Pendekar Bodoh Jilid 19


Cin Hai dan Lin Lin yang sedang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan di tempat ini mereka lalu berhenti untuk beristirahat dalam sebuah goa di luar hutan.

“Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali,” kata Cin Hai.
“Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andai kata Suhu gagal, aku masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.

Melihat kedua orang itu berhenti di dalam goa, tiga ekor burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, oleh karena bagi mereka tempat itu memang kurang menyenangkan. Tempat itu merupakan tanah tidak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula goa-goa besar di situ, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam goa pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.

Akan tetapi oleh karena panas terik matahari sedang membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka goa di mana mereka berteduh merupakan tempat yang sangat enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.

“Lin-moi,” kata Cin Hai sambil membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita telah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus segera melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw. Betapa pun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya.”
“Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dapat dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa obat itu.”

Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar goa sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.

Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu sudah mengenal Song Kun dan sudah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.

“Obat sudah kudapatkan!” teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada di dalam tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”

Cin Hai menjadi pucat dan dia memandang penuh ketidak percayaan.

“Kau tidak percaya?” kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.
“Song Kun! Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.
“Kau anggap aku ini orang apakah maka bicaraku harus kau ragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai oleh Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan bersikeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau dia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.

“Suheng!” teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.
“Kau tolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan walau pun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, janganlah kau memaksanya menjadi isterimu kalau dia tidak suka.”

Song Kun tertawa bergelak, “Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tak ingin melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”

“Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”
“Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau akan kubuang obat ini dan membiarkan dia mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah dia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang!

Cin Hai menjadi bingung karena dia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.

"Jangan kau buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”
“Dan menjadi isteriku?” tanya Song Kun.
“Soal itu terserah kepadanya,” jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.

Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.

“Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kau kira aku takut mati?” Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat.

Song Kun cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya, kemudian segera mencabut pedangnya Ang-ho Sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tidak boleh dipandang ringan itu.

Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai cepat-cepat mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan ikut menerjang sambil berseru,
“Song Kun, jangan kau lawan dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat dia menyerang yang segera ditangkis oleh Song Kun.

Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya,
“Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”

Lin Lin melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang baginya terlampau tangguh itu, apa lagi karena dia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu.

Sekali lagi dua orang muda yang amat lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan ketiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho Sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.

Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai lalu mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebatnya.

Diam-diam Song Kun merasa terkejut sekali karena kini dia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya yang bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang sanggup mengimbangi kehebatan Ang-ho Sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal dan jarang sekali menemukan tandingannya.
Image result for Pendekar Bodoh
Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba dia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang.

Gerakan ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapa pun juga, dia tidak ingin melihat obat tunggal itu dibuang sehingga jiwa Lin Lin tak akan dapat tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi,

“Jangan lempar botol itu!”

Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau hingga pada saat yang tepat, pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepalanya, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat sehingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya!

Darah mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song Kun meluncur dalam suatu serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah lehernya.....
Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka. Karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk berjungkir balik sambil menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu!

Melihat hal ini, tanpa tertahankan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!

Melihat keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, dia tidak boleh merasa khawatir karena betapa pun juga, tentu Song Kun tidak akan mau memberikan obat itu kepadanya. Karena itu dia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu membentak,
“Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lantas mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan juga menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini. Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis.

Dalam keadaan sabar, gerakan Cin Hai menjadi tenang dan kuat. Tetapi kini dia dalam keadaan marah dan menggelora, maka gerakan pedangnya berubah menjadi amat ganas seolah-olah seorang iblis mengamuk! Tiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!

Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,”

Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan segera memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.

“Benar-benar kulemparkan botol ini!” teriaknya mencoba sekali lagi.

Akan tetapi sekarang Cin Hai tidak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan dia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang!

Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.

Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.

“Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!” katanya girang.

Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya lalu mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka pada jidatnya.

Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali.
“Tua bangka!” ia memaki supek-nya. “Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang. “Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kau lawanlah dia!”

Cin Hai yang merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata,
“Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”
“Memang kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah amat pantas apa bila dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiok-mu dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang kemudian berdiri dengan tegak dan wajahnya tampak bersungguh-sungguh.

Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, dan semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan. Pedang Ang-ho Sian-kiam berubah menjadi gulungan cahaya merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali.

Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, pasti mereka akan merasa heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang dan pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!

Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai mulai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biar pun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, tetapi karena pemuda itu selalu menjalani kehidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna.

Sesudah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, pada akhirnya dia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang telah mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, biar pun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat!

Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya terjengkang, secepat kilat Cin Hai menusuk ke arah dadanya. Dia masih berusaha memiringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cu-kiam sudah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang!

Cin Hai memandang ke dalam jurang yang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!

“Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata.

Mereka cepat-cepat menghampiri Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.

Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam goa supaya jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, dia bersama suhu-nya lalu duduk tanpa bergerak mau pun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas!

Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, dia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba dia sudah mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu!

Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru,
“Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?”
“Siapa yang menjadi Suhu-ku? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kau bantu aku, Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.

Cin Hai makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya ‘kekasihku’, satu hal yang belum pernah terjadi! Dengan hati berdebar khawatir, timbul persangkaan di dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka dia cepat menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.

“Lin Lin... dia adalah Suhu kita...!” Lin Lin tak berdaya dalam pelukan Cin Hai yang kuat, akan tetapi dia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.
“Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!” kakek jembel itu berkata dengan suara mengharukan karena dia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.
“Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!”

Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!
Bu Pun Su serta Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai goa, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika dia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!

“Bagaimana baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan bingung.
“Sabar dan tunggulah saja perkembangannya lebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan semestinya!”

Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan dia memandang sekeliling bagai seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, dia lalu maju berlutut dan berseru,
“Suhu...!”

Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.
“Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai.

Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab, “Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ahh, kau mengimpi barang kali!”

Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhu-nya sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, dia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya.

Lin Lin segera mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru serta kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.

“Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, pikiran Lin Lin menjadi terganggu. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkan engkau seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.

Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam goa itu.

“Kalian bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu.

Kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada dukun Mongol…..
********************
Setelah menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dengan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,

“Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tidak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki.”
“Memang hal itu aneh sekali,” kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat serta banyak tipu muslihatnya sehingga maut pun seakan-akan jeri mencabut nyawanya. Dia telah menjadi buta dan terguling ke dalam jurang, akan tetapi kini tiba-tiba saja ia muncul dan sebelah matanya masih bisa digunakan, bahkan dia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu dia mempergunakan akal muslihat yang keji. Marilah kita menyelidiki mereka!”

“Cin Hai tentu tahu akan hal ini sebab ia sedang pergi mencari suhu-nya itu, maka sudah pasti dia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.

Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa kemudian keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.

Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.

“Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.
“Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!” Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu di sana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.

Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang, I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi dia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari hingga sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan goa besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.

Ma Hoa berlari masuk goa dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat,
“Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!” Dan tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.
“Lin Lin!” Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu. “Ini aku... Ma Hoa…!”

Akan tetapi Lin Lin yang gilanya kumat kembali itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk digunakan menangkis dan menjaga diri.

Ma Hoa merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi karena ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai dan semua gerakannya sangat sulit untuk diduga, maka terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin!

Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang amat lihai itu, pasti dengan mudah saja dia sudah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali. Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya lantas digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam goa itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat.

Berkali-kali Ma Hoa berseru, “Lin Lin...! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu...!”

Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tidak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur sendiri di udara!

Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera berlari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang terus mempertahankan diri dengan sibuknya.

“Enci Im Giok, lekas... lekas tangkap dia, agaknya dia sudah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.
Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan menjerit,
“Lin Lin...!”

Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,
“Enci Im Giok...!”

Pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena dia merasa pening sekali. Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas di dalam pelukannya!

Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tertidur pulas! Alangkah anehnya keadaan ini.

Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan goa itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ. Akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan goa, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.

Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Dia bangun dan ketika melihat bahwa dia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, dia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian dia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.

“Enci Im Giok...”
“Lin Lin, kau kenapakah...?” bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya.

Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang. Pada saat ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.

“Enci Hoa... kau juga datang…?”
“Ehh, ehhh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan begitu hebatnya sehingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”

Lin Lin memandangnya dengan hati terheran-heran. “Apakah penyakitku itu sudah datang lagi? Ah, celaka...” dan ia lalu menangis sedih.

Ma Hoa beserta Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.

“Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi pada waktu Ma Hoa masuk ke dalam goa ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian mendadak kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu itu karena kami pun sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ahhh, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”

Lin Lin segera menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian dia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun serta mendapatkan obat penawar pengaruh racun di dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya ‘penyakit gila’ yang kadang-kadang menyerangnya itu.

Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin, dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat berhasil ditewaskan oleh Cin Hai sehingga sebuah di antara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, sudah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.

“Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.
“Mereka sedang pergi kepada dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu.”

Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu dengan Dara Baju Merah yang dahulu dianggapnya telah tewas itu, walau pun dia sudah mendengar dari Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga dia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput dari pada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.

“Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa dia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.

“Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan goa rahasia yang sudah ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.

Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu sekarang telah mempunyai calon.

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, supaya kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda.

Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, dia pun berbisik,
“Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu kini terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!” Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan dia menggunakan sapu tangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.

“Terima kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya sederhana.

********************
Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan di mana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Pada waktu mereka tiba di tempat itu, pondok di mana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, kini hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.

Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.

“Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kau sebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”
“Benar, siapa yang meragu-ragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.
“Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”
“Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” dia menjawab.
“Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?”
“Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau sedang dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Aku lalu menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah sebatang pohon bunga yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu sudah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, dan karena itu pula kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”

Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.

“Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah bagai orang gila kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.

Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu akan mengalir pada seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat-urat yang besar, peristiwa itu tidak akan mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada waktu kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”

Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri, “Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.
“Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula dia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula dia akan terserang hal itu.”

Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.

“Dan di mana perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.
“Ke mana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di goa itu?” Dukun Mahambi berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manusia-manusia semacam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”

Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai, “Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak dia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula.”

Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke goa di mana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke goa Tun-huang!

Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di goa Tun-huang, di mana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Dia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, karena itu dia dapat menduga bahwa pendeta jahat beserta kawan-kawannya itu tentu berada di dalam goa, sedang mengambil harta pusaka.

Dengan sekali melompat, Bu Pun Su sudah berada di depan goa, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.

“Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada di sini!”

Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari goa itu dengan muka merah karena marah.

“Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau sudah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”
“Apa katamu?!” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.
“Harta Pusaka itu sudah kau curi dan kau bawa pergi, mau berkata apa lagi?” Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dahulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!

Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata,
“Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!”

Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam goa dan tidak lama kemudian ia keluar lagi kemudian berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang, namun akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.

“Kau maksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu adalah jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.
“Dasar kau yang bodoh,” tegur Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang yang serakah dan bodoh!”
“Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya.

Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dahulu. “Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”

“Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!” Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ.

Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tidak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahhwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan harta pusaka sekarang telah tercuri orang lain, maka untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu?

Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar sudah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga di situ ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah di mana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu.

Orang ini lalu masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, kemudian mempergunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut:

Harta pusaka di goa rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!

Tadinya Hai Kong Hosiang bersama kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang menggunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu. Baru sesudah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka segera mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.

Mereka ini tidak tahu bahwa secara diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka mengenai niat mereka mencari Hok Peng Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke goa di mana Lin Lin berada…..
********************
Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhu-nya itu tiba di goa, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Dia kemudian menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.

“Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. “Pada saat ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, dia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu, Lin Lin?”

Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala. “Entahlah, aku tidak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi.”

“Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk pada orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasehat ini.

Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya, “Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu sudah datang. Ingatlah baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!”

Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa apa bila tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!
Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan mengenai perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhu-nya ini akan tetapi dia merasa kecewa juga mengapa suhu-nya itu tidak datang menemuinya.

“Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhu-mu supaya dia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang sangat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai di sini sampai sepekan, setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Goa Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!”

Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema, “Tiga burung kubawa serta!”

Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.

Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai, “Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam di sana menunggu kalian berdua.”
“Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dahulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul ke sana,” kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya.

Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan goa itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.

“Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tidak baik kalau selama itu kita hanya menganggur. Lebih baik kita bersemedhi dan membersihkan napas untuk melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”

Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, dia lalu duduk bersila di dalam goa itu, bersemedhi memperkuat tenaga dalamnya…..
********************
Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.

Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.

“Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin seban munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apa bila sepekan telah lawat dan dia telah sembuh, dia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini.”

Kemudian, Kwee An segera menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng. Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat.

Mereka berdua pergi ke goa-goa Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di situlah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan goa rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.

Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-penjaga itu, Nelayan Cengeng berkata,
“Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?”

Kwee An menjawab, ”Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana apa bila ternyata Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kita?”

“Jangan kuatir, betapa pun juga, aku tetap tidak pernah percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pastilah dia terkena pengaruh jahat. Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapa pun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat betapa harta pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”

“Apa bila kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.

Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena dia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata. “Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu ialah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu sudah sepatutnya pula kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”

“Yang berhak?” tanya Kwee An dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?”

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu, “Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!”

Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali dan segera mereka menengok. Ternyata di atas mereka sudah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dengan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin dia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.

“Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak itu bertanya.

Nelayan Cengeng lalu tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!”

Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.....
“Nelayan Cengeng, biar pun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya,” katanya.

Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, dia lalu teringat akan cerita gadis itu tentang suhu-nya yang baru, maka dia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.

“Bagaimana dengan murid kita itu?” tanya Hok Peng Taisu.
“Baik, baik, dan kuhaturkan terima kasih kepadamu yang sudah memberi bimbingan pada dia. Kepandaian yang kau berikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tidak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.
“Ahh, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang mari kita bicara tentang hal penting. Ehh, siapakah anak muda ini?”
“Dia adalah calon suami murid kita.”

Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An mengenai harta itu tadi saja sudah membuat dia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.

“Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku ingin menggunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!”

Nelayan Cengeng memandangnya tajam, “Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”
“Ha-ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kau berikan kepada pemuda ini tadi!”

Nelayan Cengeng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku setuju membantumu.”
Kakek botak itu lalu berkata, “Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Bagaimana, sanggupkah kalian?”

Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An langsung menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu meminta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata.

Nelayan Cengeng menarik napas panjang lantas berkata, “Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”

Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah goa itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat sekali laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga sudah tertotok roboh olehnya.

“Bukan main!” seru Kwee An dengan kagum sekali.

Tadi dia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan atau pun melihatnya!

Tidak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari goa dan menuju ke tempat mereka dan sekarang dia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.

“Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, di antara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah padamu. Nah, aku pergi dulu!” Dan sebelum Kwee An mau pun Nelayan Cengeng dapat membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!

Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Saat mereka memeriksa harta pusaka itu, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, karena itu Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,

“Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian dari pada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya.”

Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata. “Kedudukan Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda menggunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki.”

“Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”
Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.

Demikianlah pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An seperti yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.

“Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagikan harta pusaka itu dengan baik.”
“Harta ini harus cepat dibagikan dan tidak boleh ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi.”
“Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menunggu sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata ragu-ragu.
“Tak perlu,” jawab Ang I Niocu. “Bukankah Susiok-couw sudah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Goa Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”
“Biarlah aku yang menanti mereka di sini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf menyatakan kesanggupannya.

Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, serta Kwee An lalu masing-masing mendapat sekantung.

Setelah berpamit kepada Yousuf serta kawan-kawannya, empat orang pendekar itu pergi meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin. Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka. Maka timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang sedang menderita sengsara…..
********************
Setelah tinggal di dalam goa batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin sudah pulih kembali seperti sedia kala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali.

Hal ini dapat dia rasakan karena kalau biasanya tiap hari dia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga Cin Hai terpaksa memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, sekarang denyutan kepala itu telah hilang sama sekali! Bahkan ketekunannya berlatih dan semedhi membuat dia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.

Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di hadapan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,

“Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau sudah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhu-mu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang sudah menolongmu.”
Lin Lin dan Cin Hai terkejut. “Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”

Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata, “Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau.”

Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar. “Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan sudah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku masih dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan engkau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai menjadi merah mukanya.

“Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.

Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya. “Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dahulu menyusul Suhu-mu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.”

Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu, dan juga menuturkan bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.

“Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan lebih dahulu ke negeriku supaya dapat digunakan untuk membangunkan kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda.”

Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang sangat penting dan memang sudah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara serta bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.

“Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”

Sesudah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan mengenai tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Mendengar ini, bukan main marah dan terkejutnya Lin Lin, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, di mana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.

Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan suci-nya dan sambil menangis ia pun bersumpah,

“Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalaskan dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”

Setelah berdiam di makam subo dan suci-nya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini sudah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!

Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut dia berkata, “Lin-moi, janganlah kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang dulu telah melepaskan hwesio itu dan tidak membinasakannya sehingga dia masih hidup dan kini mendatangkan mala petaka pula.”

Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.
“Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!”

Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang sangat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena dia pun tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraannya dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu melakukan perjalanan bersama! Dalam kegembiraannya ini, sering kali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan di dalam pandangan mata Cin Hai, apa bila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya dari pada tarian Ang I Niocu sendiri!

Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya dia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.

Memang, bagi siapa saja yang pernah mengalaminya, tentu akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat dari pada berduaan dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau namun tetap saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati.

Tetapi, Lin Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang sudah sama-sama mendapat gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka telah menjadi kuat dan batin mereka sudah bersih. Mereka telah menjadi majikan dari pada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang malah dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi mereka.

Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam dan sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang sangat cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis bukan main, akan tetapi pada waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,

“Mereka seperti orang ketakutan, mari kita tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk. Mereka lalu menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,
“Ji-wi harap berhenti dulu!”

Kedua orang yang sedang berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.

“Mengapa ji-wi berlari-lari seakan-akan ada yang mengejar ji-wi?” Lin Lin bertanya sambil memandang dengan kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.
“Memang kami sedang dikejar-kejar orang, akan tetapi urusan ini adalah urusan bangsa kami sendiri dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki tadi dengan suara gagah, menandakan bahwa dia memiliki keangkuhan serta ketinggian hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.

Cin Hai tersenyum. “Sahabat, ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat tetapi kami hanya ingin menolong kepadamu, yaitu apa bila kau berada dalam bahaya.”

“Memang aku dan anakku ini sedang berada dalam keadaan bahaya. Akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi bangsa sendiri!”
“Suku Haimi?” seru Cin Hai yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan pengalamannya. “Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?”

Kedua orang itu tercengang. “Bagaimana kau dapat mengetahui nama kami?” Sonoko bertanya dengan muka heran.

Lin Lin yang juga sudah mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang, “Nona Meilani, kau tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?”

Mendengar nama ini disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah. “Dia... dia adalah suamiku...”

“Benar,” kata Lin Lin yang sudah tahu pula akan ‘perkawinan’ itu. “Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee An itu adalah kakakku!”

Mendengar ucapan ini, Meilani mengeluarkan isak tangis, lalu dia maju menubruk Lin Lin. Dua orang gadis itu berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.
Juga Sanoko menjadi girang sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata, “Maaf, maaf! Tidak tahunya kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong yang mulia?”

“Siauwte bernama Sie Cin Hai.”
“Apakah kau juga masih keluarga Kwee An?” tanya Sanoko.

Cin Hai merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.
“Dia itu adalah tunanganku.”

Meilani yang sudah pandai berbahasa Han, membelalakkan matanya yang sangat indah dan sambil tersenyum manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya kepada Lin Lin, “Apakah artinya tunangan?”
“Tunangan adalah... calon suami.”
“Ahh...” Meilani kemudian berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya.

Tentu saja Cin Hai menjadi kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi heran sekali, akan tetapi sebagai seorang wanita, dia menjadi cemburu dan wajahnya berubah pucat.

Sanoko agaknya tahu akan hal ini, maka cepat-cepat ia berkata,
“Nona, kebiasaan suku bangsa kami adalah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara seperti itu.”

Kini legalah hati Lin Lin, karena dia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis yang secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan apa bila dia harus mendapat saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap, Meilani adalah gadis yang jarang terdapat karena cantik jelitanya.

Meilani kembali menghampiri Lin Lin dan memeluknya. “Siapakah namamu, Adikku yang baik?” tanyanya.
“Panggil saja Lin Lin kepadaku,” jawab Lin Lin sambil tersenyum.

Diam-diam ia mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang yang harum dan sedap itu? Demikian pikirnya.

“Sanoko Lo-enghiong, karena sudah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa kau bersama Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang sedang mengejarmu?”
“Amat memalukan kalau diceritakan,” kata orang tua itu sambil menarik napas panjang, “Semua ini adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyap sudah sifat-sifat ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah dia merantau dan memiliki kepandaian dari... orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tak bermaksud menghina orang-orang Han.”

Cin Hai tersenyum dan mengangguk. “Siauwte juga tidak akan membela bangsa sendiri kalau memang dia benar-benar jahat dan terus terang saja, di antara bangsa Han juga banyak yang jahat, sebagaimana terdapat pula pada bangsa lain. Teruskanlah ceritamu, Lo-enghiong.”

Sanoko segera bercerita secara singkat. Ternyata bahwa biar pun sudah menjadi ‘janda’ yaitu setelah ditinggal pergi oleh Kwee An saat baru saja melangsungkan ‘pernikahannya’ dengan Meilani, Meilani tetap menjadi pujaan para pemuda bangsa Haimi. Akan tetapi, agaknya gadis itu telah mengalami penyakit patah hati sehingga ia menolak tiap pinangan pemuda bangsanya. Menurut adat kebiasaan mereka, seorang janda yang telah ditinggal oleh suaminya lebih dari seratus hari, maka dia berhak untuk menerima pinangan laki-laki lain dan si suami itu apa bila telah kembali, tidak berhak lagi terhadap bekas isterinya.

Meilani tinggal menjadi janda kembang sampai berbulan-bulan, dan akhirnya ia jatuh hati juga pada seorang pemuda yang baru saja kembali pulang dari perantauan, yaitu seorang pemuda pemburu yang gagah berani bernama Manoko. Ketika Manoko mengajukan pinangan, maka pinangan itu diterima.

Akan tetapi, pada saat itu datanglah seorang pemuda keponakan Sanoko sendiri yang semenjak kecil telah merantau ke daerah selatan dan telah mempelajari silat dari seorang guru bangsa Han. Ketika pemuda yang bernama Saliban ini datang, maka semua orang mengaguminya karena dia memang benar-benar pandai dan berilmu silat tinggi. Semua jago-jago Haimi jatuh dalam tangannya.

Juga orang-orang Haimi banyak yang membencinya, karena tenyata bahwa keponakan dari Sanoko itu beradat buruk, jahat, dan sombong sekali. Dia bertingkah meniru lagak orang-orang Han, bahkan dia tidak memelihara kumis dan cambang seperti orang Han, dan berbicara pun dia selalu mempergunakan bahasa Han!

Semenjak datang dan kembali tinggal bersama bangsa sendiri, telah sering kali Saliban mengganggu anak bini orang, dan semenjak ia datang, ia menaruh hati kepada Meilani, saudara misannya itu. Dia tidak mau atau memang dia tidak suka mengikat diri dengan sebuah pernikahan dan niatnya hanya ingin menjadikan Meilani sebagai kekasihnya saja! Tentu hal ini tidak dapat diterima oleh Meilani yang memang menaruh hati benci kepada pemuda yang mempunyai lagak menjemukan itu.

Ketika pinangan Manako diterima, Saliban menjadi marah sekali. Dia lalu menggunakan kepandaian dan pengaruhnya untuk menghasut teman-temannya kemudian mengadakan pemberontakan. Hal ini terjadi pada hari perkawinan Meilani dengan Manako.

Tiba-tiba saja Saliban menyerang, sehingga terjadi pertempuran hebat di antara bangsa sendiri. Pengikut-pengikut Sanoko tak ada yang kuat melawan Saliban sehingga banyak yang menjadi korban, sedangkan Manoko sendiri terluka pada pundaknya dan melarikan diri ke dalam hutan. Sanoko dan Meilani setelah mengadakan perlawanan hebat, ternyata tak kuat menghadapi Saliban yang tangguh itu, maka mereka melarikan diri, dikejar-kejar oleh Saliban dan kawan-kawannya yang bermaksud membunuh Sanoko, mengangkat diri sendiri menjadi kepala suku dan memaksa Meilani menjadi kekasihnya!

Bukan main marahnya hati Cin Hai dan Lin Lin mendengar penuturan ini, dan pada saat Sanoko mengakhiri cerita-ceritanya, tiba-tiba terdengar sorakan ramai dari depan.

“Itulah mereka telah datang, biarlah aku dengan anakku mengadakan perlawanan sampai titik darah penghabisan!” kata Sanoko sambil bangun berdiri dan memegang pedangnya dengan sikap gagah. Juga Meilani telah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.
“Duduklah, Lo-enghiong, dan kau juga, Meilani. Biarkan aku yang menghadapi bangsat-bangsat itu!” kata Lin Lin dengan gagahnya.

Meilani dan Sanoko ragu-ragu, akan tetapi Cin Hai berkata, “Benar, Lo-enghiong, biarkan tunanganku itu menghadapi Saliban. Kau dan Nona Meilani sudah lelah, kini mengasolah sambil menonton!” Mendengar kata-kata itu, mundurlah kedua orang ini dan membiarkan Lin Lin seorang diri menghadapi Saliban.

Benar saja, yang datang itu adalah serombongan orang Haimi terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh seorang pemuda Haimi yang berpakaian seperti orang Han dan yang lagaknya sombong sekali. Melihat betapa orang-orang Haimi yang masih muda-muda itu semuanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung dan menjungat ke atas, tak dapat ditahan lagi Lin Lin tertawa geli, sedangkan Cin Hai tak terasa lagi meraba-raba kulit bawah hidungnya yang masih halus dan belum ditumbuhi kumis itu.

Saliban melihat betapa seorang gadis Han yang cantik luar biasa dengan sikap gagah menghadang di jalan, sedangkan Sanoko bersama Meilani hanya duduk di bawah pohon seakan-akan dilindungi oleh gadis itu, menjadi terheran-heran dan melihat kecantikan Lin Lin, timbullah sikap kurang ajarnya. Ia tersenyum dibuat-buat dan berkata,

“Nona cantik, apakah kau sudah mendengar nama Saliban yang gagah perkasa sehingga sengaja kau datang menyambutku untuk berkenalan?”
“Jadi inikah tikus yang bernama Saliban? Eh, tikus, apa maksudmu mengejar Sanoko dan Meilani?” berkata Lin Lin dengan suara mengejek.
“Lin-moi, dia itu bukan tikus! Lihat saja dia tidak berkumis, mungkin kumisnya itu telah dia sembunyikan di belakang menjadi ekor! Dia ini lebih cocok disebut monyet buduk!” kata pula Cin Hai untuk mengejek orang itu.

Bukan main marahnya Saliban mendengar ejekan-ejekan ini dan lenyaplah maksudnya hendak mengganggu Lin Lin, berubah menjadi kebencian besar.

“Dari mana datangnya dua ekor anjing kurang ajar ini?” dia membalas memaki dan sekali tangan kirinya bergerak, sebatang piauw menyambar ke arah Cin Hai yang sedang duduk di bawah pohon dan sekali lagi tangannya bergerak, maka sebatang piauw lain sudah pula menyambar ke leher Lin Lin!

Dengan tenang Cin Hai memungut ranting kayu yang terletak di dekatnya dan pada saat piauw itu menyambar ke arahnya, dia menggerakkan ranting itu dan sekaligus piauw itu kena dipukul sedemikian rupa sehingga piauw itu membuat gerakan membalik dan kini meluncur kembali ke arah kaki Saliban!

Sementara itu, piauw yang meluncur ke arah leher Lin Lin, disambut dengan sikap dingin oleh gadis itu. Ketika piauw menyambar, dia lalu mengulur tangan dan berhasil menjepit piaiuw itu di antara jari-jari tangannya, lalu melihat betapa piauw yang melayang ke arah Cin Hai telah di’retour’ oleh pemuda itu, dia menanti sampai piauw itu melayang ke kaki Saliban dan saat melihat Saliban meloncat naik untuk mengelak dari sambaran piauwnya sendiri, Lin Lin tersenyum dan ia pun lalu menyambitkan piauw yang ditangkapnya tadi ke arah kaki Saliban lagi yang justru hendak turun. Terpaksa Saliban melompat lagi ke atas sehingga dia telah berlompat-lompatan dua kali untuk menghindarkan diri dari sambaran piauwnya sendiri!

“Ha-ha-ha! Lihat, benar-benar ia monyet yang pandai menari-nari!” Cin Hai tertawa sambil menuding ke arah Saliban, sedangkan Lin Lin juga tertawa mengejek.

Sanoko dan Meilani terpaksa ikut tersenyum melihat kejenakaan dua orang muda yang ternyata dapat mempermainkan Saliban. Diam-diam Meilani merasa kagum sekali melihat Lin Lin yang mempunyai cara demikian indah untuk menerima sambitan piauw dari jarak dekat dan mengembalikannya ke arah kaki lawan hanya untuk mempermainkannya.

Saliban makin marah, maka dia lalu mencabut pedangnya sambil berseru,
“Bangsat-bangsat kurang ajar! Kau mencampuri urusan suku bangsa lain?”
“Saliban, orang rendah! Jangan kau membuka mulut besar! Kami berdua memang selalu mencampuri urusan semua orang-orang biadab macam kau yang hendak mengandalkan kejahatan untuk mencelakakan orang. Kau sungguh tidak tahu malu. Meilani tidak suka menjadi permainanmu, mengapa kau hendak memaksa?”
“Meilani adalah adik misanku. Dia telah menjadi janda dan memalukan sekali kalau dia menerima pinangan orang lain! Itu berarti merendahkan nama keluarga kami! Kau berhak apakah mencampuri urusan rumah tangga kami?”
“Dengarlah!” bentak Lin Lin dengan marah. “Meilani adalah kakak iparku karena ia adalah janda dari kakakku Kwee An. Kakakku dan aku pun sudah setuju kalau dia menikah lagi dengan orang yang dipilihnya sendiri atas persetujuan Ayahnya, kau ini mempunyai hak apa maka berani menghalanginya?”
“Bagus, kalau begitu biarlah kalian kubinasakan semua!”

Sambil berkata demikian Saliban lalu maju menubruk dan menyerang dengan pedangnya ke arah Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin dengan tenang sekali menghadapinya dengan tangan kosong.

“Adik Lin Lin, kau pergunakan pedangku ini!” kata Meilani karena merasa kuatir melihat betapa gadis itu menghadapi Saliban yang lihai dengan tangan kosong saja.

Akan tetapi Lin Lin menoleh dan hanya tersenyum kepadanya sambil menjawab, “Untuk menghadapi seekor tikus… ehh, monyet macam ini perlu apakah harus mempergunakan pedang? Tanganku cukup untuk merobohkannya!”

Juga Cin Hai yang melihat gerakan Saliban walau pun cukup lihai namun masih belum cukup berbahaya bagi Lin Lin, berkata kepada Meilani, “Tenanglah, Nona. Lin-moi cukup kuat menghadapinya dengan tangan kosong.”

Sementara itu, Saliban yang merasa terhina sekali oleh ucapan Lin Lin, dengan nekat lalu menyerang sambil mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi, sambil menari-nari dan mempergunakan Ilmu Silat Tarian Bidadari yang sudah dipelajarinya, Lin Lin mempermainkan Saliban hingga Meilani memandang bengong. Bagaimana mungkin menghadapi seorang tangguh seperti Saliban itu dengan menari-nari macam itu?

Kawan-kawan Saliban maju mengeroyok Lin Lin, akan tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu beberapa buah senjata di tangan mereka melayang dan terpental ke mana-mana. Ternyata Cin Hai yang begitu melihat gerakan mereka sudah mendahului dan dengan sekali bergerak saja ia telah membuat pedang dan golok mereka terlepas dari pegangan!

Orang-orang Haimi itu terkejut sekali dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kembali tubuh Cin Hai berkelebat dan bergerak, dan terdengar jerit kesakitan berkali-kali. Pada waktu mereka semua meraba ke arah hidung mereka yang terasa sakit dan perih, ternyata bahwa Cin Hai sudah mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mencabuti kumis-kumis mereka itu seorang demi seorang!

Sambil melemparkan rambut-rambut kumis itu ke udara sehingga beterbangan tertiup angin, Cin Hai tertawa-tawa sehingga Meilani yang melihat hal ini tak kuasa lagi menahan geli hatinya dan ikut tertawa terkekeh-kekeh. Sanoko yang melihat kehebatan gerakan itu dengan kepala pening, juga tersenyum meski di dalam hatinya dia merasa kasihan juga kepada anak buahnya yang memberontak itu karena bagi seorang laki-laki Haimi, dicabut kumisnya sama dengan dicabut kepalanya dari leher!

“Kalian yang memberontak dan mengikuti bangsat Saliban, tidak pantas berkumis lagi!” kata Cin Hai sambil memandang kepada belasan orang yang sekarang telah kehilangan kumisnya itu. Mereka menundukkan kepala sambil menutupi hidungnya yang berdarah itu, dan merasa amat malu karena tanpa kumis bagi mereka hampir sama dengan berdiri telanjang dihadapan orang lain!
“Kalau kalian sayang jiwa, hayo berlutut minta ampun kepada kepala suku yang asli, yaitu Sanoko!” teriak Cin Hai lagi.

Orang-orang itu telah merasai kelihaian Cin Hai, dan kini mereka tidak berani membantah lagi, lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada Sanoko yang berdiri sambil memandang dengan kagum kepada Cin Hai. Sementara itu, Saliban telah merasa pening karena dipermainkan oleh Lin Lin, dan pada waktu gadis itu sudah merasa cukup puas mempermainkan Saliban, tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na yang lihai, ilmu silat yang diajarkan oleh Bu Pun Su!

Saliban terkejut sekali ketika tubuh gadis itu melompat tinggi dan menyambar-nyambar dari atas bagai seekor burung besar menyerang marah. Ia menyabet dengan pedangnya, namun lebih dulu sudah ditotok oleh Lin Lin dan sebelum dia tahu bagaimana hal itu bisa terjadi tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan!

Saliban merasa amat terkejut dan hendak melompat pergi. Akan tetap kaki Lin Lin telah mendahuluinya menendang pundaknya dari atas hingga tak ampun lagi ia terguling roboh sambil mengeluh kesakitan karena sambungan tulang pundaknya telah terlepas.

Melihat keponakannya yang jahat itu sudah roboh, Sanoko lalu menghampiri Cin Hai dan Lin Lin dan memintakan ampun untuk jiwa Saliban, sehingga Cin Hai dan Lin Lin merasa kagum akan kemurahan hati kepala Suku ini.

“Saliban,” kata Cin Hai kepada pemuda Haimi itu, “dengarlah betapa pamanmu mintakan ampun untuk kau yang telah memberontak dan berbuat jahat kepadanya. Tidak malukah kau? Orang seperti engkau ini seharusnya dibinasakan, karena selain berbuat jahat, kau pun telah merusak nama baik Suhu-mu yang tentu seorang Han adanya. Kau tidak lekas minta ampun?”

Melihat kelihaian Lin Lin dan Cin Hai, Saliban segera insyaf bahwa ilmu kepandaiannya sebetulnya masih amat rendah dan ia merasa malu dan menyesal, maka sambil merayap ia berlutut minta ampun kepada pamannya dan bersumpah bahwa dia takkan mengulang perbuatannya lagi.

Pada saat itu, dari jauh datang serombongan orang Haimi yang dipimpin oleh Manako. Pemuda ini walau pun sudah terluka pundaknya, namun dengan nekat ia mengumpulkan kawan-kawan dan menyusul untuk menyerbu Saliban serta menolong calon isteri dan mertuanya. Juga Manako memaafkan Saliban, sedangkan Cin Hai dan Lin Lin diam-diam memuji ketampanan serta kegagahan Manako, hanya mereka diam-diam menyayangkan bahwa anak muda ini sebenarnya belum pantas memakai cambang yang demikian tebal dan panjangnya.

Setelah mereka bercakap-cakap dan beramah tamah dengan orang-orang Haimi serta meninggalkan banyak nasehat kepada Saliban, Cin Hai dan Lin Lin kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke timur.

Pada saat mereka berdua tiba di Pegunungan Lian-ko-san yang tidak jauh lagi dari Goa Tengkorak, hanya tinggal satu hari perjalanan lagi, dan sedang berjalan melalui sebuah padang rumput, tiba-tiba muncul tiga orang yang membuat mereka terkejut dan bersiap sedia, karena tiga orang itu bukan lain ialah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.

Tiga orang ini yang sudah dikalahkan oleh Bu Pun Su, maklum bahwa anak-anak muda yang menjadi musuh mereka itu masih berada di daerah barat, maka sengaja mereka menghadang di sana untuk membalas dendam. Ketika Bu Pun Su lewat di situ, mereka bersembunyi saja tidak berani keluar, akan tetapi setelah kini melihat kedatangan Cin Hai dan Lin Lin, mereka lalu muncul dan menghadang di jalan dengan hati penuh dendam, terutama sekali Bo Lang Hwesio yang hendak membalas dendam terhadap Lin Lin atas kematian muridnya dahulu, yaitu Boan Sip yang menjadi gara gara semua permusuhan.

Cin Hai berlaku tenang-tenang saja, juga Lin Lin dengan tabah dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri berdiri di sebelah kiri kekasihnya sambil memandang tajam kepada musuh-musuh besar itu.

“Eh, kiranya Sam-wi Lo-suhu yang berada di sini. Tidak tahu mempunyai maksud apakah maka menghadang perjalanan kami?” kata Cin Hai dengan sikap hormat.
“Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali kau dengan kawan-kawanmu memusuhi dan menjadi penghalang kami, bahkan Suhu-mu sendiri sudah menghina kepada kami. Kini kebetulan kita bertemu di sini, masih hendak bertanya tentang maksud kami? Cabutlah senjatamu dan biarlah saat ini akan menentukan siapa diantara kita yang lebih kuat!” kata Thai Kek Losu kepada Cin Hai.

Aedangkan Bo Lang Hwesio dengan mata memandang marah membentak kepada Lin Lin. “Dan kau tentu masih ingat akan dosamu membinasakan muridku, maka sekarang aku hendak membalas dendam. Hutang jiwa ya harus dibayar jiwa pula!” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio mengeluarkan sepasang poan-koan-pit.

Lin Lin sudah mendengar mengenai pertempuran tokoh-tokoh besar ini melawan Bu Pun Su, maka melihat poan-koan-pit itu, ia menyindir,
“Bo Lang Hwesio, agaknya kau telah mencuri sepasang poan-koan-pit baru, apakah yang dulu telah tak dapat digunakan lagi?”

Marahlah Bo Lang Hwesio mendengar ini, maka sambil menerjang maju dia membentak lagi, “Perempuan rendah, bersedialah untuk mampus!”

Dengan tenang Lin Lin kemudian mencabut keluar Han-le-kiam dari pinggangnya, segera menyampok poan-koan-pit lawan yang menyerangnya, kemudian secepat kilat ia pun lalu balas menyerang dengan hebat.

Sementara itu, Thai Kek Losu sudah mengeluarkan senjatanya yang sangat hebat, yaitu tengkorak kecil yang rantai pengikatnya kini telah diperbaikinya dan diganti, ada pun Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yakni sebatang gendewa. Juga gendewanya yang dulu telah dipatahkan oleh Bu Pun Su itu kini telah digantinya dengan sebatang gendewa yang baru, terbuat dari pada besi kuning.

Cin Hai maklum akan kelihaian senjata-senjata lawannya, maka ia pun tidak mau berlaku sungkan lagi, segera mencabut keluar sepasang pedangnya Liong-cu-kiam yang panjang dan pendek, dipegang pada kedua tangannya. Kedua Pendeta Sakya Buddha itu terkejut melihat sepasang pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu, maka mereka maklum bahwa sepasang pedang itu tentu pedang-pedang pusaka yang ampuh dan tajam sekali. Mereka lalu membentak dan mendahului menyerang dengan hebat.

Cin Hai memperlihatkan kegesitannya dan melawan dengan tenang serta waspada. Dia melihat betapa gerakan Thai Kek Losu jauh lebih gesit dari pada dulu, agaknya selama ini pendeta itu sudah melatih diri, sedangkan gerakan Sian Kek Losu juga hebat bukan main. Untung ia mempergunakan sepasang pedang Liong-cu-kiam yang tajam sehingga kedua lawannya tidak berani menahan pedangnya dengan senjata mereka sehingga serangan dua orang itu dapat dibalas dengan serangan-serangan kilat yang cukup membuat kedua lawannya berlaku hati-hati sekali karena maklum bahwa murid Bu Pun Su ini tidak boleh dibuat gegabah!

Sementara itu, pertempuran antara Lin Lin dan Bo Lang Hwesio juga berjalan seru sekali. Ilmu Pedang Han-le-kiam memang luar biasa dan sangat cepat, sedangkan kini Lin Lin telah memperoleh kemajuan hebat dan bahkan telah melatih diri dengan limu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na.

Akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio yang sudah jauh lebih berpengalaman dan ulet itu, dia mendapatkan lawan yang amat kuat dan tangguh. Sepasang poan-koan-pit pada tangan Bo Lang Hwesio menyambar-nyambar ke arah jalan darah yang berbahaya dan juga setiap kali pedang Han-le-kiam kena disampok oleh poan-koan-pit, Lin Lin merasa betapa telapak tangannya menggetar sebab ternyata tenaga hwesio itu masih lebih besar sedangkan ilmu lweekang-nya pun lebih tinggi dari pada Lin Lin.

Maka gadis ini yang tahu akan keadaan itu segera mempergunakan kelincahannya dan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari desakan poan-koan-pit, sedangkan jurus-jurus berbahaya yang ia keluarkan dari ilmu pedangnya membuat Bo Lang Hwesio diam-diam merasa terkejut juga.

Alangkah beda tingkat ilmu pedang gadis ini dibandingkan dengan beberapa bulan yang lalu ketika dia dengan Ke Ce menyerbu ke atas bukit tempat tinggal Yousuf dan berhasil menjatuhkan Kwee An dan Ma Hoa ke dalam jurang. Ketika dahulu itu, walau pun ilmu pedang gadis ini sudah aneh dan luar biasa, akan tetapi gerakannya belum sematang ini. Maka hwesio itu cepat mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga setelah bertempur lama, Lin-Lin merasa terdesak juga!

Ada pun Cin Hai yang dikeroyok dua oleh Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, meski pun belum terdesak, tetapi sukar pula baginya untuk mendesak kedua lawannya yang berilmu tinggi. Terutama sekali tengkorak di tangan Thai Kek Losu sangat berbahaya karena Cin Hai tidak berani menangkisnya dengan pedang. Dia maklum bahwa tengkorak itu amat berbahaya dan bila ditangkis akan menyebarkan jarum-jarum beracun yang lihai sekali.

Juga gendewa di tangan Sian Kek Losu bukanlah senjata yang mudah dilawan biar pun dia dapat menduga ke arah mana gerakan gendewa itu akan dilancarkan. Maka untuk menghadapi kedua lawan yang tangguh ini, Cin Hai memainkan dua macam ilmu pedang dengan kedua tangannya.

Pedang panjang di tangan kanan ia mainkan dengan jurus-jurus dari Ilmu Pedang Daun Bambu, sedangkan pedang pendek di tangan kiri ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sehingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa terkejut dan mengadakan perlawanan dengan mati-matian. Mereka harus mengakui bahwa selain Bu Pun Su, belum pernah mereka menemukan tandingan seorang pemuda yang sedemikian tinggi ilmu silatnya!

Pada saat pertempuran sedang berjalan dengan seru, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang gerakannya ringan sekali dan laki-laki ini langsung membentak marah,
“Pendeta-pendeta pada dewasa ini hanya menggunakan pakaian sebagai kedok belaka, akan tetapi di dalam tubuh mengandung iman yang bobrok dan batin yang amat rendah! Jangan kalian berani mengganggu murid seorang sakti dan mulia seperti Bu Pun Su!”

Kemudian laki-laki itu menarik keluar pedangnya dan menerjang Bo Lang Hwesio sambil berkata kepada Lin Lin. “Nona, kau bantulah kawanmu itu dan biarkan Si Gundul ini tewas dalam tanganku.”

Lin Lin mendengar suara ini diucapkan dengan halus dan sopan akan tetapi mengandung pengaruh besar, karena itu dia lalu meninggalkan Bo Lang Hwesio dan melompat untuk membantu Cin Hai.

Lin Lin maklum bahwa ilmu kepandaian Thai Kek Losu terlampau tinggi baginya, maka ia lalu menyerang Sian Kek Losu! Memang perhitungannya tepat karena di antara ketiga orang lawan yang paling lihai dan sangat berbahaya untuk dilawan adalah Thai Kek Losu.

Bo Lang Hwesio memiliki ilmu kepandaian yang hanya sedikit berada di bawah tingkat kepandaian pendeta Sakya Buddha ini, bahkan di dalam hal lweekang, mungkin Bo Lang Hwesio lebih tinggi tingkatnya! Ada pun Sian Kek Losu hanya memiliki tenaga besar saja dan ilmu silatnya biar pun tinggi, namun tidak selihai kedua orang kawannya itu.

Kini pertempuran terpecah menjadi tiga dan keadaan berubah dengan cepatnya. Orang yang baru datang tadi dengan ilmu pedangnya yang gerakannya luar biasa cepat dan aneh, segera berhasil mendesak Bo Lang Hwesio. Ketika Lin Lin dan Cin Hai mendapat kesempatan memandang ke arah orang itu, hampir saja mereka berseru karena heran dan kagum.

Ternyata ilmu pedang yang dimainkan oleh orang itu memiliki dasar-dasar gerakan yang sama dengan ilmu silat mereka! Lin Lin teringat akan penuturan Ma Hoa ketika bertemu dengannya di dalam goa bersama Ang I Niocu, karena itu sambil menangkis serangan gendewa di tangan Sian Kek Losu ia berseru,
“Enghiong yang gagah bukankah Lie-enghiong tunangan Ang I Niocu?”

Orang itu tersenyum dan sambil menangkis poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio, dia pun menjawab,
“Betul, dan Ji-wi tentulah Nona Lin Lin dan Saudara Cin Hai!”

Mendengar percakapan ini, Cin Hai merasa heran sekali. Hal ini merupakan ‘surprise’ baginya, yaitu merupakan hal yang sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Tunangan Ang I Niocu? Dan demikian gagah perkasa?

Hatinya menjadi girang dan fia ingin sekali cepat-cepat mengakhiri pertempuran ini agar supaya dapat bercakap-cakap dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian yang sama dengan kepandaiannya sendiri.

Ia dulu mendengar bahwa Ang I Niocu ditolong oleh Lie Kong Sian, akan tetapi Dara Baju Merah itu tidak menceritakan bahwa ia telah menjadi tunangan Lie Kong Sian. Ia maklum bahwa orang ini adalah Suheng dari Song Kun, maka boleh dibilang masih suheng-nya sendiri pula.....

Dengan Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat Lin Lin dapat mendesak Sian Kek Losu dan pada saat gendewa di tangan Sian Kek Losu menangkis dengan sekuat tenaga untuk membuat pedang pendek di tangan Lin Lin terpental, gadis itu dengan sangat cerdik dan cepatnya lantas menarik kembali pedangnya dan ketika melihat ada lowongan yang terbuka segera menggunakan gerak tipu Ang I Memetik Kembang, langsung pedangnya ditusukkan ke arah iga lawan di bawah lengan yang memegang gendewa.

Sian Kek Losu berusaha mengelak. Akan tetapi gerakan Lin Lin itu luar biasa cepatnya dan juga tidak diduganya semula, maka tiada ampun lagi pedang Han-le-kiam yang tajam itu dengan jitu menusuk dadanya dari bawah lengan! Sian Kek Losu menjerit, kemudian gendewanya terlepas, tubuhnya sempoyongan lalu roboh dan tewas pada saat itu juga!

Juga Bo Lang Hwesio yang sudah tidak tahan menghadapi Lie Kong Sian, dengan nekat lalu memutar-mutar poan-koan-pit di tangannya dan menyerang bagaikan harimau terluka yang sudah nekat hendak mengadu jiwa. Lie Kong Sian terus mengurung dengan sinar pedangnya sehingga kini Bo Lang Hwesio terpaksa mempergunakan lweekang-nya untuk mengerahkan tenaga pada kedua senjatanya, menangkis sambil terdesak mundur.

Ujung pedang Lie Kong Sian berkelebat cepat mengarah tenggorokannya dan Bo Lang Hwesio lantas membuat gerakan nekat yang hendak memberi pukulan maut tanpa peduli akan keselamatan sendiri. Pada waktu pedang itu meluncur ke arah lehernya, dia hanya sedikit miringkan kepala dan berbareng dengan itu mengirim tusukan dengan sepasang poan-koan-pit ke arah dada Lie Kong Sian.

Bila Lie Kong Sian meneruskan serangannya dengan membalikkan pedang, maka ia pun akan termakan oleh sepasang poan-koan-pit itu dan keduanya pasti akan tewas! Akan tetapi tentu saja Lie Kong Sian tidak mau diajak mati bersama, maka ia berseru keras dan menggerakkan tangan kirinya yang mengeluarkan uap putih.

Kiranya Lie Kong Sian telah menggunakan gerakan dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menangkis tusukan poan-koan-pit itu! Sedangkan pedangnya tetap dia teruskan dengan bacokan ke arah leher lawan!

Bo Lang Hwesio merasa girang melihat ini karena dia telah mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya yang tinggi ke arah tangan yang memegang senjata, maka ia merasa pasti bahwa tusukannya akan menewaskan musuh. Tidak tahunya, ketika tangan kiri Lie Kong Sian menyampok, poan-koan-pitnya kena disampok terpental oleh tenaga yang luar biasa sehingga dia merasa terkejut sekali. Pada waktu itu pedang Lie Kong Sian telah datang menyambar. Bo Lang Hwesio berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Ia pun menjerit keras dan roboh mandi darah dengan leher hampir putus oleh pedang Lie Kong Sian!

Kini Lin Lin dan Lie Kong Sian melihat pertempuran yang terjadi antara Cin Hai dan Thai Kek Losu dengan serunya. Thai Kek Losu yang harus menghadapi Cin Hai seorang diri, merasa jeri sekali karena dia pernah merasai kelihaian pemuda ini. Melihat betapa Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio sudah tewas, dia menjadi nekat dan menyerang Cin Hai dengan mati-matian. Tengkorak kecil di tangannya lalu diputar-putar laksana maut sendiri terbang berkeliaran mencari korban.

Ada pun Cin Hai yang pernah menghadapi That Kek Losu, bahkan dahulu hampir saja mendapatkan celaka karena pengaruh racun jahat yang keluar dari tengkorak itu, bersilat dengan sangat hati-hati. Sebegitu jauh dia belum berani membacok tengkorak itu, kuatir kalau-kalau racun jahat dan senjata-senjata rahasia yang ada di dalam tengkorak itu akan menyambar keluar dan biar pun ia akan dapat mengelak namun hawa beracun yang luar biasa itu masih tetap merupakan bahaya besar. Dulu pun baru lewat dekat mukanya saja dan dia mencium bau racun, dia telah terkena celaka dan kalau tidak kebetulan bertemu dengan suhu-nya, tentu dia telah binasa.

Melihat keragu-raguan kekasihnya, Lin Lin hendak maju membantu, akan tetapi Cin Hai melarangnya. “Mundurlah Lin-moi, sekarang juga aku akan merobohkannya. Lihat!”

Lin Lin melompat mundur kembali dan pada saat itu tengkorak kecil menyambar ke arah Cin Hai dengan mulut di depan seakan-akan hendak mencium muka pemuda itu. Cin Hai tidak mengelak, hanya memandang dengan tajam dan kedua pedang di tangannya telah siap sedia.

Ketika tengkorak itu sudah datang dekat, tiba-tiba saja pedang pendek di tangan kirinya menyambar dari samping dengan miring, yaitu dia tidak menggunakan tajamnya pedang untuk membacok, hanya mempergunakan permukaan pedang untuk menampar dari arah samping dengan tenaga yang diatur sedemikian rupa hingga tengkorak itu kena ditampar dan terbalik, kini mukanya menghadap kepada Thai Kek Losu.

Secepat kilat pedang Cin Hai di tangan kanan lalu membacok tengkorak itu dari belakang sambil menggunakan tenaga lweekang sekerasnya dan ketika terdengar suara ledakan yang terjadi pada waktu tengkorak itu kena bacok, Cin Hai segera lompat menjauh dan kebetulan sekali Lin Lin pada saat itu berdiri dekat, maka Cin Hai segera menyambar lengan kekasihnya dan dibawanya melompat juga!

Memang Cin Hai telah berlaku sangat hati-hati dan hal ini ada baiknya bagi dia dan Lin Lin, karena kalau ia tidak bertindak cepat, mungkin mereka akan terancam bahaya. Pada waktu tengkorak itu meledak, tidak hanya dari mulut, hidung serta matanya saja keluar jarum-jarum beracun yang amat jahat dan yang kesemuanya melayang ke arah Thai Kek Losu, akan tetapi setelah semua jarum habis, tengkorak itu sendiri meledak dan pecah berhamburan menjadi potongan-potongan kecil yang lantas menyambar ke sekelilingnya. Potongan ini tidak boleh dipandang rendah, karena setiap potongan kecil ini mengandung racun jahat dan apa bila melukai kulit, akan membahayakan jiwa yang terluka!

Thai Kek Losu yang tadinya sudah merasa gembira melihat Cin Hai berani membacok tengkorak itu, menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa semua senjata rahasia yang keluar dari tengkorak yang telah terbalik itu menyambar ke arahnya! Ia hendak mengelak pergi, akan tetapi terlambat. Beberapa batang jarum telah mengenai tubuhnya dan tanpa berteriak lagi ia roboh dan tewas oleh jarum-jarumnya sendiri!

Lie Kong Sian juga melompat pergi ketika ledakan tengkorak terjadi, dan dia kemudian menghampiri Cin Hai dan Lin Lin.

“Sute dan Sumoi, kalian benar-benar gagah perkasa. Apakah Supek Bu Pun Su dalam keadaan sehat-sehat saja?” katanya sambil tersenyum tenang.

Melihat sikap orang ini, baik Lin Lin mau pun Cin Hai merasa tertarik dan suka. Sikap Lie Kong Sian polos, jujur, dan sederhana sekali, hampir sama dengan sikap Bu Pun Su.

Setelah menjura dan memberi hormat, Cin Hai segera memegang tangan Lie Kong Sian dengan girang dan berkata, “Beliau sehat, Suheng. Sudah lama aku mendengar tentang namamu yang besar. Alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau, apa lagi karena mendengar tadi bahwa kau telah bertunangan dengan Ang I Niocu!”

Kembali Lie Kong Sian tersenyum. “Aku memang sedang mencarinya, di manakah dia?”

Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan menceritakan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lainnya mendapat tugas dari Bu Pun Su untuk membagi-bagikan harta pusaka kepada rakyat miskin.

“Lie-suheng, ada berita girang untukmu,” tiba-tiba saja Lin Lin yang lincah dan jenaka itu berkata kepada Lie Kong Sian sambil menatap wajah pemuda yang tenang dan tampan itu.

Lie Kong Sian sudah mendengar dari Ang I Niocu tentang kejenakaan gadis ini dan dia tahu bahwa tunangannya amat mengasihinya maka sambil tertawa dia berkata, “Sumoi, kau tentu akan menggodaku. Silakanlah, apakah berita girang yang kau maksudkan?”

“Aku sudah mendengar tentang syarat-syarat yang diajukan oleh Enci Im Giok kepadamu dan...”
“Ehh, ehhh, dari mana kau bisa mengetahui hal itu?” Lie Kong Sian memotong sambil memandang heran, akan tetapi dia tidak marah karena bibirnya tetap tersenyum.
“Dari Enci Ma Hoa.”

Lie Kong Sian mengangguk-angguk dan Lin Lin melanjutkan bicaranya, “Dan sekarang, dua dari pada tiga syarat itu telah terpenuhi. Aku dan Engko Hai sudah bertemu kembali sebagaimana yang diharapkan oleh Enci Im Giok dan syarat ke dua pun telah terlaksana.”

Lie Kong Sian menatap wajah Lin Lin dengan tajam, kini senyumnya menghilang. “Sumoi, apa maksudmu? Syarat yang mana? Lekas kau ceritakan padaku!”
“Sute-mu yang jahat itu telah tewas dalam tangan Hai-ko!”
“Apa?!” Wajah Lie Kong Sian menjadi pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun.

Ia memandang kepada Cin Hai yang berdiri sambil menundukkan kepala karena pemuda ini pun sudah mendengar betapa besar cinta kasih Lie Kong Sian terhadap Song Kun. Sikap dan wajah Cin Hai ini membuat hati Lie Kong Sian lemah kembali.

Kalau saja yang membunuh Song Kun bukan pemuda ini, pasti ia akan menjadi marah dan membalas dendam. Akan tetapi, pemuda ini adalah sute-nya sendiri pula, murid Bu Pun Su yang tidak saja kepandaiannya lebih tinggi dari pada dirinya sendiri, akan tetapi pemuda ini adalah seorang pemuda yang sangat dicinta oleh Ang I Niocu.

“Sute, kau benar-benar lihai sekali. Tak sembarang orang dapat merobohkan Song Kun, bahkan terus terang saja, aku sendiri tidak sanggup mengalahkannya. Coba kau tuturkan bagaimana hal itu terjadi.”
“Maafkan aku banyak-banyak, Lie-suheng. Memang dia lihai sekali dan andai kata dia tak tersesat dan menjadi seorang jahat, mungkin aku pun tidak akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi, kejahatan pasti akan hancur dan kalah pada akhirnya.”

Kemudian Cin Hai lalu menceritakan mengenai pertempurannya dengan Song Kun yang disaksikan oleh Bu Pun Su. Juga menuturkan pula betapa Song Kun telah mencuri obat dan menggunakan obat itu untuk mengancam dan hendak mengganggu Lin Lin.

Mendengar ini semua, Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Sayang betapa pun gagah seseorang, apa bila ia tidak memiliki kesempurnaan budi, ia menjadi orang yang sehina-hinanya dan serendah-rendahnya dan akhirnya orang itu pasti akan mengalami bencana besar dalam hidupnya.”

“Kau benar, Suheng,” kata Cin Hai dan Lin Lin hampir berbareng.
“Dan sekarang kalian hendak pergi ke manakah?”
“Kami hendak pergi ke Goa Tengkorak, tempat tinggal Suhu Bu Pun Su,” jawab Cin Hai.
“Bagus! Aku pun ingin sekali bertemu dengan orang tua itu,” kata Lie Kong Sian.
“Untuk memenuhi syarat ke tiga, bukan Suheng?” Lin Lin menggoda dan Lie Kong Sian mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memandangnya.
“Kau benar-benar nakal, Sumoi.” Ketiganya lalu tertawa.
“Sebelum kita pergi, lebih dulu marilah kita mengubur jenazah tiga orang ini.”

Mendengar ucapan Lie Kong Sian ini, Lin Lin dan Cin Hai merasa kagum dan diam-diam memuji keluhuran budi tunangan Ang I Niocu itu. Cin Hai makin merasa girang bahwa Ang I Niocu mendapat calon suami yang selain gagah perkasa, juga berbudi tinggi.

Jenazah Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio lalu mereka kubur dengan baik-baik, menjadi tiga gundukan tanah berjajar dan sebagai tandanya, Lie Kong Sian memindahkan tiga batang pohon Siong yang masih kecil, dan ditanam di depan kuburan-kuburan itu.

Matahari telah menurun ke barat ketika mereka bertiga selesai melakukan pekerjaan itu dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Goa Tengkorak…..

********************
Selanjutnya baca
PENDEKAR BODOH : JILID-20
LihatTutupKomentar