Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 14


ENG-JIAUW-PANG MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA DI SEBELAH TIMUR DUSUN.
“Hemm....!” Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah.

Kiranya dia berhadapan dengan perkumpulan yang mempunyai orang-orang pandai dan kejam sekali. Tentu penyerangan senjata rahasia tadi dimaksudkan untuk mengujinya. Kalau dia lulus ujian, tidak mati oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup berharga untuk berkunjung ke sarang perkumpulan itu! Dia tahu betapa bahayanya mendatangi sarang itu, karena para penjahat tentu telah siap siaga menanti kedatangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang pendekar yang selain banyak pengalaman dan cukup waspada, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ketabahan luar biasa.

Cin Liong melemparkan paku itu dengan pengerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah, lalu dia meninggalkan rumah makan itu. Dia langsung menuju ke arah timur dan keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari hutan cemara itu karena begitu keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan Tai-hang-san.

Sebenarnya, perkumpulan apakah yang menamakan diri Eng-jiauw-pang dan menjadi momok bagi para penghuni dusun itu? Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda) sebetulnya adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu kadang-kadang suka melakukan perampokan, meski perampokan kaliber besar, bukan sembarangan perampok dan maling kecil saja.

Mereka hanya melakukan perampokan terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar tinggi yang melakukan perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan ditakuti, maka para piauwkiok (perusahaan pengawal barang kiriman) rata-rata mendekatinya dan mengirim upeti-upeti sehingga perjalanan mereka tidak akan diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak itulah yang menjadi sumber nafkah perkumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan mereka terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.

Perkumpulan Eng-jiauw-pang memang tadinya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang mencari-cari tempat yang baik sampai mereka tiba di hutan cemara di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu.

Cin Liong memasuki hutan cemara dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa dia memasuki sarang harimau atau goa naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat.

Tidak lama kemudian setelah dia memasuki hutan cemara itu, nampaklah dinding kuil yang putih, agaknya tembok dinding itu baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru. Juga pekarangannya nampak bersih, genteng-gentengnya ada pula sebagian yang baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol telah diganti dan diperbaiki. Akan tetapi, tempat itu kelihatan sunyi saja.

Biar pun begitu, Cin Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia tetap waspada, yakin bahwa pada saat itu, mata pihak musuh tentu sedang mengamati gerak-geriknya. Selagi dia merasa heran mengapa pihak musuh yang biasanya suka bertindak curang itu belum juga turun tangan menyerangnya, tiba-tiba dia melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah terkurung oleh sedikitnya dua puluh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam.

Dengan perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih itu terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh aneh pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya tanpa sebab? Padahal, dia baru saja datang ke dusun itu dan tadi hanya bertanya mengenai Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah makan yang kemudian dibunuh oleh orang-orang Eng-jiauw-pang sendiri.

Akan tetapi, hal ini tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan dia pun mencari dengan matanya. Melihat lima orang tinggi besar yang nampak kereng dan agaknya menjadi pemimpin mereka semua, dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam ke sekeliling.

“Kao Cin Liong, engkau datang mengantar kematian. Sungguh bagus dan memudahkan kami untuk membuat perhitungan denganmu!” Seorang di antara mereka yang berkumis lebat berkata.
Cin Liong mengerutkan alisnya. “Apakah kalian ini yang disebut Eng-jiauw-pang?”
“Benar!” jawab si kumis lebat. “Kami adalah para anggota Eng-jiauw-pang yang hendak membalas kematian ketua kami!”

Cin Liong memandang heran. “Aku hanya lewat di dusun itu dan mendengar bahwa perkumpulan Eng-jiauw-pang mengacau penduduk, melakukan kejahatan hingga para penghuni dusun hidup dicekam ketakutan. Akan tetapi sekarang kalian mengatakan hendak membalas kematian ketua kalian. Apa artinya ini?” Dia memandang si kumis dan melanjutkan pertanyaannya. “Dan bagaimana kalian dapat mengenal namaku?”

“Jenderal Kao Cin Liong, tidak perlu berpura-pura tanya lagi. Engkau telah membunuh ketua kami dan saat ini engkau akan menebus kematian ketua kami dengan nyawamu.”
“Dan siapakah ketua kalian itu?”
“Ketua kami adalah mendiang Eng-jiauw Siauw-ong Liok Cau Sui! Dan engkau telah membunuhnya di Pulau Es....”
“Ahhhh!”

Kini Cin Liong teringat. Ketika rombongan para datuk kaum sesat menyerbu Pulau Es, dia membela Pulau Es dan dalam pertempuran mati-matian itu dia telah merobohkan dan menewaskan seorang kakek yang memakai sarung tangan kuku garuda, yang merupakan lawan yang amat tangguh dan lihai. Kiranya kakek bersarung tangan kuku garuda itu adalah ketua dari gerombolan ini!

“Kiranya kakek jahat itu ketua kalian? Memang, aku telah menewaskannya karena dia bersama orang-orang jahat lainnya melakukan penyerbuan kepada keluarga Pulau Es. Nah, kalian mau apa? Apakah kalian hendak menyusul ketua kalian itu ke neraka jahanam?”

Tentu saja dua puluh orang lebih yang mengurung pemuda itu menjadi marah mendengar ucapan ini, terutama sekali lima orang pemimpin mereka yang merupakan murid-murid utama dari mendiang Eng-jiauw Siauw-ong.

“Bocah sombong! Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih besar mulut!” teriak si kumis yang agaknya merupakan pemimpin nomor satu dan memang sesungguhnya dia adalah murid kepala atau twa-suheng dari semua murid Eng-jiauw Siauw-ong.

Setelah memaki, lima orang itu lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan kuku garuda, diturut oleh semua anggota gerombolan itu dan kini semua tangan mereka telah mengenakan sarung kuku garuda yang terbuat dari pada baja. Setelah mengenakan sarung tangan kuku garuda, mereka itu nampaknya menjadi bertambah bengis.

Lalu, atas isyarat si kumis, kepungan mereka makin merapat dan tiba-tiba beberapa orang anggota gerombolan yang berdiri di belakang Cin Liong sudah menubruk dengan serangan mereka menggunakan kedua cakar garuda itu untuk mencengkeram. Mulut mereka mengeluarkan suara seperti teriakan parau burung garuda, ada pun gerakan-gerakan mereka juga seperti burung yang mencakar-cakar. Kedua lengan mereka kadang-kadang dikembangkan dan mereka meloncat dengan gesitnya, menubruk dari atas seperti gerakan burung menyambar dari angkasa, menggunakan kedua cakar baja yang amat runcing itu.

Akan tetapi, yang mereka serang adalah Kao Cin Liong, pendekar muda yang memiliki kesaktian, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Begitu pemuda perkasa ini memutar tubuh dan menggerakkan kedua lengannya sambil membentak, tiga orang penyerang sudah terpelanting dan terbanting ke atas anah dengan keras, membuat mereka tidak dapat segera bangun kembali karena merasa kepala mereka pening.

Akan tetapi, teman-teman mereka sudah menyerang dari empat jurusan sehingga Cin Liong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya karena pengeroyokan para anggota Eng-jiauw-pang itu, terutama lima orang pimpinan mereka, bukan merupakan lawan yang lunak!

Kao Cin Liong adalah seorang pendekar gemblengan yang berjiwa gagah perkasa, selalu siap untuk membela yang lemah menentang yang jahat tanpa dipengaruhi perasaan benci. Yang ditentangnya adalah perbuatan yang jahat dan mencelakakan orang lain, akan tetapi dia tidak pernah membenci orangnya. Oleh karena itu, dalam sepak terjangnya menghadapi kejahatan, selalu dia berniat untuk menghukum dan mendidik, tidak mau sembarangan membunuh orang. Jika dia sudah berpakaian jenderal, tentu saja sikap dan tindakannya lain lagi. Sebagai prajurit tentu saja dia harus membasmi musuh negara sesuai dengan hukum yang berlaku.

Menghadapi Eng-jiauw-pang ini, dia pun tadinya hanya bermaksud untuk menghajar dan menghukum mereka agar bertobat dan tidak berani mengacau rakyat lagi. Akan tetapi setelah mereka mengeroyok, dia terkejut dan mendapat kenyataan betapa para anggota perkumpulan ini benar-benar memiliki kepandaian silat yang kuat. Apalagi lima orang pemimpin mereka itu sungguh merupakan lawan berbahaya setelah mereka maju bersama, dan pengeroyokan kurang lebih dua losin orang itu membuatnya repot juga.

Untuk dapat menghajar lawan sedemikian banyaknya dia harus memiliki tingkat jauh lebih tinggi dari pada para lawan itu. Akan tetapi kenyataannya dialah yang terdesak karena dia tadinya tidak ingin membunuh dan hanya menggunakan ilmu silat biasa saja. Melihat betapa dia malah terdesak, terpaksa Cin Liong merubah permainannya dan demi keselamatannya sendiri, kalau perlu dia harus merobohkan beberapa orang lawan yang mungkin saja dapat menewaskan lawan karena dia hendak mengeluarkan ilmu simpanannya.

“Hyaaaattt....!”

Si kumis tebal menyerang dengan ganasnya, kedua tangan cakar bajanya menyambar cepat dan yang nampak hanya sinar hitam dua gulung menyambar ke arah muka dan dada Cin Liong. Serangan ini disusul oleh serangan empat orang kawannya dari kanan kiri dan belakang. Cin Liong meloncat dan tubuhnya melesat keluar dari kepungan, lalu tiba-tiba tubuhnya mendekam setengah menelungkup di atas tanah. Para pengeroyok merasa girang sekali, mengira bahwa pemuda itu lelah atau kehabisan tenaga atau terjatuh. Belasan orang anak buah Eng-jiauw-pang seperti berebut menubruk musuh yang sedang mendekam di atas tanah itu.

“Haiiiikkk!”

Tiba-tiba Cin Liong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang tadi mendekam secara tiba-tiba bergerak, kaki tangannya mencuat ke sekelilingnya dan angin yang dahsyat menyambar seperti badai mengamuk. Para pengeroyoknya terkejut sekali, mereka berteriak kaget dan kesakitan dan belasan orang itu pun terpelanting berjatuhan dengan terbanting keras dan ada yang terlempar sampai beberapa tombak jauhnya! Dalam segebrakan itu saja, empat orang pengeroyok tewas seketika, empat orang lain terluka parah dan beberapa orang lagi hanya terlempar dan mengalami kekagetan saja, hanya lecet-lecet karena terbanting dan terguling-guling.

Tentu saja para anggota Eng-jiauw-pang terkejut sekali. Mereka tidak tahu bahwa ketika mendekam tadi, Cin Liong mengeluarkan ilmu simpanan yang dipelajari dari ayahnya, Si Naga Sakti Gurun Pasir. Itulah Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam Di Tanah). Ketika dia mendekam sebetulnya dia sedang mengerahkan sinkang yang mengambil tenaga inti dari bumi. Dan pada waktu belasan orang pengeroyok itu menyerang dan menubruknya seperti hendak berlomba mencengkeramnya, Cin Liong mempergunakan Ilmu Sin-liong-cian-hoat (Silat Naga Sakti), maka akibatnya sedemikian hebat.

Lima orang pemimpin Eng-jiauw-pang dan sisa anak buah mereka melihat kehebatan pemuda ini menjadi gentar. Mereka tahu bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, akhirnya mereka semua akan roboh dan tewas. Maka lima orang pemimpin itu mengeluarkan seruan memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk melarikan diri. Mereka pun berloncatan pergi sambil menyeret teman-teman yang tewas atau terluka.

Cin Liong sendiri masih tertegun melihat akibat dari ilmunya tadi. Sangat jarang dia mau menggunakan ilmu simpanan itu, dan hingga saat ini dia masih selalu merasa tertegun menyaksikan kehebatan ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya. Dia termangu-mangu, mempertimbangkan apakah sepak terjangnya tadi tepat, dalam segebrakan saja dia telah membunuh dan melukai banyak orang. Karena dia sendiri merasa agak menyesal, maka ketika melihat semua lawan melarikan diri, dia pun tidak mau mengejar dan hanya berdiri memandang sampai mereka semua lenyap dari pandang matanya.

Setelah menarik napas panjang, Cin Liong lalu melangkah memasuki hutan itu lebih dalam karena dia ingin mencari kuil tua yang menjadi sarang Eng-jiauw-pang. Dia tadi sudah memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi dia harus menemukan sarang mereka dan membasmi sarang itu agar mereka bertobat dan tidak berani lagi beraksi mengumbar kejahatan mereka.

Kuil tua itu ternyata sudah mengalami banyak perbaikan. Temboknya telah dicat baru, gentengnya banyak yang diganti baru dan dari luar saja sudah nampak bahwa kuil tua itu kini sudah menjadi bersih dan terawat. Bahkan di pekarangan kuil itu banyak ditanami kembang dan juga nampak bersih, tanda bahwa setiap hari tentu disapu. Akan tetapi ketika Cin Liong menghampiri kuil itu, kelihatan sunyi sekali. Tentu mereka sudah melarikan diri semua, pikirnya. Mereka agaknya dapat menduga bahwa aku tentu akan mendatangi sarang mereka.

Namun dia tetap bersikap hati-hati dan waspada ketika memasuki kuil. Dia tahu bahwa menghadapi musuh seperti Eng-jiauw-pang itu, dia harus bersikap hati-hati karena mereka tentu tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan dia tidak akan merasa heran andai kata mereka kini memasang perangkap untuknya di dalam kuil ini. Maka, dia pun melangkah dengan hati-hati ke dalam kuil yang sudah tidak dipergunakan sebagai tempat sembahyang itu.
Ruangan depan kosong, juga ketika dia memeriksa ke ruangan dalam dan kamar-kamar di sekitarnya, tidak menemukan seorang pun. Akan tetapi Cin Liong tetap curiga. Dia melihat sesuatu yang tidak wajar dalam kekosongan kuil ini. Biasanya, kalau orang-orang meninggalkan sarang mereka dengan tergesa-gesa karena mengira bahwa sarang itu akan diserbu musuh, tentu para penghuninya akan pergi sambil membawa barang-barangnya dan kamar-kamar itu tentu akan mawut, barang-barang ada yang kececeran dan dibiarkan porak-poranda.

Akan tetapi di dalam ruangan dan kamar-kamar di kuil ini tidak nampak tanda-tanda demikian itu. Semua kamar tetap bersih dan barang-barang seperti tempat pakaian dan lain-lain masih utuh, juga tidak ada tanda-tanda orang membawa pergi barang-barang dengan tergesa-gesa. Apakah para anggota Eng-jiauw-pang itu langsuug melarikan diri tanpa singgah dulu di sarang mereka saking takutnya? Nampaknya begitulah atau.... ada maksud tertentu dari mereka. Kalau benar tidak ada orangnya dan tempat ini sudah ditinggalkan para penjahat itu, sebaiknya dibakar saja, pikir Cin Liong.

Mendadak Cin Liong tak bergerak dan mencurahkan perhatian kepada suara yang didengarnya. Suara itu datang dari arah belakang kuil itu, suara ah-ah-uh-uh, bukan seperti suara manusia, diselingi suara berdebukan seperti benda dipukul-pukulkan di lantai.

Dengan hati-hati sekali dan penuh kewaspadaan, seluruh syaraf di tubuhnya menegang dan siap bergerak melindungi diri, Cin Liong lalu menuju ke ruangan belakang, satu-satunya ruangan yang belum dimasukinya. Daun pintu yang menembus dari ruangan tengah ke ruang belakang itu tertutup dan dengan perlahan dan hati-hati Cin Liong mendorongnya terbuka.

“Uhhh.... uhhhh....!”

Cin Liong melihat seorang gadis cantik yang terbelenggu kaki tangannya, diikat di atas sebuah dipan kayu. Mulut gadis itu ditutup pula dengan sebuah sapu tangan yang diikatkan ke belakang kepalanya sehingga mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh. Gadis itu mencoba melepaskan diri, meronta-ronta dengan keras. Akan tetapi belenggu kaki tangannya itu terlampau kuat sehingga kaki dipan kadang-kadang terangkat sedikit dan memukul-mukul lantai mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.

Meski apa yang dilihatnya itu sudah nampak jelas, yaitu seorang gadis tawanan yang ditinggalkan di dalam ruangan belakang kuil itu, namun Cin Liong tidak tergesa-gesa menghampiri, melainkan menoleh ke kanan kiri dan meneliti keadaan sekitar tempat itu. Dia tidak mau jika sampai terjebak memasuki perangkap yang dipasang para penjahat.

Melihat pintu terbuka dan muncul seorang pemuda tampan, gadis itu menghentikan gerakannya meronta-ronta tadi dan kini ia memandang kepada Cin Liong dengan kedua mata basah. Gadis itu menangis dan sinar matanya mewakili mulutnya untuk minta tolong kepada Cin Liong.

Setelah meneliti keadaan dan merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali dia sendiri dan gadis yang dibelenggu itu, Cin Liong melangkah masuk, menghampiri gadis itu sambil memperhatikannya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya tentu sudah dua puluh tahun lebih, dengan bentuk tubuh yang matang dan padat. Agaknya gadis itu menjadi tawanan baru dan belum diganggu oleh para penjahat. Hal ini dapat diduga melihat betapa pakaian gadis itu masih lengkap dan utuh.

Melihat pakaiannya yang serba mewah, dapat diduga pula bahwa gadis ini tentulah puteri seorang hartawan atau bangsawan. Pakaian itu belum diganggu, bahkan jubah luar terbuat dari pada bahan kain indah berwarna merah itu pun masih menempel di tubuhnya. Akan tetapi, kaki tangannya dibelenggu amat kuatnya, dengan menggunakan pintalan kain sebagai tali. Halus dan tidak menyakitkan kaki tangan, akan tetapi ulet dan sukar untuk melepaskan diri dari belenggu pintalan kain ini.

Cin Liong kini cepat menghampiri dan pertama-tama dia melepaskan sapu tangan yang menutupi mulut dan diikatkan ke belakang kepala itu. Begitu bebas, gadis itu segera berkata dengan suara memohon, “Ahhh, tolonglah aku.... tolonglah aku.... mereka membelengguku dan meninggalkan aku di sini, sebentar lagi mereka tentu datang lagi. Tolong lepaskan belenggu kaki tanganku....”

Tanpa diminta sekali pun tentu saja Cin Liong bermaksud membebaskannya. Dia lalu melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan merasa kasihan karena ternyata ikatan itu kuat sekali sehingga ketika dilepaskan, kulit kaki di pergelangan yang halus putih itu menjadi merah kebiruan! Dia pun cepat melepaskan tali pengikat kedua lengan.

Akan tetapi begitu dilepaskan kedua tangannya, tiba-tiba gadis itu mencengkeram ke arah perut sendiri. Wajahnya berubah pucat, keringat membasahi muka dan lehernya dan dia pun mengeluh, “Aduhhh.... perutku....aduhhh....”

Cin Liong terkejut sekali. “Perutmu kenapa, nona....”

“Aduhh.... di antara mereka tadi.... ada yang menampar ke arah perutku.... Tadi tidak begitu terasa, akan tetapi sekarang.... aduhhh.... seperti terbakar rasanya....” Dan gadis itu pun menangis, kedua tangannya mencengkeram ke arah perutnya dan tubuhnya berkelojotan seperti dalam keadaan yang amat nyeri.

Cin Liong teringat bahwa orang-orang Eng-jiauw-pang pandai mempergunakan racun. Agaknya gadis ini terluka atau terkena racun. “Maaf, biarkan aku memeriksanya, nona, mungkin aku dapat menolongmu....,” katanya dengan perasaan kasihan kepada gadis itu dan marah kepada para penjahat.

Agaknya orang-orang Eng-jiauw-pang itu telah menaruhkan racun entah apa, yang akan terasa apabila gadis itu terbebas dari belenggunya. Racun yang aneh dan jahat sekali. Karena khawatir kalau-kalau keadaan gadis sudah parah dan sukar ditolong lagi, Cin Liong mengesampingkan segala perasaan malu dan canggung. Dengan hati-hati dia menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan kancing baju gadis itu di bagian perut, untuk memeriksa keadaan perutnya yang agaknya terluka hebat itu, entah luka di luar ataukah di dalam.

Pada saat dia berdiri membungkuk dengan kedua tangan bekerja membuka kancing dan mukanya menunduk, matanya memandang penuh perhatian ke arah perut, tiba-tiba kedua tangan gadis itu bergerak dan jubah merahnya mengebut. Bubuk merah halus yang seperti asap memenuhi udara dan sebagian besar menimpa muka Cin Liong.

Pemuda ini sama sekali tidak menyangka. Tadi ketika dia melepaskan belenggu dan berada di dekat nona itu, memang dia mencium bau harum yang aneh. Akan tetapi karena keadaan gadis itu sebagai seorang tawanan yang dibelenggu kuat-kuat dan kemudian bahkan menderita nyeri yang hebat, keraguan dan kecurigaan sedikit pun terhadap gadis itu tidak ada. Maka, betapa pun lihainya, dalam keadaan berdiri bungkuk seperti itu, dan dekat sekali dengan nona yang ditolongnya, ketika nona itu menyerang dengan bubuk merah yang agaknya memang sudah sejak tadi memenuhi jubah merahnya, pendekar ini sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dan mukanya terkena bubuk merah yang harum. 
“Hehhh....!”

Dia masih dapat mencengkeram ke depan, maksudnya untuk menangkap gadis yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang luar biasa gesitnya, gadis cantik itu menangkis dan meloncat jauh.

“Dukkk!”

Gadis itu terlempar dan Cin Liong juga merasa betapa tangkisan itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Tahulah dia bahwa gadis itu memang seorang pandai yang pura-pura tertawan sehingga dia terkecoh. Akan tetapi terlambat. Kepalanya terasa ringan dan tiba-tiba saja semuanya gelap baginya. Tanpa diketahuinya, dia roboh terkulai di atas pembaringan itu dalam keadaan pingsan.

Cin Liong tidak tahu berapa lama dia tidak sadar. Akan tetapi ketika dia siuman, dia mendapatkan dirinya berada di dalam ruangan yang sama. Akan tetapi kini dialah yang terikat dan terbelenggu di atas dipan dan ketika dia memandang, ternyata gadis cantik berpakaian mewah tadi juga berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dan sedang memandang kepadanya dengan sepasang mata tajam penuh selidik. Mata itu amat tajam bersinar-sinar. Sukarlah membaca perasaan yang berada di balik sinar mata itu.

Tiga batang lilin di atas meja menandakan bahwa hari telah malam! Juga suasana kuil yang tadinya sunyi kini berubah. Dia mendengar suara orang-orang di luar ruangan itu dan tak lama kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu dari belakang terbuka. Muncullah dua orang pria datang membawa baki-baki terisi hidangan makanan dan minuman. Dengan sikap hormat mereka mengatur hidangan itu di atas meja.

Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak melirik, tidak mempedulikan dan pandang matanya masih terus ditujukan kepada Cin Liong dengan pandang mata yang aneh. Cin Liong tahu bahwa dua orang pria itu adalah anggota-anggota Eng-jiauw-pang, karena di pinggang mereka tergantung sepasang sarung tangan cakar baja itu.

“Siocia (nona), silakan makan dulu, hari sudah malam!” kata seorang di antara mereka dengan sikap hormat dan juga penuh rasa sayang.

Gadis itu hanya mengangguk, lalu memberi isyarat dengan tangannya agar dua orang itu pergi lagi meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Dua orang itu menjura, lalu keluar dan menutupkan daun pintu tembusan ke dapur itu dengan perlahan dan hati-hati.

Cin Liong yang sudah siuman itu sejak tadi pura-pura masih belum sadar, dan hanya mengintai dari balik bulu matanya saja. Kini dia melihat nona itu menghadapi hidangan dan mulai makan. Namun, agaknya hidangan yang banyak macamnya dan kelihatan lezat sehingga menimbulkan selera bagi Cin Liong yang memang lapar sekali, agaknya tidak membuat nona itu bernafsu untuk makan. Hanya sedikit ia makan, kemudian ia menenggak tiga cawan arak.

Cin Liong kini sadar bahwa dia sudah terperosok ke dalam perangkap yang dipasang oleh gadis ini secara cerdik sekali. Dia menduga-duga siapa gerangan gadis ini. Tak mungkin anggota biasa dari Eng-jiauw-pang karena dua orang anggota perkumpulan itu tadi bersikap sangat hormat kepadanya dan menyebutnya nona. Tentu seorang tokoh pimpinan. Dan kecantikan seorang wanita dengan sikapnya yang pendiam dan halus itu bahkan lebih mengerikan dan berbahaya dari pada sikap seorang musuh yang kasar dan bengis seperti orang-orang gerombolan Eng-jiauw-pang.

Diam-diam dia mengerahkan tenaga untuk menggunakan sinkang-nya menembus jalan darah yang tertotok. Dia terkejut. Totokan itu istimewa sekali dan betapa pun dia mengerahkan sinkang, tetap saja dia tidak mampu menggerakkan pusarnya dan hawa di dalam pusarnya tetap dalam keadaan tidur karena tidak ada yang menggerakkan keluar. Celaka, pikirnya. Kalau dia tidak dapat mengerahkan sinkang-nya, tentu dia tidak dapat melindungi dirinya. Tali-tali belenggu itu bukan apa-apa baginya kalau dia mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia harus bersabar sampai pengaruh totokan itu menghilang atau menjadi lemah.

Tiba-tiba Cin Liong mendengar langkah-langkah kaki. Dia pun memejamkan matanya kembali dan mendengarkan penuh perhatian. Daun pintu sebelah depan terbuka dan muncullah lima orang laki-laki dipimpin oleh si kumis tebal. Mereka ini adalah pimpinan gerombolan Eng-jiauw-pang! Diam-diam Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Agaknya bukan hanya dia yang terkejut melihat munculnya lima orang tokoh Eng-jiauw-pang yang lihai itu, juga gadis cantik itu bangkit berdiri dan memandang kepada mereka dengan alis berkerut.

“Suheng berlima datang memasuki ruangan ini mau apakah?” tanyanya dengan suara dingin.

Si kumis tebal melangkah maju. “Sumoi, kami datang karena khawatir akan dirimu dan ingin melihat tampangnya musuh besar kita ini. Dia harus dibunuh secepatnya, sumoi, karena kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, dia bisa mendatangkan bencana bagi kita. Dia amat lihai dan berbahaya.”

“Twa-suheng, sudah kukatakan kepada kalian bahwa selama semalam ini, dia menjadi tawananku dan boleh kuperlakukan sesuka hatiku. Tidak boleh ada orang lain yang mencampuriku! Besok baru kalian boleh bicara mengenai dia dan boleh kalian lakukan sesuka hati kalian. Nah, sekarang keluarlah, jangan mengganggu aku yang sedang termenung!”

“Akan tetapi, kita semua amat benci dan sakit hati kepadanya. Ahh, betapa ingin aku menggorok lehernya dan minum darahnya untuk memuaskan hatiku. Siang tadi dia menambah sakit hati kita dengan membunuh empat orang anak buah dan melukai beberapa orang lagi. Dia harus mati!” kata orang ke dua yang kepalanya botak.

“Ji-suheng!” gadis itu berkata, nada suaranya marah. “Bagaimana pun juga, orang itu telah membunuh ayahku. Engkau hanyalah murid ayah, akan tetapi akulah puterinya! Dendam sakit hatiku jauh lebih mendalam dibandingkan denganmu, maka janganlah bicara tentang dendam kebencian itu dengan aku!”

“Bagaimana pun juga, dia harus kupatahkan dulu siku dan lututnya, barulah hatiku lega,” kata pula orang pertama yang disebut twa-suheng dan yang berkumis tebal itu. “Kalau sudah kupatahkan lutut dan sikunya, tentu dia tidak akan dapat melepaskan diri lagi dan tidak akan membahayakan dirimu, sumoi.”

“Twa-suheng dan suheng sekalian. Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Ingat, siapa yang telah menawannya? Kalian berlima, dibantu oleh para anak buah, masih tidak mampu menangkapnya, bahkan sempat mengorbankan nyawa empat orang anak buah. Sedangkan aku seorang diri saja mampu membekuknya. Akulah yang menangkapnya dan aku juga yang berhak memutuskan apa yang harus dilakukan dengan dia! Aku pula keturunan tunggal dari ayah. Sudahlah, aku hanya ingin bersama musuh besarku semalam ini, biarkan aku melampiaskan dendam pribadiku dengan caraku sendiri. Besok baru kita bicarakan hukuman apa yang akan kalian berikan kepadanya. Keluarlah sebelum aku marah!”

Lima orang itu saling pandang, lalu terpaksa mereka pergi meninggalkan ruangan itu. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya pendek kecil kurus, meludah ke arah Cin Liong ketika mereka pergi, dan daun pintu mereka tutupkan dari luar dengan agak keras, tanda bahwa hati mereka tidak puas dengan sikap gadis itu.

Diam-diam Cin Liong yang mengikuti semua ini harus mengakui bahwa pada saat itu, gadis cantik inilah yang telah menyelamatkannya. Karena, kalau tidak dicegah oleh gadis itu, tentu dia sudah dibunuh atau setidaknya dibikin cacat oleh lima orang itu tanpa dia mampu melawan sama sekali. Dia menarik napas lega.

Tiba-tiba gadis itu menoleh kepadanya. “Kao Cin Liong, apakah engkau masih hendak pura-pura belum sadar?”
Cin Liong membuka matanya, menoleh dan memandang. Dia mampu menggerakkan tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengerahkan sinkang-nya. Kemudian dia menarik napas panjang.

“Nona, kalau orang-orang seperti anggota gerombolan Eng-jiauw-pang memusuhi aku, hal itu tidaklah aneh karena mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi kalau sampai seorang gadis cantik dan pandai seperti engkau memusuhiku, sungguh membuat aku heran dan penasaran sekali!”

Gadis itu mengejek. “Manusia sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa seorang pendekar besar, seorang jenderal dan panglima muda seperti engkau tidak pantas dimusuhi oleh orang baik-baik, begitukah?”

“Aku tidak biasa memuji diri sendiri, nona. Akan tetapi aku selalu hanya menentang kejahatan, dan engkau sama sekali tidak kelihatan sebagai orang jahat. Maka aku merasa heran melihat engkau menjebakku dan menawanku seperti ini.”

“Engkau tidak usah heran. Bukankah engkau yang dulu telah menewaskan Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui? Nah, aku adalah Liok Bwee, puterinya. Ayahku kau bunuh dan aku berusaha membalas dendam itu. Apa anehnya?”
“Aneh, sungguh aneh dan sukar dipercaya....!” Cin Liong berkata, dia sengaja untuk mengulur waktu dan mencari kesempatan membebaskan diri.
“Apanya lagi yang aneh?” Liok Bwee bertanya penasaran.
“Mendiang Eng-jiauw Siauw-ong adalah orang jahat yang dulu telah diperalat oleh Hek-i Mo-ong dan antek-anteknya, para datuk sesat, untuk menyerang Pulau Es, menyerang keluarga Pendekar Super Sakti. Dan engkau, nona, engkau bahkan mengaku puterinya. Sungguh tidak pantas dan aneh sekali bahwa seorang datuk sesat seperti dia memiliki seorang puteri yang cantik dan gagah perkasa seperti engkau....”

Wajah itu sebentar merah sebentar pucat dan sepasang mata yang bening itu menatap wajah Cin Liong yang tampan. “Sudahlah, bagaimana pun juga, aku adalah puterinya dan aku harus membalas dendam kematiannya itu.”

“Nona Liok Bwee, ayahmu tewas karena kesalahannya sendiri. Andai kata dia tidak kebetulan tewas karena berkelahi melawan aku yang membela keluarga Pulau Es, tentu dia akan tewas pula oleh keluarga yang sakti itu.”
“Cukup! Apakah kau kira aku mau menjadi anak yang tidak berbakti?” Dan di dalam suara gadis ini terkandung kesedihan yang besar.

“Aku sudah terjatuh ke tanganmu, terserah kepadamu, nona. Aku tidak takut mati. Hanya aku merasa sayang sekali, mengapa seorang gagah perkasa seperti engkau ini sampai menggunakan akal busuk untuk menangkapku. Aku tahu bahwa engkau seorang gagah perkasa, sehingga engkau tidak membolehkan ketika para suheng-mu hendak membunuhku tadi. Akan tetapi, kalau engkau membunuhku dalam keadaan aku sudah terjebak begini, sungguh aku merasa amat sayang, nona. Tidak patut seorang seperti nona ini melakukan pembunuhan keji secara curang, tanpa memberi kesempatan orang itu untuk membela diri. Jauh lebih baik mati sebagai seorang gagah dari pada hidup sebagai seorang pengecut.”

Gadis itu memejamkan matanya dan dari kedua matanya itu menitik turun beberapa butir air mata. “Betapa kejamnya engkau.... betapa kejamnya engkau menusuk-nusuk perasaan hatiku. Aku memang selamanya tidak setuju dengan sepak terjang ayah. Ibu sampai meninggal dunia karena sedih memikirkan ayah yang suka bergaul dengan kaum penjahat. Sepeninggal ibu, ayah menjadi semakin nekat, bahkan mengangkat diri menjadi seorang di antara datuk kaum sesat. Ah, aku malu.... aku menyesal sekali. Ketika ayah diajak Hek-i Mo-ong, aku sudah mencegahnya, menangis, akan tetapi percuma saja. Ketika aku mendengar bahwa ayah tewas di tangan Jenderal Muda Kao Cin Liong, tentu saja aku merasa sakit hati. Akan tetapi apa dayaku? Aku mendengar bahwa Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir! Tetapi, para suheng-ku tak pernah putus asa dan pada suatu hari mereka menemukan jejakmu. Akan tetapi mereka semua kalah olehmu. Ahh, betapa kagum hatiku. Selama hidupku, belum pernah aku melihat pendekar seperti engkau, yang dapat memukul mundur lima orang suheng-ku berikut semua anak buah! Akan tetapi, aku harus membalas kematian ayahku, maka aku.... aku....”

Cin Liong diam-diam merasa girang. Tidak keliru dugaannya. Gadis ini mempunyai kelemahan dan pada dasarnya bukanlah seorang jahat atau kejam. Namun keadaan yang memaksanya karena ia puteri ketua Eng-jiauw-pang. Maka dia pun tersenyum.

“Nona, aku tidak takut mati dan mati di tanganmu jauh lebih menggembirakan dari pada mati di tangan orang-orang Eng-jiauw-pang itu. Kalau engkau menganggap sudah sepatutnya aku mati karena membela kebenaran, nah, bunuhlah, jangan ragu-ragu lagi. Kalau nona ragu-ragu dan melakukan tindakan yang berlawanan dengan suara hati kecil, nona akan merasa menyesal selama hidup.”

Gadis itu mengusap air matanya. Dengan mata basah ia memandang kepada Cin Liong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak.... tidak.... sejak aku berhasil meringkusmu di sini dan sampai sekarang, aku tiada hentinya menatap wajahmu dan terjadi perang di hatiku.... membuat aku gelisah dan bingung. Tidak, Kao Cin Liong, aku tidak mungkin dapat membunuhmu....”

Cin Liong tersenyum. “Sudah kuduga, nona Liok Bwee. Seorang gadis sepertimu ini, tidak mungkin menjadi seorang yang jahat atau curang. Tak mungkin engkau mau membunuh orang begitu saja. Engkau gagah dan baik....”
“Bukan....bukan begitu.... kalau bukan engkau musuh besarku, tentu sudah kubunuh sejak tadi!”

Cin Liong mengerutkan alisnya. Wanita ini sungguh aneh, pikirnya. Dan memang kalau tadi dia memuji-muji, hal itu hanya dilakukannya untuk mengulur waktu sedangkan diam-diam dia terus berusaha untuk memulihkan tenaganya, untuk membuyarkan jalan darahnya yang buntu tertotok. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengharapkan puteri seorang datuk sesat dapat menjadi seorang yang berbudi mulia dan baik. Watak seseorang amat dipengaruhi oleh lingkungannya, bahkan hampir dapat dipastikan bahwa watak dibentuk oleh lingkungan. Kalau sejak kecil terlahir dan tumbuh di dalam lingkungan penjahat, mana mungkin gadis ini tidak menjadi jahat pula?

“Apa yang kau maksudkan, nona?” tanyanya dengan hati berdebar tegang dan tidak enak.
“Kao Cin Liong, aku.... sejak kecil aku bertemu dengan orang-orang kasar. Setelah aku dewasa, ayahku berkali-kali mendesak agar aku suka menikah. Akan tetapi, di antara pemuda-pemuda kasar dan jahat itu, mana ada yang dapat menarik perhatianku? Sejak dewasa aku sering kali membayangkan dan mengimpikan jodoh seorang pemuda yang gagah perkasa, halus budi dan seperti pendekar-pendekar yang digambarkan dalam dongeng. Maka, begitu melihatmu dikeroyok oleh para suheng-ku dan dengan gagah perkasa engkau mengalahkan mereka, melihat sikapmu yang halus, wajahmu, gerak-gerikmu.... sejak pertama kali melihatmu aku sudah jatuh cinta padamu, dan aku.... aku menganggapmu sebagai seorang taihiap yang patut untuk kulayani selama hidupku. Kao-taihiap.... aku cinta padamu.... dan aku tidak akan mengingat lagi tentang permusuhan antara kita kalau saja engkau sudi menerimaku.... menerima cintaku....”

Cin Liong kaget bukan main. Sungguh tidak disangkanya bahwa urusan akan membelok ke arah itu. Mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Cinta? Betapa anehnya bicara tentang cinta pada waktu seperti itu, dalam keadaan seperti itu, di waktu nyawanya bergantung pada sehelai rambut.

“Nona Liok, maksudmu....”
“Terimalah aku sebagai isterimu, taihiap. Hanya kalau aku menjadi isterimu saja aku akan dapat menghabiskan seluruh permusuhan antara kita. Cinta seorang isteri lebih kuat dari pada bakti kepada ayah yang sudah meninggal....”
“Ahhh, tidak mungkin, nona. Kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin bagiku untuk bicara soal cinta?”
“Tapi aku cinta padamu, taihiap, aku cinta padamu....” Gadis itu mendekat, duduk di tepi pembaringan dan tiba-tiba ia pun sudah menjatuhkan dirinya di atas dada Cin Liong dan menciumi muka pemuda itu, dengan malu-malu akan tetapi juga dengan nekat dan penuh perasaan.

Tentu saja Cin Liong menjadi bingung. Dia hanya dapat membuat gerakan lemah, akan tetapi tidak mampu menolak dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya seperti itu. Dan ketika bibir yang lunak itu mencium bibirnya, bagaimana pun juga darah mudanya tersirap, jantungnya berdebar-debar dan seperti otomatis, bibirnya juga membalas, menyambut ciuman itu. Hal ini terasa oleh Liok Bwee yang mengeluarkan keluhan, mendekap lebih kuat dan mencium penuh nafsu sampai keduanya terengah-engah.

“Taihiap.... terimalah aku, aku mencintamu.... dengan seluruh jiwa ragaku.... aku akan menjadi seorang isteri yang mencinta, setia dan akan melakukan apa saja yang kau kehendaki....”
“Nona, tenanglah dan mari kita bicara baik-baik. Cinta adalah urusan hati, tidak mungkin orang dipaksa untuk mencinta atau membenci. Bebaskan dulu totokanku dan mari kita bicara dengan hati terbuka....”

Gadis itu menggeleng kepalanya. “Tidak, taihiap. Aku hanya mempunyai dua pilihan. Kalau engkau berjanji mau menerima cintaku, berjanji akan mengambilku sebagai isterimu, baru aku akan membebaskan totokanmu, bahkan akan membebaskanmu dari sini, dari ancaman para suheng-ku dan para anak buah Eng-jiauw-pang.”
“Dan kalau aku menolak, engkau akan membunuhku?”

Kembali Liok Bwee menggeleng. “Tidak, aku cinta padamu, aku tidak akan tega untuk membunuhmu. Kalau engkau menolak, aku akan menjagamu semalam ini, akan tetapi besok aku tak mungkin dapat mencegah kalau para suheng-ku datang membunuhmu.”

“Nona, tidak dapatkah engkau melihat betapa tak masuk akalnya maksudmu ini? Mana mungkin engkau memaksa seseorang untuk mencinta? Mana mungkin pertalian cinta dihubungkan dengan pemerasan seperti yang kau lakukan ini! Engkau seolah-olah hendak menukar nyawaku dengan janji cintaku. Apakah engkau tidak melihat bahwa kalau aku berjanji menerima cintamu karena aku takut dibunuh, maka janji dan cintaku itu adalah palsu, sekedar untuk alat menyelamatkan diri? Nona, janganlah engkau membiarkan dirimu ikut tersesat. Bebaskan totokanku dan mari kita bicara. Bagaimana pun juga, sudah jelas bahwa engkau adalah seorang yang baik, dan di antara kita terdapat pertalian persahabatan....”

“Aku membutuhkan cinta, bukan persahabatan.”
“Nona, cinta timbul kalau hati tertarik, terutama oleh budi bahasa dan kelakuan yang baik. Kalau hati ditekan, tak mungkin timbul cinta. Tidakkah kau dapat menyadari hal ini? Kalau kita bersahabat, mungkin dari situ dapat tumbuh perasaan cinta, bukan dari paksaan.”

Tiba-tiba gadis itu menangis dan merangkulnya kembali. “Ah, taihiap, aku takut.... aku takut kalau aku membebaskanmu, kau lalu meninggalkan aku tanpa janji.... dan aku.... hidupku akan kehilangan pegangan lagi....”

“Akan tetapi kalau engkau mempergunakan kesempatan ini untuk memerasku, untuk memaksaku membalas cintamu, sikapmu ini saja sudah menjauhkan hatiku, nona. Apakah engkau tidak menyadari akan hal ini? Dan seorang gadis seperti engkau, betapa mudahnya mencari seorang suami yang akan sungguh-sungguh mencintamu, asal saja engkau tidak mengikuti jejak lingkunganmu yang sesat.”

“Kao-taihiap.... aku.... aku takut untuk menerima cinta pria lain. Aku belum pernah bertemu dengan pria sepertimu.... aku hanya menginginkan engkau seorang....” Gadis itu kembali menciuminya dengan penuh kemesraan dan rasa cinta yang bercampur dengan nafsu birahi.
“Braaakkk....!”

Tiba-tiba daun pintu ruangan itu pecah berantakan dan muncullah lima orang suheng gadis itu dengan muka merah saking marahnya. Kedua tangan mereka masing-masing telah memakai sarung tangan cakar garuda, menandakan bahwa mereka telah berada dalam keadaan siap tempur! Liok Bwee terkejut dan melepaskan rangkulannya dari tubuh Cin Liong, dengan marah menghadap lima orang suheng-nya itu.

“Kalian sungguh tidak tahu aturan, dan tidak pantas kuanggap sebagai saudara tua!” bentaknya.

Si kumis tebal menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. “Dan engkau sungguh tidak tahu malu dan amat merendahkan dirimu seperti pengemis cinta, lebih rendah dari pada seorang pelacur! Mendiang suhu menunjuk seorang di antara kami sebagai calon suamimu dan engkau tinggal memilih seorang di antara kami. Akan tetapi engkau menolak kami semua dan kini mengemis cinta dari seorang musuh besar, pembunuh ayahmu sendiri!”

“Tutup mulutmu!” bentak Liok Bwee. “Apa pedulimu dengan urusan pribadiku? Aku tidak sudi menjadi isteri seorang di antara kalian dan kalian menjadi sakit hati. Cih, tak tahu malu. Aku memilih siapa pun untuk menjadi suamiku, apa hubungannya dengan kalian?”

Si kumis tebal menyeringai dan empat orang suheng-nya juga tersenyum mengejek. Memang mereka merasa sakit hati karena ditolak sumoi mereka itu. “Sumoi, kami tidak peduli engkau mau memilih orang macam apa untuk menjadi suamimu. Engkau hendak memilih anjing Kao Cin Liong ini pun terserah, bukan urusan kami. Akan tetapi, si keparat Kao Cin Liong ini adalah pembunuh suhu dan kami sudah bersumpah untuk membalas dendam atas kematian suhu. Maka, sekarang juga dia harus mati di tangan kami. Engkau boleh menikah dengan bangkainya saja!” Berkata demikian, si kumis menubruk ke arah Cin Liong yang belum mampu melawan itu, kedua tangan cakar baja itu terulur.

“Tahan!” Liok Bwee berteriak sambil bergerak ke samping, kedua lengannya menangkis serangan maut dari twa-suheng-nya itu.
“Plak! Plak!”

Tubuh Liok Bwee terhuyung akan tetapi serangan si kumis tebal gagal. Marahlah murid pertama dari ketua Eng-jiauw-pang itu. “Sumoi, engkau hendak membela musuh besar, melindungi pembunuh ayahmu sendiri?”

“Dia adalah tawananku, siapa pun tidak boleh mengganggunya!” bentak Liok Bwee dengan sikap garang dan ia sudah meloncat ke depan tempat tidur itu, melindungi Cin Liong.

Meiihat ini, lima orang murid kepala Eng-jiauw-pang itu menjadi marah bukan main. Mereka melangkah maju dengan sinar mata penuh ancaman.

“Sumoi, menyingkirlah. Biarkan kami membalas dendam kepada musuh besar kita, dan selanjutnya kami tidak akan mencampuri urusanmu lagi,” kata pula seorang di antara mereka.
“Tidak!”

Si kumis tebal melangkah maju. “Sumoi, sekali lagi kuperingatkan, jangan melindungi musuh. Menyingkirlah!”

“Tidak. Siapa pun tidak boleh mengganggunya selama aku masih hidup!”
“Sumoi, itu berarti pengkhianatan! Kami akan menganggap engkau berpihak kepada musuh dan terpaksa kami akan menggunakan kekerasan terhadapmu!”
“Terserah! Kalian orang-orang berwatak pengecut, beraninya hanya pada orang yang sudah tidak mampu melawan. Untuk dapat menjamahnya, kalian harus melangkahi mayatku!” gadis itu berkata dengan nekat.
“Engkau anak durhaka! Murid murtad!” Si kumis tebal berteriak marah dan dia pun sudah menyerang sumoi-nya sendiri dengan gerakan yang amat cepat dan kuat.

Liok Bwee mengelak dan balas menyerang. Walau pun ia puteri mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, akan tetapi ia tidak pernah memakai sarung tangan cakar garuda. Sejak kecil ia merasa tidak senang dan jijik dengan senjata ini, maka oleh ayahnya yang lihai ia dilatih ilmu silat tangan kosong, terutama sekali ilmu menotok. Ilmu inilah yang kini ia pergunakan untuk melawan dua tangan baja twa-suheng-nya.

Totokan-totokan jari kedua tangannya menyambar dan menyambut serangan lawan dan karena ilmu menotok jalan darah ini memang diciptakan oleh Eng-jiauw Siauw-ong untuk mengganti ilmu cakar baja yang tidak disukai puterinya, maka tentu saja ilmu menotok ini tepat sekali untuk menghadapi cakar baja itu.

Terjadilah perkelahian yang amat seru, ramai dan mati-matian antara sumoi melawan twa-suheng-nya itu. Empat orang suheng-nya yang lain hanya berdiri menonton karena mereka merasa yakin sekali bahwa twa-suheng itu tentu akan dapat mengalahkan sang sumoi.....

Dari tempat dia rebah, Cin Liong memperhatikan perkelahian itu dan dia pun dapat melihat bahwa kalau hanya satu lawan satu, ilmu silat tangan kosong yang disertai ilmu totokan lihai dari Liok Bwee itu akan mampu menandingi cakar baja dari si kumis tebal. Akan tetapi di situ masih ada empat orang suheng gadis itu yang dia tahu setiap saat dapat turun tangan membantu si kumis. Maka dia amat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang mempertahankan nyawanya dan membelanya mati-matian itu.

Cin Liong kembali mengerahkan tenaga sinkang-nya, namun tetap saja jalan darahnya belum pulih dan tenaga sinkang-nya tidak mau timbul, hanya dia mampu menggerakkan tubuhnya agak lebih kuat dari pada tadi. Betapa pun juga, dengan kekuatan otot biasa, tidak mungkin melepaskan diri dari belenggu kaki tangan itu dan ini berarti bahwa dia tidak akan mampu melindungi diri sendiri, apalagi membantu Liok Bwee.

“Nona, bebaskan totokanku!” Tiba-tiba dia berseru karena kiranya hanya nona itu yang akan mampu membebaskannya. Sekali terbebas, tak sukar baginya untuk mematahkan belenggu dan menghajar lima orang tokoh Eng-jiauw-pang itu.

Liok Bwee yang sedang berkelahi mati-matian melawan twa-suheng-nya, mendengar teriakan ini dan teringatlah ia bahwa pria yang dicintanya itu terancam bahaya maut dan hanya akan selamat kalau totokan yang membuatnya tidak berdaya itu dibebaskan. Ia pun tahu akan kesaktian pemuda itu dan dapat menduga bahwa sekali totokannya dibebaskan, pemuda itu akan mampu melepaskan diri dari belenggu dan sekali terlepas, lima orang suheng-nya ini bukanlah lawannya.

Maka ia pun cepat mengelak dari sambaran cakar besi twa-suheng-nya yang agaknya sudah marah sekali kepadanya karena telah mengirim serangan maut yang bermaksud merobohkan dan menewaskan itu. Lalu, cepat sekali Liok Bwee meloncat ke samping, ke arah pembaringan di mana Cin Liong rebah dengan maksud untuk membebaskan totokannya atas diri pemuda itu.

Tapi, empat orang suheng-nya yang sudah tahu akan maksudnya, cepat menubruknya dari kanan kiri sebelum ia sempat mendekati Cin Liong. Delapan buah cakar baja menyerangnya dan tentu saja Liok Bwee tidak dapat melawan serangan empat orang ini sehingga kedua lengannya telah kena dicenakeram!

“Lepaskan aku! Keparat! Lepaskan aku!” teriaknya dan meronta sehingga kuku-kuku baja itu merobek baju dan kulit lengannya sehingga berdarah.

Akan tetapi empat orang itu tidak mau melepaskannya dan pada saat itu, si kumis tebal yang agaknya sudah marah dan benci sekali kepada snmoi yang bukan saja menolak cintanya akan tetapi kini malah mencinta dan melindungi musuh besar Eng-jiauw-pang, agaknya sudah tidak dapat menahan panasnya hati lagi. Pada saat itu dia menubruk sambil menggerakkan kedua cakar bajanya.

“Crott! Crottt!” Cakar baja yang runcing itu telah mencengkeram tengkuk dan punggung Liok Bwee.
“Aihhhhh....!” Liok Bwee menjerit saking nyerinya ketika kuku-kuku baja yang tajam itu menusuk kulit dagingnya.

Melihat ini, empat orang suheng-nya yang lain melepaskannya dan twa-suheng-nya, si kumis tebal itu, agaknya juga terkejut sendiri melihat betapa dia telah mencengkeram tubuh sumoi-nya yang tadinya pernah dicintanya! Maklum bahwa dia telah membunuh sumoi-nya, kemarahannya lalu ditumpahkan kepada Cin Liong. Dia mengangkat tubuh sumoi-nya yang telah tak berdaya itu ke atas kepalanya, dengan masih mencengkeram tengkuk dan punggung, lalu dilontarkannya tubuh sumoi-nya itu dengan penuh geram ke arah Cin Liong yang rebah di atas pembaringan.

“Nih, ambillah sebelum engkau kucincang!” bentaknya.
“Brukkkk....!”

Tubuh Liok Bwee yang sudah lunglai itu menimpa Cin Liong di atas pembaringan dan dipan ini pun runtuh terguling. Tentu saja tubuh pemuda itu terbawa pula, terguling di atas lantai dalam keadaan menelungkup.

Dengan wajah beringas dan pandang mata bengis, lima orang itu kini menghampiri Cin Liong dengan cepat, seolah-olah mereka hendak berlomba membunuh atau menyiksa musuh besar yang sudah tidak berdaya, rebah menelungkup dengan kaki tangan terbelenggu dan tubuh tertotok itu. Tubuh Liok Bwee juga terlempar sampai ke sudut ruangan di mana ia menggeletak mandi darah, tidak mampu bergerak lagi.

“Jangan bunuh dia terlalu cepat!” Si kumis tebal memperingatkan para sute-nya.

Musuh besar ini amat dibencinya dan sudah mendatangkan banyak sekali kerugian. Bukan hanya kematian suhu mereka, akan tetapi juga kematian empat orang anak buah, bahkan kini matinya Liok Bwee juga dia timpakan kepada pemuda yang amat dibencinya itu. Para sute-nya mengerti dan setuju, maka mereka menubruk dengan maksud mencengkeram dan menyiksa musuh besar itu agar mati perlahan-lahan dan mengalami penderitaan yang amat hebat.

Akan tetapi, pada saat mereka berlima menubruk ke arah tubuh yang menelungkup tak berdaya itu, tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring dari mulut Cin Liong. Tubuhnya yang menelungkup itu tiba-tiba saja bergerak, membalik dan kedua tangannya yang tadinya terbelenggu itu mendadak saja bergerak. Belenggu itu terlepas dan kedua tangannya mendorong dengan kekuatan yang dahsyat, juga belenggu pada kedua kakinya putus semua pada saat itu juga!

“Blaaarrrr....!”

Hebat bukan main tenaga yang keluar dari kedua telapak tangan pemuda itu, seperti ada kilat meledak dan akibatnya, lima orang yang tadi menubruknya itu terlempar dan terjengkang semua, lalu terbanting keras ke atas lantai! Seketika itu dua orang di antara mereka tidak mampu bergerak lagi karena kepala mereka pecah. Mereka berdua inilah yang paling dekat dan langsung menerima hantaman kedua tangan Cin Liong.

Tiga orang yang lain hanya kena disambar hawa pukulan saja, akan tetapi hal itu cukup membuat mereka terjengkang dan terbanting keras. Mereka masih dapat bangkit dengan kepala pening dan muka mereka pucat, mata terbelalak saking kagetnya. Sama sekali mereka tidak mengetahui bahwa ketika tubuh Cin Liong terlempar dari atas dipan tadi dan jatuh menelungkup di atas lantai, pada saat itu Cin Liong dapat meminjam tenaga inti bumi, dengan Ilmu Sin-liong Hok-te dia dapat menggerakkan hawa sakti dari pusarnya dan seketika jalan darahnya pulih kembali diterjang oleh hawa sinkang yang berputar dari pusar.

Maka, saat para pengeroyoknya menubruk, dengan Sin-liong-ciang-hoat dia menyambut dan karena sinkang-nya masih sedang penuh-penuhnya menguasai kedua lengannya, maka tentu saja lima orang musuh itu tidak kuat menahan, bahkan yang terkena hantaman langsung seketika mati dengan kepala pecah sedangkan yang lain, termasuk si kumis tebal, terguncang hebat sehingga ketika mereka bangkit lagi, mereka merasa kepala mereka pening!

Cin Liong sudah bangkit dan pertama kali yang dilakukannya adalah meloncat ke dekat tubuh Liok Bwee, berlutut dan memeriksa gadis itu. Dia tidak mempedulikan akibat sambutannya terhadap lima orang pengeroyok itu. Dia melihat betapa punggung dan tengkuk gadis itu luka-luka, demikian pula kedua lengannya, terkena cakar-cakar baja yang mengandung racun! Cepat dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan jalannya racun ke jantung, dan menotok jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri.

Pada saat itu, si kumis dan dua orang sute-nya melihat kesempatan baik selagi pemuda itu memeriksa dan mengobati Liok Bwee. Dua orang sute si kumis tebal sudah menubruk dari kanan kiri. Cin Liong maklum bahwa dirinya diserang oleh dua orang dari kanan kiri. Maka ia pun dengan hati-hati menurunkan lagi tubuh Liok Bwee dan secepat kilat membalik, kedua tangannya menyambut dengan dorongan, menyambut dua orang yang menyerangnya.

“Dess! Desss....!”

Dua orang itu tidak sempat mengeluarkan teriakan lagi karena tubuh mereka terlempar ke atas dan sudah putus nyawanya sebelum tubuh mereka itu terbanting ke atas lantai! Melihat ini, si kumis tebal terbelalak dan dia pun meloncat.... menjauhkan diri dan hendak lari dari ruangan itu.

“Pengecut....!” Cin Liong memaki dan dia pun mengejar.

Akan tetapi si kumis tebal sudah berteriak memanggil anak buahnya, maka begitu tiba di luar ruangan itu, Cin Liong sudah dikepung oleh sisa anak buah Eng-jiauw-pang yang jumlahnya masih ada hampir tiga puluh orang! Mereka semua mempergunakan cakar garuda pada tangan mereka. Dengan dipimpin oleh si kumis tebal, mereka menyerbu dan mengeroyok Cin Liong dengan mati-matian.

Karena mereka semua tahu bahwa pemuda itu adalah musuh besar, pembunuh mendiang Eng-jiauw Siauw-ong, bahkan kini si kumis tebal berteriak-teriak memberi tahukan bahwa empat orang sute-nya dan sumoi-nya juga sudah tewas di tangan musuh ini, maka semua anggota mengeroyok mati-matian untuk membalas dendam. Si kumis tebal sendiri pun selain memberi komando, ikut pula mengeroyok, mengerahkan seluruh tenaganya karena sekarang merupakan pengeroyokan dan harapan terakhir baginya, karena itu harus berhasil.

Akan tetapi, panglima muda putera pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu memang hebat sekali kepandaiannya. Cin Liong juga sudah marah dan juga dia melihat kenyataan betapa kejam dan jahatnya gerombolan ini, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Kini dia tidak ragu-ragu lagi dan dia mengerahkan sinkang-nya, memainkan Sin-liong-ciang-hoat dan tentu saja anak buah gerombolan itu merupakan makanan yang amat lunak bagi ilmu silatnya yang amat ampuh dan tenaganya yang mukjijat itu.

Setiap kali dia menyerang, tiga empat orang roboh dan tewas seketika sehingga tanpa memakan waktu lagi, para pengeroyok itu roboh berturut-turut dan akhirnya habislah mereka. Tempat itu penuh dengan mayat yang malang melintang dan tumpang tindih! Hanya tinggal si kumis tebal seorang saja yang belum roboh karena melihat kehebatan lawan tadi, dia menyingkir ke belakang anak buahnya dan memberi komando saja.

Melihat betapa semua anak buahnya roboh, si kumis ini menjadi ketakutan dan dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu musuh besar itu telah berada di depannya, menghadang dengan berdiri tegak dan sepasang mata pemuda itu mencorong seperti mata seekor naga sakti! Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, si kumis tebal menjadi nekat.

“Haiiittttt....!”

Dia menyerbu dengan ganas, kedua tangannya membentuk cakar garuda dan tubuhnya meloncat ke atas lalu melayang turun, persis bagaikan seekor burung garuda yang terbang turun menyambar seekor kelinci. Namun, yang diserangnya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan Cin Liong juga mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut cengkeraman lawan!

“Plakkk! Plakkk!”

Kedua tangan itu bertemu. Secepat kilat Cin Liong mengerahkan sinkang pada jari-jari tangannya, lalu dia membuat gerakan mematahkan.

“Krekkk! Krekkk!”

Si kumis tebal menjerit mengerikan dan tubuhnya terkulai, akan tetapi kedua cakar garuda itu tertinggal dalam genggaman tangan Cin Liong karena kedua pergelangan tangannya patah tulangnya, kemudian putus sama sekali berikut daging, otot dan kulitnya karena Cin Liong membuat gerakan mematahkan dengan kekuatan yang amat dahsyat!

Kedua lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan dan darah muncrat-muncrat. Si kumis tebal itu masih belum pingsan, melolong-lolong karena nyerinya sambil berlutut dan memandang kepada kedua lengannya yang buntung sambil menangis. Cin Liong membalikkan kedua cakar itu, kemudian menghantamkan kedua senjata itu ke arah pemiliknya.

“Crott! Crott!”

Si kumis roboh terjengkang dan kedua cakar garuda itu telah menancap dalam-dalam di kerongkongannya dan dadanya. Agaknya ketika menyerang tadi, Cin Liong teringat akan apa yang dilakukan orang ini kepada Liok Bwee. Sejenak Cin Liong memandang tubuh lawan yang sudah tak dapat bergerak, kemudian dia meloncat masuk kembali ke dalam ruangan belakang.

Liok Bwee yang sudah membuka kedua matanya itu, nampak tersenyum ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya. Apalagi ketika Cin Liong mengangkat tubuh atasnya dan memangkunya, sinar matanya berseri gembira.

“Mereka.... mereka tewas semua....?” tanyanya lirih.
Cin Liong mengangguk.
“....aku.... aku akan mati.... ahhh, bagaimana aku nanti dapat menemui ayah di alam baka....?”

Melihat kesedihan gadis itu, Cin Liong jadi terharu. Bagaimana pun juga, gadis ini telah menyelamatkan nyawanya dan kini gadis ini kehilangan segala-galanya. Mula-mula dia kehilangan ayahnya, lalu kehilangan para suheng-nya dan anak buahnya, dan kini akan kehilangan nyawanya pula. Semua gara-gara dia! Dan gadis itu merasa takut untuk bertemu dengan ayahnya yang sudah meninggal lebih dahulu karena dia merasa telah mengkhianati Eng-jiauw-pang.

“Nona, kau.... maafkanlah aku....,” katanya lirih.

Alis yang berkerut itu cerah kembali. “Ahh, tidak apa. Akan kuhadapi dia, biar di alam baka sekali pun, karena dialah yang bersalah, anak buahnya yang jahat. Taihiap.... engkau.... engkau tidak benci kepadaku....?”
Cin Liong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. Benci? Ahhh, bagaimana dia dapat membenci gadis seperti ini?
“Tidak, nona. Aku.... sama sekali tidak benci kepadamu, aku bahkan.... suka sekali kepadamu....”

Cin Liong lalu mempererat dekapannya seolah-olah hendak membuktikan kata-katanya karena memang sesungguhnya tumbuh suatu perasaan sayang dan suka sekali dalam hatinya terhadap gadis yang malang nasibnya ini.

Wajah itu berseri-seri dan sepasang mata itu berkilat. “Aihhh, terima kasih, taihiap.... kata-katamu itu akan menjadi sinar terang yang mengantarku ke alam sana.... terima kasih, aku sungguh cinta padamu, Kao-taihiap.... sungguh....”
Cin Liong semakin terharu, dan seperti ada dorongan yang amat kuat dia mendekatkan mukanya. “Liok Bwee.... kau.... kau gadis yang malang....!”

Dan dia pun lalu menempelkan bibirnya pada mulut itu. Seperti tersentak kaget tubuh gadis itu mengejang, mulutnya terbuka dan Cin Liong lalu menciumnya dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh rasa sayangnya. Ketika dia melepaskan ciumannya dan memandang, wajah itu pucat sekali, akan tetapi berseri dan air mata mengalir di kedua pipinya yang pucat.

“....terima kasih, aku cinta padamu.... terima kasih....” Dan kepala itu terkulai, matanya terpejam dan napasnya putus. Gadis itu sudah menghembuskan napas terakhir dengan senyum di mulut!

Cin Liong tahu bahwa gadis yang dipangkunya itu telah meninggal dunia. Hal ini terasa begitu menusuk perasaan hatinya, membuatnya merasa kesepian dan kehilangan. Dia mendekap kepala itu dengan eratnya, memandangi wajahnya, menciuminya dengan air mata berlinang. Terasa sekali olehnya betapa dia membutuhkan Liok Bwee, betapa dia membutuhkan wanita, membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan cinta kasih wanita. Dia merasa seperti setangkai bunga kekeringan, sebatang pohon kehausan.

“Bwee-moi.... ah, Bwee-moi....” keluhnya, akan tetapi ketika dia memejamkan matanya, terbayanglah wajah Suma Hui dan hatinya menjadi semakin berduka.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa telah menjadi pembawaan manusia, betapa pria dan wanita saling membutuhkan dan keduanya diciptakan seolah-olah memang sudah harus saling mengisi. Wanita selalu mendambakan kasih sayang pria dan rasanya tak lengkap hidupnya tanpa adanya pria yang menyayangnya, melindunginya dan memanjakannya, membutuhkan dan mementingkan dirinya.

Di lain fihak, bagi seorang pria, kebutuhan akan adanya seorang wanita dalam hidupnya adalah mutlak. Dia selalu membutuhkan kasih sayang wanita, membutuhkan getaran dalam cinta kasih seorang wanita yang nampak dalam pandang matanya, dalam senyumnya, dalam suaranya dan dalam sentuhannya. Tanpa adanya seorang wanita yang menyayanginya seperti itu, seorang pria akan selalu merasa kehausan dan kekeringan, akan selalu merasa betapa hampa hidupnya.

Pria dan wanita memang merupakan dua unsur yang saling mengisi, saling melengkapi dan bersatunya kedua unsur Im dan Yang inilah yang menciptakan kehidupan, keindahan, dan keserasian, seperti matahari dengan bumi. Adanya yang satu tanpa adanya yang ke dua adalah pincang, janggal, dan tidak lengkap.

Dan ketimpangan ini, kesepian dan ketidak lengkapan ini mulai terasa mengganggu batin Cin Liong semenjak dia gagal dalam hubungan cinta kasihnya dengan wanita. Pertama dengan seorang pendekar wanita yang bernama Bu Ci Sian, kemudian kedua kalinya dengan Suma Hui dan kegagalan yang kedua kalinya ini lebih parah! Tidak saja Suma Hui memutuskan hubungan itu dengan tiba-tiba, bahkan ia kemudian mendengar bahwa pemutusan hubungan itu ditambah lagi dengan sebuah fitnah yang sangat menyakitkan hatinya, yaitu bahwa dia dituduh memperkosa Suma Hui!

Cin Liong mengubur jenazah Liok Bwee dengan kedukaan yang mendalam, kemudian dia melapor kepada kota yang berdekatan, kepada komandan kota itu sebagai seorang panglima muda agar komandan itu suka mengerahkan anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat para anggota gerombolan Eng-jiauw-pang. Dia sendiri lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Thian-cin untuk mencari Suma Hui!

Biar pun dia seorang pendekar sakti yang sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan bahkan ancaman-ancaman nyawa sehingga batinnya tergembleng dan dia memiliki ketabahan yang jarang dimiliki pendekar lain, namun ketika dia memasuki pekarangan rumah keluarga Suma, jantungnya tetap saja berdebar tegang dan hatinya tidak urung merasa gelisah sekali.

Dia telah mendengar dari orang tuanya betapa mereka telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, bahkan hampir saja orang tuanya bentrok dengan keluarga ini. Dan dia mendengar pula betapa dia telah difitnah, dituduh telah memperkosa Suma Hui. Hal inilah yang harus dibereskannya dan dibikin terang. Kalau toh keluarga Suma hendak menolak pinangannya terhadap Suma Hui, hal itu adalah hak mereka. Akan tetapi kalau mereka hendak menjatuhkan fitnah bahwa dia telah memperkosa Suma Hui, hal ini tidak boleh dibiarkan saja dan dia harus menerangkan persoalan yang amat gawat ini.

Di sepanjang perjalanannya menuju ke Thian-cin, tiada hentinya dia merenungkan fitnah yang amat aneh itu. Kiranya, keluarga seperti itu, keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang terkenal itu, tidak mungkin menjatuhkan fitnah sembarangan saja, apalagi fitnah berupa kejahatan perkosaan! Akan tetapi, mungkinkah seorang dara seperti Suma Hui itu berani atau sudi membohong?

Kalau Suma Hui tidak benar-benar menjadi korban perkosaan, apa artinya menuduh dia memperkosa? Benarkah gadis itu menjadi korban perkosaan? Ataukah Suma Hui sengaja berpura-pura dengan pamrih lain di balik itu? Pamrih yang bagaimana? Kalau benar terjadi peristiwa laknat itu, siapa orangnya yang akan dapat memperkosa seorang dara seperti Suma Hui? Akan tetapi dia lalu teringat kepada Jai-hwa Siauw-ok. Datuk sesat itu pun pernah hampir dapat memperkosa Suma Hui kalau saja dia tidak muncul di saat yang tepat!

Pendeknya, apa pun yang terjadi, dia harus menemui Suma Hui, menemui keluarga Suma untuk menerangkan semua persoalan dan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengganggu pikirannya itu.

Pada waktu pelayan mempersilakannya duduk di ruangan tamu sementara pelayan itu melaporkan kepada tuan rumah, Cin Liong duduk dengan hati berdebar tegang. Apa yang harus dikatakannya kepada Suma Kian Lee dan isterinya kalau mereka keluar menemuinya? Rasanya tidak patut kalau begitu datang dia langsung bicara tentang hal yang merupakan aib bagi keluarga itu. Lalu, apa yang harus dikatakannya? Bagaimana kalau begitu muncul, suami isteri sakti itu langsung menyerangnya? Haruskah dia melawan?

Akan tetapi dia teringat bahwa kini Suma Hui sudah menikah. Ahhh, itulah yang dapat dijadikannya alasan. Dia datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan itu!

Langkah kaki tegap yang menuju ke ruangan tamu itu terdengar demikian kerasnya oleh Cin Liong, menyaingi degup jantungnya. Dia sudah berdiri ketika daun pintu kamar tamu yang menembus ke ruangan dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki setengah tua gagah perkasa yang bukan lain adalah Suma Kian Lee. Sudah kurang lebih empat tahun dia tidak bertemu dengan pendekar ini dan nampak oleh Cin Liong betapa waktu empat tahun itu menambah usia sang pendekar seperti sepuluh tahun saja!

Pendekar itu nampak jauh lebih tua, rambutnya sudah hampir putih semua dan banyak garis-garis prihatin menghias mukanya, menjadi keriput-keriput mendalam. Matanya yang lebar itu masih tenang seperti dulu, juga masih tajam, tetapi ada bayangan duka di balik ketenangannya. Dan pada saat itu, sepasang mata itu terbelalak membayangkan kekagetan sehingga mengherankan hati Cin Liong yang sudah cepat menjura dengan sikap hormat.

“Kao Cin Liong....!” kata pendekar itu dengan suara jelas membayangkan rasa kaget melihat pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak disangkanya akan muncul di kamar tamunya. “Engkau.... datang.... dengan maksud apakah....?”

Memang sejak dari pertemuan dengan ayah bundanya, Cin Liong sudah membawa ganjalan hati. Ayah bundanya telah mengalami penghinaan dari keluarga ini, mungkin juga penghinaan itu berlangsung di dalam ruangan tamu ini. Akan tetapi dia datang bukan untuk melampiaskan perasaan marah dan penasaran itu, melainkan untuk menjernihkan segala kekeruhan dan menerangkan semua kegelapan dalam perkara itu. Maka dia masih bersabar walau pun alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat.

“Locianpwe, maafkanlah kalau kedatangan saya ini mengganggu. Saya datang untuk menghaturkan selamat atas pernikahan bibi Suma Hui. Sayang saya sedang bertugas sehingga tak dapat menghadiri pesta pernikahan itu. Juga saya menyampaikan ucapan selamat dari ayah dan ibu.”

Cin Liong sengaja menyebut locianpwe agar tidak menonjolkan hubungan keluarga di antara mereka, akan tetapi dia tetap menyebut bibi kepada Suma Hui mengingat bahwa gadis itu telah menikah dan tidak enaklah kalau dia tetap menyebut adik seperti biasa.

Akan tetapi, ucapan selamat dari Cin Liong ini terasa seperti pisau beracun menusuk hati pendekar itu. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan sepasang matanya menatap wajah Cin Liong penuh selidik. Dia pun lupa untuk mempersilakan tamunya duduk dan mereka masih berdiri saling berhadapan.

“Terima kasih,” jawab Suma Kian Lee dengan suara lirih akibat menahan perasaan yang bergolak. “Lalu apa lagi keperluanmu mengunjungi kami?”

Kerut-merut di antara alis pemuda itu makin mendalam. Sungguh angkuh dan sombong sekali orang ini, pikirnya. Beginikah sikap putera dari mendiang Pendekar Super Sakti? Tentu saja dia tidak tahu bahwa sikap yang diperlihatkan oleh Suma Kian Lee itu sungguh sama sekali bukan sikap aslinya. Pendekar ini telah mengalami musibah, seteguh-teguhnya batu karang seperti dia telah dilanda badai yang amat hebat sehingga membuat kekokohan batinnya menjadi goyah.

“Memang ada lagi keperluan lain, locianpwe. Saya datang untuk membikin jernih kekeruhan yang terjadi antara keluarga locianpwe dan keluarga kami.”
“Bagus!” Suma Kian Lee berkata tegas dan mulutnya membayangkan senyum pahit. “Seorang gagah harus menghadapi segala keadaan dengan sikap gagah pula. Engkau datang karena merasa bahwa keluarga Kao telah menerima penghinaan dari keluarga kami?”

Kao Cin Liong mengangguk. “Setidaknya menerima perlakuan yang tidak semestinya kami terima.”
“Bagus!” kembali pendekar itu berseru. “Mari kau ikut denganku, Kao Cin Liong!”

Melihat sikap yang tegas dan kaku itu, diam-diam di dalam hati Cin Liong sudah timbul penasaran dan hatinya semakin terbakar. Maka tanpa banyak cakap dia mengangguk dan mengikuti tuan rumah itu yang berjalan melalui lorong di samping rumah, menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dia pernah mengunjungi rumah ini dan sedikit banyak sudah mengenal keadaannya, maka dia pun hanya mengikuti saja dengan hati penasaran ketika tuan rumah membawanya ke ruangan itu.

Ruangan yang luas itu kosong dan keadaan amat sunyi, membuat hati Cin Liong menduga-duga ke mana perginya anggota keluarga lainnya. Kini mereka berdiri saling berhadapan di lian-bu-thia. Aneh sekali, Suma Kian Lee kini berseri-seri memandang wajah pemuda itu.

“Seorang gagah akan menyelesaikan urusan dengan cara yang gagah pula. Keluarga Kao telah merasa terhina oleh keluargaku dan sekarang engkau datang untuk membuat perhitungan, itu sudah adil sekali. Dan aku sebagai orang yang bertanggung jawab atas keluarga Suma, sudah berdiri di hadapanmu, siap untuk menebus kesalahan dengan cara yang gagah pula. Kao Cin Liong, aku sudah siap, majulah!” Suma Kian Lee memasang kuda-kuda dengan sikap yang gagah.

Cin Liong terkejut dan juga marah. Sungguh sombong, pikirnya. Akan tetapi dia masih ingat bahwa sungguh amat tidak baik menanam permusuhan dengan keluarga Suma, apalagi kalau diingat bahwa ibunya masih terhitung anggota keluarga Pulau Es pula. Dia datang untuk menjelaskan perkara, untuk mencari kebenaran, bukan untuk menuntut keadilan dengan membalas dendam.

“Akan tetapi, locianpwe, kedatangan saya bukan untuk berkelahi!” bantahnya.
“Kao Cin Liong, siapa yang mau berkelahi? Kita bertanding untuk membuat perhitungan yang ada. Aku tahu bahwa engkau adalah putera Si Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau telah memiliki tingkat kepandaian yang setanding dengan aku, maka aku pun tidak malu untuk menandingimu. Mari, aku sudah siap. Kecuali kalau engkau seorang penakut, nah, tak perlu banyak cakap, pergilah.”

“Locianpwe terlalu tinggi hati dan terlalu memaksa!” bentak Cin Liong marah.
“Memang! Majulah, orang muda!” Anehnya, suara pendekar ini semakin gembira.

Melihat betapa lawannya sudah memasang kuda-kuda, Cin Liong yang tak sudi disebut pengecut itu sudah menerjang sambil mengeluarkan teriakan peringatan. Hantamannya amat kuat dan cepat, namun dengan indahnya serangan pertama itu dapat dihindarkan oleh Suma Kian Lee yang juga memiliki gerakan yang mantap dan kuat. Suma Kian Lee mengelak sambil membalas serangan dengan tidak kalah kuatnya, akan tetapi Cin Liong juga dapat mengelak dengan cepat.

Terjadilah serang-menyerang dengan serunya dan diam-diam kedua orang pendekar tua dan muda ini saling agum akan kehebatan dan kegesitan lawan. Ilmu silat mereka berbeda sekali, dari sumber yang berlainan, akan tetapi keduanya sama kuatnya, sama indahnya dan sama mantapnya. Mungkin saja Kian Lee menang latihan dan menang matang, akan tetapi Cin Liong yang menang muda itu tentu saja menang napas dan menang cepat gerakannya.

“Lihat pukulan!” Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru setelah mereka bertanding lebih dari tiga puluh jurus dan hanya mengandalkan kecekatan mereka untuk saling mengelak dan saling membalas.

Kini pendekar Pulau Es itu mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang dan menghantam dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh lawan. Cin Liong terkejut, mengenal pukulan ampuh yang hawanya mengandung dingin luar biasa ini. Dia sudah mendengar bahwa para pendekar Pulau Es memiliki dua macam ilmu andalan, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) dan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), maka merasa betapa dinginnya pukulan ini, dia dapat menduga bahwa ini tentulah pukulan Tenaga Sakti Inti Salju itu.

Dia pun cepat mengerahkan tenaganya dan karena maklum bahwa kekuatan lawan amatlah hebatnya, dia pun tidak mau membahayakan dirinya dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dengan menggunakan tenaga inti bumi dalam pengerahan tenaga Sin-liong Hok-te. Tubuhnya tiba-tiba menelungkup dan saat pukulan datang, ia pun meloncat dan menerima pukulan kedua tangan itu dengan kedua telapak tangannya sendiri.

“Dessss....!”

Dua tenaga raksasa bertemu di tengah udara dan akibatnya, tubuh Cin Liong terpental ke belakang sampai tiga tombak. Akan tetapi sebaliknya Suma Kian-Lee terhuyung, mukanya menjadi pucat dan mulutnya mengeluarkan sedikit darah segar!

Cin Liong terkejut bukan main. Dia tidak merasa terluka walau pun tubuhnya terlempar, dan kini dia menghampiri lawannya, bermaksud untuk memeriksa kalau-kalau lawannya terluka parah. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika kini Suma Kian Lee membentak lagi, “Lihat pukulan....!”

Kali ini pukulan pendekar Pulau Es itu membawa hawa yang panas. Tahulah Cin Liong bahwa pukulan ini tentulah Hwi-yang Sin-ciang. Maka dia pun cepat mengumpulkan tenaga dan menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan. Untuk mengelakkan pukulan sakti seperti itu jauh lebih berbahaya lagi.

“Blaarrrr....!”

Cin Liong terlempar lagi dan terbanting keras, seluruh tubuhnya terasa panas dan dia terkejut bukan main. Akan tetapi hanya kepalanya yang terasa pening dan dia bangkit kembali, menggoyang-goyangkan kepalanya mengusir kepeningan. Ketika memandang, dia melihat lawannya masih berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang dan dari mulutnya mengalir darah segar lebih banyak lagi. Dan pendekar tua itu tersenyum!

“Bagus! Tidak memalukan engkau menjadi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan engkau memang pantas mencuci penghinaan atas nama keluargamu. Aku tidak malu roboh di tanganmu. Mari lanjutkan....!” Dan Suma Kian Lee sudah melangkah maju lagi walau pun terhuyung-huyung.

Cin Liong kebingungan. Dia tahu bahwa lawannya terluka parah. Akan tetapi, lawannya masih hendak menyerang lagi, maka terpaksa dia pun cepat memasang kuda-kuda dengan waspada karena maklum bahwa para pendekar Pulau Es merupakan gudang-gudang ilmu silat tinggi yang amat hebat.

“Kao Cin Liong, terimalah seranganku!” kata Suma Kian Lee. Akan tetapi pada saat dia melangkah maju, siap menerjang, terdengar jeritan nyaring.
“Tahan....!” Dan sesosok bayangan meluncur datang, lalu memeluknya dari belakang. “Suamiku, apa yang kau lakukan ini? Ya Tuhan.... engkau.... engkau terluka....!” Wanita itu adalah Kim Hwee Li yang segera memapah suaminya diajak duduk di atas bangku di sudut ruangan yang luas itu.

Ditangani isterinya, Kian Lee tidak banyak membantah. Dia pun segera duduk bersila di atas lantai seperti yang diminta isterinya dan Kim Hwee Li sudah menempelkan kedua tangannya ke dada suaminya.

“Kao Cin Liong, ke sinilah dan bantu aku mengobati suamiku. Cepat!” kata wanita itu.

Cin Liong cepat menghampiri. Biar pun dia bingung sekali, akan tetapi dia tidak ragu-ragu untuk cepat duduk bersila di belakang kakek itu dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Kian Lee sambil mengerahkan sinkang perlahan-lahan. Dia pun tahu cara pengobatan dengan sinkang untuk menyembuhkan luka sebelah dalam tubuh orang.

Setelah diobati oleh pengerahan sinkang kedua orang itu, akhirnya wajah Kian Lee menjadi merah kembali dan pernapasannya menjadi tenang dan pulih. Dia menarik napas berkali-kali lalu berkata, “Sudah, cukuplah....”

Kim Hwee Li melepaskan tangannya dan diturut pula oleh Cin Liong yang cepat bangkit berdiri mundur beberapa largkah, menanti dengan sikap hormat. Kim Hwee Li mengajak suaminya bangkit duduk di atas bangku dan nyonya itu setelah memandang wajah suaminya dan Cin Liong berganti-ganti, lalu membanting kakinya.

“Suamiku ini semakin tua semakin bandel dan keras kepala!” Lalu nyonya itu menangis, mengusap air matanya dengan punggung tangan. Mengharukan sekali melihat nyonya ini menahan tangisnya seperti anak kecil yang sedih sekali.

Suma Kian Lee kembali menghela napas. “Isteriku, kenapa engkau tidak membiarkan aku mati terhormat seperti orang gagah? Apa artinya hidup akan tetapi menanggung malu dan telah melakukan kesalahan memalukan yang besar sekali terhadap keluarga Kao? Aku hanya akan menjadi bahan ejekan orang saja.” Kedua mata pendekar ini menjadi basah dan beberapa kali dia memejamkan mata untuk nenahan runtuhnya air matanya.

Dengan air mata masih menetes di sepanjang pipinya, Kim Hwee Li bangkit berdiri dan menepuk dada, membanting kakinya. “Hendak kulihat siapa orangnya yang berani mengejek suamiku! Ingin kulihat siapa berani! Siapa....?” Ia menantang-nantang seolah-olah di depannya berdiri seluruh manusia di dunia yang berani lancang mengejek suaminya yang dicintanya sepenuh hati.

Diam-diam Cin Liong kagum melihat nyonya ini dan dapat merasakan besarnya cinta yang terkandung dalam dada nyonya itu terhadap suaminya.

“Maaf.... ji-wi locianpwe.... sesungguhnya saya menjadi bingung sekali.... saya datang untuk menjernihkan suasana, tetapi kiranya malah diterima salah dan kalau kedatangan saya hanya makin mengeruhkan keadaan, harap sudi memberi penjelasan dan saya bersedia untuk minta maaf,” katanya merendah.

Kim Hwee Li menarik napas panjang. “Duduklah, Cin Liong. Suamiku ini memang keras kepala dan keras hati pula. Dia sedang dalam keadaan sakit yang cukup parah karena guncangan batin. Dia tahu akan keadaannya itu maka agaknya menantangmu agar dia dapat mati di tanganmu.”
“Locianpwe....!” Cin Liong berseru terkejut sekali sambil memandang kepada Suma Kian Lee.

Jadi itukah gerangan sebabnya mengapa pendekar itu menantangnya dan membiarkan dirinya terluka dalam pertemuan tenaga sakti? Kiranya sedang menderita sakit sehingga lemah dan mencari kesempatan tewas dalam pertandingan itu! Dia bergidik. Tanpa disadarinya hampir dia menjadi pembunuh orang yang sedang lemah dan sakit!

“Apa.... apa artinya semua ini?”

Suma Kian Lee menarik napas panjang dan memandang pemuda itu. Kemuraman dan kedukaan membayang di wajahnya, sungguh berbeda dengan tadi ketika menghadapi maut, wajah pendekar itu berseri gembira.

“Kami telah menghina keluarga Kao, bahkan telah menjatuhkan fitnah keji atas dirimu yang ternyata tidak berdosa. Aku merasa malu sekali. Maka ketika engkau datang, mewakili keluargamu, sungguh kebetulan bagiku karena aku dapat menebus dosaku itu. Kekuatan kita seimbang, akan tetapi aku sedang sakit dan kalau aku tewas di tanganmu dalam sebuah pertandingan yang adil, aku.... aku tidak perlu malu bertemu dengan ayah bundamu....”

“Tapi, locianpwe. Kami sekeluarga sama sekali tidak mendendam atas perlakuan ji-wi locianpwe sekeluarga karena ayah juga merasa yakin bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Begitu saya kembali ke rumah, ayah dan ibu menegur saya tentang.... ehh, tentang.... perkosaan yang katanya saya lakukan. Karena itulah saya penasaran, locianpwe, dan ingin membikin terang duduknya persoalan, bukan karena dendam oleh penghinaan itu. Kalau toh ada penghinaan itu terhadap keluarga kami, tentu terjadi karena kesalah pengertian di pihak locianpwe sekeluarga.”

“Memang sebenarnya demikianlah, Cin Liong. Ada salah pengertian besar di pihak kami yang baru kami ketahui setelah terlambat....,” kata Kim Hwee Li dengan suara berat.
“Akan tetapi, locianpwe, sebetulnya.... apakah yang telah terjadi dengan.... Hui-i (bibi Hui)? Ji-wi locianpwe mengetahui perasaan saya terhadap Hui-i, dan maafkan kalau pertanyaan saya itu terlalu mendesak, mengingat bahwa Hui-i sekarang telah menikah dengan bahagia....”
“Tidak! Dia.... dia.... ahhh....” Suma Kian Lee tidak melanjutkan kata-katanya dan menunduk dengan muka muram.

Cin Liong menatap wajah pendekar itu, lalu menoleh kepada isteri pendekar itu. Akan tetapi keduanya tidak melanjutkan keterangan mereka dan nampaknya berat sekali untuk bicara.
Akhirnya Kim Hwee Li berkata, “Cin Liong, kami tidak dapat memberi tahu kepadamu....”

Cin Liong menunduk, merasa terpukul hatinya. Dia bagai diingatkan bahwa dia bukanlah apa....apa, bukan keluarga dan tentu saja tidak berhak bertanya-tanpa tentang diri Suma Hui. Dia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berat, “Maaf.... saya telah bersikap lancang....”

“Tidak, Cin Liong. Engkau telah kejatuhan fitnah, biar pun kini kami mengaku telah salah paham menjatuhkan fitnah keji, akan tetapi engkau berhak mengetahui apa yang telah terjadi maka sampai kami menuduhmu. Akan tetapi.... karena hal ini menyangkut pribadi Hui-ji, maka sebaiknyalah kalau engkau mendengarnya dari mulutnya sendiri, kalau ia mau menceritakan....”
“Tapi.... tapi.... Hui-i sudah....”
“Temui saja ia, Cin Liong,” kata wanita itu. “Ia sedang berlatih di telaga kecil sebelah barat di luar kota ini. Temuilah saja dan lihat saja perkembangannya nanti.”

Cin Liong sudah tahu di mana letaknya telaga kecil itu. Dia lalu memberi hormat kepada kedua orang tua itu, kemudian tanpa bicara lagi dia lalu keluar dan berlari cepat keluar dari kota Thian-cin menuju ke barat, ke arah telaga itu, tanpa mempedulikan orang-orang yang memandang heran melihat seorang pemuda berlari-lari secepat itu.....

********************
Seorang gadis dan seorang pemuda sedang berlatih silat di tepi telaga kecil itu. Latihan mereka sungguh akan mentakjubkan orang yang melihatnya. Akan tetapi tempat itu sunyi dan seandainya ada orang yang melihatnya, kiranya kedua orang muda itu tidak akan melakukan latihan di tempat itu.

Tadinya mereka berlatih silat tangan kosong, saling serang dengan hebatnya dan dari sambaran kedua tangan mereka ada hawa pukulan yang sangat kuat menyambar-nyambar, menimbulkan angin pukulan yang membuat pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kadang-kadang pukulan mereka itu mengeluarkan bunyi bercicitan, bahkan ada kalanya pukulan mereka mengeluarkan uap yang dingin sekali, kemudian berganti menjadi uap yang luar biasa panasnya! Keduanya sama tangkas, sama cepat dan pukulan-pukulan mereka sungguh menggiriskan hati siapa yang melihatnya.

Setelah berlatih silat tangan kosong, saling serang sampai seratus jurus lebih, mereka beristirahat sebentar, kemudian mereka berlatih di tepi telaga. Bergantian mereka mengirim pukulan-pukulan ke arah air telaga dan bukan main hebatnya pukulan itu. Pukulan yang mengandung hawa dingin aneh sekali sampai air yang terlanda pukulan mereka menjadi beku seperti salju dan es! Kemudian, dengan pukulan yang hawanya panas mereka mencairkan kembali gumpalan-gumpalan salju itu, bahkan nona itu memasukkan lengannya ke air, menggerak-gerakkannya dengan pengerahan tenaga, mengirim getaran-getaran melalui tangannya dan air di sekeliling lengannya menjadi panas!

Mereka itu adalah Suma Hui dan Suma Ciang Bun, dua orang putera dan puteri pendekar Suma Kian Lee. Seperti telah kita ketahui, Suma Kian Lee merasa menyesal bukan main akan aib dan musibah yang menimpa diri puterinya, merasa menyesal bahwa dia telah salah pilih, telah menaruh kepercayaan yang amat besar kepada seorang pemuda seperti Louw Tek Ciang yang kemudian ternyata adalah seorang penjahat cabul murid Jai-hwa Siauw-ok! Dia bukan hanya mempercayai pemuda itu, bahkan telah mengambilnya sebagai murid, sebagai ahli waris ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es dan juga telah memilihnya sebagai mantu!

Setelah diketahuinya bahwa pemuda bejat akhlak itu seorang penjahat licik yang telah memperkosa Suma Hui, kemudian menggunakan nama Cin Liong untuk menjatuhkan fitnah, Suma Kian Lee baru sadar akan kebodohan dan kekeliruannya. Dia melarang kedua orang anaknya melakukan pencarian. Louw Tek Ciang sudah terlampau lihai bagi mereka, apalagi di sampingnya masih terdapat seorang datuk sesat seperti Jai-hwa Siauw-ok! Maka, dia lalu menggembleng kedua orang anaknya itu siang malam tanpa mengenal lelah. Dua orang muda itu pun berlatih dengan amat tekunnya sehingga lewat dua tahun saja, mereka yang memang sudah mempunyai dasar ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, telah menguasai kedua Ilmu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang amat hebat itu.

Sejak mengalami peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya, yaitu pemerkosaan terhadap dirinya yang disusul dengan guncangan-guncangan lain, Suma Hui kini nampak matang dan ada garis-garis penderitaan di ujung bibir dan ujung matanya. Usianya baru dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun, akan tetapi ia kelihatan lebih matang.

Dia telah digembleng pergalaman-pengalaman yang amat mengguncangkan batinnya. Pemerkosaan atas dirinya merupakan aib yang hebat, akan tetapi persangkaan yang sudah yakin bahwa pemerkosanya adalah Kao Cin Liong, pemuda yang dicintanya, benar-benar menghancurkan batinnya dan membuat ia hampir putus asa. Kemudian, semua ini masih disusul lagi oleh peristiwa keributan antara keluarganya dan keluarga Kao, dan yang kemudian sekali, kenyataan bahwa pemerkosanya ternyata sama sekali bukanlah Kao Cin Liong melainkan Louw Tek Ciang, pemuda yang menjadi suheng-nya dan juga suaminya sendiri, benar-benar merupakan pukulan terakhir baginya.

Pukulan terakhir ini melandanya dengan perasaan-perasaan yang bercampur aduk. Ada rasa girang bahwa pemuda yang dicintanya, Kao Cin Liong, ternyata bukanlah seorang jahat dan sama sekali tidak melakukan perbuatan laknat itu! Rasa girang ini bercampur rasa penyesalan besar sekali karena ia telah menuduh pemuda itu, menuduhnya dan hampir membunuhnya. Bahkan menuduh Cin Liong langsung di depan orang tuanya yang mendatangkan penghinaan kepada keluarga Kao!

Di samping rasa girang dan sesal yang hampir tak tertahankan olehnya ini, ada lagi rasa marah dan dendam yang berkobar-kobar terhadap Louw Tek Ciang! Dendam inilah yang membuat Suma Hui berlatih dengan amat tekunnya, tidak ingat waktu, tidak mengenal lelah, seolah-olah tujuan hidupnya hanya tinggal belajar ilmu silat sepandai-pandainya untuk kemudian mencari dan membunuh Louw Tek Ciang si jahanam!

Suma Ciang Bun juga berlatih dengan sama giatnya. Bukan saja karena semangat belajar enci-nya itu menular kepadanya, akan tetapi juga pemuda ini mengalami ketegangan dan guncangan batin karena konflik-konflik yang terjadi di dalam dirinya sendiri. Melihat kelainan yang melanda batinnya, Ciang Bun menjadi gelisah sekali.

Enci-nya merupakan orang pertama, bahkan satu-satunya orang yang dipercayanya dan yang mengetahui keadaan dirinya. Akan tetapi enci-nya juga bingung dan tidak mampu menolongnya, bahkan tidak mampu memberi nasehat sehingga Ciang Bun lalu mencari pelarian dalam berlatih mati-matian. Dengan melatih diri mati-matian tanpa mengenal lelah itu, sedikitnya dia dapat melupakan kegelisahannya dan karena dia tidak banyak bergaul, maka kelainan itu pun tidak terlalu mengganggunya.....

Demikianlah, dengan latar belakang dorongan masing-masing, kedua orang enci dan adik ini berlatih dengan amat giatnya dan pada waktu itu, latihan-latihan mereka sudah mencapai tingkat terakhir dan hanya tinggal mematangkan saja dengan latihan selanjutnya. Ayahnya telah menuangkan semua ilmunya kepada mereka, demikian juga ibu mereka. Saking besarnya semangat belajar mereka, Suma Hui bahkan mempelajari ilmu-ilmu aneh dari ibunya, yaitu ilmu pawang ular, ilmu untuk menaklukkan ular-ular yang dikuasai oleh ibunya, juga memperdalam ilmu pukulan Cui-beng Pat-ciang yang hanya delapan jurus akan tetapi amat hebatnya itu dari ibunya.

Bahkan, menurut petunjuk ibunya, gadis ini sudah berhasil memperoleh ular kalung emas, seekor ular yang amat berbisa, dan memeliharanya sehingga ular yang amat ganas itu jinak sekali terhadap Suma Hui, akan tetapi merupakan senjata yang amat ampuh terhadap lawan. Ayahnya kurang setuju, karena ilmu seperti itu, kalau digunakan untuk menghadapi lawan, termasuk ilmu sesat. Akan tetapi Suma Hui berjanji bahwa ia akan mempergunakan senjata ular dan ilmunya memanggil ular-ular itu hanya apabila menghadapi Tek Ciang dan kawan-kawannya, kaum sesat.

Suma Ciang Bun juga tidak mau kalah. Pemuda ini telah memilih ilmu yang diwarisi ayahnya dari mendiang neneknya, yakni nenek Lulu. Di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, pemuda ini juga mewarisi Ilmu Toat-beng Bian-kun dan Hong-in Bun-hoat. Kemudian, dari ibunya dia mempelajari ilmu melempar senjata rahasia berupa jarum-jarum halus yang harum baunya.

Melihat betapa puteranya amat berbakat bermain pedang, ayahnya memberi kepadanya sepasang pedang yang sangat baik buatannya, dari baja murni dan pedang itu amat indah, terukir bunga teratai dan pedang itu bernama Lian-hwa Siang-kiam (Sepasang Pedang Bunga Teratai). Ciang Bun suka sekali dengan sepasang pedang yang tipis ini, yang dimasukkan dalam satu sarung. Gagangnya dihias emas permata dan diukir indah dengan gambar bunga-bunga teratai putih dan merah. Memang pada dasarnya Ciang Bun suka bersolek, maka sepasang pedang yang indah ini sangat disukainya. Dari ayahnya dia mempelajari ilmu pedang pasangan yang bernama Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).

Demikianlah keadaan dua orang kakak beradik yang sedang berlatih silat di tepi telaga itu. Sejak tadi Cin Liong sudah tiba di situ dan hatinya diliputi rasa haru yang amat besar ketika dia melihat Suma Hui berlatih bersama Ciang Bun.

Suma Hui! Hatinya menjerit-jerit memanggil nama gadis itu dan rasa rindunya yang sudah mendalam itu membuat dia hampir tidak dapat menahannya. Ingin dia mendekati gadis itu, merangkulnya, menciumnya, dan membisikkan kata-kata cinta kepadanya. Saat itu terasa benar olehnya betapa dia sangat mencinta gadis itu! Betapa dia akan sukar untuk dapat melupakan gadis itu selama hidupnya dan betapa akan sukarnya mencari penggantinya.

“Hui-moi....!” Jeritan hati ini tanpa disadarinya lagi telah terlontar lewat mulutnya sendiri.

Suma Hui yang kini berada di tepi telaga itu bukan lagi Suma Hui kekasihnya dahulu. Dia sudah tidak bebas lagi karena telah menjadi isteri orang! Biar pun teriakannya tadi tidak begitu keras dan jaraknya masih jauh, akan tetapi agaknya suaranya terdengar oleh dua orang kakak beradik itu, atau mungkin juga mereka merasakan kehadirannya. Keduanya menoleh dan melihatnya.

Yang pertama kali berseru adalah Suma Ciang Bun. Pemuda itu sedemikian girangnya ketika melihat Cin Liong sehingga dia melompat dan menghampiri pemuda itu, lalu merangkulnya.

“Cin Liong, ke mana sajakah engkau selama ini? Ahhh, engkau kurus benar!”

Cin Liong hanya tersenyum dan memandang ke arah Suma Hui yang masih berdiri saja seperti telah berubah menjadi patung dan dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat sekali.

“Paman Ciang Bun, engkau kini sudah kelihatan dewasa. Ahh, ilmu silatmu tentu sudah tinggi sekali sekarang!” kata Cin Liong menanggapi kegembiraan yang diperlihatkan Ciang Bun.
“Cin Liong, kebetulan engkau datang. Kami memang sedang berlatih. Mari, kau beri petunjuk padaku agar aku dapat melihat di mana letak kekurangan dan kesalahanku!” berkata demikian, Ciang Bun lalu maju menyerang.

Melihat kegembiraan pemuda itu, Cin Liong merasa tidak tega menolak, maka sambil tertawa dia pun mengelak dan balas menyerang. Segera mereka mulai berlatih dengan saling serang. Akan tetapi ketika Cin Liong menangkis, dia terkejut sekali mendapat kenyataan betapa kuatnya lengan pemuda itu, betapa besar tenaga sinkang yang menggerakkan lengan itu! Dia pun terseret ke dalam kegembiraan dan bersilat dengan sungguh-sungguh karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali.

Sementara itu, Suma Ciang Bun juga merasa amat gembira, bukan hanya bertemu dengan keponakan yang amat dikagumi dan disukainya itu, melainkan karena kini dia memperoleh kesempatan berlatih dengan seorang lawan yang pandai. Biasanya, dia hanya dapat berlatih melawan enci-nya, ayahnya atau ibunya saja. Ilmu silat mereka sama, maka tentu saja dia menjadi bosan karena dia sudah tahu akan ke mana arah serangan mereka yang sekeluarga itu. Akan tetapi, kini menghadapi Cin Liong, dia seperti menghadapi seorang lawan yang sungguh-sungguh. Dia harus berhati-hati karena dia belum mengenal gerakan lawan dan ini merupakan latihan yang amat baik dan menarik.

Serang-menyerang terjadi dan makin lama Cin Liong semakin kagum. Tak disangkanya bahwa selama beberapa tahun ini Ciang Bun sudah memperoleh kemajuan yang begitu pesatnya dan memiliki banyak macam ilmu silat yang mutunya tinggi sekali. Dia harus membalas serangan, karena kalau dia hanya bertahan, bukan tidak mungkin dia akan kalah oleh pemuda ini! Tanpa mereka rasakan, mereka telah bertanding atau berlatih sampai lima puluh jurus!

Suma Hui dapat bernapas lega. Ketika tadi ia melihat munculnya Cin Liong secara mendadak, dia merasa jantungnya terguncang hebat dan hampir saja dia melarikan diri atau roboh lemas. Kiranya ia tidak akan mampu menghadapi Cin Liong pada saat pertemuan itu. Maka ketika adiknya mengajak pemuda itu berlatih silat, dia mempunyai banyak kesempatan untuk mengatur pernapasannya dan meredakan jantungnya yang bergelora tadi. Mukanya yang tadinya pucat sekali itu perlahan-lahan berubah merah dan kedua matanya terasa panas. Ia menahan-nahan tangisnya melihat pemuda yang dicintanya itu.

Betapa kurusnya muka Cin Liong! Ah, betapa sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu. Baru kini terbuka matanya bahwa ia tidak pernah membenci Cin Liong, tidak pernah dapat membencinya. Kalau dulu ia bertekad untuk mencari dan membunuh Cin Liong, hal itu bukan karena benci melainkan karena kecewa mengapa pemuda yang dicintanya itu menghancurkan segala harapannya. Dan kini? Ternyata pemuda itu sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu telah difitnahnya! Dituduhnya melakukan hal yang demikian kotor dan rendah!

Baru kini ia merasa menyesal sekali mengapa ia sampai begitu bodoh. Mana mungkin seorang pendekar gagah perkasa seperti Cin Liong, putera Naga Sakti Gurun Pasir, seorang panglima muda yang dipercaya kaisar, mau melakukan perbuatan serendah itu? Mengapa dia dahulu tidak bicara terang-terangan saja dengan Cin Liong dan menceritakan segalanya tanpa menuduhnya seperti itu?

“Cukup, paman Ciang Bun, cukup.... wah, engkau lihai sekali....!” Cin Liong meloncat ke belakang. Ciang Bun menghentikan serangannya dan keduanya saling pandang sambil tertawa dan mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi.
“Wah, setelah berlatih mati-matian selama beberapa tahun, masih saja aku belum mampu mengimbangimu, Cin Liong, apalagi menandingimu.”
“Engkau terlalu merendah, paman. Kepandaianmu hebat, hampir-hampir aku tidak kuat menahannya,” kata Cin Lion memuji.

Suma Hui sekarang melangkah maju menghampiri. Sejenak ia berdiri bertukar pandang dengan Cin Liong yang cepat memberi hormat. “Hui-i, maafkan kalau aku datang mengganggu,” katanya dengan suara gemetar.

Suma Hui tak mampu menjawab, hanya memandang dan dua titik air mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk matanya, kini menetes turun ke atas pipinya. Ia lalu menoleh kepada adiknya dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, “Bun-te, tinggalkan kami sendirian....”

Ciang Bun mengangguk maklum dan pemuda ini pun lalu pergi dan lari dari tempat itu. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi bayangannya, barulah Suma Hui memutar tubuh menghadapi Cin Liong. Kembali mereka saling berpandangan, lalu terdengar suara gadis itu lirih, “Cin Liong, engkau datang.... mau apakah....?”

Pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh ayah gadis ini, pikir Cin Liong dengan hati terpukul. Akan tetapi dia harus berani menghadapi semua ini. Dia harus mengetahui segala yang terjadi atas diri wanita yang dicintanya ini. Dia tidak akan mengganggu, tidak berani, karena bukankah wanita ini telah menjadi isteri orang?

“Bibi Hui.... aku datang untuk.... untuk menanyakan kesalahanku, kesalahan kami sekeluarga kepada ayah bundamu. Aku sudah menghadap mereka dan.... dan mereka menyuruhku bertanya kepadamu sendiri.”

Suma Hui mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya sebentar untuk mengusir semua kenangan pahit yang telah dideritanya selama ini. Lalu, dia melolos sepasang pedangnya. Melihat ini, Cin Liong terkejut bukan main.

“Hui-i, kalau sekali ini engkau menyerangku lagi, biarlah aku mati di tanganmu, dan aku tidak akan melawanmu.”

Sepasang mata itu terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan beberapa butir air mata mengalir turun. Sepasang pedang itu dilemparkannya ke dekat kaki Cin Liong dan suaranya berbisik dalam gemetar, “Cin Liong, aku telah bersalah kepadamu, kepada keluargamu, dosaku besar sekali dan aku layak mati. Nah, bunuhlah aku, boleh kau pergunakan pedangku yang pernah kupakai menyerang dan melukaimu dahulu itu.”

“Hui-i....,” Cin Liong terkejut bukan main. Cepat dia mengambil sepasang pedang itu dan melangkah maju, mengangsurkan sepasang pedang itu, mengembalikannya kepada pemiliknya. “Mengapa begitu? Simpanlah kembali pedangmu....”

Akan tetapi Suma Hui tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya. Dia pun menjatuhkan dirinya, bersimpuh ke atas tanah berumput di tepi telaga itu. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih, menahan isaknya dan hanya guncangan kedua pundaknya saja dan air mata yang mengalir melalui celah-celah jari tangannya yang menunjukkan bahwa gadis perkasa ini sedang menangis.

Cin Liong berlutut di dekatnya, meletakkan sepasang pedang itu di sisi pemiliknya. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul, akan tetapi ingatan bahwa wanita ini adalah isteri orang lain menahan gelora hatinya.

“Hui-i.... harap jangan menangis. Di manakah.... ehhh, suamimu?”

Pertanyaan ini agaknya amat mengejutkan Suma Hui. Ia menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat dan matanya merah basah, kini memandang kepada wajah pemuda itu bagaikan orang yang merasa heran dengan pertanyaan itu. “Engkau.... engkau belum mengetahuinya dari ayah dan ibuku?”

“Belum. Ketika aku menghadap mereka, mereka hanya menyuruh aku menemuimu di sini dan minta penjelasan darimu. Hui-i, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Aku merasa bingung dan gelisah sekali. Engkau dahulu ingin membunuhku, kemudian orang tuaku yang datang meminang menerima penghinaan dan aku dituduh melakukan.... perkosaan. Apakah artinya semua itu? Dan di mana adanya suamimu? Bukankah engkau telah menikah dengan.... suheng-mu sendiri itu?”

Menerima pertanyaan bertubi-tubi itu, Suma Hui memejamkan matanya, dan hanya air matanya saja yang menyatakan betapa hancur perasaan hatinya. Melihat keadaan wanita ini, Cin Liong merasa terharu sekali. Ingin dia mengulur tangan merangkul, mendekap kepala itu dan menyembunyikan muka itu di dadanya, menghiburnya dan mengusap air matanya. Akan tetapi dia tidak berani selancang itu terhadap wanita yang sudah bersuami.

Dia pun tahu bahwa agaknya baru kini Suma Hui dapat melampiaskan perasaannya, maka dia membiarkan saja wanita itu menangis sepuasnya. Bagi kebanyakan orang, terutama bagi wanita yang halus perasaannya, kadang-kadang tangis merupakan obat mujarab bagi ganjalan hati.

Akhirnya Suma Hui dapat menguasai hatinya. Tangisnya mereda dan ia pun berkata setelah menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya yang menjadi basah. “Sudah sepatutnya engkau mendengar semua itu dari mulutku sendiri. Mala petaka telah menimpaku. Semua dimulai pada malam jahanam itu.... Malam itu aku menjadi korban asap pembius yang ditiupkan ke dalam kamarku. Kemudian, dalam keadan setengah sadar, aku.... aku menjadi korban…. perkosaan orang.... dan dia.... dia menirukan suaramu. Karena kamar itu gelap dan suara itu mirip benar dengan suaramu, aku tertipu dan merasa yakin bahwa engkaulah yang melakukan perkosaan terhadap diriku itu.”

Suma Hui tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi dan menahan tangisnya sambil menghapus air matanya yang kembali membanjir keluar.

Cin Liong mengepal tinjunya. “Hemm, jadi benar-benar ada yang melakukan perbuatan hina itu terhadap dirimu! Pantas engkau menyerangku dan hendak membunuhku, dan kemudian, ketika orang tuaku datang meminang, mereka menerima penghinaan dari keluargamu. Aku tidak merasa heran sekarang. Akan tetapi mengapa engkau tidak mau berterus terang saja menegurku waktu itu sehingga aku dapat mengetahui duduknya persoalan, Hui-i?”

Suma Hui menunduk. “Aku begitu yakin bahwa engkaulah orang itu.... maka kuanggap tidak perlu banyak bicara lagi. Aku begitu kecewa.... begitu hancur hatiku.... sehingga aku.... aku bersumpah.... untuk membunuhmu!”

Cin Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak menyalahkanmu, Hui-i. Tetapi.... lalu bagai mana engkau tahu bahwa sebetulnya bukan aku pemerkosa biadab itu?”

“Dengarkan ceritaku. Di dalam noda dan aib itu, muncullah Louw Tek Ciang....”
“Suheng-mu?”
“Ya, ayah sendiri tertipu oleh sikapnya yang baik hingga ayah berkenan mengangkatnya sebagai murid, bahkan menurunkan semua ilmu keluarga kami kepadanya. Tek Ciang dengan sikapnya yang halus dan lembut penuh kesopanan itu muncul sebagai bintang penolong untuk menyelamatkan aku dari aib. Biar pun dia sudah diberitahu bahwa aku telah diperkosa orang, tetap saja dia bersedia untuk menjadi suamiku.”
“Ahhh....!”
“Aku tidak suka dan membencinya, dan untuk menolak desakan ayah aku mengatakan bahwa aku hanya ingin menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku. Ayah telah tergelincir oleh kelicikan Tek Ciang, ayah menggemblengnya sehingga dia menjadi lihai sekali. Aku pergi selama dua tahun lebih, mencarimu sampai ke kaki Pegunungan Himalaya, dengan maksud untuk menantangmu dan mengajakmu bertanding sampai aku mati di tanganmu....”

“Hui-i....!” Cin Liong berseru kaget dan memandang penuh iba. Suma Hui mengusap kembali air matanya.
“Karena mendengar bahwa engkau memimpin pasukanmu menyerbu ke Nepal, aku kembali ke timur dan setibanya di sini, Tek Ciang telah menjadi lihai sekali. Kembali ayah mendesak aku tentang pernikahan. Aku tetap mempertahankan bahwa aku hanya mau menikah deugan orang yang dapat mengalahkan aku.”
“Dan dia dapat mengalahkanmu?” tanya Cin Liong ketika gadis itu menghentikan ceritanya.

Suma Hui mengangguk. “Aku tidak dapat mengingkari janjiku. Aku dikalahkan dan aku terpaksa menurut kehendak ayahku. Apalagi aku berpikir bahwa setelah dia lihai, dia dapat kumintai bantuan untuk mencarimu dan membunuhmu....”

“Hemm.... wajar sekali itu. Lalu, bagaimana?” Hati Cin Liong mulai tertarik sekali.
“Pernikahan itu lalu dirayakan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan orang-orang penting....”
“Sayang kami tidak dapat hadir....”
“Tentu saja keluarga Kao tidak diundang.... ah, betapa bodohnya kami, dan semua itu karena kesalahanku....”
“Sudahlah, Hui-i, penyesalan pun tidak ada gunanya lagi dan sebetulnya bukan karena kesalahanmu, atau andai kata engkau melakukan kesalahan sekali pun, maka engkau melakukannya tanpa kau sadari. Lalu bagaimana?”

“Malam pengantin itulah yang membuka rahasia busuk itu! Seperti kukatakan tadi, ketika terjadi peristiwa di malam jahanam itu, aku tidak dapat melihat wajah pemerkosa, hanya mendengar suaranya saja yang sama dengan suaramu, juga cara bicaranya kepadaku persis kalau engkau bicara. Tetapi ada satu hal lagi yang menjadi rahasiaku, tidak kuberi tahukan kepada siapa juga, yaitu bahwa secara kebetulan, dalam keadaan setengah sadar itu, aku menyentuh punggung jahanam itu dan aku mendapatkan adanya suatu cacat di punggung, suatu benjolan daging....”
“Ahh, makin menarik! Dan untuk membuktikan bahwa orang itu bukan aku, sebaiknya engkau melihat punggungku!”

Tanpa menanti jawaban, Cin Liong membuka baju atasnya dan membalikkan tubuh, memperlihatkan punggungnya yang berkulit putih bersih tanpa adanya cacat benjolan daging itu kepada Suma Hui yang menjadi merah sekali mukanya.

“Cin Liong, tanpa kau perlihatkan punggungmu, aku pun kini sudah percaya, karena aku telah menemukan orangnya.”
“Ahhh....? Benarkah? Siapa si keparat itu?” tanya Cin Liong sambil mengenakan lagi bajunya.
“Siapa lagi kalau bukan si jahanam Louw Tek Ciang!”
“Hehh....?” Cin Liong yang sedang mengancingkan bajunya itu berhenti setengah jalan. Matanya terbelalak memandang kepada wajah Suma Hui, seolah-olah tak percaya akan pendengarannya sendiri. “Apa.... apa pula maksudmu? Dia....? Suheng-mu...., suamimu itu....? Bagaimana pula ini?”

“Benar, ternyata dialah jahanam pemerkosa itu! Kebetulan aku melihat benjolan daging di punggungnya. Tentu saja aku segera menyerangnya sehingga malam pengantin itu berubah menjadi malam perkelahian mati-matian. Sudah kukatakan dia lihai sekali dan aku bukan lawannya. Akan tetapi, ayah dan ibu muncul mendengar suara ribut-ribut.”

“Tentu dia sudah dapat dibekuk atau dibunuh!” kata Cin Liong penuh semangat.
“Sayang, dia yang sudah tersudut itu diselamatkan orang lain.”
“Siapa yang menyelamatkannya?”
“Kenalan lama kita. Dia adalah Jai-hwa Siauw-ok yang ternyata juga telah menjadi guru Tek Ciang.”
Kembali Cin Liong terperanjat. “Jai-hwa Siauw-ok....?”

“Ya, dan munculnya datuk sesat itu menerangkan segalanya. Engkau tentu tahu bahwa Jai-hwa Siauw-ok termasuk seorang di antara para datuk sesat yang menyerbu Pulau Es, yang memusuhi keluarga Pulau Es. Agaknya dia hendak mencelakakan kami dengan cara lain. Tentu dia yang mengatur semua itu bersama Tek Ciang, dan Jai-hwa Siauw-ok yang melepas asap pembius, lalu Tek Ciang yang melakukan pemerkosaan dan menyamar seperti engkau, tentu dengan maksud untuk mengadu antara keluarga Suma dengan keluarga Kao. Demikianlah, Cin Liong, maka kami memusuhi keluargamu dan aku…. aku telah bersikap bodoh sekali....”

“Di mana jahanam itu sekarang?” Cin Liong bangkit dan mengepal tinju, mukanya telah berubah merah. “Aku akan menghancurkannya bersama Jai-hwa Siauw-ok!”
“Tidak perlu, Cin Liong. Selama ini, ayah yang juga merasa menyesal sekali telah mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk menggembleng kami berdua, dan aku sendiri yang akan mencari jahanam itu!”
“Hui-moi.... sungguh kasihan sekali engkau, Hui-moi....”

Mendengar suara yang menggetar itu dan mendengar sebutan itu, wajah Suma Hui menjadi pucat, kemudian berubah merah sekali. Air matanya bercucuran lagi ketika ia memandang kepada laki-laki yang selalu menempati hatinya itu.

“Cin Liong.... maafkan.... kau maafkan aku....,” ratapnya.
“Hui-moi....!” Cin Liong melangkah maju dan menubruknya, merangkulnya dengan hati yang penuh rindu.

Seperti tanaman bunga yang sudah kekeringan lalu tiba-tiba menerima siraman hujan, Suma Hui mengembangkan kedua lengannya dan merangkul leher Cin Liong sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda yang dicintanya itu. Sampai lama mereka hanya saling dekap dan saling rangkul. Suma Hui menangis dan Cin Liong mengusap-usap rambutnya, menciumi mukanya dan mengisap air matanya.

Tiba-tiba Suma Hui melepaskan rangkulan Cin Liong dan meronta, menjauhkan dirinya, memandang dengan mata terbelalak. “Tidak....! Tidak....! Jangan....! Aku.... aku sudah tidak berharga untukmu, Cin Liong....!” Dia menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangan.

“Hui-moi, jangan berkata begitu. Aku tetap mencintamu, apa pun yang telah dan akan terjadi!” kata Cin Liong sambil melangkah menghampiri dan hendak merangkul lagi.

Akan tetapi Suma Hui mengelak dan sambil mengusap air matanya ia berkata, “Tidak, engkau jangan mengotorkan tanganmu dengan menjamahku, Cin Liong. Aku sudah kotor dan tidak berharga lagi. Aku bukan perawan lagi....”

“Hushhh, anak bodoh! Aku mencinta Suma Hui, aku mencinta dirimu, bukan mencinta keperawanan. Aib yang menimpa dirimu bukan karena kesalahanmu. Aku tetap cinta padamu dan aku akan meminangmu sekali lagi untuk menjadi isteriku. Hui-moi, aku cinta padamu, aku.... aku membutuhkanmu.... aku rindu padamu....”

“Tidak, Cin Liong. Bukan hanya bahwa aku telah ternoda, akan tetapi, di mata dunia, disaksikan oleh para tokoh kang-ouw, aku telah menjadi isteri jahanam Louw Tek Ciang! Aku harus mencarinya, aku harus membunuhnya lebih dulu!”
“Ahhh, kalau engkau sudah membunuhnya baru berarti engkau bebas dari ikatan, ikatan pernikahan dan ikatan dendam, dan engkau.... engkau akan mau menerimaku?”
“Jangan berkata demikian, Cin Liong. Aku.... aku selalu mencintamu, tapi aku sekarang sudah tidak berharga.... nanti kalau aku sudah berhasil, dan kalau engkau masih sudi menerimaku....”

Cin Liong menangkap tangan wanita itu, dikepalnya dengan erat dan jari-jari tangan mereka saling cengkeram. Ada getaran dari hati mereka terasa melalui jari-jari tangan itu. “Hui-moi, aku akan membantumu....”

“Tapi, engkau adalah seorang panglima, terikat oleh tugasmu.”
“Tidak, aku akan meletakkan jabatan. Setelah engkau berhasil membalas dendam, dan aku mengambilmu sebagai isteri, kita akan hidup menjauhkan diri dari segala keributan, agar engkau tak perlu mendengarkan omongan orang-orang yang suka membicarakan urusan dan keadaan orang lain.”

Suma Hui tersenyum melalui air matanya. “Ahh, betapa akan bahagianya kalau begitu, Cin Liong. Akan tetapi.... aih, bagaimana aku mungkin dapat menerimanya? Aku telah ternoda dan aku telah menjatuhkan fitnah keji kepadamu, kemudian keluargaku telah melakukan penghinaan kepada keluargamu, ditambah lagi bahwa aku telah menikah dengan orang lain. Engkau dan keluargamu suka memaafkan kami saja berarti sudah merupakan suatu berkah bagi kami, engkau tidak membenciku saja sudah merupakan suatu kemurahan darimu. Mana mungkin semua ini ditambah lagi dengan.... dengan engkau sudi mengambilku sebagai isterimu. Ah, terlalu langka dan muluk bagiku, aku.... sudah tidak berharga lagi untukmu....” Suma Hui lalu lari meninggalkan Cin Liong, sambil menangis.

“Hui-moi....! Hui-moi....!” Cin Liong mengejar.

Tetapi baru beberapa jauhnya dia mengejar, muncul Suma Ciang Bun menghadangnya. “Cin Liong, jangan mendesaknya. Kegirangan hati kadang-kadang sukar dapat diterima dengan tenang. Enci Hui telah mengalami penderitaan batin selama bertahun-tahun, biarlah kebahagiaan mendatanginya dengan perlahan-lahan, kalau secara tiba-tiba dan dipaksakan, bahkan berbahaya bagi batinnya.”

Cin Liong menatap wajah pemuda itu. Hampir tak percaya dia akan ucapan pemuda ini. Dalam beberapa tahun saja pemuda ini sudah menjadi dewasa dan matang, dan dia pun melihat adanya bayangan duka di wajah yang tampan itu. Akan tetapi dia tidak tahu entah apa dan mengapa.

“Aku hanya ingin membantunya mencari dan membalas dendam kepada musuh besarnya,” katanya.
“Si jahanam Tek Ciang?” Suma Ciang Bun tersenyum pahit. “Sejak semula aku tidak suka kepada orang yang menjilat-jilat itu. Sayang ayah terpedaya. Tapi sudahlah, penyesalan tiada gunanya. Dan dia sekarang sudah amat lihai. Selain mewarisi ilmu-ilmu keluarga kami, juga mendapat pelajaran dari Jai-hwa Siauw-ok. Biar pun demikian, enci Hui dan aku akan sanggup menghadapi dan mengalahkannya. Ini adalah urusan pribadi. Urusan dendam keluarga. Kalau engkau hendak membantu, jangan lakukan itu dengan berterang, Cin Liong. Engkau hanya akan membuat enci Hui merasa lebih rendah lagi. Biarlah ia mengangkat kembali kehormatannya dengan membalas dendam kepada orang yang merenggutnya. Dan hanya akulah satu-satunya orang yang boleh membantunya. Kami sudah siap dan sudah bersepakat akan mulai pergi mencari musuh itu besok pagi.”

Bersama Ciang Bun, Cin Liong lalu pergi ke rumah keluarga itu menghadap Suma Kian Lee dan isterinya. Pemuda ini langsung menghadap dan tanpa sungkan-sungkan lagi lalu berkata, “Ji-wi locianpwe. Saya telah bertemu dan bicara dengan Hui-i, telah mendengar akan semua yang telah terjadi. Dan saya mempergunakan kesempatan ini, mendahului ayah bunda saya, untuk sekali lagi mengajukan pinangan terhadap Hui-moi, untuk menjadi isteri saya.”

Sungguh ucapan ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suma Kian Lee menjadi pucat wajahnya dan sejenak dia memejamkan mata sambil menundukkan mukanya. Penyesalan besar menyelinap di hatinya.

Pernah ada seorang pemuda yang berbaik hati, mau menerima Suma Hui sebagai isteri walau pun sudah mendengar bahwa gadis itu sudah diperkosa orang. Tetapi ternyata pemuda itu, Louw Tek Ciang, adalah seorang penjahat besar yang ternyata menjadi pemerkosanya sendiri. Akan tetapi pemuda ini, Kao Cin Liong, seorang pendekar besar, seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, kini mau menerima Suma Hui sebagai isteri, setelah mendengar Suma Hui diperkosa orang, setelah menerima penghinaan dan fitnah, sungguh hal ini amat sukar diterima dan dimengertinya. Juga hal itu membuka matanya betapa tinggi nilai cinta yang berada di hati pemuda ini terhadap Suma Hui.

“Tapi.... tapi.... kami telah....,” katanya gagap dan isterinya menolongnya.
“Cin Liong, kami sebagai orang tua pernah membuat kesalahan dan kami tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama. Urusan pernikahan Suma Hui adalah urusan pribadinya, oleh karena itu, kalau engkau memang benar mencintanya seperti yang kupercaya sepenuhnya, bicarakanlah hal itu dengan Hui-ji sendiri. Kalau ia setuju, kami berdua pun akan menyetujuinya dengan penuh kebahagiaan hati.”
“Saya sudah bicara dengan Hui-moi dan ia.... ia menangguhkannya sampai ia berhasil membalas dendam kepada musuh besar itu.”
“Kalau begitu, tidak ada persoalan lagi!” kata Kim Hwee Li dengan wajah berseri.
“Biarlah kami yang akan mendatangi orang tuamu untuk membicarakan soal perjodohan ini dan sekalian minta maaf atas kesalahan kami sekeluarga,” akhirnya Suma Kian Lee berkata dengan hati lega.

Sampai Cin Liong berpamit pergi, dia tidak dapat berjumpa dengan Suma Hui yang agaknya sengaja menjauhkan diri. Akan tetapi pemuda ini sudah memperoleh kembali kegembiraannya dan dia yakin bahwa gadis itu masih mencintanya. Maka dia pun berpamit dari keluarga Suma dan langsung dia pergi ke kota raja dengan maksud hati hendak meletakkan jabatannya, kemudian akan menyusul dan membantu Suma Hui menghadapi Louw Tek Ciang yang dibantu oleh datuk sesat.

Pada keesokan harinya, Suma Hui berdua Suma Ciang Bun juga mendapat perkenan orang tua mereka untuk berangkat meninggalkan rumah, untuk mulai dengan usaha mereka mencari jejak Tek Ciang, musuh besar yang amat dibencinya itu.....

********************
Selanjutnya baca
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-15
LihatTutupKomentar