Sepasang Pedang Iblis Jilid 14

Melihat betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu makin merasa berdosa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan yang serius. "Taihiap, kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu sekarang tidak mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau Es, sedangkan untuk membiarkan mereka tinggal di tempat ini sebagai buronan yang bersembunyi, sangat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan, Taihiap?"
"Engkau benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahulu aku tidak bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para bekas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak penghuninya dan aku dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan semua pusaka dan harta yang dapat kau larikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu kepada mereka agar dapat digunakan sebagai modal dan hidup di dunia ramai, membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin."

"Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap itu dapat saya selesaikan sebentar saja, saya harap Taihiap suka menyaksikannya dan meninggalkan kata-kata perpisahan untuk mereka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu, saya... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap cinta, selama-lamanya..."

"Ciok Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan. Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apa lagi kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau belumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau masih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebuah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."
Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk membantah, Suma Han lalu menekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang duduk anteng di atas punggung rajawali itu.

Phoa Ciok Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun bercucuran ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan mulutnya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. "Duhai, Suma Han... betapa aku dapat menikah dengan orang lain? Apa artinya hidup bagiku kalau harus berpisah dari sampingmu?"

Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembunyian para penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang meninggalkan tempat itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengandung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita berilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw!

Kemana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama sekali dia terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut, pergi merantau. Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu.

Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus mambantu Ciok Lin menjaga para anak buah Pulau Es yang mengungsi di situ, menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biar pun pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding melawan kakek yang seperti mayat hidup itu, namun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tanaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi.

Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong kemudian meninggalkan pantai, melakukan perjalanan cepat berlari-larian menuju ke selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira, merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan membalas terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan pedang itu, dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat dari pada yang telah dilakukan oleh guru dan pamannya, Pendekar Siluman!

Langkahnya cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang kepala, dijadikan dua buah kuncir yang besar dan dibiarkan bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan.

Anak rambut halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya, melingkar indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bahkan ada sinar memandang rendah kepada segala apa yang dihadapinya. Hidungnya mancung dan mulutnya dijaga sepasang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-ubah, kalau tersenyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat menyeramkan seperti awan gelap mengandung kilat.

Pakaiannya terbuat dari pada sutera berwarna yang halus mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Betapa pun juga, segala macam pakaian yang menempel di tubuh itu takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang mengurungnya.

Ketika dia berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria!

Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat dari pada musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam di kota raja?

Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang membantu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua orang Lama yang menurut pamannya amat lihai dan adalah musuh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditambah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya!

Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha merampas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si Sastrawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapa pun juga. Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan mendesaknya! Apa lagi yang lain-lain itu!

Siapa lagi musuh-musuhnya? Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar adalah perkumpulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi... ehhh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar itu!

Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas jika teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu tentu putera Bibi Lulu, pikirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apa lagi sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangannya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu!

Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu memasuki dusun Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu masuk ke sebuah restoran di pinggir jalan. Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandangnya dengan terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es.

Mula-mula memang dia marah-marah dan sering kali dia menghajar pemilik mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyambut kehadirannya dengan mata terbelalak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi Hong bahwa dia adalah seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini, makin girang hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya mata laki-laki yang bengong mengaguminya terdapat sepasang mata Bun Beng! Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.

"He, Bung Pelayan! Ke sinilah!" Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri di sudut melongo memandangnya.

Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aihhh, pandang mata mereka itu tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm, apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia membentak,

"Heii, mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?"

Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang mata ke bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.

"Maaf... maaf... Lihiap. Kami... ehh, kami tidak apa-apa, hanya... hanya kagum melihat kegagahan Lihiap..."
"Hushhh! Bohong kamu!" Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja.
"Kressss!" Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung! "Hayo terus terang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras dari pada kayu ini!" Kwi Hong mendesis lirih, akan tetapi penuh ancaman.

Otomatis tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot memandang tangan dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan remuk kalau kena dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah sampai kepala dan lehernya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia bicara.

"Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu sering kali muncul gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Entah betapa banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihlap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah seorang di antara mereka dan kami kagum sekali."

Kwi Hong sudah menjadi sabar kembali. "Hemmm, buka mata lebar-lebar sebelum menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi godok istimewa!"

"Istimewa? Maksud Lihiap...?"
"Bodoh! Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!"
"Eh, araknya pakai telur?" Pelayan itu melongo.
"Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di sini." Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apa lagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biar pun mereka menyembunyikan tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh membelakanginya.

Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan mereka adalah seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.

"Siapakah mereka itu?" tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke atas meja dengan sikap hormat.

"Ah, sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap malam terjadi pertandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang bergelimpangan."

"Mayat-mayat siapa?"
"Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."
"Apakah rombongan itu orang jahat?"
"Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu memiliki kepandaian seperti iblis!"

"Hemmm..." Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, tetapi sebelum memasukkannya ke mulutnya yang kecil dia lalu bertanya lagi, "Rombongan orang apakah itu? Dan apa namanya?"
"Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang yang..."
"Hemmm, Thian-liong-pang?" Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. "Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak jauh dari sini, mereka ke mana?"

"Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini, hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu terpaksa harus meninggalkan penginapan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para penduduk menjadi gelisah terus selama mereka berada di sini, Nona. Sungguh pun kami tidak pernah diganggunya, tetapi semenjak mereka datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati siapa tidak akan menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi pembunuhan? Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang mereka." Pelayan itu pergi dan hati Kwi Hong menjadi panas. Hemm, orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia selidiki!

Malam hari itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandaiannya meloncat ke atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus berloncatan, mengerahkan ginkang-nya sehingga kedua kakinya tidak menimbulkan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan rumah, kelihatan sunyi sekali.

Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap ketika pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng menggunakan ginkang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang.

Mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua. Yang dua orang berpakaian seperti peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi Liau-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan tetapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka.

Mereka tentu bukan orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas genteng seperti dia. Tentunya mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk melakukan hal ini karena tingkat ginkang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi mereka tanpa mereka ketahui.

Jantungnya berdebar tegang saat ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke rumah penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu anggota rombongan mereka?

Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara mereka, yang berpakaian sastrawan atau pelajar, berseru nyaring,

"Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhianat bangsa! Keluarlah kalian! Kami bertiga, Sepasang Beruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang untuk membalas kematian kawan-kawan seperjuangan kami!"

Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ, memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pula Thian-liong-pang mereka sebut pengkhianat bangsa?

Sepanjang pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan menonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia akan turun tangan membasmi mereka!

Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian sastrawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil Besi) itu, "Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabui mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan kesempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup, turunlah!"

"Ha-ha! Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Beruang dari Utara tidak takut kepada siapa pun juga!" Seorang di antara kedua orang peranakan Mongol tadi tertawa bergelak, perutnya yang gendut berguncang.

"Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!" kembali suara halus tadi menantang.

Ketiga orang itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok mencabut sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat dari pada besi, sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing, kemudian ketiganya melayang turun ke pekarangan belakang rumah penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat, seperti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan.

Akan tetapi ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah mereka, bahkan dengan sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya panjang riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan menyambut mereka dengan senyum mengejek.

Kwi Hong cepat menyelinap mendekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil bersembunyi mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa Thian-liong-pang bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena urusan pemerintah dan agaknya jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang membantu pemerintah sedangkan dua orang Mongol dan sastrawan itu adalah penentang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu berpesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.

"Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet," demikian antara lain pamannya berpesan, "karena itu jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan dan permusuhan karena pro atau anti suatu pemerintahan yang hanya terseret oleh rasa pertentangan golongan atau pun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedudukan saja. Di dalam perebutan kedudukan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet."

Tidaklah mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena pertama-tama, Kwi Hong sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu. Apa lagi kalau diingat isterinya sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik angkatnya, wanita yang dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia dapat menentang pemerintah Mancu?

Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong. Gerakan Sepasang Beruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali. Ada pun permainan sepasang pit di tangan sastrawan itu halus gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sastrawan setengah tua itu.

Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biar pun mereka bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang saja sudah sedemikian hebat, apa lagi kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua! Dan pemimpin mereka tentu lihai bukan main!

Kwi Hong tidak tahu siapa yang benar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu dan tadinya dia pun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apa lagi mengingat akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang. Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong yang digenggamnya dan dia berseru ke bawah,

"Sia-sia membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, tetapi perbuatan goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri, tidak mau pergi, lebih tolol lagi!"

Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya seorang saja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang penyerbu itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,

"Terima kasih atas pertolongan Li-hiap!" Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun tangan, tentu mereka akan tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas genteng, ketiganya lalu pergi lari secepatnya menghilang di dalam kegelapan malam.

"Manusia sombong yang lancang tangan!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul munculnya banyak orang yang dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu.

Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal takut. Di dasar hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan perkumpulan besar yang bersikap memusuhi Pulau Es. Kini melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki,

"Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, kiranya tiga orang kalian tadi sama sekali tidak ada gunanya!"

"Bocah sombong!" Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga penyerbu dan yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong.

Dengan gerakan jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biar pun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang kuat!

Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sinkang di Pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sinkang yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu, cepat ia merubah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya sambil membentak.

"Pergilah kalian!"

Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan dengan pengerahan sinkang agar gadis yang berani menghina Thian-liong-pang ini dapat dirobohkan dengan sekali serang.

"Desss! Desss!"

Kedua pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika tenaga sinkang mereka hanyut dan lenyap, sedangkan dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar hawa dingin yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui lengan mereka sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin luar biasa membuat mereka menggigil, terus hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan diri, namun dorongan hawa dingin yang luar biasa itu membuat tubuh mereka terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha mengerahkan ginkang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga seorang di antara mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk merintih-rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam meluncur ke atas dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras seperti seekor ular panjang yang hidup, ujungnya bergerak-gerak dan menotok ke arah kedua mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidaklah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya menangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut bukan main. Cepat ia menggerakkan kedua tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyambarnya itu.

Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu hendak menangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba-tiba ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan serangan ke arah mata, melainkan meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali secara tiba-tiba ke bawah!

"Aihhh!" Kwi Hong terkejut bukan main.

Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit, tahu-tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari atas wuwungan genteng! Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan sinkang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat mempertahankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!

"Haiiiitttt!" Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehingga tubuhnya tertahan dan kini terjadilah tarik-menarik!

Dara di sebelah bawah meggunakan dua tangan yang memegang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwungan genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disambut oleh pengeroyokan orang-orang Thian-liong-pang. Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan diri mati-matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada wuwungan.

Tarik-menarik terjadi. Betapa pun juga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba-tiba wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan wuwungan itu ambrol, genteng-gentengnya runtuh ke bawah disusul tubuh Kwi Hong yang melayang turun pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat orang-orang Thian-liong-pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa, maka mereka meloncat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian-liong-pang yang memukulnya, ia cepat menangkis.

"Plak! Plak!"

Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sinkang yang amat kuat.

"Tar-tar-tar-tar!"

Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi itu.

Sementara itu, para anggota Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biar pun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.

Empat orang anggota Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apa lagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah.

"Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"

Anak buah Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu! Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.

Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar-benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda pula.

Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biar pun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda dari pada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada bandingannya?

Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok? Hmm, jika saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

"Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!" Kwi Hong berjebi. "Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Jika maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!"

Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai muncul dari balik daun-daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena sejak lewat tengah malam tadi, suara derap kaki kuda yang mengejarnya sudah tidak terdengar.

Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biar pun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.

Kwi Hong tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran. Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar-ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat gembira.

Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.

Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti dicat itu. Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda.

Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka, melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang.

Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya. Akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apa lagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, keheranannya lebih besar dari pada ketidak senangannya maka dia lalu berkata nyaring.

"Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa ke mana peti mati itu?"

Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang.

Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong, sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"

"Heiii, apa kau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak marah.
"Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?"
"Keparat! Engkaulah yang patut mampus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot.

Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!

"Tar! Tar!"

Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biar pun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sinkang-nya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!

"Plak! Plak! Aiiihhh...!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!

"Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?" Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biar pun jarak di antara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.

"Wuuuuutttt! Siuuut!"

Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, tapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.

"Berani kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.

"Tar-tar-tar-tar!"

Biar pun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang, meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.

"Pe... dang... Iblis...!" Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.
"Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong menantang.
"Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!"

Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apa lagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru, "Sudahlah, aku mau pergi saja!"

Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggota Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring berulang-ulang disusul teriakan-teriakan kaget karena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan, terus lari dengan cepat sekali!

Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya dan kejengkelannya?

Betapa pun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali, sungguh pun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekali pun. Apa lagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan akan ia berikan kepada Bun Beng!

Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah perkuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu-batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka, pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.

Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut?

Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut jika tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa! Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar-benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Kedua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara seorang pun manusia. Dan tiba-tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!

Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulu pun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apa lagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang itu terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari dari mana datangnya sumber suara ketawa itu.

Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung khikang amat kuat, sedangkan sumbernya dari... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi! Suara ketawa dari kuburan kuno? Apa lagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biar pun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, dari pada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biar pun dia harus berhadapan dengan iblis di siang hari sekali pun!

"Heh-heh-heh-heh, hayo... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!"

Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.

"Krik-krik-krik!"
"Krek-krek-krek!"

Eh, ada suara dua ekor jangkrik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apa lagi ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.

"Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biar pun kecil merica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!"

Dengan berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya saat melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, duduk seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkrik di atas telapak tangan kirinya!

Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau.....

Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biar pun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Namun kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkrik di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.

Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkrik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkrik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang kedua adalah seekor jangkrik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.

Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkrik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkrik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkrik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkrik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!

"Hayo, Si Kecil Merah, biar pun kecil jangan mau kalah! Serang...!" Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkat-nya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkrik itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam!

Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkrik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkrik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkrik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkrik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!

"Wah, Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji.
"Puhh! Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. "Kalau bukan kau datang mengagetkan, Si Kecil Merah takkan kalah!"

Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkrik kecil itu kalah, Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. "Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkrik yang kecil begitu mana bisa menang?"

"Siapa bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!"
"Plak! Plok!"

Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.

"Prokkk!" Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sinkang-nya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya!

Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu telah menaruh jangkrik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian menyambar jangkrik hitam kemerahan yang kalah tadi.

"Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak karuan.

"Kau harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya. "Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkrik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!"

Biar pun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkrik kecil maju dan mengalahkan jangkrik besar. Biar pun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan.

Diam-diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap sehelai rambut yang melayang dengan jepitan jari tangan. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkrik kecil merah itu pada selangkang kakinya.

Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkrik itu dijantur diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak kemik dekat dengan tubuh jangkrik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.

"Cuh! Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkrik merah.

"Awas kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan semangat!" Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkrik yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya, "Busssshh!" Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkrik merah.

"Ihhh...!" Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah ‘gemblengan’ yang diberikan kakek itu pada jangkrik merah benar-benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.

Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkrik itu. Jangkrik merah sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkrik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkrik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang kili-kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!

"Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata lalu mengambil jangkrik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu terus mengili jangkrik merah yang makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkrik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.

"Wah, kau licik! Kenapa jangkrik hitamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkrik kecil dan berlaku curang.

"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!" kakek itu membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkrik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.

Biar pun tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.

Setelah kedua jangkrik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili-kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkrik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapa pun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.

Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke atas.

"Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!"

Kembali dia menaruh jangkrik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan ‘penggemblengan’ kedua terhadap jangkrik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar-benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkrik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat menang satu kali saja. Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pedangnya.

Kakek itu benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula dalam adu jangkrik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri.

Kini dia membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkrik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah. Tentu saja payah jangkrik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apa lagi jangkrik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing!

Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benamkan jangkrik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkrik itu.

Anehnya, ketika jangkrik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!

"Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!"

Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biar pun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan. Karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan ia kini duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkrik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkrik kecil itu mundur terus!

"Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!" Kakek itu mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkrik kecil merah itu.

"Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.

Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkrik kecil merah yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-matian, dan kedua jangkrik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!

Jangkrik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkrik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkrik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk.

Akan tetapi tiba-tiba jangkrik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkrik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya, tubuh jangkrik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkrik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!

"Hebat dia...!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!

Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.

Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya sambil melepaskan jangkrik itu ke dalam semak-semak. Dia lalu menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana-sini, mendekati bangkai jangkrik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!

"Heh-heh, kau kira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!"

Ketika ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalah artikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apa lagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan dua tangan dan bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya jangkrik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi Hong!

Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.

"Desss!" Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan ‘temangsang’ di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!

Kakek sinting itu berseru kaget. "Heiiii...! Wah, kenapa kau mau saja kusepak?"

Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.

Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, "Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di situ, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.

"Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!"

Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tingkatnya tidak rendah itu mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah mereka kemudian pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!

"Heh-heh-heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu."

Kwi Hong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"

"Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!"

"Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkrik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkrik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?"

"Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kau pelajari juga tidak sopan! Hayo, coba kau bantah!" kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.

"Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"
"Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"
"Engkau, kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau adalah tokoh Pulau Neraka?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.

"Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!" Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.
"Apa kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.
"Atau biru? Hijau? Kuning?"

Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.

"Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.
"Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! Jangan sombong kau, gadis gede..."

"Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?"
"Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?"

"Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?"

"Heh-heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka... heh-heh-heh... Haa?! Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh... pedangmu itu...! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"

Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!

"Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam-mo-kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"

"Mengadu nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan keringat!"

Biar pun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek Siauw-jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah tentu akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?"

"Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kau pandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah dan engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!"

Kwi Hong bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"

"Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kenapa tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"

Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata, "Kalau kau yang kalah?"

"Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh dari pada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah, kau mulai."

Kwi Hong menjadi serba susah. Biar pun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya dia pun tidak tega. Biar pun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Namun demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus menang. Apa lagi dia memegang Li-mo-kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkrik tadi.

"Lihat pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mukjizat dan mengandung hawa maut.
"Hayaaaaaa...!" Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang.

Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkrik meloncat. Namun sedikit pun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkrik! Malah dia repot sekali harus mengelak terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.

Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.

Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah ‘terbang’ ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai, "Nah, kau kalah, muridku."

Kwi Hong menerima dan menyarungkan pedang, lalu ia menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu."

"Apa kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"

Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak tahu."

"Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"
"Bagaimana? Aku tidak mengerti."
"Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apa lagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tak ada yang melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam, engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya dengan cara mengalahkan muridnya oleh muridku!"

"Tanpa kau beri pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!"

"Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng, apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun mempunyai pedang yang sama ampuhnya."

"Pedang curian!"
"Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya jika kau tidak mampu menandingi ilmunya?"
"Siauw-jin... ehhh... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!"
"Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha-ha-ha!"
"Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku, biar pun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kau pergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"

"Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu... heh-heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki-laki, entah siapa aku tak kenal namanya. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sinkang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih semedhi dan sinkang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kau katakan tidak sopan."

"Ilmu tendangan jangkrik?"
"Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam mala petaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga-duga seperti yang dilakukan jangkrik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"

Kwi Hong mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan."

"Bagus, sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede."
"Mencari peti mati? Ke mana?"
"Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?"

Kwi Hong terbelalak ngeri. "Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!"

"Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapa pun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kau pergunakan!"

Kwi Hong menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!"

"Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.

"Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin memerintah.

"Aihh... Ji-tocu (Majikan Pulau kedua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul. Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.

"Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu? Namanya Kwi... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"

"Kwi Hong..., Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.
"Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"

Kwi Hong memandang dengan hati penuh ngeri betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangkanya dikeluarkan, lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?

"Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.

"Lekas kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh, apa kau takut?"

Melihat betapa semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, "Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!"

Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!

"Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, ataukah engkau hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?"

Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?

"Kalau aku sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?" Dia mencoba menggunakan alasan menolak.
"Bodoh! Biar pun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita."

Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal.

"Brakkk!" papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi
"Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.

Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat! Dia merasa betapa peti mati di mana dia berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi dari pada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.

Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Ada pun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa.

Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari ‘kuburan’ itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biar pun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih ‘aman’ menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk bersama hawa. 

Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup... ihh, dia bergidik dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!

"Kakek sinting...!" Dia memaki gemas. "Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum mencekik lehermu sampai putus!"

Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari balik kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas, apa lagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, semedhi dan menghimpun sinkang dari hawa inti sari bumi..."

Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!

"Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apa lagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari sebuah peti kunolah ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang di antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biar pun sifatnya berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."

Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.....
********************
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa mereka berada di situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka? Seperti telah diceritakan di bagian depan, pasukan pemerintah menyerbu Pulau Neraka dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.

Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rombongan perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu terjadi penyerbuan itu tidak berada di pulau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang penghuni Pulau Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.

"Ibu, kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa anak buah kita ke mana? Apa yang telah terjadi?"
"Pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya terlebih dahulu dan membawa anak buah melarikan diri," jawab Lulu.
"Ahh, mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti serombongan pengecut. Bukankah Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?"

Lulu memandang puteranya dengan marah. "Enak saja mencela! Engkau sendiri mengapa tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasukan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai."

"Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut untuk menghadapi mereka?" Keng In membantah.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai. "Ha-ha-ha, Ketua boneka seperti Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!"

Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal dan makin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri mereka sambil tertawa-tawa.

Melihat kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apa lagi memandang! Melihat ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.

"Orang tua, agaknya engkau inilah yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau takut terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!"

"Ibu, jangan...!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya menerjang maju dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat.

Memang Lulu sudah marah sekali, maka begitu menyerang, dia telah menggunakan jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri dingin yang kanan panas, adalah tenaga inti mukjizat yang dahulu dia latih bersama kakak angkatnya di Pulau Es.

"Desss! Dessss!"

Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan tetapi kakek setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan dorongan tangan, hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu menjadi makin penasaran dan sambil mengeluarkan suara melengking dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.

"Ibu, jangan! Kau takkan menang!" Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat cepat dan dahsyat kepada Cui-beng Koai-ong yang memandang dengan mulut menyeringai.

"Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilarang, jangan dihalangi, biarlah!" Kakek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin penasaran dan marah.

"Plak! Plek!" Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!

"Suhu, harap jangan bunuh Ibu...," Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawanannya terhadap kakek yang amat sakti itu.

Tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia mengerahkan seluruh sinkang-nya untuk menyerang kakek itu, sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh kekeh senang sebab maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.

Sementara itu, para anggota Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk kepada Lulu yang selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Wajah pemuda ini menjadi pucat. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau tidak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mohon kepada gurunya dan ibunya menghentikan pertandingan itu.

Kini Lulu maklum bahwa sesungguhnya puteranya tidak sombong kalau mengatakan bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh tenaga sinkang-nya tersedot dan tidak berdaya, bahkan kini kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskannya dari telapak tangan lawan.

Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh tangannya, namun Lulu mengerahkan seluruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menyerah kalah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bukan hanya uap dari hawa sinkang, melainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!

"Suhu, harap kau maafkan Ibuku...!" Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya.

Namun sekali kakek itu menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar dan gurunya berkata, "Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di tanganku, ha-ha-ha!"

Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sinkang-nya makin lama makin menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.

"Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa, menggantikan kita memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita lagi, apakah tidak memalukan?"

Tahu-tahu muncullah seorang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-katanya, "Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?"

Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, matanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang telah menolongnya.

"Apakah engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?" tanyanya secara langsung, sedikit pun tidak menaruh hormat karena biar pun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang telah mempermainkannya, membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!

"Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhormat, seorang siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini, Suheng-ku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka memaafkannya."

Muka Lulu menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang begitu aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya sama sekali. "Keng In, hayo kita pergi!" bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.

"Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu sekarang. Aku masih mempelajari ilmu dan... menurut Suhu..., aku ditunjuk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka."
"Wan, Keng In! Engkau adalah anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi meninggalkan setan-setan ini!" Lulu membentak lagi.

"Aku tidak mau pergi, Ibu." Keng In membantah.
"Kau... lebih berat kepada mereka ini dari pada kepada Ibumu?"
"Maaf, Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderita. Bagaimana Ibu akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?"

"Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biar pun dia telah menderita karena Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati wanita, biar pun wanita itu Ibumu sendiri?" Cui-beng Koai-ong berkata.

"Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Suheng sendiri sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai seorang murid. Apa artinya ini?" Bu-tek Siauw-jin mencela suheng-nya yang tertawa-tawa tadi.

"Siauw-jin! Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa mencampurinya? Kalau suka boleh lihat, kalau tidak suka boleh minggat!"
"Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggarnya! Kita sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kau larang juga akan percuma saja. Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suheng-ku yang manis ini turun tangan terhadapmu, biar pun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawamu."

"Dia benar... dia benar... pergilah!" Cui-beng Koai-ong mengomel.

Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu, yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang kakek itu seperti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi mereka. Maka setelah sekali lagi memandang ke arah puteranya yang tetap menundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu. Sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kakak angkatnya yang juga satu-satu-nya pria yang dicintanya itu untuk turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!

Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang telah kehilangan pulau itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka, menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biar pun terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suheng-nya itu, lalu pergi sambil menyuruh lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati kosong untuk berlatih di tempat yang akan dipilihnya sendiri.

Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apa lagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar Super Sakti.

Karena kalah dalam pertarungan, juga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, semedhi dan mengumpulkan sinkang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!

Ilmu semedhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan kini dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mukjizat. Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sinkang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang tokoh Pulau Neraka yang selalu menyembunyikan diri itu. Ilmu mukjizat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia ‘membunuh diri’ dengan jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka.

Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum mati menciptakan ilmu mukjizat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti matinya! Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya sehingga yang terakhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin! Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu ini.

Tidak sembarang orang dapat menguasai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi itu karena caranya berlatih amat menyeramkan dan mempertaruhkan nyawa. Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih diri dengan ilmu mukjizat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ketiga di dunia ini yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi.....

Selanjutnya baca
SEPASANG PEDANG IBLIS : JILID-15
LihatTutupKomentar