Kemelut Kerajaan Mancu Jilid 01


Matahari memuntahkan panasnya melalui cahayanya yang membakar seluruh permukaan bumi. Cuaca menjadi amat cerah, langit bersih seolah semua awan ketakutan menyingkir dari cahaya matahari.

Tetapi Sungai Kuning (Huang-ho) seolah tidak merasakan teriknya matahari. Di sepanjang sungai dan kedua tepinya yang berhiaskan pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan subur itu tampak hijau dan sejuk. Seolah sungai yang lebar itu menyerap semua hawa panas yang mengandung kehidupan itu.

Burung-burung dan binatang lain mencari perlindungan di antara daun-daun dan di bawah pohon-pohon yang sejuk. Bahkan para nelayan yang biasanya menjala atau memancing ikan, pada siang hari yang sangat terik itu pergi mengaso, tidak kuat menahan panasnya sinar matahari. Pada siang hari itu Huang-ho (Sungai Kuning) tampak sepi.

Tiba-tiba dari kejauhan tampak meluncur seorang wanita di atas air sungai. Jika ada yang melihatnya pada saat itu, tentu dia akan tercengang keheranan, mungkin lari ketakutan dan mengira bahwa wanita itu adalah setan yang dapat berjalan di atas air! Akan tetapi kalau dilihat dari jarak agak dekat, tentu dia akan mengira bahwa yang meluncur di atas air itu adalah seorang Dewi atau Bidadari!

Ia memang cantik jelita. Rambutnya yang digelung ke atas agak terurai karena hembusan angin hingga beberapa gumpalan anak rambut bermain-main di dahi dan pipinya. Rambut yang hitam lembut panjang dan agak berikal.

Mukanya berbentuk bulat telur, sepasang matanya mencorong tajam dan memiliki daya tarik yang memikat, hidungnya mancung dan mulutnya bersaing indah dengan matanya, mempunyai daya pikat yang akan menimbulkan gairah dalam hati setiap orang pria yang melihatnya. Apa lagi di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipi yang amat manis. Kulitnya putih bersih dan kini kedua pipinya kemerahan karena panas matahari.

Ia bukanlah seorang dewi apa lagi setan penunggu sungai. Ia seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun, bertubuh sintal denok dan berwajah cantik jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan kalau ia tampak seperti orang yang berjalan di atas air, sesungguhnya ia sedang meluncur dengan cepat di atas air! Bukan berdiri di atas kedua kakinya, tetapi ia menggunakan terompah papan selancar.

Dengan ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, ia dapat berdiri di atas papan, kemudian dengan pengerahan khikang ia dapat mendorong kedua kaki yang menginjak papan itu sehingga ia meluncur dengan cepat di atas air!

Gadis itu bernama Ciu Thian Hwa, seorang pendekar wanita yang selain cantik jelita juga sangat lihai. Dia malang melintang di dunia kang-ouw, membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dengan keras sehingga ia terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning).

Sesudah mengalami banyak hal yang menimbulkan kepahitan dan kekecewaan hati yang membuat hatinya terasa sedih, akhirnya dia mengambil keputusan untuk mencari gurunya yang sekaligus menjadi kakek angkatnya. Gurunya adalah Thian Bong Sianjin yang dulu sebelum bertobat menjadi pendeta, berjuluk Huang-ho Sui-mo (Setan Air Sungai Kuning).

Thian Hwa makin mempercepat luncuran papan selancarnya di atas air. Dia mulai merasa gembira setelah kembali berada di atas Sungai Huang-ho. Sedikit demi sedikit lenyaplah segala kekecewaan dan kepahitan yang dideritanya.

Ia merasa sudah kembali ke tempat yang sesuai dan cocok baginya, yaitu Sungai Huang-ho dan karena ia tahu bahwa ia seolah kembali di sungai itu, dan ibu kandungnya lenyap pula di situ, maka ia merasa seolah-olah kini ia berada dekat dengan ibunya. Dia merasa seakan-akan sudah mendapatkan kembali ibunya, yakni sungai dengan airnya yang luas itu!

Ia meluncur dan memandang permukaan air dengan hati terharu, dan dengan cekatan ia membungkuk untuk menggunakan tangannya menyendok air kemudian air ia siramkan ke mukanya! Angin Sungai Huang-ho meniup wajahnya sehingga terasa segar dan nyaman. Lenyaplah segala kesedihannya!

Ketika aliran Sungai Huang-ho mulai sulit ditempuh karena banyak terdapat air terjun dan kadang-kadang penuh dengan batu-batuan, Thian Hwa segera mendarat lalu berlari cepat menyusuri Lembah Sungai Huang-ho. Setiap kali bertemu dusun nelayan, ia lalu bertanya barang kali ada yang melihat Thian Bong Sianjin. Beberapa kali dia mendapat keterangan bahwa kakek itu menuju ke hulu Sungai Huang-ho, yaitu ke arah barat. Maka ia pun lalu melanjutkan perjalanan menyusuri pantai ke hulu, daerah yang belum pernah ia jelajahi.

Sesudah melakukan perjalanan selama sebulan lebih, pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun di tepi sungai. Dusun itu cukup ramai dihuni oleh para petani dan nelayan sebanyak sekitar lima puluh rumah atau keluarga. Di dusun ini Thian Hwa mendengar bahwa tiga hari yang lalu seorang kakek membasmi gerombolan perampok yang mengganggu dusun itu.

Hatinya girang bukan main mendengar bahwa kakek itu berusia sekitar lima puluh enam tahun, mengenakan pakaian pendeta To serba putih, mukanya tanpa kumis atau jenggot, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Gambaran itu adalah gambaran kong-kongnya!

Dia segera mencari keterangan ke mana kakek itu pergi. Salah seorang penduduk dusun menuturkan bahwa dia melihat kakek penolong mereka itu tinggal di sebuah kuil tua yang tidak terpakai lagi, di puncak sebuah bukit kecil di tepi sungai.

Thian Hwa cepat mendaki bukit itu dan merasa kagum melihat keindahan pemandangan alam di atas bukit itu. Melihat keadaan bukit yang tanahnya subur dan hawanya sejuk itu, ia merasa betah dan senang sekali. Apa lagi ketika ia menemukan kuil kosong di puncak bukit dan melihat Thian Bong Sianjin duduk bersila di atas sebuah batu depan kuil!

“Kong-kong...!” Ia berseru dan berlari cepat menghampiri.

Thian Bong Sianjin memandang gadis itu dan tersenyum dengan wajah berseri.

“Aha, Thian Hwa, akhirnya engkau datang juga! Bagaimana hasilnya dengan penyelidikan selama beberapa bulan ini?”

Ditanya demikian, Thian Hwa teringat akan semua pengalamannya. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah di depan kakek itu, dan tidak dapat menahan diri lagi menangis terisak-isak!

“Aih, inikah cucuku yang biasanya gembira, pemberani, keras hati dan jujur itu? Mengapa kini menjadi cengeng?”

Kakek itu lalu turun dari atas batu dan membungkuk, mengelus rambut kepala Thian Hwa. Gadis itu bangkit berdiri dan merangkul, menangis di atas dada kakek yang selama ini dia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu.

Thian Bong Sianjin membiarkan gadis itu menangis hingga air matanya membasahi jubah bagian dadanya, hanya mengelus kepala gadis yang sangat dikasihinya itu. Dia maklum bahwa cara terbaik bagi seseorang untuk melepaskan himpitan duka di dalam hati adalah melalui cucuran air matanya.

Setelah tangis Thian Hwa mereda, kakek itu berkata halus, “Tenangkan hatimu, Cucuku. Duduklah di atas batu di depanku ini dan ceritakan semuanya kepadaku. Tak ada perkara apa pun di dunia ini yang tidak dapat kita atasi, asalkan kita menerimanya sebagai suatu kenyataan yang wajar. Tidak ada masalah di dalam hidup ini, kecuali kalau kita menerima suatu peristiwa sebagai masalah. Kita sendiri yang membuat masalah dan kita pula yang mengakhiri masalah itu.”

Thian Hwa sudah menumpahkan semua ganjalan hati melalui air matanya. Kini dadanya terasa lapang dan ia memperoleh kembali ketenangannya. Ia menggunakan sehelai sapu tangan untuk mengusap sisa-sisa air mata dari mata dan mukanya sampai kering, baru ia menaati ucapan kakeknya dan duduk bersila di atas sebuah batu di depan kakek itu yang kini sudah duduk kembali di tempat semula.

“Nanti dulu, Kong-kong,” katanya, sekarang suaranya sudah tenang dan biasa kembali. “Sebelum aku menceritakan semua pengalamanku, aku ingin tahu lebih dulu apa maksud Kong-kong ketika mengatakan bahwa tidak ada masalah di dalam hidup ini. Bagaimana mungkin tidak ada masalah kalau dalam kehidupan ini banyak terjadi peristiwa menimpa kita yang mendatangkan kekecewaan, penasaran, dan kedukaan?”

Kakek itu tersenyum ramah, matanya yang bersinar tajam tapi lembut itu menatap wajah cucunya dengan penuh pengertian. “Hidup ini sendiri akan menjadi masalah apa bila kita menerimanya sebagai masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi pada diri kita merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah suatu kewajaran. Biasanya nafsu yang mengaku-aku dan selalu mementingkan diri sendiri, yang mengejar kesenangan diri sendiri, itulah yang menimbulkan penilaian terhadap apa yang terjadi, lalu timbul apa yang disebut menyenangkan atau menyusahkan. Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci atau duka.”

Thian Hwa mengerutkan alisnya, merasa bingung. “Kong-kong, tolong diberi contoh agar aku tidak menjadi bingung.”

“Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa kita ini adalah satu kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa pun juga. Apakah peristiwa ini baik? Ataukah buruk? Menjadi masalah ataukah suatu kewajaran? Tergantung bagaimana kita menerimanya. Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan apa adanya, suatu kewajaran, maka timbullah kebijaksanan di dalam batin kita sehingga kita bisa mengatasinya, misalnya dengan berteduh, malah bisa memanfaatkan peristiwa itu dengan membuat bendungan kemudian menyalurkan airnya dan sebagainya. Demikian sebaliknya kalau hari panas sekali. Kita dapat berlindung dari sengatan sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang panas itu untuk menjemur dan sebagainya, bukan menerimanya sebagai sebuah masalah yang menimbulkan nafsu marah, kecewa, penasaran, takut yang mendatangkan duka. Mengertikah engkau, Thian Hwa?”

Thian Hwa diam sejenak, lalu mengangguk-angguk perlahan. “Ah, kini aku mulai mengerti, Kong-kong. Jadi, apa pun yang menimpa diri kita, dari yang paling menyenangkan sampai yang paling tidak menyenangkan, misalnya penyakit dan kematian, adalah suatu hal yang wajar dan tak dapat diubah lagi, suatu kenyataan sehingga kita harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah. Begitukah? Tapi bagaimana mungkin manusia dapat hidup tanpa dipengaruhi segala macam perasaan, terutama susah senang itu? Manusia hidup tanpa perasaan menjadi seperti mati!”

“Bukan demikian, Cucuku. Manusia hidup memang tidak mungkin dapat mematikan atau menghilangkan nafsu. Nafsu menjadi peserta manusia dalam hidupnya di alam fana ini. Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu jangan memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan pembantu kita. Ada pelajaran dari Guru Besar Khong Cu yang bijaksana dalam Kitab Tiong Yong, begini bunyinya: HI NOU AI LOK CI BI HOAT, WI CI TIONG. HOAT JI KAI TIONG CIAT, WI CI HO. Artinya: Sebelum perasaan Girang Marah Duka dan Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus. Jika berbagai perasaan itu timbul tetapi mengenal batas (dapat dikendalikan), maka batin berada dalam keadaan selaras (seimbang).”

Gadis itu mengangguk-angguk. “Sekarang aku mengerti, Kong-kong.”
“Nah, sekarang ceritakanlah apa saja yang kau alami sehingga engkau hampir kehilangan keseimbanganmu.”

Dengan lancar dan tabah Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa ia bertemu dengan Cui Sam atau yang sebutannya Lo Sam, kakeknya atau ayah dari ibunya yang kini bekerja sebagai pelayan Pangeran Cu Kiong. Dari kakeknya ini dia mengetahui bahwa ibunya bernama Cui Eng yang menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, kemudian ketika melahirkan anak perempuan, yaitu dirinya, ibunya itu diusir oleh keluarga Pangeran Ciu Wan Kong. Menurut cerita kakeknya, kakek Cui Sam dan Cui Eng hendak kembali ke kampung halaman mereka di selatan. Akan tetapi ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, perahu mereka terbalik sehingga Cui Sam, Cui Eng, dan bayinya hanyut. 

“Kakek Cui Sam dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia kehilangan ibu dan aku yang dia sangka tentu tewas tenggelam,” kata Thian Hwa melanjutkan ceritanya. “Aku merasa sakit hati sekali kepada Pangeran Ciu Wan Kong. Sebab itu pada suatu malam kudatangi gedungnya, akan kubunuh dia untuk membalaskan kematian ibu kandungku. Akan tetapi ketika tiba di kamarnya dan melihat ia berduka cita sambil mengamati gambar ibuku, aku menjadi tidak tega. Apa lagi ketika dia melihat aku dan mengira bahwa aku adalah ibuku. Dia... dia... tertawa menangis seperti orang gila!”

“Siancai...! Kekuasaan Thian (Tuhan) Yang Maha Adil tak pernah berhenti bekerja. Setiap manusia tidak akan terhindar dari akibat perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Hukum ini berlaku di seluruh alam semesta dan sudah wajar dan adil! Lanjutkan ceritamu, Thian Hwa.”

Thian Hwa melanjutkan ceritanya, betapa sebelumnya dia juga telah menolong Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu dari serangan ular air. Kemudian betapa ia terlibat perkara dengan Pangeran Leng Kok Cun yang merencanakan pemberontakan. Akhirnya ia ketahuan bahwa ia hanya seorang penyelundup sehingga dia dikeroyok para jagoan dan harus melarikan diri berlindung ke gedung Pangeran Cu Kiong yang dianggap saingan Pangeran Leng Kok Cun.

“Hemm, ternyata sedang terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran! Ha-ha-ha, penyakit lama itu selalu terdapat dalam setiap pemerintahan kerajaan. Agaknya Kerajaan Mancu tidak terkecuali, diam-diam terjadi perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri. Lalu bagaimana, Thian Hwa?”

“Setelah mengalami guncangan akibat pertemuanku dengan ayah kandungku itu, kembali aku mengalami guncangan kedua yang amat menyakitkan hati, Kong-kong. Pangeran Cu Kiong yang masih muda, tampan dan halus budi bahasanya itu amat baik padaku, bahkan ia mengaku cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku. Aku bodoh sekali, Kong-kong, aku terpikat dan tertarik padanya. Aku percaya padanya. Baru kemudian aku mendengar dia berbicara dengan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian, dan baru aku ketahui bahwa dia hanya ingin mempergunakan tenagaku. Dia bermaksud mengambil aku sebagai seorang selirnya, kemudian memanfaatkan tenagaku untuk membantu dia dalam perebutan kekuasaan itu. Aihh, Kong-kong, perasaanku sakit sekali. Bahkan ketika aku hendak pergi meninggalkan dia, Pangeran Cu Kiong langsung menahanku dengan paksa, mengerahkan tujuh orang pengawalnya untuk mengeroyok dan menangkap aku. Aku lalu melawan akan tetapi nyaris saja aku celaka di tangan tujuh orang yang cukup tangguh itu kalau saja tidak muncul Bun-ko yang membantuku.”

“Ahh, jadi Yan Bun menyusulmu dan dapat menolongmu?”
“Benar, Kong-kong. Dengan bantuan Bun-ko akhirnya kami dapat merobohkan empat dari tujuh orang Kam-keng Chit-sian itu. Kemudian kami meninggalkan gedung Pangeran Cu Kiong dan aku lalu pergi mencari Kong-kong.”
“Hemmm, lalu bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong? Engkau tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya?”

Thian Hwa menghela napas panjang lantas menggeleng kepalanya. “Aku tidak tega untuk membunuhnya.”
“Hemm, engkau masih mencintanya, Thian Hwa?” tanya kakek itu dengan alis berkerut.

Thian Hwa menghela napas lagi. “Aku memang mencintanya, Kong-kong, akan tetapi aku juga membencinya!”
“Siancai...! Kasihan, Cucuku mulai menjadi permainan cinta. Dan bagaimana dengan Yan Bun? Setelah dia menolongmu, lalu di mana dia?”

“Kami berpisah, Kong-kong. Dan Bun-ko... dia pun berterus terang bahwa dia dan Paman Ui Hauw mengharapkan supaya aku menjadi jodohnya. Akan tetapi aku menolak, karena selain aku sama sekali tidak mempunyai perasaan lain terhadap Bun-ko, kecuali merasa dia sebagai kakakku, juga aku merasa muak kepada laki-laki yang cintanya palsu seperti kutemui pada diri Ayah kandungku sendiri dan pada Pangeran Cu Kiong! Aku merasa jera untuk jatuh cinta lagi, Kong-kong!”

Sejenak kakek itu mengangguk-angguk. “Aku dapat memahami perasaanmu, Thian Hwa. Dikecewakan dalam hubungan cinta memang amat menyakitkan sehingga membuat kita merasa jera. Akan tetapi perasaan itu sama sekali tidak benar, karena aku sendiri sudah merasakan. Karena jera akibat cinta gagal, aku membujang selama hidup dan akibatnya, aku tidak mempunyai keturunan. Untung aku menemukan engkau, jika tidak, pada masa tuaku ini aku akan hidup sebatang kara dan bukan tidak mungkin bila matiku nanti akan terlantar karena tidak ada keluarga yang merawat.”

“Kong-kong! Jadi Kong-kong juga pernah gagal dalam cinta? Bagaimana kisahnya, Kong-kong? Siapa wanita yang pernah engkau cinta?”

Kakek itu menghela napas panjang. “Sebetulnya cerita lama itu sudah tak pernah kuingat lagi, Thian Hwa. Akan tetapi agar dapat engkau jadikan bahan pertimbangan, boleh juga kau ketahui. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku pernah saling mencinta dengan seorang pendekar wanita yang lihai. Ilmu silatnya setingkat denganku, dan kami telah sama-sama berjanji untuk menjadi suami isteri.”

“Siapakah nama pendekar wanita itu, Kong-kong?”
“Namanya? Aih, kenapa engkau menanyakan namanya segala? Baiklah, namanya Souw Lan Hui, dia murid Bu-tong-pai dan di dunia kang-ouw dia mendapat julukan Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti).”
“Wih! Tentu dia secantik burung Hong!”

Thian Bong Sianjin menghela napas. “Siancai! Ia memang cantik dan pada waktu itu aku merasa bangga dan bahagia sekali. Akan tetapi segala sesuatu tidak pernah abadi. Pada suatu hari kami bertemu dengan seorang pangeran muda. Begitu bertemu, mereka saling tergila-gila dan kami pun berpisah. Ia menikah dengan pangeran itu!”

“Ihh! Kenapa begitu? Cintanya kepada Kong-kong ternyata hanya palsu!” seru Thian Hwa penasaran. “Siapa sih pangeran itu? Hemm, tidak urung dia pun akan disia-siakan seperti halnya ibu kandungku!”

“Tak perlu kau ketahui siapa pangeran itu, tetapi dugaanmu keliru. Siapa orangnya berani mempermainkan Si Burung Hong Sakti? Kalau pangeran itu berani mengambil seorang selir saja, pasti dia akan menjadi korban siang-kiam (sepasang pedang) Souw Lan Hui! Apa lagi sampai berani menyia-nyiakan! Dan mengenai kepalsuan cinta, Cucuku, semua cinta yang dimiliki manusia dan yang didorong nafsu semuanya itu berpamrih, semuanya itu palsu. Engkau tahu sekarang, bukan hanya laki-laki saja yang suka mempermainkan cinta, kaum wanita pun ada. Jadi jangan menganggap semua laki-laki itu adalah tukang mempermainkan cinta dan wanita! Sudahlah, sekarang engkau masih sangat muda, baru delapan belas tahun. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kita membicarakan orang tuamu. Pangeran Ciu Wan Kong itu jelas adalah ayah kandungmu, jadi engkau juga bermarga Ciu, keturunan seorang pangeran!”

“Aku tidak sudi memakai marga pangeran yang jahat dan yang mengusir ibu kandungku, menyebabkan kematian Ibuku!” Thian Hwa berkata ketus.
“Nanti dulu, Thian Hwa. Melihat dia masih berduka dan masih mengingat ibumu, berarti dia mencinta ibumu. Perlu kau ketahui dulu mengapa ibumu dahulu diusir dan siapa yang mengusirnya. Mungkin Cui Sam, kakekmu itu dapat menceritakannya. Selain itu, belum tentu pula kalau ibumu sudah mati.”

“Ehh? Apa maksudmu, Kong-kong?”
“Dulu, pada saat aku menemukan engkau yang masih bayi, kupikir tentu ada orang-orang dewasa yang hanyut pula. Mungkin orang tuamu. Sebab itu aku telah berusaha mencari, akan tetapi tidak menemukan satu pun mayat terapung. Bukan mustahil kalau ibumu juga berhasil menyelamatkan diri seperti kakekmu itu, atau mungkin juga diselamatkan orang, seperti engkau kuselamatkan.”

“Ahh...!” Wajah gadis itu berseri, matanya bersinar-sinar penuh harapan. “Kalau begitu, aku akan mencarinya, Kong-kong!”
“Tenang dulu, Thian Hwa. Untuk menyelidiki tentang ibumu, agaknya engkau harus mulai dari kota raja, menemui kakekmu dulu. Dan mengingat akan pengalamanmu di kota raja, di situ tengah terjadi pertentangan dan persaingan dalam memperebutkan kekuasaan dan di situ terdapat orang-orang pandai yang mungkin akan mengancam keselamatanmu, oleh karena itu, sebelum kau pergi lagi, perlu sekali engkau memperdalam ilmu kepandaianmu. Akan kuajarkan semua ilmu yang kukuasai agar kepandaianmu meningkat sehingga tidak mudah engkau tertimpa bencana.”

Thian Hwa tidak berani membantah dan dia memang maklum bahwa di kota raja banyak terdapat orang pandai yang jahat, maka dia perlu membekali diri dengan kepandaian yang tinggi. Maka mulai hari itu dia tekun memperdalam ilmunya di bawah gemblengan Thian Bong Sianjin yang amat mengasihinya…..
********************
Sejak jaman kuno sekali, Cina memang memiliki kebudayaan yang sangat tinggi. Maka tidak mengherankan apa bila bangsa-bangsa yang pernah menjajah Cina, seperti bangsa Kin dan bangsa Mongol dahulu, sesudah menjajah Cina mereka itu malah terseret oleh kebudayaan Cina.

Para penjajah itu tidak mungkin dapat mengubah kebudayaan dan tradisi dari rakyat Cina yang jumlahnya berpuluh kali lipat lebih banyak dari pada jumlah rakyat penjajah. Karena kebudayaan Cina memang lebih tinggi, lagi pula untuk dapat menyesuaikan diri sehingga dapat menarik hati dan menguasai rakyat Cina dengan baik, para penjajah itu mengubah diri menjadi Cina, baik budayanya, adat istiadat, sastra dan bahasanya, bahkan namanya!

Demikian pula dengan bangsa Mancu. Biar pun bangsa Mancu telah menguasai sebagian besar daratan Cina bagian utara, yaitu dengan perbatasan mulai Sungai Yang-ce ke utara, sedangkan bagian selatan Sungai Yang-ce masih dikuasai sisa pendukung Kerajaan Beng yang dipimpin oleh Wu Sam Kwi di barat daya dengan ibu kota Yunnan-hu dan dua orang pemimpin rakyat lain yang tak begitu besar kekuatannya, tapi tetap saja penjajah Mancu juga ikut menyesuaikan diri dengan tata-cara hidup bangsa pribumi Han. Bahkan terkenal ejekan di antara para pendekar pejuang pribumi Han bahwa para pangeran, bangsawan dan pembesar tinggi penjajah Mancu itu malah menjadi ‘lebih Cina dari pada pribumi Cina sendiri’! Tapi siasat penjajah Mancu ini memang berhasil, karena dengan membaurkan diri dengan pribumi Han, Kerajaan Ceng (Mancu) dapat menarik simpati orang-orang Han.

Kerajaan Ceng menghargai orang-orang pribumi yang memiliki kepandaian tinggi, memberi mereka kedudukan penting. Pemerintah Mancu memang mengharuskan rakyat yang laki-laki untuk memelihara rambut yang dikuncir, namun mereka sendiri, para pangeran dan bangsawan, juga menggunakan kebiasaan ini sehingga rakyat Han tidak merasa terhina. Pula, para bangsawan itu sengaja mengubah nama Mancu menjadi nama Cina sehingga sukarlah diketahui apakah seorang pembesar itu berdarah Mancu ataukah Han, apa lagi karena orang-orang Mancu itu juga memakai bahasa Han dan menjalani tata-cara hidup dan kebudayaan Han!

Pada waktu kisah ini terjadi, yang menjadi kaisar Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661). Ketika Thian Hwa sedang memperdalam ilmu-ilmunya di atas bukit di Lembah Huang-ho, pada waktu itu Kaisar Shun Chi sudah tua.

Kaisar ini memang berwatak lemah sehingga dia mudah dipengaruhi oleh para Thaikam (Sida-sida, orang kebiri), yang menjadi pengurus terpercaya dalam istana. Kaisar Shun Chi bagaikan boneka dan jalannya pemerintahan seolah dikendalikan para Thaikam. Pada masa itu Kepala Thaikam yang menjadi penasehat utama kaisar adalah seorang sida-sida bernama Boan Kit yang berusia lima puluh tahun.

Boan Kit yang biasa disebut Boan Thaijin (Pembesar Boan) adalah seorang yang sangat cerdik. Dia pandai membawa diri, bersikap merendah dan menjilat di depan Kaisar Shun Chi, akan tetapi bersikap agung dan berwibawa di depan para pembesar sehingga mereka semua segan dan tunduk padanya. Selain pandai dan cerdik, Boan Kit yang peranakan Mancu Han ini adalah seorang ahli silat yang amat lihai dan juga dia memiliki kemampuan ilmu sihir. Karena pengaruh sihirnya itulah maka Kaisar Shun Chi menjadi semakin tunduk dan percaya padanya.

Kaisar Shun Chi menjadi semakin lemah dan tak lagi mengacuhkan urusan pemerintahan ketika dia makin tertarik dengan pelajaran Agama Buddha. Ia menganggap bahwa semua urusan dunia hanya menyeretnya ke dalam pertentangan, keterikatan dan duka nestapa. Yang lebih sering dilakukan hanyalah berdoa dan bermeditasi.

Inilah sebab utama terjadinya persaingan di antara para pangeran untuk memperebutkan tahta kerajaan. Kaisar Shun Chi lemah dan tidak mempedulikan, bahkan agaknya pernah mengatakan siapa yang akan menggantikannya. Kekuasaan sebenarnya berada di tangan para Thaikam, atau lebih tepat lagi, di tangan Thaikam Boan atau Boan Thaijin!

Thaikam Boan Kit bukan seorang yang bodoh. Tidak. Dia cerdik bukan main. Tentu saja dia maklum bahwa sebagai seorang Thaikam, tak mungkin dia akan dapat menggantikan kedudukan Kaisar. Apa bila dia merampas kedudukan Kaisar, semua pangeran pasti akan mengeroyok dan menumpasnya. Maka dia harus mengadakan pilihan, siapa kiranya yang patut dijagokannya sebagai pengganti kaisar yang sudah tua itu, tentu saja seorang kaisar baru yang akan dapat dia kuasai pula!

Dan sudah sejak beberapa bulan dia menjatuhkan pilihannya kepada Pangeran Leng Kok Cun! Pangeran Leng Kok Cun yang berusia empat puluh tahun itu adalah putera seorang selir kaisar yang ke tujuh. Menurut urut-urutan para pangeran, tak mungkin dia yang akan diberi hak menggantikan ayahandanya kelak. 

Pangeran Leng Kok Cun berambisi besar untuk kelak menggantikan kedudukan kaisar, maka tentu saja dia menjadi semakin bersemangat ketika Thaikam Boan Kit mengulurkan tangan untuk mengadakan kerja sama. Tentu saja dengan perjanjian kelak Thaikam Boan Kit yang akan menjadi penasehat utama atau istilahnya Kok-su (Guru Negara) yang akan mengatur semua politik yang dikeluarkan kaisar yang berkuasa!

Dengan penuh semangat Pangeran Leng Kok Cun lalu mengerahkan segala daya untuk memperkuat diri. Dia bahkan mengundang orang-orang yang sakti untuk membantunya, dan menyerahkan kepada Pat-chiu Lo-mo untuk menghubungi para jagoan itu.

Selain Pangeran Leng Kok Cun, yang ingin sekali dapat mewarisi tahta kerajaan adalah Pangeran Cu Kiong, putera dari selir ke tiga dari Kaisar Shun Chi. Tidak seperti Pangeran Leng Kok Cun yang tidak mempunyai harapan untuk menjadi kaisar kecuali ia melakukan pemberontakan atau merebut dengan kekerasan, Pangeran Cu Kiong punya harapan yang lebih banyak. Saingannya hanya seorang saja, yaitu Pangeran Kang Shi, putera Kaisar Shun Chi dari permaisuri.

Akan tetapi saingan utamanya ini, yang tentu saja berhak menjadi putera mahkota, baru berusia sembilan tahun! Sedangkan selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri. Maka dia mempunyai harapan besar, setidaknya menjadi penjabat kaisar atau untuk sementara mewakili kaisar yang masih belum cukup umur! Karena itu, Pangeran Cu Kiong berusaha sebisa mungkin untuk menyenangkan hati ayahandanya, Kaisar Shun Chi, dan tentu saja dia menentang gerakan Pangeran Leng Kok Cun!

Ada pun Pangeran Kang Shi yang berusia sembilan tahun itu sejak berusia lima tahun oleh Kaisar Shun Chi telah diserahkan kepada adiknya untuk dididik. Kaisar mengenal adiknya, Pangeran Bouw Hun Ki yang kini berusia sekitar lima puluh dua tahun, sebagai seorang pangeran yang jujur, ahli sastra dan tata-negara, juga saling mengasihi dengan dia. Selain itu, Pangeran Bouw Hun Ki memiliki seorang putera yang terkenal sebagai seorang ahli silat yang amat tangguh sehingga tidak pernah ada orang-orang jahat berani mengganggu Pangeran Bouw Hun Ki sekeluarga.

Putera Pangeran Bouw Hun Ki bernama Bouw Kun Liong, berusia sekitar dua puluh tiga tahun dan orang-orang mengenalnya sebagai Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw). Semua orang segan dan menghormatinya karena meski pun pemuda ini terkenal lihai, akan tetapi sikapnya ramah dan lembut.

Walau pun dia sendiri lemah dan tidak mengacuhkan pemerintahan, agaknya Kaisar Shun Chi merasa bahwa di antara para pangeran sudah terjadi pertentangan secara diam-diam. Sebagai seorang ayah dia dapat merasakan hal ini. Untuk urusan pemerintahan memang dia lebih condong menuruti nasehat Thaikam Boan Kit. Akan tetapi untuk urusan keluarga dia lebih percaya kepada adiknya, yaitu Pangeran Bouw Han Ki.

Pada suatu malam diam-diam dia mengundang Pangeran Bouw Hun Ki datang ke istana dan diajak berbicara empat mata di dalam kamarnya. Di dalam kamar itu, tanpa didengar atau dilihat orang lain, Kaisar Shun Chi memesan wanti-wanti kepada adiknya itu supaya membimbing, melindungi dan membela Pangeran Kang Shi sebagai putera mahkota yang kelak berhak penuh untuk menggantikan dia sebagai kaisar.

Dalam kesempatan ini Pangeran Bouw Hun Ki bersumpah setia akan menaati perintah kaisar. Setelah meninggalkan pesan ini, barulah hati Kaisar Shun Chi menjadi tenang.

Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik Kaisar Shun Chi dan adik Pangeran Bouw Hun Ki pula. Walau pun kini Pangeran Ciu Wan Kong tidak mau memegang jabatan dan tampak lemah, namun dia juga seorang pangeran yang setia kepada Kaisar Shun Chi.

Beberapa kali Pangeran Leng Kok Cun mencoba untuk membujuknya agar pamannya itu suka menjadi pendukungnya seperti beberapa orang pangeran dan bangsawan lain yang dapat dia pengaruhi. Dukungan Pangeran Ciu Wan Kong tentu saja amat penting, karena sebagai adik kaisar, tentu saja suara pangeran ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Namun Pangeran Ciu Wan Kong bukan saja menolak keras bujukan itu, bahkan dia sering menegur keponakannya yang ambisius itu. Tentu saja hal ini membuat Pangeran Leng Kok Cun membenci pamannya itu dan menganggap bahwa Pangeran Ciu Wan Kong merupakan seorang di antara mereka yang menjadi penghalang ambisinya…..
********************
Sang waktu lewat seperti biasa, wajar dan sesungguhnya cepat atau lambat tergantung kepada kita yang merasakan dan menilainya. Akan tampak lama sekali kalau kita sedang tergesa-gesa menantikan sesuatu dan memperhatikan waktu, tapi sebaliknya akan terasa cepat bukan main kalau kita tidak memperhatikannya.

Karena tidak diperhatikan, sang waktu melesat dengan cepatnya sehingga tahu-tahu satu tahun telah lewat semenjak Thian Hwa tinggal bersama Thian Bong Sianjin di bukit kecil di Lembah Huang-ho. Bukit itu dinamakan Yang-liu-san (Bukit Pohon Cemara) karena di situ banyak ditumbuhi pohon cemara beraneka macam.

Karena sebenarnya Thian Hwa memang telah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silatnya, maka yang masih dapat diajarkan Thian Bong Sianjin hanya sedikit, namun yang sedikit itu menyempurnakan ilmu kepandaian Thian Hwa. Sekarang, sesudah selama setahun ia digembleng dan berlatih dengan tekun tanpa mengenal jenuh dan lelah, akhirnya tingkat kepandaian gadis yang sekarang berusia sembilan belas tahun itu telah seimbang dengan tingkat yang dikuasai Thian Bong Sianjin sendiri!

Ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat yang dikuasainya semakin dahsyat, demikian pula ilmu pedang Huang-ho Kiam-hoat yang merupakan hasil gubahan Thian Bong Sianjin sendiri, telah dikuasai dengan amat baiknya. 

Selain kedua ilmu pedang andalannya ini, juga ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan) merupakan ilmu pukulan yang gerakannya sangat cepat sehingga bila dimainkan seolah-olah ia memiliki sembilan buah lengan!

Di samping itu semua, Sinkang (Tenaga Sakti), Khikang (Tenaga Hawa Murni), Lweekang (Tenaga Dalam), dan Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) sudah diperkuat dengan latihan yang tekun siang malam. Masih ada satu lagi ilmu andalannya, yaitu menggunakan Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih), yang berupa senjata rahasia jarum dengan kepala bunga putih kecil.

Pada hari itu Thian Bong Sianjin dihadap murid yang sekaligus juga cucu angkatnya ini. Mereka duduk bersila berhadapan di atas bangku di ruangan depan kuil yang kini menjadi tempat tinggal Thian Bong Sianjin. Thian Hwa mengenakan pakaian serba putih sehingga ia terlihat bersih dan cantik segar, dengan pedang tergantung di punggungnya dan sebuah buntalan pakaian berada di atas meja. Kiranya gadis ini sudah siap-siap untuk melakukan perjalanan, dan kini ia menerima pesan dan nasehat gurunya atau juga kakek angkatnya.

“Thian Hwa, aku yakin semua pesan dan nasehatku yang lalu masih engkau ingat semua. Yang perlu kuulangi lagi supaya tak akan kau lupakan ialah agar engkau selalu bertindak sebagai seorang pendekar sejati. Ingat baik-baik, Thian Hwa. Sekarang bukan waktunya untuk memperjuangkan tanah air dari tangan penjajah, karena pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) terlalu kuat dan agaknya, pemberontakan tidak akan berhasil. Lihat saja betapa kini kekuatan Wu Sam Kwi makin melemah dan seperti juga para raja kecil di selatan, dia bukan lagi memperjuangkan kemerdekaan tanah air, tetapi memperjuangkan kekuasaan dan kesenangan diri masing-masing. Aku mendengar bahwa bangsa Mancu menghargai kebudayaan Han, bahkan mereka seakan meleburkan diri menjadi sama dengan bangsa pribumi. Ini pertanda yang baik. Kalau memang mereka merupakan penguasa yang adil dan mencinta rakyat, juga suka mempergunakan tenaga pribumi untuk mengatur negara, maka kita tak perlu menentang mereka. Engkau bertindak saja seperti seorang pendekar pembela keadilan dan kebenaran. Siapa yang jahat, tidak peduli dia bangsa dan golongan apa, sepatutnya engkau tentang. Sebaliknya, belalah mereka yang lemah tertindas, tidak peduli dia bangsa apa. Ingat, engkau sendiri pun mempunyai darah Mancu, bahkan ayah kandungmu seorang Pangeran Mancu, tapi ibumu seorang wanita Han. Sebab itu jangan biarkan dirimu terseret dalam pertentangan antar bangsa, melainkan tempatkanlah dirimu di pihak kebenaran. Dan ingatlah, Cucuku, bagaimana pun juga Pangeran Ciu Wan Kong adalah ayah kandungmu. Bersikaplah bijaksana terhadap ayah kandungmu. Jika ternyata dia adalah seorang yang baik budi, meski andai kata dahulu dia bersalah terhadap ibumu, bersikaplah untuk memaafkannya. Sebaliknya kalau dia terperosok ke dalam kejahatan, sudah menjadi kewajibanmu sebagai anak yang berbakti, engkau harus menyadarkan dan mengingatkannya. Jangan lupakan pesanku ini, Thian Hwa.”

“Baiklah, Kong-kong. Aku akan selalu menaati semua pesanmu. Selama aku pergi, harap Kong-kong suka menjaga diri baik-baik.”
“Jangan khawatir, Thian Hwa. Tanah di sini amat subur dan sungainya pun mengandung banyak ikan, aku tidak akan kekurangan. Agaknya aku sudah bosan merantau. Aku akan menetap di Bukit Cemara ini dan akan selalu berada di sini kalau engkau ingat kepadaku dan ingin menemuiku.”

Sesudah berpamit dari kakeknya, Thian Hwa menuruni Bukit Cemara. Pagi itu cerah dan pemandangan dari atas bukit itu sangat indahnya. Dari puncak tampak Sungai Huang-ho yang amat lebar. Airnya memantulkan sinar matahari pagi sehingga menyilaukan mata.

Kini Thian Hwa berusia sembilan belas tahun. Pakaiannya tetap serba putih, terbuat dari sutera. Rambutnya disanggul secara sederhana, diikat tali sanggul berwarna merah muda. Ikat pinggangnya seperti akan membelah pinggangnya yang ramping. Dia menaati pesan Thian Bong Sianjin, kini pedangnya dia sembunyikan di dalam buntalan pakaian.

Memang pada jaman itu Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) melarang orang membawa senjata tajam. Untuk menjaga agar jangan memancing keributan, oleh gurunya Thian Hwa dipesan agar tidak membawa pedangnya secara mencolok. 

Buntalan pakaiannya digendong di belakang punggung dan dia tampak cantik jelita ketika menuruni puncak Yang-liu-san. Thian Hwa memang cantik menarik, bagaikan setangkai bunga sedang mekar.

Wajahnya berbentuk bulat telur berkulit putih mulus, di sana-sini kemerahan tanda sehat. Rambutnya hitam lebat serta panjang, halus bagaikan benang sutera dan terawat bersih. Anak rambut halus berjuntai di atas dahinya dan melingkar di kedua pelipisnya, membuat sepasang telinganya yang berbentuk indah itu tampak semakin manis. Alisnya hitam kecil agak melengkung seperti dilukis, hasil lukisan alam yang sewajarnya, tidak dibuat tangan manusia namun amat indahnya. 

Sepasang matanya bening dan jeli, sinarnya tajam terkadang mencorong membayangkan keberanian dan wibawa yang kuat. Bulu matanya panjang lentik membuat bayang-bayang di bawah matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menjungkat ke atas berkesan agung.

Mulutnya merupakan bagian yang paling menarik. Bentuk mulutnya amat menggairahkan, dengan sepasang bibir yang lembut dan penuh, kulitnya tipis bagaikan buah yang masak, merah tanpa gincu. Kalau tersenyum tampaklah kilatan gigi yang berderet rapi dan putih seperti mutiara. Mulut itu menjadi lebih manis lagi karena ada lesung pipi di kanan kirinya dan dagunya agak meruncing.

Bentuk tubuh dara ini menambah daya tarik yang menggairahkan. Ramping padat dengan lekuk lengkung sempurna seorang wanita yang sedang tumbuh dewasa!

Seperti terbang cepatnya ia berlari menuruni Bukit Cemara dan tidak lama kemudian dia telah berdiri di pinggir Sungai Huang-ho. Beberapa lamanya ia berdiri di tepi sungai yang sunyi itu, menanti kalau-kalau ada perahu lewat.

Sesudah cukup lama menunggu dan tidak ada perahu yang dapat ditumpanginya ke hilir, Thian Hwa lalu memotong batang pohon cemara yang cukup besar, membuat sepasang kayu papan peluncur dan sebatang ranting panjang untuk dayungnya. Sesudah terompah peluncur itu selesai dibuatnya, dia lalu melanjutkan perjalanan dengan berselancar di atas air dengan sangat cepatnya. Karena kini dia melakukan perjalanan berselancar mengikuti arus sungai ke hilir, maka tentu saja ia tidak perlu menggunakan banyak tenaga.

Beberapa hari kemudian Thian Hwa tiba di Terusan Besar yang menghubungkan Sungai Huang-ho ke utara. Dia lalu melanjutkan perjalanan melalui daratan, menyusuri sepanjang Terusan ke utara karena di Terusan itu terdapat banyak perahu dan dia tak ingin menarik perhatian orang dengan berselancar.

Pada suatu pagi, setelah melewatkan malam di sebuah dusun, Thian Hwa melanjutkan perjalanan. Kota besar Thian-cin sudah tinggal belasan mil lagi di depan. Dia melalui jalan yang sunyi dan tiba-tiba saja ia mendengar suara ribut-ribut di depan ketika ia memasuki daerah berhutan. Karena suara ribut-ribut itu seperti suara orang berkelahi, Thian Hwa lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara.

Setelah sampai di tempat perkelahian yang agak jauh dari jalan sepanjang Terusan, Thian Hwa mengintai dari balik sebuah pohon besar dan ia melihat seorang pemuda berpakaian serba kuning dikeroyok oleh dua orang dan nampak dua belas orang berpakaian tentara Mancu berjaga-jaga sambil mengepung dalam lingkaran besar.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh empat tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan. Dengan memegang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) pendek pemuda itu menghadapi kedua orang pengeroyoknya dengan gerakannya yang mantap dan kokoh. Dari kedudukan kuda-kuda kaki dan gerakan silatnya, Thian Hwa yang sudah mendapat banyak petunjuk dari Thian Bong Sianjin segera mengenal bahwa pemuda gagah itu tentu seorang murid Siauw-lim-pai yang tangguh.

Tetapi ketika ia memandang kepada dua orang yang mengeroyok pemuda itu, ia langsung mengerutkan alisnya. Ia segera mengenal dua orang itu.

Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh dua tahun, bertubuh gemuk pendek dan berwajah sombong. Ia bukan lain adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to (Si Golok Elang Terbang), orang yang dahulu pernah bertempur dengannya ketika dia mengunjungi Perkumpulan Liong-bu-pang di kota Tui-lok sekitar satu setengah tahun yang lalu.

Sedangkan orang ke dua yang mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu adalah Louw Cin, Ketua Liong-bu-pang! Dia tahu benar bahwa dua orang itu adalah kaki tangan atau para pendukung Pangeran Leng Kok Cun, dan melihat selosin tentara Mancu yang mengepung tempat perkelahian itu, tahulah ia bahwa pemuda Siauw-lim-pai itu tentu dianggap musuh pula oleh mereka.

Thian Hwa merasa kagum juga melihat sepak terjang pemuda Siauw-lim-pai itu. Dengan gagahnya dia melawan kedua orang pengeroyoknya. Phang Houw yang bersenjata golok besar dan berat itu dia anggap tidak berbahaya, hanya sombong saja. Akan tetapi Ketua Liong-bu-pang, yaitu Louw Cin yang tinggi kurus dan berusia empat puluh tahun lebih itu merupakan lawan yang cukup berbahaya.

Ketua Liong-bu-pang ini menggenggam senjata sebatang ruyung berduri yang terbuat dari baja sehingga nampak berat dan sangat menyeramkan. Namun pemuda Siauw-lim-pai itu melakukan perlawanan gigih. Sepasang tombak cagaknya yang hanya sepanjang lengan digerakkan dengan mantap sekali.

Setiap kali ia menangkis serangan lawan, terdengar suara berdentang nyaring dan bunga api lantas berpijar berhamburan. Phang Houw selalu tampak tergetar setiap kali goloknya tertangkis tombak cagak, menunjukkan bahwa dia kalah kuat. Akan tetapi Louw Cin dapat mengimbangi tenaga pemuda Siauw-lim-pai itu.

Pertandingan satu lawan dua itu berlangsung begitu serunya dan setiap serangan kedua pihak merupakan ancaman maut. Meski di dalam hatinya Thian Hwa tentu saja berpihak kepada pemuda Siauw-lim-pai ini karena dia memang tidak suka kepada para pendukung Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak itu, namun melihat betapa pemuda Siauw-lim-pai itu cukup tangguh untuk membela diri, maka Thian Hwa juga tak mau turun tangan membantu pemuda itu.

Akan tetapi, mendadak Louw Cin memberi komando kepada pasukan Mancu yang terdiri dari selosin prajurit itu dan segera pasukan itu maju mengeroyok si pemuda! Melihat ini, tentu saja Thian Hwa merasa penasaran sekali dan dia sudah siap untuk terjun ke dalam pertempuran membantu pemuda Siauw-lim-pai yang kini dikeroyok empat belas orang itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampak sesosok bayangan berkelebat didahului sinar merah. Thian Hwa segera menahan diri tidak jadi turun tangan membantu.

Dia melihat betapa sinar merah bergulung-gulung dan menyambar-nyambar, mengamuk di antara para prajurit Mancu. Ke mana pun sinar merah menyambar, tentu ada seorang prajurit yang roboh! Pada waktu dia memperhatikan, Thian Hwa melihat bahwa bayangan dengan sinar merah itu adalah seorang wanita muda cantik jelita yang memegang sebuah payung berwarna merah.

Wanita itu hebat bukan kepalang! Setiap kali menyambar, payung merahnya yang indah itu tentu segera merobohkan seorang prajurit dan ternyata bahwa gagang payung merah itu merupakan sebatang pedang yang ujungnya menonjol di atas payung!

Wanita itu berusia sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, tampak masih muda dan cantik sekali biar pun sikap, pandang mata dan senyumnya yang mengandung ejekan itu menunjukkan bahwa ia seorang yang telah matang dalam pengalaman hidup.

Tubuhnya ramping dan menggairahkan, agak tinggi. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri para bangsawan. Pakaiannya juga indah mewah dengan perhiasan lengkap, anting-anting, tusuk sanggul emas permata, kalung, gelang giok, cincin permata. Pendek kata serba lengkap, mewah dan indah!

Akan tetapi Thian Hwa harus mengakui bahwa wanita itu memang amat lihai. Senjatanya berupa payung pedang itu dapat dipakai sebagai pelindung sinar matahari dan hujan, juga sebagai pelengkap dandanannya karena payung itu berwarna merah dan berbentuk indah, dapat pula digunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Payung itu dapat dipergunakan sebagai perisai merangkap pedang dan amat berbahaya bagi lawan.

Dengan lincahnya gadis berpayung merah itu mengamuk dan kedua belas orang prajurit Mancu itu kocar-kacir! Sebentar saja sudah enam orang prajurit yang roboh oleh gadis itu.
Melihat ini, para prajurit yang tinggal enam orang lagi menjadi gentar. Juga Louw Cin dan Phang Houw agaknya menjadi jeri juga. Baru mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu saja sudah sukar untuk mengalahkannya, sekarang muncul gadis aneh yang lihai bukan main itu!

Maka, maklum akan bahaya yang mengancam mereka, Louw Cin dan Phang Houw cepat berloncatan jauh meninggalkan lawannya. Enam orang tentara Mancu juga mengambil langkah seribu mengikuti dua orang pemimpin mereka.

Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Agaknya tadi mereka menambatkan kuda-kuda mereka tak jauh dari situ ketika menghadang dan menyerang pemuda Siauw-lim-pai itu, dan kini mereka kabur dengan menunggang kuda-kuda itu, meninggalkan enam orang anggota pasukan yang telah tewas di tangan wanita bersenjata payung itu!

Pemuda Siauw-lim itu kini berdiri berhadapan dengan penolongnya. Dia menggantungkan kembali siang-kek di punggungnya, lantas mengangkat kedua tangannya menjura kepada gadis berpayung itu.

“Bantuan Nona yang sangat berharga sudah menyelamatkan nyawaku, dan aku Bu Kong Liang mengucapkan banyak terima kasih.”

Gadis berpakaian sutera hijau berkembang merah itu tersenyum dan senyumnya sangat manis, matanya yang jeli seperti mata Burung Hong itu mengerling dengan lagak genit.

“Bu-enghiong (Pendekar Bu), tidak enak jika bicara di dekat mayat-mayat ini, marilah kita mencari tempat yang bersih di mana kita dapat berbicara dengan nyaman,” kata gadis itu sambil memanggul payungnya untuk melindungi wajah serta lehernya dari sinar matahari yang mulai menghangat. Kemudian dia berjalan cepat meninggalkan hutan itu menuju ke utara. Pemuda itu mengikutinya.

Thian Hwa ikut membayangi dari jauh. Kebetulan ia sendiri juga sedang menuju ke utara, maka perjalanan mereka searah dan dia memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda dan gadis itu dan mengapa mereka bertentangan dengan anak buah Pangeran Leng Kok Cun.

Pada waktu melihat dua orang itu berhenti di tepi Sungai Terusan, di tempat yang sunyi, Thian Hwa juga berhenti dan cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar. Mereka telah meninggalkan tempat tadi sejauh sekitar dua mil.

Pemuda itu duduk di atas batu di tepi sungai, akan tetapi wanita cantik itu masih berdiri, menutup payungnya karena tempat itu cukup teduh, sinar matahari terhalang daun-daun pohon. Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kakinya mencokel sebuah batu sebesar kepalan tangan dan batu itu dengan amat cepatnya langsung meluncur ke arah kepala Thian Hwa yang sedikit keluar dari balik batu besar!

“Wuuuuuttt...! Plakk!”

Batu itu kini berada di tangan kiri Thian Hwa yang menyambut sambitan tadi. Wanita itu tertawa, tawanya merdu, terkekeh seperti mengandung ejekan.

“Adik yang manis, mengapa semenjak tadi mengikuti kami? Kalau ingin bicara, keluarlah menemui kami!” katanya.

Thian Hwa merasa malu juga karena perbuatannya membayangi sejak tadi ternyata telah ketahuan. Mungkin semenjak tadi wanita itu juga mengetahui ketika ia mengintai pemuda Siauw-lim-pai yang dikeroyok orang. Ia pun keluar dan sengaja ia meremas hancur batu yang disambitkan tadi. Diremas dalam tangannya yang mungil, batu itu hancur, dan Thian Hwa menyebarkan debunya ke atas tanah. Lalu ia melangkah dengan dada terangkat dan kepala ditegakkan, menghampiri dua orang itu.

Gadis berpakaian sutera hijau berkembang-kembang merah itu tersenyum mengangguk-angguk.

“Bagus! Adik yang manis, ginkang-mu (ilmu meringankan tubuh) ketika membayangi kami cukup hebat dan sinkang-mu (tenaga saktimu) ketika meremas hancur batu juga sangat hebat. Tidak tahu di pihak mana engkau berdiri? Kalau engkau adalah kawan antek-antek Mancu tadi, jangan buang waktu lagi, seranglah aku!”

Ditantang begitu, Thian Hwa lalu membalas senyuman gadis itu. Tentu saja dia tidak sudi berpihak kepada orang-orangnya Pangeran Leng Kok Cun.

“Aku tidak berpihak siapa pun. Aku kebetulan lewat dan menonton pertempuran. Karena tertarik kepada kalian maka aku mengikuti kalian,” katanya, jujur dan bersahaja.
“Bagus, kalau begitu mari kita bertiga saling berkenalan. Silakan duduk, Adik manis.”

Gadis itu duduk di atas batu di depan pemuda Siauw-lim-pai, sedangkan Thian Hwa juga mengambil tempat duduk di atas batu di depan mereka. Biar pun dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tampaknya seperti bangsawan, dan dengan seorang pemuda pendekar Siauw-lim-pai, namun Thian Hwa tidak mau bersikap rendah diri.

Gurunya atau kakeknya sering kali berpesan kepadanya agar sebagai seorang gagah dia jangan sekali-kali bersikap tinggi hati, akan tetapi juga jangan sekali-kali merasa rendah diri. Tinggi hati mendatangkan kesombongan dan suka sewenang-wenang terhadap orang lain yang direndahkan, sebaliknya rendah diri akan mendatangkan rasa takut dan menjadi penjilat yang di atas.

Dia harus selalu bersikap rendah hati akan tetapi harus pula menjaga tinggi harga dirinya. Maka, berhadapan dengan dua orang muda itu, ia bersikap tenang dan biasa saja, tidak menganggap mereka lebih tinggi atau lebih rendah.

Sejenak lamanya mereka bertiga hanya duduk diam dan saling pandang. Kini Thian Hwa dapat melihat jelas wajah dan sikap pemuda itu.

Seorang pemuda yang sikapnya gagah perkasa namun sederhana, baik pakaian mau pun sikapnya. Matanya membayangkan keteguhan hati, dan biar pun jarang tersenyum namun wajahnya cerah. Usianya sekitar dua puluh empat tahun. Pakaiannya warna kuning, dari kain kasar sederhana namun bersih.

Gadis cantik itu sebaliknya. Dia memiliki wajah yang penuh senyum dan gembira, dengan sinar mata yang tajam dan nakal, mulut dengan senyumnya itu seolah mengejek. Namun harus diakui bahwa gadis itu memiliki daya tarik yang kuat.

“Nah, sekarang kita berkenalan dan saling memberi-tahukan nama masing-masing. Twako (Kakak) ini bernama Bu Kong Liang seperti yang tadi dia akui, ada pun aku hanya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Berpayung Merah) dan engkau, Adik yang manis, siapakah namamu?”

Karena gadis itu tidak memperkenalkan nama, hanya memperkenalkan julukannya, maka ia pun menirunya. “Aku biasa disebut Huang-ho Sian-li.”

“Hemmm, dengan julukan Dewi Sungai Huang-ho, engkau tentu memiliki kepandaian yang sangat hebat, Nona,” kata pemuda murid Siauw-lim-pai yang bernama Bu Kong Liang itu, ucapannya jujur dan tidak mengandung maksud lain.

Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hik-hik, julukanmu benar-benar bagus, Sian-li. Sebaiknya aku menyebutmu Sian-li saja, engkau setuju?”

Thian Hwa mengangguk, “Boleh, dan aku akan menyebutmu Niocu saja.”
“Heh-heh-heh! Bagus, engkau terbuka dan jujur, seperti juga Bu-twako ini, aku suka itu! Nah, sesudah sekarang saling berkenalan, kita perlu menceritakan keadaan kita masing-masing, bukan? Apa artinya mempunyai kenalan tanpa mengetahui keadaannya? Malah bisa menimbulkan salah paham dan pertentangan. Hayo, Bu-twako, engkau yang laki-laki sepatutnya mengalah dan menceritakan dulu keadaan dirimu!”

Bu Kong Liang tersenyum, “Baiklah, memang tidak ada rahasia tentang diriku. Namaku Bu Kong Liang, aku sebatang kara di dunia ini, yatim piatu sejak kecil. Sejak berusia lima tahun aku telah menjadi kacung dan murid di Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim). Setelah tamat belajar, para suhu di Siauw-lim-pai mengutus aku untuk pergi ke kota raja dan menyelidiki keadaan kota raja sesudah pemerintahan dipegang oleh Kerajaan Ceng. Dan tadi, ketika aku sedang berjalan menyusuri Terusan, tiba-tiba aku dihadang pasukan Kerajaan Ceng (Mancu) yang hendak menangkap aku dengan tuduhan akan melakukan pemberontakan. Sungguh aneh! Mungkin mereka tahu dari para penyelidik bahwa aku murid Siauw-lim-pai sehingga mereka mencurigai aku.”

“Bagus! Walau pun riwayat itu pendek saja, namun sudah dapat menjelaskan bahwa Bu-twako adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang tentu saja tak akan merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu! Lalu, bagaimana dengan engkau, Sian-li? Tiba giliranmu untuk menceritakan keadaanmu supaya kami dapat lebih mengenalmu dengan baik. Aku percaya bahwa engkau pasti murid seorang yang amat pandai sehingga semuda ini telah memiliki ginkang dan sinkang sedemikian hebatnya.”

Thian Hwa menjawab dengan tegas. “Niocu, tadi engkau yang minta agar Bu-twako yang pertama memperkenalkan diri dan keadaannya, itu sudah tepat, karena memang dia yang paling tua dan sudah sepatutnya mengalah. Sekarang, karena engkau lebih tua dari pada aku, Niocu, sebaiknya engkau yang lebih dulu menceritakan keadaanmu.”

“He-heh-heh, engkau ini anak yang cerdik, Sian-li. Agaknya engkau belum percaya benar kepadaku karena belum mengetahui siapa aku dan bagaimana latar belakangku. Baiklah, aku akan menceritakan keadaanku dengan sejujurnya karena aku yakin bahwa Bu-twako dan engkau sendiri bukanlah antek-antek penjajah Mancu, bukan orang-orang dari pihak musuhku. Aku datang dari Barat-daya, dari kota raja Yunnan-hu, dan aku adalah seorang puteri kepala suku bangsa Yao. Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan guruku yang terakhir adalah Suhu Lam Hai Cinjin yang di selatan terkenal sebagai Datuk Selatan dan kini menjabat sebagai Koksu (Guru Negara) yang membantu usaha gerakan pasukan Jenderal Wu dalam menentang penjajah Mancu.”

“Hemm, kalau begitu engkau adalah seorang pejuang dari selatan, Niocu?” tanya Bu Kong Liang sambil memandang kagum.

Pada waktu itu, bagi para pendekar, terutama yang berasal dari daerah selatan, Wu Sam Kwi merupakan nama seorang pemimpin pejuang yang sangat patriotik dalam menentang penjajah Mancu.

Ang-mo Niocu tersenyum girang sambil mengangguk. “Dapat dianggap demikian, Twako. Aku telah diutus oleh Jenderal Wu untuk melihat-lihat keadaan pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu). Maka, ketika tadi aku melihat seorang pemuda dikeroyok tentara Mancu, tanpa ragu lagi aku membantumu. Nah, demikianlah riwayatku, agar kalian berdua mengetahui bahwa aku adalah orang yang bekerja untuk Jenderal Wu Sam Kwi yang dengan gigihnya berusaha mempertahankan sebagian tanah air daerah barat-daya dan bercita-cita hendak membebaskan seluruh tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu. Nah, sekarang tiba giliranmu, Sian-li. Cerita mengenai dirimu tentu jauh lebih menarik dari pada riwayat Bu-twako dan riwayatku.”

“Nanti dulu, Niocu, engkau belum menceritakan apakah ayah ibumu masih ada, dan kini tinggal di mana?” tanya Thian Hwa.

Ang-mo Niocu terkekeh. “Hi-hi-hik! Tadi sudah kuceritakan bahwa ayahku adalah seorang kepala suku bangsa Yao. Ayah dan Ibuku masih ada dan sekarang tinggal di Yunnan-hu. Mengapa engkau menanyakan orang tuaku, Sian-li?”

Thian Hwa menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya. Dua orang ini agaknya adalah pendekar-pendekar pejuang rakyat yang anti penjajah Mancu, sedangkan dia sendiri adalah keturunan seorang Pangeran Mancu.

Ayahnya, Pangeran Ciu Wan Kong, adalah adik Kaisar Shun Chi yang sekarang masih berkuasa. Walau pun ibunya seorang wanita Han pribumi, tetapi kalau ia mengaku bahwa ayah kandungnya adalah seorang Pangeran Mancu, dua orang ini pasti akan mencurigai dirinya, bahkan mungkin sekali akan memandangnya seperti seorang musuh!

“Niocu, riwayatku lebih tidak menarik lagi. Engkau amat beruntung karena masih memiliki orang tua. Aku, seperti Bu Twako, juga hidup seorang diri, sebatang kara. Sejak kecil aku menjadi murid Suhu Thian Beng Sianjin dan hidup di sepanjang Sungai Kuning (Huang-ho), menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas sehingga akhirnya orang-orang menyebutku Huang-ho Sian-li.” Thian Hwa merasa lega karena agaknya dua orang sahabat barunya itu tidak mengenal nama gurunya.

Bu Kong Liang bertanya, “Sian-li, tadi aku telah menceritakan bahwa aku diutus para suhu di Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan di kota raja sesudah pemerintahan dipegang oleh Kerajaan Ceng (Mancu). Juga Niocu sudah menceritakan bahwa dia menjadi utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk menyelidiki keadaan Kerajaan Ceng di kota raja. Sekarang engkau sendiri hendak ke manakah? Dan apa yang hendak kau lakukan?”

Tanpa ragu Thian Hwa menjawab dengan tegas. “Aku meninggalkan Lembah Huang-ho untuk merantau ke tempat-tempat ramai untuk mencari pengalaman, kini sedang menuju ke kota Thian-cin.”

“Kalau begitu, Sian-li, mari kita melakukan perjalanan bersama! Engkau dapat membantu aku karena aku percaya engkau tentu seorang pendekar wanita yang menentang penjajah Mancu!” kata Ang-mo Niocu.

Thian Hwa menggelengkan kepalanya. “Tidak, Niocu. Aku tak ingin melibatkan diri dalam perang. Tapi aku pasti akan menentang mereka yang melakukan kejahatan dan membela yang lemah tertindas, tidak peduli siapa atau golongan mana. Sekarang tidak ada perang lagi, karena itu yang terpenting bagiku adalah membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan di antara rakyat.”

Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya, tampak tidak senang mendengar ucapan Thian Hwa. “Mengapa begitu, Sian-li? Sudah jelas bahwa bangsa Mancu jahat sekali, menjajah tanah air kita. Setiap orang pendekar seharusnya menentang Kerajaan Ceng yang menjajah!”

“Tidak, Niocu. Sekarang belum tiba saatnya bagi rakyat untuk bangkit melawan Kerajaan Ceng. Nanti bila muncul seorang pemimpin patriot sejati yang bisa menghimpun pasukan rakyat untuk menentang dan memerangi penjajah, barulah mungkin aku akan membantu. Sekarang aku hanya hendak menjadi penentang kejahatan, bukan penentang pemerintah Kerajaan Ceng, seperti yang dipesan oleh guruku.”

“Ah! Bukankah Jenderal Wu Sam Kwi merupakan pemimpin patriot sejati? Setiap orang gagah harus membantunya untuk membebaskan tanah air dari penjajah Mancu.” Ang-mo Niocu berbicara penuh semangat. “Kalau tidak, maka orang gagah itu membiarkan dirinya menjadi pengkhianat!”
“Sesukamulah hendak bicara apa saja, Niocu! Tetapi terus terang saja, sekarang ini aku belum melihat adanya seorang pemimpin sejati yang patut menghimpun kekuatan rakyat!”

“Kalau begitu engkau menghina Jenderal Besar Wu Sam Kwi, Sian-li! Sikapmu ini dapat menimbulkan permusuhan antara kita berdua!”
“Terserah padamu, Niocu. Pendirianku sudah tetap dan tidak dapat diubah lagi. Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun, akan tetapi juga tidak akan menolak kalau ada orang yang memusuhi aku!” Kata-kata Thian Hwa juga mengandung kekerasan, karena ia pun sudah marah mendengar ucapan Ang-mo Niocu yang nadanya menentang tadi.....

Melihat dua orang gadis cantik itu berdiri dengan sikap seperti dua ekor singa betina siap untuk saling serang, Bu Kong Liang cepat menengahi.

“Aih, bagaimana sih kalian ini? Baru saja saling berkenalan tapi sekarang sudah ribut dan bertengkar? Niocu, kukira orang bebas untuk menentukan jalan pikiran dan pendapatnya masing-masing. Yang penting kita mempunyai satu sasaran, yaitu menentang kejahatan. Engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu agar orang lain menyetujui dan mengikuti pendapatmu sendiri.”

Ang-mo Niocu yang tadinya bersikap manis dan ramah sekali terhadap pemuda itu, kini memandang kepadanya dengan muka merah dan mata bersinar marah. “Bagus, Bu Kong Liang! Baru saja aku membantumu menghadapi pengeroyokan pasukan Mancu, dan kini engkau malah menentangku dan membela gadis ini?” bentaknya.

“Niocu, yang kubela adalah kebenaran. Dalam hal ini Huang-ho Sian-li mempertahankan pendiriannya dan dia tidak salah, akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendakmu agar diikuti orang lain, maka engkaulah yang bersalah, Niocu.”
“Biarlah Bu-twako, agaknya Niocu yang tadi membantumu tanpa kau undang bukan ingin menolongmu, melainkan memberi utang dan kini menagih! Kalau ia hendak memaksakan kehendaknya, aku tetap menolak, dan apa pun akibatnya pasti akan kuhadapi! Aku tidak menentang siapa pun, akan tetapi kalau ada yang menantangku, aku tidak akan mundur selangkah pun!” Thian Hwa yang memang pada dasarnya memiliki watak pemberani, jujur dan keras itu berkata dengan nada tegas, matanya mencorong memandang kepada Ang-mo Niocu.
“Kau...! Kau...!” Ang-mo Niocu marah sekali dan agaknya kedua orang gadis itu segera akan saling serang.

Melihat ini Bu Kong Liang cepat melangkah maju menghadapi Ang-mo Niocu dan berkata, “Niocu, kuharap engkau menyadari bahwa kedatanganmu dari selatan ke sini bukan untuk memusuhi para pendekar yang tidak sehaluan denganmu.”

Mendengar kata-kata pemuda itu, Ang-mo Niocu menekan kemarahannya. “Huhh, kalian menjemukan!” Sesudah berkata demikian, ia lalu memutar tubuhnya dan berkelebat pergi dengan gerakan cepat, sebentar saja menghilang dari situ.

Kini Thian Hwa berhadapan dengan Bu Kong Liang dan ia berkata, “Bu-twako, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku.”

“Nanti dulu, Sian-li. Engkau hendak ke Thian-cin, bukan? Aku pun hendak ke sana, sebab tujuanku adalah ke kota raja. Kalau engkau tidak merasa keberatan, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku ingin membicarakan tentang banyak hal denganmu, tentu saja kalau engkau suka, karena aku tidak ingin memaksakan kehendakku padamu seperti yang dilakukan Ang-mo Niocu tadi.”

Karena sikap pemuda itu sopan dan kata-katanya pun mengandung kejujuran, Thian Hwa tidak merasa keberatan untuk melakukan perjalanan bersama. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke utara, menyusuri tepi Terusan menuju ke Thian-cin sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan seenaknya, tidak tergesa-gesa.

“Sian-li, aku tertarik sekali ketika engkau mengatakan kepada Ang-mo Niocu, bahwa saat ini belum muncul pemimpin rakyat yang sejati untuk memimpin rakyat melawan pasukan penjajah Mancu. Padahal semua orang pun tahu bahwa sekarang, pemimpin yang secara terang-terangan menentang pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu), hanyalah Jenderal Wu Sam Kwi. Mengapa engkau tidak menganggap jenderal itu sebagai pemimpin perjuangan yang sejati?”

Thian Hwa menghela napas. Ia sudah banyak mendengar dari Thian Bong Sianjin tentang perlawanan terhadap bangsa Mancu yang dulu dilakukan oleh Pemimpin Laskar Rakyat Li Cu Seng dan Wu Sam Kwi yang jenderal.

“Aku mendengar dari guruku, bahwa sejarah merupakan saksi betapa orang-orang yang tadinya memimpin rakyat untuk menggulingkan sebuah pemerintahan, setelah perjuangan itu berhasil dan dia diangkat menjadi kaisar, lalu luntur kepemimpinannya, dan dia hanya menggunakan kekuasaannya untuk memakmurkan dirinya dan keluarganya saja. Mereka kemudian menjadi gila kekuasaan dan lupa akan rakyat yang semenjak dulu mendukung perjuangannya, lupa bahwa rakyatlah yang memungkinkan dia menjadi kaisar. Hidup dia dan keluarganya semakin mewah berlebihan, kekayaan ditumpuk sebanyaknya dan tidak kenal puas, sementara itu rakyat, atau lebih tepat sebagian besar dari rakyat, hidup serba kekurangan. Hanya segerombolan orang yang dekat dengan kaisar, yang mau menjilat dan mencari muka saja yang kebagian hidup makmur.”

“Aduh, keras sekali penilaianmu terhadap para pemimpin pejuang, Sian-li!” seru Bu Kong Liang sambil menahan senyum. “Pemimpin-pemimpin yang terakhir menentang masuknya pasukan Mancu adalah Li Cu Seng dan Jenderal Wu Sam Kwi. Nah, mengapa sekarang engkau menganggap mereka berdua itu bukan pemimpin sejati?”

“Aku sendiri tidak mengenal mereka, akan tetapi aku mendengar banyak tentang mereka dari guruku. Tadinya Li Cu Seng merupakan pemimpin Laskar Rakyat yang bijaksana dan cita-citanya besar. Dia memulai sebagai seorang pahlawan bangsa, seorang patriot sejati. Tetapi sesudah dia berhasil memimpin rakyat menduduki Peking dan mengakhiri Kerajaan Beng yang ketika itu dipimpin para penguasa yang lalim dan korup, dia juga menjadi gila kekuasaan sehingga banyak di antara para pendukungnya yang terdiri dari para pendekar yang gagah perkasa meninggalkannya. Kemudian dia pun diserbu oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang bekerja sama dengan bangsa Mancu, lalu terusir dan mati dalam pelarian. Jelas Li Cu Seng tidak dapat mempertahankan kemurniannya sebagai seorang pemimpin sejati. Dia bahkan pernah tergila-gila kepada seorang wanita yang tadinya menjadi selir tercinta Jenderal Wu Sam Kwi. Kemudian ketahuan bahwa Jenderal Wu Sam Kwi menyerang Li Cu Seng karena terdorong untuk membalas dendam dan merampas kembali selirnya itu. Jenderal Wu Sam Kwi merampas Peking dengan bantuan bangsa Mancu yang kemudian mempertahankan kota raja itu sebagai milik mereka. Jenderal Wu melarikan diri ke Barat Daya, akan tetapi di sana pun dia hidup sebagai raja kecil. Jadi mereka semua bukanlah pemimpin sejati yang benar-benar berjuang demi rakyat dan tidak menjadi gila kekuasaan kemudian menggendutkan perut sendiri sebagai hasil kemenangannya yang sebenarnya merupakan kemenangan rakyat jelata.”

Mendengar Thian Hwa bicara panjang lebar, Bu Kong Liang memandang penuh kagum, kemudian menghela napas panjang dan berkata. “Ahh, tidak kusangka engkau akan dapat mengemukakan pandangan yang demikian luas, Sian-li. Memang kukira pendapatmu itu tidak menyimpang terlalu jauh dari kenyataannya. Para suhu di Siauw-lim-pai juga sering kali mengatakan bahwa betapa pun gagah perkasanya seorang laki-laki, dia harus berhati-hati terhadap tiga hal yang akan mempengaruhi wataknya, yaitu Kekuasaan, Kekayaan, dan Wanita. Tiga kekuatan ini dapat menyelewengkan seorang yang gagah perkasa dan patriotik menjadi lalim dan mengejar kesenangan diri pribadi.”

“Ah, jangan memujiku, Twako. Sesungguhnya aku hanya mengetahuinya dari keterangan guruku.”

“Kalau begitu aku yakin bahwa gurumu itu pastilah seorang yang selain sakti juga sangat bijaksana. Sian-Ii, tadi sudah kuceritakan bahwa aku sedang menuju ke kota raja untuk memenuhi perintah para suhu di Siauw-lim-pai, yaitu melihat keadaan kehidupan rakyat di desa sampai di kota raja, sesudah kini pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Kalau boleh aku mengetahui, apakah engkau mempunyai tujuan dalam perjalananmu ini?”

“Twako, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, aku ingin bertanya lebih dulu. Apakah engkau juga anti Kerajaan Mancu dan menentangnya seperti halnya Ang-mo Niocu?”

“Ah, tidak, Sian-li. Keadaanku tiada bedanya denganmu. Para suhu di Siauw-lim-pai juga tidak ingin mengadakan permusuhan secara terbuka menentang Kerajaan Ceng, karena hal itu akan sia-sia belaka. Tak mungkin Siauw-lim-pai yang hanya mempunyai beberapa ratus anggota mampu menandingi pasukan Mancu berjumlah yang ratusan ribu itu. Tidak, aku hanya disuruh menyelidiki serta melakukan tugas sebagai murid Siauw-lim-pai, yaitu menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas.”

“Kalau begitu, kenapa tadi engkau diserang pasukan Mancu yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu Pangcu Louw Cin?”
“Ehh? Engkau mengenal dua orang yang memimpin pasukan itu, Sian-li?”
“Aku mengenal mereka, akan tetapi jawab dulu pertanyaanku tadi, Bu-twako.”
“Seperti yang telah kuceritakan tadi, aku sendiri tidak tahu kenapa aku diserang pasukan Mancu. Secara mendadak mereka menyerangku. Ini menguatkan dugaan para pimpinan Siauw-lim-pai bahwa dengan diam-diam Pemerintah Mancu mencurigai para perkumpulan persilatan besar, terutama sekali Siauw-lim-pai. Karena ketika terjadi perlawanan terhadap bala tentara Mancu, di pihak Kerajaan Beng banyak terdapat ahli-ahli silat dan pendekar-pendekar, di antaranya banyak pendekar dari Siauw-lim-pai. Mungkin saja ada mata-mata mereka yang mengetahui bahwa aku adalah seorang murid Siauw-lim-pai, maka mereka langsung mengeroyokku.”

Thian Hwa mulai percaya kepada pemuda itu, tetapi dia masih belum mau untuk mengaku tentang dirinya yang sebenarnya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran. Maka untuk menjawab pertanyaan pemuda itu tadi, ia lalu memberi-tahu sebagian saja.

“Bu-twako, engkau tadi menanyakan tujuan perjalananku. Aku juga hendak pergi ke kota raja untuk mencari kakekku yang dulu berada di kota raja, bekerja sebagai pelayan pada sebuah keluarga pangeran. Ada pun mengenai dua orang yang memimpin pasukan yang menyerangmu, memang aku mengenal mereka, bahkan pernah bentrok dengan mereka. Hui-eng-to Phang Houw dan Louw Cin Ketua Liong-bu-pang adalah kaki tangan seorang pangeran lain yang agaknya mempunyai ambisi untuk merampas kedudukan Kaisar yang sudah tua. Begitulah yang dapat kuterangkan kepadamu sementara ini dan harap engkau tidak bertanya lagi tentang itu, Bu-twako.”

Bu Kong Liang mengangguk-angguk. Diam-diam pemuda itu merasa kagum kepada Thian Hwa dan dia menduga bahwa tentu ada sesuatu yang dirahasiakan oleh gadis itu. Gadis yang begini cantik jelita, sederhana, mempunyai ilmu yang tinggi tetapi seperti ada rahasia yang menyelubungi dirinya.

Gadis yang agaknya mengenal keadaan para pangeran di kota raja sehingga mengetahui akan adanya pangeran yang ingin merampas tahta kerajaan yang berarti pemberontakan, bahkan pernah bentrok dengan kaki tangan pemberontak itu. Gadis aneh yang agaknya menyembunyikan pula namanya, hanya memperkenalkan diri dengan julukannya, Huang-ho Sian-li!

Akan tetapi ia menahan keinginan tahunya, khawatir kalau-kalau akan menyinggung gadis itu dan membuatnya marah. Dia ingin mengenal gadis itu lebih baik lagi yang dia percaya tentu seorang gadis pribumi Han mengingat akan keterangannya tadi bahwa dia adalah cucu seorang yang bekerja sebagai pelayan di sebuah keluarga pangeran. Pada waktu itu, yang bekerja sebagai pelayan keluarga bangsawan Mancu pastilah seorang pribumi Han!

“Terima kasih, Sian-li. Keteranganmu sudah cukup dan terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Aku senang sekali dapat melakukan perjalanan bersamamu ke kota raja karena engkau tentu sudah mengenal kota raja, sedangkan aku belum pernah melihatnya.”
“Aku pun baru satu kali berkunjung ke sana, hampir dua tahun yang lalu,” kata Thian Hwa, merasa lega bahwa pemuda itu tidak mendesak dan bertanya lebih jauh tentang riwayat dirinya. Ia merasa semakin suka kepada Bu Kong Liang yang agak pendiam, berwibawa, sopan dan bersikap hormat itu.

Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kota Thian-cin…..

********************
Selanjutnya baca
KEMELUT KERAJAAN MANCU : JILID-02
LihatTutupKomentar