Dewi Sungai Kuning Jilid 03
Thian Hwa pergi melakukan perjalanannya dengan hanya membawa sebungkus pakaian dan sebatang pedang. Dia pernah diberi-tahu kakeknya bahwa letak kota raja adalah di sebelah utara, maka dia langsung menuju ke utara dengan menggunakan ilmu lari cepat.
Karena biasanya dia melakukan perjalanan dengan berperahu dan di sepanjang Sungai Huang-ho, kini melalui gunung-gunung dan lembah-lembah yang penuh dengan tamasya alam yang jauh bedanya dengan pemandangan di sepanjang sungai, hatinya tertarik dan gembira sekali, seperti seorang kanak-kanak yang mendapat barang permainan baru.
Setelah berjalan dua hari, ia tiba di sebuah kampung yang makmur, dengan rumah-rumah yang bagus. Ternyata bahwa tanah di sekitar kampung itu amat subur dan menghasilkan banyak palawija sehingga memakmurkan para petani di kampung itu.
Tanah-tanah di sekitar kampung itu terbagi rata di antara para petani sehingga di situ tidak terjadi pemerasan tenaga seperti halnya di kampung-kampung yang terdapat tuan tanah yang menguasai seluruh sawah ladang sedangkan para petaninya hanya menjadi buruh tani belaka.
Di kampung Lun-cwan ini, semua petani memiliki sedikit tanah yang hasilnya cukup untuk menghidupkan seluruh keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan damai, saling tolong, dan membuat kampung itu menjadi sebuah tempat kediaman yang amat menyenangkan. Lebih lagi kampung itu hanya didiami keluarga-keluarga Tan dan Ong yang masih terikat kekeluargaan pula, karena pemuda-pemudi kedua turunan ini banyak yang terikat sebagai suami isteri. Ada juga pendatang dari keturunan lain, tetapi pendatang-pendatang baru ini pun amat taat dan tunduk kepada kerukunan yang telah ada sehingga malah menambah kekuatan dan persatuan kampung.
Kepala kampung di situ adalah seorang tua bernama Tan Hok San yang terkenal adil dan bijaksana, sehingga dicintai dan dihormati orang-orang kampung. Akan tetapi, beberapa pekan ini terjadi perubahan hebat sekali di kampung itu.
Sebetulnya yang sangat berubah sehingga membuat orang-orang kampung merasa heran dan penasaran adalah kepala kampung itu sendiri. Tanpa tahu sebab-sebabnya, orang-orang kampung melihat betapa Tan Hok San sekarang berubah menjadi pemeras rakyat yang luar biasa.
Kepala kampung yang selama bertahun-tahun dianggap sebagai seorang pemimpin yang cakap dan baik itu, tiba-tiba berubah menjadi seekor srigala yang ganas. Dia menetapkan pajak hasil sawah yang amat berat karena tujuh bagian dari hasil sawah harus diserahkan kepadanya dengan alasan untuk disetorkan kepada pembesar atasan di kota raja. Semua peternak juga dikenakan pajak yang sangat besar sehingga dalam beberapa pekan saja keadaan kampung itu sudah menjadi berbeda sama sekali.
Kegembiraan lenyap digantikan oleh kedukaan dan keheranan. Tiada seorang pun berani menegur, karena pernah ada seorang mencoba untuk menegur kepala kampung itu tetapi hasilnya orang itu sendiri lantas ditahan dan katanya dikirim ke kota raja karena dianggap memberontak terhadap pemerintah!
Ketika hendak memasuki kampung itu, Thian Hwa melewati sebuah hutan dan di situ dia melihat jenazah seorang laki-laki tua yang sudah rusak karena diganggu binatang hutan. Karena pemandangan ini, maka dia berlaku hati-hati dan menganggap bahwa kampung yang dimasukinya ini tentu bukanlah kampung yang aman dan baik. Ia mencoba mencari rumah penginapan, tapi sungguh mengherankan, dua buah rumah penginapan kecil yang biasa dibuka, kini dalam keadaan tertutup dan tidak menerima tamu.
“Maaf, Nona, sekarang rumah penginapan tidak dibuka lagi,” kata seorang bekas pelayan rumah penginapan itu.
“Mengapa tidak?”
“Kami tidak kuat membayar pajak!”
Begitu pula ketika Thian Hwa hendak memesan makanan di sebuah rumah makan yang telah ditutup, dia mendapat jawaban serupa. Keadaan kampung itu membuat dia merasa curiga dan menduga pasti ada apa-apa. Ia bertanya kepada seorang yang tampak muram dan duduk di depan rumahnya.
“Maaf, Lopeh, aku baru saja mendengar bahwa orang-orang takut membuka usaha sebab mereka dikenakan pajak. Sebenarnya siapakah yang mengadakan pajak-pajak besar itu, Lopeh?”
Orang tua itu memandangnya dengan mata terbelalak, kemudian sesudah menengok ke kanan kiri, dia segera mempersilakan Thian Hwa masuk, lalu mengunci pintu rumahnya!
“Siocia, kau agaknya seorang dari luar kampung ini dan agaknya kau seorang yang biasa merantau, karena kau membawa-bawa pedang di punggung. Di kampung ini jangan kau bicara sembarangan saja.”
“Ada apakah, Lopeh?” tanya Thian Hwa heran.
Orang tua itu lalu menceritakan betapa kepala kampung yang tadinya berbudi dan adil itu kini berubah menjadi pemeras rakyat yang kejam. Thian Hwa lalu menceritakan bahwa dia telah melihat mayat di dalam hutan.
Ketika empek itu mendengar tentang hal ini, dia segera bertanya tentang keadaan mayat itu, tentang pakaiannya dan lain-lain. Sesudah mendengar keterangan Thian Hwa bahwa mayat itu memakai baju biru dan celana abu-abu, wajah orang tua itu menjadi pucat dan berseru. “Kalau begitu, dia adalah Cun Sam!”
“Cun Sam? Siapakah Cun Sam itu, Lopeh?”
Tiba-tiba kakek itu menangis, dan isterinya yang juga berada di situ ikut pula menangis. “Cun Sam adalah adikku...”
Kakek itu lantas menceritakan betapa Cun Sam ditangkap karena berani mencela kepala kampung dan katanya dikirim ke kota raja, diadukan karena dianggap pemberontak.
“Kalau begitu semua itu bohong belaka...” kakek itu mengeluh. “Cun Sam bukan dibawa ke kota raja, melainkan dibawa ke hutan dan dibunuh.” Kemudian kakek itu lantas berlari keluar untuk mengajak kawan-kawan mengambil dan mengubur mayat adiknya itu.
Sementara itu Thian Hwa merasa gemas dan marah sekali. Dia menganggap perbuatan kepala kampung itu sewenang-wenang sehingga mau tak mau ia harus turun tangan dan mencampuri perkara penasaran ini. Dengan hati panas, dia segera mencari rumah kepala kampung itu.
Tetapi ternyata gedung kepala kampung yang bercat kuning itu pun tertutup pintunya. Dia mengetuk dengan keras dan tak lama kemudian pintu dibuka oleh seorang pengawal yang bersenjata golok dan bertubuh tinggi besar. Belum lagi pintu terbuka penjaga ini langsung membentaknya,
“Bangsat kurang ajar dari mana berani mengganggu rumah kami?”
Tapi ketika ia telah membuka pintu dan melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik sekali, wajah yang tadinya tampak kejam itu berubah dan kini orang bertubuh tinggi besar itu tersenyum-senyum ceriwis dan menyebalkan.
“Ehh, Nona... kau hendak mencari siapakah?”
Thian Hwa merasa curiga sekali melihat orang ini. Terang bahwa dia bukan orang baik-baik, mengapa bisa menjadi pengawal di tempat ini? Pula, orang ini tadi menyebut ‘rumah kami’ yang sungguh tidak selayaknya bagi seorang pengawal menyebut rumah seorang kepala kampung sebagai ‘rumah kami’. Dia hendak menerjang, tapi dapat mengendalikan nafsu marahnya, lalu bertanya.
“Kau siapakah?”
Orang tinggi besar itu memperlebar senyumnya. “Aku adalah seorang penjaga keamanan di sini. Apakah Nona hendak bertemu dengan Chungcu?”
Thian Hwa mengangguk. “Ya, tolong panggil keluar Chungcu kampung ini, sekarang juga aku hendak bertemu dengan dia.”
Orang tinggi besar itu tersenyum lagi. “Harap tunggu sebentar, Nona, hendak kulaporkan ke dalam.”
Sesudah berkata demikian, dia lalu masuk ke dalam dan tidak lama kemudian keluar lagi dan berkata, “Kau dipersilakan masuk menghadap di dalam, Nona.”
Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki ruang dalam dan berlaku hati-hati karena dia tetap menaruh kecurigaan besar. Mereka tiba di ruang dalam yang cukup luas dan di atas sebuah kursi di belakang mejanya duduk seorang laki-laki tua. Dengan memandangnya sekilas saja Thian Hwa tahu bahwa orang itu adalah seorang terpelajar dan baik hati, tapi sepasang matanya redup dan layu seakan-akan menderita hebat di dalam batinnya.
Ketika melihat dia datang, orang tua itu bersikap sombong dan angkuh, tetapi Thian Hwa yang bermata tajam sering menerima wejangan dari kakeknya dapat mengenal wajah dan sifat manusia, maka tahulah dia bahwa sikap itu adalah paksaan belaka.
“Siocia, kau siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apa mencari aku?” tanya Tan-chungcu dengan suara angkuh.
“Chungcu, maafkan jika aku mengganggumu. Aku adalah seorang perantau yang secara kebetulan lewat di kampung ini, tapi keadaan ganjil yang terjadi di kampungmu membuat aku merasa tidak enak sehingga aku harus menegurmu.”
Wajah kepala kampung itu berubah pucat. Agaknya merasa cemas dan marah. “Siocia, kau seorang muda janganlah mencampuri urusan pemerintahan. Lebih baik pergilah dari kampungku dengan aman.”
“Tan-chungcu! Kau berlaku kejam sekali dengan memeras rakyatmu sendiri, menghisap orang-orang kampung yang mengangkatmu menjadi kepala dusun ini! Tidak tahukah kau bahwa dengan peraturanmu yang sewenang-wenang menjatuhkan pajak besar itu sudah membuat banyak orang-orangmu menderita kelaparan? Apakah kau tidak dengar betapa mereka mengeluh dan menangis karena peluh serta darah yang mereka peras di ladang akhirnya kau rampas hasilnya? Apakah ini adil? Sebagai seorang pemimpin seharusnya kau membimbing mereka ke jalan kebahagiaan, akan tetapi kau malah menggunakan hak dan kekuasaanmu untuk memburu nafsu, mengenakkan diri sendiri tanpa peduli dengan keadaan orang lain!”
“Diamlah... diamlah! Kau... kau keluar dari sini!” Tan-chungcu berteriak keras sedangkan wajahnya makin pucat.
“Tidak! Aku tidak akan keluar sebelum bicara habis, sebelum kau mengubah kelakuanmu yang tak ada bedanya dengan seorang perampok rendah! Kau bahkan berani menangkap seorang kampung yang memperingatkanmu lalu membunuhnya!”
“Apa?! Kau membohong! Aku tak pernah membunuh orangku.”
Bibir gadis itu tersenyum sindir. “Ohh, begitukah? Di manakah Cun Sam sekarang? Coba kau terangkan!” kata Thian Hwa.
Tan-chungcu berkata sungguh-sungguh. “Cun Sam? Ahh, dia... dia sudah memberontak, maka dikirim ke kota raja untuk diadili.”
“Ahh, jangan berpura-pura! Kau bukan mengirim dia ke kota raja, tetapi kau mengirim dia ke hutan dan kau bunuh dia di sana. Kau telah menyuruh orang-orangmu membunuhnya. Aku sendiri melihat jenazahnya di hutan!”
“Apa?!” Tan-chungcu berteriak dengan wajah pucat dan dua mata terbelalak. “Dia... di... dibunuh...?”
Pada saat itu dari balik pintu sebelah dalam keluarlah berloncatan lima orang, dan orang tinggi besar yang tadi membuka pintu untuk Thian Hwa terdapat juga di antara mereka.
Seorang pendek gemuk yang matanya juling lantas berkata, “Chungcu, budak perempuan ini kurang ajar dan memberontak, apakah harus ditawan?”
Tapi Tan-chungcu berdiri dengan tubuh gemetar dan bahkan bertanya kepada Si Gemuk Pendek itu. “Kau... kau apakan Si Cun Sam?”
Si Gemuk Pendek tersenyum dingin. “Nanti saja kita bicarakan urusan itu, sekarang kita bereskan dulu budak hina ini!” katanya.
“Tidak, tidak! Kau... kau pembunuh kejam... kau perampok jahat...!”
Si Gemuk Pendek itu membelalakkan matanya dan secepat kilat tubuhnya yang gemuk itu bergerak lalu pedangnya yang berkilauan meluncur ke arah dada Tan-chungcu!
Tapi Thian Hwa telah siap sedia, maka ia mendahului Si Gemuk itu, dan sekali berkelebat ia berhasil menyambar tangan Tan-chungcu kemudian menariknya sehingga terluput dari tusukan Si Gemuk Pendek. Tan-chungcu segera bersembunyi di belakang tubuh gadis itu karena tahu bahwa Thian Hwa adalah seorang gadis pendekar yang mungkin akan dapat menolongnya.
“Lihiap, kau berhati-hatilah. Mereka adalah perampok-perampok kejam dan ganas yang telah lama menguasai dan mengancamku!” kata Kepala Kampung itu.
Thian Hwa mengangguk-angguk. Ia bertolak pinggang sambil menghadapi lima orang yang berwajah ganas itu. “Hm, hm! Sudah kuduga begitu. Jadi kamu perampok-perampok hina ini dengan cara pengecut sekali sudah memaksa Chungcu melakukan semua pemerasan ini? Sungguh rendah, tapi hari ini aku tentu akan menamatkan riwayatmu yang kotor ini!”
“Budak hina! Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?!” teriak orang tinggi besar yang menjadi pengawal tadi.
“Tentu saja aku tahu. Kalian berlima adalah calon-calon makanan api neraka!”
“Perempuan sombong! Kau masih begini muda tetapi mau besar kepala. Ketahuilah, kami adalah Bwee-san Ngo-heng, Lima Raja dari Gunung Bwee-san, maka jangan harap kau akan dapat keluar dari gedung ini dengan selamat!” kata Si Gemuk Pendek yang agaknya menjadi pemimpin mereka.
Thian Hwa tersenyum menyindir. “Siapa takut pada siluman dari Bwee-san? Hari ini kalian lima ekor siluman bertemu dengan aku, Huang-ho Sian-li, dan akulah yang akan mengirim kalian pulang ke asalmu!”
“Bangsat perempuan sombong!”
Si Tinggi Besar meloncat maju, dua tangannya terulur dengan maksud hendak menubruk dan memeluk gadis jelita itu dan membuatnya malu. Tetapi dengan cepat Thian Hwa telah meloncat berputar ke kiri lantas kaki kanannya cepat menendang ke arah lambung kanan lawan.
Si Tinggi Besar sangat terkejut karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis cilik itu mampu bergerak secepat itu sehingga hampir saja lambungnya berkenalan dengan ujung sepatu. Cepat tangan kanannya bergerak hendak menyaut sambil menangkap kaki Thian Hwa, akan tetapi ternyata tendangan itu hanya pancingan belaka.
Ketika tangan kanan Si Tinggi Besar itu bergerak hendak menangkap kakinya, Thian Hwa memutar ujung kakinya lantas dengan dua jari tangan dikembangkan dia menusuk kedua mata lawan! Sekali lagi Si Tinggi Besar terkejut dan buru-buru meloncat mundur dengan keringat dingin membasahi jidatnya!
Melihat betapa anak perempuan itu benar-benar lihai, kelima Raja Gunung Bwee-san itu cepat mencabut senjata mereka lalu maju menyerang! Kini mereka tidak ada hasrat untuk menangkap gadis cantik itu lagi, mereka hanya hendak membunuhnya secepat mungkin karena gadis ini merupakan bahaya dan halangan besar bagi usaha mereka!
Namun Thian Hwa tidak menjadi takut, bahkan gadis ini merasa gembira sekali melihat berkeredepnya senjata-senjata musuh. Ia cepat mencabut pedangnya sendiri dan sejenak kemudian sinar pedangnya segera menari-nari dan bergulung-gulung mengurung kelima perampok itu!
Dengan ilmu pedang Kwan Im Kiam-hoat ia dapat melayani kelima lawannya dengan baik, bahkan dapat membuat mereka repot sekali. Kemudian ia mengubah permainannya dan mainkan ilmu pedang gubahan kakeknya yang disebut Huang-ho Kiam-hoat.
Ilmu pedang ini tampaknya tenang-tenang saja tapi mendatangkan tenaga yang luar biasa kuatnya, dan kadang-kadang tampak buas dan bergulung-gulung, lalu tenang-tenang lagi, sehingga sama dengan sifat dan pergerakan aliran air sungai Huang-ho, akan tetapi yang di dalamnya mengandung gerak tipu mematikan. Dengan gerak tipu baru ini sebentar saja Thian Hwa sudah dapat merobohkan tiga orang pengeroyok......
Sementara itu, melihat bahwa lima orang yang selalu mengancamnya dan membuatnya tak berdaya itu kini bertempur melawan Thian Hwa, diam-diam Tan-chungcu berlari keluar lantas berteriak-teriak minta tolong kepada orang-orang kampung.
Ketika mengetahui di gedung kepala kampung ada perampok, semua orang kampung lalu datang sambil membawa senjata masing-masing dan menyerbu. Mereka melihat betapa tiga orang perampok telah roboh mandi darah dan yang dua sudah terdesak hebat. Tanpa ampun lagi tiga orang perampok yang belum mampus namun sudah terluka oleh pedang Thian Hwa itu lalu dikeroyok dan tubuh mereka hancur di bawah hantaman dan bacokan orang-orang kampung!
Sisa dua orang perampok yang belum roboh, yaitu Si Tinggi Besar dan Si Gemuk Pendek yang ternyata mempunyai kepandaian lumayan juga, melihat nasib ketiga kawannya, lalu menjadi ngeri dan takut. Mereka hendak melarikan diri, tetapi pedang gadis yang gesit itu mengurung dan menahan mereka.
Kemudian Si Gemuk Pendek menggunakan akal busuk dan memperlihatkan kekejaman dan kejahatannya. Dia meloncat ke belakang kawannya Si Tinggi Besar, lalu mendorong kawannya itu dengan keras ke arah Thian Hwa! Sehabis melakukan ini dia pun meloncat ke atas melalui jendela dan kabur!
Thian Hwa cepat berkelit menghindarkan diri dari tubrukan dan segera menusuk ke arah dada Si Tinggi Besar yang dikorbankan oleh kawannya sendiri sehingga Si Tinggi Besar lantas roboh kemudian menjadi korban orang-orang kampung pula. Sementara itu Thian Hwa yang merasa gemas dan benci kepada kepala perampok yang curang dan pengecut itu, segera menggerakkan tubuh mengejar keluar jendela.
Ketika tiba di atas genteng, ia melihat bayangan kepala perampok itu bergerak-gerak jauh di depan, maka segera ia mengeluarkan kepandaian mengejar cepat. Ternyata dalam hal kepandaian ginkang ia masih menang jauh, maka sebentar saja ia dapat mengejarnya.
Si Pendek Gemuk itu dengan gemas lalu berlaku nekad dan melawan mati-matian, tetapi hanya dalam beberapa jurus saja ia terpaksa mengakui keunggulan Huang-ho Sian-li yang biar pun masih sangat muda namun memiliki kepandaian yang berlipat ganda lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Satu tusukan yang tepat menembus lehernya membuat dia roboh berguling-guling dari atas genteng dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Setelah mendengar cerita kepala kampung, barulah seluruh penduduk mengerti mengapa Tan-chungcu demikian berubah. Tidak tahunya, beberapa pekan yang silam, pada suatu malam, lima orang penjahat itu masuk dan menyerbu dari atas genteng ke dalam gedung Tan-chungcu. Kemudian mereka itu mengancam kepala kampung untuk memeras rakyat dan menyerahkan semua hasil pemerasan kepada mereka!
Mereka bersembunyi di dalam gedung Tan-chungcu dengan menyamar sebagai pengawal-pengawal yang katanya datang dari kota raja! Tentu saja mereka juga yang membunuh Cun Sam. Semua keluarga kepala kampung tidak berdaya dan tidak seorang pun berani membuka rahasia mereka karena itu berarti bencana bagi keluarga kepala kampung itu!
Semua penduduk kampung menyambut kedatangan Thian Hwa yang menyeret tubuh Si Gemuk Pendek yang tidak bernyawa lagi itu dengan sorakan gemuruh. Mereka berterima kasih sekali, terutama Tan-chungcu sendiri.
Kepala kampung yang sudah tua ini cepat mengumpulkan seluruh keluarganya kemudian bersama-sama mereka berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala di hadapan Thian Hwa! Tentu saja gadis itu menjadi repot dan bingung sekali, karena tak mungkin dia dapat mencegah orang sebanyak itu yang berlutut padanya, maka tiada lain jalan baginya selain ikut pula berlutut membalas hormat mereka!
Maka berpestalah seluruh kampung pada hari itu dan setiap bibir menyebut-nyebut nama Huang-ho Sian-li!
Pada keesokan harinya, sesudah menanyakan jalan, Thian Hwa meninggalkan kampung Lun-cwan dengan diantar oleh seluruh penduduk kampung, tua muda, laki-laki perempuan, sampai jauh di luar kampung. Gadis ini diberi seekor kuda yang bagus serta banyak pula bekal makanan dan pakaian yang diberikan dengan setengah memaksa sehingga ia tidak dapat menolak lagi!
Di sepanjang jalan Thian Hwa merasa alangkah senangnya memberi pertolongan kepada orang yang sedang menderita kesulitan, dan jika ia mengenang kembali kemesraan yang ia dapat dari para penduduk kampung Lun-cwan, ia tak lagi merasa hidup sebatang kara, bahkan merasa bahwa seluruh penduduk kampung itu adalah saudara dan keluarganya!
Karena telah mendapat petunjuk dari kepala kampung Tan tentang jalan dan jurusan yang menuju ke kota raja, pula karena kini telah mempunyai seekor kuda yang kuat dan cepat larinya, maka perjalanan Thian Hwa menjadi lancar dan cepat. Meski pun semenjak kecil hidup di atas air sungai Huang-ho, tapi karena kakeknya seorang yang berpemandangan luas, maka ia juga pernah dilatih menunggang kuda sehingga kini tidak kaku lagi dan bisa melakukan perjalanan jauh dengan kuda.
Beberapa hari lewat tanpa terjadi sesuatu yang penting. Pada hari yang ketiga, Thian Hwa tiba di tepi sebuah sungai yang meski pun kalau dibandingkan dengan Huang-ho tampak tidak berarti, tetapi cukup lebar karena pada waktu itu musim hujan telah tiba. Thian Hwa sudah diberi-tahu oleh orang di dusun yang baru dilewatinya bahwa jembatan besar yang menyeberangi sungai itu terdapat kira-kira lima li di sebelah barat.
Karena semenjak kecil selalu hidup dekat sungai, maka timbullah kegembiraan Thian Hwa ketika melihat sungai ini. Dia melihat tempat itu sunyi sekali, maka segera dia tambatkan kudanya pada sebatang pohon kemudian ia pun cepat menanggalkan pakaian luarnya dan mengganti pakaian mandi yang ringkas. Rambutnya yang panjang itu digelungnya ke atas dan diikatnya dengan sepotong sutera halus. Kemudian ia terjun ke dalam air yang dalam dan mengalir deras itu!
Sebentar kemudian tubuhnya sudah berenang hilir mudik dengan cepat sekali dan Thian Hwa merasa tubuhnya segar dan enak. Alangkah nikmatnya mandi di sungai yang airnya dalam dan dingin itu.
Ternyata air sungai itu jernih dan lebih dingin dari pada air Sungai Huang-ho, maka Thian Hwa merasa betah sekali mandi di situ. Dia menyelam ke dalam air mencari kerang dan mengejar ikan-ikan kecil yang bermacam-macam warna dan bentuknya, seperti yang tiap hari dilakukannya di Huang-ho dulu ketika ia masih kecil.
Pada saat seperti itu ia lupa akan segala, lupa akan orang tua yang tengah dicarinya, lupa akan kakek yang ditinggalkannya, pendeknya ia lupa akan segala kesusahan dan hanya merasa gembira dan bahagia. Ia merasa dirinya benar-benar menjadi dewi air!
Makin ke hilir air sungai itu semakin besar. Dan dalam kegembiraannya Thian Hwa telah berenang mengikuti aliran air sungai jauh juga dari tempat kudanya ditambatkan! Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang mengerikan terjadi di permukaan air, agak jauh ke hilir. Sebuah perahu kecil yang indah terombang-ambing di permukaan air karena sedang diserang oleh seekor ular air warna hitam yang besar dan panjang!
Ular itu telah menggunakan ekor dan tubuhnya membelit perahu, dan kepalanya dijulurkan ke dalam bilik perahu hendak menerkam seorang yang mempertahankan dirinya dengan sebuah dayung kayu sambil mencoba untuk memukul kepala ular itu dengan dayung. Tapi usaha orang itu sia-sia belaka karena kepala ular makin dekat dan tiap saat tentu ia akan menjadi mangsa binatang itu yang agaknya tidak terburu-buru untuk segera menerkam mangsanya melainkan hendak mempermainkan lebih dulu!
Melihat ini Thian Hwa segera mempercepat berenangnya menuju ke perahu itu, lalu sekali meloncat sambil menekan pinggiran perahu, dia sudah berada di atas perahu dan tanpa berkata dia telah merampas dayung dari tangan orang itu.
Orang itu ternyata seorang tua yang berpakaian bangsawan dan sikapnya gagah. Kini dia berdiri dengan mata terbelalak memandang gadis yang pakaian dan keadaannya laksana seorang dewi yang baru saja muncul dari Kerajaan Hai Liong Ong yang berada di bawah air!
Dalam keadaan yang demikian mendesak untuk menolong jiwa orang, Thian Hwa tak mau menggunakan banyak peradatan dan upacara lagi, bahkan ia lupa bahwa dengan pakaian yang ringkas dan basah itu sesungguhnya tidak pantas jika memperlihatkan diri di depan seorang laki-laki. Ia menggunakan dayung itu untuk memukul kepala ular.
Tadi pada saat dayung itu masih berada di tangan laki-laki bangsawan itu dan digunakan untuk menyerangnya, binatang itu dapat mengelakkan setiap pukulan dengan mudah dan secara main-main. Sekarang menghadapi serangan Thian Hwa, dengan sekali pukul saja dayung itu tepat mengenai kepala ular sehingga ular itu mengamuk karena merasa sakit.
Dari mulut ular itu keluar busa dan ia menyembur-nyembur sambil mendesis-desis! Tetapi Thian Hwa tidak takut, bahkan ia menggunakan dayungnya menghantam tubuh dan ekor yang melilit perahu. Ular itu memberontak keras sehingga perahu itu hampir terguling dan terbalik!
Orang tua bangsawan itu berteriak ketakutan karena dia tidak pandai berenang dan kalau jatuh ke dalam air berarti mati baginya, maka dia berpegang kepada pinggiran perahu dan duduk dengan tubuh menggigil.
Melihat hal ini Thian Hwa segera meloncat ke dalam air lantas menggunakan tangannya menahan badan perahu sehingga tidak berguncang lagi. Tapi pada saat itu pula ular yang panjangnya lebih sepuluh kaki itu meluncur di permukaan air lalu menyerangnya dengan hebat dan mulut terbuka lebar!
“Awaaaassss...!” bangsawan itu menjerit ngeri ketika melihat hal ini.
Tapi Thian Hwa cepat bergerak menjauhi perahu sebab dia hendak memancing agar ular itu menjauhi perahu. Kalau harus bertempur di dekat perahu, maka dia akan sibuk sekali dan harus memecah perhatian dan tenaganya menjadi dua, sebagian untuk melawan ular, sebagian lagi untuk menjaga perahu.
Ia berenang cepat dan dikejar dari belakang oleh ular itu! Sebenarnya, melihat badan ular yang panjang dan kelihatan licin berlenggang-lenggok itu, di dalam dada Thian Hwa timbul rasa ngeri dan jijik, tetapi sekali-kali ia tidak merasa takut. Ia mencari akal untuk melawan sebaiknya dan secepatnya dapat menjatuhkan atau membinasakan ular itu.
Mendadak dia membalik dan berenang sambil telentang menghadapi ular itu. Dia sengaja berenang perlahan dan kadang-kadang mengangkat tubuhnya tinggi untuk memanaskan hati ular itu.
Benar saja, ular itu makin marah dan mempercepat berenangnya. Sekarang dia meluncur cepat sekali ke arah gadis itu dengan mulut dibuka selebar-lebarnya. Thian Hwa membuat perhitungan tepat, lalu dia bersiap sedia.
Pada saat ular datang mendekat lalu menerjangnya dengan mulut terbuka lebar sehingga giginya yang runcing nampak nyata, Thian Hwa memapakinya dengan dayung di tangan dan gerakan dayungnya sedemikian rupa sehingga dayung kecil itu tepat sekali memasuki mulut ular dan terus disodokkan ke dalam sehingga memasuki perutnya!
Ular itu berontak, sebagian tubuh belakang serta ekornya menyabet-nyabet dan berdaya untuk melepaskan diri, namun tusukan dayung itu terlampau dalam sehingga hampir saja seluruhnya masuk ke dalam tubuh! Dia hendak selulup (menyelam) tidak dapat, hendak berenang lari pun sukar karena kepala dan lehernya tidak dapat digerakkan lagi, maka ia hanya dapat menggerak-gerakkan tubuh belakangnya melilit-lilit dan berputar-putar hingga menimbulkan ombak besar pada air yang telah mulai memerah akibat bercampur dengan darah yang keluar dari mulutnya yang tak berdaya itu.
Sementara itu Thian Hwa berenang cepat menuju perahu kecil indah yang kini terputar-putar di tengah sungai karena tidak ada dayung yang mengemudikannya lagi. Bangsawan tua tadi hanya duduk bengong karena masih merasa ngeri dan heran melihat perkelahian antara ular dan gadis aneh itu. Sedangkan dari tepi sungai nampak beberapa orang laki-laki berteriak-teriak bingung.
Thian Hwa lalu menghampiri perahu. Sambil berenang ia mendorong perahu itu ke pinggir di mana orang-orang menyambut perahu itu dengan teriakan-teriakan girang.
“Kau... kau... manusiakah?” tanya bangsawan tua itu.
Thian Hwa memandangnya dengan senyum manis. Wajah bangsawan itu mendatangkan rasa simpatinya, karena wajah itu membayangkan watak yang agung dan gagah.
“Aku orang biasa saja yang kebetulan lewat di sini.”
Bangsawan tua itu tak dapat berkata apa-apa lagi. Sementara itu perahunya telah tiba di tepi dan sekarang banyak tangan yang membantunya ke tepi. Begitu naik, bangsawan itu segera melepas baju luarnya yang lebar dan indah lalu melemparkannya ke arah Thian Hwa yang masih berada di air.
“Siocia, kau pakailah ini dan naiklah. Aku ingin sekali bicara denganmu dan menyatakan terima kasihku.”
Thian Hwa semakin tertarik melihat kesopanan dan kebaikan orang tua itu, apa lagi sikap orang tua yang terus terang dan tanpa banyak peradatan itu langsung mengingatkan dia akan kakeknya. Ia tahu bahwa dalam pakaian mandinya tak pantas kalau ia keluar dari air, maka ia lalu menggunakan pakaian luar bangsawan itu untuk menutupi tubuhnya dari pundak sampai ke lutut, lalu mendarat.
Semua orang heran sekali melihat Thian Hwa dan memandang dengan bengong, bahkan beberapa orang bertanya. “Siapakah gadis cantik ini?”
Karena banyak mata orang yang memperhatikannya, Thian Hwa menjadi tak senang dan malu, maka bangsawan itu membentak.
“Kalian semua manusia adalah yang tidak bisa diharapkan! Baru ada serangan ular begitu saja kalian melarikan diri. Semua memikirkan keselamatan diri sendiri dan meninggalkan aku seorang diri di tengah sungai! Sungguh semangat kalian kalau dibandingkan dengan semangat tikus pun masih kalah besar. Lihatlah Siocia ini. Ia adalah seorang wanita yang gagah perkasa. Hanya dengan sebatang dayung kecil dia berhasil membuat ular air tadi tak berdaya. Ia menusuk mulut ular itu sehingga dayung perahuku masuk sampai ke perut ular! Ha-ha-ha...! Sungguh hebat, sungguh lucu! Aku ingin sekali melihat muka ular air itu sekarang! Tadi ketika ia menyerangku sangat ganas sekali!”
Kemudian bangsawan itu bertanya kepada Thian Hwa tentang asal-usulnya yang dijawab oleh gadis itu dengan sederhana saja. “Aku adalah seorang dari Sungai Huang-ho, dan hidup sebagai nelayan. Pada waktu ini aku sedang merantau meluaskan pengalaman dan hendak pergi ke kota raja.”
Mendengar kata-kata gadis itu yang sangat sederhana dan tidak banyak mempergunakan peradatan seperti yang biasa ia mendengar orang bersopan-sopan padanya, pembesar itu semakin tertarik, lalu ia memperkenalkan diri.
Kiranya bangsawan itu adalah seorang pangeran bernama Ciu Wan Kong yang menduduki tempat cukup penting di dalam istana raja. Pada waktu itu dia sedang pesiar dan dengan diikuti beberapa orang teman dan pengawal, kebetulan dia lewat di tempat itu kemudian bermain-main di atas perahu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa di sungai yang tidak seberapa besar itu terdapat ular air yang demikian besar dan galak sehingga hampir saja menewaskan jiwanya kalau tidak segera datang gadis itu menolong.
Ketika melihat ular itu, semua sahabat dan pengawalnya cepat-cepat mendayung perahu dan berenang lari ke tepi, tanpa sedikit pun mempedulikan jiwa pangeran itu. Oleh karena pertolongan ini maka pangeran itu sangat berterima kasih kepada Thian Hwa.
“Lihiap tentu seorang pendekar gagah. Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu?”
“Aku bernama Thian Hwa dan sudah lama ada orang menyebut diriku Huang-ho Sian-li,” jawab Thian Hwa, kemudian gadis itu memohon diri karena mulai teringat akan kuda dan pakaiannya.
“Lihiap, jika hendak ke kota raja, marilah ikut saja dengan kami. Kami ada kendaraan dan kuda di kampung dekat itu.”
Thian Hwa menolak dengan halus dan biar pun dibujuk-bujuk oleh bangsawan yang amat berterima kasih dan hendak memperlihatkan keramahan dan kebaikan untuk sekedar bisa membalas budi, tetapi gadis itu tetap menolak.
“Lopeh, kakekku selalu berkata bahwa manusia hidup harus selalu menolong sesamanya di saat yang perlu, karena untuk itulah kita dilahirkan di dunia. Aku hanya mentaati pesan kakekku dan sekali-kali bukan hendak menanam budi apa lagi mengharapkan balas jasa. Nah, selamat tinggal, Lopeh!”
Thian Hwa adalah seorang gadis didikan kampung yang tidak tahu akan adat istiadat atau tata cara kesopanan, maka ia pun menyebut bangsawan itu dengan ‘Lopeh’ atau paman saja, panggilan yang selalu ditujukan kepada seorang laki-laki tua!
Namun pangeran itu tidak marah, bahkan dia terharu sekali mendengar kata-kata filsafat yang tinggi itu keluar begitu saja dari mulut seorang gadis muda yang berilmu silat tinggi ini! Padahal gadis itu sedemikian bodoh dan sederhana sehingga menyebut orang dengan patut saja tidak pandai!
Thian Hwa lalu meloncat ke dalam air kembali dan dari sana dia melemparkan jubah luar pangeran itu ke darat sambil berkata, “Aku kembalikan pakaian luar, terima kasih!”
Sehabis berkata demikian ia menggerakkan kaki tangannya dan sebentar saja ia lenyap di bawah permukaan air!
Pangeran Ciu Wan Kong dan kawan-kawan serta sekalian pengiringnya merasa kagum dan heran sekali. Berkali-kali pangeran tua itu menghela napas karena merasa kecewa dan menyesal tidak dapat bicara dan mengetahui riwayat gadis itu lebih banyak lagi. Dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Kemudian setelah menegur lagi orang-orangnya yang memperlihatkan sifat pengecut ketika menghadapi bahaya, dia lalu pulang kembali ke kota raja.
Thian Hwa berenang kembali ke tempat semula dan betapa kagetnya ketika dia tidak lagi melihat kudanya di tempat tadi! Kuda dan bungkusan pakaiannya telah lenyap! Ia menjadi bingung sekali dan hampir saja menangis di pinggir sungai itu karena tak mungkin ia bisa melanjutkan perjalanan dengan pakaian seperti itu dan pakaian mandinya basah pula!
Dengan perasaan bingung dan gemas Thian Hwa berlari cepat menuju ke jembatan untuk menyeberangi sungai itu, karena ia merasa di tempat itu tentu terdapat kampung di mana ia dapat meminjam pakaian!
Untung baginya bahwa ketika itu sudah hampir senja sehingga ia tidak perlu lama menanti hari menjadi gelap kemudian memasuki sebuah kampung di dekat jembatan itu. Dengan mempergunakan kepandaiannya, mudah saja dia memasuki rumah yang agak besar dan indah, lalu bagaikan seorang maling yang pandai dia masuk ke dalam kamar dan memilih seperangkat pakaian wanita. Akhirnya ia mendapatkan juga pakaian berwarna biru yang lumayan dan segera dipakainya lalu ia pergi dari rumah itu.
Karena ia tidak ingin lagi keesokan harinya terlihat oleh pemilik pakaian yang dicurinya itu, maka malam itu juga dia menyeberang sungai dan tiba di sebuah dusun. Dia naik ke atas wuwungan dan tidur di atas rumah orang.
Hawa sangat dingin, tetapi Thian Hwa sudah biasa tidur di udara terbuka sehingga hawa dingin tidak lagi merupakan gangguan hebat baginya. Apa lagi ia telah memakai pakaian yang agak tebal maka sebentar saja ia telah tidur nyenyak di atas genteng rumah orang!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah meninggalkan tempat itu. Ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan jalan kaki. Tapi pada saat itu ia merasa lapar sekali dan bingunglah dia. Hendak membeli makanan tapi tidak membawa uang, karena semua barangnya telah disambar orang.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara ringkik kuda dan giranglah hatinya. Itu adalah ringkik kudanya! Segera ia menuju ke tempat itu dan tampaklah olehnya seorang hwesio sedang menuntun kudanya. Hwesio itu masih muda dan memakai jubah hitam.
Thian Hwa merasa heran sekali karena tidak mungkin seorang hwesio mau mencuri kuda dan pakaiannya! Maka dengan sabar dia maju menghampiri hwesio itu, lalu mengangkat tangan memberi hormat dan berkata,
“Kalau aku tidak salah, kuda dan bungkusan pakaian itu adalah milikku yang hilang di tepi sungai. Dari manakah kau peroleh kuda dan barang-barang yang sedang kucari-cari ini?”
Hwesio itu terkejut dan memandangnya untuk beberapa lama, kemudian dia menyeringai, “Oh, jadi engkau yang meninggalkan pakaian di pinggir sungai? Dan waktu itu kau sedang ke mana?”
Thian Hwa menganggap pertanyaan itu biasa saja, maka dia menjawab sejujurnya. “Aku sedang mandi di sungai.”
Hwesio itu memandangnya dengan mata terbelalak, dan mulut yang tebal itu tersenyum-senyum kurang ajar, lalu katanya sambil tertawa.
“Aih, aih! Mengapa tadi aku tidak melihatmu? Sungguh sayang, sungguh sayang! Betapa senangnya melihat kau mandi!” Sambil berkata demikian, kedua mata hwesio itu dengan secara kurang ajar sekali memandangi tubuh Thian Hwa dari atas sampai ke bawah.
Hal ini membuat gadis itu sangat marah sehingga hampir saja dia menggerakkan tangan menyerang, namun karena di situ mulai banyak orang lewat, dia hanya memaki perlahan, “Hwesio kurang ajar, lekas kau kembalikan kuda berikut bungkusan pakaianku, jika tidak jangan anggap aku keterlaluan menghina seorang hwesio di muka umum dengan pedang ini!”
Tapi ditantang dan diancam secara demikian, hwesio muda itu ternyata tidak takut sama sekali, bahkan dia lalu tertawa besar.
“Ha-ha-ha! Nona manis agaknya bisa juga bermain pedang. Hayo, kulayani kau beberapa jurus. Kalau permainan pedangmu cukup baik, boleh kau ambil kuda dan pakaian ini.” Lalu hwesio itu menuntun kuda menuju ke luar kota dengan cepat diikuti oleh Thian Hwa.
Ketika mereka tiba di tempat yang sunyi, hwesio itu menambatkan kuda Thian Hwa pada sebatang pohon, lalu dia menghadapi Thian Hwa dengan senyum dibuat-buat.
“Nona, kau masih muda dan cantik. Tidak baik kau merantau seorang diri saja. Aku suka mengembalikan kuda serta pakaianmu, tetapi selanjutnya marilah kita jalan bersama. Aku akan menjadi pelindungmu.” Sikapnya masih kurang ajar sehingga kemarahan Thian Hwa meluap.
“Bangsat gundul, jangan kau kurang ajar! Lekas serahkan bungkusan pakaianku itu. Kalau aku hilang sabar, kepala gundulmu itu tentu akan menggelinding dari batang lehermu!”
Sekarang marahlah hwesio itu. Ia menganggap Thian Hwa terlampau sombong dan tidak mengindahkannya.
“Eh, perempuan muda! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku adalah murid ke tiga dari Pat-chiu Lo-mo.”
“Aku tidak peduli kau murid siapa, biar murid Iblis Tua Tangan Delapan atau siluman aku tidak takut! Jangankan kepalamu yang gundul hanya satu butir, biar kau tambah sepuluh butir lagi, jika barang-barang dan kudaku tidak lekas kau kembalikan, pasti akan kutebas buntung semua!”
“Setan kurang ajar!” Hwesio itu membentak dan mencabut pedangnya dari punggung lalu menyerang dengan gemas.
Thian Hwa melihat datangnya serangan hebat dan cepat juga, segera ia kelit serangan itu lantas mencabut pedangnya pula. Sebentar saja mereka saling serang dengan hebat, tapi terpaksa hwesio muda itu harus mengakui keunggulan Kwam-im Kiam-hoat dari Thian Hwa. Dia mulai terdesak hebat dan gadis itu tidak mau memberi hati kepadanya.
Pada suatu saat yang tepat, Thian Hwa berhasil memasukkan pedang di antara tangkisan lawan dan ujung pedangnya terus menyambar dada! Hwesio itu terkejut sekali dan buru-buru menggulingkan tubuh ke belakang, tapi masih saja ujung pedang merobek jubahnya dan melukai kulit dadanya sehingga dia terus menggelinding di atas tanah sampai jauh, kemudian meloncat dan berlari pergi meninggalkan buntalan pakaian dan kuda.....!
Selanjutnya baca
DEWI SUNGAI KUNING : JILID-04