Suling Emas Jilid 18
Suling Emas dengan gerakan sembarang memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha orang dan... pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh orang itu. Mereka mengangguk-angguk dan ketika Suling Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota raja, tujuh orang itu mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda. Melihat betapa orang muda itu membawa Sang Pangeran benar-benar menuju ke kota raja, hati mereka merasa lega.....
Suling emas terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya karena anak itu menangis saja kalau tidak ditiupkan suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika rombongan pengawal kedua yang terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan... rombongan kedua ini pun segera mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan berkuda dan berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang kota raja, penduduk besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke istana! Suling Emas yang berjalan di depan, enak-enak dan tenang-tenang saja memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.
Tentu saja ia diterima oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu macam apa orang muda yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka penjagaan diperkuat dan keselamatan Kaisar dilindungi oleh para panglima. Namun Suling Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran. Ia hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan bersikap tenang dengan mata sayu dan muka muram.
Sebagai seorang terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia menjatuhkan diri berlutut, kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan pertemuannya dengan tiga orang tua yang membawa Sang Pangeran, kemudian ia menceritakan betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan membawanya langsung ke istana. Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang memondong anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat kepada seorang dayang yang segera menerima anak itu dari tangan Suling Emas.
Akan tetapi anak kecil itu menjerit dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling Emas! Timbul sedikit kegaduhan dan Kaisar sendiri sampai tertawa saking gembiranya melihat puteranya pulang dengan selamat. Akhirnya permaisuri sendiri, ibu anak itu yang ikut hadir menjemput puteranya, yang maju dan barulah anak itu mau dipondong ibunya. Akan tetapi mulutnya masih mewek-mewek dan telunjuknya masih menuding-nuding ke arah Suling Emas.
"Ha-ha-ha!" Sri Baginda tertawa bergelak setelah permaisuri membawa puteranya masuk, diikuti para dayang cantik-cantik yang melempar kerling dan senyum manis kepada Suling Emas yang tampan dan yang dianggap seorang gagah yang berjasa besar.
"Kau seorang pemuda yang luar biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa kembali putera kami sambil bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan penduduk. Kemudian putera kami juga sukar mau melepaskan engkau. Sungguh menggembirakan. Eh, orang muda yang gagah perkasa, engkau siapakah?"
Suling Emas berlutut memberi hormat lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar. Hamba sendiri sudah lupa akan nama hamba, akan tetapi karena hamba memiliki benda ini dan suka sekali meniupnya, maka hamba disebut orang dengan nama Suling Emas. Hamba tidak mempergunakan nama lain."
Suasana hening ketika semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban orang muda itu. Tempat itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena semua orang merasa heran mendengar jawaban sepeti ini. Namun, Kaisar pertama dari Kerajaan Sung adalah bekas seorang panglima besar, seorang yang sudah banyak bertemu dengan petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia kang-ouw yang aneh. Kaisar tidak menjadi heran, lalu berkata penuh wibawa, "Suling Emas, angkatlah mukamu dan dan biarkan kami melihat wajahmu!"
Suling Emas tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap wajah yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda, "Semuda ini sudah mengalami hal sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami bicara."
Dengan gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri.
Kembali Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada orang muda ini dan ia berkata, "Suling Emas, kami telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami, jasamu besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"
"Ampun, Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak mengharapkan hadiah apa-apa."
Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang gagah perkasa dan berhati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi saking gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanakah kalau engkau kami angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? Kami sekeluarga akan merasa tenteram dan aman apabila engkau menjadi kepala pengawal di sini."
"Mohon Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas di alam terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."
Kaisar diam sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu amat aneh. Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh wataknya." Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling Emas berdebar-debar mendengar nama mendiang suhu-nya disebut-sebut. "Maka kami serahkan kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah apa yang dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak enak dan tidak senang."
Suling Emas sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu ingin membalas rasa syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.
"Baiklah, Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab sebanyak-banyaknya."
"Ha-ha-ha!" Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak hanya karena latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu. "Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan, mulai saat ini Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu, Suling Emas. Apa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!"
Suling Emas merasa bingung. Tadinya ia terpaksa minta ijin itu karena tidak mau mengecewakan hati Kaisar dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi kini harus memilih satu lagi! Apakah yang menarik hatinya dan ingin ia dapatkan dari dalam istana ini? Ia tidak menginginkan apa-apa. Tiba-tiba ia teringat kepada Suma Ceng! Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di lingkungan istana pula! kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri orang lain, sudah dapat ia pastikan ia akan ‘berani mati’ minta dijodohkan dengan Suma Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu?
Melihat wajah pemuda itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi, "Jangan ragu-ragu dan takut-takut, Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang kau pilih. Kami akan mengabulkannya!"
Dalam gugupnya dan dalam kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan mengenai Suma Ceng, Suling Emas menjawab sedapatnya, "Hamba... hamba mohon supaya diberi kebebasan pergi ke... dapur istana dan minta masakan apa saja dari petugas dapur!"
Kini para hadirin yang tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan itu. Suara ketawa baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke atas.
"Ha-ha-ha, jangan berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena lucu dan terharu akan kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh masuk dapur dan makan sekenyangmu. Juga kalau engkau memerlukan pakaian atau apa saja, tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal, pasti akan kami beri. Selain dua hadiah itu, kami pun hendak memberi beberapa pasang pakaian yang sekiranya pantas dan cocok dipakai Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi sahabat seisi istana Kerajaan Sung yang jaya!"
Suling Emas tidak berani menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana selama ia suka, menikmati isi perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari kemudian ia menerima lima pasang pakaian dari sutra hitam yang amat halus dan indah. Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang kuning dan pada setiap baju, di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan sebatang suling menyilang.
Kaisar memegang teguh janjinya. Suling Emas dapat bergerak leluasa di dalam istana, dan setiap saat, biar malam sekali pun, ia berani masuk perpustakaan istana. Apabila pintunya sudah tertutup rapat di waktu malam dan penjaganya duduk mengantuk di depan pintu, Suling Emas memasuki gedung perpustakaan dari atas genteng. Semua petugas istana tidak pernah mengganggunya, dan semenjak itu nama Suling Emas amatlah dikenal. Apalagi setelah ia mengenakan pakaian anugerah Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa pendekar besar ini hanya beberapa tahun yang lalu adalah seorang juru tulis Pangeran Suma Kong dan menderita hukum siksa oleh Suma-kongcu karena berani bermain cinta dengan puteri Pangeran Suma Kong yang kini menjadi isteri Pangeran Kiang.
Hanya beberapa pekan lamanya Suling Emas menikmati kemewahan istana. Pada suatu hari, orang tidak melihat bayangannya lagi karena Suling Emas telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong dan di situ hanya terdapat tulisan huruf indah di atas tembok kamar:
Di bawah bimbingan Kaisar bijaksana, rakyat makmur negara aman sentosa.
Kaisar yang diberi laporan akan kepergian Suling Emas hanya mengangguk dan selanjutnya memberi perintah agar kamar itu selalu dipersiapkan untuk Suling Emas. Tulisan dalam kamar itu amat menyenangkan hati Kaisar yang diam-diam merasa kecewa bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.
Sesungguhnya bukan hanya karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong, A-kwi dan Sam Hwa tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi menculik pangeran kecil seperti yang ditugaskan kepada mereka oleh Kong Lo Sengjin. Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan orang muda itulah yang membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka.
Mereka tahu benar bahwa suling emas pusaka keramat itu tadinya berada di tangan sastrawan Ciu Bun yang berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi orang. Selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali berada di pulau, juga di sana terdapat dua orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana sekarang tahu-tahu suling emas itu terjatuh di tangan murid Kim-mo Taisu?
Ketika tiga orang tua ini mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali. Majikan mereka, Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang yang dengan gigih selama hidupnya berjuang untuk menegakkan kembali kerajaan yang sudah roboh itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam keadaan duduk bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua tangannya. Berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu besar dan sudah menjadi mayat, adalah sastrawan Ciu Bun! Sam Hwa, A-liong dan A-kwi cepat memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terluka. Agaknya mereka mati wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap membicarakan kitab kecil yang berada di kedua tangan Kong Lo Sengjin.
Dengan hati-hati mereka mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu mengurus penguburan kedua orang itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa upacara apa-apa karena di dalam pulau kosong itu memang tidak ada apa-apa. Mereka bertiga merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. mereka mancari-cari di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar jawaban.
Ketika mereka tiba di tepi laut, di pantai sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka terkejut bukan main melihat mayat tergeletak malang melintang di sekitar pantai dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh pukulan-pukulan dahsyat. Kuda Liong-ma milik Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang Pangeran, seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai, tubuhnya penuh luka bacokan senjata tajam.
Tiga orang tua itu saling memandang, terheran-heran menyaksikan keadaan yang mengerikan itu. Akhirnya, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengubur semua mayat yang sudah hampir busuk itu. Apakah yang sesunggunya terjadi dan ke mana perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia aneh murid dan pelayan Kong Lo Sengjin?
Beberapa hari yang lalu, seorang diri Kong Lo Sengjin mendarat di pulau Pek-coa-to dalam keadaan terluka hebat. Ia terluka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga dengan Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sakti, kakek ini maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu tua, pula ia selalu gagal dalam perjuangannya. Ia malah ingin cepat-cepat menemui maut.
Begitu memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun, bekas sahabatnya yang ia jadikan tawanan di pulau itu. Ingin ia tahu apa yang telah terjadi sehingga suling emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu. Ketika ia menemui Ciu Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah duduk bersila bersandar batu dan membaca kitab kuno dengan asyiknya.
Melihat kitab itu Kong Lo Sengjin berteriak girang. "Ah, kau telah mendapatkan kitabnya?" Ia segera duduk pula di depan Ciu Bun.
Ciu Bun bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan dan kebahagiaan. "Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara suling itu, sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin."
"Bacakanlah."
Ci Bun lalu mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan di antara angin yang bertiup dari laut menyapu permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan kalbu. Kong Lo Sengjin duduk bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan sajak terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan tubuh Kong Lo Sengjin menjadi lemas, bersandar pada batang pohon dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian sajak terakhir.
....akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!
Pada keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti kanak-kanak, juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada di situ. Melihat betapa majikan dan guru mereka telah tak bernapas lagi, juga kakek tukang suling, sebutan mereka kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong Lo Sengjin, lalu menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah, merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar, memaki-maki kemudian tertawa-tawa karena geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.
Memang Ciu Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan kenyataan bahwa sahabatnya itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya merangkak dan menaruh kitab kecil di dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk bersandar batu. Sudah berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya maut karena ia merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir lewat tengah malam.
Kakek gila Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang mati bisa menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka berebut menunggang kuda dan membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari dua mayat manusia itu. Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari cepat sekali, setelah lari seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang duduk bersandar pohon dan batu. Mereka makin ketakutan dan kembali membalapkan kuda.
Pada saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari selatan terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu jadi permainan badai dan ombak. Tiga puluh dua orang penumpang lalu melompat turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis disapu air laut.
Tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dan... dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa. Si Kakek Gendut berpunuk duduk di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek Kurus menggantung pada ekor kuda di sebelah belakang! Akan tetapi perasaan kaget dan heran ini segera berubah menjadi kacau ketika kuda itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak karuan.
Mereka cepat mencabut senjata masing, ada yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok, namun tidak ada gunanya karena Bhe Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari atas kuda kedua orang manusia iblis ini melayangkan pukulan, tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan mereka bergerak, tentu ada seorang yang ditendang, dipukul atau dilempar ke atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja! Hebatnya, mereka yang terkena tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus seketika!
Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah ketika mereka sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil mau pun besar, atau pun binatang merayap yang mirip kelabang! Sekali membunuh, mereka seperti mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada saat itu mereka pun seperti mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda. Mereka menghantam, menendang, membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu sudah menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Bhe Kiu si kakek yang berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati darahnya, hendak makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak normal ini, daging paha manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau kelinci! Akan tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriak-teriak. Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang mendorong-dorong perahu besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah, kemudian mereka menari-nari di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan membuat perahu melaju ke tengah.
Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar saja. Karena tidak dikemudikan, maka perahu itu menjadi berputar-putar dan sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi mabok laut. Mereka muntah-muntah, terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang layar pun mereka robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu mabok sehingga jatuh terlentang di atas dek perahu dalam keadaan pingsan!
Namun agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia. Dua hari kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah sembuh dari keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali belasan orang menjadi korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu di dunia kang-ow muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan.
Lambat-laun mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun watak liar mereka masih saja menempel sehingga mereka kemudian terkenal sebagai dua orang di antara Si Enam Jahat di dunia kang-ouw. Bhe Kiu yang gemuk pendek berpunuk mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim Lo-tong (Bocah Tua Berhati Racun)!
Agaknya pengalaman mencicipi daging dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau Pek-coa-to, membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu suka akan daging manusia. Kadang-kadang ia menangkap anak-anak yang gemuk dan berkulit bersih untuk dimakan dagingnya dan diminum darahnya. Kebiasaan ini membuat tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang telah dimilikinya ketika ia menjadi korban gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa. Ia menjadi makin ganas dan makin lihai. Ada pun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu, setelah terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ouw, agaknya tidak melupakan kebiasaannya bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika berada di Pek-coa-to sehingga ia mempergunakan ular berbisa pula sebagai senjata.
Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu betapa ia telah mendidik dua orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya ia akan merasa malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri di waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia lakukan dengan tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali Kerajaan Tang yang sudah runtuh.
Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan dalam keadaan mengerikan oleh tiga orang bekas pembantu Kong Lo Sengjin. Sam Hwa, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa, melainkan bekas orang-orang besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang jahat. Melihat keadaan di pulau itu, mereka menjadi menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya majikan mereka. Insyaflah mereka betapa selama puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan mulailah mereka menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk tinggal di Pulau Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.
********************
Suling Emas meninggalkan istana Kerajaan Sung dan mulailah ia berkelana seorang diri. Dengan pakaian pemberian Kaisar yang berlukiskan suling, ditambah perbuatannya yang gagah berani, selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang patut ditolong, memberantas perbuatan orang-orang jahat, menegakkan kebenaran dan keadilan, sebentar saja nama Suling Emas dikenal dan dunia kang-ouw gempar dengan munculnya pendekar muda yang sakti ini. Namun karena Suling Emas membatasi diri, hanya muncul untuk mencegah penindasan dan kejahatan, sama sekali tidak mengganggu orang-orang kang-ouw dan liok-lim, tidak memusuhi dunia hitam, maka ia pun tidak dimusuhi secara langsung oleh dunia penjahat.
Bertahun-tahun ia berkelana seorang diri, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dengan niat hati hendak melupakan segala kepahitan hidup yang telah dialaminya. Namun tak pernah ia berhasil. Hatinya tetap kosong dan perih, wajahnya tetap suram dan pandang matanya sayu. Ia selalu merasa sunyi dan apabila kesunyian sudah tak terkendali lagi, ia hanya menghibur diri dengan sulingnya. Hanya kalau ia meniup suling melagukan nyanyian sajak kitab kecil yang sudah dihafalkan, barulah hatinya yang merana agak terhibur.
Lima tahun berlalu amat cepatnya. Suling Emas telah berusia dua puluh delapan tahun. Pengalamannya sudah cukup banyak. Entah berapa ratus orang jahat ia robohkan dan ia insyafkan. Suling Emas tidak suka membunuh orang, selalu berusaha menginsyafkan penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan. Banyak pula orang-orang yang telah ditolongnya dari pada mara-bahaya, ingin menariknya sebagai mantu. Banyak pula gadis-gadis jelita yang telah ditolongnya, ingin membalas budi dengan penyerahan jiwa raganya. Namun semua itu ditolak Suling Emas dengan sikap halus dan tidak menyakitkan perasaan. Suling Emas yang telah dua kali hancur hatinya oleh kegagalan asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain cinta lagi. Ia telah menjadi penakut, seakan-akan bertobat untuk melibatkan diri dalam asmara, setelah mengalami betapa hebatnya penderitaan batin karena kegagalan asmara.
Perjalanannya menuju ke Nan-cao untuk menemui kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw, dilakukan dengan jalan memutar karena memang ia ingin menjelajah seluruh propinsi. Kadang-kadang ia tinggal di tempat-tempat indah, seperti telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai sebulan dua bulan. Oleh karena inilah, selama lima tahun, baru kakinya menginjak perbatasan Negara Nan-cao.
Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan yang kecil saja di selatan. Namun melihat keadaan dusun dan kotanya yang ramai, rakyatnya yang hidup makmur, tidak tampaknya orang-orang berpakaian jembel dan pengemis, menunjukkan bahwa penguasa Nan-cao adalah orang-orang pandai. Apalagi setelah Suling Emas bermalam di sebuah dusun, ia mendapat kenyataan bahwa rumah-rumah di seluruh Nan-cao di waktu malam atau kalau sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan jendelanya tak pernah dikunci. Hal ini hanya membuktikan bahwa penduduk hidup dalam suasana aman tenteram, tidak takut barang-barangnya dicuri karena memang tidak pernah ada pencuri!
Penuh kekaguman hati Suling Emas menyaksikan ini semua. Rakyat hidup tidak mewah namun cukup, dan pada wajah mereka terbayang kepuasan. Ia kagum dan juga girang karena bukankah kakeknya yang menjadi guru negara dan orang terpenting di situ? Sama sekali Suling Emas tidak tahu bahwa selain merupakan negara kecil yang makmur, juga Nan-cao penuh dengan petugas-petugas yang setia, rajin dan pandai.
Begitu ia menginjakkan kaki di perbatasan Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan diam-diam gerak-geriknya selalu ada yang mengawasi! Bahkan kedatangan Suling Emas di Nan-cao sudah diketahui oleh pusat Beng-kauw di kota raja karena mata-mata yang berjaga di sekitar perbatasan sudah memberi laporan lebih dulu. Nama Suling Emas sudah terdengar sampai di negara kecil ini, dan sekali melihat baju bersulamkan suling itu, para petugas segera dapat mengenalinya.
Pagi hari itu Suling Emas memasuki pintu gerbang kota raja Nan-cao yang daun pintunya berwarna merah. Ia berjalan perlahan, melirik ke arah para penjaga yang berdiri tegak di kanan kiri pintu! Namun para penjaga ini tidak menghiraukannya. Dari kedaan para penjaga ini saja Suling Emas sudah dapat melihat perbedaan. Di kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para penjaga pintu gerbang kota raja selalu melewatkan waktu dengan main kartu, main catur, bergurau atau menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para penjaga disini berdiri tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya sikapnya berdisiplin.
Di tengah pintu gerbang terdapat tulisan digantung, berbunyi: Dilarang membawa senjata tajam ke dalam kota raja.
Suling Emas merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan kejahatan di negaranya. Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari sebelah depan datang serombongan pasukan terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali! Seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berpakaian aneh.
Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan kanan dan kaki kiri! Lengan baju dan kaki celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pakaian begini aneh, maka ia memandang dengan mata terbelalak. Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat di depannya, dan mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan mata menyelidik. Demikian pula pandangan mata dua belas orang anak buahnya! Karena kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih yang jelas membayangkan kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian.
Setelah beradu pandang sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring, kata-katanya penuh kewibawaan seperti suara orang yang biasa memerintah, "Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?"
Suling Emas tersenyum. Dalam pandangan matanya, lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap seperti orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai kedudukan yang penting di kota raja itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono dan ia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke depan dada. "Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)."
"Dari kerajaan Sung?" potong nona itu dengan suara galak.
"Memang benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas sejujurnya.
Para anak buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata mereka semua penuh curiga.
"Mau apa kau memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan kami?" Gadis itu kini melangkah maju, sikapnya mengancam.
Suling Emas melihat betapa tangan gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat pinggang gadis itu kiranya adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang tali yang ujungnya terdapat bola yang mengkilap sebesar kepalan tangan, seperti cambuk namun ujungnya pakai bandulan. Ia tahu bahwa senjata macam ini amatlah sukar dimainkan, maka jarang dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw. Kalau gadis ini mampu memainkannya, hal ini sudah membayangkan betapa lihainya gadis muda ini.
Kalau saja Suling Emas terus terang mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw), tentu semuanya akan beres. Namun Suling Emas terlalu gembira dan tegang hatinya untuk muncul begitu mudah, apalagi melihat gadis muda ini, ia merasa kagum dan ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaiannya. Karena itulah, ia tidak segera memperkenalkan dirinya sebagai cucu Beng-kauwcu, melainkan menjawab sembarangan. "Apakah ada larangan untuk memasuki Negara Nan-cao? Aku hanya ingin melihat-lihat, tidak memata-matai siapa-siapa. Harap Nona dan anak buah Nona tidak menggangguku sehingga setelah keluar dari Nan-cao akan kukabarkan betapa baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing."
"Terhadap tamu biasa, kami tidak akan peduli. Akan tetapi Suling Emas adalah nama yang cukup terkenal, tokoh dari Kerajaan Sung. Oleh karena itu, kau harus ikut kami menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena hanya beliau yang akan memutuskan apakah kau boleh memasuki kota raja kami apakah tidak."
Suling Emas pura-pura marah dan mengerutkan alisnya. "Mana ada aturan begitu? Aku memang benar Suling Emas, akan tetapi bukan penjahat!"
"Jahat atau baik sama sekali tidak dapat diukur dari nama julukan!" bantah gadis itu. "Karena kau memasuki wilayah kekuasaan kami, sudah sepatutnya kau tunduk kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu dan kau ikut menghadap wakil ketua Beng-kauw!"
Ucapan gadis itu tegas dan ketus. Suling Emas pura-pura tidak mengerti dan mengangkat kedua pundaknya yang bidang sambil berkata, "Selama hidupku tak pernah aku membawa senjata."
Gadis muda itu tertawa mengejek. Maksudnya hendak mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh manis dan orang takkan bisa sakit hati karena ketawa ini. "Siapa tidak tahu bahwa suling di pinggangmu itu merupakan senjatamu yang ampuh?"
"Suling bukanlah senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menghibur hati duka lara. Kalau hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk menghiburmu."
Sepasang alis yang hitam melengkung itu bergerak ke atas, sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya. "Jangan banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan kekerasan?"
"Hem, hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam apakah itu?" Suling Emas sengaja mempermainkan.
Gadis itu marah sekali. Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil berteriak, "Tangkap dia! Rampas sulingnya!"
Dua belas orang berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak dan menubruk Suling Emas. Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini adalah orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan murid-murid tingkat terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak mempergunakan senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas serta merampas suling yang terselip di ikat pinggangnya.
Gadis itu melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi akibatnya… anak buahnya terpelanting dan terlempar ke kanan kiri! Setiap kali ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan jatuh terbanting keras sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang anak buahnya sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan mereka lecet kulitnya.
Bukan main marahnya gadis itu. "Mundur kalian semua!" bentaknya, dan di lain saat ia sudah meloloskan sepasang cambuknya.
"Wuuut… tar-tar…!" sepasang cambuk itu diayun dan berputaran di atas kepala membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan mengeluarkan bunyi angin menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan tali itu direnggut dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah melayang dan menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar ke arah jalan darah di leher dan lutut!
"Bagus…!" Suling Emas berseru kagum.
Dengan gembira ia lalu menggerakkan tubuhnya, melayani amukan sepasang cambuk ini dengan tangan kosong. Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang ringan, maka Suling Emas lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh sehingga ia dapat mengelak ke sana ke mari dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah lunak seperti kapas.
Diam-diam Suling Emas mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu benar-benar adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga dalam gadis itu belumlah begitu sempurna sehingga baginya, gadis muda itu merupakan lawan yang tidak berat. Sementara itu, melihat kelihaian Suling Emas, seorang di antara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan ke atasannya.
Suling Emas yang hanya ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan si Nona Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan tetapi ia merasa enggan menyakiti hati orang yang sama sekali tidak ia anggap sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang sambil berkata, "Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"
Akan tetapi nona muda itu sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Ia terkenal sebagai orang muda terpandai di Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya. Mengapa hari ini ia bertemu dengan lawan yang menghadapinya dengan tangan kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh lawan dengan sepasang bola di ujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat ia marah. Tanpa pedulikan ajakan Suling Emas yang penuh damai itu, ia menerjang terus!
Akan tetapi dengan gerakan aneh, Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di ujung cambuk itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu berseru keras, menarik-narik cambuknya, namun sia-sia, sepasang bola itu tetap berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya tak dapat digerakkan lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, memekik-mekik, mengerahkan tenaga tanpa hasil.
"Tar-tar-tar!!"
Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang menyilaukan mata berkelebatan di atas kepala Suling Emas. Terkejut sekali Suling Emas, cepat ia melepaskan sepasang bola lalu meloncat ke belakang.
"Susiok (Paman Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!" gadis itu berseru sambil meloncat mundur dan menyimpan sepasang cambuknya yang tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.
Ketika Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara sedemikian hebatnya itu adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya tertutup caping lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang penggembala, namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.
"Susiok, dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik menghadap Susiok dia tidak mau dan melawan dengan kekerasan!" kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek hampir menangis karena hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua kepandaiannya sama sekali tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!
"Hemm…hemm…!" kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas.
Di lain pihak Suling Emas juga memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga, siapa gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu Sin-ong, kakeknya. Biar pun belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan melupakan Pat-jiu Sin-ong yang pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu, sudah tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.
"Harap Lo-enghiong sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan saya untuk memancing perkelahian. Hanya Nona itu terlalu… terlalu galak…"
"Nama Suling Emas sudah terkenal sampai di sini. Kini orangnya datang dan tidak mengindahkan peraturan, bahkan merobohkan pasukan peronda keamanan dan mempermainkan puteri Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan tetapi jangan berbangga dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada aku, wakil ketua dan di atasku masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kau sambutlah pecutku ini!"
Ucapan itu ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti guntur di atas kepala Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek ini jauh bedanya dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan sulingnya. Ketika sinar hitam itu menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.
"Plak…!!!" ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping mengeluarkan seruan kaget. Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini benar-benar hebat tenaga dalamnya.
"Bagus! Kiranya kau benar-benar lihai!" serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam bergulung-gulung.
Dua macam perasaan teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa kedatangannya malah menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang dipimpin kakeknya, akan tetapi di samping ini ia pun merasa girang dan kagum bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ia ikut merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat di hatinya untuk mencoba terus tanpa niat mencelakai lawan. Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.
Begitu Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin membesar. Suling Emas hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan sendirinya ia pun akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan menekan.
Tiba-tiba gerakan kakek itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara meledak-ledak memekakkan telinga. Suling Emas kaget dan dia menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa dalam kedaan terdesak itu, si Kakek ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian hebatnya sehingga kalau lawan kurang kuat sinkang-nya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini dan akan menjadi kacau permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan sulingnya sedemikian rupa sehingga di antara suara ledakan itu terdengarlah lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri yang berbunyi seperti ditiup mulut.
Tiba-tiba suara ledakan dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara dan ujung pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas pecutnya, namun sia-sia dan ketika Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan si Kakek! Di lain saat, Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu kepada pemiliknya sambil menjura.
Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras, tubuhnya menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.
"Sute (Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!" suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga tubuh kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan menerima pecutnya dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun sepasang mata yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.
Suling Emas menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa. Kakek ini pun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan dengan ketua Beng-kauw itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas.
Cepat ia melangkah maju dan menjura dengan hormat sambil berkata, "Saya yang muda mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki di sini. Mohon Lo-cianpwe suka memberi maaf."
Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya. "Orang muda, kau tentu yang bernama Suling Emas. Apa hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"
Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia menjawab, "Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Lo-cianpwe."
"Aaahh…? Mendiang, katamu..?"
"Suhu telah meninggal dunia beberapa tahun lalu, kurang lebih lima tahun."
"Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw. Engkau sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?"
Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab, "Tidak sekali-kali, Lo-cianpwe. Tidak sekali-kali saya berani mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan hendak ditangkap. Saya tidak mempunyai niat buruk…."
"Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu di sini?"
"Saya… saya mohon berjumpa dengan… Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."
Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum. "Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu Liu Mo…."
"Aaahh, jadi Lo-cianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu…?"
"Aku adik kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kau sampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan." Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali Suling Emas kaget.
Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah… bibinya! Kalau Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang menyerangnya tadi adalah bibinya.
"Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang telah kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas, katakanlah apa yang hendak kau sampaikan kepada Twa-kauwcu."
Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu ia berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?
"Mohon beribu ampun, Lo-cianpwe, akan tetapi… saya hanya dapat bicara di depan… Beng-kauwcu sendiri…."
Diam-diam Liu Mo terheran dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat sakti. Dari pertempuran melawan sute-nya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkan Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikit pun tidak membayangkan kepura-puraan atau kepalsuan. Setelah saling bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat, "Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau ikut dengan kami."
Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan kiri pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang terdepan segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.
Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam, kemudian paling dalam terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka kereng dan gagah. Di sepanjang dinding ruangan yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah oleh ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya bercat merah.
Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir dengan sikap menghormat setelah membungkukkan tubuh. Ada pun Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan, ke arah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai Pat-jiu Sin-ong yang bertemu dengan suhu-nya belasan tahun lalu.
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu tampak diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening berkerut ia mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.
"Kau Suling Emas?" suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu.
Suling Emas merasa amat terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
"Kamu murid Kim-mo Taisu?"
Kembali Suling Emas hanya mengangguk.
"Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini," kata Liu Mo.
Pat-jiu Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih. "Hemm, selama hidup Kwee Seng tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah setelah ia mati ia menyuruh muridnya melanjutkan wataknya yang keras kepala itu? Heh, orang muda, kau terima ini!" Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih cangkir arak di atas meja lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu berputaran di atas, lalu meluncur turun ke arah Suling Emas!
Suling Emas cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerangan yang seluruhnya mengandalkan sinkang ini amatlah hebat. Biar pun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga nama besar gurunya. Dibandingkan dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang kuda-kuda, mengerahkan sinkang dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut cawan itu. Cawan yang meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua orang itu, kini terhenti di udara, tertahan oleh hawa pukulan tangan Suling Emas. Mereka masing-masing mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan kanan lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan lurus ke depan pula, mempertahankan diri.
Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah maklum akan kehebatan tenaga ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda ini bukan musuh, mengapa harus dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali tidak dapat maju lagi sejengkal pun juga, tetap tergantung di udara, tidak maju tidak mundur.
"Prakkk!" tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur tiga langkah dengan napas agak terengah. Ada pun Pat-jiu Sin-ong dengan muka penuh keringat tertawa bergelak, lalu menampar meja sehingga terdengar suara keras.
"Kwee Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini, agaknya untuk membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah terhadap aku! Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau dahulu mau menjadi mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini kesepian! Kwee Seng... Lu Sian... kalian mengecewakan hatiku!"
Kakek itu menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan muka pucat Suling Emas melihat betapa dari celah-celah jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu Sin-ong menyesal mengapa ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhu-nya!
Suling Emas tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan kedua kaki Pat-jiu Sin-ong lalu berkata, "Kong-kong, aku adalah cucumu..., aku adalah Kam Bu Song... putera tunggal ibu Liu Lu Sian...."
Pat-jiu Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah Suling Emas yang menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke depan, menangkap wajah itu di antara kedua tangannya. Bibirnya bergerak-gerak dan berbisik, "Kau... kau puteranya...? Benar! Ini... ini matanya, mulutnya...! Kau... cucuku...!"
"Kong-kong…!" Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang tuanya dan betapa semenjak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya menjadi murid Kim-mo Taisu.
Mendengar penuturan itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling Emas, menepuk-nepuk pundaknya dengan penuh kebanggaan. "Wah, kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak kecewa aku mempunyai cucu seperti ini! Terima kasih, Kwee Seng! Ha-ha-ha!"
Suling Emas sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut pula. "Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni."
Liu Mo mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak saking gembira hati mereka. Kemudian Kwee Seng menjura ke arah Liu Hwee dan berkata, "Mohon Bibi juga sudi memberi ampun kepadaku."
Muka yang cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia tertawa dan pura-pura marah, "Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai seorang keponakan yang begini besar? Hayo, kau keponakan yang nakal, kau harus berlutut tujuh kali di depan bibimu, baru aku suka memberi ampun!"
Suling Emas bingung, akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali di depan bibinya yang galak, akan tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya, "Hwee-ji (anah Hwee), jangan main gila!" Semua orang lalu tertawa.
"Satu hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi Suling Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan. Biarlah saya tinggal disebut Suling Emas dan jangan ada yang mengetahui asal-usul saya."
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas panjang. "Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas."
Semenjak hari itu Suling Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya, juga Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu kesaktian yang tinggi kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin matang dan makin sakti.
Akan tetapi ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan ini, memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab kuno. Ia menjaga sedemikian rupa agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau tidak tekun membaca kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan Sung, tentu Suling Emas mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela mereka yang tertindas, menghajar mereka yang sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan keadilan. Nama Suling Emas menjadi makin terkenal di segenap penjuru. Hanya satu hal yang masih mengecewakan hati yang mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai pendekar budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga ia tahu akan keadaan ibu kandungnya!
Bersama berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, di dunia kang-ouw muncul nama enam orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi julukan Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia). Mereka itu adalah It-gan Kai-ong seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita cantik jelita berambut panjang yang bukan lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ke tiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan yang bukan lain adalah Bayisan. Ke empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang dahulunya adalah Ma Thai Kun, sute dari Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan ke enam adalah Toat-beng Koai-jin yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.
********************
Sampai di sini selesailah cerita Suling Emas ini dan bagi pembaca yang sudah membaca cerita Cinta Bernoda Darah tentu telah berjumpa pula dengan Suling Emas yang menjadi lawan ke enam manusia iblis itu. Pengarang menutup cerita ini dengan harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila masih belum cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul "Mutiara Hitam" di mana pembaca akan dibawa terbang melayang ke alam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid serta keturunanya, karena cerita Mutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah. Sampai jumpa dalam Mutiara Hitam!
T A M A T
>>>> CINTA BERNODA DARAH <<<<
(Bagian Ketiga Serial BU KEK SIANSU)