Cinta Bernoda Darah Jilid 17

Pemuda ini merasa penasaran dan juga marah. Kalau saja ia tidak menghadapi pemberontakan yang serius dan yang harus diberantasnya dengan segera, tentu ia tidak sudi menerima tantangan yang amat menghina ini. Dia, Liao Kayabu, seorang jagoan besar di Khitan, hanya ‘dihargai’ semahal tiga belas jurus saja oleh seorang gadis muda jelita? Benar-benar penghinaan yang amat hebat!
Kali ini baginya juga merupakan ujian. Ia harus memperlihatkan kepandaiannya terhadap gadis yang amat cantik jelita ini, yang agaknya adalah puteri keponakan sri baginda sendiri yang baru muncul sekarang. Bukankah kalau ia sanggup bertahan sampai tiga belas jurus, pemberontakan itu sekaligus dapat dipadamkan tanpa pertumpahan darah lagi? Ia harus dapat bertahan, tidak saja bertahan sampai tiga belas jurus, bahkan ia harus berbalik dapat menangkap gadis cantik ini.....

“Awas serangan pertama...! Lin Lin berseru sambil menggerakkan Pedang Besi Kuning yang berubah menjadi gulungan sinar keemasan.

Hampir saja Kayabu tertawa menyaksikan serangan jurus pertama itu. Itu sama sekali bukan merupakan serangan, mengapa dimasukkan sebagai jurus serangan? Ia melihat gadis itu menggerakkan pedang ke depan dada dan tangan kiri merangkap tangan kanan merupakan sembah di depan dada, kemudian kedua lengan dikembangkan ke atas kepala dengan pedang dibalik masuk ke belakang lengan kanan, seperti gerakan orang yang menengadah dan memohon berkah dari Thian Yang Maha Kuasa. Inikah jurus serangan? Akan tetapi sesungguhnyalah, inilah jurus pertama atau jurus pembukaan dari tiga belas jurus ilmu sakti yang oleh Lin Lin disebut Co-sha Sin-kun.
Tiba-tiba Kayabu berseru keras dan terkejut bukan main. Cepat-cepat ia mengubah kedudukan kakinya dan memasang kuda-kuda yang amat kuat karena dari arah Lin Lin datang hawa pukulan yang seperti angin gunung bertiup perlahan. Bukan merupakan serangan langsung, akan tetapi benar-benar mengejutkan sekali karena hawa pukulan atau angin ini timbul hanya karena gadis itu menggerakkan lengan ke atas. Baru bergerak seperti itu saja sudah mengandung hawa pukulan yang terasa dalam jarak tiga meter, apa lagi kalau dipergunakan untuk memukul! Kayabu sama sekali tidak tahu bahwa jurus pertama ini memang bukan jurus serangan, melainkan jurus untuk mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sinkang!

“Jurus kedua...!” kembali Lin Lin berseru.

Dan kembali Kayabu menjadi geli karena jurus kedua ini dimainkan dengan amat lambat sehingga Pedang Besi Kuning itu jelas sekali bergerak menusuk ke arah pundak kirinya. Kayabu tidak mau memandang rendah biar pun merasa geli menyaksikan jurus-jurus yang lucu dan tidak ada bahayanya sama sekali ini. Dia seorang pemuda yang cukup hati-hati dan banyak pengalamannya dalam pertandingan, maka menghadapi tusukan lambat ke arah pundaknya ini ia cepat menggerakkan golok besarnya.

Tentu saja mudah baginya untuk mengelak. Akan tetapi menurut pengalamannya, biasanya serangan yang lambat itu hanyalah merupakan pancingan dan serangan sesungguhnya baru akan datang setelah yang diserang mengelak. Inilah sebabnya sengaja Kayabu tidak mau mengelak, melainkan ia menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena ia berniat mengakhiri pertempuran tak seimbang ini dengan memukul runtuh pedang gadis itu.

“Cringgg...!”

Kayabu mengeluh dan meloncat ke belakang. Sabetan goloknya tadi keras sekali, akan tetapi ia merasa betapa telapak tangannya seperti dibeset kulitnya oleh gagang goloknya sendiri. Kiranya dengan sinkang yang mukjijat, gadis itu telah membuat Pedang Besi Kuning yang ditusukkan dengan lambat itu tergetar amat kuat dan halus sehingga tidak tampak. Maka begitu golok lawan membentur pedangnya, getaran kuat ini menjalar melalui golok dan sampai ke gagang, membuat telapak tangan lawan menjadi panas dan sakit-sakit. Makin keras Kayabu menangkis, makin keras pula telapak tangannya terkena getaran. Pemuda Khitan itu cepat mengatur keseimbangan tubuhnya dan siap-siap menghadapi serangan selanjutnya. Kini ia tidak berani memandang ringan sama sekali, bahkan timbul rasa ngeri dan khawatir di hatinya.

“Awas jurus ketiga...!” Lin Lin berseru dan pandang mata Kayabu berkunang-kunang karena tiba-tiba gadis itu lenyap sama sekali, terbungkus oleh gulungan sinar pedang kuning yang mendatangkan angin berpusing-pusing.

Gadis itu seakan-akan telah berubah menjadi angin puyuh yang berputar-putar makin mendekatinya! Kayabu tidak tahu bahwa Lin Lin telah mengeluarkan jurus yang amat hebat dari ilmu sakti Cap-sha Sin-kun, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat). Karena tidak tahu harus bagaimana menghadapi gulungan sinar kuning yang berpusing itu, Kayabu lalu mengeluarkan seruan keras dan goloknya berkelebat membacok ke depan.

“Wesss... wesss...!” Aneh sekali, sinar goloknya membabat gulungan sinar, seakan-akan membabat bayangan saja, tidak mengenai apa-apa. Dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar kuning itu menyambar ujung Pedang Besi Kuning seakan-akan kilat cepatnya.

“Aiiihhhhh!” Kayabu menjerit dan goloknya terlepas karena kulit tangannya tergores pedang dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, lutut kakinya terkena totokan ujung sepatu Lin Lin dan tak tertahankan lagi ia roboh tertelungkup!

Pek-bin-ciangkun dan para perwira lainnya memandang dengan bengong. Kejadian itu bagi mereka teramat aneh. Para prajurit yang merasa simpati kepada Lin Lin bersorak gemuruh, sedangkan Kayabu bangkit berdiri dengan muka merah.

“Bagaimana, Kayabu? Sudah puaskah kau ataukah kau hendak melanjutkan percobaanmu?”

“Aku bukanlah seorang yang buta dan nekat. Aku tahu bahwa kepandaian Nona amat tinggi dan aku bukan lawan Nona. Setelah aku kalah, silakan Nona gerakkan pedang itu membunuhku!”

“Tidak, Kayabu. Aku tidak akan membunuhmu, malah aku minta sukalah kau membantuku menumbangkan kedudukan paman tiriku yang dibantu oleh iblis Hek-giam-lo untuk melepaskan bangsa kita dari pada penindasan si lalim.”

Sepasang mata pemuda itu seakan-akan mengeluarkan kilat. “Aku adalah seorang prajurit sejati, bagiku tidak ada pilihan lain, mati dalam perjuangan atau menang. Tak perlu kau membujukku, setelah kalah, mati bukan apa-apa bagiku!” Sambil berkata demikian, pemuda ini menggerakkan goloknya ke arah lehernya sendiri.

“Kayabu...!” Pek-bin-ciangkun memekik penuh kekhawatiran.

Sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak khawatir atau ngeri melihat putera tunggalnya menghadapi maut, akan tetapi ia benar-benar akan merasa hancur hatinya kalau puteranya itu tewas membunuh diri, suatu perbuatan yang dianggap pengecut dan rendah. Sama sekali ia tidak menyangka puteranya akan melakukan perbuatan itu sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Pek-bin-ciangkun untuk mencegahnya. Akan tetapi, sinar kuning menyambar dari tangan Lin Lin, terdengar suara keras dan golok di tangan Kayabu patah-patah dan terlempar sampai jauh. Pemuda itu mencelat mundur dengan muka pucat.

Pek-bin-ciangkun melangkah maju dan melayangkan tangannya menampar pipi puteranya dua kali sehingga pipi itu menjadi merah dan dari ujung bibirnya keluar sedikit darah.

“Huh, anak durhaka! Apakah kau hendak meninggalkan aib pada ayahmu dengan cara pengecut? Membunuh diri? Ihhh, Kayabu, sampai hatikah kau melakukan hal itu di depan ayahmu?” Suara orang tua ini menjadi serak dan dari matanya yang melotot lebar itu keluar beberapa butir air mata.

Kayabu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya. “Ayah, ampunkan anakmu yang lupa dan gila karena kekecewaan. Bukan hanya kecewa karena anak tidak dapat memenuhi tugas sebagaimana mestinya, melainkan terutama melihat ayah sebagai junjungan dan pujaanku ternyata hendak menjadi pengkhianat dan membantu pemberontak. Ayah, di manakah kegagahan kita dan bagaimana kita kelak dapat mempertanggung-jawabkannya di depan nenek moyang kita?”

Pek-bin-ciangkun memegang pundak anaknya dan ditariknya berdiri. Mereka berhadapan muka. Ayah dan anak yang sama tingginya ini saling bertentang pandang sampai beberapa lama, kemudian si ayah berkata, “Kau keliru. Yang kau tuduhkan itu sesungguhnya kebalikan dari pada kenyataan. Sekarang ini ayahmu bukan berdiri di pihak pemberontak atau pengkhianat, bahkan sebaliknya dari pada itu. Ketahuilah, Kayabu, yang selama ini kita bela, sesungguhnya adalah pihak pengkhianat. Kita terpaksa membela pengkhianat karena dia yang berhak telah melenyapkan diri. Dan sekarang, Tuan Puteri Mahkota Yalina yang berhak akan tahta kerajaan telah muncul kembali. Aku dahulu adalah panglima dari kakeknya, kemudian ibunya. Setelah kedudukan terampas oleh paman tirinya dan dia sendiri lenyap, terpaksa aku membantu pengkhianat. Sekarang tiba waktunya untuk membasmi para pengkhianat.” Selanjutnya panglima tua itu menceritakan puteranya tentang semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu, juga tentang Hek-giam-lo yang sesungguh­nya adalah Bayisan, panglima pengkhianat yang melarikan diri.

Terbukalah mata Kayabu. Mulai ia dapat melihat siapa sesungguhnya gadis cantik jelita yang berpakaian seperti gadis Han, yang memiliki kesaktian yang luar biasa itu. Tahulah ia sekarang mengapa Panglima Khitan yang paling dipercaya oleh raja, yang merupakan orang terkuat dan boleh dibilang paling berkuasa di Khitan, dijadikan pembantu oleh raja padahal orang itu terkenal sebagai seorang iblis yang jahat. Hek-giam-lo berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap bangsanya sendiri, akan tetapi maklum betapa saktinya Hek-giam-lo, dia tak dapat berbuat sesuatu selain mengadu kepada ayahnya yang hanya menggeleng kepala, bahkan melarangnya menentang Hek-giam-lo yang sakti dan jahat.

Pemuda yang dapat berpikir panjang ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin sambil berkata, “Maafkan hamba yang tidak mau melihat kenyataan dan telah bersikap tidak pantas terhadap Tuan Puteri....”

“Awasss...!” Tiba-tiba kaki Lin Lin menendang pundak Kayabu, membuat pemuda itu terlempar bergulingan sampai enam meter lebih jauhnya.

Semua orang kaget sekali, terutama Kayabu sendiri dan juga Pek-bin-ciangkun. Mereka terkejut dan kecewa, mengira bahwa Lin Lin tiada bedanya dengan Hek-giam-lo yang berwatak ganas dan kejam, tak dapat memberi ampun kepada orang lain. Akan tetapi keraguan dan kekecewaan ini segera lenyap terganti kekaguman dan kegirangan ketika Lin Lin membungkuk dan memungut tiga batang benda hitam yang menancap di atas tanah, tepat di mana tadi Kayabu berlutut. Ternyata itu adalah tiga buah pisau hitam yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di situ tanpa terlihat orang lain, tentu saja kecuali Lin Lin yang telah berhasil menyelamatkan Kayabu.

“Kebetulan sekali, belum dicari sudah datang! Hek-giam-lo iblis busuk, keluarlah terima binasa!” teriak Lin Lin sambil melompat ke kiri dengan pedang di tangan dan tangan kirinya bergerak menyambitkan tiga batang pisau hitam tadi ke semak-semak.

Akan tetapi tiga batang pisau itu lenyap ke dalam semak-semak tanpa mendatangkan akibat apa-apa. Hek-giam-lo memang hebat. Baru saja ia menyambitkan pisau-pisaunya dari semak-semak itu untuk membunuh Kayabu, tahu-tahu ia sudah lenyap dari situ dan tiba-tiba keadaan sebelah kanan menjadi ribut. Ketika Lin Lin meloncat ke bagian ini, wajahnya menjadi merah saking marahnya karena tanpa ada yang tahu apa yang menjadi sebab, dua belas orang prajurit telah menggeletak mati dengan muka hitam seluruhnya, tanda terkena racun yang amat jahat!

“Keparat Hek-giam-lo! Pengecut kau! Hayo keluar dan bertanding seribu jurus melawanku!”

Akan tetapi terpaksa Lin Lin cepat memutar pedangnya ketika telinganya menangkap desir angin senjata rahasia dari arah belakang. Terdengar bunyi denting yang riuh ketika pedangnya berhasil menyampok pergi belasan batang jarum hitam, akan tetapi kembali ada enam orang prajurit terjungkal roboh dan mati seketika!

Lin Lin makin marah. Gadis ini berkelebatan ke sana ke mari untuk mencari tempat persembunyian musuhnya, namun Hek-giam-lo benar-benar jahat dan licin. Agaknya iblis ini sengaja hendak mempermainkan Lin Lin dan para pengikutnya. Berturut-turut roboh para prajurit dan sebagian dari pada para perwira. Setiap kali roboh tentu enam orang dan dalam waktu beberapa menit saja sudah tiga puluh enam orang roboh binasa dalam keadaan mengerikan!

“Berpencar...! Masing-masing berlindung...!” Kayabu berteriak nyaring dan bersama ayahnya yang banyak pengalaman dalam pertempuran, pemuda ini mengatur sisa orang-orangnya.

Dalam sekejap mata saja para prajurit yang tadinya kebingungan dan kacau-balau kehilangan pimpinan itu, berserabutan dan lenyap dari pandangan mata, berlindung dan bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak. Tinggal Lin Lin seorang diri yang masih tinggal berdiri tegak di situ sambil memaki-maki dan menantang-nantang.

Tiba-tiba dari arah depan terdengar deru angin senjata rahasia dan cepat gadis ini memutar pedangnya. Hujan senjata rahasia berupa pisau-pisau dan jarum-jarum beracun itu dengan gencar menyambar datang, namun semua dapat ditangkis oleh gulungan sinar kuning yang merupakan benteng sinar yang melindungi tubuh Lin Lin. Sambil menangkis, Lin Lin memaki-maki.

“Hek-giam-lo iblis jahanam! Hayo keluarlah kau kalau memang laki-laki! Inilah anak tunggal Puteri Tayami. Aku Puteri Mahkota Yalin, hayo kau lawanlah kalau memang gagah. Jangan main sembunyi dan melepas senjata rahasia seperti seorang pengecut rendah!”

Akan tetapi tidak pernah ada jawaban dan hujan senjata rahasia pun berhenti. Tiba-tiba kesunyian itu terpecah oleh lengking tinggi dan kagetlah Lin Lin karena pendengarannya yang tajam me­nangkap suara angin pukulan. Desir angin pukulan seperti itu hanya dapat terdengar kalau ada tokoh-tokoh sakti mengadu kepandaian. Cepat gadis ini melompat dari tempat itu menuju ke arah suara.

Benar saja dugaannya, tak jauh dari situ, terhalang oleh pohon-pohon rindang, tampak tiga orang tengah bertanding hebat. Dan Lin Lin kaget bukan main ketika mengenal mereka. Yang sedang bertanding hebat itu bukan lain adalah Hek-giam-lo yang dikeroyok oleh dua orang, Gan-lopek dan Lie Bok Liong!

Hek-giam-lo memang hebat sekali. Sebetulnya iblis ini masih belum sembuh dari lukanya yang hebat ketika ia bertanding menghadapi Suling Emas di puncak Thai-san. Luka akibat pukulan Suling Emas yang bagi lain orang tentu akan mengakibatkan maut itu, bagi Hek-giam-lo hanya mendatangkan luka sebelah dalam yang amat hebat dan membutuhkan pengobatan dan istirahat lama. Namun, keadaannya yang terluka hebat ini tidak mengurangi keganasannya sehingga ketika ia mendengar tentang maksud pemberontakan orang-orang Khitan yang dipimpin oleh Lin Lin, iblis ini segera keluar dan turun tangan, berhasil dengan jarum-jarum hitamnya membunuh sampai tiga puluh enam orang banyaknya.

Bahkan ketika dia menghujankan senjata rahasia kepada Lin Lin dan tiba-tiba muncul Gan-lopek dan Lie Bok Liong yang menyerangnya, iblis ini masih sanggup untuk melakukan perlawanan yang hebat. Gan-lopek tokoh kang-ouw kawakan yang selalu bergembira dan lucu itu, sebagaimana diceritakan di bagian depan, berpisah dari Lin Lin ketika mereka tiba di pucak Thai-san karena Lin Lin membantu Suling Emas dan bertemu dengan saudara-saudaranya.

Merasa bahwa dia adalah ‘orang luar’, kakek ini menjauhkan diri. Akan tetapi kemudian ia berjumpa dengan muridnya, Lie Bok Liong, dan alangkah kecewa dan menyesal hatinya ketika melihat muridnya yang terkasih itu menderita batin. Apa lagi ketika ia mendengar pengakuan Lie Bok Liong tentang penolakan kasih sayang Lin Lin, kakek ini tidak mau mengerti.

“Ah, tak mungkin!” bantahnya. “Lin Lin suka kepadamu, ini aku tahu benar!”

“Suka tidak sama dengan cinta, Suhu...”

“Apa bedanya? Dari suka menjadi cinta. Hayo, mana dia? Mana gadis liar itu?”

“Teecu (murid) khawatir bahwa dia sudah berangkat ke Khitan, Lin-moi memiliki hasrat besar untuk menuntut kembali haknya atas mahkota Kerajaan Khitan.”

“Wah-wah, bocah lancang dia! Mana dia mampu menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan seorang diri? Dia bisa celaka. Hayo, Bok Liong, kita harus menyusulnya.”

Demikianlah, guru dan murid ini muncul di Khitan. Kebetulan sekali pada hari itu mereka menyaksikan Hek-giam-lo secara pengecut menyerang Lin Lin dari tempat sembunyi dengan senjata-senjata rahasia. Tanpa banyak cakap lagi Gan-lopek lalu menerjang iblis itu dengan senjatanya yang istimewa, yaitu Hek-pek-mou-pit (Pensil Bulu Hitam dan Putih). Terjadilah pertandingan hebat dan mati-matian antara dua orang sakti.

Hek-giam-lo memang menderita luka dalam. Namun gerakannya masih hebat ketika menyambut terjangan Gan-lopek. Senjatanya yang mengerikan, sabit tajam panjang itu, menyambar-nyambar seperti seekor naga siluman mengamuk di angkasa raya. Menyaksikan kehebatan iblis ini, Bok Liong tidak mau tinggal diam, lalu mencabut Gwat-kong-kiam dan menyerbu dengan hebat. Karena maklum akan keganasan dan kelihaian si iblis hitam, apa lagi karena ia maklum pula akan isi hati Bok Liong yang tidak mau ketinggalan dalam usaha membantu dan menolong Lin Lin, maka Gan-lopek tidak melarangnya melakukan pengeroyokan terhadap Hek-giam-lo.

Melihat Bok Liong, Lin Lin merasa tertusuk hatinya. Terharu sekali ia melihat pemuda ini yang pernah secara terus terang menyatakan cinta kasihnya kepadanya, dan dengan tegas ia menolaknya. Entah berapa kali sudah pemuda gagah perkasa ini menolongnya, membelanya, membantunya tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri. Betapa mulianya hati pemuda ini, betapa gagahnya sehingga tidak takut-takut menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya untuk menolongnya, sungguh pun pemuda itu cukup maklum bahwa kepandaiannya tidak akan mampu dipakai menghadapi Hek-giam-lo. Cinta kasih murni yang amat mengharukan hatinya. Dan kini pemuda itu muncul lagi, membelanya lagi, malah bersama gurunya.

Lin Lin berdiri terbelalak kagum. Tak tahu ia bagaimana ia harus berbuat. Ia maklum bahwa Gan-lopek adalah seorang tokoh sakti dan kini menghadapi Hek-giam-lo dengan bantuan muridnya sendiri. Apakah ia harus pula bantu mengeroyok? Pengalamannya selama merantau dan bergalang-gulung dengan para tokoh kang-ouw yang sakti mendatangkan pengertian bahwa membantu seorang tokoh sakti bertanding dapat diartikan menghinanya!

Pertandingan itu hebat sekali. Hek-giam-lo agaknya mengerahkan seluruh tenaganya, terbukti dari bunyi lengking yang panjang bersambung-sambung dari kerongkongannya, sedangkan senjata sabitnya menyambar-nyambar cepat sekali dan mengeluarkan angin bercuitan. Akan tetapi permainan sepasang pena bulu di tangan Gan-lopek amat kokoh kuat dan tenang, sungguh pun sinar senjata sabit yang gilang-gemilang itu seakan-akan mengurung dan menyelimutinya, bahkan menekannya. Bok Liong juga mainkan pedangnya dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Mengagumkan sekali betapa guru dan murid ini dapat main bersama. Gerakan mereka begitu mirip dan biar pun senjata mereka berbeda, namun kerja sama mereka amat baik, isi mengisi, bantu-membantu.

Hek-giam-lo memang amat sakti. Andai kata ia tidak menderita luka dalam, apa lagi kalau Bok Liong tidak membantu, agaknya Gan-lopek sendiri tak dapat bertahan melawannya. Kini keadaannya yang terluka dan ditambah pengeroyokan Bok Liong yang sudah memiliki kepandaian tinggi, membuat pertandingan itu menjadi seimbang, malah boleh dikata Hek-giam-lo banyak tertekan sungguh pun sabitnya kelihatan garang dan amat berbahaya.

Melihat ini, Lin Lin menjadi tidak sabar. Ia ingin terjun ke dalam gelanggang pertandingan, ingin ia dengan tangannya sendiri membunuh iblis yang dahulu pernah membunuh kakeknya, menghina ibunya dan mencemarkan nama baik bangsa Khitan. Akan tetapi sebelum ia sempat bergerak, tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan disusul sorakan keras.

“Basmi pemberontak! Hancurkan pemberontak!” Dari arah utara muncullah banyak sekali pasukan Khitan dengan senjata di tangan menyerbu.

“Pasukan siaaaaappp! Dengan darah dan jiwa kita bela Puteri Yalin, keturunan langsung Raja Besar Kulukan! Basmi pengkhianat Bayisan dan Kubakan!” demikian terdengar teriakan-teriakan keluar dari mulut Kayabu dan ayahnya, Pek-bin-ciangkun yang sudah mempersiapkan pasukannya pula.

Terjadilah perang tanding hebat antara mereka. Melihat ini Lin Lin tidak jadi membantu Gan-lopek, melainkan ia sendiri memimpin para pendukungnya menghadapi penyerbuan tentara pengawal kerajaan. Hebat sepak terjang gadis ini. Tubuhnya lenyap terbungkus sinar kuning emas dan ke mana pun juga sinar ini menyambar, terdengar teriakan-teriakan dan senjata terlempar dari tangan disusul robohnya tentara musuh yang terluka tangan atau kakinya. Akan tetapi tak seorang pun yang tewas di tangan Lin Lin, karena gadis ini merasa tidak tega membunuhi tentara bangsanya sendiri.

Jumlah pasukan pengawal yang berpihak Hek-giam-lo sebetulnya lebih besar. Maklum, karena memang tadinya semua pasukan Khitan merupakan anak buah Hek-giam-lo, suka atau pun tidak. Akan tetapi ketika pasukan itu melihat bahwa ‘pemberontak’ itu dipimpin oleh Pek-bin-ciangkun dan Kayabu, dua orang tokoh yang mereka hormati, mereka menjadi ragu-ragu. Tak seorang pun di antara mereka yang suka kepada Hek-giam-lo, kecuali beberapa orang perwira dan pasukan yang memang dipergunakan oleh Hek-giam-lo dan yang mengenyam pula hasil kejahatan dan kekejaman iblis ini.

Oleh karena itu timbullah kekacauan yang hebat ketika sebagian dari tentara ini membalik dan malah membantu gerakan Pek-bin-ciangkun. Lebih-lebih setelah mereka menyaksikan sepak terjang Lin Lin yang mereka dengar adalah Puteri Mahkota Yalina yang sejak kecil lenyap dan disangka mati. Sepak terjang Lin Lin yang hebat itu selain mendatangkan rasa gentar juga mendatangkan rasa kagum dan suka karena ternyata bahwa tak seorang pun yang roboh di bawah tangan gadis ini tewas.

Melihat keadaan berbalik untuk keuntungan pihaknya, Lin Lin segera teringat kepada Hek-giam-lo yang masih bertanding melawan pengeroyokan Gan-lopek dan Bok Liong. Hampir gadis ini menjerit ketika memandang ke arah pertempuran itu. Terjadi perubahan hebat dan pertandingan itu kini menjadi pergulatan mati-matian. Kiranya dengan gerakan yang hebat bukan main Hek-giam-lo yang cerdik itu telah mendesak Bok Liong, berniat merobohkan dulu lawan yang lebih lemah ini agar ia dapat memusatkan kepandaian dan tenaganya untuk mengalahkan Gan-lopek.

Pada saat Bok Liong menangkis sebuah sambaran maut sabit, pedang pemuda yang bersinar kuning itu bertemu sabit dan... terus menempel lekat tak dapat ditarik kembali. Bok Liong merasa tiba-tiba lengannya panas dan kejang. Terpaksa ia hendak melepaskan gagang pedangnya, namun alangkah kagetnya ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa hal ini pun tidak mungkin. Telapak tangannya seakan-akan sudah lekat pula dengan gagang pedangnya, seakan-akan gagang pedang itu sudah ‘berakar’ ke dalam tangannya. Rasa panas dan sakit makin menghebat sehingga pemuda itu mengeluh.

Melihat ini, Gan-lopek kaget sekali. Ia maklum bahwa iblis hitam itu lihai bukan main, memiliki hawa sakti yang telah dilatih dengan racun sehingga setiap serangannya kalau mengenai sasaran merupakan tangan maut. Ia maklum bahwa muridnya terancam bahaya maut dan terlambat sedikit saja usaha pertolongan, tentu takkan tertolong lagi. Oleh karena itu sejenak ia melupakan Hek-giam-lo dan cepat ia memindahkan mouw-pit putih ke tangan kanan, tangan kirinya yang kosong memegang pangkal lengan muridnya sambil mengerahkan sinkang untuk melawan penyaluran hawa serangan Hek-giam-lo, sedangkan tangan kanan yang memegang sepasang pena bulu itu ia hantamkan ke arah sabit.

“Cringgggg... Plakkk...!”

Peristiwa itu terjadi hanya beberapa detik saja. Dengan bantuan tenaga sinkang suhu-nya, Bok Liong berhasil melepaskan gagang pedangnya dan terlepas dari bahaya maut. Ada pun hantaman sepasang pena bulu itu tepat mengenai sabit, demikian hebatnya sehingga baik sepasang pena bulu mau pun senjata sabit itu patah-patah.

Akan tetapi agaknya Hek-giam-lo yang cerdik menggunakan saat yang tepat itu untuk menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga yang mengandung penuh Hek-in-tok (Racun Uap Hitam) memukul punggung Gan-lopek dengan telapak tangan. Pada saat tepukan itu mengenai punggung, dari dalam lengan bajunya yang kiri melayang sebatang hui-to (pisau ter­bang) yang menancap sampai ke gagangnya di punggung Gan-lopek pula!

Gan-lopek kelihatan terkejut, terhuyung dan memandang Hek-giam-lo, lalu tertawa bergelak dan roboh terguling!

“Iblis keparat!” Lin Lin menerjang maju, menyesal mengapa tidak sejak tadi ia turun tangan. Ada pun Bok Liong yang menyaksikan gurunya roboh, cepat memungut pedangnya dan menerjang lagi dengan nekat.

Biar pun ia telah berhasil merobohkan Gan-lopek, Hek-giam-lo harus menebusnya dengan mahal. Ia menderita luka dalam yang hebat, kini ia harus mengerahkan tenaga sinkang dari dalam tubuhnya yang membutuhkan pengerahan sekuatnya, maka luka di dalam dadanya menjadi menghebat, membuat ia merasa darah naik ke dalam kerongkongannya dan tak tertahankan lagi ia muntah darah.

Pada saat itu Lin Lin datang menerjangnya. Karena Hek-giam-lo sudah bertangan kosong, cepat ia menggerakkan lengan kiri. Belasan batang hui-to atau pisau terbang menyambar ke depan, sebagian besar ke arah Lin Lin dan beberapa buah ke arah Bok Liong, namun semua dapat dipukul runtuh oleh kedua orang muda itu. Sinar kuning bergulung-gulung menyambarnya. Hek-giam-lo yang sudah lemah dan berkunang-kunang matanya itu mengangkat lengan kanan menangkis.

“Crakkk!” Putuslah lengan itu dan darah menyembur dari pangkal lengan yang putus.

Lin Lin mendesak terus. Kembali Hek-giam-lo menangkis dengan tangan kiri, dan sekali lagi putuslah lengan kirinya. Ia mendengus-dengus aneh, akan tetapi tak seorang pun tahu apa yang ia ucapkan karena pada saat itu gulungan sinar pedang kuning emas sudah membabatnya dan robohlah Hek-giam-lo dengan dua tusukan di dadanya dan sebuah babatan pada lehernya membuat leher itu hampir putus pula!

Para prajurit yang dipimpin Pek-bin-ciangkun bersorak gembira. Ada pun para prajurit yang menjadi anak buah Hek-giam-lo menjadi kecil hati dan melawan sambil mundur. Saat itulah dipergunakan Pek-bin-ciangkun untuk berseru lantang.

“Orang-orang gagah bangsa Khitan, dengarlah baik-baik! Yang mampus itu, Hek-giam-lo si iblis kejam adalah pengkhianat yang puluhan tahun kita benci, kita cari-cari dan kita sangka sudah binasa. Dia adalah Bayisan! Bersama Kubakan, dia membunuh Sri Baginda Tua Kulukan dan merampas kedudukan sebagai raja. Kalau kalian membelanya berarti kalian membela pengkhianat bangsa. Sudah semestinya kita membantu Puteri Mahkota Yalina untuk menumbangkan kekuasaan jahat membangun Kerajaan Khitan yang kuat dan besar seperti dahulu!”

Ucapan yang nyaring ini ternyata besar sekali pengaruhnya. Banyak di antara para pasukan itu yang segera membuang senjata dan menggabungkan diri. Memang ada yang masih setia kepada Raja Kubakan, namun kekuatan mereka tidak ada artinya lagi dan pertempuran dilanjutkan dalam keadaan berat sebelah.

Lin Lin untuk sejenak tidak mempedulikan semua itu. Bersama Bok Liong ia berlutut di dekat tubuh Gan-lopek yang sudah payah. Muka kakek ini perlahan-lahan sudah berubah kehitaman, akan tetapi kakek sakti ini masih dapat tersenyum-senyum.

Bok Liong pendekar muda yang gagah itu kali ini tak dapat menahan diri menangisi gurunya karena ia maklum bahwa tak mungkin suhu-nya tertolong lagi. Dengan lengan kiri menyangga leher suhu-nya, ia hanya dapat berbisik-bisik menyebut nama suhu-nya dengan putus harapan.

“Eh, mengapa kau menangis, muridku? Apa kau kira kelak kau sendiri takkan mati juga? Kalau kau menangisi orang mati, berarti kau menangisi dirimu sendiri. Eh, Lin Lin bocah nakal! Kau benar-­benar tidak percuma hidup, sudah banyak menimbulkan geger. Sebelum aku mati, kau bilanglah dulu secara jujur, apakah kau suka dan sayang kepada muridku Bok Liong ini?”

Lin Lin juga berlinang air mata. Mendengar pertanyaan ini, tanpa ragu-ragu ia menjawab, “Tentu saja aku sayang dan suka kepada Liong-twako!”

“Ha-ha-ha! Nah, apa kataku, Bok Liong? Dia suka padamu!” Gan-lopek terbatuk-batuk karena ketika tertawa tadi dadanya terasa sesak sekali, kemudian ia menggigit bibir menahan rasa nyeri yang secara mendadak terasa di seluruh tubuhnya. Tadi ia dapat menahan rasa nyeri karena ia mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi setelah bicara, ia lupa akan ini dan serentak pengaruh racun membuat ia kesakitan.

“Tapi... tapi...” Bok Liong kebingungan, sebagian karena kata-kata itu, sebagian pula karena melihat keadaan suhu-nya.

“Heh...” Gan-lopek menghela napas. “Kau masih penasaran? Lin... Lin... jawab lagi..., apakah... apakah kau... suka menjadi... isteri muridku ini...?” Gan-lopek tak dapat bicara dengan baik lagi, sudah tersendat-sendat dan sukar.

Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar pertanyaan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakek ini akan bertanya tentang perjodohan. Tentu Bok Liong sudah bercerita kepada gurunya tentang penolakannya. Sebetulnya ia merasa tidak tega terhadap Gan-lopek yang sudah mendekati kematiannya ini, tidak tega mengecewakan hatinya. Akan tetapi, tidak mungkin ia dapat berbohong dalam menjawab tentang perjodohan, apa lagi Bok Liong sendiri berada di situ. Pemuda itu menundukkan mukanya yang pucat seperti orang terdakwa menanti dijatuhkannya keputusan hukuman. Ia harus berterus terang sehingga urusan yang tidak menyenangkan ini segera selesai.

“Tidak, Empek Gan, aku tidak suka menjadi isterinya karena kuanggap Liong-twako seperti kakakku sendiri.”

Bok Liong tidak heran mendengar ini, akan tetapi sepasang mata Gan-lopek yang tadinya sudah meram itu mendadak terbuka lagi dan memandang dengan melotot lebar. “Apa...? Kau... kau tidak mau...? Kau nakal... sebelum aku mati... hayo bilang laki-laki mana yang kau harapkan menjadi suamimu...?”

Sambil menundukkan mukanya Lin Lin menjawab, perlahan akan tetapi cukup jelas untuk Gan-lopek, bahkan merupakan halilintar menyambar ke dalam telinga Bok Liong, “Suling Emas...!”

“Suhu... Suhu...!” Bok Liong tiba-tiba memeluk gurunya yang sudah putus napasnya dengan mata masih terbelalak lebar.

Lin Lin menahan isaknya, hatinya terharu dan penuh iba. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? “Liong-twako, dia sudah meninggal, biar kusuruh atur pemakamannya...,” katanya perlahan.

Akan tetapi Bok Liong menggeleng-geleng kepala, membungkuk dan memondong jenazah gurunya, bangkit berdiri, memandang sejenak kepada Lin Lin dengan air mata bercucuran, kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Gadis itu pun memandang dengan air mata berlinang akan tetapi ia menguatkan hati dan tidak menahan karena maklum bahwa inilah yang terbaik. Ia merasa kasihan sekali kepada Bok Liong dan berjanji dalam hatinya bahwa selamanya ia akan menganggap Bok Liong sebagai kakaknya sendiri. Ia hanya mengharapkan mudah-mudahan kelak akan tiba saat dan kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Bok Liong terhadap dirinya.

Sementara itu pertempuran sudah selesai. Sebagian besar pasukan istana menyerah dan takluk, sebagian pula melarikan diri. Lin Lin segera mengumpulkan pasukannya, kemudian memerintahkan kepada Pek-bin-ciangkun untuk melakukan penyerbuan ke istana.

“Kalau Paman tiriku mau menyerah dengan baik-baik, jangan ganggu dia. Aku akan memberi kesempatan kepadanya untuk memilih, pergi dari Khitan atau menjadi seorang tahanan selamanya dengan perlakuan baik. Akan tetapi kalau dia melawan, kita gempur!”

Dengan sorak gemuruh pasukan pendukung Lin Lin berangkat menuju istana. Di sepanjang jalan pasukan ini bertambah besar jumlahnya karena pasukan lain yang mendengar tentang pemberontakan ini dan tentang tewasnya Hek-giam-lo yang ternyata adalah pengkhianat Bayisan, ikut bergabung. Apa lagi pasukan di bawah perwira-perwira tua yang mengenal Bayisan, tentu saja bersimpati kepada Puteri Yalin, anak dari Puteri Tayami yang mereka kagumi.

Tidak ada perlawanan berarti di sepanjang jalan. Baru setelah pasukan tiba di depan istana, dari halaman istana para pasukan pengawal mengadakan perlawanan. Segera terjadi pertempuran hebat, namun tidak lama pula jalannya pertempuran karena hanya beberapa orang saja pihak musuh yang melakukan perlawanan sungguh-sungguh, yaitu mereka yang masih terhitung keluarga raja sendiri. Ada pun para perwira lain juga hanya setengah hati saja melakukan perlawanan.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan dan barisan depan menjadi kacau. Barisan tengah mendesak ke belakang dan kelihatan beberapa orang prajurit dengan muka pucat melarikan diri.

“Ada setan...!” terdengar teriakan.

“Iblis sendiri membantu Sri Baginda, kita celaka!” disusul teriakan lain.

Lin Lin kaget sekali. Selagi ia hendak berlari ke depan, tiba-tiba ia terhenti dan terbelalak memandang ke depan. Kayabu datang sambil memondong tubuh ayahnya, Pek-bin-ciangkun telah terluka hebat sekali. Dari mata, hidung, mulut, telinga keluar darah segar!

“Ahhh, siapa melukainya?” teriak Lin Lin terkejut.

“Tuan Puteri, kita terjebak!” kata Kayabu gelisah. “Sri baginda mendatangkan bala bantuan dua orang iblis yang luar biasa sekali kepandaiannya. Dari jauh mereka memukul-mukul dan barisan kita kocar-kacir. Ayah sendiri terkena pukulan jarak jauh dan beginilah akibatnya.”

Dengan pedang di tangan Lin Lin berseru keras dan tubuhnya sudah berkelebat lenyap karena secepat kilat ia sudah berlari ke depan. Ia melihat barisannya sudah mundur ketakutan sehingga halaman istana itu kosong kembali, kecuali barisan pengawal yang berjaga di kiri, sedangkan di tengah terbuka tidak terjaga. Ketika Lin Lin berlari dekat, ia melihat bahwa di bagian tengah ini berdiri dua orang kakek. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mengenal mereka. Bukan lain mereka ini adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek sakti yang belum lama ini juga telah mendatangkan geger di puncak Thai-san!

Lin Lin adalah seorang gadis yang tidak mengenal takut. Ia tahu betul bahwa dua orang kakek itu adalah orang-orang sakti yang sukar dikalahkan. Di puncak Thai-san, hanya setelah Bu Kek Siansu muncul saja dua orang kakek ini dapat diusir. Akan tetapi, mengingat betapa dua orang kakek ini hampir saja menewaskan Suling Emas, ia menjadi marah dan memandang penuh kebencian.

“Kalian iblis tua bangka!” bentaknya sambil menudingkan pedang. “Mau apa kalian muncul di Khitan? Apakah kau sudah menjadi kaki tangan paman tiriku si pengkhianat?”

Lam-kek Sian-ong si muka merah tertawa. “Ha-ha-ha, kita bertemu lagi dengan si gadis liar yang berilmu aneh, Pek-bin Twako (Kakak Muka Putih)!”

“Hemmm, menyebalkan sekali, Ang-bin-siauwte (Adik Muka Merah), bereskan saja bocah itu!”

“Ha-ha-hah, jangan, Twako. Sayang! Lihat, alangkah cantik dan agungnya. Siapa kira, dia berdarah Raja Khitan! Kalau kita menjadi sepasang raja di sini, dan dia menjadi pelayan kita, bukankah hebat?”

Lin Lin tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Kalian ini dua iblis tua bangka bermulut kotor, lekas pergi dari sini sebelum pedangku bicara dan sebelum kukerahkan barisanku untuk membasmi kalian!”

Akan tetapi baru saja Lin Lin berhenti bicara, dari dalam istana berlari-lari keluar pengawal raja sendiri sambil membawa senjata dan langsung mereka ini menerjang dua orang kakek itu sambil berteriak-teriak. “Pembunuh raja! Kepung...! Tangkap...!”

Dua orang kakek itu saling pandang, lalu tertawa dan sekali mereka menggerakkan kedua lengan, para pengawal raja itu terlempar dan roboh tak dapat bangun lagi. Bagaikan nyamuk menyerbu api, para pengawal itu roboh bergelimpangan dan tumpang-tindih. Dua orang kakek itu dengan sikap acuh tak acuh merobohkan mereka dan dengan kaki, mereka itu menendangi mayat-mayat itu ke arah halaman depan.

Lin Lin terkejut dan heran. Tadinya ia menyangka bahwa paman tirinya mempergunakan dua orang kakek sakti ini. Siapa kira, paman tirinya malah agaknya sudah terbunuh oleh mereka. Jelas sekarang bahwa mereka ini hendak merampas kedudukan raja di Khitan! Kemarahan meluap di hati Lin Lin dan dengan gerakan cepat ia nekat menyerbu ke depan sambil berteriak, “Iblis-iblis busuk, mampuslah!”

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang berpusing dengan jurus Soan-hong-ci-thian itu tahu-tahu tertahan oleh dorongan tenaga sakti dari Lam-kek Sian-ong yang menggerakkan kedua tangannya ke depan dada, kemudian kakek itu membuat gerakan memutar dengan kedua lengannya dan tubuh Lin Lin ikut pula terputar-putar seperti kitiran angin! Gadis yang kurang pengalaman itu ternyata terlambat melihat sehingga ia membiarkan dirinya ‘terlibat’ hawa pukulan yang luar biasa itu.

“Ang-bin-siauwte, mengapa main-main dengan dia? Habiskan saja agar lekas beres!” Si Muka Putih mencela.

“Ha-ha-ha, tidak, Twako. Aku sayang kepadanya!”

“Apa...? Setua kau ini masih....”

“Ah, tidak, Twako. Jangan salah sangka. Aku hanya suka melihat dia ini, patut menjadi muridku, murid kita. Begitu garang, begitu galak dan tabah!”

“Kau takkan menurunkan kepandaian kepada orang lain. Biar kuhabiskan dia!” bentak si muka putih dan ketika tangannya bergerak, sinar putih seperti perak yang berhawa dingin sekali menyambar ke arah tubuh Lin Lin yang masih berputar-putar di bawah pengaruh kekuatan tangan si muka merah.

“Dua iblis tua bangka mengeroyok gadis remaja, sungguh tak tahu malu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras.

“Lin-moi, jangan takut, aku datang membantumu!” terdengar suara lain.

Kiranya yang muncul adalah empat orang, yaitu Kauw Bian Cinjin, Suling Emas, Bu Sin, dan Liu Hwee! Begitu tiba, Suling Emas cepat menyambar dengan sulingnya menangkis sinar perak yang mengancam nyawa Lin Lin. Terdengar suara keras dan sinar perak itu runtuh ke bawah, ternyata itu adalah sebutir batu putih yang dingin. Sementara itu Kauw Bian Cinjin sudah memutar pecutnya yang menyambar sambil mengeluarkan suara keras mengancam kepala Lam-kek Sian-ong!

“Bagus, bagus! Makin banyak lawan tangguh, makin menggembirakan!” Lam-kek Sian-ong si muka merah tertawa­tawa dan terpaksa ia melepaskan Lin Lin yang cepat menggerakkan Pedang Besi Kuning membantu Kauw Bian Cinjin mendesak kakek sakti itu. Liu Hwee juga tidak mau tinggal diam. Cepat ia memutar senjatanya berupa joan-pian berujung bola baja, mengeroyok Lam-kek Sian-ong setelah memesan kepada tunangannya Bu Sin, agar tidak ikut mengeroyok kakek sakti itu karena terlampau berbahaya mengingat bahwa tingkat kepandaian Bu Sin masih belum tinggi benar.

Sementara itu Suling Emas sudah berhantam melawan kakek muka putih, Pak-kek Sian-ong. Pertempuran yang sunyi, tidak bersuara, namun hebat bukan main. Kakek muka putih ini telah memegang sebatang pedang yang putih pula, berkilauan dan mengeluarkan hawa dingin. Namun suling di tangan Suling Emas bergulung-gulung seperti naga kuning emas bermain di angkasa, sedikit pun tidak mau mengalah terhadap gulungan sinar putih.

Memang Suling Emas mendongkol sekali kepada kedua orang kakek ini. Teringat ketika ia dipermainkan, dikeroyok dua dan hampir saja ia binasa. Kini terbuka kesempatan baginya untuk mengadu satu lawan satu, maka ia mengerahkan segenap tenaganya dan mainkan ilmu silatnya yang paling aneh dan hebat, yaitu gabungan dari tiga macam ilmu silat sakti, yaitu Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Laut­an) dua macam ilmu yang ia warisi dari gurunya, yaitu Kim-mo Taisu, dan digabung dengan ilmu sakti yang ia warisi dari Bu Kek Siansu, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Huruf Angin dan Awan). Dengan permainan gabungan yang luar biasa ini, biar pun Pak-kek Sian-su merupakan tokoh yang sukar dicari bandingannya pada jaman itu, namun ia menjadi sibuk juga dan akhirnya hanya dapat mempertahankan diri dengan jurus-jurus sakti yang dikerahkan untuk menyelamatkan diri saja.

Kakek muka merah, Lam-kek Sian-ong menghadapi pengeroyokan yang berat, yaitu Lin Lin, Liu Hwee, dan Kauw Bian Cinjin. Dua orang tokoh Beng-kauw ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, apa lagi Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi tingkat mereka berdua sesungguhnya masih kalah kalau dibandingkan dengan Lam-kek San-ong yang memang betul-betul sakti itu, dengan dasar tenaga Yang-kang sehingga setiap pukulannya membawa hawa yang amat panas.

Namun kedua orang tokoh ini menjadi kaget dan terheran-heran bahwa masuknya Lin Lin yang mainkan pedang Besi Kuning itu seakan-akan menjadi pelengkap dari pada kekurangan atau kekalahan mereka terhadap Lam-kek Sian-ong. Mereka terkejut mengenal dasar gerakan Lin Lin yang sama dengan ilmu silat Beng-kauw, bahkan gerakan pedang itu demikian hebatnya sehingga mereka berdua, biar pun bersenjatakan dua macam senjata, seakan-akan terseret dan terpengaruh oleh gerakan pedang Lin Lin dan membuat mereka terpaksa bergerak menurut gulungan sinar pedang itu yang seolah-olah ‘memimpin’ mereka. Tentu saja mereka menjadi heran dan juga girang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong yang menjadi kaget setengah mati! Seperti halnya Pak-kek Sian-ong yang terdesak oleh Suling Emas, ia sendiri pun terdesak oleh pengeroyokan tiga orang itu dan hanya mampu menangkis saja!

Lewat seratus jurus, dua orang kakek sakti itu maklum bahwa tiada harapan lagi bagi mereka, apa lagi kalau diingat bahwa di situ terdapat ratusan orang prajurit yang sudah siap untuk melakukan pengeroyokan begitu menerima komando. Lin Lin memang sengaja tidak mau mengerahkan pasukan karena maklum bahwa biar pun hal ini akan mendatangkan kemenangan, namun prajurit-prajurit itu tentu banyak yang akan menjadi korban.

Tiba-tiba kedua orang kakek itu dengan berbareng mengeluarkan bentakan keras sekali, bentakan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga khikang. Beberapa orang prajurit terjungkal, bahkan yang terlalu dekat roboh tak dapat bangkit lagi! Suling Emas mengeluarkan bunyi melengking tinggi dan memperhebat desakannya, akan tetapi Kauw Bian Cinjin tampak terhuyung mundur karena Lam­kek Sian-ong sengaja melakukan pukulan hebat yang khusus ia tujukan kepada kakek Beng-kauw ini. Melihat Kauw Bian Cinjin terhuyung, Lin Lin menerjang dengan jurus ampuh dari ilmu Cap-sha-sin-kun. Pedangnya tertangkis pedang merah di tangan Lam-kek Sian-ong, namun masih dapat menyerempet pundak kakek itu.

“Twako, mari pergi...!” Lam-kek Sin-ong berseru, tubuhnya melesat dan sekaligus ia menerjang Suling Emas yang mendesak saudaranya.

Tentu saja Suling Emas maklum betapa bahayanya dikeroyok dua orang kakek ini. Baru seorang Pak-kek Sian-ong saja ia hanya mampu mendesak belum mampu mengalahkan, apa lagi kalau Lam-kek Sian-ong datang mengeroyok. Terpaksa ia melompat mundur sambil memutar sulingnya. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh kedua orang kakek sakti untuk berkelebat pergi dari tempat itu.

Dalam kemarahannya, Lin Lin yang tidak kenal takut itu meloncat pula melakukan pengejaran. Akan tetapi tiba­tiba ia berhenti, tangannya ada yang memegang. Ketika ia cepat menoleh, kiranya yang memegang pergelangan tangganya adalah Suling Emas!

“Lin-moi, jangan mengejar mereka, berbahaya sekali. Biarlah aku membantumu....”

Lin Lin mengibaskan tangannya terlepas dari pegangan Suling Emas. Matanya terbelalak penuh kemarahan karena munculnya pendekar ini mengingatkan ia akan segala pengalamannya yang pahit dan mematahkan hatinya, terutama sekali ketika Suling Emas membela Suma Ceng. Tak tertahankan lagi tangan kirinya bergerak menampar pipi kanan Suling Emas yang tidak mengelak dan hanya memandang dengan mata sedih.

“Plakkk!” tangan kiri Lin Lin meninggalkan tapak tangan kemerahan pada pipi Suling Emas.

“Lin Lin! Gila engkau?” Bu Sin membentak marah sambil lari menghampiri.

“Pergi...! Pergi...!” Lin Lin berteriak-teriak sambil melarikan diri. Air matanya mulai bercucuran membasahi pipinya.

“Lin Lin, tunggu...!” Bu Sin mengejar. Sedangkan Suling Emas, setelah berdiri dengan muka pucat dan seperti kehilangan semangat, akhirnya ikut pula mengejar di belakang Bu Sin.

Lin Lin berlari secepatnya ke arah utara, tidak peduli betapa daerah ini makin sukar dilalui, merupakan padang rumput yang makin lama makin jarang pohonnya, hanya rumput-rumput belaka dan di sana­sini mulai tertutup pasir. Karena tempat ini terbuka, mulailah terasa angin bertiup keras dari arah depan, menyesakkan napas. Namun Lin Lin tidak merasakan ini semua dan berlari terus mendaki bagian yang menanjak.

Ah, mengapa dia datang? Mengapa aku mesti berjumpa kembali dengan dia? Aku benci dia! Ah, aku benci dia...! Keluhnya sambil menangis, karena betapa ia mengeraskan hati memaksa diri mengaku benci, perasaannya tahu bahwa ia membohongi dirinya sendiri. Ia mencinta Suling Emas, demikian mencintanya sehingga ia menjadi benci karena Suling Emas tidak membalas cinta kasihnya!

“Lin-moi, tunggu!” Kembali Bu Sin berteriak keras dengan napas terengah-engah karena ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk dapat mengejar Lin Lin yang lari seperti terbang, apa lagi angin mulai mengamuk di padang rumput itu, membawa terbang butiran-butiran pasir.

“Lin-moi, mari kita bicara! Inilah Kakak Bu Song yang kita cari­cari! Berhentilah dulu!”

Mendengar ini makin deras air mata Lin Lin mengucur di sepanjang pipinya, dan makin cepat pula kedua kakinya berlari menjauhi dua orang itu. Bukan kakakku, pikirnya sedih. Bukan karena aku adiknya. Apa artinya adik angkat, lain ibu lain ayah? Aku orang lain. Hanya karena dia... dia mencintai wanita yang sudah punya suami dan anak-anak! Ah, alangkah benciku!

Sementara itu, Suling Emas sudah memegang lengan Bu Sin dari belakang. “Sin-te (Adik Sin), kau kembalilah. Biarkan aku membereskan urusan ini. Percayalah kepadaku!”

Karena memang merasa tidak sanggup menyusul Lin Lin dan juga merasa ragu apakah ia akan dapat mengatasi watak adik angkatnya yang kukoai (luar biasa) itu, Bu Sin berhenti dan tidak mengejar lagi. Suling Emas lalu mengerahkan kepandaiannya dan bagaikan terbang ia lari mengejar, mendaki jalan tanjakan. Angin makin hebat bertiup, merontokkan daun-daun beberapa batang pohon yang sudah setengah gundul. Rumput tebal yang tinggi bergerak-gerak menyabet kaki seperti lecutan cambuk.

Akhirnya Suling Emas dapat menyusul Lin Lin di puncak bukit itu, puncak yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali sehingga angin bertiup kencang membuat mereka sukar bernapas, membuat pakaian mereka berkibar-kibar.

“Lin Lin, untuk terakhir kali, mari kita bicara. Kalau kemudian kau masih penasaran kau boleh bunuh aku di sini juga!” Suling Emas menangkap lengan Lin Lin dan tidak mau melepaskannya lagi.

Gadis itu membalikkan tubuh, tangannya meraba gagang pedang, mukanya penuh air mata. Sejenak mereka bertemu pandang, kemudian dengan terisak Lin Lin merangkul pinggang dan membenamkan mukanya di dada Suling Emas! Pendekar ini menahan napas, berdongak sambil meramkan mata. Tak terasa lagi pendekar sakti yang berhati baja ini menitikkan dua butir air mata.

Baju di bagian dada Suling Emas sudah basah oleh air mata Lin Lin dan rambut gadis itu tertiup angin melambai-lambai dan menyapu-nyapu muka pendekar itu. Suling Emas memeluk pundaknya dan membelai rambutnya.

“Lin Lin, dengarlah baik-baik. Tiada guna kita lanjutkan semua ini. Kau tahu bahwa tidak mungkin kita berjodoh....”

Lin Lin mengangkat mukanya yang basah. “Kenapa tidak mungkin...? Kita... kita saling mencinta. Katakanlah bahwa kau tidak mencintaku! Katakanlah! Kalau kau tidak mencintaiku, baru aku menerima nasib, akan tahu diri...!”

Suling Emas menggeleng-geleng kepalanya. Tentu saja mudah bagi mulutnya untuk mengatakan hal ini, akan tetapi kalau ia katakan bahwa ia tidak mencinta Lin Lin maka itu berarti bahwa ia membohong, membohongi Lin Lin dan membohongi diri sendiri!

“Lin-moi, kau tahu bahwa aku pun mencintamu, adikku. Aku mencintaimu walau pun cinta kasihku ini tidak ada harganya. Sudah terlampau banyak aku menimbulkah peristiwa duka oleh cintaku. Cinta kasihku bernoda darah, Lin-moi. Aku tidak mau menyeretmu ke dalam kutukan ini, karena... karena besarnya cintaku kepadamu. Aku tahu bahwa kau tidak peduli tentang usia, dan aku tahu bahwa cintamu kepadaku murni. Namun... betapa pun besar aku mencintamu, aku tetap tak dapat menerimanya, adikku. Dunia kong-ouw memusuhiku, hidupku selalu terancam bahaya, dan mereka semua sudah tahu bahwa kau adalah Kam Lin, adik angkatku. Mana mungkin kakak mengawini adik angkat sendiri? Alangkah akan hinanya nama kita, nama keluarga kita. Kau akan sengsara lahir batin kalau menjadi jodohku. Selain itu, kau pun harus ingat. Kau seorang puteri mahkota, bahkan kau calon ratu Khitan. Kau harus ingat akan tugas suci ini, ingat akan bangsamu. Jauh lebih mulia bagi seorang manusia untuk berbakti kepada bangsanya dari pada menuruti nafsu hatinya.”

Biar pun angin menderu keras, namun karena Suling Emas mempergunakan khikang dalam suaranya, Lin Lin dapat mendengar jelas. Ia makin terharu. Semua kata-kata itu menikam ulu hatinya dan mau tak mau ia harus mengakui kebenarannya. Matanya serasa terbuka oleh kata-kata itu, mata hati yang selama ini seperti buta oleh cinta. Akan tetapi, teringat akan Suma Ceng ia masih meragu.

“Apakah... apakah semua itu bukan hanya kau gunakan untuk menghiburku? Apakah tidak tepat kalau kau... tak dapat menerima persembahan hatiku karena kau sudah mencinta orang lain, mencintai Suma Ceng?”

Suling Emas memegang dagu gadis itu, diangkatnya mukanya agar menentang mukanya sendiri. “Kau pandanglah mataku, Lin-moi. Adakah mataku membayangkan kebohongan? Memang, dahulu aku pernah mencintai Suma Ceng, akan tetapi cinta itu tercabut akarnya meninggalkan luka di hati setelah ia menikah dengan orang lain. Banyak sudah hatiku terluka karena cinta gagal, dan aku tidak mau mengorbankan dirimu hanya untuk mengobati hatiku. Aku... aku amat mencintamu, adikku. Karena itulah aku rela berkorban patah hati sekali lagi dan kali ini yang paling parah. Dengarlah, aku bersumpah takkan menikah dengan gadis lain, aku ingin mengikuti jejak mendiang suhu Kim-mo Taisu dan jejak locianpwe Bu Kek Siansu. Aku hanya memujikan semoga engkau mendapatkan seorang jodoh yang baik, adikku.”

“Ah... Suling Emas... aku mencintamu. Aku tidak akan menikah dengan orang lain aku bersump....”

Tiba-tiba Suling Emas menutup bibir yang akan bersumpah itu dengan tangannya, kemudian ia tersenyum dan mencium dahi Lin Lin dengan mesra dan penuh kasih sayang. “Tak perlu bersumpah, adikku. Dan aku percaya akan cintamu seperti engkau percaya pula akan cintaku. Biarlah perasaan kita ini menjadi rahasia kita dan membahagiakan kita bahwa betapa pun juga, kita saling mencinta. Nah, keringkanlah air matamu, adikku, dan bersiaplah engkau memimpin bangsamu. Lihat, mereka datang menjemputmu.”

Sekali lagi Suling Emas mencium gadis itu, lalu melepaskan pelukannya. Lin Lin terisak dan menengok. Betul saja, dari bawah tampak rombongan pasukan Khitan yang dipimpin oleh Kayabu. Mereka itu berkuda, kelihatan kereng dan garang. Tampak pula Kauw Bian Cinjin, Liu Hwee dan Bu Sin di antara rombongan ini. Lin Lin merasa bangga hatinya dan diam-diam ia menghapus air matanya, lalu bergandengan tangan dengan Suling Emas menuruni puncak bukit. Ketika mereka saling lirik, keduanya tersenyum dan di dalam kerling mata mereka terbayang haru dan bahagia.

Kayabu segera meloncat turun dari kudanya, diikuti semua pasukan dan mereka memberi hormat dengan membungkuk di depan Lin Lin. “Hamba melapor bahwa pasukan kita berhasil menang dan menduduki Istana. Kini para panglima menanti Paduka untuk menerima perintah selanjutnya.”

Lin Lin mengangguk dengan sikap agung, lalu meloncat ke atas kuda yang sengaja dibawa untuknya. Suling Emas juga mendapatkan seekor kuda. Beramai-ramai mereka menuruni bukit itu. Lin Lin di depan bersama Suling Emas, Bu Sin dan Liu Hwee. Kauw Bian Cinjin agak di belakang. Di tengah perjalanan, Lin Lin bercakap-cakap dengan Bu Sin tentang Sian Eng. Ternyata Sian Eng menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tak seorang pun tahu ke mana perginya gadis itu yang sudah berubah menjadi seorang yang aneh.

Pengangkatan Puteri Yalina sebagai Ratu Khitan dilakukan dengan suasana meriah sekali. Suling Emas, Bu Sin, Liu Hwee, dan Kam Bian Cinjin merupakan tamu-tamu agung yang menghadiri perayaan ini. Ratu Yalina mengangkat Kayabu sebagai panglima tertinggi, menggantikan kedudukan Pek-bin-ciangkun yang tewas dalam pertempuran. Atas petunjuk Kayabu, Yalina mengangkat pula banyak panglima-panglima Khitan, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing. Sekali lagi Khitan menjadi bangsa yang kuat di bawah pimpinan seorang ratu yang bijaksana dan mencinta bangsanya, terlepas dari kekejaman dan kelaliman seorang raja murka seperti Kubakan yang ternyata tewas oleh Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.

Setelah upacara pengangkatan selesai, para tamu agung minta diri. Kauw Bian Cinjin mendapatkan kembali tongkat Beng-kauw. Tidak disebut-sebut tentang isi tongkat, yaitu rahasia peninggalan Pat-jiu Sin-ong. Rahasia ini hanya diketahui oleh Lin Lin dan Suling Emas belaka, karena catatan-catatan itu sudah terlanjur dimusnahkan Lin Lin.

Dengan menahan keharuan hatinya, Lin Lin mengantar keberangkatan para tamu agung itu. Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Suling Emas, tak terasa lagi bulu matanya menjadi basah oleh air mata. Akan tetapi bibirnya tersenyum membayangkan kebahagiaan akan rahasia yang tersimpan di dalam hatinya dan hati Suling Emas, bahwa mereka saling mencinta dengan kasih sayang yang murni, dengan pengorbanan.

Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina dengan pakaian indah dan Pedang Besi Kuning menghias pinggangnya, berdiri mengantar tamunya sampai derap kaki kuda mereka tak terdengar lagi, setelah lama bayangan mereka tak tampak. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan dengan bangga melihat pasukannya berdiri siap di depannya, siap menanti setiap perintahnya. Ia berjanji akan memimpin bangsanya ke arah kemuliaan dan kebesaran.

Demikianlah, kisah CINTA BERNODA DARAH ini berakhir sampai di sini dengan catatan bahwa di antara tiga saudara yang turun dari Cin-ling-san, hanya Kam Bu Sin seoranglah yang berhasil dalam perjodohannya. Beberapa bulan kemudian, Kam Bu Sin melangsungkan pernikahannya dengan Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw, dilakukan dengan upacara yang amat meriah. Hanya sayangnya bagi Bu Sin, di antara saudaranya, hanya Suling Emas saja yang menghadiri perayaan itu. Sian Eng tetap tak pernah muncul, sedangkan Lin Lin yang sibuk dengan tugasnya yang baru, hanya mengirim barang-barang berharga sebagai sumbangan.

Setelah Bu Sin menikah, Suling Emas juga melenyapkan diri dari dunia ramai. Hanya kadang-kadang saja ia muncul di Nan-cao, akan tetapi sebentar saja lalu pergi lagi tanpa ada yang tahu ke mana perginya dan di mana tempat tinggalnya yang tetap.

Apakah hanya berakhir sampai di sini saja riwayat tokoh-tokoh seperti Lin Lin, Suling Emas, dan Sian Eng? Berakhir dengan menyedihkan karena mereka gagal dalam asmara dan menderita? Pembaca budiman, selama manusia ini masih berada di atas tanah, belum masuk ke dalam tanah, takkan pernah peristiwa berhenti mengejarnya. Cerita mengenai diri manusia, selama manusia itu masih hidup, takkan pernah habis dan barulah riwayat manusia benar-benar tamat kalau dia sudah masuk ke dalam tanah.

Oleh karena itu, riwayat tentang diri Suling Emas, tentang diri Lin Lin, tentang Sian Eng dan juga Lie Bok Liong, sekali waktu akan dapat anda nikmati pula apa bila pengarangnya telah siap dengan rangkaian cerita lain yang merupakan sambungan dari pada cerita CINTA BERNODA DARAH. Tunggulah saatnya, dan anda pasti akan berjumpa pula dengan mereka dan... dalam keadaan yang lebih menyenangkan.....
T A M A T

>>>> MUTIARA HITAM <<<<
(Bagian Keempat Serial BU KEK SIANSU)
LihatTutupKomentar