Sepasang Pedang Iblis Jilid 13

Hal itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam hutan-hutan di lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi daerah tandus di kaki gunung yang dijadikan tempat pertemuan oleh Thian-liong-pang itu. Karena daerah pengawasan itu amat luas, mereka berpencar, demikian pula para pasukan yang hanya beristirahat di hutan-hutan sambil bersiap-siap menanti perintah kalau saat penyerbuan tiba.
Sehari sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di hutan lereng Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak Tan-siucai. Tan-siucai yang masih penasaran karena belum berhasil membalas dendam kepada Suma Han yang dianggap telah menyebabkan kematian tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini mengharapkan benar agar Suma Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya itu, namun dia percaya penuh kepada gurunya yang kini telah bergabung dengan orang-orang sakti seperti kedua Lama dan Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini dibantu oleh seribu orang pasukan, mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan tewas! Dia ingin sekali memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan tusukan kedua pedangnya, pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang dibanggakannya.

Karena menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, dan waktu dirasakan merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan seorang diri di dalam hutan yang dianggapnya tempat yang paling aman. Seribu orang pasukan menjaga di situ, dan dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut akan munculnya ular atau harimau. Dengan wajah berseri penuh harapan, apa lagi mengingat akan kedudukannya sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya terjamin dan penuh kemewahan dan kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh pakaian mewah dan indah, makanan serba lezat, tidak kekurangan uang, dan boleh dikata memungkinkannya untuk berganti teman wanita setiap malam.

Tan-siucai melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan kembang-kembang yang sedang mekar di dalam hutan itu. Ia berjalan perlahan, hati-hati agar pakaiannya yang indah dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh debu tanah atau tersangkut tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar matahari tidak begitu panas lagi dan angin senja mulai bertiup seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada matahari yang mulai condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan bumi sebelah sini.

Karena dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum, kemudian bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat kesempatan lagi mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang, menusuk jantung lawan dari dada sampai menembus punggung, melihat darah segar menyemprot keluar! Ha, dia akan berpesta pora dengan pedangnya, di samping menyaksikan terlaksananya dendam terhadap Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Ha-ha, dia tertawa sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biar pun dia belum berhasil membunuh musuh besar ini, namun menyaksikan tempatnya dihancurkan dan dibakar, anak buahnya banyak yang tewas dan selebihnya terpaksa melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa girang dan puas sekali.

"Tan-siucai, engkau kelihatan gembira sekali!" tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakangnya.

Tan-siucai menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya tentu seorang di antara panglima pasukan. Sambil membalikkan tubuh dia tertawa dan berkata, "Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak gembira?" Akan tetapi ketika melihat bahwa yang berhadapan dengannya adalah seorang pemuda tampan yang tersenyum-senyum, pemuda yang tubuhnya sedang, pakaiannya sederhana, kuncirnya tebal hanya sebuah bergantung ke depan melalui pundak, seorang pemuda yang sama sekali bukan panglima, bukan pula prajurit, ia menjadi sangat terkejut.

"Engkau... siapa...?" Tan-siucai agak tergagap karena heran, tetapi segera menyangka bahwa tentu orang ini penduduk di lereng Pegunungan itu.

Pemuda itu memperlebar senyumnya. "Aku setan penjaga gunung yang telah lama menanti kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"

Tan-siucai kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi ketika tiba-tiba tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah mukanya, menyerang kedua matanya. Gerakan pemuda itu cepat bukan main, dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak membiarkan kedua matanya dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh atas ke belakang.

"Plakk! Rrrttttt!"

"Heiiiii...! Kembalikan pedangku!" Tan-siucai berseru marah dan kaget sekali ketika merasa betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di pinggangnya kini telah dirampas pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana sampai dapat diambil dari pinggangnya. Hanya terasa olehnya ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk menghindarkan tusukan pada matanya, pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu pedang itu lenyap dari pinggangnya.

Dengan mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu tersenyum-senyum sambil mengikatkan sarung pedang ke punggungnya. Sikapnya demikian tenang sambil tersenyum-senyum, seolah-olah pemuda itu sedang memasang pedangnya sendiri, bukan bolehnya merampas punya orang lain.

"Kembalikan pedangku, keparat!" Tan-siucai membentak.

Pemuda itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian depan, setelah berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng pergi ke kota raja untuk mencari musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja, kebetulan sekali ia melihat pasukan besar dipimpin oleh musuh-musuhnya! Dia melihat Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Maharya, Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para panglima pengawal meninggalkan kota raja dengan berkuda dan melakukan perjalanan cepat sekali. Melihat ini, Bun Beng tak berani turun tangan. Tak mungkin dia turun tangan selagi orang-orang sakti itu berkumpul dan masih dilindungi oleh pasukan yang besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng lalu membayangi pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali sampai berpekan-pekan.

Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di lereng Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar akan pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang di kaki pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apa lagi yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai, ibu Milana dan isteri Pendekar Super Sakti yang telah menjadi Ketua Thian-liong-pang itu? Apakah yang akan dilakukan wanita sakti yang cantik jelita, yang menjadi aneh dan mengerikan sekali wataknya akibat terputusnya cinta dan mengalami kekecewaan itu?

Akan tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk pertama-tama merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari kesempatan untuk membuat perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia tidak mempedulikan lagi urusan Thian-liong-pang.

Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa pekan, pada menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai seorang diri dan berhasil merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia melakukan serangan pancingan dengan tangan kiri tadi, membuat Tan Ki menarik tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya tidak terlindung.

"Heiii! Tulikah engkau? Kembalikan pedangku!" sekali lagi Tan Ki membentak.

Bun Beng tersenyum tenang. "Pedangmu yang manakah? Hok-mo-kiam ini bukanlah pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan menipu Pendekar Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau bersama Gurumu Maharya itu bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang membuat pedang ini? Dan engkau sekarang masih berkulit muka tebal mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah pedangmu?"

"Setan! Siapa engkau...?" Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu, sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.
"Tidak penting kau ketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kau ketahui bahwa pedang ini akan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Suma-taihiap."
"Engkau ingin mampus!" Tan Ki membentak dengan pengerahan khikang sehingga suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang, orang yang licik ini sengaja mengeluarkan suara keras agar terdengar oleh yang lain dan membantunya menghadapi perampas pedangnya. Setelah membentak, pedangnya berkelebat, sinar hitam menyambar ke arah tubuh Bun Beng.

Tan-siucai bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan cepat, dia pun memiliki sinkang yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun Beng dia merupakan lawan yang ringan. Bun Beng yang melihat pedang hitam menyambar ke arah lehernya, hanya miringkan kepala sedikit, dan berbareng tangan kanannya menampar.

"Plakkk!"

Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan tetapi biar pun perlahan, sudah cukup membuat Tan-siucai terbanting dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya telah menjadi bengkak membiru dan semua giginya di pinggir kiri copot! Sambil meludahkan gigi dan darah, Tan Ki memandang dengan marah sekali, namun hatinya menjadi jeri karena dalam gebrakan pertama itu saja sudah terbukti betapa lihainya pemuda ini. Teringatlah ia akan cerita tentang pemuda yang membela penghuni Pulau Es, yang mengamuk dengan hebat, bahkan dapat melayani gurunya. Mukanya menjadi pucat teringat akan ini dan dia sudah menoleh ke kanan kiri dan menengok ke belakang, mengharapkan datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah pemuda yang sakti itu!

"Tan Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang Hok-mo-kiam. Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek Nayakavhira, kemudian penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah lagi engkau ikut menyerbu dan membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah pantas dibunuh seratus kali! Akan tetapi, yang berhak memutuskan hukuman adalah Pendekar Super Sakti, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak membunuhmu dan hanya merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"

Tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah merampas Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih menanti datangnya bantuan dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Thai Li Lama. Hatinya menjadi besar, keberaniannya bangkit dan dia membentak nyaring.

"Engkau pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan murid Pendekar Siluman!" 

Sambil membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan Bun Beng terus digoreskan ke bawah untuk menyusul serangan itu kalau-kalau gagal.

Menghadapi ini, dan melihat datangnya Thai Li Lama yang lihai, Bun Beng menjadi marah sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan cepat pergi dari situ sampai semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia bisa celaka. Tangan kanannya bergerak ketika ia melangkah mundur untuk mengelak. Tampak sinar kilat yang luar biasa ketika Hok-mo-kiam terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke depan.

"Trakkkkk...!" Tan Ki menjerit nyaring dan roboh.

Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu masih terus menembus dadanya. Tan-siucai berkelojotan dan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa dia dahulu adalah seorang sastrawan yang amat pandai, yang berwatak baik ketika menjadi tunangan Lu Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia menyeleweng apa lagi setelah dia menjadi murid Maharya dan ilmu yang dipelajarinya membuat dia menjadi tidak normal alias agak miring otaknya. Kebencian dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian menimbulkan perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.

"Jahanam...!" Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul dengan pukulan geledek, yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah mengandung tenaga sinkang kuat, juga mengandung hawa mukjizat dari ilmu hitamnya.

Bun Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama telah banyak berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di bagian bawah kepala dibiarkan tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang dahulunya gundul kelimis itu kini seperti seorang yang botak, juga jubahnya yang merah terbuat dari kain sutera!

"Haiiiittt, lihat siapa aku? Orang muda, berlututlah engkau di depan Thai Li lama, orang kepercayaan Koksu!" Suaranya amat berpengaruh, pandang matanya seperti menyeluarkan sinar mukjizat.

Bun Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada sepasang mata yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya tak dapat ditahannya lagi, tertekuk dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba berkelebat di otaknya bahwa ini tidaklah sewajarnya, seperti ketika ia berhadapan dengan Maharya. Teringat pula dia akan ilmu sihir yang dimiliki golongan sesat ini. Cepat ia menggigit bibirnya sampai berdarah dan rasa nyeri ini melepaskan dia dari pada ikatan pandang mata yang melekat! Cepat ia mengalihkan pandang mata ke bawah, menulikan telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih kembali.

Pada saat itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah kepalanya, maklum bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri pendeta itu tengah bersiap mencengkeram ubun-ubun kepalanya selagi dia berlutut!

"Hyyaaaahhhhh!" Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat dari bawah.
"Crokk! Auggghhhh...!" Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah mengucur keluar dari lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh Hok-mo-kiam!

Sepasang mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke arah Bun Beng dengan kedua kakinya bergerak-gerak melakukan tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari atas, menuju ke arah ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja terkena tendangan itu, Bun Beng takkan dapat bertahan, biar pun dia memiliki tenaga sinkang yang bagaimana kuatnya.

Bun Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan diam-diam merasa ngeri melihat kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak merasakan nyeri dan masih dapat menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia meloncat mundur ke kanan kiri menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu. Namun gerakan kedua kaki itu aneh sekali, sama sekali tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu perkembangannya atau lanjutan geraknya, maka betapa pun cepatnya ia mengelak, tetap saja pundaknya terkena dorongan tumit kaki ketika kaki Thai Li Lama membalik yang merupakan lanjutan serangan tendangannya.

Biar pun tulang pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat Bun Beng terpelanting dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh dan pada saat itu, Thai Li Lama yang terkekeh seperti iblis itu sudah melayang turun, kaki kanannya bergerak menginjak ke arah perut Bun Beng, injakan maut karena dalam gerakan menginjak dari atas ini mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Kalau sampai perut pemuda itu terkena injakan, tentu akan hancur isi perutnya!

"Crokkk...! Aaiiihhhh!" Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan oleh Bun Beng dalam keadaan terancam maut itu menyambar dan membabat kaki yang menginjak. Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li Lama berdiri dengan kaki kiri, matanya terbelalak berapi-api, mulutnya mengeluarkan busa, keadaannya mengerikan sekali. Darah mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung dan dari kaki kanan yang buntung di bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat terpincang-pincang menghampiri Bun Beng!

Bun Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara mereka yang telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini menyaksikan keadaan Lama itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk menghentikan penderitaan orang yang menjadi musuhnya itu, dia cepat menubruk ke depan dan ketika sinar kilat berkelebat, pedang Hok-mo-kiam telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai menembus punggung. Bun Beng cepat hendak mencabut kembali pedang itu, akan tetapi tiba-tiba pendeta Lama itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung pula kaki kanannya, dan tertusuk tembus dadanya, masih dapat mengeluarkan bentakan nyaring, dari mulutnya menyembur darah segar dan tangan kanan berhasil memukul punggung Bun Beng dengan tamparan yang mengandung ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek.

"Blukkk!"
"Auuuhhh...!" Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan pemuda ini terguling roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama yang telah menjadi mayat!

Bun Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada menyesakkan napasnya. Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah melukainya, akan tetapi pikirannya masih terang. Dia harus cepat pergi! Telah tampak bayangan para anak buah pasukan yang mendengar bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara pohon-pohon. Cepat ia menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan bekas musuh ini, mencabut Hok-mo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu secepat mungkin, keluar dari hutan dan dilindungi kegelapan malam yang tiba, dia berhasil meninggalkan para pengejarnya.

Setelah aman dan tidak ada pengejaran lagi, Bun Beng duduk bersila di bawah pohon dalam hutan besar dekat puncak gunung, mengatur pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sinkang-nya untuk mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang oleh pukulan dahsyat itu. Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sinkang di dalam lorong rahasia dari kitab yang dipelajari oleh Ketua Thian-liong-pang, kalau terkena pukulan seperti itu, tentu nyawanya telah melayang!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji Kun ketika ia mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di tempat itu, di mana terdapat dia sendiri dan paman gurunya, Maharya yang sakti, bersama seribu orang prajurit pasukan pengawal, dua orang pembantunva yang dipercaya dan boleh diandalkan, terutama Thai Li Lama, tewas dalam keadaan mengerikan dan tak seorang pun tahu siapa yang telah membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama berduka sekali akan kematian sute-nya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan marah dan siapakah yang akan dibalas kalau tak seorang pun mengetahui siapa pembunuh sute-nya?

"Mudah saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku. Siapa yang memegang pedang itu, dialah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Aku bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk itu!" Maharya yang juga amat berduka akan kematian muridnya, terutama sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam oleh orang lain, mengepal tinju.

"Yang dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi sekali," kata Bhong Ji Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus dan mengubur kedua jenazah itu. "Tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, akan tetapi siapakah? Banyak tokoh kang-ouw sedang berada di sekitar tempat ini untuk menghadiri pertemuan besok pagi. Pasti seorang di antara mereka yang melakukannya."

Thian Tok Lama menggeleng kepalanya yang gundul. "Pinceng rasa bukan seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang telah menentang kita di Pulau Es."

"Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya.

Thian Tok Lama mengangguk. "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah menjadi lihai bukan main itu."

"Gak Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung.

Thian Tok Lama mengangguk. "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal yang tidak lumrah."

"Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."
"Pendekar Siluman...?" Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!

"Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar Super Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka, bukan? Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai dari pada saya, atau boleh dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja mengalahkannya."

"Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan oleh wanita Pulau Neraka itu?"

Maharya menggeleng kepala. "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah bahwa daerahnya dilanggar. Andai kata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar Siluman!"

Biar pun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat, mempergunakan teropong dan memeriksa keadaan.

Setelah semua tamu berkumpul, Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya berkata dengan suara nyaring,

"Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"

Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka merah masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jeri karena mereka tahu akan kelihaian wanita itu.

Ada pun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini, memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biar pun tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang wanita tua! Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus, berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa seram dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!

Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es! Benar-benar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul? Dan di mana adanya tokoh-tokoh Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang takkan terangkat naik!

Tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak dapat ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan khikang yang luar biasa kuatnya.

"Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di antara Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu dari pada aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"

Bukan main takaburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguh pun tidak ada yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan,

"Omitohud..."
"Siancai...!"

Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah bertahun-tahun dia menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai, dia menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau Neraka yang belum pernah dia jumpai.

"Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat dan korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi bagaimana menghadapinya!"

Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu pondok segera ditutup lagi.

"Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?" Di dalam pondok itu, Milana berbisik kepada Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan lehernya. Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan kesengsaraan batin.
"Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka," jawabnya pendek, lalu mengenakan kerudung kepalanya lagi.

Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik. "Ibu... begitu... begitu bencikah Ibu kepada Ayah...?"

Mata di balik kerudung itu memancarkan api. "Benci? Tidak ada orang lain yang lebih kubenci di dunia ini!"

Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan tiba-tiba Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya telah terisak menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi

"Ibu... sangat cintakah kepada Ayah...?"

Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka dapat melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai melangkah maju dan berkata nyaring sambil memandang pondok di atas.

"Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut dalam soal pemilihan Bengcu, dan tak akan mengakui Bengcu mana pun juga karena Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin menanam permusuhan. Hanya menjadi kewajiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan yang bertindak sewenang-wenang. Jika teguran Siauw-lim-pai ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pinceng sebagai wakil Siauw-lim-pai siap bertanggung jawab!"

Setelah hwesio tinggi kurus itu mundur, majulah seorang tosu berambut putih dari rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring.

"Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong Tek-cu yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thian-liong-pangcu mempertangung jawabkan perbuatan itu sekarang! Tentang pemilihan Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencampurinya!"

Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai yang berkata, "Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian-liong-pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat terbuka ini!" Dan dengan alasan yang sama pula majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai.

Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia memandang ke atas seolah-olah mengharapkan ketuanya turun tangan. Tak lama kemudian terdengar suara Ketua Thian-liong-pang.

"Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?"

Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya partai yang menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab, "Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Bu-tong-pai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!"

Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang. "Hanya enam partai saja? Ataukah masih ada lagi? Harap Cu-wi yang ingin mencoba kepandaianku, tidak malu-malu, nyatakan saja terus terang!"

Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata, "Para wakil dari enam partai yang minta pertanggungan jawab, persilakan maju!"

Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang tosu, dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suheng-nya, murid dari ayahnya, sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga orang wakil yang merupakan murid-murid kepala. Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan demikian, wakil dari enam partai itu berjumlah tiga belas orang, murid-murid kepala dari partai-partai yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

"Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawabku, ada tiga belas orang telah berkumpul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon Bengcu mempunyai tanggung jawab dan kepandaian untuk memimpin Cu-wi sekalian, aku akan menghadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!" Setelah berkata demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas orang itu.

Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut senjata mereka. Namun Nirahai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung di punggungnya, tubuhnya terus meluncur, bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah mereka. Tiga belas orang itu menggerakkan senjata masing-masing menyambut bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, demikian cepat gerakan wanita ini sehingga sukar diikuti pandangan mata.

Tampak bayangan tubuhnya berkelebat di antara sinar senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata terpental dan ketiga belas orang mengeluarkan teriakan kaget disusul robohnya tubuh mereka seorang demi seorang, cepat sekali sampai ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Tubuh wanita berkerudung itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri, ada yang terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring.

Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang menyaksikan kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan tangan kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah mengalahkan mereka dan hebatnya mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sinkang yang amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka!

Ang Siok Bi yang tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik kini bangkit bersama yang lain-lain, memandang wanita berkerudung itu dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua mengakui bahwa kalau wanita itu menghendaki, kalau wanita itu menggunakan senjata atau melakukan pukulan yang berat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!

"Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bahwa aku telah berani mempertanggung jawabkan semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh yang pernah menjadi tamu kami tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa penasaran? Sekarang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di antara Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan kepada Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!"

Tantangan ini tidak ada yang berani menjawab, dan mereka semua saling pandang, mencari ke kanan kiri mengharapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak mata hidung kedua orang tokoh itu, bahkan tidak tampak seorang pun tokoh dari kedua pulau itu.

Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan kelihaian Ketua Thian-liong-pang, sedangkan tiga belas orang yang kalah tadi mengambil senjata masing-masing dan kembali ke kelompok mereka, tidak ada yang berani melawan lagi karena masing-masing maklum bahwa mereka bukanlah tandingan wanita berkerudung yang hebat bukan main itu.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya. "Ha-ha-ha! Pulau Es sudah terbasmi, sedangkan Pulau Neraka pun penghuninya sudah melarikan diri semua, bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menantang angin kosong?"

Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri dari panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang setelah tiba di situ sekarang berkumpul menjadi sekelompok. Hati mereka besar dan mereka berani bicara karena mengandalkan pasukan yang berada di sekeliling tempat itu. Pula, mereka sengaja mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya tokoh-tokoh mereka seperti yang dikehendaki oleh Koksu.

Nirahai memutar tubuhnya menghadapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu menyambar-nyambar tajam.

"Kalian siapakah? Dari golongan dan partai apa?" tanyanya tiba-tiba, suaranya dingin.

Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menjawab sambil mengangkat dada, suaranya tegas dan nyaring, "Kami adalah orang-orang kang-ouw perantau yang tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin melihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?"

"Hemmm! Memang undangan kami ditujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian telah berani menghina Pulau Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani bicara besar di sini."

Lima belas orang itu adalah panglima-panglima yang biasanya membagi perintah dan dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua Thian-liong-pang, mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diperlakukan seperti itu oleh siapa pun juga!

"Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau kami menghina Pulau Es dan Pulau Neraka, apa hubungannya itu dengan Thian-liong-pang? Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berani melawan pemerintah, maka dihancurkan dan dibasmi! Kami rasa Thian-liong-pang tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan... augghhhh...!"

Tiga orang anggota rombongan itu yang berdiri paling depan roboh dan tewas seketika terkena sambaran sinar hitam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si pembicara dan dua orang temannya.

"Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ!

Nirahai cepat membalikkan tubuh dan....

"Srattttttt!" Dia telah mencabut pedangnya, akan tetapi dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga orang tadi adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambitkan dengan tenaga dahsyat sekali!

Tanpa menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia lalu berkata, "Thian Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang sengaja engkau kirim untuk melakukan penyelidikan?" Suaranya dingin sekali akan tetapi matanya masih ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.

Thian Tok Lama terkejut bukan main. Benar-benar seorang yang aneh sekali Ketua Thian-liong-pang ini, sebab selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu telah mengenalnya!

"Benar!" jawabnya. "Akan tetapi mereka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami malah kau bunuh!"

Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seperti meletus dan tampak debu dan uap mengepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak... sebuah peti mati yang perlahan-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang seperti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala botak, bertubuh kurus dan dalam keadaan... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak mempunyai darah sama sekali.

Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bahkan Thian Tok Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak.

‘Mayat hidup’ itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu meloncat keluar dari dalam peti mati. "Uhk-uhk-uhkkk... anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka. Akulah orang Pulau Neraka dan yang membunuh tiga orang itu, heh-heh... malah semua yang berani menghina Pulau Neraka akan kubunuh."

Tiba-tiba saja mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu ‘terbang’ ke arah rombongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak tanah. Melihat ginkang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai terbelalak, dan Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Tibet karena dia menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang muncul dari bawah tanah!

Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul empat orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan... dijambaknya rambut kepala mereka itu seorang demi seorang, diputarnya dan ditarik sehingga... kepala itu coplok, lehernya putus, darah menyembur keluar. Tiga orang lainnya hanya melongo dan pucat, seolah-olah tak mampu bergerak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang demi seorang putuslah lehernya.

Mayat mereka dilempar-lemparkan oleh Si Mayat Hidup yang sudah bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah mendapatkan kembali kesadarannya, maklum akan datangnya bahaya mengancam, maka mereka itu sudah menghunus pedang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup menerjang maju, enam orang panglima ini membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.

"Tak-tok... bak-buk...!" Senjata-senjata itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental seperti mengenai tubuh dari karet yang ulet, kenyal dan keras! Kembali empat orang telah dirangkul, ‘dicopot’ kepala mereka dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah membanjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar! Melihat ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka dan hendak lari.

"Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari ke mana? Ke sinilah bersama Kakek!" Mayat hidup itu berkata, dan tangan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang sedang lari dan... sungguh aneh, dua orang itu biar pun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki untuk lari, namun mereka bukannya maju ke depan melainkan... mundur ke belakang seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat hidup itu!

Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama telah meloncat ke depan dan sudah memasang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi dan tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan pengerahan tenaga sinkang, dia memukul ke arah punggung mayat hidup itu.

"Dessss!"

Mayat hidup itu terlempar sampai tiga meter, akan tetapi tidak roboh dan membalikkan tubuh, mulutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut bukan main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan tetapi tenaganya tidak dapat menembus tubuh itu!

"Heh-heh-heh!" Mayat hidup itu melihat awan hitam yang keluar dari tangan Thian Tok Lama yang memukul tadi. "Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang? Eh, Gundul, kepandaianmu lumayan juga!"

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya. "Orang tua, apakah benar engkau dari Pulau Neraka? Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?" Bertanya demikian, Nirahai mengkirik ngeri, bukan karena gentar menyaksikan kelihaian mayat hidup itu, namun dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biar pun laki-laki itu seorang kakek.

Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan dahsyat tadi hanya menimbulkan rasa gatal. "Banyak orang pandai sekarang! Aku bukan ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)!"

"Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu sekarang menantangmu untuk mengadu kepandaian. Jagalah seranganku!"

Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya, menusuk ke arah dada mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa mayat hidup yang kini dia percaya adalah seorang kakek yang masih hidup itu sama sekali tidak mengelak.

"Crokkkk!" Pedang yang mengenai dada itu menempel dan tidak dapat menancap, dan dengan gerakan yang cepat serta aneh sekali tangan kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai.

"Aiiihhhh!" Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, lalu mengirim serangan lagi, memilih bagian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!

"Plakk!" Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak dengan gerakan yang amat cepat.

"Hayaaaa...! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!" Kakek itu terkekeh memuji.

Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang menyerbu! Dari teropongnya Bhong Ji Kun menyaksikan betapa orang-orangnya tewas secara mengerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerahkan pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari mendahului untuk membantu Thian Tok Lama yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi.

Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam pertentangan dengan pemerintah lalu mengundurkan diri dan pergi dari tempat itu. Ada pun para anak buah Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka sudah menyambut dan terjadilah perang tanding di mana banyak sekali pasukan roboh dan tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu.

"Dia telah membunuh orang-orang kita!" Thian Tok Lama menuding ke arah kakek telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai.

Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulan-pukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai angin kosong belaka, akan tetapi semua bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak dapat melukai tubuh kurus kering yang kebal itu. Nirahai menjadi makin penasaran dan tidak mau mengalah begitu saja. Kini pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung, sebagian melindungi tubuhnya, sebagian lagi melakukan serangan-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata kakek telanjang.

"Hehhh, kau lihai...!" Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus menangkis sinar pedang yang bergulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapa pun kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin matanya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan memuji yang menyembunyikan kemarahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin berdesir-desir menyambar keluar dari kedua tangannya.

Nirahai diam-diam terkejut dan harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian seperti kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan mengandalkan ginkang-nya untuk selalu menghindarkan diri, mengerahkan sinkang-nya untuk melawan sambaran angin pukulan dahsyat itu.

Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah orang dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju, mengeroyok Cui-beng Koai-ong! Bhong Ji Kun menggunakan pecutnya yang langsung menyambar-nyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek telanjang dengan ujung pecut. Maharya sudah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan menyerang hebat, meniru taktik Nirahai menyerang ke arah kedua mata, sedangkan Thian Tok Lama tetap mempergunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biar pun tidak dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini dapat membuat lawan terlempar. Dan setelah dia mengerahkan pukulan-pukulannya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata tak berani sembarangan menerima pukulan ampuh itu.

Dikeroyok empat orang yang demikian saktinya, betapa pun lihai, Cui-beng Koai-ong kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa, "Heh-heh-heh, banyak orang hebat!"

Maharya yang menyaksikan kehebatan kakek telanjang itu menjadi penasaran dan ia membentak, "Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!"
"Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!" Cui-beng Koai-ong dengan berani memandang muka dan menentang mata Maharya.
"Engkau merasa kakimu lumpuh, rebahlah!"
"Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?"

Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama sekali tidak mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihirnya membalik, seolah-olah terbentur pada benteng yang aneh dan kuat!

Cui-beng Koai-ong terdesak hebat. Anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, adalah orang-orang Thian-liong-pang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipimpin oleh para panglima! Betapa pun lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka mandi keringat dan terdesak.

Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja gerakan dara ini dan sebentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang panglima roboh oleh sambaran pedangnya. Pertandingan makin hebat dan kacau balau.

"Aku ikut...! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!" Tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu masuk, dia lalu secara ngawur menerjang, membantu twa-suheng-nya dan disambut oleh Thian Tok Lama.

Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute dari mayat hidup tentu lihai sekali, maka datang-datang dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam!

"Wah berbahaya..." Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilmu memindahkan tenaga. Sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olah memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemiliknya sendiri, ditambah tenaganya sendiri.

"Omitohud...!" Thian Tok Lama sempat menarik kembali tangannya dan mencelat mundur, kalau tidak tentu lengannya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini.

Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan tetapi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukulan. Memang tingkatnya masih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang mempunyai banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahankan dirinya.

"Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tak akan menang melawan Si Gundul itu. Berikan kepadaku!" Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang.

Melihat ini, Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan tetapi mukanya selalu tertawa, matanya lebar sekali dan rambutnya riap-riapan.

"Tua bangka gila, siapa kau?" Maharya membentak sambil melintangkan senjatanya bulan sabit.
"Ha-ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa? Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa-tawa.

Dia adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cui-beng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan kedua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa sekali, bahkan twa-suheng-nya sendiri segan menghadapi sute-nya ini yang biar pun tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu aneh-aneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetapi dia jauh lebih lihai!

Kini pasukan pemerintah mulai mengeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biar pun pasukan itu seperti sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sute-nya kewalahan juga, apa lagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan. Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan mereka seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan Bu-tek Siauw-jin mendapat lawan yang tangguh dalam diri Maharya. Kalau mereka masih diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!

"Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar? Sucouw nakal sekali, tidak menurut omongan teecu!" Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang pemuda tampan.

Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang prajurit segera mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus seolah-olah tidak melihat atau tidak mempedulikan mereka, matanya tetap memandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.

Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para prajurit menjadi marah dan berbareng mereka menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan senjata, menyerangnya dari enam penjuru.

"Singggg... sratttt!" Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan... enam orang itu dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi sinar kilat tadi. Kini tampak pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali pedangnya yang bersinar kilat, melanjutkan langkah seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Para prajurit lainnya memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan tetapi juga gentar!

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Neraka yang bermuka kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biar pun dia masih tertawa-tawa, sekali ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu memindahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang hingga tubuhnya terpental, bergulingan dan dari mulutnya terpancur darah segar.

"Eh, Sam-te, kau terluka?" Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini loncat mendekat, langsung menghampiri dan tidak mempedulikan lagi Maharya yang mengejarnya.
"Heh-heh-heh, ji-suheng, aku... aku hendak pamit... mendahuluimu..." Kwi-bun Lo-mo terengah-engah, akan tetapi masih tersenyum lebar.
"Wuuuttt!" Senjata bulan sabit di tangan Maharya menyambar dan cepat sekali Bu-tek Siauw-jin menggulingkan diri, mengelak lalu melanjutkan pembicaraannya dengan Kwi-bun Lo-mo yang sudah menggeletak dengan napas empas-empis.

"Wah, kau licik, mau pergi dulu, membiarkan aku Si Tua Bangka melanjutkan hukuman di dunia, ya?"
"Heh-heh, Ji-suheng. Kau... kau pesan apa...?"
"Pesan tempat! Kau pesankan untukku satu tempat yang baik, ya?" Kembali Bu-tek Siauw-jin mengelak dan balas dengan sodokan tangan ke arah perut Maharya yang membuat Maharya cepat meloncat ke belakang.

"Di dalam neraka, mana ada tempat yang baik? Heh-heh... akan kupesankan untukmu, Ji-suheng... dekat aku..., heh-heh-heh..." Dan terputuslah kata-kata kakek muka kuning yang jenaka itu, berbareng dengan nyawanya yang melayang.

"Aihhhh... Sam-sute, jangan lupa lho...!" Pada saat itu, Maharya sudah menerjang lagi, marah bukan main melihat betapa lawannya melayaninya sambil omong-omong seenaknya dengan orang lain yang mau mati!

"Siuuuutttt... wessss...!" Senjatanya menyambar dan tiba-tiba tubuh pendek itu lenyap dan ketika ia berdongak, dari atas menyambar sebuah benda hitam yang segera meledak ketika menyentuh tanah di dekat Maharya!

Maharya sudah cepat meloncat, akan tetapi betisnya masih terkena api yang panas sekali, membuat dia makin marah. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bu-tek Siauw-jin sudah menaburi jenazah Kwi-bun Lo-mo dengan obat bubuk putih, kemudian meledakkan senjata rahasia dan... jenazah itu terbakar, menyala-nyala tinggi sehingga terciumlah bau sangit yang memenuhi tempat pertandingan itu.

"Sucouw, mari kita pergi saja!" Pemuda tampan itu kini sudah berada dekat suhu-nya yang masih dikeroyok dua.
"Aihhhh! Orang baru enak-enak bercanda, kau ganggu saja!" Kakek telanjang itu mengomel.

Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka yang menjadi muridnya, telah menyambar tangannya kemudian mengajak suhu-nya melompat jauh. Nirahai dan Bhong Ji Kun hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu melemparkan sesuatu ke atas tanah dan... asap hitam membubung tinggi, membentuk tirai yang gelap dan mengeluarkan bau yang memuakkan, membuat Nirahai dan Bhong Ji Kun terpaksa mundur lagi.....

"Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan dia pun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai mengeroyoknya.

Dia pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para prajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding melawan para prajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok Lama, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.

"Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!" katanya kepada Bhong Ji Kun.
"Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!" jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok La-ma.
"Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!" Tubuh Nirahai melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.
"Kalian jangan ikut!" Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. "Apakah kalian tidak percaya kepadaku?!"

Bhong Ji Kun berkata ke bawah, "Jangan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!" Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.

Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. "Bhong-koksu lihat siapa aku!"

Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata, "Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang."

Nirahai memasangkan kerudungnya kembali. "Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!"

Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,

"Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!"

Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring. "Wi Siang, hentikan pertempuran!"

Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang sedang bertanding, dan seketika kedua belah pihak masing-masing mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang tahu bahwa ibunya tentu tidak menghendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnya mundur dan mengelilingi gubuk. Ada pun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada wanita berkerudung, menjura dan berkata,

"Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!"

Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.

"Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!" kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!

"Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek." Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. "Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu."

Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai dari pada sebelum lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai dari pada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya tinggal Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.

Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!

Menjelang senja, tampak seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan memasuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersemedhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit.

Hari telah menjadi sore ketika mendadak dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.

"Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bawa aku turun ke sana." Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali. 

Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tiang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara. Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!

Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya. Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia, setelah menjadi mayat pun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini?

Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu. 

Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apa lagi kalau dia teringat kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.

"Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, makhluk yang merasa diri paling suci itu?"

Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.....
********************
Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai utara menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai beberapa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka menjadi prihatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat goa itu merupakan tempat persembunyian yang baik.

Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk mendapatkan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurangan karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu tentang keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.

Yang paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak betah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.

Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, diikat dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak.

Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya.

Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat itu.

"Braaaakkkk...!" Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi.
"Haiiiihhhh...!" Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, otomatis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya terbelalak memandang ke dalam peti.

Biar pun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan sekali pun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah... mayat! Hati siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga, ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu?

"Iihhh... hiihh... hiiihhhh...!" Kwi Hong menjerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri.

Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa.

"Heh-heh-heh-heh!" Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!

Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah makhluk hidup, bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberaniannya timbul kembali. Ia segera memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa biar pun kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi kurus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur, membuat mata itu seperti berwarna putih semua.

Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri saja! Barulah sesudah tanpa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pulau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw.

Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam peti-peti mati bekas mayat yang sudah tua sekali sehingga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelakuannya yang tidak lumrah manusia!

Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang dibumi hanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah.

Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di dalam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbulkan geger! Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua orang sute-nya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit!

Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penuturan muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat tidur itu, terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu dengan Kwi Hong.

"Heh-heh-ha-ha-ha, bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!" Cui-beng Koai-ong yang sudah berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biar pun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya yang tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian dibanting-banting ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah dan kecewa.

Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,

"Mohon maaf sebanyaknya, Locianpwe. Karena tidak tahu maka tanpa sengaja saya berani mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu..."
"Hayo berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau mengampunimu!" Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa.

Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu sebagai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.

"Locianpwe," jawabnya dengan suara dingin, "saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Locianpwe tidak menuntut yang terlalu berat. Locianpwe bukan sucouw saya, tidak mungkin saya mau mengakui Locianpwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!" Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.

"Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!"

Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mukjizat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mukjizat itu menyedot dan menahannya dari belakang!

Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sinkang-nya dan dia memaksa diri melangkah ke depan. Kakinya dapat digerakkan, namun langkahnya tetap di tempat, sama sekali tidak dapat maju sejengkal pun!

"Heh-heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali ke sini!"

Makin kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan hampir terjengkang. Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga dahsyat yang menariknya. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap dirinya.

Dia merasa menyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih baik. Betapa pun juga, melihat betapa kakek itu menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah,

"Kiranya engkau iblis yang jahat!" Dia lalu meloncat ke depan dan memukul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari gadis perkasa ini.
"Cieeettt... bukkk...!" Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil menggigil.
"Ihhh, dingin...! Eh, apakah kau dari Pulau Es?" tanyanya.

Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.

"Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah Pamanku!"

Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menyeringai sehingga dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, namun biji matanya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!

"Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Telah lama aku rindu untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya, dapat kuukur sampai di mana kehebatannya!" setelah berkata demikian kakek itu menyerang!

Serangannya amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong. Kaki tangannya bergerak kacau, akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim lima kali totokan secara bertubi-tubi. Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia menggerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapa pun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh.

"Heh-heh-heh-heh! Tidak seberapa!" Kakek yang mengerikan itu terkekeh, tangannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar.

Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah berhasil menotoknya lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi penasaran dan biar pun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan ilmu silat yang ia pelajari dari pamannya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang asli karena ilmu mukjizat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebuah. 

Pendekar Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang dasarnya memakai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sana ke mari dan pukulan kedua tangannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirubah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.

"Hebat... hebat... eh, ilmu apakah ini?" Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang memberi komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu, "Eh, panas... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!"
"Plak! Plak!"

Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terlepas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mukjizat. Tubuhnya masih berada di udara, kedua kaki ke atas dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!

"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangannya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang.

Untung bahwa dara ini memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Lebih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia menggunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!

"Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?"

Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biar pun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu tengkuknya berdiri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia!

Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia lebih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sinkang-nya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh sangat girang karena dapat mempermainkan dara itu.

Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super Sakti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanannya didorongkan ke depan di antara keponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan ‘terputuslah’ tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hidungnya yang kecil mancung itu mencium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai terluka.

Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan terlihat tenang-tenang saja. Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!

Suma Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebelah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.

"Kau... kau... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es...?" Kakek itu bertanya, suaranya agak gemetar!

Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab, hanya sedang meneliti kakek di depannya. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir usia kakek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus tulang tanpa daging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!

"Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!"

Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut kepalanya, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan hormat,

"Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?"

Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, "Aku sudah memenuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka telah minta maaf. Sekarang, karena kita bertemu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!"

"Locianpwe dari Pulau Neraka?" Suma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia merasa heran sekali. "Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?"

"Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Sute-ku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?"

Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. "Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?"

"Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, karena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biarkan saja! Kami senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang buangan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah merupakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ketika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Sute-ku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratusan tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayarnya!"

"Nanti dulu, Locianpwe! Setelah kini Pulau Neraka dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?" Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.

"Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku, maka... eh, sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kau kalahkan aku!"

Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerakan aneh tetapi ganas dan dahsyat sekali ke depan. Suma Han lantas mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu, debu mengebul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.

"Kwi Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!" Suma Han berkata ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya.

Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan kakek itu. Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nyawa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya.

Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu meninggalkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak lega hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali, biarlah andai kata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa juga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali demikian kecil.

"Desssss!" Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat bertumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai lima langkah.

"Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu, ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa dan siap menerjang lagi.

"Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Suma Han biar pun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Neraka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-matian sedangkan kita mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita harus saling gempur sendiri?"

"Cukup banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus dilunasi sekarang juga!" Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti sebatang tombak dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han. 

Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan dahsyat yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan.

"Brakkkkkk!" Batu karang di mana burung rajawali bertengger itu hancur. Burung itu terbang dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu karang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.
"Bukan main," Suma Han diam-diam memuji. "Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi."

Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan memuji.

"Bukkk!" Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka, padahal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan sebatang pohon yang besarnya setubuh manusia!

Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandinginya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sinkang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya ketika mereka tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke belakang. Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.

Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok kepala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkatnya mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.

"Trakkk!"

Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan tetapi sama sekali tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya itu sudah menjalar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus mengalahkan kakek ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang matanya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pukulan mau pun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis dengan lengan tangannya yang biar pun hanya tulang terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu.

Diam-diam Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai, sedangkan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat bertahan kalau begini?

Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bukit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk menyerang dengan tepat.

Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya, kedua lengannya bersedekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala Pendekar Siluman itu keluar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-gerak hendak melawan kakek itu. Sejenak kakek itu melongo, kemudian terkekeh-kekeh dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih bersila.

"Aihhhh!" Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal terhadap kekuatan mukjizat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan membentak,

"Cui-beng Koai-ong, robohlah!" dengan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar mata, mau pun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mukjizat yang amat berpengaruh.

"Heh-heh-heh, nanti dulu. Aku belum kalah mana mau roboh?" jawab kakek itu dan menyerang terus.

Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mukjizat dalam dirinya tidak mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia telah memiliki kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan ilmu sihir.

Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang berdekatan pecah berantakan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang, mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang mengamuk dan saling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan seorang yang sebelah kakinya buntung.

"Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!" Tiba-tiba kakek itu berkata dan... dia melempar tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pendekar ini terkejut sekali, merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.

"Desss!" Tubuh kakek itu terpelanting dan dia bergulingan sambil menyeringai, akan tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang!

Suma Han menjadi girang karena maklum bahwa dia menemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya. Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, telapak kaki itu ketika bertemu dengan tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya mendorong ke atas.

"Wusss... bukkk!" Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu telah mempergunakan daya tahan bumi!

Dan kakek itu tertawa girang, tetap terlentang. "Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong berloncatan itu sekarang!"

Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik sekali. Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal yang memantul menurut keseimbangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan kecepatan itu membuat bingung lawan sehingga dapat mengirim serangan tiba-tiba dari samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah terlentang, tentu saja tubuh bagian belakang terlindung tanah, juga sukar menyerang dari kanan kiri. Satu-satunya tempat untuk diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu. Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini.

Namun Suma Han yang juga merasa penasaran, masih terus menyerang dengan tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek itu sambil ‘tiduran’ seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan turun berdiri ke atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan dahsyat, bagaikan tombak besar dilontarkan kepadanya! Dan kalau dia menggunakan Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang!

Dua ratus jurus lewat dan pertandingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi semua lawan sakti yang pernah dilawannya.

"Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba sekarang kau terima ini!" Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat yang mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tubuhnya sudah mencelat dan menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan itu menyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh.

Suma Han maklum bahwa kalau dia mengelak, ada bahayanya dia terkena sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu sinkang, keras lawan keras. Apa lagi dia memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan kakek ini, maka jalan satu-satu-nya untuk menentukan kemenangan hanyalah mengadu tenaga sinkang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih sampai matang di Pulau Es.

Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangan menerima dorongan kakek itu.

"Jieeetttt!"

Dua pasang tangan bertemu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk, saling mengerahkan sinkang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan mereka. Pertandingan mati-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan siapa kalah kuat tentu akan binasa!

Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nyawa, lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi kalau orang melihat kedua kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Super Sakti, orang akan terkejut melihat kaki mereka itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka mengadu sinkang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman. Muka kedua orang sakti itu penuh keringat yang besar-besar dan mata mereka saling pandang tanpa berkedip.

Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah datang dengan pedang di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu sinkang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.

Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang mendatangkan hawa yang mukjizat itu, tahulah dia bahwa pedang itu merupakan pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya menyembur darah merah ke arah muka Suma Han. Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya mendorong, membarengi gerakan kakek itu yang juga mendorong dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran.

Melihat pamannya terpental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat mengelak dan tangannya meluncur ke depan, hendak merampas pedang sedangkan tangan kanannya mencengkeram kepala Kwi Hong.

Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sambil melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan kakek itu dan ia terpelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!

"Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!"

Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia akan celaka. Kecepatannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sinkang kakek yang luar biasa itu. Akan tetapi begitu ia memutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan sinar yang merupakan perisai bagi tubuhnya, kakek itu tidak berani menyerangnya.

Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah dia bahwa adu tenaga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bahwa kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak tampak bahwa kakek itu pun terluka.

Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata, "Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!"

Biar pun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulungan sinar pedang itu meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek ini kaget, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka tentu saja dia tidak mau membiarkan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya menangkis.

"Crakkk!" Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan kiri kakek itu pun terbabat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu!

Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han cepat meloncat pula ke depan.

"Bresss!" Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang.

Suma Han merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek itu masih dapat bangkit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun berdirinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking lawan, ia menerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia merasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.

"Trangggg... aihhhh!" Kwi Hong menjerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang pedang persis pedangnya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita Bun Beng, bahwa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera Pulau Neraka.

"Kau...? Keparat...!" Dia membentak.

Tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan kirinya, kemudian setelah memandang dengan mata mendelik penuh kebencian kepada Suma Han, lalu meloncat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya meninggalkan pantai itu.

"Tunggu, jahanam...!" Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.
"Kwi Hong, jangan kejar...!" Suma Han berseru.

Dara itu berhenti, menengok dan terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya. "Aihhh, Paman...!" Ia meloncat menghampiri.

Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuhnya. "Tidak apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannya pun hebat. Kalau kau mengejar, bisa berbahaya... coba ambilkan tongkatku..."

Kwi Hong mencabut tongkat pamannya dan menyerahkan kepadanya. "Mari kita menemui bibimu Phoa Ciok Lin...," katanya menuding dan dari utara tampak Phoa Ciok Lin datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka sudah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak membantu. Alis Ciok Lin berkerut penuh kekhawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang segera terbang turun.

"Rajawali Pulau Neraka...," katanya tersenyum duka. "Beterbangan bingung kehilangan tempat, lalu dapat kutundukkan... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke tempat kalian... aku perlu mengaso..."

Dengan perawatan penuh perhatian dan sangat teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersemedhi. Dia sering kali tampak termenung memikirkan perkembangan hidupnya yang makin diselimuti kesukaran dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah.

Di dalam perjalanannya dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran penyerbuan pasukan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak ada sebuah pun mayat di situ.

Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang dapat ia tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudian dia menunggang rajawali, dengan niat untuk mencari Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mereka itu pergi ke Cui-lai-san, di mana diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan Thian-liong-pang.

Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia tidak akan mau mencampuri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti tidak akan mudah dilawannya dan dia harus menanti kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantunya, tanpa ribuan orang pasukan yang menjaganya.

Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia tahu tentu bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedihkan di Pulau Es, Suma Han telah bersiap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar kekuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es.

Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya terancam oleh kakek yang amat lihai sehingga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian, sembuhlah lukanya, akan tetapi kembali Suma Han harus mengalami tekanan batin ketika mendengar bahwa Kwi Hong telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit, tidak tahu ke mana perginya dan tak seorang pun mengetahui apa kehendak dara yang kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma Han menghela napas panjang.

"Biarlah, ia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir, dengan pedang itu di tangannya, akan terjadi banyak bencana. Mudah-mudahan saja tidak demikianlah."

"Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis adalah pedang yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji memiliki dasar yang baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pedang itu benar-benar mengandung hawa yang mengerikan."

"Hemmm, betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang berada di tangan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi yang berada di tangan anak itu..."

Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!

"Anak yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?"

Suma Han mengangguk "Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka..."

"Aihhhh...!" Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia menarik kembali tangannya dan menarik napas panjang. "Putera... Lulu...?"

Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain, seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil adalah wanita inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua pengalamannya ketika terculik di Pulau Neraka.

"Lalu... bagaimana baiknya, Taihiap?"

"Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku juga harus menghajar mereka yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Aku harus mencari Lulu dan Nirahai... dan aku akan mengumpulkan Sepasang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan banyak keributan lagi di dunia ini," kata Suma Han dengan suara tegas.

Ciok Lin menghela napas panjang lagi. "Mudah-mudahan kau berhasil, Taihiap. Terutama sekali... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil berkumpul lagi dengan mereka...," terdengar suara wanita itu yang mengandung isak tertahan. 

Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengannya.

"Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung dalam hatimu, dan aku merasa betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi, engkau pun tentu tahu pula akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andai kata tidak ada kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka..."

Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehingga dua titik air mata yang bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata, "Taihiap, saya mengerti bahwa hidupmu hanya untuk Lulu dan Nirahai... dan saya bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup bahagia bersama mereka."

Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur dan berterima kasih. "Engkau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin," katanya dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih seperti yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang merupakan cinta kasih murni, cinta yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta berbahagia.

Phoa Ciok Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biar pun semenjak tinggal di Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula siapa orang yang dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat mengharapkan cinta kasih Suma Han terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini, apa lagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik.....
Selanjutnya baca
SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-14
LihatTutupKomentar