Asmara Si Pedang Tumpul Jilid 11
Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan. Saat Sin Wan melihat betapa Lili berjalan seorang diri pada bagian belakang, dia sengaja mendekati namun hanya mengerling saja sambil terus berjalan di samping dara itu. Akan tetapi ketika melihat betapa Sin Wan terus menerus memandangnya sambil berjalan mendampinginya, Lili menggunakan suara yang meninggi itu untuk menegurnya.
"Mau apa engkau dekat-dekat dan memandang aku terus menerus?!" suara Lili memang berubah tinggi, tetapi nadanya galak, nada yang biasa diucapkan Lili kalau dia marah!
Sin Wan tersenyum dan sengaja meninggikan suaranya, "Maafkan aku, nona. Aku kagum melihat penyamaranmu!"
Lili memandang dengan sinar mata berkilat ketika mendengar betapa pemuda ini sengaja mengubah suaranya, meninggi seperti yang dilakukannya dalam penyamarannya.
"Hemm, apa-apaan dengan suaramu itu?!" bentaknya.
Sin Wan tertawa. "Ha-ha-ha, aku hanya menirumu, Lili."
Kini gadis itu terbelalak dan terdengar suaranya seperti biasa, berbisik basah, suara khas Lili. "Ehh, bagaimana engkau dapat mengenalku?"
Sin Wan tersenyum. "Tidak mungkin aku mampu mengenal wajahmu yang persis dengan wajah semua penari itu, Lili. Akan tetapi ketika tadi engkau berbicara dengan empat orang penjahat sebelum aku muncul, aku sempat mendengar dan bisa mengenal suaramu. Apa lagi sesudah engkau bicara padaku dengan suara yang berubah meninggi, aku pun dapat menduga bahwa engkau memang sengaja menyamar."
Lili menghela napas panjang. Tidak mudah mengelabui orang yang cerdik seperti Sin Wan ini. "Sudahlah, memang nasibku yang buruk harus bertemu denganmu dan bekerja sama denganmu. Kalau bukan ayah yang menyuruh, aku tidak sudi bertemu dan bekerja sama denganmu!"
Melihat gadis itu masih marah kepadanya, Sin Wan bersikap lunak. Dia merasa kasihan kepada Lili yang mencintanya tetapi yang tak dapat dibalasnya. Apa lagi Lili masih marah karena dia juga menolak untuk berjodoh dengan adik tiri gadis ini, Bhok Ci Hwa, seperti yang dikehendaki Lili dan ibunya.
"Aku memang sedang mencari jalan agar bisa menyusup ke perahu pesta, dan kebetulan bertemu rombongan ini. Akan tetapi kalau aku boleh mengetahui, bagaimana pula engkau dapat menjadi anggota rombongan kesenian ini, Lili? Benarkah kata paman pemimpin tadi bahwa engkau diutus oleh Jenderal Shu Ta?"
"Jenderal Shu Ta memerintahkan ayah untuk membantumu melakukan penyelidikan pada pertemuan antara Raja Muda Yung Lo dengan Pangeran Mahkota. Tetapi tidak mungkin ayah sendiri yang hadir karena dia dikenal semua orang, maka ayah menyuruh aku untuk mewakilinya dengan membawa surat kuasa Jenderal Shu Ta."
"Jadi engkau diutus untuk membantuku?" tanya Sin Wan gembira. "Aih, terima kasih, Lili."
"Sin Wan jangan engkau menganggap ringan pekerjaan ini. Menurut ayah, Jenderal Shu merasa khawatir sekali dan menaruh curiga kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang dapat mengancam keselamatan Pangeran Mahkota. Oleh karena itu, Jenderal Yauw Ti sendiri mengawal dengan pasukan yang cukup besar. Namun Jenderal Shu khawatir kalau-kalau apa yang dikhawatirkan itu justru terjadi dari dalam, maka dia memerintahkan ayah untuk membantumu. Dan akulah yang dikirim ke sini, menyelundup dalam rombongan ini."
"Aihh, bagus sekali kalau begitu. Dengan menyamar sebagai anggota rombongan ini kita dapat melakukan penjagaan yang lebih baik dan lebih dekat."
Lili lalu menceritakan kepada Sin Wan bahwa rombongan itu adalah rombongan kesenian dari kota Cin-an yang paling terkenal. Mereka akan menghibur pesta dalam perahu yang diadakan oleh kedua orang bangsawan itu. Mereka diharuskan tiba lebih dahulu di perahu itu agar kalau kedua orang bangsawan itu tiba, mereka sudah disambut oleh musik yang merdu.
Ketika rombongan tiba di perahu besar di mana diadakan pesta, Lili dan Sin Wan melihat betapa penjagaan amat ketat, baik di tepi sungai mau pun di sekitar perahu besar, dijaga oleh perahu-perahu yang ditumpangi banyak prajurit pasukan keamanan yang mengawal Pangeran Mahkota dari kota raja.
Melihat ini, dua orang muda itu merasa lega dan mereka heran. Bahaya apa yang dapat mengancam kedua orang bangsawan itu, yang telah dikurung rapat oleh penjagaan ketat? Siapakah yang dapat menghampiri perahu besar tanpa tertahan oleh penjagaan pasukan yang begitu kuatnya? Agaknya Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti terlalu berlebihan, pikir mereka.
Para penjaga di perahu memeriksa surat jalan yang diberikan oleh kepala daerah kota Cin-an kepada kepala rombongan, mencocokkan jumlah peserta dan sama sekali tidak menaruh curiga terhadap mereka. Rombongan kesenian itu segera mengatur tempat di sudut, menghadap ke arah meja di mana dua orang bangsawan akan berpesta, dan tidak lama kemudian mulailah mengalun suara musik yang mereka mainkan.
Ketika rombongan kedua orang bangsawan itu datang, dengan perahu-perahu menuju ke perahu besar, mereka pun disambut musik yang merdu dan tari-tarian kehormatan untuk mengelu-elukan mereka.
Sin Wan duduk di antara para pemain musik. Jantungnya berdebar penuh kegembiraan, ketegangan dan kerinduan saat melihat betapa Raja Muda Yung Lo dikawal oleh seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Lim Kui Siang! Hatinya langsung menjerit memanggil nama sumoi-nya itu, tapi mulutnya dikatupkan dan dia mengamati sumoi-nya itu dengan sepasang mata yang tak pernah berkedip.
Sumoi-nya kini nampak lebih dewasa, wajahnya yang bulat telur dengan dagu runcing dan tahi lalat di dagu kanan, tampak cantik jelita dan manis sekali. Tetapi mata yang biasanya lembut dan mencorong itu kini terlihat redup membayangkan hati yang tidak bahagia, dan tubuh yang biasanya padat ramping itu kini nampak agak kurus.
Pakaian Kui Siang tidak terlalu mewah, namun gagah. Pakaian yang serba hijau dengan pedang tergantung di pinggang kiri! Sin Wan masih mengenal pedang itu. Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari), dan di pinggangnya bagian depan terselip sebatang suling perak yang terukir indah.
Semua pasukan pengawal tidak ikut masuk ke perahu dan yang mengiringkan Raja Muda Yung Lo memasuki perahu pesta yang besar itu hanyalah Kui Siang. Ada pun Pangeran Mahkota juga dikawal oleh seorang saja, yaitu Yauw Siucai yang dicurigai oleh Sin Wan tapi ternyata tidak terbukti melakukan suatu kesalahan dan yang agaknya telah mendapat kepercayaan besar Pangeran Mahkota sehingga tidak ada yang berani mengganggunya.
Musik terdengar semakin meriah mengikuti suara para penyanyi dan gerakan para penari, sedangkan pelayan-pelayan wanita yang muda dan cantik, yang sengaja didatangkan oleh Pangeran Mahkota khusus untuk melayani mereka berpesta, mulai berdatangan bagaikan sekawanan kupu-kupu terbang membawa hidangan. Kedua orang pangeran itu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa gembira karena suasana pesta memang meriah dan membuat mereka merasa akrab dan gembira.
Sementara itu, di luar tahunya mereka yang berpesta dan semua yang berada di perahu besar itu, perahu yang dipasangi banyak lentera yang beraneka warna dan indah terang sehingga malam itu seperti siang saja, di luar perahu terjadi peristiwa yang sangat hebat. Entah siapa yang memulai lebih dulu, sekarang sudah terjadi bentrokan dan pertempuran antara pasukan penjaga keamanan dari kota raja yang dipimpin Jenderal Yauw Ti dengan pasukan yang secara diam-diam dikerahkan oleh Raja Muda Yung Lo untuk ikut menjaga keamanannya.
Mula-mula tersiar desas-desus di kalangan pasukan keamanan dari kota raja bahwa ada sejumlah besar pasukan asing yang mengepung tempat itu. Pada waktu yang bersamaan muncul pula desas-desus yang membisikkan bahwa pasukan itu adalah pasukan rahasia dari utara, pasukan Raja Muda Yung Lo yang hendak memberontak dan sengaja hendak membunuh Sang Pangeran Mahkota! Desas-desus yang mula-mula membingungkan para perwira itu akhirnya pecah menjadi bentrokan dan dilanjutkan dengan pertempuran yang semakin berkobar di antara kedua pasukan!
Ini memang merupakan siasat yang sudah diatur terlebih dahulu oleh jaringan mata-mata Mongol yang ingin mengadu domba antara kedua pasukan itu agar pengawalan menjadi lengah sehingga terbuka kesempatan bagi jaringan mata-mata itu untuk memberi pukulan terakhir yang akan mengakibatkan Kerajaan Beng menjadi lemah, yaitu mereka hendak membunuh kedua orang bangsawan tinggi itu!
Sin Wan dan Lili yang menumpahkan seluruh perhatian ke dalam perahu itu secara diam-diam melakukan penjagaan. Mereka siap siaga untuk melindungi keselamatan Pangeran Mahkota, biar pun mereka merasa tidak enak dan menduga ada apa-apa ketika melihat kesibukan perahu-perahu di luar perahu besar. Tetapi mereka tidak berani meninggalkan tempat mereka dan bersikap lebih waspada.
Tiba-tiba hal yang mereka khawatirkan tiba! Terdengar teriakan-teriakan dan enam orang pengawal yang berdiri pada tangga perahu besar mendadak diserang oleh belasan orang sehingga mereka pun roboh dan tercebur ke dalam air. Kemudian tujuh belas orang yang berpakaian seragam pasukan pengawal dari kota raja berloncatan naik ke perahu besar dengan pedang terhunus. Jelas bahwa mereka bermaksud buruk.
"Bunuh kedua pangeran itu!" terdengar teriakan mereka.
Bila Pangeran Mahkota dengan muka pucat bersembunyi di belakang Yauw Siucai, Raja Muda Yung Lo cepat mencabut pedangnya lantas berdiri berdampingan dengan Kui Siang yang juga sudah mencabut pedang, siap melindungi Raja Muda Yung Lo dengan taruhan nyawa!
Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Seorang lelaki setengah tua bersama seorang gadis penari tahu-tahu sudah menghadang belasan orang itu dengan pedang di tangan.
Melihat laki-laki setengah tua yang memegang sebatang pedang buruk, Kui Siang segera terbelalak kemudian mengamati lebih teliti. Hatinya menjerit memanggil suheng-nya, satu-satunya pria yang dicintanya dan selama ini sangat dirindukannya, namun mulutnya tidak mengeluarkan suara. Apa lagi ketika itu Sin Wan dan Lili telah menerjang maju dikeroyok oleh belasan orang yang nampaknya ganas dan kejam itu.
Sin Wan dan Lili maklum bahwa mereka terdiri dari dua belas orang Bu-tek Cap-sha-kwi, yaitu rekan-rekan Bu-tek Kiam-mo yang sudah mereka tangkap, beserta lima orang Hek I Ngo-liong. Tujuh belas orang itu rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tinggi sehingga keadaannya berbahaya, maka mereka berdua tidak mau membuang waktu lagi, segera mengamuk dengan pedang mereka. Akan tetapi mereka tidak mampu mencegah beberapa orang di antara para penyerbu itu kini menyerbu dan menyerang kedua orang bangsawan.
Kui Siang dan Raja Muda Yung Lo menyambut mereka dengan pedang mereka, ada pun Pangeran Mahkota masih bersembunyi di belakang Yauw Siucai yang kini menggunakan kipasnya yang lebar untuk melindungi Pangeran Mahkota dan menangkis setiap serangan yang ditujukan kepada pangeran itu.
Sekali ini perhitungan para mata-mata Mongol keliru sama sekali. Memang mereka sudah berhasil menghasut dan mengadu domba sehingga kedua pasukan itu saling serang dan pengawalan terhadap perahu pesta itu menjadi lengah. Kemudian mereka berhasil pula menyelundupkan tujuh belas orang penjahat itu untuk membunuh kedua orang pangeran. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa di antara anggota rombongan musik terdapat Sin Wan dan Lili!
Andai kata kedua orang muda ini tidak berada di situ, tentu tenaga Kui Siang saja tidak akan cukup untuk menahan serbuan tujuh belas orang, biar pun Raja Muda Yung Lo juga bukan orang lemah, dan di sana terdapat pula Yauw Siucai yang lihai. Akan tetapi, kalau tidak ada Sin Wan dan Lili, tentu Yauw Siucai akan berganti bulu kemudian nampaklah musangnya yang sekarang berbulu ayam itu. Tentu Yauw Siucai akan berubah menjadi Pangeran Yaluta, pangeran Mongol yang memimpin jaringan mata-mata dengan dibantu oleh Si Kedok Hitam yang lihai.
Melihat betapa tiba-tiba muncul dua orang yang amat lihai, apa lagi setelah dia mengenal bahwa gadis penari itu bukan lain adalah Lili, maka Yauw Siucai tak berani mengubah diri menjadi Pangeran Yaluta. Bahkan terpaksa dia pun harus melindungi Pangeran Mahkota agar tidak ketahuan belangnya. Melihat munculnya kedua orang itu, Yauw Siucai seketika maklum bahwa semua siasat yang diaturnya telah gagal sama sekali! Karena itu dia pun tetap menjadi Yauw Siucai yang setia kepada Pangeran Mahkota, melindungi pangeran itu dan menghalau serangan setiap orang yang hendak membunuhnya.
Memang tepat seperti yang diperhitungkan Yauw Siaucai. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Sin Wan dan Lili, Kui Siang dan juga Raja Muda Yung Lo telah mampu merobohkan tujuh belas orang pengacau yang hendak membunuh kedua orang bangsawan tinggi itu.
Sementara itu, Jenderal Yauw Ti yang melihat adanya pertempuran antara anak buahnya dengan pasukan yang mengepung tempat itu, mula-mula menjadi marah sekali kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menggempur pasukan musuh. Akan tetapi sesudah dia mendengar dari para penyelidiknya bahwa pasukan itu adalah pasukan yang membuat barisan pendam untuk mengawal Raja Muda Yung Lo, dia pun menjadi terkejut dan cepat memerintahkan pasukannya untuk menghentikan pertempuran.
Jenderal Yauw Ti segera menemui para perwira pasukan dari utara itu. Setelah mendapat penjelasan tentang desas-desus yang saling mengadu domba, Jenderal Yauw Ti menegur para perwira, baik para perwira anak buahnya sendiri mau pun para perwira dari utara. Kemudian dia cepat-cepat pergi ke perahu besar untuk menghadap kedua bangsawan.
Pada saat Jenderal Yauw Ti bersama beberapa orang perwiranya naik ke perahu pesta, pertempuran di atas perahu itu telah selesai. Tujuh belas orang penyerbu itu sudah roboh semua, ada yang tewas, dan hanya ada tujuh orang yang masih hidup, yaitu mereka yang dirobohkan Sin Wan karena pemuda ini tidak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berpakaian seragam pasukannya malang melintang di sana, tentu saja Jenderal Yauw Ti terkejut bukan main. Setelah memberi hormat kepada Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, dia pun bertanya,
"Apa yang telah terjadi di sini? Kenapa pula para prajurit yang tewas dan terluka ini?" Lalu dia melihat Lili dan Sin Wan yang masih dalam penyamaran mereka. "Dan siapa pula dua orang ini?" Saking kaget dan herannya pertanyaan ini diucapkan begitu saja tanpa tertuju kepada orang tertentu.
Sebelum ada yang menjawab, Raja Muda Yung Lo melangkah maju, memandang kepada Jenderal itu dengan sinar mata mencorong penuh selidik, lalu dengan suara mengejek dia berkata. "Hemm, Paman Jenderal Yauw Ti, engkau yang bertugas menjaga keamanan di sini dan mereka ini adalah anak buahmu, tidak terbalikkah pertanyaanmu itu? Sepatutnya aku yang bertanya kepadamu, mengapa anak buahmu ini menyerbu ke sini dan berusaha membunuh aku dan kakanda pangeran?"
Jenderal itu terbelalak dan nampak bingung, menoleh lantas mengamati tujuh belas orang yang malang melintang itu. Dia melihat pula ke arah rombongan kesenian yang semua berlutut dan bergerombol di sudut, saling rangkul dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, seolah dari mereka dia mengharapkan jawaban.
Tiba-tiba saja Pangeran Mahkota mengeluh dan dia tentu roboh terguling kalau saja tidak dengan cepat Yauw Siucai merangkul dan memondongnya, kemudian merebahkan tubuh pangeran itu ke atas bangku panjang.
Semua orang menjadi bingung dan khawatir, dan Raja Muda Yung Lo bersama Kui Siang segera melakukan pemeriksaan. Sebagai murid mendiang Pek-mau-sian yang ahli dalam hal pengobatan, Kui Siang sedikit banyak mengerti akan ilmu pengobatan, maka sesudah memeriksa tubuh Pangeran Mahkota, dia lalu menerangkan kepada Raja Muda Yung Lo bahwa sang pangeran itu lemah sekali, sementara tadi menerima guncangan batin yang menakutkan sehingga dia jatuh pingsan.
Sesudah semua orang merasa lega bahwa sang pangeran hanya pingsan karena takut, barulah Yauw Siucai memberi keterangan kepada Jenderal Yauw Ti. "Hendaknya paduka ketahui, Jenderal, bahwa belasan orang ini tadi menyerbu ke dalam perahu dan berusaha membunuh kedua orang pangeran. Untung di sini terdapat dua orang anggota rombongan kesenian yang sangat lihai, ditambah lagi perlawanan Raja Muda Yung Lo bersama gadis pengawalnya, juga saya sendiri turut melindungi sang pangeran, maka tujuh belas orang itu berhasil dirobohkan. Mereka adalah prajurit-prajurit anak buah paduka sendiri, mungkin mereka hendak memberontak, ciangkun."
"Ahh, itu tidak mungkin!" Jenderal Yauw Ti menggapai seorang perwira yang tadi datang bersamanya. "Coba periksa, mereka ini prajurit dari pasukan mana dan siapa pula perwira yang menjadi atasan mereka. Cepat!"
Jelas bahwa Jenderal itu marah bukan main karena tentu saja dia merasa terkejut, malu dan penasaran mendengar bahwa belasan orang prajurit anak buahnya sudah melakukan pemberontakan dan berusaha membunuh dua orang pangeran. Tentu saja hal itu menjadi tanggung jawabnya karena memang dia yang memimpin pasukan melakukan penjagaan keamanan dalam pertemuan antara dua orang bangsawan itu.
Dengan dibantu dua orang rekannya yang lain, perwira itu cepat melakukan pemeriksaan. Sebentar saja mereka melapor dengan suara lantang bahwa tujuh belas orang ini bukan prajurit dari pasukan kerajaan, akan tetapi para penyelundup yang mengenakan pakaian seragam palsu.
Pada saat para perwira itu memberi keterangan, Pangeran Mahkota sudah sadar kembali. Dengan dibantu oleh Yauw Siucai, dia sudah bangkit duduk dan ikut mendengarkan.
Bukan main marahnya Jenderal Yauw Ti mendengar keterangan itu. Dia melangkah lebar ke arah para penjahat yang masih belum tewas, lantas tangannya bergerak beberapa kali dan terdengar suara kepala pecah ketika tangan itu memukuli mereka yang belum tewas. Dalam waktu singkat lima orang sudah tewas dengan kepala retak-retak, namun tiba-tiba Raja Muda Yung Lo berseru nyaring.
"Tahan! Jangan bunuh mereka, paman!"
Mendengar bentakan yang merupakan perintah ini, Jenderal Yauw Ti segera menahan diri dan membiarkan dua orang yang masih hidup, yang kini memandang dengan ketakutan.
"Maaf, Yang Mulia. Hamba tidak dapat menahan kemarahan mendengar bahwa mereka adalah penjahat yang menyelundup dan hampir melakukan pembunuhan keji."
"Jangan tergaes-gesa dibunuh, mereka harus ditanya dulu siapa yang berdiri di belakang usaha pembunuhan itu,” kata Raja Muda Yung Lo.
“Ah, paduka benar, Yang Mulia," kata Jenderal yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu.
"Seret yang dua orang itu ke sini!" teriaknya kepada para perwira pembantunya.
Dua orang yang masih hidup itu adalah mereka yang dirobohkan Sin Wan, dengan tulang kaki patah disambar pedang tumpul namun tidak sampai terluka berat. Mereka ketakutan sekali karena maklum bahwa tidak mungkin mereka dapat meloloskan diri dari ancaman maut. Mereka hanya dapat berharap agar pimpinan mereka dapat menolong mereka.
Ketika mereka diseret dengan kasar lalu dilemparkan ke depan kaki Jenderal Yauw Ti dan Raja Muda Yung Lo, Jenderal itu membentak dengan suara kereng.
"Hayo mengaku, kalian siapa, dan siapa pula kawan-kawan kalian ini! Mengakulah atau kalian akan disiksa!"
Pria yang bermuka hitam dan bertubuh sedang kemudian menjawab, mewakili temannya yang berwajah tampan dan usianya sebaya dengannya, kurang lebih empat puluh tahun.
"Hamba... bernama Kwan Su dan dia adalah rekan hamba yang bernama Bhe Siu. Kami berdua bersama tiga orang bersaudara yang lain..." dia menunjuk ke arah mayat-mayat yang malang melintang, "kami disebut Hek I Ngo-liong...”
"Hek I Ngo-liong?" Jenderal Yauw Ti berseru. "Kiranya tokoh-tokoh sesat jahanam sudah melakukan pemberontakan! Dan siapa lagi belasan orang yang lain itu?"
"Dua belas orang yang lain adalah Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga Belas Setan Tanpa Tanding), yang seorang lagi entah ke mana...”
"Hayo cepat katakan, siapa pemimpin kalian? Jawab yang tepat!" Kini giliran Raja Muda Yung Lo yang membentak mereka.
"Hamba... tidak mengenalnya, hanya tahu bahwa dia disebut Yang Mulia. Dia berkedok hitam dan dia adalah pemimpin jaringan mata-mata Mongol..."
"Jahanam!" Jenderal Yauw Ti berseru marah. "Di mana dia? Di mana sarang kedok hitam itu? Jawab!"
"Hamba... hamba tidak tahu… dia tidak pernah memiliki tempat tinggal tertentu, hamba... hamba..."
Tiba-tiba saja ada angin menyambar dari luar perahu besar, lantas dua orang tawanan itu menjerit dan terkulai roboh, tewas seketika dengan tubuh berubah kehitaman!
Jenderal Yauw Ti dan yang lain-lain terkejut, cepat memburu ke tepi perahu, akan tetapi di kegelapan malam itu mereka hanya melihat bayangan sebuah perahu kecil meluncur kemudian lenyap ditelan kegelapan.
Dibantu oleh Kui Siang, Raja Muda Yung Lo memeriksa mayat kedua orang itu, dan Kui Siang menggeleng kepala. "Pukulan jarak jauh yang mengandung racun amat jahat sekali dan dilakukan oleh orang yang berbahaya dan sakti," katanya.
"Siapakah kiranya yang dapat melakukan pembunuhan jarak jauh seperti itu?" tanya Raja Muda Yung Lo kepada Kui Siang. Akan tetapi gadis itu menggeleng kepala tanda bahwa dia pun tidak tahu dan tidak menduga siapa orang yang amat lihai itu.
"Kalau saja tidak salah duga, pembunuh itu adalah Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli karena pukulan itu amat mirip dengan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)," kata Sin Wan.
Mendengar ucapan itu, Raja Muda Yung Lo mengamati wajah pria setengah tua itu dan mengerutkan alisnya. "Siapakah engkau yang tadi sudah merobohkan para penyerbu dan kini tahu pula siapa yang melakukan pembunuhan dengan pukulan beracun jarak jauh?"
Sin Wan tidak sempat menjawab karena dia sudah didahului Kui Siang, "Yang Mulia, dia adalah suheng yang menyamar…" Suara gadis itu terdengar penuh perasaan dan terharu.
Raja Muda Yung Lo terbelalak, memandang pria setengah tua itu. Sungguh penyamaran yang amat sempurna karena sama sekali tidak nampak bahwa rambut ubanan dan kumis jenggot itu adalah buatan. Sama sekali dia tidak bisa mengenal wajah Sin Wan yang dulu sudah pernah dijumpai dan dikenalnya.
"Sin Wan...?" tanyanya dan Sin Wan cepat memberi hormat kepada raja muda itu.
"Sin Wan...?" Jenderal Yauw Ti juga berseru ketika mengetahui bahwa pria setengah tua itu adalah Sin Wan.
"Yang Mulia, dia adalah orang Uighur yang patut dicurigai! Hamba sudah menangkap dan menahannya, ternyata dia berhasil meloloskan diri. Dia berbahaya dan mungkin sekali dia bekerja sama dengan jaringan mata-mata pemberontak! Sin Wan, menyerahlah engkau!" Jenderal itu sudah mencabut pedangnya.
"Jenderal galak, engkau sungguh tak tahu diri! Berani memberontak terhadap Sribaginda Kaisar di depan Yang Mulia Raja Muda Yung Lo pula!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan yang berseru itu bukan lain adalah Lili.
"Sin Wan adalah utusan Sribaginda Kaisar yang memiliki tanda kuasa leng-ki, menyerang dia sama dengan menyerang Sribaginda Kaisar. Dan kau hendak menyerangnya di depan Yang Mulia kedua pangeran putera Sribaginda Kaisar?"
"Eh, kiranya engkau, gadis berandal! Engkau pun harus kutangkap!" teriak Jenderal Yauw Ti yang galak itu.
"Paman Jenderal, hentikan semua ini!" Raja Muda Yung Lo membentak. "Sin Wan adalah seorang pendekar sahabatku, dan gadis ini tadi sudah membantunya merobohkan semua penyerbu. Sekarang engkau tidak berterima kasih bahkan hendak menangkap mereka? Paman, sepatutnya engkau malu kepada mereka. Kalau tidak ada dua orang pendekar ini, mungkin kami sudah celaka oleh para penyerbu dan engkaulah yang bertanggung-jawab! Ingin kami mengetahui, apa saja yang kau jaga sehingga ada begini banyak orang dapat menyelundup masuk dan menyerang kami tanpa kau ketahui sama sekali? Hayo jawab!"
Raja Muda Yung Lo sudah marah sekali kepada Jenderal besar itu. Walau pun dia tahu bahwa Jenderal ini, di samping Jenderal Shu Ta, sudah banyak berjasa kepada ayahnya, namun kelengahannya sekali ini sungguh membuat dia marah karena dianggapnya sudah keterlaluan.
Wajah jenderal itu berubah merah sekali. "Harap paduka memaafkan dan maklum bahwa tadi hamba sibuk sekali menghentikan pertempuran yang berkobar di luar dan hampir saja mengorbankan banyak prajurit, Yang Mulia."
"Pertempuran?" Pangeran Mahkota terkejut juga seperti Raja Muda Yung Lo. "Apa yang terjadi, paman? Siapa yang bertempur?"
"Apa yang terjadi? Ceritakan!" kata pula Raja Muda Yung Lo tegas.
"Yang bertempur adalah pasukan kerajaan dari selatan melawan pasukan paduka yang melakukan barisan pendam, Yang Mulia," kata Jenderal itu kepada Raja Muda Yung Lo.
"Apa?! Bagaimana mungkin dua pasukan itu saling bertempur sendiri?"
"Hamba meredakan dan menghentikan pertempuran itu lalu melakukan penyelidikan yang menjadi sebabnya. Ternyata kedua pihak termakan desas-desus yang mengadu domba, Yang Mulia. Desas-desus yang diterima pasukan hamba adalah bahwa mereka dikepung oleh pasukan asing yang akan menyerbu masuk, sebaliknya desas-desus yang diterima pasukan paduka mengatakan bahwa mereka akan diserang oleh pasukan kerajaan dari dalam. Dimulai dengan bentrokan kecil yang menjalar semakin besar. Nah, agaknya pada saat hamba sibuk meredakan pertempuran itulah, para penjahat ini lalu datang menyerbu, menggunakan saat terjadi keributan dan kekacauan."
Mendengar keterangan ini, kemarahan Raja Muda Yung Lo terhadap Jenderal itu mereda karena tidak dapat terlalu disalahkan kalau ada penyelundupan ketika terjadi pertempuran seperti itu. Dia memandang Sin Wan dan bertanya,
"Sin Wan, bagaimana pendapatmu dengan terjadinya peristiwa pertempuran itu apa bila dihubungkan dengan penyerbuan tujuh belas orang ini?"
Sin Wan memandang kepada para prajurit yang kini sedang mengangkuti mayat-mayat itu keluar perahu, "Yang Mulia, tidak dapat diragukan lagi bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kedua peristiwa itu. Saya hampir yakin bahwa pihak musuh memang sengaja merencanakan.”
"Nanti dulu, Sin Wan!'" Tiba-tiba Lili berseru sambil mengangkat tangan ke atas menyetop perkataan Sin Wan. "Saya kira sebaiknya kalau pembicaraan mengenai hal ini dilakukan di ruangan tertutup, bukan di tempat terbuka seperti ini. Siapa tahu di sini terdapat telinga musuh yang ikut mendengarkan!"
Berkata demikian, terang-terangan Lili mengerling dengan matanya yang lebar dan tajam ke arah Jenderal Yauw Ti! Tentu saja dia tidak mencurigai Jenderal itu, akan tetapi hal ini sengaja dia lakukan untuk menggoda Jenderal galak yang tidak disukainya itu.
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk sambil tersenyum, memandang kagum kepada Lili, lalu menoleh ke arah pengawalnya, Kui Siang. Pada saat itu Kui Siang sedang saling pandang dengan Sin Wan.
Dapat dibayangkan bagaimana perasaan kedua orang ini sesudah kini bertemu dan saling berhadapan kembali tetapi sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk saling bicara, apa lagi saling menumpahkan perasaan rindu mereka. Hanya pandang mata mereka saja yang saling bertemu dalam tautan ketat dan mesra penuh kerinduan. Melihat hal ini Raja Muda Yung Lo tersenyum.
"Kui Siang, bagaimana pendapatmu dengan usul nona penari ini?"
Kui Siang mengangguk. "Hamba setuju, Yang Mulia. Memang usul itu baik sekali."
Raja Muda Yung Lo lalu mengajak Pangeran Mahkota supaya masuk ke dalam ruangan dalam. Yang diperkenankan masuk hanyalah Kui Siang sebagai pengawal raja muda itu, Yauw Siucai sebagai pengawal kepercayaan sang pangeran mahkota, kemudian Sin Wan dan Lili.
Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Pangeran Mahkota yang masih kelihatan lemas dan lemah itu duduk bersandar di kursinya, dijaga oleh Yauw Siucai. Karena pangeran itu seperti tak bersemangat untuk berbicara, maka Raja Muda Yung Lo yang mengambil alih pimpinan dalam percakapan itu.
“Sin Wan, sebelum kami mendengar pendapatmu, ingin kami mengetahui dan mengenal siapakah nona yang perkasa ini, dan harap kalian suka menanggalkan penyamaran kalian agar kami dapat mengenal wajah asli kalian."
Sin Wan dan Lili segera menanggalkan penyamaran pada muka dan rambut mereka. Sin Wan melepaskan kumis dan jenggot palsu, juga mengosok rambutnya sehingga berubah hitam kembali, menggosok kulit mukanya sehingga semua alat penyamarannya terlepas.
Demikian pula Lili. Dia menggosok-gosok mukanya dengan kain sehingga kini nampaklah wajah aslinya yang manis. Mukanya yang bulat nampak putih kemerahan, matanya yang lebar bersinar tajam, mulutnya yang manis dan selalu mengembangkan senyum dengan dihias lesung pipit di kanan kiri, hidungnya yang kecil mancung dengan cuping yang dapat bergerak lucu.....
"Yang Mulia, gadis ini bernama Lili, ehh, nama lengkapnya Bwe Li, Bhok Bwe Li dan dia adalah puteri dari panglima Bhok Cun Ki di kota raja."
"Ahhh...! Kiranya ayahmu adalah pendekar Bhok Cun Ki yang menjadi panglima terkenal di kota raja itu, nona? Senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu."
"Hamba merasa terhormat sekali, Yang Mulia," kata Lili dan kini pandang matanya tanpa disembunyikan lagi memandang wajah raja muda yang ganteng dan gagah perkasa itu.
"Nah, sekarang lanjutkan pendapatmu tadi, Sin Wan," kata Raja Muda Yung Lo. Sesudah memandang penuh kagum kepada Lili, kini Raja Muda itu kembali menatap tajam wajah Sin Wan yang ditanyainya.
"Begini, Yang Mulia. Menurut pendapat hamba, hubungan antara kedua peristiwa itu erat sekali. Kita boleh yakin bahwa pihak musuh memang sengaja merencanakan semua ini, dengan mengadu domba kedua pasukan agar perhatian ditujukan kepada pertempuran itu sehingga mereka dapat menyelundupkan para pembunuh dengan mudah ke atas perahu setelah mereka merobohkan beberapa orang penjaga di tangga perahu."
"Maaf, bolehkah hamba mengajukan pendapat hamba, Yang Mulia?" Yauw Siucai yang sejak tadi menjaga Pangeran Mahkota tiba-tiba berkata dengan sikapnya yang hormat.
Mengingat bahwa sastrawan ini tadi juga mati-matian melindungi kakaknya, Raja Muda Yung Lo mengangguk. "Bicaralah."
“Mengingat keadaan Pangeran Mahkota yang lemah dan agaknya perlu dirawat sesudah mengalami kekagetan tadi, hamba mohon agar beliau ini dapat hamba antar kembali ke kota raja lebih dahulu. Hamba kira tidak baik untuk kesehatan beliau apa bila membiarkan beliau ikut mendengarkan tentang usaha pembunuhan yang bisa menimbulkan kenangan menakutkan itu.
Raja Muda Yung Lo memandang kepada kakaknya yang masih tampak pucat dan lemah, lalu dia pun mengangguk-angguk membenarkan. "Memang sebaiknya begitu. Aturlah saja dengan Jenderal Yauw Ti agar kakanda pangeran dapat dikawal dengan ketat untuk lebih dahulu kembali ke kota raja. Bukankah kakanda juga berpendapat lebih baik jika kakanda pulang lebih dulu?"
Pangeran Mahkota mengangguk. "Kurasa memang lebih baik begitu. Aku masih bingung dan terkejut membayangkan peristiwa tadi." Sesungguhnya pangeran ini memang merasa rikuh sekali bertemu dengan Lili di sana, teringat akan sikapnya yang hendak memaksa gadis itu menjadi selirnya.
"Kalau begitu, silakan, kakanda pangeran. Lain waktu saya akan menjenguk kakanda di kota raja."
Dengan bantuan Yauw Siucai, Pangeran Mahkota lantas keluar dari dalam kamar itu, dan setelah menghubungi Jenderal Yauw Ti, dengan dikawal ketat sang pangeran kembali ke selatan menggunakan kereta besar.
Sementara itu, Raja Muda Yung Lo minta agar Sin Wan dan Lili jangan pergi dulu. "Kami ingin membicarakan hal ini dengan kalian berdua," katanya.
Sesudah mereka keluar dari perahu pesta dan kembali ke perkemahan pasukan Yung Lo, Raja muda itu mengajak Kui Siang, Sin Wan, dan Lili bicara dalam kemahnya. Mula-mula dia minta kepada Sin Wan dan Lili menceritakan tentang keadaan di kota raja.
Dua orang muda itu bergantian menceritakan pengalaman mereka di kota raja, mengenai jaringan mata-mata Mongol yang agaknya dipimpin oleh Si Kedok Hitam. Raja Muda Yung Lo mendengarkan dengan hati tertarik sekali.
"Kalau begitu sungguh berbahaya sekali dan jaringan itu harus ditumpas segera. Apakah Pamanda Jenderal Shu Ta sudah tahu akan hal ini?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Jenderal Shu Ta sudah mengutus Paman Bhok Cun Ki supaya menangani penyelidikan dan pengejaran terhadap jaringan mata-mata musuh ini, ada pun saya sendiri mewakili suhu Ciu-sian untuk melakukan penyelidikan membantunya. Nona Lili juga mewakili ayahnya untuk melakukan penyelidikan," kata Sin Wan yang tentu saja tidak menceritakan peristiwa pribadinya atau peristiwa keluarga Bhok Cun Ki. "Akan tetapi Si Kedok Hitam itu memang licin sekali, Yang Mulia. Ilmu kepandaiannya juga amat tinggi sehingga beberapa kali saya bentrok dengan dia, belum juga mampu menangkapnya atau membuka kedoknya."
"Hemm, saya berpendapat bahwa jenderal galak itu perlu dicurigai, Yang Mulia!" tiba-tiba Lili berkata.
Raja Muda Yung Lo terbelalak lantas mulutnya tersenyum. Gadis ini demikian bebas dan terus terang, juga pemberani, sungguh amat mengagumkan hatinya.
"Tetapi, nona. Jenderal Yauw Ti adalah seorang jenderal yang sangat setia dan sudah banyak berjasa terhadap ayahanda Sribaginda Kaisar. Dia tidak layak dicurigai! Bukankah tadi pun sikapnya sudah jelas bahwa dia melindungi kakanda pangeran dan menentang para pembunuh?"
"Akan tetapi sejak dahulu di kota raja sikapnya amat mencurigakan, Yang Mulia," bantah Lili tanpa sungkan lagi. "Semenjak semula dia sudah memusuhi Sin Wan, bahkan hendak menangkap Sin Wan, padahal dia tahu bahwa Sin Wan sedang melakukan penyelidikan dan mengejar-ngejar Si Kedok Hitam. Sikapnya itu jelas menunjukkan bahwa dia seperti melindungi Si Kedok Hitam. Tadi pun, melihat betapa Sin Wan dan saya menentang para pembunuh, dia bersikap memusuhi kami. Saya sungguh curiga kepadanya!"
"Lili, kalau dia memusuhiku, hal itu adalah karena dia membenci orang Uighur," kata Sin Wan terus terang.
"Aihh, benar juga!" tiba-tiba Raja Muda Yung Lo berseru. "Dahulu, ketika dia membantu Jenderal Shu Ta yang memimpin pasukan mengejar orang-orang Mongol ke utara dengan berhasil, pada suatu hari Jenderal Yauw Ti tertawan oleh sekelompok orang Uighur. Dia mengalami penghinaan dan agaknya peristiwa itulah yang membuat dia membenci orang Uighur. Kalau dia tahu bahwa engkau keturunan Uighur dan membencimu, hal itu tidaklah terlalu mengherankan."
"Lili, aku malah lebih condong mencurigai Yauw Siucai itu. Bagiku dia penuh rahasia dan aneh, apa lagi kalau aku teringat akan pengalamanku dahulu di kota raja pada waktu aku membayanginya, kemudian bertemu dengan Si Kedok Hitam...”
"Sepanjang yang kuketahui, Yauw Siucai ini tidak berbahaya meski pun dia memang aneh dan penuh rahasia," kata Lili.
"Yang jelas engkau memiliki tugas yang amat penting, Sin Wan. Oleh karena itu engkau harus cepat kembali ke kota raja dan melanjutkan usaha melakukan penyelidikan sampai engkau berhasil membongkar jaringan mata-mata Mongol yang berbahaya itu. Sebaiknya engkau memberi laporan selengkapnya kepada Paman Jenderal Shu Ta tentang semua yang terjadi di sini," kata Raja Muda Yung Lo.
"Baik, Yang Mulia. Memang saya tidak akan mau berhenti sebelum berhasil membongkar jaringan mata-mata itu, sebagai pelaksanaan tugas yang diberikan suhu kepada saya."
Sin Wan telah bangkit dan hendak pamit. Hatinya merasa tidak enak sekali. Sudah sejak tadi dia bertemu Kui Siang dan sering kali bertukar pandang, tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari bibir sumoi-nya itu. Agaknya sumoi-nya masih membencinya, atau setidaknya tak mau berhubungan atau bahkan bicara dengan dia. Kenyataan ini amat pahit baginya, sungguh menyakitkan hati sehingga dia tidak tahan untuk tinggal di sana lebih lama lagi, berdekatan dengan sumoi-nya, akan tetapi sama sekali tidak diajak bicara.
"Nanti dulu, Sin Wan, masih banyak sekali hal yang perlu kami bicarakan dengan kalian bertiga. Akan tetapi sebelum itu, kami menghendaki Kui Siang menemani ke kota raja dan membantumu melakukan penyelidikan."
Sin Wan terbelalak dan dia memandang kepada sumoi-nya, akan tetapi gadis itu bahkan menundukkan muka tidak memandang kepadanya. Ia merasa kasihan kepada sumoi-nya. "Akan tetapi, Yang Mulia, saya tidak... tidak ingin merepotkan sumoi..."
Raja muda itu tersenyum lebar. "Aku mengerti, memang usul kami ini datangnya terlalu tiba-tiba dan mengejutkan. Karena itu sudah sepatutnya jika kalian berdua membicarakan lebih dulu. Kui Siang, Sin Wan, keluarlah kalian dari sini dan kalian bicaralah dulu tentang kerja sama ini, sementara itu kami ingin bicara dengan nona Lili. Setelah selesai bicara, harap kalian masuk lagi karena percakapan kita belum selesai."
Sekarang Kui Siang mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, sesaat bertaut, kemudian Sin Wan memberi hormat kepada raja muda itu. "Baiklah, Yang Mulia. Mari sumoi, kita bicara di luar."
Tanpa menjawab Kui Siang bangkit, memberi hormat kepada raja muda itu lalu bersama Sin Wan dia keluar dari dalam tenda.
Para penjaga di luar menghormat ketika Kui Siang yang mereka kenal sebagai pengawal pribadi raja muda yang amat mereka kagumi dan hormati, keluar bersama Sin Wan.
Lili mengikuti mereka dengan pandang mata dan mulut tersenyum, bahkan secara terang-terangan gadis ini mengangguk-angguk.
Melihat ini Raja Muda Yung Lo menegur, "Nona, kenapa engkau mengangguk-angguk?"
"Saya senang melihat mereka berdua," kata Lili terus terang.
"Hemm, sejauh manakah hubunganmu dengan Sin Wan, nona?"
Lili mengangkat muka memandang. Pandang mata gadis itu sungguh terbuka dan jujur, penuh keberanian dan semangat sehingga kembali raja muda itu merasa kagum.
"Apa yang paduka maksudkan dengan kata-kata sejauh mana itu, Pangeran... eh, paduka seorang raja muda dan...”
Yung Lo menggerakkan tangan. "Tidak mengapa, sebut saja pangeran karena aku juga seorang pangeran, adik tiri Pangeran Mahkota Chu Hui San, namaku Pangeran Yen. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Yang kumaksud dengan sejauh mana hubunganmu dengan Sin Wan, apakah di antara kalian terdapat hubungan yang lebih erat, misalnya... kalian saling mencinta?"
Lili terbelalak, kemudian tersenyum sehingga lesung pipitnya nampak jelas.
“Aihh, saya senang sekali mendengar pertanyaan yang langsung dan jujur itu, Pangeran. Saya akan menjawab sejujurnya pula. Tidak saya sangkal bahwa pernah saya berharap agar bisa menjadi jodoh Sin Wan, akan tetapi ternyata dia tidak dapat mencinta gadis lain karena dia telah jatuh cinta kepada seorang gadis. Saya pun mundur karena tak mungkin mencinta sebelah pihak, bukan? Dan sekarang saya tahu siapa gadis yang dicintanya itu. Tentu sumoi-nya itu."
Kini pangeran yang menjadi raja muda itu yang kagum. Benar-benar seorang gadis yang jujur dan terbuka, sikap yang amat disukainya karena dia sendiri pun suka akan kejujuran.
"Dugaanmu benar. Mereka saling mencinta, akan tetapi karena kesalah pahaman mereka berpisah. Aku ingin agar mereka bersatu kembali, maka aku sengaja menyuruh Kui Siang menemaninya ke kota raja. Tetapi, sesudah Kui Siang pergi, aku akan merasa kehilangan sekali karena dia adalah pengawal pribadiku yang gagah perkasa dan baik. Dan melihat engkau, timbul keinginanku untuk meminta engkau menjadi pengganti Kui Siang, menjadi pengawal pribadiku. Maukah engkau, Lili?"
Kembali Lili tertegun dan memandang kepada raja muda itu dengan mata bulat dan mulut agak terbuka. Namun dia teringat ketika dia menjadi pengawal pribadi Pangeran Mahkota, maka dia memejamkan mata, menutup mulut dan menarik napas panjang melalui hidung sehingga cuping hidungnya berkembang kempis.
Geli juga hati Raja Muda Yung Lo melihat wajah yang manis dan lucu itu. "Kenapa engkau menghela napas panjang, Lili? Apa bila engkau tidak suka menerima, katakan saja terus terang, tak perlu berpura-pura."
"Pangeran, tawaran paduka agar saya menjadi pengawal pribadi paduka ini mengingatkan saya akan pengalaman saya ketika menjadi pengawal pribadi Sang Pangeran Mahkota."
Kini pangeran atau raja muda itu yang tertegun. "Ehh? Engkau pernah menjadi pengawal pribadi kakanda Pangeran Mahkota?" Dia mengerutkan alisnya lalu menyambung. "Akan tetapi.... mengapa sekarang tidak lagi dan pengawalnya adalah Yauw Siucai yang penuh rahasia itu? Apa yang telah terjadi?"
Dengan sejujurnya, tanpa ada yang disembunyikan, Lili menceritakan tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Yauw Siucai, dan betapa dia bersama Yauw Siucai kemudian bekerja pada Pangeran Mahkota.
"Oleh Pangeran Mahkota, saya ditarik menjadi pengawal pribadinya. Semula saya sangat menyukai pekerjaan itu karena sang pangeran mahkota bersikap halus dan baik. Akan tetapi kemudian, pada suatu hari dia hendak memaksa saya menjadi selirnya. Saya tidak mau dan ketika hendak dipaksa, saya lalu melarikan diri, bahkan pernah menjadi buronan yang dikejar-kejar. Untunglah akhirnya Jenderal Shu Ta berhasil menolong dan membujuk Pangeran Mahkota sehingga saya tak dikejar-kejar lagi. Nah, itulah pengalaman yang tadi membuat saya ragu-ragu ketika paduka menawarkan pekerjaan pengawal kepada saya."
Mendengar ini, Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo menghela napas panjang.
"Sudah lama aku mendengar akan prilaku kakanda pangeran yang tidak pantas itu. Akan tetapi, nona Lili, apakah engkau mengira aku akan bersikap seperti dia? Selama hidupku belum pernah aku memaksa seorang wanita!" Dia tertawa dan tawanya demikian bebas sehingga Lili juga ikut tertawa.
"Saya percaya, Pangeran. Biar pun paduka merupakan adik dari Pangeran Mahkota, akan tetapi saya telah mendengar banyak tentang paduka dari ayah."
"Apakah itu berarti engkau suka menerima tawaranku untuk menjadi pengawal pribadiku menggantikan Kui Siang?"
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. "Saya mau, Pangeran, akan tetapi saya harus memberi tahu kepada ayah dan ibu."
"Jangan khawatir, aku mengenal baik ayahmu. Aku akan mengirim surat kepada ayahmu untuk minta persetujuannya, sementara engkau ikut denganku ke utara, karena aku yakin bahwa Kui Siang tentu setuju untuk membantu Sin Wan sehingga aku tidak mempunyai pengawal pribadi lagi."
Lili tersenyum. "Pangeran, paduka sendiri memiliki ilmu bela diri yang cukup tangguh, dan paduka adalah raja muda yang memiliki pasukan besar. Siapa yang berani mengganggu paduka? Tanpa pengawal pribadi sekali pun, paduka akan selalu dalam keadaan aman."
"Wah, engkau keliru, Lili. Buktinya, baru saja aku beserta kakanda pangeran diserang dan hendak dibunuh musuh! Di samping untuk menjaga keselamatan, aku juga membutuhkan seorang pengawal pribadi sebagai seorang sahabat yang setia dan baik, yang tak segan-segan untuk menegur dan mengeritik kalau aku melakukan kesalahan."
Raja Muda Yung Lo lalu menceritakan mengenai keadaan dirinya dan penghuni istananya, juga mengenai para pembantunya di utara untuk memberi gambaran keadaan di Peking kepada Lili yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Jelas nampak perbedaan yang sangat menyolok antara raja muda ini dan kakaknya, sang pangeran mahkota. Memang ada persamaan bentuk wajah, keduanya sama tampan dan berwibawa. Akan tetapi, kalau pangeran mahkota nampak lemah dan kurang semangat, sebaliknya raja muda ini nampak kokoh kuat, gagah dan penuh semangat.....
********************
Mereka berdua meninggalkan perkemahan dan berjalan seiring tanpa bicara sedikit pun. Namun keduanya seperti bersepakat saja, berjalan menuju ke tepi sungai yang sunyi dan akhirnya, masih tanpa bicara, mereka berdiri berhadapan di atas rumput tebal di pinggir sungai, dalam cuaca yang remang-remang karena fajar mulai menyingsing dan malam itu terlewat tanpa terasa karena banyaknya peristiwa menegangkan terjadi.
Sudah terdengar bunyi kokok ayam di kejauhan, namun di tepi sungai itu masih terdengar pula sisa-sisa bunyi binatang malam, kerik jengkerik dan koak katak. Mereka hanya saling pandang, kemudian terdengar Sin Wan lebih dahulu berkata.
"Sumoi...” akan tetapi dia hanya mengeluarkan sepatah kata panggilan itu, karena tidak tahu harus bicara apa.
"Suheng..." Kui Siang juga memanggil, suaranya lirih dan jelas bahwa suara itu gemetar. Kembali hening karena keduanya hanya saling pandang.
Sin Wan tidak berani lancang bicara karena dia belum tahu akan isi hati sumoi-nya, masih mengira bahwa sumoi-nya tetap membencinya dan enggan bicara dengannya.
Sebaliknya Kui Siang juga merasa sulit untuk bicara. Selama ini dia merindukan suheng-nya dan merasa bersalah kepada pemuda itu. Ingin dia minta maaf atas semua sikapnya yang tidak adil dan membenci suheng-nya, satu-satunya pria yang selama ini dicintanya, akan tetapi setelah berhadapan, dia merasa sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Hatinya dicekam keharuan yang membuat lehernya seperti dicekik rasanya.
"Sumoi, sudah bertahun-tahun kita tidak saling jumpa..." Suara Sin Wan tersendat.
"Ya, sudah lama sekali, suheng…" Kui Siang menyambung.
"Sumoi, bagaimana keadaanmu selama ini? Baik-baik saja, bukan?” Suara Sin Wan mulai lancar ketika mendengar nada suara sumoi-nya tidak seperti orang marah.
Kui Siang menghela napas panjang dengan perasaan lega. Agaknya suheng-nya ini tidak mendendam sakit hati oleh sikapnya dulu. "Aku baik-baik saja, suheng. Dan bagaimana dengan engkau?"
"Aku pun selalu dalam lindungan Allah Yang Maha Kasih, sumoi. Bagaimana pendapatmu mengenai perintah Raja Muda Yung Lo tadi, sumoi? Aku... aku tidak ingin melihat engkau repot dan tidak senang dengan pekerjaan itu..."
Hening sejenak, kemudian terdengar suara Kui Siang, suara yang lirih dan sukar sekali keluarnya, seperti bercampur isak. "Suheng... apakah engkau tidak marah kepadaku..."
"Marah? Aku? Kenapa aku harus marah kepadamu, sumoi?"
Kui Siang menundukkan muka. "Suheng..., dulu aku sudah menghinamu, aku memakimu anak penjahat, aku mengatakan bahwa aku… membencimu... suheng, aku... aku..." Kui Siang menangis, suaranya terputus, terganti suara isak tangisnya.
Sin Wan tertegun, hampir dia melonjak kegirangan dan tanpa disadarinya, kedua kakinya bergerak menghampiri gadis itu sampai mereka berdiri dekat sekali.
"Sumoi, kalau begitu.... engkau tidak lagi menganggap aku anak penjahat, engkau tidak lagi... membenciku?"
Dia memegang kedua pundak gadis itu, mendorong gadis itu tegak dan memandangnya. Kui Siang mengangkat mukanya dan air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya.
"Suheng, kau... maafkan aku, suheng...," gadis itu berkata di antara isak tangisnya.
"Sumoi..." Sin Wan merangkul dan mendekap kepala itu yang kini bersandar ke dadanya. "Ya Allah, terima kasih atas karuniaMu... ahh, sumoi, betapa rinduku kepadamu, betapa cintaku kepadamu..."
"Suheng, maafkan aku...," gadis itu mengulang.
Dengan lembut Sin Wan mendorong pundak gadis itu sehingga dia bisa melihat mukanya, muka yang basah oleh air mata, mata yang mengandung penuh penyesalan dan dia pun menggunakan jari-jari tangannya mengusap air mata yang membasahi kedua pipi itu.
"Sumoi, engkau tidak bersalah apa-apa kepadaku. Memang aku pernah menjadi anak tiri penjahat yang telah menghancurkan keluarga ayahmu. Sudah sepantasnya kalau engkau membencinya, dan karena aku anak tlrinya, sudah sepantasnya pula engkau membenci aku. Jangan minta maaf kepadaku. Tuhan Allah Maha Pengampun, sumoi, marilah kita mohon ampun atas segala kesalahan kita kepadaNya."
"Suheng...," Kui Siang kembali merebahkan mukanya di dada pria yang selama ini selalu dirindukannya, pria yang lebih dipilihnya dari pada Raja Muda Yung Lo!
Sampai beberapa lamanya mereka terbenam dalam suasana yang asyik masyuk ini, lupa diri lupa keadaan, seakan menjadi satu. Bersatunya dua buah hati yang saling mencinta. Sesudah keharuan yang tadi melanda hati keduanya lewat, barulah Sin Wan melepaskan rangkulannya dan berkatalah dia dengan suara yang lembut.
"Sumoi, kita mengucap syukur kepada Tuhan Maha Pengasih yang mempertemukan kita dalam keadaan seperti ini. Aku merasa sangat berbahagia, sumoi. Sekarang bagaimana pendapatmu tentang perintah Raja Muda Yung Lo agar engkau membantuku melakukan penyelidikan ke selatan?"
"Beliau mengeluarkan perintah itu memang sengaja agar kita dapat bersatu suheng."
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Suheng, beliau pernah menyatakan cinta kepadaku dan ingin memperisteriku, tetapi aku menolaknya dan mengatakan bahwa cintaku hanya untukmu. Dengan bijaksananya beliau dapat menerima alasan itu dan beliau berjanji untuk mempersatukan kita. Ternyata beliau memegang janjinya, suheng."
Sin Wan kembali mendekap gadis itu dengan penuh kasih sayang. Bukan main sumoi-nya ini, pikirnya. Menolak pinangan Raja Muda Yung Lo dan memilih dia! Betapa bangga dan besar rasa hatinya.
"Kalau begitu, engkau mau menerima perintah itu? Kita melakukan perjalanan bersama ke selatan?"
"Tentu saja, suheng. Mulai detik ini aku tidak sudi lagi berpisah darimu, biar satu hari pun! Kita hidup dan mati bersama. Aku pun tak ingin engkau melakukan perjalanan didampingi gadis lain seperti yang terjadi dengan Lili itu. Rasanya masih panas hatiku bila mengingat betapa akrabnya engkau dengannya."
Sin Wan tertawa. "Ihhh, engkau cemburu? Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak mencintanya, walau pun dia seorang gadis yang baik pula? Kau tahu, sumoi, Lili adalah puteri kandung panglima Bhok Cun Ki."
Dengan singkat Sin Wan lantas bercerita tentang Lili dan Bhok Cun Ki. Kui Siang senang mendengarnya dan dia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya ini tidak pernah mencinta gadis lain kecuali dirinya seorang. Sambil bergandengan tangan akhirnya mereka kembali ke perkemahan di mana Raja Muda Yung Lo masih nampak bercakap-cakap dengan Lili.
Melihat dua orang muda itu masuk ke dalam perkemahan sambil bergandengan tangan, Raja Muda Yung Lo tersenyum lebar dan bangkit menyambut mereka dengan sinar mata gembira.
"Selamat, selamat. Kini perpisahan telah berakhir dan dua hati yang saling mencinta telah bertemu dan berkumpul kembali!" kata bangsawan itu dengan kegembiraan yang wajar.
"Aku juga turut gembira, Sin Wan. Ternyata penolakanmu terhadap adikku Ci Hwa bukan alasan kosong karena ternyata engkau memang sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Kionghi (selamat)!" kata pula Lili.
Sin Wan dan Kui Siang merasa terharu dan kagum bukan main. Sin Wan merasa kagum kepada Lili yang demikian jujur dan bisa menerima kenyataan, sedangkan Kui Siang juga kagum terhadap Raja Muda Yung Lo. Dua orang itu benar-benar merupakan orang-orang yang memiliki pandangan luas dan kejujuran yang terbuka, bukan hanya membuta karena nafsu mementingkan diri sendiri belaka.
Sin Wan dan Kui Siang cepat memberi hormat dan mengucapkan terima kasih mereka. "Yang Mulia, saja mohon diri untuk segera kembali ke kota raja dan melaksanakan tugas penyelidikan yang penting itu."
"Dan saya pun dengan senang hati mematuhi perintah paduka untuk membantu suheng membongkar rahasia jaringan mata-mata Mongol di kota raja, Yang Mulia."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk dan tersenyum ramah. "Berita ini sungguh amat menggembirakan hati kami, dan memang sebaiknya kalau kalian segera pergi ke selatan melaksanakan tugas itu. Namun ada berita lain yang juga sangat menggembirakan, yaitu bahwa nona Lili telah menerima permintaanku untuk menggantikan kedudukan Kui Siang, menjadi pengawal pribadiku."
Sin Wan dan Kui Siang saling pandang dan tersenyum gembira. "Sungguh, kiranya tidak ada lain orang yang lebih cocok untuk menjadi pengawal pribadi paduka kecuali Lili, Yang Mulia!" kata Sin Wan.
"Ucapan suheng benar sekali! Saya pun merasa gembira karena saya sudah mendengar dari suheng tentang adik Lili dan memang dia amat cocok untuk menjadi pengawal pribadi paduka!" sambung Kui Siang.
"Nah, mengenai Lili, kami hendak menitipkan surat ini kepadamu, Sin Wan, agar engkau serahkan kepada Panglima Bhok Cun Ki, di mana kami meminta persetujuannya supaya puterinya dapat bekerja sebagai pengawal pribadiku."
"Ada satu hal lagi yang amat menggelisahkan hati kami, dan hanya kepada kalian bertiga aku mau membicarakannya karena aku percaya kepada kalian. Duduklah dan dengarkan baik-baik, akan tetapi apa pun yang kalian dengar dari mulutku ini jangan sampai kalian bocorkan kepada orang lain," kata Raja Muda Yung Lo dan melihat kesungguhan sikap, pandang mata dan suara raja muda itu, Sin Wan, Lili dan Kui Siang segera mengambil tempat duduk kemudian mendengarkan penuh perhatian.
"Telah terjadi perubahan besar sekali di kota raja, terutama perubahan atas diri ayahanda Sribaginda Kaisar dan Kakanda Pangeran Mahkota." Dia mulai berbicara dengan pandang mata penuh duka. "Sribaginda Kaisar yang dulu dikenal sebagai seorang pemimpin besar, pendiri Kerajaan Beng dan pengusir penjajah Mongol, sekarang telah berubah dalam usia tuanya. Dahulu beliau adalah seorang ayah yang mencinta putera-puteranya, akan tetapi sekarang? Beliau menjadi orang yang selalu gelisah, selalu curiga, bahkan terhadap para putera sendiri beliau tak percaya. Beliau merasa seolah-olah dikepung musuh-musuh dan hampir tidak ada orang yang beliau percaya lagi. Dan kecurigaan ini membuat beliau suka berbuat kejam dan tidak adil. Entah berapa banyaknya panglima dan pejabat yang sudah dihukum mati hanya karena beliau menaruh curiga."
"Sesungguhnya dalam percakapannya berdua dengan saya, Paman Bhok Cun Ki pernah menyinggung keadaan itu, Yang Mulia. Pada saat Sribaginda menghukum mati tiga orang panglimanya yang setia, kemudian menghukum mati pula seorang menteri yang mencoba mengingatkan beliau dan memprotes, maka para pejabat lainnya mundur dan tidak berani mencampuri. Juga Paman Bhok Cun Ki sendiri tidak berdaya. Bahkan dua orang Jenderal besar yang dipercaya Sribaginda, yaitu Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti, juga tidak mampu mengingatkan beliau," kata Sin Wan.
Raja Muda Yung Lo menarik napas panjang. "Memang beliau telah berubah sama sekali. Aku ingat benar ketika aku masih kecil, ayahanda sering bercerita tentang masa lalunya. Beliau merasa amat bangga ketika menceritakan masa muda beliau yang pernah menjadi penggembala kerbau, pernah menjadi kacung di kuil, bahkan pernah menjadi gelandangan yang tidak berumah, menjadi anggota kai-pang (perkumpulan pengemis) dan memimpin orang-orang kangouw. Semua itu diceritakan dengan gembira. Beliau bangga bahwa dari rakyat kecil biasa, akhirnya beliau berhasil menjadi pemimpin besar menghalau penjajah kemudian mendirikan kerajaan baru. Akan tetapi sekarang terjadi sebaliknya, apa bila ada yang bicara sedikit saja tentang masa lalu beliau, hal ini dianggap penghinaan dan orang itu akan dihukum mati!"
"Saya kira paduka tidak perlu terlampau menyusahkan keadaan Sribaginda itu, Pangeran. Mungkin beliau mempunyai alasan kuat untuk menjatuhkan hukuman," kata Lili.
Raja Muda Yung Lo tersenyum sambil mengangguk. "Engkau benar, Lili. Aku pun sudah sering kali menghibur diri. Namun, bagaimana pun juga Sribaginda Kaisar adalah orang yang paling berjasa bagi tanah air dan bangsa."
"Dan perubahan apa yang terjadi pada diri Pangeran Mahkota, Pangeran?" Lili bertanya.
"Lili, tentu engkau sudah tahu sendiri betapa sekarang kakanda pangeran hanya mengejar kesenangan, hanya mengumbar nafsu tanpa peduli dengan pemerintahan. Padahal beliau adalah pangeran mahkota yang akan menggantikan ayahanda Kaisar. Engkau mengalami sendiri betapa untuk menuruti nafsunya, beliau sampai lupa diri kemudian melakukan hal-hal yang amat tidak patut, seperti yang coba beliau lakukan terhadap dirimu. Benar-benar memprihatinkan sekali kalau aku ingat kepada ayahanda dan kakanda di kota raja."
"Lalu apa yang paduka ingin kami perbuat sehubungan dengan dua hal itu, Yang Mulia?" kata Kui Siang yang merasa kasihan kepada raja muda itu.
“Sesudah kalian berada di kota raja, aku ingin agar kalian menyelidiki pula apa hubungan perubahan pada ayahanda dan kakanda itu dengan kegiatan jaringan mata-mata Mongol. Kami khawatir kalau-kalau perubahan itu adalah akibat ulah para mata-mata yang tentu ingin menghancurkan Kerajaan Beng."
Sin Wan dan Kui Siang mengerti maksud Raja Muda Yung Lo dan setelah menyanggupi, mereka lalu berangkat meninggalkan tempat itu. Pada hari itu juga Raja Muda Yung Lo kembali pula ke Peking bersama pasukannya…..
********************
"Aku harus membuat perhitungan dengan Si Kedok Hitam si jahanam itu!" Tung-hai-liong Ouwyang Cin mengepal tinju. "Tidak saja dia ingin memperalat aku dengan menawanmu, tetapi dia juga kurang ajar sekali, menguasai orang-orang kangouw yang dahulu tunduk kepadaku. Kita harus menyelidiki dan menangkap dia!"
Datuk kaum bajak laut di timur ini marah bukan main karena hampir saja dia, muridnya, serta puterinya yang sudah tertawan Si Kedok Hitam, celaka di tangan pemimpin mata-mata Mongol itu.
"Akan tetapi, suhu. Bukankah mereka itu menjanjikan kedudukan raja muda kepada suhu kalau perjuangan mereka berhasil?" Maniyoko bertanya.
"Persetan! Belum apa-apa dia sudah ingin memaksa kita untuk melakukan pembunuhan terhadap dua orang pangeran, seolah kita ini anak buahnya saja. Lebih lagi, dia menawan Akim, itu bukan kerja-sama namanya. Siapa sih dia itu hendak memperalat aku?"
"Memang kita harus mencarinya dan menghajarnya, ayah," kata Akim marah. "Kalau saja tidak ada Sin Wan, tentu kita sudah celaka."
"Hemm, pemuda itu? Akim, bagaimana engkau bisa mengenal pemuda itu dan siapakah dia?"
"Namanya Sin Wan, ayah. Memang aku telah mengenal dia sebelumnya. Dia murid Sam-sian dan menjadi wakil gurunya dalam melaksanakan tugas dari Kaisar untuk memerangi jaringan mata-mata Mongol."
"Hemm, agaknya sumoi akrab sekali dengan pemuda itu!" Maniyoko berkata dengan nada suara dingin.
Sepasang mata yang indah itu mencorong. "Aku mau akrab dengan dia atau pun dengan siapa juga, apa sangkut pautnya denganmu?!" bentaknya.
Dibentak begitu, Maniyoko terdiam dan mukanya berubah merah. Diam-diam dia merasa marah dan cemburu sekali. Teringatlah dia betapa dahulu dia pernah menawan Lili, akan tetapi pemuda itu pula yang menentangnya, kemudian mengalahkan dia dan merampas Lili yang telah ditawannya. Sekarang agaknya pemuda itu akan merebut Akim darinya.
Mendengar ucapan puterinya itu, Tung-hai-liong lalu bertanya, "Akim, apakah engkau dan pemuda murid Sam-sian itu saling mencinta?"
"Bila aku dan dia saling mencinta, apakah ayah hendak melarang?” Akim balas bertanya, sikapnya menantang.
Tung-hai-liong tertawa. "Sebenarnya aku ingin melihat engkau menjadi isteri suheng-mu, akan tetapi kalau engkau dan murid Sam-sian itu saling mencinta, aku pun tidak merasa keberatan engkau menjadi jodohnya asalkan Sam-sian sendiri yang mengajukan pinangan kepadaku."
"Tidak, ayah! Aku tidak mau menjadi isteri suheng, juga aku tidak sudi menjadi isteri laki-laki semacam Sin Wan yang tidak mencintaku melainkan mencinta wanita lain. Aku benci! Aku benci dia!" Gadis itu lalu lari meninggalkan ayahnya dan suheng-nya.
Melihat muridnya seperti orang yang kecewa dan agaknya perasaannya sangat terpukul oleh sikap Akim, Tung-hai-liong Ouwyang Cin menghiburnya. "Maniyoko, kau beruntung bahwa Akim tidak sudi menjadi jodoh Sin Wan, berarti dia masih bebas dan kelak dapat kubujuk untuk mau menjadi jodohmu. Sekarang biarkan dia bertualang. Kita harus pulang karena setelah anak itu pergi, di rumah tidak ada orang."
"Jika suhu mengijinkan, teecu (murid) ingin mencari sumoi untuk diam-diam membayangi dan melindunginya. Jaringan mata-mata Mongol itu sungguh berbahaya, teecu khawatir sumoi akan terjebak dan tertawan lagi. Kalau suhu hendak pulang lebih dahulu, silakan."
Kakek itu mengangguk. "Begitu pun baik. Aku tidak sudi menjadi hamba dari orang-orang Mongol."
Guru dan murid ini kemudian berpisah. Tung-hai-liong Ouwyang Cin kembali ke timur, ada pun Maniyoko mencari sumoi-nya yang tadi lari ke selatan, tentu menuju ke kota raja.
Biar pun dia berhasil menyusul sumoi-nya, Maniyoko tetap tidak mau memperlihatkan diri. Sumoi-nya sedang kesal hatinya dan dia mengenal benar watak sumoi-nya. Kalau sedang dalam keadaan seperti itu, sumoi-nya amat sukar didekati dan kalau dia memperlihatkan diri, besar kemungkinan sumoi-nya akan menjadi semakin kesal dan marah. Maka dia pun hanya membayangi saja dari jauh sampai akhirnya mereka tiba di luar pintu gerbang kota raja Nan-king.
Di Jalan raya itu dia melihat rombongan Pangeran Mahkota yang dikawal ketat memasuki kota raja. Juga nampak jelas Jenderal Yauw Ti dalam sebuah kereta yang mengiringkan di belakang, dikawal oleh pasukan berkuda.
Tiba-tiba seseorang yang mengenakan kedok biru menghampirinya. Maniyoko sudah siap siaga untuk menyerang orang itu, akan tetapi si kedok biru memberi isyarat kepadanya, lalu berkata singkat,
"Yang Mulia mengundang saudara Maniyoko untuk bertemu. Mari!"
Maniyoko tertarik. Dia teringat akan kunjungan utusan yang menyerahkan hadiah kepada gurunya dan utusan itu pun mengatakan bahwa pimpinan mereka hanya dikenal dengan sebutan Yang Mulia. Dia masih kecewa akan penolakan gurunya untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol yang menjanjikan kedudukan mulia, karena itu kini dia ingin tahu apa yang akan dikatakan pimpinan mata-mata Mongol itu kepadanya. Dia mengikuti bayangan itu yang bergerak amat cepat memasuki hutan kecil di sebelah timur jalan.
Setelah tiba di tengah hutan barulah si kedok biru berhenti dan Maniyoko berhenti pula di belakangnya. Ternyata di situ sudah berdiri dua orang yang aneh dan juga menyeramkan. Yang seorang adalah seorang laki-laki yang usianya sudah enam puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan tampan, bertubuh tinggi tegap dengan muka yang merah sekali, seolah muka itu dilumuri darah. Pakaiannya dari sutera putih yang halus mengkilap dan di punggungnya tergantung sebatang golok gergaji.
Sedangkan yang ke dua adalah seorang wanita, sedikit lebih muda namun masih ramping dan cantik, hanya saja warna kulit mukanya tampak mengerikan karena pucat mirip muka mayat. Pakaian wanita ini juga terbuat dari sutera putih halus dan pada pinggangnya yang ramping melingkar seekor ular yang sebetulnya senjata sabuk terbuat dari ular yang telah mati.
Maniyoko tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang datuk sakti yang amat lihai, yaitu Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, sepasang iblis yang amat lihai dan kejam, yang kini sudah menjadi kaki tangan Si Kedok Hitam, membantu gerakan para mata-mata Mongol. Akan tetapi karena di situ dia tidak melihat adanya Si Kedok Hitam, dia menduga bahwa dua orang ini tentulah pembantu pimpinan mata-mata itu, maka dia tidak berani bersikap angkuh dan tetap waspada karena dia belum tahu apa maksud mereka mengundangnya, padahal belum lama ini dia bersama suhu-nya serta sumoi-nya menentang mereka, dan sudah bertempur dengan mereka di atas perahu.
"Apa maksudnya aku diundang ke sini?" tanya Maniyoko sambil menoleh kepada si kedok biru yang tadi mengajaknya ke tempat itu.
Ang-bin Moko tertawa. "Engkau murid Tung-hai-liong dan namamu Maniyoko? Ingin tahu kenapa kami mengundangmu atas nama Yang Mulia? Lihatlah di sana itu!" Dia menuding ke arah belakangnya.
Maniyoko mengangkat muka memandang, maka terkejutlah dia. Di sana, kira-kira seratus meter dari situ, tampak Ouwyang Kim berdiri terikat pada sebatang pohon. Melihat betapa kepala gadis itu terkulai, dia pun dapat menduga bahwa sumoi-nya tentu dalam keadaan pingsan atau tertotok lemas.
"Apa yang kalian lakukan kepada sumoi? Hayo cepat bebaskan sumoi!" katanya dan dia pun sudah mencabut pedang samurainya dari punggung, siap untuk menerjang mereka.
"Tenanglah, orang muda dan simpan kembali pedangmu. Sejak semula Yang Mulia sudah menawarkan kerja sama dengan Tung-hai-liong, namun kerja sama itu gagal karena dia keras kepala.”
"Tapi kalian sudah menawan sumoi di perahu itu, tentu saja kami menentang kalian! Dan sekarang, kalian kembali menawan sumoi!" kata Maniyoko marah.
Pria dan wanita yang aneh itu tertawa. "Hi-hik-hik, orang muda yang tampan. Kalau kami menawan puteri Tung-hai-liong, hal itu kami lakukan karena dialah yang menyerang kami. Akan tetapi kami masih ingat akan persahabatan, maka kami tidak membunuhnya. Lihat, sekarang kami menawan dia juga dengan maksud baik, agar dia merasa berhutang budi padamu sehingga engkau pun meningkat dalam pandangan sumoi-mu. Bukankah engkau menghendaki agar sumoi-mu itu kelak dapat membalas cintamu dan menjadi isterimu?"
Maniyoko terkejut. Ternyata wanita yang mukanya seperti mayat itu sudah mengetahui isi hatinya. Tentu mereka itu telah mengintai dan mendengar percakapan antara dia dengan gurunya.
"Apa maksud kalian? Sebenarnya, mau apa kalian menawan sumoi?"
Pek-bin Moli mendekati pemuda itu lantas berbisik-bisik. Maniyoko mengangguk-angguk. Tak lama kemudian sepasang iblis itu memberi isyarat lalu muncullah enam orang laki-laki yang berpakaian seragam seperti prajurit kerajaan yang memang telah menerima perintah dari sepasang iblis itu.
Enam orang itu lalu menghampiri Akim yang terbelenggu pada pohon, ada pun sepasang iblis itu cepat menghilang di balik pohon-pohon. Maniyoko juga menyelinap di balik semak belukar kemudian mengintai.
Enam orang itu mengambil air lalu menyiram kepala dan muka Akim dengan air. Gadis itu akhirnya siuman, dan melihat betapa dia terbelenggu pada pohon serta ada enam orang prajurit kerajaan berdiri di hadapannya, dia pun berusaha meronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi enam orang itu sudah mencabut pedang dan menodongkan senjata mereka kepadanya.
"Aihh, jangan mencoba untuk melepaskan diri, nona, atau pedang kami akan melumatkan tubuhmu."
Akim berhenti dan memandang kepada mereka dengan mata mendelik penuh kemarahan. Ketika tadi dia berjalan hendak menuju ke pintu gerbang kota raja, dia mendengar suara orang memanggilnya dari hutan itu. Dia memasuki hutan, lalu diserang dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Dia melakukan perlawanan namun akhirnya dia roboh tertotok dan tidak sadar lagi, pingsan.
"Siapa kalian dan mau apa kalian menangkapku? Lepaskan aku!"
Seorang di antara mereka yang berkumis tebal menjawab sembarí tertawa, "Ha-ha-ha-ha, engkau masih bertanya lagi? Lihat pakaian seragam kami. Kami adalah anak-anak buah Panglima Bhok Cun Ki. Kami mendapat tugas menangkapmu dan menghukummu karena engkau telah berani menggoda calon mantu Bhok-ciangkun."
"Menggoda calon mantu Bhok-ciangkun? Kalian gila! Aku tidak kenal dengan calon mantu Bhok-ciangkun!" Akim membentak marah. Walau pun dia sudah terbelenggu dan ditodong pedang dalam keadaan tidak berdaya, namun sedikit pun dia tidak memperlihatkan rasa takut. "Lepaskan aku!"
"Ha-ha-ha, Bhok-ciangkun telah mengijinkan kami untuk berbuat apa saja terhadap dirimu dan kami tak akan melepaskanmu begitu saja, manis! Jangan berpura-pura. Calon mantu Bhok-ciangkun bernama Sin Wan, apakah engkau hendak menyangkal lagi?"
Sepasang mata itu terbelalak. Sin Wan? Dia calon menantu Bhok Cun Ki? Tentu saja dia tidak bisa menyangkal bahwa dia mencinta Sin Wan walau kini cintanya berubah menjadi perasaan sedih dan marah karena pemuda itu tidak membalas cintanya. Akan tetapi baru sekarang dia tahu bahwa Sin Wan adalah calon menantu Bhok Cun Ki. Dia teringat akan pembelaan pemuda itu terhadap keluarga Bhok.
"Nah, sekarang engkau tidak dapat menyangkal lagi, bukan? Itulah sebabnya maka kami disuruh menangkap dan membunuhmu. Akan tetapi kami akan mengajakmu bersenang-senang dahulu sebelum membunuhmu. Ha-ha-ha-ha!" Enam pasang tangan itu bergerak, agaknya hendak meraba tubuh Akim yang terbelenggu.
"Jahanam, jangan mengganggu sumoi!" terdengar bentakan nyaring dan Maniyoko datang menyerbu dengan pedang samurai di tangan.
Enam orang itu terkejut sekali, menggerakkan pedang untuk mengeroyok Maniyoko. Akan tetapi pemuda itu mengamuk dengan pedang samurainya sehingga para pengeroyoknya menjadi gentar semua, apa lagi setelah tiga orang dirobohkan oleh tendangan-tendangan Maniyoko dan yang tiga orang lainnya terpaksa melepaskan pedangnya yang patah-patah ketika bertemu pedang samurai. Mereka berenam lalu melarikan diri dan Maniyoko tidak mengejarnya, melainkan cepat menghampiri sumoi-nya lalu melepaskan tali pengikatnya.
Tentu saja Akim gembira bukan main. Baru saja dia terlepas dari pada ancaman bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri. "Terima kasih, suheng. Syukurlah engkau datang, kalau tidak...”
"Sudahlah, sumoi. Siapakah mereka itu dan bagaimana engkau sampai dapat tertawan oleh orang-orang itu?"
Akim memungut pedangnya yang oleh para penawannya dilemparkan ke atas tanah, lalu mengikatkan lagi pedangnya di punggung dan dia pun mengepal tinju.
"Kalau hanya mereka yang mengeroyokku, tidak mungkin aku dapat mereka tawan. Akan tetapi yang mengeroyokku adalah dua orang kakek dan nenek yang lihai bukan main. Dan yang lebih menggemaskan lagi, mereka itu disuruh oleh Bhok Cun Ki untuk menangkap, menghina dan membunuhku. Keparat Bhok Cun Ki itu! Aku harus membuat perhitungan dengan dia!"
"Siapakah Bhok Cun Ki itu dan mengapa pula dia menyuruh anak buahnya menawanmu, sumoi?"
"Dia seorang panglima di kota raja. Sombongnya bukan main! Baru aku ketahui bahwa dia adalah calon mertua Sin Wan, dan dia menangkapku karena aku dianggap menggoda Sin Wan. Keparat! Siapa yang ingin merebut mantu orang? Aku harus membuat perhitungan, sekarang juga!"
"Tenanglah, sumoi. Memang penghinaan ini harus kita balas, tetapi mengingat dia adalah seorang panglima, maka kita harus berhati-hati dan menyerbu ke sana secara diam-diam, jangan sampai kita dikepung ratusan orang prajurit. Aku akan membantumu, Akim."
"Baik, terima kasih suheng. Dan bagaimana suheng dapat berada di sini? Di mana ayah?"
"Suhu telah pulang dan suhu yang mengutusku untuk menyusulmu agar dapat membantu dan menemanimu!” Dua orang kakak beradik seperguruan ini dengan hati penuh dendam lalu melanjutkan perjalanan memasuki kota raja.
Tentu saja Maniyoko tidak menuturkan kepada sumoi-nya tentang pertemuannya dengan Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, tidak menceritakan betapa dia kini sudah bergabung dan bekerja sama dengan anak buah Yang Mulia dan bahwa tugasnya yang pertama adalah membantu Akim untuk membunuh Panglima Bhok Cun Ki yang dianggap berbahaya dan musuh besar Yang Mulia…..!
********************
Bhok Cun Ki pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Panglima ini baru saja dipanggil oleh Sribaginda Kaisar dan di persidangan itu, di mana hadir pula Jenderal Shu Ta serta para menteri, Kaisar marah-marah sambil memaki-maki Bhok Cun Ki yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan sehingga jaringan mata-mata semakin mengganas. Bahkan hampir saja Pangeran Yen atau Raja Muda Yung Lo dan Putera Mahkota terbunuh oleh serbuan anak buah jaringan mata-mata musuh. Berita yang sampai kepada Kaisar adalah bahwa berkat ketangkasan Jenderal Yauw Ti dan pasukannya, maka usaha pembunuhan itu dapat digagalkan!
"Bagaimana sih usahamu menghancurkan jaringan mata-mata di kota raja? Huhh, sampai kami tidak dapat tidur karena siapa lagi yang dapat kami percaya? Seolah-olah diri kami dikurung oleh mata-mata musuh, dan tidak tahu lagi siapa kawan siapa lawan!" demikian antara lain Sribaginda Kaisar Thai-cu yang kini selalu nampak gelisah itu memarahi Bhok Cun Ki. "Bhok-ciangkun, apa bila dalam waktu satu bulan engkau belum juga sanggup menghancurkan jaringan mata-mata di sini, kami mulai curiga jangan-jangan engkau telah diperalat pula oleh mereka. Sebulan engkau harus mampu menghancurkan mereka, atau kau akan kami anggap pemberontak dan pengkhianat, dan seluruh keluargamu akan kami suruh dijatuhi hukuman mati!"
Ucapan Kaisar ini terasa seperti kilat menyambar di hari panas, amat mengejutkan, akan tetapi juga bagaikan ujung pedang menusuk jantung. Selama puluhan tahun dia mengabdi dengan penuh kesetiaan dan kesungguhan, sudah tak terhitung banyaknya jasa-jasa yang disumbangkan untuk negara dan sekarang dia menerima hadiah ancaman seberat itu dari Kaisar!
Memang dia tahu bahwa selama beberapa tahun ini sudah terjadi perubahan hebat pada diri Kaisar, sikap dan perangainya berubah sama sekali. Pejuang besar Chu Goan Ciang yang kini menjadi Kaisar itu, yang pada mulanya memerintah dengan bijaksana dan baik, akhir-akhir ini berubah menjadi pemarah, selalu curiga, tidak percaya lagi terhadap orang-orang yang tadinya setia kepadanya, juga kejam bukan main, begitu mudah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang yang tadinya sangat dekat dengannya, yang tadinya sangat setia kepadanya.
Setelah tiba di rumah Bhok Cun Ki tidak menuturkan tentang ancaman Kaisar itu kepada keluarganya. Dia tahu bahwa terutama sekali Cu Sui In yang baru saja menjadi isterinya yang sah dan tinggal di rumahnya sebagai isteri terkasih, tentu akan merasa marah dan penasaran sekali kalau mendengar akan peristiwa di istana tadi.
Cu Sui In tentu akan marah dan mungkin melakukan hal-hal yang bahkan akan membuat Kaisar semakin curiga padanya. Oleh karena itu dia hanya menuturkan tentang peristiwa di luar kota Cin-an ketika Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota mengadakan pesta pertemuan, tentang penyerbuan mata-mata yang berhasil digagalkan.
"Sekarang kita tinggal menanti pulangnya Lili. Pasti dia membawa keterangan yang lebih lengkap mengenai peristiwa itu," kata Bhok Cun Ki. "Sebaiknya kalau mulai hari ini kalian berdua turut waspada dan berjaga-jaga, karena agaknya gerombolan mata-mata semakin nekat dan mengganas," pesannya kepada Ci Han dan Ci Hwa.
Entah kenapa, setelah kembali dari istana hati Bhok Cun Ki merasa tidak tenang dan tidak enak, seolah sikap Kaisar itu ada kaitannya dengan kegiatan jaringan mata-mata. Timbul kekhawatirannya bahwa mungkin saja semua ini sengaja diatur oleh musuh, dan bukan tidak mungkin musuh mengirim pembunuh ke rumahnya!
Tentu saja dia tidak khawatir, karena di samping dia sendiri dan dua orang anaknya yang memiliki kepandaian cukup untuk membela diri, di sampingnya kini terdapat pula isterinya, Cu Sui In yang boleh diandalkan, bahkan lebih lihai darinya.
Pada malam berikutnya, lewat tengah malam, Ci Han bertugas melakukan perondaan di sekitar rumah keluarganya, menggantikan adiknya, Ci Hwa yang bertugas jaga sejak sore sampai tengah malam. Mereka hanya berjaga-jaga dan kadang meronda, kalau-kalau ada musuh yang menyusup masuk karena di luar pekarangan rumah mereka sudah terdapat pasukan penjaga yang siang malam menjaga keamanan rumah keluarga panglima itu.
Ketika Ci Han berkeliling sampai di taman keluarga yang berada di belakang rumah, tiba-tiba dia berhenti melangkah karena melihat bayangan orang berkelebat. Akan tetapi tidak terdengar suara apa pun, karena itu dia meragu, mengira bahwa mungkin itu permainan bayangan pohon yang digerakkan angin malam. Biar pun demikian, dia memasuki taman untuk memeriksa. Taman itu cukup terang karena di sana sini terdapat lampu gantung. Akan tetapi udaranya dingin bukan main.
Dengan tangan kanan pada gagang pedang yang tergantung di pinggang kirinya, Ci Han melangkah dengan hati-hati ke dalam taman bunga itu. Tiba-tiba dia terkejut karena dari balik rumpun bunga yang tebal muncul dua bayangan orang yang gerakannya gesit sekali. Di bawah cahaya lampu dia sempat melihat bahwa dua orang itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik.
Dia merasa sudah pernah mengenal wajah gadis cantik itu, namun sebelum dia sempat menegur, dua orang itu telah menyerangnya dengan gerakan yang sangat cepat. Ci Han mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja pedangnya tercabut, gadis itu telah berhasil menotok pundaknya sehingga dia pun terpelanting. Pemuda itu menyambar tubuhnya, lalu memanggul tubuhnya yang lemas tak berdaya.
"Kita bawa dia keluar. Cepat!" kata si gadis dan pemuda itu lalu meloncat mengikuti gadis itu yang bergerak cepat dan ringan seperti burung terbang saja. Mereka adalah Ouwyang Kim dan suheng-nya, Maniyoko.
Seperti kita ketahui, Akim sudah termakan siasat yang dilakukan secara cerdik oleh para pemberontak yang menyamar sebagai prajurit anak buah Bhok Cun Ki, yang menawannya dan mengancam hendak memperkosanya lalu membunuhnya. Sudah diatur oleh mereka yang berhasil memperalat Maniyoko sehingga pemuda inilah yang menyelamatkan sumoi-nya.
Sesudah Akim marah dan mendendam kepada Bhok Cun Ki, Maniyoko kemudian beraksi membantunya, padahal keadaan ini memang sudah diatur agar Ouwyang Kim membunuh Bhok-ciangkun dengan bantuan Maniyoko.
Kalau sampai usaha ini berhasil, tentu saja pihak musuh akan mendapatkan keuntungan karena Bhok Cun Ki merupakan lawan dan penghalang yang amat berbahaya. Andai kata terbalik, justru Ouwyang Kim dan Maniyoko yang tewas di tangan panglima yang lihai itu, maka pihak pemberontak juga untung karena tentu akan terjadi permusuhan antara Bhok-ciangkun dan Tung-hai-liong Ouwyang Cin!
Ci Han yang tak mampu bergerak lagi itu kemudian dilarikan ke dalam sebuah pondok di tengah hutan, di luar kota raja. Agaknya memang telah diatur sehingga dengan Maniyoko sebagai penunjuk jalan, mereka dapat lolos keluar dari kota raja dengan mudah. Mereka meloncati pagar tembok, dan seakan-akan sengaja dibiarkan saja oleh para penjaga, atau memang mereka itu tidak melihat gerakan dua orang yang amat cepat itu.
Maniyoko melemparkan tubuh Ci Han ke atas sebuah dipan, lantas sekali dia menotok, Ci Han dapat bergerak kembali. Pemuda ini menggosok-gosok kedua lengannya yang terasa masih lemas, matanya mencorong memandang kepada kedua orang itu di bawah cahaya lampu yang cukup terang.
"Siapakah kalian dan mengapa pula kalian menawanku?" tanya Ci Han, sikapnya tenang dan gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.
"Keparat, sudah menjadi tawanan masih bersikap sombong? Engkau perlu dihajar sedikit agar tidak bersikap angkuh!" kata Maniyoko dan dia pun menampar ke arah pipi Ci Han.
Ci Han yang kini telah terbebas dari totokan tentu saja tidak membiarkan dirinya ditampar begitu saja. Semenjak kecil dia telah mempelajari ilmu dari ayahnya, maka dia pun cepat menangkis dengan pengerahan tenaganya.
"Dukkk!"
Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ci Han terjengkang saking kuatnya lengan lawannya sehingga dia terkejut bukan main. Kiranya kedua orang penawannya itu lihai bukan main. Tadi pun demikian cepatnya gadis itu menotoknya roboh dan kini, sekali mengadu tenaga, dia pun terjengkang oleh pemuda itu.
"Suheng, hentikan itu!" tiba-tiba gadis itu berseru. Maniyoko yang sudah siap menghajar segera menarik kembali tangannya dan hanya berdiri bersungut-sungut.
"Sumoi, menghadapi bocah bangsawan sombong ini tidak perlu memberi hati!" Maniyoko mengomel. Akan tetapi dia tak bergerak lagi karena dia tidak berani menentang kehendak sumoi-nya.
Setelah Ci Han bangkit lagi dan berdiri tegak, meski pun terkejut namun dia sama sekali tidak takut, Ouwyang Kim menghampirinya dan sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh perhatian.
"Engkau tentu yang bernama. Bhok Ci Han, bukan?" tanyanya dengan sikap angkuh dan dingin.
"Benar, dan siapa engkau, nona? Apa pula artinya semua ini?"
"Hemm, aku menawanmu sehubungan dengan maksudku untuk membunuh Bhok Cun Ki."
Ci Han tidak merasa heran kalau ada orang-orang memusuhi ayahnya. Sebagai seorang panglima petugas keamanan yang sudah membasmi banyak sekali gerombolan penjahat, tentu saja ayahnya dimusuhi banyak orang kangouw. Akan tetapi kalau yang memusuhi adalah seorang gadis secantik ini dan suheng-nya yang juga gagah dan tampan, sungguh dia merasa amat heran.
"Nona, ayahku adalah seorang panglima pembasmi kejahatan, dia bukan orang jahat..." Dia memancing untuk mengetahui keadaan gadis itu.
"Sebagai anaknya tentu saja engkau mengatakan dia bukan orang jahat. Akan tetapi baru kemarin dulu dia telah menghinaku, mengutus orang untuk menangkap dan membunuhku! Kau bilang perbuatan itu tidak jahat? Aku harus membalasnya, maka aku menangkapmu untuk memaksa dia datang ke sini menyerahkan nyawanya kepadaku! Ayahmu seorang pengecut, mengirim banyak orang untuk mengeroyokku, menawanku, bahkan menyuruh orang-orang itu memperkosaku sebelum membunuhku!"
"Tidak mungkin! Tak mungkin ayah berbuat seperti itu! Kalau dia menangkap gerombolan penjahat, tentu akan diadili dulu. Sama sekali tidak mungkin dia menyuruh anak buahnya membunuh orang, apa lagi memperkosa wanita, aku tidak percaya!" Ci Han membantah keras karena merasa penasaran sekali.
"Huhh, ayahnya anjing, anaknya tentu anjing pula!" Maniyoko membentak.
"Tutup mulutmu yang kotor!" Ci Han balas membentak. "Kami adalah keluarga terhormat, orang-orang yang selalu setia kepada pemerintah, juga selalu menentang kejahatan, tidak mungkin kami sudi berbuat jahat. Ini tentu fitnah!"
"Bhok Ci Han, bagaimana pun engkau menyangkal, aku sendiri yang telah mengalaminya. Terserah engkau mau percaya atau tidak. Sekarang engkau harus menulis surat kepada ayahmu, minta supaya dia datang ke sini seorang diri. Kalau dia tidak mau datang, maka engkau akan kubunuh!"
"Aku tidak sudi!" bentak Ci Han dengan berani. "Nona, pikirkan baik-baik. Apa yang kau lakukan ini adalah suatu kejahatan! Engkau sudah ditipu orang, ayahku kena difitnah. Aku berani bertaruh dengan nyawaku bahwa bukan ayah yang menyuruh orang-orang untuk menawanmu."
"Mereka berpakaian seragam prajurit, mengaku disuruh ayahmu....”
"Bisa saja penjahat memalsukannya. Buktinya, di Cin-an para penyerbu yang hendak membunuh Pangeran Mahkota dan Raja Muda Yung Lo juga menyamar sebagai prajurit! Ingatlah, nona, sekali ini mungkin nona telah ditipu orang. Orang yang memiliki ilmu tinggi seperti nona sebaiknya berlaku waspada dan jangan sampai melakukan perbuatan jahat yang kelak hanya akan menimbulkan penyesalan dalam kehidupanmu."
"Sumoi, biar kuhajar mulut orang ini!" Maniyoko sudah bangkit berdiri dan menghampiri Ci Han yang masih berdiri tegak.
"Jangan, suheng!" Akim juga membentak suheng-nya.
Diam-diam Akim mulai mempertimbangkan ucapan pemuda yang tampan dan gagah itu. Rasanya tidak mungkin seorang yang bersalah bersikap seberani itu. Dan kemungkinan pemalsuan dan fitnah itu memang ada.
"Bhok Ci Han, katakan, bukankah Sin Wan merupakan calon mantu ayahmu?"
Mendengar pertanyaan ini Ci Han tertegun. dan setelah mendengar disebutnya nama Sin Wan, tiba-tiba dia pun teringat siapa gadis ini. "Ahh…, sekarang aku ingat. Engkau tentu nona Ouwyang Kim yang dulu pernah datang ke rumah kami bersama Sin Wan!"
Akim tersenyum mengejek, hatinya semakin panas diingatkan peristiwa itu karena pada saat itu dia masih mencinta Sin Wan dan mengharapkan pemuda itu membalas cintanya.
"Memang aku Ouwyang Kim. Nah, jawablah pertanyaanku tadi. Bukankah Sin Wan calon mantu ayahmu?"
"Ya, dulunya memang begitu, akan tetapi..." Ci Han merasa ragu-ragu karena tidak perlu dia menceritakan urusan keluarganya kepada orang luar.
"Sumoi, sudah jelas bahwa para prajurit itu adalah anak buah Bhok Cun Ki. Perlu apa lagi bertanya-tanya? Paksa dia menulis surat. Biar aku yang menyiksanya dan memaksanya!” Maniyoko berkata.
Mendengar jawaban sepotong tadi, Akim menjadi yakin bahwa tentu Bhok Cun Ki yang menyuruh anak buahnya menangkapnya karena mengira dia hendak menggoda Sin Wan. Hatinya menjadi panas sekali, kemudian dia menatap wajah Ci Han dengan sinar mata mencorong.
"Katakan kepada ayahmu, aku tak sudi menggoda calon suami orang! Aku tidak serendah itu. Tunggu saja, kuberi waktu sampai besok pagi. Kalau engkau belum juga mau menulis surat kepada ayahmu, aku akan menyerahkan engkau kepada suheng-ku ini dan jangan katakan bahwa aku kejam!"
Setelah berkata demikian dia lalu menoleh kepada suheng-nya. "Suheng, aku pusing dan hendak beristirahat. Jaga dia baik-baik, akan tetapi jangan ganggu, tunggu sampai besok pagi." Gadis itu lalu memasuki ruangan di dalam pondok itu dan merebahkan diri di dipan yang sederhana.
Maniyoko memandang kepada Ci Han dan senyumnya membayangkan kekejaman. "Aku akan senang sekali bila engkau mencoba untuk melarikan diri agar aku mendapat alasan untuk menyiksa dan membunuhmu sekarang juga." Setelah berkata demikian Maniyoko duduk bersila dan memejamkan mata, seolah memberi kesempatan kepada Ci Han untuk mencoba melarikan diri.
Ci Han bukan pemuda bodoh. Dari pertemuan tenaga tadi dia tahu bahwa pemuda ini kuat dan lihai sekali. Kalau dia nekat melarikan diri, berarti dia membunuh diri. Apa lagi gadis yang lihai itu pun berada di dekat sini.
Gadis itu adalah puteri Tung-hai-liong Ouwyang Cin, demikian keterangan yang pernah dia dengar dari Sin Wan. Dan tentu pemuda pendek ini adalah murid datuk itu. Sungguh berbahaya, dan dia pun menjadi gelisah memikirkan ayahnya. Ayahnya difitnah, ataukah kedua orang ini sengaja berpura-pura supaya dapat memancing ayahnya ke sana untuk mereka bunuh?
Sayang, dia menghela napas panjang. Gadis tadi kelihatan demikian manis, bahkan dari sikapnya ketika melarang suheng-nya bersikap kasar terhadap dirinya, dia tidak percaya bahwa gadis seperti itu berhati jahat. Dia maklum bahwa melarikan diri tidak ada gunanya, maka dia pun duduk pula bersila untuk menghimpun tenaga yang mungkin dia perlukan pada hari esok…..
********************
Selanjutnya baca
ASMARA SI PEDANG TUMPUL : JILID-12