Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 17


Pada saat itu ada angin menyambar dan berkelebat dua bayangan orang. Tahu-tahu di situ telah berdiri Kam Hong dan isterinya! Akhirnya, suami isteri ini dapat juga menyusul dan betapa kaget, heran dan juga girang rasa hati mereka melihat Bi Eng berada di tempat itu dalam keadaan selamat. Akan tetapi gadis itu berlutut di dekat tu-buh Hek-i Mo-ong yang sudah terluka parah, bersama seorang pemuda yang tampaknya sedang berusaha menotok beberapa jalan darah di tubuh kakek itu untuk menghentikan darah yang bercucuran dan menghilangkan rasa nyeri.

Begitu melihat siapa yang datang, Hek-i Mo-ong mendorong tangan muridnya dengan halus dan dia pun seperti memperoleh kekuatan baru, bangkit duduk kemudian berdiri menghadapi Pendekar Suling Emas dan isterinya!

“He-he-heh, orang she Kam! Engkau datang untuk melanjutkan perkelahian denganku? Baik, hayolah, aku sudah siap!” katanya menantang.

Tentu saja Kam Hong menjadi marah. Gara-gara kakek ini dan kaki tangannya, dia kehilangan nyawa beberapa orang murid, bahkan puteri mereka pun terculik dan nyaris celaka.

“Hek-i Mo-ong, orang seperti engkau ini adalah iblis jahat yang sudah sepatutnya dienyahkan dari muka bumi!” bentak Kam Hong, siap untuk menyerang.
“Ha-ha-ha, biar jahat seperti aku atau baik seperti engkau, kita semua pada akhirnya akan lenyap dari muka bumi! Hayo, sudah lama aku menanti saat ini, dan aku tidak akan merasa penasaran kalau engkau yang mengantar kematianku, orang she Kam, karena engkaulah yang berhasil mengalahkan aku!”

Keadaan kakek itu sebetulnya sudah payah sekali, bicara pun sudah terengah-engah, sudah lebih mendekati mati dari pada hidup. Akan tetapi dia kelihatan sangat gembira menghadapi kematiannya. Dengan kedua tangan membentuk cakar penuh pengerahan hawa sakti dari Ilmu Coan-kut-ci, dia berdiri menghadapi musuh besarnya.

Akan tetapi, Kam Hong adalah seorang pendekar besar yang pantang melakukan hal-hal yang rendah atau licik. Dia sudah melihat betapa payah keadaan musuhnya, maka biar pun dia marah sekali mengingat betapa kakek iblis ini telah menyebabkan tewasnya para pelayannya yang dianggap sebagai murid-murid pula, namun dia nampak ragu-ragu untuk menyerang orang yang sudah tidak mampu melawan lagi.

Mendadak nampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda remaja sudah berdiri menghadang di antara pendekar ini dan kakek iblis itu. Pemuda yang bertubuh tinggi tegap, wajahnya cerah dan gagah, sinar matanya mencorong aneh, akan tetapi belum dewasa benar sehingga nampak lucu bahwa seorang pemuda remaja yang masih hijau itu berani berdiri menghadapi dan menentang seorang pendekar seperti Kam Hong!

“Suhuku sudah terluka dan tidak dapat melawan, biarlah aku yang menggantikannya menghadapimu kalau engkau hendak menyerangnya,” kata Ceng Liong dengan sikap tenang sekali, menandakan bahwa nyalinya amat besar dan dia tidak takut menghadapi lawan yang berpakaian sasterawan sederhana ini. Dia pun tahu dari ucapan gurunya tadi bahwa sasterawan inilah musuh besar gurunya yang dapat diduganya tentu lihai bukan main.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Kini dia tahu bahwa tentu pemuda ini yang mengaku murid Hek-i Mo-ong yang telah menculik Bi Eng. “Hemm, tidak patut aku menyerang seorang bocah, akau tetapi mengingat engkau murid iblis tua ini, sudah semestinya kalau aku mengenyahkan engkau pula yang tentu akan menjadi lebih jahat dari pada gurunya kelak!”

Akan tetapi anak muda itu hanya terus berdiri memandangnya dan tidak juga bergerak menyerang.
“Majulah,” kata Kam Hong. “Engkau boleh mewakili gurumu menghadapiku!”
Akan tetapi Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak ingin memusuhi siapa pun juga, akan tetapi aku harus melindungi guruku dari serangan siapa pun juga!”

Kerut di antara alis pendekar itu mendalam dan dia mengeluarkan dengus mengejek dari hidungnya. “Hemm, seorang murid yang berbakti, ya? Murid iblis tua tentu menjadi calon iblis pula!”
“Heh-heh-heh, muridktu yang baik! Tidak percuma aku mendidikmu bertahun-tahun dan mewariskan semua ilmuku kepadamu. Lebih baik menjadi murid iblis akan tetapi berbakti dari pada menjadi murid pendekar akan tetapi murtad, heh-heh!” Hek-i Mo-ong terkekeh, akan tetapi terpaksa dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena kata-katanya dan tawanya tadi membuat darah mengucur keluar lagi dari luka di dadanya.

“Hahh!” Kam Hong sudah menyerang dengan tamparan kilat ke arah leher Ceng Liong. Tamparan yang selain amat cepat, juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat sehingga terdengar suara angin mendesis.
“Dukk! Dukk! Dukkk!”

Tiga kali Kam Hong melakukan tamparan bertubi yang amat hebat, akan tetapi semua serangan itu dapat ditangkis dengan baiknya oleh Ceng Liong. Barulah mata Kam Hong terbelalak ketika dia merasa betapa tangkisan-tangkisan itu selain cepat dan tepat, juga mengandung tenaga yang hebat, yang mampu menahan tenaganya sendiri! Tahulah dia bahwa ucapan Hek-i Mo-ong tadi tidaklah bualan belaka. Anak ini, biar pun masih muda, telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari kakek iblis itu!

Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebetulnya, pada saat itu, andai kata diadukan antara Hek-i Mo-ong dengan Ceng Liong, agaknya kakek itu pun belum tentu akan mampu mengalahkan muridnya, terutama sekali dalam hal tenaga sakti. Seperti kita ketahui, Suma Ceng Liong telah mewarisi tenaga sakti dari kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti Suma Han. Selain itu, pemuda tanggung ini juga telah mewarisi semua ilmu yang dimiliki Hek-i Mo-ong.

Setelah merasa yakin akan kelihaian lawan yang amat muda ini, Kam Hong tidak mau membuang waktu lagi dan dia pun mencabut suling emasnya. Sinar emas berkilat menyilaukan mata ketika suling tercabut dan melihat ini, tiba-tiba saja Bi Eng melompat ke depan. Gadis ini sejak tadi dirangkul oleh ibunya yang merasa lega dan girang sekali melihat bahwa puterinya dalam keadaan sehat dan selamat.

Tadinya, Bi Eng juga diam saja tidak mau mencampuri urusan antara Hek-i Mo-ong dan ayahnya karena ia pun tahu bahwa Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya datang untuk memusuhi dan menyerbu keluarga ayahnya sehingga mengakibatkan tewasnya para pelayan. Namun ketika ia melihat ayahnya menyerang Ceng Liong, kemudian ayahnya mencabut suling emas, hatinya merasa ngeri. Ia tahu akan kehebatan suling emas di tangan ayahnya dan ia tidak ingin ayahnya membunuh Ceng Liong yang telah begitu baik terhadap dirinya.

“Ayah....! Jangan....!” teriaknya sambil melompat.

Kam Hong terkejut, juga heran sekali melihat puterinya mencegahnya menyerang murid musuh besar yang berbahaya itu. Dia menunda gerakannya, berdiri dan memandang puterinya dengan mata tajam dan alis berkerut tak senang.

“Bi Eng! Kau kenapakah?” bentak ayah ini.

Tentu saja dia marah. Bukankah para pelayannya telah terbunuh oleh musuh, bahkan Bi Eng sendiri diculik. Sekarang, anaknya itu malah melarangnya membunuh musuh yang jahat ini!

Bi Eng maklum apa yang dipikirkan ayahnya, maka ia dengan cepat maju dan berdiri di dekat Ceng Liong dengan sikap seperti hendak melindungi pemuda itu dari kemarahan ayahnya.

“Ayah, jangan serang dia! Ceng Liong tidak bersalah apa-apa....!”
“Hemm, bukankah dia murid iblis tua itu?” tanya Kam Hong meragu.
“Benar, akan tetapi dialah yang menyelamatkan aku, ayah. Aku roboh oleh penjahat cabul dan tentu akan celaka kalau tidak dibawa lari dan diobati oleh Ceng Liong ini. Ayah, dia telah menyelamatkan puterimu, apakah sekarang, sebagai imbalannya ayah hendak membunuhnya?”

Kam Hong menjadi bingung. Tentu saja dia merasa heran. Pemuda yang lihai ini adalah murid Hek-i Mo-ong, lalu bagaimana dia harus bersikap kalau murid musuh besarnya itu menolong puterinya.

“Tapi.... tapi mereka membunuh para pelayan kita....!”
“Bukan Ceng Liong yang membunuh, melainkan penjahat cabul itu dan gurunya!” Bi Eng membela.

Kam Hong mengangguk-angguk. Dia tahu siapa yang dimaksudkan puterinya dengan penjahat cabul itu. Tentu pemuda lihai yang menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok itu. Kalau memang pemuda remaja ini tidak ikut melakukan pembunuhan, dan bahkan sudah menyelamatkan Bi Eng, memang tidak layak kalau dia membunuhnya.

“Baik,” katanya, “akan tetapi suruh dia minggir agar aku dapat membunuh raja iblis jahat Hek-i Mo-ong itu.” Dia pun melangkah maju dengan suling di tangannya.
“Siapa pun hanya dapat menyerang suhu dengan melangkahi mayatku!” kata Ceng Liong, sikapnya tenang akan tetapi suaranya terdengar tegas.

Sikap pemuda ini kembali membangkitkan kemarahan di hati Kam Hong. Siapakah orangnya yang tidak akan marah kalau menghalangi dia menghukum iblis yang telah menyebar maut di tempat tinggalnya?

“Ayah, Hek-i Mo-ong juga telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan.... dia berkorban nyawa untuk membelaku....”
“Apa....?!” Ayahnya bertanya, terkejut juga kini karena pernyataan puterinya itu sungguh tak disangkanya.
“Aku dirobohkan oleh penjahat cabul lalu ditolong oleh Ceng Liong. Akan tetapi aku terluka parah karena pukulan beracun penjahat itu. Ketika penjahat-penjahat guru dan murid itu hendak merampasku, kakek ini mempertahankan dan dia membunuh guru penjahat itu akan tetapi dia sendiri terluka. Dan luka beracun di tubuhku juga diobati oleh Hek-i Mo-ong.”

Kembali Kam Hong menjadi bingung, tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu benar bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk kaum sesat, seorang penjahat besar yang kejam dan ganas. Entah berapa banyak orang yang celaka atau tewas di tangannya. Akan tetapi, kakek itu telah menyelamatkan puterinya. Kalau sekarang dia menyerang dan membunuhnya, apakah dia tidak akan merasa menyesal selama hidupnya? Akan tetapi, kalau dia tidak turun tangan, berarti pula bahwa dia membiarkan saja penjahat keji berkeliaran dan ini bertentangan dengan watak seorang pendekar.

Hek-i Mo-ong yang duduk bersila itu kini membuka matanya memandang, mulutnya menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum mengejek, akan tetapi dia tidak berani tertawa karena luka di dalam tubuhnya amat parah. Dengan mengerahkan kekuatan terakhir yang masih bersisa, dia berkata, “Orang she Kam, lihat bagaimana seorang jahat dan sesat seperti aku dibela oleh dua orang muda yang gagah! Dan yang seorang puterimu sendiri malah. Hati siapa takkan bangga dan senang? Jangan khawatir, tanpa kau turun tangan pun aku takkan hidup lama lagi. Akan tetapi sebelum mati aku ingin memberi tahu kepadamu bahwa puterimu ini akan menjadi isteri muridku....”

“Apa?! Tidak mungkin! Hek-i Mo-ong, aku tidak akan membunuhmu karena engkau pernah menolong puteriku, akan tetapi jangan harap lebih dari pada itu. Sampai mati kami tidak sudi berbesan denganmu!”
“Tapi.... tapi.... puterimu telah berjanji untuk menjadi isteri Ceng Liong muridku ini!”

Kam Hong dan isterinya terkejut dan Bu Ci Sian yang sejak tadi hanya menonton saja, tiba-tiba menjadi marah. “Bi Eng! Apa artinya ini? Benarkah engkau berjanji seperti itu?”
“Tidak, ibu. Aku tidak pernah berjanji!” jawab Bi Eng dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi Bu Ci Sian yang biasanya berwatak keras, hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja ia dapat merubah kekerasannya di bawah pimpinan suaminya, masih belum puas dengan jawaban itu. Hati ibu ini sungguh merasa khawatir kalau membayangkan puterinya akan menjadi isteri murid seorang datuk seperti Hek-i Mo-ong, walau pun ia harus mengakui bahwa pemuda remaja itu gagah, tampan dan juga berilmu tinggi seperti yang dilihatnya tadi ketika pemuda itu mampu menahan serangan suaminya.

“Bi Eng, katakanlah, apakah engkau mau menjadi mantu seorang penjahat terkutuk seperti Hek-i Mo-ong itu? Apakah engkau mau menjadi calon isteri murid orang sesat ini?”

Didesak oleh ibunya seperti itu, Bi Eng menggeleng kepalanya. Ia sendiri sebetulnya tidak pernah mempertimbangkan hal itu. Ketika Hek-i Mo-ong mengajukan syarat agar ia berjanji mau menjadi calon isteri Ceng Liong untuk diobati, ia menolak keras, bukan karena ia membenci Ceng Liong melainkan karena ia tidak sudi ditekan dan ia tidak mau tunduk. Namun mengenai perjodohannya, sama sekali ia tidak pernah memikirkan. Biar pun demikian, ketika didesak ibunya, dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia merasa tidak enak dan jalan satu-satunya bagi Bi Eng hanyalah dengan menolak.

“Tidak, ibu, aku tidak mau.”

Hening sejenak setelah dara itu memberikan jawabannya dan diam-diam Ceng Liong merasa sesuatu yang amat tidak enak dalam hatinya. Dia sendiri sama sekali belum pernah memikirkan tentang perjodohan dan perasaannya terhadap Bi Eng hanyalah perasaan suka biasa saja. Kalau tadi dia bersikeras menolong dara itu adalah karena terdorong rasa iba dan karena pada dasarnya dirinya memang tidak senang melihat kejahatan dilakukan orang di depan matanya.

Biar pun demikian, melihat dan mendengar betapa dara itu dan ayah bundanya jelas memperlihatkan sikap tidak suka kepadanya, merupakan suatu hal yang amat tidak enak. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau membuka mulut dan hanya memandang kepada suhu-nya dengan hati kasihan. Dia sudah berjanji kepada gurunya untuk kelak menjadi suami dara ini, bukan karena memang dia sudah mengambil keputusan itu, melainkan hanya untuk menyenangkan hati gurunya dan agar kakek itu mau mengobati Bi Eng.

“Hemm, kakek iblis! Engkau mendengar sendiri bahwa puteriku tidak sudi menjadi isteri muridmu!” kata nyonya itu dengan hati lega.

Hati Ceng Liong diliputi rasa iba melihat betapa gurunya yang sudah tua itu sekarang memandang dengan mata sayu dan wajah kakek yang biasanya keras itu kini nampak begitu kecewa hingga mewek-mewek bagai anak kecil yang mau menangis. Sepasang mata kakek itu yang sudah mulai kehilangan sinarnya memandang kepada Ceng Liong, kemudian kepada Bi Eng dengan penuh duka, kemudian kepada suami isteri pendekar itu.

“Tapi.... tapi.... muridku sudah berjanji akan menjadi suaminya.... dan aku.... ahh, aku tidak akan dapat mati dengan tenang kalau mereka belum terikat jodoh....” Seluruh sikap dan kata-kata, terutama pandang mata kakek itu penuh diliputi kekecewaan dan penyesalan yang amat menyedihkan.

Akan tetapi, tentu saja hal ini hanya terasa oleh Ceng Liong. Bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian, sikap itu tentu saja malah menjengkelkan sekali. Puteri tunggal mereka hendak dijodohkan dengan murid datuk sesat itu? Sungguh merupakan suatu penghinaan besar! Kalau saja tidak ingat bahwa kakek itu pernah menyelamatkan Bi Eng dan kini berada dalam keadaan luka parah sekali, tentu Kam Hong atau Bu Ci Sian sudah menyerangnya.

“Hek-i Mo-ong,” kata Kam Hong dengan sikap tenang, mendahului isterinya yang dikhawatirkannya akan mengeluarkan kata-kata keras. “Engkau tentu tahu bahwa kami sekeluarga tidak sudi mengikat pertalian keluarga denganmu. Puteri kami tidak suka menjadi calon isteri muridmu, juga kami berdua sebagai ayah bundanya tidak sudi. Maka, tidak perlu kau melanjutkan mimpi kosongmu itu. Bi Eng, mari kita pulang!” kata Kam Hong mengajak puterinya dan isterinya untuk meninggalkan tempat itu.

“Kam Hong, kau.... kau....!” Hek-i Mo-ong meloncat bangun berdiri dan menerjang ke depan, maksudnya untuk menyerang pendekar itu yang sudah melangkah pergi. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluh dan roboh terguling.
“Suhu....!” Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi!

Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.

Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju. “Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, jika memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silakan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.” Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan.

Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, sikap pemuda itu juga sama sekali tidak mirip penjahat. Maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dengan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja. Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.

Bagaimana pun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya. Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biar pun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik.

Memang dia melihat dan mengalami sendiri, betapa gurunya bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka.
Dia sendiri tak menyetujui cara hidup gurunya. Andai kata suhu-nya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga. Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong.

Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri. Namun cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!

“Kam-locianpwe,” katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapa pun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, aku pun tak akan mengelak. Kalau memang locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, aku pun tidak akan melarikan diri.”

Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi. Walau pun dia bersikap hormat, ucapannya mengandung penyambutan tantangan!

Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata, “Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!” Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.

“Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi aku pun kematian enam orang muridku. Biar pun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biar pun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Dari pada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!”

Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur.

Wajah Ceng Liong berubah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya sering kali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat. Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merubah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.

“Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe hendak menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, aku pun tidak akan mundur selangkah pun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silakan!”

Dia pun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka dia pun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.

“Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”
“Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”

Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka dia pun menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.

“Orang muda, lihat seranganku!” katanya.

Kam Hong pun menerjang dengan amat cepatnya. Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi. Serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat hingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.

Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang. Dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini.

Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya. Tangan kirinya ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikit pun.

Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sinkang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka dia pun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.

“Dukkk!”

Tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran. Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sinkang tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi.

Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada. Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sinkang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.

Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, dia pun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Sekarang dia pun membalas dengan serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang dia pun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!

Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut.
“Ilmu keji....!” serunya.

Dia pun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mukjijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia. Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biar pun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.

“Plak-plak-plakk!”

Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sinkang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.

“Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!” Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.

Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah cepat meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.

“Apa katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong. “Dia.... dia she Suma....?”
“Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberi tahu padaku,” kata Bi Eng.

Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus. “Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya....”

Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas, “Kam-locianpwe, orang tak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan bagaimana aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa pun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!”

Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.

“Ceng Liong....!” Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.

Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja dia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu telah berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.

“Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci Sian bertanya.

Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong. “Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biar pun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.”

Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya. “Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milana yang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti....”
“Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?” Bu Ci Sian bertanya.

Nada suaranya masih penasaran, walau pun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti! Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini.

Jika kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua sudah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tak lagi memandang orangnya, manusianya, tetapi kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi.

Pada waktu mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!

“Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.”

Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa. “Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dari pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan.”

Mereka bertiga, ayah, ibu dan anak itu, beriringan melangkah ke arah yang sama, tapi jalan pikiran mereka belum tentu seiring dan sama.....

********************
Biar pun mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong sehingga mereka pun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika menyembahyangi enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong, Ci Sian dan Bi Eng merasa berduka sekali. Bahkan Ci Sian dan Bi Eng tak kuasa menahan air mata mereka. Enam orang itu tewas karena membela keluarga mereka. Akan tetapi, siapakah yang akan dikutuk? Hek-i Mo-ong yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan itu telah tewas, juga Jai-hwa Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.

Banyak juga tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam orang itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk dusun di sekitar pegunungan itu. Ada pula beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan mala petaka yang menimpa keluarga pendekar Kam kemudian datang pula berkunjung untuk menyatakan bela sungkawa.

Malam itu tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggota keluarga itu saja yang masih duduk di ruangan depan sambil menjaga enam buah peti jenazah. Bulan bersinar terang sehingga pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak jelas. Maka, ayah, ibu dan anak itu pun dapat melihat dengan jelas ketika ada dua bayangan orang berkelebat di pekarangan mereka.

Kam Hong memberi isyarat dengan tangan kepada isteri dan puterinya agar waspada. Akan tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang itu dan mereka pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawannya, keluarga Kam menjadi waspada dan selalu dalam keadaan tegang dan curiga.

Kini dengan gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di situ dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua orang pria.

Yang seorang berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun. Tubuhnya tegap dan bersikap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas sehingga membayangkan tubuh yang masih kekar. Wajahnya cerah, mulutnya membayangkan senyum ramah.

Ada pun pria yang ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan alisnya tebal, nampak tampan dan gagah. Kalau pria setengah tua itu membawa sebatang pedang di punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan kedua orang itu jelas merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud baik.

Maka, terdorong oleh rasa duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, Bi Eng tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan jungkir balik tiga kali baru tubuhnya itu hinggap dengan ringannya di depan dua orang pria itu yang memandang dengan kagum.

“Ginkang yang bagus!” Pria setengah tua itu berseru memuji.
Sementara itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri, dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal pria itu. “Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!”

Dan sekali meloncat, tubuh nyonya ini pun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di sisi puterinya yang memandang ragu mendengar seruan ibunya. Kam Hong juga melangkah keluar menyambut dengan wajah berseri. Kini dia pun mengenal pria yang gagah itu, dan dia pun terkenang akan masa lalu, belasan tahun yang lalu.

Pria itu bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan dalam ilmu silat dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Sihunan berasal dari sumber yang sama dengan Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisah’Suling Emas dan Naga Siluman’).

Bukan itu saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian. Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali pemuda-pemuda pilihan, di antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat, memilih dia yang menjadi suheng-nya sendiri walau pun usianya belasan tahun lebih tua.

Selain pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga Hong Bu inilah yang merupakan lawan paling tangguh di antara semua jagoan yang pernah dilawannya. Sim Hong Bu inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas, merupakan lawan yang seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada belasan tahun yang lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian berpisah sebagai sahabat. Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat mereka berkabung atas kematian enam orang pelayan atau murid itu.

Pendekar bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian. “Nona Bu Ci Sian.... ehhh, maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini tentulah puterimu!” Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.

Kam Hong yang sudah tiba pula di situ tersenyum. “Saudara Sim Hong Bu, apa kabar? Dan aku pun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah puteramu!”

Sim Hong Bu tertawa bergelak, kemudian menepuk pundak pemuda di sebelahnya. “Houw-ji (anak Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sudah sering kuceritakan padamu. Inilah Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa tanding, dan isterinya yang lihai pula!”

Pemuda itu adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Setelah cintanya dengan Bu Ci Sian mengalami kegagalan, pendekar ini kemudian menikah dengan Cu Pek In, puteri dari gurunya sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak mereka itu tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal keluarga Cu yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu menggembleng putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas lawan, juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya itu.

Pada saat dia diperkenalkan kepada keluarga Kam yang memang sudah sering kali diceritakan oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.

“Saya Sim Houw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan....”
“Wah, anak baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, engkau jangan menyebut locianpwe kepadaku. Sebut saja paman!” kata Kam Hong gembira.
Pemuda itu kembali menjura. “Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!”

Bu Ci Sian memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada pemuda yang gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu mudanya. Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi putera Sim Hong Bu ini.

“Sim Houw, apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?” tanya nyonya ini sambil tersenyum.
“Karena daerah tempat tinggal kami penuh dengan hutan-hutan, maka saya memang kadang-kadang suka pergi berburu, bibi,” jawab Sim Houw sederhana.
“Kam-taihiap,” kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam Hong. “Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Ada enam buah peti jenazah! Apakah yang telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?”
“Mereka adalah enam orang muridku yang tewas di tangan penjahat-penjahat yang datang menyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat pada Hek-i Mo-ong?”
“Apa? Iblis tua itu yang datang menyerbu?” Sim Hong Bu bertanya kaget.
“Dia dan Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka.”
“Ahhh....!” Sim Hong Bu berseru kaget dan marah. “Dan di mana mereka? Tentu taihiap telah dapat memukul mundur mereka.”

Kam Hong menarik napas panjang. “Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid mereka melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu,” ajak Kam Hong.

Sim Hong Bu dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian memperkenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada ‘paman Sim Hong Bu’. Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam buah peti jenazah. Kemudian mereka duduk di ruangan depan sambil bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sejak berpisah belasan tahun yang lalu.

“Tempat tinggal kalian terlalu jauh, di Himalaya, maka kami tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu,” kata Bu Ci Sian kepada tamunya. “Baik sekali kalian datang berkunjung, kami merasa gembira dan berterima kasih.”

Sim Hong Bu menarik napas panjang. “Bertahun-tahun kami seperti hidup terasing di Lembah Gunung Naga Siluman. Baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak kami memperluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke sini, saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai seorang puteri. Maka ketika puteri kalian tadi muncul, saya dapat segera mengenalnya, apalagi karena wajahnya mirip benar dengan ibunya.”

“Dan puteramu mirip sekali dengan ayahnya,” kata Bu Ci Sian.
“Kam-taihiap dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri saya sebelum saya berangkat.”
“Kenapa isterimu tidak ikut datang berkunjung juga?” Bu Ci Sian bertanya seperti baru teringat.
“Ibunya Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan sambutan baik dari Kam-taihiap berdua.”
“Saudara Sim Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?” Kam Hong sudah dapat menduga, tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan pertanyaan itu.

“Baiklah, saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sini pun saya kira tidak menjadi halangan, karena bukankah kita senantiasa menghargai keterbukaan dan kejujuran? Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak begitu jauh selisihnya, bahkan mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan. Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati kami adalah untuk mengharapkan persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau berkenan di hati, kami ingin sekali melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang mulia.”

Hening sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang dara remaja, biar pun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang berpikiran terbuka, namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohannya, tentu saja ia merasa risih, rikuh dan malu. Akhirnya, keheningan yang menyambung akhir ucapan Sim Hong Bu yang jujur itu, begitu mencekam hatinya dan dia pun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan, dengan kepala tunduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamarnya!

Ada pun Sim Houw, pemuda remaja itu, juga tak berani bergerak dari tempat duduknya, hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya bicara tentang perjodohan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang berkunjung ke rumah keluarga Kam, yang kini ternyata adalah untuk membicarakan perjodohannya atau melamar gadis orang.....

Kemudian terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang lembut. “Aihh, saudara Sim, sungguh pernyataanmu tadi seperti serangan mendadak yang membuat kami terkejut dan bungkam. Betapa pun juga, kami merasa berterima kasih sekali, bangga dan girang bahwa engkau mempunyai niat yang demikian mulia terhadap diri puteri kami yang bodoh. Karena pinanganmu ini datangnya terlalu tiba-tiba, dan untuk mengambil keputusan kami perlu mengadakan perundingan dalam keluarga lebih dulu, maka harap engkau suka bersabar menanti. Tunggulah sampai kami selesai mengurus penguburan jenazah-jenazah ini, baru kami akan memberi keputusan dan jawaban.”

Sim Hong Bu cepat bangkit dan menjura dengan hormat. “Maaf.... harap ji-wi maafkan karena memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus tahu diri, lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti dengan sabar, Kam-taihiap.”

“Akan tetapi, kalian tinggal saja di sini,” kata Bu Ci Sian.
“Benar, tinggallah di sini selama beberapa hari,” sambung suaminya.

Hong Bu tidak menolak dan ayah bersama puteranya ini tinggal di rumah gedung tua itu, bahkan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti jenazah. Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berdekatan. Selama itu, biar pun sering kali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara.

Bi Eng biasanya lincah jenaka dan gembira, juga pandai bicara. Akan tetapi karena para orang tua membicarakan perjodohannya dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan tidak berani mendahului menegur pemuda itu. Sebaliknya, Sim Houw memang seorang pemuda yang pendiam dan canggung kalau berhadapan dengan wanita, maka mereka hanya saling bertukar pandang saja sekilas tanpa saling menegur kecuali mengangguk tanda hormat.

Kam Hong selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Sebetulnya mereka merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai seorang pendekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan keluarga Cu yang sakti. Sim Houw adalah keturunan orang-orang gagah. Pemuda itu pun cukup tampan dan bersikap baik, pantas kalau menjadi suami Bi Eng. Akan tetapi, mereka harus berhati-hati agar jangan sampai salah memilih calon suami puteri tunggal mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para jenazah itu selesai, suami isteri ini lalu mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka.

Keluarga ini selalu bersikap bebas dan dalam hal ini pun mereka akan bersikap terbuka kepada puteri mereka.

“Eng-ji,” kata ibunya yang bertugas menyampaikan urusan itu kepada puteri mereka, “seperti telah kau dengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau telah melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itu sejak dahulu telah menjadi sahabat baik kami. Betapa pun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena engkaulah yang akan menjalani dan urusan pernikahan adalah urusan yang menyangkut diri selamanya. Nah, bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau kalau menjadi calon isteri Sim Houw?”

Biar pun pada waktu itu belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan hampir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua masing-masing bahkan jarang ada pemuda atau pemudi yang dapat mengenal lebih dahulu siapa calon jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara pernikahan, namun keluarga Kam memang menganut sikap bebas dalam kehidupan keluarga mereka. Bagaimana pun juga, tentu saja pengaruh tradisi yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan dan kesopanan umum itu tidak dapat terlepas begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka lebih condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walau pun mereka kini menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri.

Di lain pihak, juga Bi Eng sebagai seorang dara muda yang hidup di jaman itu, tidak terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk membicarakan urusan perjodohannya. Pada jaman itu, hubungan antara pria dan wanita merupakan suatu hal yang dianggap rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar orang lain, sedangkan urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita. Maka tiap orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding tentang pernikahannya.

Bi Eng yang baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum pernah berpikir tentang perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang diajukan tamunya, ia tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri bersembunyi ke dalam kamarnya. Kini, mendengar pertanyaan ibunya, ia pun menunduk dan mukanya berubah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang.

Harus diakuinya bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu. Kini, ia merasa bingung harus berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak sampai hati kepada orang tuanya, karena bukankah urusan jodoh adalah urusan orang tua dan anak yang berbakti tinggal mentaatinya saja? Demikianlah anggapan umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari anggapan ini akan dianggap hal yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang gadis sopan yang diharapkan semua orang pada jaman itu, ia pun menunduk ketika menjawab lirih.

“Aku.... aku tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!” setelah berkata demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari rumah melalui pintu belakang dan memasuki kebun belakang yang luas.

Hatinya bingung dan perasaannya masih terguncang akibat pertanyaan ibunya tadi. Selama ini belum pernah ia berpikir tentang perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan membingungkan hatinya.

“Ahh, ia masih terlalu muda untuk dapat mengambil keputusan tentang perjodohannya sendiri,” kata Ci Sian kepada suaminya.

Suaminya mengangguk. “Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia tak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan sebagai seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita untuk mengambil keputusan.”
“Apakah ini berarti bahwa engkau akan menerima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?” isterinya bertanya.

Suaminya menarik napas panjang dan menggeleng kepala. “Memang, dilihat begitu saja tiada alasan apa pun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isterinya pun keturunan keluarga Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan cukup gagah. Betapa pun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh anak kita. Aku pun tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu berunding dan kita pun tadi sudah menanyakan pendapat Eng-ji sendiri.”

Suami isteri itu termenung, masih diliputi kebimbangan meski mereka berdua memang telah condong sebelumnya untuk menerima pinangan itu dengan girang karena merasa bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.

Pada jaman itu memang belum ada apa yang dinamakan pergaulan bebas antara para gadis dan pemuda seperti sekarang. Gadis yang sudah mulai dewasa dikurung oleh orang tuanya, dijadikan semacam benda berharga yang menanti penawaran yang tentu saja diharapkan mendapat penawaran tertinggi! Pingitan para gadis itu oleh orang tua mereka dianggap sebagai hal yang amat baik, bahkan akan mengangkat derajat dan harga diri gadis mereka dalam pandangan para calon besan.

Keadaan yang sudah menjadi tradisi ini, yang pada jamannya masing-masing berlaku pula di seluruh bagian dunia agaknya, tidak memungkinkan adanya perjodohan atas pilihan hati sendiri. Pernikahan terjadi atas pilihan dan kehendak orang tua yang tentu saja dengan cara masing-masing, dengan perhitungan dan pertimbangan masing-masing, bertindak dengan tujuan membahagiakan anak sendiri.

Pada jaman dulu dan mungkin masih ada pula terjadi di jaman sekarang, orang-orang tua lebih menilai keadaan si calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kedudukannya, kekayaannya dan sebagainya. Ini penilaian orang tua si gadis. Ada pun orang tua si pemuda akan menilai seorang gadis calon mantu dari keadaan keluarga, keturunannya, kecantikannya, dan kepandaiannya atau juga sikapnya.

Mereka itu, orang-orang tua yang memang tak mengerti itu, tak tahu bahwa perjodohan adalah urusan hati, urusan cinta. Bersatunya dua orang manusia pria dan wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga dan keluarga, hanya dapat berhasil apabila terdapat cinta di dalam hati masing-masing. Tanpa adanya cinta kasih, segala macam sarana lahiriah seperti kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya itu tidak mungkin dapat mengokohkan hubungan antara dua orang manusia yang berjumpa setelah keduanya dewasa dan hidup bersama selamanya!

Bukan kebahagiaan yang nantinya diperoleh, bahkan sebaliknya, mereka akan tersiksa selamanya. Berkumpul terus menyiksa hati, bercerai tidak mungkin seperti keadaan di jaman itu. Sebaliknya, kasih sayang akan mengalahkan segala rintangan.

Harus diakui bahwa memang ada pertumbuhan cinta kasih setelah keduanya bertemu dalam upacara pernikahan. Namun, kebanyakan tidaklah demikian. Kebanyakan hanya memaksa dirinya sendiri sesuai dengan tradisi yang sudah menjadi peraturan, kesusilaan dan kesopanan di jaman itu. Mereka, terutama yang wanita, hanya mampu menangis dan menerima nasib, lalu memaksa diri melayani suaminya sebaik mungkin agar disebut sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga yang baik!

Pada jaman itu ‘nama baik’ merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Untuk mengejar ‘nama baik’ ini, orang rela mengorbankan apa saja, kalau perlu berkorban nyawa sekali pun! Betapa banyaknya wanita di jaman itu, bahkan mungkin juga masih ada di jaman sekarang, yang hidup tersiksa batinnya dan menderita sengsara, sebagai seorang isteri yang sebenarnya tidak mencinta suaminya, namun memaksa diri mempertahankan nasibnya itu sampai selama hidupnya, hanya karena ingin menjaga nama baiknya.

Lebih baik hidup menderita selamanya namun mendapat nama baik sebagai seorang isteri yang setia, yang baik dan sebagainya dari pada bebas penderitaan batin namun menjadi bahan cemoohan dan celaan umum. Demikianlah pegangan batin mereka.

Perjodohan adalah urusan hati dan dasarnya hanya satu, ialah cinta kasih. Hanya cinta kasih sajalah yang kekal. Cinta bukanlah nafsu. Nafsu hanya sementara saja dan mudah luntur. Boleh saja untuk menentukan jodoh orang memperhitungkan keadaan lahiriah, misalnya keadaan pekerjaan dan keuangan sebagai sarana hidup berumah tangga, namun sesungguhnya bukan itu yang menentukan.

Uang, kedudukan, dan segala keadaan lahiriah dapat berubah sewaktu-waktu. Pangkat dapat dicopot, uang dapat habis. Akan tetapi cinta kasih akan dapat mengatasi segala macam gelombang hidup dan akan dapat bertahan dalam keadaan bagaimana pun juga. Tetapi, kenapa kita masih saja tidak mau membuka mata melihat kenyataan ini? Mengapa kita sampai sekarang masih meributkan urusan perjodohan dan menilai orang dari keadaan lahiriah seperti keturunan, kekayaan, kedudukan, agama, suku, bangsa dan sebagainya?

Setelah suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali. “Memang kita harus berhati-hati, dan kurasa ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa cocok, kalau anak kita menjadi mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima pinangan mereka, tetapi menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi? Pertama, mengingat Bi Eng sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua, penangguhan ini dapat kita pergunakan sebagai waktu untuk melakukan penyelidikan. Kita amati bagai mana tingkah laku calon mantu itu agar hati kita menjadi lega dan puas.”

Kam Hong menjawab hati-hati, “Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa sangat tidak mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali di Pegunungan Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan dapat mengamati kelakuan calon mantu kita? Tidak, kita harus mencari jalan lain yang lebih baik.”

“Jalan lain bagaimana?”
“Aku mempunyai pikiran yang kukira baik sekali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga pasangan yang amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong Kiam-sut. Kurasa Sim Houw telah memarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut, sedangkan anak kita pun sudah mewarisi Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita, walau pun belum sempurna benar dan tinggal memperdalam dengan latihan saja. Untuk dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satunya jalan adalah kalau dia tinggal bersama kita di sini.”

“Ehh? Bagaimana mungkin? Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi suami Bi Eng....”
“Bukan begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan itu kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka didik dan diajari Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita ajari Kim-siauw Kiam-sut. Dengan demikian, kita mendapat dua keuntungan. Pertama, dengan menjadi murid kita beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan dapat mengenal wataknya yang sebenarnya dan kita dapat menilai apakah dia memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan penukaran ilmu itu, tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya sehingga ia akan menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh dari pada kita. Bagaimana?”

Bu Ci Sian termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia membayangkan harus berpisah dari puterinya selama beberapa tahun, hatinya merasa sedih. Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia memegang lengan isterinya dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku sendiri pun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita cinta. Akan tetapi, ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali waktu, pasti kita akan berpisah dari orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi Eng. Akan tetapi, biar pun kita merasa tidak senang kalau harus berpisah dari anak kita, kita harus ingat bahwa perpisahan sementara ini adalah demi kebaikan anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah dikesampingkan. Setujukah engkau?”

Bu Ci Sian menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak mau ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimana pun juga, amat baik kalau Bi Eng memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Ilmu yang amat tinggi dan penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri, walau pun sudah memiliki kepandaian tinggi, tidak luput dari pada bencana pada saat Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya muncul?

Dan Bi Eng pernah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya! Biar kemudian ternyata bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun sebagai murid iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim Hong Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka ia pun mengangguk setuju.

Tiba-tiba suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan nyaring diseling suara mengaum dan berdesing. Lengkingan itu adalah suara senjata suling anak mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi mempergunakan sulingnya! Seperti disengat binatang berbisa karena teringat akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarga mereka dengan kemunculan datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah meloncat dan seperti berlomba saja mereka lari menuju ke arah datangnya suara itu, ialah dari kebun belakang.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat bahwa puterinya itu sedang bertanding mati-matian melawan Sim Houw, pemuda yang direncanakan akan menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan membentak, akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada suaminya, ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.

“Agaknya mereka sedang berlatih,” bisik Kam Hong.

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka sedang berlatih, tetapi karena perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih banyak menyerang dan mendesak dengan sulingnya dibandingkan dengan Sim Houw yang lebih banyak mengelak atau menangkis dengan pedangnya, maka ia pun diam saja.

Apakah yang telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng? Seperti kita ketahui, ketika ia diajak bicara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan itu kepada orang tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, ia pun meninggalkan orang tuanya dan memasuki kebun belakang rumahnya. Kebun ini luas, terdapat banyak pohon buah, sayur dan bunga-bunga yang dirawatnya sendiri dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua.

Melihat kebunnya, Bi Eng teringat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya tadi, hatinya menjadi semakin sedih. Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak tahu apakah ia suka atau tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada Ceng Liong, walau pun bukan suka sebagai isterinya. Masih terlalu jauh memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang dianggapnya amat baik kepadanya, juga seorang pemuda gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, cucu Pendekar Super Sakti pula!

Tentang Sim Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah ayah dan ibunya bercerita tentang Sim Hong Bu, yang menurut cerita ayahnya merupakan seorang pendekar gagah perkasa yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut ibunya, pernah terjadi pertandingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya menang tipis saja.

Menurut orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang masih sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut. Hal ini membuat hatinya penasaran. Kalau begitu, keluarga Sim adalah musuh, atau setidaknya juga saingan! Mengapa sekarang ia akan dijodohkan dengan puteranya? Pikiran ini membuat hati dara remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang bahwa keluarga Kam merasa takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri persaingan itu dengan perjodohan?

Api penasaran dan kemarahan yang mulai bernyala ini menjadi berkobar ketika tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu. Pemuda itu adalah Sim Houw. Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul tidak senangnya melihat pemuda itu dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi perasaan tidak senang itu. Sim Houw kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya menjadi semakin panas. Pemuda yang selalu membawa pedang di pinggang itu kelihatan seperti memamerkan pedangnya!

Ketika Sim Houw melihat Bi Eng, mukanya berubah merah, akan tetapi dia melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat. “Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena mengganggu, aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa ijin.”

Hemm, ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi perasaan marah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya tempo hari itu tentu hanya palsu saja untuk menarik perhatian!

“Pedang di pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?” Tanya Bi Eng tanpa mempedulikan salam dan ucapan orang.

Sim Houw menunduk. Ia memandang pedangnya, merabanya sambil menahan senyum dan menggelengkan kepala. “Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka milik ayahku, pedangku ini biasa saja.”

“Akan tetapi engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan sudah pandai pula memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!”
“Memang aku pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku mengatakan pandai,” jawab Sim Houw sederhana.

Akan tetapi karena Bi Eng sedang marah, kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai kepura-puraan yang menyembunyikan kesombongan.

“Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?”
“Aku tidak beranggapan begitu, nona.”
“Tak perlu berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin sekali merasakan sendiri sampai bagaimana kehebatannya!” Berkata demikian Bi Eng mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya tidak sampai dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti sebatang suling biasa.

Sim Houw membelalakkan matanya.

“Ahhh, nona Kam, mana aku berani?” katanya bingung.
“Tidak usah berpura-pura! Orang tua kita pernah saling bertanding, kini apa salahnya jika kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing? Ingin kulihat apakah Koai-liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!”
“Aku.... aku tidak berani, nona. Ayah akan marah....”
“Pengecut! Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!”
“Wuuuuttt.... singggg....!”

Suling itu meluncur dan mengeluarkan suara berdesing saat menyambar di atas kepala Sim Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya pendiam ini pun memiliki keberanian besar dan hatinya keras. Dimaki pengecut, mukanya berubah pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu berkelebat mendesaknya, pemuda ini pun terpaksa mencabut pedangnya menangkis.

Bi Eng makin penasaran sebab jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau ditangkis lawan, maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri dan hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan balasan itu hanya untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah suara suling yang melengking-lengking dan suara pedang di tangan Sim Houw yang mengeluarkan suara mengaum seperti suara singa marah.

Kam Hong dan Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam Hong melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang dibandingkan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih kuat.

Hati pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu bertanding dengan hati-hati dan selalu mengalah. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu mempunyai kelembutan hati, dan juga kegagahan yang membuat dia berpantang mengalahkan seorang dara remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya sama sekali bukan berlatih, melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu untuk mengalahkannya!

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu muncul Sim Hong Bu.
“Tahan....! Houw-ji.... apakah engkau sudah gila? Berani engkau kurang ajar terhadap nona rumah?” bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan matanya melotot memandang puteranya.

Sim Houw cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah berada kembali di dalam sarung pedang dan dia pun menunduk.
“Aku tidak berani, ayah....,” katanya lirih.

Jawaban ini cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada dara itu. Tadi dia melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan sungguh hati, maka timbullah kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.

Kam Hong dan isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian segera mendekati puterinya dan menegur, “Bi Eng, apa yang terjadi? Kenapa kau menyerang Sim Houw?”

Wajah dara itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat mengungguli pedang lawan sehingga biar pun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw, setidaknya ia dapat mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih lihai dari pada Koai-liong Kiam-sut! Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia sengaja menantang pemuda itu, bahkan memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia merasa takut kepada ayahnya yang tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini ia menjawab.

“Ibu, kami hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!”
“Houw-ji, benarkah kalian tadi sedang berlatih?” Sim Hong Bu tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang muda itu tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan membuat keadaan menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu sebagai calon isteri Sim Houw, maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.

Sim Houw melirik ke arah Bi Eng yang tengah memandang kepadanya dengan senyum mengejek. Dia mengangguk. “Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi banyak pelajaran kepadaku.”

Mendengar ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini dan dia pun tertawa. Pendekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya.

“Anak bodoh! Kau kira engkau unggul dalam latihan tadi, ya? Hayo lekas mengucapkan terima kasih kepada kakakmu Sim Houw karena ia telah banyak mengalah dan memberi pelajaran kepadamu!”

Lenyaplah seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah? Jika begitu, dia mempermainkan aku dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika dia melirik, sinar matanya panas mengejutkan Sim Houw.

“Locianpwe, nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya sungguh merasa kewalahan....”

Kam Hong saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum bahwa Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng supaya jangan sampai menjadi malu. “Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, kami ingin bicara denganmu sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu.”

Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di dalam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru yang diambil dari dusun terdekat, kemudian menghidangkan arak dan makanan. Kemudian mereka disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang mendengarkan dengan hati penuh harapan.

“Saudara Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada saudara yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluargaan. Pinangan saudara sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi....”

Wajah Sim Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berubah dan timbul kerut-merut di antara kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang sudah membesar tadi.

“Akan tetapi....?” Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.

Kam Hong tersenyum. “Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau permintaan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk kebaikan kedua pihak.”

Sim Hong Bu menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat. “Saya percaya akan kebijaksanaan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu akan mempertimbangkannya dengan seksama.”

“Kami berdua sudah sepakat menerima pinanganmu dan kami akan merasa gembira kalau puteri kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri kami baru berusia lima belas tahun, dan kami pun melihat betapa puteramu juga belum berusia dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka sementara ditangguhkan dahulu.”

“Bagus! Memang itu pun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami sekeluarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andai kata pinangan kami diterima, sedangkan mengenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap berdua, kapan sekiranya waktu yang paling tepat. Kami pun tidak tergesa-gesa dan memang benar bahwa putera kami pun baru berusia enam belas tahun, jadi belum matang benar.”

“Syukurlah kalau begitu, dalam hal ini kita sudah ada kecocokan. Sekarang kami hendak menyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini dirahasiakan dahulu, belum terdapat pengikatan apa pun, dan kami minta agar saudara Sim suka mendidik puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepadanya....”
“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini.

Mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu takkan diperkenankan oleh para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka keluarga Cu yang dikuasai olehnya seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu tidak ada yang mampu menguasai ilmu itu. Bahkan juga pedang Koai-liong Po-kiam menjadi miliknya. Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada keturunannya dan Sim Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar permintaan Kam Hong agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia menjadi ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di balik permintaan aneh ini?

“Kalau boleh saya bertanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?”
“Saudara Sim, engkau melihat sendiri betapa kami sekeluarga baru saja ditimpa bencana yang mengakibatkan tewasnya enam orang pembantu kami. Melihat ini, timbul gagasanku untuk memberi ilmu yang setinggi-tingginya kepada anak kami. Kami tahu bahwa kedua ilmu kita merupakan ilmu dari satu sumber yang kalau digabungkan akan menjadi semacam ilmu yang amat hebat. Jangan engkau khawatir, saudara Sim. Engkau mendidik dan melatih anak kami selama beberapa tahun sampai ia menguasai Koai-liong Kiam-sut, sedangkan puteramu pun sebagai gantinya akan kami didik di sini untuk mempelajari Kim-siauw Kiam-sut sampai berhasil.”

“Ahhh....!” kembali Sim Hong Bu mengeluarkan seruan, akan tetapi sekali ini bukan seruan kaget dan bimbang melainkan seruan lega dan girang, walau pun masih ada keraguan di dalam hatinya, bagaimana mungkin dia menurunkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain.

Dia bangkit berdiri lagi dan menjura. “Saya tahu bahwa Kam-taihiap amat bijaksana dan usul itu memang baik sekali. Akan tetapi tetap saja saya masih belum dapat menangkap maksud yang sebenarnya dari usul taihiap ini. Karena, kalau mereka sudah menjadi suami isteri, bukankah mereka dapat saling mengajarkan ilmu mereka?”

Kam Hong dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum, lalu Bu Ci Sian berkata dengan jujur, “Sudah kukatakan bahwa Hong Bu memang cerdik sekali. Lebih baik kita berterus terang. Beginilah maksud kami. Kalau mereka itu belajar dari kita, kita yang lebih berpengalaman dan sudah mendalam penguasaan kita akan ilmu masing-masing, akan dapat membantu mereka untuk menggabungkan kedua ilmu kita itu sehingga lahir suatu ilmu gabungan yaug amat kuat. Selain itu, sambil mengajar, bukankah kita memperoleh kesempatan banyak sekali untuk lebih mengenal watak dan keadaan calon mantu kita masing-masing?”

Mendengar ucapan ini, Sim Hong Bu tertawa pula dan mengangguk-angguk. “Sungguh bijaksana sekali. Memang tepat. Orang tua tentu akan memilihkan orang yang paling cocok untuk anaknya. Baiklah, aku terima usul itu. Houw-ji, lekas kau memberi hormat kepada calon mertuamu, juga gurumu!”

Dengan muka merah Sim Houw mentaati perintah ayahnya dan dia pun berlutut di depan kaki Kam Hong, menyebut ‘suhu’ lalu memberi hormat di depan kaki Bu Ci Sian sambil menyebut ‘subo’.
Kam Hong dan isterinya tersenyum gembira menerima penghormatan itu. “Bi Eng, lekas kau beri hormat kepada suhu-mu dan calon mertuamu!” kata Kam Hong.

Akan tetapi dara itu memandang ragu. Sejak tadi ia sudah mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut dan muka agak pucat. Walau pun mulutnya tidak mengeluarkan bantahan, namun hatinya sangat tidak setuju. Dara yang berhati keras ini lalu berkata, “Ayah, aku tidak ingin mempelajari Koai-liong Kiam-sut! Dengan ilmu-ilmu kita sendiri, aku merasa sudah cukup untuk melindungi diri sendiri!”

Ucapan dara ini mengejutkan tiga orang pendekar itu. Kam Hong dan isterinya merasa tidak enak sekali dan wajah Kam Hong menjadi merah. Akan tetapi dia tidak marah. Memang sejak kecil dia mendidik puterinya untuk hidup bebas dan memberi kebebasan kepadanya mengeluarkan pendapat dan isi hati. Kini, dara itu bicara terus terang seperti itu, sesungguhnya tak dapat dipersalahkan. Maka, dia pun mendebat, bukan memarahi.

“Bi Eng, jangan engkau tekebur! Lupakah engkau betapa baru beberapa hari yang lalu engkau dirobohkan penjahat? Hal itu tidak akan terjadi kalau ilmu kepandaianmu tinggi, tidak akan terjadi kalau engkau sudah menguasai gabungan antara ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut. Mengapa engkau kini memandang rendah Koai-liong Kiam-sut?”

“Ayah, aku dikalahkan penjahat karena dia menggunakan kecurangan. Pula, kalau aku sampai kalah, tentu karena aku kurang matang berlatih ilmu-ilmu kita sendiri. Aku tadi sudah merasakan Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi tidaklah seberapa hebat. Apa artinya kalau aku membuang waktu bertahun-tahun mempelajarinya? Bukankah lebih baik aku memperdalam ilmu-ilmu yang kudapat dari ayah?”

Hati Kam Hong semakin tidak enak terhadap Sim Hong Bu. “Saudara Sim, harap kau sudi memaafkan kelancangan mulut anak kami.”
Tapi Sim Hong Bu tertawa girang dan wajar, tidak dibuat-buat. “Ha-ha-ha, Kam-taihiap, aku kagum sekali kepada puterimu. Ia memiliki kewajaran dan kejujuran yang amat mengagumkan!”

Ucapan ini bukan basa basi belaka. Pendekar ini di waktu kecilnya adalah seorang pemburu dan hidup di antara keluarga pemburu. Keluarganya, para pemburu, memang sudah biasa dengan sikap wajar dan watak yang jujur berterus terang, maka kini dia merasa kagum sekali melihat dan mendengar betapa dara calon mantunya ini berani mengemukakan pendapatnya sebebas itu tanpa pura-pura!

Tentu saja hati suami isteri itu merasa lega mendengar tanggapan Sim Hong Bu terhadap sikap yang diperlihatkan Bi Eng. Akan tetapi diam-diam Kam Hong merasa malu karena biar pun Bi Eng memperlihatkan kebebasannya bersikap dan berpendapat, namun pendapatnya tentang ilmu silat tadi hanya menunjukkan betapa dara itu masih mentah.

“Bi Eng, engkau bodoh dan tekebur sekali. Memang, biar pun engkau masih kalah matang dalam ilmu silatmu dibandingkan dengan Sim Houw, akan tetapi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sebanding dengan Ilmu Koai-liong Kiam-sut. Memang kedua ilmu pedang itu dari sumber yang sama, walau pun mempunyai perbedaan besar karena Kim-siauw Kiam-sut memang khusus diciptakan untuk dimainkan dengan suling, adapun Koai-liong Kiam-sut khusus diciptakan untuk dimainkan dengan pedang. Akan tetapi, kalau kedua ilmu itu digabung, kehebatannya menjadi berlipat ganda dan satu di antara kedua ilmu itu kalau dihadapi dengan gabungan kedua ilmu, akan mati kutu.”

“Tapi, bagaimana hal itu dapat dibuktikan sehingga dapat meyakinkan hatiku, ayah?” tanya Bi Eng yang masih merasa penasaran. Ia merasa yakin bahwa ilmu keluarganya masih menang atas ilmu keluarga Sim, maka ia pun segan kalau harus mempelajari ilmu itu. Bukankah dahulu ayahnya juga menang ketika bertanding melawan Sim Hong Bu?

Kembali Sim Hong Bu tertawa. “Ha-ha-ha, jujur, tabah dan juga cerdik, tidak mudah dibujuk. Sungguh watak yang amat baik untuk mempelajari Koai-liong Kiam-sut!” Dia memuji sejujurnya, bukan sembarang memuji untuk menyenangkan hati calon mantu itu.

“Bi Eng, engkau tahu bahwa tingkat kepandaianmu dalam ilmu Kim-siauw Kiam-sut sudah setaraf dengan tingkat ibumu dan aku sendiri belum tentu dapat menundukkanmu kurang dari tiga puluh jurus. Nah, sekarang engkau cobalah hadapi penggabungan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan oleh ibumu dan saudara Sim Hong Bu. Padahal, kalau dia seorang diri saja, aku berani tanggung bahwa dalam tiga puluh jurus belum tentu dia pun akan dapat menundukkanmu. Lihat kehebatan penggabungan kedua ilmu itu,” kata Kam Hong.

Bu Ci Sian mengerti akan maksud hati suaminya. Ia sendiri dahulu, di waktu gadisnya, pernah menghadapi lawan berat dengan cara bergabung dengan Sim Hong Bu dan hasilnya memang hebat. Ilmu mereka menjadi kuat sekali karena kedua ilmu itu mengandung unsur saling membantu. Maka dengan gembira ia pun mencabut sulingnya dan berkata kepada tamunya.

“Hong Bu, mari kita perlihatkan kepada calon muridmu yang bandel ini!”

Tentu saja Hong Bu merasa tidak enak hati. Akan tetapi dia pun maklum bahwa seorang anak keras hati seperti Bi Eng ini perlu diyakinkan, maka dia pun mencabut pedangnya sambil tertawa. “Baik, aku pun ingin melihat bekal yang dibawa muridku.”

Bukan main kagetnya hati Bi Eng ketika melihat pedang itu dicabut. Terdengar suara mengaum dan nampak sinar yang demikian berkilau menyeramkan sehingga ia pun harus memicingkan matanya. Sungguh sebatang pedang yang luar biasa hebatnya!

Kedua orang tua itu kini sudah memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing menghadapi Bi Eng, bukan mengurung dari kanan kiri atau depan belakang, melainkan maju bersama dari depan. Melihat ini, Bi Eng merasa agak lega. Ia pun tahu bahwa ibunya memiliki gerakan yang amat cepat, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah itu tentu lihai sekali mengingat dia pernah bertanding dengan ayahnya dan kata ayahnya tingkat mereka seimbang. Kalau mereka itu maju mengepung, ia akan repot juga.

Akan tetapi kini mereka maju bersama, biar pun ia tidak mungkin dapat mengharapkan menang, namun setidaknya ia akan dapat membela diri dan akan diperlihatkan kepada mereka bahwa penggabungan kedua ilmu itu pun tidak banyak artinya. Ia akan berusaha mempertahankan diri selama tiga puluh jurus agar ayahnya dan keluarga Sim ayah dan anak itu akan menjadi kecelik dan ia pun tidak usah belajar ilmu kepada ayah Sim Houw!

Dengan tenang ia pun menggerakkan sulingnya, melintang di depan dada, memasang kuda-kuda untuk bertahan sebaik mungkin.
Melihat ini, ibunya lalu berseru, “Bi Eng, kami berdua akan menundukkanmu secepat mungkin. Engkau harus siap menjaga diri dan pergunakan segala daya tahan Kim-siauw Kiam-sut dengan sulingmu!”

Hemm, ibunya terlalu memandang rendah kepadanya, pikir Bi Eng. Masih diberi peringatan dan nasehat pula, seolah-olah ia tidak akan mampu bertahan. Ia telah mengenal semua jurus serangan yang akan dilakukan ibunya dan tahu pula bagaimana harus menghindarkan diri dari jurus itu, dan biar pun ia belum mengenal jurus serangan Koai-liong Kiam-sut, namun dengan mengandalkan kehebatan gerakan sulingnya, mustahil ia akan dapat dikalahkan dalam waktu singkat!

“Baik, ibu. Aku sudah siap! Majulah dan keroyok aku!”
Ci Sian menoleh kepada Hong Bu sambil berkata, “Aku menjadi inti dan engkau pelengkap.”

Hong Bu tersenyum mengangguk dan membiarkan wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu bergerak lebih dulu.
“Singgg....!”

Suling emas di tangan nyonya itu menyambar ke arah kaki puterinya dengan totokan-totokan. Tentu saja Bi Eng mengenal jurus ini dan tahu bahwa cara menghindarkannya adalah meloncat ke atas dan ke belakang. Akan tetapi, pada saat itu, nampak sinar berkelebat dibarengi suara mengaum dan tahu-tahu pedang Koai-liong Po-kiam telah menyambar dari atas dan terus ke arah belakangnya, menutup jalan keluarnya! Bi Eng terkejut dan cepat memutar sulingnya menangkis pedang itu.

“Cringg....! Tukk....!”

Dan dia pun roboh terguling. Ketika dia menangkis pedang, ternyata perhatiannya ke bawah menjadi lengah dan dengan mudah ibunya telah menotok betisnya sehingga betis itu menjadi kesemutan dan tanpa dapat ditahan lagi ia pun terguling.

Dengan muka merah Bi Eng meloncat bangun lagi. “Aku masih belum puas!” teriaknya.
“Sekarang engkau penyerang inti dan aku pelengkap!” kata Ci Sian kepada Hong Bu sambil tersenyum. Hong Bu mengangguk.
“Nona, awas serangan!” Pedangnya berkelebat dan nampaklah gulungan sinar pedang menyambar dengan lengkungan indah, menyambar ke arah leher dan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut.

Bi Eng mengelak dan menggerakkan sulingnya menangkis. Ketika itu, suling di tangan ibunya berkelebat ke arah pinggangnya. Ia pun tahu bagaimana harus menghindarkan serangan ini, akan tetapi karena pedang tadi mengancam perutnya, ia tidak dapat menangkis pedang dan suling sekaligus dan terpaksa hanya menangkis pedang sambil meloncat ke belakang menghindarkan suling ibunya. Akan tetapi pedang itu meluncur terus dari atas, membuat ia terpaksa memutar suling ke atas dan saat itu, kaki Hong Bu menyambar, ujung sepatunya menyentuh lutut dan kembali Bi Eng terguling roboh!

Kini Bi Eng yakin akan kehebatan penggabungan dua ilmu itu. Rasanya tidak mungkin ia dapat dirobohkan sedemikian cepatnya oleh seorang di antara mereka. Gerakan dua orang itu begitu tepat pada waktunya, dan kedua senjata itu saling bantu secara tepat pula, menutup jalan keluar dan menyambung serangan dengan serangan lain yang tak terduga-duga.

Sebagai seorang yang keras hati namun jujur dan memegang teguh janjinya, Bi Eng lalu menyelipkan suling di pinggang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sim Hong Bu seperti yang dilakukan Sim Houw tadi sambil berkata, “Suhu....!”
Sim Hong Bu tertawa girang. “Ha-ha, anak baik.... anak baik....”

Akan tetapi muridnya yang dipuji sebagai anak baik itu seorang anak yang bandel dan kritis. “Suhu, teecu memang telah dijatuhkan dua kali secara mudah. Akan tetapi, yang maju adalah ibu dan suhu berdua, berarti teecu dikeroyok dua. Kalau yang maju seorang saja, biar pun sudah memiliki kedua ilmu itu, mana mungkin? Seorang dan dua orang tentu berbeda sekali!”

“Anak baik, kalau engkau sudah menguasai kedua ilmu itu dan menggabungnya, gerakanmu akan jauh lebih lihai dari pada penggabungan yang dimainkan dua orang. Gerakanmu menjadi otomatis. Karena sejak kecil engkau telah menguasai Kim-siauw Kiam-sut, biarlah ilmu itu akan menjadi penyerang inti, sedangkan Koai-liong Kiam-sut menjadi pelengkapnya, dan untuk itu tangan kirimu akan memegang sebatang pedang pendek atau pisau belati.”

“Bi Eng, kata-kata suhu-mu itu tepat sekali. Tadi pun mereka berdua maju dengan jurus-jurus yang saling melengkapi, bukan merupakan jurus terpisah. Dan kelak engkau akan mainkan Kim-siauw Kiam-sut yang dilengkapi oleh Koai-liong Kiam-sut, sebaliknya Sim Houw akan memainkan Koai-liong Kiam-sut dengan pedang di tangan kanan, dilengkapi oleh Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling di tangan kiri.”

“Bagus sekali! Dan kita sama lihat saja kelak siapa di antara keduanya yang lebih lihai!” kata Sim Hong Bu dengan suara setengah bersorak. “Kurasa tiga tahun pun sudah cukup karena sumber kedua ilmu itu sama sehingga tidak sukar mempelajari gerakan dasar pada kaki.”
“Benar!” kata pula Kam Hong gembira. “Tiga tahun lagi dan kita boleh coba murid kita masing-masing, gabungan siapa yang lebih jitu!”

Diam-diam Bu Ci Sian tersenyum geli. Dua orang pendekar itu begitu gembira dengan murid baru mereka sehingga seperti bersaing, agaknya sudah lupa bahwa murid saingan masing-masing adalah anak sendiri dan juga agaknya sudah lupa akan urusan perjodohan.....

********************
Selanjutnya baca
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-18
LihatTutupKomentar