Jodoh Rajawali Jilid 05


Sambil melarikan diri, Kian Lee merasa heran dan menduga-duga siapa adanya kakek yang lihai itu. Ketika terjadi keributan tempo hari, dia tidak melihat kakek itu dan andai kata pada waktu itu terdapat kakek itu di pihak Gubernur Ho-nan, agaknya dia tidak akan dapat lolos dengan selamat, juga Gubernur Ho-pei dan Cui Lan tidak akan dapat lolos demikian mudahnya.
Tentu saja pemuda ini tidak mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh tokoh dunia kang-ouw agaknya juga tidak ada yang mengenalnya, kecuali mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal, jauh di barat, di sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Kakek ini adalah utusan dari negeri Nepal dan selain utusan, juga dia adalah seorang yang berpangkat tinggi di negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain berkedudukan tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat, karena dia masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia memperoleh pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan setelah dia merantau ke Nepal dia dapat meraih kedudukan tinggi berkat kepandaiannya itu.

Ketika mendengar betapa pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu), kemudian berusaha mendekati daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pemerintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya.

Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-jin. Nama ini memang sudah terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Baru sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu.

Tadi Ban-hwa Seng-jin sedang mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dan dia yang berilmu tinggi dapat mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Lalu diaturlah oleh Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri.

Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa.

“Bagaimana dengan Sang Pangeran?” Gubernur Hok bertanya gelisah.

Kian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang ditawannya dan juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran, akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.

“Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat-cepat kembali ke kota raja,” kata gubernur itu, “Kalau benar Pangeran telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan yang khianat itu!”

“Sebaiknya begitu,” kata Kian Lee. “Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur.”

Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Ho-pei di perbatasan. Tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menggempurnya!”

“Lalu bagaimana dengan Nona Phang?” tanya Souw-ciangkun yang bagaimana pun merasa berhutang budi kepada nona itu, karena kalau tak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini.
“Jangan Sam-wi memikirkan saya...,“ kata Cui Lan.

“Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau engkau suka, kau ikut bersamaku, Nona. Engkau... kalau kau... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!” Ucapan ini keluar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata.

Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya.

“Saya... hanya seorang pelayan... bagaimana mungkin menerima penghormatan yang demikian besar? Menjadi puteri... seorang gubernur...?”
“Nona Cui Lan! Cepat kau haturkan terima kasih kepada Gihu-mu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri istana!” kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu.
“Dan lagi, bukankah engkau sendiri yang mengakui saya sebagai paman?” Gubernur itu menggoda.

Dengan air mata berlinang Cui Lan tersenyum, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil berkata, “Gihu...“

“Anakku! Cui Lan, sekarang kau anakku!” Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang.

Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat-cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota raja. Meski pun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula, akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan penyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan.

Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati. Dia maklum bahwa tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ketika Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan pengawal gubernur dipimpin sendiri oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan-hutan dan gunung-gunung sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama dari pada kalau menggunakan perjalanan biasa.

Biar pun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat. Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu kepandaiannya. Dan sekarang dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air!

Maka kini dia dapat melakukan pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biar pun lemah tidak berkepandaian silat, akan tetapi sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu.

Ketika tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur, mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman. “Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan,” usul Gubernur Hok. “Apa lagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung, kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu melelahkan.”

Sebetutnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguh pun dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan dari seorang nelayan sungai mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh.

Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan mereka. Lagi pula, karena perjalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak perlu mendayung, hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang dibelinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung!

Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biar pun perjalanan menjadi memutar, keluar ke arah timur melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu.

Malam itu mereka menginap di sebuah dusun di tepi sungai dan dalam kesempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di perahu mereka. Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika melihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di dekat perahu mereka itu.

Kian Lee yang seperti juga Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan, dengan cepat mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang, melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.

“Ehh, sobat, apakah ini perahumu?” tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee dengan tajam penuh perhatian.

Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk, “Benar, Loya (Tuan Tua).”

“Kamu hendak berlayar ke arah mana?” tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang sibuk mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-nan.

“Kami hendak ke hilir...“
“Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahumu dan kami akan membayar mahal.”
“Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami hanya nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan...“

“Kami tahu! Akan tetapi perahumu ini cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia menolong kami dengan bayaran mahal?”
“Hemmm, Twako, kenapa tidak dorong saja dia ke air?” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal berkata marah.

“Hushhh, jangan menggunakan kekarasan, Ang-kwi. Kita kini bukan di daerah sendiri!” Kakek tua itu menegur Si Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu. “Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga menolak?”

Kian Lee memutar otaknya. Jika dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang ini tiada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan. Kalau mereka melapor, bisa celaka.

“Baiklah jika memang Loya dan Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting,” akhirnya dia berkata dan mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin. Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa khawatir sekali.

Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu.

Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan cara pandang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui Lan, maka sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang-orang lain.

Si Kumis Tebal memang semenjak tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya, “Orang tua, apakah dia ini anakmu?”

Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan.

“Hah, cantik sekali!”
“Dan dia itu mantuku,” kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee.

Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa jika mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang lain, tentu Si Kumis Tebal akan merasa sungkan untuk menggoda. Akan tetapi agaknya gubernur tua ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan dengan segerombolan bajak sungai!

Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang sangat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho karena dia adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia memakai julukan Lo-cia karena biar pun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya!

Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu, “Cuihhh! Mengapa pula setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?” katanya.

Tentu saja Hok-taijin tak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya, merah saking marahnya mendengar penghinaan yang tadi dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee. Tentu Kian Lee juga mendengar ini, akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa.

Melihat betapa Kian Lee tetap saja mengemudikan perahu tanpa memperlihatkan suatu perasaan apa pun pada mukanya, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga merasa kasihan. Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka bolehlah dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar sakti ini.

Cui Lan kemudian menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh di tangan.

“Minumlah...,“ katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu.

Kian Lee tersenyum, menerima cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan, “Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini.”

Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dan dengan langkah gagah ia menghampiri Cui Lan yang masih berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agaknya muka inilah yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lo-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya paling berani.

“Eh, Manis, kami juga minta secangkir teh! Tidak patut kalau pihak tuan rumah minum sendiri sedangkan tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekali pun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!” Teman-temannya tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya itu membuat Si Kumis Tebal makin berani.

“Berapa harga secangkir tehmu, Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga semalam? Ha-ha-ha!”
“Sobat, harap jangan mengganggu dia!” Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan.

“Siapa menggoda siapa?!” Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan cara kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan.

Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.

“Byuuuuurrrrr...!”

Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, namun sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggiran perahu.

“He, kenapa Si Ang-kwi...?” Orang-orang berteriak.
“Keparat, kau berani pukul aku?” teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
“Siapa yang pukul?” Kian Lee bertanya, tersenyum.
“Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri, bilang suamiku yang pukul. Tidak tahu malu!” Cui Lan juga berkata.

Teman-teman Ang-kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan melompat tinggi hendak menghajar Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru, “Jangan ribut! Lihat di depan itu!”

Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu sedang meluncur dari samping menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu bersorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu.

“Ha, itu perahu kita sendiri!”
“Lebih enak dari pada perahu sempit ini!”
“Kita pindah saja!”
“Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!” kata Ang-kwai.

Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, dan atas isyarat Kian Lee cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di depan bilik menjaga!

Setelah tiga buah perahu itu berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermunculan wanita-wanita cantik yang lantas menyambut mereka dengan pedang di tangan!

“Heiii...“
“Celaka...!”
“Kita terjebak!”

“Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!” teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjatakan siang-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, dengan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiam-nya.

Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu bukan lain adalah Kim-hi Niocu, kepala dari Pasukan Air. Tiga buah perahu itu adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggota Hek-eng-pang menjadi korban pembajakan anak buah Huang-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka kini menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pembantunya!

Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu juga memiliki kepandaian lumayan, maka untuk menghadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kian Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dorongan-dorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam air!

Sementara itu pertandingan berlangsung dengan seru. Ternyata bahwa para anggota bajak itu tidak kuat menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang terlempar ke sungai dan mereka yang telah terlempar ini tidak mampu mengganggu perahu-perahu itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan terus menyerang mereka. Kiranya permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tak kalah oleh para anggota bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu adalah anggota-anggota Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik untuk berkelahi di air!

Sekarang hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui keunggulan kakek ini. Biar pun tadi dia dibantu oleh empat orang anggotanya, namun empat orang itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Niocu terus terdesak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.

“Pangcu... harap bantu...!” Akhirnya Kim-hi Niocu menjerit.

Tersingkaplah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik tampak. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing.

“Ehmm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul di sini?” tanya nenek itu sambil memandang dan menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik.

Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih terus dikejar oleh wanita-wanita itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan walau pun belum pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak.

“Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?”

Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk. “Engkau memang lagi berhadapan dengan Yang-liu Nio-nio!” katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.

“Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kang-ouw dan liok-lim?”

“Bajak tua, kau masih belum menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali barulah aku mau mengampuni nyawa tikusmu!”

Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan perbuatan lancang, berani mengganggu anggota Hek-eng-pang yang berarti mengganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan minta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.

“Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!” bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat, mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
“Plak-tak-tak-takkk!” Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu!

Huang-ho Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah tersudut, dia berlaku nekat. Sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring ia menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.

“Trak-trak-desssss...!”

Cepat sekali gerakan ranting yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir bibirnya.

“Hemmm, kami sudah membunuh delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Empat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!” Kaki nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air!

Para anggota Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur ketujuh orang pembantu Huangho Lo-cia, sekarang tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang karena terluka, dengan susah payah berenang ke tepi menyusul anak buahnya.

“Pangcu, di perahu itu terdapat seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,” Kim-hi Niocu berkata sambil jarinya menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang perahu itu.

Tadi Kim-hi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Niocu terkejut dan jeri, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah mengalahkan kepala bajak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.

“Ehhh...?!” Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee.

Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-eng-pang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka ia bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap tenang.

Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanyalah seorang kakek nelayan, seorang nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan kini bersembunyi di dalam bilik perahu, hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang, dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggota bajak dan bahwa mungkin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah.

“Nelayan, apakah ini perahumu?” tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang itu adalah orang-orang biasa saja.
“Benar,” jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut dan minta ampun kepadanya.

“Kami bukan perampok atau pun bajak,” kata si nenek lagi, “Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari kau antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya.”

Kian Lee maklum bahwa biar pun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata, “Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami sudah menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian jangan mengganggu kami.”

Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apa lagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu akan amat merendahkan dirinya.

“Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?”

Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapa pun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng kepala.

Nenek itu mulai penasaran. “Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!” Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya.

“Plak!” Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main.

Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan muda ini telah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada ‘isinya’ juga pemuda ini, pikirnya. Tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanyalah seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.

“Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!”

Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan dia pun cepat mendorongkan tangannya memapaki.

“Desss...! Eihhhhh...!” Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya terjengkang.

Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian. Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda!

Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak, “Bocah, kau sudah bosan hidup!”

Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee. Pemuda itu segera mengelak, maklum bahwa meski pun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh.

Lima kali berturut-turut sinar hijau itu terus menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Mendadak tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya oleh karena dia sekarang benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.

“Desssss...!”

Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.

“Sssss... siapa engkau...?” tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran kenapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.

“Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,” katanya.

Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Niocu segera mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk para anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.

“He-heh-heh, orang muda yang aneh!” Hek-eng-pangcu berkata. “Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!” Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
“Tahan!” Kian Lee terpaksa berseru.

Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai berenang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat juga dan amat membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin.

“Baiklah, aku menyerah.”
“Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!” Nenek yang cerdik itu membentak. Dia memang sudah dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu.

Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja.

Cui Lan dan Hok-taijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapa pun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggota Hek-eng-pang, dipimpin oleh Kim-hi Niocu sendiri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.

“Mari berangkat!” Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya.

Kim-hi Niocu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini!

Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam dan basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya itu. Melihat ini, Kim-hi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu kini berada di perahu lain, maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.

“Jangan kau khawatir, asal engkau tidak membangkang perintah Pangcu, isterimu itu tentu tidak akan diganggu.”
“Isteri? Dia bukan isteriku,” jawab Kian Lee.

Karena Cui Lan tidak terancam seperti ketika para bajak laut tadi hendak kurang ajar, maka dia tidak perlu lagi mengaku sebagai suami dara itu, pikirnya.

“Ahhh...!” Kim-hi Niocu berseru kaget dan girang. Jadi pemuda ini benar-benar masih perjaka, pikirnya kagum.
“Dan kakek itu?”

Kian Lee teringat bahwa dua orang itu, terutama Hok-taijin, harus menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menjawab cepat, “Dia adalah sahabatku, sedang gadis itu puterinya. Kami sedang mencari ikan ketika bajak-bajak itu memaksa kami membawa mereka sampai bertemu dengan kalian.”

“Dan kau begitu gagah dan berkepandaian tinggi...!”

Kian Lee tersenyum mengejek. “Dan tidak berdaya karena kecurangan kalian!”

Kim-hi Niocu tertawa kecil, menutupi mulut dengan gaya genit. “Kami golongan wanita, selain menggunakan ilmu silat juga harus menggunakan akal dan siasat menghadapi kaum pria. Hi-hi-hik. Ehh, pemuda yang lihai, siapakah namamu?”

“Tidak perlu mengenal namaku, kuberitahu pun kau takkan mengenalku.”
“Wah-wah, tanpa nama bagaimana dapat menyebut dan memanggilmu?” Kim-hi Niocu tertawa genit karena dia makin tertarik kepada pemuda yang aneh ini.

“Hemmm, engkau sebut saja aku si Nelayan,” kata Kian Lee yang memang tidak ingin memperkenalkan namanya sembarangan saja.

“Ehh, Nelayan Muda, ya, kusebut kau Nelayan Muda, yang tampan dan gagah!”

Kian Lee merasa jemu dan membuang muka, selanjutnya tidak melayani lagi semua kata-kata Kim-hi Niocu yang jelas amat tertarik kepadanya.

Pelayaran itu makan waktu cukup lama juga, sampai sehari semalam barulah si nenek memerintahkan semua perahu ke pinggir. Selama itu, Kian Lee, Cui Lan dan Hok-taijin tidak mendapat gangguan, dan diajak makan bersama dengan baik, hanya Kian Lee yang selalu diganggu oleh rayuan Kim-hi Niocu yang sama sekali tidak dilayaninya dan karena wanita itu maklum akan kelihaian pemuda itu, maka dia pun sama sekali tidak berani menggunakan paksaan.

Semua orang mendarat dan beberapa orang anggota Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Kim-hi Niocu lalu menodongkan pedang mereka ke punggung Cui Lan dan Hok-taijin. Karena ini maka Kian Lee tidak berdaya sama sekali dan dia pun ikut mendarat, akan tetapi dia tetap bersikap tenang.

Nenek itu sekarang menghadapinya, memandang dengan penuh perhatian, kemudian berkata, “Orang muda, kami merasa kagum sekali padamu dan kami mengundangmu untuk datang berkunjung ke markas kami di puncak Bukit Cemara.” Setelah berkata demikian, nenek itu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk berangkat.

“Tapi, Pangcu...!” Kian Lee membantah.

Kim-hi Niocu mendorong Cui Lan dan Hok-taijin ke depan dan dari jauh dia berkata kepada Kian Lee, “Nelayan Muda, tidak ada yang boleh membantah kehendak Pangcu, apa lagi beliau mengundangmu secara baik-baik sebagai seorang tamu. Jangan sampai kami terpaksa harus menggunakan kekerasan terhadap dua orang kawanmu ini.”

Karena Cui Lan dan Hok-taijin ditodong, maka terpaksa Kian Lee mengangguk dan mengikuti perjalanan mereka. Dia maklum bahwa selama dia tidak membantah, tentu dua orang itu selamat dan karena permintaan mereka itu pun bukan hal yang tidak patut, melainkan mengundangnya datang berkunjung, dia pun tidak keberatan. Pula, dia pun ingin mengenal markas perkumpulan yang semua anggotanya terdiri dari wanita-wanita yang memiliki kepandaian lumayan ini.

Belum jauh mereka berjalan, baru tiba di sekitar kaki bukit, mereka telah disambut oleh serombongan wanita yang dipimpin oleh seorang wanita muda berpakaian serba hitam seperti Kim-hi Niocu, mukanya putih dan manis dan rombongan ini segera memberi hormat kepada Hek-eng-pangcu dengan hormat. Kiranya mereka itu adalah Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li.

Tiba di lereng bukit mereka disambut oleh Pasukan Kayu dan Kian Lee merasa makin kagum. Kiranya perkumpulan Hek-eng-pang itu sungguh pun merupakan perkumpulan kaum wanita, namun mempunyai disiplin yang baik dan semua anggotanya kelihatan gagah dan patuh kepada pimpinan mereka.

Setelah mereka tiba di puncak di mana terdapat markas perkumpulan itu yang berupa sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok seperti benteng dan mereka memasuki pintu gerbang, Kian Lee menjura ke arah nenek itu dan berkata, “Saya kira cukup sampai di sini saja dan harap Pangcu suka membiarkan kami bertiga kembali ke perahu kami.”

Hek-eng-pangcu yang tadi merasakan kelihaian pemuda itu sudah merasa tertarik dan ingin sekali dia mendapatkan seorang pembantu selihai itu, maka mendengar ucapan itu dia menjawab dengan suara dingin. “Kami bermaksud baik, hendak menjamu Sicu sebagai seorang tamu yang terhormat. Bawa mereka ke dalam!” perintahnya kepada Kim-hi Niocu yang segera menggiring Cui Lan dan Hok-taijin ke dalam, tentu saja di bawah todongan pedangnya.

Cui Lan menoleh dan memandang ke arah Kian Lee dengan alis berkerut dan melihat pemuda itu seperti orang marah. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu menjadi marah dan mengamuk, maka cepat menggelengkan kepalanya dan tersenyum menenangkan hati Kian Lee. Kian Lee menarik napas panjang dan diam-diam dia memuji Cui Lan yang dalam segala hal selalu bersikap tenang dan tidak putus harapan, sama sekali tidak kelihatan khawatir.

Setelah dua orang itu ‘disimpan’, nenek itu sendiri kemudian mempersilakan Kian Lee memasuki ruangan luas di sebuah gedung pusat di mana akan diadakan pesta untuk merayakan kemenangan mereka yang berhasil membalas penghinaan yang ditimpakan kepada dua orang anggota mereka. Kian Lee dipersilakan duduk di meja nenek itu sendiri dan tak lama kemudian hidangan-hidangan pun dikeluarkan.

“Saya harap Pangcu tidak melupakan dua orang kawan saya, karena kalau mereka itu sengsara, bagaimana pun saya tidak suka makan minum,” kata Kian Lee.

“Hemmm, Sicu benar-benar seorang gagah perkasa yang tahu akan rasa setia kawan. Sungguh aku merasa kagum sekali. Jangan Sicu khawatir, dua orang kawanmu itu tidak akan mengalami suatu kesengsaraan apa pun dan mereka saat ini juga dijamu seperti Sicu, hanya tempatnya yang berbeda. Mari minum untuk persahabatan kita, Sicu.”

Tiba-tiba seorang anggota Hek-eng-pang datang melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang hendak bertemu dengan pangcu.

“Siapa dia? Liong-li, kau lihat siapa dia dan apa niatnya!”

Liong-li, kepala Pasukan Tanah yang hadir dalam pesta itu bersama keempat orang kepala pasukan lainnya, cepat bangkit dan berjalan cepat keluar bersama anggota yang melaporkan itu dan tak lama kemudian dengan wajah berubah lalu mendekati nenek itu dan berbisik, “Pangcu, dia... dia itu yang datang... Si Jari Maut.“

“Ahhh...? Persilakan dia masuk!” katanya dengan wajah berubah.

Dia dahulu telah mendengar laporan Kim-hi Niocu dan Liong-li tentang seorang pemuda lihai bukan main yang memesan kepada wanita itu agar mengatakan kepada ketuanya bahwa dia akan datang berkunjung dan kalau si ketua bertanya disuruh mengatakan bahwa dia adalah seorang yang biasa membunuh dengan jari tangan! Hek-eng-pangcu sudah mendengar bahwa orang muda selihai itu yang biasa membunuh dengan jari tangan tentulah Si Jari Maut yang beberapa tahun yang lalu namanya menggetarkan dunia kang-ouw. Kini ternyata pemuda itu benar-benar muncul! Padahal tadinya, diam-diam di dalam hatinya timbul dugaan bahwa pemuda nelayan itulah Si Jari Maut karena menurut berita, Si Jari Maut itu yang memiliki kesaktian hebat adalah seorang pemuda yang tampan. Sekarang kiranya bukan pemuda yang duduk di depannya ini.

“Aku sudah di sini, Pangcu!” Tiba-tiba terdengar suara tenang, dingin dan tegas.

Kian Lee terkejut bukan main ketika dia menoleh dan melihat bahwa orang yang masuk itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

“Saudara Ang..., kau di sini...?”

Tentu saja Kian Lee menegur dengan perasaan ragu-ragu dan heran karena sepanjang pengetahuannya, Ang Tek Hoat telah menjadi panglima di Bhutan, juga bahkan telah menjadi calon suami Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tempat ini dan mengaku lagi julukannya yang telah lama ditinggalkannya itu, julukan ketika Si Jari Maut ini masih menggunakan nama Gak Bun Beng, suheng-nya, ketika pemuda ini memburuk-burukkan nama Gak Bun Beng dengan segala macam kejahatan karena menganggap Gak Bun Beng seorang musuh besarnya? Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali diceritakan dengan jelas tentang peristiwa itu.

Pemuda itu memang Ang Tek Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia pernah bertemu dengan Kim-hi Nio-cu dan Liong-li ketika ia menolong dua orang putera Jenderal Kao Liang yang terancam keselamatannya oleh dua orang dari Huang-ho Kui-liong-pang, kemudian dia mengatakan kepada dua orang kepala pasukan Hek-eng-pang itu bahwa dia akan mengunjungi ketua mereka. Ketika dia memandang kepada pemuda yang menyebutnya pada she-nya itu segera dia mengenal putera Pulau Es itu, putera Majikan Pulau Es!

Bahkan dia pun tahu bahwa Suma Kian Lee ini terhitung masih paman tirinya sendiri. Suma Kian Lee adalah putera dari neneknya, Lulu dan Suma Han si Pendekar Super Sakti, sedangkan mendiang ayahnya yang amat jahat itu, Wan Keng In, adalah putera Lulu bersama seorang she Wan. Akan tetapi, mengingat akan pesan ibunya yang kini telah tewas dengan cara yang menyedihkan sekali, walau pun dahulu dia tidak setuju dengan pesan ibunya, yaitu bahwa dia harus membalas dendam kepada keluarga Pulau Es, kini melihat Suma Kian Lee dia teringat akan ibunya dan hatinya menjadi dingin terhadap keluarga yang dibenci oleh ibunya itu. Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh dia mengangguk kepada Kian Lee.

Tentu saja Kian Lee menjadi heran menyaksikan sikap Tek Hoat ini. Bukankah pemuda yang tadinya tersesat itu kabarnya telah menjadi baik kembali? Bukankah pemuda itu sudah maklum bahwa dia masih terhitung pamannya sendiri? Akan tetapi jelas bahwa sikap Tek Hoat seperti sikap seorang musuh! Ada apa pula ini?

“Aihhh... Ji-wi (Anda Berdua) sudah saling mengenal?” Hek-eng-pangcu terkejut dan heran, memandang kepada Kian Lee dengan kagum. Kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, bukan seorang nelayan biasa melainkan seorang sahabat dari Si Jari Maut yang amat tersohor itu!

Tek Hoat tersenyum mengejek dan sambil memandang kepada Suma Kian Lee, dia berkata, “Siapa yang tidak mengenal Suma Kian Lee, saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka yang kalian cari-cari itu?”

Mendengar ini, nenek itu dan semua anak buahnya berteriak kaget dan otomatis segera mereka bergerak mengepung Kian Lee.

“Hemmm, bagus! Kiranya engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang mencuri harta keluarga Jenderal Kao? Kiranya engkau memang sengaja hendak menyelidiki dan memata-matai kami? Hayo katakan di mana harta itu. Kalau kau tidak mengaku, jangan harap akan dapat lolos dari tempat ini!” Yang-liu Nio-nio mengangkat tangannya dan salah seorang anak buahnya melemparkan sebatang ranting pohon yang-liu yang segar kepadanya.

Kian Lee memandang kepada Tek Hoat yang kini tersenyum-senyum dan duduk di atas sebuah kursi sambil minum arak dan bersikap sebagai orang yang sedang menonton dan menikmati pertunjukan yang menyenangkan hati. Bermacam perasaan mengaduk hati Kian Lee.

Pertama, dia ingat akan Cui Lan dan Hok-taijin yang masih terancam keselamatannya. Kedua, dia merasa heran mendengar adiknya, Suma Kian Bu, merampok harta benda Jenderal Kao. Mungkinkah ini? Akan tetapi kalau tidak, mengapa Jenderal Kao dan dua orang puteranya menyerang dia? Benarkah Kian Bu kini telah tersesat dan menjadi seorang perampok? Ketiga, dia merasa gembira juga mendengar tentang Suma-kongcu yang tentu saja Kian Bu adanya, kalau tidak siapa lagi? Berita itu menandakan bahwa Kian Bu masih hidup dan berada di sekitar daerah ini. Keempat, dia juga heran dan tidak mengerti melihat sikap Tek Hoat.

“Apakah artinya ini? Aku tidak tahu sama sekali tentang harta pusaka Jenderal Kao!” teriaknya penasaran melihat dirinya dikepung oleh para anak buah Hek-eng-pang.

“Tidak perlu menyangkal lagi, orang muda. Engkau adalah saudara dari Suma-kongcu yang merampas harta pusaka Jenderal Kao, tetapi engkau menyamar sebagai seorang nelayan miskin. Hal ini saja sudah bisa membuktikan bahwa engkau sedang melakukan penyelidikan. Sekarang lekas mengaku, di mana saudaramu itu menyembunyikan harta pusaka itu, kalau tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan.”

Kian Lee menjadi marah. Apa pun yang dilakukan andai kata benar adiknya merampas harta pusaka keluarga Jenderal Kao, tentu telah diperhitungkan oleh adiknya itu dan tentu ada alasannya yang kuat. “Pangcu, kau hendak menggunakan kekerasan bagai mana? Silakan!”

Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan ranting pohon yang-liu di tangan kirinya itu dan terdengarlah teriakan nyaring dari mulut lima orang wanita cantik, yaitu Kim-hi Niocu, Liong-li dan tiga orang kepala pasukan yang semua telah berkumpul di situ. Lima orang wanita cantik ini maju mengepung diiringi pasukan masing-masing yang terdiri dari dua belas orang sehingga ketika itu ada enam puluh orang wanita mengepung Kian Lee dari lima penjuru, semuanya memegang senjata!

“Hemmm, kalian sungguh nekad dan gila!” Kian Lee membentak. “Aku sungguh tidak tahu-menahu tentang harta pusaka yang kalian maksudkan itu, akan tetapi kalau kalian memaksa dan hendak bertanding, majulah!”

Kembali kelima orang wanita cantik itu kini bergerak secara teratur sekali, membentuk lingkaran dan bergerak-geraklah lingkaran yang berlapis dua itu, yang sebelah dalam bergerak dari kanan ke kiri sedangkan yang sebelah luar bergerak sebaliknya dari kiri ke kanan. Senjata mereka berbeda, yang depan menggunakan golok dan pedang akan tetapi barisan lingkaran kedua menggunakan tombak dan senjata bergagang panjang.

Yang-liu Nio-nio dan lima orang muridnya itu hanya berdiri di luar lingkaran, menonton dan mengatur barisan. Ketika Kian Lee melirik, ia melihat Tek Hoat masih duduk minum arak sambil tersenyum-senyum sehingga hatinya merasa mendongkol bukan main.

“Seranggggg...!” Terdengar teriakan nenek itu.

Lingkaran dalam itu segera menghentikan gerakannya memutari tubuh Kian Lee dan berkelebatanlah pedang dan golok, menimbulkan sinar menyilaukan mata menyambar ke arah Kian Lee dari semua jurusan! Pemuda ini tentu saja tidak dapat mengelak ke kanan atau kiri atau belakang karena senjata-senjata itu datang dari semua jurusan. Namun dia menggunakan keringanan tubuhnya dan tiba-tiba tiga puluh orang wanita dari barisan lingkaran pertama itu terkejut karena pemuda itu telah lenyap dari tengah-tengah mereka. Kiranya Kian Lee telah mencelat ke atas.

Nenek ketua Hek-eng-pang yang memimpin langsung penyerbuan itu berteriak lagi dan kini lingkaran pertama mundur dan lingkaran kedua yang maju, menggunakan tombak mereka untuk menyambut tubuh Kian Lee yang melayang turun!

Pemuda ini terpaksa menggerakkan kedua tangannya, didorongkan ke sekelilingnya dan lingkaran pemegang tombak dan senjata panjang itu menjadi kalang kabut karena mereka terhuyung-huyung sebelum senjata mereka sempat menyentuh tubuh pemuda itu sehingga Kian Lee dapat turun ke atas lantai dengan selamat, akan tetapi kini dua barisan lingkaran itu telah mengepungnya lagi.

Wajah pemuda itu menjadi merah dan sinar matanya mulai bercahaya. Seperti juga adiknya, Suma Kian Lee memiliki sepasang mata seperti mata ayahnya, Pendekar Super Sakti, yaitu tajam sekali sinarnya. Hanya bedanya, kalau sinar mata Pendekar Super Sakti mengandung keanehan yang mukjijat, daya sihir yang kuat dan berwibawa, mata dua orang puteranya itu hanya tajam saja, hanya membayangkan kewajaran dan keberanian yang luar biasa.

“Kalian memaksa hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” Kata-katanya ini disusul dengan gerakan tubuhnya.

Kedua tangannya mendorong ke sana-sini dan terdengarlah teriakan-teriakan dan jerit-jerit para wanita yang mengepung itu karena enam puluh orang wanita itu seperti daun-daun kering diamuk badai, terpelanting ke sana-sini, terhuyung dan ada yang langsung terjengkang roboh. Senjata mereka terpental dan mencelat ke mana-mana sehingga menimbulkan suara gaduh ketika terbanting ke atas lantai.

Dalam waktu singkat saja Kian Lee telah membuat enam puluh orang anggota Hek-eng-pang itu mundur ketakutan, barisan mereka telah rusak dan biar pun tidak ada di antara mereka yang tewas, namun semuanya telah dibikin takut dan kaget oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan pemuda itu, hawa pukulan rasa panas yang luar biasa dan menakutkan. Memang tadi untuk membuyarkan lingkaran yang dengan ketat mengurungnya, Kian Lee sudah menggunakan tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang yang panas.

Tentu saja kelima orang kepala pasukan itu menjadi kaget setengah mati menyaksikan betapa enam puluh orang anak buah mereka dibikin kocar-kacir semudah itu oleh Kian Lee. Mereka tahu bahwa pemuda itu memang hebat, akan tetapi ketika guru mereka memberi isyarat, mereka berlima menemani guru mereka mengurung Kian Lee.

Sekarang pemuda itu dikurung oleh enam orang, yaitu Nenek Yang-liu Nio-nio ketua Hek-eng-pang dan lima orang muridnya yang masing-masing menjadi kepala pasukan di perkumpulan itu. Jumlah murid langsung dari nenek ini hanya ada belasan orang saja dan yang lima ini merupakan murid-murid utama, maka tentu saja mereka berlima telah memiliki kepandaian yang lumayan. Kalau kelima orang muridnya itu masing-masing memegang senjata tajam seperti siang-kiam, golok, pedang dan lain-lain, adalah Si nenek itu sendiri hanya membawa sebatang ranting yang-liu tadi karena memang itulah senjatanya yang paling ampuh, di samping pukulan atau cengkeraman tangannya yang terkenal yaitu Hek-eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda Hitam yang mengandung racun berbahaya.

“Bentuk barisan mengepung! Jaga dua orang itu agar jangan lolos!” Tiba-tiba nenek itu berseru kepada semua anak buahnya yang kocar-kocir tadi.

Biar pun takut-takut, enam puluh orang itu sudah berkumpul dan membentuk lingkaran lebar mengurung ruangan itu. Beberapa orang murid ketua itu sendiri yang memimpin penjagaan terhadap Cui Lan dan Hok-taijin agar supaya tidak kabur dan menodongkan senjata mereka kepada dua orang tawanan ini.

“Hek-eng-pangcu, engkau sungguh keterlaluan!” Tiba-tiba Kian Lee membentak dan tubuhnya sudah bergerak menyerang ke depan.

Yang-liu Nio-nio lalu menggerakkan rantingnya dan kelima orang muridnya juga sudah menubruk dengan serangan dalam berbagai gaya. Kian Lee menggerakkan tubuhnya, mengelak, menangkis kemudian balas menyerang dengan hebatnya sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru dan ramai…..

Kalau saja Kian Lee bermaksud membunuh mereka berenam, tentu saja dia tidak akan membutuhkan terlalu banyak waktu. Namun pemuda ini tidak suka membunuh, maka ia hanya mempertahankan diri, kemudian kalau dia membalas, itu pun dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai membunuh orang.

Kian Lee adalah seorang pemuda yang selalu berhati-hati dan sikapnya bijaksana. Dalam keadaan marah sekali pun dia tetap tenang dan waspada, tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan ia masih sadar bahwa para murid Yang-liu Nionio ini hanyalah mentaati perintah guru mereka, maka dia pun bersikap lunak terhadap mereka. Yang diincarnya adalah Yang-liu Nionio, maka ketika dia memperoleh kesempatan baik, saat nenek itu menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis, membiarkan ranting itu melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu menangkis cengkeraman tangan nenek itu yang ditujukan ke arah lambungnya.

“Plakkk! Aughhhhh...!”

Nenek itu melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, mengaduh-aduh karena biar pun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai masuk ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.

“Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?” katanya.

Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu, kemudian menghadapi nenek itu. “Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan.” 

“Apa imbalannya? Katakan!” Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.
“Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang “
“Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?” Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali.

Siapa yang tidak mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti benteng istana itu?

“Aku hendak membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?” Tek Hoat bertanya, sambil tetap tersenyum.

Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Niocu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu Nionio.

“Pangcu... aduhhhh... kami tidak kuat menghadapinya,“ Kim-hi Niocu mengeluh sambil mengelus pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.
“Baiklah, kami menerima syaratmu, orang muda. Nah, kau robohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!” Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.

“Mundurlah kalian semua!” Tiba-tiba Tek Hoat membentak dengan suara mengandung getaran khikang kuat sehingga biar pun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang pemuda yang belum mereka kenal, akan tetapi bentakan Tek Hoat itu membuat mereka semua mundur, apa lagi karena memang mereka telah merasa jeri sekali terhadap Kian Lee.

Dua orang pemuda itu sekarang berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya, dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.

Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nionio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara dari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.

“Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!” Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka.

Cui Lan memandang dengan penuh perhatian. Wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.

“Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu.”

“Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!” Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapa pun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!

Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. “Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku.”

“Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!” Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.

“Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!” Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.
“Plak-plak-plak-plakkkkk!”

Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali pula ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini, maka tadi serangannya sudah dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk kedua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mukjijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!

Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan sekarang dia telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan hanya sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!

Menyaksikan keganasan sepak terjang Ang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, hanya kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, tetapi serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang, apa lagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.

Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biar pun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni tapi bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu.

Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan, sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat. Baginya kali ini bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya.

Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggota Hek-eng-pang yang berdiri jauh, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sinkang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.

Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab kedua orang datuk Pulau Neraka. Mendadak dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggota Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat. Mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah lengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.

Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas yang agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, lalu melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.

“Hyaaattttt...!”

Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya, melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini sangat cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.

“Haaaiiiiittttt...!” Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.
“Desssss...!”

Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia masih mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia dapat mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.

Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia pun merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!

Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan mata nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.

“Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas.

Melihat serangan ini, Kian Lee cepat-cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum dan yakin bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu, akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya.

Suma Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggota Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.

“Plakkk! Desssss...!”

Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.

Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang, lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.

“Kongcu...!” Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nionio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.

“Engkau... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun di dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau...” Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, “Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!”

“Diam, bocah lancang mulut!” Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras.
“Plakkk!” Pipi kiri Cui Lan kena ditampar.

Kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang, akan tetapi bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, “Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat, tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!”

“Bangsat, tutup mulutmu!” Anggota Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.
“Krekkk... aduuuhhhhh...!”

Anggota Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!

“Hemmm, apa artinya ini?” Yang-liu Nionio menegur dengan alis berkerut, memandang pada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. “Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!”

“Siapa yang memaki? Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku.” Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.

Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Niocu. “Kau bawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari.” Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu.

Hek-eng-pangcu kemudian mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah ketiga orang kepala pasukan lainnya, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.

Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan sudah menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Lu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi?

Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah dapat sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang.

Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta ‘bantuan’ mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya.

Akan tetapi sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biar pun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka…..

********************
Seluruh perkampungan Liong-sim-pang dihias dengan meriah, mulai dari pintu gerbang tembok yang seperti benteng itu, sampai menara yang berdiri di luar tembok sebagai tempat jaga, juga sampai di sepanjang saluran air yang mengelilingi tembok benteng. Suasana perkampungan Liong-sim-pang yang seperti benteng dan biasanya muram dan menyeramkan itu kini nampak meriah, tanda bahwa orang-orang yang menjadi penghuni sedang bersenang-senang dan bersuka-ria. Dan memang hari itu merupakan hari gembira, untuk menyambut para tamu karena malam itu merupakan malam ‘midodareni’, yaitu menyambut hari pernikahan sang ketua Liong-sim-pang yang akan dilangsungkan besok pagi.

Sejak pagi hari dari tadi para tamu sudah membanjiri tempat itu dan mereka itu harus melalui satu-satunya jembatan yang menuju ke pintu gerbang tembok benteng karena jalan lain tidak ada lagi untuk memasuki benteng perkampungan Liong-sim-pang yang dikelilingi saluran air lebar itu. Para penjaga dengan ketat melakukan penjagaan dan pengawasan di pintu gerbang sehingga tidak ada orang luar dapat menyelundup masuk dan para tamu itu membawa undangan sebagai tanda pengenal.

Menjelang senja rombongan pemain opera yang memang dipesan oleh Liong-sim-pang menyeberang jembatan itu menuju ke pintu gerbang. Mereka terdiri dari tujuh orang wanita dan belasan orang pria, sebagian pemain dan ada pula yang sebagai penabuh musik. Para penjaga yang memeriksa semua orang yang masuk memperhatikan para pemain opera ini dengan sikap ceriwis, cengar-cengir dan tersenyum-senyum penuh aksi karena tujuh orang wanita anggota rombohgan itu memang cantik-cantik. Terutama sekali seorang di antara mereka, yang termuda dan memakai pakaian berwarna ungu, bukan main cantiknya!

Cantik jelita dan manis sekali, dengan gayanya yang manja dan memikat, lenggangnya yang berliak-liuk seperti lemasnya batang pohon yang-liu sedang tertiup angin. Kedua lengannya yang agak melengkung seperti gendewa itu bergerak seperti orang menari kalau dia melenggang, dan senyumnya yang manis membuat semua penjaga mabuk kepayang itu tak pernah meninggalkan belahan bibir yang membuat orang ingin menjadi buah anggur agar dikecup oleh bibir itu!

Gerak-gerik dara muda yang jelita ini membuat para penjaga ingin sekali mencubitnya, memeluknya, pendeknya saking tertariknya membuat mereka menjadi gemas, seperti kalau kita melihat seorang anak kecil yang genit dan montok bersih. Saking tidak dapat menahan gairahnya melihat gerak-gerik dara jelita ini, seorang di antara para penjaga itu sambil berpura-pura memeriksa bawaan mereka, menggerakkan tangannya ingin meraba pinggul yang penuh itu. Akan tetapi... tangannya hanya meraba angin karena secara cepat sekali gadis itu menggerakkan pinggulnya mengelak. Si penjaga menjadi makin penasaran, kini terang-terangan dia mengulur tangannya meraba ke arah dada. Kembali gadis itu miringkan tubuh dan rabaan itu pun mengenai tempat kosong. Melihat ini, teman-temannya mentertawakan.

“Ha-ha, si A-kiong menangkap katak akan tetapi luput!”

A-kiong makin penasaran dan dia hendak merangkul.

“Jangan kurang ajar kalian!” Tiba-tiba gadis itu membentak, suaranya halus akan tetapi nyaring dan mulutnya masih tersenyum, akan tetapi anehnya, semua penjaga termasuk komandannya menjadi gemetar ketakutan seakah-olah mereka itu dimarahi seorang jenderal! Dengan muka pucat ketakutan komandan itu lalu memberi isyarat agar rombongan penari dan pemain opera itu cepat-cepat masuk.

Setelah rombongan itu masuk, si komandan dan anak buahnya saling pandang dengan heran dan bengong. Tidak mengerti mengapa mereka tadi begitu ketakutan mendengar bentakan si dara jelita tadi, yang memiliki wibawa luar biasa sekali dan bentakan tadi mengguncangkan jantung mereka menimbulkan rasa takut yang hebat.

“Ihhhh... seperti siluman saja...!” seorang akhirnya berkata dan mendengar ini, semua orang bergidik. Memang mereka semua pernah mendengar bahwa siluman selalu mengubah diri menjadi seorang dara cantik sekali untuk memikat pria yang kemudian akan dlhisap darahnya sampai habis!
“Hihhh... jangan-jangan benar siluman...“

Pada saat mereka dicekam perasaan yang menyeramkan karena memang hari telah mulai menjadi gelap. Untunglah datang serombongan wanita lain yang membuyarkan keseraman itu. Rombongan wanita ini dipimpin oieh seorang wanita yang cantik, dan anggota rombongan yang jumlahnya dua puluh empat orang itu pun terdiri dari wanita-wanita yang cantik. Pimpinan rombongan itu, yang usianya sekitar tiga puluh tahun memperlihatkan sehelai surat undangan dan sesampul surat yang ditujukan kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun.

“Kami adalah utusan dari sahabat Tang-kongcu, yaitu Si Jari Maut,” berkata pemimpin rombongan itu.

Melihat kartu undangan itu, para penjaga tentu saja menaruh kepercayaan, apa lagi mendengar nama orang yang mengutus mereka, Si Jari Maut, cepat-cepat mereka mempersilakan semua wanita itu masuk tanpa ada yang berani bersikap kurang ajar. Rombongan ini bukan lain adalah para anggota Hek-eng-pang yang menyamar, dipimpin oleh Liong-li, kepala Pasukan Tanah dan membawa surat Ang Tek Hoat untuk Hwai-kongcu.

Setelah rombongan pemain opera diterima sendiri oleh Hwa-i-kongcu dan diantar oleh para pelayan untuk berhias dan bersiap-siap untuk mulai pertunjukan mereka malam nanti, kini rombongan wanita itu pun diterima oleh Hwa-i-kongcu sendiri. Liong-li yang sudah berhias sebagai seorang pelayan yang cantik, berlutut dan menghaturkan selamat, serta menyerahkan surat dari Ang Tek Hoat.

“Aihhh, dari Si Jari Maut?” Hwa-i-kongcu berseru bangga. “Mengapa beliau tidak muncul sendiri?”

Sudah lama dia mendengar nama Si Jari Maut dan mengaguminya, tetapi belum pernah bertemu dengan orangnya. Surat itu segera dibukanya dan dengan wajah berseri dia membaca bahwa Si Jari Maut menghaturkan selamat atas pernikahannya, dan minta maaf bahwa berhalangan hadir, akan tetapi mengirim dua puluh lima orang wanita untuk membantu pelayanan dalam pesta itu.

“Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut sungguh mengagumkan sekali, dapat mengumpulkan begini banyak wanita cantik dan begitu memperhatikan keperluan kami sehingga mengirim bantuan pelayan!” Dia kemudian memanggil kepala pelayan dan memerintahkan kepala pelayan untuk menerima dua puluh lima orang wanita itu dan agar diberi tugas dalam pelayanan malam nanti dan besok pagi.

Malam pun tibalah. Para tamu sudah berkumpul di sebuah ruangan yang luas sekali, ruangan yang menyambung pada taman indah di mana juga penuh dengan kursi-kursi untuk para tamu. Suara musik sudah semenjak sore tadi dibunyikan oleh rombongan pemain opera, sungguh pun opera itu sendiri belum dimulai.

Para pelayan yang sebenarnya adalah anggota-anggota Hek-eng-pang yang menyamar itu mulai pula dengan tugas yang sesungguhnya. Di antara mereka memang ada yang membantu para pelayan Liong-sim-pang melayani para tamu mempersiapkan minuman, hidangan dan lain-lain. Akan tetapi sebagian pula di antara mereka mulailah meryelidiki dan mencari-cari di mana adanya Puteri Bhutan seperti yang diceritakan oleh Tek Hoat, puteri yang akan menjadi pengantin besok pagi dan yang harus mereka culik itu.

Dua puluh empat orang ini adalah dari Pasukan Tanah dan Pasukan Kayu, sedangkan Pasukan Api bertugas mempersiapkan ‘jalan keluar’ untuk teman-temannya itu apa bila mereka telah berhasil menculik sang puteri. Tek Hoat sendiri yang masih menderita luka bekas gempuran tenaga melawan Suma Kian Lee, menanti di luar tembok dan sudah mempersiapkan kuda untuk melarikan puteri itu. Dia maklum bahwa dalam keadaan terluka, amat berbahaya kalau dia sendiri masuk ke dalam. Selain dia tentu akan dikenal, juga tidaklah mungkin untuk melawan banyak orang pandai dalam keadaan terluka, maka dia mengandalkan kecerdikan para temannya, yaitu wanita-wanita dari Hek-eng-pang itu.

Sementara itu, Syanti Dewi yang selalu mengharapkan pertolongan dari Siang In, masih berada dalam kamarnya dan dia tidak membantah ketika para pelayan menghias dan merias dirinya di dalam kamarnya. Diam-diam dia masih mengharapkan kemunculan gadis luar biasa yang telah berhasil meloloskan dirinya dari istana ayahnya itu. Dia akan menanti sampai saat terakhir, yaitu sampai besok malam. Kalau sampai besok malam Siang In atau siapa saja tidak datang menolongnya, kalau sampai tiba saatnya dia menyerahkan diri kepada Hwa-i-kongcu, pemuda tampan pesolek yang mengerikan hatinya itu, maka dia akan membunuh diri!

Ketika dia mendengar dari para pelayan yang merias bahwa malam itu di dalam pesta akan diadakan pertunjukan tari-tarian dan permainan opera, dan bahwa sang bintang panggung amat cantik jelita dan jenaka, hati Syanti Dewi tertarik sekali. Dia menduga bahwa tentu Siang In gadis yang cerdik itu menyamar sebagai pemain opera, maka dia lalu minta kepada seorang di antara para pelayan untuk memanggil bintang opera itu karena dia ingin bertemu dan bicara tentang tarian.

Permintaan ini disampaikan oleh si pelayan kepada Hwa-i-kongcu dan tentu saja calon suami yang merasa beruntung akan memperisteri seorang puteri raja lalu mengijinkan permintaan itu. Apa lagi karena pelayan yang melayani calon isterinya itu merupakan pelayan-pelayan kepercayaannya, ya pelayan ya selir, maka dia tidak menjadi curiga dan lalu diperintahkan kepada seorang pengawalnya untuk menyampaikan permintaan calon mempelai puteri itu kepada pimpinan rombongan opera. Pimpinan opera lalu berbisik kepada bintang panggung, si dara cantik jelita tadi. Sambil tersenyum gembira bintang panggung ini lalu mengikuti si pelayan meninggalkan kamar rias itu.

Liong-li dan kawan-kawannya mencari-cari namun belum berhasil menemukan di mana adanya kamar sang puteri. Tetapi tiba-tiba Liong-li melihat seorang pelayan bersama seorang dara cantik jelita berjalan lewat. Diam-diam dia lalu mengikuti mereka dari jauh. Karena dia pun berpakaian pelayan, maka para pengawal yang berjaga-jaga di seluruh tempat itu tidak ada yang menaruh curiga kepadanya.

Dara cantik yang diiringkan oleh pelayan itu lincah dan jenaka sekali, di sepanjang jalan bicara dan memuji-muji keindahan rumah gedung seperti istana milik Hwa-i-kongcu yang kaya raya itu. Liong-li terus membayangi mereka dari jauh, melewati gang-gang, kamar-kamar, ruangan-ruangan terbuka, pendapa-pendapa dan taman-taman. Kiranya sang puteri itu berada di tempat yang demikian tersembunyi!

Akhirnya tibalah mereka di sebuah bangunan kecil yang mungil dan langsung masuk ke dalamnya. Bintang panggung itu lalu diajak masuk ke dalam kamar. Kini mereka berdiri saling pandang, si bintang panggung dan Syanti Dewi. Syanti Dewi kecewa bukan main. Memang bintang panggung itu cantik jelita, dan bentuk tubuhnya seperti bentuk tubuh Siang In yang ramping, tetapi mukanya bukanlah Sian In! Akan tetapi bintang panggung itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Saya menghaturkan selamat kepada mempelai puteri, semoga hidup bahagia dan dikarunia banyak putera dan berumur panjang!”

Mendengar suara ini, Syanti Dewi terkejut bukan main. ltulah suara Siang In! Dia dapat menenangkan hatinya dan berkata, “Terima kasih.” Lalu puteri itu menoleh kepada para pelayannya yang jumlahnya lima orang itu, berkata, “Harap kalian keluar dari kamar ini dulu, aku ingin bicara seenaknya dengan seniwati ini. Kalian tunggu saja panggilanku dan menanti di luar.”

Para pelayan itu saling pandang, tersenyum dan segera mengundurkan diri. Mereka mendapat pesan yang amat keras dari majikan mereka agar sebaiknya melayani sang puteri dan agar memenuhi semua permintaannya. Tentu saja permintaan untuk hanya berduaan dengan bintang panggung yang cantik itu tidak menimbulkan kecurigaan hati mereka dan mereka pun mundur dan keluar dari dalam kamar itu.

Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua, Syanti Dewi memandang tajam wajah cantik itu dan bertanya, “Siapakah engkau?”

Bintang panggung itu tersenyum lebar. “Enci, apakah engkau lupa akan suaraku?”

“Ah, Siang In...!” Syanti Dewi lalu maju merangkul dan mereka berangkulan sejenak, dua titik air turun dari mata Syanti Dewi yang merasa girang bukan main itu, “Kukira engkau takkan muncul lagi, adikku... hampir lenyap harapanku...“

“Jangan khawatir, Enci. Aku pasti akan berusaha segera menolongmu keluar dari sini sedapatku. Akan tetapi, banyak orang pandai di sini, kita harus berhati-hati dan Enci bersikap yang wajar saja. Aku melihat keanehan di sini. Pelayan-pelayan bantuan itu demikian banyaknya, katanya mereka itu adalah utusan dari Si Jari Maut.“

“Ahhhhh...!” Muka Syanti Dewi menjadi pucat mendengar nama julukan ini. “Dia...?”

Siang In mengangguk. “Namun aku masih curiga. Sikap mereka mencurigakan sekali. Tetapi mungkin mereka ini akan dapat membantu kita, memudahkan aku membawamu keluar dari sini, Enci Syanti Dewi. Kau tinggallah di sini, bersikaplah tenang dan wajar dan percayalah kepadaku.”

Syanti Dewi merangkul dan mencium pipi dara itu, lalu menatap wajah itu dengan penuh keheranan. “Bagaimana mukamu bisa begini berubah sama sekali?”

Siang In tersenyum, meraba dengan kedua tangannya ke bawah dagu, kemudian sekali dia menarik, mukanya berubah menjadi muka Siang In sendiri! Kiranya mukanya ditutup oleh sehelai ‘kedok’ yang amat tipis, setipis kulit manusia, akan tetapi kedok itu sama sekali mengubah mukanya dengan kecantikan yang sama sekali berbeda! Mulutnya menjadi lebar, hidungnya lebih mancung, pipinya lebih montok dan dahinya lebih lebar, matanya agak sipit. Tentu saja Syanti Dewi sendiri tidak mengenalnya.

“Aku harus menyamar sebaiknya, dan kalau tidak, mana mungkin aku bisa mengelabuhi mata Hwa-i-kongcu yang berminyak itu?”
“Berminyak? Apa ada mata berminyak?” Syanti Dewi terheran karena dia sendiri belum pernah memandang mata calon suaminya secara teliti!
“Hi-hi-hik, berminyak dan berkeranjang! Mata minyak dan mata keranjang, hidungnya belang! Hi-hik!”

Syanti Dewi tertawa geli dan terkejutlah dia betapa dalam sedetik saja dia sudah bisa tertawa! Berdekatan dengan gadis ini memang membuat orang tidak dapat tidak menjadi gembira. Dia sendiri seketika melupakan kenyataan bahwa sesungguhnya dia masih menjadi tawanan, seperti seekor burung masih berada di dalam sangkar tertutup. Hatinya masih geli ketika dia melihat Siang In mengenakan kembali kedoknya yang luar biasa itu dan makin gelisah dia teringat betapa Siang In juga mempunyai kedok yang kalau dipasang tentu akan membuat para pelayannya menjerit-jerit!

“Eh, In-moi, bagaimana kalau kau meminjamkan kedokmu yang polos itu kepadaku dan mengajari aku bagaimana untuk memakainya?”
“Wah, Enci Syanti. Engkau ini aneh-aneh saja. Untuk apa kedok setan itu untukmu?”
“Kalau tidak ada jalan lain, di waktu si hidung belang itu datang kepadaku, aku akan memakai kedok polos itu, hendak kulihat apakah...“ Syanti Dewi tidak dapat menahan ketawanya.

“Apakah hidungnya masih belang atau tidak? Hi-hik, Enci. Tentu akan lucu sekali dan ingin memang aku melihat bagaimana dia akan lari tunggang-langgang melihat isterinya bermuka polos seperti itu, hi-hi-hik. Akan tetapi berbahaya sekali, Enci. Sudahlah, aku harus kembali ke tempat pertunjukan, dan akan kuatur nanti bagaimana baiknya untuk menolongmu sambil melihat perkembangan. Selamat berpisah untuk sebentar, Enci.”

Syanti Dewi merangkul dan mencium kedua pipinya yang sudah tertutup kedok, namun masih halus dan menarik kemerahan itu. “Nyawaku berada di tanganmu, adikku,” bisik Syanti Dewi.

Siang In tersenyum dan melangkah mundur. “Hi-hi-hik, apa kau kira aku ini Giam-lo-ong (Raja Akherat)? Sampai nanti, Enci...“ Dan pergilah dia keluar dari kamar.

Para pelayan yang berada di luar dan tadi hanya mendengar betapa calon majikan mereka itu tertawa-tawa dengan sripanggung itu, cepat masuk kembali dan mereka melihat wajah yang tadinya agak pucat itu kini berseri dan yang mengherankan hati mereka, kalau selama ini jarang sekali sang puteri ini mau makan, kini Syanti Dewi menyambut kedatangan mereka dengan kata-kata yang menggirangkan mereka.

“Cepat ambilkan nasi dan masakan yang paling enak. Bukankah malam ini ada pesta? Aku pun ingin pesta sendiri!”

Sementara itu, pada saat itu para tamu mulai dengan pesta. Hidangan makanan kecil mulai dikeluarkan dan para tamu menikmati pertunjukan tari-tarian yang ditarikan oleh enam orang penari yang cantik-cantik. Semua orang memandang ke arah Siang In yang baru kembali dan ada yang kecewa mengapa dara yang paling cantik dan yang menjadi sripanggung itu tidak pula ikut menari.

Setelah para penari itu selesai menari, banyak tamu yang berteriak meminta agar sri panggung juga menari! Pemimpin rombongan itu, seorang tua yang juga menabuh alat musik, yaitu meniup suling, segera bangkit berdiri dan berkata dengan hormat bahwa sripanggung akan main sebagai Kauw Gee Thian Si Raja Monyet dalam cerita See-yu yang akan dipentaskan malam itu, dan karenanya tidak dapat ikut menari. Pemimpin ini khawatir kalau-kalau dara cantik itu tidak pandai menari.

Siang In baru kemarin masuk perkumpulannya. Karena gadis itu memiliki kepandaian bermain sulap, maka diterimanya gadis ini sebagai anggota rombongaannya, namun sebagai pemain opera, bukan sebagai penari. Dia hanya tahu bahwa gadis itu memiliki wajah cantik jelita, tubuh yang indah, memikat, pandai main sulap dan tari silat.

Akan tetapi tiba-tiba Siang In berkata, “Lopek, biarkanlah aku menari sendiri!” Dan dia bangkit, lalu menjura ke arah para tamu yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
“Cuwi sekalian, baru saja saya dipanggil oleh calon mempelai puteri dan beliau telah mengajarkan sebuah tarian asing kepada saya. Maka saya akan mencoba tarian itu untuk dinikmati oleh Cuwi sekalian, sebagai persembahan dari mempelai puteri!” Semua orang bersorak gembira dan Hwa-i-kongcu juga mengangguk-angguk dengan gembira dan bangga!

Siang In lalu mulai bernyanyi dengan suaranya yang merdu dan halus, dan mulai pula tubuhnya bergerak-gerak menari. Para penabuh musik dari rombongan itu baiknya ialah ahli-ahli yang sudah berpengalaman puluhan tahun, maka ketika mereka mendengar nyanyian yang asing itu, biar pun tidak dapat mengikuti lagu itu seluruhnya, setidaknya mereka dapat memperdengarkan irama untuk membayangi nyanyian dan tarian itu, perlahan-lahan sehingga dengan iringan yang sayup sampai ini, suara nyanyian itu menjadi makin jelas dan gerak tarian itu makin menonjol. Itulah nyanyian dan tarian yang dipelajari oleh Siang In di dalam hutan dari Syanti Dewi.

Memang indah sekali! Baik nyanyiannya mau pun tariannya, dan lebih-lebih suaranya dan gerakannya! Memang harus ada perpaduan antara lagu dan yang menyanyikannya, juga antara tarian dan yang menarikannya. Dan semua penonton terpesona, bahkan ada yang sampai lupa diri, bengong terlongong, semangatnya seperti diterbangkan oleh alunan suara Sian In, diayun oleh gerak kaki tangan yang lemah gemulai itu!

“Ini tarian Kerajaan Bhutan!” Tiba-tiba terdengar teriakan orang.

Hanya beberapa orang saja yang memperhatikan ini dan ternyata yang berteriak itu adalah seorang laki-laki yang kepalanya memakai sorban dan memang dia adalah seorang tamu yang berkebangsaan Nepal. Dia memandang dengan kagum sekali, dan menggerak-gerakkan tongkat yang dipegangnya sehingga tongkatnya itu mengeluarkan bunyi tak-tok-tak-tok namun iramanya cocok sekali dengan nyanyian dan tarian Siang In itu. Bahkan kemudian suara pukulan tongkatnya inilah yang dijadikan pedoman bagi para pemain musik untuk mengiringi nyanyian dan tarian itu. Dan si kakek Nepal ini menggeleng-gelengkan atau menggoyang-goyang kepala menurutkan irama musik sehingga jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu pun bergoyang-goyang amat lucunya!

Setelah Siang In menyelesaikan nyanyian dan tariannya, tepuk tangan lalu meledak di ruangan itu dan semua anggota opera itu pun bertepuk tangan memuji, terutama kakek pemimpin yang merasa girang, seolah-olah dia telah memperoleh mutiara yang tidak ternilai harganya! Tentu rombongannya kini akan terkenal dan laris dengan adanya sri panggung ini, pikirnya.

Kini permainan opera pun dimulai. Pementasan ini hanya beberapa adegan saja dari cerita See-yu yang panjang, yaitu di waktu Kauw Cee Thian Si Raja Monyet itu sedang mempermainkan enam orang Siluman Laba-laba yang menjadi enam orang wanita cantik. Siang In lalu memakai topeng monyet dan mulailah ia menari-nari seperti seekor monyet yang membawa sebatang tongkat panjang, yaitu tongkat Kim-kauw-pang, senjata ampuh dari Si Raja Monyet.

Di sini Siang In memperlihatkan kemahirannya bermain sulap! Dia maklum bahwa guru dari Hwa-i-kongcu, Nenek Durganini, adalah seorang ahli sihir yang luar biasa, dan bahwa saat itu Durganini tidak ada di situ karena nenek itu telah kena dia akali dan agaknya telah pergi untuk mencari suhunya, See-thian Hoatsu, maka kini gadis ini berani memperlihatkan kepandaian dalam ilmu sihir. Kalau ada nenek itu di situ, tentu dia tidak berani banyak bertingkah!

Tongkat itu, seperti tongkat Kim-kauw-pang yang sesungguhnya dalam cerita See-yu, digerakkan untuk bermain sulap. Dia sebagai Kauw Cee Thian lalu menyulap tongkat itu menjadi kecil seperti sebatang pensil yang dapat ia selipkan di atas daun telinganya! Kemudian ia menyulapnya menjadi besar sampai panjangnya menjadi tiga kali lipat panjang biasa. Siang In lalu bermain silat, diputar-putarnya tongkat itu sedemikian rupa sampai lenyap bentuk tongkatnya dan yang nampak hanyalah gulungan putih yang amat indah. Tentu saja semua orang bertepuk tangan memujinya.

Akan tetapi, dasar Siang In adalah seorang dara yang lincah dan bengal, kadang-kadang timbul sifat yang ugal-ugalan sehingga dia suka menggoda orang. Pada saat itu timbul kerakusannya akan pujian setelah melihat semua orang terheran-heran dan memujinya. Dia lalu membuat api dengan tongkatnya. Suasana menjadi seram karena pada adegan yang menceritakan pembakaran itu, tahu-tahu dari tongkatnya muncul api berkobar-kobar. Dan semua orang terbelalak kaget ketika melihat betapa gadis cantik itu kini bermain sebagai Sun Go Kong atau Kauw Cee-Thian yang beralih rupa, berkali-kali berteriak akan berganti rupa, dan dia benar-benar telah beralih rupa di depan mata mereka!

“Lihat, aku akan menjadi seekor harimau!” terdengar dara itu berseru dan… “Hauwww!” Di situ nampak seekor harimau dan si Kauw Cee Thian itu lenyap!

Bahkan pada akhir pertunjukan, semua orang menjadi panik dan di samping merasa kagum mereka juga memandang dengan mata terbelalak, muka pucat dan kepala pening ketika si Kauw Cee Thian itu mencabut bulu tubuhnya, meniup bulu-bulu itu dan muncullah belasan orang Kauw Cee Thian lain di atas panggung!

Suasana menjadi sunyi. Bahkan para pemain opera lainnya menjadi terbelalak, lalu terdengar para pelayan menjerit saking takut dan ngerinya, dan pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi kelenengan yang nyaring sekali. Begitu terdengar suara ini, semua penglihatan aneh itu pun lenyaplah! Bayangan-bayangan Kauw Cee Thian ciptaan dari bulu itu pun lenyap dan di atas panggung Si Raja Monyet yang dimainkan oleh gadis itu terhuyung-huyung.

Baiknya suara kelenengan itu berhenti dan Siang In dapat menyelinap di antara kawan-kawan anggota opera sambil menanggalkan topeng monyetnya. Untung dia memakai kedok sehingga tldak kelihatan betapa muka yang sesungguhnya dari gadis ini agak pucat. Dia tadi telah diserang oleh suara kelenengan yang mengandung daya mukjijat untuk memusnahkan semua sihirnya! Diam-diam dia melirik ke arah orang Nepal tadi, yang kini sudah menyimpan kembali kelenengannya. Hemmm, dia seorang ahli, aku harus waspada, bisik hati Siang ln.

“Bagus! Bagus sekali pertunjukan tadi!” Si orang Nepal itu bangkit sambil berkata dalam bahasa Han yang agak kaku namun cukup lancar, tanda bahwa biar pun dia belum dapat melenyapkan lidah asingnya, namun dia sudah mempelajari bahasa daerah ini dengan baik dan telah menguasai sepenuhnya. “Kepandaian sripanggung tadi memang hebat, dan saya Gitananda dari Nepal benar-benar merasa beruntung dapat melihat kepandaian yang amat hebat dari seorang yang masih begitu muda. Sekarang, untuk meramaikan pesta biarlah saya yang bodoh menyumbangkan sedikit permainan, jika Hwa-i-kongcu mengijinkannya!” Sambil berkata demikian, dia menjura ke arah tuan rumah.

Hwa-i-kongcu yang duduk dan sejak tadi memperhatikan permainan Siang In dengan penuh keheranan dan kekaguman itu mengangguk. Diam-diam Hwa-i-kongcu terheran-heran. Dia sendiri adalah murid seorang ahli sihir dan bagi dia, sihir yang diperlihatkan oleh sripanggung tadi bia pun tidak aneh, namun amat mengherankan hatinya karena kalau sripanggung itu dapat menguasai para penonton dengan ilmu sihirnya, maka sri panggung itu bukan orang sembarangan! Dan agaknya kakek Nepal ini pun seorang ahli sihir pula!

Kalau saja subonya tidak pergi! Tentu saja bagi subonya, semua pertunjukan tadi hanya berupa permainan kanak-kanak saja, sungguh pun bagi dia sendiri sudah merupakan kepandaian yang tidak mudah dilakukan.

Kini Kakek Gitananda melangkah ke tengah ruangan itu, membawa tongkatnya dan membawa pula sebuah kotak kecil. Setelah mengangguk keempat penjuru seperti lagak seorang ahli sulap sedang berdemonstrasi, dia lalu melemparkan kotak itu ke atas, lalu tongkatnya diacungkan ke atas menyambar kotak itu yang disangganya dan dibawanya berkeliling. Kemudian ia kembali ke tengah ruangan dan tiba-tiba ia menarik tongkatnya dan... kotak itu masih tetap terapung di udara tanpa penyangga! Kakek itu lalu duduk bersila di bawah kotak yang terapung itu dan membawa tongkat ke mulutnya, meniup dan... terdengarlah suara suling yang merdu, seolah-olah dia sedang meniup sebatang suling, bukan tongkat!

Semua orang terpesona memandang kearah kakek itu kemudian menahan napas ketika melihat kotak di udara itu terbuka tutupnya, dan dari dalam kotak muncullah seekor ular kobra! Kulitnya yang hitam coklat kekuningan itu berkilat, matanya kemerahan dan lehernya mekar, mulutnya mendesis-desis, akan tetapi ular itu lalu mulai menari-nari mengikuti suara suling tongkat! Lucu dan juga indah karena tubuh ular begitu lemasnya ketika menari-nari, tidak kalah dengan lemasnya pinggang sripanggung yang ramping tadi!

Dengan gerakan melenggang-lenggok ular itu melayang keluar dari kotak, lalu turun ke atas lantai di depan si kakek Nepal, lalu kepalanya berubah menjadi dua, tiga, empat dan akhirnya nampaklah ular kobra itu memiliki tiga belas buah kepala yang semuanya diangkat dan kemudian menari-nari menurut bunyi suling yang ditiup kakek itu, suling yang sebetulnya hanyalah sebatang tongkat. Tidak lama kemudian, ketika suara suling meninggi, ular kobra berkepala tiga belas itu lalu melayang ke atas, kembali memasuki kotak dan turunlah kotak itu perlahan-lahan ke atas pangkuan si kakek Nepal yang juga menghentikan tiupan pada tongkatnya.

Tentu saja permainannya yang luar biasa itu disambut tepuk tangan riuh, dan si kakek Nepal bangkit berdiri, menjura keempat penjuru dan matanya yang seperti menjuling di atas sebatang hidung melengkung itu mengerling ke arah Siang In yang diam-diam juga terkejut bukan main, maklum bahwa kakek Nepal itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dalam ilmu sihir.

Hidangan besar dan arak mulai membanjiri meja-meja para tamu dan mulailah para tamu bergembira makan dan minum arak. Minuman keras itu membuat mereka menjadi gembira dan obrolan di antara mereka menjadi makin terlepas dan bebas. Kini di atas panggung diadakan pertunjukan pelawak dan lawakan mereka membuat para tamu yang mulai terpengaruh minuman keras itu tertawa bergelak. Suasana menjadi meriah dan gembira sekali. Para anggota Hek-eng-pang yang menyamar sebagai pelayan-pelayan yang dikirim oleh Si Jari Maut sebagai sumbangan kepada Hwa-i-kongcu, dengan sigapnya membantu pelayanan hidangan untuk para tamu sedangkan sebagian pula mulai menyelidiki tempat persembunyian pengantin wanita yang harus mereka culik.

Di panggung kini terjadi pertunjukan yang amat menarik, yaitu kekuatan minum arak! Dan kembali kakek Nepal yang bernama Gitananda dan yang tadi telah bermain sulap, memperlihatkan kepandaiannya yang hebat. Dia menantang jago-jago minum untuk adu kuat minum arak melawan dia dan sudah ada tiga orang roboh pingsan karena mabuk melawan Gitananda. Mereka digotong ke luar.

Kini yang menghadapinya adalah seorang kakek bertubuh pendek, perutnya sebesar gentong dan kepalanya botak. Orang ini terkenal sebagai ‘setan arak’ di antara kawan-kawannya dan perutnya yang gendut luar biasa dan kepalanya yang botak itu kabarnya juga karena kebanyakan minum arak!

Cawan demi cawan diminum oleh Gitananda dan lawannya yang baru ini. Setiap cawan yang memasuki mulut mereka langsung diikuti sorak-sorai para tamu yang menonton pertandingan yang menggembirakan ini.

“Ahhh, aku haus sekali, sungguh tidak memuaskan minum dari cawan yang kecil ini. Kesinikan dua guci penuh!” tiba-tiba Gitananda bertepuk tangan dan seorang pelayan segera berlari mengambilkan dua guci penuh arak yang digotong oleh empat orang pelayan dan diletakkannya dua buah guci arak itu ke atas meja. Gitananda tertawa memandang kepada lawannya yang gendut.

“Bagaimana kalau kita minum dari guci ini saja?”

Si gendut tersenyum. “Silakan kau dulu!” dia menantang.

Gitananda lalu mengangkat guci itu, menempelkan bibir guci ke mulutnya dan segera terdengarlah suara menggelogok ketika dia menuangkan isi guci ke dalam perut melalui mulutnya. Lama sekali dia minum sampai akhirnya guci itu kosong dan dia meletakkan guci itu di atas meja. Semua orang mengeluarkan seruan kaget, heran dan kagum sekali. Satu guci arak itu biasanya dihabiskan oleh delapan orang atau satu meja untuk satu kali perjamuan. Akan tetapi sekarang ditenggak habis sekaligus oleh kakek Nepal ini. Sungguh merupakan hal yang luar biasa.

“Ha-ha-ha, giliranmu!” kata Gitananda kepada Si gendut.

Dengan dorongan kawan-kawannya, akhirnya Si gendut yang terkenal sebagai setan arak itu pun mengangkat gucinya dan seperti yang dilakukan oleh lawannya tadi, dia pun menenggak arak itu langsung dari gucinya. Lebih lama lagi dia minum, mukanya sampai ke botak-botaknya menjadi merah dan ketika akhirnya dia menghabiskan arak itu, gucinya terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding ke atas lantai. Si gundul botak itu sendiri tertawa aneh, lalu bangkit. Perutnya yang gendut menjadi makin besar dan matanya menjadi merah. Suara ketawanya menunjukkan bahwa dia telah menjadi mabuk!

“He-he-heh... kau hebat... heh-heh, aku mengaku kalah deh...“ Si gendut bangkit berdiri, terhuyung kembali ke kursinya, akan tetapi hampir dia jatuh. Untuk menahan tubuhnya, tangannya diulur untuk meraih pinggang seorang dayang atau seorang pelayan wanita yang sedang lewat membawa baki.

Akan tetapi pelayan itu, yang bukan lain adalah salah seorang anggota Hek-eng-pang, dengan mudah mengelak dengan menggerakkan pinggul dan miringkan tubuh. Tentu saja karena raihan tangannya dielakkan, tubuh si gendut mendoyong ke depan. Akan tetapi ternyata setan arak ini bukan hanya kuat minum arak, melainkan juga pandai ilmu silat dan biar pun dia mabuk sekali, dalam keadaan mendoyong hampir jatuh itu kedua tangannya dapat bergerak cepat ke samping untuk merangkul, sekali ini rangkulannya ditujukan kepada buah pinggul yang menonjol besar itu.

Semua tamu tertawa menyaksikan ini. Akan tetapi dengan gerakan lincah, si pelayan itu kembali mengelak. Masakan yang berada di dalam mangkok di atas bakinya sama sekali tidak tumpah, dan sekali ini si gendut tidak dapat mencegah lagi tubuhnya yang limbung. Dia jatuh! Kembali semua orang menertawakannya.

“Ehhhhh!” Si Gendut yang merasa malu karena ditertawakan menjadi marah kepada pelayan itu. Begitu dia terguling, kakinya mencuat untuk menyerampang kaki si pelayan agar jatuh bersama dia. Akan tetapi kembali dia keliru karena pelayan itu meloncat dan kembali dapat menghindarkan diri, terus menyelinap pergi. Para tamu bertepuk tangan memuji kelincahan pelayan wanita itu.

Sementara itu, Hak Im Cu, seorang tosu tinggi kurus yang wajahnya bengis, yang amat tinggi ilmu silatnya dan terkenal sebagai seorang ahli ginkang dan menjadi seorang di antara pembantu-pembantu utama Hwa-i-kongcu, dengan secara diam-diam menjaga keamanan bersama dua orang temannya untuk menjamin keselamatan Hwa-i-kongcu dan Liong-sim-pang. Mereka bertiga sesungguhnya bukanlah anggota Liong-sim-pang, melainkan tamu-tamu, juga mereka bertiga merupakan sahabat-sahabat dan pembantu-pembantu utama.

Di samping tosu Hak Im Cu ini, masih ada dua orang lainnya yang tidak kalah lihainya. Yang pertama adalah Ban-kin-kwi Kwan Ok, yang sebaya dengan Hak Im Cu, berusia kurang lebih enam puluh tahun. Berbeda dengan Hak Im Cu yang tinggi kurus dan ahli ginkang, Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan tenaganya sekuat gajah!

Ada pun yang kedua atau orang ketiga di antara tiga sekawan ini adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, juga usianya kurang lebih enam puluh tahun, tubuhnya gemuk pendek dan kepalanya gundul akan tetapi dia bukan seorang pendeta, melainkan seorang bekas bajak tunggal yang amat terkenal karena selain ahli bermain di air juga dia seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga dalam kuat sekali.

Memang tadinya tiga orang ini bukan merupakan sahabat-sahabat. Tetapi, ketiganya diundang oleh Hwa-i-kongcu dan menjadi pembantu utama, tentu saja mereka menjadi sahabat yang memiliki keahlian berbeda-beda. Dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, tiga orang lihai ini pernah muncul di Telaga Sungai, ketika terjadi perebutan anak ular naga di telaga tersebut dan biar pun tiga orang ini lihai sekali, namun karena di telaga itu berkumpul banyak sekali orang-orang pandai, mereka tidak berhasil mendapatkan anak naga itu.

Demikianlah keadaan singkat tiga orang pembantu utama Hwa-i-kongcu yang kini telah berada di tempat pesta itu. Sejak semula, mereka sudah agak curiga ketika mendengar bahwa Si Jari Maut mengirim sumbangan berupa wanita-wanita pelayan yang cantik-cantik itu, maka diam-diam mereka, terutama sekali tosu Hak Im Cu, memasang mata dan mencurahkan perhatian kepada para pelayan itu.

Peristiwa yang terjadi ketika seorang pelayan hendak dirangkul setan arak yang gendut, melihat cara pelayan itu menghindarkan diri, membuat Hak Im Cu menjadi makin curiga. Jelas bahwa pelayan itu memiliki ilmu silat cukup tinggi sehingga dapat menghindarkan tubrukan dan terkaman si gendut demikian mudahnya dan dalam gerakannya mengelak itu, baki tidak terguling bahkan kuah dalam mangkok tidak tumpah. Walau pun yang mengirim Si Jari Maut yang terkenal, namun pelayan-pelayan yang pandai ilmu silat sungguh mencurigakan. Apa lagi pemimpin pelayan itu, yang cantik dan agung dan yang kini tidak nampak.

Hak Im Cu lalu menghubungi dua orang temannya, mereka berbisik-bisik, lalu dengan tergesa-gesa ketiganya pergi menuju ke belakang untuk menyelidiki dan jikalau perlu mengumpulkan pelayan-pelayan sumbangan itu untuk memeriksa mereka. Akan tetapi pada saat itu pula terdengar suara terompet dan canang dipukul gencar. Itulah tanda bahaya dan tak lama kemudian terdengarlah teriakan-teriakan bahwa pengantin puteri diculik orang! Gegerlah keadaan dalam pesta itu ketika suara berisik ini terdengar dan mereka mendengar bahwa pengantin puteri diculik orang.

Keributan ini disusul oleh keributan lain yang lebih meributkan lagi ketika para pelayan wanita itu, dengan menggunakan batu-batu yang memang sudah mereka persiapkan sebelumnya, ada pula yang menggunakan mangkok piring, menyambit ke arah lampu-lampu di seluruh tempat sehingga lampu-lampu itu pecah dan padam. Keadaan menjadi gelap gulita dan tentu saja para tamu menjadi panik, kecuali mereka yang mempunyai kepandaian tinggi, karena mereka ini maklum bahwa terjadi hal hebat dan cepat mereka menggunakan kepandaiannya untuk bersiap-siap turun tangan membantu pihak tuan rumah.

Tentu saja Siang In juga terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak mengira bahwa akan terjadi hal seperti itu. Ketika teman-temannya para penari menjerit dan berkumpul menjadi satu dalam keadaan ketakutan, dia sendiri cepat meloncat dan menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik, melihat para pelayan wanita menyambiti lampu-lampu dengan ketepatan seorang ahli. Dia kemudian memaki kebodohan sendiri yang tidak menduga bahwa pelayan-pelayan wanita itu ternyata adalah orang-orang yang mempunyai niat sama dengan dia, yaitu menculik sang puteri! Dia berlari terus menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi dan benar saja, tepat seperti yang dikhawatirkannya, sang puteri telah lenyap dan di situ terdapat Hwa-i-kongcu dan para pembantunya. Hwa-i-kongcu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tolol.

“Kejar! Isteriku harus dapat dirampas kembali!” teriaknya marah-marah.

Dari tempat persembunyiannya, Siang In bisa melihat betapa tosu tinggi kurus, raksasa tinggi besar muka hitam, dan si gemuk pendek berkepala gundul itu berkelebat dengan kecepatan yang sangat mengejutkan, dan melakukan pencarian atau pengejaran tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia terkejut. Kiranya Hwa-i-kongcu dibantu orang-orang pandai. Namun toh Syanti Dewi dapat diculik orang. Hal ini menunjukkan betapa lihainya si penculik yang agaknya dibantu oleh para pelayan wanita.

Dia meninggalkan tempat sembunyinya untuk melakukan pengejaran pula. Dia harus mendapatkan Syanti Dewi karena agaknya, terjatuh ke tangan siapa pun juga, kecuali ke tangannya, tentu Puteri Bhutan itu akan celaka. Ketika dia ke luar, ternyata di sana sini telah terjadi pertempuran-pertempuran hebat antara wanita-wanita pelayan dan para pengawal dan anak buah Hwa-i-kongcu.

Kini jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau anggota-anggota Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah Liong-sim-pang…..

Selanjutnya baca
JODOH RAJAWALI : JILID-06
LihatTutupKomentar