Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 04


“Wah, bukan main....! Belum tentu dalam seratus tahun sekali ditemukan seorang anak seperti ini! Bahan yang luar biasa hehatnya, sungguh seorang anak ajaib, seorang dengan tubuh dewasa! Cukup pantas untuk menjadi tempat tinggal titisan Dalai Lama!”

Teriakan penuh kekaguman ini menarik perhatian semua orang. Bahkan Hek-i Mo-ong sendiri, yang tertegun mendengar ucapan See-thian Coa-ong tadi, menoleh dan dia melihat seorang kakek pengemis sedang memeriksa tubuh Ceng Liong yang tergantung jungkir balik. Kakek itu memutar-mutar tubuh itu, menyentuh sana-sini dan berulang ulang mengeluarkan pujiannya.

“Aih, tengkoraknya menandakan bahwa otaknya melebihi otak anak biasa, menjendol di sini, rata di sini.... ahh, dan telinga ini! Hemmm.... tulang yang kuat dan bersih, bukan main!”

Kakek itu tentu usianya tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan dilihat dari pakaiannya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pengemis. Pakaian yang tambal-tambalan kusut dan rambut awut-awutan. Tubuhnya tinggi kurus bagaikan orang yang selalu kekurangan makan. Matanya lebar kadang-kadang terbelalak. Ketiak kirinya mengempit sebatang tongkat bambu, dan di pinggangnya tergantung sebuah kantung butut yang berisi sebuah ciu-ouw (guci arak) kuningan dan sebuah mangkok retak.

Meski kakek ini nampak demikian miskin sederhana, namun Hek-i Mo-ong mengenalnya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang juga berdiri bebas seperti See-thian Coa-ong Nilagangga. Tokoh pengemis ini termasuk seorang tokoh ugal-ugalan yang aneh, tidak pernah berpihak sana-sini. Akan tetapi dia merupakan seorang tokoh yang terkenal sekali di daerah selatan.

Dialah Koai-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Bertongkat Aneh) Bhok Sun, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan menganggap dunia inilah tempat tinggalnya, tanah menjadi lantainya, langit menjadi atapnya. Maka, walau pun dia ini merupakan seorang tokoh di daerah selatan, tidak aneh melihat dia kini tiba-tiba muncul di tempat yang jauh di utara.

Melihat kakek ini meraba-raba dan memuji-muji Ceng Liong, semua orang tertarik dan mereka mulai mendekati anak itu dan merubungnya.

“Darahnya murni dan ada hawa sinkang yang sangat luar biasa di dalam tubuhnya, berpusat di pusar dan mengalir di seluruh tubuh! Demi iblis, belum pernah aku melihat yang seperti ini!”

See-thian Coa-ong Nilagangga menjadi tertarik sekali dan dia pun mendekat. Kepala ular cobra yang melingkari lehernya itu terjulur dan hampir saja menyentuh muka Ceng Liong, akan tetapi anak ini sedikit pun tidak kelihatan takut, bahkan dengan sepasang matanya yang tajam dia memandang kepala ular itu dan sungguh aneh, ular itu nampak gelisah dan berusaha menjauhkan kepalanya saat See-thian Coa-ong mendekati Ceng Liong, seolah-olah ada sesuatu pada diri anak itu yang membuat binatang itu gelisah.

Segera terdengar seruan-seruan kagum dari See-thian Coa-ong dalam bahasa asing. Hek-i Mo-ong mengerti apa yang diucapkan oleh See-thian Coa-ong itu.

“Aihhh, Raja Cobra sampai takut terhadap anak ini! Bukan main....!” Dia meraba-raba kepala dan leher serta pundak Ceng Liong, lalu melanjutkan, “....memang hebat! Anak ini tubuhnya sekuat naga!”

Bagaikan dua orang kakek yang hendak membeli seekor ayam jago aduan, Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba dan memeriksa Ceng Liong, menekan perutnya, memijat dada dan pundak, membelai kaki tangan, melihat mata, hidung, mulut dan telinga, meraba tulang-tulangnya.

“Ha-ha-ha, Raja Ular, ternyata matamu tajam juga dapat mengenal seorang sin-tong (anak ajaib) yang bertulang dewa!” Kakek Pengemis itu tertawa.
“Siapa yang tidak mengenal senjata pusaka adalah seorang tolol dan buta! Dan anak ini lebih berharga dari pada sebuah senjata pusaka! Jika kuberi kepandaianku kepadanya, dia bisa menjadi sepuluh kali lebih pandai dari pada aku. Dia akan menjadi murid yang terbaik di dunia ini!”

“Eeiitt, eeitt, Coa-ong, enak saja kau bicara! Akulah orang pertama yang menemukan bakat anak ini dan akulah yang patut menjadi gurunya!” Koai-tung Sin-kai Bhak Sun berkata dengan nada suara tidak senang, juga tangannya mendorong ke arah See-thian Coa-ong. Biar pun tangan kanannya hanya mendorong biasa saja, namun keluarlah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah Raja Ular.

“Hemm, belum tentu dia suka menjadi muridmu, jembel tua!” jawab See-thian Coa-ong dan kakek ini pun menggerakkan lengan menangkis.
“Dukkk....!”

Orang-orang yang berada agak dekat dengan tempat itu merasakan betapa hebatnya getaran yang ditimbulkan oleh adu tenaga melalui lengan itu dan kedua orang kakek yang saling mengadu lengan itu pun tergetar mundur dua langkah, masing-masing terkejut melihat kekuatan lawan.

“Bocah itu cucu keluarga Pulau Es, harus dibunuh!”

Teriakan seorang di antara para tokoh kaum sesat yang mendendam kepada keluarga Pulau Es ini merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan dan dendam di antara kaum sesat hingga mereka pun berteriak-teriak, mencabut senjata dan menyerbu untuk membunuh Ceng Liong yang masih bergantung dengan jungkir balik.

Sejak tadi Ceng Liong membuka mata dan telinga, mendengar dan melihat dengan jelas segala yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak merasa terkejut mau pun bangga ketika Koai-tung Sin-kai dan See-thian Coa-ong meraba-raba tubuhnya dan memuji-mujinya, karena kakek dan dua orang neneknya sendiri pernah mengatakan bahwa dia memiliki bakat yang baik sekali untuk ilmu silat. Justeru karena itulah maka mendiang kakeknya telah mewariskan hawa murni sumber tenaga sakti kepada dirinya.

Sekarang dia melihat gerakan kaum sesat itu dan tahulah dia bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Akan tetapi dia tidak merasa takut, hanya membayangkan kakek dan kedua orang neneknya seolah-olah dia sudah menikmati bayangan akan bertemu dan berkumpul lagi dengan mereka! Tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun kini Ceng Liong menjadi penonton dari keributan itu.

“Tidak boleh! Benda pusaka tidak boleh dirusak!” See-thian Coa-ong membentak dan kakek ini menghadang penyerbuan para tokoh sesat itu.
“Siapa yang berani mengganggu calon muridku?” Koai-tung Sin-kai juga membentak dan berdiri menghadang, melindungi Ceng Liong.
“Dia musuh besar! Bunuh!”
“Semua keluarga Pulau Es harus dibasmi! Serbu....!”

Dan dua puluh orang lebih tokoh-tokoh sesat sudah menyerbu! See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai menyambut mereka dengan tendangan sehingga pertempuran yang seru pun terjadilah. Dua orang kakek itu memang amat lihai sehingga dalam beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang tokoh sesat yang terjungkal roboh, terkena hantaman tangan Coa-ong dan kemplangan tongkat bambu Sin-kai. Akan tetapi, para pengeroyok itu pun rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi dan aneh-aneh sehingga dua orang kakek itu mulai terdesak hebat.

Ceng Liong menonton semua ini dan dia pun melirik ke arah Hek-i Mo-ong. Sungguh mengherankan sekali sikap kakek ini. Dia hanya berdiri dengan sikap tenang, bahkan tersenyum mengejek melihat perkelahian antara teman sendiri itu. Sebenarnya, kakek ini masih terpengaruh oleh pujian-pujian yang dikeluarkan oleh dua mulut Sin-kai dan Coa-ong tadi dan diam-diam dia pun berpikir. Semua ucapan Coa-ong tadi tidak keliru.

Musuh-musuhnya masih sangat banyak dan mereka itu sakti-sakti. Apalagi Pendekar Suling Emas Kam Hong yang pernah mengalahkannya. Juga Naga Sakti Gurun Pasir, dan keluarga Bu-taihiap. Mungkinkah dia bisa mengalahkan mereka itu? Dan dia sudah semakin tua, dan murid-muridnya yang terpercaya sudah habis, tinggal murid-murid yang tidak ada artinya. Juga dia tidak mempunyai keturunan yang dapat membantunya, atau yang akan membalaskan kalau sampai dia kalah oleh musuh-musuhnya itu.

Anak itu merupakan seorang sin-tong, seorang anak ajaib. Dia pun sudah menduga akan hal itu dan kini dugaannya diperkuat oleh dua orang kakek itu. Kalau ilmunya diturunkan kepada seorang anak ajaib, tentu anak itu akan menjadi beberapa kali lipat lebih pandai dari padanya. Anak seperti itulah yang akan dapat membelanya dan membantunya kelak! Dan alangkah senang hatinya kalau dia dapat mendidik anak ini untuk kelak dipergunakan melawan keluarga Pulau Es. Dan dia tentu dapat menguasai anak ini melalui kekuatan sihirnya!

Hek-i Mo-ong menonton sambil tersenyum mengejek melihat betapa See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai kini repot sekali menghadapi pengeroyokan belasan orang tokoh sesat itu. Namun, mereka berdua mempertahankan diri dan para pengeroyok juga tidak berani terlalu dekat karena dua orang itu memang memiliki kepandaian yang lihai sekali.

“Pengkhianat-pengkhianat busuk!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan bentakan itu.

Tubuhnya sudah berkelebat ke depan, tombak Long-ge-pang di tangannya menyambar ke arah Koai-tung Sin-kai dan kipas merahnya menotok ke arah See-thian Coa-ong. Walau pun tombaknya ini bukan tombak pusaka asli seperti yang biasa dipergunakan karena tombak asli itu telah patah-patah ketika dia menyerang Pendekar Super Sakti, namun tombak biasa ini pun menjadi amat ampuh dan berbahaya karena digerakkan oleh tangannya yang amat kuat.

“Tranggg....!”

Tongkat bambu itu menangkis, sedangkan suara nyaring itu adalah suara tombak yang tertangkis. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya tenaga kakek pengemis yang membuat tongkat bambu itu menjadi keras dan kuat menangkis tombak baja. Akan tetapi akibatnya, tubuh kakek pengemis itu terpelanting dan nyaris kepalanya kena bacokan golok seorang tokoh sesat kalau dia tidak cepat menggulingkan tubuhnya dan mengangkat tongkatnya menangkis, lalu meloncat bangun lagi.

“Brettttt....!”

Totokan gagang kipas merah yang dilakukan oleh Hek-i Mo-ong tadi dapat dielakkan oleh See-thian Coa-ong, akan tetapi tetap saja ujung cawatnya terobek sehingga cawat yang merupakan satu-satunya kain penutup tubuhnya itu hampir terlepas. Tentu saja See-thian Coa-ong terkejut dan cepat-cepat meloncat, menjauhi Hek-i Mo-ong sambil membereskan lagi cawatnya.

See-thian Coa-ong maklum bahwa dia tidak akan bisa menang melawan Hek-i Mo-ong, maka dia pun sudah meloncat jauh dan sambil lari meninggalkan tempat itu dia berkata, “Raja Iblis, silakan kalau engkau mau membunuh anak itu. Akan tetapi hal itu hanya membuktikan kebodohanmu!”

Koai-tung Sin-kai juga sudah menjauhkan diri. “Engkau akan menyesal jika membunuh sin-tong itu, Mo-ong! Betapa tololnya merusak benda pusaka!”

Dan dia pun segera melarikan diri, menyeret tongkat bambunya karena maklum bahwa jika melanjutkan usahanya melindungi anak yang amat dikaguminya itu, melawan Hek-i Mo-ong dan para tokoh sesat itu, sama artinya dengan bunuh diri.

“Bunuh bocah setan itu!” Kini para tokoh sesat maju menyerbu karena mereka marah melihat betapa teman-teman mereka ada yang roboh terluka parah oleh dua orang kakek tadi yang melindungi Ceng Liong.
“Bunuh keturunan Pulau Es!”

Enam orang tokoh sesat menerjang dengan senjata mereka, agaknya saking marah dan sakit hati, mereka itu tidak lagi mengenal malu dan melakukan pengeroyokan terhadap seorang anak kecil yang sudah tergantung tak berdaya. Agaknya sebelum mencincang tubuh anak itu mereka takkan merasa puas.

Seperti juga tadi, menghadapi serangan keenam orang ini, melihat berkelebatnya sinar senjata dari semua jurusan, Ceng Liong tetap membelalakkan matanya dengan penuh keberanian. Dia memang ingin menyambut kematian dengan mata terbuka, seperti yang sering dianjurkan oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai, bahwa seorang pendekar harus selalu tenang dan tabah, bahkan ketika menghadapi kematian sekali pun harus berani menyambut kematian dengan mata terbuka! Maka sekarang dia pun membelalakkan matanya, ingin mati dalam keadaan melek!

Akan tetapi dia melihat sinar terang berkelebatan di sekeliling dirinya dan melihat enam orang itu terpelanting ke kanan kiri. Senjata mereka terlempar setelah mengeluarkan bunyi nyaring. Mereka pun mengaduh-aduh karena tangkisan-tangkisan itu membuat mereka roboh dan terluka.

Kiranya, dalam keadaan yang teramat gawat bagi keselamatan Ceng Liong itu, Hek-i Mo-ong telah turun tangan menangkis dan langsung balas menyerang kepada enam orang itu sehingga mereka roboh terluka. Semua tokoh sesat tentu saja terkejut sekali dan memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan mata melotot.

“Dia ini tawananku, dia ini milikku! Siapa pun tak boleh mengganggunya dan yang boleh menentukan mati hidupmya hanyalah aku seorang!” Hek-i Mo-ong membentak sambil melintangkan tombak Long-ge-pang yang amat hebat itu.
“Tetapi, Mo-ong, engkau harus segera membunuh bocah keturunan Pulau Es ini agar kelak dia tidak akan menyusahkan kita!” terdengar beberapa orang tokoh memprotes.

“Dengarlah kalian semua, kawan-kawan!” Hek-i Mo-ong berteriak nyaring. “Akulah orang yang telah melakukan penyerbuan ke Pulau Es dan berhasil. Tawanan ini adalah milikku dan akulah yang berhak menentukan apa yang akan kulakukan dengan dirinya!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia lalu menghampiri tubuh Ceng Liong yang masih tergantung jungkir balik itu.

Ceng Liong telah menyaksikan semua itu dan dia tahu bahwa sudah dua kali nyawanya tertolong oleh Hek-i Mo-ong. Dia teringat akan nasehat mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti Suma Han bahwa seorang manusia harus mengingat budi orang dan melupakan dendam. Maka ketika kakek iblis itu mendekat, pandang matanya terhadap kakek itu pun ramah.

Hal ini terasa benar oleh Hek-i Mo-ong, maka kakek ini lalu bertanya kasar, “Mau apa engkau memandangku dengan senyum-senyum?”
“Hek-i Mo-ong, aku berhutang nyawa dua kali padamu,” jawab Ceng Liong.

Orang seperti iblis ini mana memperdulikan tentang budi? Dia hanya mendengus dan tiba-tiba menggerakkan kipasnya dan gagang kipas itu menotok jalan darah di pundak kanan anak itu. Dia menotok bukan untuk membunuh melainkan hanya untuk menyiksa.

Totokan pada jalan darah itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan dia memang ingin memaksa anak ini melolong-lolong kesakitan. Sikap anak ini yang begitu keras dan berani dianggapnya sebagai tantangan dan dia ingin memperlihatkan kepada semua orang bahwa dia seoranglah yang akan mampu menundukkan anak ini.

“Tukkk....!”

Raja Iblis itu terkejut dan hampir saja dia berteriak kalau dia tidak ingat bahwa di situ terdapat banyak orang. Dia menelan kekagetannya agar semua orang tidak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana dia tidak menjadi kaget sekali kalau jari tangannya ketika menotok pundak itu bertemu dengan hawa sinkang yang amat kuat, yang menolak tenaga totokannya, membuat pundak itu seperti dilindungi oleh kulit yang amat kuat dan kebal?

Akan tetapi Ceng Liong nampaknya tidak tahu akan hal ini! Memang sesungguhnyalah. Sumber tenaga sakti yang berada di tubuhnya telah bekerja sedemikian kuatnya ketika dia tergantung jungkir balik itu, yang membuat panca inderanya menjadi amat tajam dan peka, tetapi juga membuat tenaga sinkang di tubuhnya itu secara otomatis bergerak sendiri ketika tubuhnya diserang dan dapat melindunginya.

Dan semua ini terjadi di luar kesadaran Ceng Liong. Anak ini bahkan tidak tahu bahwa dirinya baru saja ditotok dan kakek iblis itu bermaksud untuk menyiksanya. Dia hanya merasa betapa pundaknya disentuh dan sentuhan ini malah dianggapnya sebagai sikap bersahabat dari kakek itu kepadanya.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong diam-diam berpikir. Semenjak dia tadi mendengar dan melihat See-thian Coa-ong dan Koai-tung Sin-kai memuji-muji Ceng Liong, hatinya jadi tergerak. Dia pun melihat kenyataan, betapa banyaknya musuh yang amat lihai dan harus diakuinya bahwa seorang diri saja kiranya tak mungkin bagi dia untuk menandingi semua musuh-musuhnya itu.

Kalau saja dia bisa dibantu oleh seorang yang memiliki bakat seperti anak ini! Kalau saja anak ini dapat menjadi muridnya dan kelak membelanya! Juga, dengan adanya anak ini di tangannya, anak ini dapat menjadi semacam sandera, semacam perisai baginya apabila sewaktu-waktu dia didesak oleh keluarga Pulau Es. Dia harus dapat menguasai anak ini dengan sihirnya!

Maka dia pun segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan memandang wajah anak itu, berusaha menguasai pandang matanya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga memerintahkan anak itu untuk tidur. Akan tetapi, kembali dia mengalami hal yang amat aneh. Ada tenaga penolakan yang amat kuat sekali pada pandang mata anak itu dan dia merasa jantungnya tergetar hebat! Sedemikian hebatnya getaran itu sehingga cepat-cepat dia menghentikan pengerahan tenaga sihirnya, karena kalau dilanjutkan, entah siapa yang akan celaka, dia ataukah anak itu!

Dia teringat bahwa anak ini adalah cucu dari Pendekar Siluman yang memiliki kekuatan sihir luar biasa, maka diam-diam dia merasa ngeri sendiri. Benar kata dua orang kakek tadi. Anak ini adalah seorang anak luar biasa dan kalau dapat menjadi muridnya, dia seperti mendapatkan sebuah senjata pusaka yang amat ampuh dan yang akan mampu melindunginya!

Ceng Liong sendiri tidak sadar bahwa kembali dia telah diserang dengan kekuatan sihir. Dia hanya merasa betapa tajamnya pandang mata kakek iblis itu. Akan tetapi hal ini dianggapnya sebagai hal yang patut dikagumi. Dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat lihai dan sakti, penuh wibawa, tak seperti tokoh-tokoh sesat lainnya. Biar pun dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang tokoh sesat, akan tetapi seorang tokoh yang tinggi tingkatnya, bukan manusia sembarangan saja.

“Mo-ong, sekali waktu aku pasti akan membalas budimu yang dua kali itu,” kata Ceng Liong lagi.

Sementara itu, semua tokoh sesat dan anak buahnya sudah mengepung tempat itu dan pada wajah mereka terbayang rasa penasaran. Mereka tadi ikut gembira mendengar akan terbasminya Pulau Es dan para penghuninya dan mereka sudah mengharapkan akan dapat melihat cucu dalam Pendekar Super Sakti itu disiksa di depan mata mereka sampai mati. Apalagi mengingat betapa anak ini telah menjadi sebab keributan dan perkelahian di antara mereka sendiri yang menjatuhkan banyak korban pula.

Yang lebih penasaran dan sakit hati adalah para tokoh dan anak buah Eng-jiauw-pang yang telah kehilangan ketua mereka yang tewas di tangan Kao Cin Liong ketika ketua mereka ikut menyerbu ke Pulau Es. Juga para tokoh dan anak buah Im-yang-pai karena ketua mereka, Ngo-bwe Sai-kong yang tewas oleh nenek Lulu di Pulau Es, merasa sakit hati dan mereka ingin melihat cucu Pendekar Super Sakti itu segera mati di depan mata mereka.

“Harap Mo-ong cepat menyiksa dan membunuhnya, terserah bagaimana pun caranya!”

Ucapan ini mendapat dukungan banyak orang dan keadaan menjadi bising kembali. Wajah orang-orang itu menjadi beringas dan sikap mereka mengancam ketika mereka semua memandang kepada Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong.

Hek-i Mo-ong memandang kepada mereka dan mengeluarkan kata-kata yang lantang, “Sobat-sobat semua! Aku mengundang kalian berkumpul di sini hanya untuk memberi tahukan kabar keberhasilan kami menyerbu Pulau Es. Sepatutnya kalian bergembira tentang itu dan berterima kasih kepadaku. Sekarang aku hendak pergi dulu, membawa bocah ini dan mengenai dia, serahkan saja kepadaku karena akulah yang berhak atas dirinya. Nah, sakarang aku akan pergi dan jangan kalian menggangguku lagi!”

Setelah berkata demikian, sekali renggut Hek-i Mo-ong telah mematahkan tali yang menggantung kaki anak itu dan memondong tubuh Ceng Liong, dibawanya berloncatan seperti terbang cepatnya. Para tokoh sesat itu tentu saja merasa penasaran dan tidak puas. Akan tetapi, siapakah yang berani menentang kehendak Hek-i Mo-ong, apalagi setelah iblis itu berhasil menghancurkan Pulau Es? Mereka bersungut-sungut kemudian bubaran, meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.

Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, Hek-I Mo-ong berlari sambil memondong tubuh Ceng Liong. Anak ini tidak takut, akan tetapi diam-diam merasa heran melihat sikap Hek-i Mo-ong yang berubah-ubah itu. Dia tak tahu bagaimana jalan pikiran kakek iblis ini, tetapi dia ingat benar bahwa bagaimana pun juga, iblis ini telah menyelamatkan nyawanya sampai dua kali berturut-turut. Dia tahu bahwa tanpa campur tangan iblis ini, tentu dia telah tewas di tangan para penjahat yang haus darah.

Tiba-tiba, ketika kakek itu tiba di padang rumput yang amat sunyi, dia berhenti dan melemparkan tubuh Ceng Liong ke atas tanah. Anak itu cepat-cepat bangkit berdiri dan memandang kepada kakek itu.

“Hek-i Mo-ong, engkau hendak membawaku ke manakah?” tanyanya berani.
“Bocah yang berhati naga, siapakah namamu?”
“Namaku Suma Ceng Liong.”

Kakek itu mengangguk-angguk. Namanya berarti ‘Naga Hijau’ dan memang anak ini seperti seekor naga.

“Ceng Liong, apa maksudmu mengatakan bahwa engkau berhutang budi dan hendak membalas budi itu?”
“Engkau telah menolongku dua kali dan sekali waktu tentu aku akan membalas budimu itu.”
“Benarkah itu? Apakah engkau tidak menganggapku sebagai musuh?”

Ceng Liong mengerutkan alis. Dia teringat bahwa kakek ini bersama kawan-kawannya telah menyerbu Pulau Es, namun dia pun teringat akan wejangan mendiang kakeknya bahwa dia tidak boleh mendendam, maka dia pun menggelengkan kepalanya.

“Ceng Liong, tahukah engkau bahwa aku membawamu sebagai tawanan untuk kelak kubunuh?”

Ceng Liong menggeleng kepala. “Aku tidak percaya! Kalau engkau ingin melihat aku mati tentu engkau tidak akan menolongku dari tangan mereka yang ingin membunuhku!”

“Hemm, aku mencegah mereka karena aku tidak mau didahului. Sudahlah! Sekarang, engkau boleh memilih. Engkau menjadi muridku atau engkau mati sekarang juga. Hayo pilih!”

Ceng Liong tertawa, akan tetapi suara ketawanya itu hanya tiba-tiba saja dan mendadak pula ketawanya terhenti. Diam-diam Hek-i Mo-ong bergidik. Bocah ini memiliki sifat aneh, dingin dan keras bukan main.

“Hek-i Mo-ong, pertanyaanmu itu sungguh terdengar lucu. Betapa mudahnya memilih satu di antara dua itu. Yang satu adalah kematian yang tak mungkin dapat kuelakkan lagi kalau memang engkau hendak membunuhku, dan yang ke dua adalah hidup dan menjadi murid seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti engkau. Tentu saja aku memilih menjadi muridmu.”

Hek-i Mo-ong mendengus untuk menutupi rasa gembiranya. “Bagus, kalau begitu mulai saat ini engkau menjadi muridku, murid tunggal karena aku sudah tidak mempunyai murid lagi.”

“Agaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Hek-i Mo-ong, aku mau menjadi muridmu dan mempelajari ilmu-ilmu darimu, tetapi terus terang saja, aku tidak sudi mempelajari kejahatan-kejahatan dan kesesatan-kesesatan. Aku seorang keturunan pendekar dan aku tidak sudi menjadi orang jahat. Menurut wejangan mendiang kakekku, lebih baik mati sebagai manusia baik dari pada hidup sebagai manusia jahat.”

“Ha-ha-ha, engkau tahu apa tentang kebaikan dan kejahatan? Kebaikan atau kejahatan mana bisa dipelajari? Sudahlah, aku hanya mengajarkan ilmu-ilmuku agar tidak kubawa mati. Asal engkau belajar dengan tekun dan berhasil mewarisi ilmu-ilmuku dan engkau bersikap sebagai seorang murid yang berbakti, sudah cukup bagiku.”

“Akan tetapi, walau pun aku menerima pelajaran-pelajaran darimu dan aku juga menjadi muridmu, akan tetapi aku tidak mau menyebut suhu kepadamu.”
“Ehhh? Mengapa?” kakek itu membentak, penasaran.
“Aku adalah keturunan keluarga Pulau Es yang memiliki ilmu keturunan. Boleh saja aku mempelajari ilmu-ilmu lain untuk meluaskan pengetahuan, akan tetapi aku tidak boleh berguru kepada aliran lain,” jawab anak itu dengan suara mantap karena memang yang diucapkannya itu adalah ajaran ayah bundanya.
“Hemm, lantas engkau akan memanggil apa kepadaku?” tanya Hek-i Mo-ong semakin penasaran.
“Panggilan apa lagi? Tentu seperti orang-orang lain menyebutmu, Mo-ong.”

Biasanya, Hek-i Mo-ong sudah merasa bangga kalau disebut Mo-ong (Raja Iblis) karena bagi seorang tokoh sesat, makin seram panggilannya, makin banggalah hatinya. Akan tetapi kini hatinya terasa kecewa dan kecut juga mendengar betapa muridnya sendiri akan menyebutnya Mo-ong, bukan suhu.

“Dan engkau tidak akan berbakti sebagai murid, melainkan menganggapku sebagai musuh? Begitukah?” Dia sudah marah sekali dan andai kata anak itu mengangguk atau menyatakan benar demikian, mungkin saja dia sudah turun tangan terus membunuh cucu Pendekar Super Sakti itu.

Akan tetapi dengan tenang Ceng Liong mengelengkan kepalanya. “Sudah kukatakan bahwa aku hutang nyawa dua kali kepadamu, Mo-ong, dan kalau engkau mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku, berarti budimu akan bertambah besar. Dan aku bukanlah keturunan orang-orang yang suka melupakan budi atau yang membalas budi kebaikan dengan kejahatan. Tidak, aku tidak akan membiarkan budi-budimu tanpa terbalas.”

Hek-i Mo-ong termenung. Anak ini memang bukan bocah biasa. Ada dua keuntungan besar baginya kalau dia mengambil anak ini sebagai murid. Pertama, dia memiliki sandera yang amat berharga. Ke dua, dia memperoleh seorang murid yang tiada keduanya dan bukan tidak mungkin kalau murid inilah yang kelak menjunjung tinggi namanya dan bahkan melindunginya dari ancaman musuh-musuhnya. Teringat akan hal ini, dia lalu tertawa bergelak, menyambar tubuh anak itu dan dibawanya berlari cepat.

“Ha-ha-ha, mulai sekarang engkau menjadi muridku dan mari kau ikut bersamaku ke barat!”

Demikianlah, sejak terjadinya penyerbuan ke Pulau Es yang mengakibatkan terbakar dan lenyapnya Pulau Es, terjadi perubahan besar sekali dalam kehidupan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Sebagai seorang keturunan keluarga yang terkenal sebagai keluarga pendekar-pendekar yang kenamaan, secara tiba-tiba saja dia menjadi murid seorang datuk kaum sesat nomor satu yang juga amat terkenal dalam kesesatannya. Sungguh anak ini telah pindah ke dalam keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaannya semula, semenjak dia lahir sampai dia berusia sepuluh tahun itu…..
********************
Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan. Karena banyaknya penjahat yang mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa berpencar.

Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya, yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.

“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu birahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”
“Iblis jahanam!” Suma Hui membentak.

Dan dengan kemarahan meluap dia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, menggunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya. Dan melihat munculnya seorang dara jelita, tanpa diperintah lagi enam orang penjahat ini telah berebut maju ingin menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggota-anggota penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.

Namun mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!

Tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok telah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.

Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.

Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong. Maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.

Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan ia pun mabok.

Setelah badai lewat dan perahu kecil itu telah jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!

Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es! Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar.

Dan dia pun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak bisa dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw! Betapa akan bangga hatinya jika ia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es!

Selain itu, dia pun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat pada saat melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.

Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walau pun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda dia pun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia menggunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya.

Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya. Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjinah dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknya pun berubah.

Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib. Kemudian dia pun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.

Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walau pun tak begitu sempurna karena hasil curian. Dan semenjak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka padanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!

Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong.

Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang, yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.

Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tidak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak pada waktu dia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil.

Ia pun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.

“Aihhh, nona manis, engkau kini sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil kedua tangannya meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.

Akan tetapi Suma Hui membuang muka.

“Marilah, nona....,” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya.

Ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat birahinya timbul dan dia pun tersenyum-senyum.

“Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”

Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki dan tangan dengan pengerahan sinkang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.

“Mari, makanlah nona....”
“Tidak sudi!” Suma Hui membentak dan biar pun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.
“Ahhh, jangan begitu, nona. Aku sama sekali tidak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”
“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.
“Membunuh engkau? Aihhh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.
“Kalau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.
“Ahh, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”

Tentu saja Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biar pun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya, “Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”

Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali. “Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”

“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.

Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan dia pun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampur adukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.

Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Ia pun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya.

Bagaimana pun juga, ketika melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa kerongkongannya kering dan haus sedangkan perutnya lapar sekali. Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan.

Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua oraag adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.

“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”

Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, dalam hatinya bersorak karena merasa menang. “Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka aku pun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”

“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”
“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Jika kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”

Suma Hui sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib adik-adiknya membuat dia akhirnya mengalah. Ketika sumpit yang membawa potongan daging itu didekatkan pada mulutnya, ia pun membuka mulut dan menyambutnya.

Tentu saja Siauw-ok merasa girang bukan main. Dia pun mulai bercerita, akan tetapi dia bercerita secara lambat-lambat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman yang cukup banyak untuk dapat mengikuti penuturan itu.

Setelah menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui, akhirnya Siauw-ok kemudian berkata, “Aku melihat betapa pemuda yang menurut Hek-i Mo-ong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut sedang dilanda badai mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di air sekali pun tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari amukan badai seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan tenggelam atau disambut oleh ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau dihempaskan oleh ombak ke tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu sudah pasti tewas, hal ini tak dapat disangsikan lagi.”

Suma Hui membayangkan dengan hati penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah perkasa dan sudah banyak membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya hidupnya akan berakhir secara demikian menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia pernah membalas segala pertolongan dan pembelaan pemuda itu dengan tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan mengalah. Tanpa terasa lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan hatinya, dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.

Siauw-ok adalah seorang lelaki yang telah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan membayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan kekerasan hati membendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.

“Nona, apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu? Mengapa dia membela keluarga Pulau Es secara mati-matian ?” tanyanya penasaran.

Suma Hui tidak menjawab pertanyaan ini, dia hanya berkata, “Hemm, lihat saja nanti bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kematian puteranya!”

Mendengar ucapan ini, bagaimana pun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah bertemu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulau Es!

“Ah, bukan aku yang membunuhnya....” Ucapan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya.

Maka dia pun lalu menyuapkan sepotong besar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh gairah betapa mulut yang kecil dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu terbuka menerima daging, nampak bagian dalam mulutnya yang lebih merah lagi. Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.

“Dan bagaimana dengan kedua orang adikku?” tanyanya setelah daging itu agak lembut dikunyah.
“Ahhh, jadi dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu? Pantas mereka itu hebat-hebat....”

Kembali Suma Hui terpaksa menerima suapan makanan walau pun perutnya sudah merasa kenyang dan sebetulnya ingin sekali dia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok. Tetapi ia membutuhkan keterangan tentang adik-adiknya sehingga terpaksa ia menahan sabar.

“Nih, minumlah dulu,” kata Siauw-ok.

Dan Suma Hui juga menerima minuman air tawar yang disodorkan ke mulutnya. Bagai mana pun juga, makanan dan minuman itu membuat ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali.

“Kedua adikmu itu.... sungguh sayang sekali, agaknya mereka pun tak mungkin dapat hidup, dan besar kemungkinan sekarang pun sudah tewas.”
“Mak.... maksudmu....?”
“Adikmu yang besar itu, seperti juga putera Naga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam lautan dan tentu saja dia pun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman maut. Sedangkan adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia ditangkap oleh Hek-i Mo-ong. Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak tahu karena aku lebih menyibukkan diri untuk menyelamatkanmu.”

Siauw-ok berhenti dan tersenyum ramah. “Coba pikir, di antara empat orang muda, hanya engkau seorang yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bahkan kujaga dan kusuapi makanan dan minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?”

Suma Hui menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka dan menangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan semua rasa sebal, marah, dan duka di dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena gelisah mendengar akan nasib kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.

Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang. Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat dan juga jijik bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan hanya membelai rambut, melainkan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan sepasang mata itu! Memandangnya seperti mata seekor harimau yang hendak menerkam kelinci!

“Sudahlah, jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan hidupmu akan berbahagia....”
“Tutup mulutmu, iblis terkutuk!” Tiba-tiba Suma Hui memaki.

Ketika merasa bahwa tenaga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu mengerahkan sinkang-nya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.

“Brettt! Brettt....!”

Tali pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan pengerahan tenaga sinkang dari Suma Hui, tenaga asli dari keluarga Pulau Es.....

“Ehhh....!”

Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini adalah cucu dari Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis lainnya. Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dapat meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu!

Pada saat itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.

“Hyaaaaatttt....!”

Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan dilakukan dari jarak dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok untuk mengelak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya tergila-gila ini.

“Dukkkkk....!” Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!

Kiranya dara itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi Jai-hwa Siauw-ok bahwa gadis itu belum matang benar latihannya karena andai kata demikian, dia akan menderita luka dalam yang parah.

Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Dia merasa berbuat salah sendiri karena terlalu memandang ringan sehingga hampir celaka. Bagaimana pun juga, tenaganya masih lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dara itu, maka kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaga, tentu dia lebih kuat.

“Haiiiittt....!”

Melihat pukulannya yang pertama hanya membuat lawan terjongkok, Suma Hui merasa penasaran dan dia pun sudah menyerang lagi dengan dua kali hantaman tangan kanan lurus-lurus ke arah dada lawannya.

Kembali Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sinkang dan mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa dingin yang terkandung dalam pukulan dara itu.

“Dessss....!”

Dua tenaga dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh Siauw-ok terdorong keras dan terpelanting keluar dari perahu.

“Byuuurrr....!”

Siauw-ok yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena ternyata dara itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi mengandung hawa panas dan kekuatan yang amat hebat. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang (Taugan Sakti Inti Api).

Karena keras bertemu keras dan tenaganya kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika merasa betapa ada hawa panas membakar tubuhnya melalui lengan, maka tubuh Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam lautan. Tentu saja hati Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali kemudi untuk mengemudikan layar perahu.

“Krakkk....!”

Tiba-tiba tiang layar yang tidak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok telah muncul di balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.

“Iblis jahat kau!” Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala yang muncul di permukaan air itu.
“Pratttt....!”

Air muncrat ke atas, akan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air. Suma Hui tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kccil itu, akan tetapi tiba-tiba perahu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itu pun terlempar dan terjatuh ke air.

“Byuuurrr....!”

Air muncrat lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk mencegah tubuhnya tenggelam.

“He-he-he, nona manis....!” Mendadak ada lengan yang merangkul pinggangnya yang ramping.
“Lepaskan, jahanam!” Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang.

Akan tetapi Siauw-ok yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba Suma Hui menjerit ketika kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan itu menyeretnya ke bawah permukaan air! Dara itu meronta-ronta dan mencoba untuk menendang atau memukul. Terjadi pergumulan di dalam air.

Suma Hui melawan mati-matian dan berusaha sedapat mungkin. Namun, ternyata ia jauh kalah mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut. Apalagi Siauw-ok menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia merasa jijik dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk. Akhirnya ia terkulai pingsan!

Masih untung baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan dan menyombongkan dirinya demikian besarnya sehingga biar pun melihat dara itu dengan pakaian basah kuyup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu birahinya dan bertahan diri, tidak memperkosanya. Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke dalam perahu yang telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan sekarang dengan bersungut-sungut dia mendayung perahunya melanjutkan perjalanan.

Pada suatu senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik perahunya ke pantai, kemudian memondong tubuh Suma Hui yang masih tertotok, lalu membawanya berlari memasuki sebuah hutan yang telah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok memasuki sebuah pekarangan depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota Ceng-to.

Rumah itu bercat merah yang mungil. Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to, rumah ini amat terkenal karena rumah ini merupakan rumah milik Ang Bwee Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah berusia empat puluh tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur kenamaan menjadi seorang mucikari kenamaan pula. Hampir semua pelacur di daerah Ceng-to mengenalnya. Dan pelacur mana pun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil oleh mucikari ini karena para langganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah orang-orang besar yang berkedudukan penting atau yang kaya raya saja.

Karena sejak sore tadi hujan turun dan sekarang pun masih gerimis, rumah pelacuran itu sunyi. Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pelacur di rumahnya. Ia hanya memanggil pelacur-pelacur yang dipesan para langganannya saja, menyediakan kamar-kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan minum yang cukup lengkap dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan yang tinggal di situ, pelayan-pelayan wanita setengah tua.
Ketika Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu depan, terdengar suara jawaban dari dalam dan tak lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan memandang dan wajahnya segera berubah ramah.

“Aih, kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona ini....?” katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pundak Siauw-ok.
“Jangan ribut. Apakah malam ini banyak tamu?”
“Sepi, taiya, habis hujan.”
“Tutupkan daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio sakit. Mengerti?” Pandang mata Siauw-ok penuh ancaman.
“Baik, taiya....!” kata pelayan itu takut-takut.
“Di mana toanio? Panggil ia keluar.”

Pelayan itu berlari masuk setelah menutupkan daun pintu. Tak lama kemudian nampak seorang wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi masih pesolek. Pakaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan dilukis, bibirnya diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang dia bekas seorang wanita yang cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee Merah), pelacur tingkat tinggi di Ceng-to.

“Ahhh, baru sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!” Wanita itu segera menghampiri Siauw-ok dan merangkul dengan sikap manja dan mesra.

Memang ia adalah kekasih lama Siauw-ok, tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan menjauhinya. Ketika dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi semerbak yang menusuk hidung, Siauw-ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya lalu mendorong!

Untung wanita itu agaknya bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan merobohkan setiap orang yang bertubuh kuat itu hanya membuatnya agak terhuyung. Wanita itu pun dapat cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda sehingga tubuhnya tidak sampai terpelanting.

“Ouw-koko....!” Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar walau pun pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa sayang yang amat besar. “Kenapa kau....?”
“Sudahlah, jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang dan siapa adanya gadis ini?”

Ketika wanita itu menggelengkan kepala dan memandang kepada Suma Hui dengan mata terbelalak dan rasa ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok lalu menyambung, “Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti.”

“Ahhhh....!” Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.
“Nah, jangan ganggu aku. Cepatlah kau sediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan belenggu kaki tangan dari baja. Engkau masih punya, bukan? Yang biasa untuk membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang.”

Ang Bwee Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar kembali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci. Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan amat cekatan oleh wanita itu.

“Sekarang, bawa dara ini ke kamarnya, kemudian layani aku makan minum sepuasku. Aku akan menceritakan kesemuanya padamu sampai kau puas, Ang Bwee.”

Wanita itu menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terbelenggu, memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu menarik napas panjang. “Seorang gadis yang indah sekali, Ouw-koko.”

“Ha-ha-ha, kau kira bagaimana? Kalau tidak demikian, perlu apa aku bersusah payah membawanya? Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian dulu.”

Dengan gembira Siauw-ok kemudian mandi dan bertukar pakaian. Sedangkan wanita itu memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar rumahnya dan merebahkan dara itu di atas pembaringan.

Sebetulnya sejak tadi Suma Hui sadar, akan tetapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan bergantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh. Selama ini ia selalu mencari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanannya di atas perahu sampai ia ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan amat teliti. Dan sekarang, kaki tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu baja sehingga andai kata ia dapat memperoleh kesempatan dan totokan ini tidak lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari belenggu ini.

Wanita itu merebahkannya terlentang di atas pembaringan. Dan betapa kaget rasa hati Suma Hui ketika rantai belenggu kaki tangannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan yang sudah tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpentang dengan masing-masing tangan dan kaki terikat pada kaitan di empat penjuru pembaringan!

Sebagai seorang wanita kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum sesat, ia mengerti bahwa kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi seorang wanita. Bahaya pemerkosaan! Dan ia tidak akan mampu mempertahankan diri!

Ngeri sekali rasa hatinya membayangkan hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka itu, akan tetapi andai kata semua itu terjadi pula, ia akan pura-pura memyerah, kemudian jika kesempatan terbuka, ia akan membunuh musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa dirinya!

Setelah mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil memandangi tubuh gadis itu. “Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja, bahkan tidak segan-segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih bocah dari musuh besar. Sungguh merupakan penghinaan yang tiada taranya! Ouw Teng, kalau sekali ini engkau tak memperdulikan diriku, engkau pun tak akan dapat menikmati gadis ini....!”

Setelah berkata demikian, wanita itu lalu pergi keluar kamar dan menguncikan pintu kamar itu dari luar. Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya tenaganya untuk membebaskan diri dari totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah bebas dari totokan, setidaknya ia akan dapat berusaha membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan berhasil, akan tetapi setidaknya ia dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini, rebah terlentang tak berdaya sama sekali!

Tak lama kemudian, Suma Hui dapat mendengar suara-suara dari sebelah kanan. Ia mengangkat muka dan menoleh dan ternyata suara itu datang dari lubang-lubang angin di dinding kamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibencinya dan suara wanita tadi. Mereka sedang pesta makan minum agaknya!

Terdengar suara Siauw-ok menceritakan tentang penyerbuan di Pulau Es itu diselingi suara ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan heran si wanita. Agaknya Siauw-ok banyak minum arak karena terdengar berkali-kali Ang Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan mengambilkan guci arak baru.

Kemudian, setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu terdengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Mereka lalu bercekcok dan lapat-lapat terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disusul jerit tertahan si wanita.

“Pergilah, dan jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk tawananku.” Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.

Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pengaruh totokan itu sudah mulai berkurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari pengaruh totokan! Mulailah ia mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sinkang-nya dan pada saat ia berhasil mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah lancar kembali ke seluruh tubuhnya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka perlahan.

“Ahhh....!” Suma Hui menahan jeritnya.

Dia cepat memejamkan mata, mengintai dari balik bulu matanya. Jika terpaksa ia harus menderita mala petaka hebat itu, maka ia akan membuat dirinya pingsan dan untuk ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagaimana caranya mematikan rasa atau membuat dirinya pingsan.

Tetapi, hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah wanita itu! Dia melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi pipi dan mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak! Kiranya wanita ini tadi datang untuk melampiaskan dendam terhadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi sebelum pergi ia telah menyatakan bahwa ia akan menghalangi Siauw-ok agar tidak dapat menikmati gadis tawanannya? Bukankah itu berarti wanita ini hendak membunuhnya?

Dan ia tidak akan dapat melawan sedikit pun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali. Paling banyak ia hanya akan dapat mengerahkan sinkang ke arah tubuh yang diserang, membuat bagian tubuh itu kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan wanita sembarangan pula dan tentu akan tahu bagaimana caranya untuk membunuh orang yang memiliki kekebalan.

Kini Ang Bwee Nio-nio menghampiri pembaringan, dan sejenak dia berdiri memandangi wajah dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik, “Aku mendengar bahwa Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti juga memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku sendiri sejak kecil bergelimang kejahatan. Biarlah dalam kekecewaan dan penghinaan ini aku melakukan suatu kebaikan, mungkin aku diperalat oleh Thian untuk membalas segala kebaikan keluarga Pendekar Super Sakti.”

Setelah berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Suma Hui sudah bersiap-siap, menyangka bahwa wanita itu tentu akan mengeluarkan senjata tajam. Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata sebuah kunci dan dengan cekatan wanita itu lalu membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui!

Gadis ini terkejut, girang dan heran, akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari pembaringan. Tentu saja Ang Bwee Nio-nio terkejut juga dan makin percayalah wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super Sakti itu. Siapa duga bahwa gadis yang kelihatan sama sekali tak berdaya itu, begitu dibuka belenggunya, sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.

“Ssstt, nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini....,” bisiknya.
“Terima kasih atas pertolonganmu,” kata Suma Hui kembali.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu.

“Ssttt, dia datang. Biar aku mencoba mencegahnya masuk,” kata Ang Bwee Nio-nio.

Dan ia pun cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya. Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke atas pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali rantai belenggu seolah-olah masih tetap mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat, pikirnya. Menyerang tokoh sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba sebelum orang itu tahu bahwa ia telah bebas.

Ia mendengar kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar, seolah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang setengah mabok itu agar pergi ke kamarnya sendiri. Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan mereka pun cekcok lalu terdengar suara perkelahian di luar kamar!

Ahh, mereka berkelahi, pikir Suma Hui. Inilah saatnya yang baik untuk turun tangan, membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia menoleh ke kanan kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa dipergunakan orang untuk pelesir dan bermain cinta itu mana ada senjata? Ia lalu nekat, dengan tangan kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.

Akan tetapi kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh setengah berjongkok sudah memukulkan kedua tangannya ke arah dada Ang Bwee Nio-nio dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok sudah memukul bekas kekasihnya sendiri dengan sebuah pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya secara curian dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu tidak kuat menerimanya, terjengkang, terbanting dan tewas seketika.

Suma Hui sudah marah sekali, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang. Karena maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui segera mainkan gabungan Ilmu Silat Pat-mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya secara mendalam. Gerakannya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan kedua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.

“Ha-ha-ha, engkau sudah siap untuk menyambutku, nona manis? Ha-ha-ha, mari kita main-main sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk melayaniku, mau atau tidak mau!” Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan juga ancaman karena tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa gadis cucu Majikan Pulau Es ini berkali-kali dapat melepaskan diri dan merepotkannya saja.

Akan tetapi dia pun terkejut melihat ilmu silat yang sangat hebat itu. Juga dia harus berhati-hati terhadap sinkang yang bisa berubah-ubah sifatnya itu, dari lembek menjadi keras, dari dingin menjadi panas. Bagaimana pun juga, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui masih kurang matang ilmu-ilmunya, maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih, mulailah dara itu terdesak hebat.

“Ha-ha, menyerahlah, manis. Perlu apa kau habiskan tenagamu? Masih kau butuhkan untuk melayani aku nanti, ha-ha-ha!” Kata-kata Siauw-ok makin cabul karena birahinya semakin bernyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkelahian itu.

Beberapa kali Suma Hui terhuyung. Diam-diam gadis ini mengambil keputusan bahwa sebelum ia tertawan, lebih baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai napas terakhir. Pendeknya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Lolos atau mati, dan tidak akan membiarkan dirinya tertawan kembali!

Tiba-tiba Siauw-ok mengeluarkan suara tawa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing seperti gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apakah ini? Tubuh orang itu berpusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan dari dalam pusingan itu kadang-kadang mencuat cengkeraman tangan yang hendak menangkapnya dan jari-jari yang hendak menotoknya.

Dara itu tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), ilmu curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Sebelum Suma Hui dapat mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut sekali, akan tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak dapat ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.

“Jahanam busuk, lepaskan dia!”

Tiba-tiba saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga Siauw-ok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan dari belakang ke arah kepalanya itu merupakan pukulan maut, maka terpaksa dia harus melepaskan cengkeramannya pada pergelangan kedua tangan gadis itu. Dia lalu membalik sambil merendahkan tubuhnya dan menggunakan kedua lengannya menangkis ke depan.

“Dessss....!”

Tubuh Siauw-ok terdorong ke belakang dan dia pun terhuyung. Dengan mata terbelalak dia memandang kepada penyerangnya. Bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda ini sebagai putera Naga Sakti Gurun Pasir yang dilihatnya telah terlempar ke lautan dalam badai itu!

“Cin Liong....!” Teriakan Suma Hui ini terdengar penuh dengan rasa haru, gembira dan terkejut. Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas?
“Cin Liong, jangan lepaskan jahanam itu!”

Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, sudah menggerakkan kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi bercuitan dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.

“Hui-i.... awas....!”

Dan dia pun sudah menubruk maju dan menggerakkan kedua lengan menghadang dan menangkis pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari Pedang atau Kiam-ci yang amat ampuh. Akan tetapi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya telah meloncat keluar pintu, menggunakan kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu tadi.

“Kejar dia....!” Suma Hui yang amat membenci pria itu berteriak.

Cin Liong juga meloncat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak nampak lagi bayangannya, juga tidak diketahui ke arah mana larinya, dia pun kembali memasuki pondok itu.

Di situ dia melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntahkan dari mulutnya sendiri, sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu.

Dara itu bangkit berdiri ketika melihatnya, dan bertanya, “Bagaimana dengan jahanam itu?”
Cin Liong mengangkat dua pundaknya dan mengembangkan lengannya. “Di luar amat gelap dan dia sudah menghilang seperti setan.”

“Sayang....,” kata Suma Hui sambil menudingkan telunjuk ke arah mayat itu. “Ia adalah pemilik rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku.” Lalu Suma Hui mengguncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, “Bibi, siapakah penjahat kejam itu tadi? Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian majikan kalian.”

“Dia adalah teman lama dari toanio, seorang langganan yang sangat baik. Namanya Ouw-taiya.... Ouw Teng....”
“Dan julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok,” sambung orang ke dua.
Mendengar disebutnya julukan ini, Cin Liong kemudian mengerutkan alisnya. “Jai-hwa Siauw-ok....?”
“Engkau mengenal nama itu?” Suma Hui bertanya.

Cin Liong mengangguk, lalu berkata, “Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita bicara.”

Suma Hui mengangguk dan tanpa pamit mereka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua orang pelayan wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui telah kehilangan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah amat kotor dan kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menggunakan dua kamar yang berdampingan.

Suma Hui hanya mengangguk menyetujui. Dia hanya dapat memandang dan menerima dengan penuh rasa haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa stel pakaian baru untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.

“Cin Liong, sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka? Bagaimana keadaan mereka?”

Pertanyaan ini sebetulnya sudah sejak ia bertemu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang buruk-buruk. Kini, pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan sepasang mata itu memandang penuh duka dan gelisah. Semua ini terasa sekali oleh Cin Liong ketika dia mendengar pertanyaan itu.

Mereka duduk berhadapan di ruangan luar kamar mereka. Malam itu amat sunyi karena rumah penginapan itu pun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pandang di bawah penerangan lampu gantung.

Wajah gadis itu nampak amat memelas bagi Cin Liong. Rambutnya masih kusut tidak tersisir rapi dan pakaian yang dipakainya itu tentu saja tidak cocok benar karena dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yang cantik itu agak pucat dan matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam.

Rasa iba menyelubungi sanubari Cin Liong. Ingin dia memegang kedua tangan yang diletakkan di atas meja itu, ingin dia merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi gadis ini adalah bibinya! Bibinya!
Cin Liong menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Kemudian dia mengangkat muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba.

“Sayang sekali, aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian dikeroyok di atas perahu, aku telah lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke lautan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian sajalah yang dapat menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang ganas itu. Aku tidak melihat bagaimana keadaan kedua paman itu.” Lalu dia menceritakan pengalamannya ketika terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan mendarat.

“Jadi engkau sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?” Gadis itu memejamkan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. “Menurut penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang Bun terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong.”

“Ahh!” Cin Liong mengepal tinju, “mereka itu orang-orang jahat. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencari dan membasmi mereka semua itu!”
“Aku pun tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!” Suma Hui mengepal tinju, teringat akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandangnya pemuda perkasa itu dan ia pun bertanya, “Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin Liong?”

“Hanya kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di luar kota Ceng-to, untuk menyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian bertiga yang selamat dan mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi aku mendengar percakapan dua orang nelayan yang katanya melihat seorang kakek memondong tubuh seorang gadis yang pingsan dan katanya kakek itu berlari cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sedang makan minum di dalam pondok, aku pun merasa yakin bahwa tentu dia yang dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang pingsan itu tentu engkau. Maka aku pun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat.”

“Cin Liong....,” Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.
“Ya, Hui-i?”
“Engkau.... engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah berkali-kali menyelamatkan aku.”

“Ahhh, harap jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela keluarga Pulau Es? Bukan keluarga sekali pun tentu akan kubela, karena bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?”
“Ya, tapi.... tapi....”
“Tapi apa, Hui-i?”

Seperti tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas meja pula. Ia meremas jari-jari tangan itu. “Cin Liong.... berkali-kali aku terkenang akan hal itu.... engkau begini baik dan aku.... aku....”

Cin Liong merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan diremas-remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak tangan gadis itu, lembut hangat dan mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.

“Engkau pun seorang gadis yang amat baik, Hui-i. Baik sekali....”
“Aku telah menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang dengan hati perih olehku, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk membela kami, sedangkan aku sudah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah engkau memaafkan aku, Cin Liong?” Di dalam suara itu terkandung isak.

Pemuda itu merasa semakin terharu dan dia pun balas meremas tangan yang lembut itu sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hui-i. Sudah sepatutnya engkau menamparku, karena memang aku telah menyakitkan hatimu. Bahkan sekarang pun aku bersedia andai kata engkau hendak menambah beberapa tamparan lagi.”

“Ih, jangan begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu selamanya akan mengganggu hatiku sebelum engkau memberikan maafmu.” Sambil berkata demikian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata penuh permohonan.

Cin Liong tidak tega membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri. “Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i.”

Wajah yang cantik itu menjadi berseri-seri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat betapa tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma Hui menarik kembali tangannya. “Ahh, engkau memang baik sekali, Cin Liong. Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau.”

“Jangan terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendiri pun seorang gadis yang teramat baik.”

Suma Hui tersenyum. “Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau rendah hati. Mana mungkin seorang gadis buruk watak seperti aku ini kau katakan baik?”

“Sungguh, Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku.”

Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk. “Bagiku, engkau adalah orang yang paling baik di dunia ini.”

“Bagiku, engkau pun demikian, Hui-i.”
“Ihh, benarkah itu? Tidak ada lain gadis yang seperti aku?”
“Banyak gadis di dunia ini, akan tetapi bagiku tidak ada yang seperti engkau, Hui-i.”

Hening sejenak dan gadis itu menunduk, agaknya kini ia hampir tidak berani menentang pandang mata pemuda itu karena ia melihat sesuatu dalam pandang mata itu yang membuatnya menjadi malu dan bingung.

“Cin Liong....”
“Apa yang hendak kau katakan, Hui-i?”
“Kulihat engkau sudah lebih dari dewasa....”
“Usiaku sudah hampir tiga puluh tahun, Hui-i.”
“Kiranya sudah lebih dari cukup untuk.... menikah.”
“Sudah lebih dari cukup, terlambat malah.”
“Lalu kenapa sampai kini engkau belum menikah?” Kini gadis itu berani mengangkat muka memandang dan sebaliknya malah Cin Liong yang kini menundukkan mukanya.

Beberapa kali pemuda ini menarik napas panjang. Pertanyaan Suma Hui itu seolah-olah merupakan serangan ujung tombak ke arah hatinya dan membuat dia mau tidak mau teringat kembali kepada Bu Ci Sian, gadis pertama yang pernah merampas hatinya akan tetapi kemudian gagal menjadi jodohnya. Akan tetapi dengan cepat dia mengusir bayangan itu dari ingatannya karena Bu Ci Sian kini telah menjadi isteri orang lain, isteri Pendekar Suling Emas Kam Hong.

“Hui-i, tadinya aku mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya, akan tetapi setelah aku berjumpa denganmu....”
“Ya, bagaimana, Cin Liong?”
“Pendirianku lalu goyah....” Kini Cin Liong yang mengulur tangan dan memegang tangan Suma Hui di atas meja itu, dipegangnya dengan lembut seperti memegang seekor anak burung yang lemah. “Sejak bertemu denganmu, aku tahu bahwa aku ingin menikah.... aku ingin dapat hidup bersama denganmu selamanya, Hui-i....”
“Cin Liong....!” Tangan dalam genggaman Cin Liong itu menggelepar bagai anak burung ketakutan, namun tangan itu tidak ditarik seperti tadi dan gadis itu menunduk dengan muka merah sekali, lalu perlahan-lahan menjadi pucat dan dua titik air mata mengalir turun.

“Maafkanlah aku jika menyinggung perasaan hatimu, Hui-i,” kata Cin Liong, wajahnya agak pucat karena pemuda ini dilanda kekhawatiran kalau-kalau dia harus mengalami patah hati yang amat pahit untuk kedua kalinya setelah dahulu dia pernah patah hati karena cintanya ditolak oleh Bu Ci Sian.

“Tidak ada yang harus dimaafkan dan engkau tidak menyinggung, Cin Liong. Akan tetapi.... lupakah engkau bahwa.... bahwa aku ini bibimu dan engkau keponakanku? Ayahku, Suma Kian Lee dan ibumu, Wan Ceng, keduanya adalah putera dan cucu dari nenek Lulu. Setidaknya, kita berdua adalah darah dari mendiang nenek Lulu....”

“Itulah yang selama ini menjadi ganjalan hatiku, Hui-i. Kita adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan usiaku lebih tua darimu, tetapi.... mengapa engkau malah menjadi bibiku?”
“Kita harus dapat melihat kenyataan itu, Cin Liong. Kiranya.... tidak mnngkin kalau di antara kita ada ikatan.... perjodohan....”

“Kenapa tak mungkin, Hui-i? Apa salahnya? Jika kita sudah sama-sama mencinta, apa lagi halangannya? Bagaimana pun juga, hubungan kekeluargaan antara kita terhitung jauh, karena kakek kita berbeda, dan she (marga) kita pun berbeda. Engkau she Suma sedangkan aku she Kao, sungguh sudah amat jauh terpisahnya. Hui-i, terus terang saja, aku cinta padamu, Hui-i, dan kalau aku tidak salah pandang, kalau perasaan hatiku tidak menipuku, engkau pun cinta padaku!”

“Cin Liong....!” Kini gadis itu terisak dan menutupi mukanya dengan tangan.
“Hui-i, harap jangan menangis. Kenapa berduka? Mengenai rintangan itu, jika memang kita sudah sama-sama mencinta, marilah kita hadapi bersama! Apa pun kesulitan dan kesukarannya yang akan kita tempuh, kita hadapi bersama. Maukah engkau, Hui-i?”

Suma Hui membuka tangannya dan memandang dengan muka basah air mata, bahkan kini air mata masih bercucuran keluar dari kedua matanya, lalu ia menarik tangannya dan bangkit berdiri, berkata dengan suara lirih dan parau, “Jangan bicarakan hal itu sekarang, Cin Liong. Berilah waktu padaku untuk berpikir. Aku sedang dilanda duka, karena kehilangan keluarga nenek moyang di Pulau Es, karena kehilangan kedua orang adikku yang masih belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Dan kita dihadapkan pula dengan kenyataan adanya hubungan keluarga antara kita. Aku menjadi bingung, berilah waktu padaku, Cin Liong....”

Cin Liong menjura. “Maafkan aku, Hui-i. Memang seharusnya kalau engkau beristirahat. Nah, tidurlah, Hui-i. Urusan ini dapat kita bicarakan kelak, kalau engkau menghendaki.”

Suma Hui mengangguk dan memandang dengan sayu, kemudian dia melangkah lesu memasuki kamarnya.
Akan tetapi, dua orang muda itu tidur dengan gelisah sekali, tenggelam dalam lamunan masing-masing, lamunan yang bahkan tak dapat dikatakan sedap atau menyenangkan. Masalah-masalah berdatangan kepada mereka, bertumpuk dan saling susul-menyusul. Kedukaan dan kegelisahan bertumpuk-tumpuk. Dan kini mereka dihadapkan kepada kenyataan yang sungguh membingungkan dan mendatangkan rasa duka dan khawatir. Mereka saling mencinta, padahal mereka adalah bibi dan keponakan!

Cin Liong gelisah dan tak dapat tidur. Beberapa kali dia bangkit dan bangun, duduk termenung memikirkan nasibnya. Sebagai seorang jenderal muda, dia dapat dibilang berhasil baik sekali. Kedudukannya tinggi dan terhormat, juga dipercaya oleh kaisar. Di bidang ini dia memang beruntung sekali, juga dia tidak pernah kekurangan harta benda.

Sesungguhnya, harus diakuinya bahwa hidupnya cukup terhormat, mulia, berkecukupan dan menyenangkan. Namun di bidang cinta, ternyata dia tidak beruntung. Kegagalannya yang pertama ketika ia jatuh cinta kepada Bu Ci Sian sudah terasa amat berat, dan luka yang dideritanya sampai bertahun-tahun masih terasa.

Bagi seorang pendekar, perasaan hati merupakan sesuatu yang teguh. Kalau sekali mencinta, maka cintanya itu tak akan rapuh melainkan kokoh kuat pula seperti keadaan jasmaninya yang tergembleng. Maka kegagalan cintanya itu membuatnya hampir jera untuk mendekati wanita lain, bahkan dia mengambil keputusan untuk tidak menikah saja.

Ayah dan ibunya sudah berkali-kali mendesaknya, akan tetapi dia berkeras menyatakan belum ingin menikah. Bahkan ayah ibunya menganjurkan kepadanya untuk mengambil selir saja kalau belum menemukan seorang gadis yang dianggap cocok untuk menjadi isterinya. Akan tetapi Cin Liong tetap saja menolak bujukan mereka walau pun dia tahu bahwa ayah bundanya itu sudah rindu sekali untuk menimang seorang cucu!

Di dalam kehidupan terdapat bermacam kebutuhan yang kesemuanya amat penting. Kecukupan lahiriah berupa pangan dan papan. Kesehatan jasmani. Kerukunan dalam keluarga, dan sebagainya lagi. Semua itu merupakan bagian-bagian dari kelompok yang dinamakan keperluan atau kebutuhan hidup. Dan kesemuanya itu perlu, tidak kalah pentingnya dari bagian yang lain.

Mementingkan satu bagian saja merupakan kebodohan karena yang satu harus ditutup oleh yang lain. Orang yang hidupnya kaya raya dan serba kecukupan, tetap saja akan menderita dalam hidupnya kalau kesehatannya terganggu. Orang yang sehat sekali pun tetap akan menderita kalau kekurangan makan dan pakaian. Bahkan orang yang sehat dan kaya sekali pun akan hidup menderita kalau tidak mempunyai kerukunan dalam keluarga.

Di waktu sakit berat, orang yang kaya raya akan rela kehilangan semua kekayaannya asalkan dia dapat sembuh. Sebaliknya, orang sehat melupakan segala dan mati-matian mempertaruhkan kesehatannya demi mengejar dan menumpuk harta benda.

Demikianlah kenyataannya, hidup ini merupakan sekelompok kebutuhan-kebutuhan yang memang mutlak penting. Akan tetapi, biar pun mementingkan yang satu saja tanpa memperdulikan yang lain merupakan kebodohan, dan mengabaikan kesemuanya merupakan sikap lemah yang bodoh, sebaliknya terlalu mengejar kesemuanya itu pun akan menjerumuskan!

Banyak orang beranggapan bahwa kalau sudah kaya raya dan berkedudukan tinggi, tentu orang akan hidup bahagia. Karena itu, semua orang lalu berlomba-lomba untuk mengejar kekayaan dan kedudukan. Padahal, semua yang digambarkan sebagai kebahagiaan itu sesungguhnya hanya bayangan kesenangan belaka. Dan kesenangan itu selalu hanya dirasakan oleh orang yang belum mencapai atau memilikinya.

Kalau kita menjenguk ke dalam kehidupan orang-orang berkedudukan tinggi atau kaya, barulah kita akan melihat bahwa gambaran khayal dari kita bahwa mereka itu hidup bahagia adalah keliru sama sekali. Bahkan mereka itu sudah tidak lagi dapat merasakan kesenangan atau menikmati hartanya mau pun kedudukannya, atau setidaknya, tidak seindah atau senikmat ketika mereka membayangkannya sebelum memilikinya.

Sesungguhnyalah bahwa kesenangan dapat dicari, namun kebahagiaan tidak! Yang bisa dikejar dan dicari hanyalah kesenangan, tapi kesenangan ini amat pendek umurnya dan tempatnya selalu diperebutkan oleh kebosanan, kekecewaan dan kesusahan!

Bukanlah berarti bahwa kita harus menolak kesenangan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bertapa di puncak gunung. Mereka ini justru mencari kesenangan dengan cara lain, yaitu cara menyiksa diri atau cara menolak kesenangan lahiriah untuk mencari kesenangan batiniah yang pada hakekatnya sama juga! Tidak menolak!

Kesenangan hidup adalah kenikmatan yang telah menjadi hak kita untuk menikmatinya. Tubuh kita sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat-alat untuk menikmati kesenangan hidup melalui panca indra. Bukan menolak, melainkan tidak mengejar-ngejar! Kalau ada kesenangan itu, kita nikmati sebagai anugerah, namun dalam keadaan tetap waspada sehingga kita tidak menjadi mabok kesenangan dan menjadi buta. Namun, kalau tidak ada, kita tidak mengejar-ngejarnya, yang biasanya diberi pakaian kata muluk ‘cita-cita’.

Dan, kalau kita sudah bebas dari pengejaran ini, di dalam segala sesuatu terdapat keindahan, kenikmatan yang menyenangkan itu! Di dalam segelas air sekali pun, di dalam hal-hal yang biasanya dipandang sebagai hal sederhana yang tak berarti, akan nampak sesuatu yang amat indah, menyenangkan dan mendatangkan nikmat hidup.
********************
Di luar kota Cin-an, hanya lima belas li jauhnya dari kota Cin-an, terdapat sebuah dusun yang makmur walau pun rakyatnya hidup sederhana. Dusun ini bernama Hong-cun, terletak di lembah Sungai Huang-ho yang subur. Rakyatnya bercocok tanam, kadang-kadang kalau tanaman sudah tidak membutuhkan penggarapan lagi, mereka pergi mencari ikan sebagai kaum nelayan yang pandai.

Di dusun ini tinggal seorang pendekar yang namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw, akan tetapi karena pendekar ini sejak belasan tahun lamanya tidak pernah menonjolkan dirinya di dunia kang-ouw, maka tidak ada yang tahu bahwa warga dusun Hong-cun itu adalah seorang pendekar yang pernah menjadi buah bibir semua tokoh dunia persilatan dan disebut-sebut namanya dengan wajah pucat ketakutan sebagai Pendekar Siluman Kecil!

Ya, pendekar itu memang Pendekar Siluman Kecil yang bernama Suma Kian Bu, putera tunggal dari Pendekar Super Sakti dan isterinya, Puteri Nirahai, dari Pulau Es. Suma Kian Bu mirip dengan ayahnya, dengan rambut yang dibiarkan panjang beriapan dan semua telah menjadi putih seperti benang-benang perak. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun, namun bentuk tubuhnya masih tegap dan amat gagah perkasa dan kuat seperti tubuh orang muda. Hanya rambut putih itu saja yang membuat dia pantas kalau dikatakan bahwa usianya hampir setengah abad.

Isterinya pun bukan orang sembarangan, karena isterinya yang bernama Teng Siang In dan yang telah berusia empat puluh empat tahun itu pun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Para pembaca serial cerita Suling Emas sampai Pendekar Super Sakti dan keturunannya tentu sudah mengenal baik siapa Suma Kian Bu ini! Selain berdarah pendekar majikan Pulau Es, juga dari ibunya dia masih berdarah keluarga kaisar karena ibunya adalah seorang puteri dan panglima lagi. Dan pendekar inilah yang merupakan putera Pendekar Super Sakti yang paling lihai.....

Selain ilmu-ilmu dari keluarga ayahnya, yaitu ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, yang membuat dia dapat bergerak seperti pandai menghilang saja. Isterinya, selain hebat pula dalam ilmu silat, bahkan mempunyai keahlian dalam ilmu sihir.

Memang amat mengherankan, terutama bagi tokoh-tokoh persilatan kalau melihat cara hidup suami isteri pendekar ini sekarang. Mereka hidup sebagai petani sederhana. Biar pun rumah mereka cukup besar, namun sederhana dan keluarga ini hidup sebagai petani yang menggarap sawah, bahkan kadang-kadang suami isteri ini nampak sibuk pula mencari ikan dengan perahu mereka. Bagi para penghuni dusun Hong-cun, keluarga ini amat dihormati dan walau pun keluarga itu tidak pernah menonjolkan kemampuan mereka, namun semua orang sudah dapat menduga bahwa keluarga ini adalah keluarga yang lihai.

Apalagi karena setiap kali ada penduduk kampung yang sakit, suami isteri ini dapat menolongnya dan memberi obat. Dan setelah pendekar ini dan keluarganya tinggal di situ, tidak ada lagi terjadi kejahatan. Beberapa orang penjahat yang tadinya beroperasi di situ, segera lari ketakutan karena terjadi hal-hal aneh menimpa diri mereka.

Ada penjahat yang katanya digondol setan dan dilemparkan dari puncak pohon tinggi sekali. Akan tetapi sebelum tubuhnya remuk terbanting di atas tanah, ‘setan’ itu telah menyambar tubuhnya. Setan itulah yang mengancam agar dia menghentikan perbuatan jahatnya atau pergi dari dusun itu.

Bermacam hal aneh terjadi kepada para penjahat itu dan dalam waktu singkat, dusun itu bersih dari kejahatan, bahkan para penjahat di tempat lain yang mendengar akan angker dan keramatnya dusun Hung-cun, tiada yang berani mencoba-coba beroperasi di situ. Inilah sebabnya maka dusun itu menjadi makmur dan semua penghuni dusun, sampai ketua dusun, menghormati keluarga itu sebagai keluarga sakti! Mereka pun menyebut Pendekar itu dengan sebutan In-kong (Tuan Penolong), dan isteri pendekar itu disebut Toanio.

Di dalam kisah Suling Emas dan Naga Siluman telah diceritakan bahwa sepasang suami isteri pendekar ini, setelah menikah belasan tahun lamanya, baru mendapatkan seorang keturunan. Putera mereka itu mereka namakan Ceng Liong, karena mereka berhasil memperoleh keturunan setelah menggunakan obat mustika ular hijau.

Dan seperti kita ketahui, Ceng Liong diantarkan oleh orang tuanya ke Pulau Es untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah bimbingan langsung dari Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Juga untuk menemani kakek dan kedua orang nenek mereka yang sudah tua itu.

Pada siang hari itu, Suma Kian Bu dan Teng Siang In baru pulang dari ladang. Pakaian mereka masih basah oleh keringat dan ujung celana mereka masih berlepotan lumpur. Mereka berdua duduk di serambi depan menikmati air teh hangat yang dihidangkan oleh seorang pelayan mereka.

Sejenak mereka duduk minum teh tanpa berkata-kata. Terasa sunyi sekali oleh mereka semenjak putera tunggal mereka meninggalkan mereka. Sudah enam bulan lamanya Ceng Liong meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang Teng Siang In duduk termenung penuh kerinduan kepada puteranya. Bahkan kadang-kadang, kalau sedang seorang diri, dia suka menumpahkan rasa rindunya melalui deraian air mata. Tentu saja Suma Kian Bu tahu akan hal ini. Sudah kurang lebih seperempat abad lamanya dia menjadi suami Teng Siang In, maka tentu saja dia dapat mengikuti setiap perubahan air muka isterinya itu.

Ketika mereka berdua duduk minum teh pada siang hari itu, dia pun sudah maklum bahwa kembali isterinya telah kumat rindunya. Di ladang tadi pun isterinya sudah diam saja, kehilangan kegembiraannya. Padahal isterinya adalah seorang wanita yang lincah dan biasa bergembira.

“In-moi, kenapa kau diam saja sejak tadi?” tanya sang suami yang bahkan sampai hampir tua pun masih terus menyebut In-moi (dinda In) kepada isterinya, sebutan yang mesra dan penuh kasih.

Teng Siang In menunduk lalu menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah membikin panas kedua matanya, lalu menjawab, “Suamiku, apakah engkau tidak merasakan kesepian yang mencekam hati ini?”

Jawaban itu sudah cukup bagi Suma Kian Bu. Dia lalu mengangguk-angguk. “Kesepian semenjak anak kita pergi? Aku pun merasakan hal itu, isteriku dan diam-diam aku pun merasakan penderitaan batin yang amat tidak enak ini.”

Pendekar ini maklum akan isi hati isterinya. Bagi dia sendiri, sesungguhnya dia tidaklah begitu menderita dan ucapannya tadi hanya untuk menghibur keresahan hati isterinya. Pendekar ini yang memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya, sudah mengerti bahwa semua bentuk kesenangan mendatangkan ikatan, dan semua bentuk pengikatan ini mendatangkan kesengsaraan.

Kalau kita sayang akan sesuatu itu, baik sesuatu itu merupakan benda, manusia, atau pun hanya nama, maka timbullah pengikatan di dalam batin. Kita tidak ingin kehilangan sesuatu yang menyenangkan itu dan kita akan menjaganya kuat-kuat untuk melawan kemungkinan kehilangan itu. Kalau perlu kita siap mempergunakan kekerasan untuk mempertahankan sesuatu itu.

Akan tetapi, memiliki tidaklah berdiri sendiri. Memiliki sudah pasti disambung dengan kehilangan. Karena itulah muncul usaha keras untuk menjaga atau mempertahankan agar tidak sampai kehilangan dan di sini menjadi sumber pula dari pada rasa takut. Takut akan kehilangan sesuatu yang disayangnya, sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu, seorang bijaksana tidak mau terikat oleh apa pun juga, selalu berada dalam keadaan bebas. Cinta kasih sejati tidaklah mengikat atau diikat. Hanya kesenangan dan nafsu sajalah yang mengikat.

Teng Siang In juga bukan seorang wanita lemah yang cengeng. Agaknya ia merasakan bahwa sikapnya itu tidak semestinya, maka ia pun menarik napas panjang. “Suamiku, aku tahu bahwa sikapku ini bodoh. Ceng Liong berada di Pulau Es, di dalam tangan yang kokoh kuat, dekat dengan orang tua bijaksana yang mencintanya sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan keadaannya. Akan tetapi hati ini, hati seorang ibu ini.... maafkanlah kelemahanku.”

Suma Kian Bu memegang lengan isterinya dan tersenyum menghibur. “Aku maklum, isteriku, dan aku tidak menyalahkanmu. Karena kita pun tidak terikat oleh apa-apa di tempat ini, marilah kita berdua pergi ke Pulau Es untuk menengok Ceng Liong sekalian berpesiar.”

Hampir saja Teng Siang In terlonjak kegirangan mendengar usul dari suaminya ini. Dia meloncat bangun, merangkul suaminya dan mencium pipinya. “Terima kasih....! Ahhh, betapa girang hatiku! Engkau memang seorang suami yang baik sekali!”

“Siapa bilang aku suami buruk?” Pendekar itu tertawa, rasa gembira di dalam hatinya melihat kegirangan isterinya itu agaknya jauh lebih mendalam dari pada kegembiraan isterinya.
“Kapan kita berangkat? Kapan?”
“Kapan saja. Kalau kau kehendaki, sekarang pun boleh.”
“Sekarang? Ahhh, agaknya aku sudah tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mari kita berkemas, suamiku!” Dan tanpa menjawab wanita itu berlari-lari seperti seorang anak kecil yang kegirangan ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa melakukan perjalanan jauh itu.

Pada waktu suami isteri itu sedang mengemasi pakaian dan bekal yang akan mereka bawa pergi ke Pulau Es, tiba-tiba pelayan mereka memberi tahu bahwa di luar ada dua orang tamu yang ingin bertemu dengan mereka.

“Siapa mereka dan ada keperluan apa?” Teng Siang In bertanya sambil mengerutkan alisnya karena dalam keadaan seperti itu ia tidak ingin diganggu.

Pelayan yang sudah membantu mereka semenjak lahirnya Ceng Liong itu menjawab dengan wajah berseri. “Yang seorang adalah nona Suma Hui dan yang seorang lagi saya tidak kenal, dia seorang pemuda.”
“Suma Hui....?” Suami isteri itu saling pandang dengan wajah kaget, heran dan juga gembira.

Suma Hui juga pergi ke Pulau Es bersama dengan Ciang Bun dan juga Ceng Liong. Maka, seperti menerima aba-aba saja, keduanya lalu meninggalkan kamar itu sambil berlari dan meninggalkan pelayan wanita setengah tua itu yang menggelengkan kepala sambil tersenyum, tak merasa terlalu heran menyaksikan sikap kedua orang majikannya yang memang aneh itu.

Ketika sepasang suami isteri itu tiba di ruangan depan di mana Suma Hui dan Cin Liong dipersilakan duduk, Suma Hui cepat bangkit berdiri dan segera menubruk Teng Siang In sambil menangis.

“Bibi.... paman.... ah, sungguh celaka....!” Dan gadis ini sudah menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siang In yang hanya dapat saling pandang dengan suaminya, terkejut dan juga gelisah.
“Hui-ji (anak Hui).... ada apakah? Apa yang telah terjadi, nak?” Teng Siang In bertanya sambil mengguncang-guncang pundak gadis itu.

Yang ditanya semakin terisak dan mengguguk. “Bibi.... sungguh celaka, mala petaka telah menimpa kita....” Dan tangisnya membuat ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Melihat ini, Suma Kian Bu mengerutkan alisnya. “Suma Hui....!” Suaranya membentak penuh wibawa sehingga sangat mengejutkan hati Cin Liong. “Sudah patutkah sikapmu itu?” Suara ini penuh teguran karena Suma Kian Bu merasa tidak puas melihat sikap keponakannya sebagai seorang cucu majikan Pulau Es yang telah memperlihatkan kelemahan yang seperti itu.

Akan tetapi, Suma Hui yang telah digulung oleh perasaan duka, tetap tidak mampu mengeluarkan suara dan masih terus sesenggukan.

“Suma Hui....!” Suara Suma Kian Bu makin penasaran.

Melihat Suma Hui dibentak dan gadis itu semakin berduka, Cin Liong merasa kasihan dan dia pun menjura sambil berkata, “Sesungguhnya begini....”

“Siapa engkau?” Suma Kian Bu memotong ucapan Cin Liong dan memandang tajam wajah yang tampan dan gagah itu, diam-diam dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan. “Dan bagaimana engkau dapat datang bersama Suma Hui?” Tentu saja dia merasa tidak senang melihat keponakannya itu, seorang gadis dewasa, muncul bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya.

Kini Suma Hui yang seperti bangkit dari tangisnya dan menjawab cepat, “Paman, dia adalah keponakanku sendiri....”

“Keponakanmu....?” Teng Siang In memotong, terbelalak, tentu saja terheran dan tidak dapat percaya bahwa Suma Hui bisa mempunyai seorang keponakan yang menurut taksirannya tentu jauh lebih tua dari pada gadis itu.

“....namanya Kao Cin Liong,” sambung Suma Hui.
“Ahhh....! Jenderal muda putera Ceng Ceng itu?” Suma Kian Bu berseru, wajahnya berseri. “Jadi engkaukah putera Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Cin Liong kembali memberi hormat kepada pendekar yang masih terhitung paman kakeknya ini! “Harap maafkan kelancangan saya. Sebetulnya saya baru pulang dari Pulau Es dan mengalami segala peristiwa yang terjadi di sana, sampai dapat datang ke sini bersama dengan bibi Hui....”
“Mari kita duduk di dalam dan bicara.”

Suma Kian Bu mengajak Cin Liong dan Teng Siang In juga menggandeng Suma Hui yang masih menangis itu. Mereka berempat lalu duduk di ruangan dalam dan kini Suma Hui sudah mulai dapat menguasai hatinya yang berduka.

“Nah, sekarang ceritakanlah semuanya,” kata Suma Kian Bu.

Bersama isterinya dia menanti untuk mendengarkan penuturan itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
Cin Liong memandang kepada Suma Hui seolah hendak bertanya apakah dia yang akan bercerita. Suma Hui yang juga melirik kepadanya menggeleng kepala sedikit lalu ialah yang mulai bercerita.

Setelah menarik napas panjang, mengerahkan tenaga batin untuk menekan perasaan duka yang mencekik, ia lalu memandang kepada paman dan bibinya sejenak, kemudian dengan suara lirih namun jelas, seolah-olah mengatur agar kedua orang tua itu tidak sampai terkejut, ia pun berkata, “Paman dan bibi, harap jangan terkejut. Pulau Es telah tertimpa bencana hebat, diserbu oleh puluhan orang penjahat yang dipimpin oleh lima orang datuk kaum sesat.”
“Nanti dulu, katakan siapa lima orang datuk itu?” Suma Kian Bu memotong.
“Menurut penyelidikan kami terutama Cin Liong, kami ketahui bahwa mereka itu adalah Hek-i Mo-ong, Ngo-bwe Sai-kong, Eng-jiauw Siauw-ong, Jai-hwa Siauw-ok dan wanita yang berjuluk Ulat Seribu....”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. Nama-nama besar di dunia hitam, terutama sekali Hek-i Mo-ong.

“Lanjutkan ceritamu.”
“Mula-mula kami bertiga, saya, adik Ciang Bun dan adik Ceng Liong, sedang berlatih silat ketika muncul Ngo-bwe Sai-kong dan anak buahnya hendak membunuh kami bertiga. Nenek Lulu datang dan menghajar mereka. Nenek Lulu dikeroyok dan berhasil memukul mundur musuh, bahkan berhasil menewaskan Ngo-bwe Sai-kong yang lihai. Akan tetapi nenek Lulu.... ia sendiri terluka parah dan setelah dapat masuk ke dalam istana, ia.... ia meninggal dunia karena luka-lukanya....”
“Aihhh....!”

Teng Siang In menahan jeritnya dan mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah sekali karena marah. Sementara itu, Suma Kian Bu memejamkan matanya. Wajahnya tidak menunjukkan sesuatu, hanya nampak dia menarik napas panjang.

“Lanjutkan.... lanjutkan....,” katanya tanpa membuka matanya.
“Sisa para penyerbu itu lalu dihajar oleh nenek Nirahai sehingga mereka lari cerai-berai meninggalkan pulau. Malamnya kami tiga orang anak melakukan penjagaan dan muncul Cin Liong dalam keadaan luka-luka pula. Dia mendarat di Pulau Es dan hampir saja terjadi salah paham karena pada waktu itu kami bertiga tidak mengenal bahwa dia adalah keponakan kami.”

Suma Kian Bu mengangkat tangan dan membuka matanya, memandang kepada Cin Liong. “Hentikan dulu ceritamu, Hui-ji, dan kau ceritakanlah bagaimana engkau dapat sampai ke Pulau Es dalam keadaan luka-luka, Cin Liong.”

Cin Liong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat namun jelas sekali. Dia menceritakan betapa dia bertugas menyelidiki keadaan dan betapa dia mengikuti rombongan penjahat yang hendak menyerbu Pulau Es, dan betapa di tengah pelayaran dia ketahuan dan hampir saja tewas ketika dia terlempar ke dalam lautan, namun akhirnya dia berhasil juga mendarat di Pulau Es walau pun sedikit terlambat, yaitu rombongan pertama dari kaum sesat telah menyerang ke pulau yang mengakibatkan tewasnya nenek Lulu.

“Demikianlah, saya lalu dibawa menghadap kakek buyut Suma Han dan bersama dengan keluarga Pulau Es saya lalu ikut melakukan penjagaan.” Cin Liong mengakhiri ceritanya.
“Dialah yang banyak berjasa, paman. Kalau tidak ada dia, mungkin keadaan kami akan menjadi lebih parah lagi. Seperti yang telah diduga oleh nenek Nirahai, gerombolan penjahat itu datang lagi menyerbu, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan tiga orang datuk lainnya. Kekuatan mereka berpuluh orang dan kami semua, kecuali kakek Suma Han yang tetap duduk bersila di dekat peti mati nenek Lulu, kami semua dipimpin oleh nenek Nirahai lalu mengadakan perlawanan mati-matian. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Walau pun kami sudah merobohkan banyak orang, tetap saja kami kalah kuat. Nenek Nirahai telah berhasil menewaskan Si Ulat Seribu, dan Cin Liong berhasil pula membunuh Eng-jiauw Siauw-ong yang lihai. Kemudian.... sesuai dengan perintah nenek Nirahai, Cin Liong membawa kami bertiga bersembunyi karena keadaan gawat....”

Suma Kian Bu dapat mengerti akan siasat ibu kandungnya. “Hemm, tentu disuruh bersembunyi di ruangan bawah tanah, bukan?”

“Benar, paman. Aku sungguh tidak setuju sama sekali dan ingin aku mengamuk terus. Akan tetapi, Cin Liong mentaati perintah nenek Nirahai dan aku ditotoknya. Memang, kalau tidak disembunyikan, kami bertiga dan Cin Liong tentu telah tewas semua, akan tetapi sedikitnya dapat menambah jumlah kematian pihak musuh.”

“Lanjutkan, lanjutkan....!”
“Setelah kami keluar dari tempat persembunyian, ternyata musuh sudah pergi semua, bahkan mereka membawa pergi teman-teman yang tewas dan luka. Akan tetapi.... akan tetapi.... kami melihat nenek Nirahai telah tewas pula di samping peti mati nenek Lulu....” Sampai di sini Suma Hui tak dapat menahan tangisnya dan kembali ia terisak-isak lalu sesenggukan.

Teng Siang In menggigit bibirnya. Wanita ini tidak menangis, artinya tidak mengeluarkan suara menangis walau pun air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Juga Suma Kian Bu hanya termenung dengan muka tidak menunjukkan sesuatu. Semua ini terlihat oleh Cin Liong dan pemuda ini teringat akan kegagahan Ceng Liong dan menjadi kagum.

Melihat keadaan keponakannya itu, Suma Kian Bu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyalahkan keponakannya itu. Sebagai seorang gadis, Suma Hui cukup gagah dan pengalaman yang amat menyedihkan itu tentu saja mengguncang perasaan gadis itu.

“Cin Liong, sekarang engkaulah yang melanjutkan ceritanya,” katanya kepada pemuda itu.

Cin Liong memandang kepada Suma Hui yang masih sesenggukan dengan sinar mata penuh kasih sayang dan rasa iba, dan hal ini sama sekali tidak lewat begitu saja dari pengamatan Suma Kian Bu, akan tetapi pendekar ini diam saja.

“Ketika kami memasuki ruangan, kami melihat nenek buyut Nirahai telah tewas di dekat peti mati nenek buyut Lulu, sedangkan kakek buyut masih duduk bersila di tempat semula. Biar pun kami tidak melihat dan tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi melihat betapa semua musuh telah pergi dan kakek buyut masih duduk bersila, maka besar sekali kemungkinannya kakek buyut telah berhasil mengusir mereka, entah dengan cara bagaimana. Kami semua melakukan penjagaan dan kemudian baru kami tahu, biar pun ada suara kakek buyut yang memesan agar jenazah mereka kami bakar di kamar sembahyang, dan agar kami semua cepat meninggalkan pulau senja hari itu juga dan kami diharuskan kembali ke rumah masing-masing, baru kami tahu bahwa sesungguhnya kakek buyut Suma Han juga telah meninggal dunia....”

“Ayahhh....!” Seruan ini pendek saja namun menggetarkan seluruh rumah itu dan Cin Liong merasa terkejut sekali.
“Ayaaahh.... ohhh, ayaahhh....!” Teng Siang In menubruk suaminya, menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Keduanya menangis tanpa suara!

Cin Liong menatap wajah Pendekar Siluman Kecil itu dan hatinya tergetar. Wajah yang gagah itu nampak menakutkan sekali. Dengan memberanikan diri dia pun berkata lirih, “Mendiang kakek buyut meninggalkan pesan bahwa kematian adalah wajar, tidak perlu diributkan atau disusahkan....”

Terdengar helaan napas panjang dan pendekar itu seperti baru sadar dari mimpi buruk. Dia memandang kepada Cin Liong dan berkata lirih, “Terima kasih, Cin Liong. Begitulah hendaknya. Isteriku, lekas keringkan air matamu yang tiada gunanya itu dan mari kita mendengarkan penuturan mereka ini lebih lanjut.”

Kini Suma Hui yang sudah dapat menguasai hatinya melanjutkan cerita itu. “Paman dan bibi, setelah kami melakukan perintah terakhir dari kakek, kami berempat meninggalkan pulau dengan perahu dan dari jauh kami melihat betapa istana itu terbakar, kemudian.... sungguh mengejutkan dan mengherankan sekali.... kebakaran itu menjalar terus dan dalam waktu semalam itu, seluruh pulau terbakar habis!”

“Hemmm....!” Suma Kian Bu mengangguk-angguk, kembali dia maklum akan maksud ayahnya yang hendak melepaskan semua ikatan dengan dunia.
“Dan pada keesokan harinya, pulau itu sudah lenyap! Pulau Es telah tenggelam!” gadis itu melanjutkan ceritanya.

Kembali Suma Kian Bu mengangguk-angguk. Memang Pulau Es adalah sebuah pulau yang aneh, maka peristiwa itu pun tidaklah luar biasa.

“Kemudian bagaimana dengan kalian berempat?” tanyanya

Dan kini ayah dan ibu ini kembali dicekam rasa gelisah karena kenyataannya kini, dari empat orang itu tinggal dua orang, Ciang Bun dan Ceng Liong tidak ada bersama mereka. Ini berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan kedua orang anak itu.

“Kami berempat melanjutkan pelayaran untuk menuju ke daratan besar, akan tetapi di tengah lautan kami dihadang dan dikepung oleh puluhan orang penjahat, sisa mereka yang agaknya melarikan diri dari Pulau Es, dipimpin oleh Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok.”
“Kedua nama jahanam itu takkan pernah kulupakan!” kata Teng Siang In dengan sinar mata berapi-api.

“Kami diserang dan perahu kami digulingkan. Kami membela diri mati-matian, akan tetapi Cin Liong terlempar le laut, demikian pula Ciang Bun, padahal ketika itu badai sedang mengamuk. Saya sendiri tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dibawa lari, sedangkan menurut keterangan Cin Liong kemudian, adik Ceng Liong juga tertawan dan dibawa pergi oleh Hek-i Mo-ong.”

“Ahh....!” Teng Siang In meloncat bangun dan mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya mencorong. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anakku, aku bersumpah untuk merobek-robek kulit Hek-i Mo-ong dan mencincang hancur dagingnya!”

“In-moi, tenanglah, tidak baik membiarkan perasaan menguasai batin,” terdengar Suma Kian Bu berkata dan nyonya itu lalu terduduk kembali, wajahnya kini agak pucat akan tetapi sepasang matanya masih berapi-api dan kedua tangannya dikepal.

“Hui-ji, lanjutkan ceritamu.”
“Saya dilarikan oleh si jahanam Jai-hwa Siauw-ok dan nyaris mengalami bencana dan aib yang hebat. Untung muncul Cin Liong yang tiba pada saat yang tepat menolongku dan sayang sekali bahwa si keparat itu berhasil melarikan diri dari kejaran kami. Kami lalu langsung pergi ke sini untuk melaporkan kepada paman dan bibi.”
“Dan Ciang Bun? Ceng Liong?” Teng Siang In bertanya.

Suma Hui mengerutkan alisnya, wajahnya diselimuti kedukaan dan ia menggelengkan kepala. “Kami tidak tahu, bibi. Yang diketahui oleh Cin Liong hanya bahwa Ciang Bun terlempar ke lautan dan Ceng Liong ditawan Hek-i Mo-ong. Jahanam Siauw-ok itu pun bercerita demikian kepadaku.”

“Kita harus mencarinya sekarang juga!” Teng Siang In berkata sambil memandang kepada suaminya.

Suma Kian Bu yang sudah mengenal baik watak isterinya maklum bahwa andai kata dia menolak sekali pun, tentu isterinya akan berangkat sendiri. Memang mereka harus cepat melakukan pengejaran dan mencari Ceng Liong untuk dirampas kembali, dan bagaimana pun juga, mereka memang sudah berkemas-kemas untuk pergi merantau ke Pulau Es.

“Baik, kita mencarinya hari ini juga. Cin Liong dan Hui-ji, kalian hendak pergi ke mana?”
“Paman, saya harus cepat-cepat pulang ke Thian-cin memberi kabar kepada ayah dan ibu.”
“Saya akan menemani bibi Hui.”

Suma Kian Bu mengangguk dan bersama isterinya dia mengantar pemuda dan pemudi itu sampai ke pintu depan. Setelah mereka berdua berpamit dan menjura untuk yang terakhir kalinya, Suma Kian Bu memandang kepada mereka dengan sinar mata tajam, lalu berkata, “Cin Liong dan Suma Hui, jalan yang kalian tempuh penuh rintangan, akan tetapi berjalanlah terus, doa restuku bersama kalian dan semoga Thian memberkahi kalian.”

Cin Liong dan Suma Hui balas memandang dan wajah mereka seketika menjadi merah. Mereka menjura lagi dan hampir berbareng keduanya berkata, “Terima kasih....”

Kemudian mereka pergi meninggalkan suami isteri yang dicekam rasa gelisah karena mendengar putera tunggal mereka ditawan Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang telah mereka dengar akan kekejamannya. Setelah kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan jalan, Teng Siang In menoleh kepada suaminya.

“Engkau juga melihat bahwa mereka itu saling mencinta?”
“JeIas sekali!”
“Dan engkau malah mendorong mereka! Mana mungkin hal itu berlangsung? Mereka adalah bibi dan keponakan!”
“Bukan urusan kita, melainkan urusan mereka berdua. Aku hanya percaya kepada cinta kasih, tidak percaya kepada semua peraturan-peraturan yang kaku. Nah, mari kita berangkat, isteriku.”

Suami isteri pendekar ini meninggalkan pesan kepada pelayan wanita yang membantu rumah tangga mereka, meninggalkan uang, juga meninggalkan pesan agar hati-hati menjaga rumah, kemudian mereka pun pergi. Karena mereka tidak tahu ke mana Hek-i Mo-ong melarikan Ceng Liong, dan tidak tahu harus melakukan pengejaran ke jurusan mana, maka mereka mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja karena di tempat ramai inilah pusat segala macam berita tentang dunia kang-ouw.

Karena mereka melakukan pencarian tanpa arah tertentu, maka mereka melakukan perjalanan lambat, melakukan penyelidikan dengan teliti, menanyai orang-orang dan tokoh-tokoh persilatan di sepanjang jalan, walau pun hati mereka gelisah dan ingin sekali mereka cepat-cepat menemukan kembali putera mereka.....

********************
Selanjutnya baca
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES : JILID-05
LihatTutupKomentar