Suling Emas Jilid 07

"Huh, tua bangka sombong, kau masih hendak berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah jelas tampak di depan mata pada saat ini pun juga. Kau lihat yang menggeletak di depan kakimu itu! Siapa dia? Kau agaknya malah hendak menolongnya, bukan? Tadi kulihat betapa kau menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun di mukanya. Mengapa kau menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan? Bukankah orang-orang gagah tahu bahwa membantu pekerjaan penjahat sama artinya dengan diri sendiri melakukan kejahatan? Bukti pertama sudah jelas, kau membantu Bayisan Si Jahat!"
Tiba-tiba kakek cebol yang mengaku bernama Bu Tek Lojin itu tertawa bergelak. Kembali tubuhnya meloncat-loncat berjingkrakan seperti seorang anak kecil diberi kembang gula. "Ho-ho-ho-hah! Ada anak ayam mengejar terbang seekor garuda! Kau anak ayamnya dan aku garudanya!" Ia tertawa-tawa lagi.
Kwee Seng mendongkol sekali. Kakek ini selain lihai ilmunya, juga lihai mulutnya, seperti anak yang nakal sekali. Akan tetapi ia diam saja mendengarkan.

"Bocah, kau tahu apa tentang membantu? Tahu apa tentang menolong? Tahu apa tentang jahat dan baik? Membantu tidak sama dengan menolong, akan tetapi jahat tidak ada bedanya dengan baik, kau tahu??"

Kwee Seng seakan-akan menghadapi teka-teki. "Kakek sombong, apa bedanya membantu dan menolong?"

"Uuhhh, goblok! Kalau dia ini melakukan sesuatu dan aku ikut-ikutan mendorong agar apa yang ia lakukan itu berhasil, itu namanya membantu. Melihat lebih dulu sebab dan akibat sebelum berbuat, itulah membantu. Tanpa mempedulikan sebab dan akibatnya lalu turun tangan, itulah menolong. Siapa pun juga dia, apa sebabnya dan bagaimana akibatnya, tidak peduli, pendeknya harus turun tangan, itulah penolong yang sejati!" Kakek itu bicaranya seperti orang membaca sajak, pakai irama dan berlagu pula sehingga sukar dimengerti.

Akan tetapi Kwee Seng terkejut karena mengenal filsafat ini. Biar pun diucapkan seperti sajak berkelakar, namun adalah kata-kata filsafat yang amat dalam! Mulailah ia kagum dan tidak lagi main-main.

"Bu Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kau katakan bahwa jahat tidak ada bedanya dengan baik?"

"Ho-ho-hah-hah, memang kau bodoh dan goblok! Semua menusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua manusia goblok itu merasa diri pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan buruk? Apa bedanya siang dan malam? Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada matahari, mana ada siang malam? Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada? Kalau tidak menyayang diri sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh bocah, siapa namamu?"

"Aku yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo Taisu!" Kwee Seng sengaja memakai nama ini untuk menandingi kesombongan si Kakek. Ia memang telah mempunyai nama poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Iblis Berhati Emas), akan tetapi untuk menggunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan dirinya sendiri. Padahal ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee Seng yang dianggap sudah mati terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja menamakan dirinya Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar Setan Emas!

"Wah, wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama, memang memilih nama bebas, boleh pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka aku pun memilih nama Bu Tek Lojin, huah-hah-hah! Eh, Kim-mo Taisu yang tidak patut bernama Kim-mo Taisu karena masih muda, aku tanya, apakah kau seorang baik?"

Ditanya begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.

"Ha-ha-ha, tentu saja dalam hatimu kau menjawab bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di dunia ini orang yang mengaku dirinya orang jahat. Biar pun mulutnya bilang jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi, siapakah dia yang baik? Yang baik adalah dirinya sendiri. Orang yang melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya sendiri, dianggap orang baik pula. Siapakah dia yang dinamakan orang jahat? Yang jahat adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya sendiri. Nah, mereka ini tentu akan disebut jahat. Baik dan jahat tidak ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di hati orang yang membedakan demi kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri dianggap baik, yang tidak menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha! Menolong yang dianggap baik, itu bukan menolong namanya! Bukan menolong orang, melainkan menolong diri sendiri, menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"

Di dalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol ini kiranya bukan sembarangan orang! Betapa pun juga, hatinya tidak puas. Kakek ini sifatnya terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya dan wataknya yang suka menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.

"Bu Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apa pun juga, boleh kau membongkar-bongkar filsafat untuk mencari kebenaran sendiri. Akan tetapi aku melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada Puteri Mahkota Tayami dengan nasehat supaya dia memakai bubuk itu membedaki mukanya. Apa kau mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak membikin rusak muka yang begitu cantik, bukankah itu perbuatan keji sekali? Kalau kau masih mengaku seorang manusia, di mana peri-kemanusiaanmu?"

"Huah-hah-hah! Memang aku bukan manusia biasa, aku setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu, memang kusengaja, dan memang maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang menyebabkan semua keributan itu? Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu berlomba dan saling membenci? Tak lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota! Dan mengapa mereka berlomba memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya. Kecantikan hanya sebatas kulit muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya, hendak kulihat apakah para pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya menghilangkan akibat dengan membongkar sebabnya!"

"Hemm, membongkar sebab secara merusak tanpa mengenal kasihan seperti itu, benar-benar mencerminkan hatimu yang keji. Kau tua bangka yang benar-benar berhati iblis!"

"Uwaaaahh! Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa kau mau mengajak aku berkelahi?"
"Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran kepadamu!"
"Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada ular kecil mau menghajar seekor naga. Lucu... lucu....!"

Makin mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini, tadi menyamakan dia anak ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia ular kecil dan mengangkat dirinya sendiri seekor naga!

"Biar pun naga, kalau matanya buta dan merusak sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!"

"Bagus, mari kau layani aku beberapa jurus!" kakek itu berkata, lalu meloncat ke kiri dan memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari tangan terbuka dan miring, tubuhnya doyong ke depan, pundaknya diangkat pula ke depan, matanya melirak-lirik, persis gaya seekor jago aduan yang akan dipersabungkan!

Melihat kakek itu tidak bersenjata, Kwee Seng menyelipkan tulang paha kambing dan daun ke pinggangnya, kemudian ia pun menghampiri kakek itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia mengerahkan sinkang-nya seperti yang ia pelajari di Neraka Bumi. Ia cukup maklum bahwa betapa pun aneh dan lucu sikap kakek itu, namun sudah terbukti kemarin betapa kakek ini memiliki lweekang yang amat kuat serta ginkang yang amat tinggi. Lawan ini amat berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti sambil siap siaga, tidak mau menyerang lebih dulu.

Akan tetapi kakek itu juga tak kunjung datang serangannya. Hanya kepalanya bergerak ke kanan kiri, matanya lirak-lirik seperti ayam jago sedang menaksir-naksir kekuatan lawan, kemudian kakinya melangkah-langkah berputar mengelilingi Kwee Seng! Tentu saja Kwee Seng juga segera mengubah kedudukan kaki dan mengatur langkah mengikuti si Kakek yang aneh. Ia melihat betapa jari-jari kakek itu yang telanjang seperti kakinya sendiri, terpentang seperti cakar ayam. Benar-benar kuda-kuda ilmu silat yang aneh sekali. Apakah kakek ini menciptakan ilmunya berdasarkan gerakan ayam jago? Ataukah semacam burung? Ia menaksir-naksir akan tetapi tetap waspada.

Tiba-tiba kakek itu berseru, "Awas!" dan tubuhnya mencelat ke depan, menerjang, kedua tangannya menggampar dari kanan kiri, kedua kakinya menendang.

Biar pun kelihatan hanya sebuah terjangan kasar, namun jari-jari kakinya serta jari-jari tangannya melakukan totokan di tujuh bagian hiato(jalan darah) yang berbahaya! Kwee Seng kaget sekali, tak mungkin mengelak dari terjangan liar ini, maka cepat ia menggerakkan kakinya melangkah mundur lalu kedua tangannya membuat gerakan membentuk lingkaran-lingkaran dan sekaligus ia dapat menangkis dua pasang tangan kaki kakek itu.

"Dukkk!" tubuh Bu Tek Lojin mencelat ke belakang membuat salto dua kali, akan tetapi kedudukan kaki Kwee Seng juga tergempur sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang.

Kagetlah Kwee Seng. Setelah berlatih di Neraka Bumi, tenaganya mengalami kemajuan pesat sekali. Namun kini ia ketemu batunya. Kakek yang menerjang di tengah udara itu ternyata mampu membuatnya terhuyung-huyung, dan kedua lengannya yang menangkis tadi seakan-akan bertemu dengan benda yang antep dan keras.

"Heh-heh, kau boleh juga!" Kakek itu memuji, kemudian mengulangi lagi pasangannya seperti ayam jago, berputar-putar sehingga terpaksa Kwee Seng juga berputaran.

Kembali Bu Tek Lojin menerjang maju dan kali ini terjangannya disusul serangkaian serangan yang ganas, memukul dan menendang bergantian, semua mengarah jalan darah yang berbahaya. Kwee Seng berlaku cepat, tubuhnya mencelat ke sana-sini dan ia pun membalas dengan pukulan tanpa memakai sungkan-sungkan lagi. Maka lenyaplah bayangan kedua orang ahli silat yang mengerahkan ginkang ini, berkelebatan seperti petir menyambar.

Berkali-kali mereka beradu tangan dan selalu Kwee Seng terdesak mundur. Terang bahwa ia kalah kuat dalam hal tenaga dalam, akan tetapi karena Kwee Seng memang memiliki ilmu silat yang tinggi maka penjagaannya rapat sekali. Setelah mengalami benturan tangan belasan kali yang membuat kedua lengannya terasa sakit-sakit, Kwee Seng segera mengerahkan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti). Kedua tangannya menjadi lunak seperti kapas dan tenaga kakek itu seperti amblas kalau bertemu dengan tangannya, sehingga ia tidak mengalami rasa nyeri lagi, malah dengan ilmunya ini ia dapat membalas serangan dengan mendadak dan cepat, membuat kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan memuji dan penasaran.

Tiba-tiba kakek cebol itu mengganti dan gerakannya yang tadinya amat cepat lincah itu menjadi gerakan lambat. Malah kedua kakinya seakan-akan tidak bertenaga, seperti mengambang di atas air saja. Namun hebatnya, begitu mereka beradu lengan, Kwee Seng terlempar ke belakang sedangkan kakek itu hanya menari-nari dengan kedua kaki seperti tidak menginjak tanah.

Kwee Seng terkejut sekali, ia melihat kakek itu tadi hanya membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan, mengapa begitu beradu tangan ia terlempar sampai tiga meter ke belakang? Seakan-akan dari kedua tangan kakek itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya, padahal gerakan kakek itu lambat dan kelihatan lemah serta kosong. Ia tidak tahu bahwa ini ilmu ciptaan Bu Tek Lo-jin yang dinamainya Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Mengandung Kekuatan Selaksa Kati)! Ada pun ilmu ini adalah ilmu sinkang yang mendasarkan ilmu memanfaatkan yang kosong seperti seringkali disebut-sebut oleh Nabi Locu dalam kitabnya To-tik-keng sehingga merupakan penggabungan ilmu silat dan ilmu batin yang tinggi.

Karena maklum bahwa kalau ia terus melayani kakek sakti ini dengan tangan kosong tentu ia akan kalah, Kwee Seng lalu mencabut tulang paha kambing dan daun lebar dari ikat pinggangnya. "Bu Tek Lojin, dengan tangan kosong aku kalah, marilah kita gunakan senjata!"

Bu Tek Lojin bukanlah orang buta. Melihat lawannya yang muda mengeluarkan senjata yang begitu sederhana dan aneh, ia tahu bahwa lawannya ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali. Tadi pun diam-diam ia sudah terheran-heran mengapa ada orang muda yang begitu lihai. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu tanding yang semuda ini. Akan tetapi memang wataknya tinggi hati, tidak memandang mata kepada lawan mana pun juga, maka ia tertawa sambil berkata, "Jembel tengik, keluarkan saja semua kepandaianmu untuk kulihat!"

Setelah berkata demikian kakek cebol itu langsung menyerang lagi dan kini kembali ilmu silatnya sudah berubah. Tenaganya masih sehebat tadi, namun kedua tangannya membuat gerakan yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar dengan tangan kirinya, sedangkan yang kanan membentuk lingkaran-lingkaran sempit. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangannya datang bergulung-gulung seperti ombak samudera menerjang habis segala yang merintanginya. Melihat hebatnya gerakan ini, Kwee Seng segera memutar ulang paha kambing yang ia gunakan seperti pedang, untuk melindungi tubuh, sedangkan daun di tangan kiri mulai ia kebut-kebutkan yang juga mengeluarkan angin pukulan yang amat dahsyat.

Tiba-tiba terdengar suara keras, "Bagus, Bu Tek Lojin, kau hajar mampus bocah itu. Kalau kau kalah, baru aku yang maju!" Suara itu terdengar dari jauh akan tetapi nyaring dan jelas sekali, kemudian sebelum suara itu lenyap kumandangnya, orangnya sudah berkelebat datang. Seorang raksasa tinggi besar berkepala gundul yang segera dikenal Kwee Seng sebagai musuh lamanya, Ban-pi Lo-cia!

Sejenak kakek cebol menghentikan serangannya, membanting-banting kaki dan memaki, "Kau bilang kalau aku kalah? Kuda gundul, kau lihat saja aku menjatuhkan jembel tengik ini. Kalau sudah, biar kau punya selaksa lengan (ban-pi), pasti tanganku yang hanya dua ini akan kenyang menempilingi gundulmu sampai kau berkuik-kuik dan berkaing-kaing!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu segera menyerang Kwee Seng lagi dengan hebatnya.

Kwee Seng mencelat ke kiri sambil memutar tulang paha kambing. "Berhenti dulu, Bu Tek Lojin. Dia itu musuh lamaku, biarkan aku membuat perhitungan dengan dia! Heh, manusia cabul, rasakan pembalasanku atas kematian Ang-siauw-hwa...!" Kwee Seng hendak menyerang Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek cebol itu merintangi, bahkan menyerangnya lagi sambil mengomel.

"Kau belum kalah olehku, bagaimana bisa berhenti dan melawan orang lain?"

Karena serangan kakek cebol ini memang hebat sekali, Kwee Seng tidak dapat memecah perhatian dan terpaksa ia melayani lagi dengan hati mendongkol. Ia tahu bahwa percuma saja bicara dengan kakek cebol ini. Jalan satu-satunya mengalahkan si Cebol ini lebih dulu, baru nanti menghadapi Ban-pi Lo-cia. Akan tetapi ini hanya rencana saja, pelaksanaannya sukar setengah mati karena si Cebol ini benar-benar sakti luar biasa.

Sementara itu, baru sekarang Ban-pi Lo-cia melihat tubuh Bayisan yang menggeletak di atas tanah. Ia kaget sekali dan tidak mempedulikan lagi mereka yang sedang bertempur. Cepat ia berlutut di dekat muridnya. Setelah melihat muka muridnya, ia mengeluarkan suara tertahan, menotok dan mengurut sana-sini. Akhirnya Bayisan dapat bicara.

"Suhu (Guru)..." ia mengeluh.

"Muridku, siapa yang melakukan ini padamu? Hayo katakan, siapa? Akan kubeset kulit mukanya!"

Dengan suara terputus-putus Bayisan bercerita terus terang kepada gurunya bagaimana ia tergila-gila kepada Tayami dan memasuki kamarnya, kemudian Puteri Mahkota itu menggunakan bubuk beracun mengenai mukanya. Ketika bicara agak panjang ini, Bayisan telah terlalu banyak mengerahkan tenaganya, maka begitu habis bicara, ia jatuh pingsan lagi.

Ban-pi Lo-cia menarik napas panjang, menggeleng kepala dan berkata. "Ahhh, banyak wanita cantik di dunia ini, mengapa kau memilih Puteri Mahkota bangsa sendiri? Ah, tidak bisa aku menggangu Puteri Tayami. Tayami anak Kulu-khan, mengapa engkau begini kejam? Muridku, jangan penasaran. Aku akan menurunkan semua kepandaianku kepadamu agar kelak kau dapat menjagoi dan menjadi orang nomor satu di Khitan!" Setelah berkata demikian, Ban-pi Lo-cia memondong tubuh muridnya itu dan lari meninggalkan tempat itu tanpa peduli lagi kepada dua orang yang sedang bertanding.

"Ban-pi Lo-cia, kau hendak lari kemana?" Kwee Seng menusukkan tulang paha dengan jurus maut Pat-sian-toat-beng (Delapan Dewa Mencabut Nyawa) dari Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat.

Baru sekarang ia menggunakan jurus Pat-sian Kiam-hoat karena tadi dalam menghadapi Bu Tek Lojin ia belum mau mempergunakan ilmunya ini yang dahulu telah diperbaiki oleh Bu Kek Siansu. Sekarang ia ingin sekali mengejar Ban-pi Lo-cia, terpaksa ia menggunakan jurus ini. Kagetlah Bu Tek Lojin. Serangan ini memang hebat sekali dan tak mungkin ditangkis atau dielakkan. Tulang itu ujungnya tahu-tahu sudah mengancam ulu hati. Terpaksa Bu Tek Lojin menggunakan gerakan yang sebetulnya kalau tidak terpaksa, ahli silat tinggi enggan melakukannya, yaitu membuang diri ke belakang seperti batang pohon tumbang, lalu bergulingan di atas tanah.

Akan tetapi Kwee Seng memang hanya ingin membuat kakek cebol ini untuk sementara menjauhkan diri, langsung ia meloncat dengan ginkang-nya yang hebat ke arah Ban-pi Lo-cia yang sedang melarikan diri membawa muridnya, tulangnya menghantam ke arah lambung Ban-pi Lo-cia. Kakek gundul ini mendengar desir angin, menangkis dengan lengan karena tahu bahwa senjata lawan itu tidak tajam.

"Dukkk!!" tubuh Ban-pi Lo-cia terguling!

Bukan main kagetnya hati si Gundul, karena sama sekali tidak disangkanya Kwee Seng akan sekuat itu, jauh lebih kuat dari pada beberapa tahun yang lalu. Tulang lengannya tidak patah akan tetapi rasa nyeri menusuk sampai ke jantung. Ia tidak berani main-main lagi. Karena ia memang amat kuat, sekali meloncat ia telah berada jauh di depan, lalu menggunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan tempat itu.

Kwee Seng hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar geraman hebat dan kakek cebol sudah menerjangnya penuh kemarahan karena tadi dipaksa harus bergulingan sehingga pakaian dan rambut serta jenggotnya terkena debu. Terpaksa Kwee Seng mencurahkan perhatiannya kepada kakek cebol lagi. Karena mendongkol, kini ia segera mainkan Pat-sian Kiam-hoat dengan tulang di tangan kanan, sedangkan daun lebar di tangan kiri ia mainkan dengan Ilmu Silat Lo-hai San-hoat.

Kalau tiga empat tahun yang lalu saja sepasang ilmu ini dapat membuat ia terkenal dengan sebutan Kim-mo-eng, apalagi sekarang setelah ia memperoleh kemajuan pesat di Neraka Bumi. Hebat bukan main permainan pedang dan kipasnya. Dalam segebrakan saja Bu-tek Lojin sudah terdesak sampai sepuluh jurus lebih. Kwee Seng mengerahkan seluruh kepandaian karena maklum bahwa menghadapi kakek itu, sukar baginya untuk dapat mengalahkannya. Dalam hal tenaga sinkang mau pun keringanan tubuh, kakek cebol ini hebat sekali.

"Eh... ohh... tahan dulu...!" Sambil mencelat ke sana-sini menghindarkan diri dari sambaran daun dan tulang, Bu Tek Lojin berteriak-teriak. Sebagai seorang pendekar, tentu saja Kwee Seng menurut dan menghentikan serangannya.

"Mau bicara apa lagi. Bukankah kau yang tadi mendesakku untuk bertanding sampai mati?" Kwee Seng menegur marah dan mendongkol.

"Mengapa gaya permainan silatmu seperti itu? Apakah kau murid Bu... Bu Kek... Siansu...?"

Kwee Seng tersenyum. "Bukan, akan tetapi beliau pernah memberi petunjuk kepadaku..."

"Wah... celaka... cukuplah kita main-main." Kakek cebol itu lalu bersuit panjang dan datanglah burung hantu melayang-layang di atas kepalanya, kemudian ia lari meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas oleh burung hantu.

Sejenak Kwee Seng terlongong heran, kemudian ia pernasaran dan berlari pula mengejar. Ternyata ilmu lari cepat kakek itu hebat, sukar baginya untuk dapat menyusul. Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan agaknya kalau dilanjutkan dia sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa Bu Tek Lojin menjadi seperti orang jeri dan lari?

Bayangan kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung hantu merupakan titik hitam kecil jauh di depan. Kwee Seng kehilangan semangat untuk mengejar terus maka ia menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke depan. Ketika ia memasuki hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa, suara ketawa Bu Tek Lojin! Ia menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan.

Apa yang dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan menyelinap di belakang pohon. Kiranya kakek cebol itu sudah berdiri sambil tertawa bergelak, sedangkan didepannya tampak seorang laki-laki bangsa Khitan yang bertubuh pendek pula akan tetapi kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh Khitan yang kata orang adalah panglima tua!

Memang, laki-laki ini bukan lain adalah Kalisani yang telah meninggalkan kota raja dengan maksud merantau ke selatan. Kebetulan sekali di dalam hutan itu Kalisani bertemu dengan kakek cebol yang amat ia kagumi sepak terjangnya ketika kakek itu menggegerkan pesta perlombaan Khitan. Begitu melihat si Kakek Cebol, tanpa ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

"Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah) sudilah Lo-cianpwe menerima teecu (murid) sebagai murid. Apa pun yang lo-cianpwe perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa raga teecu."

Inilah yang membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak sehingga terdengar tadi oleh Kwee Seng. Kakek cebol itu setelah tertawa berkata, "Aku akan membikin kepalamu seperti kepala Ban-pi Lo-cia, hendak kulihat apakah kau masih nekat mau mengangkat aku sebagai gurumu!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu menggerakkan telapak tangannya ke arah kepala Kalisani.

Bekas Panglima Khitan ini terkejut sekali ketika merasa hawa panas menyambar kepalanya. “Celaka,” pikirnya, “mati aku sekali ini!” Akan tetapi karena ia telah terlanjur berjanji akan patuh menurut, ia meramkan matanya dan menguatkan hatinya, kalau perlu mati, apa boleh buat!

Kwee Seng yang mengintai juga kaget sekali. Telapak tangan kakek cebol itu bukannya memukul, melainkan mengusap kepala Kalisani dan ketika ia mengangkat kembali tangannya, semua rambut bagian atas kepala Kalisani rontok semua sehingga kepala itu menjadi gundul kelimis bagian atasnya, botak tidak kepalang! Diam-diam Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek cebol itu.

Kalisani meringis, kulit kepalanya terasa panas dan sakit, akan tetapi tidak tembus sampai menembus ke dalam, hanya terasa seperti dibakar. Melihat rambutnya rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk belajar ilmu kepada kakek yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk sampai jidatnya membentur tanah sambil berkata, "Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang Suhu membutuhkan, teecu serahkan!"

Bu Tek Lojin tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati orang. Ia mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang. "Kau boleh juga. Bukankah kau panglima di Khitan, mengapa kau mengikuti aku dan hendak menjadi murid?"

"Sekarang teecu bukanlah prajurit Khitan lagi. Teecu sudah meninggalkan kerajaan karena jemu menyaksikan perebutan kekuasaan dan melihat betapa Khitan akan menjadi tidak beres. Karena amat kagum akan kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai satu niat di hati, yaitu menjadi murid suhu."

"Hah-hah-hah, selamanya aku tidak menerima murid. Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan kepandaian kepada jembel tengik, mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau menjadi muridku. Nah, hayo kau gendong aku dan jangan berhenti sebelum kuminta, biar pun kedua kakimu akan patah-patah!"

Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata, "Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!" Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya!

Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan. Pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar. Yang menggendong seorang berkepala botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan di atas mereka, terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan membuat orang menggigil seram di waktu malam!

Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh di dunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan telah terhukum, sungguh pun bukan langsung dari tangannya, ada pun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan perhitungan. Betapa pun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.

Dalam perantauannya yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya telapak tangan kirinya! Di mana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah perkasa dan sampai kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar Budiman!

Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
********************
Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya karena hal ini sudahlah wajar. Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu. Harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya.

Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada sang kusir yang menguasai kuda itu, maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran. Apabila sang kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila sang kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!

Betapa pun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu birahi semata.

Liu Lu Sian telah melakukan kesalahan itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan Kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapa pun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik. Lu Sian lari dari pada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta!

Ada juga rasa sesal di hatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke mana pun ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan di sana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu di dunia ini!

Lu Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya di rumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya. Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya. Ketika ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu di mana ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu akan dicurinya.

Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati ‘kebebasannya’. Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki di sepanjang perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya. Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu. Ia merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya.

Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya.

Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu birahi kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia malah sampai menangis penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran di dalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.

Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.

"Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak panas dan arak hangat!" tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya. Ia melirik ke kanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk di depan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali.

Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekhawatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata, Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.

Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara berketuknya tongkat di atas tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.

Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!

Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang). Menurut penuturan ayahnya, di antara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah.

Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biar pun hanya perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis ke sana ke mari, hidup sederhana sekali!

Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat. Biar pun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai ‘dunia pengemis’ bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang.

Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya. Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat menarik hati.

Muncullah kini rombongan penyanyi itu di depan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang di antara mereka yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih muda, biar pun pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak pengemis muda ini ‘pasang aksi’ ketika matanya memandang Lu Sian.

Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi. Segera mereka maju ke depan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum. Hanya si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.

Tamu tak diundang datang kemari
apakah hendak menyerahkan diri?

Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara tenang, "Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok lagi."

Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja si Laki-laki Gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar pintu.

"Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa...." Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja! Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh ke arah tamunya yang enak-enak makan, kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi.

Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah, matanya melirik ke arah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan si Laki-laki Gagah, dan di dalam hatinya siap untuk membantu kalau laki-laki itu menghadapi bahaya.

Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua yang kaki celananya panjang sebelah menyambung nyanyiannya.

Menyerahkan diri membayar hutang
baru si Kecil diantar pulang!

Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.

Diantar pulang ke rumah siapa?
Apakah si Manis ada yang punya?

Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona, lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit.

Hati Lu Sian juga berdebar aneh ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia seperti dapat menjeguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang tersenyum mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!

Tiga orang pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka kepada orang itu, kecuali pengemis muda yang menyelewengkan nyanyian ke arah Lu Sian. Kini melihat orang itu sama sekali tidak peduli mereka menjadi marah. Si Pengemis Muda menggerakkan tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman ke arah leher laki-laki gagah.

Lu Sian diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah senjata rahasia, yang biar pun tidak terlalu hebat namun cukup berbahaya kalau si Laki-laki itu tidak dapat menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan kagum ketika melihat laki-laki itu mengangkat sumpitnya dan... paku hitam yang menyambar lehernya telah terjepit di antara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang memegang sumpit bergerak, paku hitam menyambar dengan kecepatan beberapa kali lipat dari pada tadi ke arah si penyerang.

"Auuuhhh...!" pengemis muda yang aksi itu meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil mengaduh-aduh dan memegangi kaki kirinya yang diangkat-angkat. Paku tadi, pakunya sendiri yang biasanya ia sombongkan sehingga ia memakai julukan Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan Darah), kini telah menancap di paha kirinya sampai tidak kelihatan lagi kepalanya!

Dua orang pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si Celana Panjang Sebelah menerjang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah muka sedangkan pengemis sepatu tunggal itu mencabut golok lalu membacok ke arah leher. Namun orang itu masih enak-enak makan buburnya yang belum habis, membiarkan dua senjata itu menyambar sampai dekat sekali.

Kali ini Lu Sian benar-benar kaget. Sungguh berbahaya sekali ketenangan yang berlebih-lebihan itu, pikirnya. Cepat tangannya menyambar sumpit yang tadi ia pakai makan, sekali tangannya bergerak sepasang sumpit itu meluncur ke depan seperti anak panah melesat dari busurnya.

"Tranggg! Aduhhh! Aduhhh...!" Peristiwa yang terjadi beberapa detik itu mengherankan sekali. Secara tiba-tiba, laki-laki yang dijadikan sasaran tongkat dan golok itu lenyap dari atas kursinya sehingga golok dan tongkat saling bertemu di udara, kemudian dalam detik selanjutnya, tangan dua orang pengemis yang memegang senjata itu telah tertusuk sumpit, tembus di telapak tangan sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan, mereka berteriak-teriak kesakitan sambil menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan kanan.

"Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) yang bagus!"

"Sambitan yang luar biasa!"

Pujian yang keluar dari mulut Lu Sian dan orang gagah itu terdengar dalam waktu bersamaan, mereka saling pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh kagum dan ‘ada rasa’! akan tetapi laki-laki itu segera melangkah ke luar menghadapi tiga orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata dengan suara lantang berwibawa.

"Aku Tan Hui adalah laki-laki yang tidak suka berlaku pengecut! Setahun yang lalu urusanku dengan Khong-sim Kai-pang sudah kubereskan dengan Yu Jin Tianglo, kami berdua saling menghargai dan bersahabat. Kenapa sekarang tanpa alasan Khong-sim Kai-pang mengganggu anak kecil? Kalau ada urusan silahkan Yu Jin Tianglo menemui aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil macam kalian? Hayo katakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku, Tan Hui ingin bicara dengan dia sendiri. Pergilah!"

Dengan tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu mendorong. Hawa dorongan ini menimbulkan angin dan tiga orang pengemis yang sudah terluka itu roboh terguling! Mereka merangkak bangun, meringis kesakitan, lalu yang sebelah kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu Sian.

"Nona, kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan kami? Apa hubunganmu dengan Hui-kiam-eng Tan Hui?"

Lu Sian tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga pengemis muda yang pahanya terluka itu untuk sejenak melupakan rasa nyerinya. "Aku bukan apa-apa dengan orang gagah ini, ada pun namaku Lu Sian. Karena jemu menyaksikan sikap tengik kalian, maka aku menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan kepada kepala kalian!"

Tiga orang pengemis itu memandang dengan mata melotot, kemudian mereka membalikkan tubuh dan sambil menuntun pengemis muda yang terpincang-pincang mereka meninggalkan tempat itu.

Lu Sian tadi kaget juga mendengar laki-laki itu memperkenalkan namanya. Tentu saja ia sudah mendengar akan Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) yang amat terkenal di daerah timur ini, seorang yang kabarnya amat lihai ilmu pedangnya dan terutama sekali ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya tak pernah menemui tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang biasa saja, namun dilakukan oleh Tan Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri tak mungkin dapat melakukan gerakan ini secepat itu.

Di lain pihak, Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah mendengar nama seorang pendekar wanita bernama Sian dengan nama keturunan Lu. Akan tetapi sambitan sumpit tadi jelas membuktikan bahwa wanita cantik jelita seperti bidadari di hadapannya ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Ketika ia memandang wajah yang tersenyum itu, sepasang mata yang bagaikan bintang begitu bercahaya, bening dan berbentuk indah sekali, hidung mancung dan bibir merah basah, rambut sinom yang terurai di kening, benar-benar membuatnya terpesona dan dengan gagap ia berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada.

"Nona, banyak terima kasih atas bantuanmu tadi."

Lu Sian tersenyum, tampaklah deretan gigi yang laksana mutiara, kemudian bibirnya bergerak-gerak ketika bicara, matanya pun bersinar-sinar. "Ah, itu bukanlah bantuan namanya dan tidak ada artinya. Kita mempunyai perasaan yang sama, bukan? Sama-sama sebal menyaksikan tiga orang jembel tadi...."

Hening sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya melihat betapa orang itu memandangnya dengan melongo, jelas terpesona dan seperti lupa keadaan.

"Eh, Tan-enghiong, kau kenapa...?" tegurnya sambil tersenyum manis.

Tan Hui gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita begini cantik jelita, yang bibirnya bergerak-gerak dan matanya bersinar-sinar. "Eh... oh... kau... kau hebat sekali...."

Kembali Lu Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka hanya berdiri saling pandang dengan kaku. Akhirnya Lu Sian berkata, "Apakah kita akan terus bicara sambil berdiri saja?"

Kembali Tan Hui baru sadar akan keadaan yang serba canggung itu, maka ia menjadi malu. Merah sekali mukanya ketika ia berkata, "Ah..., silakan, Nona. Mari silakan duduk."

Mereka duduk semeja, saling berhadapan. "Sudah lama aku mendengar tentang Khong-sim Kai-pang. Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai perkumpulan baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo yang lihai dan terkenal sebagai tokoh baik-baik. Mengapa kau di musuhi mereka?"

Tan Hui menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang sejenak tadi kehilangan bayangan duka, kini menjadi keruh kembali. "Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi aku yakin bahwa kita segolongan, maka tidak ada salahnya kalau aku ceritakan hal ini kepadamu. Eh, Bung Pelayan, tolong kau antarkan seguci arak dan sekati daging."

Pelayan menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum dan terbongkok-bongkok penuh hormat. "Maaf, Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah Tan-taihiap yang terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis itu tidak tahu diri, berani main gila terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap (Pendekar Besar)!"

"Sudahlah, tolong kau sediakan pesananku."

Pelayan itu tersenyum-senyum ramah, lalu berlari pergi untuk mempersiapkan pesanan itu. Ada pun pelayan lain melihat rumah makan itu masih belum banyak tamu, menggunakan kesempatan menganggur ini lari ke luar rumah makan untuk membual tentang kehadiran pendekar budiman Hui-kiam-eng Tan Hui di tempat kerjanya!

"Aku mempunyai banyak musuh," Tan Hui mulai bercerita setelah menarik napas panjang. “Semua karena salahku. Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri urusan lain orang. Tak tahan aku melihat orang ditindas atau kejahatan berlalu saja tanpa turun tangan menolong. Sebab itu banyak pula orang membenciku...."

"Sudah selayaknya orang gagah dibenci orang jahat," Lu Sian berkata menghibur, karena ia anggap hal seperti itu bukanlah hal yang patut disusahkan. Orang ini gagah sekali dan sikapnya jantan, amat menarik hati. Akan tetapi wajahnya selalu membayangkan kerisauan hati.

Tan Hui mengangguk. "Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona. Karena itulah maka aku tak pernah berhenti dengan tugasku, selalu kubela kebenaran dan kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan untuk menghantam mereka yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku mempunyai urusan dengan Khong-sim Kai-pang. Setahun yang lalu, lima orang angguta Khong-sim Kai-pang melakukan penyelewengan di kota Tong-an. Mereka minta derma secara paksa. Tidak itu saja, malah seorang di antara mereka telah menculik puteri seorang hartawan dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota itu, lalu turun tangan memberi hajaran kepada mereka dan malah membunuh si penculik."

"Kenapa tidak dibunuh semua saja?" Lu Sian memotong.

Tan Hui menghela napas. "Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul akibat begini panjang. Akan tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang terkenal baik, apalagi aku memandang muka ketuanya, maka kuampunkan mereka dan hanya membunuh seorang yang paling jahat. Aku sangka urusan hanya berhenti sampai di situ. Tidak tahunya, ketika melakukan perjalanan aku dihadang dan dikeroyok tiga puluh orang Khong-sim Kai-pang yang mendendam atas kematian seorang temannya. Terjadi pertempuran dan biar pun aku merobohkan dan melukai banyak di antara mereka, namun aku menjaga sehingga tidak seorang pun tewas. Aku lalu pergi langsung mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu. Yu Jin Tianglo marah sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan penurunan tingkat. Urusan itu sudah beres sampai... setengah bulan yang lalu..." Sampai di sini Tan Hui berhenti dan wajahnya memperlihatkan kemuraman.

"Lalu mereka mengganggumu? Kalau hanya pengemis-pengemis itu saja, takut apakah? Biar mereka datang mencari mati. Kalau Yu Jin Tianglo membela anak buahnya yang mencari perkara, dia pun tidak benar dan perlu diberi hajaran!"

Tan Hui tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara penuh semangat dan marah-marah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Lu Sian, mengapa gadis ini menjadi begitu marah?

"Sungguh tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo..."

"Tidak enak bagaimana? Anak buahnya yang tak tahu aturan yang mencari-cari perkara! Apakah kau takut menghadapi orang tua itu? Tan-enghiong, jangan khawatir, aku akan membantumu. Aku tidak takut menghadapi orang tua itu kalau ia banyak bertingkah membantu anak buahnya yang tidak benar!"

Tan Hui tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian, maka ia makin terheran-heran. Memang watak Lu Sian amat ganas menghadapi orang-orang yang ia anggap memusuhinya atau memusuhi orang yang disukainya. Dan Tan Hui otomatis telah menarik perhatiannya dan menimbulkan rasa sukanya!

Dengan muka masih terheran Tan Hui bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih atas perhatian Nona terhadap perkaraku."

"Ah, kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau katakan tadi bahwa kita orang segolongan? Tak perlu sungkan-sungkan lagi," jawab Lu Sian.

Tan Hui duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu menghirup araknya. "Persoalannya tidaklah begitu sederhana. Kalau hanya para anggota Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah menguatirkan. Akan tetapi dua pekan yang lalu... aku hidup sebatang kara, mengapa mereka mengganggu anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima tahun...."

Lu Sian terkejut dan merasa agak kecewa. "Tan-enghiong! Kau bilang hidup sebatang kara... tapi kau... mempunyai anak?"

Melihat kekagetan orang, Tan Hui tersenyum duka. "Memang aku sebatang kara... semenjak isteriku meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan seorang anak yang kutitipkan kepada pamannya. Itu pula sebabnya orang-orang jahat itu dapat menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin mereka dapat melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau seorang diri dan menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam, serombongan anggota Khong-sim Kai-pang mendatangi rumah itu dan menggunakan kekerasan menculik pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka meninggalkan pesan bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus menyerahkan diri kepada mereka!"

"Ah... begitukah? Jahanam benar mereka! Di manakah adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia seoranglah yang harus bertanggung-jawab menghadapi semua ini. Minta anak itu dari tangannya, kalau tidak diberikan, berarti dia menantang!"

"Markas Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu, hanya dua puluh li dari sini jauhnya. Adapun Yu Jin Tianglo biasanya berdiam dalam sebuah kuil tua di luar kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai di sini, siapa tahu, agaknya Yu Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja datang untuk menentang!"

"Tak usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita ke sana, aku akan membantumu, Tan-enghiong!"

"Nona Lu..., bukan aku tidak menghargai penawaranmu yang amat berharga itu. Akan tetapi... urusan ini mengenai pribadiku sendiri, sedangkan Yu Jin Tianglo amat lihai, belum lagi anak buahnya yang banyak...."

"Aku tidak takut!"

"Aku percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan tetapi... aku seorang duda yang mencari anaknya, sedangkan kau... kau seorang Nona terhormat, seorang gadis muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar melihat, tentu... ah, kiranya amat tidak baik untuk namamu kelak...."

Tiba-tiba Lu Sian serentak bangun berdiri, alisnya berkerut matanya berkilat. "Apa peduliku akan pendapat orang luar! Aku suka membantumu, siapa melarangmu? Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun seorang... janda! Kita maju bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang, seorang duda dan seorang janda, mana mungkin ada yang lebih cocok lagi?"

Tan Hui tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita begini cantik jelita, begini berani dan terbuka, kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi hatinya, tinggi ilmu silatnya. Seorang janda pula!

Pada saat itu terdengar bentakan dari luar rumah makan. "Orang she Tan! Keluarlah dan lekas berlutut untuk kami tangkap dan hadapkan kepada ketua kami!"

"Hemm, mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku, mengapa Khong-sim Kai-pang dalam waktu setahun telah begini berubah?"

"Kau lihat saja bagaimana aku menghajar mereka!"

Sekali menggerakkan kakinya Lu Sian sudah meloncat ke luar menghadapi dua orang pengemis tua yang berdiri di depan rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar desir angin dan tahu-tahu Tan Hui sudah pula berada di sampingnya. Kembali ia kagum bukan main dan harus ia akui bahwa nama besar Hui-kiam-eng sebagai jago ginkang nomor satu benar-benar bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah sengaja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk pamer kepada Tan Hui, juga untuk membikin jeri kedua orang pengemis tua. Siapa kira, gerakannya itu bagi Tan Hui agaknya kurang cepat karena dalam sekejap mata ia tersusul!

"Nanti dulu, adik Sian!" bisik Tan Hui yang kini tidak tahu harus menyebut apa kepada Lu Sian. Menyebut Nona tidak tepat karena Lu Sian ternyata bukan seorang gadis, melainkan seorang janda seperti pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita ini masih amat muda, maka ia merasa paling tepat menyebut adik saja. "Biarkan aku bicara dulu dengan mereka."

Tanpa memberi kesempatan kepada Lu Sian yang hendak membantah, Tan Hui sudah menjura kepada dua orang pengemis tua itu sambil berkata, "Melihat ikat pinggang putih yang Jiwi (Tuan Berdua) pakai, kiranya Ji-wi termasuk pimpinan Khong-sim Kai-pang. Kini aku dapat bicara dengan baik, tidak seperti tiga orang anggota tadi yang datang-datang lantas menyerang. Mungkin Ji-wi sudah tahu bahwa di antara Khong-sim Kai-pang dan aku tidak ada urusan permusuhan semenjak aku bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun yang lalu. Oleh karena itu, kuharap Ji-wi suka menghadapkan aku kepada orang tua itu agar urusan di antara kita dapat diselesaikan baik-baik. Ingin benar aku mendengar kata-kata orang tua itu tentang main-main dari Khong-sim Kai-pang dengan anakku ini!"

Di dalam ucapan Tan Hui ini, biar pun terdengar sopan dan lunak, namun terkandung kekerasan tersembunyi sehingga sama sekali tak boleh dikatakan pendekar ini merendahkan diri. Betapa pun juga, Lu Sian tidak puas. Menurut kata hatinya, lebih baik menggunakan pedang dari pada menggunakan lidah dalam menghadapi orang-orang macam itu.

Dua orang pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh tahun lebih. Keduanya bersikap sombong dan memandang rendah, apalagi yang memegang tongkat berbentuk ular. Mukanya yang penuh keriput itu kelihatan pucat, akan tetapi selalu membayangkan senyum mengejek dan pandang matanya seperti pandang mata seorang bangsawan melihat pengemis. Dengan gerakan mulut yang kedua ujungnya ditarik ke bawah, Si Tongkat Ular ini berkata, "Inikah orang muda sombong bernama Tan Hui yang telah membunuh dan menghina anak buah Khong-sim Kai-pang?" Sambil berkata demikian, ia menggoyang-goyangkan tongkatnya yang berbentuk ular itu di depan dada dengan gerakan penuh aksi!

Akan tetapi pengemis ke dua yang mempunyai kepala besar sekali, sikapnya biar sombong namun lebih sungguh-sungguh dan berwibawa. Ia berkata dengan suara membayangkan ketinggian hati. "Hui-kiam-eng Tan Hui! Setahun yang lalu kau menggunakan kelemahan bekas pangcu (ketua) kami, mengandalkan kepandaian untuk membunuh dan menghina anak buah kami. Sekarang kami telah mempunyai pangcu baru yang tidak mau membiarkan Khong-sim Kai-pang dihina orang. Oleh karena itu, kalau kau menghendaki anakmu selamat, pangcu kami minta kau datang menghadap kepada beliau di Kang-hu!" Setelah berkata demikian, pengemis berkepala besar ini membalikkan tubuh hendak pergi.

"Heh-heh, mungkin dengan minta-minta ampun dan mengajak dia ini menghadap Pangcu, kau akan diampuni!" kata Si Pengemis Bertongkat Ular yang lalu membalikkan tubuh pula, kemudian dengan langkah dibuat-buat ia meninggalkan tempat itu, setelah melirik-lirik ke arah Lu Sian.

Tan Hui terkejut sekali dan termenung. Kiranya Yu Jin Tianglo sudah tidak menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang, sudah diganti. Pantas timbul urusan ini, pikirnya. Akan tetapi, ke manakah perginya Yu Jin Tianglo? Dan siapa penggantinya? Ia harus lekas-lekas datang ke Kang-hu dan semua pertanyaan itu tentu akan terjawab. Terhadap sikap dua orang pengemis tua itu, Tan Hui sama sekali tidak ambil peduli!

Boleh jadi Tan Hui menganggap mereka itu tidak perlu dilayani. Akan tetapi tidak demikian dengan Lu Sian. Dia masih dapat menahan kesabarannya melihat dua orang itu memandang rendah Tan Hui. Akan tetapi ketika pengemis kurus bertongkat ular itu membawa-bawa dia yang jelas sekali mengandung maksud kotor dan kurang ajar, mana mungkin Lu Sian berlaku sabar lagi?

"Eh, eh, nanti dulu, Lo-kai (Pengemis Tua) yang baik, aku mau bicara denganmu!" Dengan langkah cepat Lu Sian mengejar.

Tan Hui mengerutkan keningnya. Sahabat barunya ini benar-benar seorang wanita yang tidak tahu bahaya, pikirnya. Melihat ikat pinggang putih lebar yang dipakai kedua orang pengemis itu, terbukti bahwa mereka adalah pimpinan Khong-sim Kai-pang dan sudah terkenal bahwa para pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sekelebatan saja ia tadi dapat menerka bahwa si Kepala Besar adalah seorang ahli lweekang yang amat kuat, sedangkan si Kurus itu agaknya seorang ahli bermin ilmu tongkat.

Ia dapat menduga bahwa Lu Sian tentu hendak mencari perkara, maka diam-diam ia merasa khawatir, akan tetapi juga ingin sekali ia tahu sampai di mana kelihaian dua orang pengemis itu dan terutama wanita yang menarik hatinya ini. Tadi ia hanya menaksir kelihaian Lu Sian melihat cara ia menyambit dengan sumpit, akan tetapi sesungguhnya hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Karena keinginan tahu inilah maka ia tidak menghalangi Lu Sian, melainkan mendekat agar dalam keadaan berbahaya, ia dapat memberikan pertolongan dengan cepat.

Kedua orang pengemis itu berhenti. Si Kepala Besar tidak bergerak, hanya membalikkan tubuhnya, akan tetapi si Kurus sudah melangkah lebar menghadapi Lu Sian sambil memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai. "Nona mau bicara apakah?" Ia melangkah maju sampai dekat sekali sehingga terpaksa Lu Sian mundur dua langkah.

"Harum... sedap...!" si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang tercium keharuman luar biasa ketika ia mendekati Lu Sian.

Diam-diam Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam sudah menjadi heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi mendengar seruan kurang ajar itu ia merasa panas dadanya. Benar-benar tidak patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu!

Lu Sian sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam, kemudian ia berkata, "Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap pangcumu agar mendapat pengampunan, apa artinya itu?"

Si Pengemis tertawa. "He-he-he... Nona seorang yang cantik luar biasa seperti bidadari, harum seperti mawar hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu girang hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin kemarahannya terhadap orang she Tan akan mencair."

Di dalam hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek jembel buruk seperti ini? Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis. "Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu lihai dan terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?"

Si Kurus kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya. "Wah, namaku sih tidak terlalu besar akan tetapi di dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat Aneh Ular Sakti)!"

Kakek jembel itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak tercengang ketika melihat gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia bingung melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan tetapi hatinya lalu membengkak besar saking bangganya.

"Hebat, Kakek Jembel, hebat namamu! Pantas kau selalu goyang-goyang tongkatmu seperti ular! Kiranya julukanmu Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar di tengah hari panas!"

Kembali pengemis itu melengak. "Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru sekali ini aku mendengar pujian begitu."

"Kau tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan mendatangkan hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti perut kosong kebanyakan angin, maka angin busuk pula yang dikeluarkan!"

Tan Hui tak dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas dan liar, akan tetapi juga terlalu... menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa Koai-tung marah bukan main. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dipermainkan oleh wanita cantik ini.

"Uh-uh, bocah kemarin sore, berani kau memandang rendah tongkatku dan nama besarku?"

"Ah, sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa, tentu kau pun mempunyai keistimewaan pula."

"Memang, aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa seorang manusia melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau ini, sekaligus hatiku lemas!" Ternyata kakek ini tidak hanya lihai julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas.

Namun ia menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai bicara. "Sayang sekali, tua bangka jembel. Mulai hari ini julukanmu akan berganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!" kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan dan.....

"Singgg!" pedang Toa-hong-kiam sudah berada di tangan kanan sedangkan tangan kirinya di saat itu juga sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah yang semuanya menuju ke arah muka Si Pengemis Kurus!

"Aiiihhh!" Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai. Dalam kegugupannya, tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena dipukul runtuh.

"Monyet tua, makan pedangku!" Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!

"Eh... orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!"

Lima kali pengemis itu menangkis dengan tongkatnya. Keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya memang lihai, maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan seruan kaget, ia melompat ke belakang menjauhkan diri agar terlepas dari pada rangkaian kilat menyambar itu.

Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek. "Ular Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?"

Kalau tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak. Sejenak ia tak dapat mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia berteriak-teriak.

"Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!" Berkata demikian ia lalu memutar tongkatnya dan menerjang maju. Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga ke mana hendak menyerang.
Sejak tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan dan main-main saja. Pedang di tangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, ke mana pun ujung tongkat pengemis itu meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental kembali.

"Hebat wanita ini!" diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan. Ilmu pedang ini aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas.

Dalam waktu singkat saja Sin-coa Koai-tung merasakan keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi pihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.

"Menarilah, Ular Buduk, menarilah!" Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin gencar dengan jarum dan pedangnya. Sengaja ia menutup jalan bawah dengan serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsak ke arah muka sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncat-loncat menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah tidak karuan lagi gerakannya!

Tiba-tiba Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi, tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya menggelinding ke dekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itu pun buntung!

"Nah, bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?" Lu Sian mengejek.

Kebetulan saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan!

"Jangan curang!" tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis kepala besar.

"Dukkk!" dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel.

Alangkah kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekang-nya untuk melawan. Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang.

Pertandingan macam ini selalu lebih berbahaya dari pada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.

"Koko, mengapa begini sabar melayani dia?" tiba-tiba Lu Sian berkata halus di belakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu.

Tan Hui kaget. Tepukan itu biar pun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekang-nya, karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan diri tak mungkin. “Celaka,” pikirnya. “Apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku?” Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya ‘koko’ begitu mesra.

"Plakkk!" Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tempat di mana hawa sinkang lewat dan menjurus ke lengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya, tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek berkepala besar itu mencelat ke belakang sampai tiga meter jauhnya, lalu bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!

"Kalian yang curang!!" kakek itu memaki. Begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah menyambar sebuah batu besar di sampingnya dan melontarkannya ke arah Tan Hui dan Lu Sian.

Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi dengan begitu mudah dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja! Hebat serangan ini, karena jarak di antara mereka hanya empat meter sedangkan batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia banting ke belakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat ke depan agak tinggi dan tepat pendekar itu hinggap di atas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung saja gerakan ini, kemudian ia ‘menunggang’ batu itu dan ketika batu jatuh ke tanah, ia pun meloncat turun!

"Wah, kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!" tanpa terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman.

Kakek berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata, "Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu atau menerima kematianmu, barulah kami benar-benar kagum!" Ia lalu menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari situ.

"Adik Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka. Kiam-hoatmu aneh dan hebat, ada pun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku seperti tidak bermata, tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang sakti!"

Lu Sian tersenyum, girang sekali hatinya. "Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum. Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh... alangkah akan bahagia hatiku."

"Bagi seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin di dunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau yang sudah mampu mempelajari ilmu silat sehebat itu?"

"Benarkah? Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah, terima kasih... kau baik sekali, baik sekali..." saking girangnya Lu Sian memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti itu, mata saling pandang, dan di dalam hati masing-masing makin tertarik.

Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh dengan kesunyian. Hal itu biar pun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia tahan karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita. Maka selama ini ia pun tinggal menduda, sedikit pun tidak pernah menoleh ke arah wanita lain, menekuni kesunyian hidupnya.

Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekali pun mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati. Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri!

"Bagaimana, Koko? Tentu kau mau mengajarku ginkang, bukan?"

Sudah berada di ujung lidah Tan Hui untuk menyanggupi, akan tetapi mengingat bahwa ilmu pedang dan ilmu ginkang-nya adalah kepandaian yang merupakan ilmu turunan, ia merasa agak meragu. "Aku tidak keberatan... eh, tapi... ilmu itu belum pernah diturunkan kepada orang luar... eh, maksudku, itu adalah ilmu turunan...."

Lu Sian yang masih memegang lengan Tan Hui, merapatkan tubuhnya sehingga Tan Hui terpaksa meramkan mata karena keharuman yang menyengat hidungnya membuat hatinya berguncang keras. "Apakah kau tidak mau menganggap aku orang dalam...?" suaranya merdu lirih seperti berbisik.

Pada saat itu sudah banyak orang berkumpul karena tadi tertarik oleh keributan di depan rumah makan. Melihat ini Tan Hui segera berkata perlahan. "Moi-moi, tak baik bicara di sini seperti ini. Di manakah kau tinggal? Mari kita bereskan perhitungan dengan rumah makan dulu."

"Aku tinggal di penginapan sebelah rumah makan. Biarkan aku yang membayar, Tan-koko..."

Akan tetapi sebelum mereka memasuki rumah makan, serombongan orang kelihatan berlari mendatangi. Pakaian mereka adalah pakaian ahli silat, seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang yang pekerjaannya pengawal atau tukang pukul. Akan tetapi begitu tiba di depan Tan Hui, tujuh orang itu segera menjatuhkan diri berlutut dan setelah dekat tampaklah bahwa mereka adalah para piauwsu (pengawal barang berharga) yang mukanya penuh debu dan keringat, bahkan di antara mereka ada yang terluka sehingga pakaian mereka berlumur darah.

"Tan-taihiap (Pendekar Besar Tan), mohon suka memberi pertolongan kepada kami para piauwsu yang celaka....!" seorang di antara mereka yang tertua dan pundaknya terluka bacokan, segera berkata dengan suara penuh permohonan. "Kebetulan sekali kami yang bercelaka mendengar akan kehadiran Taihiap di sini, maka kami segera menghadap Taihiap untuk mohon pertolongan. Kalau Taihiap tidak suka menolong, berarti kami sekeluarga akan mati...."

Tan Hui mengerutkan keningnya. Tidak patut para piauwsu yang termasuk golongan orang gagah bersikap selemah ini. "Kalian ini rombongan piauwsu dari manakah dan apa yang terjadi sehingga kalian merengek-rengek seperti anak kecil?" tanyanya berisikan teguran.

"Maaf, Taihiap, kalau sikap kami menjemukan Taihiap. Akan tetapi karena kami sudah putus harapan. Ketahuilah, Tan-hiap. Kami dari perusahaan pengantar barang Hong-ma-piauwkiok (Perusahaan Pengantar Kuda Angin). Kali ini kami ditugaskan mengantar lima peti barang-barang berharga milik seorang pembesar yang pindah tempat, yang katanya berharga ribuan tail emas. Karena perjalanan menuju kota Sui-kiang biasanya aman, kami tidak merasa khawatir apa-apa. Ternyata di luar dugaan, di lereng bukit itu, hanya empat puluh li dari sini, kami dihadang perampok. Barang-barang kami dirampas semua, bahkan di antara kami ada yang tewas dan luka-luka. Gerombolan perampok itu agaknya masih baru di sana, dipimpin oleh kepalanya yang lihai. Tan-taihiap, harap tuan sudi menolong kami, karena kami tidak mampu merampas kembali lima buah peti itu pasti perusahaan kami akan bangkrut, dan kami semua akan diseret ke penjara!"

"Kalian tidak becus melawan perampok, mengapa berani menjadi piauwsu?" tiba-tiba Lu Sian membentak mereka. "Memang piauwsu lawannya perampok, siapa kalah harus berani menanggung resikonya, mengapa kalian ribut merengek-rengek minta bantuan orang lain? Tak tahu malu! Hayo pergi, jangan ganggu lagi, kami punya urusan yang lebih penting!"

Tujuh orang piauwsu itu kaget sekali. Mereka bingung karena tidak tahu siapa adanya wanita cantik jelita yang galak itu. Akan tetapi karena melihat wanita itu berada di situ bersama Tan Hui, mereka lalu membentur-benturkan jidat ke tanah sambil memohon-mohon dengan suara pilu.

"Sudah bertahun-tahun mendengar nama besar Tan-taihiap sebagai pendekar budiman yang selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang menghadapi melapetaka! Kini kami mohon dengan segala kerendahan hati..."

"Hemmm, sudahlah jangan banyak ribut lagi. Biar kubereskan sebentar urusan kecil itu. Di mana adanya si perampok?"

"Koko! Kau hendak memenuhi permintaan mereka yang cerewet ini? Bukan urusan kita..."

"Hanya sebentar, Sian-moi. Bukit itu tampak dari sini, dan membereskan segala macam perampok hina apa sih sukarnya? Hanya makan waktu beberapa jam juga beres."

"Aku tidak sudi mencampuri urusan piauwsu-piauwsu tengik ini!" Lu Sian cemberut.

Tan Hui tersenyum. "Biarlah aku sendiri yang mengurus hal ini, harap kau suka menanti. Tak lama aku kembali."

Lu Sian tidak menjawab, keningnya berkerut dan matanya memandang ke arah para piauwsu dengan marah. Kemudian ia membalikkan tubuh memasuki rumah makan. Setelah Tan Hui pergi dengan cepatnya diikuti para piauwsu yang seakan-akan hidup kembali karena mendapat harapan besar tertolong. Lu Sian lalu dengan sikap uring-uringan membayar harga makanan, menyuruh pelayan rumah makan mengambil alat tulis, lalu ditulisnya beberapa huruf di atas kertas yang kemudian dilipatnya dan diserahkannya kepada pengurus rumah makan.

"Kalau Tan-taihiap datang, kau berikan surat ini kepadanya. Awas, jangan sampai lupa, surat ini sama harganya dengan sepasang telingamu!"

Pengurus itu yang tadi melihat betapa wanita kosen ini membikin buntung telinga seorang pengemis lihai, menjadi ngeri dan hanya dapat memandang dengan lidah keluar ketika Lu Sian dengan langkah gesit keluar dari situ.

Mengapa terjadi keanehan pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang? Dahulu perkumpulan ini terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang mengutamakan kegagahan dan kebaikan, di bawah pimpinan Yu Jin Tianglo yang terkenal bijaksana dan keras terhadap anak buahnya sehingga jarang terjadi anak buah perkumpulan ini berani melakukan penyelewengan.

Akan tetapi, memang terjadi perubahan hebat sejak tiga bulan yang lalu. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih bernama Pouw Kee Lui, berasal dari pantai Lautan Po-hai, datang membuat gara-gara. Pouw Kee Lui ini bukan orang sembarangan, ia murid seorang sakti yang bertapa di dalam gua-gua sepanjang pantai Po-hai. Semenjak kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan memperoleh ilmu silat yang tinggi sekali. Akan tetapi beberapa tahun yang lalu, ia tidak dapat menahan gelora nafsunya yang memang selalu mengalahkan batinnya sehingga ia menculik dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami wanita itu dan beberapa orang keluarganya yang hendak membela wanita itu.

Gurunya marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis, Pouw Kee Lui turun tangan pula terhadap gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia berhasil membunuh gurunya sendiri, kemudian membunuh pula wanita itu! Peninggalan gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian ia ambil semua dan pergilah Pouw Kee Lui meninggalkan pantai Po-hai dengan kedua tangan berlepotan darah pembunuhan kejam! Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya, mempelajari kitab-kitab dari suhunya, maka kepandaiannya makin meningkat tinggi.

Dalam perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu angkara murka, mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi memuaskan dirinya. Merampok, membunuh, merampas wanita, dan mengganggu orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga dalam beberapa tahun saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas dan kejam sepak terjangnya.

Pada suatu hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan ia mendengar tentang perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat. Dengan tertarik ia mendatangi markas perkumpulan itu dan tercenganglah ia menyaksikan betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata di sebelah dalamnya terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap. Tertarik pula melihat betapa kedudukan ketua perkumpulan ini amat dihormat, baik oleh anak buah Khong-sim Kai-pang yang mempunyai ratusan orang anggota, mau pun oleh para penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri memandang perkumpulan ini dengan hormat! Maka timbullah niatnya yang bukan-bukan yaitu ingin merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!

Dengan tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia menyatakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu menjadi marah, namun sekaligus mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin Tianglo sendiri yang tentu saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam pertandingan yang hebat terbunuh olehnya!

Sifat-sifat baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat buruk itu tanpa diajarkan pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan kesaktian petualang muda itu, para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk. Para anggota perkumpulan ini menjadi gembira sekali melihat sifat Pouw Kee Lui atau Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis) yang baru ini jauh berlainan dengan sifat dan watak Yu Jin Tianglo. Nafsu mereka yang selama berada di bawah pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini mendapat jalan ke luar.

Mulailah terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan dendam yang selama ini terpaksa disimpan saja di dalam hati terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah menyalahkan anak buahnya sendiri, kini meluap-luap. Ketika para pimpinan menceritakan kepada ketua baru itu, Pouw Kee Lui segera mengatur rencana dan menyuruh para pimpinan yang berkepandaian cukup tinggi untuk menculik puteri Tan Hui yang baru berusia lima tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini dilakukan karena ketua baru ini merasa dirinya terlalu tinggi untuk langsung pergi mencari Hui-kiam-eng Tan Hui!

Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu saja mengherankan hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan kebesaran perkumpulan itu dan ketuanya, Yu Jin Tianglo.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat penghinaan dari Tan Hui dan seorang wanita jelita bernama Lu Sian. Malah dua orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian cukup dan ia utus menantang Hui-kiam-eng Tan Hui juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan ini sudah melampaui batas, dan ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk mencari sendiri Tan Hui, tiba-tiba muncullah Lu Sian yang menerobos masuk dengan pedang di tangan dan berseru.

"Di mana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil kembali puterinya!"

Di dalam kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang sedang berkumpul, malah dua orang pengemis yang telinganya buntung dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam juga hadir di situ. Menyaksikan seorang wanita muda dengan pedang di tangan yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona dan keheranan. Ia dapat menduga tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi telinga pembantunya. Ia terheran-heran bagaimana ada seorang wanita muda yang cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu.

Pouw Kee Lui pada hakekatnya bukanlah seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia benar-benar terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Namun ia tidak bodoh. Ia tahu bahwa seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah berani dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan, tentulah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Kepandaian dua orang pembantunya bukanlah rendah. Kalau dua orang pembantunya itu pulang dalam keadaan terluka cukup hebat setelah bertemu dengan wanita ini, terkena jarum beracun harum, telinganya buntung dan isi dadanya terguncang dan terluka, jelas bahwa di dalam Kai-pang, kiranya hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi wanita itu. Maka sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu lebih dulu siapa gerangan wanita ini dan dari golongan mana.

Akan tetapi, begitu dua orang pengemis yang kalah di depan rumah makan itu melihat munculnya Lu Sian, mereka sudah lantas memaki dan memandang dengan mata melotot. Ini cukup menjadi isyarat bagi para pimpinan pengemis yang jumlahnya ada tujuh orang lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata masing-masing. Tujuh orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang memiliki kepandaian tinggi. Lima di antara mereka, bersenjatakan tongkat mereka, sedangkan yang dua orang mencabut pedang.

Namun Lu Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang, dan tangan kanan yang memegang pedang menudingkan ujung pedangnya ke arah tujuh orang pengemis itu, ia membentak, "Aku tidak ada tempo untuk berurusan dengan segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu Jin Tianglo keluar untuk bicara denganku!"

Akan tetapi tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan mereka lalu membuat gerakan mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian menjadi gemas sekali dan ia sudah siap menerjang untuk memberi hajaran ketika di belakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.

"Nona, Yu Jin Tianglo yang kau tanyakan itu sudah mati."

Kaget sekali Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis bahwa para pengemis sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia sangka bahwa Yu Jin Tianglo sudah mati. Cepat ia memutar tubuh menghadapi si pembicara yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek, wajahnya berkulit kasar akan tetapi tidaklah buruk bahkan mendekati tampan. Kelihatannya orang ini lemah dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, akan tetapi sepasang matanya mencorong bagaikan mata srigala. Pakaiannya biar sederhana, namun tidak ada yang ditambal, maka ia sama sekali tidak kelihatan seperti anggota pengemis, apalagi seperti ketua pengemis.

"Mati...?" Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru.

"Ya, mati," kata Pouw Kee Lui dan senyum sinis muncul di bibirnya. "Sangat tidak kebetulan sekali, ia mati melawan aku."

Diam-diam kagetlah Lu Sian. Siapa kira orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh Yu Jin Tianglo yang terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di depannya ini pantasnya seorang petani gunung, atau paling hebat seorang pedagang obat keliling.

"Hemmm," akhirnya ia mendengus. "Kau siapakah?"

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tujuh orang pengemis tua sudah serentak maju menerjangnya. Terpaksa Lu Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi mereka yang sudah mengurungnya. Ia segera menggunakan jurus Delapan Iblis Menahan Hujan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis datangnya hujan senjata, bahkan sekaligus pula dapat balas menyerang! Terdengar suara nyaring beradunya senjata dan di antara berdentingan ini Lu Sian mendengar orang itu tertawa dan berkata dengan nada mengejek.

"Namaku Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang ketua Khong-sim Kai-pang!"

Lu Sian marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan lemah itu amat curang. Tentu tadi selagi bicara dia memberi perintah kepada para pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan kesempatan selagi ia agak lengah. Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu. Kemarahannya meluap-luap ketika ia memaki, "Pengecut tengik! Kalau tidak lekas kau bebaskan puteri Tan Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang hari ini!"

Pouw Kee Lui memperhatikan gerakan pedang nona itu. Diam-diam ia terkejut dan heran karena ia sama sekali tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip Pat-sian Kiam-hoat itu. Ia sudah berpengalaman dan boleh dibilang mengenal ilmu pedang dari golongan mana pun, baik dari partai bersih mau pun dari golongan hitam. Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing baginya dan ia harus akui bahwa ilmu pedang ini hebat!

"Wesss-wessss!" tiba-tiba tedengar suara beberapa kali dan.... seorang demi seorang pengemis tua yang mengeroyok Lu Sian terjungkal roboh karena mereka merasa kaki mereka menjadi lumpuh secara mendadak.

Lu Sian sendiri tidak tahu mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan lawan yang roboh bukan oleh dia. Dengan heran dia hanya menambah tendangan saja, membuat mereka yang roboh mencelat ke luar dari ruangan. Segera terdengar hiruk pikuk mereka memaki dan menyatakan rasa heran.

"Ilmu siluman....!"

"Dia bukan manusia!"

Tujuh orang pengemis itu memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi kaget bukan main. Matanya mengerling ke kiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung tempat beras, bersandar di sudut kiri ruangan itu, di belakang patung Budha. Ia tahu betul bahwa tadinya tak pernah ada karung seperti itu. Tentu dari karung itulah datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh, maka ia berlaku hati-hati sekali.

Gadis cantik jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya, dan masih mempunyai pembantu yang demikian hebat ilmu pukulannya dari jarak jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak berdaya, baru ia akan menghadapi tokoh aneh yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui memang cerdik dan juga banyak akal bulusnya. Kini dengan wajah tersenyum dan pandang mata kagum ia melangkah maju menghampiri Lu Sian sambil menjura dan berkata.

"Lihiap benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!" Akan tetapi ia menjura bukan sembarang menghormat karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk melancarkan pukulan yang amat kuat.

Lu Sian kaget. Tentu saja ia sudah bersiap sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua baru Khong-sim Kai-pang ini mungkin melakukan serangan gelap berselimut penghormatan, akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa tenaga serangan gelap itu akan sehebat ini. Ia merasa dadanya sesak. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan dorongan tenaga yang tak tampak itu, dan legalah hatinya bahwa ia berhasil mendorong mundur hawa pukulan Pouw Kee Lui.

Akan tetapi pada saat keduanya bersitegang mengerahkan tenaga, dan pada saat Lu Sian merasa lega karena mengira bahwa tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga perasaan ini membuat ia agak lengah, tiba-tiba tangan kanan Pouw Kee Lui menyambar ke depan dan tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah kena dicengkeram!

Lu Sian terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu. Biasanya orang yang saling mengadu tenaga lweekang seperti mereka itu sama sekali tidak mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan gelap seperti yang dilakukan ketua pengemis ini. Lengan kiri Lu Sian yang dicengkeram terasa sakit sekali, seakan-akan dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api yang mengalir masuk melalui pergelangan tangannya yang dicengkeram. Ia kaget dan marah, lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk dibacokkan ke arah muka lawan.

Namun tenaga bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali. Agaknya si Ketua Pengemis menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa nyeri sehingga bacokan Lu Sian tidaklah sehebat yang ia inginkan. Dengan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat mengenai tangan kanan Lu Sian yang memegang pedang. Begitu keras tangkisan ini sehingga terpaksa Lu Sian melepaskan pedangnya yang meluncur ke sebelah kanannya, ke arah karung yang bersandar di sudut belakang arca! Ini saja sudah membuktikan kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus sambil menangkis serangan pedang, dapat membuat pedang lawan menyerang ‘karung’ itu.

Tepat seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati. Tiba-tiba karung itu mencelat ke atas dan pedang Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri setelah jatuh di atas lantai, membal lagi ke atas dan hinggap di atas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan tetapi tidak jatuh ke bawah.

Sementara itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim Kai-pang ini. Namun ia segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan kanan dengan jari terbuka menghantam pusar lawan sambil tangan kirinya yang masih dicengkeram itu di tarik keras.

Hebat sekali serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan suara teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee Lui juga kaget, terpaksa melepaskan pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar pedangnya yang menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi menghadapi lawannya yang tangguh, tangan kirinya diam-diam mengambil segenggam Siang-tok-ciam.

Pouw Kee Lui kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu bahwa ia takkan kalah menghadapi gadis jelita ini. Yang membuat ia ragu-ragu adalah setan karung itu, yang ia belum ketahui siapa, bahkan belum ia ketahui apakah isinya, manusia, binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berada dalam karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian nona ini, bahkan belum tentu ia sendiri mampu menandinginya. Melihat munculnya tokoh rahasia ini tepat pada waktu Lu Sian datang mewakili Tan Hui, ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia berlaku lebih hati-hati. Seperti biasa, Pouw Kee Lui orangnya cerdik, dapat melihat gelagat dan tidak mau sembrono.

"Tahan dulu, Nona!" ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya lagi, bahkan siap dengan jarum-jarum rahasia di tangan kiri. Ketika ia memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah terheran dan menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun harum dan berwarna merah.

Lu Sian juga bukan orang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini benar-benar amat lihai. Ia masih belum tahu pula apakah atau siapakah adanya karung yang dapat bergerak aneh bahkan yang tidak termakan oleh pedangnya, yang dapat mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan pengemis yang mengeroyoknya tadi, dan yang sekarang masih bergoyang-goyang di atas kepala arca. Menghadapi seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak boleh berlaku nekat dan sembrono. Maka ia pun menahan serangannya, memandang dengan mulut cemberut, hatinya masih mendongkol karena pergelangan tangan kirinya masih terasa nyeri bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.

"Nona, terus terang saja, di antara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa, bahkan selamanya baru kali ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang kupimpin, bukan urusanku pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kesalah-pahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang datang mewakili Tan Hui, dari golongan mana dan apa sebabnya mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui yang tidak berani datang sendiri?"

Lu Sian tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini seorang lihai, pula di situ masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang yang juga tidak boleh dipandang ringan kalau mereka maju mengeroyok, perlu ia mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang. "Dari golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk dibandingkan dengan perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu Sian, adapun Ayahku adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan...."

"Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw)...??" Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget.

"Betul. Nah, kau mau bicara apalagi?" Lu Sian berkata dengan suara angkuh.

"Aku mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan Kam-goanswe...?"

"Sekarang tidak lagi!" Lu Sian cepat memotong. "Nah, sekarang kau mau serahkan puteri Hui-kiam-eng atau kita lanjutkan pertandingan?"

Pouw Kee Lui tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi setelah ia mengetahui bahwa wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi soalnya! Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua dari Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak buah Khong-sim Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia merebut kedudukan pangcu bukan karena ia terlalu mencinta para pengemis.

"Ah, kiranya puteri Beng-kauwcu! Di antara kita orang segolongan, perlu apa terjadi pertengkaran tiada artinya?"

"Kita bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku bukan pengemis!"

Kembali Pouw Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak merasa sebagai pengemis biar pun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan tetapi para pimpinan Khong-sim Kai-pang memelototkan mata karena mereka sebagai tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.

"Biarlah kukembalikan anak Hui-kiam-eng karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong!" Sambil berkata demikian, Pouw Kee Lui menoleh ke arah arca. Alangkah kaget hatinya melihat bahwa setan karung tadi sudah tidak berada lagi di tempat itu. Entah ke mana perginya!

Ia merasa heran dan penasaran. Dengan kepandaiannya yang tinggi, bagaimana ia sampai tidak dapat melihat perginya makhluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa tentu karung itu terisi manusia sakti dari Beng-kauw yang terkenal dengan tokoh-tokohnya yang sakti. Ia menghela napas. Baiknya ia berlaku hati-hati. Kalau ia sampai berlaku ceroboh dan melanjutkan permusuhan dengan wanita ini, biar pun ia akan dapat menangkan Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh Beng-kauw dan tentu setan karung itu seorang tokoh Beng-kauw yang akan membantu Lu Sian.

Ia memberi isyarat kepada seorang anggota Kai-pang yang cepat masuk ke belakang kuil itu dan tak lama kemudian orang itu datang kembali menuntun seorang anak perempuan. Anak itu berusia lima tahun, wajahnya cantik, walau pun masih kecil sudah tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis, hanya dengan sepasang matanya yang bening memandang ke arah Lu Sian.

Lu Sian tersenyum kepada anak itu. "Anak baik, mari kau ikut aku pulang menemui Ayahmu."

Akan tetapi anak itu diam saja, bergerak maju pun tidak, hanya memandang dengan penuh pertanyaan dan ragu-ragu, agaknya tidak percaya kepada Lu Sian. Akan tetapi ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun menurut saja, tidak membantah.

"Nah, sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!" kata Lu Sian sambil melangkah ke luar.

"Harap sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!" kata Pouw Kee Lui tanpa mempedulikan sikap para pembantunya yang kelihatan penasaran.

Setelah Lu Sian pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi para pembantunya sambil berkata, suaranya kereng. "Kalian mau apa?"

"Pangcu, sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu. Pula, apakah kematian anak buah kita di tangan Tan Hui harus didiamkan saja? Bukankah hal ini, biar pun kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah, akan dipandang oleh dunia kang-ouw bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan seorang temannya siluman betina? Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan tertawaan dan...."

"Desss!" Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan si pembicara itu, seorang pengemis tua, jatuh tersungkur, giginya yang tinggal beberapa buah itu meloncat ke luar dari mulutnya yang berdarah.

"Kau tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga mudah dikalahkan oleh Tan Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal berani menerjang saja tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah perkumpulan agama yang amat besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah Koksu Negara Nan-cao yang dalam sedetik bisa mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kai-pang sama sekali bukanlah lawan Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan Khong-sim Kai-pang yang dulu dipimpin oleh seorang tua bangka lemah model Yu Jin Tianglo? Phuh, hanya dua ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw dengan jalan mencelakai puteri ketuanya. Sungguh tolol perbuatan begitu, berarti bunuh diri!"

Tercengang para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu banyak isi dan alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan yang luas dari ketua baru ini.

"Kami mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan," kata Si Kepala Besar.

Pouw Kee Lui tertawa bergelak. "Di seluruh dunia ini, entah berapa banyaknya pengemis macam kalian yang sesungguhnya merupakan kekuatan yang besar. Akan tetapi kalian terpisah-pisah secara berkelompok, merupakan kaipang-kaipang yang tidak ada artinya. Kalian lihat saja, aku akan menaklukkan semua kai-pang di seluruh negeri, dengan Khong-sim Kai-pang menjadi golongan teratas. Setelah itu, barulah kita menjadi kuat, dengan anak buah yang puluhan ribu orang banyaknya. Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain tak usah kita pandang lagi! Ha-ha-ha!"

Para pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka memikirkan hal ini, dan dengan ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo masih menjadi ketua mereka, perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouw-pangcu ini kepandaiannya jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk mendengarkan uraian Pouw Kee Lui tentang rencananya hendak menundukkan para kai-pang, menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada ketua kai-pang yang tidak tunduk akan dibunuhnya.

Sementara itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari cepat mempergunakan ginkang-nya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga puluh li lebih, di mana ia meninggalkan pakaiannya di rumah penginapan. Anak perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang tengah malam, sampailah ia di dusun itu, terus saja ia langsung menuju ke pondok penginapan dengan niat menanti di situ sampai Tan Hui datang.

Akan tetapi, pada saat itu ia melihat banyak orang di ruangan depan penginapan. Kiranya Tan Hui baru saja kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para piauwsu. Pendekar ini berhasil mengalahkan para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan cepat Lu Sian menyelinap ke tempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah penginapan. Ia tidak dapat melihat jelas, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau, dan mudah dimengerti bahwa laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya begini.

"Dasar kau yang tidak mentaati nasehat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah lagi dengan gadis pilihanku, tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu sendiri betapa Lian-ji (Anak Lian) amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang isterimu. Tidak akan ada wanita yang lebih tepat dari pada Siok Lan untuk menjadi ibu Lian-ji...."

"Lauw-ko, harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak Lian...," terdengar suara wanita, suaranya menggetar penuh perasaan.

Tiba-tiba Lu Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di bawah sinar lampu tampaklah seorang laki-laki tua dan seorang gadis cantik di dalam ruangan itu, selain ada beberapa orang lain yang berpakaian piauwsu. Ada pun Tan Hui duduk menunjang dagu di atas bangku.

Setelah menarik napas panjang berkali-kali, akhirnya Tan Hui meloncat bangun dan berkata, "Aku harus menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha menolong anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"

"Kau terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu sampai besok pagi juga belum terlambat," kata suara parau.

"Akan tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat berbahaya, banyak orangnya yang pandai."

Pada saat itu terdengar suara anak kecil berteriak. "Ayah...! Ayah...!" Dan anak perempuan yang tadi digendong Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari masuk.

"Lian-ji...!" Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada di ruangan, disusul tangis seorang wanita yang memeluk anak itu.

"Lian-ji! Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak..."

"Bibi Lan...!" Anak itu menangis dalam pelukan gadis cantik, sedangkan Tan Hui yang sudah meloncat dekat membelai rambut kepala puterinya dengan wajah berseri.

Tan Hui menghadap ke arah pintu, kemudian berkata, "Adik Lu Sian, silakan masuk!"

Akan tetapi tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat meloncat ke luar. Ia melihat bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari halaman depan.

"Adik Lu Sian...!" Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh nona itu terguling roboh. Cepat ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu. "Kau... terluka...?" bisiknya.

Sambil merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih, "...punggungku... terkena... jarum beracun...!" lalu ia menjerit dan pingsan.

Kagetlah semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang pingsan. "Inilah Nona Lu Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena racun. Lauw-ko, harap suka menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu ke rumah, biar Adik Siok Lan menemaninya. Aku harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan racun, sekarang juga!"

Orang yang suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan Hui memondong tubuh seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya dan berkata. "Mengapa susah-susah? Apakah tidak lebih baik dirawat di penginapan sini lalu memanggil tabib?"

"Ah, kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya dan hanya ahli-ahli saja yang dapat mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku sampai mengorbankan diri, bagaimana aku dapat ragu-ragu lagi untuk menolongnya? Harap Lauw-ko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan, aku mohon bantuanmu menemani keponakanmu." Setelah berkata demikian, sambil kedua lengan memondong tubuh Lu Sian yang lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja ia sudah berada di luar rumah penginapan.

"Tan-taihiap, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang tidak mampu balas menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran!" seorang di antara para piauwsu itu berteriak, namun Tan Hui tidak mempedulikan mereka.

Dengan kecepatan luar biasa ia telah menggunakan ginkang-nya untuk berlari cepat meninggalkan dusun itu. Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan pada keesokan harinya ia masih kelihatan berlari-lari cepat keluar masuk hutan dan dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh. Tan Hui girang sekali karena tadinya ia merasa khawatir melihat Lu Sian tidak pernah bergerak dalam pondongannya dengan wajah yang amat pucat.

"Bagaimana, Sian-moi? Sakit sekalikah?" Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam pondongannya.

Lu Sian membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk. "Tan Hui Koko, kau hendak bawa aku ke manakah?"

"Di Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang tinggal di kota I-kiang. Kalau aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai di sana, dan kau tentu akan tertolong."

Lu Sian menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan bagus bentuknya. "Percuma, Koko, akan terlambat...."

Kaget sekali Tan Hui mendengar hal ini. Ia seorang ahli pedang dan ahli ginkang, tidak banyak mengetahui tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget dan gugup. "Ah... kalau begitu... bagaimana baiknya Moi-moi?"

Sejenak Lu Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya. "Tan Hui Koko, mengapa kau membingungkan keadaanku? Kalau aku sampai mati pun kau tidak akan rugi apa-apa!"

"Ah, jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong puteriku. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar itu."

"Hemm, jadi hanya karena ingin membalas budi? Andai kata aku tidak menolong anakmu, tentu sekarang kau sudah tinggalkan aku mati kering di pinggir jalan tanpa peduli sedikit pun, bukan?"

"Ah... eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biar pun kita baru saja berkenalan, akan tetapi aku... aku amat kagum dan suka kepadamu. Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang paling penting, bagaimana harus membebaskanmu dari pada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang... dalam tiga hari terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti tentang pengaruh racun?"

"Aku tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun ini. Akan tetapi aku sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku."

"Wah, bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biar pun untuk itu aku harus korbankan apa juga. Moi-moi yang baik, lekas kau katakan bagaimana aku dapat menyembuhkanmu!" Girang sekali Tan Hui, hal ini dapat dirasakan oleh Lu Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu memeluk tubuhnya makin erat. Diam-diam Lu Sian tersenyum di dalam hatinya.

"Tan-koko, tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan tidak karuan. Lekaslah kau cari sebuah kamar penginapan di dusun ini."

"Kurasa tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan di dusun kecil seperti ini," Tan Hui menjawab sangsi, memandang keadaan dusun yang sunyi itu.

"Kalau begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu untuk mengobati punggungku. Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum bosan tinggal di dalam badanku."

Tan Hui girang sekali dan dalam hati ia menjawab ucapan Lu Sian. "Siapa yang akan bosan tinggal di dalam tubuh seindah tubuhmu?" Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu.

Segera mereka bisa mendapatkan sebuah rumah kecil yang cukup bersih, yang mereka sewa dari keluarga petani. Dengan amat hati-hati Tan Hui meletakkan tubuh Lu Sian di atas sebuah pembaringan dalam kamar sederhana tapi cukup bersih di pondok itu.

"Aduhh...! Ah, punggungku yang terluka, kenapa kau telentangkan tubuhku...?" Lu Sian mengeluh kesakitan, membuat Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu wanita itu tertelungkup.

"Lekas, Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas, perih dan gatal-gatal...!"

Tan Hui bingung melihat pinggang dan pinggul di depannya. "Ha...? Bagaimana bisa memeriksanya...?" ia tergagap karena memang ia merasa sungkan sekali. Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti harus membuka baju yang menutupnya, betapa mungkin?

"Ah, Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang makin menghebat menjalar masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala sopan santun dan sungkan-sungkan? Katakanlah, kau mau menolongku atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati sendiri di sini!"

"Moi-moi kau tahu aku ingin sekali menolong..."

"Kalau begitu, lekas kau buka baju di punggungku, kau robek saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku bagaimana macamnya dan di mana letaknya."

Mendengar ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di atas punggung dan....

"Brettt!" baju luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh jari-jari tangannya yang kuat.

Sejenak ia puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju dengan urat-urat merah membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir kepeningannya, dan ia berkerut khawatir melihat di punggung kiri tujuh batang jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu....!

Selanjutnya baca
SULING EMAS : JILID-08
LihatTutupKomentar