Kisah Si Bangau Putih Jilid 20


Keindahan menerangi seluruh muka bumi bersama dengan sinar matahari pagi yang keemasan. Keindahan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, karena ada keindahan yang tidak dapat diraba dengan pandang mata atau dengan alat panca indera lainnya, melainkan hanya dapat dirasakan saja.

Keindahan yang terkandung dalam sinar matahari yang menerobos di antara daun-daun pohon, membuat garis-garis lurus menyusup dalam kabut pagi, terkandung dalam kicau burung yang saling bersahutan dalam kesibukan binatang-binatang kecil itu menyiapkan diri untuk mulai mencari makan, dalam gemercik air Sungai Yang-ce-kiang pada saat air bermain-main dengan batu-batu di tepinya, dalam keharuman bau tanah yang sedap, tanah yang segar dibasahi embun pagi, keindahan yang terkandung dalam keheningan, bahkan keheningan itu sendiri menciptakan keindahan. Bukan hening karena sunyi, tapi hening tanpa ada penyelewengan di dalam pikiran.

Kicau burung, teriakan kanak-kanak, kesibukan para ibu di dapur dan bapak-bapak tani yang mulai meninggalkan rumah menuju ke sawah ladang, semua itu tidak mengganggu keheningan itu, bahkan semua itu terserap ke dalam keheningan. Pagi hari yang indah! Hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memandang semua itu, mendengar semua itu, mencium semua itu, tanpa menilai. Tanpa ingat sedikit pun bahwa semua itu indah, yang terasa hanyalah kebahagian, karena seperti keheningan adalah keindahan, maka keindahan adalah juga kebahagiaan. Yang tiga itu tak terpisahkan. Eloknya, ketiganya tidak ada selama si aku atau pikiran ingin merasakan dan menikmatinya!

Wanita muda yang berjalan seorang diri di atas bukit di tepi sungai itu nampak bersunyi diri. Berjalan melangkah perlahan-lahan di atas bukit. Ia menjadi bagian dari keindahan maha besar itu. Dari tempat ia berdiri, nampak Sungai Yang-ce terbentang luas dan panjang, dan sebelum pandang mata tiba di sungai, melewati pula sawah ladang dan dusun-dusun serta nampak bukit-bukit kecil yang subur di kanan kiri sepanjang sungai itu.

Warna hijau dan kuning serta perpaduan antara hijau dan kuning nampak bagaikan permadani, menyelimuti tanah, bermandikan cahaya matahari keemasan. Air sungai nampak berkilau tertimpa sinar matahari, memantulkan cahaya itu hingga menyilaukan mata.

Dua orang bapak tani memanggul pacul jalan beriringan di pematang sawah sambil bercakap-cakap, berangkat menuju ke sawah mereka. Seorang di antara mereka, yang di depan, merokok dan asap rokoknya mengepul ke atas kepala mereka. Seorang anak laki-laki dengan pakaian setengah telanjang, hanya bercelana saja, memegang cambuk panjang menggembala lima ekor kerbau yang gemuk-gemuk, tiga ekor besar dan dua ekor masih muda dan beberapa kali dua ekor yang muda ini bergurau dengan tanduk mereka. Jauh di seberang sana, nampak samar-samar beberapa buah gunung, bagian atasnya tertutup awan. Cuaca pagi itu cerah bukan main, menjanjikan siang hari yang panas tanpa mendung.

Tetapi, wajah wanita itu sama sekali tidak cerah, bahkan terbayang mendung kedukaan dalam pandang matanya, ketika mata itu melihat jauh ke depan tanpa mengenal apa yang dilihatnya. Pandang matanya seperti melayang-layang saja di permukaan bumi di bawah itu, dan ia sama sekali tidak merasakan kebesaran alam, melainkan kerisauan perasaan hatinya sendiri. Batinnya sedang gundah, kadang-kadang pandang matanya seperti orang yang bingung atau putus asa, tiada gairah hidup!

Padahal dia adalah seorang wanita yang masih muda, usianya kurang lebih dua puluh tiga tahun, cantik jelita dan bentuk tubuhnya ramping dan padat, penuh keindahan dan kesehatan. Wajahnya berbentuk bulat telur, sepasang matanya lebar dan lincah, sayang saat itu tertutup mendung duka. Pakaiannya yang walau pun bersih namun kusut itu menunjukkan pula, bahwa ia memang sedang berada dalam keadaan gundah sehingga tidak mempedulikan keadaan pakaian dan rambutnya yang kusut.

Dia menuruni bukit itu dan ketika dia melihat anak laki-laki setengah telanjang yang menggiring lima ekor kerbaunya, hatinya tertarik dan ia pun berhenti, melihat bagaimana anak laki-laki itu menggiring lima ekor kerbaunya masuk ke dalam kubangan air. Lima ekor binatang itu nampak gembira ketika memasuki kubangan air yang segera menjadi keruh berlumpur. Mereka mendekam sehingga hanya nampak kepala mereka saja, dan mereka diam tak bergerak, mata mereka merem-melek nampak nikmat sekali.

Wanita itu berdiri, bersandar pada sebatang pohon, melihat betapa anak laki-laki yang bertelanjang dada dan bertelanjang kaki, tubuhnya hanya mengenakan celana sebatas lutut, celana hitam dari kain kasar, kini mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan dibukanya. Kiranya sepotong roti gandum kering sebesar kepalan tangan.

Roti itu digigitnya, akan tetapi roti itu terlalu keras, dan anak itu lalu pergi ke sebuah pancuran air, membasahi roti itu beberapa saat lamanya, kemudian dia duduk di dekat kubangan air, di atas batu dan mulai makan roti kering yang kini sudah menjadi basah dan tidak sekeras tadi. Dia tidak melihat wanita cantik yang sejak tadi memandanginya dan makan dengan enaknya, menggigiti roti yang keras itu sedikit-sedikit.

Wanita itu bagai terpesona, sejak tadi jarang berkedip. Penglihatan itu sungguh menarik hatinya. Nampak olehnya betapa lima ekor kerbau itu demikian tenteram, damai dan agaknya berbahagia, nampak dari mata mereka yang merem-melek.

Dan bocah itu! Usianya paling banyak sepuluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang anak yang miskin, dan kini anak itu makan roti kering yang keras, dibasahi air sawah! Dan nampaknya dia makan demikian enaknya, seolah-olah yang dimakannya bukanlah sepotong roti kering dibasahi air sawah, melainkan makanan yang lezat dan mahal, dan mata anak itu pun merem-melek, nampaknya dia menikmati makan roti sambil duduk di atas batu itu! Padahal, ia tahu bahwa makanan itu adalah makanan paling sederhana, makanan roti gandum yang dikeringkan agar tahan lama dan kalau akan dimakan harus ditim dulu agar menjadi empuk.

Akan tetapi roti kering itu digerogoti oleh anak itu begitu saja, hanya dibasahi air sawah! Bisa dibayangkan betapa miskin keadaan anak itu. Akan tetapi kenapa begitu kelihatan berbahagia? Anak dan kerbau-kerbau itu demikian bahagia, betapa menjadi kebalikan dari keadaan batinnya. Ia sendiri begini sengsara dan menderita! Ia merasa penasaran. Ia bangkit dan perlahan-lahan menghampiri anak laki-laki yang baru saja menghabiskan rotinya itu.

Anak laki-laki itu memandang dengan heran, akan tetapi tetap duduk dan matanya yang lebar memandang dengan penuh perhatian. Wanita itu duduk di atas batu di depan anak itu. Mereka saling pandang dan anak itu mulai merasa khawatir, menoleh ke arah kerbau-kerbaunya, lalu memandang lagi kepada wanita di depannya, wanita yang asing baginya itu.

“Anak yang baik, jangan takut, aku hanya ingin duduk bersamamu dan mengajak bicara. Engkau tadi makan roti kering kelihatan enak sekali.”
“Memang enak,” jawab anak itu, kini berani tersenyum karena sikap wanita itu yang ramah dan halus. “Perutku tadi lapar, tetapi sekarang sudah kenyang.” Dia mengelus perutnya yang tidak tertutup baju.
“Apakah ini kerbau peliharaan orang tuamu?” tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah lima ekor kerbau yang masih mendekam dalam kubangan air lumpur.

Anak itu menggeleng kepala. “Orang tuaku sudah tidak ada. Aku tidak punya ayah atau ibu. Ini kerbau Paman Ciok, dan aku bekerja padanya.”

Wanita itu memandang heran. “Engkau yatim piatu?”
Anak itu mengangguk.

“Dan kau bekerja menggembala kerbau-kerbau ini?”
Anak itu mengangguk lagi, dan melanjutkan dengan jawaban mulutnya. “Menggembala kerbau, menyabit rumput dan segala macam pekerjaan lain.”

Bukan main, pikir wanita itu. Anak ini yatim piatu dan sekecil ini sudah bekerja!
“Kau tidak mempunyai sanak keluarga lagi? Hidup sebatang kara di dunia ini?”
Kembali anak itu mengangguk.

Wanita itu menjadi semakin tertarik. Anak sekecil ini, tidak ada orang tua, tiada sanak keluarga, hidup hanya sebatang kara, bekerja ikut orang dalam keadaan miskin, namun kelihatan begitu berbahagia!
“Berbahagiakah hidupmu, anak baik?”
Anak itu memandang tidak mengerti. “Berbahagia? Apa maksudmu?”

Kini wanita itu yang memandang bingung. Apa sih bahagia itu? Ia sendiri pun tidak tahu! “Ehh, begini, anak baik. Apakah kau... tidak pernah merasa berduka?”
“Berduka? Kenapa harus berduka?”
“Tidak harus... akan tetapi, engkau hidup sebatang kara, engkau hidup miskin sekali, pakaianmu setengah telanjang, makananmu roti kering yang keras seperti tadi, apakah engkau tidak merasa sedih?”

“Sedih? Tidak, aku tak pernah sedih, kenapa harus sedih? Setiap pagi aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sini, sarapan apa saja yang ada. Jika Bibi Ciok belum masak apa apa sepagi ini, aku membawa roti kering. Kemudian aku menggiring kerbau-kerbau ini ke sawah, kepada Paman Ciok yang akan meluku sawah dengan para pembantunya, dan aku pergi menyabit rumput, sesudah itu membantu pekerjaan paman Ciok atau isterinya di rumah, menyapu lantai, membersihkan apa saja di rumah, atau menimba air. Tidak, aku tidak sedih Bibi, aku memiliki banyak pekerjaan, tidak sempat bersedih-sedih. Lagi pula, mengapa aku harus sedih?”

Anak itu lalu bangkit dan menggiring kerbaunya keluar dari dalam kubangan air, tanpa bicara lagi meninggalkan wanita itu yang masih duduk termenung bagai patung! Karena banyak pekerjaan, maka anak itu tidak sempat bersedih-sedih, dan pula, mengapa dia harus sedih?

Dan dia sendiri? Mengapa dia bersedih? Karena memikirkan keadaan dirinya! Karena pikirannya selalu melayang-layang memikirkan nasibnya yang dianggap buruk sehingga dia merasa iba diri, kasihan kepada diri sendiri, lalu menjadi nelangsa, dan timbullah duka.

Ahhh, ia sudah tersesat, membiarkan pikirannya menguasai diri. Dan pikiran celaka ini selalu membayangkan hal-hal yang dianggapnya buruk! Tidak, dia harus mengisi hidup dengan pekerjaan yang berguna, seperti anak itu! Dan ia seorang pendekar, mengapa harus menganggur?

“Hong Li, engkau memang wanita tolol!” Demikian wanita itu memaki diri sendiri.
Ia adalah Kao Hong Li, puteri tunggal dari pendekar Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Kao Hong Li adalah cucu tunggal dari mendiang Naga Sakti Gurun Pasir, bukan seorang wanita biasa. Wanita berusia dua puluh empat tahun ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mewarisi kepandaian ayah dan ibunya. Ayahnya adalah keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan ibunya adalah keturunan Para Pendekar Pulau Es!

Seperti telah kita ketahui, Hong Li telah dijodohkan dengan Thio Hui Kong putera Jaksa Thio yang jujur dan adil di kota Pao-teng. Hong Li yang menerima berita bahwa Sin Hong telah menikah dengan puteri guru silat Bhe di kota Lujiang, tak dapat membantah lagi kehendak orang tuanya.

Usianya sudah dua puluh tiga tahun, dan harapannya untuk dapat berjodoh dengan pria yang diam-diam dicintanya, yaitu Sin Hong yang masih terhitung susiok-nya telah sirna, maka untuk berbakti kepada orang tuanya, ia menurut saja ketika ayah ibunya memilih Thio Hui Kong menjadi suaminya. Semua orang pun akan menganggap bahwa pilihan itu sudah tepat sekali.

Thio Hui Kong seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang tampan dan gagah, pandai silat dan sastra, putera Jaksa Thio yang terkenal sebagai seorang pembesar yang adil dan bijaksana, kedudukannya tinggi dan dihormati semua orang, juga serba kecukupan walau pun tidak kaya raya. Kurang apa lagi?

Ternyata memang kurang satu, dan yang satu inilah yang menjadi syarat mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga. Yang kurang itu adalah cinta kasih antara dua orang muda yang dijodohkan.

Hui Kong tadinya girang sekali bahwa dia berhasil mendapatkan gadis yang dijadikan rebutan, gadis gagah perkasa dan cantik jelita itu. Biar pun ada ganjalan dalam hatinya melihat betapa calon isterinya roboh pingsan ketika bertemu dengan susiok-nya yang bernama Tan Sin Hong itu, akan tetapi dia ingin melupakan semua itu dan dia bersikap mesra dan mencinta.

Ia menikmati haknya sebagai seorang suami dan menganggap bahwa Hong Li seorang isteri yang cukup menyenangkan hatinya. Tetapi hanya sampai di situ saja! Hubungan antara sepasang suami isteri barulah akan membahagiakan kalau didasari cinta kasih kedua pihak.

Oleh karena Hong Li tidak dapat memusatkan perhatiannya dalam bermesraan dengan suaminya karena memang tidak ada dasar cinta, maka hal ini terasa oleh Hui Kong. Diam-diam ia merasa penasaran dan kecewa, akan tetapi ia lalu menghibur diri dengan pergaulan di luar dan pergaulan inilah yang menyeret Hui Kong ke dalam pengejaran kesenangan yang tidak sehat! Ia mulai berfoya-foya, bermabuk-mabukan, bahkan mulai suka berjudi dan bermain dengan wanita pelacur!

Hong Li mendengar akan hal ini, bahkan ia melakukan penyelidikan sendiri dan melihat suaminya mabuk-mabukan di rumah pelesir. Tentu saja Hong Li menjadi marah dan menegur suaminya. Kekerasan hati Hong Li inilah yang akhirnya justru membuat Hui Kong memberontak dan melawan!

Dia adalah seorang putera pembesar, dan melihat betapa isterinya marah-marah dan hendak menekannya tentu saja dia menjadi penasaran. Seorang isteri harus taat, patuh dan hormat kepada suaminya, demikian dia memarahi Hong Li. Lalu mulailah terjadi bentrokan dan percekcokan antara mereka. Baru beberapa bulan menikah sudah mulai cekcok.

Melihat ini, orang tua kedua pihak berusaha keras untuk mendamaikan mereka dengan sikap bijaksana, yaitu memarahi anak masing-masing. Namun, kedua orang suami isteri muda itu sama-sama keras hatinya dan karena memang pada dasarnya tidak ada rasa cinta di antara mereka, maka semua usaha orang tua kedua pihak gagal. Percekcokan makin meningkat.

Melihat bahwa kalau sampai terjadi perkelahian akan membahayakan, akhirnya kedua orang tua masing-masing bersepakat untuk mengambil jalan keluar yang paling akhir, yaitu perceraian! Hong Li bercerai dari suaminya setelah menjadi suami isteri selama kurang dari setahun saja. Setelah bercerai secara resmi, Hong Li lalu pergi merantau. Kedua orang tuanya mengijinkannya karena melihat bahwa hal itu perlu untuk memberi kesempatan anak mereka melupakan peristiwa duka yang menimpa dirinya.

Demikianlah, Hong Li mulai merantau. Namun, ia tidak pernah dapat membebaskan diri dari duka dan kecewa. Apa lagi kalau ia membayangkan betapa susiok yang dicintanya, Sin Hong, sekarang hidup berbahagia dengan isterinya, ia merasa makin terpukul dan berduka.

Sampai pada pagi hari itu, ia bertemu dengan seorang anak penggembala kerbau dan keadaan anak itu menggugah kesadarannya bahwa selama ini ia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka yang diadakan oleh pikirannya sendiri. Ia terlalu memikirkan diri sendiri, terlalu besar rasa iba dirinya sehingga ia lupa bahwa hidup bukan sekedar merenungkan segala hal yang buruk dalam hidup yang telah dialaminya.

Justru hidup adalah medan di mana pengalaman baik atau buruk terjadi, dan segala peristiwa yang sudah berlaku itu tidak ada gunanya untuk dikenang dan disedihkan lagi! Yang sudah biarlah sudah. Yang lewat biarlah lewat! Masih banyak hal-hal lain yang lebih penting dari pada sekedar termenung menyedihi dan menangisi hal-hal yang telah terjadi, yang telah lewat. Biar pun ia akan menangis dengan air mata darah, tetap saja hal yang telah berlalu itu tidak akan dapat kembali.

“Kau sungguh cengeng, Hong Li. Lihatlah anak itu! Dia jauh lebih bijaksana dari pada engkau! Dia dapat menikmati hidupnya, dapat hidup bahagia karena mampu menerima apa adanya dengan penuh gairah. Hayo, waktunya untuk bangkit, untuk bangun!”

Demikian Hong Li mencela diri sendiri sambil bangkit berdiri. Wajahnya kini berubah. Tidak lagi murung seperti tadi, melainkan berseri. Sepasang matanya yang lebar itu mulai bersinar-sinar dan mulutnya yang manis itu mulai dihias senyum.

Tiba-tiba terdengar jerit tangis di depan. Ia cepat melihat dan alisnya berkerut, matanya mengeluarkan sinar mencorong marah ketika ia melihat apa yang terjadi tak jauh di depan sana. Anak penggembala kerbau tadi sedang menangis sambil menjerit-jerit dan berusaha untuk menghalangi lima orang laki-laki yang hendak menuntun pergi lima ekor kerbaunya!

“Jangan...! Jangan ambil kerbau-kerbauku...!” Anak itu menjerit-jerit, akan tetapi seorang di antara mereka mendorong dada anak itu sehingga dia terlempar dan terjengkang dengan keras.

Hong Li melihat bahwa lima orang itu adalah laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, berpakaian ringkas, bukan pakaian orang dusun. Wajah mereka itu memperlihatkan kebengisan dan kekejian, dan melihat betapa ada senjata golok di punggung mereka, mudah diduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak dengan kekerasan dan kini agaknya hendak merampas lima ekor kerbau gemuk milik bocah itu.

“Perampok-perampok jahat!” teriak Hong Li dan dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah berada di dekat anak itu. “Jangan takut, adik yang baik, aku akan menghajar mereka dan mengembalikan kerbau-kerbaumu!”

Melihat munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita, tentu saja lima orang itu tidak menjadi takut, bahkan mereka tertawa-tawa secara kurang ajar dan seorang di antara mereka berkata, “Aduh, nona manis. Mari engkau ikut dengan kami. Ketahuilah bahwa ketua kami sedang mengadakan pesta, maka engkau dapat menyenangkan hati kami! Jangan khawatir, ketua kami orangnya royal dan engkau akan menerima hadiah yang banyak, ha-ha-ha!”

Wajah Hong Li berubah merah sekali. “Jahanam bermulut busuk!” bentaknya.

Akan tetapi, dua orang di antara mereka menerjang ke depan, seperti berlomba hendak menangkap gadis yang cantik itu, tidak seperti gadis dusun yang sederhana.

Diam-diam Hong Li terkejut juga melihat gerakan mereka. Kiranya mereka ini bukan orang-orang kasar biasa, bukan para perampok yang lebih mengandalkan kekejaman dan kekerasan serta tenaga besar saja. Melihat gerakan kedua orang itu, tahulah dia bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi!

Namun tentu saja Hong Li tidak menjadi gentar menghadapi cengkeraman kedua orang yang dilakukan dari kanan kiri itu. Ia malah menyelinap maju dengan cepat, di antara kedua orang itu, dan membalik secara tidak terduga, kaki dan tangannya bergerak ke kanan kiri.

“Desss! Plakkk!”

Lima orang di kanan kirinya terkejut bukan main karena yang seorang sudah tertendang perutnya dan seorang lagi tertampar pipinya! Itulah satu di antara jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir!

Dua orang itu mengaduh. Mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Hong Li, yang seorang mengelus-elus perutnya yang mendadak menjadi mulas, dan yang ke dua mengusap darah yang mengalir di sudut bibir yang pecah.

Mereka kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis kang-ouw yang lihai, maka lenyaplah sikap main-main mereka. Mereka berdua merasa malu sekali dan penasaran bahwa dalam segebrakan saja mereka telah terpukul dan ditendang oleh gadis itu. Ini merupakan penghinaan besar! Mereka adalah tokoh-tokoh besar, bukan sembarangan maling atau perampok kecil, dan kini mereka dihajar oleh seorang gadis!

“Srat! Srattt!” Nampak dua sinar berkilauan saat mereka mencabut golok dari punggung masing-masing.

Tiga orang teman mereka yang lain hanya menonton karena biar pun tadi dua orang teman mereka telah terkena tamparan dan tendangan gadis itu, namun mereka masih tidak meragukan bahwa dengan golok di tangan, kedua orang teman mereka tentu akan mampu mengalahkan gadis itu. Terlalu memalukan kalau sampai mereka berlima harus mengeroyok seorang wanita muda seperti itu!

Sekarang sepasang mata Hong Li mencorong dan kegembiraannya semakin bernyala bersama semangatnya. Inilah hidup! Inilah sesuatu yang selama ini dia rindukan! Dia kehilangan gairah ini, gairah seorang pendekar yang menentang kejahatan. Rasanya ia ingin tertawa sepuasnya.

Inilah hidupnya. Inilah dunianya! Inilah kewajibannya, seperti kewajiban yang dikerjakan sehari-hari oleh anak penggembala itu dengan penuh gairah dan kegembiraan. Sengaja dia tidak mau mencabut pedangnya karena tadi dia sudah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dua orang itu. Biar pun mereka bergolok, ia tidak gentar menghadapi mereka dengan tangan kosong saja!

Golok pertama menyambar, mengancam lehernya dari samping kanan. Sambaran itu cukup cepat dan kuat, mendatangkan sinar panjang serta suara mendesing! Dengan gerakan lincah, hanya menggeser kaki dan memutar tubuh, golok itu mengenai tempat kosong dan pada saat itu pula, golok ke dua menyambar dari kiri, membacok ke arah pinggangnya dari samping. Serangan ini berbahaya sekali, datang dengan cepatnya dan kalau sampai mengenai sasaran, tubuh wanita cantik itu tentu akan terbabat bagian tengahnya dan akan putus menjadi dua potong!

Akan tetapi tiba-tiba si penyerang mengeluarkan seruan kaget karena melihat wanita itu lenyap atau lebih tepat terbang ke atas sehingga goloknya menyambar tempat kosong! Kiranya Hong Li sudah mempergunakan ginkang-nya yang istimewa untuk melompat ke atas, dan dari atas kakinya menendang ke pundak si penyerang. Kembali ia membalik. Begitu tendangannya mengenai pundak, tubuhnya menyambar ke belakang. Sebelum orang pertama menyerangkan goloknya, tangan Hong Li sudah mengetuk lengan orang itu sehingga goloknya terlepas dan orang itu berteriak kesakitan, bersamaan dengan teriakan orang yang tertendang pundaknya tadi.

“Bibi, tolong...!”

Hong Li terkejut dan ketika ia melihat betapa bocah penggembala kerbau tadi dikempit di bawah lengan seorang di antara lima penjahat dan dibawa lari, ia pun mengejar.

“Jahanam busuk, lepaskan anak itu!” teriaknya sambil mengejar.

Akan tetapi, penculik anak itu sudah lari agak jauh dan menghilang ke dalam hutan. Karena khawatir akan keselamatan bocah itu, Hong Li mempercepat larinya dan terus mengejar. Ternyata orang yang menculik bocah itu mampu berlari cepat sekali dan agaknya mengenal baik hutan di sepanjang lembah Sungai Yang-ce itu.

Bocah itu menjerit-jerit terus sehingga mudah bagi Hong Li untuk terus mengejar dan karena memang ia memiliki ginkang (ilmu meringan tubuh) yang lebih tinggi dan dapat berlari lebih cepat, maka akhirnya ia dapat menyusul orang itu yang terpaksa berhenti di tepi sungai. Ketika Hong Li muncul di dekat tempat itu, dia melemparkan tubuh bocah itu ke dalam sungai! Dan tanpa menoleh lagi dia pun melarikan diri.

Tentu saja Hong Li lebih dahulu memperhatikan keadaan bocah penggembala yang dilempar ke sungai. Bocah ini ternyata pandai berenang dan dapat berenang ke tepi. Akan tetapi karena tepian sungai itu curam dan anak itu tidak dapat naik, Hong Li lalu menelungkup dan menjulurkan tangannya untuk menarik anak itu ke atas. Terpaksa ia melepaskan penculik anak itu yang sudah melarikan diri entah ke mana.

“Anak baik, engkau tidak apa-apa, bukan? Apakah orang jahat itu melukaimu?”
Anak itu tidak menangis lagi dan dia memandang kepada Hong Li sambil menggeleng kepalanya. “Tidak, Bibi, dan terima kasih atas bantuan Bibi. Akan tetapi kerbauku...”
Hong Li teringat. “Mari kita mencari kerbaumu di sana!” katanya.

Dia memondong tubuh anak itu, lalu berlari secepatnya. Anak itu menggigil ketakutan, akan tetapi diam saja, hanya memejamkan mata ketika merasa betapa dia dilarikan seperti terbang cepatnya.

Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat kubangan kerbau, seperti yang telah diam-diam dikhawatirkannya, lima orang kerbau itu sudah lenyap dan lima orang penjahat itu pun tidak nampak bayangannya lagi. Tentu saja anak itu lalu menangis.

Hong Li mengepal tinjunya. Celaka, pikirnya. Dia telah tertipu oleh para penjahat itu. Agaknya tadi para penjahat itu maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, maka seorang di antara mereka sengaja melarikan anak itu untuk memancingnya pergi dari situ dan mengejarnya. Kemudian, pada waktu hampir tersusul, orang yang licik itu melemparkan tubuh si anak ke dalam sungai sehingga kembali Hong Li tidak dapat melanjutkan pengejaran karena harus menolong bocah penggembala, sementara itu, dengan enak saja keempat orang kawan penjahat itu telah melarikan lima ekor kerbau yang tidak dijaga!

“Sudahlah, jangan menangis,” Hong Li membujuk. “Aku akan mencari mereka.”
“Tapi... tapi, Bibi. Tentu Paman Ciok dan Bibi Ciok akan marah sekali kepadaku karena kerbau mereka hilang semua. Lima ekor kerbau itulah milik mereka satu-satunya yang menghidupkan kami semua...”

Hong Li menarik napas panjang. Benar juga, dan mungkin karena duka dan marah, keluarga itu akan memukul anak ini atau mengusirnya.

“Mari kuantar kau ke dusun. Aku yang akan memberi penjelasan kepada Paman Ciok itu, dan aku yang akan mengganti kerugian mereka. Hayolah!” Ia menggandeng tangan anak itu yang masih nampak ragu-ragu dan ketakutan.

Dusun itu kecil saja, hanya ditempati oleh puluhan keluarga yang hidupnya amat miskin, petani-petani sederhana. Seperti yang dikhawatirkan anak itu, kedua orang suami isteri itu terkejut bukan main ketika melihat anak itu pulang tanpa membawa lima ekor kerbau mereka, bersama seorang gadis cantik. Mereka menjadi marah dan berduka mendengar bahwa lima ekor kerbau mereka dirampas orang.

“Anak celaka! Anak tidak mengenal budi, tidak tahu diri...!” Laki-laki she Ciok itu dengan muka merah dan mata melotot sudah menyambar sebuah gagang cangkul, kemudian menghantamkan kayu yang sebesar lengan itu ke arah kepala anak penggembala yang ketakutan.
“Plakkk!”

Kayu pemukul itu tertahan di atas dan si petani terpaksa melepaskan kayu itu karena tangannya terasa nyeri bukan main ketika pemukul itu tertangkis oleh tangan Hong Li.

“Kau hendak membelanya? Siapakah kau yang berani membela anak durhaka ini? Dia telah membikin kami bangkrut, membikin kami celaka... ah, kami akan mati kelaparan tanpa lima ekor kerbau itu...!” Petani itu membentak marah dan mengeluh penuh duka.

Juga isterinya marah sekali dan ia maju mendekati Hong Li.

“Kau ini perempuan siluman dari mana berani mencampuri urusan kami? Anak ini jahat. Sudah kami pelihara baik-baik, eh, hari ini dia membikin hilang lima ekor kerbau kami. Mungkin dia bersekongkol dengan pencuri kerbau, anak jahat!” Dan ia pun hendak maju menerkam anak penggembala itu. Hong Li cepat menangkap lengan wanita itu.

“Sabarlah, Bibi dan kau juga Paman. Ketahuilah bahwa aku menyaksikan sendiri ketika lima ekor kerbau itu dicuri orang jahat. Mereka adalah lima orang perampok jahat. Bahkan adik kecil ini hampir saja mereka bunuh, untung aku kebetulan lewat dan dapat menyelamatkannya. Jangan khawatir, aku tahu akan keadaan kalian yang melarat. Aku akan sungguh-sungguh mencari lima ekor kerbau itu sampai aku dapat mengambilnya kembali dan menyerahkan kepada kalian. Anak ini tidak bersalah, harap jangan dipukul atau dihukum.”

“Enak saja!” Petani itu bersungut. “Mudah saja kau berjanji, Nona. Kalau engkau pergi lalu tidak kembali, tidak membawa kerbau-kerbau itu kembali kepada kami, ke mana kami harus mencarimu? Tetap saja lima ekor kerbau kami hilang!”

Hong Li tersenyum. “Jangan khawatir, sebelum kerbau-kerbau itu kutemukan biarlah kalungku ini kalian pegang dulu, dan benda ini sebagai penggantinya kalau lima ekor kerbau itu tidak dapat kukembalikah kepada kalian.”

Isteri petani itu menerima kalung dan bersama suaminya memeriksa benda itu. Sebuah kalung emas dengan mainan dari kemala yang indah. Akan tetapi, keduanya adalah penduduk dusun yang tidak pernah mempunyai perhiasan seperti itu, maka keduanya tidak tahu apakah benda itu cukup berharga untuk mengganti lima ekor kerbau mereka.

“Tunggu dulu, kupanggil Coan-toako di sebelah, dia tahu tentang harga barang seperti ini!” Tiba-tiba sang suami berkata dan dia pun lari keluar dari rumahnya.

Isterinya memandang kepada Hong Li dan tersenyum masam. “Kami... kami tidak tahu harga barang seperti ini...”

Hong Li tersenyum maklum. Ia tahu bahwa harga kalungnya itu dapat dipakai membeli sepuluh ekor kerbau! Kalau tidak demikian, tidak mungkin dia mau menyerahkannya kepada mereka. Ia bukan seorang penipu.

Petani itu datang berlari-lari bersama seorang petani lain yang lebih tua. “Coan-toako, tolong kau lihat dan taksir barang ini, apakah benar tulen dan dapatkah dipergunakan membeli lima ekor kerbau?”

Petani she Coan itu menerima kalung. Dengan sikap seorang ahli, dia memeriksanya, menimbang dengan tangan, memeriksa kemala yang menjadi mainan kalung, kemudian memandang kepada Hong Li. Dia tadi sudah mendengar dari petani Ciok tentang lima ekor kerbau yang hilang dan hendak diganti dengan kalung ini.

“Kalau aku yang menjualnya ke kota, kiranya hanya bisa pas saja untuk membeli lima ekor kerbau. Sekarang begini saja, dari pada engkau susah-susah, lebih baik barang ini kutukar saja dengan lima ekor kerbau. Bagaimana pendapat kalian?” tanyanya kepada suami isteri Ciok.

Hong Li mengerutkan alisnya. Ia berhadapan dengan seorang penipu, dan hal ini membuatnya marah. Sekali sambar, ia sudah merampas kalung itu dari tangan petani she Coan.

“Kau mau menipu, ya? Pergi sana sebelum kutampar kepalamu!” bentaknya.

Petani Coan hendak marah, akan tetapi tuan rumah Ciok yang maklum bahwa gadis itu bukan hanya menggertak kosong, cepat menarik tangannya diajak ke luar, kemudian dia kembali sambil membungkuk-bungkuk.

“Sekarang kami percaya, Nona. Baiklah kalung ini kami terima sebagai pengganti lima ekor kerbau kami yang hilang,” katanya.
“Hemmm, siapa mau memberikan kalung ini kepadamu!” bentak Hong Li. “Kalung ini cukup untuk membeli sedikitnya sepuluh ekor kerbau. Kukatakan tadi, aku akan mencari kerbau-kerbau kalian itu dan mengembalikannya kepada kalian. Kalung ini hanya untuk pegangan saja, supaya kalian tidak menyiksa anak ini. Nanti kalau aku tidak berhasil menemukan kerbau-kerbau itu, barulah aku akan berikan kalung ini kepada kalian.”

Suami isteri itu tersenyum dengan wajah berseri. “Nona, kami berdua amat mencinta anak ini, kami anggap seperti anak sendiri. Bagaimana kami akan tega menyiksanya? Jika tadi aku hendak memukul adalah karena kesedihanku mendengar lima ekor kerbau kami hilang. Kami tidak akan marah kepadanya, Nona.”

Hong Li memandang kepada anak itu dan ia melihat kepala anak itu mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan petani itu. Hatinya menjadi lega dan ia pun berkata, “Baiklah, kalau begitu sekarang juga aku akan mencari para perampok itu. Jangan kalian kena ditipu orang tadi. Dia penipu. Kalau kelak harus menjual kalung ini, kalian jual sendiri ke kota, ditukar dengan sedikitnya sepuluh ekor kerbau. Kalian harus memperlakukan anak ini baik-baik. Awas, kalau aku mendengar kalian menyiksanya, aku tidak akan memberi ampun.” Setelah berkata demikian, sekali meloncat, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

Suami isteri itu melongo. Muka mereka pucat dan mengira bahwa gadis cantik tadi tentulah seorang dewi atau seorang siluman.....

********************
Percuma saja Hong Li melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya kepada para penghuni di dusun-dusun sekitar tempat itu. Mereka semua tidak tahu apakah di daerah itu muncul perampok jahat. Menurut mereka, tidak pernah ada gangguan perampok dan daerah itu miskin, akan tetapi aman. Para petani hidup dengan tenteram walau pun keadaan mereka sederhana sekali.

Mendengar keterangan ini, Hong Li berpendapat bahwa tentu para perampok itu adalah orang-orang baru, gerombolan jahat yang agaknya baru saja berdiam di daerah itu. Ia lalu keluar dari dusun dan mulai melakukan penyelidikan di daerah pegunungan dan hutan-hutan.

Hong Li adalah seorang pendekar wanita yang sudah sering kali melakukan perantauan dan sudah berpengalaman. Ia dapat menduga bahwa gerombolan perampok yang baru tiba di suatu daerah yang sedang mencari sarang baru, tentu bersembunyi di hutan-hutan dan di gunung-gunung yang sunyi. Maka dia pun mendaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan lebat karena dari jauh kelihatan bahwa bukit inilah yang paling baik untuk tempat persembunyian para penjahat. Juga tadi ia melihat asap mengepul dari lereng bukit ini, padahal menurut keterangan para penduduk dusun, di bukit itu tidak ada penghuninya.

Ketika Hong Li menyusup-nyusup ke dalam hutan untuk mendaki bukit itu, tiba-tiba saja dia menahan langkahnya. Dia mendengar suara berkeresekan di sebelah kiri, di balik semak-semak. Hutan itu lebat. Mungkin saja ada binatang buas sedang mengintai di balik semak-semak itu. Atau orang jahat? Apakah mungkin perampok-perampok itu?

Tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan muncullah dua orang yang sudah menghadang di depannya. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan dari pakaian mereka yang ringkas, dapat diketahui bahwa mereka bukanlah orang-orang tani atau orang-orang dusun, dan dari gerakan mereka pun dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

“Singgg! Singgggg...!”

Dua orang itu sudah mencabut pedang mereka dan dengan pedang di tangan mereka mengamati Hong Li penuh perhatian. Sebaliknya Hong Li juga memperhatikan mereka dan melihat bahwa dua orang itu nampak lemas dan lelah, juga pria itu agaknya terluka, karena ada warna merah darah di pakaiannya bagian pundak dan pinggang.

“Siapakah engkau?” bentak wanita itu sambil melintangkan pedangnya, sikapnya sangat mengancam.

Hong Li tersenyum. “Aku sedang berjalan, kalian yang menghadang. Sepatutnya kalian yang lebih dulu mengatakan siapa kalian dan kenapa pula menghadang perjalananku!”

Dua orang itu saling pandang, lalu yang pria menjawab. “Nona, apakah engkau anggota gerombolan yang berada di bukit ini?”

Hong Li berpikir cepat. Kalau dua orang ini anggota gerombolan penjahat yang agaknya bersembunyi di situ, tidak mungkin mereka bertanya seperti itu. Akan tetapi siapakah mereka dan kenapa pula mereka berada di tempat sunyi ini? Ia harus menyelidikinya, karena di tempat seperti ini, semua orang harus dicurigai.

“Kalau benar demikian, kalian mau apa?” Ia balas bertanya.

Mendadak saja keduanya menggerakkan pedang dan langsung menyerangnya. “Kami akan membunuhmu!” bentak wanita itu.

Hong Li memang sudah menjaga akan segala kemungkinan, maka ia tetap waspada. Begitu dua orang itu bergerak menyerang dengan pedang mereka, ia sudah meloncat ke belakang mengelak. Kedua orang itu menyerang dengan semakin dahsyat, pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara berdesingan dan angin menyambar-nyambar.

Diam-diam Hong Li harus mengakui bahwa ilmu pedang dua orang ini cukup hebat, dan mereka berdua ini lebih lihai dibandingkan lima orang perampok kerbau itu. Ia lantas menggunakan kegesitannya, dan dengan Sin-liong Ciang-hoat menghadapi dua batang pedang itu tanpa gentar sedikit pun. Ia bukan hanya mampu mengelak dan menangkis lengan lawan yang menggerakkan pedang, bahkan ia juga mampu membalas dengan tamparan atau tendangan yang membuat dua orang itu menjadi repot!

Setelah mengukur kepandaian mereka, Hong Li yang tak ingin membikin mereka malu, lalu meloncat ke belakang. Dua orang itu mengejar ke depan, dan Hong Li menendang dua batu di depannya. Dua buah batu itu melesat cepat ke depan, menyambar ke arah dua orang itu. Mereka amat terkejut dan menangkis dua buah batu itu dengan pedang masing-masing, dan akibatnya mereka berteriak karena tangan mereka tergetar hebat.

“Cukup!” Hong Li berseru. “Aku bukanlah anggota gerombolan penjahat!”

Mendengar ini, dua orang yang agaknya sudah menjadi gentar terhadap Hong Li, cepat menghentikan serangan dan mereka memandang kepada Hong Li penuh perhatian dan ada sinar kekaguman pada sinar mata mereka.

“Nona sungguh lihai!” berkata wanita itu. “Ketahuilah, kami adalah suami isteri Liok Cin yang datang ke sini untuk mencari puteri kami yang diculik gerombolan penjahat.”
“Ahhh!” Hong Li memberi hormat kepada mereka. “Paman dan Bibi, harap maafkan aku. Tadi aku hanya ingin menguji kalian karena belum tahu siapa kalian. Aku pun sedang mencari perampok yang sudah merampas kerbau-kerbau milik petani dusun. Namaku Kao Hong Li dan hanya kebetulan saja aku lewat di dusun bawah sana, lalu melihat perampokan kerbau, maka untuk menolong pemilik kerbau itu aku mencari gerombolan perampok. Entah sama tidak orang-orangnya dengan yang menculik puteri kalian itu.”

“Tidak salah lagi, tentu mereka juga!” berkata pria yang bernama Liok Cin itu sambil mengepal tinju. “Kerbau-kerbau itu tentu untuk keperluan pesta karena mereka hendak merayakan pernikahan kepala mereka dengan puteri kami yang dipaksa untuk menjadi isterinya!”

Hong Li mengerutkan alisnya. “Ahh, kenapa kalian diam saja di sini kalau begitu?”

“Ahh, engkau tidak tahu, Nona Kao! Mereka itu lihai bukan main, terutama sekali pimpinan mereka yang berjuluk Ang-I Siauw-mo (Setan Kecil Pakaian Merah).”
“Ang-I...?” Hong Li mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.

Ia pernah mendengar nama ini dan ia pun teringat akan Ang-I Mo-pang, gerombolan pakaian merah yang pernah membantu Tiat-liong-pang memberontak itu! Ahh, kiranya gerombolan pakaian merah itu pula yang bersembunyi di sini?

“Engkau mengenalnya, Nona?” tanya Liok Cin.
Hong Li menggeleng kepalanya. “Apakah kalian sudah mencoba untuk menyelamatkan puteri kalian itu?”

“Sudah dua kali kami mencoba menyerbu dan menolong anak kami, akan tetapi selalu gagal, bahkan yang terakhir ini kami hampir celaka kalau tidak cepat dapat melarikan diri dan bersembunyi di sini. Anak kami itu ditawan dan dikurung dalam sebuah kamar. Ahh, kalau saja… engkau suka membantu kami, Nona,” kata isteri Liok Cin.

Tentu saja Kao Hong Li berniat membantu mereka. Urusan kerbau hanya merupakan urusan kecil saja dibandingkan urusan tertahannya seorang gadis yang hendak dipaksa menjadi isteri kepala perampok itu!

Ia mengangguk. “Aku akan membantu kalian membebaskan puteri kalian itu. Tunjukkan jalannya kepadaku, dan kita masuk ke sarang mereka. Kita coba membebaskan puteri kalian, dan kalau sampai ketahuan dan kita diserang, serahkan saja kepadaku untuk membasmi mereka!”

Suami isteri itu kelihatan gembira sekali dan mereka cepat menghaturkan terima kasih, kemudian mereka menjadi penunjuk jalan mendaki bukit menuju ke sarang gerombolan. Dalam perjalanan ini, suami isteri Liok Cin menjelaskan bahwa gerombolan itu memang masih belum lama menetap di bukit itu. Buktinya, bangunan yang dijadikan sarang gerombolan itu masih baru dan nampak seperti bangunan darurat.

Hal ini pun sudah dimengerti oleh Hong Li. Tentu mereka terdiri dari para anak buah Ang-I Mo-pang yang berhasil menyelamatkan diri dari sergapan pasukan pemerintah! Mereka kemudian bersembunyi di bukit ini dan menjadi perampok. Yang ia tidak tahu, siapakah orang yang mengaku berjuluk Ang-I Siauw-mo dan yang kini menjadi pimpinan mereka itu, dan mengapa pula para perampok kerbau yang berjumlah lima orang itu tidak ada yang mengenakan pakaian merah seperti anggota Ang-I Mo-pang?

Dugaan Hong Li memang tidak keliru. Yang kini menjadi pimpinan di sarang gerombolan penjahat di puncak bukit itu adalah orang-orang Ang-I Mo-pang yang berhasil lolos dari kepungan para pasukan ketika dulu mereka membantu pemberontakan Tiat-liong-pang. Hanya ada belasan orang yang lolos dan mereka ini dipimpin oleh tokoh di antara mereka yang berjuluk Ang-I Siauw-mo, seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka yang dapat lolos.

Belasan orang ini lalu menarik belasan orang perampok lainnya untuk menjadi anak buah mereka, dan kini dalam jumlah kurang lebih tiga puluh orang, mereka membuat sarang di puncak bukit itu, dipimpin oleh Ang-I Siauw-mo. Karena tahu bahwa mereka menjadi orang-orang buruan pemerintah, maka Ang-I Siauw-mo melarang para anak buahnya mengenakan pakaian merah. Hanya dia seorang yang masih mengenakan pakaian serba merah, sesuai dengan julukannya.

Ketika akhirnya mereka tiba di sarang gerombolan penjahat yang berada di puncak bukit, matahari mulai condong ke barat. Dari jauh sudah terdengar suara gaduh para anggota gerombolan yang tengah mengadakan persiapan untuk pesta pernikahan Ang-I Siauw-mo dengan seorang gadis dusun yang ditawan mereka. Gadis itu dari dusun sebelah utara bukit sehingga Hong Li tidak pernah mendengar tentang penculikan itu karena ia datang dari dusun-dusun di sebelah selatan bukit.

Liok Cin dan isterinya dengan hati-hati mengajak Hong Li memasuki sarang itu dari belakang. Dengan menyusup melalui pohon-pohon dan semak belukar, akhirnya tiga orang itu berhasil masuk pekarangan belakang sarang gerombolan penjahat itu tanpa diketahui oleh mereka yang kini sedang sibuk mengatur pesta pernikahan yang akan diadakan pada malam nanti.

Hong Li membayangkan betapa lima ekor kerbau yang dirampas itu kini tentu telah disembelih dan dagingnya dimasak. Ia merasa mendongkol sekali karena kalungnya tentu akan terpaksa ia berikan kepada suami isteri petani pemilik kerbau.

“Ssttttt, kita masuk ke dalam melalui pintu belakang itu. Kamar di mana puteri kami ditahan, berada di ruangan tengah, di kamar yang sebelah kiri,” bisik Liok Cin kepada Hong Li yang mengangguk.

Akan tetapi sebelum mereka membuka daun pintu tembusan di belakang itu, tiba-tiba nampak enam orang berloncatan dari samping rumah. Tanpa banyak cakap lagi enam orang itu dengan golok di tangan sudah menyerang Hong Li, Liok Cin, serta isterinya!

Liok Cin dan isterinya sudah mencabut pedang mereka dan melawan, sedangkan Hong Li cepat meloncat ke samping untuk mengelak dari sambaran dua batang golok! Dan ternyata, melihat dari gerakan mereka, enam orang ini lihai sekali, tidak kalah lihai dibandingkan Liok Cin dan isterinya! Hong Li mempergunakan kepandaiannya, ketika ada golok menyambar dari samping, ia miringkan tubuh, tangan kirinya meluncur ke depan memukul ke arah siku kanan lawan dan kakinya melayang ke depan.

“Desss!”

Paha penyerangnya itu terkena ciuman ujung kakinya dan orang itu pun terpelanting. Agaknya hal ini mengejutkan yang lain karena kini tiga orang sudah menyerang Hong Li, sedangkan yang jatuh tertendang tadi sudah meloncat berdiri dan ikut pula mengeroyok! Hong Li dikeroyok empat orang, sedangkan suami isteri Liok Cin dihadapi dua orang lawan bergolok!

Hong Li marah sekali. Mereka ini harus dirobohkannya dengan cepat, pikirnya. Ia lalu mengerahkan tenaga Hui-yang Sinkang dan kedua tangannya mengeluarkan hawa panas ketika ia menangkis dan memukul, membuat empat orang pengeroyoknya tidak mampu dekat. Hawa pukulan yang panas itu membuat mereka jeri.

Akan tetapi setiap kali Hong Li hendak merobohkan seseorang, ia melihat Liok Cin atau isterinya terancam golok lawan, maka ia pun terpaksa harus melindungi suami isteri itu lebih dulu sebelum merobohkan para pengeroyoknya. Ia hanya dapat membuat mereka itu menjauh dengan pukulan jarak jauh dan tendangannya.

Akhirnya enam orang pengeroyok itu agaknya jeri oleh amukan Hong Li yang biar pun bertangan kosong, namun terlalu lihai bagi mereka itu, dan mereka lalu melarikan diri.

“Cepat, kita bebaskan puteri kalian sebelum mereka semua datang!” berkata Hong Li sambil menendang daun pintu terbuka.

Suami isteri Liok Cin lalu mendahului Hong Li, menjadi penunjuk jalan memasuki lorong di dalam bangunan itu dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang daun pintunya tertutup.

“Di sinilah ia disekap,” kata ibu gadis itu.

Hong Li menggunakan kakinya menendang dan daun pintu terbuka. Benar saja, di dalam kamar itu terdapat seorang gadis yang pakaiannya seperti gadis dusun, namun wajahnya manis sekali, nampak dibelenggu kaki tangannya di atas sebuah pembaringan dan ia terbelalak ketakutan.

Hong Li dan suami isteri itu berloncatan dan memasuki kamar. Hong Li tetap bersikap waspada, khawatir kalau di dalam kamar itu dipasangi jebakan. Akan tetapi tidak ada perangkap di situ, hanya ada sesuatu yang dirasakan sangat ganjil.

Sejenak ia termenung dan memandang ke sekeliling, tidak tahu apakah yang membuat ia merasa ganjil itu. Kemudian, ia memandang suami isteri itu dan ia pun teringat, dan terkejut, heran dan curiga. Suami isteri itu melihat pakaian mereka, jelas bukan petani dusun, akan tetapi mengapa puteri mereka ini berpakaian seperti seorang dusun? Dan pula, mengapa setelah mereka berdua masuk, gadis itu diam saja, bahkan kelihatan ketakutan, tidak memanggil mereka yang mengaku ayah bundanya itu?

“Kalian... kalian siapakah...?” tanyanya penuh kecurigaan, namun terlambat.

Pada saat itu terdengar suara keras dan pintu yang tadinya terbuka itu kini tertutup terali baja yang kokoh kuat, yang muncul dari dalam dinding tebal! Hong Li terkejut dan pada saat itu, dari luar nampak beberapa orang menyemprotkan asap putih ke dalam kamar itu menggunakan alat semprotan!

Hong Li mencoba untuk meloncat dan mendobrak terali baja, tapi belasan ujung tombak menyambutnya, ditusukkan dari luar terali sehingga terpaksa Hong Li mengurungkan niatnya mendobrak terali. Apa lagi pada saat itu asap sudah memenuhi kamar. Ia masih dapat bertahan dengan menahan napas, akan tetapi akhirnya, asap itu tersedot pula. Ia terbatuk-batuk. Ia mendengar pula gadis itu, juga suami isteri itu batuk-batuk dan ia lalu roboh tak sadarkan diri.

Beberapa orang menggunakan kipas mengebutkan asap putih itu sehingga keluar dari dalam kamar dan setelah asap itu bersih dari kamar, muncullah seorang laki-laki yang perutnya gendut sekali, kepalanya botak dan dia mengenakan pakaian serba merah. Inilah Ang-I Siauw-mo, seorang laki-laki yang mukanya hitam dan kasar, sambil tertawa-tawa dia memasuki kamar itu.

Hong Li menggeletak pingsan di atas lantai, demikian pula halnya Liok Cin dan isterinya, sedangkan gadis dusun yang terbelenggu itu pun pingsan di atas pembaringannya.

“Ha-ha-ha, gotong Liok Cin dan isterinya keluar, sadarkan mereka. Mereka telah berjasa besar.” Dia lalu mendekati Hong Li dan melihat betapa gadis itu cantik sekali, kembali dia tertawa senang. “Ha-ha-ha-ha-ha, dia malah lebih cantik dari perawan dusun itu.” Dia lalu melangkah maju dan menotok kedua pundak gadis dusun, dan dia berkata kepada anak buahnya yang berkumpul di dalam dan di luar kamar.

“Angkat mereka ke dalam kamarku, siapkan mereka untuk menjadi pengantinku malam ini sehabis pesta. Ha-ha-ha, sekaligus aku memperoleh dua orang isteri yang manis-manis. Akan tetapi, walau pun sudah tertotok jalan darahnya, dia ini harus dibelenggu kedua kaki tangannya di atas pembaringanku. Ia lihai sekali. Gadis dusun itu tidak perlu dibelenggu. Hati-hati, jangan ganggu mereka. Mereka adalah isteri-isteriku, tahu?”

Sambil tertawa, Ang-I Siauw-mo meninggalkan kamar itu dan empat orang wanita yang menjadi anggota gerombolan itu lalu melaksanakan perintahnya, mengangkat tubuh Hong Li dan gadis dusun yang pingsan, digotong ke dalam kamar pengantin!

Hong Li menggerakkan pelupuk matanya. Kesadarannya kembali perlahan-lahan. Dia berusaha menggerakkan kaki tangannya, namun sia-sia. Ia telah ditotok sehingga jalan darahnya terhenti. Ia membuka matanya dan terkejut, juga marah sekali. Bukan hanya tertotok, bahkan kedua kaki dan tangannya dibelenggu dengan kaki pembaringan! Dan dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat!

Dia melirik dan melihat bahwa gadis dusun itu pun rebah terlentang bagaikan dirinya, telanjang bulat, di pinggir yang lainnya dari pembaringan itu. Akan tetapi gadis itu tidak dibelenggu, hanya melihat betapa gadis itu juga tidak mampu bergerak, jelas bahwa gadis itu pun telah tertotok jalan darahnya.

Ia melirik ke kanan kiri, dan ia masih bisa menggerakkan kepalanya. Ternyata ia berada di atas sebuah pembaringan yang lebar, di dalam sebuah kamar yang dihias dengan bunga-bunga dan kertas berwarna! Ada sebuah meja dengan empat buah bangkunya, ada almari pakaian, ada jendela dan pintunya yang semua dicat baru. Kamar pengantin! Kemarahannya memuncak, akan tetapi dicampuri rasa khawatir! Jantungnya berdebar tegang.

“Tenanglah, Hong Li, tenanglah engkau...” demikian bisik hatinya.

Ia melihat betapa belenggu kaki tangannya terbuat dari baja yang kuat. Pendeknya, ia tidak berdaya dan tidak mungkin dapat melepaskan diri mengandalkan kekuatannya. Ia lalu mengenangkan apa yang telah terjadi.

Tidak salah lagi, pikirnya gemas. Suami isteri Liok Cin itu adalah kaki tangan penjahat yang sengaja memancing dan menjebaknya masuk ke dalam kamar itu! Suami isteri itu pura-pura saja ketika mereka dikeroyok oleh enam orang penjahat. Kini teringatlah ia.

Pantas saja suami isteri itu selalu terdesak dan terancam kalau ia hendak merobohkan lawan, kiranya memang mereka itu sengaja mencegah ia untuk melukai kawan mereka sendiri! Agaknya mereka diutus oleh kepala mereka untuk memancing dan ini hanya berarti bahwa kepala mereka sudah tahu akan kelihaiannya!

Tentu saja! Orang-orang Ang-I Mo-pang tentu saja mengenalnya sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi! Dan suami isteri itu bahkan disuruh mengujinya, mengeroyoknya, juga enam orang yang menyerang itu, disuruh mengujinya. Baru setelah mereka yakin tidak akan mampu mengalahkannya, ia dipancing masuk kamar oleh suami isteri Liok Cin dan dibuat pingsan dengan semprotan asap pembius!

Sudah jelas bahwa gadis dusun yang diculik ini sama sekali bukan puteri Liok Cin dan isterinya! Mereka itu orang kota, orang-orang kang-ouw, dan gadis ini gadis dusun yang lemah! Betapa bodohnya dia dapat memasuki perangkap!

Gadis dusun itu mengeluh, siuman dari pingsannya. Hong Li menoleh kepadanya. Gadis itu pun berusaha menggerakkan kaki tangannya akan tetapi tidak berhasil. Dan ia sudah membuka kedua matanya dan kelihatan ketakutan, sepasang matanya terbelalak! Dan ia menangis!

“Ahh, menangis tidak ada gunanya...” kata Hong Li.

Gadis itu menoleh dan baru melihat Hong Li.
“Apa... apa yang telah terjadi...?” tanya gadis dusun itu, “dan siapakah engkau, Nona? Kenapa Nona dapat berada di sini...?”

Hong Li tersenyum dan merasa heran sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat tersenyum!
“Nanti dulu. Katakan apakah engkau mengenal laki-laki dan perempuan yang datang bersamaku memasuki kamar di mana engkau terbelenggu itu?”

Ia memang sudah dapat menduga akan jawaban gadis itu. “Tidak, aku tidak mengenal mereka, Nona.”
“Hemmm, sudah kuduga begitu. Mereka adalah kaki tangan penjahat. Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi juga tertawan dan kini kita mempunyai nasib yang sama. Sekarang ceritakan bagaimana engkau terculik oleh mereka.”

Gadis itu bercerita. Ia tinggal di dusun sebelah utara bukit ini dan ia terkenal sebagai kembang dusun-dusun di sekitar daerah itu. Ia sudah ditunangkan dengan putera lurah dusun. Akan tetapi pada hari yang naas itu, ketika dia mencuci pakaian di sungai, dia terlihat oleh seorang laki-laki gendut yang berpakaian serba merah.

Ia lalu ditangkap, ditotok sehingga tak mampu berteriak dan dibawa ke sarang penjahat ini, lalu disekap dalam kamar selama tiga hari. Ia belum diganggu oleh si gendut baju merah, akan tetapi dibujuk untuk dengan suka rela mau menjadi isteri si gendut. Mereka akan menikah, dan perayaannya dilakukan hari ini, malam ini!

“Apakah orang tuamu dan para penghuni dusun, juga lurah calon mertuamu itu, tidak mencarimu?”
“Tentu mereka mencari, akan tetapi bagaimana mereka akan mampu melawan para penjahat kejam itu? Dan ternyata sampai kini, tak ada yang datang menolongku kecuali engkau, Nona. Sayang engkau sendiri tertangkap...,” dan gadis dusun itu menangis lagi.
“Sudah, jangan menangis. Selagi aku masih hidup, aku akan selalu berusaha untuk menyelamatkan diriku sendiri dan juga engkau. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi.”

Walau pun mulutnya bicara demikian, namun kalau membayangkan apa yang mungkin terjadi, Hong Li merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ketakutan. Ia tahu bahwa tentu kepala penjahat itu akan menggauli ia dan gadis dusun itu dengan paksa! Kepala penjahat itu akan memperkosa mereka berdua, di atas pembaringan itu! Dalam keadaan tertotok dan terikat, bagaimana dia mampu membebaskan diri dan mencegah terjadinya penghinaan itu?

Dari kamar itu, Hong Li dapat mendengar suara riuh rendah orang tertawa di ruangan depan. Mereka sedang berpesta pora, pikirnya. Dan kamar ini sama sekali tidak terjaga! Alangkah akan mudahnya membebaskan diri kalau saja ia tidak tertotok, terbelenggu lagi! Dan mereka berdua, ia dan gadis dusun itu, dalam keadaan tak berdaya, bugil dan tidak ada yang dapat menolong mereka!

Tiba-tiba ia mendengar sesuatu di jendela, di luar jendela kamar itu.
“Ssttttt... jangan menangis...,” bisiknya kepada gadis itu yang masih terus tersedu-sedu. “Jangan berisik...!”

Gadis dusun itu memaksa dirinya untuk berhenti menangis, atau setidaknya berhenti mengeluarkan suara tangis.

Perhatian Hong Li dicurahkan ke arah jendela kamar. Jelas ada gerakan orang di luar kamar, di luar jendela, disusul suara seorang laki-laki, berbisik namun terdengar jelas olehnya.

“Yo Han, cepat kau masuk ke dalam dan... selimuti mereka...”

Hong Li merasa betapa jantungnya berdetak keras sekali, terasa benar di telinga dan tenggorokannya, seolah-olah jantungnya akan meledak! Yo Han! Anak itu...! Dan suara yang bicara itu... siapa lagi kalau bukan Sin Hong yang bicara kepada Yo Han tadi?

Terbelalak ia memandang ke arah jendela. Daun jendela tiba-tiba terbuka dan seorang pemuda kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun, meloncati jendela itu dan masuk ke dalam kamar! Meski penerangan dalam kamar itu remang-remang, kemerahan karena lampu meja itu dikerudungi kertas merah, namun Hong Li masih mengenal Yo Han!

“Yo Han...!”
“Enci Hong Li... jangan khawatir, Suhu datang menolong!” kata anak itu yang cepat menyambar sebuah selimut yang terlipat di sudut pembaringan, lalu dia menyelimutkan selimut itu di atas tubuh Hong Li dan gadis dusun itu dari kaki sampai ke leher.

Kemudian, Yo Han menoleh ke arah jendela dan berbisik, “Suhu, dua-duanya sudah teecu selimuti...!”

Bayangan itu berkelebat cepat sekali melompati jendela, dan Sin Hong sudah berdiri di kamar itu! Hong Li memandang kepadanya, dan Sin Hong juga memandang kepada Hong Li. Dua pasang mata bertemu, bertaut dalam kemuraman kamar itu, dan perlahan-lahan dua buah mata yang bening dari Hong Li menjadi basah dan air matanya pun terurai keluar.

“Adik Hong Li...!”
“Sin Hong koko…. ehhh, Susiok...”

Kecanggungan dan kegagapan Hong Li ini cukup sudah untuk membuyarkan keharuan dari batin kedua orang muda ini. Mereka memang dua orang muda yang tergembleng sehingga memiliki batin yang sudah amat kuat sehingga keharuan itu hanya merupakan gelombang yang melewat begitu saja. Keduanya tersenyum.

Seruan itu saja cukup bagi mereka, cukup jelas mengungkap isi hati mereka yang penuh kerinduan dan kemesraan satu kepada yang lain.

Sin Hong lalu menghampiri Hong Li dan membebaskan totokan dengan menekan kedua pundak Hong Li. Seketika tubuh Hong Li dapat bergerak. Melihat belenggu rantai baja yang kuat itu, Sin Hong mencabut Cui-beng-kiam dan empat kali menggerakkan pedang pusaka itu, belenggu kaki tangan Hong Li terlepas.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tertawa dari luar kamar, “Ha-ha-ha, dua orang isteriku, pengantinku, bersiaplah kalian. Suamimu datang, ha-ha-ha!”
Mendengar ini, Sin Hong cepat berbisik, “Hong Li, kau pura-pura masih terbelenggu dan tertotok...!”

Dan secepat kilat Sin Hong sudah menyambar tubuh muridnya, sekali meloncat sudah keluar dari dalam kamar melalui jendela dan menutupkan daun jendela, lalu mengintai dari luar.

Daun pintu kamar terbuka dan masuklah seorang laki-laki berperut gendut berkepala botak yang pakaiannya serba merah. Diam-diam Hong Li memperhatikan pria itu dan biar pun ia tidak ingat lagi, namun ia merasa yakin bahwa tentu pria ini seorang bekas anak buah Ang-I Mo-pang yang berhasil meloloskan diri dari pasukan pemerintah yang menyergap para pemberontak.

Ang I Siauw-mo kembali tertawa bergelak melihat dua orang pengantinnya masih rebah terlentang di atas pembaringan, yang seorang di pinggir sana dan seorang lagi di pinggir sini. Tadi dia sudah membayangkan, alangkah nyamannya kalau dia rebah di tengah-tengah, di antara mereka berdua!

“Ha-ha-ha, isteri-isteriku yang manis! Kalian sungguh sabar menanti kedatangan suami kalian yang mencinta. Heh-heh-heh, dan para pelayan itu sungguh sungkan, menutupi tubuh kalian yang mulus dengan selimut. Tunggulah, sayang, bersabarlah sedikit lagi, suamimu segera akan menemani kalian bersenang-senang, ha-ha-ha-ha-ha...!” Dia lalu menghampiri pembaringan, agak terhuyung karena terlalu banyak minum.

Hong Li mencium bau arak dan ia hampir muntah, bukan hanya karena bau itu, tetapi karena muak menyaksikan tingkah laku orang berperut gendut dan berkepala botak ini. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah meregang semua, tubuhnya pun dipenuhi hawa sinkang seperti hendak meledak, akan tetapi ia menahan diri.

Si gendut botak itu menyingkap selimut dan melihat dua tubuh telanjang bulat itu, dia menyeringai. Mulutnya mengeluarkan bunyi berdecak sambil mengeluarkan air liur yang menetes di ujung bibirnya. Akan tetapi pada saat dia mengulur tangan hendak meraba tubuh Hong Li, mendadak saja wanita ini bergerak memukul dengan kedua tangannya, tangan kiri dengan pengerahan tenaga Hui-yang Sinkang menghantam kepala botak itu, dan tangan kanan menonjol ke arah dada.

“Desss... prokkk...”

Tubuh Ang-I Siauw-mo terjengkang. Dia tidak sempat lagi mengeluarkan suara karena serangan yang sangat dahsyat itu sudah membuat kepalanya pecah dan jantungnya tergetar rontok dan dia tewas seketika sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai!

Hong Li cepat-cepat menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaiannya, kemudian dia membebaskan pula totokan gadis dusun itu yang juga segera mengenakan pakaian dengan seluruh tubuh menggigil dan tangan gemetar, mulutnya menahan tangis saking takutnya.

Sin Hong dan Yo Han melompat masuk ke dalam kamar melalui jendela. “Yo Han, kau bawa Enci ini keluar dari sini dan tunggu kami di hutan belakang sarang ini. Kami akan membasmi gerombolan penjahat,” kata Sin Hong kepada muridnya.

“Baik, Suhu. Mari, Enci...!” katanya dan Yo Han menggandeng tangan gadis dusun itu yang tidak banyak tingkah lagi, menurut saja dituntun oleh Yo Han keluar dari dalam kamar melalui jendela dan mereka berdua menghilang di dalam kegelapan malam.
“Hong Li, mari kita hajar mereka!” kata Sin Hong sambil memandang wanita muda itu dengan sinar mata berseri.

Hong Li mengangguk dan tersenyum pula. Setelah terbebas dari ancaman mala petaka dan kini sudah berpakaian lagi, apa lagi, di situ ada Sin Hong di sampingnya, segala sesuatu berubah baginya. Kegembiraannya serta kegairahan hidupnya, kembali pulih seperti dahulu.

“Mari, Hong-ko!” Ia tidak ragu-ragu menyebut orang muda itu ‘kakanda’, bukan paman guru! Sin Hong tersenyum dan dia lalu mencengkeram baju di punggung mayat Ang-I Siauw-mo, dan keluar dari dalam kamar itu melalui pintu.

Para anak buah perampok itu masih berpesta pora mabuk-mabukan di ruangan tengah yang luas, di antara mereka terdapat pula Liok Cin dan isterinya, dan empat orang anggota wanita. Tiba-tiba mereka semua dikejutkan oleh sebuah benda merah yang melayang dari luar dan benda itu jatuh terbanting ke atas meja, membuat mangkok piring berhamburan dan ketika mereka melihat bahwa benda merah itu adalah Ang-I Siauw-mo, ketua mereka yang sudah tewas dengan kepala pecah, tentu saja mereka semua terkejut bukan main.

Pada saat itu, nampak dua sosok bayangan berkelebat dan gadis yang tadi ditawan dengan asap pembius dan akan dijadikan isteri oleh ketua mereka, kini telah berdiri di situ bersama seorang pria muda yang berpakaian serba putih! Hong Li yang sudah tidak sabar lagi lalu meloncat dan menyerang Liok Cin dan isterinya.

“Jahanam busuk, kalian tak layak hidup!” bentak Hong Li.

Liok Cin dan isterinya terkejut bukan main. Mereka mencabut pedang dan berusaha melawan, tapi gerakan mereka terlambat. Hong Li sudah mengirim tamparan-tamparan maut dengan kedua tangannya dan suami isteri jahat itu terpelanting, hanya sempat mengeluarkan keluhan pendek dan keduanya tewas dengan kepala retak-retak!

Gegerlah keadaan di situ. Sin Hong dan Hong Li mengamuk. Biar pun keduanya hanya bertangan kosong, tapi anak buah penjahat itu mana mungkin dapat menahan amukan mereka? Tadinya para penjahat itu masih mengandalkan jumlah banyak. Akan tetapi mereka kecelik karena dalam waktu singkat saja, separuh jumlah mereka sudah roboh dan tewas! Setiap kali tangan atau kaki Sin Hong dan Hong Li bergerak, tentu ada seorang yang roboh dan tewas.

Melihat ini, sisa para penjahat melarikan diri dan tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat merobohkan mereka semua karena mereka melarikan diri secara berpencaran. Namun, banyak yang dapat dikejar dan dirobohkan sehingga tak kurang dari dua puluh orang penjahat malam itu roboh dan tewas di tangan dua orang pendekar yang sakti itu.

Karena semua sisa penjahat sudah lari entah ke mana, Sin Hong dan Hong Li berdiri di ruangan yang penuh mayat itu, saling pandang sampai beberapa lamanya. Akhirnya, Hong Li menundukkan mukanya.

“Hong-ko... terima kasih... engkau telah menyelamatkan aku...”
“Aihh, Li-moi, perlukah di antara kita berterima kasih? Saling tolong antara kita sudah menjadi keharusan, bukan? Apakah kalau engkau melihat aku berada dalam ancaman bahaya, engkau tidak akan mencoba untuk menolongku?”
“Tentu saja, dengan mempertaruhkan nyawaku, Hong-ko.”

Sin Hong menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya. “Demikian pula aku, Li-moi. Nah, mari kita cari Yo Han.”

Keduanya meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu, di mana terdapat banyak mayat bergelimpangan. Tanpa saling mengetahui, mereka masing-masing merasa amat gembira, begitu bahagia, begitu lengkap rasanya hidup!

Yo Han menanti bersama gadis dusun itu di dalam hutan. Dia menyambut munculnya dua orang itu dengan gembira, “Apakah mereka telah terbasmi semua, Suhu dan Enci Hong Li?”

“Ada sebagian yang berhasil melarikan diri,” kata Sin Hong.
Hong Li memegang tangan gadis dusun itu. “Sekarang mari kami antar kau pulang ke dusunmu.”

Pada keesokan harinya, keluarga gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan tangis keharuan dan kegembiraan. Orang sedusun berduyun datang ketika mendengar bahwa gadis itu telah dapat diselamatkan orang, dan mereka ingin menjamu kepada Sin Hong dan Hong Li, juga Yo Han untuk menyatakan terima kasih. Akan tetapi Sin Hong dan Hong Li menolak dan mereka segera berpamit, meninggalkan tempat itu.....
********************
“Enci Hong Li, bagaimana Enci sampai tertangkap oleh para penjahat itu? Enci hendak ke mana dan datang dari manakah?” tanya Yo Han ketika mereka menanti Sin Hong yang pergi berburu binatang hutan untuk mereka makan karena mereka sudah merasa lapar sekali. Mereka duduk di bawah pohon dan bercakap-cakap.

“Nanti dulu, Yo Han. Kau ceritakan dulu bagaimana engkau dan gurumu dapat datang tepat pada waktunya dan dapat menyelamatkan aku dan gadis dusun itu. Kalian dari manakah dan bagaimana bisa sampai di sarang penjahat itu?” Hong Li balas bertanya karena ia pun ingin sekali mendengar tentang keadaan Sin Hong.

Semenjak pertemuan mereka di sarang penjahat, mengantarkan gadis dusun pulang ke rumahnya dan melakukan perjalanan bersama sampai di hutan itu, di mana mereka merasa lapar dan Sin Hong pergi berburu binatang, mereka berdua tidak pernah saling menyinggung keadaan masing-masing sejak pertemuan mereka yang terakhir kalinya, yaitu ketika Sin Hong bersama isterinya menjadi tamu dalam pesta pernikahan Hong Li dan Thio Hui Kong.

Tentu saja di dalam hati mereka timbul pertanyaan besar dan keinginan tahu yang mendalam mengapa mereka, yang sudah beristeri dan bersuami, sekarang melakukan perjalanan bersama, tanpa isteri dan tanpa suami mereka. Akan tetapi, untuk bertanya, mereka merasa canggung dan malu, apa lagi untuk menceritakan perceraian mereka, keduanya merasa sangat sungkan.

Kini Yo Han berdua saja dengan Hong Li dan inilah kesempatan baik baginya untuk mencari tahu tentang keadaan Sin Hong. Sebaliknya, Sin Hong sengaja meninggalkan Yo Han berdua saja dengan Hong Li, tentu saja mengharapkan murid itu dapat menjadi ‘wakil’ untuk bicara dengan Hong Li. Hal ini dimengerti sepenuhnya oleh Yo Han, anak yang cerdik itu.

“Enci Hong Li, suhu dan aku sedang merantau. Sudah hampir setahun kami merantau berdua...”
“Ehhh? Bukankah kalian tinggal bersama-sama keluarga isteri gurumu, di perguruan Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang?”

Yo Han menarik napas panjang. Ia sengaja mengulur waktu dalam jawabannya untuk menambah kesan. “Aihhh, agaknya Enci Hong Li belum tahu, ya? Suhu sudah lama sekali bercerai dari isterinya.”

“Hehhh...? Bercerai...?” Seruan Hong Li seperti sorakan, dan ia nampak terkejut sekali, akan tetapi tidak berduka. “Mengapa?”

Otak di kepala yang belum dewasa itu bekerja dan Yo Han melihat kesempatan baik untuk ‘mendekatkan’ dua orang yang dia tahu saling mencinta itu. Beberapa kali dia mendengar suhu-nya mengigau memanggil-manggil nama Hong Li dalam tidurnya!

“Enci Hong Li, apa yang kuceritakan ini rahasia, dan jangan sekali-kali diberi tahukan suhu. Tentu aku akan mendapat marah besar kalau sampai aku membocorkan rahasia suhu.”
“Baik, aku berjanji akan menyimpan rahasia itu. Ceritakanlah!”
“Begini, Enci Hong Li. Suhu sebetulnya terpaksa ketika menikah dengan Bhe Siang Cun itu. Suhu menyelamatkannya pada waktu dia akan diperkosa orang, dan suhu bahkan mengobatinya dari racun. Karena suhu pernah melihat dia dalam keadaan telanjang, gadis itu mengancam akan membunuh diri kalau tidak dijodohkan dengan suhu karena ia merasa telah mendapat aib dan malu. Nah, terpaksa suhu menikah dengan wanita yang sama sekali tidak pernah dicintanya.”

“Hemmm, jadi itukah sebabnya mengapa semalam dia tidak berani masuk menolong aku dan gadis dusun itu?”
“Benar, Enci Hong Li. Suhu tidak berani lagi melihat wanita telanjang, takut kalau terjadi lagi kawin paksa itu. Akan tetapi suhu bilang, andai kata Enci Hong Li sendiri saja yang berada di kamar itu, tidak bersama gadis dusun itu, tentu suhu akan langsung masuk!”

“Ehhh?!”
“Tentu saja! Apa Enci tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu? Semenjak dahulu, suhu hanya mencinta Enci seorang. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang dicinta suhu kecuali Enci Hong Li!”

Sepasang mata itu terbelalak dan menatap wajah Yo Han dengan basah. “Kau... kau yakin benar akan hal itu?”
“Tentu saja, Enci. Suhu sendiri yang memberi tahu kepadaku.”
“Kalau begitu, kenapa dulu dia tidak melamarku?”
“Suhu ingin sekali, akan tetapi tidak berani, Enci. Suhu tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai guru lagi dan tidak ada walinya. Apa lagi Enci adalah puteri suheng-nya, dan suhu seorang yang miskin dan sebatang kara, suhu tidak berani...”
“Hemmm, sudahlah, teruskan ceritamu. Kenapa dia bercerai dengan isterinya?”
“Sudah kukatakan tadi, suhu tidak cinta kepada isterinya, juga isterinya tidak cinta kepada suhu. Isterinya hanya ingin dinikah untuk menebus rasa aib dan malu. Akhirnya, isterinya itu bertemu dengan bekas kekasihnya dan mereka berhubungan kembali. Suhu melihat ini, lalu mengalah, memberikan isterinya kepada orang yang dicinta isterinya, dan bercerai. Kemudian kami pun pergi merantau.”

Hong Li termenung, pikirannya melayang jauh sekali.
“Enci...”
Hong Li terkejut dan kembali sadar dari lamunannya.
“Sekarang ceritakan bagaimana dapat datang ke sarang penjahat itu.”

“Kami lewat dusun tempat tinggal gadis yang diculik. Suhu mendengar bahwa ada gadis yang diculik penjahat, maka suhu kemudian melakukan penyelidikan dan akhirnya dapat menemukan sarang penjahat itu, sama sekali tidak pernah mimpi akan bertemu dengan Enci di sana. Nah, demikianlah ceritanya, Enci Hong Li. Sekarang, harap Enci juga suka menceritakan tentang diri Enci. Bagaimana Enci dapat berada di sarang penjahat itu, bahkan menjadi tawanan? Rasanya sangat mustahil Enci sampai dapat tertawan oleh mereka, mengingat ilmu kepandaian Enci yang sangat tinggi!”

Hong Li menarik napas panjang. “Aku tertipu, Yo Han.”
Lalu ia menceritakan betapa ia hendak menyelidiki penjahat yang merampas lima ekor kerbau milik petani dusun, dan betapa ia tertipu oleh Liok Cin dan isterinya, anak buah penjahat sehingga ia terperangkap dan pingsan oleh asap pembius.

“Untunglah suhu-mu datang tepat pada waktunya, Yo Han. Aku berterima kasih sekali padanya.”
“Tapi, Enci Hong Li. Bagaimana Enci melakukan perjalanan sendirian saja, tanpa... ahh, maaf, tanpa suami Enci Hong Li?”

Hong Li menundukkan mukanya yang berubah merah. Memang tidak sepantasnya jika dia menceritakan perceraiannya kepada seorang bocah, akan tetapi bocah ini adalah murid Sin Hong dan tentu dia akan menyampaikannya kepada Sin Hong!

“Aku aku telah bercerai!”
“Wahhhhh...!” Yo Han meloncat dan bersorak.
“Ihhh! Apa kau gila? Kenapa malah bersorak?”

Yo Han duduk kembali di atas rumput. “Maaf, Enci. Aku bersorak karena heran. Kenapa sama benar dengan keadaan suhu? Maaf, dapatkah Enci menceritakan keadaan Enci, mengapa bercerai? Suhu tentu akan senang sekali mendengarnya.”

Kembali wajah Hong Li menjadi merah, akan tetapi dia menekan perasaannya. Bagai mana pun juga, Yo Han ini masih kecil dan belum mengerti ‘urusan’.

“Seperti juga suhu-mu, pada saat itu aku menikah tanpa rasa cinta. Setelah mendengar bahwa gurumu menikah, aku lalu dinikahkan dengan putera Jaksa Thio di Pao-teng. Akan tetapi, pernikahan itu gagal. Kami tidak saling cocok, dan akhirnya bercekcok terus hingga aku minta cerai. Lalu aku melakukan perjalanan merantau untuk menghibur diri, sampai aku terperangkap oleh penjahat itu.”

Yo Han mengangguk-angguk. “Sungguh mati, sama benar nasib Enci dan nasib suhu. Agaknya suhu juga merasakan hal ini dalam batinnya, maka dia pernah mengatakan kepadaku bahwa suhu tak akan menikah lagi kecuali dengan satu-satunya wanita yang dicintanya di dunia ini, yaitu Enci Hong Li. Dan suhu bilang bahwa...” Yo Han diam dan menoleh ke sana-sini seolah-olah yang akan diucapkan itu rahasia besar dan dia takut terdengar orang lain.

“Dia bilang apa? Cepatlah katakan, Yo Han!” Hong Li tentu saja ingin tahu sekali dan mendesaknya.
“Suhu bilang bahwa suhu akan mencukur rambut kepalanya dan masuk menjadi hwesio kalau dalam tahun ini dia tidak dapat bertemu dan menjadi suami Enci Hong Li.”
“Ahhh...!” Hong Li tak dapat menahan perasaannya dan ia pun terisak menangis!
“Enci...! Kenapa... kau menangis?”

Hong Li menghapus air matanya. “Yo Han, katakan kepada suhu-mu... jangan... jangan dia menjadi hwesio...”

Yo Han mengangguk dan pada saat itu, Sin Hong muncul membawa seekor kijang yang sudah mati, dirobohkannya kijang itu dengan sambitan batu yang mengenai kepalanya. Hong Li sudah dapat menguasai dirinya lagi dan sekarang Hong Li dan Yo Han sibuk menguliti dan menyayat daging kijang.

“Aku akan mengumpulkan kayu bakar!” kata Sin Hong yang melangkah pergi.
“Mari kubantu, Suhu!” kata Yo Han sambil melompat dan lari mengejar, meninggalkan Hong Li seorang diri melanjutkan perjalanannya.....

********************
“Suhu, tadi teecu bicara dengan enci Hong Li,” kata Yo Han sambil memunguti ranting-ranting kayu kering.
“Hemmm...?” Sin Hong pura-pura tidak memperhatikan. Bagaimana pun juga, ia merasa malu untuk memperlihatkan perhatiannya terhadap Hong Li kepada muridnya yang amat cerdik itu.
“Tahukah Suhu bahwa enci Hong Li telah bercerai dari suaminya?”
“Brakkk...!” Sebongkok kayu yang sudah dikumpulkan di tangannya, kini terlepas dan kayu kering itu jatuh ke depan kakinya.
“Ehhh? Benarkah...?” Sin Hong cepat memunguti lagi kayu-kayu itu untuk menutupi kekagetan dan kegembiraannya mendengar berita itu. Yo Han tersenyum sendiri.

“Benar, Suhu. Enci Hong Li menikah karena desakan orang tua dan karena enci Hong Li mendengar Suhu sudah menikah dengan gadis lain. Akan tetapi karena pernikahan itu tanpa cinta, mereka hidup menderita, selalu cekcok dan akhirnya enci Hong Li minta cerai dari suaminya. Dia lalu pergi merantau untuk menghibur dirinya sampai akhirnya bertemu dengan Suhu di sarang penjahat itu.”

Yo Han menceritakan dan mengulang kembali apa yang didengarnya. Sin Hong pura-pura tak memperhatikan, tapi ia membuka kedua telinganya lebar-lebar dan menangkap semua cerita muridnya, tidak ada sebuah kata pun terlewat.

“Apakah... apakah ia tidak bilang bahwa ia akan menikah lagi?” 
“Ia memang mengatakan isi hatinya itu, Suhu, akan tetapi itu rahasia! Teecu mana berani membuka rahasia hatinya kepada orang lain? Bukankah Suhu mengajarkan agar orang dapat menyimpan rahasia orang lain?”
“Hushhh! Aku bukan orang lain! Aku gurumu, mengerti? Hayo katakan, aku perintahkan engkau untuk mengatakan, apa yang diucapkan oleh Hong Li kepadamu!”

Yo Han tersenyum dan berdiri tegak. “Siap, Suhu! Enci Hong Li mengatakan bahwa ia hanya mencinta seorang pria saja di dunia ini, yaitu Suhu sendiri! Dulu dia menanti lamaran Suhu, akan tetapi Suhu malah menikah dengan wanita lain. Sekarang, ia hanya mengharapkan supaya dipinang oleh Suhu. Ia hanya mau menikah dengan Suhu, tidak dengan orang lain dan katanya lagi...” Yo Han berhenti dan memandang ke kanan kiri.

“Ya? Lalu bagaimana? Katakanlah, tidak ada orang lain yang mendengarkan di sini!”
“Kata enci Hong Li, kalau Suhu tidak meminangnya untuk menjadi isteri Suhu, kalau Suhu sampai berpisah lagi dengan enci Hong Li tanpa pinangan itu, maka enci Hong Li tidak akan pulang.”
“Tidak pulang? Lalu ke mana?”
“Ia mau langsung saja pergi ke kuil dan mencukur gundul rambut kepalanya!”
“Mencukur kepalanya?”
“Ya, untuk menjadi nikouw (pendeta wanita)!”
“Ahhh...!” Kembali kayu-kayu ranting itu terlepas dan runtuh. “Kau kumpulkan dan bawa kayu ini kesana. Aku mau bicara dengan Hong Li!”

Sin Hong berlari-lari meninggalkan muridnya! Yo Han berdiri dan tertawa-tawa seorang diri dengan penuh kebahagiaan, lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, tidak tergesa-gesa, bahkan berlambat-lambat!

Sin Hong berlari bagai terbang dan dia mendapatkan Hong Li sudah selesai memotong-motong daging kijang. Melihat dia datang dengan tangan kosong, kedua mata Hong Li membelalak.

“Ehh, mana kayu keringnya?” tanyanya sambil tersenyum.

Sin Hong berdiri terpesona. Alangkah cantik jelitanya Hong Li, pikirnya, matanya yang lebar indah itu berseri, mulutnya menahan senyum.

“Hong Li... aku... aku mau bicara denganmu...,” kata Sin Hong gagap sambil melangkah maju menghampiri.
Hong Li bangkit berdiri. “Tentu saja boleh, Hong-koko. Mau bicara apakah?”

Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak dekat, saling pandang dan kembali dua pasang mata bertaut, melekat dan muncul getaran aneh yang membuat dada mereka laksana diamuk badai.

“Li-moi, aku... aku... meminangmu untuk menjadi isteriku!”

Sepasang mata itu makin terbelalak. Sungguh pun ucapan itu merupakan harapannya semenjak dahulu, namun begitu tiba-tiba datangnya dan ia benar terkejut bukan main. Wajahnya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali dan ia tidak tahu harus berkata apa.

“Li-moi, maafkan aku... akan tetapi, aku... aku cinta padamu, Li-moi, aku tidak tahan untuk hidup jauh darimu lagi. Aku... aku ingin menjadi suamimu, selama hidup berada di sampingmu, kau... kau... sudikah kau menjadi isteriku, Hong Li...?”

Sepasang mata yang terbelalak lebar itu memandang wajah Sin Hong tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air matanya bercucuran. Hong Li menangis!

“Li-moi, kau... kau menangis...?” Sin Hong melangkah maju, akan tetapi tidak berani menyentuh, hatinya bingung sekali melihat wanita itu menangis.

Hong Li mengangkat mukanya dan Sin Hong makin heran. Muka itu seperti tersenyum bahagia. Akan tetapi air mata itu bercucuran!

“Hong-ko... be... benarkah engkau… cinta kepadaku? Benarkah engkau ingin menjadi suamiku? Ahhh, Hong-ko...!”

Mereka saling merangkul dan dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang sudah menahun, Sin Hong mengangkat muka itu, muka yang basah air mata dan dia pun menciumi muka itu, mengecup mata, hidung, mulut dengan sepenuh cinta hatinya. Tak ada puasnya dia mencium muka Hong Li, bagaikan turunnya hujan setelah langit mendung gelap dan tebal. Hong Li menerimanya dengan pasrah, dengan bahagia, kadang-kadang membalas dengan malu-malu, bagaikan setangkai bunga yang menjadi segar tersiram air hujan.

Setelah melepaskan kerinduan hati masing-masing, sampai kedua pasang kaki mereka gemetar. Sin Hong menarik tubuh kekasihnya itu, dipangkunya di atas rumput dan dengan sikap manja Hong Li menyandarkan mukanya di atas dada Sin Hong.

“Hong-koko... “
“Hemmm...?”
“Kau... kau jangan menjadi... hwesio...!”
“Jadi hwesio?”
“Katanya, kalau aku tidak mau menjadi isterimu, engkau akan menjadi hwesio...?”
“Kata siapa?”
“Yo Han!”

“Hemmm, tidak, Sayang. Engkau sudah menerima pinanganku, bukan? Kalau engkau menolak, bukan hanya menjadi hwesio, bahkan aku akan menjadi gila. Dan engkau pun jangan masuk kuil mencukur rambutmu yang indah ini dan menjadi nikouw!”

“Ehhh? Siapa jadi nikouw?”
“Katanya, kalau aku tidak meminangmu, engkau akan mencukur rambutmu dan menjadi nikouw?”
“Siapa bilang?”
“Yo Han!”

Keduanya tertawa dan kembali mulut mereka saling bertemu dalam sebuah ciuman yang menumpahkan seluruh curahan kasih sayang dan kerinduan hati mereka. Barulah terasa oleh mereka berdua, betapa selama ini mereka kehilangan kebahagiaan mereka, kehilangan orang yang mereka cinta dan rindukan.

Yo Han datang perlahan-lahan. Ketika melihat dia, Hong Li hendak menjauhkan diri dari kekasihnya, akan tetapi Sin Hong memeluknya makin erat, lalu memanggil, “Yo Han, ke sini kau!”
“Ya, Suhu “

Dengan sikap takut-takut Yo Han melangkah maju mendekat dan setelah menurunkan sebongkok besar kayu kering, dia kemudian menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut karena gurunya duduk di atas tanah berumput.

“Kau bocah pembohong besar!” Sin Hong membentak. “Apa yang sudah kau katakan kepada Hong Li?”
“Mengatakan apa, Suhu?”
“Tentang menjadi hwesio!”
“Dan apa yang kau katakan kepada suhu-mu tentang menjadi nikouw, Yo Han?” Hong Li juga bertanya.

Yo Han menjadi bingung dan ketakutan. Lalu dia memberi hormat sambil berlutut.
“Teecu... teecu minta maaf, teecu bersalah... teecu siap dihukum...”
“Maju ke sini kau!” bentak Sin Hong.

Yo Han merangkak maju dan setelah dekat, Sin Hong lalu merangkulnya. Juga Hong Li merangkulnya, bahkan mencium pipi anak itu. Keduanya tertawa-tawa sehingga Yo Han membelalakkan matanya dan ikut tertawa gembira.

“Kau... kau anak nakal... kami berterima kasih kepadamu, Yo Han. Biarlah aku yang mintakan ampun kepada suhu-mu untuk kesalahanmu,” kata Hong Li.

Yo Han memberi hormat. “Terima kasih... terima kasih, Subo!” Disebut subo, Hong Li tertawa lagi dan ketiganya tertawa gembira.

“Aihhh, perutku lapar sekali!” Sin Hong berkata.
“Aku juga!” kata Hong Li.
“Teecu juga!” sambung Yo Han.

Mereka bertiga segera membuat api unggun untuk memanggang daging kijang itu. Api unggun bernyala dan berkobar, terang dan indah, seterang dan seindah masa depan mereka.....

T A M A T

>>>>   SI BANGAU MERAH   <<<<
(Bagian Ke-14 Serial BU KEK SIANSU)
LihatTutupKomentar