Kisah Pendekar Bongkok Jilid 06

Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te... betapa girangnya hatiku melihatmu...!”

Sie Liong membiarkan enci-nya menangis sambil menumpahkan semua perasaan haru serta rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang sudah lama menghilang itu sekarang muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.

“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”

Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Enci-nya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat enci-nya nampak tua.
Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti enci-nya baru tiga puluh empat tahun. Usianya belum setua nampaknya! Tentu selama ini enci-nya hidup dalam duka, pikirnya. Karena dia pergi?

Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh atau delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempah-rempah dapat dikatakan hidup makmur walau pun tidak terlalu kaya. Dahulu, perabot rumahnya cukup mewah dan keluarga enci-nya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sungguh berbeda sekali keadaannya.

Pakaian yang dikenakan enci-nya juga tak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan perabot rumah sudah berganti semua, terganti oleh perabot yang murah dan buruk.

Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali, walau pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu pada saat dia duduk berhadapan dengan enci-nya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu lalu berseri-seri melihat betapa adiknya, walau pun punggungnya masih bongkok, akan tetapi telah menjadi seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.

“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong kemudian menceritakan secara singkat mengenai riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar cerita ini, enci-nya girang sekali.
“Ahhh, syukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...”

Sie Liong merasa heran. Biasanya dulu enci-nya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku.”

Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan yang sangat hebat. “Apa... apakah yang ingin kau tanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”

Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka... mereka meninggal dunia...”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku telah mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, serta dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”

Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu supaya tidak membuat engkau penasaran dan diracuni oleh dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andai kata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula...”

Sie Liong memandang wajah enci-nya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?”

Sie Lan Hong menangis lagi dan menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak... ahh, aku tidak tahu... aku tidak tahu... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu...”

Melihat enci-nya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar bahwa ayah ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.

Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”

Enci-nya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Dulu ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”

“Ahhh...!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti!
“Siapakah nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin...”

Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Siansu, gurunya sendiri!

“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan di dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”

Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja enci-nya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mulai mereda, Sie Liong memegang tangan enci-nya, digenggamnya tangan itu.

“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan bisa meringankan semua beban penderitaan batinmu, enci.”

Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aihh, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu, ahh, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini... hampir setiap malam dia pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tak diurus lagi sehingga bangkrut... dan dia... dia hanya berjudi dan pelesir saja...”

Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga enci-nya? Betapa pun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.

Sie Lan Hong teringat bahwa adiknya baru datang. Cepat diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum. “Aihh, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”

“Biar kubersihkan sendiri, enci. Aku pun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah enci-mu yang kesepian ini, Liong-te. Ahh, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”
Diam-diam dia bermaksud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!
Image result for PENDEKAR BONGKOK
Setelah jauh malam, barulah nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya.

Ia merasa bosan dengan isterinya, lalu ia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya akhirnya bangkrut karena tak pernah diurusnya sehingga semua perabot rumah yang berharga sudah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak peduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.

Melihat enci-nya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga segera keluar dari dalam kamarnya.
“Brakkkkkk!”

Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh enci-nya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.

“Dasar perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau kini engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok.

Oleh karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, sekarang tidak dapat menahan kemarahannya.

“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”

Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu amat berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya pun kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut.

Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa?! Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang sudah mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”

Yauw Sun Kok mengangkat tangannya ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong langsung maklum bahwa enci-nya bisa celaka kalau terkena pukulan itu.

Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan ia pun menangkap pergelangan tangan cihu-nya sambil berkata, “Harap jangan memukul!”

Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Pada saat melihat ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tidak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas sekarang engkau berani melawan aku, suamimu!”

Yauw Sun Kok maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan menuduh yang bukan-bukan!”

“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok...?!” Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seakan-akan tidak dapat melihat dengan jelas, kemudian mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok...? Benarkah engkau Sie Liong?”

“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong...? Ha-ha-ha...!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu. “Engkau sudah dewasa, akan tetapi tetap saja masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dahulu lagi. Dia sudah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.

Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa?! Engkau...? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemmm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau kira akan dapat melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apa lagi engkau?”

“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang sangat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!”

Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau pun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita enci-nya dan tadi pun dia melihat betapa enci-nya akan dipukuli.

“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak peduli! Dan sekarang pun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar... Hemm, enci-mu sudah mengadu, ya...?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan hendak memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, harta habis-habisan, sebab kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur...”
“Tutup mulutmu, keparat!”

Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Walau pun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.

Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong. Meski pun dia seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia adalah murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu, manusia sakti dari He-lan-san itu.

Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping sehingga tubuh Yauw Sun Kok lantas terpelanting!

“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”

Melihat betapa akibat serangannya justru membuat dirinya yang terpelanting, Sun Kok menjadi marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding, di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Meski dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.

“Jangan...! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang...!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.

Akan tetapi suaminya tidak mempedulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang pun menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat dan berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi, dengan cepat pedang yang menyambar itu telah membalik dan sekarang menusuk ke arah dadanya.

“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”

Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihu-nya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya kini bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.

“Dukkk!”

Keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak.

Pada waktu itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
“Hemmm, sudahlah. Engkau sedang mabok, maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah... tidurlah...” Ia membantu suaminya bangkit berdiri, lalu memapah suaminya itu menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.

Biar pun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka dia pun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar.

Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur…..

********************

Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh pada siang hari yang amat panas itu. Angin semilir sejuk membuat kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan.

Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun umurnya. Pakaiannya butut penuh tambalan.

Kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini mendadak terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, kemudian memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati.

Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biar pun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!

Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampaklah bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia hampir dua puluh tahun.

Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan dua matanya yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis ini pun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi bukan sembarang tambalan! Biar pun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak nampak kesan seorang pengemis!

Pemuda itu pun berwajah tampan. Matanya mengandung kecerdikan dan bibirnya selalu terhias senyum yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.

Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya. Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biar pun Bi Sian lebih dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak seperguruan pria).

“Suhu, ini teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak beserta bubur!” kata gadis itu sambil duduk di atas batu di dekat suhu-nya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan yang dengan gembira menyerahkan seguci arak.

Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya.

“Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tidak bergigi lagi, heh-heh-heh. Dan arak Hang-ciu ini memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”

Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka hanyalah berkelakar karena baru kemarin dulu mereka masih menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuah pun, masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata meram-melek! Dengan kekuatan sinkang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu dapat menjadi lebih kuat dari pada gigi orang-orang muda!

Kakek itu makan minum tanpa mempedulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik.

Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.

Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan amat sukar diselami walau pun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai mengambil hati pula.

Akan tetapi ada sesuatu dalam pandangan mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang curiga dan ragu-ragu. Suatu ketika pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada sumoi-nya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu birahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!

Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.

Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suheng-nya. “Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata.

Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aihhh, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang pemuda dan murid yang amat baik?”

Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja sekali.

Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit? Padahal selama hidupnya belum pernah dia merasakan hal seperti ini!

Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, amat menyenangkan hatinya, sehingga selama tujuh tahun Bi Sian menjadi muridnya, hidup di sampingnya, gadis itu seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!

Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti berada dalam kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!

Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni hidup itu sendiri.

“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk saling memenuhi janji. Janji antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun saja.”

Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, ia pun merasakan lebih banyak senang dari pada susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia mengikuti gurunya.

“Tapi, suhu... rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan suhu-nya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang kepada suhu-nya yang sudah tua itu!

Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang tentunya kini telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa ukurannya? Apa yang selama ini kau pelajari sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkau pun sudah dewasa dan kepandaianmu sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat digunakan untuk berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung kepadamu.”

Diingatkan pada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian, tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoi-nya.

“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu sudah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu. Teecu menghaturkan terima kasih, suhu, dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,” kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetes pun air matanya tumpah. Dia memang pantang menangis, apa lagi setelah menjadi murid Koay Tojin.

Koay Tojin tersenyum. “Engkau anak baik. Apa bila hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah semua kepandaian yang sudah kau peroleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan. Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,” kata Bong Gan.

Koay Tojin tersenyum saja, akan tetapi memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia sendiri tidak dapat menduga apa isi hatinya.

“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum engkau menundukkan musuh, sebaiknya kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.

“Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya sudah melakukan serangan totokan bertubi-tubi pada dua orang muridnya yang sedang berlutut di depannya.

Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan dahsyatnya, maka mereka berdua segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa kali. Mereka pun terhindar dari serangan kilat itu dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa.

Tahulah Bi Sian bahwa suhu-nya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan karena perpisahan itu memasuki hati. Maka ia pun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring gembira.

“Suhu, selamat tinggal! Semoga suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, heh-heh-heh!”

Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang berlawanan dengan dua orang muridnya…..

********************
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Walau pun tubuhnya terlatih baik, namun karena selama satu jam itu ia terus berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, sekarang wajah dan lehernya basah oleh keringat.

Diambilnya sapu tangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walau pun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan namun semua tambalannya kain yang baru.

“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?” tanya Bi Sian.

Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum menjawab, dia menatap wajah sumoi-nya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari gadis manis ini?

Membayangkan perpisahan dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya selama tujuh tahun, hampir tidak pernah mereka saling berpisah dan selalu mengalami suka-duka bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga nampak jelas oleh Bi Sian.

“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak memiliki keluarga sama sekali, tidak memiliki handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”

“Justru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya. Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu, sumoi.”

Bi Sian memandang wajah suheng-nya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suheng-nya telah membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.

Memang kadang-kadang suheng-nya suka pergi meninggalkan ia dan suhu-nya, akan tetapi kepergiannya itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Pada saat pulang, suheng-nya tentu membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa kali suheng-nya pernah berpamit pada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, akan tetapi tidak pernah lancang mengajaknya.

Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur dengan rasa iba. Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!

“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andai kata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu engkau hendak ke mana?”
“Aku... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke mana pun engkau pergi... tentu saja kalau... kalau aku tidak terlalu mengganggumu.”

Bi Sian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin nanti dapat membantumu mencari pekerjaan.”

Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan Bong Gan segera menjura ke arah sumoi-nya.

“Ahhh, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku suka sekali pergi bersamamu!”

Bi Sian membalas penghormatan suheng-nya dan tertawa. “Ihhh, suheng ini! Engkau adalah suheng-ku dan lebih tua, kenapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya apa bila kita saling bantu, bukan?”

Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tak menemui banyak gangguan. Andai kata dia melakukan perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia adalah seorang gadis yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri.

Akan tetapi sikap Bong Gan yang gagah itu membuat banyak orang menjadi jeri untuk mengganggu mereka. Padahal, andai kata pun ada gangguan, tentu saja Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!

Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup. Segera ia mengajak suheng-nya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.

Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
“Bi Sian...!”
“Ibuuu...!”

Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil berulang kali. Sie Lan Hong menangis di dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang.

Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tidak disangkanya bahwa dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!

Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri dan menonton dengan canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama enci-nya, berdiri dan memandang dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri sedikit canggung.

Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Dia pun heran melihat keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung. Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.

“Ibu... ahhh, ibu... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?”

Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. “Ayahmu sedang tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu...”
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya tersenyum dan hampir ia berteriak, “Paman Liong...!”
Sie Liong juga tersenyum. “Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!”

Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang gadis dewasa dan pamannya itu pun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan pemuda itu.

“Paman Liong! Ahh, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau... ahh, engkau juga sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan... hemm...”

Gadis itu melepaskan tangannya, lalu mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali mukanya.

“Dan... bongkok!” sambungnya mendahului, dari pada didahului gadis itu.
“Ahh, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!”

Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda orang, akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.

“Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!” Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali. Anaknya telah pulang!
“Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Ia ini adalah suheng-ku, namanya Bong Gan. Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.”

Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban antara sumoi-nya dan pemuda bongkok itu. Biar pun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.

“Ibu, mana ayah?”
“Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...” Ibu itu merangkul anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah.

Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia pun menjadi salah tingkah. Dia bukan anggota keluarga, bagaimana berani ikut masuk?
Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka ia pun menoleh dan berkata kepadanya. “Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.”

Sejak tadi Sie Liong memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya jadi ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.

“Saudara Bong, silakan masuk,” katanya dan Bong Gan menganguk.
“Terima kasih, terima kasih...!”

Mereka berempat pun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke dalam rumah itu, Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Perabot-perabot rumahnya sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak lagi mengenakan perhiasan sedikit pun, dan toko mereka sudah ditutup!

Apa yang telah terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau bertiga saja dengan pamannya.....
Mereka berempat lalu duduk menghadapi meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin. Ia juga menceritakan mengenai perbuatan Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.

“Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Ia menggunakan anak buahnya yang menyamar sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Ki Cong datang lagi membawa perampok-perampok palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aihh, betapa senangku pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?”

Sie Lan Hong menahan senyumnya.
“Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang lagi. Ia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....”

Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Apa?! Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu? Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!”

“Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagai mana pun juga, dia putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?”

“Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di sini tak ada seorang pun yang mengenalku, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan menghajar orang yang berani menghinamu,” kata Bong Gan dengan sikap gagah.
“Sudahlah, Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,” kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan suaminya.

Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, dia sudah berduka sekali. Apa lagi kalau ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun.

“Engkau baru pulang, Bi Sian. Karena itu tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan keributan dan kekacauan.”

Bi Sian masih merasa amat penasaran, kemudian ia menoleh kepada Sie Liong. “Coba pertimbangkan, paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras? Dahulu pun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.”

Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada keponakannya itu. “Bi Sian, kurasa tadi ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan permusuhan. Tentang kejahatan Lu Ki Cong padamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah mendapat hajaran keras dari suhu-mu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kalau kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau cukup mengerti bahwa kepandaian yang kau pelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?”

Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
“Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan tetapi untuk memadamkan kekacauan? Paman, aku juga pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?”

Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alisnya yang berkerut.

“Kalau begitu, suhu-mu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan bijaksana!”
“Paman Liong! Engkau... engkau mengenal suhu?”

Sie Liong tersenyum lagi. “Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang waktu itu terluka oleh pukulan beracun.”

“Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo lekas ceritakan pengalamanmu. Siapa itu gurumu yang sakti?” tanya Bi Sian.

Gadis ini gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang amat disayangnya dan dikasihaninya itu kini telah menjadi seorang yang lihai!
“Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin, dan aku mengenal nama itu, karena dia... dia itu masih terhitung paman guruku juga.”

Baik Bi Sian mau pun Bong Gan terkejut mendengar ini.

“Apa?!” gadis itu berseru. “Suhu-ku itu masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah, sekarang aku ingat...! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di dunia ini. Nama orang itu adalah... Pek-sim Siansu! Benarkah engkau muridnya?”

Sie Liong mengangguk. “Dari dulu engkau memang cerdik, Bi Sian. Akan tetapi, orang yang cacat seperti aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup.”
“Ahh, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu silat!”
“Wah, mana aku berani? Jika melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!” kata Sie Liong.

Dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang punggungnya saja bengkok?

Dia merasa tidak suka sekali. Apa lagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu mencorong dan memandang tajam kepadanya, seakan hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa ngeri sendiri! Masih bagus bahwa pemuda bongkok itu ialah paman dari Bi Sian, adik ibunya, sehingga bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!

“Aih, kalian jangan main-main!” kata Sie Lan Hong. “Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau sudah hendak menantang pamanmu? Ketahuilah, pamanmu ini pun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu, bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak tukang pukul?”

Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu pula, terdengar teriakan dari luar rumah.

“Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Siang-siang aku sudah pulang dan tidak mabok, ha-ha-ha-ha!”

Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya barusan mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.

“Ayahhhhh...!” Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya. Dahulu, ayahnya adalah seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan dan kotor!

Memang orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan mengejek tadi dari bibirnya. Sekarang matanya terbuka lebar dan dia memandang pada gadis yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dirinya itu.

“Bi Sian... kau... kau Bi Sian...?”
“Ayah...!” Bi Sian lari menghampiri. “Kau kenapakah, ayah?”

Ayahnya merangkul puterinya itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis? Sungguh hal yang luar biasa sekali! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini menangis?

“Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...” Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi menghadapi meja.

Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Kini dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata merah. Lalu dia tertawa.

“Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus! Sekarang engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah mengalahkan aku, Bi Sian...”
“Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur...!” Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit dan memapahnya ke dalam kamar.

Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, “Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul bongkoknya, biar mampus...!”

Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa. Ia lalu memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu tertutup setelah ayahnya dipapah oleh ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi dan menegangkan.

“Paman Liong,” akhirnya Bi Sian bicara dan meski pun suaranya perlahan, akan tetapi terdengar mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. “Engkau... engkau benar telah mengalahkan ayah...?”

Sie Liong mengangkat mukanya, memandang pada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong Gan.

Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan dia berkata, “Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman. Tidak ada salahnya bicara di depan dia!”

Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia amat penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.

Sie Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak pernah mengalahkan dia, Bi Sian.”
“Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...”
“Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok. Terpaksa aku harus melindungi ibumu, namun bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku hanya mengelak dan menangkis... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu... kalau mengenai ibumu, tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aihh, Bi Sian... semuanya berubah...!”

Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.

“Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!”

Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi dengan hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya. Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suheng-nya bermalam di rumah penginapan. “Baiklah, suheng. Maafkan kami.”

Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie Liong. Tadi gadis itu memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya sudah memukul ayahnya, akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Dia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin pamannya ini mau memukul ayahnya.

“Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!” Bi Sian menuntut.

Sie Liong menarik napas panjang. “Sebenarnya, ibumu yang harus bercerita kepadamu. Akan tetapi biarlah, aku pun berkewajiban untuk memberi tahukan semua kepadamu. Ketahuilah bahwa setelah kita berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat. Dia berjudi, selalu mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, perabot dan perhiasan ibumu, semua dijual untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka memukuli ibumu.”

“Ahh, mana mungkin itu?”
“Aku sendiri pun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang. Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.”
“Aihh, ayah...! Kenapa begitu? Ibuu... ahhh, kasihan sekali, ibuku...”

Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan dia pun lari memasuki kamar ayah dan ibunya. Melihat ini, Sie Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia.

Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah dipengaruhi emosi.

Dan dia teringat kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suheng-nya, tentu mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa tidak enak.

Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!

“Ah, tidak...!” Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk kembali.

Ihhh, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan suheng-nya itu pun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah sama dewasa, sudah sepatutnya kalau saling jatuh cinta. Kenapa di dalam hatinya harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan hanya seorang bongkok?

“Yang tahu dirilah kau!” demikian dia memaki diri sendiri.

Dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali…..

********************
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis, muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!

Sebetulnya tidak aneh bila kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walau pun selama ini dia sangat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi!

Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apa bila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika dia melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja bumbu atau memburu binatang, dia selalu menggunakan kepandaiannya untuk memuaskan birahinya yang berkobar-kobar.

Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan ternyata sering sekali mengganggu wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, mau pun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya sehingga tidak ada yang mengenalnya.

Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampanan, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan karena kalau dia tidak mendapatkan korban, maka tempat pelacuranlah yang kemudian menjadi tempat dia melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.

Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian, bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, dia pun keluar berjalan-jalan. Akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.

Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia telah menggunakan kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapa pun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang telah dia miliki, kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.

Tidak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan. Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.

Dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu seorang pelacur! Akan tetapi, baru saja kakinya hendak menginjak pintu keluar tempat pelesir itu, tiba-tiba terdengar suara seorang pria menegurnya.

“Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?”

Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!

Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentulah sumoi-nya itu juga akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoi-nya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau mendengar bahwa dia telah dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur.

Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri dari gandengan tiga orang pelacur itu. Dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.

“Anda salah lihat!”

Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Pada waktu melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya.

Sebetulnya kekhawatiran Song Gan sangat tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang menghibur diri di tempat itu.

Yauw Sun Kok adalah seorang manusia berjiwa lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya menjadi hamba dari nafsunya. Semenjak kecil ia hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat.

Akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian sehingga dia menjadi sakit hati. Setelah dia memperdalam ilmu-ilmunya, ia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergila-gila kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.

Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia bisa mengekang nafsu-nafsunya, sebab semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apa lagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.

Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, dia pun berjalan pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.

Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.

Bagaimana pun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan sangat mudahnya dia mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu.

Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya. Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!

“Sie Liong...!” teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.

Memang semenjak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie Liong.

Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!

Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Akan tetapi, dengan amat sigapnya lawannya itu berhasil mengelak dengan sangat mudah.

Sun Kok telah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam. Biar pun ia mabok, akan tetapi perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudah mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.

Akan tetapi, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang tangguh bukan main. Walau pun lawannya bertangan kosong, akan tetapi serangan-serangan pedangnya tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian, ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya, tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan!

Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!

Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya berlompatan sehingga tak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Pada saat tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu, kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.

“Siapa itu?!” terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.

Bayangan itu tidak menjawab, melainkan menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang laki-laki berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.

“Paman Liong...?!” Bi Sian memanggil.

Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat-cepat meloncat keluar dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.

Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk mengenal wajah orang itu.

“A... ayahhhhh...!” Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu.

Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!

Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para penghuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.

“Bi Sian, apa yang terjadi...?” tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
“Ibu...! Ayah tewas terbunuh orang...!” Bi Sian berseru.

Dia pun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan jejak orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya. Lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia berjongkok dan diambilnya benda itu.

Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!

“Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?”

Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Walau pun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu pamannya ini belum tidur!

“Paman Liong, apakah sejak tadi engkau tidak mendengar sesuatu?” tanyanya sambil memandang tajam penuh selidik.
“Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di belakang sini. Apakah yang telah terjadi?”
“Paman Liong, mari kau lihat sendiri!” katanya sambil menarik lengan pamannya itu.

Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, bahkan sikap pamannya masih tenang-tenang saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya jika nanti melihat cihu-nya menggeletak tewas.

Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis enci-nya dan melihat tubuh cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada. Dia terkejut bukan main.

“Enci Hong, apa... apa yang telah terjadi? Siapa yang membunuh cihu?” Dia berlutut dan memeriksa.

Tidak salah lagi. Cihu-nya sudah tewas, tewas seketika melihat pedang itu menembus dada. Melihat adiknya, Sie Lan Hong menangis semakin mengguguk sambil memeluk mayat suaminya.

“Liong-te... bagaimana pun juga... bagaimana pun jahatnya... aku... aku mencintanya...!” Wanita itu meratap dan menangis sejadinya.

Semenjak tadi Bi Sian sudah memperhatikan sikap pamannya. Terlalu tenang, pikirnya. Terlalu tenang sehingga tidak wajar. Akan tetapi, kenapa pamannya masih meragukan kenyataan itu?

Tadi dia telah melihat dengan matanya sendiri. Orang yang menyeret mayat ayahnya itu berpunggung bongkok! Siapa lagi kalau bukan pamannya? Dan orang itu bertopeng hitam, topeng hitam yang ia temukan di luar kamar Sie Liong pula!

“Engkaulah pembunuh ayahku!” Tiba-tiba Bi Sian berteriak sambil melompat dekat Sie Liong. Tangannya sudah menyambar sebatang ranting kayu dan sekarang digenggam di tangannya, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Sie Liong.

Pemuda itu terkejut dan heran. “Apa...?! Apa maksudmu, Bi Sian?” Dia bangkit berdiri.
“Maksudku, Sie Liong, engkaulah yang membunuh ayahku!”
“Ehh?! Apa kau sudah gila? Enci, bagaimana ini? Bagaimana anakmu menuduh aku yang sudah membunuh suamimu?”

Akan tetapi anehnya, Sie Lan Hong hanya menangis, tidak membantah sedikit pun juga. Memang, di dalam hatinya, Lan Hong juga menduga bahwa tentu adiknya itu yang telah membunuh suaminya, untuk membalaskan sakit hati orang tua mereka.

“Liong-te, kenapa engkau begitu kejam membunuhnya? Bagaimana pun juga, dia ayah Bi Sian, dia suamiku dan aku... aku cinta padanya...”

Mendengar ratap tangis enci-nya ini, Sie Liong terbelalak. Ia merasa bagaikan disambar geledek di hari terang!

Akan tetapi, Bi Sian yang juga mendengar ucapan ibunya, sudah mengeluarkan suara melengking panjang. Dia mengeluarkan topeng hitam itu dan melemparkannya ke arah muka Sie Liong yang cepat menangkapnya.

Melihat bahwa yang dilemparkan itu adalah sebuah topeng hitam tipis, Sie Liong tidak tahu maksudnya. Akan tetapi pada saat itu, tongkat di tangan Bi Sian sudah menyambar dengan totokan-totokan maut ke arah muka, tenggorokan dan ulu hatinya. Tiga totokan bertubi yang kesemuanya amat berbahaya!

Tanpa disadari, Sie Liong menyimpan topeng itu ke dalam saku bajunya dan tubuhnya lalu dilempar ke belakang, berjungkir balik setiap kali ada ujung tongkat menyambar dan setelah tiga kali berjungkir balik, dia lalu memalangkan kedua lengannya seperti hendak menggunting kalau tongkat yang amat berbahaya itu menyambar lagi. Akan tetapi kini tongkat itu tidak menusuknya dari depan, melainkan menghantam dari kanan ke arah lambungnya!

Bukan main cepat dan kuatnya serangan Bi Sian. Kembali Sie Liong menghindarkan diri dengan loncatan ke atas. Celaka, pikirnya. Bi Sian, dan bahkan juga enci-nya sendiri, agaknya sudah yakin bahwa dia adalah pembunuh cihu-nya! Agaknya membela diri dan menyangkal tidak ada gunanya pada saat keduanya sedang emosi itu, dan melawan serangan Bi Sian amat berbahaya. Gadis ini memiliki ilmu tongkat yang amat ganas dan lihai, dan teringat dia akan ilmu tongkat yang pernah dipertontonkan Koay Tojin.

“Kalian salah sangka...!” katanya.

Ketika tongkat itu kembali menyambar dengan totokan maut ke arah pusarnya, Sie Liong melompat ke pinggir lalu kakinya menyambar untuk menendang pinggang Bi Sian dari samping. Dia mengerahkan tenaga yang cukup besar sehingga angin tendangan itu menyambar keras.

Bi Sian terkejut dan cepat melompat ke belakang. Inilah yang memang dikehendaki Sie Liong. Dia mempergunakan kesempatan selagi gadis itu melompat ke belakang, dia pun melompat jauh dan menghilang di dalam kegelapan malam!

“Pembunuh, hendak lari ke mana kau?” Bi Sian melompat dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi, Sie Liong dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sudah tidak nampak. Setelah mengejar ke sana-sini tanpa hasil, dengan hati kesal Bi Sian kembali ke dalam kebun. Ia menemukan ibunya masih menangisi mayat ayahnya.

“Aku tidak berhasil menyusul pembunuh keparat itu! Akan tetapi, ibu, aku pasti akan mencarinya sampai dapat!”
“Sudahlah, Bi Sian. Yang terpenting sekarang mengurus jenazah ayahmu,” kata Sie Lan Hong yang akhirnya dapat menguasai hatinya yang terguncang.
“Tapi, ibu, yang terpenting adalah menangkap pembunuh itu!”
“Hemm, bagaimana pun juga, dia adalah pamanmu, adik ibumu.”
“Apakah kalau adik ibu, lalu dia boleh membunuh ayah sesukanya? Apakah ibu sudah begitu membenci ayah karena ayah telah berubah selama ini?”
“Bi Sian...!” Sie Lan Hong menangis lagi dan Bi Sian segera menyadari kekeliruannya. Ia berlutut dan merangkul ibunya.
“Maafkan, ibu. Maafkan aku... ahh, kedukaan membuat aku bersikap kasar kepada ibu.” Gadis itu lalu mengangkat jenazah ayahnya ke dalam rumah.

Para tetangga dan penduduk kota Sung-jan terkejut mendengar berita kematian Yauw Sun Kok yang kabarnya terbunuh orang semalam. Banyak orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Yauw Sun Kok mereka kenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, walau pun akhir-akhir ini menjadi gila judi dan suka bermain perempuan serta mabok-mabokan.

Sie Lan Hong menangis perlahan di dalam kamarnya. Ia tidak mau ditemani puterinya dan terpaksa Bi Sian duduk bersila di ruangan di mana jenazah ayahnya dibaringkan, ditemani oleh beberapa orang pria tua tetangga mereka.

Ketika Lan Hong menangis lirih, mendadak daun jendelanya terbuka dari luar. Begitu perlahan jendela itu terbuka dari luar sehingga Lan Hong tidak mendengar sesuatu. Baru ia terkejut ketika ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu adiknya telah berdiri di dalam kamar itu. Lan Hong memandang terbelalak kepada adiknya.

“Mau apa... engkau datang? Engkau sudah membunuhnya, tentu engkau sudah puas, bukan? Biarlah aku yang menderita... hu-huh... sejak dulu, aku yang menderita...!”
“Enci, dengarlah baik-baik. Aku tidak membunuhnya, enci. Aku tidak membunuh cihu...!”

Wanita itu menghentikan tangisnya lalu menarik napas panjang. “Sudahlah, Liong-te. Aku pun tidak dapat menyalahkanmu. Dulu aku pun hendak membunuhnya dan sudah sepatutnya kalau aku atau engkau membunuhnya...”

“Enci... apa... apa maksudmu?” Sie Liong bertanya, hatinya berdebar tegang.
“Engkau tentu sudah menduganya, maka engkau membunuhnya, bukan? Nah, baiklah, karena dia sudah mati, aku ceritakan segalanya kepadamu. Memang, Yauw Sun Kok yang menjadi pembunuh ayah dan ibu kita, membunuh suheng Kim Cu An, juga dua orang pelayan keluarga kita dan semua binatang peliharaan kita.”

Sedikit banyak memang sudah ada dugaan di dalam hati Sie Liong, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena bagaimana mungkin enci-nya menjadi isteri pembunuh ayah ibu mereka?

“Tapi... tapi mengapa, enci?”
“Mendiang ayah kita pernah bentrok dengan Yauw Sun Kok ketika dia dan isterinya melakukan perampokan. Dia dahulu seorang perampok, lalu isterinya tewas di tangan mendiang ayah kita dan dia terluka. Dia lalu memperdalam ilmu silat dan pada malam hari itu, dia berhasil membasmi keluarga ayah kita.”
“Tapi... tapi, mengapa enci dan aku sendiri tidak dibunuhnya, dan mengapa pula enci menjadi isterinya...?”

“Itulah selalu aku yang menderita. Dia tertarik kepadaku. Dia hendak memperkosaku dan membunuh kita berdua kalau aku tidak mau menjadi isterinya. Terpaksa, untuk menyelamatkan engkau yang baru berusia sepuluh bulan, dan menyelamatkan nyawaku sendiri, aku menerima permintaannya. Aku kemudian menjadi isterinya dan engkau tak dibunuhnya. Dan ternyata dia sangat baik kepadaku dan kepadamu sampai terlahir Bi Sian dan aku... aku... anak durhaka dan tidak berbakti ini, aku jatuh cinta kepadanya, kepada suamiku sendiri dan kepada pembunuh ayah ibuku...” Sie Lan Hong tidak dapat menahan tangisnya lagi.

Sie Liong mendengarkan dengan bengong. Die merasa kasihan sekali kepada enci-nya. 
“Akan tetapi, aku tidak membunuhnya, enci.”
“Sudahlah, siapa mau percaya. Dan aku sekarang tidak lagi menyalahkanmu, Liong-te. Sudah sepatutnya engkau membunuhnya dan...”

Tiba-tiba pintu kamar itu didorong terbuka dari luar dan Bi Sian meloncat masuk dengan mata terbelalak. Tangannya memegang sebatang pedang, yaitu pedang Pek-lian-kiam yang telah membunuh ayahnya!
“Pembunuh keparat, berani engkau ke sini?!” bentaknya.

Secepat kilat Bi Sian menyerang dengan pedang itu. Tusukan kilat mengarah dada Sie Liong dan selain nampak kilatan pedang, juga terdengar bunyi mendesing saking cepat dan kuatnya pedang itu meluncur.

Tapi, dengan cepat Sie Liong menyambar kursi dan melempar kursi itu sebagai perisai. Terdengar suara nyaring dan kursi itu sudah patah-patah berantakan. Akan tetapi tubuh Sie Liong sudah meloncat ke jendela.

“Bi Sian, engkau keliru. Aku tidak membunuh ayahmu!” Sie Liong berseru sebelum dia meloncat ke luar dan melenyapkan diri.
“Jahanam, jangan lari!” Bi Sian hendak mengejar, akan tetapi ibunya telah menubruknya dan memegangi lengannya sambil menangis.
“Jangan, anakku. Jangan kejar dia...! Biarkan dia pergi...!” tangisnya.

Bi Sian mengerutkan alisnya. Menghela napas panjang. “Hemm, ibu melindungi seorang pembunuh, pembunuh suami ibu sendiri, walau pun pembunuh itu adik kandung ibu...”

Ia melepaskan diri, akan tetapi tidak mengejar seperti yang diminta ibunya, melainkan dengan bersungut-sungut ia pun kembali ke ruangan di mana jenazah ayahnya sedang dibaringkan.

Ibunya melempar diri di atas pembaringan dan menangis. Bagaimana dia tega untuk merusak hati anaknya dengan menceritakan semua perbuatan ayahnya?

Tidak, ia tidak akan menceritakan semua peristiwa jahanam dahulu itu kepada Bi Sian agar gadis itu tidak tahu bahwa ayahnya seorang yang amat jahat. Tidak perlu ia tahu. Biarlah ia sendiri yang menderita, asalkan Bi Sian tidak menderita! Seperti dahulu ia berkorban demi mempertahankan keselamatan Sie Liong, kini dia bersedia berkorban perasaan demi menjaga agar batin puterinya tidak sampai menderita kehancuran.

Pada keesokan harinya, para tetangga datang melayat dan pagi-pagi sekali Bong Gan sudah tiba di situ. Maksudnya untuk berkunjung kepada sumoi-nya. Tentu saja dia kaget bukan main melihat peti mati di ruangan depan.

Bi Sian menyambutnya dengan wajah pucat dan mata merah, bekas tangis dan kurang tidur.

“Sumoi! Apa yang telah terjadi! Siapa pula yang meninggal dunia...?” tanya Bong Gan dengan penuh kekhawatiran.

“Yang meninggal dunia adalah ayahku, suheng...”
“Ahh...!” Pemuda itu terbelalak memandang ke arah peti mati. “Ayahmu? Tapi kemarin beliau masih segar bugar...!”
“Malam tadi... dia meninggal...” Gadis itu memejamkan matanya, menahan diri agar tidak menangis di depan pemuda itu, apa lagi para tetangga mulai berdatangan melayat.

Melihat ini, Bong Gan kemudian menghampiri meja sembahyang, memasang hio untuk memberi hormat kepada jenazah di dalam peti itu. Kemudian dia kembali menghampiri sumoi-nya.

“Sumoi, kenapa ayahmu meninggal? Apakah sakit?”
“Mari kita masuk, suheng, aku mau bicara denganmu.”

Bong Gan mengikuti sumoi-nya menuju ke ruangan dalam. Setelah berada berdua saja, gadis itu mempersilakan suheng-nya duduk.

“Suheng, ayahku malam tadi dibunuh orang....”
“Hah...!” Bong Gan meloncat bangkit berdiri dari kursinya, matanya terbelalak. “Dibunuh orang? Bagaimana... siapa...?”
“Pembunuhnya adalah... pamanku, adik ibu sendiri...”
“Ahh! Pemuda berpunggung... bongkok bernama Sie Liong itu...?”

Bi Sian mengangguk, menarik napas panjang. “Benar, dialah yang membunuh ayahku.”

“Kalau begitu, biar aku mencarinya dan menyeretnya ke depanmu, sumoi!” Bong Gan berseru sambil mengepal tinju, matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Semalam aku sudah menyerang dan mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil. Dia tidak boleh dipandang ringan, suheng. Agaknya ia telah memperoleh kepandaian yang hebat. Ingat, dia itu murid supek Pek-sim Siansu yang menurut suhu memiliki kesaktian yang sangat hebat. Karena itu, aku akan pergi mencarinya, suheng, dan harap engkau suka membantuku. Kalau kita maju berdua, tentu dia akan dapat kita kalahkan.”
“Aku siap siaga, sumoi! Tanpa kau minta sekali pun, aku memang hendak mencarinya untuk membalaskan sakit hatimu ini!”
“Terima kasih, suheng. Hanya engkau seoranglah yang dapat kumintai bantuan, yang dapat kuharapkan. Nah, sekarang juga kita berangkat untuk mengejar dan mencari Sie Liong!”
“Ehh? Sekarang? Tidak menanti sampai selesai pemakaman ayahmu?”
“Tidak, kalau terlambat, dia akan pergi terlalu jauh. Aku sudah siap sedia, lihatlah, ini buntalan sebagai bekal perjalanan sudah kusiapkan. Marilah kita berangkat sekarang juga!”

Pemuda itu masih bingung karena kepergian itu demikian mendadak, walau pun hatinya merasa girang sekali bahwa dia akan berdua lagi dengan sumoi-nya, berdua melakukan perjalanan!

“Kau... aku tidak berpamit kepada ibumu?”

Gadis itu menggeleng kepalanya dengan wajah duka. “Tidak, ibu melindungi adiknya. Lebih baik aku tidak menemuinya dahulu sebelum aku dapat membalas dendam kepada pembunuh ayahku!”

Berkata demikian, gadis itu lalu pergi, diikuti Bong Gan, keluar meninggalkan rumah itu dari pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh para tetangga yang datang berlayat.

Ketika Sie Lan Hong mendengar bahwa puterinya lenyap bersama suheng-nya, pergi tanpa pamit, dia pun jatuh pingsan. Tidak kuat dia menahan pukulan batin yang datang bertubi-tubi itu. Yang terutama sekali memberatkan hati nyonya ini adalah karena dia bisa menduga ke mana perginya puterinya itu. Tentu puterinya ini hendak pergi mencari Sie Liong untuk menuntut balas dendam!

Maka kini ia pun merasa menyesal sekali mengapa ia tidak segera menceritakan saja sebab-sebab yang mendorong Sie Liong membunuh Yauw Sun Kok. Kalau dia sudah menceritakan, tentu Bi Sian akan mengerti dan dapat memaklumi mengapa pamannya itu membunuh ayahnya, karena memang ayahnya amatlah jahat!

Setelah suaminya tewas dan dimakamkan, Sie Lan Hong lalu hidup seorang diri dalam keadaan sederhana. Ia berdagang dengan modal seadanya. Setiap hari ia berprihatin, bersembahyang dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk melindungi puterinya dan untuk mencegah agar puterinya jangan sampai membunuh Sie Liong.

Kalau hal ini sampai terjadi, habislah hidupnya. Ia tidak akan berani melanjutkan hidup lagi. Kehidupannya penuh dengan penyesalan jika sampai puterinya itu membunuh Sie Liong.
Sie Lan Hong sama sekali tidak khawatir kalau puterinya akan terbunuh oleh Sie Liong. Ia telah mengenal benar watak adiknya yang bongkok itu. Sampai bagaimana pun juga, Sie Liong tidak akan membunuh Bi Sian.

Hal ini ia yakin, sama yakinnya bahwa di dasar hatinya, adiknya itu amat mencinta dan menyayang Bi Sian.....

********************
Selanjutnya baca
KISAH PENDEKAR BONGKOK : JILID-07
LihatTutupKomentar