Suling Emas Jilid 04

Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan lemah. Ketika membuka matanya, ia melihat langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari dinding batu itu yang penuh dengan tulisan, lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan huruf yang agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu merupakan syair-syair yang amat indah pula walau pun mengandung peluapan hati berduka. Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam sebuah ‘kamar’ batu seperti goa, teringatlah Kwee Seng. Cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia melihat seorang nenek duduk bersila di atas lantai, dekat pembaringan batu.
"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku akan masak ikan dan sayur untukmu." Suara itu halus sekali, teratur dan sopan-santun.

Kwee Seng terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar tinggi, seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap orang-orang kang-ouw. Pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam istana raja-raja!

Ketika merasa pundaknya sakit dan saat diliriknya ia melihat pundaknya sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku mau pun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan penolongnya. Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila. 

"Lo-cianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda yang menderita, saya Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."

Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak pernah mau tertawa secara terbuka di depan siapa pun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus dengan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan, "Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan aku pun tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus Maut, makhluk berjiwa apa pun juga yang terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan yang mana mengirim engkau datang kepadaku untuk menemaniku!"

"Maaf, Lo-cianpwe, saya kira bukan setan yang Lo-cianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang telah melindungi saya...."

"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak hati ini memohon, terlalu sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada, Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada diriku...." Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini.

Kwee Seng dapat menduga bahwa nenek ini tentu telah mengalami penderitaan hidup yang amat luar biasa sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya. Karena menghadapi seorang nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walau pun ia merasa penasaran dan terheran-heran, mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi begitu dangkal pandangannya tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.

"Bolehkah saya mengetahui nama Lo-cianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.

"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada di sini menemaniku, biarlah kelak kau yang memilihkan nama untukku. Siapa saja terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan. "Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar. Untung pada musim seperti ini, daun kelabang di bawah Goa Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor putih, bukan main lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.

Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk bersila, mereka berhadapan dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentu saja amat janggal. Seorang nenek berbau harum? Apakah memakai minyak bunga? Dan mata nenek itu. Bukan main!

Diam-diam meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia? Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka di mana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama seorang iblis betina? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka Bumi! Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya seperti mata... ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini! Ah, tak mungkin!

Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di seluruh ruangan, "Oya, di ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"

Suara ini menyadarkan Kwee Seng dari pada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri? Manusia mau pun setan, nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya. Kitab-kitab kuno? Lebih baik melihat-lihat dari pada duduk menanti orang memasak, karena teringat akan masakan, perutnya yang perih akan makin terasa.

Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau mengandung niat jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar kitab-kitab itu. 

Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan rak buku dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal!

Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua kelemahan tubuhnya. Setengah meloncat ia mendekati rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar ketika ia memeriksa judul-judul buku.

Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian pula merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para pujangga kuno. Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab itu, ia tidak mau mengambil sebuah di antaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab untuk mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi kitab tentang rahasia letak dan gerakan bintang-bintang.

Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang semedhi itu. Alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana dijelaskan tentang pelbagai ilmu semedhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan semedhi, mengenai peredaran jalan darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri bersemedhi untuk melatih lweekang dan memperkuat sinkang-nya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan dengan isi kitab ini.

Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee Seng membawa kitab Semedhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapa pun juga, ia harus minta ijin dulu dari si pemilik kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan sembarang orang! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang amat tinggi! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya!

Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Semedhi ketika nenek itu muncul membawa mangkok-mangkok batu dengan masakan yang masih mengebul dan menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu Lo-cianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila Lo-cianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua ini untuk saya baca."

Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak tata cara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu? Hemm, kitab tentang Semedhi dan kitab Perbintangan? Ah, justru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)! Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah, dan boleh memiliki dua kitab itu."

Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Lo-cianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian...."

"Siapa memberi? Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan bicara nanti saja."

Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam. Kelihatannya sayur itu menjijikkan, namun terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan aneh itu.

Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat si Nenek mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita. Kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi." Nenek itu lalu pergi lagi.

Ketika Kwee Seng mengikutinya, ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang jernih, dan di satu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan. Di situ tidak kekurangan kayu bakar, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut, ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak dapat diperkirakan tingginya.

Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini! Untuk memasukinya saja mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi. Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng langsung lesu dan berduka. Akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus cinta, dan kasihnya ditolak oleh Liu Lu Sian, ia justru tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.

Tempat itu biar pun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti, penuh perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal yang agaknya tak mungkin dapat habis biar pun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi?

Namun ternyata kitab Semedhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersemedhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, bhkan ia merasa betapa dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang)!

Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambal oleh si Nenek. Seringkali Kwee Seng memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya mau pun riwayatnya. Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal. "Sudahlah, kau sebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kau sebut-sebut lo-cianpwe segala. Orang macam aku ini ada kepandaian apa sih?"

Kadang-kadang Kwee Seng tertegun menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambek dan marah, kadang-kadang diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan panggilan lo-cianpwe dan memanggilnya Nenek. Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini. Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh.

Dengan mendapat hiburan kitab semedhi itu, waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih diri dalam semedhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari! Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya.

Tenaga sinkang-nya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik! Dengan latihan-latihan berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk ‘mendaki’ naik sepanjang dinding tebing yang licin dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti seekor kelabang!

Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang, benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri! Tidaklah mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu menangis tersedu-sedu!

"Kalau kau pergi... aku... aku mati saja...," si Nenek berkata dalam tangisnya.

"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan ke luar, tentu kau akan kuajak keluar dari neraka ini dan...."

"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai? Aku mau mati di sini!" 

Kwee Seng terharu. Ia melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu. "Harap kau jangan berpendirian begitu, Nek...!"

"Jangan sentuh aku!" tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu keluar tenaga dorongan yang cukup hebat.

Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga murni dari sinkang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga sinkang-nya sendiri. Hal ini amatlah mengherankan.

"Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk, sampai mati pun aku takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan ke luar dan membawamu di dunia ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan aku akan berbakti kepadamu, merawatmu, menjagamu untuk membalas budi...."

"Cukup! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap marah.

Kwee Seng duduk terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan ke luar. Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri sampai mati di tempat itu?

Tiba-tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan menjadi gelap. Cepat-cepat Kwee Seng menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang. Nenek itu datang berjalan perlahan.

"Suara apakah itu, Nek?"

"Hujan! Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu pernah sampai tiga puluh hari lebih tidak ada cahaya matahari, amat gelap di sini dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."

"Wah, celaka! Tentu di sini terendam air, Nek?"

"Jangan khawatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan. Tak pernah banjir di sini, akan tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumpulkan ikan untuk bahan makan, juga mengumpulkan sayur."

Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu bakar, sayur-sayur. Kemudian tibalah musim gelap dan hujan yang dikhawatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi liar dan besar, batu-batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan. Lubang di atas melalui tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya kadang-kadang kalau perlu saja dinyalakan. Untuk menghemat minyaknya lampu itu harus seringkali dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka seringkali duduk bercakap-cakap.

Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu bertanya dengan suara halus menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng, apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"

Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat khawatir ditinggalkan. "Sesungguhnya, Nek. Aku yang masih muda tak mungkin harus mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula keluar bersamaku."

Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat melihat matanya. Wajah nenek yang keriputan itu tidak pernah membayangkan isi hatinya, akan tetapi matanya dapat membayangkan. Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tanpa dapat melihat apa-apa.

"Kwee Seng...," kata-kata si Nenek tertahan lagi.

"Ya, Nek? Ada apa?"

"Kau bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi aku tidak tahu orang macam apa kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat ini. Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."

Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek itu pun tak pernah menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya si Nenek hendak menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar ke dunia ramai!

"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hidup mengabdi kepada orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun tidak. Aku lebih senang ilmu silat, itu pun serba tanggung-tanggung."

"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu," bantah si Nenek. 

"Ah, agaknya aku mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan, Nek."

Kemudian Kwee Seng menceritakan semua pengalamannya, karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap seakan-akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia tumpahkan karena justru selama ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan semua dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur di See-ouw yang bernama Khu Kim Lin itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan pertempurannya melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia terjungkal ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam Neraka Bumi itu.

"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng mendongkol dan bertanya agak keras. Ia bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas!

Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti orang menangis.

"Nek, mengapa kau menangis?"

"Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas kau cinta? Agaknya... agaknya lebih patut kau mencinta Ang-siauw-hwa."

"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang takkan terlupa olehku selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walau pun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia muda..."

"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya? Hina sekali itu! Lebih baik mati! Akan tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia tidak mati?"

"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat! Dan wataknya... ah, jauh lebih menyenangkan dari pada Liu Lu Sian...."

Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak menangis. Ia mendiamkannya saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak menyenangkan. Ia pun menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka! Akan tetapi setelah lewat satu jam nenek itu masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi khawatir juga.

"Nek, apa kau menangis? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati, Nek."

Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan nenek yang sudah tua renta ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering, menyalakan pelita. Akan tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya si Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api.

Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkhawatirkan hatiku karena menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah kau sakit?"

Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit kemudian terdengar suara si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.

"Kwee Seng..."
"Ya, Nek. Ada apa?"
"Kalau kau keluar dari sini...," kata-kata itu terhenti seakan sukar dilanjutkan.
"Ya....?" Kwee Seng mendesak.
"Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan...."
"Ya...? Permintaan apa, Nek? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi dengan merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut...."
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku hanya minta sedikit...."
"Apa, Nek? Katakanlah."

Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan keanehan nenek itu.

"Ya, Nek? Bagaimana kehendakmu?"
"Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?"
"Selama itu kau tidak boleh mencoba ke luar...."

Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya? Gila benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya? "Ha-ha-ha! Tentu saja, Nek. Tidak usah kau meminta pun, bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"

"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan...."
"Ya...??" Kwee Seng mulai tidak sabar.
"....dan... kita menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa??!" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah. Saking kagetnya, begitu saja ia terguling dari atas pembaringan batu. Ia terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya, "apa...?? ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.

Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya itu permintaanku. Kita menjadi suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."

Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya. "Apa?? Gila ini! Tak mungkin!!"

Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup, agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras. Kemudian, di antara tangisnya terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, "Ah, aku tahu... kau tentu menolak...."

Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu. Ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu sudah menjadi gila? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun kurang lebih, bagaimana ingin menjadi isterinya? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini? Menjemukan sekali! Sialan! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir mati! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa. Teringat pula Liu Lu Sian.

Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu hari! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya!

Ah, dapat ia membayangkannya, betapa sakit hati nenek itu. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih dari pada itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya!

Ah, betapa bodohnya! Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih dari pada itu.

Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya, makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang....!

Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah lagi. Mata Ang-siauw-hwa si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila si Nenek memandangnya.

"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya.

Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia? Apa artinya keburukan rupa?

Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam ‘rumah tinggal’ itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini!

Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk melakukan ‘sandiwara’ yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa melihat wajah si Nenek! Ia meraba-raba, dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ membawanya ke depan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.

"Nek... aku datang...."

"...pergi! Mau apa lagi kau datang? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi setan... akan kubunuh kau!"

"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu? Aku datang kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu...."

Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas! Kemudian terdengar gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.

"Apa...? Kau... kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?"

"Ya!" jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu, untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walau pun kita sama tahu bahwa aku tidak mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.

"Ah, terimakasih...!" Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada dadanya, berbisik-bisik, "Terimakasih... Kwee-koko (Kanda Kwee)... sekarang mati pun aku tidak akan penasaran lagi...."

Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan manis untuk dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan karena cinta? Betapa pun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek itu menyebutnya ‘kakanda’!

"Niocu...," katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar di dadanya.

Menggigil tubuh yang bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan ‘niocu’. "Karena keadaan tidak mengijinkan, maka kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita yang tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."

"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa rindu hatiku selama tiga tahun ini! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan aku...!" Nenek itu memeluknya makin erat.

Biar pun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya! Akan tetapi hidungnya kembang-kempis, bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya begitu halus! Begitu halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya.

Di dalam gelap itu, terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.

Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati! Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya ini, tangannya meraba-raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini Ang-siauw-hwa! Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah meninggal dunia! Mana mungkin?

"Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu...," nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan haru. Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa! "Kwee-koko, betapa rindunya aku kepadamu...."

Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung, bibir merah dan mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!

"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu...."

Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.

"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"

Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu! Kesadarannya kadang-kadang memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek, akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang dalam anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian!

Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, makhluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, makhluk yang selemah-lemahnya. Setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya.

Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik jelita! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh.

Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, selalu dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.
Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang makhluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita!

Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sumsum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang. Teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.

Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti! Ia dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi!

Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput!

Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek!
Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri.

"Plak-plak-plak-plak!" begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa.

Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu! Malu dan ia harus pergi dari situ cepat-cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke tengah.

"Byuuur!" air muncrat tinggi.

Akan tetapi biar pun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya dengan suara mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik jelita. Kedua pipinya kemerahan, hidungnya mancung, bibirnya merah, matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng dari pada kulit yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua renta.....!
********************
WWW.ZHERAF.COM
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini, kalau tidak yang terpenting. Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak gara-gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.

Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang dengan ayahnya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yang memberi waktu satu tahun kepadanya untuk merantau dan ‘memilih suami’.

Gadis itu masih berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapa pun juga, ia merasa kasihan kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik."

Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.

Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan pikirannya yang terguncang. Sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya. Pada saat itulah ia mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak-teriak. Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai bersembunyi.

"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.

"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera bersembunyi dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."

"Ada apakah? Barisan apa yang datang itu?"

"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali melewati kampung ini. Pada saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau melihat wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang!

Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah? Boleh coba-coba ganggu kalau hendak berkenalan dengan pedangnya! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung menonton.

Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda dengan kuda yang bagus-bagus, dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan di mana terdapat seorang wanita muda sedang membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.

"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini bersenang-senang denganku. Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukkan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.

"Tar-tar!" dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau! Masuk barisan kembali! Di wilayah Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan namaku? Orang tolol!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda.

Wanita itu cepat-cepat menggendong anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah rumah.

Akan tetapi mata opsir hitam tinggi besar itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurang-ajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.

Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas si lemah? Ia harus menguji kepandaiannya.

Setelah rombongan tentara itu lenyap, berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing. Jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di situ.

"Eh, kau masih berada di sini, Nona? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."

"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"

"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"

Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Dengan penuh kekaguman ia teringat betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah.

Masih terngiang di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... Akan tetapi... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga ‘ada hati’ terhadapnya.

Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah berloncatan di atas genteng.

Akan tetapi, ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia sudah mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran.

Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan dan matanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.

"Lai-lihiap, sebagai bekas pembantu Sute-mu, saya harap Lihiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Lihiap tidak berhak mencampurinya," kata perwira yang duduk di kiri.

"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-lihiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan.

"Sudah terlalu banyak Lihiap mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biar pun Lihiap adalah kakak seperguruan Kam-goanswe namun Lihiap tetap seorang biasa, bukan anggota ketentaraan."

Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menudingkan telunjuknya ke arah dua orang bekas pembantu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat! Sute-ku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya! Dan aku membantu Sute-ku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat. Apa yang kulakukan juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah. Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang, baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya dikirim ke neraka!"

Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sute-nya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan. 

"Nona, betapa pun juga, kedua orang saudara ini berkata benar, bahwa semenjak saat berangkatnya Sute-mu tadi, secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona, sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya dari pada komandan benteng. Mengapa Nona sekarang hendak turun tangan sendiri? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada komandan barunya? Nona, harap nona suka bersabar dan dari pada kita bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum bersama dan bersenang-senang!" Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.

Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sute-nya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam kekuasaan komandannya. Maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat ke luar dari dalam rumah itu.

Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek? Ha-ha-ha!" kata seorang yang duduk di kiri.

Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Suci-nya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang, makan minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha-ha-ha!"

Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya. Rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.

Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, akan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.

"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari! Kau sudah menyusul datang? Apakah hendak menemaniku makan minum?"

Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya, Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua, sedangkan dia sendiri melompat ke pinggir, akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian. 

"Tahan!" teriak Phang-ciangkun, yang betapa pun juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa cantiknya ini. Ia tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan meloncat mundur.

"Nona, kau siapakah? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk? Tidak ada permusuhan di antara kita!"

Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu. "Ihh, manusia keparat! Kau masih bisa bilang tidak ada permusuhan? Kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina suci-nya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?"

"Eh, kau apanya Kam Si Ek?"

"Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar ke arah Phang-ciangkun.

Perwira ini kaget bukan main. Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya?

Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak memanggil bala bantuan, akan tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap.

Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua bersenang-senang karena mereka terbebas dari pada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.

Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa bertindak sewenang-wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya, ia tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.

"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun untuk mencelakakan Kam Si Ek! Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal lehermu!"

Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap perwira itu berkata, "Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur semua adalah Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama besar dan kekuasaan Kam-goanswe, maka Phang-ciangkun dan kawan-kawannya bermaksud untuk membuat jenderal itu jatuh. Beberapa hari yang lalu Gubernur memanggil beberapa komandan pasukan dan pembesar di Shan-si untuk diajak berunding mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang mengundang Kam-goanswe ke ibu kota. Akan tetapi di sana ia telah bersekongkol dengan teman-temannya untuk menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau menghadap dan malah merencanakan pemberontakan."

"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. “Hayo katakan, di mana Kam Si Ek akan di tahan?!"

"Saya... saya tidak tahu betul, hanya... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan dilakukan di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu... dan... ahh!!" jerit terakhir ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Toa-hong-kiam memisahkan kepala dari badannya.

Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya, bahkan memukuli si pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.

Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa khawatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam benteng, berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap di dalam gelap. Dengan hati panas ia kembali ke benteng!

Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng. Kandang kuda kebakaran, belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan, telah lenyap! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.

Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur. Selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintu-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Poki juga dikenal sebagai kota pelabuhan sungai sehingga banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.

Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Phang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.

Akan tetapi, ke mana pun juga Liu Lu Sian pergi dan di mana pun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguh pun keadaan macam ini selalu mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia dari pada perhatian orang di jalan, sungguh pun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan!

Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.

"Paman pelayan, tahukah kau di mana letaknya Kelenteng Tee-kong bio di kota ini? Aku hendak pergi bersembahyang ke sana."

Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut. Si Pelayan menengok ke kiri kanan lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau...."

"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio," jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. “Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?"

Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi dari pada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.

"Memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan Nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti Nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana...."

"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan si pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, maka ia membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.

Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek.

Ketika Lu Sian lewat di jalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu tidak takut biar pun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak menggodanya.

Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu! Ia mengerahkan lweekang-nya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah mereka.

Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti dikomando mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya!

Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang pecah, sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya, bahkan mustika naga di tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat buruk.

Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas. Bangunannya besar, akan tetapi di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya, yaitu huruf ‘Tee Kong Bio’ (Kelenteng Malaikat Bumi).

Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup.

Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu saja yang terkunci. Dari luar kini tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah ada bekas telapak kaki yang masih baru pada debu di lantai.

Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Di sana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Sisa barang yang masih tetap di tempatnya hanya arca-arca yang sudah hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi.

Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat dari pada bata tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.

"Wer-wer-wer......!!" tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya.

Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.

"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.

Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"

Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"

Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok. Wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.

"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!" katanya, masih terpesona.

Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu! Mengaku-aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"

Orang itu segera menjura. Sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda berdarah bangsa Khitan yang gagah berani, namaku Bayisan...."

"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!" Sambil berkata demikian Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang.

Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar. "Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to? Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."

"Keparat bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing.

Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja!

"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"

Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya dan membentak. "Hemm, kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?!"

Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus! Bagus sekali! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya? Sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian! Aha, kebetulan sekali!"

Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil melangkah maju dan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.

Bayisan cepat mengelak, ia miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang bergerak aneh sudah mengejar dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui-to ke arah lawan.

"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui-to lawan, dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan sambil tertawa.

"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu! Kau patut menjadi isteri Panglima Bayisan, mari juwitaku, mari ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagi...."

"Tranggg!" terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu Sian sudah menyambar, membacok mulutnya sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya.

Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga mengamuk dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat. Angin dari pedang ini menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya pedang bergerak.

Tentu saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara nyaring bertemunya kedua pedang. Sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, Bayisan sudah melanjutkan pedangnya menusuk ke arah dada kiri!

Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya, membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki, sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri terbuka jarinya mencengkram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar!

"Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik yang dilakukan dengan pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat sinkang-nya, tentu akan roboh karena lumpuh terserang pekik luar biasa ini!

Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri Beng-kauwcu ini sudah mempelajari mempergunakan jerit yang mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya tidak terpengaruh oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan membabat angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat lalu berkelebat membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar tadi.

Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserang menjadi penyerang. Namun lawannya juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai. Serangan ini terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya.

Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya membabat kedua kaki, dan begitu membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membarengi dengan serangan balasan. Tiap kali Lu Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar dan menyambut lagi kedua kaki yang turun!

“Menjemukan!" Lu Sian berseru keras.

Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya, dan dari atas pedangnya langsung membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Lu Sian tidak turun ke bawah, melainkan malah meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya!

"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu tidak saja mengotori bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang tampan menjadi coreng-moreng! Akan tetapi ia selamat dari pada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.

"Perempuan liar! Kau tidak tahu dicinta orang! Baik, aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu. Kalau kau masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."

"Tutup mulutmu!"

Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling lihai. Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya.

Akan tetapi Bayisan juga sudah marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang, pertama menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk dapat menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat ke luar dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan membarengi pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah muka dengan pengerahan tenaga sinkang.

Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah kedudukan kaki sehingga kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut!

"Trang, trang!" dua kali pedang bertemu karena begitu ditangkis pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke dua.

Serang-menyerang mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya. Mereka berputaran di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi. Ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga.

Hampir seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau terdesak. Biar pun ilmu kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam kelincahan gerak.

Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita, tentu saja Bayisan terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding. Namun kehebatan ilmu silat gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main dan lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli lagi apakah ia akan dapat menawan hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia kalah berarti kematian baginya! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah melupakan urusan yang membuat mereka datang ke tempat itu.

Setelah lewat seratus jurus Liu Lu Sian maklum akan kemenangannya dalam ginkang. Cepat ia menggunakan keunggulan ini, mengerahkan ginkang-nya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu sering beradu pedang berarti kerugian baginya karena ia kalah tenaga.

Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui tanpa dapat menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tak akan berhenti sebelum dapat membinasakannya!

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan, meluncur dari atas menusuk tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan gawat, salah-salah bisa putus. Maka sambil membalik tadi ia cepat membabatkan pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa detik kedua pedang saling menempel dan lekat!

Pada detik itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan dalam pandangan Bayisan, tangan kiri gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah mengancam sepasang biji matanya! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan pedangnya berdasarkan Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan kehebatannya.

"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang dan terus menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan baru berhenti setelah tubuhnya membentur dinding.

Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar cepat ke arah Lu Sian! Kiranya ketika menghindarkan diri dari serangan maut sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah membalas dengan senjata gelap ini. Memang hebat! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan terhadap Kwee Seng sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.

Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang ahli senjata rahasia jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi sinar kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia menghentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu terbang ke arah Bayisan! Ini masih belum hebat, biar pun sudah membikin Bayisan berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain mengembalikan senjata lawan, juga memberi ‘hidangan’ yang sama dan yang tidak kalah lezatnya!

"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis jarum-jarum itu.

Lu Sian tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya kedua pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.

Pada saat itu terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat cabul, kau menipu kami!"

Maka muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu berpakaian pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat, sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali. Mereka semua membawa sebatang tongkat di tangan, tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.
Munculnya tiga orang jembel ini menghentikan pertandingan itu.

Bayisan memandang mereka dengan kening berkerut. "Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.

"Masih pura-pura lagi! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan Kam-goanswe yang kami muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki-san? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati telah menolong dan merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka serentak maju menerjang.

Melihat ini Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, sungguh pun tentu ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini. Namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan yang menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela.

Tiga orang pengemis itu mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)?"

Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap kekurang-ajaran Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri. Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang sahabat Kam Si Ek?

Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan membalik dan menyerang mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis itu bukan orang-orang sembarangan pula. Cepat mereka mengelak sehingga jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi bau jarum-jarum yang amis itu membuat mereka kaget sekali.

"Jarum-jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran. Bayisan sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi. Teringat akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera memasuki kelenteng.

Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis manakah?"

Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan-perkumpulan pengemis. Mereka dapat bergerak leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.

Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan diri. "Kami adalah pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."

"Ah, kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu...."

"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Lihiap. Maaf bahwa beberapa bulan yang lalu kami tidak dapat datang menghadap ayah Lihiap (Pendekar Wanita)."

"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena ucapan mereka tadi yang memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian di mana adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan itu, apa artinya semua ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."

Diam-diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya puteri Beng-kauw dengan jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Bang-kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.

Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng menuju ke ibu kota Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang-siangkun, si Komandan muka hitam yang diam-diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu.

Celakanya, para pengawal Kam Si Ek diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-ciangkun, sehingga selagi tidur Kam Si Ek dapat disergap dan dijadikan tawanan. Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat penginapan oleh para pengawal Kam Si Ek. Sebagai seorang komandan yang jujur dan tidak mau mengganggu rakyat, Kam Si Ek memang biasa melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya dengan baik.

"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama menjadi tempat perkumpulan kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu berkata, "Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"

"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah Kerajaan Liang?"

"Betul, Lihiap. Seperti diketahui, Kerajaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan Tang, selalu mengalami rongrongan dari pelbagai pihak yang hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali mempergunakan tenaganya. Cara satu-satunya hanya menculiknya karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan sejati, seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."

Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan suka mempedulikannya.

Menurut cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh pemberontakan Gubernur Ho-nan yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan selalu terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.

"Sehari setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya. Ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki ke mana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki-san."

"Apa yang ia lakukan?"

"Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini? Selama dua hari dia memperkosa dan mempermainkan anak gadis pencari kayu itu! Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak-anaknya sebanyak tiga orang berikut gadis itu sendiri! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Lihiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat membinasakannya!"

Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini. Maka ia cepat bertanya, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian? Kemana Kam-goanswe dibawa oleh pasukan itu?"

"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."

“Ke mana pun juga akan kukejar,” pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kai-feng, dan ia harus segera berangkat ke sana. "Dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe pula?" tanyanya pula.

"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Lihiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."

"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."

"Berhati-hatilah, Lihiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orang-orang pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."

Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun di luar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.

Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu menjadi korban tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur pasukan-pasukan yang lewat.

Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan dari pada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Di masa tenteram, orang-orang sakti akan pergi ke goa-goa, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa. Kini dalam keadaan kacau-balau mereka turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian serta mencari jasa dan kedudukan mulia!

Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu terdiri dari golongan hitam mau pun putih, penjahat mau pun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.

Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan jasa mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.

Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.

Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian.

Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.

Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biar pun kotor berdebu terbuat dari pada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh, pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.

Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.

Pada saat itu datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.

"Mana dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang pedang.

Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."

Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"

Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya. "Kalian juga mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada kerajaan pemberontak Liang?"

"Kakek iblis! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang, mengapa kau bunuh mereka? Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.
"Jawab! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek gila! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..."

Pemuda itu menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan tenang kakek itu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka. Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat dan terlempar ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan. Dari mulut, hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu menubruknya dan menangis ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas!

"Siluman keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke depan, kedua tangannya bergerak memukul.

Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu mengalami nasib yang sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu terbanting ke bawah, tewas dalam keadaan mengerikan! Kakek itu tidak berhenti sampai di situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung, mata dan telinganya!

Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauhnya membayangkan tenaga sinkang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan di pinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada si Kakek Lumpuh.

"Apa yang terjadi? Lopek, apakah yang terjadi di sini? Mengapa begini banyak orang mati...?" seorang di antara rombongan pengungsi itu bertanya.

Dengan gerakan perlahan kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari dua keluarga itu dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang?"

"Tidak," jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di gunung-gunung di mana terdapat ketenteraman."

"Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"

"Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman lagi. Biar pun banyak hidup kerajaan-kerajaan baru, mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini?"

Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan sekantung uang perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat jalan!"

Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti kakek aneh ini ada hubungannya dengan kematian begitu banyak orang. Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya meninggalkan tempat itu.

Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari hanya serombongan pengungsi lagi yang lewat di situ, terdiri dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang! Bertumpuk-tumpuk mayat pengungsi di tempat itu, dan si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk di atas pikulan yang berupa dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.

Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang kang-ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw juga merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa berkedip. Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda, sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benar-benar ia menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biar pun urusannya itu tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba kehebatan si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali.

Kakek itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya.

"Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya dengan suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan.

Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi mereka itu memperlihatkan sikap menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.

Malam itu bulan bersinar penuh. Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika ia melihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana si Kakek Lumpuh berada, dan terdengar suara erangan laki-laki yang parau tetapi nyaring.

"Hee, Couw Pa Ong! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"

Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. “Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"

Orang di luar itu tertawa juga. "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekalahanmu sehingga kau mengganti nama? Ha-ha-ha, sungguh lucu! Biar pun mengganti nama seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak sewenang-wenang!"

Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh! Segala macam pendeta! Kau selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta tengik! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan perbuatan nyata? Apa jasamu untuk negara dan bangsa? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"

"Cukup! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.

"Ha-ha-ha-ha! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan? Dengar, pendeta tengik! Orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"

"Apa perbuatanmu baik? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat memasuki pintu gubuk.

Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa si Kakek Lumpuh, dibarengi suara berderak....

“Krakkkk!” dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah-patah menjadi tiga potong! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat ke luar. Agaknya ia gentar dan juga marah.

"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan tantangan! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"

"Ha-ha-ha! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang. Kalian harus kubunuh. Kau tunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"

Hwesio itu melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Menurut cerita ayahnya, Couw Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan.

Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipikul dua orang pelayannya, secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi sungai. Ia melihat empat orang itu sudah menanti musuh.

Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang ia memperhatikan mereka. Ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh.

Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam. Ada pun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.

Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau.

Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.

"Berhenti!" Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu.

Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon. Bukan main hebatnya ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu!

Dua orang pemikul lalu berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini, setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh. Dalam kecewa dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas, kejam dan gila-gilaan!
Selanjutnya baca
SULING EMAS : JILID-05
LihatTutupKomentar