Mutiara Hitam Jilid 10

“Ke sini jalannya,” Po Leng In berbisik sambil menarik tangan Kiang Liong yang digandengnya. Mereka menyusup di antara pohon-pohon kecil, setengah merunduk dan mendaki naik lereng gunung itu.
“Sekeliling puncak terjaga kuat, hanya bagian ini yang tidak terjaga karena sukar dilewati.” Setelah berbisik demikian, karena muka mereka saling berdekatan, Po Leng In merangkul leher dan mencium.
“Sudah, bukan saatnya bersenang-senang!” Kiang Liong mencela sambil menjauhkan mukanya.

Po Leng In menarik napas panjang. “Liong-koko...,” bisiknya dengan suara mesra dan manja, “Aku... aku cinta padamu..., selamanya aku tak ingin berpisah dari sampingmu...”

“Huh, cukuplah. Kita bertemu dan bersenang-senang, cukup sudah. Kau berjanji untuk membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita bersimpang, setelah selesai tugasku, kita berpisah sebagai sahabat.”

“Tapi....”
“Cukup sudah! Tidak ada cinta di antara kita, tidak ada kecocokan dalam jalan hidup. Asal kelak kita tidak saling bertentangan dalam jalan hidup masing-masing, hatiku akan lega. Nah, ke mana sekarang jalannya?”

Wajah yang cantik itu menjadi muram, mulutnya yang tadinya tersenyum bahagia itu kini menjadi pahit. “Aku tahu... aku harus tahu diri....“ Po Leng In menahan isak yang keluar dari dalam dada, kemudian menudingkan telunjuknya ke depan. “Lewat lereng berbatu-batu itu dan kita akan berada di wilayah kediaman mereka. Lihat itu sungai Nu-kiang sudah tampak.”

Kiang Liong memandang ke kanan yang ditunjuk wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai yang berliku-liku berwarna putih, dan di sebelah depan, masih remang-remang di senja hari itu, tampak puncak Kao-likung-san yang menjadi markas para pendeta jubah merah. Di sanalah kedua orang gadis dan adik mereka ditawan dan diam-diam Kiang Liong berdoa semoga tiga orang itu masih dalam keadaan selamat.

Tiba-tiba Po Leng In memegang lengannya. “Sst, Koko, lihat...!”

Tempat mereka berdiri merupakan lereng yang tinggi dan dari situ mereka dapat melihat pemandangan terbuka di sebelah timur gunung Kao-likung-san. Kiang Liong dapat melihat serombongan orang mendaki bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas dan di tengah-tengah rombongan terdapat dua buah kereta tahanan yang didorong-dorong naik.

Po Leng In mengeluarkan suara melengking tinggi, mengagetkan Kiang Liong. Pemuda itu memegang lengannya erat-erat dan membentak lirih. “Apa yang kau lakukan?”

“Aku memberi peringatan kepada para penjaga dan semua yang berada di atas.”

“Eh, apa maksudmu? Bukankah hal itu membuat mereka siap dan akan menyukarkan aku menolong anak-anak mendiang Paman Bu Sin?”

Po Leng In menggeleng kepalanya. “Sebaliknya malah. Jika para penjahat melihat rombongan orang asing itu tentu mereka akan turun dan semua perhatian akan dicurahkan terhadap rombongan itu. Di dalam keributan, apa lagi di waktu malam, penjagaan di atas menjadi kurang diperhatikan dan kau dapat bergerak leluasa.”

Kiang Liong mengangguk-angguk dan melepaskan lengan gadis, itu. “Marilah kita lanjutkan perjalanan ke atas.”

Po Leng In menggeleng kepalanya. “Jangan, kau menanti di sini sampai gelap. Aku harus pergi dulu.”

Kembali tangan pemuda ini memegang lengannya. “Leng In, apa sebetulnya kehendakmu?” pertanyaan ini disertai pandang mata penuh selidik dan curiga.

“Aih, Liong-koko, kau masih belum percaya kepadaku? Kepada orang lain, mungkin aku akan melakukan pengkhianatan atau aku akan membunuhnya, habis perkara. Akan tetapi tidak mungkin terhadapmu. Kau tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku tadi, guruku dan yang lain-lain akan tahu bahwa aku telah datang. Kalau aku tidak lekas-lekas menemui mereka, apa kau kira mereka takkan menjadi curiga? Aku harus segera naik ke sana, dan akan kuusahakan agar mereka semua turun puncak menghadapi rombongan. Kalau sudah gelap, kau boleh merayap terus, melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah kau melihat bangunan-bangunan di puncak, carilah bangunan yang paling besar di tengah. Di sanalah dua orang gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka itu ditawan dalam bangunan di samping kanannya, tempat tinggal guruku. Kurasa hanya penjaga-penjaga lemah saja yang akan menghalangimu.”

“Maafkanlah kecurigaanku tadi, Leng In. Baiklah aku menurut petunjukmu.”

Po Leng In tiba-tiba merangkulnya. “Koko, kau... kau takkan melupakan Po Leng In, bukan...?”

Kiang Liong menggeleng kepalanya, akan tetapi lalu menyambung lirih. “Aku akan tetap mengenangmu sebagai sahabat, kecuali... kecuali kalau kelak kita saling jumpa dalam keadaan lain. Kalau jalan kita bersimpang, terpaksa aku menentang kau dan gurumu.”

Po Leng In terisak, melepaskan rangkulannya lalu lari ke depan menuju ke puncak.

“Gadis yang hebat,” Kiang Liong berkata seorang diri. “Sayang terjerumus menjadi murid iblis betina itu.”

Ia duduk terlindung pohon-pohon kecil dan dari tempat ia duduk, ia dapat memandang ke bawah, ke sebelah timur. Dari tempat ia berada, ia tak dapat melihat siapa adanya rombongan orang yang gerakannya tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang berada di dalam dua buah kerangkeng tahanan. Akan tetapi ia mengenal kakek yang kurus, yang berjalan di depan rombongan itu.

Kakek itu menggendong bambu di punggung, pinggangnya dilingkari dompet-dompet tempat senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah Siauw-bin Lo-mo! Teringat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan ketajaman pandang matanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang untuk melihat lebih jelas siapa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu. Tidak tampak jelas, namun hatinya berdebar. Siapa mereka? Ada dua orang dalam dua buah kerangkeng itu.

Kiang Liong tak dapat menduga bahwa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu, yang seorang adalah Mutiara Hitam! Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di dalam kereta kerangkeng itu. Rombongan itu adalah orang-orang Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Cap-ji-liong. Setelah mereka ini herhasil menawan Yu Siang Ki dan Kwi Lan, mereka lalu melanjutkan perjalanan seperti yang telah diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-mo, ke gunung Kao-likung-san. Di kaki gunung ini Siauw-bin Lomo telah menanti dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan adik-adiknya, kakek ini menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.

“Yang seorang ketua Khong-sim Kai-pang! Bagus, bagus. Ha-ha-ha, tentu akan kecut muka Bu-tek Siu-lam si banci melihat betapa musuh mudanya terjatuh ke tanganku. Ini merupakan sebuah jasa yang mengangkat aku lebih tinggi dari padanya, memungkinkan aku menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian! Dan gadis ini? Mutiara Hitam? Ha-ha-ha, dia cantik. Kudengar Bouw Lek Couwsu paling suka gadis cantik, kebetulan sekali karena aku tidak membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah seperti ini tentu akan menyenangkan pemimpin orang-orang Hsi-hsia. Ha-ha-ha-ha!”

Demikianlah, dengan girang Siauw-bin Lo-mo lalu memimpin Cap-ji-liong dan beberapa orang pentolan perampok dan bajak yang menjadi anak buahnya untuk mengunjungi pimpinan pendeta jubah merah, yaitu Bouw Lek Couwsu, karena ia sudah mendengar akan sepak terjang pendeta itu yang sudah membasmi Beng-kauw dan ingin bersahabat untuk memperkuat kedudukannya.

Tokoh yang sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut dijadikan sahabat kalau dapat ditarik untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila perlu juga patut dibasmi kalau membahayakan! Dibantu oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan para kepala bajak dan rampok, tentu saja ia tidak takut menghadapinya andai kata Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap tidak bersahabat.

Siauw-bin Lo-mo yang belum mengenal watak Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah dari Tibet juga tidak menduga bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni, orang terakhir Thian-te Liok-kwi. Dengan hati besar ia memimpin rombongannya mendaki lereng Gunung Kao-likung-san. Akan tetapi ketika rombongan tiba di padang rumput yang berada di lereng itu, hari sudah mulai gelap. Karena tidak mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo memerintahkan rombongannya berhenti.

“Besok kita lanjutkan pendakian ke puncak,” katanya.

Akan tetapi keadaan yang sunyi dan aman itu segera terganggu oleh suara lengking tinggi yang datangnya dari bawah puncak, lengking aneh yang mengingatkan Siauw-bin Lo-mo akan wanita muda yang pernah datang menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di puncak Cheng-liong-san. Lengking gadis baju merah yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni. Salahkah pendengarannya? Akan tetapi kakek ini tidak sempat memikirkan hal itu karena tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak buahnya. Di antara sinar obor yang dipasang anak buahnya, ia melihat beberapa orang perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak panah menyerang mereka.

Siauw-bin Lo-mo kaget sekali. Ia melompat ke depan, menyampok anak-anak panah yang menyambar ke arahnya, mengerahkan khikang dan berseru keras. “Tahan anak panah! Di sini aku, Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan sungai, bermaksud mengunjungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasukan Hsi-hsia!”

Suara Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema di empat penjuru. Seketika terhentilah hujan anak panah dan tiba-tiba tampak api obor yang banyak sekali menerangi tempat itu. Muncul puluhan orang pasukan Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin oleh belasan orang hwesio berjubah merah yang berwajah kereng. Tempat itu sudah terkurung! Seorang di antara mereka, pendeta jubah merah, melangkah maju dan berkata kepada Siauw-bin Lo-mo, suaranya parau besar dan logatnya kaku.

“Nama Siauw-bin Lo-mo sudah terkenal, akan tetapi belum cukup besar untuk berlancang datang membawa anak buah ke wilayah kami tanpa ijin. Apakah gerangan niat yang dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya?”

“Ha-ha-heh-heh, bagus sekali kalau orang telah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo! Kalau kami datang dengan maksud hati buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku datang dengan hati terbuka, ingin bersahabat dengan Bouw Lek Couwsu dan membawa hadiah dara jelita untuk Couwsu!”

“Tidak ada perintah dari Couwsu untuk menerima tamu. Kalau ada hadiah boleh serahkan kepada kami, dan selanjutnya kami harap Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka meninggalkan gunung sebagai sahabat.”

“Ha-ha-ha-ha! Para pendeta Tibet benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi karena kedatanganku memang bukan berniat buruk, biarlah kalian boleh membawa gadis jelita yang menjadi tawanan di dalam kerangkeng itu untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu diiringi hormatku. Juga harap disampaikan bahwa aku Siauw-bin Lo-mo mohon berjumpa besok pagi.”

Pendeta jubah merah itu kelihatan ragu-ragu. Betapa pun juga, ia tidak berani memandang ringan Siauw-bin Lo-mo yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh sakti dan agaknya permintaannya ini cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau ia pergi menghadap Bouw Lek Couwsu, menyampaikan persembahan berupa seorang gadis muda cantik yang memang ia tahu menjadi kesukaan ketuanya dan mohon persetujuannya menerima permintaan Siauw-bin Lo-mo yang sudah merendahkan diri untuk menghadap, agaknya ketuanya takkan marah.

“Hemm, asal cianpwe suka berjanji akan menjaga agar anak buahmu tidak menimbulkan kekacauan dan tidak pergi dari tempat ini, agaknya kami akan dapat menerima permintaan yang layak ini,” katanya dan ia pun sudah menyebut cianpwe kepada Siauw-bin Lo-mo sebagai tanda bahwa ia mengakui kakek itu sebagai seorang sakti.

Lega hati Siauw-bin Lo-mo. Setelah melakukan perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik dan sabar untuk mengalah dan sedikit merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta Tibet yang sekaligus juga merupakan pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang kuat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang didahului dengan lengkingan tinggi.

“Tidak mungkin! Para Lo-suhu jangan kena dikelabui oleh kakek kurus kering yang jahat ini! Namanya Siauw-bin Lo-mo, mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya busuk dan palsu!”

Siauw-bin Lo-mo terbelalak memandang dengan penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid Siang-mou Sin-ni yang bernama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambutnya yang hanya tinggal separuh itu tergantung di depan dada.

“Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kau maksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi besar muka merah.

“Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu dengar baik-baik, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.” Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.

“Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua pertanyaanku dengan sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?”

“Benar, pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san,” jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Couwsu.

“Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bukankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”

Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga. “Memang benar dan akulah orang pertamanya!”

“Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik guruku dan hampir membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, betul?”

Siauw-bin Lo-mo masih tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa hubungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.

“Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku.”

“Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kau bilang? Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, melihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani bilang kau datang dengan maksud baik?”

“Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku....”

“Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!” Setelah berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar.

Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur. Sementara itu, para hwesio jubah merah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpengaruh dan serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.

“Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat.

Ada pun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk mereka diserang dan dikeroyok, segera berteriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil mengeluarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadilah perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor.

Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo-mo yang cerdik tidak cepat berseru nyaring. “Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!”

Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebatnya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pelaporan kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-senang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni.

Kwi Lan yang terkurung dalam kerangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan mendapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pula pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya. Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong.

Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut nasehatnya dan membebaskan diri, biar pun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehingga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam mala-petaka hebat.

Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya, kalau ia mau dapat ia patahkan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerangkeng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia bertambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja.

Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas musuh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti kesempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki. Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika di kaki gunung Kao-likung-san, rombongan orang Thian-liong-pang ini bertemu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agaknya memang sudah menanti di situ. Dengan adanya kakek ini, lenyaplah harapannya untuk dapat membebaskan diri!

Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hatinya ketika ia melihat munculnya kesempatan yang baik sekali, yaitu pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.

Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sinkangnya. Setelah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tanpa banyak kesukaran ia membebaskan kedua kakinya.

Seorang di antara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, ditarik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah meninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.

Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat betapa temannya tewas, cepat maju mengurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biar pun Kwi Lan berkepandaian tinggi, namun bertangan kosong menghadapi ancaman tombak dari enam penjuru ini, sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga.

Pada saat itu enam orang perampok ini tiba-tiba menjerit kesakitan dan tahu-tahu roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara perampok yang diterangi sinar obor menjadi hijau ketika orang ini roboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata rahasianya yang kantungnya bersama pedang Siang-bhok-kiam kini dipegang seorang di antara para perampok. Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng mempergunakan jarum-jarum hijau!

Kwi Lan terkejut ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng. Yang seorang adalah laki-laki tua berjenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi.

Orang ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambutnya digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat sebuah kantong kulit. Agaknya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.

Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga terdengar suara keras dan jebollah kerangkeng itu.

“Engkau hebat sekali, Adik manis!” kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.

“Jangan ganggu dia!” Kwi Lan menyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerangkeng, maka tentu serangannya akan mengenai sasaran.

“Desss...!” Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Kakek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru, “Ihhh...! Inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali...!”

Akan tetapi Kwi Lan tidak mempedullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat putus kerangkeng dan bahkan sudah melepaskan belenggu tangan Yu Siang Ki.

“Siapa kalian? Mau apa...?” tanyanya gagap.

“Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apa lagi? Goat-ji (Anak Goat) kau jaga dibelakangku, biar kugendong dia!”

Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki-laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang terhunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.

Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biar pun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah.

Timbul keinginan hatinya untuk membantu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melompat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.
********************
“Tahan, senjata...!”

Bentakan ini keras luar biasa, seakan-akan menggetarkan gunung Kao-likung-san. Apa lagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat orang anggota Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.

Para hwesio jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia cepat menarik senjata masing-masing dan melompat mundur. Siauw-bin Lo-mo juga memberi perintah kepada anak buahnya untuk menghentikan pertandingan.

Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat banyak. Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki satu memegang sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat dengan kepala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang, berambut terurai panjang.

Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas. Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya karena biar pun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu.

Ia memang mendengar kabar bahwa hanya Siang-mou Sin-ni seorang yang masih hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita sakti ini sudah mengasingkan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini mengertilah Siauw-bin Lo-mo mengapa Po Leng In bersekutu dengan hwesio jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek Couwsu!

“Ha-ha-ho-ho-ho! Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu berkenan keluar sendiri menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?” Siauw-bin Lo-mo menegur sambil mendekati Bouw Lek Couwsu.

Bouw Lek Couwsu mengerutkan alisnya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di sekeliling tempat itu. Ia melihat beberapa orang anak buahnya terluka dan dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang pun tewas. Ia mengangguk-angguk dan kembali memandang Siauw-bin Lo-mo sambil menggerakkan tongkat kuningan itu di depan dada, lalu berkata,

“Pinceng pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini sengaja hendak mencoba kepandaianku?”

“Ho-ho-ha-ha-ha! Sama sekali tidak. Salah mengerti... salah mengerti! Mana bisa aku begitu tak tahu diri membentur gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah. Aku sengaja datang untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara jelita yang liar. Bukan sembarangan dara tapi gadis berjuluk Mutiara Hitam untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu...“

Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan berkata, suaranya gugup. “Locianpwe..., dalam keributan... dua orang tawanan telah lolos...!”

“Apa?!” Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali. “Goblok kau! Hayo lekas kejar sampai dapat!” Ia lalu menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah melihat Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan berkata, “Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk menghadap.” Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi menyusul anak buahnya.

“Hemm, iblis tua itu mencurigakan!” kata Siang-mou Sin-ni.

“Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya!” kata Po Leng In. “Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara Bu-tek Ngosian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di Cheng-liong-san.”

“Hemm, harus diberi hajaran!” Siang-mou Sin-ni sudah siap untuk mengejar ketika tiba-tiba terdengar suara tanduk ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.

“Agaknya di puncak terjadi hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya besok.”

Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In menjadi pucat. Ia dapat menduga apa maknanya tanda bahaya yang ditiup orang di puncak itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan penjaga. Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul gurunya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang juga berlari-lari naik.

Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu menanti sampai cuaca menjadi gelap. Dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In, ia lalu mendaki ke puncak melalui lereng berbatu. Gerakannya cepat sekali akan tetapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.

Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia. Kemudian dari tempat persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang wanita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni.

Biar pun hanya mendengar keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat gerakan mereka berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti. Maka legalah hatinya ketika melihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia. Ia segera meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah karena keributan yang terjadi di bawah puncak. Makin terasa olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum bahwa andai kata tidak terjadi keributan di bawah puncak, andai kata Po Leng In tidak sengaja memancing keributan dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu terjaga rapat itu.

Gerakan Kiang Liong memang amat cepat sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam dan bergerak menyelinap di antara bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja. Betapa pun juga, ia menghadapi kesulitan ketika ia tiba di bangunan terbesar di tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjukkan oleh Po Leng In. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri, belakang mau pun atas! 

Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan mengatur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman Siang-mou Sin-ni, mempunyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya penjaga di atas genteng merupakan penjaga berkepandaian tinggi karena mereka adalah dua orang pendeta jubah merah. Ada pun penjaga lain adalah orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.

Kiang Liong lalu mengumpulkan beberapa buah batu kecil, kemudian menyelinap ke sebelah kiri bangunan itu. Beberapa detik kemudian, tiga orang penjaga di sebelah kiri rumah besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa mengetahui sebabnya. Cepat bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat ke luar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu beberapa menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.

Tepat seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua orang pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melayang naik ke atas genteng. Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya menyambutnya dengan usaha perlawanan.

Namun sia-sia, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk menandingi pemuda sakti ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tubuh para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh.

Akan tetapi Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan para penjaga dan dua orang pendeta itu karena betapa pun dipaksa dan diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam! Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar itu.

Ketika empat orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata terbelalak ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata, “Aku tidak akan menyusahkan kalian, aku datang untuk menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan segera.”

Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking takutnya tak seorang pun dari mereka dapat menjawab! Dan pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik. Diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak dirobohkan berbahaya, untuk menyerang mereka ia tidak tega karena mereka itu adalah wanita-wanita lemah!

“Hayo lekas beritahukan di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku bunuh kalian!” ia sengaja mengancam.

“Ampun... mereka... mereka di sana... di kamar belakang...!” Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.

“Lekas bawa aku ke sana!”

Pelayan itu terhuyung-huyung ketakutan, akan tetapi dapat berjalan menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintunya bercat merah, daun pintunya tertutup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja daun pintu itu terbuka dan... Kiang Liong mengeluarkan suara mengutuk ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan telanjang! Melihat tumpukan pakaian mereka di atas pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu yang mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.

“Lekas pakai pakaian kalian!” bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.

“Untung kau datang tepat pada waktunya, Liong-twako,” kata Siang Kui dengan suara terharu.

“Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-monyet gundul itu!” seru Siang Hui penuh kemarahan.

Kiang Liong menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka, melihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa kedatangannya belum terlambat. “Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar mereka. Jumlah mereka banyak sekali, yang paling penting sekarang, di mana adanya Han Ki adik kalian?”

Barulah enci adik itu teringat dan mereka menjadi bingung. “Begitu terculik, kami berdua selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari,” kata Siang Kui penuh semangat.

Kiang Liong menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari dalam kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak beradik itu memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang dan begitu tangan mereka memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi keluarga mereka dan bahkan telah menculik dan nyaris membunuh mereka.

Melihat sikap ini, Kiang Liong berbisik. “Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan diri ke luar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian...“

“Mana bisa begini?” Siang Hui mencela. “Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu!”

“Biarkan kami berdua membantumu, Twako.” Siang Kui juga berkata, nadanya mendesak.

“Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebetulan ada musuh menyerbu sehingga semua tokoh di sini terpancing ke luar, aku sendiri agaknya belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat kutolong tentu aku ikut melarikan diri bersama kalian. Akan tetapi sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu.”

“Justru untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa!” kata Siang Hui.

Kiang Liong habis sabar. “Kalian harus mengerti, kepandaian mereka hebat, aku sendiri belum tentu dapat menang menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat akan binasa semua.”

“Kami tidak takut mati!” Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului.

Kiang Liong melotot. “Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan dapat menolong adikmu. Kalian hendak menggangguku? Ingin semua ditangkap dan semua mati sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian ayah bunda kalian? Masih tidak cepat-cepat pergi?”

Dua orang gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka meloncat ke luar dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar mereka meninggalkan isak tertahan.

Kiang Liong tersenyum geli. “Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani mati.” Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu Sin dan isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia menyelinap ke luar dari bangunan besar itu dan mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

“Aku tidak akan ganggu kalian. Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak laki-laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!”

Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata. “Kami tidak tahu orang gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni...“

“Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?”

Pelayan itu hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap dari depan mata mereka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut. Akan tetapi dua orang di antara mereka lalu berlari ke luar. Biar pun kaki mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini dengan suara terputus-putus mereka lalu menceritakan tentang serbuan pemuda pakaian putih.

Ributlah para penjaga, dan para pendeta jubah merah lalu membunyikan tanda tiupan tanduk untuk memberi tahu para tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi tempat tinggal Siang-mou Sin-ni.

Kiang Liong yang berhasil memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan tanduk itu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu merupakan tanda bahaya dan persiapan pihak lawan. Ia harus segera menemukan Han Ki. Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari ke luar. Ia cepat menuju ke belakang. Biasanya tempat tawanan adalah di bagian belakang. Kamar-kamar di belakang dimasukinya, yang pintunya tertutup didobraknya, namun ia tidak dapat menemukan anak itu.

“Han Ki...! Kam Han Ki...!”

Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena suara Kiang Liong didorong oleh khikang yang amat kuat. Namun tidak ada jawaban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan pingsan!

Suara tapak kaki banyak orang menyatakan bahwa rumah itu telah terkurung. Ia lalu melayang ke luar dari dalam rumah melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam menyambutnya seperti hujan.

“Trang-trang-trang...!” Suara pertemuan senjata nyaring ini disusul robohnya lima orang pengeroyok sekaligus. Ketika meloncat keluar tadi ia telah mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sepasang pensil. Dengan tubuh masih melayang ia dapat menangkis dan sekaligus merobohkan lima orang pengeroyok, dapat dibayangkan betapa lihainya pemuda ini.

Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah. Orang-orang Hsi-hsia sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka adalah orang-orang peperangan yang ulet dan berani, lagi pula amat kuat sehingga robohnya banyak kawan tidak mengecilkan hati mereka yang terus mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang puluhan orang banyaknya ini diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah yang memiliki ilmu silat cukup lihai karena mereka ini adalah kaki tangan sekaligus juga murid Bouw Lek Couwsu.

Hebat sekali amukan Kiang Liong. Dalam waktu setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh orang Hsi-hsia roboh tak dapat bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah merah roboh terluka! Ia tidak akan melarikan diri sebelum dapat menolong Han Ki. Sepasang siang-pit (pensil) di tangannya menjadi dua gulungan sinar memanjang, seperti dua ekor ular sakti saling belit dan melayang-layang di angkasa.

“Tahan senjata, mundur semua...!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring berpengaruh.

Kiang Liong tidak mengenal suara ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat mundur sambil menarik senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan berdiri menjadi dua barisan dengan sikap menghormat. Karena menduga bahwa kini yang muncul tentulah Bouw Lek Couwsu yang terkenal sakti bersama Siang-mou Sin-ni yang kesaktiannya pernah ia dengar dari suhu-nya, maka Kiang Liong memegang sepasang senjatanya erat-erat, pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syarafnya siap menghadapi lawan tangguh.

Di bawah sinar obor yang dipegang kedua barisan berjajar di kanan kiri, tampaklah kini seorang pendeta gundul berkaki satu yang berjubah merah. Biar pun kaki kirinya buntung, namun dengan bantuan tongkat ia dapat berjalan dengan tegak dan cepat sekali. Di samping hwesio ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut panjang.

“Bagus! Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, iblis tua jantan betina yang amat keji!” Kiang Liong membentak marah sekali.

Bouw Lek Couwsu membelalakkan matanya. Kalau seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo yang terkenal sakti masih jerih terhadap dirinya, bagaimana ada seorang pemuda seperti ini berani memaki dia dan Siang-mou Sin-ni? Dan menyaksikan pengeroyokan tadi, melihat banyaknya murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia roboh, benar-benar pemuda ini luar biasa sekali. Keheranannya melampaui kemarahannya ketika ia bertanya.

“Orang muda yang tak takut mati, engkau siapakah?”

Dengan sikap tenang pemuda itu menjawab, “Aku she Kiang bernama Liong. Karena engkau melakukan kebiadaban di kalangan Beng-kauw dan menculik wanita dan kanak-kanak, maka aku datang untuk menghadapimu. Bouw Lek Couwsu, hayo kau bebaskan Kam Han Ki, anak kecil itu tidak tahu apa-apa!”

Bouw Lek Couwsu mengangguk-anggukkan kepala sambil meraba kepalanya yang gundul. “Aih-aih... pantas kau seberani ini. Kiranya engkau inikah yang bernama Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal sebagai murid Suling Emas?”

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melompat ke depan dan tertawa. Suara ketawanya melengking tinggi menyeramkan, sungguh pun wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa, karena tampak giginya berderet rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah. Cuping hidungnya berkembang kempis dan matanya menyinarkan api. “Hi-hi-hik! Inikah murid Suling Emas? Bagus, kau wakili gurumu mampus di tanganku!” Berkata demikian, kepala wanita ini bergerak dan dari kanan kiri pundaknya menyambar bayangan hitam.

“Siuuuuttt!” Dahsyat sekali gulungan dua, sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar Kiang Liong.

Pemuda ini sudah menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan rambut sebagai senjata, namun dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng In bukan apa-apa. Dua gumpal rambut panjang ini menyambar seperti dua ekor naga, mengeluarkan bunyi mengerikan dan mendatangkan bau harum yang mencekik leher! Pemuda ini maklum bahwa terkena hantaman ujung rambut ini akibatnya hebat, apa lagi kalau sampai terbelit. Karena itu, cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya, menggetarkan sepasang senjata itu dengan tenaga sinkang.

“Plak-plak... aiihhh...!” Siang-mou Sin-ni terkejut bukan main sampai mengeluarkan suara kaget ketika sepasang gumpalan rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil itu tidak memungkinkan rambutnya untuk melibat.

Rasa kaget ini berbalik menjadi kemarahan. Kembali kepalanya bergerak dan kini dua gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan menyambar ke depan, gerakannya seperti sebatang toya baja menghantam kepala Kiang Liong. Karena bergabung menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua kali. Menyusul serangan rambut ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga bergerak melakukan pukulan dengan jari-jari tangan terbuka. Hebatnya, dari kedua telapak tangan itu keluarlah bau yang amis sekali, amis busuk dan tampak telapak tangannya merah seperti mengeluarkan darah.

Kiang Liong yang tahu bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, bekas musuh besar gurunya, tidak mau bersikap sembrono. Ia sudah siap dan kini ia menggerakkan kedua pensilnya seperti orang mencorat-coret di udara, menuliskan huruf-huruf indah dengan gerakan indah pula. Dalam sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat gerakan menyilang dan seperti menggunting rambut.

Siang-mou Sin-ni terkejut dan menarik kembali rambutnya melanjutkan pukulan telapak tangan merah ke arah dada dan lambung pemuda itu. Namun gerakan corat-coret selanjutnya itu secara otomatis membuat sepasang pensil sudah maju menyambut pergelangan kedua tangan Siang-mou Sin-ni dengan totokan-totokan pada jalan darah. Kalau pukulan dilanjutkan, sebelum telapak tangan menyentuh baju Kiang Liong, tentu saja ujung pena akan lebih dulu bertemu dengan pergelangan tangan menotok jalan darah. Gerakan ini dilakukan seperti orang menulis huruf sehingga tak tersangka dan membingungkan lawan. Kembali Siang-mou Sin-ni berseru keras dan menarik kedua tangannya sambil menggeser kaki mundur selangkah sehingga ia pun berhasil membebaskan diri dari pada totokan kedua pensil.

“Kiang Liong, kau masih tidak mau menyerah? Lihat siapa mereka ini!” Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu yang tadi memberi tanda kepada anak buahnya, menudingkan telunjuknya kepada dua orang gadis di sampingnya.

Kiang Liong memandang dan matanya terbelalak. Wajahnya pucat karena dua orang gadis itu adalah Siang Kui dan Siang Hui, tampak lemas dan kakinya tangannya terbelenggu, memandang kepadanya dengan mata duka namun sedikit pun tidak takut.

“Liong-twako, maaf, kami tertangkap kembali,” kata Siang Kui, sedih melihat kekagetan dan kekecewaan yang membayang di mata Kiang Liong.

“Liong-twako, jangan hiraukan kami!” kata Siang Hui dengan suara lantang.

“Ha-ha-ha-ha, Kiang-kongcu. Dua orang cucu ketua Beng-kauw ini sungguh gagah dan manis. Sayang kalau mereka mati. Menyerahlah, dan mereka akan kubebaskan!”

“Liong-twako, kami tidak takut mati!” teriak Siang Hui.

“Benar Twako, jangan hiraukan kami. Jangan menyerah, lawanlah dan kalau dapat larilah!” teriak pula Siang Kui.

Kiang Liong berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya pucat. Melihat Bouw Lek Couwsu memalangkan tongkatnya, mengancam di atas kepala dua orang gadis itu, maklumlah ia bahwa sekali ia bergerak, dua orang gadis itu tentu akan tewas. Dan dia seorang diri belum tentu akan dapat mengalahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apa lagi dibantu banyak sekali pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru Siang-mou Sin-ni seorang saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong seorang pemuda yang cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat mengambil keputusan.

“Bouw Lek Couwsu, jangan seperti anak kecil! Bebaskan gadis-gadis itu dan adik mereka, kemudian kalau kau dan Siang-mou Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk mengalahkan dan membunuhku!” Sikapnya tenang, suaranya berpengaruh sehingga kembali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara kagum.

“Seperti Suling Emas benar...! Beginilah Suling Emas di waktu mudanya!”

Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak. “Orang muda sombong! Gurumu sendiri si Suling Emas belum tentu dapat menandingi pinceng, apa lagi engkau muridnya! Kau lepaskan senjatamu dan menyerahlah, pinceng ingin bicara denganmu dan pinceng memerlukan bantuanmu. Pinceng berjanji akan membebaskan dua orang gadis ini. Tentang anak laki-laki itu, dia adalah hak Siang-mou Sin-ni.”

“Bagaimana aku dapat percaya omonganmu, Bouw Lek Couwsu?”

Pendeta jubah merah itu marah sekali. “Kiang Liong, kau benar-benar memandang rendah kepada pinceng! Tak tahukah engkau dengan siapa kau bicara? Pinceng adalah ketua yang terhormat dari para pendeta jubah merah. Sebagai pendeta kepala, sekali pinceng mengeluarkan kata-kata, pasti tak ditarik kembali!”

Kiang Liong tersenyum mengejek. Ia sengaja hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas hatinya, kelak ia akan makin malu untuk menarik kembali kata-katanya. “Hemm, siapa tidak tahu bahwa engkau menjadikan jubah merah dan kepala gundul sebagai kedok belaka, Bouw Lek Couwsu? Engkau berpakaian pendeta akan tetapi tidak hidup sebagai pendeta, bagaimana aku bisa percaya omongan seorang pendeta palsu? Akan tetapi aku akan lebih percaya kalau engkau bicara sebagai pimpinan barisan Hsi-hsia yang terkenal jujur dan perkasa!” Suara Kiang Liong diucapkan nyaring dan lantang sekali sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ, termasuk orang-orang Hsi-hsia.

Diam-diam Bouw Lek Couwsu mengutuk di dalam hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh pemuda ini. Sebagai seorang pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan kedudukan besar, tentu saja ia tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan merendahkan diri dan martabat dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi di samping ini, ia pun amat membutuhkan bantuan Kiang Liong. Pemuda ini adalah putera pangeran di Kerajaan Sung yang sudah terkenal. Kalau ia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutu! Alangkah akan baiknya, akan memudahkan rencananya menyerbu Sung.

“Baiklah, aku berjanji sebagai pimpinan Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis ini setelah kau melepaskan senjata dan menyerah.”

Kiang Liong tersenyum lalu memandang sepasang pensilnya.

“Twako, jangan menyerah!”
“Twako, mari kita berontak, lawan dan adu nyawa dengan mereka!”

Namun Kiang Liong menggelengkan kepala dan memandang dua orang gadis itu sambil berkata. “Kalian harus menurut kepadaku. Setelah dibebaskan, lekas turun gunung dan jangan hiraukan aku lagi!” Di dalam suara ini terkandung wibawa besar, dan sepasang mata itu menatap dengan begitu pasti sehingga dua orang gadis itu menunduk sambil terisak menangis.

Kiang Liong mendongak ke atas, melihat tiang bendera yang amat tinggi berdiri di situ. Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di puncak tiang. Ia lalu berkata, “Biarlah sepasang pensilku kusimpan di atas sana!”

Kedua tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan dua sinar menyambar ke atas. Ketika semua orang memandang, ternyata dua buah pensil itu telah manancap berjajar di puncak tiang bendera! Semua orang terbelalak memandang penuh keheranan dan kekaguman. Bahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni sendiri menjadi kagum.

“Ha-ha-ha, engkau benar seorang muda gagah perkasa,” kata Bouw Lek Couwsu yang kemudian menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya. “Bebaskan dua orang nona ini dan jangan halangi mereka turun gunung!”

Belenggu kedua orang nona ini dilepaskan. Mereka sejenak meragu, memandang ke arah Kiang Liong dengan sepasang mata basah, akan tetapi Kiang Liong menggerakkan mukanya dan berkata. “Pergilah, Ji-wi Siauw-moi dan berhati-hatilah.”

Dua orang nona itu sedih sekali. Tadi pun mereka menangis kecewa ketika dipaksa oleh Kiang Liong untuk pergi dan tidak diperbolehkan ikut pemuda itu mencari Han Ki. Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda itu ternyata benar ketika menyuruh mereka melarikan diri. Musuh terlampau banyak dan sakti. Baru saja mereka tiba di lereng bukit, mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni yang berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melakukan perlawanan berarti mereka telah ditangkap kembali!

Dan sekarang karena mereka berdua, Kiang Liong menjadi tawanan tanpa dapat melawan. Tentu saja mereka berduka sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil menangis mereka pergi meninggalkan tempat itu, di dalam hati berjanji akan cepat-cepat mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di puncak Tai-liang-san, minta pertolongannya kemudian kembali ke tempat ini untuk menolong Kiang Liong dan Han Ki. Kalau terlambat dan dua orang itu sudah terbunuh, mereka akan mengamuk dan mengadu nyawa.

Setelah dua orang gadis itu pergi, Bouw Lek Couwsu berkata, “Orang muda, pinceng sudah berjanji membebaskan mereka dan sekarang mereka sudah bebas. Engkau menjadi tawananku, dan pinceng juga tidak bermaksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak menolak tawaranku. Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja kau tidak melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum berunding!“

Kiang Liong bukan seorang bodoh. Kalau sepasang pensilnya masih berada di kedua tangannya sekali pun belum tentu akan dapat membebaskan diri dari dua orang sakti ini bersama seratus orang lebih anak buah mereka yang sudah mengurung tempat itu. Kini sepasang senjata sudah ia simpan di atas tiang bendera, dan ia sudah berjanji pula untuk menyerah. Seorang pendekar harus memegang janjinya dan ia menyerah, kecuali tentu saja kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat mungkin. Maka mendengar ucapan ini ia tersenyum dan menjawab.

“Silakan Bouw Lek Ciouwsu.” Ia memasang kedua tangan dengan merangkap pergelangan tangannya.

Seorang pendeta jubah merah murid Bouw Lek Couwsu tanpa diminta segera melompat maju. Ia sudah membawa sebuah rantai besi dan untuk menyenangkan hati gurunya ia segera mengikat kedua pergelangan tangan itu erat-erat kemudian mengaitkan ujungnya kepada mata rantai. Demikian kuatnya belenggu itu sehingga kedua tangan Kiang Liong sedikit pun tak dapat bergerak. Dengan hati puas dan muka bangga pendeta jubah merah itu melangkah mundur dan memandang ke arah gurunya mengharapkan pujian.

“Goblok kau! Goblok dan tolol!”

Pendeta jubah merah itu kaget setengah mati. Takut, mendongkol dan heran terbayang di mukanya. “Tapi... Suhu....“

“Kau kira belenggu itu dapat menahan kedua tangannya?” bentak Bouw Lek Ciouwsu.

Kiang Liong kagum akan kecerdikan dan ketajaman mata pendeta kepala itu. Ia tersenyum dan tak perlu berpura-pura lagi. Sekali ia mengerahkan tenaga Kim-kong-kiat, terdengar suara keras dan rantai besi yang membelenggunya itu patah-patah! Kemudian ia menyodorkan kedua tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak buah yang berada di situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau sekali pun tak mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini mematahkannya sedemikian mudah.

“Biar kubelenggu dia untukmu!” terdengar Siang-mou Sin-ni berkata, sebagian jengkel menyaksikan kegagahan Kiang Liong dan juga sebagian benci karena mengingat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas, musuh besar yang amat dibencinya karena Suling Emaslah yang mengenyahkan dia dari dunia kang-ouw. Sambil berkata demikian, kepalanya bergerak dan segumpal rambutnya telah menyambar ke arah kedua tangan Kiang Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit pergelangan tangan!

Kiang Liong dapat merasa betapa rambut yang membelit kedua lengannya itu mengandung tenaga yang luar biasa, terasa panas dan maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal karena rambutnya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan dan sekiranya ia berusaha melepaskan ikatan rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil. Maka ia diam saja dan bahkan memuji.

“Rambutmu memang amat hebat, Siang-mou Sin-ni!”

Untuk kedua kalinya anak buah yang berada di situ melongo. Mereka sudah dapat menduga bahwa tamu kehormatan pemimpin mereka itu tentulah seorang wanita sakti dan pandai mempergunakan rambut sebagai senjata. Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih kuat dari pada rantai besi, benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan lidah saking heran!

Setelah kedua tangan Kiang Liong terbelenggu, tiba-tiba sekali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kanannya bergerak menghantam ke depan. Kiang Liong terkejut, karena ia sama sekali tidak menyangka akan diserang. Ia tak dapat menangkis mau pun mengelak, hanya dapat mengerahkan tenaga, dan menerima pukulan itu.

“Bukkk...!”

Lambungnya terkena pukulan. Tidak sakit rasanya akan tetapi hawa panas menjalar di seluruh tubuhnya dan terkumpul di lambung kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan hidungnya mencium bau amis. Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan Siang-mou Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang amat hebat, pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana akibatnya.

Tentu saja Kiang Liong sebagai tokoh muda tidak mengenal pukulan ini. Selain ilmu menggunakan rambut yang amat hebat, di waktu mudanya Siang-mou Sin-ni menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang bernama Tok-hiat-hoat-lek. Dahulu ketika ia sering menghadapi Suling Emas, dia menggunakan Tok-hiat-hoat-lek pula, yaitu dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung keluar dari mulut. Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka mengenai kulit lawan, dapat membuat kulit dan daging lawan membusuk dan tidak ada obatnya!

Akan tetapi makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang ilmunya. Kini ia dapat menggunakan Tok-hiat-hoat-lek menjadi pukulan tangan terbuka. Darah beracun yang dikumpulkannya itu dapat ia rubah menjadi hawa beracun yang jika mengenal lawan akan meracuni darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah terkena pukulan Tok-hiat-hoat-lek ini dan perlahan-lahan darah di tubuhnya mulai keracunan.

“Kim Bwe, jangan bunuh dia!” bentak Bouw Lek Couwsu sambil melompat maju menghadang. Keduanya saling pandang dan akhirnya Siang-mou Sin-ni tertawa.

“Hi-hi-hik, tidak bunuh juga tidak apa. Hatiku sudah puas dapat memukulnya!”

Bouw Lek Couwsu menghampiri Kiang Liong yang kini kedua tangannya sudah terlepas dari ikatan rambut Siang-mou Sin-ni. “Kiang Liong Kongcu, maafkan sikap sahabatku ini yang dulu disakitkan hatinya oleh gurumu. Percayalah, kami berniat baik dan ingin bersahabat dengan kau yang muda dan perkasa. Kalau kau berjanji takkan melawan dan menyerah baik-baik, pinceng tidak berani membelenggumu. Marilah, engkau kini menjadi tamuku yang terhormat.”

Kiang Liong hanya tersenyum dingin dan tanpa bicara ia mengikuti pendeta ini naik ke puncak. Siang-mou Sin-ni tertawa ha-ha-hi-hi di belakang mereka dan para anak buah ikut pula naik kembali ke markas sambil membawa mereka yang terluka.....
********************
Dapat dibayangkan betapa berdebar tegang dan penuh haru rasa hati Suling Emas ketika ia berlutut bersama panglima-panglima lain menghadap Sang Ratu Yalina, ratu bangsa Khitan yang pada waktu itu amat kuat.

Begitu datang menghadap tadi dibawa oleh Loan Ti Ciangkun dan Hoa Ti Ciangkun, dalam keadaan menyamar sebagai seorang kakek yang berjenggot panjang, Suling Emas memandang Yalina atau Lin Lin dengan jantung seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya, juga adik angkatnya itu dalam pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun yang lalu!

Masih cantik jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu dahulu bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang muda, kini pandang matanya suram. Kalau bibir yang masih merah mungil ini dahulu tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira, kini tertarik seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya sikapnya kini membayangkan keagungan dan kematangan. Begitu pandang mata sayu itu ditujukan ke arah mukanya dan sepasang alis yang kecil panjang menghitam itu bergerak membayangkan keheranan dan perhatian, Suling Emas cepat-cepat menundukkan mukanya dengan sikap amat menghormat.

Suling Emas berlutut sambil menundukkan kepala dengan jantung berdebar dan pikiran melamun jauh sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya hanya terdengar sebagian saja olehnya. Akhirnya ia mendengar suara Lin Lin atau Ratu Yalina, suara yang selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang selalu terngiang di telinganya dalam mimpi.

“Kami amat berterima kasih kepada Cianpwe dan kami setuju akan usul kedua panglima kami untuk mengangkat Cianpwe sebagai pengawal dalam istana. Betapa pun juga, hati kami takkan puas kalau belum menguji kepandalan Cianpwe.”

Di dalam hatinya Suling Emas merasa geli dan kagum. Biar pun sudah menjadi ratu selama puluhan tahun, ratu besar yang disanjung dan disembah orang-orang Khitan, namun Lin Lin masih belum kehilangan hormatnya terhadap tokoh kang-ouw sehingga dia yang dianggap seorang tokoh besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya menunduk dan menjawab, merubah suaranya dibesarkan.

“Silakan apa yang akan Paduka lakukan, hamba hanya menurut.”

“Lihat serangan!” Tiba-tiba ratu itu berseru keras dan tangan kanannya menyambar ke arah dada Suling Emas.

Suling Emas kaget bukan main. Ia mengenal pukulan ini karena pukulan ini memiliki dasar ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah ia betapa Yalina ini mewarisi ilmu ciptaan mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw, yaitu ilmu Cap-sha Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang dirahasiakan, namun secara kebetulan terjatuh ke tangan Lin Lin.

Tentu saja dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat memunahkan pukulan dahsyat ini, akan tetapi kalau ia pergunakan Hong-in Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan mengenalnya. Karena inilah maka ia sengaja mengerahkan sinkang di pundaknya, lalu mengelak setelah pukulan itu menyentuh dadanya. Dengan gerakan ini, pukulan ke dada itu menyeleweng dan menghantam pundaknya sehingga tubuhnya mencelat sampai empat meter akan tetapi ia jatuh dalam keadaan masih berlutut seperti tadi.

“Aiihhh...! Hampir aku kesalahan tangan membunuhmu!” teriak Yalina dan memberi isyarat supaya Suling Emas maju lagi.

Dari tempat ia berlutut, Suling Emas mengerahkan ginkang dan... dalam keadaan masih berlutut itu tubuhnya melayang dan kembali di tempat tadi, sama sekali tidak merubah kedudukan tubuhnya. Semua orang yang hadir melongo dan mengeluarkan seruan kaget. Itulah ilmu sihir, pikirnya. Bahkan Yalina sendiri terkejut. Hebat ilmu orang ini, pikirnya. Dengan ginkang seperti itu, dia sendiri takkan mungkin menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar pun hanya mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya terkena hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.

“Ah, maafkan percobaan kami, Cianpwe. Ternyata Cianpwe sakti seperti diceritakan kedua panglimaku. Siapakah nama julukan Cianpwe?”

“Hamba tidak ingat lagi nama hamba, orang hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak Bernama).”

Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Bu Beng Lojin, apakah engkau tidak mempunyai saudara muda atau keponakan atau putera?”

Hati Suling Emas berdebar. Ternyata pandang mata tajam dari Yalina dapat mengenal persamaan muka penyamarannya. Cepat ia menggelengkan kepala. ”Hamba hidup sebatang kara di dunia ini. Apakah maksud pertanyaan Paduka?”

Ratu Yalina menarik napas panjang. “Tidak apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan seseorang...“ Ia berhenti termenung sejenak, wajahnya terliputi kedukaan, kemudian menyambung. “Mulai sekarang kau kuangkat menjadi pengawal dalam istana. Keselamatan kami sekeluarga kuserahkan ke dalam penjagaanmu.”

Suling Emas menunduk, hatinya terharu. “Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia Paduka”

Demikianlah, mulai saat itu Suling Emas menjadi kepala pengawal dan tinggal pula di lingkungan istana. Dia diberi pakaian yang sesuai dengan pangkatnya. Seperangkat pakaian yang indah dan gagah, dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di dadanya tersulam gambar sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima pengawal. Kepalanya memakai topi bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi panglima yang tinggi.

Dalam beberapa hari setelah bertugas sebagai panglima pengawal, Suling Emas mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia diperkenalkan dengan Pangeran Mahkota Talibu yang masih muda belia dan amat tampan, bersikap halus sabar dan tidak sombong, pandai bergaul dengan rakyatnya sehingga timbul rasa suka di hati Suling Emas, apa lagi mengingat bahwa putera angkat Ratu Yalina ini adalah putera Panglima Kayabu, bekas sahabatnya yang gagah perkasa. Ia bertemu pula dengan Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya dan ternyata bahwa Panglima Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah seperti dulu, juga sikapnya amat ramah terhadap bawahannya, namun penuh disiplin keras. Pantas saja bangsa Khitan menjadi makin kuat berkat sikap Panglima Kayabu ini.

Terutama sekali keadaan Ratu Yalina, sering kali membuat Suling Emas hampir tidak kuat menahan hatinya. Hanya di waktu bersidang saja ratu ini nampak agung dan berwibawa. Akan tetapi kerap kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung seorang diri di dalam ruangan dalam istana dan tidak jarang tampak matanya merah bekas menangis!

Kalau sudah melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling Emas serasa ditusuk-tusuk dan kalbunya menjerit-jerit menyebut nama Lin Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia merasa heran mengapa ratu ini bertekad memanggilnya? Setelah beberapa hari berada di situ, ia tidak melihat sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan. Pemerintahannya berjalan baik, keadaan ratu itu dicinta dan dihormati bangsanya, dan para panglima juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin? Rahasia apakah yang membuat Lin Lin berduka seperti itu?

Beberapa hari kemudian, di dalam persidangan terbuka, datanglah seorang perwira Khitan yang membawa laporan hebat, yaitu tentang diserbunya Nan-cao oleh bangsa Hsi-hsia dan tentang kematian ketua Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya termasuk Kam Bu Sin dan isterinya.

Mendengar ini Ratu Yalina mengeluarkan teriakan aneh. Wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan hanya karena ingat bahwa ia seorang ratu saja yang mencegah dia roboh pingsan di atas kursinya. Cepat-cepat ia memberi isyarat membubarkan persidangan, lalu memasuki ruangan dalam istana. Begitu berada seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis tersedu-sedu!

Sibuklah para dayang dan pelayan, sibuk menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu yang terus menangis tanpa mau pindah dari atas kursinya. Ia menolak pelayanan para dayang, tidak mau makan, bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih menangis di atas kursinya. Berkali-kali ia mengeluh dan membisikkan nama Kam Bu Sin, kakak angkatnya yang baginya seperti kakak kandungnya sendiri

Tentu saja berita tentang mala-petaka yang menimpa para pimpinan Beng-kauw ini juga membuat Suling Emas terkejut, marah, dan berduka sekali. Kedukaannya tidak kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina karena Kam Bu Sin adalah adik tirinya, seayah lain ibu dan Suling Emas adalah sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi dasar dia seorang pendekar sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat batinnya oleh gemblengan pahit getir hidup, ia menerima berita ini dengan sikap tenang.

Sekarang ia harus pergi dari Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke Nan-cao menyelidiki keadaan Beng-kauw yang tertimpa mala-petaka. Tiada gunanya ia berlama di Khitan karena ternyata bahwa Khitan tidak terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga sehat. Akan tetapi tak mungkin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu dengan Yalina, memperkenalkan diri dan berpamit. Ia harus bertemu secara rahasia agar jangan ada yang tahu akan hubungan mereka.

Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua ruangan istana dengan dalih memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di luar pekarangan di mana Yalina menangis. Ruangan itu amat indah, juga diterangi lampu penerangan seperti di siang hari saja. Ia mengintai dari balik tirai tebal.

Tampak oleh Suling Emas betapa Ratu Yalina masih menangis, duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas lengan yang diletakkan di atas meja. Mukanya pucat sekali dan air mata bercucuran tiada hentinya di sepanjang pipinya. Seorang pelayan muda yang membawa tempat hidangan berdiri di belakangnya dengan bingung. Baru saja hidangan yang sengaja ia bawa datang dan membawanya kepada Sang Ratu ditolak dengan bentakan marah.

Dari belakang datang seorang dayang lain membawa teng (lampu). Mereka berdua saling memberi tanda dengan mata dan gerakan tangan, kemudian si Pembawa hidangan mundur. Dengan menggerakkan pundak dan menghela napas panjang, kedua orang dayang itu lalu meninggalkan ruangan. Sunyi di ruangan itu, yang terdengar hanya isak tangis Sang Ratu Yalina.

Suling Emas belum berani memperlihatkan diri karena ia khawatir kalau-kalau para dayang akan melihatnya dan hal ini akan membikin malu Sang Ratu. Maka sambil menahan gelora keharuan hatinya, ia meninggalkan ruangan itu dan mengambil keputusan untuk menemui Yalina malam nanti di kamarnya untuk memperkenalkan diri dan berpamitan.

Sambil menanti saat yang baik, Suling Emas lalu menemui perwira yang melaporkan tentang mala-petaka yang menimpa Beng-kauw itu. Perwira itu adalah seorang di antara petugas-petugas Khitan yang bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik keadaan di luar Khitan. Memang Panglima Kayabu amat cerdik. Biar pun pada waktu itu Khitan tidak punya musuh, namun ia selalu menyebar mata-mata, baik ke negara Sung, ke Nan-cao dan lain-lain tempat untuk mengetahui keadaan dan perubahan negara-negara lain itu.

Perwira ini menceritakan kepada Suling Emas dengan jelas akan penyerbuan bangsa Hsi-hsia ke Nan-cao. “Bangsa Hsi-hsia secara tiba-tiba menyerbu ke selatan, akan tetapi berhasil dihalau pergi oleh tentara Nan-cao yang kuat. Akan tetapi, pimpinan Hsi-hsia yang terdiri dari pendeta-pendeta Tibet berjubah merah, dikepalai oleh pendeta kaki satu yang amat sakti dan kabarnya juga seorang wanita rambut panjang, menyerang Beng-kauw. Menurut keterangan yang hamba peroleh, ketua Beng-kauw berikut pembantu-pembantunya terbunuh oleh pendeta kaki satu dan wanita rambut panjang itu.”

“Dan bagaimana dengan anak, mantu dan cucu-cucu ketua Beng-kauw? Aku pernah singgah di sana dan mereka itu bersikap baik sekali kepadaku,” tanya Suling Emas.

“Menurut kabar, juga puteri dan menantu ketua Beng-kauw tewas, dan anak-anak mereka terculik...”

“Aihhh...!” Suling Emas menjadi marah sekali. Kalau mungkin, saat itu juga ia ingin terbang ke Nan-cao.

Sementara itu, Ratu Yalina sudah memasuki kamarnya. Ia masih menangis, duduk di atas kursi dalam kamarnya ketika sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya.

“Ibu, jangan terlalu berduka...”

Suara Pangeran Talibu yang menghibur ibunya ini membuat tangis Ratu Yalina menjadi-jadi. Karena Ratu ini teringat akan masa dahulu, ketika ia masih menjadi Kam Lin Lin, semenjak kecil bermain-main dengan Kam Bu Sin kakak angkatnya. Teringat pula ia akan pengalamannya melakukan perantauan dengan Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng kedua orang saudara angkatnya, sampai bertemu dengan Suling Emas. Makin jauh pula ia melamun, teringat akan Suling Emas kekasihnya, ayah dari Pangeran Talibu ini yang sekarang menjadi anak angkatnya. Padahal dialah sendiri yang melahirkan anak ini.

“Ah, anakku...!” Ia membalik dan merangkul Talibu sambil menangis.

Pangeran Talibu sungguh pun tahu bahwa Ratu ini hanya ibu angkatnya karena ia diangkat anak ketika berusia lima tahun, namun rasa kasih sayangnya kepada ibu angkat ini amat besar.

“Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biar pun aku belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah dapat membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu menyayangnya. Memang kematiannya menyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal ini kiranya tidak cukup untuk disedihkan. Biarlah aku bersama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!”

Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum. “Ah, Puteraku, engkau belum tahu tingginya langit dalamnya lautan! Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah jauh lebih lihai dari pada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian ketua Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Mereka adalah orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas di tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh, apakah yang akan dapat kau lakukan, biar pun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?”

“Biar pun begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah dia bersamaku pergi ke Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh semangat.

Ratu Yalina menggeleng-geleng kepalanya. “Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya ada satu-satunya orang di dunia ini yang akan mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta Bibimu.”

Pangeran Talibu membelalakkan matanya yang lebar dan bersinar tajam. “Siapakah dia, Ibu?”

“...Suling Emas...”

“Ohh...!” Pangeran ini tentu saja sudah tahu bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu Sin. “Begitu saktikah Paman Suling Emas? Mengapa sampai sekarang dia belum datang, Ibu?”

Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata. Mendengar Talibu menyebut Paman kepada Suling Emas, hatinya menjerit. “Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!”

Akan tetapi mulutnya hanya berkata lirih, “Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya akan berhasil dan dia suka datang ke sini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak tidur.” Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringannya, menjatuhkan diri di atas pembaringan, memeluk guling dan membanjirlah air matanya membasahi bantal.

Sejenak Pangeran Talibu berdiri bengong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali menyaksikan kedukaan ibunya. “Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur di sini menemani Ibu.”

Dengan suara serak dan hati terharu, juga senang mendengar puteranya yang jelas memperlihatkan kasih sayang kepadanya, ia menjawab. “Baiklah, Talibu.”

Pangeran itu lalu menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, merebahkan diri dan berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam dukanya terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.

Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga merasa girang mendapat kenyataan betapa Pangeran Talibu, sungguh pun hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta ibunya. Anak itu mewarisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.

Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela dan melompat ke dalam kamar peraduan. Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalaman istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam memang tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena itulah maka Suling Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau menduga.

Kini ia berdiri di tengah kamar. Hatinya tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri. Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar di mana Lin Lin tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin mula-mula menjadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar ini selama sebulan. Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan madu!

Maka kini ia merasa wajar berada di sini. Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi dinding, membuat ia merasa canggung. Betapa pun pemuda itu putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa. Namun, keberangkatannya ke Nan-cao berhubung dengan mala-petaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam inilah saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenalkan diri kepada Lin Lin.

Suling Emas lalu menanggalkan penyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggalkan jenggot palsu, ia lalu menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya sendiri yang sederhana. Bahan penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian ia melangkah maju menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya miring memeluk guling menghadap ke dinding.

“Lin-moi...!” Ia memanggil dengan suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan angin dorongan tangannya yang amat kuat sehingga tanpa menyentuh tubuh Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu berguncang keras.

Ratu Yalina, biar pun seorang ratu adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Sebagaimana lazimnya seorang ahli silat, dalam keadaan bagaimana pun urat syarafnya selalu siap sedia menghadapi segala macam ancaman. Oleh karena itu, biar pun seorang ahli silat sedang tidur nyenyak, apa bila tersentuh atau terguncang sedikit saja tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri.

Ketika Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya mencelat ke luar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa terhenti dan kedua kakinya menggigil.

“...Song-koko (Kanda Song)...?” bisiknya meragu, tak percaya akan pandangan matanya sendiri.

“Lin-moi, sudah lama sekali...”

“Song-ko...!” Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil menangis terisak-isak. “Song-koko... ah, Song-koko...!”

Suling Emas menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum itu, kedua matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya terlepas, lalu melangkah mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.

“Ah..., tak mungkin... ini tentu hanya mimpi... hanya mimpi...!” Ia tersedu dan....

“Plakkk!” ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.

“Ahhh... Song-koko... kau benar-benar datang...?” Jeritnya kemudian dan tangisnya makin menjadi-jadi. Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan kembali.

Suling Emas amat terharu, namun sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya meramkan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa bahagianya dapat memeluk wanita ini. Namun dalam keadaan demikian telinganya masih dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya mengerahkan sinkang menjaga punggung.

“Desss...!”

“Auuuhhh...!” Pangeran Talibu meloncat ke belakang, memegangi tangan kanannya yang terasa sakit setelah memukul punggung orang yang memeluk ibunya itu.

Ratu Yalina terkejut dan cepat melepaskan diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh menghadap Pangeran Talibu. Biar pun tangannya terasa sakit dan maklum bahwa orang ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk menerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya.

“Keparat, berani kau...!” Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas yang sekali lagi tidak bergerak, hanya tersenyum.

“Plakk... traanggg...!” pedang itu terpental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.

“Ibu...?” Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.
“Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”

Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling Emas ini seorang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sungguh pun masih ada perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!

Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan berkata, “Paman, mohon maaf atas kekurang-ajaranku, karena saya tidak tahu....“

“Paman apa? Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah... A... Ayahmu...!”

“Ibu!”
“Lin-moi...!”

Entah siapa lebih kaget antara Pangeran Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini. Wajah Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!

Melihat keadaan dua orang yang dicintanya itu, Ratu Yalina tersenyum di antara air matanya, kemudian melangkah maju memegang tangan Suling Emas dan Talibu sambil berkata, “Sebagai Ratu, tak boleh rakyatku mengerahui rahasia ini, akan tetapi sebagai Ibu, kalian dua orang yang paling kucinta di dunia ini harus mengetahuinya. Marilah, Song-koko dan kau Talibu, mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”

Seperti dalam mimpi, Suling Emas dan Talibu menurut saja digandeng Yalina menuju meja di tengah ruangan itu. Ketika melihat jenggot palsu dan baju bertumpuk di sudut, Yalina tertawa. “Ah, kiranya engkau yang menyamar sebagai Bu Beng Lojin. Pantas saja aku merasa seperti mengenalmu dan begitu bertemu, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Koko, kenapa kau begini kejam menggodaku, tidak langsung menemuiku yang sudah dua puluh tahun mengharap-harapmu?”

Suling Emas menjatuhkan diri di atas kursi sambil menarik napas panjang. Pangeran Talibu memandang wajah Suling Emas dengan bermacam perasaan mengaduk hatinya. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung setengah mati. Selama ini yang ia ketahui adalah bahwa dia adalah putera kandung Panglima Besar Kayabu yang pada usia lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Dan kini dari Ratu Yalina sendiri ia mendengar bahwa dia adalah putera Suling Emas! Bagaimana ini?

“Lin-moi, semenjak... pertemuan antara kita dua puluh tahun yang lalu, dengan terpaksa sekali dan dengan hati luka aku terpaksa meninggalkan Khitan, meninggalkan engkau yang sudah menjadi Ratu. Tak mungkin aku mencemarkan dan merusak namamu di mata rakyatmu hanya demi kesenangan hatiku sendiri. Aku rela berkorban dan selama dua puluh tahun menderita sakit batin yang amat hebat. Akan tetapi, mengapa kau sekarang mengatakan bahwa Pangeran ini adalah puteraku? Apa artinya semua ini?”

“Betul sekali ucapan Paman Suling Emas, Ibu. Bukankah aku putera tunggal Pangeran Kayabu yang Ibu angkat sebagai putera?”

Ratu Yalina kembali memegang tangan kedua orang itu di atas meja seakan-akan ia mencari kekuatan dari mereka untuk bercerita, “Anakku, kau bukan anak angkatku, engkau adalah anak kandungku sendiri. Akulah yang mengandungmu dan melahirkanmu, Talibu. Dan Ayahmu adalah dia inilah!” Ia berhenti sebentar, merasa betapa dua pasang mata di depannya itu memandang seakan hendak menembus jantungnya dan betapa dua tangan yang dipegangnya itu gemetar.

“Bu Song Koko, ketahuilah bahwa sepeninggalmu, baru aku ketahui bahwa aku mengandung! Tentu saja aku menjadi bingung sekali. Untung ada Kayabu yang setia dan berbudi mulia. Dialah yang menolongku, menjaga teguh agar rahasiaku tidak diketahui siapa pun di sini. Bahkan ketika aku melahirkan, yang tahu hanyalah seorang dukun dan Kayabu sendiri. Tidak hanya itu, sebelumnya Kayabu lalu memilih seorang gadis untuk dikawin, karena menurut rencananya, anak yang akan kulahirkan itu akan diakui sebagai anak isterinya....”

Sampai di sini ia berhenti dan dari kedua mata Pangeran Talibu bertitik air mata, sedangkan tangan pemuda itu kini menggenggam tangan ibunya dengan erat. Sedu-sedan naik dari dada Yalina, dan Suling Emas mendengarkan dengan muka pucat dan mata bersinar-sinar. Ketika dia menoleh kepada Talibu, pandang matanya mesra dan penuh kasih.

Setelah gelora perasaan harunya mereda, Yalina melanjutkan, “Rencana Kayabu berjalan baik. Aku melahirkan, dan engkau, Talibu, begitu lahir terus secara diam-diam dibawa oleh Kayabu, dan diumumkan bahwa isterinya melahirkan engkau. Baru setelah engkau berusia lima tahun, kuangkat menjadi puteraku. Aku ibu kandungmu, dan dia inilah Ayahmu yang sejati.”

Talibu tak dapat menahan perasaannya lagi. Ia bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu memeluk ibunya. “Ibu... Ibu...!” Mereka bertangisan, kemudian pemuda itu berlutut di depan Suling Emas sambil berkata dengan suara menggetar, “Ayah...!”

Dua titik air mata menetes di atas pipi pendekar sakti itu ketika ia memeluk puteranya dan mengangkat bangun. “Terima kasih kepada Thian bahwa aku dikaruniai seorang putera seperti engkau, Talibu. Engkau tampan dan gagah, sungguh aku merasa bangga sekali!”

Akan tetapi tiba-tiba Yalina menangis tersedu-sedu, tangis yang amat sedih. Suling Emas dan Talibu menjadi terkejut dan heran. Mengapa Yalina berduka? Padahal bukankah pertemuan antara ibu, anak, dan ayah ini suatu peristiwa yang amat menggembirakan? Kalau Yalina menangis terharu, hal itu tidak mengherankan, akan tetapi tangisnya amat menyedihkan.

“Lin-moi, ke mana perginya kegagahan dan ketabahanmu? Bukankah menggirangkan sekali pertemuan di antara kita bertiga ini?”

“Ibu..., kenapa Ibu begini berduka?”

Ratu Yalina mengangkat muka, menahan isaknya lalu berkata, “Song-ko, anakku Talibu, ada hal yang selama kau terlahir menjadi derita batin hebat bagiku. Talibu, ketika engkau terlahir, lahir pula seorang Adikmu. Engkau adalah anak kembar....”

“Ibu...!” Talibu terkejut dan menangkap tangan ibunya. Suling Emas hanya memandang seperti orang dalam mimpi.

“Adik kembarmu itu kemudian oleh Panglima Kayabu diserahkan kepada nenek dukun untuk dipelihara baik-baik dan dirahasiakan dari orang lain, sementara engkau sendiri dibawa pergi Panglima, Kayabu. Akan tetapi... ah... pada keesokan paginya, nenek dukun itu kedapatan mati di dalam taman istana!”

“Ahhh...!” kini Suling Emas yang berseru.

“Dan anak itu... Adikku itu, bagaimana, Ibu?”

“Itulah yang menyusahkan hatiku. Adikmu itu telah lenyap tak meninggalkan jejak sama sekali. Tentu saja aku dan Kayabu tidak berani ribut-ribut tentang hilangnya anak itu karena takut rahasiaku akan terbongkar. Bu Song Koko, inilah sebabnya mengapa selama ini aku berusaha keras untuk mencari dan memanggilmu ke sini. Tak kuat aku menanggung rahasia ini lebih lama lagi. Kalau aku teringat akan anak perempuan kita itu, tak dapat menahan kesedihan hatiku... dan kini... mendengar akan mala-petaka yang menimpa Kanda Bu Sin... ah...!” Kembali Ratu Yalina menangis sedih.

Dua orang laki-laki itu, ayah dan anak, saling pandang dan hanya bengong tak dapat bicara. Hati mereka tidak karuan rasanya. Pukulan hebat menghantam batin mereka mendengar semua kenyataan yang sama sekali tak pernah mereka duga.

Tiba-tiba Suling Emas menampar pahanya sendiri. “Ah! Dia... tentu dia... tak salah lagi...!”

Yalina mengangkat muka memandang, “Apa maksudmu, Song-ko?”

Suling Emas memegang kedua pundak Ratu Yalina, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar. “Lin-moi, aku telah bertemu dengan anak perempuan kita! Dia seorang gadis jelita, serupa benar dengan engkau, ilmu kepandaiannya amat lihai. Julukannya Mutiara Hitam dan namanya... kalau tak salah Kwi Lan. Dia menjadi murid Sian Eng!”

Yalina meloncat bangun, matanya terbelalak. “Ah... betul juga! Mayat nenek dukun itu mengalami pukulan yang hebat. Kiranya Enci Sian Eng yang membunuhnya dan membawa pergi anakku! Akan tetapi, mengapa ia tidak menjumpai aku? Mengapa ia berbuat begitu aneh?”

“Hemm, kau tahu keadaan Sian Eng, Lin-moi...!” Mereka termenung, teringat akan keadaan Kam Sian Eng yang menjadi gila.

“Song-ko, ceritakan keadaan gadis itu, anak kita itu kalau kau tak salah sangka. Di mana kau bertemu dengannya? Bagaimana dia?”

“Benar, ceritakan, Ayah. Aku ingin sekali mendengar tentang Adikku...,“ kata pula Pangeran Talibu dengan suara tersendat karena terharu. Mengingat bahwa ia mempunyai adik kembar, sesuatu yang amat mesra dan aneh bergejolak di dalam hatinya.

Maka berceritalah Suling Emas tentang pertemuannya beberapa kali dengan Kwi Lan. Ketika ia menceritakan sikap Kwi Lan yang marah-marah, yang menegurnya mengapa meninggalkan Ratu Khitan, kemudian betapa Kwi Lan yang marah-marah itu menyatakan sebagai anak Ratu Khitan.

Mendengar penuturan ini, Ratu Yalina kembali menangis saking terharu dan girang hatinya karena mendapat kenyataan bahwa anaknya yang lenyap sejak baru lahir itu ternyata masih hidup dan menjadi murid encinya.

“Dia cantik dan gagah, ilmu silatnya ganas dan dahsyat lagi aneh, tentu saja karena dia murid Sian Eng yang mewarisi semua kitab mendiang Ibuku dan mempelajarinya secara ngawur dalam keadaan sakit ingatan. Kwi Lan amat galak dan jujur, berani tak mengenal takut, persis seperti... seperti Ibunya!” Suling Emas teringat akan ini tertawa dan Yalina dalam tangisnya juga ikut tertawa.

Melihat betapa ayah dan ibunya saling berpandangan mesra, mengingat pula bahwa selama dua puluh tahun mereka tak saling jumpa, Pangeran Talibu yang sudah menjelang dewasa dan yang hatinya masih terguncang menghadapi kenyatan luar biasa tentang dirinya, lalu berkata,

“Harap Ayah dan Ibu maafkan aku..., aku... aku masih bingung dan pusing akan kenyataan yang hebat dan membahagiakan hati ini... aku ingin mengaso.” Tanpa menanti jawaban pemuda ini segera lari ke luar dari kamar ibunya sambil menutupkan daun pintu. Pemuda ini sesungguhnya tidak pergi ke kamarnya, melainkan menjaga di ruangan luar untuk melarang siapa saja, juga pelayan-pelayan ibunya, andai kata malam itu ada yang akan memasuki kamar ibunya!

Sampai lama Suling Emas dan Yalina saling pandang, kemudian seperti ditarik oleh besi semberani, keduanya saling peluk. Semua kerinduan hati, semua rasa cinta kasih yang selama ini ditahan-tahan dan dipendam, kini tercurahkan. Sampai pagi mereka tidak tidur, berbisik-bisik mesra dan menceritakan pengalaman masing-masing.

Akhirnya, ketika malam terlewat menjelang pagi, Suling Emas berkemas dan berkata, “Sekarang juga aku akan berangkat, Lin-moi. Betapa pun juga mala-petaka yang menimpa Beng-kauw tak mungkin kudiamkan begitu saja.”

“Engkau benar, Koko. Akan tetapi... betapa aku akan kehilangan dan kesepian lagi... ah, betapa inginku selamanya tinggal di sampingmu tak pernah berpisah lagi. Agaknya aku rela meninggalkan kedudukanku sebagai Ratu....”

“Lin-moi, tidak mungkin begitu, belum tiba waktunya. Engkau harus ingat akan nasib bangsamu dan kulihat putera kita Talibu amat cakap menjadi calon raja. Apa bila ia sudah cukup masak dan kau angkat menjadi penggantimu memimpin bangsanya, barulah tepat rasanya kalau engkau ingin menghabiskan masa hidup di sampingku. Aku pun sudah bosan menghadapi segala macam urusan dunia ramai. Setelah putera kita menjadi raja, marilah ikut bersamaku ke puncak gunung berdua dan menghabiskan sisa hidup di sana. Akan tetapi sekarang kita berdua masih menghadapi tugas berat. Engkau menuntun Talibu memimpin rakyatmu, dan aku akan pergi ke Nan-cao sekalian mencari puteri kita, Kwi Lan atau Mutiara Hitam.”

Mendengar kalimat terakhir ini, berserilah wajah Ratu Yalina. “Mutiara Hitam... alangkah seramnya julukan Anakku..., Song-ko, jahatkah dia?”

“Kurasa tidak jahat, hanya aneh seperti gurunya.”

Tak lama kemudian berangkatlah Suling Emas, berangkat dengan diam-diam meninggalkan istana Khitan, diantar oleh peluk cium penuh kasih sayang Ratu Yalina dan pandang mata berlinang air mata sampai bayangannya lenyap di balik kesuraman fajar. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, mudah saja bagi Suling Emas untuk pergi tanpa diketahui seorang pun penjaga.

Pada keesokan harinya, Panglima Talibu memberi tahu para panglima bahwa kepala pengawal Bu Beng Lojin semalam berpamit dan pergi. Karena semua panglima mengenal Bu Beng Lojin sebagai seorang yang aneh, mereka tidak menjadi heran, hanya kagum karena kepergian kakek itu seperti iblis saja, tak terlihat oleh seorang pun penjaga. Di antara para panglima tentu saja hanya Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun yang tahu bahwa kakek aneh itu sebetulnya adalah Suling Emas, kakak angkat Sang Ratu.
********************
Ruangan itu lebar dan indah. Dindingnya terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno. Mereka duduk menghadapi sebuah meja bundar yang lebar, masing-masing duduk di atas sebuah bangku berukir naga. Kiang Liong tampak tenang, sungguh pun diam-diam ia mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak ingat akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang Kui dan Siang Hui dibebaskan, tentu ia sudah memberontak dan lari pula. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan untuk menolong Kam Han Ki.
Di sebelah depannya, terhalang meja itu, duduk Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Bouw Lek Couwsu juga nampak tenang namun sepasang matanya bersinar gembira, mulutnya tersenyum-senyum. Wajahnya yang masih tampan membayangkan kecerdikan. Ada pun Siang-mou Sin-ni yang duduk di sampingnya memandang Kiang Liong dengan bibir tersenyum dan matanya kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan kemudaan pemuda itu, akan tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian kalau ia teringat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas musuh bebuyutan yang dibencinya.

“Kiang-kongcu, kami telah mendengar bahwa kau adalah putera pangeran, berarti engkau adalah seorang pemuda bangsawan tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti kepandaianmu juga amat lihai. Karena kedua kenyataan itulah maka pinceng tidak mau bermusuhan denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan. Kiang-kongcu, sebagai seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak bercita-cita untuk memiliki kedudukan yang paling tinggi?”

Kiang Liong memandang tajam penuh selidik. “Apa maksudmu?” tanyanya tenang.

“Heh-heh-heh, Kiang-kongcu yang cerdik pandai masa belum dapat menduga maksud pinceng? Kerajaan Sung adalah amat buruk pemerintahannya dan amat lemah, hal ini sudah jelas dan Kongcu tentu mengetahuinya. Terhadap kekuasaan Khitan dan Nan-cao yang kecil saja tidak mampu melawan.”

“Bukan tidak mampu melawan, melainkan karena kedua kerajaan itu adalah kerajaan sahabat,” Kiang Liong membantah sungguh pun diam-diam di hatinya ia membenarkan omongan pendeta itu.

“Ha-ha-ha! Mana bisa bersahabat dengan orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil dan mengganggu? Kerajaan Sung sering kali dipaksa membayar upeti kepada Kerajaan Khitan, hal itu jelas menandakan bahwa Sung hanya dapat menghadapi lawan dengan sogokan. Dan untuk memperoleh harta benda sogokan itu tentu saja caranya memeras rakyatnya. Kiang-kongcu, hal itu sudah pinceng ketahui jelas berdasarkan penyelidikan bertahun-tahun, tak perlu Kongcu menyangkal pula.”

“Andai kata benar pendapatmu bahwa Kerajaan Sung lemah, habis apakah yang kau kehendaki?” Pertanyaan Kiang Liong masih tenang, padahal di dalam hatinya ia berdebar keras. Inilah merupakan inti dari pada tugasnya diutus Kaisar, menyelidiki keadaan tentara Hsi-hsia dan sekarang ia bahkan berhadapan muka dengan pemimpin Hsi-hsia, bicara tentang politik Hsi-hsia terhadap Sung!

“Pinceng harap Kiang-kongcu bijaksana dan dapat memilih mana yang menguntungkan bagimu. Pinceng menawarkan kerja sama denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung! Pinceng bergerak dari luar dan engkau bergerak dari dalam!”

Kiang Liong mengangguk-angguk. Dari ucapan ini saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu belum mengadakan hubungan dengan pengkhianat-pengkhianat di dalam kerajaan dan hatinya menjadi lega. Hal ini merupakan salah satu hal yang ia selidiki. Dengan suara tenang ia bertanya, “Dan balas jasaku...?”

“Ha-ha-ha-ha! Engkau benar-benar seorang yang cerdik, Kiang-kongcu! Benar, urusan besar ini harus dirundingkan masak-masak. Bagaimana kalau engkau menjadi Raja Kerajaan Sung, Kiang-kongcu?”

Sikap Kiang Liong masih tenang, namun jantungnya seperti meloncat ke atas saking kagetnya mendengar janji yang amat muluk ini. Sampai beberapa lama ia tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Bouw Lek Couwsu dengan mata terbelalak.

Melihat sikap pemuda ini, Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, apakah balas jasa itu kurang besar, Kongcu?”

Kiang Liong dapat menentramkan hatinya lagi dan ia tersenyum lebar. “Cukup hebat dan muluk, Couwsu. Seorang muda dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja? Harap kau jangan main-main.”

“Mengapa tidak? Raja Sung yang sekarang ini bisa apakah? Engkau jauh lebih pandai, lebih gagah dan lebih cakap menjadi Raja. Pinceng tidak main-main, Kiang-kongcu. Kalau kau suka membantu dari dalam dan gerakan kita berhasil menundukkan Kerajaan Sung, engkaulah yang akan menjadi pengganti Raja Sung. Bagaimana?”

Kiang Liong mengangguk-angguk. “Hemm, memang muluk dan enak sekali kalau hanya dibicarakan begini saja. Akan tetapi, apakah engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu? Apakah yang kau andalkan untuk dapat menaklukkan Sung?” Dengan cerdik sekali, berkedok kesangsiannya akan hasil persekutuan itu, ia ingin mengetahui rahasia kekuatan barisan Hsi-hsia!

Kembali pendeta itu tertawa bergelak dan mengangkat cawan araknya. “Mari kita minum dulu dan bersiaplah untuk bergembira mendengar keteranganku yang membesarkan hati, Kongcu!”

Kiang-kongcu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengangkat cawan dan minum araknya. Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira juga melihat pemuda itu suka menjadi sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi sekutu, tentu saja ia tidak menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi ia memandang kagum, membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia dapat ‘bersahabat’ dengan pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia hanya dapat bermesra dengan pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau dibanding dengan pemuda ini yang seperti singa!

“Kiang-kongcu, jangan kau kira bahwa pinceng tidak tahu akan keadaan dan kekuatan Kerajaan Sung. Sudah bertahun-tahun pinceng melakukan penyelidikan. Raja Sung yang gila kesenangan dan kesenian itu hanya mengerahkan sebagian besar tentaranya di perbatasan utara, menjaga penyerbuan bangsa-bangsa di utara yang sejak dahulu mengancam Sung. Sebagian pula untuk menjaga perbatasan di selatan, sedangkan sebagian kecil tersebar di pantai timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan bajak laut. Akan tetapi bagian barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil karena daerah pegunungan yang sambung-menyambung sukar diadakan penjagaan kecuali dengan pasukan besar. Pula Raja Sung tidak menganggap akan datang ancaman dari barat. Inilah keuntungan kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari barat, dibagi menjadi tiga empat barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah akan dapat kami hancurkan penjagaan di perbatasan itu dan kami akan terus menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan, terbesar dari barat, yang lainnya dari utara dan selatan kami kepung kota raja. Sementara itu, engkau bergerak dari dalam dengan pasukan yang dapat kau kumpulkan. Dengan begini, apa susahnya menjatuhkan Kaisar boneka itu? Ha-ha!”

Diam-diam Kiang Liong terkejut sekali. Hebat rencana pimpinan Hsi-hsia ini. Ia sudah mendapat keterangan dari para penyelidik bahwa barisan Hsi-hsia tidak kurang dari seratus ribu orang banyaknya. Dan memang tepat apa yang dikatakan Bouw Lek Couwsu. Keadaan penjagaan Kerajaan Sung memang seperti yang diutarakannya tadi. Kalau siasat itu dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar bahaya kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya. Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat meninggalkan tempat ini, kembali ke kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar dapat diatur siasat untuk menghadapi bala tentara Hsi-hsia. ia harus berlaku cerdik dan tiada cara lain kecuali menerima usul persekutuan Bouw Lek Couwsu!

“Hebat! Rencana yang kau atur itu benar-benar mengagumkan, Couwsu. Kalau siasat itu dijalankan, apa lagi ada bantuan yang kuat dari dalam, akan mudahlah merebut singgasana!” Ia sengaja memasang muka berseri-seri dan sepasang matanya berkilat penuh harapan.

“Akan tetapi... bagianku dalam rencana ini amat berbahaya! Kalau ketahuan rencanaku, tentu akan ditangkap sebagai pengkhianat dan dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa untukku? Apakah engkau kelak tidak akan melanggar janjimu tadi?”

Bouw Lek Couwsu menenggak araknya lalu tertawa. “Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah pemimpin besar bangsa Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti akan menarik kembali janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang akan menduduki singgasana Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Sung. Cukup bagi pinceng asal Kongcu pun mengenal budi membagi keuntungan dan menghadiahkan setengah wilayah kerajaan bagian barat kepada bangsa Hsi-hsia, bukankah ini adil?”

Bukan main gemasnya hati Kiang Liong kepada pendeta yang licik ini, akan tetapi wajahnya tidak berubah, tetap gembira penuh harapan. “Aku menerima usulmu, Bouw Lek Couwsu, dan aku akan berusaha menghubungi para panglima pasukan yang merasa tidak puas dengan Kaisar. Percayalah, banyak di antara para panglima adalah sahabat baik ayahku, Pangeran Kiang.”

“Ha-ha-ha, mari kita minum arak untuk persekutuan kita ini!”

Mereka bertiga kembali minum arak dan pada saat itu, seorang pelayan wanita datang berlari-lari dan berlutut di depan Siang-mou Sin-ni sambil berkata gugup. “Mohon maaf kalau hamba mengganggu. Akan tetapi hamba melaporkan bahwa bocah yang ditawan itu tahu-tahu sudah berada di dalam kamar Paduka dalam keadaan pingsan, sedangkan penjaganya kedapatan tewas di kamar tahanan.”

Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking panjang dan pelayan yang melapor itu sudah mencelat beberapa meter dan roboh pingsan karena ditendang, sedang tubuh Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat seperti terbang meninggalkan ruangan itu menuju ke kamarnya! Seorang pelayan pria lalu mengangkat pelayan wanita yang pingsan itu, membawanya ke ruangan belakang.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kiang Liong mendengar laporan tadi. Tak salah lagi, pikirnya, bocah yang dimaksudkan itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil menemukan anak itu, kiranya pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!

“Bouw Lek Couwsu,” katanya menahan getaran hati dan suaranya tetap tenang, “Setelah kita menjadi sekutu dan orang sendiri, apakah engkau tidak mau memandang mukaku membebaskan Kam Han Ki itu? Betapa pun juga, Kam Bu Sin adalah Paman guruku sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak itu tidak kubawa pulang. Tentu akan mencurigakan orang dan menduga bahwa aku berbaik denganmu.”

Bouw Lek Couwsu mengangguk-angguk dan bangkit berdiri. “Masuk akal pula omonganmu ini. Akan tetapi karena anak itu merupakan tawanan Sin-ni, sebaiknya aku membujuknya. Harap Kongcu menunggu di sini.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu lalu meninggalkannya, masuk menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah lebar.

Kiang Liong terhenyak di atas bangkunya seperti patung. Ketika ia melirik, ternyata bangunan itu terkurung ratusan orang Hsi-hsia yang agaknya diam-diam telah menerima perintah untuk menjaga dan mencegah dia melarikan diri! Ia menghela napas dengan perasaan tegang. Berhasilkan bujukan Bouw Lek Couwsu? Kalau berhasil dan dia boleh membawa Han Ki, alangkah untungnya! Tentang persekutuan dan janjinya kepada Bouw Lek Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan sekali-kali untuk semata-mata menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan Kerajaan Sung. Karena andai kata ia berkeras menolak sampai tewas di situ, bukankah rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan dijalankan tanpa sepengetahuan Kerajaan Sung sehingga terjadi mala-petaka hebat?

Tiba-tiba ia menyeringai dan menahan napas. Rasa yang amat nyeri menusuk perutnya, rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya, mengerahkan sinkangnya diarahkan ke perut sambil menarik napas panjang. Rasa nyeri lenyap seketika, namun hatinya menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah terluka oleh pukulan Siang-mou Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di bagian mana. Rasanya di perut, akan tetapi begitu dilawan sinkang rasa nyeri itu hilang. Ia tidak tahu bahwa pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni darahnya dan tentu saja yang pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi terpukul.

Tak lama kemudian dari ruangan dalam muncul keluar Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Jantung Kiang Liong serasa berhenti berdetik ketika melihat Siang-mou Sin-ni mendukung seorang anak laki-laki. Ia tidak mengenal Han Ki karena ketika ia mengunjungi pamannya dahulu Han Ki masih seorang bayi. Akan tetapi ia dapat menduga bahwa anak berusia sebelas tahun itu tentulah Han Ki. Anak itu sudah sadar akan tetapi melihat keadaannya yang tak dapat bergerak dan lemas, Kiang Liong maklum anak itu tentu tertotok.

Menurutkan kata hatinya, ingin ia meloncat dan merampas bocah itu untuk kemudian dibawa lari. Akan tetapi, pikirannya yang cerdik melarang ia melakukan hal itu. Kalau ia lakukan berarti ia mencari mati dan Han Ki juga takkan tertolong. Yang lebih hebat lagi, Kerajaan Sung akan terancam bencana hebat! Biar pun hatinya seperti ditusuk ia tetap bersikap tenang dan ketika mereka berdua sudah datang dekat, ia bertanya.

“Bagaimanakah, Couwsu dan Sin-ni, apakah persekutuan kita cukup berharga untuk Ji-wi (Kalian) mengampuni anak itu dan memberikannya kepadaku?”

Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu membentak keras, “Kiang Liong! Apakah hatimu palsu dan kau tidak menghargai perjanjian kita?” Sikap kakek ini jelas mencurigai dan menentang.

Kiang Liong terkejut. Ia harus berhati-hati. Kakek gundul ini amat cerdik. “Eh, apa alasannya engkau menyangka seperti itu, Couwsu?”

“Kalau engkau memang jujur, mengapa kau ingin benar menolong anak ini? Sepatutnya sebagai tanda persahabatan engkau merelakan anak ini kepada Sin-ni. Urusan kita amatlah besar. Urusan anak ini tidak ada artinya. Apa artinya nyawa seorang bocah seperti ini? Nah, jawablah bagaimana pikiranmu? Kalau kau mementingkan anak ini, berarti kau tidak sungguh-sungguh hendak bersekutu dengan kami!”

Kiang Liong terkejut dalam hatinya. Tak disangkanya kakek gundul ini sedemikian cerdik. Ia memutar otak mencari siasat, namun tidak melihat jalan lain kecuali berpura-pura tidak mengerti dan mengalah.

“Aku hanya ingin menolong karena dia putera Paman guruku, akan tetapi sama sekali bukan berarti aku melupakan persekutuan kita. Habis, bagaimanakah kehendakmu dengan anak ini, Couwsu? Beritahulah dan aku tentu saja akan menerima usulmu asalkan demi kebaikan kita bersama, terutama sekali tentu saja, demi berhasilnya usaha besar kita.” Sengaja Kiang Liong menekankan usaha besar karena ia maklum bahwa kepala gundul ini amat membutuhkan bantuannya untuk menghimpun tenaga yang akan bergerak dari dalam kota raja.

“Hi-hi-hik, alasanmu dibuat-buat, Kiang-kongcu. Kalau memang benar kau begitu mementingkan persekutuan di antara kita mengapa kau hendak merampas anak ini dari tanganku? Susah payah anak ini kupelihara, kubebaskan dari kematiannya di rumahnya, kemudian kubikin gemuk sehat untuk keperluanku yang amat penting, menyempurnakan ilmu yang sedang kulatih. Kalau aku berkeras tidak mau menyerahkan anak ini kepadamu, kau mau apa, Kiang-kongcu? Apakah kau akan membatalkan persekutuan kita hanya karena anak ini?”

Dapat dibayangkan betapa bingung dan gelisah rasa hati Kiang Liong. Ia menghadapi jalan buntu. Membatalkan persekutuan berarti kematian baginya dan membahayakan Kerajaan Sung, kalau tidak mana mungkin ia membiarkan anak itu dijadikan korban secara mengerikan? Dari Po Leng In ia sudah mendengar betapa iblis betina ini hendak melakukan I-kin-hoan-jwe, untuk kesempurnaan ilmunya Hun-beng Toh-wat, dan untuk keperluan inilah Han Ki ditawan. Ia sendiri belum tahu secara jelas bagaimana orang melakukan I-kin-hoan-jwe mengambil sumsum dan darah putih dalam urat, akan tetapi dapat membayangkan bahwa hal itu tentu mengerikan dan kejam sekali.

“Jadi engkau akan membunuhnya. Siang-mou Sin-ni?”

Melihat keraguan pemuda itu Bouw Lek Couwsu lalu memandang tajam. Pendeta ini adalah seorang yang cerdik. Kalau tidak, tentu saja ia tidak menjadi pemimpin bangsa Hsi-hsia. Ia melihat betapa Siang-mou Sin-ni dan pemuda itu saling berhadapan, saling siap untuk bertanding. Hal ini tidak ia inginkan karena ia benar-benar mengharapkan bantuan pemuda ini yang telah terpikat karena dijanjikan kedudukan raja. Maka cepat-cepat ia melangkah maju dan berkata.

“Antara orang sendiri tak perlu ribut-ribut, kalau memang kita semua beritikad baik.” Ia memandang Siang-mou Sin-ni penuh arti kemudian melanjutkan. “Kiang-kongcu, pinceng telah bicara panjang lebar dengan Sin-ni. Memang Sin-ni membutuhkan anak ini untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi pinceng yang menanggung bahwa anak ini tidak akan dibunuhnya. Biarlah kita sama lihat. Kalau kelak engkau dapat memegang janjimu dan mengerahkan tenaga bantuan dari dalam kota raja, pinceng berjanji akan menyerahkan anak ini dalam keadaan hidup kepadamu!”

Diam-diam Kiang Liong menyumpahi pendeta yang amat licik ini di dalam hatinya. Ia mengerti bahwa Han Ki dijadikan ‘barang tanggungan’ untuk menguji kesetiaannya dalam persekutuan itu. Tidak ada pilihan lain. Kalau kelak pasukan Hsi-hsia menyerbu, Kerajaan Sung akan mengatur penjebakan yang menghancurkan barisan musuh dan dia sendiri akan mengumpulkan tenaga, bahkan gurunya sendiri tentu akan membantunya untuk menangkap Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, dan kalau tidak terlambat akan menolong Han Ki.

“Akan tetapi awaslah kalian,” kutuknya dalam hati, “kalau anak ini kalian bunuh, jangan harap kalian dapat terlepas dari hukumanku!”

Ia mengangkat kedua bahunya dan duduk kembali. “Apa boleh buat, kalau kau tidak percaya penuh kepadaku, boleh saja anak ini kau tahan, Bouw Lek Couwsu. Betapa pun juga, urusan besar itu tentu saja jauh lebih penting.”

“Bagus! Mari kita minum arak untuk saling pengertian yang baik ini!” Kembali mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.

Siang-mou Sin-ni tersenyum, lalu cekikikan. “Hi-hi-hik! Siapa tahu hati manusia? Memang aku tidak akan membunuh anak ini, akan tetapi aku harus mengambil sedikit darahnya, sedikit-sedikit tiap hari dan kuganti dengan obat agar darahnya pulih. Sekarang pun akan kubuktikan caranya agar hati Kiang-kongcu tidak ragu-ragu lagi!”

Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni meletakkan tubuh Han Ki di atas meja bundar yang besar itu. Anak itu telentang di atas meja, matanya yang lebar memandang Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu penuh kebencian. Ketika melirik ke arah Kiang Liong, dia hanya memandang sekilas karena tidak mengenal siapa pemuda itu yang agaknya tidak sepenuh hati hendak menolongnya.

Kiang Liong kagum bukan main dan hatinya diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biar pun ia tidak dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.

Sementara itu, Siang-mou Sin-ni sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum di tangan kanan, sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.

Terjadi perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai penyelidik, teringat akan kewajiban sebagai seorang yang setia dan mencinta pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni melanjutkan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang, kemudian dari lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak itu!

Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni tersenyum manis. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, ketika tersenyum bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandangan Kiang Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.

“Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak ini!” katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.

Kini wajah Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangannya agak menggigil. Setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung atas di bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas mulai bergerak perlahan, menempelkan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk menusuk.....

Meledaklah rasa penasaran dan kemarahan di hati Kiang Liong. Tanpa dapat terkendalikan lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan mulutnya membentak, “Iblis betina, lepaskan dia!”

Hebat bukan main gerakan Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang Siang-mou Sin-ni dengan ilmu silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang sifatnya paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia pelajari dari Suling Emas. Biar pun Siang-mou Sin-ni amat lihai, namun saat itu sebagian besar perhatiannya sedang tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang melonjak-lonjak, Karena terjangannya ini tidak tersangka-sangka, maka ia kurang cepat menghindar. Memang benar ia dapat meloncat ke samping, namun hawa pukulan Kiang Liong tetap saja mengenai bahu kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh dan jarum emasnya terlempar!

“Keparat!” Siang-mou Sin-ni mengumpat, rambutnya kini sudah bergerak menyambar ke pinggang Kiang Liong. Namun pemuda itu dengan sigapnya menghindar dan dengan cepat tangan kirinya meraih ke arah meja hendak menyambar tubuh Han Ki.

“Perlahan dulu, orang muda!” Suara ini keluar dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar yang amat kuat menangkis ke arah lengan tangan Kiang Liong yang meraih tubuh Han Ki. Untung Kiang Liong maklum akan bahaya dan cepat menarik kembali lengannya. Kalau tidak tentu lengannya akan patah bertemu dengan tongkat yang berat dan digerakkan tenaga hebat pula.

Dari arah kanan menyambar hawa pukulan yang dingin. Kiang Liong cepat miringkan tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga sinkang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit sekali sehingga begitu lengannya terbentur lengan Siang-mou Sin-ni yang memukul dari kanan, ia terpental ke belakang. Kiang Liong terhuyung-huyung dan sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia elakkan, dan jalan satu-satunya hanya menangkis dengan telapak tangan.

“Plakk!!” tongkat terpental, akan tetapi Kiang Liong merasa betapa kenyerian dari perutnya naik ke dada, terus ke tenggorokannya dan ia menyemburkan darah dari mulutnya. Tahulah ia bahwa ia terluka hebat, maka tanpa pedulikan apa-apa lagi ia lalu duduk bersila di atas lantai, mengatur pernapasan dan mengerahkan hawa murni melawan luka dan racun yang mengamuk di perut.

Siang-mou Sin-ni terkekeh dan sudah menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir. Tangannya penuh dengan hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali mengenai kepala Kiang Liong yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi pemuda itu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan Siang-mou Sin-ni menyambar, Kiang Liong sedang siulian (semedhi) untuk mengerahkan hawa murni di tubuhnya.

“Plakk!” Tangan yang halus namun keji dari Siang-mou Sin-ni bertemu dengan ujung tongkat Bouw Lek Couwsu. Wanita itu membelalakkan matanya dan memandang marah. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip kepadanya, kemudian mendekatinya dan berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou Sin-ni.

“Ia terluka oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek yang tadi,” bisiknya. “Berapa lamakah ia akan dapat bertahan untuk hidup?”

Siang-mou Sin-ni yang belum dapat menangkap maksud pendeta itu menjawab ragu. “Dia lihai dan kuat, tentu dapat bertahan sampai tiga bulan. Namun darahnya sudah keracunan dan ia tidak dapat tertolong lagi.”

“Bagus,” bisik pendeta itu. “Kita tak perlu membunuhnya. Kita lanjutkan rencana, biarkan dia kembali dan menyusun kekuatan di kota raja membantu kita dengan janji kalau dia tidak melanggar janji, selain anak ini kelak kita kembalikan, juga kau janjikan obat penawar pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak ini dan nyawanya sendiri, agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk mengkhianati kita.”

Siang-mou Sin-ni tersenyum dan mengangguk-angguk. “Tok-hiat-hoat-lek ilmuku itu akibatnya luar biasa. Di dunia ini tidak akan ada yang dapat mengobatinya kecuali aku sendiri. Ilmu yang baru ini belum dikenal orang, biar Suling Emas sendiri tak mungkin dapat menyembuhkan muridnya, hi-hik!” Ia lalu mengambil jarum emas yang tadi terlempar di atas lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih tertelungkup di atas meja.

Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di luar, suara sorak-sorai gemuruh disusul suara jerit-jerit mengerikan, suara senjata-senjata bertemu dan banyak sekali orang bertempur.

Pintu kamar itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia berteriak, “Barisan Beng-kauw menyerbu...!” Mendadak mereka roboh terjungkal dan di punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok terbang)!

“Tar-tar-tar...!” Suara meledak-ledak ini adalah suara lecutan cambuk yang berada di tangan seorang kakek bertopi lebar. Ke mana pun cambuknya menyambar, di situ tentu ada beberapa orang musuh terjungkal tewas.

Di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia lima puluh lima tahun yang mengamuk pula dengan sebatang pedang berhawa dingin dan bersinar kuning terang. Masih ada lagi seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bermata tajam yang mengamuk dengan tangan kosong, akan tetapi setiap pukulan atau tendangan kakinya tentu merobohkan seorang lawan.

Di samping tiga orang kakek luar biasa ini tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang gadis yang telah dibebaskan, mengamuk pula dengan pedang mereka. Selain mereka, ratusan orang anggota Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan penyembelihan terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena penyerbuan ini adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia.

Kakek bertopi lebar bersenjata cambuk yang luar biasa lihainya itu bukan lain adalah Kauw Bian Cinjin. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dialah satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos dari kematian. Kauw Bian Cinjin adalah sute (adik seperguruan) ketua Beng-kauw yang tewas, akan tetapi dalam hal kepandaian, kakek ini melebihi suheng-nya. Sudah bertahun-tahun ia mengundurkan diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak Ta-liang-san.

Pada beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian Cinjin bercakap-cakap dengan dua orang kakek yang menjadi tamunya, datang seorang anggota Beng-kauw yang sambil menangis melaporkan tentang mala-petaka yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw Bian Cinjin menjadi marah sekali. Dua orang kakek yang menjadi tamunya itu juga menawarkan tenaga bantuan mereka. Mereka ini bukan orang-orang sembarangan. Yang bersenjata pedang dan bertubuh gagah adalah ketua penghuni Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok Liong.

Pembaca CINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat akan nama ini, nama seorang pemuda yang mencinta Lin Lin atau Puteri Yalina akan tetapi tidak terbalas sehingga ia mengasingkan diri dan tetap tinggal membujang sampai tua sambil memperdalam ilmu silatnya. Ada pun kakek kedua yang kurus berjenggot panjang dan amat lihai kaki tangannya itu adalah seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok, bernama Ong Toan Liong.

Demikianlah, dengan disertai bantuan dua orang sahabat yang menjadi tamunya, Kauw Bian Cinjin bergegas turun gunung, mengumpulkan para anggota Beng-kauw sejumlah empat lima ratus orang kemudian mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di Kao-likung-san. Kebetulan sekali di lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa dengan Siang Kui dan Siang Hui yang malam itu dibebaskan karena pertolongan Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat dua orang gadis ini menceritakan pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang adiknya yang masih tertawan. Penyerbuan dilanjutkan dengan cepat dan begitu tiba di markas Bouw Lek Couwsu, terjadilah perang yang hebat dan berat sebelah.

Biar pun para hwesio jubah merah rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun jumlah orang-orang Beng-kauw yang menyerbu terlalu banyak. Apa lagi di sebelah depan dipimpin oleh tiga orang kakek yang demikian lihai, terutama sekali yang bercaping dan bersenjata cambuk, amat mengerikan. Dengan cepat dan mudahnya, Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok Liong, Ong Toan Liong, dan kedua orang gadis cucunya itu menyerbu terus sampai ke bangunan terbesar yang menjadi tempat kediaman Bouw Lek Couwsu.

Lecutan cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan pintu kamar Bouw Lek Couwsu dan mereka menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar itu kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu mau pun Siang-mou Sin-ni. Juga tidak tampak Kiang Liong mau pun Kam Han Ki. Kedua orang gadis yang pernah menjadi tawanan di tempat ini segera menjadi penunjuk jalan, menggeledah dan mencari di seluruh bangunan yang berada di situ, namun sia-sia saja. Dua orang musuh besar yang menjadi biang keladi penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang hendak mereka tolong, tak tampak bayangannya.

Mereka mengamuk dan membunuh semua pelayan dan orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka keluar lagi, ternyata perang kecil itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk mayat orang-orang Hsi-hsia dan ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw, tetapi ketika diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah. Ternyata bahwa semua orang Hsi-hsia yang bertugas di situ, sejumlah kurang lebih seratus orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah agaknya sebagian besar melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni juga melarikan diri. Yang menyusahkan hati Kauw Bian Cinjin terutama sekali Siang Kui dan Siang Hui adalah lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah perginya dua orang tawanan itu?

Ketika tadi mendengar laporan tentang penyerbuan orang-orang Beng-kauw dan melihat sekelebatan bahwa jumlah penyerbu jauh lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah menyambar tubuh Han Ki dan lari secepat terbang melalui belakang bangunan, turun gunung melalui jurusan lain. Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han Ki dan tidak mau pula mempertaruhkan nyawanya menghadapi penyerbuan orang-orang Beng-kauw yang kini jauh lebih kuat.

Bouw Lek Couwsu juga bukan seorang bodoh. Ia memang menerjang ke luar dan merobohkan beberapa orang penyerbu, akan tetapi melihat dari jauh akan kelihaian tiga orang kakek yang mengamuk dan melihat pula betapa banyaknya orang-orang Beng-kauw yang menyerbu, diam-diam ia memberi tanda rahasia kepada para muridnya untuk melarikan diri. Sebagai perisai, mereka meninggalkan orang-orang Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh keberanian itu.

Bouw Lek Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk bersila di dalam kamarnya. Hatinya bimbang. Pemuda itu sudah mengetahui rahasia pergerakannya. Bagaimana kalau mengkhianatinya? Di samping kebimbangan ini, ia pun merasa betapa pentingnya bantuan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia memasuki kamarnya, Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ! Ia yakin benar pihak musuh belum ada yang menyerbu kamarnya! Siang-mou Sin-ni memang sudah pergi membawa lari Han Ki, akan tetapi tadi Kiang Liong masih duduk bersila di situ. Ke manakah perginya pemuda itu?

Karena keadaan sudah amat mendesak dan melihat betapa murid-muridnya sudah tersebar melarikan diri, Bouw Lek Couwsu juga berkelebat pergi turun gunung dari sebelah belakang.

Kini setelah perang selesai, tinggallah Kauw Bian Cinjin berulang kali menghela napas panjang. Alangkah menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu banyak manusia, padahal selama bertahun-tahun ia hidup aman di pertapaan. Namun, betapa mungkin ia tinggal diam saja mendengar pimpinan Beng-kauw terbasmi? Di sampingnya, Siang Kui dan Siang Hui menangis karena dua orang ini mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam Han Ki. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka turun dari gunung itu dengan hati gelisah. Kemenangan mereka itu tidak memuaskan hati karena yang hendak mereka tolong terutama Han Ki lenyap dilarikan musuh.

********************
Selanjutnya baca
MUTIARA HITAM : JILID-11
LihatTutupKomentar