Suling Naga Jilid 15


Peristiwa hebat yang mengakibatkan terbasminya semua pembantu Hou Seng, bukan tidak ada pengaruhnya bagi pergolakan yang terjadi di kota raja karena ulah pembesar Hou Seng. Perubahan besar terjadi dengan sendirinya. Saat mendengar betapa semua pembantunya dibasmi oleh para pendekar, terutama keturunan para pendekar Pulau Es, Hou Seng menjadi terkejut bukan main. Berita itu tersiar luas sampai kaisar sendiri mendengarnya dan bertanya kepadanya, ada hubungan apa antara para datuk sesat itu dengan dirinya!

Tetapi Hou Seng memang cerdik. Sambil menangis dia mengadu kepada kaisar betapa limpahan kasih sayang dari kaisar itu menimbulkan iri hati yang membuat dia dimusuhi oleh banyak pejabat. Karena merasa dirinya terancam, terpaksa dia mempergunakan tenaga luar untuk melindungi keselamatannya, dan dia sama sekali tidak tahu bahwa tenaga luar itu kemasukan tokoh-tokoh dari dunia sesat.

Sebagai contoh, ia menceritakan tentang dibunuhnya dua orang pengawal pribadi yang merangkap selirnya oleh para datuk sesat. Panjang lebar dia bercerita dan berbagai alasan dikemukakan sampai akhirnya kaisar merasa kasihan dan berpihak kepadanya! Dan sejak itu, urusan para datuk yang menyelundup ke kota raja itu tidak dibicarakan lagi, kesalahan Hou Seng dimaafkan.

Akan tetapi, Hou Seng sendiri tidak berani banyak tingkah semenjak peristiwa itu dan dia tidak lagi mau mencari gara-gara. Kedudukannya sudah cukup baik dan dia harus tahu diri dan tidak mengadakan tindakan-tindakan yang menimbulkan kecurigaan kaisar.

Hou Seng tidak begitu membela kematian para datuk itu karena dia telah mengetahui bahwa kedua orang selir yang menjadi pengawal pribadi itu sebetulnya difitnah oleh Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya. Hal ini diketahuinya sebelum terjadi pembunuhan atas diri para datuk sesat oleh para pendekar.

Diketahuinya karena dia merasa curiga melihat betapa kematian kedua kucing itu tidak sama keadaannya. Kucing pertama mati dengan muka kehitaman, akan tetapi kucing ke dua tidak demikian. Hal itu menunjukkan bahwa racun pertama yang diminumkan kucing dari cawan araknya itu tidak sama dengan racun yang diambil dari tubuh selir-selirnya yang diminumkan kucing ke dua.

Racun-racun yang dibawa dua orang selirnya itu membuat kucing mati tanpa hitam pada mukanya, sedangkan racun yang berada dalam cawan araknya itu merupakan racun yang lain lagi, berarti racun itu berada dalam cawan araknya bukan dari kedua orang selirnya melainkan dari luar!

Apa lagi ketika dia mendengar dari para selirnya bahwa dua orang selir merangkap pengawal pribadi itu memang selalu membawa racun di tubuhnya, untuk membunuh diri jika sampai mereka tertangkap musuh agar mereka tidak perlu disiksa untuk mengakui dan membuka rahasia Hou Seng! Mendengar ini, Hou Seng merasa menyesal sekali dan kepercayaannya terhadap para datuk sudah goyah.

Itulah sebabnya, ketika mendengar betapa para datuk itu tewas oleh para pendekar, dia pura-pura tidak tahu saja. Bahkan Coa-ciangkun tak ditegurnya sama sekali! Diam-diam dia malah bersyukur akan tindakan Coa-ciangkun. Bayangkan saja kalau pasukan itu mencampuri dan kemudian terdengar berita bahwa pasukan itu bekerja sama dengan para datuk sesat atas perintahnya! Mungkin kaisar sendiri tidak akan memaafkannya kalau sampai terjadi hal seperti itu.

Betapa pun juga, usaha para pendekar menentang Kim Hwa Nionio, dan pada akhirnya dapat membasmi komplotan itu, amat berhasil dan keadaan kota raja menjadi tenteram kembali. Diam-diam para pembesar yang setia kepada kaisar bersyukur dan memuji-muji para pendekar. Mereka maklum akan kelemahan kaisar dan mereka tidak akan mengadakan reaksi terhadap Hou Seng sebagai kekasih dan kepercayaan kaisar kalau saja Hou Seng tidak mengadakan tindakan yang bukan-bukan. Dan kini, dibasminya komplotan kaki tangan Hou Seng, membuat pembesar itu menjadi jeri dan tidak begitu menonjol lagi.
Sementara itu, para pendekar sudah kembali ke tempat masing-masing. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, yang kehilangan puteri mereka dengan suka rela, hanya bercakap-cakap sebentar, karena adanya Sim Houw di situ membuat suami isteri ini merasa kurang enak hatinya.

Seperti diketahui, Kam Bi Eng tadinya adalah tunangan dari Sim Houw menurut ikatan orang tua mereka, tetapi kemudian tunangan itu terputus karena Bi Eng tidak mencinta Sim Houw, melainkan mencinta Suma Ceng Liong. Setelah suami isteri itu pergi, Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui juga berpamit setelah Cin Liong meningggalkan pesan kepada Bi Lan.

"Sumoi, biar pun engkau baru setahun belajar dari ayah ibuku, engkau tetap seorang sumoi (adik seperguruan) dariku. Ibu telah meminjamkan Ban-tok-kiam, hal itu berarti bahwa ibu sayang dan percaya kepadamu. Dan aku sendiri, dalam pergaulan beberapa saat ini, tahu bahwa pilihan ayah ibu terhadap dirimu tidak keliru. Nah, engkau berhati-hatilah menjaga Ban-tok-kiam dan bawa pusaka itu kembali kepada ibuku."

Tiong Khi Hwesio juga meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Bhutan, karena semua pengalamannya setelah bertemu dengan para pendekar itu, membuka matanya bahwa dia telah terlalu menurutkan kedukaan hati sehingga lupa bahwa dia telah melupakan puterinya sendiri, Wan Hong Bwee atau Puteri Gangga Dewi yang kini hidup bersama suaminya di Bhutan. Dia ingin kembali dan tiba-tiba merasa rindu kepada puterinya itu, ingin menghabiskan sisa usianya di dekat keluarga puterinya dan dekat pula dengan makam isterinya.

Setelah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek juga pergi untuk melanjutkan lagi perjalanan masing-masing, tinggallah Bi Lan dan Sim Houw berdua. Mereka saling pandang dan akhirnya Sim Houw yang bertanya lebih dahulu, "Lan-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?"

Sampai lama Bi Lan tak mampu menjawab. Gadis ini sedang merasakan sesuatu yang amat aneh terjadi di dalam hatinya. Ia melihat Sam Kwi, tiga orang gurunya, tewas dan tidak merasa kehilangan. Kepergian Bi-kwi yang disusul kepergian semua pendekar, termasuk Hong Beng dan Kun Tek, juga tidak sedikit pun membekas di dalam hatinya. Ia tidak merasa kehilangan dan kesepian.

Akan tetapi mengapa sekarang, setelah berada di ambang perpisahannya dengan Sim Houw, tiba-tiba saja ia merasa bahwa tak mungkin dia dapat berpisah dari orang ini? Ia seakan-akan sudah seharusnya berada di samping Sim Houw, menghadapi kehidupan yang penuh dengan kesulitan ini bersama Sim Houw! Ia merasa bahwa begitu berpisah, ia akan kehilangan segala-galanya. Apa pula gejala seperti ini? Apa artinya? Apakah ia jatuh cinta kepada Sim Houw? Tidak mungkin!

Selama dalam perjalanan berdua, Sim Houw bersikap seperti seorang kakak, begitu penuh perhatian dan sayang, akan tetapi kesayangan seorang saudara. Sedikit pun Sim Houw tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia cinta padanya. Berbeda dengan sikap Hong Beng atau Kun Tek ketika berdua bersamanya. Dan ia sendiri?

Tiba-tiba Bi Lan merasa nelangsa. Bagaimana kalau ia benar-benar mencinta orang ini akan tetapi di lain pihak Sim Houw tidak cinta kepadanya? Tiba-tiba ia menjadi panik, takut kehilangan Sim Houw!

"Eh, Lan-moi, kenapa kau kelihatan melamun dan tidak menjawab pertanyaanku?" Sim Houw bertanya, suaranya mengandung perasaan iba.

Dia tahu bahwa sejak kecil, gadis ini bergaul dengan Sam Kwi sebagai guru-guru dan penolongnya. Juga dengan Bi-kwi sebagai suci-nya yang pernah mendidiknya seperti diceritakan gadis itu kepadanya. Dan kini tiba-tiba saja ia kehilangan semua orang itu! Tentu Bi Lan berduka, walau pun tidak diperlihatkannya, demikian Sim Houw berpikir.

Bi Lan menjadi kaget dan kedua pipinya berubah merah. "Aku... aku... ahh, aku tidak mendengar pertanyaanmu, toako. Engkau bertanya apakah tadi?"

"Aku bertanya, ke mana engkau hendak pergi sekarang, Lan-moi."
"Ke mana...? Ahhh, tadi aku bingung, toako. Yang jelas, aku harus mengembalikan pedang Ban-tok-kiam ini kepada subo."
"Itu benar, Lan-moi. Dan mengapa engkau menjadi bingung?"
"Entahlah, toako Setelah semua orang pergi, juga setelah semua tujuan perjalananku tercapai, semua masalah yang tadinya kujadikan tujuan dan kewajiban terpenuhi, aku merasa kosong, sunyi dan bingung. Baru terasa olehku betapa hampanya hidup ini, toako. Aku tadinya mempunyai guru-guru, mempunyai suci, mempunyai mereka sebagai musuh-musuhku juga. Sekarang mereka telah tiada. Dan aku seperti berada seorang diri saja di dunia ini, kosong dan sunyi, tidak ada gunanya lagi..."

"Ahh, engkau dilanda perasaan kesepian, Lan-moi. Pernah aku mengalaminya..." Sim Houw menghentikan kata-katanya, merasa bahwa dia telah terlanjur bicara. Akan tetapi, ucapannya itu rupanya menarik perhatian Bi Lan karena gadis itu cepat mendesaknya.
"Pernah kau mengalami kesepian seperti aku ini, toako? Kapan engkau mengalaminya? Dan mengapa? Orang seperti engkau ini, yang memiliki kepandaian tinggi, pengetahuan luas, banyak kawan-kawan baik, bagaimana bisa kesepian seperti aku?"

Belum pernah selamanya Sim Houw menceritakan keadaan dirinya kepada siapa pun juga. Biar pun dia pernah menderita sengsara karena kesepian, namun hal itu selama ini menjadi rahasia hatinya. Akan tetapi, entah bagaimana, kini mendengar desakan Bi Lan, dia ingin membuka rahasia hatinya! Dia ingin sekali nampak oleh gadis itu sebagai mana adanya, tanpa rahasia dan biarlah segala keburukan dan cacatnya nampak, kalau ada!

"Baru-baru ini perasaan itu berakhir, Lan-moi, akan tetapi selama bertahun-tahun, aku bagai hidup di alam mimpi. Setiap hari aku melamun dan ada rasa kesepian yang selalu menghantui diriku. Dan semua itu timbul karena... putus cinta, Lan-moi."

Bi Lan tertarik sekali. "Ceritakan, toako, ceritakanlah. Aku ingin sekali mendengarkan tentang cinta itu!"

Melihat betapa gadis itu kini nampak bersemangat, Sim Houw tersenyum. "Mari kita tinggalkan dulu tempat ini," dia melirik ke arah gundukan tanah di mana terkubur enam mayat itu. "Di dalam hutan sana itu aman kita bicara."

Mereka lalu memasuki hutan dan di bawah sebuah pohon besar, di mana terdapat batu batu yang kering dan bersih, mereka duduk berhadapan.

"Ketahuilah, Lan-moi. Ketika aku berusia belasan tahun, oleh orang tuaku aku telah ditunangkan dengan seorang gadis yang kemudian menjadi sumoi-ku sendiri karena gadis itu adalah puteri tunggal dari suhu-ku. Akan tetapi, kalau aku yang telah menerima ikatan perjodohan itu dengan taat mulai memperhatikan gadis itu dan sudah mempunyai perasaan cinta, sebaliknya gadis itu tidak cinta kepadaku, melainkan cinta kepada orang lain! Melihat kenyataan ini, maka aku mengalah. Akulah yang kemudian memutuskan tali perjodohan itu sehingga gadis itu dapat menikah dengan pria yang dicintainya." Sampai di sini, Sim Houw berhenti dan termenung.

"Dan kau...?" Bi Lan bertanya, hatinya merasa terharu. Ia dapat membayangkan betapa sedihnya hati pemuda itu, dan betapa luhur budinya. Pemuda ini mengalah karena ingin membahagiakan gadis yang dicintanya.
"Aku...?" Sim Houw tersenyum pahit. "Aku lalu merantau... sampai sekarang ini."
"Sumoi-mu...? Ah, bukankah wanita cantik yang sakti itu, yang memegang suling emas, isteri dari pendekar Suma Ceng Liong, ia itulah sumoi-mu? Jadi iakah orangnya gadis... yang pernah menjadi tunanganmu itu?"

Sim Houw sudah menguasai kembali hatinya dan dia mengangguk sambil tersenyum. "Ia hebat dan lihai, bukan? Dan suaminya juga hebat. Mereka memang pasangan yang sepadan dan cocok. Aku juga ikut gembira melihat ia berbahagia dengan suaminya dan mereka telah mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manis."

Bi Lan memandang dengan sinar mata kasihan. "Dan engkau sekarang masih merasa kesepian, toako?"
"Tidak, tidak lagi! Penderitaan itu sudah lewat bagiku."

Diam-diam Sim Houw maklum bahwa yang melenyapkan perasaan kesepian itu adalah setelah dia berjumpa dengan Bi Lan! Dia mencinta gadis ini, akan tetapi cintanya sekali ini bukan sekedar cinta nafsu yang dibangkitkan oleh gairah karena tertarik oleh pribadi dan kecantikan Bi Lan.

Tidak! Ia mencinta Bi Lan, merasa kasihan kepada Bi Lan dan dia ingin melihat orang yang dicintanya ini bahagia. Bukan hanya ingin memperoleh gadis ini sebagai isterinya agar selamanya tidak berpisah darinya, Dia tidak akan menderita lagi walau pun dia tidak menjadi suami Bi Lan, asal gadis ini hidup bahagia.

"Dan sejak itu kau... kau tak pernah jatuh cinta lagi?"

Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan hati Sim Houw. Akan tetapi dia tenang sekali sehingga kekagetannya tidak sampai nampak di wajahnya. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Apa lagi yang dapat dilakukannya? Mengaku bahwa kini dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan? Tidak!

Biar pun dia sungguh mencinta gadis ini, dia tak akan membuat pengakuan, tidak akan memberi kesempatan gadis ini mentertawakannya. Putus cinta merupakan suatu kegagalan yang pernah dialaminya, dan akan merupakan hal yang lebih menyakitkan lagi jika cintanya ditertawakan. Biarlah cintanya kepada Bi Lan menjadi suatu rahasia saja bagi dirinya sendiri.

Tiba-tiba ada suatu keinginan menyelinap di hati Bi Lan. Ia ingin menghapus kedukaan Sim Houw akibat penderitaan putus cinta itu. Ia ingin membahagiakan orang ini. Ia ingin orang ini dapat jatuh cinta lagi dan bukan kepada orang lain, kecuali kepada dirinya!

Betapa akan bahagianya dicinta oleh seorang pendekar yang mempunyai cinta kasih sedemikian besar dan tulusnya. Seorang pria yang sudah matang, tidak dan bukan pemuda mentah seperti Hong Beng dan Kun Tek, cinta yang penuh cemburu, dan cinta yang membanding-bandingkan seperti Kun Tek. Ahhh…, Hong Beng dan Kun Tek! Dua orang pemuda itu dapat membantunya. Setidaknya, nama mereka.

"Cinta memang membuat orang menjadi bingung, ya, toako? Aku sendiri pun bingung menghadapinya!" Tiba-tiba Bi Lan berkata dan wajahnya membayangkan kedukaan.

Rasa kaget yang lebih besar melanda hati Sim Houw. Tidak lagi! Begitu kejamkah nasib sehingga baru saja bertemu dan jatuh cinta, dia sudah harus mendengar bahwa Bi Lan juga sudah mencinta pemuda lain? Terlalu cepat datangnya, terlalu kejam walau pun dia sudah siap dengan kekuatan batin yang sudah mengalami luka patah cinta. Dia tetap tenang ketika bertanya.

"Hemm... apakah hatimu juga dilanda cinta, Lan-moi?"
"Aku tidak tahu. Akan tetapi ada dua orang pemuda yang sama-sama menyatakan cinta kepadaku. Mereka adalah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek..."
"Ahhh!" Sim Houw tercengang karena hal ini sama sekali tak pernah dibayangkannya. Paman cilik itu telah jatuh cinta! Hampir dia tertawa, tetapi lalu teringat bahwa sekarang Kun Tek bukan seorang anak kecil lagi, melainkan seorang pemuda yang telah dewasa!

"Mula-mula Hong Beng yang lebih dahulu mengaku cinta. Kemudian Kun Tek juga menyatakan cinta kepadaku. Hong Beng pernah merasa cemburu dan berkelahi dengan Kun Tek. Akan tetapi sekarang agaknya mereka sudah dapat mengatasi rasa cemburu itu dan keduanya nampak sudah rukun dan akrab. Aku menjadi bingung, Sim-toako."
"Kenapa bingung? Pilih saja salah satu, mana yang berkenan di hatimu."
"Sim-toako, kalau menurut pandanganmu, siapa di antara kedua pemuda itu yang lebih baik?" Bertanya demikian, Bi Lan menatap wajah itu dengan penuh perhatian dan sinar matanya yang tajam itu seolah-olah hendak menembus ke dalam dan menjenguk isi hati Pendekar Suling Naga.

Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia berpikir dengan sungguh-sungguh karena dia ingin menanggapi permintaan gadis itu dengan kesungguhan hati pula. "Lan-moi, sungguh pertanyaanmu ini aneh sekali. Perjodohan hanya benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan hanya engkau sendiri yang mengetahui siapa di antara kedua orang pemuda itu yang kau cinta."

"Justru itu yang tidak aku ketahui, toako. Selama hidupku, belum pernah aku jatuh cinta. Aku tidak tahu yang mana di antara mereka yang kucinta. Akan tetapi terus terang saja, aku suka keduanya karena mereka berdua adalah murid-murid orang sakti, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Keduanya adalah pendekar-pendekar sejati, dan keduanya telah pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Oleh karena itu, sukar bagiku untuk memilih seorang di antara mereka. Tolonglah, toako, tolong bantu aku. Menurut engkau, siapa di antara mereka yang lebih baik?" Ia berhenti sebentar lalu menyambung, "Terus terang sajalah, Sim-toako, apakah aku harus memilih salah satu dan pilih yang mana, ataukah aku harus menolak dua-duanya?"

Tentu saja kalau menurut kata hatinya, Sim Houw akan mengatakan supaya gadis itu menolak keduanya! Akan tetapi Sim Houw tidak melakukan hal ini, tidak mau melakukan begitu karena dia tidak mau mempengaruhi pilihan hati Bi Lan. Betapa pun juga, dia harus membantu gadis itu agar jangan salah pilih.

"Aku tidak ingin mempengaruhimu, Lan-moi. Engkau tahu bahwa Cu Kun Tek adalah pamanku, walau pun usianya jauh lebih muda dariku. Akan tetapi hubungan keluarga itu sama sekali tidak kumasukkan dalam penilaianku. Mari kita nilai mereka itu seorang demi seorang. Pertama kita menilai Gu Hong Beng. Dia murid pendekar Sakti Suma Ciang Bun, seorang anggota keluarga Pulau Es, akan tetapi aku tidak tahu siapa orang tuanya. Dan menurut ceritamu, dia berwatak pencemburu, sedangkan sifat-sifatnya tentu engkau yang lebih tahu karena engkau pernah bergaul dengannya. Sekarang Cu Kun Tek. Dia keturunan penghuni Lembah Naga Siluman dan keturunan keluarga Cu yang terkenal sebagai keluarga yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan luar biasa, dan tentu dia telah mewarisi ilmu dari keluarga itu. Sepanjang pengetahuanku, dia jujur dan keras akan tetapi sifat-sifat itu memang merupakan sifat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Ada pun sifat-sifat lainnya, engkau yang lebih mengenalnya pula. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memilih yang mana."

Diam-diam sejak tadi Bi Lan memperhatikan Sim Houw dan mendengar ucapan dan melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, tiba-tiba saja Bi Lan merasa kecewa. Agaknya pendekar ini sama sekali tidak peduli ia akan berjodoh dengan pria mana! Pendekar ini sama sekali tidak menaruh perhatian kepada dirinya!

Tiba-tiba saja Bi Lan merasa nelangsa sekali. Ia merasa betapa kini, satu-satunya orang yang dekat dirinya, dekat pula dengan hatinya, hanyalah Sim Houw. Kalau Sim Houw begitu acuh terhadap pilihannya akan seorang calon suami, berarti pendekar ini tidak menaruh hati kepadanya. Ia menarik napas panjang.

"Sudahlah, Sim-toako. Aku sendiri sudah menolak cinta mereka. Hong Beng kuanggap kekanak-kanakan dan pencemburu besar, sedangkan Kun Tek hanyalah seorang laki-laki yang tinggi hati mengenai wanita. Aku sudah menolak cinta mereka berdua karena aku tidak cinta kepada mereka! Sekarang aku mau pergi saja, mencari subo... selamat tinggal!" Dan gadis itu sudah meloncat dan lari dengan cepat meninggalkan Sim Houw.

"Heiii! Nanti dulu, Lan-moi...!" Sim Houw mengejar, akan tetapi gadis itu mengerahkan seluruh ilmu ginkang (meringankan tubuh) dan tenaganya sehingga tubuhnya berlari seperti terbang saja. Sim Houw harus mengerahkan tenaga pula untuk dapat menyusul dan setelah mereka berlari berkejaran sampai jauh meninggalkan hutan itu, barulah Bi Lan dapat tersusul oleh Sim Houw.

"Lan-moi, berhentilah sebentar, aku mau bicara dulu!" kata Sim Houw setelah berhasil mendahului lalu menghadang di depan gadis itu. Dia melihat betapa selain terengah-engah kelelahan, juga ada bekas-bekas air mata di kedua pipi Bi Lan. Mudah dilihat bahwa ketika berlari-larian, Bi Lan telah menangis!
"Sim-toako, kenapa engkau mengejarku?" Bi Lan bertanya, dan suaranya yang agak parau juga membayangkan bekas tangis. Akan tetapi karena gadis itu berusaha keras menyembunyikan tangisnya, biar pun Sim Houw merasa heran sekali, dia pura-pura tidak melihat tangis itu.
"Lan-moi, engkau begitu tergesa-gesa pergi. Engkau hendak mencari keluarga Istana Gurun Pasir, apakah engkau sudah tahu di mana tempat itu?"

Bi Lan menggelengkan kepala. "Aku belum pernah ke sana, akan tetapi subo pernah memberi keterangan tentang arah dan tanda-tandanya menuju ke sana setelah keluar dan melewati Tembok Besar di utara."

"Aih, perjalanan itu begitu jauhnya! Lewat Tembok Besar? Sungguh merupakan daerah yang asing dan berbahaya sekali, Lan-moi. Karena itu, aku akan mengantarmu sampai engkau tiba di Istana Gurun Pasir."

Sinar kegembiraan yang cerah menerangi wajah yang tadinya kusut dan keruh itu. Dengan sepasang mata terbelalak gadis itu menatap wajah Sim Houw. Melihat betapa sepasang mata yang masih basah itu kini terbelalak lebar dan indah memandangnya, dan bayangan senyum didahului lesung pipit di kanan kiri pipi, Sim Houw memejamkan kedua matanya. Kagum dan haru memenuhi hatinya, akan tetapi dia memejamkan mata agar tidak terpesona oleh keindahan yang dilihatnya.

"Sim-toako... benarkah engkau hendak mengantar aku?"
Sim Houw mengangguk, tersenyum. "Tentu saja benar."
"Tapi... aku hanya akan mengganggu waktumu..."
"Sama sekali tidak, Lan-moi. Aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tidak mempunyai tugas sesuatu, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal. Kemana pun aku pergi, sama saja. Di mana-mana adalah tempat tinggalku. Perjalanan itu amat berbahaya dan hatiku tidak rela membiarkan engkau pergi seorang diri menempuh bahaya sebesar itu."
"Akan tetapi... kenapa, toako? Kenapa engkau mau bersusah payah untukku? Kenapa?"

Ingin sekali Sim Houw mengatakan seperti yang juga diharapkan oleh Bi Lan, bahwa untuk Bi Lan dia mau melakukan apa saja karena dia mencinta gadis itu. Akan tetapi Sim Houw menahan mulutnya dan tidak mau mengatakan hal seperti itu. Tidak, dia tidak akan membuka rahasia hatinya kepada Bi Lan sebelum dia yakin benar bahwa Bi Lan juga mencintanya dan akan menerima dan membalas cintanya.

"Lan-moi, engkau masih bertanya lagi kenapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat yang baik? Bukankah kita sudah sama-sama mengalami hal-hal yang hebat, bahkan sama-sama menghadapi bahaya maut di tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio dan kawan-kawan mereka? Setelah apa yang kita alami bersama itu, bagaimana mungkin sekarang aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya melakukan perjalanan ke luar Tembok Besar? Dan aku pun hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal, jadi, tiada salahnya kalau aku menemanimu pergi ke utara sampai engkau tiba di tempat yang kau cari, bukan?"

Bi Lan merasa kurang puas dengan jawaban itu, akan tetapi karena hatinya terlalu gembira mendengar keputusan Sim Houw yang hendak mengantarnya mencari Istana Gurun Pasir, ia pun tersenyum gembira kini.

"Ahh, terima kasih, Sim-toako, engkau sungguh baik sekali kepadaku. Ahh, bagaimana aku akan dapat membalas semua kebaikanmu? Engkau pernah menolongku, bahkan engkau juga membantu aku mendapatkan kembali Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu Lama, dan sekarang engkau pun hendak mengantarkan aku mencari subo dan suhu di gurun pasir! Ahh, betapa senangnya hatiku. Tadinya aku sudah bingung. Biar pun subo sudah memberi gambaran tentang jalan menuju ke tempat itu, aku masih bingung dan aku... aku takut!"

Sim Houw tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Saat ini hatinya juga dipenuhi oleh perasaan girang yang belum pernah dirasakannya selama ini. Melihat gadis itu demikian gembira mendatangkan perasaan nyaman di hatinya. Kalau saja selamanya dia dapat membuat gadis itu bergembira selalu!

"Lan-moi, ucapanmu itu membuat aku merasa lucu, Engkau takut? Aihh, selama ini aku mengenalmu sebagai seorang gadis perkasa yang tidak mengenal takut! Sungguh aneh dan lucu mendengar engkau berkata bahwa engkau takut."
"Sungguh, toako, aku tidak bohong. Aku ketakutan, bukan takut akan ancaman orang tertentu, bukan takut akan bahaya. Melainkan takut... eh, aku merasa begitu sunyi dan terpencil, seperti seekor semut di tengah-tengah daun yang hanyut di tengah sungai. Aku takut akan kesepian itu sendiri, toako."

Sim Houw mengangguk-angguk. Tentu saja ketakutan seperti itu pernah dia rasakan pula. Kesepian, merasa hidup sendirian dan tidak dibutuhkan oleh siapa-siapa lagi! Hal yang betapa mengerikan.

"Aku mengerti, Lan-moi. Marilah kita berangkat sebelum hari menjadi gelap. Kita harus mencari tempat istirahat yang baik malam ini karena kita terlalu lelah setelah semua pengalaman dan perkelahian yang menegangkan itu. Kita tak perlu tergesa-gesa, tetapi harus dapat menikmati perjalanan ini, menikmati semua keindahan alam yang tentu berlainan dengan keadaan tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Dan waspada akan bahaya di tempat asing itu. Mari kita berangkat."

Dengan wajah berseri keduanya lalu berjalan berdampingan, menuju ke utara, melalui jalan yang sunyi itu. Akan tetapi kini mereka tidak merasa sunyi lagi. Bahkan sinar matahari nampak cerah sekali, dan awan-awan di angkasa membentuk gambar-gambar yang menarik, seperti sekelompok domba yang berjalan perlahan-lahan menuju ke timur dalam suasana yang begitu bersih, jernih dan gembira…..

********************
Wanita itu menangis seorang diri, terisak-isak dan tersedu-sedan di dalam pondok tua di tepi jalan yang sunyi itu. Sudah berjam-jam ia menangis seorang diri, pundaknya masih terguncang-guncang dan kadang-kadang tangisnya terdengar menyedihkan.

Ia seorang wanita cantik, usianya tiga puluh dua tahun. Sebetulnya ia mengenakan pakaian yang indah, dari sutera yang mahal dan mewah, dengan hiasan-hiasan rambut dan tubuh terbuat dari pada emas permata. Akan tetapi pakaian yang indah itu kini kusut dan bahkan kotor karena beberapa hari tidak pernah diganti. Rambutnya yang panjang hitam itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Di dekatnya, terletak di atas lantai, nampak sebuah pedang dalam sarung pedang yang indah.

Ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Jarang ada orang dapat menandinginya. Ia seorang wanita kosen dan lihai. Akan tetapi, sekarang ia berada dalam kedukaan dan ketika ia menangis seperti itu, nampak betapa bagaimana pun juga, ia hanyalah seorang perempuan yang lemah tak berdaya dan membutuhkan perlindungan!

Wanita itu adalah Ciong Siu Kwi atau yang dikenal dengan julukan Bi-kwi (Iblis Cantik). Seperti telah kita ketahui, gerakan wanita ini dengan semua sekutunya telah mengalami kegagalan dan hanya berkat pengampunan yang diberikan oleh Bi Lan atau Siauw-kwi (Iblis Cilik) sajalah maka ia sendiri dapat keluar dari pertempuran itu dengan selamat.

Sekutunya telah hancur, semua orang yang bekerja sama dengannya telah tewas dalam pertempuran melawan para pendekar. Tiga orang guru-gurunya, Sam Kwi, telah tewas semua, juga Bhok Gun, kekasihnya yang terakhir, sudah tewas. Demikian pula orang-orang sakti seperti Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio tewas di tangan para pendekar.

"Uuhhhh...hu-hu-huhhh...!" Ciong Siu Kwi menangis terisak-isak.

Ia bukan menangisi mereka itu. Sama sekali tidak. Bagaimana pun juga, permainan cintanya dengan Bhok Gun hanya merupakan petualangannya saja. Tidak ada rasa cinta di dalam hatinya terhadap Bhok Gun atau siapa pun juga. Ia, wanita ini belum pernah mencinta orang, arti kata yang sesungguhnya. Permainan cintanya dengan pria-pria seperti yang sudah-sudah, hanyalah merupakan pelampiasan nafsu belaka. Juga tidak ada rasa cinta terhadap Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga memperlakukan sebagai kekasih.

Cinta kasih tidak mendatangkan duka. Cinta kasih tidak membelenggu batin. Cinta kasih itu bebas dan wajar, seperti sinar matahari yang menghidupkan segala yang berada dalam sentuhannya, menghidupkan dan membahagiakan, sama sekali tanpa pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri sendiri. Sebaliknya, nafsu birahi, seperti segala macam nafsu, menimbulkan ikatan, membelenggu. Dan tentu saja menimbulkan derita karena ikatan berarti ketergantungan.

Kita menggantungkan kesenangan batin terhadap sesuatu atau seseorang dan kalau gantungan itu terlepas, tentu kita akan jatuh dan kita menderita duka. Ikatan itu dapat saja berupa ikatan terhadap kekasih, keluarga, harta benda, kedudukan, bahkan ikatan terhadap suatu cita-cita. Dan yang suka menggantungkan diri, mengikatkan diri adalah si aku, ciptaan pikiran.

Pikiran menciptakan aku yang selalu ingin senang, pikiran menimbulkan ikatan terhadap segala sesuatu yang menyenangkan si aku, dan kalau terjadi kegagalan dan perpisahan sehingga terlepas ikatan itu, maka pikiran pula yang tenggelam ke dalam duka. Si aku selalu condong untuk membesarkan iba diri, pementingan diri pribadi, karena dasarnya adalah pengejaran terhadap kesenangan pribadi serta pelarian terhadap hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan.

Siu Kwi tidak menyedihi kematian orang-orang itu. Tidak ada ikatan dalam batinnya terhadap mereka. Guru-gurunya, Bhok Gun dan yang lain-lain itu baginya hanya berupa alat belaka, untuk mencapai idaman hatinya, cita-citanya. Kehilangan alat-alat itu tidak mendatangkan duka, karena dapat saja ia mencari alat-alat lain.

Akan tetapi, yang menimbulkan duka adalah hancurnya semua cita-citanya. Habislah segala-galanya. Gagal semuanya dan rasa kecewa dan iba diri membuatnya berduka sehingga ia, seorang wanita perkasa yang biasanya amat keras hati, kini menangis dan air matanya mengalir deras tanpa dapat dibendungnya. Ia sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi yang dicengkeram duka. Ia merasa hampa, kosong dan tidak ada artinya hidup ini baginya. Hatinya nelangsa dan terasa kesepian yang mengerikan mencekam hatinya.

Apa lagi kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoi-nya, bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang dulu membimbing dan melatihnya semenjak awal. Bahkan ia telah menyelewengkan pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati, tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Membanding-bandingkan keadaan dirinya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir!

Penilaian secara otomatis menimbulkan perbandingan antara keadaan diri kita sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidak puasan, bahkan putus harapan. Kita selalu merasa kurang, selalu merasa alangkah buruk keadaan kita karena kita menilai dan membandingkan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pikiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara baik buruk, untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa penilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri?

Siu Kwi menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai hidup baru.

Mengapa hidupnya begini sengsara dan serba mengecewakan? Mengapa seakan-akan ia dikutuk? Ketika hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang membuat Siu Kwi menghentikan tangisnya, mukanya pucat dan sepasang matanya yang menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu.

Nalurinya membisikkan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penyelewengan dan kejahatan. Sebagai manusia, tentu saja ia memiliki kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilakukannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatangkan kesenangan, ia tidak mau peduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu mala petaka yang menimpa diri, timbullah penyesalan! Walau pun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertobat, namun lebih condong menyesali kegagalan atau mala petaka itu!

Akan tetapi, Siu Kwi merasa benar-benar menyesal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengubah cara hidupnya, meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jalan yang ditempuh oleh sumoi-nya. Akan tetapi bagaimana caranya? Jalan apakah yang harus diambil?

Namanya sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorang pun manusia di dunia ini, kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayainya sehingga mau menerimanya. Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang dirasakannya sekarang.

Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan dalam batin kita. Kalau kita tahu bahwa kita berbuat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyembunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan! Sebaliknya, tahu tentang kejahatan disertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu membuahkan keburukan dan kerugian kepada kita.

Dengan demikian, kita BERUSAHA untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan pengetahuan bahwa hal itu pasti akan mencelakakan kita sendiri. Jelas bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini bisa mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!

Tentu saja bukan maksud kita untuk mengabaikan pengetahuan tentang baik dan jahat. Tetapi kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir. Amat jauh bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apa pun juga yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih!

Jika sinar cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, segala perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, bagaikan matahari menyinarkan cahayanya, bagaikan bunga menyiarkan keharuman dan keindahannya, bagaikan ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!

Ketika Siu Kwi sedang terombang-ambing dalam lamunannya sendiri, mulai timbul rasa penyesalan terhadap segala perbuatannya yang sudah-sudah, dan timbul keinginan untuk mengubah jalan hidupnya, meninggalkan kesesatannya, mendadak ia mendengar suara seorang laki-laki bernyanyi. Suara itu lantang dan bersih, meski kadang-kadang suaranya tersendat seperti tertahan sesuatu, dan lagunya pun adalah lagu dusun yang sederhana sekali, seperti orang membaca sajak saja.

Alangkah cantiknya duniaku! 
Langit biru terhias awan bergumpal-gumpal 
Itulah atap rumahku! 
Pohon-pohon berdaun hijau 
berbunga aneka warna 
Itulah dinding rumahku! 
Tanah segar dengan babut rumput hijau 
Itulah lantai rumahku...!

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Hatinya tersentuh. Ada kesederhanaan dan keaslian di dalam suara itu. Kewajaran yang indah walau pun isi nyanyian itu teramat sederhana. Dan suara itu begitu wajar dan segar, membayangkan bahwa penyanyinya tentulah berada dalam kebahagiaan.

Siu Kwi yang tadinya merasa sengsara, jauh dari kebahagiaan yang didambakannya, menjadi tertarik sekali. Tangisnya terlupa, terhenti dengan sendirinya dan sejak tadi ia terbawa hanyut oleh suara nyanyian.

Suara itu masih bernyanyi, mengulang-ulang kata-kata itu namun tidak menjemukan, seperti suara burung-burung pagi berkicau dengan riang.

Siu Kwi bangkit berdiri, membereskan pakaiannya yang kusut, juga rambutnya yang awut-awutan, dalam keadaan setengah sadar karena gerakan itu hanya terjadi karena kebiasaan, kemudian ia keluar dari dalam pondok tua dan berjalan menuju ke arah suara nyanyian. Wajahnya masih agak pucat, bekas-bekas air mata masih nampak di kedua pipinya. Matanya masih kemerahan dan agak membengkak. Isaknya terkadang masih mengguncang dadanya, seperti gema tangisnya tadi. Ia berjalan perlahan ke arah suara.

Pria itu berusia antara dua puluh lima tahun. Dia tidak berbaju, hanya memakai sebuah celana dari kain kasar yang berwarna hitam. Celana panjang itu digulungnya sampai ke lutut dan di sana-sini ternoda lumpur. Badan yang tidak tertutup baju itu memperlihatkan otot-otot yang berkembang dengan bagusnya, bergerak-gerak ketika kedua lengannya mengayun cangkul.

Tubuh yang tegap itu nampak penuh dengan tenaga. Wajahnya sederhana saja, bersih dan penuh kejantanan. Pria itu mencangkul tanah berlumpur sambil bernyanyi, suara nyanyiannya kadang tersendat kalau cangkulnya terayun dan menghunjam tanah basah di depan kakinya.

“Crokk! Crokk!” Bunyi cangkulnya seirama dengan nyanyiannya dan agaknya suara itu menjadi pengiring nyanyiannya yang sederhana.

Pria itu memusatkan perhatiannya sepenuhnya kepada tanah yang dicangkulnya dan ini merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, cangkulnya dapat menghantam batu atau menyeleweng ke arah kakinya sendiri. Akan tetapi ada yang lebih dari pada itu, yaitu rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya! Dan rasa cinta inilah yang mendatangkan ketekunan, mendatangkan pencurahan perhatian, sepenuhnya.

Dan sepatutnya, kita semua mencontoh pemuda itu, yaitu melakukan segala pekerjaan dengan perasaan cinta terhadap apa saja yang kita kerjakan! Dan kalau sudah begitu, kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, karena di dalam pekerjaan itu sendiri kita sudah menemukan suatu kebahagiaan besar. Ada pun hasil pekerjaan itu hanyalah merupakan akibat saja dari pekerjaan kita, merupakan bunga dan buah dari pada pohon yang kita tanam.

Siu Kwi memandang ke arah pria itu dengan terpesona. Sampai lama ia berdiri seperti patung mengamati pria itu, mengikuti seluruh nyanyiannya, mengikuti setiap gerak kaki tangannya. Biasanya, ia memandang rendah kepada orang-orang yang bekerja kasar, apa lagi seorang petani miskin dan kotor seperti pria itu! Seorang pria yang tentu saja tidak terpelajar, bodoh dan juga lemah, hanya memiliki tenaga kasar saja, bukan ahli silat! Biasanya, terhadap seorang pria mencangkul sawah seperti ini, ia tentu sama sekali acuh, menengok pun tidak sudi. Akan tetapi sekarang, ia terpesona!

Ada keindahan tersendiri yang khas pada tubuh pria itu. Wajahnya yang sederhana, tubuhnya yang tegap, nyanyiannya, semua itu nampak begitu riang dan cerah, seperti burung yang berkicau sambil berlompatan dari dahan ke dahan, seperti sinar matahari pagi itu.

Ahhh, dia tentu seorang yang berbahagia, pikir Siu Kwi. Dan ia pun ingin sekali tahu. Bagaimana ia akan bisa memperoleh kebahagiaan? Bagaimana pula petani sederhana ini dapat hidup demikian bahagia, walau pun bergelimang kesederhanaan, lumpur kotor dan mungkin kemiskinan? Pada hal pria itu jelas seorang yang amat sederhana, bodoh hanya seorang petani biasa!

Siu Kwi melangkah maju menghampiri sampai ia tiba di tepi sawah. Pemuda yang sedang mencangkul itu belum juga melihat kedatangannya. Ini saja biasanya cukup untuk menjengkelkan hati Siu Kwi yang merasa tidak diperhatikan, pada hal jarak antara ia dan pemuda itu hanya beberapa meter saja.

"Heii, bung! Aku ingin bertanya sedikit padamu." Akhirnya Siu Kwi berkata dan biar pun tiada kemarahan di hatinya terhadap pemuda itu, karena sudah menjadi kebiasaannya, suaranya terdengar lantang dan juga galak.

Pria petani itu nampak terkejut. Tidak disangkanya akan ada seorang wanita datang menegurnya dan ketika dia menengok, dia menjadi semakin terkejut sehingga sampai beberapa lamanya dia hanya bengong saja memandang, menoleh ke arah Siu Kwi dengan cangkul masih dalam genggaman kedua tangan. Tentu saja, melihat seorang wanita dengan pakaian indah dan sedemikian cantiknya kini berdiri di depannya dan mengajak dia bicara, tentu saja merupakan suatu pengalaman yang amat mengejutkan dan mengherankan bagi petani itu. Tentu saja dia menjadi bengong dan tak mampu mengeluarkan jawaban.

Siu Kwi mengerutkan alisnya. Biasanya, melihat pertanyaannya tidak segera dijawab orang, tentu akan membuat ia marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak. Ia seperti dapat mengerti bahwa pria ini terheran-heran dan terkejut, sehingga melihat orang itu bengong, ia merasa geli sendiri.

"Heii, bung! Apakah engkau ini tuli ataukah gagu sehingga tidak mendengar dan tidak dapat menjawab?"

Barulah pemuda petani itu nampak semakin gugup. Ia cepat menurunkan cangkulnya, demikian keras dan canggung sehingga cangkul itu menimpa lumpur yang memercik ke atas dan mengenai dagunya! Melihat ini, Siu Kwi menjadi semakin geli sehingga tanpa disadarinya, wanita itu tersenyum lebar dan ia pun tidak sadar betapa senyumnya ini membuat wajahnya manis sekali.

"Uhh, maaf...!" kata pemuda itu, kemudian mencoba untuk membungkuk sebagai tanda penghormatan. "Nyonya... ehhh, nona... tadi bertanya apakah?"

Sikap canggung dan suara yang lantang itu saja sudah mendatangkan kegembiraan di hati Siu Kwi.

"Aku belum bertanya," jawabnya, "akan tetapi aku ingin bertanya sedikit padamu dan maafkan jika aku mengganggu pekerjaanmu."

Siu Kwi merasa heran sendiri ketika mendengar sikap dan bahasanya. Ia seolah-olah mendengar suara orang lain yang bicara melalui dirinya. Belum pernah ia ‘seramah’ dan ‘sesopan’ ini terhadap orang lain, apa lagi hanya seorang pria petani.

Pemuda itu tentu saja mengira bahwa tentu nona kota ini hendak bertanya jalan, atau menanyakan dusun di sekitar tempat itu, maka dia menjawab, "Boleh saja kalau nona mau bertanya. Apakah yang nona tanyakan?"

"Yang ingin kutanyakan adalah, apakah engkau berbahagia?"

Petani muda itu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya dia akan menerima pertanyaan seperti itu. "Apa...? Ehh...... aku...? Bahagia? Ahh, aku tidak tahu, nona."

Pemuda ini terlalu polos dan jujur, kalau mengatakan tidak tahu, tentu benar-benar tidak tahu, atau tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Ia mengangguk yakin. "Engkau tentu seorang yang hidup bahagia. Ya, aku yakin engkau tentu berbahagia!"

Akan tetapi pemuda itu tidak yakin. "Bahagia? Apa sih bahagia itu, nona?"
Kini Siu Kwi yang bengong. Apa sih bahagia itu?
"Bahagia... ya, bahagia, hidupnya senang dan tenteram, aman makmur penuh damai..."
Pemuda itu mengangguk-angguk. "Itukah yang dinamakan bahagia?"
"Begitulah... atau mungkin aku keliru, entahlah."

Pemuda itu memandang bingung. "Bagaimana pula ini? Kalau nona sendiri tidak tahu dengan jelas, apa lagi aku. Aku tidak pernah mendengar kata itu dan agaknya aku pun tidak membutuhkan kebahagiaan itu."

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Tidak membutuhkan kebahagiaan! Pemuda sederhana ini tidak membutuhkan kebahagiaan! Sedangkan ia yang berenang di dalam kemewahan begitu rindu dan butuh akan kebahagiaan karena merasa tidak bahagia, karena merasa nelangsa dan berduka. Agaknya itulah jawabannya.

Pemuda itu berbahagia di dalam kesederhanaannya, berbahagia karena dia tidak butuh bahagia lagi. Dan ia yang berduka, merasa ditinggalkan kebahagiaan, maka ia amat membutuhkan kebahagiaan! Kalau saja ia tidak berduka, kalau saja ia dapat menikmati segalanya seperti pemuda ini, tentu ia pun tidak akan butuh kebahagiaan karena sudah berbahagia!

"Ya, tentu engkau berbahagia, karena engkau bekerja sambil bernyanyi-nyanyi gembira. Engkau tentu seorang yang hidup berbahagia," katanya lagi, memandang wajah dan tubuh pemuda itu dengan kagum.

Pemuda itu mengerutkan alis sejenak, lalu mengangguk-angguk pula. "Boleh jadi. Aku dapat melihat semua keindahan pagi ini, dapat mendengarkan kicau burung yang riang gembira, melihat bunga-bunga dan pohon-pohon, mencium keharuman tanah yang kucangkul, dapat menghirup udara segar dengan bebas, kalau lapar dapat makan dan kalau haus dapat minum, memiliki pekerjaan. Mau apa lagi?"

Siu Kwi semakin tertarik dan memandang kagum. Bukan kagum dan bukan seperti biasanya tertarik oleh laki-laki karena dorongan nafsu birahi. Bukan, sama sekali. Sekali ini, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam hatinya. Ia merasa tertarik dan kagum karena ia melihat betapa laki-laki yang berlepotan lumpur ini lebih utuh sebagai manusia dari pada dirinya sendiri. Laki-laki ini jauh lebih berarti dalam kehidupan ini.

Ia seperti melihat mutiara gemerlapan di dalam lumpur. Seorang pemuda yang amat polos, jujur terbuka, bersih seperti batu kemala yang belum digosok, nampak kasar dan biasa saja namun mengandung keindahan yang amat berharga di dalamnya. Jawaban pemuda itu merupakan suatu pelajaran yang tak ternilai harganya, walau pun pemuda itu tidak sengaja hendak mengajarkan sesuatu kepadanya.

Memang demikianlah. Guru berada di mana-mana kalau saja kita mau membuka mata lahir batin dan mau mengamati segala sesuatu di dalam dunia ini, di luar dan di dalam diri sendiri, secara seksama dan waspada. Melayangnya sehelai daun kering dari atas pohon karena patah dari tangkainya, sudah dapat merupakan suatu pelajaran tentang hidup dan mati.

Dalam mempelajari dan mengerti tentang hidup, tak perlu mencari guru dalam bentuk seorang manusia, karena kehidupan adalah sesuatu yang bergerak terus. Kehidupan adalah suatu kenyataan yang kita hayati sendiri. Sedangkan apa yang dapat diajarkan oleh seorang guru hanyalah pengetahuan mati tentang kehidupan.

Jawaban pemuda petani itu pun dapat merupakan suatu pembukaan rahasia tentang kebahagiaan. Dia sudah dapat menerima segala sesuatu yang ada sebagai suatu kenikmatan hidup. Dia TIDAK MENCARI SESUATU YANG TIDAK ADA PADANYA! Karena itulah dia tidak merasa kekurangan apa-apa, dia tidak mengejar apa-apa. Kalau sudah begitu, tentu saja tidak ada kekecewaan, tidak ada iri, tidak ada kebutuhan akan sesuatu dan tidak ada duka. Dan kalau sudah begini, tentu saja dia tidak membutuhkan kebahagiaan, karena kebutuhan akan kebahagiaan muncul apabila kita merasa bahwa kita tidak bahagia!

Kalau semua orang seperti pemuda petani itu, tentu tidak akan ada kemajuan! Demikian orang membantah. Mungkin mereka benar! Akan tetapi, apakah yang kita namakan kemajuan itu? Kita mendambakan kemajuan, kita mengagung-agungkan kemajuan. Akan tetapi apakah sebenarnya kemajuan itu?

Model celana dipotong pendek, lalu panjang lagi, lalu pendek lagi, panjang lagi. Sempit, lalu longgar, sempit lagi. Itukah kemajuan? Benda-benda dibikin modern supaya LEBIH MENYENANGKAN. Jadi, kemajuan berarti pengejaran sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan! Itukah kemajuan? Dan sampai di mana kita sekarang ini maju? Sudah majukah? Sudah sampai di batas manakah?

Matahari menyinarkan cahayanya yang cerah. Burung-burung berkicau di pohon-pohon. Bunga-bunga mekar semerbak harum. Sejak jutaan tahun yang lalu sudah begitu, dan terus begitu. Semua itu tidak mengejar kemajuan, melainkan bertumbuh dengan wajar. Apakah keadaan alam seperti itu dapat kita katakan tidak maju?

Pikiran yang didorong oleh keinginan mencari kesenangan yang lebih, tidak mungkin berdaya cipta (creative). Tidak akan menjadikan kita bijaksana dan cerdas. Sebaliknya, pikiran yang selalu mengejar kesenangan yang lebih akan menjadi licik dan penuh akal, kejam dan tak pernah mengenal puas. Perbaikan keadaan tentu terjadi karena manusia mempergunakan akal budi yang memang sudah ada padanya sejak lahir.

Keburukan hidup menghadapi alam, akan mendorong manusia mempergunakan akal budinya untuk mengatasi segala kesukaran. Daya cipta akan berkembang secara wajar, demi kesejahteraan hidup, bukan demi pergejaran kesenangan.....

Selagi Siu Kwi termenung karena jawaban pemuda tani itu, tiba-tiba pemuda itu nampak menjadi gelisah. "Nona, harap kau cepat bersembunyi di balik pohon dan semak-semak itu. Cepat, di sana sedang datang tiga orang pemuda berandalan. Mereka baru sepekan berkeliaran di sini, dan mereka itu pemuda-pemuda dari kota yang berandalan. Cepat, bersembunyilah, nona, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

Siu Kwi sadar dari lamunannya dan ia menengok. Benar saja, dari jauh nampak tiga orang laki-laki yang agaknya bicara sambil bergurau dan tertawa-tawa. Akan tetapi mereka masih terlalu jauh untuk dapat didengar apa yang mereka bicarakan dan untuk melihat orang-orang macam apa adanya mereka.

Kalau menuruti wataknya yang biasa, tentu saja Siu Kwi akan memandang rendah segala pemuda berandalan seperti itu. Akan tetapi sekali ini memang terjadi hal yang aneh dalam hati Ciong Siu Kwi. Mendengar ucapan pemuda petani itu, ia tidak mau membantah, melainkan cepat-cepat pergi bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari tempat itu, di tepi jalan dekat pohon besar.

Semakin dekatlah tiga orang laki-laki yang keluyuran sambil bersendau gurau itu dan akhirnya mereka tiba juga di tepi sawah di mana pemuda petani itu sudah melanjutkan pekerjaannya yang tadi, yaitu mencangkul tanah. Tiga orang pemuda iseng itu sejak tadi memang sudah merasa bosan karena tempat itu sunyi dan kini melihat pemuda yang sedang mencangkul tanah, timbul kegembiraan mereka. Mereka menemukan seorang yang dapat dijadikan bahan olok-olok dan keberandalan mereka.

"Hei, lihat itu si tolol bekerja keras!" teriak orang pertama yang kepalanya besar dan kedua telinganya kecil seperti telinga tikus.

"Ha-ha-ha, kusangka dia tadi seekor kerbau yang sedang meluku sawah!" teriak orang ke dua. Orang ini kurus kering seperti berpenyakitan.

"Kau kira apa? Apa sih bedanya si tolol dengan seekor kerbau? Hei, tolol! Coba tirukan suara kerbau, bagaimana?" teriak orang ke tiga yang gendut.

Mereka itu tiga orang pemuda yang dilihat dari pakaiannya saja dapat diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kota! Padahal, mereka pun tadinya adalah orang-orang dari dusun yang tidak jauh dari situ, hanya saja sudah lama mereka tinggal di kota dan ketularan kesombongan orang-orang kota yang memandang rendah kepada para petani yang miskin. Kini mereka memperolok seorang pemuda petani, padahal mereka lahir di rumah-rumah keluarga petani.

Pemuda yang sedang mencangkul itu sudah mendengar bahwa tiga orang pemuda itu adalah pemuda berandalan yang sudah sepekan suka melakukan hal-hal yang buruk, memperlihatkan kenakalan mereka, sering mendatangkan keributan serta perkelahian, juga kekacauan. Oleh karena itu dia bersikap tidak peduli dan pura-pura tak mendengar saja.

Ketiga orang pemuda itu mendongkol juga karena olok-olok mereka sama sekali tidak dilayani. Mereka selalu memperoleh kegembiraan dari olok-olokan mereka, baik kalau yang dihina itu melawan mau pun ketakutan. Akan tetapi pemuda petani itu diam saja, menganggap mereka seperti angin saja! Marahlah mereka.

"Hei, tolol! Apakah kamu tuli atau gagu?"
"Hayo naik ke sini, kau harus bersihkan sepatu kami dengan baik!"
"Kalau tidak, akan kuhajar kamu! Hayo naik ke sini!"

Akan tetapi, pemuda itu tetap diam saja, hanya melirik sedikit dan di dalam hatinya dia mengambil keputusan bahwa kalau tiga orang itu berani masuk ke sawahnya, dia akan melawan mereka, akan membuat mereka berenang di sawahnya dan minum air lumpur!

"Hayo naik kamu, pengecut! Naik ke sini biar kuhajar kau sampai minta-minta ampun!" teriak pula tiga orang pemuda itu sambil mencak-mencak dengan marah.

Mereka tidak berani memasuki sawah karena takut kalau sepatu dan pakaian mereka menjadi kotor. Namun pemuda petani itu tetap diam saja dan melanjutkan pekerjaannya mencangkul dengan tekun.

"Kurang ajar! Serang dia dengan batu!" kata seorang dari mereka dan mereka bertiga kini mencari batu-batu sebesar kepalan tangan dan menyambitkan batu-batu itu ke arah pemuda petani.

Pemuda petani itu berusaha untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi masih ada batu yang mengenai kepalanya sampai timbul benjolan besar. Tiga orang pemuda itu tertawa-tawa. Hati mereka mulai girang karena mereka dapat menghajar pemuda petani itu. Mereka akan menghujankan batu sampai pemuda itu roboh dan minta-minta ampun!

Melihat keadaan pemuda petani itu, hati Siu Kwi merasa khawatir. Ia sudah marah sekali terhadap tiga orang pemuda berandalan dan kalau ia mau, sekali menggerakkan tangan saja ia akan dapat membunuh mereka dan hal itu tentu sudah dilakukannya sejak tadi kalau saja tidak terjadi perubahan besar dalam hati Siu Kwi. Kini ia keluar dari balik semak-semak dan berseru dengan suara yang sengaja dibikin supaya terdengar seperti suara orang ketakutan.

"Jangan sambiti dia... ahhh, jangan sakiti dia...!"

Tiga orang pemuda itu terkejut dan menoleh heran. Akan tetapi wajah mereka menjadi terang berseri dan mulut mereka menyeringai nakal ketika mereka melihat bahwa yang berseru itu adalah seorang wanita yang sedemikian cantik manisnya! Mereka merasa tercengang dan tidak pernah menduga sama sekali bahwa di tempat sunyi itu mereka akan dapat bertemu dengan seorang wanita secantik itu! Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena mereka sudah membayangkan kesenangan yang akan mereka dapat dari wanita itu.

"Ahhh...! Tidak mimpikah aku?" teriak si gendut.
"Benarkah di depanku ada wanita secantik bidadari?"
"Luar biasa sekali! Petani tolol busuk itu bahkan mempunyai seorang pacar yang begini cantiknya!" kata si kepala besar.
"Hati-hati, kawan. Jangan-jangan ia ini seorang siluman!" kata si kurus kering.

Siu Kwi merasa heran sekali atas perubahan yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia tidak marah dan membunuh mereka ini? Dahulu, jangankan sampai menggoda dengan nada menghina, baru memandang secara kurang ajar saja, kalau ia tidak suka kepada pria itu, tentu akan dibunuhnya seketika!

"Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa kalian menganggunya?" Hanya itu saja yang ia katakan, itu pun dengan nada meminta agar para pemuda itu jangan mengganggu si petani.

Sementara itu, pemuda petani itu terkejut bukan main melihat munculnya wanita cantik itu dari balik semak-semak. Dia tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu tentu tidak akan mau melepaskan wanita itu begitu saja. Oleh karena khawatir kalau gadis itu menderita akibat gangguan mereka yang kurang ajar, pemuda petani itu cepat-cepat melangkah keluar dari dalam sawah, lalu segera menghampiri mereka dan berdiri di depan gadis itu dengan sikap melindungi.

Kuharap kalian tidak mengganggu gadis ini. Kami adalah orang-orang yang tidak pernah mengganggu kalian, maka kuminta dengan sangat agar kalian tidak mengganggu kami," kata pemuda itu dengan sikap tenang.

Melihat pemuda yang bertelanjang dada dan berlepotan lumpur ini sekarang berani melindungi wanita itu, tiga orang pemuda berandalan menjadi marah sekali.

"Petani busuk, mampuslah!" bentak si perut gendut dan dia sudah menyerang dengan pukulan keras menyambar ke arah muka si pemuda petani.
"Desss...!"

Pemuda petani itu tidak mengira bahwa dia akan dipukul, maka dia tidak sempat lagi menangkis dan mukanya kena dipukul. Pukulan ini tepat mengenai batang hidungnya, maka segera nampak darah keluar dari lubang hidungnya.

"Plakkk...!"

Karena marah, si pemuda petani membalas dan tangannya yang menampar mengenai pipi si gendut. Tubuh si gendut terpelanting. Tamparan itu demikian kerasnya sampai membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut, ditambah rasa panas dan pedih di pipinya. Dua orang temannya segera maju mengeroyok.

Pemuda petani itu mengamuk. Sekarang dia dikeroyok tiga, dan ketiga orang pemuda berandalan itu seperti tiga ekor serigala yang mengeroyok seekor anjing pemburu yang melawan mati-matian. Akan tetapi karena pemuda petani itu tidak pandai silat, hanya mengandalkan kekuatan tubuh yang tahan pukulan dan tenaga besar serta semangat berkobar, dia menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan tiga orang pengeroyoknya.

Meski demikian, sungguh ia bertubuh kuat dan biar pun dihujani pukulan dan dikeroyok, dia masih sempat berteriak. "Nona, cepat kau pergilah dari sini!"

Siu Kwi memandang dengan penuh kagum. Pemuda petani itu kini menjadi seorang yang kegagahannya tidak kalah oleh para pendekar mana pun juga. Bahkan mungkin lebih gagah, pikirnya. Seorang pendekar berani membela orang lain, oleh karena dia mengandalkan kepandaian silatnya dan senjatanya.

Akan tetapi, pemuda ini membelanya mati-matian, padahal pemuda sederhana ini tidak pandai silat. Bahkan di dalam hujan pukulan itu dia masih minta kepadanya untuk menyelamatkan diri. Dia benar-benar merasa gembira karena selama hidupnya baru sekaranglah dia bertemu dengan seorang pria yang membelanya mati-matian tanpa pamrih sedikit pun juga!

Biasanya, di dalam kehidupannya yang lalu, kalau ada pria membelanya, maka di balik pembelaan itu tentu mengandung pamrih tertentu. Seperti Bhok Gun misalnya. Para pria yang bersikap baik kepadanya tentu mengharapkan imbalan jasa. Akan tetapi pemuda petani ini sama sekali tidak! Mereka tidak saling mengenal, dan pemuda itu jelas tidak mengharapkan apa-apa, bahkan minta agar ia pergi secepatnya.

Keharuan, suatu perasaan aneh yang baru pertama ini dikenal Siu Kwi, menyelubungi hatinya dan ia pun cepat pura-pura melarikan diri. Tetapi ia cepat menyelinap kembali, tanpa diketahui mereka, kemudian bersembunyi di balik pohon tidak jauh dari tempat perkelahian itu terjadi, mengintai dengan hati penuh kagum dan khawatir.

Pemuda tani itu benar-benar hebat! Biar pun tubuhnya menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan sehingga dada yang bidang itu, juga lengannya, menjadi matang biru, bahkan mukanya juga benjol-benjol, akan tetapi dia pantang menyerah. Seperti seekor harimau terbuka dia mengamuk terus, tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya.

Sebaliknya, setiap kali dia membalas dan mengenai tubuh lawan, tentu pengeroyok yang kena dipukul atau ditendang berteriak kesakitan lalu memaki-maki dan membalas dengan serangan membabi buta. Dari keadaan perkelahian itu saja sudah dapat dinilai watak masing-masing.

Pemuda petani itu bertubuh sangat kuat sehingga akhirnya ketiga orang lawan yang mengeroyoknya dan lebih banyak memukulnya itu menjadi kewalahan sendiri. Mereka lalu mencabut pisau belati dan mengepung dengan wajah beringas seperti serigala haus darah.

Melihat berkilatnya tiga buah pisau belati di tangan mereka, Siu Kwi mengerutkan alis. Pemuda petani itu tentu akan celaka kalau dia tidak turun tangan, pikirnya. Jari-jari tangannya memungut tiga butir batu kerikil dan tiga kali tangannya terayun ke depan.

Tiga orang pemuda yang sudah mencabut pisau belati itu tiba-tiba mengeluarkan pekik kesakitan, pisau mereka terlepas dari tangan dan untuk beberapa detik lamanya mereka tidak mampu bergerak. Kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda tani, yang tidak tahu penyebab tga orang itu tiba-tiba melepaskan kembali pisau-pisau mereka, untuk maju menghajar mereka dengan pukulan-pukulan keras.

Tiga orang pemuda itu jatuh bangun dan semangat mereka sudah buyar sama sekali. Mereka masih ketakutan karena tanpa sebab mereka tadi merasa tangan mereka nyeri bukan main, pisau mereka terlepas dan mereka tidak mampu bergerak. Teringatlah mereka akan wanita cantik tadi dan kembali timbul dugaan bahwa wanita itu tentu siluman dan kini membantu si pemuda petani. Maka, tanpa dikomando lagi, mereka bertiga lalu melarikan diri tunggang langgang!

Pemuda petani itu berdiri memandang mereka sampai bayangan mereka lenyap di antara pepohonan. Dia lalu menyeka darah dari hidung dan bibirnya yang pecah-pecah, menggunakan punggung tangan yang juga matang biru membengkak. Setelah ketiga orang lawannya pergi, baru dia merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan dia pun agak terhuyung menghampiri pohon besar di tepi jalan.

"Ahhh, kau terluka..."

Hampir saja pemuda petani itu menerjang dan menyerang Siu Kwi yang muncul dengan tiba-tiba dari balik batang pohon besar. Ia telah melupakan wanita itu yang disangkanya tentu sudah melarikan diri ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat itu.

"Ahh, kau...?" serunya kaget, juga girang bukan main. “Kukira engkau sudah pergi jauh dari tempat ini, nona."

Dengan hati merasa lega sekali pemuda tani itu lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, karena tubuhnya kini terasa lelah bukan main, tenaganya seperti hampir habis.

Siu Kwi cepat berlutut di dekatnya. "Ah, tubuhmu luka-luka semua, babak bundas... ah, tentu nyeri sekali...," katanya dan dengan lembut jari-jari tangan wanita itu menyentuh dada, pundak dan pangkal lengan yang memar dan matang biru.

Sentuhan-sentuhan lembut itu seperti obat yang amat nyaman terasa oleh pemuda tani. Biar pun usianya sudah dua puluh lima tahun, akan tetapi dia belum pernah menikah, bahkan jarang bergaul dengan wanita. Dan kini, tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya berdekatan dengannya, dan menyentuh tubuhnya dengan lembut.

Jantung pemuda petani itu berdebar keras sekali dan hal ini mudah nampak oleh Siu Kwi sehingga wanita ini pun diam-diam merasa girang sekali. Ia sudah berpengalaman, sudah mengenal banyak pria dan tahu akan keadaan seorang pria. Maka mudah saja ia mengetahui bahwa pria dusun ini pun amat tertarik kepadanya, bahwa pendekatannya membuat pemuda itu berdebar jantungnya. Dan anehnya, sekali ini ia merasa demikian girang dan bangga akan kenyataan ini!

"Luka-lukamu ini perlu dirawat. Aku biasa merawat luka, marilah kuantar engkau pulang dan akan kurawat luka-lukamu... ahhh..." Tiba-tiba Siu Kwi teringat sesuatu. Mukanya berubah pucat dan ia pun bangkit dan melangkah mundur.

Pria petani itu sudah merasa girang mendengar bahwa wanita cantik itu akan ikut dia pulang dan akan merawat luka-lukanya, akan tetapi terkejut melihat perubahan sikap wanita itu. Dia pun bangkit berdiri, memandang penuh selidik.

"Ada apakah, nona?"
"Kau...ah, tentu di rumahmu ada isteri dan keluargamu yang akan merawatmu...," kata Siu Kwi, memandang penuh pertanyaan dan dengan hati gelisah.

Mengapa dia tidak ingat akan hal itu? Seorang pria sedewasa ini, apa lagi hidup di dusun, sudah tentu pria ini sudah menikah dan mungkin sudah mempunyai beberapa orang anak! Hatinya seperti ditusuk-tusuk.

Kalau dulu, ia tidak akan peduli apakah seorang laki-laki itu berkeluarga atau tidak, mau atau tidak padanya. Kalau ia suka, dengan halus mau pun kasar ia tentu akan memiliki pria itu, atau membunuhnya. Akan tetapi sekarang, ia ragu-ragu, khawatir dan berduka membayangkan bahwa laki-laki ini tentu sudah beristeri!

Pemuda petani itu tersenyum. Senyumnya cerah, wajar dan sehat. "Nona, aku belum pernah menikah. Di rumahku hanya tinggal aku dan ayahku seorang. Ibuku sudah lama meninggal."

Merasa bagaikan sebongkah batu dilepaskan dari hatinya yang tertindih, Siu Kwi ingin sekali merangkul dan mencium pemuda itu. Namun keanehan terjadi lagi. Ia merasa malu melakukannya, dan ia menahan gejolak perasaannya itu. "Aih, kalau begitu baru aku berani ikut denganmu dan merawat luka-lukamu."

Karena pertanyaan wanita itu, kini si pemuda petani juga memandang ragu. Masih nonakah wanita ini ataukah sudah nyonya? Kiranya sukar dipercaya kalau masih nona, karena usianya sudah tidak begitu muda lagi meski kecantikannya membuat ia nampak jauh lebih muda. Setidaknya, tidak lebih muda darinya dan wanita seusia ini tak mungkin masih perawan.

"Dan bagaimana dengan engkau sendiri, nona... atau... nyonyakah?"

Luar biasa sekali! Siu Kwi merasa mukanya panas dan ia tentu akan terheran-heran kalau dapat melihat betapa kulit mukanya berubah kemerahan seperti seorang perawan yang tersipu malu! Heran sekali dia, mengapa dia merasa begini malu dan canggung ditanya oleh pemuda ini apakah ia masih gadis ataukah sudah menikah? Tentu saja akan tidak enak sekali jika ia mengaku masih gadis, karena usianya sudah tak pantas untuk itu.

"Aku... aku seorang janda yang sudah ditinggal mati suamiku beberapa tahun yang lalu. Semenjak itu, aku hidup seorang diri saja..."
"Ahh...! Maafkan pertanyaanku jika telah menyinggung perasaanmu dan mendatangkan kembali kenangan yang menyedihkan," kata pemuda itu, agak terkejut.

Siu Kwi tersenyum, manis sekali.

"Hal itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, kesedihan sudah lama meninggalkan hatiku. Akan tetapi, aku ingin mengetahui siapakah namamu dan di mana rumahmu?"
"Aku she Yo bernama Jin, tinggal berdua dengan ayah di dusun sebelah selatan itu." Dia menudingkan telunjuknya ke arah selatan, di mana nampak dari situ sekelompok rumah dusun.
"Namamu Jin (Welas Asih), pantas engkau berhati mulia, mau membela dan menolong aku yang sama sekali tidak kau kenal. Aku she Ciong, namaku Siu Kwi dan lempat tinggalku tidak tetap karena aku sudah tidak memiliki keluarga lagi."

Pemuda dusun yang bernama Yo Jin itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan dia menggeleng kepala. “Akan tetapi... apakah sama sekali tidak mempunyai anggota keluarga? Orang tua, saudara-saudara..."

Akan tetapi Ciong Siu Kwi menggeleng kepala dan ia memang tidak berbohong. Dia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga sama sekali ketika dipungut oleh Sam Kwi.

"Aku hidup sebatang kara, seorang diri saja di dunia yang luas ini. Aihh, kenapa kita bercakap-cakap saja, engkau perlu dirawat. Mari kuantar engkau pulang."

Siu Kwi lalu memegang lengan pemuda itu dan membantunya bangkit berdiri. Melihat betapa wanita itu memegang lengannya, kembali jantung Yo Jin tergetar dan dia pun masih merasa ragu-ragu. Seorang wanita secantik ini, sudah menjanda dan nampak begitu mewah pakaiannya, hendak menggandengnya!

"Tapi, nyonya..."
"Hemm, Yo Jin. Aku sudah memperkenalkan bahwa namaku Siu Kwi, bukan?"
"Baiklah,... adik Kwi. Aku... aku masih sangsi apakah mungkin seorang seperti engkau ini merawatku...?"

Senang hati Siu Kwi disebut Kwi-moi (adik Kwi) walau pun ia yakin bahwa ia lebih tua dari pemuda itu. Dia pun sengaja menyebut toako (kakak) untuk mengimbangi sebutan Yo Jin dan untuk menghormati pemuda dusun itu.

"Kenapa tidak, Jin-toako? Engkau telah menolongku, menyelamatkanku dari gangguan tiga pemuda berandalan itu. Budimu terlampau besar dan sudah sepatutnya kalau aku kini merawatmu, sekedar untuk membalas kebaikanmu dan menyatakan terima kasihku. Akan tetapi... tentu saja aku tidak berani memaksa kalau engkau tidak sudi dirawat oleh seorang janda yang hidup merana dan kesepian."

Dalam kalimat terakhir itu terkandung isak dan ini pun bukan pura-pura karena memang hati Siu Kwi merasa sedih sekali membayangkan hatinya yang sedang kesepian dan merana itu menderita pukulan karena ditolak oleh Yo Jin.

Ia merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda ini. Bukan sekedar nafsu birahi yang mendorongnya. Entah bagaimana, melihat sikap pemuda ini yang tadi sudah melindungi dan membelanya mati-matian tanpa pamrih, ia merasa aman sentosa saat berada di samping Yo Jin. Perasaan sepi lenyap.

"Aih, mana mungkin aku menolak uluran tanganmu, Kwi-moi? Mari, marilah kita pulang."
"Pulang?" Seperti dalam mimpi Siu Kwi mengulang kata yang terdengar amat luar biasa itu, amat asing namun amat indahnya.
"Ya, pulang! Bukankah engkau tadi mengajakku pulang? Ke rumahku, rumah ayahku."
"Pulang...?" Kembali Siu Kwi mengulang kata itu, kata yang baginya mengandung arti yang asing dan indah, seolah-olah ‘pulang’ merupakan sebuah tempat milik mereka berada, sebuah sarang yang aman sentosa, yang nyaman dan penuh kedamaian.

Ayah Yo Jin adalah seorang kakek petani yang bertubuh tinggi besar, berwatak jujur dan dia menyambut pulangnya puteranya dengan alis berkerut. Tentu saja dia merasa heran bukan main melihat anaknya pulang bersama seorang, wanita cantik berpakaian mewah yang menggandengnya. Mereka nampak demikian mesra!

Akan tetapi perasaan heran ini menjadi kekagetan dan kekhawatiran ketika dia melihat betapa muka anaknya itu matang biru dan bengkak-bengkak. Baru dia mengerti setelah Yo Jin menceritakan bahwa dia diganggu dan dikeroyok oleh tiga orang pemuda kota yang berandalan itu dalam membela Ciong Siu Kwi yang hendak diganggu.

"Nyonya... ehhh, adik Ciong Siu Kwi ini menemani aku karena dia hendak merawat luka-lukaku, ayah. Aku tidak dapat menolak maksud baiknya itu."

Ayahnya mengangguk-angguk kemudian menatap wajah wanita ini dengan tajam penuh selidik. Pandang mata itu membuat Siu Kwi merasa kikuk sekali, akan tetapi ia hanya menundukkan mukanya.

"Mari, Jin-toako, kucuci luka-luka itu, karena kalau didiamkan saja dan terkena kotoran dapat membengkak dan berbahaya," katanya halus kepada Yo Jin.

Pemuda itu mengangguk dan mulailah Siu Kwi merawatnya. Ia mencuci luka-luka itu, dengan jari-jari tangan menyentuh halus ia menggosok bagian yang bengkak, menaruh obat pada bagian yang memar dan matang biru.

Entah mana yang lebih manjur, obat yang digunakan Siu Kwi ataukah sentuhan jari-jari tangannya, akan tetapi Yo Jin merasa betapa kenyerian di tubuhnya lenyap seketika. Mau rasanya dia dipukuli orang setiap hari kalau sesudah itu dirawat oleh jari-jari tangan wanita cantik ini! Karena dia memang jujur, maka suara hatinya ini tak dapat ditahannya.

"Wah, aku sungguh beruntung!" katanya. Ayahnya sudah meninggalkan mereka yang berada di ruangan samping.
"Beruntung? Kenapa?" tanya Siu Kwi, ingin tahu sekali.
"Ya, beruntung telah dipukuli orang sampai babak belur dan matang biru."
Siu Kwi memandang heran. "Ehh? Betapa anehnya!"
"Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin aku akan mendapatkan perawatanmu seperti ini?"

Siu Kwi merasa betapa jantungnya berdebar. Ingin ia merangkul pemuda itu, akan tetapi hal itu tak dilakukannya. Ia harus bersikap biasa, ia tidak menuruti lagi segala kehendak hatinya seperti yang sudah-sudah. Namun ia tidak dapat terbebas dari perasaan jengah sehingga mukanya berubah kemerahan.

"Jin-toako, masih sakitkah bekas pukulan dan tendangan itu?"
"Tidak, sama sekali sudah lenyap. Sentuhan tanganmu yang lembut mengusir semua rasa nyeri," jawab Yo Jin sungguh-sungguh.
"Senangkah engkau kurawat begini?"
"Senang sekali! Mau rasanya aku setiap hari menerima pukulan asal engkau yang merawatnya."

Siu Kwi memandang penuh perhatian. Sedang bersandiwarakah pemuda ini? Apakah ia sebenarnya seorang laki-laki yang pandai merayu hati wanita dan kini berpura-pura sebagai seorang pemuda dusun yang bodoh? Tidak, dia merasa yakin bahwa pemuda ini bukan seorang perayu, melainkan seorang yang amat jujur. Apa yang dirasakannya, apa yang dipikirkannya, langsung saja keluar melalui mulutnya. Dan ia merasa betapa ada suatu kegembiraan besar memenuhi dadanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring di luar rumah dan ayah Yo Jin memasuki ruangan itu dengan wajah membayangkan kekhawatiran besar.

"Mereka bertiga datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun di timur! Ahh, Yo Jin, engkau mencari gara-gara saja. Bagaimana baiknya sekarang?"

Yo Jin mengerutkan alisnya dan dia pun bangkit. Sedikit pun dia tidak merasa takut.

"Ayah, mereka itu pengacau-pengacau tidak tahu malu. Kalau mereka berani datang untuk membikin ribut di sini, biarlah aku yang akan menghajar mereka lagi," berkata demikian, dengan sikap gagah Yo Jin lalu melangkah keluar.
"Toako, berhati-hatilah...," Siu Kwi berseru dan dia pun sudah bangkit dan memegang lengan pemuda itu.

Yo Jin menoleh. "Lebih baik engkau jangan keluar, jangan memperlihatkan diri. Biar aku yang menghadapi mereka."
"Tapi... tapi engkau akan dikeroyok lagi, dipukuli..."

Yo Jin tersenyum dan untuk beberapa detik lamanya tangannya menggenggam tangan wanita itu. "Tak perlu dirisaukan! Bukankah di sini ada engkau yang akan mengobati semua bekas pukulan?" Dia lalu melepaskan tangannya dan cepat-cepat keluar karena orang-orang itu sudah berteriak-teriak lagi.

Siu Kwi berdiri bengong dan mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. Ia merasa seperti seorang gadis remaja yang baru pertama kalinya jatuh cinta! Akan tetapi dia segera mengkhawatirkan keadaan Yo Jin dan ia pun cepat mengintai dari balik pintu.

Ternyata ketiga orang pemuda berandalan itu, setelah tadi melarikan diri segera pergi menghadap Lui-kongcu (tuan muda Lui), putera dari kepala dusun tempat asal tiga orang pemuda itu. Mereka memang berkawan dengan putera kepala dusun yang terkenal mata keranjang.

Mereka memuji-muji kecantikan wanita yang menjadi pacar seorang pemuda petani di dusun selatan sehingga Lui-kongcu tertarik sekali. Apa lagi mendengar betapa tiga orang pemuda itu yang dianggap sebagai anak buahnya, telah dihajar babak-belur oleh pemuda itu karena memperebutkan wanita cantik, Lui-kongcu merasa amat penasaran. Mengandalkan kedudukan ayahnya, dia memang sudah terbiasa merajalela dan suka membikin kacau, menekan para penduduk yang tentu saja takut kepadanya mengingat akan kedudukan ayahnya, yaitu kepala dusun Lui.

Ketika Yo Jin muncul diikuti oleh ayahnya yang memandang khawatir, Lui-kongcu sudah menyambutnya dengan dampratan. "Monyet inikah yang telah lancang tangan berani memukuli tiga orang pemuda dari dusun kami?" Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Yo Jin. "Siapakah namamu?"

Yo Jin tidak mengenal pemuda yang bertubuh jangkung kurus dan berwajah tampan akan tetapi angkuh ini. Akan tetapi tadi ayahnya sudah memberi tahu bahwa tiga orang pemuda berandalan itu datang bersama Lui-kongcu putera kepala dusun timur. Maka dia dapat menduga tetu pemuda tampan jangkung berpakaian mewah ini putera kepala dusun itu.

"Maaf, bukan aku yang memukuli dan mengeroyokku. Aku hanya membela diri saja. Namaku adalah Jin she Yo..."
"Bagus, Yo Jin. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun kami di timur. Engkau telah berani kurang ajar terhadap kami, hayo cepat berlutut minta ampun!"

Bukan watak Yo Jin untuk merendahkan diri karena takut. Dia tidak merasa bersalah, maka dia pun tidak takut terhadap siapa juga.

"Lui-kongcu, tadi sudah kukatakan bahwa aku tidak bersalah. Merekalah yang terkenal sebagai pemuda-pemuda berandalan yang suka membikin kacau. Maka sebaiknya jika Lui-kongcu sebagai putera kepala dusun, menghukum mereka agar mereka tidak lagi menjadi berandalan-berandalan yang suka mengacau ke kampung-kampung."

"Tutup mulutmu! Engkau berani membantah dan melawan aku, ya?" bentak Lui-kongcu marah sambil melangkah maju mendekati Yo Jin. "Hayo lekas berlutut!"
"Aku tidak bersalah apa-apa, kenapa harus berlutut?" jawab Yo Jin dengan sikap tenang dan alis berkerut, pandang mata tajam ditujukan kepada wajah kongcu itu.
"Engkau melawanku?" Lui-kongcu membentak, lalu membuat gerakan memasang kuda-kuda dengan gagah dan membentak, "Haiiiittt...!"

Lalu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya yang dikepal memukul bertubi-tubi.

Yo Jin menyangka bahwa anak kepala dusun ini akan memukulnya, dan dia pun merasa sungkan untuk membalas, maka dia menangkis sedapatnya. Karena tidak membalas, dan karena dia masih lelah, beberapa pukulan telah mengenai tubuhnya, dan tentu saja terasa nyeri karena ada beberapa pukulan mengenai bagian yang memar dan masih biru. Lui-kongcu melanjutkan serangannya sambil berteriak-teriak seperti lagak seorang jagoan tulen.

Karena kesakitan, Yo Jin lalu melawan. Dia membalas dengan pukulan tangan kanan yang mengenai dada Lui-kongcu sehingga tubuh si jangkung ini terpelanting! Kiranya, hanya lagaknya saja seperti jagoan.

Memang dia pernah belajat silat, tetapi orang seperti dia mana ada ketekunan belajar secara sungguh-sungguh? Dia belajar hanyalah untuk berlagak, maka yang dihafalnya hanya pasangan kuda-kuda dan gerakan-gerakan yang nampak indah, namun karena ia tidak tekun mempelajari dasar-dasarnya, maka semua gerakannya itu kosong belaka, bagaikan bungkusan indah yang tidak ada isinya. Maka, begitu Yo Jin membalas, dia pun terkena pukulan dan terpelanting.

Melihat demikian, tiga orang pemuda berandalan itu pun maju mengeroyok. Tentu saja Yo Jin yang masih belum pulih kesehatannya, dan masih lelah itu, harus menerima hajaran empat orang pengeroyoknya, dipukul dan ditendang sampai babak belur. Akan tetapi, dengan gigih dia membela diri dan melawan, sedikit pun tidak pernah mengeluh.

"Heiii, jangan berkelahi! Jangan pukuli anakku...!" Ayah Yo Jin yang melihat puteranya dipukuli orang lalu maju untuk melerai, akan tetapi dia disambut oleh pukulan-pukulan yang membuat ia roboh terpelanting pula!
Melihat kejadian itu, Siu Kwi lalu keluar dari tempat persembunyiannya. "Tahan, jangan berkelahi!"

Mendengar ada suara perempuan, empat orang pengeroyok itu menghentikan amukan mereka dan Lui-kongcu memandang bengong ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik jelita berdiri disitu. Tiga orang pemuda berandalan itu pun memandang dan mereka segera mengenal wanita itu.

"Kongcu, itulah pacarnya yang cantik!"

Lui-kongcu tidak perlu diberi tahu lagi karena matanya yang berminyak sudah melahap kecantikan yang berada di depan matanya dan dia pun sudah dapat menduga bahwa tentu wanita ini yang menjadi gara-gara keributan itu, yang diperebutkan, dan dia tidak menyalahkan anak buahnya kalau tergila-gila kepada wanita ini. Memang cantik jelita!

"Yo Jin, aku akan mengampunimu kalau engkau mau memberikan pacarmu ini padaku, setidaknya biar kupinjam dia untuk beberapa malam lamanya!" kata Lui-kongcu tanpa malu-malu lagi.

Dapat dibayangkan betapa panas rasanya hati Yo Jin. Dia sudah jatuh cinta kepida Siu Kwi dan kini mendengar kata-kata yang tidak sopan dan kurang ajar itu, yang ditujukan kepada Siu Kwi, tentu saja dia menjadi marah. "Lui-kongcu, andai kata ia itu pacarku, tunanganku atau isteriku, tentu takkan kuserahkan kepadamu, dan akan kuhajar engkau yang berani bersikap kurang ajar! Akan tetapi sayang, ia hanya seorang sahabat baru dan seorang tamuku yang terhormat."

Mendengar jawaban ini, Lui-kongcu dan tiga orang pemuda berandalan itu lalu saling pandang. Si gendut, seorang di antara tiga pemuda berandalan itu, berseru tak percaya.
"Kau bohong! Jika bukan pacarmu, kenapa engkau membelanya sampai mati-matian?"
"Hemmm, orang-orang macam kalian ini tentu merasa heran. Akan tetapi orang-orang sopan tentu mengerti bahwa sudah sepatutnya kalau seorang pria menghormati wanita, membelanya, bukan seperti kalian yang hendak mempermainkan dan menghinanya!"
"Ha-ha-ha, bocah petani dusun tolol! Orang macam engkau hendak memberi kuliah kepadaku? Kalau ia bukan apa-apamu, sudah, mundur kau dan jangan turut campur!" kata Lui-kongcu. Diam-diam ia merasa jeri juga melihat kenekatan Yo Jin yang agaknya tidak mengenal takut dan sakit.

Ia menghampiri Siu Kwi dan tersenyum menyeringai sambil memasang aksinya. "Nona cantik, marilah engkau ikut bersamaku. Aku adalah Lui-kongcu, putera kepala dusun di timur yang kaya raya. Engkau tentu akan mengalami kesenangan kalau ikut bersamaku. Jadilah tamuku yang terhormat dan kita bersenang-senang bersama. Marilah, manis!"

Dia mengulur tangan hendak memegang tangan Siu Kwi. Agaknya, pemuda ini selalu yakin bahwa setiap orang perempuan tentu akan tunduk dan memyambut ajakannya dengan girang. Wanita mana yang dapat menolaknya? Dia masih muda, tampan dan gagah, kaya raya dan ayahnya menjadi kepala dusun yang hidupnya seperti seorang raja kecil di dusunnya! Sudah terlalu banyak wanita yang tunduk kepadanya, seperti kerbau dicocok hidungnya kalau dia merayu dan mengajak mereka.

Siu Kwi ingin sekali tampar menghancurkan kepala Lui-kongcu itu. Akan tetapi ia masih terus sadar dan teringat bahwa ia kini harus menjadi seorang yang baru sama sekali, tidak boleh lagi mempergunakan ilmunya untuk mengulangi lagi kehidupan sesat dan kejam seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, tentu saja ia tidak dapat memadamkan kemarahan yang berkobar di dalam dadanya melihat sikap anak kepala dusun itu.

"Tidak, aku tidak mau pergi ke mana-mana, tidak mau pergi meninggalkan Jin-toako yang membutuhkan perawatanku. Kalian pergilah dari sini dan jangan membikin kacau!"

Lu-kongcu tertawa dan membelalakkan matanya. "Aihh, kenapa begitu, nona manis? Apakah engkau lebih suka tinggal di sini, di tempat yang kotor dan amat tidak pantas bagimu ini? Dan lihat si tolol Yo Jin ini, seorang petani busuk yang kotor dan bodoh. Tidak patut sama sekali engkau bersahabat dengan orang tolol semacam ini. Untuk menjadi bujangmu pun, dia belum pantas!"

Siu Kwi menjadi marah bukan main. "Huh, toako Yo Jin ini adalah seorang laki-laki sejati. Dia seribu kali lebih baik dari pada kamu dan kawan-kawanmu itu. Pergilah dan jangan menganggu kami lagi!"

Mendengar ucapan ini, Lui-kongcu menjadi marah. Mukanya merah sekali. Pemuda dusun itu seribu kali lebih baik dari dia?

"Hajar mampus petani busuk ini, baru kularikan gadis tak tahu diri itu!" katanya dan dia pun sudah menyerang Yo Jin dengan marah, dibantu kawan-kawannya. Kini mereka mencabut pisau yang sudah mereka persiapkan lebih dulu.
"Jin-toako, kau pukullah mereka sampai puas!" tiba-tiba Siu Kwi berkata. "Cepat hajar mereka, toako!"

Tentu saja Yo Jin terheran mendengar seruan itu, akan tetapi dia menjadi semakin heran dan girang melihat betapa empat orang pemuda yang mengeroyoknya itu tiba-tiba saja menghentikan gerakan-gerakan mereka dan ketika dia memukul mereka, empat orang itu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis atau mengelak. Dia tidak tahu bahwa dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Siu Kwi telah membuat mereka untuk sementara lumpuh dengan sambitannya, mempergunakan kerikil-kerikil kecil sekali.

Enak saja Yo Jin membabat mereka dengan kaki tangannya, memukul dan menendang sampai mereka itu terguling-guling. Ketika pengaruh totokan sudah hilang dan mereka mampu bergerak kembali, mereka sudah menjadi ketakutan.

Lui-kongcu bangkit berdiri, sempoyongan dan memandang kepada Yo Jin dan Siu Kwi bergantian, lalu dia memandang kepada ayah Yo Jin dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Siu Kwi, "Dia seorang siluman! Ya, seorang siluman betina yang jahat dan akan menghancurkan keluargamu!"

Setelah berkata demikian, Lui-kongcu segera melarikan diri diikuti tiga orang pemuda berandalan. Tadi, tiga orang pemuda itu sudah menceritakan betapa mereka mengalami hal yang aneh ketika mencabut pisau sehingga mereka dihajar oleh Yo Jin. Sekarang, kembali mereka mengalami hal yang sama dan juga Lui-kongcu mengalaminya. Maka, mereka semua condong percaya kepada dugaan pemuda berandalan berkepala besar bahwa agaknya Yo Jin dibantu siluman, dan siapa lagi kalau bukan perempuan cantik itu silumannya?

"Mereka sungguh kurang ajar!" bentak Yo Jin marah ketika mendengar wanita yang telah menjatuhkan hatinya dimaki siluman.
"Biarkan mereka pergi, Jin-toako. Mereka adalah anak-anak yang masih bodoh dan hanya mengandalkan kedudukan orang tua dan kekayaan saja. Wah, luka-lukamu lecet kembali, mari kuberi obat lagi."
"Baik, Kwi-moi dan terima kasih atas kebaikanmu." Dua orang muda itu hendak masuk kembali ke dalam rumah.
"Nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar ayah Yo Jin membentak.

Orang tua ini benar-benar amat terpengaruh oleh kata-kata yang tadi ditinggalkan oleh Lui-kongcu. Pada jaman itu, memang semua orang amat percaya akan tahyul, percaya akan siluman-siluman yang suka mendatangkan gangguan dalam kehidupan manusia, percaya pula akan dewa-dewa pelindung dan segala macam tahyul lagi.

Mendengar ucapan Lui-kongcu, ayah ini pun terkejut sekali dan sejak tadi dia sudah mengamati Siu Kwi penuh perhatian. Seorang wanita yang amat cantik, dengan pakaian mewah dan perhiasan emas permata yang mahal-mahal. Dan wanita seperti itu mau mendekati puteranya, seorang petani biasa! Dan pula, wanita itu muncul begitu tiba-tiba mengaku tak memiliki keluarga, tak memiliki rumah tinggal. Mana mungkin ini? Seorang wanita gelandangan tidak mungkin sekaya ini, apa lagi secantik ini.

Dan mengapa Yo Jin tiba-tiba saja menjadi begitu nekat membelanya sehingga anak itu bahkan berani menentang seorang putera kepala dusun? Agaknya anaknya itu sudah tergila-gila kepada siluman ini, yang tentu saja telah mempergunakan ilmunya untuk menundukkan Yo Jin.

Puteranya itu biar pun sudah berusia dua puluh lima tahun, akan tetapi dia yakin masih seorang perjaka tulen dan menurut dongeng, siluman memang suka mengubah diri menjadi seorang perempuan cantik untuk menghisap sari tenaga dari tubuh seorang perjaka! Dan menurut dongeng, seorang perjaka yang terpikat oleh siluman, akan mati kehabisan darah, bahkan keluarganya juga akan ikut tertimpa mala petaka!

Mendengar bentakan ayahnya dan kini melihat betapa ayahnya memandang dengan mata terbelalak kepada Siu Kwi, Yo Jin merasa heran. "Ada apakah, ayah?"
"Tidak boleh... nona ini tidak boleh memasuki rumah kita...!" Lalu orang tua itu menjadi sangat ketakutan ketika teringat bahwa seorang siluman amat sakti dan akan mampu membunuhnya hanya dengan pandang matanya, dan juga amat kejam.

Maka cepat dia menjura kepada Siu Kwi. "Nona, harap maafkan kami... harap suka mengasihani seorang tua seperti aku, seorang duda yang hidup berdua dengan anakku Yo Jin. Harap engkau suka memaafkan kami dan jangan... jangan menjadikan anakku korban... carilah korban lain, masih banyak terdapat perjaka di dusun ini dan dusun-dusun lainnya..."

Biar pun Yo Jin dan Siu Kwi terheran-heran mendengar ucapan yang tersendat-sendat itu, mereka berdua sudah maklum apa yang dimaksudkan oleh orang tua itu. Kakek itu menuduh Siu Kwi siluman!

"Ayah...! Jangan begitu..."
"Lopek, aku mengerti apa yang kau maksudkan. Engkau menuduh aku seorang siluman betina, bukankah begitu?" kata Siu Kwi, suaranya terdengar dingin menusuk.

Wanita ini memang marah bukan main. Gatal-gatal kedua tangannya. Dia telah diusir, bahkan dituduh seorang siluman. Kalau dulu, beberapa hari yang lalu saja, tak mungkin ia dapat mengampuni orang yang berani mengusirnya dan menuduhnya siluman. Tentu ia akan membunuh orang itu. Akan tetapi, ia kini hanya merasa marah dan juga berduka sekali. Ayah pria yang menjatuhkan hatinya kini mengusirnya dan menuduhnya siluman.

Kakek itu menjura. "Maafkan... maafkan kami..."
Siu Kwi tidak dapat menahan kesedihannya. Ia terisak lalu berlari pergi.

"Kwi-moi...! Tunggu, jangan tinggalkan aku, Kwi-moi...!" Yo Jin berteriak dan mengejar.
"Yo Jin, berhenti kau!" Ayahnya menghardik.

Selama ini Yo Jin hanya hidup berdua dengan ayahnya, maka tentu saja dia sangat menyayangi ayah ini dan mentaatinya. Kini, mendengar bentakan ayahnya, dia seperti tertahan oleh sesuatu yang sangat kuat, berhenti berlari, menoleh dan dia kemudian menjatuhkan diri berlutut.

"Ayah..., Kwi-moi...!" Dan pemuda ini pun terguling, pingsan.

Setelah mengalami pengeroyokan sampai dua kali, menerima gebukan-gebukan yang amat banyak, dan hanya sentuhan dan sikap Siu Kwi saja yang menguatkan hatinya sehingga dia dapat bertahan, sekarang dia tidak dapat menahan pukulan batin melihat ayahnya menuduh kekasihnya itu siluman dan Siu Kwi pergi meninggalkannya.....

********************
"Orang she Yo, sungguh besar sekali nyalimu! Engkau telah membiarkan anakmu yang kurang ajar itu memukul dan melukai Lui-kongcu, putera kepala dusun timur! Sungguh, engkau membikin malu aku yang menjadi kepala dusun di sini!" kata kepala dusun Tong kepada kakek Yo.

Dia menerima pengaduan dari rekannya, kepala dusun Lui dan karena merasa malu hati terhadap rekannya, maka dia cepat memanggil kakek Yo untuk datang menghadap dan menegurnya dengan keras. "Sekarang juga Yo Jin harus menyerahkan diri agar dapat kuantarkan kepada kepala dusun Lui untuk menerima hukuman!"

Tentu saja kakek Yo amat terkejut mendengar ini dan dia cepat-cepat memberi hormat. "Mohon beribu ampun dan kebijaksanaan dari Tong-thungcu," katanya. "Sesungguhnya anak saya Yo Jin sama sekali tak bersalah, akan tetapi dia terbujuk oleh siluman betina. Untung bahwa saya telah berhasil mengusir siluman betina itu dan menyelamatkan anakku dari ancaman mala petaka."

Kepala dusun itu tertegun. "Siluman...? Apa maksudmu?"

Kakek Yo lalu menceritakan tentang munculnya siluman betina yang menyamar sebagai seorang wanita cantik sehingga menjadi perebutan antara anaknya dan Lui-kongcu dan terjadi perkelahian. Akan tetapi, anaknya itu terbujuk oleh siluman dan dalam keadaan tidak sadar.

"Jika terlambat sedikit saja saya mengusir siluman itu, tentu anakku telah mati. Siluman itu sudah saya usir, dan harap Tong-thungcu suka membujuk Lui-thungcu agar supaya mengampuni anak saya yang sebenarnya tak bersalah karena berada dalam pengaruh siluman dan tidak sadar."
"Ah, jangan mencari alasan dengan cerita yang gila!" bentak kepala dusun Tong. "Siapa mau percaya omonganmu? Hayo bawa Yo Jin ke sini, ataukah aku sendiri harus ke sana untuk menangkapnya?"
"Ahhh, Tong-thungcu tidak percaya? Marilah, harap dilihat sendiri keadaan anak saya yang sampai sekarang masih belum sadar benar," kata kakek Yo.

Kepala dusun itu merasa heran dan dia pun segera mengikuti kakek Yo, dikawal oleh tiga orang anak buahnya. Setelah tiba di dalam rumah kakek Yo, kepala dusun Tong melihat sendiri betapa Yo Jin benar-benar berada dalam keadaan sakit dan tidak sadar. Pemuda itu berbaring demam dan gelisah di pembaringan di dalam kamarnya. Mukanya amat merah, tubuhnya panas dan pemuda itu mengigau, berkali-kali memanggil sebuah nama.

"Kwi-moi…! Kwi-moi…!"
"Nah, begitulah keadaannya, thungcu. Yang dipanggilnya itu adalah nama siluman itu. Maka harap Tong-thungcu suka mengasihaninya dan suka pula membujuk Lui-thungcu." Kakek Yo dengan suara mohon dikasihani meminta kebijaksanaan kepala dusun Tong sambil menyerahkan sebuah bungkusan yang terisi seluruh simpanan uangnya kepada pembesar itu.

Mula-mula kepala dusun itu berpura-pura menolaknya. Akan tetapi, melihat bahwa isi buntalan itu cukup banyak, dia pun menyuruh pengawalnya untuk menerima bungkusan itu sambil berkata, "Sebenarnya, berat bagiku untuk memenuhi permintaanmu karena aku merasa malu hati kepada rekanku, kepala dusun Lui. Akan tetapi, melihat keadaan anakmu, aku percaya dan biarlah saya akan membicarakan hal ini dengan dia."

Kakek Yo merasa girang dan berterima kasih, dan sambil membungkuk-bungkuk dia mengantar kepala dusun itu meninggalkan rumahnya sampai di luar pekarangan. Dia rela kehilangan semua simpanannya asal anaknya tidak ditangkap.....

Kakek Yo betul-betul percaya bahwa anaknya sakit akibat berdekatan dengan siluman. Hawa siluman yang menimbulkan sakit panas itu, maka dia pun mengundang seorang dukun untuk menyembuhkan puteranya.

Dukun itu seorang tosu yang suka mempelajari ilmu klenik dan sang tosu, dengan biaya yang cukup besar tentunya, segera melakukan sembahyangan di situ, menggunakan darah anjing dipercik-percikkan di empat penjuru rumah dan berkemak-kemik membaca mantera. Dengan rambut riap-riapan dan pedang di tangan dia berjalan pula mengitari rumah sampai tujuh kali putaran. Akhirnya dia meninggalkan rumah kakek Yo sambil mengantongi hadiah yang cukup banyak, juga sebungkus masakan yang lezat.

Akan tetapi, penyakit Yo Jin tidak menjadi sembuh, bahkan setelah lewat tiga hari, keadaannya menjadi semakin payah. Dan pada malam hari ke tiga itu, setelah kakek Yo tertidur nyenyak saking lelahnya, sesosok bayangan hitam berkelebat di atas genteng rumah itu. Bayangan itu melakukan pengintaian dari atas genteng, membuka genteng di atas kamar Yo Jin dan ia mendekam sambil mengintai ke dalam kamar. Dilihatnya Yo Jin rebah terlentang dengan muka merah akan tetapi kurus sekali, dan pemuda itu bergerak gelisah ke kanan kiri dengan gerakan lemah.

"Kwi-moi... Kwi-moi... janganlah tinggalkan aku... Kwi-moi..." Demikianlah dia mengigau berkali-kali, mengulang-ulang nama itu dengan bisikan-bisikan lemah.
"Ohhh...!" Bayangan itu terisak dan menangis.

Bayangan itu adalah Siu Kwi dan ia pun cepat melayang turun dan memasuki kamar Yo Jin. Ditubruknya Yo Jin dan dirangkulnya tubuh yang panas itu. Yo Jin membuka kedua matanya dan melihat wajah orang yang dirindukannya, dia pun merangkul.

"Kwi-moi...!"
"Jin-toako! Aihh... toako, kau kenapakah...?"
"Kwi-moi, tangan tinggalkan aku lagi...," pemuda itu mengeluh lemah.
"Tidak, tidak ah,... betapa bodohku telah meninggalkanmu." Ia mencium dahi pemuda itu. "Hemm, badanmu panas. Engkau demam."

Cepat Siu Kwi memeriksa keadaan Yo Jin. Wanita pandai yang banyak pengalaman ini maklum bahwa pemuda itu terserang demam karena luka-lukanya yang tidak terawat sekarang membengkak dan ia keracunan! Cepat ia bekerja, mencuci luka-luka itu dan menaruhkan obat luka yang selalu dibawanya, dan juga menyuruh Yo Jin menelan dua butir pel kuning. Setelah menelan pel, Yo Jin langsung tidur pulas dengan kepala di atas pangkuan Siu Kwi.

Siu Kwi duduk di tepi pembaringan, mengelus-elus rambut dikepala Yo Jin yang kusut. Ia memandangi wajah yang kurus itu dan tak terasa dua butir air mata menetes turun, keluar dari kedua matanya. Hatinya diliputi keharuan yang amat mendalam.

Selama tiga hari ini dia sendiri tersiksa sekali. Ia berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, mencoba untuk melupakan Yo Jin, namun tidak berhasil sama sekali. Makin dilupakan, makin teringat dan selama tiga hari ini ia hampir tidak makan dan tidak tidur sama sekali. Akhirnya, ia pun tidak kuat dan memaksa diri kembali ke dusun itu dan di saat malam telah menggelapkan dusun, ia pun mendatangi rumah pria yang dicintanya untuk menengoknya dengan diam-diam.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Yo Jin ternyata dalam keadaan sakit yang cukup payah. Dan lebih terharu lagi ketika ia mendengar igauan pemuda itu dalam sakitnya. Barulah ia tahu bahwa sepeninggalnya, Yo Jin jatuh sakit dan terus mencari-cari dan memanggil-manggilnya!

"Ahh, Jin-toako... aku cinta padamu... aku cinta padamu...," bisiknya berkali-kali dan ia mendekap kepala di pangkuannya itu seperti mendekap sebuah mustika yang takkan pernah dilepaskannya lagi.

Karena ia sendiri selama tiga hari kurang tidur, setelah kini bertemu kembali dengan Yo Jin, bahkan pemuda itu tertidur di pangkuannya, hati Siu Kwi merasa demikian tenteram sehingga ia pun memejamkan matanya, bersandar pada dinding dan dengan kepala pemuda itu masih di atas pangkuannya, ia pun tertidur pulas.

Seperti itulah keadaan mereka ketika pada esok harinya kakek Yo memasuki kamar anaknya. Dia berdiri terpukau di ambang pintu, terbelalak, bahkan sempat menggosok mata dengan punggung tangan beberapa kali seperti tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Perempuan siluman itu telah berada dalam kamar anaknya!

Agaknya kehadiran kakek ini cukup untuk membangunkan Siu Kwi. Ia lalu membuka matanya dan melihat kakek itu berdiri di ambang pintu kamar, ia segera teringat akan keadaannya. Wajahnya menjadi merah sekali dan dengan lembut ia menurunkan kepala Yo Jin dari atas pangkuannya.

"Aku... aku datang untuk mengobati Jin-toako yang ternyata terserang demam karena luka-lukanya," katanya lirih kepada kakek Yo.

Kakek Yo masih tidak mampu bersuara. Ada perasaan marah akan tetapi juga takut terhadap perempuan di depannya. Pada saat itu, Yo Jin juga terbangun.

"Kwi-moi...," keluhnya dan ketika dia membuka mata dan melihat Siu Kwi telah berada di dekat pembaringan, dia cepat menangkap tangan gadis itu. "Ahh, Kwi-moi, benarkah engkau ini? Engkau telah datang kembali?" tanyanya dengan suara gemetar.

Siu Kwi meremas tangan pemuda itu. "Aku datang untuk mengobatimu, Jin-toako."
"Ah, terima kasih, Kwi-moi. Aku sudah sembuh! Melihat engkau datang saja aku sudah sembuh sama sekali. Lihat, aku sudah bisa duduk!" Seperti seorang anak kecil yang kegirangan, pemuda itu bangkit duduk walau pun dengan tubuh yang masih lemas. Hati Siu Kwi merasa terharu bukan main.

Kakek Yo tidak dapat menyangkal bahwa anaknya benar-benar kelihatan sembuh. Akan tetapi, hal ini bahkan memperkuat dugaannya bahwa Siu Kwi tentulah seorang siluman tulen yang sengaja membuat Yo Jin sakit dan kini kembali untuk mengobati Yo Jin agar dia dapat percaya! Akan tetapi, untuk menuduh demikian, dia tidak berani. Pertama, dia pun ingin melihat anaknya sembuh dulu, dan ke dua, dia mulai merasa ngeri dan takut terhadap Siu Kwi.

"Kwi-moi, jangan kau pergi lagi, Kwi-moi...," kata Yo Jin sambil menggenggam tangan wanita itu.
"Tidak, Jin-toako. Aku kembali untuk menemanimu dan merawatmu sampai sembuh."
"Sampai sembuh dan engkau akan pergi lagi? Tidak, Kwi-moi, engkau tidak boleh pergi, selamanya, dari sampingku!" Genggaman tangan Yo Jin semakin erat seolah-olah dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau wanita itu akan pergi lagi.

Siu Kwi memandang ke arah kakek Yo. "Kalau saja Yo-lopek mau mengijinkannya."
"Ayah, biarkan Kwi-moi di sini. Aku... aku tidak dapat hidup tanpa dia, ayah!" Yo Jin berkata dengan suara lantang dan nekat.

Sikap ini sungguh membuat Siu Kwi terharu sekali dan kembali dua titik air mata runtuh dari matanya yang berlinang-linang. Pemuda ini belum pernah menyatakan cinta, akan tetapi setiap katanya, setiap pandang mata, selalu penuh dengan sinar cinta yang mendalam.

Kakek itu menghela napas dan memutar otaknya. Dia tentu saja tidak setuju, akan tetapi tidak berani mengaku terus terang di depan siluman itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berkata, "Baiklah, biar dia merawatmu sampai engkau sembuh. Setelah engkau sembuh, barulah kita bicara lagi tentang itu." Setelah berkata demikian, kakek Yo lalu meninggalkan kamar itu.

Setelah kakek itu memberi perkenan, bukan main lega dan girang rasa hati Siu Kwi. Ia melepaskan tangan Yo Jin dan berkata, "Nah, sekarang engkau harus tidur lagi. Aku akan membuatkan bubur untukmu, engkau harus makan yang banyak, selalu minum obat, dan banyak tidur..."
"Akan tetapi, aku ingin bercakap-cakap denganmu, Kwi-moi..."
"Hsshhh, belum waktunya mengobrol. Ingat, aku perawatmu dan kau harus mentaati semua permintaanku!" Ia mengangkat telunjuknya seperti orang mengancam, dengan sikap yang manja dan genit saking girang hatinya.

Yo Jin tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku akan mentaatimu dan menutup mulutku."
"Heii, jangan ditutup terus. Tidak enak jika kau kelihatan marah dan tidak mau mengajak bicara padaku."

Mereka tertawa dan di dalam suara ketawa mereka terkandung keriangan. Keadaan hatinya saja sudah merupakan obat yang amat mujarab bagi penyakit Yo Jin.

Selama tiga hari, Siu Kwi merawat Yo Jin dengan amat tekunnya. Ia juga mencucikan pakaian Yo Jin. Kakek Yo tetap tidak mau dibantunya dan bahkan tidak membolehkan Siu Kwi mencucikan pakaiannya yang kotor! Pendeknya, dia tidak mau bersentuhan dengan siluman! Segala yang dimasak oleh Siu Kwi, kakek itu tidak mau menyentuhnya juga. Dia selalu makan di luar, di rumah teman-teman atau di warung nasi selama Siu Kwi berada di rumahnya.....

********************
Selanjutnya baca
SULING NAGA : JILID-16
LihatTutupKomentar