudian tidur menjelang fajar. Namun ia memang masih mendapat waktu sesaat untuk beristirahat. Sementara Mahisa Murti duduk bersandar dinding sambil menahan kantuknya yang belum juga beranjak pergi.
Tetapi Mahisa Murti mampu bertahan sampai wajah langit menjadi cerah. Ia pun kemudian membangunkan Mahisa Pukat yang telah mendapat kesempatan lelap barang sesaat.
”Sudah pagi. Kita harus melanjutkan perjalanan. Jika kita masih mengantuk, kita akan dapat melanjutkan tidur di belukar perdu siang nanti tanpa ada yang mengganggu.” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat pun kemudian bangkit. Diamatinya orang tua yang ternyata masih tidur dengan nyenyaknya.
”Bukankah ia tidak berbuat apa-apa?” berkata Mahisa Murti kemudian.
”Ya. Ternyata ia memang seorang yang memerlukan pertolongan. Makan semalam tentu sangat berarti baginya.” jawab Mahisa Pukat.
Kedua anak muda itu pun kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Baru kemudian keduanya ingin minta diri kepada penunggu banjar itu, setelah mereka membenahi pakaian, karena anak-anak muda yang meronda telah pulang ke rumah masing-masing.
Tetapi ketika mereka kembali ke serambi, ternyata orang tua yang semalam tidur nyenyak itu telah pergi. Agaknya orang itu tidak perlu pergi ke pakiwan untuk mandi dan membenahi diri.
Namun kedua anak muda itu segera melupakannya. Orang tua yang nampaknya agak malas itu tidak banyak menarik perhatian mereka.
Demikianlah setelah minta diri dan mengucapkan terima kasih kepada penunggu banjar itu, maka kedua anak muda itu pun melanjutkan perjalanan mereka. Seperti saat mereka meninggalkan rumahnya, maka mereka pun sama sekali tidak menentukan tujuan.
Mereka berjalan mengikuti langkah kaki mereka. Tetapi seperti pesan orang-orang yang ditinggalkannya, mereka memperhatikan setiap pertanda yang dapat mereka kenali dengan mudah. Apalagi mereka belum terlalu jauh berjalan.
Dalam pada itu, udara pagi tetap terasa segar di tubuh mereka. Matahari yang belum terlalu tinggi memancarkan cahayanya yang cerah memantul di dedaunan yang basah oleh embun.
Tetapi suasana pagi yang cerah itu rasa-rasanya telah menjadi hambar, ketika kedua anak muda itu merasa, seolah-olah mereka telah diikuti oleh empat orang di belakang mereka. Namun demikian Mahisa Murti masih berkata, “Mungkin mereka memang menuju ke arah yang sama.”
Namun agaknya Mahisa Pukat memiliki sifat yang lebih berhati-hati. Katanya, “Mungkin. Tetapi mungkin iuga mereka memang mengikuti kita.”
Mahisa Murti berpaling. Jarak antara keduanya dengan keempat orang itu menjadi semakin dekat.
“Marilah, kita berbelok di tengah bulak itu.” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti sependapat. Ketika mereka sampai ke simpang empat di jalan bulak, maka mereka pun telah berbelok ke kanan, mengikuti jalan yang menuju ke arah yang tidak banyak dilalui orang, karena agaknya jalan itu telah menuju ke padang perdu yang gersang.
Mahisa Pukat menggamit Mahisa Murti ketika ternyata keempat orang itu pun berbelok pula mengikuti mereka. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.
“Aku tidak peduli,” berkata Mahisa Murti, “marilah kita memasuki padang perdu itu. Apakah mereka masih tetap akan mengikuti kita. Jika mereka juga memasuki padang perdu itu, maka sebaiknya kita menunggu.”
Mahisa Pukat mengangguk. Ia pun sependapat bahwa mereka akan memasuki padang perdu untuk melihat, apakah orang-orang itu benar-benar mengikuti mereka.
Namun ternyata orang-orang itu membuat kedua anak muda itu menjadi berdebar-debar. Ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki padang perdu yang jarang sekali diinjak kaki orang itu, selain orang-orang yang mencari kayu bakar, maka keempat orang itu pun masuk pula ke padang perdu itu.
“Sekarang kita pasti.” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baru beberapa langkah dari rumah. Kita sudah menghadapi persoalan yang tidak menarik sama sekali.”
“Apakah kita akan menunggu seperti yang kau katakan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Bukankah sebaiknya demikian, agar kita segera mendapatkan kepastian?” sahut Mahisa Murti.
“Baiklah. Kita berhenti di sini.” jawab Mahisa Pukat.
Kedua anak muda itu pun kemudian justru berhenti. Mereka pun kemudian duduk di atas rerumputan kering di bawah sebatang pohon perdu yang agak besar dibanding dengan pepohonan di sekitarnya.
Sambil bersandar batangnya, Mahisa Murti berkata, ”Mudah-mudahan mereka orang-orang yang sedang mencari kayu.”
Tetapi Mahisa Murti sendiri tidak yakin akan kata-katanya. Apalagi ketika kemudian ia melihat keempat orang itu menuju ke arahnya.
Sejenak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertegun. Ternyata salah seorang dari empat orang itu adalah orang tua yang tidur semalam suntuk di serambi.
“Orang itu lagi.” desis Mahisa Murti.
“Ya,” jawab Mahisa Pukat, “aku justru menjadi semakin curiga.”
Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tidak menghiraukan keempat orang itu. Tetapi ketika keempat orang itu sudah berdiri di hadapan mereka, maka kedua anak muda itu tidak dapat berpura-pura tidak menghiraukan mereka lagi.
“Anak muda.” berkata orang yang semalam suntuk tidur dengan nyenyak. Lalu, “Siapakah sebenarnya kalian berdua?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap duduk di atas rerumputan kering. Dengan sikap yang nampaknya tidak berprasangka Mahisa Murti bertanya, “Apakah yang menarik pada kami? Kami adalah dua orang pengembara yang tidak berarti apa-apa.”
“Bukankah kalian berdua semalam berada di banjar?” bertanya orang yang tidur nyenyak itu.
“Ya. Aku berada di banjar, seperti juga kau.” jawab Mahisa Murti.
”Apakah kau telah dengan sengaja mengganggu rencanaku, he?” bertanya orang itu.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Aku tidak mengerti yang kau maksudkan. Apakah kiranya kami berdua sudah mengganggu?”
Orang yang semalam tidur nyenyak itu melangkah maju sambil menggeram, “Ya. Kalian telah mengganggu kami.”
“Kami tidak berbuat apa-apa.” jawab Mahisa Pukat.
“Apa yang kau lakukan semalam?” bertanya orang itu.
“Tidak apa-apa. Aku hanya duduk saja.” jawab Mahisa Pukat.
“Kau tidak tidur semalam.” geram orang itu.
“Aku tidak dapat tidur semalam. Baru menjelang pagi aku tertidur.” jawab Mahisa Pukat.
“Tetapi kawanmu itulah yang kemudian bangun.” bentak orang itu.
“Ya,” jawab Mahisa Murti, “aku memang terbangun dan tidak dapat tidur lagi.”
“Itulah sebabnya kalian telah mengganggu aku.” bentak orang itu pula.
Kedua orang saudara itu termangu-mangu. Namun mereka sudah dapat merasa, apa maksud orang itu. Agaknya mereka memang ingin melakukan sesuatu. Tetapi karena salah seorang dari kedua orang anak muda itu berganti-ganti duduk berjaga-jaga, maka orang itu merasa terganggu.
“Anak muda,” berkata orang itu, “apakah kau sengaja telah menggangguku semalam?”
“Tidak. Sama sekali tidak.” jawab Mahisa Murti.
”Baiklah. Aku masih mempercayaimu. Tetapi jika malam nanti kalian berada lagi di banjar itu atau di sekitar padukuhan, maka kau akan mengalami nasib yang sangat buruk. Ketahuilah, bahwa kami tidak segan-segan membunuh seseorang yang mengganggu pekerjaan kami.” geram orang itu.
“Tidak. Jangan bunuh kami,” minta Mahisa Murti, “kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami akan pergi jauh meninggalkan padukuhan itu.”
“Aku tidak yakin,” tiba-tiba salah seorang di antara mereka yang mengikuti kedua bersaudara itu berdesis, “nampaknya kedua anak itu licik sekali. Mungkin ia justru ingin mendapat pujian orang-orang padukuhan.”
“Kami tidak akan ikut campur.” sahut Mahisa Murti. Tetapi ketika ia berpaling kepada Mahisa Pukat, dilihatnya kening anak muda itu berkerut. Agaknya Mahisa Pukat sedang menahan diri agar ia tidak bersikap sendiri.
Orang yang dikira semalam tidur nyenyak semalam suntuk itu kemudian bertanya, “He, apakah benar kau akan mencari pujian? Apakah kau justru akan pergi ke padukuhan itu dan melaporkan kepada Ki Buyut?”
“Tidak. Tidak.” jawab Mahisa Murti.
“Ingat. Aku dapat membunuhmu dengan cara yang paling buruk. Jika aku melihat kau berada di sekitar padukuhan itu maka kau akan mengalaminya.”
“ Kami akan pergi sangat jauh.” suara Mahisa Murti menjadi gemetar.
Orang yang disangka tidur nyenyak semalam suntuk itu pun berkata, “Aku masih mempercayaimu sekarang. Tetapi kau jangan mencari kesulitan. Sebab seandainya kau melaporkan hal ini kepada orang-orang padukuhan itu, akibatnya akan terjadi tidak seperti yang kau harapkan. Sebenarnya kami sama sekali tidak takut kepada orang-orang padukuhan itu. Jika kami masih mempergunakan pertimbangan, adalah justru karena kami tidak ingin membunuh seorang pun di antara mereka. Tetapi jika mereka berusaha menggagalkan niat kami, maka kami akan berbuat sesuatu yang akan dapat menimbulkan korban di antara orang-orang padukuhan itu. Sehingga yang kami lakukan, justru untuk keselamatan orang-orang padukuhan itu sendiri. Karena tidak seorang pun yang akan dapat menahan keinginan kami.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mahisa Pukat duduk dengan gelisah.
“Kau tahu maksud kami?” bertanya orang itu.
“Ya. Ya. Kami tahu.” jawab Mahisa Murti. Orang-orang itu masih berdiri tegang untuk beberapa saat. Namun kemudian, orang yang disangka tidur semalam suntuk itu berkata, “Ingatlah pesan kami, agar kaliar tidak mengalami kematian yang paling parah.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara orang itu berkata kepada kawan-kawannya, “Marilah. Kita tinggalkan mereka.”
Kawan-kawannya masih nampak ragu-ragu. Tetapi ketika orang itu melangkah pergi, maka yang lain pun mengikutinya. Seorang yang paling muda di antara mereka masih berpaling dengan tatapan mata penuh kebencian.
Ketika mereka sudah menjadi semakin jauh, maka Mahisa Pukat pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Untunglah aku masih dapat menahan diri.”
“Kita tidak akan mencari perkara.” jawab Mahisa Murti.
“Tetapi apakah yang akan mereka lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Itulah yang agak membingungkan. Sebenarnya kita dapat saja melupakan mereka. Tetapi pertanyaan seperti yang kau ucapkan itu tentu akan selalu mengganggu kita.” jawab Mahisa Murti.
“Bagaimana jika mereka bermaksud buruk?” bertanya Mahisa Pukat pula.
“Ya. Itulah soalnya.” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sikap mereka memang sangat mencurigakan. Dan sudah barang tentu, kita ikut bertanggung jawab jika terjadi sesuatu, karena kita sudah mengetahuinya lebih dahulu.”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata bahwa terlalu sulit bagi kita untuk menghindarkan diri dari persoalan seperti ini. Kita sudah dihadapkan kepada teka-teki yang harus kita jawab, belum begitu jauh dari rumah kita.”
Mahisa Pukat menundukkan kepalanya. Ia mulai merenungi segala macam pesan orang-orang tua yang ditinggalkannya di rumah. Namun agaknya menghadapi sikap yang sangat mencurigakan itu, ia tidak melihat satu keberatan apapun dari pesan-pesan itu apabila ia berusaha untuk mengetahui dan apabila mungkin menghindarkan persoalan yang akan dapat berakibat buruk bagi banyak orang yang tidak bersalah.
Dalam pada itu, agaknya Mahisa Murti pun melihat kembali ke dalam persoalan yang sama, kepada pesan-pesan yang pernah diberikan sebelum ia meninggalkan rumahnya.
Karena itulah, maka akhirnya Mahisa Murti pun berkata, “Bagaimana jika kita nanti malam melihat apa yang terjadi di padukuhan itu?”
“Aku sependapat.” jawab Mahisa Pukat
Keduanya pun kemudian telah membulatkan tekad mereka untuk mengamati padukuhan yang baru saja mereka tinggalkan, justru karena orang yang semalam mereka anggap tidur mendekur itu telah mengancam mereka.
Karena itulah, maka sehari itu keduanya tidak beranjak dari tempat itu. Mereka hanya beringsut saat mereka mencari air. Sementara keduanya sempat membeli makanan sekedar untuk melawan lapar.
Rasa-rasanya mereka terlalu lama menunggu matahari yang dengan malasnya bergeser ke Barat. Meskipun mereka sudah mengisi waktu mereka dengan berbaring di bawah sebatang pohon yang agak rimbun di tempat yang jarang disentuh kaki manusia itu, namun waktu terasa maju dengan sangat lamban.
Namun akhirnya matahari pun telah turun. Perlahan-lahan langit pun menjadi kelabu dan akhirnya senja yang suram turun menyelubungi padang perdu yang sepi itu.
“Waktunya telah tiba.” berkata Mahisa Pukat.
”Baiklah. Tetapi kita harus berhati-hati. Kita harus menghindarkan diri dari persoalan-persoalan yang tidak perlu. Lebih baik kehadiran kita tidak diketahui sama sekali, agar bukan kitalah yang memancing keributan. Kecuali jika ternyata bahwa seseorang akan berbuat jahat di padukuhan itu.” berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil membenahi diri. Namun bagaimanapun terasa juga jantungnya berdebar-debar. Yang akan mereka lakukan akan merupakan pengalaman yang menarik. Tetapi jika justru karena itu mereka akan mengalami bencana, maka pengembaraan mereka akan berakhir pada hari ketiga saja.
Setelah malam menjadi semakin gelap, maka kedua orang anak muda itu pun dengan sangat hati-hati telah mendekati padukuhan yang mereka tinggalkan malam sebelumnya. Dengan sangat berhati-hati mereka mengendap mendekati dinding padukuhan. Ketika ternyata mereka berada di bagian yang tidak diawasi, maka keduanya pun segera meloncati dinding padukuhan memasuki sebuah halaman yang gelap.
“Kita tidak tahu, di manakah arah banjar itu.” desis Mahisa Pukat.
“Rasa-rasanya banjar itu berada di tengah-tengah padukuhan,” jawab Mahisa Murti, “kita akan dapat menduga arahnya.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian bergeser dengan sangat hati-hati bersama Mahisa Murti.
Ternyata dengan tidak menimbulkan keributan, keduanya berhasil mendekati bajar. Mereka dengan sabar menunggu di belakang banjar. Meskipun gelap malam menjadi semakin pekat serta nyamuk yang berterbangan di sekitar mereka, namun keduanya masih harus menunggu.
“Apakah orang itu bermalam lagi di banjar?” bertanya Mahisa Murti.
“Kita akan melihat menjelang tengah malam. Agaknya orang-orang yang bermalam akan mendapat bagian jika para pemuda itu makan.” desis Mahisa Pukat.
“Ya. Kita akan dapat melihat dari seberang jika pintu regol tidak ditutup.” desis Mahisa Murti.
“Semalam pintu itu tidak tertutup.” jawab Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun mengusap dahinya sambil berdesis, “He, bukankah menurut penglihatan kita, peronda di banjar ini terlalu kuat? Apakah memang kebiasaan padukuhan ini berbuat demikian, atau justru karena sesuatu sebab?”
“Tetapi nampaknya di gardu-gardu lain, anak-anak muda pun meronda pula.” jawab Mahisa Pukat.
“Ya, justru karena itu. Seolah-olah padukuhan ini memang sedang berjaga-jaga.” desis Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Kemudian ia bergumam, “Ya. Ya. Padukuhan ini nampaknya memang sedang berjaga-jaga.”
Sambil mengangguk-angguk Mahisa Pukat merenungi beberapa kemungkinan yang dapat dilakukannya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Kita berpindah di halaman di depan banjar. Kita akan melihat apakah orang itu akan ikut makan para peronda seperti semalam. Sementara itu, jika kita mendapat kesempatan mendekati regol, mungkin kita dapat mendengar serba sedikit tentang keadaan padukuhan ini.”
“Bagus,” sahut Mahisa Murti, “kita akan pergi ke halaman di depan banjar ini.”
Kedua anak muda itu pun kemudian beringsut mengelilingi banjar itu. Dengan sangat berhati-hati mereka berhasil mendekati regol dan melihat lewat pintu gerbang yang terbuka. Tetapi ternyata dua orang tengah berjaga-jaga di depan regol sebagaimana dilakukan malam sebelumnya.
Ternyata kedua orang di pintu regol itu tidak banyak berbicara. Namun salah seorang di antara mereka bertanya, “Sampai kapan kita harus berjaga-jaga seperti ini?”
“Sampai upacara selesai. Dua hari lagi. Semua persiapan sudah diatur. Benda-benda yang diperlukan sudah berkumpul.”
Sejenak kedua orang anak muda yang berjaga-jaga di pintu gerbang itu terdiam sejenak. Namun kemudian yang seorang berkata lagi, “Apakah benda yang tersimpan itu mutlak harus ada dalam upacara seperti yang akan berlangsung ini?”
“Sudah beberapa kali hal itu dilakukan,” jawab kawannya, “tidak hanya di padukuhan kita. Di tempat-tempat lain pun dalam upacara wisuda seorang Buyut, topeng emas itu harus ada. Akuwu sendiri menetapkan hal itu. Karena itu, maka topeng itu diserahkan kepada padukuhan yang memerlukan. Karena benda itu sangat berharga, maka empat orang pengawal telah di tempatkan di banjar ini, di samping kita semuanya.”
Mahisa Murti pun menggamit Mahisa Pukat yang nampaknya juga sedang mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Pembicaraan yang tidak terlalu panjang itu agaknya telah memberikan keterangan yang jelas kepada kedua orang anak muda yang sedang bersembunyi itu. Ternyata bahwa di banjar itu sedang disimpan sebuah benda yang sangat berharga. Sebuah topeng yang terbuat dari emas, yang merupakan benda keramat bagi Pakuwon yang memerintah sampai ke padukuhan itu.
“Sudah ada empat orang pengawal.” bisik Mahisa Murti.
“Tetapi orang yang berniat jahat itu tentu sudah memperhitungkannya.” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Nampaknya benda itulah yang telah menarik perhatian orang-orang yang berniat jahat itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus menunggu apa yang akan terjadi. Nampaknya di banjar itu masih belum ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Ketika menjelang tengah malam, serta para peronda itu pun dipersilahkan makan, kecuali dua orang yang berada di regol yang harus menunggu penggantinya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk dapat melihat, apakah orang yang semalam bermalam di banjar nampak masih berada di banjar itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus menunggu semua peronda itu selesai makan. Bahkan kemudian dua orang yang berada di regol setelah dua orang kawannya yang lain menggantikannya.
Hampir saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat gagal untuk melihat gardu di bagian depan banjar itu, karena pintu regol telah ditutup sebagian. Namun mereka masih dapat menembus di celah-celah daun pintu yang terbuka.
“Justru kita akan dapat mendekat.” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dua orang penjaga gerbang yang menutup gerbang itu sebagian ternyata berjaga-jaga di bagian dalam pintu gerbang itu.
Sejenak kemudian, ketika para peronda telah selesai, maka seperti kebiasaan di malam-malam sebelumnya, maka orang-orang yang kemalaman dan bermalam di banjar itu pun dipersilahkan untuk makan pula.
“Tidak seterusnya.” berkata seorang peronda yang membangunkan orang yang bermalam di banjar itu. Lalu, “Kebetulan beberapa malam ini ada persediaan. Marilah. Mungkin di kesempatan lain kami tidak dapat menjamu kalian.”
Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk bergeser mendekat. Tetapi mereka tidak pergi ke pintu yang terbuka. Mereka lebih senang melihat apa yang terjadi di dalam dinding halaman itu dari sebatang pohon di halaman di seberang jalan.
Dari pohon itu mereka dapat melihat dua orang pengembara yang ikut makan di dalam gardu setelah para peronda selesai. Seorang di antaranya adalah orang yang semalam juga bermalam di banjar itu.
“Orang itu ada di gardu.” desis Mahisa Murti.
“Ya. Tentu akan terjadi sesuatu.” jawab Mahisa Pukat.
Keduanya pun kemudian turun dari pohon itu dan duduk di tempat yang terlindung. Dengan sabar mereka menunggu, apa yang akan terjadi di banjar itu lewat tengah malam.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang ikut makan setelah para peronda itu pun telah kembali ditem-patnya. Sejenak mereka duduk tanpa berbicara. Namun sejenak kemudian keduanya telah berbaring lagi, seolah-olah mereka telah tidur dengan nyenyak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun duduk dengan menahan kantuk yang mulai menjamah mereka. Perasaan itu semakin lama terasa semakin menekan, sehingga hampir-hampir saja keduanya tidak dapat bertahan lagi.
“Kita bergantian tidur.” berkata Mahisa Pukat.
“Tidurlah,” jawab Mahisa Murti, “jika terjadi sesuatu, aku akan membangunkanmu.”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Ia pun kemudian bersandar sebatang pohon sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Sejenak kemudian matanya pun telah terpejam, meskipun ia masih belum benar-benar nyenyak.
Semula Mahisa Murti pun tidak merasa curiga bahwa matanya hampir tidak dapat dibukanya lagi. Bahkan hampir saja ia juga tertidur. Namun justru karena itu, maka ia pun segera memaksa diri untuk bangkit berdiri sambil mengamati keadaan.
Ternyata menurut tanggapan Mahisa Murti, ada sesuatu yang tidak wajar. Karena itu, maka ia pun segera membangunkan Mahisa Pukat yang tidur sambil duduk bersandar sebatang pohon.
Ternyata sulit juga membangunkan Mahisa Pukat yang nyenyak. Sesuatu yang tidak seperti kebiasaannya. Anak muda itu akan segera bangkit jika tubuhnya disentuh. Tetapi ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk membuat Mahisa Pukat benar-benar terbangun dari tidurnya.
“Ada yang tidak wajar.” berkata Mahisa Murti.
“Apa?” bertanya Mahisa Pukat.
“Perasaan kantuk ini,” jawab Mahisa Murti, “cobalah kau melihat suasana malam ini dengan ketajaman inderamu.”
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia pun menyadari, bahwa memang sesuatu telah terjadi di luar kewajaran.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berusaha untuk mengetrapkan daya tahannya, sehingga akhirnya ia benar-benar dengan mantap menghadapi suasana yang terasa asing.
“Sirep.” tiba-tiba ia berdesis.
”Ya,” sahut Mahisa Murti, ”semuanya sudah hampir jelas. Kita berhadapan dengan usaha yang gawat bagi keselamatan barang-barang berharga bagi kelengkapan wisuda yang akan diselenggarakan di Kabuyutan ini.”
“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Di dalam lingkungan banjar itu ada beberapa orang pengawal. Mudah-mudahan mereka mengerti apa yang sedang mereka hadapi.” sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih belum melihat sesuatu bakal terjadi. Banjar itu memang nampak sepi sekali.
“Bagaimana dengan para peronda itu?” desis Mahisa Pukat.
“Aku akan melihat.” sahut Mahisa Murti, ”Berjaga-jagalah di bawah. Aku akan memanjat.”
Mahisa Pukat mengangguk. Ia pun bergeser mendekati sebatang pohon yang pernah dipanjatnya pula untuk melihat keadaan di dalam dinding halaman banjar itu.
Mahisa Murtilah yang kemudian memanjat naik. Ketika ia sudah sampai ketinggian yang cukup, maka ia pun menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat orang-orang yang berada di dalam gardu itu pun telah tertidur dengan nyenyaknya.
Dengan tergesa-gesa Mahisa Murti pun meluncur turun. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, ”Mereka telah tertidur. Mungkin dua orang penjaga regol itu pun telah tertidur.”
“Bukankah semakin jelas bagi kita,” berkata Mahisa Pukat kemudian, ”agaknya semalam orang yang berpura-pura tidur nyenyak itu akan mengetrapkan ilmu sirepnya. Tetapi karena salah seorang dari kita berjaga-jaga maka ia justru merasa terganggu karenanya. Sekarang, ia mendapat kesempatan itu.”
“Ya,” jawab Mahisa Murti, ”karena itu kita wajib untuk berbuat sesuatu. Tetapi aku belum tahu pasti, apakah yang sebaiknya kita lakukan sekarang.”
“Kita akan menunggu sejenak. Bukankah orang itu mempunyai beberapa orang kawan?” desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia sadar, jika sesuatu terjadi di dalam lingkungan banjar itu, maka ia akan dapat terlambat.
Karena itu, akhirnya ia berkata, ”Marilah. Kita memasuki halaman banjar.”
Mahisa Pukat termangu-mangu, sementara Mahisa Murti menjelaskan, ”Di sini kita tidak melihat apa yang terjadi. Mungkin orang itu telah memasuki ruang penyimpanan barang-barang berharga dan mencurinya.”
Mahisa Pukat berpikir sejenak. Kemudian katanya, ”Baiklah. Tetapi apakah kita akan memasuki regol itu?”
“Sangat berbahaya. Sebaiknya kita meloncat saja di arah belakang banjar itu.” jawab Mahisa Murti.
Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah merayap dengan hati-hati. Ketika mereka yakin, bahwa di bagian belakang banjar itu tidak terdapat seseorang yang akan dapat melihat mereka, maka Mahisa Murti pun mulai meloncat naik. Dengan kedua tangannya ia menggapai bibir dinding halaman itu. Kemudian dengan hati-hati ia pun mengangkat tubuhnya dan berbaring di atas dinding.
Sejenak ia memperhatikan keadaan. Ternyata bahwa di bagian belakang banjar itu memang sepi.
Dengan isyarat ia memanggil Mahisa Pukat agar mengikutinya meloncati dinding itu.
Sesaat kemudian, keduanya telah berada di dalam lingkungan dinding banjar. Dengan sangat hati-hati keduanya merayap mendekati banjar yang sepi itu.
Ternyata bahwa keduanya sama sekali tidak mendengar suara apapun juga. Bahkan suara desah nafas sekalipun.
Dengan sangat hati-hati keduanya bergeser melingkari banjar itu. Ketika mereka sampai di sebelah serambi, maka mereka pun berhenti. Dengan penuh kesungguhan mereka mendengarkan setiap bunyi yang dapat mereka tangkap. Namun mereka tidak mendengar suara apapun juga yang memberikan isyarat bahwa di serambi ada seseorang.
Selangkah lagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat maju. Mahisa Murti memberanikan diri untuk menjenguk serambi yang diterangi dengan lampu minyak yang redup. Namun ternyata serambi itu sudah kosong.
“Di sini semalam kita tidur bersama orang itu.” desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk. Namun nampaknya ia masih tetap ragu untuk bergerak maju.
Namun dalam pada itu, selagi keduanya termangu-mangu, tiba-tiba saja mereka telah mendengar lengking panah sendaren yang meluncur dari halaman depan banjar itu.
“Panah sendaren.” desis Mahisa Pukat.
“Ya. Orang itu tentu berada di halaman.” desis Mahisa Murti, ”Marilah. Kita masuk ke dalam lewat pintu butulan. Orang itu tentu memanggil kawan-kawannya setelah ia yakin bahwa orang-orang yang meronda telah tertidur. Agaknya mereka akan mengambil barang-barang berharga itu dalam jumlah yang cukup banyak.”
“Mungkin ada benda lain selain topeng seperti yang dikatakan peronda itu.” sahut Mahisa Pukat. Lalu, ”Marilah. Kita masuk ke dalam.”
Kedua anak muda itu pun kemudian dengan sangat berhati-hati mendekati pintu butulan banjar itu.
Dengan tidak menimbulkan bunyi, mereka perlahan-lahan mendorong pintu butulan yang ternyata tidak diselarak dari dalam. Namun hampir saja mereka melonjak ketika mereka melihat sepasang kaki yang menjelujur di balik pintu itu.
”Pintu ini dijaga meskipun tidak diselarak,” bisik Mahisa Murti, ”tetapi lihat, penjaga itu tidur dengan nyenyaknya.”
Ketika keduanya memasuki ruang dalam banjar itu, ternyata di ruang itu ada tiga orang yang tertidur. Seorang di pintu butulan, dua orang lainnya di pintu utama yang masih tertutup. Tetapi pintu itu juga tidak diselarak dari dalam.
“Marilah pintu-pintu itu kita selarak.” ajar Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, ”Bagus. Kita akan menyelarak pintu-pintu itu.”
Kedua anak muda itu pun segera menyelarak pintu butulan dan pintu utama dari dalam. Kemudian mereka pun memasuki ruang penyimpanan benda-benda berharga di sebuah sentong yang tidak berpintu.
Mereka tertegun ketika mereka berada di dalam ruang itu. Mereka melihat dua orang pengawal tidur dengan nyenyaknya di depan pintu, sedangkan dua orang lainnya tidur di amben, di dekat dua buah peti yang cukup besar.
“Para pengawal ini pun ternyata tidak sempat melawan sirep yang tajam ini.” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Nampaknya mereka tidak curiga sebelumnya, sehingga mereka tidak bersikap untuk melawannya.” desis Mahisa Pukat.
“Apakah mereka akan kita bangunkan?” bertanya Mahisa Murti. Mahisa Pukat merenung sejenak. Katanya kemudian, ”Bukankah sebaiknya demikian?”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. ”Marilah. Sebentar lagi orang-orang itu tentu akan datang.” jawabnya.
Kedua anak muda itu pun kemudian berusaha membangunkan para pengawal. Namun dalam pada itu, selagi mereka mengguncang tubuh yang terbujur di lantai dan di amben itu, mereka mendengar suara pintu diguncang.
“Mereka berusaha membuka pintu.” desis Mahisa Pukat.
“Cepat, bangunan para pengawal.” sahut Mahisa Murti sambil mengguncang pengawal yang tertidur di lantai, sementara Mahisa Pukat berusaha membangunkan pengawal yang tertidur di amben.
Sejenak kemudian, pengawal-pengawal itu mulai menggeliat. Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berbisik di telinga mereka, ”Bangun. Bangunlah, Ki Sanak. Kau telah diracuni dengan ilmu sirep yang tajam. Bukankah kau bertugas menjaga peti-peti itu?”
Beberapa kali mereka berusaha dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, pintu butulan pun telah mulai diguncang pula.
“Setan!” geram orang yang di luar, “Pintu ini biasanya tidak pernah diselarak. Orang-orang dungu itu terlalu percaya kepada kemampuan mereka yang tidak berarti apa-apa itu.”
“Tetapi ternyata kali ini mereka telah menyelarak pintu.” sahut yang lain.
“Kita akan memecahkannya,” berkata suara yang besar dan berat, ”orang-orang yang tertidur oleh ilmu sirep itu tentu tidak akan terbangun.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi gelisah. Pengawal-pengawal itu masih belum menyadari keadaannya sepenuhnya. Sementara itu, keadaan menjadi semakin gawat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berusaha mempergunakan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Mereka berusaha untuk mempengaruhi orang-orang yang sedang tertidur itu dengan kata-kata yang mereka lontarkan dengan dorongan kemampuan di dalam diri mereka.
“Bangun. Kalian berada dalam bahaya. Bangun jika kalian tidak ingin mati.”
Ternyata kedua anak muda itu berhasil. Kata-kata itu dapat mempengaruhi para pengawal yang memang sudah mulai terbangun.
Karena itu, maka oleh dorongan dan pengaruh kata-kata kedua anak muda itu di telinga mereka, maka mereka pun mulai menyadari diri mereka. Perlahan-lahan mereka pun bangkit dan duduk dengan lesu.
“Cepat, kuasai diri kalian,” kedua anak muda itu masih terus berbisik, ”jika tidak, kalian akan mati di banjar ini.”
Lambat laun, para pengawal itu pun terbangun sepenuhnya. Sorang di antara mereka justru telah meloncat bangkit. Hampir saja ia berteriak menyapa anak-anak muda yang belum dikenalnya itu. Tetapi Mahisa Murti memberi isyarat, agar orang itu terdiam.
”Kalian telah tertidur oleh pengaruh sirep.” bisik Mahisa Murti.
Pengawal itu termangu-mangu. Ketika ia melihat kedua peti itu masih ada, maka dengan tergesa-gesa ia pun menggapai tutup peti itu dan membukanya. Sementara kawan-kawannya pun telah beringsut mendekat.
“Masih ada.” desis pengawal yang pertama.
“Tetapi lihat, apakah benda-benda itu masih ada di dalam peti-peti kecil itu.” sahut yang lain.
”Tetapi cepat.” berkata Mahisa Murti, “Sebentar lagi orang yang mengingini benda-benda itu akan segera masuk. Dengarlah, mereka sedang berusaha memecahkan pintu.”
“Pintu itu tidak diselarak.” sahut pengawal yang seorang.
”Aku yang telah menyelarak.” sahut Mahisa Pukat.
Keempat pengawal itu ternyata ingin melihat, apakah benda-benda berharga itu masih berada di dalam peti-peti kecil di dalam kedua peti yang besar itu. Ketika mereka melihat beberapa peti tanpa berubah letak dan isinya, maka mereka pun mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, ”Aku percaya kepada kalian berdua. Tetapi siapakah kalian ini?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Mereka ternyata ragu-ragu untuk menyatakan diri.
Namun dalam pada itu, selagi kedua anak muda itu masih ragu-ragu, terdengar pintu didorong dengan kekerasaan sehingga suaranya berderak-derak, meskipun ada usaha agar gemeretak palang selarak yang patah tidak membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak.
“Jangan takut,” geram seseorang di luar, ”mereka tidak akan terbangun meskipun seandainya banjar ini roboh.”
Namun sebenarnyalah empat orang pengawal itu telah benar-benar bangun dan menguasai diri sepenuhnya.
“Kita harus berbuat sesuatu untuk mengatasi kehadiran mereka,” berkata Mahisa Murti kemudian, ”nanti sajalah aku berceritera tentang diri kami berdua.”
Para pengawal itu memang tidak sempat bertanya lagi. Pintu butulan sudah mulai terdorong setapak. Palang selarak telah menjadi patah dan suaranya berderak ketika yang patah itu jatuh di lantai.
Dua di antara para pengawal itu memencar, sementara yang dua berdiri tegak di depan pintu ruang tempat barang-barang itu diletakkan.
“Masuklah ke dalam ruang penyimpanan itu,” desis salah seorang pengawal kepada kedua orang anak muda itu, ”mereka akan bertindak kasar. Agar kau tidak disakitinya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun seorang pengawal telah mendorongnya sambil berdesis, ”Cepat. Mungkin kau tidak hanya disakitinya, tetapi kepalamu dapat dipenggalnya.”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang belum sempat memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan, telah masuk ke dalam ruang penyimpanan benda-benda berharga itu. Mereka mengerti, bahwa para pengawal itu memang ingin melindungi mereka.
Sejenak kemudian, maka pintu butulan pun terbuka. Beberapa orang telah meloncat memasuki ruang dalam banjar itu.
Namun mereka terperanjat ketika mereka melihat empat orang pengawal berdiri tegak dengan pedang di tangan mereka.
“Anak setan!” geram seorang yang bertubuh tinggi besar dan berkumis lebat. ”Kenapa kalian tidak tertidur he?”
Seorang di antara para pengawal, yang nampaknya penanggung jawab dari pusaka-pusaka di dalam peti itu berkata, ”Permainan yang tidak berarti. Kau sangka ilmu sirepmu itu berharga bagi kami?”
“Persetan,” geram orang bertubuh tinggi besar itu, ”meskipun kau tidak dapat terpengaruh oleh ilmu sirep ini, tetapi kalian akan mengalami nasib yang lebih buruk. Jika kalian tertidur, maka kalian tidak akan aku sentuh dalam tidur. Besok kau akan bangun dalam keadaan segar bugar.”
“Aku bertanggung jawab atas benda-benda itu. Kau kira aku akan memilih besok pagi bangun dengan segar bugar, tetapi barang-barang itu jatuh ke dalam tanganmu daripada mati mempertahankannya.” sahut pengawal itu.
“Orang-orang dungu,” bentak orang bertubuh tinggi itu, ”jadi kalian memilih mati, he? Berapa gajimu mengabdi kepada Akuwu sehingga kau rela mengorbankan nyawamu?”
“Ukurannya bukan gaji atau upah. Tetapi bagiku mempertahankan benda-benda itu adalah pengabdian.” jawab pengawal itu.
Orang bertubuh tinggi itu mengumpat. Lalu katanya dengan kasar, “Kalian akan aku bunuh di banjar ini. Besok kalau para peronda dari padukuhan ini terbangun, mereka akan melihat mayat kailan yang sudah terpisah kepala dari badan kalian berserakkan di dalam banjar ini. He, apakah memang ingin terjadi seperti itu?”
“Persetan,” geram pengawal itu, ”aku akan mempertahankan benda-benda yang memang menjadi tanggung jawab kami.”
Orang bertubuh tinggi itupun kemudian memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap-siap. Ternyata mereka terdiri dari sekelompok yang cukup besar. Lebih dari sepuluh orang. Agaknya mereka memang akan membawa semua benda-benda yang berada di dalam peti-peti kecil yang tersimpan di dua peti yang besar itu.
Sejenak kemudian sepuluh orang yang memasuki ruang dalam itu pun memencar pula, sementara masih ada di antara mereka yang berdiri di luar pintu untuk mengamati keadaan di luar banjar itu.
Namun agaknya para peronda memang tertidur nyenyak. Tiga orang yang berada di ruang dalam itu pun sama sekali tidak menggeliat. Bahkan seorang yang tertidur di muka pintu butulan itu sama sekali tidak mereka ketika dengan kaki orang-orang yang memasuki banjar itu menggeser tubuh mereka ke tepi.
Para pengawal yang berjumlah hanya empat orang itu pun telah bersiap sepenuhnya. Meskipun mereka sadar, bahwa jumlah mereka jauh lebih sedikit, tetapi mereka merasa bertanggung jawab atas benda-benda berharga yang berada di dalam ruang penyimpanan. Namun di dalam ruang itu terdapat bukan hanya peti-peti yang berisi benda-benda berharga itu. tetapi juga terdapat dua orang anak muda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang menginginkan benda-benda berharga itu telah mulai menggerakkan senjata mereka, sementara para pengawal pun telah bersiaga sepenuhnya.
Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di dalam ruang dalam banjar yang tidak terlalu luas itu. Namun dengan demikian, keadaan ruang itu agak menguntungkan keempat orang pengawal yang harus melawan orang lain dalam jumlah yang lebih banyak.
Dua orang pengawal yang berpencar telah bertempur di sudut agar mereka tidak dapat diserang dari belakang, sementara dua yang lain telah bersiap di depan pintu.
Orang yang bertubuh tinggi besar itulah yang pertama-tama mulai menjulurkan senjatanya. Meskipun ia belum benar-benar mulai menyerang, namun yang dilakukan itu merupakan isyarat bahwa pertempuran segera terjadi.
Demikianlah dalam waktu yang singkat, pertempuran itu pun telah menjadi semakin seru. Para pengawal yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan benda-benda berharga itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk bertahan.
Ternyata bahwa para pengawal itu adalah benar-benar pengawal yang terpilih dalam tugas mereka. Mereka menguasai ilmu pedang dengan baik, sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka mampu bertahan meskipun mereka harus menghadapi jumlah yang lebih banyak.
Namun demikian beberapa orang di antara mereka yang ingin merampas benda-benda keramat itu pun memiliki bekal yang cukup.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Bersama beberapa orang kawannya mereka berhasil mendesak dua orang yang berjaga-jaga di depan pintu itu sehingga keduanya benar-benar telah melekat pada lubang pintu.
“Jangan beri kesempatan,” teriak orang bertubuh tinggi besar itu, ”dan jangan ragu-ragu seandainya senjata kalian menusuk ke dada orang itu. Biarlah ia mati dengan luka arang kranjang dan biarlah kepalanya kita penggal sebagaimana sudah aku katakan.”
Kedua pengawal itu menggeram marah. Tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah menghentakkan kemampuannya. Dengan kecepatan yang tidak diduga-duga, tiba-tiba saja padangnya telah terjulur lurus sehingga seorang yang berdiri di hapannya telah berteriak tertahan sambil meloncat surut.
“Orang gila,” teriaknya, ”kau sangka tingkah lakumu ini tidak akan membuat kau lebih menderita.”
“Kau dilukai?” bertanya orang yang bertubuh tinggi besar.
“Ya,” jawab orang itu, ”tetapi aku masih siap membunuhnya.”
“Kalau begitu jangan biarkan keduanya mati,” berkata orang bertubuh tinggi besar itu, ”aku akan membunuh mereka perlahan-lahan.”
Namun dalam pada itu, ternyata seseorang yang bertempur melawan pengawal yang berada di sudut pun telah mengeluh tertahan. Seorang di antara mereka telah terluka pula.
Namun luka-luka itu telah membuat orang-orang yang ingin merampas benda-benda berharga itu menjadi semakin gila. Mereka bertempur semakin garang, sehingga para pengawal pun menjadi semakin mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, di ruang penyimpanan pusaka yang keramat itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri termangu-mangu. Mereka dapat melihat sepintas-sepintas bahwa orang-orang yang datang itu berhasil mendesak.
“Apa yang akan kita lakukan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Apa boleh buat,” desis Mahisa Murti, ”kita tidak dapat tinggal diam dengan keadaan seperti ini.”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun meraba pisau belatinya.
Tetapi Mahisa Murti berkata, ”Jika kita dapat mencapai para peronda yang tertidur itu, maka kita akan dapat meminjam senjatanya tanpa menunjukkan bahwa kita sendiri memang bersenjata.”
”Kalau mungkin,” jawab Mahisa Pukat, ”tetapi kalau tidak, apakah sebenarnya keberatannya jika mereka melihat kita bersenjata?”
Mahisa Murti menggeleng. Katanya, ”Tidak. Tidak ada keberatannya apa-apa.”
Mahisa Pukat menarik nafas panjang. Sementara itu pertempuran menjadi semakin sengit. Para pengawal menjadi semakin terdesak oleh kemarahan orang-orang yang merasa terhambat usahanya untuk memiliki benda-benda berharga di dalam peti-peti itu.
Mahisa Murti yang sudah bersiap pun telah memberi isyarat, agar mereka mulai menampakkan diri.
Demikianlah, maka tiba-tiba saja terdengar Mahisa Murti tertawa sambil berdiri di pintu ruang penyimpanan benda-benda berharga itu, disusul oleh Mahisa Pukat, tepat di belakang dua orang pengawal yang sedang mempertahankan benda-benda berharga itu.
Semua orang yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan para pengawal pun terkejut. Sekilas timbul kecurigaan mereka, bahwa sebenarnya kedua orang anak muda itu adalah kawan dari orang-orang yang mengingini benda-benda berharga itu.
Namun tiba-tiba di antara suara tertawanya Mahisa Murti berkata, ”Inikah cara yang kalian pergunakan untuk merampok benda-benda berharga? Kenapa kalian tidak bersikap jantan dengan menantang para pengawal bertempur seorang melawan seorang. Siapa yang menang, ialah yang berhak atas pusaka keramat ini.”
Orang bertubuh tinggi besar yang dengan serta merta telah menghentikan serangan-serangannya itu pun memandanginya dengan wajah tegang.
“Siapa kau, he anak gila?” bertanya orang bertubuh tinggi besar itu.
“Kau tidak perlu tahu, siapakah kami berdua,” jawab Mahisa Pukat, ”tetapi tingkah laku kalian membuat aku muak.”
“Kau!” desis orang yang bermalam bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. “Kau kembali lagi ke banjar ini?”
“Siapakah mereka?” bertanya orang tinggi besar itu.
“Anak-anak gila. Jika tahu kau berbuat gila seperti ini, aku bunuh kau kemarin di padang perdu itu.” geram orang yang bermalam bersama keduanya itu.
Tetapi Mahisa Murti kemudian menjawab, ”Nanti aku akan memberitahukan kepada kalian, siapa aku. Tetapi kalian harus meletakkan senjata kalian lebih dahulu.”
“Anak ini benar-benar gila. Bunuh saja mereka seperti pengawal-pengawal.” perintah orang bertubuh tinggi besar.
“Tunggu,” berkata Mahisa Murti, ”aku tidak akan ingkar seandainya kalian akan membunuh kami. Tetapi jika ada sedikit keberanian pada kalian, biarlah kami berdua bersenjata.”
Kemarahan yang tidak tertahankan hampir meledakkan kepala orang yang bertubuh tinggi besar yang agaknya adalah pemimpin dari orang-orang yang ingin merampas benda-benda berharga itu.
Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata, ”Tetapi seandainya kalian menjadi ketakutan, maka kami tidak akan surut meskipun kami tidak bersenjata.”
Orang bertubuh tinggi besar itu tidak dapat menahan diri lagi. Dengan lantang ia berteriak, ”Bunuh semuanya.”
Orang-orangnya pun telah mulai bergerak. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun bergeser ke luar pintu. Di antara kedua pengawal yang bertahan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyusup menghadap orang-orang yang bersiap menyerang. Sementara Mahisa Pukat berkata, ”Aku akan bertempur di luar bilik yang sangat sempit itu.”
“Gila!” geram seorang berkumis panjang. Tingkah laku kedua anak muda itu benar-benar membuat mereka kehilangan kesabaran. Karena itu, maka mereka pun mulai bergeser sambil menggerakkan senjata mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti melihat tiga orang peronda masih saja tertidur. Agaknya memang sulit untuk dapat membangunkan mereka karena pengaruh sirep. Namun demikian, agaknya senjata para peronda itu akan dapat dimanfaatkan meskipun sudah tentu bukan senjata yang baik.
Karena itulah, maka Mahisa Murti pun berdesis sambil menggamit Mahisa Pukat dengan sikapnya, ”Peronda yang tidur itu bersenjata. Kita dapat mengambilnya.”
Mahisa Pukat memandang mereka sejenak. Seorang berbaring di dekat pintu butulan. Yang seorang di sebelah pintu utama sedang yang lain telah terdorong menjauh ke sudut. Orang-orang yang ingin merampas benda-benda berharga itu dengan semena-mena menyingkirkan para peronda yang tertidur itu dengan kakinya. Namun demikian para peronda itu sama sekali tidak terbangun.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendapat kesempatan lagi untuk berbicara lebih banyak.
Tiba-tiba saja orang-orang yang marah itu telah menyerangnya.
“Minggirlah!” desis kedua orang pengawal yang heran melihat tingkah laku Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun keduanya pun menjadi semakin heran, ketika mereka melihat, bagaimana kedua anak muda itu dengan cepat dan tangkasnya menyusup di antara mereka.
Memang satu langkah yang tidak terduga-duga, sehingga dengan demikian keduanya telah mengejutkan lawan-lawannya. Bahkan keduanya sempat mendorong beberapa orang menyibak tanpa berbuat apa-apa.
”Bunuh semuanya!” teriak orang bertubuh tinggi besar ketika ia menyadari apa yang terjadi.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berlari ke arah yang berbeda. Mahisa Murti dengan cepatnya telah memungut parang yang tergolek di dekat peronda yang tertidur di dekat pintu butulan, sementara Mahisa Pukat telah mengambil tombak pendek yang tersandar di uger-uger pintu. Agaknya salah seorang peronda itu tengah menyadarkan tombaknya di uger-uger pintu itu ketika tiba-tiba perasaan kantuk yang tidak dapat dilawannya telah mencengkamnya.
Yang terjadi itu demikian cepat, tiba-tiba dan tidak diduga lebih dahulu oleh orang-orang yang datang ingin merampas benda-benda berharga itu. Menurut dugaan mereka, anak-anak muda itu tidak akan dapat banyak berbuat, sehingga mereka kurang memperhatikannya. Mereka menganggap anak-anak muda itu sekedar berbuat aneh-aneh tanpa mereka sadari akibatnya.
Namun ternyata bahwa anak-anak muda itu kemudian telah bersenjata.
Karena itu, bagaimanapun juga anak-anak muda itu harus mendapat perhatian. Dengan kemarahan yang bergelora orang bertubuh tinggi besar itu menggeram, “Cepat. Kita tidak mempunyai banyak waktu.”
Orang-orangnya yang bagaikan telah terbangun dari sebuah mimpi yang aneh itu pun segera menempatkan diri. Yang menghadapi dua orang pengawal di pintu ruang penyimpanan itu telah mengacukan senjata mereka. Yang bertempur melawan pengawal yang lain, yang menempatkan diri di sudut ruang dalam itu pun telah bersiap pula. Namun dua di antara orang-orang itu telah bergeser menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikianlah, sejenak kemudian pertempuran di ruang dalam yang tidak terlalu luas itu pun telah terjadi lagi. Namun sementara itu, ternyata Mahisa Pukat justru telah membuka pintu utama dan ia pun telah bergeser ke luar, sehingga dengan demikian maka ia pun telah berada di pringgitan.
“Mahisa Murti, di sini tempatnya lebih luas.” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti pun telah mengikuti Mahisa Pukat ke luar dari ruang dalam itu dan ia justru telah bergeser semakin jauh, sehingga ia pun telah bertempur di pendapa.
Namun dalam pada itu, meskipun orang-orang yang ingin merampas benda-benda berharga itu telah berkurang dengan dua orang yang harus menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun keempat pengawal yang mempertahankan benda-benda berharga itu masih tetap dalam kesulitan. Lawan mereka yang marah telah menekan semakin berat, sementara ujung-ujung senjata seolah-olah telah menggapai-gapai tubuh mereka dan siap untuk mengoyaknya.
Tetapi dalam kesulitan yang memuncak, tiba-tiba saja terdengar keluh tertahan di luar pintu. Sementara itu lawan Mahisa Murti telah terdorong beberapa langkah surut. Ternyata senjata orang itu telah terlepas, sementara segores luka telah menyilang di dadanya.
Orang itu terhuyung-huyung melangkah ke ruang dalam untuk melaporkan keadaannya kepada kawan-kawannya, sementara itu Mahisa Murti sama sekali tidak berbuat apa-apa. Bahkan ia mengikuti orang itu di belakangnya sambil menimang-nimang senjatanya.
Keadaan orang itu ternyata sangat mengejutkan. Tidak seorang pun di antara orang-orang yang ingin merampas senjata itu yang menyangka bahwa anak muda yang tidak mereka kenal sebelumnya itu mampu mengalahkan salah seorang di antara mereka.
Karena itu, dengan kemarahan yang menghentak di dalam dadanya, orang yang bertubuh tinggi besar itu berteriak, ”Bunuh anak itu lebih dahulu.”
Tiga orang serentak meninggalkan tempatnya. Seorang dari antara kawan-kawannya yang bertempur di sudut, dua orang dari antara mereka yang bertempur di depan pintu ruang penyimpanan.
Mahisa Murti melihat tiga orang mendekatinya. Karena itu, maka Murti pun berkata, ”Baiklah, marilah kita bertempur di tempat yang lebih baik. Kita pergi ke pendapa.”
Tiga orang itu mengikutinya dengan hati-hati, sementara Mahisa Murti melangkah mundur menuju ke pendapa.
Namun Mahisa Murti itu pun terkejut ketika ia melihat dua orang yang meloncat naik ke pendapa langsung mendekati Mahisa Pukat. Agaknya mereka adalah kawan-kawan dari lawan Mahisa Pukat yang mendapat tugas berjaga-jaga di luar. Tetapi ketika mereka melihat keadaan lawan Mahisa Pukat itu dalam bahaya, maka merekapun bersama-sama telah naik untuk membantunya.
Tetapi sebelum kedua orang itu mencapai kawannya yang terdesak oleh Mahisa Pukat, mereka telah melihat lawan Mahisa Pukat itu terdorong surut dengan luka menganga di pundaknya.
Meskipun demikian orang yang terluka itu tidak mau menyingkir. Ternyata ia masih mampu menggenggam senjatanya, meskipun darahnya telah mengalir dari lukanya.
Dengan demikian, maka baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat harus bertempur masing-masing menghadapi tiga orang. Namun dengan demikian mereka telah mengurangi jumlah orang yang bertempur di ruang dalam.
Tiga orang yang kemudian menghadapi Mahisa Murti memang mempunyai pengaruh bagi mereka yang bertempur di dalam. Para pengawal itu merasa, bahwa tekanan lawan-lawan mereka menjadi agak susut karena jumlah yang susut pula.
Namun dalam pada itu, ternyata lawan-lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat segera menguasai lawannya. Bahkan tiba-tiba seorang lawan Mahisa Pukat mengumpat dengan kasarnya. Ternyata tombak pendek Mahisa Pukat telah berhasil merobek lambung seorang lawannya yang lain, sehingga orang itu terdorong dan tidak mampu lagi untuk bertahan agar tetap berdiri.
Sambil memegangi lukanya yang memancarkan darah, maka orang itu telah terduduk lesu. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya nampak gemetar.
Seorang yang masih belum terluka di antara lawan-lawan Mahisa Pukat itu pun berteriak pula. Dengan garangnya ia berusaha menyerang. Tetapi ternyata ia tidak mampu berbuat banyak. Apalagi seorang kawannya yang telah terluka lebih dahulu semakin lama ternyata menjadi makin lemah pula.
Dalam pada itu, para pengawal yang masih harus bertempur dengan lawan lebih banyak itu pun masih harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka pun adalah orang-orang yang terlatih dan terpilih di antara para pengawal. Karena itu, maka mereka telah menunjukkan kemampuan mereka dengan penuh tanggung jawab. Benda-benda berharga itu harus mereka pertahankan sampai batas kemampuan mereka yang terakhir.
Seorang di antara mereka yang ingin merampas benda-benda berharga itu pun berteriak nyaring, ketika ia merasa ujung senjatanya berhasil melukai lengan salah seorang dari para pengawal itu.
Ketika ia melihat darah memancar dari luka itu, maka ia pun berteriak, “Sekarang ajalmu telah sampai.”
“Aku tidak apa-apa,” jawab pengawal itu, “jantungku pernah dikoyak pedang lawan. Tetapi aku masih tetap hidup. Apalagi hanya segores luka kecil ini.”
“Jangan menyembunyikan kegelisahan.” jawab lawannya.
Namun dalam pada itu, di luar Mahisa Pukatlah yang berteriak nyaring, “He, apakah masih ada orang di dalam? Lawan-lawanku telah lumpuh semuanya. Jika tidak ada yang keluar lagi, maka akulah yang akan pergi ke dalam.”
Namun sementara itu, orang-orang yang berada di dalam sedang berusaha untuk menghabisi pengawal yang sudah terluka. Justru terhadap pengawal yang sudah terluka itulah, tekanan yang paling berat diberikan oleh lawan-lawannya. Dengan demikian, maka mereka akan dapat mengurangi lawan mereka dengan seorang.
Ketiga orang pengawal yang lain berusaha untuk mengerahkan kemampuan mereka. Pengawal yang terluka itu harus diselamatkan.
Meskipun nampaknya terlalu sulit untuk dilakukan. Orang-orang marah itu telah berusaha dengan sungguh-sungguh agar mereka segera dapat berhasil, sementara beberapa orang kawannya telah terluka. Bahkan kawan-kawannya yang bertugas berjaga-jaga di luar.
Sementara itu, Mahisa Pukat yang telah kehabisan lawan telah menjenguk keadaan di ruang dalam. Namun ia melihat bahwa keadaan para pengawal masih tetap gawat. Bahkan seorang di antara mereka justru telah terluka.
Ketika segores luka lagi menyilang di dadanya, maka lawannya berteriak sekali lagi, “Kau ternyata akan mati paling cepat.”
“Tidak,” terdengar suara Mahisa Pukat, “aku akan membantumu. Bertahanlah. Luka di dadamu itu tidak akan banyak berpengaruh. Luka itu hanyalah segores tipis pada kulitmu.”
Orang itu ternyata masih mampu menanggapi kata-kata Mahisa Pukat. Ia tetap bertahan meskipun menunggu lawan datang menyerang. Ia pun segera mendekati pengawal yang terluka itu dan langsung melibatkan diri ke dalamnya. Bahkan kemudian ia masih sempat berkata, “Minggirlah. Obati luka-lukamu. Aku akan menyelesaikan lawan-lawanmu.”
Tetapi pengawal itu masih tetap berdiri sambil menggenggam senjatanya, meskipun tubuhnya mulai terasa bergetar.
Tetapi anak muda yang telah langsung melibatkan diri itu benar-benar mengejutkan. Dengan tombak pendeknya Mahisa Pukat telah mengacaukan orang-orang yang berniat merampas benda-benda berharga itu. Bahkan orang yang bertubuh tinggi besar itu pun terpaksa meloncat mundur ketika ujung tombak Mahisa Pukat hampir menyinggung keningnya.
“Bocah tidak tahu diri!” geram orang tinggi besar itu.
Mahisa Pukat tertawa. Tetapi belum lagi ia berbuat sesuatu orang bertubuh tinggi besar itu berkata, “Bunuh dahulu bocah ini. Baru kita berbicara tentang orang-orang yang lain.”
Para pengikutnya ternyata mengerti benar apa yang dimaksudkannya. Orang-orang yang masih mampu bertempur itu pun segera bergeser. Mereka hanya menyisakan seorang untuk melawan setiap pengawal. Hanya tiga. Karena yang seorang telah dianggap tidak akan mampu berbuat apa-apa. Sementara yang lain telah siap menghadapi Mahisa Pukat.
Ternyata masih ada orang-orang lain yang semula berada di luar telah memasuki ruangan dalam dan membantu kawan-kawannya yang ternyata mengalami kesulitan.
“Ternyata kalian mempunyai kawan cukup banyak.” berkata Mahisa Pukat sambil memutar tombaknya.
“Kau akan mati dengan penuh penyesalan.” gumam orang bertubuh tinggi besar itu.
Mahisa Pukat pun bertempur dengan tangkasnya, sementara para pengawal yang masing-masing tinggal menghadapi seorang lawan itu pun justru telah mendesak lawan-lawan mereka. Sementara yang terluka mendapat kesempatan untuk duduk di tlundak pintu sambil mengobati luka-lukanya agar darah tidak terlalu banyak mengalir, meskipun ia tidak lagi akan mampu ikut bertempur.
Para pengawal menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat lawan Mahisa Pukat justru menjadi terlalu banyak. Karena itu, maka para pengawal itu telah bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka, agar mereka segera berhasil menyelesaikan tugas mereka. Dengan demikian mereka akan dapat membantu Mahisa Pukat melawan sejumlah orang yang garang itu.....
Tetapi sejenak kemudian, para pengawal itu telah diherankan lagi oleh kehadiran Mahisa Murti. Ketika ia menjenguk keruang dalam dan melihat pertempuran itu, maka katanya, “Tiga orang lawanku telah binasa. He, siap yang akan melawan aku lagi?”
Tidak seorangpun yang datang mendekatinya. Karena itu maka katanya, “Jika demikian, akulah yang akan datang kepada kalian”
Dengan langkah pendek Mahisa Murti maju mendekati mereka yang sedang bertempur. Tetapi ia justru tidak mendekati Mahisa Pukat yang berloncatan sambil memutar tombak pendeknya. Tetapi ia telah mendekati seorang pengawal yang sedang mempertahankan diri, dan bahkan sekali-kali mendesak lawannya.
Hampir tidak masuk akal, bahwa Mahisa Murti telah bergabung dengan salah seorang pengawal yang justru telah berhasil menguasai lawannya. Dengan gerak yang sederhana dalam putaran pedang pengawal yang sedang menyerang itu, ternyata Mahisa Murti telah berhasil melukai lawan pengawal itu.
Segores luka telah mengoyak lambungnya. Sehingga darah pun telah memancar dari luka itu.
Ketika pengawal yang bertempur bersamanya itu masih akan menusuk dadanya, Mahisa Murti berkata, “Sudahlah. Masih banyak lawan yang harus kau tangani. Bantulah saudaraku itu”
Pengawal itu menjadi heran. Mahisa Murti sendiri tidak membantunya. Tetapi ia menyuruhnya melibatkan diri. Tetapi pengawal itu tidak berpikir panjang, lapun segera menerjunkan diri ke dalam pertempuran yang garang itu, bersama Mahisa Pukat melawan beberapa orang yang bertempur dengan keras dan kasar.
Yang dilakukan oleh Mahisa Murti adalah seperti yang sudah dilakukannya. Ia mendekati pengawal lainnya yang masih bertempur melawan seorang diantara mereka yang ingin merampas benda-benda berharga itu. Seperti yang sudah terjadi, maka dengan mudah Mahisa Murti telah melumpuhkan seorang diantara mereka yang berniat jahat itu.
Seperti yang terdahulu, maka pengawal yang telah terbebas dari lawannya itupun telah bergabung pula dengan Mahisa Pukat.
Sehingga dengan demikian, maka keadaanpun menjadi semakin gawat bagi orang-orang yang memasuki banjar dengan niat buruk itu.
Namun Mahisa Murti masih melakukan sekali lagi. lapun telah membebaskan pengawal yang seorang lagi dari lawannya dan minta kepada pengawal itu untuk bertempur bersama Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka orang-orang yang memasuki banjar itu lelah kehilangan harapan untuk dapat memenangkan pertempuran.
Seorang demi seorang mereka telah tersentuh senjata. Bahkan orang yang bertubuh tinggi besar itupun lelah menitikkan darah dari pundaknya yang lerluka.
Mahisa Murti berdiri bertolak pinggang sambil menyaksikan pertempuran yang sudah mulai menjadi berat sebelah itu. Apalagi ketika ia melihat seorang lawan telah terlempar dan jatuh berguling dilantai dengan dada yang berlumuran darah.
“Anak-anak yang meronda itu masih juga belum angun” berkata Mahisa Murti seolah-olah tidak menghiraukan pertempuran itu sama sekali.
“Sumber sirep itu sebentar lagi akan lenyap sahut Mahisa Pukat sambil bertempur” Cobalah, bangunkan mereka”
Mahisa Murti mengangguk angguk Ketika ia yakin bahwa sebentar lagi, Mahisa Pukat dan ketiga orang pengawal itu akan dapat menguasai lawan mereka sepenuhnya, maka iapun tidak mencampurinya lagi. Tetapi iapun mendekati peronda yang masih tertidur nyenyak.
Sambil mengguncangkan tubuh seorang di antara mereka yang tertidur nyenyak itu, Mahisa Murti berusaha untuk membangunkan mereka. Sementara itu, sumber dari sirep yang tajam itupun telah kehilangan kekuatannya. Apalagi orang itu telah terluka pula seperti beberapa orang kawannya.
Karena itu, maka peronda itupun perlahan-lahan mulai terbangun. Namun iapun segera terlonjak berdiri ketika ia mendengar hiruk pikuk sisa pertempuran yang sudah hampir selesai itu. Tetapi yang dilihatnya di dalam banjar itu benar-benar telah mengguncangkan jantungnya.
“Apa yang terjadi?” bertanya peronda itu.
“Sebagaimana kau lihat” jawab Mahisa Murti, “pengawai benda-benda berharga dari Pakuwon itu sedang bertempur mempertahankan benda-benda keramat itu”
Peronda itu meloncat kearah pintu. Tetapi ia terkejut bahwa tombaknya yang di sandarkannya di pintu itu telah tidak ada.
“Apa yang kau cari?” bertanya Mahisa Murti.
“Tombakku” jawab peronda itu, “Tombakmu sedang dipinjam. Tetapi nanti jika orang-orang yang akan ,erampas barang-barang berharga itu telah menyerah, tombakmu akan dikembalikan” jawab Mahisa Murti. Lalu, “sekarang bangunkan kawan-kawanmu. Laporkan hal ini kepada Ki Buyut”
“Kita tidak mempunyai Buyut sekarang ini. Baru akan diselenggarakan wisuda” jawab peronda itu.
“Tetapi bukankah ia sudah memangku kewajiban mengatasi persoalan ini? Jika bukan calon. Buyut yang akan menerima wisuda, itu, laporkan kepada siapa yang berhak menanganinya” berkata Mahisa Murti.
Peronda itu segara mendekati kawannya yang terbaring dimuka pintu. Sejenak kemudian kawannya itupun telah terbangun pula.
Sejenak ia menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Mahlsa Murti, “Siapa kau?”
“Ya” sambung kawannya yang terbangun lebih dahulu,, “aku bertanya tentang kau”
“Nanti sajalah. Sekarang bangunkan kawan-kawan-mu yang lain” jawab Mahisa Murti.
Kedua peronda itupun kemudian membangunkan seorang kawannya yang tertidur diruang dalam. Kemudian mereka berlari ke gardu di halaman banjar.
Ketika para peronda itu sudah terbangun, maka di halaman itupun segera terdengar suara riuh, sementara beberapa orang diantara mereka berlari-lari ke rumah calon buyut yang akan diwisuda serta beberapa orang bebahu Kabuyutan lainnya.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya orang yang akan diwisuda itu.
“Aku kurang tahu. Tetapi telah terjadi pertempuran di dalam banjar” jawab para peronda itu.
Orang yang akan di wisuda menjadi Buyut menggantikan ayannya itu menjadi bingung. Ia tahu bahwa didalam banjar itu disimpan benda-benda yang akan dipergunakan dalam upacara wisuda beberapa hari mendatang.
Karena itu, maka iapun segera meraih tombaknya dari ploncon diruang dalam. Berlari-lari kecil orang yang akan diwisuda itupun menuju kebanjar dengan jantung yang berdebaran. Sementara beberapa peronda akan menghubungi Kabuyutan yang lain.
Ketika orang-orang itu sampai ke banjar, ternyata pertempuran telah selesai. Tiga orang pengawal dan para peronda sedang sibuk mengumpulkan orang orang yang terluka, sementara mereka yang menyerah terpaksa diikat kaki dan tangannya sementara menunggu penyelesaian.
Sedangkan seorang diantara para pengawal yang terluka itupun telah berusaha mengobati lukanya dibantu oleh kawan-kawannya.
“Ada dua orang yang terbunuh diantara mereka” berkata salah seorang pengawal kepada kawannya yang terluka.
Dalam pada itu, para perondapun segera mempersilahkan orang yang akan diwisuda itu masuk kedalam banjar. Ketika ia melihat para pengawal, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Apa yang terjadi?”
Para pengawal itupun kemudian mempersilahkannya duduk.
Seorang di antara para pengawal itu pun kemudian menceriterakan kembali apa yang terjadi di dalam banjar ini kepada calon Buyut yang akan di angkat menggantikan ayannya itu dan beberapa orang bebahu lainnya, yang datang berurutan saling susul-menyusul.
“Ada dua orang anak muda yang telah menolong kami” berkata salah seorang pengawal itu.
“Apa yang mereka lakukan?” bertanya calon Buyut itu., “Mereka membangunkan kami. Karena itulah maka kami sempat mempertahankan benda-benda itu. Tetapi ternyata bukan itu saja. Mereka menentukan kemenangan kami ketika mereka membatu kami yang mengalami kesulitan melawan jumlah lawan yang terlalu banyak. Ternyata kemampuan kedua anak muda itu jauh melampaui kemampuan kami” jawab pengawal itu.
“Dimana kedua orang anak muda itu?” bertanya Ki Buyut.
“Ke pakiwan. Mereka sedang membersihkan diri” jawab pengawal itu.
“Aku akan memanggilnya” berkata pengawal yang lain lagi.
Namun pada saat itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan banjar itu. Mereka menyelinap dan meloncati dinding halaman, menyusup dalam kegelapan keluar dari padukuhan yang hampir saja terkena bencana itu.
Karena itulah, maka pengawal itu tidak dapat menemukannya di pakiwan dan dimanapun juga di banjar itu.
Dengan demikian orang-orang didalam banjar itu menjadi bingung. Bukan saja para pengawal, tetapi para perondapun telah ikut mencari dua orang anak muda yang telah membantu mereka bertempur mengalahkan orang- orang yang ingin merampas benda-benda keramat yang akan dipergunakan dalam wisuda beberapa hari mendatang.
“Mereka pergi ke pakiwan” berkata seorang pengawal., “Tidak ada” pengawal yang lain yang mencarinya ke pakiwan menjawab, “aku sudah mencari bukan saja di pakiwan. tetapi di halaman samping sudah aku jelajahi sampai kesudut-sudutnya”
“Aneh” berkata seorang peronda, “tidak ada orang lain di halaman banjar ini. Bahkan sampai keharaman belakang”
Akhirnya semua orang telah mencarinya. Ketika para pengawal itu menjadi gelisah, merekapun telah menengok peti-peti berharga yang mereka tinggalkan. Sekilas terpercik juga kecurigaan mereka, bahwa kedua orang anak muda itu telah melarikan diri sarnbil membawa benda-benda keramat yang akan dipergunakan dalam upacara wisuda itu.
Tetapi semuanya masih berada ditempatnya.
Namun seorang pengawal yang mulai curiga terhadap kenyataan yang dialaminya itu melihat tombak dan parang yang tergolek didepan pintu bilik penyimpanan itu. Karena itu, berbisik ia berkata, “Apakah mungkin kedua anak muda itu bukan ujud yang sebenarnya?”, “Maksudmu?” bertanya yang lain.
“Benda-benda itu adalah benda-benda yang bukan saja berharga, tetapi juga keramat” desisnya pula, “Ya. Kenapa?” desak kawannya.
“Apakah, apakah kedua anak-anak muda itu sebenarnya bukan orang yang sebenarnya?” pengawal itu menjawab.
“O” kawannya termangu-mangu, “maksudmu yang nampak sebagai dua orang anak muda itu sebenarnya adalah tuah dari benda-benda itu?” bertanya kawannya.
“Ya. Ketika mereka kembali ke asal mereka, senjata- senjata yang dipinjamnya dari para peronda itu ditinggalkannya didepan bilik ini” jawab pengawal itu.
Keterangan itu memang menarik perhatian. Ketika mereka duduk kembali dan berbincang, maka hal itu menjadi pokok pembicaraan para pengawal, para peronda dan para bebahu kabuyutan itu.
“Memang aneh berkata seorang pengawal hampir tidak masuk akal. Ketika kami tertidur oleh sirep yang sangat tajam, maka kami telah mereka bangunkan. Mereka berbisik di telinga kami, yang seolah-olah memberikan kekuatan kepada kami untuk mengatasi sirep itu. Ketika kami berhasil sadar sepenuhnya akan keadaan kami, maka orang-orang yang akan merampas benda-benda pusaka itu mulai memecah pintu, sementara kedua orang anak muda itu bersembunyi di dalam bilik itu juga”
Yang mendengarkan ceritera pengawal itu mengangguk-angguk.
Kemudian pengawal itu meneruskan Tetapi ketika kami terdesak dan tidak berpengharapan lagi. maka keduanyapun telah keluar dari bilik itu dan melihatkan diri sehingga akhirnya sebagaimana kalian lihat, kami dapat keluar dengan selamat meskipun seorang kawan kami terluka. Namun ternyata bahwa kami dapat mengalahkan lawan- lawan kami. Ada yang terpaksa terbunuh, luka-luka parah, selainnya yang menyerah telah kami ikat tangan kakinya”
Orang yang akan diwisuda itu menjadi berdebar-debar.
Di luar sadarnya ia memandangi pintu bilik banjar yang dipergunakan untuk menyimpan barang-barang berharga itu. Hampir tidak masuk akal bahwa benda-benda itu dapat diselamatkan.
“Apakah aku boleh melihat benda-benda itu?” bertanya calon buyut yang beberapa hari lagi akan di wisuda.
“Silahkan. Marilah, aku akan membuka peti itu” sahut salah seorang dari para pengawal itu.
Orang yang akan menggantikan kedudukan ayahnya itupun kemudian memasuki bilik penyimpanan itu. Ketika peti kecil yang berada di peti yang besar itu dibuka satu demi satu, maka orang itu melihat beberapa buah benda berharga. Di antaranya sebuah topeng yang terbuat dari emas, sebilah keris dalam wrangkanya yang terbuat dari emas bertreteskan berlian, dan beberapa macam benda yang lain.
“Semuanya masih utuh” desis para pengawal.
Orang-orang yang berada di banjar itu pun akhirnya mengambil satu kesimpulan, bahwa benda-benda yang sangat mahal harganya itu memang gawat ternyata pusaka- pusaka itu telah menolong diri sendiri.
“Tentu di antara pusaka-pusaka itu ada yang benar-benar memiliki tuah dan dapat menjadikan dirinya sebagaimana kalian lihat sebagai dua orang anak muda” berkata calon Buyut yang akan diwisuda itu.
Namun kesimpulan itu telah membuat orang-orang yang berada di dalam banjar itu menjadi semakin menghormati benda-benda berharga yang disimpan didalam peti itu.
“Kami akan melaporkan kepada Akuwu apa yang telah terjadi di sini” berkata salah seorang pengawal, “mungkin
Akuwu sudah tidak akan terkejut dan heran, karena Akuwu tentu sudah mengetahuinya.
“Tetapi kita wajib melaporkannya” berkata pengawal itu. Para pengawal itu sepakat, bahwa dua orang diantara mereka di keesokan harinya akan pergi menghadap Akuwu, sementara seorang yang lain akan menunggui pusaka itu bersama kawannya yang terluka dibantu oleh para peronda yang terdiri dari anak-anak muda dari Kabuyutan itu bersama orang yang akan diwisuda itu sendiri serta para bebahu. Tetapi menjelang senja para pengawal harus sudah kembali.
Demikianlah, maka pada malam yang tersisa itu tidak seorang pun lagi yang dapat tidur barang sekejab. Mereka masih tetap memperbincangkan kemungkinan yang aneh yang terjadi pada benda-benda keramat itu, seolah olah di antara benda-benda keramat itu ada yang. dapat mewujudkan dirinya seagai dua orang anak muda.
Ketika fajar menyingsing dua diantara para pengawal itupun telah siap meninggalkan banjar itu untuk menghadap Akuwu. Diserahkannya tanggung jawab atas benda-benda itu kepada seorang di antara. para pengawal itu dibantu oleh orang yang akan diwisuda itu sendiri bersama para bebahu dan anak-anak muda dari pedukuhan itu.
Sejenak kemudian maka kedua orang pengawal itupun telah berpacu di atas punggung kuda mereka menuju ke kata Pakuwon.
Ketika mereka menghadap Akuwu dan menceriterakan apa yang telah terjadi, maka tidak seperti yang mereka sangka, maka Akuwu itu pun ternyata terkejut bukan buatan. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Kalian mungkin salah menilai benda-benda itu Benda benda itu memang benda-benda upacara. Tetapi aku yang memiliki dan menyimpannya sejak bertahun tahun belum pernah menjumpai peristiwa seperti itu, atau mendengar atau mengalaminya”
“Ampun tuanku” berkata salah seorang pengawal itu, “hamba benar-benar mengalaminya Dalam keadaan yang paling sulit, seolah-olah tidak ada lagi harapan bagi hamba berempat, bahwa hamba akan dapat keluar hidup-hidup dari banjar itu, dan di saat hamba berempat menjadi, hampir putus asa bahwa hamba tidak mampu mempertahankan pusaka-pusaka keramat itu, maka kedua orang anak muda itu telah turun ke arena”
“Mungkin mereka pengembara seperti yang mereka katakan” berkata Akuwu.
“Kedatangan mereka pun sangat ajaib menurut pertimbangan nalar hamba” jawab pengawal yang lain.
Akuwu mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar semua ceritera tentang kedua orang anak muda itu dari awal sampai mereka kembali masuk ke dalam peti-peti kecil itu setelah mereka meninggalkan senjata yang mereka pergunakan di depan pintu bilik penyimpanan pusaka itu.
“Baiklah” berkata akuwu itu, “meskipun demikian aku tidak segera dapat mempercayai. Tetapi aku pun telah bersyukur bahwa kalian telah mendapatkan sebuah pertolongan sehingga nyawa kalian telah diselamatkan, dan pusaka-pusaka keramat itu tidak lenyap dibawa oleh sekelompok perampok yang kuat, yang sekarang justru sebagian tersisa telah menjadi tawanan”
“Tuanku” berkata pengawal itu, “meskipun ternyata pusaka-pusaka itu dapat menyelamatkan diri sendiri, namun bagaimanapun juga hamba masih mengajukan sebuah permohonan”
“Apa?” bertanya Akuwu.
Karena masih ada beberapa hari lagi pusaka-pusaka keramat itu berada di padukuhan yang kecil tetapi ternyata mengundang bahaya itu. hamba mohon agar kawan hamba dapat ditambah lagi”
Akuwu itu mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan permohonan pengawal itu. Apalagi ia kurang mempercayai apa yang telah terjadi menurut ceritera pengawal itu seolah-olah dari dalam peti itu telah muncul dua orang anak muda yang aneh itu.
“Baiklah” jawab Akuwu, “aku akan menyertakan empat orang pengawal lagi bersamamu”
Demikianlah, maka ketika dua orang pengawal itu kembali ke banjar, maka ia telah datang bersama empat orang lainnya, sehingga jumlah para pengawal itu menjadi delapan orang, sementara seorang diantara mereka terluka. Namun luka itu telah dapat dijaga dan menjadi semakin baik.
Ketika para pengawal itu kembali di banjar, mereka telah mendengar ceritera dari antara para peronda, bahwa malam sebelumnya dua orang anak muda itu telah bermalam di banjar itu pula.
“Aku melihat sendiri” berkata peronda itu, “meskipun demikian cenderung untuk sependapat, bahwa kedua orang anak muda itu memang ajaib, “
Para pengawal dan peronda peronda yang lain nampaknya masih tetap pada pendirian mereka. Seandainya malam sebelumnya kedua orang anak muda itu telah menampakkan dirinya, maka hal itu pun sekedar untuk memperkenalkan diri mereka kepada satu dua orang peronda.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berada di luar padukuhan itu meskipun belum begitu jauh Mereka berdua menjadi ragu-ragu untuk meneruskan perjalanan mereka. Jika kelompok penjahat itu ternyata memiliki sejumlah orang lain yang lebih kuat, dan mereka dengan terang-terangan menyerbu ke padukuhan itu pada saat wisuda, apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya” berkata Mahisa Murti.
“Ya” jawab Mahisa Pukat, “tetapi jika Akuwu hadir, maka itu akan berarti bahwa jumlah pengawal di padukuhan itu akan berlipat”
“Jika mereka datang sebelum Akuwu dengan pengawal-pengawalnya datang?” desis Mahisa. Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin hal seperti itu terjadi. Bahkan mungkin malam nanti dan esok pagi-pagi”
Mahisa Murti kemudian berkata, “Kita tidak dapat meninggalkan padukuhan itu. Meskipun kita tidak akan menempatkan diri kita lagi untuk menghindarkan diri dari keterlibatan yang semakin jauh”
“Aku sependapat” berkata Mahisa Pukat, “malam nanti kita akan mengawasi padukuhan itu lagi”
Namun dalam pada itu, ternyata berita mengenai dua orang anak muda yang ajaib itu telah tersebar semakin luas.
Bukan saja orang-orang di padukuhan yang di hari berikutnya akan mewisuda seorang Buyut baru menggantikan ayahnya yang sudah meninggal, tetapi padukuhan-padukuhan lain pun telah mendengarnya pula.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di dalam sebuah kedai kecil di sebuah padukahan yang berjarak tiga bulak pendek dan pantang dari padukuhan yang hampir saja mengalami bencana itu, maka mereka telah mendengar dongeng tentang dua orang anak muda yang ajaib yang merupakan perwujudan dan pusaku keramat yang tersimpan di dalam banjar sebagai salah satu benda, upacara dalam wisuda di hari berikutnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebaran. Penjual di kedai itu ternyata telah mempercayainya dengan sepenuh hati. Demikian pula dua orang pembeli lainnya yang kebetulan bersamaan waktunya dengan hadirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Demikian kedua anak muda itu meninggalkan kedai itu, maka mereka pun tidak dapat menahan gejolak perasaan mereka. Namun mereka berusaha untuk menahan ledakan tertawa yang hampir tidak tertahankan.
“Pikiran gila” geram Mahisa Pukat sambil menahan tertawanya.
“Memang salah kita,” berkata Mahisa Murti, “kita pergi dengan diam-diam dan meletakkan senjata itu di depan pintu bilik penyimpanan. Menurut khayal mereka, seolah- olah kita telah kembali memasuki peti-peti itu dan meninggalkan senjata yang kita pinjam itu”
“Apakah kita akan menjelaskan?” bertanya Mahisa Pukat.
“Kita akan menunggu perkembangan keadaan” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu mereka pun berjalan menuju ke sebuah padang perdu yang sepi. Sambil menunggu gelap mereka pun berbaring di atas rerumputan kering sambil membicarakan kabar yang membuat keduanya geli.
Sementara itu, di padukuhan yang akan melakukan wisuda bagi calon buyut yang akan menggantikan ayahnya itu sudah menjadi ramai. Namun bagaimanapun juga, nampak bahwa padukuhan itu dibayangi oleh kegelisahan. Orang-orang yang mempersiapkan upacara wisuda di banjar, sementara yang lain mempersiapkan hidangan dan upacara yang lain, masih tetap membicarakan niat jahat terhadap orang untuk merampas pusaka yang keramat itu.
“Tetapi pusaka itu sendiri telah menyelamatkan dirinya” berkata beberapa orang di antara mereka.
Tetapi karena itu, dalam kesibukan itu masih tetap tercermin kegelisahan. Namun bagaimanapun juga mereka harus membuat persiapan-persiapan. Di hari berikutnya, menjelang malam, Akuwu akan datang untuk mewisuda seorang Buyut baru dari padukuhan itu.
Kegelisahan itu telah memaksa orang-orang sepadukuhan menjadi bersiaga. Setiap laki-laki telah membawa senjata. Sementara anak-anak muda berjaga-jaga di gardu-gardu.
“Sebenarnya kita tidak perlu cemas” berkata seorang anak muda.
“Jika perampok-perampok itu datang dalam jumlah yang jauh lebih besar?” sahut kawannya,
“Pusaka-pusaka itu benar-benar bertuah” jawab anak muda yang pertama.
“Jika perampok-perampok itu mempunyai penawarnya, sehingga pusaka-pusaka itu tidak lagi dapat membuat dirinya sebagai dua orang anak muda?” sahut kawannya.
“Tetapi di sini sekarang sudah ada delapan orang pengawal. Sementara kita sendiri dapat mengerahkan anak- anak muda yang jumlahnya tidak terhitung lagi. Bahkan padukuhan-padukuhan tetangga sudah bersedia membantu jika kita memberikan isyarat” berkata orang pertama.
“Ya. Kita akan dapat bertempur dalam jumlah yang tidak terbatas. Tetapi apakah jumlah itu akan dapat menjamin kemenangan mutlak? Seandainya kita dapat mengusir para perampok itu, maka berapa puluh orang di antara kita yang akan menjadi korban dari peristiwa itu” sahut kawannya.
Namun agaknya kawannya yang lain sependapat dengan orang yang pertama. Katanya,, “Semua akibat yang paling buruk pun harus kita pertanggung-jawabkan. Kita tidak dapat mengingkari lagi tanggung jawab itu”
Anak-anak muda itu pun terdiam. Mereka memang tidak akan dapat berbuat lain. Di hari berikutnya, menjelang malam Akuwu akan datang. Tengah malam wisuda itu akan berlangsung. Namun di padukuhan itu telah ada delapan orang pengawal yang akan melindungi pusaka keramat yang akan menjadi bagian dari upacara itu. Sementara kehadiran Akuwu pun tentu akan membawa sejumlah pengawal pilihan. Apalagi Akuwu sudah mengetahui, bahwa ada pihak yang menginginkan merampas benda-benda yang sangat berharga itu.
Demikianlah, malam itu seluruh padukuhan itu seolah-olah tidak tertidur barang sekejap. Setiap laki-laki ikut berjaga-jaga di sekitar rumah masing-masing. Anak-anak muda berada di gardu-gardu, sementara perempuan-perempuan sibuk menyiapkan hidangan dan kelengkapan upacara di hari berikutnya, sementara yang lain menyiapkan minuman dan makanan bagi para peronda yang jumlahnya tidak terhitung di setiap gardu.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mendekati padukuhan itu pula. Dari kejauhan mereka pun melihat obor di regol padukuhan dan di gardu-gardu. Bahkan di setiap simpang tiga dan simpang empat.
“Meskipun jumlahnya tidak terhitung, tetapi jika sirep yang tajam itu mencengkam mereka, maka mereka pun tentu akan tertidur nyenyak” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Nampaknya tidak malam ini. Orang-orang yang akan merampok benda-benda berharga itu tentu masih harus menghitung-hitung lagi. Apalagi agaknya orang-orangnya yang terbaik telah tertangkap dan terbunuh sehingga mereka harus menilai lagi keadaan yang akan mereka hadapi.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia pun sependapat bahwa malam itu tidak akan terjadi sesuatu.
Meskipun demikian kedua orang anak muda itu tidak meninggalkan tempatnya. Mereka masih tetap mengawasi keadaan pedukuhan yang sedang sibuk mempersiapkan upacara wisuda di hari berikutnya.
“Malam ini semua tenaga telah dikerahkan” berkata Mahisa Murti, “sehingga esok mereka semua akan kelelahan. Jika menjelang pagi mereka lengah, adalah saat sang paling baik bagi orang-orang yang berniat jahat datang ke padukuhan ini. Apalagi dilambari dengan ilmu sirep”
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kau benar. Tetapi mudah-mudahan hal itu tidak terjadi”
Dengan sabar kedua anak muda itu menunggu. Namun mereka sempat membagi waktu yang tesisa. Sebelum pagi, maka Mahisa Pukat mendapat kesempatan pertama. Baru kemudian Mahisa Murti memanfaatkan waktu menjelang fajar untuk tidur sambil bersandar sebatang pohon.
Dalam pada itu. ternyata bahwa orang-orang padukuhan yang semalam suntuk berjaga-jaga itu sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah kehabisan tenaga. Agaknya hal itu pun telah diperhitungkan pula oleh sekelompok orang yang berniat merampas benda-benda keramat itu.
Seorang yang bertubuh tinggi, dengan perut yang besar dan bermata setajam mata burung hantu mengamati keadaan padukuhan itu dengan saksama.
“Orang-orang bodoh itu terperangkap oleh kesombongan mereka sendiri” berkata orang berperut besar dan bertubuh tinggi itu.
Lima belas orang kita telah terbunuh dan tertangkap berkata salah seorang pengikutnya.
“Agaknya ilmu sirep itu dapat diatasi oleh para pengawal. Sementara menurut beberapa orang, pasukan itu dapat menjelma menjadi dua orang anak muda yang telah mengatasi kesulitan para pengawal itu” berkata orang bertubuh tinggi dan berperut besar itu.
Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka pun berpendapat bahwa kesulitan yang dialami oleh kawan-kawannya yang jumlahnya cukup banyak itu hampir melumpuhkan seluruh kekuatan gerombolan yang semula cukup kuat dan ditakuti.
“Setelah kehilangan lima belas orang, maka kekuatan kita tinggal separonya” berkata orang bertubuh besar itu,, “aku tidak yakin bahwa jika kita mengulangi usaha ini, kita akan berhasil. Apalagi jumlah pengawal yang ditempatkan di padukuhan ini sudah bertambah dengan empat orang. Sehingga mereka menjadi delapan orang”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Tetapi apakah kesempatan semacam ini dapat terulang”
Orang bertubuh tinggi berperut besar itu mengangguk-angguk. Katanya,, “Aku sependapat, bahwa kesempatan serupa ini akan sulit dicari. Tetapi bagaimana dengan orang kami yang tersisa tidak lebih dari dua puluh orang. Justru bukan orang-orang terbaik seperti yang sudah tertangkap itu. Mungkin aku sendiri dapat berbuat cukup banyak. Tetapi kalian harus mengakui, bahwa kawan-kawan kalian yang terbaik sudah tidak ada di antara kita.”
“Bagaimana jika kita berhubungan dengan seseorang” berkata salah seorang pengikutnya
“Tidak ada gunanya” jawab orang bertubuh tinggi dengan perut besar itu kita tentu akan berebut untuk menguasai seluruh benda-benda keramat itu. Kita akan hancur sendiri sementara kekuatan kita sudah larut”
“Jadi bagaimana menurut pertimbangan Ki Lurah” bertanya seorang pengikutnya.
Orang yang disebut Ki Lurah itu terdiam. Ia lidak ingin melepaskan benda-benda berharga itu, tetapi ia tidak cukup kekuatan untuk merampasnya. Sementara mereka meragukan, apakah ilmu sirep akan dapat dipergunakan”
“Kita dapat mencoba” tiba tiba saja seorang yang lain berbicara, “kita lontarkan ilmu sirep. Jika ilmu itu tidak berarti bagi para pengawal, kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika pengawal itu tertidur karenanya, maka kita akan mencuri benda-benda keramat itu”
Orang yang bertubuh tinggi berperut besar itu pun menjawab, “Sebentar lagi matahari terbit. Apakah kita akan dapat membawa peti itu meninggalkan padukuhan ini. Seandainya kita berhasil mengetrapkan sirep, karena kebetulan orang-orang padukuhan ini memang telah kehabisan tenaga setelah semalam suntuk mereka berjaga-jaga, sedangkan tanpa ilmu sirep pun ada di antara mereka yang sudah tidak dapat bertahan dan tertidur di gardu-gardu, dan kita dapat mengambil peti-peti itu, bukankah akan dapat memancing kecurigaan orang-orang yang akan berpapasan dengan kita di sepanjang jalan?”
“Kita akan mengambil sebuah pedati. Mereka tidak akan terbangun dengan segera. Pedati kita tentu sudah akan meninggalkan padukuhan ini sampai ke tempat yang jauh, sehingga mereka tidak akan dapat melacak perjalanan kita” berkata seorang pengikutnya.
“Bagaimana dengan para pengawal?” bertanya orang bertubuh tinggi dan berperut besar?”
“Kita akan membinasakan mereka dalam tidur” jawab pengikutnya.
Orang yang bertubuh tinggi berperut besar yang ternyata adalah pemimpin segerombolan perampok yang besar itu, mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya itu lebih baik. Kita akan membunuh mereka agar mereka tidak akan dapat mengganggu kita untuk seterusnya”
“Ya. Jika mereka masih kita biarkan hidup, dan jika mereka terbangun terlalu cepat, maka mereka akan dapat menyusul kita”
“Tentu pedati itu tidak akan dapat berjalan terlalu cepat” berkata seorang pengikutnya.
“Baiklah” berkata orang itu, “meskipun seorang yang mempunyai ilmu sirep sudah tidak ada lagi di antara kita, maka kita masih mempunyai seorang yang lain. He, rambut putih. Lakukanlah. Jangan mengecewakan. Aku yang mempunyai pengetahuan serba sedikit, akan membantumu”
Demikianlah kedua orang itu pun mulai bersamadi di tempat persembunyian mereka, sementara orang-orang yang lain mengawasi keadaan. Dalam ketegangan sekali-kali mereka menengadahkan wajah mereka. Sebentar lagi, langit akan menjadi merah dan matahari pun akan segera pecah di ujung Timur.
Namun mereka masih mempunyai waktu. Sejenak kemudian ilmu mereka telah menyelubungi seluruh padukuhan.
Dalam pada itu, orang-orang yang memang sudah kelelahan dan mengantuk itu pun tidak dapat bertahan sama sekali. Bahkan para pengawal yang ternyata juga berjaga jaga semalam suntuk bersama para peronda dan mereka yang mempersiapkan upacara bagi wisuda di hari berikutnya menjelang tengah malam, tidak lagi dapat bertahan. Perasaan kantuk mereka ditambah dengan kekuatan sirep yang tajam itu telah membuat mereka benar-benar kehilangan kesadaran. Bukan saja mereka menjadi tertidur nyenyak, tetapi mereka seolah-olah telah menjadi pingsan karenanya.
Tetapi ternyata bahwa pengaruh sirep itu telah menyentuh Mahisa Pukat. Ketika perasaan kantuk yang sangat menerpa matanya, sementara ia sedang mendapat giliran berjaga-jaga, karena Mahisa Murti lah yang sedang beristirahat sambil bersandar sebatang pohon, maka ia pun mulai menjadi curiga. Segera ia pun mengetrapkan ilmunya untuk meningkatkan ketahanan tubuhnya bukan saja dari serangan wadag. tetapi juga sentuhan ilmu yang tidak kasat mata seperti ilmu sirep.
Baru kemudian, ia pun membangunkan Mahisa Murti. Mula-mula ia menemui kesulitan, karena dalam tidurnya Mahisa Murti telah dibebani ilmu sirep, sehingga tidurnya pun menjadi semakin nyenyak. Namun akhirnya Mahisa Pukat pun berhasil membangunkannya juga.
Sesaat Mahisa Murti memerlukan waktu untuk meningkatkan daya tahannya. Baru kemudian ia bertanya, “Apa yang telah terjadi?”
“Aku belum tahu. Tetapi aku merasakan hadirnya ilmu sirep itu” jawab Mahisa Pukat
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam katanya, “Apakah satu kelemahan yang tidak dapat dimanfaatkan. Dua malam berturut-turut padukuhan ini mengalami serangan dengan cara yang sama”
“Tetapi dalam keadaan yang berbeda” jawab Mahisa Pukat.
“Ya, Malam ini para pengawal dan para peronda mengira bahwa serangan terjadi pada malam pertama itu tidak akan terjadi lagi. Apalagi malam telah hampir sampai ke ujungnya. Sebentar lagi matahari akan terbit” sahut Mahisa Murti.
“Justru di sinilah letak kesalahan mereka” jawab Mahisa Pukat, “hal yang tidak terduga, kini benar-benar terjadi pada saat orang-orang padukuhan itu menjadi letih.
“Sekali lagi kita harus bertindak” berkata Mahisa Murti. Kedua orang anak muda itu pun kemudian bersiap-siap.
Mereka pun kemudian merayap dengan hati-hati, mendekati banjar tempat penyimpanan pusaka. Namun merekapun terkejut ketika di halaman mereka terlihat beberapa orang bersenjata telah siap untuk memasuki banjar.
“Bukan main” berkata Mahisa Pukat, “apakah para pengawal itu benar-benar telah tertidur lagi seperti malam kemarin?”
Merekapun tidak menduga, bahwa serangan yang demikian akan terulang, justru menjelang pagi hari” sahut Mahisa Murti.
“Kita tidak mendapat kesempatan untuk membangunkan mereka malam ini” berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Agaknya para penjahat itu telah berada di sekeliling banjar. Bukan saja di halaman depan.
“Apakah yang akan kita lakukan” bertanya Mahisa Murti kemudian.
“Kita mendekat. Masih ada kesempatan meskipun sebentar lagi hari akan menjadi terang desis Mahisa Pukat.
Memang tidak ada pilihan lain. Dengan sungguh- sungguh Mahisa Murti berkata, “Mungkin kali ini kita akan benar-benar bertempur. Kita tidak dapat sekedar bermain- main seperti malam kemarin. Agaknya kita berdua harus melawan sekian banyak orang tanpa bantuan orang lain”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya kita memerlukan sentata lagi”
“Kita ambil senjata para peronda di gardu yang sudah tertidur nyenyak itu” jawab Mahisa Murti.
Dalam pada itu, kedua orang itu masih mendengar orang yang bertubuh tinggi dan berperut besar berteriak, “Bunuh semua pengawal”
“Jangan ada yang tersisa, aku tidak yakin bahwa, pusaka itu benar-benar dapat menjadi dua orang anak muda”
“Kita tidak mempunyai banyak waktu” berkata Mahisa Pukat.
Keduanya kemudian dengan sangat berhati-hati meloncati dinding halaman dan merayap mendekati gardu.
Ternyata keremangan sisa malam masih sempat menyelimuti mereka, sehingga orang-orang itu tidak melihat saat kedua orang anak muda itu memungut senjata dari gardu.
Yang dapat mereka ambil dari gardu adalah dua batang tombak pendek. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masing-masing telah mengamati tombak pendek di tangan mereka. Meskipun tombak itu bukan tombak yang sangat baik, tetapi ternyata tombak-tombak itu akan dapat dipergunakan untuk melawan senjata para perampok yang jumlah sekitar dua puluh orang itu.
Dengan cemas Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian melihat para perampok yang naik ke pendapa. Mereka nampaknya sangat yakin, bahwa tidak seorang pun yang dapat lolos dari ilmu sirep mereka.
Dalam pada itu, disana-sini para peronda dan orang- orang yang sibuk mempersiapkan upacara wisuda yang akan diselenggarakan tengah malam berikutnya, tertidur silang melintang.
Beberapa tangkai janur masih berserakan di pendapa. Sementara di dapur asap pun masih mengepul. Tetapi perempuan-perempuan yang masak, telah tertidur pula dengan nyenyaknya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mencapai pintu butulan, karena untuk menuju ke tempat itu. ia harus melewati beberapa orang pengikut orang bertubuh tinggi dan berperut besar itu. Sehingga karena itu, maka iapun telah mengambil satu sikap yang lain.
Ketika sekali lagi orang bertubuh tinggi dengan perut yang besar itu berteriak memerintahkan orang orangnya segera masuk, maka tiba tiba saja Mahisa Murti telah muncul di halaman diikuti oleh Mahisa Pukat.
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Mahisa Murti diselingi oleh kata-katanya, “Apa yang akan kalian lakukan Ki Sanak?”
Semua orang terkejut mendengar suara tertawa itu. Dengan serta merta mereka berpaling dan memandang ke halaman. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat dalam keremangan sisa malam dua orang anak muda yang berdiri tegak dengan tombak pendek di tangan.
“Siapa kau?” bertanya pemimpin perampok itu.
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “beri kami jalan. Kami akan kembali kedalam sarang kami”
“Siapa kau he?” desak seorang perampok yang menjadi berdebar-debar.
“Aku adalah Kiai Sodor. Aku akan kembali ke dalam selongsongku yang terletak di dalam peti” jawab Mahisa Murti.
“Aku Kiai Gampar” desis Mahisa Pukat, “beri kami jalan. Kecuali jika kalian bermaksud jahat. Kami berdua mendapat tugas untuk mengamati jalannya upacara wisuda dan ikut pula di dalamnya. Itulah sebabnya kami berada di sini untuk mengawal saudara tua kami. Topeng Emas berlian dan bergigi intan”
“Omong kosong” pemimpin perampok itu berteriak. “Jangan ganggu kami. Jika saudara tua kami itu terbangun dan keluar dari petinya, maka akan terjadi gara-gara. Gunung akan meledak dan berguguran. Lautan dan sungai-sungai akan meluap. Hujan prahara dan angin topan akan menghancurkan bumi ini”
“Aku tidak peduli” teriak pemimpin perampok itu, “jangan sangka kami anak-anak kemarin sore yang percaya kepada igauanmu itu. Lebih baik kalian tunduk di bawah perintah kami, agar kalian berdua akan dapat kami ampuni”
Mahisa Pukat lah yang tertawa Sambil melangkah maju ia berkata, “Sudahlah. Jangan membual seperti itu. Beri kami jalan, atau kami akan memusnakan kalian”
Pemimpin perampok itu menjadi semakin marah. Dengan garang ia berkata, “Baik. Aku akan membunuh kalian berdua. Jika benar kalian adalah ujud dari pusaka-pusaka yang kau sebut itu. maka kalian akan dapat menyelematkan diri kalian”
“Baik” jawab Mahisa Pukat, “jika itu yang kau kehendaki maka kami akan menembus kemampuan kalian semua sebelum kami akan memasuki selongsong kami masing-masing”
Pemimpin perampok itu menggeram. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, bagaimanapun juga, kedua anak muda itu harus menilai lawannya dengan saksama. Jika malam sebelumnya mereka bertempur bersama empat orang pengawal dan lawannya pun tidak sebanyak malam itu, maka saat itu mereka berdua harus bertempur berdua saja.
Dalam pada itu, maka pemimpin perampok itu pun berkata kepada orang-orangnya, “Selesaikan dua orang anak gila ini. Baru kita menyelesaikan yang lain agar anak-anak gila ini tidak mengganggu lagi”
Tetapi Mahisa Murti menyahut, “Marilah, aku sudah siap. Apakah kau kira bahwa ilmu kalian sudah terlalu tinggi? Aku dapat menilik dari ilmu sirep kalian yang tidak berarti apa-apa ini. Dengan demikian, maka tingkat kemampuan kalianpun tidak akan jauh berbeda dengan tingkat ilmu sirep kalian ini”
Tetapi pemimpin perampok itu tidak menjawab. Ia pun langsung mendekati Mahisa Murti, sementara para pengikutnya pun telah memencar. Seorang anak muda yang lain, yang telah mengambil jarak, telah dikepungnya pula.
Namun nampaknya Mahisa Pukat memang mempunyai sikap yang agak berbeda dari Mahisa Murti. Demikian lawan-lawannya mulai mengepungnya, maka ia pun telah menyerang mereka dengan langkah menghentak yang mengejutkan. Hampir tidak dapat dilihat oleh lawannya, karena mereka memang tidak akan menduga, bahwa Mahisa Pukat akan berbuat demikian.
Namun dalam hentaknya yang mengejutkan itu, ujung tombaknya telah tergores pada dada seorang lawan. Demikian orang itu mengaduh, sambil meloncat surut, maka putaran tombaknya telah menyambar kepala seorang lawannya yang lain pada pangkalnya.
Sikap Mahisa Pukat benar-benar telah mengejutkan lawan. Sehingga justru karena itu, maka merekapun segera bergeser mundur.
Tetapi Mahisa Pukat tidak memberi mereka kesempatan untuk menilai keadaan sebaik-baiknya, karena Mahisa Pukat pun telah memburu dengan serangan-serangannya yang cepat pada satu sisi, sehingga dengan demikian, maka ternyata bahwa Mahisa Pukat telah berhasil memecahkan kepungannya. Bahkan sekali lagi, seorang lawannya telah mengaduh karena ujung tombak anak muda itu telah mematuk perutnya.
Sementara itu, Mahisa Murti pun telah mulai bertempur pula.
Orang yang bertubuh tinggi dengan perut yang besar itu berada di lingkaran pertempuran untuk melawannya.
Dengan sikap yang lebih tenang Mahisa Murti menghadapi lawan lawannya. Ia tidak meloncat-loncat mengejutkan. tetapi senjatanya lah yang berputar seperti baling-baling melindungi dirinya dari serangan-serangan senjata mereka yang mengepungnya.
Sebenarnyalah senjata Mahisa Murti tidak kalah berbahaya dari senjata Mahisa Pukat. Dalam beberapa saat beberapa orang yang mengepung Mahisa Murti pun mulai menyadari, bahwa anak muda itu benar-benar anak muda yang luar biasa.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti masih tetap bertahan. Namun sejenak kemudian, maka tangan lawan-lawannya pun mulai merasa sakit. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat tangan orang-orang yang mengepungnya menjadi pedih. Seorang yang lenggah, ternyata telah terkejut karena senjatanya seolah-olah telah di renggut oleh kekuatan yang tidak terlawan dan melejit ke udara, jatuh beberapa langkah dari arena.
“Gila” geram orang itu. Namun ia masih mendapat kesempatan untuk mengambilnya.
Tetapi demikian ia kembali memasuki arena, seorang di antara kawannya telah terdorong surut Bukan saja senjatanya yang terlepas dari tangannya, tetapi lambungnya telah tergores ujung senjata anak muda yang berada di dalam kepungan itu.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak lagi mendapat kesempatan untuk bermain-main, jika mereka tidak ingin mendapat kesulitan. Karena itulah, maka merekapun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan tenaga cadangan merekapun telah mulai tersalur pada tangan-tangan mereka.
Itulah sebabnya, maka kekuatan mereka pun seolah-olah telah menjadi berlipat. Sentuhan senjata mereka, bagaikan hantakkan kekuatan yang tidak terlawan.
Dengan kekuatan yang berlipat dan sikap yang garang Mahisa Pukat benar-benar telah mampu mengacaukan kepungan lawan-lawannya. Bahkan semakin lama ia semakin mendapat banyak kesempatan untuk mengurai perlawan orang-oroang yang berusaha mengepungnya lebih rapat. Setiap kali Mahisa Murti berhasil lolos dari lingkaran yang mengelilinginya, bahkan setiap kali dengan meninggalkan segores luka pada tubuh seorang lawan.
Mahisa Murti pun semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Tombaknya berputaran bagaikan perisai di seputar tubuhnya. Namun tiba-tiba tombak itu mematuk dengan cepatnya. Jika seorang di antara mereka yang mengepung mengaduh dan terdorong sulut, maka tombak itu telah berputar kembali di sekeliling tubuhnya.
Beberapa orang telah terluka di arena pertempuran. Mahisa pukat ternyata memerlukan arena yang lebih luas. Sementara Mahisa Marti bertempur di tempatnya menghadapi orang-orang yang mengurungnya. Namun meskipun Mahisa Murti tetap berada di dalam kepungan namun lawan-lawannya tidak banyak dapat berbuat atas anak muda itu.
Dengan mengerahkan segenap ilmunya, maka Mahisa Murti pun berhasil satu persatu mengurangi jumlah lawahnya. Ketika tombaknya terayun mendatar, maka seorang lawannya memekik kecil.
Dadanya terkoyak oleh ujung tombak itu. Bahkan ujung tombak itu masih juga melemparkan senjata seorang lawannya yang lain dan jatuh beberapa langkah dari padanya.
Dengan tergesa-gesa orang yang kehilangan senjata itu berlari memungut senjatanya. Namun malang, bahwa ia tidak memperhatikan kaki Mahisa Pukat. Dengan satu loncatan kecil, orang yang sedang memungut senjatanya itu telah terlempar jatuh. Justru pangkal tombak Mahisa Pukat telah menghantam tengkuknya.
Meskipun pangkal tombaknya itu tidak melukainya, tetapi benturan di tengkuknya telah membuatnya Sekaligus pingsan.
Demikianlah, dari waktu ke waktu, orang-orang yang mengepung kedua anak muda itu menjadi semakin berkurang. Sementara itu langit menjadi semakin terang. Pagipun telah mulai cerah.
“Aku tidak ingin kemanungsan” teriak Mahisa Pukat, “aku harus segera kembali ke selongsongku sebelum saudara tua yang garang itu marah. Jika ia terbangun dan tampil di arena, maka bumi akan terguncang seluruhnya dan gempa pun akan menghancurkan dataran dan lereng pegunungan sebelum gunung itu sendiri akan meledak”
Ancaman itu memang mengerikan. Orang orang yang tinggal, ternyata tidak dapat mengabaikan ancaman Mahisa Pukat itu. Bahkan dalam keadaan yang gawat, maka senjata Mahisa Murti telah menyentuh tubuh orang yang menjadi pemimpin gerombolan yang ingin merampas benda benda berharga itu.
“Kau adalah pusat dari bencana ini” berkata Mahisa Murti, “jika kau dapat aku lumpuhkan, maka semuanya akan tunduk kepadaku”
“Gila” orang itu menggeram, “kau akan mati”
“Kau tidak akan dapat membunuhku” berkata Mahisa Murti, “aku bukan wadag kasar seperti wadagmu”
Sebenarnyalah orang bertubuh tingggi dengan perut yang besar itu tidak mampu berbuat banyak. Kawan-kawannya menjadi semakin berkurang, sementara tubuhnya sendiri telah terluka.
“Lima orang pengikutnya telah tergolek di tanah. Tiga di antaranya pingsan. Sementara yang dua keadaannya sangat gawat.
Meskipun demikian orang bertubuh tinggi dan perutnya besar itu tidak mau segera melihat kenyataan. Bahkan seperti orang gila ia pun telah mengamuk sejadi jadinya. Tetapi dengan demikian, ia telah kehilangan pengamatan atas tata geraknya sendiri, sehingga seolah olah ia tidak lagi bertempur atas satu pegangan ilmu yang paling sederhana sekalipun.
Namun dalam pada itu, sikap orang bertubuh tinggi dan berperut besar itu sangat menjengkelkannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun telah mengambil keputusan untuk menghentikan sikap gila orang itu. Ketika dengan ayunan senjata yang tidak mapan orang itu menyerang Mahisa Murti, maka Mahisa Murti masih sempat mengelak meskipun ia harus menangkis serangan seorang lawannya yang lain.
Namun dalam pada itu. dengan sikapnya yang tidak terkendali orang itu telah memburunya dan mengayunkan senjatanya tanpa memperhitungkan akibatnya.
Mahisa Murti tidak lagi mengelak, tetapi ia sempat mengungkit senjata lawannya dengan tangkai tombaknya, sehingga senjata itu terjulur tanpa menyentuh sasaran. Pada saat yang demikian, Mahisa Murti telah memukul punggung orang itu dengan tangkai tombaknya pula.
Pukulan itu terlalu keras, sehingga orang bertubuh tinggi itu menjadi tehuyung-huyung. Hampir saja ia jatuh terjerembab. Namun untunglah bahwa ia masihi sempat menguasai keseimbangannya.
Dengan berteriak nyaring itu telah melompat, memutar tubuhnya Sambil mengumpat kasar itu mengangkat senjatanya.
Namun tepat pada saat yang sama, tombak Mahisa Murti telah terjulur lurus ke arah lambungnya yang terbuka.
Orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ujung tombak Mahisa Murti telah mengoyak kulitnya meskipun tidak terlalu dalam Tetapi terasa seolah-olah isi perutnya telah tertumpah.
Melihat orang itu terluka, pengikut-pengikutnya menjadi semakin gelisah. Bahkan kemudian mereka pun mulai bergeser surut.
Tetapi orang itu berteriak, “Pengecut. Bunuh anak-anak gila itu”
“Omong kosong” geram orang itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan tenaga cadangan mereka telah mendorong kecepatan dan kemampuan gerak mereka agar ujung senjata lawan benar- benar tidak melukai kulitnya. Dengan kecepatan gerak mereka berhasil menghindar dan menangkis setiap serangan dari segala arah. Bahkan akhirnya, dengan kecepatan puncaknya mereka berdua berhasil mematahkan perlawanan orang-orang yang bermaksud buruk itu.
Ketika sekali lagi tombak Mahisa Murti mengenai dada orang bertubuh tinggi itu, maka ia pun telah mengakhiri pertempuran. Orang bertubuh tinggi dengan yang besar itu, akhirnya jatuh terkapar di tanah. Sekali-kali terdengar orang itu mengerang menahan pedih. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak terlalu banyak mempunyai waktu.
Keduanya telah mengikat orang-orang yang tersisa dan mengikat mereka pada batang-batang pohon yang terdapat dihalaman banjar itu. Sementara yang terlalu dan pingsan terpaksa mereka tinggalkan begitu saja.
“Jika para pengawal terbangun, maka mereka akan segera merawat mereka” berkata Mahisa Murti. Lalu sebentar lagi mereka akan terbangun. Sumber kekuatan sirep itu telah dilumpuhkan, sehingga kekuatan sirep itu sudah tidak berpengaruh lagi”
“Lalu. bagaimana dengan kita?” bertanya Mahisa Pukat., “Kita akan meletakkan senjata-senjata ini seperti malam kemarin” jawab Mahisa Murti.
“Di muka bilik itu?” bertanya Mahisa Pukat., “Ya” jawab Mahisa Murti singkat.
Dengan tergesa-gesa keduanya Kemudian memasuk ruang dalam banjar itu. Ternyata pintu banjar itu juga tidak diselarak seperti malam sebelumnya. Agaknya para peronda dan para pengawal memang tidak menduga sama sekali bahwa perampok-perampok itu akan kembali. Menurut perhitungan mereka, kemungkinan yang demikian itu hampir tidak akan terjadi.
Tetapi ternyata yang mereka anggap tidak mungkin terjadi itu telah terjadi. Sekali lagi para pengawal dihadapkan pada satu kenyataan bahwa mereka tidak berdaya menghadapi keadaan yang gawat di bawah ilmu sirep yang sangat tajam.
Setelah meletakkan senjata masing-masing, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun meninggalkan banjar itu setelah keduanya menggeser tutup peti yang besar untuk memberikan kesan bahwa tutup itu telah bergerak.
Hampir saja keduanya terlambat meninggalkan banjar itu, ketika seorang pengawal tiba-tiba menggeliat. Namun sebelum orang itu membuka matanya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berjingkat keluar dari ruang dalam dan dengan tergesa-gesa meninggalkan banjar itu.
Mereka masih melibat beberapa orang tertidur di gardu-gardu meskipun matahari telah mulai nampak di ujung timur. Tanpa menghiraukan mereka, Keduanya berusaha untuk segera menjauhi banjar dan keluar dari padukuhan yang masih terasa sangat sepi.
Namun kesibukan ayam di kandang, telah membangunkan beberapa orang di sekitar banjar. Pengawal yang tertidur itu seorang demi seorang telah terbangun pula.
Ketika seorang peronda di halaman terbangun pula, alangkah terkejutnya ketika ia melihat apa yang telah tejadi.
Peronda itu mengusap matanya yang masih kabur. Seolah-olah ia tidak percaya bahwa ia benar-benar melihat satu kenyataan. Bukan sekedar mimpi.
Dengan jantung yang berbedar-berdebar ia membangunkan kawan-kawannya. Seorang demi seorang.
“Siapa mereka?” bertanya salah seorang dari para peronda itu.
“Kita bertanya kepada para pengawal” desis salah seorang di antara para peronda di halaman.
Beberapa orang pun kemudian berlari-lari ke ruang dalam. Mereka melihat para pengawal baru saja terbangun pula. Bahkan di antara mereka masih ada yang terbaring. Sambil menggeliat dengan malasnya ia berdesis, “Alangkah neyenyaknya tidurku malam ini”
“He, jadi kalian tertidur pula?” bertanya seorang peronda.
Pertanyaan itu telah mendebarkan jantung para pengawal. Bahkan salah seorang diantara para pengawal itu berkata, “He, apakah kita tertidur”
Pengawal yang pernah mengalami sirep sebelumnya menjadi pucat. Dengan nada gemetar ia berkata, “Sirep itu telah terulang”
Dengan tidak menunggu tanggapan, ia pun segera meloncat berdiri dan berlari ke bilik penyimpanan. Sekali lagi la terkejut, ia melihat dua batang tombak pendek bersilang di lantai di depan pintu.
“Senjata siapa?”ia bertanya kepada diri sendiri. Pengawal itu terkejut ketika ia melihat tutup peti itu bergeser.
Hampir berteriak ia berkata, “Peti itu terbuka”
Para pengawal pun telah berlari-lari ke bilik itu. Bahkan pengawal yang terluka pun telah mendekat pula.
“Pintu ini bergeser” desis pengawal yang pertama melihat peti itu.
“Lihat isinya” sahut yang lain.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka membuka tutup peti itu. Namun ternyata peti-peti kecil di dalam peti yang besar itu masih tetap berada di tempatnya. Ketika satu demi satu peti itu dilihat, maka isinya masih seperti semula. Demikian pula peti-peti kecil pada peti yang sebuah lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya pengawal itu tanpa sasaran.
Namun seorang peronda telah menjawab Telah terjadi pertempuran di halaman. Beberapa orang terluka, bahkan ada yang mungkin telah terbunuh. Sementara beberapa orang yang lain terikat di pepohonan, “
“Apakah kau mengigau?” geram seorang pengawal
“Lihat sendiri” jawab peronda itu. “Kalian yang melakukannya?” bertanya pengawal itu pula.
“Aku kira kalianlah yang melakukannya” jawab peronda itu dengan heran.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun merekapun kemudian telah menghambur berlari ke halaman.
Sebenarnyalah mereka melihat beberapa orang terbaring ditanah. Darah memerah di tubuh mereka. Sementara beberapa orang yang lain telah terikat di batang pepohonan.
Dengan serta merta seorang pengawal berlari ke arah seorang di antara mereka yang terikat. Dengan garang sambil mengacukan pedang ke dada orang yang terikat itu ia bertanya, “Siapa kau, he? Apa maksudmu dan apa yang telah terjadi. Katakan yang sebenarnya. Jika kau berbohong, maka aku akan memenggal kepalamu tanpa melepaskan ikatanmu lebih dahulu”
Bentakkan itu telah menggetarkan nalar orang yang terikat itu, sehingga hampir diluar kehendaknya, orang itupun telah mengatakan apa yang terjadi atas dirinya.
Sejak mereka memasuki padukuhan itu, melepaskan sirep dan semuanya yang mereka dengar dan saksikan pada kedua anak muda yang menyebut diri mereka berasal dari benda-benda keramat itu, bagaimana kedua orang anak muda itu mengeluh ketika langit menjadi terang, namun dengan demikian sikap mereka menjadi semakin garang.
“Mereka tidak mau kamanungsan” bertanya orang yang terikat itu.
“Keduanya bersenjata tombak pendek?” bertanya pengawal itu.
“Ya” jawab orang yang terikat.
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan kerut dikeningnya ia berkata, “Sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh orang itu telah terjadi. Kedua anak muda itu telah muncul kembali pada saat-saat yang paling gawat. Mereka tidak sempat membangunkan kita, tetapi mereka telah menyelesaikan tugas itu dengan tuntas. Kedua senjata itu terletak di muka bilik penyimpanan, sedangkan tutup peti itu telah bergeser sedikit Para pengawal yang lain pun mengangguk angguk. Seorang pengawal yang baru datang kemudian berkala Semula aku mengira bahwa semuanya itu hanyalah dongeng ngayawara. Tetapi agaknya apa yang aku anggap dongeng itu telah benar-benar terjadi”
“Ya. Dua orang anak muda” desis yang lain, “tetapi kami tidak tahu. Pusaka yang manakah yang telah menjelma menjadi kedua orang anak muda itu?”
“Topeng emas?” desis yang lain.
“Topeng itu hanya satu. Tentu bukan topeng itu” jawab kawannya.
Tetapi mereka tidak sempat berbantah. Mereka pun kemudian menjadi sibuk mengurusi orang-orang yang terluka dan mengalami keadaan yang gawat. Bahkan orang bertubuh tinggi dengan perut yang besar itu ternyata tidak dapat tertolong lagi jiwanya.
Darahnya terlalu banyak mengalir dari tubuhnya, sementara seorang pengikutnya telah terbunuh pula. Sementara yang lain masih mempunyai kemungkinan untuk hidup meskipun terluka parah.
Dalam pada itu, kegemparan telah terjadi di padukuhan itu.
Orang-orang yang mulai terbangun setelah dicengkam oleh sirep itupun telah turun ke jalan-jalan. Mereka mulai membicarakan apa yang telah terjadi. Dan ceritera yang mereka dengar tentang peristiwa di banjar itu pun mulai merambat dari mulut ke mulut.
“Luar biasa” berkata seseorang, “pusaka-pusaka itu benar-benar benda-benda keramat”
“Sungguh di luar akal bahwa benda-benda di dalam peti itu dapat menjelma menjadi dua orang anak muda” sahut yang lain.
Beberapa orang bahkan telah pergi ke banjar untuk memastikan ceritera yang mereka dengar. Sementara itu, orang yang akan di wisuda menjadi Buyut itu pun telah berlari-lari kecil menuju ke banjar bersama beberapa orang kawan-kawannya.
Di banjar ia telah menemui sesuatu yang memang sangat mengejutkan. Namun ternyata bahwa barang-barang yang ada didalam peti itu masih utuh.
“Dua malam berturut-turut kita mendapat cobaan” berkata calon buyut di padukuhan itu.
“Ya. Dua malam berturut-turut. Memang tidak masuk, akal. Terlebih lebih tentang dua orang anak muda itu jawab seorang pengawal.
Kesibukan di banjar itu menjadi semakin bertambah- tambah. Namun mereka tidak akan mengurungkan rencana untuk melakukan wisuda. Akuwu tentu akan sangat marah, jika persiapan di banjar itu tidak dilakukan sebagaimana seharusnya.
“Lupakan apa yang telah terjadi berkata pemimpin pengawal yang berada di banjar itu, “kita lanjutkan segala persiapan yang harus dilakukan menjelang tengah malam nanti. Akuwu tidak pernah terlambat melaksanakan rencana yang sudah disusun. Apalagi dalam wisuda itu diperlukan kesungguhan dan upacara sebagaimana seharusnya dilakukan”
Demikianlah, maka orang orang padukuhan itu pun telah kembali kedalam kesibukan mereka, meskipun mereka masih saja berbincang tentang peristiwa yang terjadi semalam.
“Kita tidak perlu melaporkannya” berkata seorang pengawal, “malam nanti Akuwu berada di sini. Biarlah malam nanti saja kita melaporkan sekaligus”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun salah seorang dari mereka berkata malam nanti kita harus benar- benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kita tidak boleh lengah. Seolah-olah yang baru saja terjadi semalam, tidak akan terulang kembali di malam berikutnya. Kita pun harus siap menghadapi sirep Apalagi saat Akuwu berada di padukuhan ini”
“Ya. Kita tidak boleh kehilangan kesadaran sebagaimana terjadi dua malam berturut turut, jika malam nanti kita digilas lagi oleh sirep itu. maka agaknya tidak akan ada ampun lagi. Baik dari orang-orang yang ingin memiliki benda benda berharga itu, maupun oleh benda-benda itu sendiri, sehingga dua orang anak muda itu tidak akan bersedia muncul kembali” berkata yang lain.
Dengan demikian, maka para pengawal itu pun telah bertekad untuk berbuat apa saja bagi tugas mereka. Mereka akan bertanggung jawab langsung kepada Akuwu. Seandainya benda-benda keramat itu benar-benar telah hilang, maka mereka akan digantung karena kelengahan mereka.
Pada hari itu, seisi padukuhan itu pun kembali di telan oleh kesibukan di banjar. Mereka melakukan persiapan-persiapan menjelang wisuda. Sementara perempuan-pun sibuk di dapur.
Namun selain di banjar, anak-anak muda di padukuhan itu telah bersiap-siap di gardu-gardu meskipun di siang hari Tidak mustahil akan terjadi sesuatu di luar dugaan dan bahkan yang tidak pernah mereka anggap dapat terjadi.
Di regol masuk padukuhan itu. beberapa anak muda berjaga-jaga dengan senjata. Mungkin mereka akan menghadapi peristiwa yang sangat tiba-tiba dan tidak masuk akal. Sementara di simpang-simpang tiga dan tikungan, anak-anak muda duduk-duduk di pinggir jalan. Hampir semuanya membawa berbagai jenis senjata yang mereka punyai. Dari tombak panjang, tombak pendek, pedang, sampai ke parang pembelah kayu. Namun sebenarnyalah mereka masih harus bertanya kepada diri sendiri, seandainya benar-benar terjadi sesuatu, apakah mereka akan dapat mempergunakan senjata mereka itu. Tetapi bahwa mereka bersiaga adalah karena mereka pun merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan benda- benda berharga yang berada di padukuhan mereka, yang berarti mereka pun ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya wisuda yang telah direncanakan. Bahkan seandainya benda-benda keramat itu hilang, tentu beberapa orang terpenting dari padukuhan itu akan mengalami kesulitan dan harus mempertanggung-jawabkannya kepada Akuwu bersama-sama dengan para pengawalnya yang bertugas.
Namun sehari itu. tidak terjadi sesuatu yang berarti. Kesibukan di padukuhan itu pun menjadi semakin meningkat menjelang sore hari. Seperti yang direncanakan, Akuwu akan datang ke padukuhan itu menjelang senja. Ia akan berada di padukuhan itu semalam suntuk. Tengah malam wisuda akan berlangsung. Setelah upacara selesai, akan diselenggarakan bujana bersama di pendapa banjar sampai semalam suntuk.
Karena itu, maka sebuah rumah yang paling baik di sekitar banjar itu sudah disiapkan. Akuwu setelah diterima oleh para bebahu banjar itu, akan beristirahat barang sejenak di tempat yang sudah disiapkan. Baru menjelang tengah malam Akuwu akan hadir di banjar.
Sebenarnyalah bahwa tidak ada rumah yang memadai yang dapat dipergunakan bagi Akuwu. Tetapi mereka pun mengerti, bahwa Akuwu bukanlah seorang yang tidak dapat menyesuaikan diri. Akuwu adalah juga seorang Senopati. Karena itu, ia pun memiliki sifat seorang prajurit yang dapat berada di segala macam medan. Bahkan medan yang paling sulit sekalipun.
Demikianlah, menjelang saat-saat kehadiran Akuwu di padukuhan itu, suasananya menjadi semakin tenang. Anak-anak muda menjadi semakin bersiaga. Sementara para bebahu sudah berkumpul di pendapa banjar untuk menerima Akuwu yang akan segera hadir.
Sementara itu, di sepanjang jalan raya yang menjulur ke padukuhan iti, sebuah iring-iringan orang berkuda sedang melaju. Di antara mereka terdapat Akuwu yang diiringi oleh para pengawalnya Justru laporan tentang peristiwa yang gawat itu, telah mendorong Akuwu untuk berhati-hati. Ia tidak hanya diiringi oleh seorang Senopati dan delapan orang pengawal sebagaimana kebiasaannya menempuh perjalanan di daerahnya sendiri atau pada saat-saat ia berburu. Tetapi perjalanannya itu merupakan iring-iringan yang agak lebih besar. Akuwu telah membawa dua orang Senopati dan lima belas orang pengawal pilihan.
Sebagaimana direncanakan, menjelang senja Akuwu telah mendekati regol padukuhan yang sedang mempersiapkan wisuda bagi calon buyut yang akan menggantikan buyut yang terdahulu.
Ketika anak-anak muda yang berjaga-jaga melihat kehadiran sebuah iring-iringan dengan pertanda sebuah tunggul dengan sehelai kelebet kecil, maka mereka pun segera mengetahui bahwa yang hadir adalah Akuwu.
Karena itu, merekapun segera bersiap-siap. Di antara mereka telah dengan tergesa-gesa pergi ke banjar untuk memberitahukan kehadiran Akuwu itu.
Sementara Akuwu mendekati regol padukuhan. maka di sebuah gubug kecil di tengah sawah, dua orang anak muda memandangi iring-iringan itu sambil tersenyum
“Akuwu akan mendengar dongeng yang aneh itu” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya Sebenarnya aku ingin melihat, bagaimana tanggapan Akuwu tentang dongeng itu. Bahkan dari dalam peti itu telah muncul dua orang anak muda yang telah membantu para pengawal menghadapi sekelompok penjahat.
Bahkan di malam berikutnya, mereka hanya tinggal menemukan bekas-bekas pertempuran saja”
“Malam nanti kita memasuki lagi padukuhabn itu berkata Mahisa Murti.
“Tetapi tentu tidak akan ada peristiwa apapun lagi”, “Mungkin kekuatan kelompok penjahat itu benar-benar telah lumpuh. Tetapi juga karena kehadiran Akuwu yang membawa cukup banyak pengawal di samping para pengawal yang memang sudah berada di padukuhan itu” jawab Mahisa Pukat
“Kita akan menonton wisuda. Tentu banyak orang yang menonton di dalam gelapnya malam, atau di bawah obor yang remang-remang sehingga kita tidak akan dengan mudah dikenali orang” berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat pun setuju. Mereka akan memasuki padukuhan itu setelah malam hari.
Sementara itu, di banjarpun telah terjadi kesibukan yang luar biasa. Akuwu yang sudah memasuki padukuhan itu pun segera diikuti oleh orang-orang padukuhan itu, sehingga terjadi sebuah iring-iringan yang panjang menuju ke banjar.
Namun dalam pada itu, akan-anak muda pun tidak menjadi lengah. Di antara mereka tetap berada di regol untuk menjaga segala kemungkinan yang mungkin timbul.
Akuwu kemudian telah diterima di banjar oleh para bebahu. Dengan disaksikan oleh para penghuni padukuhan itu, Akuwu pun kemudian naik ke pendapa banjar dan duduk di atas sebuah alas tikar pandan rangkap yang putih.
Ternyata Akuwu benar-benar seorang prajurit Sama sekali tidak nampak kecanggungan sama sekali ketika ia duduk di atas tikar. Sementara itu, para bebahu telah menghadapnya dengan wajah-wajah tunduk
Sejenak kemudian, maka Akuwu pun berkenan mendengarkan laporan segala macam persiapan bagi kelengkapan wisuda yang akan dilakukan menjelang tengah malam nanti.
Orang yang akan mendapat wisuda itu pun telah memberikan laporan sesuai dengan yang sebenarnya terjadi. Ia bukan saja melaporkan bahwa persiapan seluruhnya telah siap. Tetapi dengan jujur sesuai dengan pengertiannya, ia melaporkan bahwa sekelompok penjahat telah berniat untuk merampas barang barang keramat yang ada di banjar itu.
“Ternyata kami dan para pengawal tidak dapat berbuat banyak menghadapi para penjahat itu.” Berkata calon buyut itu lalu, “tetapi tuanku mungkin lelah mendengar, bahwa benda-beda berharga itu telah menyelamatkan dirinya sendiri. Dua orang anak muda telah muncul dari dalam peti dan bertempur bersama dengan para pengawal. Sementara pada malam kedua, justru dua orang anak muda itu lah yang benar-benar telah menyelamatkan bukan saja benda-benda berharga itu, tetapi juga para pengawal yang tidak dapat melawan kekuatan sirep yang sangat tajam. Karena menurut keterangan mereka yang tertangkap hidup-hidup dan telah diikat oleh kedua orang anak muda itu di pepohonan, para penjahat itu berniat membunuh semua pengawal yang ada di banjar.”
Akuwu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku yang memiliki benda-benda itu, belum mengetahui bahwa benda-benda itu dapat menjelma menjadi ujud sebagaimana ujud kita”
“Tetapi menurut penilikan hamba, demikianlah yang terjadi Akuwu” sahut calon buyut itu.
“Baiklah” berkata Akuwu, “aku tidak akan mempersoalkan itu. Tetapi kenyataan yang terjadi, benda-benda berharga itu lelah diselamatkan Bukankah begitu?”
“Hamba tuanku. Benda-benda itu masih tetap berada di tempatnya. Semuanya masih utuh dan akan dapat dipergunakan sebagai kelengkapan upacara tengah malam nanti” jawab calon buyut itu.
Akuwu mengangguk-angguk. Meskipun demikian ceritera tentang benda-benda keramat itu memang menarik perhatiannya. Tetapi ceritera tentang anak-anak muda itu justru baru didengarnya saat itu. Meskipun demikian Akuwu tidak bertanya lebjh lanjut. Setelah ia mendapat kepastian bahwa benda-benda keramat itu masih tetap utuh dan siap dipergunakan, maka Akuwu itu pun berkata, “Aku akan beristirahat. Nanti menjelang tengah malam upacara akan dimulai. Kedua orang Senopatiku akan mengatur segala sesuatu. Dimana benda-benda itu diletakkan, dan di mana orang yang akan menerima wisuda itu harus berada”
Dengan demikian maka Akuwu itu pun meninggalkan banjar. Sebagaimana telah dipersiapkan, maka Akuwu itupun kemudian telah dipersilahkan singgah di rumah yang dianggap paling baik di sebelah banjar itu. Ternyata Akuwu pun tidak kecewa. Akuwu masuk ke dalam sebagaimana ia memasuki rumahnya sendiri. Kemudian kepada seorang pengawalnya ia berkata, “Aku akan beristirahat di amben ini”
Pengawalnya yang sudah terbiasa melayani Akuwu itupun tidak ragu-ragu pula. Iapun menerima kelengkapan pakaian Akuwu. Sebilah keris dan ikat kepalanya.
Sebagaimana orang kebanyakan, Akuwu pun kemudian berbaring di atas amben bambu yang dibentangi tikar pandan yang putih bergaris biru. Nampaknya memang nyaman sekali. Sementara dua orang pengawal duduk di sebelah. Seorang di antaranya mengamati keris pusaka Akuwu yang dilepas karena Akuwu hendak berbaring.
Sementara itu. di banjar pun segala persiapan telah diselenggarakan. Pusaka-pusaka yang berada di dalam peti telah dikeluarkan dari peti yang besar. Pusaka-pusaka itu diletakkan pada sebuah babut yang berwarna merah yang juga dibawa dari istana Akuwu. Sebuah mangkuk berisi air diletakkan di pinggir babut itu ditaburi dengan kembang setaman.
Kedua orang Senopati kepercayaan Akuwu itulah yang mengatur segalanya. Mereka sudah terbiasa melakukan hal yahng serupa dalam wisuda buyut di padukuhan-padukuhan lain.
Di paling dekat dengan mangkuk air itu adalah sebilah keris yang besar, luk tiga belas dan di sebelahnya adalah topeng yang berwarna kuning mengkilap. Topeng wajah seorang laki-laki yang garang tetapi berwatak kesatria.
Dalam pada itu, kedua Senopati yang juga mendengar ceritera tentang kedua orang anak muda itu dengan ragu- ragu memperhatikan topeng dan keris itu. Bahkan salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah kedua pusaka itu yang telah menjelma menjadi kedua orang anak muda itu?”
“Nampaknya bukan” jawab yang lain, “bukankah menurut beberapa orang yang melengkapi ceritera itu mengatakan, bahwa kedua orang anak muda itu telah menyebut kakang atau saudara tua?”
Senopati yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Tawanan itu memang mendengar anak-anak muda itu mengatakan tentang saudara tua. Bahkan dikatakan bahwa jika saudara tua itu marah, maka seolah-olah bumi ini mau kiamat”
“Mungkin topeng itulah yang dimaksud dengan saudara tua” desis Senopati yang pertama.
Yang lain tidak menjawab. Hal itu akan tetap menjadi teka-teki, karena sudah barang tentu, anak-anak muda yang sebenarnya adalah pusaka-pusaka itu tidak akan menampakkan diri pada setiap saat.
Dalam pada itu, saat-saat wisuda pun menjadi semakin dekat. Orang-orang sudah berkerumun di sekeliling pendapa. Mereka akan menyaksikan Sang Akuwu mewisuda anak Ki Buyut yang sudah meninggal itu menjadi seorang Buyut yang baru.
Seperti biasa, maka dalam wisuda itu Akuwu akan menyentuh air di dalam mangkuk itu dengan topeng emas yang keramat. Kemudian Akuwu akan menarik keris besar luk tiga belas itu dan mencelup ujungnya ke dalam air di- mangkuk itu pula. Baru kemudian, Akuwu akan memercikkan air itu kepada pusaka-pusaka lain dalam upacara itu dan sekaligus kepada orang yang sedang menerima wisuda itu, mengesahkan kedudukan orang itu menjadi Buyut.
Dalam pada itu, Ki Buyut yang baru itu harus mengenakan topeng itu meskipun hanya sekejap sambil menunduhkan kepalanya, sementara Sang Akuwu akan meletakkan ujung keris yang besar itu dikepalanya.
Baru setelah upacara itu selesai, orang yang menerima wisuda itu syah menjadi seorang Buyut dan bertindak sebagaimana seorang pemimpin dari Kabuyutannya.
Dalam pada itu, di antara orang-orang yang berkerumun itu terdapat dua orang anak muda yang memasuki padukuhan itu tidak melalui regol yang masih dijaga. Di antara orang yang banyak itu, mereka dapat menyaksikan apa yang akan dilakukan di pendapa.
Apalagi ketika saatnya telah tiba. Menjelang tengah malam, maka halaman banjar itu telah menjadi penuh sesak. Alangkah sulitnya menyibakkan sekian banyak orang di halaman untuk lewat Sang Akuwu yang akan melakukan wisuda. Para pengawal berialan di sebelah menyebelah dengan senjata terhunus. Sementara dua orang Senopatinya berjalan selangkah di hadapan Akuwu.
Ketika Akuwu naik tangga pendapa, maka terdengar ak bagaikan membelah langit. Semua orang yang ada di halaman itu mengangkat tangan sambil berteriak-teriak sekerasnya. Baru ketika Akuwu duduk di atas tikar, maka suasana menjadi tenang. Tetapi sejenak kemudian mereka mulai berdesakan lagi, karena mereka ingin melihat apa yang sednag dilakukan oleh Akuwu yang sedang duduk itu.
Sejenak kemudian terdengar sesorah dari babahu tertua di padukuhan itu Kemudian Senapati kepercayaan Akuwu itupun bergeser mendekati benda benda keramat yang ada di atas babut berwarna merah itu.
Seorang di antara kedua Senapati itu pun kemudian memberikan beberapa keterangan dan penjelasan.
Sejenak kemudian maka upacara itu pun telah dimulai. Kedua Senapati itu telah membantu Akuwu yang mewisuda calon Buyut uang menggantikan ayahnya yang telah meninggal.
Dengan singkat Akuwu memberikan sesorah dan kemudian, petuah-petuah. Kewajiban dan hak seorang Buyut. Dan kesanggupan calon Buyut itu untuk menyanggupinya.
Baru kemudian Akuwu mulai dengan upacara yang sesungguhnya dari wisuda itu sebagaimana yang selalu dilakukan oleh Akuwu.
Pada saat terakhir, maka orang yang menerima wisuda itu pun mengenakan topeng yang berwarna kuning cemerlang itu. Sambil menundukkan kepalanya dan mengenakan topeng itu. orang yang diwisuda itu pun mendapat beberapa percikan air kembang selapanan. Kemudian Akuwu telah meletakkan keris luk tiga belas di atas kepalanya sambil mengucapkan beberapa kalimat pendek yang pada dasarnya Akuwu telah mengesahkan kedudukan orang itu menjadi seorang Buyut.
Pada saat yang demikian, maka orang-orang yang berada di sekitar pendapa itu pun telah bersorak. Mereka bergembira karena seiak saat itu mereka telah mempunyai seorang Buyut yang sah.
Demikianlah maka wisuda itu pun selesai, yang akan berlangsung kemudian tinggalah bujana yang akan diselenggarakan pendapa itu juga sambil berjaga jaga semalam suntuk, termasuk Akuwu sendiri.
Karena itulah maka perhatian orang kepada mereka yang berada di pendapa itupun mulai berkurang. Meskipun orang-orang yang berada di halaman itu tidak segera beranjak pergi, tetapi mereka tidak lagi dicengkam oleh ketegangan upacara wisuda itu.
Karena itulah, maka orang-orang di halaman itu pun mulai saling berbicara di antara mereka. Orang-orang itu mulai memperhatikan siapa yang berdiri di sebelahnya. Mungkin tetangga dekatnya, mungkin orang yang tinggal di sudut padukuhan. mungkin orang lain yang tinggal agak jauh. Namun pada umumnya mereka telah saling mengenal.
Tetapi di antara mereka ternyata telah berdiri di se belah seorang anak muda yang belum dikenalnya Bahkan seorang anak muda lagi berdiri di sisi anak muda yang pertama.
Dua orang anak muda yang belum dikenal sama sekali. Karena itu, maka orang itu pun tiba-tiba telah bertanya, “He, siapakah kau anak muda?”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Keduanya tidak segera menjawab. Namun nampak kegelisahan tercermin di sikap mereka.
“He, siapakah kau?” desak orang itu.
“He, kau siapa?” orang itu mendesak lagi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi bingung. Bagaimana mereka harus menjawab. Mereka pun menyadari, bahwa pada umumnya orang-orang padukuhan itu tentu sudah saling mengenal. Sehingga kehadiran mereka tentu merupakan hal yang dapat menarik perhatian.
Tetapi kedua anak muda itu tidak sempat berpikir. Beberapa orang di sekitarnya telah berpaling pula ke arah mereka dengan tatapan mata bertanya-tanya.
Ternyata orang-orang itu sama sekali tidak teringat akan ceritera tentang dua orang anak muda yang hadir dua malam berturut-turut. Menurut gambaran mereka, kedua orang anak muda yang terdiri dari kekuatan gaib pusaka- pusaka yang berada di atas kabut merah itu, tentulah anak- anak muda yang gagah, tampan dan berpakaian sangat menarik. Mungkin wajah mereka bercahaya sedangkan sorot mata mereka bagaikan kilatan cahaya tatit dilangit. Sedangkan kedua orang anak muda yang berdiri di sebelahnya itu adalah anak muda dalam pakaian yang kusut dan berwajah muram.
Karena itu. ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih termangu-mangu maka orang yang bertanya kepadanya itu telah membentak, “He, sebut, siapa kalian he?”
“Kami datang dari padukuhan sebelah” jawab Mahisa Murti di luar sadar.
“Dari padukuhan mana? Anak siapa? Aku mengenal semua orang di sekitar padukuhan ini” jawab orang itu.
Mahisa Murti menjadi semakin bingung, sementara orang-orang yang berdiri di sekitarnya telah mengerumuninya.
Tiba-tiba seorang di antara mereka berkata, “Apakah kau salah seorang dari perampok-perampok yang akan mengacaukan wisuda ini seperti dua malam berturut-turut?”
“Tidak. Aku hanya ingin melihat wisuda ini” jawab Mahisa Murti.
“Tentu kau anggota perampok itu” geram seorang bertubuh pendek. Lalu, “Dengar, kawan-kawanmu telah kena kutuk pusaka pusaka itu. Kawan-kawanmu telah dihancurkan oleh kekuatan pusaka itu sendiri. Dan sekarang kau datang untuk mencurinya he? Apakah kau tidak takut kuwalat?”
Kedua anak muda itu menjadi semakin bimbang. Apakah mereka akan mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi sebelum mereka sempat menemukan keputusan, terdengar seorang berkata, “Tangkap saja. Kita serahkan saja kepada para pengawal”
“Gila” geram anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Tetapi nampaknya orang-orang itu benar-benar akan melakukannya. Mereka agaknya benar-benar akan menangkap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Beberapa orang telah menyibak, ketika ampat orang laki-laki berusaha mengepung kedua orang anak muda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi bimbang menghadapi orang-orang itu. Namun akhirnya Mahisa Murti berbisik di telinga Mahisa Pukat “Kita harus menghindar dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Aku ingin memukul orang pendek itu sekali saja” jawab Mahisa Pukat.
“Jangan membuat perkara di sini. Wisuda itu dapat terganggu karena pokalmu itu” jawab Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Pukat tidak senang melihat sikap orang bertubuh pendek itu. Meskipun demikian ia tidak dapat membantah niat Mahisa Murti.
Dalam pada itu, maka empat orang laki laki itu sudah siap menangkap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sementara beberapa orang yang berada di sekitarnya seolah-olah telah bersiap-siap untuk membantu keempat orang itu.
“Baiklah berkata Mahisa Murti” jika kalian tidak senang melihat kehadiranku di sini. Biarlah aku pergi meninggalkan halaman ini”
Tetapi jawaban orang bertubuh pendek itu sangat menjengkelkan. Katanya, “Kami tidak dapat melepaskan kau. Kau sudah melihat keadaan di banjar ini. Kau akan memberitahukan kepada kawan-kawanmu. Sebentar lagi mereka akan datang untuk merampok seisi banjar ini”
Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Sudah aku katakan, bahwa kami hanya ingin melihat wisuda itu. Seandainya kami bermaksud jahat, apakah yang akan dapat kami kerjakan. Di sini ada sepasukan pengawal di samping Akuwu sendiri yang tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Selain itu anak-anak muda padukuhan ini berjaga-jaga di segala tempat. Apakah dengan demikian ada sekelompok orang akan berani mengusik padukuhan ini pada saat yang demikian”
“Persetan” jawab orang pendek itu, “kau pandai mencari alasan untuk membebaskan diri dari tangkapan kami. Bagaimanapun juga kami akan menangkapmu. Katakan nanti segala ceriteramu itu kepada para pemimpin kami dan barangkali kepada para pengawal itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu benar-benar akan menangkapnya, sehingga karena itu. maka ia pun harus segera mengambil sikap.
Dalam keadaan yang paling gawat itu. maka Mahisa Murti pun sempat berbisik, “Kita melarikan diri”
Sebenarnya Mahisa Pukat segan berbuat demikian. Tetapi ia tidak menolak. Agaknya Mahisa Murti benar- benar tidak ingin mengganggu acara yang ada di pendapa. Karena itu, maka setelah memberi isyarat kepada Mahisa Pukat. Mahisa Murti pun dengan tiba-tiba telah menyibakkan orang-orang di sekitarnya diikuti oleh Mahisa Pukat.
Yang dilakukan itu demikian cepatnya sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya, terkejut karenanya, karena mereka tidak menduga hal itu akan terjadi. Beberapa orang terdorong sehingga hampir terlentang. Sementara yang lain terdesak kesamping.
“Gila” geram orang bertubuh pendek.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berlari keluar dari kerumunan orang orang yang berada dihalaman itu.
Ternyata hiruk pikuk itu telah menarik perhatian. Beberapa orang segera mendekat. Namun dalam pada itu. beberapa orang telah sempat mengejar kedua orang anak muda yang berlari itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak dapat berlari keluar lewat pintu regol yang dijaga oleh beberapa orang anak muda. Karena itu. maka mereka pun telah berlari meloncati dinding halaman banjar itu.
Beberapa orang memang mengejarnya. Beberapa orang dengan susah payah telah meloncati dinding itu pula, sementara beberapa orang lain telah berlari menghambur ke luar regol.
“Ada apa?” beberapa orang anak muda bertanya kepada orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu.
Seseorang di antara mereka telah berceritera tentang orang-orang yang agaknya telah dikirim oleh para penjahat untuk melihat-lihat kemungkinan dihalaman banjar ini.
Beberapa orang anak muda tidak sempat bertanya lebih jauh. Merekapun segera berlari menyusul orang-orang yang sudah terdahulu dengan senjata di tangan.
Ternyata hal itu menarik perhatian para pengawal yang mengamati keadaan. Dua orang pengawal telah mendatangi tempat yang ribut itu. Dengan singkat mereka pun telah mendapat keterangan tentang orang-orang yang mencurigakan itu.
Setelah melapor kepada kawannya, maka kedua orang pengawal itu telah menyusul pula anak-anak muda yang telah mendahului. Dengan keributan itu. maka upacara agak terganggu Untunglah bahwa acara pokok, wisuda itu lelah diselesaikan. Sehingga yang tinggal hanyalah rangkaian acara yang tidak terlalu penting.
Hal itu telah dilaporkan pula oleh salah seorang Senapati yang telah mendengarnya, kepadaAkuwu. Namun nampaknya Akuwu tetap tenang duduk di tempatnya. Sehingga karena itu, maka upacara itu pun dapat dilangsungkan sesuai dengan rencana.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sengaja tidak mau meninggalkan orang-orang yang mengejarnya. Karena itu ketika Mahisa Murti menunggunya sejenak dan mengejarnya, Mahisa Pukat menjawab, Aku akan mengajak mereka berlari-lari menjelang dini hari”
“Kenapa tidak kita tinggalkan saja mereka?” bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia tertawa saja. Sebenarnyalah, orang-orang yang mengejar mereka tidak tertinggal terlalu jauh di belakang kedua anak muda itu.
Mahisa Murti hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Mahisa Pukat. Sebenarnya Mahisa Murti tidak ingin berbuat demikian. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahisa Pukat. Karena itu keduanya berlari tidak sepenuh kemampuan mereka. Bahkan mereka telah menyesuaikan kecepatan mereka dengan orang-orang yang mengejar.
Beberapa orang yang menyusul di belakang orang-orang yang mengejar kedua anak muda itu telah membawa obor-obor minyak yang besar. Karena itu, maka malam itu pun menjadi riuh, justru di luar halaman banjar Di halaman banjar sendiri, keadaannya justru telah menjadi tenang.
Apalagi ketika orang-orang di halaman itu melihat Akuwu tetap tenang-tenang saja. Di sekitar pendapa itu terdapat para pengawal yang bersiaga.
Bahkan bujana di banjar itu berjalan sebagaimana direncanakan. Orang-orang yang berada di halamanpun dapat ikut makan bersama dengan Akuwu di pendapa. Tetapi mereka harus mengambil bagian mereka di tempat lain yang sudah ditentukan.
Dalam pada, itu para pengawal di luar banjarlah yang berkejaran. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menuju keregol padukunan. Mereka tahu bahwa regol itu tentu dijaga. Jika mereka memaksa diri melalui regol, berarti mereka harus berkelahi. Meskipun tentu tidak akan ada seorang pun yang dapat menahan mereka, tetapi mereka berniat untuk menghindari pertempuran.
Karena itu, maka keduanya te ah berlari menuju ke dinding padukuhan. Tetapi Mahisa Pukat sengaja memilih daerah yang tidak terlalu jauh dari regol.
“Kenapa di situ?” bertanya Mahisa Murti.
“Jika mereka melalui regol biarlah jaraknya tidak terlalu jauh. sehingga mereka tidak kehilangan kita. jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak membantah, meskipun sebenarnya ia tidak sependapat. Karena itu, maka mereka pun telah berlari seolah-olah menuju ke regol. Karena itu, maka orang-orang yang memburunya itu telah berteriak-teriak memberikan isyarat kepada para penjaga regol.
Orang-orang yang mengejar itu sengaja tidak membunyikan isyarat kentongan justru karena Akuwu berada di banjar, sehingga tidak memberikan kesan menggelisahkan.
Orang-orang yang berada di regol itu pun telah mendengar teriakan-teriakan yang memekakkan telinga. Karena itu, maka mereka pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
“Jangan biarkan mereka lolos” teriak salah seorang di antara mereka yang mengejar.
Anak-anak muda yang berada di regol itu pun justru memencar. Mereka sudah menggenggam senjata di tangan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat anak-anak muda diregol sudah bersiap. Obor yang tersedia telah dinyalakan pula disamping obor yang memang sudah menyala di regol itu.
Namun ternyata bahwa Mahisa Pukat telah berbelok. Ia tidak benar-benar menuju keregol. Tetapi ia menuju ke dinding di sebelah regol. Dengan tangkasnya Mahisa Pukat meloncat disusul oleh Mahisa Murti.
Yang dilakukan oleh anak-anak muda itu sangat mengejutkan. Orang-orang diregol itu tidak mengira bahwa kedua anak muda itu akan meloncati dinding.
“Jangan sampai lepas” teriak orang-orang yang mengejarnya.
Bahkan dua orang pengawal yang ikut di antara anak-anak muda yang mengejar itu pun telah sampai ke regol pula. Beberapa orang tidak mengejar kedua anak muda itu, dengan meloncat dinding padukuhan. Mereka berlari melalui regol dan berusaha memotong arah kedua anak muda itu di luar dinding.
Namun ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah lebih dahulu meloncat turun. Mereka pun kemudian berlari menyusuri dinding padukuhan.
Orang-orang yang mengejarnya masih saja berlari-lari di belakang kedua anak muda itu. Sebagaimana diatur oleh Mahisa Pukat, jarak di antara mereka tidak begitu jauh. Bahkan seolah-olah orang-orang yang mengejar itu hampir dapat menyusulnya. Tetapi jarak di antara merekapun telah bertambah lagi.
Kedua pengawal yang ada di antara mereka yang mengejar itupun kemudian justru berada di paling depan. Ia memiliki kemampuan tubuh melampaui orang-orang padukuhan itu. Sesuai dengan tugas mereka, maka mereka dapat berbuat lebih banyak dari anak-anak muda yang semakin lama menjadi semakin ketinggalan.
“Berhenti” teriak salah seorang dari kedua pengawal itu. Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Murti berlari terus.
Ketika mereka sampai di sebuah simpang tiga, maka mereka telah memilih jalan berbelok yang menuju ke sebuah bulak yang panjang.
Kedua pengawal itu tidak berhenti. Mereka masih mengejar terus. Apalagi kadang-kadang seakan-akan mereka hampir berhasil mengejar kedua anak muda itu. Tetapi dengan kemarahan yang memuncak mereka harus menyaksikan jarak di antara mereka dengan orang yang mereka kejar itu menjadi semakin panjang.
Di belakang mereka, anak-anak muda padukuhan itu masih mengejar pula. Ada juga di antara mereka yang masih membawa obor di tangan.
“Apa yang kau maui Mahisa Pukat?” bertanya Mahisa Murti.
“Sekedar berkejaran” jawab Mahisa Pukat.
“Apakah masih belum cukup?” bertanya Mahisa Murti.
“Biarlah mereka berhenti dengan sendirinya” jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti hanya dapat menggelengkan kepalanya. Mahisa Pukat agaknya masih marah kepada orang-orang padukuhan itu, sehingga ia ingin membalas dengan membuat mereka marah pula.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, mereka telah berkejaran di bulak yang panjang.
Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti saudara laki-lakinya yang marah itu. Ia pun ikut berlari-lari di sepanjang bulak, sementara di belakang mereka orang-orang padukuhan mengejar sambil berteriak-teriak Di paling depan terdapat dua orang pengawal yang marah. Apalagi Mahisa Pukat dengan sengaja telah membuat mereka marah. Sekali sekali ia dengan sengaja membiarkan dirinya hampir tertangkap. Namun kemudian ia berlari semakin cepat, sehingga jaraknya menjadi semakin jauh.
Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Pukat, maka orang-orang yang mengejarnya itu pun semakin marah. Mereka berteriak-teriak tidak menentu. Apalagi jika jarak mereka tinggal dua langkah. Seolah-olah tangan pengawal yang di paling depan itu dapat menggapai pundak Mahisa Pukat. Namun usaha mereka sia-sia. Karena Mahisa Pukat pun kemudian menjadi semakin jauh sambil sekali-kali berpaling.
Mahisa Murti yang kemudian berada di depan Mahisa Pukat, kadang-kadang terlalu cepat berlari, sehingga ia pun harus menunggu. Tetapi ia pun kemudian menjadi tidak telaten. Katanya kepada Mahisa Pukat, “Kita tinggalkan saja mereka”
“Jangan kau rusakkan permainanku” jawab Mahisa Pukat.
“Apakah keuntunganmu dengan permainan ini?” desis Mahisa Murti.
“Mereka akan menganggap kita sebagaimana mereka. Dan kita akan dapat membuat mereka menjadi lelah. Itu adalah salah mereka sendiri” jawab Mahisa Pukat.
“Aku akan berlari mendahului” berkata Mahisa Murti., “Terserah kepadamu” jawab Mahisa Pukat. Mahisa Murti menjadi jengkel. Tetapi ia tidak dapat mencegah tingkah laku Mahisa Pukat itu. Ia benar-benar ingin membalas sakit hatinya dengan caranya.
Sebenarnyalah, orang-orang yang mengejarnya menjadi letih. Bahkan pengawal yang berada di paling depan itu pun menjadi letih. Keduanya merasa bahwa mereka tidak akan dapat mengejar dan menangkap kedua orang buruan itu dengan caranya. Karena itu maka mereka pun mulai mengancam “Jika kalian tidak berhenti, aku akan melakukan sikap yang lebih keras” berkata salah seorang dari kedua orang pengawal itu.
“Apa yang dapat tuan lakukan terhadap kami yang tidak dapat tuan tangkap?” bertanya Mahisa Pukat sambil berlari.
“Jangan menyangka kalian dapat lepas dari tangan kami” bentak pengawal itu.
“Kalian tidak dapat menyusul kami” jawab Mahisa Pukat pula
“Sebentar lagi kalian akan kami ikat” bentak pengawal lain.
Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Namun sebenarnyalah orang-orang yang mengejarnya tidak dapat menggapainya.
Namun dalam kemarahan yang memuncak, pengawal itu ternyata tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghentikan kedua orang yang dikejarnya, atau salah seorang, daripadanya. Jika salah seorang di antara mereka dapat di tangkap maka yang lain pun akan dapat ditangkap pula.
Karena itu, maka seorang di antara kedua pengawal itu telah mencabut pisau belati kecilnya. Sekali lagi ia meng geram, “Aku akan menangkapmu dengan cara yang tidak kau sukai jika kau tetap tidak mau berhenti”
Mahisa Murti menjadi curiga. Kata-kata itu tentu bukan sekedar untuk menakuti-nakuti. Karena itu, maka iapun lelah berhenti menunggu Mahisa Pukat sambil berkata
“Hati-hati. Orang itu bersungguh-sungguh”
Mahisa Pukat pun mempunyai perhitungan serupa. Karena itu, sebelum hal-hal yang tidak dikehendakinya terjadi, sehingga dapat membuatnya menjadi benar-benar marah, maka Mahisa Pukat pun memutuskan untuk menghentikan permainan itu.
Dengan loncatan panjang, maka Mahisa Pukat pun mempercepat langkahnya sehingga dengan cepat jarak antara kedua orang anak muda itu dengan mereka yang mengejarnya menjadi semakin jauh.
Yang terjadi itu demikian cepatnya, sehingga pengawal itu telah terlambat mengambil sikap. Ketika ia benar-benar melontarkan pisaunya, maka Mahisa Pukat sudah menjadi semakin jauh. Karena itu. maka pisaunya ternyata tidak lagi dapat mengejar. Mahisa Pukat yang berlari semakin kencang
“Anak setan” geram pengawal itu.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak menghiraukan lagi. Mereka berlari semakin jauh memasuki ujung bulak dan kemudian berbelok menuju padang perdu.
Orang-orang yang mengejarnya ternyata telah kehabisan nafas. Mereka tidak lagi mampu berlari. Kedua orang pengawal berlari di paling depan pun lelah menjadi kelelahan, sehingga akhirnya keduanyapun berhenti dengan sendiri, sementara. Orang-orang lain tertinggal agak jauh di belakang mereka.
“Mereka adalah penjahat yang benar-benar berpengalaman” berkata salah seoang dari kedua pengawal itu, “ternyata mereka terlatih, bagaimana mereka harus melepaskan diri”
“Ya. Mereka terbiasa berlari-lari. Aku tidak mampu lagi” sahut yang lain.
Kedua pengawal itu berdiri sambil bertolak pinggang. Nafas mereka berkejaran di antara desah kelelahan. Baru sejenak kemudian, orang-orang yang mengejar di belakang kedua pengawal itu mendekat. Sambil menjatuhkan diri di atas rerumputan di pinggir jalan, salah seorang di antara mereka bertanya, “Bagaimana?”
“Kenapa kau bertanya begitu” bentak salah seorang pengawal yang kelelahan, “kau lihat, kami tidak dapat menangkap mereka?”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia pun sadar bahwa kedua pengawal itu tidak berhasil menangkap dua orang yang lari itu.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian pengawal itupun berkata, “Kita kembali ke banjar. Bagaimanapun juga penjahat itu sudah lari. Agaknya mereka tidak akan berani datang lagi. Mereka tentu sudah melihat bahwa seisi padukuhan sudah bersiap sedia. Jika mereka berani datang, dengan jumlah yang banyak sekalipun, maka mereka akan dimusnahkan. Tetapi dalam pada itu, kita pun harus berhati-hati”
Demikianlah, maka kedua orang pengawal dan orang-orang padukuhan yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun segera kembali ke banjar.
Nampaknya Akuwu benar benar tidak terpengaruh oleh peristiwa itu. Sebenarnyalah Akuwu merasa, bahwa kehadirannya bersama para pengawalnya ditambah para pengawal yang terdahulu, telah merupakan telah merupakan satu kesatuan yang tidak lemah menghadapi kekuatan yang manapun juga. Karena itu Akuwu masih tetap duduk tenang menikmati bujana yang diselenggarakan di banjar. Semalam suntuk.
Dalam pada itu, di padang perdu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk bersandar batang pepohonan. Terdengar Mahisa Pukat berdesis, “Aneh”
“Apa yang aneh?” bertanya Manisa Murti.
“Keadaan kita” jawab Mahisa Pukat, “orang-orang Kabuyutan itu menganggap kita sebagai penyelamat mereka, bahkan telah tumbuh satu dongeng yang mendebarkaan, seolah-olah kita telah muncul dari kekuatan benda-benda keramat itu, namun sekaligus mereka mencurigai kita dan menganggap kita sebagai penjahat yang perlu mereka buru seperti memburu seekor binatang buas yang tersesat memasuki padukuhan”
Mahisa Murti tersenyum. Katanya “Memang menggelikan. Orang-orang yang mengejar kita tentu tidak pernah membayangkan bahwa dua orang anak muda yang didengarnya dari dongeng itu seperti kita sekarang ini”
“Memang menarik. Tetapi apakah orang-orang yang melihat kita tidak pernah mengatakan, ujud dari dua orang yang telah mereka anggap ungkapan kekuatan pusaka- pusaka itu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Mungkin juga. Tetapi bagaimanapun juga., agaknya orang-orang itu mempunyai gambaran lain dari penglihatan mereka atas kita” jawab Mahisa Murti, “apalagi dalam gelap. Agaknya mereka tidak dapat melihat dengan jelas”
Mahisa Pukat menggeliat. Sambil menguap ia pun kemudian menyilangkan tangannya di dadanya. Katanya. “Lelah juga rasanya berlari-lari. Aku akan tidur”
“Tidurlah” jawab Mahisa Murti, “agaknya aku sudah sulit untuk tidur di sisa malam ini. Tetapi mungkin justru siang nanti aku akan dapat tidur nyenyak”
Mahisa Pukat tidak menjawab. Ia pun kemudian memejamkan matanya. Sejenak kemudian, maka iapun sudah tertidur.
Mahisa Murti yang tidak dapat tidur, justru berdiri dan berjalan mondar-mandir. Ia pun kadang-kadang tersenyum sendiri mengenang tingkah laku orang-orang Kabuyutan itu.
Berdua dengan Mahisa Pukat ia mengalami dua anggapan yang saling berlawanan. Sebagai pahlawan dan sekaligus sebagai penjahat yang diburu.
Dalam pada itu langit pun menjadi terang. Akuwu dan para pengawalnya telah tidak ada lagi di banjar. Sebelum mereka kembali, maka mereka masih akan beristirahat. Akuwu akan berada di rumah yang disediakan baginya. Separo dari para pengawal akan beristirahat pula, sementara yang lain akan bergantian. Demikian pula dua orang Senopatinya.
Sementara itu. beberapa orang pengawal telah saling berbincang tentang dua orang penjahat yang tidak dapat dikejar oleh dua orang diantara para pengawal disertai beberapa puluh ornag anak-anak muda di padukuhan itu.
“Seandainya dua orang yang hadir dari pusaka-pusaka itu sempat keluar dari selongsongnya, maka mereka tentu akan dapat menangkapnya” berkata seorang dari kedua pengawal yang ikut mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
“Mereka tentu mempunyai sandaran ilmu” berkata kawannya, “tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak dapat ditundukkan. Malam nanti, kita harus berhati-hati. Akuwu agaknya ingin berada di padukuhan ini dan meninggalkannya bersama barang-barang berharga itu. Akuwu tidak ingin meninggalkan barang-barang itu lagi dan baru akan dikembalikan kemudian meskipun dengan delapan atau sepuluh orang pengawal sekalipun”
“Jadi Akuwu akan bermalam lagi?” bertanya seorang kawannya.
“Agaknya demikian” jawab kawannya, “tetapi entahlah, Senopati pun masih belum pasti. Tetapi agaknya hari ini Akuwu akan beristirahat penuh sampai malam nanti. Sementara kita akan menempatkan pusaka-pusaka itu di tempatnya. Kita akan berusaha pedati dari Kabuyutan ini dan esok kita akan berangkat bersama barang-barang itu”
Pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Akuwu akan ke banjar. Berapa orang yang ada di sana?”
“Empat orang” jawab kawannya, “tetapi di sana penuh dengan anak-anak muda bersenjata”
“Tetapi sebaiknya pusaka-pusaka itu besok kita bawa kembali” berkata pengawal itu dengan demikian. Akuwu tidak akan selalu digelisahkan oleh kemungkinan-kemungkinan buruk, “meskipun pusaka-pusaka itu dapat menolong diri mereka sendiri”
Kawannya mengangguk-angguk saja, sementara pengawal itu pun kemudian pergi ke banjar.
Dalam pada itu, meskipun para pengawal yang mengejar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendengarkan pula ceritera tentang dua orang anak muda yang diduga keluar dari pusaka-pusaka yang tersimpan itu dan menjelma menjadi dua orang yang memiliki ilmu yang tidak ada taranya, namun mereka sama sekali tidak sampai pada pikiran, bahwa dua orang yang dikejarnya itulah sebenarnya anak-anak muda yang dimaksudkan.
Karena itu, maka keduanya sama sekali tidak mempunyai arah perhitungan yang demikian.
Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mempunyai pertimbangan tentang diri mereka. Untuk menghindari perhatian orang yang mungkin saja tertuju kepada mereka yang berdua, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat, mereka tidak akan menampakkan diri berdua. Ketika hari itu mereka memerlukan sesuatu, maka Mahisa Pukat lah yang pergi ke kedai untuk membelinya.
Meskipun Mahisa Pukat datang sendiri, tetapi agaknya ia sudah menarik perhatian. Untunglah bahwa pakaiannya memberikan kesan bahwa ia memang seorang pengembara. Karena itu, ketika pemilik itu bertanya kepadanya, dan dijawabnya bahwa ia memang seorang pengembara, maka pemilik warung itu tidak mempersoalkannya lebih lanjut.
Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Pukat membeli beberapa potong ketela pohon rebus, ia sempat mendengar pembicaraan beberapa orang yang kebetulan ada di kedai itu.
“Kabuyutan ini sedang tidak tenang” berkata orang itu., “Ya. Justru karena pusaka-pusaka yang dipergunakan dalam wisuda itu” jawab yang lain.
“Tetapi menurut pendengaranku, besok barang-barang itu akan dibawa langsung oleh Akuwu” berkata orang pertama.
“Syukurlah. Tetapi sayang juga dengan dua orang anak muda itu. Seandainya keduanya bersedia tinggal di sini dan tidak lagi memasuki selongsongnya, maka keduanya akan menjadi pepunden di sini”
“Apa yang mereka ingini tentu akan dipenuhi, karena keduanya akan dapat menjadi lambang keselamatan. mana mungkin keduanya tinggal jika pusaka-pusaka itu tidak dibiarkan tinggal disini. Keduanya dengan sendirinya akan ikut terbawa jika pusaka itu dibawa oleh Akuwu. Kita tidak akan dapat menahannya dengan cara apapun juga”
Mahisa Pukat tidak tahan mendengarkan pembicaraan itu lebih lama lagi. Karena itu, maka iapun segera meninggalkan tempat itu. Ketika Mahisa Murti mendengar ceritera Mahisa Pukat, maka ia pun hanya dapat tersenyum. Katanya, “Salah kita. Tetapi apakah kita akan tetap membiarkan anggapan yang keliru tentang diri kita itu?”
“Aku tidak mempunyai keberatan apa-apa” jawab Mahisa Murti.
Mahisa Murti menarik nafas dalam dalam Maka katanya, “Sebenarnya aku merasa kasihan kepada mereka. Mereka akan dapat tersesat dengan anggapannya itu. Pada suatu saat mereka akan menyadarkan diri kepada kekuatan benda-benda upacara itu, seolah-olah benda benda itu benar-benar mempunyai kekuatan yang langsung dapat hadir dalam ujud anak-anak muda seperti kita ini”
“Mereka tidak akan berbuat demikian” jawab Mahisa Pukat, “mereka tidak mempunyai cara untuk memanggil ujud yang mereka sangka ada di dalam benda benda keramat mereka”
“Tetapi mereka akan dapat mempercayakan segala sesuatunya kepada sikap benda-benda itu sendiri. Justru mereka menganggap bahwa benda-benda itu akan dapat menyelamatkan diri mereka. Bukankah hal itu berbahaya? Mereka akah menjadi lengah. Sedangkan barang-barang itu nilainya tidak terkira. Benda-benda yang terbuat dari emas. tretes berlian dan logam-logam berharga lainnya. Juga bebatuan yang mereka anggap mempunyai kekuatan gaib dan kemampuan yang tidak terjadi lagi” berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mulai merenungi kata-kata Mahisa Murti. Namun akhirnya ia mengangguk-angguk sambil bergumam
“Aku mengerti. Tetapi semuanya sudah telanjur. Jika sejak semula kau berkata seperti itu, maka aku tentu akan bersikap lain”
“Akupun tidak memikirkannya sebelumnya” jawab Mahisa Murti.
“Jadi bagaimana menurut pendapatmu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Memang memerlukan satu langkah yang tepat. Jika tidak, maka akibatnya akan jauh berbeda dari yang kita kehendaki” jawab Mahisa Murti pula.
“Apakah yang sebenarnya kita kehendaki?” desis Mahisa Pukat, “apakah kita akan memberikan keyakinan kepada mereka, bahwa anggapan mereka tentang dua orang anak muda itu keliru? Juga tentang dua orang yang mereka kejar- kejar menjelang pagi di halaman banjar itu?”
“Kita akan memikirkannya” berkata Mahisa Murti, “kitapun harus tahu, apakah pusaka itu masih tetap berada di padukuhan itu, atau akan segera dibawa pergi bersama Akuwu”
Memang sulit bagi keduanya untuk mendapatkan keterangan yang pasti tentang benda-benda berharga itu. Namun Mahisa Pukat pun mengatakan kepada Mahisa Murti tentu apa yang didengarnya dari orang di kedai itu, bahwa benda-benda berharga itu akan segera di bawa bersama Akuwu esok pagi”
“Kita masih mempunyai waktu untuk merenung cara yang paling baik yang dapat kita tempuh untuk memberikan keyakinan, bahwa ceritera yang mereka terima sebagai satu kenyataan itu tidak benar. Tidak ada pusaka yang dapat menjelma menjadi manusia dari antara pusaka-pusaka yang dipergunakan untuk kelengkapan upacara itu”
Dengan demikian, maka kedua anak muda itu telah mencoba merenungkan cara yang paling baik untuk mengatakan kepada orang-orang dipadukuhan itu, atau kepada Akuwu dan para pengawalnya, bahwa anggapan mereka tentang dua orang anak muda itu keliru.
Namun justru karena itu, maka kedua orang anak muda itu. tidak meninggalkan tempat itu sehari penuh. Mereka tidak melanjutkan perjalanan mereka ke tempat yang tidak pasti. Tetapi mereka tetap saja menunggumatahari tenggelam di balik cakrawala.
“Tidak ada cara yang dapat kita tempuh” berkata Mahisa Murti kecuali malam nanti kita memasuki padukuhan itu dan berkata terus terang tentang diri kita masing-masing”
“Apakah mereka akan percaya?” bertanya Mahisa Pukat.
“Para pengawal akan mengenal kita. Orang-orang yang tertangkap itu pun mengenal kita pula” berkata Mahisa Murti.
“Ya. Mudah-mudahan mereka tidak melupakan wajah-wajah kita yang hanya dapat mereka lihat sekilas, berkata Mahisa Pukat kemudian.
“Tetapi rasa-rasanya aku tidak sampai hati melihat wajah-wajah mereka yang tentu akan menjadi sangat kecewa melihat kenyataan yang tidak mereka kehendaki” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Jadi rencanamu goyah? Kau akan membiarkan orang-orang itu tetap pada pendapatnya? Sudah aku katakan, aku tidak berkeberatan jika anggapan itu masih tetap ada di dalam diri mereka. Meskipun demikian aku dapat mengerti keberatanmu. Karena itu aku setuju untuk menyatakan kebenaran ini. Sekarang kau sendiri yang menjadi ragu” sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah. Mungkin memang pahit untuk melihat kenyataan yang tidak dikehendaki. Tetapi mereka harus berani menatap kenyataan itu sebagai satu kebenaran. Dua orang anak muda itu bukan tuah dari pusaka-pusaka yang besok akan dibawa oleh Akuwu kembali ke istananya itu”
“Apakah kita akan langsung menghadap Akuwu?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Malam nanti kita memasuki regol padukuhan. Mungkin kita akan ditangkap. Kita tidak akan melawan. Jika kita dihadapkan kepada Akuwu, atau kepada Ki Buyut yang baru itu, kita akan berkata terus terang, apa yang pernah terjadi. Justru karena kita mendengar bahwa mereka mempunyai anggapan yang keliru tentang diri kita. maka kita datang untuk meluruskan kekeliruan itu” jawab Mahisa Murti
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya”Baiklah. Aku dapat mengerti. Tetapi kita harus bersiap menghadapi kemungkinan yang barangkali juga tidak pernah kita duga sebelumnya. Mungkin kita akan menghadapi tindak kekerasan. Bagaimanapun juga, aku tetap tidak mau dianggap sebagai orang-orang yang dikirim oleh sekelompok penjahat untuk mengamati padukuhan itu”
“Tentu. Bagaimanapun juga kita masih mempunyai harga diri.
Apalagi untuk menjalani hukuman gantung di alun- alun” berkata Mahisa Murti kemudian.
“Akhirnya keduanya mendapatkan satu kesepakatan. Namun keduanya menyadari, mungkin ada perlakuan yang kurang menyenangkan bagi mereka. Bahkan mungkin mereka harus berbuat sesuatu untuk melindungi diri mereka sendiri.
Demikianlah, ketika langit menjadi suram, keduanya pun telah berkemas. Mereka akan pergi ke padukuhan yang mempunyai anggapan yang aneh tentang diri mereka berdua. Pada suatu saat mereka disanjung karena mereka dianggap sebagai perwujudan dari kesaktian pusaka-pusaka yang dipergunakan untuk upacara, tetapi pada saat yang lain mereka diburu seperti memburu binatang buas yang masuk ke padukuhan untuk mencuri ternak.
Dengan hati yang berdebar-debar, kedua orang anak muda itu mendekati regol. Di bawah cahaya obor yang cukup besar, keduanya melihat kesiagaan di regol itu. Di samping anak-anak muda yang bertugas, ternyata di dalam regol masih terdapat beberapa orang anak-anak muda yang hilir mudik. Mereka ikut membantu kawan-kawan mereka.
“Beberapa langkah dari regol kedua anak muda itu berhenti. Keragu-raguan masih selalu membayangi mereka. Namun akhirnya Mahisa Murti berkata, “Marilah. Kita berniat baik. Kita tidak akan merugikan mereka, kecuali jika mereka sendiri memaksa kita berbuat demikian.
Dengan langkah pasti kedua anak muda itu pun kemudian mendekat regol padukuhan itu sebagaimana sudah mereka duga maka anak-anak muda yang berjaga-jaga di regol itu telah menghentikan keduanya
“Siapa kalian” bertanya pemimpin dari anak anak muda itu.
“Kami dua uang kakak beradik yang merantau tanpa tujuan” jawab Mahisa Murti.
Jawaban itu mengejutkan. Namun kemudian anak muda itu bertanya pula, “Apa maksudmu memasuki padukuhan kami?”
“Kami hanya ingin bermalam saja di padukuhan ini jika kami mendapat tempat untuk berteduh. Mungkin di serambi banjar atau ditempat-tempat lain” jawab Mahisa Pukat.
Sebelumnya memang pernah terjadi. Orang-orang yang sedang merantau atau pejalan yang kemalaman, dapat bermalam di banjar padukuhan itu Bahkan sekali-sekali dalam satu kesempatan, kadang-kadang mereka mendapatkan makan atau sepotong ketela rebus dari para peronda.
Tetapi anak muda itu menjadi ragu-ragu, justru dalam keadaan yang terasa gawat pada waktu itu. Beberapa orang kawannya pun kemudian telah mengerumuni dua orang anak muda yang mengaku sebagai perantau itu.
Ternyata anak-anak muda itu tidak cepat menghubungkan kedua orang anak muda yang memasuki padukuhan mereka itu dengan dua orang anak muda yang hadir di banjar sebagai ujud dari pusaka-pusaka Akuwu yang dipergunakan dalam kelengkapan wi suda Ki Buyut yang baru. Atau mereka pun tidak cepat menganggap bahwa dua orang itu adalah orang yang telah dikejar-kejar oleh para pengawal dan orang-orang padukuhan itu sendiri. Yang tumbuh di hati anak-anak muda pada waktu itu hanyalah sekedar kecurigaan karena keadaan yang sedang gawat pada waktu itu.
“Maaf Ki Sanak” berkata pemimpin dari anak-anak muda itu, “kedatangan kalian justru pada saat yang tidak menguntungkan. Padukuhan kami sedang di bayangi oleh kejahatan yang dapat membahayakan. Karena itu, untuk satu dua hari ini, kami tidak dapat memberikan kesempatan kepada Ki Sanak berdua untuk bermalam”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangu- mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, “Bukankah kami hanya berdua saja? Apa yang dapat kami lakukan. Sementara itu kami pun tidak bersenjata. Kami hanya ingin menumpang tidur. Tidak lebih”
Sekali lagi pemimpin dari anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu. Ia pun sependapat dengan Mahisa Murti. Hanya dua orang anak muda. Apakah yang dapat mereka lakukan? Apalagi jika keduanya mendapat pengawasan yang ketat. Jika keduanya dibiarkan tidur di serambi depan banjar, tidak diserambi samping, maka para peronda akan dapat mengawasi mereka dengan langsung.
Apalagi di ruang dalam ada beberapa orang pengawal yang juga berjaga-jaga. Selebihnya, pusaka-pusaka itu sendiri akan mampu melindungi diri mereka.
Selagi pemimpin anak-anak muda di regol itu merenung, tiba-tiba saja seorang anak muda yang bertubuh pendek dengan otot yang mencuat di wajah kulitnya telah melangkah maju sambil membentak, “Apakah kalian tidak mendengar bahwa kalian harus pergi?”
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia tidak senang mendengar kata-kata yang kasar itu. Tetapi ia masih mencoba menahan diri.
“Ki Sanak” berkata ppemimpin anak-anak muda itu kemudian, “apa boleh buat. Agaknya kawan-kawanku berkeberatan”
“Belum tentu” tiba-tiba saja Mahisa Pukat menyahut, “hanya seorang diantara kawan-kawan Ki Sanak yang tidak sependapat dengan Ki Sanak, bahwa memberikan tempat bermalam bagi orang yang kemalaman merupakan satu perbuatan yang terpuji”
Anak muda yang bertubuh pendek dengan otot-otot yang mencuat kemerah-merahan, kemarahannya nampak semakin memuncak.
“Kau mencari perkara anak setan” geram orang bertubuh pendek itu.
Mahisa Murtilah yang kemudian menyahut, “Sama-sekali tidak, Saudaraku, aku hanya ingin mengatakan apa yang terakhir olehnya menilik sikap kawan-kawanmu, “
Orang bertubuh pendek itu meloncat maju. Tangannya telah terayun menampar pipi Mahisa Murti.
Mahisa Murti sama sekali tidak menghindar. Ia menyeringai menahan sakit. Tetapi justru karena daya tahannya yang tinggi, maka perasaan sakit itu pun segera dapat diatasinya.
Mahisa Pukat lah yang hampir saja menerkam orang itu. Tetapi Mahisa Murti sempat menggamitnya. Sementara itu. kawan kawan anak muda itu pun berusaha melerainya.
“Jangan” berkata pemimpin dari anak-anak muda itu, “jika kita menolak, biarlah kita menolak. Tetapi jangan menyakitinya. Mungkin mereka benar-benar orang yang memerlukan pertolongan”
Orang bertubuh pendek dan berotot mencuat menjulur di bermukaan kulitnya itu menggeram. Tetapi, ia tidak memukul lagi.
“Ki Sanak” berkata pemimpin anak-anak muda itu, “sebaiknya kalian meninggalkan padukuhan ini. Bermalamlah di padukuhan lain. Mereka yang tidak sedang mengalami kesulitan seperti kita disini. tentu akan dapat menerima kalian dengan baik”
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera pergi. Mereka memang tidak ingin pergi ke padukuhan- padukuhan yang lain. Mereka ingin bermalam di padukuhan itu.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba seorang di antara orang-orang padukuhan itu yang datang mengerumuni Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang semalam berdiri di sebelahnya dan yang ternyata telah melarikan diri. Karena itu, maka dengan lantang ia berkata, “Orang itulah yang kita buru semalam”
“He” Orang yang bertubuh rendah dengan otot-otot di kulitnya itu terkejut.
“Ya. Aku tidak keliru. Aku berdiri disebelahnya. Meskipun saat itu gelap, dan cahaya obor tidak terlalu banyak menggapai wajahnya, tetapi aku yakin” berkata orang yang mengenalinya itu.
“Jika demikian, jelas, keduanya adalah penjahat-penjahat itu” teriak yang lain.
“Biarlah kita buat keduanya jera” geram orang bertubuh pendek.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Sementara itu Mahisa Pukatpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Mahisa Murti justru berbisik, “Kebetulan sekali. Mereka akan menangkap kita. Kita akan mereka bawa menghadap Ki Buyut”, “Jika mereka berbuat kasar?” bertanya Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu. pemimpin anak-anak muda diregol itu berkata, “Kita tangkap mereka. Tetapi jangan disakiti. Kita akan dapat memperlakukan mereka dengan cara lain. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu bah wa mereka datang kembali malam ini setelah malam-malam sebelumnya”
Kawan-kawannya memandangi pemimpin anak-anak muda itu dengan heran. Seorang di antara mereka berkata, “Sudah tentu, maksudnya tentu akan melakukan kejahatan lagi, karena malam kemarin ia gagal berbuat sesuatu. Mereka tentu sudah mendengar bahwa malam ini adalah malam terakhir benda-benda berharga itu disini. Karena itu, maka mereka tentu akan berusaha dengan cara yang lebih kasar lagi dari cara-cara sebelumnya”
“Aku mempunyai pertimbangan lain” berkata pemimpin anak-anak muda yang berada di regol itu, “mereka datang justru melalui regol ini. Mereka sadar, bahwa diregol ini tentu banyak penjaganya”
“Itu adalah sekedar cara. Mereka minta ijin untuk bermalam”
“Tetapi jika kita mengijinkan, maka mereka akan berbuat jahat” berkata anak muda yang lain.
“Mungkin” jawab anak muda itu, “tetapi biarlah Ki Buyut yang baru itu memeriksanya Mungkin mereka akan berbuat jahat”
“Tetapi mungkin pula tidak”
Kawan-kawannya nampaknya masih belum puas. Tetapi dalam pada itu Mahisa Murti berkata, “Kami bersedia ditangkap dan dihadapkan kepada siapa saja. Kami memang tidak akan berbuat apa-apa selain mohon tempat untuk bermalam”
Pemimpin anak-anak muda itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita akan membawanya menghadap Ki Buyut”
“Ki Buyut tidak ada di banjar” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu, “aku baru saja datang dari banjar”
“Kita akan membawanya ke rumahnya” berkata pemimpin dari anak-anak muda itu.
Demikianlah, maka anak-anak muda itu tidak dapat memaksakan kehendaknya. Mereka kemudian membiarkan pemimpin anak-anak muda itu membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pergi kerumah Ki Buyut diiringi beberapa orang anak-anak muda. Bahkan anak muda yang ingin berbuat kasar terhadap kedua orang anak muda itupun telah mengikut pula. Jika ada kesempatan, maka mereka sudah siap untuk bertindak tegas terhadap kedua orang yang dianggapnya sebagai dua orang penjahat itu.
Ketika mereka sampai kerumah Ki Buyut yang baru, mereka pun segera dibawa naik ke pendapa, sementara seseorang di antara mereka telah mengatakan kepada Ki Buyut yang sedang berada di ruang dalam, “Ada apa?” berkata Ki Buyut.
“Dua orang yang mencurigakan telah memasuki regol” berkata orang yang menghadap Ki Buyut itu, “mereka sudah kami bawa ke pendapa ini”
“Apa yang telah mereka lakukan?” bertanya Ki Buyut., “Belum ada” jawab pemimpin anak-anak muda yang berada di regol itu.
“Kenapa kalian dapat menuduh bahwa keduanya adalah penjahat” bertanya Ki Buyut kemudian.
Orang itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di regol. Bahwa ada orang yang langsung dapat mengenalinya sebagai orang yang dikejar-kejar pada malam sebelumnya.
“Apakah kalian yakin akan hal itu?” bertanya Ki Buyut.
“Keduanya tidak membantah” jawab orang itu.
Ki Buyut kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan melihatnya di pendapa”
Sejenak kemudian, setelah membenahi pakaiannya, Ki Buyut pun telah keluar di pendapa. Di antara anak-anak muda dan orang-orang yang mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Ki Buyut pun mulai bertanya tentang beberapa hal kepada kedua orang anak muda itu.
“Siapa namamu?” bertanya Ki Buyut.
“Namaku Pinta” jawab Mahisa Murti, “saudaraku itu bernama Soma”
“Kalian berasal dari mana?” bertanya Ki Buyut pula.
“Kami adalah pengembara Ki Buyut” jawab Mahisa Murti.
Ki Buyut itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah benar bahwa kau kemarin telah dikejar-kejar oleh orang-orang di padukuhan ini?”
Mahisa Murti yang memang ingin mengatakan yang sebenarnya tentang pusaka-pusaka itu tidak membatah. Jawabnya, “Ya. Akulah yang kemarin di kejar-kejar bersama saudaraku”
“Jadi benar bahwa kalian adalah penjahat-penjahat?” bertanya Ki Buyut pula.
“Tentu tidak Ki Buyut” jawab Mahisa Pukat, “kami bukan penjahat. Sebenarnya kemarin pun kami hanya ingin bermalam di banjar. Tetapi ternyata banjar itu penuh dengan orang”
“Apa yang dikatakannya?” bertanya Ki Buyut.
“Mereka mengaku orang-orang dari padukuhan sebelah” jawab orang itu.
“Benarkah kalian berhobong?” bertanya Ki Buyut pula. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya sudah waktunya untuk menolong orang-orang Kabuyutan itu yang mempunyai pandangan yang keliru terhadap pusaka-pusaka yang berada di banjar, yang agaknya telah mempengaruhi pendapat Akuwu pula. Akuwu yang memiliki benda-benda itu sejak turun tumurun, yang selamanya tidak pernah memikirkan ceritera yang aneh itu, tiba-tiba telah menjadi ragu-ragu.
“Benar Ki Buyut” berkata Mahisa Murti, “tetapi aku mempunyai alasan. Aku tidak mau ditangkap dan diperlakukan tidak baik. Sebenarnyalah aku ingin mengatakan sesuatu yang barangkali mengejutkan bagi Ki Buyut dan orang-orang Kabuyutan ini”
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun seorang anak muda telah berkata, “Jangan mengatakan yang tidak benar. Jika kau masih saja mengigau, maka kau akan mengalami perlakuan yang kurang baik disini”
Mahisa Murti berpaling ke arah orang itu. Namun baginya, saatnya memang sudah tiba. Betapapun keragu- raguan menggelitik jantungnya, namun ia sudah berniat dengan pasti, untuk menyampaikan ceritera yang sebenarnya tentang dua orang anak muda yang disangka ujud dari pusaka-pusaka yang berada di banjar. Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian berkata, “Ki buyut. Kami berdua kemarin telah menyaksikan wisuda yang dilakukan oleh Akuwu. Kami berdua ikut merasa bangga bahwa wisuda itu telah berlangsung dengan baik, selamat dan hidmat. Namun dalam pada itu. kamipun telah mendengar satu ceritera yang sangat menarik tentang benda-benda keramat yang menjadi kelengkapan upacara wisuda itu”
“Apa yang menarik” bertanya Ki Buyut.
“Yang menarik adalah nilai dari benda-benda itu” sahut seorang anak muda.
“Jangan memotong” berkata Ki Buyut kemudian. Lalu katanya kepada Mahisa Murti, “lanjutkan”
“Ki Buyut’ sambung Mahisa Murti, “apakah benar bahwa benda-benda berharga itu dapat menjelma menjadi dua orang anak muda?”
“Ya” jawab Ki Buyut, “para pengawal telah membuktikannya. Orang-orang yang tertangkap itu pun mengatakannya”
“Itulah yang ingin aku jelaskan. Ceritera itu sama sekali tidak benar” berkata Mahisa Murti.
“Tutup-mulutmu” bentak seorang anak muda, “apakah kau tidak takut kuwalat?”
“Aku dapat menjelaskan” jawab Mahisa Murti.
“Apa yang dapat kau jelaskan?” bertanya Ki Buyut. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ki Buyut. Bukan maksudku untuk merusak satu anggapan tentang pusaka-pusaka itu. Aku menghormati benda-benda keramat itu. Justru karena itu, maka aku ingin mengatakan yang sebenarnya” Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu, “sebenarnyalah aku ingin bertanya, kecuali yang mengenali aku pada saat wisuda, apakah ada yang pernah mengenali aku sebelumnya? Kami berdua pernah bermalam di banjar itu. Para peronda pada waktu itu telah menempatkan kami di serambi samping. Di malam hari kami telah mendapat makan hangat bersama seorang laki- laki tua”
Ki Buyut memandang anak-anak muda yang ada di pendapa itu. Kemudian iapun bertanya, “Siapa yang berada di banjar pada malam sebelum wisuda”
“Dua malam sebelum wisuda” potong Mahisa Pukat. Ternyata tidak seorangpun yang kebetulan berada di pendapa rumah Ki Buyut itu melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bermalam di banjar.
Karena itu, maka Ki Buyut berkata, “Tidak seorangpun yang pernah mengenalimu, kecuali pada malam wisuda”
“Baiklah Ki Buyut. Jika aku mengatakan sesuatu sama sekali bukan terdorong oleh satu sikap sombong. Tetapi kami berdua hanya ingin menempatkan persoalannya pada tempat yang sebenarnya”
“Apa yang ingin kau katakan?”desak Ki Buyut tidak sabar.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya iapun mengatakan, apa yang telah dilakukannya. Ialah yang datang bersaudara laki-lakinya pada saat Kabuyutan itu di cengkam oleh sirep yang tajam. Ia lah yang membangunkan, para pengawal pada malam pertama, dan ia berdua pulalah yang telah melawan para perampok pada malam menjelang malam wisuda Sehingga dengan demikian, maka ceritera tentang dua orang anak muda yang merupakan ujud dari benda-benda keramat itu sama sekali tidak benar.
“Omong kosong” teriak seorang anak muda, “kau nampaknya benar-benar orang gila”
“Jangan menghina pusaka-pusaka itu” sahut anak muda yang lain.
“Ki Sanak” potong Mahisa Pukat, “sebaiknya Ki Sanak menghubungi para pengawal di malam perampokan yang pertama. Mereka tentu masih mengenal kami berdua”
“Itu adalah pekerjaan sia-sia” jawab seorang yang lain, “kalian memang pantas untuk dihukum dera sampai kalian jera”
“Aku berkata sebenarnya” Mahisa Murti menjelaskan. Sementara Mahisa Pukat menyambung, “cara yang paling baik adalah, kalian memanggil ampat orang pengawal yang terdahulu. Mereka melihat aku dan tentu merekapun mengenal aku. Juga para peronda di malam sebelumnya. Aku sudah bermalam di banjar itu”
“Omong kosong” teriak seorang anak muda yang kehilangan kesabaran, “kalian ternyata masih juga mengigau”
“Kami berkata sebenarnya” jawab Mahisa Pukat, “memang tidak ada cara lain, kecuali memanggil para pengawal itu. Biarlah mereka mengenali kita”
“Ada cara yang lebih baik” berkata seorang anak muda yang bertubuh raksasa, “jika kalian dapat menunjukkan kemampuan sebagaimana ditunjukkan oleh kedua anak muda itu, maka kami akan mempercayaimu. Kami akan mengundang para pengawal untuk membuktikan, apakah kalian benar-benar orang yang telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu di dua malam berturut-turut”
“Sebenarnya cara itu tidak perlu” berkata Mahisa Murti, “karena menurut pendapatku, ada cara yang lebih baik, yaitu mengundang para pengawal. Bukankah mereka masih berada di Kabuyutan ini?”
“Persetan” bantah anak muda bertubuh raksasa itu, “kalian ingin mempermainkan kami. Sudah aku katakan, aku sendiri akan mengundang para pengawal itu, jika kalian mampu menunjukkan sebagian kecil saja dari kemampuan ujud dari benda-benda keramat iiu”
“Ki Sanak” berkata Mahisa Murti, “sebenarnya kami dapat meninggalkan Kabuyutan ini, apapun yang terjadi. Mungkin kalian akan mendapatkan satu kepercayaan yang sesat tentang benda-benda upacara itu. Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak, dapat membiarkan Akuwu mempunyai dugaan seperti itu pula”
Ki Buyut merenungi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan saksama. Sebenarnyalah di dalam hatinya timbul keragu-raguan. Jika kedua anak-anak muda itu bukan dua orang anak muda yang berada di banjar melawan para perampok, apakah mereka berani menyebut dirinya seperti itu. Tetapi jika benar seperti apa yang dikatakannya, maka ujud kedua orang anak muda itu memang kurang meyakinkannya.
Dalam pada itu orang bertubuh raksasa itupun berkata, “Kau tidak perlu mengada-ada. Yang penting kau harus membuktikan kata-katamu. Melawan sejumlah perampok bukan pekerjaan yang dapat disebut begitu saja oleh setiap orang. Apalagi di malam kedua. Dua orang anak-anak muda telah berjuang tanpa orang lain untuk mematahkan perlawanan para perampok yang telah berhasil mengetrapkan ilmu sirep mereka yang sangat tajam. Dan kalian dengan tanpa malu-malu telah menyebut diri kalian sebagaimana dua orang anak muda itu”
“Kami hanya mengatakan yang sebenarnya” berkata Mahisa Pukat yang mulai panas, “tetapi jika kalian lebih senang menyebut bahwa dua orang anak muda itu merupakan ujud dari benda-benda upacara itu, terserahlah. Kami semula memang bermain-main dengan para perampok dan benda-benda upacara itu. Kami memang memberikan kesan yang demikian, meskipun pada malam pertama hal itu sama sekali tidak kami sengaja. Kami hanya akan menghindarkan diri dari keterlibatan lebih jauh. Sehingga karena itu, kami dengan diam-diam telah menyingkir. Namun ternyata telah timbul dugaan yang salah. Jika dugaan yang salah itu menjadi semakin berlarut-larut, maka kami berdua merasa ikut bersalah atas timbulnya kesan yang keliru itu”
“Omong kosong” bentak orang bertubuh raksasa itu, “kami hanya ingin kalian membuktikannya. Tidak hanya dengan banyak bicara saja”
“Bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk membuktikan seperti yang kau maksudkan?” bertanya Mahisa Pukat yang sudah tidak sabar lagi.
“Kalian harus mampu berbuat sebagaimana dilakukan oleh kedua orang anak-anak muda itu” jawab orang bertubuh raksasa.
“Mengalahkan sejumlah perampok itu? Kau maksudkan, perampok-perampok yang sudah tertangkap itu akan kau bawa kemari dan kami berdua harus bertempur melawan mereka?” bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murti cepat menyahut, “Daripada kalian membawa perampok-perampok itu kemari, lebih baik kalian menghubungi empat orang pengawal yang terdahulu untuk mengenali kami. Tanpa benturan kekerasan, tetapi maksud kalian sudah terpenuhi”
“Persetan” geram orang bertubuh raksasa itu, “aku tidak perlu memanggil para perampok itu. Jika salah seorang dari kalian berdua dapat mengalahkan aku, maka aku akan mempercayai kalian. Bahwa kalian memang pantas untuk menyebut diri kalian seperti yang kalian katakan”
Mahisa Pukat yang hampir kehilangan kesabarannya itu bergeser setapak. Tetapi Mahisa Murti nampaknya masih tetap berusaha menguasai diri. Katanya, “Apakah hal itu perlu? Sebenarnya aku lebih senang jika kalian memanggil para pengawal. Itu saja”
“Kau ulangi sampai seribu kali” bentak orang bertubuh raksasa itu, “aku akan membuktikannya”
Mahisa Murti memandang Ki Buyut sejenak. Kemudian katanya, “Segalanya terserah kepada kebijaksanaanKi Buyut”
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, “Memang sulit untuk mengambil keputusan. Tetapi aku condong untuk memanggil empat orang pengawal itu, atau membawa kalian berdua menghadap mereka di banjar”
“Itu tidak perlu Ki Buyut” bantah orang bertubuh raksasa itu, “seolah-olah kita, isi dari Kabuyutan ini tidak dapat mengambil sikap sendiri. Kenapa kita harus tergantung sekali kepada para pengawal yang berada di banjar? Seolah-olah kita tidak mampu berbuat apa-apa hanya karena pokal anak-anak muda pemimpi ini”
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “terserahlah kepadamu. Tetapi aku tidak ingin melihat pertumpahan darah. Jika kau merasa yakin akan pendapatmu, maka kau harus berhenti. Menang atau kalah”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar- debar. Tetapi jika cara itu yang harus mereka tempuh, maka mereka pun tidak akan berkeberatan.
Namun sebelum Mahisa Pukat menyatakan dirinya, Mahisa Murti telah mendahuluinya, “Baiklah. Aku akan melayanimu Ki Sanak”
Mahisa Pukat menggamit Mahisa Murti sambil berbisik, “Biar aku sajalah”
Tetapi Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Biarlah kau menyaksikan apa yang terjadi”
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa Mahisa Murti tidak ingin ia terseret arus perasaannya. Karena itu maka Mahisa Pukat pun tidak membantahnya lagi. Ia merasa bahwa Mahisa Murti lebih mampu mengendalikan dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka Ki Buyut pun dengan hati yang berdebar-debar telah memberikan kesempatan orang bertubuh raksasa itu membuktikan, apakah benar-benar Mahisa Murti mampu menunjukkan kemampuannya sehingga ia dapat dipercaya, bahwa kedua anak muda itulah yang telah mereka sangka anak-anak muda yang menjadi ujud dari benda-benda keramat dalam upacara wisuda itu.
Sebenarnyalah halaman rumah Ki Buyut itupun telah dicengkam oleh ketegangan. Anak-anak muda dan orang- orang yang berada di halaman itu telah membentuk sebuah putaran yang akan menjadi arena perkelahian antara Mahisa Murti dan orang bertubuh raksasa itu. Orang yang merasa dirinya memiliki kekuatan dan kemampuan melampaui kawan-kawan dan tetangga-tetangganyadi Kabuyutan itu.
Sejenak orang bertubuh raksasa itu berdiri ter-mangu-mangu. Dihadapannya Mahisa Murti sudah siap melawannya. Meskipun nampaknya keadaan tubuh mereka tidak seimbang, namun pada wajah anak muda itu nampak sesuatu keyakinan yang mantap.
Ki Buyut berdiri di pinggir arena yang dilingkari oleh orang-orang yang ingin menyaksikan, apakah anak muda itu benar-benar memiliki kelebihan sebagaimana dikatakannya. Mereka telah mengenal bahwa orang bertubuh raksasa itu memang orang yang disegani di Kabuyutan itu.
Tetapi agaknya Ki Buyut tidak akan dapat mencegah orang bertubuh raksasa itu untuk menjajagi kemampuan Mahisa Murti. Karena itu, maka Ki Buyut itupun berkata didalam hatinya, “Biarlah orang itu sekali-kali mengenal kemampuan orang lain. Jika ia kalah, itu adalah satu pengalaman yang baik. Tetapi jika ia menang, maka agaknya anak muda itu benar-benar orang-orang yang sekedar mengaku-aku saja. Karena kemampuan anak-anak muda yang disebut sebagai ujud dari pusaka-pusaka itu benar-benar mengagumkan”
Demikianlah, maka kedua orang yang berada di arena itu pun sudah siap. Ki Buyut yang kemudian melangkah maju berkata, “Ingat. Aku tidak ingin kalian kehilangan akal. Yang akan terjadi adalah sekedar penjajakan. Jika salah satu pihak sudah mengaku kalah, maka perkelahian akan berakhir. Jika anak muda itu kalah, maka segala keterangannya dianggap tidak benar. Tetapi jika ia menang, maka ia akan menghadap Akuwu untuk menyatakan dirinya. Tetapi segalanya terserah kepada Akuwu. Apakah Akuwu percaya atau tidak, bukanlah persoalan kami”
“Baiklah Ki Buyut” sahut Mahisa Murti, “sebenarnyalah jika Ki Buyut membawa kami menghadap, maka kami tidak perlu melakukan penjajakan seperti ini. Kemudian terserah kepada Akuwu, apakah Akuwu percaya atau tidak”
“Tutup mulutmu” bentak orang bertubuh raksasa yang sudah merasa gatal, “Sudah aku katakan. Kalahkan aku sebelum kau dibawa menghadap Akuwu”
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sudah bersiap”
Nampaknya orang bertubuh raksasa itu sudah tidak sabar lagi. Iapun mulai bergeser. Kemudian mereka pun mulai berputar di tengah tengah arena.
Sesaat kemudian, maka orang bertubuh raksasa itu mulai menjulurkan tangannya, sekedar untuk memancing gerak Mahisa Murti.
Namun ternyata Mahisa Murti telah menanggapi dengan sikapnya yang khusus. Ia memang ingin mengganggu orang bertubuh raksasa itu. Karena itulah, maka ketika tangannya terjulur, diluar dugaan, Mahisa Murti telah menyerang tangan itu. Dengan pukulan sisi telapak tangannya, Mahisa Murti menghantam lengah orang bertubuh raksasa itu di atas pergelangannya, karena Mahisa Murti memang tidak ingin merusakkan pergelangan tangan raksasa itu.
Namun sentuhan sisi telapak tangan Mahisa Murti itu membuat tangan raksasa itu bagaikan patah. Terdengar ia mengaduh tertahan. Dengan loncatan panjang ia surut.
Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian terdengar ia mengumpat sambil berkata, “Anak iblis. Kau telah berhasil mencuri serangan. Aku tidak menyangka bahwa kau ternyata sangat licik”
“Apa artinya licik menurut penilaianmu Ki Sanak” jawab Mahisa Murti, “Bukankah kau sudah mulai, dan aku menyerangmu dengan terbuka. Tidak dengan sembunyi- sembunyi atau dari belakang?”
Orang bertubuh raksasa itu menjadi semakin marah, sementara orang-orang yang menyaksikannya menjadi berdebar-debar.
Sejenak kemudian, orang bertubuh raksasa itupun tidak lagi sekedar memancing gerak lawannya. Tetapi ketika kemudian ia mendapat kesempatan, maka iapun telah benar-benar melantarkan serangan dengan kakinya.
Mahisa Murti melihat serangan itu. Karena itu, maka ia pun sempat menghindar. Tetapi orang bertubuh raksasa itu ternyata telah menarik serangannya. Kakinya yang terjulur itupun kemudian justru menjadi tumpuan kakinya yang lain berputar mendatar.
Serangan itu datang beruntun. Namun Mahisa Murti tidak menjadi bingung. Ia pun masih sempat meloncat menghindari serangan itu. Bahkan Mahisa Murti justru mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Agaknya Mahisa Murti memang memiliki kemampuan gerak yang sangat cepat. Tetapi ia tidak ingin bersungguh-sungguh menyakiti lawannya. Karena itu, demikian kaki orang bertubuh raksasa yang berputar itu menjejak tanah, tiba-tiba saja terasa tubuhnya terdorong oleh tenaga yang kuat pada punggungnya.
Orang bertubuh raksasa itu tiba-tiba saja telah kehilangan keseimbangannya. Sesaat ia terhuyung-huyung dan mencoba mempertahankan keseimbangannya. Namun akhirnya, ia benar-benar telah terjatuh terjerembab.
Orang-orang yang menyaksikannya menjadi berdebar-debar. Ketika orang itu bangkit, maka dibawah cahaya obor, orang-orang yang berkerumun itu melihat, betapa kemarahan telah membakar jantung.
“Kau anak iblis” geramnya, “kau menghendaki aku bersungguh-sungguh. Jika aku masih menaruh belas kasihan kepadamu, karena aku mengingat umurmu yang masih sangat muda. Tetapi ternyata bahwa kau tidak tahu diri. Kau anggap belas kasihanku itu sebagai satu kelemahan”
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Agaknya orang itu memang tidak tahu diri. Karena itu, maka Mahisa Murti pun harus bersiap-siap untuk menghadapi kemarahannya yang tentu akan semakin memuncak.
“Aku harus berhati-hati” berkata Mahisa Murti didalam hatinya, “mungkin ia benar-benar kehilangan pengendalian diri”
Sebenarnyalah orang bertubuh raksasa itu tidak lagi mengendalikan dirinya. Ia telah bertempur dengan segenap kemampuannya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun menjadi semakin mapan, karena kemampuan orang itu tidak banyak berarti baginya.
Tetapi Mahisa Murti memang tidak mau menyakiti tubuhnya dan tidak mau membuatnya semakin marah, karena itu, maka ia pun lebih banyak sekedar melayani tingkah laku lawannya yang marah itu. Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Murti, maka orang itupun akhirnya menjadi letih dengan sendirinya. Serangan-serangannya yang garang sama sekali tidak pernah mengenai sasarannya.
Betapa ia berloncatan dan mengayunkan tangan serta kakinya, namun lawannya bagaikan iblis yang tidak dapat disentuh oleh wadagnya. Bagaimanapun juga, kemampuan dan tenaga orang bertubuh raksasa itu memang terbatas. Karena itu, maka semakin ia mengerahkan tenaganya, maka kemampuannya itu pun menjadi semakin cepat larut bagaikan dihembus angin yang deras.
Akhirnya, kenyataan itu tidak dapat dihindarinya. Ketika ia menyerang dengan ayunan tangannya dan Mahisa Murti sekedar bergeser surut setapak sambil menarik dadanya, maka orang itu pun telah terhuyung-huyung terseret oleh ayunan tangan itu sendiri. Hampir saja ia jatuh terjerembab. Namun Mahisa Murti cepat menahannya.
“Gila” geramnya. Dengan sisa-sisa kekuatannya ia menyerang dengan kakinya. Tetapi karena kakinya tidak menyentuh sasaran, maka ia justru terputar tanpa dapat menguasai keseimbangannya lagi, sehingga sekali lagi Mahisa Murti harus menangkapnya.
Orang itu membentak kasar. Tetapi ia benar-benar sudah tidak berdaya lagi.
Ki Buyut yang menyaksikannya pun tersenyum. Ia melihat kelebihan pada anak muda yang mengaku telah membantu para pengawal melepaskan diri dari kesulitan menghadapi ilmu sirep yang sangat tajam itu.
“Sudahlah” berkata Ki Buyut, “kita hentikan permainan ini sampai disini”
“Aku akan membuatnya jera. Ia telah menyakiti hati kita semuanya” jawab orang bertubuh raksasa itu.
Tetapi Ki Buyut masih saja tersenyum sambil berkata, “Jangan bermimpi. Semua orang melihat, bahwa kau tidak mampu mengimbangi ilmunya. Itu pun aku melihat, bahwa anak muda itu belum mengerahkan segenap kemampuannya. Karena itu, biarlah kita pergi ke banjar. Kita berbicara dengan para pengawal atau dengan Akuwu sendiri yang esok pagi akan meninggalkan banjar ini. Aku sependapat dengan anak-anak muda ini, bahwa sebaiknya kesan tentang benda-benda berharga itu dikembalikan kepada yang sebenarnya. Namun segalanya masih harus diuji kebenarannya oleh Akuwu atau para Senopati kepercayaannya”
Beberapa orang yang berdiri di seputaran arena itu mengangguk-angguk. Mereka tidak melihat gunanya lagi untuk berbuat sesuatu atas anak-anak muda itu Segala-galanya terserah kepada keputusan Akuwu. seandainya Akuwu menganggap kedua anak muda itu bersalah atau justru berterima kasih kepada mereka.
Karena itu, maka Ki Buyut berkata, “Baiklah. Kita akhiri permainan kita disini. Kita akan pergi ke banjar”
Orang bertubuh raksasa itu tidak menyahut. Ia memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dengan demikian, maka Ki Buyut pun kemudian telah membawa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menyebut diri mereka bernama Pinta dan Soma ke banjar.
Orang-orang yang berkerumun di halaman banjar itu pun kemudian mengikutinya dalam iring-iringan yang semakin lama menjadi semakin panjang. Anak-anak muda di gardu- gardu yang melihat iring-iringan itu lewat dan bertanya apa yang mereka ikuti, maka jawaban orang-orang yang berada di dalam iring-iringan itu memang sangat menarik perhatian.
Hanya mereka yang sedang meronda sajalah yang kemudian tinggal di gardu-gardu. Sebenarnya mereka pun ingin mengikuti Ki Buyut ke banjar. Tetapi mereka tidak dapat meninggalkan Kabuyutan mereka tanpa pengawasan.
Kedatangan Ki Buyut ke Banjar memang mengejutkan. Beberapa pengawal dan peronda yang bertugas di luarpun segera ingin tahu, apa yang telah terjadi.
“Aku ingin menghadap Akuwu jika Akuwu berkenan” berkata Ki Buyut.
Salah seorang Senopati kepercayaan Akuwu yang sedang berada di banjar untuk mengawasi benda-benda berharga yang di keesokan harinya akan dibawa kembali oleh Akuwu itupun termangu-mangu.
Dengan curiga ia bertanya, “Apakah ada kepentingan yang sangat mendesak Ki Buyut?”
“Ya. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang barangkali penting sekali bagi Akuwu dan mungkin akan dapat merubah pendapat banyak orang tentang benda-benda keramat itu” berkata Ki Buyut kemudian.
Senopati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Pendapat apakah yang Ki Buyut maksudkan?”
“Baiklah, aku akan mengatakannya kepada Akuwu” jawab Ki Buyut.
Senopati itu memaksa Ki Buyut untuk mengatakan sesuatu kepadanya. Tetapi ia pun kemudian pergi ke rumah di sebelah banjar itu untuk menghadap Akuwu yang ternyata belum juga tidur. Ia masih duduk berbincang dengan Senopati kepercayaannya yang seorang lagi.
Ketika Senopati itu mengatakan tentang maksud Ki Buyut, maka Akuwu itupun berkata, “Bagus sekali ki Buyut mau menemani aku berbincang. Persilahkan ia datang”
Senopati itupun kemudian mengajak Ki Buyut langsung menghadap Akuwu, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus menunggu di banjar, dibawah pengawasan beberapa orang pengawal dan para peronda
Namun dalam pada itu, seorang pengawal telah mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan ragu- ragu pengawal itu pun duduk di sebelah anak muda itu sambil bertanya, “Kenapa dengan kalian berdua?”
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling ke arah pengawal itu. Segera keduanya mengenal bahwa pengawal itu adalah salah seorang dari empat pengawal yang berada di banjar itu sebelum kawan-kawannya datang.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian beringsut mendekati pengawal itu sambil bertanya, “He, bukankah kau pengawal yang malam itu mengawasi benda-benda keramat itu?”
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, “Malam yang manakah yang kau maksudkan?”
“Ketika sekelompok penjahat akan mengambil benda- benda upacara itu? Bukankah saat itu mereka telah menyebarkan sirep yang tajam, yang tidak terlawan oleh kalian?” bertanya Mahisa Pukat.
“Ya. Aku memang tidak dapat melawan sirep waktu itu” jawab pengawal itu.
“Dan kami berdua telah membangunkan para pengawal” berkata Mahisa Pukat pula.
“Kalian berdua? Apakah kalian berdua yang telah menolong kami?” bertanya pengawal heran.
“Ya. Apakah kau tidak ingat lagi?” bertanya Mahisa Murti.
Pengawal itu termangu-mangu. Tetapi yang disaksikannya pada waktu itu agak berbeda dengan lukisan angan-angannya. Pengawal itu menganggap bahwa ujud dua orang anak muda itu bukannya ujud wadag seperti kedua anak muda yang duduk di sebelahnya. Yang berbicara sebagaimana ia berbicara. Pengawal itu menganggap bahwa anak muda yang telah ikut bertempur pada malam itu adalah ujud-ujud semu yang tidak dapat disebutnya sebagai badan wantah seperti kebanyakan orang.
Ternyata bahwa anak-anak muda yang duduk disebelahnya itu mengaku, bahwa merekalah yang menolong para mengawal pada malam itu.
“Ya, ternyata kedua anak muda pada malam itu adalah kalian. Aku sudah terpaku terhadap benda-benda keramat itu sehingga aku telah lihat sesuatu yang tidak wajar”
Pengawal itu kemudian berpaling kepada orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang memang sedang memperhatikannya. Seolah-olah mereka memandanginya dengan heran.....
Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan