Rajawali Emas Jilid 05


Di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah rumah papan yang kecil menyendiri. Tak ada rumah lain dari puncak sampai ke kaki bukit kecuali pondok kecil itu. Sunyi sepi sekelilingnya, namun harus diakui bahwa hawa udara amat sejuk dan pemandangan alam amat indahnya dari puncak itu. Di lereng dan kaki bukit tampak pohon-pohon kecil yang menghijau. Hanya di puncak itulah adanya beberapa pohon raksasa yang sudah tua dan amat besar lagi tinggi.

Seperti biasanya setiap hari, pada pagi hari itu pun sunyi, seakan-akan tempat itu tidak ada penghuninya. Akan tetapi kesunyian pagi hari itu tidak lama sebab segera terdengar lapat-lapat suara tangisan seorang wanita, tangisan yang amat memilukan. Terisak-isak wanita itu menangis, kemudian terdengar keluhannya.

"Kau bunuhlah aku... bunuhlah aku... ah, alangkah keji hatimu, kau melebihi segala iblis... kau bunuhlah aku...!"

Lalu disusul suara laki-laki, suaranya halus tapi penuh ejekan.

"Kau selalu minta mati saja, sudah sebulan lebih permintaanmu tak lain hanya itu saja. Bosan aku mendengarnya. Bukankah sudah jelas bahwa aku sangat sayang kepadamu, bahwa aku cinta padamu? Manis, apakah kau bosan tinggal di tempat sunyi ini? Apakah kau ingin ikut denganku merantau ke utara? Di sana indah sekali. Apakah kau pernah menyaksikan gurun pasir?"
"Aku tidak inginkan apa-apa kecuali mati. Kau bunuh sajalah aku!” lagi-lagi suara wanita itu memohon.
"Sudahlah, mari kau ikut ke utara. Tentu kau senang dan kau akan melihat betapa besar cintaku kepadamu." Laki-laki itu tertawa.

Tak lama kemudian tampaklah seorang laki-laki muda yang tampan keluar dari pondok itu, memondong seorang wanita muda cantik yang lemas tak berdaya, agaknya telah tertotok jalan darahnya. Laki-laki muda itu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin, pemuda raja ular yang jahat itu. Ada pun wanita yang bukan lain adalah Lee Giok atau Nyonya Thio Ki yang telah ditawan dan dilarikannya sebulan yang lalu. Lee Giok kelihatan pucat dan berduka sekali, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang kalah kuat dan kalah tinggi kepandaiannya.

Setelah tiba di luar pondok, Lee Giok berkata sambil menarik napas panjang, "Giam Kin, agaknya Thian sudah menakdirkan aku menjadi teman hidupmu. Sudahlah aku tidak akan membantah lagi dan aku mau ikut denganmu ke utara. Asal selama hidupku aku tak akan bertemu dengan suamiku dan kau membawa ku ke tempat yang jauh, aku menurut."

Giam Kin girang sekali dan memeluknya. "Betulkah kata-katamu ini? Aha, bagus sekali, adikku yang tercinta. Mari kubawa kau ke sorga di utara dan kita hidup bahagia di sana. Ha-ha-ha!" Seperti orang gila Giam Kin memeluk nyonya muda itu sambil menari-nari.

"Hushh, gila kau! Tak usah aku kau gendong-gendong terus seperti orang lumpuh, hayo lepaskan totokan pada tubuhku dan aku akan jalan sendiri di sisimu selama hidupku."

Sambil tersenyum-senyum dan terus menerus menggoda dengan ceriwis sekali Giam Kin lalu menurunkan Lee Giok dan menotok beberapa jalan darahnya, kemudian mengurut punggung nyonya muda yang cantik itu. Ia tidak kuatir membebaskan Lee Giok karena kalau Lee Giok melawan, dengan mudah ia akan dapat mengatasinya kembali.

Setelah bebas dari totokan, Lee Giok terhuyung-huyung lemas. Memang tubuhnya lemas sekali, terbawa oleh perihnya perasaannya yang ditahan-tahan. Pada saat Giam Kim maju memeluknya untuk mencegahnya jatuh, ia berkata, suaranya halus mesra,

"Biarkan aku mengaso di bawah pohon ini dulu, aku... aku pening dan lesu sekali."

Sambil memeluknya Giam Kin lalu membawa Lee Giok ke bawah pohon raksasa dan mendudukkannya di atas akar pohon itu yang keluar dari dalam tanah seperti tubuh ular besar. Lee Giok menjatuhkan diri duduk di situ, lalu meramkan matanya mengumpulkan tenaga. Ketika ia sedang meramkan mata, terbayanglah wajah suaminya dan terbayang pula pengalamannya ketika ia tertawan oleh Giam Kin. Hatinya bagai ditusuk-tusuk pisau rasanya dan tak tertahankan lagi kembali air matanya be bercucuran turun.

"Ahh, kekasihku, lagi-lagi kau menangis..." Giam Kin mendekat dan hendak merangkul leher Lee Giok.

Tiba-tiba saja Lee Giok menggerakkan kedua tangannya, lalu memukul ke depan sekuat tenaganya. Giam Kin memang sudah siap sedia karena orang yang cerdik ini mana mau percaya begitu saja akan sikap menyerah dari nyonya muda yang selalu berkeras untuk membencinya ini? Cepat ia melompat mundur untuk menghindarkan diri dari penyerangan tiba-tiba ini. Lee Giok juga melompat berdiri dan memandang kepada Giam Kin penuh kebencian.

"Manusia iblis! Aku Lee Giok bersumpah tidak akan mau hidup sebelum menghancurkan kepalamu, membelah dadamu dan mencabut keluar isi dadamu!" teriak Lee Giok penuh kemarahan yang meluap-luap.

"Heh-heh, galaknya… tapi malah lebih manis!" Giam Kim mengejek. "Kau perempuan tak tahu disayang orang! Aku ingin membikin kau bahagia dan ingin mencintamu selamanya. Kiranya kau seorang yang tidak punya jantung. Baiklah, aku akan menjadikan kau barang permainanku, nanti kalau sudah bosan akan kulempar ke jurang biar menjadi makanan serigala!"

Lee Giok tidak sudi mendengarkan lagi, terus saja ia menerjang dengan kaki tangannya, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membunuh manusia yang sangat dibencinya ini, yang sudah merusak hidupnya. Akan tetapi, seperti beberapa kali yang sudah-sudah, kali ini pun ia tak berhasil mengalahkan Giam Kin yang memang amat lihai itu. Ia malah dipermainkan oleh Giam Kin yang mengelak ke sana ke mari, berloncatan sambil mengejek dan menggoda.

Giam Kin ingin membuat Lee Giok kelelahan lebih dulu untuk kemudian ditawan lagi dan dipermainkan. Memang pada dasarnya hati Giam Kin memiliki kekejaman yang luar biasa, sudah bukan seperti manusia lagi. Hal ini tidak aneh kalau dipikir bahwa dia adalah murid tunggal dari manusia iblis Siauw-ong-kwi dan semenjak kecil sudah banyak melakukan kekejaman-kekejaman.

Tubuh Lee Giok masih amat lesu, maka ketika dipermainkan oleh Giam Kin dia menjadi semakin payah dan lemas. Akan tetapi dengan nekat nyonya muda ini menyerang terus mati-matian dengan tekad membunuh atau mati dalam pertempuran ini.

Tiba-tiba terdengar suara aneh di atas, suara melengking yang sangat nyaring sehingga menggetarkan jantung. Kemudian dari puncak pohon raksasa di bawah mana dua orang itu sedang bertempur, melayang turun seekor burung raksasa yang berbulu kuning emas.

Di punggung burung itu duduk seorang wanita muda cantik yang sinar matanya tajam dan liar. Sebelah tangannya memegang sebuah cambuk yang bercabang lima di mana terikat lima batang anak panah hijau. Di punggungnya tergantung sebuah pedang pusaka. Inilah Kwa Hong yang menunggang burung rajawali emas yang sakti itu.

"Hi-hi-hik, Giam Kin, kebetulan sekali! Tak usah aku mencarimu kau sekarang mengantar nyawa kepadaku!" kata Kwa Hong ketika ia mengenal isteri dari suheng-nya, Thio Ki.

Akan tetapi ia tidak menegur Lee Giok yang tadi amat terdesak hebat oleh Giam Kin itu. Sinar kuning emas menyambar turun dan burung itu telah menerkam ke arah kepala Giam Kin.

Bukan main kagetnya Giam Kin melihat penyerangan ini. Cepat ia melompat mundur dan membentak, "Siapa kau?!"

Bergidik juga ia melihat wanita cantik menunggang burung rajawali yang bermata liar itu. 

Sementara itu Lee Giok segera mengenal Kwa Hong. Ia girang mendapat bala bantuan, akan tetapi juga heran dan kaget sekali menyaksikan keadaan Kwa Hong yang tidak wajar ini.

"Adik Hong...!" serunya.

Burung itu masih beterbangan berputar-putar di atas mereka. Kwa Hong berkata dengan suara mengejek, "Lee Giok, tidak lekas lari menunggu apa lagi? Apa kau mengharapkan tertawan oleh lawanmu yang tampan ini? Heh-heh-heh, kau mau main gila di belakang suamimu, ya?"

Kalau ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Lee Giok takkan begitu kaget seperti ketika ia mendengar ejekan ini. Sejenak ia memandang dengan mata terbelalak kepada Kwa Hong yang duduk di punggung burung. Lalu terlihat olehnya, sepasang mata yang mengerikan itu. Lee Giok tertusuk hatinya, sambil terisak-isak ia lalu lari pergi dari situ, diikuti suara ketawa yang mengerikan dari Kwa Hong.

Dasar watak Giam Kin mata keranjang dan keji. Melihat nona cantik jelita di punggung burung itu, ia segera tertarik sekali hatinya. Sekarang ia sudah mengenal wanita muda yang duduk di punggung burung itu. Kwa Hong murid Hoa-san-pai yang cantik itu, yang dulu pernah membuat ia tergila-gila juga.

Karena dia sendiri seorang berwatak keji, maka sinar ganas dan liar pada sepasang mata Kwa Hong itu baginya malah mendatangkan perasaan menyenangkan, malah menjadikan Kwa Hong makin manis dalam pandang matanya. Pula ia memandang rendah kepada Kwa Hong, karena murid Hoa-san-pai saja sampai di mana sih kelihaiannya?

"Aha, kukira tadi siapa. Tidak tahunya adik manis dari Hoa-san-pai. Turunlah Nona manis, dan mari bersenang-senang dengan aku. Boleh aku membonceng di punggung burungmu yang indah itu?"

Tiba-tiba sinar hijau menyambar sebagai jawaban. Giam Kin tertawa mengejek akan tetapi segera ketawanya berubah seruan kaget ketika lima batang anak panah itu menyambar kepadanya dengan kecepatan yang amat luar biasa, seperti kilat menyambar. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah dan hanya dengan cara begini ia dapat menyelamatkan dirinya.

Celaka baginya, wanita yang duduk di punggung rajawali emas itu ternyata lihai bukan main. Burungnya menyambar-nyambar rendah, sedangkan anak-anak panah pada ujung cambuk itu terus menyambar-nyambar dengan pukulan dahsyat sekali.

Giam Kin mencabut suling ularnya dan berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali menangkis saja sulingnya sudah terlepas dari tangannya dan mencelat entah ke mana. Demikian hebatnya tenaga pukulan Kwa Hong sampai-sampai dia sendiri tidak mampu menangkisnya.

Mulailah pengejaran yang mengerikan.....

Giam Kin lari ke sana ke mari, namun burung itu terus mengejar dan sinar hijau bersuitan di atas kepalanya. Giam Kin menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran keluar. Dia menjatuhkan diri, bergulingan, tapi ke mana pun juga dia selalu dikejar oleh sinar hijau itu yang diikuti suara ketawa. Baru sekarang telinga Giam Kin mendengar suara ketawa yang mengerikan sekali, tidak semerdu tadi.

"Mampus kau.... hi-hi-hik, mampus kau...!"

Akibatnya, Giam Kin yang belum sekali pun terkena anak panah itu menjadi lemas saking lelah dan ketakutan. Gerakannya melambat dan mendadak sepasang cakar burung yang kuat sekali mencengkeram tubuhnya di bagian dada dan kepala. Terdengar suara daging dan kulit dirobek-robek diiringi suara ketawa melengking tinggi dari Kwa Hong. Beberapa kali Giam Kin mengeluarkan pekik kesakitan dan ketakutan, kemudian hening kembali di situ.

Ketika burung rajawali yang ditunggangi Kwa Hong itu kembali terbang ke atas, di bawah pohon raksasa itu tertinggal tubuh Giam Kin yang diam tak bergerak dan dalam keadaan mengerikan sekali. Pakaiannya robek-robek, dan penuh darah yang bercucuran dari dada dan mukanya yang juga sudah terobek-robek oleh cakar cakar tajam tadi.

Matanya sebelah kiri hancur, telinga kirinya juga lenyap, mulutnya robek lebar, kulit pada dadanya terbeset dan lengan kirinya tadi sudah dicengkeram sedemikian rupa oleh cakar rajawali sehingga semua urat-urat besarnya terputus dan kini lengan kiri itu kaku dengan jari-jari mencengkeram saking menahan sakit.

Matikah Giam Kin? Pada saat itu masih belum, karena masih terdengar rintihan perlahan dari dadanya. Akan tetapi kalau ada orang yang menyaksikan keadaannya, orang itu tentu tak akan mengharapkan dia dapat hidup lagi.....
********************
Sementara itu, Lee Giok terus berlari cepat sambil menangis terisak-isak. Ia telah terlepas dari cengkeraman tangan Giam Kin. Akan tetapi apa gunanya? Lebih baik ia mati saja. Mana mungkin dia dapat memandang wajah suaminya lagi. Lebih baik dia mati dari pada menanggung aib yang hebat. Lebih baik ia terjun ke dalam jurang yang curam.

Akan tetapi, apa pula artinya kalau ia mati tanpa ada yang mengetahuinya kelak? Tetap saja dia akan mati dalam keadaan menanggung malu. Lebih baik dia ke Hoa-san dan mati di sana agar suaminya kelak tahu bahwa ia telah menebus aib itu dengan nyawanya.

Di Hoa-san dia harus mati, supaya suaminya tahu bahwa sampai detik terakhir ia masih teringat kepada suaminya, masih ingin mendekatinya walau pun hanya dengan maksud mendekatkan arwahnya dengan Hoa-san!

Selain itu, alangkah akan besar dosanya kalau dia mati dengan membawa anak di dalam kandungannya. Bukankah hal itu sama artinya dengan dia membunuh anak itu? Anaknya? Anak suaminya? Tidak, ia harus menanti, biar pun hatinya akan remuk-redam. Dia harus menanti sampai anak dalam kandungannya yang sudah tiga bulan itu lahir.

Lee Giok berlari terus sampai akhirnya tubuhnya terguling menggeletak di tengah hutan saking tak kuat lagi, saking lelahnya. Sambil merintih-rintih ia merangkak ke bawah pohon yang bersih, lalu membaringkan tubuh dan pikirannya melayang-layang.

Hidupnya rusak oleh Giam Kin. Yang menjadi biang keladi adalah Kim-thouw Thian-li dan Hek-hwa Kui-bo. Semangatnya sebagai seorang gagah dalam diri Lee Giok bangkit ketika ia mengingat akan ketiga orang ini. Akan sia-sia belaka kalau ia mati sebelum ia mampu membalas, sebelum ia mampu melenyapkan tiga manusia iblis itu dari permukaan bumi. Kepandaiannya memang masih belum begitu tinggi untuk mampu mengalahkan mereka, akan tetapi ia dapat memperdalam kepandaiannya.

Setelah tidur semalam di hutan itu, pada keesokan harinya Lee Giok lalu melanjutkan perjalanannya dengan hati yang sudah mengambil dua buah keputusan, yaitu sebelum ia membunuh diri untuk mencuci noda pada dirinya, ia harus lebih dahulu melahirkan anak dalam kandungannya, kemudian tugasnya yang kedua ialah membunuh tiga orang musuh besarnya itu!

Ia tidak boleh mati sekarang, ia malah harus kuat dan harus bisa memperdalam ilmunya. Pikiran inilah yang menyelamatkan nyawa Lee Giok dan dengan hati teguh nyonya muda ini melanjutkan perjalanannya menuju Hoa-san…..
********************
Gunung Min-san berada di tapal batas antara Propinsi Se-cuan, Ceng-hai, dan Kan-su. Gunung ini amat indah pemandangannya dan merupakan pegunungan yang subur sekali. Sungai-sungai besar yang amat terkenal seperti Sungai Yang-ce-kiang dan Sungai Kuning boleh dibilang mendapatkan sumber mata airnya dari Pegunungan Min-san ini, sungguh pun masih banyak pegunungan lain yang menjadi sumbernya pula.

Salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Min-san inilah menjadi tempat tinggal Song-bun-kwi Kwee Lun yang dahulunya amat terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun-kwi. Ia dijuluki Song-bun-kwi (Setan Berkabung) sebab selalu memakai pakaian putih berkabung semenjak isterinya meninggal dan ia hidup merantau bersama dengan puteri tunggalnya, Kwee Bi Goat.

Sesudah sekarang Kwee Bi Goat menikah dengan Tan Beng San dan hidup bahagia di Min-san, Kwee Lun ini tidak patut lagi dijuluki Song-bun-kwi karena ia tak lagi berpakaian berkabung, juga tak lagi hidup seperti yang sudah-sudah, yaitu seperti manusia iblis yang ditakuti orang. Kakek ini sekarang hidup tenang dan tenteram di Pegunungan Min-san ini, malah setiap hari bertani atau semedhi memperdalam ilmu batinnya.

Ada pun Kwee Bi Goat yang dahulunya gagu, tapi sekarang telah sembuh, menjadi isteri yang cantik jelita dan penuh kasih sayang bagi Beng San. Suami isteri ini bersama Kakek Kwee hidup aman dan damai di Min-san.

Akan tetapi, nasib manusia memang tidak menentu seperti air laut, kadang-kadang surut. Baru beberapa bulan saja mereka hidup penuh madu kasih dan kebahagiaan di Min-san, datanglah seorang tosu dari Hoa-san-pai yang minta bantuan Beng San untuk menolong Hoa-san-pai yang sedang ditimpa mala petaka karena pengamukan Kwa Hong.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Beng San yang mengingat akan hubungannya dengan Hoa-san-pai dahulu, terpaksa pergi meninggalkan isterinya yang tercinta untuk membantu Hoa-san-pai. Kepergiannya ini diakhiri dengan kehancuran hatinya sehingga membuat ia tidak berani pulang dan tidak berani bertemu muka dengan isterinya!

Berbulan-bulan Bi Goat menunggu kembalinya suaminya dengan hati penuh rindu dan kekuatiran. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi hatinya yang penuh rasa kegelisahan. Ia takut kalau-kalau suaminya tertimpa bencana karena sudah terlalu lama meninggalkan rumah tanpa ada kabar beritanya dan juga tidak kelihatan pulang. Akhirnya Bi Goat lalu minta pertolongan ayahnya untuk pergi menyusul Beng San ke Hoa-san dan mencarinya sampai dapat.

"Hemmm, baru ditinggal beberapa bulan saja kau sudah rewel!" Kwee Lun mengomel. "Sudah lama aku tidak meninggalkan gunung, kalau turun gunung aku takut akan kumat penyakitku yang lama!"

Kakek yang dulu dijuluki setan berkabung itu mula-mula menolak permintaan puterinya. Ia sudah mulai senang dengan hidup bersunyi di puncak yang indah itu, hidup menikmati ketenteraman di hari tua.

"Ayah, jangan salah mengerti. Bukan sekali-kali karena aku terlalu manja dan tidak bisa ditinggalkan suami yang pergi menjalankan tugas sebagai orang gagah. Tetapi, harap Ayah ketahui bahwa sekarang kandunganku sudah lima bulan. Bagaimana kalau sampai tiba saatnya melahirkan tidak ada ayahnya di sini? Ayah, apa kau tidak kasihan padaku?" Suara Bi Goat menggetar dan hati kakek yang dulu dianggap manusia iblis itu mencair.
"Baiklah... baiklah... dasar bocah yang jadi mantuku itu tidak tahu diri! Akan kucari dia dan kuseret pulang!"

Sambil mengomel panjang pendek, kakek yang pernah menjadi tokoh nomor satu di dunia kang-ouw sebelah barat itu akhirnya turun gunung meninggalkan Min-san untuk menyusul dan mencari anak mantunya, Tang Beng San.

Sebulan sudah Song-bun-kwi Kwee Lun meninggalkan Min-san. Pada suatu sore Bi Goat duduk seorang diri di halaman depan rumahnya. Dengan penuh harapan, seperti setiap sore yang lalu, dia duduk menanti kalau-kalau ayah dan suaminya pulang.

Para pelayan yang tak kurang enam orang banyaknya, sudah selesai bekerja dan sedang asyik mengobrol di belakang rumah. Bi Goat duduk seorang diri menghadapi cangkir teh dan makanan yang mengandung khasiat penguat badan. Ayahnya banyak memberikan makanan seperti ini untuknya.

Mendadak dia mendengar suara aneh di udara. Ketika dia mengangkat muka, Bi Goat terheran-heran melihat seekor burung yang besar dan indah sekali terbang berputaran di atas puncak itu. Cahaya matahari senja yang merah membuat bulu burung itu kelihatan kuning kemerahan, amat indahnya seperti emas.

"Ahh, burung rajawali kalau aku tidak salah...," kata Bi Goat kagum sekali.

Mendadak wajahnya berubah dan nyonya muda ini cepat barigkit berdiri dari kursinya. Ia melihat sesuatu yang aneh, sesuatu yang ajaib. Ada seorang wanita menunggang burung rajawali itu!

"Mimpikah aku?" gumamnya seorang diri sambil menggosok-gosok matanya.

Tidak, ia tidak mimpi. Malah kini burung itu menukik turun dan tak lama kemudian burung itu sudah sampai di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari tempat Bi Goat berdiri. Wanita muda dan cantik itu melompat turun dari punggung rajawali.

Dengan hati berdebar-debar Bi Goat mendapatkan kenyataan bahwa wanita itu sedang mengandung. Malah perutnya lebih besar dari pada perutnya sendiri. Kandungan wanita itu sudah tua. Wanita itu melangkah maju, agak terhuyung-huyung.

Bi Goat adalah seorang yang pada dasarnya memiliki budi yang halus. Melihat wanita yang mengandung tua ini terhuyung-huyung dan nampak letih, mukanya pucat, ia cepat lari menghampiri dan merangkul pundaknya.

"Hati-hatilah, Cici...," katanya halus.

Wanita itu bukan lain adalah Kwa Hong! Kemarahannya ketika tadi turun dan menduga bahwa wanita cantik yang juga sudah mengandung di depannya itu tentulah isteri Beng San, agak mereda oleh sikap halus Bi Goat. Pernah ia melihat Bi Goat, akan tetapi hanya sebentar maka ia sudah lupa lagi.

Demlkian pula Bi Goat, biar pun pernah bertemu dengan Kwa Hong, tapi karena baru sekali dan hanya sebentar, ia pun sudah lupa lagi.

"Di mana Beng San? Aku ingin bicara dengannya," berkata Kwa Hong menahan marah, suaranya agak ketus dan sama sekali ia tidak menyambut baik sikap halus dari Bi Goat tadi.

Bi Goat terkejut, tapi ia menjawab juga. "Suamiku sudah beberapa bulan turun gunung, sampai sekarang belum pulang," jawabnya masih halus dan hati-hati ia bertanya, "Tidak tahu siapakah Cici ini dan ada keperluan apalah mencari suamiku?"

"Hemmm, jadi kau ini Bi Goat, dara baju merah yang dulu gagu itu?" tanya Kwa Hong, suaranya mengejek dan pandang matanya menyapu Bi Goat dari atas ke bawah.

Kini Bi Goat mulai curiga. Pandang matanya tajam menyelidik. "Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke Puncak Min-san ini?"

"Heh, kau sudah lupa kepadaku. Aku Kwa Hong..."
"Ohhh, murid Hoa-san-pai?"
"Bodoh! Ketua Hoa-san-pai, bukan murid! Aku datang mencari Beng San. Mana dia?"
"Sudah kukatakan tadi, dia sedang pergi." Bi Goat mulai tak senang hatinya.
"Aku mencari Beng San, bukan suamimu."
"Beng San adalah suamiku!" jawabnya Bi Goat sekarang agak ketus.

Kwa Hong tersenyum mengejek, lalu melirik ke arah perut Bi Goat. Dia bertanya penuh ejekan, "Berapa bulan kau mengandung?"
"Heee?! Kenapa...?" Wajah Bi Goat menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat bahwa yang mengajukan pertanyaan ini pun sedang mengandung, tentu ia akan menjadi marah. "Sudah enam bulan, mengapa?"

Kembali Kwa Hong tersenyum mengejek. "Seharusnya tadi kau bilang baru enam bulan, bukannya sudah enam bulan. Jadi baru enam bulan, kan? Lihat kandunganku ini sudah sembilan bulan! Mana lebih dulu? Sebelum menjadi suamimu, Beng San sudah menjadi ayah dari anak yang kukandung ini, tahu?"

Seketika wajah Bi Goat menjadi amat pucat. Ucapan Kwa Hong itu betul-betul merupakan pedang yang menusuk tembus jantungnya. Gemetar seluruh tubuhnya dan suaranya pun menggigil ketika ia berseru, "Kau... kau bohong...!"

Kwa Hong memperlebar senyumnya. "Kalau tak percaya kau tanyakan saja kepada Beng San. Hayo, mana dia? Panggil dia keluar, dia harus menyaksikan kelahiran anaknya..." Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh sambil memegangi perutnya.

"Dia sedang pergi... hee, bagaimana ini? Kau kenapa, Cici...?"

Bingung juga Bi Goat melihat Kwa Hong tiba-tiba terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dia tangkap lengannya. Dia melihat wajah Kwa Hong pucat sekali, mulutnya merintih-rintih dan keadaannya hampir pingsan.

Memang pada dasarnya Bi Goat seorang yang berhati mulia. Biar pun ia tadi marah sekali dan perasaannya seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan Kwa Hong, akan tetapi melihat keadaan nyonya muda yang akan melahirkan itu dia menjadi tidak tega dan cepat-cepat menolong.

"Biarlah... aku... aku harus melahirkan... di tempat tinggal... Beng San...," demikian Kwa Hong mengeluh perlahan ketika siuman.

Sementara itu, Bi Goat sudah berseru memanggil para pelayannya dan Kwa Hong lalu digotong masuk ke dalam rumah. Karena dia sendiri sedang mengandung, maka Bi Goat memang sudah mengundang seorang wanita tua yang ahli menolong orang beranak dan yang disuruh tinggal di rumahnya. Maka Kwa Hong dapat menerima pertolongan yang cepat.

Dalam keadaan setengah sadar saking menahan sakit, Kwa Hong mengigau dan bercerita kepada Bi Goat tentang hubungannya dengan Beng San dulu, juga tentang pertemuannya yang terakhir. Semua diceritakan oleh Kwa Hong sehingga Bi Goat yang mendengarkan ini hanya dapat menangis dengan hati hancur.

Dia amat mencinta Beng San, sejak dahulu ia mencinta Beng San dengan seluruh jiwa raganya. Ia tidak rela kalau Beng San membagi cintanya dengan wanita lain, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan parah luka yang ditimbulkan oleh penuturan Kwa Hong ini di dalam hatinya.

Pada tengah malam hari itu, dari dalam rumah Bi Goat terdengarlah suara pertama dari seorang bayi yang baru saja terlahir. Tangisnya memecahkan kesunyian malam, nyaring melengking. Tangis seorang bayi laki-laki yang montok dan sehat.

Tidak lama kemudian terdengar lengking lain susul-menyusul menjawab tangis bayi ini, suara lengking tinggi yang datangnya dari atas rumah. Itulah suara lengking rajawali emas yang menanti munculnya Kwa Hong sambil mendekam dl atas wuwungan genteng rumah itu. Entah mengapa binatang itu melengking, mungkin karena tangis bayi itu hampir sama dengan suaranya sendiri.

Meski pun hatinya hancur, siang malam Bi Goat menunggui Kwa Hong dan merawatnya dengan baik. Sepekan kemudian Kwa Hong sudah sembuh. Dia menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang, lalu ia keluar dari rumah itu memanggil rajawali emas.

Burung itu yang mulai tak sabar dan setiap hari berkaok-kaok di depan rumah, menjadi girang sekali dan menyambar turun. Bi Goat yang berwajah pucat sekali mengikuti Kwa Hong dari belakang.

"Cici Hong, kau baru sepekan melahirkan, jangan pergi dulu...," katanya menahan.

Akan tetapi Kwa Hong tidak peduli. Ia membawa anaknya melompat ke arah punggung rajawali, lalu berkata, "Katakan kepada Beng San kalau dia pulang, bahwa aku tidak bisa membunuhnya karena kalah kuat, dan aku juga tak bisa membunuhmu karena kau telah menolongku ketika aku melahirkan. Akan tetapi kelak anak inilah yang akan membunuh Beng San, kau dan semua anak anak dan keluargamu!"

Setelah berkata demikian, Kwa Hong menepuk-nepuk leher rajawali emas yang segera melengking tinggi dan melesat, terbang ke atas dengan cepat sekali. Untuk beberapa lama Bi Goat berdiri bengong, kemudian dia mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas. Dia roboh pingsan di depan pintu rumahnya! Para pelayan segera mengejar keluar dan sibuk menolong nyonya muda yang menderita kehancuran hati ini.

Bi Goat jatuh sakit dan semenjak hari itu ia tidak kuat lagi bangun dari tempat tidurnya. Badannya panas dan setiap kali panasnya naik, dia selalu mengigau menyebut-nyebut nama suaminya dan Kwa Hong. Setiap kali ia berusaha untuk tidak mempercayai semua omongan Kwa Hong, namun hal itu amat sukar baginya.

Diharap-harapkan kedatangan suaminya supaya dia dapat bertanya mengenai Kwa Hong. Pengharapan bahwa suaminya akan menyangkal semua itu merupakan sinar kecil yang masih menerangi hatinya, penuh harapan. Akan tetapi, suaminya tidak kunjung pulang, malah ayahnya yang mencari dan menyusul suaminya itu, belum juga pulang.

Dua bulan ia jatuh sakit itu, sementara kandungannya makin besar, sudah delapan bulan lamanya dia mengandung. Pada suatu sore, datanglah Song-bun-kwi Kwee Lun. Bi Goat yang sudah agak kuat segera turun dari tempat tidurnya dan keluar meyambut.

"Ayah, mana dia? Mana Beng San...?" tanyanya dengan nada suara penuh harapan.

Kwee Lun kaget sekali melihat puterinya menjadi begini kurus dan wajahnya begini pucat. "Bi Goat, kau kenapakah? Sakitkah kau? tanyanya gugup sambil melangkah maju.

"Ayah, mana suamiku? Mana Beng San-koko?" Bi Goat tidak mempedulikan pertanyaan ayahnya, tapi mendesak menanyakan suaminya.

Terpaksa Kwee Lun menjawab, "Aku tidak dapat menjumpai dia. Kabarnya dia ke utara, mungkin terlibat lagi dalam urusan pemberontakan terhadap kaisar baru. Ahhh, anak itu memang tak tahu diri!"

Kekecewaan hebat merupakan palu godam yang menghantam pertahanan terakhir di hati Bi Goat. Matanya terbelalak, kemudian tertutup dan tubuhnya limbung. Cepat Kwee Lun merangkul dan ayah yang gelisah dan keheranan ini segera memondong tubuh puterinya, dibawa masuk ke dalam kamar Bi Goat.

Dengan suara parau Kwee Lun memanggil pelayan-pelayan yang segera berlari-larian mendatangi, memaki-maki mereka yang dikatakan tidak melayani Bi Goat sebaiknya.

Setelah siuman kembali Bi Goat hanya menangis terus, tidak mau menjawab pertanyaan ayahnya. Dan pada malam itu juga Bi Goat melahirkan kandungannya yang belum penuh sembilan bulan itu. Kelahiran yang sukar sekali, membuat nenek yang membantunya bermandikan peluh, para pelayan kebingungan dan semua ini membuat Kwee Lun yang menjaga di luar kamar menjadi makin gelisah.

Beberapa kali Bi Goat pingsan dan kalau sudah siuman ia memanggil-manggil nama Beng San, mengeluh tak kuat lagi. Akhirnya menjelang pagi lahirlah bayi dalam kandungannya. Tangisnya keras sekali, membuat Kwee Lun melonjak kaget dari tempat duduknya. Lalu bagaikan gila kakek ini lalu mendorong pintu kamar untuk segera melihat wajah cucunya. Apa yang ia lihat?

Ia berdiri tegak bagai patung raksasa. Mukanya pucat, matanya melotot selebar-lebarnya, bukan memandang kepada bayi laki-laki yang bergerak-gerak dan menangis hebat itu, melainkan ke atas ranjang, memandang kepada Bi Goat yang telentang tak bergerak, dengan mata setengah terbuka dan mulut menyeringai kesakitan, wajah yang putih dan mata yang tidak bersinar lagi karena berbareng dengan lahirnya bayinya ibu muda yang malang ini telah ditinggalkan nyawanya.

Untuk beberapa lama Song-bun-kwi Kwee Lun berdiri tegak dengan muka pucat, telinga seperti tuli tidak mendengar suara tangis bayi yang bercampur dengan suara tangis para pelayan, tidak melihat betapa nenek pembantu kelahiran itu sangat sibuk membersihkan bayi kemudian membungkusnya dengan kain putih bersih.

Akhirnya tampak air mata berkumpul di pelupuk mata tua itu, lalu setetes demi setetes air mata itu mengalir turun. Bibir kakek itu bergerak-gerak, lalu terdengar suaranya parau, "Bi Goat... kenapa kau mati...? Habis aku bagaimana..." Berulang-ulang kalimat ini keluar dari mulutnya, kemudian ia menubruk maju dan kakek ini lalu menangis menggerung-gerung sambil memeluki mayat Bi Goat.

Sampai lama ia menangis bagai anak kecil. Saat ia mengangkat kembali mukanya yang menjadi basah air mata, matanya merah dan mengerikan. Ia sudah berhenti menangis secara tiba-tiba, lalu ia memandang ke sana ke mari, menyapu ruangan itu dengan sinar matanya yang beringas.

Ketika ia melihat nenek pembantu kelahiran yang duduk di pojok dengan ketakutan, ia melompat maju dan sekali terkam nenek itu sudah diangkatnya lalu dibantingnya ke lantai. Sekali banting saja nenek itu tidak berkutik lagi, kepalanya pecah dan nenek yang malang itu tewas tanpa dapat bersambat lagi, Song-bun-kwi Kwee Lun makin beringas, matanya liar.

"Ampun, Lo-ya (Tuan Tua)... ampun… hamba semua tidak berdosa. Nyonya muda jatuh sakit setelah kedatangan seorang nyonya yang mengaku bernama Kwa Hong dan yang melahirkan anak di rumah ini. Menurut pengakuannya, Nyonya Kwa Hong itu adalah isteri pertama Siauw-ya (Tuan Muda)... eh, bukan isteri... hubungan di luar nikah... datangnya menunggang rajawali emas, mengerikan sekali, Lo-ya... semenjak itulah Nyonya Muda lalu jatuh sakit..."

Mendengar ini, Kwee Lun mengeluarkan suara menggereng bagai seekor binatang buas, lalu terdengar suaranya, "Beng San, keparat kau... mampus kau olehku...!"

Tubuhnya yang tinggi besar itu bergerak lagi, kini sekali sambar ia telah mencengkeram buntalan kain yang terisi bayi yang masih menangis nyaring itu. Bukan main tangis bayi itu, seakan-akan dalam kelahirannya sekaligus ia menangisi kematian ibunya. Begitu lahir anak ini sudah harus menghadapi kematian ibunya. Betapa memilukan.

"Mampus kau...! Mampus kau...!" Kwee Lun mengangkat buntalan itu tinggi-tinggi seperti hendak membantingnya!
"Lo-ya..., ampunkan anak itu yang tidak berdosa..."
"Lo-yaaaa, ampun...!"
"Jangan, Lo-ya, jangan...!" Para pelayan itu menjerit-jerit.

Jerit tangis pelayan ini seakan-akan menyadarkan Kwee Lun, matanya tidak lagi menatap buntalan, melainkan liar menyapu ke kanan kiri, kemudian terdengar ia menggereng dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Kakek itu lari keluar dan turun gunung membawa buntalan bayi, cucunya yang baru saja lahir!

Tidak ada jalan lain bagi para pelayan itu kecuali mengurus jenazah Bi Goat dan nenek bidan itu. Dengan bantuan penduduk kampung di kaki bukit yang mereka mintai bantuan, dua jenazah itu dikuburkan di belakang rumah dengan upacara sederhana. Para pelayan itu hanya dua yang tinggal untuk mengurus rumah dan menanti kembalinya Beng San…..
********************
Rencana yang baru saja dirundingkan oleh utusan Raja Muda Lu Siauw Ong dan Ho-hai Sam-ong, benar-benar dilaksanakan oleh dua golongan yang haus akan kedudukan dan berusaha menggulingkan kekuasaan kaisar baru, Thai Cu.

Mereka ini benar-benar terlalu percaya kepada kekuatan sendiri sehingga biar pun rahasia mereka itu telah diketahui oleh Li Cu dan Beng San yang sudah berhasil meloloskan diri, akan tetapi tetap saja mereka melanjutkan rencana itu. Mereka berhasil mengumpulkan banyak sekali pasukan bajak dan perampok, juga pihak Raja Muda Lu Siauw Ong yang bertugas merampas tahta selagi Kaisar pergi, berhasil menghasut pasukan besar tentara.

Pada hari yang telah ditentukan, rombongan Kaisar Thai Cu berangkat meninggalkan kota raja menuju ke utara, yaitu ke kota raja lama di Peking. Rombongan ini dikawal ketat oleh sepasukan tentara pilihan, yaitu para pengawal pribadi kaisar.

Sebagai seorang bekas panglima perang, Kaisar Thai Cu tidak merasa gentar melakukan perjalanan jauh ini walau pun dia sudah tahu akan adanya banyak golongan yang tidak suka kepadanya karena tidak diberi kedudukan tinggi seperti yang mereka inginkan. Akan tetapi sama sekali Kaisar ini belum tahu akan siasat busuk yang direncanakan oleh Ho-hai Sam-ong dan Raja Muda Lu Siauw Ong yang sudah bersekongkol itu.

Di sepanjang jalan rakyat dusun menyambut Kaisar baru itu dengan meriah. Tampaknya rakyat amat mengagumi Kaisar yang telah berhasil membebaskan negara dari penjajahan bangsa Mongol itu. Orang-orang bersorak memberi hormat, di mana-mana rombongan Kaisar disambut tari-tarian daerah. Malah setiap dusun tentu mengutus orang-orang muda yang gagah perkasa untuk mengiring rombongan ini sampai di dusun lain, lalu diganti oleh para muda dusun ini, demikian seterusnya.

Kaisar amat gembira dengan ini semua. Kaisar menyangka bahwa hal itu memang sudah semestinya karena rakyat merasa sangat gembira dapat terbebas dari penjajahan. Sama sekali Kaisar ini tidak tahu bahwa biar pun sudah terbebas dari pada penjajahan Mongol, sesungguhnya rakyat kecil apa lagi para petani masih sama sekali belum bebas dari pada belenggu penjajahan para tuan tanah yang kadang kala malah lebih keras dan kejam dari pada penjajah Mongol sendiri!

Juga Kaisar ini tidak tahu bahwa sebagian besar dari para pengiring ini, yang terlihatnya sebagai orang-orang kampung, sebenarnya adalah orang-orang gagah dari Pek-lian-pai dan para bekas pejuang yang setia kepadanya. Mereka ini anak buah dari Tan Hok yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga rombongan Kaisar selalu terkawal anak buahnya. Malah masih banyak lagi orang yang mengawal secara sembunyi, ada yang mendahului rombongan, dan ada pula yang mengiring dari jauh di belakangnya.

Tan Hok memang hebat. Raksasa ini semenjak berkecimpung dalam perjuangan ternyata sudah makin matang sebagai seorang pemimpin dan pengatur siasat yang ulung. Secara cepat sekali, sesudah dia mendengar penjelasan dari Beng San tentang persekongkolan antara Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, ia pergi ke kota raja dan bersama para panglima pasukan yang setia kepada Kaisar itu lalu berunding dan membuat rencana.

Cepat sekali dia menyiapkan pasukan Pek-lian-pai dan kawan-kawan seperjuangan yang terpilih, yaitu orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, untuk secara diam-diam mengiringi, mengawal atau melindungi rombongan Kaisar yang hendak pergi ke utara.

Juga Beng San sendiri ia serahi tugas yang paling berat, yaitu mengawal Kaisar secara sembunyi. Tan Hok maklum akan kelihaian Beng San, maka tugas penting ini ia serahkan kepada Beng San, sedangkan ia sendiri perlu mengatur pasukan gabungan di kota raja untuk menindas dan menggempur pemberontakan dari dalam yang hendak dilakukan oleh Raja Muda Lu Siauw Ong.

Pada saat Kaisar menggunakan perahu naga menyeberangi Sungai Huang-ho, keadaan di sungai juga ramai bukan main. Para nelayan seakan-akan datang dari segenap penjuru untuk mengelu-elukan kaisar baru ini. Juga di sini Kaisar tidak tahu bahwa para nelayan ini sebagian besar adalah anggota-anggota Pek-lian-pai, malah ada pula beberapa orang anak buah Ho-hai Sam-ong yang menyelinap, dan ada beberapa orang pembunuh datang untuk mencari kesempatan baik menghabiskan nyawa Kaisar Thai Cu!

Maka, amat kagetlah Kaisar dan para pengiringnya ketika perahu sampai di tengah sungai di kanan kiri perahu tiba-tiba timbul enam mayat di permukaan air. Mayat-mayat ini adalah mayat orang-orang yang tadinya berusaha melubangi perahu dengan jalan menyelam di bawahnya.

Namun anak buah Tan Hok yang waspada dan memang sudah dipilih ahli-ahli dalam air, telah mengetahui akan hal ini dan cepat mereka itu pun menyelam. Terjadi pertandingan di bawah perahu, di dalam air yang amat hebat tanpa diketahui oleh mereka yang berada di permukaan air.

Tahu-tahu mayat para penjahat itu timbul di permukaan air mengagetkan semua orang. Kaisar buru-buru memerintahkan agar perahu dipercepat penyeberangannya.

Sesudah sampai di seberang Sungai Huang-ho sebelah utara dan rombongan memasuki sebuah hutan yang amat lebat, mulailah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Ho-hai Sam-ong dan pasukannya yang sudah beberapa hari menghadang di tempat ini. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai bergemuruh dan pasukan bajak dibantu oleh pasukan mereka yang tak puas melihat Cu Goan Ciang menjadi Kaisar, lantas berserabutan keluar dari tempat persembunyian dengan senjata di tangan.

"Bunuh Ciu Goan Ciang!"
"Seret Kaisar lalim!"

Demikianlah ucapan-ucapan yang ditujukan kepada Kaisar. Mulailah terjadi pertempuran hebat antara para penyerbu dan para pengawal Kaisar. Makin lama semakin banyaklah penyerbu. Kaisar sendiri tampaknya tenang-tenang saja karena semenjak penyeberangan tadi tidak memperlihatkan diri, terus bersembunyi saja di dalam tandunya yang sekarang terpaksa diturunkan dan dilindungi oleh beberapa orang pengawal pribadi.

Tiba-tiba Ho-hai Sam-ong sendiri, tiga orang kepala bajak yang lihai itu, meloncat ke dekat tandu Kaisar ini. Mereka memang sengaja mengincar Kaisar dan hendak turun tangan sendiri.

Melihat tandu dengan tanda pangkat Kaisar, serta bendera berkibar di atasnya, Ho-hai Sam-ong girang sekali. Mereka mengeluarkan tanda suitan. Lalu bermunculan Hek-hwa Kui-bo, Kim-thouw Thian-li, dan masih banyak lagi kepala rampok dan orang-orang dari golongan hek-to (jalan hitam) datang menyerbu ke tempat itu.

Para pengawal pribadi dengan gigih menyambut serbuan orang-orang ini, namun dalam beberapa gebrakan saja robohlah belasan orang pengawal. Lui Cai Si Bajul Besi sendiri dengan sebuah loncatan meninggalkan kawan-kawannya yang sedang menandingi para pengawal pribadi itu, langsung mendekati tandu. Senjatanya berupa dayung baja yang besar berat itu sudah diayunnya, mulutnya berseru,

"Ha-ha-ha-ha, Ciu Goan Ciang! Lihat baik-baik, ini Lui Cai datang untuk menghancurkan kepalamu!"

Tiba-tiba kain tenda dari joli itu terbuka dan keluarlah seorang laki-laki tua dengan tubuh menggigll dan muka pucat. Tangan Lui Cai yang memegang dayung gemetar, ia berteriak sambll melangkah mundur. Kiranya orang yang berada di dalam joli itu bukanlah Kaisar, melainkan seorang yang menyamar sebagai Kaisar dan memakai pakaian kaisar!

"Celaka...!" serunya dengan muka pucat. "Kita telah terjebak... dia bukan Kaisar!"

Sementara itu, para pengawai pribadi Kaisar amat repot menghadapi amukan para kepala bajak yang dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang ganas. Akan tetapi tiba-tiba terlihat bayangan merah berkelebat cepat didahului sinar pedang yang gemilang.

Robohlah beberapa orang penjahat seperti alang-alang dibabat. Dalam waktu singkat saja pengamuk ini sudah berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong serta dua orang pembantunya yang paling dahsyat bersama sepuluh orang lagi kepala rampok.

"Ho-hai Sam-ong, kalian benar-benar ingin mampus!" teriakan yang nyaring tetapi merdu terdengar lantang.

Kiranya yang muncul ini bukan lain adalah Cia Li Cu yang sebenarnya sudah sejak tadi mengamuk di sebelah luar hutan untuk menerjang masuk. Seperti diceritakan di bagian depan, Li Cu juga sudah mendengar semua rencana busuk yang diatur oleh Beng Kui dan Ho-hai Sam-ong, maka cepat-cepat gadis ini pulang menemui ayahnya dan menceritakan semua yang dia alami, kecuali pengalamannya dengan Beng San!

Sebagai seorang patriot berjiwa besar, Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan marah bukan main mendengar bahwa muridnya yang pertama, murid yang dicintanya dan malah yang akan menjadi mantunya, telah menyia-nyiakan Li Cu. Hal ini masih belum berapa hebat seperti ketika dia mendengar bahwa Beng Kui hendak berkhianat.

Wajahnya menjadi merah, matanya berkilat-kilat. Dia lalu menyuruh Li Cu berangkat lagi untuk melindungi Kaisar secara diam-diam, sementara dia sendiri pergi menuju ke kota raja untuk berhadapan dengan Beng Kui, muridnya.

Demikianlah, Li Cu segera melakukan perjalanan cepat dan kedatangannya tepat sekali pada saat para pemberontak itu menyerbu ke dalam peperangan. Dia mengamuk dengan pedang pendek Liong-cu-kiam yang tajam dan ampuh.

Ketika Ho-hai Sam-ong melihat Li Cu, mereka menjadi marah sekali. Lui Cai melompat maju dan memaki, "Siluman cilik! Tentunya kau yang sudah membuka rahasia dan Kaisar sekarang sengaja bersembunyi. Kaulah yang bosan hidup, sekarang kami tidak akan mau mengampunimu lagi!"

Dayungnya lantas menyambar dahsyat, akan tetapi segera ia tarik kembali ketika pedang Liong-cu-kiam sengaja dibabatkan oleh Li Cu sambil tersenyum. Lui Cai sudah mengenal ketajaman pedang itu dan kelihaian gadis ini, maka untuk bertempur seorang melawan seorang kiranya dia tak akan dapat menang.

"Ji-te, Sam-te, hayo kita binasakan bocah ini dulu!" teriaknya sambil memutar dayung.

Kiang Hun dan Thio Ek Sui yang juga merasa amat kecewa melihat bahwa yang duduk di dalam joli itu bukan Kaisar segera memutar senjata dan mengeroyok Li Cu. Sebentar saja Li Cu sudah sibuk dikeroyok tiga oleh Ho-hai Sam-ong, seperti ketika ia dikeroyok di atas perahu dahulu itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan pedangnya diputar cepat untuk melayani tiga orang musuhnya yang benar-benar tangguh itu.

Sementara itu, Hek-hwa Kui-bo dan muridnya, juga para kepala perampok yang tadinya menyerbu ke sana untuk bersama-sama membinasakan Kaisar, sekarang sudah mulai bertempur kembali menghadapi para pengawal yang kini dibantu oleh orang-orang dari Pek-lian-pai yang tadinya menyamar sebagai petani dan nelayan.

Makin lama makin banyak anggota-anggota Pek-lian-pai yang berdatangan. Bahkan yang mendahului rombongan Kaisar sudah pula diberi tahu dan kini mereka datang menyerbu dari utara. Hal ini membuat para pemberontak terdesak hebat, apa lagi karena di pihak Pek-lian-pai terdapat banyak orang-orang gagah yang tinggi kepandaiannya.

Melihat pihaknya terdesak hebat, Ho-hai Sam-ong menjadi gelisah. Bagaimana dapat muncul demikian banyaknya yang membantu Kaisar? Tidak salah lagi, ini tentu jebakan yang sengaja diatur oleh Kaisar yang dulunya juga seorang panglima perang yang pandai. Dan tentu karena rahasia mereka sudah dibocorkan oleh gadis puteri Bu-tek Kiam-ong ini. Kemarahan Ho-hai Sam-ong terhadap Li Cu makin menjadi.

"Hek-hwa Kui-bo, harap bantu kami menangkap gadis liar ini!" seru Lui Cai.

Mendengar ini, Hek-hwa Kui-bo yang tadinya sibuk menghadapi pengeroyokan banyak orang Pek-lian-pai, lantas bersuit keras. Inilah tanda bagi para anggota perampok untuk menahan penyerbuan musuh agar dia dan Ho-hai Sam-ong tidak terganggu dalam usaha mereka menangkap Li Cu.

Setelah Hek-hwa Kui-bo datang mengeroyoknya, sebentar saja Li Cu menjadi terdesak hebat. Gadis ini dengan gigih mempertahankan dirinya.

"Ho-hai Sam-ong dan Hek-hwa Kui-bo, jangan banyak bertingkah!" mendadak terdengar bentakan nyaring dan tahu-tahu di situ sudah muncul Beng San dengan tangan kosong!

Diam-diam Li Cu girang bukan main, akan tetapi melirik pun ia tidak mau ke arah Beng San. Ada pun Ho-hai Sam-ong ketika melihat kedatangan pemuda yang sangat lihai itu, seketika menjadi pucat. Serentak mereka menyerang pemuda yang bertangan kosong itu. Yang paling cepat menyambar tubuh Beng San adalah tambang di tangan Kiang Hun.

Beng San menggerakkan tangan menangkap ujung tambang. Sekali membetot tambang itu putus menjadi dua, tepat di tengah-tengah sehingga separoh tambang itu berada di tangan Beng San dan menjadi senjatanya! Ketika Beng San menggerakkan tambang itu, kiranya ia tidak kalah hebat memainkan senjata aneh ini dari pada Kiang Hun!

Li Cu mendapat angin. Pedangnya bergerak cepat, maka robohlah Thio Ek Sui sambil menjerit keras. Dadanya tertembus oleh Liong-cu-kiam.

Kiang Hun menjadi gugup sekali sehingga kembali pedang Liong-cu-kiam menyerempet pundaknya. Dia memekik dan meloncat hendak lari, tetapi dari belakangnya menyambar dua batang tombak anggota Pek-lian-pai sehingga Kiang Hun juga roboh binasa.

Dengan tambangnya Beng San menghadapi Lui Cai yang masih mengamuk mati-matian, dibantu oleh Hek-hwa Kui-bo. Sedikit saja Lui Cai terlambat bergerak, jalan darahnya di dada telah disentuh oleh ujung tambang itu. Ia roboh lemas dan kembali pedang pendek Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bekerja, menamatkan riwayat kepala Ho-hai Sam-ong ini.

"Nona Cia, awas...!"

Beng San cepat meniup dengan mulutnya ke depan, malah mengebut-ngebutkan kedua tangan untuk mengusir asap beracun berwarna merah. Namun terlambat, Hek-hwa Kui-bo tadi dengan cepatnya mengebutkan sapu tangannya dan asap kemerahan menyambar ke depan, ke arah Li Cu.

Gadis ini baru saja menewaskan Lui Cai dan kurang waspada. Meski ia sudah mengelak karena mendengar seruan Beng San, tetapi masih ada asap yang memasuki hidungnya. Ia mengeluh, terhuyung-huyung dan pedangnya terlepas dari pegangan.

Beng San cepat-cepat memeluk dan memondongnya sambil menyambar Liong-cu-kiam. Ia masih melihat Hek-hwa Kui-bo menyambar tangan muridnya melarikan diri di antara banyak orang yang bertempur. Ia tidak peduli lagi. Yang paling perlu Li Cu harus dibawa pergi dari tempat berbahaya itu. Sekali meloncat ia sudah lolos dari kepungan musuh, lalu mengerjakan kakinya untuk merobohkan setiap orang penghalang, langsung ia membawa Li Cu ke tempat sunyi di lain bagian dari hutan itu.

Di bawah sebatang pohon besar yang sangat sunyi di dalam hutan itu, Beng San cepat menurunkan Li Cu dan memeriksanya. Sedikit banyak dia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan dari mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama mengenai akibat senjata beracun.

Ketika menurunkan tubuh Li Cu dan melihat muka gadis itu, ia kaget bukan main. Wajah Li Cu sepucat salju dan napasnya sesak hampir berhenti. Dari mulut yang terengah-engah itu tercium bau wangi yang memuakkan, yaitu bau racun asap kemerahan yang tadi kena tersedot oleh gadis ini.

Beng San lalu memutar otak. Menurut keterangan dari mertuanya, mengobati akibat dari keracunan hanya dua macam, pertama memasukkan racun yang berlawanan atau obat penawar ke dalam tubuh si sakit untuk memerangi racun itu. Ke dua, mengeluarkan racun dari tubuh si sakit.

Kalau Li Cu terluka oleh senjata beracun, ia dapat mengeluarkan racun itu dengan cara menyedot lukanya sehingga racun yang telah bercampur dengan darah itu dapat tersedot keluar. Ada pun Li Cu terserang racun bukan melalui luka, melainkan racun itu langsung memasuki paru-parunya melalui mulut, bagaimana ia akan dapat mengeluarkan racun dari dalam paru-paru?

Dalam bingungnya karena baru pertama kali ini menghadapi orang keracunan oleh racun asap, Beng San cepat mengambil keputusan. Ia merasa yakin bahwa satu-satunya jalan untuk menolong gadis itu adalah mengeluarkan asap yang masuk ke dalam paru-parunya.

Ia maklum pula atau dapat menduga bahwa cara pertolongan ini amat berbahaya bagi dirinya sendiri. Akan tetapi pada saat itu ia tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri. Untuk menolong orang, terutama orang seperti Li Cu ini, dia tidak perlu takut-takut untuk mengorbankan diri sendiri!

Ketika sudah mengambil keputusan ini dan hendak mulai dengan usaha pertolongannya, tiba-tiba mukanya menjadi kehijauan karena ia merasa jengah dan malu. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya. Pada saat nyawa Li Cu terancam bahaya seperti itu, ia tidak perlu ingat lagi akan tata susila kosong dan akan hukum adat yang berlaku tentang kesopanan antara pria dan wanita.

Cepat ia mengangkat kepala Li Cu, lalu tanpa ragu-ragu ia membuka mulut gadis itu dengan jari tangannya. Kemudian ia menunduk dan menempelkan mulutnya sendiri pada mulut Li Cu lalu ia menyedot dengan pengerahan tenaga khikang sekuatnya!
Ia merasa betapa hawa yang dingin laksana es memasuki rongga dadanya. Tubuhnya menggigil dan cepat ia melepaskan mulutnya, perlahan-lahan menurunkan kepala gadis itu dan ia lalu duduk bersila, mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, menyalurkan lweekang-nya untuk melawan hawa dingin di rongga dada itu.

Hawa Thai-yang di dalam tubuhnya segera bekerja. Dari pusarnya naik hawa panas bagai api membara, terus hawa panas ini ia desak ke atas, menyerbu ke rongga dada dan menghantam hawa dingin yang tadi memasuki dadanya melalui mulut Li Cu. Terjadilah perang tanding antara kedua hawa ini, akan tetapi tenaga dalam dan hawa Thai-yang di tubuh Beng San memang mukjijat sekali. Dengan hati lega orang muda itu merasa betapa perlahan-lahan tetapi pasti hawa dingin itu buyar dan lenyap.

Setelah hawa dingin di dalam rongga dadanya itu lenyap, ia membuka mata. Li Cu masih belum sadar dan napasnya masih terengah-engah biar pun tidak seberat tadi. Ia kembali menempelkan mulutnya pada mulut Li Cu dan menyedot lagi.

Seperti tadi, hawa dingin memasuki dadanya, tapi sebentar saja buyar dihantam tenaga Thai-yang. Girang hati Beng San. Tubuh gadis yang tadinya sudah dingin itu sekarang agak hangat dan ketika ia menyedot untuk ke empat kalinya, ia merasa betapa tubuh Li Cu bergerak sedikit.

Kalau saja Beng San tahu bahwa pada saat itu Li Cu sudah setengah sadar, sudah pasti ia akan cepat-cepat melepaskan mulutnya yang menyedot! Di lain pihak, Li Cu yang mulai sadar, seolah-olah dalam mimpi. Hampir ia tak dapat percaya akan pandangan mata dan perasaan tubuhnya sendiri.

Benarkah orang itu Beng San? Dan benarkah Beng San melakukan perbuatan seperti ini terhadap dirinya? Saking kaget, malu, ngeri dan marah, Li Cu pingsan kembali. Bukan pingsan karena pengaruh racun asap, melainkan pingsan karena hantaman perasaannya melihat perbuatan Beng San terhadap dirinya!

Ketika Li Cu siuman kembali, ia membelalakkan kedua matanya. Ia melihat betapa muka Beng San sudah mendekati mukanya dan dalam anggapannya, Beng San sedang berbuat kurang ajar dan hendak ‘menciumnya’ lagi.

Di samping pemandangan yang mengagetkan ini, ia melihat hal lain yang membuat ia cepat menjerit sambil mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga.

Tubuh Beng San terpental.....

Li Cu merasa betapa tenaga dorongannya tadi mendatangkan rasa dingin yang sangat menyakitkan di dadanya. Dan pada saat itu juga, dia mencoba untuk mengelak dengan cara menggulingkan tubuhnya, akan tetapi tetap saja pukulan yang datang itu mengenai pundaknya, membuat tubuhnya terpental lebih jauh dari pada Beng San!

Terdengarlah suara orang menggereng seperti binatang buas, gerengan orang yang tadi memukul. Pukulan itu sebenarnya ditujukan ke arah punggung Beng San. Baiknya pada saat itu Li Cu siuman dan pukulan orang inilah yang membuat ia menjerit dan mendorong tubuh Beng San. Bahkan pukulan itu sesudah tidak mengenai tubuh Beng San, malah mengenai dirinya sendiri.

Beng San melompat bangun dengan kaget sekali. Tadi seluruh perhatiannya dia tujukan untuk mengobati Li Cu sehingga kesadaran gadis itu pun tidak diketahuinya. Karena itu, kedatangan orang yang menyerangnya secara diam-diam itu pun sama sekali tidak dia ketahui.

Kini dia merasa kaget sekali setelah tadi tubuhnya didorong ke pinggir oleh Li Cu, kaget bukan main karena dia melihat ayah mertuanya, Song-bun-kwi Kwee Lun sudah berdiri di depannya seperti seorang iblis mengerikan. Pakaian ayah mertuanya yang semenjak dia ikut ke Min-san dahulu sudah menjadi biasa seperti seorang kakek petani, sekarang dia lihat kembali seperti dulu lagi, yaitu pakaian putih, pakaian berkabung! Anehnya lagi, di dada kakek ini tergantung seorang bayi dalam gendongannya, bayi yang nampaknya tidur nyenyak.

"Gak-hu (Ayah Mertua)..."
"Bangsat! Laki-laki mata keranjang, kau pergi meninggalkan isteri untuk main gila dengan perempuan lain?" bentak Song-bun-kwi Kwee Lun dengan kemarahan meluap-luap.
“Tidak... tidak demikian... Gak-hu, harap jangan salah sangka...! Dia telah menyedot racun Ngo-hwa dari Hek-hwa Kui-bo... aku berusaha menyedot keluar racun itu dan...”

Song-bun-kwi menggereng lagi. "Apa pun juga alasanmu, anakku tidak akan dapat hidup lagi!" Mendadak ia menyerang dengan hebatnya, menghantam kepala mantunya itu.

Semenjak dahulu Beng San memang tidak suka terhadap Song-bun-kwi yang memang pernah hidup sebagai seorang yang keji. Malah sudah beberapa kali Beng San hampir dibunuhnya pada waktu pemuda ini masih kecil.

Sekarang pun ia menjadi marah karena disangka yang bukan-bukan oleh mertuanya ini dan malah sekarang ia diserang dengan pukulan maut. Akan tetapi ketika ia mendengar kalimat terakhir ‘anakku tak dapat hidup lagi’, ia merasa matanya gelap dan jantungnya serasa berhenti berdetik.

"Apa katamu?!" bentaknya dan tangannya menangkis.

Tangkisan ini amat hebat, membuat tubuh Song-bun-kwi seketika terpental ke belakang dan hampir roboh! Teringat akan kepandaian Beng San yang memang sudah amat hebat, Song-bun-kwi maklum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan mantunya ini.

Maka Song-bun-kwi menyeringai keji dan berkata penuh geram. "Kau pembunuh anakku, lain kali aku pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!" dan setelah berkata demikian kakek ini menggereng kemudian lari cepat sekali membawa bayi dalam gendongannya.

Untuk sesaat Beng San berdiri dengan muka berubah hijau karena hatinya gelisah bukan main. Kemudian ia teringat akan bayi di gendongan mertuanya itu. Ia menghitung-hitung dalam benaknya dan teringat bahwa sudah lewat beberapa bulan sejak waktu kandungan isterinya tiba saatnya dilahirkan. Anak itu tadi....? Apa yang terjadi?

Tiba-tiba seperti orang gila Beng San memekik. "Bi Goat...!"

Dan tubuhnya melesat seperti seekor burung terbang, pergi dari tempat itu.

Sementara itu, terjadi keanehan pada diri Li Cu. Seperti dituturkan di atas tadi, setelah mendorong tubuh Beng San ke samping, pukulan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi lalu mengenai pundak Li Cu yang membuat tubuh Li Cu terlempar.

Pukulan itu bukan pukulan biasa, karena tadi Song-bun-kwi sengaja melakukan pukulan dari Ilmu Yang-sin-hoat untuk membunuh Beng San, mantunya. Pukulan itu mengandung hawa Yang-kang yang amat kuat. Biar pun sudah dielakkan oleh Li Cu, pukulan itu tetap mengenai pundaknya dan terasalah hawa yang luar biasa panasnya menjalari tubuhnya.

Hawa panas ini lalu bertemu dengan sisa hawa dingin yang masih mengeram di tubuhnya, yang masih belum disedot keluar oleh Beng San. Dua hawa dahsyat ini bertemu dan... buyarlah keduanya. Pukulan maut dari Song-bun-kwi tadi malah sudah menyembuhkan sama sekali penderitaan Li Cu akibat racun asap Hek-hwa Kui-bo!

Tadinya hati Li Cu penuh dengan kemarahan dan ia menganggap bahwa Beng San sudah berlaku jahat dan kurang ajar kepadanya, sudah menciuminya di waktu ia pingsan! Bukan main sakit hatinya pada saat itu. Akan tetapi setelah ia mendengar pengakuan Beng San kepada Song-bun-kwi tadi bahwa perbuatannya itu adalah usaha untuk menolongnya dari bahaya maut, tak terasa pula air matanya jatuh berderai dan ia terisak-isak.

Hatinya terharu bukan main. Sudah terlalu sering ia menyangka Beng San sebagai orang jahat, sebagai laki-laki yang kurang ajar, laki-laki mata keranjang. Dan ternyata ia sudah menuduh yang bukan-bukan, telah memasukkan fitnah terhadap diri Beng San ke dalam pikirannya. Padahal sudah berkali-kali Beng San menolongnya, menolong keselamatan nyawanya dengan hati tulus ikhlas. Apa lagi ketika ia melihat keadaan Beng San, hatinya ikut hancur.

Li Cu menyambar pedangnya yang ditinggalkan Beng San di dekatnya, lalu melompat dan lari mengejar Beng San yang sudah lari jauh dengan kecepatan laksana terbang itu. Tak dapat ia menyusul Beng San, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang muda itu tentu pergi ke Min-san.

Sebetulnya ia boleh tak usah pedulikan Beng San. Akan tetapi ada sesuatu yang terjadi di dalam hatinya. Ia setengah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada diri isteri Beng San. Ia seperti melihat awan gelap di atas mengancam Beng San.

Di samping ini, ia merasa bahwa ia harus selalu berdekatan dengan orang itu. Tak dapat lagi ia ditinggalkan, tak dapat lagi ia berpisah. Ia merasa kasihan kepada Beng San, juga kasihan kepada... dirinya sendiri karena hidupnya pasti akan merana dan sunyi kalau dia harus berjauhan dengan Beng San.

"Beng San...," rintihnya sambil mengusap air matanya yang berderai turun membasahi pipinya. "Ya Tuhan... mengapa aku menjadi begini...?" ia mengeluh bingung.

Tidak semestinya ia mengejar Beng San. Seharusnya ia kembali, seharusnya ia malah meninggalkan Beng San jauh-jauh. Setanlah yang menggodanya ini, setan yang sudah membisikkan hal-hal yang tak boleh ia lakukan. Tapi... ahhh, mengapa hatinya bulat-bulat menyerah? Mengapa kakinya seperti tidak mau disuruh pergi ke lain jurusan?

Ia teringat ayahnya, lalu bersambat lirih, "Ayah... anakmu telah gila... telah gila..."

Sementara itu kedua kakinya terus berlari cepat, menuju Min-san! Di dunia ini, apakah yang lebih berkuasa dan aneh dari pada cinta? Apakah yang lebih gila dari pada orang muda yang sudah mabok madu asmara? Cinta kasih atau asmara sudah banyak sekali menimbulkan cerita dan peristiwa yang lebih aneh dari pada dongengan!

Dengan pakaian compang-camping, rambut awut-awutan, muka pucat kurus, serta mata merah, setelah melakukan perjalanan terus-menerus, akhirnya Beng San sampai juga di puncak Min-san.

Ketika ia memasuki halaman rumahnya, dua orang pelayan wanita yang masih tinggal di situ hampir-hampir tak mengenalnya. Sampai lama mereka memandang dengan bengong dan curiga, karena laki-laki muda yang berdiri di hadapan mereka itu lebih patut menjadi seorang pengemis yang liar dari pada tuan muda mereka yang tampan.

"Bi Goat... mana Bi Goat...?" Suara Beng San serak, entah sudah berapa ribu kali kalimat pertanyaan ini keluar dari mulutnya di sepanjang perjalanan pulang. "Mana isteriku? Mana nyonya muda...?"

Setelah mendengar pertanyaan ini barulah dua orang pelayan tua itu merasa yakin bahwa yang berdiri di depan mereka sekarang ini adalah ‘tuan muda’ mereka.

"Siauw-ya (Tuan Muda)...!" keduanya kemudian menjatuhkan diri berlutut dan menangis bersaing keras.
"Apa yang terjadi? Mana nyonya muda. Dia kenapa?"

Akan tetapi dua orang pelayan itu menangis makin keras.

Beng San tak sabar lagi. Sekali melompat dia telah memasuki rumah dan berlari-lari di dalam semua ruangan dan kamar, membuka dan menutup pintu seperti orang mengejar sesuatu. Seluruh bagian rumah, sampai ke kamar mandi, dia masuki namun sunyi sepi, tidak ada satu orang pun manusia lagi kecuali dua orang pelayan wanita yang sedang menangis tersedu-sedu itu.

Akhirnya terpaksa Beng San kembali ke ruangan depan di mana dua orang pelayan itu menangis. Tubuh Beng San menggigil, matanya berputaran, jantungnya serasa berhenti berdetik.

"Mana dia? Mana Bi Goat? Katakanlah, mana Bi Goat? Ahhh... kuhancurkan kepalamu jika tidak bicara!" ia mengguncang-guncang pundak seorang pelayan yang menjadi amat ketakutan.

Dengan muka pucat keduanya berhenti menangis, kemudian dengan suara terputus-putus mereka bercerita, "Mula-mula datang seorang nyonya yang bernama Kwa Hong... dia naik burung menakutkan... dia melahirkan anak di sini ditolong oleh Nyonya Muda... setelah dia dan anaknya pergi, Nyonya Muda jatuh sakit... tidak pernah sehat lagi, lalu datang Lo-ya (Tuan Tua) yang tadinya diminta Nyonya Muda pergi menyusul Siauw-ya... tetapi Lo-ya pulang tanpa Siauw-ya. Nyonya Muda semakin sedih... lalu melahirkan dan... dan... tidak kuat... Nyonya Muda meninggal dunia..." Tak dapat tertahan lagi dua orang pelayan itu menangis terisak-isak.

Beng San meramkan matanya, meringis kesakitan. Dadanya sebelah kiri serasa tertusuk, ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut. Ia sudah tak bisa menangis lagi, lehernya bagai dicekik dan bibirnya yang putih seperti kertas itu bergerak-gerak perlahan, lalu berhenti bergerak, ternganga dan pandang matanya jauh ke depan tak bersinar, seakan-akan dia sudah menjadi tubuh tak bernyawa, kehilangan semangatnya.

"Siauw-ya... Siauw-ya..." Pelayan yang tertua menubruk kaki Beng San, tak tahan melihat majikannya berhal demikian itu.

Beng San bergerak perlahan lalu terdengar suara dari mulutnya, suara yang terdengar seperti suara dari jauh.

"Di mana makamnya... di mana dikuburnya...?"
"Maafkan hamba, Siauw-ya... karena Lo-ya sudah pergi membawa anak bayi itu, hamba sekalian terpaksa mengajak saudara-saudara dari kaki gunung untuk mengubur jenazah Nyonya Muda di pekarangan belakang rumah secara sederhana..."

Beng San lalu melangkah perlahan dan lemas, menuju ke pekarangan belakang, diikuti dua orang pelayan yang masih menangis terisak-isak. Akhirnya ia berdiri tegak di depan sebuah kuburan yang masih baru, kuburan sederhana yang tidak diberi batu nisan, hanya ditanami pohon bunga mawar gunung kesukaan Bi Goat dan pohon kembang itu sudah mulai berbunga.

"Bi Goat... ampun... isteriku... ampun..." Beng San roboh ke depan, mukanya terbanting dan terbenam pada gundukan tanah kuburan.

Dua orang pelayan itu cepat-cepat menolong Beng San yang sudah pingsan sambil turut menangis. Akan tetapi setelah siuman kembali Beng San menyuruh dua orang pelayan itu pergi meninggalkannya seorang diri di kuburan isterinya.

Malam itu hujan turun deras, akan tetapi Beng San tidak beralih dari tempatnya, tidak bergerak dan terus-menerus terdengar suaranya memanggil-manggil nama Bi Goat dan minta ampun.

Semenjak saat ia roboh pingsan di kuburan isterinya, sampai berhari-hari ia tidak pernah pergi meninggalkan tempat itu, tak pernah makan tak pernah tidur! Beberapa kali dua orang pelayan yang setia itu datang menangis dan membujuk-bujuknya, namun Beng San malah marah-marah dan mengusir mereka pergi dari depannya.

Sepuluh hari kemudian tubuh Beng San telah menjadi kurus sekali dan wajahnya pucat kehijauan, matanya semakin liar. Hanya karena tubuhnya yang terlatih dan mengandung tenaga luar biasa itu saja yang membuat ia masih dapat bertahan.

Dua orang pelayan itu sudah tak berdaya lagi, tidak berani mendekati Beng San karena tuan muda ini marah-marah kalau di ‘ganggu’. Mereka menjadi putus asa dan merasa ngeri kalau membayangkan betapa pada suatu pagi mereka akan melihat tuan muda itu menggeletak dalam keadaan tak bernyawa karena kelaparan di kuburan itu.

Akan tetapi, seperti juga kelahiran tak akan ada, kematian juga tidak akan menimpa diri seorang manusia kalau Tuhan belum menghendakinya. Demikian pula dengan Beng San. Orang muda ini bukannya sengaja bermaksud membunuh diri, akan tetapi ia sudah tidak peduli akan keadaan sekelilingnya, ingatannya sudah berubah akibat tekanan batin yang amat hebat.

Kedukaan yang hebat serta penyesalan yang bertubi-tubi menghantam batinnya. Tak kuat ia menahannya sehingga ia bagaikan orang yang sudah tidak waras lagi otaknya. Namun agaknya Tuhan Maha Pengasih suka mengampunkan dosanya.

Malam hari itu hujan turun rintik-rintik. Hawa di Puncak Min-san bukan main dinginnya. Di depan kuburan Bi Goat, Beng San sedang duduk bersila menghadapi kembang mawar yang sudah rontok dari tangkainya, mengeluh dan bersambat dengan suara lirih,

"Bi Goat, isteriku. Kau begitu mulia, begitu suci cintamu kepadaku... dahulu kau sampai rela hendak mengorbankan nyawamu untukku..., ah, Bi Goat, tidak kelirukah kau memilih aku? Aku tidak berharga mendapatkan cintamu... aku seorang yang rendah. Aku telah mengadakan hubungan dengan Hong-moi... menjadi ayah dari anak Hong-moi, tapi aku tidak berterus terang kepadamu... Bi Goat... aku laki-laki mata keranjang, laki-laki berhati lemah yang mudah runtuh menghadapi wanita cantik.” Ia berhenti sebentar dan terdengar isaknya tertahan.

"Bi Goat, mengapa kau belum juga datang? Marahkah kau kepadaku? Sudah sepatutnya kau marah... aku minta ampun, Goat-moi... aku telah berdosa padamu. Sekarang kuakui semua dosaku... betul, aku telah berlaku serong... aku merusak hidup Hong-moi, malah sebelum itu... aku pernah mencinta Thio Eng. Ahh, aku laki-laki mata keranjang, dan aku hampir runtuh pula pada saat bertemu dengan Nona Cia Li Cu... hatiku mencinta mereka semua itu, ahhh... padahal kau… begitu suci cintamu... aku berdosa, ampunkan aku..."

Sesosok bayangan muncul di belakang kuburan itu. Bayangan seorang wanita cantik yang berbaju merah! Perlahan-lahan bayangan ini melangkah maju dan terdengar suaranya lirih menggetar ditimpa suara hujan gerimis di malam gelap.

"Beng San..."

Perlahan-lahan Beng San mengangkat kepalanya. Matanya yang pedas dan merah itu ia gosok-gosok, kemudian ia menubruk maju, berlutut dan merangkul kaki wanita itu.

"Ahh, Bi Goat... akhirnya kau datang juga...? Bi Goat, ampunkan aku... ampunkan aku...."

Wanita itu mengucurkan air mata sehingga air mata itu bercampur dengan hujan gerimis yang menimpanya, mengalir di sepanjang pipinya. Jari tangannya mengelus-elus rambut kepala Beng San dan ia berkata terharu.

"Bi Goat sejak dulu mengampunimu... Beng San..."
"...ahhh, betulkah? Betulkah kau sudi mengampuni dosaku? Aku sudah gila... aku sudah gila... aku... aku menyakiti hatimu... sudikah kau mengampuniku?"
"Aku mengampuni semua kesalahanmu...," jawab wanita itu, "...asal saja... asal saja kau suka menurut segala kata-kataku."
"Aku akan taat, akan kuturut semua, demi Tuhan. Aku bersumpah akan mentaati segala perintahmu, biar kau suruh masuk ke lautan api sekali pun!"
"Kalau begitu, bangunlah dan mari kita masuk ke rumah, tak baik berhujan-hujan di sini, hayo kau ikuti aku, Beng San!"

Beng San bangun berdiri, tersenyum-senyum dan wanita itu makin terharu ketika melihat betapa wajah laki-laki itu berubah seperti wajah seorang anak kecil yang diampuni orang tuanya karena kenakalannya.

"Aku ikut... aku ikut...," kata Beng San yang kemudian berjalan di belakang wanita itu, terhuyung-huyung saking lemas badannya.

Wanita baju merah itu segera memegang lengannya dan membantunya berjalan menuju ke rumah itu. Dua orang pelayan sudah menyambut di pintu belakang, nampak kelegaan pada wajah mereka.

"Ahh, syukur, Nona. Syukur kau berhasil...," kata mereka.
"Ssttt..." Wanita itu mencegah mereka berbicara. "Lekas sediakan air panas dan pakaian Siauw-ya, kemudian sediakan makanan yang lunak... jangan lupa hangatkan arak..."

Sambil tersenyum gembira dua orang pelayan itu pergi menyiapkan permintaan wanita itu. Beng San benar-benar menurut sekali terhadap wanita yang dianggapnya Bi Goat itu. Disuruh membersihkan tubuh dan menukar pakaian, ia menurut seperti anak kecil, disuruh makan bubur panas dia pun menurut saja. Kemudian dia pun tidak membantah ketika disuruh tidur di kamarnya sendiri, diselimuti oleh wanita itu yang duduk di pinggir ranjang dan yang melayaninya dengan penuh perhatian.

Siapakah wanita baju merah itu? Benarkah dia Bi Goat? Tidak mungkin! Bi Goat sudah mati, sudah dikubur. Ia bukan lain adalah Li Cu!

Seperti dituturkan pada bagian depan, Li Cu tak dapat menahan hati dan kakinya sendiri menyusul Beng San di Min-san. Ia kalah cepat oleh Beng San, maka baru sepuluh hari kemudian ia tiba di puncak Min-san.

Bukah main sedih dan terharu hatinya ketika ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu tentang keadaan Beng San. Ia mengaku menjadi sahabat baik Beng San dan Bi Goat. 

Setelah ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu, serta-merta pada hari itu juga ia pergi menyusul Beng San ke kuburan. Akhirnya dia berhasil membujuk Beng San pulang, sungguh pun perih hatinya karena Beng San hanya mau menuruti permintaannya setelah mengira bahwa dia adalah Bi Goat!

Bulan-bulan berikutnya merupakan masa yang amat sulit bagi Li Cu. Ingatan Beng San benar-benar telah berubah, atau telah kehilangan ingatannya sehingga ia menjadi seperti anak kecil saja, anak kecil yang amat manja. Akan tetapi kemanjaan ini tertuju kepada… isterinya, kepada Bi Goat!

Dia telah lupa segalanya, keinginannya hanyalah berdekatan dengan Bi Goat, tidak boleh ditinggalkan sebentar juga. Dan yang lebih hebat lagi, dia agaknya telah lupa akan semua kepandaiannya. Beberapa kali Li Cu mencobanya, tapi Beng San benar-benar tidak ingat lagi bagaimana caranya bersilat, sungguh pun tenaga murni dalam tubuhnya masih tetap kuat dan tidak ikut lenyap.

Cia Li Cu merupakan keturunan orang-orang yang terkenal keras hati. Agaknya watak ini diwariskan oleh nenek moyangnya, yaitu Ang I Niocu, pendekar wanita sakti yang terkenal keras hati. Sekali mengambil keputusan tak akan dapat diubah lagi, sekali menjatuhkan hati takkan dapat pula diubah.

Setelah hatinya dikecewakan Beng Kui dan membuat ia benci sekali kepada suheng-nya itu, barulah ia sadar bahwa semenjak dahulu sebetulnya ia tidak pernah mencinta Beng Kui. Perasaannya dahulu terhadap Beng Kui hanyalah kagum saja karena semenjak kecil suheng-nya itu selalu lebih tinggi segala-galanya dari pada dirinya sendiri, juga dalam ilmu silat. Maka begitu ia melihat watak yang buruk di dalam diri Beng Kui, apa lagi karena ia dikesampingkan dan suheng-nya menikah dengan wanita lain, rasa kagumnya sekaligus buyar dan otomatis ia pun tidak ada rasa suka kepada kakak seperguruan itu.

Terhadap Beng San lain lagi perasaannya. Sebetulnya lebih banyak perasaan terharu dan iba akan nasib orang muda itu dari pada kekaguman. Malah sering kali ia merasa gemas kepada Beng San. Anehnya, bukan gemas karena perlakuan pemuda itu kepadanya, tapi gemas karena Beng San begitu banyak kekasihnya!

Memang cinta itu aneh sekali. Mendatangkan cemburu, kadang-kadang mendatangkan benci! Semua ini hanya dapat terasa oleh mereka yang menjadi korban panah asmara. Demikian hebat kekerasan asmara sehingga mampu menundukkan seorang gadis seperti Li Cu yang terkenal keras hati, yang berubah menjadi demikian jinak, demikian telaten dan sabar dalam merawat orang yang dicintanya.

Benar-benar bukan ringan pekerjaan Li Cu ini. Terutama sekali tekanan batin yang harus dideritanya. Bayangkan, betapa beratnya bagi perasaan seorang gadis yang sedang jatuh cinta untuk merawat orang yang dicintanya itu dan mendengarkan kekasihnya itu setiap saat memuji-muji dan menyatakan cinta kasihnya kepada seorang wanita lain. Lebih hebat lagi bagi Li Cu, Beng San menyatakan cinta kasih kepadanya karena menganggap dia Bi Goat!

Sering kali dia harus menahan-nahan air matanya karena hatinya bagaikan ditusuk-tusuk rasanya. Kadang kala terbayang pula senyum di bibirnya yang manis dan cahaya harapan di matanya yang indah itu ketika Beng San dalam ketidak sadarannya ‘mengaku’ kepada Bi Goat bahwa dia tertarik kepada Li Cu! Sungguh pun hanya sedikit sekali pengakuan cinta ini, namun sudah merupakan setetes embun menyegari bunga yang kekeringan di dalam hati Li Cu.

Betapa pun juga, Li Cu adalah seorang gadis yang patut dipuji kebersihan dan kekuatan batinnya. Biar pun ia jatuh cinta kepada Beng San dan berbulan-bulan tinggal serumah dengan pemuda itu, namun gadis itu tetap dapat mempertahankan garis pemisah, tetap ia dapat mencegah terjadinya pelanggaran susila yang terdorong oleh iblis nafsu yang memabokkan.

Bagi Li Cu, cintanya murni dan timbul dari hati nurani yang bersih. Ia hanya mempunyai sebuah keinginan, yaitu merawat orang yang dicintanya, melihatnya sembuh dan harapan terakhir adalah harapan semua wanita yang tengah jatuh cinta, yaitu berhasil merebut hati kekasihnya, berhasil membuat dirinya dicinta kembali berlipat ganda dan akhirnya dapat menjadi seorang isteri yang terkasih. Hal ini mudah saja ia pertahankan oleh karena kini Beng San benar-benar amat penurut dan mentaati segala kehendaknya.

Dua orang pelayan setia itu masih merasa bersyukur dan berterima kasih sekali kepada Li Cu yang sekarang mereka anggap sebagai pengganti nyonya muda, sungguh pun mereka diam-diam merasa heran kenapa seorang nona cantik dan muda suka bersikap demikian baiknya terhadap Beng San.

Namun sebagai orang-orang yang sudah berpengalaman akhirnya mereka dapat menarik kesimpulan bahwa semua itu adalah akibat dari pada asmara yang mendalam dan suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi mereka pun lalu bercerita kepada Li Cu akan segala yang mereka ketahui tentang diri Beng San dan Bi Goat. Malah mereka memperingatkan nona itu supaya berhati-hati karena mereka berdua itu takut sekali kalau-kalau lo-ya-cu, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun kembali dan mengamuk lagi.

"Entah bagaimana nasib bayi puteri Siauw-ya yang belum diberi nama itu," pelayan tertua menutup kisahnya. "Semoga saja dia tidak menjadi korban keganasan Lo-ya yang sudah demikian kalap. Hamba benar-benar kuatir, ahh... kalau Lo-ya pulang... apa yang terjadi?"
"Tenanglah, tidak perlu kuatir. Kematian Bi Goat bukanlah karena kesalahan Beng San. Pula andai kata dia datang dan mau menang sendiri, ada aku di sini untuk melindungi Beng San," kata Li Cu dengan suara yang gagah.

Akan tetapi sesungguhnya hatinya kecut-kecut kalau ia memikirkan kakek itu. Ia maklum bahwa kata-katanya di depan para pelayan itu hanya omong besar saja, karena kalau disuruh sungguh-sungguh menghadapi kakek Song-bun-kwi yang sakti itu, sedikit sekali harapan dia akan menang. Oleh karena inilah pedang Liong-cu-kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya, selalu terpasang pada belakang punggungnya untuk menjaga dari segala kemungkinan.

Sampai tiga bulan lebih Li Cu dengan tekun dan sabar merawat Beng San. Kesehatan Beng San sebetulnya sudah pulih, akan tetapi hanya kesehatan jasmani saja, ingatannya masih belum sembuh sama sekali.

Pagi hari itu, seperti biasa Li Cu mengajak Beng San duduk di taman bunga di sebelah kiri rumah. Setiap pagi gadis ini mengajak Beng San berjemur matahari pagi di tempat itu. Dan seperti biasa, dengan sikap manja sekali Beng San merebahkan diri di atas bangku panjang dan kepalanya telentang di atas pangkuan Li Cu!

Dengan kasih mesra gadis ini mengusap-usap rambut Beng San sambil menatap wajah yang nampak bodoh itu.

"Beng San, masih belum ingatkah kau? Masih belum ingat benarkah bahwa aku adalah Li Cu?" perlahan Li Cu bertanya dengan suara lirih dan hati-hati sekali.

Beng San tersenyum, "Bi Goat, jangan kau menggoda aku. Kau sudah tahu bahwa aku suka kepada Nona Cia Li Cu, bahwa aku tertarik dan kagum sekali kepadanya, lalu kau sekarang menggodaku, ya?"

Seperti biasanya kalau mendengar kata-kata ini, Li Cu merasa tertusuk jantungnya. Dia menggigit bibirnya, matanya menjadi sayu, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan berkata lemah-lembut.

"Beng San, aku sungguh bukan Bi Goat. Aku Cia Li Cu, Beng San, dan aku pun suka kepadamu, tapi... tapi jangan kau menyangka aku Bi Goat. Bi Goat sudah... sudah mati...," hati-hati sekali ia mengucapkan kata-kata ini sambil menatap tajam-tajam muka orang di atas pangkuannya itu dan tangannya membelai dengan halus.

Beng San serentak bangkit dan duduk, kedua tangan Li Cu dipegangnya lalu ia berlutut di atas tanah.

"Bi Goat, isteriku, jangan kau mempermainkan aku. Kalau Bi Goat sudah mati bagaimana kau bisa berada di sini? Bi Goat, aku memang berdosa kepadamu, ampunkanlah aku... aku menurut segala kehendakmu, tapi... tapi jangan kau marah, jangan tinggalkan aku..."

Li Cu menarik napas panjang dan menggoyang-goyang kepalanya. Tidak ada kemajuan sama sekali. Jika sudah merengek-rengek minta ampun begini Beng San tidak mau sudah kalau belum dia ampunkan. Terpaksa dia pun berkata, "Sudahlah, aku ampunkan kau."

Dengan girang Beng San rebah lagi dengan kepala di atas pangkuan Li Cu. Ia tersenyum-senyum dengan wajah berseri girang.

Li Cu makin terharu melihat ini. Selama berbulan-bulan ini Beng San memasuki kamarnya yang terpisah, dan hal ini pun selalu diturut oleh Beng San meski dengan wajah kelihatan berduka sekali! Li Cu sendiri mulai merasa ragu-ragu akan kekuatan pertahanan hatinya sendiri. Ia makin kasihan kepada Beng San.

Selama berbulan-bulan menggantikan kedudukan Bi Goat ini, tampaklah jelas olehnya bahwa Beng San sama sekali bukanlah laki-laki mata keranjang perusak wanita seperti yang telah ia dengar dari suheng-nya. Buktinya, terhadap isteri sendiri saja Beng San begini lemah lembut, menaruh hormat dan tidak mau bersikap menang sendiri. Apa lagi terhadap wanita lain?

Peristiwa yang terjadi antara Beng San dan Kwa Hong tentu terdorong oleh sesuatu, tidak sewajarnya. Beng San pernah bercerita kepadanya tentang itu, dikatakannya bahwa Beng San dan Kwa Hong lupa diri karena pengaruh racun yang sengaja ditaruh dalam makanan oleh musuh dalam ketentaraan Mongol. Tapi Beng San hanya menyebut nama Pangeran Souw Kian Bu.

Ada pun tentang pengalaman Beng San dalam asmara dengan Thio Eng, dan dengan dia sendiri, ahh, ia tidak percaya bahwa Beng San sengaja berlaku sebagai seorang pemuda mata keranjang. Dia sama sekali tidak mau percaya bahwa Beng San berwatak kotor, rendah atau cabul.

"Beng San, cobalah kau ingat-ingat, apakah kau benar-benar lupa akan kepandaian ilmu silatmu?"

Beng San tertawa, matanya berseri jenaka. "Bi Goat, jangan kau goda aku seperti itu! Kau tahu bahwa aku adalah seorang kutu buku, seorang yang sejak kecil hanya mempelajari kitab-kitab filsafat. Kitab To-tek-keng aku hafal di luar kepala. Kau pun boleh tanya tentang Su-si Ngo-keng, tentang filsafat hidup dan pelajaran agama. Akan tetapi ilmu silat? Huh, untuk apa ilmu silat itu? Hanya untuk menakut-nakuti orang, menyombongkan diri sendiri dan paling banyak hanya bisa menjadi kepandaian tukang-tukang pukul dan buaya-buaya darat, tukang-tukang berkelahi saja!"

Sekali lagi Li Cu menarik napas kecewa. Ia tadinya tidak percaya sehingga ia pernah menyerang Beng San. Ternyata menghadapi sebuah pukulan biasa saja Beng San tidak mampu menghindarkan diri. Akan tetapi lweekang di tubuhnya masih tetap ada dan kuat sungguh pun agaknya Beng San lupa pula bagaimana untuk menyalurkan hawa murni di tubuhnya itu.

Tadinya ada pikiran padanya untuk melatih Beng San, akan tetapi pikiran ini ia buang lagi ketika ia teringat betapa tingkat kepandaian Beng San sebetulnya sudah jauh melampaui dirinya sehingga kalau sekarang Beng San menerima pendidikan mulai pertama dari dia, apakah akan jadinya? Jangan-jangan malah pelajaran itu menyeleweng dan tidak cocok dengan hawa murni di tubuh Beng San.

Ia menunduk dan memandang wajah yang tampan itu. Ah, kalau ia teringat betapa dahulu Beng San dengan berani mati menyerbu ke sarang Ho-hai Sam-ong, mati-matian datang untuk menolongnya! Bila ia teringat akhir-akhir ini betapa Beng San tanpa mempedulikan diri sendiri telah menyedot asap beracun yang berada di dadanya, menyedot begitu saja dari mulut ke mulut!

Ahh, ia tidak saja berhutang budi, juga berhutang nyawa. Hanya dapat ia balas dengan cinta kasih. Kalau sudah mengenangkan itu semua, ingin ia mendekap kepala itu, ingin membelainya dan menunjukkan kasih sayangnya. Akan tetapi Li Cu menahan hatinya, hanya memandang dengan wajah sayu dan mata redup setengah dikatupkan.

Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa sudah semenjak ia keluar bersama Beng San dari dalam rumah tadi, sepasang mata menyaksikan semua yang terjadi antara dia dan Beng San. Sepasang mata yang tajam, dilindungi alis tebal yang kadang kala mengerut, kadang bergerak-gerak. Sepasang mata itu kadang kala menjadi redup terharu, kadang-kadang menyorotkan api kemarahan. Sepasang mata milik seorang laki-laki tua yang tampan dan gagah perkasa, seorang pendekar yang bukan lain adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tandingan) Cia Hui Gan, ayah dari Cia Li Cu!

Dan baru saja, dari lain jurusan, datang pula seorang tokoh lainnya yang gerakannya demikian ringan sehingga tidak terdengar oleh Si Raja Pedang sekali pun. Orang ini pun mengintai dan matanya yang liar menjadi makin berputaran marah pada saat ia melihat adegan mesra itu, yaitu Beng San rebah telentang di bangku dengan kepalanya di atas pangkuan seorang dara cantik jelita yang mengelus-elus rambutnya!

Orang ini bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung! Song-bun-kwi Kwee Lun masih dapat mendengar tanya jawab antara Li Cu dan Beng San tentang ilmu silat tadi dan kegirangan hatinya bukan main ketika ia mendengar bahwa Beng San telah hilang ingatannya dan telah hilang atau terlupa pula ilmu silatnya.

"Si keparat Beng San! Kau telah kehilangan kepandaianmu, dan sekarang kau juga akan kehilangan nyawamu yang harus menghadap Bi Goat untuk menebus dosa," demikian katanya dalam hati.

Tiba-tiba ia melompat keluar sambil tertawa bergelak. Tanpa berkata apa-apa serentak ia maju menubruk dan menghantam dada Beng San yang rebah telentang di atas bangku.

Li Cu berseru panjang. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tubuh gadis ini otomatis bergerak dan ia mendorong tubuh Beng San sekuat tenaga sambil ia sendiri melompat ke belakang dan mencabut pedangnya.

Biar pun tubuhnya sudah terdorong dan terlempar dari bangku, tetap saja punggung Beng San keserempet pukulan Song-bun-kwi. Beng San terpelanting hingga terguling-guling sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Baiknya lweekang di tubuhnya masih ada dan secara otomatis tenaga dalam ini bekerja untuk menahan atau melindungi tempat yang terpukul, maka Beng San hanya mengalami luka ringan di sebelah dalam saja dan nyawanya selamat.

Di dalam tubuh Beng San terkandung dua hawa yang amat besar, hawa Im dan Yang, dua hawa yang bertentangan akan tetapi telah teratur kedudukannya. Berbeda dengan orang lain, bila terpukul dan menderita luka dalam, muntah darah berarti membahayakan. Sebaliknya, dengan muntah darah ini bagi Beng San malah menyatakan bahwa tenaga di dalam tubuhnya sudah bekerja dan darah yang dimuntahkan itu sajalah yang menjadi akibat pukulan tadi.

Melihat Beng San muntah darah, Li Cu kaget setengah mati dan mengira bahwa Beng San pasti terluka parah. Ia marah bukan main dan pedangnya lalu diputar ke depan.

"Song-bun-kwi manusia iblis! Kau keji dan curang. Kalau memang kau ada kepandaian, mengapa menyerang orang sakit? Majulah, akulah musuhmu!"
Pedangnya menyambar-nyambar ke depan dan sekejap mata saja gulungan sinar pedang mengurung Song-bun-kwi dengan hebatnya. Song-bun-kwi tertawa bergelak, pedangnya cepat menangkis dari samping lalu ia berkata,

"Perempuan tak tahu malu! Aku hendak membunuh mantuku sendiri yang telah menjadi penyebab kematian anakku, yang telah meninggalkan anakku untuk bermain gila dengan segala perempuan busuk, kau menghalangi ada hubungan apakah? Apakah kau kekasih barunya?"

Kemarahan Li Cu membuat dia hampir menangis mendengar caci-maki kotor ini. Akan tetapi dia harus membela Beng San, membela nyawanya juga membela nama baiknya.

"Song-bun-kwi, kau seorang kakek tua bangka yang sudah mau mati tetapi ucapanmu seperti orang gila atau seperti anak kecil saja! Beng San bukan menjadi sebab kematian Bi Goat. Selama ini dia pergi karena dia membantu Kaisar untuk membasmi orang-orang jahat yang akan memberontak. Dia dimintai bantuan oleh Pek-lian-pai dalam tugas yang mulia. Yang menyebabkan kematian anakmu adalah iblis wanita Kwa Hong. Kalau kau memang mendendam, mengapa kau tidak mencari dan membalas kepada Kwa Hong? Andai kata kau hendak membalas kepada Beng San, sebagai orang gagah kau pun harus menanti sampai dia sembuh dulu agar dia dapat melayanimu. Apakah kau sudah berubah menjadi pengecut?"

Song-bun-kwi mengeluarkan suara menggereng hebat, matanya liar. "Kwa Hong akan kubunuh, Beng San akan kubunuh, dan kau yang membelanya akan kubunuh lebih dulu!" Setelah berkata demikian ia menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya.

Pedangnya bergerak menusuk kemudian ditarik ke bawah. Kalau serangan ini berhasil tentu korbannya akan terbelah dada dan perutnya, Namun dengan gerakan lincah dan indah sekali Li Cu sudah mengelak ke kanan, tubuhnya berputar seperti orang menari kemudian membabat dengan pedangnya ke arah pedang lawan. Ia hendak mengandalkan ketajaman Liong-cu-kiam untuk mematahkan senjata lawannya.

Akan tetapi Song-bun-kwi bukanlah seorang tokoh yang masih hijau. Ia cukup mengenal Liong-cu-kiam. Biar pun yang ia pegang juga sebatang pedang yang baik dan kuat, akan tetapi ia tidak berani mengadukan pedangnya secara langsung dengan Liong-cu-kiam. Ia hanya menyampok pedang lawannya yang ampuh bukan main itu dari samping dengan pedangnya sehingga peraduan kedua pedang pada bagian tajamnya dapat dihindarkan.

Serang-menyerang lalu terjadi dengan amat serunya dan mati-matian. Ilmu kepandaian Song-bun-kwi hebat bukan main, dia adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Biar pun Li Cu juga telah mewarisi ilmu pedang yang sakti, namun ia kalah pengalaman bertempur biar pun di tangannya ada pedang pusaka Liong-cu-kiam.

Song-bun-kwi tidak mengenal ampun, mendesak terus sambil mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat karena ia maklum bahwa lawannya biar pun hanya merupakan seorang gadis muda namun cukup lihai dan berbahaya. Malah kakek ini di samping pedangnya yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut yang dicampur ilmu pedangnya sendiri, juga mulai melancarkan pukulan-pukulan maut dengan tangan kiri, menggunakan pukulan jarak jauh yang bukan main dahsyatnya.

Tiap kali pukulan ini datang, Li Cu merasa sambaran angin yang hebat ke arahnya. Ia terkejut sekali dan maklum bahwa biar pun pukulan lawan tidak mengenai tubuhnya, hawa pukulan itu kalau tepat mengenai bagian berbahaya, bisa mendatangkan celaka. Maka ia selalu mengelak kalau diserang pukulan ini. Hal ini membuat keadaannya terhimpit.

"Heeei, jangan serang isteriku! Ehhh, kakek yang baik, orang setua engkau seharusnya memberi contoh yang baik kepada orang muda, mengapa malah suka berkelahi? Heee! Hati-hati, jangan main-main dengan pedang yang begitu tajam, jangan-jangan kau nanti mencelakai isteriku!" Beng San berteriak-teriak penuh kekuatiran.

Tadi ia agak nanar, malah ia setengah pingsan oleh pukulan yang membuat ia muntah darah. Tetapi setelah ia dapat bangun, ia segera berteriak-teriak melarang Song-bun-kwi menyerang ‘isterinya’.

Mana Song-bun-kwi mau pedulikan dia? Makin hebat Song-bun-kwi mendesak sehingga pada suatu saat Li Cu harus terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja menjadi korban pukulan mautnya. Beng San tak dapat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.

"Orang tua, mengapa kau begini nekat? Isteriku pandai main pedang, kalau sampai dia marah... hemmm, apakah kau sudah bosan hidup?"

Song-bun-kwi kaget juga menyaksikan sikap Beng San ini. Dilihat sikapnya yang begitu berani, agaknya pemuda ini masih memiliki kepandaiannya. Sejenak ia tertegun dan ini membuat gerakannya menjadi agak kalut dan terlambat sehingga Li Cu bisa memperbaiki kedudukannya dan gadis yang tadinya terdesak itu kini berbalik dapat balas menyerang.

"Bagus, Beng San. Kau majulah, pukul dia mampus dengan ilmu saktimu!" Li Cu berseru keras.

Song-bun-kwi makin bingung dan kaget, dikiranya Beng San sungguh-sungguh hendak menyerangnya. Kembali kesempatan ini digunakan oleh Li Cu untuk mainkan pedangnya dan...

"Brettt…!" ujung baju kakek itu terbabat putus!

Song-bun-kwi kaget sekali dan cepat ia melompat ke arah Beng San sambil mengayun pedangnya. Girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa sama sekali Beng San tidak dapat mengelak, malah Li Cu yang menangkisnya serangan ini.

"Aha, kalian mau menipu aku? Ha-ha-ha, kalian harus mampus sekarang juga!"

Dengan ucapan ini Song-bun-kwi mendesak makin hebat sehingga Li Cu menjadi sibuk menangkis dan mengelak. Sekali pundaknya terkena pukulan tangan kiri Song-bun-kwi sehingga gadis itu terpaksa menggulingkan diri dan terus bergulingan menjauhkan diri dari Song-bun-kwi. Akan tetapi sambil tertawa-tawa kakek ini mengejar terus dengan pedang diangkat, siap untuk membacok.

"Tranggg!"

Pedang Song-bun-kwi terpental dan biar pun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya dan ia cepat dapat melompat mundur, namun lengannya agak di atas pergelangan telah tergores pedang di tangan Bu-tek Kiam-ong.

Cia Hui Gan yang sudah berdiri dengan gagah di situ. Pendekar pedang inilah yang tadi menangkis bacokan Song-bun-kwi untuk menolong nyawa puterinya.

Melihat datangnya Raja Pedang ini, Song-bun-kwi mendengus marah, "Huh, kau juga mau ikut-ikut urusanku?"

"Song-bun-kwi iblis tua! Melihat puterinya hendak dibunuh orang, bagaimana seorang ayah bisa diam saja?"

Sejenak Song-bun-kwi tertegun. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Cia Hui Gan, maka dia tidak berani berlaku sembrono. Kemudian ia menoleh ke arah Beng San yang berdiri bengong di pinggiran.

"Bagus, kau betul sekali, Kiam-ong. Anakku dibunuh orang, mana aku bisa diam saja?" Sambil berkata demikian ia lalu menubruk ke depan dan menyerang Beng San dengan pedangnya.

Melihat itu Li Cu kembali menggerakkan senjatanya menangkis serangan kakek itu. Kali ini Song-bun-kwi terlalu bernafsu dalam serangannya, maka pedangnya bertemu secara telak sekali dengan pedang di tangan Li Cu. Dengan mengeluarkan bunyi nyaring, pedang di tangan Song-bun-kwi terbabat putus menjadi dua potong oleh Liong-cu-kiam!

"Li Cu, jangan mencampuri urusan mereka!" Cia Hui Gan membentak anaknya, mukanya menjadi merah dan malu melihat sikap puterinya itu.

Akan tetapi, Li Cu dengan pedang di tangan berdiri memandang ayahnya dengan mata bersinar. "Ayah, Beng San tidak pernah membunuh anak Song-bun-kwi yang mati karena melahirkan. Beng San bahkan sangat mencintanya. Mana bisa aku membiarkan orang membunuhnya? Kalau Song-bun-kwi menantang Beng San dalam keadaan seperti biasa, aku pun tidak peduli. Akan tetapi sekarang Beng San sedang sakit, sama sekali tidak dapat melawan!"

Song-bun-kwi marah sekali, akan tetapi juga gentar. Menghadapi gadis itu saja sudah payah untuk mencapai kemenangan, apa lagi sekarang muncul ayahnya yang tentu saja tidak membiarkan ia mengganggu Li Cu.

Pada saat itu terdengar suara tangis seorang anak tak jauh dari situ. Mendengar suara ini Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan-gerengan marah, lalu ia melompat pergi ke arah suara tangisan anak kecil itu. Dari jauh terdengar suaranya,
"Bu-tek Kiam-ong, kau mengandalkan nama besarmu untuk bersikap sewenang-wenang. Tunggulah, kelak aku akan mencarimu di Thai-san!"

Sejenak hening. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Si ayah dengan sinar mata penuh kemarahan, Si anak tenang-tenang saja akan tetapi tarikan mukanya jelas-jelas membayangkan keteguhan hatinya.

"Li Cu, apa artinya semua ini?" akhirnya suara si ayah terdengar memecah kesunyian.
"Artinya, Ayah, bahwa aku cinta kepada Beng San dan sisa hidupku akan kuhabiskan di sampingnya," jawab gadis itu dengan suara penuh ketetapan hati.

Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan mengerutkan keningnya. "Tapi... tapi ia seorang gila..."

"Dia tidak gila, Ayah. Hanya kehancuran hati membuat ia demikian. Ia kematian isterinya yang tercinta dan ia merasa berdosa besar terhadap isterinya sehingga kesedihannya itu membuat ia kehilangan ingatan. Akan tetapi... dia seorang berbatin mulia, Ayah, telah beberapa kali menyelamatkan nyawaku tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Aku ingin membalas budinya dan..."
"Tapi dia tidak menganggapmu sebagai Cia Li Cu..."
"Memang dia menganggap aku sebagai isterinya yang sudah meninggal dunia. Dan ini lebih mempertebal keyakinanku betapa setia hatinya, penuh cinta kasih murni. Aku tak dapat meninggalkannya, Ayah, karena hal itu berarti dia akan celaka."
"Li Cu, apa kau juga sudah menjadi gila? Anakku hendak mengorbankan sisa hidupnya untuk seorang gila? Tidak mungkin! Kakak kandungnya seorang berwatak durhaka dan busuk, adiknya pun tak akan jauh bedanya. Dia harus mampus saja dari pada merusak hidupmu!"

Tiba-tiba sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakek ini sudah menerjang ke arah Beng San yang berdiri melongo melihat perdebatan antara ayah dan anak itu.

"Ayah...!" Li Cu bergerak dan…
"Tranggg!"

Bunga api berpijar, pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu terlepas menancap di atas tanah, akan tetapi pedang di tangan Cia Hui Gan sudah patah menjadi dua potong.....

Kembali ayah dan anak berpandangan, bertentangan mengadu kekuatan kemauan yang sama kerasnya.

"Aku mendengar ejekan si bangsat Beng Kui...," berkata Cia Hui Gan, suaranya perlahan penuh penyesalan, "bahwa anakku lagi tergila-gila pada seorang laki-laki perusak wanita! Bahwa Beng San ini sudah merusak penghidupan seorang gadis murid Hoa-san-pai yang ditinggalkannya untuk menikah dengan anak Song-bun-kwi. Sekarang agaknya ia menjadi penyebab kematian isterinya itu dan dia sekarang menempel engkau!"
"Ayah...! Semua itu bohong belaka! Semua itu terjadi bukan karena kesalahan Beng San. Tentang aku..., bukan dia yang menempel, melainkan aku sendiri yang tak dapat berpisah lagi dari padanya."

Bergerak-gerak alis mata Cia Hui Gan. "Hemm, ini pendapat seorang bocah masih hijau! Cintamu mudah berubah dan berganti-ganti. Orang ini lebih baik mati dari pada merusak hidupmu!" Dengan pedang yang tinggal sepotong itu Cia Hui Gan melompat ke depan dan menyerang Beng San lagi.

"Ayah, kalau kau hendak membunuhnya, kau boleh melihat anakmu menggeletak tanpa nyawa lebih dulu!" Li Cu berseru keras dan cepat dia menyambar Liong-cu-kiam dari atas tanah, langsung dia bacokkan ke lehernya sendiri!
"Anak gila...!"

Pedang buntung di tangan Cia Hui Gan terlepas meluncur ke arah Li Cu dan menghantam Liong-cu-kiam di tangan gadis itu. Hebat sekali sambitan ini yang merupakan kepandaian istimewa dari Si Raja Pedang, sehingga Li Cu sendiri tidak sanggup mempertahankan pedangnya yang runtuh terlepas dari tangannya.

Gadis ini menangis dan menutupi mukanya.

"Ayah..., kau boleh bunuh dia... tapi aku pun tidak sudi lagi hidup di dunia ini...," tangisnya.

Cia Hui Gan menarik napas panjang. Ia sangat sayang kepada puteri tunggalnya ini. Ia hidup hanya berdua dengan puterinya karena ibu Li Cu sudah semenjak dulu meninggal dunia. Bagaimana ia dapat merelakan anaknya mati?

Tadi pun ia hanya ingin menyelami hati Li Cu, sampai di mana perasaan yang dianggap cinta kasih oleh anaknya itu terhadap Beng San. Kakek ini maklum betapa hancur dan sakitnya hati Li Cu oleh karena sikap dan perlakuan Beng Kui kepadanya. Dan kakek ini maklum pula bahwa meski pun di mulutnya tidak pernah menyatakan sesuatu, namun di dalam hatinya gadisnya itu tentu menaruh penyesalan kepada ayahnya sendiri, karena sesungguhnya dialah yang dahulu menjodohkan anaknya itu dengan Beng Kui.

Beng Kui merupakan pemuda pilihan Cia Hui Gan untuk anaknya yang hanya mentaati kehendak ayahnya. Setelah pilihan itu ternyata keliru, sekarang anaknya mencari pilihan hatinya sendiri, bagaimana dia tega untuk menghalanginya?

Sebetulnya, sejak dahulu ketika untuk pertama kali bertemu dengan Beng San, memang Cia Hui Gan menaruh rasa simpati yang besar terhadap pemuda ini dan diam-diam dia mengakui bahwa Beng San sebetulnya lebih cocok untuk menjadi jodoh puterinya. Akan tetapi sekarang pemuda itu selain sudah menjadi duda yang ditinggali anak, keadaannya juga tidak normal lagi, kehilangan ingatan dan lupa akan kepandaiannya sama sekali!

"Kau memang bandel..." akhirnya dia berkata. "Baiklah, kalau kau memang sudah yakin akan cinta kasihmu terhadap Beng San, akan tetapi kelak jangan kau salahkan ayahmu kalau kau kecewa."
"Ayah... terima kasih, Ayah..." Li Cu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis.
"Sudahlah, kita harus segera pergi dari sini, kita tak boleh mengacau di tempat orang lain. Hemmm, bocah itu hanya akan memancing datangnya banyak musuh ke Thai-san..."

Li Cu tidak memberi komentar apa-apa atas ucapan ayahnya barusan, melainkan dengan girang ia lalu menggandeng tangan Beng San sambil menariknya dan berkata, "Beng San, hayo kau ikut aku ke Thai-san."

"Bi Goat, kenapa kita ke Thai-san?" Beng San bertanya seperti orang bingung.
"Mulai sekarang kita akan tinggal di sana, kau ikutlah saja dengan aku dan jangan banyak bertanya."

Beng San mengangguk-angguk. "Baiklah...baiklah, kita ke Thai-san...aku menurut dan tak akan membantah asal selalu berada di dekatmu."

Melihat dan mendengar ini Cia Hui Gan menggeleng kepalanya dan diam-diam ia berdoa kepada Tuhan semoga keputusan yang diambil oleh anaknya itu tidak keliru dan tak akan merusak penghidupan anaknya dikelak kemudian hari.

Atas pertanyaan Li Cu, dalam perjalanan menuju Thai-san itu Cia Hui Gan menceritakan apa yang telah terjadi di kota raja.

Seperti yang sudah diceritakan pada bagian depan, para orang gagah berusaha untuk menggagalkan rencana jahat yang diatur oleh Pangeran Lu Siauw Ong bersama Ho-hai Sam-ong. Di antara mereka itu terdapat pula Cia Hui Gan dan anaknya Li Cu sendiri, yang pergi menyusul rombongan Kaisar untuk melindunginya. Ada pun Cia Hui Gan pergi ke kota raja untuk menghukum muridnya yang murtad dan durhaka.

Telah dituturkan pula di bagian depan betapa Kaisar akhirnya terhindar dari mala petaka pencegatan Ho-hai Sam-ong dan anak buahnya serta teman-temannya. Sebagian besar adalah jasa Beng San yang terlebih dahulu secara sembunyi sudah menjumpai Kaisar di tengah perjalanan dan mengajukan usul supaya supaya Kaisar diam-diam kembali ke kota Raja, dan menyuruh orang lain menggantikan Kaisar di dalam joli, Seperti yang telah kita ketahui, Ho-Hai Sam-ong tertipu dan usaha mereka tidak saja hancur berantakan, malah mereka pun akhirnya tewas.

Ada pun Cia Hui Gan yang mencari muridnya, Tan Beng Kui di kota saja, datang dalam saat yang kebetulan pula. Pemberontakan telah pecah, penyerbuan para pemberontak ke dalam istana sedang terjadi. Akan tetapi, alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba, tidak saja muncul para pengawal yang serba lengkap dan kuat, juga muncul banyak sekali anggota Pek-lian-pai di bawah pimpinan Tan-Hok yang gagah perkasa. Lebih hebat lagi kekagetan para pemberontak ketika tiba-tiba muncul pula Kaisar sendiri yang memimpin tentaranya untuk menghancurkan barisan pemberontak yang menyerbu.

Sudah terang bahwa Kaisar pergi ke utara dengan rombongannya, mengapa tiba-tiba bisa berada di situ? Keadaan menjadi kacau-balau dan para pemberontak itu lantas berkurang semangatnya. Apa lagi di pihak Kaisar terdapat orang-orang gagah, terutama sekali Cia Hui Gan yang mengamuk seperti seekor naga terbang dan masih ada lagi raksasa muda Tan Hok yang mengamuk dengan anak buahnya yang gagah.

Cia Hui Gan yang sengaja mencari muridnya, akhirnya dapat berhadapan muka dengan Beng Kui yang berpakaian seperti seorang jenderal besar dan sedang mengamuk dengan pedangnya, Liong-cu-kiam. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba dia melihat gurunya. Akan tetapi Beng Kui malah menegur,

"Suhu, mengapa Suhu menghalangi cita-cita teecu yang tinggi?"
"Keparat, kau membikin malu gurumu saja dengan perbuatanmu yang hina. Mulai saat ini aku bukan gurumu lagi!"
"Aha, jadi Suhu juga berpandangan picik seperti Li Cu dan merasa sakit hati karena teecu menjadi menantu Lu Siauw Ong? Apakah Suhu tidak melihat bahwa kalau teecu kelak menjadi menantu Kaisar dan calon kaisar, masih belum terlambat untuk menikah dengan sumoi dan Suhu sendiri tentu memperoleh kedudukan tinggi?"
"Bangsat, tutup mulutmu!" dengan amarah meluap-luap Cia Hui Gan menyerang.

Beng Kui menangkis dan melakukan perlawanan. Tapi betapa pun juga, pedang pusaka Liong-cu-kiam di tangannya tidak mampu membantu banyak terhadap serangan-serangan gurunya yang lihai bukan main itu. Apa lagi ketika Beng Kui melihat betapa barisan yang dipimpinnya itu mulai berantakan dan cerai-berai karena memang kalah kuat, hatinya lalu menjadi risau dan permainan pedangnya kacau-balau.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Hui Gan untuk mendesaknya dan pada saat yang baik, pundak kiri Beng Kui dapat tertusuk oleh pedang gurunya. Ia menjerit dan melompat ke belakang, menghilang di antara anak buahnya yang mulai berlarian ke sana ke mari mencari jalan keluar. Cia Hui Gan cepat mengejar karena ia bermaksud membunuh bekas muridnya itu, namun Beng Kui sudah mendapatkan seekor kuda dan sudah lari jauh.

Demikianlah pengalaman Cia Hui Gan di kota raja. Kaisar sendiri lalu menyatakan terima kasih kepadanya, akan tetapi Cia Hui Gan tak lama berdiam di kota raja, melainkan terus menyusul puterinya.

Ia mendengar bahwa pencegatan rombongan Kaisar dapat digagalkan serta dihancurkan pula. Akan tetapi dengan hati kecut ia juga mendengar bahwa puterinya telah terluka dan ditolong oleh Beng San. Kisah ini ia dengar dari pada anggota Pek-lian-pai yang masih tertinggal di tempat itu karena terluka.

Cia Hui Gan tidak percaya lagi kepada Beng San setelah kekecewaannya pada Beng Kui. Jika kakaknya seperti itu, mana bisa adiknya baik pula? Dengan hati kuatir ia cepat-cepat melakukan perjalanan menyusul ke Min-san dan akhirnya ia menyaksikan semua kejadian yang membuat hatinya menjadi penuh kegelisahan akan hari depan puterinya…..

********************
Selanjutnya baca
RAJAWALI EMAS : JILID-06
LihatTutupKomentar