Rajawali Emas Jilid 14


"Ibu, aku benar-benar tidak mengerti!" Sin Lee mendesak ibunya.

Mereka berdua duduk di bawah pohon dalam tengah sebuah hutan yang gelap karena penuh dengan pohon-pohon raksasa yang tinggi dan berdaun lebat.

"Kau banyak cerewet!" Kwa Hong mengomel. "Sudah kukatakan dia adalah musuh besar kita, habis perkara."

Sin Lee mengerutkan kening, lalu menggeleng kepala. "Aku ingin mengetahui duduknya perkara yang betul-betul, Ibu. Aku takkan suka diam kalau belum diberi penjelasan. Dia mengaku ayahku, bagaimana kau bilang dia adalah musuh besarku dan harus kubunuh? Bukankah ini aneh sekali? Ibu, dari pada berbohong kepadaku, lebih baik kau berterus terang, apa betul Tan Beng San itu ayahku dan suamimu, dan apa bila betul demikian mengapa terjadi permusuhan ini?"

Kwa Hong meloncat bangun, membanting kaki sambil membentak, "Kau kepala batu! Dulu kau tidak pernah begini cerewet!"

Sin Lee juga meloncat berdiri dan menghadapi ibunya dengan tegak.
"Sudah sepatutnya anak menanyakan ayahnya. Ibu yang terlalu jual mahal, kenapa terus menyimpan rahasia?"

Dua orang itu berdiri berhadapan, ibu dan anak yang sama keras hatinya, dua pasang mata yang sama tajam saling tentang. Akhirnya Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu memeluk puteranya dan menarik tangannya untuk diajak duduk kembali.

"Kau memang bandel sekali seperti... seperti dia! Baiklah kau mendengar kalau hendak mengetahui. Tan Beng San itu memang ayahmu, tapi dia bukan suamiku."
"Bagaimana pula ini? Dia ayahku tapi bukan suami ibu?"
"Karena dia tidak mau mengawiniku, dan meninggalkan aku untuk kawin dengan wanita lain anak Song-bun-kwi si iblis tua itu."

Sin Lee adalah seorang yang cerdik, akan tetapi belum dapat ia menghubungkan cerita yang disingkat-singkat ini. "Kau maksudkan Ayah tidak mau mengawini ibu, pergi menikah dengan lain wanita? Kenapa begitu? Apakah Ayah tidak suka kepada Ibu?"

Merah wajah Kwa Hong, matanya memancarkan sakit hati. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia tidak cinta padaku, hanya suka seperti seorang kakak terhadap adiknya."
"Tapi... tapi Ibu cinta kepadanya?"

Kwa Hong mengangkat tangan hendak menampar, tetapi ditahannya. "Kau lancang mulut. Sudahlah. Pendeknya dia itu meninggalkan kau dalam kandunganku dan tidak mau peduli lagi, lalu menikah dengan Kwee Bi Goat. Malah ketika Bi Goat mati dia menikah dengan isterinya yang sekarang itu, padaku ia sama sekali tidak mau peduli."

Sin Lee berpikir keras. "Jadi... dia telah melakukah perhubungan dengan ibu, kemudian Ibu mengandung aku dan... dan Ibu ditinggalkan begitu saja?"

Wajah Sin Lee sebentar pucat sebentar merah ketika melihat ibunya mengangguk dan dua titik air mata keluar dari sepasang mata ibunya.

"Si keparat... kalau begitu dia memang jahat...," kata Sin Lee dengan suara mendesis dan dengan hati penuh dendam.
"Kwa Hong, kau tidak adil! Kenapa tidak kau ceritakan tentang racun yang memabokkan kita ketika itu?" tiba-tiba muncul Beng San, begitu tiba-tiba sehingga Sin Lee dan Kwa Hong terkejut sekali.

Wanita ini semenjak dulu amat gentar menghadapi ilmu kepandaian Beng San. Biar pun sekarang di situ ada puteranya, namun ia masih ragu-ragu apakah mereka berdua akan dapat menang menghadapi Beng San yang amat hebat kepandaiannya. Namun, karena niatnya membalas dendam sudah ditahan-tahan semenjak bertahun-tahun, ia pun menjadi nekat dan cepat mencabut senjatanya, diturut oleh Sin Lee yang memandang Beng San dengan mata berapi-api.

"Hemmm, kau mengejar kami?" tegurnya, penuh selidik.

Beng San tersenyum pahit. "Kwa Hong, semenjak dulu kau selalu menyembunyikan diri, menyembunyikan anak kita, kiranya kau sudah jejali dia dengan kebencian dan dendam terhadap diriku. Sekarang aku sudah datang, seorang diri, coba katakan, engkau hendak berbuat apakah terhadap diriku?"

"Aku... aku hendak membunuhmu!"
"Kau kira begitu mudah? Hong-moi, kau tahu bahwa kau takkan mampu melakukan hal itu kepadaku."
"Akan kucoba, bersama anakku. Kami akan mengadu nyawa! Sin Lee, hayo kita bunuh keparat jahanam ini, musuh besar kita!"

Sin Lee sudah menggerakkan pedangnya.

Beng San bertanya, "Hong-moi, sebelum kau dan anak kita bergerak, maukah kau pergi dengan tenang dan tidak mengganggu pendirian Thai-san-pai kalau nanti kalian berdua ternyata dapat kukalahkan?"

"Tak sudi! Aku akan bunuh kau, akan kubuka semua rahasia busukmu, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi ketua Thai-san-pai!" Kwa Hong berteriak-teriak dan mencak-mencak.

Beng San mengerutkan keningnya. "Kwa Hong, dengarlah baik-baik! Semenjak dulu aku sudah merasa menyesal dengan peristiwa yang terjadi antara kita. Kalau kau hendak menyalahkan aku, biarlah kuterima. Bahkan dulu pun aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Akan tetapi kau tahu, bagi seorang gagah nama lebih berharga dari pada nyawa! Pendirian Thai-san-pai sangat penting dan siapa pun juga, juga kau sendiri, tidak boleh menghalanginya!"

"Kalau aku tetap hendak mengganggunya, kau mau apa?"
"Kwa Hong, kesabaran manusia ada batasnya, Aku sudah cukup banyak mengalah, dan aku berjanji, kalau kau pergi sekarang dengan baik-baik, aku akan datang ke Lu-liang-san setelah selesai pendirian Thai-san-pai dan aku akan menurut apa kehendakmu kelak, biar kau bunuh sekali pun."
"Aku tidak sudi."
"Hemm… hemm, tiada jalan lain bagiku kecuali menggunakan kekerasan, mengalahkan dan menawan kalian sampai selesainya upacara pendirian Thai-san-pai." Sambil berkata demikian, tangan Beng San bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya. Itulah Liong-cu-kiam yang amat ampuh!
"Beng San, jangan kau kira aku takut. Sin Lee, hayo serang!"

Ibu dan anak itu lalu menggerakkan senjata mereka, serentak mereka menyerang Beng San dengan hebat. Pada mulanya Sin Lee masih ragu-ragu, merasa betapa ibunya agak keterlaluan tidak mau mendengar janji orang yang sebenarnya ayahnya ini.

Akan tetapi begitu pedangnya terbentur pedang Beng San dan tangannya kesemutan, tahulah ia bahwa Ketua Thai-san-pai ini benar-benar lihai bukan main. Maka ia pun tidak ragu-ragu lagi dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengeroyok.

Namun, dengan rasa heran dan kagum, juga rasa penasaran memenuhi hatinya, Sin Lee merasa seakan-akan semua serangannya itu lenyap tak berbekas, seperti menyerang bayangan atau menyerang angin belaka. Semua jurus serangannya bagai tertelan habis oleh gelombang permainan pedang Beng San, sama sekali tidak ada artinya.

Juga Kwa Hong yang mainkan pedang dan cambuknya, merasa betapa akan sia-sia saja dia dan puteranya mengeroyok orang ini. Kebenciannya semakin memuncak, akan tetapi kekagumannya juga meningkat.

"Kwa Hong kau benar-benar kejam sekali, menyuruh anakku sendiri memusuhi aku. Kwa Hong, kau berdua takkan menang, lebih baik pulanglah. Kelak aku akan datang padamu untuk menerima hukuman..." berkali-kali Beng San membujuk sambil terus menangkis sambaran anak panah hijau yang mengarah bagian tubuh yang berbahaya.

Diam-diam Beng San gelisah juga kalau ingat bahwa tempat ini adalah tempat di luar dari jalan rahasia, sehingga tiap saat bisa saja datang tamu-tamu yang mengandung maksud jahat. Ia maklum bahwa di antara para tamunya, tentu tidak sedikit terdapat bekas-bekas musuhnya yang sengaja datang untuk mengacau atau untuk membalas dendam.

Oleh karena itu, ia membujuk agar Kwa Hong suka mengalah dan segera pertempuran itu selesai. Kalau ia mau, sudah tentu saja dengan mudah ia dapat merobohkan Kwa Hong dan Sin Lee. Akan tetapi ia tak menghendaki hal ini terjadi, karena selain ia harus melukai mereka, juga hal itu pastl akan menambah sakit hati Kwa Hong. Merobohkan dua orang lawan selihai mereka tanpa melukai, merupakan hal yang amat sukar, biar oleh dia sekali pun.

Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang aneh, disusul suara orang tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ini namanya sekali tepuk mendapat dua lalat ditambah seekor lalat cilik!" terdengar suara orang.

Mendengar suara suling ini Beng San kaget sekali. Ia menahan serangan dua orang ibu dan anak itu, akan tetapi ketika ia melompat mundur, Kwa Hong dan Sin Lee yang sudah penasaran sekali terus saja menyerang. Terpaksa Beng San memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dan sementara itu ia memperhatikan orang-orang yang baru datang dan yang sekarang sudah berada di hutan itu.

Beng San menekan debar jantungnya ketika ia mengenal beberapa orang tokoh luar biasa yang ia tahu tak akan mengandung maksud hati baik terhadapnya. Pertama-tama adalah Hek-hwa Kui-bo, nenek yang sejak dahulu selalu memusuhinya itu. Orang ke dua adalah Siauw-ong-kwi yang sudah nampak tua namun sepasang matanya masih bergerak-gerak liar membayangkan kenakalan dan kejahatannya.

Kalau Hek-hwa Kui-bo merupakan tokoh nomor satu dari selatan, adalah Siauw-ong-kwi ini merupakan tokoh nomor wahid dari utara. Keduanya merupakan iblis-iblis di samping tokoh besar seperti Song-bun-kwi.

Di samping dua orang ini dia mengenal tokoh yang tidak kalah jahatnya, yaitu Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio, yaitu seorang perampok tunggal yang setelah tua menjadi hwesio dan yang telah ia ketahui pula macamnya. Empat orang ini saja sudah merupakan lawan yang berbahaya, di samping Kwa Hong dan Sin Lee.

Apa lagi di situ masih terlihat seorang tosu tua sekali yang memakai kopyah seperti anak kecil, memegang tongkat berwarna merah dan kelihatannya lemah sekali, seakan-akan kalau ada angin besar bertiup, kakek ini tentu akan roboh terjengkang. Namun, kakek yang belum pernah dikenal Beng San ini malah yang menimbulkan kekuatiran hatinya.

Di samping ini, masih terdengar suara tiupan suling aneh itu, akan tetapi peniupnya tidak kelihatan. Tiupan suling itu mengingatkan Beng San akan seorang tokoh yang sering kali mendatangkan ular-ular dengan sulingnya, tokoh yang sudah belasan tahun tak pernah ia dengar, yang kabarnya sudah mati, yaitu murid Siauw-ong-kwi yang malah lebih jahat dari gurunya, bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin!

Akhirnya perhatian Kwa Hong tertarik pula oleh rombongan ini dan ketika ia menengok, wajahnya berubah. Cepat ia menarik tangan puteranya dan berseru, "Mundur dulu!"

Setelah Sin Lee melompat mundur di samping Ibunya, wanita ini berkata sambil tertawa, "Kau lihat saja, Hi-hik-hik, hari ini keparat Beng San akan menerima hukumannya!"

Sin Lee tidak mengerti akan maksud kata-kata ibunya, dia hanya memandang dengan kening berkerut dan pedang tetap terpegang di tangan kanan.

Tadinya agak lega hati Beng San melihat Kwa Hong dan Sin Lee menghentikan serangan mereka, akan tetapi mendengar ucapan Kwa Hong itu, dia tersenyum perih. Terpaksa ia lalu menyimpan pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi rombongan itu.

"Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang mengunjungi Thai-san, harap maafkan siauwte yang tidak dapat melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hari pendirian Thai-san-pai masih dua malam dua hari lagi, harap Cu-wi sekalian sudi untuk bersabar dan menanti di tempat peristirahatan yang sederhana dan yang telah kami sediakan."

Siauw-ong-kwi tertawa terkekeh-kekeh, juga Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio ikut tertawa, kemudian orang-orang tua ini menggerakkan tubuh mengambil sikap mengurung. Jelas bahwa mereka ini berusaha memotong jalan keluar dari Beng San.

Ada pun kakek yang tua renta bertongkat merah itu lalu melangkah maju, langkahnya gontai. Ketika sampai di depan Beng San dalam jarak dua meter ia berkata, suaranya lirih agak menggigil seperti suara kakek yang sudah tua sekali,
"Inikah Raja Pedang pengganti Cia Hui Gan? Masih muda sekali... masih muda sudah menjagoi, selayaknya pinto (aku) memberi hormat!"

Kakek ini mengempit tongkat merahnya lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dengan sikap menjura. Sambaran hawa pukulan yang menimbulkan angin halus mengejutkan Beng San.

Ia tidak kaget karena diserang secara demikian karena hal seperti ini sudah biasa terjadi di kalangan ahli-ahli silat tinggi. Namun yang mengejutkannya adalah angin halus sekali yang menyambar ke arahnya, karena semakin halus angin yang ditimbulkan oleh hawa pukulan, berarti makin hebatlah tenaga lweekang-nya.

Cepat dia mengerahkan hawa murni di tubuhnya, balas menjura sambil berkata, "Siauwte yang muda mana berani menerima penghormatan Locianpwe?"

Biar pun kelihatannya ia menjura dengan hormat, namun diam-diam Beng San menangkis pukulan yang tidak kelihatan itu dan sebagai seorang calon ketua, tentu saja ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Sengaja dia menerima serangan gelap itu dengan keras lawan keras!

Dua pasang tangan diangkat ke depan dada, dua tenaga tak kelihatan bertemu di udara dan biar pun kedua kaki Beng San masih tetap dalam kuda-kuda, tetapi ternyata ia telah tergeser mundur tiga jengkal!

Juga kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, lalu cepat ia menggunakan tongkat yang tadi dikempitnya untuk menunjang tubuhnya sehingga dia tidak jadi terhuyung ke belakang. Sejenak mata yang tua itu terbelalak kagum, lalu katanya,

"Hebat... hebat... patut dipuji!"
"Ah, Locianpwe terlalu merendah. Bolehkah siauwte yang bodoh mengetahui nama besar Locianpwe?" tanya Beng San, diam-diam ia mengeluh karena kakek tua ini benar-benar merupakan lawan yang paling berat yang pernah ia jumpai selama ia berkecimpung di dalam dunia persilatan.

Kakek itu tertawa sehingga kelihatan gusi mulutnya yang sudah tak bergigi lagi. "Ha-ha-ha pinto orang gunung, mana ada nama? Di utara sana, pinto disebut Pak-thian Locu (Nabi Locu dari utara), tentu saja Sicu tidak pernah mendengarnya."

Memang nama ini tak pernah dikenal Beng San.

Siauw-ong-kwi segera berkata sambil mendengus, “Thai-san amat tinggi sehingga kadang kala membuat orang lupa bahwa di atasnya masih ada langit! Calon ketua Thai-san-pai sampai tak mengenal twa-suheng-ku (kakak seperguruan tua), benar-benar telah merasa diri paling tinggi."

Beng-San terkejut. Kiranya kakek ini twa-suheng dari Siauw-ong-kwi. Pantas saja begitu hebat.

"Ah, maafkan... maafkan... ini hanya menunjukkan bahwa siauwte kurang pengalaman."
"Tan Beng San, selama bertahun-tahun ini telah banyak kau menghina kami, dan secara pengecut kau menyembunyikan diri di balik jalan-jalan rahasia. Kini dengan sombong kau hendak mengumumkan pendirian Thai-san-pai. Heran, apakah kau sudah merasa dirimu menjadi guru besar?" kata Toat-beng Yok-mo sambil melangkah maju dan menggerakkan tongkatnya yang hitam.

"Hutangmu kepadaku belum kau bayar lunas!" pekik Hek-hwa Kui-bo sambil mengerling ke arah Kwa Hong dan Sin Lee. "Kalian dua anjing cilik tunggulah giliranmu." Nenek yang mengerikan ini sudah mencabut pedang dan selampai yang beraneka warna.

Melihat betapa lima orang itu mengurungnya dan telah siap mengeroyoknya, Beng San tersenyum lalu berkata dengan nada mengejek, "Aku tahu isi hati kalian! Dua hari lagi, di atas panggung, disaksikan semua tokoh kang-ouw, sudah pasti kalian takkan dapat maju mengeroyok, melainkan seorang lawan seorang. Hari ini sengaja kalian menggerebek di sini dengan dalih membalas dendam sehingga kalian punya kesempatan mengeroyokku, bagus!"

Namun Hek-hwa Kui-bo sudah menyerbu dengan pedang dan selampainya, menyerang dari kiri dan dibarengi oleh Siauw-ong-kwi yang menyerang dari kanan.

Seperti biasa, Siauw-ong-kwi menggunakan sepasang lengan bajunya yang menerjang untuk melakukan totokan dengan ujung baju mengarah jalan darah. Serangan ini tak kalah bahayanya dibandingkan dengan penyerangan Hek-hwa Kui-bo.

Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio sambil tertawa juga menyerang cepat. Yok-mo menggunakan tongkat hitamnya, ada pun Tok Kak Hwesio menggunakan kepandaiannya yang diandalkan, yaitu cengkeraman monyet.

Empat orang ini menyerang dari empat penjuru, mengurung tubuh Beng San. Sedangkan kakek tua renta itu tanpa menggeser kedua kakinya, dari tempat ia berdiri, ia mengirim pukulan-pukulan jarak jauh ke arah Beng San.....

Beng San mengeluarkan seruan keras sekali. Mukanya berubah merah lalu kehitaman. Ini menandakan bahwa kemarahan mengganggu hatinya.

Cara bertempur tokoh-tokoh hitam ini benar-benar licik dan curang sekali, menggunakan jumlah banyak untuk mengeroyok. Padahal mereka semua itu, satu demi satu merupakan tokoh-tokoh yang amat terkenal dan tak sepatutnya mengeroyok musuh, apa lagi dengan begitu banyak melawan seorang lawan!

Pedangnya digerakkan, berubah menjadi segulung sinar berkeredepan dan mengeluarkan bunyi mengaung. Hujan serangan lima orang lawannya itu semua dapat tertangkis oleh sinar pedangnya, malah tangan kirinya yang bergerak-gerak mengeluarkan hawa pukulan dahsyat, selain menangkis serangan-serangan jarak jauh dari Pak-thian Locu, sekaligus juga menanggulangi serangan-serangan Siauw-ong-kwi dan Tok Kak Hwesio.

Kwa Hong dan Sin Lee berdiri bengong, penuh kekaguman melihat bagaimana Beng San mengeluarkan kepandaiannya menghadapi lima orang tokoh-tokoh besar yang semuanya memiliki kepandaian tinggi itu. Terasa oleh ibu dan anak ini betapa kalau tadi Beng San betul-betul mengeluarkan kepandaian, mereka tentu sudah roboh olehnya.

Beng San maklum bahwa kalau dia membiarkan dirinya terkurung menghadapi sekaligus lima orang pengeroyoknya, sulit baginya memperoleh kemenangan. Maka sambil mainkan ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam-sut yang hebat, yang sekaligus dapat dia pergunakan untuk melayani serangan-serangan lawan yang dasarnya berbeda, baik serangan dengan mengandalkan tenaga Yang-kang mau pun tenaga Im-kang, ia menggunakan kegesitan melompat ke sana ke mari, menerjang dari seorang lawan kepada lawan lain sehingga ia terbebas dari pengurungan yang ketat.

Akan tetapi cara ini tidak dapat digunakan daya serangnya karena hanya sejurus saja lalu harus menghadapi lain lawan, sedangkan semua lawannya adalah orang-orang yang tidak mungkin dapat dirobohkan hanya dengan satu dua jurus serangan saja. Apa lagi pukulan-pukulan jarak jauh dari Pak-thian Locu benar-benar hebat sekali, mendatangkan angin berdesir yang hanya dapat dia tolak dengan pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih. Dengan pukulan yang setingkat dengan Pek-in Hoat-sut (Ilmu Gaib Awan Putih) ini dia mampu membuat setiap pukulan kakek tua renta itu membalik, sehingga berkali-kali kakek ini mengeluarkan seruan memuji.
Pertandingan yang tidak seimbang ini berjalan semakin seru dan hebat. Beng San harus mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kepandaiannya, barulah ia bisa mengimbangi pengeroyokan itu. Makin lama seruannya makin nyaring, hawa pukulan yang menyambar dari sinar pedangnya makin kuat sehingga beberapa kali Hek-hwa Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo terpaksa harus meloncat jauh untuk menghindarkan diri dari hawa maut yang menyambar dari sinar pedang Beng San.

Juga Tok Kak Hwesio telah dua kali terhuyung hampir jatuh akibat tangkisan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang hebat. Malah Siauw-ong-kwi pernah terpaksa menggulingkan tubuh ke atas tanah ketika kedua ujung lengan bajunya membalik dan memukul dirinya sendiri karena tangkisan pendekar yang sakti itu!

Kwa Hong semakin kagum, akan tetapi kekagumannya itu kalah oleh dendam di hatinya terhadap orang yang paling dicintanya ini. Melihat betapa pengeroyokan kelima orang itu ternyata belum cukup kuat untuk merobohkan Beng San, ia lalu berseru kepada Sin Lee,

"Anakku, kesempatan baik tiba, hayo kita serbu dia!" Ia sendiri pun lalu menerjang maju dengan pedang dan cambuknya.
"Ibu..." Sin Lee meragu, tetap tidak bergerak dari tempat ia berdiri.

Memang ia ikut pula membenci Beng San karena pengaruh ibunya, akan tetapi wataknya yang menjunjung tinggi kegagahan itu tidak mengijinkan ia lalu melakukan pengeroyokan seperti itu. Untuk membela ibunya, ia akan sanggup menghadapi Beng San dan mengadu nyawa dengan ayahnya yang telah menyakiti hati ibunya, ia rela mempertaruhkan jiwanya. Akan tetapi mengeroyok seperti ini? Ia tidak sanggup melakukannya. Karena itu ia diam saja, tidak mau turun tangan biar pun Kwa Hong sudah menerjang hebat ke arah Beng San.

Beng San sama sekali tidak menduga bahwa Kwa Hong akan menyerangnya sehebat itu dari belakang selagi ia tidak bersiap, tahu-tahu ujung pedang Kwa Hong telah menyambar ke arah leher dan sebuah anak panah di ujung cambuk menghantam ke arah dadanya. Secepat kilat ia miringkan kepala, membiarkan pedang itu lewat di dekat kulit lehernya, sementara tangan kirinya menangkis anak panah yang tak mungkin dapat ia elakkan pula, juga tak mungkin ditangkis karena pedangnya pada detik itu sedang menangkis tongkat Yok-mo dan pedang Hek-hwa Kui-bo.

"Krakkk!"

Kwa Hong menjerit dan anak panah di ujung cambuknya patah-patah, telapak tangannya terasa sakit sekali dan hanya dengan melompat mundur ia dapat menguasai anak panah lain yang membalik tidak karuan. Akan tetapi lengan Beng San luka membiru dan baju pada lengannya itu robek.

Kalau lain orang yang terkena ujung anak panah hijau ini tentu akan terluka hebat yang akan mendatangkan kematian karena ujung anak panah ini mengandung racun hijau. Namun di tubuh Beng San penuh dengan hawa Im juga, maka tangkisan itu tidak melukai kulitnya, hanya membuat kulit lengannya membiru dan terasa agak linu.

Hal ini tidak mengecilkan hatinya, malah menimbulkan semangat perlawanan lebih hebat lagi. Teriakan dan seruannya menggema di udara dan gerakan pedangnya makin hebat!

Kwa Hong melanjutkan pengeroyokannya. Ia marah karena anak panahnya rusak sebuah. Akan tetapi ia lebih hati-hati lagi, menjaga agar jangan sampai senjatanya dirusak pula. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa mengerikan disusul ucapan nyaring,

“Beng San kau lihat, siapa ini? Menyerahlah, kalau tidak anakmu ini akan kuhancurkan di depan matamu!"

Beng San melirik dan seketika wajah yang merah menghitam itu berubah pucat dan hijau. Ia melihat seorang manusia yang mengerikan sekali, seorang laki-laki berpakaian kuning yang mukanya seperti setan.

Mata kiri orang ini hanya tinggal lubangnya saja seperti mata tengkorak, tinggal mata kanannya yang liar merah. Mulutnya robek melebar, kelihatan giginya sebelah kiri. Telinga kirinya juga buntung tinggal kulit sedikit di dekat lubang. Tangan kirinya kaku dan jari-jari tangan ini seperti cakar burung, bukan tangan manusia lagi.

Meremang bulu tengkuk Beng San melihat orang ini akan tetapi berbareng hatinya terkejut bukan main karena orang yang sekarang ia kenal sebagai Giam Kin ini tangan kanannya menangkap Cui Bi yang agaknya sudah pingsan. Tubuh gadis ini lemas menggelantung pada lengan kanan Giam Kin!

"Giam Kin iblis laknat, lepaskan anakku!"

Dengan gelisah Beng San melompat ke arah Giam Kin, namun dia dihujani senjata oleh para pengeroyoknya sehingga terpaksa ia menangkis dan tak dapat mendekati Giam Kin. Hatinya gelisah bukan main.

"Giam Kin pengecut, jangan ganggu anakku!"

"Ha-ha-he-heh, baru sekarang kau ketakutan, ya? Kalau tidak ingin melihat anak gadismu yang cantik molek ini celaka, kau harus menyerah!" jawab Giam Kin dengan suaranya yang sekarang menjadi tidak karuan karena mulutnya sudah robek.

Lemas seluruh tubuh Beng San. Bagaimana ia dapat mengorbankan puterinya yang dia cinta setengah mati itu? Ia melompat mundur dan berkata lemah, "Aku menyerah. Tetapi jangan ganggu puteriku..."

Akan tetapi gerakannya yang menarik kembali pedang dan melompat mundur ini lantas dipergunakan oleh musuh-musuhnya untuk mendesak.

"Dukkk!"

Sebatang anak panah hijau di tangan Kwa Hong menghantam dadanya, membuat Beng San terhuyung-huyung ke belakang. Ia masih sempat melindungi leher dan kepalanya dari cengkeraman Tok Kak Hwesio dan hantaman ujung lengan baju Siauw-ong-kwi, namun dalam keadaan terhuyung-huyung itu, ia tidak mampu mengelak dari hantaman ujung selampai Hek-hwa Kui-bo yang mengenai pundak dekat leher, menotok jalan darahnya.

Beng San mengerahkan tenaga untuk melawan totokan ini, akan tetapi karena hantaman pada dadanya oleh anak panah Kwa Hong tadi melumpuhkan sebagian tenaganya, maka totokan ini masih membawa pengaruh hebat. Dia menjadi pening dan muntahkan darah segar.

Pada saat yang amat berbahaya itu, datang lagi dorongan pukulan Pak-thian Locu yang mengakibatkan angin pukulan mendorong dadanya. Beng San tak mampu menahan dan roboh telentang. Baiknya tubuhnya memang kuat sekali, maka ketika terjengkang ini dia menahan napas dan menyalurkan hawa murni dalam tubuh untuk melawan pengaruh tiga pukulan hebat itu, pada dada, pundak dekat leher dan ulu hati.

Sekali lagi ia muntahkan darah segar. Wajahnya menjadi pucat dan ia melompat sambil memutar pedangnya sekaligus menangkis hujan senjata.

"Curang...!" serunya.

Sekarang kemarahannya membuat uap putih mengebul keluar dari ubun-ubun kepalanya. Kemarahan membuat gerakannya seperti seekor naga terbang. Dia menerjang maju dan terdengar Hek-hwa Kui-bo menjerit sambil melompat mundur, selampainya putus terbabat pedang dan lengannya masih tergores ujung pedang sehingga mengeluarkan darah. Juga para pengeroyok lain terpaksa melangkah mundur setindak saking hebatnya daya serang Beng San ini.

Beng San hendak melompat ke arah Giam Kin lagi, akan tetapi para pengeroyoknya telah menghalanginya pula.

"Giam Kin, lepaskan anakku! Lepaskan dia dan aku akan menyerah!" bentak Beng San, suaranya menggeledek.
"Ha-ha-ha, jangan lepaskan, orang ini harus dibikin mampus bersama anaknya!" tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah muncul di situ bersama Kong Bu.

Datang-datang kakek ini langsung saja menerjang sambil menggerakkan pedangnya yang mengaung hebat, menggunakan Ilmu Silat Pedang Yang-sin Kiam-sut yang ganas sekali. Melihat datangnya Song-bun-kwi, para pengeroyok timbul kembali semangat mereka dan pengeroyokan makin hebat.

"Hi-hi-hik, dasar dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, Beng San!" Kwa Hong bersorak dan kembali ia menganjurkan puteranya, "Sin Lee, hayo kau ambil bagian dalam pesta ini!"

Namun Sin Lee hanya berdiri tegak dengan wajah pucat, mata membelalak dan tubuh gemetar. Muak ia melihat pengeroyokan itu dan makin lama makin bangga dan kagumlah ia menyaksikan sepak terjang orang yang menjadi ayahnya ini.

Ada pun Kong Bu pada waktu sampai di tempat itu, juga berdiri mematung dengan mata seakan-akan mengeluarkan api. Ia tidak peduli melihat kakeknya yang sudah menyerang mati-matian dan melihat jalannya pertempuran dengan hati tidak karuan. Sedih ia melihat orang yang menjadi ayahnya itu dikeroyok sedemikian rupa, mau membela, tapi ia segan kepada kakeknya.

Walau pun sudah terluka di tiga tempat dan pengeroyoknya bertambah dengan seorang yang sehebat Song-bun-kwi, namun permainan pedang Im-yang Sin-kiam-sut dari Beng San benar-benar hebat sekali sehingga ia dapat melindungi tubuhnya dari hujan senjata itu.

Akan tetapi, kembali terdengar suara Giam Kin tertawa.

"Ha-ha-ha, Beng San, lihatlah! Kau masih mau melawan terus? Lihat ini anakmu!" Setelah berkata demikian, tangan kirinya yang berupa cakar mengerikan itu bergerak dan…
"Brettt!" baju luar yang dipakai Cui Bi terobek lebar, memperlihatkan baju dalamnya yang berwarna merah muda.

Gelap rasanya mata Beng San. "Giam Kin keparat...! Lepaskan anakku..."

Karena perasaannya tertusuk, gerakannya sedikit terlambat. Pedang Song-bun-kwi yang tadinya menusuk pusarnya itu kurang cepat ia elakkan sehingga pahanya telah tertusuk pedang.

Beng San menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sinar pedangnya berkelebat menjaga diri dan ketika ia melompat bangun lagi, darah keluar bercucuran dari paha kanannya. Ia terpincang-pincang, darah mengucur banyak sekali, namun pedangnya masih dimainkan rapi menghalau setiap senjata yang hendak merenggut nyawanya. Tetapi ia tidak mampu balas menyerang karena perhatiannya kini terbagi untuk mengawasi keadaan Cui Bi yang sama sekali tidak berdaya di dalam tangan manusia iblis itu.

"Ha-ha-ha, Beng San, kau takkan dapat melepaskan dirimu. Kau boleh mati dengan mata melek karena anakmu ini tak akan dapat bebas pula. Ha-ha-ha!"

Suara ketawa Giam Kin bergema di hutan itu ketika ia memanggul tubuh Cui Bi dan lari pergi dari situ.

"Lepaskan anakku!" Beng San menjerit, tangan kirinya menyambar sebuah batu kecil dan dilemparkannya ke arah Giam Kin.

Hebat lemparan ini, karena tubuh Giam Kin segera terguling. Akan tetapi manusia iblis itu bangun lagi, kemudian sambil tertawa-tawa dia lari terus memanggul tubuh Cui Bi.

"Kau mau bawa ke mana anakku?!" Beng San memekik lagi.

Akan tetapi mendadak sebuah pukulan ujung lengan baju Siauw-ong-kwi tepat mengenai kaki kirinya, membuat ia terguling roboh. Ia berusaha bangun, akan tetapi tidak mampu karena urat di dekat lututnya terpukul hebat.

Oleh karena kakinya lumpuh, maka terpaksa sambil duduk Beng San menahan datangnya semua senjata dengan cara memutar pedangnya secara luar biasa sekali. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu tentu saja dia tidak mampu melawan tujuh orang lihai itu yang seakan-akan berlomba hendak berdulu-duluan mencabut nyawanya. Pundaknya tertusuk pedang lagi dan lengan kirinya juga dihantam tongkat hitam Yok-mo, membuat lengan kirinya juga lumpuh.

Pada saat itu terdengar teriakan menyeramkan. Sesosok bayangan menyerbu ke dalam pengeroyokan itu dan tahu-tahu tubuh Beng San sudah dipondong orang yang langsung memutar-mutar pedangnya menghadapi para pengeroyok itu. Orang ini bukan lain adalah Kong Bu! Beng San yang dipondong juga masih memainkan pedangnya untuk menangkis hujan senjata.

"Anakku... anak Bi Goat... akhirnya kau... mau menolongku...?” terengah-engah Beng San berkata, air mata menitik turun dari matanya.
"Kong-bu, gilakah kau?!" seru Song-bun-kwi dan cepat kakek ini menggerakkan pedang menangkis tongkat hitam Yok-mo yang hampir mengenai kepala cucunya.
"Kakek, biar aku mati membela ayahku yang jauh lebih gagah dari pada kalian semua!” teriak Kong Bu, matanya mengeluarkan cahaya berapi, pipinya basah oleh beberapa butir air mata yang menitik turun.
"Ha-ha-ha-ha, Song-bun-kwi tua bangka gila, cucumu sendiri mengkhianati kau!" Yok-mo mengejek dan bersama yang lain-lain mereka lalu menerjang Kong Bu.

Sekali lagi terdengar teriakan melengking yang tinggi dan nyaring, dan Sin Lee sekarang memutar pedang membantu Kong Bu!

"Sin Lee, mundurlah kau!" Kwa Hong menjerit.
"Tidak, Ibu. Aku tidak suka melihat ini semua! Ayah seorang gagah perkasa, patut kubela dengan taruhan nyawa! Majulah, kalau perlu aku akan melawan kau sendiri!"

Kwa Hong menjerit dan menangis, menarik kembali senjatanya. Pada waktu itu, Yok-mo, Tok Kak Hwesio, Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Pak-thian Locu yang telah menjadi marah sekali lantas menerjang dua orang muda yang dengan semangat tinggi melindungi Beng San, orang yang menjadi ayah mereka tetapi yang harus mereka benci dan musuhi itu.

"Sin Lee... terima kasih... ah, Thian Yang Maha Adil... aku rela mati sekarang..." kata Beng San, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan ia menjadi pingsan dalam pondongan Kong Bu.

Betapa pun lihainya Kong Bu dan Sin Lee, menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh besar itu mereka menjadi repot sekali. Apa lagi Kong Bu yang harus memondong tubuh ayahnya sehingga pada saat itu, ketika ia menangkis sambaran pedang Hek-hwa Kui-bo yang membuat lengannya terasa kesemutan, ia tidak dapat menghindar lagi dari pukulan mendorong yang dilakukan oleh kakek tua renta, Pak-thian Locu.

"Berani kau menyerang cucuku?" Tiba-tiba Song-bun-kwi meloncat maju dan menangkis pukulan ini.
"Dukkk!"

Hebat sekali pertemuan dua lengan orang sakti ini, akan tetapi akibatnya Song-bun-kwi terdorong mundur tiga langkah sedangkan kakek renta itu hanya bergoyang-goyang saja tubuhnya. Kaget bukan main Song-bun-kwi, sedangkan Siauw-ong-kwi tertawa-tawa,

"Ha-ha-ha, Song-bun-kwi manusia iblis! Baru sekarang kau bertemu tanding, perkenalkan dia adalah twa-suheng-ku Pak-thian Locu,"
"Aihh-aihhh, kiranya setan tua bangkotan dari Utara. Jangan takabur, aku Song-bun-kwi selamanya tidak pernah takut, baik kepadamu atau pun kepada twa-suheng-mu yang mau mampus ini!" serentak Song-bun-kwi menerjang kakek itu dengan pedangnya sehingga terjadilah pertandingan hebat.

Sementara itu, melihat betapa Sin Lee kerepotan dikeroyok Yok-mo, Tok Kak Hwesio dan sekarang Hek-hwa Kui bo juga menerjang Sin Lee karena Song-bun-kwi sudah dihadapi Pak-thian Locu sedangkan Kong Bu diserang Siauw-ong-kwi. Kwa Hong mengeluarkan suara melengking, dengan marah sekali ia menyerbu untuk menolong puteranya!

Makin hebatlah pertempuran itu. Akan tetapi, Song-bun-kwi perlahan-lahan terdesak oleh Pak-thian Locu yang luar biasa. Kong Bu yang memondong tubuh Beng San juga repot menghadapi Siauw-ong-kwi, sedangkan Sin Lee biar pun sudah dibantu ibunya, tetap saja terkurung hebat oleh Toat-beng Yok-mo, Tok Kak Hwesio, dan Hek-hwa Kui-bo.

Song-bun-kwi mulai sibuk, apa lagi melihat Kong Bu terdesak hebat oleh Siauw-ong-kwi. Memang di antara mereka semua, yang paling payah adalah Kong Bu. Di samping harus menggendong Beng San yang tidak ingat atau pingsan, juga hati pemuda ini gelisah sekali memikirkan nasib adik tirinya, Cui Bi yang tadi dibawa lari oleh manusia bermuka iblis itu. Harus diakui bahwa di dalam hatinya, Kong Bu amat sayang kepada adik tirinya itu.

Dia tadi bermaksud menolong. Siapa tahu keadaan lawan sangat tangguh dan ayahnya sudah pingsan sehingga tidak mampu melawan lagi. Hatinya gelisah, ditambah lawannya Siauw-ong-kwi, merupakan tokoh utama dan utara yang kepandaiannya setingkat dengan kakeknya!

"Bagus, kau pemuda jahat kini harus membalas kematian muridku!" berkali-kali Hek-hwa Kui-bo berteriak keras sambil mendesak Sin Lee dengan pedangnya.

Kwa Hong maju hendak membantu puteranya. Akan tetapi, dia ditahan oleh Toat-beng Yok-mo serta Tok Kak Hwesio, dua orang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula.

Permainan pedang Hek-hwa Kui-bo adalah ilmu pedang Im-sin Kiam-sut, hebat bukan main dan mempunyai daya serang yang mengandung tenaga Im-kang. Sin Lee juga amat kuat ilmu pedangnya. Gerakan kakinya sangat membingungkan dan serangan-serangan yang dilancarkannya ganas sekali. Namun menghadapi nenek ini, dia kalah pengalaman, kalah tenaga, bahkan kalah segala-galanya. Biar pun telah mengerahkan kepandaiannya, tetap saja ia terkurung oleh sinar pedang Hek-hwa Kui-bo, bahkan terancam hebat.

Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan nyaring. Seorang wanita yang bergerak bagai seekor naga betina menerjang dengan pedang yang menyambar laksana kilat.

Siauw-ong-kwi yang diserang oleh wanita ini sangat kaget dan menangkis dengan lengan baju. Pedang wanita itu tertangkis, menyeleweng ke samping, akan tetapi ujung lengan baju Siauw-ong-kwi robek!

"Orang-orang tua pengecut!" wanita itu berteriak dan ia berseru kaget melihat keadaan Beng San dalam pondongan Kong Bu.

Wanita ini bukan lain adalah Cia Li Cu. Melihat suaminya mandi darah dan dengan muka pucat pingsan di dalam pondongan Kong Bu, ia menjerit dan cepat menubruk. Kong Bu memberikan tubuh Beng San kepada ibu tirinya ini dan sekarang dengan penuh semangat ia memutar pedangnya menghadapi Siauw-ong-kwi.

"Jangan kuatir, kami bantu!" terdengar suara wanita lain dan muncullah Li Eng dan Hui Cu.

Li Eng langsung membantu Kong Bu dan Hui Cu segera membantu Sin Lee. Hal ini terjadi karena dorongan hati masing-masing melihat laki-laki perampas hati mereka itu terdesak oleh lawan. Di belakang dua orang gadis ini muncul puluhan orang anggota Thai-san-pai yang semua telah mencabut pedang.

Melihat ini Hek-hwa Kui-bo berseru keras, "Cukup kita bermain-main! Biar besok pada pembukaan Thai-san-pai dilanjutkan, ha-ha-ha-ha!"

Nenek ini cepat melompat ke belakang, diturut oleh yang lain-lain karena mereka melihat keadaan tidak menguntungkan pihak mereka. Apa lagi sesudah Beng San terluka hebat, besok lusa mudah saja bagi mereka untuk menantang sekalian menggagalkan pendirian Thai-san-pai, membalas dendam dan merusak nama Thai-san-pai dan ketuanya di muka semua orang kang-ouw!

Sementara itu, Li Cu yang melihat keadaan suaminya parah sekali, tidak sempat mencari tahu lagi, juga tidak bertanya kepada Song-bun-kwi mau pun Kwa Hong yang tadi ia lihat sekelebatan berkelahi di pihak suaminya. Sambil mengeluh penuh kegelisahan nyonya ini memondong tubuh suaminya dan dibawa lari menuju puncak.

"Heii, Kong Bu, kau hendak ke mana?!" Song-bun-kwi berteriak melihat cucunya dengan pedang di tangan berlari cepat.
"Harus kutolong adik Cui Bi dari tangan manusia bermuka iblis itu!" jawab Kong Bu tanpa menengok.
"Aku ikut!" Sin Lee juga berseru dan tubuhnya melompat jauh mengejar Kong Bu dengan pedang di tangan.

Kong Bu menoleh sambil lari, Sin Lee memandang. Dua orang pemuda ini berpandangan dan biar pun mulut mereka tidak berkata apa-apa namun sinar mata mereka seakan-akan telah saling dapat menemukan isi hati masing-masing. Tanpa sekecap pun kata-kata dua orang muda seayah ini telah bersekutu!

Li Eng dan Hui Cu saling pandang dan Hui Cu berkata kaget, "Eh, Adik Eng, mana Paman Hong?"

Li Eng menengok ke sana ke mari, berkata kuatir juga, “Tadi kulihat dia berlari di belakang kita... ah, jangan-jangan dia ketinggalan jauh. Mari kita susul Bibi, keadaan Paman Beng San kulihat tadi amat menguatirkan."

Dua orang gadis ini lalu berlarian menyusul Li Cu, hendak membantu bibi itu dan juga hendak mencari Kun Hong yang tadi datang bersama mereka. Para anggota Thai-san-pai juga berbondong-bondong sudah mengikuti nyonya ketua mereka kembali ke puncak.

Setelah keadaan di situ sunyi, Kwa Hong dan Song-bun-kwi hanya bisa saling pandang dengan muka kecewa. Keduanya merasa kecewa dan tertusuk hatinya karena sikap cucu dan putera mereka. Lebih-lebih Kwa Hong. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa Sin Lee akan membalik dan memberontak, membela ayahnya dan menentangnya.

"Sin Lee...!" Akhirnya ia memekik nyaring dan tubuhnya melesat ke satu jurusan, agaknya hendak mengejar puteranya.

Song-bun-kwi menampari kepalanya sendiri, bicara seperti orang gendeng, "Goblok kau, tua bangka goblok! Mana bisa kau memisahkan anak dari ayahnya? Goblok kau hendak mencelakakan cucumu sendiri, tolol!"

Dan ia pun pergi dari situ dengan langkah gontai, wajahnya nampak makin tua dan sinar mata yang semula liar itu menjadi lunak dan muram.

Bagaimanakah Cui Bi, gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu sampai terjatuh ke dalam tangan Giam Kin?

Pagi hari itu Cui Bi sangat kuatir. Dia tidak melihat ayahnya berada di puncak, dan setelah mencari ke mana-mana tetap tidak dapat menemukan ayahnya itu, bahkan ibunya sendiri tidak tahu ke mana ayahnya pergi.

Cui Bi maklum bahwa pertemuan antara ayahnya dengan dua orang puteranya itu amat mengganggu hati serta pikiran ayahnya, apa lagi dua orang putera itu telah dididik orang untuk memusuhinya. Ia maklum pula bahwa ayahnya amat berduka dan gelisah.

Cui Bi amat kuatir dan timbul dugaannya bahwa ayahnya tentu keluar dari puncak untuk pergi mencari kedua orang puteranya itu. Karena itu dia pun lalu diam-diam keluar dari terowongan, turun dari puncak mencari ayahnya.

Baru saja ia menyeberangi rawa, ia mendengar suara suling yang amat aneh dan merdu dari arah kiri. Cepat ia membelok ke arah ini dan dalam sebuah hutan kecil ia melihat seorang laki-laki yang mukanya membuat Cui Bi terasa seram dan ngeri.

Laki-laki ini mukanya seperti iblis yang mengerikan dengan mata kirinya yang bolong kosong, mulutnya yang robek lebar, telinga kiri buntung, tangan kirinya yang kaku seperti cakar setan. Namun sebagai puteri pendekar sakti yang sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, hanya sebentar saja Cui Bi telah dapat menguasai perasannya kembali dan ia mulai tertarik oleh perbuatan laki-laki bermuka iblis itu.

Lelaki itu dengan tangan kanannya yang normal sedang meniup suling. Bukan main aneh dan indahnya suara suling itu dan yang lebih menarik hati Cui Bi lagi, di depan laki-laki yang duduk bersila di bawah pohon itu, kelihatan lima ekor ular besar tengah ‘berdiri’ di atas ekornya dan menari-nari, melenggak-lenggok amat lemasnya!

Cui Bi memang sudah beberapa kali pernah melihat ahli-ahli ular meniup suling membuat ularnya menari-nari, akan tetapi baru kali ini ia melihat lima ekor ular sekaligus menari dan dapat ‘berdiri’ setinggi itu. Benar-benar hebat dan lucu. Tak tertahankan gadis itu tertawa dan datang menghampiri laki-laki itu, ikut duduk dekatnya dan berkata,

"Bagus dan lucu sekali...!"

Laki-laki itu tidak menoleh, terus melanjutkan tiupannya akan tetapi mata kanannya itu melirik ke arah Cui Bi lalu mengeluarkan sinar yang aneh. Sekali ini Cui Bi mengenakan pakaian wanita yang ringkas sehingga ia kelihatan sebagai seorang gadis muda remaja yang cantik dan manis. Pedang tergantung di punggung dan dari senjata inilah orang akan dapat menduga bahwa dia adalah seorang gadis kang-ouw.

Melihat gadis cantik itu memandang kepada ular-ular itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, laki-laki itu tanpa menunda tiupan sulingnya bertanya, "Kau siapa, Nona? Apakah tidak takut ular?"

Cui Bi menoleh dan bukan main herannya. "Kau hebat sekali, Lopek (Uwa). Sekaligus menyuling dan bicara. Bukan main! Kau tentu seorang di antara para tamu Thai-san-pai, bukan? Apakah kau sudah kenal baik dengan Ayah? Tetapi Ayah belum pernah bercerita kepadaku tentang seorang temannya yang pandai meniup suling menjinakkan ular."

"He-he, jadi kau puteri Ketua Thai-san-pai? Pantas saja tidak takut ular, akan tetapi coba kau lihat ular-ularku yang lainnya, entah takut tidak?" Dia lalu bangkit berdiri dan tiupan sulingnya berubah nyaring dan lebih aneh lagi.

Cui Bi tadinya tersenyum-senyum saja karena mana dia takut segala macam ular? Sekali gerakkan pedang ia sanggup membunuh lima ekor ular besar itu! Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah sedikit ketika ia mendengar suara berisik, suara mendesis-desis yang datang dari segala penjuru.

Sebentar kemudian puluhan, malah ratusan ekor ular merayap datang dari segala jurusan, bahkan ada yang datang dari atas pohon, merayap-rayap turun dengan cepatnya seperti memenuhi panggilan suara suling itu! Dalam beberapa menit saja mereka berdua sudah dikurung oleh ratusan ekor ular besar kecil, di antaranya banyak pula terdapat ular-ular berbisa.

Mau tak mau Cui Bi menjadi pucat juga dan jijik. Ia merasa bulu di tubuhnya meremang dan segera dia mencabut pedangnya untuk menjaga kalau-kalau ada ular yang hendak menyerangnya.

"Jangan kuatir, selama ada aku di sini, mereka takkan berani mengganggumu, Nona. Aku hanya ingin memperlihatkan mereka padamu, mereka itu bagus dan menarik, bukan? Apa kau mau melihat mereka itu semua menari-nari?"

Cui Bi menggeleng kepala, menahan napas, bau yang amat amis memuakkan perutnya, bukan main bau itu, amis dan menyengat.

"Cukup... aku tidak ingin melihat mereka, Lopek, suruhlah mereka pergi..."

Laki-laki itu yang bukan lain adalah Giam Kin mengangguk-angguk dan meniup sulingnya, kini berlagu amat merdu dan... ular-ular itu merayap pergi semua, berlenggang-lenggok menggelikan dan sebentar saja sudah lenyap semua, tak seekor pun berada di situ. Cui Bi menarik napas lega dan menyimpan kembali pedangnya.

Mata Giam Kin berkilat ketika ia melihat cara gadis itu tadi menarik keluar pedang dan cara menyimpannya lagi. Matanya yang tinggal sebelah itu dapat melihat bahwa gadis ini bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang ahli pedang yang lihai sekali.

"Wah, celaka.,.." Tiba-tiba Giam Kin berseru, nampak gugup dan bingung sekali, matanya yang tinggal sebelah itu menatap wajah Cui Bi. "Aku... aku kesalahan terhadap ayahmu, Nona. Ah, Tan Beng San Taihiap tentu akan marah kepadaku."
"Kenapa, Lopek? Kau tidak bersalah apa-apa."
"Celaka, Nona yang baik. Kau... kau sudah terkena racun ular berbisa yang berbahaya sekali!" Giam Kin membanting-banting kakinya, "Ayahmu tentu akan marah kepadaku. Coba kau menarik napas dalam-dalam, bukankah tercium bau yang amis? Apakah kau tidak merasa jantungmu berdebar-debar?"

Dengan muka berubah Cui Bi menarik napas dalam. Memang, bau amis yang tadi masih teringat olehnya sehingga ketika diingatkan, seakan-akan ia mencium bau amis itu makin jelas terasa dari pada tadi, ia pun merasa jantungnya berdebar. Ia mengangguk gelisah.

"Nah, itu tanda kau keracunan. Cepat, kau pakai obat ini. Aku sendiri tidak terpengaruh racun karena membawa bunga ajaib ini. Kau ciumlah dan sedot wangi bunga ini, pasti sekaligus lenyap pengaruhnya racun itu."

Cui Bi menerima setangkai bunga yang tadinya entah berwarna apa karena bunga itu sudah melayu dan tinggal berwarna kuning gelap, warna daun mulai mengering. Ia masih ragu-ragu.

"Tapi... tapi... bagaimana aku bisa keracunan kalau tak ada seekor ular pun menyentuhku tadi?"
"Ah, kau tidak tahu, Nona. Di antara ular-ular tadi banyak ular beracun yang berbahaya sekali. Pada saat melihat kita, sudah jamak ular-ular beracun tadi berniat menggigit dan mengeluarkan racunnya, akan tetapi mereka itu tertahan dan tidak berani dengan suara sulingku. Racun mereka yang keluar dari mulut mereka berceceran di atas tanah dan hawa pagi ini banyak keluar dari dalam tanah, membubung ke atas. Racun ular yang sudah berada di tanah itu hawanya terbawa oleh hawa tanah, memasuki hidung kita dan kau yang tidak berdekatan bunga penawar racun ini tentu saja keracunan, Sudahlah, kau segera cium obat penawar ini, kalau tidak... nanti akan terlambat dan kau akan celaka. Lekas..." Laki-laki itu nampak gugup dan bingung sekali.

Cui Bi memang seorang gadis muda yang berkepandaian tinggi, sudah banyak merantau dan pengetahuannya luas. Namun dalam hal tipu muslihat, berhadapan dengan Giam Kin dia hanya seorang bocah yang masih hijau.

Melihat sikap Giam Kin dan mendengar keterangannya itu, ia percaya betul dan tanpa ragu-ragu lagi sekarang gadis itu mendekatkan bunga ke depan hidungnya dan menyedot baunya. Ia mencium bau yang sangat harum dan enak memasuki hidung terus turun dan lenyap di tenggorokan. Ia menyedot makin keras. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang.

"Celaka...!" serunya sambil melempar kembang itu dan berusaha mencabut pedangnya.
"Ha-ha-ha-ha!” Giam Kin tertawa. Sulingnya segera bergerak menotok leher Cui Bi yang tak mampu bergerak lagi dan gadis ini roboh terguling, pingsan!

Sudah tentu saja semua ocehan Giam Kin tentang racun tadi bohong belaka. Karena pandainya ia bicara disesuaikan dengan suasana dan keadaan, tentu saja Cui Bi masih merasa mencium bau amis dari ular-ular tadi dan karena pemberi tahuan Giam Kin itu mengejutkannya, sudah semestinya kalau jantungnya berdebar pula.

Demikianlah, dalam keadaan pingsan dan tak berdaya akibat jalan darahnya telah ditotok, gadis ini dipanggul pergi oleh Giam Kin, kemudian seperti telah diceritakan pada bagian depan, Giam Kin yang licik ini dapat mempermainkan gadis yang ditawannya itu untuk mengacaukan pertahanan Beng San sehingga pendekar ini terluka dalam pengeroyokan.

Sesudah melihat Beng San terluka dan tidak mungkin lagi dapat menang menghadapi pengeroyokan suhu-nya, supek-nya dan tokoh-tokoh lain, Giam Kin lalu membawa pergi Cui Bi. Dia kuatir kalau-kalau keluarga pendekar itu muncul.

Giam Kin sekarang berbeda jauh dengan Giam Kin belasan tahun yang lalu. Tidak hanya berbeda dalam ilmu kepandaian yang makin meningkat karena selama ini ia tekun sekali memperdalam ilmunya, juga wataknya berubah banyak.

Dahulu ia adalah seorang laki-laki mata keranjang. Sekarang watak ini lenyap berbareng dengan lenyapnya ketampanan wajahnya. Sekarang dia berubah menjadi manusia iblis yang haus darah, yang haus akan balas dendam terhadap musuh-musuhnya. Mukanya rusak oleh burung rajawali emas dan Kwa Hong, oleh karena itu tentu saja dia sangat mendendam kepada Kwa Hong.

Akan tetapi dia sekarang menjadi cerdik luar biasa, maka tadi bertemu dengan Kwa Hong ia tidak bertindak apa-apa karena ia sedang memerlukan Kwa Hong dalam pengeroyokan terhadap Beng San. Sekarang ia hendak melampiaskan dendamnya kepada Beng San, kepada keluarganya. Maka setelah puteri Beng San terjatuh ke dalam tangannya, tidak lain nafsu dalam dadanya kecuali menyiksa dan membunuh gadis anak musuhnya ini.

Ia membawa lari Cui Bi ke dalam hutan lain di sebelah timur, di lereng Gunung Thai-san, jauh dari tempat para tamu berkumpul. Wajahnya yang buruk itu tertawa-tawa, agaknya ia gembira sekali membayangkan siksa yang akan ia lakukan atas diri anak musuhnya ini.

Tubuh gadis itu ia lemparkan di atas tanah yang kering tak berumput, lalu ia mengambil sehelai kain sutera, mengikat kaki serta tangan gadis itu, membalikkan tubuh gadis itu telentang, kemudian ia membebaskan totokan pada tubuh gadis itu. Cui Bi yang merasa betapa jalan darahnya pulih kembali, berusaha meronta, akan tetapi ternyata tali itu kuat sekali.

Ketika ia hendak membuka mulut untuk mengelurkan pekik pemberi tahuan kepada ayah bundanya, ia kaget karena tak dapat ia mengeluarkan sedikit pun suara. Kiranya iblis yang cerdik itu telah menotok jalan darah urat gagunya, membuat ia tidak dapat mengeluarkan suara.

Terpaksa Cui Bi hanya telentang dengan mata melotot marah, memandang kepada wajah manusia iblis yang duduk bersila di atas tanah. Ngeri juga kalau ia memperhatikan wajah manusia ini, sudah tak patut disebut manusia lagi baik bentuk mukanya mau pun semua gerak-geriknya.

Mata kanan yang kemerahan itu seperti matanya orang gila, sedangkan mata kiri yang kosong menghitam itu seperti mata tengkorak, mata iblis. Mulut yang robek dan terbuka memperhatikan deretan gigi yang masih rapi itu terlalu menyeringai dan menyeramkan karena gusi-gusi kemerahan tampak di atas gigi pinggir yang runcing seperti gigi setan.

Di samping kengeriannya, diam-diam gadis ini juga menduga-duga siapa adanya tokoh buruk rupa yang aneh ini dan kenapa pula memusuhi ayahnya. Ia dapat menduga bahwa tentu orang ini musuh ayahnya yang sekarang hendak menjatuhkan dendam kepadanya, puteri tunggal ayahnya. Namun sepanjang ingatannya, belum pernah ayahnya bercerita tentang tokoh seperti iblis ini yang anggapannya malah jauh lebih mengerikan dari pada tokoh-tokoh manusia iblis yang pernah ia dengar dari ayahnya.

"He-he-heh, matamu seperti ayahmu benar!" Giam Kin tertawa gembira. "Matamu penuh pertanyaan mengapa aku melakukan hal ini kepadamu dan siapa adanya aku, bukan? Nah, dengarlah, bocah. Dengarlah baik-baik supaya kau tidak mati penasaran. Aku adalah Siauw-coa-ong (Raja Ular Kecil) Giam Kin, sahabat baik ayahmu, he-he-heh!" Ia tertawa terpingkal-pingkal, tubuhnya berguncang-guncang.

Pandangan Cui Bi tertuju pada tangan kiri yang kaku mati seperti cakar setan itu, dan gadis ini kelihatan heran.

"Heh-heh, kau kelihatan terheran-heran. Gadis cilik, dahulunya aku seorang laki-laki yang tampan. Hemmm, dibandingkan dengan ayahmu, aku jauh lebih tampan. Celaka, siluman betina Kwa Hong itu dengan rajawali emasnya mengubah aku menjadi begini. Heh-heh, disangkanya aku sudah mati. Hah, awas kau Kwa Hong iblis betina, kelak akan datang pembalasanku..."

"Aku bertanding melawan Kwa Hong dan menjadi begini rupa karena gara-gara Lee Giok, karena itu aku telah bersumpah, selain untuk membalas kepada ayahmu sekeluarga, juga kepada Kwa Hong dan Lee Giok. Sayang hingga kini belum kudapatkan kesempatan itu, ha-ha-ha, saat ini aku akan dapat memuaskan hatiku membalas kepada Beng San. Aku mendengar bahwa puteri dari Lee Giok juga berada di Thai-san sebagai tamu, lalu aku cepat mencari akal untuk menangkapnya, untuk membalas pada anaknya, menyiksanya seperti juga ibunya telah menyebabkan aku begini. Ehh, kiranya bukan dia yang muncul melainkan kau, anak Beng San! He-heh-heh, jerat yang kupasang tak berhasil menjerat kelinci seperti yang kuharapkan, malah lebih dari itu, ternyata telah menjerat seekor anak kijang. Heh-heh-heh, senang hatiku. Nah, kau sudah mendengar semua dan telah siap menerima siksa dariku? Heh-heh-heh-heh!"

Mengertilah sekarang Cui Bi mengapa muka penjahat bernama Giam Kin yang pernah ia dengar diceritakan ayahnya itu sekarang menjadi seperti iblis begini. Kiranya gara-gara Kwa Hong lagi. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga lweekang-nya membuka totokan pada lehernya, akan tetapi sia-sia belaka dan ini membuktikan bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi.

Andai kata dia berhasil mengeluarkan pekik keras, tentu orang ini akan segera turun tangan pula. Cui Bi tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga ia mendengar bahwa ia akan mengalami siksaan. Orang yang sudah bukan manusia lagi ini tentu mempunyai cara-cara yang amat keji untuk menyiksa dan membunuh musuhnya.

Giam Kin tertawa-tawa lagi lalu mengeluarkan sulingnya. Pada saat suling itu mulai ditiup, tahulah Cui Bi, atau setidaknya dapatlah ia menduga siksaan apa yang akan ia hadapi. Dan dugaannya itu ternyata benar karena tak lama kemudian ia mendengar suara berisik, mendesis-desis dan menggelesernya tubuh banyak ular menuju ke tempat itu.

Tidak lama kemudian dia mencium bau yang amat amis dan kiranya ular-ular itu sudah dekat sekali. Giam Kin menghentikan tiupannya, mengeluarkan setangkai bunga berwarna kuning dan ular-ular itu berhenti bergerak, seolah-olah ketakutan melihat kembang warna kuning itu!

"He-he-heh, bocah anak Beng San. Ular-ular itu akan menuruti segala perintahku. Sekali kuperintah, mereka akan menyerbu dan menggerogoti kulitmu yang halus dan dagingmu yang lunak sampai tinggal tulang-tulangmu saja. Heh-heh-heh, dalam waktu kurang dari satu jam, wajahmu yang cantik akan menjadi buruk, lebih buruk dari wajahku. Rambutmu yang hitam panjang ini akan copot dari kepala, matamu yang bagus-bagus itu akan masuk ke perut ular. Hanya tulangmu yang tinggal, kau akan berubah menjadi kerangka dan ayah ibumu takkan mengenalmu lagi. Heh-heh-heh! Aku akan menikmati pertunjukan ini, melihat kau menggeliat-geliat kesakitan, melihat kau berkelahi melawan maut, melihat betapa hidungmu yang bagus itu akan digigit ular, dan kulitmu yang halus akan dibeset, lalu dagingmu diperebutkan. Heh-heh-heh!"

Cui Bi sudah tak mendengarkan ini semua. Semenjak ular-ular itu datang ia tahu bahwa nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi. Ia tidak takut menghadapi kematian, tidak pula takut menghadapi siksaan, akan tetapi pada saat ia berada ditepi jurang kematian itu, terbayanglah wajah tiga orang, yaitu wajah ibunya, wajah ayahnya dan wajah Kun Hong! Tak tertahankan lagi naik sedu sedan di kerongkongannya dan beberapa titik air mata mengalir ke atas pipinya.

"Heh-heh-heh, kau menangis? Heh-heh-heh-heh, bagus, menangislah. Aahhh, alangkah senangnya kalau aku bisa memperlihatkan ini kepada jahanam Beng San! Heh-heh, dia sendiri sekarang mungkin sudah mampus atau terluka hebat. Aahh, alangkah manisnya pembalasan dendam!"

Giam Kin berdiri, mundur dan kemudian duduk bersila di bawah pohon tak jauh dari situ. Ia menyimpan kembali kembang kuning itu dan mulai meniup sulingnya. Matanya yang tinggal sebelah itu bersinar-sinar memandang pertunjukan di depannya yang akan segera di mulai.

Suling ditiup, suaranya melengking tinggi mengalun sedih seperti ratap tangis yang keluar dari neraka. Ular-ular itu mulai merayap maju, berlenggang-lenggok menggeliat-geliat dan merayap ke arah Cui Bi yang masih menggeletak telentang.

"Mati Bukan soal, tapi melawan sebisanya adalah wajib," pikir gadis ini.

Ia mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang ada di dalam tubuhnya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya menggeliat dan melompat ke atas. Dengan meliukkan pinggangnya ia berhasil turun dalam keadaan berdiri. Badannya bergoyang-goyang, memang sukar untuk dapat melakukan hal itu dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

Diam-diam Giam Kin kagum bukan main. Ginkang yang diperlihatkan gadis itu betul-betul ginkang tingkat tinggi.

Melihat ular-ular itu sudah mengurungnya dan jumlah mereka amat banyak sehingga di sekelilingnya dalam jarak lima enam meter adalah ular belaka, Cui Bi maklum bahwa tak mungkin ia dapat melompati jarak itu keluar dari lingkaran barisan ular. Setelah ular-ular semakin dekat dan siap menerjang kakinya, ia menggerakkan kedua tumit kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas, lalu dengan mengerahkan lweekang-nya ia turun lagi tepat mengarah pada kepala seekor ular besar.

"Krakkk!"

Kepala ular itu hancur lebur oleh injakan kaki Cui Bi yang secepatnya telah meloncat lagi ke atas dan turun menginjakkan kedua kakinya pada kepala seekor ular besar lainnya. Demikianlah, gadis yang luar biasa ini berkali-kali meloncat dan tiap kali tubuhnya turun tentu seekor ular mati dengan kepala remuk. Makin lama makin gembiralah Cui Bi karena meski pun ia maklum bahwa akhirnya ia akan roboh dan tewas, namun ia telah berhasil membunuh banyak calon-calon pembunuhnya.

Gembira sekali hati Giam Kin. Ia melihat betapa gadis itu makin lama makin menjadi lemah. Tiap kali meloncat dan tiap kali menginjak remuk kepala seekor ular, gadis itu pasti mengerahkan lweekang yang cukup besar makan tenaganya sehingga setelah dua puluh ekor lebih ular yahg diinjaknya mati, gadis itu mulai mandi peluh dan gerakannya lambat. Akhirnya seekor ular berhasii membelit kakinya sehingga ketika Cui Bi melompat, ular itu terbawa naik.

Gadis itu maklum bahwa sekali saja ular yang belang-belang kulitnya ini menggigit, akan robohlah dia terkena racun. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya selagi meloncat itu. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sehingga lilitan tubuh ular itu pada kakinya telepas dan ular itu terlempar sampai sepuluh meter lebih jauhnya!

"Hebat..." Giam Kin memuji.

Lengking sulingnya makin meninggi dan hal ini agaknya membuat ular-ular itu semakin ganas saja.....
Cui Bi kehabisan tenaga dan maklum bahwa belum tentu ia kuat meloncat lima kali lagi. Dan setelah ia tidak kuat meloncat, tentu ular-ular itu akan membelit kakinya merayap ke atas, menggigiti kakinya sampai ia roboh untuk dikeroyok dan diperlakukan seperti yang telah dibayangkan oleh Giam Kin tadi.

Akan tetapi baru saja meloncat tiga kali, ia sudah kehabisan tenaga dan injakannya tidak mematikan seekor pun ular. Ia sudah tidak kuat meloncat lagi dan sudah meramkan mata untuk menerima kematian yang amat mengerikan.

"Heh-heh-heh, ha-ha-ha, kini pertunjukan mulai..." Giam Kin tertawa terkekeh-kekeh.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan yang terdengar oleh telinga Cui Bi adalah teriakan orang, nyaring sekali.

"Bi-moi... lekas kau berloncatan lagi...! Loncat, pertahankan!"

Suara ini seolah-olah aliran listrik yang memberi kekuatan baru kepada Cui Bi, menyendal kembali harapannya untuk hidup yang tadi sudah terbang ke awang-awang. Dan sebelum kakinya terbelit ular, sekuat tenaga ia meloncat ke atas, sambil meloncat ia membuka kedua mata memandang.

"Hong-ko...!" di dalam dadanya bergema teriakan hatinya ini sebab ia masih belum dapat mengeluarkan suara sama sekali.

Dilihatnya betapa pemuda itu dengan memegang dua batang obor kayu, menggunakan api obor itu untuk mengamuk dan menyerang barisan ular, menyerbu ke arah tempatnya. Tak terasa lagi air mata bercucuran di kedua mata Cui Bi, saking girang dan terharunya. Akan tetapi, kekuatiran besar memenuhi hatinya kalau ia melihat Giam Kin masih duduk bersila di tempat tadi sambil memandang ke arah Kun Hong dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi mulutnya mengejek.

Seperti binatang buas apa saja, ular pun sangat takut terhadap api. Mereka yang kurang cepat menyingkir sudah berkelojotan terkena serangan Kun Hong. Ada yang mencoba untuk menyerang pemuda itu, akan tetapi begitu tubuhnya tercium api, lalu berkelojotan, menggigit bagian badan sendiri yang termakan api saking panas dan sakitnya. Sebagian yang lainnya menyingkir ketakutan sehingga terbukalah jalan bagi Kun Hong untuk berlari ke arah Cui Bi.

"Kau pegang ini sebuah, Bi-moi!" teriak pula Kun Hong sambil menyerahkan obor yang tadi dipegang oleh tangan kanannya.

Dengan penuh semangat Cui Bi segera mengacung-acungkan sepasang lengannya yang terbelenggu untuk memberi tahu bahwa tak mungkin ia melakukan apa yang diminta itu.

Melihat ini Kun Hong cepat meletakkan sebuah obor ke bawah, mencabut Ang-hong-kiam dan membabat belenggu kaki dan tangan gadis itu. Ang-hong-kiam tajam bukan main dan tenaga dalam dari Kun Hong juga hebat, maka dengan sekali babat saja putuslah semua belenggu dan terbebaslah Cui Bi.

Sesudah itu, dengan pedang dikempit untuk membebaskan tangan kanannya, Kun Hong yang maklum bahwa gadis ini tentu telah tertotok urat gagunya, menotok belakang leher dan menepuk punggung dua kali.

"Hong-ko...!" sekali ini suara itu keluar dari mulut Cui Bi, disusul isak tangis saking girang dan terharunya.

Tiba-tiba saja Cui Bi merampas pedang dari tangan Kun Hong, matanya memandang liar ketika membalikkan tubuh memandang ke arah Giam Kin. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan marahnya ketika ia tidak lagi melihat manusia iblis itu berada di tempat tadi, sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

"Ke mana dia...?"
"Kau mencari siapa, Adik Bi?" tanya Kun Hong.
"Manusia iblis itu, Giam Kin si keparat, hendak kucincang hancur tubuhnya!"
"Ahh, apa kau maksudkan pengemis buta sebelah yang meniup suling tadi? Aku sudah terheran-heran tadi mengapa ia bisa terus bermain suling sedangkan di depannya terjadi penyerangan ular-ular itu kepadamu. Kenapa ia tidak turun tangan menolongmu?"
"Menolongku? Ahh, Hong-ko dialah yang menyuruh ular-ular itu mengeroyokku. Dia itulah si iblis bernama Giam Kin yang memusuhi Ayah dan karena itu dia hendak membalas dendamnya melalui aku. Dia sengaja mendatangkan ular-ular itu sesudah menawanku secara licik dan curang. Dia hendak melihat ular-ular itu merobohkan aku, menggerogoti kulit dan dagingku, melihat aku berkelojotan melawan maut, melihat aku berubah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, ahh... Hong-ko..."

Gadis itu menubruk, merangkul pundak Kun Hong dan menangis tersedu-sedu. Kun Hong bergidik dan membiarkan gadis itu memuaskan perasaannya, membiarkan dia menangis sesenggukan. Memang inilah obat terbaik untuk menenangkan kembali perasaannya yang tertindih dan tercekam hebat oleh pengalaman yang begitu mengerikan. Baru saja gadis ini lolos dari lubang jarum, lolos dari cengkeraman maut yang nyaris begitu pasti.

Diam-diam Kun Hong berterima kasih kepada Tuhan bahwa ia tidak tertambat datang. Terlambat beberapa menit lagi saja, bayangan ngeri dan seram seperti dikatakan gadis ini tadi pasti akan terjadi.

"Hong-ko... kau telah menolong nyawaku, Hong-ko..."
"Sudahlah, jangan besar-besarkan hal itu, Bi-moi," jawab Kun Hong merendah, padahal hatinya merasa bahagia bukan main.
"Girang sekali hatiku bahwa kaulah yang berhasil menolongku, Hong-ko. Akhirnya kaulah orangnya yang berhasil merenggut aku dari cengkeraman maut, maka sudah sepatutnya pula kalau aku menghambakan diri kepadamu selama hidupku."

Mendengar kesanggupan gadis ini, tanpa terasa lagi Kun Hong memeluk dan mendekap kepala orang yang disayang dan dicintanya itu rapat-rapat ke dadanya.

"Bi-moi... Bi-moi... semoga Tuhan memberkahi kita dan mengabulkan apa yang menjadi cita-cita kita ini... ahh, mari kita lekas menyusul ke tempat ayahmu. Tadi kulihat dia telah dikeroyok banyak orang jahat, dan ibumu serta Li Eng dan Hui Cu juga sudah menyusul ke sana. Aku melihat kau ditawan orang dan dibawa lari, maka cepat aku mengejar. Sama sekali tak kusangka bahwa orang itu adalah pengemis buta sebelah tadi, dan sama sekali tidak kusangka dia itulah yang bernama Giam Kin. Pernah aku mendengar dari ayahku tentang orang itu..."
"Baiklah, Hong-ko, mari kita susul Ayah. Tapi aku tidak kuatir Ayah akan dikalahkan oleh keroyokan orang jahat."

Cui Bi merasa yakin sekali akan kepandaian ayahnya, maka mendengar bahwa ayahnya dikeroyok orang, ia tidak menjadi gelisah. Apa lagi setelah dia mendengar bahwa ibunya telah pula datang ke tempat itu, apa yang harus ditakuti dan dikuatirkan lagi? Masih ada lagi Hui Cu yang cukup lihai dan terutama Li Eng yang berkepandaian tinggi.

Baru saja mereka keluar dari hutan itu, tampak dua orang muda berlari cepat mendatangi dari depan. Mereka ini bukan lain adalah Kong Bu dan Sin Lee.

"Adik Cui Bi, kau tidak apa-apa?" teriak Kong Bu dari jauh, girang melihat Cui Bi sudah berjalan di samping Kun Hong dalam keadaan sehat selamat, hanya mukanya agak pucat.

Cui Bi juga girang melihat Kong Bu, akan tetapi ketika mengingat akan peristiwa di depan jalan terowongan dan ketika melihat Sin Lee juga berada di situ, dia meragu. Betapa pun juga melihat sikap yang begitu memperhatikan, ia segera bertanya,

"Bu-ko hendak ke manakah kau? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terancam bahaya? Dan dia ini...?” Ia mengerling ke arah Sin Lee yang berdiri tegak.

Kong Bu tersenyum, lalu memegang kedua tangan adik tirinya. "Ahh, adikku, jangan kau curiga. Aku tadi melihat kau dibawa lari oleh manusia iblis, lalu aku sengaja mengejarnya. Dia ini juga membantuku turut mengejar untuk menolong adik tirinya. Bukankah begitu?" pertanyaan terakhir ini diucapkan Kong Bu sambil memandang Sin Lee.

Sin Lee mengangguk, tanpa mengeluarkan kata-kata karena perasaannya masih penuh keharuan, juga kebingungan sebab baginya, urusan antara ibu dan ayahnya itu membuat dia ragu-ragu dan serba salah.

Cui Bi terharu sekali, menghampiri Sin Lee dan memegang tangan pemuda ini, menatap wajah Sin Lee dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Kau juga kakakku, kakak tiri putera Ayah. Sin Lee Koko, apakah kau masih juga hendak memusuhi Ayah, memusuhi Ibu, dan memusuhi aku?" Sinar mata yang bening indah itu menatap wajah Sin Lee seakan-akan hendak menembus hatinya.

Sin Lee tertegun, tak dapat menjawab.

"Adik Cui Bi, tentu saja tidak. Tadi Ayah sudah dikeroyok oleh banyak tokoh lihai, terluka dan hampir celaka. Aku dan dia ini turun tangan membantu Ayah, agaknya hati kami tak dapat mengijinkan orang-orang membunuh ayah kami di depan mata kami begitu saja. Ayah telah menderita luka-luka hebat dan sekarang telah dibawa pulang oleh ibumu."

Wajah Cui Bi menjadi pucat seketika. "Ayah terluka...? Ahhh, hayo kita pulang menengok Ayah!" Ia lalu melompat dan berlari cepat menuju ke puncak.

Kong Bu dan Sin Lee saling pandang, bersepakat dalam pandang mata masing-masing, lalu ikut pula berlari. Cui Bi tiba-tiba berhenti dan memandang Kun Hong.

"Ahhh, aku lupa... maaf, Hong-ko. Marilah kita bersama ke puncak. Bu-ko dan Lee-ko, terpaksa kita berlari jangan terlalu cepat agar Hong-ko tidak ketinggalan."

Kun Hong tersenyum. "Larilah Bi-moi, dan aku akan coba mengikutimu dari belakang."

Demikianlah, keempat orang muda itu melanjutkan perjalanan melalui jalan rahasia yang terdekat, dipimpin oleh Cui Bi sebagai penunjuk jalan, tidak terlalu cepat karena mereka kuatir kalau-kalau Kun Hong tidak dapat mengimbangi kecepatan mereka. Di sepanjang jalan dua orang putera Beng San itu mendengar penuturan Cui Bi mengenai perbuatan biadab Giam Kin dan tentang pertolongan Kun Hong.

Meski pun Kun Hong menjawab secara merendahkan diri namun diam-diam dua orang pemuda itu menduga bahwa Kun Hong putera Ketua Hoa-san-pai itu tentulah mempunyai kepandaian yang luar biasa sehingga sanggup mengejar Giam Kin dan dapat memberi pertolongan kepada Cui Bi.

Kedatangan mereka disambut anak murid Thai-san-pai dengan gembira, terutama sekali Hui Ci dan Li Eng yang tidak saja gembira melihat bahwa paman mereka selamat, juga lebih-lebih melihat Sin Lee dan Kong Bu ikut pula datang ke puncak.

"Paman Beng San terluka hebat, sekarang sedang dirawat oleh Bibi," kata Li Eng.

Dengan wajah penuh kegelisahan Cui Bi cepat-cepat memasuki rumah diikuti oleh Kong Bu, Sin Lee, Hui Cu, Li Eng, dan Kun Hong. Mereka memasuki kamar dengan hati-hati dan alangkah kagetnya dan sedih hati Cui Bi ketika melihat ayahnya duduk bersila dengan wajah sepucat mayat, sedangkan ibunya duduk di belakang ayahnya, menempelkan dua telapak tangannya pada punggung ayahnya.

Keduanya meramkan mata. Napas Beng San terengah-engah dan berat, sedangkan Li Cu yang sedang memberi saluran hawa murni ke tubuh suaminya untuk membantu suaminya memulihkah tenaga dan mengobati luka di dalam, kelihatan sangat pucat dan keringatnya membasahi leher dan muka.

Orang-orang muda yang tahu akan ilmu silat tinggi itu maklum apa yang tengah dilakukan oleh dua orang tua di atas pembaringan itu, maka mereka tidak berani mengganggu.

Tiba-tiba Kun Hong melangkah maju dan berkata halus, "Bibi, harap kau suka mengaso, sangat berbahaya bagi kesehatan Bibi sendiri. Biarlah aku yang bodoh mencoba-coba mengobati Paman Beng San."

Semua orang terkejut dan merasa bahwa ucapan Kun Hong ini lancang. Li Cu dan Beng San yang mendengar ada suara orang, segera membuka mata, lalu memandang kepada mereka.

"Ayah, Ibu, Kakak Kong Bu dan Kakak Sin Lee datang..." berkata Cui Bi, menahan isak tangisnya melihat keadaan ayahnya.

Memang hebat sekali penderitaan Beng San. Luka-lukanya adalah luka pukulan lweekang dan senjata yang mengandung racun mematikan. Keadaannya amat berbahaya, cahaya matanya sudah menghilang dan pandang matanya sayu. Akan tetapi begitu melihat Kong Bu dan Sin Lee berdiri di situ, ia pun tersenyum, mengangguk-angguk dan matanya yang pudar itu mengeluarkan cahaya bahagia.

Li Cu yang maklum bahwa suaminya sedang berjuang melawan maut, tanpa melepaskan tangannya berkata, "Anak-anak, harap jangan mengganggu kami, tunggulah di luar."

Akan tetapi Beng San memandang Kun Hong. Melihat pemuda aneh ini tunduk dan sinar mata pemuda itu berkilat-kilat menjelajahi seluruh tubuhnya, dia berkata lemah,

"Biarlah... biarlah dia... mengobatiku... kau beristirahatlah... dia benar... berbahaya bagi kandunganmu..." Setelah berkata demikian, tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak kuat bersila lagi, roboh terguling dan dari mulutnya menyembur darah segar.

Li Cu kaget sekali, cepat-cepat menerima tubuh suaminya dan menidurkannya telentang sambil menahan isaknya ketika turun dari pembaringan. Nyonya ini kelihatan lelah sekali. Dia terlalu banyak mengeluarkan tenaga untuk membantu suaminya dengan pengerahan tenaga lweekang yang berlebihan. Mukanya pucat kehijauan, napasnya terengah-engah.

"Bi-moi, tolong ambilkan kertas dan alat tulis. Ibumu harus segera diberi obat," kata Kun Hong setelah memandang sejenak ke arah Li Cu.

Cui Bi terheran-heran. Ia tidak mengira bahwa orang yang dikasihinya ini ternyata pandai ilmu pengobatan, maka cepat-cepat ia mengambilkan barang yang dimintanya. Kun Hong lalu duduk di kursi, menuliskan huruf-huruf yang indah dan cepat sekali di atas kertas dan memberikan kertas itu kepada Cui Bi.

"Carilah obat ini, campur dengan air tiga mangkok, masak sampai tinggal semangkok lalu beri minum kepada ibumu." Lalu ia menoleh ke arah Li Cu yang sedang membersihkan darah yang dimuntahkan suaminya tadi dengan sehelai sapu tangan.
“Bibi, harap kau suka mengaso untuk menjaga kesehatanmu.”
“Tidak, aku harus menjaga dia….”

Mendengar suara yang penuh cinta kasih dan kesetiaan ini, Kun Hong terharu sekali. Ia dapat melihat bahwa keadaan nyonya ini sangatlah berbahaya, karena dalam keadaan mengandung telah menyalurkan tenaga dalam dan hawa murni. Hal ini benar-benar amat berbahaya, tidak saja bagi kandungannya, juga bagi kesehatan tubuhnya.

“Bibi, percayalah padaku. Apa bila Tuhan menghendaki, Paman Beng San akan sembuh. Bi-moi, kau ajaklah Ibumu beristirahat dan segera kau menyuruh orang mencarikan obat dari resep itu.”

Melihat sikap kekasihnya yang begitu meyakinkan, Cui Bi tidak ragu-ragu lagi. Memang ia selalu mempunyai dugaan bahwa kekasihnya ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang menyembunyikan kepandaiannya. Kiranya kepandaiannya adalah sebagai ahli pengobatan. Ia memeluk Ibunya dan berkata,

“Ibu, kau percayalah kepada Hong-ko, mari mengaso dan minum obat.”

Li Cu memandang kepada Kun Hong dengan mata penuh perasaan, bahkan akhirnya ada air mata yang perlahan-lahan berlinang keluar dari mata itu.

“Kun Hong, kau putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong, tentu saja aku percaya kepadamu. Semoga kau betul-betul dapat menyembuhkannya….”

Kemudian ia menahan isak ketika memandang lagi kepada suaminya yang sudah pingsan terengah-engah itu, dan akhirnya keluar dari kamar sambil dituntun oleh puterinya.

“Kuharap kalian berempat suka pula keluar dan menunggu di luar. Terlalu banyak orang di dalam kamar amatlah tak baik bagi si sakit. Li Eng, tolong kau minta kepada Cui Bi agar memberiku jarum-jarum perak dan sepanci air panas mendidih.”

Tanpa berkata apa-apa lagi Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu dan Li Eng meninggalkan kamar, tetapi tidak meninggalkan ruangan di luar kamar itu. Dari pintu kamar yang tetap terbuka mereka dapat melihat ke dalam, melihat apa yang akan dilakukan oleh Kun Hong untuk mengobati Beng San yang keadaannya nampak sudah amat payah itu. Ada pun Li Eng cepat-cepat pergi mencari Cui Bi untuk minta barang-barang yang dipesan oleh Kun Hong tadi.

Setelah semua orang pergi, Kun Hong lalu mulai memeriksa luka-luka di tubuh Beng San. Kening pemuda itu berkerut, dahinya berkeriput ketika ia mengerahkan segenap kekuatan ingatannya untuk mencari hal-hal tentang pengobatan yang sudah dihafalnya dari semua kitab milik Yok-mo. Ia memeriksa jalannya darah pada nadi, ketukan jantung pada dada kiri, memeriksa jalan-jalan darah pada jalan darah terpenting.

Kun Hong mendapat kenyataan bahwa Beng San menderita luka dalam yang hebat pada tiga tempat, dan darahnya telah terserang racun berbahaya dari luka-lukanya di luar pula. Benar-benar amat parah.

Dengan gerakan perlahan tetapi tepat dan tidak ragu-ragu, Kun Hong menotok beberapa pusat jalan darah di tubuh Beng San, mengurut bagian leher dan dada untuk mencegah menjalarnya racun dan mencegah darah keluar dari mulut, kemudian ia membantu daya tahan ditubuh Beng San dengan pengerahan lweekang pada telapak tangannya yang dia tempelkan pada ulu hati. Usahanya berhasil baik karena pernapasan yang sakit itu tidak seberat tadi.

Pada saat Li Eng datang memasuki kamar membawa air panas sepanci dan sebungkus jarum-jarum perak, Kun Hong melepaskan tangannya dari si sakit, lalu memberi isyarat kepada Li Eng untuk keluar kamar dan menutupkan pintunya.

Li Eng memenuhi permintaan ini. Sekarang empat orang muda itu berdiri di luar kamar, tidak dapat lagi melihat apa yang sedang dilakukan oleh Kun Hong di dalam kamar itu, hanya dapat saling pandang penuh keheranan dan menduga-duga.

“Hebat pamanmu itu,” kata Kong Bu akhirnya kepada Li Eng.
“Apakah kau sebagai keponakannya tidak tahu bahwa dia itu pandai ilmu pengobatan?” Tanya Sin Lee kepada Hui Cu.

Pertanyaan-pertanyaan ini dilakukan berbisik dan secara otomatis empat orang muda itu terbagi menjadi dua rombongan. Kong Bu berdekatan dengan Li Eng sedangkan Sin Lee berdekatan dengan Hui Cu.

“Memang dia orang aneh, mengaku tidak bisa apa-apa tetapi agaknya menyembunyikan kepandaian luar biasa,” jawab Li Eng kepada Kong Bu.
“Aku sendiri tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan, dia tidak pernah bicara tentang kepandaiannya, kecuali kepandaian membaca kitab-kitab,” bisik Hui Cu sebagai jawaban kepada Sin Lee.

Pelayan datang mengantarkan minuman untuk empat orang muda itu. Mereka berpencar lagi, Kong Bu dengan Sin Lee duduk menghadapi meja kecil di sebelah kiri pintu kamar, ada pun dua orang gadis itu duduk menghadapi meja di sebelah kanan pintu kamar.

Tak lama kemudian muncullah Cui Bi di ruangan itu. “Ibu sudah minum obat dan sekarang tidur nyenyak. Aku harus membantu Hong-ko.”

Tanpa memberi kesempatan kepada empat orang muda itu untuk mencegahnya, ia terus saja membuka pintu kamar, lalu masuk dan menutup pintu dari dalam. Empat orang itu saling pandang dan tersenyum maklum. Li Eng dan Kong Bu, juga Sin Lee, berseri-seri wajahnya. Hui Cu menunduk, kelihatan malu dan jengah.

Kun Hong menoleh ketika mendengar ada orang memasuki kamar. Ketika melihat bahwa yang masuk adalah Cui Bi, ia memandang dengan mata bertanya dan alis berkerut.

"Jangan marah, Hong-ko. Aku harus membantumu. Ibu sudah minum obat dan sekarang sedang tidur. Kebetulan obat-obat yang kau tulis itu tersedia di kamar obat kami."

Kun Hong tidak tega menolak permintaan kekasihnya. Ia hanya mengangguk kemudian memasukkan belasan batang jarum ke dalam mangkok yang sudah dia isi dengan air mendidih.

"Kalau begitu, tolong kau buka baju ayahmu."

Dengan sigap Cui Bi melakukan perintah ini. Dia gelisah sekali melihat luka-luka di tubuh ayahnya, terutama sekali luka dalam yang hanya kelihatan membiru dan kemerahan di tempat-tempat berbahaya seperti lambung, dada, dan leher. Dengan hati-hati ia membuka baju ayahnya yang terkena noda darah yang dimuntahkan, lalu menyingkirkan baju itu ke sudut kamar.

Ada pun Kun Hong tetap melanjutkan pekerjaannya memasukkan jarum-jarum ke dalam air panas tadi. Dengan isyarat tangan dia lalu minta bantuan Cui Bi untuk mengangkat tubuh Beng San yang masih tak sadarkan diri dan membaringkan tubuh itu telungkup.

"Bi-moi, jangan dekat, kau mundurlah dan jangan mengeluarkan suara."

Mendengar suara yang penuh wibawa ini, meremang bulu tengkuk Cui Bi. Bukan main laki-laki ini, kadang-kadang dia kelihatan bodoh dan halus lemah lembut, akan tetapi pada saat ini kelihatan amat berpengaruh, penuh wibawa dan suaranya mengandung kekuatan dan kekuasaan yang hebat. Cui Bi cepat melangkah mundur dan berdiri di sudut kamar, memandang penuh perhatian, penuh harapan, dan penuh kekaguman.

Kun Hong mengeluarkan sembilan batang jarum perak dari dalam air panas, memegang jarum-jarum itu pada tangan kiri, mengambil sebatang dengan tangan kanan, dijepit di antara ibu jari dan telunjuk, lalu ia melangkah mundur tiga tindak dari pembaringan.

Jarak antara dia dengan tubuh Beng San ada satu setengah meter, matanya memandang tajam, semangat dikumpulkan, napas ditahan, tenaga lweekang digerakkan dan tiba-tiba dia menubruk ke depan. Jarum yang pertama telah dia tusukkan tepat pada jalan darah tiong-cu-hiat yang letaknya di belakang leher.

Secepat cara ia menusuk ke depan, ia telah melompat ke belakang pula, lalu mengambil jarum kedua dan ditusukkan pada jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kanan, lalu jalan darah hong-hu-hiat di belakang kedua pundak, di punggung bawah kanan kiri, jalan darah sin-teng-hiat di kedua pergelangan tangan sampai sembilan batang jarum itu semua habis ditusukkan, menancap di pelbagai jalan darah yang penting.

Kun Hong kemudian berdiri tegak dengan mata meram, dua tangan disilangkan, menarik napas panjang memulihkan tenaga dalam yang tadi banyak dikeluarkan untuk melakukan penusukan-penusukan jarum itu. Beberapa menit kemudian dia bergerak lagi, namun kini melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk, menotok mulai dari belakang kepala terus menurun sampai di lutut.

Caranya menotok juga aneh karena ia mempelajari dari kitab pengobatan ajaib Toat-beng Yok-mo. Seperti tadi, ia menotok dari jarak jauh, melompat dan menotok seperti orang menyerang lawan, akan tetapi totokannya selalu tepat mengenai sasaran!

Melihat semua gerakan Kun Hong ini, Cui Bi melongo saking herannya. Ia tidak mengenal ilmu tusuk jarum itu, akan tetapi ilmu menotok tentu saja ia kenal baik. Yang membuat ia kagum adalah cara menotok dengan sebuah jari ini.

Belum pernah ia melihat cara menotok seperti itu. Dia hanya mendengar saja cerita dari ayahnya bahwa di jaman dahulu ada semacam ilmu menotok yang disebut It-ci-san, akan tetapi Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) ini sekarang hanya tinggal dongengan saja. Ayahnya sendiri belum pernah melihat ada tokoh silat yang menggunakan totokan ini dalam pertandingan. Akan tetapi sekarang dia melihat Kun Hong menggunakan ilmu itu, hanya bukan untuk bertanding, melainkan untuk mengobati secara hebat sekali.

Kali ini, setelah menotok semua jalan darah yang penting, Kun Hong nampak lelah sekali, Cepat ia duduk bersila di atas lantai untuk mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga sampai sepuluh menit lebih, baru ia bangun dan memeriksa detik nadi tangan Beng San.

Wajahnya nampak berseri karena tepat seperti petunjuk di dalam kitab pengobatan, cara pengobatan pada babak pertama ini berhasil apa bila detik nadi menjadi cepat luar biasa, dan detik nadi yang dipegangnya itu pun cepat sekali. Dengan tenang tapi amat cepat ia mencabuti jarum-jarum itu dan memasukkannya kembali ke dalam mangkok lainnya yang sudah diisi air panas. Air di mangkok itu segera berubah menjadi kehitaman!

"Bi-moi, mari bantu aku." Ia memerintah dan Cui Bi cepat-cepat melangkah maju, penuh kekaguman.

Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan nona ini dan ia bersama Cui Bi mengangkat tubuh Beng San untuk ditelentangkan kembali. Alangkah leganya hati Cui Bi ketika melihat betapa wajah ayahnya yang tadinya pucat seperti mayat sekarang merah kembali, malah terlalu merah dan pada saat ia membantu tadi, tubuh ayahnya dirasakan panas seperti api.

Kun Hong memberi isyarat supaya gadis itu mundur lagi, kemudian ia mulai lagi dengan pengobatan babak ke dua, yaitu dengan cara menusuk-nusukkan sembilan batang jarum perak ke pelbagai jalan darah di tubuh bagian depan. Setelah mengaso sebentar, Kun Hong kembali melakukan totokan-totokan seperti tadi. Sekali ini seluruh tubuh Kun Hong mengeluarkan peluh dan terpaksa ia beristirahat lebih lama dari tadi.

Cui Bi mendekat. Melihat wajah dan pernapasan ayahnya, girang bukan main hatinya. Ia memandang pemuda yang bersila di lantai itu penuh kekaguman, penuh cinta kasih dan ingin rasa untuk memeluknya. Ia berterima kasih sekali dan memandang dengan mesra.

Cepat dia menuangkan arak yang tersedia di kamar itu ke dalam sebuah cawan, lalu ikut duduk bersila di dekat Kun Hong, cawan arak di tangannya, menanti sampai pemuda itu menyudahi semedhinya.

Tercenganglah Kun Hong ketika ia membuka mata, ia melihat Cui Bi duduk mendeprok di depannya, memandang mesra dan mengangsurkan secawan arak.

"Kau minumlah dulu...," suaranya merdu sekali, bisikan yang membuat wajah Kun Hong seketika menjadi merah dan jantungnya berdebar keras.

Cepat ia menindas perasaan ini, sambil tersenyum menerima cawan itu dan meminum isinya.

"Terima kasih, memang perlu bagiku...," jawabnya sambil mengembalikan cawan yang telah kosong.

Kemudian ia mencabuti jarum-jarum itu dan terdengarlah Beng San mengeluh. Pendekar sakti itu batuk-batuk tiga kali, kemudian membuka matanya. Dengan gerakan ringan dia mengangkat kedua tangannya, lalu seperti orang kaget dan heran ia bangun duduk.

"Ayah, kau sembuh...!" teriak Cui Bi.
"Ahhh... Orang muda, kau benar-benar luar biasa...," kata Beng San.
"Harap Paman jangan bergerak lebih dahulu, perlu mengembalikan tenaga dalam, maaf, akan saya bantu, harap Paman mengerahkan tenaga dari pusar ke dalam rongga dada, terutama ke sebelah kiri untuk memperkuat jantung. Bi-moi, kau hangatkan arak untuk ayahmu nanti."

Sambil berjingkrak-jingkak dan menari-nari kegirangan Cui Bi membuka pintu, keluar dari kamar itu. Empat orang muda yang menunggu di luar kaget, akan tetapi mereka girang sekali ketika dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar gadis itu berkata,
"Ayah sembuh... ohh, Ayah sembuh... Hong-ko hebat...!" Ia lalu lari untuk menghangatkan arak dan menyampaikan berita girang ini kepada ibunya.

Mendengar ucapan ini, empat orang itu segera melongok melalui pintu kamar yang sudah terbuka oleh Cui Bi tadi. Dengan penuh kekaguman dan juga keheranan mereka melihat Beng San sudah duduk bersila tanpa baju. Wajahnya tampak merah, bibirnya tersenyum dan matanya meram. Di belakangnya duduk Kun Hong bersila pula sambil menempelkan tangan kiri di belakang leher dan tangan kanan di belakang punggung Beng San. Pemuda ini juga memeramkan matanya.

Terdengar tindak kaki tergesa-gesa dan ketika mereka menengok, ternyata Li Cu yang berlari-lari datang, matanya berlinang air mata. Seakan-akan tidak melihat adanya empat orang muda di depan pintu itu, dia terus langsung memasuki kamar, terhenti di ambang pintu, dan menahan napas. Matanya memandang ke arah suaminya, lalu ia terisak-isak ditahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, menangis perlahan.

Kong Bu dan Sin Lee yang melihat ini semua tiba-tiba mendengar isak lirih di belakang mereka dan ternyata ketika mereka menengok, Hui Cu dan Li Eng juga sedang terisak menangis!

"Ehh, mengapa menangis?" Sin Lee berbisik kepada Hui Cu.
"Karena girang!" jawab Li Eng dan ternyata ketika menurunkan tangan, wajah gadis ini berseri-seri.
"Girang tapi menangis?" Kong Bu menyela. "Aneh, kalau girang menangis, habis kalau berduka bagaimana?"
"Tentu saja menangis juga," sekarang Hui Cu yang menjawab, dan baru kali ini terdengar gadis pendiam ini bergurau, agaknya saking gembira hatinya melihat betapa pamannya betul-betul dapat menyembuhkan Ketua Thai-san-pai itu.

Agaknya Beng San mendengar juga isak tertahan itu. Ia membuka matanya memandang kepada Li Cu yang sedang berlutut di pinggir pembaringan, lalu tersenyum. "Kwa-hiante, cukuplah, aku sudah yakin sekarang bahwa aku akan sembuh. Kau turunlah."

Mendengar ini, Kun Hong melepaskan kedua tangannya. Mukanya agak pucat, namun wajahnya berseri. Ia segera turun dari pembaringan ketika isteri Beng San berlutut di situ. Beng San memandang dengan wajah berseri.

"Tak kusangka bahwa hari ini nyawaku tertolong oleh putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong. Hiante, tidak perlu aku mengucapkan terima kasih, cukup kalau kunyatakan bahwa aku telah berhutang nyawa kepadamu. Hiante, kalau aku boleh bertanya, dari siapakah kau mendapat ilmu pengobatan yang luar biasa ini?"

Kun Hong sudah berdiri di tengah kamar, tunduk kemalu-maluan dan di belakangnya berdiri empat orang muda yang tadi menanti di luar kamar, sedangkan Li Cu kini pun sudah duduk di pinggir pembaringan.

Dengan malu-malu dan merendah Kun Hong menjawab, "Paman sakit dan aku berusaha merawat, soal seperti ini harap Paman jangan besar-besarkan. Andai kata saya yang menderita sakit, saya yakin Paman juga tentu akan merawat saya. Ada pun tentang ilmu pengobatan, saya membaca dari kitab-kitab pengobatan Toat-beng Yok-mo."

Beng San beserta isterinya saling pandang penuh keheranan. Toat-beng Yok-mo adalah seorang tokoh jahat, seorang manusia berhati iblis yang selalu membunuh setiap orang yang berobat kepadanya. Lalu bagaimana putera Ketua Hoa-san-pai ini dapat membaca kitab-kitab pengobatannya?

Kalau sekali membaca terus ingat hal ini tidak aneh bagi Beng San karena dia sendiri pun seorang yang amat cerdas dan sanggup sekali membaca terus ingat. Akan tetapi, hanya membaca saja, bagaimana dapat melakukan pengobatan-pengobatan yang memerlukan tenaga lweekang?

"Hiante, keteranganmu itu cukup, memang Yok-mo adalah seorang ahli pengobatan yang tiada keduanya di dunia ini. Akan tetapi caramu mengerahkan lweekang membantu penyaluran tenaga dalam padaku, hemmm, apakah itu kau pelajari pula dari kitab-kitab Yok-mo? Aku tahu betul lweekang Hoa-san-pai tidak begitu, malah lweekang yang kau salurkan tadi sejalan atau masih satu sumber dengan lweekang Thai-san-pai. Sukakah kau memberi keterangan?"

Kun Hong menjadi bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tidak suka berbohong, akan tetapi juga tidak berani membuka rahasia gurunya yang sudah tidak ada dan yang tidak pernah dilihatnya itu. Karena itu ia hanya menundukkan muka tak dapat menjawab.

Melihat ini, Li Cu memandang suaminya, berkedip yang hanya diketahui oleh mereka berdua, lalu berkata,
"Hal itu kukira tidaklah aneh betul. Aku mendengar bahwa kepandaian Yok-mo sebetulnya adalah warisan yang terjatuh di tangannya, yaitu warisan dari Yok-ong (Raja Obat), ada pun lweekang dari Yok-ong ini kabarnya sesumber dengan lweekang dari Pendekar Sakti, nenek moyang perguruan kita."

Beng San mengangguk-angguk dan tak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu Cui Bi berlari masuk membawa arak hangat.

"Hong-ko, ini araknya!" katanya penuh kegembiraan dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mesra.

Akan tetapi ketika melihat semua orang berada di situ dan semua orang termasuk ibu dan ayahnya memandangnya, ia menjadi sadar. Dengan malu-malu ia meletakkan mangkok arak di atas meja, lalu menghampiri ayahnya.

"Ayah, kau sudah sembuh betul?" Ia memeluk ayahnya.
"Bi-ji, ayahmu sudah selamat, hanya tinggal memulihkan tenaga saja berkat pertolongan Kwa Kun Hong Hiante. Dan kau sendiri, ahh... Cui Bi, karena melihat kau ada dalam cengkeraman manusia iblis Giam Kin itulah yang membuat ayahmu ini sampai menderita luka-luka. Bagaimana kau bisa selamat, anakku? Apakah kedua orang kakakmu itu yang menolongmu?"
"Ayah belum tahukah kau, Ayah? Yang menolongku adalah Hong-ko ini juga! Kalau tidak lekas-lekas dia datang, sekarang aku sudah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, daging dan kulitku tentu sudah habis..." sampai di sini Cui Bi menangis, ngeri mengingat semua pengalamannya.

Kun Hong merasa semakin tidak enak, ia memang pemalu dan tidak suka menghadapi pujian-pujian. Ia cepat-cepat mengambil arak hangat dan diangsurkan kepada Beng San, katanya,

"Arak hangat ini baik sekali untuk Paman, harap suka minum dan selanjutnya, untuk waktu tiga hari sebaiknya minum obat yang akan saya buat resepnya. Maafkan, Paman, saya hendak membuat resep di luar dan mengaso."

Saking herannya mendengar keterangan Cui Bi tadi, Beng San menerima mangkok arak hangat sambil memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda yang lemah-lembut itu, meski pun dia sudah dapat menduga dari sinar matanya bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, dapat menolong puterinya dari tangan Giam Kin manusia iblis Si Raja Ular Kecil!

Ia lalu minum araknya, dan memberi tanda kepada Kong Bu dan Sin Lee sambil berkata, "Anak-anakku, kalian mendekatlah..."

Kong Bu dan Sin Lee dengan terharu lalu melangkah maju dan berlutut pula dekat Cui Bi di depan tempat tidur.

Melihat betapa orang tua dan anak-anaknya itu berkumpul di situ diam-diam Hui Cu dan Li Eng saling mengangguk. Mereka segera keluar dari kamar itu, mencari Kun Hong yang ternyata sedang berjalan-jalan di dalam taman menghirup hawa udara segar.

Dua orang gadis ini menggandeng tangan Kun Hong di kanan kiri dan keduanya tiada hentinya memuji-muji dengan bangga sampai akhirnya Kun Hong membentak mereka disuruh diam.

Ada pun di dalam kamar itu tampak pemandangan yang amat mengharukan. Bergantian Beng San memeluk dan membelai kepala puteranya, lalu mereka semua mendengarkan penuturan Cui Bi tentang pertolongan Kun Hong.

Mendengar cara Kun Hong menolong Cui Bi, kembali mereka semua menjadi tertegun dan ragu-ragu. Kalau melihat cara mengusir ular-ular itu mempergunakan api, adalah cara orang biasa, bukan cara seorang ahli silat tinggi.

"Aneh sekali anak itu," Beng San berkata, "sepak terjangnya penuh keberanian, memiliki kepandaian ilmu pengobatan yang luar biasa pula, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Pernahkah kalian melihat dia memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang ahli silat kelas tinggi?"

Cui Bi menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan lawan berat dan betapa Kun Hong secara aneh sekali berani menantang kemudian mempermainkan Kang Houw yang secara aneh memukuli batu sampai seratus kali, juga bagaimana pemuda itu menantang dan dikeroyok oleh Tok Kak hwesio dan Toat-beng Yok-mo akan tetapi akhirnya dua orang tokoh itu saling gebuk sendiri.

Mendengar ini Beng San mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala seperti tidak percaya akan semua penuturan aneh itu.

Demikianlah, kalau di luar kamar dalam taman dua orang gadis Hoa-san-pai memuji-muji paman mereka, adalah di dalam kamar itu Beng San yang baru saja bebas dari ancaman maut, bergembira ria, bercakap-cakap dengan anak-anaknya dan mendengar penuturan mereka seorang demi seorang…..
********************
Pada hari yang ditentukan, hari ke lima belas bulan itu, pagi-pagi sekali Beng San telah menampakkan diri. Mukanya masih agak pucat, tubuhnya masih agak lemah karena biar pun sudah sehat kembali namun tenaganya belum pulih seluruhnya. Namun ia kelihatan gagah tenang seperti biasa.

Keluarnya pendekar ini diiringkan para anak muridnya yang mengangkat panji-panji dan benda-benda pusaka yang akan dijadikan lambang partai baru ini. Beng San berpakaian sederhana, pedangnya tergantung di punggung, hanya kelihatan gagangnya saja yang menonjol di atas pundak. Sikapnya tenang dan kereng, tidak merendah dan malu-malu seperti pada waktu mudanya. Langkahnya tegap dan pribadinya membayangkan wibawa besar.

Di sebelah kirinya berjalan Li Cu. Nyonya ini meski sedang mengandung tiga bulan, tidak kelihatan kegendutan perutnya. Pakaiannya ringkas, mukanya tetap cantik jelita biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun. Sinar matanya tajam menyapu ke kanan kiri, ke arah para tamu. Gagang pedang yang persis sama dengan pedang Beng San tampak di belakang pundaknya. Nyonya ini membayangkan sifat yang berani, keras hati akan tetapi lemah lembut.

Yang menarik perhatian semua orang, terutama para tamu muda, adalah tiga orang gadis yang berjalan di belakang nyonya Ketua Thai-san-pai ini. Mereka ini adalah Cui Bi, Li Eng, dan Hui Cu. Tiga orang gadis remaja ini kelihatan cantik-cantik manis, masing-masing memiliki kelebihan sendiri, akan tetapi ketiganya nampak gagah dan bersemangat, jelas membayangkan kepandaian ilmu silat tinggi.

Di belakang Beng San berjalan dua orang pemuda yang tampan gagah, yang berjalan sambil membusungkan dada, mengangkat dada tinggi-tinggi dan kepala tegak dengan mata memandang lurus ke depan, dua orang muda yang membayangkan kekuatan hebat. Mereka ini adalah Kong Bu dan Sin Lee.

Di belakang dua orang muda ini, kelihatan Kun Hong yang kelihatan lemah lembut dan semua orang tentu mengira bahwa dia merupakan seorang pemuda pelajar yang lemah. Pedang Ang-hong-kiam dia simpan di balik jubahnya sehingga tidak kelihatan dari luar. Langkahnya lambat dan lebar, bibirnya tersenyum akan tetapi pandang matanya serius, seperti pandang mata orang-orang yang sudah tergembleng oleh pengalaman dan derita hidup.

Memang Kun Hong merasa agak kuatir, juga Li Cu. Kun Hong mengusulkan tadi agar hari pendirian ini ditunda dan diundurkan. Kesehatan pamannya itu walau pun sudah tidak menguatirkan lagi, akan tetapi tenaga dalamnya belum pulih sama sekali sehingga kalau menghadapi orang pandai, bisa-bisa akan celaka.

Kun Hong sudah dapat meramalkan bahwa dalam pertemuan itu sudah pasti orang-orang jahat akan maju mempergunakan kesempatan ini untuk mengacau. Mendengar ini, Li Cu juga membujuk suaminya supaya menunda dan mengundurkan hari itu. Akan tetapi dengan bersikeras Beng San menolak.

"Pendirian sebuah partai tidak boleh dibuat main-main. Kita sudah mengumumkan dan orang-orang gagah dari semua penjuru membanjir datang, bagaimana dapat ditunda lagi? Apa lagi kalau alasannya hanya karena aku kurang sehat. Hemmm, pendirian ini lebih penting dari pada keselamatanku. Biarlah mereka yang bermaksud buruk maju, aku masih ada kekuatan untuk melawannya."

"Tidak usah Ayah maju, aku sendiri pun sanggup mewakilinya memberi hajaran kepada manusia-manusia iblis!" seru Cui Bi dengan muka gemas karena ia teringat kepada Giam Kin dan ingin sekali berhadapan dengan manusia licik itu.

"Ibu tidak usah kuatir, aku Kong Bu tidak percuma berada di samping Ayah," kata Kong Bu penuh semangat.
"Aku pun tidak akan membiarkan orang menghina Ayah!" kata Sin Lee.
"Paman dan Bibi, kalau membolehkan kami berdua juga sanggup untuk mewakili Paman menghadapi orang-orang yang hendak mengacau," kata Li Eng dan Hui Cu mengangguk membenarkan.

Mendengar ucapan orang-orang muda yang penuh semangat ini, Beng San lalu tertawa gembira.

"Nah, ke mana semangatmu yang dulu-dulu?" dia menegur isterinya. "Sikap mereka ini mengingatkan aku akan semangatmu pada masa dahulu. Dahulu kau pun bersemangat seperti bocah-bocah ini."

Mereka tertawa dan Li Cu hilang kekuatirannya. Ia cukup maklum akan kelihaian dua orang anak tirinya, juga maklum bahwa selain Cui Bi, Li Eng cukup boleh diandalkan. Apa lagi di situ ada dia sendiri, takut apa lagi?

Juga tidak semua tamu memusuhi mereka, banyak juga teman-teman baik yang tentu tak akan membiarkan Thai-san-pai dikacau oleh orang jahat. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan hal ini tidak mau ia sembunyikan.

"Bukannya aku kehilangan semangat," katanya kemudian. "Akan tetapi yang agak berat dilawan adalah tosu itu. Entah siapa dia? Gerakan tangannya saja menunjukkan tenaga lweekang yang hebat sekali."

Beng San mengerutkan kening, "Ahh, kau maksudkan suheng dari Siauw-ong-kwi yang bernama Pak-thian Locu itu? Memang dia hebat. Hemmm, tak usah kuatir, aku sanggup menghadapinya."

Padahal diam-diam Beng San harus mengakui bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tak mungkin ia dapat memandang rendah kepada kakek itu. Ia boleh mengandalkan ilmu pedangnya, akan tetapi dalam hal tenaga, ia kalah jauh. Kalau di waktu sehat saja ia sudah kalah lihai dalam tenaga dalam, apa lagi sekarang. Tenaganya belum ada enam puluh prosen yang kembali. Tetapi kekuatiran ini ia tekan saja di dalam hatinya dan tidak diperlihatkan keluar.

Setelah rombongan tuan rumah ini sampai di tempat yang sudah disediakan, yaitu di belakang panggung, Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya.

Dengan rapi dan teratur anak murid Thai-san-pai berbaris mendekati panggung. Beberapa orang naik ke panggung dengan gaya loncatan khas Thai-san-pai, ringan dan gesit tetapi tanpa kelihatan mengerahkan tenaga. Beberapa orang ini mengatur meja sembahyang yang semenjak tadi memang sudah dipasang di sudut panggung. Dengan hormat mereka menyalakan lilin, mengatur meja sembahyang lalu berdiri di kanan kiri merupakan barisan penghormatan.

Beng San melangkah maju, terus tubuhnya melayang ke atas panggung seperti seekor burung terbang, menghampiri meja, memasang hio dan melakukan sembahyang dengan khidmat. Dengan suara lantang pendekar ini mengucapkan sumpah dan mohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya Thai-san-pai dapat berdiri kokoh kuat dan para murid tidak menyeleweng dari peraturan-peraturan yang disumpahkan itu.

Setelah Beng San selesai bersembahyang, sebagai sumpah anggota, Li Cu dan Cui Bi meloncat ke atas panggung. Ibu dan anak ini gerakannya ringan seperti bulu terbawa angin saja, kemudian mereka lalu bersembahyang.

Kemudian datanglah giliran para anggota yang jumlahnya tiga puluh tujuh orang itu untuk melakukan sembahyang dan selesailah sudah upacara sembahyangan ini. Kini tiba giliran para tamu untuk memberi selamat kepada Thai-san-pai dan menyampaikan bingkisan-bingkisan sebagai tanda mata.

Bukan main gembiranya suasana di saat itu. Apa lagi ketika berbondong-bondong datang rombongan sahabat-sahabat Ketua Thai-san-pai, terjadilah gelak tawa, wajah berseri-seri dan berisiklah orang bercakap-cakap. Betapa hati Beng San tidak akan girang menerima sahabat-sahabat lama dari partai-partai persilatan besar Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai, dan Go-bi-pai. Bahkan yang membuat ia luar biasa bergembira adalah hadirnya Ketua Kun-lun-pai, sahabat lamanya yang bernama Bun Lim Kwi bersama puteranya, Bun Wan.

Tentu saja sahabat dan calon besan ini mendapat penyambutan hangat sekali dan suami isteri Thai-san-pai ini diam-diam merasa makin gembira melihat calon mantu mereka, Bun Wan. Pemuda itu ternyata gagah sekali, dengan tubuh tinggi besar dan tegap. Alisnya hitam berbentuk golok, matanya penuh kejujuran dan kesetiaan, sedang gerak-geriknya membayangkan bahwa dia merupakan seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, patut menjadt putera ketua Kun-lun-pai, dan calon mantu Ketua Thai-san-pai.

Akan tetapi, ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah tunangannya, Cui Bi membuang muka dan bersembunyi di belakang para anak murid Thai-san-pai. Ia diam-diam harus mengakui bahwa tunangannya itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi karena hatinya telah terampas oleh pemuda Hoa-san-pai yang sederhana itu, mana ia mau memandang tunangannya lagi?

Ketika ibunya menarik tangannya ke depan, terpaksa dia memberi hormat kepada ‘calon ayah mertuanya’ tanpa sepatah kata-kata pun, lalu dia bersembunyi lagi.....

Di pihak Bun Lim Kwi yang sekarang sudah kelihatan setengah tua dan masih gagah, ia tertawa terbahak-bahak menyaksikan sikap calon menantunya yang malu-malu itu. Sikap demikian adalah wajar, maka dia tidak merasa tersinggung malah tertawa bergelak.

Ada pun Bun Wan yang mengerling pada saat gadis itu tadi memberi hormat kepada ayahnya, merasa jantungnya berdebar. Bukan main tunangannya itu! Cantik jelita seperti bidadari, melampaui segala yang pernah ia impikan. Diam-diam ia memberi selamat pada diri sendiri atas kemujuran ini.

Cui Bi diam-diam gelisah sekali melihat betapa akrab pergaulan antara orang tuanya dan Ketua Kun-lun-pai itu. Ia tetap bersembunyi sampai tamu-tamu yang disambut hangat ini sudah dipersilakan duduk kembali ke daerah kursi kehormatan.

Hidangan berupa arak dan daging mulailah dikeluarkan dan keadaan menjadi semakin meriah.

Dengan amat singkat Beng San membuka pertemuan itu sambil berdiri di atas panggung. Suaranya lantang terdengar jelas karena semua orang menghentikan percakapan mereka untuk mendengarkan.

"Cuwi sekalian yang terhormat. Sebagai Ketua Thai-san-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih dan selamat datang atas kunjungan dan perhatian saudara sekalian sebagai saksi dari pendirian partai baru yang kami dirikan, yaitu Thai-san-pai. Terima kasih pula kami ucapkan atas pemberian selamat dan bingkisan-bingkisan, semoga hal ini akan bisa mempererat persaudaraan di antara kita dan semoga Thian yang akan membalas segala kebaikan saudara sekalian. Kepada para saudara yang datang dengan kandungan hati yang tulus ikhlas kami persilakan menikmati hidangan sekedarnya. Ada pun mereka yang mengandung maksud lain, segala rasa penasaran yang terpendam, sekaranglah kiranya terbuka kesempatan bagi mereka itu untuk mengeluarkannya agar disaksikan oleh semua tamu yang terhormat."

Setelah berpidato singkat ini, Beng San kembali ke tempat duduknya. Kata-katanya yang terakhir itu singkat saja, namun langsung menikam mereka yang memang datang bukan mengandung niat baik

Kata-kata ini diucapkan bukan tanpa alasan, tetapi karena memang sudah ada kejadian yang menunjukkan bahwa di antara para tamu yang datang terkandung pula niat yang buruk. Hal ini terbukti dari adanya orang yang membunuh anak murid Thai-san-pai, juga mereka yang berusaha mati-matian untuk memecahkan jalan rahasia, dan mereka yang telah menculik Cui Bi serta mengeroyoknya.

Beng San terpaksa mengeluarkan pernyataan ini karena dari atas panggung tadi ia masih belum melihat tokoh-tokoh yang mengeroyoknya dua hari yang lalu, juga tidak kelihatan adanya Giam Kin.

Dari tempat ia duduk, sepasang mata Beng San yang amat tajam itu menyapu para tamu dan terlihat jelas olehnya kini betapa di antara para tamu itu terdapat bekas-bekas lawan dan orang-orang yang selama ini menganggapnya sebagai musuh. Diam-diam pendekar ini menggolongkan para tamunya menjadi tiga golongan.

Pertama-tama tentu saja golongan para sahabat baik yang datang khusus untuk memberi selamat dan ikut bergembira dengan pendirian Thai-san-pai, mereka ini antara lain adalah Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, tokoh-tokoh Pek-lian-pai dan beberapa tokoh kang-ouw yang dikenalnya baik.

Golongan ke dua adalah golongan yang selama ini memusuhinya dan di antara golongan ini ia mengenal beberapa tosu Ngo-lian-kauw, orang-orang Bu-eng-pai yang dipimpin oleh seorang wanita tua yang ia kenal, yaitu Ang Kim Nio. Juga ia melihat adanya tokoh-tokoh bajak sungai dari Huang-ho yang tentu tidak senang hati mereka sejak Ho-hai Sam-ong terbunuh oleh Li Cu.

Ada pula Koai-sin-kiam Oh Tojin yang dulu membantu kakak kandungnya yang jahat, Tan Beng Kui, dan masih banyak lagi orang-orang dari golongan jahat. Dia menduga bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok kemarin dulu, tentu bersembunyi dan nanti juga akan muncul kalau sudah tiba saatnya. Orang-orang itu memang termasuk tokoh-tokoh aneh, tidak seperti kebanyakan.

Ada pun golongan ke tiga adalah yang tidak mudah diraba bagaimana nanti sikapnya. Di dalam golongan ini termasuk pula para wakil Siauw-lim-si, dan sungguh pun Siauw-lim-pai tidak langsung memusuhinya, namun ia melihat dua orang di antara mereka adalah Hek Tung Hwesio dan Pek Tung Hwesio yang dahulunya dianggap sudah melarikan diri dari Siauw-lim-pai dan menjadi musuh mendiang Cia Hui Gan. Malah pernah dua orang ini dikalahkah oleh Li Cu.

Juga guru silat kota raja Lai Tang si pongah itu yang sukar dijajaki isi hatinya. Dan masih banyak orang-orang aneh dari selatan yang tidak dikenalnya namun yang jelas memiliki kepandaian tinggi.

Suasana makin menegang ketika para tamu sudah minum arak dan minuman keras ini agaknya membuat mereka mulai terlepas bicaranya dan keadaan makin berisik. Namun keadaan tuan rumah dan orang-orang muda yang menemaninya itu tetap tenang-tenang saja, seakan-akan tidak tahu akan perbuatan ini.

Beng San maklum bahwa perkumpulan yang baru didirikannya itu hanya mempunyai tiga puluh lebih orang anggota, tak boleh dibilang cukup kuat untuk menghadapi bahaya. Akan tetapi ia percaya kepada diri sendiri, apa lagi di situ ada isterinya yang lihai dan terutama sekali karena sekarang di samping Cui Bi yang ia tahu tak lihai dari ibunya, terdapat pula anaknya yang baru tiba, Sin Lee, Kong Bu.

Ia maklum bahwa dua orang puteranya ini adalah bocah-bocah gemblengan, bahkan ia boleh mengandalkan tenaga murid-murid Hoa-san-pai terutama Li Eng. Hui Cu memang belum begitu tinggi ilmunya sedang Kun Hong tetap merupakan tokoh penuh rahasia bagi Beng San.

Pemuda ini sama sekali tidak pernah mau mengaku bahwa ia memiliki kepandaian tinggi, dan karena Beng San merasa berhutang nyawa, maka pendekar ini tidak berani untuk mencoba-coba. Biar pun masih amat muda, sikap Kun Hong seperti seorang yang sudah tua, membuat orang tidak berani main-main kepadanya.

Di samping kekuatan keluarga sendiri yang cukup membesarkan hati ini, di sana masih banyak sahabat-sahabat yang kiranya takkan berpeluk tangan kalau melihat Thai-san-pai diganggu penjahat. Terutama sekali tentu saja, calon besan dan calon mantunya Bun Lim Kwi dan Bun Wan.

Cuma seorang saja yang kadang-kadang membuat Beng San berdebar, yaitu Pak-thian Locu. Apa bila kakek itu nanti muncul, tidak ada orang lain yang boleh diandalkan untuk menghadapinya kecuali dia sendiri. Kakek itu terlampau lihai, dan tingkatnya sudah tinggi sekali sehingga dia sendiri pun masih ragu-ragu apakah akan dapat mengatasinya.

Beberapa orang tamu sudah mulai mabuk dan tiba-tiba Lai Teng guru silat pongah yang tinggi besar itu berdiri dari bangkunya. Agaknya teman-temannya semeja sudah berhasil menghasutnya dan sekarang dia berdiri dengan kaki terpentang dan dia bertepuk tangan beberapa kali untuk menarik perhatian.

Setelah semua orang memandangnya, ia pun mulai berkata dengan suara nyaring, "Heii! Thai-san-pai ini partai macam apa sih? Perkumpulan para pengejar huruf, para pengejar konde, ataukah perkumpulan orang-orang gagah? Jika ketuanya seorang ahli silat tinggi, seorang raja pedang, kenapa perayaan ini begini adem? Membosankan!"

Ucapan ini terang merupakan penghinaan yang sengaja dikeluarkan untuk memancing keributan. Akan tetapi Beng San dan keluarganya hanya memandangnya dengan sikap tenang-tenang saja.

Terdengarlah pekik sorak di sana-sini, terutama dari mereka yang memang ingin segera menyaksikan keributan terjadi di tempat itu. Ada suara dari sudut berseru, "Lai-kauwsu, kau mempunyai julukan Si Cakar Naga, di kota raja siapa yang tidak pernah mendengar nama besarmu? Tetapi di sini, jangan kau main-main. Apa kau berani memperlihatkan kepandaianmu di panggung? Jangan-jangan kau akan diketawai Thai-san-pai!"

Semua orang menengok untuk melihat Si Pembicara, akan tetapi tidak ada yang tahu betul siapa yang menguacapkan suara tadi. Hanya orang-orang pandai di antara tamu dan tentu saja pihak tuan rumah yang tahu bahwa suara ini dikeluarkan oleh seorang pandai yang mempunyai ilmu khikang tinggi sehingga dapat memindahkan arah suaranya. Orang yang pandai dengan ilmu ini, biar pun ia berdiri di sebelah barat, suaranya dapat terdengar seperti datang di sebelah timur.

Beng San maklum bahwa orang yang memusuhinya mulai ‘membakar’ suasana. Namun dia tenang saja dan memang sudah siap menghadapi segala kericuhan yang disengaja oleh para lawannya. Sebagai sebuah partai baru, Thai-san-pai harus bisa memperlihatkan keangkerannya, harus dapat menjaga nama, dan keadaan yang sekarang dia hadapi ini merupakan ujian berat namun baik sekali.

Lai Tang Si Cakar Naga ikut menengok juga akan tetapi karena tidak dapat melihat orang yang mengeluarkan kata-kata itu, ia segera melihat ke arah panggung dan kemarahannya sudah meluap.

"Siapa takut diketawai dan siapa berani menertawai aku?"

Tubuhnya melayang dan ia sudah naik ke atas panggung yang memang disediakan itu. Ketika melayang ke atas papan panggung itu, tubuhnya seperti daun kering saja, amat ringan dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara. Menyaksikan ginkang yang cukup hebat ini, para tamu yang muda dan yang tidak begitu tinggi tingkat ilmunya, segera bertepuk tangan riuh-rendah memuji.

Lai Tang yang disoraki ini ‘mendapat hati’. Sambil petantang-petenteng ia berkata ke arah rombongan tuan rumah.

"Tidak ada partai baru didirikan tanpa diuji. Thai-san-pai adalah partai baru, tapi siapa pernah mendengar tentang ilmu silat Thai-san-pai? Dalam perayaan semacam ini, sudah sepatutnya Thai-san-pai memperlihatkan isinya. Biarlah aku menjadi orang pertama untuk belajar kenal dengan kelihaian ilmu siiat Thai-san-pai!"

Kong Bu bergerak dari bangkunya, juga Sin Lee mengepal tinju, akan tetapi Beng San memberi isyarat kepada dua orang puteranya itu untuk menahan diri dan bersikap sabar, kemudian ia menggapai kepada Oei Sun, murid kepala yang berdiri di rombongan para murid Thai-san-pai.

Isyarat ini cukup dapat dimengerti oleh Oei Sun yang dengan langkah tenang kemudian menghampiri panggung. Setelah menjura ke depan Beng San dan Li Cu, murid kepala ini lalu melompat ke atas panggung, menghadapi Lai Tang sambil tersenyum dan memberi hormat.

"Lai-kauwsu, atas perkenan ketua kami, saya diwajibkan melayani Kauwsu yang datang sebagai tamu dan kami Thai-san-pai sebagai tuan rumah wajib melayani semua kehendak tamu. Harap Kauwsu ketahui bahwa Thai-san-pai didirikan bukan sekali-kali bermaksud untuk menjagoi, terlebih-lebih pula sama sekali bukan didirikan dengan maksud mencari permusuhan dengan orang atau pihak mana pun juga."
"Ha-ha-ha-ha!" Lai Tang tertawa bergelak. "Kalau begitu, apakah Thai-san-pai merupakan sebuah perkumpulan yang mengajar seni tari, ataukah kebatinan, apakah perkumpulan bermain judi? Apakah Thai-san-pai bukan perkumpulan silat?"

Merah muka Oei Sun mendengar ejekan ini, namun mulutnya masih tersenyum ramah dan tenang. "Lai-kauwsu, sudah tentu saja guru kami mendirikan sebuah perkumpulan silat dan Thai-san-pai adalah perkumpulan silat karena ketuanya adalah seorang ahli silat yang sudah dikenal oleh seluruh dunia. Akan sama sekali bukan perkumpulan silat yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi orang pongah dan sombong. Semua anak murid Thai-san-pai mempelajari ilmu silat hanya untuk memenuhi kehendak guru dan memenuhi sumpah Thai-san-pai, yaitu menggunakan kepandaian silat untuk memberantas kejahatan dan kelaliman, menegakkan kebenaran serta keadilan, mengabdi kebajikan, bukan untuk menjadi jagoan yang berlagak tengik!"

Lai Tang merasa disindir dan matanya melotot. "Bagus sekali! Kalau begitu ingin sekali aku menguji ilmu silat Thai-san-pai, apakah sudah cukup tinggi untuk sanggup membuat anak-anak muridnya menjadi pendekar. Silahkan ketuanya maju, biar aku Lai Tang mohon sedikit pelajaran."

Oei Sun juga sudah marah. "Lai-kauw-su, aku Oei Sun adalah murid Thai-san-pai. Suhu sudah memerintahkan aku untuk melayanimu, jadi kalau kau sebagai tamu menghendaki pertandingan untuk menguji ilmu silat, silakan, aku bisa melayanimu."

"Ahh, begitukah? Nah, kau terimalah seranganku ini!"

Lai Tang serta merta menerjang dengan serangannya dan agaknya guru silat ini hendak mencapai kemenangan dalam waktu singkat karena begitu menerjang dia telah mainkan ilmu silatnya yang paling diandalkan dan yang membuat dia dijuluki Si Cakar Naga, yaitu ilmu silat yang dia namakan Liong-jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga).

Ilmu silat ini dimainkan dengan kedua tangan terbuka, dan jari-jari tangan dipergunakan untuk mencengkeram sedangkan pukulan dilakukan oleh pangkal tangan. Disertai tenaga lweekang yang kuat, ilmu Liong-jiauw-kang ini memang berbahaya sekali karena selain memukul, kedua tangan itu dapat mencengkeram atau menangkap.

Pada hakekatnya ilmu Liong-jiauw-kang ini tiada bedanya dengan ilmu Eng-jiauw-kang. Akan tetapi dasar Lai Tang orangnya sombong, ia mengadakan perubahan pada ilmu Silat Eng-jiauw-kang ini dan menganggap bahwa ilmu silat ini merupakan ciptaannya, malah ia memakai julukan Si Cakar Naga segala!

Oei Sun adalah murid pertama dari Beng San. Biar pun bakatnya tidak amat baik, namun karena ketekunannya mempelajari ilmu silat selama belasan tahun, bahkan selama dua puluh tahunan ini, tentu saja ilmu silatnya sudah cukup tinggi.

Beng San serta Li Cu memang tidak melihat bakat baik pada dirinya, namun Oei Sun memiliki kejujuran, kesetiaan dan keteguhan hati. Pasangan suami isteri ini menemukan Oei Sun ketika pemuda ini di suatu dusun mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok untuk membela penduduk di situ, padahal ia sama sekali tidak tahu ilmu silat.

Sifat gagah dan jiwa ksatria inilah yang menarik hati Beng San. Karena Oei Sun tidak mempunyai sanak keluarga, dia lalu diajak ke Thai-san dan diberi pelajaran ilmu silat. Oei Sun amat setia dan malah sampai sekarang dia tidak pernah beristeri.

Tentu saja Beng San tidak menurunkan ilmu-ilmu seperti Im-yang Sin-hoat atau ilmu silat isterinya Sian-li Kun-hoat kepada Oei Sun, hanya puteri mereka saja yang mewarisi kedua ilmu ini. Namun Beng San mengajarnya Thai-san Kun-hoat yang dia ciptakan bersama isterinya. Dalam Ilmu Silat Thai-san Kun-hoat ini terkandung beberapa pukulan-pukulan penting dari kedua ilmu silat di atas.

Melihat datangnya penyerangan Lai Tang yang cepat dan bertubi-tubi itu, Oei Sun dengan tenang menggeser kaki ke belakang dan beberapa kali ia mengelak dengan cepat sambil memperhatikan gaya permainan lawan. Memang beginilah sikap anak murid Thai-san-pai, apa bila diserang lawan, tidak buru-buru membalas melainkan menangkis atau mengelak beberapa kali sambil memperhatikan gaya lawan untuk mencari kelemahannya.

Pada hakekatnya, dasar ilmu silat Lai Tang tidaklah hebat, maka setelah mengelak lima kali saja Oei Sun sudah dapat mengetahui kelemahan lawan. Cengkeraman yang menjadi pokok penyerangan itu dilakukan dengan tangan bergerak dari depan dada sehingga siku lengan itu menjulur ke depan dan inilah kelemahah Lai Tang.

Setelah mengelak dan menangkis beberapa belas jurus lamanya, Oei Sun mulai mencari kesempatan. Pada waktu dia mengelak dari cengkeraman tangan kanan, tangan kiri Lai Tang sudah siap, lengannya ditekuk dengan tangan di depan dada. Saat itulah Oei Sun cepat memukul ke depan, tepat pada siku kiri Lai Tang, mengarah ke jalan darah pada sambungan siku.

"Aduh...!" Lai Tang terhuyung mundur, mukanya pucat dan tangan kanannya memegangi siku kiri yang terlepas sambungannya oleh pukulan tadi!

Oei Sun cepat menjura sambil tersenyum, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu sudah suka mengalah kepadaku."

'"Keparat! Jangan sombong dulu, aku belum kalah!" teriak guru silat kasar ini dan tangan kanannya tahu-tahu telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya.

Biar pun lengan kirinya sudah lumpuh karena sambungan sikunya terlepas ia masih dapat bergerak cepat dan goloknya menyambar ke arah leher Oei Sun. Semua orang terkejut melihat gerakan golok yang amat cepat datangnya, namun Beng San yang menonton dari kursinya hanya tersenyum tenang saja. Muridnya itu biar pun kurang berbakat, namun cukup teliti dan terlatih sehingga kalau hanya menghadapi seorang lawan kasar macam Lai Tang saja pasti tak akan memalukan.

"Eh, Lai-kauwsu hendak main-main dengan senjata?” seru Oei Sun sambil menundukkan kepala dan menggeser kaki ke kiri, tangan kanannya bergerak dan tercabutlah sebatang pedang dari pinggangnya.

Ketika golok lawannya menyambar lagi dari samping, dia menangkis sambil menyelinap maju dan tahu-tahu pedangnya sudah melanjutkan tenaga tangkisan atau benturan itu merupakan tusukan ke arah lambung. Lai Tang dapat menangkis pula dan bertandinglah dua orang ini dengan seru.

Harus dipuji juga keuletan Lai Tang. Lengan kiri yang lumpuh itu menghambat gerakan-gerakannya, tapi dia tidak mau menyerah mentah-mentah dan goloknya yang digerakkan dengan tenaga besar menyambar-nyambar ganas.

Namun menghadapi ilmu pedang Oei Sun, jelas bahwa ia kalah setingkat. Ilmu pedang Thai-san-pai yang dimainkan Oei Sun adalah pecahan dari Im-yang Kiam-hoat dan Sian-li Kiam-hoat, hebatnya bukan kepalang, juga amat indah ditonton.

Belum sampai dua puluh jurus pandang mata Lai Tang menjadi kabur, kepalanya pening dan melihat lawan seakan-akan sudah berubah menjadi banyak sekali. Baiknya Oei Sun sebagai murid Beng San, bukanlah seorang kejam. Ketika mendapat kesempatan baik, ia berhasil menggurat pergelangan tangan kanan Lai Tang sehingga guru silat pongah ini berteriak sambil melepas goloknya. Darah bercucuran dari luka di pergelangan tangan, luka yang tidak berbahaya tapi cukup mengeluarkan banyak darah.

Oei Sun sudah menyimpan pedangnya, membungkuk untuk memungut golok kemudian menyerahkannya kepada Lai Tang sambil berkata, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu telah mengalah dua kali kepadaku.”

Lai Tang menerima goloknya dan memandang dengan mata mendelik, mendengus sekali lalu meloncat turun dari panggung, diiringi sorak sorai tamu yang memuji-muji Oei Sun. Di tengah sorak sorai itu, sebelum Oei Sun meloncat turun, tiba-tiba saja nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang tosu tua sudah berdiri menghadapi Oei Sun di atas panggung.

Pendeta ini berjubah kuning ringkas, pada punggungnya tampak gagang sebuah pedang. Sambil tersenyum ia menjura dan berkata, "Kepandaian Sicu sangat hebat, tidak kecewa menjadi murid Thai-san-pai. Lebih-lebih ilmu pedang tadi, amat indah dilihat sungguh pun kegunaannya belum tentu sehebat keindahannya! Sicu, maukah kau memperlihatkan ilmu pedang Thai-san-pai kepada pinto (aku)?"

Melihat tosu ini, Beng San mengerutkan alisnya. Dia mengenal tosu itu yang bukan lain adalah Koai-sin-kiam Oh Tojin, dahulu pun pernah membantu Tan Beng Kui, kakaknya. Dari julukannya saja, Koai-sin-kiam (Pedang Sakti Aneh), dapatlah diduga bahwa tosu ini merupakan seorang ahli pedang dan seingat Beng San muridnya itu tidak akan menang menghadapi tosu ini yang lebih tinggi tingkatnya.

Akan tetapi, melihat bahwa muridnya itu tak menolak tantangan tosu itu, sudah tentu saja dia tidak dapat menyuruh muridnya untuk mundur sebelum mereka bergerak. Dia hanya memandang dengan alis berkerut.

Ada pun Oei Sun, sebetulnya dia adalah seorang yang cukup mempunyai kesabaran. Apa bila dia yang dihina orang kiranya ia takkan mudah menjadi marah. Akan tetapi ucapan tosu itu tadi merupakan penghinaan bagi Thai-san-pai, merupakan ucapan memandang rendah ilmu pedang Thai-san-pai, maka ia menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk menjaga nama baik suhu-nya dan partainya. Ia pun balas memberi hormat sambil berkata, 

“Tentu saja sebagai tamu Totiang berhak meminta sesuatu dan sudah menjadi kewajiban tuan rumah untuk melayani tamunya. Akan tetapi, siapakah Totiang ini, hendaknya sudi memberi nama yang benar agar aku, Oei Sun murid Thai-san-pai, dapat terbuka mata dan mengenalnya."
"Ha-ha-ha-ha, kau orang muda yang pandai merendah, Oei-sicu. Bagus, karena sikapmu inilah kau akan selamat dari tanganku. Ketahuilah, pinto adalah Oh Tojin, dan bergelar Koai-sin-kiam. Seperti kau ketahui, dari julukan pinto itu sudah sepatutnya pinto tertarik akan ilmu pedang. Nah, pergunakanlah pedangmu untuk menyerang, supaya pinto dapat merasakan kelihaian ilmu pedang Thai-san-pai!"

Tanpa banyak cakap Oei Sun mencabut pedangnya. "Harap Totiang suka mengeluarkan pedang Totiang"

"Ha-ha-ha!" tosu itu tertawa dengan sikap jumawa sekali. "Sudah kukatakan tadi, sikapmu menolongmu. Pinto tak perlu menggunakan pedang karena sekali menggunakan pedang, tentu kau celaka. Jangan ragu-ragu, kau pergunakanlah pedangmu."

Oei Sun mendongkol sekali. "Totiang sendiri yang minta, harap jangan menyesal. Lihat pedang!"

Pedang Oei Sun berkelebat menyambar. Tosu itu dengan gerakan yang baik dan cepat sekali telah berhasil menghindarkan diri. Oei Sun menyerang terus dengan hati-hati, akan tetapi benar-benar tosu di depannya ini tidak dapat dipersamakan dengan Lai Tang yang sombong tadi.

Gerakan tosu ini ringan sekali dan berdasarkan ilmu silat yang tinggi. Geseran-geseran kakinya teratur dan walau pun bertangan kosong, belum pernah pedang Oei Sun dapat menyentuh bajunya.

"Hemmm, Oei Sun terlalu sungkan, kalau ia bersungguh melakukan serangan maut, tosu badut itu tentu akan repot," kata Li Cu yang duduk di sebelah kiri suaminya.

Beng San mengangguk. "Memang, mendengar bahwa tosu itu takkan mencelakakannya, cukup membuat Oei Sun juga ikut sungkan melukainya. Kesalahan besar, terhadap orang yang begitu tinggi hati harus memberi hajaran. Tetapi betapa pun juga, Oei Sun bukanlah lawannya."

Tosu itu benar-benar mempermainkan lawannya. Sambil mengelak dan meloncat ke sana ke mari, mulutnya terus mengoceh. "Ah, jurus ini seperti jurus Hoa-san-pai. Orang muda, sudah banyak kuketahui tentang ilmu pedang, banyak yang kelihatannya indah dan bagus tapi tidak berisi, seperti misalnya ilmu pedang Hoa-san-pai itu. Memang bagus dipandang, tapi kalau dipergunakan dalam pertempuran, tidak ada gunanya." Ia mengelak ke kiri dan menyambung. "Seperti jurusmu yang ini, apa gunanya? Lihat, ini baru gerakan istimewa yang disebut Udang Sakti Mencapit Ikan!"

Pada saat itu, pedang Oei Sun menyambar dari atas ke bawah membacok pundaknya. Oh Tojin miringkan tubuh dan pada saat pedang itu menyambar di dekat tubuhnya, tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu punggung pedang benar-benar telah di ‘capit’ oleh dua buah jari tangannya yang telah ditekuk.

Hebatnya, betapa pun Oei Sun berusaha membetot kembali pedangnya, ia tidak berhasil. Capitan atau jepitan kedua jari tangan yang ditekuk itu benar-benar sangat kuat seperti jepitan baja!

"Ha-ha-ha, inilah jurus saktiku, Oei-sicu. Tangan kirimu masih bebas, apakah kau hendak memukul? Bisa, tapi jagalah capit saktiku," kata tosu itu sambil tertawa-tawa.

Oei Sun tentu saja tidak mau mengalah secara demikian. Meski pedangnya sudah dijepit dan tak dapat ia tarik kembali, tapi ia belum boleh dibilang kalah. Mendengar tantangan ini, ia lalu menggerakkan tangan kirinya memukul bukan ke arah tubuh tosu itu melainkan ke arah tangan yang menjepit pedangnya. Usaha ini ia lakukan supaya tangan itu suka melepaskan jepitannya dan pedangnya dapat terlepas.

Akan tetapi sekarang tosu itu menggerakkan tangan kirinya pula dan...

"Capp!"

Lengan tangan Oei Sun pada pergelangannya kena dijepit pula sehingga sekarang Oei Sun tak dapat menggerakkan kedua lengannya sama sekali! Jepitan pada pergelangan itu mengakibatkan rasa nyeri yang menusuk jantung.

"Ha-haha, Oei-sicu, apakah kau belum menerima kalah?"

Oei Sun adalah murid seorang pendekar sakti, mana bisa dia menyerah kalah sebelum roboh? Ia menggeleng kepala, lalu kaki kanannya bekerja, menendang keras ke depan. Tetapi tiba-tiba tubuhnya terdorong ke belakang dan karena kakinya sedang menendang, otomatis ia terjengkang dan roboh.

Pedangnya masih dalam jepitan tangan tosu lihai itu yang tertawa-tawa bergelak. Sekali tangan kanan tosu itu bergerak, pedang yang dijepit itu sudah menancap ke atas papan panggung sampai setengahnya!

Oei Sun merayap bangun, berdiri dan menjura kepada tosu itu, "Aku Oei Sun mengaku kalah, tingkat Totiang lebih tinggi dari padaku."

Setelah berkata begitu, Oei Sun mengerahkan tenaga mencabut pedangnya dan meloncat turun, memberi hormat kepada suhu-nya dengan wajah muram.

Beng San hanya menegurnya singkat, "Lain kali jangan terlalu sungkan bila berhadapan dengan lawan, Oei Sun!" Murid itu mengangguk dan berdiri di pinggiran.

Pada saat itu, Li Eng sudah berdiri di depan Beng San dan berkata, "Paman, aku akan menghadapi Si Sombong itu!"

Anehnya, dia berlari-lari menghampiri panggung berdua dengan Hui Cu. Beng San tidak keberatan, namun terheran-heran dan ingin mencegah dua orang gadis itu naik bersama. Apa maksud Li Eng? Apakah hendak mengeroyok?

Adanya Beng San memberi persetujuan, karena ia maklum akan isi hati gadis itu. Tadi Oh Tojin menyebut-nyebut dan memburuk-burukkan nama Hoa-san-pai, sudah sepatutnya kalau gadis itu hendak membela nama baik perguruannya dan ia maklum bahwa dengan kepandaiannya itu, Li Eng sudah pasti akan dapat mengatasi Oh Tojin.

Akan tetapi, kalau gadis itu hendak maju berdua mengeroyok Oh Tojin, ahh, hal itu akan sangat memalukan Hoa-san-pai! Sebelum ia sempat mencegah, dua orang gadis itu telah melompat ke atas panggung dengan gerakan yang ringan dan cepat, gerakan khas dari Hoa-san-pai.

Pada saat itu, para tamu sedang bersorak dan bertepuk tangan memuji Oh Tojin. Setelah mendengar pujian orang, tosu ini menjadi girang sekali dan lagaknya dibuat-buat. Ia lalu menjura ke empat penjuru dan berkata nyaring,

''Tidak ada harganya untuk dipuji! Pinto belum memperlihatkan kepandaian karena hanya menghadapi seorang lemah, mana ada kesempatan memperlihatkan kepandaian asli?"

Akan tetapi tepuk tangan semakin bergemuruh. Ia mengira bahwa orang-orang itu sedang memuji-muji dia, tidak tahunya yang disoraki adalah gerakan dua orang gadis muda yang cantik-cantik dan yang gerakannya benar-benar mengagumkan itu. Oh Tojin cepat-cepat menoleh, kemudian memandang dan senyumnya melebar.

"Aha, kiranya Thai-san-pai mempunyai pula murid-murid wanita yang cantik dan pandai! Tentunya kalian lebih pandai dari pada Oei Sun tadi. Akan tetapi kalian maju berdua, ini bagus sekali. Memang sepatutnya... bagus sekali kalian maju berdua jadi berimbang dan agar jangan dikatakan bahwa aku orang tua mau menang sendiri. Ha-ha-ha!"

Li Eng tertawa-tawa dan Hui Cu yang pendiam hanya berdiri tegak. Tadi memang Li Eng yang membisikkan akalnya untuk menggoda tosu ini. Sebenarnya Hui Cu tak setuju, tapi karena ia maklum akan kenakalan Li Eng dan pula memang ia mendongkol mendengar betapa tosu ini menghina Hoa-san-pai, di samping kepercayaannya akan kelihaian Li Eng, maka ia menuruti kehendak adiknya itu.

"Eh, tosu tua yang bernama Oh Tojin berjuluk Koai-sin-kiam! Kami berdua ini juga menjadi tamu-tamu Thai-san-pai dan kami naik ke sini karena kau tadi sudah menyingung nama Hoa-san-pai, perguruan kami!"
"Ha-ha-ha-ha, kalian anak murid Hoa-san-pai, ya? Aha, kalian naik mau apakah? Jangan main-main, biar pun ilmu pedang Thai-san-pai yang diperlihatkan bocah tadi tidak berapa hebat, akan tetapi kalau ditandingi dengan ilmu pedang Hoa-san-pai saja kiraku belum tentu kalian akan dapat mengalahkan." Tosu itu memotong ucapan Li Eng.
"Bukan begitu, Totiang. Kami berdua tadi mendengar ocehanmu tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai yang hanya indah dilihat namun tidak ada gunanya. Apakah benar begitu anggapanmu?"

Oh Tojin gelagapan mendengar pertanyaan Li Eng. Sebenarnya tadi dia berani mencela Hoa-san-pai karena ia tidak melihat adanya tokoh-tokoh Hoa-san-pai hadir di tempat itu. Sekarang muncul dua orang gadis muda ini yang mengaku sebagai murid Hoa-san-pai, sedangkan ia sudah terlanjur mengeluarkan kata-kata mencela ilmu pedang Hoa-san-pai, terpaksa ia tidak dapat mundur lagi.

"Jika memang betul begitu, kalian mau apakah? Apakah kalian bisa membuktikan bahwa ucapanku tadi tidak benar?" tantangnya sambil pringas-pringis.

Li Eng tersenyum, bukan main manisnya kalau dia tersenyum sambil memainkan kedua matanya itu. "Totiang, tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai, kami sendiri tak akan menyombong dan aku yang muda tidak berani pula membantah. Akan tetapi gerakanmu tadi ketika menjepit pedang Oei-enghiong agaknya tidak menang hebatnya dengan jurus Hoa-san-pai yang bernama Kepiting Sakti Mencapit Ikan!"

Tosu itu melengak. "Tidak bisa jadi! Ilmu mencapit dengan dua buah jari itu merupakan ciptaanku, mana bisa Hoa-san-pai memiliki ilmu seperti itu? Dan bukan kepiting melainkan udang sakti. Jangan kau main-main!"

"Hi-hik, siapa main-main? Kau mau bukti? Lihatlah! Eh, Enci Hui Cu, kau cabut pedangmu dan bacok aku seperti yang dilakukan Oei-enghiong tadi!" kata Li Eng kepada Hui Cu.

Mau tidak mau Hui Cu menahan ketawanya sehingga ia tersenyum-senyum lalu mencabut pedangnya. Dengan gerakan perlahan dan lambat sekali ia membacok ke arah Li Eng. 

Dengan lagak dibuat-buat seperti lagak tosu tadi, Li Eng mengelak dan ketika pedang itu begitu lambat menurun di dekatnya ia lalu mencapit pedang itu dengan dua jari tangannya yang ditekuk. Gerakannya begitu persis dengan gerakan tosu tadi, akan tetapi karena baik bacokan mau pun jepitan dilakukan perlahan dan lambat sekali, terang bahwa dua orang gadis cantik itu mempermainkan Si Tosu.

Meledaklah suara ketawa para tamu. Para tokoh-tokoh besar yang melihat pertunjukan ini bahkan tidak sanggup menahan ketawa mereka. Benar-benar seorang bocah yang nakal sekali, pikir mereka.

Li Cu tak dapat menahan ketawanya, menutupi mulut dengan sapu tangannya, sedangkan Beng San tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Cui Bi terkekeh-kekeh dan memegangi perutnya, juga Sin Lee dan Kong Bu terbahak-bahak.

Hanya Kun Hong yang menggeleng-geleng kepala sambil menggerutu. "Kurang ajar sekali dia... kurang ajar sekali..."

Sementara itu, Oh Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Anak setan, apakah kau sengaja hendak menghina pinto?"

"Aih-aih, siapa menghina, keledai tua? Siapa yang tadi mengatakan bahwa Hoa-san-pai memiliki ilmu pedang yang tiada gunanya? Kau yang menghina perguruan kami, sekarang kau berbalik bilang kami yang menghina. Hemm, sungguh tak tahu malu, tosu bau hidung kerbau!"

Memang Li Eng nakal dan pintar bicara, hal ini sudah pernah dialami oleh Kong Bu yang ketika itu hampir terpelanting dari kursinya saking tertawa bergelak-gelak melihat lagak kekasihnya mempermainkan tosu sombong itu.

"Perempuan sombong! Bocah setan, apakah kau berani menghadapi pedangku?" Sambil berkata begitu Oh Tojin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkan pedangnya agar cahayanya berkilau tertimpa sinar matahari.

Li Eng menunjukkan sikap ketakutan. "Wah-wah, Enci Hui Cu, lebih baik kau lekas turun panggung, jangan-jangan kau keserempet pedang. Pedang tajam di tangan orang mabuk yang tidak mampu main pedang, benar-benar lebih berbahaya dari pada di tangan orang yang baru belajar."

Sambil tersenyum-senyum saking gelinya Hui Cu melayang turun dari atas panggung lalu menghampiri kembali tempat duduknya, disambut tertawa lebar semua orang yang duduk di pihak Thai-san-pai. Juga para tamu tadi terpingkal-pingkal menyaksikan ini, sehingga tempat itu benar-benar menjadi meriah seakan-akan di situ sedang terdapat pertunjukan pelawak-pelawak yang pandai mengocok perut.

Kemarahan Oh Tojin tak dapat ditahannya lagi. "Bocah setan, kau bersiaplah menghadapi pedangku. Hemmm, kalau aku tidak bisa memberi hajaran kepadamu, jangan sebut aku Koai-sin-kiam lagi!"

"Ehh, betulkah? Nah, biarlah kini kau berkenalan dengan ilmu pedang Hoa-san-pai yang kelihatan indah tapi tak berguna ini. Awas pedang!"

Tosu itu tercengang, juga para tamu, karena gadis itu mengancam ‘awas pedang’ akan tetapi belum kelihatan memegang pedang. Tiba-tiba saja, belum juga hilang keheranan Oh Tojin, tahu-tahu di depan mukanya berkelebat sinar seperti kilat diikuti hawa pedang yang dingin menyambat hidungnya!

"Ayaaa...!" ia berseru kaget.

Cepat ia mencelat ke belakang sambil menyabet-nyabetkan pedangnya ke depan untuk menjaga diri. Ia masih berjumpalitan sambil menyabet-nyabetkan pedang dan baru berani turun ketika ia tidak merasa adanya desakan. Ketika berdiri kembali, ia mendengar suara tertawa ramai. Kiranya gadis itu masih berdiri di tempatnya yang tadi, hanya sekarang tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan.

Hebat, pikirnya dengan hati kecut. Jurus apa yang diperlihatkan gadis ini tadi? Ia berlaku hati-hati dan tanpa menyombong lagi ia berkata,

"Majulah, aku telah siap menghadapi pedangmu."

Li Eng tersenyum mengejek.
Tiba-tiba terdengar seruan orang, "Tahan dulu."

Dua orang itu memandang, juga semua tamu. Kiranya Kun Hong yang berseru itu dan pemuda ini menaiki anak tangga yang menuju ke panggung dengan tergesa-gesa.

Dari tempat duduknya tadi, Kun Hong telah menyaksikan kepandaian Oh Tojin. Ia maklum bahwa menghadapi Li Eng, tosu itu tak akan menang. Ia cukup mengenal pula watak Li Eng yang selain jenaka dan nakal, juga keras hati. Mendengar bahwa Hoa-san-pai dihina orang, ia kuatir kalau Li Eng mendendam dan menjatuhkan tangan besi kepada tosu itu. Maka, tanpa dipikir panjang ia lalu berseru menahan pertempuran dan naik ke panggung, tidak dengan cara meloncat seperti yang lain, melainkan lari melalui anak tangga.

"Eng-ji, kau hendak bermain pedang dengan totiang ini, berhati-hatilah jangan sampai kau membunuhnya. Kau tahu aku tidak suka kau membunuh orang!"

Li Eng tertawa, "Jangan kuatir, Paman Hong. Aku tidak akan membunuh orang ini."
"Juga tidak melukai secara hebat."
"Tidak, aku hanya ingin membuat dia kapok supaya tidak menghina Hoa-san-pai lagi."

Sementara itu, semua orang yang mendengarkan percakapan ini menjadi bengong dan terheran-heran sejenak, kemudian meledaklah suara tawa mereka. Sikap Kun Hong tadi seperti seorang nenek bawel yang memberi nasehat cucunya. Justru sikap kedua orang ini menimbulkan kesan bahwa mereka amat memandang rendah kepada Oh Tojin.

Kalau sampai pemuda halus itu melarang gadis keponakannya membunuh atau melukai berat kepada tosu itu, bukankah itu hanya boleh diartikan bahwa Si Pemuda ini sudah yakin akan kemenangan keponakannya? Inilah yang lucu dan tentu saja Oh Tojin menjadi marah dan mendongkol sekali.

Dari tempat duduknya, Beng San berbisik kepada Li Cu, "Kulihat Kun Hong ini sungguh seorang pemuda yang luar biasa wataknya, dan halus budi pekertinya."

Li Cu tersenyum. "Dia seperti bayanganmu pada waktu kau masih muda."

Kedua suami isteri itu saling pandang lalu, tersenyum.

Sementara itu, Kun Hong lega hatinya. Ia kembali menuruni anak tangga meninggalkan panggung, dan juga Oh Tojin yang membanting-banting kakinya.

"Orang-orang Hoa-san-pai memang benar-benar sombong luar biasa! Apa yang dia bilang tadi? Kau tidak boleh membunuhku, tidak boleh melukai aku? Lihat, sebaliknya pintolah yang akan merobohkanmu dalam beberapa jurus saja. Lihat pedangku!"

Dengan gerakan yang penuh kemarahan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Li Eng. Tapi ia tertegun karena selain pedangnya hanya mengenai angin belaka, juga gadis di depannya itu telah lenyap dari depan matanya. Selagi ia bingung, ia mendengar suara ketawa lirih di belakangnya.

Cepat ia membalik sambil mengayun pedang menyerang lagi. Tapi kembali ia kehilangan lawannya yang ternyata dengan ginkang yang luar biasa telah lenyap dan sudah berada di belakangnya. Berkali-kali ia menyerang akan tetapi hasilnya sama dan tak pernah ia dapat melihat lawannya yang cepat sekali gerakannya, seperti setan.

Suara ketawa serta seruan kagum terdengar di sana sini ketika para tamu menyaksikan gerakan tubuh gadis itu yang memang luar biasa cepatnya, melebihi cepatnya gerakan pedang lawan. Tosu itu mulai marah, tapi diam-diam hatinya mengecil.

"Hai, bocah setan. Jangan hanya melarikan diri, bertandinglah secara berdepan kalau kau memang laki-laki!"
"Hi-hik, tosu bau, apakah kau sudah-gila? Aku memang seorang wanita, bukan seorang laki-laki!"

Suara ketawa makin riuh-rendah menyambut kelakar ini dan wajah Oh Tojin makin merah. Kini ia melihat gadis itu berdiri tegak di depannya dan ketika ia menyerang lagi, Li Eng sengaja tidak mau mengelak melainkan menggunakan pedangnya untuk menangkis dan balas menyerang.

Kini Li Eng sengaja mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat menyambar-nyambar sehingga dalam belasan jurus saja Oh Tojin sudah terdesak hebat, mengelak dan menangkis ke sana ke mari tanpa dapat membalas sedikit pun juga.

"Tosu bau, kau bilang ilmu pedang Hoa-san-pai tak ada gunanya? Nah, rasakanlah ilmu pedang yang kumainkan ini. Inilah Hoa-san Kiam-hoat!"

Oh Tojin memang pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai, tetapi selama hidupnya tak pernah dia mengira bahwa Hoa-san Kiam-hoat dapat dimainkan seperti ini hebatnya. Diam-diam ia terkejut dan menyesal sekali. Wajah yang tadinya merah sekarang menjadi pucat, napasnya terengah-engah dan makin sibuklah dia menangkis hujan ujung pedang yang tak terhitung banyaknya itu.

"Koai-sin-kiam Oh Tojin, jagalah serangan ilmu pedang Hoa-san-pai ini!" gadis itu berseru keras dan pedangnya makin hebat menekan.

Oh Tojin berteriak kaget, jenggotnya terbabat putus dan beterbangan ke bawah dan pada detik berikutnya ia memekik kesakitan, tangannya berdarah dan pedangnya terlepas dari pegangan! Sambil mengerang kesakitan tosu ini melompat turun dari panggung dan terus melarikan diri tanpa menoleh lagi.

Terdengar sorak-sorai riuh-rendah, sebagian menyoraki tosu yang lari itu, sebagian lagi bersorak karena melihat Li Eng kini memperlihatkan pertunjukan hebat, yaitu pedangnya sudah dapat menyambar pedang tosu itu dan pedang lawan itu sekarang terputar-putar bagai kitiran di ujung pedangnya!

Melihat lawannya lari tunggang-langgang, Li Eng berseru keras, "Oh Tojin, ini pedangmu, terimalah kembali...!"

Sekali ia mengerakkan pedang di tangannya, maka pedang lawan yang tadinya berputar cepat seperti kitiran itu terlempar melayang ke arah Oh Tojin yang sedang berlari. Hebat sekali bidikan Li Eng karena dengan tepat gagang pedang itu menimpa kepala orang dan jatuh ke bawah.

Sejenak Oh Tojin pucat saking kagetnya. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepalanya tidak bocor, ia cepat-cepat memungut pedangnya dan terus melarikan diri pergi meninggalkan tempat itu diikuti gelak tawa para penonton. Gelak tawa para penonton sirap kembali ketika mereka melihat seorang tosu tua sudah meloncat ke atas panggung.

Tosu ini pun berpakaian kuning dan rambutnya yang panjang digelung ke atas. Biar pun pakaiannya kuning sederhana sebagai tosu, namun rambutnya dihias dengan lima bunga teratai dan pada bajunya terdapat tanda-tanda jasa dari istana. Inilah Thian It tosu, salah seorang di antara tujuh orang pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti, juga seorang tokoh Ngo-lian-kauw dan pernah menjadi tangan kanan Kim-thouw Thian-Li.

Melihat naiknya tosu ini, Kun Hong yang mengenalnya menjadi tidak enak hatinya, lalu berkata perlahan tapi cukup keras untuk didengar oleh Beng San.

"Heran betul, dia itu seorang di antara pengawal-pengawal istana Pangeran Mahkota, mau apa ke sini?"

Kagetlah Beng San mendengar ucapan Kun Hong ini. Dia memandang penuh perhatian. Ia maklum dari tanda bunga teratai itu bahwa tosu ini adalah seorang tosu Ngo-lian-kauw, akan tetapi apakah orang ini muncul sebagai tokoh Ngo-lian-kauw, ataukah dia sebagai pengawal istana Pangeran?

Tosu itu sudah menjura ke arah tuan rumah dan berkata, suaranya yang rendah parau membayangkan lweekang tinggi, "Pinto Thian It Tosu ingin sekali berkenalan dengan ilmu silat Thai-san-pai. Syukur apa bila Ketua Thai-san-pai sendiri berkenan memberi petunjuk karena pinto sudah lama mendengar nama besarnya."

Sin Lee segera menghadap Ayah, "Ayah, biarlah saya menghadapi tosu ini."

Beng San mengangguk. Ia pun ingin mengenalkan putera-puteranya kepada para tokoh kang-ouw yang datang dari pelbagai tempat itu.

"Boleh, kau hati-hatilah. Dia seorang Ngo-lian-kauw, pandai menggunakan senjata rahasia dan pandai ilmu sihir, biasanya curang, maka kau yang waspada. Juga karena dia orang istana, jangan sampai membunuh."

Sin Lee mengangguk. Ketika kakinya mengenjot tanah, tubuhnya dari tempat itu langsung melayang ke atas panggung dengan kedua lengan tangan dikembangkan.

Sorak sorai menyambut kehadirannya dan Thian It Tosu kaget sekali menyaksikan cara melompat yang seperti burung raksasa ini. Ia pun memandang pemuda tampan gagah itu penuh selidik, lalu menegur,

"Orang muda, caramu meloncat tadi tidak sama dengan gaya loncatan para anak murid Thai-san-pai tadi. Siapakah kau dan pinto menantang Thai-san-pai atau ketuanya, kenapa kau yang maju?"
"Thian-It Tosu, memang jitu wawasanmu. Aku bukan anak murid Thai-san-pai, akan tetapi Ketua Thai-san-pai adalah ayahku. Karena kau tadi menantang ayahku, sudah sepatutnya bila aku mewakilinya untuk menghadapimu. Thian-It Tosu, kau sendiri sekarang ini berdiri di sini mewakili siapakah? Apa bila kau sebagai tokoh Ngo-lian-kauw datang menantang, bukanlah hal aneh dan akan kulayani. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa kau telah menjadi seorang pengawal istana Pangeran Mahkota, maka kalau kedatanganmu ini sebagai pangawal istana, harap kau turun lagi saja. Kami orang-orang dunia persilatan tidak mempunyai urusan dengan kaki tangan kota raja.”

Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini, tanda bahwa sebagian besar orang kang-ouw memang tidak melibatkan diri dengan orang-orang pemerintah. Wajah Thian It Tosu menjadi merah karena sekaligus pemuda ini membuka kedoknya.

Pada saat itu terdengar lengking tinggi dan di atas panggung berkelebat bayangan orang, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang yang tua sekali. Alangkah kaget gentarnya semua tamu ketika mengenal nenek ini sebagai tokoh yang dianggap manusia iblis, bukan lain adalah Hek-hwa Kui-bo!

"Berikan dia padaku! Dia pembunuh muridku!" teriaknya dengan suara parau.

Namun, kembali orang-orang tercengang karena tanpa mereka lihat datangnya, tahu-tahu Ketua Thai-san-pai sudah berdiri di situ pula menghadapi Hek-hwa Kui-bo.

Beng San berdiri tegak dengan sepasang mata berkilat-kilat, lalu berkata kepada Hek-hwa Kui-bo, "Kui-bo, pertemuan ini kuadakan dengan peraturan dan kesopanan. Apa bila kau mempunyai penasaran, tunggulah giliranmu, harap jangan mengacau. Mundurlah!"

Sinar mata Beng San berkilat-kilat seperti halilintar menyambar sehingga Hek-hwa Kui-bo gentar juga menghadapi sikap musuh lamanya ini. Ia meragu. Ia tahu betul bahwa orang ini telah terluka hebat dalam pengeroyokan kemarin dulu, akan tetapi mengapa sekarang masih dapat meloncat seperti terbang saja cepatnya? Untuk menutupi kegugupannya, ia tertawa,

"Hi-hi-hik, Beng San, betul juga kata-katamu. Baiklah, aku menanti giliranku." Sambil tertawa-tawa ia lalu melayang turun dan sekejap mata saja ia sudah lenyap entah ke mana.

Juga Beng San dengan tenang meloncat turun dan kembali ke tempat duduknya. Semua tamu menahan napas, terhadap tokoh seperti Hak-hwa Kui-bo tentu saja tak seorang pun berani mentertawai.....

Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-15
LihatTutupKomentar