Pendekar Remaja Jilid 06
Memang sudah terlalu lama kita meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya semenjak ia diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Goat Lan dibawa oleh kedua suhu-nya ke Bukit Liong-ki-san, yaitu sebuah bukit yang puncaknya tampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dengan amat tekun dan rajinnya Goat Lan melatih diri di bawah bimbingan Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Selama delapan tahun ia berlatih silat, juga ia mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-ong Sin Kong Tianglo. Kedua orang kakek ini merasa sangat gembira melihat ketekunan dan kemajuan murid tunggal mereka dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang paling tinggi.
Goat Lan tidak merasa kesepian oleh karena hampir sebulan sekali, ayah ibunya tentu datang menengoknya, bahkan dia menerima pula latihan ilmu silat dari ayah bundanya. Sebaliknya kedua orang suhu-nya pada waktu menganggur selalu bermain catur dan dua orang kakek itu biar pun sudah sering kali mendapat petunjuk dari Goat Lan, tetap saja masih amat bodoh dalam hal permainan catur! Agaknya memang betul kata orang-orang dulu bahwa otak orang tua sudah menjadi keras dan tumpul!
Tidak saja Kwee An dan Ma Hoa sering kali berkunjung ke puncak Liong-ki-san, bahkan beberapa kali Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, yaitu Lin Lin, membawa Lili naik ke gunung itu untuk mengunjungi. Oleh karena itulah, hubungan antara Lili dan Goat Lan menjadi erat.
Delapan tahun kemudian, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu yang sudah merasa bahwa kepandaian yang mereka ajarkan kepada Goat Lan sudah cukup, kedua orang kakek yang kini telah berusia amat tua itu lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing, yaitu di daerah utara.
Goat Lan kembali ke Tiang-an, melanjutkan pelajaran ilmu silatnya dari ayah bundanya sehingga dia kini menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kalau dibuat perbandingan, gadis muda ini mempunyai lebih banyak ilmu silat yang tinggi-tinggi dari pada ibu atau ayahnya, maka tentu saja Kwee An dan Ma Hoa menjadi amat bangga akan puteri tunggalnya ini.
Dua tahun lamanya Goat Lan mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, juga Ilmu Silat Bambu Runcing dari ibunya. Seperti ibunya, ia dapat mainkan Ilmu Silat Bambu Runcing ciptaan Hok Peng Taisu dengan amat baik dan bahkan berkat didikan Im-yang Giok-cu ia memiliki lweekang yang amat hebat serta ginkang yang dilatihnya dari Sin Kong Tianglo membuat gerakannya laksana seekor burung walet.
Pada suatu hari, datanglah Im-yang Giok-cu yang membawa berita amat menyedihkan hati Goat Lan dan orang tuanya. Ternyata bahwa Sin Kong Tianglo yang sudah amat tua itu meninggal dunia di daerah utara.
“Sin Kong Tianglo meninggalkan sebuah pesanan untukmu, Goat Lan,” berkata Im-yang Giok-cu setelah kesedihan Goat Lan agak mereda. “Pada waktu ini, putera Kaisar yang menjadi Putera Mahkota, menderita sakit hebat sekali. Menurut Sin Kong Tianglo, obat satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit pangeran itu hanyalah To-hio-giok-ko (Daun Golok Buah Mutiara) yang terdapat di daerah bersalju sebelah utara tapal batas. Dan karena mencari obat itulah maka ia menemui kematiannya! Tubuhnya yang amat tua itu tidak kuat menahan dingin dan karena serangan hawa dingin dan kelelahan, dia tewas di sana!”
“Mengapa dia bersusah payah mencarikan obat untuk Putera Mahkota?” tanya Ma Hoa dengan heran. Pertanyaan ini agaknya terkandung dalam pikiran Kwee An dan Goat Lan pula karena mereka juga segera memandang kepada Im-yang Giok-cu untuk mendengar bagaimana jawaban kakek itu.
Im-yang Giok-cu menurunkan guci araknya dan sebelum menjawab dia meneguk dahulu araknya.
“Memang Raja Obat itu orangnya aneh sekali. Seperti juga aku tua bangka tiada guna, ia tidak menaruh perhatian tentang keadaan Kaisar dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan dia memiliki satu kelemahan, yaitu selalu ingin menyembuhkan penyakit yang paling aneh. Selain dari pada itu, memang harus diakui bahwa di antara para pangeran, maka Putera Mahkota boleh disebut seorang pemuda yang paling baik, mempunyai sifat-sifat baik dan agaknya kalau dia menjadi Kaisar kelak, dia akan menjadi seorang Raja yang bijaksana. Karena itulah, maka banyak sekali ahli pengobatan yang mencoba untuk menyembuhkannya, hanya untuk mencegah supaya jangan sampai ada pangeran lain yang menggantikannya menjadi Putera Mahkota kalau dia meninggal.”
“Dan apakah pesan mendiang Suhu untukku?” tanya Goat Lan kepada suhu-nya yang kedua ini.
“Dia mengharuskan engkau untuk pergi ke utara mencari obat itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota!” jawab Im-yang Giok-cu sambil meneguk araknya lagi.
Goat Lan menerima berita ini dengan tenang saja, akan tetapi kedua orang tuanya saling pandang dengan muka berubah. Mereka telah maklum akan berbahayanya perjalanan ke daerah utara yang selain dingin juga banyak terdapat orang-orang buas dan jahat.
“Mengapa harus Goat Lan yang pergi mencari obat itu?” tanya Kwee An.
Dan Ma Hoa menyambung dengan suara penasaran, “Apakah tidak bisa orang lain yang mencarikannya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Tentu saja aku maklum dengan kekhawatiran kalian berdua. Siapa orangnya yang akan membiarkan Goat Lan pergi seorang diri ke tempat jauh itu? Akan tetapi Sin Kong Tianglo memang orang aneh!” Dia mengangguk-angguk lalu menyambung, “Aneh dan gila!”
Bagi Goat Lan, tidak aneh kalau Im-yang Giok-cu memaki gila kepada Sin Kong Tianglo, karena memang dua orang suhu-nya ini sudah biasa saling memaki!
“Dan susahnya, ini adalah pesannya, pesan orang yang hendak menghembuskan napas terakhir. Pesan seorang yang sudah meninggal harus dilaksanakan dan dipenuhi, kalau tidak, ahh... aku orang tua takkan dapat hidup tenang dan tenteram lagi. Arwah Sin Kong Tianglo tentu akan menjadi setan dan mengejar-ngejarku ke mana-mana. Pesannya ialah Giok Lan seorang, tak boleh orang lain, harus melanjutkan usahanya untuk mencari obat To-hio-giok-ko itu dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota.”
“Akan tetapi,” Ma Hoa terus membantah, “kenapa mendiang Sin Kong Locianpwe begitu mengkhawatirkan kesehatan Putera Mahkota dan tidak mempedulikan bahaya yang bisa menimpa diri anakku? Apakah ini adil namanya? Atau, apakah dia tidak sayang kepada muridnya?”
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak. “Belum kuceritakan yang lebih aneh lagi. Sebenarnya Sin Kong Tiangto sendiri tidak berapa peduli apakah Putera Mahkota akan mati atau pun hidup, akan tetapi sampai pada saat terakhir, orang tua yang berkepala batu itu selalu hendak mempertahankan namanya! Ia memang angkuh dan menjaga namanya sebagai Yok-ong (Raja Obat)! Ketahuilah, secara kebetulan Yok-ong Sin Kong Tianglo tiba di kota raja dan dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw ahli pengobatan yang terkenal dari seluruh daerah. Tentu saja, tukang obat bertemu ahli obat, mereka bicara asyik tentang hal pengobatan dan akhirnya mereka itu berdebat ramai sekali. Semua tukang obat yang berada di kota raja menyatakan bahwa di dunia ini tak ada obat lagi untuk penyakit yang diderita oleh Putera Mahkota. Akan tetapi Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan bahwa ada obatnya! Dia dibantah oleh banyak orang dan akhirnya semua orang minta buktinya. Kakek gila itu menantang dan menyatakan kesanggupannya, bahwa ia akan memperoleh obat itu dan menyembuhkan Putera Mahkota dengan taruhan bahwa kalau ia tidak bisa, ia tidak mau memakai gelar Yok-ong (Raja Obat) lagi! Nah, celakanya, ketika dia sedang mencari obat itu, dia terserang hawa dingin dan meninggal dunia. Masih baik bahwa dia bertemu denganku dan aku sudah menawarkan tenagaku untuk melanjutkan usahanya mencari obat itu, akan tetapi ia tidak mau menerima tawaranku, katanya, harus muridku yang akan mencari obat dan menyembuhkan penyakit Putera Mahkota. Biarlah muridku sendiri yang menolong namaku dari hinaan orang, dan biar muridku yang membuktikan bahwa julukan Yok-ong bukanlah sia-sia belaka!”
Kwee An, Ma Hoa, dan Goat Lan mendengarkan penuturan ini dengan bengong. Tanpa diberitahu, mereka bertiga maklum bahwa hal ini menyangkut nama baik dan kehormatan Sin Kong Tianglo.
“Nah, sekarang kalian tahu mengapa dia menghendaki Goat Lan seorang yang mencari obat itu? Kakek gila itu takut kalau-kalau para ahli obat di dunia kang-ouw akan mencela, mentertawainya, dan menghina julukannya sebagai Yok-ong! Dan aku tahu, kalau terjadi hal demikian, maka nyawa Yok-ong itu tentu akan berkeliaran lalu yang dijadikan sasaran terutama sekali adalah aku, karena akulah yang berjanji padanya untuk menyampaikan hal ini kepada Goat Lan dan membujuknya agar supaya suka berbakti kepadanya.”
“Baik, Suhu, teecu akan pergi melanjutkan usaha Suhu Sin Kong Tianglo!” tiba-tiba Goat Lan berkata dengan suara tetap.
Im-yang Giok-cu tertawa bergelak lalu menenggak araknya lagi.
“Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!” katanya dengan mata dikedip-kedipkan girang. “Bila tidak demikian jawabanmu, kau tentu bukan murid Yok-ong dan aku!” Im-yang Giok-cu lalu menuangkan semua sisa araknya ke dalam perut lalu berkata lagi dengan wajah berseri,
“Goat Lan, Sin Kong Tianglo telah berkata kepadaku bahwa bila kau mampu melanjutkan usahanya serta mengangkat namanya sebagai Yok-ong, aku boleh memberikan barang warisannya ini!” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan segi empat yang tipis kepada muridnya.
Goat Lan menerimanya dan dengan hati-hati ia membuka bungkusan kain kuning itu dan ternyata bahwa di dalamnya terdapat sebuah kitab yang sudah usang dan kuning.
“Kitab obat dari Suhu!” Goat Lan berseru dengan mata terbelalak.
Pernah Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan padanya bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai dan orang-orang jahat yang amat menginginkan kitab itu, akan tetapi suhu-nya itu selalu menjaganya dengan baik-baik.
“Kitab ini sangat berharga,” kata suhu-nya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat mengambilnya dari aku. Aku lebih menghargai kitab ini dari pada nyawaku sendiri! Dan kelak kalau aku mati kitab ini akan kubawa serta. Karena kalau sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka kitab ini akan mendatangkan mala petaka hebat kepada dunia, walau pun di dalam tangan orang baik-baik benda ini akan merupakan penolong manusia yang amat besar jasanya.”
Dengan bengong Goat Lan memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi, “Aku merasa berat sekali membawa-bawa kitab ini selama melakukan perjalanan ke sini, oleh karena aku pun maklum akan keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab ini. Di waktu kitab ini berada di tangan Sin Kong Tianglo, tidak ada yang berani mencoba untuk merampasnya, akan tetapi sesudah orang tua itu meninggal dunia, tentu mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu hati-hatilah kau menjaga kitab ini, muridku. Dan satu hal lagi, apa bila kau hendak mencari obat Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang terdapat daun dan buah itu yaitu pada sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota Hailun. Nah, aku telah memenuhi semua tugasku. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Im-yang Giok-cu lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan lagi.
Kwee An dan Ma Hoa kemudian saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran. Akhirnya Ma Hoa memegang tangan Goat Lan dan berkata,
“Goat Lan, memang sudah seharusnya kau menjaga nama baik suhu-mu. Akan tetapi, kami tidak tega untuk melepasmu pergi seorang diri begitu saja. Kita akan pergi bertiga.”
“Benar kata-kata ibumu, Goat Lan, tempat itu amat jauh. Aku sendiri bersama Pendekar Bodoh pernah melakukan perjalanan ke sana dan memang tempat itu amat berbahaya.”
“Akan tetapi, Suhu Sin Kong Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri, kalau sampai terdengar oleh orang kang-ouw bahwa sebagai murid Sin Kong Tianglo aku telah mengandalkan kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu, bukankah nama Suhu akan ditertawakan orang?”
“Peduli apakah kalau mereka mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa. “Coba suruh mereka tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu akan menjadi tawa terakhir dalam hidupnya!”
“Akan tetapi aku ingin pergi seorang diri, Ibu. Apa bila Ayah dan Ibu turut membantuku, maka aku akan merasa seolah-olah aku telah menyalahi pesan terakhir dari pada Suhu. Hanya kitab ini...” Ia memandang kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku tak berani membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik ditinggal di sini saja dalam perlindungan Ayah dan Ibu.”
“Goat Lan, jangan kau berkata demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau seorang diri, kau tentu akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan berkhawatir. Apa kau senang melihat ibumu selalu dirundung kegelisahan memikirkan keadaanmu?”
Goat Lan menengok pada ibunya yang juga sedang memandangnya. Melihat sinar mata ibunya yang penuh kasih sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan lalu tersenyum dan memeluk ibunya.
“Ahh, Ayah! Kau jangan merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya padaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan Ibu sudah mendidik dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk menjaga diri padaku. Bahkan delapan tahun lamanya dua orang suhu-ku telah menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah dan Ibu memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama bertahun-tahun itu aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah belajar ilmu silat. Apa bila sekarang melakukan perjalanan sebegitu saja aku harus mundur dan takut, apa perlunya selama ini aku mempelajari ilmu silat? Bukankah hal itu hanya akan merendahkan nama kedua orang suhu-ku, bahkan akan mendatangkan rasa malu kepada Ayah dan Ibu? Aku sudah mempelajari ilmu silat, jika sekarang tidak dipergunakan, habis apakah kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar, menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan indah dan sajak, sehingga kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”
Selama puteri mereka ini berbicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata mereka bersinar gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini dan lenyaplah keraguan mereka. Tanpa mereka lihat perubahannya, ternyata Goat Lan kini telah menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah dewasa saja dapat memiliki pendirian seperti itu.
Sesudah memberi nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk yang sangat perlu diketahui seorang perantau, akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan
“Hanya satu hal yang harus kau janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih lama dari enam bulan.”
“Baik, Ibu, aku berjanji. Menurut perhitungan Ayah, perjalanan ke situ pulang pergi hanya makan waktu dua bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”
“Bukan karena aku ingin memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku, hanya kau harus ingat bahwa usiamu telah masuk sembilan belas tahun dan perjanjian kita terhadap keluarga Sie sudah dekat waktunya.”
Tiba-tiba saja wajah Goat Lan menjadi merah sekali. Dia memang tahu bahwa dia telah dipertunangkan dengan Sie Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar Bodoh yang tidak diketahui bagaimana rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan Sie Hong Beng, yaitu ketika ia masih berusia lima tahun! Semenjak itu, belum pernah ia bertemu lagi dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi caIon suaminya itu.
Memang, jika ia ingat bahwa pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari Pendekar Bodoh yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan dikasih sayangi oleh ayah ibunya, dia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini. Namun betapa pun juga, sungguh pun mulutnya tidak pernah berkata sesuatu, akan tetapi ada perasaan kurang enak dalam lubuk hati. Ia belum melihat bagaimana keadaan pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula kepandaiannya.
Goat Lan berangkat ke utara sambil membawa pesan dan nasehat kedua orang tuanya. Ia masih ingat betapa ayah ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apa bila ia bertemu dengan seorang yang bernama Bouw Hun Ti, ia diperbolehkan menyerang dan membinasakan orang itu tanpa perlu ragu-ragu lagi.
“Dia adalah pembunuh Paman Yousuf dan dulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia adalah musuh besar kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat yang bernama Bouw Hun Ti itu kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau berhati-hatilah Goat Lan, karena dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin yang terkenal amat jahat dan curang.”
Bagaikan seekor burung terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat gembira. Baru kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu atas keputusan sendiri. Selama ini selalu ada orang-orang yang menjaganya, suhu-suhu-nya, ayah ibunya, dan baru sekarang ia merasa betapa besar kegunaan segala pelajaran ilmu silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.
Dia tidak membekal senjata lain kecuali sepasang bambu runcingnya, dan karena ayah bundanya juga maklum akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau dengan bambu runcing itu, maka mereka melepaskan dengan hati aman.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian sesudah melakukan perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai Sungari di perbatasan Boancu. Dia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan ketika dia sampai di sebelah selatan kota Hailun, ternyata bahwa lembah itu tertutup oleh hutan yang sangat liar dan gelap.
Hari sudah menjadi senja ketika dia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah hutan yang sangat gelap sehingga membuat tempat itu nampak hampir hitam, Goat Lan terpaksa menunda perjalanannya. Dia merasa lapar setelah melakukan perjalanan sehari lamanya, akan tetapi walau pun asap gurih dan sedap yang keluar dari sebuah rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan perutnya menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari tempat penginapan.
Namun ia kecewa karena ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan. Satu-satunya rumah penginapan kecil yang masih ada papan namanya, sudah ditutup. Heranlah Goat Lan melihat keadaan ini dan dia bertanya kepada seorang kakek petani yang memandangnya dari pintu rumahnya.
“Lopek, aku adalah seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di mana kiranya terdapat rumah penginapan di dusun ini?”
Kakek itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput dan sipit itu membayangkan kecurigaan besar, tapi melihat bahwa yang bertanya kepadanya adalah seorang gadis muda cantik dan halus tutur sapanya, kecurigaannya berubah menjadi keheranan besar.
“Nona, mendengar bicaramu, kau tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar sampai sejauh ini? Kau lihat sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari penduduknya adalah orang-orang Han, sebagian besar adalah penduduk dari suku bangsa lain. Kau hendak pergi ke manakah?”
Memang benar, sejak tadi agak sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu, karena di mana-mana dia melihat orang-orang yang amat berlainan dengan orang-orang Han, baik bentuk muka mau pun keadaan pakaiannya. Sungguh pun jawaban kakek ini tidak pada tempatnya, yaitu menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, akan tetapi Goat Lan tetap bersabar dan tersenyum ramah.
“Tidak salah dugaanmu, Lopek. Aku memang datang dari selatan dan seperti yang telah kukatakan tadi, aku adalah seorang pelancong.”
“Sebagai seorang pelancong, kau benar-benar sudah memilih tempat yang aneh. Hawa begini dingin, tidak ada pemandangan indah di sini, banyak penyakit merajalela.”
Ia memandang pada pakaian Goat Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu yang telanjang tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah hatinya. Bagaimana mungkin seorang gadis cantik jelita dan muda seperti ini mampu menahan dingin yang menggoroti kulit?
Pada waktu itu, bulan kedua baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu sendiri biar pun telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun tetap saja pada waktu seperti itu, tanpa perlindungan pakaian dari kulit domba, ia takkan tahan dan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.
“Nona, selanjutnya kau hendak ke manakah?” tanyanya kemudian.
“Aku ingin bermalam di dusun ini untuk satu malam saja dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan ke sana!” Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan yang kini sudah menjadi hitam karena diselimuti oleh malam yang mulai mendatang.
Tiba-tiba kakek itu nampak gugup dan pucat.
“Jangan, Nona...! Jangan kau pergi ke sana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku. Hidupku tidak akan lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau dari kesengsaraan, jangan kau memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada nyawamu!”
Goat Lan sangat terkejut, akan tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia memandang kepada kakek itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang dan sinar mata mereka bertemu, kakek itu menjadi makin pucat dan dia melangkah mundur dua langkah.
“Kau… matamu sama benar dengan matanya… kau...”
“Ehh, ada apakah Lopek? Aku seorang manusia biasa, seorang pelancong yang sedang membutuhkan tempat penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara yang aneh-aneh Lopek. Dapatkah kau menolongku dan memberitahukan di mana aku dapat bermalam? Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa mencari keterangan dan minta tolong kepada orang lain.”
Ucapan ini agaknya menyadarkan kakek itu kembali.
“Kau... kau bukan orang jahat?”
Goat Lan merasa dongkol, akan tetapi terpaksa dia tersenyum juga. Melihat pandangan mata dan wajah kakek itu, ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut yang hebat dari orang tua ini.
“Tiada gunanya aku menjawab pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini yang suka mengaku bahwa ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di dunia ini, aku akan menjawab bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi meski pun kau dapat mendengar jawaban mulutku, bagaimana kau akan dapat mengetahui keadaanku yang sebenarnya?”
Jawaban ini benar-benar membuat kakek itu tercengang.
“Nona, kau masih amat muda akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau bukan orang jahat. Mari, silakan masuk, akan kuceritakan kenapa aku mencegahmu memasuki tempat berbahaya itu.”
Akan tetapi Goat Lan menggelengkan kepalanya. “Aku datang untuk mencari tempat penginapan Lopek, bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya.”
Dia mengangguk dan hendak pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu melangkah maju dan berkata,
“Nona, apa bila aku sudah mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku menawarkan tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi tinggal di rumah yang buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku, oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau tak akan dapat menemukan rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang jujur, Goat Lan terpaksa melangkah masuk dan sambil tersenyum dia menyatakan terima kasihnya. Di luar dugaannya semula, walau pun rumah itu dari luar nampak amat buruk dan di dalamnya juga sangat sederhana, namun benar-benar bersih dan menyenangkan.
Sebuah lampu terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang sering kali bertemu dengan kain pembersih. Di kanan kiri meja itu terdapat dua buah bangku kayu yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang berwarna kuning dan cukup bersih sungguh pun sudah ada beberapa tambalan di sana sini.
Kakek itu mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu dia sendiri mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di sudut.
“Aku orang miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal di sini.”
“Kau maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan. “Kemiskinan bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali kakek itu tercengang dan wajahnya berseri. “Mendengar ucapanmu, hampir aku percaya bahwa kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana. Akan tetapi tidak mungkin seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan pakaianmu pula. Ahhh, kau tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.” Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja, lalu cepat berkata lagi. “Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku masak bubur untukmu.”
Goat Lan cepat mencegah dan segera dia mengeluarkan sepotong uang perak. “Jangan repot-repot, Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan tetapi kalau kau suka, tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang ini.”
Kakek itu memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian dia mengambil uang itu dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu bertindak keluar.
“Lopek, jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan berseru kepada kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku hati-hati, setelah kakek itu keluar, cepat dia mengadakan pemeriksaan di dalam rumah itu. Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam.
Kamar tidur biasa saja dan amat sederhana. Demikian pula kamar tidur ke dua. Rumah ini benar-benar kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal dari dua orang, melihat adanya dua buah kamar tidur itu.
Ia lalu membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah yang sudah dicampur dengan air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tidak dapat diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat yang lebih aman dan baik dari pada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkan buntalan itu di atas meja, kemudian ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh, pikirnya, mengapa ia begitu takut kepada hutan itu?
Tak lama kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua lalu makan bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan bersama kakek di dalam rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada ayah bundanya! Sesudah selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek itu tadi melarangnya memasuki hutan liar itu.
Sebelum menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata, “Ah, alangkah nikmatnya makan masakan mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap itu.”
Goat Lan tersenyum dan hatinya gembira karena sedikit uangnya dapat mendatangkan kenikmatan kepada kakek yang ramah tamah ini. “Kalau setiap hari kau masak masakan seperti ini, akan lenyaplah kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!” kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang sudah bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari dihadapinya hingga dia tidak doyan lagi semua makanan-makanan lezat dan mahal yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan sederhana dengan lahapnya. Dia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang dihadap raja. Ha-ha-ha!”
Goat Lan mengangguk. “Demikianlah jika nafsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek. Selalu bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang tidak dimilikinya.”
“Kau pintar sekali! Ha-ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada hutan itu dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
Tiba-tiba lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali lalu menceritakan dengan suara perlahan.
“Hutan itu memang semenjak dahulu sangat liar. Selain banyak terdapat binatang buas, terutama sekali ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu muncul seorang siluman yang sangat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu terdapat satu gerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama, akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi tahu-tahu para perampok yang jumlahnya tiga puluh orang lebih itu telah menggeletak di luar hutan dalam keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka, katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang mengerikan! Semenjak saat itulah tidak ada perampok lagi yang mengganggu sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan merasa amat tertarik mendengar cerita ini. “Benar-benar tak pernah ada orang yang berani memasuki hutan itu, Lopek?” dia bertanya.
Orang tua itu mengerutkan keningnya.
“Semenjak saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat di sini dan terus menuju ke hutan. Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu hanya iblis-iblis dan siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat kemarin.” Kakek itu nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa maksudmu, Lopek? Apakah ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan itu?” ketika mengajukan pertanyaan ini, biar pun Goat Lan seorang dara perkasa yang tak kenal takut, namun kini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul, memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik, “Aku melihat ada empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan tetapi luar biasa anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, begitu cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan bentuk tubuh mereka juga sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang pendek berkepala besar. Huh, sungguh menyeramkan!”
“Berapa orangkah semuanya, Lopek?”
“Ada empat! Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ahh, aku masih menggigil ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta agar kau membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Apa bila kau hendak melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh siluman dan binatang buas itu.”
Goat Lan tersenyum. “Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu ini, aku pun merasa takut dan ngeri. Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku tak akan mundur. Besok pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apa bila seperti yang kau katakan tadi…”
“Apa yang hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang melayang? Nona, jangan kau mencari penyakit!”
Goat Lan tersenyum lagi. “Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salamku kepada mereka, Lopek.”
Kakek itu melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak. “Nona, jangan kau main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat roboh luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu. Apa lagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak siluman!”
Goat Lan tidak menyembunyikan senyumannya. “Lopek, jangan kau khawatir. Sebetulnya aku pernah mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan mengalahkan siluman-siluman!”
Tiba-tiba gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika melihat gadis itu sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar seruan gadis itu dari luar pintu. “Siluman dari mana berani mengintai rumah orang?”
Terdengar suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, dia melihat dua bayangan orang berkelebat seperti sedang bertempur! Tidak lama kemudian terdengar seruan seorang laki-laki yang suaranya parau,
”Aduhh...!”
Dan terlihat olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan! Ketika kakek itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia melihat bayangan ke dua, melompat ke hadapannya dan ternyata bahwa bayangan ini adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.
“Jangan takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan dibawanya masuk ke dalam pondok.
Kedua mata kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan dengan mata terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis cantik jelita dan jenaka seperti ini benar-benar sanggup mengusir pergi seorang siluman jahat! Kemudian di dalam benaknya yang sudah banyak dipengaruhi cerita tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan seorang manusia biasa. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan berkata,
“Niang-niang (sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebesarnya bahwa hamba tadi sudah berani berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi mengampunkan dosa hamba tadi...”
Hampir saja Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini. Ia merasa geli sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya bangun dan berdiri kembali.
“Lopek, apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan Lopek, dan marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari esok.”
Dia kemudian memasuki sebuah di antara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas panjang saking heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar ke dua.
Akan tetapi bagaimana dia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi yang gagah perkasa itu, dan diam-diam dia merasa girang sekali bahwa dia telah mendapat kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi. Dia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan dia akan menjadikan peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia mendengar suara. “Lopek, selamat tinggal dan terima kasih!”
Ketika ia melompat bangun dan keluar dari kamarnya, ternyata tamunya yang cantik dan aneh itu sudah pergi dan tidak berada di dalam kamar lagi. Di atas mejanya terdapat tiga potong uang perak yang cukup besar!
Kembali kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan mulutnya berkemak-kemik seperti laku seorang dukun meminta berkah dari Penghuni Langit!
Goat Lan memang meninggalkan rumah itu secara diam-diam dan di waktu hari masih pagi sekali, karena ia merasa tidak enak melihat sikap kakek yang berlebih-lebihan dan yang amat tahyul itu.
Malam tadi, dia sudah merasa heran sekali ketika melihat benar-benar ada orang yang mengintai rumah kakek itu. Lebih-lebih herannya ketika ia menyerbu keluar, ia disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang berkepandaian tinggi!
Begitu keluar pintu karena melihat berkelebatnya bayangan yang mengintai, dia segera mengulur tangan hendak menangkap pundak orang itu dengan gerakan dari Gin-na-hwat (ilmu silat yang mempergunakan tangkapan dan cengkeraman). Akan tetapi ketika lelaki itu menangkis, Goat Lan merasa betapa tangkisan itu berat dan kuat sekali mengandung tenaga lweekang yang tak boleh dibuat gegabah!
Ia maklum bahwa ‘siluman’ ini adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka cepat dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat dan menyerang hebat. Sampai beberapa belas jurus orang itu dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya sebuah totokan jari tangan Goat Lan pada pundaknya membuat dia berseru kesakitan dan cepat melarikan diri ke arah hutan!
Hal inilah yang membuat Goat Lan mendapat kesimpulan bahwa di dalam hutan itu tentu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Dia masih belum dapat menetapkan apakah orang-orang itu termasuk golongan orang jahat atau orang gagah yang menyembunyikan diri dari dunia ramai.
Orang yang malam tadi bertempur dengan dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga totokannya tak membuatnya roboh, hanya berseru kesakitan akan tetapi masih dapat melarikan diri. Kalau saja ia tidak mempunyai keperluan untuk mencari obat To-hio-giok-ko yang berada di lembah sungai dalam hutan itu, tentu dia juga tidak mau memasuki hutan dan mencari penyakit atau perkara dengan orang-orang yang dianggap siluman oleh kakek itu.
Dengan waspada dan hati-hati sekali Goat Lan berjalan memasuki hutan itu, lalu mencari sungai yang mengalir di hutan. Hutan ini sungguh liar dan penuh dengan pohon-pohon besar, penuh pula dengan semak-semak belukar yang tampaknya belum pernah dijamah oleh tangan manusia.
Pada waktu dia sampai di pinggir sungai yang ditumbuhi rumput-rumput hijau, tiba-tiba ia mendengar suara gerakan di antara semak-semak. Dia cepat memandang sambil segera menghentikan langkah kakinya, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Ah, tentu seekor binatang yang lari bersembunyi, pikirnya. Dengan tenang dan tabah dia melanjutkan perjalanannya di sepanjang Sungai Sungari yang lebar dan jernih airnya, terus menuju ke utara. Matanya mencari-cari ke kanan kiri, melihat rumput-rumput yang tumbuh di situ.
Beberapa kali ia seperti mendengar suara tindakan orang yang mengikutinya, akan tetapi setiap kali dia menengok, dia tidak melihat bayangan seorang pun. Diam-diam ia merasa ngeri juga. Benarkah dongeng kakek itu bahwa di dalam hutan ini terdapat banyak setan dan siluman?
Ia seperti mendengar tindakan kaki orang yang ringan sekali dan kalau memang yang berjalan itu seorang manusia, ia tentu akan dapat melihatnya. Sampai tiga kali ia merasa seperti mendengar orang berjalan, akan tetapi betapa pun cepatnya dia menengok ke belakang, ia tak pernah melihat sesuatu, kecuali daun-daun pohon yang bergerak tertiup angin atau seekor burung yang terbang sambil mengeluarkan seruan kaget.
Ahh, peduli apa dengan siluman mau pun orang? Asal saja dia tidak menggangguku, pikirnya. Dia lalu melanjutkan usahanya mencari daun dan buah obat itu. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, belum juga dia mendapatkan Daun Golok Buah Mutiara.
Banyak terdapat bermacam-macam pohon di tempat itu, akan tetapi tiada yang berdaun seperti golok dan berbuah seperti mutiara. Goat Lan adalah seorang gadis muda yang lincah dan jenaka, maka ia mulai merasa tipis harapannya. Ia kurang sabar dan akhirnya ia pun duduk beristirahat di bawah pohon sambil makan buah yang dipetiknya di tengah perjalanan itu.
Tiba-tiba ia melempar buah yang dimakannya dan melompat berdiri. Ia mendengar suara orang bicara dan tak lama kemudian, di tempat itu muncullah empat orang laki-laki yang berlompatan keluar dari balik pohon-pohon besar. Melihat mereka ini, jantung Goat Lan langsung berdebar dan merasa bulu tengkuknya meremang. Betul-betulkah ada siluman muncul di siang hari?
Tiga di antara empat orang yang muncul ini benar-benar tidak pantas disebut manusia, ada pun orang ke empat potongan tubuhnya seperti yang sudah bertempur dengan dia malam tadi! Orang ke empat ini adalah seorang setengah tua yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Dia tersenyum menyeringai dan berkata kepada tiga orang kawannya yang seperti siluman,
“Sam-wi-enghiong (Tuan Bertiga Yang Gagah), inilah Nona yang gagah dan jelita itu!”
Tak salah lagi, orang inilah yang telah bertempur dengan dia malam hari tadi, pikir Goat Lan dan mendengar orang itu bercakap-cakap dengan bahasa manusia kepada tiga orang yang seperti siluman, legalah hatinya. Apa pun juga yang akan terjadi, dia tidak merasa gentar menghadapi sesama manusia! Dia mulai menaruh perhatian kepada tiga orang aneh itu.
Memang, tiga orang ini benar-benar mempunyai bentuk yang lucu dan aneh. Mereka ini bukan lain adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Yang tertua bernama Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Dunia) dan sungguh pun ini bukan sebuah nama, namun oleh orang ini diaku sebagai nama julukannya!
Thian-he Te-it Siansu ini adalah seorang yang tubuhnya seperti seorang kanak-kanak, akan tetapi kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Mukanya jelas muka seorang kakek yang sudah tinggi usianya. Kedua kakinya kecil seperti kaki kanak-kanak pula, begitu pula tangannya. Orang kate ini memegang sebatang payung yang ujungnya tumpul dan setiap ranting payungnya terbuat dari logam keras yang berujung runcing.
Orang ke dua adalah seorang pendek gemuk sekali yang bermuka lebar dan mulut serta kedua matanya besar-besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf ‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan ia berjalan sambil menyeret sebuah rantai panjang dan besar. Inilah orang kedua dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang bernama Lak Mou Couwsu.
Ada pun orang ke tiga berpotongan tubuh seperti suling, tinggi kurus dengan kepala kecil tertutup kopyah kecil pula. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri sementara jenggotnya hitam seperti jenggot kambing modelnya. Dia memegang sebatang tongkat dan namanya adalah Bouw Ki.
Melihat keadaan mereka, agaknya tidak pantas sama sekali bahwa mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan membuat para orang gagah gentar mendengar nama mereka!
Orang ke empat, yaitu orang setengah tua yang tadi malam bertempur dengan Goat Lan, sebenarnya adalah Bouw Hun Ti! Memang, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi ke utara untuk membujuk dan minta bantuan Hailun Thai-lek Sam-kui untuk memperkuat kedudukannya menghadapi para musuhnya, yaitu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya.
Ketika Bouw Hun Ti dan kawan-kawannya tiba di dusun itu, dan sebagaimana biasa ketiga orang iblis itu tidak suka bermalam di tempat ramai, akan tetapi memilih hutan belukar, Bouw Hun Ti lalu berjalan-jalan dan dia melihat Goat Lan!
Bouw Hun Ti selain jahat dan kejam, juga mempunyai kelemahan terhadap wajah elok. Maka begitu melihat Goat Lan yang cantik jelita seperti bidadari, ia pun menjadi tertarik. Malam hari itu dia mendatangi gubuk kakek yang menjadi tuan rumah Goat Lan, akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu ternyata bukanlah makanan empuk, bahkan ia terkena totokan yang amat lihai! Tentu saja Bouw Hun Ti menjadi terkejut dan curiga.
Siapakah gadis muda yang lihai sekali ini? Dan apakah perlunya seorang gadis pendekar bangsa Han sampai di tempat itu? Ia lalu menceritakan keadaan gadis itu kepada tiga orang kawannya yang juga amat tertarik hatinya.....
Seorang di antara ketiga iblis itu, yaitu Lak Mou Couwsu, adalah seorang yang sangat malas dan paling doyan tidur. Sampai matahari naik tinggi, belum juga dia bangun dan masih mendengkur di bawah pohon di dalam hutan itu.
Bouw Hun Ti sudah kehabisan kesabarannya, karena dia ingin sekali mencari gadis yang lihai malam tadi. Akan tetapi ketika dia hendak membangunkan Lak Mou Couwsu, hampir saja dia menjadi korban kaki kakek aneh ini.
Begitu dia memegang lengan Lak Mou Couwsu dengan maksud hendak rnenggugahnya, tiba-tiba saja kaki kanan orang tua aneh itu bergerak cepat sekali menendang ke arah dadanya! Baiknya pada waktu itu tangannya sudah disambar oleh Thian-he Ta-it Siansu yang segera membetotnya ke belakang sehingga tendangan itu tidak mengenai sasaran. Bouw Hun Ti terkejut sekali dan ketika dia memandang ke arah orang yang masih tidur mendengkur, dia mendapat kenyataan bahwa kakek gemuk itu masih tidur nyenyak!
“Bouw-enghiong, jangan kau bertindak sembarangan!” Kakek kate botak itu menegurnya. “Sungguh pun dia ini amat pemalas dan doyan tidur, akan tetapi sekali-kali tidak boleh dibangunkan, karena sebelum tidur dia tentu telah memasang dan membuat semua urat di tubuhnya bersiaga. Siapa saja yang menyentuhnya, otomatis tentu akan diserangnya, biar pun dia masih dalam keadaan tidur!”
Bouw Hun Ti menjulurkan lidahnya. Selama hidup baru kali ini dia mendengar keanehan dan kelihaian seperti itu. Oleh karena itu, ia menahan kesabarannya dan menanti sampai matahari naik tinggi barulah orang tua itu sadar dari pulasnya. Mereka lalu berangkat dan di tengah jalan bertemulah mereka dengan Goat Lan!
Tiga iblis tua itu memandang kepada Goat Lan sambil tertawa-tawa dan Hailun Thai-lek Sam-kui bertanya, “Nona muda, kau siapakah dan siapa pula Suhu-mu sehingga kau mampu mengalahkan dia?” Ia menunjuk kepada Bouw Hun Ti.
Goat Lan menjura dan berkata dengan suara halus, “Orang tua, burung-burung di udara bertemu di angkasa tak pernah saling bertanya dan mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Kita orang-orang perantau sebaiknya dapat mencontoh burung-burung itu.”
Memang Goat Lan tak ingin orang mengetahui keadaannya dan tak menghendaki orang mengetahui akan maksudnya mencari obat untuk putera kaisar. Siapa tahu orang ini juga termasuk mereka yang hendak menghalangi usaha mendiang suhu-nya.
Mendengar jawaban ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan dia lalu memandang kepada kawan-kawannya yang juga tertawa geli. Hanya Bouw Hun Ti seorang diri yang memandang kepada Goat Lan dengan pandang mata menyatakan kekagumannya dan juga penasaran. Setelah melihat Goat Lan di siang hari, ia makin tertarik akan kecantikan nona ini dan makin penasaranlah hatinya mengapa ia sampai kalah oleh seorang nona yang demikian muda.
“Ha-ha-ha, Nona yang baik!” kata Thian-he Te-it Siansu, “kau tidak saja berkepandaian lumayan akan tetapi juga mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang cukup. Hutan yang seliar ini berani kau masuki. Sungguh pun aku orang tua tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, akan tetapi ketahuilah bahwa baru bisa bertemu dengan kami tiga orang-orang tua saja sudah merupakan hal yang langka dan luar biasa bagimu. Kami adalah Hailun Thai-lek Sam-kui, tiga orang tua dari Hailun yang bodoh! Dan sahabat baik kami ini,” ia menudingkan telunjuknya ke arah Bouw Hun Ti, “adalah seorang yang cukup ternama juga. Namanya Bouw Hun Ti dan kepandaiannya cukup lihai! Nah, setelah kami memperkenalkan nama, masihkah kau menganggap bahwa kau terlampau tinggi untuk memperkenalkan diri kepada kami?”
Goat Lan terkejut sekali mendengar nama ketiga orang tua ini karena dia pun pernah mendengar dari dua orang suhu-nya bahwa Hailun Thai-lek Sam-kui adalah tokoh-tokoh persitatan yang pandai dan ditakuti orang. Akan tetapi, mendengar nama Bouw Hun Ti membuat dia lebih tercengang lagi dan kemarahan membuat mukanya menjadi merah padam. Inikah si jahat yahg pernah menculik Lili dan membunuh Yousuf?
“Sam-wi Locianpwe,” katanya kepada kakek kate itu sambil menjura memberi hormat, “sesungguhnya merupakan kehormatan besar bagi teecu (murid) yang muda dan bodoh telah dapat bertemu muka dengan Sam-wi Locianpwe. Teecu bernama Kwee Goat Lan.”
Terbuka lebar mata ketiga orang kakek itu. “Ha, ternyata kau sudah pernah mendengar nama kami? Bagus, kalau begitu, tentu kau murid seorang pandai.”
Akan tetapi Goat Lan tidak mempedulikan ucapan ini, sebaliknya dia cepat memandang dengan penuh kebencian kepada Bouw Hun Ti dan berkata,
“Orang she Bouw, apa bila aku tahu bahwa siluman yang malam tadi mengintai rumah kakek petani adalah jahanam yang bernama Bouw Hun Ti, tentu aku tidak akan mau melepaskanmu secara begitu saja! Bouw Hun Ti, bersiaplah kau untuk menebus semua dosa-dosamu dan mampus di tanganku!” Sambil berkata demikian, Goat Lan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya dan siap hendak menyerang Bouw Hun Ti.
“Ehh, Nona manis, sudah miringkah otakmu? Mengapa kau tiba-tiba menjadi marah dan begitu membenciku?” Bouw Hun Ti lebih merasa heran dari pada marah mendengar makian itu karena sesungguhnya ucapan gadis ini tidak pernah disangkanya.
“Dahulu kau pernah menculik Lili puteri Pendekar Bodoh, juga secara kejam kau sudah membunuh Kakek Yousuf! Kalau sekarang aku memberitahumu bahwa aku adalah puteri dari Kwee An, apakah otakmu yang tumpul masih juga tidak tahu mengapa aku hendak membunuhmu?” Sambil berkata demikian secepat kilat tubuhnya berkelebat maju dan ia mengirim serangan maut ke arah tubuh Bouw Hun Ti.
Orang she Bouw ini menjadi terkejut sekali ketika dia mendengar bahwa nona ini adalah puteri dari Kwee An dan lebih-lebih kagetnya saat ia melihat serangan yang menimbulkan angin dingin mengerikan itu. Ia cepat melompat mundur ke belakang, akan tetapi kedua ujung bambu runcing di tangan Goat Lan tidak mau melepaskannya dan terus mengejar hebat.
Terpaksa Bouw Hun Ti mencabut keluar goloknya, kemudian dia melakukan perlawanan sekuatnya. Akan tetapi, begitu goloknya bertemu dengan bambu runcing gadis itu, dia merasa tangannya tergetar dan secara aneh sepasang bambu runcing itu menggunting goloknya dan diputar sedemikian rupa sehingga goloknya kena dirampas!
Bouw Hun Ti berteriak kaget dan cepat dia melompat ke belakang tiga orang kakek yang memandang kagum.
“Sam-wi Lo-enghiong! Dia ini adalah keponakan Pendekar Bodoh dan seorang di antara musuh-musuhmu yang sombong itu!”
Thian-he Te-it Siansu melompat ke depan sambil menggerakkan payungnya. Senjata istimewa ini mengeluarkan angin sambaran yang kuat sekali sehingga Goat Lan cepat miringkan tubuh dan menyabetkan bambu runcingnya. Ia maklum bahwa kakek ini tinggi sekali ilmu silatnya, maka ia lalu berkata,
“Locianpwe, harap kau orang tua tidak mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Ha-ha-ha, Nona yang gagah perkasa! Kami bertiga sengaja datang turun gunung karena dimintai bantuan oleh sahabat Bouw Hun Ti. Kulihat kau memainkan Ilmu Silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu, sungguh mengagumkan! Biarlah kita main-main sebentar dan berilah kesempatan kepadaku untuk merasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!”
Sambil berkata begitu, payungnya segera meluncur ke depan dan ternyata bahwa ujung payung yang tumpul itu digunakan untuk menotok jalan darah lawan! Gerakannya cepat serta mengandung tenaga besar, sedangkan setiap kali payung itu ditarik kembali, maka cabang-cabangnya berkembang merupakan perisai (tameng) yang kuat untuk menjaga diri!
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), jangan borong sendiri, biarkan siauwte (Adik) merasai kelihaian Nona ini!” seru Lak Mou Couwcu yang segera memutar rantai bajanya.
Memang ketiga orang kakek ini paling suka bertempur. Di dalam dunia persilatan tingkat tinggi, hanya ada dua rombongan orang aneh yang paling doyan bertempur. Rombongan pertama adalah Hek Pek Mo-ko (Dua Saudara Setan Hitam dan Putih) yang amat ditakuti orang karena tiap kali kedua orang saudara ini turun tangan dalam pertempuran, pasti mereka membunuh orang. Keduanya merupakan manusia buas yang haus darah.
Berkelahi dan membunuh orang merupakan ‘hobby’ (kesukaan) mereka, tanpa peduli siapakah orang yang dibunuhnya itu dan apa alasannya! Pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Hek Mo-ko menjadi guru dari Kwee An dan betapa kedua orang Iblis Hitam dan Putih ini kemudian tewas karena bertempur sendiri.
Rombongan ke dua yang paling doyan berkelahi adalah Hailun Thai-lek Sam-kui ini. Juga bagi mereka ini, pertempuran merupakan kebiasaan dan kesukaan, sungguh pun sifat mereka berbeda dengan Hek Pek Mo-ko. Ketiga orang kakek ini senang berkelahi dan mencoba kepandaian orang lain, hanya untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai kepandaian yang lebih unggul! Mereka tidak biasa membunuh lawan yang sudah mereka kalahkan, cukup asal mempermainkan mereka saja dan memaksa supaya lawan-lawan mereka itu mengaku kalah!
Dalam setiap pertempuran, ketiganya selalu maju bersama-sama, bukan dengan maksud mengeroyok karena sifat mereka curang, melainkan tiada seorang pun di antara mereka yang mau mengalah dan yang mau tinggal diam sebab ketiganya haus akan kemenangan dan ingin mempunyai saham dalam kemenangan itu!
Demikianlah, pada waktu Thian-he Te-it Siansu menyerang Goat Lan, Lam Mou Couwsu si kakek gemuk bertopi pendeta Buddha itu lalu maju pula ikut menyerang, dan Si Tinggi Kurus pun lalu melompat maju sambil memutar tongkatnya!
Tentu saja Goat Lan merasa mendongkol sekali melihat betapa Hailun Thai-lek Sam-kui yang terkenal memiliki kepandaian tinggi itu mengeroyoknya. Hal ini ia anggap amat tidak tahu malu dan curang. Lenyaplah semua penghormatannya terhadap ketiga orang kakek ini.
“Bagus, tidak tahunya kalian hanyalah tua-tua bangka tidak tahu malu!” teriaknya sambil memutar sepasang bambu runcingnya dengan cepat sekali sehingga sepasang senjata ini berubah menjadi dua sinar kuning yang bergulung-gulung!
Melihat betapa tiga orang kakek sakti itu mengeroyok Goat Lan, Bouw Hun Ti diam-diam tersenyum girang. Dari serangan tadi, dia telah maklum akan kelihaian gadis puteri Kwee An ini, maka kalau tidak dilenyapkan sekarang, mau tunggu kapan lagi? Ia lalu melompat maju dengan golok di tangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan goloknya terlempar lagi dari pegangan!
Jika tadi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan telah melemparkan goloknya yang diambilnya kembali, kini goloknya terlempar lebih jauh lagi. Dia menjadi sangat terkejut karena tahu bahwa yang tadi menangkis goloknya dan membuat senjatanya terlempar itu adalah rantai baja di tangan Lak Mou Couwsu!
“Minggirlah dan jangan mengganggu kami bila kami sedang bermain-main dengan Nona ini!” Lak Mou Couwsu berkata. “Gangguanmu itu sama artinya dengan penghinaan!”
Bukan main heran dan kagetnya hati Bouw Hun Ti menyaksikan watak yang aneh ini. Terpaksa dia mengambil kembali goloknya dan berdiri menonton saja, sama sekali tidak berani coba-coba lagi untuk membantu.
Sementara itu, Goat Lan merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu silat ketiga orang kakek ini benar-benar tinggi dan lihai. Kalau saja mereka maju seorang demi seorang, agaknya dia masih akan sanggup melawannya. Akan tetapi dikeroyok tiga oleh tiga orang tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, sebentar saja dia sudah terdesak dan sinar senjatanya makin mengecil, tanda bahwa gerakannya amat terkurung dan tidak leluasa.
Ia hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya saja untuk mengelak dan menangkis setiap serangan yang datang. Yang membuat dia terheran dan mendongkol adalah kenyataan bahwa tiga orang kakek ini tidak bermaksud mencelakakannya. Tiap kali senjata mereka sudah mendekat tubuhnya, maka senjata itu tiba-tiba ditarik kembali dan terdengar suara kakek-kakek itu tertawa mengejek! Goat Lan merasa dirinya dipermainkan, maka dia lalu menahan napas mengumpulkan semangat untuk mengadakan perlawanan yang hebat.
Tiba-tiba dengan seruan keras, ujung rantai baja di tangan Lak Mau Couwsu menangkap dan membelit kedua bambu runcingnya dan pada saat itu pula dari kiri menyambarlah ujung payung milik Thian-he Te-it Siansu hendak menotok nadi tangannya, ditambah lagi dengan totokan dari kanan oleh ujung tongkat Bouw Ki si tinggi kurus yang mengarah nadi tangan kanannya!
Untuk menyelamatkan kedua tangannya, maka terpaksa Goat Lan melepaskan sepasang bambu runcingnya. Terdengar gelak terbahak dari ketiga orang kakek itu,
“Aduh, sungguh lihai Ilmu Silat Bambu Kuning dari Hok Peng Taisu!” kata Si Kakek Kate.
“Hayo, lekas mengakulah bahwa kau kalah terhadap kami!” seru Lak Mou Couwsu sambil melemparkan sepasang bambu runcing itu ke atas tanah.
“Akuilah bahwa kami Hailun Thailek Sam-kui lebih menang dan lebih lihai dari pada Hok Peng Taisu yang terkenal!” juga Bouw Ki mendesak.
Akan tetapi, Goat Lan adalah puteri dari suami isteri pendekar besar gagah berani, juga murid dari guru-guru besar yang sakti. Mana dia mau mengaku kalah begitu saja? Sambil menggertak gigi, dia lalu mainkan serangan dari Ilmu Silat Im-yang Sin-na, yaitu ilmu silat dari suhu-nya Ciu-sin-mo Im-yang Giok-cu tokoh Kun-lun-san yang terkenal itu!
Thian-he Te-it Siansu cepat-cepat menyambut serangan ini dengan gembira, dan setelah bertempur sepuluh jurus, ia berkata dengan gembira,
“Aduh! Bukankah ini Im-yang Sin-na dari Kun-lun-pai? He, Nona kau tentunya murid dari Im-yang Ciok-cu, tosu pemabukan itu, bukan?”
“Memang Im-yang Giok-cu adalah Suhu-ku!” jawab Goat Lan dan dia lalu memperhebat serangannya.
“Bagus!” Lak Mou Couwsu dan Bouw Ki berseru keras. “Hari ini benar-benar kita sangat beruntung! Setelah mencoba kepandaian dari Hok Peng Taisu dan berhasil mengalahkan dia, sekarang kita mendapat kesempatan untuk mengalahkan Im-yang Giok-cu sute-nya! Ha-ha-ha!” Mereka kemudian maju menyerbu lagi dan kembali Goat Lan yang bertangan kosong dikeroyok tiga oleh Thai-lek Sam-kui yang bersenjata aneh!
Memang guru Goat Lan yang bernama Im-yang Giok-cu adalah sute (adik seperguruan) dari Hok Peng Taisu. Ilmu Silat Im-yang Sin-na yang dimainkan oleh Goat Lan adalah ilmu silat yang memang khusus dipergunakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata.
Kalau saja yang mengeroyok Goat Lan adalah orang lain yang tingkat kepandaiannya seperti Bouw Hun Ti saja, besar kemungkinan dia akan dapat merampas senjata-senjata para pengeroyoknya. Akan tetapi, yang ia hadapi sekarang adalah Thai-lek Sam-kui, tiga tokoh persilatan yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya, maka biar pun senjata-senjata mereka hanya senjata aneh yang sederhana saja, namun sukarlah baginya untuk dapat merampas senjata mereka! Kembali ia terkurung dan terdesak hebat!
Pada suatu saat, dengan sangat tepatnya, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu telah menotok pundak kanan Goat Lan di bagian jalan darah Kim-seng-hiat! Kalau orang lain yang tertotok, betapa pun lihainya, tentu tubuh atas bagian kanan akan menjadi kaku dan tak berdaya lagi.
Akan tetapi tidak percuma Goat Lan menjadi murid tersayang Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, tokoh yang sangat terkenal karena kepandaiannya dalam hal pengobatan. Dari suhu-nya ini, Goat Lan telah banyak mempelajari ilmu kepandaian untuk mengobati segala macam luka dan penderitaan tubuh, juga tentang totokan berbagai pukulan yang berbahaya.
Begitu merasa pundaknya kaku akibat totokan yang lihai itu, tiba-tiba tubuhnya melompat ke atas mengandalkan tenaga kedua kaki, berjungkir balik di udara sambil mengeluarkan seruan keras dari dalam dada, “Hu! Hu! Hu!”
Kemudian setelah tubuhnya tiba di atas tanah, ia sengaja menjatuhkan tubuhnya dengan pundak kanan di bawah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan ketika ia melompat kembali, ternyata bahwa totokan pada jalan darah Kim-seng-hiat di pundak kanannya itu sudah sembuh kembali!
Melihat perbuatan gadis ini, tiga orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak. Thian-he Te-it Siansu kemudian maju selangkah dan berkata dengan suara menyatakan keheranannya.
“Hai! Bukankah yang kau perlihatkan tadi adalah Ilmu Menolak Tiam Hwat dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?”
“Dia adalah Suhu-ku juga!” jawab Goat Lan dengan singkat dan marah karena dia masih merasa mendongkol sekali.
“Hebat!” kakek kate itu memuji. “Kau menjadi orang muda yang benar-benar beruntung. Mewarisi kepandaian Hok Peng Taisu, Im-yang Giok-cu, dan Sin Kong Tianglo! Nona, kalau kau tidak memberi tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi setelah kami tahu bahwa kau adalah murid Sin Kong Tianglo, kami takkan dapat melepaskan kau sebelum kau menyerahkan Thian-te Ban-yo Pit-kip (Kitab Rahasia Selaksa Pengobatan Bumi Langit)! Bukankah sesudah meninggal dunia gurumu itu lalu meninggalkan kitab obatnya kepadamu?”
Goat Lan terkejut sekali. Benar seperti telah dikatakan oleh gurunya, Im-yang Giok-cu, bahwa banyak sekali orang-orang kang-ouw yang menghendaki kitab rahasia yang amat berharga itu. Dan kini tiga orang iblis tua ini telah dapat menduganya, celaka! Mengingat akan kelihaian ketiga orang tua ini, tanpa banyak cakap lagi Goat Lan lantas melompat pergi sambil mengerahkan tenaga dan kepandaiannya melarikan diri!
“He, Nona! Kau tidak boleh pergi sebelum menyerahkan kitab itu kepada kami.!” Ketiga orang kakek itu mengejarnya dengan gerakan mereka yang juga amat cepatnya.
Goat Lan telah mempunyai ginkang yang luar biasa sekali dan ia telah melatih diri untuk dapat berlari secepat kijang melompat. Sebentar saja dia telah berlari jauh meninggalkan hutan itu dan ketika ia tiba di lembah sungai yang bercadas dan penuh batu karang, para pengejarnya baru dapat menyusulnya!
“Nona, kau harus mengalah terhadap kami orang-orang tua!” berseru Lam Mou Couwsu yang segera menggerakkan rantai bajanya yang menyambar ke arah kedua kaki Goat Lan bagaikan seekor ular menyerang!
Goat Lan menggunakan ginkang-nya melompat tinggi sambil tersenyum dan mengejek, “Kalian ini tua bangka-tua bangka yang betul-betul jahat dan curang! Tak malukah kalian mengeroyok seorang gadis muda yang bertangan kosong?”
Pada waktu itu, ujung payung di tangan Thian-he Te-it Siansu sudah menyerang dengan totokan pada pinggangnya, akan tetapi biar pun tubuh Goat Lan masih berada di udara, gadis ini mampu menggerakkan kaki dan tangan kanan untuk miringkan tubuh sehingga totokan ini pun tidak mengenai sasaran. Akan tetapi, begitu tubuhnya turun di atas tanah, ia telah dikurung kembali secara rapat dan hebat oleh desakan-desakan tiga orang kakek lihai itu.
Goat Lan berada dalam keadaan amat terdesak dan berbahaya sekali. Namun, tiba-tiba terdengar seruan orang yang amat nyaring sehingga membuat anak telinga terasa sakit. Seruan ini dibarengi dengan berkelebatnya bayangan merah yang cepat dan kuat sekali gerakannya. Sinar pedang berkilau saat orang yang berpakaian merah ini menggerakkan pedangnya dan terdengar suara keras tiga kali.
“Trang! Trang! Trang!”
Suara ini lantas disusul dengan seruan kakek dari Hailun Thai-lek Sam-kui yang melihat betapa ujung senjata mereka semuanya telah terbabat putus! Tanpa banyak cakap lagi ketiga orang kakek aneh ini lalu melompat pergi dan melarikan diri dari situ!
Ketika Goat Lan memandang, ternyata yang datang menolongnya adalah seorang wanita tua sekali. Wanita ini berpakaian serba merah, tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya berkilauan dan yang telah dimasukkannya kembali ke sarung pedangnya. Rambut wanita ini sudah putih semua, kulit mukanya penuh keriput menyatakan bahwa usianya sudah amat tua, akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam dan bening sekali seperti mata seorang anak kecil atau mata seorang gadis yang elok!
“Siapakah kau yang begitu bodoh memasuki hutan liar seperti ini?” tanya nenek ini dan sungguh pun suaranya nyaring dan merdu, akan tetapi terdengar galak sekali. Pandang matanya seakan-akan hendak menembus jantung Goat Lan.
Gadis ini cepat menjura dengan penuh hormat, lalu ia menjawab, “Terima kasih banyak, kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, entah bagaimana dengan nasibku. Aku bernama Kwee Goat Lan, puteri dari Kwee An di Tiang-an.”
Nenek itu memandang tajam. “Hemm, jauh-jauh kau dari Tiang-an sampai di tempat ini, ada keperluan apakah?”
Entah kenapa, terhadap nenek ini Goat Lan menaruh kepercayaan besar. Biar pun sikap nenek ini sangat galak, akan tetapi ada sesuatu pada diri nenek ini yang menimbulkan penghormatan dan kepercayaannya. Agaknya sepasang mata yang bening itulah!
“Sesungguhnya, aku sedang menjalankan tugas dari Suhu Sin Kong Tianglo yang sudah meninggal dunia, untuk mencari obat ‘to-hio-giok-ko’ yang katanya hanya bisa tumbuh di sekitar lembah sungai ini. Tak tahunya, obat belum ditemukan, sebaliknya aku mendapat gangguan dari Hailun Thai-lek Sam-kui itu. Baiknya kau orang tua yang sangat gagah perkasa datang menolongku.”
“Bodoh!” Nenek itu mencela. “Hanya karena mereka kaget melihat ketajaman pokiam-ku (pedang mustikaku) saja yang menolongmu. Apa bila mereka tidak lari, belum tentu aku sanggup mengalahkan mereka! Kau katakan tadi hendak mencari to-hio-giok-ko? Untuk apakah?”
“Untuk mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.” Dengan terus terang Goat Lan lalu menceritakan pengalamannya yang didengarkan oleh nenek itu dengan wajah tidak sabar.
“Bodoh! Ini benar-benar bodoh! Mengapa mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong nyawa orang? Gila dan ganjil sekali.”
“Mohon tanya, siapakah sebenarnya Suthai ini?” Goat Lan menyebut ‘suthai’ karena dia mengira bahwa wanita ini tentulah seorang pertapa yang mengasingkan diri.
Untuk beberapa saat nenek itu tidak menjawab. Kemudian ia menggerakkan tangan dan menjawab. “Tidak usah kau pusingkan hal itu. Kau mau mencari To-hio-giok-ko, marilah kau ikut padaku!”
Goat Lan menjadi girang sekali dan tidak merasa sakit hati karena nenek itu tidak mau mengaku siapa namanya. Yang paling penting baginya adalah mendapatkan buah dan daun itu, supaya dia dapat menyelesaikan tugasnya dan dapat segera pulang. Nenek itu membawanya ke utara dan kira-kira dua li jauhnya dari situ, mereka memasuki sebuah hutan kecil yang gelap. Senja kala telah menghilang, terganti malam penuh bintang yang membuat cahaya redup dan sayu membayang di sekitar hutan itu.
“Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, apa bila kau mencari obat itu di siang hari, sampai selama hidupmu pun kau tidak akan berhasil.”
Goat Lan tidak mengerti apa maksud ucapan ini, akan tetapi diam-diam dia terus berpikir, siapakah gerangan wanita aneh ini? Inikah yang dianggap siluman oleh kakek petani itu? Wanita inikah yang telah mengalahkan tiga puluh orang perampok?
Mereka kemudian pergi ke dekat sungai dan tiba-tiba saja wanita tua itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang besar.
“Kau lihatlah, bukankah buah itu mengeluarkan sinar seperti mutiara? Itulah yang disebut giok-ko (buah mutiara) dan daunnya juga seperti golok bentuknya, maka disebut to-hio (daun golok). Nah, kau ambillah buah dan daun itu.”
Bukan main girangnya hati Goat Lan. Ia segera melompat dan bergantung pada cabang terendah, kemudian mengayun tubuhnya ke atas dan berdiri di atas cabang itu. Tadinya ia merasa heran sekali melihat buah yang besarnya hanya sekepalan tangan itu nampak berkilauan dari bawah, seakan-akan yang bergantungan pada pohon itu bukanlah buah, melainkan batu-batu giok! Akan tetapi setelah dekat, tahulah ia mengapa buah-buah itu berkilau.
Ternyata bahwa buah-buah itu mengeluarkan semacam getah dari kulitnya dan getah ini amat bening sehingga ketika tertimpa cahaya bintang kemudian berkilau di dalam gelap! Daun-daunnya berwarna hijau, bentuknya seperti golok-golok kecil dan ujungnya runcing.
Cepat dia memetik lima butir buah dan mengumpulkan belasan daun. Semua buah dan daun itu dia masukkan ke dalam buntalan pakaiannya yang bergantung di punggungnya. Lalu ia melompat turun di depan nenek yang masih memandang dengan mata tajam itu.
Goat Lan menjura di depan nenek itu. “Suthai, alangkah besar pertolonganmu kepadaku, tidak saja kau telah membantuku mengusir Thai-lek Sam-kui, akan tetapi kau juga telah menolongku memperoleh obat ini. Hanya sayangnya, Suthai belum juga memberitahukan nama sehingga aku tidak tahu kepada siapa aku harus selalu mengingat budi ini.”
Mendengar ucapan yang sopan santun dan ramah ini, wajah nenek yang tadinya muram dan galak itu lalu melembut dan senyum membayang di bibirnya.
“Anak baik, kau tadi mengaku bahwa kau adalah puteri dari Kwee An, seorang pendekar yang sudah lama kukenal namanya yang besar. Oleh karena itu, mengapa aku tidak mau menolongmu? Di mana pun juga berada, keturunan orang baik-baik tentu akan mendapat bantuan orang lain. Soal aku dan namaku, tak perlu diingat lagi, anakku. Sekarang lebih baik kau ikut ke goaku untuk bermalam, karena di dalam hutan ini, tidak mungkin kau dapat melanjutkan perjalananmu. Besok pagi-pagi boleh kau melanjutkan perjalanan.”
Setelah berkata demikian, nenek itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi tanpa menengok lagi, seakan-akan ia telah merasa pasti bahwa gadis itu tentu akan mengikuti dia. Suaranya tadi biar pun amat ramah, akan tetapi mengandung pengaruh yang besar. Goat Lan tidak rnembantah dan berjalan mengikuti nenek itu.
Mereka sampai di depan sebuah goa di antara batu-batu karang yang tinggi dan dengan tangannya nenek itu mempersilakan Goat Lan masuk ke dalam. Heranlah nona itu ketika memasuki goa yang dari luar nampak besar dan hitam, karena ternyata bahwa di dalam goa itu terdapat sebuah lampu yang bernyala terang dan keadaan kamar itu amat bersih. Di tempat itu hanya terdapat sebuah pembaringan terbuat dari pada kayu, maka Goat Lan lalu mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam yang halus.
“Jangan kau duduk di situ, itu adalah tempatku bersemedhi. Kau pakailah pembaringan dan tidurlah!” kata nenek tadi.
Tentu saja Goat Lan merasa sungkan sekali. Sebagai seorang tamu, bagaimana ia bisa merampas tempat tidur nyonya rumah yang hanya satu-satunya itu?
“Tidak, Suthai, biarlah aku yang muda mengaso sambil duduk di sini saja. Suthai tidurlah di pembaringan itu.”
“Anak bandel! Mana ada aturan yang muda harus mengalah terhadap yang tua? Kau tidurlah di situ dan kalau membandel terhadapku, lebih baik kau keluarlah lagi!”
Goat Lan menjadi terkejut dan walau pun dia merasa sangat mendongkol menyaksikan kekasaran orang, akan tetapi ia tetap menurut. Sambil tersenyum sungkan ia lalu duduk di atas pembaringan itu, merasa sungkan sekali untuk merebahkan dirinya.
“Kau tidurlah!” kembali nenek itu memerintah lagi sambil menduduki batu dalam keadaan bersila seperti orang bersemedhi.
Goat Lan memang sudah merasa lelah sekali sehabis bertempur melawan ketiga orang kakek yang lihai itu, maka dia lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan itu.
“Kau bilang tadi bahwa kau adalah puteri dari Kwee An dan Ma Hoa? Apakah kau puteri tunggal mereka?” tiba-tiba nenek itu bertanya.
Goat Lan tercengang mendengar pertanyaan ini karena sepanjang ingatannya, dia belum pernah menyebutkan nama ibunya. Akan tetapi dia menjawab juga.
“Betul, Suthai, aku adalah puteri tunggal mereka. Apakah Suthai kenal dengan ayah dan ibuku?”
Akan tetapi nenek itu hanya berkata singkat. “Kau tidurlah dan berangkat pagi-pagi.”
Karena nenek itu nampak sudah memeramkan sepasang matanya, Goat Lan tidak berani mengganggunya lagi. Dengan heran dia terus menduga-duga siapakah gerakan nenek yang aneh dan yang agaknya telah mengenal ayah-bundanya ini, hingga akhirnya ia tidur nyenyak.
Menjelang fajar, pada waktu sadar dari pulasnya, Goat Lan mendengar suara isak tangis tertahan. Ia menjadi heran sekali dan tanpa menggerakkan tubuhnya, ia membuka mata dan mengerling ke arah nenek itu.
Ternyata bahwa nenek itu tidak duduk bersemedhi lagi seperti yang dilihatnya sebelum ia tidur, akan tetapi sekarang nenek itu menggunakan kedua tangannya menutup mukanya dan tubuhnya bergoyang-goyang menahan tangis dan sedu sedan! Tentu saja Goat Lan merasa terkejut dan heran, akan tetapi ia tidak berani bergerak dan hanya memandang nenek itu melalui bulu matanya.
Tiba-tiba nenek itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Giok Lan yang masih rebah telentang dengan mata meram. Untuk beberapa saat lamanya, nenek itu menatap wajah Goat Lan, lalu berisik perlahan,
“Kau puteri tunggal Ma Hoa... alangkah cantik dan gagah, ahhh, sayang Siong-ji tidak berada di sini...” Setelah berkata demikian, nenek itu melangkah maju, membungkuk dan mencium jidat Goat Lan yang berkulit halus dan putih.
Ketika nenek itu menciumnya, Goat Lan mencium bau yang harum seperti bau bunga Cilan dan setelah nenek itu melangkah mundur sambil menghela napas berulang-ulang, Goat Lan membuka sedikit matanya. Di dalam keadaan yang suram itu, ia melihat tubuh nenek itu yang masih langsing dan penuh, rambutnya terlepas dan panjang sekali, sedikit pun tidak nampak ubannya dan rambut itu di dalam gelap kelihatan hitam dan berombak. Wajahnya yang memang baik bentuknya itu tidak kelihatan keriputnya, hanya kelihatan sebagai bayang-bayang hitam dari wajah wanita yang cantik sekali!
Bagaikan mendapat cahaya penerangan kilat, tiba-tiba timbul dugaan yang pasti dalam pikiran Goat Lan. Tanpa disadarinya, ia berseru keras,
“Ang I Niocu...!”
Nenek itu nampak terkejut dan melompat mundur laksana diserang oleh seekor ular dari bawah. Terdengar dia mengeluarkan seruan tertahan yang aneh sekali, setengah tertawa setengah menangis, kemudian tubuhnya bergerak dan hanya sekali berkelebat, dia telah melompat keluar!
“Ang I Niocu... tunggu...!” Goat Lan berteriak sambil melompat dan mengejar keluar.
Akan tetapi ketika dia tiba di luar goa, ternyata bayangan nenek itu tidak nampak lagi! Goat Lan menarik napas panjang berkali-kali dengan hati kecewa. Dia tentu Ang I Niocu, pikirnya dengan hati berdebar tegang.
Ia telah mendengar dari ibunya tentang pendekar wanita yang hebat ini. Tadinya ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa nenek yang keriputan dan berambut putih itu adalah Ang I Niocu, karena menurut cerita ibunya, Ang I Niocu merupakan seorang wanita yang tercantik di dunia ini. Akan tetapi, ketika kegelapan menyembunyikan uban dan keriput nenek itu, Goat Lan melihat bayangan seorang wanita yang benar-benar cantik, gagah dan mengeluarkan keharuman seperti bunga Cilan, maka timbullah dugaannya bahwa nenek itu tentu Ang I Niocu.
Setelah merasa yakin bahwa nenek itu tidak mau bertemu dengan dia lagi, dan karena obat yang dicarinya telah didapatnya, Goat Lan lalu keluar dari hutan itu dan kembali ke selatan. Selain membawa obat itu ke kota raja, dia hendak pulang dulu untuk mengambil kitab obat yang ditinggalkan suhu-nya, oleh karena kitab itu penting sekali baginya untuk menjadi petunjuk mengobati penyakit putera Kaisar. Dan di dalam perjalanannya pulang inilah ia lewat dusun Tong-sin-bun.
Dia telah melakukan perjalanan cepat sekali sehingga tanpa diketahuinya dia telah dapat meninggalkan Bouw Hun Ti beserta Thai-lek Sam-kui yang melakukan perjalanan sambil melancong. Kebetulan sekali di Tong-sin-bun ini dia melihat Ban Sai Cinjin dan sesudah mengadakan penyelidikan, dia mendengar tentang keadaan orang tua yang mewah itu.
Mendengar tentang kakek yang pernah didengar namanya yang amat terkenal ini, Goat Lan lalu menunda perjalanannya dan mengambil keputusan untuk menyelidiki keadaan kelenteng di dalam hutan. Ia pernah mendengar dari ayahnya bahwa Ban Sai Cinjin yang berjuluk Huncwe Maut adalah suhu dari Bouw Hun Ti.
Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, malam hari itu Goat Lan dapat menolong nyawa putera Pangeran Ong Tek dan Tan Kauwsu, bahkan bersama Lili yang telah dibebaskan oleh Kam Seng, dia lalu mengadu kepandaian melawan Wi Kong Siansu yang lihai.
Lili merasa kagum dan tertarik mendengar penuturan Goat Lan, terutama sekali tentang pertemuan Goat Lan dengan Ang I Niocu.
“Dan sekarang, kau hendak ke kota raja atau pulang dahulu, Goat Lan?” tanya Lili sambil memandang wajah calon iparnya yang cantik manis.
“Aku harus pulang lebih dulu ke Tiang-an, membuat persiapan mengobati penyakit yang diderita oleh putera Kaisar.”
“Bagus, kalau begitu, marilah kita pergi bersama, karena aku pun hendak mengunjungi orang tuamu.”
Berangkatlah dua orang dara remaja yang cantik jelita dan gagah perkasa itu, langsung menuju ke Tiang-an…..
********************
Untuk menghormat dan menyenangkan hati Hailun Thai-lek Sam-kui, Ban Sai Cinjin lalu mengadakan pesta di gedungnya di dusun Tong-sin-bun. Dalam pesta ini ia mengundang kawan-kawannya yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dan para pembesar serta para hartawan. Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio disuruh mengundang beberapa orang gagah dari kota-kota yang berdekatan.
Banyak orang-orang yang berkepandaian tinggi menghadiri pesta itu, akan tetapi semua termasuk satu golongan dengan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, di antara para tamu ini yang patut dikemukakan hanya seorang dari Shantung yang kebetulan lewat di dusun itu.
Orang ini bernama Lok Cit Sian dan ia adalah seorang ahli silat dari cabang Thai-kek-pai yang tersesat hingga tidak diakui lagi sebagai anak murid Thai-kek-pai. Lok Cit Sian yang bertubuh tinggi kurus seperti pohon bambu ini meski usianya telah mendekati lima puluh tahun, namun dia terkenal sebagai seorang bandot tua yang menjemukan. Kesukaannya inilah agaknya yang membuat dia bersahabat baik dengan Ban Sai Cinjin, cocok seperti yang dikatakan orang bahwa dua orang dapat menjadi sahabat karib apa bila kesukaan mereka sama.
Pesta berlangsung meriah sekali dan pengaruh arak telah mulai tampak pada para tamu. Suara ketawa bergelak makin lama makin riuh dan percakapan yang terdengar, makin lama makin bebas dan tidak dibatasi oleh kesopanan lagi.
Di meja besar yang berada di tengah ruangan pesta, duduklah Ban Sai Cinjing, Wi Kong Siansu, ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui dan Lok Cit Sian. Meja-meja lain dalam ruangan itu sampai ke ruangan luar juga dipenuhi tamu. Semuanya ada belasan meja banyaknya. Meja-meja di ruangan luar diduduki oleh tamu-tamu yang muda, sebagian besar adalah orang-orang muda yang kurang ajar dan tidak sopan, orang-orang muda yang pandainya hanya berjudi, mengganggu wanita dan berkelahi mengandalkan kekayaan orang tua.
Ketika para pemuda itu bersenda gurau membicarakan tentang wanita-wanita, tiba-tiba semua mata memandang ke arah selatan dari mana datang seorang gadis remaja yang amat menarik hati.
Gadis itu masih amat muda, bertubuh ramping menggiurkan dengan pakaian yang amat sederhana. Akan tetapi kesederhanaan pakaiannya yang mencetak tubuhnya ini bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya yang seperti setangkai bunga baru mulai mekar itu. Wajahnya yang cantik manis tidak dibedaki, akan tetapi kecantikannya yang wajar itu benar-benar mengagumkan dan menggairahkan hati tiap orang laki-laki.
Tentu saja, melihat datangnya gadis ini, para pemuda itu bagai kucing-kucing kelaparan melihat tikus gemuk. Semua mata memandang dengan dipentang lebar seolah-olah bola matanya hendak lompat keluar dari pelupuk mata, bibir mereka tersenyum menyeringai dan mereka sibuk membereskan rambut atau pakaian yang kusut. Banyak yang menelan ludah pada waktu menyaksikan betapa gadis elok itu melenggang dengan pinggang yang lemas, sehingga cocok sekali perumpamaan kuno bahwa pinggang dan tubuh gadis itu demikian lemas dan gayanya demikian indah seperti pohon yang-liu tertiup angin!
Tidak heran apa bila semua pemuda mata keranjang itu tertarik hatinya melihat gadis ini. Gadis ini bukan lain adalah Lilani, dara suku bangsa Haimi yang cantik. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lilani setelah tertolong oleh Lie Siong, lalu diantar oleh pemuda itu menuju ke Tiang-an. Kini mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki dan meninggalkan perahu di tepi sungai.
Sebagai seorang gadis Haimi yang berwatak jujur, dengan terang-terangan Lilani selalu menyatakan dalam segala sikap serta perbuatannya bahwa gadis ini mencinta pemuda penolongnya itu. Akan tetapi, Lie Siong selalu bersikap dingin, biar pun di dalam hatinya kadang kala timbul gelora karena sikap dan kecantikan gadis ini amat menarik hatinya.
Tiap kali mereka bermalam di rumah penginapan, Lilani selalu berkeras ingin bermalam di dalam satu kamar. Tentu saja Lie Siong merasa tidak enak hati sekali, akan tetapi dia menjadi terharu juga ketika mendapat kenyataan bahwa gadis ini benar-benar jujur dan berhati putih bersih. Setiap kali mereka tinggal sekamar dalam sebuah hotel, gadis itu tanpa banyak cakap lalu merebahkan diri di atas pembaringan yang hanya sebuah, tidur di pinggir dan miringkan tubuh membelakangi Lie Siong lalu tidur pulas!
Terpaksa Lie Siong tidak mengajukan keberatan lagi, bahkan ia merasa malu kepada diri sendiri karena tadinya dia menyangka bahwa Lilani adalah gadis yang berpikiran kotor. Yang lebih mengharukan hatinya adalah saat dia melihat gadis itu tidur dalam kedinginan lalu selimut yang hanya satu-satunya itu dia selimutkan di atas tubuh gadis itu akan tetapi pada keesokan harinya ketika dia bangun dari tidurnya, ternyata bahwa selimut itu telah pindah tempat dan telah diselimutkan oleh Lilani di atas tubuhnya!
Pernah Lilani mengatakan bahwa kini ia tidak ingin tinggal bersama Kwee-lo-enghiong di Tiang-an.
“Mengapa?” Lie Siong bertanya terheran. “bukankah kau sendiri yang minta supaya aku mengantarmu ke Tiang-an?”
“Tadinya memang hanya Kwee-lo-enghiong satu-satunya orang yang dapat kuharapkan, akan tetapi sekarang aku lebih senang tidak berumah dan selamanya merantau bersama denganmu, Lie Taihiap.”
Ucapan yang sejujurnya ini menusuk perasaan Lie Siong dan membuka matanya bahwa gadis Haimi ini benar-benar mencinta padanya. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan berlaku seolah-olah ia tidak mengerti akan pengutaraan rasa hati gadis itu.
Pada hari itu, mereka tiba di dusun Tong-sin-bun dan menyewa sebuah kamar di hotel. Seperti biasa, pelayan mengira bahwa mereka adalah sepasang suami isteri, akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi perasaan Lie Siong karena telah sering kali mereka dianggap suami isteri oleh pelayan hotel. Dan selalu Lilani menyambut anggapan ini dengan wajah berseri dan mulut tersenyum manis.
“Taihiap, marilah kita berjalan-jalan melihat keadaan dusun ini yang sangat ramai,” Lilani mengajak Lie Siong ketika mereka telah duduk mengaso.
“Kau pergilah kalau ingin berjalan-jalan, Lilani. Aku sedang malas dan biar aku menanti kau di sini,” jawab Lie Siong.
Biar pun hatinya kecewa, Lilani pergi juga seorang diri, dengan maksud hendak mencari sesuatu yang enak dan dibelinya untuk Lie Siong! Demikianlah, tanpa disengaja ia lewat rumah gedung Ban Sai Cinjin dan kini, dengan hati mendongkol ia melihat betapa mata beberapa orang muda yang sedang makan minum di ruangan depan itu memandangnya dengan kurang ajar sekali.
“Aduh, Nona manis, hendak pergi ke manakah?” seorang di antara mereka menegur sambil tersenyum-senyum.
Lilani tidak mempedulikannya dan hendak berjalan terus. Akan tetapi orang ke dua lalu menghadang di depannya dan berkata,
“Wahai dewi kahyangan, marilah kau makan minum dengan kami. Bukan begitu kawan-kawan?”
“Akur! Nona ini harus makan minum, menemani kita bergembira,” teriak yang lain.
Sambil tertawa-tawa, pemuda itu lalu mengulur tangan hendak menangkap dan menarik lengan Lilani. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika gadis itu mengelak dan mengirim tamparan ke arah pipinya.
“Plokk!”
Pemuda itu menjerit kesakitan dan terhuyung mundur. Kawan-kawannya menjadi marah dan hendak menangkap Lilani, akan tetapi menghadapi kawanan pemuda liar ini Lilani cukup lihai. Beberapa kali tangannya bergerak dan empat orang pemuda roboh sambil mengaduh-aduh kesakitan.
Ban Sai Cinjin yang duduk makan minum di ruang dalam, mendengar suara ribut-ribut ini, lalu ia berdiri dan bertindak keluar, diikuti oleh Liok Cit Sian. Ada pun Wi Kong Siansu dan ketiga Thailek Sam-kui yang sedang bertanding mengadu kekuatan minum arak, tak mempedulikannya dan terus saja duduk minum dengan gembira.
Ban Sai Cinjin menjadi kaget dan marah sekali melihat seorang gadis muda yang cantik menghajar beberapa orang tamunya. Akan tetapi ketika Lok Cit Sian melihat gadis itu, matanya yang juling berseri-seri dan dia berbisik, “Ban Sai Cinjin sahabat baik, jangan mencelakai burung molek ini, serahkan dia untukku.”
Ban Sai Cinjin tersenyum dan dia lalu bertanya kepada para tamunya apakah yang telah terjadi.
“Kami dengan baik-baik menawarkan dia makan minum, akan tetapi Nona ini sebaliknya lalu mengamuk dan memukul!” Pemuda yang kena ditampar tadi mengadu.
“Hem, hem, galak benar,” kata Ban Sai Cinjin. Dengan mulut menyeringai, ia mengambil tempat masakan, lalu menggunakan sebatang sumpit ia mencokel sepotong daging yang panas mengebul sambil berkata,
“Nona manis, akulah tuan rumahnya dan karena kau sudah datang, silakan kau makan daging ini!”
Biar pun gerakannya mencokel daging dengan sumpit itu perlahan saja, namun daging itu bagaikan disambitkan lalu meluncur dan menyambar ke arah muka Lilani! Gadis itu terkejut sekali ketika merasa betapa sambaran daging itu mendatangkan angin kuat. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya sehingga kalau ia tidak cepat menarik tubuhnya ke belakang, tentu daging panas itu akan mengenai mulutnya!
“Tua bangka kurang ajar!” bentaknya dan semua orang merasa heran mendengar betapa suara gadis ini lain dengan orang Han biasa.
Akan tetapi pada saat itu, sumpit di tangan Ban Sai Cinjin sudah berkali-kali mencokel lagi dan tiga potong daging menyambar ke arah Lilani. Gadis ini berusaha mengelak dan memang benar ia dapat menghindarkan diri dari sambaran daging pertama dan kedua, akan tetapi sambaran daging ke tiga tak dapat dielakkannya lagi.....
Dengan tepat sekali daging ini mengenai jalan darahnya di dekat iga kiri dan seketika itu juga Lilani merasa seluruh tubuhnya kesemutan dan dua tangannya tak dapat digerakkan lagi! Dia terkejut sekali dan lebih-lebih terkejutnya pada saat orang tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang Ban Sai Cinjin sambil tertawa-tawa, kini melangkah maju dan begitu orang tinggi kurus ini mengulur tangan, dia telah kena dipeluk dan dipondongnya.
“Ha-ha-ha, burung muraiku yang manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”
Dengan mata terbelalak bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun segera memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.
Ketika dulu dia masih hidup bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan kawan-kawannya memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta tolong kepada kawan-kawan. Kini dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali, maka otomatis dia segera mengeluarkan pekik yang amat nyaring bunyinya.
Pekik ini terdengar seperti siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti bunyi seekor burung hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini, akan tetapi Lok Cit Sian sambil tertawa berkata,
“Ha-ha-ha, burungku yang indah benar-benar pandai bersiul!”
Letak rumah penginapan yang ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai Cinjin. Pada waktu itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran bingung. Harus diakuinya, bahwa setelah melakukan perjalanan bersama Lilani selama sebulan lebih, dia telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis ini. Sikap gadis ini yang ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di hatinya sehingga kini timbul keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa senang apa bila Lilani dia tinggalkan di rumah Kwee An. Apakah dia akan dapat merasa gembira lagi setelah berpisah dari gadis itu?
Tiba-tiba saja dia mendengar siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih melakukan perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah Lilani mengeluarkan siulan seperti itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam hutan dan banyak terdengar suara binatang di waktu malam, saking girangnya Lilani mengeluarkan siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.
Dan kini terdengar siulan seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta tolong, demikian Lilani dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Lie Siong menyambar pedangnya yang segera diikatkan di pinggang, kemudian dia berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.
Alangkah marahnya ketika dia tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat Lilani sedang dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak tertawa para tamu yang berada di situ. Dalam kemarahan yang berkobar memuncak, Lie Siong lantas melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus itu dengan gerakan yang disebut Raja Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan tusukan kedua jari tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke arah tubuh Lilani!
Tak seorang pun menduga datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut sekali. Dia sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara yang demikian cantiknya, maka akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir saja dia tidak dapat menghindarkan matanya dari tusukan dua buah jari tangan Lie Siong.
Baiknya Lok Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih dapat merasakan datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak dari serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari pondongannya.
Dengan gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawaya melompat ke pekarangan depan.
Barulah terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini. Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu ke depan dan menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.
Pedang Lok Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.
“Traang...!”
Dua pedang bertemu, maka berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan pada saat ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.
Dia mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit Sian adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, dia maklum akan kelihaian pukulan ini, maka dia mengerahkan tenaga lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.
“Aduh...!” Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada pedang Lie Siong!
Tiba-tiba Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan tubuh sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.
“Traaang...!”
Lie Siong merasa terkejut sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar, sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan terlibat oleh lidah pedangnya kini telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan melihat betapa tenaga serangan itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia menghadapi seorang pandai.
“Bangsat muda, apakah kau buta maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.
Akan tetapi, Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat dapat menangkis lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.
Sementara itu setelah dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi ditamparnya tahu-tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu terlempar ke udara!
Pemuda itu menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.
Sementara itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang tengah mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang mulai mencabut senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,
“Taihiap, mari kita pergi dari sini. Aku takut!”
Lie Siong tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biar pun harus ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia pantang mundur. Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia dapat menjaga diri sendiri, namun apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu ia dapat melindungi gadis itu.
Maka dengan gerakan yang cepat dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga Sakti Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan, tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.
Ban Sai Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu, akan tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil berseru,
“Bangsat rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”
Akan tetapi Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang ramping lalu berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar Bodoh!”
Dia memang merasa mendongkol karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama Pendekar Bodoh disebut orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar Bodoh.
Ban Sai Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu yang baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”
Ban Sai Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan dalam. Pesta dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi…..
********************
Lie Siong berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap berada di hotel, maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar goa, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.
“Lilani, bagaimanakah terjadinya keributan itu?”
Lilani segera menceritakan betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,
“Kau tunggulah di sini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan kepala Si Tinggi Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”
Mendadak Lilani menjadi pucat ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana. Mereka itu orang-orang jahat yang lihai sekali.”
“Aku tidak penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Dia hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang tangannya.
“Taihiap, jangan... jangan kau pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi pun aku sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang lihai dan jahat.”
“Aku tidak takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”
“Jangan, Taihiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi kalau kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.
Sungguh mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!
“Jangan takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!” Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera melompat pergi.
Hari telah menjadi gelap ketika bayangan Lie Siong berkelebatan cepat di atas genteng gedung Ban Sai Cinjin di mana siang hari tadi diadakan pesta untuk menghormati Hailun Thai-lek Sam-kui. Keadaan di dalam gedung itu tidak seramai tadi, karena Ban Sai Cinjin, ketiga kakek Thai-lek Sam-kui, Wi Kong Siansu, dan juga Lok Cit Siang telah pergi dan mengunjungi kuil di dalam hutan.
Orang-orang tua yang lihai ini melanjutkan percakapan di dalam kuil ini supaya tidak terganggu oleh orang-orang muda yang masih melanjutkan pesta di gedung itu. Hanya Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang mewakili tuan rumah dan menjamu para tamu yang kini terdiri dari orang-orang muda. Pesta itu kini dimeriahkan oleh beberapa orang wanita penyanyi dan para tamu menjadi makin mabuk.
Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa kakek-kakek yang lihai itu tidak berada di tempat itu, dan ia pun tidak peduli. Pemuda putera Ang I Niocu ini memang memiliki ketabahan hati seperti ibunya dan juga memiliki kecerdikan dan pandangan luas seperti ayahnya.
Ia maklum bahwa seorang diri menghadapi begitu banyak lawan, terutama sekali adanya para orang tua yang pandai itu, merupakan hal yang bodoh sehingga sama saja dengan membunuh diri. Oleh karena itu, dia segera menuju ke ruang belakang yang sunyi dan mencari akal. Satu-satunya jalan untuk dapat menghajar mereka, pikirnya, adalah dengan cara membuat mereka cerai-berai dan memecah-mecah perhatian mereka.
Gerakan tubuh Lie Siong demikian hati-hati dan ginkang-nya memang sudah sempurna seperti ibunya, maka anak buah dan kaki tangan Ban Sai Cinjin yang berpesta pora di dalam gedung tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Bahkan Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng yang sudah memiliki ilmu silat tinggi juga tidak mengetahuinya.
Hal ini bukan menandakan bahwa kepandaian kedua orang murid Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu ini masih rendah, melainkan oleh karena keadaan di dalam gedung itu amat ramainya sehingga tentu saja mereka tidak memperhatikan keadaan di luar mau pun di atas gedung. Dan pula, siapakah orangnya yang berani mengganggu rumah gedung Ban Sai Cinjin?
Tiba-tiba, nampak api bernyala hebat di bagian belakang gedung, disusul pula oleh nyala api di sebelah kanan dan kiri gedung. Dalam waktu yang susul menyusul, gedung itu sudah kebakaran di tiga tempat, yaitu di belakang, kanan dan kiri! Barulah orang-orang yang berpesta pora menjadi geger.
“Kebakaran...! Kebakaran...!” Orang-orang mulai berteriak-teriak dan semua orang berlari serabutan ke sana ke mari.
Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng mengepalai orang-orang itu untuk memadamkan api yang membakar bagian-bagian gedung itu. Orang-orang sibuk bekerja keras karena api yang membakar gedung itu besar juga dan terjadi di tiga tempat.
Di dalam keributan itu, sesosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, bagaikan seekor burung garuda, menyambar turun dari genteng dan begitu tubuhnya menyambar, menjeritlah beberapa orang muda yang roboh dengan mandi darah! Ternyata bahwa Lie Siong yang merasa marah dan sakit hati karena Lilani diganggu, kini mulai menurunkan tangan maut sebagai pembalasan dendam!
Dengan pedang di tangannya, pemuda ini meyerbu orang-orang yang nampak di dalam gedung. Ke mana saja tubuhnya berkelebat, pasti ada seorang korban yang roboh oleh pedangnya atau oleh serangan tangan kiri dan kakinya. Beberapa orang mengeroyoknya dengan senjata di tangan, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, pengeroyok yang jumlahnya empat orang ini kesemuanya roboh tak dapat bangun pula!
Sepak terjang Lie Siong benar-benar mengerikan. Ia keras hati dan membenci kejahatan melebihi ibunya dahulu. Di dalam anggapannya, semua orang yang berada di gedung itu adalah penjahat-penjahat belaka yang harus dibasmi dari muka bumi. Maka sebentar saja, selagi api masih belum dapat dipadamkan, belasan orang telah ia robohkan!
Hok Ti Hwesio dan Kam Seng masih sibuk dalam usaha mereka memadamkan api ketika ada seorang pemuda datang kepada mereka dengan wajah pucat dan berkata gagap, “Celaka, ada musuh mengamuk... banyak kawan dibunuh...”
Mendengar ucapan itu, marahlah kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga dan menduga bahwa kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil berteriak marah, Hok Ti Hwesio mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah gedung.
Dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda itu adalah orang yang siang tadi telah mengacau, dia pun menjadi marah sekali. Dicabutnya pisau terbangnya dan berserulah Hok Ti Hwesio,
“Keparat keji rasakan tajamnya senjataku!” Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu melayang dengan cepatnya sambil mengeluarkan suara mengaung keras.
Melihat benda bersinar menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat-cepat mengelak. Akan tetapi segera menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Sekali ini Lie Siong menggerakkan pedangnya dan…
“Traaang…! Traaang…!” dua buah pisau itu dapat ditangkis.
Lie Siong merasa kagum juga ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa pisau itu dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi kekagumannya berubah kekagetan pada waktu pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu menyambar kembali dari belakangnya! Ia cepat-cepat melompat ke samping dan segera menubruk ke depan ketika pisau itu lewat.
Dengan pedangnya yang aneh dia lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah siap dengan pisau di kedua tangannya! Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie Siong, datanglah Kam Seng yang telah mencabut pedangnya. Tidak lama kemudian Lie Siong telah dikeroyok dua oleh Hok Ti Hwesio dan Kam Seng.
Lie Siong mendapat kenyataan bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat sekali, akan tetapi tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama sekali. Dia lalu bersilat dan memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut.
Tubuhnya yang semenjak kecil telah dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) menjadi lemas. Ada pun gerak geriknya selain indah juga cepat sekali. Maklum bahwa ia menghadapi dua orang lawan tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan tangan kirinya dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika dia bersilat dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang hebat.
Melihat Pek-in Hoat-sut, bukan main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi seorang muda dari rombongan Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka bertemu dengan orang-orang muda dari rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh sendiri, dan sekarang pemuda ini yang memegang sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya!
Dengan penuh semangat Hok Ti Hwesio dan Kam Seng kemudian menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaian mereka sehingga Lie Siong belum dapat merobohkan mereka. Kepandaian kedua orang itu sesungguhnya sudah tinggi dan apa bila Lie Siong tidak memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang tinggi, agaknya sulitlah baginya untuk dapat mempertahankan desakan mereka.
Lebih-lebih kaget hati Lie Siong pada waktu ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, oleh karena tendangan yang kekuatannya sedikitnya seribu kati itu, dan yang pasti akan membinasakan seorang ahli silat lainnya ini, hanya mampu membuat tubuh hwesio muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya, jatuh menggelundung lalu melompat berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali lalu menyerang dengan luar biasa hebatnya.
Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat hebat, maka dia menjadi penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk membinasakan dua orang yang dianggapnya amat berbahaya ini.
Penjahat-penjahat dengan kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan mendatangkan kekacauan dan kejahatan di antara sesama hidup. Maka dia segera memutar pedangnya lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang Kam Seng, karena walau pun gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.
Diam-diam Lie Siong merasa heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda yang berwajah tampan dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama sekali tidak nampak seperti seorang penjahat, dapat bersatu dengan orang-orang jahat? Juga, di dalam pertempuran ini, agaknya pemuda itu tak berniat sungguh-sungguh untuk mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja, berbeda dengan Hok Ti Hwesio yang menyerang membuta tuli.
Betapa pun juga, ilmu kepandaian Lie Siong masih menang setingkat bila dibandingkan dengan kedua orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga di tangan Lie Siong yang panjang itu berhasil menotok Kam Seng hingga pemuda itu terhuyung mundur dengan wajah pucat sekali. Baiknya dia masih dapat mengerahkan ginkang-nya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka hebat, hanya untuk beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi.
Lie Siong mendesak hebat kepada Hok Ti Hwesio. Ia ingin sekali menjatuhkan serangan maut, akan tetapi Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan untuk maju mengeroyok. Sekarang api sudah dapat dipadamkan dan semua orang telah berkumpul di sana. Melihat betapa Kam Seng sudah dikalahkan serta Hok Ti Hwesio memberi tanda, maka lebih dari dua puluh orang serentak maju mengeroyok.
Lie Siong makin gembira melihat datangnya keroyokan dan pedangnya berkelebat makin ganas, merobohkan beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang pemuda ini sehingga gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.
“Lekas, panggil Suhu dan Supek!” teriaknya kepada para kawannya.
Lie Siong terkejut dan teringatlah dia pada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur dengan dia. Kalau kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi kepandaiannya sudah dibuktikannya datang pula mengeroyok, maka akan berbahayalah keadaannya.
Dia pun teringat pula kepada Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan. Alangkah gelisah gadis itu ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Dia sudah membakar rumah dan merobohkan belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya sudah mereda. Telah cukup pembalasan yang ia lakukan untuk Lilani. Penghinaan yang dilakukan orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup. Pula, ia pun telah mulai lelah sesudah bertempur menghadapi keroyokan itu.
Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Tubuh, Lie Siong mengayunkan pedangnya serta memutarnya sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang yang menyilaukan saja, kemudian pada saat para pengeroyoknya mundur menyelamatkan diri, dia cepat melompat ke atas genteng!
“Bangsat hina dina, jangan lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau yang disambitkannya.
Lie Siong memutar pedangnya dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru saja ia terhindar dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin menderu dan lima batang benda hitam yang bundar menyerang lima jalan darah pada tubuhnya.
Lie Siong terkejut sekali dan cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak lupa untuk memutar pedangnya melindungi diri. Untung dia bergerak cepat, kalau tidak, tentu ia akan terkena sengan senjata rahasia yang lihai ini! Ia cepat melompat jauh dan menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat senjata rahasianya yang ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!
Dengan marah sekali Hok Ti Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata, “Percuma saja dikejar, penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”
Ia menghela napas dan masih merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudahnya dapat menghindarkan diri dari serangannya tadi. Dia telah menyempurnakan pelajaran melepas senjata rahasia thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari suhu-nya, akan tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat mengelak dengan mudah dan indahnya.
Dengan hati amat kecewa Kam Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh, orang-orang muda yang sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang gagah yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Apa lagi yang tua-tua seperti Pendekar Bodoh, isterinya, Kwee An dan isterinya, dan yang lain-lain! Aku harus minta kepada suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol supaya mampu menandingi mereka, pikirnya dengan hati tetap.
Sementara itu, Lie Siong berhasil melarikan diri dengan hati puas. Dia sudah melakukan pembalasan yang cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani. Tiada seorang pun di dunia ini boleh menghina Lilani, gadis yang amat dikasihani itu.
Hutan di mana ia meninggalkan Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan perjalanan lambat. Ketika tiba di tempat di mana tadi dia meninggalkan Lilani, ternyata bahwa tempat itu sunyi dan tidak nampak bayangan orang. Ia merasa heran sekali.
Ia ingat benar bahwa tadi ia meninggalkan Lilani di situ, di bawah pohon besar itu, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah perginya? Mendadak Lie Siong merasa hatinya berdebar penuh kecemasan. Jangan-jangan Lilani telah mendapat bencana ketika ditinggalkan, pikirnya dengan hati gelisah tidak karuan.
Apakah Lilani telah diterkam binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat? Menggigil sepasang kaki Lie Siong ketika dia memikirkan hal ini. Dia sendiri merasa heran karena belum pernah selama hidupnya dia menderita perasaan takut dan gelisah seperti ini. Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia takkan merasa takut sedikit pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi gemetar seluruh tubuhnya!
“Siapa?!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak sambil tangannya memegang pedang!
Lie Siong tidak dapat melihat nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir ia bersorak saking girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada di situ dalam keadaan baik.
“Lilani... aku yang datang!” katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri yang agak gemetar.
Terdengar isak tertahan dan Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian berlari dan menubruk Lie Siong sambil menangis!
“Taihiap... ahhh, Taihiap...”
Gadis ini tadinya merasa amat ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa dan tidak akan kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang memuncak membuat dia tak dapat menahan membanjirnya air matanya. Ia memeluk leher pemuda itu, menciumnya dengan hati gembira dan penuh cinta kasih, sambil mulutnya berbisik tiada hentinya, “Taihiap... Taihiap...”
Baru kali ini Lie Siong merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air mata yang hangat dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa dua lengan tangan Lilani memeluknya dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang menyayat hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!
Ia memegang kepala Lilani yang bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya dan ia lalu membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.
“Lilani...” suaranya hampir tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya, “jangan... jangan menangis, Lilani...”
“Taihiap...” Lilani tersedu saking girangnya.
Belum pernah pemuda yang dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan girang, perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata menaruh hati kasih kepadanya. “Taihiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang, tentu pedang itu akan menembus dadaku...”
“Lilani...!” Lie Siong mendekap makin erat.
“Benar, Taihiap, aku sudah bersumpah takkan mau hidup lagi bila kau sampai mendapat celaka dan terbinasa.”
Demikianlah, pertemuan yang amat mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam hutan yang gelap itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang dingin menusuk tulang terasa hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang buas dan burung hantu terdengar bagaikan musik yang amat indah merayu kalbu.
Pertemuan dua hati dan dua jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang. Bintang-bintang yang ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan ini, dan bayang-bayang pohon merupakan selimut yang amat hangat. Bintang-bintang saling berkedip memberi tanda mata dan tersenyum-senyum maklum…..
********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR REMAJA : JILID-07