Suling Naga Jilid 12


Di jaman para kaisar masih berkuasa, para pembesar yang bertugas mencatat sejarah, selalu hanya mencatat yang baik-baik saja tentang kaisar dan keluarganya. Kalau ada catatan sejarah yang memburukkan seorang penguasa, maka catatan itu sudah pasti dilakukan oleh pihak yang membencinya. Oleh karena itu, maka sukarlah dipercaya kebenaran catatan sejarah di dunia ini.

Seperti catatan sejarah tentang pembangunan dan tentang kebesaran kerajaan Mancu yang semakin berkembang. Akan tetapi sejarah tak mencatat betapa banyaknya korban jatuh dari pihak mereka yang menentang kaisar, baik karena urusan pribadi mau pun karena kebangkitan mereka yang merasa dijajah dan ingin menumbangkan kekuasaan Mancu.

Kalau dia sudah dinilai, setiap orang manusia, baik dia kaisar sekali pun, tentu memiliki dua macam sifat yang berlawanan, yaitu baik dan buruk, kelebihan dan kekurangannya, tentu saja bergantung kepada pendapat si penilai berdasarkan rasa suka atau tidak suka dari si penilai sendiri. Demikian pula Kaisar Kian Liong. Pada masa itu, dialah orang yang paling tinggi kedudukannya, yang paling berkuasa sehingga memburukkan namanya merupakan suatu pemberontakan dan dosa besar, dan orang yang berani melakukannya dapat saja dipenggal lehernya sebagai hukumannya. Oleh karena itu, catatan riwayat dan sejarahnya hanya yang baik-baik saja.

Betapa pun juga, orang tak mungkin menyimpan rahasia untuk selamanya. Akhirnya membocor keluar juga dari istana segala perilaku kaisar itu yang dianggap tidak patut. Di antaranya adalah hubungan kaisar di masa tuanya itu dengan Hou Seng yang tampan, yang kini semakin tinggi saja kedudukannya dan semakin besar kekuasaannya. Bahkan di luar sudah terdengar bisik-bisik bahwa Hou Seng inilah orangnya yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri dalam waktu dekat.

Dan bisik bisik atau desas-desus ini memang tidak merupakan kabar bohong begitu saja. Bukan saja Hou Seng menjadi ‘kekasih’ kaisar, akan tetapi bahkan dia telah dapat mempengaruhi kaisar hingga semua urusan dalam istana sudah dipercayakan padanya. Sekarang dialah yang menjadi orang ke dua setelah kaisar di istana itu, bahkan semua pelaksanaan peraturan dan lain-lain berada di tangannya dan kaisar hanya mendengar dan percaya akan laporan kekasih ini saja.

Ambisi merupakan racun yang sekali mencengkeram batin kita, tidak mudah untuk dilepaskan lagi. Ambisi adalah kemurkaan, seperti binatang babi, makin diberi makan, semakin kelaparan saja. Makin banyak yang didapat, semakin bertambah keinginan hati yang dicengkeram ambisi.

Demikian pula dengan Hou Seng. Dia tadinya hanya seorang tukang pikul tandu kaisar. Setelah dia diangkat menjadi kekasih kaisar dan menjadi ‘penasehat’ kaisar, berarti dia sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Namun, dia masih jauh dari pada puas karena dia melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa dia akan lebih besar lagi.

Dan untuk mencapai ambisi atau cita-citanya itu, dia tidak hanya dapat mengandalkan kepercayaan kaisar kepadanya. Terlalu banyak musuhnya yang ingin melihat dia jatuh kembali ke bawah. Banyak menteri-menteri yang tak suka kepadanya, bahkan ada yang secara halus berani memperingatkan kaisar tentang bahayanya kalau terlalu percaya kepada seseorang dan menyerahkan segala kekuasaan di tangan Hou Seng mengenai urusan dalam istana.

Hou Seng semakin cerdik dan mulai memperkuat diri. Bukan hanya dengan cara makin menempel kaisar, tetapi juga diam-diam dia mengumpulkan tenaga-tenaga yang boleh diandalkan, selain untuk mengawal dan melindungi dirinya, juga untuk melaksanakan perintah-perintah dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Beberapa orang musuhnya sudah dilenyapkan, tewas secara aneh. Tentu saja tidak aneh bagi Hou Seng. Dia telah memelihara orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kekejaman seperti iblis. Tentu saja dengan bayaran yang sangat tinggi, memberi kemewahan dan memenuhi permintaan apa saja dari orang-orang sakti itu. Juga memberi janji bahwa jika dia dapat menjadi Perdana Menteri, apa lagi kalau kelak dapat menjadi kaisar, dia tidak akan melupakan para pembantu itu dan tentu akan memberi kedudukan tinggi kepada mereka!

Pada suatu malam, dengan pengawalan ketat, Hou Seng keluar dari istana menuju ke sebuah rumah tidak jauh dari kompleks istana. Rumah ini merupakan sebuah gedung yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan nampak terjaga oleh penjaga-penjaga yang berpakaian seragam. Rumah peristirahatan ini adalah milik Hou Seng, satu di antara banyak rumah yang dimilikinya. Dia sendiri tinggal di sebuah gedung seperti istana saja mewahnya, bersama isterinya!

Benar, Hou Seng telah beristeri. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong merasa risi juga akibat banyaknya menteri yang menyindirkan hubungannya dengan Hou Seng, dan untuk menutupi atau sekedar mengurangi santernya desas-desus, dia memerintahkan kepada Hou Seng untuk menikah dengan seorang wanita dayang pilihan dari istana.

Tentu saja Hou Seng menerima perintah ini dengan hati senang. Bayangkan saja, selain memperoleh kekayaan dan kehormatan, juga dia memperoleh seorang isteri yang cantik ‘hadiah’ dari kaisar sendiri. Dengan adanya isteri, tentu dia dapat memelihara banyak selir dan kini tak perlu lagi dia bersembunyi-sembunyi kalau dia menginginkan seorang wanita. Pernikahannya itu telah berlangsung tiga tahun yang lalu dan kini dia telah mendapatkan beberapa orang anak dari isterinya dan selir-selirnya.

Kereta yang ditumpangi Hou Seng memasuki halaman rumah setelah pintu gerbangnya dibuka oleh para penjaga. Pintu gerbang lalu ditutup kembali dan nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berwajah tampan dan cerdik, bermuka halus seperti muka perempuan. Itulah Hou Seng, dengan pakaiannya yang gemerlapan. Dia seorang laki-laki pesolek, mukanya dirias dan pakaiannya mewah!

Kiranya di dalam keretanya itu bersembunyi dua orang wanita berusia kurang lebih tiga puluhan tahun, cantik dan bertubuh ramping serta gesit. Mereka ini adalah dua orang pengawal pribadi yang dapat menjadi apanya pun juga. Menjadi selir, juga pelayan atau pengawal yang melindungi keselamatannya.

Kedua orang wanita ini adalah ahli-ahli silat yang pandai dan sengaja dipilih oleh Hou Seng, bukan hanya karena kecantikan mereka semata, tetapi terutama sekali karena ketangguhan mereka melindungi keselamatannya. Oleh karena itu, dua orang pengawal pribadi ini tidak pernah meninggalkannya, ke mana pun dia pergi. Ketika Hou Seng turun dari kereta, dua orang wanita ini turun sebelum dan sesudahnya, menjaga dari depan belakang atau kanan kiri penuh kewaspadaan.

Dari pintu depan yang terbuka dari rumah gedung itu muncullah seorang nenek yang kalau orang melihatnya di tempat yang tidak begitu terang tentu akan mengiranya seorang wanita yang masih belum tua benar. Padahal nenek ini usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun!

Selain gerak-geriknya masih gesit dan sikapnya yang genit, juga mukanya memakai lapisan bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi, di samping penghitam alisnya yang sudah habis bulunya itu. Pakaiannya juga mewah dan nenek pesolek ini memegang sebatang kebutan yang gagangnya terbuat dari emas dan bulunya yang putih lemas itu tidak boleh dipandang ringan.

Itu bukan kebutan biasa pengusir lalat, melainkan sebuah senjata yang amat ampuh karena bulu-bulu kebutan itu terbuat dari bulu seekor monyet putih yang hanya terdapat di daerah Himalaya bagian barat. Menurut dongeng, monyet putih di daerah itu memiliki bulu yang amat kuat sehingga tahan bacokan, membuat monyet itu kebal! Entah benar tidaknya dongeng itu, akan tetapi yang jelas, kebutan di tangan nenek ini pun selain mampu untuk membunuh orang, juga dapat menangkis segala macam senjata tajam yang bagaimana ampuh pun tanpa putus sedikit pun.
Begitu bertemu dengan nenek yang tubuhnya masih nampak ramping dan wajahnya cantik karena dirias itu, Hou Seng memberi hormat berbareng dengan nenek itu yang juga menjura dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil memegangi kebutannya yang bulunya menjuntai ke bawah dengan lemasnya.

Nampaknya seorang nenek-nenek yang tidak berdaya saja. Akan tetapi, Hou Seng yang merupakan orang kedua setelah kaisar di dalam istana, kelihatan begitu menghormati nenek ini. Apa lagi dua orang pengawal pribadinya itu jelas memperlihatkan sikap jeri sekali ketika mereka memandang kepada nenek itu dan mengerling ke arah kebutan berbulu putih bergagang emas itu. Dalam hati mereka selalu timbul pertanyaan berapa ribu nyawa sudah yang dipaksa meninggalkan badannya oleh kebutan nenek itu, setiap kali mereka bertemu dengan Kim Hwa Nionio, demikian nama nenek itu.

Kim Hwa Nionio telah menjadi pembantu utama dari Hou Taijin (Pembesar Hou) dan memperoleh kepercayaan dari kekasih kaisar ini karena Kim Hwa Nionio telah berulang kali membuktikan kesetiaannya. Sudah ada enam orang pembesar rendahan dan dua orang pembesar tingkat menteri yang tiba-tiba saja tewas, begitu pada kemarin harinya Kim Hwa Nionio menerima perintah dari Hou Taijin untuk melenyapkannya!

Selain itu, juga Kim Hwa Nionio yang mengatur penjagaan atau pengawal-pengawal rahasia dari Hou Taijin. Pengawal-pengawal ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Nionio untuk melakukan penjagaan secara rahasia. Dan kini Kim Hwa Nionio menerima tugas yang lebih penting lagi, ialah mengumpulkan dan mengundang tenaga-tenaga yang tangguh dari para tokoh dunia hitam untuk memperkuat kedudukan Hou Taijin.

Siapakah Kim Hwa Nionio? Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar kesenangan melalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan tetapi setelah ia berhasil menguras semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nionio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya.

Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya. Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebutan itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga harus ditebus dengan nyawanya. Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nionio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersumber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi.

Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nionio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan hanya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya. Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, ia sudah mulai kehilangan kesenangan-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dari kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berhasil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.

"Selamat malam, Taijin," nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, "dan silakan masuk."

Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu mengangguk dan langsung bertanya, "Benarkah yang datang Lama itu?" Dia mencari-cari dengan pandang matanya. "Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri."

Kim Hwa Nionio mengangguk. "Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menimbulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin. Sekarang pun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Taijin."

"Baik, locianpwe, minta kepada losuhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu."

Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Nionio lalu mengundurkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa Nionio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin bersama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya. Dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu.

Para pengawal, tidak kurang dari dua belas orang, berjaga di dalam ruangan itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini. Mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi ke mana pun Hou Seng pergi.

Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nionio dan karena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka para penjaga tempat-tempat yang sedang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri.

Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pandai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nionio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepalanya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna merah kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nionio kepadanya.

Dia tahu siapa kakek ini, ialah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya bersama Kim Hwa Nionio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasehat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nionio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar sebagai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Himalaya yang sakti.

Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nionio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera memberi hormat, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil berkata dengan suara seperti berdoa, "Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan rejeki yang berlimpah-limpah!"

Hou Seng tersenyum. "Selamat datang, losuhu dan silakan duduk. Silakan, locianpwe."

Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio mengambil tempat duduk setelah nenek itu dengan isyarat tangannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruang itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada di ruang tamu kini hanyalah Hou Taijin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama.

"Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet. Saya memenuhi undangan Kim Hwa Nionio yang telah pinceng kenal baik untuk menghadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng."

Hou Seng tertawa bergelak. Hatinya senang sekali mendengar seorang kakek yang menurut Kim Hwa Nionio amat sakti ini merendahkan diri. "Ahh, tidak ada yang perlu dimaafkan karena memang saya yang minta kepada locianpwe Kim Hwa Nionio untuk mengundang losuhu. Losuhu telah melakukan perjalanan yang melelahkan dan amat jauh, untuk menyambut kedatangan losuhu, saya akan mengadakan perjamuan kecil sebagai ucapan selamat datang."

Hou Taijin mengangguk kepada Kim Hwa Nionio, memberi tanda bahwa perjamuan itu boleh dimulai. "Kita dapat bercakap-cakap setelah makan minum."

"Maafkan pinceng, taijin. Sebelum itu, pinceng juga ingin mempersembahkan sesuatu kepada taijin. Seorang gadis remaja berusia dua belas tahun yang cantik jelita sekali, yang kebetulan pinceng temukan di dalam perjalanan pinceng."

Hou Seng mengerutkan alisnya. Betapa pun juga pernyataan pendeta Lama itu agak menyinggung kehormatannya. Pendeta ini berani mengatakan akan mempersembahkan seorang gadis remaja yang ditemukannya begitu saja di tengah perjalanan?

Persembahan seperti itu merendahkan martabatnya, betapa cantik pun gadis itu, dan tidak patut untuk di ketengahkan dalam pertemuan dan perkenalan pertama sebagai suatu persembahan kehormatan.

Agaknya Kim Hwa Nionio melihat ketidak senangan hati majikannya. Iapun cepat-cepat berkata, "Hendaknya paduka maklumi bahwa gadis remaja yang dibawa oleh rekan saya Sai-cu Lama itu bukan gadis biasa, melainkan derajatnya jauh lebih tinggi dari pada seluruh wanita yang telah paduka miliki. Ia itu adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es yang terkenal itu!"
"Ahhh...!" Wajah pembesar itu berseri bangga dan matanya terbelalak. "Bukan main kalau begitu! Lekas bawa ke sini, saya ingin melihatnya!"

Kim Hwa Nionio memberi isyarat dengan tepuk tangan lima kali. Tidak lama kemudian pintu sebelah kanan ruangan tamu itu terbuka dan masuklah dua orang pengawal bertubuh tinggi besar. Di antara mereka terdapat Suma Lian, yang mereka pegang pada pangkal lengannya dari kanan kiri dan mereka jinjing. Kaki dan tangan gadis cilik itu terbelenggu!

Jelaslah bahwa Suma Lian tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi sepasang matanya hidup, bersinar penuh keangkuhan dan kemarahan, berdiri tegak ia ketika dilepas oleh kedua orang yang segera memberi hormat lalu meninggalkan lagi ruangan itu dan menutupkan pintunya dari luar. Pandang mata gadis cilik itu ditujukan kepada Sai-cu Lama dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian.

Seperti kita ketahui, ketika Sai-cu Lama kewalahan juga karena sambil menggendong gadis cilik itu dia menghadapi pengeroyokan nenek Teng Siang In yang masih nekat walau pun sudah terluka dan Hong Beng, pemuda ini berhasil membebaskan totokan dari tubuh Sama Lian dengan sambitan kerikil.

Dan setelah terbebas dari totokan, diam-diam Suma Lian mengambil tusuk konde atau hiasan rambutnya yang runcing dan menancapkan benda kecil itu di tengkuk Sai-cu Lama. Kalau saja ia tidak merasa ngeri melihat muncratnya darah dari tengkuk itu sehingga mengakibatkan tangannya lemas, tentu tusukannya itu akan lebih dalam lagi dan andai kata tidak sampai menewaskan kakek itu pun tentu akan mengakibatkan luka yang cukup berat.

Sai-cu Lama terkejut, kesakitan dan berhasil menampar gadis itu pingsan, kemudian melarikan diri sambil tetap membawa tubuh Suma Lian dan tengkuk yang bercucuran darah! Dia tahu bahwa kalau sampai keluarga Suma mengetahui tentu dia akan dikejar dan beratlah rasanya menghadapi mereka tanpa bantuan.

Dia berlari terus dengan cepat, akan tetapi dia cerdik. Setelah keluar dari pintu gerbang utama, dia lalu mengitari tembok dusun menuju ke selatan, kemudian membelok ke timur memasuki hutan lebat. Jejaknya hilang dan suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran ke utara terus karena ada yang melihat pendeta itu lari keluar dari pintu gerbang utara.

Luka di tengkuknya hanya mengeluarkan darah, namun tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa benda yang menancap di tengkuknya, dia terkejut. Benda itu tentu akan dapat menancap lebih dalam lagi, pikirnya. Akan tetapi kenapa tidak? Padahal, seorang gadis biar pun baru berusia dua belas tahun seperti anak ini, tentu mampu menusuk lebih kuat. Mengapa gadis cilik ini tidak menusuknya lebih kuat? Pikiran ini membuat kemarahannya berkurang terhadap Suma Lian.

Ia menurunkan tubuh Suma Lian, lalu demi keamanan, membelenggu kaki tangan gadis itu dengan tali pengikat yang kuat. Baru dia menotoknya beberapa kali dan membuatnya sadar kembali. Begitu sadar, Suma Lian meronta, akan tetapi tak mampu melepaskan ikatan kaki tangannya dan ia hanya memandang dengan mata melotot.

"Kau manusia busuk, manusia jahat!" bentaknya.

Sai-cu Lama tertawa. "Ha-ha-ha, anak baik. Jika aku manusia busuk dan jahat, kenapa engkau tak jadi membunuhku? Kenapa tusukanmu pada tengkukku itu hanya setengah tenaga saja, tidak sungguh-sungguh?" katanya sambil mengeluarkan obat bubuk dan menempelkan obat itu kepada luka kecil di tengkuknya yang segera mengering.

"Padahal, benda ini runcing dan keras, dengan sedikit tenaga saja tengkukku pasti bisa ditembus!" katanya dan sekali menggerakkan tangan, perlahan-lahan dia menusukkan tusuk sanggul itu ke dalam sebatang pohon. Benda kecil itu langsung amblas sampai tak nampak lagi!

"Huh, sayang aku menjadi tidak sampai hati melihat darah muncrat, dan aku merasa malu harus berbuat curang. Kalau tidak, engkau tentu sudah mati dan aku terbebas!" kata Suma Lian, sekarang baru merasa menyesal mengapa ia tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya dan mengeraskan hatinya saja.

"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Engkau seorang gadis manis yang baik hati. Ha-ha-ha, dan karena itulah engkau sampai sekarang masih hidup. Jika engkau menusuk lebih keras, sebelum mati tentu tamparanku akan meremukkan kepalamu tadi. Dan sekarang pun, karena kebaikan hatimu itu, aku tidak akan membunuhmu, tidak, aku malah membuat engkau hidup mulia. Mari...!" Dengan tangan kirinya dia menyambar tubuh gadis cilik itu dan dipanggulnya lalu dibawa lari.

"Lepaskan aku! Lepaskan...!" Suma Lian meronta dan menjerit, akan tetapi pendeta Lama itu menggunakan jari tangan menekan tengkuknya dan dia pun tidak mampu lagi mengeluarkan suara.

Demikianlah, Sai-cu Lama membawa Suma Lian ke kota raja. Di dalam perjalanan itu, dia menyembunyikan tubuh yang sudah dibelenggu dan ditotoknya itu ke dalam sebuah kantung kain yang diberi lubang-lubang untuk pernapasan gadis itu, dan sekali-sekali, dia harus memaksa gadis itu untuk makan, dengan membuka mulut gadis itu dan menuangkan bubur ke dalam perutnya. Tanpa paksaan, Suma Lian yang keras hati itu tidak mau makan atau minum!

Setelah tiba di gedung tempat tinggal Hou Taijin yang menjadi sarang Kim Hwa Nionio yang menghubunginya, Sai-cu Lama disambut dengan girang oleh Kim Hwa Nionio, apa lagi saat temannya itu memberi tahukan bahwa gadis cilik yang ditawannya adalah keturunan para pendekar Pulau Es. Para datuk sesat memang selalu memusuhi para pendekar, terutama sekali keturunan keluarga Pulau Es sejak dahulu, semenjak nenek moyang mereka, telah menjadi musuh besar yang harus selalu ditentang.

"Bagus, tentu Hou Taijin akan suka sekali!" serunya. "Atau kalau tidak, hemmm... anak ini bertulang baik, bagaimana kalau ia menjadi muridku saja?"
"Ha-ha-ha, sungguh serupa benar jalan pikiran kita," kata Sai-cu Lama. "Aku pun sudah mempunyai pikiran demikian. Amat bangga kalau kita dapat memiliki murid keturunan para pendekar Pulau Es, kita didik sedemikian rupa sehingga kelak dia menjadi tokoh dari golongan kita yang memusuhi para pendekar. H-ha-ha!"
"Bagus! Aku pun ingin terbawa namaku dalam jasa itu. Bagaimana kalau kita didik anak itu bersama-sama?"
"Omitohud, usia tuamu sama sekali tidak menghilangkan kecerdikanmu, seperti tidak pula melenyapkan kecantikanmu, Kim Hwa Nionio!" Sai-cu Lama memuji.

Keduanya lalu membuat persiapan untuk memberi laporan kepada Hou Taijin bahwa tamu dari Tibet yang diundang telah tiba. Dan seperti kita ketahui, Hou Taijin demikian girang mendengar ini sehingga dia datang sendiri demi untuk menemui tamu itu dan mengenalnya sendiri karena oleh Kim Hwa Nionio sudah diceritakan bahwa tamu yang berjuluk Sai-cu Lama dari Tibet ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan tidak kalah oleh Kim Hwa Nionio sendiri, demikian kata nenek itu.

"Omitohud..., anak baik, engkau sedang menghadap Hou Taijin, harus berlutut memberi hormat!" kata Sai-cu Lama.

Akan tetapi Suma Lian tetap berdiri dengan mata melotot, sedikit pun tidak takut dan ketika ia memandang kepada orang berpakaian mewah yang duduk di depan pendeta Lama itu, matanya memandang penuh selidik. Mata anak ini demikian tajam sehingga hati pembesar itu merasa kecut juga. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara dua orang selir yang menjadi pengawalnya itu berbisik dekat telinganya.

"Taijin harus bersikap baik kepadanya, dan suruh membebaskan ikatan kaki tangannya, agar ia mudah dijinakkan."

Hou Taijin mengangguk-angguk, kemudian sambil memandang kepada gadis cilik itu, ia berkata, "Losuhu, kasihan sekali puteri kecil ini dibelenggu. Harap lepaskan belenggu kaki tangannya!"
"Taijin, biar pun masih kecil, ia sudah lihai dan berbahaya, juga liar seperti seekor kuda binal!"
"Sai-cu Lama, perintah Taijin harus kita laksanakan tanpa membantah." Tiba-tiba Kim Hwa Nionio memperingatkan temannya yang belum tahu akan watak Hou Taijin yang tidak mau dibantah.

Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk dan cepat dia menghampiri Suma Lian yang berdiri tegak. Untuk mendemonstrasikan kelihaiannya, dengan jari-jari tangan, ringan sekali gerakannya dia membikin putus semua tali, seolah-olah tali-tali itu hanya sehelai benang saja!
"Adik yang baik, ke sinilah dan jangan takut. Kami tidak akan menyusahkanmu lagi," berkata Hou Seng.

Memang orang ini pandai sekali bersandiwara. Dan mendengar suaranya yang lemah lembut, serta melihat wajahnya yang kini memperlihatkan kesungguhan dan keramahan, Suma Lian mulai percaya bahwa orang itu tentu memiliki niat yang baik terhadap dirinya.

Ia memang tidak mendengarkan apa yang dipercakapkan oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio bahwa dirinya akan diberikan kepada pembesar Hou Seng untuk dijadikan selir! Maka, mengingat bahwa ia berhadapan dengan seorang pembesar di kota raja, seperti yang didengarnya tadi dari para pengawal bahwa ia akan dihadapkan kepada seorang pembesar istana kota raja, ia lalu menjatuhkan diri berlutut.

Memang selain belajar ilmu silat tinggi, Suma Lian diajar tentang ilmu baca tulis, juga tentang kesopanan sehingga ia mampu bersikap semestinya ketika berhadapan dengan seorang pembesar, apa lagi jika mengingat bahwa pembesar ini bersikap baik, bahkan telah menolongnya dari belenggu.

"Taijin, harap paduka suka mengirim saya untuk kembali ke rumah orang tua saya, atau membiarkan saya pergi dari sini. Dan untuk budi ini saya Suma Lian tidak akan pernah melupakanmu."

Kembali terdengar bisik-bisik dari seorang selir di belakangnya. Hou Seng mengangguk-angguk lagi. "Nona Suma Lian, membiarkan engkau pergi seorang diri sungguh amat berbahaya. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa atas dirimu? Berarti aku harus ikut bertanggung jawab. Sai-cu Lama telah menyerahkan engkau kepadaku, berarti akulah yang sekarang melindungimu. Jangan khawatir, sekali waktu pasti aku akan mengantar engkau kembali ke tempat tinggalmu, akan tetapi sementara ini, selagi aku masih sibuk, biarlah engkau tinggal di sini bersama Kim Hwa Nionio. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan memberontak atau mencoba untuk melarikan diri."

Suma Lian adalah seorang anak yang cerdik. Jika tadi ia memperlihatkan sikap marah, itu adalah karena Sai-cu Lama selalu bersikap keras kepadanya dan ia membenci pendeta yang menculiknya itu. Sekarang ia melihat bahwa tidak ada pilihan lain baginya kecuali mentaati perintah pembesar ini, kalau ia tidak ingin diperlakukan kasar lagi.

Ia mengerti bahwa ia menjadi semacam tahanan. Akan tetapi jauh lebih baik tertahan dalam keadaan bebas dari pada dibelenggu terus atau disekap terus di dalam kamar tahanan. Dalam keadaan bebas, tentu akan banyak kesempatan terbuka baginya untuk melarikan diri!

"Baiklah Taijin, saya berjanji tidak akan memberontak dan terima kasih atas kebaikan Taijin."
"Locianpwe," berkata Hou Taijin dengan suara halus kepada Kim Hwa Nionio, "harap locianpwe atur dan serahkan adik ini kepada para pengasuh lebih dulu, sediakan kamar yang baik, pakaian yang cukup dan makan yang enak, setelah itu kami masih menanti locianpwe di sini untuk mengadakan perundingan lebih lanjut."
"Baik, Taijin." Kim Hwa Nionio lalu menggandeng tangan Suma Lian. "Nah, kalau sejak kemarin engkau tidak memberontak, tentu kami sudah memperlakukan engkau dengan baik. Marilah, anak manis."

Kalau saja Sai-cu Lama yang menggandengnya, biar pun kini ia tidak memberontak lagi, Suma Lian tentu tidak akan mau. Akan tetapi ia tidak membenci nenek ini walau pun ia juga tidak menyukainya, dan ia pun menurut saja ketika digandeng dan hendak diajak keluar dari ruangan itu.

Setelah menyerahkan Suma Lian kepada para pembantunya agar anak itu memperoleh rawatan yang baik dan sekali-kali tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi diam-diam Kim Hwa Nionio memerintahkan anak buahnya untuk mengamati anak itu baik-baik dan menjaganya supaya ia tidak sampai melarikan diri dari situ, nenek itu lalu kembali ke ruangan tamu.

"Locianpwe berdua, kami menerima dengan gembira anak keluarga Suma itu, tetapi untuk sementara saya titipkan dahulu ia di sini. Terutama locianpwe Kim Hwa Nionio harap dapat menjaganya baik-baik karena sekali waktu tentu ia akan kubawa ke istana. Jangan sampai ia kekurangan sesuatu dan jangan sampai melarikan diri. Akan tetapi, harap rahasiakan tempat persembunyiannya dari orang luar. Mengertikah, locianpwe?"

Kim Hwa Nionio mengangguk-angguk. "Baik Taijin. Saya sendiri yang akan menjaga anak itu."

Wajah pembesar itu nampak lega dan dia pun berkata gembira. "Sekarang, harap keluarkan hidangan dan hiburan untuk menjamu Losuhu dari Tibet sebagai sambutan selamat datang dari kami."

Kim Hwa Nionio bertepuk tangan beberapa kali sebagai perintah dan pintu pun terbuka. Beberapa orang pelayan, laki-laki dan wanita, kesemuanya muda-muda dan berpakaian bersih, yang pria tampan dan wanita cantik, masuk dengan sikap gesit dan terlatih baik. Mereka kemudian mengatur masakan-masakan di atas meja dan bagaikan sekumpulan burung dara delapan orang pelayan ini pulang pergi mengambil masakan-masakan dari dapur dan ruangan itu pun menjadi sedap baunya oleh uap masakan-masakan yang masih panas itu.

Rombongan ini disusul oleh rombongan tari dan nyanyi yang terdiri dari dua orang wanita dan empat orang laki-laki. Mereka mengenakan pakaian seniman yang beraneka warna sambil membawa alat-alat musik mereka. Muka mereka, baik yang laki-laki mau pun yang perempuan, dirias dengan bedak tebal dan gincu hingga hampir menyerupai kedok-kedok.

"Taijin, rombongan seni ini sengaja saya undang dari kota raja," kata Kim Hwa Nionio memperkenalkan enam orang itu.

Hou Sen mengangguk-angguk. "Bagus, bagus, kalau permainan kalian malam ini amat memuaskan, tentu kami akan memberi hadiah yang besar."

Enam orang itu berlutut menghadap pembesar itu, tetapi sebelum mereka menjawab, dari pintu yang terbuka itu menerobos masuk sepuluh orang pengawal anak buah Kim Hwa Nionio dan muka mereka memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang hebat telah terjadi. Melihat mereka masuk begitu saja tanpa dipanggil, berkerut sepasang alis Kim Hwa Nionio.

"Kalian ada laporan apa?" bentaknya marah.

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan menjadi komandan regu itu, melangkah maju dan dengan sikap gugup dia menuding ke arah enam orang seniman yang masih berlutut di situ. "Mereka... mereka ini... palsu! Mereka membunuh enam orang rombongan seniman dari kota raja dan mereka menyamar..."
"Apa...?" Hou Taijin membentak dan dengan wajah berubah pucat memandang kepada enam orang seniman palsu itu. "Siapa kalian dan mau apa datang ke sini?"
"Mau membunuh kau laki-laki cabul!" Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak dan serentak dua orang wanita dan empat orang laki-laki itu sudah mencabut keluar pedang masing-masing yang tadi disembunyikan bersama alat-alat musik dan pakaian!

Akan tetapi, belasan orang pengawal sudah mengepung mereka itu sehingga mereka tidak dapat menyerang Hou Seng yang oleh Kim Hwa Nionio lalu dibawa ke pinggir dan dilindunginya. Sedangkan Sai-cu Lama hanya memandang dengan sikap tenang saja, malah dia menyambar seguci arak dan mulai minum-minum melihat betapa belasan orang pengawal itu mulai mengeroyok enam orang musuh untuk menangkap mereka, hidup atau mati.

Akan tetapi, ternyata enam orang itu lihai sekali ilmu pedang mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja, enam orang pengawal sudah roboh tertusuk atau terbacok pedang! Hal ini membuat Hou Taijin menjadi ketakutan, akan tetapi Kim Hwa Nionio menenangkannya.

"Jangan khawatir, Taijin, ada saya di sini," kemudian ia berkata kepada Sai-cu Lama. "Lama, apakah engkau masih mau enak-enak minum arak saja sekarang? Taijin sudah tak sabar lagi untuk melihat kemampuanmu!"

Sai-cu Lama lalu bangkit dan menghampiri arena perkelahian, kemudian dari mulutnya menyemburkan arak yang menderas bagaikan hujan. Akan tetapi yang membuat semua orang yang sedang bertempur itu, baik para pengawal mau pun enam orang penyerbu, terpaksa mundur adalah karena mereka tidak dapat membuka mata terhadap serangan percikan arak yang begitu kuat dan seperti dapat menusuk kulit muka!

"Para pengawal, mundurlah dan bawa pergi teman-temanmu yang terluka keluar dari sini, agar gerakan pinceng tidak terhalang!" kata kakek gendut itu tenang-tenang saja.

Para pengawal lalu menolong enam orang kawan mereka yang terluka, membawa mereka keluar dari ruangan tamu yang amat luas itu. Kini kakek itu menghampiri enam orang seniman yang ternyata adalah orang-orang yang datang untuk membunuh Hou Taijin.

"Kalian sudah bosan hidup dan datang hanya untuk mengantar nyawa. Hayo berlutut agar pinceng dapat membunuh kalian tanpa menyiksa lagi."

Tentu saja enam orang itu menjadi marah. Dengan semburan arak tadi pun mereka sudah tahu bahwa pendeta gendut ini lihai sekali. Akan tetapi karena mereka berenam dan mereka juga berada di dalam sarang musuh, mereka menjadi nekat dan serentak mereka maju menyerang Sai-cu Lama yang berdiri menantang. Enam batang pedang dengan gerakan cepat sekali meluncur atau melayang ke arah tubuh gendut itu dari segala jurusan.

Enam orang itu jelas bukan orang sembarangan karena sekali bentrok saja mereka masing-masing telah mampu merobohkan seorang pengeroyok dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka cukup cepat dan kuat. Akan tetapi, yang mereka serang saat itu adaiah Sai-cu Lama, orang yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari mereka.

Dari gerakan mereka tadi saja Sai-cu Lama sudah tahu bahwa enam orang itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat. Kalau dia menghendaki, dalam beberapa gebrakan saja dia mampu untuk merobohkan enam orang lawannya.

Akan tetapi, di situ terdapat Hou Seng, pembesar yang berkuasa di istana itu dan dia ingin memperlihatkan kepandaiannya. Maka, begitu melihat datangnya tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan, ia sengaja memperlihatkan kekebalannya. Dengan kedua lengan tangan telanjang, ia menangkisi semua serangan itu, bahkan tusukan sebatang pedang dari belakang dan bacokan pedang dari kiri yang mengenai punggung dan lehernya, dia sengaja diamkan saja tanpa ditangkis.

Terdengar suara bak-bik-buk dan semua senjata itu terpental begitu terkena tangkisan lengannya mau pun yang mengenai punggung dan lehernya, tanpa sedikit pun melukai kulitnya, kecuali merobek bajunya di bagian punggung!

Tentu saja Hou Seng kagum bukan main, sebaliknya enam orang penyerang itu terkejut setengah mati. Tak mereka sangka bahwa di situ hadir seorang pendeta Lama yang demikian lihainya. Akan tetapi, untuk melarikan diri sama sekali tidak mungkin karena tempat itu dijaga oleh banyak sekali pengawal. Mereka menjadi nekat dan sekarang menyerang kembali dengan pedang mereka, hanya kini menujukan serangan mereka ke arah bagian-bagian tubuh yang kiranya tidak dapat dilindungi kekebalan, terutama di bagian mata.

Menghadapi serangan ini, Sai-cu Lama tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalian ini kumpulan tikus-tikus kecil berani bermain gila di depan seekor harimau!"

Kaki tangannya bergerak dengan aneh sambil dibarengi bentakan-bentakannya yang melumpuhkan dan dalam waktu singkat saja lima dari enam orang penyerbu itu telah roboh tewas. Dan yang ke enam, yang wanita dan usianya sekitar tiga puluh tahun, berwajah cantik, sudah ditangkapnya! Wanita itu terpaksa melepaskan pedangnya dan kini tertotok roboh tak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya lumpuh.

"Ha-ha-ha, apakah Hou Taijin ingin melihat bagaimana macamnya orang ini di balik pakaiannya?"

Dan sekali tangannya bergerak, terdengar kain robek dan pakaian bagian depan dari wanita itu telah dirobek lepas! Nampak tubuhnya yang lumayan mulusnya, dan wanita itu hanya mampu merintih namun tidak mampu bergerak untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bagian depannya itu.

"Nanti dulu, jangan bunuh orang ini. Kita harus tahu siapa yaag menyuruh mereka!" Tiba-tiba Hou Taijin berseru keras.

Dalam keadaan seperti itu, mana dia tertarik melihat tubuh wanita telanjang? Lagi pula, wanita itu sudah terlalu tua untuknya. Bagi pembesar istana ini, usia wanita lewat lima belas tahun sudah terlalu tua!

Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk-angguk dan tertawa, dia maklum apa yang dikehendaki oleh Hou Taijin. "He-heh-heh, tikus betina, kau sudah mendengar sendiri ucapan Hou Taijin. Hayo katakan, siapa yang mengutus kalian berusaha membunuh Hou Taijin? Hayo cepat katakan, jika tidak aku akan mengerat tubuhmu sepotong demi sepotong, tidak sampai kau mati, tetapi akan membuat engkau hidup sebagai seorang yang tanpa batang hidung, tanpa daun telinga, tanpa jari tangan dan kaki!"

Wanita itu memang maklum bahwa ia sudah tidak berdaya. Mendengar ancaman itu, ia bergidik. Dia tidak dapat membayangkan betapa ngeri dan sengsaranya dibiarkan hidup dalam keadaan cacad seperti itu. Lebih baik dibunuh saja! Dan ia pun tahu bahwa seorang sakti dan kejam seperti pendeta Lama ini tentu akan memenuhi gertakannya tadi. Maka, dengan lirih dan suara gemetar ia pun membuat pengakuan.

"Yang mengutus kami adalah... adalah... Pangeran Cui..."
"Apa? Pangeran Cui yang mana? Yang tua atau yang muda?"
"Pangeran... Cui muda..."
"Keparat!" bentak Hou Seng sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke atas telapak tangan kirinya sendiri. Wajahnya berubah merah dan dia marah sekali.

Pangeran Cui muda itu adalah seorang pangeran yang menjadi keponakan kaisar, dan termasuk seorang di antara mereka yang tidak suka kepadanya. Meski di dalam sebuah pesta yang diadakan pangeran muda Cui pernah menghinanya dengan sindiran dengan bercerita tentang kehidupannya sebagai selir pria kaisar, namun dia menahan dirinya.

Pangeran muda Cui itu bukan merupakan lawan yang membahayakan kedudukannya, karena itu tiada artinya memperbesar permusuhan dengannya, tidak menguntungkan. Akan tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa agaknya pangeran muda itu demikian benci kepadanya sehingga diam-diam mengutus enam orang jagoan untuk membunuhnya!

"Losuhu, jika losuhu bisa membawa kepala pangeran Cui muda kepadaku, barulah aku percaya akan kesetiaan losuhu kepadaku!" Setelah berkata demikian, dengan tergesa-gesa Hou Seng meninggalkan rumah itu, pulang ke rumah sendiri dengan keretanya, dikawal dengan ketat oleh anak buah Kim Hwa Nionio.
"Celaka, di mana anak setan itu?" Tiba-tiba Kim Hwa Nionio berteriak.

Ia telah kehilangan Suma Lian! Tadi, ketika ia melindungi Hou Taijin, ia lupa kepada anak perempuan itu. Kini, setelah Hou Seng pergi, baru ia teringat akan Suma Lian dan setelah mengatur anak buahnya untuk mengawal Hou Seng dengan ketat, ia kemudian mencari dan memaki-maki karena kehilangan anak perempuan itu.

"Ia, takkan mampu lari jauh, Nionio. Sebaiknya engkau membantuku, apa yang harus kulakukan dengan perempuan ini dan bagaimana aku dapat memenuhi permintaan Hou Taijin tadi!? kata Sai-cu Lama sambil memandang kepada wanita yang masih terlentang di atas lantai itu. "Kubunuh saja dia ini?" Dia menuding ke arah tubuh wanita itu.

"Enam orang anak buahku terluka oleh mereka. Lemparkan ia untuk enam orang anak buahku yang terluka. Kemudian kita rundingkan mengenai perintah tadi. Biar kubawa sendiri perempuan ini!" Kim Hwa Nionio lalu menjambak rambut yang terlepas dari sanggulnya itu, sekali renggut saja tubuh yang lemas itu bangkit berdiri dan Kim Hwa Nionio membentak penuh ancaman, "Hayo katakan siapa nama pemimpin rombongan kalian dan yang mana dia?”

Perempuan yang sudah sangat ketakutan itu hanya bisa memandang dengan sepasang matanya yang terbelalak ketakutan ke arah seorang di antara mereka yang berjenggot panjang dan bertubuh tinggi kurus dan yang sudah menggeletak dengan nyawa putus. "Dia... dialah pemimpin dan toako kami, bernama...Ban Leng..."

"Nah, Sai-cu Lama, lekas kau ambil kepalanya dan bawa dalam bungkusan. Aku akan mengantar dulu perempuan ini!"

Kim Hwa Nionio pergi sambil menyeret perempuan itu. Dia menengok enam orang anak buahnya yang tadi terluka oleh pedang dan ia melemparkan perempuan itu di antara mereka yang masih rebah. "Nih, untuk obat jerih payah kalian!"

Lalu ia meninggalkan perempuan itu di dalam kamar. Telinganya masih menangkap jerit rintih perempuan itu di antara suara ketawa orang-orangnya, dan dia pun tersenyum sadis. Sadissss.....

Ketika ia kembali ke ruangan tamu, Sai-cu Lama telah membungkus kepala si jenggot panjang dengan kain, setelah memenggal leher mayat itu dengan pedang rampasan. Kim Hwa Nionio memerintahkan orang-orangnya untuk membawa pergi mayat-mayat itu dan membersihkan ruang tamu, sedangkan ia sendiri kemudian mengajak Sai-cu Lama berunding di kamarnya.

Dan malam itu juga, keduanya pergi meninggalkan rumah besar itu. Sai-cu Lama pergi membawa buntalan besar, sedangkan Kim Hwa Nionio bersama lima orang pembantu pilihan pergi mencari Suma Lian. Dia percaya bahwa tidak mungkin Suma Lian dapat meninggalkan kota raja pada malam hari itu. Anak itu tentu masih berada di kota raja, bersembunyi di suatu tempat.

Malam sudah menjelang pagi ketika sesosok tubuh yang tinggi besar berperut gendut memasuki halaman sebuah rumah mungil berwarna merah. Dua orang penjaga segera keluar dari pintu gerbang, menghadang pendeta yang berperut gendut dan membawa buntalan besar itu. Rumah itu adalah rumah pelesir, tidak mungkin seorang pendeta datang ke situ untuk mencari perempuan! Apa lagi pada saat seperti itu!

"Heiii, tahan dulu. Siapa kau dan mau mencari siapa? Kami rasa engkau telah keliru masuk rumah orang!"

Pendeta itu menggelengkan kepala. "Salah masuk? Bukankah ini rumah pelesir Pintu Merah? Dan bukankah Pangeran Cui Muda berada di sini?"

Dua orang itu adalah pengawal-pengawal pangeran itu yang bertugas jaga di luar, sedangkan kawan-kawan mereka bertugas jaga di dalam. Mereka sedang kesepian, mengantuk dan kedinginan. Kini mereka merasa beruntung ada sesuatu yang penting dapat mereka sampaikan paling dulu kepada sang pangeran.

"Ehhh? Bagaimana kau menyangka seorang pangeran berada di tempat ini? Jangan bicara sembarangan, losuhu!" kata seorang di antara mereka ketika kini Sai-cu Lama berdiri di bawah sinar lampu sehingga mereka berdua dapat melihat jelas bahwa dia adalah seorang pendeta.
"Dari siapa engkau bisa mengatakan bahwa Pangeran Cui Muda berada di sini?" tanya seorang ke dua.

"Janganlah mencurigai pinceng, kawan-kawan. Pinceng adalah sahabat baik dari Ban Leng, dan pinceng datang ke sini karena diutus oleh Ban Leng. Dia sendiri bersama kawan-kawannya tak mungkin datang karena harus bersembunyi dan mereka tidak ingin diketahui orang lain saat datang menghadap sang pangeran, oleh karena itu mengutus pinceng agar tidak menimbulkan kecurigaan. Siapa akan mencurigai seorang pendeta? Ha-ha-ha! Tolong laporkan kepada Pangeran Cui Muda bahwa pinceng Tiong Hwesio utusan Ban Leng datang mohon menghadap untuk menyampaikan berita tentang enam orang seniman yang menyerbu musuh!"

Tentu saja dua orang pengawal itu mengenal baik siapa Ban Leng itu. Kepala dari enam jagoan yang dipercaya oleh pangeran. Oleh karena itu, seorang di antara mereka lalu cepat melapor ke dalam dan para kepala pengawal yang mengerti akan pentingnya urusan, lalu memberanikan diri menggugah sang pangeran dari tidurnya.

Pangeran Cui Muda, seperti para bangsawan pada waktu itu, juga merupakan seorang bangsawan muda yang suka pelesir. Isteri dan selir-selirnya yang berjumlah lebih dari dua belas orang di rumah itu agaknya mulai membosankannya dan kadang-kadang dia pergi mengunjungi rumah-rumah pelesir untuk menikmati pengalaman-pengalaman baru dengan pelacur-pelacur yang tentu saja lebih pandai dalam hal melayani kaum pria dibandingkan dengan selir-selirnya.

Malam itu memang dia sengaja memilih Pintu Merah, rumah pelesir kaum bangsawan untuk menjadi tempat dia menantikan Ban Leng dan kawan-kawannya yang diutusnya untuk membunuh Hou Seng! Begitu para penyelidiknya memberi kabar bahwa malam itu Hou Seng memanggil serombongan seniman untuk menghibur tamu, dia lalu cepat menyuruh Ban Leng dan saudara-saudaranya untuk bertindak.

Ban Leng dan lima orang saudara seperguruannya memang terkenal sebagai jagoan-jagoan dan pembunuh-pembunuh bayaran kelas tinggi yang sudah lama dipercaya dan diperalat oleh Pangeran Cui Muda. Mereka lalu mencegat rombongan seniman itu, dan membunuh serta menyamar menggantikan kedudukan mereka sampai mereka berhasil berhadapan dengan Hou Seng! Akan tetapi mereka salah perhitungan, sama sekali tidak tahu bahwa di rumah itu terdapat orang-orang sakti seperti Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama!

Karena sudah berjanji untuk menanti Ban Leng dan kawan-kawannya di tempat itu, ketika dia digugah dan diberi tahu bahwa seorang yang diutus oleh Ban Leng mohon menghadap, sang pangeran menjadi girang dan cepat menyuruh para pengawalnya yang berjumlah tujuh orang itu untuk membawa utusan Ban Leng itu segera menghadap kepadanya.

Ketika pendeta Lama yang tinggi besar berperut gendut itu menghadap Pangeran Cui Muda, mereka saling pandang penuh selidik dan sang pangeran merasa agak heran, sama sekali tidak mengira bahwa utusan Ban Leng itu adalah seorang pendeta hwesio Lama yang belum pernah dilihatnya.

"Siapakah losuhu ini? Benarkah engkau disuruh oleh Ban Leng?" tanya pangeran itu dengan alis berkerut dan memandang ke arah buntalan yang berada di atas pundak pendeta itu.
"Pinceng adalah hwesio Tiong yang diutus Ban Leng untuk menyerahkan kepala... ehh, sebelum pinceng melanjutkan, benarkah pinceng sedang berhadapan dengan Pangeran Cui Muda?"
"Akulah Pangeran Cui Muda! Ban Leng mengutusmu menyerahkan sebuah kepala? Apakah mereka telah berhasil?" tanya pangeran itu dengan wajah gembira bercampur tegang.

Para pengawal yang mendengar percakapan itu juga merasa tegang. Mereka semua mendekat, mengepung hwesio itu untuk melihat kepala siapa yang akan di haturkan itu.

Sai-cu Lama tertawa. "Mereka selamat... ha-ha-ha, inilah kiriman dari Ban Leng untuk paduka, Pangeran Cui!"

Dan dia pun membuka buntalan itu perlahan-lahan di depan sang pangeran dan anak buah pengawal. Perlahan-lahan, sebuah kepala nampak dan ketika buntalan itu sudah terbuka semua, nampak sebuah kepala yang tengadah dan terdengar pangeran itu berteriak kaget karena dia segera mengenal bahwa kepala itu adalah kepala dari Ban Leng sendiri! Juga para pengawal berteriak kaget.

"Pegang orang ini!" Sang pangeran berseru keras.

Para pengawal sudah mengepung Sai-cu Lama yang kini tertawa bergelak. Ketika tujuh orang itu dibarengi oleh jerit ketakutan beberapa orang wanita pelacur yang mencoba untuk mengintai dan mereka melihat kepala yang berlumuran darah, menyerang ganas, Sai-cu Lama lalu menggerakkan kaki tangannya dan tujuh orang pengawal itu seperti daun-daun kering tertiup angin saja, berpelantingan ke sana-sini!

"Heh-heh, perlahan dulu, pangeran!" Sai-cu Lama menggerak-gerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pangeran itu seperti orang melambai dan memanggil dan.... tubuh pangeran yang sudah sampai ke pintu itu terjengkang dan bergulingan sampai ke depan kaki Sai-cu Lama!

Pada saat itu, seorang pengawal yang dapat bangkit kembali dan melihat majikannya terancam, sudah menggerakkan goloknya menyerang dengan bacokan ke arah leher pendeta Lama itu. Akan tetapi, gerakan golok itu terhenti di tengah udara ketika tiba-tiba kaki Sai-cu Lama meluncur ke depan, mengenai lambungnya. Orang itu memekik keras, goloknya terlempar ke atas dan ketika meluncur turun, sudah disambut oleh tangan kiri Sai-cu Lama.

"Ampun... ampunkan aku...," ratap sang Pangeran Cui.

Akan tetapi ketika nampak sinar golok itu berkelebat, leher pengeran itu sudah putus dan kepalanya sudah terangkat ke atas dengan dijambak rambutnya oleh Sai-cu Lama. Dan pendeta Lama itu pun tidak mau bekerja kepalang tanggung. Dia membawa kepala yang masih bertetesan darah itu sambil mengamuk dan tanpa ampun lagi dibunuhnya tujuh orang pengawal itu, termasuk suami isteri tua pemilik rumah pelacuran itu dan tak ketinggalan pula lima orang pelacur yang berada di situ dan dua orang pelayan!

Habis sudah seluruh penghuni Pintu Merah itu dibantai oleh Sai-cu Lama menggunakan golok rampasannya. Kemudian, sekali berkelebat dia pun sudah meninggalkan rumah itu sambil membawa sebuah kepala, kepala yang dibuntalnya pula dengan kain bekas pembungkus kepala Ban Leng tadi!

Pada pagi hari itu juga, tanpa diketahui seorang pun, diam-diam Sai-cu Lama mengirim kepala itu ke rumah Hou Taijin! Ketika Hou Taijin terbangun dari tidurnya, tahu-tahu di meja kamarnya telah terdapat buntalan itu yang ketika dibuka ternyata berisi kepala Pangeran Cui Muda! Tentu saja Hou Seng menjadi girang akan tetapi juga ngeri, cepat dia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengubur kepala itu secara rahasia.

Kini dia baru percaya benar akan kelihaian dan kesetiaan Sai-cu Lama dan hatinya merasa girang bukan main. Kini, di samping Kim Hwa Nionio, dia memperoleh tenaga bantuan seorang yang boleh diandalkan, yang tentu saja akan memperkuat kedudukan dirinya dalam persaingan dengan para pembesar yang tidak suka kepadanya…..
********************
Sementara itu, Suma Lian yang tadi mengikuti keributan yang terjadi di rumah itu karena penyerbuan enam orang musuh Hou Taijin yang menyamar sebagai seniman-seniman, menggunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan tak seorang pun memperhatikan dirinya, untuk menyelinap keluar dari rumah.

Para pengawal dan penjaga yang mengerahkan seluruh perhatiannya terhadap enam orang yang sedang digempur oleh Sai-cu Lama, tentu saja tidak menaruh perhatian terhadap Suma Lian, apa lagi tidak ada perintah apa pun dari Kim Hwa Nionio.

Suma Lian lari dalam kegelapan malam, berlindung di bagian-bagian gelap, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan ia merasa agak lega bahwa tidak terdengar ada orang mengejarnya. Akan tetapi setelah berjalan berputar-putar di kota raja yang besar itu, tidak tahu ke mana harus melarikan diri, tahu-tahu malam mulai berganti pagi dan kegelapan mulai terusir oleh sinar matahari. Hatinya pun mulai gelisah.

Kegelisahannya berubah kekhawatiran dan ketakutan ketika tiba-tiba, dari balik sebuah rumah, ia melihat Kim Hwa Nionio dan lima orang pengawal di depan dan berhenti di simpang empat. Ia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik rumah itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kalau mereka itu berpencar mencarinya, tentu ia akan terpegang!

Ia menoleh ke belakang. Ada sebuah jembatan besar di jalan itu. Kalau saja ia dapat melewati jembatan itu tanpa terlihat, tentu ia akan dapat lari menjauh, dan mencari tempat sembunyi yang aman! Di seberang jembatan nampak banyak pohon-pohon dan semak-semak, ia dapat bersembunyi di balik pohon-pohon atau di balik semak-semak itu!

Dengan nekat Suma Lian lalu lari, agak membongkok-bongkok, melalui bagian gelap dari jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya seperti diangkat ke atas dan tahu-tahu tubuh itu sudah terlempar keluar dari jembatan!

Jika saja bukan Suma Lian, gadis cilik yang memiliki ketabahan luar biasa, tentu sudah menjerit. Akan tetapi Suma Lian menahan rasa ngerinya dan tidak menjerit, bahkan tak sempat menjerit karena tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan tidak lagi mampu mengeluarkan suara karena ia sudah tertotok!

Suma Lian mengejap-ngejapkan matanya untuk membiasakan mata itu dalam cuaca yang agak gelap itu. Ternyata ia sudah berada di bawah jembatan dan ketika ia dapat melihat lebih jelas, ia telah terduduk dan tak mampu bergerak, sedangkan di dekatnya duduk seorang kakek tua yang berpakaian jembel butut!

Wajah kakek itu penuh rambut yang semuanya sudah putih, rambutnya awut-awutan menutupi muka, bercampur dengan jenggot dan kumisnya yang semuanya juga sudah putih. Seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel, seorang pengemis yang kotor! Dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh kakek itu membuat Suma Lian demikian kaget dan takutnya sehingga ia merasa jantungnya hampir copot.

Kakek itu merenggut semua pakaiannya, merobek-robek pakaian itu dan melemparnya ke bawah, setelah membuntal sepotong batu dengan pakaian itu. Tentu saja pakaian itu tenggelam ke dalam air sungai! Dan kini, kakek itu tanpa banyak cakap lagi, memercik-mercikkan air kotor berlumpur ke seluruh tubuh Suma Lian. Air berlumpur itu dicampur dengan bungkusan obat yang dikeluarkan dari saku jubahnya yang butut.

Seluruh tubuh anak itu berlumur campuran ini yang membuat seluruh kulitnya, dari tumit sampai ke kulit kepala bawah rambut, menjadi kecoklatan. Dan rambut anak itu diawut-awut secara kasar! Kemudian, dia mengeluarkan sehelai kain yang butut dan penuh tambalan, dan memaksa Suma Lian mengenakan pakaian ini dan berubahlah Suma Lian menjadi seorang anak pengemis yang amat buruk, kotor dan berbau busuk pula!

"Hemmm, sudah agak patut, tetapi rambutmu terlalu bersih, tidak ada kutunya seekor pun. Ini tidak mungkin bukan?" Entah kepada siapa dia bicara, kepada diri sendiri atau kepada Suma Lian atau kepada seseorang yang tidak nampak.

Kemudian, dengan hati-hati, di dalam cuaca yang masih agak gelap di bawah jembatan itu, dia mulai mencari kutu-kutu dari rambutnya yang putih awut-awutan dan setiap kali mendapatkan seekor, lalu kutu rambut itu dia letakkan ke dalam rambut Suma Lian. Tentu saja anak ini merasa amat jijik, takut dan ngeri sehingga kalau saja dia mampu mengeluarkan suara, tentu ia akan menjerit-jerit!

Diam-diam ia memperhatikan kakek itu dan memandang dengan kedua mata terbelalak penuh kemarahan dan kebencian. Celaka, pikir Suma Lian. Ini yang namanya lolos dari sumur terjerumus ke dalam lubang! Terlepas dari tangan orang-orang macam Sai-cu Lama, kini terjatuh ke tangan seorang kakek yang selain lebih sadis, lebih jahat, juga masih ditambah kenyataan yang mengerikan, yaitu gila! Sepuluh kali lebih baik menjadi tawanan Sai-cu Lama atau nenek yang bernama Kim Hwa Nionio itu dari pada ditawan oleh kakek gila ini.

Ia tidak mampu bergerak dan tak mampu bersuara karena ditotok, juga tidak tahu nasib apa yang akan dihadapinya. Namun jelas amat mengerikan karena kakek ini memang orang gila. Baru mencium bau pakaian kakek itu, serta dari pakaian yang dipaksakan menutupi tubuhnya saja, ia sudah muak dan hampir muntah.

Tiba-tiba terdengar suara panggilan lembut, suara lembut akan tetapi nyaring menusuk telinga, suara Kim Hwa Nionio! "Anak baik, keluarlah dari tempat sembunyimu! Jangan membikin marahku, nanti kujewer telingamu!"

Beberapa kali suara itu terdengar dan Suma Lian berusaha mengerahkan tenaga untuk membebaskan totokan yang membuat suaranya tak dapat dikeluarkan. Agaknya kakek tadi menotok sembarangan sehingga dengan pengerahan tenaga sinkang-nya, akhirnya ia mampu mengeluarkan suara, "... aku...!"

Akan tetapi baru mengeluarkan kata itu yang dimaksudkan untuk memberi tahu Kim Hwa Nionio bahwa ia berada di bawah jembatan, kakek jembel itu nampak terkejut dan sudah menotoknya lagi!

"Sialan kau anak gila!" bisik kakek itu.

Huh, kakek jembel, engkau yang gila, malah memaki aku gila, balas Suma Lian memaki dalam hatinya.

"Kalau mereka tadi mendengar dan minta kita keluar, engkau harus keluar dengan kaki terpincang-pincang. Mengerti?"

Suma Lian menentang pandang mata kakek itu dengan penuh kemarahan dan sengaja menggelengkan kepala tanda bahwa ia tidak mau menurut!

"Kau harus terpincang-pincang!" kakek itu berbisik lagi, nada suaranya memaksa.

Akan tetapi tetap saja Suma Lian menggeleng kepala dan tersenyum mengejek. Ada rasa girang di hatinya bahwa ia mampu melawan dan membuat kakek itu kecewa, walau pun hanya dengan tidak mentaati perintah gila dan aneh itu!

Pada saat itu terdengar derap kaki banyak orang di atas jembatan! Kemudian terdengar bentakan suara Kim Hwa Nionio dengan nyaring, "Siapa berada di bawah jembatan? Hayo keluar!"

Kakek itu tak menjawab. Tiba-tiba nampak kepala Kim Hwa Nionio menjenguk ke bawah jembatan. "Heiii, kalian! Hayo keluar, cepat!" bentaknya.

Kakek itu kini membebaskan totokan pada kaki tangan Suma Lian, akan tetapi tetap tak membebaskan totokan yang membuatnya tak mampu bersuara, lalu dia menggerakkan jari telunjuknya mengetuk tulang kering kaki kiri Suma Lian.

"Tukkk...!"

Bukan main nyeri rasa kaki yang diketuk itu. Suma Lian tentu menjerit kesakitan kalau saja ia tidak tertotok dan ia hanya mampu memegangi dan mengurut-urut kaki itu yang rasanya seperti patah-patah tulang keringnya. Akan tetapi kakek itu menariknya keluar dari jembatan itu.

Tanpa diperintah lagi, Suma Lian yang ditarik itu berjalan terpicang-pincang. Tangannya tak pernah terlepas dari pegangan si kakek, begitu kerasnya pegangan itu, seolah-olah merupakan ancaman bahwa kalau ia memberi tanda-tanda, tentu tangannya itu akan dicengkeram sampai hancur!

Kim Hwa Nionio dan lima orang temannya menghampiri kakek jembel itu. "Siapa anak ini?" bentak Kim Hwa Nionio.

"Heh-heh, anak sialan ini? Ia cucuku, akan tetapi ia timpang dan gagu. Huh, tidak ada harapan untuk menampung hari tuaku. Eh, kalian mau membelinya? Akan kujual murah, asal kalian mempunyai seguci arak saja dan beberapa keping uang untukku, kuberikan anak ini, heh-heh-heh!"

Bukan main marahnya Suma Lian! Ia dikatakan timpang dan gagu, dan mau dijual. Bukan dijual, malah hanya ditukar dengan seguci arak! Kakek gila ini benar-benar jahat sekali, lebih jahat dari pada Sai-cu Lama! Tetapi karena genggaman pada tangannya itu keras sekali dan ia tidak mau tangannya remuk, apa lagi ia tahu bahwa kakek ini amat lihai dan belum tentu kalah oleh Kim Hwa Nionio, ia pun diam saja hanya menundukkan mukanya.

Kim Hwa Nionio sudah putus harapan melihat anak perempuan jembel itu. Sama sekali bukan Suma Lian, bumi dan langit jauh bedanya. Anak ini hitam, kotor, berbau, timpang dan gagu lagi. Tiba-tiba dia menggunakan kebutannya untuk menyingkap pakaian yang membungkus tubuh anak itu. Nampaklah kulit tubuhnya yang kotor kecoklatan, maka ditutupnya lagi dengan menarik kembali kebutannya.

Nenek ini memang cerdik. Kalau tadi nampak tubuh itu putih mulus, tentu akan timbul kecurigaannya. Akan tetapi anak perempuan itu memang kotor luar dalam!

"Maukah kalian beli? Mau? Murah saja..."
"Huh, mampuslah engkau tua bangka pemabuk gila. Mari kita pergi!" Kim Hwa Nionio mendengus dan mengajak anak buahnya pergi dari situ.

Kakek itu menggerutu panjang pendek. "Sialan! Terkutuk! Dijual murah pun tidak laku... hayaaaa...!"

Dan dia pun menyeret tubuh Suma Lian. Gadis cilik ini terpaksa mengikutinya dengan kaki terpincang-pincang karena rasa nyeri di kakinya belum juga sembuh.

Kakek itu terus menyeret tubuh Suma Lian sampai ke pintu gerbang. Pintu gerbang itu sudah dibuka dan orang-orang mulai keluar masuk. Para penjaga pintu gerbang tentu saja tidak mencurigai kakek jembel itu, walau pun pada pagi hari itu terjadi geger dan penjagaan di situ amat ketat dan pengawasan terhadap orang-orang yang keluar masuk lebih teliti.

Berita tentang peristiwa pembunuhan yang hebat di rumah pelesir Pintu Merah itu sudah tersiar dan terdengar oleh mereka pula. Dikabarkan orang betapa Pangeran Cui Muda telah tewas di tempat itu dan kepalanya hilang entah ke mana. Semua pengawal dan penghuni rumah itu pun tewas, dan ada pula sebuah kepala yang dikenal sebagai kepala orang yang bernama Ban Leng, seorang jagoan di kota raja. Tentu saja hal ini mengejutkan dan menggegerkan, karena tidak ada seorang pun dapat menduga siapa pembunuh semua orang itu.

Baru setelah tiba di luar kota, jauh dari tembok kota raja, di tempat yang sunyi, kakek tua renta itu mengajak Suma Lian berhenti. Sekali saja dia mengurut kaki yang diketuk tadi, rasa nyeri pun lenyap. Setelah itu, dia membebaskan totokan yang membuat Suma Lian tadi gagu. Begitu bisa bicara dan dilepaskan pegangan tangannya, Suma Lian langsung memaki-maki.

"Kau kakek gila, kakek jembel busuk yang bau! Hemm, kalau aku ada kemampuan, tentu akan kubunuh kau! Aku benci padamu! Kau telah menghinaku, menyakiti aku, ahhh... betapa jahat engkau kakek gila!"

Kakek itu memandang kepadanya dan tersenyum, agaknya dia senang menyaksikan keberanian anak perempuan itu. "Ha-ha-ha, engkau memang pemberani dan tabah, akan tetapi kurang panjang akal. Tidak tahukah bahwa semua yang kulakukan itu hanya sandiwara saja? Kau kuajak bermain untuk menipu nenek galak itu dan ternyata aku berhasil. Ha-ha, nenek galak itu berhasil kutipu. Kita menjadi pemain-pemain sandiwara yang baik sekali."

"Bohong!" Suma Lian berteriak marah, suaranya nyaring dan keras karena sejak tadi ia menahan-nahan kemarahannya dan baru sekarang ini ada kesempatan baginya untuk mengeluarkan semua kemarahan itu. "Engkau sengaja menipuku! Engkau jahat, tentu engkau mempunyai niat buruk dan terkutuk! Engkau gila dan jahat, kakek jembel bau busuk! Kau buang pakaianku, kau..."

"Sssttt apa kau hendak menghancurkan segala keberhasilan kita dengan teriak-teriak begitu dan mengundang datangnya musuh? Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari pengejaran mereka tadi. Sekarang engkau telah terbebas, engkau boleh pergi ke mana engkau suka."

Suma Lian tercengang. Kakek ini tidak bohong! Dan barusan ia telah memaki-makinya, memaki-maki kakek yang sudah menolongnya bebas dari tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio. Ahhh, benar, dia yang bodoh. Kalau saja ia tidak penuh kecurigaan tadi, sehingga kakek itu tidak terpaksa mengetuk kakinya sampai terpaksa dia terpincang-pincang tentu dia telah mengikuti permainan sandiwara itu dan kini dapat tertawa-tawa bersama kakek itu!

"Hemm, kiranya benar engkau!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu Kim Hwa Nionio telah muncul di situ! "Kau tua bangka telah berhasil menipuku di sana, akan tetapi tetap saja aku dapat menemukanmu dan kau harus menebus dosamu dengan nyawa!"

Suma Lian merasa menyesal bukan main. Kakek itu menolongnya, malah kini terancam nyawanya karena kesalahannya! Kalau ia tidak marah-marah dan memaki-maki, belum tentu Kim Hwa Nionio dapat menemukan mereka! Maka, ia pun lalu melangkah maju menghadapi Kim Hwa Nionio dan berkata lantang.

"Nenek, aku Suma Lian tidak mau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bawalah aku kembali, tetapi jangan ganggu kakek jembel tua itu. Kalau engkau mengganggunya, aku akan mengadu kepada Hou Taijin dan minta agar dia menghukummu. Hayo bawa aku kembali kepada Hou Taijin!"

Tentu saja Suma Lian tidak tahu betapa ketika ia menyebutkan nama marganya, kakek jembel itu nampak terkejut bukan main. Kakek itu kini malah memegang lengan Suma Lian dan memutar tubuh anak itu menghadapinya sambil bertanya, "Anak baik, apakah benar kau she (nama marga) Suma? Hayo katakan, siapa ayahmu?"

Suma Lian merasa heran, akan tetapi lalu menjawab, "Ayahku bernama Suma Ceng Liong. Jangan khawatir, kek. Aku akan menanggung bahwa kau takkan diganggu oleh nenek itu."

Akan tetapi kakek itu sudah tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, engkau bernama Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong? Ha-ha-ha-ha, heiii, Kim Hwa Nionio. Berani benar engkau menculik puteri keturunan keluarga para pendekar Pulau Es? Apakah engkau sudah bosan hidup? Hayo, mari kita yang sudah sama tuanya ini mengadu kepandaian, dan jangan ganggu seorang anak kecil!" Berkata demikian, kakek jembel itu kemudian melangkah lebar menghadapi Kim Hwa Nionio dengan sikap memandang rendah sekali.

Kim Hwa Nionio mengerutkan alisnya, bulu-bulu kebutan di tangannya tergetar. Akan tetapi nenek ini tidak mau ceroboh. Ia tahu bahwa biar pun orang ini nampaknya tua renta dan jembel berbau busuk yang seperti orang gila, akan tetapi mungkin saja dia menyembunyikan kesaktian di balik kegilaan dan kemiskinannya itu.

Hampir semua tokoh dunia persilatan pernah didengarnya, walau pun belum semua dijumpainya, maka ia segera bertanya, suaranya berwibawa, "Tua bangka bosan hidup, siapakah namamu?"
"Ha-ha-ha, namaku? Aku seorang pengemis tua tanpa nama. Hayo majulah, kecuali jika takut atau kasihan melawan aku, pergilah dan jangan ganggu lagi anak perempuan ini!"
"Wirrrrr... singgg...!"

Kebutan itu menyambar. Demikian kuatnya tenaga yang mendorongnya sehingga tidak hanya mengeluarkan angin berdesir keras, tetapi juga menimbulkan suara berdesing seperti kalau senjata tajam digerakkan dengan amat kuatnya! Kebutan itu menyambar ke depan, bulu-bulunya saja terpecah menjadi beberapa gumpalan dan masing-masing gumpalan itu seperti ular-ular hidup mematuk ke arah jalan-jalan darah di sekitar pundak dan leher kakek jembel itu.

"Hayaaaa...! Kiranya engkau lihai sekali...!" Kakek itu berseru dan biar pun nampaknya terkejut dan mengagumi kehebatan nenek itu, akan tetapi tanpa banyak kesukaran dia sudah dapat menghindarkan diri dari sambaran kebutan dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik tiga kali.

Kembali kebutan sudah menyambar. Akan tetapi kedua tangan kakek itu membuat dorongan-dorongan aneh, kemudian setelah dari kedua tangannya itu keluar angin yang menolak bulu-bulu kebutan dan membuyarkan gumpalan-gumpalan bulu itu menjadi mawut bagai rambut kepala wanita tertiup angin, dia membuat coretan-coretan di udara dan tahu-tahu dua jari telunjuknya telah melakukan totokan-totokan bertubi-tubi sampai sembilan kali ke arah jalan-jalan darah terpenting di tubuh nenek Kim Hwa Nionio!

"Ahhh...!" Nenek itu terpaksa mengeluarkan teriakan kaget.

Cepat ia memutar kebutannya melindungi diri. Akan tetapi masih saja jari-jari tangan itu sempat menerobos gulungan sinar kebutan sehingga terpaksa nenek itu yang kini melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menyelamatkan dirinya.

Suma Lian yang tadinya hanya memandang bengong, tiba-tiba saja berteriak, "Hong-in Bun-hoat!"

"Ha-ha-ha, anak baik, ternyata engkau cukup cerdas!" kakek jembel itu berseru sambil menoleh dan tersenyum kepada Suma Lian.

Akan tetapi nenek Kim Hwa Nionio yang merasa penasaran sudah menerjangnya lagi, membuat kakek itu tak sempat lagi untuk senyum-senyum. Nenek itu terlalu berbahaya untuk tidak dihadapi dengan sungguh-sungguh. Kini terjadilah perkelahian yang sangat hebat, yang lantas membuat pandang mata Suma Lian menjadi kabur saking cepatnya gerakan kedua orang tua itu.

Memang perkelahian itu hebat sekali, terjadi antara dua orang tua yang masing-masing memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kim Hwa Nionio diam-diam terkejut bukan main. Ia adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian, oleh karena ia adalah murid dari Pek-bin Lo-sian yang sudah mewarisi ilmu dari kakek itu.

Pek-bin Lo-sian selain gurunya, juga menjadi kekasihnya dan hanya karena pada akhir-akhir itu ia melakukan penyelewengan, suka bermain gila dengan laki-laki lain yang jauh lebih muda dari gurunya itu, maka di antara mereka terdapat suatu jurang pemisah. Dan itu jugalah sebabnya mengapa Pek bin Lo-sian tidak memberikan Pedang Suling Naga kepadanya!

Tetapi ilmu kepandaian Pek-bin Lo-sian telah diwarisinya semua dan jika dibandingkan dengan Sam Kwi yang menjadi saudara-saudara misan seperguruan, ilmu kepandaian Kim Hwa Nionio ini tingkatnya tidak kalah tinggi, bahkan mungkin lebih matang dan lebih tangguh setelah ia memiliki ilmu memainkan kebutannya yang amat lihai itu.

Akan tetapi sekarang, dan baru sekarang ini, dia menemui tandingan yang demikian tangguhnya dalam diri kakek jembel tua ini! Ia merasa penasaran sekali dan nenek itu segera mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu simpanannya untuk mengalahkan lawan.

Namun, ia selalu kecelik. Semua ilmunya dapat disambut dengan amat baiknya oleh kakek itu dan suatu kali, bahkan tangan kiri Kim Hwa Nionio beradu dengan tangan kanan si kakek jembel dengan kuat sekali.

"Dukkkk...!"

Kim Hwa Nionio mengerahkan tenaganya yang sudah diperkuat dengan latihan ilmu hitam ketika ia bertapa di Pegunungan Himalaya. Maka ketika kedua tangan bertemu, tenaga yang keluar dari tangan kirinya itu dahsyat bukan main. Tapi, pertemuan tenaga itu hanya membuat kakek itu mundur dua langkah, sedangkan ia sendiri terhuyung ke belakang, tanda bahwa ia masih kalah kuat dalam tenaga sinkang melawan kakek tua renta itu.

Akan tetapi hal itu tidaklah begitu mengejutkan hatinya. Yang membuat ia amat terkejut adalah ketika ia merasa betapa tangan kirinya itu ketika bertemu dengan tangan kanan kakek itu, dijalari oleh hawa panas seperti bara api yang terus menyusup ke seluruh lengannya! Ia terkejut dan cepat-cepat mengerahkan tenaga dari dalam untuk menolak hawa panas itu, karena kalau dibiarkan terus menyusup ke dalam dadanya dapat membuat ia terluka dalam!

Setelah ia berhasil menolak keluar hawa panas itu, Kim Hwa Nionio yang menjadi makin penasaran dan marah itu kembali menubruk dan melancarkan serangan bertubi, suatu kombinasi antara serangan kebutan yang sudah lihai itu dengan tamparan-tamparan tangan kiri yang mengeluarkan bunyi berkerotokan, dan masih diselingi oleh tendangan-tendangan kedua kakinya.

"Lihat... ha-ha-ha, selama ini tak pernah bertemu lawan, sekali bertanding menghadapi siluman perempuan yang lihai. Haiiiiitt...!" Tiba-tiba saja kakek tua renta itu nampak gembira sekali dan dia pun menyambut semua serangan lawan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya.

Walau pun dia hanya bertangan kosong, akan tetapi setiap kali kaki atau tangannya bergerak, maka angin pukulan dahsyat sekali menyambar dan membuat pakaian nenek itu berkibar-kibar keras! Sekali waktu, dengan tiba-tiba nenek itu menyatukan bulu-bulu kebutannya yang berubah kaku oleh tenaga sinkang-nya dan seperti sebatang pedang saja, kebutan yang bulunya bersatu dan kaku itu menusuk ke arah tenggorokan kakek itu!

"Wahhhhh...!" Kakek itu terbelalak kagum, dan kini tangan kirinya dengan jari tangan terbuka lalu menangkis ke arah pedang aneh itu.
"Takkkk...!"

Ujung kebutan yang menjadi kaku itu bertemu dengan telapak tangan, seperti pedang bertemu perisai yang kuat, akan tetapi nenek itu terbelalak dan meloncat kaget bukan main. Ketika kebutannya tadi bertemu dengan tangan itu, ada hawa dingin seperti es menjalar ke dalam lengan kanannya dan hal inilah yang amat mengejutkan hatinya.

"Kiranya engkau seorang dari Pulau Es! Siapa engkau?" bentaknya dengan muka agak pucat karena diam-diam ia merasa bahwa isi dadanya terguncang dan ia menderita luka walau pun tidak parah.

Hal ini adalah karena tadi ia bersiap siaga untuk serangan dengan hawa panas. Siapa tahu tiba-tiba saja sinkang kakek itu berubah dingin seperti es. Dan tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli dari Pulau Es!

"Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini mana ada harganya untuk mengenal orang-orang bersih dari keluarga para pendekar Pulau Es? Hayo, masih hendak kau lanjutkan lagi?" tantang kakek itu.

Kim Hwa Nionio tahu diri. Kalau di situ ada Sai-cu Lama, tentu ia akan minta kepada kawannya itu untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi, ia hanya seorang diri saja dan ia tahu bahwa kakek jembel tua renta itu masih terlampau kuat untuknya. Maka ia lalu menjura.

"Baiklah, sekali ini aku mengalah, akan tetapi lain kali aku tidak akan mengampuni nyawamu, jembel tua bangka!" Setelah berkata demikian, dia lalu meloncat dan lari kembali ke kota raja, diiringi suara ketawa dari kakek jembel itu.

Sejak tadi Suma Lian nonton dengan penuh perhatian, tetapi juga penuh kekaguman. Ketika ia mendengar ucapan Kim Hwa Nionio bahwa kakek itu adalah orang dari Pulau Es, ia jadi terkejut, akan tetapi juga terheran-heran di samping kegirangannya. Ia girang bahwa kalau memang benar kakek ini dari Pulau Es, berarti masih kerabat. Akan tetapi ia terheran-heran karena kalau benar dia seorang keluarga Pulau Es, kenapa begitu jorok dan tingkah lakunya seperti oranq yang miring otaknya?

"Ha-ha-ha!" kini kakek itu tertawa-tawa memandang kepada Suma Lian. "Iblis betina seperti itu saja berani mengganggu kita, keluarga dari para pendekar Pulau Es, sungguh tak tahu diri, ya?"

Suma Lian ikut tersenyum pula. Biar pun kakek ini tertawa tanpa disertai matanya yang nampak sayu seperti orang menderita duka, namun kata-katanya lucu.

"Kek, engkau sungguh hebat sekali!"
"Kelak engkau harus lebih hebat dari pada aku, anak yang baik. Namamu Suma Lian dan kau puteri Suma Ceng Liong? Ha, sungguh hebat, engkau memang pantas menjadi keturunan keluarga Suma!"
"Bu-beng Lo-kai, jelaskan padaku..."
"Nanti dulu! Siapa yang kau ajak bicara itu? Siapa itu Bu-beng Lo-kai?"

Suma Lian tersenyum. "Siapa lagi kalau bukan engkau. Bukankah tadi nenek Kim Hwa Nionio bertanya namamu dan kau menjawab bahwa engkau adalah seorang Pengemis Tua Tanpa Nama (Bu-beng Lo-kai). Nah, engkau adalah Bu-beng Lo-kai."

Kakek itu nampak girang sekali dengan julukan baru ini. Selama ini dia tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapa pun juga sehingga dia sendiri seperti sudah lupa kepada nama sendiri, akan tetapi sekarang dia seperti mendapatkan sebuah sebutan nama baru yang cocok dengan keadaan dirinya. Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama)!

"Ha-ha-ha, Bu-beng Lo-kai? Bagus, bagus... engkau memang anak pandai."
"Bu-beng Lo-kai, sekarang jelaskan siapa dirimu dan bagaimana engkau bisa pandai memainkan Hong-in Bun-hoat! Dan agaknya engkau mengenal pula nama ayahku."
"Kenapa tidak? Ayahmu yang bernama Suma Ceng Liong itu adalah putera tunggal dari Suma Kian Bu dan Teng Siang In, bukan?"
"Benar sekali! Ahh, bagaimana engkau dapat mengenal keluarga kami?"
"Karena Suma Kian Bu, kakekmu itu, adalah adik kandung dari mendiang isteriku yang tercinta..."
"Ah...!" Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. "Jadi engkau... engkau adalah suami nenek Milana? Engkau adalah kakek Gak Bun Beng...?"

Kakek itu merangkul Suma Lian dan anak ini pun merasa terharu, akan tetapi ia harus menahan kemuakan karena hidungnya mencium bau apek, tanda bahwa kakek itu agaknya memang benar-benar telah terlantar dan tak pernah mandi, entah sejak berapa lamanya!

"Sudah lama aku mengubur nama sial itu, biarlah mulai sekarang sampai mati, aku adalah Bu-beng Lo-kai saja," kata kakek itu.

Suma Lian semakin terharu mendengar betapa ada isak tertahan di dalam suara yang seperti keluhan itu. Kakek ini menderita batin dan kelihatan berduka sekali, pikirnya. Ia pun merangkul dan memandang wajah yang tertutup rambut, kumis dan jenggot putih lebat itu, memandang sepasang mata yang masih bersinar tajam akan tetapi seperti tertutup awan gelap itu.

Para pembaca yang mengikuti kisah-kisah terdahulu dari seri 'Pendekar Super Sakti' atau 'Suling Emas Naga Siluman', tentu tidak asing dengan nama ini. Gak Bun Beng! Di dalam cerita 'Sepasang Pedang Iblis' telah diceritakan dengan jelas dan menarik tentang kehidupan pendekar ini, seorang pendekar besar yang setelah mengalami jatuh bangun akhirnya berjodoh dengan wanita yang dicinta dan mencintanya, yaitu Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai.

Seperti kita ketahui, mereka hidup menjauhkan diri dari istana di mana Puteri Milana pernah membantu kaisar untuk menghadapi para pemberontak. Mereka mempunyai sepasang anak kembar, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang kemudian menjadi Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).

Ketika nenek Milana masih hidup, Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, berkali-kali membujuk sepasang anak kembar itu untuk segera menikah karena mereka berdua sudah ingin sekali memondong cucu. Akan tetapi, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong tidak pernah mau menuruti permintaan orang tua mereka ini. Keduanya tak pernah dapat saling berpisah, jadi sukar sekali bagi mereka untuk mendapatkan isteri-isteri yang cocok.

Akhirnya, puteri atau nenek Milana marah sekali dan setiap hari memarahi kedua orang putera kembarnya yang usianya sudah semakin banyak itu. Hal ini membuat Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong lalu pergi minggat meninggalkan Beng-san. Mereka merantau dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, mereka mempunyai seorang murid wanita bernama Souw Hui Lan dan ternyata wanita inilah satu-satunya wanita yang mereka cinta berdua, dan ternyata kemudian Souw Hui Lan juga mencinta mereka!

Sementara itu, kakek Gak Bun Beng dan nenek Milana, untuk menghibur hati mereka yang merasa kecewa atas sikap kedua orang anak mereka itu, mengasingkan diri di puncak Beng-san dan mereka hanya bertapa.

Kemudian, pada suatu hari, muncullah dua orang putera mereka itu bernama seorang gadis manis dan mereka menyatakan bahwa kini mereka ingin menikah dengan gadis itu, yang juga menjadi murid mereka! Mereka itu, kedua orang anak kembar mereka itu, hendak menikah dengan seorang gadis saja! Milana menentang keras dan hampir saja turun tangan membunuh anak-anaknya sendiri kalau saja tidak dicegah suaminya yang minta kepada kedua orang anak kembarnya itu untuk pergi dan mengurus sendiri saja pernikahan yang dianggapnya memalukan itu.

Sepeninggal tiga orang itu yang terpaksa meninggalkan Beng-san dengan hati tertekan, nenek Milana meninggal karena sakit. Pukulan batin yang hebat ini tak tertahankan oleh kakek Gak Bun Beng. Urusan kedua orang puteranya sudah membuat dia berduka dan kecewa sekali, dan kini dia ditinggal mati isterinya yang tercinta dalam keadaan batinnya masih menderita oleh pukulan pertama.

Dengan hati penuh duka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong mengajak murid dan calon isteri mereka untuk berkunjung lagi ke Beng-san dan menyembahyangi jenazah ibu mereka. Mereka minta ampun kepada jenazah ibu mereka, dan ketika mereka minta ampun kepada Gak Bun Beng, pendekar ini hanya menggeleng kepala dengan penuh duka.

"Aku tidak mencampuri lagi urusan kalian. Lakukanlah apa yang kalian suka, aku... aku... sudah tak bisa berpikir lagi... tinggalkanlah aku sendiri bersama kuburan isteriku," demikian katanya setelah jenazah Milana dikubur dan sampai berbulan-bulan Gak Bun Beng hidup di dekat kuburan isterinya, tak pernah mau merawat dirinya.

Duka, kecewa dan kesengsaraan batin selalu menjadi akibat dari pada ikatan. Ikatan batin selalu mendatangkan duka nestapa. Isteriku, anakku, hartaku, kedudukanku, MILIKKU.

Kalau batin sudah ikut memiliki apa yang dipunyai oleh badan, maka sekali waktu yang dimiliki itu menentangnya, tidak menurut, atau meninggalkannya, maka batin itu akan menderita, kecewa, berduka. Badan memang membutuhkan banyak hal untuk dipunyai, karena badan harus bertumbuh terus, mempertahankan hidupnya. Badan membutuhkan sandang, pangan, papan, bahkan badan berhak menikmati kesenangan melalui panca indriya dan alat-alat tubuhnya.

Akan tetapi, semua yang dibutuhkan badan itu, biarlah dipunyai oleh badan saja. Kalau sampai batin ikut memiliki, maka akan timbul ikatan. Segala sesuatu yang dimiliki itu akan berakar di dalam batin, sehingga kalau sewaktu-waktu yang dimiliki itu dicabut dan dipisahkan, batin akan berdarah dan merasa nyeri, kehilangan, kecewa, berduka dan akhirnya mendatangkan sengsara. Batin harus bebas dari ikatan, tak memiliki apa-apa!

Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah seninya! Yang mempunyai adalah badan, akan tetapi mengapa batin ikut-ikut memilikinya? Cinta kasih bukan berarti memiliki dan menguasai! Dan cinta kasih ini urusan batin, bukan urusan badan. Urusan badan adalah cinta asmara, nafsu birahi dan kesenangan badaniah.

Badan mengalami sesuatu yang mendatangkan nikmat dan kesenangan, dan ini adalah urusan badan. Kalau sudah habis sampai di situ saja, memang semestinya demikianlah. Akan tetapi kalau sang aku, yaitu pikiran atau ingatan, mencatatnya dan sang aku ingin mengulanginya, ingin menikmatnya lagi, maka ini berarti batin ingin memiliki sehingga timbullah ikatan terhadap yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan itu. Dan jika sekali waktu kita harus berpisah dari yang telah mengikat kita, maka timbullah duka dan sengsara.

Seperti juga Gak Bun Beng dan Milana, kita selalu mengatakan dengan mulut bahwa kita mencinta anak-anak kita. Akan tetapi cinta kita itu membuat kita ingin selalu ditaati oleh anak-anak kita! Kita merasa berkuasa atas diri mereka! Kita merasa bahwa kita memiliki mereka dan berhak mengatur kehidupan mereka! Dan yang beginilah yang kita anggap cinta!

Kalau sekali waktu anak-anak kita membantah dan tidak mentaati kehendak kita, maka kita lalu kecewa, marah-marah, berduka dan mungkin saja cinta kita berubah menjadi kebencian dan sakit hati. Inikah yang dinamakan cinta? Bukankah cinta kita kepada anak-anak kita ini kita samakan dengan cinta kita terhadap binatang peliharaan atau benda-benda lain yang mendatangkan kesenangan bagi kita?

Di dalam cinta kasih, tidak ada lagi ‘aku yang ingin disenangkan’! Di dalam nafsu dan kesenangan, selalu ‘aku’ yang menonjol. Cinta kasih tidak menuntut apa-apa untuk ‘aku’. Cinta kasih mementingkan orang yang dicinta, sama sekali tidak berpamrih untuk diri pribadi. Cinta kasih beginilah yang tidak akan menimbulkan duka dan sengsara, karena tidak mengejar kesenangan untuk diri sendiri saja, yang sudah mengikat batin, yang akan mendatangkan duka dan sengsara sebagai kebalikannya.

Kurang lebih setahun kemudian, Gak Bun Beng baru meninggalkan kuburan isterinya. Akan tetapi dia telah berubah. Kakek yang tadinya merupakan seorang pertapa yang gagah perkasa itu, yang arif bijaksana itu, kini menjadi seorang kakek jembel yang kotor sekali tubuhnya. Tidak pernah mau mengurus tubuhnya, dan hidup berkeliaran bagaikan pengemis yang gila. Tak seorang pun mempedulikannya dan dia pun tak mempedulikan apa-apa lagi.

Kasihan sekali Gak Bun Beng, walau pun semua itu adalah akibat dari pada keadaan batinnya sendiri. Dia merasa kesepian. Dia merasa amat iba kepada dirinya sendiri dan dia merasa nelangsa karena merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain.

Selama ini, yang dimilikinya sampai mengikat batinnya adalah isterinya dan dua orang puteranya. Namun dua orang puteranya tidak mentaatinya, bahkan kemudian isterinya, satu-satunya orang yang masih tersisa, satu-satunya yang masih menjadi miliknya lahir batin, meninggalkan dirinya.....

Dalam perantauan yang tidak ada tujuan ini, akhirnya dia berkeliaran di kota raja! Biar pun keadaannya telah menjadi seorang kakek jembel yang seperti tidak waras otaknya, namun Gak Bun Beng bekas pendekar yang sudah sering menjelajah di kota raja. Dia mengenal keadaan kota raja dan masih peka oleh berita-berita yang bersimpang siur.

Dia mendengar pula tentang keadaan yang kacau balau di istana, tentang pembesar Hou Seng yang menguasai istana dan membuat kaisar menjadi seperti boneka. Semua percakapan di jalan didengarnya dengan peka. Namun, dia hanya tertawa dan sama sekali tidak mempedulikannya.

Sampai pada saat dia sedang beristirahat di bawah jembatan dan melihat seorang anak perempuan berlari-lari itu. Sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang lewat di atas jembatan itu dan mencari-cari seorang anak perempuan. Timbul perasaan iba di hatinya yang memang berwatak pendekar dan suka menolong mereka yang tertindas. Kasihan dia melihat seorang anak perempuan dikejar-kejar, apa lagi karena dia melihat bahwa seorang di antara pengejarnya adalah Kim Hwa Nionio!

Dia mendengar nama ini dari orang-orang di tepi jalan, bahwa Kim Hwa Nionio adalah pengawal pribadi utama dari pembesar Hou Seng! Hatinya tertarik, terutama sekali saat melihat betapa gerak-gerik nenek itu jelas memperlihatkan kelihaiannya sebagai orang yang memiliki ilmu kesaktian!

Kalau biasanya dia acuh saja terhadap segala peristiwa di sekelilingnya, dan andai kata ada suatu peristiwa yang membuat dia terpaksa turun tangan, maka semua itu dia lakukan dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang. Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada anak perempuan itu dan cepat dia menariknya ke kolong jembatan dan tanpa banyak cakap lagi karena waktunya hanya sempit, dia lalu menukar pakaian dan melumuri tubuh Suma Lian agar pantas menyamar sebagai seorang anak perempuan pengemis.

Dan usahanya campur tangan secara diam-diam itu berhasil. Akan tetapi pada saat dia hendak membebaskan anak itu, kembali muncul Kim Hwa Nionio sehingga terpaksa dia mempergunakan kepandaian yang selama ini disembunyikannya saja untuk melindungi anak itu dan dirinya sendiri. Dan sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa anak itu ternyata adalah cucu keponakannya sendiri, puteri dari keponakannya, Suma Ceng Liong!

Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama), nama baru yang dipergunakan Gak Bun Beng, memegang tangan anak itu dan tersenyum ramah. "Suma Lian, kini ceritakan kepadaku bagaimana engkau bisa sampai ke kota raja dan jatuh ke tangan orang seperti Kim Hwa Nionio itu."

"Yang menculik aku bukan nenek itu, kek, melainkan seorang pendeta Lama berjuluk Sai-cu Lama." Anak itu lalu bercerita tentang kemunculan Sai-cu Lama di kebun rumah orang tuanya di dusun Hong-cun, menculiknya ketika ia sedang berlatih silat di bawah pimpinan neneknya. Bu-beng Lo-kai mendengarkan penuh perhatian.

"Nenekmu Teng Siang In tidak mampu melindungimu dan merampasmu kembali dari tangan Sai-cu Lama itu? Wah, kalau begitu pendeta Lama itu tentu lihai bukan main!" kata kakek itu.
"Memang dia lihai sekali dan sekarang dia membantu Kim Hwa Nionio menjadi kaki tangan pembesar yang disebut Hou Taijin itu."

Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian memandang wajah anak itu. "Dan bagaimana sekarang, cucuku? Engkau sudah berada di kota raja dan sudah bebas, apakah engkau kini ingin pulang ke Hong-cun? Aku akan mengantarmu sampai ke luar dusunmu, lalu engkau kutinggalkan di sana kalau kau ingin pulang."

"Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, kek?" tanya anak itu, memandang kepada orang tua itu dengan sinar mata mengandung rasa belas kasihan. Kakek ini demikian menderita, pikirnya.
"Aku? Ha, aku sendiri tidak tahu akan ke mana. Aku tidak punya apa-apa lagi... di mana pun menjadi tempat tinggalku. Aku tidak butuh apa-apa lagi..." Akan tetapi di dalam suaranya ini terkandung kedukaan dan keputus asaan yang mendalam.

Merantau! Ah, betapa keinginan ini sejak lama sudah memenuhi hati Suma Lian. Sudah beberapa kali ia mengajak ayah ibunya, juga neneknya, supaya ia dibawa merantau, terutama ke kota raja. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak aman dan ia masih terlampau kecil untuk melakukan perjalanan jauh. Sekarang, ia telah berada di kota raja. Sayang kalau ia harus pulang kembali begitu saja. Jiwa petualang bergelora di dalam hatinya.

"Kek, aku tidak mau pulang!" Tiba-tiba ia berkata dengan suara lantang.
"Ehhh?" Bu-beng Lo-kai memandang heran. "Tidak mau pulang?"
"Aku tidak mau pulang dulu, aku ingin ikut denganmu!"
"Ikut denganku?" kakek itu termenung.

Akan tetapi Suma Lian melihat dengan jelas perubahan di wajah yang ditutupi rambut itu. Sepasang mata yang masih tajam itu kini mengeluarkan sinar, walau pun masih redup. Ada gairah.

"Mau ikut denganku? Hidup seperti ini? Tanpa rumah dan tanpa apa-apa, seperti jembel berkeliaran dan terlantar?"
"Mengapa tidak? Bagi seorang perantau, tak perlu tempat tinggal tetap. Aku dapat tidur di mana saja. Bukankah keluarga kita, keturunan para pendekar Pulau Es, berjiwa perantau dan tabah menghadapi segala hal? Aku dapat tidur di kuil, di hutan, di mana saja, kek."

"Tanpa pakaian indah, tidak ada uang, tidak ada kekayaan apa pun?"
"Aku tidak ingin pakaian yang indah-indah, asalkan bersih. Kebersihan perlu sekali, kek. Bukankah seperti kata nenekku, kebersihan itu pangkal kesehatan dan kesehatan itu pangkal kegembiraan? Bagaimana kita bisa gembira kalau kita tidak sehat, dan bagai mana kita bisa sehat kalau kita tidak bersih? Bagaimana, kakekku yang baik, bolehkah cucumu ini ikut merantau bersamamu dan tiap ada kesempatan kau mengajarkan ilmu silat keluarga kita kepadaku?"

Ada semacam cahaya memasuki hati kakek itu. Suma Lian, anak perempuan berusia dua belas tahun ini, mendatangkan gairah hidup di dalam batinnya, membuat ia merasa bahwa ia masih dibutuhkan orang! Dia masih berguna!

"Baiklah, cucuku. Baik, kita merantau bersama."

Bukan main girangnya rasa hati Suma Lian. Ia setengah bersorak merangkul kakek itu, akan tetapi lalu menutupi hidungnya. "Ihh, engkau berbau tak enak sekali, kek. Engkau harus mandi yang bersih, mencuci rambut itu, mengikatnya dan juga berganti pakaian. Aku juga. Hampir muntah aku kalau tercium bau bajuku sendiri ini!"

"Berganti pakaian? Aku tidak punya cadangan pakaian. Selimut bututku sudah menjadi pakaianmu."
"Aku akan mencarikan ganti untukmu, kek. Mari kita ke dusun atau kota terdekat, dan aku akan mencari pakaian untuk kita berdua."

Anak itu menarik tangan kakek itu. Mereka pun melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke kota raja karena mereka khawatir kalau bertemu dengan Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya. Kakek itu membawa Suma Lian ke sebuah dusun yang cukup ramai di sebelah barat kota raja dan mereka berdua berhenti di sebuah kuil tua yang kosong.

"Apakah perutmu tidak merasa lapar, kek?" tiba-tiba anak itu bertanya.

Kakek itu mengangguk. "Sejak kemarin siang aku tidak makan apa-apa," jawabnya jujur.

Harus diakuinya di dalam hati bahwa dia kadang-kadang sudah tidak peduli lagi apakah perutnya terisi atau tidak, bahkan dia sudah lupa bagaimana rasanya kenyang atau lapar itu. Selama ini dia seperti mayat hidup saja.

"Kalau begitu, kau tinggal saja dan tunggu aku di sini, kek. Aku akan mencari makanan dan pakaian untuk kita."

Kakek itu memandang dengan alis berkerut. "Kau akan membelinya?"

Suma Lian tersenyum lucu penuh rahasia. "Kau tunggu sajalah, dan tanggung beres, kek." Anak itu lalu berlari-larian meninggalkan kuil, diikuti pandangan mata yang penuh keharuan oleh kakek tua renta itu.

Mulailah pohon yang hampir mati kekeringan itu memperoleh air kehidupan lagi, mulai bersemi semangat untuk hidup dan bergairah. Dia merasa seolah-olah Suma Lian itu cucunya sendiri, cucu yang sangat diharapkan selama bertahun-tahun oleh dia dan mendiang isterinya, cucu yang tidak kunjung ada dan kini tiba-tiba saja muncul seorang cucu dalam kehidupannya!

Dia tidak khawatir akan keselamatan Suma Lian. Anak itu pandai berjaga diri, dan dia pun tidak perlu mengkhawatirkan munculnya Kim Hwa Nionio. Kuil itu berada di dekat pintu pagar dusun sebelah timur sehingga kalau ada orang muncul dari jurusan kota raja, dia akan dapat melihatnya lebih dulu sebelum orang itu dapat bertemu dengan Suma Lian yang berada di tengah dusun itu.

Kurang lebih sejam kemudian, sesosok bayangan kecil datang berloncatan. Suma Lian masuk ke dalam kuil itu melalui tembok belakang yang dengan mudah diloncatinya. Ia membawa buntalan yang cukup besar dan wajahnya berseri-seri ketika ia menghadap Bu-beng Lo-kai di ruangan kuil tua yang lantainya sudah mereka bersihkan tadi.

"Makanan dan pakaian yang cukup untuk kita, kek!" kata anak itu sambil membuka buntalannya di depan kakek itu.

Bu-beng Lo-kai memandang dan mengerutkan alisnya ketika dia melihat dua buah panci yang terisi masakan-masakan dan daging, juga bakmi yang masih panas. Dan selain makanan itu, juga terdapat beberapa potong pakaian yang masih baru untuknya, juga untuk anak itu!

"Hai...! Dari mana kau memperoleh semua ini? Tak mungkin kalau engkau mengemis dan diberi orang!" tegur kakek itu.
"Aihh, kek. Nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang, paling perlu mengisi perut yang sudah lapar dengan makanan ini. Dan ini seguci arak untukmu!" Seperti main sulap saja, Suma Lian mengeluarkan seguci arak yang ketika dibuka tutupnya, berbau harum sekali, membuat kakek itu menelan air ludah saking ingin segera mencicipinya.

Kakek itu mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga dari mana pun asalnya makanan itu, kini sudah berada di situ dan memang sebaiknya dimakan saja dulu, baru nanti dia akan menuntut keterangan dan kalau perlu memberi teguran keras kepada anak ini kalau benar seperti dugaannya bahwa anak ini telah melakukan pencurian!

Dan, barang curian atau bukan, kalau perut sudah sedemikian laparnya, masakan itu luar biasa enaknya! Baru sekarang selama dia ditinggal mati isterinya, kakek itu makan sedemikian lahapnya dan enaknya. Suma Lian juga makan dengan lezat, melupakan bau tidak sedap yang datang dari kakek itu dan dari pakaiannya sendiri. Tidak lama kemudian, makanan itu sudah mereka sikat habis dan kakek itu dengan wajah puas lalu meneguk arak dari gucinya.

"Nah, sekarang kau..."
"Nanti dulu, kek. Ketika aku pergi tadi, ada kulihat sebatang sungai kecil di belakang kuil ini. Airnya jernih sekali. Mari kita membersihkan badan, mandi dan berganti pakaian dulu, baru bicara. Akan lebih enak begitu. Marilah, kek!"

Anak itu kemudian menarik tangan Bu-beng Lo-kai yang terpaksa bangkit berdiri sambil membawa guci araknya. Suma Lian membawa buntalan pakaian dan mereka keluar dari kuil, lalu membelok ke arah belakang kuil di mana benar saja terdapat sebuah anak sungai yang jernih airnya.

"Nah, kau mandilah dan ganti pakaianmu itu dengan pakaian ini, kek. Lihat, kupilihkan yang polos kuning dan putih untukmu, dengan ikat pinggang biru. Tentu pantas sekali untukmu. Dan ini minyak pencuci rambutmu. Cucilah rambutmu dan badanmu yang bersih, kek. Aku menanti di sini," katanya sambil duduk di bawah sebatang pohon besar, tak jauh dari anak sungai itu yang berada di bawah, tidak nampak dari situ.

"Kau dulu yang mandi dan bertukar pakaian. Aku nanti saja setelah engkau. Aku akan berjaga di sini sambil minum arak. Arak ini enak sekali!" kata kakek itu malas-malasan.
"Baiklah, akan tetapi setelah aku selesai, engkau harus mandi dan berganti pakaian, kek. Berjanjilah!”

Kakek itu hendak membantah, akan tetapi ketika melihat wajah anak perempuan itu, tak sampai hatinya membantah. Dia mengangguk-angguk. "Baiklah." Dan menenggak arak lagi seteguk dari gucinya, mengecap-ngecap dan menjilat-jilat bibirnya.

Suma Lian membawa satu stel pakaian berwarna biru muda dan sambil tertawa-tawa ia berloncatan menuruni tebing menuju ke sungai itu. Tak lama kemudian terdengar suara ia berkecimpung di dalam air sambil bernyanyi-nyanyi kecil, suara yang amat asing dan baru baginya, namun indah sekali dan menyegarkan batinnya. Kini dia dapat tersenyum-senyum penuh kegembiraan seorang diri, bukan lagi senyum untuk menyembunyikan kedukaan hatinya.

Tak lama kemudian, Suma Lian sudah berada lagi di depannya. Segar sekali wajah yang kini bersih dan putih kembali itu, rambutnya yang hitam panjang itu masih basah kuyup dan diperasnya, lalu dibiarkan terurai agar cepat kering, kedua kakinya memakai sepatu baru dan pakaian yang dipakainya itu membuatnya nampak manis sekali.

"Nah, sekarang engkaulah yang mandi, mencuci rambutmu dan berganti pakaian, kek!" kata Suma Lian sambil menyerahkan pakaian untuk kakek itu.

Bu-beng Lo-kai memandang pakaian yang berwarna putih dan kuning polos itu dengan alis berkerut, seperti seorang anak kecil memandang obat pahit yang harus ditelannya. Beberapa kali dia menggelengkan kepalanya.

"Wah, bagaimana aku bisa memakai pakaian sebersih itu? Tentu aku akan takut duduk di tempat sembarangan, selalu harus menjaga agar pakaianku tak menjadi kotor. Wah, repot sekali kalau begitu, tidak bebas lagi aku..."
"Janji, kek. Janji harus dipenuhi, bukankah itu satu di antara sifat kegagahan?"
"Ya-ya, akan tetapi..."
"Tidak ada tapi, kek. Aku yakin bahwa dulu, entah kapan, pernah engkau merupakan seorang yang suka akan kebersihan, tidak seperti sekarang ini! Engkau sudah berjanji akan mandi dan berganti pakaian, kek!"

Mendengar ucapan itu, Bu-beng Lo-kai termenung dan teringat akan isterinya. Isterinya, Puteri Milana, ketika masih muda, sebagai isterinya, juga suka sekali akan kebersihan. Dia sering diomeli isterinya itu kalau menaruh barang di sembarangan tempat, juga isterinya itu menghendaki agar dia selalu bersih, baik badannya mau pun pakaiannya.

Dan dia pun selalu menjaga dirinya agar bersih. Akan tetapi bertahun-tahun sudah dia hidup tanpa peduli akan apa yang dinamakan kebersihan. Bahkan tidak ada yang kotor baginya. Bukankah daun-daun kering itu juga bersih? Tanah dan lumpur itu pun bersih! Akan tetapi sekarang, kata-kata dan sikap Suma Lian mengingatkan dia kembali akan kehidupannya dahulu, sebelum isterinya meninggalkannya untuk selamanya.

"Akan tetapi... pakaian seperti ini...? Ingat, cucuku, mulai tadi aku sudah memakai nama Bu-beng Lo-kai. Ingat, apa artinya lo-kai? Pengemis tua! Kalau aku memakai pakaian begini, mana bisa namaku Lo-kai? Seorang pengemis tua harus mengenakan pakaian butut dan penuh tambalan, kalau tidak begitu, mana mungkin dia laku mengemis? Tak akan ada orang mau memberi sedekah!"

Tiba-tiba Suma Lian tertawa menutupi mulutnya. "Hi-hi-hik, sudah kuduga engkau akan mengajukan alasan itu, karena itu aku pun sudah siap, kek. Nah, lihat ini!"

Ia mengeluarkan jarum dan benang, lalu ia merobek pakaian kakek itu di sana-sini, merobek kain kuning paha celana dan memindahkan atau menempelkan robekan itu di pundak baju putih dan sebaliknya. Ia merobek sana-sini, tambal sana tambal sini dan akhirnya pakaian itu menjadi pakaian penuh tambalan yang sesungguhnya merupakan pemindahan saja dari bagian-bagian yang dirobek tadi. Kini bajunya yang putih penuh tambalan kuning, sedangkan celana kuning penuh tambalan putih.

"Nah, pakaianmu sudah penuh tambalan, syarat bagi seorang pengemis, bukan? Akan tetapi, betapa pun miskinnya, seorang pengemis tetap berhak untuk hidup bersih. Dan karena itu, di sini masih tersedia dua stel lagi untukmu dan lima stel pakaian untukku. Setiap hari kita berganti pakaian, yang kotor akan kucuci sampai bersih, dan setiap hari kita mandi!"

Kembali kakek itu termenung, dia teringat akan mendiang isterinya. Sama benar watak isterinya dengan anak ini, ketika isterinya masih muda. Keras, lincah, galak, pandai bicara dan juga amat suka akan kebersihan. Ia sudah kehabisan akal untuk membantah lagi dan terpaksa dia menerima satu stel pakaian yang sudah penuh tambalan itu dan menuruni tebing. Dan Suma Lian menahan ketawanya ketika ia mendengar kakek itu berkecimpung dan mendengar pula senandung yang digumamkan mulut itu.

"Yang bersih, kek! Rambutnya juga...!" ia berteriak ke arah bawah tebing.

Dari bawah sana terdengar suara ketawa. "Wah, engkau cerewet benar seperti seorang nenek tua saja!" Dan Suma Lian kembali tertawa.

Bu-beng Lo-kai membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk membersihkan tubuhnya yang sangat kotor, terutama rambutnya yang sudah menjadi gimbal saling melekat itu. Akan tetapi ada suatu keanehan terjadi pada dirinya. Begitu dia merendam tubuhnya di dalam air dan membersihkan semua kotoran, dia merasa hatinya demikian ringan dan senang, membuat dia gembira seperti seorang anak kecil saja.

Betapa keriangan hati itu bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja, asalkan batin tidak dipenuhi oleh segala macam persoalan yang sebenarnya hanyalah peristiwa-peristiwa yang kita jadikan persoalan sendiri! Tidak ada masalah di dunia ini kecuali hal itu dibuat menjadi masalah. Tidak ada kesusahan kecuali kejadian itu kita buat sendiri menjadi kesusahan!

Kalau batin tidak sibuk lagi oleh segala macam penilaian yang menimbulkan aku yang kemudian melahirkan iba diri, maka segala hal dapat kita hadapi sebagaimana adanya, sebagai suatu kewajaran dan segala tindakan kita terhadap hal yang terjadi itu muncul dari kecerdasan akal budi, tanpa keluhan lagi. Keriangan hati akan selalu terasa oleh kita apabila batin kita bersih dari segala persoalan yang dibuat oleh pikiran.

Kenikmatan terdapat di dalam hal-hal yang kecil dan remeh, karena hidup merupakan suatu berkah di mana segala-galanya sudah terdapat untuk kita nikmati. Di tanah, di air, di udara, di mana saja terdapat kenikmatan itu, kenikmatan hidup karena setelah batin kita bersih dari pada segala kekuasaan si aku, akan nampaklah sinar cinta kasih yang menerangi alam!

Kakek itu benar-benar mencuci rambut dan tubuhnya sampai bersih! Dan ketika naik ke tebing itu, dia nampak belasan tahun lebih muda. Wajahnya yang tua nampak segar walau pun penuh dengan kumis dan jenggot putih, dan rambutnya terurai di belakang punggung. Nampak bersih segar dan sehat, apa lagi karena garis-garis mukanya masih memperlihatkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.

"Nah, kini engkau sudah kelihatan bersih dan gagah, kek!" Suma Lian bertepuk tangan kegirangan, membuat orang yang dipuji itu merah mukanya dan untuk menghilangkan rasa kikuknya, kakek itu hendak menjatuhkan diri duduk di atas tanah.

"Eiiiittt, hati-hati, kek!" Suma Lian meloncat dan memegang tangan kakek itu, ditariknya agar tidak jadi duduk. "Jangan kotorkan pakaianmu dengan duduk begitu saja di atas tanah yang basah. Tuh, duduk di atas batu itu, sudah kubersihkan tadi!"

Kakek itu menarik napas panjang. "Nah, nah, sudah mulai bukan? Sekarang aku harus selalu menjaga pakaianku agar tidak kotor. Menambah kerepotan saja!"

"Bukan begitu, kek. Kalau sudah terbiasa nanti tentu dengan sendirinya engkau tidak mau mengotori pakaianmu. Ingat, engkau tidak ingin membuat kedua tanganku lecet-lecet, bukan?"
"Tentu saja tidak! Ehh... apa maksudmu dengan tangan lecet-lecet itu?"
"Ingat, akulah yang akan mencuci pakaianmu setiap hari. Kalau engkau sembarangan saja membuat pakaianmu kotor sekali, bukankah aku yang mencuci yang akan bekerja berat setengah mati, sampai kedua tanganku lecet-lecet karena harus mencuci pakaian yang kotor sekali?"

Bu beng Lo-kai tertawa. "Ha-ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Baiklah, mulai sekarang akan kujaga pakaian ini agar tetap bersih."

"Nah, begitu barulah engkau kakekku yang baik sekali, terima kasih sebelumnya, kek!" Dan Suma Lian lalu memberi hormat kepada kakek itu dengan sikap yang lucu.
"Ahh, apa yang terjadi dengan pakaianmu itu? Kenapa sekarang juga penuh tambalan?" kakek itu berseru sambil memandang ke arah pakaian yang dipakai oleh anak itu. Pakaian itu tadi nampak indah, akan tetapi sekarang penuh tambalan walau pun hal ini tidak mengurangi kepantasan anak itu memakainya.
"Kek, engkau Bu-beng Lo-kai dan aku cucumu. Cucu seorang pengemis tua harus memakai pakaian tambal-tambalan juga, baru cocok!"

Kakek itu kembali tertawa dan mengangguk-angguk, kemudian tiba-tiba dia memandang wajah anak itu dengan sikap serius dan suaranya juga terdengar tegas, tidak main-main lagi, "Nah, sekarang lekas ceritakan, dari mana engkau memperoleh makanan, arak dan pakaian ini!"

Melihat sikap kakek itu, nyali Suma Lian menjadi kecil juga. Ia menundukkan mukanya, jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya, kadang-kadang mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali.

"Hayo katakan! Kau... mencuri, ya?" bentak kakek Bu-beng Lo-kai.

Dengan pandang mata takut-takut, Suma Lian memandang kakeknya dari bawah bulu mata sambil menundukkan muka,
 "Kau.. kau marah, kek...?"
"Tentu saja kalau kau membohong! Hayo katakan yang sebenarnya. Kau curi semua itu?"

Suma Lian mengangguk.

Bu-beng Lo-kai marah atau berpura-pura marah. Dia bangkit berdiri dan membanting kakinya. "Waduh, celaka! Cucuku menjadi pencuri? Menjadi maling? Tidak, kau harus kembalikan semua ini kepada...."

Tiba-tiba ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena teringat bahwa semua makanan tadi, juga araknya, sudah masuk ke dalam perutnya! Mana mungkin bisa dikembalikan lagi? Suma Lian yang cerdik anaknya dapat menduga isi pikirannya dan dengan suara mengandung kemenangan anak itu pun berkata,

"Makanan sudah kita makan, mana bisa dikembalikan, kek?"
"Baiklah, akan tetapi pakaian ini... mana pakaianku yang butut tadi?” Dia menjenguk ke bawah tebing dan kembali menjambak rambutnya. "Hayaa… celaka, pakaian itu sudah kuhanyutkan tadi!"
"Punyaku juga, kek. Dan lagi, kalau dikembalikan pun, yang punya tentu sudah tidak mau menerimanya, sudah kutambal-tambal..."

Bu-beng Lo-kai teringat bahwa pakaian yang sudah dipakainya itu, selain tidak dapat dilepaskan karena pakaian bututnya sudah hilang, juga sudah penuh tambalan, tidak mungkin dikembalikan. "Masih ada yang baru, yang lain itu, pakaian cadangan itu harus dikembalikan..."

"Tidak bisa juga, kek. Lihat ini," dan Suma Lian memperlihatkan cadangan pakaian untuk kakek itu dan untuknya sendiri. Ternyata semuanya telah ditambal-tambal oleh Suma Lian, dilakukan ketika kakek tadi mandi dengan lamanya.
"Wah, wah...! Kau setan cilik..."
"Ehh, kenapa kakek marah-marah dan memaki orang? Kata nenek, kebiasaan memaki itu tidak baik, kelak di neraka lidah akan dicabut keluar oleh malaikat..."
"Hushh! Sembarangan saja kau bicara. Apakah nenekmu Teng Siang In itu juga tidak pernah mengajarkan kepadamu bahwa mencuri adalah perbuatan yang amat tidak baik? Keturunan para pendekar Pulau Es bukan pencuri!"

"Aku selalu dilarang mencuri oleh ayah ibu dan nenekku, kek. Akan tetapi, apa yang kulakukan tadi adalah karena terpaksa. Dan yang kuambil pakaian dan makanannya adalah keluarga yang kaya raya, yang agaknya tidak akan merasa kehilangan apa-apa. Bukankah makanan tadi kuambil karena kita berdua kelaparan dan pakaian ini kuambil karena kita berdua amat membutuhkan? Kek, kalau kita mencuri yang mengakibatkan orang yang kecurian itu menderita, dan barang yang kita curi itu untuk kita pakai berfoya-foya, itu barulah tidak benar dan..."

"Cukup! Sekali mencuri tetap mencuri! Maling tetap maling, biar yang dimaling itu batu koral mau pun batu permata! Mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya adalah perbuatan jahat. Kita adalah keluarga pendekar, bukan keluarga maling dan pendekar berkewajiban untuk menentang para penjahat, termasuk pencuri. Mulai saat sekarang kau tidak boleh mencuri lagi. Kita belajar ilmu bukan untuk menjadi pencuri. Berjanjilah, kalau tidak, terpaksa aku akan membawamu pulang ke Hong-cun dan..."

Kakek itu berhenti marah-marah ketika melihat betapa ada dua tetes air mata jatuh dari sepasang mata yang memandangnya dengan penuh sesal itu. Dia menarik napas panjang. "Sudahlah, aku sudah melihat bahwa kau benar menyesal dan bertobat. Lebih baik minta-minta untuk menolong diri sendiri kalau memang kita sudah tidak mampu bekerja lagi, dan lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi penjahat! Mengertikah engkau, cucuku?"

Suma Lian mengangguk. "Aku mengerti, kakekku yang baik."
Bu-beng Lo-kai tersenyum dan anak itu pun tersenyum lagi dan cuaca menjadi cerah.
"Nah, mari sekarang kita pergi menghadap orang yang kau curi miliknya itu."
Suma Lian membelalakkan matanya. "Wahh...! Mana aku berani...?"
"Seorang pendekar harus berani bertanggung jawab. Aku pun tadi telah makan barang curian, dan sekarang memakai barang curian, aku pun harus bertanggung jawab. Mari, bawa aku ke rumah di mana engkau melakukan pencurian itu."

Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Suma Lian terpaksa membawa kakek itu ke rumah besar di mana tadi ia melakukan pencurian. Ia memang seorang anak yang lincah dan karena sejak kecil sudah digembleng oleh ayah ibunya dan neneknya, maka ia memiliki kelincahan dan tidak sukar baginya untuk meloncat naik ke atas tembok rumah itu, kemudian dengan kecepatannya ia menyusup ke dalam kamar-kamar dan dapur, mencuri makanan dan pakaian tanpa diketahui oleh seorang pun di antara para penghuni rumah itu.

Selanjutnya baca
SULING NAGA : JILID-13
LihatTutupKomentar