Kisah Si Bangau Putih Jilid 11
“Liong-ko, kalau begitu… Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?”
Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja, pasukan pemerintah adalah pasukan kerajaan penjajah dan...“
“Tapi... tapi kakakku, Pouw Ciang Hin kabarnya menjadi perwira pasukan pemerintah! Kabarnya dia ditugaskan di perbatasan utara ini dan apakah sampai sekarang anak buahmu belum dapat menemukannya?”
Siangkoan Liong tersenyum tenang.
“Jangan khawatir, Sian-moi. Ketahuilah bahwa komandan pasukan yang bertugas di utara ini telah mengadakan hubungan dengan kami dan dia mendukung gerakan kami. Jadi, kalau kakakmu itu menjadi perwira bawahannya, tentu hal itu berarti bahwa kakakmu juga akan bekerja sama dengan kita. Engkau tentu suka membantu, bukan?”
Gembira rasa hati Li Sian mendengar tentang kakaknya itu. “Ahh, kalau begitu bagus sekali. Tentu saja aku suka membantu, Liong-ko.”
Namun Siangkoan Liong masih belum merasa puas dengan kesanggupan ini. Selama belasan hari ini, diam-diam dia mengamati gerak-gerik Li Sian dan bahkan menyuruh Sin-kiam Mo-li diam-diam melakukan pengamatan dari jauh. Satu hal yang membuat dia merasa gelisah dan belum percaya benar adalah karena menurut keterangan Sin-kiam Mo-li, Pouw Li San adalah murid dari mantu Pendekar Super Sakti Pulau Es!
Padahal, dia sudah mendengar bahwa di antara keluarga Pulau Es dan keluarga kaisar Mancu, masih terdapat hubungan kekeluargaan yang dekat. Isteri Pendekar Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan isterinya dan puterinya pernah menjadi panglima-panglima Mancu yang gagah perkasa dan pada waktu yang lampau sudah menumpas banyak gerakan pemberontakan.
“Sian-moi, engkau pernah menceritakan kepada ayah bahwa gurumu adalah seorang sakti, keluarga Pulau Es, bahkan mantu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Lalu bagaimana pendapat mendiang gurumu itu tentang pemerintah penjajah dan gerakan para patriot?” Dia memancing.
Li Sian mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya. “Seingatku, suhu belum pernah bicara tentang pemerintahan dan jika sekali waktu aku bertanya dia tak mau memberi penjelasan. Hanya pernah dia mengeluh tentang kelemahan kaisar yang membiarkan dirinya dipermainkan para pembesar durjana.”
“Nah, tidak salah lagi. Diam-diam suhu-mu itu pun tentu tidak setuju dengan adanya pemerintah penjajah yang lalim!” Siangkoan Liong berseru girang. Tadinya dia khawatir bahwa guru gadis ini condong memihak kerajaan.
Pada saat itu, nampak serombongan orang datang. Dari jauh saja Siangkoan Liong dan Li Sian bisa mengenal rombongan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li, kini mengiringkan seorang laki-laki dan seorang wanita yang berjalan sambil bergandeng tangan.
Laki-laki itu nampak bersikap gagah walau pun langkahnya tak menunjukkan dia pandai ilmu silat. Sedangkan wanita itu cantik manis, berusia mendekati empat puluh tahun, sebaya dengan laki-laki itu. Tetapi wanita yang nampak tenang sederhana itu memiliki langkah kaki yang mengejutkan Siangkoan Liong dan Li Sian karena mereka berdua dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan.
Laki-laki dan wanita itu adalah Yo Jin dan Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi yang baru datang bersama rombongan Sin-kiam Mo-li. Setelah rombongan mereka sampai di luar daerah kekuasaan Tiat-liong-pang, rombongan ini disambut oleh Toat-beng Kiam-ong dan para tokoh yang membantu pergerakan Tiat-liong-pang, di antaranya nampak ada beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Melihat mereka diam-diam Bi-kwi terkejut. Tadinya ia mulai percaya akan pengakuan Sin-kiam Mo-li bahwa iblis betina itu sedang membantu perjuangan orang-orang gagah yang dipimpin oleh ketua Tiat-liong-pang, akan menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat orang-orang yang dikenalnya sebagai tokoh sesat, dia pun mulai meragu lagi. Akan tetapi, dengan cerdik Bi-kwi diam saja, bahkan pura-pura tidak mengenal mereka.
Melihat betapa Sin-kiam Mo-li pulang sambil membawa laki-laki dan wanita yang tidak dikenalnya itu, Siangkoan Liong segera bangkit dan menghadang, diikuti oleh Li Sian yang juga ingin tahu.
“Mo-li, siapakah dua orang saudara yang barusan datang ini?” tanya Siangkoan Liong sambil memandang kepada Bi-kwi karena kecantikan wanita ini pun menarik hatinya.
Sin-kiam Mo-li tersenyum dengan bangga karena dia merasa betapa usahanya telah berhasil baik. “Siangkoan-kongcu, dia inilah Bi-kwi yang pernah saya bicarakan dengan Kongcu dan dengan bengcu (pemimpin). Saya telah berhasil mengajaknya ke sini dan bergabung dengan kami. Dan laki-laki ini adalah suaminya. Bi-kwi adalah murid utama dari mendiang Sam Kwi, dia lihai bukan main, Kongcu.” Kemudian ia memperkenalkan pemuda itu kepada Bi-kwi dan Yo Jin. “Kongcu ini adalah putera dari pimpinan kami bernama Siangkoan Liong.”
Bi-kwi memandang pemuda itu. Sekali pandang saja tahulah Bi-kwi bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah lembut ini mempunyai kepandaian tinggi. Juga di balik kelembutan sikapnya itu, di balik sinar matanya yang lembut, dia dapat melihat gairah nafsu yang besar, maka diam-diam ia berhati-hati.
Juga ia memandang kepada gadis yang berada di dekat Siangkoan Liong, dan ia pun bisa menduga bahwa gadis itu pun bukan gadis sembarangan. Hemmm, di sini banyak terdapat orang pandai, pikir Bi-kwi khawatir. Tadi pun ia mengenal Toat-beng Kiam-ong, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-kauw, juga beberapa orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi berada di tempat itu.
Siangkoan Liong mengerutkan alisnya. Agaknya dia memandang rendah kepada Bi-kwi dan suaminya. Betapa pun lihainya, agaknya suami isteri itu berada di bawah pengaruh Sin-kiam Mo-li. Orang yang kelihaiannya tidak melebihi Sin-kiam Mo-li, kurang menarik hatinya walau pun sempat hatinya terguncang dan gairahnya bangkit oleh kecantikan Bi-kwi yang sudah matang itu!
“Bawalah mereka menghadap ayah,” katanya. Dia pun mengajak Li Sian untuk kembali duduk bercakap-cakap di dalam taman. Rombongan itu lalu masuk ke dalam untuk menghadap Siangkoan Lohan.
Setelah mereka berdua duduk lagi di dalam taman. Li Sian bertanya, “Apakah suami isteri itu pun hendak membantu gerakan yang dipimpin oleh ayahmu, Liong-toako?”
“Agaknya begitulah. Perjuangan ini didukung oleh orang gagah, dan aku yakin bahwa usaha ayah akan berhasil baik,” kata Siangkoan Liong gembira.
“Wanita itu kelihatan memiliki kepandaian tinggi,” kata pula Li Sian.
“Kau tunggu saja, Sian-moi. Kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan engkau kepada suhu-ku.”
“Gurumu?” Gadis itu memandang wajah pemuda di depannya dalam keremangan cuaca senja. “Bukankah gurumu itu adalah paman Siangkoan Tek sendiri? Bukankah ayahmu memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi?”
Pemuda itu tersenyum bangga. “Memang benar, Sian-moi. Akan tetapi guruku ini lebih lihai lagi. Ayah sendiri pernah menguji kepandaiannya maka ayah memperbolehkan aku berguru padanya. Ilmu kepandaian guruku itu sulit diukur sampai bagaimana tingginya!”
Li Sian tersenyum dalam hatinya. Baru kini dia mendengar ucapan yang mengandung nada bangga dan bahkan sombong dari pemuda ini. Dia tidak merasa heran karena mungkin saja apa yang dikatakan pemuda ini benar. Menurut keterangan gurunya, di dunia ini memang banyak terdapat orang-orang sakti.
“Siapakah gurumu, Liong-toako? Dan kenapa tidak sejak kemarin aku kau perkenalkan padanya?”
“Guruku sedang bertapa dan dia tidak suka diganggu. Kelak jika dia kebetulan datang berkunjung ke sini, barulah akan kuperkenalkan engkau kepadanya. Beliau bernama keturunan Ouwyang, biasa disebut Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang) dan tak pernah ada yang tahu siapa namanya. Nama julukannya adalah Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Pegunungan Selatan). Dia bukan orang sembarangan, Sian-moi, karena dahulu dia pernah menjadi seorang yang sangat penting, bahkan menjadi penasehat raja di Kerajaan Birma.”
Li Sian tertarik sekali. Ia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum pernah dia menyaksikannya. Selama belasan hari ini mereka bergaul cukup rapat hingga dia seolah-olah diberi kesempatan untuk mengenal pemuda ini, bukan hanya wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya, akan tetapi juga keadaan dan wataknya. Akan tetapi dia belum melihat sampai di mana tingkat kepandaiannya, dan berkenalan tanpa mengetahui atau melihat kepandaiannya tentulah tidak lengkap. Ingin ia menguji kepandaian pemuda itu. Apakah jauh di atas tingkatnya sendiri?
“Liong-ko, setelah engkau menerima gemblengan dari ayahmu sendiri, kemudian dilatih pula oleh seorang sakti seperti gurumu, tentu engkau kini telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Semenjak kecil kita sudah saling mengenal, bahkan kini ayahmu juga menerimaku dengan ramah dan baik, bahkan menganggap aku sebagai keponakannya sendiri sehingga antara kita terdapat pertalian persaudaraan. Oleh karena itu, aku ingin sekali melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu itu, Toako, agar supaya aku dapat menambah pengetahuanku darimu.”
Siangkoan Liong tersenyum, apa lagi melihat gadis itu sudah bangkit berdiri menuju ke petak rumput yang cukup luas dan enak untuk dipakai berlatih silat, di dalam taman itu dekat kolam ikan, dan gadis itu berdiri tegak menantinya. Tentu saja dia tahu bahwa gadis itu agaknya ingin sekali menguji kepandaiannya, tentunya dengan maksud baik, karena jelas nampak olehnya betapa Li Sian mulai tertarik kepadanya. Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri gadis itu.
“Sian-moi, aku sudah melihat bahwa engkau mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga pada waktu engkau pertama kali muncul di sini, engkau mampu menandingi kelihaian Sin-kiam Mo-li. Aku menjadi gentar melawanmu, Sian-moi. Bagaimana kalau sampai aku tewas atau terluka parah karena pukulanmu?”
“Aih, Liong-toako, harap jangan berkata demikian. Kepandaian Sin-kiam Mo-li amat lihai dan kalau tidak muncul ayahmu datang melerai, tentu aku akan celaka di tangannya. Aku hanya ingin melihat sendiri kelihaianmu dalam suatu permainan bersama. Bagai mana mungkin kita akan saling melukai? Sudahlah, Toako, jangan terlalu pelit, mari kita main-main sebentar untuk membuka mataku.”
“Baik, Sian-moi. Nah, aku sudah siap, kau mulailah keluarkan seranganmu!” pemuda itu berkata sambil memandang dengan senyum memikat dan dia pun membuka pasangan kuda-kuda yang gagah dan indah.
Li Sian yang memang ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik hatinya ini, segera mengeluarkan seruan sebagai isyarat bahwa dara ini mulai menyerang. Serangan awalnya merupakan tamparan ke arah pundak Siangkoan Liong, seperti main-main saja, akan tetapi gadis ini mengerahkan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) ke dalam telapak tangannya sehingga hawa panas menyambar ke arah pundak Siangkoan Liong.
Pemuda ini kagum sekali ketika merasakan betapa tangan kanan gadis itu menyambar lambat namun membawa hawa yang amat panas. Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya menangkis untuk melindungi pundaknya. Karena dia maklum bahwa gadis manis itu menggunakan sinkang untuk menguji tenaganya, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang dalam lengan yang menangkis itu.
“Dukkk!”
Kedua lengan bertemu dan hampir Siangkoan Liong berseru karena dia merasa betapa hawa panas menyusup ke dalam lengannya. Cepat dia menarik kembali lengannya dan loncat ke belakang, mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk mendorong keluar lagi hawa panas itu.
Li Sian tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya, seperti juga yang dilakukan pemuda itu, karena memang dara ini hanya ingin menguji saja. Ketika melihat bahwa pemuda itu mampu menangkis tamparan yang mengandung Hui-yang Sinkang, dia merasa kagum dan menyerang lagi, kini dengan tangan kiri yang mendorong dengan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju).
Kembali pemuda itu menangkis, agak menambah tenaga sinkang-nya karena dia tahu bahwa gadis cantik ini memang lihai dan kuat. Kembali kedua lengan mereka bertemu dan Siangkoan Liong kini meloncat mundur, tidak lagi sambil menahan seruannya.
“Bukankah itu tadi dua tenaga sakti dari Pulau Es yang terkenal itu? Yang panas adalah Hui-yang Sinkang dan yang dingin ini tadi Swat-im Sinkang?” tanyanya setelah berhasil mendorong keluar pengaruh hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.
Li Sian menjadi semakin kagum. Pemuda itu ternyata mampu mengenali dua macam tenaga sinkang yang dipelajarinya dari gurunya, Bu Beng Lokai.
“Benar sekali, Toako. Sekarang terimalah lagi seranganku ini!” katanya gembira.
Kini tubuhnya bergerak cepat karena dia sudah memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Mengacau Langit) yang juga merupakan salah satu ilmu silatnya yang paling hebat di samping ilmu pedangnya yang sama dasarnya, yaitu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).
Menghadapi gerakan ilmu silat yang amat dahsyat itu, cepat dan mengandung tenaga besar, Siangkoan Liong berseru, “Bagus sekali!”
Dia pun menghadapi terjangan Li Sian dengan hati-hati, juga dengan cepat sekali. Dia maklum akan kelihaian gadis ini, dan tahu pula bahwa kalau dia hanya mengandalkan kelincahan dan tenaga untuk bertahan saja, akhirnya dia akan kalah. Maka, pemuda ini, yang tidak mau dikalahkan karena hal itu akan merendahkan dirinya dalam pandangan gadis yang sangat menarik hatinya itu, segera bergerak membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Dia telah mainkan ilmu silatnya yang aneh, yang lebih banyak mempergunakan loncatan-loncatan dan tendangan sambil meloncat, yaitu Kong-ciak Sin-kun (Silat Sakti Burung Merak) yang pernah dipelajarinya dari Ouwyang Sianseng dan kini menjadi ilmu andalannya.
Memang hebat sekali ilmu silat ini karena mampu menandingi Lo-thian Sin-kun yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu silat tinggi. Makin kagum rasa hati Li Sian melihat betapa ilmu silat aneh dari pemuda itu sangat lincah dan berbahaya, sehingga ketika ia memainkan Lo-thian Sin-kun, Siangkoan Liong sama sekali tidak terdesak, bahkan dia mampu membalas setiap jurus serangannya dengan sama hebatnya.
Mereka saling serang sampai tiga puluh jurus lebih dan melihat ini, Li Sian makin lama semakin menambah tenaganya. Sampai akhirnya dia mengerahkan semua tenaga dan kepandaian, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak Siangkoan Liong, sebaliknya, pemuda ini juga semakin kagum pula karena baru setelah dia mengerahkan hampir semua tenaganya, gadis itu tidak mampu menjadi semakin hebat. Hal ini menunjukkan bahwa biar pun tidak banyak selisihnya, namun tingkatnya masih lebih tinggi.
Akan tetapi tentu saja dia tidak ingin mengalahkan nona itu dengan keras, tidak mau melukainya, maka otaknya yang cerdik itu mencari-cari akal bagaimana dia akan dapat memenangkan pibu (adu silat) itu tanpa melukai lawan. Dia pun teringat akan sebuah ilmu silat dari keluarganya, yaitu Tiat-wi Liong-kun (Ilmu Silat Naga Ekor Besi) yang juga menggunakan tenaga sinkang yang istimewa dan semenjak tadi dipergunakannya untuk menandingi sinkang dari Li Sian, yaitu Liong-jiauw-kang (Tenaga Sakti Cakar Naga).
Sinkang yang dimilikinya telah diperkuat dengan gemblengan Ouwyang Sianseng, maka kini dalam hal sinkang, dia malah lebih kuat dari pada ayahnya sendiri. Ilmu Silat Naga Ekor Besi ini mempunyai beberapa jurus yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol, yaitu ilmu untuk menangkap dan membanting. Juga terdapat cara-cara menangkap dan mengempit lawan sampai tidak mampu lolos atau pun bergerak lagi. Inilah yang akan digunakannya karena hanya ilmu ini yang akan mampu memberinya kemenangan tanpa melukai atau merobohkan lawan.
Akan tetapi, Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang selain cerdik, juga sudah mempelajari kebudayaan sejak kecil. Dia tahu bahwa jika dia melakukan penangkapan dan himpitan seperti itu terhadap Li Sian, tentu akan membuat Li Sian menyangka dia sengaja mempermainkan dan hendak kurang ajar, mempergunakan ‘kesempatan’ untuk memeluk dan menangkap gadis itu.
Maka, sebelum mempergunakan ilmu itu, dia terlebih dahulu akan memberi peringatan agar gadis itu tidak menyangka yang bukan-bukan, walau pun tentu saja satu di antara sebab yang mendorongnya menaklukkan Li Sian dengan cara itu adalah untuk dapat merangkul dan mendekap tubuh yang membuatnya tergila-gila itu!
Mendadak Siangkoan Liong mengubah gerakannya dan berseru, “Awas, Sian-moi, aku akan menyerang dengan tendangan Ban-kin-twi!”
Dan kini Siangkoan Liong sudah menggunakan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi melakukan tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) adalah ilmu tendangan dari ayahnya, yang selain cepat dan sukar diduga dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai dengan namanya.
Melihat tendangan kedua kaki yang menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian cepat mainkan San-po Cin-keng. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang teratur rapi dan sungguh aneh, semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya mengenai angin saja karena setiap kali kakinya meluncur, tubuh gadis itu telah bergeser dengan langkahnya yang ringan, aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan begini, Li Sian pun tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak terdesak.
“Sekarang aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!” Dan pemuda itu sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman yang dicampur dengan totokan dan tendangan.
Li Sian menghadapi serangan-serangan ini dengan kembali mainkan Lo-thian Sin-kun agar ia dapat membalas serangan sehingga keduanya sudah bertanding lagi dengan amat serunya.
Pada waktu Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar ke arah lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, seperti pedang, secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian, dia sudah menyusup ke belakang tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan kanan gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya.
Kini tubuh Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis itu masih dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan siku lengan kirinya untuk menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya, akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih dahulu oleh Siangkoan Liong yang cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku lengan kiri Li Sian.
Siku itu dapat dicengkeram dan seketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya lenyap dan lumpuh. Ia terkejut dan cepat memutar tubuh ke kiri dan kakinya bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi kembali gerakan ini sudah dapat diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah mendahului, dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian.
Dengan demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian tubuhnya yang paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong. Gadis itu mencoba untuk meronta, namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram siku kirinya dan lengan itu ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian berubah merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap oleh siku dan lutut pemuda itu!
“Sian-moi, inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!” katanya dan ketika bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian.
Ia pun cepat melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi, “Wah, ilmu kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan ilmu gulat yang tidak kau kenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri dari serangan-serangan dan desakanmu.”
Sampai beberapa lamanya Li Sian tak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali. Bukan karena kekalahannya, sama sekali bukan, melainkan mengingat betapa tadi ia sudah dirangkul, didekap dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu!
Ia tidak dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, tidak bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan. Bukankah Siangkoan Liong sudah memperingatkannya setiap kali hendak mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi mempergunakan ilmu gulat untuk mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara menangkap, memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya tadi tertekan oleh lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan oleh lutut pemuda itu, sungguh membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.
“Kenapa, Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat hingga membuat hatimu kecewa,” kata Siangkoan Liong sambil memandang khawatir.
Li Sian tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepala. “Ahh, tidak, Liong-toako. Aku memang sudah menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau memang hebat, tingkat kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku, Toako.”
“Sudahlah, Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur ilmu gulat, agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba, marilah kita mencari anak buahku yang berjanji bahwa malam ini dia akan mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu.”
Bukan main girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru, “Ahhh, terima kasih, Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu benar dan aku dapat bertemu dengan kakak sulungku Pouw Ciang Hin!”
Mereka lalu meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan pemuda itu menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak menarik tangannya, hanya tangan itu agak dingin dan sedikit gemetar ketika Siangkoan Liong menggenggamnya. Akan tetapi dalam genggaman tangan pemuda itu yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar lagi.....
********************
Mereka berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk yang luas. Ruangan ini biasanya digunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk mengadakan rapat dan perundingan dengan para pembantunya.
Siangkoan Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia berbicara dengan beberapa orang anak buahnya. “Kita tunggu di sini sebentar, Sian-moi. Tak lama lagi utusanku itu akan datang dan mudah-mudahan dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk berjumpa denganmu.”
Gadis itu menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih. Jantungnya berdebar penuh ketegangan sebab akan berjumpa dengan kakaknya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya dapat mengangguk. Tetapi setelah beberapa menit lamanya, gadis ini dapat menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka memandang wajah pemuda itu.
Kebetulan sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu saling tatap dan sejenak melekat. Akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya dan bertanya dengan suara lirih.
“Toako, di mana engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam pasukan pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?”
Siangkoan Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju itu agak kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.
“Menurut laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya engkau bertanya sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak datang oleh utusanku. Jangan khawatir, utusanku itu adalah suheng-ku sendiri. Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya, oleh karena itu maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu.”
Percakapan mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu samping. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat dan matanya tajam. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Akan tetapi Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun yang mengenakan pakaian perwira pasukan kerajaan. Biar pun kini nampak jauh lebih tua, namun ia tidak pangling melihat wajah orang ini. Kakaknya! Wajah yang tampan ini nampak jauh lebih tua dari pada usianya, penuh garis-garis penderitaan hidup, bahkan pandang matanya pun sayu.
Sementara itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata agak terbelalak.
“Li Sian… engkau Li Sian...,“ kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin, kakak sulung Pouw Li Sian.
Hanya dialah seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat serta diampuni, dan bahkan kemudian masuk menjadi tentara. Mengingat bahwa dia adalah putera seorang pejabat tinggi, juga karena kecakapannya, dia pun sekarang menjadi seorang perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga di perbatasan.
“Kakak Pouw Ciang Hin...“ Li Sian juga berkata lirih.
Keduanya merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena telah lama sekali mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing sudah meninggal dunia. Akan tetapi sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biar pun ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.
Melihat sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang tadi menemani Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu, “Ciu-suheng, mari kita keluar dan biarlah kakak beradik yang berbahagia ini bercakap-cakap. Sian-moi, biarlah kami pergi dulu, dan Pouw-ciangkun, selamat bertemu dengan adikmu.”
Setelah berkata demikian, dengan sikap hormat Siangkoan Liong lalu menjura kepada mereka berdua, kemudian dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suheng-nya yang sejak tadi diam saja.
Suheng-nya itu juga adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utama yang terkenal dengan julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang). Memang ia sangat berbakat memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan baik ilmu pedang dari gurunya, bahkan sudah dapat melampaui gurunya dalam hal ilmu pedang. Oleh karena kelihaiannya dalam berolah pedang, maka di Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)!
Setelah dua orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua perasaan yang tadi ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.
“Koko...!” Li Sian berseru sambil berlari, disambut oleh kakaknya yang mengembangkan kedua lengannya.
“Siauwmoi...!”
Kedua orang kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tak mampu mengeluarkan kata-kata sebab keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah oleh mereka semua kenangan lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa hanya mereka berdualah yang tersisa hidup.
Akhirnya Li Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai mampu lebih dulu menguasai dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu berkata halus.
“Koko, mari kita duduk dan bicara dengan tenang.” Ia pun duduk sambil menyediakan sebuah kursi lain untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja.
Pouw Ciang Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih dan tenang kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air matanya, lalu keduanya duduk sambil berpandangan.
“Adikku, engkau sekarang sudah menjadi seorang gadis dewasa! Ahhh, sungguh tidak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos dari serbuan pasukan yang membasmi keluarga kita itu?”
Li Sian lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai dan dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung dia melakukan penyelidikan ke kota raja tentang keluarganya dan dia kemudian mendengar bahwa semua anggota keluarganya telah habis kecuali kakak sulungnya yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.
“Aku lalu ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai oleh paman Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Koko?”
“Tidak banyak hal lain di luar yang telah kau dengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah seluruh keluarga kita dibasmi. Akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sri Baginda berkenan mengampuniku, bahkan untuk membuktikan darma baktiku kepada kerajaan aku dianjurkan untuk masuk menjadi tentara. Nah, aku masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah...” Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih, “... adalah kehadiranmu di sini, adikku.”
“Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?” tanya gadis itu heran.
“Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku.”
Li Sian mengerutkan alis. Ia memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar suaranya penuh kesungguhan. “Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan semenjak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!”
“Siauwmoi...!”
“Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Oleh karena itu, aku telah mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian keluarga kita...”
“Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu...“
Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.
Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah. “Ahh, sungguh aku merasa menyesal sekali harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu kalian karena baru saja aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang juga.”
Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut. “Keperluan apakah itu, Kongcu?”
Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu kepada Pouw Ciang Hin. “Ayah mohon bantuanmu supaya surat yang sangat penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat penting.”
Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun lalu mengangguk.
“Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bisa bercakap-cakap.”
“Baiklah, Koko,” kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya.
Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya. Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim?
Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah jika sampai menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya sama sekali tidak bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapa pun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung lagi dan melanjutkan keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.
Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita mengenai hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu.
Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya digunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela perbuatan Hou Seng di depan kaisar.
Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya. Untung pada saat itu Bu Beng Lokai sedang menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan diri.
Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, serta rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong.
Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi sekali Siangkoan Liong sudah menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata,
“Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!”
Tentu saja Li Sian terkejut bukan main. “Apa yang telah terjadi dengan kakakku?”
“Dia dibunuh orang...“
“Ahhhh!” Betapa pun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Siapa yang membunuhnya dan mengapa?” tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.
“Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah memesan anak buahku supaya keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku.”
Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata,
“Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya.”
Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian langsung dapat melihat beberapa orang anak buah Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, dia melihat belasan orang anggota perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah tua.
Ketika telah mendekat, ia melihat bahwa di antara anggota Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang ikut membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia bisa melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi berada di situ, sekali ini tanpa suaminya.
Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena dia sudah lari dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya sudah tewas, tidak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.
“Siapakah orang ini?” Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada perwira asing yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.
“Kami tidak tahu,” berkata Siangkoan Liong. “Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin juga memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas.”
Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat dia akan semua ucapan kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan? Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh?
Dia mengepal tinju dan di dalam hatinya dia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini sudah dibunuh pula.
“Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!” katanya sambil bangkit berdiri, mengusap beberapa butir air matanya.
Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Jenazah Pouw-ciangkun dipanggul, sedangkan jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dimakamkan dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan satu upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari pasukan Coa Tai-ciangkun turut pula hadir dan memberi penghormatan.
Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya, satu-satunya keluarganya yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, semua hanya untuk diakhiri dengan kedukaan. Pertemuan singkat, bahkan mereka belum lagi sempat bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidak sesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan kini ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang.
Sejak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Setelah jenazah itu dimakamkan, dia duduk terkulai di depan makam. Semua orang sudah pergi meninggalkan kuburan kakaknya, kecuali dia sendiri dan Siangkoan Liong yang selalu menemaninya dengan penuh perhatian dan mencoba untuk menghiburnya.
Melihat gadis itu masih bersimpuh dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian. Dengan lembut sekali tangannya menyentuh pundak gadis itu dan terdengar suaranya halus menggetar penuh perasaan iba, “Sian-moi... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja.”
Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan menangis. “Akan tetapi, Liong-ko, dia... dia ini adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki... satu-satunya keluargaku...“
“Aihhh, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Sampai sekarang aku masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu terus, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku...“
Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih, “Liong-ko...“
Ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik dari pada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya. Bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan dia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.
“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sian-moi?” tanya Siangkoan Liong dengan suara halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu.
Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab. Memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.
Mereka masih duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian penuh kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannya. Dengan lembut dia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
“Ahhh, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Kita bersenang-senang di depan makam kakakku yang masih baru...!” katanya agak menyesal.
“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”
Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu dia menjura sebagai penghormatan terakhir sambil berkata, “Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini yang akan membalaskan kematianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim...!”
“Bagus... bagus...!” Terdengar suara yang dalam dan lantang.
Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang mendadak muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
“Paman Siangkoan...!” Li Sian memberi hormat.
“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah yang lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu sudah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”
“Ayah, masih ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah.”
“Hemmm, berita apakah itu, Liong-ji (anak Liong)?”
“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”
Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu.
“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh-sungguh merupakan berita yang sangat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali. Biarlah nanti jika sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”
Siangkoan Liong cepat berkata, “Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita pulang dan makan.”
Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar.....
********************
Pada waktu mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ sudah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, serta beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiat-liong-pang. Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedang makan minum, atau baru saja selesai. Pada waktu melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian, mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, kemudian mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.
“Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan dari sekarang,” kata Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira.
Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira. Ada yang bersorak, ada yang tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.
“Ahh, kalau begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini kemudian menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan. Bau arak semerbak harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah dua cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li kemudian membawanya dan menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri. Dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata dengan gembira.
“Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi yang berbahagia,” katanya.
Semua orang telah mengisi cawan arak mereka masing-masing, kemudian mereka pun ramai-ramai mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata, “Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!”
Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit itu, dan tadi dia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa dia menerimanya pula. Mereka semua lalu minum arak masing-masing sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.
“Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua saja dengan asyik.” Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.
Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang pelayan datang dan dia menyuruh mereka membersihkan meja, kemudian menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.
Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan, Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.
Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain.
Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.
Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang yang berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik.
Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin, tokoh besar dari perkumpulan Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua sekarang membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.
Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia kini berada dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah. Kemudian dia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan juga keputusan Siangkoan Lohan di kuburan kakaknya, bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong.
Dalam makan minum lagi, sebelumnya dia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan kini, di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.
Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri yang demikian lemahnya. Akan tetapi, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong amat pandai menghiburnya, apa lagi karena pemuda itu adalah calon suaminya sendiri, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya. Sama sekali dia tidak sadar bahwa dia telah menjadi korban dari siasat yang amat lihai, yang telah diatur oleh Siangkoan Liong bersama para sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.
Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya.....
********************
Pria yang duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Belum tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena penuh guratan derita hidup yang membayang pada wajahnya yang masih nampak tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap, tubuhnya tegap dan pakaiannya sederhana walau pun rapi dan bersih.
Gubuk itu berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian mengalir menjadi awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali, dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh di sebelah bawah, di mana terdapat tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di dalam gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Semenjak muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk melakukan perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma Ciang Bun berdiam seorang diri dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san yang sunyi itu. Ia hidup menyendiri, bercocok tanam sedikit, hanya cukup untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan semedhi. Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat yang sunyi itu, pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin mengganggu ketenteraman batinnya itu dengan segala urusan dunia yang baginya selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.
Tidak dapat disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan batin, bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri, bukan dari keadaan di luar. Hal ini tentu saja memang benar. Akan tetapi tidak boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri.
Tempat yang sunyi dan tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin, seperti juga benda-benda yang memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh dari benda-benda itu tentu sedikit sekali membangkitkan keinginan, tak seperti kalau benda-benda itu berada di depan mata.
Biar pun demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri. Batin yang kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat ramai, sebaliknya batin yang penuh persoalan dan tegang akan tetap merana biar pun orangnya berada di tempat yang sunyi.
Karena Suma Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak memiliki pamrih atau cita-cita apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan yang menyiksa diri seperti banyak dilakukan orang yang ingin mencapai sesuatu. Ada banyak orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin, dengan pamrih agar sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini sering kali disertai penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk, dan sebagainya sampai berhari-hari, bahkan berminggu atau berbulan.
Akan tetapi Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia menuruti semua nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena jika demikian halnya, tidak ada bedanya dengan para pertapa yang ingin mencari sesuatu yang diinginkan.
Pada saat perutnya berkuruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari semedhinya dan dia pun teringat bahwa sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum lagi mengisi perut, dan hari ini matahari sudah naik tinggi. Dengan tenang dia pun turun dari tempat semedhi, menuju ke luar gubuk melalui pintu gubuk yang semenjak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan nampaklah asap mengepul ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi, memasak air dan sayuran, dengan bumbu sederhana.
Selagi dia masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada tiga orang yang berjalan menghampirinya dari depan gubuk. Seorang gadis yang cantik dan lincah berusia sekitar dua puluh satu tahun, seorang pemuda yang wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih, berusia sekitar dua puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun yang tampan dan matanya bersinar tajam.
Suma Ciang Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil mengingat-ingat. Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya. Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan memegang lengannya.
“Paman Suma Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?” kata Suma Lian sambil tertawa gembira. “Aku adalah Suma Lian!”
Suma Ciang Bun terbelalak memandang gadis itu. “Aihhh, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini dewasa engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai ke sini? Dan siapakah mereka itu?”
Dia memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut. Gadis ini adalah keponakannya, keponakan dalam, tapi sebetulnya juga tunangan dari muridnya. Semenjak Suma Lian berusia dua belas tahun, gadis ini telah dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong Beng, muridnya itu.
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum. “Dia adalah saudara Tan Sin Hong, Paman. Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata antara dirinya dengan keluarga kita masih ada hubungan dekat, Paman. Dan tahukah Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya, penghuni Istana Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu telah menggemblengnya di Istana Gurun Pasir.”
Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun membalas penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. “Ah, kiranya murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan siapakah anak ini?”
Dia memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan sepasang mata yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak tercengang ketika anak itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.
“Aihhh, anak yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah.” katanya lembut.
“Paman, dia bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar nama ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi...“
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
“Ciong Siu Kwi...,“ katanya perlahan.
Dia sudah banyak mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat, akan tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah dia menikah dengan seorang pemuda petani, bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri dari dunia persilatan?
“Apakah dia yang berjuluk Bi-kwi...?”
Suma Lian mengangguk. “Benar sekali, Paman.”
Suma Ciang Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak laki-laki ini adalah putera bekas iblis betina itu?
“Akan tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi...?”
“Panjang ceritanya, Paman...”
“Ahh, benar juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam,” ajaknya sambil mendahului ketiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun bersih.
Tidak ada kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan mereka duduk di atas tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di bawah tikar itu terdapat lapisan jerami kering yang tebal.
Setelah mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud kunjungannya. “Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu kepada Paman dan mengutusku untuk menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apa bila Paman tidak merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali supaya Paman suka pindah saja ke rumah kami dan tinggal bersama kami di sana, dari pada Paman hidup menyendiri di tempat sunyi ini. Kata ayah, dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin dekat dengan Paman.”
Mendengar ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia tersenyum.
“Ahhh, sejak dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan tetapi undangan ayah ibumu itu bukannya tidak menarik. Berilah waktu, akan kupikirkan masak-masak dan kalau kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku akan datang ke rumah kalian.”
Selanjutnya, Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka Suma Lian lalu berceritalah tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han dilarikan penculik, kemudian ia berusaha menyelamatkannya dan nyaris tewas jika tidak ditolong oleh Sin Hong. Ia menceritakan betapa orang-orang golongan sesat itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.
“Saudara Tan Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh sesat yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu melakukan tugas itu, maka aku teringat untuk menitipkan dulu anak ini di sini, Paman. Tentu saja jika Paman tak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai, saudara Tan Sin Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi muridnya.”
Mendengar ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki laki di depannya itu. Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik sekali dan dia merasa kagum dan suka kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.
“Baiklah, biarlah dia berada di sini saja selama kalian melaksanakan tugas penting itu. Ketahuilah bahwa muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa kepada muridku Gu Hong Beng itu, bukan?” tanyanya sambil menatap tajam wajah manis keponakannya.
Suma Lian tersenyum, membuat wajahnya nampak makin cerah dan jelita. “Aih, Paman. Bagaimana mungkin aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Tidak akan pernah dapat kulupakan betapa dulu, ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku mati-matian.”
Gadis ini teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang datuk sesat, Sai-cu Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya (baca kisah SULING NAGA).
Mendengar jawaban itu, Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang amat baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apa lagi karena ketiga orang gurunya adalah tokoh-tokoh besar yang sakti.
Melihat pergaulan yang nampak akrab di antara pemuda itu dan keponakannya, timbul kekhawatiran dalam hatinya walau pun dia tidak merasa heran melihat pergaulan yang akrab antara muda mudi itu. Memang kehidupan di dunia persilatan lebih bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, merupakan hal yang biasa bergaul dengan seorang pemuda karena gadis itu mampu menjaga diri dengan kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran untuk menyampaikan saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada keponakannya, di depan pemuda itu.
“Lian-ji, keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu berita yang mungkin selama ini masih menjadi rahasia besar bagimu. Mengingat bahwa pemuda perkasa ini adalah murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia mendengarkan pula.”
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap wajah pamannya dengan penuh keinginan tahu. “Paman, rahasia apakah itu?”
“Rahasia peninggalan pesan terakhir nenekmu Teng Siang In. Atau barang kali engkau sudah mendengarnya dari orang tuamu?”
“Pesan terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu. Apakah pesan terakhir itu ditujukan kepadaku?”
“Bukan kepadamu, akan tetapi justru pesan itu mengenai dirimu, atau lebih tepatnya mengenai perjodohanmu.”
Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah kemerahan.
“Apa... apa maksudmu, Paman?” tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar bahwa mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.
Suma Ciang Bun menarik napas panjang. “Hal ini sudah pernah kuceritakan pada ayah ibumu, akan tetapi agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan kuceritakan saja agar aku tidak akan selalu merasa berhutang janji kepada nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik oleh Sai-cu Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang nenekmu dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suheng-mu, Gu Hong Beng, akan tetapi Sai-cu Lama amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam...“
“Ban-tok-kiam...?” Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.
Suma Ciang Bun memandang kepadanya dan mengangguk. “Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan), datuk sesat itu mempergunakan Ban-tok-kam, karena pedang dari Istana Gurun Pasir itu pernah terjatuh ke dalam tangannya.”
Sin Hong sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li. Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah berbahaya kalau pedang-pedang yang amat ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat.
Bagaimana pun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam atas kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas kembali Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam. Dua batang pedang pusaka yang amat ganas itu tidak boleh disalah gunakan oleh Sin-kiam Mo-li atau para tokoh jahat lainnya untuk melakukan kejahatan.
“Lalu bagaimana, Paman?” tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan membuka rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.
“Nenekmu terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng, sedangkan engkau lalu dilarikan Sai-cu Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan merawat nenekmu. Tapi nenekmu tak tertolong lagi, dan sebelum menghembuskan napas terakhir, nenekmu telah meninggalkan pesan kepada Hong Beng.” Kembali Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung untuk membuka rahasia itu.
“Pesan mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?”
Suma Ciang Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Sebetulnya pesan ini bukan kepadamu, namun kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta kepada Hong Beng untuk berjanji. Betapa pun berat rasanya janji itu oleh Hong Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah pesan dari seorang yang menghadapi kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun telah berjanji seperti yang diminta oleh mendiang nenekmu itu...” Kembali dia berhenti.
“Apakah janji itu, Paman? Katakanlah, kenapa Paman nampak ragu-ragu?” Suma Lian mendesak.
“Hong Beng diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu...“
Sepasang mata itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali.
“Ahhhhh...“ Suma Lian menahan seruannya.
Suma Ciang Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama bertahun-tahun dirahasiakan itu. “Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong Beng tidak berani menolak dan dia pun sudah berjanji di depan nenekmu yang sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat mengganggu hati Hong Beng dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapa pun, apa lagi kepada orang tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar itu, aku segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang pesan terakhir nenekmu itu.”
Tanpa disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong. Akan tetapi pemuda itu hanya duduk bersila dengan muka ditundukkan sehingga Suma Lian tidak dapat mengetahui bagaimana wajah pemuda itu yang tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia merasa rikuh sekali bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.
“Dan mereka... ayah ibuku..., bagaimana pendapat mereka, Paman?”
Dia teringat akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk segera menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tak menyebut nama Gu Hong Beng. Teringat akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng. Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan baik. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun! Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia melihat Gu Hong Beng.
Akan tetapi, karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama, tentu saja dia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi. Samar-samar ia masih ingat bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut, pendiam, halus, serta berwajah cerah dan tampan.
“Ayah dan ibumu, hemmm... mereka tak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk urusan perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?”
Suma Lian tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang amat bijaksana dan sangat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera menikah, akan tetapi mereka menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri.
Kembali tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka dan nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma Lian. Sikapnya yang diam menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.
“Aku tidak tahu, Paman...“ Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar. “Ayah dan ibu sungguh bijaksana sekali. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap mereka yang menyerahkan keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri.”
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah kembali. “Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah engkau kalau dia menjadi calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa berbahagia sekali dan segera aku akan membicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu.”
“Aihhh, Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan sederhana dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat menentukan sekarang? Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku tidak tahu...“
“Ah, bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?”
“Itu sembilan tahun yang lalu, Paman, dan kini aku sudah lupa lagi bagaimana rupanya. Kurasa, suheng Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku...“
“Tidak, Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu tentang perjodohan itu.”
Diam-diam Suma Lian terkejut juga mendengar hal ini karena dia merasa yakin bahwa pamannya ini tidak berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak dia berusia dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya? Menggelikan!
“Biarlah aku akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman.”
Mendengar ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh, lalu mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak memberontak itu sehingga Sin Hong mendapat kesempatan pula untuk ikut bicara tanpa merasa kikuk.
Atas pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu menceritakan tentang dirinya, tentang orang tuanya yang menjadi korban pembunuhan dan betapa ia melakukan penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada Tiat-liong-pang pula. Pada waktu Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa ketiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga ketiga orang gurunya itu tewas, pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak seolah-olah ia tak percaya mendengar berita mengejutkan itu.
“Apa?” teriaknya. “Tiga orang locianpwe yang sakti itu bisa tewas di tangan para tokoh sesat? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!”
“Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sin-touw,” kata Sin Hong.
Dia selanjutnya menceritakan betapa di antara ketujuh belas orang tokoh sesat yang menyerbu Istana Gurun Paisir itu, hanya ada tiga orang yang tidak tewas, yaitu Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh lainnya sudah tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian keroyokan itu.
“Akan tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga orang gurumu tewas?” Suma Ciang Bun bertanya.
Hati Suma Ciang Bun diliputi rasa penasaran besar mendengar bahwa tiga orang yang dianggapnya memiliki tingkat ilmu kepandaian yang sulit dibayangkan tingginya, bahkan mendekati kebesaran nama kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang sesat.
Tan Sin Hong menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dirinya merasa menyesal dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia kemudian menceritakan mengapa dia masih hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para penjahat itu.
Dia ceritakan pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya tanpa hasil, betapa akhirnya dia berhasil lolos dan menyelamatkan dirinya, sesudah membakar istana itu dengan jenazah tiga orang gurunya berada di dalamnya dan ikut terbakar. Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga orang gurunya yang membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho Sin-kun dan setiap kali mengerahkan tenaga dia akan roboh sendiri.
Setelah mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun menarik napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa saat itu keluarga sakti penghuni Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti itu. Buktinya, kebetulan sekali ketika mara bahaya itu tiba, murid mereka yang mereka andalkan sedang dalam keadaan tak berdaya. Andai kata pemuda ini telah menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum tentu mereka bertiga itu akan tewas.
“Paman, keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib keluarga kakek buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi mengapa mereka semua tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?” kata Suma Lian dengan penasaran. “Bukankah mereka semua adalah orang-orang gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”
Mendengar pertanyaan ini, Suma Ciang Bun hanya mengembangkan kedua lengannya lalu mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan suara lirih, “Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan lain di dunia ini dapat mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah ditentukan Tuhan. Hukum Karma tidak akan terelakkan oleh siapa pun juga. Siapa menanam dia memetik buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon racun berbunga racun. Siapa bermain air akan basah, bermain api akan terbakar, bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam kekerasan, takkan terelakkan lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapa pun gagahnya seseorang, akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan tiba saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahannya. Dia akan menjadi lemah. Keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justru karena itulah maka mereka gugur di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Kalau kita mengingat akan Hukum Karma, hal itu sama sekali tidak aneh, bukan?”
“Tetapi, Locianpwe,” kata Sin Hong. “Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara dan mengemukakan pendapat saya. Biar pun para guru saya itu merupakan ahli ahli silat sehingga mereka itu tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena harus menentang para penjahat, akan tetapi, bukankah mereka itu adalah pembela kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai dengan kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum sesat yang jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?”
Suma Ciang Bun tersenyum. Dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukannya tidak tahu mengenai masalah itu, melainkan hendak mengajak dia berbincang tentang hukum yang nampaknya tidak adil itu.
“Orang muda yang gagah, pendapatmu itu mewakili pendapat umum, tetapi hendaknya dimengerti benar bahwa pendapat umum bukanlah merupakan ukuran akan kebenaran dan keadilan kekuasaan Tuhan. Masih terdapat banyak rahasia yang tersimpan di balik semua peristiwa yang terjadi. Apa pun yang terjadi di dalam kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kewajaran, tidak terlepas dari Hukum Karma yang mencerminkan keadilan kekuasaan Tuhan. Mungkin saja nampak tidak adil, bahkan ada kalanya suatu peristiwa dianggap janggal dan tidak adil sama sekali oleh kita, namun hal itu hanya membuktikan betapa lemah dan bodohnya kita. Akal kita, batin kita, pikiran kita, sama sekali tidak mampu menjangkau rahasia itu. Ada seorang bayi yang begitu dilahirkan sudah harus menderita, entah karena kemiskinan keluarganya, atau dikarenakan cacad badan, atau karena tertimpa bencana alam dan sebagainya. Menurut pendapat akal kita, tentu saja hal itu sama sekali tidak adil! Ada pula orang yang hidupnya penuh dengan kecurangan dan kejahatan, nampaknya hidup serba mewah, mulia dan senang. Sebaliknya, orang yang kita anggap berbudi mulia, baik dan dermawan, hidupnya serba kekurangan atau menderita karena penyakit yang berat dan lama. Nah, semua itu hanya sekedar bukti bahwa akal pikiran kita tidak akan mampu menguak rahasia kekuasaan Tuhan!”
“Paman, kalau begitu, apa gunanya kita membela kebenaran dan menentang kejahatan kalau hasilnya belum tentu menguntungkan kita?” Suma Lian membantah dengan hati penasaran.
Mendengar bantahan keponakannya itu, Suma Ciang Bun tertawa. “Ha-ha-ha-ha, Suma Lian, pertanyaanmu itu mengejutkan dan mengherankan, seolah-olah engkau bukanlah keturunan keluarga Pulau Es saja, seolah-olah engkau bukan murid terkasih dari paman Gak Bun Beng! Jika kita membela kebenaran dan keadilan serta menentang kejahatan dengan pamrih hasil yang menguntungkan, apakah hal itu bisa disebut perbuatan gagah seorang pendekar? Ketahuilah, lahir dan matinya seorang manusia seutuhnya berada di dalam kekuasaan Tuhan yang menentukan. Tapi bagaimana mengisi kehidupan, antara kelahiran dan kematian itulah tugas hidup seorang manusia. Dan aku merasa yakin, demi keadilan Tuhan, bahwa kekuasaan yang menentukan itu tentu disesuaikan dengan mutu dan nilai kehidupan yang diisi oleh manusia sendiri. Jadi, tugas kita hanyalah agar selalu harus menjauhkan segala macam kebencian iri hati, pementingan diri sendiri, dan sebagainya. Sesudah itu, selesailah, karena yang lain-lain berada di tangan Tuhan dan kita harus menyerahkannya dengan penuh keimanan akan kekuasaan Tuhan.”
Sin Hong menundukkan mukanya. Dia dapat merasakan kebenaran ucapan pendekar itu.
Bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang lemah sekali. Biar pun kebanyakan manusia merasa dirinya besar dan berkuasa, akan tetapi sesungguhnya itu hanyalah kesombongan kosong belaka. Jangankan menguasai hidup matinya, bahkan menguasai sehelai rambut pun tidak! Rambut itu tumbuh sendiri di luar kekuasaan manusia yang mengaku memilikinya. Penyerahan diri dalam kekuasaan Tuhanlah satu-satunya jalan tempat manusia berlindung, di samping, tentu saja, segala ikhtiar sekuatnya.
“Aku sudah mendengar akan semua itu, Paman.” Suma Lian mendesak, “akan tetapi, aku tetap merasa penasaran mengapa kakek buyut dan kedua nenek buyutku di Pulau Es, dan juga para locianpwe di Istana Gurun Pasir, enam orang yang terkenal memiliki kesaktian dan nama mereka pernah menggemparkan dunia persilatan itu, di dalam usia tua sekali meninggal dunia secara menyedihkan, yaitu tewas di tangan orang-orang sesat.”
Kembali Suma Ciang Bun tersenyum. “Watak orang muda memang selalu penasaran dan ingin tahu. Akan tetapi sikap demikian itu baik sekali. Janganlah mudah puas dan selidikilah segala sesuatu dengan seksama sampai engkau mengerti benar. Agaknya aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, Lian-ji, karena aku juga dapat menyelami watak orang-orang tua yang gagah perkasa itu dan aku dapat menduga mengapa mereka itu tewas dalam perkelahian melawan kaum sesat. Kematian memang hanya satu macam saja, yaitu nyawa meninggalkan badan, akan tetapi ada berbagai macam cara kematian. Tidak ada kematian yang lebih membanggakan dari pada kematian yang terjadi ketika sedang melaksanakan tugas. Tugas seorang pendekar adalah menentang kejahatan, berarti menentang golongan sesat. Agaknya itulah yang membuat para orang tua gagah itu lebih suka memilih kematian ketika mereka sedang menentang golongan sesat. Hal itu pada umumnya oleh para pendekar dianggap mati sebagai harimau, bukannya mati sebagai seekor babi. Dan ini ada hubungannya dengan perputaran Hukum Karma tadi. Prajurit mati dalam perang, pendekar mati dalam pertempuran melawan golongan sesat. Ini sudah tepat namanya.”
“Semua keterangan Locianpwe sungguh-sungguh membuka mata batin dan menambah pengertian saya. Terima kasih, Locianpwe,” kata Sin Hong dengan pandang mata amat kagum. “Tetapi, dalam kesempatan ini saya mohon agar Locianpwe suka menerangkan kepada saya yang bodoh ini, apa sesungguhnya hakekat hidup dan mati. Mengapa kita dilahirkan, hanya untuk dimatikan pada akhirnya? Apa artinya semua ini Locianpwe?”
Suma Ciang Bun tersenyum. Persis seperti yang sering kali dia renungkan ketika mulai menyendiri dalam pertapaan!
“Orang muda yang gagah. Siapakah kita ini yang akan mampu membicarakan rahasia yang hanya diketahui Tuhan? Segala bentuk kelahiran di dunia pasti akan diakhiri pula dengan kematian. Hal ini sudah terbukti di atas bumi ini. Kalau ada kelahiran tanpa kematian, maka kelahiran seperti itu tentu terjadi bukan di dunia ini. Keadaan yang menyebutnya Sorga atau Nirwana atau sudah bersatu dengan Tuhan. Lebih tepat kalau kita bicara tentang kehidupan di atas dunia ini, kehidupan kita bersama yang sama kita rasakan. Kini kita hanya dapat bicara tentang pengalaman, hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman orang lain. Sebelum kita dilahirkan, kita ini tidak ada. Kita lalu ada setelah terlahir dan hidup. Kemudian, setelah mati, kembali keadaan kita lenyap dan menjadi tidak ada lagi! Nah, keadaan tidak ada itu, sebelum terlahir dan sesudah mati, bukanlah urusan kita, melainkan urusan yang ditangani oleh kekuasaan Tuhan. Bukan hak mau pun kewajiban kita untuk menyelidikinya, lagi pula, bagaimana kita mampu menyelidiki sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan akal budi dan pikiran kita? Lebih baik kita bicarakan tentang keadaan yang ada saja, yaitu keadaan hidup kita ini. Hak kita adalah menghayati kehidupan ini sepenuhnya, kewajiban kita adalah mengisi hidup ini sebagaimana mestinya, memupuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, tanpa pamrih mendapatkan upah. Ada pun semua penilaian tentang prilaku kita semasa hidup, kita serahkan saja kepada Tuhan!”
Kalau Sin Hong mendengarkan dengan penuh hormat. Suma Lian sebaliknya menjadi kagum. Dahulu, pernah beberapa kali dia mendengar pamannya ini bicara, akan tetapi alangkah bedanya cara pamannya bicara. Kini pamannya demikian pasrah, demikian dekat dengan Tuhannya. Agaknya itulah hasil pertapaannya, hasil perenungan di dalam semedhinya, dan Suma Lian menjadi kagum, juga terharu.
Dari ayah dan ibunya ia telah banyak mendengar mengenai Suma Ciang Bun, tentang keadaannya yang luar biasa, kecondongannya untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu laki-laki. Karena itu sampai setua itu dia tidak pernah menikah dan lebih suka hidup menyendiri di lereng Tapa-san yang sunyi itu.
Setelah bercakap-cakap dan menyerahkan Yo Han untuk dititipkan sementara waktu di tempat tinggal Suma Ciang Bun, Sin Hong dan Suma Lian lalu berpamit untuk memulai dengan perjalanan mereka, yaitu melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang yang kabarnya menghimpun para tokoh hitam untuk memberontak itu.
Mereka pun ingin berusaha membebaskan ayah ibu Yo Han yang menjadi tawanan para tokoh hitam itu, di samping juga kepentingan Sin Hong yang hendak menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya, juga untuk menentang Sin-kiam Mo-li yang dia tahu amat jahat. Yo Han suka tinggal untuk sementara waktu dengan kakek yang amat ramah dan halus budi itu, apa lagi karena Sin Hong sudah berjanji bahwa setelah selesai tugasnya, dia pasti akan datang menjemput muridnya.....
********************
Selanjutnya baca
KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-12