Pendekar Super Sakti Jilid 20
Puncak bukit kecil itu merupakan padang rumput yang rata dan malam itu amatlah terang di situ karena bulan sedang purnama. Mengertilah Han Han mengapa Puteri Nirahai memilih tempat ini. Memang sunyi dan padang rumput itu luas, leluasa untuk dijadikan tempat bertanding, pula malam itu bulan purnama membuat tempat itu terang benderang seperti sinar matahari pagi.
Dia tiba di puncak menjelang tengah malam. Di tempat yang sunyi ini Han Han duduk di atas rumput, diam-diam merasa heran mengapa Puteri Nirahai menantang dia untuk pibu. Benarkah puteri itu hendak memenuhi janji, datang di tempat yang sunyi ini? Benar-benar aneh watak puteri itu. Mengajak pibu di tempat ini, tanpa saksi. Bagaimana kalau terjadi seperti yang dikhawatirkan Lulu, yaitu seorang di antara mereka roboh, terluka parah atau tewas? Tentu takkan ada seorang pun manusia mengetahui dan akan terlantar! Apa boleh buat! Sebagai seorang gagah, dia harus berani menghadapi kekalahan.
Dan puteri itu, ahhh, akan tegakah hatinya untuk melukai Nirahai? Dia harus berani mengaku di dalam hatinya bahwa hatinya amat tertarik oleh kecantikan dara itu, bahkan segala gerak-gerik Nirahai amat menimbulkan gairah hatinya. Dan kini dia akan menghadapi dara itu sebagai lawan! Bagaimana ia harus bersikap? Mengalah? Tidak mungkin! Mengalah terhadap lawan biasa mungkin saja dilakukan, akan tetapi terhadap seorang dara yang memiliki kesaktian luar biasa seperti Nirahai, mengalah berarti menghina dan tentu akan diketahui oleh dara itu!
Tiba-tiba Han Han meloncat berdiri ketika melihat bayangan yang amat cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara, berkelebat mendatangi dari depan. Jantungnya berdebar keras. Puteri Nirahai telah berdiri di depannya, cantik jelita seperti dewi bulan turun dari kahyangan. Rambutnya yang hitam mengkilap tertimpa cahaya bulan, wajahnya yang jelita seolah-olah diselaput emas, sepasang matanya bersinar-sinar. Puteri ini benar-benar telah menepati janji, datang tepat pada tengah malam dan seorang diri! Betapa gagahnya!
“Bagus, engkau telah menanti di sini? Marilah kita mulai!” Dara itu telah melintangkan pedang payungnya di depan dada.
Terpincang-pincang dibantu tongkatnya Han Han maju tiga langkah menghadapi puteri itu. “Puteri Nirahai, apakah perlunya diadakan pibu ini? Di antara kita tidak ada urusan sesuatu, perlu apa bertanding tanpa sebab yang hanya akan mendatangkan kematian bagi yang kalah dan penyesalan di kemudian hari bagi yang menang?”
“Hemmm... Suma Han, tidak akan mudah bagimu untuk membunuh aku begitu saja seperti yang kau lakukan terhadap Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li siang tadi!”
Han Han tersenyum. Puteri ini cantik, lihai, cerdik akan tetapi juga angkuh dan bersikap agung sesuai dengan kedudukannya sebagai puteri kaisar! “Katakanlah aku yang akan kalah dan mati di tanganmu. Apakah kelak engkau tidak akan menyesal telah membunuh orang tanpa sebab dan tanpa dosa?”
“Tiada gunanya bersilat lidah. Baiklah kukatakan saja sebabnya agar engkau tidak menjadi penasaran dan menganggap aku gila bertanding! Engkau adalah murid Bibi Guru Khu Siauw Bwee yang telah mewarisi ilmu kepandaiannya yang dahsyat, bukan? Dan aku adalah murid guruku Nenek Maya. Timbullah keinginan hatiku untuk membuktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!”
Han Han menghela napas panjang. “Puteri Nirahai, sebenarnya di sudut hatiku, aku amat membenci penggunaan kekerasan. Membenci perkelahian. Selama ini aku hanya dipaksa untuk berkelahi, padahal aku tidak suka untuk bertanding, apa lagi dengan engkau yang gagah perkasa dan lihai. Engkau adalah pewaris ilmu-ilmu yang dahsyat dari pendekar-pendekar sakti jaman dahulu, pewaris ilmu-ilmu dari pendekar wanita Mutiara Hitam, menjadi murid Nenek Maya yang maha sakti. Biarlah, tanpa bertanding pun aku sudah mengakui keunggulanmu dan aku mengaku kalah.”
“Suma Han, apa kau kira aku ini anak kecil yang dapat kau bujuk dengan kata-kata mengalah seperti diberi kembang gula? Tidak, aku tidak mau menerima alasan seperti itu. Aku menantangmu untuk pibu dan aku hanya akan meniadakan pibu ini kalau engkau mengaku bahwa engkau takut dan pengecut, tidak berani melawanku!”
Wajah Han Han menjadi merah. Ia bukan seorang bodoh dan maklum bahwa sengaja puteri itu menggunakan kata-kata ‘pengecut’ hanya untuk memaksanya. Dia tidak dapat mundur lagi. Bagi seorang gagah, dianggap takut dan pengecut lebih hebat dari pada mati.
“Hemm, baiklah. Agaknya engkau sudah bertekad untuk menguji kepandaianku yang tidak seberapa ini. Hanya satu pesan dan permintaanku kepadamu sebelum kita mulai bertanding, Puteri Nirahai.”
“Katakanlah, engkau cerewet benar. Apa pesanmu?”
Han Han tersenyum. Biar pun Nirahai seorang puteri kaisar yang angkuh, sikap dara ini mengingatkan ia akan kegalakan Lulu!
“Kalau aku menang dan kesalahan tangan sampai membuatmu tewas dalam pertandingan ini, aku akan menyesali peristiwa ini selama hidupku, engkau akan selalu terbayang olehku dan hidupku akan selalu dibayangi penyesalan yang hebat. Sebaliknya kalau aku yang tewas, dan agaknya begitulah mengingat akan kesaktianmu, aku pesan kepadamu, sudilah kiranya engkau tiga bulan mendatang ini mengunjungi Kwan-teng, di Pek-eng-piauwkiok dan mewakili aku melaksanakan upacara pernikahan antara adikku Lulu dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat. Maukah engkau berjanji?”
Puteri itu kelihatan kaget dan termangu-mangu. “Sumoi... akan... kawin?” Akan tetapi ia sudah menguasai hatinya dan menjawab tenang, “Baiklah, aku berjanji akan memenuhi pesanmu itu. Mari kita mulai!”
“Aku sudah siap!” kata Han Han, memandang tajam penuh kewaspadaan karena ia maklum bahwa senjata berupa payung itu tidak boleh dipandang ringan.
“Sambut serangan!” Nirahai berseru.
Mata Han Han menjadi gelap. Tiba-tiba payung hitam itu terbuka menyembunyikan tubuh Nirahai dan tahu-tahu ujung payung yang runcing itu sudah meluncur ke arah dadanya. Hebat bukan main serangan ini. Han Han kaget dan kagum, akan tetapi cepat mengangkat tongkatnya menangkis dengan putaran pergelangan tangannya.
“Cring-cring-cring...!”
Setelah tiga kali menangkis, baru Nirahai menghentikan tusukan bertubi-tubi dan berganti gerakan, payungnya tiba-tiba tertutup dan tangan kirinya menampar dari samping mengarah pelipis Han Han, sedangkan payung yang tertutup itu meluncur dengan totokan ke arah lutut kiri lawan!
Han Han cepat mengelak dan melihat serangan itu disusul dengan serangan-serangan dahsyat sekali secara bertubi-tubi, terpaksa ia lalu bersilat dengan gerak kilat yang membuat tubuhnya seolah-olah menghilang, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun! Namun dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat dara itu memutar pedang payungnya sambil berputaran, mengarahkan pedang payungnya itu ke atas!
Seperti diketahui, ilmunya Soan-hong-lui-kun yang berdasarkan gerak kilat itu selalu menitik beratkan serangan dari atas, mempergunakan kesempatan selagi tubuhnya mencelat-celat ke atas yang kecepatannya tak mungkin dapat dicapai orang yang berkaki dua. Akan tetapi kini Nirahai memutar tubuh dan pedangnya sehingga tubuhnya bagian atas seperti diselimuti atau dilindungi benteng baja yang tak mungkin ditembus oleh air hujan sekali pun! Inilah ilmu terbaru yang diajarkan Nenek Maya kepada Nirahai yang khusus diciptakan untuk menghadapi Soan-hong-lui-kun!
Han Han menjadi penasaran juga karena sama sekali dia tidak mendapat kesempatan menyerang kalau menggunakan gerak kilatnya, maka ia meluncur turun dan membalas serangan lawan dengan mainkan tongkatnya, mencampur-adukkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es.
Nirahai sama sekali tidak berani memandang rendah. Tadi ketika tubuh Han Han mencelat dan lenyap, ia kaget setengah mati. Cepat ia mainkan ilmu yang diajarkan subo-nya melindungi tubuhnya bagian atas. Ia maklum bahwa kalau saja dia tidak mempelajari ilmu baru itu, tentu dia tak akan sanggup menghadapi ilmu mencelat-celat seperti itu yang kecepatannya saja sudah membuat pandang matanya kabur, seolah-olah yang dihadapinya bukan manusia melainkan iblis yang pandai menghilang!
Kini setelah Han Han menyerangnya dengan tongkat yang dimainkan secara kuat dan cepat, hatinya menjadi tenang. Segera ia pun menggerakkan pedang payungnya untuk mengimbangi permainan lawan sehingga kedua orang yang sama kuatnya ini bertanding secara hebat dan seru. Berkali-kali terdengar suara nyaring ketika pedang payung bertemu dengan tongkat, dan terdengar bunyi bercuitan atau berdesingan kalau senjata mereka yang menyambar itu dielakkan lawan yang menusuk tempat kosong.
Han Han merasa tidak tega kalau dia menggunakan sinkang-nya yang luar biasa, yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan masa itu. Juga dia merasa bahwa kalau dia menangkan pertandingan mengandalkan tenaga, ia merasa malu sendiri. Dia adalah seorang pria, dan lawannya seorang wanita. Baru pembawaan mereka saja sudah berbeda semenjak lahir, tentu saja pria lebih kuat. Maka dia hanya menggerakkan tenaga sinkang sedikit saja untuk mengimbangi kekuatan Nirahai.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa hampir ia kecelik dan celaka karena perasaan sungkan ini. Ketika pedang payung itu untuk kesekian kalinya menyambar, dan ia menangkis dengan tongkat, tiba-tiba tongkatnya melekat pada senjata lawan dan payung itu diputar dengan pengerahan tenaga sinkang sedemikian kuatnya sehingga tongkatnya ikut pula terputar! Dia memperbesar tenaganya untuk bertahan, namun masih saja tongkatnya terbawa! Kalau dilanjutkan, tentu tongkatnya itu akan patah atau akan terlepas, maka terpaksa ia mengerahkan sinkang-nya. Setelah mengerahkan delapan bagian tenaganya, barulah tongkatnya terlepas!
“Hebat!” Tak terasa lagi Han Han berseru karena kini ternyata olehnya bahwa dalam hal tenaga sinkang, dara ini sama sekali tidak boleh dipandang rendah, bahkan belum tentu kalah oleh para datuk kaum sesat, malah agaknya sebanding dengan tenaga kedua orang pendeta Lama dari Tibet, berarti hanya selisih sedikit di bawah tenaganya sendiri!
“Sombong! Engkau boleh mengandalkan sinkang-mu!” Nirahai berkata dan wajah Han Han menjadi merah.
Menghadapi dara secerdik ini dia harus berhati-hati. Baru jalan pikirannya saja yang tadinya tidak mau mengandalkan sinkang-nya telah dapat diterka tepat oleh Nirahai! Han Han mengerahkan kecepatannya dan masih mainkan tongkatnya dengan Siang-mo Kiam-sut. Dasar dari ilmu pedang ini tentu saja dikenal oleh Nirahai yang telah mewarisi banyak ilmu-ilmu peninggalan Mutiara Hitam.
Siang-mo Kiam-sut diciptakan oleh pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, akan tetapi tidak pernah dipelajari Nirahai karena memang peninggalan kitabnya tidak ada. Hanya saja karena Han Han mainkan ilmu pedang ini dengan pencampuran ilmu-ilmu yang dilatihnya di Pulau Es, Nirahai menjadi bingung dan bersikap hati-hati. Pertama-tama dara ini menutup payungnya, mainkan payungnya seperti sebatang pedang dengan ilmu pedang Pat-mo Kiam-hoat yang gerakannya liar dan ganas, sesuai dengan namanya Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis). Hebat bukan main ilmu pedang peninggalan Mutiara Hitam ini, akan tetapi masih belum dapat mendesak Han Han.
Pemuda ini pun merasa jengah dan malu kalau mengalah lagi. Biar pun dia masih tidak mau menggunakan pukulan maut, namun sambil memainkan tongkatnya, tangan kirinya didorongkan ke depan dari samping atau dari bawah, sehingga hawa yang amat kuat menyambar keluar dari telapak tangannya. Kadang-kadang ia menggunakan tenaga hawa panas, kadang-kadang hawa dingin, akan tetapi selalu ia memukul ke arah pangkal bahu, lengan, atau paha. Namun betapa kagumnya ketika dara itu tak sempat mengelak lagi, dara itu pun dapat menangkis dengan kibasan tangan kirinya yang mengeluarkan hawa sinkang yang hampir sama kuatnya sehingga hawa pukulannya menyeleweng!
Sampai habis semua jurus-jurus dari Pat-mo Kiam-hoat dimainkan Nirahai, namun keadaannya tetap terdesak oleh tongkat Han Han. Gadis ini memang hendak menguji, maka ia lalu mengeluarkan bentakan halus dan tiba-tiba ilmu pedangnya berubah sama sekali, berbeda seperti bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan yang tadi. Kalau pedang payungnya tadi bergerak seperti iblis-iblis mengamuk, ganas dan liar, kini gerakannya halus teratur rapi, kelihatannya lambat namun sesungguhnya cepat, kelihatan lemah namun sesungguhnya menyembunyikan kekuatan dahsyat sehingga setiap kali pedang payung itu bergerak, terdengar suara bercuitan panjang! Inilah Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang dahulu dicipta sebagai lawan dari Pat-mo Kiam-hoat dan tentu saja lebih kuat dan dahsyat dari pada ilmu pedang yang pertama.
Han Han kagum bukan main oleh karena segera ia terdesak hebat! Namun ia juga mengerahkan seluruh kepandaiannya, terutama sekali mengandalkan gerak kilatnya sehingga dalam kecepatan ia selalu mengetahui dan selalu dapat mengelak atau menangkis sambil membalas dengan hebat sehingga perlahan-lahan ia dapat mengurangi desakan lawan, bahkan setelah lewat seratus jurus lebih, dia kembali telah mendesak puteri itu sehingga perbandingan serangan menjadi tiga dua yaitu dia menyerang tiga kali hanya dapat dibalas dua kali oleh Nirahai.
Kembali dua ratus jurus telah lewat dan pertandingan sudah berjalan kurang lebih empat jam! Sinar bulan makin menyuram tanpa terasa dan tahu-tahu keadaan telah menjadi gelap karena bulan sudah lenyap di balik puncak. Tiba-tiba Han Han meloncat ke belakang dan menghentikan serangannya.
“Cuaca begini gelap, sebaiknya kita menghentikan pertandingan,” katanya.
“Sambut seranganku!” Nirahai yang kini hanya mengandalkan ketajaman telinganya sudah menerjang dengan luncuran ujung pedang payungnya.
“Cringgg...!”
Han Han menangkis dan kembali pemuda itu meloncat, menggunakan gerak kilat sehingga loncatannya tidak menimbulkan suara. Puteri itu menjadi bingung karena tidak tahu ke mana Han Han menyingkir, sedangkan untuk menggunakan mata sudah tak mungkin lagi saking gelapnya cuaca yang kehilangan sinar bulan sedangkan matahari masih terlalu pagi untuk dapat menggantikan kedudukan bulan.
“Hemmm, Suma Han! Di mana engkau? Apakah engkau melarikan diri?” Terpaksa Nirahai bertanya, siap dengan pedang payungnya karena begitu Han Han menjawab, dia akan dapat menyerangnya.
Sunyi tiada jawaban.....
“Suma Han, apakah engkau seorang pengecut?” Nirahai bertanya lagi, gemas karena merasa dipermainkan. Dia tidak percaya bahwa pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa itu melarikan diri.
“Jangan menyerang dulu! Dalam keadaan gelap seperti ini, bagaimana bisa dilakukan pibu secara jujur dan adil? Kita tunggu sampai pagi dan kita boleh melanjutkan pertandingan. Pula, aku lelah sekali, ingin mengaso!”
“Kita masih mempunyai telinga! Awas serangan!” Nirahai meloncat ke depan dan menusukkan senjatanya ke arah datangnya suara tadi.
“Trakkk!” Nirahai terkejut karena senjatanya menusuk sebuah batu besar. Kiranya pemuda itu bersembunyi di balik batu besar!
Han Han menahan ketawanya dan berkata, “Nirahai, mengapa engkau seperti haus akan darahku? Aku memiliki gerakan kilat yang jika kupergunakan dalam gelap ini, aku akan mudah menyerangmu dari belakang tanpa kau ketahui. Akan tetapi aku bukan seorang pengecut curang yang hendak menggunakan kelebihan ini untuk mencapai kemenangan dalam gelap. Kita menanti sampai pagi, kalau tidak mau, terpaksa aku akan pergi saja, tidak mau melayani engkau yang haus darah!”
Nirahai penasaran dan marah sekali, tetapi ia tahu bahwa ucapan pemuda itu memang ada benarnya. Ia menghela napas dan segera duduk bersila di atas rumput, menjawab lirih, “Aku akan menanti sampai sinar matahari pagi menerangi cuaca.”
Han Han menjadi lega hatinya. Bertanding melawan seorang yang sakti seperti dara itu di dalam gelap, benar-benar amat berbahaya dan kalau dia menghendaki kemenangan, agaknya dia harus terpaksa merobohkan dara itu yang mungkin akan tewas. Padahal dia sama sekali tidak menghendaki terjadinya hal itu. Sama sekali tidak. Setelah empat ratus jurus lebih bertanding melawan gadis ini, dia merasa makin tertarik, makin kagum dan menaruh hati sayang. Maka ia pun lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaganya dan mengatur pernapasannya.
Setelah berhenti bertanding, berhenti menggerakkan tubuh, baru terasa oleh Nirahai betapa lelahnya dia dan betapa dinginnya hawa udara menjelang pagi itu. Dia ingin mengaso dan memulihkan tenaga, maka tidak mau menggunakan tenaga sinkang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi, dengan demikian ia menderita oleh hawa dingin sehingga mulutnya menggigil dan kedua baris giginya saling beradu.
Han Han adalah seorang yang telah tinggal selama bertahun-tahun di Pulau Es, bahkan melatih sinkang di sana, maka tentu saja hawa dingin di puncak Bukit Cengger Ayam ini baginya sama sekali tidak terasa dingin. Dia boleh mengaso dan memulihkan tenaga dengan tenang, sama sekali tidak menderita hawa dingin. Akan tetapi telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara gigi dara itu yang saling beradu karena menggigil maka timbullah rasa iba di hatinya.
Tanpa bicara sesuatu ia lalu pergi mencari kayu, membuat api unggun di dekat Nirahai. Semua ini ia lakukan tanpa bicara karena ia tahu bahwa seorang dengan hati sekeras itu tentu akan tersinggung kalau ia membuka mulut. Ia membuat api unggun, seolah-olah dia sendiri yang membutuhkannya, akan tetapi setelah api unggun itu menyala besar, ia lalu pergi menjauh dan duduk di bawah sebatang pohon, menanti datangnya pagi.
Nirahai menjadi gelisah dan tak dapat bersemedhi sebagaimana mestinya. Jantungnya berdebar-debar keras. Pemuda yang hebat sekali, kepandaiannya benar-benar luar biasa dan sukar dicari keduanya. Dan hatinya begitu mulia. Kalau keadaan tidak segelap itu, tentu ia akan menyembunyikan mukanya yang terasa panas dan tentu merah sekali ketika Han Han membuat api ungggun.
Betapa bijaksana pemuda itu yang tidak mau mengeluarkan suara, namun dia bukan orang bodoh yang tidak mengerti betapa pemuda itu sengaja menbuat api unggun untuk dia! Pemuda itu tahu bahwa dia menderita kedinginan maka membuatkan api unggun sehingga kini tubuhnya terasa hangat dan dia tidak terganggu hawa dingin sehingga dapat mengaso dan memulihkan tenaga dengan bersemedhi. Akan tetapi, kini bukan hawa dingin yang mengganggunya, melainkan hatinya yang berdebar keras!
Sinar matahari pagi mulai bercahaya kemerahan. Perlahan-lahan akan tetapi pasti sinar itu makin menjadi terang dan mulai mengusir kabut tebal yang menyelimuti puncak bukit kecil itu. Kabut lari membawa serta hawa dingin sehingga permukaan puncak bermandi cahaya matahari dan bumi mengeluarkan hawa yang hangat seolah-olah menyambut dengan hangat mesra kedatangan sinar matahari. Rumput-rumput hijau tegak semua, kehijauan dengan ujung terhias mutiara air embun, seperti perawan-perawan jelita yang muda dan segar sehabis mandi pagi.
“Suma Han, mari kita lanjutkan pertandingan!”
Han Han membuka kedua matanya, sejenak ia mengagumi keindahan cahaya matahari bercumbu dengan daun-daun pohon dan rumput-rumput, kemudian ia menoleh dan memandang kepada Puteri Nirahai yang sudah berdiri tegak dengan pedang payung di tangan. Biar pun hampir semalam bertanding dan sama sekali tidak tidur, dara itu tidak tampak lesu atau kusut, bahkan wajahnya segar kemerahan, hanya rambutnya yang sedikit terurai kusut, namun malah menambah kecantikannya yang asli.
“Suma Han, aku sudah siap! Mari kita lanjutkan!” Nirahai menegur lagi ketika melihat pemuda itu hanya bengong memandang wajahnya.
Han Han menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan bersandar pada tongkatnya. Ia bersungut-sungut dan suaranya membayangkan penyesalan hatinya, “Ah, sepagi ini enaknya mandi-mandi lalu minum teh panas menyegarkan tubuh! Akan tetapi engkau sudah mendesakku mengajak bertanding. Nirahai, demikian besarkah rasa sukamu akan berkelahi? Tiada bosan-bosannya setelah setengah malam kita bertanding?”
Sepasang alis Nirahai bergerak. “Semalam kita belum selesai bertanding, terhalang kegelapan dan aku pun belum merasa kalah. Mari kita segera melanjutkan untuk menyelesaikan pibu agar diketahui siapa di antara kita yang lebih unggul!”
Han Han mengerti bahwa seorang seperti puteri ini kalau sudah menghendaki sesuatu pasti akan dikejarnya sampai dapat. Dia harus menyelesaikan pertandingan ini, dan dia akan mengalahkan Nirahai untuk menundukkan hati yang keras ini, untuk menundukkan keangkuhannya.
“Baiklah, Nirahai, kalau demikian kehendakmu. Majulah!” Han Han menantang sambil melintangkan tongkatnya di depan dada dan kaki tunggalnya berdiri tegak, sepasang matanya memandang tajam bersinar-sinar.
Ketika tadi bersemedhi, Nirahai memutar otaknya. Dia telah mengeluarkan Pat-mo Kiam-hoat, kemudian malah mainkan Pat-sian Kiam-hoat, namun kedua ilmu pedangnya yang sukar dicari tandingannya itu ternyata tidak mampu mendesak Han Han. Dia sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan seluruh simpanan ilmunya untuk menguji kepandaian pemuda berkaki satu ini. Maka begitu melihat sikap Han Han, ia lalu membentak nyaring dan kedua tangannya bergerak.
“Sambut jarum-jarumku!”
Han Han melihat berkelebatnya sinar-sinar kecil dan mencium bau yang amat harum. Ia kagum dan terkejut. Jarum-jarum yang mengeluarkan bau harum ini amat berbahaya, selain cepat seperti menyambarnya kilat, juga bau yang harum itu memabukkan, dapat menyeret perhatian lawan sehingga kurang cepat menyelamatkan diri, dan mencium baunya yang harum, Han Han dapat menduga bahwa tentu senjata-senjata rahasia yang halus dan paling berbahaya di antara segala senjata rahasia ini, tentulah mengandung racun.
Maka ia pun cepat menggerakkan tubuhnya, mencelat ke sana sini. Nirahai terus menggerakkan kedua tangannya, menyambit dengan jarum-jarumnya ke mana pun bayangan Han Han berkelebat. Dan dara ini benar-benar kagum sekali. Jarum-jarumnya memang ia pergunakan untuk menguji sampai di mana kehebatan ginkang dari pemuda itu, sampai di mana kecepatan gerak kilatnya. Dia sendiri tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan itu dengan gerakan tubuhnya, maka ia menggunakan jarum-jarumnya.
Dan ternyata, jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang biasanya sekali lepas tentu mengenai lawan itu, kini tidak ada artinya sama sekali terhadap Han Han. Sampai habis semua jarumnya disambitkan, tidak sebatang pun mengenai Han Han yang terus berloncatan mengerahkan ilmunya Soan-hong-lui-kun! Setelah dara itu tidak menyambit lagi karena jarumnya habis, barulah Han Han meloncat turun di tempat tadi, mukanya biasa saja hanya matanya memandang tajam ke arah Nirahai.
Nirahai yang selain merasa kagum juga merasa penasaran sekali, cepat menerjang maju dengan pedang payungnya. Han Han sudah siap dengan tongkatnya, mulai ia mengelak ke sana-sini untuk melihat dulu sifat-sifat serangan gadis itu. Apakah akan menggunakan ilmu pedang yang telah dimainkan semalam? Akan tetapi ternyata tidak, dan sekali ini permainan pedang payung itu berbeda lagi dengan kedua ilmu pedang yang sudah dimainkan semalam. Jauh lebih aneh dan hebat karena sekarang Nirahai telah membuka payungnya dan mulailah ia mainkan ilmu pedang simpanannya yang paling diandalkan, yaitu Tiat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Payung Besi) yang merupakan penggabungan dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat dan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat!
Payung itu membuka menutup secara tiba-tiba dan terputar merupakan perisai dan menyembunyikan gerakan-gerakan Nirahai, sehingga datangnya serangan dengan ujung payung meruncing itu sama sekali tidak dapat diduga oleh Han Han. Setelah Nirahai mainkan ilmu pedangnya yang aneh ini, Han Han terkejut sekali dan terdesak hebat! Namun ia dapat menghindarkan bahaya dengan loncatan dan gerak kilatnya.
Sambil mengelak ini ia diam-diam memperhatikan dan merasa kagum karena ilmu yang dimainkan dara ini memang luar biasa sekali. Gerakannya kelihatan kacau-balau namun menyembunyikan jurus-jurus yang mengerikan. Itulah penggabungan dua macam ilmu pedang yang sesungguhnya berlawanan sifatnya!
“Kiam-sut yang aneh!” Han Han berseru.
Kini terpaksa ia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya sehingga tongkatnya menggetar mengandung hawa Hwi-yang Sin-ciang dan setiap kali menangkis pedang payung, Nirahai merasa betapa seluruh lengannya tergetar hebat dan hampir saja payung itu terlepas dari pegangannya! Ia mengeluarkan suara melengking keras dan memperhebat desakannya. Namun gerakan Han Han terlampau cepat baginya, apa lagi pada saat pemuda itu hampir terkena serangan, tangkisan tongkat pemuda itu membuat Nirahai terhuyung mundur. Tangkisan dengan pengerahan tenaga yang mukjizat itu benar-benar terlampau kuat bagi Puteri ini.
Kembali dua ratus jurus lewat dan dengan ilmu gabungan itu, masih juga Han Han tak dapat dirobohkan oleh Nirahai! Dara itu menjadi marah dan penasaran sekali, tiba-tiba ia membentak dan pedang payungnya membuat gerakan serangan yang amat ganas. Senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar melingkar-lingkar yang menutupi jalan keluar Han Han karena sudah mengurung di bagian atas, tidak memberi kesempatan bagi Han Han untuk meloncat ke atas, sedangkan tangan kiri dara itu memukul dengan ilmu pukulan maut Sin-coa-kun-hoat (Ilmu Silat Ulat Sakti)! Bukan main ganas dan dahsyatnya ilmu-ilmu itu sehingga Han Han berseru kaget. Terpaksa ia mengerahkan tenaga pada tongkatnya, menangkis dan dengan tangan kirinya ia mendorong ke arah pukulan lawan.
“Krekkk! Plakkk... desssss!”
Cepat sekali terjadinya. Payung itu patah menjadi dua, lalu telapak tangan kiri mereka bertemu dan... lambung kiri Han Han dicium ujung sepatu Nirahai yang mengirim tendangan kilat.
Han Han mencelat ke belakang, menyeringai menahan rasa nyeri karena biar pun ia tidak terluka dalam, ujung sepatu yang runcing itu membuat kulit lambungnya lecet! Di lain pihak, Nirahai dengan muka pucat memandang gagang payungnya.
“Maaf, Nirahai. Aku telah kena kau tendang, aku mengaku kalah.”
Nirahai memandang dengan mata mendelik, akan tetapi bagi Han Han, dara itu tampak makin menarik, mengingatkan ia kepada Lulu kalau sedang ngambek!
“Suma Han, benar bahwa pedang payungku telah patah, akan tetapi aku pun telah berhasil menendangmu, maka jangan kau mentertawakan aku lebih dulu. Aku belum kalah. Mari kita lanjutkan!” Setelah berkata demikian, kembali Nirahai menerjang maju menyerang Han Han.
“Aiiihhhhh...!” Han Han terkejut ketika melihat sinar kuning emas yang menyilaukan mata dan tahu-tahu ada hawa yang mukjizat menyambar ke arah dadanya ketika sinar kuning emas itu meluncur dan menusuk dada.
“Tranggggg...!” Ia menangkis dengan tongkatnya dan keduanya terpental mundur.
Han Han memandang dengan mata terbelalak. “Aihhh... itukah senjata keramat Suling Emas?” Ia berseru.
Nirahai tersenyum mengejek, yakin akan keampuhan senjata di tangannya. “Payungku telah kau patahkan, akan tetapi aku masih memegang suling keramat ini, Suma Han. Hendak kulihat apakah engkau akan dapat mengalahkan senjata keramat ini!”
“Ahhh, Nirahai, mengapa engkau menggunakan senjata keramat itu hanya untuk menguji kepandaianku? Kalau sampai aku tewas, hal itu tidaklah amat penting, akan tetapi kalau senjata keramat itu sampai minum darahku, bukankah hal itu patut disesalkan? Bukankah hal itu berarti engkau mengotorkan senjata keramat itu? Marilah kita hentikan, atau kalau dilanjutkan juga, kita menggunakan kedua tangan kosong!”
“Hemmm, kau kira aku sebodoh itu mudah saja untuk kau tipu? Engkau mengandalkan sinkang-mu yang amat kuat, kalau kita bertanding dengan tangan kosong, tentu aku yang kalah. Apakah kau takut menghadapi aku yang bersenjata suling emas?”
“Engkau memang nekat! Marilah!” Han Han berkata, jengkel juga melihat desakan dara ini.
“Sambut ini!”
Nirahai sudah menerjang cepat dan kini ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat dengan suling emas. Terdengar suara aneh seolah-olah suling itu ditiup. Tampak sinar gemerlapan menyilaukan mata dan terbentuklah gulungan sinar kuning emas melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di dalam sinar matahari pagi!
Perlu diketahui bahwa Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dahulu dimiliki pendekar sakti Suling Emas, dan memang paling tepat dimainkan dengan senjata keramat ini. Malam tadi Nirahai sudah mainkan Pat-sian Kiam-hoat untuk menyerang Han Han akan tetapi dia tidak berhasil karena dia mainkan ilmu itu dengan pedang payung. Kini setelah ia mainkan ilmu itu dengan suling emas, kehebatannya menjadi berlipat ganda sehingga kembali untuk kesekian kalinya Han Han terdesak hebat.
Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaiannya, mengandalkan kecepatannya, akan tetapi ia lebih banyak mengelak dan menangkis dari pada menyerang sehingga setelah lewat seratus jurus, sudah dua kali ia dicium ujung suling, yaitu pada pangkal lengan kirinya dan pada pahanya sehingga baju di bagian itu robek dan kulitnya berdarah. Untung bahwa dia memiliki sinkang yang amat kuat sehingga ia masih dapat bertahan dan tidak roboh. Rasa penasaran membuat dia melakukan perlawanan sekuatnya. Tadinya memang dia tidak suka mengandalkan sinkang-nya untuk mengalahkan Nirahai karena ia khawatir kalau-kalau akan mengakibatkan Nirahai terluka parah atau tewas. Akan tetapi kini melihat desakan Nirahai yang seolah-olah hendak bersikeras membunuhnya, mulailah ia melawan.
Ketika sinar kuning emas yang menyilaukan matanya itu menyambar ke arah dada, ia cepat menggerakkan tongkat di tangan kirinya untuk menangkis dan terus mengerahkan sinkang sehingga suling itu melekat pada tongkatnya. Nirahai mengeluarkan seruan kaget karena tiba-tiba suling yang dipegangnya itu menjadi panas seperti dibakar, telapak tangannya terasa panas sekali. Maklumlah ia bahwa pemuda itu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang. Ia mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan sedangkan tangan kirinya ia hantamkan ke perut Han Han dengan ilmu Sin-coa-kun. Akan tetapi Han Han menerima pukulan ini dengan telapak tangan kanannya sambil mengerahkan hawa sakti Hwi-yang Sin-ciang.
“Plakkk!” Kepalan tangan Nirahai menempel pada telapak tangan kanan Han Han dan seketika tubuh dara itu menggigil!
“Lepaskan sulingmu...!” Han Han membentak, suaranya halus karena dia tidak ingin menyinggung perasaan dara itu.
“Tidak!” Nirahai membantah biar pun tangannya yang memegang suling seperti dibakar rasanya dan dari tangan kirinya menjalar hawa dingin yang membuat ia menggigil.
Kedua orang muda itu berdiri seperti arca, saling tidak mau mengalah, akan tetapi juga saling menjaga agar tidak mencelakakan lawan! Kalau Han Han menghendaki, dengan pengerahan tenaga sinkang sekuatnya, tentu Nirahai akan roboh dan tewas, akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini. Di lain pihak, Nirahai yang kini sudah merasa yakin benar bahwa dia tidak dapat mengalahkan Han Han, diam-diam menjadi kagum sekali dan kini ia membuat ujian terakhir, yaitu ingin melihat apa yang akan dilakukan Han Han. Akan membunuhnya? Ataukah... seperti yang dia harapkan, pemuda ini menaruh hati sayang kepadanya?
“Memalukan!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali ke arah dua orang muda itu. Nirahai dan Han Han tiba-tiba merasa tubuh mereka terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat.
“Subo...!” Nirahai berseru dan menghampiri Nenek Maya, dua titik air mata menetes di pipinya dan mukanya menjadi merah sekali.
“Subo...!” Han Han berlutut di depan Nenek Khu Siauw Bwee.
Akan tetapi kedua orang nenek itu tidak mempedulikan murid mereka, melainkan berdiri tegak saling pandang dengan mata yang sukar dilukiskan. Ada rasa haru, rasa sayang, rasa dendam dan penasaran bercampur aduk menjadi satu pada sinar mata kedua orang nenek sakti itu.
“Suci...!” Akhirnya Nenek Khu Siauw Bwee menegur, suaranya halus dan anehnya, ada rasa iba terkandung di dalam suaranya ini.
“Sumoi...! Syukur... engkau masih hidup...!” Nenek Maya berkata, suaranya dingin sehingga sukar diduga perasaan apa yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Han Han dan Nirahai hanya memandang dengan hati tegang menyaksikan pertemuan antara kedua orang nenek sakti itu.
“Sumoi, jangan kira bahwa muridmu telah dapat menangkan muridku. Jelas kulihat tadi bahwa Nirahai tidak bersungguh-sungguh, kalau dia bersungguh-sungguh, tentu dia sudah dapat membunuh muridmu!”
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum dan dengan suara tenang menjawab, “Suci, tidak terbalikkah wawasanmu itu? Kulihat Han Han yang mengalah tadi!”
“Tidak bisa. Muridku masih lebih lihai dari pada muridmu!” bentak Nenek Maya tidak mau kalah.
Nenek Khu Siauw Bwee yang jelas memiliki watak lebih sabar dan halus, menoleh ke arah Han Han dan bertanya, suaranya kereng, “Han Han, mengapa engkau tadi tidak menggunakan seluruh tenagamu di saat terakhir? Mengapa engkau mengalah?”
Han Han tidak mau menyinggung hati Nirahai, maka sambil menundukkan muka ia berkata, “Dia terlampau sakti, subo. Teecu memang kalah.”
Wajah Nirahai menjadi makin merah mendengar ini dan ia pun menunduk, tidak berani menentang pandang mata Han Han.
“Nirahai, ketika kalian berdua berdiri mengadu tenaga tadi, ada kesempatan baik bagimu. Sekali menendang dengan tendangan sakti ke arah bawah pusarnya, bukankah lawanmu akan kehilangan nyawanya? Mengapa engkau mengalah?” Nenek Maya menegur muridnya pula, suaranya galak.
“Maaf, subo. Teecu... teecu tidak mampu mengalahkannya. Dia terlalu lihai dan teecu memang kalah!”
Han Han mengangkat muka. Nirahai mengangkat muka. Dua pasang sinar mata bertemu pandang, sejenak bertaut, penuh perasaan dan seolah-olah dalam persilangan sinar mata itu terjadi pencurahan seribu kata-kata yang tak terucapkan, membuat keduanya segera menunduk kembali dengan jantung berdebar.
“Hemmm... bocah-bocah ini saling mengalah, mana bisa diukur siapa di antara ilmu kita yang lebih tinggi? Sumoi, marilah kita lanjutkan sendiri!”
Nenek Khu Siauw Bwee tersenyum mengejek. “Kita lanjutkan pertandingan puluhan tahun yang lalu, suci? Baiklah, tapi ingat, sekarang aku tidak akan suka mengalah lagi kepadamu, suci.”
Nenek Maya tertawa dan Han Han harus mengakui bahwa biar pun usianya sudah amat tua, akan tetapi ketika tertawa nenek itu masih mempunyai daya tarik yang luar biasa!
“Sumoi, sekarang pun engkau masih takkan dapat mengalahkan aku!”
“Bagus! Kau kira setelah kakiku buntung satu, engkau dapat memandang rendah kepadaku?” Nenek Khu Siauw Bwee berkata marah.
“Majulah, Khu Siauw Bwee!”
Nenek Khu Siauw Bwee mengeluarkan suara bentakan halus dan tubuhnya lalu lenyap karena dia sudah mencelat cepat sekali, gerakannya lebih cepat dari Han Han dan bagaikan kilat menyambar, dia sudah menyerang Nenek Maya. Akan tetapi Nenek Maya sudah menggerakkan kedua tangan ke atas dan menyambut serangan sumoi-nya. Dua lengan bertemu dan Nenek Khu Siauw Bwee mencelat ke atas lagi, terus menyambar-nyambar dari atas dengan hebatnya. Di lain pihak, Nenek Maya yang sudah siap menciptakan ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu nenek kaki tunggal ini, tetap berdiri tegak, hanya memutar tubuh menghadapi ke arah menyambarnya tubuh sumoi-nya dan selalu dapat menangkis sambil balas memukul. Pertandingan hebat sekali terjadi.
Han Han dan Nirahai yang masih berlutut memandang bengong. Cemas sekali hati mereka, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri urusan antara guru-guru mereka yang masih ada hubungan dekat itu, suci dan sumoi! Mereka melihat pertandingan yang lebih hebat dari pada pertandingan mereka tadi. Melihat betapa tubuh Nenek Khu Siauw Swee menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda, sedangkan Nenek Maya tegak seperti seekor harimau yang siap mencakar di saat sang garuda menyambar ke bawah.
Tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee yang masih berjungkir-balik di udara cepat sekali itu mengeluarkan lengking nyaring. Tubuhnya menerjang dan menukik ke bawah, tangan kirinya mencengkeram ke ubun-ubun Nenek Maya. Nenek Maya menangkap tangan sumoi-nya itu dan tangan kedua orang nenek yang tidak saling mencengkeram itu bergerak cepat memukul.
“Plak! Plak!”
“Celaka...!” Han Han dan Nirahai berseru hampir berbareng dan dengan muka pucat mereka berdua memandang betapa guru masing-masing terhuyung ke belakang dan muntah darah lalu roboh terguling. Akan tetapi keduanya dapat merangkak bangun, saling pandang dan tiba-tiba Nenek Khu Siauw Bwee berkata lemah.
“Suci, engkau memang hebat!”
“Sumoi, engkau lihai! Pukulanmu mendatangkan maut...!”
“Aku pun takkan dapat hidup lagi, suci. Pukulanmu meremukkan isi dada...”
“Ah, sumoi... Siauw Bwee... aku telah berdosa besar padamu. Kasihan sekali engkau, sumoi... puluhan tahun hidup menderita karena setelah kakimu kubikin buntung... kau maafkan aku sumoi...”
“Tidak, Suci Maya... akulah yang menaruh kasihan kepadamu... penderitaanku hanya penderitaan lahir, akan tetapi kau... ah, suheng ternyata mencinta aku seorang dan kau... kau menderita batin yang hebat...”
“Sumoi...!”
“Suci...!”
Kedua orang nenek itu merangkul saling menghampiri, lalu saling rangkul sambil menangis!
Han Han memandang dengan muka pucat, sedangkan Nirahai memandang dengan air mata bercucuran. Terharu hati Han Han melihat puteri itu menangis. Tadinya, sukar baginya membayangkan Puteri seangkuh dan sekeras itu hatinya mengucurkan air mata!
Setelah bertangis-tangisan dalam menghadapi maut itu, Khu Siauw Bwee berkata, “Suci, apakah engkau melihat apa yang kulihat?”
“Maksudmu?”
“Murid-murid kita...!” Khu Siauw Bwee berkata.
Maya tersenyum menyeringai menahan rasa sakit di dadanya oleh tamparan tangan sumoi-nya di punggungnya tadi. Ia mengangguk.
Khu Siauw Bwee menekan dadanya yang tadi terpukul suci-nya. “Suci..., kita sudah saling memaafkan... biarlah kita akhiri pertentangan ini dengan persatuan. Aku mewakili muridku, suci... mengajukan lamaran kepadamu agar muridmu menjadi jodoh muridku...”
Nenek Maya tertawa terkekeh-kekeh girang akan tetapi ia berhenti tertawa karena dadanya menjadi makin sesak. “Baik... kuterima pinanganmu... hi-hi-hik, bagus sekali, memang pantas... Nirahai menjadi isteri Suma Han...! Eh, sumoi, sayang kita tak dapat menyaksikan...”
“Han Han, engkau mendengar sendiri suci telah menerima pinanganku. Engkau tentu suka menjadi suami Nirahai, bukan?”
Jantung Han Han memukul keras, seolah-olah akan pecah dadanya. Ia menoleh ke arah Nirahai yang mukanya juga menjadi pucat. “Subo, teecu... teecu mana berharga untuk...?”
“Jangan bicara tentang berharga atau tidak. Pendeknya, engkau mau atau tidak? Jawab!” Nenek Khu Siauw Bwee berkata sambil menekan dadanya.
Han Han mengangguk dan tidak berani melirik ke arah Nirahai. “Tentu saja..., teecu akan merasa bahagia dan terhormat sekali, teecu mau, subo.”
“Hi-hi-hik, itulah jawaban laki-laki! Eh, Nirahai, bagaimana dengan engkau? Maukah engkau menjadi isteri pemuda kaki buntung ini? Engkau pernah mengatakan bahwa engkau hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang dapat mengalahkan engkau. Dan jelas bahwa engkau takkan dapat menangkan Suma Han. Bagaimana?”
Nirahai yang biasanya tabah itu, kini menundukkan mukanya yang menjadi merah kembali, jawabnya lirih, “Teecu... menurut perintah subo.”
“Eh, itu bukan jawaban gagah! Engkau mau atau tidak? Jawab!” Sikap Nenek Maya persis seperti sikap Nenek Khu Siauw Bwee tadi.
Nirahai menunduk makin dalam. “Teecu... teecu mau...”
Dua orang nenek itu tertawa, tertawa bergelak-gelak sambil saling rangkul, dengan dua pasang mata tua mengeluarkan air mata.
“Subo...!”
“Subo...!”
Seperti berlomba cepat Han Han dan Nirahai sudah menubruk guru masing-masing dan ternyata bahwa dua orang nenek itu telah tewas sambil berpelukan. Mereka dahulu bermusuhan, akan tetapi dalam ambang maut mereka saling peluk dan tertawa, juga menangis!
Nirahai terisak menangis. Han Han berlutut sambil menunduk duka. Setelah reda tangis Nirahai dan gadis itu dengan mata merah menoleh kepadanya, mereka saling pandang dan Han Han berkata halus lirih.
“Lebih baik kita mengubur jenazah mereka. Di mana sebaiknya dimakamkan?”
Nirahai mengangguk, juga menjawab lirih, “Sebaiknya di sini saja. Tempat ini amat baik, bersih dan sunyi.”
“Tepat sekali. Memang tempat ini amat baik, bahkan merupakan tempat keramat bagi kita.”
Nirahai memandang wajah pemuda itu. “Mengapa begitu?”
“Bukankah tempat ini yang mempertemukan kita, bahkan... yang menjadi saksi perjodohan kita?”
Nirahai menjadi merah mukanya. Mereka saling berpandangan, kemudian dara itu berbisik, “Marilah kita menggali tanah untuk makam mereka...”
Han Han meloncat bangun dan pemuda ini merasakan kegembiraan yang luar biasa sekali, yang membuat tangannya terasa ringan ketika ia menggunakan tongkatnya untuk menggali tanah di bawah pohon di pinggir padang rumput. Nirahai mengambil pedang payungnya yang sudah patah, lalu menggunakan ujung payung yang runcing itu untuk menggali sebuah lubang di pinggir lubang yang digali Han Han. Mereka berdua seperti berlomba dan Han Han sengaja mengurangi tenaganya sehingga lubang yang dua buah itu selesai digali dalam waktu berbareng. Karena keduanya merupakan orang-orang yang memiliki tenaga sakti, dalam waktu pendek saja dua buah lubang yang cukup dalam telah tergali.
Dengan penuh khidmat dan tanpa berbicara mereka lalu mengubur kedua jenazah itu berdampingan, lalu menutup lubang itu dengan tanah galian. Ketika melakukan ini Nirahai menangis dan Han Han menghiburnya dengan kata-kata halus. Setelah selesai Han Han mencari dua buah batu besar dan kedua orang muda itu kembali seperti berlomba, mengukir permukaan batu nisan dengan ujung tongkat dan ujung payung.
Han Han mengukir huruf-huruf yang berbunyi:
~MAKAM NENEK KHU SIAUW BWEE, SUMOI TERCINTA DARI NENEK MAYA~
Ada pun ukiran Nirahai berbunyi sebaliknya:
~MAKAM NENEK MAYA, SUCI TERCINTA DARI NENEK KHU SIAUW BWEE~
Ukiran Han Han lebih dalam, tanda bahwa tenaganya lebih kuat, akan tetapi ukiran yang dibuat Nirahai lebih halus tulisannya. Kini tanpa bicara kedua orang itu memperbaiki ukiran masing-masing, Nirahai memperhalus ukiran Han Han sebaliknya pemuda itu memperdalam ukiran Nirahai. Setelah selesai, mereka lalu berlutut di depan kedua nisan yang dipasang di depan makam kedua orang nenek sakti itu. Hari telah menjadi malam dan kedua orang itu masih berlutut di depan makam.
Untuk mengusir hawa dingin, Han Han membuat api unggun kemudian duduk menghadapi api unggun, duduk di atas rumput dekat dengan Nirahai. Keduanya merasa canggung, akan tetapi kemudian Han Han menghela napas panjang dan berkata.
“Nirahai, aku merasa seperti mimpi dan masih belum percaya benar bahwa semua ini dapat terjadi. Seorang puteri kaisar seperti engkau, berkedudukan tinggi dan mulia, cantik jelita, berilmu tinggi, mau menjadi calon isteri seorang seperti aku... yang...”
“Ssttttt, jangan lanjutkan, Han Han. Aku yang merasa heran mengapa engkau mau dijodohkan dengan aku?”
Mereka saling pandang dan kini sinar mata mereka saling berusaha menembus dan menjenguk isi hati masing-masing. Sinar api unggun yang bermain di wajah mereka membuat wajah mereka kemerahan dan menyembunyikan warna kedua pipi mereka yang merah sekali.
“Telah lama sekali aku aku jatuh cinta kepadamu, Nirahai. Semenjak aku datang ke Pulau Es...”
“Heee...? Menurut keterangan Lulu, engkau masih kecil, baru berusia belasan tahun ketika kalian datang ke pulau itu...! Betapa mungkin?”
“Benar, dan di sanalah, di dalam Istana Pulau Es itu, pertama kali aku melihatmu, Nirahai, dan sekaligus hatiku telah terpikat... dan aku telah jatuh cinta!”
Percakapan itu mengusir rasa canggung kedua pihak dan Nirahai lalu tertawa geli. “Ihhh, kiranya engkau seperti Lulu pula, suka bergurau! Kita baru saling jumpa pertama kali di istana ketika kau datang menyerbu, dan selama hidupku aku tidak pernah datang ke Pulau Es!”
“Memang bukan engkau, Nirahai, melainkan sebuah arca yang amat indah buatannya, seolah-olah hidup. Di sana terdapat tiga buah arca, yang sebuah adalah arca Koai-lojin, yang ke dua arca Subo Khu Siauw Bwee dan yang ke tiga adalah arca Subo Maya, yaitu ketika mereka masih muda. Arca Subo Maya itu serupa benar dengan engkau, Nirahai. Karena itu, begitu aku bertemu denganmu, tentu saja bagiku sama halnya dengan bertemu orang yang arcanya membuat aku tergila-gila itu. Herankah engkau betapa bahagia dan gembiranya rasa hatiku ketika subo menjodohkan aku dengan engkau? Serasa kejatuhan bulan purnama...!”
Pada saat itu bulan purnama mulai muncul dan otomatis Nirahai memandang bulan. Sinar bulan yang kuning emas membuat wajah dara ini tampak nyata dan amat cantik jelita sehingga Han Han menahan napas saking kagumnya, kemudian ia memberanikan hati memegang tangan dara itu yang duduk di sampingnya. “Nirahai... betapa cantik jelita engkau...”
Tangan Nirahai menggigil, akan tetapi dia tidak melepaskan genggaman Han Han, dan ketika ia menoleh, ia tersenyum. Wanita manakah yang takkan berbesar hati penuh kebanggaan kalau dipuji cantik? Apa lagi yang memuji adalah seorang pria yang menjadi pilihan hatinya!
“Aku girang sekali mendengar pernyataan isi hatimu, Han Han. Ketahuilah bahwa aku pun merasa beruntung sekali bahwa engkau telah berhasil mengalahkan aku dalam pibu...”
“Engkau tidak kalah! Dan mengapa engkau merasa beruntung kalau kukalahkan?”
“Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata subo tadi. Memang aku telah bersumpah bahwa aku hanya mau menjadi isteri seorang pria yang mampu mengalahkan aku. Dan aku semenjak mendengar obrolan Lulu tentang dirimu, bahkan bocah nakal itu hendak menjodohkan aku denganmu, semenjak itu, kemudian setelah bertemu, melihatmu dan melihat kegagahanmu, hemmm... aku akan merasa menyesal sekali andai kata engkau kalah olehku.”
Bukan main besar hati Han Han mendengar ini dan kegirangan yang meluap membuat ia menarik lengan dara itu. Nirahai seperti lemas tubuhnya dan membiarkan kepalanya rebah di dada Han Han. Sejenak mereka berdua tidak bergerak, bermandi cahaya bulan yang tersenyum-senyum menyaksikan ulah tingkah dua insan yang mabuk asmara ini.
Han Han membelai-belai rambut yang halus dan hitam itu dan Nirahai memejamkan mata, mendengarkan debar jantung di dada Han Han yang baginya seperti bunyi musik yang amat merdu dan indah. Kemudian ia membuka matanya, dan mengangkat pandang matanya ke atas untuk menatap wajah di atasnya itu sehingga sepasang mata itu menjadi lebar sekali dan amat indah seperti mata Lulu!
“Han Han, katakanlah. Mengapa engkau jatuh cinta kepada arca subo di waktu muda yang kau katakan serupa benar denganku itu? Mengapa engkau jatuh cinta kepadaku?”
Sampai lama Han Han tidak dapat menjawab, menatap wajah yang tengadah itu seolah-olah hendak mencari jawabnya dari wajah yang jelita itu. Mata itu! Mulut itu! Dan ia teringat akan perasaannya di waktu ia memandang arca di dalam Istana Pulau Es, kemudian seperti menemukan jawabannya, lalu berkata girang.
“Aku tahu! Aku tergila-gila kepadamu, Nirahai, karena pertama-tama karena matamu!”
Nirahai terkekeh dan mendekap mulutnya sendiri dengan tangan, matanya terbelalak lebar, “Karena mataku? Hi-hik! Mataku kenapa?”
“Matamu begini indah... seperti sepasang bintang di langit... kulihat laut yang bening dalam di situ, menghanyutkan...” jawab Han Han sambil memandang sepasang mata yang amat indah itu, seperti mata Lulu!
“Ihhh, seperti laut yang menghanyutkan? Mengerikan!”
“Tidak! Sama sekali tidak! Aku akan rela dan bahagia sekali kalau mati hanyut di situ, tenggelam dalam lautan kenikmatan yang membayang di dalam matamu. Matamu seperti... seperti... bulan kembar...!”
“Hi-hik, kau aneh...”
Nirahai memejamkan matanya sehingga ‘bulan kembar’ itu bersembunyi di balik pelupuk dan dilindungi bulu mata yang kini menjadi tebal dan panjang, mendatangkan bayangan-bayangan menggairahkan di atas pipi, membuat Han Han makin terpesona. Kalau terbuka mata itu mempesona, kalau tertutup malah menggairahkan. Bukan main!
“Kau bilang tadi, pertama-tama karena mataku. Adakah yang ke dua?” tanya Nirahai tanpa membuka matanya.
“Memang ada, dan aku tidak tahu yang mana yang lebih menarik dan membuat aku tergila-gila. Yang ke dua adalah... mulutmu, Nirahai!”
Mata itu terbuka kembali, terbelalak dan mengandung senyum terheran-heran.
“Mulutku...? Ada apa dengan mulutku...?” suaranya penuh dengan hati yang riang gembira, bangga dan juga geli dan heran.
“Mulutmu... bibirmu...” Han Han berbisik dan suaranya gemetar.
Pandang matanya tak pernah dapat melepaskan sepasang bibir yang lunak halus kemerahan itu, yang kini bergerak-gerak seperti menggigil seolah-olah bisikan Han Han merupakan penggeli yang membuat bibir itu tak dapat diam, “entah mengapa, Nirahai... melihat mulutmu... bagiku seolah-olah ketika aku kelaparan dahulu melibat buah apel yang masak...! Aku... aku...”
Han Han tidak melanjutkan kata-katanya karena desakan rasa kasih bercampur birahi membuat ia tak kuasa menahan hasrat hatinya, membuat ia seperti tak sadar lagi menunduk, mencium bibir itu, mencium mata itu, lalu mencium bibir kembali, sepenuh rasa kasihnya, semesra-mesranya. Hmmm.....
Mula-mula Nirahai tersentak seolah-olah tubuhnya menjadi kaku menegang, kemudian ia menjadi lemas, naik sedu-sedan dari rongga dadanya dan seperti dalam mimpi ia pun tidak sadar bahwa dia telah membalas ciuman pemuda yang sudah menjatuhkan cinta kasihnya itu. Sampai lama mereka saling mendekap berciuman, lupa akan segala. Kemudian kesadaran datang memasuki pikiran mereka, hampir berbareng dan kedua orang muda yang sejak kecil sudah tergembleng batinnya ini segera sadar dan dapat menguasai rangsangan hati masing-masing, lalu menghentikan ciuman dan Nirahai terlena di atas dada yang bidang itu, kedua matanya terpejam, dua titik air mata membasahi bulu matanya yang panjang.
“Ahhh, maafkan aku...!” Han Han berbisik, sekuatnya menahan gelora hatinya yang membuat seluruh tubuh terasa panas menggigil.
“Bukan... bukan salahmu, Han Han...,” Nirahai berbisik dan keduanya terdiam sampai berjam-jam.
Han Han yang tiada bosannya menatap wajah di atas dadanya itu mengira Nirahai tertidur, maka dia pun tidak bergerak, hanya bersandar pada batang pohon tanpa mau mengganggu kekasihnya yang disangkanya pulas. Tetapi tiba-tiba Nirahai membuka mata. Mereka berpandangan dan keduanya tersenyum, merasa lega bahwa masing-masing dapat menguasai gelora hati sehingga tidak sampai terjadi yang lebih dari pada yang telah mereka lakukan dalam keadaan mabuk dibuai gelora hati muda.
“Nirahai, kekasih pujaan hatiku... terima kasih...”
Nirahai bangkit dan duduk bersila. Mereka berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan. “Mengapa, Han Han? Mengapa berterima kasih?”
“Engkau seperti membangkitkan kembali aku dari timbunan duka nestapa, seperti hawa murni yang mengembalikan semua kelelahan hidupku, memberi makan kepada jiwa yang kelaparan, seperti tetesan embun segar pada tunas melayu di bumi mengering... engkau yang begini cantik jelita sudi menyambut cintaku. Nirahai, katakanlah, mengapa engkau yang begini mulia bisa jatuh cinta kepada seorang seperti aku yang bunt...”
Nirahai cepat menggerakkan tangannya dan jari tangan yang halus kecil meruncing itu menutup bibir Han Han, mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya.
“Aku cinta padamu karena engkau memang tampan dan gagah perkasa, terutama sekali karena engkau dapat mengalahkan aku, dan karena engkau adalah seorang laki-laki yang rendah hati, sederhana, akan tetapi memiliki harga diri yang tinggi, engkau kuat, engkau tahan menderita, engkau tidak pendendam, engkau pandai mengalah dan sabar.”
“Terima kasih, Nirahai. Terima kasih!” Han Han memeluknya dan memberi sebuah ciuman lembut di dahi Nirahai.
Sentuhan ciuman ini terasa menyentuh jantung, tidak merangsang seperti tadi, akan tetapi terasa demikian lembut dan mendalam seolah-olah dua hati mereka melekat menjadi satu.
Malam terlewat amat cepat bagi kedua orang yang sedang berbahagia ini. Tahu-tahu pagi telah tiba. Nirahai bangkit melepaskan diri dari pelukan Han Han. Sambil tersenyum seperti sang matahari pagi sendiri dia berkata.
“Han Han, sekarang aku harus meninggalkanmu, kalau tidak tentu akan ada pasukan yang mencariku, khawatir kalau-kalau aku tewas dalam pibu melawanmu.”
“Engkau dan aku tidak tewas dalam pibu, akan tetapi sama-sama jatuh, jatuh cinta!” Han Han menggoda.
“Wah, entah Lulu yang mencontohmu ataukah engkau yang ketularan!” Nirahai berkata sambil membantu Han Han bangkit berdiri. Akan tetapi ia segera berkata dengan sungguh-sungguh, “Aku harus menyelesaikan tugasku lebih dulu, kemudian aku akan pulang ke kota raja. Urusan jodoh di antara kita yang ditetapkan oleh kedua orang guru dan sudah kita setujui, tak mungkin dapat dilaksanakan tanpa pengetahuan Ayahanda Kaisar. Aku akan menyampaikan urusan kita ini kepada Kaisar. Maka engkau pergilah ke kota raja dalam waktu sebulan ini, menyusulku ke sana.”
Kekhawatiran muncul di hati Han Han. Semalam ia lupa sama sekali bahwa dara jelita yang dipeluknya, yang dianggapnya sebagai calon jodohnya, calon isterinya, adalah puteri kaisar! Maka kini, ia melihat nama kaisar sebagai sebuah jurang yang amat lebar, yang mengancam putusnya ikatan di antara mereka.
“Nirahai...!” katanya, suaranya gemetar penuh kegelisahan. “Bagaimana... kalau... kalau Kaisar menolak?”
Nirahai menggeleng kepala. “Jangan khawatir, jasaku sudah terlalu banyak dan tentu Ayahanda Kaisar tidak akan menghalangi. Andai kata demikian pun, di dalam hatiku engkau adalah suamiku dan tak seorang pun di dunia ini akan dapat menghalangiku!”
“Nirahai...!” Han Han memeluknya dan sejenak mereka berpelukan.
Akhirnya Nirahai melepaskan dirinya. Setelah mengusap dagu Han Han dengan kedua tangannya, ia berkata, “Sudahlah, Han Han. Aku pergi dan kunanti engkau di istana. Sebulan lagi kita bertemu kembali!” Setelah berkata demikian, dara itu meloncat jauh akan tetapi sebelum lari, ia membalikkan tubuh, melambaikan tangan dan tersenyum manis sekali.
Han Han berdiri seperti arca, terpesona dan memandang dara itu berlari sampai lenyap dari pandang matanya. Hatinya penuh rasa suka, penuh harap, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Dia akan menjadi suami Puteri Nirahai! Dia akan menjadi putera mantu Kaisar Mancu! Siapa dapat percaya? Ia merasa seperti dalam mimpi dan tak terasa lagi ia berloncatan mengejar Nirahai! Setelah tampak olehnya bayangan Nirahai yang sudah jauh, barulah ia merasa yakin bahwa dia tidaklah mimpi. Semua peristiwa tadi malam adalah kenyataan, bukan mimpi! Dan masih ada buktinya lagi, yaitu dua buah makam. Dia harus melihat lagi kedua makam itu untuk meyakinkan hatinya bahwa dia tidaklah mimpi.
Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh hendak kembali ke makam, ia terbelalak kaget dan heran melihat seorang kakek tua renta berdiri seperti arca, tegak dengan kedua tangan bersedakap dan kepala menunduk di depan dua makam baru itu! Kakek itu sudah tua sekali, rambutnya yang riap-riapan, jenggotnya yang panjang, kumisnya yang menjuntai ke bawah, alisnya yang panjang sampai ke pipi telah putih semua, tidak ada yang hitam selembar pun. Akan tetapi, kakek tua renta ini tubuhnya masih tegak, tinggi besar dan nampak sehat kuat. Pakaiannya hitam dari kain kasar dengan potongan sederhana sekali, lengan baju pendek di atas siku, kaki celana pendek di bawah lutut dan kedua kakinya telanjang. Kulit lengan dan kakinya putih bersih dan tidak tampak keriput!
Tiba-tiba kakek itu menoleh ke arah Han Han dan pemuda yang tadinya berniat menghampiri kakek itu tersentak kaget dan terpukau di tempatnya. Sinar mata kakek itu mencorong seperti mata harimau di waktu malam dan mengandung pengaruh mukjizat yang membuat Han Han merasa kakinya seperti lumpuh! Akan tetapi kakek itu segera membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari depan makam, tidak menengok lagi kepada Han Han.
“Locianpwe, harap berhenti dulu...!” Han Han berteriak dan meloncat melakukan pengejaran.
Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mempedulikan, menengok pun tidak dan terus melangkah maju dengan enaknya, akan tetapi, ternyata demikian cepatnya sehingga Han Han yang berloncatan itu tidak mampu mengejarnya!
“Locianpwe, tunggu...!” Han Han berteriak lagi dan kini ia mengerahkan ginkang-nya, mempergunakan ilmunya berlari cepat berdasarkan Ilmu Soan-hong-lui-kun sehingga tubuhnya seolah-olah terbang, berloncatan dengan kecepatan laksana kilat menyambar.
“Locianpwe...!” Han Han memanggil.
Sungguh aneh sekali, kakek itu tetap berjalan seenaknya, kelihatan perlahan saja, dengan tubuh tegak dan kedua kaki melangkah panjang-panjang, akan tetapi jarak antara dia dan Han Han tidak pernah berubah, masih sejauh tadi.
Han Han merasa seolah-olah dalam mimpi. Ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Masa dia tidak mampu mengejar kakek yang hanya berjalan biasa itu? Kalau kakek itu berlari cepat, dia masih tidak penasaran. Akan tetapi kakek itu hanya berjalan biasa, namun tetap saja ia tidak mampu menyusul!
“Locianpwe, teecu hendak bicara, harap suka menunggu dulu!” Untuk ketiga kalinya Han Han berseru keras. Kakek itu menengok sekali lalu berkelebat cepat bukan main, sebentar saja sudah amat jauh dan hanya tampak sebuah titik hitam!
Han Han terkejut. Maklumlah ia bahwa kakek itu adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Dia mengejar terus ke arah titik hitam yang masih tampak bergerak maju. Sehari penuh ia terus mengejar sambil berloncatan mendekat.
Akan tetapi setelah mengejar sampai hari menjadi sore akhirnya kakek itu lenyap di antara bangunan-bangunan mungil di dekat sebuah telaga! Timbul keinginan hati Han Han untuk menyelidiki siapa gerangan kakek yang memiliki kepandaian luar biasa itu, maka dia lalu menghampiri dua buah bangunan kecil yang berdiri di kanan kiri telaga.
Hari telah senja dan suasana di sekitar telaga itu sunyi bukan main. Han Han menghampiri bangunan dan ternyata bangunan itu kosong. Ia menyelinap ke samping bangunan, berloncatan perlahan dibantu tongkat yang ia pegang dengan tangan kiri dan ketika ia tiba di pinggir telaga, ia berdiri tertegun melihat kakek yang tadi dikejar-kejarnya itu sedang duduk menongkrong (berjongkok) di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, tangan kiri memegang lutut, tangan kanan memegang sebatang tangkai pancing dan matanya termenung memandang ke air telaga. Kakek itu ternyata sedang enak-enak memancing!
Kakek itu menengok dan kembali Han Han terkejut ketika bertemu pandang dengan mata kakek itu. Kakek itu pun menatap wajah Han Han dengan tajam, penuh selidik, kemudian berkata dengan ramah dan wajahnya yang membayangkan ketenangan dan kesabaran luar biasa itu berseri, “Orang muda, mengapa engkau mengejar-ngejar aku?”
Han Han berdiri dengan penuh hormat di dekat kakek itu, mengamati wajah itu yang seperti pernah dikenalnya. Kemudian dengan sikap hormat dan suara halus ia berkata, “Teecu mohon maaf sebanyaknya kalau teecu mengganggu locianpwe dan lancang datang ke tempat ini.”
“Tidak mengapa, orang muda. Aku tadi segan menghadapimu karena memang sudah terlalu lama aku mengasingkan diri, menjauhkan diri dari dunia ramai.”
Tiba-tiba Han Han teringat dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Ah, sekarang teecu ingat. Mohon locianpwe memaafkan. Kiranya locianpwe adalah Koai-lojin...!” Han Han berkata dengan seruan girang. “Locianpwe yang telah menolong teecu ketika teecu hendak dibunuh oleh Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi... dan... dan locianpwe adalah Kam Han Ki Locianpwe atau yang terkenal dengan julukan Koai-lojin, penghuni Pulau Es!”
Kakek itu menarik napas panjang. “Bangunlah, Suma Han, dan duduklah di atas batu ini agar kita dapat bicara dengan leluasa.”
Girang bukan main hati Han Han. Bertemu dengan kakek ini baginya seperti bertemu dengan seorang guru besarnya sendiri, seperti bertemu dengan dewa! Ia lalu bangkit berdiri dan duduk di dekat kakek yang sedang memancing itu.
“Dugaanmu memang benar, akulah yang disebut Koai-lojin, dahulu penghuni Pulau Es bersama dua orang sumoi-ku yang telah kau rawat dan makamkan jenazahnya secara baik. Aku bersyukur melihat kebaikanmu, Suma Han.”
Han Han kagum sekali mendapat kenyataan bahwa kakek ini sudah mengenal namanya, mengenal nama keturunannya. Akan tetapi kakek yang amat sakti ini tentu saja sudah mengetahui segala hal!
“Sungguh berbahagia sekali teecu dapat berjumpa dengan suhu!” Han Han menyebut suhu karena bukankah dia murid Pulau Es, berarti murid kakek ini dan murid kedua orang nenek yang telah tewas?
Kakek itu tersenyum tanpa mengalihkan pandang matanya dari ujung tali pancing yang tenggelam di permukaan air telaga, kemudian ia mengangguk. “Yah, boleh juga engkau menyebut aku suhu setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Es. Dan aku girang sekali melihat sepak terjangmu selama ini. Engkau keturunan keluarga Suma yang banyak melakukan penyelewengan dalam hidup mereka. Dari kakek buyutmu Suma Boan, sampai kakek buyutmu Suma Kiat, dan kakekmu Suma Hoat. Aku gembira melihat sepak terjangmu tidak seperti mereka dan agaknya engkau mewarisi watak yang baik dari kakak nenek buyutmu, yaitu pendekar sakti Suling Emas. Dan aku girang sekali melihat kakimu yang kiri buntung.”
Di dalam hatinya, Han Han merasa heran dan tercengang mendengar ini, dan ia teringat akan nasehat hwesio tua renta di Siauw-lim-si, Kian Ti Hosiang yang menasehatkan agar dia membuntungi kaki kirinya! Rasa penasaran agaknya terbayang di wajahnya karena kakek itu tertawa dan menoleh kepadanya sambil berkata.
“Suma Han. Perlu diketahui agar engkau tidak penasaran. Andai kata tidak terjadi seperti sekarang, andai kata kaki kirimu tidak dibuntung orang, agaknya sekarang ini engkau sudah mati.”
“Ahhhhh...!” Han Han terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, tidak percaya. “Suhu, mohon petunjuk mengapa begitu? Dahulu pernah Kian Ti Hosiang dari Siauw-lim-si menasehatkan teecu agar teecu membuntungi kaki kiri teecu!”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Kian Ti Hosiang kiranya masih berpemandangan awas, sungguh mengagumkan. Ketahuilah, Suma Han, entah bagaimana asal mulanya aku sendiri tidak tahu, akan tetapi berbareng dengan hawa mukjizat yang terpancar keluar dari pandang matamu itu, ada sebuah penyakit yang amat jahat mengeram di dalam tubuhmu, yaitu di kakimu yang kiri. Penyakit itu timbul di dalam daging betismu dan menanam akar-akarnya pada urat-urat halus dan jalan darahmu. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat membasmi penyakit itu dan jalan satu-satunya hanyalah membuntungi kaki yang dihinggapi penyakit itu. Kalau tidak dibuntungi, akar penyakit itu akan menjalar terus, makin lama makin meluas, dari kakimu akan naik ke perut, kemudian kalau sudah mencapai jantungmu, darahmu akan habis dihisapnya dan engkau akan mati. Maka sungguh untung sekali bahwa kakimu dibuntungi orang sebelum akar penyakit naik ke perutmu sehingga bersama dengan kakimu yang buntung itu, penyakitnya ikut pula terbuang.”
Han Han bergidik ngeri. Kiranya begitukah? Bagaimana timbulnya penyakit itu? Apakah sejak... sejak ia melihat ibu dan enci-nya diperkosa orang kemudian ia dibanting ke dinding oleh perwira Mancu?
“Terima kasih atas keterangan suhu. Sungguh pun teecu tak dapat mengerti bagaimana dapat terjadi hal yang seaneh itu, akan tetapi teecu percaya dan setelah kini secara kebetulan Thian memberi berkah kepada teecu dapat berjumpa dengan suhu, teecu mohon petunjuk-petunjuk suhu.”
“Hemmm... petunjuk apa lagi yang dapat kuberikan kepadamu? Ilmu kepandaianmu telah cukup setelah engkau menerima warisan Ilmu Song-hong-lui-kun dari Sumoi Khu Siauw Bwee. Hemmm... dua buah bangunan ini kubuat di sini untuk mereka, kedua orang sumoi-ku, siapa kira mereka telah mendahuluiku meninggalkan dunia yang keruh oleh perbuatan manusia ini. Tidak ada lagi yang dapat kuberikan kepadamu, Suma Han, hanya obrolan-obrolan kosong yang kiranya ada gunanya kalau engkau mampu menangkap inti sarinya. Aku sudah bosan akan keramaian dunia, sudah makin terhimpit perasaanku menyaksikan ulah manusia di dunia ramai. Engkau sudah datang ke sini, segala pertanyaanmu akan kujawab. Aku sudah menjauhkan diri dari pada perbuatan-perbuatan yang hanya akan menambah keruhnya dunia. Aku lebih senang hidup bebas lepas, menyatukan diri dengan alam semesta dan melihat segala kewajaran terjadi demikian indah dan gaibnya, tiada terganggu oleh manusia yang penuh kepalsuan nafsu-nafsunya, semua berjalan lancar seperti gerakan awan, matahari, bulan dan bintang.”
Han Han adalah seorang pemuda yang amat peka perasaannya terhadap filsafat, dan dia jujur, kritis dan berani menyatakan suara hatinya. Mendengar ucapan kakek yang dianggap gurunya sendiri itu, dia lalu berkata.
“Harap suhu maafkan pertanyaan teecu yang lancang. Suhu tadi menyatakan tidak suka akan ulah manusia yang dipalsukan oleh nafsu, dan suhu lebih senang hidup menyatukan diri dengan alam bebas, akan tetapi... maaf, suhu, mengapa suhu masih suka memancing ikan? Bukankah perbuatan ini berarti membahayakan kebebasan hidup ikan-ikan di telaga ini?”
“Ha-ha-ha! Bagus sekali! Aku sudah khawatir kalau-kalau engkau hanya tunduk secara membuta saja, muridku yang baik! Pertanyaanmu itu membuktikan bahwa engkau pandai mempergunakan akal budi dan kesadaranmu sendiri, tidak hanya ikut-ikutan dan tidak menganut pelajaran secara membuta tanpa mengadakan wawasan dan mempergunakan nalar (logika). Engkau heran melihat aku memegang tangkai pancing? Nah, lihatlah!” Kakek itu mengangkat tangkai pancingnya dan Han Han terbelalak heran. Di ujung tali pancingnya, hanya tali biasa saja yang dipasangi sepotong kerikil!
“Ah, maaf, suhu. Teecu berani menduga yang bukan-bukan, tetapi... apakah gunanya suhu memancing tanpa umpan, melainkan hanya memakai batu? Mengapa suhu... eh, bermain-main seperti anak kecil?”
“Ha-ha-ha, tepat sekali! Anak-anak kecil yang masih gemar bermain-main itulah manusia-manusia yang wajar dan murni, muridku. Betapa bahagianya kalau seorang kakek-kakek dapat kembali wajar seperti kanak-kanak! Aku memang bermain-main, muridku, bermain dengan apa yang disebut manusia dengan kata-kata nasib, yaitu nasib ikan!”
Han Han tidak mengerti dan memandang kakek itu dengan sinar mata penuh pertanyaan. Koai-lojin tertawa lagi dan berkata, “Banyak ikan di telaga ini, akan tetapi kenapa kebetulan ikan ini dan ikan itu yang mendekat pancing dan menyentuh batu dengan mulutnya? Kalau pancing ini pancing benar-benar, bukankah ikan itu akan terkait pancing dan mati? Aku senang bermain-main dengan ini melihat-lihat dan menduga-duga ikan mana gerangan yang akan berjodoh dan menyentuh umpan batu ini, ha-ha-ha!”
Han Han ikut tertawa dan diam-diam ia menggeleng kepala. Betapa aneh selera kakek ini dalam mencari kesenangan bermain-main! Apa sih senangnya dengan permainan seperti itu? Namun permainan ini saja sudah membuktikan betapa tajam pandang mata kakek itu sehingga dapat melihat ikan di dalam air. Kalau tidak dapat melihat tentu tidak akan senang, karena tidak melihat ikan yang menyentuh umpannya.
“Marilah ikut ke dalam pondok, Suma Han. Perutku sudah lapar, dan engkau tentu suka menemani aku minum sambil bercakap-cakap, bukan?”
Girang hati Han Han, akan tetapi menjadi makin heran melihat sikap kakek ini yang biasa saja, tidak sedikit pun memperlihatkan keanehan seperti orang-orang sakti lainnya. Ia lalu mengikuti kakek itu yang memanggul tangkai pancingnya dan berjalan melenggang seenaknya dengan wajah gembira seperti wajah seorang tukang pancing yang memperoleh banyak hasil!
Ketika memasuki pondok kecil mungil yang berada di sebelah kanan, Han Han melihat makanan sudah tersedia di atas meja yang serba lengkap. Sayur-sayuran dimasak tidak kurang dari lima macam, ada buah-buahan yang masak dan bermacam-macam, bahkan tersedia arak wangi! Pemuda ini makin terheran-heran memandang semua itu.
“Duduklah, Suma Han. Makanan ini aku sendiri yang memasaknya, buah-buahan itu pun aku sendiri yang mencari di hutan, dan arak ini... ha-ha, kubeli dari warung arak di dusun sebelah utara. Marilah kita makan nasi ditemani sayur dan minum arak!”
Bagaikan seorang petani tua yang ramah sedang menjamu tamunya, Koai-lojin lalu mengajak Han Han makan bersama. Sikapnya biasa saja seperti seorang petani sederhana sungguh pun masakan-masakan itu ternyata enak juga, agaknya memakai bumbu yang cukup dan araknya pun amat baik!
Han Han tidak berani bertanya lagi dan makan tanpa berkata apa-apa. Setelah mereka menghabiskan nasi dan sayur, makan buah-buahan dan minum arak, kakek itu menarik napas penuh kepuasan lalu berkata.
“Suma Han, mengapa engkau menyimpan keherananmu di dalam hati? Kalau engkau terheran menyaksikan sikap dan perbuatanku, tanyalah. Hanya dengan bertanya orang dapat mengerti, dan bertanya adalah senjata seorang yang rendah hati, sedangkan hanya orang rendah hati saja yang akan mendapatkan kemajuan dalam perjalanan hidupnya.”
Kembali Han Han terkejut. Kakek ini kelihatannya biasa sederhana dan wajar tidak membayangkan keanehan dan tidak bersikap sebagai orang sakti, namun mengapa dapat mengetahui isi hatinya?
“Maaf, suhu. Teecu memang amat terheran-heran menyaksikan suhu dan agaknya inilah sebabnya suhu disebut Koai-lojin (Orang Tua Aneh). Suhu mengasingkan diri dari dunia ramai. Biasanya, seorang pendeta yang mengasingkan diri dari dunia ramai adalah orang-orang yang tekun bertapa, berpuasa atau kalau makan pun seadanya saja, daun dan rumput, minum pun air yang keluar dari sumber, pekerjaannya hanya memuja Tuhan dan bersembahyang demi keselamatan umat manusia. Akan tetapi suhu, maaf... agaknya suhu masih suka menikmati hidangan yang lezat biar pun tanpa daging.”
“Untuk bersembahyang dan memuja Tuhan tidak perlu mencari tempat sunyi karena Tuhan berada di mana pun juga dan kekuasaan-Nya bekerja di dalam segala benda dan makhluk di seluruh alam. Tidak, Suma Han, aku tidak seperti mereka yang mencari tempat sunyi mengasingkan diri untuk memuja Tuhan. Aku meninggalkan dunia ramai, menjauhkan diri dari pada manusia lain karena dunia ramai menggoncangkan ketenteraman hatiku, membuat aku kecewa dan berduka. Manusia telah menyelimuti diri dengan kepalsuan-kepalsuan yang mereka sebut peradaban, yang pada hakekatnya bagaikan sebatang pohon tua yang jahat, yang berakar di dalam seluruh kehidupan manusia, yang kembang-kembangnya berupa murka, dengki, iri, dendam dan segala perbuatan jahat, buah-buahnya berupa kesengsaraan, ketakutan dan penderitaan.”
Han Han mendengarkan dengan penuh perhatian dan memandang kakek itu yang mengaso sebentar untuk minum seteguk arak wangi dari cawannya.
“Aku meninggalkan keramaian bukan untuk bersembahyang dan hidup sebagai pendeta atau pertapa, karena bersembahyang adalah nyanyian hatiku, dan setiap sembahyang akan terdengar oleh Tuhan biar pun hanya dibisikkan hati di antara kebisingan dan keramian. Aku tidak berpuasa dan menuntut hidup pertapa karena aku tidak mau menyiksa tubuh dan perasaan. Tubuh manusia merupakan rumah bagi jiwa, maka adalah kewajibanku untuk memelihara baik-baik rumah yang diberikan oleh Tuhan kepadaku ini. Aku pun tidak menolak anugerah Tuhan berupa kenikmatan bagi tubuhku, asal saja dapat dipisahkan kenikmatan yang berguna dan yang merusak. Yang merusak tentu takkan kulakukan karena aku segan untuk merusak rumah jiwaku.”
Han Han mengangguk-angguk, takjub akan filsafat yang demikian sederhana namun wajar, tidak mengkhayalkan yang tinggi-tinggi, sungguh jauh bedanya dengan filsafat-filsafat kuno yang sering dibacanya.
“Manusia sekarang lupa bahwa makan adalah kebutuhan tubuh atau langsung adalah kebutuhan perut karena yang menampungnya pertama kali adalah perut. Manusia terlalu mabuk akan kesenangan sehingga untuk makan pun yang diutamakan adalah kelezatannya, yang mendatangkan rasa enak pada mulut tanpa mempedulikan kegunaannya bagi si perut, lupa bahwa yang enak bagi mulut belum tentu enak bagi perut sehingga terlalu sering terjadi mulut menikmati makanan yang sesungguhnya merupakan racun bagi perut dan tubuh seluruhnya!”
“Suhu, kenikmatan dan kegunaan apakah yang suhu dapat peroleh dari pengasingan diri dari dunia ramai ini?”
“Aku hidup di alam bebas dan menikmati keindahan dan keagungan alam yang sudah tak dapat tampak lagi oleh mata manusia yang hampir buta oleh kesenangan duniawi, melihat cahaya keemasan matahari, menikmati keharuman bunga-bunga, juga dapat mendengarkan dendang merdu anak sungai mengalir dan bisikan-bisikan angin pada daun-daun pohon. Aku mengagumi kekuasaan Tuhan yang tampak nyata di mana-mana, dan aku berusaha untuk menyatukan diri dengan segala keindahan alam ini, sesuai dengan kekuasaan Tuhan.”
Demikianlah, dengan filsafat yang gamblang, yang tidak berliku-liku, Han Han menerima gemblengan batin dari kakek itu selama belasan hari di pinggir telaga. Pada hari ke lima belas, kakek itu berkata setelah mereka sarapan pagi, “Hari ini kita berpisah, muridku. Aku akan pergi dari tempat ini.”
“Suhu hendak pergi ke manakah dan kapan teecu diperkenankan menghadap suhu lagi?”
Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya. “Entahlah, aku ingin mengikuti jejak angin dan awan! Dan apa bila Tuhan menghendaki, tentu kita dapat saling berjumpa lagi.”
Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, sebelum suhu meninggalkan teecu, teecu mohon petunjuk suhu dan sudilah memberi tambahan ilmu untuk teecu pergunakan dalam tugas teecu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan.”
“Ha-ha-ha! Memang amat merdu dan indah bunyinya! Membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan! Betapa merdu dan indah bunyinya, akan tetapi betapa lucu kenyataannya, seperti judul adegan panggung serombongan badut! Karena itu, kuperingatkan kepadamu, Suma Han, jangan engkau menjadi seorang di antara badut-badut yang tidak lucu itu. Membela kebenaran dan keadilan siapa? Kebenaran dan keadilan untuk siapa? Kalau hanya benar dan adil untukmu sendiri, jangan disebut-sebut lagi karena semua itu palsu! Menentang kelaliman dan kejahatan yang mana? Hati-hatilah menentukan ini, Suma Han, dan yang terpenting adalah mengalahkan kelaliman dan kejahatan yang merajalela di dalam hati sendiri, dibangkitkan oleh nafsu kesenangan pribadi. Yang baik itu belum tentu baik, sedangkan yang buruk juga belum tentu buruk. Dan jangan sekali-kali engkau memandang rendah yang buruk karena sudah jelas bahwa hanya karena adanya buruk maka ada baik, karena ada kedosaan maka manusia mengejar kesucian. Karena adanya Neraka maka ada Sorga. Tanpa ada keburukan mana mungkin ada kebaikan? Karena itu, pengejaran kebaikan itu pertama-tama dicetuskan oleh keburukan! Kepandaianmu sudah cukup, engkau minta ilmu apa lagi? Di samping ilmu-ilmu silatmu yang tinggi, tenaga sinkang-mu yang sukar dilawan, ginkangmu yang luar biasa dengan ilmu Soan-hong-lui-kun, engkau masih memiliki kekuatan dahsyat yang mukjizat, yang masih terpendam. Tanpa kau sadari, mungkin timbul berbareng dengan penyakitmu yang aneh itu, engkau telah memiliki tenaga i-hun-to-hoat yang amat kuat dan dengan kekuatan batin yang dahsyat ini, siapakah yang akan dapat mengalahkanmu?”
Han Han teringat akan ilmu mukjizat yang sering kali timbul dalam dirinya, teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu di mana tanpa disadari ia dapat menundukkan lawan hanya dengan kekuatan kemauannya menguasai kemauan orang lain. Akan tetapi ia pun terkejut mendengar disebutnya ilmu itu, dan teringat pula betapa dahulu ketika ia masih kecil, ia dituduh memiliki ilmu I-hun-to-hoat oleh mendiang Lauw-pangcu. Setelah ia dewasa dan banyak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw, ia tahu bahwa I-hun-to-hoat adalah semacam ilmu sihir yang dimiliki oleh Thai Li Lama. Maka ia terkejut dan cepat berkata.
“Suhu, teecu tidak pernah mempelajari I-hun-to-hoat. Bukankah ilmu itu semacam ilmu sihir yang berbahaya dan jahat?”
“Ilmu tetap ilmu, baik atau jahatnya tergantung si pemakai. Akan tetapi memang benar bahwa makin tinggi ilmu itu, makin berbahaya karena besarnya kegunaan ilmu yang tinggi membuat manusia lupa diri dan mempergunakannya untuk mengejar kesenangan pribadi dengan merugikan orang lain. I-hun-to-hoat adalah ilmu untuk menguasai pikiran dan kemauan orang. Engkau sudah memiliki tenaga yang amat kuat, yang timbul secara aneh melalui pandang matamu. Hanya tinggal kau menguasainya saja, sehingga mampu mempergunakannya. Aku percaya bahwa engkau akan dapat memanfaatkan ilmu itu sebaik-baiknya. Caranya hanya melalui siulian dan pemusatan kekuatan yang kemudian diluncurkan keluar melalui pandang mata dan suara.” Dengan jelas Koai-lojin memberi petunjuk kepada Han Han sampai dua jam lebih. Akhirnya Han Han dapat mengerti jelas dan sebelum pergi, kakek itu berpesan.
“Engkau harus berhati-hati benar dengan ilmu ini, Suma Han. Dengan ilmu ini, yang kutahu amat kuat berada dalam dirimu, engkau akan menjadi seorang yang sukar terkalahkan dan dengan ilmu itu engkau dapat melakukan apa saja sehingga akan mudah menyeretmu sendiri ke jurang kehancuran. Selamat tinggal!” Koai-lojin berkelebat pergi meninggalkan muridnya yang masih berlutut.
Hati Han Han menjadi makin kuat karena kepercayaan kepada diri sendiri makin kokoh. Ilmu baru yang dimilikinya membuat ia menjadi makin tenang, akan tetapi juga makin hati-hati mengendalikan perasaan dan hatinya, karena ia tahu bahwa dengan ilmunya ini ia akan dapat menguasai manusia lain yang tentu saja tidak memiliki kekuatan batin yang amat kuat.
Karena waktu yang dijanjikan oleh Puteri Nirahai tinggal beberapa hari lagi, maka Han Han lalu mempergunakan gerak kilatnya untuk berloncatan cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja. Biar pun ia menghadapi saat yang amat menyenangkan, yaitu perjumpaannya kembali dengan puteri itu, namun hatinya tetap diliputi kekhawatiran kalau-kalau akan muncul penghalang besar bagi kebahagiaannya bersama Nirahai.....
********************
Han Han tiba di kota raja tepat pada hari yang dijanjikan, yaitu sebulan setelah berpisah dengan Nirahai. Pagi hari itu dengan tenang ia berjalan memasuki kota raja dan langsung ia menuju ke istana. Akan tetapi jauh sebelum ia tiba di pintu gerbang istana, seorang perwira muda tinggi besar memanggilnya.
“Suma-taihiap...!”
Han Han menoleh dan memandang perwira muda itu dengan heran. Dia tidak mengenal perwira itu, namun ia yakin perwira itu memanggilnya karena kini perwira itu dengan langkah lebar menghampirinya, menoleh ke kanan kiri dan berkata perlahan.
“Harap taihiap suka mengikuti saya. Ada pesan penting dari Puteri Nirahai untuk taihiap!”
Han Han mengangguk dan keningnya berkerut, hatinya tidak enak rasanya ketika ia terpincang-pincang mengikuti perwira itu yang berjalan menuju ke tempat sepi di jembatan sebelah barat. Di tempat sepi ini ia berhenti dan mengajak Han Han menyeberangi jembatan. Kemudian ia berkata.
“Saya diberi tugas oleh Sang Puteri untuk menghadang taihiap dan menyerahkan surat ini. Maaf, saya tidak dapat menemani taihiap lebih lama lagi karena kalau sampai ketahuan, tentu saya akan ditangkap. Dan sebaiknya kalau taihiap lekas keluar dari kota raja karena taihiap dianggap sebagai seorang pelarian yang harus ditangkap.” Setelah berkata demikian, perwira muda itu cepat pergi meninggalkan Han Han.
Makin tidak enak rasa hati Han Han, akan tetapi ia menekan perasaannya dan tetap bersikap tenang. Dibukanya sampul surat itu dan dikeluarkannya sehelai kertas yang penuh dengan tulisan indah dan halus, tulisan Nirahai yang sudah dikenalnya ketika mereka bersama mengukir batu nisan untuk makam kedua orang nenek di puncak Bukit Cengger Ayam.
Han Han mulai membaca dan kerut di antara alisnya makin mendalam, sinar matanya menjadi tajam berapi membayangkan kemarahan. Apakah isi surat kekasihnya itu? Kabar buruk! Terlampau buruk bagi Han Han yang datang dengan hati penuh harapan dan kegembiraan, sungguh pun kabar buruk seperti yang dibayangkan dari tulisan Nirahai ini memang sudah dikhawatirkannya.
Di dalam surat itu Nirahai menceritakan betapa kaisar menjadi marah sekali ketika Nirahai menceritakan tentang perjodohan itu dan mohon ijin. Kaisar marah-marah dan memakinya sebagai anak yang tak tahu malu, mencemarkan nama besar Kerajaan Mancu. Masa puteri Kaisar Mancu yang mulia, puteri yang terkenal sebagai seorang panglima besar akan menikah dengan seorang bekas pemberontak, seorang yang telah membunuh Ouwyang Seng yang tadinya direncanakan hendak dijadikan suami Nirahai, bahkan seorang yang buntung sebelah kakinya! Kemarahan kaisar amat hebat sehingga kaisar memerintahkan para pengawal untuk menangkap Nirahai dan memasukkan puterinya sendiri itu ke dalam penjara istana!
‘Aku ditahan di dalam kamarku sendiri di istana,’ demikian Nirahai menutup suratnya, ‘dilayani seperti biasa akan tetapi dikurung pasukan pengawal dan tidak boleh keluar dari kamar. Aku bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Han Han, aku cinta padamu akan tetapi aku pun berat kepada keluarga dan kerajaanku. Biarlah kuanggap hal ini sebagai ujian, ujian bagi cinta kasih kita, terutama ujian bagi cintamu. Terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan kini untuk mencari jalan keluar!’
Dengan sinar mata berapi Han Han membaca kalimat-kalimat terakhir, ‘Aku tahu bahwa Ayahanda Kaisar telah terkena hasutan Pangeran Ouwyang Cin Kok sehingga beliau membencimu dan menyatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada menjadi isterimu!’
Han Han membaca sekali lagi isi surat itu dari awal sampai akhir, kemudian ia meremas hancur kertas itu. Nirahai menantangnya! Menantangnya untuk mengambil keputusan, untuk bertindak demi cinta kasihnya! Dan Pangeran Ouwyang Cin Kok adalah biang keladi dari kegagalan ini. Timbul niatnya untuk mendatangi istana pangeran itu dan hendak mengamuk untuk kedua kalinya, membunuh pangeran tua itu.
Akan tetapi, teringat akan wejangan Koai-lojin, ia cepat menarik kembali dan menekan nafsu amarahnya, menghapus dendamnya dengan kesadaran bahwa Pangeran Ouwyang Cin Kok bersikap seperti itu tentu ada sebabnya. Dan sebabnya adalah kematian putera tunggalnya, yaitu ouwyang Seng. Ayah manakah yang tidak akan menjadi marah, sakit hati, dan bertekad untuk membalas dendam atas kematian puteranya yang dibunuh orang? Han Han menghela napas dan mengusir pergi ba-yangan Pangeran Ouwyang Cin Kok, bahkan lalu memusatkan pikirannya untuk menyelundup ke istana dan bagaimana untuk dapat membebaskan Nirahai.
Ia harus membebaskan Nirahai dari tahanan dan membawanya lari! Jelas kekasihnya itu menantangnya untuk bertindak. Ia tahu bahwa dengan ilmu kepandaiannya dan pengaruhnya, tentu saja Nirahai dapat membebaskan diri sendiri tanpa ada pengawal yang berani menghalanginya, akan tetapi puteri itu agaknya tidak suka memberontak terhadap keputusan ayahnya. Maka puteri itu menantangnya untuk bertindak, karena kalau Han Han yang turun tangan membebaskannya, hal itu tidak dapat dianggap sang puteri memberontak.
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Han Han untuk meloncat ke atas benteng yang mengelilingi istana, kemudian cepat sekali, dilindungi oleh kegelapan malam, pemuda ini meloncat turun ke dalam taman istana. Dengan mudah ia dapat menemukan kamar Puteri Nirahai karena kamar ini merupakan sebuah bangunan mungil dan mewah tak jauh dari taman, dan bangunan ini dijaga oleh kepungan pasukan pengawal yang jumlahnya seratus orang lebih! Tidak mungkin memasuki bangunan itu tanpa diketahui mereka karena sekeliling bangunan kecil itu dikepung ketat.
Kebetulan sekali Han Han melihat empat orang wanita-wanita muda yang cantik-cantik, berpakaian sebagai pelayan-pelayan istana jalan beriringan datang menuju ke bangunan itu sambil membawa baki-baki yang tertutup kain, agaknya hidangan untuk sang puteri. Han Han cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan meloncat ke depan, muncul dari balik pohon dan berkata.
“Adik-adik yang manis, aku adalah rekan kalian! Aku pelayan dari istana Ibunda Sang Puteri, diperintahkan oleh beliau untuk menjenguk keadaan puterinya.”
Empat orang wanita pelayan itu tertegun melihat berkelebatnya bayangan, akan tetapi hati mereka lega ketika melihat seorang wanita cantik yang berpakaian seperti mereka! Mereka adalah pelayan-pelayan Puteri Nirahai dan biar pun belum pernah melihat ‘gadis pelayan’ yang muncul ini, akan tetapi mereka percaya bahwa tentu ini pelayan dari ibunda sang puteri, kalau tidak siapa lagi berani menyamar di tempat itu?
“Kalau begitu, marilah ikut bersama kami, Cici. Kami pun hendak mengantar hidangan malam Sang Puteri,” jawab seorang di antara mereka.
Han Han yang sudah berhasil menguasai empat orang wanita pelayan itu menggunakan kekuatan gaib yang memancar keluar dengan pengaruh mukjizat sehingga mereka melihat dia sebagai seorang pelayan cantik, lalu berjalan perlahan di belakang empat orang pelayan itu. Mereka mengambil jalan memutar dan menghampiri pintu samping yang terjaga oleh lima orang pengawal. Melihat datangnya empat pelayan Sang Puteri Nirahai, lima orang pengawal itu segera mengenal mereka dan tidak berani main-main karena pelayan-pelayan Puteri Nirahai ini selain memiliki ilmu silat yang tak boleh dipandang ringan, juga para pelayan Nirahai terkenal galak-galak dan tidak boleh diganggu.
Han Han sudah menggunakan kekuatan matanya sehingga lima orang pengawal itu pun melihatnya sebagai seorang gadis pelayan dan membiarkan Han Han lewat bersama empat pelayan lain. Begitu memasuki sebuah kamar besar yang berbau harum dan indah, empat orang pelayan itu sudah mengatur isi baki di atas meja dan Han Han yang melihat Puteri Nirahai duduk termenung di dekat pembaringan, di atas sebuah bangku menghadapi meja bundar, cepat menghampiri dengan jantung berdebar saking terharu dan girangnya.
Karena para pelayan masih berada di ruangan kamar itu, terpaksa Han Han lalu menggunakan kekuatan matanya, sambil berlutut ia berkata, “Puteri, hamba datang menghadap...”
Nirahai membalikkan mukanya memandang dan dara ini bangkit berdiri. Sejenak matanya seperti orang bingung, dikejap-kejap beberapa kali dan terpaksa Han Han harus mengerahkan pandang matanya dengan tenaga mukjizatnya sambil berkata lagi untuk memperkuat pengaruhnya, “Hamba adalah seorang pelayan Ibu Paduka.”
Biar pun Nirahai juga memiliki kekuatan batin yang besar serta kemauan yang keras tidak mudah dipengaruhi orang lain, namun setelah kelihatan bingung sejenak, akhirnya ia terpengaruh juga dan berkata dengan lesu, “Mau apa engkau?”
“Hamba akan menyampaikan sesuatu yang amat rahasia kepada Paduka, di bawah empat mata saja.”
Nirahai yang sedang kesal hatinya itu hampir marah, akan tetapi mengingat bahwa pelayan ini adalah utusan ibunya, ia lalu menoleh kepada empat orang pelayannya dan berkata, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini!”
Empat orang pelayan yang sedang mengatur hidangan itu sejenak menengok ke arah Han Han, kemudian mereka keluar dari kamar dan menunggu di luar kamar, di ruangan depan sambil berbisik-bisik. Hati mereka merasa iri dan tidak senang karena belum pernah Puteri Nirahai mengusir mereka hanya karena hendak bicara dengan seorang pelayan lain!
Setelah empat orang itu keluar dari kamar dan pintunya ditutup perlahan, Han Han bangkit berdiri dan berkata halus penuh rasa haru, “Nirahai...!”
Nirahai meloncat ke belakang dan mukanya seketika berubah pucat ketika melihat Han Han telah berdiri di depannya. Ia mengejap-ngejapkan matanya, menggoyang-goyang kepala, memandang bingung dan sampai lama tak dapat mengeluarkan suara, kadang-kadang matanya mencari-cari ke kanan kiri, mencari pelayan utusan ibunya tadi.
“Nirahai, jangan bingung. Pelayan tadi akulah yang jadi, akalku agar dapat masuk ke sini.”
Kini Nirahai memandang Han Han dengan mata terbelalak lebar, penuh kagum. Hatinya girang dan bangga bukan main, akan tetapi juga penuh heran. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kesaktian yang hebat, jauh melampaui kepandaiannya sendiri, akan tetapi apa yang dilakukan pemuda itu tadi benar-benar membuat dia tidak mengerti.
“Han Han...! Bagaimana...? Tadi... eh, bagaimana engkau bisa mengubah diri menjadi pelayan...?”
Han Han tersenyum dan melangkah maju, menyambar tangan kekasihnya itu dan memandang dengan wajah berseri, tersenyum dan sinar matanya mesra. “Nirahai, aku sejak tadi tidak mengubah diri, hanya pandangan mereka dan juga pandanganmu yang kuubah dan tunduk kepada kemauaku...”
“Ihhhhh... I-hun-to-hoat...?” Nirahai bertanya, tidak percaya. “Aku sudah melihat ilmu I-hun-to-hoat yang dilakukan oleh Thai Li Lama, dan memang banyak yang terjatuh di bawah pengaruhnya, akan tetapi aku sendiri dapat melawannya dan aku tidak terpengaruh!”
Han Han yang sudah merasa rindu sekali kepada Nirahai merangkul pundak dara itu. “Mungkin aku lebih kuat dari pada dia, dan mungkin karena suaraku telah kau kenal, mungkin pula karena engkau tidak tahu bahwa aku menggunakan ilmu kekuatan kemauanku, maka engkau terpengaruh. Nirahai... ahhhh, Nirahai, mengapa menjadi begini ikatan kita...?”
Nirahai balas merangkul dan dara ini yang kini diingatkan akan keadaannya, terisak di atas dada Han Han. “Sudah nasibku... nasibku yang buruk dan malang...!”
“Tidak, Nirahai. Tidak ada nasib buruk dan malang. Yang terjadi semua di dunia ini, yang menimpa kepada kita, baik mau pun buruk, sudahlah semestinya dan tidak boleh kita terima sebagai nasib buruk. Hanya kita harus berusaha untuk mengatasi segala persoalan. Sekarang, setelah aku berhasil masuk di sini bertemu denganmu, apa yang kau kehendaki?”
Nirahai melingkarkan kedua lengannya di leher Han Han. “Aku menyerahkan kepadamu. Engkau pilihan hatiku... terserah... aku hanya menurut...”
Han Han menjadi girang sekali dan baru sekarang ia merasa sebagai seorang laki-laki yang berdiri tegak, penuh tanggung jawab dan dibutuhkan seorang seperti Nirahai! Dahulu, melindungi dan membela Lulu ia anggap sebagai hal yang semestinya, tidak menimbulkan perasaan kagum seperti sekarang karena yang telah menyerahkan nasib diri kepadanya adalah seorang puteri kaisar! Saking terharu dan girangnya, ia memegangi kedua pipi dara itu, mengangkat mukanya dan mencium bibir yang tak pernah membosankan itu. Ia berbisik mesra, “Nirahai, pujaan hatiku, calon isteriku... biarlah aku yang melarikan engkau dari tempat ini. Aku yang mempertanggung jawabkan kesemuanya!”
Tiba-tiba Nirahai melepaskan pelukan Han Han, menyambar baju tebal, topi bulu dan pedang payungnya yang baru. “Han Han, kita lakukan bersama, dan mempertanggung jawabkan bersama! Kalau kita berdua menghendaki, siapakah yang akan mampu mencegah kita keluar dari sini?”
“Tidak, Nirahai. Tidak boleh begitu. Engkau ditahan sebagai tawanan oleh Ayahmu sendiri, tidak baik kalau engkau memberontak. Biarlah aku yang...”
Tiba-tiba empat orang pelayan wanita itu yang tadi mendengar isak tangis sang puteri, kini membuka daun pintu dan memasuki kamar. Nirahai berdiri tegak memandang, sama sekali tidak terkejut karena dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah Han Han berada di sampingnya, puteri ini menjadi besar hatinya, dibesarkan oleh rasa girang bahwa ujian terakhir bagi cinta kasih Han Han ternyata membuktikan bahwa pemuda itu tidak gentar menghadapi tantangan dan bahaya untuk datang ke kamarnya, kamar tahanan dalam istana yang dikepung ratusan orang pengawal! Kini hatinya besar dan ia menanti reaksi dari kekasihnya ketika empat orang pelayan itu masuk.
Sejenak, empat orang pelayan itu terbelalak dengan muka pucat. Han Han segera berkata sambil menggunakan ilmunya, “Akulah Dewa berkepala singa!”
Wajah empat orang pelayan itu menjadi pucat sekali ketika mereka melihat seorang laki-laki berkaki buntung sebelah, memegang tongkat dan berkepala singa dengan sepasang mata mencorong dan mulut bergigi runcing terbuka. Kemudian dengan kaki menggigil dan tubuh gemetar, empat orang pelayan itu melarikan diri keluar dari pintu sambil menjerit-jerit seperti orang mengigau saking takutnya. Mereka adalah pelayan-pelayan Nirahai yang memiliki ilmu silat lumayan, untuk menghadapi lawan manusia, mereka cukup dapat diandalkan. Akan tetapi melihat orang berkepala singa tentu saja menjadi ketakutan.
Han Han mempergunakan kesempatan itu berkata cepat, “Nirahai, engkau menjadi tawananku. Biarlah aku melarikan engkau dari tempat ini!”
Nirahai hanya mengangguk karena masih kagum menyaksikan pengaruh ilmu Han Han terhadap empat orang pelayannya. Bagi kedua matanya, Han Han tetap seperti biasa, sama sekali tidak berkepala singa! Han Han cepat menggerakkan jari tangan kanannya, menepuk pundak Nirahai dan menotok jalan darahnya sehingga Nirahai terkulai lemas. Han Han lalu menyambar tubuh kekasihnya, memanggulnya di pundak kanan setelah menyelipkan senjata kekasihnya di pinggangnya. Cepat seperti kilat menyambar ia sudah meloncat ke luar dari dalam kamar itu, terus berlari keluar dari pintu samping dari mana tadi ia masuk bersama empat orang pelayan.
Keadaan di luar geger tidak karuan ketika empat orang pelayan itu menjerit-jerit dan berlari keluar. Sampai lama mereka tidak dapat bicara, hanya mengeluarkan jerit seperti orang mengigau.
“Ssseeettttt... taaaaannn... singaaa...!”
Akhirnya para pengawal yang kebingungan menangkap lengan mereka untuk ditanyai.
Memang inilah yang dikehendaki Han Han maka dia tadi membikin takut empat orang pelayan, yaitu untuk mengacaukan keadaan para pengawal yang menjaga di luar. Dalam keadaan kacau-balau dan tidak teratur itu, karena semua pengawal menjadi panik melihat betapa empat orang pelayan sang puteri yang biasanya gagah perkasa itu menjerit-jerit karena melihat setan sehingga mereka lupa membunyikan tanda bahaya dan lupa melapor, tiba-tiba Han Han berkelebat, mencelat keluar sambil memondong tubuh Nirahai yang terkulai lemas.
“Celaka...! Tangkap penjahat!” teriak seorang di antara mereka.
“Itu dia...! Puteri telah diculik!”
“Tangkap!”
“Kejar...!”
Makin paniklah para pengawal itu dan geger keadaan di istana ketika bunyi kentongan tanda bahaya dipukul gencar. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi siapakah yang dapat mengejar pemuda buntung yang meloncat dengan gerakan seperti terbang ke atas dan dalam sekejap mata saja lenyap ditelan kegelapan malam?
Han Han memang sengaja tidak mau menggunakan kekerasan menghadapi banyak pengawal karena menghadapi banyak sekali orang tentu saja tak mungkin Ilmu I-hun-to-hoat dipergunakannya untuk mempengaruhi sedemikian banyaknya orang. Dia memang tidak takut untuk menggunakan kekerasan melawan mereka, akan tetapi, semenjak bertemu dengan Koai-lojin dan menerima wejangan-wejangan kakek sakti itu, ia merasa menyesal atas sepak terjangnya yang sudah-sudah dan berjanji dalam hatinya tidak akan lagi melakukan pembunuhan dan hanya akan menundukkan lawan dengan kepandaiannya. Tentu saja dia tidak suka untuk melawan para pengawal dan kesalahan tangan membunuh mereka yang tidak berdosa, apa lagi kalau hal itu akibatnya akan memperbesar pertentangan antara Nirahai dengan keluarganya.
Gerakan Han Han yang amat cepat tidak memungkinkan para pengawal untuk mengejarnya, tidak dapat menggunakan anak panah karena khawatir kalau-kalau mengenai tubuh Puteri Nirahai yang dipanggul pemuda itu. Dengan demikian, tanpa banyak kesukaran lagi Han Han berhasil membawa Nirahai keluar dari istana, kemudian melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja. Beberapa puluh orang tentara penjaga yang berusaha menghadangnya roboh terpelanting ke kanan kiri dan senjata-senjata mereka terlempar beterbangan ketika Han Han menggerakkan tongkatnya, dan dalam waktu beberapa menit saja Han Han telah menerobos keluar dari pintu gerbang dan lenyap dalam gelap.
Setelah keluar dari benteng, Han Han menurunkan Nirahai dan membebaskan totokannya, kemudian tanpa bicara lagi mereka melanjutkan perjalanan dan lari dengan cepat. Han Han mengerti bahwa perasaan Nirahai tertekan sekali, maka dia tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berlari sambil menggandeng tangan kekasihnya.
“Ke manakah kita pergi?” Tiba-tiba Nirahai bertanya tanpa mengurangi kecepatannya berlari.
“Kita pergi ke tempat yang sunyi dan indah di dekat telaga.”
Nirahai tidak berkata-kata lagi dan mereka berlari terus. Han Han merasa tidak enak hatinya. Bagi dia sendiri, tentu saja peristiwa ini amat menyenangkan hatinya. Ia mencinta puteri yang jelita ini dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka, Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee. Andai kata dia diterima oleh kaisar dan tinggal di istana, tentu dia akan merasa sengsara dan tidak betah. Dengan cara sekarang ini, membawa Nirahai melarikan diri, dia merasa lebih bebas dan dia yakin akan mendapatkan kebahagiaan besar apa bila dapat hidup berdua sebagai suami isteri bersama Nirahai dan merantau berdua, atau tinggal di suatu tempat berdua saja!
Memang, bagi dia, peristiwa di istana ini amatlah menyenangkan. Akan tetapi, dia mengerti betapa peristiwa itu amat menghimpit perasaan hati Nirahai. Dia mengenal Nirahai sebagai seorang puteri kaisar yang luar biasa, tidak hanya cantik jelita dan berilmu silat tinggi, malah juga menjadi pimpinan angkatan perang yang menumpas para pemberontak dan sisa-sisa kerajaan lama yang belum mau tunduk terhadap pemerintah Mancu! Dara jelita yang perkasa ini mempunyai kesetiaan besar terhadap kerajaan ayahnya dan kini dia melarikan diri sebagai seorang tahanan dan pelarian. Betapa hal ini tidak akan menghancurkan cita-citanya?
Hati Han Han khawatir sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa dan mempercepat gerakannya untuk mengimbangi larinya Nirahai yang amat cepat itu. Mereka seolah-olah berlomba, berlomba ke mana? Ke arah pantai bahagia? Mudah-mudahan begitu, bisik hati Han Han. Dengan mesra ia menggunakan tangan kanannya menangkap tangan kiri Nirahai. Dara itu yang tadinya lari cepat tanpa bicara seperti orang termenung, menoleh dan mereka berdua saling pandang. Nirahai tersenyum dan balas menggenggam jari tangan Han Han. Sambil bergandeng tangan, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu berlari cepat sekali, bayangan mereka menjadi satu berkelebat cepat di antara bayang-bayang pohon.
“Indah sekali...! Indah dan sunyi...!” Nirahai berseru penuh kagum ketika mereka berdua tiba di pinggir telaga di mana terdapat dua buah bangunan mungil yang tadinya dijadikan tempat tinggal kakek sakti Koai-lojin.
Namun ketika pagi itu mereka tiba di situ dan Nirahai mengagumi pemandangan indah di kala sinar matahari pagi membakar permukaan telaga dengan warna kemerahan, Han Han tidak melihat semua keindahan itu karena pada saat itu tidak ada keindahan di dunia ini yang dapat menandingi keindahan wajah yang dipandangnya dari samping. Wajah yang lembut namun menyembunyikan kekerasan, wajah yang sejuk namun menyembunyikan api menggairahkan, wajah yang mirip benar dengan wajah Lulu!
“Memang indah, Nirahai. Indah sekali... akan tetapi tidak sunyi. Dengan adanya kita berdua di sini, kesunyian musnah, dunia akan penuh dengan kita, dengan cinta kasih kita... Nirahai...!”
Dara itu tergugah dari pesona dan menoleh, lalu tersenyum penuh kebanggaan ketika ia mendapatkan sinar mata penuh kemesraan dan kasih sayang terpancar dari sepasang mata Han Han. Sinar mata yang demikian mesra dan hangat, cerah dan lembut, mengalahkan sinar matahari pagi. Nirahai menarik napas panjang ketika Han Han merangkul pundaknya. Ia merebahkan kepala, disandarkan di dada pemuda itu.
“Aaahhhhh...!” Nirahai menarik napas panjang, hatinya terasa lapang seolah-olah penuh dengan sinar matahari pagi, membuat ia merasa seperti akan terbang dan menari-nari di antara mega-mega putih berarak dan mandi cahaya matahari pagi yang mulai berwarna keemasan, indah sekali. “Han Han, adakah sinar matamu itu mencerminkan rasa hatimu? Adakah engkau benar-benar mencintaku seperti matahari mencinta permukaan telaga?”
Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dan menelusuri permukaan dahi dan alis itu dengan ujung hidungnya sebelum menjawab lirih, “Nirahai kekasihku, aku cinta kepadamu, Nirahai...” Ia mempererat pelukannya dan hatinya penuh dengan cinta mesra. “Ahhh, betapa aku mencintamu, dengan sepenuh jiwa ragaku, sepenuh hatiku. Aku rela mengorbankan jiwa ragaku untukmu, Nirahai!”
Dara itu memejamkan matanya, kembali menarik napas dan membelaikan pipinya di dagu Han Han yang menunduk, sikap yang amat manja bagi Han Han, mengingatkan ia akan sikap seekor kucing yang minta dibelai.
“Betapa hebat kekuasaan cinta...!” Hanya demikian Nirahai berkata, suaranya lirih seperti orang mengeluh, atau lebih mendekati lagi seperti orang merintih, rintihan yang menjadi penyambung antara nyeri dan nikmat, antara suka dan duka.
Bisikan ini membuat Han Han sadar akan anehnya peristiwa yang terjadi sekarang ini. Yang dipeluknya, yang diciumnya adalah seorang puteri kaisar! Seorang panglima besar dan merupakan orang amat berpengaruh, berkuasa dan penting dalam Kerajaan Mancu! Seorang dara yang cantik jelita sukar ditemukan keduanya, namun kini berada dalam pelukannya! Sukar untuk dapat dipercaya! Dan memang hebat sekali kekuasaan cinta, memungkinkan terjadinya hal yang agaknya tak masuk akal!
“Nirahai, apakah engkau juga telah benar-benar mencinta aku seperti cintaku kepadamu?” Han Han tak dapat menahan pertanyaan yang timbul dari hatinya yang masih sukar untuk dapat menerima kenyataan yang dianggapnya aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini Nirahai mengangkat kepalanya yang bersandar di dada Han Han, memutar tubuh sehingga mereka berdiri berhadapan di pinggir telaga itu. Sejenak mereka beradu pandang kemudian terdengar suara Nirahai yang halus merdu namun tegas.
“Han Han, aku mengerti mengapa engkau masih mengajukan pertanyaan itu biar pun engkau yang cerdik tentu sudah merasa yakin akan cintaku dengan bukti yang sekarang kita hadapi. Aku telah meninggalkan kerajaan Ayahku, meninggalkan kedudukan dan kemuliaan, meninggalkan cita-cita dan lebih dari pada itu semua, aku bahkan telah menjadikan diriku dimusuhi kerajaan dan keluarga. Semua ini hanya karena cintaku kepadamu. Masih belum cukupkah bukti dan pengorbanan itu?”
Han Han menarik napas panjang, hatinya penuh keharuan karena ia merasa sangsi apakah seorang pemuda berkaki buntung sebelah seperti dia, yang yatim piatu dan miskin, tidak mempunyai tempat tinggal, patut menerima cinta kasih seorang puteri seperti Nirahai?
“Maaf, Nirahai, bukan sekali-kali aku masih menyangsikan perasaan cintamu yang suci. Hanya saja... yang membuat aku sukar untuk dapat percaya, bagaimana mungkin seorang puteri bangsawan seperti engkau menghancurkan nasib dan masa depanmu sendiri? Sudah tentu aku... aku akan berbahagia sekali kalau engkau selalu berada di sampingku, akan tetapi hatiku pun akan selalu tertekan dan hancur kalau melihat engkau menjadi sengsara kelak...”
Nirahai menubruk Han Han, merangkulnya dan menutup mulut Han Han dengan jari tangannya yang halus. “Jangan lanjutkan...! Aku cinta padamu, karena hanya engkau satu-satunya pria yang patut menjadi suamiku! Kita sudah dijodohkan oleh kedua orang guru kita, dan kita sudah saling mencinta. Itu sudah cukup! Aku pun tidak ingin perjodohan kita dirayakan besar-besaran, bahkan tidak peduli kalau tidak dirayakan oleh kita berdua! Tentang kedudukan dan kemuliaan? Dengan kepandaian kita, apa sukarnya mendapatkan itu?”
“Tapi, Nirahai... demi menjaga namamu, semestinya kalau pernikahan kita dirayakan, disyahkan! Ohhh, dua bulan lagi Lulu akan menikah, bagaimana kalau kita rayakan bersama-sama dan...”
“Hussshhhhh...! Mengapa meributkan soal tetek-bengek seperti itu sedangkan aku berada di dekatmu? Apa kau lupa bahwa aku lelah, bahkan aku lapar, bahwa aku...”
Han Han tertawa dan menutup mulut Nirahai dengan ciuman untuk menghentikan celaannya, kemudian ia memondong tubuh kekasihnya itu, dibawa berloncatan ke dalam pondok di sebelah kiri telaga di mana ia pernah tinggal bersama Koai-lojin.
Han Han adalah seorang pemuda yang telah dewasa, seorang pria yang selama hidupnya belum pernah terjun ke dalam lautan cinta asmara seorang wanita. Dia telah berkali-kali menerima cinta kasih wanita, cinta kasih murni yang dibuktikan dengan pengorbanan-pengorbanan. Kim Cu yang mencintanya berkorban menjadi nikouw, Soan Li tewas karena hendak menolongnya dan dara itu pun mengaku mencintanya. Demikian pula Tan Hian Ceng dan Lauw Sin Liam, mereka itu mencintanya dan tewas ketika bendak menolongnya. Betapa pun juga, tidak pernah dia bermain cinta dengan seorang di antara mereka, apa lagi karena di lubuk hatinya, ia tidak menemukan cinta kasih terhadap mereka. Kini hatinya roboh di bawah kaki Nirahai. Dia mencinta puteri kaisar ini, bahkan Nirahai juga mencintanya, dan mereka telah dijodohkan oleh kedua orang guru mereka.
Ada pun Nirahai adalah seorang dara bangsawan yang tinggi hati. Belum pernah ia tertarik kepada pria, apa lagi jatuh cinta. Memang pernah ia dikabarkan akan dijodohkan dengan Ouwyang-kongcu puteri Pangeran Ouwyang Cin Kok, akan tetapi di dalam batinnya ia tidak mengandung perasaan apa-apa terhadap pemuda itu. Kini, begitu bertemu dengan Han Han, menyaksikan sepak terjang pemuda buntung itu dan terutama sekali setelah dia merasa kalah pibu menghadapi pemuda ini, dia tertarik dan sekaligus tunduk dan jatuh cinta. Apa lagi setelah Nenek Maya mengambil keputusan menjodohkannya dengah Han Han, sudah bulatlah tekad di hati Nirahai untuk menjadi isteri Han Han! Dia memiliki kekerasan hati yang luar biasa, maka untuk memenuhi keputusan ini, dia sanggup menempuh rintangan apa pun juga!
Kedua orang muda itu sudah sama dewasa, sama mencinta dan cinta kasih mereka makin mesra dan mendalam karena peristiwa di istana sehingga mereka merasa bersatu hati, sehidup semati. Tempat di mana mereka bersembunyi, di pinggir telaga itu merupakan tempat yang sunyi, tenang, indah dan romantis. Tiada sesuatu yang menjadi penghalang di antara cinta kasih mereka, bahkan Nirahai tidak lagi peduli akan upacara perjodohan, menganggap bahwa dia sudah menjadi isteri Han Han semenjak ia minggat dari istana.
Tidaklah mungkin menyalahkan mereka ini kalau keduanya sebagai orang-orang muda yang saling tergila-gila, saling mencinta dan saling menderita, kini menumpahkan semua perasaan cinta kasih mereka di tempat sunyi itu. Bagi keduanya, hal ini merupakan pengalaman pertama sehingga membuat mereka lupa akan segala dan mabuk oleh manisnya madu asmara, terlupa masa lalu tak peduli masa depan, yang teringat hanyalah perpaduan kasih, di dalam pondok, di tepi telaga, di antara bunga-bunga yang tumbuh di hutan kecil pinggir telaga. Mereka bersendau-gurau, saling menggoda, saling memanja, saling menyayang, tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang sedang berbulan madu.....
Betapa pun besarnya badai dan ombak, akhirnya akan mereda juga. Gelombang nafsu asmara yang lebih besar dan dahsyat dari pada badai dan ombak pun akhirnya akan mereda juga. Selama satu bulan, Han Han dan Nirahai seolah-olah lupa segala, tidak peduli akan masa lalu dan masa depan, ingatnya hanya berlomba merenggut madu asmara yang makin direguk makin mendatangkan dahaga. Setelah lewat sebulan, cinta kasih mereka yang menyala-nyala terbakar nafsu birahi mulai mereda dan mulailah mereka berdua sadar bahwa cinta kasih bukanlah cinta birahi semata, dan mulailah keduanya merenungkan masa depan mereka!
Bagaikan dua orang yang mengaso tenang setelah diombang-ambingkan gelombang dahsyat selama sebulan lebih, pada pagi hari itu mereka duduk di tepi telaga. Han Han duduk bersandar batu hitam yang dulu sering kali dijadikan tempat duduk Koai-lojin di waktu memancing. Nirahai duduk di depannya, setengah dipangkunya dan merebahkan kepala dengan rambut terurai lepas di atas dada Han Han. Sampai berjam-jam kedua muda-mudi ini duduk seperti itu, tak bergerak dan penuh dengan kebahagiaan, dengan kepuasan, saling menikmati kehadiran kekasih masing-masing yang hanya terasa oleh detik jantung dan alunan nafas.
Angin semilir dari tengah telaga datang bertiup, membuat rambut yang hitam berikal melambai dan menggelitik leher Han Han, menyadarkan pemuda ini dari lamunan nikmat yang membuatnya tenggelam. Ia menggerakkan lehernya mengusir rasa gatal dan geli, kemudian melanjutkan gerakan jari-jari tangannya dengan mengelus rambut halus di atas dadanya itu penuh kasih sayang dan mesra. “Nirahai, isteriku tercinta...”
Nirahai bergerak, menengadah dan tersenyum memandang wajah Han Han. “Dan engkau suamiku...”
Han Han menunduk, memberi hadiah ciuman mesra untuk sebutan yang menggetarkan perasaannya itu. Biasanya, selama sebulan ini, satu ciuman saja sudah cukup membuat keduanya tenggelam dalam lautan asmara, tidak ingat lagi akan hal lain, menghapus semua niat yang hendak dibicarakan, karena semua kemauan sudah lumpuh dan kalah oleh gelombang asmara yang menghanyutkan. Tetapi kini Han Han dapat menahan diri dan ia berbisik.
“Nirahai, aku teringat bahwa sebulan lagi Lulu akan menikah. Aku harus hadir dan menyusulnya ke Kwan-teng. Marilah kita pergi ke sana...”
Sepasang mata Nirahai yang selama sebulan ini selalu dalam keadaan seperti orang mengantuk, kini mulai menemukan kembali sinarnya ketika mendengar ucapan Han Han itu. Sudah sebulan mereka berdua tidak pernah mengucapkan kata-kata yang lain dari pada cumbu rayu sehingga kini seperti baru sadar dari mimpi. Sadar bahwa di sana masih terdapat banyak hal lain di samping urusan cinta kasih mereka! Matanya mulai bersinar, perlahan ia bangkit dari dada suaminya, lalu duduk di atas tanah bertilam rumput, memutar tubuh berhadapan dengan Han Han. Kedua tangannya mulai memilin-milin rambutnya yang selama ini dibiarkan terurai lepas untuk dibelai dan dipermainkan jari-jari tangan Han Han yang penuh cinta kasih.
Baru saat itulah keduanya saling pandang dalam keadaan sadar, dan otomatis timbul kerut-kerut kecil di wajah mereka, Han Han pada dahinya, Nirahai di antara kedua matanya.
“Han Han, engkau tahu bahwa tidak mungkin bagi aku untuk pergi ke Kwan-teng atau ke mana pun juga. Aku telah menjadi seorang pelarian, dan aku merasa malu untuk bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw kalau mereka mendengar bahwa aku adalah seorang puteri pelarian.”
“Mengapa tidak mungkin, isteriku?” Han Han menggenggam tangan Nirahai. “Mengapa tidak mungkin pergi ke sana? Apa yang ditakuti? Andai kata engkau dikejar, apakah kita tidak mampu melawan? Dan mengapa pula malu kepada orang lain? Siapa yang akan berani menghinamu? Akan kuhancurkan mulut yang berani mengejekmu.”
Nirahai menggeleng kepalanya, lalu berkata, suaranya tegas, “Tidak, suamiku. Aku tidak mau pergi ke Kwan-teng atau ke mana saja. Aku sudah mempunyai rencana matang yang sudah berhari-hari ini kupikirkan dan baru sekarang akan kusampaikan kepadamu.”
Berdebar jantung Han Han, seolah-olah ada firasat tidak enak terasa olehnya. Ia menatap wajah Nirahai dan dengan hati kecut ia mendapat kenyataan betapa wajah yang cantik itu diselubungi kekerasan hati yang sukar ditembus. Diam-diam ia menjadi gelisah, akan tetapi ia menekan hatinya dan bertanya halus.
“Nirahai, bagaimanakah rencanamu itu?”
“Di selatan ini aku yang telah membuat jasa besar telah dimusuhi oleh kerajaan. Karena itu, jalan satu-satunya bagiku adalah kembali ke utara! Di Khitan aku akan lebih dihargai, dan aku mempunyai seorang paman, adik Ibuku, yang kini menjadi seorang panglima besar dari suku bangsa Mongol. Aku hendak menyusulnya ke sana dan engkau... kuharap saja suka pergi ke sana bersamaku, Han Han.”
Sejenak kedua orang yang selama sebulan lebih mabuk dan tenggelam dalam lautan asmara itu, kini saling berpandangan penuh kesadaran dan penuh kekhawatiran menyaksikan jalan pikiran dan cita-cita mereka yang saling bertentangan.
“Aku harus mengurus pernikahan adikku...,” Han Han membantah lemah, berpegang kepada alasan ini untuk menarik Nirahai yang dicintanya itu dari cita-citanya akan pergi ke utara di luar tembok besar.
Nirahai mengangguk-angguk, tersenyum lalu merangkul Han Han, menciumnya mesra yang dibalas Han Han sepenuh hatinya. Akan tetapi, kedua orang ini merasa betapa dalam ciuman mereka terdapat sesuatu yang mengganjal, tidak seperti yang sudah-sudah dan keduanya menjadi gelisah.
“Aku tahu, Han Han. Memang seharusnya engkau menghadiri pernikahan Lulu. Pergilah ke Kwan-teng dan uruslah pernikahan adik kita itu. Aku akan menantimu di sini dan kalau engkau sudah kembali ke sini dari Kwan-teng, kita berdua baru pergi ke utara.”
Han Han mengerutkan keningnya dengan jantung berdebar tegang. Ke utara? Mau apa ke sana? Hidup di antara suku bangsa Mongol yang sama sekali asing baginya? Teringat akan sejarah betapa bangsa Mongol pernah menjadi penjajah bangsanya, dia tahu bahwa tentu dirinya akan terlibat urusan politik dan pemerintahan lagi di utara yang asing itu dan ia maklum bahwa dia tidak akan merasa bahagia di sana. Ia seolah-olah dapat merasa betapa bahaya besar bagi kebahagiaan dia dan Nirahai menunggunya di utara!
Cepat ia memegang kedua pundak Nirahai, memaksa kekasihnya itu menghadapnya dan memandang wajah yang jelita itu penuh selidik. “Nirahai, kekasihku, pujaan hatiku! Engkau adalah isteriku, dan aku akan hidup sengsara tanpa engkau di sampingku! Marilah engkau ikut bersamaku, ke Kwan-teng, kemudian merantau ke mana saja, berdua, hidup penuh bahagia, jangan kita melibatkan diri lagi dengan urusan kerajaan. Aku... aku mendapat firasat buruk, kalau kita pergi ke utara... tentu kita akan terlibat dan terseret lagi dalam urusan kerajaan, politik dan perang! Aku ingin kita berdua hidup merantau, bebas lepas tidak terikat urusan duniawi, seperti sepasang burung dara di angkasa... marilah, Nirahai sebelum terlambat.”
Han Han yang merasa gelisah itu menjadi terharu dan hendak memeluk isterinya, akan tetapi tiba-tiba Nirahai melepaskan diri dari pelukan Han Han, mundur tiga langkah dan menatap wajah Han Han dengan sinar mata tajam dan wajah diliputi sikap dingin murung.
“Han Han, sudah kukhawatirkan hal ini akan terjadi semenjak malam pertama aku terlena dalam belai rayumu. Engkau lupa bahwa aku adalah seorang puteri! Bahwa tak mungkin bagiku hidup seperti seorang petualangan yang tak tentu tempat tinggalnya! Engkau lupa bahwa di dalam tubuhku mengalir darah pahlawan, yang semenjak nenek moyangku dahulu rela mengorbankan jiwa raga demi untuk negara dan bangsa! Biar pun kini kerajaan menganggap aku seorang pelarian, namun aku tetap harus bersetia kepada kerajaan Ayahku.”
Han Han menjadi pucat wajahnya dan ia membantah lemah, “Nirahai, akan tetapi engkau isteriku yang tercinta!”
Nirahai tersenyum pahit. “Memang, aku isterimu yang mencintamu, Han Han. Aku cinta kepadamu, demi Tuhan aku cinta padamu, tapi...”
“Tapi engkau lebih cinta kepada bangsamu?” Han Han berseru penasaran dan hatinya berduka sekali.
Sadarlah ia kini bahwa ia lupa akan sebuah hal yang membuat Nirahai amat jauh bedanya dengan Lulu. Memang wajah mereka mirip sekali, mempunyai segi-segi keindahan yang sama, akan tetapi ia lupa bahwa Nirahai tidak mungkin bisa memiliki jiwa seperti Lulu yang lebih polos dan jujur, yang menganggap sama antara bangsa-bangsa sehingga Lulu tidak menaruh dendam terhadap bangsa pribumi, bahkan telah mengambil tindakan mengagumkan dengan mengangkat Lauw-pangcu, pembunuh orang tuanya, sebagai ayah angkat! Nirahai juga tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan kaum pejuang, akan tetapi Nirahai ini adalah seorang pejuang sampai ke sumsum-sumsumnya, seorang yang lebih mencinta negara dan bangsa melebihi apa pun juga!
Mendengar tuduhan Han Han itu, Nirahai tersenyum dan mengangguk, “Memang betul, Han Han. Aku mencintamu, akan tetapi aku lebih cinta kepada bangsaku yang melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Engkau adalah seorang yang berpengetahuan luas, tentu mengerti akan watak keturunan pahlawan. Betapa pun juga, aku cinta kepadamu, suamiku, ahhhh, betapa cintaku kepadamu. Karena itu, kau kasihanilah aku. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan dan yang akan menghancurkan kebahagiaan kita berdua, marilah sekarang saja kita pergi ke utara dan melupakan segala hal! Marilah, Han Han, demi cinta kasih kita...!”
Suara Nirahai makin melemah dan akhirnya ia terisak perlahan. Han Han terkejut dan makin terharu. Isterinya, kekasihnya yang berhati baja itu, kini ternyata telah menderita tekanan batin hebat sekali!
Ia segera memeluknya dan mereka berciuman penuh kemesraan. Sesaat pertentangan paham yang timbul dari percakapan tadi terlupa dan lenyap, tenggelam oleh rasa cinta kasih mereka. Akan tetapi badai kecil asmara ini pun lewat dan mereka kembali sadar dan teringat akan urusan penting yang mereka hadapi dan yang tak mungkin mereka hindari.
“Han Han, kau sendiri mengatakan bahwa Lulu telah mendapatkan jodoh yang amat baik, yang boleh dipercaya. Aku pun percaya bahwa Wan Sin Kiat adalah seorang pemuda yang baik sekali, gagah perkasa dan bertanggung jawab. Karena itu, mengapa engkau masih mengkhawatirkan keadaan Lulu? Marilah kita pergi ke utara sekarang juga.”
Han Han menggeleng kepala. “Tidak mungkin aku pergi jauh sebelum aku menyaksikan pernikahan adikku, Nirahai.”
“Kalau begitu, pergilah cepat dan kembalilah cepat pula. Aku akan menantimu di sini, suamiku.”
Han Han termenung, keningnya berkerut dan wajahnya muram. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia harus menghadapi keputusan yang begitu sukar dan yang akan menghancurkan hidupnya! Dia membayangkan masa depannya bersama Nirahai di utara, di antara bangsa Mongol yang asing baginya sama sekali! Dia membayangkan Nirahai menjadi seorang pahlawan puteri di antara bangsa Mongol dan dia sendiri... dia hanyalah suami sang puteri yang bagaimana pun juga tidak mungkin dapat menjadi pahlawan bangsa itu, dan dia hanya akan ‘membonceng’ kemuliaan isterinya! Dia akan merasa terhina, seorang suami bangsa asing, yang buntung pula. Han Han bergidik ngeri.
“Tidak, Nirahai. Aku akan pergi ke Kwan-teng dan engkau harus ikut bersamaku! Setelah aku merayakan pernikahan Lulu, kita berdua akan pergi, ke mana saja, asal bebas dari ikatan. Ke utara pun boleh, akan tetapi dengan janji bahwa kita berdua tidak akan mengikatkan diri dengan urusan negara!”
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu bersinar merah dan Han Han terkejut, maklum bahwa datangnya badai yang lain lagi dari pada badai asmara yang memabukkan. Setelah berulang kali menarik napas panjang sampai terdengar nyata, Nirahai berkata, “Sudah kukhawatirkan akan menjadi begini...! Jodoh takkan dapat kekal hanya didasari cinta birahi saja! Yang penting adalah kesesuaian paham dan cita-cita! Ahhh, Han Han, tak mungkin aku dapat memenuhi permintaanmu itu. Kalau engkau memang mencintaku, engkau harus memenuhi permintaanku ikut dengan aku sekarang juga ke utara.”
“Engkau yang tidak sungguh-sungguh mencintaku, Nirahai. Engkau lebih mencinta cita-citamu!”
“Dan engkau, Han Han, engkau seperti telah buta. Engkau memang mencintaku, cinta nafsu, cinta birahi, padahal sesungguhnya engkau mencinta... Lulu!”
Han Han meloncat kaget dan memandang Nirahai dengan mata terbelalak.
“Apa... apa kau bilang...?”
Nirahai tertawa pahit dan anehnya, dua titik air mata membasahi kedua pipinya. Ia tertawa akan tetapi menangis, amat mengharukan ketika suaranya yang gemetar berkata, “Kuketahui setelah terlambat! Baru pada akhir-akhir ini... engkau mencumbu dan merayu, mencinta tubuhku, akan tetapi hatimu lari mencari Lulu. Tanpa kau sadari, mulutmu yang menciumi bibirku membisikkan nama Lulu! Saat itulah aku tahu bahwa sesungguhnya engkau telah jatuh cinta kepada Lulu! Akan tetapi, sudah terlanjur! Dan kini aku teringat akan sikap dan kata-kata Lulu. Adikmu itu, adik angkatmu itu, dia pun mencintamu, Han Han. Mencintamu dengan sepenuh jiwa raganya, mungkin cintanya terhadapmu jauh lebih murni dari pada cintaku kepadamu. Mungkin dia akan melakukan apa saja yang kau kehendaki. Akan tetapi, semua itu telah lewat, tiada gunanya lagi disesalkan, kita telah menjadi suami isteri! Kita tidak boleh berpisah lagi karena hal itu akan berarti menghancurkan kebahagiaan kita. Aku mencintamu dan engkau mencintaku. Sungguh pun mungkin cinta kasih di antara kita lebih disuburkan oleh nafsu birahi karena kita saling mengagumi, namun kita dapat menikmati cinta kasih kita bersama. Sekarang belum terlambat, marilah kita pergi ke utara.”
Han Han menjadi pucat sekali wajahnya, matanya kehilangan sinarnya. Pukulan batin yang dideritanya sekali ini terlalu berat baginya. Kenyataan yang dibuka secara terang-terangan oleh Nirahai merobek-robek hatinya dan ia harus mengakui kebenaran ucapan Nirahai. Betapa bodohnya! Lululah yang dia cinta! Bahkan mungkin sekali karena kemiripan wajah Nirahai dengan Lulu maka dia tergila-gila kepada puteri ini! Dan sekarang sudah terlanjur!
“Nirahai, terima kasih. Engkau benar hebat dan jujur, aku amat menghargai keterus teranganmu. Maafkan aku, Nirahai, kalau tanpa kusengaja aku menyakiti hatimu. Sudah semestinya kalau aku menebus dosa-dosaku dengan menuruti kehendakmu. Akan tetapi, engkau bersabarlah. Aku akan pergi ke Kwan-teng lebih dulu, merayakan pernikahan adikku, baru kita bicara lagi tentang ke utara.”
Nirahai membanting kakinya. Dia sudah marah sekali dan sudah habis kesabarannya. “Tidak! Sekarang juga kita harus dapat mengambil keputusan! Han Han, kita bukanlah anak-anak kecil lagi! Kita bukan orang-orang yang lemah dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Kita harus dapat menentukan nasib sendiri karena hal ini menyangkut masa depan dan kehidupan kita. Dengarlah keputusan yang tak dapat diubah-ubah lagi, Han Han. Aku cinta padamu, dan akan bersedia melayanimu sebagai seorang isteri yang mencintamu sampai kematian memisahkan kita. Akan tetapi, di samping itu aku harus pergi ke Mongol dan aku harus mengabdikan diriku untuk nusa bangsaku, biar pun dengan cara lain dari pada yang sudah-sudah. Aku hanya minta engkau tidak menghalangi cita-citaku itu dan aku bersumpah bahwa cintaku kepadamu takkan berubah!”
Sementara itu, biar pun amat berduka, Han Han sudah pula berpikir masak-masak, maka ia menjawab, “Aku pun sudah mengambil keputusan, Nirahai. Aku cinta padamu dan aku akan mencintamu selamanya, akan tetapi aku tidak mau terikat dengan urusan pemerintah. Aku harus menikahkan Lulu lebih dulu, kemudian aku akan mengikutimu ke mana pun engkau pergi, akan tetapi aku hanya minta engkau tidak mencampuri urusan negara yang hanya akan merenggangkan hubungan kita suami isteri.”
Sejenak sunyi dan mereka berpandangan. Akhirnya Nirahai bertanya nyaring. “Sudah tetapkah keputusan hatimu itu?”
Han Han mengangguk tanpa mengalihkan pandang matanya yang bertaut dengan pandang mata Nirahai. Tiba-tiba Nirahai tertawa nyaring dan terkekeh-kekeh.
“Nirahai...!” Han Han maju hendak merangkul. Ia ngeri melihat Nirahai tertawa seperti itu, dengan muka pucat, dengan air mata bercucuran, dengan mulut tertarik seperti orang menangis, seperti mayat tertawa!
“Jangan dekati!” Nirahai membentak, kemudian ia berkata lirih bercampur isak, “Kalau begitu keputusan kita, kita harus berpisah, sekarang juga, lebih cepat lebih baik. Nah, selamat tinggal, Han Han. Engkau kekasihku, engkau suamiku, akan tetapi juga musuhku! Engkau kucinta, akan tetapi juga kubenci!” Setelah berkata demikian, puteri jelita itu meloncat dan lari pergi secepat kilat.
“Nirahai...!” Han Han menjerit, hanya lirih keluar dari mulut, akan tetapi amat nyaring keluar dari hatinya yang berdarah.
Ia terus berdiri termenung memandang sampai bayangan Nirahai lenyap, berdiri seperti patung, agak terbongkok seolah-olah terlampau berat beban yang dipikul dan menimpa punggungnya, bersandar pada tongkatnya dan diam tak bergerak. Hanya air matanya saja yang jatuh satu-satu tak dihiraukannya.
“Nirahai... Nirahai...!” Hatinya menjerit-jerit.
“Nirahai...! Lulu...! Lulu...!” Ia menjadi bingung, pukulan batin yang dideritanya membuat ia seolah-olah menjadi batu.
Kalau saja Nirahai tidak sedemikian keras hatinya. Kalau saja ia meragu dan kembali ke tempat itu, tentu hati wanita ini akan hancur luluh dan mencair melihat keadaan Han Han. Sampai tiga hari tiga malam Han Han masih berdiri di tempat itu, bersandar pada tongkatnya, tak pernah bergerak kecuali untuk membisikkan nama Nirahai dan Lulu! Dan yang amat mengharukan adalah rambutnya. Rambut yang gemuk dan panjang, yang biasanya berwarna hitam mengkilap itu kini telah menjadi putih semua! Putih seperti benang-benang perak, seperti rambut seorang kakek berusia seratus tahun!
Selama tiga hari tiga malam ini terjadi perubahan hebat pada dirinya. Badannya menjadi semakin kurus, mukanya kuyu pucat tidak ada cahayanya, seperti muka orang yang kehilangan semangat dan kegairahan hidup. Tiada sepercik pun sinar kegembiraan terlukis di mukanya. Dan memang selama tiga hari tiga malam itu Han Han hanya memikirkan nasibnya. Hidup semenjak kecil baginya hanya merupakan serangkaian kesengsaraan yang tidak ada putus-putusnya. Makin diingat makin menghimpit perasaan.
Teringat ia akan wejangan-wejangan Koai-lojin yang dia tahu juga banyak mengalami duka nestapa dalam hidupnya, mengalami kekecewaan-kecewaan besar. Sayup sampai bergema di telinganya wejangan kakek sakti itu sebelum meninggalkannya.
“Hidup itu menderita duka? Hidup itu menikmati suka? Tidak benar semua itu. Hidup adalah hidup, ada pun suka atau duka adalah urusan hati, tidak ada sangkut-pautnya dengan hidup. Peristiwa yang menimpa kita tak lepas dari perbuatan kita sendiri. Seni yang amat indah dan besarlah cara penerimaan kita terhadap segala peristiwa. Penerimaan, sekali lagi penerimaan! Kalau engkau sudah dapat menguasai nafsu dan hati, sudah pandai menggunakan pikiran sehingga mendapat kesadaran, engkau akan pandai pula menerima segala hal yang menimpa dirimu sehingga engkau bisa saja bersuka dalam duka, dan berduka dalam suka!”
Tiba-tiba Han Han tersenyum setelah ia teringat akan wejangan ini dan mulailah tubuhnya yang kaku membatu itu dapat bergerak lagi. Seolah-olah tubuhnya ‘hidup’ kembali sungguh pun ia merasa betapa hatinya hampa dan kosong. Dia tidak sadar bahwa rambutnya sudah putih semua dan bahwa ada sinar aneh terpancar dari matanya yang biasanya bersinar tajam luar biasa. Dengan langkah terpincang-pincang Han Han meninggalkan tempat itu menuju ke Kwan-teng.
Selagi Han Han berjalan terpincang-pincang menuruni sebuah lereng sambil melamun, tiba-tiba tampak belasan orang hwesio berloncatan keluar dan menghadapinya dengan sikap mengancam. Han Han mengangkat muka memandang dan ia mengenal Ceng San Hwesio dan belasan orang anak murid Siauw-lim-pai, semuanya pendeta-pendeta berkepala gundul yang tingkatnya sudah tinggi.
Han Han merasa heran. Kalau sampai ketua Siauw-lim-pai sendiri keluar dari Siauw-lim-si, tentulah ada urusan yang amat penting. Biasanya yang mewakili ketua Siauw-lim-pai ini adalah Ceng To Hwesio, sute dari Ceng San Hwesio. Akan tetapi ia teringat bahwa Ceng To Hwesio telah tewas dalam pertandingan melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Han Han menjura dengan hormat kepada ketua Siauw-lim-pai itu dan berkata, “Kiranya locianpwe dan para losuhu dari Siauw-lim-pai yang bertemu dengan saya di tempat sunyi ini, dan agaknya menghadang perjalanan saya. Tidak tahu ada kepentingan apakah?”
“Hemmm, orang muda tidak tahu malu! Dahulu engkau membikin kacau Siauw-lim-si, hal itu telah pinceng lupakan dan dianggap habis. Sekarang engkau yang tadinya telah membuat nama di Se-cuan, secara tidak tahu malu sekali bersekongkol dengan Nirahai perempuan iblis itu...!”
“Maaf, locianpwe. Nirahai adalah isteriku, bukan iblis. Aku melarang siapa saja menghina dan memaki isteriku! Apakah kesalahan Nirahai? Bukankah di puncak Tai-hang-san telah diadakan perdamaian?”
“Hemmm, perdamaian? Engkau kini menjadi suami Nirahai? Bagus, seperti yang telah pinceng duga, engkau seorang yang tak tahu malu! Kau bicara tentang perdamaian atas nama Nirahai? Perdamaian yang mengorbankan nyawa Sute Ceng To Hwesio dan engkau yang telah ditolong murid kami Lauw Sin Lian sampai dia mengorbankan nyawa, engkau... malah menjadi suami pembunuhnya? Suma Han, pinceng telah mendengar keturunan siapakah engkau ini, maka pinceng tidak merasa heran bahwa engkau hanyalah seorang rendah budi yang tak patut dinilai sepak-terjangnya!”
Han Han merasa heran sekali mengapa hatinya tidak marah seujung rambut pun mendengar penghinaan yang luar biasa itu. Entah bagaimana, hatinya seperti kosong melompong, tidak dapat diusik lagi oleh perasaan apa pun. Mestinya ia marah mendengar kata-kata yang menghina itu, akan tetapi ia malah tersenyum! Bukan dibuat-buat, melainkan senyum wajar karena ia merasa geli menyaksikan kebodohan seorang kakek yang sudah menganggap diri pendeta dan menjadi ketua partai besar.
“Locianpwe, harap jangan salah sangka. Mendiang Ceng To Hwesio tewas dalam sebuah pertandingan perorangan melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, sama sekali bukan kesalahan Nirahai. Ada pun kematian Sin Lian... hmmm, semoga Thian memberi tempat yang penuh damai bagi arwahnya, kematiannya pun di luar kesalahan Nirahai karena yang melakukannya adalah Ouwyang-kongcu dan para pembantunya.”
“Pinceng tidak sudi melayani percakapan seorang yang tak boleh dipercaya seperti engkau. Sekarang, lebih baik engkau menebus semua kesalahanmu dengan dua hal. Pertama mengembalikan anak Bhok Khim, dan ke dua, memberi tahu di mana adanya iblis betina Nirahai!”
Kembali Han Han tersenyum sambil menghela napas panjang. “Locianpwe, ketika Bhok Khim Toanio hendak menghembuskan napas terakhir, dia minta tolong kepada kedua orang suheng-nya, akan tetapi kedua orang suheng-nya memandang rendah sehingga akhirnya Bhok-toanio menyerahkan puteranya kepada saya. Sekarang locianpwe memintanya, untuk apa?”
“Untuk apa, kau tidak perlu tahu. Anak itu adalah anak Bhok Khim seorang murid kami, kamilah yang berhak atas dirinya.”
“Saya sendiri belum menemukan anak itu, locianpwe, maka tidak dapat saya serahkan, dan kalau locianpwe hendak mencarinya, silakan mencari sendiri. Ada pun tentang Nirahai, saya tidak dapat memberi tahu kepada siapa juga ke mana perginya karena saya harus melindungi isteri saya.”
“Omitohud! Bicara berbelit-belit, padahal maksudnya hanya menentang dan menolak! Suma Han, apakah terpaksa pinceng harus turun tangan memaksamu?” Ceng San Hwesio membentak.
Berkerut kening Han Han, bukan karena marah melainkan karena penasaran menyaksikan sikap seorang ketua partai besar yang sungguh tidak patut itu. Sepasang matanya yang tajam itu mengeluarkan sinar yang aneh, menyapu belasan orang hwesio itu, kemudian berhenti ke wajah Ceng San Hwesio dan ia berkata, “Bukan saya yang mencari perkara, silakan kalau locianpwe hendak menggunakan kekerasan!”
Para murid Siauw-lim-pai sudah menyaksikan sikap Han Han yang mereka anggap kurang ajar dan tidak menaruh hormat kepada ketua mereka. Terdengar bentakan mereka dan mereka sudah melolos senjata masing-masing, toya, golok dan pedang, gemerlapan tertimpa sinar matahari.
“Hemmm, cu-wi hendak menggunakan kekerasan? Jangan mengira bahwa saya takut menghadapi cu-wi. Lihat baik-baik, saya sudah siap, apakah cu-wi kira akan dapat mengalahkan saya?”
Para hwesio yang sudah menerjang maju dengan senjata di tangan itu tiba-tiba terbelalak dan berdiri di tempat masing-masing dengan muka pucat. Bahkan Ceng San Hwesio sendiri berkali-kali mengucapkan “omitohud!” dan membaca mantera ketika melihat pemuda berkaki buntung itu kini berdiri dengan tegak, tubuhnya berubah menjadi dua! Kakinya tetap sebuah, akan tetapi kepalanya dua dan lengannya menjadi empat buah, yang dua memegang tongkat yang dua lagi mengepai siap melakukan perlawanan!
“Omitohud! Dia menggunakan ilmu silat siluman! Jangan takut, serbu!” Ceng San Hwesio berseru penuh wibawa.
Biar pun hati mereka gentar sekali, sebelas orang anak murid Siauw-lim-pai yang sudah tinggi tingkatnya itu memaksa diri menyerbu ke arah Han Han yang masih berdiri tegak. Ketika senjata-senjata para anak buah Siauw-lim-pai itu datang menyambar seperti hujan, tiba-tiba tampak dua batang tongkat berkelebat seperti dua ekor naga.
“Trang-cring-cring-trakkk!”
Golok dan pedang beterbangan, toya-toya patah ketika bertemu dengan dua batang tongkat itu. Bahkan Ceng San Hwesio sendiri yang turut menyerbu dengan kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan yang mengandung hawa panas sekali, membuat ia terhuyung mundur!
“Ceng San Hwesio, jalan kekerasan hanya akan mendatangkan maut dan kerusakan kepada diri sendiri. Selamat tinggal dan ingatlah selalu bahwa saya sedikit pun tidak pernah dan tidak akan memusuhi Siauw-lim-pai yang saya hormati dan kagumi!” Pemuda ini menggunakan kekuatan matanya dan menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, sekali berkelebat lenyap dari depan mata para murid Siauw-lim-pai.
“Di... dia menghilang seperti siluman!” Para murid Siauw-lim-pai berbisik dengan suara gemetar.
Namun ketua Siauw-lim-pai yang sudah tinggi ilmunya itu maklum bahwa Han Han menggunakan ilmu ginkang yang luar biasa sekali di samping pengaruh pandang matanya yang dapat menyihir para muridnya termasuk dia sendiri. Maka dia menarik napas panjang dan mengajak murid-muridnya pergi dari situ untuk melanjutkan usaha mereka mencari Nirahai yang tentu saja sia-sia belaka karena pada waktu itu, Nirahai telah pergi jauh ke utara dengan hati yang sama hancurnya seperti yang diderita Han Han.
Setelah mengalami peristiwa pertemuannya dengan ketua Siauw-lim-pai yang amat tidak enak itu, Han Han tidak mau lagi termenung dan ia melakukan perjalanan cepat sambil mengerahkan kepandaian, menghindarkan pertemuan dan terutama sekali bentrokan dengan orang lain.
Demikianlah, pada suatu pagi, saat yang ia rindu-rindukan, yang dinanti-nantikan tiba ketika ia memasuki kota Kwan-teng dan dengan jantung berdebar ia langsung menuju ke Pek-eng-piauwkiok, yaitu gedung perusahaan ekspedisi milik Hoa-san Pek-eng Tan Bu Kong, murid Hoa-san-pai yang ramah itu.
“Han-koko...!” Lulu menjerit dan lari menyambut kedatangan Han Han ketika Han Han memasuki ruangan depan Pek-eng-piauwkiok.
“Lulu...!” Han Han memeluk adiknya dan menumpahkan seluruh kerinduan hatinya.
“Han-koko rambutmu... ahhh rambutmu kenapa...?” Lulu yang sudah menangis itu menggunakan kedua tangannya membelai rambut yang putih semua itu. “Han-koko... kenapa engkau? Kenapa rambutmu... jadi begini?”
Kembali Han Han merasai keanehan pada dirinya. Rasa haru menyusup ke dadanya, akan tetapi segera tenggelam seperti sebuah batu dilempar di permukaan telaga dan lenyap tak berbekas! Dia malah dapat tersenyum sambil mengelus rambut adiknya.
“Lulu, adikku. Rambut hitam menjadi putih apa anehnya? Sudah wajar dan harap jangan diributkan.”
“Koko... Han-koko... ahhh, Han-koko...!”
Lulu merintih-rintih sambil menangis. Air matanya membasahi baju di dada Han Han, dipandang penuh keharuan oleh Wan Sin Kiat yang pada saat itu merasa benar betapa besar cinta kasih calon isterinya kepada kakaknya. Akhirnya Sin Kiat yang bijaksana meninggalkan kakak dan adik itu masuk ke ruangan dalam dengan alasan hendak menyampaikan kedatangan Han Han kepada gurunya.
Setelah tinggal berdua saja, Lulu mempererat pelukannya dan tangisnya makin tersedu-sedu. “Koko... Koko jangan tinggalkan aku lagi, Koko. Marilah kita pergi berdua... hu-hu-huuukkk...”
“Eh, eh, bocah nakal! Apa pula yang kau katakan ini? Engkau akan menikah dengan Sin Kiat. Bukankah engkau cinta kepadanya?”
“Aku... aku suka menjadi isterinya akan tetapi aku tidak akan bahagia kalau berpisah darimu, koko. Baru berpisah tiga bulan saja, engkau sudah tertimpa mala petaka lagi. Pertama kali, perpisahan kita membuat engkau kehilangan sebelah kakimu...” Lulu mengguguk tangisnya. “Dan sekarang... rambutmu putih semua!”
“Hushhh jangan berkata demikian. Engkau akan hidup bahagia di samping suamimu, jangan pikirkan aku lagi.” Biar pun mulutnya berkata demikian, hati Han Han tidak karuan rasanya.
Memeluk adiknya ini teringatlah ia ketika ia memeluk Nirahai dan diam-diam ia kini harus membenarkan ucapan Nirahai yang menyatakan bahwa sesungguhnya dia mencinta Lulu. Memang benar. Baru sekarang dia tahu Lululah yang dicintanya! Dicintanya sejak dahulu! Bukan hanya dicinta sebagai adiknya, melainkan dicintanya sebagai seorang wanita satu-satunya di dunia ini yang akan membahagiakan hidupnya!
“Tidak mungkin, Han-koko. Tak mungkin aku tidak memikirkan engkau. Biar pun aku menjadi isterinya, aku akan sengsara kalau kau tidak berada di dekatku. Lebih baik aku selamanya tidak kawin, biarlah aku ikut bersamamu... hu-hu-huk, kita kembali ke Pulau Es...!”
Han Han tersentak kaget. Permintaan Lulu ini cocok sekali dengan perasaan hatinya. Dia harus melawan ini. Tidak boleh begini! Kalau dia menuruti perasaannya, dia tahu bahwa dia akan menemukan bahagia asmara yang sejati di samping Lulu. Akan tetapi hal itu hanya akan menambah dosanya yang sudah bertumpuk-tumpuk.
“Tidak! Lulu, jangan berpikiran gila seperti itu! Engkau adikku, dan adik berada di samping kakaknya di waktu kecil, setelah dewasa dan bertemu jodohnya, harus berpisah.”
“Aku tidak mau...! Tidak mau...!” Lulu terisak-isak dan membanting-banting kakinya.
Kembali Han Han teringat kepada Nirahai. Selama sebulan itu, ketika ia memeluk dan mencinta Nirahai, bukankah setengah hatinya menganggap bahwa Nirahai menjadi pengganti Lulu? Dan sekarang dia memeluk Lulu! Akan tetapi Lulu yang dipeluknya ini adalah adiknya! Lebih patut menjadi isteri Wan Sin Kiat.
“Lulu! Apakah engkau ingin melihat kakakmu makin sengsara? Aku bisa mati karena duka jika engkau bersikap seperti ini!”
Lulu merintih dan melepaskan pelukannya, melangkah mundur sambil memandang kakaknya dengan mata terbelalak dan muka pucat. “Han-koko, benar-benarkah engkau menghendaki aku kawin dengan Sin Kiat?”
Sejenak mereka berpandangan. Lulu memandang dengan matanya yang lebar penuh selidik. Han Han berusaha mengelak dan menyembunyikan perasaan hatinya. Jelas sekali tampak olehnya betapa sinar mata adiknya itu menyorotkan cinta kasih yang mendalam, penuh pemasrahan, cinta kasih dengan pemasrahan total tanpa halangan perbedaan paham seperti yang dimiliki Nirahai, dan agaknya karena kenyataan bahwa mereka kakak beradik yang membuat Lulu tidak berani menyatakan perasaan melalui mulutnya.
Han Han mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya untuk menekan perasaannya, kemudian ia tersenyum lebar dan memandang adiknya seperti memandang seorang anak nakal sambil berkata, “Lulu... Lulu adikku sayang, mengapa kau masih bertanya lagi? Engkau tahu, satu-satunya kebahagiaan bagiku adalah melihat engkau bahagia adikku. Dan aku yakin engkau akan bahagia menjadi isteri Sin Kiat. Bukankah selama ini dia bersikap amat baik padamu?”
Lulu menarik napas panjang, menggunakan punggung tangan untuk mengeringkan air mata dari pelupuk mata dan pipi. “Dia baik, akan tetapi engkau jauh lebih baik”
“Hushhhhh! Tentu lain! Dia adalah calon suamimu, dan aku hanya kakakmu.” Han Han menggandeng tangan adiknya sambil tertawa. “Jangan seperti anak kecil, Lulu. Mari kita masuk menghadap Locianpwe Im-yang Seng-cu, guru Sin Kiat.”
Lulu terpaksa menghentikan tangisnya dan tidak sempat lagi berbantahan dengan kakaknya karena tak lama kemudian Sin Kiat muncul lagi bersama gurunya, Im-yang Seng-cu, Tan Bu Kong dan beberapa orang anak murid Hoa-san-pai yang telah berada di situ. Ketika melihat Han Han yang rambutnya sudah putih semua, Im-yang Seng-cu membalas penghormatannya sambil berkata, “Siancai... telah banyak sudah aku mendengar akan sepak terjangmu, orang muda, membuatku kagum. Kiranya engkau cucu sahabatku Suma Hoat telah menjadi seorang pendekar yang amat sakti!”
Han Han yang sudah menjura penuh hormat, segera menjawab, “Harap locianpwe tidak memuji secara berlebihan. Saya hanyalah seorang kakak yang kini datang untuk merayakan pernikahan adik saya Lulu dengan murid locianpwe. Mohon locianpwe maafkan, karena keadaan kami kakak beradik yang tiada orang tua dan tidak memiliki sesuatu, maka segala pelaksanaan upacara dan perayaan kami serahkan kepada pihak locianpwe.”
“Suma-taihiap mengapa bersikap sungkan? Kita berada di antara keluarga sendiri. Tentu saja kami sudah mempersiapkan segalanya, bahkan kami telah menyebar undangan,” kata Tan-piauwsu yang menjadi tuan rumah.
Ramailah mereka merundingkan rencana pernikahan yang akan diadakan beberapa hari lagi. Kini Lulu tidak pernah rewel lagi sehingga hati Han Han terasa lega sungguh pun tiap kali bertemu pandang dengan adiknya itu, Han Han merasa jantungnya tertikam melihat sinar duka menyuramkan sepasang mata adiknya yang biasanya berseri dan wajahnya yang biasanya cerah itu.
Akhirnya, tibalah harinya yang telah dinanti-nantikan dan dilangsungkanlah pernikahan antara Wan Sin Kiat, jago muda Hoa-san-pai yang berjuluk Hoa-san Gi-hiap dengan Lulu. Upacara pernikahan dilangsungkan secara sederhana, namun cukup meriah dan dihadiri oleh tamu-tamu terhormat dari kota Kwan-teng dan sekitarnya. Han Han dan Im-yang Seng-cu sebagai wakil kedua mempelai memandang penuh keharuan ketika sepasang mempelai bersembahyang di depan meja sembahyang, mengangkat dupa wangi, berdampingan dalam pakaian mempelai yang membuat Lulu tampak makin cantik jelita.
Dalam keharuannya, Han Han merasa lega hatinya. Belum pernah ia merasa begitu lega hatinya seperti ketika menyaksikan adiknya bersembahyang di samping Sin Kiat. Adiknya merupakan satu-satunya persoalan yang memberatkan hatinya, karena kalau dia pergi menjauhi segala kesengsaraan dunia, bagaimana dengan adiknya yang ditinggalkannya. Kini adiknya sudah ada yang memiliki, ada yang mengurus, membela dan melindungi. Dan dia percaya bahwa Sin Kiat akan menjadi seorang suami yang baik, dia percaya bahwa tentu Lulu akan hidup sebagai seorang isteri yang penuh kebahagiaan.
Malam tadi, untuk yang terakhir kalinya Lulu menemuinya dan menangis, dengan terisak-isak minta supaya pernikahan dibatalkan! “Koko... lebih senang kalau aku pergi saja bersamamu!” Demikian adiknya itu rewel lagi.
“Eh, eh, bagaimana engkau ini, Lulu? Besok dirayakan perkawinan, tamu-tamu akan datang, mana bisa dibatalkan? Eh, terus terang saja. Katakanlah, apa engkau tidak cinta kepada Sin Kiat?”
Lulu mengangguk. “Aku suka padanya, Koko. Aku mau menjadi isterinya, akan tetapi... berat sekali kalau aku harus berpisah darimu. Kau berjanjilah bahwa setelah aku menikah, engkau akan tinggal bersama kami untuk selamanya!”
“Hush, bocah nakal! Apa kau akan mengikat kakiku seperti seekor burung? Jangan begitu, adikku. Engkau mencinta Sin Kiat, dia pun mencintaimu. Kalau kalian sudah menjadi suami isteri, berarti kalian merupakan dua tubuh satu hati, sehidup semati dan mengenai aku... ah, aku hanya kakakmu, dan aku... aku akan mencari jodohku sendiri!” Terpaksa Han Han menggunakan alasan ini dan benar saja, wajah adiknya menjadi berseri dan biar pun pipinya masih basah, kini Lulu dapat tersenyum.
“Benarkah, Koko? Kenapa tidak dengan Suci Nirahai?”
Kalau saja kini rongga dada Han Han tidak sudah kosong melompong, tentu disebutnya nama Nirahai ini akan membuat perasaannya tertikam hebat. Akan tetapi tikaman itu mengenai tempat kosong dan ia hanya memejamkan mata sesaat, kemudian menjawab, “Entahlah, adikku. Soal jodoh berada di tangan Tuhan, seperti jodohmu dengan Sin Kiat ini pun sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kasih.”
Bujukan-bujukannya ini membuat Lulu dapat bersikap wajar dan gembira ketika sepasang mempelai bersembahyang dan mengikuti upacara pertemuan. Setelah upacara selesai dan sepasang mempelai duduk bersanding, barulah pesta dimulai dan suasana menjadi gembira sekali. Sebagai kedua wali sepasang mempelai, Han Han duduk berhadapan dengan Im-yang Seng-cu dan minum arak wangi.
Akan tetapi, mendadak suasana gembira itu dipecahkan oleh suara yang nyaring menggema, datang dari luar pekarangan gedung Pek-eng-piauwkiok, “Suma Han, pinceng tidak ingin mengganggu pesta pernikahan. Keluarlah agar kita dapat bicara!”
Han Han dan semua orang yang berada di situ terkejut karena suara ini mendatangkan getaran hebat yang seolah-olah menimbulkan gempa bumi. Han Han mengenal suara Thian Tok Lama, pendeta Tibet, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata kepada para tamu, “Harap cu-wi melanjutkan makan minum, urusan ini adalah urusan saya sendiri yang akan saya bereskan di luar!” Setelah berkata demikian, Han Han lalu terpincang-pincang keluar dari ruangan pesta itu.
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu yang mengerti bahwa orang yang mengeluarkan suara seperti itu tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa segera bangkit dan diam-diam mengikuti Han Han. Lulu juga cepat bangkit berdiri dan sebelum dapat dicegah, sudah lari keluar. Tentu saja Sin Kiat tidak mau membiarkan isterinya pergi sendiri, dan cepat ia pun ikut keluar. Melihat betapa sepasang mempelai keluar, tentu saja para tamu menjadi tertarik dan ingin tahu, maka tanpa dapat dicegah lagi, berbondong-bondong mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata yang berada di depan gedung Pek-eng-piauwkiok itu adalah dua orang pendeta Tibet, bukan lain Thian Tok Lama dan Thai Li Lama yang berdiri dengan sikap tenang, akan tetapi mata mereka memandang marah.
“Kiranya ji-wi yang datang,” kata Han Han, sikapnya tenang. “Ada keperluan apakah mengganggu aku yang sedang merayakan pernikahan adikku?”
“Suma-taihiap, kami berdua masih mengingat akan hubungan lama, karena itu kami datang bukan dengan niat mencari keributan. Tak perlu kiranya kami jelaskan lagi dan tidak perlu pula urusan ini dibicarakan panjang lebar. Kami hanya ingin tahu di mana adanya Sang Puteri sekarang.”
Han Han memandang tajam dan melihat betapa sepasukan pengawal kerajaan yang jumlahnya dua puluh empat orang, kesemuanya pengawal pilihan dan yang berbaris rapi di belakang dua orang pendeta itu, telah siap menerjang. Akan tetapi ia didahului oleh Im-yang Seng-cu yang telah meloncat maju mendekati kedua orang pendeta Lama itu sambil menudingkan tongkatnya, “Pinto sebagai tuan rumah yang mengadakan pesta pernikahan murid pinto, mengharap agar ji-wi Losuhu tidak menggangu perayaan kami, atau, kalau ji-wi beriktikad baik, kami persilakan untuk masuk sebagai tamu-tamu yang kami hormati.”
Thian Tok Lama memandang tosu kurus itu dengan alis berkerut, kemudian ia berkata tegas dan angkuh, “Kami tidak ingin mengganggu dan tidak mau diganggu! Kami tidak mempunyai urusan dengan siapa pun juga, kecuali dengan Suma Han. Harap yang lain tidak mencampuri urusan kami!”
Bayangan Lulu berkelebat dan dia sudah berdiri di dekat kakaknya. Dengan tirai masih menutupi mukanya, dia menudingkan telunjuknya dan membentak. “Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Aku mengenal siapa kalian! Beranikah kalian menghinaku dengan mengacau hari pernikahanku dan menghina kakakku?”
Wan Sin Kiat juga sudah berkata keras, “Ji-wi Losuhu sudah menyeberang ke pihak musuh, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami! Mengapa ji-wi sekarang datang mengganggu?”
Thian Tok Lama memandang sepasang mempelai itu lalu tertawa. “Omitohud...! Seorang puteri Mancu berjodoh dengan seorang tokoh pejuang! Betapa manis dan baiknya! Kami tidak mengganggu kalian, melainkan hendak berurusan dengan Suma Han!”
“Suma Han adalah wali mempelai wanita, menjadi tamu agung bagi pinto. Siapa pun juga tidak boleh mengganggunya. Pinto sebagai tuan rumah berhak melindunginya. Harap ji-wi suka pergi!” Sambil berkata demikian, Im-yang Seng-cu meloncat maju dan menggerakkan tongkatnya.
“Locianpwe, jangan...!” Han Han berseru mencegah.
Namun terlambat. Im-yang Seng-cu yang dapat menduga bahwa kedua orang pendeta itu tentu lihai dan berbahaya sekali, telah menyerang dengan tongkatnya. Thian Tok Lama tertawa dan menggerakkan tangan kanan menyambut tongkat.
“Krekkk...!”
Tongkat di tangan Im-yang Seng-cu patah menjadi dua dan tosu ini terhuyung ke belakang. Kagetlah Im-yang Seng-cu. Dia merupakan seorang sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi ternyata dalam segebrakan saja tangkisan tangan pendeta aneh itu telah mematahkan tongkatnya dan ia merasa sebuah tenaga panas mendorongnya sehingga ia terhuyung. Mengertilah ia bahwa hwesio ini amat sakti!
“Pendeta sesat!”
Lulu dan Sin Kiat bergerak hendak menyerang, akan tetapi Han Han sudah melonjorkan lengannya mencegah, lalu berkata penuh wibawa, “Kalian sedang merayakan pernikahan, tidak boleh bergerak dan berkelahi. Urusan ini memang tiada sangkut-pautnya dengan lain orang, biarlah aku sendiri yang membereskan!”
Mendengar ucapan Han Han ini, Lulu dan Sin Kiat mundur dan kini Han Han sendiri menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Ji-wi Losuhu, baiklah pertanyaan ji-wi tadi kujawab. Tentang Puteri Nirahai, aku tidak tahu dia berada di mana sekarang. Jawabku ini sama sekali tidak membohong, karena memang aku tidak tahu ke mana dia pergi setelah berhasil kuselamatkan dari tahanan istana. Akan tetapi, perlu ji-wi ketahui pula bahwa andai kata aku tahu di mana dia berada sekali pun, takkan keberitahukan kepada siapa pun juga jika tidak dia kehendaki. Nah, setelah kujawab sejujurnya, harap ji-wi tidak mengganggu lagi dan suka pergi dari sini.”
Ramailah anak buah pasukan pengawal itu bicara sendiri mendengar jawaban Han Han. Thian Tok Lama mengerutkan keningnya dan nampak marah. “Suma Han! Engkau telah melakukan dosa besar, menyerbu istana dan melarikan Sang Puteri, sekarang sengaja hendak menyembunyikannya. Namun, pinceng masih ingat akan hubungan antara kita dan pinceng persilakan engkau ikut bersama kami untuk menghadapi kaisar dan memberi jawaban sendiri.”
“Kalau aku tidak mau?”
“Berarti engkau tidak mengindahkan iktikad baik kami dan terpaksa kami menggunakan kekerasan menangkapmu!”
Han Han tertawa. “Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, apakah yang kalian andalkan untuk dapat menangkap aku? Kalau hendak menggunakan kekerasan silakan!”
Kedua orang pendeta Tibet itu sudah mengenal kelihaian Han Han, maka dengan cerdik mereka tadi hendak menggunakan bujukan halus. Kini melihat pemuda itu tak dapat dibujuk, Thian Tok Lama lalu mengangkat tangan dan memberi perintah kepada para pasukan pengawal pilihan, “Tangkap si pemberontak!”
Terdengar suara nyaring dan tampak sinar berkilauan ketika dua losin pasukan pengawal itu mencabut senjata mereka. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama pun sudah bersiap-siap untuk menyerbu kalau pasukan itu sudah mengeroyok. Akan tetapi Han Han yang tidak ingin membunuh orang, sudah mendahului mereka. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara keras sekali, “Jangan bergerak!”
Dan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung garuda menyambar. Aneh sekali, dua puluh empat orang yang sudah mencabut senjata itu kini berdiri diam seperti arca dan sekali tubuh Han Han menyambar turun, dengan mudahnya Han Han merampas dan melucuti senjata-senjata mereka, mematah-matahkan semua senjata itu dengan kedua tangan seperti orang mematah-matahkan sekumpulan lidi saja! Kemudian ia membuang senjata-senjata yang sudah patah itu ke atas tanah.
Melihat ini, semua orang terheran-heran. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama terkejut sekali. Terutama Thai Li Lama yang merupakan seorang tokoh dan ahli sihir. Dia tadi sampai ikut diam tak mampu bergerak mendengar bentakan Han Han, maka tahulah pendeta ini bahwa sekarang Si Pemuda berkaki buntung telah memiliki kekuatan yang mukjizat, jauh lebih kuat dari pada dahulu ketika bertanding kekuatan sihir dengannya.
Namun, sebagai dua orang yang memiliki sinkang tenaga batin kuat, dua orang pendeta Tibet ini sudah dapat menguasai dirinya kembali dan sambil berseru marah mereka menerjang maju dari kiri kanan memukul dengan pengerahan sinkang ke arah Han Han.
Menghadapi pukulan dari kiri kanan yang amat kuat ini, Han Han malah berdiri tegak dan memejamkan matanya! Tentu saja Im-yang Seng-cu, Lulu dan Sin Kiat menjadi terkejut dan amat khawatir menyaksikan dua pukulan yang mendatangkan angin mendesir kuat sekali itu. Tiba-tiba Han Han mengembangkan kedua lengannya dan berseru.
“Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, pergilah kalian!”
Kedua telapak tangan Han Han menyambut pukulan dua orang lawannya. Terjadilah pertemuan tenaga yang amat hebat! Tubuh Han Han diam seperti arca, akan tetapi tubuh dua orang pendeta Lama itu tergoncang hebat. Mereka masih hendak bertahan, namun mereka terguncang makin hebat dan kalau dilanjutkan pertahanan mereka, tentu isi dada mereka akan hancur. Mengerti akan bahaya maut, keduanya lalu melompat mundur dan terhuyung-huyung, lalu roboh terpelanting dan cepat mereka duduk bersila mengatur pernapasan!
Pasukan itu menjadi gempar. Mereka tadi tak dapat menggerakkan kaki tangan sama sekali, dan barulah sekarang mereka dapat bergerak, namun apa yang dapat mereka lakukan? Senjata telah dirampas begitu mudah, dan dua orang pendeta itu telah terluka hebat.
“Pergilah, dan bawalah mereka pergi dari sini,” Han Han berkata halus kepada pasukan itu.
Akan tetapi dua orang pendeta itu sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada Han Han dengan sinar mata penuh kemarahan, kekaguman dan juga penasaran. Mereka benar-benar merasa heran sekali mengapa baru berpisah beberapa bulan saja, agaknya kepandaian Si Pemuda buntung ini sudah meningkat secara luar biasa!
“Suma Han, semenjak saat ini, engkau adalah musuh negara dan kami akan selalu berusaha untuk membunuhmu! Engkau seorang pelarian, seperti halnya Puteri Nirahai!” kata Thian Tok Lama.
Han Han menghela napas panjang. “Sudah untung kami! Akan tetapi, peganglah aturan orang-orang gagah ji-wi losuhu. Kalian boleh saja mencari aku dan Sang Puteri, akan tetapi jangan sekali-kali mengganggu orang lain yang tiada sangkut-pautnya dengan kami. Sang Puteri telah pergi, dan aku pun akan pergi dari sini. Kalian boleh mencari kami kalau bisa, suatu usaha yang sia-sia belaka karena sesungguhnya aku tidak peduli akan urusan dunia lagi. Nah, pergilah!”
“Engkau... siluman!” Thai Li Lama berseru penuh keheranan. “Engkau patut dijuluki Pendekar Siluman!”
Para pasukan yang masih terheran-heran menyaksikan cara pemuda itu merampas senjata mereka, otomatis berseru, “Pendekar Siluman...!”
“Kalian jangan memaki kakakku! Hayo pergi, kalau tidak, sekali aku turun tangan, aku tak akan sesabar kakakku dan takkan puas sebelum kepala kalian menggelinding di sini!” Lulu meloncat maju dan memaki-maki marah mendengar kakaknya dijuluki Pendekar Siluman.
Dua orang hwesio Lama itu menghela napas lalu membalikkan tubuh, melangkah pergi diikuti para pasukan yang masih merasa ngeri dan takut. Semua tamu yang menyaksikan peristiwa ini juga memandang Han Han seperti orang memandang makhluk aneh bukan manusia, kagum heran dan juga seram. Hanya Im-yang Seng-cu yang memandang penuh kekaguman, menjura kepada Han Han sambil berkata lirih.
“Sungguh bahagia sekali bagi mata tuaku ini menyaksikan cucu sahabat baik Suma Hoat menjadi seorang yang kesaktiannya jauh melampaui nenek moyangnya. Siancai... siancai!”
Lulu sudah menggandeng tangan Han Han diajak memasuki gedung dan dara yang sejenak lupa bahwa dia sedang menjadi pengantin ini menegur kakaknya, “Han-koko, mengapa kau tidak menceritakan aku tentang Suci Nirahai? Engkau melarikan dia dari istana? Aihhh, engkau nakal sekali. Kau harus menceritakan hal itu kepadaku, Koko...!”
Setelah pesta pernikahan itu selesai dan para tamu sudah pulang, barulah pada malam hari itu Han Han terpaksa bercerita kepada Lulu dan Sin Kiat. Dengan terus terang Han Han menceritakan bahwa atas keputusan mendiang Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dia dijodohkan dengan Nirahai.
Mendengar penuturan Han Han sampai di sini, Lulu menangis. Menangis karena gurunya, Nenek Maya, telah meninggal dunia, dan menangis saking terharu men-dengar bahwa kakaknya dijodohkan dengan Nirahai.
Han Han melanjutkan ceritanya yang menyedihkan, betapa kaisar bukan hanya melarang perjodohan itu, bahkan menjebloskan Nirahai ke dalam penjara. Betapa dia menyerbu istana untuk membebaskan Puteri Nirahai.
“Di mana suci sekarang, Koko? Kenapa tidak ikut ke sini?” Lulu bertanya tak sabar.
“Benar sekali pertanyaan isteriku, Han Han. Kenapa dia tidak ikut ke sini dan... alangkah baiknya kalau tadinya dirayakan pernikahan kalian di sini,” kata pula Sin Kiat yang menyebut Lulu ‘isteriku’ dengan suara mesra, akan tetapi tidak dapat mengubah panggilannya terhadap Han Han yang dianggapnya sahabat sejak kecil.
“Ya, kenapa tidak begitu, Koko? Mana suci?” Lulu bertanya lagi penuh desakan.
Han Han merasa jantungnya seperti ditusuk, akan tetapi hanya untuk beberapa detik saja karena perasaan ini telah tenggelam dan lenyap. Betapa pun juga, wajahnya membayangkan kesayuan dan kekosongan, sayu dan layu, sinar matanya seperti lampu kehabisan minyak. Ia menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Dia telah pergi, Lulu. Dan harap jangan mendesakku... cukup kalau kuberitahukan bahwa... bahwa... di antara kami tidak sepaham.”
“Koko...!” Lulu memegang pundak kakaknya dan menangis. Dia telah mengenal betul wajah kakaknya dan maklum bahwa pada saat itu, kakaknya sedang menderita tekanan batin yang amat hebat.
“Husshh, jangan begini, Lulu.” Dari atas pundak Lulu, Han Han memberi isyarat kepada Sin Kiat untuk menghibur Lulu.
Dia bangkit berdiri dan berkata, “Lulu, tentang diriku tak perlu kau hiraukan lagi. Bagiku, yang terpenting adalah keadaanmu. Sudah menjadi kewajibanku untuk berusaha sekuat tenaga demi kebahagiaanmu. Kini engkau telah menemukan jodoh, telah mendapatkan seorang suami yang kupercaya penuh akan mencintamu selamanya, akan menjagamu, membimbingmu dan melindungimu dengan seluruh jiwa raganya. Maka legalah hatiku, adikku. Cukuplah hidup ini bagiku kalau melihat engkau bahagia. Kini aku dapat pergi dengan hati lapang, tidak lagi mengkhawatirkan hidupmu. Yang pandai-pandailah engkau menjaga dan mengatur rumah tanggamu, Lulu. Yang hati-hatilah engkau bersama suamimu mendayung biduk rumah tanggamu menuju ke pantai bahagia. Aku... aku hanya dapat mendoakan setiap saat untuk kebahagiaanmu.”
“Koko...! Engkau... engkau akan ke mana...?” Lulu bertanya dengan muka pucat melihat kakaknya bangkit berdiri dan agaknya siap hendak pergi itu.
Han Han tersenyum, senyum yang menyayat jantung Lulu. “Ke mana? Tentu saja pergi dari sini, adikku. Aku sudah bebas sekarang, bebas lepas seperti burung di udara, bebas dari pada tugas, bebas dari segala-galanya. Aku akan pergi, sekarang juga...”
“Koko, jangan pergi sekarang...!” Lulu berteriak, mukanya makin pucat dan air matanya mengucur deras. Melihat keadaan isterinya ini, Sin Kiat cepat merangkul pundak isterinya dan ikut berkata.
“Han Han, mengapa tergesa-gesa? Tinggallah di sini barang sepekan...”
Han Han menengok keluar jendela. Bulan sedang purnama dan di luar rumah terang seperti siang. “Tidak, aku harus pergi sekarang! Malam ini merupakan malam bahagia bagi kalian, dan merupakan malam keramat bagiku. Aku harus pergi, selagi bulan sedang purnama, selagi hatiku sedang terang...”
“Han-koko...!” Lulu menjerit menahan isak. “Engkau hendak pergi ke manakah? Malam-malam begini...? Ke mana...?”
Kembali Han Han memaksa tersenyum kepada adiknya. “Ke mana? Ke manakah semua manusia akan pergi? Hemmm, aku tidak tahu, adikku. Dunia ini terlalu luas, dan di mana pun sama saja. Terserah kepada hati dan kakiku ke mana aku pergi. Jangan engkau memikirkan aku lagi, adikku. Nah, selamat tinggal...”
“Koko...!”
“Han Han, jangan pergi seperti ini! Besok saja...!” Sin Kiat mencegah.
“Tidak, sekarang inilah saatnya,” Han Han berpincangan keluar.
“Koko, aku antar engkau...” Lulu mengejar. Sin Kiat juga mengejar. “Kami antar sampai keluar kota!” kata Sin Kiat yang terharu menyaksikan penderitaan isterinya. Han Han tak dapat membantah lagi.
Di luar ruangan gedung, mereka bertemu dengan Tan-piauwsu, atau Tan Bu Kong pemilik Pek-eng-piauwkiok. Ketika mendengar bahwa malam hari itu juga Han Han akan pergi, Tan Bu Kong menyatakan keheranannya, akan tetapi dia tidak berani mencegah bahkan ikut pula mengantar.
Setibanya di luar kota, Han Han berkata, “Sudah cukup, adikku Lulu. Cukuplah Sin Kiat dan Tan-piauwsu. Kembalilah kalian ke kota, aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Koko...! Ahhh, Koko... jangan... jangan tinggalkan aku...!” Lulu tidak mempedulikan apa-apa lagi, menubruk Han Han, merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil menangis sesunggukan.
“Lulu, engkau bukan anak kecil lagi, mengapa bersikap begini? Tidak baik begini, Lulu...”
“Bawalah aku, Koko... bawalah aku..., aku tidak bisa berpisah lagi darimu...!”
“Lulu!” Han Han membentak sehingga Lulu tersentak kaget. Dengan gerakan halus Han Han mendorong Lulu mundur, kemudian berkata, “Ingat, engkau adalah isteri Wan Sin Kiat yang mencintamu dan kau cinta. Adikku sayang, selamat tinggal, semoga Tuhan melindungimu selamanya!” Setelah berkata demikian, Han Han membalikkan tubuh dan berjalan terpincang-pincang meninggalkan mereka.
Lulu seperti terkena pesona berdiri seperti patung, mukanya pucat, air matanya bercucuran, matanya tak pernah berkedip menatap tubuh yang pergi itu. Tubuh seorang laki-laki yang berkaki satu, terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya, rambutnya terurai lepas berwarna putih. Sesosok tubuh yang menimbulkan haru dan iba kepada yang melihatnya, terutama sekali Lulu.
“Koko...! Han-koko... kakakku...!”
Sin Kiat sudah memegang lengannya. “Kuatkan hatimu, isteriku. Biarkan kakakmu pergi, di sini ada aku suamimu yang mencintamu lahir batin...” Sin Kiat menahan isak yang bercampur dalam suaranya.
Lulu membalikkan tubuh memandang suaminya, kemudian menubruk suaminya dan menangis tersedu-sedu. “Han-koko... ah, Han-koko... betapa malang dan sengsara nasib kakakku... dia... selalu berusaha menolong orang sengsara... akan tetapi dia sendiri selalu dirundung malang... ohhh, kakakku...”
Sin Kiat memeluk isterinya, kemudian mereka berdua memandang tubuh yang makin menjauh itu. Tubuh yang berjalan terpincang-pincang di bawah sinar bulan purnama, dan tidak pernah sekali juga Han Han menoleh. Bukan karena tidak ingin, oh, dia ingin sekali menoleh, akan tetapi dia tidak mau tampak oleh mereka betapa kedua pipinya basah oleh tetesan air matanya.....
T A M A T
>>>> SEPASANG PEDANG IBLIS <<<<
(Bagian Ke-7 Serial BU KEK SIANSU)