Jaka Lola Jilid 07
“Wah, baik sekali hasilnya. Sumoi, kau betul-betul amat cerdik dan licin sekali. Ha-ha-ha, antara keturunan Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat bentrokan yang agaknya hanya dapat diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus sekali, Sumoi!"
Maharsi tertawa sambil memuji-muji sumoi-nya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka berkumpul di sebuah hutan tidak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu. Mereka berkumpul di situ, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.
“Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hi-hi-hik, betapa pun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar Buta?"
"Tapi di mana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?" tanya Ouwyang Lam.
"Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian ia lenyap, tentunya dibawa pergi oleh Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu jika tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia...!"
Diam-diam Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi.
Ada pun Ouwyang Lam diam-diam merasa kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum apa-apa, yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la pun mengomel,
"Ahh, Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita pasti akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya."
"Kalau belum menjadi bangkai!" kata pula Ang-hwa Nio-nio. "Orang gila dari Min-san itu mengejar-ngejarnya. Aha, betapa ramainya nanti di Liong-thouw-san. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita mengunjungi Bhok-losuhu!"
Biar pun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya di dalam hatinya dia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.
Dugaan Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi dia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio.
Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain tidak terlalu dia pedulikan, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua Min-san-pai bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan kakeknya, Hek Lojin.
Akan tetapi ketika dia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa Nio-nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di bagian belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam dia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh besarnya!
Siu Bi maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan lawannya. Dia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali, bahkan dia sendiri mungkin tak bebas dari hukuman apa bila mereka dapat menyusulnya. Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi.
Akhirnya dia tidak kuat berlari lagi. Di dalam sebuah hutan kecil ia pun berhenti, nafasnya terengah-engah lalu melempar tubuh Swan Bu ke atas tanah. Dia berdiri mengatur nafas, menyusut keringat pada leher dan jidatnya dengan sapu tangan, memandang sekilas ke arah pemuda yang terbanting ke atas tanah itu.
la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas dari totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk. Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau tenaganya sudah pulih, tentu sulit baginya untuk mengalahkannya. Segera ia menerjang maju dan tangannya bergerak cepat.
Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tidak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia lemas sudah ditotok oleh gadis galak itu.
Setelah merasa yakin bahwa lawannya tak akan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput, melanjutkan kerjanya yang tadi tertunda, yaitu menghapus keringatnya. Kemudian ia mengebut-ngebut sapu tangan, dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu.
Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah. Alis yang hitam tebal berbentuk golok dengan sepasang mata yang penuh ketabahan. Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua pasang mata itu bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.
"Perlu apa kau melarikan diriku ke sini?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.
"Perlu apa lagi? Tentu saja untuk membuntungi lengan kirimu, untuk membalas sakit hati mendiang kakekku!"
Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapa pun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya ke sini mungkin jiwanya justru terancam bahaya. Bahaya yang lebih mengerikan lagi.
Dia bukan takut mati. Akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan maksiat, berjinah dengan Lee Si, benar-benar merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran.
Betapa pun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini malah sudah menolongnya, menolong kehormatannya, karena meski pun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan bisa membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama sekali tak berbuat jinah dengan puteri pamannya itu. Juga, walau pun lengannya tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.
"Huh, wajahmu pucat! Kau ketakutan, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar kau tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!"
"Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, amat sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan ayah ibuku? Hah, cacing tanah pun akan terbahak geli bila mendengar kata-katamu tadi!"
Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri serta ketakutan. Hatinya sudah merasa amat girang sebab ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan api yang membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan kedua mata mendelik, muka berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.
"Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marahlah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku kalau berani. Kalau aku bebas, boleh kau mencoba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, meski kau memegang pedang setan hitam itu dan aku bertangan kosong saja menghadapimu, bukan lenganku yang buntung, melainkan... hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut copot dari mukamu!"
Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi ketika mendengar ejekan yang dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis pada saat pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar dari mulut.
"Kau... kau setan, kau... kau... manusia sombong. Hihh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!"
Namun Swan Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang meski pun masih muda namun memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini dia pun keras hati dan tidak sudi tunduk kalau merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.
"Hee?!"
Siu Bi menahan gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu!
"Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?"
"He, perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan seribu macam ancaman, seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati dari pada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu rasa, barulah akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai kau menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo lekas bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?"
Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir dia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan menguik-nguik minta ampun seperti anjing dipecuti.
"Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!"
Pedangnya lalu digerakkan perlahan-lahan ke arah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu. Dia melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan, berkedip pun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata menantang, berkedip pun tidak! Bukan main!
"Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan perbuatanmu yang curang dan pengecut!"
Pucat wajah Siu Bi mendengar ini. "Setan kau!"
Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
"Crattt!"
Pedang, itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, dan ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.
”Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang sedang aku hanya bertangan kosong pun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!"
Siu Bi menggigit bibirnya. "Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan jika dibandingkan aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, dan kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu akan melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?"
Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing supaya dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.
"Bocah, tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau bodoh bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat ini sebagai seorang pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apa lagi jika menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku mampu mengalahkan engkau yang berpedang dengan hanya tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi, aku tidak akan melawan."
"Huh, siapa percaya omonganmu?" Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah.
Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini apa bila sudah mencibir seperti itu.
"Percaya atau tidak terserah, aku pun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang jelas, kau berani atau tidak melawan aku bertangan kosong?"
Siu Bi duduk termenung. Tanpa disadarinya jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan ujungnya memukul-mukul pahanya sendiri. la penasaran sekali. la maklum bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat sekali, tadi malam ia sudah menyaksikannya. Akan tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak mungkin ia akan kalah!
Lagi pula, kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar sukar baginya untuk melakukannya. Lebih baik membebaskan dia dan tantang berkelahi, kemudian pada kesempatan itu ia akan membuntungi lengannya. Dengan begitu barulah perbuatan gagah.
"Kau tidak akan lari?"
"Kata-kata lari tidak terdapat dalam kamus hatiku."
"Berani sumpah?"
Hampir Swan Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.
"Ucapan yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah menjadi sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa."
"Baik, kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Bila mana kau melarikan diri, tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang dan pengecut di seluruh permukaan bumi ini."
Sebelum pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Siu Bi sudah menerjang maju, tangan kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu.
Pemuda ini bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih terasa kaku. la menggerak-gerakkan lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali sambil mengatur nafas mengerahkan sinkang. Terasa hawa panas mengelilingi seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia sudah merasa segar kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran ayahnya.
la melirik ke arah pundaknya di mana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak berbahaya, akan tetapi terasa sedikit perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu menggerakkan jari tangan menekan pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah meninggalkan bibirnya.
"Kalau kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!" Siu Bi segera menerjang dengan kecepatan kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah menggunakan jurus-jurus yang berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-in-kang dari tangan kirinya.
Biar pun baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis itu selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sangat ganas, juga tangan kirinya mengandung hawa pukulan yang keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam.
Oleh karena inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun dan memainkan jurus-jurus Im-yang Sin-hoat yang sukar dicari tandingnya itu. Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri miring, lantas membungkuk dan berloncatan, seperti bukan orang main silat.
Melihat gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya. la mengenal gerakan ini.
Pernah dia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah sebelum berpisah dari Yo Wan secara menyedihkan, dia pernah minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu langkah ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya. Dan sekarang pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan herannya, penyerangannya berhenti.
"He, kenapa berhenti? Kau takut?" Swan Bu mengejek.
"Takut hidungmu! Aku hanya heran... apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka Lola?"
Swan Bu tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya, pertanyaan yang aneh dan tak terduga-duga pula.
"Yo Wan? Tentu saja kenal, dia itu suheng-ku, murid ayahku. Mau apa kau sebut-sebut dia?"
Mampus kau! Hampir saja di depan Swan Bu dia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya Swan Bu ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri
"Ehh, apa kau gila?"
Siu Bi tidak mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira siapa duga, Yo Wan itu malah murid Pendekar Buta! Dan dia sudah mengajak Yo Wan bersekongkol membantunya melawan Pendekar Buta. Anehnya, mengapa Yo Wan mau saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh ibunya.
Wah, wah, kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai mati pun mana mungkin ia menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini, harus dapat memenangkannya, kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.
"Bagaimana kau mengenal suheng-ku itu? Di mana dia?"
"Aku tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!"
Siu Bi menerjang lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus yang paling lihai sesudah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo Wan dan karenanya tentu mempunyai ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biar pun hanya dilawan dengan tangan kosong.
Swan Bu cepat mengelak dan di lain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru. Sebentar saja puluhan jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat mendesak lawannya, sungguh pun bagi Swan Bu juga tidak mudah untuk mengalahkan gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa itu.
Kalau saja dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu Bi. Dengan ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya. Betapa pun juga, kekerasan hatinya tak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah terhadap gadis liar yang hendak membuntungi lengannya ini.
Pada saat pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang, "Ini dia! Mari bantu nona The! Serang dan bunuh dia!"
Jarum-jarum halus menyambar ke arah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini menggerakkan tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka menerjang maju dengan golok, menyerang Swan Bu dengan hebat.
Mereka ini bukan lain adalah tiga orang anggota Ang-hwa-pai yang tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat Ang-hwa Nio-nio sebab hal itu memang dirahasiakan sehingga setahu mereka hanya bahwa pemuda putera Pendekar Buta yang tertawan itu sudah berhasil lolos. Dan kini melihat pemuda itu bertanding melawan Siu Bi, tentu saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi adalah ‘keponakan’ dari ketua mereka.
Pada saat mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu dengan sinar pedang dan pukulan Hek-in-kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan dahsyat ini, maka betapa kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus dari sebelah belakang. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sambil mengerahkan sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke belakang.
Namun, di antara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang yang menyelinap dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya kaku dan gatal-gatal, maka tahulah dia bahwa dia sudah menjadi korban senjata rahasia halus yang beracun!
Namun dengan nekat dia lalu melawan. Cepat dia menghindar dari sambaran tiga batang golok dan pada waktu tubuhnya miring itu, kakinya lantas melayang sehingga seorang pengeroyok roboh dengan tulang iga patah!
Sementara itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-hwa-pai yang tanpa diminta telah lancang turun tangan membantunya. Dia lalu berseru keras, "Cacing busuk, siapa butuh bantuan kalian? Mundur!"
Akan tetapi dua orang Ang-hwa-pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau mundur. Yang memerintah mereka kali ini bukan seorang pemimpin Ang-hwa-pai, tentu saja mereka tidak peduli dan terus menerjang Swan Bu dengan hebat.
"Trang-trang...!"
Golok di tangan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka sudah roboh dengan pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan pedang Siu Bi! Mereka begitu kaget sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis itu.
"Lancang!" Siu Bi memaki lagi.
Kini pedangnya bergulung-gulung menyambar ke arah Swan Bu yang cepat menjatuhkan diri ke samping, lalu bergulingan menyelamatkan diri. Ketika Siu Bi mendesak, pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri dan kembali mereka bertanding hebat.
Ada pun tiga orang Ang-hwa-pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ terpincang-pincang. Dua orang yang terluka pedang Siu Bi, dengan susah payah dan sedapat mungkin menggotong temannya yang masih pingsan akibat tendangan Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya. Mereka bergegas pergi untuk mencari bala bantuan.
Sekarang perlawanan Swan Bu tidak lagi segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dirinya sudah terluka oleh jarum beracun. la melakukan perlawanan sedapat mungkin meski lengan kanannya kini terasa setengah lumpuh.
Diam-diam Siu Bi merasa amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia khawatirkan, sama sekali ia tidak mampu merobohkannya. Padahal pemuda ini hanya bertangan kosong dan ia memegang Cui-beng-kiam, malah menggunakan Hek-in-kang. Bukan main!
Di dalam hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan menjadi putera musuh besar kakeknya yang harus dia buntungi lengannya. Kalau saja tidak demikian halnya, alangkah akan senangnya memiliki seorang sahabat seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang telah memusuhinya akibat perbuatan ayah tirinya.
Siu Bi diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya dia menangis, apa lagi ditambah dengan kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum berhasil mengalahkan dan membuntungi lengan Swan Bu.
Akan tetapi tiba-tiba saja Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh terduduk. Siu Bi menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa bukan dia yang merobohkan pemuda itu.
Baru saja pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Hek-in-kang di tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa harus menangkis dengan tangan kanan. Dalam pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat.
Ia makin kagum karena jarang ada orang bisa menangkis tenaga Hek-in-kang demikian rupa sampai dia tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu mengelak lantas terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil menekan pundak kanannya.
Siu Bi melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit di pundak kanan yang putih itu ternoda oleh bintik merah membengkak.
"Kau terluka Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!" serunya di luar kesadarannya.
Swan Bu mengangguk lesu. "Tiga orang tadi..."
"Kalau tidak segera dikeluarkan, kau akan mati..."
"Lebih baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-payah lagi..."
Siu Bi maju lagi dan berlutut.
"Kau tidak boleh mati! Kalau mati aku tak akan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan bergerak, biar kukeluarkan jarum itu!”
Siu Bi memegang pedangnya dekat ujung, kemudian dengan hati-hati ia merobek kulit di pundak itu, Swan Bu menggigit bibir menahan rasa sakit, jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya berjarak beberapa senti saja dari pipi kanannya.
Jelas dia melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dari sinom rambut kacau terurai di jidat dan melingkar indah di depan telinga. Melihat bibir yang basah itu bergerak dan saling himpit dalam ketekunan usaha membedah dan mengeluarkan jarum di pundaknya. Hidung kecil mancung itu menyedot dan mengeluarkan nafas panas halus yang membelai leher dan pipinya, dua mata seperti bintang itu tanpa berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja.
Ahhh, wajah seperti ini pantasnya dimiliki oleh dewi kahyangan, bukan iblis betina yang kejam.....
Akhirnya Siu Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu. Dibuangnya jarum itu sambil berkata, "Nah, sudah keluar sekarang. Akan tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya kau mendorongnya keluar dengan sinkang.”
Sebagai putera Pendekar Buta, tentu saja Swan Bu maklum akan hal ini, bahkan andai kata tadi Siu Bi tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging pundak, dia sendiri pun sanggup melakukannya.
Sekarang dia duduk bersila dan meramkan mata, mengerahkan sinkang, tidak saja untuk membersihkan darah dan mendorong racun merah keluar melalui luka, namun sebagian besar lagi untuk menenteramkan jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi. Gangguan ini membuat usahanya kacau karena sukar baginya untuk mengerahkan panca indera. Yang terbayang jelas adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, bibir, hidung mancung, mata bintang, serta nafas hangat halus yang membelai leher dan pipinya!
Siu Bi mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Mengapa darah yang teracuni belum juga keluar dari luka? Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah begini lemah sinkang-nya oleh racun jarum merah itu?
Dia menjadi tidak sabar lagi. Tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya, menempelkan telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu, kemudian menyalurkan sinkang dan membantu pemuda itu mendorong keluar racun jarum merah!
Merasa betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu lalu membuka mata dan memandang heran, akan tetapi kedua matanya segera ditutupnya kembali. Jantungnya makin berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera juga makin kacau-balau.
Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus itu serasa membakar kulit dadanya! Kemudian dia merasakan betapa hawa panas yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke dalam tubuhnya, semakin lama semakin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung. Swan Bu kaget dan bergidik.
Kiranya gadis yang berwajah bagai dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina dan agaknya malah hendak membunuhnya dengan penyaluran sinkang. Cepat-cepat dia mengumpulkan tenaganya dan mengerahkan sinkang ke arah dada serta pundak kanan untuk menjaga diri.
Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi dipejamkan, memandang heran dan kaget. Mereka berdua merasa betapa tenaga sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu, mengeluarkan sinar berapi. Tiba-tiba saja Siu Bi menjerit perlahan, badannya serasa terbakar. Swan Bu bergoyang-goyang badannya, lalu keduanya roboh terguling. Pingsan!
Apa yang terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, dua orang muda ini telah mencelakakan diri sendiri. Dalam usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi sudah mengerahkan sinkang-nya, disalurkan ke dalam dada dan pundak Swan Bu karena dia mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir racun. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang dia dapatkan dari kakeknya dahulu sama sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu. Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam tubuhnya, yaitu hawa sakti yang dimilikinya, juga berlawanan dengan sinkang dari Swan Bu.
Maka ketika ia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh Swah Bu, ia sama sekali bukan membantu, malah merusak dan mengacaukan penyaluran sinkang pemuda itu, sehingga tanpa ia sadari kekuatan mukjijat dari Hek-in-kang malah menyerang pemuda itu secara hebat.
Inilah yang menyebabkan Swan Bu terkejut dan bahaya maut yang mengancamnya ini membuat kekacauan perasaannya yang tadi terganggu oleh kecantikan gadis itu segera lenyap dan cepat dia mengerahkan tenaga dalam untuk menolak bahaya itu. Akibatnya dua macam hawa sakti yang berlawanan sifatnya, lalu bertemu dan beradu dengan amat hebatnya.
Siu Bi kalah kuat, pada dasarnya memang ia kalah setingkat. Pertemuan tenaga sinkang itu membuat tenaganya membalik dan menghantam diri sendiri. Sebaliknya Swan Bu yang lebih dulu menerima serangan, tidak terluput dari luka dalam, sehingga keduanya roboh berbareng dalam keadaan pingsan dan terluka hebat di sebelah dalam tubuh!
Pada saat Swan Bu tersadar karena kaget mendengar jerit halus, dia membuka matanya. Tadinya dia serasa mimpi, mimpi sedang tenggelam di antara ombak besar yang hendak menelan dirinya bersama Siu Bi. la berhasil memeluk gadis itu dan dalam menghadapi maut ditelan ombak, dia merasakan kenikmatan yang luar biasa, merasakan kebahagian karena gadis itu berada dalam pelukannya.
Kemudian Siu Bi meronta, mengambil pedang dan membacok lengannya! Swan Bu amat marah dan memukulkan tangannya yang tidak buntung ke dada Siu Bi sehingga gadis itu menjerit dan lenyap ditelan ombak. Agaknya jeritan inilah yang menyadarkannya.
Dengan nafas terengah-engah Swan Bu membuka matanya. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Sejenak dia bingung, akan tetapi segera dia teringat akan segala yang terjadi. Tadi dia roboh berbareng dengan Siu Bi, di tengah hutan. Akan tetapi sekarang dia tidak berada di hutan lagi, akan tetapi di dalam sebuah ruangan yang sangat kasar, ruangan sebuah goa yang kotor dan lembab.
Dan di sudut sana, di dekat dinding batu goa, dia melihat Siu Bi rebah telentang, mata gadis itu membelalak ketakutan dan bajunya bagian atas robek dekat pundak kiri. Yang membuat Swan Bu terkejut adalah makhluk yang berdiri dekat Siu Bi.
Makhluk mengerikan, bentuknya setengah manusia setengah monyet. Atau mungkin juga manusia hutan atau manusia gila. Makhluk ini seorang laki-laki, sukar menaksir usianya, akan tetapi jelas tidak muda lagi. Bertelanjang, kecuali sehelai cawat dari kulit harimau. Tubuhnya yang tinggi tampak pendek karena agak bongkok, kedua tangan dan kakinya berbulu. Rambutnya riap-riapan, matanya merah.
"He-heh-heh... ha-hah-hah... cantik... muda...," terdengar dia bicara, suaranya parau dan kata-katanya kurang jelas.
Tangan yang lengannya berbulu itu meraih ke bawah, mencengkeram baju Siu Bi yang sudah robek. Sekali tangan itu menarik, terdengar kain robek dan tampaklah baju dalam berwarna merah muda.
Siu Bi menjerit. Heran, pikir Swan Bu. Suara gadis itu sekarang menjadi lirih sekali dan gerakannya begitu lemah. Teringatlah dia. Tentu Siu Bi juga terluka parah, sama seperti dia.
Siu Bi berusaha untuk melompat bangun, namun ia roboh lagi dan mengeluh, "Jangan... bunuh saja... bunuh aku..."
"He-he-he, Sayang! Kau jadi isteriku, cocok, heh-heh-heh!"
"Bedebah! Binatang! Aku tidak sudi... kau bunuh saja aku...!" Dalam kelemahannya, Siu Bi masih galak dan memaki kalang-kabut.
"Ha-hah-hah, kau perempuan, tidak ada yang punya. Aku laki-laki, aku pun belum punya isteri... apa salahnya? Kau jadi isteriku... hah-hah-hah, dan dia itu jadi bujang kita..."
"Hee, tunggu dulu!" Swan Bu melompat, akan tetapi seperti juga Siu Bi tadi, dia jatuh terduduk dan mengeluh.
Dadanya terasa sangat sakit. Maklumlah dia bahwa pertemuan tenaga dalam tadi telah melukai isi dadanya, luka yang cukup parah. la tahu bahwa hal itu akan membuat dirinya kehilangan tenaga dalamnya untuk sementara. Mungkin untuk beberapa hari lamanya, sebelum pulih kembali kesehatannya.
Agaknya juga demikian halnya dengan Siu Bi. Dalam beberapa hari lamanya mereka berdua akan menjadi orang-orang lemah, tidak mungkin dapat menolong diri sendiri, dan orang liar itu kelihatannya kuat sekali.
"Heh-heh-heh, orang muda lemah tiada guna. Kau mau bilang apa? Wah, kau begini lemah, menjadi bujang pun kurang berharga. Huh!"
Diam-diam agak lega hati Swan Bu mendengar omongan itu. Ucapan itu membayangkan bahwa kakek liar atau gila itu tidak dapat disebut ahli ilmu silat karena tidak mengerti bahwa kelemahannya ini adalah karena luka dalam. Hal ini mendatangkan harapan.
Kalau kakek gila ini tidak pandai ilmu silat, biar pun memiliki tenaga besar, lebih mudah dilawan apa bila dia atau Siu Bi tidak selemah ini. Mungkin istirahat dua tiga hari cukup. Sekarang paling perlu harus bisa mencari akal, agar supaya kakek itu... agar dia jangan mengganggu Siu Bi.
"Lopek, harap kau jangan mengganggu dia..."
"Eeehhhhh, kau bilang apa? Dia ini akan kuambil sebagai isteriku. Peduli apa kau? Kau menjadi bujang kami, dan mulai sekarang kau harus hormat dan taat kepada dia ini, dia isteriku yang muda... heh-heh-heh, yang cantik... heh-heh-heh. Aku laki-laki kesunyian, bertahun-tahun..., dia perempuan... tidak ada yang punya... cocok sekali...!"
"Lopek, tidak boleh begitu. Dia itu punyaku!"
Tiba-tiba kedua tangan yang tadinya sudah menyentuh pundak Siu Bi hendak merangkul itu, cepat-cepat melepaskan pundak dan tubuh bongkok itu serentak membalik dengan gerakan yang cepat sekali.
"Apa kau bilang?! Perempuan ini punyamu? Bagaimana...? Apa maksudmu?"
Swan Bu menelan ludah dan memandang kepada Siu Bi yang melotot padanya. "Lopek, dia ini... dia isteriku yang sangat kucinta, kau tidak boleh mengganggu isteri orang lain!"
"Heh...? Hoh...? Isterimu...?!" Kakek itu nampak bimbang ragu, mukanya yang liar jelas membayangkan kekecewaan besar.
"Bohong dia!" Tiba-tiba Siu Bi berseru, akan tetapi suaranya tidak seketus dan sekeras biasanya.
Tenaganya sangat lemah sehingga untuk berseru keras saja tidak mampu dia. Namun ucapan ini cukup membuat Swan Bu merasa kepalanya terpukul, dan pandang matanya gelap. Celaka, pikirnya, gadis tolol! Sebaliknya kakek liar itu nampak gembira, mulutnya yang lebar, berbibir tebal dan giginya besar-besar nyongat ke sana-sini, lalu tertawa-tawa girang.
"Hah? Dia bohong, ya? Bukan isterinya, kan? Ha-ha-hah, kau bukan isterinya? Kau tidak ada yang punya? Ha-ha-hah! Akulah yang akan memilikimu, kau punyaku, kau isteriku..." Kakek itu menggerakkan tangannya, hendak meraih tubuh Siu Bi.
Gadis ini menjadi pucat. "Tidak... tidak...! Bukan begitu...! Aku... aku... isterinya!"
Kembali tangan berbulu itu serentak kaget dan tidak jadi ke bawah.
"Apa? Kau betul isterinya? Kenapa bilang bohong?"
"Ohhh..." sejenak Siu Bi bingung dan lehernya serasa tercekik saking gemasnya melihat betapa Swan Bu tersenyum-senyum!
"Dia tidak bohong bahwa aku isterinya, tetapi... tetapi dia bohong bahwa dia sangat... mencintaiku."
Muka liar itu berkerut-kerut. "Huh...? begitukah? Kalau tidak mencinta lagi, cerai dahulu, baru aku mengambilmu sebagai isteri dan bekas suamimu itu jadi bujangmu. Senang, kan?"
Kakek itu kini melangkah maju mendekati Swan Bu, berkata dengan suara membujuk, "Orang muda, kau ceraikan dia, ya? Kau ceraikan dia dan berikan kepadaku, biar dia menjadi isteriku. Kau tidak cinta lagi, untuk apa? Kau baik, ya? Berikan saja padaku, aku akan mencintanya melebihi diriku sendiri, hah-hah-hah!"
Swan Bu tersenyum. Jelas sekarang bahwa kakek ini adalah orang yang berotak miring. Agaknya terlalu lama terasing di dalam hutan dan berubah seperti binatang. Akan tetapi agaknya masih belum lupa akan ‘kesopanan’ di antara manusia, antara lain bahwa tidak boleh mengambil isteri orang lain sebelum dicerai!
la melirik ke arah Siu Bi yang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan seperti mata kelinci dikejar harimau. Puas kau, pikirnya. Kau yang bertingkah, mengatakan aku bohong tadi.
"Lopek, terserah kepada dia. Terserah kepada isteriku itu, apakah dia sudah tidak suka lagi kepadaku. Kalau sudah tidak suka dan minta cerai, apa boleh buat, akan kulepaskan dia dan boleh dia menjadi isterimu."
Kakek itu tiba-tiba memeluk Swan Bu dan... mencium pipinya. "Ha-ha-ha, anak baik! Kau baik sekali. Terima kasih, ya? Bagus… bagus, dia sudah tidak cinta lagi padamu, boleh menjadi isteriku..."
Setelah berkata demikian dia meninggalkan Swan Bu yang menggosok-gosok pipinya dengan jijik karena di situ tertinggal ludah dari mulut kakek gila.
Kini Siu Bi yang kelabakan karena kakek itu sudah mendekatinya lagi. Sebelum kakek itu bicara ia telah mendahului, suaranya penuh rasa takut, "Tidak, dia main-main saja! Aku... aku cinta kepadanya. Kakek baik, aku isterinya..,.. aku cinta padanya. Dan dia pun cinta kepadaku... kami hanya bertengkar sedikit... aku tidak mau cerai, juga aku tidak minta cerai."
Kakek itu tersentak kaget dan kecewa bukan main. "Aahhh? Kau lebih suka kepada dia yang lemah itu? Wah... celaka... aku tetap kesepian..."
"Kakek yang baik. Kau sudah tua, aku lebih patut menjadi anakmu, tidak pantas menjadi isterimu..."
"Heh, kau suka padaku?"
"Tentu saja, aku suka padamu seperti kepada ayahku sendiri. Tetapi aku... aku... cinta padanya, pada suamiku..."
Biar pun mulutnya berkata demikian, namun sepasang mata Siu Bi memandang melotot marah kepada Swan Bu yang hampir tak dapat menahan tawanya. Dia tersenyum lebar dan memandang Siu Bi dengan mata mengejek dan menggoda.
"Bagus! Aku memang tidak punya anak. Heh-heh-heh, bagus!"
Dan kakek itu berjingkrak-jingkrak, menari-nari kegirangan! Swan Bu dan Siu Bi saling pandang, bingung akan tetapi juga lega bahwa mereka terlepas untuk sementara dari bahaya.
Akan tetapi tiba-tiba kakek itu berhenti menari dan menoleh ke arah Swan Bu dengan sikap marah. "Kau suaminya, kau anak mantuku. Tetapi kau tidak baik kepadanya, ya? Berani kau tidak mencinta anakku? Dia susah dan marah, tapi kau diam saja? Keparat, hayo kau senangkan hatinya. Awas, ya? Sekali lagi berani kau membikin marah anakku, kupecahkan kepalamu!"
Kedua tangannya yang berbulu itu diayun ke kanan kiri, tiba-tiba memukul dinding batu padas dan somplakan dinding itu terkena pukulan tangannya yang kuat.
"Nah, kepalamu akan seperti ini kalau kau berani membikin marah anakku lagi. Dia cinta padamu maka kau pun harus cinta padanya, kalau dia tidak cinta padamu, dia menjadi isteriku. Huh-huh-huh! Sekarang aku ingin sekali punya cucu, ha-ha-ha-ha, cucu laki-laki. Sebaiknya kalian lekas punya anak laki-laki sebelum kesabaranku hilang!"
Swan Bu mengeluh di dalam hatinya. Kakek itu benar-benar gila, bicaranya kacau-balau tidak karuan. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Siu Bi, biar pun tadinya dia merasa geli dan gembira melihat gadis itu terpojok, akan tetapi kini dia dapat mengerti betapa hebat ucapan si gila itu menyinggung perasaan seorang gadis.
"Lopek, kami tentu akan perhatikan pesanmu. Sekarang, kuharap kau suka mengasihani. Kami sedang terluka dan sakit, terutama sekali perlu mendapat perawatan. Kami hampir mati kelaparan..."
Kakek itu mendengus seperti lembu, lalu menoleh ke arah Siu Bi. "Kau benar laparkah, anakku? Kucarikan buah-buahan untukmu, ya?"
Siu Bi sudah tidak mampu bersuara lagi. Ucapan kakek yang kacau-balau tentang anak segala macam tadi membuat wajahnya sebentar pucat seperti kertas lalu sebentar merah seperti dicat. la kini hanya mampu mengangguk-angguk saja.
"Ha-ha-ha, bagus. Tunggulah sebentar, akan kucarikan buah-buahan yang masak dan manis!" Kakek itu tertawa-tawa lalu berlari keluar dari dalam goa itu. Terdengar suaranya di tempat jauh, tertawa-tawa.
Dari sini saja Swan Bu maklum bahwa kakek itu mampu berlari cukup cepat sehingga dalam keadaan terluka dan lemah seperti itu, mereka berdua tidak ada harapan untuk melarikan diri, karena tentu akan tersusul. Kakek itu selain dapat berlari cepat, pasti juga sudah hafal akan keadaan di dalam hutan.
Tiba-tiba dia melihat Siu Bi dengan susah payah berusaha bangun, berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang menahan sakit, lalu berjalan menghampirinya. Pada wajah cantik itu terbayang sikap mengancam dan kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah tiba di depan Swan Bu yang masih duduk bersila, Siu Bi berteriak-teriak, akan tetapi suaranya seperti orang berbisik karena sesungguhnya ia sudah kehabisan tenaga.
"Monyet kau! Keledai jahat kau! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Kau berani bilang .aku... aku… isterimu...? Keparat!"
Swan Bu tersenyum mengejek. "Kaulah yang bodoh seperti keledai! Satu-satunya jalan untuk menolong kau terhina oleh kakek itu hanya dengan mengakuimu sebagai isteriku. Kau marah, ya? Hemmm, apakah kau lebih suka menjadi isteri kakek itu?"
”Keparat! Kubunuh kau...!"
Siu Bi mengepal tinju dan terhuyung maju hendak memukul kepala Swan Bu. Akan tetapi dia mengeluh dan terguling roboh! Namun dengan terengah-engah dia bangun kembali, berusaha merangkak mendekati Swan Bu.
"Hemmm, perempuan liar! Kita sama-sama terluka hebat, tidak mampus sekarang pun masih untung. Masa kau masih banyak lagak lagi? Lebih baik lekas bersila, menyehatkan kembali luka di dalam tubuh dengan pernafasan baru. Setelah kita sama-sama sehat, baru kita boleh bicara lagi dan bersama-sama mengatasi kakek gila itu!"
Setelah berkata demikian, Swan Bu tidak mempedulikan lagi kepada Siu Bi. Dia bersila sambil meramkan matanya dan melakukan semedhi. Akan tetapi keadaan gadis itu amat mengganggunya sehingga kembali dia gagal dan terpaksa mengintai Siu Bi dari balik bulu matanya.
Siu Bi duduk terengah-engah dan kedua pipinya basah oleh air mata. Agaknya ia marah sekali. Bibir yang agak pucat itu bergerak-gerak dan Swan Bu dapat mendengar suara perlahan, “…kubunuh kau... kubunuh kau..."
Terpaksa dia membuka matanya dan berkata tenang, "Kau tenanglah dan pikir baik-baik. Aku tidak takut kau bunuh, tetapi kalau kau membunuhku, kau tentu akan diambil isteri oleh kakek gila itu. Sebaliknya apa bila aku melawan dan kau yang mampus, aku tentu akan dibunuhnya pula...”
Siu Bi memandang marah. "Kubunuh kau kemudian aku melarikan diri!" katanya sambil merangkak makin dekat.
Akan tetapi Swan Bu sudah meramkan mata lagi dan tidak mempedulikan Siu Bi. Tentu saja dia hanya berpura-pura begini karena diam-diam dia siap siaga menjaga serangan tiba-tiba. Betapa pun juga, dia tidak sudi untuk dibunuh begitu saja.
Agaknya kemarahan Siu Bi sudah bertumpuk-tumpuk kepadanya. Pertama, dia hendak membuntungi lengan tangannya tetapi belum berhasil, ditambah pertempuran yang juga belum dapat ditentukan kalah menangnya. Kemudian pengakuan Swan Bu bahwa gadis itu isterinya, ditambah lagi omongan kacau-balau mengenai anak segala oleh kakek gila. Tentu saja Siu Bi tidak mau menerima hal ini dan menganggapnya sebagai penghinaan yang tiada taranya. Setelah dekat, Siu Bi lalu mengayun tangan memukul.
Swan Bu yang tidak meram betul, tapi mengintai dari balik bulu matanya, cepat miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang. Pukulan mengenai angin dan tubuh Siu Bi yang berjongkok itu hampir tertelungkup. Begitu lemah dia sekarang.
la menyeringai dan dadanya terasa makin sakit, kemudian ia terbatuk. Darah segar pun muncrat dari mulutnya.
”Tenanglah, bernafas yang panjang dan kumpulkan sinkang..." Swan Bu berkata khawatir sekali karena maklum bahwa setiap kali memukul, gadis itu memukul ke dalam dadanya sendiri yang membuat lukanya semakin parah. la tidak ingat lagi bahwa gadis ini adalah musuhnya, dan tidak ingat bahwa sungguh janggal betapa ia mengkhawatirkan keadaan gadis ini.
Namun Siu Bi tidak mau menurut, bahkan dengan nekat lalu menerjang lagi. Kini kedua tangannya bergerak menghantam, yang kiri menyodok ulu hati sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah leher.
Swan Bu maklum bahwa jika dia menangkis atau mengelak, maka gadis itu akan terluka semakin parah. Cepat dia menggerakkan kedua tangannya dan pada lain saat dia telah menangkap kedua pergelangan tangan Siu Bi.
"Lepaskan... lepaskan...!" Siu Bi meronta-ronta.
Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mau melepaskannya karena maklum bahwa sekali lepas, gadis itu akan kembali mengirim pukulan dari jarak dekat. Sekali dia kena pukul, mungkin dia tak akan kuat menahannya, sebaliknya kalau pukulan itu tidak kena, Siu Bi yang mungkin akan tewas. Maka dia memegang kedua pergelangan tangan itu erat-erat, tidak mau melepaskannya.
Selagi mereka bersitegang, berkutetan bagai orang bergulat itu tiba-tiba terdengar suara, "Heh-heh-heh, kalian berkelahi...?"
Siu Bi dan Swan Bu terkejut sekali. Kalau kakek itu tahu mereka berkelahi, hanya dua akibatnya, Swan Bu akan dibunuh dan Siu Bi akan dipaksa menjadi isterinya!
"Lekas...," bisik Swan Bu.
Mendadak ia melepaskan kedua pergelangan tangan Siu Bi, kemudian kedua lengannya merangkul leher gadis itu, dipeluk dan didekapnya. Ketika matanya mengerling dan dia melihat kakek itu masih ragu-ragu berdiri melihat mereka, Swan Bu lalu menarik kepala Siu Bi ke atas dan... dia menciumi muka Siu Bi.
"Auhhh... ahhh..."
Hampir saja Siu Bi pingsan ketika merasa betapa pemuda itu menciumi pipinya, bibirnya, hidungnya, matanya. Serasa kepalanya disambar petir menjadi tujuh keliling, matanya melihat seribu bintang menari-nari dan telinganya mendengar seribu suara melengking-lengking, akhirnya… dia roboh pulas atau setengah pingsan di atas pangkuan dan dada Swan Bu!
"Heh-heh-heh, bagus... bagus. Nah begitulah seharusnya! Kalau begitu aku akan lekas mendapatkan cucu laki-laki, heh-heh-heh!"
Kakek itu melangkah maju dan menurunkan banyak sekali buah-buah yang baru masak, kemerahan dan harum baunya. Swan Bu melihat betapa pedang hitam milik Siu Bi kini terselip pada ikat pinggang kakek itu, berlepotan getah, agaknya pedang itu oleh si kakek dipergunakan untuk menebang pohon!
"Aku memanggang daging di luar, kalian beristirahat. Akan tetapi kelak bila mana sudah sembuh, kalian yang harus melayani aku. Wah, masa orang tua disuruh bersusah-payah melayani anak dan mantu. Aturan mana ini?" Kakek itu mengomel panjang pendek.
"Maafkanlah, Lopek. Kini kami berdua sedang sakit dan terluka. Tunggulah paling lama sepekan, kami tentu akan sehat kembali dan dapat melayanimu."
Kakek itu masih saja tetap mengomel sambil berjalan keluar dari dalam goa. Langkahnya bagai langkah monyet berjalan. Swan Bu mengusap peluhnya, peluh dingin. Hampir saja, pikirnya. Mereka berdua tadi sudah berada di ambang jurang maut! la melirik ke arah Siu Bi yang masih ‘pulas’ di atas pangkuannya. Swan Bu tersenyum pahit dan jantungnya berdetak aneh.
Tanpa dia sengaja atau sadari, jari-jari tangannya membelai rambut halus. Wajah Siu Bi yang pingsan itu hanya membayangkan kecantikan yang mendatangkan gelora di dada, cantik jelita dan menimbulkan iba. Sedikit pun wajah itu tidak lagi dinodai keliaran atau kemarahan, tidak lagi galak seperti pada waktu marah. Swan Bu merasa seakan-akan jantungnya ditusuk-tusuk, perasaannya diremas-remas dan seperti dalam mimpi dia lalu menunduk dan menciumi muka itu.
"Siu Bi... jangan marah padaku, Siu Bi... jangan memusuhi aku..." la berbisik-bisik dekat telinga gadis itu.
Siu Bi bermimpi. Dalam mimpi yang amat indahnya, ia berada dalam alam di mana tiada permusuhan antara dia dan Swan Bu, malah ia menjadi isteri Swan Bu. Mereka berada di dalam taman nan indah, bersendau-gurau, bermain-main dan suami tercinta membelai, mencumbu rayu. la pun membalas dengan mesra, penuh cinta kasih.
Siu Bi sadar. Pening dan kacau pikirannya, sejenak ia bingung. la berada dalam pelukan Swan Bu, malah dia sendiri merangkul leher pemuda itu, dan ia diciumi! Hampir Siu Bi menjerit.
Sekarang semua teringat olehnya. Dengan seruan tertahan ia merenggut diri, berusaha melompat mundur akan tetapi kelemasan tubuhnya membuat ia terguling guling.
"Kau... kau..." la tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang ke arah Swan Bu melalui linangan air mata.
"Aku cinta padamu, Siu Bi." Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan dengan penuh perasaan. "Tetapi sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu agar kita dapat menghadapi si gila itu."
Sesudah berkata demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan matanya, nafasnya panjang-panjang. Di wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan kebahagiaan.
Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan pikirannya, lalu duduk bersila dan meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang ke arah Swan Bu.
Sukar baginya untuk melakukan siulian. Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah kakek Hek Lojin terbayang di hadapan matanya. Cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan lengan buntung kakeknya, mengaduk-aduk hati dan perasaannya. Akan tetapi akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia mengumpulkan hawa sakti dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan sinkang ke arah bagian dada yang terluka di sebelah dalam.
Tiga hari lamanya kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan selama tiga hari itu, kedua orang muda ini bertekun dalam siulian, menyembuhkan luka masing-masing. Hampir setiap hari secara terpaksa Swan Bu merangkul dan selalu memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala kakek itu kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta.
Dan Siu Bi menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, hanya diam tanpa memperlihatkan sikap apa-apa. Semenjak ‘mimpi’ itu Siu Bi menjadi pendiam, bahkan jarang mengadu pandang mata secara langsung dengan Swan Bu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri menghadapi api unggun di depan goa, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam tadi. Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya.
Pada saat menengok, dia melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis itu membuatnya bercahaya merah di antara keredupan embun pagi, luar biasa cantiknya seakan-akan sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Untuk sejenak kakek itu terpesona, kemudian dia terkekeh.
"Ha-ha-ha, kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan suamimu si lemah itu. Ha-ha-ha, mari mendekat, Manis..."
Akan tetapi kata-katanya terhenti di situ karena mendadak Siu Bi sudah menerjangnya dengan hebat. Tiga kali pukulan Hek-in-kang, biar pun hendak ditangkis juga percuma, tepat mengenai dada sedangkan tangan kiri Siu Bi juga telah berhasil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang terselip di ikat pinggang kakek itu.
"Aduhh... auhhh..." tubuh kakek itu bergulingan, dan sebelum sempat meloncat bangun, Cui-beng-kiam datang menyambar dan tubuh kakek itu rebah tidak bergerak lagi. Darah menyemprot ke luar dari lehernya yang sudah putus, kebetulan menyemprot ke arah api unggun yang secara perlahan-lahan menjadi padam.
Dengan pedang Cui-beng-kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi segera berlari memasuki goa. Di bawah cahaya remang-remang dia melihat Swan Bu masih duduk bersila. Wajah yang cantik itu menjadi sangat beringas, sepasang matanya yang bening mengeluarkan cahaya, bibirnya yang merah digigit.
"Swan Bu, terimalah pembalasan kakekku!" Siu Bi berseru.
Swan Bu terkejut dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata. Sinar hitam berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas sikunya, darah menyembur keluar dan Swan Bu roboh terguling, pingsan.
Sejenak Siu Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan buntung. Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba dia melempar pedang, menjerit lalu berlutut dekat tubuh Swan Bu yang tidak bergerak dan mukanya pucat seperti mayat.
Dengan gugup dan bingung Siu Bi menotok jalan darah di dekat pangkal lengan yang buntung. Kemudian dia menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka pemuda itu yang mengeluh panjang pendek menyebut namanya.
Kurang lebih satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan sepasang mata itu memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek, amat menusuk perasaan.
"Siu Bi... kini kau sudah puas...? Ahh, alangkah cantiknya engkau... alangkah manisnya, alangkah kejam, kau iblis wanita berwajah bidadari..." Seperti orang gila, mulut Swan Bu tersenyum-senyum.
Siu Bi menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian dengan sekali renggut dia melepaskan kepala dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu berlari keluar dari goa. Isak tangisnya terdengar bergema di dalam goa ketika Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk.
Sejenak Swan Bu merasa kepalanya nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya yang kini menggeletak di atas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian dia memegang lengannya yang tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut Siu Bi.
Dengan lemah dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Di luar goa tidak tampak Siu Bi atau bayangannya, yang tampak hanya mayat kakek gila terlentang di atas tanah, kepalanya terpisah dari badan. Puing api unggun masih mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau sedap gurih…..
********************
Lee Si melarikan diri di dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus lari, berlari cepat meninggalkan semuanya, bahkan kalau mungkin meninggalkan dunia.
Tak berani ia bertemu dengan ayahnya, malu bukan main. Betapa mungkin dia dapat berhadapan dengan ayahnya lagi setelah ayahnya itu melihat ia... tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas teringat olehnya betapa ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju!
Tadinya ia sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-hwa-pai itu dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan diperlakukan seperti ini? Akan tetapi saat tiba-tiba ia mendengar suara makian ayahnya, dan melihat ayahnya muncul di atas genteng, kagetnya bukan main dan sekaligus dia pun tahu bahwa para penjahat itu agaknya sengaja memancing ayahnya datang supaya orang tua ini dapat menyaksikan keadaan yang amat memalukan dan menghina ini.
la mengerti sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah ayahnya muncul dan menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut!
Dia sudah mengenal watak ayahnya yang keras. Tidak mungkin ayahnya dapat diberi penjelasan sesudah dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan dia malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa saja! Lebih baik mati! Mati?
Tidak, belum waktunya. la harus bisa membasmi penjahat-penjahat Ang-hwa-pai berikut teman-temannya itu sebelum dia sendiri mati. Dengan pakaian kusut serta hati penuh kegemasan dan sakit hati terhadap Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, Lee Si beriari terus secepatnya.
Tujuan perjalanannya sekarang adalah... ke Liong-thouw-san! Ia harus bertemu dengan Pendekar Buta, ia harus bicara dengan ayah bunda Swan Bu, harus ia ceritakan tentang semua pengalamannya dengan Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah bisa membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya bercerita tentang semua itu, akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan ayahnya dengan tenang.
Siapa lagi yang akan dapat mendinginkan hati ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan Pendekar Buta yang amat dihormati dan dipuji ayahnya? la dapat membayangkan bahwa kalau ayahnya tidak berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu ayahnya akan mendatangi orang tua pemuda itu dan mengamuk di sana. Alangkah akan hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu semua makin besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-hwa-pai.
Pada suatu hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah merasa amat lelah, Lee Si melangkahkan kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan tetapi ketika ia sampai di ruangan depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu melihat bahwa di situ sudah terdapat belasan orang laki-laki yang agaknya juga sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa panasnya.
Mereka ini sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang pria muda dan tampan duduk menyendiri di satu pojok, melenggut seperti orang mengantuk. Melihat banyak laki-laki di dalam kuil itu, Lee Si menahan kakinya dan membalikkan tubuh, dia hendak berteduh di luar saja.
"Eh, A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah... kok pergi lagi...?"
"lya... nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Di sini teduh nyaman... kita bisa mengobrol, mari ke sinilah!" kata seorang lain, disusul gelak tawa teman-temannya.
Lee Si yang baru saja mengalami mala petaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguh pun hatinya sudah amat panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada orang-orang kurang ajar itu. Maklum bahwa kalau ia berada di sana tentu setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk, gadis ini lalu melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain.
Akan tetapi daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi tempat yang teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari jauh tampak banyak gundukan batu-batu besar dengan harapan mendapatkan tempat teduh di situ.
“Hee, nona manis, berhenti dulu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki yang tadi duduk di dalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang berpakaian seperti tentara, golok besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi di dalam kelenteng ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut menyeringai.
"Hemmm, manusia-manusia keparat ini tak akan kapok kalau tidak diberi hajaran!" pikir Lee Si sambil berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka.
Hanya ada enam orang yang mengejarnya, dan biar mereka itu semua adalah laki-laki yang kasar dan membawa senjata, dia tidak takut. Dia berdiri tenang-tenang saja, berdiri dengan sikap biasa bagai seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya rombongan arak-arakan.
Mendadak berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berdiri menghadang larinya rombongan itu.
"Sahabat-sahabat harap berhenti dahulu untuk bicara!" laki-laki ini berkata dengan suara tenang.
Dia adalah pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya tenang, namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan.
Si brewok yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan mata dan membentak. "Heh, bukankah kau pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau apa kau?"
Pemuda itu mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya tajam sekali menerobos di antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum sebelum ia bicara dengan suara lantang,
"Bukankah kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu kumpulan tukang pukul ini menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa membuat saluran? Orang she Gak, ketahuilah bahwa semua rahasiamu sudah terbuka, aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang komandan tapi seorang kepala perampok yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan pemerasan. Beberapa hari sudah aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup besar..."
"Setan muda, mampuslah kau!”
Tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar ketika ‘komandan’ itu menggerakkan golok besarnya yang sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda itu.
Diam-diam pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu goloknya. Namun dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan sedikit miringkan tubuh dan menekuk sebelah lutut, golok itu hanya menyambar lewat di atas kepalanya, beberapa sentimeter saja selisihnya.
Akan tetapi tanpa ditarik kembali golok itu sudah langsung memutar ke bawah dan kini membabat ke arah pinggang, disusul jotosan tangan kiri yang keras sekali menuju kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang hebat juga!
"Bagus!" Pemuda itu berseru.
Tubuhnya melompat ke atas sehingga golok yang membabat pinggangnya itu meluncur lewat di bawah kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada di udara, kakinya bergerak menendang ke arah kepalan tangan kiri lawan!
"Bagus...!" Kini seruan memuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si.
Gadis muda ini berdiri menonton dan kagumlah dia menyaksikan gerakan pemuda itu. Menendang untuk menangkis pukulan selagi tubuh masih berada di udara hanya mampu dilakukan oleh seorang yang ahli.
Namun orang she Gak itu pun ternyata lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum tubuh pemuda itu turun, goloknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya tubuh itu dari bawah seakan-akan goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah ke atas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan sebuah tendangan kilat yang amat keras.
Agaknya di samping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli tendangan pula. Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu malah tak sehebat tendangan yang amat berbahaya ini karena tendangan itu dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian mana yang hendak di ‘makan’ oleh tendangan kaki kiri ini!
"Hebat...!" kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu.
Orang tentu akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan hasilnya, gadis ini sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu memang tidak salah karena akibatnya memang hebat.
Dengan gerakan tangan kiri yang sangat luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuhnya miring-miring seperti mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya. Malah tangan kiri itu sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang memegang golok, dan sekali renggut gagang golok telah pindah tangan, sedangkan tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan ke bawah dengan jari-jari tangan terbuka.
"Dukkk!"
Aneh memang, akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki yang besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Kalau menurut perhitungan dan logika, tentunya si tangan yang akan remuk, setidaknya tulangnya tentu akan patah-patah dan kulitnya pecah-pecah. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian.
Tangan itu tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya tubuh si penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan akhirnya baru berhenti setelah sebuah batu besar menahannya di tengah jalan dan kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak, dan yang punya kepala terhenti menjadi manusia hidup!
Pemuda itu melirik ke arah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda ini kagum juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton.
Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat ‘komandan’ mereka tewas. Dengan teriakan-teriakan marah dan makian-makian kotor mereka lalu menerjang pemuda itu dengan bermacam-macam senjata. Dua orang bersenjata pedang panjang, seorang bersenjata toya, seorang bersenjata golok dan seorang lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjatakan sebatang pecut baja. Ketika mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini kiranya bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian rendah, boleh dibilang setingkat dengan si komandan gadungan tadi.
Melihat ini, teganglah seluruh urat syaraf di dalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam diri saja menonton pemuda itu dikeroyok lima orang yang tak boleh dipandang ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi, berusaha menolongnya. Kalau sampai pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la sudah bersiap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam.
Akan tetapi tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan seperti terpaku di tempatnya. Pemuda berpakaian putih itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal seperti langkah-langkah yang dipergunakan oleh Swan Bu. Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap di antara senjata-senjata itu dia berkata,
"Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus. Kalian boleh hidup, akan tetapi harus mengakhiri kejahatan. Lain kali aku tidak dapat memberi ampun lagi!"
Tiba-tiba pemuda itu berkelebat. Tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang pengeroyoknya, yang tampak hanya sesosok bayangan yang didahului sinar golok rampasan tadi.
Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu berturut-turut melayang runtuh dibarengi mengucurnya darah dari kedua pundak dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah roboh merintih-rintih.
Kiranya selain senjata merekar terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut mereka terluka oleh golok, luka yang tidak berbahaya tetapi cukup mengeluarkan banyak darah dan membuat mereka merasa ngeri. Bila mana pemuda itu menghendaki, agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar dari pada membalikkan telapak tangan.
"Nah, kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!" seru pemuda itu sambil melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian dia membungkuk ke depan Lee Si sambil berkata,
"Silakan Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!" Sehabis berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali.
Sebentar saja dia sudah lenyap di balik batu-batu besar.....
Akan tetapi, alangkah terkejutnya pemuda itu pada waktu dia mendengar suara orang di belakangnya yang berseru halus,
"Saudara, harap suka tunggu sebentar!"
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Lee Si dan segera mengangkat tangan memberi hormat. Lee Si cepat-cepat membalasnya dan diam-diam ia memuji kesopanan pemuda ini yang usianya jauh lebih tua dari padanya.
"Nona ada keperluan apakah Nona mengejar saya?"
"Saudara, kiranya tidak baik kubiarkan saja kau pergi tanpa menyatakan terima kasih atas pertolonganmu dan..."
Pemuda itu tertawa dan wajahnya yang masak dan agak muram itu tampak jauh lebih muda kalau tertawa. "Wah, harap Nona jangan memperolokku! Sama sekali aku tidak menolongmu, karena kalau tidak kebetulan aku turun tangan terhadap mereka, kiranya mereka itu akan menerima nasib yang lebih berat di tangan Nona. Dengan kepandaian yang Nona miliki, sungguh aku merasa malu kalau aku dikatakan menolongmu."
"Ah, bagaimana kau bisa bilang demikian? Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi dan sikapmu yang amat merendah, kau sungguh membikin aku yang bodoh menjadi kagum, Saudara."
"Nona, sebelum aku bergerak kau sudah tahu tadi, sekarang dengan mudah kau dapat menyusulku, ini saja sudah membuktikan bahwa kau seorang yang lihai. Sudahlah, tidak perlu puji-memuji ini. Bolehkah aku mengetahui siapa gerangan nama Nona? Aku sendiri bernama Yo Wan."
"Yo Wan...? Serasa pernah aku mendengar nama ini..."
Lee Si mengerutkan kening, mengingat-ingat, akan tetapi tidak berhasil. Memang tentu saja dia tidak ingat karena andai kata pernah mendengar, tentulah dari percakapan atau penuturan ayah bundanya yang pernah menyebut nama ini sebagai murid dari Pendekar Buta.
"Nona siapakah dan murid siapa?"
"Aku murid orang tuaku sendiri, ayahku adalah Tan Kong Bu, ketua Min-san-pai, dan namaku Tan Lee Si."
"Ah...! Tentu saja Nona pernah mendengar namaku, tentu dari Tan-loenghiong, ayahmu. Aku sendiri sudah lupa lagi kepada beliau, akan tetapi antara ayahmu, terutama ibumu dan suhu ada hubungan yang erat sekali. Ketahuilah, suhu adalah Pendekar Buta..."
"Ahhh...!" Kini Lee Si yang ber ah-ah-ah saking herannya.
Lalu dia teringat akan langkah-langkah seperti orang mabuk yang tadi dilakukan Yo Wan ini dan yang ia ingat ada persamaannya dengan Swan Bu. Dan sekarang tidak aneh lagi baginya akan kelihaian pemuda ini. Kiranya murid Pendekar Buta, kepandaiannya tentu saja hebat.
"Kalau begitu... dia... dia itu sute-mu..." Otomatis ingatannya melayang kepada Swan Bu sehingga kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah matang pikirannya dan dia sangat cerdik. Oleh karena itu sikap dan kata-kata gadis cantik manis itu sudah cukup baginya untuk menduga bahwa tentu ada sesuatu di antara gadis cucu Raja Pedang ini dengan putera suhu-nya. Siapa lagi kalau bukan Swan Bu yang tadi disebut ‘si dia’ sebagai sute-nya? Sute-nya memang hanya seorang, yaitu putera suhu-nya itu.
"Nona maksudkan Kwa Swan Bu sute? Apakah dia sahabat baikmu? Di mana adanya sute sekarang?"
Hal yang aneh terjadi, yang membuat Yo Wan sendiri terheran-heran dan terkejut bukan main. Gadis manis itu tiba-tiba menangis! Air matanya bercucuran dan kedua tangannya sibuk mengusapi air mata yang mengalir pada kedua pipinya, pundaknya bergerak-gerak dalam isak tangis yang menyedihkan.
Yo Wan berdebar hatinya, kekhawatiran hebat mencekam jantungnya, timbullah dugaan yang bukan-bukan.
"Nona, ada apa dengan sute? Apakah yang terjadi?" tanyanya, wajahnya berkerut dalam kegelisahan.
"Malapetaka hebat... dia dan aku... kami berdua celaka..." Lee Si terisak-isak. Semenjak ia mengalami bencana itu, baru kali ini ia berkesempatan bicara dengan seorang yang ia percaya, karena itu ia tak dapat menahan kesedihannya.
Di lain pihak, Yo Wan terkejut seperti disambar petir. Dia sampai lupa diri sehingga kedua tangannya memegang lengan Lee Si, lalu diguncang-guncangnya nona yang menangis itu sambil berkata, "Ada apakah? Siapa mengganggu sute? Di mana dia dan apa yang telah terjadi?"
Melihat betapa nona itu menurunkan tangan dan dengan kaget memandangnya, Yo Wan melepaskan kedua tangannya dan berkata,
"Maaf, aku sampai lupa diri. Ahh, kau tenangkanlah hatimu, Nona dan berceritalah yang baik. Ketahuilah, semenjak kecil aku tidak bertemu dengan sute, hatiku penuh kerinduan, maka mendengar dia ditimpa mala petaka, hatiku menjadi gelisah bukan main. Apakah dia terluka?"
Lee Si menggeleng kepala. "Tidak terluka, dan sekarang entah di mana, akan tetapi apa yang menimpa kami berdua lebih hebat dari pada luka atau maut sekali pun."
Dengan muka menunduk dan suara perlahan, kadang-kadang terputus oleh isak tangis, Lee Si akhirnya menceritakan semua pengalamannya dengan Swan Bu, juga mengenai tipu muslihat penuh fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai.
"Begitulah saudara Yo Wan, dapat kau bayangkan betapa marah ayah melihat keadaan kami, mendengar suara ayah agaknya dia takkan puas kalau belum membunuh Swan Bu untuk mencuci penghinaan. Padahal... padahal Swan Bu sama sekali tak bersalah dalam hal itu."
"Dan kau hendak ke manakah sekarang, Nona?"
"Ke mana lagi? Ke Liong-thouw-san hendak menemui ayah Swan Bu dan menceritakan semua hal itu kepada ayah bundanya. Harap kau suka membantuku... berat juga mulut ini bercerita kepada paman Kwa Kun Hong dan istrinya."
"Jangan khawatir, aku pasti akan membantumu, Nona, demi kebersihan nama sute pula. Akan tetapi, kau dan sute yang begitu lihai bagaimana sampai dapat tertawan? Siapakah yang menjadi jago Ang-hwa-pai ketika itu? Setahuku, yang paling lihai hanyalah Ang-hwa Nio-nio dan pemuda yang bernama Ouwyang Lam. Akan tetapi aku sangsi apakah dua orang ini dapat mengalahkan kau dan sute."
"Kalau hanya mereka berdua, agaknya kami tidak akan dapat tertawan musuh." Lee Si menarik nafas panjang penuh sesal. "Selain mereka, masih ada dua orang kakek yang pada saat aku ditawan, kudengar namanya sebagai pendeta Maharsi dari barat dan yang seorang lagi Bo Wi Sianjin, masih ada lagi seorang iblis wanita bernama Siu Bi!"
Yo Wan menahan perihnya hati yang serasa tertusuk ketika dia mendengar disebutnya nama ini, nama seorang gadis yang mendatangkan rasa sayang dan simpati di hatinya akan tetapi berbareng juga mendatangkan rasa benci karena gadis itu adalah puteri The Sun pembunuh ibunya.
Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu kembali menggabungkan diri dengan pihak Ang-hwa-pai yang dia tahu adalah golongan penjahat. Akan tetapi Yo Wan segera merenggut ingatannya keluar dari lamunan tentang diri Siu Bi ini.
"Wah, urusanmu ini memang luar biasa hebat, adik Lee Si." Akhirnya dia berkata sambil menarik nafas panjang. "Mereka itu memang jahat sekali dan tipu muslihat mereka itu agaknya akan dapat menimbulkan bencana perpecahan yang sangat besar. Marilah kita jangan membuang waktu lagi, segera berangkat ke Liong-thouw-san menemui suhu. Aku bisa mengerti betapa beratnya bagimu menceritakan peristiwa itu, maka biarlah aku yang akan mewakilimu bercerita kepada suhu dan subo."
"Terima kasih, kau baik sekali...," jawab Lee Si sambil menghapus air mata terakhir dari pelupuk matanya. Hatinya menjadi besar dengan adanya penolong ini, maka harapannya timbul kembali sehingga kemuraman pada wajahnya mulai menghilang.
Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan dan akhirnya mereka sampai di puncak Liong-thouw-san, mereka menjadi sangat terkejut dan kecewa sekali melihat bahwa puncak gunung itu sunyi sepi, tidak ada kelihatan seorang pun manusia di sana. Tidak terdapat tanda sesuatu, juga tidak ada seorang pun manusia di sana yang dapat menceritakan apakah yang telah terjadi di puncak itu. Tapi menilik keadaan pondok yang masih bersih, seolah-olah masih ‘hangat’, jelas bahwa tempat yang sunyi ini belum lama ditinggalkan oleh penghuninya.
Yo Wan berdiri di depan pondok, termenung dan termangu-mangu. Melihat tempat ini, tak terasa pula dua titik air mata keluar dari pelupuk matanya, karena dia teringat akan keadaannya pada waktu masih kecil dahulu.
Terbayanglah semua di depan matanya, keadaan dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih kecil dan tinggal seorang diri di tempat ini. Dia berjalan hilir-mudik seperti orang kehilangan pikiran, meraba-raba dengan mesra batu-batu yang berada di depan pondok, membelai dedaunan di pinggir pondok, bibirnya menyeringai setengah senyum setengah menangis.
la baru sadar setelah mendengar tangis Lee Si dan cepat dia menengok. Melihat gadis itu sudah duduk dan menangis di atas bangku bambu di depan pondok, dia cepat-cepat menghampiri lalu berkata dengan suara menghibur,
"Tenanglah, adik Lee Si. Tidak ada perkara di dunia ini yang tak dapat di atasi asal kita tenang dan sabar. Memang agaknya tidak kebetulan kedatangan kita, agaknya suhu dan subo sedang turun gunung, entah ke mana. Akan tetapi, sebagai wakil suhu, juga demi menjaga nama baik sute Swan Bu, aku siap untuk membasmi penjahat-penjahat busuk itu. Marilah, adik Lee Si, kita turun kembali dan kau antarkan aku ke tempat terjadinya peristiwa itu. Aku akan mencoba untuk menangkap Ang-hwa Nio-nio dan kita menyeret dia ke hadapan ayahmu agar dia mengakui akan tipu muslihat dan fitnah yang diaturnya. Bagaimana?"
Lee Si hanya mengangguk-angguk, kemudian sesudah menekan perasaan kecewanya dapat juga dia berkata, "Kau baik sekali, Yo-twako. Terserah kepadamu saja, aku… aku bingung tak dapat memikir sesuatu...”
Mereka bermalam satu malam di puncak Liong-thouw-san. Pada keesokan harinya baru mereka turun dari puncak itu, menuju ke kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling…..
********************
Sebetulnya apakah yang telah terjadi di puncak Liong-thouw-san? Sayang tak ada yang dapat bercerita kepada kedua orang muda itu. Akan tetapi andai kata ada yang dapat bercerita, agaknya malah akan membuat mereka menjadi makin gelisah saja karena baru tiga hari yang lalu, di puncak itu terjadi hal hebat seperti yang dikhawatirkan oleh Lee Si.
Pada suatu senja, tiga hari yang lalu, selagi Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta bersama isterinya, Kwee Hui Kauw, duduk di dalam pondok bercakap-cakap sesudah Hui Kauw menyalakan api penerangan dan Kun Hong tengah makan masakan sayur yang disajikan isterinya sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras dari luar pondok.
"Kwa Kun Hong, keluarlah dan pertanggung jawabkan kebiadaban anakmu!!"
Sepasang sumpit yang menyumpit sayur dan sudah berada di depan mulut itu terhenti. Kun Hong miringkan kepalanya, keningnya berkerut dan perlahan-lahan dia menurunkan kembali sumpit serta mangkoknya. Telinganya mendengar gerakan isterinya menyambar pedang di dinding, dan pada saat isterinya hendak melayang keluar pintu, dia berkata lirih,
"Tahan dulu, jangan terburu nafsu. Serasa mengenal suaranya..."
"Tak peduli dia siapa, dia telah menghina kita dan anak kita!"
"Manusia bisa keliru, mungkin salah paham..."
"Kwa Kun Hong, lekas kau keluar sebelum kuhancurkan pondokmu!" kembali terdengar bentakan dari luar.
Dengan tongkat di tangan, Pendekar Buta bergerak keluar dari pintu pondoknya, diikuti oleh Hui Kauw yang masih memegang sebatang pedang dengan muka kereng. Alangkah kaget dan herannya nyonya ini pada saat melihat bahwa yang berdiri di depan pondok, dengan tegak dan dua kaki dipentang, sikap mengancam, wajah bengis, adalah seorang laki-laki tinggi besar dan gagah yang bukan lain adalah Tan Kong Bu.
Keadaan jago tua Min-san ini menyeramkan sekali. Sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar penuh kemarahan, rambutnya agak awut-awutan, mukanya merah padam, tangan kiri dikepal-kepal dan tangan kanan meraba gagang pedang. Suaranya nyaring menggeledek ketika dia melihat Kun Hong dan isterinya keluar dari pondok.
"Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas mempertanggung jawabkan kebiadaban anakmu, sekarang juga seorang di antara kita harus mampus di sini!"
Wajah Pendekar Buta penuh kerut-merut, akan tetapi dia tetap tenang dan sabar. Tapi sebaliknya, biar pun Hui Kauw adalah seorang wanita yang berperangai halus dan amat sabar, namun sekarang, sebagai seorang ibu yang mendengar anak tunggalnya dimaki biadab, darahnya seketika menjadi naik. la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Kong Bu dengan tangan kanan melintangkan pedang di depan dada.
"Tan Kong Bu! Isterimu terhitung sebagai murid keponakan suamiku, jadi kau ini boleh juga dikatakan keponakan kami. Akan tetapi sikapmu ini sungguh-sungguh tidak patut. Ada urusan boleh diurus, ada soal boleh dibicarakan, segala sesuatu boleh dirundingkan baik-baik, tidak seperti kau ini yang bersikap kasar dan menghina!"
"Siapa menghina? Ha-ha-ha-ha, bicara tentang penghinaan, anakmu yang biadab itulah yang telah menghina kami! Penghinaan melewati batas takaran, penghinaan yang hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa, nyawa Kun Hong atau nyawaku! Jika kau hendak maju sekalian, boleh, aku tidak takut demi untuk membela nama baik anakku, soal mati bukanlah apa-apa!"
Setelah berkata demikian, agaknya kepanasan hatinya menjadi semakin berkobar oleh kata-katanya. Kong Bu menggerakkan tangan dan…
"Srattt!" la telah mencabut sebatang pedang.
Tentu saja Hui Kauw menjadi makin marah, dia merasa ditantang. "Hemmm, manusia sombong. Kau kira aku takut kepadamu? Kau sangka hanya engkau seorang di dunia ini yang gagah dan tidak takut mati, yang ingin membela anak? Tiada hujan tiada angin kau memaki-maki anak kami, memaki-maki kami, kalau kau menantang bertempur, majulah. Aku lawanmu." Hui Kauw melompat ke depan siap dengan pedangnya.
Pada dasarnya Tan Kong Bu memang seorang yang berwatak keras serta berangasan, maka mendengar omongan ini apa lagi melihat sikap Hui Kauw, kemarahannya terhadap Swan Bu memuncak. Wanita ini adalah ibu Swan Bu patut bertanggung jawab pula. Dia memekik keras, mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya bergerak maju.
"Bagus, kau atau aku yang mampus!"
Pedangnya menyambar ganas, dipenuhi dengan tenaga Yang-kang sehingga sambaran pedang itu mengandung hawa panas yang amat berbahaya.
Namun Hui Kauw adalah isteri Pendekar Buta. Sebelum menjadi isteri Pendekar Buta ia telah memiliki kepandaian tinggi, tapi mungkin pada waktu itu tidak akan dapat menahan serangan Tan Kong Bu putera Si Raja Pedang.
Akan tetapi sekarang, dia bukan Hui Kauw dua puluh tahun yang lalu. Ilmu kesaktiannya mengalami kemajuan pesat di bawah bimbingan suaminya. Melihat datangnya serangan hebat ini, dia mengelak sambil membabat dari samping, menghantam pedang lawan.
"Tranggg!"
Bunga api berpijar merupakan kilat-kilat kecil menerangi cuaca yang saat itu sudah mulai remang-remang. Keduanya terpental muncur.
"Bagus, terimalah ini!"
Tan Kong Bu menerjang lagi, lebih ganas dan lebih kuat. Kembali Hui Kauw menangkis dari samping dan kini saking hebatnya tenaga dalam mereka, kedua pedang itu saling tempel tanpa mengeluarkan bunyi!
Pada saat itu, berkelebat bayangan merah, disusul suara keras dan dua batang pedang yang saling tempel itu terpental ke belakang, malah Hui Kauw dan Kong Bu terhuyung-huyung tiga langkah. Kiranya Kun Hong sudah turun tangan, ia menggunakan tongkatnya untuk memisahkan dua pedang itu.
"Ahhh, apa perlunya semua ini? Hui Kauw, kau mundurlah. Kong Bu, marilah kita bicara baik-baik. Apa sebenarnya yang sudah terjadi? Kau agaknya marah-marah kepada anak kami. Kesalahan apakah yang diperbuat oleh Swan Bu? Kau ceritakan kepada kami agar kami bisa mengetahui dan mempertimbangkan. Di antara kita, masa harus menggunakan kekerasan?"
Akan tetapi Kong Bu yang sudah mendidih darahnya itu tak dapat dibikin sabar. Dengan suara tetap lantang dan penuh kemarahan dia berkata,
"Kun Hong, mana bisa kita bicara baik-baik lagi setelah penghinaan yang dilakukan oleh anakmu? Akan tetapi agar kalian tidak penasaran, dengarlah apa yang sudah dilakukan oleh anakmu yang biadab itu, agar terbuka mata kalian betapa kalian tidak becus dalam mendidik anak. Anakmu Kwa Swan Bu itu telah menawan Lee Si anakku dan melakukan perbuatan terkutuk, dia... dia berani mencemarkan... dia berani menodai Lee Si, terkutuk dia! Karena dia lari, sekarang aku datang ke sini untuk minta pertanggungan jawabmu. Kun Hong, penghinaan ini terlalu besar, kau sebagai ayahnya harus menebus dengan nyawamu atau aku sebagai ayah Lee Si mencuci noda dengan darahku!"
"Bohong...!" tiba-tiba Hui Kauw menjerit marah. "Di mana terjadinya? Siapa yang menjadi saksi? Apa buktinya?
"Huh, siapa yang bohong? Aku sendiri yang menjadi saksi! Lee Si ditawannya, tertotok tak berdaya dan ditawan ke dalam kuil tua di kota Kong-goan..."
"Bohong! Aku tidak percaya, tidak mungkin anakku melakukan perbuatan itu. Kau yang bohong!" kembali Hui Kauw berteriak.
“Mulut bisa bohong, akan tetapi mata tidak! Dan mataku melihat sendiri kejadian itu, dan mataku tidak buta seperti mata Kun Hong! Hanya mata buta yang tidak mau melihat kebiadaban putera sendiri dan melindunginya!"
"Keparat, tak sudi aku menerima penghinaanmu ini!"
Hui Kauw yang sekarang menerjang maju dengan pedangnya. Kong Bu mendengus dan menangkis, kemudian kedua orang ini kembali sudah bertanding dengan seru.
Ada pun Kwa Kun Hong berdiri termangu-mangu setelah mendengar penjelasan Kong Bu. Mana mungkin ada kejadian semacam itu? Swan Bu melakukan perbuatan terkutuk terhadap Lee Si? Apakah mungkin puteranya itu sedemikian hebatnya dikuasai nafsu sehingga membuatnya seperti gila? Agaknya tidak mungkin.
la tahu bahwa puteranya itu memiliki dasar watak yang amat keras dan tidak mau kalah, akan tetapi cukup dia dasari gemblengan batin yang membentuk watak satria, pantang akan perbuatan-perbuatan maksiat, apa lagi perbuatan terkutuk seperti itu. Tentu fitnah!
la cukup mengenal pula watak Kong Bu yang keras serta jujur, tegak seperti baja yang sukar ditekuk, sehingga tidak mungkin pula seorang seperti Kong Bu ini membohong dan mengada-ada. Pemecahan satu-satunya menghadapi dua ketidak mungkinan hanyalah hasut atau fitnah. Agaknya ada fitnah terselip dalam urusan ini.
Suara beradunya pedang dan lengking tinggi dari mulut Kong Bu menyadarkannya. Kun Hong merasa khawatir sekali. Dari gerakan yang terdengar oleh telinganya, tahulah dia bahwa pertandingan itu akan dapat menjadi hebat sekali dan mati-matian karena tingkat mereka berimbang dan pertandingan dilakukan dengan penuh hawa amarah oleh kedua pihak. Kalau dia tidak segera turun tangan, tentu seorang di antara mereka akan tewas atau setidaknya akan terluka parah.
"Kalian berhentilah!" Kembali dia menengahi dan karena maklum betapa keduanya tak boleh dipandang ringan, begitu ‘masuk’ Kun Hong menggunakan gerakan yang ampuh.
Tongkatnya berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang membikin mati gerakan Kong Bu, sedangkan tangan kirinya berhasil mendorong pundak isterinya sehingga nyonya itu terhuyung ke belakang.
Biar pun hatinya penasaran, namun Hui Kauw yang sudah hafal akan watak suaminya, tahu apa yang dikehendaki suaminya ini. Maka dia hanya berdiri mengepal tinju kiri dan melintangkan pedang di depan dada, tidak mau maju lagi.
Akan tetapi Kong Bu tidak mau mundur sama sekali. Bahkan di dalam kemarahannya, pertimbangannya menjadi miring dan dia mengira bahwa Pendekar Buta ini takut kalau isterinya kalah maka sekarang maju sendiri.
Memang sebetulnyalah, orang yang tengah ditunggangi dan dipermainkan nafsu amarah, pandang matanya menjadi gelap, pertimbangannya rusak dan yang disangkanya hanya yang buruk-buruk saja. Oleh karena itu, sangat tidak baiklah kalau orang dikuasai oleh hawa nafsu amarah, lebih baik lekas-lekas singkirkan musuh besar pribadi ini dari dalam hati.
"Kun Hong, kau atau aku yang menggeletak tak bernyawa di sini!" Seruan ini disusul serangan dahsyat sekali.
Dalam kemarahan dan kemaklumannya bahwa yang dihadapi kini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, Kong Bu telah menerjang sambil mengerahkan seluruh tenaga serta memainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dahulu dia warisi dari mendiang kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun. Hebat bukan main terjangan Kong Bu ini karena dipenuhi tenaga Yang-kang yang sangat kuat memancar keluar dari gerakannya. Maka, sebatang pedangnya seakan-akan menjadi sebatang besi merah, panas menyala-nyala!
"Ahhh, saudaraku Kong Bu yang baik..." Hanya sampai di sini ucapan Kun Hong karena Pendekar Buta ini harus cepat-cepat mengelak sambil memainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga dengan mudah dia mampu menyelamatkan diri dari pedang Kong Bu yang berubah menjadi tangan-tangan maut itu.
Kong Bu penasaran bukan main. Setiap kali pedangnya menyambar, seakan-akan tubuh Kun Hong mendahului gerakannya, berubah kedudukannya, tidak lagi berada di tempat semula. Ataukah pedangnya yang selalu menyeleweng apa bila mendekati tubuh Kun Hong? Tak mungkin dapat melakukan hal itu. Rasa penasaran merupakan bensin yang menyiram api yang membakar dadanya, maka sambil mengeluarkan suara melengking keras jago Min-san ini mendesak makin hebat.
Namun, dengan ketenangannya yang luar biasa, Kun Hong dapat mengatasi keadaan. Langkah-langkah ajaib yang dia lakukan sangat tepat dan teratur sehingga sinar pedang Kong Bu tak pernah dapat menyentuhnya.
"Dengarlah, Kong Bu sadarlah..., anak-anak kita tentu kena fitnah... percayalah, Swan Bu tidak mungkin melakukan kebiadaban itu, mari kita selidiki baik-baik..."
Akan tetapi tiba-tiba Kong Bu berseru keras. Selagi Kun Hong bicara tadi, Kong Bu telah menerjangnya dengan nekat, pedang di tangan ketua Min-san-pai itu melakukan tusukan maut dengan ujungnya digetarkan menjadi tujuh sinar!
Meski pun Kun Hong menguasai Kim-thiauw-kun dan dapat menggerakkan tubuh secara ajaib untuk mengelak setiap serangan, namun dia maklum bahwa jurus sakti seperti ini yang menimbulkan getaran hawa pedang sedemikian dahsyatnya, tak mungkin dielakkan lagi. la tidak suka bermusuhan dengan Kong Bu dan dapat menduga bahwa orang keras hati ini telah makan fitnah.
Dia suka mengalah, akan tetapi tentu saja dia tidak mau menerima tusukan pedang yang tak boleh dipandang ringan. Oleh karena itu, pada waktu berseru kaget tadi, tongkatnya berkelebat menjadi sinar merah dan sekaligus tongkat itu telah diputar berbentuk payung, menangkis pedang lawan sedangkan tangan kirinya dengan pengerahan separuh tenaga didorongkan ke depan.
Jika saja Kong Bu tidak sedang dikuasai kemarahan yang membuat dia buta dan lengah, kiranya tidak akan mudah bagi Kun Hong untuk mengalahkannya dalam waktu singkat, sungguh pun harus diakui bahwa tingkat kepandaian Kong Bu tidak setinggi Kun Hong. Akan tetapi pada saat itu, Kong Bu sedang marah sekali, begitu marahnya sehingga dia seperti orang nekat, hasrat hatinya hanya ingin menyerang dan merobohkan lawan tanpa mempedulikan penjagaan tubuhnya sendiri.
Karena inilah maka pedangnya terkena ‘libatan’ tongkat Kun Hong yang lihai, terlibat dan terputar hingga pedangnya ikut pula terputar. Sebagai seorang gagah, Kong Bu merasa pantang melepaskan pedang, malah dia memegang makin erat sehingga tubuhnya yang terpelanting oleh hawa putaran yang amat kuat itu.
Pada saat itulah dorongan tangan kiri Kun Hong yang kelihatan lambat itu tiba. Seketika tubuh Kong Bu terjengkang ke belakang dan tubuh itu bergulingan sampai belasan meter jauhnya!
"Ahhh... maaf, saudara Kong Bu....,” Kun Hong memburu, tetapi tangan kirinya segera dipegang oleh Hui Kauw yang menahannya.
Kong Bu melompat bangun dengan nafas terengah-engah, dadanya serasa sesak dan kepalanya pening. la tidak terluka, namun nanar dan maklumlah dia bahwa melanjutkan dengan nekat hanya akan menghadapi kekalahan yang memalukan.
"Kun Hong, kau lebih pandai dari pada aku. Akan tetapi kalau aku tidak dapat membunuh anakmu yang biadab, aku tak akan mau berhenti berusaha. Tidak ada tempat bagi aku dan dia di kolong langit!"
"Kong Bu, tunggu...!" teriak Kun Hong, akan tetapi jago Min-san-pai itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan puncak itu.
"Biarkanlah dia pergi. Orang berhati kaku dan mau menang sendiri itu," kata Hui Kauw sambil memegang lengan suaminya.
Kun Hong menarik nafas panjang. "Hui Kauw, kau lekas berbenah, bawa bekal yang kita perlukan di perjalanan. Kita berangkat sekarang juga mencari Swan Bu dan menyelidiki ke Kong-goan. Ingin sekali aku tahu apa sih yang terjadi di kuil tua di kota Kong-goan itu?"
Begitulah, pada malam itu juga suami isteri pendekar sakti ini berangkat meninggalkan puncak Liong-thouw-san. Dan ini pulalah sebabnya mengapa ketika Yo Wan dan Lee Si tiba di puncak Liong-thouw-san tempat ini sunyi tidak tampak seorang pun manusia…..
********************
Swan Bu terhuyung-huyung, baru beberapa puluh langkah pandang matanya gelap. Dia berusaha menahan diri, tetapi kepalanya terlalu pening dan akhirnya dia jatuh terguling. Dia merasa tubuhnya panas sekali, kepalanya berputaran, maka dia meramkan kedua matanya.
"Siu Bi... ah, Siu Bi... hemmm, apakah aku sudah gila? Kenapa Siu Bi saja yang teringat dan terbayang?" Swan Bu bangkit dan duduk, beberapa kali dia menampar kepalanya sendiri dan bibirnya berbisik-bisik, "Siu Bi... gadis iblis itu, aku harus benci kepadanya... harus!" Akan tetapi rasa panas membakar kepalanya dan dia roboh lagi, kini pingsan.
Tak jauh dari tempat itu, Siu Bi berdiri terisak-isak. Dari jauh ia melihat Swan Bu jatuh bangun, melihat pemuda itu terhuyung-huyung kemudian roboh, juga melihat pemuda itu menggerak-gerakkan bibir akan tetapi dia tidak dapat mendengar kata-katanya, melihat pemuda itu memukul kepalanya sendiri lalu terguling, tak bergerak-gerak.
"Swan Bu...!" Siu Bi menjerit kecil, hatinya serasa ditusuk-tusuk.
Dan ia lalu lari menghampiri, menubruk dan berlutut di dekat tubuh yang tak bergerak. Air matanya bercucuran membasahi muka Swan Bu yang kini menjadi merah sekali dan panas. Ketika tangan Siu Bi menyentuh leher pemuda itu, gadis ini terkejut dan menarik tangannya.
"Panas sekali! Ahh, kau terserang demam..."
Sebagai puteri angkat The Sun dan cucu murid Hek Lojin, serta biasa hidup di puncak gunung yang sunyi sehingga sudah biasa menghadapi penyakit, Siu Bi maklum bahwa demam panas ini adalah akibat dari luka di lengannya. Tanpa ragu-ragu lagi Siu Bi lalu memondong tubuh Swan Bu yang pingsan itu, lalu dibawa lari dengan maksud mencari tempat peristirahatan yang baik agar dia dapat merawatnya.
Entah bagaimana, setelah ia berhasil membuntungi lengan kiri putera Pendekar Buta ini, semua rasa benci lenyap dan timbullah rasa cinta kasih yang memang telah bersemi di dalam hatinya. Siu Bi malah merasa sangat bersalah dan untuk menebus kesalahannya terhadap Swan Bu, ia hendak merawatnya, kalau mungkin, untuk selamanya! Malah ia bersedia menghabiskan permusuhannya dengan orang tua pemuda ini, asal Swan Bu mau memaafkannya dan mau ia ‘rawat’ selamanya.
Tiba-tiba saja telinganya mendengar suara gerakan dan alangkah kagetnya ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik jelita yang ia kenal sebagai Cui Sian! Hanya satu kali Siu Bi bertemu dengan puteri Raja Pedang ini, yaitu di Ching-coa-to, tetapi pertemuan yang sekali itu cukup baginya untuk mengetahui bahwa puteri Raja Pedang itu amat tinggi kepandaiannya.
Di lain pihak, Cui Sian juga tercengang melihat Siu Bi. Tadinya dari belakang ia melihat seorang wanita mempergunakan ilmu lari cepat yang tinggi berlari mendukung seorang pria. Dia menjadi curiga dan mengejar, menyusul lalu menghadang untuk melihat siapa mereka dan apa yang terjadi.
Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia mengenal Siu Bi, gadis liar yang bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya, gadis liar yang menimbulkan cemburunya karena sikapnya terhadap Yo Wan. Akan tetapi gadis ini pula yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dikeroyok di Ching-coa-to!
"Kau...?!" Saking heran dan kagetnya Cui Sian menegur.
"Hemmm, puteri Raja Pedang. Mau apa kau menghadangku?" balas Siu Bi ketus.
Pandang mata Cui Sian menyelidiki lelaki yang sedang dipondong Siu Bi, terkejut melihat lengan kiri yang buntung sebatas siku, ujungnya dibungkus dan masih terdapat tanda darah dari luka yang baru.
"Ehh, siapa dia?" tanyanya, penuh kecurigaan.
"Dia siapa peduli apakah engkau? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu..."
"Aahhh...!" Cui Sian melangkah maju selangkah, wajahnya pucat dan matanya terbelalak lebar. "Dia... dia... Swan Bu...! Bukankah dia Swan Bu...?"
Sudah kerap kali ia bertemu dengan Swan Bu, akan tetapi yang terakhir kali adalah pada waktu Swan Bu berusia empat lima belas tahun. Kalau sekarang tidak melihat pemuda itu buntung lengan kirinya dan dipondong Siu Bi, agaknya ia akan pangling juga. Karena lengannya buntung, sedangkan Siu Bi pernah menyatakan hendak membuntungi lengan Pendekar Buta sekeluarga, dan pemuda yang buntung lengannya ini wajahnya seperti Swan Bu, maka mudah baginya untuk menduga dan hal ini membuat ia kaget dan ngeri.
Kebetulan sekali pada saat itu Swan Bu tersadar, mengerang dan mengeluh, membuka matanya dan tepat dia memandang Cui Sian. Agaknya dia dapat mengenal pula, karena bibirnya berbisik perlahan, "...Bibi Guru..."
Kini hati Cui Sian tidak ragu lagi. Memang dahulu Swan Bu disuruh menyebut ‘sukouw’ (bibi guru) kepadanya karena Pendekar Buta tetap menganggap ayahnya sebagai guru. Dengan suara lantang ia membentak,
"Dia benar Swan Bu! Siapa membuntungi lengannya?" la tidak dapat bertanya kepada Swan Bu karena pemuda itu sudah pingsan lagi.
Siu Bi mendongkol sekali. Ia seorang gadis yang berwatak aneh luar biasa. Hatinya yang keras bagai baja mentah itu agaknya hanya dapat dicairkan oleh kehalusan. Menghadapi kekerasan, dia akan menjadi semakin keras. Suara Swan Bu menyebut ‘bibi guru’ dan perhatian Cui Sian terhadap pemuda itu, mendatangkan kedongkolan hatinya.
"Kau mau membelanya? Nah, terimalah keponakanmu ini!" teriaknya sambil melempar tubuh Swan Bu ke arah Cui Sian.
Gadis Thai-san-pai ini cepat-cepat menerima tubuh itu dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan betapa tubuh itu panas sekali. Cepat ia menurunkan tubuh Swan Bu dengan hati-hati ke bawah pohon yang teduh, kemudian memeriksanya.
Keadaan Swan Bu tidak berbahaya, kecuali kalau darahnya keracunan oleh luka lengan buntung itu. Maka dia lalu menotok beberapa jalan darah sambil mengerahkan sinkang dengan tangan kiri yang ia tempelkan di punggungnya. Kemudian ia berdiri, meloncat ke depan Siu Bi yang masih berdiri tegak dengan muka marah.
"Siu Bi, siapa yang membuntungi lengannya?"
Siu Bi mengedikkan kepala, membusungkan dada. "Aku! Dia anak Pendekar Buta musuh besarku!" Meski mulutnya hanya berkata demikian, akan tetapi pandang matanya seolah menantang, "Kau mau apa?"
Cui San menenangkan hatinya yang menggelora, lalu bertanya, "Kau telah membuntungi lengannya, mengapa dia kau dukung? Hendak kau bawa kemanakah dia?"
Tiba-tiba wajah Siu Bi menjadi merah sekali, "dia... dia demam, aku harus merawatnya... ehhh, kau cerewet amat, mau apa sih?"
Kemarahan Cui Sian tidak sanggup ditahannya lagi. Sekali tangannya bergerak ia telah mencabut Liong-cu-kiam. Pedang itu berkeredepan saking tajamnya dan diam-diam Siu Bi bergidik. la cukup maklum akan kelihaian puteri Raja Pedang ini dan tahu pula bahwa ia tak akan mampu menang melawannya. Akan tetapi untuk menjadi takut, nanti dulu! Dengan hati penuh kemarahan ia juga siap bertempur mati-matian.
"Siu Bi, kau bocah iblis! Aku tahu bahwa pada dasarnya kau bukanlah orang jahat, akan tetapi karena kau hidup di lingkungan iblis-iblis kejam, hatimu menjadi kejam dan ganas. Manusia macam engkau ini perlu diberi hajaran!"
"Cerewet kau!" bentak Siu Bi dan pedangnya menyambar-nyambar, merupakan sinar hitam, disusul pukulan tangan kirinya yang ampuh, yaitu pukulan Hek-in-kang.
Cui Sian cepat mengelak dari pukulan dan menangkis pedang lawan, kemudian dengan sama hebatnya ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siu Bi. Sebentar saja kedua orang dara perkasa ini sudah bertanding dengan seru.
Siu Bi bertempur dengan nekat, mengerahkan semua kepandaian dan tenaganya hingga mau tidak mau membuat Cui Sian menjadi kewalahan. Bila mana puteri Raja Pedang ini menghendaki, dengan jurus-jurus mematikan dari ilmu pedangnya yang hebat, agaknya ia akan dapat merobohkan lawannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Akan tetapi Cui Sian adalah seorang gadis yang ingat budi. la pernah ditolong oleh Siu Bi ketika terjadi pengeroyokan di Ching-coa-to, maka tiada niat di hatinya untuk membunuh gadis liar itu. Dia hanya marah melihat Swan Bu dibuntungi lengannya dan berusaha untuk menangkap gadis ini kemudian menyerahkan keputusan hukumannya pada Swan Bu sendiri. Inilah yang membuat agak sulit ia menangkan Siu Bi, sama sulitnya dengan menangkap seekor harimau hidup-hidup, tentu lebih mudah membunuhnya.
Betapa pun juga, Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam masih tetap merupakan raja di antara sekalian ilmu pedang, sedangkan pedang di tangan Cui Sian juga merupakan pedang pusaka yang amat ampuh karena Liong-cu-kiam adalah pedang kuno yang hebat.
Liong-cu-kiam ada sepasang, maka disebut Liong-cu-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga) dan menjadi senjata suami isteri ketua Thai-san-pai. Yang panjang dipegang Raja Pedang, yang pendek dipegang isterinya.
Akan tetapi sekarang yang pendek berada di tangan puteri mereka, Cui Sian. Dengan pedang ampuh ini di tangan sambil mainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, lewat lima puluh jurus, Siu Bi menjadi pening dan kabur pandang matanya. Apa lagi, sebetulnya ia masih belum sembuh benar dari luka di dalam dadanya.
Yang membuat ia amat penasaran adalah cara Cui Sian bertempur. Puteri Raja Pedang itu seolah-olah mempermainkannya, buktinya setiap kali pedang berkeredepan itu sudah hampir mengenai tubuhnya, ditarik atau diselewengkan sehingga tidak mengenai dirinya.
Dia sama sekali tidak menduga bahwa Cui Sian melakukan itu dengan sengaja karena tak ingin membunuhnya. Siu Bi malah mengira bahwa gadis Thai-san-pai itu memandang rendah dan mempermainkannya. Hal ini membuatnya mendongkol dan marah sekali.
Dia sampai lupa akan luka di dalam dadanya dan mengerahkan Hek-in-kang sekuatnya untuk menyerang. Sambil berteriak nyaring, tangan kirinya memukul dan uap hitam pun menyambar.
Cui Sian sangat kaget. Hebat sekali pukulan ini. Akan tetapi ia tidak mau kalah. Cepat ia menggeser kaki ke kanan dan pukulan Hek-in-kang dengan tangan kiri Siu Bi itu lalu ia gempur dengan tangan kiri terbuka sambil mengerahkan sinkang-nya.
"Dukkk!"
Siu Bi mengeluarkan pekik dan tubuhnya terlempar ke belakang, roboh, pedangnya juga terlepas dari tangan kanan. la merintih-rintih. Ada pun Cui Sian berseru kaget karena ia merasa seakan-akan tangannya dimasuki hawa yang mengandung api sedang ia sendiri terhuyung-huyung ke belakang.
la terlampau memandang rendah Hek-in-kang dan kalau saja sinkang di tubuhnya belum kuat benar, tentu ia pun akan terluka hebat. Cepat gadis kosen ini menahan nafas dan menyalurkan sinkang untuk memulihkan tenaga dan melindungi isi dadanya. Kemudian ia menghampiri Siu Bi dan menotok jalan darah yang membuat Siu Bi lemas.
"Wanita sial!" Siu Bi yang sudah tidak dapat menggerakkan kaki tangan itu memaki. Dua matanya memandang dengan melotot. "Kau bunuhlah aku, aku tak takut mampus. Hayo, kalau kau gagah, bunuh aku!"
"Cih, perempuan iblis. Sudah selayaknya kau dibunuh atas perbuatan kejimu terhadap Swan Bu. Akan tetapi, aku berhutang nyawa kepadamu, terpaksa sekarang kuampuni kau..."
"Keparat, siapa memberi hutang kepadamu? Siapa sudi menerima ampunanmu? Hayo, gunakan pedangmu itu membunuhku, jangan banyak cerewet"
"Kau yang cerewet!"
"Kau cerewet, kau bawel, kau nenek-nenek bawel!" Siu Bi memaki-maki.
Akan tetapi Cui Sian tidak mau pedulikan gadis galak itu lagi karena dia sudah sibuk menghampiri dan memeriksa keadaan Swan Bu. Lega hatinya bahwa pemuda itu tidak menderita luka-luka lain yang berbahaya kecuali lengannya yang buntung.
Hatinya ngeri juga ketika ia membuka lengan buntung yang dibalut itu dan melihat lengan buntung sebatas siku. Darahnya sudah mulai kering, akan tetapi ujung yang buntung itu agak membengkak.
Ini berbahaya, pikirnya. Cepat ia mengeluarkan sebungkus obat dari saku baju sebelah dalam. Dia menggunakan obat itu pada luka dan membalut luka dengan sehelai sapu tangan bersih.
"... jangan bunuh dia... Sukouw..."
Hati Cui Sian tertegun. Apa maksud Swan Bu? Tidak boleh membunuh Siu Bi? Gadis itu sudah membuntungi lengannya dan pemuda ini masih minta supaya dia jangan dibunuh? Atau mungkinkah bukan Siu Bi yang dimaksudkan? Swan Bu sedang terserang demam panas dan biasanya dalam keadaan begini, orang suka mengigau.
"Swan Bu, siapa yang kau maksudkan? Jangan bunuh siapa?"
"Siu Bi... di mana kau..., ahh, Siu Bi, sudah puaskah hatimu sekarang? Alangkah cantik engkau... cantik, liar dan ganas..."
Cui Sian merasa jantungnya tertusuk.
Ah, tidak salah lagi, ada terselip sesuatu antara dua orang muda ini, pikirnya. Celaka, Siu Bi gadis liar dari Go-bi-san itu tak hanya menimbulkan bencana karena kekejiannya, akan tetapi juga karena kecantikannya. Teringat ia akan Yo Wan, dan hatinya menjadi panas. Dia tahu bahwa Swan Bu dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi saking panasnya hati, ia menjawab,
"Jangan pedulikan dia lagi, Swan Bu."
Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mendengar karena ia kembali mengigau perlahan, tubuhnya panas sekali.
"Sian-moi...!"
Panggilan ini mengagetkan Cui Sian. Cepat ia melompat sambil membalikkan tubuhnya. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantung di dadanya berdebar tidak karuan ketika matanya mendapat kenyataan bahwa ia tadi tidak keliru mengenal suara itu, suara Yo Wan!
Akan tetapi kegembiraan hatinya itu ternoda kekecewaan ketika dilihatnya kedatangan pemuda itu bersama seorang dara remaja yang cantik jelita.
"Yo-twako, kebetulan kau datang...," katanya halus.
Akan tetapi Yo Wan sudah melompat ke dekat Swan Bu, memandang dengan mata terbelalak. "Dia ini... bukankah dia sute Kwa Swan Bu?"
Cui Sian mengangguk dan Yo Wan sudah berlutut di dekat tubuh Swan Bu, memandang lengannya yang buntung. Ada pun Lee Si begitu melihat lengan Swan Bu yang kiri buntung, hampir saja ia terguling pingsan. Matanya serasa kabur, kepalanya nanar, bumi yang dipijaknya serasa berputaran. Cepat ia menahan pekik yang hendak meluncur dari mulutnya sehingga hanya terdengar seperti orang mengeluh dan ia pun berlutut di dekat Yo Wan.
"Oh... ahhh..." hanya inilah yang keluar dari mulutnya.
Sedangkan Yo Wan cepat memeriksa tubuh Swan Bu. Seperti juga Cui Sian tadi, dia merasa lega bahwa Swan Bu tidak menderita luka lain yang berbahaya.
"Sian-moi, siapa yang membuntungi?" Ia menahan kata-katanya dan jantungnya serasa berhenti berdetak ketika Yo Wan teringat akan Siu Bi. Siapa lagi kalau bukan Siu Bi?
"Itulah orangnya!" kata Cui Sian menuding ke arah Siu Bi yang rebah miring tak jauh dari situ.
Dua orang muda yang baru datang ini tadi tidak melihat Siu Bi dan sekarang mereka menoleh. Lee Si sudah meloncat sambil mengeluarkan seruan marah. Sedangkan Yo Wan hanya memandang dengan muka berubah agak pucat.
Dengan kemarahan meluap-luap Lee Si menyambar tubuh Siu Bi, dijambak rambutnya dan ditariknya berdiri.
"Plak-plak!"
Dua kali tangan kirinya menampar, dan tanda jari-jari merah menghias kedua pipi Siu Bi yang tersenyum-senyum mengejek.
"Hi-hik-hik, perempuan tak tahu malu. Beraninya kalau aku sudah tidak berdaya. Hayo bebaskan totokan ini dan lawan aku secara orang gagah!"
Akan tetapi Lee Si tidak mempedulikan omongannya, malah dia menarik lepas rambut kepala Siu Bi dan menggantungkan Siu Bi pada cabang pohon, mengikatkan rambutnya yang panjang pada cabang pohon itu. Cabang itu rendah saja sehingga kedua kaki Siu Bi tergantung hanya belasan senti meter dari tanah.
"Siapakah gadis itu?" Cui Sian bertanya kepada Yo Wan yang masih saja memandang dengan mata terbelalak dan muka agak pucat.
"Dia Lee Si, puteri kakakmu Tan Kong Bu...," jawab Yo Wan, suaranya menggetar dan lemah.
Karena keadaan tegang, Cui Sian tidak memperhatikan hal ini dan ia pun memandang. Kiranya gadis remaja itu adalah keponakannya sendiri!
"Iblis betina jahat! Hayo kau ceritakan mengenai fitnah keji yang kalian rencanakan, tipu muslihat rendah yang kalian jalankan untuk merusak nama baik Swan Bu dan aku!"
"Tipu muslihat yang mana? Berlaku galak terhadapku setelah aku berada dalam keadaan tertotok, barulah dapat disebut tipu muslihat! Aku tidak biasa melakukan fitnah dan tipu muslihat!" Siu Bi menjawab seenaknya, sepasang matanya yang bening itu memandang penuh ejekan kepada Lee Si.
"Plak! Plak!" kembali tangan Lee Si menampar kedua pipi Siu Bi.
"Kalau kau tidak mau mengaku, akan kusiksa sampai mampus!" Lee Si melompat dan mematahkan sebatang ranting pohon. "Hayo kau mengakulah bahwa Ang-hwa-pai telah mengatur siasat untuk mengelabui mata ayahku agar ayahku mengira Swan Bu dan aku sudah melakukan perbuatan hina!"
"Hi-hi-hik, kaulah yang ingin melakukan perbuatan hina. Swan Bu mana mau? Hi-hi-hik, tak tahu malu!" kembali Siu Bi mengejek, diam-diam hatinya panas dan penuh cemburu.
la mencinta Swan Bu, mencinta dengan seluruh jiwa raganya, hal ini amat terasa olehnya setelah ia membuntungi lengan pemuda itu. Karena itu, teringat bahwa gadis ini pernah berdekatan dengan Swan Bu, hatinya penuh cemburu.....
Mendengar ejekan Siu Bi, Lee Si benar-benar makin marah. Ranting pohon di tangannya lantas menyambar dan mencambuki muka, leher dan tubuh Siu Bi yang tetap tersenyum-senyum dan memaki-maki. Biar pun dalam keadaan marah, Lee Si masih teringat untuk menahan diri sehingga pukulan-pukulannya dengan ranting pohon itu tidak akan sampai menewaskan Siu Bi.
"Apakah yang dia maksudkan?" kembali terdengar Cui Sian bertanya kepada Yo Wan.
Yo Wan menarik nafas panjang. Hatinya tidak karuan rasanya melihat keadaan Siu Bi demikian itu. Akan tetapi kalau teringat betapa lengan Swan Bu dibuntungi, dia sendiri pun menjadi sakit hati dan marah.
Maka biar pun di lubuk hatinya dia merasa tidak tega melihat Siu Bi dicambuki seperti itu, namun dia tidak mau mencegah Lee Si. la pun maklum akan keadaan perasaan hati Lee Si yang penuh dendam karena merasa pernah dihina dan dipermainkan Ang-hwa-pai, di mana Siu Bi juga menjadi anak buah atau kawan.
"Lee Si bersama Swan Bu pernah tertawan oleh Ang-hwa-pai yang menotok mereka dan menggunakan mereka untuk mengadu domba." Dengan singkat dia lalu menuturkan apa yang dia dengar dari Lee Si dan muka Cui Sian menjadi merah sekali.
"Hemmm, keji sekali. Gadis liar ini memang patut dihajar. Kalau saja aku tidak ingat dia dahulu pernah menolongku, tadi pun aku sudah membunuhnya. Sekarang Lee Si yang memuaskan dendamnya, biarlah."
Mereka berhenti bicara dan kembali memperhatikan Lee Si yang masih memaksa Siu Bi mengakui tipu muslihat keji dari Ang-hwa-pai. Muka dan leher Siu Bi telah penuh dengan jalur-jalur merah bekas sabetan, juga bajunya sudah robek sana-sini dan kulit tubuhnya matang biru.
"Kau masih tak mau mengaku? Keparat, apakah kau benar-benar ingin mampus?" Lee Si membanting ranting pohon yang sudah setengah hancur, lalu menginjak-injak ranting ini.
Sebagai puteri dari ayah bunda yang keras hati, tentu saja Lee Si memiliki dasar watak berangasan dan keras pula, walau pun gemblengan ayah bundanya membuat ia jarang sekali meluapkan kekerasannya dan menutupinya dengan sikap yang tenang, sabar dan halus budi.
Tiba-tiba Siu Bi tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening, sangat mengejutkan dan mengherankan hati Cui Sian serta Yo Wan. Dua orang ini diam-diam harus mengagumi ketabahan gadis liar itu, yang dalam keadaan tertawan dan tersiksa masih dapat tertawa seperti itu, tanda dari hati yang benar-benar tabah dan tidak kenal takut.
"Hi-hi-hik-hik, Lee Si, kau sungguh lucu! Kau tahu bukan aku orangnya yang melakukan segala tipu muslihat curang, akan tetapi kau terus memaksa-maksa aku mengaku. Apa kau kira aku tidak mengerti isi hatimu yang tak tahu malu? Hi-hi-hik, kau marah-marah dan benci kepadaku karena aku membuntungi lengan Swan Bu, betul tidak? Ihhh, tak usah kau pura-pura membelanya, kau bisa dekat dengannya hanya karena diusahakan orang. Tetapi dia cinta padaku, dengarkah kau? Dia cinta padaku, ahhh... dan aku cinta padanya..." Suara ketawa tadi kini terganti isak tertahan.
Wajah Lee Si sebentar pucat sebentar merah. Mendadak dia mencabut pedangnya dan membentak, "Perempuan rendah, perempuan hina, kau memang harus mampus!" lantas pedangnya diangkat dan dibacokkan ke arah leher Siu Bi.
"Tranggg...!"
Lee Si menjerit dan cepat meloncat ke kiri karena pedangnya telah tertangkis dan hampir saja terlepas dari tangannya. la memandang heran kepada Yo Wan dan sempat melihat pemuda itu menyimpan pedang dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, hampir tidak tampak.
"Yo-twako... kenapa kau...?”
"Adik Lee Si, sabarlah. Tidak baik membunuh lawan dengan darah dingin secara begitu, apa lagi dia sudah tertawan dan tadi kau sudah lepaskan amarahmu kepadanya. Siu Bi, kau tutuplah mulutmu, jangan menghina orang."
"Hi-hi-hik, kau Jaka Lola, Yo Wan yang berhati lemah. Alangkah lucunya! Setiap bertemu gadis cantik kau menjadi pelindung, laki-laki macam apa kau? Hayo kau bunuh aku kalau memang jantan!"
Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang kau terjerumus begini dalam, Siu Bi, sungguh sayang...! Aku takkan membunuhmu, kau boleh pergi dan jangan mengganggu kami lagi..." Yo Wan melangkah maju, tangannya meraih hendak membebaskan Siu Bi dari cabang pohon.
"Yo-twako, tahan dulu...!" Tiba-tiba Cui Sian melangkah mendekat. "Apakah kau hendak membebaskannya begitu saja? Itu tidak adil namanya!"
Yo Wan menoleh dan alangkah herannya melihat sinar mata gadis cantik ini luar biasa tajam menentangnya, seolah-olah sinar mata itu mengandung hawa amarah kepadanya. la benar-benar tidak mengerti, dengan pandang matanya dia berusaha menyelidik isi hati Cui Sian dan tiba-tiba wajah Yo Wan berseri.
Mungkinkah ini? Mungkinkah Cui Sian merasa cemburu kepada Siu Bi? Ahh, alangkah sulit dipercaya. Tak mungkin matahari terbit dari barat, tak mungkin puteri Raja Pedang... cemburu dan marah melihat dia membebaskan Siu Bi yang dapat dianggap tanda cinta kasih.
Sepasang pipi halus itu tiba menjadi merah. Cui Sian nampak gugup ketika melanjutkan kata-katanya setelah beradu pandang tadi. "Dia... dia telah membuntungi lengan tangan Swan Bu! Sebaiknya kita serahkan kepada Swan Bu sendiri bagaimana keputusannya terhadap gadis liar itu. Bukankah kau pikir begitu seadilnya, Twako?"
Yo Wan mengangguk-angguk, mengerutkan alisnya yang hitam. "Betapa pun juga, kalau Sute kehilangan lengannya dalam sebuah pertempuran, aku akan menasehatinya agar jangan dia membalas secara begini. Bukan perbuatan gagah."
Terdengar Swan Bu mengerang dan mereka bertiga segera menghampiri pemuda itu. Girang hati mereka karena kini tubuh Swan Bu tidak begitu panas lagi dan pemuda itu sudah siuman, menyeringai kesakitan ketika menggunakan lengan kiri untuk menunjang tubuhnya.
"Auhhh... hemmm, bibi Cui Sian, dan..." wajahnya menjadi merah sekali. "...dan kau, Lee Si Moi-moi..." la tertegun menatap wajah Yo Wan yang berdiri dan tersenyum kepadanya. Sampai lama mereka berpandangan, kemudian Swan Bu melompat berdiri.
"Kau... kau...?"
Yo Wan mengangguk-angguk dan tersenyum, hatinya terharu. "Sute..."
"Kau Yo Wan... ehh, Yo-suheng!" Dan keduanya berangkulan.
Pada waktu mereka berangkulan itu, Swan Bu langsung melihat ke arah Siu Bi yang tergantung di cabang pohon, yang kebetulan berada di sebelah belakang Yo Wan.
"Ehh... dia... dia kenapa...?" berkata gagap sambil merenggut diri dari rangkulan Yo Wan.
"Aku tadi telah menangkapnya, Swan Bu, dan kami menanti keputusanmu. Setelah dia membuntungi lenganmu dan dia sekarang sudah tertawan, apa yang akan kita lakukan kepadanya?" kata Cui Sian.
Swan Bu melangkah maju tiga tindak seperti gerakan orang linglung, matanya menatap tajam kepada Siu Bi. Tanpa bertanya dia maklum apa yang telah terjadi, melihat muka dan leher gadis itu penuh dengan jalur-jalur merah, rambutnya terlepas dan diikatkan di cabang pohon, pakaiannya robek-robek bekas cambukan.
Hatinya trenyuh, ingin dia lari memeluknya, cinta kasihnya tercurah penuh kepada gadis itu. Akan tetapi dia teringat akan kehadiran Lee Si, Cui Sian, dan juga Yo Wan. Suatu ketidak mungkinan besar bila dia memperlihatkan cinta kasih kepada gadis musuh besar yang baru saja membuntungi lengannya! Tak mungkin!
"Swan Bu," kata Cui Sian melihat sikap pemuda itu seperti orang linglung yang ia kira tentu karena demam, ”katakan, apa yang harus kita lakukan terhadapnya? Lenganmu ia bikin buntung secara bagaimana? Kalau dia berlaku curang, sepatutnya bila ia dihukum dan..."
"Tidak, Bibi, bebaskan dia! Aku terbuntung dalam pertempuran. Bebaskan dia, aku tidak ingin melihatnya lebih lama lagi!"
Yo Wan yang memang mengharapkan Siu Bi dibebaskan, segera bergerak dan dalam waktu beberapa detik saja, rambut itu sudah terlepas dari cabang, dan jalan darah Siu Bi sudah normal kembali.
Siu Bi membiarkan rambutnya terurai, dan berdiri seperti patung, menatap wajah Swan Bu. Air matanya menitik turun berbutir-butir, tapi bibirnya tersenyum,
"Swan Bu, selamanya aku akan menantimu..." Setelah berkata demikian, gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak lupa menyambar pedang Cui-beng-kiam yang menggeletak di situ.
"Ahhh...!" Swan Bu mengeluh dan dia tentu akan terguling kalau saja Cui Sian tidak cepat menangkapnya. Ternyata Swan Bu sudah pingsan kembali!
Cui Sian dan Lee Si mengira bahwa keadaan pemuda ini karena demam dan lukanya. Akan tetapi diam-diam Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Dia dapat menduga sedalam-dalamnya.
Tidak mungkin seorang gadis seperti Siu Bi dapat mengalahkan Swan Bu dalam sebuah pertempuran, apa lagi membuntungi lengannya. Akan tetapi, Swan Bu sengaja mengaku bahwa lengannya buntung dalam pertempuran! Ini saja sudah membuka rahasia bahwa Swan Bu jatuh cinta kepada Siu Bi.
"Hemmm, seyogyanya gadis liar seperti itu tidak boleh dibebaskan...," Cui Sian berkata sambil menidurkan Swan Bu ke atas tanah.
"Sian-moi, tadi kau dengar sendiri Swan Bu menghendaki demikian dan kurasa sekarang yang terpenting bukan hal itu. Aku dan adik Lee Si sudah naik ke Liong-thouw-san, akan tetapi suhu dan subo ternyata tidak berada di sana, agaknya baru beberapa hari pergi meninggalkan puncak, tidak tahu ke mana mereka itu pergi. Urusan yang menyangkut nama baik adik Lee Si dan sute bukan hal main-main, kurasa kemarahan Tan Kong Bu Lo-enghiong takkan mudah dipadamkan jika tak ada bukti yang membuka rahasia fitnah dan tipu muslihat kaum Ang-hwa-pai. Karena itu, harap Sian-moi suka merawat Swan Bu dan sekarang juga aku akan mengantarkan adik Lee Si ke Kong-goan, hendak kucoba mencari Ang-hwa Nio-nio dan menundukkannya, memaksanya untuk membuka rahasia itu, jika mungkin di depan Tan-loenghiong sendiri, atau setidaknya di depan orang-orang tua kita."
Cui Sian mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang melengkung indah. "Aku tahu watak Kong Bu koko sangat keras. Kata ayah seperti baja. Akan tetapi dia juga tidak dapat disalahkan jika sekarang marah-marah karena apa yang dilihatnya memang merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi seorang gagah."
"Itulah yang amat menggelisahkan hatiku, Bibi." kata Lee Si. "Pada waktu itu aku berada dalam keadaan tertotok, tak dapat bergerak, sudah kucoba memanggil ayah, akan tetapi dia terlalu marah dan musuh yang menjalankan tipu muslihat terlampau pandai. Memang nasibku yang buruk..."
Lee Si menangis dan tak seorang pun tahu bahwa tangisnya ini sebagian besar karena menyaksikan sikap Siu Bi tadi. Terutama sekali karena Swan Bu malah membebaskan dan seakan-akan mengampuni gadis yang telah membuntungi lengannya!
"Sudah, tenanglah, Lee Si. Dengan didampingi twako yang akan mengurus penjernihan persoalan ini, kurasa segalanya akan berhasil baik."
"Sian-moi, kau lebih mengerti mengenai pengobatan dari pada aku, kalau tidak demikian agaknya akulah yang seharusnya merawat sute dan kau menemani adik Lee Si. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti bagaimana harus merawatnya sampai sembuh, kalau salah perawatan bisa berbahaya..."
"Tidak apa, Yo-twako. Sudah sepatutnya aku merawat Swan Bu. Kau berangkatlah."
Yo Wan sebetulnya merasa berat untuk segera berpisah setelah pertemuan yang tidak terduga-duga ini. Akan tetapi tugas lebih penting dari pada perasaan pribadi, maka dia pun lalu berangkatlah bersama Lee Si.
Dengan gadis ini di sampingnya, tentu saja perjalanan tak dapat dilakukan secepat bila dia pergi seorang diri. Baiknya Lee Si bukan gadis lemah, dan ilmu lari cepatnya boleh juga sehingga tidaklah akan terlalu lambat.
Tidak demikian dengan Cui Sian. Setelah Swan Bu siuman kembali, ia segera mengajak pemuda ini melakukan perjalanan perlahan dan lambat, mencari sebuah dusun atau kota di mana mereka akan dapat beristirahat dan ia dapat mencarikan ramuan obat untuk pemuda itu.
Swan Bu jarang bicara, kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan Cui Sian. Pemuda ini kelihatan termenung, akan tetapi sama sekali tidak memikirkan lengannya yang buntung. Untuk kedua kalinya, Cui Sian mendengar cerita seperti yang ia dengar dari penuturan Yo Wan, yaitu tentang tipu muslihat dan fitnah yang dilakukan oleh Ang-hwa-pai di kota Kong-goan.
"Kong Bu koko tentu marah sekali. Dia terlalu polos untuk dapat menduga bahwa semua itu hanya fitnah yang sengaja diatur dan direncanakan oleh musuh." Cui Sian menarik nafas panjang.
Mereka bercakap-cakap sambil berjalan perlahan-lahan, keluar dari dalam hutan setelah melakukan perjalanan sepekan lamanya. Selama itu, mereka hanya melalui gunung dan hutan, tidak pernah melihat dusun. Atas kehendak Swan Bu, walau pun lambat, mereka melakukan perjalanan menuju ke Kong-goan menyusul Yo Wan dan Lee Si.
"Itulah yang menggelisahkan hatlku, Sukouw. Paman Kong Bu pasti akan marah sekali, dan mendengar suaranya pada saat itu, aku yakin bahwa dia tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuhku. Kalau sampai aku bertemu dengan dia dan paman Kong Bu bersikeras hendak membunuhku, bagaimana aku berani melawan dia? Aku cukup maklum betapa pedihnya urusan ini baginya... dan aku tidak tahu bagai mana harus mengatasinya."
“Jangan khawatir. Kurasa betul Yo-twako, bahwa jalan satu-satunya hanya memaksa mereka yang melakukan fitnah untuk mengaku di depan Kong Bu koko, dan aku percaya betul Yo-twako akan dapat membereskan hal ini."
Biar pun keadaannya seperti itu, diam-diam Swan Bu tersenyum dan mengerling ke arah wajah gadis di sampingnya itu. "Sukouw, hebat betulkah kepandaian Yo-suheng? Dulu ketika aku masih kecil, dia sudah amat hebat akan tetapi jika aku ingat betapa dulu aku pernah memanahnya, ahhh... dan sekarang dia mati-matian hendak membela namaku, sungguh aku merasa malu!"
"Kau... memanahnya?"
Swan Bu tersenyum masam. "Aku masih kanak-kanak dan sangat manja, kurasa tidak ada orang yang dapat melawanku ketika itu."
la lalu menceritakan kejadian pada waktu dia masih anak-anak dan dengan orang tuanya berada di puncak Hoa-san. Lalu datang ketua Sin-tung Kaipang yang hendak mencari perkara, dan muncullah Yo Wan yang biar pun sudah terpanah pundaknya oleh Swan Bu, namun masih berhasil mengusir semua musuh.
Cui Sian kagum bukan main dan semakin besarlah perasaan mesra terhadap Yo Wan bersemi di hatinya.
"Hebat dia," katanya tanpa menyembunyikan perasaannya, "dan dia sama sekali tidak marah ketika itu! Sekarang pun dia sama sekali tidak menaruh dendam, malah berusaha untuk membersihkan namamu. Swan Bu, aku percaya, seorang gagah seperti dia pasti akan mampu membereskan urusanmu ini."
"Mudah-mudahan, Sukouw. Akan tetapi, apakah paman Kong Bu mau menerima begitu saja, entahlah. Keadaan adik Lee Si ketika itu memang... memang... ahhh, kasihan dia, tentu saja sebagai seorang gadis terhormat ia merasa amat terhina."
Cui Sian termenung, lalu tiba-tiba ia berkata, "Memang sukar menghapus luka itu, baik dari hati Lee Si mau pun dan hati Kong Bu koko, kehormatan mereka tersinggung hebat dan kiranya hanya ada satu jalan untuk menebusnya Swan Bu."
"Jalan apakah itu, Sukouw?"
"Tiada lain, kau menikah dengan Lee Si!"
Wajah pemuda itu seketika menjadi merah sekali, dan dia kaget bukan main.
"Tidak... tidak mungkin..."
Cui Sian sudah berhenti melangkah dan sekarang mereka berdiri berhadapan. Swan Bu menundukkan mukanya.
"Swan Bu, aku tahu bahwa kau mencinta Siu Bi, bukan?" Suaranya amat tajam, seperti juga pandang matanya.
Swan Bu mengangkat muka, tak tahan melihat pandang mata tajam penuh selidik itu dan dia menunduk kembali, hatinya risau. Ingin mulutnya membantah, akan tetapi tak dapat dia mengeluarkan kata-kata karena tahu bahwa apa bila dia memaksa bicara, suaranya akan sumbang dan gemetar, juga akan bohong, tidak sesuai dengan suara hatinya.
"Swan Bu, aku tak akan menyalahkan orang mencinta, sungguh pun harus diakui bahwa cintamu tidak mendapatkan sasaran yang benar kalau kau memilih Siu Bi. Dia seorang gadis liar yang rusak oleh pendidikan keliru, dan dia sudah membuntungi lenganmu!"
Dengan suara datar dan lirih Swan Bu berkata, "Dia hanya memenuhi sumpahnya untuk membalas dendam kakeknya."
Cui San menarik nafas panjang. "Betapa pun juga, dunia kang-ouw akan mentertawakan engkau kalau kau memilih Siu Bi, dan hal ini akan berarti merendahkan derajat orang tuamu. Dengan mengawini Lee Si, tidak saja kekeluargaan akan menjadi semakin erat, juga kau membersihkan nama Kong Bu koko, orang tuamu tentu bangga, orang tua Lee Si bangga, dan segalanya berjalan baik serta semua orang menjadi puas. Swan Bu, seorang satria sanggup mengorbankan apa saja demi untuk kehormatan keluarga dan demi membahagiakan semua orang. Lee Si adalah seorang dara yang cantik jelita, dan kiraku tidak kalah oleh Siu Bi, juga dalam ilmu kepandaian, kurasa tidak kalah jauh. Aku bersedia menjadi perantara karena aku adalah bibi dari Lee Si."
Swan Bu terdesak hebat oleh kata-kata Cui Sian yang memang tepat. "Baiklah hal itu kita bicarakan lagi kelak, Sukouw. Kalau memang tak ada jalan lain, aku tidak merasa terlalu tinggi untuk menjadi suaminya, apa lagi... apa lagi melihat lenganku yang telah buntung. Apakah adik Lee Si tidak jijik melihat seorang yang cacad seperti aku?"
Sebelum Cui Sian sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi. Suara itu terdengar lapat-lapat dari tempat jauh.
"Ada pertempuran di sana!" kata Cui Sian. "Biar kulihat!" la segera melesat dengan cepat sekali, berlari ke arah suara tadi.
Swan Bu yang sudah agak mendingan, berlari mengejar. Akan tetapi karena dia belum berani mengerahkan ginkang, dia berlari biasa dan tertinggal jauh. Suara melengking tadi sudah tak terdengar lagi, maka Swan Bu hanya berlari ke arah menghilangnya bayangan Cui Sian yang memasuki sebuah hutan kecil.
Beberapa menit kemudian, dia tiba di sebuah lapangan rumput dan alangkah kagetnya ketika dia melihat Cui Sian berlutut sambil menangisi tubuh seorang laki-laki yang rebah tak bergerak, sebatang pedang terhujam di dadanya sampai tiga perempat bagian. Jelas bahwa laki-laki itu sudah tewas, terlentang dan mukanya tertutup tubuh Cui Sian yang berguncang-guncang menangis. Hati Swan Bu berdebar tidak karuan, dia mempercepat larinya mendekati.
"Paman Kong Bu...!" Swan Bu berseru keras dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat Cui Sian. "Sukouw, apa yang terjadi...?"
Dengan suara mengandung isak, Cui Sian menjawab, "Aku tidak tahu... tadi aku datang terlambat, dia sudah menggeletak seperti ini... tidak tampak orang lain... ah, koko... tidak dinyana begini nasibmu..."
Tiba-tiba Swan Bu menjerit kemudian melompat bangun. Cui Sian kaget dan cepat-cepat memandang. la melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak lebar dan tangan kanannya menutupi depan mulut, akan tetapi tetap saja mulutnya mengeluarkan kata-kata terputus-putus, "... tak mungkin ini... tak mungkin... pedang... Kim-seng-kiam..."
Cui Sian mengerutkan kening dan memandang ke arah pedang yang menancap di dada kakaknya. Pada gagang pedang itu tampak ukiran sebuah bintang emas, agaknya sebab itulah maka namanya Kim-seng-kiam (Pedang Bintang Emas).
"Swan Bu, kau mengenal pedang itu, pedang siapakah?" tanyanya, suaranya kereng dan sekarang tangisnya sudah terusir pergi, yang ada hanya kepahitan dan rasa penasaran terbungkus kemarahan.
"Kim-seng-kiam... pedang ibuku..., tapi tak mungkin ibu..."
Dagu yang manis runcing itu mengeras, sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar berapi. "Hemm, hemm, apanya tidak mungkin? Kakakku menemui ayah bundamu, minta pertanggungan jawab, salah paham dan bercekcok terus bertanding, kakakku mana bisa menangkan ayah bundamu? Hemmm, hemmm betapa pun juga, aku adiknya hendak mencoba-coba, mereka tentu belum pergi jauh!” Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu berkelebat pergi sambil menghunus pedangnya.
"Sukouw...!" Akan tetapi Cui Sian tidak menjawab.
"Sukouw, tunggu dulu! Tak mungkin ibu..." Akan tetapi kini Cui Sian sudah lenyap dari pandang matanya.
Swan Bu sendiri dengan hati berdebar-debar terpaksa harus mengaku bahwa dia sendiri kini merasa ragu-ragu, apakah benar ibunya tidak mungkin melakukan pembunuhan ini? Ibunya penyabar, akan tetapi jika paman Kong Bu memaki-maki sesuai dengan wataknya yang keras dan kasar, tentu ibunya akan marah pula, mereka bertempur memperebutkan kebenaran anak masing-masing dan... ahhh, mungkin saja berakibat begini.
"Ah, paman Kong Bu, mengapa begini...?" la memeluk tubuh yang sudah menjadi mayat itu dan menangis saking bingungnya.
Kemudian, sambil menekan kedukaan hati, Swan Bu mengerahkan seluruh tenaganya, sedapatnya dia menggali lubang mempergunakan pedang Kim-seng-kiam yang ia cabut dari dada jenazah pamannya. Kemudian, sesudah bekerja setengah hari dengan susah payah, dia berhasil mengubur jenazah itu yang dia beri tanda tiga buah batu besar di depannya.
Dan akhirnya, dengan tubuh lelah dan hati hancur, pemuda ini menyeret kedua kakinya berjalan terhuyung-huyung. Pedang Kim-seng-kiam masih di tangannya…..
********************
Selanjutnya baca
JAKA LOLA : JILID-08