Suling Emas Naga Siluman Jilid 12
Pulau Kim-coa-to terletak di Laut Kuning, beberapa mil jauhnya dari muara Sungai Huai. Dari tepi pantai hanya nampak sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut sedang tenang. Dan kalau orang naik perahu layar, maka dalam waktu empat lima jam akan sampai di pulau itu.
Kota Tung-king berada tidak jauh dari muara itu, dan pada hari itu kota Tung-king yang berada di lembah Sungai Huai nampak lebih ramai dari pada biasanya. Memang kota ini sedang diramaikan oleh tamu-tamu yang hendak berkunjung ke Pulau Kim-coa-to!
Pembesar setempat, yaitu Kepala Daerah Tung-king ikut menjadi sibuk pula karena hari itu Pangeran Kian Liong juga datang berkunjung bersama pasukan pengawalnya yang berjumlah dua losin orang! Sang Pangeran yang biasanya suka melakukan perjalanan secara menyamar itu, sekali ini karena menerima undangan resmi, berkunjung sebagai pangeran dan tentu saja dikawal dan mengendarai kereta yang indah. Karena hari telah menjadi senja ketika tiba pangeran itu memutuskan untuk bermalam di kota Tung-king dan tentu saja kepala pengawal langsung membawa kereta menuju ke gedung kepala daerah yang menjadi sibuk bukan main!
Pangeran Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu saja dia menjadi sibuk. Namun alangkah bingung dan herannya ketika pangeran itu dengan suara tegas melarang dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup kalau dia diberi sebuah kamar biasa dan makan malam biasa pula, menolak untuk diberi hidangan apalagi ditemani wanita. Baru sekali ini selama hidupnya Lu-taijin, kepala daerah kota Tung-king itu, mendengar dan bahkan menghadapi sendiri seorang pangeran, bahkan pangeran mahkota pula, yang mau tidur di kamar biasa, makan biasa pula dan menolak hiburan dan wanita!
Di samping kebingungan dan keheranannya, dia pun merasa kagum sekali. Diam-diam dia memperoleh kenyataan akan kebenaranan berita bahwa Sang Pangeran Mahkota ini adalah seorang pemuda yang sederhana, terpelajar, pandai dan tidak suka akan kemewahan yang berlebihan, tidak suka berfoya-foya sebagaimana lajimnya para pangeran dan pembesar lainnya.
Tentu saja para pengawal mempersiapkan diri, menjaga keamanan pangeran mahkota itu, dan karena pasukan pengawal ini adalah pengawal dalam istana, maka pakaian mereka yang berwarna biru dan bersulamkan benang emas itu amat indah dan megah. Selain itu, mereka adalah pasukan pengawal pilihan, dengan tubuh tegap-tegap dan wajah tampan-tampan, mengagumkan semua orang, juga mendatangkan kesenangan.
Sementara itu, di sebuah rumah makan kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga orang laki-laki yang makan minum sambil bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik. Biar pun tiga orang itu berpakaian biasa saja, akan tetapi sikap dan keadaan mereka tentu menimbulkan kecurigaan mereka yang berpemandangan tajam.
Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada enam puluhan tahun, pakaiannya seperti penduduk biasa saja, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kanan saja karena yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya perkasa, kuncir rambutnya yang masih panjang hitam itu besar melingkari lehernya. Meski kelihatan mengenakan pakaian biasa saja, namun sesungguhnya orang ini dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, terutama sekali di daerah Propinsi Ho-pei karena dia dahulu adalah seorang jagoan yang dipercaya oleh Gubernur Ho-pei. Dia berusia enam puluh satu tahun, bernama Liong Bouw dan julukannya adalah Tok-gan Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal). Sekarang Liong Bouw telah pensiun dan hidup sebagai petani, akan tetapi dia masih selalu aktip dalam dunia kang-ouw sebagai seorang yang disegani dan di samping kegagahannya sebagai pendekar, juga ia masih amat setia kepada kerajaan.
Orang ke dua dan ke tiga adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dua orang kakak beradik berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang tinggi. Kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini menjadi utusan untuk menyelidiki keadaan Kaisar Yung Ceng karena terdengar desas-desus bahwa setelah menjadi kaisar, maka Yung Ceng yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai itu banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan.
Meski pun Yung Ceng kini telah menjadi kaisar, Siauw-lim-pai berhak untuk menyelidiki kelakuannya dan kalau ternyata murid Siauw-lim-pai itu melanggar larangan-larangan, maka Siauw-lim-pai berhak untuk mengeluarkan dari perguruan sebagai seorang murid yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak beradik itu, untuk melakukan penyelidikan di kota raja. Mereka memperoleh kenyataan bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu melakukan banyak pelanggaran, di antaranya yang paling parah adalah menguasai isteri orang dengan jalan kekerasan! Memang ada beberapa kali Yung Ceng merampas isteri orang, yaitu pejabatnya sendiri, yang kecantikannya membuatnya tergila-gila.
Maka mereka lalu melaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan dengan suatu upacara antara pimpinan, Yung Ceng dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai lagi. Selain kenyataan ini, juga dua orang saudara Ciong melaporkan tentang kebaikan-kebaikan Pangeran Mahkota Kian Liong. Oleh karena itu, mereka diberi tugas untuk bersama dengan para pendekar lainnya yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Mahkota yang banyak melakukan perjalanan secara menyamar itu.
Memang Pangeran Kian Liong banyak melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan cara ini ia dapat bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan percakapan mereka, pendapat mereka tentang pemerintah dan dia pun mendengar celaan-celaan yang ditujukan kepada kaisar. Dan karena tanpa setahunya banyak pendekar sakti yang diam-diam melindunginya, maka tiap kali terjadi mala petaka yang hendak menimpanya, selalu dapat dihalau sehingga orang-orang mulai menanam kepercayaan yang bersifat tahyul, yaitu bahwa pangeran mahkota itu telah dijaga oleh malaikat, dan ini menjadi tanda bahwa dia benar-benar seorang calon kaisar yang hebat!
Tiga orang yang kini bercakap-cakap di rumah makan itu adalah tiga orang perkasa yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Kian Liong. Mereka sedang berbisik-bisik dan bicara dengan serius, dengan nada suara penuh khawatir.
“Benarkah penyelidikan kalian itu?” Si Mata Satu bertanya sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan dengan sapuan pandang matanya yang tinggal satu ke seluruh sudut, takut kalau-kalau percakapan mereka didengar orang lain.
“Benar, Liong-lo-enghiong, kami sudah menyelidiki dengan seksama. Semua itu benar digerakkan oleh Sam-thaihouw....“
“Ssttt.... hati-hati kalau bicara....”
Liong Bouw bangkit dan kembali memeriksa ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak ada yang mencurigakan dan dia pun duduk kembali. “Apa kau bilang? Sam-thaihouw....?“
Nama Sam-thaihouw memang amat menakutkan banyak orang, seolah-olah nama itu dapat mendatangkan bencana, walau pun hanya disebut saja. Memang pengaruh dan kekuasaan Sam-taihouw ini besar sekali, dan dia amat bengis sehingga banyak sudah orang-orang yang dianggapnya bersalah terhadapnya harus menerima hukuman yang mengerikan. Bahkan kaisar sendiri pun agaknya sudah tidak mampu mencegah segala perbuatan Sam-thaihouw yang mempunyai banyak jagoan yang tangguh.
Seorang menteri, yaitu Menteri Kim sebagai Menteri Kebudayaan, beberapa bulan yang lalu pernah berani mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke Tiga ini di depan kaisar. Dan apa yang terjadi kemudian? Beberapa malam sesudah itu, Sang Menteri tewas di dalam kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang puteranya dan tiada seorang pun tahu siapa pembunuhnya! Akan tetapi kaisar tidak memerintahkan penyelidikan tentang pembunuhan ini dan dengan lantang Sam-thaihouw berkata kepada siapa saja yang kebetulan dijumpainya bahwa itulah hukuman bagi menteri yang lancang mulut itu! Masih banyak orang-orang yang harus tewas dalam keadaan mengerikan karena berani menentang Sam-thaihouw sehingga namanya merupakan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.
Itulah sebabnya ketika Ciong Tek menyebut nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi terkejut dan khawatir sekali, maklum betapa bahayanya kalau nama ini disebut-sebut. Lalu dia berbisik, bertanya dengan hati tertarik, “Apakah yang sesungguhnya terjadi?”
“Agaknya Sam-thaihouw telah mampu mempengaruhi Kaisar sehingga percaya kepada Nenek itu jika Pangeran Kian Liong dianggap sebagai pengundang datangnya bahaya bagi pribadi Kaisar sendiri. Karena itu, persekutuan antara mereka sudah memutuskan untuk mengenyahkan Pangeran itu, atau paling tidak membatalkan dia sebagai calon pengganti Kaisar.”
“Ahh, mana mungkin? Pangeran itu adalah putera kaisar sendiri!” bantah Si Mata Satu.
“Itulah anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai yang murtad itu ternyata sudah berubah menjadi seorang pria lemah yang tunduk di bawah kekuasaan mulut manis seorang wanita cantik yang sudah membuatnya tergila-gila. Selirnya yang ke tiga, yang juga mempunyai seorang putera itulah yang menjadi senjata ampuh Sam-thaihouw untuk menjatuhkan hati Kaisar. Dan agaknya kaisar juga telah setuju untuk menggantikan pangeran mahkota dengan pangeran yang usianya baru lima tahun itu, putera dari selir ke tiga itu. Dan semua ini adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang telah mengerahkan banyak tokoh kaum sesat untuk membantunya. Kabarnya malah Im-kan Ngo-ok telah dapat diperalatnya.”
“Aih, berbahaya sekali kalau begitu. Dari mana kalian dapat memperoleh semua rahasia kerajaan ini?”
“Seorang murid keponakan kami, murid Siauw-lim-pai, kebetulan kini menjabat pangkat komandan muda dalam pasukan pengawal dalam istana. Dialah yang sudah melakukan semua penyelidikan itu untuk kami, sebab sebagai murid Siauw-lim-pai dia menganggap hal itu sebagai tugas sucinya untuk menyelidiki kelakuan murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu.”
Hening sejenak dan ketiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka tahu akan adanya bahaya besar berhadapan dengan kekuasaan di tangan nenek iblis yang berkuasa di istana itu.
Akhirnya Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw bertanya, “Menurut kalian, apakah yang akan terjadi dan bahaya apa yang mengancam diri Pangeran?” Lalu disambungnya dengan nada suara gentar, “Apakah kalian kira Im-kan Ngo-ok sendiri akan turun tangan?”
Dua orang kakak beradik itu saling pandang lalu menggeleng kepala. “Kami rasa hal itu tidak akan mungkin terjadi,” kata Ciong Lun. “Ini bukan urusan kecil, dan mereka sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau mereka berani turun tangan sendiri mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang gagah di dunia kang-ouw akan mencarinya dan mereka tentu tak akan berani menghadapi resiko sehebat itu. Tidak, mereka tentu hanya akan mengirim orang yang tidak terkenal, biar pun sudah dapat dipastikan suruhan mereka itu tentu amat lihai. Oleh karena itu, kita harus siap siaga dan berhati-hati.”
“Menurut penyelidikan kalian, apa yang akan mereka lakukan terhadap Pangeran?”
“Entah, hal itu kami belum dapat mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu adalah bahwa sebelum Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok yang diwakili oleh Toa-ok sendiri dan murid keponakan kami itu hanya dapat menangkap bahwa mereka telah membicarakan tentang kepergian Pangeran ke Kim-coa-to ini. Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan terjadinya hal-hal yang penting. Kabarnya pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu dilakukan dengan sayembara ilmu silat pula. Nah, agaknya itulah kesempatan untuk mencelakai Pangeran.”
“Betapa pun juga, kita tidak boleh lengah. Baiknya Sang Pangeran juga dikawal oleh sepasukan pengawal yang baik. Pasukan Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan setia. Kita harus menyamar sebagai tamu-tamu di Kim-coa-to dan selalu membayangi Pangeran,” kata Liong Bouw.
Setelah selesai berunding dan makan, mereka membayar makanan, lalu meninggalkan rumah makan itu dengan berpencar. Memang mereka bekerja melindungi Pangeran Kian Liong secara berpencar agar lebih leluasa bergerak dan tidak mudah diketahui oleh pihak lawan.
Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar? Rakyat banyak tak mengetahui karena segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga kaisar amat dirahasiakan dan dari luar nampaknya bahwa kehidupan keluarga kaisar itu tenang-tenang saja, bergelimang kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, serta selalu riang gembira dan tenggelam dalam hiburan-hiburan. Akan tetapi, sesungguhnya kehidupan seorang kaisar, tiada bedanya dengan kehidupan seorang petani biasa, bahkan kalau dipandang bukan dengan ukuran kesenangan duniawi, maka kehidupan keluarga petani jauh lebih tenteram dibandingkan dengan kehidupan keluarga kaisar!
Kehidupan keluarga kaisar penuh dengan konflik yang selalu disembunyikan di balik senyum dan tata cara sopan santun yang berkelebihan. Orang yang berlutut di depan kaisar dengan dahi dibentur-benturkan pada lantai dengan penuh khidmat dan hormat, yang mulutnya mengucapkan ‘ban-ban swe’ (hidup selaksa tahun) sebagai pengucapan penghormatan dan pujian bagi kaisar, yang dari ujung rambut sampai pangkal sepatu membayangkan kesetiaan, penghormatan dan kebaktian, mungkin saja di balik semua itu menaruh dendam yang amat mendalam
Dan antara keluarga kaisar, di antara selir-selir dan putera-putera, yang kesemuanya hidup menurut adat-istiadat dan tata cara istana, hampir semua menggunakan sikap sebagai pakaian saja. Di sebelah dalam terdapat hati yang bermacam-macam, penuh ambisi, penuh pamrih, penuh iri, penuh dendam dan persaingan. Konflik terjadi setiap saat, akan tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.
Sam-thaihouw adalah Ibu Suri Ke Tiga yang sudah nenek-nenek namun masih memiliki ambisi yang besar sekali. Kegagalan dua orang Pangeran Liong dalam pemberontakan mereka, bahkan yang disusul oleh kematian mereka, diam-diam menikam perasaan Sam-thaihouw yang pada waktu mudanya amat sayang kepada dua pangeran yang menjadi adik iparnya itu, adik ipar tiri. Akan tetapi tentu saja sakit hati ini dipendamnya di dalam hati. Oleh karena itu, dia lalu menaruh dendam mendalam kepada Milana dan keluarga Pulau Es yang dianggap menjadi biang keladi kegagalan gerakan dua orang pangeran itu.
Juga, dia ingin menanamkan kekuasaannya di dalam istana, maka dia pun berhasil mendekati Kaisar Yung Ceng. Kaisar ini di waktu mudanya adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi murid dalam Siauw-lim-si, mempelajari ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Akan tetapi setelah menjadi kaisar, setelah seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, dia menjadi mabok akan kekuasaan, mabok pula akan penjilatan dan sanjungan. Mulai lenyaplah sifat-sifat gagahnya dan mulailah dia menghambakan diri pada kesenangan-kesenangan yang menumpuk nafsu nafsu menjadi majikan dari batinnya.
Banyak sudah para pemimpin atau pembesar yang menasehatinya dengan halus dan kadang-kadang nasehat itu ada manfaatnya pula, mengingatkannya. Akan tetapi, di samping mereka yang menasehatinya, lebih banyak pula yang menjilat-jilatnya dan mendorongnya untuk berenang dalam kesenangan, karena hanya dengan demikian itu sajalah para penjilat dapat melihat kaisar menjadi lemah sehingga mereka itu dapat merajalela!
Di antara para penasehatnya, majulah Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran yang tadinya amat dekat dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih pangeran. Akan tetapi, pengaruh nasehat Pangeran Yung Hwa ini kalah oleh pengaruh bujukan-bujukan yang mulai dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang mendekati kaisar sebagai putera tirinya itu, dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan memasukkan racun bisikan bahwa Pangeran Yung Hwa agaknya iri hati dengan kedudukan kakaknya. Dan akibatnya, Pangeran Yung Hwa lalu diangkat menjadi gubernur di wilayah barat, di propinsi Se-cuan yang jauh! Namanya saja diangkat dan diberi kedudukan, tapi sebetulnya itu merupakan suatu pembuangan agar pangeran itu jauh dari istana!
Demikianlah keadaan di istana. Kegilaan para penjilat dan pembujuk yang dikepalai oleh Sam-thaihouw itu semakin berani saja, makin gila sehingga mereka tidak segan-segan untuk mulai mengutik-utik kedudukan Pangeran Mahkota Kian Liong! Untuk melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai pembantu yang amat baik, yaitu selir ke tiga dari Kaisar Yung Ceng, selir cantik jelita yang dirampasnya dari tangan seorang pembesar istana pula!
Selir ini mempunyai seorang putera yang usianya sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun berambisi untuk melihat puteranya itu menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan kaisar! Melihat kesempatan ini, Sam-thaihouw yang merasa tidak senang kepada Pangeran Kian Liong yang tidak dapat didekatinya, bahkan yang berani menentangnya secara terang-terangan, mulailah nenek ini untuk menghasut dan menjauhkan hubungan antara ayah kandung dan putera mahkota ini, antara Kaisar dan Putera Mahkota Kian Liong!
Demikianlah keadaan di dalam istana, di mana terjadi persaingan dan pertentangan hebat tanpa diketahui oleh rakyat jelata. Bahkan hanya beberapa orang tertentu saja di istana yang mengetahui akan hal ini, dan yang mengetahui tidak berani membuka mulut untuk bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada anak isteri pun tidak berani, karena kalau sampai ketahuan oleh pihak yang bersangkutan, tentu mereka tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya, bahkan mungkin nyawa keluarganya pula.
Pangeran Kian Liong sendiri bukan tidak tahu akan segala konflik yang terjadi di dalam keluarga ayahnya. Itulah sebabnya dia merasa tidak betah dan muak berada di istana yang dianggapnya sebagai sumber segala kepalsuan, penjilatan, kepura-puraan dan iri hati, di mana setiap saat terjadi persaingan untuk mencari muka kepada kaisar dan terdapat perebutan kekuasaan yang sangat memuakkan hatinya. Dia lebih senang merantau dengan menyamar sebagai orang biasa, bergaul dengan rakyat jelata, tanpa pengawal, tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pangeran mahkota! Dengan cara demikian pangeran ini pernah bekerja membantu nelayan, petani dan sebagainya! Dan tentu saja sering kali dia terancam bahaya, akan tetapi selalu saja ada bintang penolong yang menolongnya dengan sembunyi.
Ketika pangeran ini mendengar tentang Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun datang berkunjung ke Kim-coa-to, bukan menyamar, tetap sebagai pangeran akan tetapi secara sederhana. Dan dalam pertemuan itu, kedua pihak merasa amat kagum. Pangeran Kian Liong kagum sekali melihat seorang wanita yang sedemikian cantik jelitanya, berdarah bangsawan bahkan puteri dari Raja Bhutan, dengan kecantikan seperti bidadari, juga memiliki pengertian yang amat mengagumkan tentang sastra, pandai menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan pandai ilmu silat pula! Dan pandangan-pandangannya tentang hidup sedemikian matangnya sehingga pangeran ini tertarik untuk bersahabat.
Pangeran Kian Liong bukanlah seorang pemuda mata keranjang, dia lebih mengagumi kecantikan batiniah dari pada kecantikan lahiriah, dan jika dia tertarik oleh Syanti Dewi, adalah karena pribadi wanita itulah, bukan kecantikannya semata-mata. Dan tertariknya pun bukan tertarik dengan gairah nafsu birahi, melainkan tertarik untuk bersahabat, bercakap-cakap, bercengkerama dan bergurau, kadang-kadang melihat dara itu menari atau mendengarkan bernyanyi, dan membuat sajak bersama-sama atau bicara tentang orang-orang kang-ouw dan ilmu silat. Biar pun dia sendiri hanya mempelajari ilmu silat dasar saja untuk olahraga menjaga kesehatan, akan tetapi Pangeran Kian Liong senang sekali mendengar pembicaraan tentang ilmu silat dan dia mengagumi kehidupan para pendekar. Dalam diri Syanti Dewi dia benar-benar mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan cocok.
Di lain pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka kepada pangeran yang biar pun usianya lebih muda namun telah memilliki pandangan tentang filsafat dan hidup dengan amat luasnya. Juga pangeran ini berbeda dengan semua pria yang mendekatinya. Semua pria, tua atau muda, yang mendekatinya, selalu memandang kepadanya dengan mata terpesona penuh kagum akan kecantikannya, dan di balik pandang mata itu terdapat nafsu birahi yang bernyala-nyala. Akan tetapi kekaguman yang terpancar keluar dari pandang mata pangeran ini bersih, kekaguman yang wajar seperti orang mengagumi setangkai bunga mawar atau mengagumi langit di waktu matahari terbenam. Oleh karena itu, biar pun usia mereka berselisih sepuluh tahun, keduanya dapat bersahabat dengan baiknya dan saling merasa akrab, sama sekali tidak canggung.
Pada waktu menerima undangan pesta ulang tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong gembira sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk berangkat dan seperti biasa dia bermaksud untuk melakukan perjalanan sendirian saja dengan menyamar. Akan tetapi ketika pengawalnya yang setia, yaitu komandan Pengawal Pasukan Garuda, mendengar akan niat pangeran yang amat dibelanya itu, dia cepat datang menghadap.
Komandan yang sudah lima puluh tahun lebih ini bernama Souw Kee An, seorang komandan tua pasukan pengawal yang terkenal itu, dan dahulu dia pernah menjadi pengawal yang setia dari Pangeran Yung Hwa sebelum pangeran itu dinaikkan pangkat atau dilempar sebagai gubernur di barat. Karena tahu akan kesetiaan Souw Kee An, maka Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan untuk menjadi pengawal dari pangeran mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.
“Harap sekali ini Paduka sudi untuk mendengarkan nasehat saya dan tidak melakukan perjalanan tanpa dikawal. Saya mendengar banyak desas-desus yang tidak baik dan juga amat berbahaya bagi keselamatan Paduka, Pangeran,” demikian komandan tua itu membujuk.
“Ah, Souw-ciangkun, sudah beberapa tahun ini aku sering kali pergi merantau sendirian dan menyamar sebagai orang biasa, ternyata tidak terjadi hal-hal yang tidak baik dan sampai sekarang aku masih hidup dan selamat,” kata Pangeran itu sambil tersenyum.
Souw Kee An menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Akan tetapi berapa kali Paduka terancam bahaya maut dan kalau tidak ada malaikat pelindung berupa orang-orang sakti yang kebetulan melihat Paduka terancam lalu melindungi, apakah tidak berbahaya sekali? Dan pula, sekarang Paduka menerima undangan acara resmi, apa salahnya kalau Paduka juga datang secara resmi sebagai seorang Pangeran pula?”
Setelah dibujuk-buruk dan Souw Kee An menceritakan betapa akan banyaknya hadir tokoh-tokoh kang-ouw di Kim-coa-to, baik dari golongan bersih mau pun dari kaum sesat, dan bahwa menurut desas-desus yang didengarnya ulang tahun itu dipergunakan pula untuk memilih suami dan akan dipertandingkan ilmu silat sehingga tentu akan terjadi keributan, akhirnya Pangeran Kian Liong setuju juga untuk pergi dengan dikawal oleh Souw Kee An sendiri bersama dua puluh orang Pasukan Garuda. Souw Kee An kemudian memilih anggota-anggota yang memiliki kepandaian cukup, dan berangkatlah pangeran setelah mendapat persetujuan kaisar, pergi ke Kim-coa-to.
Demikianlah, karena hari telah mulai gelap, rombongan Pangeran Kian Liong terpaksa berhenti di Tung-king. Souw-ciangkun telah mengatur penjagaan yang ketat karena dia maklum bahwa semakin dekat mereka tiba di tempat tujuan, semakin gawatlah keadaan dan dia percaya bahwa pada waktu itu tentu banyak terdapat orang-orang kang-ouw di kota Tung-king itu.
Dan dugaannya itu memang tidak meleset kalau kita ingat betapa tak jauh dari tempat bermalam Pangeran, di rumah makan kecil di sudut kota itu telah terjadi pertemuan-pertemuan antara tiga orang gagah yang diam-diam melakukan perlindungan pula terhadap keselamatan Pangeran Kian Liong. Souw Kee An sendiri pun maklum akan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh Sam-thaihouw, dan justru oleh karena itulah dia membujuk Pangeran agar melakukan perjalanan dengan terkawal. Dan pengawalan Pasukan Garuda yang ketat itu memang ternyata ada hasilnya.
Buktinya, sampai tiba di Tung-king, belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seolah-olah pihak yang mempunyai niat buruk terhadap Pangeran merasa jeri dengan adanya pengawalan pasukan yang terkenal kuat itu. Akan tetapi ternyata hal itu hanya sementara saja dan pihak lawan itu memang ada dan sedang menanti saat baik! Untuk melihat siapa adanya pihak lawan itu marilah kita mengikuti mereka semenjak dari sebuah kamar rahasia di gedung peristirahatan Sam-thaihouw!
Di dalam kamar rahasia itu, sesaat sebelum Sang Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan untuk ke sekian kalinya dengan Toa-ok, yaitu tokoh pertama dari Im-kan Ngo-ok yang telah menjadi kaki tangannya. Selain Toa-ok di situ hadir pula empat orang wanita cantik yang bukan lain adalah Su-bi Mo-li yang memang bekerja sebagai pengawal pribadi Sam-thaihouw dan seperti kita ketahui, Su-bi Mo-li adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok dan empat orang wanita ini pernah menculik Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, tetapi usaha mereka itu gagal karena percampuran tangan Ci Sian.
“Maaf, Thaihouw, akan tetapi mengapa tidak mengambil jalan yang mudah saja dan membunuh Pangeran itu?” Dengan sikapnya yang halus, sopan dan ramah Toa-ok berkata kepada nenek yang berpakaian indah itu.
Itulah Sam-thaihouw, seorang nenek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun akan tetapi pakaiannya masih mewah sekali dan mukanya juga dibedaki tebal. Alisnya sudah habis, akan tetapi sebagai gantinya dibuatlah coretan alis hitam kecil dan panjang yang melengkung!
Im-kan Ngo-ok adalah orang-orang yang terkenal sebagai datuk kaum sesat dan tentu saja Sam-thaihouw tidak sudi berhubungan langsung dengan orang-orang seperti Ji-ok, Su-ok atau Ngo-ok, maka yang dapat mewakili mereka hanyalah Toa-ok yang sopan dan halus walau mukanya mengerikan seperti gorila. Sebetulnya Sam-ok seoranglah yang pandai bersikap menghadapi orang besar, namun karena Sam-ok adalah seorang bekas Koksu Nepal, yaitu seorang musuh, maka tidak leluasalah bagi Sam-ok untuk bergerak di tempat terbuka, apalagi di kota raja. Karena itu, setiap kali Sam-thaihouw hendak mengadakan perundingan dengan para pembantunya yang istimewa ini, yang telah banyak sekali menerima emas dan permata darinya, selalu Toa-ok yang mewakili, di samping empat orang Su-bi Mo-li yang memang sudah biasa berada di dalam gedung Ibu Suri ini.
“Aihhh, Lo-enghiong!” Ibu Suri itu selalu menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepada Toa-ok, seolah-olah kakek itu adalah seorang pendekar yang tengah membantu ‘perjuangannya’. “Enak saja kau bicara! Apakah engkau tidak tahu siapa Pangeran Kian Liong? Jika engkau melakukan hal itu, tentu engkau akan dimusuhi oleh para pendekar sedunia, kerajaan menjadi geger dan juga Kaisar tentu akan marah kepadaku. Tidak, bukan pembunuhan yang kumaksudkan!”
“Akan tetapi Paduka tadi mengusulkan agar kami menghancurkan Pangeran....“
“Menghancurkan namanya, kedudukannya, pengaruhnya, tetapi bukan orangnya! Sekali namanya telah rusak, setelah rakyat melihat bahwa dia adalah seorang pangeran yang melakukan hal-hal buruk, nah, namanya tentu akan dikutuk dan dicela orang, dan akan lebih mudahlah untuk memindahkan kedudukan pangeran mahkota kepada yang lain. Mengertikah engkau akan maksudku?”
Bukan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok namanya kalau rencana keji sekecil itu saja tidak dimengerti. Dia mengangguk-angguk. “Harap Paduka tenangkan hati. Pekerjaan itu amat mudah dan sudah pasti kami dapat melakukannya dengan baik. Paduka tunggu saja, sebelum dia kembali dari Kim-coa-to, Pangeran Kian Liong sudah berubah dari seorang pangeran yang disanjung dan dipuji menjadi pangeran yang dikutuk dan dicela, baik oleh rakyat mau pun para pejabat.”
“Bagus, hadiahmu akan besar sekali, Toa-ok!” kata nenek itu, saking girangnya lupa menyebut Lo-enghiong, tetapi hal ini malah menggirangkan Toa-ok yang sesungguhnya tidak suka disebut ‘enghiong-enghiong’-an segala.
“Harap Paduka tidak melupakan apa yang mendorong Im-kan Ngo-ok suka membantu Paduka dengan taruhan nyawa,” dia memperingatkan dengan suara halus.
“Ah-he-he-he, tentu saja kami tidak lupa, Lo-enghiong. Kalau berhasil kelak, dan Kaisar berada dalam kekuasaan kami, sudah tentu kami akan mengajukan usul agar kalian berlima diangkat menjadi orang-orang yang berkedudukan tinggi di kota raja!”
Toa-ok merasa puas dengan janji ini, maka dia pun kemudian mohon diri dan pergi meninggalkan kamar rahasia itu bersama dengan empat orang muridnya, yaitu Su-bi Mo-li yang akan membantunya melaksanakan rencana yang akan diatur oleh Im-kan Ngo-ok sendiri. Karena Sam-thaihouw melarang mereka menggunakan tangan maut membunuh pangeran, maka harus diambil tindakan yang cerdik untuk menghancurkan nama baik pangeran itu. Dan melalui kerja sama Im-kan Ngo-ok dengan empat orang murid mereka yang lihai dan cerdik itu, dibantu pula oleh anak buah mereka, Toa-ok merasa yakin bahwa rencana itu sudah pasti akan berhasil. Sukses…..
********************
Pangeran Kian Liong sama sekali tidak pernah mengira bahwa perjalanannya menuju ke Kim-coa-to itu sebetulnya selalu dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak para pendekar yang diam-diam melindungi mau pun pihak lawan yang mencari kesempatan untuk menyeretnya ke dalam lumpur. Oleh karena itu, dengan wajah berseri gembira, pada hari berikutnya Pangeran Kian Liong meninggalkan rumah gedung pembesar Tung-king, diantar oleh pembesar itu sampai keluar pintu gerbang, menunggang kereta dan dikawal oleh Souw Kee An dan dua puluh orang pengawalnya.
Karena Pangeran Kian Liong paling tidak suka disanjung-sanjung dan disambut oleh rakyat di sepanjang perjalanan sebagai seorang pangeran yang harus dihormati, maka dia pun lalu menutup pintu dan tirai kereta dan duduk sambil bersandar di bangku kereta. Berbeda kalau dia melakukan perjalanan dengan menyamar sebagai orang biasa, dia dapat menikmati pemandangan alam dan pergaulan dengan rakyat tanpa ada yang menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat palsu.
Begitu dia mengenakan pakaian pangeran, maka pangeran muda ini segera merasakan betapa kehidupan menjadi berbeda sama sekali. Segala di sekelilingnya menjadi tidak wajar dan penuh kepalsuan, membuatnya merasa muak. Berbeda kalau dia berpakaian biasa dan tiada seorang pun tahu bahwa dia pangeran mahkota, maka semua orang bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum ya senyum setulusnya, kalau tidak senang ya tidak disembunyi-sembunyikan. Begitu dia menjadi pangeran, semua wajah baginya seolah-olah menjadi semacam kedok atau boneka.
Setelah kereta meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak orang dan melalui lembah yang sunyi, barulah pangeran itu membuka jendela dan tirai kereta dan menikmati keindahan alam di sekelilingnya. Bahkan dia menyuruh kusir memperlambat jalannya kereta agar dia dapat menikmati pemandangan lebih baik lagi. Akhirnya rombongan itu tiba di dalam hutan dekat pantai, di lembah muara sungai Huai. Sebuah hutan yang sunyi dan tenang.
“Aih, sejuk sekali di sini!” kata pangeran itu lalu membuka semua jendela kereta agar dia dapat lebih banyak menikmati hawa yang sejuk dengan harum daun-daun segar dan rumput hijau setelah tadi mereka melalui dataran terbuka yang panas. Matahari telah naik tinggi dan matahari berada di atas kepala, tetapi karena daun-daun pohon di hutan itu rimbun sekali, seolah-olah menjadi payung-payung hijau raksasa yang melindungi pangeran dari sengatan terik matahari siang itu.
Tiba-tiba terdengar seekor kuda yang berada di depan kiri meringkik, meronta lalu kuda itu roboh. Semua pengawal sibuk dan terkejut melihat kuda itu roboh karena dadanya tertancap anak panah secara dalam sekali, mungkin menembus jantungnya.
“Kepung kereta!”
“Lindungi Pangeran!” teriak Souw Kee An dan dia cepat mengatur pasukannya untuk mengepung dan menjaga kereta.
Pangeran itu duduk tenang-tenang saja tanpa menutupkan jendela-jendela keretanya, menoleh ke kanan kiri untuk melihat siapa orangnya yang telah memanah mati seekor di antara empat ekor kuda yang menarik keretanya.
Gerakan mereka itu bagaikan bayang-bayang setan saja, tidak banyak menimbulkan suara, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi. Mereka itu terdiri dari dua puluhan orang, semua memakai pakaian serba hitam dan kedua mata serta sebagian atas hidung mereka tertutup kedok hitam pula, menyembunyikan bentuk wajah asli mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun dapat menduga bahwa beberapa orang di antara mereka adalah wanita-wanita.
Dan seorang di antara mereka, dengan suara wanita melengking tinggi lalu membentak, “Tinggalkan kereta dan barang-barang kalau kalian ingin selamat!”
Ini adalah bentakan biasa yang umumnya dipergunakan oleh para perampok-perampok. Orang-orang berkedok ini ternyata adalah perampok-perampok, atau mungkin juga orang-orang yang menyamar, pikir Souw Kee An yang cerdik dan telah berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati sekali.
“Sobat, bukalah matamu baik-baik!” teriaknya nyaring. “Kami adalah Pasukan Pengawal Garuda yang sedang mengiringkan Yang Mulia Pangeran Mahkota! Harap kalian suka menyingkir dan tidak mengganggu kami yang sedang bertugas!” Teriakan ini diucapkan oleh Souw-ciangkun bukan karena dia takut menghadapi mereka, hanya dia tidak ingin terlibat dalam pertempuran selagi mengawal dan menjaga keselamatan pangeran.
Akan tetapi wanita berkedok itu berseru nyaring, “Pangeran atau Raja atau siapa saja harus membayar pajak jalan kalau lewat di sini! Kawan-kawan, hayo tangkap pangeran itu untuk minta uang tebusan!”
Melihat lagak para perampok yang dipimpin oleh wanita itu, dan mendengar betapa mereka hendak menangkap seorang pangeran mahkota untuk meminta uang tebusan, tiba-tiba pangeran itu tidak dapat menahan ketawanya. Keadaan itu dianggapnya amat lucunya.
“Ha-ha-ha-ha! Kalian bukan saja menyaingi pemerintah memungut pajak jalan, bahkan akan menawan pangeran untuk dijadikan sandera guna memeras uang tebusan. Bukan main…. ha-ha-ha, bukan main!”
Semua perampok berkedok sejenak tertegun menyaksikan sikap pangeran itu. Seorang pangeran muda yang berwajah tampan dan memiliki sepasang mata yang amat tajam dan penuh wibawa, dengan suara ketawa wajar dan ramah, bukan dibuat-buat, dengan sikap yang benar-benar mencengangkan. Mereka menduga bahwa tentu pangeran itu ketakutan, ternyata pangeran itu sama sekali tidak takut bahkan tertawa geli.
“Serbu....!” Wanita berkedok itu berteriak nyaring memecahkan keheranan para anggota perampok dan mereka pun menerjang ke depan, disambut oleh pasukan pengawal yang sudah turun dari masing-masing kudanya dan menjaga di sekeliling kereta itu.
Para pengawal ini merupakan pasukan pilihan, masing-masing memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dengan gagah mereka menyambut serbuan para perampok itu, dengan keyakinan bahwa dalam waktu singkat saja mereka akan mampu membasmi para perampok itu. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka mendapat kenyataan bahwa para perampok itu ternyata bukanlah perampok-perampok biasa karena rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang tangguh dan mampu menandingi mereka!
Souw Kee An juga terkejut bukan main ketika dia menandingi wanita berkedok yang memimpin gerombolan itu. Wanita itu mempergunakan pedangnya secara hebat sekali, sama sekali tidak pantas menjadi perampok kasar biasa! Memang Souw Kee An sudah curiga dan menduga bahwa perampok-perampok yang tidak gentar mendengar nama Pasukan Pengawal Garuda dan berani merampok bahkan hendak menculik pangeran mahkota tentulah bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok biasa! Maka dia pun memutar pedangnya dan melawan wanita berkedok itu.
Akan tetapi hatinya mulai gelisah melihat betapa di antara para perampok itu terdapat wanita-wanita yang amat lihai dan anak buahnya mulai terdesak hebat, bahkan ada pula yang sudah terluka. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi mengkhawatirkan keselamatan pangeran mahkota, maka dia pun cepat-cepat meninggalkan lawan untuk meloncat ke dekat kereta, guna melindungi pangeran sampai titik darah terakhir kalau perlu.
“Pangeran, harap sembunyi di dalam kereta, tutup pintu dan jendelanya!” teriak Souw Kee An sambil memutar pedang melindungi.
Namun pangeran itu hanya tersenyum dan menonton mereka yang sedang berkelahi, seolah-olah semua pertempuran itu baginya hanya merupakan perang-perangan saja! Hal ini bukan sekali-kali menjadi tanda bahwa pangeran itu tolol atau ceroboh, sama sekali bukan, melainkan karena dia tahu bahwa bersembunyi di dalam kereta pun tiada gunanya. Kalau memang semestinya dia menghadapi bahaya, atau tewas sekali pun, biarlah dia menyaksikan terjadinya hal itu dengan mata terbuka! Dan pangeran ini pun tahu bahwa tidak ada orang yang akan membunuhnya. Tiada alasannya untuk hal itu. Mungkin mereka itu hanya ingin menawannya, dan mungkin perampok-perampok gila itu benar-benar hendak menggunakannya sebagai sandera untuk minta uang tebusan! Betapa lucu dan aneh, juga menarik dan menegangkan hatinya!
Akan tetapi kini dua di antara para wanita tangguh itu telah berada dekat kereta dan mendesak Souw Kee An dan dua orang anak buahnya yang menjaga kereta. Keadaan menjadl kritis dan berbahaya sekali! Tiba-tiba, setelah menangkis pedang Souw Kee An dan membuat komandan itu terhuyung, salah seorang di antara wanita-wanita itu sudah meloncat ke atas kereta dan tangan kirinya bergerak menyambar hendak menangkap Pangeran Kian Liong.
“Wuuuttt, plakkk....!”
Tiba-tiba di atas kereta itu nampak seorang laki-laki tinggi besar bermata satu yang melayang turun dari pohon dan menangkis tangan wanita itu. Wanita itu terkejut, akan tetapi pria tinggi besar itu sudah menyerangnya dengan sebatang golok tipis. Terpaksa wanita itu menangkis dan terjadilah pertandingan yang amat seru di atas kereta.
Pangeran Kian Liong dengan mata terbelalak dan wajah berseri menjulurkan kepalanya dari jendela untuk dapat menyaksikan pertandingan baru di atas keretanya itu. Kereta itu bergerak-gerak. Sungguh luar biasa sekali pangeran ini. Nyalinya amat besar dan dia sedikit pun tidak merasa takut, bahkan dalam keadaan yang demikian mengancam dia masih mampu untuk tersenyum gembira seperti seorang anak kecil melihat tontonan yang menarik!
Pertempuran di bawah kereta juga mengalami perubahan dengan munculnya dua orang pria yang bukan lain adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, yaitu kakak beradik Ciong Tek dan Ciong Lun yang mengamuk, membantu pasukan pengawal tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Mereka berdua menggunakan senjata toya (tongkat) dan memainkan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang memang terkenal tangguh itu.
Keadaan pertempuran menjadi berubah dan para anak buah pasukan pengawal kini memperoleh semangat mereka kembali, mereka mengamuk dan kini mendesak para perampok. Sedangkan pertempuran antara Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan wanita berkedok di atas kereta pun berlangsung dengan amat serunya. Ternyata wanita itu memang tangguh sekali sehingga dia dapat mengimbangi permainan golok dari kakek mata satu itu. Hanya dorongan-dorongan tangan kiri kakek itulah yang membuat wanita berkedok itu kewalahan, karena memang dari dorongan itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat dan itulah sebabnya maka Si Mata Satu ini diberi julukan Tangan Sakti. Kini ada beberapa orang perampok yang roboh terluka dan semangat para pengawal menjadi semakin besar dengan adanya bantuan tiga orang gagah yang tidak mereka kenal itu.
Selagi keadaan amat tidak menguntungkan untuk para perampok ini, tiba-tiba muncul seorang anggota perampok lainnya yang juga berpakaian hitam dan memakai topeng. Perampok ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Begitu perampok ini muncul, sekali meloncat dia sudah tiba di tengah-tengah pertempuran itu dan begitu kaki tangannya bergerak, ada tiga orang pengawal yang terpelanting. Hebat bukan main kepandaian kakek raksasa ini! Semua pengawal mencoba untuk mengeroyoknya, akan tetapi siapa yang berani datang mendekat tentu akan terlempar lagi, hanya oleh tamparan tangan atau tendangan kaki sembarangan saja!
Melihat betapa hebatnya kakek ini, Ciong Tek dan Ciong Lun kemudian meloncat dan menyerang kakek itu dari kanan kiri, menggunakan toya yang mereka mainkan dengan dahsyatnya. Namun, melihat gerakan toya ini, kakek raksasa itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah memandang rendah, lantas kedua tangannya berusaha menangkap toya. Ketika dua saudara itu menarik toya agar tidak terampas, kakek itu menampar ke kanan kiri, gerakannya biasa saja akan tetapi dari tamparannya ini datang angin keras yang hebat. Dua orang saudara Ciong terkejut dan menangkis dengan hantaman toya sekuatnya. Dua batang toya bertemu dengan dua buah lengan.
“Dukkkk! Dukkkk!” Akibatnya, kedua orang saudara Ciong itu terpelanting dan roboh bergulingan seperti daun kering tertiup angin!
Kini kakek itu melayang ke atas kereta dan dengan sebuah tendangan saja, Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw yang sedang bertanding dengan serunya melawan perampok wanita, telah terlempar dari atas kereta karena ketika dia menangkis dengan lengan kiri, tendangan itu memiliki tenaga yang membuat dia terlempar! Wanita itu sudah mengejar dan meloncat sambil membacokkan pedangnya.
“Cringgg!”
Untung bagi Liong Bouw bahwa ketika dia terjatuh tadi, dia berjungkir balik dan tidak terbanting jatuh telentang, kemudian menggunakan pinggulnya menyentuh tanah, terus bergulingan sehingga ketika wanita itu menyerangnya, dia mampu menggerakkan golok menangkis lantas melompat berdiri dan kembali dia menghadapi serangan wanita itu. Hatinya gelisah sekali karena di pihak musuh muncul orang tinggi besar itu yang tidak turun lagi dari atas kereta. Mengapa?
Karena ternyata tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari belakang kereta itu nampak seorang jembel mendaki sambil tertawa-tawa memandang kepada Si Tinggi Besar yang menjadi terkejut sekali oleh karena suara ketawa itu mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantungnya! Tahulah dia bahwa jembel yang rambutnya awut-awutan dan mukanya brewokan ini mempunyai kepandaian hebat dan tentu saja hendak membela pangeran. Maka dia pun tidak membuang banyak waktu lagi, cepat mengirim hantaman dengan tangan kanan dan disusul tangan kiri. Terdengar suara angin bercuitan saking hebatnya pukulan kedua tangan itu.
“Heh-heh-heh, hebat juga engkau!” kata Si Jembel itu, mulutnya memuji akan tetapi dia tertawa saja dan kedua tangannya kemudian menangkis sambil mengerahkan tenaga. Agaknya Si Jembel ini memang hendak mengukur tenaga orang.
“Desss! Dessss!”
Akibat dari adu tangan melalui kedua lengan mereka itu membuat keduanya terkejut karena Si Jembel itu terhuyung dan nyaris terlempar dari atas kereta, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu pun terjengkang dan hampir jatuh! Kereta itu berguncang hebat dan Si Kusir Kereta sibuk menenangkan tiga ekor kuda yang semenjak tadi sudah menjadi panik itu. Akhirnya kusir itu meloncat turun, dan cepat melepaskan tali yang menghubungkan tiga ekor kuda itu dengan kereta. Tiga ekor kuda itu meringkik-ringkik, menyepak-nyepak karena mereka dibebani seekor kuda yang sudah mati. Akan tetapi kereta itu sudah terlepas sekarang dan berdiri bergoyang-goyang karena di atas kereta itu, Si Jembel dan Si Tinggi besar sudah bertanding lagi dengan hebatnya!
Si Jembel itu tentu saja bukan lain adalah Si Jari Maut, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu tentu saja amat lihai karena dia itu adalah Sam-ok alias Ban-hwa Sengjin, bekas koksu dari Nepal, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok yang amat lihai! Seperti kita ketahui, setelah memperoleh keterangan tentang Syanti Dewi dari pelukis Pouw Toan, Wan Tek Hoat lalu melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan pada hari itu kebetulan sekali dia tiba di tempat itu dan melihat betapa pangeran mahkota terancam perampok-perampok.
Tadi, selama para pengawal masih menang angin, apalagi saat dibantu oleh tiga orang kang-ouw yang perkasa itu, dia pun hanya nonton saja dari jauh. Akan tetapi ketika muncul perampok tinggi besar yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tidak tinggal diam dan cepat dia melindungi pangeran dan naik ke atas kereta untuk menghadapi perampok tinggi besar yang dia tahu tak dapat ditandingi oleh mereka yang melindungi pangeran.
Pertandingan antara Si Jari Maut melawan Sam-ok sungguh hebat sekali, dan harus diakui bahwa kakek itu memang masih lebih lihai dibandingkan dengan Si Jari Maut. Ban-hwa Sengjin adalah seorang datuk kaum sesat yang mempunyai ilmu kepandaian amat hebatnya. Pendeta yang nama aslinya adalah Pendeta Lakshapadma ini, yaitu nama Nepal, selain memiliki banyak ragam ilmu silat yang pernah dipelajarinya, juga memiliki sinkang yang sukar ditandingi saking kuatnya.
Dia pun memiliki ilmu yang disebut Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ilmu ini dimainkan dengan berpusing, yaitu tubuhnya berputaran seperti gasing amat cepatnya hingga sukarlah bagi lawan untuk mengarahkan serangan mencari sasaran, sedangkan dari tubuh yang berpusing itu kadang-kadang mencuat keluar serangan yang tidak terduga-duga dari orang tinggi besar seperti raksasa itu.
Karena Sam-ok memakai kedok dan bercampur dengan para perampok, juga karena tidak berani mengeluarkan ilmunya Thian-te Hong-i yang sudah dikenal dunia kang-ouw karena dia takut jika ketahuan rahasianya sebagai pimpinan yang menyerang pangeran mahkota, maka Tek Hoat tidak mengenalnya. Sebaliknya, Sam-ok tadinya juga tidak mengenal jembel itu, akan tetapi setelah bertanding belasan jurus dan mengadu tenaga, mulailah dia mengenal Si Jari Maut.
Dia merasa mendongkol sekali terhadap orang muda ini. Namanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh kaum sesat, bahkan dijuluki Si Jari Maut yang terkenal kejam dan ganas, tetapi sudah beberapa kali sepak terjangnya malah membantu pemerintah, membantu para pendekar dan menentang kaum yang dinamakan golongan hltam. Sekarang, tanpa disangka-sangka, orang ini muncul kembali dan menentangnya tanpa alasan apa pun juga! Tak mungkin kalau Si Jari Maut ini sekarang menjadi pelindung pangeran, apalagi kalau dilihat betapa hidupnya sudah rusak, menjadi jembel yang sama sekali tidak mengurus diri dan jelas nampak sengsara dan terlantar itu!
Maka Sam-ok mendongkol bukan main dan terus menyerang dengan hebat. Akan tetapi semua serangannya mampu ditangkis dan ditolak oleh Tek Hoat dan selama Sam-ok tidak berani mengeluarkan Thian-te Hong-i, dia pun tidak dapat mendesak Si Jari Maut ini.
Kembali kedua tangan mereka bertemu, saling dorong dan keduanya menggunakan kekuatan pada kedua kaki mereka.
“Krekekkk....!”
Mendadak atap kereta yang mereka injak itu retak-retak dan pecah, tetapi keduanya dengan cepat sudah meloncat turun sehingga tidak sampai kejeblos, karena kalau hal ini terjadi, tentu amat berbahaya bagi mereka selagi menghadapi lawan yang selihai itu. Hampir saja Pangeran Kian Liong celaka ketika atap kereta pecah itu. Akan tetapi untungnya komandan pengawal Souw Kee An sudah cepat menyambar tubuhnya turun dari kereta. Kiranya, ketika terjadi pertempuran antara Sam-ok melawan Si Jari Maut, pertempuran di bawah kereta banyak yang terhenti dan mereka yang tadi bertempur kini menonton pertandingan yang amat dahsyat itu.
Sam-ok bukanlah seorang bodoh. Kalau pertempuran itu dilanjutkan dan menjadi pusat perhatian, akhirnya orang akan mengenalnya juga. Dan melawan Si Jari Maut itu tanpa mempergunakan Thian-te Hong-i, sungguh bukan merupakan hal ringan, sedangkan para pembantunya sudah kewalahan menghadapi pasukan pengawal yang dibantu oleh tiga orang pendekar itu. Maka dia pun lalu mengeluarkan bunyi teriakan nyaring sebagai tanda rahasia bagi anak buahnya dan mereka semuanya lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka atau tewas dalam pertempuran itu. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi Souw Kee An yang tidak berani meninggalkan pangeran segera mengeluarkan aba-aba memanggil mereka kembali.
Setelah semua orang berkumpul, dan dicari-cari, ternyata tiga orang pendekar yang tadi membantu mereka kiranya sudah tidak nampak lagi. Mereka mengira bahwa tiga orang pendekar itu tentu melakukan pengejaran, akan tetapi sesungguhnya mereka sudah cepat menyingkirkan diri karena memang mereka tidak ingin memperkenalkan diri dan hanya melindungi pangeran secara sembunyi saja. Hanya jembel yang tadi bertanding dengan hebatnya melawan perampok tinggi besar yang lihai itu, masih berada di situ, diam saja dan sikapnya tak acuh. Souw Kee An mengumpulkan orang-orangnya dan ternyata ada dua orang yang terluka berat sedangkan selebihnya hanya terluka ringan saja.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong sudah menghampiri Tek Hoat. Sejenak pangeran ini memandang penuh perhatian dan dia melihat bahwa jembel ini sebetulnya memiliki wajah yang gagah dan tampan, hanya muka itu tertutup cambang brewok yang tak terpelihara, juga rambutnya yang panjang awut-awutan itu menutupi sebagian mukanya. Tubuh jembel itu juga nampak tegap dan membayangkan tenaga tersembunyi yang hebat. Tahulah dia bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang pendekar yang hidup mengasingkan diri dan bersembunyi sebagai seorang jembel yang sengsara. Namun diam-diam pangeran ini merasa heran, mengapa orang yang begini gagah perkasa membiarkan dirinya begitu menderita dan terlantar.
“Terima kasih atas pertolonganmu, Taihiap. Bolehkah kami mengenal dan mengetahui namamu yang terhormat?” Pangeran itu sudah menegur dengan sikap ramah dan halus.
Wan Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dan sejenak mereka saling pandang. Keduanya terkejut karena kalau pangeran itu menatap sepasang mata yang mencorong penuh kekuatan, sebaliknya Tek Hoat melihat sepasang mata yang bersinar lembut namun mengandung wibawa yang membuat setiap orang akan tunduk hatinya. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.
“Paduka adalah seorang pangeran yang terhormat dan mengagumkan, sedangkan saya hanyalah seorang jembel hina yang tidak pantas dikenal oleh Paduka. Selamat tinggal dan maafkan saya!” Setelah berkata demikian, kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat lalu berkelebatlah dia dan lenyap dari tempat itu!
Souw Kee An yang menyaksikan semua ini, cepat mendekati pangeran dan berkata lirih, “Pangeran, sungguh Thian telah selalu melindungi Paduka. Orang yang seperti pengemis tadi tentulah seorang di antara pendekar-pendekar sakti. Kepandaiannya hebat bukan main.”
Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu menggumam, “Aku kasihan kepadanya....”
Souw Kee An merasa amat heran, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya karena pangeran itu seperti bicara pada diri sendiri, maka dia melanjutkan keterangannya, “Dan perampok-perampok itu jelas bukan perampok biasa. Wanita-wanita bertopeng itu amat lihai, apalagi perampok yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, dia memiliki ilmu yang luar biasa. Syukurlah bahwa Thian masih selalu melindungi Paduka.”
Namun pangeran itu tidak kelihatan seperti orang yang baru saja terlepas dari bahaya maut, tidak menjadi lega dan bersyukur seperti komandan pasukan pengawalnya. Dia hanya berkata dengan nada suara gembira, “Ah pengalaman yang mengasyikan sekali tadi itu!”
Kuda yang mati terpanah itu diganti kuda lain dan biar pun atas kereta itu sudah rusak, namun kereta itu masih dapat berjalan. Perjalanan dilanjutkan dan lewat tengah hari mereka tiba di pantal laut. Ternyata tempat itu, pantai laut dekat muara Sungai Huai, sudah ramai dengan orang-orang yang hendak menyeberang ke Kim-coa-to. Dan di situ telah tersedia sebuah perahu besar yang indah, perahu milik majikan Pulau Kim-coa-to yang sengaja dikirim ke situ untuk menyambut pangeran!
Ouw Yan Hui, majikan Pulau Kim-coa-to, adalah seorang wanita yang amat kaya-raya. Di pulau itu sendiri, terutama di dalam gedung yang seperti istana dan amat besar itu, tidak ada seorang pun laki-laki. Semua pelayannya adalah wanita belaka, wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia tidak mempunyai pembantu-pembantu pria. Mereka itu ada banyak, akan tetapi mereka adalah yang bekerja di bagian luar, yang mengurus perahu, berjaga di tepi pulau dan sebagainya. Tanpa seijin Ouw Yan Hui, tidak boleh mereka itu memasuki gedung, kecuali para penjaga kalau memang ada keperluan penting.
Perahu besar yang dikirim untuk menjemput Sang Pangeran itu lengkap dengan anak buahnya, sebuah perahu yang indah dan kokoh kuat. Para anak buahnya berbaris dengan rapi dan pemimpin mereka menyambut Sang Pangeran dengan hormat dan mempersilakan Sang Pangeran untuk segera menaiki perahu.
Akan tetapi, tidak semua pengawal dapat naik ke perahu itu, karena jumlah mereka terlalu banyak. Maka, hanya Sang Pangeran bersama Souw Kee An dan dua orang pembantunya yang dapat naik ke perahu itu, sedangkan delapan belas orang pengawal lain, termasuk yang terluka, terpaksa harus mengikuti perahu itu dengan perahu lain. Kehadiran Sang Pangeran di situ menjadi tontonan. Mereka yang juga hendak pergi ke Kim-coa-to turut menonton pula dan diam-diam di antara mereka itu yang mempunyai niat mempersunting Sang Puteri di Kim-coa-to menjadi kecil hatinya melihat kehadiran pangeran mahkota. Mana mungkin mereka bersaing melawan pangeran mahkota dari kerajaan? Perbandingan yang tidak adil sama sekali…..
Setelah perahu besar indah itu bergerak dan mulai berlayar, maka perahu-perahu lain juga mulai meninggalkan pantai dan beberapa buah perahu di antara mereka sengaja berlayar dekat-dekat dengan perahu besar itu, agaknya untuk ‘membonceng’ kebesaran Sang Pangeran. Ada pula beberapa perahu layar kecil, yaitu perahu-perahu nelayan biasa yang berlayar untuk mencari ikan dan tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan keramaian pesta yang diadakan di Pulau Kim-coa-to.
Setelah perahu berlayar, hati Komandan Souw Kee An merasa lega sekali. Setidaknya, pangeran yang dikawalnya sudah aman sekarang sampai tiba di pulau itu. Akan tetapi, kalau sudah tiba di pulau itu berarti pihak majikan pulau yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dan mengingat akan kelihaian pemilik pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu, dan betapa tentu akan banyak berkumpul orang-orang pandai, kiranya tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran di pulau itu. Sekarang Souw Kee An dapat duduk dengan hati lega, melihat betapa pangeran itu memandang ke arah air laut yang bergelombang dan berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agar miring ke barat.
Dia melihat ada dua buah perahu nelayan terlalu mendekati perahu besar akan tetapi tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di dalam perahu dan perahu besar itu mulai oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar perahu yang tiba-tiba saja bocor!
“Ada orang melubangi dasar perahu!” terdengar para anak buah perahu berteriak-teriak dan sibuklah mereka.
Perahu itu terguncang dan oleng, dan pada saat itu, dari perahu-perahu nelayan tadi berloncatanlah ke atas perahu besar itu orang-orang berpakaian ringkas dengan muka bertopeng lagi! Tentu saja Souw Kee An cepat-cepat menyambut dan dengan sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan seorang di antara mereka kembali ke bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi anak buah perahu besar itu bukanlah lawan orang-orang yang berloncatan ke atas perahu.
“Hai, apa yang kau lakukan ini? Lepaskan aku!” terdengar Sang Pangeran membentak.
Souw Kee An menoleh dan kaget melihat Sang Pangeran sudah diringkus oleh seorang bertopeng. Dia meloncat untuk menolong, akan tetapi perahunya miring tiba-tiba dan dia pun terguling, untung ke dalam perahu, tidak keluar! Dan pada saat itu, pangeran sudah dibawa loncat oleh penangkapnya tadi ke atas perahu nelayan kecil itu. Lalu terdengar suitan-suitan dan semua orang bertopeng berloncatan ke atas dua perahu nelayan kecil itu yang segera di dayung pergi dan terbawa oleh layar mereka yang berkembang.
“Kejar....!” Souw Kee An meloncat ke arah perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya yang tadi hanya menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
Loncatan yang barusan dilakukan oleh Souw Kee An adalah loncatan yang jauh dan berbahaya, oleh karena kurang jauh semeter saja dia tentu akan terjatuh ke air yang bergelombang. Juga anak buah perahu besar sudah cepat dapat menggunakan alat untuk membuang semua air yang masuk ke dalam perahu dan menambal dasar perahu yang bocor, dan ternyata dibor dari bawah perahu itu.
Akan tetapi pada saat itu, para penjahat yang menculik pangeran itu melepaskan anak panah berapi ke arah perahu yang ditumpangi para pengawal yang mengejar dua perahu nelayan, juga layar dari perahu besar menjadi sasaran. Dalam beberapa menit saja layar-layar itu terbakar dan perahunya tentu saja tidak dapat maju cepat kalau hanya dengan kekuatan dayung pada saat air berombak besar seperti itu. Souw Kee An membanting-banting kakinya melihat betapa dua perahu nelayan kecil itu dengan cepatnya berlayar kembali ke daratan, membawa pangeran yang dikawalnya.
“Celaka, hayo lekas kembali ke darat!” bentaknya berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu mendayung. Peristiwa ini menggegerkan keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu lain menjadi ketakutan, ada yang melanjutkan perjalanannya ke Kim-coa-to, ada pula yang ikut kembali ke darat!
Dua buah perahu nelayan kecil itu dapat berlayar amat cepatnya, sedangkan perahu-perahu lainnya hanya maju perlahan-lahan. Ada dua perahu layar lain yang mencoba mengejar, tetapi mereka ini pun dilumpuhkan oleh anak panah berapi yang mambakar layar mereka.
Setelah tiba di daratan, Souw Kee An yang wajahnya menjadi pucat itu hanya dapat menemukan dua perahu nelayan tadi sedangkan semua penjahat itu lenyap, membawa pangeran bersama mereka. Dapat dibayangkan betapa bingung hati Souw Kee An. Dia cepat mengatur pasukannya untuk mencari-cari Sang Pangeran, bahkan dia kemudian mengutus seorang anak buah untuk minta bantuan pasukan dari kepala daerah di kota Tung-king untuk membantu mencari pangeran yang terculik orang. Betapa pun dia hendak merahasiakan lenyapnya pangeran yang terculik ini, namun karena peristiwa itu disaksikan oleh banyak orang luar, sebentar saja berita itu tersiar ke mana-mana dan tentu saja sekeliling daerah Tung-ting menjadi gempar.
********************
Biar pun dia tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian Liong tak pernah berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu dengan cerdiknya membakar layar-layar dari perahu yang mengejar.
“Kalian sungguh cerdik!” dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal yang baik sekali dipergunakan dalam perang lautan, sungguh pun anak panah berapi itu tentu saja belum dapat disamakan dengan meriam-meriam kapal-kapal asing dari dunia barat. Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran itu dan dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan dengan naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.
“Biarkan aku menunggang kuda sendiri!” katanya.
Para penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu meloncat ke atas punggung kuda dan segera ikut pula membalapkan kuda dengan hati gembira. Dia benar-benar mengalami peristiwa yang amat menegangkan hatinya, sebab belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh.
Penjahat-penjahat ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin diculik dengan segala susah payah itu. Alangkah akan mudahnya membunuh dia di perahu tadi! Kalau para penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal itu berarti bahwa mereka membutuhkan dirinya hidup-hidup! Inilah yang membuat dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda seolah-olah membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.
Yang melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-laki yang kini berani membuka kedok mereka, bahkan mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi melainkan berpakaian sebagai orang-orang biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka. Akan tetapi orang yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang bertugas melarikan pangeran itu, berkata dengan suara hormat akan tetapi mengandung ancaman yang sungguh-sungguh, “Pangeran, kami hanya melakukan tugas saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke sana besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami pun tidak akan berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak dan mengaku pangeran, tentu kami tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri kami sendiri.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula, perlu apa dia berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia diam-diam juga memuji cara mereka ini melarikannya, karena rombongan yang tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi. Rombongannya membawanya ke utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke segala jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk menyesatkan para pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa, sedangkan pakaiannya yang mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.
Malam itu mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau jalannya sukar dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Pada keesokan harinya, dalam keadaan yang cukup lelah akan tetapi tidak melenyapkan semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan pengalamannya ini, Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki sebuah bukit. Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara penghuni dusun yang dapat menduga bahwa di antara keenam penunggang kuda itu, yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota! Dengan berpakaian seperti ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguh pun saat ini dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai seorang tawanan.
Rombongan itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti Su-bi Mo-li dan dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok! Sang Pangeran disambut oleh dua orang wanita cantik yang bersikap manis. Mereka memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke dalam sebuah kamar di mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman.
Pangeran Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan minum, lalu beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia terkejut sekali melihat dirinya sedang dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang sangat tipis sehingga nampak jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu. Mereka itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang memikat dan mencumbu.
Akan tetapi Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk kemudian berteriak, “Apa artinya semua ini? Aku tak membutuhkan perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari sini!”
Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapa pun juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak, “Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”
Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, hanya meninggalkan bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.
“Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura dengan hormat.
“Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau menerima kebaikan dari kami.”
“Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kau anggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susah-payah menculik dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa tujuan kalian hendak minta uang tebusan?”
“Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang.” Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman.
Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka masih menyembunyikan kehendak mereka yang sebenarnya?
Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, dan tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah sering kali dia diselamatkan oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu. Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!
“Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran. Kita suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Su-ok tertawa-tawa dan berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kau bawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling.
“Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana,” jawab Si Mata Juling.
Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah susah payah membawa tujuh orang pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orang-orang penting melihat serta ‘menangkap basah’ pangeran itu sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh hal ini merupakan siasat yang amat keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.
Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, lalu diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir yang sering dikunjungi kaum hidung belang dari kota-kota di sekitarnya!
Akan tetapi mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, “Manusia-manusia jahat, lepaskan Pangeran!”
Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang pendekar ini kemudian menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega.
Ketika mereka sedang mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, namun karena yang dikejar itu menunggang kuda semalam suntuk, maka mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika melihat Pangeran digandeng oleh banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, dan pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.
Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata, “Ngo-suhu dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami berempat yang menghajar tikus-tikus ini!”
“Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan Pangeran dan menariknya pergi.
“Ehh, ehhh.... hemm, biarkan aku menonton pertandingan ini....,” Sang Pangeran yang setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju.
Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.
“Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita baju kuning yang tadi bicara, tetapi hatinya penuh penasaran serta gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu.
Meski dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, tetapi nama besar datuk-datuk kaum sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Mata Satu ini sudah terdesak dengan hebat.
Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah.
Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimana pun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu.
Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung bagaikan orang mabok dengan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang sedang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan bercucuran darah.
“Heii, berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang.
Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.
“Dess....!” Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan.
Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang terdiri dari seorang pria setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring, “Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!”
Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biar pun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh.
“Cringgg....!”
Pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat dari gading.
“Omitohud, di tengah hari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!”
Su-bi Mo-li segera memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang aneh.
A-hui marah sekali. “Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau mampus di ujung pedangku!”
Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. “Amithaba, kalau engkau dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!”
A-hui berteriak nyaring dan menyerang. Nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.
A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus.
“Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kau lawanlah aku, Iblis betina!” wanita itu memaki sembarangan saja, namun hal ini sangat menusuk perasaan A-kiauw oleh karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).
“Mampuslah!” dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu.
Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu. Dan dengan alis berkerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!”
Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak mengenal wanita itu. “Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?”
Wajah Su-ok dan Ngo-ok berubah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, Toaso dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak nampak keluarga Cu yang sakti di situ.
Ada pun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak mereka.
Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu adalah Nandini, bekas panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu!
Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Namun melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demikian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu!
Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.
“Siapakah engkau?” Tanya Ngo-ok tanpa melepas pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok juga tetap memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.
Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. Walau pun dia pernah menjadi seorang pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat sana, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya.
“Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu,” kata Bu-taihiap dengan suara tenang.
Su-ok tertawa. Dia lebih tenang dari pada saudaranya. “Ehhh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?”
Bu-taihiap menggeleng kepala. “Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia.”
Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat luar biasa, demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh wanita-wanita itu!
Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana, berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka sekarang dia tak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu!
Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja. Akan tetapi tak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini.
Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya, tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut, hanya dia harus bersikap cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal yang baik sekali!
“He, sobat, engkau tak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau mengenal dulu siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!”
Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, tetapi sedikit pun tidak nampak perubahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia.”
“Kalau kami tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum.
Bu-taihiap tertawa. “Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.”
“Ha, sobat, bagaimana jadinya kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini menggunakan gertakan.
Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang telah dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti seluruh percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. “Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! Heiii, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kau kira hidup lebih enak dari pada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!”
Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat diucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.
“Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah sebaiknya kita menggunakan dia sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap.
“Taruhan?” Sekarang Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari ‘atas’ dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.
“Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?”
Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah jelas mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?
“Hemmm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!” kata Ngo-ok marah.
“Ha-ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun sudah tidak bisa lagi mempertahankan kepalaku. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!”
Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin benar akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka hanya memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh dan dengan hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.
Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, “Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Marilah kita layani dia.”
Mereka kemudian mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang tidak mempedulikan Sang Pangeran sama sekali, maka tiada gunanya untuk mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera.
Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir, dengan harapan akan mampu menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan bisa melanjutkan siasat mereka merusak nama baik pangeran.
Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biar pun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat-cepat dia melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. “Nah, kalian mulailah!” tantangnya sambil tersenyum.
Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.
“Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama,” medadak Su-ok berkata untuk membalas pandangan ringan itu. “Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!”
Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. “Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya she-ku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.”
Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?
“Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!”
Bu-taihiap merasa disindir. Permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu agaknya telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.
“Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi.
Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.
Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan dua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!
Biar pun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga-duga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas!
Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigap sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.
“Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi semakin pendek mau merubah diri menjadi katak, dan yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!” Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah.
Tadi dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi tepat mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar bagi dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga telah mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!
Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, tetapi sudah berbeda dari aslinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, namun juga tak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal.
Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sinkang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.
Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia betul-betul mengenal, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, “Apakah kalian hendak terus melawak di sini?”
Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok!
Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara.
“Kekkk!” dan tengkuknya sudah dicekik kuat.
Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan sekarang tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biar pun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!
Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan dua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.
“Heii, hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.
“Heii, apa ini....?” Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan dua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.
“Plakkk!” Kedua tangannya seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.
“Brukkk....!” Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih.
Kiranya saat Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia ‘berdiri’ di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tindih seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.
“Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!”
“Bedebah!” bentak Su-ok.
“Keparat sombong!” Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas dari pada tadi.
Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah!
Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk bersila. Mana ada orang berkelahi dengan cara duduk bersila seperti arca? Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya.
Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, oleh karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, lantas dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mukjijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah.
Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa.
Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biar pun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan dua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya.
Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.
Ketika kedua orang lawannya itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat. Dari perutnya keluar bunyi dan melalui mulutnya dia mengeluarkan suara melengking.
“Hiiaaaattt....!” Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.
“Dessss! Dessss!”
Akibatnya hebat luar biasa. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biar pun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang serta terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!
Sekarang tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, “Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!”
Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sial karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!
“Ha-ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!” Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar.
Melihat ini, Bu-taihiap segera menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap lalu merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran segera menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran ketika melihat seorang pria setengah tua sedang membersihkan bibir dan dagunya dengan sapu tangan.
“Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran.”
Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. “Ahh, apa yang terjadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini? Mana mereka yang telah menculikku tadi?”
“Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat.”
Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. “Benar, kulihat engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aihhh, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... adalah wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini?”
Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan. “Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan semua mereka ini adalah keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga. “Mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba.” Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat.
“Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh....“ Sang Pangeran memuji.
Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Ketika melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. “Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat.”
Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun. “Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!”
Souw Kee An terkejut sekali dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. “Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang sudah menyelamatkan Sang Pangeran.”
Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, oleh karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran.
Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, lalu Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, “Pangeran, hamba kira sangat tepat ucapan Souw-ciangkun ini, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapa pun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka.”
Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya lalu mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang cukup mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Pulau Kim-coa-to.
Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa.
Manusia agaknya merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam dari pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tak dapat terjangkau oleh alam pikirannya. Kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, bintang-bintang, dan dunia, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak mau pun yang tidak.
Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa dari pada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau pun tradisi atau agama masing-masing.
Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah selalu mempersiapkan di bibir sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?
Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Akan tetapi pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita selalu lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu.....
Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya. Kita agungkan sebutannya belaka hingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku. Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan demikian selanjutnya.
Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan? Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah? Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan sebagainya.
Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi akibat dari pada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu. Kenapa demikian? Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan?
Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya? Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata sebenarnya, yaitu manusia yang berperi kemanusiaan?
Manusia ber-Tuhan, berperi kemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperi kemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkinlah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya.
Kalau pun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan, maka itu hanya ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula. Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing? Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masing-masing? Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan.
Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil? Apa artinya kalau hanya mulut mengaku berperi kemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lainnya? Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani!
“Harap Paduka suka hati-hati karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan berbahaya sekali. Karena itu, sebaiknya jika Paduka memperoleh pengawalan yang kuat,” Bu-taihiap memberi nasehat.
Pangeran itu tertawa. “Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to.”
“Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka.”
“Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana.”
“Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?”
Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. “Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!” Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik.
Tidak mengherankan apa bila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tidak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biar pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tidak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar!
Memang yang dinamakan nafsu, apa pun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tidak pernah mengenal puas. Itulah nafsu! Oleh karena itu, sekali kita menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.
“Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung....” Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari ketiga orang isterinya! “Ehhh.... ohhh berkunjung ke sana mengawal Paduka....,” sambungnya cepat.
“Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?!” Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.
“Huh, tak ada puasnya!” sambung Gu Cui Bi.
“Dasar mata keranjang!” Nandini juga mengomel.
Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berubah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, “Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah cukup banyak dan kurasa mereka tak akan berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi.”
Betapa pun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap menggunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niat keluarganya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.
“Jenderal Kao Cin Liong? Ahhh, dia adalah seorang sahabatku!” Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan ketiga orang isterinya memandang girang. “Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi.”
Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.
“Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran,” berkata Bu-taihiap. “Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana.”
Demikianlah, setelah mengawal Pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.
Meski berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah. Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.
Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian sangat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.
Pada saat perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini.
Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapa pun juga, pangeran mahkota itu memiliki nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan. Tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil!
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang sangat mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau syukur-syukur jika dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.
Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang sekiranya patut menjadi calon jodoh sahabat atau muridnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi.
Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan hadiah sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.
Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi banyak lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana ketiga orang itu duduk menikmati hidangan serta minuman sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.
Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui kemudian berkata dengan penuh hormat, “Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami juga telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....”
“Ahh, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....,” Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.
Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. “Kehendak siapa pun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.”
Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah merah.
“Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau telah dengar sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Walau pun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini ‘memancing’ pendapat Pangeran tentang hal itu.
Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....”
Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, “Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu....”
“Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.
Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. “Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.”
Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.
“Betapa pun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasehat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih.”
Pangeran itu tersenyum lebar. “Ahh, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguh pun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasehat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih.”
Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, karena itu dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan kedua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.
Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludru hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, masih dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, hingga dipandang sepintas lalu seolah-olah daun-daun pohon itu berubah menjadi benda-benda berkilauan.
Agaknya dua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.
Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.
“Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya.”
“Ahh, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.”
“Ahh, tidak apa, Enci. Akan tetapi jika engkau memang tak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?”
“Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ahh, saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”
“Ahhh, aku tidak percaya!” pangeran itu berseru heran.
“Tidak percaya yang mana, Pangeran?”
“Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!”
Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. “Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya....”
“Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!”
Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, “Jangan khawatir, Pangeran. Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka.”
“Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun?”
“Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!”
“Ahhh, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!”
“Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India.”
Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andai kata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.
“Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami?”
Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya ketika itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.
“Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati....” Kemudian Syanti Dewi memberi isyarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar.
Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus. “Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya pada Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya.” Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.
Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai terpaksa meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.
“Tapi.... agaknya pria yang kau cinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?”
Syanti Dewi menggeleng kepalanya, “Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya bagiku....”
“Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?”
Sampai lama Syanti Dewi tak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan dari pada jawaban, “Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapa pun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ahh, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi....?”
Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!
“Kalau memang engkau sudah bulat mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar untuk Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci.”
Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. “Ahhh, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Walau pun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan peri kemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkinlah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain....”
Pangeran Kian Liong cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, kemudian menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. “Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!”
“Pangeran, harap ampunkan dia....”
“Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa telah mengecewakan hati Ouw-toanio. Dan setelah ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?”
Syanti Dewi amat terkejut dan juga merasa terharu sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang sangat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!
“Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan....”
“Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andai kata aku mengambil sepuluh orang wanita sekali pun.”
“Ahhh, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran.”
“Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?”
Pada saat itu nampak dua orang wanita pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.
Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran,” kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu.
Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, mendadak ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.
“Tringgg....!”
Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai sehingga mengeluarkan bunyi nyaring.
“Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita cepat tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.”
Syanti Dewi kemudian mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, lalu dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.
Biar pun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.
“Mari, Pangeran!” Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya.
Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih mau pun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu. Walau pun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, akan tetapi dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya cepat-cepat pergi meninggalkan taman.
“Ahhh....!” Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya.
Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.
Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.
Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok mau pun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan pada waktu diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.
Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.
“Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi,” komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggelengkan kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali, yang tengah kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran.”
Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi.”
Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang pelayan yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang nampak mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.
Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!
Tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. “Aku tidak khawatir,” katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. “Biar pun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?” Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat.
Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya!
Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersenda-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar supaya tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu.
Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke Kim-coa-to Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!
********************
Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar serta ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.
Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya!
Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.
Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.
Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan!
Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur dan mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini tadi melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula!
Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapa pun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.
Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.
Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berubah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah.
Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.
Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar supaya Sang Pangeran dapat menang.
Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya di dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik oleh para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berubah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi.
Dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!
Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu jika saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.
Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang yang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena jika hal itu yang dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu sudah pernah diculik dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi!
Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya ialah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentulah mengambil jalan dari atas wuwungan.
Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, ia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja telah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Wan Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.
“Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat yang hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran....,” bisik Tek Hoat.
Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, “Baik, cepat kau gantikan aku dan aku....” Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!
“Ahhh, kenapa Paduka....?”
“Sssttt...., aku mau menonton!” bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan!
Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggelengkan kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton dan sekarang bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti.
Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biar pun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar.
Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia sudah siap siaga.
Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.
Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar.
Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. Itulah pukulan jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.
“Wuuuttt.... cettt....!”
Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan seketika dapat membunuh lawan!
Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thaihouw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa hanya dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tidak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka.
Maka ketika tiba-tiba ‘Pangeran’ itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!
“Huh!” Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah pula menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya.
Pertempuran sengit pun terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu.
Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.
“Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.
Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, namun dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.
“Paduka Pangeran....”
Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.
“Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa.”
Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. “Paduka selamat, Pangeran? Aih, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya sempat melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?”
Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, “Souw-ciangkun, lekas suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut.”
Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.
“Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi.”
Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat yang berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!”
“Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung,” kata Syanti Dewi.
“Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini.”
“Biarkan hamba saja yang menjaga di dalam kamar Pangeran,” kata Souw Kee An.
Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal…..
********************
Selanjutnya baca
SULING EMAS NAGA SILUMAN : JILID-13