Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 07


Thai Hong Lama masih memutar tasbehnya saat dia berkata, “Omitohud....! Kekerasan tak akan mengatasi persoalan! Masalah ujian kepandaian ini dapat saja dilakukan tanpa kekerasan, yaitu dengan menguji ketangkasan yang menjadi inti dari ilmu kepandaian silat. Entah Hek-i Mo-ong setuju ataukah tidak dengan pendapat pinceng ini?”
“Ha-ha-ha! Thai Hong Lama memang pandai. Akan tetapi bagiku, diuji secara bagai mana pun juga aku tentu setuju saja, demi untuk memenuhi harapan Yong-taijin. Nah, katakanlah, bagaimana usulmu itu, Lama?”

“Menggunakan sepasang sumpit untuk menjepit makanan, merupakan hal yang amat mudah dan seorang anak kecil sekali pun akan mampu melakukannya. Akan tetapi, untuk melakukan hal itu, tenaga dalam tangan yang memegang sumpit haruslah seimbang dan tidak boleh terganggu, karena kalau terganggu, banyak bahayanya makanan yang dijepit sumpit akan terlepas. Kalau Mo-ong mempertahankan makanan yang dijepit di antara dua batang sumpitnya supaya jangan sampai terlepas ketika menghadapi serangan sampai sepuluh jurus dari kami masing-masing, maka dapat dianggap dia menang. Akan tetapi, pinceng peringatkan kepada Mo-ong bahwa amatlah sukar mempertahankan makanan itu sampai sepuluh jurus serangan karena selain tenaganya harus dibagi, juga kalau dia terlalu mempertahankan makanan itu, tubuhnya terbuka dan dapat menjadi sasaran serangan. Kalau makanan itu terlepas, dia kalah, juga kalau sampai ada serangan yang menyentuh sasaran di tubuhnya, dia dapat dianggap kalah.”

Hek-i Mo-ong yang menghadapi syarat berat ini, tidak menjadi khawatir malah tertawa bergelak. “Bagus! Bagus! Usulmu itu baik dan cerdik sekali, Lama! Nah, aku sudah siap! Siapa yang sekarang hendak menguji lebih dulu? Ataukah kalian berempat hendak maju berbarengan?” tantangnya dan tangan kanannya yang memegang sepasang sumpit itu telah menjepit sepotong daging dari dalam panci masakan.
“Ahhh, tidak adil kalau maju berbareng. Seyogianya satu demi satu.” Mendadak saja Thong-ciangkun berkata dan memang perwira ini cerdik sekali.

Selain ingin menguji kemampuan Hek-i Mo-ong, juga ia tidak ingin membuat Raja Iblis itu tidak senang kepadanya karena usulnya tentang ujian tadi, maka kini dia cepat mencela kalau empat orang penguji itu maju semua.

“Dan pula, karena yang boleh menyerang hanya pihak penguji sedangkan Mo-ong sendiri hanya mempertahankan dan tidak boleh membalas, maka terlalu berat bagi yang mempertahankan kalau sampai sepuluh jurus. Lima jurus pun sudah cukup baik kalau dia mampu mempertahankan diri.”

Gubernur Yong sudah memiliki kepercayaan mutlak kepada pembantunya ini, maka biar pun dia tidak paham tentang ilmu silat, dia tahu bahwa tentu Thong-ciangkun memiliki alasan kuat dengan pendapat-pendapatnya itu. Maka dia pun mengangguk dan berkata, “Benar sekali seperti yang dikatakan oleh Thong-ciangkun. Harap maju satu demi satu dan menggunakan lima jurus saja!”

Karena meja di mana mereka duduk itu penuh hidangan, maka Thong-ciangkun lalu mengatur sebuah meja kecil dengan dua bangku berhadapan, terhalang meja. Di atas meja itu hanya ditaruh semangkok masakan dan dua pasang sumpit. Kini Hek-i Mo-ong sambil tersenyum-senyum memandang rendah, duduk di atas sebuah bangku dan memegang sepasang sumpit. Orang-orang lain masih duduk di tempat masing-masing dan memandang dengan penuh perhatian. Tailucin sudah bangkit dari tempat duduknya dan kini raksasa ini duduk di atas bangku, berhadapan dengan Hek-i Mo-ong terhalang meja.

Hek-i Mo-ong lalu menggunakan sumpitnya, menjumput sepotong daging, kemudian mengacungkan daging itu ke depan sambil berkata kepada Tailucin, “Nah, saudara Tailucin, engkau cobalah merampas daging ini kalau mampu. Pergunakan sepasang sumpitmu itu!”

Akan tetapi Tailucin hanya memandang ke arah sepasang sumpit yang menggeletak di depannya tanpa menyentuhnya, lalu menggeleng kepala. “Biar pun banyak bangsaku sudah ikut-ikut makan dengan sumpit, akan tetapi aku sendiri lebih suka makan dengan menggunakan tangan. Oleh karena itu, bagaimana kalau aku mencoba merampas daging itu dari sumpitmu menggunakan tangan saja, Mo-ong?”

Tentu saja kalau lawan menggunakan tangan, keadaan ini amat tidak menguntungkan bagi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi karena tokoh ini memang angkuh dan memandang rendah lawan, dia pun mengangguk. “Boleh saja, akan tetapi, makan dengan tangan tanpa mencuci tangan lebih dulu, amatlah tidak sehat!” Ucapan ini sama saja dengan mengejek lawan yang memiliki kebiasaan makan tanpa sumpit!

“Mo-ong, jagalah seranganku!” Raksasa Mongol itu membentak tanpa mempedulikan ejekan orang.

Tangan kanannya yang besar dan lebar itu terbuka jari-jarinya menyambar ke arah daging di ujung sumpit dengan cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin keras.

“Wuuuutttt....!”

Raksasa itu tercengang karena sumpit yang disambarnya itu tiba-tiba saja lenyap dan sambarannya hanya mengenai angin kosong belaka. Tidak disangkanya bahwa lawan dapat bergerak sedemikian cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran dan dengan bentakan nyaring, kini kedua tangannya menyambar dari kanan kiri!

“Ha-ha-ha, agaknya Tailucin biasa makan dengan kedua tangan!” Hek-i Mo-ong tertawa dan seperti tadi, dia cepat menggerakkan tangan kanannya, mengelak dari sambaran kedua tangan dari kanan kiri itu.
“Plakkk!”

Kedua telapak tangan besar itu bertemu seperti bertepuk dan untuk kedua kalinya serangan itu gagal. Wajah raksasa itu menjadi merah karena kembali terdengar Hek-i Mo-ong mentertawakannya.

Karena tadi dia mendengar bahwa usaha merampas daging itu boleh dilakukan dengan menyerang, maka kini dia menggunakan lengannya yang panjang dan kuat itu untuk menonjok ke arah muka lawan sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sambaran ke arah ujung sumpit. Akan tetapi, dengan mudah saja Hek-i Mo-ong mengelak dari pukulan itu tanpa menarik tubuhnya dan juga tangan yang memegang sumpit itu mengelak tepat pada saat tangan kiri lawan menyambar dari kiri.

Melihat usahanya gagal lagi, si Raksasa Mongol sudah melanjutkan serangannya, kini mencengkeram dengan tangan kanan ke arah pundak Hek-i Mo-ong dan tangan kirinya menghantam ke arah lengan kanan yang memegang sumpit. Hebat serangan yang keempat kalinya ini dan amat berbahaya bagi Hek-i Mo-ong. Kalau dia hanya mengelak dari cengkeraman itu, tentu lengannya akan diancam bahaya pukulan yang seperti palu godam datangnya itu.
Tetapi, Raja Iblis ini dengan tenang saja menerima cengkeraman itu dengan pundaknya sambil menarik tangan yang memegang sumpit sehingga terhindar dari hantaman. Saat cengkeraman tiba, si raksasa Mongol sudah merasa girang karena cengkeramannya itu tentu akan membuat lengan kanan itu lumpuh dan sumpitnya akan terlepas!

Tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa jari-jari tangan yang mencengkeram itu meleset seperti mencengkeram bola baja yang amat licin saja. Hanya terdengar kain robek, yaitu baju Hek-i Mo-ong yang hitam itu di bagian pundaknya robek terkena cengkeraman yang amat kuat.

“Ha-ha, engkau telah menyerang empat jurus, Tailucin!” Hek-i Mo-ong memperingatkan sambil tertawa lagi.

Tiba-tiba semua orang menahan napas sebab tanpa menjawab, tahu-tahu kedua tangan orang Mongol itu telah berhasil menangkap lengan kanan Hek-i Mo–ong! Ternyata raksasa Mongol itu mengeluarkan ilmu gulatnya dan dengan kecepatan kilat tahu-tahu kedua tangan dan jari-jari tangan yang panjang dan kuat berotot itu telah menangkap lengan Hek-i Mo–ong, mencengkeram dengan keras hendak memaksanya melepaskan sumpit!

Terjadilah adu tenaga yang amat menegangkan. Buku-buku jari tangan raksasa Mongol itu berkerotokan dan otot-ototnya menggembung. Akan tetapi, lengan Hek-i Mo-ong yang nampak kecil dibandingkan dengan lawannya itu, sama sekali tidak terguncang dan sepasang sumpit di tangannya itu masih tetap menjepit potongan daging, bahkan jari-jari tangan itu masih dapat mempermainkan sumpit itu sehingga bergerak ke sana-sini! Selain itu, dari wajah Raja Iblis itu dapat dilihat bahwa dia sama sekali tidak merasa nyeri, seolah-olah himpitan dan cengkeraman jari-jari tangan yang amat kuat itu tidak terasa sama sekali olehnya!

Dan terjadilah keanehan ketika tiba-tiba raksasa Mongol itu melepaskan cengkeraman kedua tangannya, menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan, lalu dia bangkit dan menjura ke arah Hek-i Mo-ong sambil berkata, “Aku terima kalah!” Lalu dia kembali ke tempat duduknya di meja besar.

Ternyata kedua telapak tangannya itu nampak merah sekali seperti baru saja dekat dengan benda panas. Rakasa itu mengambil arak dan membasahi kedua tangannya dengan arak! Memang sesungguhnya, tadi Hek-i Mo-ong menunjukkan kepandaiannya dengan penyaluran tenaga sinkang yang mengeluarkan hawa panas sehingga raksasa Mongol itu merasa seolah-olah telapak kedua tangannya dibakar, maka terpaksa dia melepaskan cengkeramannya.

“Omitohud! Nama besar Hek-i Mo-ong ternyata bukanlah kosong belaka. Biarlah pinceng yang bodoh mencoba-coba.” Sambil berkata demikian, Thai Hong Lama lalu bangkit dan menghampiri meja kecil, duduk berhadapan dengan Hek-i Mo-ong, dan mengeluarkan suling dan tasbehnya. “Maaf, Mo-ong, walau pun pinceng biasa makan dengan sumpit, akan tetapi tidak biasa mempergunakannya untuk menguji. Maka, kalau engkau tidak berkeberatan, pinceng hendak mempergunakan tasbeh dan suling untuk menguji. Bagaimana?”

Hek-i Mo-ong mengangguk sambil tersenyum. “Boleh saja, Lama. Suling adalah alat musik untuk menghibur hati lara, sedangkan tasbeh adalah alat pemusatan pikiran. Kedua benda itu tentu tidak akan menyakitkan aku, ha-ha-ha!”

Pendeta Lama itu lalu menoleh ke arah meja besar dan berkata, “Harap taijin dan ciangkun suka menggunakan kedua tangan untuk menutupi kedua telinga rapat-rapat jangan sampai suara suling pinceng kedengaran oleh ji-wi.”

Mendengar ini gubernur itu menoleh dan memandang kepada Thong-ciangkun dengan heran, akan tetapi melihat panglimanya itu mengangguk dan panglima itu mengunakan kedua telapak tangan menutupi kedua telinganya sendiri, dia pun melakukan hal serupa. Sementara itu, Pek-bin Tok-ong, Siwananda dan Tailucin sudah mengatur pernapasan dan mengerahkan sinkang karena mereka maklum apa yang akan dilakukan oleh rekan mereka itu. Hanya Ceng Liong yang tidak mengerti dan anak ini hanya memandang kepada gurunya yang amat dikagumi karena gurunya tadi telah mengalahkan lawan dengan baik sekali.

“Ceng Liong, kau tutuplah kedua telingamu dengan tangan, atau untuk sementara ini keluarlah engkau dari ruangan ini,” kata Hek-i Mo-ong kepada muridnya.
“Aku ingin menonton, Mo-ong!” Ceng Liong membantah dan gurunya tertawa. Anak itu sungguh tabah dan membanggakan hati yang menjadi gurunya.

Sementara itu, Thai Hong Lama telah mulai meniup suling dengan tangan kanannya. Terdengar suara melengking nyaring, semakin lama semakin tinggi dan halus sekali, memasuki anak telinga seperti jarum menusuk-nusuk! Itulah suara suling yang ditiup dengan pengerahan khikang yang amat kuat.

Hek-i Mo-ong melempar pandang sekali lagi ke arah muridnya, akan tetapi dia tidak bicara lagi karena dia harus mengerahkan sinkang-nya untuk menghadapi serangan suara ini. Dia merasa tubuhnya agak tergetar dan maklumlah dia bahwa suara suling itu sungguh berbahaya dan kalau dia tidak hati-hati, maka pertahanannya dapat dibobolkan sekali ini oleh Lama yang lihai itu.

“Rrrrtttt....!”

Tiba-tiba nampak sinar putih berkelebat dan tasbeh di tangan kiri kakek gundul itu telah menyambar ke arah sepasang sumpit yang menjepit daging. Hek-i Mo-ong terkejut dan cepat menarik tangan kiri mengelak, akan tetapi dia merasa betapa jari tangannya tergetar, tanda bahwa pertahanannya sudah goyah oleh suara suling itu. Urat-urat halus di jari-jari tangan yang memegang sumpit itu terpengaruh dan keadaannya berbahaya sekali.

“Rrrrkkkkkkk!” Kembali tasbeh menyambar, sekali ini ke arah pergelangan tangan yang memegang sumpit.
“Trikkkkk!”

Hek-i Mo-ong terpaksa melempar daging itu ke atas, menggunakan sumpit menangkis tasbeh dan ketika daging itu meluncur turun, disambutnya dengan sepasang sumpitnya lagi! Sungguh indah sekali pertahanan ini sampai Thai Hong Lama mengangguk sedikit tanpa menghentikan permainan sulingnya. Memang hebat Raja Iblis ini, pikirnya. Akan tetapi dia masih mempunyai tiga jurus lagi.

Sementara itu, ketika suling mulai ditiup, Ceng Liong mendengarkan dengan penuh perhatian. Ada getaran halus yang menyerang telinganya, membuat tubuhnya tergetar, akan tetapi tanpa disadarinya, sumber tenaga sinkang yang amat kuat, yang berada di pusarnya, bergerak sendiri naik dan melindungi tubuhnya yang segera terasa hangat. Suara suling itu sama sekali tidak mempengaruhi telinga, jantung mau pun syarafnya. Hanya anak ini merasa tidak senang sekali oleh suara itu, yang dianggapnya sumbang dan tak enak bagai orang mendengarkan kaleng diseret. Maka, kegemasan mendengar suara tidak enak ini mendorong Ceng Liong untuk memukul-mukulkan sumpit gading di bibir mangkok kosong di atas meja di depannya sehingga terdengarlah bunyi tang-ting-tang–ting yang nyaring.

Suara tang-ting-tang-ting ini berlawanan dengan suara suling, dan karena Ceng Liong memukulnya dengan sengaja untuk mengacaukan suara suling yang dianggapnya tidak enak itu, maka terdengarlah paduan suara yang sumbang dan tidak karuan! Mula-mula suara ini membuat Thai Hong Lama terheran, akan tetapi perhatiannya segera tertarik dan suara sulingnya tersendat-sendat seperti dihalangi oleh suara pukulan mangkok itu. Tentu saja kekuatan dalam suara suling menjadi terpecah dan kehilangan banyak daya serangnya.

Hal ini amat terasa oleh Hek-i Mo-ong dan Raja Iblis ini pun tertawa, suara ketawanya mengandung khikang dan segera sisa tenaga dalam suara suling itu lenyap oleh suara ketawa ini.

“Ha-ha-ha, Lama apakah engkau sudah lupa akan sisi seranganmu?”

Diejek demikian, tanpa mengandalkan suara sulingnya lagi, Thai Hong Lama kemudian menggunakan suling yang sudah dilepas dari mulutnya itu untuk menotok ke arah pundak lawan sedangkan tasbehnya menyambar ke arah daging di sumpit.

“Wirrr.... wuuuutt!”

Kembali serangan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Hek-i Mo-ong yang kini telah bebas dari gangguan suara suling sehingga mampu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mempertahankan daging di ujung sumpit.

Dua kali lagi berturut-turut Lama itu menyerang, akan tetapi, selain sumpit itu selalu dapat dihindarkan dari benturan, juga kini tangan kiri Hek-i Mo-ong membantu dan melakukan penangkisan. Pada serangan terakhir, mendadak tangan kiri Hek-i Mo-ong menyambar sepotong bakso di dalam mangkok. Sekali menyentilkan bakso itu dengan telunjuk kirinya, ‘peluru’ ini meluncur cepat dan memasuki lubang suling. Kalau tadinya suling yang digerakkan itu mengeluarkan suara, kini tiba-tiba saja suara itu terhenti seperti jengkerik terpijak! Serangan terakhir itu menjadi kacau dan tidak berhasil menjautuhkan daging dari jepitan suling di tangan Hek-i Mo–ong.

“Sungguh Hek-i Mo-ong amat lihai, pinceng mengaku kalah,” kata pendeta berjubah merah itu yang segera kembali ke tempat duduknya semula.

Kini Pek-bin Tok-ong mempersilakan Siwananda untuk maju akan tetapi Siwananda yang merasa bahwa dia adalah wakil pemerintah Nepal, seorang wakil koksu negara, bersikap tenang dan berkata, “Silakan Tok-ong maju memperlihatkan kepandaian, kami ingin memperluas pengetahuan dengan menjadi saksi saja.”

Terpaksa Pek-bin Tok-ong maju dan menghampiri Hek-i Mo-ong. Kakek iblis ini tertawa dan mengganti daging baru yang diambilnya dari dalam mangkok. “Ha-ha-ha. Tok-ong, terhadap engkau aku akan menghormati dengan daging baru, dan juga harus berhati-hati. Jangan-jangan semua ototku akan putus dan tulang-tulangku akan terlepas!” Jelas bahwa dengan kata-kata itu Hek-i Mo-ong hendak menyindir calon lawan ini dengan Ilmu Hun-kin Coh-kut-ciang yang dimiliki Si Raja Racun itu.

Pek-bin Tok-ong tersenyum. Tokoh Go-bi pertapa ini sudah pandai sekali menyimpan perasaannya dan wajahnya nampak sabar dan tenang walau pun sesungguhnya orang ini memiliki kekejaman yang luar biasa.

“Mo-ong, aku selalu tidak percaya bahwa ada ilmu lain dapat menandingi ilmu barumu Tok-hwe-ji itu. Marilah kita coba-coba dalam kesempatan ini!” Sambil berkata demikian, kakek ini menyingkap jubah putihnya, menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang kurus panjang seperti tulang terbungkus kulit saja.

Akan tetapi, begitu dia menggerak-gerakkan kedua lengannya, kulit lengan yang tadinya putih pucat itu berubah menjadi agak biru seperti warna baja matang! Biru mengkilap dan kelihatan keras sekali. Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lawannya ini ternyata telah melatih sinkang yang amat kuat, yang membuat kedua lengan itu menjadi seperti baja dan jari-jari tangan itu tentulah amat kuat pula sehingga mampu memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan. Maka, diam-diam dia pun mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan diri dengan ilmunya yang mukjijat, yaitu Ilmu Tok-hwe-ji yang mengerikan itu.

Dengan tubuh tegak di bangkunya, tangan kanan memegang sumpit yang menjepit daging baru, tangan kiri siap di atas meja di depan dadanya, Hek-i Mo-ong memandang lawan dengan mata beringas. Dari pandang matanya saja keluar tenaga mukjijat dan walau pun dia tidak bermaksud mempergunakan ilmu sihirnya di dalam ujian itu, namun tenaga ilmu hitam keluar dari matanya dan membuat Pek-bin Tok-ong bergidik. Tokoh ini pun maklum bahwa kalau saja pertandingan ilmu ini bukan hanya sekedar ujian dan main-main, dia akan berpikir beberapa kali sebelum menentang seorang seperti Raja Iblis ini.

“Mo-ong, jaga seranganku!” Tiba-tiba Pek-bin Tok-ong berseru nyaring dan berbareng dengan bentakannya itu, tubuhnya sudah bergerak dan kedua lengannya menyambar ke arah lawan melalui atas meja yang menjadi penghalang di antara mereka.

Kedua tangannya itu menyambar ke depan dengan jari terbuka, seperti sepuluh batang pisau yang amat kuat dan cepat menyambar ke arah pundak dan lengan kanan Mo-ong. Terdengar suara bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar dan terasa angin yang dingin sekali bertiup. Itulah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat itu.

Namun, Hek-i Mo-ong tidak merasa gentar dan cepat tangan kirinya melakukan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan siku untuk menangkis sekaligus mematikan serangan pertama itu, sedangkan tangan kanan yang memegang sumpit juga bergerak untuk mengelak.

Serangannya belum mencapai sasaran dan di tengah gerakan telah disambut oleh totokan jari tangan yang dia tahu amat ampuh itu, maka tentu saja Pek-bin Tok-ong terpaksa menarik kembali serangannya sehingga serangan pertama itu gagal. Lantas dia menyerang lagi dengan Hun-kin Coh-kut-ciang dan lawannya menyambut dengan Tok-hwe-ji yang menggerakkan ilmu totokan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat ampuh itu. Hebatnya, ketika mengerahkan ilmu ini, bukan hanya jari-jari tangannya yang amat hebat, dapat menembus tulang, akan tetapi juga dari mulutnya keluar uap putih yang amat panas dan inilah yang membuat Pek-bin Tok-ong merasa kewalahan.

Beberapa kali kedua lengan bertemu, bahkan jari-jari tangan mereka sempat bertemu, akan tetapi selalu pertemuan itu mengakibatkan lengan dan tangan Raja Racun Muka Putih itu terpental dan tubuhnya tergetar. Setelah lewat lima jurus dia menyerang tanpa hasil, akibatnya malah muka dan lehernya penuh keringat dan mukanya yang putih itu menjadi kemerahan seperti terbakar. Itulah akibat dari serangan atau tangkisan Ilmu Tok-hwe-ji!

“Hebat.... engkau memang pantas menjadi calon koksu, Mo-ong!” kata kakek muka putih itu sambil menjura dan kembali ke tempat duduknya.

Melihat kemenangan Hek-i Mo-ong secara berturut-turut itu, Yong-taijin memuji dan merasa girang sekali. Mempunyai seorang pembantu atau koksu seperti Hek-i Mo-ong sungguh membesarkan hati, pikirnya. Akan tetapi di situ masih terdapat Siwananda yang menjadi seorang di antara sekutunya yang terpenting. Bukankah kakek berkulit kehitaman ini wakil dari Kerajaan Nepal yang amat diharapkan akan dapat memperkuat kedudukannya kalau tiba waktunya dia menyerang kota raja? Maka, Gubernur Yong lalu berkata sambil tersenyum, “Sekarang tiba giliran saudara Wakil Koksu Nepal untuk menguji calon pembantu kami.”

Siwananda bangkit berdiri dengan sikap angkuh, menjura kepada sang gubernur dan berkata, “Maaf, taijin. Sesungguhnya, kami sudah melihat kelihaian calon koksu yang menjadi pembantu taijin dan merasa kagum sekali. Karena tiga orang rekan kami tadi sudah mengujinya dan dia lulus dengan baik, biarlah sekarang kami menguji sampai di mana kekuatan batinnya, karena kekuatan badan saja bukan merupakan syarat mutlak untuk menjadi seorang koksu yang baik.”

Gubernur Yong sudah mendengar bahwa orang Nepal ini, di samping ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi dia pun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang ahli sihir, maka dia merasa gembira akan dapat menyaksikan pertandingan adu kekuatan sihir. Dia mengangguk gembira dan berkata, “Silakan, saudara Siwananda.”

Kakek Gurkha yang tinggi besar ini lalu menghampiri meja kecil di mana Hek-i Mo-ong telah menantinya dan duduk berhadapan dengan Raja Iblis itu. Sejenak mereka hanya saling berpandang mata. Biar pun bagi orang lain mereka itu hanya saling pandang, namun sesungguhnya kedua orang ini sedang mengukur tenaga dan kekuatan batin mereka masing-masing melalui pandang mata itu!

Terjadilah adu kekuatan mukjijat melalui sinar mata mereka dan diam-diam Siwananda terkejut. Dia pun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong pandai ilmu sihir, akan tetapi dia tidak mengira bahwa kekuatan yang terkandung dalam sinar mata itu demikian kuatnya! Dia tidak tahu bahwa kekuatan ilmu sihir memang menjadi berlipat ganda dengan kuatnya tenaga sinkang yang dimiliki Hek-i Mo-ong. Biar pun mereka yang hadir itu hanya menduga-duga bahwa kedua orang itu saling mengukur tenaga batin, namun mereka mulai merasakan getaran aneh yang memenuhi ruangan itu, yang membuat mereka merasa tegang dan juga seram.

“Hek-i Mo-ong, yang kau pegang dengan sumpit itu seekor burung hidup!” Tiba-tiba terdengar suara Wakil Koksu Nepal itu.

Semua orang memandang ke arah potongan daging yang dijepit sumpit di tangan Hek-i Mo-ong dan terbelalaklah mereka ketika melihat bahwa daging itu kini benar-benar telah menjadi seekor burung kecil yang menggelepar-geleparkan sayapnya berusaha untuk lolos dari jepitan sepasang sumpit. Kalau burung itu sampai lolos, maka berarti Hek-i Mo-ong kalah sebab bukankah ujian itu untuk merampas daging dari jepitan sumpitnya? Dan agaknya tidak akan mudah menahan terbangnya burung itu dengan jepitan sumpit saja.

“Biar pun burung hidup, kalau sayapnya gundul, mana bisa terbang?” tiba-tiba terdengar suara Hek-i Mo-ong, sama berwibawanya dengan suara Siwananda tadi.

Burung yang tadinya menggeleparkan sayap itu tiba-tiba saja kehilangan kekuatannya dan sayap itu benar-benar telah kehilangan bulunya, menjadi gundul dan hanya dapat digerak-gerakkan naik turun dengan lemah saja!

“Hek-i Mo-ong, sepasang sumpitmu itu adalah sepasang ular!”

Dan semua orang terbelalak kaget dan heran karena begitu Siwananda mengeluarkan teriakan ini, sepasang sumpit di tangan Raja Iblis itu benar-benar berubah menjadi dua ekor ular, sedangkan burung tadi telah berubah pula menjadi sepotong daging!

“Sepasang ular yang membantuku menjaga agar daging jangan terlepas!” Hek-i Mo-ong menyambung, dan dua ekor ular itu kini ‘menari–nari’ berlenggak-lenggok, akan tetapi daging itu mereka gigit dengan kuat-kuat sehingga tidak mungkin terlepas lagi.

Siwananda tertawa dan bangkit sambil menjura. “Hek-i Mo-ong memang hebat dan kami mengucapkan selamat kepada Yong-taijin yang telah memperoleh seorang calon koksu yang amat pandai!”

Kakek Gurkha ini lalu memberi hormat kepada Gubernur Yong. Pembesar ini merasa girang sekali, memandang kepada Hek-i Mo-ong yang kini mengantar sepotong daging dengan sepasang sumpitnya yang telah kembali berbentuk sumpit biasa itu ke mulut, lalu makan dengan lahapnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Ceng Liong merasa bangga dan girang. Ia menghampiri gurunya dan berkata, “Mo-ong, aku mengucapkan selamat atas pengangkatanmu sebagai koksu!” Dan dengan hati setulusnya anak ini mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat!

“Ha-ha-ha, terima kasih, Ceng Liong. Akan tetapi aku belum menjadi koksu, hanya baru calon koksu saja. Mudah-mudahan semua usaha kita bersama ini berhasil sehingga aku benar-benar menjadi koksu dan engkau menjadi seorang pemuda bangsawan, murid koksu. Ha-ha-ha!”

Tailucin, Thai Hong Lama, dan Pek-hin Tok-ong juga memberikan ucapan selamat atas kemenangan dan keberhasilan Hek-i Mo-ong menempuh ujian itu.

Dan Thai Hong Lama yang tadi merasa betapa suara sulingnya sudah dikacaukan oleh anak itu sehingga memudahkan Hek-i Mo-ong memperoleh kemenangan atas dirinya, lalu menambahkan, “Omitohud.... Mo-ong, muridmu ini benar-benar hebat dan kelak dia akan lebih hebat dan lebih jahat dari pada gurunya!”

Dikatakan jahat bagi seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong sama saja dengan menerima pujian! Maka dia pun tertawa bergelak. Akan tetapi Ceng Liong memandang pendeta Lama itu dengan mata mendelik, lalu terdengar dia berkata lantang.

“Lama, jangan sembarangan saja bicara! Aku bukan seorang penjahat dan tidak akan menjadi seorang penjahat biar pun aku mempelajari ilmu dari Hek-i Mo-ong!”

Tentu saja semua orang menjadi heran mendengar ucapan anak itu, akan tetapi Hek-i Mo-ong tertawa semakin keras karena dia melihat betapa lucunya keadaan yang ditimbulkan oleh sikap muridnya yang aneh ini. Semakin aneh watak muridnya, semakin sukalah hati Hek-i Mo-ong, karena bagi kaum sesat, yang diutamakan adalah keanehan dan sifat yang lain dari pada orang lain, dan menerjang semua hukum-hukum yang telah ada tanpa memperdulikan tata susila atau kesopanan pula.

Gubernur Yong yang diam-diam tidak suka dengan watak orang-orang ini, akan tetapi terpaksa bersikap ramah terhadap mereka karena memang dia amat membutuhkan bantuan mereka, lalu mengajak mereka untuk mulai berunding yang sesungguhnya merupakan acara inti dari pertemuan itu.

Sebagai seorang yang mengharapkan kedudukan koksu dan pembantu utama gubernur yang hendak memberontak itu, Hek-i Mo-ong mendengarkan dengan penuh perhatian. Juga Ceng Liong, walau pun belum dapat menangkap seluruh maksud dari percakapan itu, mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia mendapatkan perasaan bahwa apa yang didengarnya itu amat penting baginya.

Dengan panjang lebar dan jelas, Gubernur Yong lalu menceritakan rencana mereka bersama. Kerajaan Nepal akan mengirim pasukan yang sangat kuat dan besar untuk menyerang Tibet. Serbuan ini diharapkan dapat berhasil dalam waktu yang tidak terlalu lama dan mengandalkan bantuan dari dalam yang akan digerakkan dan diatur oleh Thai Hong Lama.

“Jangan khawatir, untuk keperluan itu pinceng telah memiliki banyak kawan sehaluan dan sewaktu-waktu tentu kami akan dapat membantu. Pendeknya, dengan bantuan kami, bala tentara Nepal tentu tidak akan sukar untuk menduduki Tibet.” Demikian Thai Hong Lama mengutarakan isi hatinya.

Menurut perjanjian mereka, setelah Tibet jatuh ke tangan Kerajaan Nepal, Thai Hong Lama yang akan diangkat sebagai penguasa Tibet, tentu saja sebagai negara taklukan dari Nepal. Dan untuk keperluan menyerbu Tibet, Gubernur Yong akan membantu, yaitu dengan mencegah datangnya bala bantuan berupa bala tentara Kerajaan Ceng.

Dengan demikian, tentu Tibet akan mudah direbut dan bantuan Gubernur Yong ini amat penting karena kalau sampai bala tentara Ceng membantu Tibet, tentu akan sukarlah daerah itu direbut oleh pasukan Nepal. Apalagi kalau bala tentara Kerajaan Ceng itu dipimpin oleh panglima-panglima pandai seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah membuat tentara Nepal kocar-kacir beberapa tahun yang lalu.

Kemudian, setelah mereka berhasil merebut Tibet, barulah mereka akan mengadakan pasukan gabungan antara bala tentara Nepal, Tibet dan pasukan-pasukan yang berjaga di barat dan telah dikuasai oleh Thong-ciangkun sebagai pembantu Gubernur Yong dan melakukan penyerbuan ke timur untuk menentang Kerajaan Ceng.

“Akan tetapi, kita harus bertindak hati-hati sekali, tidak perlu tergesa-gesa dan menanti saat yang baik. Kita harus ingat bahwa kerajaan memiliki banyak panglima yang pandai dan pasukan yang kuat,” kata sang gubernur.

“Ha-ha-ha, harap taijin tenangkan hati dan tidak perlu khawatir tentang orang-orang pandai itu. Dengan bantuan para rekan yang kini hadir, saya sanggup untuk menentang dan membasmi para jagoan kerajaan itu. Dengan bantuan teman-teman, bahkan para penghuni Pulau Es pun tidak dapat melawan kami!”

Akan tetapi, ketika bicara sampai di situ, Hek-i Mo-ong merasa betapa ada sepasang mata yang mendelik kepadanya. Dia menoleh dan terkejut melihat bahwa orang yang melotot kepadanya itu adalah muridnya. Dia sadar dan tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi ucapannya yang terakhir itu telah membuat para tokoh di situ menjadi terbelalak.

“Apa katamu? Para penghuni Pulau Es....?” kata Pek-bin Tok-ong kaget.
“Omitohud! Kau maksudkan bahwa engkau telah berhasil membunuh Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” tanya pula Thai Hong Lama yang menganggap berita itu seperti petir menyambar di siang hari panas.

Hek-i Mo-ong menjadi serba salah. Dia tahu bahwa di depan muridnya, amat tidak baik membicarakan tentang kebinasaan para penghuni Pulau Es, akan tetapi dia telah terlanjur bicara dan tidak akan dapat ditariknya kembali. Maka dia pun menarik napas panjang.

“Manusia mana di dunia ini yang sanggup mengalahkan Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es? Bahkan dewa sekali pun akan sukar mengalahkannya. Tidak, kami tidak berani melawan Pendekar Super Sakti. Kami hanya melawan isteri-isterinya dan hal itu pun mengakibatkan tewasnya banyak anak buah dan hampir semua kawan-kawanku. Mereka itu sungguh hebat bukan main. Aku sendiri nyaris binasa. Bagaimana pun juga, sekarang Pulau Es telah terbakar habis berikut para penghuninya, dan kami akan terus melakukan sampai semua pendekar yang menentang kami lenyap dari permukaan bumi. Bukankah kalau sudah begitu, gerakan taijin akan lebih mudah dilakukan?”

Gubernur Yong mengangguk-angguk, akan tetapi Pek-bin Tok-ong agaknya masih penasaran mengenai Pulau Es. “Mo-ong, kau katakan bahwa Pulau Es terbakar habis berikut para penghuninya. Benarkah itu? Apakah engkau dan kawan-kawanmu yang telah berhasil membakar pulau itu?”

Kalau saja dia tidak teringat kepada kehadiran muridnya, tentu dengan senang dan bangga sekali Hek-i Mo-ong akan membual dan mengaku bahwa dialah yang telah menghancurkan dan membakar Pulau Es. Akan tetapi, kehadiran Ceng Liong membuat dia tidak mungkin dapat membohong. Watak muridnya ini aneh sekali, siapa tahu muridnya akan membuatnya malu dan menyangkalnya kalau dia berbohong.

“Tidak, kami sisa para penyerbu telah meninggalkan pulau ketika kami melihat dari jauh pulau itu terbakar habis.” Karena tidak ingin mereka itu mendesak lebih lanjut tentang Pulau Es dan kini sikap Ceng Liong telah biasa kembali, Hek-i Mo-ong lalu berkata cepat, “Akan tetapi, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kita. Lebih baik kita sekarang melihat halangan dan hambatan apa yang kiranya akan mengganggu gerakan kita dan kita lenyapkan halangan itu.”

Semua orang mengangguk setuju dan Wakil Koksu Nepal lalu berkata, “Memang benar apa yang dikatakan Mo-ong. Kita harus menghalau semua hambatan dan ada beberapa hal yang membuat kami merasa gelisah. Pertama-tama adalah negara tetangga kami yang kecil, yakni Bhutan. Negara kecil itu menjadi penghalang besar bagi gerakan kami menyerbu Tibet karena sampai sekarang Bhutan tak mau tunduk, bahkan tidak memiliki sikap bersahabat dengan kami. Sebab itu, setiap gerakan kami yang melanggar wilayah mereka, tentu akan mereka tentang dan hal ini sungguh memusingkan dan membuang banyak tenaga kalau kami harus menggempur Bhutan lebih dulu.”

“Bhutan? Negara yang demikian kecilnya?” Gubernur Yong memandang rendah. “Apa sih kekuatan negara kecil itu? Mengapa tidak ditundukkan saja lebih dulu? Hal itu tentu jauh lebih mudah dari pada menundukkan Tibet.”

“Agaknya Yong-taijin belum mendengar. Bhutan sekarang tak dapat disamakan dengan Bhutan belasan tahun yang lalu. Biar pun negara itu kecil, akan tetapi memiliki pasukan pilihan yang amat kuat, di bawah pimpinan Puteri Syanti Dewi yang lihai dan suaminya yang lebih lihai lagi. Tidak, menyerbu Bhutan sama dengan mencari penyakit,” kata Siwananda, orang Gurkha yang menjadi Wakil Koksu Nepal itu dan sikapnya nampak jeri.

Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa heran. Wakil koksu itu sendiri begitu lihai, akan tetapi kelihatan jeri ketika menyebutkan nama seorang Puteri Bhutan dan suaminya.

“Omitohud, pinceng pernah mendengar tentang mereka dan kabarnya suami isteri itu memang luar biasa lihainya. Kabarnya, puteri itu pandai menghilang saking cepatnya ia dapat bergerak, sedangkan suaminya adalah seorang Han yang pada belasan tahun yang lalu pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Kalau tidak salah, dahulu dia berjuluk Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Sang puteri kabarnya tidak mau menggantikan ayahnya dan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang saudara laki-laki, sedangkan ia sendiri bersama suaminya menjadi panglima-panglima yang memimpin bala tentara Bhutan. Benarkah demikian, saudara Siwananda?”

Yang ditanya mengangguk membenarkan.

“Dan halangan lain, apakah itu, saudara Siwananda?” tanya sang gubernur.
“Selain adanya Bhutan yang menjadi penghalang, juga kini banyak terdapat tokoh-tokoh pertapa di Himalaya yang kabarnya diam-diam juga mengamati gerak-gerik kami. Mereka itu kadang-kadang mengambil sikap bermusuh dan agaknya mereka tentu akan ikut menentang kalau kami menyerbu Tibet. Semua ini adalah gara-gara Jenderal Kao Cin Liong yang dahulu pernah menentang kami dan di sana dia telah mempunyai banyak sahabat yang siap membantunya dan menentang kami.”

Semua orang merasa khawatir dengan berita yang tidak baik ini. “Ahh, kalau begitu.... gerakan kita menghadapi ancaman yang berat,” kata Gubernur Yong, kemudian ia teringat akan Hek-i Mo-ong yang menjadi pembantu utamanya, maka dia pun menoleh kepada Raja Iblis itu.

“Lo-sicu, kita menghadapi rintangan yang cukup berat, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?” Pertanyaan ini selain hendak memancing, juga agaknya sang gubernur ingin melihat kegunaan dari orang lihai ini.

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk sambil mengerutkan sepasang alisnya yang sudah beruban, seperti seorang ahli pikir yang sedang mengerjakan otaknya yang cerdik. “Hal itu sudah saya pikirkan sejak mendengar dari saudara Siwananda tadi, taijin. Harap taijin jangan khawatir. Kalau yang menjadi penghalang itu berupa pasukan besar, tentu saja yang harus menghalaunya juga pasukan yang lebih kuat lagi. Akan tetapi kalau yang dikhawatirkan itu perorangan, seperti suami isteri bangsawan Kerajaan Bhutan itu atau tokoh-tokoh pertapa di Himalaya, serahkan saja kepada saya, tentu akan dapat saya enyahkan mereka!”

Sang gubernur mengangguk-angguk gembira. “Lalu, sekarang apa yang hendak sicu lakukan?”
“Perkenankan saya dan murid saya pergi ke Bhutan dan Himalaya untuk melakukan penyelidikan dan saya akan membasmi setiap orang yang hendak menentang gerakan kita dari Nepal ke Tibet lalu ke timur.”
“Omitohud....! Itulah cara yang terbaik!” kata Thai Hong Lama. “Kalau Mo-ong mau membantu, nanti akan pinceng tunjukkan siapa-siapa orangnya yang patut dibasmi. Kita dapat bekerja sama, Mo-ong.”
“Aku pun telah mengenal mereka yang berpihak kepada Kerajaan Ceng!” kata Pek-bin Tok-ong. “Dan engkau bisa mendapatkan bantuanku untuk menghantam para pertapa itu, Mo-ong.”

Hek-i Mo-ong mengangguk. “Baik, kalau perlu, aku akan menghubungi kalian di sana. Akan tetapi, agaknya untuk melaksanakan pekerjaan yang ringan ini aku tidak akan membutuhkan bantuan orang lain.”

“Dan kami akan mempersiapkan pasukan kami di perbatasan utara dan Tibet. Harap saudara Siwananda selalu mengirim kurir penghubung agar kami selalu dapat mengikuti sampai di mana majunya gerakan dari Nepal,” kata Tailucin.
“Baik, kami tentu selalu menghubungi pasukanmu, saudara Tailucin, jangan khawatir,” jawab orang Gurkha itu.

Perjamuan dilanjutkan dengan meriah dan gembira. Kemudian sang gubernur dengan royal lalu membagi-bagi hadiah berupa barang-barang berharga kepada mereka semua sebelum mereka bubaran. Hek-i Mo-ong menerima sekantung uang emas sebagai bekal, juga dua ekor kuda yang sangat baik. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong telah berangkat menunggang kuda menuju ke barat…..

********************
“Sumoi, engkau lihat bagaimana dengan kemajuan latihanku? Sudah selama empat bulan aku berlatih menurut petunjuk suhu, aku khawatir masih belum sempurna,” kata Louw Tek Ciang, pemuda yang diambil murid dan diambil calon mantu pula oleh Suma Kian Lee itu, pada suatu pagi kepada Suma Hui yang sedang bertugas mengawasi dan membimbingnya.

Mereka berada di halaman samping rumah yang juga merupakan sebuah taman bunga. Entah sudah berapa puluh kali pemuda itu selalu minta pendapat dara itu. Suma Hui menganggap pertanyaan itu lumrah saja, dan ia sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda itu sengaja bertanya agar kembali diuji oleh Suma Hui. Dan cara mengujinya adalah mengadu telapak tangan, suatu hal yang amat disuka oleh pemuda itu.

“Dua pekan yang lalu latihanmu sudah hampir sempurna, suheng. Kurasa sekarang engkau tentu sudah paham benar,” jawab Suma Hui yang sedang memotongi daun-daun bunga yang ditempeli telur belalang.
“Maukah engkau mencoba dan mengukur latihan dasar sinkang yang kupelajari, sumoi?” Tek Ciang memohon dan seperti biasa.

Suma Hui tidak menolaknya. Biar pun tadinya ia merasa tidak puas melihat ayahnya menerima pemuda ini sebagai murid, akan tetapi setelah bergaul selama empat bulan, sikap Tek Ciang selalu baik kepadanya, ramah dan sopan, sehingga tidak ada alasan bagi Suma Hui untuk membencinya, walau pun hal itu bukan berarti bahwa ia suka kepada pemuda ini. Ada sesuatu dalam sikap pemuda ini, mungkin sikap yang terlalu sopan dan terlalu manis itu, yang membuatnya selalu curiga dan kepercayaan hatinya belum penuh kepada suhengnya ini.

“Tentu saja. Nah, marilah kita mulai!” kata Suma Hui.

Dengan girang Tek Ciang Lalu memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan suhu-nya, menggerakkan kedua lengannya ke atas bawah kemudian bersilang dan pada saat itu mendorongkan kedua lengannya ke depan dengan tangan terbuka sambil mengerahkan tenaga. Suma Hui yang berdiri di depannya menyambut tangan yang didorongkan itu dengan kedua tangannya sendiri.

“Plakkk!”

Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan seperti biasa, Tek Ciang merasakan telapak tangan yang lunak, halus dan hangat, membuat jantungnya berdebar penuh gairah.

Suma Hui mengerutkan alisnya. Pemuda ini memang berbakat dan agaknya telah menguasai tehnik latihan dasar dari Pulau Es, yaitu dasar sinkang yang kemudian dapat dilanjutkan dengan latihan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan tetapi, seperti juga dua pekan yang lalu, pada akhir getaran itu terdapat kekacauan yang hanya terjadi kalau pemuda itu kurang memusatkan perhatian pada getaran melalui telapak tangan itu. Ini menjadi tanda bahwa pikiran pemuda itu melayang atau terkacau oleh sesuatu.

“Suheng, engkau telah berhasil baik, hanya masih saja engkau belum bisa memusatkan seluruh perhatianmu kepada telapak tangan yang mendorong. Aku merasakan adanya kekacauan pada akhir getaran itu. Apa sih yang kau pikirkan setelah engkau melakukan gerakan mendorong itu?”

Apa lagi yang mengacaukan pikiranku kalau bukan telapak tanganmu yang lunak, halus dan hangat itu, demikian pikir Tek Ciang. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk berkata demikian lancang, maka dia pun mengambil sikap menyesal. “Ahhh, dasar aku yang bodoh, sumoi. Aku selalu merasa ragu-ragu akan kemampuan sendiri sehingga pada saat aku mendorong, aku merasa khawatir kalau-kalau salah.”

“Aihh, engkau terlalu merendahkan diri, suheng. Gerakanmu sudah benar, dan engkau pun sudah menguasai dasar penghimpunan tenaga sinkang dari keluarga kami. Aku mengucapkan selamat, suheng.”
“Dan engkau terlalu memuji, sumoi, padahal aku belum bisa apa-apa. Memang engkau amat baik hati, sumoi. Engkaulah gadis yang paling baik, paling gagah perkasa, paling cantik jelita, yang pernah kukenal.”
“Suheng....!” Suma Hui berseru agak keras untuk menegur, akan tetapi mukanya sudah berubah merah. Bagaimana pun juga, suhengnya ini hanya memujinya, jadi tidak ada alasan baginya untuk marah-marah.
“Aku hanya bicara apa adanya, sumoi....” Tek Ciang melanjutkan rayuannya.
“Sudahlah, aku tidak suka bicara tentang diriku....”
“Tapi, sebaliknya aku suka sekali....”

Pada saat itu, terdengar langkah orang di atas lorong berkerikil yang menuju ke taman itu dari luar. Keduanya mengangkat muka memandang.

“Siapa engkau berani masuk ke sini tanpa ijin.....?” Tek Ciang membentak marah akan tetapi dia menghentikan tegurannya ketika melihat sikap sumoi-nya berubah menjadi amat gembira.
“Cin Liong....!” Suma Hui berseru gembira dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ berdiri orang lain, tentu ia sudah berlari menghampiri pemuda yang baru datang itu.
“Hui-i....!” Cin Liong juga berseru girang, akan tetapi dia pun berhenti berdiri saja sambil memandang kepada pemuda tampan bermuka putih dan pesolek yang tidak dikenalnya itu.

Melihat sikap Cin Liong yang ragu-ragu, Suma Hui lalu memperkenalkan, “Cin Liong, dia ini adalah suheng Louw Tek Ciang, murid ayah yang baru empat bulan diangkatnya.”

“Ahh....!” Cin Liong kelihatan terkejut dan juga girang, kemudian teringat bahwa menurut kedudukan, dia lebih rendah, maka dia pun menjura dengan sikap hormat kepada pemuda itu sambil berkata, “Susiok....!”

Sekarang giliran Tek Ciang yang termangu-mangu. Pemuda yang baru datang ini tadi menyebutnya susiok (paman guru)! “Sumoi.... siapakah orang ini....?” tanyanya gagap dan bingung.
“Suheng, dia bernama Kao Cin Liong dan dia ini adalah.... ehh, seorang keponakanku.”

Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan dia memandang Suma Hui dan Cin Liong bergantian dengan sinar mata tidak percaya. “Keponakan....? Tapi.... tapi…. mana mungkin....?”

Suma Hui tersenyum. Kegembiraannya melihat kedatangan kekasihnya itu terlalu besar untuk dapat diganggu oleh keheranan dan kebingungan Tek Ciang. “Sudahlah, suheng. Engkau tidak mengerti dan terlalu panjang kalau diterangkan. Biarlah lain kali saja kuceritakan dan sekarang kuharap engkau suka meninggalkan kami dan membiarkan kami bercakap-cakap.”

Tek Ciang merasa terpukul. Dia menunduk dengan muka merah, sekali lagi mengerling ke arah Cin Liong lalu berkata, “Baiklah, sumoi, baiklah....”

Dia pun pergi dari situ menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kamarnya di dekat lian-bu-thia, yakni ruangan berlatih silat.....

Melihat pemuda itu telah pergi, Suma Hui lalu memandang kekasihnya. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Suma Hui tersenyum, sepasang matanya agak membasah. Selama ini dara itu merasa rindu bukan main kepada kekasihnya dan merasa seolah-olah kehidupan menjadi sepi dan lesu. Kini, kemunculan Cin Liong yang tiba-tiba itu membuat hidup seolah-olah menjadi cerah dan penuh dengan sinar kebahagiaan.

“Cin Liong, mari bicara di dalam....,” ajaknya dengan gembira dan ia pun mengulurkan tangan kanan untuk menggandeng tangan pemuda itu.

Melihat sikap kekasihnya ini, tentu saja Cin Liong merasa gembira sekali, akan tetapi juga membuatnya ragu-ragu dan takut.

“Ayah ibumu....?” bisiknya khawatir ketika tangan mereka sudah saling bergandengan dalam pertemuan antara jari jemari tangan yang hangat dan bergetar mesra penuh perasaan rindu dan sayang.
“Mereka telah pergi empat bulan yang lalu, mencari Ciang Bun dan sampai kini belum kembali. Di rumah kosong tidak ada orang....”
“Dan susiok tadi?”
“Ahhh, jangan terlalu banyak peraturan. Tidak patut engkau menyebut susiok kepada pemuda yang baru belajar itu. Dia disuruh tinggal di kamar belakang oleh ayah, untuk melatih diri dengan dasar sinkang kami dan aku membimbingnya. Mari, Cin Liong....” Mereka bergandengan tangan dan berjalan memasuki rumah itu dari pintu samping, menuju ke ruangan depan atau ruangan tamu.

Begitu tiba di ruangan itu, keduanya kembali saling berpandangan dengan tangan masih bergandengan dan agaknya seperti ada daya tarik yang luar biasa membuat keduanya makin mendekat dan tahu-tahu mereka telah berangkulan dan berdekapan, entah siapa yang lebih dahulu memulai gerakan itu.

“Hui....,” bisik Cin Liong.
“Cin Liong....” Dan seperti secara otomatis, pemuda itu mengangkat dagu Suma Hui dan menciumnya. Suma Hui mendesah, tubuhnya tergetar dan matanya terpejam, kemudian ia menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu, menghela napas lega dan bahagia.

“Aku.... aku sudah bertemu dengan ayah ibuku, dan aku sudah minta kepada mereka untuk datang ke sini meminangmu, mungkin dalam waktu dua tiga bulan ini....,” bisik Cin Liong.

Suma Hui hanya mengangguk, hatinya terharu bukan main, keharuan yang timbul akibat kegirangan dan kekhawatiran bercampur menjadi satu.

“Dan engkau.... sudahkah orang tuamu mengetahui?”

Suma Hui hanya menarik napas panjang, kemudian melepaskan dirinya dari rangkulan, dan menggandeng tangan kekasihnya untuk duduk di atas bangku. Mereka duduk berhadapan, terhalang meja. Tangan mereka masih saling berpegangan di atas meja. Kemudian Suma Hui menceritakan keadaannya, bahwa ia sudah berterus terang pada ibunya dan bahwa ibunya agaknya tidak berkeberatan.

“Ahh, bagus sekali! Jadi ibumu setuju? Ayah ibuku tadinya terkejut dan meragu, akan tetapi dengan bijaksana mereka akhirnya juga setuju, walau pun mereka masih merasa takut-takut untuk melakukan peminangan atas dirimu.”
“Ibuku amat bijaksana dan mencintaku. Dia setuju sepenuhnya, tetapi ibu menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ayahku yang tidak setuju.”
“Lalu bagaimana dengan ayahmu?” tanya Cin Liong khawatir.
“Entahlah, aku minta tolong ibu untuk memberitahukan ayah, dan aku tidak tahu apakah hal itu sudah dilakukan dan tidak tahu pula bagaimana tanggapan ayah....”
“Aihh, aku merasa khawatir sekali.... jangan-jangan beliau tidak setuju....”

Melihat wajah kekasihnya muram dan agak pucat, Suma Hui mencengkeram tangan kekasihnya. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya berapi-api ketika ia berkata, “Baik ayah mau pun segala dewa dan siluman di dunia ini, tidak akan ada yang dapat menghalangiku berjodoh denganmu!”

Cin Liong memejamkan mata, mengusir kengerian yang membayang di matanya. Dia mengenal benar watak kekasihnya ini yang amat keras dan memiliki tekad sekuat baja yang tak mungkin ditekuk sampai bagaimana pun juga. Dia khawatir kalau-kalau jalinan cinta mereka ini akan mengakibatkan kemelut dan mala petaka di dalam keluarga itu.

“Kita harus tenang dan menghadapi segala sesuatu dengan tabah, tanpa kekerasan. Ingat, Hui, andai kata ada yang menentang, maka yang menentang itu bukan orang lain, melainkan orang tua kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mempergunakan kebijaksanaan dan menjauhkan kekerasan antara keluarga yang hanya akan mendatangkan kedukaan besar.”

Suma Hui merangkul lagi, menyembunyikan mukanya yang kini dibayangi kekhawatiran itu di dada kekasihnya. Sepasang kekasih ini lalu bicara bisik-bisik sampai beberapa lamanya, sama sekali tidak tahu bahwa segala percakapan mereka telah didengarkan telinga lain dan segala yang terjadi antara mereka telah ditonton mata orang lain yang penuh dengan kemarahan, mata yang beringas kemerahan, mata dari Louw Tek Ciang!

Biar pun mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali Cin Liong, namun saat itu mereka lengah. Gelora asmara yang sedang mengamuk dan melanda hati mereka mengurangi kewaspadaan. Selain itu, juga Tek Ciang amat cerdik. Sebelum dua orang muda itu masuk ruangan itu, dia telah lebih dulu berada di tempat persembunyiannya sehingga dia dapat mengintai tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.

“Aku akan pergi mencari rumah penginapan dulu, Hui-i....”
“Hishh, masa engkau masih harus terus menyebut i-i (bibi) kepadaku? Tidak pantas!” sela Suma Hui.

Cin Liong tersenyum, “Ah, segala macam sebutan dalam huhungan keluarga yang jauh masih terus dipertahankan orang, sungguh membuat kita merasa canggung saja. Di dalam hatiku, tentu saja aku menyebutmu Hui-moi (dinda Hui)....”

“Kenapa mesti lain di mulut lain di hati? Sebut saja begitu!”
“Tapi kalau terdengar orang....”
“Perduli apa dengan orang lain? Cin Liong, hidup kita tidak mungkin dapat seterusnya disandarkan pada pendapat orang lain, bukan?”

Cin Liong menarik napas panjang. “Baiklah, Hui-moi. Memang manusia amatlah lemah, sukar sekali dan merasa takut meninggalkan kebiasaan lama atau tradisi, dan aku agaknya termasuk satu di antara manusia-manusia lemah itu. Selanjutnya aku akan banyak belajar tabah dan berani menghadapi kenyataan seperti engkau. Nah, aku pergi dulu, Hui-moi. Sore nanti aku akan datang berkunjung.”

“Baik, kita makan bersama sore ini di sini, Cin Liong. Aku akan masak-masak untukmu.”
“Baiklah, tentu lezat sekali masakanmu.”

Mereka lalu bangkit berdiri dan dengan bergandeng tangan meninggalkan ruangan itu menuju keluar. Cin Liong kemudian meninggalkan kekasihnya yang mengantar dengan pandang mata mesra dan wajah berseri-seri. Setelah berpisah dari kekasihnya, barulah kewaspadaan Cin Liong timbul kembali sehingga dia dapat melihat bahwa ada orang membayanginya dari jauh!

Hatinya tertarik sekali dan juga merasa terheran-heran setelah mendapatkan kenyataan bahwa yang membayanginya itu adalah Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng dari Suma Hui dan yang tadi disebutnya susiok itu! Diam-diam dia merasa geli hatinya. Apakah suheng yang tolol itu diutus oleh Suma Hui untuk membayanginya dan untuk melihat di rumah penginapan mana dia bermalam?

Ahhh, apakah kekasihnya akan melakukan hal yang sebodoh itu? Ataukah pemuda itu sendiri yang membayanginya, mungkin karena pemuda itu belum begitu mengenalnya dan merasa curiga dan seolah-olah hendak ‘melindungi’ sumoi-nya? Bagaimana pun juga, Cin Liong tidak mau membuat ‘susiok-nya’ itu menjadi tidak enak hati dan malu kalau dia memperlihatkan bahwa dia tahu akan perbuatan pemuda pesolek itu, maka dia pura-pura tidak tahu dan memilih kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah memperoleh kamar dia keluar lagi untuk melihat. Ternyata ‘susiok’ itu telah lenyap dan dia pun tersenyum sendiri.

Dengan napas terengah karena hampir seluruh perjalanan menuju ke rumah ayahnya dilakukan sambil berlari cepat, Tek Ciang menghadap ayahnya. Guru silat Louw terkejut melihat puteranya datang terengah-engah seperti itu dan cepat menyambutnya.

“Wah, celaka, ayah! Aku tidak sudi menikah dengan Suma Hui....!”
“Hushhh....!” Louw-kauwsu terkejut bukan main, cepat menarik tangan anaknya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya. “Ucapan apa itu?” bentaknya ketika dia berada aman di dalam kamar bersama puteranya.

“Siapa sudi menikah dengan gadis seperti itu? Ia gadis tak tahu malu, ayah, berpacaran dengan keponakannya sendiri!” Dengan suara mengandung kemarahan Tek Ciang lalu menceritakan semua yang telah didengar dan dilihatnya ketika pemuda bernama Kao Cin Liong datang berkunjung ke rumah suhu-nya.

Bukan main kaget dan heran hati Louw Kam mendengar penuturan puteranya. Sungguh merupakan hal yang amat aneh dan sukar dapat dipercaya.

“Benarkah ceritamu itu? Benarkah pemuda itu keponakannya?”

Kalau Suma Hui mempunyai seorang pacar, hal itu masih dianggapnya biasa walau pun tentu saja tidak menyenangkan. Akan tetapi berpacaran dengan seorang keponakan sendiri? Mustahil rasanya!

“Aku pun tadinya tidak percaya, ayah. Akan tetapi setelah diperkenalkan, orang itu mengaku keponakan Suma Hui, bahkan dia menyebut aku susiok.”
“Jangan-jangan hanya murid keponakan saja, bukan keluarga.”
“Dia menyebutnya Hui-i, berarti sumoi adalah i-i-nya, bukan hanya sekedar bibi gurunya. Ayah, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis tak tahu malu begitu!”

“Tolol! Engkau menjadi murid, bahkan calon mantu seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Lee-taihiap, dan engkau mengatakan tidak sudi! Kita harus berusaha untuk menggagalkan hubungan mereka. Aku yakin kalau Suma-taihiap mengetahui hubungan antara puterinya dan keponakan puterinya itu, tentu dia akan menentang. Bukankah dia sudah memilih engkau untuk menjadi calon menantunya? Pula, kurasa hubungan itu hanya hubungan akrab antara bibi dan keponakannya saja.”

“Hubungan akrab? Ayah, kalau mereka itu sudah saling berpelukan, saling berdekapan, saling berciuman bibir, mungkin sekali mereka itu sudah saling bermain cinta, tidur bersama....!” kata Tek Ciang marah.

“Hushh....! Tahan mulutmu. Pemuda itu pun sungguh jahat dan kurang ajar. Kalau benar dia itu keponakan Suma Hui, kenapa dia berani bermain gila dengan bibi sendiri? Tek Ciang, kita adalah calon keluarga Suma-taihiap, dan engkau sendiri malah muridnya yang ditugaskan menemani nona Suma di rumah. Kini, pemuda itu datang mengacau, kita harus melindungi kehormatan calon isterimu. Aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh pemuda tidak sopan itu. Di mana dia?”

Louw-kauwsu tentu saja marah dan khawatir sekali melihat bahaya kegagalan ikatan jodoh antara puteranya dan puteri Suma Kian Lee. Hal ini berarti akan hancurnya semua kebanggaan hatinya dapat berbesan dengan keturunan Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang amat terkenal itu.

“Tadi aku membayanginya dan dia bermalam di hotel Tong-an, kamar nomor lima yang berada di bagian kiri.”
“Baik, engkau jangan ikut-ikut. Malam ini akan kubereskan dia! Kukira itu satu-satunya jalan untuk membela kehormatan calon mantuku dan melenyapkan saingan untukmu. Nah, kau kembalilah ke rumah suhu-mu dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.”
“Tapi, ayah....!” Tek Ciang yang merasa cemburu dan panas hatinya membantah karena sudah tertanam rasa tidak senang dan bahkan kebencian terhadap diri Suma Hui yang mengecewakan hatinya.

“Diam! Engkau harus mentaati perintahku. Ketahuilah bahwa aku melakukan semua ini demi masa depanmu sendiri, tahu?” Tek Ciang tidak berani membantah lagi, kemudian kembalilah dia ke rumah keluarga Suma.

Bagaimana pun juga Tek Ciang adalah seorang pemuda yang cerdik dan amat pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Ketika sore hari itu Cin Liong datang dan dia pun diundang untuk makan bersama, dia duduk semeja dengan Cin Liong dan Suma Hui menikmati masakan gadis itu. Biar pun Cin Liong dan Suma Hui menjaga sikap mereka sehingga tidak menonjolkan kemesraan di antara mereka, namun Tek Ciang merasa sekali adanya kemesraan itu di dalam pandang mata, senyum dan suara mereka. Tentu saja hatinya terasa panas membakar, namun dia menekannya dan diam saja. Akan tetapi begitu selesai makan, dia pun berpamit dengan alasan untuk berlatih di dalam kamarnya.

Cin Liong bercakap-cakap dengan Suma Hui. Dia mengatakan bahwa dia akan tinggal beberapa hari saja di Thian-cin, karena kedatangannya itu hanya untuk menyampaikan berita tentang akan datangnya orang tuanya ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan.

Mereka bercakap-cakap dengan santai dan tentu saja dengan mesra, seperti yang hanya dapat dirasakan oleh dua orang yang saling mencinta. Kekhawatiran yang timbul bahwa hubungan mereka akan ditentang oleh ayah gadis itu, dapat mereka lenyapkan dengan kebulatan tekad mereka bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka berdua akan menghadapinya bersama dan takkan ada apa pun di dunia ini yang dapat menghalangi huhungan mereka dan niat mereka untuk menjadi suami isteri!

Senja telah berganti malam ketika Cin Liong meninggalkan rumah kekasihnya. Bagai mana pun juga, dia dan Suma Hui masih menjaga anggapan orang luar yang kurang baik sehingga pemuda itu bermalam di rumah penginapan. Dia pun tidak berani terlalu malam bertamu walau pun hatinya merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya. Dia berjalan menuju ke rumah penginapan Tong-an dengan mulut tersenyum dan hati yang penuh rasa bahagia. Biar pun usianya sudah dua puluh sembilan tahun, namun baru dua kali inilah Cin Liong jatuh cinta.

Pertama kali, cintanya terhadap pendekar wanita Bu Ci Sian mengalami kegagalan karena cintanya tidak terbalas dan semenjak itu, dia tidak pernah mengalami jatuh cinta lagi sampai dia bertemu dengan Suma Hui. Maka, kebahagiaan yang terasa di hatinya membuat pemuda ini melenggang dengan senangnya, seperti seorang pemuda remaja mengalami cinta pertama saja.

Cin Liong adalah seorang jenderal muda yang namanya sudah amat terkenal di kota raja, di antara prajurit dan perwira, juga terkenal di dunia sesat, di antara para datuk yang menganggapnya sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai, putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, rakyat tidak mengenalnya karena dia selalu pergi dengan pakaian preman, bagaikan seorang pemuda pelajar biasa. Hanya pada waktu memimpin pasukan sajalah maka ia berpakaian seragam seorang panglima. Kebiasaan berpakaian preman ini dilakukan karena memudahkan dia dalam tugasnya untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan rahasia.

Itulah sebabnya, walau pun Thian-cin sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari kota raja, akan tetapi ketika pemuda ini melenggang menuju ke hotelnya, tidak ada yang mengenalnya sebagai Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu.

Demikian pula Louw Kam atau Louw-kauwsu bersama dua orang pembantunya yang membayanginya sejak tadi, sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang dibayangi dan hendak diserang itu adalah seorang panglima kerajaan yang ternama, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti. Andai kata Louw-kauwsu tahu akan hal ini, tentu dia akan menghitung sampai seribu kali sebelum dia berani menggunakan tindakan menyerang pemuda ini dan tentu akan menggunakan akal lain.

Penyerangan itu dilakukan ketika Cin Liong tiba di lorong yang gelap dan sepi itu. Ketika ada tiga orang laki-laki menyerangnya dari belakang dan kanan kiri, mempergunakan golok dan pedang. Cin Liong cepat mengelak, melompat ke depan, lalu membalikkan tubuhnya.

Penyerangan gelap merupakan hal yang tidak aneh baginya, bahkan dia sudah hampir terbiasa oleh peristiwa seperti ini. Dalam tugasnya, sudah sering kali dia menghadapi penyerangan gelap yang dilakukan oleh pihak lawan. Orang-orang ini tentu kaki tangan pemberontak, atau mata-mata yang mengenalinya dan yang berusaha membunuhnya dengan jalan membokong. Dia pun tidak merasa heran ketika melihat bahwa dia sama sekali tidak mengenal tiga orang ini.

Sementara itu, melihat betapa serangan mereka yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan, Louw-kauwsu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Tadinya sudah dibayangkannya bahwa pemuda itu akan dapat dirobohkan dengan sekali serang saja.

Maka dia pun lantas membentak marah, “Penjahat cabul perusak anak gadis orang, rasakan pedangku!” Dan dia pun sudah menyerang lagi dengan tusukan pedangnya ke arah dada Cin Liong.

“Wirrrrr....!”

Cin Liong mengelak lagi. Pemuda ini agak heran mendengar tuduhan orang. Biasanya, kalau dia diserang orang-orang secara menggelap, tentu ada hubungannya dengan tugas dan kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi sekali ini dia diserang orang dengan tuduhan menjadi penjahat cabul perusak anak gadis orang! Tentu saja dia menjadi penasaran sekali.

“Ehhh, nanti dulu, sobat. Kalian salah melihat orang!” bantahnya.

Akan tetapi, dua orang pembantu Louw Kam sudah menyerangnya dari kanan kiri, menggunakan golok mereka. Serangan mereka jelas adalah serangan untuk membunuh dengan gerakan yang cepat, kuat dan keji sekali. Dan memang dua orang ini adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang telah disewa oleh Louw Kam untuk membantunya membunuh pemuda yang dianggapnya menjadi penghalang dan pengacau besar itu.

Karena menghadapi serangan maut, Cin Liong tidak tinggal diam lagi. Cepat tubuhnya berkelebat ke belakang dan pada saat dua batang golok itu menyambar, dia bergerak seperti kilat ke depan sambil menggerakkan kaki kiri dan tangan kanannya.

“Bukkk! Dessss....!”

Dua orang itu terpelanting, golok yang berada di tangan mereka terpental dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Yang seorang tertendang patah tulang lututnya, dan orang ke dua terkena tamparan dan patah-patah tulang pundaknya.

Melihat ini, Louw Kam makin kaget dan juga makin penasaran. Dua orang pembantunya itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang walau pun tidak memiliki ilmu silat terlalu tinggi, akan tetapi cukup dapat diandalkan. Siapa kira dalam segebrakan saja mereka sudah roboh dan tidak berdaya menghadapi pemuda yang tadinya dianggap sebagai makanan lunak itu.

Karena sudah terlanjur, guru silat yang ambisius ini kemudian menyerang lagi dengan pedangnya. Cin Liong dapat mengenali jurus ilmu silat yang baik, jauh lebih baik dan lebih tangguh dibandingkan dua orang pertama tadi, maka dia pun dapat menduga bahwa tentu orang ke tiga inilah pemimpinnya. Dia cepat mengelak dan membiarkan tusukan itu lewat di samping tubuhnya dan dengan perlahan dia mendorong dengan tangan kirinya. Louw Kam tak dapat menahan hawa dorongan dahsyat itu dan dia pun terjengkang!

Akan tetapi, Louw Kam sudah meloncat bangun lagi. Dia menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa hal ini tidak diselidiki lebih dahulu. Betapa bodohnya dia. Tentu saja seorang anggota keluarga Pulau Es memiliki kepandaian yang tinggi!

Kenekatan Louw Kam membuat dia dapat meloncat bangun dan segera menyerang lagi, kini menggunakan jurus-jurus dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Biar pun baru diserang beberapa kali, Cin Liong sudah dapat mengenali dasar gerakan silat Siauw-lim-pai ini, maka dia pun mengelak lagi, merasa ragu menjatuhkan atau melukai lawan.

“Nanti dulu, sobat. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Kenapa tanpa sebab engkau menyerangku?”

Makin jelaslah bagi Louw-kamsu bahwa pemuda ini benar-benar seorang ahli silat yang pandai sehingga dalam beberapa jurus saja sudah mengenal dasar ilmu silatnya. Dia merasa makin menyesal, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berterus terang. Terus terang sama saja artinya dengan membongkar rahasianya. Jalan satu-situnya hanyalah membunuh orang ini.

Dia menyerang lagi tanpa menjawab dan sekarang dia menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar ketika menyambar ke depan, dibarengi bentakannya yang nyaring.

Cin Liong menjadi marah. Dia pun tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai ada pula yang murtad, di antaranya adalah mendiang Kaisar Yung Ceng sendiri. Maka tentu orang di depannya ini juga seorang murid Siauw-lim-pai yang telah murtad, atau bukan murid Siauw-lim-pai yang mencuri ilmu perguruan silat itu. Dia harus dapat membongkar rahasia penyerangan ini dan untuk itu, dia tidak akan membunuh lawannya.

“Bressss....!”

Serangan Louw Kam disambut oleh Cin Liong dengan sebuah tendangan kilat yang amat dahsyat dan membuat tubuh guru silat itu terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah. Diam-diam guru silat itu merasa terkejut bukan main. Jika bukan seorang sakti, mana mungkin menghadapi serangan pedangnya tadi dengan tendangan yang membuatnya terlempar?

Dia merasa sakit pada iganya, maklum bahwa ada tulang iganya yang patah. Akan tetapi, tidak ada jalan lain baginya. Menyerah dan mengaku berarti akan mencelakakan namanya dan nama puteranya. Kalau sampai terdengar oleh Suma Kian Lee bahwa dia sudah mengajak dua orang pembunuh bayaran berusaha membunuh cucu keponakan pendekar itu, sungguh dia tak berani membayangkan apa yang akan menjadi akibatnya sehubungan dengan rencana perjodohan antara puteranya dan puteri pendekar sakti itu!

Satu-satunya jalan hanyalah melawan dan berusaha sedapat mungkin untuk membunuh pemuda ini. Dua orang kawannya sudah dapat bangkit kembali dan mereka kini sudah maju pula, biar pun dengan terpincang-pincang. Ternyata dua orang pembunuh bayaran itu juga memegang teguh janji mereka dan biar pun mereka sudah terluka, melihat betapa Louw-kauwsu melawan terus, mereka pun mencoba untuk membantunya.

Diam-diam Cin Liong merasa heran dan juga penasaran. Dia sudah menghajar orang-orang ini, akan tetapi mereka nekat terus. Apakah yang menyebabkan mereka begini nekat dan membencinya? Tentu ada sebabnya, dan mungkin juga hanya suatu kesalah pahaman belaka.

Maka, ketika mereka menerjang lagi, dia pun cepat bergerak dan mendorong mereka sampai mereka terlempar jauh ke belakang. Sekali ini, dua orang pembantu Louw Kam tidak dapat bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh saja. Louw Kam sendiri mengalami patah tulang pundak kirinya dan dia maklum bahwa melawan terus tidak ada artinya.

Pemuda itu sungguh terlampau kuat untuk dilawan olehnya. Dan ia tahu bahwa pemuda itu agaknya hendak menangkapnya dan hendak memaksanya mengaku mengapa dia dan dua orang temannya melakukan serangan-serangan tanpa alasan. Hal ini membuat Louw Kam menjadi bingung sekali.

Tetapi tiba-tiba dia memperoleh jalan terbaik untuk menolong nama puteranya dan juga menjatuhkan fitnah buruk terhadap pemuda yang kini menjadi penghalang kebahagiaan puteranya ini. Melihat betapa kedua orang temannya menggeletak tidak jauh dari tempat dia roboh, cepat dia menggerakkan pedangnya. Dua kali dia menusuk dan pedangnya menembus jantung dua orang pembantunya itu. Darah muncrat-muncrat dan mereka berkelojotan dalam sekarat.

“Heiiii!” Cin Liong berseru kaget melihat perbuatan laki-laki murid Siauw-lim-pai itu. Dia melihat orang itu meloncat dan melarikan diri. Tentu saja dia tak mau membiarkan orang itu lari.
“Tunggu dulu, jangan lari!” bentaknya.

Dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul. Akan tetapi, tiba-tiba Louw Kam membalik dan menggunakan pedang di tangannya menggorok leher sendiri.

“Celaka....!” Cin Liong berteriak.

Cepat kakinya menendang lengan yang memegang pedang. Namun karena perbuatan guru silat itu sama sekali tidak pernah diduganya, meski tendangan itu tepat mengenai lengan dan pedang itu terlempar, akan tetapi leher orang she Louw itu sudah tergorok hampir putus dan tubuh Louw Kam berkelojotan lalu tewas tak lama kemudian!

Sejenak Cin Liong termenung, memandangi tiga mayat itu dengan hati sedih. Banyak orang jahat memusuhinya, akan tetapi setiap kali dia merobohkan lawan, tentu dia mengenal siapa lawan itu dan apa sebabnya lawan menyerangnya. Akan tetapi, tiga orang ini menyerangnya tanpa alasan dan mereka mati bukan di tangannya. Mengapa mereka begitu nekat? Mengapa pemimpin mereka itu sampai tega membunuh kawan-kawan sendiri kemudian membunuh diri?

Hanya satu jawaban, yakni bahwa orang itu tentu menyimpan rahasia dan tidak ingin diketahui rahasianya, tidak ingin dikenal dan lebih baik mati dari pada menyerah dan tertangkap!

Cin Liong lalu pergi mengunjungi perwira yang menjadi komandan keamanan di kota Thian-cin. Ketika Cin Liong malam-malam datang ke rumah komandan ini dan kemudian memperkenalkan diri, tentu saja komandan itu terkejut bukan main dan dengan gugup melakukan penyambutan atas kedatangan Jenderal Kao Cin Liong, panglima muda yang amat terkenal dan yang datang dengan pakaian preman itu.

Cin Liong menceritakan tentang penyerangan ketiga orang itu. “Harap ciangkun suka melakukan penyelidikan, siapakah mereka itu dan mengapa pula mereka menyerangku mati-matian. Besok kutunggu laporanmu di hotel Tong-an.”

Coa-ciangkun, komandan itu, mengangguk-angguk. “Baik, Kao-goanswe, besok akan saya laporkan. Akan tetapi, apakah Kao-goanswe sebaiknya tidak bermalam saja di rumah kami? Dari pada di rumah penginapan umum itu....”

Akan tetapi Cin Liong menggoyang tangan. “Engkau tahu, aku lebih suka menyamar dan melakukan perjalanan dengan diam-diam untuk dapat melakukan pengamatan dan penyelidikan dengan mudah. Jangan beritakan tentang kehadiranku di kota ini.”

Walau pun kehadiran jenderal muda itu dirahasiakan sehingga tidak ada yang tahu, namun peristiwa itu diketahui umum dan menggegerkan kota Thian-cin. Louw Kam yang dikenal sebagai Louw-kauwsu, bersama dua orang yang dikenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran, telah tewas di tepi jalan tanpa diketahui siapa pembunuhnya!

Tentu saja Tek Ciang kemudian menjadi terkejut sekali dan pemuda ini menangisi jenazah ayahnya. Hanya dialah seorang yang tahu benar mengapa ayahnya tewas dan dia dapat menduga siapa pembunuh ayahnya itu. Akan tetapi, dia tidak dapat membuka mulut mengatakan kepada siapa pun juga karena hal itu akan membuka rahasia ayahnya yang hendak membunuh Cin Liong dan juga membuka rahasia dirinya sendiri.

“Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan kematian ayah kepada Kao Cin Liong itu, apa pun jalannya!” Begitulah dia berbisik dalam hati ketika dia menyembahyangi peti mati ayahnya.

Suma Hui yang mendengar berita itu pun terkejut sekali dan dara ini menyatakan duka citanya atas mala petaka yang menimpa diri ayah suheng-nya. Karena orang tuanya tak berada di rumah, ia pun mewakili mereka untuk datang melayat dan bersembahyang di depan peti mati guru silat Louw Kam. Dara ini tak tahu betapa selagi ia bersembahyang, sepasang mata Tek Ciang memandangnya dengan penuh rasa dendam dan kemarahan yang ditahan-tahan.

Sementara itu, pada keesokan harinya Cin Liong menerima laporan dari komandan Coa mengenai tiga orang itu. Akan tetapi, laporan itu hanya menjelaskan siapa adanya mereka.

“Kami tidak dapat mengetahui mengapa mereka itu menyerang paduka,” demikian kata komandan Coa. “Louw Kam adalah seorang duda, pekerjaannya guru silat, seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan dua orang itu adalah dua orang pembunuh bayaran dan siapa pun akan mereka serang dan bunuh asalkan mereka diberi uang. Louw-kauwsu sudah tewas, kami tidak dapat mencari keterangan mengapa dia minta bantuan dua orang penjahat itu untuk menghadang dan menyerang paduka. Putera tunggalnya juga tidak tahu, apalagi karena sudah beberapa bulan ini putera tunggalnya tinggal bersama Suma-taihiap....”

“Suma-taihiap?” Cin Liong bertanya kaget. “Suma-taihiap siapa?”
“Pendekar Suma Kian Lee. Kabarnya, putera Louw-kauwsu itu menjadi murid Suma-taihiap dan memang ada jalinan persahabatan antara Suma-taihap dan Louw-kauwsu.”
“Ahhhhh....!” Cin Liong tidak bertanya lagi dan mengucapkan terima kasih. Kemudian pergilah dia bergegas ke rumah Suma Hui.

Gadis itu menyambutnya dengan berita yang mengejutkan itu. “Cin Liong, telah terjadi mala petaka hebat. Ayah Louw-suheng tewas terbunuh orang!”

Akan tetapi, bukan Cin Liong yang terbelalak kaget, sebaliknya malah Suma Hui yang memandang dengan mata terbelalak melihat kekasihnya itu tenang-tenang saja, bahkan menjawab, “Aku sudah tahu, Hui-moi, karena orang itu adalah aku sendiri.”
“Apa.... apa maksudmu....?”

Cin Liong menyambar tangan kekasihnya yang terasa agak dingin itu dan menariknya masuk ke dalam rumah. “Mari kita bicara di dalam.”

Setelah mereka berada di dalam rumah, Cin Liong kemudian menceritakan semua pengalamannya malam tadi sesudah meninggalkan rumah kekasihnya.

“Aku berusaha untuk mengetahui sebab-sebab mengapa mereka menyerangku kalang kabut tanpa alasan, dan aku sudah berhati-hati agar tidak sampai membunuh mereka. Maka aku hanya merobohkan mereka dengan mematahkan tulang pundak saja. Siapa kira, orang itu membunuh kedua orang temannya dengan tusukan pedang, kemudian melarikan diri. Pada saat aku mengejarnya, tiba-tiba dia menggorok leher sendiri. Aku menyesal tidak dapat mencegah kenekatannya itu. Komandan Coa yang kuperintahkan menyelidiki, juga tidak dapat menerangkan mengapa guru silat Louw itu mati-matian hendak membunuhku.”

Suma Hui merasa demikian kaget dan heran sehingga tak dapat berkata-kata sampai beberapa lamanya. Kemudian ia menarik napas panjang. “Sungguh mati kejadian itu amat aneh dan sukar dipercaya. Ketika komandan Coa itu datang dan bertanya kepada Louw-suheng pagi tadi, aku pun berada di sana melayat. Louw-suheng tidak dapat memberi keterangan apa-apa, karena dia pun sama sekali tidak tahu dan sudah empat bulan selalu berada di rumah ini.”

Cin Liong mengangguk akan tetapi alisnya berkerut karena dia ingat betapa siang hari kemarin, Tek Ciang membayanginya dari rumah ini sampai ke rumah penginapan! Ada sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu, pikirnya.

“Aku ingin dapat bicara dengan Louw Tek Ciang. Bagaimana pun juga, aku ingin mengetahui apa sebabnya ayahnya yang sama sekali tidak kenal denganku itu demikian membenciku dan ingin membunuhku, sampai ditebus dengan nyawanya sendiri. Tentu ada sebab-sebab yang amat penting di balik perbuatannya itu dan agaknya, tidak mungkin kalau puteranya tidak tahu.”

Suma Hui memandang khawatir. “Akan tetapi, suheng masih belum tahu bahwa yang menyebabkan kematian ayahnya adalah engkau! Apakah perlu hal itu diberi tahukan kepadanya?”

Cin Liong tersenyum dan memandang wajah kekasihnya, lalu memegang tangannya. “Hui-moi, kenapa engkau? Bukankah itu sudah seharusnya? Seorang gagah tidak akan memyembunyikan semua perbuatannya, bahkan berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Guru silat she Louw itu tewas bukan oleh tanganku, melainkan akibat membunuh diri karena tidak mau kutangkap. Dan serangan-serangan itu pun dimulai dari pihaknya terhadap diriku tanpa alasan. Betapa pun pahitnya, Louw Tek Ciang harus berani menghadapi kenyataan ini, dan kalau dia menganggap aku sebagai pembunuh ayahnya dan mendendam, dia bukan seorang berwatak gagah dan tidak patut menjadi suheng-mu!”

Suma Hui sadar dan ia pun mencengkeram tangan kekasihnya. “Engkau benar, Cin Liong, engkau benar dan memang seharusnya hal ini dibicarakan dengan terus terang kepadanya. Aku sungguh merasa heran sekali. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku. Agaknya ayahku tidak akan keliru memilih sahabat.”

“Aku pun sudah mendengar pelaporan dari Coa-ciangkun bahwa Louw-kauwsu belum pernah melakukan kejahatan. Hal ini membuat aku semakin tertarik dan ingin tahu apa sesungguhnya yang menjadi sebab hingga dia membenciku. Apakah dia telah tersesat menjadi kaki tangan pemberontak? Dan ada satu hal lagi yang sangat mengganggu pikiranku. Sebelum roboh dan sebelum membunuh diri, orang itu pernah memakiku sebagai seorang penjahat cabul perusak gadis orang!”
“Ehhh....?” Suma Hui mengerutkan alisnya, menjadi makin heran dan tidak mengerti.

Kekasihnya dimaki penjahat cabul perusak anak gadis orang? Sungguh aneh, lucu dan membuat orang menjadi penasaran! Kekasihnya ialah seorang jenderal muda, seorang panglima muda yang terhormat, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi dan gagah perkasa!

“Itulah sebabnya yang mendorongku untuk bicara dengan Tek Ciang. Mungkin dia dapat membantu memecahkan persoalan yang membingungkan ini.”

Terpaksa Cin Liong menunggu sampai upacara pemakaman jenazah Louw Kam selesai dan dia pun memperpanjang tinggalnya di Thian-cin selama beberapa hari lagi. Setelah acara penguburan selesai dan Tek Ciang kembali ke rumah suhu-nya dengan pakaian berkabung, Cin Liong datang menemuinya dengan perantaraan Suma Hui. Wajar Tek Ciang masih pucat ketika dia duduk berhadapan dengan Cin Liong dan Suma Hui.

“Louw-suheng, Cin Liong ingin bicara dengan jujur dan terbuka denganmu mengenai ayahmu,” Suma Hui memulai dengan percakapan yang amat tidak enak itu.

Tek Ciang mengangkat mukanya yang agak pucat, sejenak memandang kepada Cin Liong, kemudian menoleh kepada Suma Hui. “Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan? Ayahku telah meninggal....,” suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.

“Louw-susiok,” kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk menghormati Suma Kian Lee, walau pun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu. “Apakah engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?”

Louw Tek Ciang memandang dan matanya mengandung kemarahan dan dendam. “Dia dibunuh penjahat, apa lagi yang perlu diketahui? Kalau aku dapat mengetahui siapa penjahat itu....!” Pemuda ini mengepal tinjunya dan pandang matanya menjadi beringas.

Tentu saja hati Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang menghadapi urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi saksi dalam perkara yang tidak enak ini.

“Susiok, ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya sendiri dengan menggorokkan pedangnya sendiri ke lehernya.”

Tek Ciang bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Karena akulah orangnya yang kau namakan penjahat tadi.”

Wajah itu semakin pucat dan matanya makin terbelalak. “Kau.... kau....? Kau pembunuh ayahku!” Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.

“Suheng, tenang dan duduklah lagi!”

Tek Ciang menoleh kepada sumoi-nya, kemudian menjatuhkan diri duduk kembali dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.

“Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi, engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Akulah orangnya yang semalam diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri dengan pedangnya pula.”

“Aku sudah mendengar akan kematian ayah!” Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata. “Kedua orang itu adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!”

“Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kau percaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan tidak bohong.”

Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoi-nya, kemudian menunduk sambil berkata penasaran, “Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri.”

“Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok, kemudian kau coba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap, tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang lagi, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa pula adanya mereka. Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan diri. Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau menduga-duga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang dan hendak membunuhku?”

Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itu pun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biar pun dia suka menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela!

Dan kini, melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati?

Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu.”

Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya yang baik sampai terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!

Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir. “Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu sama sekali tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak kaum wanita dan membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?”

“Ahhh....! Itukah sebabnya?” Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di depannya. “Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliaran di kota ini adalah engkau?”
“Suheng, jangan menuduh sembarangan!” Tiba-tiba Suma Hui membentak suheng-nya dengan muka merah karena marah.

Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum “Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan dendam dan duka.”

“Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan tinggi dan dia pun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penjahat cabul?”

Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan dan kemudian terbuka rahasianya.

“Ahhh....!” keluhnya lirih. “Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa, akan tetapi agaknya ayah menyangka engkaulah penjahat itu.”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang tersisa. Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran di sini dan ayahmu belum mengenal mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau....” Cin Liong berhenti.

“Atau kemungkinan apa lagi?” Suma Hui mendesak.
“Tidak ada lagi,” kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek Ciang yang membayangi kemarin.
“Bagaimana pun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!” teriak Tek Ciang. “Aku tak akan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya.”

Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdikannya.

Dia tahu bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui! Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka dia pun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!

Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil.

Tek Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila! Diam-diam dia merasa heran bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak mendengar kedatangannya?

Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang masih mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih. Dan di sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.....

“Siapakah engkau....?” Dengan memberanikan diri Tek Ciang menegur.

Laki-laki yang tadinya bersila sambil memejamkan matanya itu kini membuka mata memandang lalu tersenyum. “Engkau hendak mencari seorang pemetik bunga? Nah, di sinilah aku, lalu engkau mau apa?”

Jawaban dan pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya untuk menutupi rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku bahwa dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu bahwa dia mencari jai-hwa-cat!

Yang mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan Suma Hui, bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Tentu orang ini kaki tangan Cin Liong! Benar, bukankah Cin Liong katanya seorang jenderal dan panglima? Tentu banyak anak buah dan kaki tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek Ciang merasa kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu saja.

“Hemm, setiap orang bisa saja mengaku sebagai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya bahwa engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah palsu yang hanya pura-pura saja?”
“Bocah tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu? Hati-hati menjaga mulutmu!” Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang dikatakan penjahat palsu.

Sebaliknya, Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga menjadi marah. “Habis engkau mau apa? Engkau tentu datang untuk memata-mataiku, keparat!”

Pemuda ini lalu menerjang ke depan dan menyerang orang itu dengan kedua kepalan tangannya, menghantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.

Akan tetapi, sebelum kedua kepalannya menyentuh orang itu, yang diserang mengulur tangan dengan jari tangan terbuka didorongkan ke depan, dan akibatnya tubuh Tek Ciang terlempar ke belakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang tidak nampak!

Pemuda ini kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang penakut dan dengan penasaran dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat. Kembali orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.

“Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan aku pun juga. Kalau kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!”

Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah. Orang ini agaknya mengetahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!

“Siapakah engkau....?” Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
“Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!”

Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri.

Tentu saja hatinya merasa kecewa bukan main dan dia pun tidak mau berhenti sampai di situ saja. Diam-diam dia lalu melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian dia pun dapat mendengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya.

Setelah dia melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang sangat baik di dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan seluruh dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong.

Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu dia memperoleh kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.

Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya? Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biar pun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.

“Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya,” katanya hati-hati, “tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?”

“Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak pernah dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkau pun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!” Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinya pun menggelinding keluar.

Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.

Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok menggerakkan tangan menotoknya, ia pun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon, “Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku....”

Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, dia pun merasa gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan Jai-hwa Siauw-ok, walau pun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.

“Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!” kata Jai-hwa Siauw-ok. “Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?”

Tek Ciang menggeleng kepala. “Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang, locianpwe.”
“Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi,” katanya sambil menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang sekarang mundur-mundur merangkak dan mepet di sudut ruangan itu.

Pakaiannya masih utuh akan tetap kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek Ciang. Gadis ini merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat dari penculiknya.

Tadi dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali. Berkali-kali dia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan dari dalam karung.

Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja dia pun sudah memperkosa banyak wanita dengan uangnya, lalu mempermainkan wanita itu serta menghinanya. Sesaat timbul nafsu birahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan.

Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini segera akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya!

Tek Ciang menggeleng kepala. “Tidak, locianpwe. Aku.... aku tak ingin....”

Siauw-ok menyeringai. “Siapa bilang tak ingin? Nafsu birahimu telah membakar sampai nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!”

Setelah berkata demikian, Siauw-ok lalu mengangkat muka memandang kepada gadis remaja yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai.

“Manis, ke sinilah engkau!”

Tentu saja gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding, seolah-olah dia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding itu.

“Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut....,” berkata Siauw-ok lagi sambil menggapai dan tersenyum ramah.

Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.

“Ahh, jangan lari, manis!” Siauw-ok berkata, suaranya masih halus. Tangannya bergerak ke depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang menjegalnya.
“Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!” Siauw-ok berkata dan kembali ia mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran melihat betapa tubuh gadis itu kini terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.
“Uhhh....!” Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya.

Terdengar suara kain robek berkali-kali yang disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, lalu dia pun meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia lalu duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan belakang itu.

Mendengar rintihan yang memelas itu dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas. Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu saja dia ingin sekali melaksanakan sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja. Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka penuh terisi dendam dan kebencian!

Kalau kita membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita untuk merasa serang dan puas melihat penderitaan orang lain.

Rasa iba dan haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa mala petaka, kalau yang menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak. Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan haru ini sudah tidak peka lagi?

Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan sengsara.

Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita. Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali, justru mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini?

Semua itu terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian, ketika kita mentertawakan orang lain yang menderita. Kalau kita waspada, mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah semuanya itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan ‘si aku’ yang semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan mau pun kesukaan orang lain.

Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya dipanggil.

“Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!”

Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan dia pun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya.

Siauw-ok sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perubahan, hanya mukanya menjadi agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yaug pucat seperti mayat, napasnya yang empas-empis dan matanya terpejam. Tek Ciang terpaksa menahan senyumnya yang timbul dari hati yang puas. Dia lalu duduk di depan Siauw-ok, tidak lagi memperdulikan gadis itu.

“Nah, sekarang kita bicara mengenai urusan kita,” kata Siauw-ok, juga sikapnya sama sekali tidak perduli akan gadis yang telah diperkosa dan dipermainkannya itu.
“Locianpwe telah tahu mengapa aku mendendam kepada Kao Cin Liong. Akan tetapi aku belum tahu mengapa locianpwe juga memusuhinya.” Tek Ciang memulai. Untuk bekerja sama dengan seseorang, dia harus tahu terlebih dulu dasar yang mendorong orang itu untuk bekerja sama.

“Kao Cin Liong adalah seorang panglima muda yang telah banyak menghancurkan dan membunuh golongan kita, bahkan subo-ku dan semua supek dan susiok-ku juga tewas di tangan dia dan kawan-kawannya.”

“Lalu apa maksud locianpwe untuk mengajakku bekerja sama? Aku bukan tandingan Kao Cin Liong, dan locianpwe sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi, mengapa mengajak kerja sama dengan aku yang masih hijau dan lemah?”

“Kita dapat saling bantu, Tek Ciang. Engkau sudah melihat kepandaianku, dan aku telah mengenalmu, mengetahui segala hal mengenai dirimu dan rahasia ayahmu. Karena itu, engkau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bekerja sama denganku. Beberapa patah kata saja dariku tentang engkau dan ayahmu, jangan harap engkau akan dapat terus menjadi murid Suma Kian Lee, apalagi menjadi mantunya.”

Diam-diam Tek Ciang terkejut. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang licik, curang dan kejam sekali, juga amat lihai. “Locianpwe, sebelum kita berunding, aku ingin lebih dulu mengetahui keuntungan apa yang dapat kuperoleh dengan kerja sama kita ini.”

Siauw-ok tertawa. “Ha-ha-ha, engkau cerdik, jauh lebih cerdik dari pada ayahmu yang tolol itu, yang berani mencoba untuk menyerang Kao Cin Liong.”

“Harap locianpwe tidak membawa-bawa ayahku yang sudah meninggal, dan katakan keuntungan apa yang dapat kuperoleh.”
“Keuntungannya? Wah, banyak sekali bagimu. Pertama, engkau akan terus menjadi murid Suma Kian Lee. Ke dua, engkau dapat dipastikan akan menjadi suami Suma Hui, atau setidaknya engkau sudah dapat menikmati kegadisannya. Dan ke tiga, engkau akan dapat membalas dendam kepada Kao Cin Liong dengan membuat dia sengsara, terputus hubungannya dengan Suma Hui, bahkan besar sekali kemungkinan dimusuhi oleh keluarga Suma. Ha-ha-ha, mereka itu, keluarga Suma dan keluarga Kao, akan menjadi musuh yang saling menghancurkan! Betapa hebat dan bagusnya rencanaku ini!”

Tentu saja hati Tek Ciang tertarik sekali. Begitu banyak hal-hal yang menguntungkan baginya. Akan tetapi dia masih menawar, “Apakah tidak bisa Cin Liong kulihat mampus di depan kakiku?”

“Oho-ho-ho-ho, bicara sih mudah! Engkau tahu, ilmu kepandaian Kao Cin Liong itu hebat sekali dan agaknya Si Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi ayahnya itu telah mewariskan ilmu-ilmunya yang hebat. Aku sendiri pun tidak sanggup mengalahkannya, apalagi membunuhnya. Lebih-lebih engkau. Jika ia tidak sampai terbunuh oleh siasatku ini, kelak engkau masih mempunyai banyak harapan untuk melakukannya sendiri. Bukankah engkau menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es? Nah, kelak masih banyak kesempatan bagimu kalau hendak membunuhnya dengan tangan sendiri. Tetapi, mungkin siasatku ini akan menjerumuskannya ke dalam permusuhan dengan keluarga Suma dan siapa tahu dia akan mampus karena permusuhan itu.”

“Baik, locianpwe, aku setuju untuk bekerja sama. Nah, apa yang sekarang harus aku lakukan?”
“Mendekatlah dan dengar baik-baik....,” kata Siauw-ok.

Tek Ciang mendekat dan datuk sesat itu lalu berbisik-bisik dengan suara yang hanya dapat terdengar oleh mereka yang berada di dalam ruangan itu. Sampai lama mereka berbisik-bisik dan tahu-tahu malam telah terganti fajar. Mereka sudah selesai bicara dan bangkitlah keduanya, lalu mereka berjalan ke arah pintu depan.

Tiba-tiba Tek Ciang teringat sesuatu dan menoleh ke arah gadis remaja yang masih rebah terlentang. Kini gadis itu agaknya sudah siuman, terdengar ia merintih perlahan dan mukanya miring, matanya terbuka dan air mata mengalir di sepanjang pipi dan lehernya.

“Bagaimana dengan perempuan itu? Ia mungkin mendengar semua percakapan kita,” kata Tek Ciang.
“Dibiarkanpun ia akan mati, tapi lebih aman begini!”

Tiba-tiba Siauw-ok menggerakkan lengannya berputar. Ketika dia melakukan gerakan memukul dengan jari terbuka ke arah gadis itu, terdengar gadis itu menjerit lemah dan tubuhnya terkulai. Di dadanya, di antara buah dadanya, nampak guratan merah yang mengeluarkan darah seolah-olah dada itu baru saja ditusuk pedang. Itulah Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai dari Siauw-ok, yang diwarisinya dari mendiang Ji-ok yang menjadi guru dan juga kekasihnya.

Melihat ini, Tek Ciang melongo penuh kagum. Membunuh orang dari jarak jauh dengan pukulan sudah banyak didengarnya, akan tetapi dengan pukulan yang mengakibatkan luka seperti ditusuk pedang, baru kali ini dilihatnya, bahkan belum pernah didengarnya.

“Engkau sungguh hebat, locianpwe.”
“Ha-ha, kalau siasat kita berhasil dan kita menjadi sahabat, aku tidak akan berkeberatan kelak mengajarmu Ilmu Kiam-ci ini. Nah, sekarang bawalah tubuh itu berikut semua pakaiannya. Kita harus membuang jauh-jauh dari tempat ini yang akan menjadi tempat pertemuan kita.”

Tek Ciang menurut. Dia menghampiri mayat gadis itu, memanggulnya dan membawa semua robekan pakaiannya, kemudian mengikuti Siauw-ok keluar dari kuil itu. Di tempat sunyi, jauh dari situ, mereka melemparkan mayat dan sisa-sisa pakaiannya ke dalam sebuah jurang yang amat dalam sehingga tidak terdapat kemungkinan mayat itu akan ditemukan orang. Kemudian mereka berdua berpisah dan mengambil jalan masing-masing tanpa banyak cakap lagi karena semua rencana siasat mereka telah mereka bicarakan sampai jelas sekali malam tadi.....

********************
Selanjutnya baca
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-08
LihatTutupKomentar