Pendekar Buta Jilid 12


Sudah sebulan lebih Kong Bu beserta isterinya, Li Eng, meninggalkan puncak Min-san. Sebulan yang lalu, secara tiba-tiba seperti juga pada saat perginya, kakek Song-bun-kwi muncul di Min-san.

Tadinya Kong Bu dan Li Eng menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hati mereka ketika dengan muka cemberut kakek itu berkata pendek,

"Kalian dengar baik-baik. Thai-san-pai telah diserbu orang, dirusak binasakan, dan banyak muridnya yang tewas. Adikmu Cui Sian diculik orang, sekarang ayahmu Tan Beng San dan isterinya meninggalkan Thai-san untuk mencari jejak musuh dan Cui Sian. Kau, Kong Bu, sebagai putera ketua Thai-san-pai, apa bila tidak cepat turun gunung membalas sakit hati ayahmu ini, kau akan menjadi dua kali puthauw (durhaka), selain goblok tidak bisa mempunyai keturunan juga durhaka karena tidak tahu budi orang tua." Hanya demikian saja kakek itu bicara, lalu membalikkan tubuh lari pula turun gunung.

Kong Bu dan isterinya saling pandang dengan muka pucat. Mereka tahu bahwa kakek itu masih saja penasaran dan marah karena mereka tidak mempunyai keturunan. Sakit hati mereka dikata-katai seperti itu oleh kakek mereka dan Li Eng yang biasanya tabah dan keras hati itu sudah menangis.

"Eng-moi," Kong Bu menghibur sambil memeluk isterinya, "sabarlah, sudah tidak aneh lagi kalau kakek bersikap seperti itu. Memang beliau seorang yang berwatak keras dan aneh."

Li Eng menggelengkan kepala. "Bukan itu... bukan itu..." kata Li Eng menahan isak. "Aku bersumpah, sebelum aku dapat melihat adik Cui Sian kembali kepada orang tuanya dan sebelum mampu membalas musuh-musuh Thai-san-pai, aku tidak akan mau pulang ke Min-san."

Kong Bu mengangguk. "Baiklah, mari kita turun gunung dan membantu ayah mencari adik Cui Sian sekalian membalas musuh-musuh itu."

Demikianlah, sepasang suami isteri ini lalu turun gunung, meninggalkan puncak Min-san dan mulai melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Semenjak mereka menikah empat tahun yang lalu, baru kali ini mereka melakukan perjalanan berdua, turun gunung. Dengan heran mereka mendapatkan kenyataan alangkah menyenangkan perjalanan ini, alangkah menggembirakan!

Perjalanan ini mengingatkan mereka akan pertemuan pertama mereka dahulu, pertemuan yang aneh, lucu dan mesra. Pada pertemuan pertama itu keduanya juga masing-masing sedang merantau seperti sekarang ini, begitu bertemu saling bermusuhan mengadu ilmu kepandaian sampai berjam-jam lamanya karena ilmu silat mereka memang setingkat.

Akhirnya Li Eng dapat dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Kong Bu, ke mana-mana dipondong di luar kemauan Li Eng. Kemudian, dengan menggunakan akal, Li Eng dapat merobohkan Kong Bu dan bertukar peranan. Li Eng yang sekarang menawan Kong Bu dan karena tidak sudi memondong tawanannya, ia lalu menyeretnya di sepanjang jalan.

Semua peristiwa ini terbayang oleh sepasang suami isteri itu, menimbulkan kegembiraan besar dan kini mereka saling pandang dengan amat mesra, dengan kasih sayang baru. Kenangan masa lalu itu membangkitkan kembali kasih mesra di antara mereka.

Memang sesungguhnya sangatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan hal-hal seperti ini. Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai alat-alat mati, segalanya sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa perubahan, tiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan.

Tanpa disadari akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka menjadi hamba dari pada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri, memaksa mereka menjadi sebagian dari pada bangunan mesin rumah tangga yang mereka bentuk sendiri.

Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang baru dan mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh ini pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan mencari sesuatu yang baru.

Begitu pula dengan suami isteri. Karena mereka hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya mereka pun membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan memperbarui atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri (dalam bahasa Jawa disebut ambangun trisno).

Suami isteri harus pandai memilih saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri dari pada keseragaman tiap hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri dari pada suasana sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan.

Demikianlah, dengan kepergian mereka turun gunung, tanpa disengaja Kong Bu dan Li Eng sudah menciptakan suasana baru. Tidak mengherankan apa bila mereka merasakan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa dalam perjalanan ini, seakan-akan mereka kini memasuki hidup baru yang jauh berbeda dari pada kehidupan mereka sehari-hari yang begitu-begitu saja di puncak Min-san.

Biasanya setiap hari mereka hanya mengenal hal-hal seperti ini, yaitu bangun pagi-pagi, melatih para murid, bekerja di ladang, melatih murid-murid lagi, malamnya berlatih sendiri, mengaso, tidur. Demikianlah acara tunggal mereka setiap hari. Pemandangan alam yang dilihat pun itu-itu juga. Kasihan, kan?

Sekarang, begitu keduanya turun gunung, mereka memasuki suasana baru. Hawa baru, pemandangan baru, pendengaran baru dan semuanya ini menyiram bunga kebahagiaan yang tadinya agak melayu oleh kebosanan. Bersinar-sinar mata mereka, bibir mereka pun tersenyum-senyum, kemerahan pipi Li Eng pada saat memandang suaminya, amat mesra pandang mata Kong Bu pada saat menatap wajah isterinya, dan keduanya mendapatkan kebagiaan baru dalam perjalanan ini.

Seperti juga yang telah dilakukan oleh kakek mereka, juga oleh suami isteri Thai-san-pai dan oleh Sin Lee dan isterinya, suami isteri Min-san ini pun melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Banyak sudah tokoh kang-ouw yang mereka datangi untuk dimintakan keterangan, kalau-kalau ada di antara mereka yang mendengar siapa-siapa yang telah menyerbu Thai-san. Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui akan peristiwa itu dan karenanya juga tidak dapat menduga-duga siapa yang memusuhi Thai-san.

Malah berita ini lalu mengejutkan dan menggegerkan dunia kang-ouw, karena kejadian itu sudah pasti akan berekor panjang. Siapa mereka yang begitu berani mati mengganggu Thai-san-pai? Dengan hati berdebar dan tegang, para tokoh kang-ouw kini menanti-nanti datangnya ledakan dahsyat akibat kejadian ini, karena tentu saja tidak boleh tidak pihak Thai-san-pai akan melakukan pembalasan!

"Tidak ada lain jalan, isteriku," kata Kong Bu ketika mereka berdua sedang mengaso pada tengah hari yang terik di bawah pohon besar, "kita harus mendatangi tempat tinggal para musuh Ayah. Penyerbuan di Thai-san itu agaknya dilakukan penuh rahasia sehingga tidak ada yang tahu. Menurut pendapatku, mereka yang menyerbu Thai-san-pai pasti keluarga atau pun handai-taulan dari musuh-musuh ayah. Tanpa dasar dendam sakit hati, siapakah orangnya yang berani dan mau menyerbu Thai-san-pai sedangkan ayah terkenal sebagai seorang pendekar besar?"

Li Eng sedang duduk melonjorkan kedua kakinya dan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu, kedua matanya dimeramkan. Agaknya ia nampak lelah sekali dan mengantuk. Mendengar ucapan suaminya, ia menjawab,
"Memang agaknya begitu, akan tetapi yang lebih jelas lagi adalah bahwa mereka yang menyerbu itu tentu orang-orang yang memiliki ilrnu kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mampu mereka mengganggu Thai-san-pai?"

Kong Bu setuju dengan pendapat isterinya ini. Ayahnya adalah Raja Pedang yang sukar dicari bandingannya di dunia kang-ouw, ibu tirinya juga seorang pendekar pedang wanita yang berilmu tinggi. Kalau bukan orang-orang sakti, takkan mungkin berani mengganggu ke sana, apa lagi sampai berhasil merusak binasakan dan menculik Cui Sian.

Ia mengingat-ingat mereka yang dahulu memusuhi ayahnya. Siauw-ong-kwi tokoh utama dari utara dan muridnya, Siauw-coa-ong Giam Kin, keduanya sudah sama tewas dalam pertemuan di Thai-san. Toat-beng Yok-mo juga sudah tewas, begitu pun Pak Thian Lo-cu dan Hek-hwa Kuibo.

Tokoh-tokoh utama dunia persilatan sudah banyak yang tewas dan di antara empat besar yaitu Song-bun-kwi dari barat, Swi Lek Hosiang dari timur, Siauw-ong-kwi dari utara dan Hek-hwa Kui-bo dari selatan, kini yang masih hidup hanya kakeknya, Song-bun-kwi dan Swi Lek Hosiang.

Akan tetapi Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang bukanlah orang yang termasuk menjadi musuh ayahnya. Ada pun kakeknya, walau pun dahulu memusuhi ayahnya, akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, malah membantu. Siapakah pula orang sakti yang dapat menyerbu ke Thai-san? Terbayanglah wajah Hek-hwa Kui-bo yang jahat dan dia mengingat-ingat siapa sanak keluarga nenek iblis ini.

Tiba-tiba dia meloncat bangun dan menepuk-nepuk pahanya. "Wah, kalau bukan mereka siapa lagi?"

Mendengar suara suaminya ini, Li Eng lalu membuka kedua matanya yang mengantuk, terheran-heran melihat sikap suaminya yang seperti keranjingan itu.

"Ehh, kau teringat siapakah?" tanyanya, terganggu karena tadi dia hampir pulas saking nikmatnya mengaso di bawah pohon yang teduh dan dikipasi angin semilir.
"Ketemu sekarang, Eng-moi! Tentu mereka, wah, siapa lagi kalau bukan mereka?"

Li Eng kini melempangkan punggungnya, duduknya tidak bersandar lagi, matanya sudah terbuka lebar menatap wajah suaminya. "Duduklah yang baik, bicara yang benar! Siapa yang kau maksudkan? Kau seperti sedang teringat kepada kekasihmu yang dulu saja."

"Eh, ehh, tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja kau cemburu?" Kong Bu segera duduk di dekat isterinya dan merangkul lehernya. "Sejak dahulu kekasihku hanya kau, ada siapa lagi? Aku bukan sedang teringat akan kekasih, melainkan teringat akan murid mendiang Hek-hwa Kui-bo, yaitu ketua Ngo-lian-kauw yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Kau tentu masih ingat akan dia, bukan? Nah, dia sudah tewas tetapi Ngo-lian-kauw masih berdiri, kabarnya malah makin kuat. Orang-orang Ngo-lian-kauw lihai, juga licin dan curang sekali. Mereka patut dicurigai. Kurasa, setidak-tidaknya mereka tentu bercampur tangan dalam penyerbuan Thai-san-pai."

Li Eng mengerutkan keningnya yang hitam panjang, lalu mengangguk-angguk. "Betul juga katamu, kalau mengingat mereka, aku pun curiga. Perkumpulan iblis itu dapat melakukan kejahatan yang bagaimana pun juga."

"Aku tahu sarangnya!" Kong Bu berkata cepat. "Ngo-lian-kauw (Perkumpulan Agama Lima Teratai) berpusat di lembah Sungai Huai, di sebelah barat kota raja dan sebelah utara kota Ho-pei. Li Eng, hayo kita berangkat sekarang juga."

Kong Bu melompat berdiri lagi, akan tetapi dia memandang heran kepada isterinya yang masih saja duduk bermalas-malasan, malah sambil menguap dan mengulet isterinya kini kembali bersandar kepada batang pohon. Kong Bu memegang tangan Li Eng, menarik-nariknya mengajak bangun. "Hayo, bangunlah...!"

Tetapi dia menjadi keheranan ketika melihat Li Eng sama sekali tidak mau bangun berdiri, malah merenggut tangannya.

"Ihhh, kenapakah kau ini?" Kong Bu cepat berlutut lagi dekat isterinya. "Kenapa malas benar? Atau... tidak enakkah badanmu?"
"Entahlah, aku malas... ngantuk. Kita mengaso dulu, biarlah aku tidur, hari masih amat panas, aku ogah melakukan perjalanan. Di sini enak sekali, sejuk dan nyaman. Nanti saja kalau sudah teduh kita melanjutkan perjalanan, mengapa sih buru-buru amat?”

Kong Bu memandang amat terheran-heran. Ini bukan watak Li Eng sehari-hari, pikirnya. Biasanya, isterinya adalah seorang wanita yang lincah, yang selalu bergerak bagai burung walet, tak mau diam apa lagi bermalas-malasan seperti ini. Apakah yang terjadi? Kenapa isterinya mengalami prerubahan watak begini aneh?

"Eng-moi, sakitkah kau...?" Dengan penuh kasih sayang Kong Bu meraba jidat isterinya.

Akan tetapi Li Eng mengipatkan tangan itu dan berkata, suaranya agak kaku, "Jangan ganggu aku! Aku mau tidur, aku tidak sakit apa-apa!" Dan ia tidak mau pedulikan lagi pada suaminya karena matanya sudah meram dan ia benar-benar berusaha untuk tidur.

Kong Bu tercengang, lalu duduk termenung menatapi wajah isterinya. Benar-benar luar biasa. Kenapa Li Eng jadi berangasan seperti ini? Tampaknya hendak marah-marah, akan tetapi anehnya, sebentar saja isterinya itu telah pulas, bisa diketahui dari pernapasannya yang panjang.

Kong Bu terpaksa menahan sabar, menunda keberangkatannya ke sarang Ngo-lian-kauw untuk menyelidiki perkumpulan itu yang dia duga tentu mempunyai saham besar dalam peristiwa penyerbuan Thai-san-pai.

Memang panas hawa pada tengah hari yang amat terik itu. Biar pun sinarnya ditangkis oleh dahan-dahan pohon, tapi sinar yang menerobos dari celah-celah daun menyilaukan mata. Nyaman berlindung di bawah pohon itu, dan Kong Bu perlahan-lahan mengantuk juga setelah lama dia memandang wajah isterinya yang sudah tidur pulas dengan aman tenteramnya.

Akan tetapi selagi dia layap-layap hendak pulas, dia terbangun lagi. Cepat dia duduk dan memperhatikan. Tidak salah, ada orang bernyanyi-nyanyi di tengah hutan. Suara orang itu makin lama makin jelas, tanda bahwa orang yang bernyanyi itu sedang berjalan menuju ke mari. Suaranya parau dan keras, akan tetapi kata-kata dalam lagu yang dinyanyikan itu menarik perhatian Kong Bu.

Dia memperhatikan. Mendengar suara nyaring itu diam-diam dia dapat menduga bahwa orang yang lewat di hutan dan bernyanyi ini tentulah seorang berkepandaian.

Kemenangan melahirkan kesombongan
menimbulkan benci permusuhan
hidup tak tenteram lagi.
Kekalahan melahirkan penasaran
menimbulkan dendam memupuk pembalasan
hidup tak tenteram lagi.
Yang melempar jauh-jauh kemenangan mau pun kekalahan
dialah orang bahagia.
Yang dikagumi dan dikehendaki para bijak budiman
adalah kemenangan batin!

Suara orang yang bernyanyi itu kini tidak semakin dekat, tanda bahwa orang itu agaknya juga berhenti, akan tetapi terus bernyanyi. Sehabis bernyanyi dengan suara parau seperti kaleng diseret, terdengar dia terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh tertawa,

"Ha-ha-he-he-he, pendeta-pendeta palsu, hwesio-hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya, bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih suci di antara segala ayat dari pada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayatnya tetap suci, para pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat suci tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!"

Diam-diam Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya ditujukan untuk mengejek para hwesio yang biasanya melakukan sembahyang dan berdoa dengan lagu seperti itu. Tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apa lagi pada saat itu dia bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk di hari hujan.

Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana
mengenal diri sendiri barulah waspada.
Mengalahkan orang lain memang kuat badannya
mengalahkan diri sendiri barulah kuat batinnya.

"He-he-heh, segala tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-tek-keng. Akan tetapi hanya mulut... mulut...! Lidah tidak bertulang, orang nampak manis pada mulutnya, gigi nampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor... kotor... palsu! Ha-ha-ha-he-he-he, hwesio-hwesio dan tosu-tosu sama saja, setali tiga uang. Mulut dan hati bagaikan bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti terang dengan gelap!"

Terdengar suara orang itu mendekat lagi. Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tak boleh main-main. Lebih baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya.

Dia sudah banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiri pun seorang yang dijuluki iblis. Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para pendeta, baik pendeta hwesio (Buddha) mau pun pendeta tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat suci mereka. Orang yang sudah membenci semua pendeta, meski pun mengejek kepalsuan mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang ini amatlah berbahaya.

Celakanya, agaknya orang itu melangkahkan kakinya menuju ke tempat dia dan isterinya mengaso. Kong Bu bukanlah seorang penakut, jauh dari pada itu. Dia seorang pendekar gagah perkasa yang tidak pernah mengenal arti takut. Dia seorang asuhan kakek iblis Song-bun-kwi.

Akan tetapi pada saat itu dia lalu membaringkan diri di dekat isterinya dan pura-pura tidur pulas ketika orang yang bernyanyi-nyanyi itu sudah makin dekat. Dia sengaja berbaring miring, matanya mengintai dari balik bulu mata…..
Orang ini berhenti di dekat tempat suami isteri itu tidur. Dengan kaget Kong Bu melihat seorang kakek tua yang berpakaian serba kuning, seorang kakek yang kepalanya gundul dan kulitnya hitam seluruhnya!

Sambil menyeret sebatang tongkat panjang berwarna hitam pula, kakek tadi melangkah datang dengan langkah-langkah lebar, dengan kakinya yang telanjang dan hitam sampai ke telapak-telapaknya. Sejenak kakek itu berdiri termangu, memandang suami isteri yang masih tidur pulas. Lama dia menatap wajah Li Eng yang cantik jelita dan tampak manis dalam tidurnya. Kemudian dia tertawa berkakakan.

"He-he-he-heh! Wah, aku benar-benar sudah tua bangka, sudah hampir mati nafsu-nafsu badan yang reyot ini. Kalau dulu, dua puluh tahun yang lalu, tentu takkan kulewatkan saja mereka ini. Yang jantan kubikin mampus, yang betina kuambil. Ha-ha-ha!"

Dia mengamat-amati lagi sambil tertawa ha-ha-he-he, amat menyeramkan.

"Wah-wah, pakai bawa-bawa pedang segala. Jangan-jangan anggota pemberontak? Hee, bocah, enak saja kalian tidur bermesra-mesraan, mabuk yang-yangan (bercintaan), hayo bangun!" ujung kakinya bergerak mencongkel tanah.

Bukan main kagetnya hati Kong Bu ketika segumpal tanah melayang dengan kekuatan dahsyat ke arah kepalanya! Tentu saja dia tidak mau dilukai, tidak sudi dihina seperti itu. Tubuhnya bergerak melejit dan tahu-tahu dia telah berdiri dengan tubuh tegak dan gagah, gumpalan tanah itu sama sekali tidak menyentuhnya.

"Ha-ha-he-heh, benar juga! Kiranya yang jantan ini mempunyai sedikit kepandaian. Entah bagaimana yang betina!" Kembali ibu jari kaki kanannya mencokel tanah dan segumpal tanah melayang ke arah muka Li Eng.

Kong Bu marah sekali, tubuhnya segera terayun dan dia hendak menyambar tanah yang mengancam muka isterinya itu. Akan tetapi tiba-tiba Li Eng sudah pula mengulur tangan. Tanpa membuka matanya ia telah dapat menangkap gumpalan tanah itu dengan tangan kanannya, kemudian seperti tidak sengaja tangannya bergerak dan... gumpalan tanah itu melayang cepat ke arah muka kakek itu, senjata makan tuan!

"Ah, lihai...!" Kakek itu berseru, kaget juga menyaksikan demonstrasi kepandaian wanita muda itu dan cepat-cepat dia menundukkan muka untuk membiarkan tanah itu lewat di atas kepalanya.

Tentu saja kakek ini kaget dan heran karena dia tidak tahu bahwa Kui Li Eng adalah puteri tunggal Kui Lok dan Thio Bwee, dua orang tokoh Hoa-san-pai yang sudah mewarisi ilmu kepandaian asli dari Hoa-san, termasuk ilmu mempergunakan senjata rahasia!

Li Eng memang sudah sadar ketika mendengar suara kakek itu tadi, tetapi ia pura-pura masih tidur. Sekarang dia melompat bangun dan berdiri di samping suaminya, matanya yang jeli dan tajam menatap kakek itu, menaksir-naksir dan mengingat-ingat.

Akan tetapi, seperti juga suaminya, dia merasa belum pernah bertemu atau mendengar akan adanya seorang tokoh kang-ouw seperti kakek ini. Ia juga tidak berani memandang rendah karena dari tenaga cokelan ibu jari kaki kakek itu saja, tadi telah menggetarkan tangannya yang menerima tanah, tanda bahwa kakek ini memiliki lweekang yang tinggi tingkatnya.

"Locianpwe ini siapa dan mengapa mengganggu kami berdua suami isteri yang sedang beristirahat?" Kong Bu bertanya sambil menjura. Sikapnya cukup sopan akan tetapi tidak terlalu merendah.

Kakek itu tidak menjawab, malah matanya tak berkedip memandang pada Li Eng. Bukan memandang wajahnya, melainkan memandang ke arah... perutnya! Tentu saja Li Eng merasa mendongkol bukan main berbareng juga ngeri. Mata dengan manik mata yang kelihatan terlalu putih di balik wajah hitam itu seakan-akan menelanjangi dirinya dengan pandangannya itu.

"He, Kakek! Kau melihat apa?!" bentaknya marah.
"He-heh-heh, melihat perutmu. Ha-ha-ha, suami isteri yang aneh! Isteri lagi mengandung tetapi malah diajak berkeliaran di hutan liar, apakah mengidam binatang hutan?"
"Kakek tua bangka, sudah tua semakin kurang ajar! Tutup mulutmu yang kotor itu!" Li Eng makin marah, memaki-maki.
"He-heh-heh, memang begitulah. Kalau belum sebulan, hawanya ingin marah saja, tanda anak perempuan! Ha-ha-ha!"

Li Eng sudah bergerak hendak menyerang kakek ini, akan tetapi Kong Bu memegang lengannya. Diam-diam ada perasaan aneh menyelinap di hati Kong Bu. Memang sikap Li Eng aneh, aneh bukan main. Tadi pun ia sudah terheran-heran menyaksikan perubahan pada sikap isterinya. Jadi inilah rahasianya?

Benar-benarkah isterinya mengidam, mulai mengandung? Wah, jika betul begitu, jangan kata harus memarahi kakek itu, malah mau rasanya dia merangkul dan mencium muka tua yang hitam itu! Perasaan girang luar biasa menyelubungi hati Kong Bu, tanpa terasa lagi dia sudah melingkarkan lengan kirinya pada pinggang isterinya dengan mesra, lalu bertanya,

"Locianpwe, siapakah nama Locianpwe yang mulia? Dan Locianpwe ada keperluan apa dengan kami suami isteri?"
"Kau beruntung, orang muda. Isterimu cantik jelita, kepandaiannya juga lumayan, lincah gembira dan sekarang sudah dapat diharapkan akan menghadiahkanmu seorang bocah perempuan. Ha-ha-ha-ha, kau mau tahu siapa aku? Tua bangka ini orang tidak terkenal, disebut Hek Lojin dari Go-bi."

Kong Bu belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi dia segera menjura dengan hormat lalu memperkenalkan diri. "Saya bernama Tan Kong Bu dan ini isteri saya. Tidak tahu ada keperluan apakah Locianpwe menemui kami?"

"Tidak ada apa-apa... kebetulan saja... ahh, barang kali kau tadi melihat adanya seorang pemberontak muda yang matanya buta. Aku sedang mencari-cari dia itu. Apakah kalian melihatnya?"

Diam-diam Kong Bu dan juga Li Eng terkejut. Tak bisa salah lagi, tentu Kun Hong yang dimaksudkan. Tetapi mengapa pemberontak? Ahh, jangan-jangan orang lain, di dunia ini banyak orang muda yang buta.

Dengan menekan debaran jantungnya, Kong Bu bertanya lagi, "Kami tidak melihatnya. Siapakah dia itu, Locianpwe? Mana ada orang muda buta bisa jadi pemberontak?"

Kakek itu terkekeh-kekeh, "Ha-ha-ha, memang lucu. Ini tanda bahwa mereka di kota raja tidak becus apa-apa. Katanya pemberontak buta itu mengacau kota raja, hampir tertawan lalu dapat lolos ditolong seekor burung rajawali emas. Dasar goblok semua yang di kota raja. Termasuk hwesio gundul Siauw-lim itu hanya lagaknya saja besar. Buktinya dengan mengeroyok pun tidak dapat menangkap seorang muda buta. Padahal... he-he-heh-heh, ketika bertemu dengan aku, pemuda buta dan burungnya itu... ha-ha-heh-he-heh, dia berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali, di hadapanku, bahkan kulangkahi kepalanya dengan sebelah kakiku. Hah, sayang sekali, kalau aku tahu dia itu seorang pemberontak, sudah tentu tidak akan dapat kulepas dan kuampuni begitu saja!"

Sekarang yakinlah hati Kong Bu dan Li Eng bahwa yang dimaksudkan oleh kakek aneh ini tentulah Kun Hong. Di dunia ini siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang biar pun matanya buta dapat mengacau kota raja? Siapa lagi kalau bukan Kun Hong yang ditolong oleh rajawali emas? Hati Li Eng sudah panas bukan main, tetapi ia masih menekan suaranya ketika berkata,

"Kau mencari dia mau apakah, Kakek?" Tidak bisa ia harus mencontoh suaminya yang menyebut Locianpwe kepada kakek hitam yang dianggapnya kurang ajar ini.
"Ha-ha-heh-heh, mau apa tanyamu? Matanya sudah buta, tinggal telinganya yang harus dibikin tuli, hidungnya kuhancurkan, mulutnya kurobek, benci aku kepada pemberontak, benci..."
"Keparat jahanam!" Li Eng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan sekali bergerak, pedangnya sudah berada di tangan. "Enak saja mulutmu yang busuk itu mengoceh tidak karuan. Bukankah orang yang kau maksudkan itu bernama Kwa Kun Hong?"
"Heh, benar... kau tahu...?"
"Tentu saja, kakek jahanam! Dia adalah pamanku dan tidak usah kau mencari dia, pedang di tanganku sudah sanggup mengirim kau pulang ke neraka jahanam!"

Li Eng tidak memberi kesempatan lagi, segera dia menerjang dengan pedangnya. Sinar putih bergulung-gulung melayang ke arah kakek itu.

"Ayaaaaaaa, kiranya kalian juga pemberontak-pemberontak, ha-ha-he-he-heh!" Kakek itu cepat mengelak dan diam-diam dia terkesiap juga menyaksikan kilatan sinar pedang yang demikian hebatnya.

"Benar, isteriku! Kakek iblis ini harus dibasmi!" bentak pula Kong Bu dan kembali sinar pedang yang panjang menyambar.

Kakek ini makin kaget dan tahulah dia bahwa dua orang ini biar pun masih muda-muda, namun ternyata sudah memiliki ilmu pedang yang jempolan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Kakek ini memang Hek Lojin adanya, orang tua lihai dari Go-bi, guru The-kongcu atau The Sun. Sudah kita ketahui bahwa kakek ini pernah bertemu dengan Kun Hong dan rajawali emas, dan hampir terjadi peristiwa kalau saja Kun Hong tidak bersabar dan mengalah.

Ketika Hek Lojin ini memasuki kota raja, dia disambut dengan segala kehormatan oleh The Sun. Akan tetapi ketika kakek aneh ini mendengar tentang Kun Hong dan rajawali emas, dia mengejek kemudian menceritakan pengalamannya menghina pemuda buta itu kepada The Sun dan para jagoan istana yang ikut menyambutnya.

"Heh-heh-heh, A Sun, muridku, mengapa kalian begitu goblok? Menangkap pemberontak buta seperti dia saja tidak becus, padahal di kota raja ini terdapat banyak orang. Heh-heh, percuma saja kalau begitu. Habis, Thian Te Cu ini apa saja kerjanya?" Dia menuding adik seperguruannya yang hadir pula di situ, dan mengerling kepada semua yang hadir.
"Suheng, biar pun dia masih muda, si buta itu benar-benar lihai sekali," bantah Thian Te Cu dengan muka merah karena ditegur dan diketawai suhengnya di depan banyak orang.
"Uuaaah, lihai apanya? Kalau dia lihai kenapa mau berlutut dan mengangguk tujuh kali di depan kakiku, saat kepalanya kulangkahi kaki dia juga tidak berani apa-apa. Dasar kalian yang tiada gunanya. Uhh!"

Kakek hitam ini memang sudah terlalu lama meninggalkan dunia ramai, bertapa di dalam hutan di atas gunung sehingga wataknya sudah berubah seperti orang hutan saja. Dia tak peduli lagi akan sopan santun dunia ramai, bicara asal membuka mulut saja, tidak peduli apakah kata-katanya menyinggung orang ataukah tidak. Karena terlalu tua, agaknya dia sudah pikun atau sudah lupa akan tata susila atau tata cara pergaulan.

Bhok Hwesio sebaliknya adalah seorang hwesio yang menjaga keras peraturan, seperti umumnya hwesio-hwesio dari Siauw-lim-pai. Semenjak tadi dia sudah mendelik-mendelik memandang kepada kakek hitam itu. Akan tetapi karena dirinya tersinggung tidak secara langsung dan kakek hitam itu hanya menegur sute-nya sendiri, dia pun berusaha untuk menahan kesabaran dengan muka merah.

Sekarang, mendengar betapa kakek hitam itu berkali-kali menyebut ‘kalian’ goblok, tiada gunanya dan lain-lain, dia menjadi marah sekali. Terdengar dia mendengus satu kali dan tiba-tiba meja di depannya sudah amblas ke bawah sampai dua puluh senti lebih. Empat kaki meja itu amblas menembus lantai yang keras dari ruangan itu, amblas sama sekali tanpa mengeluarkan bunyi seakan-akan empat kaki meja itu menembus agar-agar saja.

Dalam kemarahannya, hwesio Siauw-lim ini ternyata sudah menggunakan lweekang-nya yang memang sangat mengagumkan dan sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Semua orang kaget dan diam-diam merasa tidak enak, maklum bahwa hwesio ini marah kepada kakek hitam itu.

"Hemmm, sudah pernah pinceng mendengar nama besar Hek Lojin dari Go-bi yang tinggi menyundul langit. Dengan adanya Hek Lojin di sini, orang-orang macam pinceng ini apa gunanya lagi? Lebih baik pergi dan membaca doa di kelenteng! Tetapi, biasanya kalau geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat."

Hek Lojin pelototkan matanya. Tentu saja kakek ini maklum apa artinya ucapan ‘geledek menyambar-nyambar hebat, belum tentu hujannya lebat’ itu yang boleh diartikan, bicara besar, belum tentu kepandaiannya tinggi. Melihat hwesio Siauw-lim itu sudah bangkit dari tempat duduknya, dia pun berdiri dan berkata, "He-heh-heh, hwesio tukang berdoa. Boleh kita coba-coba!"

"Omitohud, pinceng ingin sekali menerima petunjuk!"

The Sun menjadi sibuk. Cepat-cepat dia bangkit dan berdiri di antara kedua jago tua yang sudah hendak saling terjang ini. "Suhu... Losuhu... harap ji-wi sudi duduk kembali. Harap suka melihat muka teecu... yang dalam hal ini mewakili kaisar. Ji-wi dipersilakan datang untuk menghadapi para pemberontak, bukan untuk saling bermusuhan. Harap suka ingat bahwa para pemberontak belum tertumpas."

Bhok Hwesio menarik napas panjang dan duduk kembali. "Maaf, pinceng sampai lupa diri, omitohud..."

Hek Lojin nampak uring-uringan. "Apa sih hebatnya si pemberontak buta? Kalian semua lihat saja, aku akan pergi menangkapnya dan menyeretnya ke hadapan kalian!" Setelah berkata demikian, kakek hitam ini melesat lenyap dari situ tanpa dapat dicegah lagi.

Demikianlah, dengan hati marah.Hek Lojin keluar dari kota raja untuk mengejar Kun Hong. Dia hendak membuktikan kesanggupannya, hendak membuktikan omongannya. Dia yakin bahwa dengan mudah dia akan dapat membunuh burung rajawali dan lebih mudah lagi menawan pemberontak buta yang sudah amat takut terhadapnya itu.

Karena mendongkol kepada sute-nya yang menjadi tosu, mendongkol pula kepada Bhok Hwesio, maka di sepanjang jalan dia menyanyikan sajak-sajak Agama To dan Buddha sambil mengejek, dan kebetulan sekali dia bertemu dengan Kong Bu dan Li Eng.

Suami isteri muda itu menjadi amat marah setelah mendengar bahwa kakek ini memusuhi Kun Hong. Sesudah mereka berdua serentak maju menyerang mempergunakan pedang mereka, barulah Hek Lojin menjadi kaget. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang kedua orang muda ini begitu hebat, menyambar-nyambar seperti sepasang burung garuda sakti.

Gaya permainan kedua suami isteri itu jauh berbeda dan inilah yang membuat dia kagum dan terheran. Jelas bahwa suami isteri ini memiliki ilmu pedang dari dua macam sumber yang sama tingginya. Jika tadinya Hek Lojin bersikap main-main dan bermaksud melayani kedua orang itu dengan memandang rendah, kini dia bersungguh-sungguh. Cepat dia pun menggerakkan tongkat hitamnya yang panjang itu, menangkis sekaligus balas menyerang dengan hebatnya.

Sekali bertemu senjata, baik Li Eng mau pun Kong Bu terkejut karena tenaga kakek hitam ini benar-benar dahsyat bukan main. Hampir saja pedang mereka terlempar ketika beradu dengan tongkat hitam panjang. Mereka berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa apa bila pertempuran dilakukan dengan mengandalkan tenaga, mereka akan kalah jauh.

Di lain pihak, kakek itu pun kagum ketika pada pertemuan pertama antara senjata mereka tadi, dia masih belum mampu memukul jatuh pedang-pedang lawan. Ini saja menjadi bukti bahwa kedua orang lawannya yang masih amat muda-muda itu benar-benar murid-murid orang sakti. Kiranya dalam hal kepandaian, suami isteri ini satu tingkat dengan muridnya, The Sun. Padahal, tadinya dia menyangka bahwa di dunia ini belum tentu dapat dicari keduanya seorang muda dengan kepandaian setingkat muridnya itu.

Pertempuran itu berjalan cepat sekali. Dua puluh jurus telah lewat dan masih saja mereka bertempur mempergunakan kecepatan. Suami isteri itu memang sengaja mengerahkan ginkang dan hendak mencari kemenangan mempergunakan kelincahan. Siapa kira, kakek hitam itu pun ternyata merupakan seorang ahli ginkang yang hebat sehingga ketika kakek ini menandingi mereka, maka bayangan tiga orang itu lenyap terbungkus sinar senjata.

Tiba-tiba Hek Lojin tertawa. Setelah dua puluh jurus, barulah dia mengenal ilmu pedang Li Eng. Kiranya ilmu pedang wanita muda ini adalah Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat.

Akan tetapi baru sekarang dia menghadapi ilmu pedang Hoa-san-pai yang sehebat ilmu pedang yang dulu pernah dimainkan oleh mendiang Lian Ti Tojin tokoh Hoa-san-pai yang mengasingkan diri. Dia tidak tahu bahwa memang orang tua Li Eng adalah murid Lian Ti Tojin yang sudah mewariskan ilmu pedangnya kepada mereka.

"Wah, kau masih apanya Lian Ti Tojin dari Hoa-san-pai?" Kakek itu sempat pula menegur dengan gembira. "Dan kau ini bocah, dari mana kau memperoleh ilmu pedang aneh ini!" tegurnya kepada Kong Bu.

Li Eng kaget juga mendengar disebutnya kakek gurunya yang memang menjadi pewaris ilmu pedangnya. Ada pun Kong Bu yang ingin menggertak segera menjawab, "Kakekku Song-bun-kwi yang mengajar kepadaku!"

"Wuuuuuttttt... tranggggg...!"

Tak dapat dihindarkan lagi, pedang Kong Bu bertemu dengan tongkat, sedangkan Li Eng dapat cepat mengelak. Kong Bu merasa betapa telapak tangannya seperti dibakar, maka cepat-cepat dia mengerahkan lweekang untuk melawan hawa itu. Kakek itu sudah berdiri tertawa dan tongkatnya berdiri pula di depannya.

"Ha-ha-heh-heh, kiranya kau cucu setan bangkotan itu? Ha-ha-ha, ketika kakekmu masih muda, pernah dia bertekuk lutut di depan kakiku, tahukah kau? Ha-ha-ha, Song-bun-kwi, dahulu kau kalah, sekarang kau mewakilkan kepada cucumu untuk menderita kekalahan kedua kalinya. Dan Lian Ti Tojin, dahulu kau belum sanggup mengalahkan aku, apa lagi sekarang bocah perempuan yang mengandung ini, heh-heh-heh!"
"Sombong!" Li Eng dan Kong Bu berteriak hampir berbareng.

Mereka berdua marah sekali mendengar ejekan-ejekan dan hinaan ini. Betapa pun juga, tadi mereka belum kalah, malah belum terdesak hanya baru kalah tenaga saja. Mereka tidak takut dan setelah berteriak demikian, keduanya menyerbu lagi mengirimi serangan-serangan maut.

Akan tetapi kini kakek itu mengubah gerakannya. Tongkatnya yang panjang itu berputar seperti kitiran angin, cepat dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Cara kakek itu menyerang bukan seperti ilmu silat lagi, akan tetapi seperti sebuah kitiran angin besar yang tiada hentinya berputar dan menerjang mereka dengan kekuatan yang dahsyat!
Related image
Kong Bu dan Li Eng adalah keturunan orang-orang pandai yang mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi mereka ini ketinggalan jauh kalau dibanding dengan kakek ini dalam hal pengalaman bertempur. Menghadapi cara bertempur kakek ini, mereka menjadi repot dan bingung. Berusaha menangkis dengan pedang, akan tetapi setiap kali bertemu tongkat, pedang mereka terpental dan mereka terpaksa meloncat ke sana ke mari supaya jangan terkena sambaran tongkat yang luar biasa itu. Sama sekali mereka tak pernah mendapat kesempatan untuk balas menyerang!

Tiba-tiba saja, seperti juga mulainya, kakek itu menghentikan pemutaran tongkatnya dan bersilat lagi, malah seperti sengaja telah memberi lowongan-lowongan kepada dua orang lawannya. Girang hati Kong Bu dan Li Eng melihat ini, menduga bahwa kakek itu tentu lelah memutar tongkat seperti itu dan sekarang hendak beristirahat dan bersilat biasa. Kesempatan baik ini mereka pergunakan dan cepat mereka menyerbu, membalas dengan serangan-serangan maut yang amat berbahaya.

Mendadak kakek itu berseru keras dan tongkatnya kembali diputar secara tiba-tiba dan tidak terduga.

“Trang-trang!” terdengar suara keras sekali.

Tanpa dapat dicegah lagi pedang Kong Bu dan Li Eng terpental, terlepas dari pegangan. Pedang Kong Bu melesat ke kanan dan pedang Li Eng melesat ke kiri, menancap sampai amblas sebatas gagang pada tanah beberapa meter jauhnya!

"Ha-ha-ha-he-he-he, baru kenal kelihaianku, ya?" Kakek itu mengejek.

Kembali tongkatnya berputaran menerjang suami isteri yang sudah tidak bersenjata lagi itu! Namun dua orang muda itu bukanlah orang-orang lemah, biar pun mereka sudah tidak bersenjata lagi, tidaklah mudah merobohkan mereka.

Biar pun tongkat itu berputar seperti kitiran, namun tubuh mereka melesat dan menyelinap di antara bayangan tongkat. Ginkang mereka demikian hebatnya sehingga tubuh mereka seakan-akan bayang-bayang yang sukar dipukul tongkat.

"Bagus, bagus...! Orang-orang muda cukup mengagumkan... ha-ha-ha, tetapi harus roboh oleh Hek Lojin!"

Kakek itu menerjang terus, sekarang dia selingi dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh. Memang ilmu tongkat kakek ini hebat bukan main. Tongkat yang diputar oleh dua tangannya itu, kadang-kadang bisa dioper dengan tangan kanan saja, malah ada kalanya tongkat berputar cepat mendesing ke atas, dilepas oleh kedua tangan yang melakukan pukulan-pukulan ke depan dan tongkat itu tanpa dipegang lagi terus berputaran di atas kepala, dan disambut lagi dengan enaknya.

Payah juga Kong Bu dan Li Eng menghadapi penyerangan kakek kosen. Mereka sudah mengambil keputusan untuk melarikan diri karena tak sanggup melawan lagi. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membentak keras, tongkatnya melayang dan menyerang kedua orang muda itu tanpa dia pegang, sedangkan tubuhnya mengikuti tongkatnya, kedua tangannya melakukan tamparan-tamparan disertai tenaga lweekang.

Melihat Li Eng terpeleset ketika mengelak dari tongkat dan terdorong oleh angin pukulan lawan, Kong Bu kaget. Cepat dia menghadang desakan kakek itu. dengan mengerahkan tenaga dia menangkis dengan tangan kiri.

"Krakkk!"

Lengan kirinya patah ketika bertemu dengan tangan si kakek, dan sebuah tendangan membuat Li Eng terjungkal!

Kong Bu marah bukan main. Dengan nekat dia lantas menggunakan tangan kanannya menerjang, akan tetapi dia pun harus terjungkal ketika kakek itu mendorong dengan dua tangannya dari samping. Kepalanya terasa pening sekali, namun Kong Bu masih dapat melompat ke tempat di mana isterinya roboh. Dengan tubuhnya dia melindungi Li Eng, siap mengadu nyawa dengan kakek sakti itu.

Hek Lojin meringis, terkekeh-kekeh dan menghampiri kedua orang itu sambil menyeret tongkatnya. “Heh-heh-heh…!”

Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, suara seperti orang menangis terdengar dari jauh. Mendengar ini, Kong Bu kaget dan juga girang, lalu dia mengerahkan khikang dan mengeluarkan teriakan panjang pula yang bergema di seluruh hutan.

Kakek itu berhenti, menengadah lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-heh-heh, itu si tua bangka Song-bun-kwi agaknya! Ha-ha-ha, biar dia datang, sekalian kubereskan!"

Bayangan putih berkelebat dan benar saja, di situ telah berdiri Song-bun-kwi Kwee Lun dengan sikapnya yang garang! Melihat betapa sepasang suami isteri itu rebah di bawah pohon, kemarahannya langsung memuncak. Dengan sepasang mata laksana berapi-api dia memandang kakek hitam itu lalu memaki,

"Keparat jahanam si tua bangka Hek Lojin! Jadi kau belum mampus juga? Berpuluh tahun kucari, kau mengumpet, bersembunyi. Sekarang sudah tua bangka mau mampus berani muncul mengantarkan nyawa! Kenapa kau tidak langsung mencariku, biar tua sama tua, melainkan mengganggu anak-anak muda? Tidak tahu malu!"
"Heh-heh-heh, Song-bun-kwi, bagus sekali kau sendiri datang, kau mbahnya (kakeknya) pemberontak! Kau mengajar anak-anak menjadi pemberontak, ya? Dasar iblis! Bagus kau sudah datang, dahulu kau pernah kalah tetapi belum mampus, biar sekarang kutamatkan riwayatmu!"

Kedua orang kakek itu sudah mulai bertempur sebelum ucapan ini habis. Song-bun-kwi sudah mengeluarkan suling beserta pedangnya, menerjang dengan ilmu pedangnya yang paling dia andalkan, yaitu Yang-sin Kiam-sut, sedangkan sulingnya juga memainkan ilmu silatnya sendiri yang luar biasa.

Hek Lojin maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maklum pula bahwa sejak kekalahannya puluhan tahun yang lalu, tentu Song-bun-kwi sudah mempersiapkan diri dan telah mendapatkan ilmu-ilmu baru. Begitu merasai hawa panas dari pedang kakek Song-bun-kwi, dia terkejut dan cepat dia memutar tongkatnya.

Sebaliknya Song-bun-kwi juga cukup mengenal Hek Lojin. Empat puluh tahun yang lalu memang dia pernah bertemu dengan kakek hitam itu dan dalam pertandingan yang hebat, dia sudah dilukai dan terpaksa dia harus mengaku kalah. Semenjak itu, tidak pernah lagi dia bertemu dengan Hek Lojin yang memang mengasingkan diri karena terlalu banyak musuh. Sekarang, tidak disangka-sangka dia bertemu dengan musuh lamanya, tentu saja dia lalu berusaha sungguh-sungguh untuk membalas kekalahannya pada puluhan tahun yang lalu.

Sebenarnya Hek Lojin masih belasan tahun lebih tua dari pada Song-bun-kwi, termasuk tokoh lama yang sudah tua sekali. Akan tetapi karena kakek ini memang luar biasa dan hidup di alam terbuka jauh dari pada dunia ramai, agaknya dia memiliki kekuatan yang lebih dari pada manusia biasa. Selain tenaganya tidak normal, juga kepandaiannya aneh dan bersifat liar dan ganas.

Memang dia memiliki banyak ilmu silat yang dikenal di dunia kang-ouw sebagai ilmu-ilmu silat kelas tinggi, seperti yang dia turunkan kepada The Sun. Akan tetapi di samping ini, dia masih mempunyai ilmu berkelahi yang hanya dia miliki sendiri dan yang jarang dia pergunakan di dalam pertempuran dan tidak pernah dia turunkan kepada siapa pun juga.

Ilmu ini merupakan ilmu berkelahi yang menyimpang dari pada ilmu silat yang timbul dari perasaan dan naluri, seperti ilmu berkelahi yang dimiliki oleh para binatang buas di dalam hutan. Oleh karena itu, tadi ketika dia memutar-mutar tongkatnya secara liar, Kong Bu dan Li Eng yang tidak biasa menghadapi ilmu berkelahi seperti ini menjadi kebingungan dan mudah dikalahkan.

Sekarang, ketika menghadapi Song-bun-kwi, kakek hitam ini berlaku sangat hati-hati dan karenanya dia malah tidak mau ngawur seperti tadi, melainkan menggunakan jurus-jurus ilmu silatnya yang beraneka ragam dan rata-rata dari tingkat tinggi itu.

Hebat pertandingan ini. Tenaga Iweekang Hek Lojin sudah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Akan tetapi sekali ini dia menemukan tandingan, karena Song-bun-kwi adalah seorang kakek yang dijuluki iblis sedang nama julukan Song-bun-kwi saja artinya Setan Berkabung! Meski pun Song-bun-kwi diam-diam harus mengakui bahwa dia masih belum dapat menandingi tenaga dalam kakek hitam itu, akan tetapi setidaknya tingkatnya tidak kalah jauh seperti ketika tadi kakek itu menghadapi Kong Bu dan Li Eng.

Sebetulnya Hek Lojin adalah seorang ahli agama, oleh karena itulah maka tadi Kong Bu dan Li Eng sempat mendengar nyanyian-nyanyian agama yang merupakan ayat-ayat suci dari Agama Buddha dan Agama To. Akan tetapi, agama-agama pada waktu itu banyak disalah gunakan orang.

Banyaklah kaum persilatan yang mempelajari agama bukan karena pelajaran hidupnya yang baik, bukan karena untuk mencari jalan pendekatan dengan Tuhan, namun mereka ini bermaksud untuk mengambil bagian-bagian mistik dan gaib dari pada agama itu. Oleh karena inilah maka timbul banyak aliran yang menggunakan agama itu untuk mempelajari segala macam ilmu gaib yang mereka gabungkan dengan ilmu silat sehingga terkenallah ilmu-ilmu silat yang disebut ilmu silat hitam.

Demikian pula tenaga mukjijat yang dimiliki kakek hitam itu bukan semata-mata tenaga sinkang murni dari dalam tubuh yang memang dimiliki oleh semua orang, akan tetapi juga diperkuat oleh tenaga dari ilmu hitam yang dia dapatkan dengan cara bermacam-macam dan amat mengerikan.

Kong Bu dan Li Eng melihat pertempuran ini dengan hati amat khawatir. Apa lagi setelah pertandingan itu berlangsung seratus jurus lebih, mereka merasa gelisah sekali karena kini tampak oleh mereka betapa keadaan Song-bun-kwi mulai terdesak. Kong Bu ingin membantu kakeknya, tetapi tidak mungkin dia dapat bertempur dengan tangan kiri patah tulangnya dan dadanya masih sesak oleh tenaga dorongan kakek itu. Juga Li Eng sudah terluka, pahanya telah terkena tendangan dan terasa sakit sekali.

Tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya senjata-senjata kedua kakek itu. Kiranya mereka sudah mempergunakan seluruh tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, suling remuk pedang patah, akan tetapi tongkat hitam itu pun terlempar jatuh sampai beberapa meter jauhnya!

Kedua orang kakek itu tertawa saling mengejek, lalu pertandingan dilanjutkan dengan dua pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua pihak membuktikan bahwa pertandingan tangan kosong ini tidak kalah hebatnya dibandingkan pertandingan dengan senjata tadi.

Setiap pukulan yang dilancarkan adalah pukulan maut yang mengandung hawa pukulan dahsyat. Angin pukulan bersiutan, membuat daun-daun pohon di sekelilingnya rontok dan debu berhamburan dari kedua kaki mereka.

Dalam pertempuran ini, Song-bun-kwi lebih terdesak lagi. Dengan penggunaan senjata, dia masih dapat mengimbangi lawannya, akan tetapi pertandingan dengan tangan kosong semata-mata hanya mengandalkan kecepatan gerak dan besarnya tenaga dalam. Dalam kecepatan, Song-bun-kwi sebanding dengan lawannya, namun dalam hal tenaga, karena lawannya mempunyai tenaga mukjijat, Song-bun-kwi terpaksa harus mengakui bahwa tiap kali tangannya bertemu dengan tangan lawan, jantungnya terasa sakit seperti ditusuk!

Namun, kakek ini tidak akan mendapat julukan iblis Song-bun-kwi kalau dia mau mengaku kalah. Dengan semangat menyala-nyala, Song-bun-kwi nekat terus menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga dan gerakan-gerakannya semakin cepat saja. Kakek hitam tertawa-tawa melayani dan dalam sekejap mata kedua kakek itu lenyap terbungkus debu yang mengebul dari bawah.

Hebat bukan main pertarungan ini, seperti pergumulan dua ekor naga, atau perkelahian dua ekor harimau buas, pantang menyerah, pantang undur. Kong Bu dan Li Eng makin merasa khawatir, akan tetapi keduanya tidak berdaya karena sebagai ahli-ahli silat tinggi, maklumlah mereka bahwa sekali mereka maju belum tentu mereka dapat menguntungkan Song-bun-kwi akan tetapi yang pasti mereka akan celaka. Hawa pukulan dengan tenaga dahsyat yang menyambar di sekeliling dua orang kakek itu tidak terlawan oleh mereka.

Tiba-tiba kedua orang kakek itu berhenti bersilat dan tubuh mereka mencelat ke belakang, masing-masing dua meter lebih, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan. Hek Lojin sudah tidak tertawa lagi, mukanya yang hitam itu berkilat-kilat penuh peluh, mulutnya menyeringai, matanya berseri-seri. Muka Song-bun-kwi juga penuh keringat, agak pucat dia, matanya berapi-api penuh kemarahan.

Kemudian keduanya melompat ke depan, saling terjang dan terdengar suara berdebugan dua tiga kali dan akibatnya, tubuh mereka terlempar ke belakang lagi. Kembali mereka saling terjang dan terdengar pukulan-pukulan yang mengakibatkan mereka terlempar lagi. Adegan seperti ini terulang sampai empat lima kali. Muka Song-bun-kwi makin pucat, muka Hek Lojin semakin penuh dengan keringat.

Tiba-tiba kakek hitam itu bergelak. "Ha-ha-ha-heh-heh, Song-bun-kwi tua bangka iblis! Kau benar-benar berkepala batu, sudah kalah tidak mau mengakui kekalahan. Ha-ha-ha, sudah puas hatiku dengan perkelahian hari ini, aku sudah lelah. Kalau kau masih dapat hidup, lain hari kita lanjutkan, kalau kau mampus karena perkelahian ini, mampuslah dan rasakan hukuman neraka. Ha-ha-ha!"

Kakek hitam itu melangkah mundur ke tempat tongkatnya, mengambil senjata itu dan menyeretnya pergi dari situ. Masih terdengar suara ketawanya yang bergema dari jauh.

Song-bung-kwi masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang seperti tadi, napasnya tersengal-sengal, mukanya pucat dan hidungnya kembang-kempis. Tiba-tiba dia menekan ulu hatinya dan kakek kosen ini pun muntah-muntah. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

"Kakek...!" Kong Bu cepat-cepat melompat menghampiri, Li Eng juga terpincang-pincang lari menghampiri.

Seakan-akan telah kehabisan tenaga, Song-bun-kwi sudah jatuh terduduk. Dia berusaha menghapus bibirnya dengan ujung lengan baju dan terdengar dia bergumam perlahan, "...hebat sekali... Hek Lojin iblis..."

Kong Bu sudah berlutut di depannya, juga Li Eng. Kagetlah dua orang ini ketika melihat bahwa leher, pundak, dada dan perut kakek itu terluka oleh pukulan yang meninggalkan bekas membiru Sedangkan baju pada bagian terpukul itu pun berlubang besar seperti bekas terbakar.

Kiranya dalam gebrakan-gebrakan terakhir tadi, dua orang kakek sakti itu telah melakukan jurus-jurus yang mematikan, jurus-jurus nekat yang berdasarkan mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya pukulan! Tadi empat kali Song-bun-kwi telah menerima pukulan maut Hek Lojin, sebaliknya Hek Lojin juga sudah menerima empat kali pukulan Song-bun-kwi yang datangnya hampir pada saat yang sama itu.

Pukulan Song-bun-kwi dapat diterima oleh Hek Lojin, menimbulkan luka ringan yang tidak membahayakan nyawanya. Sebaliknya pukulan-pukulan Hek Lojin sedemikian hebatnya sehingga membuat Song-bun-kwi sekarang muntah-muntah darah dan sudah menderita luka yang amat parah.

Akan tetapi daya tahan Song-bun-kwi dan semangatnya memang luar biasa sekali. Kalau orang lain yang menderita seperti dia, tentu tadi sudah roboh di bawah kaki lawannya. Namun Song-bun-kwi sanggup menahan diri, menahan rasa nyeri dan dengan semangat pantang mundur dia menukar pukulan sampai empat kali.

Hek Lojin tadi menjadi terkejut sekali dan diam-diam merasa jeri. Dia sendiri, meski pun ringan, sudah merasa terluka oleh pukulan-pukulan Song-bun-kwi, akan tetapi mengapa Song-bun-kwi agaknya tidak merasai pukulannya yang empat kali itu? Padahal pukulan-pukulannya tadi adalah pukulan maut yang mengandung tenaga mukjijat!

Itulah sebabnya mengapa Hek Lojin tadi meninggalkan Song-bun-kwi, sama sekali bukan karena merasa menang, melainkan karena jeri! Setelah lawannya pergi, barulah terasa oleh Song-bun-kwi akan kehebatan bekas pukulan lawan dan sekarang dia terkulai tidak berdaya. Dia maklum bahwa dia telah menerima pukulan-pukulan maut yang meremukkan isi dadanya, dan tahu bahwa dia tidak akan tertolong lagi.

Melihat Kong Bu dan Li Eng berlutut di dekatnya, timbul rasa kecewanya terhadap kedua orang ini. Sampai mau mati pun dia masih kecewa karena belum mempunyai cucu buyut. Dasar kakek ini seorang yang amat aneh wataknya. Dia menggunakan kedua tangannya untuk mendorong pergi dua orang itu sambil berkata,
"Pergi... pergi... biar aku tidak punya cucu juga tidak apa...!"

Suara kakek ini bernada penuh penyesalan, penuh kekecewaan karena merasa tertikam perasaannya ketika teringat bahwa dalam menghadapi saat terakhir dalam hidupnya ini, dia masih dikecewakan oleh Kong Bu yang dia kasihi, dikecewakan karena cucunya ini tidak mempunyai keturunan!

"Kongkong (kakek)...!" Kong Bu mendekati kakeknya lagi, suaranya penuh keharuan. Li Eng juga mendekat lagi, air matanya mengalir.
"Sudahlah, meski sampai mati pun aku tetap kecewa padamu...!" kata pula Song-bun-kwi ketus sambil bangkit berdiri dengan susah payah dan kakek ini sudah bersiap melangkah maju meninggalkan mereka.

Tiba-tiba Li Eng memegang lengannya. Dengan suara terisak-isak ia berkata, "Kongkong, aku... aku... ahhh, kau sudah akan mempunyai cucu buyut..."
"Haaaaa?? Apa kau bilang...?!"

Mata dan mulut kakek itu terbuka selebar-lebarnya saat dia menatap wajah Li Eng yang sudah basah air mata karena ia sudah mulai menangis tersedu-sedu, sambil merangkul dan mengganduli pundak kakek itu. Melihat Li Eng tidak mungkin dapat menjawab karena menangis itu, Kong Bu yang menjawab dengan muka berseri dan mata bersinar,

"Betul, Kongkong, Li Eng sudah mengandung. Cucu buyutmu pasti bakal terlahir!"
"Wah-wah! Betulkah ini? Li Eng, betulkah ini?" Kakek ini berteriak sambil memegang dua pundak Li Eng dan mendorongnya untuk dapat melihat wajahnya.

Li Eng tersenyum dalam tangisnya, menahan air mata dengan memeramkan mata, dan hanya dapat mengangguk dengan gerakan meyakinkan.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Song-bun-kwi, kau tua bangka goblok, kau manusia tolol! Ha-ha-ha-ha, Li Eng, kau anak baik!"

Serentak tubuh Li Eng yang dia pegang pada kedua pundaknya itu dia lontarkan ke atas. Tubuh Li Eng melayang ke atas kurang lebih tiga meter tingginya, diterima dengan penuh kasih sayang lalu dilontarkan lagi sampai tiga kali. Kemudian dia memeluk Li Eng dan menciumi rambutnya, membiarkan Li Eng terisak-isak bahagia di dadanya.

"Li Eng, mana dia? Mana cucu buyutku? Tidak bisakah kau lahirkan dia sekarang saja? Aku sudah ingin memondongnya, menimangnya, ha-ha-ha!"
"Iihhh, Kakek ini...!" Li Eng menundukkan mukanya, jengah.
"Ha-ha-ha, Song-bun-kwi tolol, siapa bilang cucuku tidak becus dan goblok? Ha-ha-ha, Kong Bu, kau hebat...!"

Dia sudah melepaskan Li Eng, lalu menghampiri Kong Bu dan menepuk-nepuk pundak cucunya itu. Kalau saja bukan Kong Bu yang ditepuknya, tentu pundak itu akan remuk.

"Ha-ha-ha-ha, aku punya cucu buyut..." Kakek itu tertawa terus terbahak-bahak, makin lama makin aneh suara ketawanya.
"Kongkong...!" Li Eng dan Kong Bu menjerit berbareng sambil menubruk maju.

Akan tetapi Song-bun-kwi sudah terguling roboh, terlentang dengan mata melek dan mulut terbuka, wajahnya masih tertawa-tawa akan tetapi napasnya berhenti. Kakek itu sudah mati dalam keadaan tertawa bahagia. Kiranya dalam kegirangannya yang melewati batas tadi, dia sudah banyak mengerahkan tenaga dan hal ini memperhebat luka-lukanya yang memang sudah terlalu parah hingga akhirnya merenggut nyawanya sebelum dia sempat menghabiskan ketawanya!

Li Eng dan Kong Bu memeluki tubuh kakek itu sambil menangis. Angin yang tadi bertiup dan bermain-main di antara daun-daun pohon, sekarang berhenti. Sunyi senyap di dalam hutan itu, seakan-akan hutan, angin dan penghuni hutan ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian kakek sakti yang hidupnya sering menggemparkan dunia kang-ouw itu…..

********************
"Kim-tiauw-ko, aku ingin sekali pergi ke Ching-coa-to. Ah, alangkah akan mudahnya kalau kau dapat menerbangkan aku ke pulau itu, kita tak akan bingung menghadapi jalan-jalan rahasia. Ah, sayang, Tiauw-ko, kau tak tahu di mana adanya pulau itu...," kata Kun Hong sambil mengelus-elus leher burung itu.

Betapa pun cerdik pandainya, seekor burung hanyalah seekor binatang biasa saja, tentu saja tidak memiliki akal dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Si Pendekar Buta. Dia hanya mengeluarkan suara mencicit bingung melihat sahabatnya ini bersikap kecewa dan menyesal.

Mereka masih berada di dalam sebuah hutan, sudah beberapa hari mereka melakukan perjalanan keluar hutan. Kun Hong bingung karena tidak bertemu manusia yang dapat dia tanyai jalan.

Sebetulnya sudah banyak hal yang menghilangkan kegelisahannya. Cui Sian telah berada di tangan orang yang boleh dipercaya dan anak itu selamat. Surat wasiat juga sudah diantarkan ke utara, dan dia merasa yakin bahwa Sin Lee dan Hui Cu pasti akan dapat melaksanakan tugas itu dengan baik. A Wan juga berada bersama paman gurunya, aman dan selamat.

Tinggal dua lagi tugas yang harus dia selesaikan. Pertama mencari orang-orang Ching-coa-to dan memberi hajaran atas kejahatan mereka terhadap Thai-san-pai. Ke dua... ya, yang ke dua inilah yang membingungkan hatinya. Tentang Hui Kauw! Bagaimana baiknya dengan nona itu?

Harus dia akui bahwa dia betul-betul mencinta Hui Kauw. Cinta kasihnya terhadap Cui Bi sekarang agaknya sudah berpindah kepada Hui Kauw seluruhnya. Dia merasa kesepian, rindu, dan merasa seakan-akan hidupnya tidak lengkap, kehilangan semangat hidup dan kegembiraan, akibat berpisah dari nona bersuara bidadari itu. Dia tahu bahwa hidupnya selanjutnya akan merana, akan kosong hampa dan tidak ada artinya tanpa Hui Kauw.

"Uhh, urusan besar belum selesai, sudah memikirkan yang bukan-bukan..." Dia menepuk kepala sendiri dan rajawali emas itu menggereng perlahan.

"Kim-tiauw, betapa tidak enaknya menjadi manusia!" kembali Kun Hong mengeluh sambil duduk di atas batu besar di dekat burung itu. "Tiada hentinya manusia terganggu dalam hidupnya yang terbelit-belit dan terikat oleh segala macam kewajiban, dan terkacau oleh segala macam perasaan. Kau inilah makhluk bahagia, kim-tiauw, karena selama hidupmu kau tidak pernah memusingkan sesuatu."

Burung itu mengeluarkan suara panjang seakan-akan membantah pendapat ini dan sama sekali tidak menyetujuinya. Kun Hong merenung. Betulkah seperti yang dia katakan tadi? Apakah tidak sebaliknya dari pada itu? Bukanlah segala ikatan dalam hidup itulah yang membuat hidup ini berisi dan pantas diderita? Bukankah kehidupan burung dan segala macam makhluk selain manusia di dunia ini yang amat menjemukan?

Bayangkan saja. Bila hidup tanpa adanya susah, senang, puas, kecewa, dan lain-lain perasaan yang saling bertentangan, apakah tidak akan merupakan siksaan karena tiada perubahan, sunyi sepi dan seolah-olah sudah mati saja? Bagaikan samudera, apa artinya tanpa gelombang membadai yang membuat samudera nampak hidup? Apa artinya dunia ini tanpa angin, lelap lengang dan sunyi mati. Demikian pula hidup ini, akan terasa sunyi membosankan apa bila tidak ada ikatan-ikatan yang mengakibatkan manusia merasakan susah senang, jatuh bangun dan sebagainya.

Teringat dia akan filsafat-filsafat kuno dan dia tersenyum seorang diri. Memang hebat para budiman dan bijaksana jaman dahulu, telah dapat meneropong isi dari pada hidup. Dia menepuk-nepuk leher kim-tiauw, kini wajahnya berseri dan hatinya tenang,

"Kim-tiauw, alangkah bodohku, sampai lupa akan kenyataan yang tidak terbantah lagi itu. Siapa mencari senang, dia sekali-kali tentu bertemu susah. Siapa mencari untung sekali-kali akan bertemu rugi. Siapa mencari puas, sekali-kali akan ketemu kecewa. Memang sudah semestinya begitu. Kalau tidak ada atas, mana bisa ada bawah? Kalau tidak ada senang, mana bisa bilang ada susah? Manusia adalah makhluk yang paling berbahagia, kim-tiauw, sebab mengenal keduanya itu, mengenal dan merasakan akibat dari kekuatan Im dan Yang (positive dan negative). Ha-ha-ha, kaulah yang patut dikasihani, kim-tiauw."

Kini kim-tiauw itu bersuara girang, sekan-akan dia ikut bergembira mendengar sahabatnya sudah bisa tertawa-tawa kembali. Tiba-tiba mereka berdua serentak diam memperhatikan. Terdengar suara kaki orang banyak menuju ke arah tempat itu. Rajawali emas sudah siap, bulu tengkuk burung itu sudah mulai berdiri, tanda bahwa dia telah siap menyerang lawan.

"Sssttt, jangan sembrono kim-tiauw-ko, kita lihat dulu mereka itu kawan ataukah lawan."

Betapa pun juga, Kun Hong sudah siap pula berdiri di dekat burung itu, menanti dengan penuh kewaspadaan. Dia taksir sedikitnya ada tujuh orang yang bergerak makin dekat itu. Maklum akan watak burung rajawali yang mudah curiga itu. Kun Hong sengaja merangkul lehernya untuk mencegah burung itu menerjang orang secara sembrono sebelum dia dapat mengetahui siapa mereka itu.

"Pangcu (ketua)... kami para anggota Hwa-i Kaipang datang menghadap..." tiba-tiba saja seorang di antara mereka berseru dari jauh.

Kun Hong bernapas lega, "Kim-tiauw-ko, agaknya mereka itu teman-teman sendiri, jangan kau ganggu."

Tidak lama kemudian muncullah delapan orang yang serta merta berlutut di depan Kun Hong. Pendekar muda ini teringat akan tipuan yang dilakukan The Sun yang pernah mendatangkan beberapa orang anggota Hwa-i Kaipang yang palsu. Orang-orang ini pun juga tidak dia kenal, mana dia tahu kalau mereka adalah betul-betul anggota perkumpulan pengemis itu?

"Apakah di antara kalian ada yang mengenal Coa-lokai?" dia memancing.

Terdengar jawaban dua orang yang berada di sebelah kanan, "Siauwte adalah murid suhu Coa-lokai."

Tiba-tiba Kun Hong bergerak dan tahu-tahu dia telah mengirim dua serangan kepada dua orang itu. Sebagai ahli-ahli silat, dua orang itu otomatis menggerakkan tangan menangkis. Akan tetapi akibatnya, keduanya terjungkal dan terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya.....
Kagetlah semua orang itu, juga rajawali emas sudah siap membantu sahabatnya dalam pertempuran. Akan tetapi tiba-tiba Kun Hong tertawa bergelak, membuat orang-orang itu, terutama yang tadi dibikin terguling-guling, makin keheranan.

"Ha-ha-ha, maafkan aku, Twako. Dulu aku pernah dihadapkan kepada orang-orang Hwa-i Kaipang yang palsu, maka terpaksa aku menguji. Kiranya benar ji-wi adalah murid-murid Coa-lokai sehingga aku tidak perlu ragu-ragu lagi. Maaf."

Semua anggota perkumpulan penggemis itu saling pandang dan makin kagumlah mereka. Tadinya mereka ragu-ragu melihat betapa orang yang amat dipuji-puji oleh para pimpinan Hwa-i Kaipang hanya seorang pemuda yang buta lagi. Akan tetapi, melihat gerakan Kun Hong tadi yang sekali bergerak tidak saja mampu menjungkalkan dua orang, akan tetapi dari gerakan menangkis dua orang itu dia telah mengenal ilmu silat dari Coa-lokai. Hebat!

Kembali mereka berlutut. "Pangcu, kami datang untuk melapor bahwa Lo-pangcu kami telah tewas dalam pertempuran di kota raja."

Kun Hong mengangguk. Dia sudah mendengar akan hal ini dari Hui Kauw.

"Aku sudah tahu dan aku menyesal sekali mengapa Hwa-i Lokai sampai mengorbankan banyak nyawa saudara-saudara Hwa-i Kaipang untuk membantuku."
"Bukan begitu, Pangcu. Persoalannya bukanlah semata urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan. Hwa-i Kaipang dalam hal ini bekerja sama dengan Pek-lian-pai, dan langsung menerima tugas-tugas dari utara."
"Hemmm, begitukah? Sekarang siapa yang menggantikan Hwa-i Lokai, dan apa maksud kalian datang menemuiku di sini?"

Orang yang tadi telah mengaku sebagai murid Coa-lokai menjawab, "Sementara ini yang memimpin kami adalah suhu sendiri. Juga suhu yang menyuruh kami mencari Pangcu dan memberi tahu bahwa nona Kwee Hui Kauw sekarang berada dalam bahaya."

Terkejut hati Kun Hong. "Ehh, siapakah namamu dan bagaimana kalian tahu bahwa nona Hui Kauw dalam bahaya? Apa pula sebabnya hal itu kalian ceritakan kepadaku?"

"Maaf, Pangcu. Siauwte Lauw Kin, murid kepala suhu Coa-lokai. Siauwte beserta semua saudara memang bertugas dalam pergerakan di dalam kota raja sehingga semua urusan kami ketahui belaka. Juga kami tahu bahwa nona itu adalah sahabat baik Pangcu, karena itulah kami datang menyampaikan warta ini."
"Bagaimana urusannya? Hayo ceriterakan yang jelas!" Kun Hong tidak sabar lagi setelah dia mengerti duduknya perkara dan menaruh kepercayaan kepada orang yang tadi sudah dia rasakan bahwa gerakannya ketika menangkis memang betul-betul ilmu silat Coa-lokai. Dahulu pernah dia menghadapi penyerangan Coa-lokai, maka dia pun mengenal gerakan muridnya ini.
"Kami sendiri tidak tahu sebabnya, akan tetapi kami melihat nona itu sudah ditawan oleh The Sun dan Bhok Hwesio. Malah hebatnya, ayahnya sendiri, yakni pembesar Kwee itu, agaknya juga berpihak kepada The Sun dan sama sekali tidak menolong puterinya."

Kun Hong merasa khawatir sekali. Akan tetapi dia menahan tekanan batinnya, kemudian bertanya tenang, "Di mana nona itu ditahan? Memang aku harus menolongnya, apakah kalian melihat cara untuk membebaskannya?"

"Harap Kwa-pangcu jangan khawatir. Kami sudah menyelidiki dengan teliti sekali dan kami yakin bahwa sementara ini mereka tidak akan mengganggu nona Hui Kauw. Memang ada jalan untuk menolongnya, akan tetapi hal ini membutuhkan tenaga ahli yang mempunyai ilmu tinggi. Agaknya, kecuali Pangcu sendiri tidak mungkin ada yang akan mampu untuk menolongnya."
"Hemmm, lekas ceriterakan dengan jelas, apa yang kau maksudkan?"

"Begini, Kwa-pangcu. Kami mendengar kabar bahwa pihak The Sun sudah mengadakan hubungan dengan Ching-toanio dan kawan-kawannya. Karena nona Hui Kauw ditangkap dengan tuduhan membantu pemberontak, yaitu memberikan mahkota kepada puterinya Sin-kiam-eng untuk dibawa ke utara, maka sudah semestinya dia dihukum mati. Baiknya mereka itu masih mengingat pada Ching-toanio yang sudah mengadakan hubungan lebih dulu. Mereka merasa sungkan terhadap Ching-toanio karena nona Hui Kauw adalah puteri angkatnya. Inilah yang menyelamatkan nona Hui Kauw. Pelaksanaan hukuman ditunda dan malah dia akan dibawa dalam pertemuan yang diadakan antara jagoan-jagoan istana dengan pihak Ching-coa-to. Mungkin dalam pertemuan itulah nona Hui Kauw akan diberi hukuman."

Kun Hong terkejut bukan main. Sama sekali tidak ada baiknya bila Hui Kauw dihadapkan dengan Ching-toanio, karena dia tahu betapa nyonya itu sangat benci kepada Hui Kauw. Pertemuan itu tidak akan memperingan hukuman Hui Kauw, malah mungkin nona pujaan hatinya itu akan mengalami siksaan yang lebih hebat.

"Di manakah pertemuan itu diadakan dan kapan?" tanyanya cepat, hatinya kini tidak dapat menahan lagi kegelisahannya.
"Masih tiga hari lagi, Kwa-pangcu. Pihak Ching-coa-to masih belum percaya kepada para jagoan istana sehingga mereka tidak mau mengadakan pertemuan di kota raja, khawatir akan perangkap. Oleh karena itu sudah diputuskan oleh kedua pihak untuk mengadakan pertemuan di luar kota raja, di lembah Sungai Huai, tempat yang mereka pilih adalah..."
"Pusat perkumpulan Ngo-lian-kauw?" Kun Hong memotong, dia langsung teringat ketika lembah Sungai Huai disebut-sebut.
"Ehhh, ternyata Kwa-pangcu juga sudah tahu...!" Lauw Kin, murid Coa-lokai itu berseru terkejut.
"Aku hanya menduga saja. Lanjutkan ceritamu dan apa maksud pertemuan itu."
"Memang, mereka memilih tempat Ngo-lian-kauw, karena meski pun pihak Ngo-lian-kauw selama ini tidak ikut-ikut, akan tetapi mereka agaknya mempunyai hubungan pula dengan perkumpulan sesat itu dan mempercayainya. Dan menurut hasil penyelidikan kami yang bekerja sama dengan Pek-lian-pai, maksud pertemuan itu adalah hendak merundingkan kerja sama menghadapi serbuan Raja Muda Yung Lo. Dalam hal ini, pihak Ching-coa-to minta jaminan dan janji-janji kedudukan yang akan diputuskan dan ditanda tangani sendiri oleh kaisar."

"Hemmm, untuk menghadapi paman sendiri, menarik bantuan tenaga orang-orang Mongol dan Mancu." Kun Hong memotong. "Kalau begitu, kedua pihak tentu akan datang dengan kekuatan besar, belum lagi para anggota Ngo-lian-kauw yang tentu menjaga keamanan di sana sebagai tuan rumah."
"Memang betul, Kwa-pangcu. Akan tetapi kami dan pihak Pek-lian-pai sudah mengadakan persiapan pula, malah kami sebelumnya telah menghubungi pasukan-pasukan Raja Muda Yung Lo serta mengerahkan para saudara kita. Raja Muda Yung Lo sudah berjanji akan mengirimkan pasukan dan akan menyerbu, karena orang-orang yang akan berkumpul itu merupakan inti kekuatan pertahanan di kota raja. Di dalam keributan inilah maka Pangcu dapat menolong nona Hui Kauw yang sudah pasti akan dibawa serta ke tempat itu."

Kun Hong berpikir keras. Kekuatan pihak istana dan Ching-coa-to kalau digabung menjadi satu, merupakan kekuatan hebat yang sukar dilawan. Apa lagi mengingat bahwa di sana ada orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu, tiga orang Ang Hwa Sam-cimoi, Ching-toanio sendiri, Souw Bu Lai, dan Bouw Si Ma ditambah pihak istana yang amat kuat dibantu oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Bhok Hwesio, Lui-kong Thian Te Cu, dan Hek Lojin.

Berat sekali lawan-lawan itu, akan tetapi demi keselamatan Hui Kauw, dia harus datang menolong. Di luar istana memang lebih leluasa dan mudah menolong nona itu, dari pada di dalam istana yang dikurung pagar tembok dan di mana terdapat puluhan ribu orang tentara yang menjaga. Di samping menolong Hui Kauw, juga hitung-hitung dia membantu perjuangan mendiang pamannya Tan Hok yang membantu Raja Muda Yung Lo.

"Kalau begitu, mari kita berangkat dan biarlah siasat selanjutnya kita atur di sana," kata Kun Hong. Dia lalu menepuk-nepuk leher kim-tiauw dan berkata, "Kim-tiauw-ko, kau tidak boleh turut karena kehadiranmu akan membuka rahasia pengepungan. Sekarang pergilah kau menyusul susiok, kelak kau boleh cari lagi padaku. Pergilah!"

Dia mendorong tubuh burung itu yang mengeluarkan seruan panjang tanda kecewa. Akan tetapi agaknya dia tidak berani membangkang, buktinya dia lalu melengking keras dan terbang ke angkasa raya, sebentar saja lenyap dari situ. Para anak buah Hwa-i Kaipang kagum bukan main melihat burung sakti itu…..
********************
Memang benar apa yang diceriterakan oleh Lauw Kin anggota Hwa-i Kaipang itu. Pada waktu itu, memang para anggota Hwa-i Kaipang ini bersama para anggota Pek-lian-pai, secara lihai sekali berhasil menyelundup ke kota raja dan memasang banyak mata-mata untuk mengetahui gerak-gerik pemerintahan kaisar baru. Mata-mata ini dipasang sampai menembus dinding istana yang tebal sehingga segala macam peristiwa diketahui belaka oleh mereka.

Melalui para penyelidik, kaisar muda itu telah dapat mengetahui akan adanya persekutuan yang hendak menjatuhkannya. Dia tahu pula bahwa persekutuan itu mengadakan kontak dengan Raja Muda Yung Lo, pamannya. Betapa pun juga, dia hendak mempertahankan kekuasaannya dan ketika penobatannya menjadi kaisar baru dilaksanakan, dia sengaja tidak mengundang pamannya itu.

Kini, setelah jelas olehnya bahwa diam-diam mendiang kakeknya (kaisar lama) menaruh harapan kepada Raja Muda Yung Lo, dia bertekad untuk menumpas pamannya itu. Atas bantuan The Sun, kaisar lalu mengundang orang-orang pandai dan mengulurkan tangan kepada orang-orang kang-ouw yang suka membantunya.

Oleh karena itulah, ketika dia mendengar bahwa para tokoh dari Ching-coa-to bersama orang-orang sakti menawarkan bantuan mereka, dia menjadi girang sekali. Akan tetapi di samping kegirangan ini juga terdapat kecurigaan di pihak kaisar dan para jagoan istana.

Semenjak dulu Ching-coa-to tak pernah membantu kaisar dalam urusan negara, sungguh pun harus diakui pula bahwa pihak ini sama sekali juga tidak ada hubungan dengan para pemberontak seperti Pek-lian-pai dan Hwa-i Kaipang. The Sun dan jagoan-jagoan lainnya terlebih merasa curiga dan berhati-hati lagi menghadapi Ching-coa-to, karena mendengar bahwa rombongan itu memiliki anggota tokoh-tokoh Mongol, malah yang seorang adalah bekas pangeran Mongol pula. Jangan-jangan pangeran itu mempunyai niat buruk hendak mengembalikan kekuasaan bangsanya yang telah terusir oleh perjuangan kaisar pertama dari kerajaan Beng! Adanya orang Mancu dalam rombongan itu semakin menambahkan kecurigaan.

"Sukar diduga apa yang tersembunyi dalam maksud bantuan mereka itu," kata The Sun ketika para jagoan diundang oleh kaisar untuk membicarakan masalah ini. "Akan tetapi, mereka terdiri dari orang-orang sakti yang bantuannya amat diperlukan untuk menghadapi musuh-musuh kita."
"Hemmm," kata kaisar, "apakah tidak berbahaya kalau mengundang mereka ke kota raja? Jangan-jangan itu berarti kita memasukkan serigala-serigala ke dalam rumah."
"Harap Paduka tidak khawatir," The Sun menghibur, "apa bila mereka itu mempunyai niat buruk, para pengawal dipimpin oleh para Locianpwe yang berada di sini pasti akan dapat menghancurkan mereka. Selain itu, apa bila suhu telah berhasil mengejar dan menangkap pemberontak Kwa Kun Hong, tentu suhu akan datang lagi dan keadaan kita akan menjadi lebih kuat."

Bhok Hwesio mengerutkan kening. Hwesio ini suka kepada The Sun yang sangat pandai mengambil hati dan bersikap halus, akan tetapi dia tidak suka terhadap guru pemuda itu yang dianggapnya sombong.

"Tanpa adanya Hek Lojin sekali pun pinceng masih sanggup mengusir perusuh-perusuh dari dalam kota raja. Tapi sungguh amat tidak baik kalau sampai memanggil orang-orang yang masih mencurigakan ke dalam kota raja, sama saja dengan memancing datangnya kekacauan yang akan melemahkan pertahanan. Pertemuan dengan mereka lebih baik kita adakan di luar kota raja, sesudah melihat sikap mereka dan mendengarkan kesanggupan mereka barulah kita menentukan langkah."

Setelah ditimbang-timbang oleh kaisar, usul Bhok Hwesio ini lalu diterima dan diambillah keputusan untuk mengundang orang-orang Ching-coa-to itu mengadakan pertemuan. Ada pun tempat yang mereka pilih adalah lembah Sungai Huai yang juga menjadi sarang dari perkumpulan Ngo-lian-kauw.

Tentu saja peristiwa penting ini tertangkap oleh telinga para mata-mata Pek-lian-pai dan Hwa-i Kaipang yang segera mengadakan persiapan. Mereka mengirim surat kepada Raja Muda Yung Lo, bahkan ada yang mencari Kun Hong dan mengabarkan hal ini.

Dalam pertemuan puncak itulah para penyelidik ini mendengar tentang nasib Hui Kauw yang akan dijadikan tawanan dan dibawa ke pertemuan dengan orang-orang Ching-coa-to untuk dimintakan keputusan hukumannya. Rahasia Hui Kauw terbongkar ketika gadis ini merampas mahkota dan menyerahkannya kepada Loan Ki dan Nagai Ici tanpa ia sadari bahwa kejadian itu dilihat oleh seorang mata-mata istana yang kebetulan berada di tempat itu dan bersembunyi.

Hui Kauw segera ditangkap. Dengan gagah berani nona ini mengaku bahwa dia sama sekali tidak peduli akan urusan negara, tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi bahwa ia melakukan itu semata-mata untuk membantu Kwa Kun Hong, suaminya!

Ayahnya, bangsawan Kwee, marah-marah dan tidak mengakuinya sebagai puteri lagi. Ia lalu dijebloskan ke dalam penjara menanti keputusan hukuman, dan akhirnya ia hendak dipergunakan oleh The Sun untuk mengambil hati ibu angkatnya, Ching-toanio.

The Sun memang cerdik. Dia cukup mengerti bahwa Hui Kauw bukanlah pemberontak, namun seorang yang mencinta Si Pendekar Buta dan perbuatannya itu hanya terdorong oleh cinta dan kesetiaan. Kalau Hui Kauw dibunuh, bukan saja tidak ada artinya, bahkan mungkin sekali hal itu akan mematahkan hubungan baik dengan Ching-coa-to. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Ching-toanio sebetulnya membenci Hui Kauw pula. Maka dia hendak ‘mengambil hati’ orang-orang Ching-coa-to dan menyerahkan Hui Kauw kepada mereka, sebagai umpan!

Pada waktu itu, telah terjadi perubahan besar pada perkumpulan Ngo-lian-kauw. Dahulu, lima tahun yang lalu, perkumpulan ini dipimpin oleh Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas) murid Hek-hwa Kui-bo. Di bawah pimpinan Kim-thouw Thian-li yang direstui pula oleh iblis wanita Hek-hwa Kui-bo, perkumpulan itu maju pesat.

Ngo-lian-kauw atau perkumpulan Agama Lima Teratai adalah semacam agama sesat atau agama klenik yang memuja kekuasaan iblis dan mempelajari ilmu-ilmu hitam. Tidaklah mengherankan bila pada waktu itu ketuanya terkenal sebagai seorang ahli racun kembang dan jahatnya malahan melebihi gurunya. Setelah guru dan murid yang jahat itu tewas, perkumpulan Ngo-lian-kauw menjadi morat-marit.

Terjadilah perebutan-perebutan kekuasaan, karena ketua Ngo-lian-kauw itu meninggalkan banyak harta benda di samping kedudukan serta pengaruh. Para anggota Ngo-lian-kauw yang terdiri dari para pendeta-pendeta Ngo-lian-kauw dan wanita-wanita, terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok dan membela pilihan masing-masing supaya dipilih menjadi ketua sehingga terjadilah pertempuran-pertempuran.

Tetapi kemudian muncullah tiga orang wanita sakti dari barat, yaitu Ang Hwa Sam-cimoi, tiga orang kakak beradik Ngo Kui Ciau, Ngo Kui Biauw dan Ngo Kui Siauw yang selalu berpakaian serba merah. Tiga orang wanita yang usianya baru tiga empat puluh tahun ini merupakan adik-adik seperguruan Hek Kwa Kui-bo, jadi masih terhitung bibi-bibi guru dari pada mendiang Kim-thouw Thian-li bekas ketua Ngo-Lian-kauw.

Dengan kepandaian mereka, tentu saja dengan sangat mudah Ang Hwa Sam-cimoi ini menundukkan semua anggota Ngo-lian-kauw. Sejak itu, kurang lebih empat tahun setelah ketua Ngo-lian-kauw tewas, perkumpulan ini mengakui Ang-hwa Sam-cimoi sebagai ketua mereka.

Sesudah Ang-hwa Sam-cimoi menjadi ketua Ngo-lian-kauw, terjadilah perubahan hebat. Tiga orang wanita ini tak suka akan ilmu klenik, tak suka akan ilmu sihir dan penggunaan racun. Mereka sudah mewarisi ilmu silat dan ilmu pedang yang sangat lihai, kepandaian mereka semenjak mereka merantau ke barat telah mengalami kemajuan yang amat hebat sehingga mereka tidak suka mengandalkan diri kepada segala macam ilmu hitam.

Juga, melihat para pendeta laki-laki yang sudah tua-tua mereka tidak suka melihatnya dan membubarkan para anggota pria dari Ngo-lian-kauw, tidak lagi mengakui mereka sebagai anggota. Sebaliknya, mereka kemudian menerima anggota-anggota baru yang terdiri dari wanita-wanita muda dan cantik.

Dan semenjak dipimpin oleh Ang-hwa Sam-cimoi inilah perkumpulan itu terkenal sebagai perkumpulan wanita cabul! Bila mana ada laki-laki terlihat di situ, sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki ini adalah seorang pemuda tampan yang telah diculik dan orang itu selama hidupnya tidak akan dapat melihat dunia ramai lagi karena begitu dia sudah diapkir (tidak dibutuhkan lagi), maka dia akan dibunuh!

Ang-hwa Sam-cimoi memilih anggota-anggota yang berbakat dan mereka ini tidak banyak jumlahnya. Kalau dulu anggota Ngo-lian-kauw ada ratusan orang, sekarang hanya tinggal kurang lebih lima puluh orang lagi, semua wanita akan tetapi mereka ini rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Bahkan ketiga orang ketua baru ini telah memperhebat barisan Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai) yang dahulu diciptakan oleh Kim-thouw Thian-li.

Semua anggota-anggota Ngo-lian-kauw adalah ahli-ahli barisan Ngo-lian-tin sehingga biar pun kini anggotanya hanya lima puluh orang saja dan tidak sebanyak dahulu, dan wanita semua, namun apa bila dibandingkan dengan dahulu, perkumpulan ini malah lebih kuat!

Seperti telah kita ketahui, Ang-hwa Sam-cimoi juga merupakan orang-orang yang memiliki ambisi untuk bisa mendapatkan kemuliaan di kota raja di samping usaha mereka mencari teman-teman yang pandai untuk membalaskan dendam mereka atas kematian Hek-hwa Kui-bo di Thai-san. Oleh karena itu tiga orang saudara ini menjadi tamu-tamu terhormat dari Ching-toanio di Ching-coa-to. Seperti telah dapat kita duga, adalah tiga orang wanita sakti ini yang banyak membantu Ching-toanio beserta teman-temannya sehingga siasat mereka di Thai-san berhasil dengan baik hingga mengakibatkan hancurnya perkumpulan Thai-san-pai yang mereka benci itu.

Dan tidak aneh pula kalau pihak Ching-coa-to mengajukan sarang Ngo-lian-kauw sebagai tempat pertemuan dan perundingan antara pihak mereka dan pihak jagoan-jagoan istana. Seperti juga pihak istana, mereka sendiri masih ragu-ragu dan sangsi apakah para jagoan istana itu benar-benar mau menerima uluran tangan mereka dan mau memberikan janji kedudukan.

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, semua orang-orang Ngo-lian-kauw telah siap sedia. Sebagai nyonya rumah, Ang-hwa Sam-cimoi sudah mengatur tempat mereka sebaik-baiknya agar dapat menghormati para jagoan istana yang akan menjadi tamu-tamu agung.

Semua anggota Ngo-lian-kauw diberi tugas, ada yang mengatur penjagaan di sekeliling tempat itu untuk menjaga keamanan, ada yang bertugas melayani para tamu. Akan tetapi pada hari itu, mereka semua yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik, berdandan dengan mewah, memakai pakaian baru dengan muka mereka dilapisi bedak dan yanci (pemerah) lebih tebal dari pada biasanya. Namun setiap orang anggota menggantungkan pedang pada punggung masing-masing, sehingga mereka ini kelihatan cantik manis, centil genit, akan tetapi juga gagah.

Untuk menyenangkan hati jagoan-jagoan dari istana yang akan mewakili kaisar di dalam pertemuan dan perundingan ini, bangunan besar yang biasanya menjadi tempat tinggal ketua Ngo-lian-kauw, sekarang dikosongkan dan dihias menjadi tempat perundingan yang cukup luas dan menyenangkan.

Para pemasak sudah sejak pagi hari sibuk di dapur dan banyaklah itik dan ayam dipotong lehernya, di samping dua ekor babi disembelih. Untuk keperluan ini bahkan didatangkan dua orang tukang masak pria dari kota raja, dua orang laki-laki gemuk bermuka buruk akan tetapi yang sepasang tangannya pandai sekali menyulap masakan-masakan lezat. Arak wangi juga tidak ketinggalan, sudah dipilihkan arak tua yang baik. Pendeknya, pihak Ching-coa-to melalui Ngo-lian-kauw telah mempersiapkan penyambutan secara hebat dan besar-besaran.

Semenjak kemarin, pihak Ching-coa-to dan teman-temannya telah hadir di situ. Mereka ini terdiri dari belasan orang tokoh terkenal di dunia kang-ouw, tetapi yang penting disebut adalah Ching-toanio, Souw Bu Lai si jago Mongol beserta gurunya, si pendeta Ka Chong Hoatsu pentolan Mongol yang terkenal sakti. Tampak pula Bouw Si Ma, jagoan Mancu murid tunggal Pak Thian Lo-cu.

Bouw Si Ma ini terkenal dengan julukannya Si Tangan Maut dan tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh Souw Bu Lai mau pun Ching-toanio sendiri! Tentu saja patut pula disebut Ang-hwa Sam-cimoi, sebab tiga orang wanita ini betul-betul sakti dan kepandaian mereka masing-masing jauh melampaui tingkat Ching-toanio dan kawan-kawannya, kecuali Ka Chong Hoatsu. Tiga orang sumoi (adik seperguruan) Hek-hwa Kui-bo ini memang masing-masing tidak setinggi Ka Chong Hoatsu kesaktiannya, akan tetapi kalau mereka itu maju bertiga, kiranya Ka Chong Hoatsu sendiri akan sukar menandingi mereka!

Sesungguhnya mereka ini tidaklah sejujurnya hendak membantu pemerintah Beng-tiauw. Seperti telah kita ketahui, mereka ini terdiri dari orang-orang yang berambisi (berpamrih), terutama sekali Souw Bu Lai atau Pangeran Sublai yang mengaku masih keturunan dari Jenghis Khan.

Kalau kali ini mereka mengulurkan tangan hendak membantu Kaisar Beng-tiauw dengan dalih mencari kedudukan dan kemuliaan, sebetulnya adalah karena mereka kini merasa belum cukup kuat untuk merampas kerajaan. Mereka hendak membaiki pemerintah dan menguasai kedudukan-kedudukan penting sehingga kelak lebih mudah bagi mereka untuk menggulingkan Kerajaan Beng-tiauw dan membangun kembali Kerajaan Mongol.

Ini termasuk cita-cita Souw Bu Lai yang didukung oleh gurunya, yaitu Ka Chong Hoatsu, dan juga Ang-hwa Sam-cimoi. Akan tetapi cita-cita Bouw Si Ma si tokoh Mancu lain lagi. Tokoh ini bercita-cita mempergunakan kekuatan bangsanya untuk mencoba menguasai kerajaan besar itu, karena sesungguhnya sudah sangat lama Bangsa Mancu mengincar untuk berkuasa apa bila kesempatan baik tiba. Cita-cita itu disetujui serta didukung oleh Ching-toanio yang diam-diam telah lama mengadakan hubungan rahasia dengan Bouw Si Ma.

Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali rombongan dari kota raja sudah memasuki lembah Sungai Huai. Lima puluh orang prajurit pilihan termasuk pula pasukan pengawal kerajaan, berbaris memanjang dipimpin oleh dua orang pengawal istana, yaitu Ang Mo-ko dan Bhong-lokai, mengiringkan para tokoh istana yang dikepalai oleh The Sun.

Para tokoh istana itu adalah Lui-tong Thian Te Cu yang berpakaian kuning, Bhok Hwesio dengan pakaiannya tetap sederhana dengan bagian dada setengah terbuka, Bhewakala si jagoan dari Nepal yang berkulit hitam dengan anting-antingnya yang besar bergantungan di kedua telinganya, It-to-kiam Gui Hwa yang pendiam dan bersifat galak, dan The Sun sendiri. Di tengah rombongan berkuda ini, juga naik kuda diapit oleh The Sun dan Lui-tong Thian Te Cu, kelihatan Hui Kauw si gadis muka hitam!

Gadis ini menunggang kuda dengan muka tunduk. Ia menjadi seorang tawanan yang biar pun ia tidak dibelenggu dan naik kuda sendiri secara bebas, namun ia maklum bahwa di tengah orang-orang sakti ini ia sama sekali tidak berdaya. Melawan tidak ada artinya.

Ia memang tak mengharapkan diampuni, tidak mengharapkan diberi hidup oleh mereka ini atau oleh ibu angkatnya, akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, tidak sudi pula minta ampun. Hatinya malah berdebar penuh kebahagiaan kalau ia ingat bahwa semua penderitaan ini ia pikul demi membantu usaha Kun Hong, suaminya. Mati baginya bukanlah apa-apa asalkan Kun Hong selamat dan tugas yang dipikulnya berhasil terlaksana.

Gadis ini ketika ditangkap dan diperiksa, dengan terus terang mengaku bahwa ia sengaja memberikan mahkota kepada Loan Ki untuk membantu tugas ‘suaminya’, Kwa Kun Hong, untuk menyampaikan mahkota itu kepada Raja Muda Yung Lo di utara.

Memang sesungguhnya The Sun dan kawan-kawannya tentu saja tidak membutuhkan pengawalan karena mereka terdiri dari orang-orang sakti. Tetapi pengawalan itu dilakukan bukan sekali-kali untuk menjaga keselamatan mereka melainkan hanya untuk menambah keangkeran mereka sebagai utusan-utusan kaisar.

Mereka semua datang berkuda dan sebetulnya malam tadi mereka sudah harus sampai di lembah Sungai Huai, akan tetapi oleh karena musim hujan sudah tiba dan malam tadi hujan turun sangat lebat, mereka terpaksa menunda perjalanan dalam sebuah hutan dan baru pada pagi hari itu mereka dapat melanjutkan perjalanan ke lembah Sungai Huai.

Sesudah hujan semalam, pagi hari itu hawanya sangat nyaman dan sejuk, pemandangan segar menyenangkan, akan tetapi sayang, tanah yang mereka lalui becek dan berlumpur. Pakaian seragam indah barisan itu banyak yang terkena lumpur yang memercik-mercik dari kaki kuda.

Kedatangan rombongan ini lalu disambut penuh hormat dan manis budi oleh Ching-toanio sebagai wakil dari rombongannya didampingi Ang-hwa Sam-cimoi sebagai nyonya-nyonya rumah. Para tokoh undangan Ching-toanio yang sudah berkumpul juga keluar untuk turut menyambut. Tokoh berhadapan dengan tokoh, jago dengan jago sehingga pertemuan itu amat menggembirakan, dipenuhi kata-kata saling memuji dan saling merendahkan diri.

Rombongan itu lalu dipersilakan masuk ke dalam bangunan yang sudah disediakan. Ada pun para anggota pasukan diperbolehkan beristirahat. Mereka ini pun tidak melewatkan kesempatan baik dan gembiralah mereka melihat betapa para penyambut mereka adalah wanita-wanita cantik, yaitu para anggota Ngo-lian-kauw. Suasana menjadi sangat meriah, baik di dalam bangunan di mana para tamu terhormat disambut, atau di luar bangunan dan di tempat-tempat sekelilingnya di mana para anggota pasukan sudah dapat mencari dan memilih pasangan masing-masing.

Oleh karena para anggota pasukan dari istana itu bersama para anggota Ngo-lian-kauw bersenang-senang dalam kesempatan yang amat baik ini, maka mereka menjadi lalai dan penjagaan yang seharusnya dilakukan menjadi kurang ketat. Keadaan ini menguntungkan Kun Hong dan ketiga orang pengantarnya, yaitu Lauw Kin dan dua orang anggota Hwa-i Kaipang lain lagi.

Mereka ini adalah murid-murid Hwa-i Kaipang yang penuh semangat, gagah dan berani. Karena mereka tahu bahwa tanpa diantar, sukarlah bagi seorang buta seperti Kun Hong untuk dapat menyelundup masuk ke dalam sarang Ngo-lian-kauw, maka ketiga orang ini dengan nekat lalu menyediakan diri untuk menjadi pengantar.

Lemahnya penjagaan memudahkan mereka untuk dapat menerobos masuk dan dengan kepandaian mereka, empat orang ini dengan mudah membekuk empat anggota pasukan, merampas pakaian mereka dan di lain saat Kun Hong dan tiga orang pengantarnya telah menyamar sebagai empat orang anggota pasukan istana! Dalam pakaian ini, mereka lebih leluasa hingga akhirnya mereka berempat dapat menyelinap ke dalam bangunan, mencari tempat untuk mengintai dan mendengarkan percakapan..

Selanjutnya baca
PENDEKAR BUTA : JILID-13
LihatTutupKomentar