Suling Naga Jilid 08


Kalau saja dua orang muda itu mengenal siapa adanya Tiong Khi Hwesio, tentu mereka akan terkejut dan tidak merasa aneh lagi mengapa hwesio itu mengenal tokoh-tokoh keluarga Pulau Es, bahkan mengenal baik kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng.

Tiong Khi Hwesio bukanlah orang sembarangan. Di waktu mudanya, dia pernah menjadi seorang pendekar yang bersama-sama keturunan keluarga Pulau Es pernah membuat geger dunia persilatan. Ketika ia muda dahulu, nama Wan Tek Hoat dengan julukannya Si Jari Maut amat terkenal, bahkan mengguncangkan dunia persilatan dengan wataknya yang keras dan kadang-kadang aneh.

Dia pun bukan keturunan sembarangan. Ayahnya yang bernama Wan Keng In adalah putera nenek Lulu yang kemudian menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Jadi, pendekar sakti itu adalah ayah tirinya. Ilmu kepandaian Wan Tek Hoat ini hebat sekali, sejajar dengan kepandaian para keluarga Pulau Es.

Ia pernah digembleng oleh Sai-cu Lo-mo, seorang kakek sakti, lalu ilmu kepandaiannya meningkat dengan amat hebatnya pada waktu dia mewarisi kitab-kitab dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauwjin dari Pulau Neraka! Para pembaca seri cerita JODOH RAJAWALI dan selanjutnya dapat mengikuti riwayat Wan Tek Hoat yang amat hebat itu.

Kemudian, setelah mengalami kepahitan-kepahitan cinta asmara yang gagal, akhirnya dia berhasil juga menjadi suami wanita yang sejak semula telah dicintanya, yaitu Puteri Syanti Dewi, puteri negeri Bhutan. Bahkan sebagai mantu raja, Wan Tek Hoat terkenal sekali di Bhutan, membantu kerajaan itu dengan ilmu kepandaiannya, melatih para perwira, bahkan dia pernah berjasa sebagai panglima kerajaan menumpas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara itu.

Dia hidup penuh kasih sayang dengan isterinya, dan suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Tentu saja suami isteri ini amat sayang kepada puteri mereka karena mereka itu dikurniai seorang anak setelah usia mereka mendekati lima puluh tahun. Dan mengenai Wan Hong Bwee atau Gangga Dewi ini, dapat diikuti riwayatnya di dalam kisah Para Pendekar Pulau Es.

Di dalam perantauannya, Gangga Dewi bertemu dengan Suma Ciang Bun yang jatuh cinta kepadanya, akan tetapi Gangga Dewi tidak membalas cintanya, bahkan melarikan diri kembali ke Bhutan. Kemudian, Wan Hong Bwee menikah dengan seorang pemuda perkasa di Bhutan yang menjadi murid ayahnya sendiri dan mereka hidup berbahagia karena pemuda itu pun menjadi seorang panglima Bhutan yang terkenal.

Ketika Wan Tek Hoat berusia hampir tujuh puluh tahun, dan isterinya hanya dua tahun lebih muda darinya, Syanti Dewi, isteri tercinta itu, meninggal dunia. Hal ini merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Wan Tek Hoat. Biar pun mereka mempunyai seorang puteri yang sudah mempunyai dua orang anak pula, namun kedukaan Wan Tek Hoat tak tertahankan oleh pendekar ini membuatnya seperti orang gila. Dia tidak mau lagi kembali ke istana, dan hidup seperti orang gila di dekat makam isterinya!

Sampai satu tahun lamanya dia bertapa di dekat makam isterinya, mengharapkan kematian akan segera menjemputnya supaya dia dapat bersatu kembali dengan isteri tercinta. Namun, agaknya kematian belum juga mau menyentuhnya dan dia tetap segar bugar setelah setahun hidup di dekat makam.

Semua bujukan dan hiburan Gangga Dewi bersama suaminya tidak dapat mencairkan kedukaannya. Bahkan dia marah-marah dan tidak ada orang lain kecuali anaknya dan mantunya itu yang berani mendekati makam itu, apa lagi membujuk Wan Tek Hoat yang telah menjadi seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun itu. Salah-salah orang yang berani lancang membujuknya akan diserangnya dan celakalah kalau ada orang diserang oleh kakek yang sakti ini.

Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, selagi Wan Tek Hoat seperti biasa duduk termenung di depan makam isterinya, membayangkan segala pengalamannya bersama Syanti Dewi di waktu mereka masih muda, tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian seorang laki-laki, suara nyanyian lembut sekali.

Mendengar ada suara orang di dekat situ, muka Wan Tek Hoat sudah menjadi merah dan matanya melotot. Kemarahan sudah menguasai hatinya yang setiap hari tenggelam ke dalam duka itu. Akan tetapi, pendengarannya tak dapat melepaskan kata-kata yang terkandung di dalam nyanyian itu.

Menurut dorongan hatinya yang sudah rusak direndam racun duka selama satu tahun, ingin dia menghampiri orang yang berani bernyanyi-nyanyi di dekat makam itu dan seketika membunuhnya. Akan tetapi, kata-kata dalam nyanyian itu membuat dia tetap duduk terpukau dan mendengarkan.

Mana lebih baik siang atau malam?
Mana lebih baik hidup atau mati?
Siapa tahu?
Siapa bilang siang lebih indah dari pada malam?
Siapa bilang hidup lebih enak dari pada mati?
Tanpa malam takkan ada siang,
tanpa mati takkan ada hidup.
Hidup dan mati tak terpisahkan.
Mati adalah lanjutan hidup,
dan hidup kelanjutan mati.
Mungkinkah meniadakan kematian?
Seperti meniadakan matahari tenggelam!
Bebas dari segala ikatan lahir batin
berarti hidup dalam mati dan mati dalam hidup
selalu senyum bahagia tidak peduli
dalam hidup mau pun dalam mati
demikianlah seorang bijaksana sejati!

Setelah mendengar semua kata-kata dalam nyanyian itu, Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan dia pun meloncat. Sekali tubuhnya melayang, dia sudah tiba di luar tanah kuburan itu dan berhadapan dengan seorang kakek berkepala gundul, memakai jubah hwesio, tangan kiri memegang tongkat, lengan kirinya digantungi sebuah keranjang dan tangan kanannya asyik memetik daun-daun obat yang kemudian dikumpulkannya di dalam keranjang.

Sekali mengulur tangan, Wan Tek Hoat sudah mencengkeram jubah pendeta itu pada dadanya dan dengan mudah dia mengangkat tubuh pendeta itu ke atas, siap untuk memukul atau membantingnya. Akan tetapi, wajah pendeta yang usianya lebih tua darinya itu nampak tersenyum demikian lembutnya, pandang matanya sama sekali tidak menunjukkan rasa kaget atau takut sehingga timbul keheranan dan kekaguman di hati Wan Tek Hoat.

"Kau bilang hidup dan mati tiada bedanya? Bagaimana jika sekarang kubanting hancur tubuhmu dan nyawamu melayang ke akhirat?" bentaknya dengan suara mengejek.

"Siancai...! Orang lemah batin dan hanya kuat lahir, apakah kau kira kau akan mampu melenyapkan kehidupan? Omitohud, semoga penerangan mengusir kegelapan dalam batinmu. Tubuh ini dapat kau hancurkan, tanpa kau hancurkan pun pada saatnya akan rusak sendiri. Mati hidup bukan urusan kita, akan tetapi mengisi kehidupan dengan kesadaran itulah kewajiban kita. Wahai saudara yang lemah batin, kalau kau anggap bahwa dengan jalan menghancurkan tubuhku ini engkau akan dapat terbebas dari pada duka, silakan. Aku tidak pernah terikat oleh apa pun, tidak terikat pula oleh tubuh yang sudah tua dan rapuh ini. Silakan!"

Mendengar ucapan itu, dan melihat betapa benar-benar kakek yang tua renta ini sama sekali tidak gentar menghadapi ancamannya, seketika kedua lengan Wan Tek Hoat gemetar dan dia pun menurunkan kakek itu kembali, lalu dia menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Saudara yang kuat lahir namun lemah batin, apa manfaatnya bagimu sendiri atau bagi orang lain atau bagi alam ini kalau engkau menenggelamkan dirimu di dalam lembah duka seperti ini? Mengapa kau biarkan racun kedukaan yang melahirkan kebencian itu menguasai batinmu?"

Air mata lalu menetes-netes turun melalui celah-celah jari tangan Wan Tek Hoat. Dia menangis sesenggukan!
Peristiwa ini merupakan hal yang amat luar biasa. Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar yang berhati baja. Biasanya, tangis merupakan pantangan besar baginya. Hatinya tak pernah menyerah dan tidak pernah memperlihatkan kelemahan. Di depan orang lain, sampai mati pun dia tentu merasa malu untuk menangis.

Akan tetapi kini, setelah mendengar ucapan kakek itu, dia menangis sesenggukan, tak tertahankannya lagi karena air matanya itu seperti air bah yang tadinya terbendung oleh bendungan yang amat kuat. Akan tetapi kini bendungan itu jebol dan air bah menerjang keluar tak dapat ditahannya lagi. Wan Tek Hoat, pendekar yang pernah dijuluki Si Jari Maut itu kini menangis seperti seorang anak kecil, menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak, kedua pundaknya terguncang-guncang dan air mata menitik turun melalui celah-celah jari tangannya.

Pendeta berkepala gundul itu membiarkan Wan Tek Hoat menangis seperti anak kecil, memandang sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Kakek yang arif bijaksana ini seolah-olah melihat getaran kekuatan duka ikut terseret keluar melalui banjir air mata itu dan maklumlah dia bahwa tangis yang mendalam ini sedikit banyak akan membebaskan dada si penderita ini dari pada tekanan duka. Tangis akan membebaskan orang dari tekanan duka yang dapat mendatangkan penyakit berat pada tubuh.

Setelah diserang oleh dorongan tangis yang hebat itu, Wan Tek Hoat akhirnya sadar akan keadaan dirinya. Hal ini membuat dia merasa terkejut dan malu, dan cepat dia mengangkat mukanya memandang, karena kemarahan sudah timbul kembali ke dalam hatinya yang keras.

Ketika mengangkat muka, pandang matanya yang agak kabur oleh air mata, bertemu dengan wajah yang demikian lembut dan mengandung kasih demikian mendalam, pancaran sinar mata yang demikian halus dan penuh pengertian, dan seketika luluh rasa hati Wan Tek Hoat. Semua kemarahannya lenyap bagaikan api disiram air. Dan pendekar tua yang selamanya tidak pernah mau tunduk kepada orang lain itu pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki yang bersandal rumput itu.

"Suhu yang budiman, saya mohon petunjuk dan berkah..."

Melihat ini, kakek yang usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih itu tersenyum, senyum yang tidak bersuara akan tetapi seolah-olah keadaan sekeliling tempat itu ikut terseret dalam senyum bahagia itu.

"Omitohud..., saudaraku yang baik, marilah kita duduk dan bicara dengan baik-baik."

Dia pun lalu duduk di atas rumput, di depan Wan Tek Hoat yang juga sudah duduk bersila. Dengan tenang dan sabar kakek itu meletakkan tongkat dan keranjangnya di kanan kiri tubuhnya, membereskan jubahnya dan duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, kelihatan nyaman sekali, tanda bahwa duduk bersila dengan baik merupakan pekerjaan yang sudah dikuasainya dengan sempurna.

Sejenak mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Bagi orang-orang yang sudah waspada atau setengah waspada, terdapat suatu hubungan antar manusia tanpa kata-kata. Pandang mata yang didasari sari perasaan yang tercurah sudah cukup untuk mengadakan komunikasi yang mendalam, dan memang kata-kata tidak diperlukan lagi di sini. Akan tetapi, kakek itu melihat betapa batin Wan Tek Hoat masih penuh dengan uap beracun yang dinamakan duka, maka dia menarik napas panjang lagi.

"Omitohud, saudaraku yang baik. Jangan minta petunjuk dari pinceng. Petunjuk sudah ada selengkapnya dan sebijaksana mungkin di sekitar dirimu, di luar dirimu, di dalam dirimu. Engkau hanya tinggal membuka mata, baik mata badan mau pun mata batin, membuka dan memandang, mengamati, maka engkau sudah mendapat segala macam petunjuk yang kau butuhkan dalam kehidupan ini. Engkau tak perlu lagi meminta berkah karena kalau engkau mau membuka mata batinmu, akan nampaklah bahwa berkah itu sudah mengalir berlimpahan semenjak kita lahir sampai kita mati, tiada putus-putusnya berkah mengalir kepada kita. Kita tinggal mengulur tangan dan meraih saja. Sayang, betapa banyaknya mata manusia seolah-olah buta, tidak melihat akan limpahan berkah, merengek dan meminta-minta selalu tanpa melihat yang sudah ada. Lihat! Napasku adalah berkah, denyut darahku adalah berkah, kehidupanku adalah berkah, dan alam semesta adalah berkah. Lalu apa lagi yang harus kita minta? Kita tidak mau melihat itu semua, tetapi merendam diri ke dalam duka, kehilangan, kekecewaan, kesengsaraan. Betapa pun bodohnya kita ini!"

Wan Tek Hoat bukanlah seorang anak bodoh, melainkan seorang kakek yang sudah banyak belajar, dan banyak pula mempelajari filsafat dan kitab-kitab suci kuno. Akan tetapi, baru sekarang dia mendengar ucapan yang begitu sederhana namun menembus batinnya, dan hatinya pun tunduk. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang arif bijaksana, seorang yang patut dijadikan tempat bertanya, seorang yang tidak lagi diperhambakan oleh nafsu-nafsunya dan perasaan-perasaan hatinya.

"Akan tetapi, suhu yang mulia. Saya sedang menderita duka karena kematian isteri saya tercinta. Bukankah hal itu pun wajar saja? Saya seorang manusia yang berperasaan, tidak lepas dari pada suka duka, dan saya amat mencinta isteri saya, yang lebih saya cintai dari pada apa pun juga di dunia ini. Dan sekarang dia... dia... telah meninggal dunia..."

Duka menyesak dadanya sehingga kalimat terakhir itu tersendat-sendat. Kakek itu tetap masih tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang ke arah awan berarak dan kembali dia bernyanyi.

Anak isteri ini milik saya,
harta benda itu milik saya,
dengan pikiran ini si dungu selalu tersiksa,
dirinya sendiri pun bukan miliknya,
apa lagi anak isteri dan harta benda?

Wan Tek Hoat membantah, "Suhu yang mulia, duka ini datang tanpa saya sengaja, bagaimana akan dapat menghilangkan duka selagi hidup di dunia?"

"Omitohud, perlukah hal ini saudara tanyakan lagi?" kata kakek itu dengan ramah. "Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah orang bijaksana yang tidak akan tersentuh duka."
"Mempunyai tetapi tidak memiliki, bagaimana pula ini, suhu? Bukankah mempunyai sama dengan memiliki?"

"Mempunyai lahiriah, hal itu terikat oleh hukum-hukum lahiriah yang dibuat manusia. Mempunyai badaniah tidak perlu menjadi memiliki batiniah. Keluargaku dengan segala hak dan kewajibannya, hal itu adalah urusan lahiriah yang diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, batin tidak perlu memiliki karena sekali batin memiliki, maka akan terjadi ikatan batin dan inilah sumber segala kesengsaraan, sumber segala duka! Harta bendaku hanya kepunyaan badan karena harta benda hanya diperlukan oleh badan. Namun, sekali batin memiliki pula harta benda itu, akan terjadilah kehilangan yang akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan. Ingat, hanya dia yang memiliki sajalah yang akan kehilangan. Batin yang tidak memiliki apa-apa, batin yang bebas dan tidak terikat oleh apa pun juga, tidak terikat oleh isteri, oleh anak, keluarga, harta benda dan sebagainya, batin seperti itu bebas dan murni dan takkan tersentuh duka. Lihat, saudaraku yang baik. Badan ini memang punya saya, dan adalah kewajiban saya untuk menjaganya, memeliharanya, membersihkannya, melindunginya. Akan tetapi badan ini punya saya lahiriah saja. Batin tidak harus memiliki dan terikat karena kewaspadaan bahwa segalanya itu akan berakhir dan ikatan itu hanya menimbulkan duka karena kehilangan dan iba diri. Ikatan batin selalu menumbuhkan akar, dan jika tiba saatnya perpisahan, maka akar itu akan tercabut dengan kekerasan sehingga menimbulkan luka berdarah."

"Akan tetapi, suhu yang mulia, bukankah kalau batin tidak memiliki lalu kita bersikap acuh dan tidak peduli akan segalanya itu? Bagaimana mungkin saya mengacuhkan isteri saya yang amat saya cinta?"

Diserang demikian, kakek itu tersenyum lebar penuh kesabaran bagaikan seorang guru yang baik hati sedang menghadapi seorang murid yang masih bodoh. Dan memang sesungguhnyalah, saat menghadapi alam yang menjadi guru, kita manusia ini hanyalah murid-murid yang bodoh, anak-anak kecil yang tubuhnya besar.

"Saudaraku yang baik, justru karena tidak adanya ikatan batin, maka batin menjadi bebas dan hanya batin yang bebas sajalah yang penuh dengan cinta kasih. Sinar cinta kasih itu akan hidup terus dan dengan adanya sinar cinta kasih, bagaimana mungkin orang menjadi acuh? Sebaliknya, cinta kasih membuat orang penuh perhatian dan waspada terhadap segala-galanya, baik yang terjadi di dalam mau pun di luar dirinya."

"Saya dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan suhu. Akan tetapi, saya memang terikat lahir batin dengan isteri saya, dan karena itulah saya menderita dan kehilangan karena kematiannya. Kalau saya tidak mencinta isteri saya, mana mungkin tidak terikat lahir batin saya, suhu?"

"Siancai... di sinilah letak persimpangan yang membingungkan semua orang. Tentang cinta dan ikatan! Saudaraku, cinta kasih itu hanya ada kalau di situ terdapat kebebasan. Cinta kasih itu kebebasan. Ikatan bahkan meniadakan cinta kasih. Ikatan itu hanya akan menciptakan duka, dan ikatan terjadi karena nafsu, saudaraku! Cinta tidak menimbulkan ikatan, akan tetapi nafsulah yang menimbulkan ikatan. Nafsu timbul karena adanya aku. Cinta kasih yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu yang memakai nama cinta. Dan nafsu itu berarti mencinta diri sendiri. Saudaraku yang baik, apakah saudara mencinta mendiang isteri saudara?"

Mendengar pertanyaan ini, terkejutlah hati Wan Tek Hoat, matanya terbelalak lebar dan sejenak hatinya terasa panas. Ahh, betapa tangannya ingin sekali bergerak menyerang, mungkin membunuh orang yang berani meragukan cintanya terhadap isterinya! Tetapi pertanyaan dari mulut kakek itu dikeluarkan demikian halus dan wajar, sama sekali tidak mengandung ejekan, keraguan atau celaan, bahkan dia merasa seolah-olah batinnya sendiri yang tadi mengajukan pertanyaan.

"Apa... apa maksud pertanyaan suhu ini?" dia tergagap.
"Maksudku agar engkau dapat melihat sendiri, mengamati sendiri, menjenguk isi hatimu apakah engkau mencinta isterimu, ataukah hanya mencinta diri sendiri,"
"Suhu, tentu saja saya mencinta isteri saya! Ahh, suhu tidak tahu betapa besar cinta kasih saya kepada mendiang isteri saya!" Wan Tek Hoat lalu mengemukakan semua pengalamannya bersama isterinya yang dicintanya.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Begitulah anggapan semua orang tentang cinta. Akan tetapi, saudaraku yang baik, marilah kita bersama menyelidiki tentang cinta ini. Kalau benar bahwa engkau mencinta mendiang isterimu, lalu mengapa sekarang engkau menangisi kematiannya, berduka karena kematiannya? Mengapa...?"

Pertanyaan ini mengejutkan hati Wan Tek Hoat dan membuatnya tercengang. Sejenak dia tak mampu menjawab. "Mengapa? Tentu saja saya menangisi kematiannya karena saya cinta kepadanya, karena saya kehilangan..."

"Nah, berhenti!" Kakek itu mengangkat tangannya menghentikan ucapan Wan Tek Hoat yang belum selasai. "Itulah, lihat baik-baik dan engkau akan menemukannya. Karena kehilangan! Karena kehilangan isterimu maka engkau berduka, menangis, merasa iba kepada diri sendiri."
"Tapi... tapi saya merasa kasihan kepadanya..."

"Saudaraku yang baik. Apakah itu benar? Benarkah engkau merasa kasihan kepada isterimu dan karena kasihan itu engkau menangisi kematiannya? Kalau benar demikian, mengapa engkau merasa iba kepadanya? Karena dia mati? Bagaimana mungkin kau dapat mengasihani seseorang yang mati kalau engkau sendiri tidak tahu bagaimana keadaan orang setelah mati? Yang jelas, ia telah kehilangan badannya yang menua dan rapuh, tidak merasakan lagi gangguan usia tua, bebas dari penanggungan badannya. Tidak, kalau kita mau jujur, akan nampaklah oleh kita bahwa yang kita tangisi dalam kematian seseorang bukanlah si mati, melainkan diri sendiri. Kita menangis karena kita ditinggal, karena kita kehilangan sesuatu yang menyenangkan yang kita peroleh dari orang yang kita cinta itu. Cinta tidak mengandung ikatan, dan karena tidak ada ikatan inilah, maka tidak akan ada duka pada saat perpisahan. Dalam kedukaan saudara ini, yang ada bukanlah cinta, melainkan nafsu dan terputusnya ikatan yang mengakar di dalam batin. Duka saudara bukan karena cinta kepada yang mati, melainkan karena iba diri sendiri yang ditinggalkan."

Sekonyong-konyong Wan Tek Hoat merasa seakan-akan kepalanya disiram air dingin yang membuatnya gelagapan, akan tetapi juga membuat dia sadar. Hatinya tersentuh keharuan dan dia pun menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu... saya dapat melihatnya sekarang. Saya harap suhu sudi memberi bimbingan kepada saya untuk selanjutnya. Saya akan belajar mencari kebebasan..."
"Omitohud, omonganmu itu keliru, saudara. Jangan katakan mencari kebebasan, karena kebebasan tidak mungkin dapat dicari. Yang penting, patahkan semua belenggu dari batin. Kalau sudah tidak ada ikatan, dengan sendirinya sudah bebas, bukan? Dalam keadaan terbelenggu, mana mungkin mencari kebebasan? Berada di dalam kurungan nafsu keakuan, tak mungkin mencari kebebasan. Kebebasan yang ditemukan di dalam kurungan itu bukanlah kebebasan yang sejati. Hanya kalau kita telah mampu menjebol kurungan itu dan berada di luar, barulah kita boleh bicara tentang kebebasan."
"Saya ingin mempelajari tentang kehidupan dari suhu, harap suhu suka menerima saya sebagai murid."

Kakek itu tersenyum dan mengajak pergi Wan Tek Hoat. Semenjak hari itu, tidak ada seorang pun di Bhutan yang pernah melihat lagi bekas panglima itu. Oleh kakek yang arif bijaksana itu, Wan Tek Hoat diajak merantau ke Tibet, diperkenalkan dengan para pendeta Lama dan para pertapa, juga memperdalam kewaspadaan dan kebijaksanaan, mempelajari tentang kehidupan, tentang alam. Wan Tek Hoat lalu mencukur rambut kepalanya, mengenakan jubah pendeta yang sederhana dan memakai nama Tiong Khi Hwesio.
Akan tetapi di Tibet terdapat banyak aliran keagamaan. Banyak orang-orang pandai di kalangan pendeta yang saling memperebutkan kekuasaan sehingga terjadi perpecahan dan ada pula pemberontakan ditujukan kepada Kerajaan Ceng. Hal ini menyedihkan hati Tiong Khi Hwesio.

Tak disangkanya bahwa biar pun manusia ada yang sudah berjubah pendeta, namun tetap saja jarang yang benar-benar sudah bebas, dan nafsu masih mencengkeram dalam berbagai bentuk, dengan umpan-umpan yang berbeda pula dengan yang dikejar orang di dunia ramai. Kalau di dunia ramai orang berebutan mengejar kemuliaan dan harta atau kesenangan-kesenangan lainnya, di tempat sunyi itu, para pendeta itu saling memperebutkan kedudukan, yaitu nama dan kehormatan!

Akhirnya, pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh bala tentara yang dikirim Kaisar Kian Liong. Keadaan di Tibet menjadi aman kembali. Akan tetapi, ada satu golongan yang selalu memberontak dan mengeruhkan keamanan di Tibet.

Golongan ini menamakan dirinya golongan Lama Jubah Merah dan dipimpin oleh Sai-cu Lama yang sakti. Karena para pendeta Lama di Tibet merasa kehabisan akal untuk dapat menundukkan Sai-cu Lama dan anak buahnya, akhirnya Tiong Khi Hwesio yang dikenal oleh para pendeta sebagai seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, dimintai tolong oleh para pendeta itu.

Mula-mula Tiong Khi Hwesio menolak permintaan bantuan ini. Ia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak melibatkan diri dalam urusan dunia, apa lagi dia mendapatkan banyak pelajaran dari gurunya, hwesio perantau yang tak pernah dikenal namanya itu yang kini sudah meninggal dunia.

"Aku sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi menggunakan kekerasan untuk menghadapi orang lain," demikian dia menyatakan penolakannya kepada para pendeta Lama di Tibet. "Kekerasan selalu hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, menimbulkan dendam. Tidak, aku tidak akan mau mempergunakan kekerasan lagi, para suhu yang baik," katanya.

Lama tertua di antara para pendeta itu melangkah maju dan merangkap kedua tangan ke depan dada. "Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi keyakinan hati saudara yang budiman. Memang, kita semua maklum bahwa menggunakan kekerasan bukanlah perbuatan yang baik. Akan tetapi, saudaraku yang budiman, menjadi kewajiban mutlak bagi kita untuk melindungi diri dari pada ancaman dari luar, terutama sekali melindungi orang lain dari pada ancaman dari luar. Golongan Jubah Merah telah menyebar maut, bertindak sewenang-wenang hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsu hewani mereka. Kalau kita menentang mereka, bukan berarti kita suka akan kekerasan, melainkan kita menggunakan tenaga untuk menghentikan perbuatan yang justru bersifat kekerasan itu. Apakah saudara hendak membarkan saja golongan itu merajalela, menyiksa dan membunuh, merampok dan memperkosa, tanpa ada sedikit pun semangat dalam batin saudara untuk menolong mereka yang tertindas itu? Benarkah dan patutkah seorang pencinta kehidupan seperti saudara ini membiarkan orang-orang merusak kehidupan? Apa lagi kalau diingat bahwa saudara memiliki sarana untuk menghentikan perbuatan laknat itu."

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang dan membuka mata memandang kepada semua pendeta itu. "Aihhh, tidak bolehkah aku menghabiskan sisa hidupku yang tidak seberapa ini dengan penuh ketenteraman dan kedamaian?"
"Bagaimana hati kita dapat tenteram dan damai kalau di sekitar kita terdapat serigala-serigala yang haus darah? Apakah kita harus mendiamkan saja serigala-serigala itu menyerang, menerkam dan membunuh banyak orang?"
"Sudahlah, sudahlah... pinceng akan menemui dan membujuk mereka...," akhirnya dia berkata. Para pendeta Lama itu segera menyatakan terima kasih dan rasa bersyukur mereka.

Dengan penuh perasaan gelisah karena dia lagi-lagi harus menghadapi kekerasan, Tiong Khi Hwesio yang dahulunya bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu, segera mendatangi perkampungan para Lama Jubah Merah. Dan apa yang didapatinya di sini membangkitkan jiwa pendekarnya yang sejak lama tidur. Bagaimana dia dapat berdiam diri saja menyaksikan betapa para pendeta Lama ini menjadi budak-budak nafsu mereka yang nampak jelas di dalam perkampungan mereka?

Mereka berpesta pora atas hasil perampokan-perampokan dan penculikan-penculikan mereka, mengumpulkan harta rampasan, minum-minum sampai mabok dan bahkan ada yang sedang menghina wanita-wanita culikan dengan semena-mena. Tentu saja Tiong Khi Hwesio menjadi marah, akan tetapi dia masih berusaha untuk menemui kepala atau pimpinan kelompok Jubah Merah itu.

Melihat seorang hwesio muncul di pintu gerbang mereka, beberapa orang Lama Jubah Merah menyambutnya dengan mulut menyeringai. "Sobat, apakah engkau datang ingin ikut bersenang-senang dengan kami?"

"Pinceng datang untuk bertemu dan bicara dengan pemimpin kalian, Sai-cu Lama."
"Ha-ha-ha, pemimpin kami sedang bersenang-senang dengan wanita pilihannya yang baru saja kami dapatkan. Beliau tidak suka diganggu pada saat ini. Jika ada keperluan, bicara dengan kami pun sama saja, kawan. Ada keperluan apakah?"

Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya yang masih tebal walau pun warnanya sudah putih. Hatinya sedih luar biasa menyaksikan tingkah polah para pendeta Lama ini, yang sungguh berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan jubah mereka dan kepala gundul mereka.....

"Maafkan, pinceng tak dapat bicara dengan siapa pun juga kecuali dengan Sai-cu Lama dan dia harus keluar menyambut pinceng sekarang juga. Kalau tak ada di antara kalian yang mau memanggilkannya, biarlah pinceng sendiri yang akan mencarinya." Berkata demikian, Tiong Khi Hwesio melanjutkan langkah kakinya memasuki perkampungan itu.
"Heii, tunggu dulu!"

Dua orang pendeta Lama cepat-cepat menghadang dan muka mereka menunjukkan kemarahan. Lenyaplah senyum mereka tadi yang ramah, terganti pandang mata penuh curiga. Terpaksa Tiong Khi Hwesio berhenti dan menghadapi kedua orang itu dengan sikap tenang.

"Siapakah kamu yang berani hendak mengganggu pimpinan kami? Kamu tidak boleh mengganggu dan pergilah dari sini sebelum kami mempergunakan kekerasan!"
"Omitohud!" Tiong Khi Hwesio menyembah dengan dua tangan di depan dada. "Pinceng datang bukan untuk mencari pertentangan, melainkan hendak bicara dengan pimpinan kalian. Panggil dia ke luar."
"Tidak! Apakah kamu belum mengenal para Lama Jubah Merah dan datang mencari penyakit?" Seorang Lama yang bertubuh tinggi besar dengan wajahnya yang nampak bengis membentak, sikapnya amat mengancam. "Pergilah sekarang juga. Kami masih memandang kedudukanmu sebagai seorang hwesio. Pergilah atau terpaksa aku akan melemparmu keluar!"

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. "Siancai... sekali lagi pinceng katakan bahwa pinceng tidak mencari permusuhan." Kemudian dia mengerahkan khikang dan berteriak, suaranya amat lantang menembus udara dan terdengar sampai jauh di seluruh penjuru perkampungan itu dan mengejutkan semua orang, "Sai-cu Lama, keluarlah, pinceng hendak bicara denganmu!"

Melihat ini, dua orang pendeta Lama itu menjadi marah dan mereka sudah menubruk dan hendak menangkap hwesio tua yang datang membuat kacau itu. Akan tetapi, mereka berdua menangkap angin karena yang ditubruk tahu-tahu sudah lenyap dari depan mereka! Tentu saja mereka kaget bukan main dan para pendeta Lama yang lain kini sudah datang mengepung Tiong Khi Hwesio yang tadi dapat mengelak dengan mudah dari tubrukan dua orang lawan itu.

"Tangkap pengacau! Pukul roboh dia!" terdengar teriakan-teriakan.

Kini para pendeta yang semua memakai jubah merah itu mengepung dan menyerang Tiong Khi Hwesio dari segala jurusan. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Menghadapi serangan dari semua jurusan ini, Tiong Khi Hwesio sama sekali tidak menjadi gentar. Kalau serangan itu dilakukan terhadap dirinya sepuluh tahun yang lalu saja, tentu dia akan mengamuk dan merobohkan mereka semua tanpa ampun lagi.

Akan tetapi, Tiong Khi Hwesio sekarang ini sama sekali berbeda dengan Wan Tek Hoat atau Si Jari Maut. Selama beberapa tahun ini dia hidup di dekat kakek hwesio yang menyadarkannya, dia telah mampu mengalahkan kekerasan hatinya. Kini hatinya tidak mudah tersinggung kemarahan atau emosi yang lain. Ia selalu tenang dan memandang segala hal yang terjadi dengan sinar mata penuh pengertian sehingga keadaan batinnya seperti air telaga yang dalam dan selalu tenang, sikapnya halus dan wajahnya selalu tersenyum.

Terjangan yang dilakukan dengan kemarahan oleh para pendeta Lama berjubah merah itu, hanya disambutnya dengan elakan dan tangkisan. Gerakannya demikian cepatnya sehingga beberapa kali ia seperti menghilang dari kepungan, membuat para pengepung terheran-heran dan keadaan menjadi semakin kacau balau.

"Sai-cu Lama, apakah engkau termasuk orang yang berani berbuat akan tetapi tidak berani bertanggung jawab?" kembali Tiong Khi Hwesio berteriak dengan pengerahan khikang-nya ketika dia kembali berhasil meloncat keluar dari kepungan dan membiarkan para pengeroyoknya kebingungan mencari-carinya.

Mendengar suaranya, kembali para pendeta yang kini jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang itu sudah menerjang dan menubruknya, bahkan sebagian di antara mereka ada pula yang menggunakan senjata. Tiong Khi Hwesio sedang berdiri tegak ketika dua puluh orang pendeta itu menerjangnya dari depan, belakang dan kanan kiri.

Karena tidak mungkin mengelak atau menangkis semua serangan itu satu demi satu, Tiong Khi Hwesio tidak bergerak mengelak. Tiba-tiba saja dari mulutnya terdengar suara melengking, dua kakinya dipentang dan dua lengannya juga dikembangkan, lalu diputar di sekeliling tubuhnya. Akibatnya, para pengeroyok itu berpelantingan seperti diterjang angin puyuh yang amat kuat!

Terkejutlah kini para pengeroyok itu. Tak mereka sangka bahwa hwesio yang datang ini memiliki kesaktian yang demikian hebat, dan sebagai orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa kalau lawan itu menghendaki, tentu mereka semua sudah roboh dan terluka berat, tidak hanya berpelantingan seperti itu. Segera timbul kekhawatiran hati mereka. Jangan-jangan orang ini sahabat dari pemimpin mereka yang mempuyai keperluan ingin bertemu dengan Sai-cu Lama.

Akan tetapi mereka tak perlu ragu-ragu lagi karena pada saat itu terdengar suara keras dan mengandung getaran parau bagai suara seekor singa mengaum. Mendengar suara ini, para pendeta Lama cepat-cepat menahan napas, bahkan ada yang menutupi kedua telinga karena tidak tahan mendengar suara yang mengandung khikang amat kuat dan yang menggetarkan jantung mereka itu.

"Hwesio tolol dari manakah berani main gila di depan Sai-cu Lama!" demikian bentakan suara itu dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali, kepalanya gundul dan jubahnya bukan hanya merah seperti yang dipakai para pendeta di situ, melainkan kotak-kotak berwarna merah kuning. Biar pun kepalanya gundul plontos licin, namun mukanya penuh cambang bauk seperti muka singa karena dari cambang, sampai semua pipi, kumis dan dagunya penuh rambut yang keriting berwarna agak kekuning-kuningan!

Melihat pendeta ini, Tiong Khi Hwesio dengan mudah dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Muka Singa) itu. Diam-diam dia kagum melihat kakek yang masih membayangkan kegagahan itu, walau pun usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dengan muka seperti itu memang pantas sekali kalau memakai julukan Muka Singa.

Sejenak hati kakek ini tertegun. Melihat muka pendeta Lama itu, teringatlah dia akan gurunya yang pertama kali pada waktu dia masih muda. Gurunya yang pertama adalah seorang kakek yang berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Muka Singa) yang memiliki muka seperti Sai-cu Lama ini, penuh cambang bauk yang bagus dan gagah seperti singa. Hanya bedanya, gurunya yang memakai julukan Lo-mo (Iblis Tua) itu adalah seorang gagah perkasa sebaliknya kakek yang memakai julukan Lama (Pendeta Buddha Tibet) ini malah seorang hamba nafsu yang jahat! Jelaslah bahwa manusia tidak dapat diukur dari namanya, julukannya, apa lagi dari pakaiannya.

Setelah merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan orang yang dicarinya, Tiong Khi Hwesio segera melangkah menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, menjura ke arah kakek bermuka singa itu.

"Omitohud, kalau tidak keliru pinceng berhadapan dengan yang terhormat Sai-cu Lama, benarkah itu?"

Sejenak sepasang mata yang lebar dan penuh kewibawaan itu memandang Tiong Khi Hwesio penuh selidik. Memang kakek bermuka singa inilah Sai-cu Lama yang terkenal sekali di Tibet itu.

Mula-mula kakek ini heran mendengar di luar ada orang memanggil-manggil namanya. Namun karena dia sedang sibuk dengan seorang gadis yang dipilihnya di antara para wanita yang diculik, dia tidak mempedulikan panggilan itu dan menyerahkan kepada anak buahnya untuk menghadapi orang yang berani mengganggu kesenangannya.

Akan tetapi, ia kemudian mendengar teriakan-teriakan anak buahnya. Dengan ogah dan marah dia keluar meninggalkan korbannya dan terkejutlah dia melihat betapa seorang kakek hwesio yang tua sedang bergerak dengan amat cepatnya menghindarkan semua serangan para Pendeta Lama. Bahkan dia dibuat tertegun bukan main melihat betapa sekali menggerakkan tubuhnya, pendeta tua itu berhasil membuat dua puluh orang anak buahnya berpelantingan.

Maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan orang yang berkepandaian, yang bukan merupakan lawan para anak buahnya, Sai-cu Lama lalu menghampiri tempat itu. Kini dia memandang Tiong Khi Hwesio dengan teliti, mencoba untuk mengingat-ingat. Akan tetapi dia merasa heran dan penasaran karena dia belum pernah mengenal hwesio tua renta ini.

"Benar, aku adalah Sai-cu Lama. Setelah mengenalku, engkau masih berani membikin kacau di perkampungan kami. Apakah kau sudah bosan hidup?"

Tiong Khi Hwesio tersenyum halus dan ramah. "Sai-cu Lama, pinceng datang sebagai seorang sahabat, bukan hanya karena kita berdua sama-sama murid Sang Buddha, akan tetapi juga terutama sekali karena kita berdua sama-sama manusia yang wajib saling memberi ingat kalau ada yang salah tindak."

"Dan kau datang untuk memberi peringatan itu?" Sai-cu Lama berkata, alisnya yang tebal keriting itu berkerut dan mulutnya menyeringai seperti seekor singa mencium bau kelinci.

Tiong Khi Hwesio mengangguk. "Omitohud, betapa sukarnya bagi kita untuk mengenal diri sendiri dan melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Selalu harus ada orang lain yang membantu memberi ingat. Sai-cu Lama, tanpa kuberi tahu sekali pun, kiranya engkau sudah tahu bahwa saat ini engkau sedang melakukan penyelewengan-penyelewengan dari jalan kebenaran seperti yang sudah sama-sama kita pelajari. Engkau menghimpun kawan-kawanmu ini, yang kemudian terkenal di Tibet sebagai gerombolan yang selalu mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat. Merampok, membunuh, mengumpulkan kekayaan, mengganggu wanita. Bukankah semua itu merupakan perbuatan yang malah harus dipantang oleh orang-orang yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta seperti kita? Sai-cu Lama, pinceng datang untuk memberi ingat kepada kalian semua agar kalian sadar dan mengubah kesesatan itu mulai saat ini juga, dan kembali ke jalan kebenaran."

"Keparat!" Sai-cu Lama membentak, lalu dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, siapakah engkau ini yang berani sekali datang untuk memperingatkan dan bahkan mengancam aku? Ha-ha-ha, orang yang bosan hidup, apakah nyawamu rangkap?"

Mendengar ucapan dan tawa pemimpin mereka, para pendeta Lama yang mengurung tempat itu pun tertawa. Mereka merasa yakin bahwa sebentar lagi mereka akan melihat hwesio tua itu pasti akan dihajar oleh pemimpin mereka sampai mampus.

"Pinceng tidak mengancam, melainkan ingin menyadarkan kalian dari pada kesesatan."
"Hemmm, tua bangka yang tak tahu diri. Siapakah engkau? Dari perguruan mana? Dari pertapaan mana?" Sai-cu Lama bertanya, teringat bahwa kakek hwesio itu tadi telah memperlihatkan kesaktiannya.
"Omitohud..." Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang, merasa bahwa agaknya tidak mungkin baginya mengingatkan orang seperti Sai-cu Lama ini. "Pinceng hanya seorang perantau biasa, tanpa perguruan bahkan tidak mempunyai pertapaan, nama pinceng Tiong Khi Hwesio. Pinceng mendengar tentang gerakan dari kelompok Lama Jubah Merah dan mendengar ratapan rakyat, maka terpaksa pinceng datang ke sini untuk berusaha menyadarkan kalian."

Muka yang seperti singa itu nampak beringas dan bengis. "Tiong Khi Hwesio, engkau ini sudah tua bangka, umurmu sudah tidak berapa lama lagi akan tetapi tindakanmu masih jahil dan mulutmu masih usil! Tindakan-tindakan kami sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu, akan tetapi engkau berani tidak memandang mata kepadaku dan berani memperingatkan aku. Dengarlah. Aku mau mendengarkan nasehatmu itu dan mau membubarkan kelompok kami ini kalau engkau mampu mengalahkan aku!"

Terdengar suara di sana-sini mentertawakan Tiong Khi Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang.

"Siancai..., pinceng datang bukan untuk mempergunakan kekerasan."
"Mau mempergunakan kekerasan atau tidak, masukmu ke perkampungan kami sudah merupakan tindak kekerasan yang melanggar dan untuk itu engkau sebagai orang luar sudah dapat dijatuhi hukuman mati. Nah, majulah, kalau engkau tidak mau mati konyol. Aku sendiri tidak suka membunuh orang yang tidak mau melawan."

Tiong Khi Hwesio kini memandang dan sepasang matanya mencorong penuh teguran. "Sai-cu Lama, belum tentu pinceng dapat mengalahkanmu dalam ilmu silat, akan tetapi ketahuilah bahwa di atas puncak Gunung Thai-san yang tertinggi sekali pun masih ada awan. Bersikap tinggi hati mengandalkan kepandaian sendiri hanya akan mempercepat kejatuhannya..."

"Sudah, tak perlu banyak kuliah lagi, sambutlah ini!" Sai-cu Lama sudah menerjang ke depan, jubahnya berkembang karena gerakan ini mendatangkan angin dan tangan kirinya yang besar itu menyambar ketika dia menggerakkan lengan. Tangan itu dengan jari-jari tangan terbuka mencengkeram ke arah kepala Tiong Khi Hwesio, sedangkan tangan kanannya menyusul dengan dorongan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
"Wuuuuuttt...!"

Bukan main dahsyatnya serangan yang dilakukan Sai-cu Lama itu. Cepat seperti kilat menyambar dan mengandung kekuatan yang mengerikan. Entah mana yang lebih berbahaya, cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu ataukah hantaman ke arah dada. Kepala dapat hancur berantakan dan dada dapat pecah kalau terkena serangan itu!

Tiong Khi Hwesio dapat mengenali pukulan-pukulan ampuh, maka sambil mengeluarkan seruan dia pun menggerakkan tubuhnya ke belakang. Cepat dan ringan tubuhnya itu bergerak ke belakang, seakan-akan terdorong oleh angin pukulan lawannya.

Sai-cu Lama juga menahan seruan kagetnya. Dia merasa seperti menyerang sehelai bulu saja yang melayang pergi sebelum serangannya mengenai sasaran! Maklumlah dia bahwa lawannya ini, biar pun sudah tua sekali, namun memiliki ginkang yang istimewa dan sukarlah menyerang orang dengan ginkang seperti ini kalau tidak mempergunakan pukulan jarak jauh dan kecepatan kilat.

"Haiiiiittt...!" Dia pun membentak nyaring dan kedua tangannya didorongkan ke depan.

Dan kini Sai-cu Lama menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya. Pukulannya ini, yang dilakukan dengan dua tangan terbuka, tidak membutuhkan kontak langsung dengan tubuh lawan. Angin pukulannya saja sanggup untuk merobohkan lawan dengan guncangan yang akan dapat merusak jantung!

"Omitohud..., keji sekali pukulan ini!" Tiong Khi Hwesio berseru.

Dia pun cepat memasang kuda-kuda, bukannya mundur, bahkan dia melangkah maju dan kedua tangannya juga didorongkan ke depan, menyambut langsung kedua telapak tangan lawan.
"Dessss...!"

Dua pasang telapak tangan saling bertemu. Nampaknya saja empat buah tangan itu memiliki telapak tangan yang lunak, akan tetapi ternyata mengandung tenaga sinkang yang hebat. Pertemuan tenaga sinkang melalui dua pasang tangan itu hebat bukan main, sampai terasa oleh semua pendeta Lama yang berada di situ karena udara di sekitar tempat itu seolah-olah tergetar, seperti bertemunya dua tenaga Im dan Yang di musim hujan yang menciptakan kilat dan guntur.

Akibat dari pada pertemuan tenaga dahsyat itu, dua orang pendeta itu terdorong ke belakang, masing-masing lima langkah. Keduanya tidak sampai jatuh, akan tetapi berdiri dengan muka berubah agak pucat. Sejenak keduanya memejamkan mata, kemudian mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi dada dari pengaruh guncangan hebat itu. Hal ini saja membuktikan bahwa keduanya memiliki tenaga sinkang yang seimbang.

Terkejutlah keduanya. Tiong Khi Hwesio sendiri pun terkejut bukan main. Belum pernah dia, kecuali di waktu muda dahulu, bertemu dengan lawan yang sekuat ini, maka dia pun bersikap hati-hati, maklum bahwa dia harus berjaga dengan sepenuh tenaga dan kepandaian.

Juga Sai-cu Lama terkejut sekali. Dia memang sudah menduga bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi tak pernah disangkanya akan selihai itu, kuat menahan pukulannya tadi yang dilakukannya sepenuh tenaga, bahkan tangkisan itu membuat dia terdorong ke belakang sampai lima langkah dengan dada terasa sesak dan panas. Akan tetapi di samping rasa kagetnya, timbul pula perasaan marah yang berapi-api.

Inilah kesalahan Sai-cu Lama. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat dan tenaga, dia tidak kalah oleh lawan, hanya dalam satu hal dia kalah, yaitu dalam kekuatan batin. Kalau Tiong Khi Hwesio menghadapi kenyataan akan kekuatan lawan itu dengan sikap yang berhati-hati, sebaliknya Sai-cu Lama justru menjadi marah menghadapi kenyataan itu. Sedangkan kemarahan merupakan kelemahan yang mengurangi kewaspadaan, bahkan kemarahan menghamburkan tenaga dalam.

Dengan suara menggeram seperti seekor singa. Sai-cu Lama kini sudah meryerang lagi, disambut tangkisan oleh Tiong Khi Hwesio yang segera membalas pula. Tiong Khi Hwesio sudah tidak mempunyai nafsu untuk meraih kemenangan, apa lagi mencelakai lawan. Akan tetapi menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama yang menyerang dengan pukulan-pukulan maut, kalau hanya melindungi diri sendiri saja akhirnya dia tentu akan terkena pukulan dan roboh. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri hanyalah mengalahkan Sai-cu Lama, dan untuk dapat mengalahkannya mau tidak mau dia harus membalas serangan lawan yang tangguh itu.

Terjadilah perkelahian yang sengit dan hebat. Saling menyerang dengan jurus-jurus pilihan yang aneh dan dahsyat. Demikian cepatnya mereka bergerak sehingga pandang mata para anggota Lama Jubah Merah menjadi kabur. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan kedua orang kakek itu, hanya mampu melihat bayangan kuning dan bayangan kemerahan dari jubah mereka berdua itu berkelebatan dan berloncatan ke sana-sini.

Andai kata para pendeta Lama itu disuruh membantu pemimpin mereka pada saat itu, mereka tentu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, karena sukarlah menyerang lawan yang tidak nampak, dan bahkan bayangannya sering kali menjadi satu dengan bayangan merah. Juga, saking dahsyatnya gerakan kedua orang kakek itu, pukulan-pukulan mereka mendatangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar ke segala penjuru, membuat para pendeta yang nonton perkelahian itu terpaksa mundur sampai pada jarak yang cukup jauh dan aman.

Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kagum bukan main setelah seratus jurus lewat mereka berkelahi belum juga dia mampu menundukkan lawan itu. Jarang dia bertemu dengan lawan yang demikian tangguhnya, yang membalasnya pukulan dengan pukulan, tendangan dengan tendangan, yang menandingi kecepatan gerak dengan ginkangnya, mengimbangi kekuatan dahsyat tenaga sinkang-nya.

Sejak muda memang hwesio tua ini suka sekali akan ilmu silat dan selalu menghargai orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi. Hanya keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir sajalah yang benar-benar memiliki kesaktian yang mengagumkan hatinya. Namun sekali ini dia bertemu tanding yang benar-benar hebat! Diam-diam dia merasa kagum, juga penasaran dan lalu timbul kegembiraannya, timbul kembali kegemarannya mengadu dan menguji ilmu silat tinggi.

Segala kepandaiannya telah dia kerahkan. Dari ilmu-ilmu silat tinggi Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis), Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) dan gabungan kedua ilmu itu, ilmu-ilmu dari Pulau Neraka peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang diwarisinya, sampai ilmu-ilmu yang amat lihai dengan tenaga Inti Bumi, semua dikeluarkannya, namun semua ilmu itu hanya dapat mengimbangi kehebatan ilmu-ilmu Sai-cu Lama yang juga merasa penasaran sekali.

Sai-cu Lama sama sekali tidak mempunyai rasa kagum terhadap lawannya. Yang ada hanyalah rasa penasaran dan kemarahan yang makin menjadi-jadi. Berkelahi sampai ratusan jurus melawan seorang kakek tua renta dan dia masih belum juga mampu memperoleh kemenangan, bahkan sering kali terdesak hebat oleh ilmu-ilmu yang aneh dari hwesio itu, apa lagi di depan para anak buahnya, merupakan penghinaan baginya. Dia merasa direndahkan karena selama ini dia tidak pernah kalah sehingga para murid dan anak buahnya menganggap bahwa dia adalah orang yang paling pandai di dunia ini.

Makin lama, dia semakin merasa penasaran dan karena akhirnya dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan hwesio itu melalui ilmu silat, maka timbullah akal liciknya. Bagaimana pun juga, lawannya itu tentu sudah tua sekali, mungkin belasan tahun lebih tua darinya dan hal ini akan menjadi sebab kemenangannya. Kalau saja dia mampu bertahan, tentu akhirnya lawan itu akan kehabisan napas dan tenaga. Dia yang lebih muda tentu akan lebih tahan dibandinglan dengan lawan yang jauh lebih tua itu.

Akan tetapi, ternyata kelicikan Sai-cu Lama yang ingin mengadu daya tahan dan napas ini tidak memperoleh hasil, bahkan ia menjadi makin penasaran. Mereka telah berkelahi sampai ratusan jurus, entah berapa jam lamanya. Tadi ketika mereka mulai saling serang di pekarangan lebar perkampungan itu, hari telah menjelang senja dan kini telah jauh malam.

Para murid yang menonton dari jarak yang cukup jauh dan aman, telah pula menerangi pekarangan itu dengan obor-obor dan lampu-lampu yang cukup terang. Dan perkelahian itu terus berlangsung tanpa pernah beristirahat sejenak pun!

Kini kedua orang kakek itu sudah nampak lelah, keringat sudah membasahi semua pakaian dan muka, juga pernapasan mereka mulai memburu. Dari kepala mereka keluar uap putih yang aneh.

Diam-diam, Sai-cu Lama yang tadinya merasa penasaran, ada pula rasa kagum dan gentar. Kiranya kakek ini memang hebat luar biasa! Agaknya memiliki napas melebihi napas kuda dan tenaganya juga tak pernah mengendur, bahkan bagi dia yang mulai lelah, tenaga kakek itu makin lama makin kuat saja agaknya. Dia merasa kagum dan gentar. Seorang kakek yang hebat!

Walau pun kini hwesio tua itu mulai nampak kelelahan, akan tetapi dia sendiri pun tiada bedanya, mulai lelah dan kehabisan tenaga. Kalau tadi Sai-cu Lama memiliki pikiran untuk menyuruh anak buahnya maju mengeroyok, sekarang dia menahan pikiran itu. Pertama, menyuruh mereka maju sama saja dengan menyuruh mereka membunuh diri. Mereka bukanlah lawan hwesio tua itu. Dan kedua, melihat kehebatan hwesio itu, dia merasa malu kepada diri sendiri kalau harus mengandalkan pengeroyokan yang hanya tipis harapannya untuk menang itu.

Mendadak Sai-cu Lama mengambil ancang-ancang, dan sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, dia menerjang ke depan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya! Dia hendak mengadu tenaga terakhir, kalau perlu nyawanya!

Melihat lawannya menerjang dengan kedua tangan mendorong dan kedua lengan itu bergerak-gerak sehingga menimbulkan gelombang hawa pukulan dahsyat, Tiong Khi Hwesio terkejut.

"Omitohud...!" Dia mengeluh, maklum bahwa lawannya yang sudah amat penasaran itu agaknya hendak mengadu nyawa!

Apa boleh buat, dia pun terpaksa harus melindungi dirinya. Cepat dia pun memasang kuda-kuda, menyambut dengan dua tangan terbuka, didorongkan ke depan menyambut kedua telapak tangan lawan. Untuk kedua kalinya, dua orang kakek ini mengadu tenaga sinkang mereka.

Tetapi berbeda dengan bentrokan tenaga sinkang melalui telapak tangan yang pertama, bentrokan sekali ini dilakukan dengan mati-matian dan dalam keadaan tenaga mereka sudah mulai mengendur, sehingga tentu saja daya tahan mereka pun berkurang. Dalam keadaan seperti itu, bahaya untuk menderita luka dalam atau bahkan kematian lebih besar lagi.

"Dessss...!"

Bentrokan tenaga itu hebat bukan main dan akibatnya, dua orang kakek itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah!

Melihat betapa pemimpin mereka roboh terbanting, akan tetapi juga lawannya terlempar dan terbanting jatuh, empat orang pendeta Lama segera menubruk ke arah Tiong Khi Hwesio dengan maksud untuk menghabiskan nyawa lawan yang tangguh selagi lawan itu terbanting dan nampaknya kehabisan tenaga dan tidak berdaya.

"Tahan...!"

Sai-cu Lama yang masih merasa lemah dan pening itu mencoba untuk mencegah, akan tetapi suaranya yang lemah itu agaknya tak mempengaruhi empat orang anak buahnya yang sudah menyerang Tiong Khi Hwesio dengan ganas. Mereka menyerang dengan serentak dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka disusul terlemparnya tubuh mereka sampai jauh, terpental seperti dilempar oleh tenaga raksasa dan mereka itu terbanting tak sadarkan diri!

Kiranya, biar pun sudah terbanting roboh, Tiong Khi Hwesio berada di pihak lebih kuat sehingga tenaga sinkang yang masih besar sekali terhimpun di tubuhnya. Ketika empat orang itu menerjangnya, Tiong Khi Hwesio tak melihat jalan lain kecuali menggerakkan kedua tangannya mendorong, dan akibatnya, empat orang itu terlempar seperti daun daun kering tersapu angin.

"Anjing-anjing busuk, jangan serang dia!" bentak Sai-cu Lama, bentakan yang bukan dilakukan karena mengkhawatirkan anak buahnya, melainkan karena dia merasa malu kalau dalam keadaan seperti itu dia harus menggunakan tenaga anak buahnya. Para pendeta Lama itu pun tidak ada yang berani maju lagi. Empat orang teman mereka masih pingsan, dan tentu saja mereka tidak berani maju untuk bunuh diri!

Dua orang kakek itu sekarang sudah bangkit duduk bersila, masing-masing mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.

"Omitohud...! Engkau sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan hebat, Sai-cu Lama. Pinceng merasa kagum sekali... ah, sungguh sayang bahwa kita berdua berada di dua tempat yang bertentangan. Kalau saja engkau suka sadar dan kembali ke jalan benar, betapa akan senang hati pinceng untuk menjadi temanmu bicara tentang ilmu silat."

Pujian yang diucapkan dengan hati yang tulus itu diterima sebagai ejekan oleh Sai-cu Lama. Bagaimana pun juga, dia merasa bahwa dalam bentrokan tenaga sinkang yang terakhir tadi, dia telah terbukti kalah kuat. Kalau saja latihannya belum matang benar, bentrokan tadi saja cukup untuk membuat nyawanya putus!

Dan untuk dapat memulihkan tenaga, dia membutuhkan waktu lama, sedikitnya sampai besok pagi barulah dia akan dapat memulihkan tenaganya dan mampu untuk bertanding lagi. Sedangkan lawannya baru saja membuktikan kehebatannya dengan merobohkan empat orang anak buahnya yang melakukan penyerangan serentak.

"Tiong Khi Hwesio, tak perlu berusaha bicara manis kepadaku. Bagaimana pun, aku masih hidup dan ini berarti bahwa aku belum kalah. Aku hanya kelelahan dan kehabisan tenaga, akan tetapi engkau pun jelas kehabisan tenaga. Biarlah kita beristirahat malam ini, dan besok pagi-pagi kita lanjutkan pertandingan ini sampai seorang di antara kita benar-benar kalah."
"Omitohud... Sai-cu Lama, apakah engkau belum juga mau menyadari bahwa semua kekerasan ini tidak ada gunanya?"
"Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Sampai besok pagi!" kata Sai-cu Lama dan dia pun memberi perintah kepada anak buahnya untuk tetap mengurung kakek hwesio itu dan jangan mengganggunya. Kemudian dia memejamkan mata sambil duduk bersila dan mengatur pernapasan, tanpa mempedulikan lagi kepada lawannya.

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja bicara dengan Sai-cu Lama. Orang seperti itu hanya dapat diajak berunding melalui kepalan, dan hanya akan mau bicara jika benar-benar sudah dikalahkannya. Tidak ada lain jalan baginya kecuali memejamkan mata dan mengatur pernapasan pula karena dia tak ingin besok pagi menjadi bulan-bulan kekerasan Sai-cu Lama.

Diam-diam dia pun merasa bingung. Tadi dia telah mengeluarkan semua ilmunya, tetapi semua itu hanya mampu mengimbangi kepandaian lawan. Hanya ada satu ilmu tidak dikeluarkan, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Ilmu ini dianggapnya amat ganas dan dahulu pernah mengangkat namanya sehingga dia dijuluki Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Apakah dia terpaksa harus mempergunakan ilmu itu besok untuk mengalahkan Sai-cu Lama?

Malam itu lewat dalam keadaan yang amat menegangkan. Para pendeta Lama itu tiada yang berani mengeluarkan suara karena mereka takut kalau-kalau akan mengganggu pemimpin mereka yang sedang istirahat. Empat orang yang tadi roboh pingsan, mereka bawa pergi untuk dirawat dan mereka itu hanya berani bicara di tempat yang agak jauh dari situ. Semua orang merasa tegang karena mereka belum tahu bagaimana keadaan pemimpin mereka dalam perkelahian tadi, yaitu menang ataukah kalah.

Setidaknya, pemimpin mereka itu agaknya terdesak, buktinya Sai-cu Lama minta waktu untuk beristirahat. Mulailah mereka bertanya-tanya, siapakah gerangan hwesio tua yang demikian sakti itu.

Pada keesokan harinya, ketika dari jauh terdengar kokok ayam hutan jantan dan sinar matahari pagi mulai bercahaya di ufuk timur, Sai-cu Lama sudah membuka kedua matanya memandang kepada lawannya. Tiong Khi Hwesio sejak tadi sudah bangun dari semedhinya dan kini keduanya saling pandang. Ada kekaguman pada pandang mata masing-masing.

"Hei, Tiong Khi Hwesio. Bagaimana kalau kita menyudahi saja perkelahian yang tidak ada gunanya ini?" tiba-tiba terdengar Sai-cu Lama berkata.

Wajah tua itu berseri gembira. "Siancai...! Agaknya Sang Buddha telah mendatangkan penerangan yang menyadarkan batinmu, saudaraku yang baik! Tentu saja pinceng berterima kasih sekali dan sangat girang kalau perkelahian yang tidak ada gunanya ini dihentikan."

"Bagus, kita hentikan saja perkelahian ini dan menjadi sahabat. Bahkan bukan hanya sahabat, tetapi aku akan mengangkatmu menjadi wakilku, wakil pemimpin kelompok Lama Jubah Merah. Bagaimana, sahabatku?"

Tentu saja Tiong Khi Hwesio terkejut dan mengerutkan alisnya. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Kiranya lawan itu mengajak berhenti berkelahi karena justru ingin menarik dirinya sebagai sekutu dan pembantu! Dia menarik napas panjang, merasa menyesal sekali sebagai pengganti kegirangannya karena tadi mengira bahwa orang itu telah sadar.

"Omitohud, Sai-cu Lama, kiranya engkau belum juga sadar dan bahkan ingin menyeret pinceng ke dalam kelompokmu. Betapa sesatnya keinginanmu itu. Pinceng sengaja datang untuk menyadarkan kalian dari jalan yang sesat, bukan untuk membantu kalian merajalela dengan kejahatan kalian."

Sai-cu Lama tersenyum menyeringai. "He-he-heh, Tiong Khi Hwesio, jadi engkau masih menghendaki diteruskannya perkelahian ini? Hemm, kau kira percuma saja semalam aku beristirahat? Engkau takkan menang kali ini!"

"Terserah kepadamu, Sai-cu Lama. Dalam pertandingan ilmu silat memang hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah, jadi tak perlu diributkan benar." Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kecewa dan marah, akan tetapi sikapnya masih biasa, halus dan ramah, dan tenang sekali.

Tiba-tiba Sai-cu Lama meloncat berdiri. Ternyata gerakannya sigap bukan main, tanda bahwa dia telah memulihkan kembali tenaganya dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan dia telah memegang sebatang pedang tipis yang berkilauan. Pedang ini diam-diam diterimanya dari seorang muridnya setelah dia memberi isyarat malam tadi. Kiranya, Sai-cu Lama yang merasa betapa lihainya orang yang menjadi lawannya, diam-diam telah mempersiapkan diri dan kini dia hendak mencapai kemenangan dengan bantuan sebatang pedang tipis!

Tiong Khi Hwesio juga sudah bangkit berdiri dan dia tetap tenang saja melihat lawannya kini memegang sebatang pedang. Bagi seorang ahli silat tinggi yang memiliki kesaktian seperti dia, menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama, tiada bedanya apakah lawan itu bersenjata ataukah tidak. Kedua tangan dan kaki lawan itu pun tidak kalah ampuhnya dengan pedang yang kini dipegangnya.

"Hwesio tua bangka, makanlah pedang ini!" bentak Sai-cu Lama yang sudah menerjang dengan dahsyatnya.

Tempat itu masih seperti semalam, penuh dengan para pendeta Lama yang menjadi penonton dari jarak yang cukup jauh. Kini mereka mengharapkan bahwa ketua mereka akan dapat membunuh hwesio tua yang tangguh itu.

Pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar terang yang meluncur dan ketika Tiong Khi Hwesio dapat mengelak dengan lompatan ke kiri, sinar pedang berkelebatan dan bergulung-gulung menyambar ke arah tubuh Tiong Khi Hwesio dari delapan penjuru angin!

Tahulah Tiong Khi Hwesio bahwa ilmu pedang yang dimainkan lawan adalah semacam Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin atau Pat-hong Kiam-sut yang telah diubah dan diberi banyak perkembangan. Dia sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan keringanan tubuhnya dia berkelebatan menghindarkan diri, lalu secara mendadak terdengar bunyi melengking yang menggetarkan semua orang dan Sai-cu Lama sendiri mengeluarkan seruan kaget.

Kiranya sekarang Tiong Khi Hwesio telah memainkan ilmu silatnya yang semalam tidak dikeluarkannya, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci. Jari-jari kedua tangannya bagaikan hidup, melakukan totokan-totokan dan cengkeraman-cengkeraman, dan setiap jari membawa ancaman maut! Itulah sebabnya maka dinamakan Jari Pencabut Nyawa! Dan hebatnya, jari-jari tangan itu diperkuat oleh tenaga yang membuat jari-jari tangan itu sedemikian kerasnya sehingga dengan tangan kosong Tiong Khi Hwesio berani menangkis pedang lawan!

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sai-cu Lama menghadapi ilmu silat yang luar biasa itu dan permainan pedangnya menjadi kacau. Tak disangkanya bahwa lawannya masih mempunyai simpanan ilmu yang demikian hebatnya, padahal tadinya dia sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat menangkan perkelahian itu jika dia menggunakan pedangnya. Karena permainan pedangnya kacau, maka dia menjadi kurang waspada.
"Tring-tring-crangg... aughhh...!"

Tubuh Sai-cu Lama terpelanting. Darah mengucur keluar dari luka di pundak kanannya, sedangkan pedangnya terlempar dan patah menjadi dua potong! Jika saja Sai-cu Lama tidak memiliki tubuh yang telah dilindungi kekebalan, mungkin lukanya akan lebih parah lagi.

Dua jari tangan Tiong Khi Hwesio mengenai pundaknya dan biar pun pundak itu telah dilindungi ilmu kekebalan, tetap saja terobek sampai dagingnya. Masih untung tulang pundaknya tidak patah dan urat besarnya tidak putus. Akan tetapi, dengan luka di pundaknya itu, untuk sementara lengan kanan Sai-cu Lama tidak dapat digerakkan dan kalau pada saat itu Tiong Khi Hwesio mendesaknya, tentu akan mudah sekali bagi hwesio itu untuk menghabisi nyawanya.

Namun, Tiong Khi Hwesio merasa tidak tega! Perasaan tidak tega ini timbul sejak malam tadi, setelah dia merasa kagum terhadap ilmu kepandaian Sai-cu Lama yang sanggup menandinginya sampai selama itu. Kalau saja Sai-cu Lama tadi tidak kacau permainan pedangnya, mungkin perkelahian ini pun akan makan waktu yang lebih lama lagi. Dia merasa sayang untuk membunuh Sai-cu Lama dan mengharapkan bahwa kekalahannya itu akan membuat Sai-cu Lama sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Sai-cu Lama juga bukan seorang bodoh. Sama sekali bukan, bahkan dia cerdik sekali. Dia tahu bahwa kali ini dia harus mengakui keunggulan lawan, bahwa dia telah bertemu dengan orang yang lebih lihai darinya. Percuma saja melanjutkan perkelahian itu. Biar pun dia dapat mengerahkan anak buahnya, namun melanjutkan perkelahian sama saja dengan membunuh diri sendiri dan membunuh para anak buahnya. Ia sudah tak mampu melanjutkan perkelahian. Untuk sementara, jalan terbaik adalah menakluk, tanpa malu-malu lagi, demi keselamatan dirinya.

Sai-cu Lama bangkit berdiri terhuyung-huyung, mempergunakan tangan kirinya untuk menekan luka di pundak kanan, mukanya pucat dan keringatnya membasahi mukanya. Dia pun menghadapi Tiong Khi Hwesio yang masih berdiri tegak memandangnya.

"Tiong Khi Hwesio, aku mengaku kalah padamu."
"Omitohud, engkau sungguh lihai bukan main, Sai-cu Lama. Tidak, pinceng tak merasa menang, hanya kebetulan saja yang membuat engkau terpaksa mengalah. Biarlah kita lupakan saja pertandingan tadi dan sekali lagi pinceng minta kepadamu untuk kembali ke jalan benar dan meninggalkan jalan sesat penuh perbuatan maksiat."

Sai-cu Lama menarik napas panjang. "Baiklah, aku sudah bertemu dengan orang yang lebih pandai dan akan kucoba untuk mengubah jalan hidupku. Katakan, apa yang harus kulakukan?"

Tiong Khi Hwesio tersenyum, girang bukan main bahwa ia telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia tidak girang atas kemenangannya, melainkan girang sekali melihat Sai-cu Lama mau mengubah jalan hidupnya.

"Saudaraku yang baik, kita adalah orang-orang tua yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta. Tentu engkau telah tahu apa yang sepatutnya kita lakukan sebagai pendeta. Pertama-tama tentu saja harus menghentikan dan menjauhkan semua perbuatan yang ditunggangi nafsu. Sebaiknya jika engkau membubarkan saja kelompok Lama Jubah Merah, dan menghentikan semua perbuatan yang sesat seperti merampok, mengganggu wanita, mengejar kesenangan duniawi dengan merugikan orang lain."
"Baiklah, Tiong Khi Hwesio. Sekarang juga akan kububarkan kelompok ini."

Sai-cu Lama lalu menhadapi semua pendeta yang telah berkumpul di situ.
"Kalian telah melihat sendiri, juga mendengar sendiri percakapan antara aku dan Tiong Khi Hwesio. Mulai saat ini, perkumpulan kita kububarkan! Kalian boleh membagi-bagi harta yang ada dengan adil, kemudian pergilah dari sini. Kuperingatkan agar kalian tidak lagi melakukan perbuatan seperti yang sudah-sudah. Jika aku mendengar ada seorang Lama Jubah Merah melanggar, aku sendiri yang akan mencari dan menghukumnya. Nah, lakukan perintahku dan bubarlah!"

Dengan hati girang dan terharu Tiong Khi Hwesio melihat sendiri betapa para pendeta itu mentaati perintah ini. Para wanita dibebaskan dan turut diberi pembagian harta, dan setelah membagi-bagi harta yang berada di perkampungan itu, atas perintah Sai-cu Lama, perkampungan itu dibakar dan para pendeta jubah merah lalu berpamit dan pergi dari situ.

"Sai-cu Lama, percayalah bahwa perbuatanmu hari ini merupakan permulaan yang baik sekali bagi dirimu. Sayang ilmu kepandaianmu yang tinggi kalau kau pergunakan untuk mengeruhkan dunia. Alangkah akan baiknya jika kepandaian itu kau pergunakan untuk menjernihkan dunia, menenteramkan kehidupan umat manusia. Dan maafkanlah kalau pinceng telah datang dan pernah menggunakan kekerasan kepadamu!" Demikian kata kata perpisahan Tiong Khi Hwesio yang dibalas oleh Sai-cu Lama dengan ramah pula.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa besar rasa penyesalan di hati Tiong Khi Hwesio ketika beberapa bulan kemudian dia mendengar bahwa biar pun Sai-cu Lama telah membubarkan kelompok Lama Jubah Merah, namun dia sama sekali belum sadar atau kembali ke jalan benar. Bahkan dia telah membuat kekacauan di antara para pimpinan Lama, dan Sai-cu Lama bahkan melakukan hubungan persekutuan dengan pembesar-pembesar yang mempunyai niat khianat terhadap pemerintah Ceng!

Ketika para pemimpin pendeta Lama mencoba untuk memperingatkannya, Sai-cu Lama bahkan turun tangan membunuh dua orang pemimpin pendeta lama, dan dia kemudian melarikan diri!
Mendengar berita ini, Tiong Khi Hwesio merasa menyesal sekali. Dia merasa turut bertanggung jawab terhadap peristiwa itu. Jika saja dia tidak mengampuni Sai-cu Lama, melainkan membasmi dan membunuhnya, atau setidaknya mencabut ilmu silatnya dengan jalan membuat kaki tangannya cidera berat, tentu Sai-cu Lama tidak mampu melakukan kejahatan lagi. Membunuh dua orang pimpinan pendeta Lama! Dan lebih hebat lagi, melakukan hubungan persekutuan dengan para pengkhianat di kota raja.

Dia dapat menduga bahwa tentu Sai-cu Lama kini melarikan diri ke kota raja, bukan hanya untuk menyembunyikan dirinya, melainkan juga untuk mengejar kedudukan dan kemuliaan di sana, bersekutu dengan para pembesar khianat dan pemberontak. Dan hal itu amatlah berbahaya, bukan hanya membahayakan kedudukan kaisar dan pemerintah, melainkan juga membahayakan keamanan hidup rakyat.

Demikianlah, dia lalu cepat melakukan pengejaran sampai dia bertemu dengan Hong Beng dan Bi Lan. Tentu saja dia merasa khawatir sekali mendengar bahwa Sai-cu Lama telah merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan. Dengan pedang yang sangat dahsyat itu di tangan, Sai-cu Lama benar-benar merupakan seorang yang luar biasa berbahaya dan sukar dikalahkan.

Setelah meninggalkan Hong Beng dan Bi Lan, Tiong Khi Hwesio kemudian melakukan perjalanan cepat melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama menuju ke kota raja.....

********************
Dusun kecil itu tidak seperti biasanya, nampak meriah dan gembira. Dusun itu biasanya amat sunyi di waktu sepagi itu. Orang-orang sudah pergi ke sawah ladang dan yang tinggal di rumah hanyalah orang-orang jompo, anak-anak dan wanita-wanita yang sibuk bekerja di dalam rumah.

Jalan-jalan biasanya sunyi. Akan tetapi pagi itu, suasana meriah dan gembira sekali, karena ada perayaan di rumah sebuah keluarga dusun itu. Ada pesta pengantin! Dan seperti lajimnya di dusun-dusun, penduduknya memiliki keakraban dan penduduk dusun selalu hidup bergotong royong.

Tidak seperti kehidupan rakyat di kota-kota besar, di mana keakraban sudah menipis dan kegotong royongan hampir tak terasa lagi. Makin besar kota itu, makin ramai dan makin maju, makin banyak kesenangan dikejar orang dan orang-orang semakin hidup menyendiri, acuh terhadap orang lain, mengurung diri dalam sangkar ke-aku-an yang selalu mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri atau kelompok sendiri.

Orang-orang yang berasal dari dusun, kalau sudah pindah ke kota, juga sudah maju dan berhasil mengumpulkan harta benda, segera terseret pula dan tak mempedulikan orang lain. Memang demikianlah keadaan masyarakat kita di bagian mana pun di dunia ini.

Manusia, kalau sedang menderita, kalau sedang kekurangan, akan dapat bersatu dan bergotong-royong. Akan tetapi kalau sudah hidup senang dan mulia, serba kecukupan, lenyaplah rasa persatuan dan sifat kegotong-royongan, terganti oleh rasa saling mengiri dan saling bersaing. Hal ini nampak jelas dalam kehidupan masyarakat di dusun-dusun yang biasanya akrab dan bergotong royong, dan dalam kehidupan masyarakat di kota-kota yang acuh dan selalu mementingkan diri sendiri.

Di dalam dusun kecil di mana sedang diadakan pesta pernikahan itu, penduduknya juga tak berbeda dengan dusun-dusun lain, saling bergotong royong. Tanpa diminta, mereka pagi-pagi sudah mendatangi keluarga yang hendak merayakan pesta pernikahan anak mereka, untuk mengulurkan tangan membantu.

Ada yang membantu menghias ruangan, membuat bangunan darurat untuk menerima tamu, ada pula yang sibuk membantu di dapur yang sedang mempersiapkan hidangan yang akan disuguhkan siang nanti. Sejak pagi, ada pula yang bermain musik untuk memeriahkan suasana. Semua ini dikerjakan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balas jasa dan upah.

Suasana menjadi semakin meriah ketika matahari mulai naik tinggi. Para tetangga yang tadi pagi membantu, kini sudah berganti pakaian dan mereka kini datang sebagai tamu. Tetapi masih banyak di antara mereka yang sibuk di dapur, dan orang-orang mudanya sibuk pula menjadi pelayan-pelayan tanpa bayaran. Para tamu mulai berdatangan dan suasana menjadi meriah sekali walau pun pesta itu amat sederhana dengan hidangan-hidangan sederhana pula, dengan musik yang dimainkan oleh seniman-seniman dusun itu sendiri. Bangku-bangku mulai dipenuhi para tamu.

Kemeriahan memuncak saat mempelai pria datang untuk menjemput mempelai wanita. Semua orang menjulurkan leher, ada yang berkerumun, untuk menyaksikan pertemuan sepasang pengantin itu.

Pengantin perempuannya manis sekali, berusia enam belas tahun paling banyak dan pengantin prianya juga masih muda, belum dua puluh tahun, bertubuh tegap karena biasa bekerja di sawah ladang. Melihat pandang mata kedua mempelai ini yang nampak bersinar-sinar dan wajah mereka berseri, mulut mereka tersenyum dikulum, mudah diduga bahwa keduanya tidak asing satu sama lain dan bahwa pernikahan ini bukan pernikahan paksaan yang sering kali terjadi di dusun pada jaman itu.

Tidak, sepasang mempelai ini adalah muda mudi yang sudah saling mengenal, bahkan saling mencinta walau pun tak pernah ada kata cinta keluar dari mulut masing-masing. Bagi penduduk dusun cinta kasih mereka cukup diwakili oleh kerling mata dan senyum bibir saja.....

Akan tetapi, sebelum orang-orang tua yang berwenang memimpin upacara pertemuan pengantin, tiba-tiba terjadi keributan di luar. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh gemuk dengan perut gendut, pakaiannya mewah, mukanya dicukur licin dan pakaiannya menghamburkan bau minyak yang amat wangi, masuk diiringkan belasan orang yang bertubuh tegap dan berpakaian ringkas dengan sikap congkak dan jagoan.

Semua orang mengenal laki-laki itu karena dia adalah Phoa Wan-gwe (Hartawan Phoa) yang tinggal di sebuah dusun yang lebih besar, tak jauh dari dusun itu. Phoa Wan-gwe adalah orang yang paling kaya dan paling berkuasa di sedikitnya lima buah dusun di sekeliling tempat itu. Dialah raja kecil di dusun-dusun itu karena hampir semua tanah di tempat-tempat itu telah menjadi miliknya!

Dialah tuan tanahnya dan sebagai tuan tanah yang berhak atas tanah miliknya, dia bisa menentukan peraturan-peraturan tersendiri di atas tanah yang menjadi hak miliknya. Dan untuk memperkuat peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri itu, dia memelihara puluhan orang tukang pukul yang bertugas untuk menjamin dilaksanakannya peraturan-peraturan itu dan menghukum siapa saja yang berani menentangnya.

Para petani miskin yang tidak memiliki tanah bekerja sebagai buruh tani kepada Phoa Wan-gwe. Karena seluruh kehidupan keluarga para petani itu tergantung dari pemberian si hartawan, maka mereka pun semua merasa takut dan tunduk, memandang Phoa Wan-gwe seperti raja mereka.

Dan memanglah, hartawan ini, seperti para hartawan yang menjadi tuan-tuan tanah di dusun-dusun, merupakan raja yang sesungguhnya bagi para petani miskin. Kaisar yang dianggap sebagai raja dari negara itu berada sedemikian jauhnya dan tidak mungkin dihubungi, dan yang jelas terasa kekuasaannya adalah raja kecil di dusun yang menjadi tuan tanah seperti Phoa Wan-gwe itulah!

Sebagai seorang tuan tanah, Phoa Wan-gwe amat pintar mengemudikan pemerintahan kecilnya. Dia maklum bahwa tanpa tenaga petani miskin, biar pun memiliki tanah yang amat luas, tidak akan ada artinya. Dia sendiri tak mungkin mengerjakan semua tanah itu.

Hasil yang didapatkannya secara berlimpah dari tanahnya yang luas, lebih dari cukup dan dia pun tidak dapat dikata pelit dalam hal memberi upah kepada para buruh tani. Tidak, dia bahkan kadang-kadang merasa gembira sekali untuk dapat memperlihatkan kedermawanannya kepada para penduduk dusun, dan merasa senang sekali dipuji-puji dan disanjung-sanjung sebagai majikan yang baik hati dan murah hati. Tentu saja, semua yang dibagikannya kepada para petani itu hanya beberapa bagian kecil saja dari hasil yang diperolehnya dari tanahnya berkat cucuran keringat para petani.

Betapa pun juga, karena dia amat memperhatikan kebutuhan para petani sehingga para penduduk di lima dusun itu semua dapat makan kenyang setiap hari dan tidak sampai kehabisan pengganti pakaian, maka Phoa Wan-gwe dianggap orang baik dan tidak dibenci oleh para buruhnya. Namun, ada satu hal yang membuat orang-orang takut kepada Phoa Wan-gwe, dan juga kadang-kadang menimbulkan rasa iri dan benci pada banyak orang.

Pertama, karena ia dapat bersikap kejam, menghukum berat para pelanggar peraturan. Hal ini memang ada baiknya, merupakan cambuk bagi para buruh tani sehingga mereka itu rajin bekerja, dengan pengetahuan bahwa kalau bermalas-malasan, mereka berarti melanggar peraturan dan akan dihukum cambuk, akan tetapi jika rajin mereka pun akan berkecukupan, bukan sekedar makan kenyang dan dapat bertukar baju setiap hari, tapi juga mungkin bisa mengumpulkan uang simpanan.

Hal kedua yang merupakan cacat dan kelemahan Phoa Wan-gwe adalah sifatnya yang mata keranjang, gila perempuan dan dia tidak pernah mau melepaskan wanita cantik yang sudah diincarnya. Dia berkeluarga, mempunyai isteri dan beberapa orang anak, bahkan telah memiliki tidak kurang dari lima orang isteri muda. Akan tetapi, matanya yang tajam seperti burung elang itu masih selalu mengincar anak-anak ayam.

Kalau dia sedang berjalan-jalan di dusun-dusun yang menjadi wilayah kekuasaannya, banyak orang tua cepat-cepat menyembunyikan anak-anak perempuan mereka. Akan tetapi, tidak percuma Phoa Wan-gwe memiliki banyak kaki tangan yang setiap saat datang memberi laporan tentang adanya gadis-gadis cantik, baik di dalam mau pun di luar dusun.

Kalau dia sudah melihat sendiri gadis yang dipuji-puji kaki tangannya dan dia tergila-gila, dengan cara apa pun juga akan diusahakannya agar gadis itu menjadi miliknya. Biar pun bukan menjadi selir, setidaknya untuk beberapa hari, pekan atau bulan gadis itu harus menjadi miliknya! Dan dia terkenal royal dan tidak sayang mengeluarkan uang untuk mendapatkan wanita yang membuatnya mengiler.

Ketika Phoa Wan-gwe muncul di dalam pesta itu, semua orang yang mengira bahwa hartawan itu hendak datang bertamu, menjadi gembira dan juga memuji keluarga yang berpesta. Jarang ada keluarga petani yang dipenuhi undangannya oleh Phoa Wan-gwe yang biasanya hanya mengirim wakil dan mengirim pula sekedar sumbangan. Akan tetapi kini hartawan itu datang sendiri!

Akan tetapi, ketika melihat belasan orang tukang pukul, melihat pula betapa wajah hartawan itu amat keruh dan sikap para tukang pukul itu bengis, semua orang terkejut ketakutan. Mereka bangkit dari duduk mereka, memberi hormat kepada yang lewat dan saling pandang dengan sinar mata bertanya-tanya.

Ketegangan muncul dalam hati para tamu. Melihat kekeruhan wajah Phoa Wan-gwe, jelas bahwa hartawan itu sedang marah, apa lagi dikawal oleh belasan orang tukang pukul. Tentu ada urusan penting.

Biasanya, semua urusan, terutama yang mengenai pelanggaran, hartawan itu cukup mengirim jagoan-jagoannya untuk memberi hukuman, menagih hutang dan sebagainya. Mereka yang sudah mengenal cara hidup hartawan ini maklum bahwa hanya satu hal yang mendorong hartawan itu keluar dan menangani sendiri suatu urusan, yaitu urusan yang menyangkut wanita!

Setelah menerobos di antara para tamu, kini Phoa Wan-gwe dan para jagoannya telah tiba di ruang tengah di mana sedang sibuk dipersiapkan upacara pernikahan. Seorang jagoan berteriak lantang,

"Hentikan semua kebisingan musik itu! Lo Cin! Phoa Wan-gwe datang untuk bicara denganmu. Majulah!"

Semua orang menjadi panik dan memandang dengan hati penuh ketegangan. Suara musik berhenti dan nampak Lo Cin, tuan rumah, muncul dari belakang dan setengah berlari menuju ke ruangan itu. Mukanya agak pucat, akan tetapi sambil tersenyum ramah dia segera membungkuk dan memberi hormat di depan Phoa Wan-gwe yang memandang dengan sikap congkak karena dia sedang marah sekali, tidak seperti biasanya dia bersikap ramah kepada para penduduk.

"Ahhh, kiranya Phoa Wan-gwe yang datang! Maafkan bahwa karena tidak diberi tahu sebelumnya, saya tidak keluar menyambut," kata Lo Cin dengan senyum lebar yang dipaksakan karena dia pun dapat melihat bahwa hartawan ini sedang marah dan dia sendiri yang tahu mengapa hartawan itu marah-marah. Hal inilah yang mengecutkan hatinya.

Hartawan itu tetap memandang dengan muka keruh, bahkan kini kemarahan terpancar keluar dari sinar matanya. "Lo Cin, kami datang bukan untuk makan hidangan pestamu, melainkan untuk bertanya mengapa engkau berani melanggar peraturan yang telah disetujui olehmu sendiri? Puluhan kali engkau datang merengek minta bantuan, dan selalu aku mengulurkan tangan membantumu, dengan harapan engkau akan menepati janji, akan membayar pada waktu yang telah disepakati bersama. Akan tetapi apa kenyataannya? Engkau tidak membayar, hanya mengulur waktu terus menerus, dan sekarang, sedangkan hutang pun tidak dibayar, engkau malah menghamburkan uang untuk pesta pora. Uangku yang kau hamburkan itu! Dan engkau berani mengundang aku untuk bersama-sama makan uangku sendiri!"

Wajah tuan rumah itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. Dia bukan saja merasa takut sekali, tetapi juga merasa malu karena semua tamu berkumpul mendengarkan ucapan itu. Dan dia pun tahu bahwa kemarahan hartawan itu sama sekali bukan hanya karena dia belum membayar hutang-hutangnya. Sama sekali bukan hal itu. Kalau hanya itu persoalannya, Phoa Wan-gwe tidak akan semarah itu dan juga tentu hanya akan menyuruh orang-orangnya datang menagih.

Dia teringat akan ucapan seorang di antara jagoan-jagoan hartawan itu yang pernah disampaikan kepadanya bahwa Phoa Wan-gwe menginginkan anak perempuannya, Cun Si! Hal inilah yang mendorongnya untuk segera merayakan pernikahan puterinya itu, yang sudah ditunangkan dengan seorang pemuda tani dari dusun lain. Dia harus segera menikahkan puterinya sebelum Phoa Wan-gwe sempat mengajukan pinangan atau minta sendiri kepadanya! Dan itulah agaknya yang menyebabkan Phoa Wan-gwe marah-marah sekarang ini.

"Harap tuan suka memaafkan saya," katanya dengan suara gemetar. "Seperti yang tuan ketahui, hasil panen kemarin payah, bahkan untuk dimakan keluarga kami sendiri pun kurang. Panen itu rusak oleh hama, juga oleh air yang terlalu banyak dan juga hasilnya dicuri orang di waktu malam. Ada pun pernikahan ini, kami dapatkan dari hasil pinjaman sana-sini dan bantuan saudara-saudara kami di dusun-dusun lain..."

"Alasan yang dicari-cari!" bentak hartawan itu.

Ketika dia menengok dan memandang pengantin perempuan yang nampak ketakutan itu kini dipeluk oleh pengantin pria yang bersikap seperti hendak melindungi, hatinya semakin panas. Gadis itu nampak semakin manis dan menggairahkan dalam pakaian pengantin.

"Karena engkau bisa memperoleh pinjaman dari orang lain, lalu memandang rendah kepadaku, ya? Pendeknya, kau harus dapat membayar hutang-hutangmu sekarang juga. Kalau tidak, rumah ini dan segala isinya akan kami sita dan kau sekeluargamu harus keluar dari sini!"
"Tuan Phoa... kasihanilah kami... setidaknya tunggulah sampai upacara pernikahan anak kami selesai dan setelah itu..."
"Tidak! Harus sekarang diselesaikan! Kesabaranku sudah habis!" kata pula hartawan itu.
"Tuan Phoa, kasihanilah kami...!" Isteri Lo Cin meratap dan menjatuhkan diri berlutut di depan hartawan itu. Lo Cin juga menjatuhkan diri berlutut.
"Persetan dengan bujuk rayumu!" Hartawan itu membentak, kemudian dengan kakinya mendorong tubuh Lo Cin sampai terjengkang. "Bayarlah atau kami akan melakukan kekerasan!"

Sementara itu, para tamu menjadi pucat dan mereka tidak mau ikut terlibat. Maka mereka pun lalu menjauhkan diri, keluar dari ruangan itu, berkelompok di luar rumah, bahkan ada sebagian yang cepat-cepat pulang karena mereka ini pun merasa masih mempunyai hutang kepada Phoa Wan-gwe dan takut kalau-kalau mereka kebagian kemarahan hartawan itu.

Melihat betapa ayah ibunya berlutut di depan hartawan itu dan ayahnya yang kena tendang itu sudah berlutut kembali, pengantin perempuan itu pun turut menangis dan menjatuhkan diri berlutut di belakang ayahnya. Calon suaminya juga sudah berlutut di sampingnya, memandang bingung karena pemuda ini pun sudah mengenal kekuasaan Phoa Wan-gwe. Dusunnya termasuk wilayah hartawan ini pula. Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa hartawan itu menginginkan calon isterinya yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi tunangannya.

Sementara itu, kepala pengawal Phoa Wan-gwe yang sudah tahu akan suasana yang menguntungkan bagi majikannya, melihat kesempatan terbuka baginya untuk turun tangan dan membuat jasa baik. Dia lalu mendekati Lo Cin, ikut berlutut dan berkata dengan lirih kepada petani itu.

"Lo Cin, kita semua tahu bahwa tuan Phoa adalah seorang yang bijaksana dan murah hati. Beliau marah karena engkau banyak berhutang kepadanya, sebelum melunasi hutang-hutangmu malah merayakan pernikahan puterimu. Hal ini berarti bahwa engkau kini menghadapi kesulitan karena anak perempuanmu. Sebab itu, sudah sepatutnya jika engkau menyuruh anak perempuanmu membujuk tuan Phoa supaya mengampunimu. Biarkan anakmu ikut bersama kami dan akan kuatur agar dia dapat menemui dan membujuk tuan Phoa dan aku yakin pasti akan berhasil. Tentang pernikahan, dapat diundurkan untuk beberapa pekan atau beberapa bulan." Berkata demikian, kepala pengawal ini memandang dan mengedipkan matanya kepada tuan rumah dengan arti yang tidak mungkin disalah tafsirkan lagi.

"Ahh... ahhh...!" Lo Cin mengeluh dengan bingung, sebentar menoleh ke arah puterinya yang berlutut di belakangnya, memandang isterinya dan memandang Phoa Wan-gwe yang kelihatannya tidak tahu menahu tentang bisikan kepala pengawalnya itu.

Namun Cun Si, pengantin wanita yang tadi menangis sambil menundukkan mukanya, ikut memperhatikan ucapan kepala pengawal itu dan ia pun mengerti. Ia sudah banyak mendengar tentang hartawan itu yang suka mengganggu anak bini orang, maka ia pun tahu apa maksudnya kepala pengawal itu, menyuruh ayahnya mengirim ia untuk pergi membujuk hartawan itu agar suka mengampuni ayahnya. Pernikahan diundur sampai beberapa pekan atau bulan! Ini saja sudah cukup baginya untuk dapat membayangkan atau menduga apa yang harus ia lakukan.

"Tidak...!" Tiba-tiba ia berkata lirih akan tetapi dengan muka pucat, mata terbelalak dan ia memegang lengan calon suaminya. "Tidak, aku tidak mau ke sana...! Ayah, aku tidak mau. Aku lebih baik mati sekarang juga..." Dan ia pun menangis.

Calon suaminya segera merangkulnya tanpa malu-malu lagi. Pemuda ini pun maklum mengapa calon isterinya begitu ketakutan dan berduka.
"Tenanglah, tidak ada seorang pun yang akan dapat mengganggumu seujung rambut saja selama aku masih hidup!" Sungguh gagah sekali ucapan itu, tentu terdorong oleh tanggung jawab untuk melindungi dan membela isterinya.

Akan tetapi ucapan itu membuat merah muka si kepala pengawal. Dia meloncat berdiri dan dengan alis berkerut dia menghampiri mempelai pria.
"Apa yang kau bilang? Engkau menjadi pembela gagah berani, ya? Kalau begitu, hayo keluarkan uang, dan bayar semua hutang mertuamu. Itu baru gagah namanya!" Dan kakinya menendang ke depan.

Pemuda itu hanyalah seorang pemuda tani biasa. Walau pun tubuhnya kuat karena pekerjaannya yang kasar, akan tetapi dia tidak pandai ilmu silat. Pada saat ditendang, tangannya menangkis begitu saja, akan tetapi tetap saja tendangan itu mengenai punggungnya.

"Bukkk...!" Tubuh mempelai pria itu terguling-guling.
"Jangan...!" Mempelai wanita menjerit dan menubruk tubuh calon suaminya yang kini berusaha untuk bangkit itu. Ada darah keluar dari mulut pemuda itu.
"Bocah lancang ini perlu dihajar!" kata kepala pengawal yang agaknya mendapatkan pikiran baru. "Atau akan kubunuh sekali di sini! Bagaimana nona? Kubunuh saja dia atau engkau bersedia untuk menolong keluarga ayahmu?"

Agaknya dia memperoleh sasaran lain untuk membantu majikannya, bukan lagi sekedar janji pembebasan hutang atau ampunan, tetapi kini dia mengancam akan membunuh pengantin pria kalau gadis itu tidak mau memenuhi kehendak majikannya. "Tidak, aku tidak mau lebih baik kau bunuh saja kami berdua!" Mempelai perempuan meratap lirih sambil memeluk calon suaminya.

"Ya, bunuh saja kami. Kami rela mati bersama dari pada mengalami penghinaan," sambung pemuda itu.
"Jangan bunuh mereka...!" Ayah pengantin perempuan meratap dan memohon sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
"Hemm, tidak mau memenuhi permintaan akan tetapi minta diampuni. Mana bisa?!" bentak pula kepala pengawal.

Sejak tadi, di antara para tamu yang kini bergerombol di luar sebagai penonton, terdapat seorang gadis bersama seorang pemuda. Mereka itu bukan tamu, melainkan dua orang yang kebetulan lewat di dusun itu, melihat ramai-ramai, tertarik dan mendekat. Mereka berdua itu adalah Gu Hong Beng dan Can Bi Lan yang seperti kita ketahui, melakukan perjalanan bersama menuju ke kota raja.

Mereka sejak tadi diam saja dan merasa kagum kepada sepasang pengantin itu yang demikian berani menentang maut walau pun mereka itu hanya sepasang muda mudi dusun yang lemah. Jelas nampak betapa mereka itu saling mencinta dan rela mati bersama. Baik Hong Beng mau pun Bi Lan belum pernah melihat atau mendengar pernyataan cinta yang sedemikian mendalam, dan diam-diam mereka merasa terharu sekali.

Melihat betapa kini kepala jagoan itu hendak menyiksa bahkan mengancam hendak membunuh, Bi Lan mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah mendengar semuanya dan seperti juga Hong Beng, ia dapat menduga bahwa hartawan itu tentu menginginkan pengantin wanita dan kini mempergunakan kekuasaannya untuk merampas pengantin wanita. Akan tetapi sebelum ia atau Hong Beng meloncat ke dalam untuk membela keluarga pengantin, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Anjing-anjing serigala bermuka manusia yang sungguh menjemukan sekali!" Dan dari kerumunan orang-orang itu meloncat masuk seorang pemuda yang gagah perkasa.

Bi Lan dan Hong Beng memandang dan keduanya merasa kagum.
Pemuda itu memang mengagumkan sekali. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa. Mukanya yang berkulit agak gelap nampak jantan dan gagah. Usianya sebaya dengan Hong Beng, mungkin hanya lebih tua satu dua tahun, akan tetapi karena tubuhnya tinggi besar dia nampak lebih tua.

Di punggungnya terdapat buntalan pakaian seperti halnya Bi Lan dan Hong Beng, dan hal ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh sehingga membawa bekal pakaian. Akan tetapi ada benda sepanjang kurang lebih tiga kaki di dalam buntalan itu, kelihatan menonjol kecil dan Bi Lan dapat menduga bahwa tentu benda itu sebatang pedang dalam gagangnya.

Selanjutnya baca
SULING NAGA : JILID-09
LihatTutupKomentar