Rajawali Emas Jilid 15
Keadaan makin tegang setelah mereka ketahui bahwa ternyata tempat itu dihadiri pula oleh tamu-tamu tak kelihatan yang sehebat Hek-hwa Kui-bo. Siapa tahu masih banyak lagi tokoh-tokoh aneh seperti ini. Karena nenek itu tidak kelihatan lagi, maka perhatian para tamu dialihkan kembali ke atas panggung, kepada tosu Ngo-lian-kauw dan pemuda yang mengaku putera Ketua Thai-san-pai itu.
Tosu itu memandang rendah kepada Sin Lee, lalu berkata, "Menjawab pertanyaanmu tadi, orang muda, pinto datang ini boleh dibilang atas nama pribadi, juga bisa disebut mewakili Ngo-lian-kauw, apa lagi mendengar tadi bahwa ketua kami tewas di tanganmu. Sebagai pengawal istana aku pun mempunyai urusan, yaitu mengejar larinya tiga orang buronan dari kota raja!"
Tosu itu dengan mata tajam lalu memandang ke arah tiga anak murid Hoa-san-pai yang duduk di rombongan tuan rumah.
"Kalau yang kau maksud dengan ketuamu itu adalah Kim-thouw Thian-li, aku Tan Sin Lee tak merasa telah membunuhnya. Akan tetapi kalau toh ia mampus oleh pukulanku, hal itu pun aku tidak menyesal karena itu berarti bahwa aku telah melenyapkan seorang jahat. Tentang kau mengejar buronan, itu bukanlah urusanku. Nah, kalau memang kau hendak membalas sakit hati ketuamu, kau majulah!”
Thian It Tosu memang telah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw tewas dalam tangan beberapa orang muda, akan tetapi ia tidak tahu siapakah pembunuhnya. Tadi Hek-hwa Kui-bo muncul dan menerangkan bahwa pemuda ini adalah pembunuh ketuanya, maka tentu saja ia menjadi marah dan ingin membalas dendam. Ia tidak berani memandang rendah lagi karena kalau pemuda ini mampu merobohkan Kim-thouw Thian-li berarti dia pasti lihai sekali. Apa lagi bila diingat bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Thai-san-pai.
Tosu ini lalu melolos keluar sebatang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencabut hiasan rambutnya yang berupa lima bunga teratai itu. Hiasan rambut ini terbuat dari benda berwarna putih, merupakan lima buah kembang yang atasnya tertutup rapi berbentuk runcing, dan sekarang gagangnya dipegang oleh tangan kiri tosu itu.
Mengingat akan nasehat ayahnya tadi, Sin Lee selalu bersikap waspada dan tidak berani memandang remeh pada hiasan rambut ini yang melihat ukuran dan bentuknya, bukanlah merupakan senjata yang baik.
Sambil mengeluarkan teriakan keras tosu itu menyerangnya dengan pedang, namun Sin Lee cepat mengelak sedangkan pedangnya sendiri lalu menukik dari atas kiri menusuk pundak lawan. Thian It Tosu terkejut dan maklum bahwa lawannya ini walau pun masih muda ternyata mempunyai gerakan cepat dan ilmu pedang yang aneh namun berbahaya sekali. Ia pun segera bertempur seru, makin lama makin cepat.
Baru berjalan belasan jurus saja Thian It Tosu maklum bahwa ilmu pedang pemuda itu betul-betul luar biasa dan ia sudah terdesak hebat. Tiba-tiba tangan kirinya telah menjepit sebuah kembang buatan itu dan melesatlah jarum-jarum halus ke arah lawannya.
Sin Lee mengeluarkan suara melengking tinggi. Tubuhnya mendadak mencelat ke atas, demikian cepat gerakannya bagaikan gerakan seekor burung dan semua senjata rahasia halus yang tak dapat dilihat mata itu lewat di bawah kakinya.
Dari atas Sin Lee membalas, pedangnya meluncur turun menyerang kepala tosu itu. Hal ini sungguh-sungguh tidak pernah diduga oleh Thian It Tosu yang tadinya mengharapkan penyerangannya akan berhasil, siapa duga bahwa orang yang diserang secara mendadak itu malah menyerang dari atas.
Karena menangkis sudah tidak ada waktu lagi, terpaksa untuk menyelamatkan dirinya tosu ini membanting tubuh ke belakang dan bergulingan menjauhi kejaran pedang lawan. Ia meloncat bangun dan sekarang ibu jari dan telunjuknya menjepit bunga teratai kedua.
Terdengar suara ledakan kecil dan dari tangan kirinya itu menyambar asap hitam ke arah muka Sin Lee. Pemuda ini tidak kurang waspada, cepat ia melompat ke samping, cukup jauh agar tidak terkena pengaruh asap beracun itu. Sambil menahan napas lalu meniup ke arah asap itu sehingga buyar!
"Tosu curang!" Sin Lee berseru keras.
Pedangnya kini berkelebatan laksana kilat mencari korban. Ia sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada tosu itu untuk mempergunakan senjata rahasianya lagi, malah ia lalu mengincar tangan kiri yang memegang bunga-bungaan itu, yang bahkan dianggapnya lebih berbahaya dari pada pedang di tangan kanan.
Thian It Tosu berusaha melawan, namun akhirnya ia berteriak keras ketika ujung pedang Sin Lee mengancam pergelangan tangan atau jari-jari tangan kirinya. Terpaksa ia menarik tangannya, akan tetapi…
“Crakk!” terdengar suara dan hiasan rambut itu kini tinggal gagangnya saja yang berada di tangannya.
Sin Lee mengeluarkan suara menghina dan kakinya menendang bunga-bungaan itu ke bawah panggung.
"Nah, marilah kita bertanding pedang secara laki-laki, tidak main curang!" seru Sin Lee, perlahan-lahan maju menghampiri tosu yang berdiri dengan muka pucat itu.
Akan tetapi Thian It Tosu tidak segera menggerakkan pedangnya. Ia hanya berdiri tegak, mukanya pucat, matanya terbelalak memandang lawan, bibirnya komat-kamit.
"Hayo, majulah, apakah kau takut?" kata Sin Lee mengejek sambil menggerak-gerakkan pedangnya, siap menanti penyerangan lawannya.
Akan tetapi tosu itu tetap tidak bergerak, dan mulutnya tetap bergerak-gerak. Orang lain tidak ada yang mendengar suaranya, namun tiba-tiba Sin Lee mendengar suara yang seolah-olah datang dari dasar bumi, suara yang penuh kekuasaan, penuh pengaruh, yang berbisik-bisik dan mendesis-desis.
"Sin Lee, pandang baik-baik pinto siapa! Pinto adalah pendeta, kau takkan bisa menang melawan pinto, baru melihat saja kau sudah pening, tenagamu lemah, pikiranmu kacau..." Ucapan ini diulang-ulang.
Mula-mula Sin Lee hendak mentertawakannya, akan tetapi dia mulai bingung dan gugup karena tiba-tiba dia merasa kepalanya pening.
Pada saat itu Thian It Tosu sudah menyerangnya dan ia cepat menangkis, akan tetapi benar-benar ia semakin gelisah karena tenaganya terasa amat lemah kepalanya semakin pening dan pikirannya menjadi kacau-balau, malah ia mulai agak ketakutan! Samar-samar Sin Lee teringat akan nasehat ayahnya bahwa tosu ini merupakan seorang ahli sihir. Ia mengerahkan semangat hendak melawan, akan tetapi ternyata dia telah masuk ke dalam perangkap dan sudah terpengaruh sehingga usahanya sia-sia belaka karena pikirannya telah kacau.
Para penonton terheran-heran betapa sekarang tosu itu melakukan penyerangan dengan pedangnya sedangkan Sin Lee hanya menangkis dengan terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Beng San duduk menegang di kursinya. Dahinya berkerut, alisnya bergerak-gerak, sinar matanya berkilat. Ia dapat menduga apa yang terjadi dan siap untuk menolong puteranya jika terancam bahaya maut.
Pada saat itu tampak Kun Hong berlari-lari ke bawah panggung. Setelah dekat panggung ia menggunakan tangannya menggebrak-gebrak panggung sambil berkata nyaring,
"He, pendeta murtad! Pendeta penuh dosa, pendeta nyeleweng!"
Orang-orang mulai tertawa menyaksikan sikap pemuda ini dan Thian It Tosu yang sudah mulai gembira melihat hasil ilmu hitamnya, kini terpecah perhatiannya dan marah sekali. Ketika mendapat kesempatan, selagi Sin Lee terhuyung-huyung, ia menyambar ke pinggir panggung dan menggunakan pedangnya membacok tangan Kun Hong yang pada saat itu sedang mengebrak-gebrak papan.
Tentu saja Kun Hong menarik tangannya, akan tetapi ia berpura-pura menjerit, "Aduh… aduh…! Pendeta kejam kau!"
Dan pada saat pandang mata Thian It Tojin yang penuh kemarahan itu sedetik bertemu dengan pandang matanya, Kun Hong mengerahkan ilmu sihirnya dan ia berkata,
"Kau pendeta murtad, tak patut menggunakan segala ilmu hitam. Kau patut dihukum pukul kepala sepuluh kali" Setelah berkata demikian Kun Hong lari kembali ke tempat duduknya.
Tiba-tiba saja semua tamu terbelalak memandang kejadian yang amat aneh di panggung. Setelah tosu itu menghentikan serangan-serangannya, Sin Lee masih terhuyung-huyung dan tosu itu kini berteriak-teriak,
"Benar sekali, pinto patut dihukum pukul kepala sepuluh kali"
Dan tangan kirinya segera bekerja menampar muka, dan kepalanya sendiri dengan keras.
"Plak-plak-plak!" terdengar suara berkali-kali dan muka itu menjadi bengkak-bengkak!
Sin Lee agaknya sudah sadar kembali. Pemuda ini cepat berdiri tegak dan untuk sejenak ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya sehingga pikirannya jernih kembali, tenaganya pulih dan sekarang dia memandang terheran-heran kepada lawannya yang sedang penuh semangat menghantami kepalanya sendiri itu.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan Hek-hwa Kui-bo sudah berdiri di atas panggung. "Memalukan saja, pergi!" tangannya bergerak dan tubuh Thian It Tosu terlempar ke bawah panggung.
Tosu itu roboh dan berbareng dengan jatuhnya itu agaknya ia pun sadar kembali. Dengan bingung ia bangkit berdiri, memandang bingung ke kanan kiri lalu... angkat kaki lari dari tempat itu.
Beberapa orang tamu yang masih melongo kemudian membuat tanda dengan telunjuk dimiringkan ke depan kening, yaitu tanda orang yang miring otaknya. Mereka ini mengira bahwa tosu itu tentu seorang yang berotak miring! Akan tetapi karena peristiwa itu sudah lewat dan di atas panggung berdiri seorang tokoh yang ditakuti, yaitu Hek-hwa Kui-bo, para tamu yang kini menjadi penonton memandang dengan penuh ketegangan. Semua orang tahu bahwa tentu sekarang akan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya.
Hek-hwa Kui-bo dengan muka yang merah dan mata mendelik sudah menghadapi Sin Lee, pedang berkilauan di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang sehelai sabuk beraneka warna.
"Orang muda, kau sudah menewaskan muridku. Akan tetapi kau mengatakan bahwa kau adalah anak dari Tan Beng San. Hemm, jangan kau mencoba mengunakan nama Ketua Thai-san-pai untuk menggertak orang. Aku tahu benar bahwa Cia Li Cu isteri Tan Beng San hanya memiliki seorang anak perempuan, bagaimana kau bisa mengaku dia sebagai ayahmu? Siapakah ibumu?"
Beng San di tempat duduknya meremas jari-jari tangannya sendiri, hatinya mengharap supaya Sin Lee tidak usah menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi dengan sikap gagah Sin Lee menjawab, suaranya nyaring,
"Hek-hwa Kui-bo, kau kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau sendiri sudah tahu siapa ibuku, akan tetapi kau sengaja mengajukan pertanyaan ini di tempat umum, tentu dengan maksud keji di hatimu yang memang tidak bersih itu. Akan tetapi aku Tan Sin Lee sebagai seorang laki-laki sejati tidak akan menyembunyikan dan tidak akan malu mengaku bahwa ayahku adalah Tan Beng San Ketua Thai-San-pai sedangkan ibuku adalah Kwa Hong anak murid Hoa-san-pai! Nah, aku sudah mengaku, kau mau bilang apa?" Suara pemuda itu nyaring.
Pada saat itu wajah Beng San sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa terpukul, menoleh kepada isterinya dan berbisik, "Dia lebih jantan dari padaku... dia lebih jantan dan gagah..."
Hek-hwa Kui-bo tertawa terkekeh-kekeh. Wajah tuanya yang biasanya masih berbekas kecantikannya itu setelah terkekeh-kekeh kelihatan buruknya. Mulutnya yang tak bergigi lagi kelihatan kehitaman dan matanya berputar-putar liar.
"He-he-he-he, kiranya kau anak haram. Ha-hah-heh-heh, memang sejak dahulu Tan Beng San bukanlah orang baik-baik. Kapankah dia menikah dengan Kwa Hong? Kapankah dia menjadi ayahmu? Tentu melalui hubungan gelap. Coba sekalian yang hadir pikir dengan baik-baik, orang yang mempunyai anak haram apakah masih patut menjadi ketua sebuah perkumpulan silat?"
Sin Lee sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, mukanya pucat matanya seperti mengeluarkan api. Meski pun ia dengan gagah berani mengakui kenyataan dirinya, akan tetapi jika mendengar hinaan yang diucapkan di depan umum secara begitu merendahkan dan disertai kata-kata kotor, tentu saja ia tidak tahan mendengarnya.
"Iblis betina lihat pedangku!" Ia sudah menerjang dengan nafsu meluap.
Hek-hwa Kui-bo terkekeh-kekeh, tetapi cepat menangkis serbuan pemuda ini, lalu sambil melayani serangan Sin Lee yang bernafsu, ia masih sempat berkata,
"Kau bocah haram harus kubikin mampus dulu, baru kemudian tiba giliran ibumu yang tak tahu malu dan ayahmu yang hina!"
Makin naik darah Sin Lee dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menikam mati orang yang dibencinya ini. Dan inilah kesalahannya. Sebagai orang muda, tentu saja ia berdarah panas dan tidak tahu akan siasat lawan yang jauh berpengalaman dan yang terkenal sebagai seorang tokoh besar penuh tipu muslihat.
Di samping sengaja menghina tuan rumah, memang Hek-hwa Kui-bo sengaja membakar hati orang muda ini pula sehingga kini Sin Lee lupa akan kewaspadaan dan menerjang dengan nekat. Bagi seorang ahli silat tingkat tinggi, mengumbar nafsu amarah merupakan pantangan besar.
Dalam bersilat, apa lagi kalau menghadapi lawan berat, sekali-kali tidak boleh dihinggapi kemarahan, karena nafsu ini akan menyesakkan dada serta mengurangi ketelitian dan ketenangan. Apa bila bermain silat dengan diamuk kemarahan, maka permainannya tidak tenang dan karenanya daya permainannya kurang kuat.
Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh kawakan yang sebelum mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut sudah merupakan tokoh jarang tandingun, Apa lagi setelah ia mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut, kepandaiannya menjadi hebat sekali dan orang-orang yang dapat menandinginya hanyalah tokoh-tokoh besar seperti Song-bun-kwi. Biar pun Sin Lee juga merupakan seorang pemuda gemblengan, namun menghadapi Hek-hwa Kui-bo ia kalah setingkat, kalah akal dan kalah pengalaman.
Dalam dorongan nafsunya, memang tampaknya Sin Lee yang mendesak Hek-hwa Kui-bo dengan penyerangan bertubi-tubi. Ia menggunakan ilmu silatnya yang aneh malah tangan kirinya beberapa kali ia putar-putar untuk melakukan pukulan Jing-tok-ciang.
Akan tetapi pukulan-pukulan ini dapat dibikin buyar oleh tangkisan Hek-hwa Kui-bo yang mempergunakan ilmu pukulan beracun Hwa-tok-ciang yang dilakukan dengan tangan kiri sekalian untuk mengebutkan sabuknya yang dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh itu. Nenek ini sengaja main mundur karena ia sengaja memancing agar pemuda lawannya ini makin bernafsu hingga akan terbuka kesempatan baginya untuk merobohkan lawannya sekaligus tanpa meleset lagi.
Beng San memegangi tangan kursinya dengan erat, mukanya agak pucat. Celaka dia, pikirnya gelisah. Sebagai seorang gagah yang memegang aturan kang-ouw, tentu saja tak dapat ia melompat ke depan untuk menolong puteranya itu dan ia tahu betul betapa Sin Lee terancam maut.
Hanya Beng San seorang yang tahu akan hal ini, ada pun orang-orang lain, bahkan juga Cui Bi, Li Eng dan Kong Bu yang berkepandaian tinggi, tidak dapat menduga akan hal ini. Mereka memperlihatkan muka gembira. Hanya Kun Hong yang muram wajahnya karena bukan saja ia juga mengerti seperti Beng San, melainkan pemuda itu merasa sedih sekali karena sekali lagi ia harus menjadi saksi dari pertempuran-pertempuran maut yang pasti akan membawa korban.
Pengertian Beng San akan hal ini adalah karena dia sudah sangat menyelami keadaan kepandaian Hek-hwa Kui-bo, maka ia dapat mengerti bahwa nenek itu sedang mengintai kesempatan seperti maut mengintai korban. Betapa pun juga, ia bersiap sedia menolong puteranya itu apa bila nyawanya nanti terancam. Ia tidak akan mengeroyok, hanya akan menyelamatkan Sin Lee.
Ketika kesempatan itu tiba, ketika pedang Sin Lee menusuknya, Hek-hwa Kui-bo melihat pergelangan tangan pemuda itu tidak terjaga. Cepat sabuknya yang beraneka warna itu menyambar dari samping sedangkan pedangnya menangkis.
Tentu saja Sin Lee hanya mengira bahwa serangannya ini akan dihindarkan oleh lawan dengan tangkisan ini. Tidak tahunya tangkisan ini hanya untuk memancing perhatiannya dan yang penting bagi nenek itu adalah sabuknya yang kini telah menyambar pergelangan tangan Sin Lee dan seperti seekor ular hidup sudah melibat-libat pergelangan tangan berikut jari-jari yang memegang pedang!
Sin Lee kaget sekali, berusaha membetot tangannya, namun sabuk itu ternyata terbuat dari bahan aneh yang selain kuat dan ulet, juga dapat mulur maka tak dapat ia menarik putus. Dan pada saat itu, pedang Hek-hwa Kui-bo sudah berkelebat menyambar di atas kepalanya diiringi suara ketawa aneh nenek itu.
Pemuda itu tak dapat mengelak, tak dapat melompat pergi karena lengan kanannya telah terbelit sabuk, jalan satu-satunya baginya hanya menangkis bacokan itu dengan tangan kiri karena untuk menggunakan tangan kiri memukul, sudah tidak keburu lagi.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar lengking tinggi nyaring dan berkelebatlah bayangan orang didahului sinar kehijauan.
"Trangggg!''
Pedang yang akan membacok Sin Lee tertangkis oleh sebatang anak panah hijau dan kemudian lima batang anak panah yang terikat pada ujung cambuk yang berujung lima, menyambar-nyambar dan menyerang Hek-hwa Kui-bo.
"Jangan menghina orang muda, Hek-hwa Kui-bo siluman tua bangka, akulah lawanmu, lepaskan anakku!"
Hek-hwa Kui-bo cepat melepaskan sabuk yang membelit lengan Sin Lee dan melompat mundur sambil memutar pedangnya menangkis. Sementara itu orang yang baru datang ini yang bukan lain adalah Kwa Hong sendiri, mendorong pundak Sin Lee dan berkata,
"Pergilah kau kepada ayahmu, siluman ini akulah lawannya."
Dorongan ini kuat sekali, tak dapat ditahan oleh Sin Lee yang terpaksa melompat turun dari panggung, menduduki lagi tempat duduknya lalu dengan wajah pucat memandang ke atas panggung. Melihat betapa Kwa Hong menggantikan putranya menghadapi Hek-hwa Kui-bo, wajah Beng San dan semua keluarganya menegang.
Beng San diam-diam merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa di balik kebencian Kwa Hong kepadanya, masih terdapat kasih terpendam dan akhirnya melalui putera mereka, Sin Lee, agaknya Kwa Hong menyingkirkan sakit hati dan dendamnya sehingga di depan umum Kwa Hong sekarang berhadapan dengan Hek-hwa Kui-bo yang sudah jelas datang dengan maksud buruk terhadap Thai-san-pai.
Memang mendongkol sekali hati Hek-hwa Kui-bo melihat Kwa Hong maju melawannya. Tentu saja ia tidak takut, akan tetapi ia marah bukan main, lalu memaki,
"Aha, inilah perempuan tidak tahu malu yang melahirkan pemuda tadi dari perbuatan hina! He-he-heh, kau murid Hoa-san-pai murtad, wanita iblis sombong, memang orang macam kau ini kalau tak dibikin mampus hanya akan mengotorkan dunia persilatan saja!"
Kwa Hong tidak menjawab, namun melengking keras dan tahu-tahu dia telah melakukan serangan serentak dengan lima buah anak panah di ujung cambuk dan dengan pedang di tangan kanannya. Hebat sekali serangan ini.
Hek-hwa Kui-bo sendiri yang merupakan tokoh hebat dari selatan sampai berseru kaget dan cepat melompat mundur. Ia merasa seakan-akan sekaligus diserang oleh lima enam orang lawan! Nenek ini pun maklum bahwa kepandaian Kwa Hong tidak boleh dipandang ringan. Maka ia tidak mau bicara lagi, segera kedua tangannya bergerak, pedang dan sabuknya sudah menyambar-nyambar mengimbangi permainan lawan.
Hebat sekali pertempuran kali ini. Keduanya mempunyai ilmu silat yang ganas dan tak mengenal kasihan. Hek-hwa Kui-bo segera merasa betapa ilmu pedang yang dimainkan oleh Kwa Hong itu ganas dan aneh bukan main, maka ia pun lalu cepat mainkan Im-sin Kiam-sut untuk melawannya, sedangkan sabuknya juga merupakan lawan dari cambuk di tangan Kwa Hong.
Dua orang jago betina bertempur mempergunakan pedang dan senjata-senjata aneh yang mengandung racun, tentu saja pertandingan ini hebat dan seru, juga amat menegangkan hati.
Tiba-tiba terdengar suara parau, "Heee! Hek-hwa Kui-bo, Iblis betina itu adalah untukku, jangan dibikin mampus dulu. Akulah yang berhak membunuhnya!"
Berbareng dengan teriakan ini tubuh seorang yang mukanya seperti setan melayang ke atas panggung. Sebagian besar para tamu tercengang dan merasa ngeri menyaksikan muka seorang laki-laki yang begini menyeramkan, mata kiri bolong, mulut robek, telinga kiri buntung dan tangan kiri kaku seperti cakar setan.
"Iblis betina Kwa Hong, inilah Siauw-coa-ong Giam Kin! Kau sudah membikin wajahku seperti ini, saat ini juga kau harus menebusnya!"
Seperti orang gila Giam Kin memainkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah suling ular, dimainkan dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya yang berbentuk cakar setan itu juga melakukan penyerangan yang hebat.
Dari pihak tuan rumah berkelebat bayangan yang sangat gesit seperti burung terbang, disusul bentakan nyaring halus, "Manusia muka setan, tidak boleh main keroyokan. Dasar curang! Hayo sekarang hadapi pedangku secara laki-laki!"
Tanpa memberi kesempatan lagi Cui Bi yang sudah berada di atas panggung langsung menerjang Giam Kin dengan pedangnya. Gadis ini menyerang penuh kebencian, karena itu gerakan pedangnya hebat bukan main, cepat dan kuat sekali.
Giam Kin kaget dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Sulingnya terbuat dari logam yang kuat dan dengan mengandalkan lweekang-nya, ia ingin membuat pedang di tangan gadis itu terlepas. Namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba pedang di tangan Cui Bi itu yang bagaikan hidup, melejit ke bawah dan melewati sulingnya terus menusuk ke arah lambungnya!
"Celaka...!"
Giam Kin segera membuang diri ke belakang dan terus bergulingan di atas papan untuk menghindarkan diri. Ia tidak mengira bahwa gadis itu demikian cerdik dan ilmu pedangnya demikian hebat.
Memang sebelum melompat ke atas panggung tadi, telinga gadis ini mendengar bisikan, suara ayahnya, "... jangan mengadu tenaga..."
Pesan inilah yang membuat Cui Bi berhati-hati dan berlaku cerdik. Dia dapat menduga maksud ayahnya dengan pesan ini. Tentu Si Muka setan ini memiliki tenaga lweekang yang lebih kuat darinya, atau mungkin suling yang berbentuk ular itu mengandung senjata rahasia yang akan bekerja kalau senjata itu beradu dengan senjata lain.
Setelah meloncat bangun, Giam Kin menghadapi penyerangan gadis itu dengan hati-hati sekali, menggunakan seluruh tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Namun hatinya kecut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa makin lama pedang gadis itu semakin kuat dan membingungkan.
Hal ini takkan mengherankan hatinya kalau ia tahu bahwa untuk menghadapi orang yang amat dibencinya ini Cui Bi telah mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, yaitu Im-yang Sin-kiam-sut yang jarang tandingannya di dunia persilatan. Giam Kin mulai menyesal.
Tadinya dia menganggap dirinya sudah kuat benar, malah ia ingin menonjolkan namanya dengan mengalahkan Beng San kalau bisa, karena dia sudah mendengar bahwa Ketua Thai-san-pai itu telah terluka parah sekali. Siapa kira, baru menghadapi gadis puteri Ketua Thai-san-pai ini saja ternyata sangat berat. Dan ia tahu pula betapa bencinya gadis ini kepadanya, gadis yang kemarin dulu hampir mati menjadi korbannya.
Para tamu memandang ke atas panggung dengan hati yang penuh diliputi ketegangan. Pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dan Kwa Hong sudah cukup hebat dan membuat pandang mata menjadi kabur. Apa lagi sekarang ditambah dengan sebuah pertandingan lagi antara manusia muka setan dan gadis cantik itu, benar-benar membuat hati menjadi tegang bukan main. Melihat munculnya tokoh-tokoh besar serta melihat ilmu silat yang demikian hebatnya, mereka yang tadinya ingin mempertunjukkan kepandaiannya di atas panggung, sekarang menjadi kuncup hatinya dan keinginan hati itu terbang jauh.
Ilmu pedang Cui Bi hebat bukan main. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa ia telah mendapat gemblengan dari ayah dan ibunya semenjak kecil. Tokoh seperti Giam Kin, biar pun memiliki kepandaian yang tinggi, bukanlah lawannya bermain pedang.
Segera ternyata bahwa Si Muka Setan itu terdesak dan tertindih hebat sekali sampai tak mampu membalas serangan Cui Bi. Dia hanya sanggup menangkis ke sana ke mari dan meloncat ke kanan kiri untuk menghindarkan sambaran pedang yang akan merupakan tangan maut baginya.
Desakan ini membuat Giam Kin menjadi malu, penasaran, dan marah sehingga kemudian dia menjadi nekat. Sambil menggereng seperti seekor binatang terpojok, dia menangkis pedang dengan suling ularnya, lalu tangan kirinya yang seperti cakar setan itu bergerak mencengkeram ke arah dada Cui Bi!
"Setan tak bermalu!" Cui Bi memaki.
Cui Bi menggeser kaki, miringkan tubuh jauh ke kanan, lalu dengan gerakan yang indah dan tak terduga-duga pedangnya menyambar dan... terdengar seperti orang membacok kayu ketika pedangnya membabat putus lengan kiri yang kering itu! Tetapi lengan yang buntung itu sama sekali tidak mengeluarkan darah, agaknya tangan itu memang sudah mati dan kering.
Kaget sekali Cui Bi dan kekagetannya ini memperlambat gerakannya sehingga dia kena diserang oleh Giam Kin yang menghantamkan suling ularnya ke arah punggung Cui Bi. Tetapi gadis puteri tunggal Ketua Thai-san-pai ini hebat sekali.
Dia berada dalam posisi berbahaya sekali, sehabis membacok tangan kelihatan tertegun dan ngeri, dan sekarang punggungnya disambar senjata musuh yang lihai. Tidak mungkin ia dapat menangkis dan untuk mengelak juga sukar karena suling ular itu menghantam dari arah belakangnya.
Tapi dasar ia gadis pendekar yang sudah tinggi ilmu silatnya, sehingga punggungnya pun seakan-akan mempunyai ‘mata’ yaitu perasaan naluri yang membuat seorang ahli silat dapat menangkis serangan di waktu ia sedang tidur sekali pun!
Melihat dirinya terancam bahaya, Cui Bi tidak menjadi bingung, bahkan dia menerjang dengan pedangnya menusuk ke arah ulu hati Giam Kin sambil diam-diam mengerahkan lweekang pada punggungnya. Ia pikir, gerakannya tidak kalah dulu dan tidak kalah cepat. Andai kata datangnya kedua senjata berbareng, pedangnya sudah pasti akan menembus ulu hati, sedangkan pukulan suling itu belum tentu akan berbahaya baginya karena sudah terjaga oleh pengerahan tenaga lweekang-nya!
"Ayaaaa...!"
Giam Kin kaget setengah mati. Tentu saja ia tidak mau menukar pukulan pada punggung dengan tusukan pada ulu hatinya karena selain rugi, juga sudah pasti nyawanya akan melayang! Secepat kilat ia membanting tubuhnya ke kiri untuk menghindarkan dirinya dari tusukan maut, akan tetapi otomatis pukulannya pada punggung lawan juga menjadi batal.
Cui Bi menjadi marah sekali. Selagi tubuh lawan bergulingan di atas papan, ia tidak mau memberi hati, lantas menerjang maju, melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerakan pedang yang amat lihai.
Sambil bergulingan Giam Kin berusaha menangkis, tapi gerakannya kalah cepat. Sebelum ia meloncat bangun, Cui Bi sudah berhasil menusuk pergelangan tangan kanannya. Giam Kin mengaduh dan suling ularnya terlepas dari pegangan.
Cui Bi menyerang terus, membuat Giam Kin bergulingan ke sana ke mari menghindarkan bacokan atau tusukan pedang. Darah mulai mengucur pada saat ujung pedang Cui Bi menembus baju lalu mengenai pundak dan paha, akan tetapi Giam Kin bergulingan terus berusaha menyelamatkan dirinya.
"Bi-moi, jangan membunuh orang...!" tiba-tiba Kun Hong berseru sambil berdiri dari tempat duduknya.
Mendengar suara ini, Cui Bi menahan sebuah tusukan yang sedianya akan menamatkan riwayat Si Muka Setan itu, lalu kakinya menendang. Tubuh Giam Kin terlempar ke bawah panggung dibarengi jeritan kesakitan. Tubuh itu terbanting di atas tanah, dia merangkak lalu lari terpincang-pincang dari tempat itu.
Pada saat itu, pertempuran antara Kwa Hong dan Hek-hwa Kui-bo juga telah mencapai puncaknya. Dengan jurus Im-Sin Kiam-sut yang istimewa gayanya, Hek-hwa Kui-bo yang penasaran itu menyerang. Hebat serangan pedang ini sehingga biar pun Kwa Hong sudah cepat mengelak, tetap saja pundak kirinya tertusuk dan darah mengucur keluar.
Hek-hwa Kui-bo tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika pada saat itu Kwa Hong yang tidak mempedulikan pundaknya yang tertusuk, sempat mengerahkan cambuknya dan tiga di antara lima anak panah di ujung cambuk itu menyambar ke tiga bagian tubuh Hek-hwa Kui-bo. Nenek ini masih dapat menangkis dua anak panah yang menghantam pusar dan dada, akan tetapi masih ada sebatang anak panah yang sedianya menghancurkan kepalanya, biar pun telah ia elakkan, tetap saja menancap pada pinggir lehernya!
Hek-hwa Kui-bo melepaskan pedangnya yang masih menancap pada pundak Kwa Hong, tangan kanannya lantas menghantam sekuat tenaga ke depan. Kwa Hong yang melihat hantaman ini, tidak sempat lagi mengelak, tangan kirinya melepaskan cambuk dan sekali putar ia telah melancarkan pukulan Jing-tok-ciang menyambut pukulan Hek-hwa Kui-bo.
Terdengar suara keras, kemudian tubuh dua orang wanita itu terlempar turun panggung. Kebetulan sekali tubuh Kwa Hong terlempar ke arah Giam Kin, yang sedang merangkak bangun. Melihat musuh besarnya yang sudah membuat wajahnya yang tampan menjadi seperti muka setan, Giam Kin girang dan menggunakan kesempatan itu untuk mengayun tangan kanannya memukul Kwa Hong yang jatuhnya dekat sekali dengan dirinya.
"Bukkk!"
Pangkal leher Kwa Hong terpukul, tapi wanita ini sempat menggerakkan pedangnya dan…
"Cesss!" pedang itu menusuk perut Giam Kin sampai tembus ke punggungnya.
Si Muka Setan itu berkelojotan sebentar kemudian diam, putus napasnya. Kwa Hong juga terguling roboh. Di lain tempat, Hek-hwa Kui-bo yang jatuh terbanting berusaha bangun, tapi dua kali ia gagal, lalu roboh tak bernapas lagi. Kiranya anak panah yang menancap di lehernya itu mengandung racun yang luar biasa jahatnya sehingga seluruh tubuhnya telah keracunan, tak dapat ditolong lagi.
Sambil berseru keras Sin Lee sudah melompat ke arah ibunya, menyambar tubuh ibunya dan dibawa lari ke tempat rombongan tuan rumah. Segera Kwa Hong disambut oleh Beng San, Li Cu, dan Kun Hong. Yang lain-lain mendekati dan memandang kuatir.
Keadaan Kwa Hong hebat sekali. Lukanya parah, namun wanita ini tersenyum-senyum saja. Melihat Sin Lee berlutut dengan muka pucat, Kwa Hong berbisik,
"Mana... mana dia...?"
Sin Lee maklum, menoleh kepada ayahnya. Beng San mendekat, berlutut.
"Hong-moi, bagaimana luka-lukamu...?" tanyanya terharu.
"Tidak usah bicara tentang aku, yang perlu anakku. Beng San, apakah kau benar mau menerimanya sebagai puteramu?"
"Sudah tentu, Hong-moi, Sin Lee memang puteraku."
"Kau akan mendidiknya baik-baik seperti anak-anakmu yang lain?"
"Tentu!"
"Bersumpahlah!" suara Kwa Hong masih keras dan seperti marah-marah.
Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah bahwa dia akan menerima Sin Lee sebagai putera sendiri dan mendidiknya baik-baik.
Kwa Hong nampak lega. “ Mana…. Li Cu?”
Li Cu memang sedang berdiri di dekat situ, maka mendengar ini dia pun lalu mendekat dan berlutut.
“Li Cu, kau rela menerima Sin Lee sebagai anak tirimu?”
Li Cu mengangguk, terharu. “Puteramu adalah putera suamiku, berarti dia itu puteraku sendiri, tiada bedanya.”
“Enci Kwa Hong, biarkan aku memeriksa luka-lukamu….” Tiba-tiba Kun Hong berkata, mendekati wanita yang terluka parah itu.
“Siapa kau?!” Kwa Hong membentak, suaranya ketus.
“Enci Hong, ayahku bernama Kwa Tin Siong, Ibuku Liem Sian Hwa, kita adalah saudara tiri.”
Sejenak Kwa Hong tercengang, lalu mengipatkan tangan Kun Hong yang menjangkaunya hendak melakukan pemeriksaan. “Jangan sentuh aku! Aku anak… jahat, anak murtad.”
“Enci, Ayah tidak pernah marah kepadamu, rindu sekali dan berkasihan kepadamu,” kata Kun Hong dengan suara halus.
Kwa Hong memandang tajam, agaknya tak percaya. Suaranya semakin lemah dan parau ketika ia bertanya, “Ayah… Ayah mengampuni aku…?”
“Sejak dahulu Ayah mengampunimu, Enci. Malah diharap-harap kembalimu ke Hoa-san. Enci, biarkan aku memeriksamu, barangkali aku dapat mengobatimu.”
“Benar, Hong-moi. Adikmu ini mempunyai kepandaian ilmu pengobatan, aku pun sudah mendapatkan pertolongannya,” kata Beng San.
“Tidak! Biar aku mati…. Ahhh, aku seorang jahat…. Li Cu, kau begini mulia, Ayah pun mengampuniku…. Semua orang baik-baik sedangkan aku… aku… Sin Lee… Jangan kau tiru Ibumu. Kau ikutlah ayahmu menjadi orang baik-baik….”
Tubuh ini menegang sebentar, kemudian lemas. Mulutnya tersenyum, matanya meram, napasnya terhenti.
Sin Lee menubruk ibunya, tetapi dua buah tangan tangan kuat memegang pundaknya. Ia menoleh, melihat wajah ayahnya yang pucat. Sepasang mata ayahnya yang tajam itu memperingatkannya bahwa tak selayaknya seorang gagah terlalu menyedihkan kematian.
"Ibu... ibu... selamat jalan..." Sin Lee terisak lalu menguatkan hatinya, mundur.
Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya dan memberi perintah supaya jenazah Kwa Hong dibawa naik ke puncak dan dirawat di sana. Semua berjalan dengan tenang dan para tamu dari tempat jauh tidak melihat nyata apa yang terjadi di situ. Hanya setelah jenazah itu diangkat mereka tahu bahwa Kwa Hong yang dikenal sebagai wanita iblis itu telah tewas.
Jenazah Hek-hwa Kui-bo sudah diangkut oleh para anggota Ngo-lian-kauw, sedangkan jenazah Giam Kin disingkirkan oleh Siauw-ong-kwi. Keadaan sementara menjadi sunyi.
Pada saat itu terdengar orang tertawa terkekeh-kekeh dan dua bayangan orang meloncat ke atas panggung. Mereka ini ternyata adalah Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio. Suara tertawa tadi adalah suara Toat-beng Yok-mo, dan sekarang Setan Obat itu pun berkata nyaring dengan suaranya yang serak,
"Heh-heh-heh, Ketua Thai-san-pai. Kau benar-benar licik sekali. Sejak tadi baru seorang anak murid Thai-san-pai yang maju, lalu kedua orang putera-puterimu. Kau menggunakan orang-orang muda untuk melindungi muka Thai-san-pai, malah mengadu domba antara bekas musuh dengan musuh. Pintar! Aku memang tidak memiliki urusan penting dengan Thai-san-pai, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan pemuda Kwa Kun Hong yang berlindung di tempatmu. Kwa Kun Hong, kau sudah menghina kami berdua dengan akal licik, hayo keluarlah untuk perhitungan di atas panggung ini!"
"Toat-beng Yok-Mo!" suara Beng San amat keras menggeledek. "Tak usah kita berbicara tentang pengeroyokan kemarin dulu, kau tidak menantang aku sudahlah. Akan tetapi kau menantang seorang pemuda keponakanku dari Hoa-san-pai yang sekarang menjadi tamu terhormat, Apakah kalian berdua tua bangka hendak mengeroyok seorang pemuda?"
"Hi-hi-hi, sama sekali tidak mengeroyok. Biarlah aku turun dulu dan menunggu giliran." Ia menoleh kepada Tok Kak Hwesio "Hwesio yang baik, kau boleh memberi hajaran kepada dia, tapi jangan dibunuh, biarkan aku yang menghabisinya, heh-heh-heh!"
Setelah Toat-beng Yok-mo melompat turun, Tok Kak Hwesio berkata ke arah Kun Hong. "Siluman muda, hayo kau naik perlihatkan kepandaianmu!"
Kun Hong mengerutkan keningnya. Dia tidak senang berkelahi, apa lagi di tempat umum seperti itu, dijadikan tontonan! Ia ragu-ragu. Bila didiamkan saja, tentu memalukan, bukan memalukan namanya, terutama sekali memalukan Hoa-san-pai dan Thai-san-pai sebagai tuan rumah. Dilayani, ahh, mengapa melayani orang gila yang mabuk nafsu membunuh?
Kong Bu bangkit berdiri, memegang lengannya. "Saudara Kun Hong, jangan gelisah. Aku akan menjadi wakilmu!"
Belum lagi Kun Hong sempat menjawab, tubuh Kong Bu sudah melayang naik ke atas panggung. Dengan muka kereng dan pandang mata tajam pemuda ini membentak,
"Hwesio tua, sepanjang ingatanku, saudara Kwa Kun Hong adalah orang yang tidak suka berkelahi, pantang membunuh dan selalu mengalah. Bagaimana seorang pendeta seperti kau ini mendendam kepadanya? Biar pun dia itu seorang murid Hoa-san-pai, namun ia mempelajari ilmu sastra saja, tidak suka akan ilmu silat. Apakah tantanganmu ini tidak hanya merendahkan dirimu sendiri dan sekaligus membuka watakmu yang tak tahu malu, menantang kepada seorang pemuda yang hanya tahu ilmu sastra dan pengobatan? Jika memang kau hendak berlagak, akulah tandinganmu!"
Tok Kak Hwesio marah sekali. Ia mengenal pemuda ini yang kemarin sudah membantu Beng San dalam pengeroyokan, dan sepanjang pendengarannya, pemuda ini katanya cucu Song-bun-kwi. Bagaimana bisa begini dan apa artinya semua ini?
"Ehhh, orang muda, sebenarnya kau ini siapakah? Ada hubungan apa kau dengan Ketua Thai-san-pai dan apamu pula Kun Hong itu?"
"Hwesio, aku tahu bahwa kau adalah Tok Kak Hwesio yang berjuluk Kauw-jiauw-kang Si Cakar Monyet, bekas perampok besar! Kau belum kenal aku? Aku adalah putera Ketua Thai-san-pai, namaku Tan Kong Bu."
"Ha-ha-ha, semua mengaku putera Ketua Thai-san-pai? Orang bilang bahwa kau adalah cucu Song-bun-kwi... Berapa orang sih isteri Ketua Thai-san-pai?"
"Benar! Mendiang ibuku adalah puteri tunggal Kakek Song-bun-kwi. Nah, sekarang kau sudah tahu jelas, apakah kau masih berani melawanku sebagai wakil saudara Kwa Kun Hong seorang sahabatku yang baik?"
"Keparat, kau sombong benar. Lihat seranganku!"
Hwesio itu sudah marah sejak ia dimaki-maki sebagai perampok besar tadi, maka tanpa banyak cakap lagi dia telah langsung menyerang mempergunakan cengkeramannya yaitu Kauw-jiauw-kang. Lihai sekali ilmu ini, kedua tangannya sudah digembleng, gerakannya cepat, penuh tenaga lweekang dan sekali lawan kena dicengkeram, pasti kulitnya hancur dagingnya robek tulangnya remuk!
Kemarin dulu ketika Kong Bu menolong ayahnya dari pengeroyokan, sudah melihat ilmu kepandaian hwesio ini, maka ia tidak berani berlaku sembrono menghadapi serangan ini. Ia mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Yang-sin-hoat, ilmu silat yang berdasarkan tenaga keras sehingga pukulannya mendatangkan hawa panas.
Kong Bu semenjak kecil digembleng hebat oleh Song-bun-Kwi dan karena Song-bun-kwi tadinya bercita-cita supaya cucu ini kelak bertanding melawan Beng San, tentu saja dia sudah menurunkan seluruh kepandaiannya. Siapa kira sekarang cucunya bukan melawan ayahnya, bahkan sebaliknya di atas panggung ini membela dan mempertahankan nama baik Thai-san-pai.
Sesudah belasan jurus saling serang, diam-diam Tok Kak Hwesio mengeluh di dalam hatinya. Dia tahu bahwa Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar yang sakti dan yang jauh lebih tinggi ilmunya dari pada dia sendiri, akan tetapi sungguh ia tidak mengira bahwa cucunya, seorang pemuda yang usianya baru dua puluhan tahun, sudah pula memiliki kepandaian begini tinggi dan tenaga yang begini kuat.
Di lain pihak, Kong Bu juga merasa sukar untuk menjatuhkan hwesio itu karena dia tidak berani melakukan tangkisan terhadap cengkeraman lawan. Dengan cara hanya mengelak tiba-tiba ia dapat balas memukul sehingga biar pun ia dapat mendesaknya dengan hujan pukulan, tapi masih kurang cepat dan selalu dapat dielakkan oleh hwesio kosen itu. Apa lagi kalau hwesio itu menangkis sambil mencengkeram, ia selalu harus menghindarkan tangannya dan menarik kembali pukulannya.
Tiba-tiba dia mendengar suara lirih di dekat telinganya, "Cengkeraman cakar bebek begini saja takut apa? Paling-paling membikin lecet kulit"
Kong Bu girang sekali. Itulah suara kakeknya! Sejak tadi ia melihat-lihat akan tetapi di situ tidak kelihatan kakeknya muncul, dan sekarang tahu-tahu ada suaranya yang dikirim dari tempat jauh.
Tadinya Kong Bu meragu untuk membiarkan tangannya dicengkeram sambil membarengi memukul. Sekarang mendengar bisikan ini, hatinya menjadi tabah. Ketika tangan kirinya menjotos dada, kakek itu menangkis sambil mencengkeram lengan Kong Bu. Pemuda ini sengaja berlaku lambat hingga pergelangan tangan kirinya betul-betul dapat dicengkeram.
Tok Kak Hwesio sudah menyeringai kegirangan. Akan tetapi mendadak terdengar suara keras, dadanya terkena jotosan hebat dari tangan kanan Kong Bu. Hwesio itu berteriak, tubuhnya terlempar ke bawah panggung dan roboh terbanting, bangkit lagi lalu muntah darah segar, terus ngeloyor pergi dari situ!
Toat-beng Yok-mo marah bukan main, tubuhnya telah melayang ke atas panggung. Akan tetapi sebelum Kong Bu menghadapinya, Kun Hong sudah berlari-lari naik ke panggung melalui anak tangga, terus menarik tangan Kong Bu yang kiri.
"Wah, kau terkena racun!" bisiknya sambil menotok beberapa jalan darah di lengan itu, mengurut sebentar lalu berkata, "Saudara Kong Bu, aku berterima kasih bahwa kau sudah mewakili aku, tetapi aku tidak senang kau atas namaku menjotos orang sampai muntah darah. Sekarang kau turunlah, minta Ayahmu supaya mengeluarkan darah di pergelangan tanganmu dengan melukainya, kemudian kau telanlah dua butir pel ini."
Dia mengeluarkan dua butir pel hijau buatannya sendiri dari daun-daun yang khasiatnya memunahkan racun. Kong Bu mengangguk dan hendak turun panggung, akan tetapi dia memandang ragu kepada Toat-beng Yok-mo.
"Saudaraku, apakah kau benar-benar dapat menghadapi iblis ini?" bisiknya.
"Biarlah, itu tanggung jawabku, kau turunlah,'" jawab Kun Hong.
Ketika Kong Bu menoleh ke arah ayahnya, ia melihat ayahnya memberi isyarat supaya ia turun, maka ia pun lalu melompat turun.
Ada pun Toat-beng Yok-mo pada saat melihat cara Kun Hong mengobati Kong Bu tadi, memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia pun mencak-mencak saking marahnya ketika ia mengenal bahwa cara pengobatan itu adalah pelajaran dari kitabnya.
"Pencuri, kau harus mampus di tanganku untuk menebus dosamu!" teriaknya marah.
"Nanti dulu, Toat-beng Yok-mo jangan sembarangan kau menuduh orang. Di sini banyak orang gagah yang menjadi saksi, tak boleh kau menuduh sebagai pencuri. Coba katakan orang yang kecurian tentu kehilangan sesuatu, dan kau kehilangan apamukah?"
"Aku tidak kehilangan sesuatu, tapi kau tetap mencuri, mencuri ilmuku pengobatan. Hayo katakan, apakah kau tidak membaca habis semua kitab-kitabku tentang ilmu pengobatan? Jawab!"
Kun Hong menghadapi para tamu yang dengan penuh perhatian sedang mendengarkan perdebatan itu. "Cu-wi sekalian mendengar jelas bahwa kakek ini tidak kehilangan suatu, akan tetapi menuduh siauwte sebagai pencuri. Bukankah itu aneh? Yok-mo, kau sudah membohong! Dulu pada saat kau terluka, kau minta aku menolongmu, menggendongmu berhari-hari lamanya. Sementara itu, kau sudah memberi ijin kepadaku untuk membaca kitab-kitabmu yang sudah kukembalikan pula. Jadi aku tidak mencuri baca kitab-kitabmu karena kau sudah memberi perkenan. Ada pun mengenai ilmu, ilmu itu bukankah milik pribadi siapa pun juga. Siapa pun dia orangnya yang suka mempelajari, akan memiliki ilmu itu, yang suka mempelajari akan mendapat ilmu, yang mengajar takkan kehilangan ilmu, karena ilmu bukanlah milik pribadi manusia dan akan lenyap bersama manusia, kembali ke tangan pemiliknya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Nah, sudah sadarkah kau sekarang?"
"Sadar perutmu!" Toat-beng Yok-mo memaki. “Siapa pun yang pernah kuobati dia harus kubunuh, siapa yang memiliki ilmu pengobatanku dia pun harus kubunuh!"
"Wah-wah-wah, kalau begitu kau nyeleweng dari kebenaran. Kau nyeleweng dan tersesat jauh sekali, orang tua. Benar kata-kata kuno yang menyatakan bahwa segala sesuatu, baik buruknya tergantung kepada manusia yang bersangkutan. Pisau tetap pisau, dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik misalnya pemotong sayur-sayur di dapur sebagai alat pembuat perabot rumah tangga, dan lain-lain. Akan tetapi pisau yang itu-itu juga dapat juga dipergunakan untuk hal yang buruk misalnya menusuk perut sesama manusia! Segalanya tergantung kepada manusia yang memegangnya. Hemm, Toat-beng Yok-mo ilmu pengobatan pun demikian, baik buruknya tergantung pada manusia yang menguasai ilmu itu. Di tanganmu, ilmu itu menjadi alat kejahatan."
"Sudah, sekarang aku bukan datang untuk mendengar kuliahmu, tetapi untuk mencabut nyawamu. Hayo berani kau melawan aku?"
"Berani dan tidak bagiku tergantung dari persoalannya. Kalau aku berada di pihak benar, aku takkan mengenal takut, sebaliknya kalau aku berada di pihak salah, aku tak mengenal berani. Dalam persoalan antara kita, aku tidak bersalah, tentu aku tidak takut, Yok-mo."
"Keparat, lidahmu tak bertulang, bibirmu lemas seperti bibir perempuan, omonganmu pun berbelit-belit. Keluarkan senjatamu!"
"Apakah lidahmu bertulang? Bibirmu kaku?" Kun Hong menjawab.
Akan tetapi karena maklum bahwa kakek ini berkepandaian tinggi, ia kemudian mencabut pedangnya secara terbalik yaitu memegang gagang pedang dengan ujung pedang yang menghadap ke dalam seperti orang memegang sebilah pisau belati.
"Awas serangan!"
Yok-mo segera menerjang maju dengan tongkatnya, ingin sekali pukul menghancurkan kepala lawan, maka ia mengarah tubuh bagian atas ini.
"Wah, galaknya!" Kwa Hong membungkuk dengan kaku.
Gerakannya lucu seperti gerakan orang yang tidak pandai silat, namun anehnya, pukulan itu tidak mengenai kepalanya.....
Tongkat itu lewat kemudian langsung membabat kembali dan menyerang dada. Kun Hong terhuyung-huyung mundur, kakinya bergerak…
"Set-set-set!"
Dengan tubuh melengkung ke sana ke mari, dua tangannya dikembangkan, kadang kala ia berdiri di kedua ujung jari kakinya seperti penari balet! Gerakannya lucu seperti badut menirukan penari-penari balet, namun hebatnya, semua serangan Toat-beng Yok-mu tak pernah menyentuh kulitnya.
Sin Lee, Cui Bi, Li Eng dan Hui Cu biar pun sudah mengenal baik pemuda itu, kini tetap meragu dan gelisah.
"Wah, Saudara Kun Hong benar-benar gegabah sekali. Kakek itu lihai dan berbahaya," kata Kong Bu perlahan.
Sin Lee melongo dan memandang dengan mata terbelalak. "Aneh... aneh..."
Ia mengucapkan kata-kata ini berkali-kali karena makin lama makin jelas melihat gerakan-gerakan yang menyerupai gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari ibunya. Kaki itu, tangan itu yang dikembangkan, memang agak berbeda dan tidak ‘asli’ lagi, tapi lebih praktis lebih hebat. Apakah hal ini kebetulan saja?
Akan tetapi orang-orang ini menjadi tenang ketika mendengar suara Beng San perlahan, "Tak usah kuatir. Yok-mo takkan dapat menangkan Kun Hong. Hebat... Hebat orang muda itu..."
Toat-beng Yok-mo menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Ia merasa penasaran sekali, juga merasa dipermainkan di depan banyak tokoh kang-ouw. Tongkatnya bergerak makin cepat tenaganya dikerahkan sehingga tongkatnya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang yang menghadang dan menyerang tubuh Kun Hong dari segala penjuru.
Akan tetapi gerakan pemuda itu hebat sekali. Kelihatannya terhuyung-huyung, jongkok, berdiri, berloncatan ke kanan kiri, malah ada kalanya membanting tubuh bergulingan, ada kalanya menari-menari dengan kedua lengan dikembangkan dan berdiri di ujung jari kaki. Akan tetapi seluruh gerakan ini seirama dengan jurus-jurus serangan Toat-beng Yok-mo sehingga semua penyerangan itu gagal. Menyerang pemuda ini sama susahnya dengan menyerang bayangan sendiri!
"Iblis! Siluman! Hayo balas serang kalau kau memang laki-laki!" teriak Yok-mo dengan suara keras, saking marahnya.
"Sudahlah, Yok-mo. Kau tidak bisa mengalahkan aku, tidak bisa merobohkan aku, apakah kau masih belum mau terima juga?" kata Kun Hong sambil mengelak lagi dari sambaran tongkat dengan cara yang aneh, yaitu tubuhnya bagian atas meliuk ke kanan kiri tanpa menggeser kaki, seperti sebatang rumput alang-alang tertiup angin besar.
Para penonton mulai bersorak-sorak dan terheran-heran. Bahkan golongan tua yang juga menonton pertunjukan ini saling pandang tidak percaya. Apakah Yok-mo yang main-main ataukah mata mereka yang sudah tidak terang lagi? Benar-benar belum pernah mereka melihat hal semacam itu, bahkan teori persilatan yang mana pun belum pernah mereka mendengar apa lagi melihat.
Hanya Beng San seorang yang mengangguk-angguk puas. Dugaannya ternyata tidak keliru. Pemuda itu ternyata mempunyai kepandaian tinggi, malah dia dapat merasa bahwa dasar ilmu yang berupa langkah-langkah sakti itu mirip dengan dasar ilmu silatnya sendiri, mirip dengan dasar Im-yang Sin-hoat.
Hanya bedanya, kalau Im-yang Sin-hoat dikembangkan menjadi ilmu pedang yang sakti, adalah ilmu yang dimiliki pemuda itu bercampur dengan gerakan-gerakan seekor burung sakti. Cara mengelak itu tidak salah lagi mempergunakan unsur Im dan Yang, akan tetapi gayanya adalah gaya pengelakan seekor burung.
Ia makin kagum, lebih-lebih kalau ia ingat betapa pemuda itu dengan rapat sekali dapat menjaga menutupi kepandaiannya yang jelas membayangkan sifat merendah, watak yang tidak suka menonjolkan diri, apa lagi berdasar watak welas asih yang tidak suka melihat bunuh-bunuhan.
"Iblls cilik, buat apa kau memegang pedang? Hayo serang aku bila kau memang memiliki kepandaian!"
"Aku tidak berkepandaian apa-apa, akan tetapi kalau kau minta aku balas menyerang, boleh, Nah, jaga pedangku ini!"
Kun Hong menggerakkan pedangnya yang masih terbalik cara memegangnya itu. Tangan kanannya bergerak seperti memukul biasa dan tahu-tahu pedang itu membabat di pinggir lengannya, seperti seekor ayam jantan menggunakan jalu kakinya untuk menyerang, atau seperti seekor burung menerjang lawan menggunakan kakinya.
Yok-mo menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat pedang lawan terlepas. Akan tetapi, begitu terdengar suara nyaring beradunya dua senjata itu, Yok-mo merasa lengannya sakit-sakit dan tubuh Kun Hong terpental ke atas!
Ternyata tubuh itu ringan sekali sehingga benturan senjata dapat membuat dia terpental, tetapi tidak mempengaruhi keadaannya, malah dari atas ia lalu menukik ke bawah seperti seekor burung mematuk. Pedangnya mendahuluinya menusuk, kedua kakinya bergantian menendang sedangkan tangan kirinya juga menampar dari samping. Sekaligus Yok-mo menghadapi dua tendangan, satu tamparan dan satu tusukan!
"Ahhhh!" Sin Lee berseru sambil berdiri dari kursinya. Itulah gerakan Rajawali Mematuk! Tapi yang ini hebat sekali, lebih hebat dari pada gerakannya sendiri.
Yok-mo terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah pedang sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkatnya terhenti dan tahu-tahu tongkat itu sudah dicengkeram oleh tangan kiri Kun Hong! Ketika Yok-mo hendak membetot, kaki Kun Hong sudah menendang ke arah tangannya sehingga kakek ini terpaksa melepaskan tongkatnya dan melompat mundur. Akan tetapi terlambat, ujung pedang Kun Hong sempat menggaris tengkuknya, membuat luka memanjang yang tidak dalam namun cukup merobek baju dan kulit.
"Ahhh, aku menyesal sekali. Aku tidak sengaja..." Kun Hong berseru dan mengembalikan tongkat kepada Yok-mo.
Saking malunya, muka Yok-mo menjadi merah menghitam. Dia segera menerima tongkat dan tiba-tiba ia menekuk tubuhnya, membungkuk-bungkuk dan merintih-rintih,
"Aduh... aduh... perutku... kambuh sakitnya..."
Kun Hong adalah seorang yang penuh welas asih, sama sekali tidak menaruh dendam kepada kakek itu. Melihat muka orang yang menyeringai kesakitan, dia cepat menyimpan pedangnya dan menghampiri.
"Ada apa? Apanya yang sakit? Biarlah aku memeriksanya, Yok-mo."
Ia lalu berlutut dan mengulurkan kedua tangan memeriksa bagian perut kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba Yok-mo menggerakkan tongkatnya menghantam kepala Kun Hong sambil menendang dengan kaki ke arah dada pemuda itu!
"Heh! Curang!" Tubuh Beng San melayang ke atas panggung.
Juga para penonton berteriak-teriak, "Curang... curang...!"
Kun Hong kaget sekali, tapi dengan cepat tubuhnya meliuk ke belakang, pukulan tongkat pada kepalanya meleset, akan tetapi dadanya kena tendang sehingga ia terjengkang dan bergulingan ke belakang. Anehnya, ia bangun lagi dan sama sekali tidak apa-apa! Namun sebaliknya, Yok-mo muntah-muntah darah lantas roboh dan napasnya putus!
Apa yang terjadi? Kiranya tadi Kun Hong benar-benar hendak mengobatinya dan ketika itu pemuda ini dengan kedua tangannya sudah mencengkeram jalan darah di kanan kiri perut kakek itu. Tentu saja ia melakukan hal ini dengan maksud baik karena hendak mengobati. Siapa kira kakek itu malah memukul dan menendangnya.
Gerakan ini sebetulnya sama sekali pantang bagi orang yang urat perutnya dicengkeram, maka begitu menendang, kakek itu merasa perutnya muak dan sakit. Kiranya urat-urat di dalam perutnya sudah hancur dan membanjir ke dalam perut sehingga nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi.
Kun Hong berdiri melongo. Ia masih belum tahu apa yang menjadi sebab kematian kakek itu. Wajahnya menjadi agak pucat.
"Aku... aku tidak bermaksud membunuhnya... aku tidak membunuh...," katanya berulang kali kepada Beng San yang sudah berada di panggung.
Beng San menepuk-nepuk pundak Kun Hong lalu diajaknya pemuda itu turun panggung. Dia lalu memerintahkan anak buah Thai-san-pai untuk menurunkan mayat Yok-mo dan mengurusnya baik-baik.
"Jangan berduka, Kun Hong, Yok-mo tewas karena kesalahannya sendiri, bukan karena kau." Beng san menghibur, melihat wajah muram pemuda itu. "Kau hendak menolongnya, sebaliknya ia justru membalas dengan tendangan dan pukulan, memang telah kehendak Thian bahwa siapa yang jahat takkan selamat."
Pada saat itu di atas panggung sudah muncul seorang kakek tua bertubuh kecil dengan muka tersenyum-senyum dan sepasang mata liar. Inilah Siauw-ong-kwi, kakek tokoh dari utara yang amat terkenal di dunia kang-ouw.
Kakek ini sebetulnya jeri menghadapi Beng San yang dia tahu memiliki ilmu silat hebat. Akan tetapi karena dalam pengeroyokan kemarin dulu dia yakin betul bahwa Beng San telah terluka dalam parah sekali, sekarang ia hendak mempergunakan kesempatan untuk mengalahkan musuh ini dan mengangkat nama sendiri, sekalian untuk membalas dendam atas kematian muridnya, Giam Kin, di tempat itu. Giam Kin celaka dan tewas oleh Kwa Hong, tapi sekarang Kwa Hong sudah tewas pula, maka sudah sepatutnya ia membalas kepada Beng San.
"Aku menantang kepada Ketua Thai-san-pai untuk menunjukkan kepandaiannya sebagai Ketua Thai-san-pai. Jika ketua Thai-san-pai bersembunyi di belakang orang-orang muda, biarlah kuanggap dia tak berani karena aku tidak sudi melawan orang-orang muda."
Beng San maklum bahwa kakek dari utara ini sengaja menantang dia karena tahu bahwa dia kemarin dulu terluka. Malah harus ia akui bahwa sekarang pun tenaganya belum pulih kembali sedangkan Siauw-ong-kwi terkenal sebagai seorang ahli ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam.
Tentu saja kakek ini baginya bukan apa-apa kalau ia tidak terluka sedemikian hebatnya sehingga hampir saja nyawanya melayang kalau tidak tertolong oleh Kun Hong. Sekarang pun andai kata mereka harus bertanding dengan senjata, pedangnya sudah pasti akan dapat mengatasi kakek ini. Ia bangkit dari tempat duduknya perlahan-lahan.
"Perlu apa melayani orang gila itu?" Li Cu segera melarang. "Biarlah aku saja yang maju melayaninya."
Beng San menggeleng kepalanya dan memberi isyarat kepada isterinya supaya duduk kembali, "Kau tidak boleh bertempur, jaga kandunganmu," jawabnya perlahan.
"Ayah, aku sanggup menghadapinya!" Cui Bi bangkit. "Kesehatanmu belum pulih, biar aku mewakilimu menghajar kakek gila itu."
"Aku pun sanggup menghadapinya," kata Kong Bu.
"Biar aku saja, Ayah," kata pula Sin Lee.
"Paman masih belum sehat benar, biarlah saya mewakili Paman," bahkan Li Eng pun tak mau ketinggalan.
Beng San tersenyum dan hatinya bangga, tapi ia menggeleng kepalanya lagi.
"Siauw-ong-kwi tadi menyatakan takkan melayani orang muda dan ia sengaja menantang kepadaku. Walau pun aku harus menghemat tenaga memulihkan kesehatan, akan tetapi setidaknya satu kali aku harus naik panggung, kalau tidak demikian Thai-san-pai akan dipandang rendah orang. Biarlah, aku masih kuat melayani dia.”
Setelah berkata demikian, Beng San lalu berjalan menuju panggung dengan langkah lebar dan tenang, kemudian meloncat ke atas panggung disambut sorak-sorai para tamu yang mengaguminya. Dengan hormat Beng San menjura kepada tamunya, lalu menjura kepada Siauw-ong-kwi yang kini berdiri di hadapannya sambil memandang tajam dan tersenyum menyeringai.
"Siauw-ong-kwi apakah kau merasa penasaran karena kegagalan kemarin dulu dan ingin merobohkan aku selagi terluka hebat? Mengapa kau begini membenciku, juga membenci Thai-san-pai yang pendiriannya sama sekali tidak merugikan dan menganggumu?"
Sikap sabar mengalah dari Beng San ini diterima keliru oleh Siauw-ong-kwi, dikira bahwa Ketua Thai-san-pai ini takut.
"Ha-ha-ha, kau berani mendirikan perkumpulan persilatan baru, sudah sepatutnya berani menghadapi tantangan. Kebetulan sekali perhitungan lama dapat dibereskan sekarang, kini perlihatkanlah kemampuanmu mempertahankan nama Thai-san-pai yang kau dirikan dengan mengalahkan aku, ha-ha-ha!"
"Siauw-ong-kwi, semenjak dulu kau gemar berkelahi, gemar memperlihatkan kepandaian, apa kau kira di dunia ini tidak ada lain orang yang lebih pandai dari padamu? Kau tahu aku terluka karena pengeroyokan curang, sekarang kau hendak menggunakan keadaanku untuk mendapatkan kemenangan, apakah ini sikap yang patut dipuji dari seorang tokoh besar sepertimu?"
"He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau takut? Ha-ha-ha, lihatlah, aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, kalau takut, pakailah pedangmu, pedang Liong-cu-kiam, biar aku bertangan kosong saja karena kau bilang bahwa kau sedang tidak enak badan," kakek itu tertawa-tawa lagi. Ucapannya ini dikeluarkan dengan keras agar semua tamu mendengar.
Beng San maklum bahwa kata-kata itu dikeluarkan justru agar ia tidak mempergunakan pedangnya. Dia maklum akan kelicikan orang ini, maka ia mengeraskan hatinya, hendak melawan Siauw-ong-kwi tanpa pedang! Ia hendak memperlihatkan bahwa biar pun dalam keadaan terluka, biar pun tanpa pedang, dia masih sanggup mempertahankan kebesaran Thai-san-pai yang baru saja didirikannya.
"Siauw-ong-kwi, dengan senjata mau pun tidak, aku selalu siap melayanimu!" jawabnya dengan tenang, tapi di dalam suaranya yang tenang ini terkandung kekerasan.
Terdengar suara Kun Hong berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu, "Ketua Thai-san-pai sedang menderita sakit, tenaganya belum pulih semua, bagaimana orang tak tahu malu menantangnya berkelahi? Kalau dengan senjata masih mendingan, tapi tanpa senjata, bukankah itu berarti orang mempergunakan tipu muslihat dan hendak mencapai kemenangan secara curang?"
Beng San berterima kasih kepada Kun Hong, akan tetapi ia menoleh dan memberi isyarat dengan tangan agar supaya pemuda itu duduk kembali.
Benar saja, keterangan Kun Hong ini mendatangkan suara berisik di antara para tamu yang sekarang menganggap bahwa Siauw-ong-kwi bersikap licik sekali. Sudah tahu akan keadaan tuan rumah tapi hendak menggunakan kesempatan itu mencapai kemenangan.
Dan diam-diam mereka amat kagum melihat tuan rumah, biar pun tengah menderita sakit tapi berani menyambut tantangan tanpa senjata. Hati mereka berdebar penuh ketegangan karena maklum bahwa sebentar lagi tentu terjadi pertempuran mati-matian.
Siauw-ong-kwi tidak senang mendengar seruan pemuda itu, maka supaya jangan sampai berlarut-larut pikiran dan pendapat para tamu, ia segera menerjang sambil berseru, "Tan Beng San, jagalah pukulanku ini!"
Beng San menangkis pukulan pertama itu.
"Dukk!" dua lengan bertemu.
Siauw-Ong-kwi mundur tiga langkah dan Beng San hanya mundur selangkah, akan tetapi Ketua Thai-san-pai ini merasa dadanya sesak sehingga diam-diam ia mengeluh.
Ia tadi sengaja hendak mencoba tenaga lawan, juga hendak memeriksa keadaan sendiri. Ternyata walau pun tenaganya sebagian besar sudah pulih dan dia sanggup mengatasi lawan, tetapi pengerahan tenaga yang terlalu besar akan membuat lukanya di dalam dada kambuh kembali!
Di lain pihak, Siauw-ong-kwi kaget setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Beng San masih akan mempunyai tenaga sehebat itu. Bukankah kemarin dulu ia melihat sendiri betapa hebat luka-luka yang diderita Ketua Thai-san-pai?
Yok-mo sendiri sebagai seorang ahli pengobatan kemarin dulu menyatakan bahwa Ketua Thai-san-pai itu tidak akan dapat hidup lebih dari tujuh hari melihat luka-lukanya. Mengapa sekarang tidak saja kelihatan sehat, malah tenaganya masih sehebat itu? Diam-diam ia meragu dan mulai menyesal mengapa ia gegabah menantang. Kemarin dikeroyok begitu banyak orang saja mereka tidak mampu menewaskan Beng San, apa lagi sekarang satu lawan satu.
Akan tetapi karena sudah tidak dapat mundur lagi, Siauw-ong-kwi menjadi nekat. Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring tokoh dari utara ini kembali menerjang maju, menggunakan ilmunya yang paling lihai, yaitu pukulan-pukulan dengan ujung lengan baju yang menyembunyikan pukulan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga lweekang hebat, di samping ini diselingi pula dengan ilmu menangkap dan mencengkeram model Mongol.
Makin lama Beng San merasa dadanya makin sesak. Akan tetapi seujung rambut pun ia tidak mundur, sama sekali ia tidak memperlihatkan penderitaannya, malah ia menandingi serangan Siauw-ong-kwi dengan cara keras lawan keras. Semua serangan serta pukulan kakek itu ia tolak mundur dengan pukulan-pukulannya yang mengandung uap putih.
Akan tetapi pukulan-pukulan ini membutuhkan pengerahan lweekang yang hebat, maka tentu saja makin lama keadaan dalam tubuh Beng San semakin payah dan tidak dapat dicegah pula, gerakannya menjadi lambat meski pun ia masih bertekad mempergunakan tenaga dalamnya sekuat mungkin tanpa mempedulikan keselamatan sendiri.
Kelambatan gerakan Beng San ini, kepucatan wajahnya dan sedikit darah yang keluar dari pinggir bibirnya, membuat Siauw-ong-kwi girang sekali. Kini tahulah kakek itu bahwa lawannya ini sebetulnya terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya akan tetapi nekat dan pura-pura tidak menderita.
Melihat gerakan lawan menjadi kendur, cepat seperti kilat Siauw-ong-kwi mencengkeram dan tidak dapat dicegah lagi pergelangan tangan kanan Beng San terancam cengkeraman yang berbahaya sekali. Tidak ada lain jalan bagi Beng San kecuali melawan keras dengan keras. Dia membuka jari-jari tangan kanannya dan menyambut cengkeraman itu dengan cengkeraman pula.
Siauw-ong-kwi tertawa mengejek. Ilmu mencengkeram merupakan ilmu khusus baginya, sedangkan Beng San adalah seorang ahli pedang dan ahli pukulan, bagaimana dalam keadaan terluka dalam berani menyambut cengkeramannya?
Dua buah tangan itu bertemu, tak dapat dicegah lagi jari-jarinya saling cengkeram. Beng San merasa dadanya bagaikan tertusuk-tusuk. Akan tetapi ia menahan napas, kemudian mengerahkan tenaga melawan desakan tenaga dalam lawan.
Sambil menggereng seperti binatang, Siauw-ong-kwi mengangkat tangan kanannya untuk menghantam ke arah kepala Beng San. Ketua Thai-san-pai ini tentu saja tidak mau begitu saja menerima hantaman. Ia mangangkat juga tangan kirinya dan menyambut hantaman itu dengan jotosan pula.
"Dukkk!"
Dua pukulan tangan bertemu di udara, sementara tangan yang satunya masih saling cengkeram. Siauw-ong-kwi mengeluarkan suara seperti orang kena ditendang perutnya sedangkan Beng San gemetar seluruh tubuhnya. Dengan nekat Siauw-ong-kwi memukul lagi, segera diterima lagi oleh kepalan tangan Beng San. Setiap kedua pukulan bertemu, Siauw-ong-kwi tentu mengeluarkan suara,
"Hukkk!" seperti tertendang perutnya sedangkan tubuh Beng San makin keras menggigil.
Akan tetapi kakek itu yang menjadi penasaran dan nekat, memukul terus, selalu ditangkis seperti tadi oleh Beng San.
Pergulatan mati-matian ini diikuti oleh para tamu dengan hati penuh ketegangan dan pihak tuan rumah tentu saja merasa cemas bukan main. Sin Lee, Cui Bi dan Kong Bu sudah berdiri dengan pucat. Hanya karena pencegahan Li Cu saja ketiga orang muda ini tidak meloncat ke atas panggung untuk menolong ayah mereka.
"Jangan bantu, jangan...," Li Cu berkata perlahan dengan suara mengandung isak, "ayah kalian akan marah... hal itu akan hina baginya dan lebih hebat dari pada mati..."
Dapat dibayangkan alangkah gelisah hati Li Cu. Akan tetapi nyonya ini kenal betul akan watak suaminya. Malah ia sendiri pun sebagai puteri pendekar besar dan isteri pendekar sakti, juga mempunyai pandangan yang sama.
Dalam pertandingan satu lawan satu seperti itu, biar pun harus menyaksikan suami tewas di depan mata, tidak mungkin dia mau turun tangan membantu. Berbeda soalnya kalau suaminya dikeroyok seperti yang terjadi kemarin dulu.
Sekarang mereka bertempur di atas panggung, disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, dan Siauw-ong-kwi tadi mengajukan tantangan yang diterima oleh Beng San. Tidak ada kecurangan atau main paksa di sini, yang ada hanya pertandingan bebas seorang lawan seorang, cukup adil biar pun keadaan suaminya sedang sakit.
Kun Hong beberapa kali menutup mukanya. Dia tidak tahan melihat pertandingan yang merupakan perjuangan antara mati dan hidup ini. Namun telinganya masih mendengar pertemuan dua kepalan bertubi-tubi itu.
"Dukk...! Dukk...!"
Ingin dia mencegahnya. Akan tetapi mendengar ucapan Li Cu tadi, dia pun tidak berani bergerak. Tak tega ia melihat muka Beng San karena tadi ia terlihat pucat dan bahkan kehijauan seperti bukan muka manusia lagi, lebih pucat dari muka mayat.
Dia memang tidak mengenal keadaan Beng San yang sebenarnya, tidak tahu bahwa di dalam tubuh pendekar sakti ini sudah mengalir hawa Im dan Yang, yaitu dua hawa yang bertentangan dan amat kuat, yang menghuni tubuhnya sehingga sewaktu-waktu mukanya bisa merah sampai menghitam, dan ada kalanya muka yang gagah itu bisa berubah pucat sampai menghijau. Perubahan warna wajah Beng San adalah pengaruh dari dua macam hawa sakti di tubuhnya itu, terdorong dari keadaan dan perasaannya di waktu itu.
"Dukk...! Dukk...! Dukk...!"
Kedua kepalan tangan itu masih saling bertemu bertubi-tubi dan makin lama makin keras. Siauw-ong-kwi yang merasa penasaran memandang dengan mata mendelik, sebaliknya Beng San yang mukanya kehijauan itu menatap tajam.
Keduanya berhenti sebentar, tangan mereka yang saling mencengkeram masih menjadi satu, napas mereka terengah-engah. Kemudian Siauw-ong-kwi meramkan dua matanya, menahan napas atau lebih tepat menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh tenaganya pada tangan kanannya. Beng San yang maklum akan hal ini pun mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya pada lengan kiri sehingga lengan itu mengeluarkan uap putih.
Siauw-ong-kwi mengayunkan tangan kanan, jari-jarinya dibuka, dengan tangan terbuka menghantam ke depan hebat bukan main. Beng San juga mengayun tangan kiri dengan jari-jari terbuka, didahului uap putih.
"Dessss!"
Kedua telapak tangan berseru, hampir tak mengeluarkan suara, namun akibatnya hebat sekali. Tubuh Siauw-ong-kwi terpelanting sampai ke bawah panggung, bergulingan di atas tanah, sedangkan tubuh Beng San terpental ke belakang, terhuyung-huyung, akan tetapi pendekar ini masih dapat berdiri, lalu tiba-tiba mulutnya dibuka dan... ia muntahkan darah segar banyak sekali.
Li Cu merintih dan mencelatlah tubuhnya ke atas panggung, lalu memeluk suaminya dan dituntun turun panggung perlahan-lahan.
Ada pun Siauw-ong-kwi, sesudah bergulingan kemudian merangkak bangun, tertawa-tawa dengan suara menyeramkan, namun melihat mukanya yang membiru, para tokoh berilmu di sana maklum bahwa kakek ini menderita luka dalam yang luar biasa parahnya. Dari pinggir mulutnya juga mengalir darah menghitam!
Sambil terkekeh-kekeh Siauw-ong-kwi menengok ke sana ke mari, lantas menghampiri tempat tamu di mana rombongan Kun-lun-pai duduk. Ia menghampiri Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi yang segera berdiri dengan ragu-ragu dan curiga karena kakek aneh itu jelas hendak mendekatinya. Siauw-ong-kwi berdiri di depan Bun Lim Kwi dan Bun Wan yang juga sudah bangkit berdiri di sebelah ayahnya menjaga segala kemungkinan.
Siauw-ong-kwi meroboh saku bajunya, mengeluarkan kertas yang digumpal-gumpal lalu... menyambitkan kertas ini ke arah Bun Wan. Pemuda ini cepat-cepat mengulur tangan dan menyambut gumpalan kertas itu. Dia merasa tangannya tergetar namun kertas itu dapat ditangkapnya. Ini saja menandakan bahwa ia telah mewarisi kepandaian ayahnya.
"Heh-heh-heh, selamat... selamat...!"
Secara aneh Siauw-ong-kwi mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi selamat. "Selamat berbesan dengan ketua Thai-san-pai yang sakti!" Lalu ia membalikkan tubuh, terhuyung-huyung, menghampiri Pak-thian Lo-cu, berkata perlahan,
"Suheng, balaskan nyawaku..." lalu ia melompat dan lari terhuyung-huyung, sebentar saja lenyap dari tempat itu.
Bun Wan dan ayahnya duduk kembali. Pemuda ini membuka gumpalan kertas, kedua matanya membaca, wajahnya tiba-tiba pucat dan matanya terbelalak seakan-akan tidak percaya akan isi kertas bertulis itu. Ayahnya melihat hal ini, lalu mengambil kertas dari tangan anaknya dan membacanya. Ketua Kun-lun-pai ini juga membelalakkan sepasang matanya, mukanya merah sekali.
Dia melihat Bun Wan bergerak di kursinya hendak berdiri, lalu ia menyentuh lengannya, diberi isyarat supaya tenang dan duduk kembali. Kadang-kadang dia menengok ke arah rombongan tuan rumah, mukanya sebentar pucat sebentar merah.
Dengan cepat Kun Hong memeriksa keadaan Beng San setelah Ketua Thai-san-pai ini duduk kembali di kursinya.
"Syukur..." bisik pemuda ini perlahan, "isi dada Paman memang tergetar hebat, tenaga dalam hampir habis, akan tetapi benar-benar Paman hebat sekali, dapat menahan semua itu. Tak berbahaya, dengan istirahat beberapa pekan akan sembuh kembali. Tapi Paman sekarang tidak boleh mengerahkan tenaga dalam lagi, bisa berbahaya sekali."
Beng San mengangguk dan tersenyum duka. Tidak disangkanya bahwa perkumpulannya baru dibuka saja sudah harus menghadapi persoalan sehebat ini. Ia juga menyesal akan kenekatan Siauw-ong-kwi yang ia tahu menderita luka parah dan agaknya sukar tertolong nyawanya. Pihak tuan rumah demikian sibuk dan gelisah tadi menyaksikan keadaan Beng San sehingga peristiwa di rombongan Kun-lun-pai tadi tak seorang pun di antara mereka melihatnya.
Sementara itu, di atas panggung berdiri seorang kakek tua renta. Kakek ini bukan lain adalah Pak-thian Locu, Di atas panggung ia kelihatan begitu tua dan kelihatannya lemah sekali sehingga tubuhnya tak pernah dapat berdiri diam, selalu bergoyang-goyang seperti rumput tertiup angin. Agaknya kalau ada angin keras tubuh itu takkan kuat berdiri lagi. Tapi dalam penglihatan para ahli, tubuh yang bergoyang-goyang ini bahkan menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga lweekang yang sudah mencapai puncaknya!
"Haaii, Ketua Thai-san-pai! Kau benar-benar kosen, sudah mampu menewaskan sute-ku. Hayo jangan kepalang, majulah lagi dan lawanlah aku, suheng dari Siauw-ong-kwi. Kalau hari ini aku Pak-thian Locu tewas di tanganmu, aku pun takkan merasa penasaran lagi!"
Mendengar suara ini, Beng San bergerak dalam kursinya. Akan tetapi Li Cu merangkul dan membujuknya, "Kau tidak mungkin sanggup melawannya. Kau tidak boleh bertanding lagi!"
"Ayah, biarkan aku mewakilimu!" kata-kata ini hampir berbareng keluar dari mulut Cui Bi, Kong Bu dan Sin Lee.
Beng San menggoyang-goyang tangannya. "Tidak boleh... tidak boleh... dia lihai sekali. Pukulannya penuh hawa yang tak terlawan, aku pun hampir tidak kuat menandinginya. Tidak boleh kalian maju, kalian... anak-anakku... bisa celaka di tangannya!" Ia bangkit berdiri. "Hanya aku seorang yang kuat menghadapi tenaganya yang mukjijat."
"Jangan... sekarang kau sudah terluka hebat, mana bisa melawannya? Biarlah aku yang melawannya, belum tentu pula aku kalah melawan tua bangka itu!" Li Cu berkata sambil memandang marah ke arah panggung.
"Apa aku gila membiarkan kau dan anak yang kau kandung terancam bahaya? Tidak, ini adalah urusan Thai-san-pai, urusanku. Apa artinya mati dalam mempertahankan nama dan kehormatan? Anak-anak pun tidak boleh maju karena aku tahu pasti bahwa seorang di antara kalian bukan lawannya. Aku seoranglah yang bertanggung jawab!"
"Paman!" tiba-tiba Kun Hong memegang tangan Beng San dan berkata tegas, "Aku tidak mendahului kehendak Tuhan. Akan tetapi aku yakin betul bahwa kalau kali ini Paman bertanding, jangankan bertemu dengan ahli lweekang, biar pun bertemu dengan seorang yang lebih rendah tingkatannya dari Siauw-ong-kwi tadi, Paman akan terluka hebat dan sukar ditolong lagi. Paman biarlah aku saja menandinginya, aku mempunyai akal untuk mengalahkannya."
Beng San tersenyum, menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Kau memang hebat, akan tetapi kakek itu lain lagi, Kun Hong. Tak bisa kau samakan dengan Yok-mo. Kau memang bisa mengendalikan langkah-langkah ajaib itu untuk menyelamatkan diri dari semua serangan cepat, akan tetapi tak mungkin kau dapat menggunakannya untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga lweekang luar biasa. Tidak, tidak layak aku mengorbankan kau yang sudah berjasa sangat besar terhadap Thai-san-pai dan aku." Keputusan Beng San sudah bulat, ia sudah nekat.
Di atas panggung, kakek itu tertawa-tawa, "He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau sedang meninggalkan pesan-pesan terakhir kepada sanak keluargamu? Mengapa kau tak juga muncul? Ataukah barangkali kau takut mati? Kalau begitu kau tak patut menjadi pendiri Thai-san-pai."
Beng San sudah berdiri dan tangan kanannya meraba gagang pedang di punggungnya. "Dengan ilmu pedangku aku akan dapat mengatasinya," katanya lirih.
"Paman, aku mempunyai satu cara untuk membangkitkan tenaga dalammu dalam waktu singkat. Harap Paman suka duduk, biarlah aku mengerjakannya."
Karena sudah percaya betul akan kepandaian Kun Hong mengobati, Beng San percaya saja bahwa pemuda aneh ini benar-benar akan dapat melakukan hal yang luar biasa ini. Memang ia merasa betapa hawa murni di dalam dirinya berputaran kacau, dan ia merasa lemah sekali. Ia lalu duduk dan meramkan mata hendak menerima pengobatan aneh itu.
Kun Hong mendekatinya, berkedip aneh kepada Li Cu, meraba punggung dan leher lalu menotok jalan darah kedua tempat itu dengan amat cepatnya. Seketika Beng San menjadi lemas, tak mampu bergerak lagi dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.
Pendekar ini kaget bukan main, akan tetapi apa dayanya. Ia hanya dapat memandang kepada pemuda itu yang sekarang telah berjalan menuju ke panggung, kemudian tubuh pemuda itu tahu-tahu melayang ke atas panggung.
Sekarang Kun Hong tidak mau berpura-pura lagi. Ia menghadapi keadaan gawat, maka ia mempergunakan kepandaiannya naik ke panggung. Gerakan ini disambut seruan-seruan heran, bahkan juga dari mulut Li Cu dan para muda.
Li Eng dan yang lain sama sekali tidak tahu cara apa yang dipergunakan oleh Kun Hong untuk melayang naik. Tidak kelihatan pemuda itu menggerakkan kaki mengenjot tanah, tidak kelihatan menekuk lutut untuk menghimpun tenaga meloncat, tapi tahu-tahu kedua lengannya berkembang dan tubuhnya naik ke panggung seperti burung terbang saja. Sin Lee mengenal gerakan ini, akan tetapi ia sendiri tidak akan mampu melakukannya tanpa menekuk dan mengenjot tanah.
Kakek tua renta menyambut kedatangan Kun Hong dengan senyum mengejek kemudian mendengus, "Huh, kau pemuda yang melawan Yok-mo tadi? Apakah, Thai-san-pai begitu pengecut untuk ajukan seorang bocah semacammu? Apa kehendakmu ke sini? Jangan main-main, usiamu masih muda, sayang kalau kau mampus sia-sia saja, orang muda. Heee, Thai-san-pai, lebih baik mengirim tokoh yang lebih sakti dan matang, jangan malah mengirim seorang bocah cilik!"
"Locianpwe, tenanglah dan dengarlah lebih dulu omonganku, biar disaksikan oleh sekalian cianpwe yang hadir di sini," Kun Hong berkata, suaranya terdengar aneh dan menggema seperti suara yang datang dari angkasa sehingga membuat terkejut semua orang, juga kakek itu sendiri.
"Tak perlu disembunyikan lagi bahwa Paman Tan Beng San Ketua Thai-san-pai sedang menderita luka parah dan tidak mungkin dapat bertanding pula. Mungkin para Cianpwe tidak mengetahui, tapi hal ini kau mengetahui baik-baik Locianpwe, bahwa Paman telah menderita luka berat akibat pengeroyokan yang curang. Kau pun termasuk pengeroyok-pengeroyoknya. Namun karena semangatnya sebagai seorang gagah sejati, Paman tadi masih mau melayani Siauw-ong-kwi sehingga berhasil mengalahkan Siauw-ong-kwi, biar pun lukanya menjadi makin parah. Sekarang Paman tidak mungkin dapat melawanmu. Kalau kau orang tua begini bernafsu hendak bertanding melawan Paman Tan Beng San, kau kembalilah barang tiga empat pekan lagi, tentu dengan senang hati Paman akan melayanimu. Kami bersumpah takkan mengeroyokmu seperti yang kau lakukan kemarin dulu terhadap pamanku itu. Sekarang kalau kau suka bersabar dan menanti sampai tiga empat pekan, kau pergilah dan Paman akan menanti kembalimu. Akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kelicikan, menantang Paman selagi beliau tak dapat bergerak, benar-benar kau tidak tahu malu dan biarlah aku yang muda mewakili Paman untuk menghadapimu!"
Semua orang yang hadir tercengang mendengar ucapan yang bergema ini. Mereka heran akan keberanian pemuda ini, dan juga terkejut mendengar betapa Tan Beng San sudah terluka kemarin dulu karena dikeroyok. Orang-orang menjadi berisik.
"Heii, bocah sombong, kau siapakah? Siapa namamu dan apakah kau juga anak murid Thai-san-pai?"
"Namaku Kwa Kun Hong, aku bukan anak murid Thai-san-pai, melainkan anak dari Ketua Hoa-san-pai. Biar pun aku tidak berkepandaian, akan tetapi aku menyediakan selembar nyawaku untuk memberantas ketidak adilan ini. Kakek tua, kau sudah tua, seharusnya kau mencari jalan terang. Pergilah dan padamkan nafsumu, atau kalau kau tetap hendak berkelahi dengan Paman, kembalilah empat pekan lagi."
"Keparat, aku tetap menantang Ketua Thai-san-pai sekarang juga!"
"Kalau begitu, akulah lawanmu."
"Kau berani melawan aku, bocah ingusan?"
"Yang benar tidak akan penah mengenal takut, kalah menang bukan soal."
"Monyet kecil, bila kau tidak roboh dalam sepuluh jurus pukulanku, kau akan kusembah!"
"Aku tidak butuh kau sembah, kalau mau pukul terserah."
Tidak kelihatan tangan kakek itu bergerak, tapi tahu-tahu angin menyambar mendahului gerakan tangan kanan kakek itu mendorong ke arah tubuh Kun Hong.
Pemuda ini sudah kuat sekali nalurinya, maka dia segera mengerjakan langkah-langkah Kim-tiauw-kun. Ujung bajunya berkibar terkena angin pukulan, akan tetapi tubuhnya sama sekali tidak terkena. Angin pukulan ke dua datang menyambar. Kakek itu masih berdiri di tempatnya, hanya kini kuda-kudanya miring, tangan kirinya mendorong dari samping.
Kun Hong masih terus melangkah terhuyug-huyung dan…
"Brakkk!"
Papan di belakang Kun Hong amblong terkena angin pukulan yang hebat itu! Para tamu mengeluarkan suara kaget. Ilmu pukulan sehebat itu baru sekali ini mereka saksikan dan tadinya mereka sangka hanya terdapat dalam dongeng belaka.
Makin lama makin penasaran kakek itu, pukulannya makin hebat sehingga di sana-sini papan menjadi pecah dan amblong. Namun dengan gerakan tenang tetapi aneh, bukan main pemuda itu menjalankan langkah-langkah ajaibnya sehingga pukulan terdekat hanya membuat rambutnya berkibar awut-awutan, namun belum juga mengenai tubuhnya.
“Sudah sepuluh jurus!" terdengar teriakan dari bawah panggung, teriakan seorang tamu yang merasa penasaran terhadap kakek itu.
Pak-thian Locu berhenti, tubuhnya bergoyang-goyang, tertawa lalu tiba-tiba ia berlutut.
"Orang muda, sekarang aku akan menyembahmu!" Kedua tangannya bergerak dan pada saat itu terdengar seruan nyaring sekali.
"Orang muda, awasss!"
Akan tetapi terlambat! Kun Hong yang tadinya terheran-heran karena melihat kakek itu benar-benar berlutut dan hendak menyembah, tiba-tiba merasa ada angin yang luar biasa keras dan kuatnya menyambar dari depan. Ia cepat merendahkan dirinya, melipat diri dan menutupi muka seperti trenggiling melingkar sambil mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya.
Tubuhnya seperti didorong oleh tenaga raksasa dan melayang keluar hingga turun dari panggung! Ia terbanting dan bergulingan, akan tetapi segera meloncat berdiri dan tidak apa-apa! Dengan tenang sekali Kun Hong melompat lagi ke atas panggung.
Akan tetapi di atas panggung telah berdiri seorang kakek tinggi besar, Song-bun-kwi yang memandang kepada Pak-thian Lo-cu dengan mata mendelik.
"Tua bangka gila! Tak tahu malu benar engkau, melawan seorang bocah mempergunakan akal muslihat curang!"
"He-he-heh, Song-bun-kwi iblis jahat. Apakah kau pun sekarang hendak menjilat pantat Thai-san-pai?"
Dari bawah panggung terdekar suara Beng San. "Gak-hu (Ayah Mertua), harap jangan mengeroyok!"
Ternyata setelah Kun Hong bertempur, Li Cu membebaskan totokan pada diri suaminya sehingga pendekar ini dapat bergerak dan bersuara lagi. Ia tahu bahwa betapa pun juga, dalam diri Kun Hong bersembunyi kepandaian yang sukar dijajaki, maka melihat cara Kun Hong menerima pukulan tadi, ia menjadi lega dan harapannya membesar.
Karena pemuda ini sedang berjuang atas nama Thai-san-pai, maka dia tidak setuju kalau mertuanya membantu, membikin cemar nama Thai-san-pai, sungguh pun ia girang sekali menyaksikan perubahan sikap ayah mertua yang aneh ini.
"Kakek, jangan mengeroyok, memalukan saja!" Kong Bu juga berseru kepada kakeknya.
Song-bun-kwi menoleh, matanya mendelik, "Tak puas hatiku kalau aku belum memukul!" tubuhnya merendah hampir berjongkok, kedua tangannya mendorong ke depan.
Itulah ilmu pukulan jarak jauh dari Ilmu Silat Yang-sin Kun-hoat yang paling diandalkan. Kakek tua renta itu cepat menolak dengan kedua tangannya pula dan tubuh Song-bun-kwi terlempar sampai dua meter ke belakang, hampir saja terguling dari atas panggung.
"Hebat tenagamu, tua bangka!" berseru Song-bun-kwi dan ia tak dapat turun tangan pula karena pada saat itu Kun Hong sudah berkelebat lewat di sampingnya.
"Orang muda Hoa-san-pai, kau berhati-hatilah!" Song-bun-kwi berseru sambil melompat turun.
Kakek yang gagah ini baru sekarang selama hidupnya melihat orang muda yang begini aneh, malah lebih aneh dari pada Beng San ketika masih muda dahulu, maka timbullah simpatinya. Melihat Kun Hong tidak apa-apa dan sudah naik, kakek itu tercengang, lalu ia mengeluarkan sebatang pedang yang tipis dan ringan sekali berwarna putih seperti perak.
Ia tahu bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun agaknya memiliki kesaktian, maka ia tidak mau mencoba-coba lagi seperti tadi. Melihat kakek tua itu mengeluarkan pedang, Kun Hong juga mencabut Ang-hong-kiam dari balik jubahnya. Sinar merah lantas memancar ketika ia mencabut pedangnya.
"Heh, bukankah itu Ang-hong-kiam? Dari mana kau dapat?" Kakek itu menegur, kelihatan kaget.
Akan tetapi dasar manusia licik, sebelum dijawab pedangnya sudah menerjang dengan lambat sekali, tapi jangan dikira tidak berbahaya karena angin serangan pedang ini sudah cukup memisahkan kepala lawan dari badannya!
Kun Hong cepat mengelak dan bersilat dengan Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dahulu ia latih di dalam goa. Gerakan-gerakannya aneh sekali, caranya memegang gagang pedang juga aneh dan lucu. Berkali-kali Kun Hong diserang dan ia masih belum juga membalas. Ia sedang memperhatikan cara lawan mempergunakan pedang, akan tetapi sebegitu jauh belum dapat ia menjajaki.
Ilmu pedang lawannya juga aneh dan banyak ragamnya. Memang kakek setua ini sudah terlalu banyak mempelajari ilmu silat sehingga jurusnya ia robah-robah dan ia ganti-ganti. Baiknya Kun Hong terus menggunakan langkah-langkah ajaib sehingga dapat menghindar dengan tepat.
"Hong-ko, balas serangan!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring.
Itulah suara Cui Bi. Suara ini membuat dua orang di antara para tamu menengok dengan mata terbelalak marah, yaitu mata Bun Lim Kwi dan Bun Wan.
Mendengar seruan ini, barulah Kun Hong teringat bahwa di dalam pertempuran, ia harus membalas serangan kalau tidak mau kalah. Maka dia lalu mulai menyerang. Akan tetapi alangkah ganjilnya, pedangnya tidak menyerang tubuh orang melainkan menyerang udara di sekitar tubuh lawan itu.
Hebatnya, kakek itu berseru keras dan selalu menangkis atau mengelak tiap kali pedang Kun Hong berkelebat. Kiranya hanya gayanya saja menyerang udara untuk membuat lawan lengah, padahal dilanjutkan dengan serangan yang berbahaya dan jitu. Tiba-tiba malah Kun Hong membentak dan pedangnya menusuk ke arah dadanya sendiri!
Cui Bi sampai terteriak kaget melihat ini, tapi ayahnya menyentuh tangannya menyuruh ia diam. Sejenak kakek tua renta itu pun kaget dan heran, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika pedang yang hampir menyentuh dada Kun Hong itu, tiba-tiba saja membalik dan mempergunakan kesempatan selagi ia terheran-heran, ujung pedang sudah dekat sekali dengan lehernya.
"Celaka, mengelaklah, orang tua!" seru Kun Hong.
Jurus ini adalah jurus yang mukjijat dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun, maka tak dapat ia tarik kembali dan ia sudah ngeri melihat betapa ujung pedangnya akan menembus leher kakek itu. Hanya dengan menggulingkan diri ke atas papan saja kakek itu dapat menyelamatkan diri. Ia bergulingan terus dan…
"Brakk!" tahu-tahu kakinya terjeblos kedalam lubang di papan yang tadi amblong oleh pukulannya sendiri.
Lucu sekali keadaan kakek itu. Ia terperosok sampai ke pinggangnya, dan hanya badan bagian atas saja yang tampak, kedua tangannya melambai-lambai ke atas.
"Tolongg...!"
Dasar sudah tua sekali ia menjadi pikun. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari lubang itu. Akan tetapi ketuaannya dan kepikunannya membuat ia kebingungan setengah mati dan berseru minta tolong!
Di antara para tamu ada yang tertawa-tawa dan bersorak-sorak saking gelinya melihat ini. Para tokoh tua, termasuk Song-bun-kwi, menyumpah-nyumpah dan menggeleng-geleng kepala.
Kalau Kun Hong pada saat itu menyerang, kiranya kakek itu takkan mampu membela diri lagi karena sedang kebingungan, berkutetan dalam usahanya membetot tubuhnya keluar. Akan tetapi, bukan kakek itu saja yang pikun sehingga kelakuannya aneh, pemuda ini malah lebih aneh lagi. Ia memegang pedang dengan tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan mendekati kakek itu dan berkata lembah-lembut bagai seorang dewasa menolong seorang kanak-kanak.
"Mari kubantu, Locianpwe, peganglah tanganku nanti kutarik keluar."
Pak-thian Locu girang. Dia memegang tangan kanan Kun Hong yang segera menariknya keluar dari lubang itu. Akan tetapi begitu dirinya sudah tertolong kakek itu ingat kembali akan pertandingan mereka. Pedang di tangan kanannya mendadak menyambar ke arah leher Kun Hong.
Pada saat itu, tangan kanan Kun Hong masih saling berpegang dengan tangan kiri kakek itu sedangkan pedangnya masih ia pegang dengan tangan kiri, keadaannya amat tidak menguntungkan. Namun berkat nalurinya yang tajam, menghadapi serangan ini ia dapat bereaksi cepat sekali. Tangan kirinya mengangkat pedang dan menangkis sambil menarik kembali tangan kanan yang menolong kakek itu tadi.
"Tranggg!"
Dua pedang bertemu, pedang putih dan pedang merah, dan... Kun Hong langsung roboh terguling-guling saking hebatnya tenaga kakek ini.
Pak-thian Locu tertawa senang, pedangnya terus menyambar ke arah tubuh Kun Hong yang cepat mengelak sambil bergulingan dan segera meloncat berdiri lagi. Akan tetapi kini permainan pedang kakek itu aneh sekali gerakan-gerakannya, membuat ia bingung dan hanya dapat berloncatan ke sana ke mari mengandalkan langkah-langkah ajaib. Memang kepandaian kakek itu amat tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian Kun Hong.
Sekali ini Kun Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk balas menyerang, bahkan langkah-langkah ajaibnya hampir tidak manjur lagi setelah bertempur seratus jurus lebih lamanya. Pak-thian Locu bukanlah orang yang terlalu bodoh. Setelah langkah-langkah ini terus menerus dilakukan oleh Kun Hong, maka Pak-thian Lo-cu mulai dapat mengikutinya dan dapat mengocar-ngacirkan gerak langkah Kun Hong.
Sekarang pemuda itu mulai didesak hebat, kadang-kadang langkahnya bahkan dipapaki serangan, membuat dia bingung dan kacau gerakan kakinya.....
Pak-thian Locu mulai gembira, tertawa-tawa dan terkekeh-kekeh. Kadang kala ia sengaja membentak sebagai gertakan supaya Kun Hong terkejut, padahal serangannya terhenti di tengah-tengah. Kakek ini seperti seorang anak kecil menemukan sebuah barang mainan baru, atau bagaikan seekor kucing tua menemukan seekor tikus. Jelas bahwa Kun Hong dibuat main-main dulu sebelum ditusuk mati.
Tiba-tiba saja Kun Hong membentak dengan suara aneh, "Pak-thian Locu, sekarang kau hadapi seranganku. Awas!"
Pak-thian Lo-cu kaget luar biasa. Dia cepat-cepat menghindar sambil memutar pedangnya menangkis, terus saja ia menangkis ke sana ke mari seakan-akan ia didesak hebat oleh lawannya.
Padahal Kun Hong hanya berdiri dan memalangkan pedang di depan dada, sama sekali tidak menyerang. Ternyata pemuda ini setelah terdesak hebat, terpaksa mempergunakan ilmu sihir yang ia pelajari dari Sin-eng-cu Lui Bok.
"Eh, hayo lekas menyerang! Mana seranganmu?" Tiba-tiba kakek itu berhenti menangkis-nangkis sendiri dan berbalik menyerang Kun Hong.
Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak dan pada lain saat kembali ia dihujani serangan. Diam-diam ia kaget dan dapat menduga bahwa tenaga dalam kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga kekuatan batinnya ketika menyihir tadi hanya dapat menguasai kakek itu sebentar saja.
Cepat-cepat ia mengerahkan seluruh kekuatan batin di dalam tubuhnya dan membentak lagi, "Awas serangan ilmu pedangku!"
Kembali kakek itu melompat mundur dan menangkis ke sana ke mari, mengelak ke kanan kiri.
Para tamu melongo menyaksikan pertempuran yang aneh bukan main ini. Mereka hanya mengira bahwa dua orang aneh itu menggunakan ilmu yang demikian tingginya sehingga penyerangan-penyerangan mereka tak dapat dilihat oleh mata orang lain.
Beng San memandang dengan kagum. Tapi setelah kini melihat betapa Kun Hong malah duduk bersila di tengah panggung dengan sikap seperti seorang sedang semedhi, dengan pedangnya diacungkan ke depan muka, tepat di depan hidung, kemudian Pak-thian Locu sekarang bersilat sendiri, menyerang dan menangkis memutari Kun Hong, pendekar sakti Ketua Thai-san-pai ini melongo.
Memang pemandangan di atas panggung sekarang aneh dan lucu bukan main. Kun Hong duduk bersila, pedangnya diacungkan di depan wajahnya, keningnya dikerutkan, ia tidak bergerak sama sekali. Di lain pihak, Pak-thian Locu seperti orang yang kemasukan setan, mencak-mencak tidak karuan bagaikan orang bertanding mati-matian melawan bayangan sendiri, maju mundur mengitari tubuh Kun Hong, pedangnya berkelebatan akan tetapi tak pernah mendekati tubuh Kun Hong. Bahkan agaknya kakek itu tidak melihat Kun Hong dan sedang bertanding mati-matian melawan musuh yang tidak tampak.
Akan tetapi, setelah Beng San melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih, keheranannya lalu berubah menjadi kekaguman hebat. Bukan main, pikirnya. Kiranya pemuda itu sedang mempergunakan semacam ilmu yang aneh dan tinggi, ilmu yang membutuhkan pengerahan tenaga batin dan hawa murni di dalam tubuh. Ia melihat Cui Bi bergerak gelisah dan Li Eng sudah bangun dari kursinya sambil tangannya meraba gagang pedang.
"Sstt, kalian duduklah kembali," Beng San berkata perlahan. "Jangan ganggu, Kun Hong sedang berjuang mati-matian melawan kakek itu."
Mendengar ini, orang-orang muda itu kembali duduk dan hati mereka berdebar gelisah, akan tetapi juga merasa sangat heran. Kun Hong duduk bersila, lawannya ‘mengamuk’ di sekelilingnya, bagaimana bisa dibilang sedang berjuang mati-matian? Apakah bukannya Kun Hong sudah terluka hebat dan menanti kematiannya sedangkan kakek itu berubah gila?
Para tamu saling berbisik-bisik dan keadaan menjadi tegang, aneh, serta berisik pula. Orang-orang mulai tidak sabar menyaksikan pertandingan yang luar biasa ini. Akan tetapi Beng San dan juga Song-bun-kwi serta tokoh-tokoh tua makin tegang karena maklum bahwa pertandingan itu makin hebat juga.
Kini seluruh tubuh Kun Hong menggigil dan bercucuran peluh! Akan tetapi, kakek itu pun bercucuran peluh pada dadanya. Mukanya pucat dan gerakan-gerakannya makin lemah, kelihatan lemah bukan main karena terlampau banyak mengeluarkan tenaga, baik luar mau pun dalam.
Tiba-tiba saja kakek itu memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas panggung, napasnya empas-empis dan tidak lama kemudian napas itu pun terhenti. Ada pun Kun Hong masih duduk seperti patung dengan pedang mengacung ke depan, sama sekali tidak bergerak.
Cui Bi berseru lirih, tubuhnya melesat ke atas panggung. Tanpa ragu-ragu ia menghampiri Kun Hong, menempelkan dua telapak tangan di punggung dan tengkuk pemuda itu sambil mengerahkan tenaga lweekang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Hampir dia menjerit ketika tangannya menempel, sebab tubuhnya tergetar hebat. Akan tetapi dengan mengerahkan tenaga gadis itu memaksa diri, akhirnya seluruh hawa murni di tubuhnya dapat dibuka dan dipaksa memasuki tubuh Kun Hong.
Para tamu melihat ini makin terheran-heran, kecuali mereka yang berilmu tinggi maklum bahwa puteri Thai-san-pai itu sedang menolong Kun Hong. Ketua Kun-lun-pai ayah dan anak menyaksikan ini dengan muka merah sekali.
Melihat perbuatan puterinya, Beng San sebetulnya tidak setuju dan hendak mencegah. Namun melihat bahwa tubuh puterinya tadi tergetar hebat, sekarang dia maklum bahwa jika dicegah mungkin puterinya itu malah mendapat luka berat. Maka ia mendiamkannya saja.
Kun Hong bergerak, menoleh perlahan, lalu tersenyum dan perlahan-lahan ia melepaskan kedua tangan gadis itu dari tempelannya. Lalu ia berdiri akan tetapi tampak kaget sekali melihat tubuh Pak-thian Locu sudah telentang di atas papan tanpa bergerak sedikit pun. Cepat ia berjongkok memeriksa dan... pemuda ini berduka sekali melihat bahwa lawannya sudah tak bernapas lagi.
Kun Hong memberi isyarat kepada Cui Bi supaya turun panggung, sedangkan dia sendiri setelah menyimpan pedangnya lalu berdiri menghadapi para tamu dan berkata, suaranya penuh kedukaan, tapi juga berpengaruh,
"Cuwi sekalian yang hadir di sini, sudah cukup menyaksikan betapa nafsu-nafsu beberapa orang tokoh untuk bertempur mengakibatkan kematian-kematian yang amat menyedihkan. Pamanku Tan Beng San Taihiap mendirikan Thai-san-pai tidak sekali-kali dengan maksud menanam bibit permusuhan, akan tetapi untuk menyebar luaskan ilmu silatnya sehingga kepandaian ini dapat berkembang biak kemudian dapat dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah menumpas si jahat. Maka biarlah di sini aku Kwa Kun Hong, yang muda dan bodoh, mohon dengan hormat dan sangat kepada Cuwi sekalian, agar supaya pertandingan-pertandingan ini disudahi saja. Kepada mereka yang memang tidak mempunyai niat untuk menjual kepandaian dan mencari permusuhan serta mengacaukan pertemuan ini, kami menghaturkan banyak terima kasih, dan kepada mereka yang bernafsu untuk berkelahi, kami harap sudi membuang jauh-jauh nafsu yang tidak baik itu."
Baru sampai di sini pidato Kun Hong, mendadak dari bawah panggung terdengar seruan keras, "Kwa Kun Hong, kau dan dua orang keponakanmu harap menyerahlah untuk kami tangkap dan kami bawa kembaii ke kota raja!"
Kun Hong memandang dan kagetnya bukan main melihat Thian It Tosu bersama enam orang lain sedang berdiri berjajar di bawah panggung. Itulah tujuh orang pengawal istana, lengkap! Mereka bukan lain adalah Tiat-jiu Souw Ki, Thian it Tosu, Bu Sek dan Bu Tai, Bhong-lokoai, Sin-twa-to Liong Ki Nam, dan Ang-moko. Tentu para pengawal ini disuruh oleh pangeran mata keranjang itu untuk menangkap kedua anak keponakannya.
"Celaka... Li Eng, Hui Cu, hayo kita lari pergi!" Kun Hong sudah melompat dan berlari ke arah dua orang keponakannya itu.
Akan tetapi Beng San mencegah mereka yang ketakutan ini lari. "Tenanglah, biar aku yang mengurusnya."
Namun, pada saat ketujuh orang pengawal istana itu melompat naik ke atas panggung, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah melayang naik pula.
"Ha-ha-ha-ha, kalian tujuh anjing penjilat pantat! Dahulu yang mengacau di istana adalah aku, Song-bun-kwi. Hayo, kalian mau apa? Kalian datang ke sini apakah ingin menerima gebukan-gebukan dari aku? Ha-ha-ha!"
Dua saudara kembar Bu Sek dan Bu Tai, juga Thian It Tosu, sudah pernah merasakan kelihaian Song-bun-kwi di markas Ngo-lian-kauw dahulu, maka sekarang karena mereka bertujuh dan di situ terdapat pula Ang-moko dan Bhong-lokoai, mereka menjadi tabah dan segera menyerbu Song-bun-kwi tanpa banyak cakap lagi.
Dalam sekejap mata saja Song-bun-kwi telah dikeroyok oleh tujuh orang pengawal istana itu yang semuanya menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Terang bahwa pertempuran kali ini bukanlah adu kepandaian, melainkan pertempuran sungguh-sungguh antara dua pihak bermusuhan dan semua penyerangan ditujukan untuk mematikan lawan.
Para tamu mulai geger, malah sudah ada yang diam-diam meninggalkan tempat itu untuk turun gunung. Memang sebagian besar para tamu segan kalau harus berurusan dengan petugas-petugas dari istana.
Melihat kakeknya dikeroyok tujuh, Kong Bu berseru marah. Tubuhnya melayang ke atas panggung, lantas membantu kakeknya mengamuk. Suara ketawa Song-bun-kwi semakin terbahak, seakan-akan pengeroyokan atas dirinya beserta cucunya ini merupakan sebuah peristiwa yang amat menyenangkan hatinya!
Pada saat itu, para tamu makin gelisah dan banyak yang sudah pergi. Tiba-tiba kelihatan pasukan orang-orang Ngo-lian-kauw yang memegang pedang dan menyerbu, kemudian mengurung tempat itu. Mereka yang terdiri dari lima puluh orang lebih ini berteriak-teriak,
"Bayar kembali nyawa ketua kami!"
Beng San terkejut melihat ini. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi perang kecil yang akan mendatangkan banyak korban, apa lagi ia melihat di belakang pasukan ini masih terdapat barisan lain dari Ngo-lian-kauw yang semua tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya! Sedangkan pertempuran di atas panggung masih amat seru dan ramai.
Tiba-tiba terdengar letusan-letusan. Kiranya orang-orang Ngo-lian-kauw sudah memasang banyak petasan dan obat peledak, mungkin merupakan tanda-tanda atau mungkin juga untuk mengacaukan keadaan.
Tempat tamu sudah banyak yang kosong karena ditinggalkan. Pada saat itulah terdengar sorak-sorai dan dari lereng gunung berlari-lari satu pasukan yang panjang. Setelah dekat, kiranya pasukan ini adalah barisan orang-orang pengemis dan di belakang pasukan ini berlari-lari pula sepasukan kecil prajurit kota raja mengiringkan seorang perwira bertubuh tinggi besar. Samua menuju ke tempat itu.
Agaknya memang sudah ada dendam lama antara orang-orang Ngo-lian-kauw dan para pengemis itu karena begitu bertemu, segera terjadi pertempuran keroyokan. Melihat ini, Kun Hong segera berlari-lari ke depan dan berseru,
"Hee, bukankah kalian ini anggota-anggota Hwa-i Kaipang? Berhenti, jangan bertempur!"
Pada waktu para pengemis itu menengok dan melihat siapa yang bicara, mereka segera meninggalkan lawan, lari-lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Kun Hong mengenal Coa-lokai yang memimpin pasukan itu. Segera dia memegang tangannya dan berkata girang, "Coa-lokai kau yang datang? Saudara-saudara, bangunlah tak usah berlutut. Coa-lokai ceritakanlah mengapa kalian datang dan mau apa?"
“Mendengar bahwa Pangcu ditawan Pangeran, kami mengirim berita ke Hoa-san-pai lalu membawa teman-teman menyusul sampai ke sini. Syukur Pangcu selamat saja, padahal kami semua telah gelisah bukan main."
Pasukan yang dikepalai oleh perwira tinggi besar juga sudah sampai di situ dan segera terdengar perwira itu berseru sambil berlari mendekati Beng San, "Adikku Beng San, apa artinya keributan ini?"
"Twako...!" Beng San berdiri dan dua orang ini berangkulan. Kiranya perwira ini bukan lain adalah Tan Hok atau Tan-taijin, "Memang aku sedang sial, mendirikan perkumpulan juga memancing datangnya keributan-keributan."
Tan Hok menoleh dan melihat betapa tujuh orang pengawal istana sedang mengeroyok dua orang. Ia kaget ketika mengenal bahwa satu di antara dua orang yang dikeroyok itu adalah Kakek Song-bun-kwi! Segera ia melompat maju dan beseru,
"Tujuh saudara pengawal harap berhenti dan turun. Tidak boleh kalian membikin ribut di sini!" Suara Tan-taijin berpengaruh sekali dan pula sangat dikenal oleh para pengawal, maka segera mereka berlompatan turun dari panggung.
Kiranya keadaan mereka amat payah, hampir semuanya sudah menderita luka-luka dan kepala bocor. Di atas panggung, Song-bun-kwi berpelukan dengan cucunya. Wajah kakek ini berseri-seri, matanya terbelalak dan pipinya sebelah kiri mengucurkan darah karena tersayat senjata lawan.
Ketika tujuh orang pengawal itu melapor bahwa mereka hendak menangkap tiga buronan Pangeran, Tan Hok menegur mereka, malah memperlihatkan sehelai surat keputusan dari Kaisar sendiri bahwa mereka tidak boleh mengganggu para anak murid partai persilatan Hoa-san-pai. Melihat cap dan tanda tangan Kaisar, dengan tubuh gemetaran tujuh orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Sudahlah, kalian pulang ke kota raja, jangan membikin ribut lagi dan usir para anggota Ngo-lian-kauw yang hendak mengacau itu."
Terhadap pembesar yang menjadi kepercayaan Kaisar ini, tujuh orang pengawal itu tentu saja mati kutu dan atas perintah Thian It Tosu, orang-orang Ngo-lian-kauw kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Juga anggota Hwa-i Kaipang setelah dijamu lalu disuruh pulang kembali oleh Kun Hong.
Para tamu sudah pulang semua, banyak yang tidak sempat berpamit. Yang masih tinggal di situ hanyalah Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi dan Bun Wan, juga Song-bun-kwi yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik kembali, dan Tan Hok. Sebelum mereka beramai diajak ke puncak, tiba-tiba dari lereng gunung berlari-lari beberapa orang menuju tempat itu dan setelah dekat, segera Kun Hong, Hui Cu, dan Li Eng berlari-lari menyambut.
Mereka ini bukan lain adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai, Lim Sian Hwa isterinya, Lee Giok ibu Hui Cu, dan Thio Bwee ibu Li Eng. Tokoh-tokoh Hoa-san-pai ini menyusul ke Thai-san setelah mendengar berita dari anggota pengemis Hwa-i Kaipang bahwa ketiga anak mereka tertawan Pangeran di kota raja tapi lolos secara aneh. Karena gelisah akan keselamatan mereka, empat orang tua ini menyusul, menyelidik dan akhirnya sampai juga ke Thai-san biar pun sudah agak terlambat.
Kegembiraan keluarga Thai-san-pai sukar dilukiskan. Apa lagi Beng San, bertemu dengan orang-orang yang semenjak dahulu dikenalnya begitu baik, orang-orang Hoa-san-pai yang mendatangkan banyak peristiwa dalam hidupnya, ia menjadi terharu dan juga gembira. Apa lagi karena ia sudah mendengar dari Cui Bi bahwa kedua orang puteranya saling mencinta dengan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, dua orang gadis anak dari Thio Bwee dan Thio Ki, teman-teman lamanya di waktu ia masih kecil! Alangkah akan bahagianya merangkapkan jodoh mereka.
Juga pihak Hoa-san-pai amat gembira melihat anak-anak mereka selamat, malah dapat bertemu dengan orang-orang yang memang sudah lama mereka rindukan. Yang nampak kurang gembira adalah Bun Lim Kwi dan puteranya.
Akan tetapi dalam suasana penuh kegembiraan itu, tiba-tiba buyar dan berubah menjadi suasana penuh duka ketika orang-orang Hoa-san-pai ini mendengar mengenai kematian Kwa Hong yang sekarang jenazahnya masih berada di puncak. Tentu saja yang paling berduka adalah Kwa Tin Siong, sebagai ayah dari Kwa Hong.
Beramai-ramai mereka dipersilakan naik ke puncak melalui jalan rahasia dan terowongan. Jenazah Pak-thian Locu yang lain-lain sudah pula diurus oleh anak buah Thai-san-pai. Sin Lee menangis mengguguk di depan peti mati ibunya, membuat semua menjadi terharu, terutama Hui Cu yang juga menangis sampai kedua matanya menjadi merah.
Song-bun-kwi duduk di kursi menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya yang parau dan dalam, "Ahhh, kalau sudah menjadi begini, barulah kita semua merasa betapa hidup ini tidak akan langgeng. Sekali waktu akan datang maut merenggut nyawa kita dan kita semua akhirnya akan menjadi mayat, habis sudah semua riwayat. Apa bila sudah begini baru kita ingat betapa semua pertikaian, semua keributan dan kegaduhan, semua urusan musuh-memusuhi, berlomba kepandaian, dan lain-lain itu hanyalah perbuatan orang gila saja."
Kemudian kakek yang tinggi besar itu berdiri berdongak ke atas dan berseru keras, "Betapa banyak sudah aku membunuh manusia, aku dijadikan alat oleh Maut. Apakah Maut akan berterima kasih kepadaku? Tidak, sekali waktu Maut akan merenggut nyawaku pula. Aku menyesal! Ah, Beng San mantuku, sediakanlah sebuah goa kecil untuk aku, aku hendak mengasingkan diri, menghukum diri menebus dosa!"
Kemudian kakek yang tinggi besar itu berdiri berdongak ke atas dan berseru keras, "Betapa banyak sudah aku membunuh manusia, aku dijadikan alat oleh Maut. Apakah Maut akan berterima kasih kepadaku? Tidak, sekali waktu Maut akan merenggut nyawaku pula. Aku menyesal! Ah, Beng San mantuku, sediakanlah sebuah goa kecil untuk aku, aku hendak mengasingkan diri, menghukum diri menebus dosa!"
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari angkasa, "Ho-ho, Song-bun-kwi, akhirnya kau insyaf juga, tetapi amat terlambat, tanganmu sudah terlampau kotor berdarah. Betapa pun juga, keinsyafanmu berguna pula bagi anak keturunanmu, menjadi pengingat dan penyadar!"
Semua orang kaget memandang ke atas dan tampaklah seekor burung rajawali berbulu emas ditunggangi oleh seorang kakek tua renta berpakaian butut. Burung itu menukik ke bawah dan kakek itu meloncat turun.
"Kim-tiauw-ko....!"
Sin Lee dan Kun Hong berbareng lari menghampiri burung itu dan dua orang pemuda ini serentak memeluk leher burung rajawali yang berbulu indah bagai emas itu. Mereka saling pandang dan sekarang mengertilah keduanya mengapa mereka melihat dasar-dasar yang sama dalam ilmu silat mereka.
Burung itu pun mengenal Kun Hong dan Sin Lee. Dengan mengeluarkan suara girang ia menggosok-gosokkan leher dan kepalanya pada dua pemuda itu. Kemudian Kun Hong berlutut memberi hormat kepada kakek yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok ini.
"Ha-ha, Sin-eng-cu Lui Bok! Kalau saja kemarin kau datang, tentu aku akan menantang kau bertanding!" kata Song-bun-kwi sambil tertawa, sikap orang aneh ini sudah berubah pula.
"Bagus, kau sudah insyaf sekarang, tulang-tulangku yang tua selamat dari gebukanmu," jawab kakek itu.
Beng San yang sudah mendengar nama besar Sin-eng-cu Lui Bok segera mempersilakan kakek itu duduk.
Akan tetapi kakek itu menolak dan berkata, "Kedatanganku hanya untuk bicara sedikit dengan Kun Hong."
Ia menoleh kepada pemuda itu sambil mengerutkan kening dan berkata, "Kun Hong, aku tidak hendak mendahului kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Tapi aku minta kepadamu, orang muda yang kukasihi, aku meminta kepadamu dengan sangat, sekarang juga kau ikutlah bersamaku. Marilah kita bertapa dan menjauhkan diri dari keruwetan dunia."
"Tapi... tapi... Susiok, aku..." Ia memandang kepada orang tuanya, kepada orang-orang yang dikasihinya dan terutama kepada Cui Bi. ''Biarlah lain kali aku mengunjungi Susiok."
Kakek itu berdongak ke angkasa, lalu menarik napas panjang. "Thian Yang Maha Kuasa, kehendak-Mu selalu terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini yang mampu mengubah kehendak-Mu. Sudahlah, selamat tinggal semua."
Sin-eng-cu Lui Bok meloncat ke atas punggung rajawali. Burung ini segera terbang sambil mengeluarkan pekik panjang, agaknya ucapan selamat tinggal pula.
Upacara penguburan dilakukan sederhana. Sesudah selesai, Beng San dan isterinya lalu mempersilakan para tamunya untuk makan bersama. Hari itu adalah hari ke tujuh sejak terjadinya keributan pada hari pendirian Thai-san-pai itu.
Mereka makan minum dengan asyik dan gembira. Para tokoh Hoa-san-pai mendengarkan penuh keheranan dan ketakjuban ketika mendengar cerita mengenai sepak terjang Kun Hong. Terutama sekali Kwa Tin Siong yang mendengar semua perihal puteranya itu, dia terheran-heran dan berkali-kali menggelengkan kepala.
"Aku sengaja melarang dia belajar ilmu silat dengan maksud supaya dia jangan sampai tersesat seperti enci-nya. Siapa tahu dia malah mendapatkan ilmu lebih jahat dari pada Kwa Hong," katanya.
Song-bun-kwi tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kwa-sicu mengapa bicara begitu? Tidak ada ilmu yang jahat, tergantung dari orangnya. Kalau ilmu digunakan untuk kejahatan, maka menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan, ilmu yang itu juga menjadi ilmu baik. Puteramu benar-benar luar biasa sekali, dan kalau kau berbesan dengan mantuku, ha-ha-ha, akan benar-benar cocok sekali!" Kakek ini tertawa bergelak, kemudian minum araknya.
Pucat wajah Beng San setelah mendengar omongan mertuanya yang lancang sekali ini. Ia melihat betapa Bun Lim Kwi dan Bun Wan menjadi merah sekali mukanya, maka cepat ia berkata sambil tertawa,
"Ahhh, Gak-hu tidak tahu persoalannya maka bicara main-main. Baiknya kuberi tahukan kepada semua yang hadir bahwa anakku yang bodoh, Tan Cui Bi, sebenarnya sudah kuikatkan jodoh dengan putera Kun-lun-pai, Bun Wan putera dari sahabatku Bun Lim kwi ini."
Song-bun-kwi hanya berkata, "ah-oh-ah-oh" lalu minum araknya lagi untuk menghilangkan ketidak enakan hatinya. Namun muka Kun Hong menjadi pucat seperti mayat. Baiknya pemuda ini cepat dapat menguasai hatinya sehingga mukanya berubah merah lagi.
Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan mata Cui Bi dan Kong Bu yang sudah tahu akan persoalannya. Li Eng dan Hui Cu hanya memandang paman mereka dengan penuh iba, lalu menoleh kepada Cui Bi dengan marah. Ada pun gadis Thai-san-pai itu tak dapat menahan dua butir air matanya yang meloncat turun ke atas kedua pipinya, tetapi cepat diusapnya dan ia menundukkan muka.
Keadaan sunyi senyap, tak ada seorang pun bergerak. Suasana yang mencekam dan tak menyenangkan ini membuat Beng San cepat-cepat bertindak. Dia berkata lagi, suaranya mengandung keramahan dan kegembiraan paksaan,
"Ayah mertuaku Song-bun-kwi tadi hanya main-main saja. Mana bisa terjadi aku berbesan dengan Ketua Hoa-san-pai? Ketua Hoa-san-pai adalah kakek dari anakku Sin Lee, berarti ayah mertuaku pula. Mana ada mantu berbesan dengan mertua? Gak-hu, katakan bahwa kau tadi hanya main-main saja."
Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu minum araknya lagi. Setelah mengusap mulut dengan ujung lengan baju, ia berkata, "Ah, mulut lancang! Aku tidak ingat akan semua itu. Ha-ha, memang aku hanya main-main!"
Pada saat itu, Bun Wan menggebrak meja di depannya. "Ayah, aku tidak dapat menahan lagi!" suaranya serak dan ia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Semua orang memandang dengan heran dan tidak mengerti, karena itu kini semua mata ditujukan kepada Bun Lim Kwi, ketua dari Kun-lun-pai yang pendiam itu. Orang setengah tua ini wajahnya mengeras, agak pucat dan ia kemudian bangkit berdiri, kedua tangannya dikepalkan dah suaranya jelas membayangkan perasaan yang tertindih.
"Sepekan sudah kami ayah dan anak menahan perasaan karena tak baik mengemukakan urusan ini selagi tuan rumah menjalankan perkabungan. Akan tetapi benar kata anakku, tak mungkin kami berdua dapat menahan-nahan hal ini yang benar-benar amat menindih perasaan kami."
"Saudara Bun, demi Tuhan, demi persahabatan kita, katakanlah, apa yang telah terjadi?" Beng San berkata penuh kegelisahan.
Suara Bun Lim Kwi terdengar amat pahit, menyatakan keperihan hatinya ketika ia berkata sambil mengeluarkan segumpal kertas dari sakunya.
"Memang urusan ini amat menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Tetapi saudara Beng San, kita sebagai orang-orang gagah paling suka akan urusan yang terus terang, kita bersama menjunjung nama kehormatan lebih tinggi dibandingkan nyawa. Kun-lun-pai boleh dibilang perkumpulan kecil, apa lagi ketuanya macam aku ini mana ada harganya? Dapat berbesan dengan Thai-san-pai benar-benar merupakan kehormatan yang jatuh dari langit. Akan tetapi betapa pun rendahnya keadaan aku dan anakku, kiranya tidak patut menjadi buah tertawaan orang dan bahan permainan, apa lagi ejekan."
"Saudara Bun, bicaralah sejujurnya, demi Tuhan, apa yang kau maksudkan ini?" Beng San berseru keras.
"Sebelum pergi, Siauw-ong-kwi menghina kami dan menyerahkan tulisan pada kertas ini. Berhari-hari aku menunggu dan menahan, akan tetapi melihat gelagatnya, tak boleh tidak kertas bertulis itu harus kuserahkan padamu dan aku mesti menginsyafi akan kerendahan kami. Nah, kau terimalah kertas ini, baca dan boleh kalian perbincangkan sendiri. Ada pun kami... ah, kami memohon diri. Tentang perjodohan, baik kita bicarakan belakangan saja, itu pun kalau kau merasa perlu untuk mengajakku bicara, Saudaraku."
Ketua ini dengan tajam menatap semua orang yang berada di situ, lalu menarik tangan anaknya. "Wan-ji, mari kita pulang."
Ayah dan anak itu bangkit dan menuju ke pintu.
Beng San berseru, "Saudara Bun, mengapa pergi? Kalau ada urusan, baik kita bicarakan yang betul. Duduklah kembali."
Akan tetapi melihat calon besannya itu tak menjawab, terpaksa Beng San berkata kepada Oei Sun yang duduk di luar ruangan. "Oei Sun, kau antar tamu kita keluar."
Dia menyuruh anak muridnya karena kuatir kalau-kalau kedua orang tamunya itu akan tersesat jalan dan tak dapat keluar dari tempat yang penuh jalan rahasia itu. Kemudian setelah mereka pergi, Beng San mengambil surat di atas meja yang ditinggalkan Bun Lim Kwi itu. Dibukanya surat itu dan seketika wajahnya berubah merah padam malah hampir menghitam.
Li Cu dan Cui Bi maklum akan sifat Ketua Thai-san-pai ini. Tentu Beng San amat marah membaca surat itu, maka mereka menunggu dengan hati berdebar. Beng San menoleh kepada Cui Bi, suaranya gemetar ketika ia menyerahkan surat itu
"Cui Bi, apa artinya ini?” surat itu melayang di atas meja depan Cui Bi.
Tubuh gadis itu mengigil dan tidak berani menjamah surat itu, hanya matanya membaca huruf-huruf besar yang ditulis di situ.
DI BAWAH SINAR BULAN PURNAMA PUTERI THAI-SAN-PAI DAN PUTRA HOA-SAN-PAI BERSUMPAH SALING MENCINTA, MEMBIARKAN KUN-LUN-PAI DITERTAWAI DUNIA.
Seketika pucatlah wajah Cui Bi. Kun Hong yang duduk di seberang gadis itu dapat pula membaca tulisan ini, demikian pula yang lain-lain.
"Kun Hong, apa yang kau lakukan? Betulkah isi tulisan itu?" Kwa Tin Siong membentak kepada puteranya dengan pandang mata tajam.
"Cui Bi, jawablah, tulisan Siauw-ong-kwi itu fitnah ataukah kenyataan?"
Cui Bi tak dapat menjawab, tiba-tiba ia malah menelungkupkan mukanya di atas meja dan menangis! Kun Hong sejenak menatap pandang mata ayahnya, lalu dia bangkit berdiri perlahan dan berkata, suaranya gemetar,
"Aku bersalah... aku berdosa... telah menggoda Bi-moi... aku siap menerima hukuman..."
"Brakkk!"
Cawan arak di depan Kwa Tin Siong melayang menghantam pipi Kun Hong yang kanan sehingga kulit pipinya berlubang dan darah mengucur. Saking marahnya Kwa Tin Siong sudah menyambit muka puteranya dengan cawan itu yang kini jatuh menggeletak di atas meja, berlumuran darah dari pipi Kun Hong.
"Anak celaka! Kiranya engkau mendatangkan cemar lebih hebat dari pada yang diperbuat Hong Hong...," suara Ketua Hoa-san-pai mengandung isak, mukanya pucat sekali.
"Tidak... tidak... Hong-ko tidak bersalah!" tiba-tiba Cui Bi meloncat bangun, mukanya yang pucat penuh dengan air mata. "Akulah yang bersalah! Memang aku bersalah karena tidak memberi tahu kepadanya bahwa aku telah ditunangkan, ditunangkan dengan paksa oleh orang tuaku. Ayah... ibu... aku... cinta kepada Hong-ko, sebaliknya dia pun mencintaiku. Aku tidak sudi menikah dengan orang lain!"
Beng San dan Li Cu saling pandang bingung, tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Akhirnya Beng San berkata lirih, "Kun Hong banyak jasanya kepada kita, malah dia telah menolong nyawaku... tapi... tapi... tapi ini soal kehormatan dan nama baik..."
"Ayah, lebih baik aku mati kalau dinikahkan dengan orang lain. Aku dan Hong-ko saling mencinta, sudah bersumpah..."
"Brakkk!"
Kun Hong menggebrak meja dan ternyata empat kaki meja itu ambles ke bawah saking hebatnya ia menahan gelora hati dan mempergunakan tenaga dalam tanpa ia sadari.
"Bi-moi, tak boleh begini! Kau sudah ditunangkan dengan putera Kun-lun-pai. Urusan ini menyangkut nama serta kehormatan Kun-lun-pai dan Thai-san-pai. Nama kehormatan yang harus dijaga lebih gigih dari pada menjaga nyawa. Apa lagi hanya cinta. Bi-moi, tak mungkin aku membiarkan kau melanggar aturan, menyusahkan orang tua, merusak nama Thai-san-pai, menyebabkan permusuhan dengan Kun-lun-pai hanya untuk memuaskan diriku saja. Tak mungkin! Cintaku tak serendah itu, bukan untuk mementingkan diri sendiri. Kau harus menjaga nama orang tuamu, menikah dengan putera Kun-lun-pai."
"Tidak...! Tidak sudi...! Lebih baik aku mati. Hong-ko... Hongko... sudah lupakah kau akan sumpahmu? Hong-ko, tak boleh kau mengorbankan aku hanya untuk aturan-aturan lapuk. Hong-ko...," gadis itu tersedu-sedu tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
"Kun Hong! Perbuatanmu amat memalukan. Kau benar-benar sudah mencemarkan nama orang-orang tua. Kun Hong, mulai saat ini aku tak mau mengakui kau sebagai anak lagi!"
"Ayah...!" Kun Hong pucat, memandang ayahnya, kemudian kepada ibunya yang hanya dapat menunduk dan menangis.
Dalam keadaan segawat itu, karena menghadapi urusan besar yang menyangkut nama serta kehormatan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, dan Thai-san-pai, nyonya ini sama sekali tak dapat mengeluarkan perasaan hatinya yang penuh cinta dan kasihan kepada puteranya. Diam-diam ia membandingkan nasib kedua orang muda itu dengan nasibnya sendiri yang pernah mengalami kehancuran dalam pertunangan dahulu.
Dengan tubuh gemetar, wajah pucat serta hati hancur, Kun Hong berdiri perlahan-lahan dari tempat duduknya, kakinya menggigil ketika melangkah, kata-katanya perlahan seperti orang berbisik,
"Aku berdosa... aku durhaka... tak patut hadir di sini...," Ia melangkah hendak keluar dari ruangan besar itu.
"Hong-ko...!" Cui Bi melompat dari tempat duduknya, berlari mengejar, menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong, sambil merangkul kedua kakinya, menangis tersedu-sedu, "Hong-ko... jangan tinggalkan aku...!"
Dia mendongak. Mukanya yang pucat penuh dengan air mata, rambutnya awut-awutan, keadaan gadis itu sungguh mengiris jantung Kun Hong.
Kun Hong menunduk, memandang lekat wajah kekasihnya, menelan ludah beberapa kali, menggigit bibir menahan air mata, lalu meramkan mata dan menggelengkan kepalanya keras-keras.
"Tidak, Bi-moi, tidak boleh...! Kau harus menjaga nama baik keluargamu... aku... aku tidak bisa melanggar aturan, kesopanan dan kesusilaan!"
"Hong-ko...,!"
Tapi dengan cepat Kun Hong mengipatkan kedua tangan Cui Bi. Gadis itu tergelimpang, menangis sampai hampir tak dapat bernapas dan Kun Hong melangkah terus keluar.
"Ayah, ini tidak boleh terjadi!" tiba-tiba Kong Bu berteriak kepada ayahnya. "Cui Bi sudah berterus terang kepadaku, dia mencinta Kun Hong dan aku sudah berjanji kepadanya hendak bicara dengan Ayah tentang hal ini! Batalkan perjodohan dengan Kun-lun-pai dan terima Kun Hong sebagai suami Adik Bi!"
Beng San merah mukanya, matanya meram dan ia hanya menggeleng-geleng kepalanya, kelihatan betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum. Li Cu juga menangis dan menahan hatinya yang ingin sekali menubruk serta memeluk puterinya. Akan tetapi tentu saja ia menahan hatinya karena dalam urusan ini, puterinya boleh dibilang telah melakukan suatu hal yang amat memalukan! Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Ia teringat akan semua pengalamannya dahulu, betapa ia pun bertekad dan melawan ayahnya sendiri karena cinta kasihnya kepada Beng San.
Sin Lee yang juga merasa sayang terhadap adik tirinya, mukanya menjadi merah dan matanya meliar. Dia sedang terbenam kedukaan karena kematian ibunya, dan sekarang menghadapi keadaan Cui Bi, satu-satunya orang di samping ayahnya yang amat ia kasihi, ia tak kuat menahan. Tiba-tiba ia melengking keras dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari ruangan mengejar Kun Hong.
Ia berdiri di depan Kun Hong dengan beringas. "Kun Hong! Kau harus berani bertanggung jawab! Kau sudah menjatuhkan hati Cui Bi, tidak boleh kau sekarang meninggalkannya. Apa pun yang terjadi, kau harus melanjutkan cinta kasihmu itu, kau harus menjadi suami Bi-moi!"
Kun Hong menggigit bibirnya, kerongkongannya serasa tersumbat. Sesudah menghela napas dan menelan ludah berapa kali, barulah ia dapat menjawab,
"Sin Lee, justru sebagai orang berani bertanggung jawab, aku menjauhkan diri. Lebih baik aku sengsara dari pada melihat nama baik orang-orang tua dan nama baik Bi-moi sendiri hancur ternoda."
"Kau harus kembali, harus, kataku!" Sin Lee membentak dan maju mendorong Kun Hong untuk memaksa pemuda itu kembali ke ruangan. Akan tetapi sekali mengelak serangan itu luput dan Kun Hong sudah melewati tubuh Sin Lee terus berjalan pergi.
"Kun Hong, tunggu dulu!" tiba-tiba Kong Bu juga sudah menghadangnya, malah dengan pedang di tangan, sikapnya mengancam!
"Kau mau apa, Kong Bu?" suara Kun Hong mengerikan, suara tanpa irama, seperti suara dari balik lubang kubur.
"Kun Hong, tidak ingatkah kau akan sumpahmu dahulu? Bahwa kau mencinta sangat Adik Bi dan bersedia mengorbankan nyawa untuknya? Mengapa sekarang kau malah hendak menghancurkan kebahagiaannya dan meninggalkannya?"
"Aku tetap cinta padanya, aku tetap bersedia mengorbankan segalanya untuknya. Kong Bu, tak tahukah kau bahwa pengorbanan yang kulakukan ini bahkan lebih berat dari pada berkorban nyawa?" Kini suara itu bercampur sedu-sedan dan pada kedua pipi Kun Hong tampak air mata bercucuran.
"Tidak, kau harus kembali dan meminta Bi-moi dari Ayah. Jangan pedulikan pandangan orang lain, kalau pihak Kun-lun-pai marah serahkan saja kepadaku!" bentak Kong Bu.
Kun Hong menggelengkan kepala. "Kau keliru. Aku tidak mau demi cinta kasihku, demi kebahagiaanku, harus mengorbankan hal-hal yang lebih penting lagi. Tidak, Kong Bu, kau kembalilah."
"Aku akan memaksamu!" Kong Bu mengayun pedangnya.
Tapi sekali melejit Kun Hong mengelak dan menyentil dengan jari telunjuknya yang tepat mengenai pergelangan tangan Kong Bu, membuat pemuda ini hampir saja melepaskan pedangnya, sementara itu Kun Hong sudah melewatinya.
"Hong-ko... tunggu...! Hong-ko...!"
Cui Bi berlari-lari mengejar Kun Hong. Gadis ini tadi melihat sendiri betapa kedua orang kakak tirinya membujuk-bujuk, malah dengan kekerasan, namun semuanya tidak berhasil. Maka ia sendiri lalu berlari mengejar.
Mendengar suara kekasihnya ini, Kun Hong berhenti, seakan-akan kedua kakinya terpaku di tanah, tak dapat digerakkan lagi. Ia berhenti berdiri tegak tanpa menoleh, bahkan ia pun tidak menunduk ketika Cui Bi sudah berlutut lagi di depannya sambil menangis.
"Hong-ko... demi Tuhan, Hong-ko... jangan kau tinggalkan aku. Aku... aku tidak akan kuat menahan, Hong-ko... aku takkan dapat hidup bila harus berpisah denganmu dan menikah dengan orang lain... Hong-ko, kau kasihanilah diriku..."
Kun Hong meramkan mata, tunduk pun ia tak berani. Ia tahu bahwa sekali ia memandang wajah Cui Bi yang sangat dikasihinya itu, kekerasan hatinya akan hancur dan dia akan melupakan kesopanan, melupakan aturan, melupakan nama dan kehormatan, dan hanya akan memuaskan cinta kasih dan kebahagiaan perasaan hatinya sendiri. Maka seperti orang dalam mimpi ia meramkan mata dan bibirnya berulang-ulang berbisik,
"Tidak, Bi-moi... tidak... tidak... tidak..."
Tiba-tiba Kun Hong mendengar keluhan panjang.
"Hong-ko...!" suara Cui Bi ini sedemikian anehnya dan ia mendengar gadis itu roboh.
Kun Hong membuka matanya dan... ia terbelalak, menjerit,
"Tidak... ahhh, tidak... jangan, Bi-moi... aduh, Bi-moi...!"
Ia menubruk ke depan, menubruk tubuh yang masih hangat itu, yang kini telah telentang dengan pedang menembus dadanya, dengan mata masih terbuka memandangnya penuh permohohan, dengan bibir masih berkomat-kamit memanggil namanya, berbisik-bisik lirih, "Hong-ko... Hong-ko..."
"Cui Bi...! Dewiku! Ahh, Cui Bi, kekasihku... ahhh, Cui Bi...!" Kun Hong menjerit-jerit dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya sambil menangis dan memanggil-manggil.
Darah mengalir keluar dari dada serta punggung gadis itu, membasahi baju Kun Hong. Ketika ia memandang melalui air matanya ia melihat Cui Bi tersenyum puas dan bahagia, bibirnya bergerak, "Hong-ko, aku cinta padamu..." Dan ucapan ini merupakan hembusan napas terakhir.
Gadis jelita itu mati dalam pelukan kekasihnya, mati dalam keadaan bahagia, terbukti dari bibir yang tersenyum itu. Orang-orang di dalam ruangan itu berlari-lari memburu keluar. Segera terdengar pekik dan jerit memilukan. Li Cu menubruk ke depan, merampas tubuh anaknya dari pelukan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu tidak memberikannya.
"Biar dia kupondong..." katanya sambil berdiri, memondong tubuh gadis itu sambil berjalan lambat-lambat kembali ke ruangan tadi.
Langkahnya satu-satu, kaku, matanya memandang lurus ke depan seperti mata patung, mukanya yang tadi dipergunakan untuk mencium dan mendekap gadis itu penuh air mata bercampur darah. Tubuh Cui Bi terkulai dalam pondongannya, rambut gadis itu terlepas dan terurai ke bawah, kedua kakinya yang masih lemas tergantung dan bergerak-gerak ketika Kun Hong membawanya berjalan ke ruangan.
Li Cu menjerit-jerit, masih mencoba merampas mayat anaknya. Beng San memegang lengannya dan merangkulnya, menuntunnya ke dalam ruangan itu, tapi Li Cu masih terus menjerit-jerit.
"Dia anakku...! Kembalikan anakku...! Ah, mana anakku? Ya Tuhan, Kun Hong, kau telah membunuh anakku. Aduhai, Cui Bi... Cui Bi anakku sayang... kenapa menjadi begini? Kun Hong, kau... kau membunuh Cui Bi. Ah, Cui Bi, biji mataku... Cui Bi bangunlah, anakku."
Beng San merangkul isterinya. "Tenang, kuatkan hatimu..." ia menghibur.
"Tenang bagaimana? Menguatkan hati bagaimana? Aku kehilangan biji mataku dan harus tenang? Ya, dia lebih berharga dari pada biji mataku!"
Nyonya itu menangis lagi sambil menjerit-jerit, membuat semua orang merasa terharu dan terutama sekali Li Eng dan Hui Cu, Lee Giok dan Thio Bwee. Lee Giok yang masih adik seperguruan Li Cu merangkul suci-nya itu dan membujuk-bujuk sambil menangis. Hui Cu dan Li Eng memeluki mayat Cui Bi yang oleh Kun Hong sudah diletakkan di atas bangku panjang. Sin Lee dan Kong Bu berdiri mematung, pucat dan juga dari kedua mata mereka runtuh beberapa butir air mata. Hanya Song-bun-kwi terus menerus menenggak arak, agaknya untuk menguatkan hatinya yang hampir lumer menyaksikan semua itu.
Kun Hong telah membaringkan tubuh Cui Bi di atas bangku, lalu berlutut di depan Li Cu. "Bibi, memang aku yang menyebabkan kematian Bi-moi. Kau kehilangan biji mata, Bibi? Ahhh, aku pun kehilangan, kehilangan matahari hidupku. Bibi, aku tidak dapat mengganti seorang Cui Bi kepadamu, akan tetapi aku sanggup mengganti dengan biji mata pula, apa artinya biji mata bagiku kalau aku tak dapat melihat matahari lagi. Terimalah ini, Bibi, biji mataku..."
Sebelum orang lain dapat menduga apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba saja Kun Hong menggerakkan jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya, ditusukkan ke matanya dan di lain saat dua biji matanya telah ia korek keluar dan berada di telapak tangannya yang sekarang diangsurkan kepada Li Cu.
Semua orang berteriak tertahan. Kun Hong masih berlutut tegak dengan tangan kanan diangsurkan dan di atas telapak tangan itu terdapat dua butir mata yang berlumuran darah. Ada pun mukanya yang pucat itu sekarang menjadi mengerikan sekali. Darah bercucuran keluar dari kedua matanya yang sudah berlubang.
Li Cu memandang dengan mata terbelalak, "Kau... kau... aduh, Kun Hong...!"
Li Cu memeluk pemuda itu yang lalu terguling dan pingsan! Beng San menarik isterinya perlahan, lalu menyerahkan kepada Lee Giok, minta supaya diajak ke dalam.
Kwa-Tin-Siong dengan muka pucat memegangi lengan isterinya yang kini menjerit-jerit, sebentar memandang pada puteranya yang menggeletak dengan muka berlumur darah, lalu tidak kuat dia dan membuang muka, memandang lagi dan kalau tidak dipegangi suaminya tentu ia sudah menubruk anaknya itu.
Wajah Kwa Tin Siong seperti Beng San yang berdiri di hadapannya. Kedua orang ini berpandangan penuh pengertian, penuh sesal, penuh kedukaan dan akhirnya Beng San lalu membungkuk memondong tubuh Kun Hong yang pingsan itu, dibawa ke dalam untuk dirawat.
Sunyi di ruangan itu, hanya isak tangis yang terdengar, bahkan kini Song-bun-kwi yang tadinya minum terus-menerus sekarang menjatuhkan muka ke atas meja, menutupi muka dengan dua lengan dan menangis seperti anak kecil, memanggil-manggil nama isterinya, dan nama anaknya, Bi Goat, yang sudah meninggal…..
********************
Betapa pun janggalnya, namun bukanlah hal yang aneh atau tak mungkin terjadi apa bila kita melihat seorang yang menurut penilaian, kita adalah seorang baik, namun mengalami nasib yang amat menyedihkan. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan hal ini merupakan rahasia bagi manusia.
Ada kalanya, apa bila Tuhan menghendaki, seorang yang hidupnya terkenal jahat dapat mengalami hidup yang serba menyenangkan, sebaliknya seorang yang hidupnya terkenal baik dapat mengalami hidup yang sengsara. Tampaknya tidak adil, tetapi sesungguhnya bukan demikian. Ada sebab-sebab tertentu yang menjadi rahasia Tuhan, dan Tuhan tetap Maha Adil. Betapa pun ganjilnya, betapa pun anehnya, manusia wajib menerima, karena baik yang menyenangkan mau pun yang sebaliknya, kesemuanya itu tetap adalah karunia Tuhan.
Setelah jenazah Cui Bi dimakamkan, Kun Hong tetap dirawat di Thai-san-pai sampai sembuh. Matanya menjadi buta, tidak berbiji lagi. Beng San sendiri yang merawatnya, bahkan di samping merawatnya, Beng San membisiki semua rahasia Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat kepada orang muda itu dan melatihnya mempergunakan telinga bagai pengganti mata.
Kwa Tin Siong dan isterinya serta semua tokoh Hoa-san-pai, termasuk Li Eng dan Hui Cu, telah kembail ke Hoa-san setelah mendapat janji dari Beng San bahwa lain waktu Ketua Thai-san-pai ini akan mengunjungi Hoa-san-pai untuk membicarakan tentang perjodohan kedua puteranya dengan Hui Cu dan Li Eng. Dengan penuh keharuan Liem Sian Hwa memeluk anaknya yang sudah buta itu, minta supaya kalau sudah sembuh anaknya akan segera kembali ke Hoa-san-pai.
Di samping Beng San yang amat tekun merawat Kun Hong, juga Song-bun-kwi sering kali mengajak pemuda itu bercakap-cakap, bergurau dan malah pada suatu hari Song-bun-kwi memberi hadiah sebatang tongkat kepada Kun Hong. Ketika Kun Hong menerima dan memeriksa dengan rabaan tangannya, ternyata tongkat itu bukan sekedar tongkat untuk membantunya mencari jalan, akan tetapi tongkat yang di dalamnya tersimpan pedang Ang-hong-kiam, pedangnya. Ternyata oleh kakek sakti itu, pedang Ang-hong-kiam telah diberi sarung pedang berupa tongkat…..
********************
Beberapa bulan kemudian, di kala Hoa-san-pai merayakan pesta pernikahan yang amat meriah dari Hui Cu dan Li Eng yang menikah dengan Sin Lee dan Kong Bu, Kun Hong juga hadir. Pada malam harinya, malam yang amat bahagia bagi dua pasang pengantin itu, semua orang mencari-cari Kun Hong, akan tetapi orang muda buta ini tidak nampak bayangannya.
Kalau kita menengok jauh ke lereng Bukit Hoa-san-pai, akan terlihatlah bayangan orang buta itu berjalan perlahan, dibantu tongkat pedangnya, meninggalkan Hoa-san, berjalan di bawah cahaya bulan purnama. Bibirnya terus tersenyum-senyum seakan-akan dia dapat pula merasakan kebahagiaan dua pasang mempelai yang merupakan orang-orang yang sangat disayangnya.....
T A M A T
>>>> PENDEKAR BUTA <<<<
(Bagian Ke-3 Serial RAJA PEDANG)